BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL

advertisement
BAB IV
PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL FAQIH
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM
4.1 Biografi Imam Khomeini
4.1.1 Latar Belakang Kehidupan Imam Khomeini
Imam Khomeini lahir di kota Khumyun atau Khomein, Iran Tengah pada tahun 1902.
Nama Khomeini diambil dari nama kota kelahirannya, sedangkan nama lengkapnya adalah
Rohulloh Al-Musavi Al-Khomeini. Semasa kecil ia sering dipanggil Rohulloh, setelah
dewasa dan menjadi seorang fuqoha ia sering dipanggil dengan sebutan Imam Khomeini. AlMusavi merupakan nama keluarga besarnya, yaitu keluarga ulama bermarga Musavi.
Ayahnya Sayyid Mustafa adalah seorang ulama terkemuka di Khomein. Ibunya Agha
Khanum putri dari Mirza Ahmad Mojtahed-e Khonsari, yang juga seorang ulama terkenal
dan sangat dihormati di Iran Tengah (Satori, 2010: 34). Baik dari ayah maupun ibunya, dapat
dikatakan bahwa Imam Khomeini merupakan keluarga yang memiliki status sosial yang
tinggi, yaitu keturunan dari ulama-ulama besar Iran, yang menjadi simbol pemimpin umat
Islam.
Berbicara mengenai silsilah keturunan, Imam Khomeini adalah keturunan dari Sayyid
Mussawi yang diyakini oleh masyarakat Syiah sebagai keturunan Nabi melalui jalur Imam
ketujuh Syiah, Imam Musa Al-Kadzim (Baqer Moin, 1998:69).
Mereka berasal dari
Neysyabur, Iran Timur laut. Pada awal abad ke delapan belas, keluarga ini bermigrasi ke
India, dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow kerajaan Oudh yang penguasanya
menganut mazhab Syiah. Sayyid
Ahmad Musavi Hindi, kakek Imam Khomeini yang
kemudian menjadi seorang ulama terkemuka di India, dilahirkan di Kintur, wilayah Lucknow
India Utara. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi
Nishapur penulis kitab Abaqat al Anwar, sebuah kitab yang menjadi kebanggaan umat Islam
di India.
Pada sekitar tahun 1830, Sayyid Ahmad, kakek Imam Khomeini meninggalkan India
untuk berziarah ke kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu dengan seorang saudagar
terkemuka dari Khomein, melalui perkenalan dengan saudagar dari Khomein ini, Sayyid
Ahmad memutuskan untuk pindah ke Khomein dan menjadi pembimbing spiritual di
Khomein.
Sayyid Ahmad kemudian menikah dengan Sakinah, dan dari pernikahannya, pasangan
ini dikaruniai empat orang anak, yang salah satunya adalah Sayyid Mustafa yang lahir pada
tahun 1856. Sayyid Mustafa inilah yang menjadi ayah Imam Khomeini. Terlahir sebagai
keluarga ulama besar, sayyid Mustafa pun menjadi seorang ulama terkemuka di Khomein dan
Iran. Sayyid Mustafa menikah dengan Agha Khanum, dan dari pernikahannya dikaruniai
enam orang anak, dan anak bungsunya adalah Rohulloh Al-Mussavi Khomeini atau Imam
Khomeini.
Imam Khomeini sudah menjadi yatim sejak berusia sembilan bulan. Ayahnya dibunuh
karena menentang dinasti Qajar (Khomeini, 2002:9). Imam Khomeini kemudian diasuh oleh
ibunya, yang juga dibantu oleh bibinya, Saheba. Ketika Imam Khomeini berusia lima belas
tahun, ibunya meninggal, dan tidak lama kemudian disusul oleh bibinya. Di usianya yang
menginjak remaja, Imam Khomeini sudah menjadi yatim piatu. Pengasuhan Imam Khomeini
kemudian diambil alih oleh kakak tertuanya, Morteza (Baqer Moen, 1998:70).
Semasa dalam asuhan kakaknya, Khomeini tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan
sangat menggemari ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Bahasa Arab, Syair
Persia, kaligrafi, sastra dan juga sejarah menjadi pelajaran yang dikuasainya. Tak heran Pada
awal tahun 1930, Imam Khomeini menjadi mujtahid dan menerima ijazah, yaitu suatu level
yang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip
keagamaan yang menjadikan ia menempati posisi senioritas ulama yang cukup tinggi
(Fauziana, 2009:4) dari empat guru terkemuka. Mereka adalah Syaikh Muhsin Amin Ameli,
seorang ulama terkemuka dari Libanon; Syaikh Abbas al-Qummi, seorang ahli hadis dan
sejarawan terkemuka, yang juga penulis buku Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga); Abul
Qasim Dehkordi Isfahani, seorang Mullah terkemuka dari Isfahan, dan Muhammad Reza
Masjed Syahi.
Di usia yang ke-27 tahun, Imam Khomeini mulai mengajar filsafat, dan telah menulis
buku-buku tentang berbagai seni, dan agama. Pada usia 27 tahun pula, Imam Khomeini
menikah dengan Syarifah Batul, putri seorang Ayatollah yang bermukim di Teheran. Dari
pernikahannya Imam Khomeini dikaruniai lima orang anak, yaitu dua orang putra dan tiga
orang putri. Pada usia 30 tahun hingga awal 1960, Imam Khomeini melewatkan hidupnya di
kota suci Qom. Yaitu sebuah kota yang menjadi pusat pendidikan di Iran. Di sana ia
mengajar hukum, filsafat, dan etika. Ia bersikeras bahwa Islam memiliki komitmen terhadap
kehidupan sosial politik (Satori, 2010:35).
Perjalanan masa mudanya dilalui dengan bersikap apolitik, Imam Khomeini
mengikuti jejak guru-gurunya untuk beruzlah dan menghindar dari perpolitikan secara
langsung, namun setelah gurunya wafat, Imam Khomeini berkecimpung secara langsung ke
dalam kancah perpolitikan Iran. Imam Khomeini menjadi orang pertama dan orang yang
mendapat dukungan penuh dari masyarakat Iran yang sudah tidak percaya pada pemerintahan
Iran di bawah kekuasaan Syah Reza. Pengasingan dan penjara menjadi konsekuensi yang
harus dihadapinya. Hingga tahun 1979, sejarah mencatat sebagai puncak perjuangan dari
Imam Khomeini dan masyarakat Iran dalam menumbangkan kerajaan Syah Reza yang
berujung dengan Revolusi Rakyat Iran yang membuahkan pergantian bentuk pemerintahan
secara menyeluruh dari kerajaan menjadi Republik Islam Iran dengan konsep kepemimpinan
Wilayatul Faqih dan menempatkan Imam Khomeini menjadi orang pertama dalam Revolusi
Iran tersebut.
Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, dengan memberikan suatu
keyakinan kepada kaum Muslim di seluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang
sempurna, yang melingkupi seluruh aturan manusia, baik secara spiritual, sosial maupun
politik. Islam tidak membatasi manusia hanya bergelut dengan ibadah ritual semata, namun
Islam pun mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dan menganjurkan umat Islam untuk bisa
menguasai ilmu-ilmu modern. Agama dan ilmu pengetahuan bersinergis yang menjadikan
negara bisa maju dan tidak berada di bawah hegemoni penjajah. Visi-misi dan keyakinan
Imam Khomeini tersebut menjadi salah satu bagian dari karakteristik Republik Islam Iran
saat ini.
4.1.2 Latar Belakang Pendidikan Imam Khomeini
Imam Khomeini terlahir dari keluarga berpendidikan dan terkemuka, sehingga sejak
kecil ia sudah bergelut dengan pendidikan. Riwayat pendidikannya dimulai di kota
Khumayun atau Khomein. Imam Khomeini mulai memasuki maktab, yaitu pusat pendidikan
agama tradisional pada usia enam tahun. Di maktab ia belajar membaca dan menulis bahasa
Arab, ia juga mulai mempelajari kitab suci Al-quran, dan seperti anak-anak kecil lainnya ia
diajarkan menghapal surah-surah terakhir di dalam al-Quran dan beberapa frase bahasa Arab
serta sejarah Nabi dan para Imam versi Syiah (Baqer Moen, 1998:70). Pada usia tujuh tahun
Imam Khomeini baru memasuki sekolah formal pemerintah Iran, disana ia belajar kaligrafi
dari Mirza Mahallati, selain itu ia juga belajar sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan sains
dasar.
Pada perkembangan pendidikannya, Imam Khomeini tumbuh menjadi remaja yang
cerdas dan banyak menguasai ilmu yang dipelajarinya. Pada usia limabelas tahun, Imam
Khomeini telah menyelesaikan studi syair Persianya dan mulai menekuni tata bahasa Arab
juga kaligrafi kepada Morteza yang merupakan pengajar tata bahasa Arab dan teologi di
Isfahan. Imam Khomeini adalah remaja yang memiliki minat tinggi dalam belajar, ia juga
memiliki bakat khusus dalam beberapa pelajaran yang diminatinya. Ia banyak belajar syair
klasik, banyak mengingat ratusan versi dari puisi yang berbeda-beda, pandai menulis dan
menyusun syair Persia (Baqer Moen, 1998:71).
Ketika Imam Khomeini berusia lima belas tahun, ibu dan bibi yang merawatnya
meninggal dunia akibat kolera yang menyerang Iran. Pengasuhan Imam Khomeini jatuh pada
kakak tertuanya, Morteza. Setelah pendidikan tata bahasanya selesai, Morteza mengirim
Imam Khomeini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia mengirim Imam Khomeini ke
Isfahan, kota penting yang merupakan pusat ilmu Syiah. Selain belajar fiqih dan bahasa Arab,
Imam Khomeini juga belajar filsafat dan Irfan (tasawuf) dibawah bimbingan seorang ahli
irfan Mirza Muhammad Ali Syahabad (Fauziana, 2009:11).
Diusia tujuh belas tahun, Imam Khomeini pergi ke Arak (sekarang Sultanabad), yaitu
kota yang menjadi pusat ilmu di Iran dan memiliki banyak ulama terkemukanya. Di Arak, ia
belajar pada ulama terkemuka, Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, Imam Khomeini belajar
fiqih dan ushul fiqih. Imam Khomeini sangat menyukai gurunya ini, sehingga ketika Syekh
Haeri Yazdi pindah ke Qum sebagai pusat daerah Syiah Iran karena wilayah Arak sudah
menjadi wilayah di bawah mandat Ingris, Imam Khomeini pun mengikuti langkah gurunya
untuk pindah ke Qum. Sejak itu Imam Khomini melanjutkan pendidikannya di kota Qum.
Imam Khomeini belajar disebuah perguruan tinggi Islam di Qom dan menyelesaikan
tahap awal pendidikan tingginya. Ilmu tentang politik banyak Imam Khomeini dapatkan dari
Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi. Imam Khomeini juga belajar fiqih dan usul fiqih dari
seorang guru dari Kasyan, yaitu Ayatulloh Alio Yasrebi atau Ayatulloh Kasyani. Dalam
bidang politik Khomeini lebih mengikuti jejak gurunya Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi,
untuk bersikap pasif terhadap penolakan Reza Shah tentang tradisi dan budaya Islam yang
dianut sebagian besar masyarakat Islam. Ia tidak melakukan aktivitas politik hingga tahun
1930, karena ia berpendapat bahwa politik harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki
pengaruh keagamaan yang paling kuat. Walaupun selama menempuh pendidikannya Imam
Khomeini tidak melakukan aktivitas politik, hanya belajar dan mengajar, Imam Khomeini
tetap menaruh perhatian pada hukum Islam (syariat) dan terus memperdalam ilmu politik
Islam (Fauziana, 2009:12).
Pada tahun 1930, Imam Khomeini menyelesaikan studinya, mendapat ijazah serta
menjadi seorang Mujtahid dan mulai mengajar fiqih dan tata bahasa. Selain itu sejak awal
Imam Khomein menunjukkan bakat khususnya di bidang studi-studi irfan. Ilmu Irfan sering
disebut juga gnositisme, yaitu cabang dari ilmu filsafat yang melingkupi pengetahuan mistis
dunia bathiniyah manusia yang mengupayakan keakraban dengan Allah (Rahnema,1998: 74).
Selain itu Imam Khomeini sendiri mengatakan bahwa al-Qur'an sarat dengan kajian-kajian
'irfani yang hanya bisa difahami oleh seorang yang mumpuni, yang merupakan puncak
rahasia dan menjadi sebab keagungan serta kebesaran al-Qur'an. Al-Qur'an yang mulia sangat
sarat dengan rahasia, hakikat, makna-makna luhur, tauhid dimana akal ahli makrifat
tercengang dengannya dan ini adalah mukjijat agung lembaran cahaya samawi (al-Qur'an)
(Satori, 2007:43).
Pada usia 27 tahun Imam Khomeini sudah menulis sebuah buku tentang Irfan dalam
bahasa Arab sekaligus menjadi guru dalam studi filsafat dan irfan, walaupun Irfan dan puisi
yang diminati Imam Khomeini, sebenarnya kurang popular di kalangan mullah di Qom pada
masa itu (Yamani, 2003:111).
Setelah Ayatullah Abdul Karim Haeri Yazdi wafat pada tahun 1937, Imam Khomeini
banyak dipengaruhi oleh Husayn Boroujerdi yang merupakan ulama paling berpengaruh di
Qom, dan Imam Khomeini menjadi asistennya. Di bawah bimbingannya Imam Khomeini
belajar ilmu fiqih bersama rekan-rekannya yang suatu saat menjadi rekan dalam
penggulingan Syah Reza Pahalvi, diantaranya yaitu Ayatullah Muttahari, Ayatullah
Muntaziri, Hujatul Islam Muhammad Javad Bahonar, dan Hujatul Islam Ali Akbar Hashimi
Rafsanjani.
Pada tahun 1942 Imam Khomeini mulai menampakan ketertarikannya dalam bidang
bidang politik. Ia menulis sebuah buku politik yang berjudul Kasful Asrar (Membongkar
Tabir Rahasia) yang isinya sindiran tentang kejadian-kejadian politik Iran di bawah Syah
Reza yang bekerja sama dengan Barat. Ketika Ayatulloh Burujerdi wafat pada tahun 1961,
Imam Khomeini menggantinya dengan menjadi guru besar di Qum, sebagai guru besar, selain
dalam bidang politik, Imam Khomeini juga banyak menulis buku-buku dengan tema filsafat,
hukum, dan budaya Islam. Selain buku-buku karyanya sendiri, karya-karya Imam Khomeini
juga banyak yang disusun oleh orang lain, baik itu dari kumpulan ceramahnya maupun dari
kumpulan-kumpulan kuliah umumnya.
Pada fase hidupnya tahun 1908-1961, adalah masa ketika Imam Khomeini
menghabiskan waktunya dalam jenjang penidikan formal. Ia juga banyak menulis dan
mengajarkan ilmunya yang menggambarkan pandangan–pandangannya tentang hidup
bernegara dan bermasyarakat berdasarkan ajaran Islam.
4.1.3 Sikap Politik Imam Khomeini Terhadap Pemerintah Iran
Tahun 1962 Imam Khomeini terjun ke kancah politik Iran secara langsung. Sebelumnya
Imam Khomeini hanya terlibat secara pasif dengan menjadi pemerhati politik dan membuat
tulisan-tulisan yang berkomentar tentang Iran. Buku pertama Imam Khomeini dalam bidang
politik adalah Kasful Asrar (Menyingkap Tabir Rahasia) yang diterbitkan tahun 1942, isinya
sindiran terhadap pemerintahan Syah dan mengopinikan tentang sistem dan pilar-pilar
pemerintahan Islam.
Imam Khomeini memasuki debat agama dan politik nasional secara diam-diam setelah
Perang Dunia Kedua, yaitu ketika Reza Syah semakin melemah kekuasaannya. Pada
mulanya, situasi di Iran sangat tidak memungkinkan para ulama untuk angkat bicara masalah
politik. Reza Syah adalah pemimpin yang anti ulama, hal ini mengakibatkan para ulama
menghentikan perjuangannya secara terang-terangan dan tunduk di bawah rezim Reza Syah,
walaupun hal ini dirasa pilihan yang sulit, namun demi keselamatan para ulama dan
masyarakat Syiah, jalan taqiyyah (berdiam diri dan menyembunyikan identitas) diambilnya,
seperti dalam Ali Rahnema (1996:83) ―Seandainya Haeri berbicara, mereka (rezim Reza
Syah) tentu akan menghancurkan pusat teologi Qum.‖ Jelas seorang kawan dekat Khomeini,
Ali Saduqi.
Pendekatan pasif ini dibenarkan oleh konsep taqiyah dalam Syi‘ah, untuk melindungi
Islam ketika seorang muslim menghadapi bahaya yang tidak mungkin diatasinya. Akhirnya
selama pemerintahan Reza Syah, sikap taqiyah inilah yang dilakukan mayoritas ulama Iran,
termasuk langkah yang diambil oleh Imam Khomeini.
Setelah wafat kedua gurunya, Boroujerdi dan Kasyani, tahun 1962 Imam Khomeini
benar-benar
meninggalkan
uzlah
(menyepi/apolitik)
dan
sikap
taqiyyahnya
(menyembunyikan identitas), ia menyuarakan apa yang jarang disuarakan oleh ulama-ulama
Iran sebelumnya, yaitu tentang politik sistem pemerintahan Islam. Dalam bukunya dan dalam
setiap pidatonya, Imam Khomeini menuduh Syah sebagai orang yang menghancurkan budaya
Islam dan patuh terhadap dominasi negara asing. Imam Khomeini juga menyatakan bahwa
negara Islam adalah satu-satunya bentuk negara yang paling baik dalam pemerintahannya.
Seperti perkataan Imam Khomeini
Allah, katanya, menciptakan Republik Islam. Patuhi Allah dan RasulNya dan mereka
di sekitarmu yang memiliki otoritas (ulama). Itu adalah satu-satunya bentuk
pemerintahan yang diterima Allah pada hari pembalasan. Kami tidak menyatakan bahwa
pemerintahan harus dipegang oleh para ulama. Tetapi pemerintahan harus dijalankan dan
diarahkan sesuai dengan hukum Islam yang berlaku, dan hal ini hanya mungkin jika
dilakukan pengawasan oleh para ulama (Fauziana, 2009:24).
Kampanye dan opini Imam Khomeini yang pada awalnya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi kemudian segera dilakukan secara terang-terangan. Perlawanan
sebelumnya yang ia lakukan adalah perlawanan penentangan kebijakan White Revolution atau
Revolusi Putih Syah Reza Pahlevi yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Shah
Muhammad Reza pada tahun 1963. Beberapa isi dari White Revolution mengandung
program reformasi, yaitu
1. Reformasi tentang peraturan pertanahan,
2. Nasionalisasi hutan,
3. Penjualan saham Badan Usaha Milik Negara kepada pribadi,
4. Memperbolehkan kaum non muslim untuk memiliki dan mengelola bisnisnya secara
individu
Kebijakan tersebut ditentang oleh para ulama karena mengandung unsur westernisasi
yang memuat ide-ide liberalisasi. Imam Khomeini mengumpulkan ulama-ulama dan pelajar
Iran untuk memboikot isi kebijakan White Revolution. Pada 22 Januari 1963, Imam Khomeini
mengeluarkan deklarasi yang menentang Shah dan rencananya. Hal ini direspon oleh Shah
dengan mengadakan pidato di Qom yang isinya ancaman keras terhadap ulama.
Perlawanan Imam Khomeini tidak berhenti, penentangannya terhadap Shah semakin
keras. Ia mengumpulkan tanda tangan dari ulama-ulama senior terkemuka, melakukan pidatopidato dan mengisi kuliah umum yang dalam setiap pidatonya Imam Khomeini menyerang
Shah dengan menyatakan bahwa Shah telah mencederai konstiusi, mengutuk kemerosotan
moral yang terjadi di seluruh negara, menuduh Shah bekerjasama dengan Amerika Serikat,
membeberkan kerjasama Shah dengan Israel, dan juga pemboikotan terhadap perayaan
Nowruz untuk memperingati tahun baru Iran 1342 yang bertepatan dengan 21 Maret 1963
sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah (Fauziana, 2009:26).
Perlawanan Imam Khomeini membuat gerah pemerintah. Setelah pidatonya di
sekolah agama Fayziyeh, Shah memerintahkan penangkapan terhadap Imam Khomeini. Hal
ini menyebabkan terjadinya kerusuhan besar di Iran selama tiga hari dengan korban tewas
kurang lebih 400 orang. Peristiwa 5 Juni 1963 tersebut semakin menunjukan dukungan rakyat
terhadap gerakan Imam Khomeini, yel-yel yang diserukan oleh para demonstran adalah :
Mati atau Khomeini.
Pergolakan dapat dipadamkan oleh pemerintah, kemudian satu persatu para ulama
pendukung Imam Khomeini banyak yang ditangkap dan diasingkan bahkan banyak pula yang
dihukum mati. Imam Khomeini sendiri ditahan selama delapan bulan. Imam Khomeini tidak
menjawab sedikitpun pertanyaan dari pengadilan kerajaan, ia melihat semuanya merupakan
sebuah kebohongan dan kerjasama orang-orang Shah. Imam Khomeini terus dipindahpindahkan tempat penahanannya, dalam masa sepuluh bulan hingga 7 April 1964 Imam
Khomeini sudah dipindahkan sebanyak lima kali dengan penjagaan yang ketat.
Para ulama dan para pendukung Imam Khomeini terus melakukan aksi protes
terhadap penahanan Imam Khomeini, semakin hari intensitas protes semakin tinggi,
pemerintah menjadi khawatir dan akhirnya membebaskan Imam Khomeini pada tanggal 7
April 1964. Pemerintah menganggap hukuman penahan terhadap Imam Khomeini akan
memberikan efek jera dan Imam Khomeini akan berubah sikap menjadi pro terhadap
pemerintah, akan tetapi ternyata dugaan tersebut keliru. Setelah keluar dari penjara Imam
Khomeini semakin gencar menyerang pemerintah dengan mengecam tindakan penguasa yang
melanggar agama dan juga bahayanya penguasa mengakui keberadaan Israel. Dalam dua
pidatonya yang disampaikan pada 10 dan 15 April 1964, seperti perkataan Imam Khomeini,
Khomeini tidak akan berkompromi, meskipun ia harus digantung di tiang gantungan.
Janganlah kalian berangan-angan. Andai kalian menawar Khomeini, maka umat Islam
tidak akan menawar kalian. Kami senantiasa ada di dalam parit (perjuangan) dan kami
selalu berada di dalamnya. Kami akan selalu memerangi seluruh keputusan kalian
yang menyalahi Islam dan segala bentuk penindasan‖ (Fauziana, 2009:28).
Semenjak keluar dari tahanan, Imam Khomeini terus melakukan penentangan
terhadap Shah, sepanjang November 1964 Imam Khomeini terus mencela kebijakan
pemerintah dan juga Amerika Serikat, karena pemerintah memberikan kebijakan kekebalan
diplomatik terhadap militer Amerika Serikat di Iran. Hal ini menyebabkan militer AS tidak
pernah bisa tersentuh hukum Iran sekalipun banyak pelanggaran yang terjadi. Imam Khomeni
mendapat peringatan dan ancaman keras atas tindakannya terhadap Amerika, namun ia tidak
memperdulikannya. Dalam sebuah surat dari agen Shah berisi ancaman keras, seperti
paparannya,
Amerika sangat kuat. Serangannya jauh lebih berbahaya daripada serangan orang
nomor satu di negeri ini. Jika Ayatulloh Khomeini ingin menyampaikan pidatonya di
hari-hari ini, maka waspadalah! Karena, itu akan berbenturan dengan pemerintah
Amerika, dan itu sangat berbahaya. Dia akan menghadapi reaksi yang keras dan
kejam‖ (Fauziyana, 2009:29).
Ancaman tersebut tidak menjadi hambatan bagi Imam Khomeini. Ia terus berpidato
dan mengisi kuliah umum dengan celaan terhadap kebijakan kekebalan diplomatik terhadap
militer AS. Ia juga menyebarkan selebaran-selebaran yang berisi ancaman terhadap kebijakan
tersebut. Rakyat semakin marah dan suasana semakin panas. Akhirnya pemerintah menahan
kembali Imam Khomeini dan mengasingkannya dari Iran. Pada mulanya Imam Khomeini
mencari suaka politik ke Turki, namun atas permintaan Syah, Turki menolak keberadaan
Imam Khomeini. Kemudian Imam Khomeini pergi ke Najaf Irak, karena hubungan antara
Iran dan Irak tidak berjalan baik, maka Imam Khomini diterima oleh pemerintah Irak. Namun
kemudian Imam Khomeini pun diusir oleh pemerintah Irak, dan pergi untuk mencari suaka
politik di Paris, dan akhirnya Imam Khomeini tinggal di Neauphle-le-Chateau, desa kecil di
Paris. Selama lebih dari empat belas tahun Imam Khomeini mengisi waktunya di
pengasingan.
Selama di pengasingan ia tidak berhenti berjuang, dalam masa sepuluh tahun 19601970, Khomeini menyelesaikan bukunya tentang formulasi sistem hukum pemerintahan
Islam. Ketika ia dipindahkan ke Najaf, ia terus berceramah dan mendiskusikan pemerintahan
Islam yang terkandung dalam bukunya Islamic Government Authority Of The Jurist
(Hokumat-e islami : Valayat-e faqih). Buku ini merupakan hasil karyanya yang sangat
popular dan berpengaruh. Beberapa poin yang menjadi intisari buku ini seperti dalam
Fauziana (2009: 31) yaitu :
1) Hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus disusun
berdasarkan hukum Allah (syariat Islam) yang mengatur secara lengkap tentang
hubungan sesama manusia, dan menjelaskan norma-norma yang ada maupun
implementasinya pada setiap norma kehidupan.
2) Karena hukum Islam (syariat) digunakan dalam pemerintahan, maka mereka
yang berada di jalur pemerintahan harus mendalami pengetahuan tentang syariat
Islam. Dan karena yang mempelajari syariat adalah para faqih, maka hukum dan
peradilan negara haruslah disusun berdasarkan pengetahuan para faqih yang
disebut marja’. Peraturan yang disusun oleh prinsip monarki ataupun Dewan
Parlemen dan legislative yang dipilih berdasarkan suara terbanyak dinyatakan
salah dalam Islam.
3) Sistem hukum yang dibuat para ulama sangat diperlukan untuk menghindari
adanya ketidakadilan, korupsi, penindasan terhadap masyarakat lemah maupun
miskin, dan juga menghindari adanya inovasi atau perubahan dari Islam itu
sendiri maupun hukum syariat Islam. Adanya hukum itu juga untuk
menghancurkan pengaruh anti Islam dan konspirasi oleh negara-negara asing
yang non muslim.
Seruan Imam Khomeini ini ternyata berdampak positif untuk perjuangannya. Walaupun
di pengasingan ia tetap tidak putus kontak dengan para pendukungnya. Di pengasingan Imam
Khomeini terus berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa Iran yang berkuliah disana, dan
merekalah yang menjadi jembatan dan penyalur semangat Imam Khomeini dengan para
pendukungnya. Mahasiswa dan pemuda merupakan sasaran yang tepat dalam pergerakan,
mereka memiliki semangat dan jiwa muda yang efektif untuk menumbangkan kekuasaan
Shah. Gerakan mahasiswa yang menentang Iran ini dibantu oleh rakyat dari berbagai
kalangan, hal ini semakin membuat rezim Shah semakin terpojok dan kehilangan cara.
Pada tanggal 5 Oktober 1978, Imam Khomeini diusir dari Irak dan dipindahkan ke Paris
(Prancis). Hal ini merupakan kesepakatan antara Shah dengan Saddam Hussein pemimpin
partai Ba‘ath. Hal ini membuat rakyat Iran sebagai pendukung Imam Khomeini semakin
gerah. Dari Paris Imam Khomeini menghimbau rakyat Iran untuk terus menerus melakukan
pemogokan total. Pemerintahan Shah menjadi tidak stabil, sehingga kabinet pada masa itu
diganti dengan kabinet militer, Ghofam Azhari ditunjuk sebagai perdana mentri. Pemerintah
menggunakan kekerasan untuk memaksa rakyat agar mau kembali bekerja, tetapi rakyat tetap
pada pendiriannya untuk melakukan pemogokan masal.
Kabinet militer Shah tidak berhasil memaksa rakyat, kemudian Shah membubarkan
kabinet militernya dan menggantinya dengan kabinet baru dengan perdana mentrinya dari
partai Front Nasional Shapour Bahtiar. Usahanya untuk menghentikan pemogokan masal
adalah dengan ia berjanji untuk menegakan hukum dan mengikuti kehendak rakyat. Akan
tetapi Imam Khomeini dari Paris menghimbau agar rakyat mengambil alih kekuasaan. Imam
Khomeini membentuk Dewan Islam pada tanggal 13 Januari 1979.
Situasi politik di dalam negeri Iran semakin tidak menentu, pemogokan masal telah
membuat gerak roda ekonomi Iran terhenti. Rakyat meminta Syah Reza dan Kabinet Shapour
Bakhtiar untuk turun dan menyerahkan kekuasaan pada rakyat, akibatnya pemerintahan tidak
berjalan. Dalam suasana seperti ini, Syah khawatir akan keselamatannya, akhirnya pada
tanggal 16 januari 1979 Syah Reza dan istrinya Maharani Farah Diba pergi meninggalkan
Iran menuju negara yang bersedia melindungi mereka. Pada awalnya, mereka pergi ke Mesir,
kemudian ke Maroko kemudian ke Eropa.
Kepergian Syah dan keluarganya semakin menguatkan perjuangan rakyat Iran, namun
demikian pemerintahan sementara masih di kuasai oleh Kabinet Shapour Bakhtiar. Imam
Khomeini menyatakan ketidak setujuan terhadap Kabinet ini yang merupakan Kabinet
bentukan Syah, Imam Khomeini menyeru rakyat Iran untuk mengambil kekuasaan dari
Kabinet Shapour Bakhtiar. Terjadi lobi politik antara Imam Khomeini dan Shapour Bakhtiar,
namun keputusan Imam Khomeini tetap yaitu bahwa Shapor Bakhtiar harus digulingkan dan
setelah itu baru Imam Khomeini akan kembali ke Iran.
Suasana Iran semakin memanas. Demonstarsi besar-besaran terjadi setiap hari, korban
tewas dan luka-luka berjatuhan. Namun kemudian kubu-kubu tentara terpecah menjadi
tentara yang masih mendukung Syah dan tentara yang mendukung Imam Khomeini.
Untuk perlawanan anti pemerintahan, atas persetujuan Imam Khomeini di Iran di bentuk
Dewan Revolusi Islam. Dewan ini dibentuk untuk memimpin oposisi anti Syah di Iran.
Seperti dalam Puar (1979:95), Dewan Revolusi Islam beranggotakan:
1. Jendral Madani (mantan Wakil Panglima Angkatan Laut Iran)
2. Dr. Yazdi (anggota Gerakan Pembebasan dan penasehat Ayatulloh Khomeini)
3. Sadegh Ghotb Zadeh (penasihat Ayatulloh Khomeini)
4. Mehdi Bazargan (anggota Front Nasional, kelompok oposisi terbesar Iran)
5. Fazlollah Bani Sadr (Ketua Kelompok Mahasiswa Badan Front Nasional).
Penentangan terhadap Shapour Bakhtiar semakin memanas, setiap hari rakyat demonstrasi
dengan yel-yel hidup Khomeini dan teriakan Allohu Akbar.
Dari Neauphle le Chateau, Paris, Imam Khomeini mengumumkan merencanakan
pembentukan pemerintahan sementara menuju sebuah Republik Islam. Dikatakannya bahwa
keberangkatan Syah dari Iran hanya merupakan langkah pertama menuju diakhirinya
kekuasaan tirani yang berlangsung lima puluh tahun.
Pembentukan pemerintah sementara akan melahirkan Majelis Konstituante yang dipilih
rakyat untuk meratifikasi konstitusi baru. Para pembantu Imam Khomeini mengatakan
Perdana Mentri Shapour Bakhtiar harus mengundurkan diri dan melapangkan jalan bagi
pembentukan suatu pemerintahan yang mendapat kepercayaan dari Imam Khomeini dan
rakyat. Pendekatan Shapour Bakhtiar terhadap Imam Khomeini telah ditolak sama sekali
(Puar, 1979:104).
Imam Khomeini dikabarkan akan kembali ke Iran pada tanggal 20 Januari 1979, namun
situasi di Iran masih belum memungkinkan, Perdana Mentri Shapour Bakhtiar masih
mempertahankan perwalian Syah, dan selama beberapa hari pelabuhan udara internasional
Iran, Maharabad Teheran ditutup yang diperkirakan untuk menolak kedatangan Imam
Khomeini. Imam Khomeini di Paris melakukan pertemuan dengan orang-orang Iran, dalam
pidatonya antara lain dikatakan,
Revolusi Iran baru saja dimulai. Saya menghimbau semua rakyat Iran dengan tidak
memandang partai politik atau ideologi yang mereka anut supaya bersatu membangun
kembali Iran yang telah dihancurkan oleh monarki. Saya mengecam Syah atas kejahatan
dan pengkhianatannya terhadap negara. Shah harus dibawa ke pengadilan.
Shah telah memerintahkan angkatan bersenjata Iran untuk melancarkan suatu kudeta
ketika dia meninggalkan Teheran menuju Mesir pekan lalu. Shah juga telah
memerintahkan pembom-pembom Angkatan Udara Iran untuk menggempur dan
menghancurkan kota Hamadan di Iran Barat, tetapi anggota-anggota militer tidak
mengindahkannya (Puar, 1979:112).
Para pendukung Imam Khomeini terus berdemonstrasi atas penutupan pelabuhan
udara yang menolak kedatangan Imam Khomeini. Ribuan orang memadati pelabuhan udara,
pekuburan Rakyat Miskin Iran, dan di jalan-jalan kenegaraan. Korban tewas dan luka-luka
berjatuhan, namun hari-hari selanjutnya para tentara lebih bersahabat dan banyak yang
beralih menjadi pendukung Imam Khomeini sehingga mengurangi jatuhnya korban.
Pada tanggal 27 Januari 1979 bertepatan dengan hari Karbala, yaitu peringatan hari
wafatnya Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW, rakyat Iran berdemonstarsi, arakarakan sepanjang jalan raya Syah Reza dipadati barisan kaum wanita. Mereka bernyanyi
disertai mengacungkan tangan bersarung tangan hitam ke udara sambil meneriakan Khomeini
Adalah Pemimpin Kami juga nyanyian-nyanyian yang menjunjung Imam Khomeini.
Pada hari Kamis, tanggal 1 Februari 1979 pukul 1.10 menjelang dini hari Imam Khomeini
bertolak dari lapangan udara Roissy dekat Paris menuju Teheran. Pesawat carteran Boeing
milik perusahaan penerbangan Air France membawa Imam Khomeini yang disertai 50 orang
Iran lainnya dan juga 150 wartawan dari berbagai negara tiba di pelabuhan udara Teheran
pada hari Kamis, 1 Februari 1979 pukul 09.02. Jutaan rakyat Iran berkumpul di pelabuhan
udara Teheran menyambut kedatangan Imam Khomeini.
Kembalinya Imam Khomeini ke Iran menandakan puncak revolusi Iran terjadi. Imam
Khomeini kemudian mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara karena Kabinet
Shapour Bakhtiar sudah tidak diindahkan oleh rakyat Iran. Pada tanggal 12 Februari Imam
Khomeini melantik Dr. Mehdi Bazargan sebagai kepala pemerintahan sementara Iran.
Kemudian tanggal 13 Februari Perdana Mentri Mehdi Bazargan mengumumkan
pembentukan Pemerintah Sementara Iran, diantaranya:
1. Dr. Ibrahim yazdi, Wakil Perdana Mentri Urusan Revolusi
2. Hasshem Sabbaghian, Wakil Perdana Mentri Urusan Pemindahan Kekuasaan
3. Amir Estezam, wakil Perdana Mentri Urusan Hubungan Msyarakat
4. Mayor Jendral Mohamad Vali Gharbani, Kepala Staf Angkatan Perang Iran
5. Karim Sanjabi, Mentri Luar Negeri.
Dengan dibentuknya pemerintahan sementara yang didukung oleh militer, Pasukan
Revolusi menduduki Istana Kerajaan di Nivaran sebelah utara Teheran. Dengan demikian,
maka runtuh pulalah kekuasaan Syah dan Kabinet Shapour Bakhtiar. Kekuasaan langsung
dipegang oleh pemerintahan Sementara Iran. Imam Khomeini dan Pemerintahan Sementara
Iran pada tanggal 30 Maret 1979 melaksanakan referendum pemilihan umum bentuk negara
Iran selanjutnya, kemudian Imam Khomeini pada tanggal 1 April 1979 mengumumkan
bahwa bangsa Iran telah memberikan suaranya dengan bulat bagi Republik Islam Iran. Imam
Khomeini pun mendekritkan tanggal 1 April sebagai Hari Republik Islam Iran untuk
menghormati hasil-hasil referendum nasional yang diselenggarakan dua hari sebelumnya
(Puar, 1979:181).
Pada tanggal 4 April 1979, pemerintah Iran mengumumkan hasil-hasil resmi
referendum selama dua hari yang menunjukan 99,3% mendukung peralihan negeri itu
menjadi sebuah Republik Islam menggantikan kerajaan yang sudah berlangsung selama 2500
tahun. Perjuangan dan pengorbanan Imam Khomeini dengan para pendukungnya
membuahkan hasil manis dengan tumbangkanya Iran dan berganti menjadi Republik Islam
Iran pada tahun 1979.
4.2 Sistem Pemerintahan Islam menurut Imam Khomeini
Beberapa hal yang akan disampaikan mengenai perbandingan antara politik Sunni dan
Syiah adalah sebagai gambaran dan perbandingan tentang pemikiran politik Islam secara
lengkap. Sejarah mencatat bahwa setelah meninggalnya Rasul SAW, maka kepemimpinan
diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, dalam bentuk Kekhilafahan, namun kemudian muncul
mazhab Syiah, yang diantaranya sebagai landasan pemikiran politik Imam Khomeini.
Berbicara tentang politik Islam, maka akan dihadapkan pada dua pendapat besar yang
terus mewarnai warisan pemikiran Islam, yaitu Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini
menjadi dua kelompok besar dengan perbedaan penafsiran dalam beberapa hal, termasuk
dalam politik Islam. Baik Sunni maupun Syiah memberikan penafsiran-penafsiran yang
sesuai dengan apa yang diyakininya sesuai dengan aturan Islam, sehingga walaupun berbeda
apabila kedua penafsiran tersebut memiliki landasan hukum Islam, maka keduanya adalah
bagian dari ajaran Islam. Betapapun diskusi tentang politik Islam ini telah berlangsung sejak
dahulu, namun kedua kelompok ini belum menemukan titik terang menuju fokus yang sama
dalam hal bagaimana sistem pemerintahan Islam tersebut.
4.2.1 Pemikiran Politik Islam : Muslim Sunni dan Muslim Syiah
Islam, tidak hanya menjadi sebuah agama, namun Islam juga menjadi sebuah sistem
politik. Seperti dalam Al-Khatani (2001:5) Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam
bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion),
namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem). Negara Islam dengan
sistem pemerintahan Islamnya yang sudah ada sejak abad ke tujuh menjadi sebuah bukti
keselarasan Islam atas agama dan politik. Namun setelah bersinggungan dengan berbagai
pemikiran Barat, banyak yang terpengaruh dan berkembanglah pemikiran-pemikiran tentang
politik Islam. Beberapa kalangan ada yang menerima dan ada pula yang menolak pemikirn
Islam tersebut.
Kelompok yang menolak keberadaan politik Islam dapat dikelompokan menjadi dua
kategori utama, pertama adalah pendukung sekularisme, yang berpendirian bahwa agama
harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia. Kelompok yang kedua yaitu kelompok
yang tidak mempermasalahkan adanya pembatasan-pembatasan. Pada prinsipnya mereka
setuju bahwa tidak ada yang dapat mencegah hubungan antara individu dengan Tuhannya,
namun demikian walaupun Islam memiliki ide-ide tentang politik namun tidak serta merta
semuanya harus menggabungkan antara spiritualitas dengan politik. Jadi ia tidak menentukan
secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Oleh karena itu umat Islam
bebas untuk
mendukung rezim apapun yang mereka inginkan. (Vaezi, 2006:11-14).
Terlepas dari perkembangan pemikiran politik Islam yang setuju dan tidak setuju,
pemikiran politik Islam semakin berkembang. Sebagai sebuah agama politik dalam
perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik. Teori-teori politik
tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian proses dengan fenomena dan
kejadian kesejarahan yang dikaji dan dijadikan teori secara sistematis. Teori-teori politik
yang muncul di Barat sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan
Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan perhatian mereka
terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan,
kepentingan dan kekuasaan, yang sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara
mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka (Satori, 2007:50).
Perdebatan tentang pemikiran politik Islam semakin luas lingkupnya. Banyak ulama dan
intelektual membahas berbagai aspek pemikiran-pemikiran politik seperti filsafat politik,
ideologi politik, ilmu politik dan sistem-sistem politik. Para pemikir yang membahas
hubungan antara Islam dan politik biasanya tertarik untuk mengetahui ilmu politik seperti apa
yang diajarkan oleh Islam, apakah Islam mendukung filsafat politik atau apakah sumbersumber Islam mendukung suatu bentuk sistem politik tertentu.
Secara historis, pemikiran politik Islam selalu tertarik pada masalah kepemimpinan, caracara penunjukan sebuah otoritas politik dan kualitas-kualitas yang harus dipunyai oleh
seorang penguasa. Meskipun demikian, harus dapat dibedakan sesuatu yang menjadi warisan
pemikir-pemikir politik Islam dan ilmu yang terkandung dalam politik Islam. Pemikiran
politik Sunni dan Syiah menjadi warisan dari pemikiran-pemikiran Islam, untuk memahami
teori politik Sunni dan Syi'ah, diperlukan pandangan ringkas tentang ajaran Islam, sejarah
pertumbuhan kedua aliran ini dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya.
Menurut Abdu Salam Arief dalam Satori (2007:51), Sunni dan Syiah merupakan dua
kelompok besar dalam Islam. Sunni dan Syiah sebenarnya tidak memiliki perbedaan dalam
hal inti keimanan, yaitu meyakini keberadaan Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai
Rasul dan Al-Quran sebagai kitab pedoman hidup. Permasalahan sebenarnya bersumber pada
sejarah masa lalu yang sangat bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun
kemudian dicarikan legitismasinya secara teologis. Terpecahnya politik kedua golongan
tersebut diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi
Khalifah, namun Muawiyah bin Abu Sufyan menolak eksistensi Kekhalifahan Ali (karena
dianggap tidak serius menangani kasus pembunuhan Usman Khalifah ke-3), hal ini
menimbulkan ketegangan politik yang terus memanas dari kedua belah pihak yang berujung
pada terjadinya perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sejarawan disebut al-fitnah alkubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam
dari generasi ke generasi sesudahnya.
Pada masa sesudahnya, perpecahan politik dalam Islam antara kedua kelompok Sunni dan
Syi'ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah kepemimpinan, antara Imamah
atau Khilafah, seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi'ah, A. Syarifuddin al–
Mussawi dalam Satori yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab perpecahan diantara umat
Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal
imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada
yang terjadi di sekitar persoalan ini. Persoalan Imamah menurut al-Mussawi, adalah
penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Generasi demi
generasi yang mempertengkarkan soal imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa
dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala
dingin (Satori,2007:52).
Ulama Syi'ah Thabathaba‘i, menulis bahwa orang-orang Syi'ah memang muncul
karena kritik dan protes terhadap dua masalah dasar dalam agama Islam, walaupun tidak
berkeberatan terhadap cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata di
kalangan kaum muslimin sekarang. Dengan kata lain, di luar kedua masalah itu, tidak ada
perbedaan secara prinsipil antara Sunni dan Syi'ah. Kedua masalah itu adalah berkenaan
dengan Pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan, yang menurut
kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahl al-bayt. Tetapi pendapat Syi'ah seperti itu ditolak
oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan
kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah
kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat (Satori, 2007:53).
Ayatullah Rohulloh Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan
pandangannya mengenai paham dan aliran Syi'ah, menurutnya,
Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi'ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di
Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan
terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi'ahisme
menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka
sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi'ah selalu menentang pemerintahan
yang menekan.
Salah satu perbedaan yang juga mencolok antara golongan Sunni dan Syi'ah menurut
ulama Syiah adalah sifat oposisi dan perlawanan yang ditunjukan oleh paham ini terhadap
penguasa tiran, seperti yang juga dikatakan oleh Imam Khomeini,
Banyak orang Sunni mungkin menilai pemberontakan menentang pemerintahan tiran
ini sebagai upaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini terjadi karena adanya
pandangan yang menyatakan bahwa seorang penguasa tiran pun harus dipatuhi.
Pandangan ini didasari penafsiran keliru terhadap ayat al-Qur'an yang berkenaan
dengan ikhwal kepatuhan. Sebaliknya, kita orang Syi'ah yang mendasari pemahaman
kita terhadap Islam melalui sumber yang berasal dari Ali dan keturunannya, menilai
hanya para Imam atau orang yang mereka tunjuk yang berhak sebagai pemegang
kekuasaan. Pandangan ini sesuai dengan penafsiaran ayat al-Qur'an yang berkenaan
dengan ikhwal kekuasaan. Penafsiran tersebut dibuat oleh Rasulullah sendiri. Akar
permasalahan sebenarnya terletak pada kenyataan ini: negara-negara yang didiami
Sunni membenarkan kepatuhan terhadap para penguasa mereka; sebaliknya, orang
Syi'ah selalu yakin akan kebenaran pemberontakan, kadangkala mereka mampu
melawan pada kesempatan lain mereka terpaksa harus diam (Alghar, 1981:55).
Beberapa pendapat di atas merupakan pendapat-pendapat para ulama muslim Syiah,
sehingga pendapat-pendapat tersebut syarat subjektivitas pemikiran muslim Syiah dan
pandangannya terhadap muslim Sunni. Tidak semua muslim Sunni menerima interpretasi
tersebut (terutama kalangan Sunni kontemporer), pada faktanya beberapa negara muslim
Sunni pun banyak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang tiran seperti yang
terjadi pada tahun 2010-2011 yang dialami oleh beberapa negara Sunni seperti Mesir,
Tunisia, Yaman dan Libia.
Pandangan lain menurut Ahmad Vaezi (2006: 76-84) terhadap perbedaan politik
Muslim Sunni dan Syiah juga dapat dilihat dari tiga hal berikut, penunjukan otoritas menjadi
seorang Imam (pemimpin), metode penunjukan dan kualitas-kualitas yang harus dimiliki
seorang pemimpin.
Menurut Muslim Sunni teori pemerintahan Islam adalah dengan Khilafah. Khilafah
secara esensial berarti penerus, atau seseorang yang memegang posisi yang sebelumnya
dipegang oleh orang lain. Akan tetapi kata Khilafah tidak terbatas hanya pada konteks
otoritas politik saja. Seorang Khalifah bukan saja penerus dari pemerintahan sebelumnya
tetapi bisa juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh
orang yang telah menunjuknya, atau menjadi wakil atau penerusnya.
Dalam hal penunjukan otoritas, Muslim sunni berasumsi bahwa otoritas khalifah
termasuk segalanya, mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang abadi, dengan
sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh ahli fiqih Sunni kontemporer, yang
berargumentasi bahwa Allah dan RasulNya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu
sebagai penguasa atas kaum muslimin. Dan sebagai konsekuensi logis atas konsep takdir dan
jalan Ilahiah yang unik ialah tidak menjadi soal siapa yang memerintah dan bagaimana ia
memperoleh otoritas. Sebab, bagaimanapun itu semua tergantung pada kehendak Tuhan.
Adapun dalam konsep Imamah Syiah, otoritas penunjukan seorang Imam adalah hal
yang sangat fundamental. Otoritas yang sah harus ditunjuk baik langsung atau tidak langsung
oleh Tuhan. Seperti halnya dalam keyakinan Syiah, imam-imam Syiah merupakan imamimam yang maksum dan otoritasnya ditunjuk langsung oleh Tuhan.
Berkaitan dengan metode penunjukan pemimpin, teori politik Imamah meyakini
bahwa hanya ada satu cara yang sah untuk pengangkatan otoritas dan penunjukan Ilahiah.
Meskipun perwalian faqih yang adil dibentuk atas dasar ini, mereka adalah wakil kuasa dari
Imam yang gaib, yang kepemimpinan Ilahiahnya dibentuk atas dasar penunjukan yang
eksplisit, dan secara implisit menyerahkan perwalian atas pengikut-pengikutnya kepada
mereka. Dan tentu saja semua otoritas ini dianugrahkan oleh Tuhan Yang maha Kuasa yang
mempunyai otoritas dan perwalian mutlak atas semua mahluk.
Berbeda dengan Syiah, menurut Sunni ada beberapa cara dimana seorang khalifah
dapat dipilih, yang menurut Syiah hal ini tidak termasuk pada legitimasi yang unik. Muslim
Sunni menerima penunjukan keempat khalifah pertama setelah wafatnya Nabi, dari mulai
sebagai sumber rujukan agama sampai sebagai otoritas yang menegakan sangsi-sangsi
politik. Sebagai konsekuensinya dalam penafsiran Sunni, seorang khalifah dapat dipilih oleh
sekelompok kecil elit, oleh penunjukan eksplisit dari pendahulunya atau oleh majelis yang
ditunjuk (syura).
Perbedaan ketiga berkaitan dengan kualitas-kualitas yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Dalam doktin Syiah, seorang imam tidak saja sebagai seorang pemimpin politik,
tetapi juga seorang pemimpin agama yang mampu menerapkan ilmu-ilmu Ilahiah. Seorang
imam harus melengkapi dirinya dengan moral dan kualitas-kualitas intelektual yang sangat
tinggi, imunitas dari dosa dan pengetahuan yang tidak mungkin salah. Berbeda dengan
pandangan Sunni, Vaezi berpendapat bahwa dalam Sunni, seorang Khalifah tidak harus
memiliki syarat tidak pernah berbuat dosa dan memiliki pengetahuan yang tidak pernah
salah, dan ketaatan terhadap khalifah harus diberikan walaupun terjadi ketidak adilan atau
tirani.
Adapun beberapa pandangan tentang sistem khilafah yang lain, yaitu menurut Zallum
(2002:53), khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan
kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara. Dalam Islam, kekuasaan dan
pemerintahan adalah milik umat, dan Khalifah menjadi wakil dari rakyat dalam pelaksanaan
urusan tersebut. Syarat seseorang dapat dikatakan khalifah adalah ketika ia memperoleh baiat
dari ahlul hali wal aqdi. Adapun beberapa syarat khalifah terbagi menjadi dua, yaitu sebagai
berikut:
1. syarat Ini‘qod (syarat utama/wajib)
1) Muslim, 2) Laki-laki, 3) Baligh, 4) Berakal, 5) Adil 6) Merdeka 7) Mampu
melaksanakan amanat khalifah
2. syarat Afdaliyah (syarat keutamaan)
1) Mujtahid 2) Pemberani dan Politikus ulung
Syarat-syarat menjadi seorang khalifah di atas menjelaskan kriteria-kriteria yang
harus dipenuhi dan mana yang menjadi keutamaan saja. Beberapa syarat afdaliah
(keutamaan) seperti mujtahid dan politikus ulung, merupakan syarat keutamaan saja,
sehingga ketika pun ia tidak memenuhi hal tersebut namun memenuhi syarat Iniqod maka ia
dapat diterima sebagai khalifah. Begitupunasal keturunan calon khalifah boleh dari kalangan
mana saja, tidak disyaratkan dari kalangan ahlul-bayt saja.
Dari pandangan-pandangan di atas, masing-masing memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap Sunni dan Syiah, sudut pandang dan kebulatan pemahaman seseorang
terhadap suatu hal mempengaruhi bagaimana seseorang akan memberikan sikap.
Berkaitan dengan kepemimpinan imamah dan khilafah, menurut Satori (2007:65)
bahwa telah banyak para pemikir cendikiawan muslim Sunni dan Syiah yang telah membahas
permasalahan antara imamah dan khilafah. Dalam sejarah teori politik Islam klasik,
pemikiran politik kalangan Sunni tentang kepemimpinan yaitu terfokus pada konsep-konsep
kepemimpinan yang disebut khilafah, khalifah, ahlu hali wal aqdi, sulthan, dan sebagainya.
Adapun dalam kelompok Syiah, konsep-konsep kepemimpinannya yaitu imamah dan
wilayatul faqih (kepemimpinan ulama/faqih) yang dewasa ini digagas oleh Imam Khomeini.
Secara etimologi, Imam atau Imamah berasal dari bahasa Arab amma yang berarti
pergi, menuju, atau pergi untuk melihat. Imamah mengandung arti petunjuk jalan atau
memberikan suatu contoh. Dalam hal ini imam bisa berarti orang yang mempelopori,
bertindak sebagai pemimpin atau yang memiliki keunggulan dibanding yang lain. Oleh sebab
itu pemimpin dalam suatu ibadah keagamaan juga disebut sebagai imam. Dalam konteks
umum imamah juga didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat. Ini merupakan definisi
umum yang diterima baik oleh para tokoh Sunni maupun Syiah. Kedua kelompok ini
bersepakat bahwa imamah memang berarti suatu pemerintahan yang menjadikan syariah
sebagai undang-undang pokok atau induk atau yang diistilahkan sekarang sebagai konstitusi
(Satori, 2007:66).
Perbedaan dari kedua kelompok tersebut ialah di kalangan Syiah, imamah mempunyai
makna yang lebih dari sekedar definisi umum seperti pembahasan di atas. Bagi Syiah,
imamah merupakan keyakinan yang paling penting, setelah keyakinan terhadap wahyu
kenabian dan kebangkitan di hari akhir. Muslim Syiah meyakini bahwa imamah bukan
sekedar kepemimpinan masyarakat atau kepemimpinan politik, melainkan juga bermakna
sebagai kepemimpinan relegius, atau kepemimpinan di bidang politik dan sekaligus agama.
Konsep Imamah menurut Teori Politik Syiah, penjelasan tentang kepemimpinan Islam
dalam pandangan Syiah pada dasarnya bertolak pada konsep wilayah dan imamah. Wilayah
adalah konsep yang luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah, sedangkan
imamah adalah kepemimpinan (zi’āmah), pemerintahan (hukūmah) dan ri’sah ‘ammah dalam
urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi SAW dan para imam sesudahnya.
Dalam konsep Syiah kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah
memilih manusia sebagai khalifah di bumi, untuk keselamatan manusia, dipilih-Nya manusia
yang mencapai kesempurnaan dalam sifat dan perkembangan kepribadiannya. Manusiamanusia ini adalah para nabi yang menjadi imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam
urusan kemasyarakatan. Para nabi dilanjutkan oleh para aushiya, dan para aushiya
dilanjutkan oleh para Imam faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian merupakan
keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia (Satori, 2007:67).
Wilayatul Faqih, sebagai konsep kepemimpinan Syiah dan dasar doktrin-doktrin
politik Syiah terutama pada masa kegaiban Imam Zaman merupakan bagian terpenting dan
menjadi komponen universal bagi seluruh muslim Syiah. Baik dalam bertaqiyyah ataupun
perjuangan secara terang-terangan muslim Syiah menjadikan Wilayatul Faqih sebagai tujuan
pemerintahan untuk menjembatani antara masa kegaiban hingga turunnya Imam ke 12 yang
diyakini muslim Syiah akan kembali.
Berkaitan dengan kerukunan Sunni dan Syiah dalam bernegara, setelah Iran menjadi
sebuah Republik Islam Iran tahun 1979, dan sebagai negara yang mayoritas penduduknya
bermazhab Syiah belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan masyarakat muslim Sunni.
Beberapa laporan di media yang mengabarkan adanya penangkapan terhadap muslim Sunni,
sulitnya muslim Sunni untuk membangun tempat ibadah dan komunitas pengkajian Sunni
masih sering terdengar. Perlakuan ini terkadang berasal dari aparat tapi terkadang juga
dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat Syiah.
Perpecahan Sunni Syiah yang berawal dari konflik politik pada awalnya, hinga kini
setelah lebih dari seribu tahun lamanya tetap menyisakan perpecahan. Belum bersatunya
Sunni Syiah ini selain karena perbedaan pemikirannya juga karena adanya upaya-upaya dari
pihak musuh yang tidak menginginkan persatuan Islam, sehingga mereka terus mengadu
domba dan melanggengkan perpecahan antara Sunni –Syiah ini. Hal ini seperti yang
dikatakan Presiden Syuriah Bassar Al-Assad dalam kunjungannya ke Iran pada Februari
2007, dalam perbincangannya Assad menyatakan,
Menciptakan konflik antara Syiah dan Sunni di Irak dan Lebanon adalah kartu akhir
yang dimiliki Amerika dan sekutunya. Mereka berusaha menutupi kegagalan mereka
dengan membuat propaganda-propaganda bohong. AS dan Israel berusaha merusak
posisi Iran dan Suriah di kawasan (AP/AFP/OKI) (Kompas Online, 19 Februari
2007).
Upaya pemerintah Iran mengahadapi permasalahan ini memang tidak tinggal diam.
Beberapa upaya untuk meredakan konflik ini seperti kerjasama, komunitas dan pertemuanpertemuan antara muslim Sunni dan Syiah, dan penutupan hal-hal yang memicu perpecahan
digelar. Seperti ditutupnya makam Abu-Luluah (pembunuh Khalifah Abu Bakar) yang oleh
Muslim Syiah Garis Keras dijadikan sebagai pahlawan dan pemberani. Makam ini ditutup
karena dianggap melecehkan muslim Sunni. Kemudian dibangun kerjasama antara Iran dan
ulama-ulama
Muslim
Sunni
dengan
membangun
suatu
forum
Sunni-Syiah
(syiahindonesia.com, 2009).
4.2.2
Wilayatul Faqih
4.2.2.1 Definisi dan Sejarah perkembangannya
Konsep politik Islam wilayatul faqih merupakan poros sentral dari pemikiran Syiah
kontemporer. Sebuah sistem politik yang mengadopsi sistem politik berbasis perwalian, yang
bersandar pada seorang faqih yang adil dan kapabel untuk memegang pimpinan pemerintahan
selama gaibnya Imam yang maksum. Adapun definisi dari Wilayatul Faqih tersebut, adalah
sebagai berikut.
Menurut Tehrani (2005:38), dalam bahasa Arab, kata ‗wilayah‘ dari kata wali yang
menurut istilah kalangan leksiograf Arab terkemuka merupakan unit terkecil (tunggal) dalam
bahasa yang mengandung makna tunggal; kedekatan daya tarik/ hubungan dekat/ persamaan/
pertalian. Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata wali: (1) teman;
(2) setia/berbakti; (3) Pendukung atau Penyokong. Di samping ketiga arti ini, dua arti lain
disebutkan untuk kata wilaya’: (1) kekuasaan (tertinggi) dan penguasaan; (2) kepemimpinan
dan pemerintahan. Dalam bahasa Persia, kata wali memiliki sederet arti, seperti teman,
pendukung, pemilik, pelindung, pembantu, dan penjaga. Begitu pula kata wilayah, yang
bermakna mengatur dan memerintah.
Kata wilayah dalam Wilayatul Faqih bermakna
pemerintahan dan administrasi atau pengelolaan. Sebagian kalangan meletakkan makna ini
untuk mendapatkan pengertian pengendalian atau kontrol, penguasaan, jabatan, hakim, dan
kekuasaan tertinggi yang menunjukkan otoritas wali (sang pembawa wilayah) atas mawla
‘alayh (orang yang bergantung pada atau menjadi objek wilayah).
Wilayatul Faqih menurut Vaezi (2006:73-84) wilayah memiliki akar kata wali yang
artinya (1) teman, (2) pendukung, (3) berbakti, (4) pelindung. Kata lain yang memiliki akar
kata wali selain wilayah yaitu maula dan maula alaih. Makna dari perwalian yaitu dimana
urusan-urusan seseorang telah diambil alih oleh orang lain. Oleh karena itu siapapun orang
yang mengambil alih urusan-urusan ini adalah wali dan konsekuensinya hal itu juga berlaku
bagi sebuah pemerintahan. Selain itu wilayah juga memiliki arti utama dekat dengan
seseorang atau dengan sesuatu, ditarik ke arti-arti umum seperti mendapat tugas, memerintah,
menjalankan otoritas. Dalam fiqih Islam, istilah wilayah mempunyai beberapa penggunaan,
diantaranya: (1) wilayatul Qaraba, (2) wilayatul Qada, (3) wilayatul hakim, (4) wilayatul
mutlaqa (otoritas mutlak), (5) wilayatul usuba.
Adapun berkenaan dengan faqih (orang-orang yang faham ilmu fiqih), meskipun para
ahli fiqih imamiah umumnya sepakat atas doktrin Niyabah (vicegerency) yang menekankan
peran para ahli fiqih yang kapabel sebagai wakil dari Imam yang gaib, untuk diserahi
sebagian derajat otoritasnya. Beberapa peran-peran dan fungsi dari ahli fiqih yang cakap
memenuhi syarat sebagai wakil dari Imam adalah sebagai berikut : (1) membuat suatu fatwa
(ifta), (2) untuk menghakimi (al-qada), (3) menguasai urusan-urusan hisbiya.
Apabila seorang imam telah mendelegasikan otoritas dan tugas-tugasnya secara
menyeluruh kepada seorang faqih yang adil dan kapabel sebagai wali/wakilnya selama masa
gaib Imam Besar, wilayah fuqaha akan menjadi universal (amma). Keuniversalan wilayah
membawa implikasi bahwa masyarakat Islam membutuhkan seorang wali untuk memimpin
dan mengatur urusan-urusan mereka, tanpa mempermasalahkan kehadiran seorang imam
yang maksum.
Berdasar penjelasan di atas, Wilayatul Faqih dapat didefinisikan sebagai sebuah
otoritas yang diserahkan kepada fuqaha yang berilmu tinggi, sehingga mereka dapat
mengarahkan dan memberi nasihat pada umat Islam selama tidak hadirnya seorang Imam
Maksum. Otoritas ini didapat dari hujjah Tuhan, oleh karena itu wajib menaati semua
perintah-perintahnya sebagai otoritas tunggal yang sah, baik dalam urusan keagamaan
ataupun pemerintahan.
Menurut Yamani (2003:125) mengingat pemerintahan Islam merupakan pemerintahan
hukum, maka mengetahui hukum menjadi keharusan bagi para penguasa. Sudah merupakan
prinsip yang disepakati bahwa faqih memiliki otoritas atas penguasa. Apabila penguasa
mengatur Islam, maka para penguasa harus tunduk pada faqih dan bertanya bagaimana aturan
dan cara menerapkan hukum Islam. Maka dengan demikian, sesungguhnya penguasa adalah
faqih itu sendiri.
Melihat beberapa penjelasan definisi Wilayatul Faqih dari beberapa ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa wilayatul faqih, merupakan sebuah konsep pemerintahan dimana para
penguasa (yang memiliki otoritas) yang menjalankan hukumnya adalah seorang faqih atau
berada di bawah pengawasan faqih selama dalam masa kegaiban Imam Maksum. Sehingga
hukum – hukum Islam senantiasa terjaga baik dalam pemerintahan maupun dalam
keagamaan.
Beberapa pendapat tentang Wilayatul Faqih (wilayatul amma) adalah suatu
perkembangan baru dalam pemikiran Islam dan tidak terkait dengan fuqaha imamiah yang
terdahulu. Namun beberapa literatur historis fiqih imamiah menunjukan bahwa Wilayatul
Faqih (wilayatul amma) adalah sebuah konsep yang didukung secara luas oleh banyak fuqaha
berpengaruh (Vaezi,2006:101).
Dua alur pemikiran diantara para pendukung wilayatul amma, yaitu mereka yang
secara terang-terangan mengatakan bahwa Wilayatul Faqih adalah universal dan beberapa
pendapat lain mengatakan bahwa seorang faqih yang alim dapat diserahi beberapa tugas
utama yang tiga, yaitu ifta, qada, dan hisbah. Pendapat yang kedua ini terjadi pada awal
periode fiqih Syiah. Komunitas Syiah di Iran (Persia) pada mulanya merupakan komunitas
minoritas tanpa politik (kekuasaan), hingga munculnya dinasti Safawid. Hal ini megakibatkan
bahasan otoritas, teori politik dan tugas-tugas penguasa dalam pemerintahan memiliki
bahasan yang sedikit dari para fuqaha Syiah. Pendapat-pendapat mereka baik secara hasil
ijtihad ataupun secara konsensus umum (ijmaa) tentang pembahasan ini sesuai dengan para
fuqaha imamiah, namun para fuqaha tersebut memilih untuk bertaqiah (berdiam diri)
berkaitan dengan isu politik, seperti pemerintahan dan otoritas universal, hal tersebut
dilakukan oleh situasi sosial politik saat itu yang tidak mendukung kelompok Syiah. (Vaezi,
2006:103).
Berkenaan dengan alur pemikiran yang menyatakan secara terang-terangan bahwa
wilayatul faqih adalah universal, salah seorang faqih imamiah Al-Muhaqiq al Karaqi berkata,
Fuqaha imamiah mempunyai konsensus dalam satu hal, bahwa faqih yang benarbenar memenuhi syarat, dikenal sebagai mujtahid adalah wakil (naib) dari maksumin
as dalam segala urusan yang berkaitan dengan niyabah (perwalian). Oleh karena itu,
adalah wajib untuk merujuk padanya dalam menerima ligitasi dan menerima
putusannya. Jika perlu, ia bisa menjual harta dari pihak yang menolak untuk
membayar apa yang menjadi tanggungannya. Hal ini lebih baik daripada jika tidak
ada wilayatul amma, dimana banyak urusan-urusan dan keperluan ummat Syiah tidak
terselsaikan (Vaezi, 2006: 103).
Adapun menurut Syeh Muhammad Hassan,
Melaksanakan hukuman-hukuman Islam dan mengimplementasikan perintah-perintah
agama adalah sebuah kewajiban dalam era gaibnya Imam. Sebagai wakil dari Imam
as, banyak hal yang ditangani fuqaha. Status sosial faqih adalah sama dengan Imam.
Tidak ada bedanya antara dia dengan Imam as dalam hal ini. Putusan (verdict) dari
fuqaha kita dalam hal ini adalah tak terbantahkan. Dalam pekerjaan mereka, kerap
kali mereka menggaris bawahi ide untuk merujuk pada seorang wali (hukum) yang
merupakan wakil dari Imam yang Gaib. Apabila fuqaha tidak memiliki perwalian
yang umum (general vicegerency), maka semua urusan umat Syiah akan tetap tidak
tertangani. Yang mengherankan ialah mereka yang menyatakan keberatan atas
wilayatul amma dari faqih, seakan-akan seperti mengabaikan jurisprudenci (fiqih) dan
kata-kata Imam Maksum. Mereka tidak merenungkan kata-kata itu berikut maknanya
(Vaezi, 2006:104).
Menurut haji Aga Reza Hamedani,
Bagaimanapun juga, tidak ada keraguan bahwa fuqaha yang berintegritas tinggi (jami
al-Sharayeti), yang mempunyai kualitas-kualitas sempurna yang diperlukan untuk
menangani Wilayatul Faqih adalah wakil imam pada saat itu. Fuqaha kita telah
membuat pernyataan ini dalam karya mereka yang mengindikasikan bahwa
pandangan mereka mengenai Wilayatul Faqih dalam segala hal tidak terbantahkan
lagi, sehingga beberapa dari mereka membuat konsensus (ijmaa) untuk dilampirkan
sebagai bukti dari perwalian umum faqih (niyabah al-mma) (Vaezi, 2006:105).
Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa pembahasan Wilayatul Faqih
merupakan bukan suatu pembahasan baru dalam politik Syiah, namun merupakan suatu
bahasan yang tidak terputus dari fiqih imamiah.
Setelah Syiah terimplementasikan pada masa dinasti Safavid, ulama-ulama (faqih)
Syiah memiliki pengaruh dalam kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Namun lambat laun
posisi para ulama kian tersingkirkan dalam ranah politik, bahkan beberapa penguasa
menganggap para ulama sebagai oposisi.
Setelah sekian lama otoritas faqih tidak diakui, adalah Mulla Ahmad Naraqi atau
Fadhil Kasyani Ali Syah seorang faqih terakhir dinasti Qajar pada abad -19 kembali
mengungkapkan gagasan mengenai otoritas pemerintahan faqih.
Mulla Ahmad Naraqi berpandangan bahwa faqih mempunyai wilayah atas apapun
yang dimiliki Nabi Muhammad SAW dan imam-imam maksum. Sebagai pemimpin atas
masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Faqih mempunyai wilayah itu kecuali masalahmasalah yang menurut ijma’ atau nash jelas berada diluar lingkup wilayahnya. Wilayah
seorang faqih yaitu apapun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniaan
masyarakat yang perlu diselesaikan. Hal ini menurut Naraqi selain sudah merupakan
kesepakatan para faqih terhadap kebenaran hukum Islam, juga karena banyak hadits-hadits
yang dengan jelas memberi penekanan pada masalah ini.
Kemudian Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) penulis kitab Jawahir
mengemukakan pendapatnya mengenai konsep Wilayatul Faqih. Ia menulis,
Pernyataan umum tentang wilayah al- faqih di jadikan argumen melalui praktik
dan fatwa-fatwa para ahli hukum agama (fuqaha). Ini berarti bahwa dalam
pandangan mereka, wilayah al-faqih adalah aksiomatik dan tidak perlu dibuktikan
lagi. Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada
para fuqaha ‗pemegang otoritas‘ (ulil amri) sebagai kewajiban kita, bukti-bukti
mengenai pemerintahan faqih, khususnya hadits dari Imam Mahdi membenarkan
hal itu (Satori, 2007:89).
Dari pernyataan di atas menurut Syeikh Najafi (dalam Satori, 2007:89), bahwa
permasalahan pemerintahan faqih, merupakan sesuatu hal yang dapat diterima oleh
masyarakat muslim, karena telah banyak dalil-dalil yang memberikan bukti yang sangat jelas.
Pandangan lain dikemukakan oleh Ayatullah Burujerdi (w. 1962) dalam Satori
(2007:89), yang menganggap bahwa pemerintahan faqih dalam segala urusan telah
mempengaruhi masyarakat sebagai aksioma, sehingga tidak diragukan lagi untuk
mempengaruhi menyatakan dengan penuh yakin bahwa banyak hadits yang membuktikan
masalah ini. Pendapat Burujerdi dibenarkan oleh Ayatullah Syeikh Murthada Hariri, yang
merupakan guru dari Ayatullah Khomeini. Ia menganggap perintah suci (berupa stempel,
tanda tangan, perintah) dari Imam Mahdi sebagai salah satu bukti tentang Wilayah al-Faqih.
Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini (w. 1989) dalam Teherani (2005:56-57) seorang
faqih yang kemudian mengaplikasikan konsep Wilayatul Faqih ini secara praksis ke dalam
konstitusi Iran, meyakini bahwa faqih menerima otoritas absolut (mutlaqah). Yaitu bahwa
faqih yang memenuhi persyaratan penuh (jami’ syarait) diberi semua kekuasaan dan
tanggung jawab Imam ke-12 pada masa keghaibannya kecuali bila ada alasan tertentu yang
pasti bahwa kekuatan dan tanggung jawab itu masih berada di tangan Imam. Imam Khomeini
mengatakan,
Ide wilayah al-faqih bukanlah temuan kita. Wilayah al-faqih adalah sebuah
masalah yang telah bergulir lama…yang mana kita hanya menggali serta
mendiskusikan aspek-aspek yang berbeda dalam konteks pemerintahan untuk
lebih memperjelas duduk perkaranya…ini adalah masalah yang sama dengan
yang dipikirkan dan disampaikan para fuqaha itu. Kita mengemukakan inti
permasalahan; (jadi selanjutnya) ini tergantung pada generasi sekarang dan yang
akan datang untuk meneliti lebih lanjut dan berusaha menemukan cara-cara untuk
merealisasikannya…
Dari beberapa pandangan para fuqaha tersebut, bahwa konsep wilayatul faqih
merupakan konsep yang telah lama ada dan berkembang seiring waktu. Hingga sampai saat
ini ketika konsep tersebut telah direalisasikan dalam konstitusi Republik Islam Iran oleh
Imam Khomeini.
4.2.2.2 Dalil dan Dasar Argumentasi Rasional Konsep Wilayatul Faqih
Secara prinsipil, masalah Wilayatul Faqih berakar pada dasar-dasar argumentasi
rasional dan pada dalil teks-teks keagamaan. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim
Muharram Habsiye dalam Satori (2007:92), argumentasi wilayatul faqih berakar pada:
Pertama, keharusan adanya pemerintahan sebuah masalah, selama menyangkut sistem nilai
baik dan buruk yang berkaitan dengan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, maka
otomatis ia akan menjadi objek agama; Kedua, pemerintahan merupakan masalah yang ekstra
krusial dalam kebahagiaan itu, maka agama mengingat tujuannya, harus memasuki wacana
pemerintahan. Akal mensyaratkan keadilan, pengetahuan agama dan kemampuan memimpin
bagi pemerintahan (penguasa). Ketiga, Al-Qur‘an memberi pernyataan pada surah an-Nissa
ayat 59,
Wahai orang-orang yang beriman. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka yang memiliki otoritas atas kalian dan jika kalian bertikai tentang sesuatu
maka kembalikanlah hal itu ke Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan
Hari Akhir. Itu yang baik dan berakibat yang sebaik-baiknya..
Dengan meyakini keselarasan dan keserasian antara akal dan keyakinan (naql) maka
menurut Satori (2007:93) dengan ayat suci ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
a. Pemerintahan termasuk wilayah agama,
b. Pemerintahan hanya merupakan hak Tuhan,
c. Ketaatan terhadap penguasa legitimate seiring dengan ketaatan terhadap Allah dan
Rasul-Nya.
Penjelasan berikutnya menunjukkan bahwa dalam pemikiran Syiah, kebutuhan akan
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang faqih sudah dibuktikan dalam banyak hadist yang
terutama sanadnya disampaikan oleh ahli-ahli hadits kalangan Syiah. Ada banyak hadis dan
riwayat dikemukakan sebagai dalil wilayatul faqih, salah satu hadist tersebut antara lain
sebagai berikut,
Riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib ra, melalui Syekh al-Shaduq, bahwa Rasulallah
SAW mengatakan, "Ya Allah! Berikanlah kasih sayang dan kemurahan kepada
penggantiku." Ketika ditanya siapakah para penggantinya itu, Rasulallah menjawab,
"Mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku.
Menurut Teherani (2005:61-62), terdapat dua catatan penting mengenai riwayat dan
sanad dari hadis ini bagaimana memaknai wilayatul faqih: Pertama, Rasulullah SAW
mempunyai tiga tanggung jawab utama: (1) menyebarkan wahyu Allah SWT, menyampaikan
perintah-perintah agama dan membimbing umat manusia; (2) memutuskan perkara-perkara
yang berhubungan dengan hukum dan melerai percekcokan; dan (3) masalah wilayah, yakni
pemerintahan dan kepemimpinan atas umat Islam. Kedua, maksud dari perkataan "mereka
yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku" tertuju pada
para fuqaha, bukan untuk para perawi dan pelapor hadits semata. Karena seseorang yang
memiliki keahliah dan dapat menentukan sebuah hadist dan sunah itu berasal dari Rasulullah
SAW, berarti telah mencapai maqam faqih dan memiliki kecakapan dalam berijtihad
(memberi interpretasi dan pertimbangan mandiri) Dengan mempertimbangkan masalah
penting tersebut, maka hadits ini menyatakan sebagai berikut, "Para fuqaha adalah penggantipengganti Nabi SAW." Karena Nabi memegang beberapa kedudukan, sementara tidak ada
kedudukan khusus yang disebutkan, maka selanjutnya dikatakan bahwa para fuqaha adalah
pengganti-pengganti Nabi SAW dalam semua kedudukan itu Hadits selanjutnya, riwayat dari
Imam ke-12, Syekh al-Shaduq meriwayatkan dalam kitab Kamal ad-Din dari Ishaq bin
Ya'qub, bahwa Imam Mahdi, Imam ke-12 memberi jawaban atas pertanyaan Ishaq secara
pribadi, ia menuliskan yang bersegel tuqi' yang isinya ―Dimasa ketidakpastian (kegaiban
Imam) rujuklah para penghantar (perawi) hadis-hadis kami (faqih), Karena mereka adalah
hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka‖ (Satori, 2007:44).
Dalam menegakkan otoritas fuqaha, para pembela wilayatul faqih sering merujuk
pada bagian kedua dari hadits ini, yang berbunyi "Mereka hujjah-ku untuk kalian dan aku
hujjah Allah untuk mereka." Bagaimanapun menurut ulama Syiah seperti Imam Khomeini
berpendapat bahwa bagian pertama dari hadits tersebut juga bisa digunakan untuk
menegakkan otoritas faqih. Bagian pertama dari hadits itu mendorong masyarakat untuk
bertanya pada mereka yang dekat dengan ajaran-ajaran para Imam as. menyangkut semua
parmasalahan baru yang dihadapi masyarakat.
Pernyataan itu membuat jelas bahwa fuqaha bertindak sebagai hujjah dari Imam
dalam segala hal dimana Imam bertindak sebagai hujjah Allah dalam bagian kedua hadits
tersebut, Imam Khomeini menjelaskan bahwa hujjah Allah sebagai seseorang yang telah
dipersiapkan oleh Allah untuk menjawab beberapa perkara, artinya segala perbuatan,
tindakan-tindakan, dan perkataan-perkataannya bermakna sebagai hujjah (bukti) bagi kaum
muslim. Kesimpulannya menjadi seorang hujjah berimplikasi memegang otoritas atas para
pengikutnya dan oleh karenanya semua perintah-perintah dari pemegang status seperti itu
haruslah dipatuhi. Inilah yang kemudian dijadikan dalil wilayatul faqih sekaligus menjadi
bukti kuat bahwa fakih adalah wakil Imam. (Teherani, 2005:86)
4.2.2.3 Pengertian Faqih dan Kualifikasi Faqih
Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam konsep wilayatul faqih,
hanya seseorang yang telah mencapai tingkat fuqaha (tingkat seorang faqih) dan cakap dalam
menggali hukum-hukum Ilahi dari sumber-sumber yang sahih (al-Qur‘an dan Hadits) saja
yang dapat menangani masyarakat Islam. Bagaimanapun juga pemimpin atau penguasa
masyarakat Islam harus mampu membuat keputusan dan pertimbangan hukum yang tepat
berdasarkan ketentuan yang telah dibuat oleh Tuhan. Di samping itu ijtihad dan kemampuan
untuk membuat interpretasi dari keputusan hukum yang mandiri, seharusnya dibatasi dalam
sebuah bidang tertentu, Imam Khomeini mengatakan,
Seorang wali harus memiliki dua sifat, yang keduanya merupakan ketentuan
mendasar dalam pemerintahan -yakni pemerintahan dengan undang-undang Ilahiyang tidak dapat diterima akal kecuali dengan keduanya. Yang pertama adalah
pemahaman terhadap undang-undang. Dan yang kedua, keadilan. Sedangkan masalah
kafa'ah termasuk ke dalam permasalahan ilmu dengan keluasan ungkapannya, yang
juga tidak diragukan keharusannya bagi seorang hakim. Dapat juga Anda katakan
syarat tersebut merupakan syarat-syarat yang mendasa r(Teherani, 2005:74).
Dalam buku lain yaitu bukunya yang berjudul Islamic Government, Imam Khomeini
(dalam Satori, 2007:96) mengklasifikasikan sekurang-kurangnya ada delapan (8) persyaratan
yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu:
(1). Mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; (2). Harus Adil, dalam arti
memiliki iman dan akhlak yang tinggi; (3). Jenius; (4). Dapat dipercaya dan berbudi luhur;
(5).Memiliki Kemampuan Administratif; (6). Bebas dari segala pengaruh Asing; (7). Mampu
mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam,
sekalipun harus dibayar dengan nyawa, dan; (8). hidup sederhana.
Sedangkan menurut Jalaludin Rahmat (dalam Satori, 2005:96) secara terperinci
seorang faqih harus mencukupi syarat-syarat berikut, antara lain,
a. Faqahah
Faqahah adalah pencapaian derajat ijtihad (mujtaid muthlaq), yaitu kemampuan
secara ilmi dalam menurunkan hukum syariat dari dalil-dalil yang telah tetap baginya. Juga,
faqahah sebagai syarat imamah terbagi dua: Pertama, bahwa untuk memenuhi tugas dan
tanggung jawab, seorang imam hendaknya memiliki kecukupan (kafaah) ilmu dalam setiap
permasalahan syariat Islam, mulai dari hukum-hukumnya, tujuan syariat, akhlak syariat, dan
metode syariat dalam membenahi setiap perkara, sehingga dia pun dapat mengatur
perjalanan politik pemerintah. Juga hendaknya memiliki kemampuan ilmi dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan dengan dasar syariat. Dalam hal ini, seorang imam tidak dibenarkan
untuk bersandar kepada mujtahid lain. Karena dalam menentukan ketentuan syariat haruslah
sesuai dengan permasalahan politik yang ada. Dalam menentukan keperluan umum suatu
pemerintahan, diperlukan kebijaksanaan yang selalu sesuai dengan cuaca politik yang ada,
serta meliputi seluruh masalah yang diperlukan dalam pemerintahan.
Seorang imam harus memiliki pandangan yang jelas tentang seluruh kebutuhan
syariat yang harus dimiliki suatu pemerintah, sehingga itu semua tidak akan dapat dicapai
kecuali waliul amr ataupun imam adalah seorang mujtahid. Kedua, selain imam adalah
seorang mujtahid, sebagai syarat umat dibenarkan taklid kepadanya, akan sangat banyak
memudahkan apabila imam juga seorang marja' taqlid, sehingga mempererat keterikatan
antara imam dengan umat. Hal ini sangat penting karena keberhasilan pemerintahan Islami
juga bergantung pada hubungan keterikatan antara imam dan umat.
b. 'Adalah (Bertindak Adil )
'Adalah yaitu sifat istiqamah dalam tariqah dan syariat Islam. Dengan syarat,
istiqamah sudah merupakan tabiat yang tetap bagi seorang yang disifati adil, atau dengan
ibarat yang lain, telah menjadi kebiasaan baginya. Demikianlah pendapat yang masyhur di
antara para ulama. Mereka tidak mengartikan 'adalah cukup hanya dengan memenuhi
kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Tetapi sudah merupakan suatu kekuatan
dalam menguasai diri, sehingga orang percaya bahwa dia tidak lagi akan melakukan
pelanggaran meskipun dalam situasi yang sangat sulit.
mempertahankan agamanya, menentang hawa nafsunya, taat pada perintah maula-nya, maka
bagi orang awam hendaklah bertaklid kepadanya."
c. Kafa'ah
Makna kafa'ah adalah pemahaman yang dimiliki secara luas mencakup permasalahan
kemasyarakatan, politik, dan kemanusiaan, yang semuanya merupakan pendukung untuk
sampai kepada wilayah yang baik, seperti yang telah disebutkan dalam hadits. Bersabda
Rasul SAW:
Siapapun yang memimpin kaum muslim, sementara ia melihat adanya seseorang yang
lebih utama darinya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum
muslimin." Imam Khomeini berkata: "Masalah kafa'ah adalah masalah pengetahuan
dalam bentuk luas. Dan tidak diragukan kelazimannya bagi seorang hakim.
4.2.3 Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini
Berbicara mengenai konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang
benar-benar baru dari Imam Khomeini. Imam Khomeini mengungkapkan bahwa persoalan
keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang bisa segera
disepakati, khususnya di kalangan Syiah. Hal tersebut diungkapkan Imam Khomeini dalam
kalimat pembuka kumpulan ceramah-ceramahnya mengenai pemerintahan Islam yang diberi
judul Hukumat-I Islam (Yamani, 2003:114).
Menurut Imam Khomeini dalam buku Hukumat-e Islami tersebut, tema wilayatul
faqih sebenarnya dapat diterima keberadaanya dengan mudah dan tidak lagi memerlukan
dalil untuk mendukungnya. Keberadaan pemerintahan Islam akan menjamin keberlangsungan
ditegakan hukum-hukum Islam. Beberapa hal yang berkaitan dengan konsep wilayatul faqih
Imam Khomeini adalah tentang kebutuhan akan pemerintahan Islam, bentuk pemerintahan
Islam dan bagaimana pandangan Imam Khomeini terhadap demokrasi.
4.2.3.1 Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam
Menurut Imam Khomeini, Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat
hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum
Muslim sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu
efektif, diperlukan kuasaan eksekutif (al-shulthon al-tanfidziyyah). Makna diwajibkannya
kaum Muslim menaati ulil amri di samping Allah dan Rasulnya, berarti kaum muslim
diwajibkan untuk membentuk pemerintahan. Suatu peraturan akan menjadi sia-sia tanpa
adanya kekuasaan eksekutif yang memaksakan pelaksanaan hukum Islam. Kewajibankewajiban seorang muslim tidak mengenal waktu dan situasi siapa yang berkuasa saat itu.
Tidak ada dasar bagi setiap muslim untuk mengesampingkan kewajiban-kewajiban seorang
muslim seperti membayar zakat, jizyah, kharaj, khumus, ataupun dalam pelaksanaan hukum
qishas dan hudud (Yamani, 2003: 116).
Kewajiban membentuk pemerintahan Islam juga dapat dilihat dari makna kewajiban
seorang muslim menjaga integritas wilayah Islam. Sifat dan hukum Islam sendiri memiliki
fungsi untuk mengelola urusan politik, ekonomi, soaial dan kebudayaan. Hukum Syariah juga
meliputi segenap aspek yang membentuk suatu system social yang lengkap, mulai dari
hubungan pertetanggan, kewarganegaraan, kekeluargaan, sampai hubungan internasional.
Aturan-aturan bersosial dan ibadah individual dalm Islam prbandingannya adalah seratus
banding satu.
Pendapat lain adalah keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup
untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat
mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan
eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil keputusan atas suatu masalah).
Karnanya, Allah yang maha kuasa, dalam kaitannya dengan penerapan hukum-hukum tertulis
seperti aturan-aturan syariat telah meletakan bentuk pemerintahan yang dilengkapi oleh
institusi eksekutif dan administratif.
Rasul SAW telah membentuk institusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat.
Berkaitan dengan penyampaian wahyu, penjelasan, dan penafsiran atas akidah, hukumhukum Islam serta penegakannya, Rasul saw menegakan semua tanggung jawabnya, dan
dengan hal tersebut Rasul saw membentuk negara Islam. Dalam penerapannya, Rasul saw
tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menerapkannya, seperti hukum memotong
tangan, mencambuk dan merajam. Setelah Rasul saw wafat, para penerus kepemimpinan
beliau juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama. Ketika Rasul saw menunjuk seorang
penerus kepemimpinan, beliau melakukannya bukan hanya untuk menjelaskan tentang akidah
dan hukum yang telah diajarkannya, tetapi juga melakukan eksekusi berdasarkan hukum
Allah SWT (Khomeini, 2002:35).
Wajibnya pengeksekusian hukum-hukum Islam dan penegakan negara Islam
menjadikan adanya penerus Rasul saw adalah suatu hal yang sangat penting. Sepeninggal
Rasul, kaum Muslim tetap memerlukan seseorang yang dapat mengeksekusi (menerapkan)
hukum-hukum Islam dan menegakan negara Islam, sehingga kaum muslim akan
mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Keberadaan legislative (pembuat hukum) tanpa
pelaksanaan hukumnya hanya akan memberikan sedikit manfaat, oleh kaena itu setelah
adanya pembuat hukum, harus terbentuk pula eksekutif (pelaksana), dan hal inilah yang akan
memberikan manfaat untuk manusia dan masyarakat.
Mengingat pentingnya hal tersebut, menurut Imam Khomeini, Islam mewujudkan
seseorang yang pantas menduduki kekuasaan eksekutif. Orang yang memegang kekuasaan
eksekutif ini disebut wali amr. Yaitu seseorang yang memiliki otoritas untuk memutuskan
suatu perkara atau permasalahan umat. Sebagaimana tersebut dalam Quran surah an-nisa:
―wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul, dan ulil amri kalian‖
(QS. An-nisa: 59).
Assunah dan thariqoh (metode rasul) menyajikan bukti atas kebutuhan akan tegaknya
pemerintahan. Pertama, Nabi Muhammad sendiri menegakan sebuah pemerintahan,
sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah, ia melaksanakan hukum-hukum Islam,
menegakkan aturan-aturannya dan fungsi administrasinya dalam masyarakat. Nabi
Muhammad SAW telah menjalankan seluruh fungsi pemerintahan seperti, mengutus orangorang terpilihnya untuk menjadi Gubernur di daerah-daerah yang berbeda, membentuk badan
kehakiman dan menunjuk seorang hakim, mengirim duta (utusan) ke berbagai negara asing,
kepala suku dan para Raja, ia juga mensyahkan berbagai perjanjian dan pakta, serta
memimpin sendiri pasukan Islam di berbagai pertempuran.
Kedua, Nabi Muhammad menunjuk seorang pelaksana aturan-aturan untuk
meneruskan kepemimpinan beliau yang didasari atas perintah Allah SWT. Hal ini dapat
dimaknai jika Allah Yang Maha Kuasa, melalui Nabi Muhammad SAW, menunjuk seseorang
yang akan menjalankan aturan sebagai masyarakat muslim sepeninggalnya, maka ini
merupakan indikasi bahwa pemerintahan tetap menjadi kebutuhan setelah wafatnya Nabi.
Dengan menjalankan perintah Allah melalui penunjukan seorang penerus kepemimpinan,
Rasulullah SAW secara implisit menegaskan perlunya untuk menegakkan pemerintahan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kebutuhan akan perundang-undangan dan terbentuknya
pemerintahan oleh Nabi SAW tidak terbatas pada masanya, melainkan terus berlanjut setelah
Nabi wafat (Khomeini, 2002:35-37).
Selanjutnya Imam Khomeini mengatakan,
In truth, the social laws and regulations need an executor. In all countries of the
world, legislation alone is not enough and cannot secure people's happiness. The
legislative authority that can bring to people the fruits of just legislation. This way
Islam decides to establish an executive authority side by side with the legislatif
authority and appointed a person in charge to implement. In addition to teaching,
disseminating, and explaining.
Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan memerlukan keberadaan
eksekutor. Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri
sendiri, tidak cukup memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin
terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan
eksekutif harus terbentuk. Islam menentukan untuk keharusan keberadaan eksekutif
disamping legislative dan menetapkan seseorang untuk menjadi pelaksananya. Hal ini
bertujuan untuk mengajarkan, menyebarkan dan menjelaskan (Satori, 2007:102).
Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan merlukan keberadaan eksekutor.
Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri sendiri, tidak cukup
memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan
untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk.
Kekuasaan inilah yang akan melaksanakan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh
pengadilan. Hal ini akan menjadikan hukum-hukum lebih bermanfaat bagi manusia dan
masyarakat juga akan mendapatkan keputusan adil. Kebutuhan akan berjalannya hukum Ilahi,
kebutuhan akan kekuasaan eksekutif dan pentingnya kekuasaan itu dalam memenuhi tujuantujuan dari misi kenabian serta tegaknya aturan yang adil yang akan memberikan
kebahagiaan bagi umat manusia, menurut Imam Khomeini dapat dilakukan semuanya dengan
penunjukan atas seseorang untuk menjadi penerus kepemimpinan yang merupakan pelengkap
dari misi kenabian.
Imam Khomeini adalah seorang ulama yang menginterpretasikan Islam sebagai
agama yang memiliki komitmen terhadap perkembangan sosial dan politik. Bagi Imam
Khomeini, masalah yang harus mendapatkan perhatian serius adalah perlunya Islam dan Iran
merdeka dari kolonialisme Barat dan Timur, serta perlunya kaum ulama bertanggung jawab
untuk kemanusiaan, tidak hanya di Iran tetapi juga terhadap orang-orang lapar dan tertindas
dimanapun mereka berada. Imam Khomeini yakin bahwa Islam itu bersifat politis, kalau
tidak maka agama hanyalah omong kosong belaka. Menurut Khomeini, al-Qur'an memuat
seratus kali lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada
masalah-masalah ibadah. Menurutnya jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam hanya
mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan mahluk-Nya.
Pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh campur
dalam masalah-masalah sosial politik, menurut Imam Khomeini merupakan propaganda dari
Imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah
sosial politik. Mereka itulah yang menurut Imam Khomeini dinilai sebagai orang-orang yang
menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan pada mereka dari para Imam.
Imam
Khomeini mengutuk sikap para "ulama istana" (ulama of the court/ akhund-ha-e-darbari),
yaitu mereka yang berdampingan dengan Syah dan menerima jabatan yang diberikan Syah.
Para ulama seperti itu menurut Khomeini merupakan musuh Islam (Satori, 2007:102).
Pendapat lain yang menyatakan akan butuhnya pemerintahan islam, yaitu bahwa asas
dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (syariat) menjadi bukti tambahan
atas kebutuhan tertegakannya pemerintahan. Hukum-hukum Islam memberikan indikasi
bahwa hukum Islam diciptakan untuk menegakan negara dan menangani permasalahan
politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat.
Pertama, hukum-hukum syariat mencakup bermacam-macam badan hukum dan
peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial yang lengkap. Pada system ini semua
kebutuhan manusia terpenuhi. Kebutuhan ini berupa menjalin hubungan dengan para
tetangganya, sesama warga negara, anak-anak dan keluarganya, dan yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi dan pernikahannya. Kebutuhan ini juga meliputi peraturan tentang perang
dan damai, hubungan dengan negara-negara lain, hukum komersial dan hukum tentang
perdagangan dan pertanian.
Hukum-hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan
persiapan dan bagaimana melakukan ijab qabul dalam pernikahan. Hukum-hukum ini pun
meliputi aturan turunannya, seperti aturan-aturan yang berhubungan dengan perkembangan
janin dalam kandungan, serta apa yang harus dimakan orang tua saat merencanakan
kehamilan. Kemudian hukum-hukum yang menetapkan kewajiban-kewajiban atas para ibu
selama mereka menyusui bayi, bagaimana mengasuh anak, dan mengatur hubungan suamiistri serta anak-anak mereka. Keberadaan hukum-hukum tersebut dalam Islam bertujuan
untuk membentuk penganutnya (muslim) menjadi manusia seutuhnya yang saleh yang akan
menerapkan dan melaksanakan hukum-hukum Islam tersebut secara alaminya. Hal ini
menunjukan begitu besarnya perhatian Islam akan sebuah pemerintahan dan hubungan social
politik dalam masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pembentukan manusia yang tulus dan saleh (Khomeini, 2002: 39).
Kedua, jika diteneliti lebih dalam lagi tentang asas dan karakter ketetapan hukum,
maka akan disadari bahwa eksekusi dan pelaksanaannya tergantung dari bentuk
pemerintahannya, tidak mungkin perintah-perintah Allah (hukum Islam) bisa ditegakan tanpa
adanya organ-organ eksekutif (penegak hukum) dan administrative yang sesuai dengan
hukum Islam (Khomeini, 2002:39-40).
Dari penjelasan-penjelasan di atas, semakin menegaskan akan pentingnya keberadaan
sebuah negara dalam rangka pengeksekusin (penerapan) hukum-hukum Islam. Adanya
legislative (pembuat hukum) hanya akan menjadi sebuah hiasan tanpa adanya eksekutor
(pelaksana) hukum-hukum tersebut. Keberadaan legislative harus diikuti dengan keberadaan
eksekutif supaya hukum-hukum tersebut dapat membuahkan manfaat bagi kehidupan
manusia.
4.2.3.2 Bentuk Pemerintahan Islam
Imam Khomeini dalam sistem pemerintahan Islam berpendapat bahwa Pemerintahan
Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang ada saat ini. Sebagai contoh,
pemerintahan Islam bukan pemerintahan yang bersifat tirani, dimana para pemimpin negara
dan pemerintahan yang tiran dapat bertindak sewenang-wenang atas harta dan kehidupan
masyarakat mereka, memperlakukan orang sekehendak mereka, membunuh orang yang
mereka inginkan, dan memperkaya seseorang yang mereka kehendaki dengan memberikan
tanah dan harta milik orang lain. Seperti perkataan Imam Khomeini,
Nabi termulia saw, amirul mukminin dan para khalifah tidak diijinkan untuk
menjalankan kekuasaan tiran. Pemerintahan Islam tidak bersifat tiran dan juga tidak
bersifat absolute kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional. Namun bukan
bersifat konstitusional sebagaimana pengertian saat ini, yaitu berdasarkan persetujuan
yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suara mayoritas. Pengertian
konstitusional yang sesungguhnya adalah bahwa pemimpin adalah suatu subjek dari
kondisi-kondisi tertentu yang berlaku di dalam kegiatan memerintah dan mengatur
negara yang dijalankan oleh pemimpin tersebut, yaitu kondisi-kondisi yang telah
dinyatakan
oleh al-quran dan as-sunah Nabi saw. Kondisi-kondisi tersebut
merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam yang juga terdiri dari kondisikondisi yang harus diperhatikan dan dipraktikan. Pemerintahan Islam karenanya dapat
didefinisikan sebagai pmerintahan yang berdasarkan hukum-hukum Ilahi (Tuhan) atas
manusia (makhluk). Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam
dengan pemerintahan monarki dan republik (Khomeini, 2002: 57).
Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan
monarki atau republik.
Karekteristik pemerintahan monarki adalah pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang raja (sebagai perwalian atas rakyat) dengan berdasarkan undangundang (legislasi), sedangkan karakteristik pemerintahan Islam, kekuasaan legislatif dan
wewenang untuk menegakkan hukum secara eksklusif adalah milik Allah SWT. Pembuat
undang-undang suci ini adalah satu-satunya kekuasaan legislatif. Tidak ada seorangpun yang
berhak membuat undang-undang lain dan tidak ada hukum yang harus dilaksanakan kecuali
hukum dari pembuat undang-undang yaitu hukum Allah SWT.
Atas dasar itulah dalam sebuah pemerintahan Islam, badan atau majelis perencanaan
mengambil peran sebagai Majelis legislatif, yang merupakan salah satu dari tiga cabang
kekuasaan dalam pemerintahan yang ada saat ini yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
Majelis ini menyusun program-program bagi
departemen-departemen kementrian di dalam rangka aturan-aturan Islam dan dengan cara
demikian majelis ini akan menentukan bagaimana kuantitas dan kualitas pelayanan publik
yang diberikan negara kepada masyarakatnya. Hukum-hukum Islam yang ada dalam alQur'an dan Sunnah Nabi telah diterima kaum muslim dan ditaati. Penerimaan mereka ini
memudahkan tugas pemerintah dan menerapkan hukum-hukum tersebut dan membuatnya
agar tetap menjadi milik rakyat dengan mensosialisasikannya.
Sebaliknya, pada penerimaan republik atau monarki konstitusional, sebagian besar
para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili suara mayoritas rakyat, yang mana
dengan suara mayoritas tersebut rakyat pasti akan mengabulkan apapun yang mereka
kehendaki, kemudian memaksakan hal-hal yang menjadi kehendak mereka tersebut kepada
seluruh penduduk yang dikuasainya. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berbasis
hukum.
Dalam pemerintahan ini, kedaulatan hanyalah milik Allah serta hukum adalah
berupa keputusan dan perintah-Nya. Hukum-hukum ini mempunyai kewenangan mutlak atas
semua individu dalam sebuah pemerintahan Islam.
Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukum-hukumnya, yang
mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. Bahkan kekuasaan
terbatas (dalam arti sesuai kehendak Allah dalam mendelegasikannya kepada manusia) yang
dimiliki oleh nabi saw dan para pelaksana hukum Islam sepeninggal beliau adalah anugrah
Allah kepada mereka. Setiap Rasul saw menjelaskan permasalahan tertentu atau mengajarkan
hukum tertentu, maka beliau melakukannya karena ketaatan beliau kepada hukum Allah,
hukum dimana setiap manusia tanpa kecuali harus menaati dan mengikutinya. Hukum Allah
berlaku bagi pemimpin dan yang dipimpin. Satu-satunya hukum yang sah dan berisi perintah
yang wajib untuk ditaati adalah hukum Allah.
Dalam pandangan Imam Khomeini, pandangan individu, bahkan pandangan pribadi
Nabi saw tidak dapat ikut campur dalam permasalahan pemerintahan atau hukum Allah
SWT. Seluruh manusia wajib mengikuti kehendak Allah SWT. Pemerintahan Islam tidak
berbentuk monarki, terutama sistem kekaisaran. Pada tipe pemerintahan seperti kekaisaran,
pemimpin pemerintahan berkuasa atas harta dan rakyat yang ia pimpin dan rakyat diharuskan
memberikan semua yang ia inginkan (Khomeini, 2002:60).
4.2.3.3 Demokrasi menurut Imam Khomeini
Berbagai macam bentuk pemerintahan menjadi perdebatan setiap negara untuk
menuju perubahan yang lebih baik. Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang
menempatkan kedaulatan di tangan seluruh rakyat, atau sebagian besar rakyat, sehingga
warga yang menjadi magistrate (raja) lebih banyak daripada warga biasa dan swasta. Dewasa
ini bentuk pemerintahan demokrasi mayoritas diterapkan di negara-negara Barat dan
disebarluaskannya ke negara-negara timur. Banyak negara muslim yang akhirnya
mengadopsi sistem demokrasi.
Penentangan dan dukungan terhadap demokrasi sudah ada sejak kemunculan
demokrasi. Seperti pendapat Rousseau,
Apabila istilah-istilah demokrasi diterima secara ketat, sampai sekarang demokrasi
yang sesungguhnya belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada. Suatu hal
bertentangan dengan tatanan alami apabila sejumlah besar orang memerinah dan
sejumlah kecil diperintah. Tak dapat dibayangkan bahwa rakyat terus menerus
berkumpul untuk menyelesaikan urusan umum. Dengan mudah dapat dipahami bahwa
untuk keperluan itu, perlu dibentuk komisi tanpa mengubah bntuk administrasi
(Rousseau, 2010:73).
Adapun Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi),
berdasarkan dua alasan: Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan
Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak
berhak membuat hukum. Kedua, karena praktik ―kedaulatan rakyat‖ sering justru menjadi
omong-kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat
atau lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari
sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang—sekalipun mengatasnamakan
rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988: 19-21).
Imam Khomeini mengungkapkan pandangannya tentang sistem pemerintahan akan
perlunya partisipasi rakyat dalam memilih para pemimpin. Dalam wasiatnya yang trakhir
untuk rakyat Iran (dalam yamani, 2003:135) dia mengingatkan bahwa merupakan tanggung
jawab yang berat bagi rakyat untuk memilih para ahli dan wakil yang akan duduk sebagai
pemimpin atau dewan kepemimpinan. Imam Khomeini menekankan akan pentingnya posisi
rakyat dalam pemerintahan dan negara. Namun demikian, kekuasaan rakyat, bukanlah
kekuasaan yang mutlak.
Negara, menurut Imam Khomeini adalah instrument bagi pelaksanaan undang-undang
Tuhan di muka bumi. Tidak seperti dalam negara demokrasi (murni), pada dasarnya dalam
negara Islam, tidak ada hak negara (yaitu lembaga legislative, sebagai wakil rakyat) untuk
membuat undang-undang. Otoritas membuat undang-undang dan kedaulatan ada di tangan
Allah. Memberikan kepada rakyat hak untuk membua undang-undang, selain bertentangan
dengan ajaran Islam juga hanya akan memaksa negara untuk menerima perundang-undangan
yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun menolak perundangundangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat (Yamani, 2003:117).
Dalam beberapa pemikiran politiknya, Imam Khomeini tampaknya mengkritisi
demokrasi Barat yang justru berkembang di dunia Timur. Menurut Imam Khomeini
demokrasi Barat telah merusak dunia Timur, khususnya dunia Islam. Untuk itu umat Islam
harus mengajarkan kepada orang-orang Barat tentang makna demokrasi yang sebenarnya. Ia
menawarkan model baru demokrasi yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam dengan
menyebut "demokrasi sejati". Bagi Imam Khomeini, yang dimaksud dengan demokrasi sejati
adalah Islam. "inilah demokrasi. Bukan berasal dari Barat, yang sangat kapitalis, bukan pula
demokrasi yang diterapkan di timur, yang telah melakukan penindasan kepada rakyat jelata
(Haydar, 2001:62).
Dalam penjelasannya Imam Khomeini menegaskan, bahwa rakyat memiliki otoritas
dalam mewujudkan pemerintahan. Dengan kata lain, ia menganggap bahwa pemerintahan
sebagai perwujudan dari kehendak rakyat.
Partisipasi rakyat dalam penentuan sebuah
kepemimpinan sangat dijunjung tinggi oleh Imam Khomeini. Namun demikian, pada satu sisi
rakyat memang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan pemimpinnya, pada sisi lain,
Imam Khomeini menekankan agar dalam penentuan pilihan pemimpinnya, rakyat memegang
teguh ajaran-ajaran Islam.
Menurut Imam Khomeini, penyelenggaraan pemerintahan, penanggungjawab
pelaksanaan hukum dan pengelolaan masyarakat harus komitmen menjaga dan menjalankan
hukum-hukum agama. Maka dari itu, pemerintahan Islam ialah pemerintahan hukum Tuhan
atas rakyat. Namun demikian, Imam Khomeini berpandangan meskipun kekuasaan yang ideal
menurutnya dipegang oleh kaum filusuf fuqaha, namun ia sangat menolak jika menggunakan
cara-cara pemaksaan. Sebab menurutnya "Kita tidak hendak membenarkan cara itu sehingga
kita jadi diktator. Tuhan dan Nabi Tidak pernah memberikan hak demikian itu kepada kita
(Satori, 2007: 111).
Ketika pemilu pertama di Iran akan diselenggarakan, Imam Khomeini mengatakan,
saya mengajak setiap orang untuk memberikan suaranya kepada Republic Islam.
Namun, anda semua dapat memberikan suara secara bebas. Anda memiliki hak untuk
memberikan suara kepada rezim kerajaan, rezim demikrasi, atau rezim apapun yang
ada dalam kotak suara. Anda bebas (Yamani, 2003:136).
Berbicara tentang sumber keabsahan Dewan pembentuk Konstitusi atau Majelis
Konstituante Republic Islam Iran, Imam Khomeini mengatakan,
keabsahan dewan pembentuk konstitusi diwujudkan dengan penunjukan dewan
tersebut oleh rakyat. Mekanismenya adalah pemilihan umum yang dilaksanakan
secara nasional. Dalam satu mekanisme, rakyat memilihnya secara langsung, dan
dalam mekanisme yang lain, rakyat memilih wakil-wakil yang bertindak atas nama
mereka. Mekanisme apapun yang dipakai, hak memilih itu sejatinya ada pada rakyat
itu sendiri (Yamani, 2003:136).
Adapun pendapat Imam Khomeini terkait pemilihan kepala-kepala pemerintahan dan
wakil-wakil d lembaga perwakilan adalah sebagai berikut,
wali faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme,
pengetahuan, dan kompetnsi yang sudah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang
memilih figure mana yang sesuai dengan criteria semacam itu. Rakyat sendirilah,
sekali lagi, yang harus mengelola urusan-urusan administrative dan bidang-bidang
kerja yang serta urusan-urusan lain dalam pemerintahan mereka. Rakyat berhak
memilih sendiri presiden mereka, dan memang sudah semestinya demikian. Sesuai
dengan hak asasi manusia, anda semua, rakyat, harus menentukan nasib anda sendiri.
Majelis (parlemen Iran) menempati posisi tertinggi di atas semua institusi yang lain,
dan majelis ini tidak lain merupakan pelembagaan kehendak rakyat (Yamani,
2003:136).
Dalam kesempatan lain Imam Khomeini menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan
rakyat, dan menolak konsep bahwa kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu (elit)
dalam masyarakat,
Pemilihan umum tidaklah dibatasi pada sekelompok tertentu dalam masyarakat –
entah itu kelompok ulama, partai politik, atau yang lain-tetapi berlaku untuk
seluruh rakyat. Nasib rakyat ada di tangan mereka sendiri. Dewasa ini hak pilih
ada di tangan rakyat. Dalam pemilihan umum, semua warga negara adalah setara
satu sama lain, entah itu presiden, perdana menteri, petani, pemilik tanah, atau
pedagang. Dengan kata lain, setiap orang tanpa kecuali berhak atas satu suara.
Pada titik ini
Imam Khomeini memilih demokrasi bukan sebagai doktrin atau
ideologi, tetapi sebatas cara dan sistem bagaimana hukum Tuhan dan pelaksanaannya dapat
berkuasa serta efektif secara damai, seiring kebebasan karuniawi manusia. Sebab menurut
Imam Khomeini, nasib selamat atas celaka suatu bangsa ada di tangan mereka, mereka bebas.
Akan tetapi manakala mereka memilih hukum Islam dan wali faqihnya mereka harus
komitmen pada pilihan ini, yakni patuh dan menerima kebebasannya diatur oleh hukum dan
wali faqihnya. Hal ini ia lakukan melalui referendum di awal kemenangan revolusi Iran dan
pemilihan umum Majelis Ahli (Mejlis Khubreghan).
Dari pendapatnya di atas, Imam Khomeini mempertegas bahwa meskipun seorang
pemimpin (wali-faqih) secara de jure memiliki kewenangan untuk memerintah, tetapi ia juga
memerlukan suara dan kehendak rakyat, untuk dapat menjadi wali, berkuasa dan
mengaktifkan kewenangannya secara praktis. Dengan begitu, wali faqih yang berkuasa, akan
mendapatkan kekuatan legitimasinya dari dua sisi vertikal, dari Tuhan dan dari rakyat,
sebesar jarak antara langit dan bumi (Satori, 2007:113).
Terkait dengan posisi perempuan dalam Islam, Imam Khomeini sangat tidak setuju
terhadap intimidasi perempuan. Dalam hal persamaan antara laki-laki dan perempuan Imam
Khomeini berpandangan bahwa Islam memiliki pandangan khusus terhadap perempuan.
Islam pertama muncul di jazirah Arab dimana wanita pada masa itu seperti barang dagangan
dan perbedaan status yang sangan jauh dengan laki-laki. Akan tetapi Islam datang untuk
menghapus itu semua dan Islam datang untuk ―menyamakan‖ mereka dengan laki-laki.
Beliau menambahkan juga, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam
menentukan masa depannya dan kami ingin perempuan sampai pada kedudukan yang tinggi
dan perempuan harus mampu untuk itu. Mengenai hak perempuan dalam Islam, Imam
Khomeini berpandangan dari sisi hak kemanusiaan (sisi insaniyyah nya) tidak ada beda
antara hak laki-laki dan perempuan, karena dua-duanya adalah manusia dan mereka memiliki
hak dalam menentukan masa depannya masing-masing. Berusahalah dalam meraih ilmu dan
ketaqwaan, karena ilmu adalah milik bersama tanpa pengecualian. Sekarang para perempuan
menjadi partner dalam belajar atau hal lainnya di dalam semua bidang ilmu pengetahuan
begitu juga industri.
Dalam hal berpolitik, perempuan juga memiliki hak berpolitik dan inilah tugas
mereka. Seluruh perempuan dan laki-laki harus masuk dalam masalah sosial, politik bahkan
harus menjadi pemantau perkembangan politik yang ada, dan tidak hanya itu mereka juga
dituntut untuk menyumbangkan ide-ide mereka, sekarang perempuan harus melaksanakan
tugas sosial dan agama mereka dan menjaga kehormatan umum dan di bawah kehormatan
tersebut mereka melakukan urusan sosial dan politiknya. Perempuan di dalam urusan sosial
politiknya harus menjadi partner para laki-laki, dengan syarat menjaga hal-hal yang telah
diatur dalam Islam.
Setelah Iran menjadi Republik Islam Iran, pandangan Imam Khomeini terhadap
kedudukan perempuan teraplikasikan dalam UU Republik Islam Iran, yaitu
Wanita dalam Undang-Undang Dasar
Dalam menegakan fundasi-fundasi sosial Islam, semua tenaga manusia yang hingga
kini telah menjadi pelayan bagi eksploitasi asing, akan diperoleh kembali dengan
identitasnya yang sesungguhnya dan hak-hak manusiawinya yang sebenarnya. Dalam
memperoleh kembali semua ini, adalah alami bagi kaum wanita, yang hingga kini tlah
menderita penindasan yang lebih besar dari sistem tirani, akan lebih dipenuhi hakhaknya.
Keluarga adalah unit fundamental dari masyarakat dan pusat utama pertumbuhan dan
kelanjutan umat manusia. Kesesuaian ideal-ideal dan aqidah dalam pembentukan
keluarga sebagai pemersiap utama lahan gerakan evolusi dan perkembangan umat
manusia, merupakan suatu prinsip dasar dan memberikan prinsip-prinsip, serta
mempersiapkan kemungkinan bagi tercapainya tujuan ini, adalah tanggung jawab
pemerintahan Islam ini.
Dengan presep-presep semacam itu, wanita, sebagai suatu unit masyarakat, tidak lagi
akan dipandang sebagai ‗barang‘ atau sebagai alat yang melayani konsumerisme dan
eksploitasi. Dalam memperoleh kembali kewajibannya yang penting dan peranannya
yang paling terhormat sebagai ibu dalam memelihara manusia-manusia yang
berakidah, sebagai pelopor bersama kaum pria, sebagai prajurit yang aktif dalam
medan juang kehidupan, akan mengakibatkan dia menerima tanggung jawab yang
lebih serius. Dalam pandangan Islam ia akan mendapatkan nilai dan kebajikan yang
lebih tinggi (UUD RRI, 10-11).
Adapun dalam aplikasinya pada sistem Iran modern bagaimana posisi perempuan
dalam kehidupan sehari-hari dan bernegara, maka posisi perempuan di Iran termasuk ke
dalam posisi perempuan yang maju dan dihormati. Hal ini dapat dilihat dari faktor
pendidikan, karir, dan penyikapan fasilitas bagi perempuan oleh pemerintah. Ruang publik
bagi perempuan Iran telah diberikan dan perempuan Iran pun banyak yang menjadi ilmuwan
yang memegang sains high-tech.
Dalam bidang politik, Parlemen Iran mengesahkan menteri perempuan pertama dalam
30
tahun
sejarah
Republik
Islam
Iran,
Kamis
3
September
2009.
Menteri perempuan yang disahkan tersebut adalah Marzieh Vahid Dastjerdi. Marzieh
menjabat sebagai menteri kesehatan. Marzieh merupakan salah satu dari 18 nominasi untuk
kabinet baru Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Marzieh pada pengalaman politiknya pernah
mengajukan proposal perawatan kesehatan terpisah di Iran, perempuan merawat perempuan
dan lelaki merawat lelaki. Sebuah gagasan yang bagus untuk melindungi kehormatan kaum
perempuan.
Beberapa penghargaan pemerintah terhadap perempuan pun salah satunya dengan
dibangunnya fasilitas khusus yang dibuat khusus untuk perempuan,
seperti transportasi
khusus perempuan, yaitu gerbong kereta yang khusus perempuan dan terpisah dari laki-laki.
Atas kemajuan perempuan Iran ini, Mentri Pemberdayaan Peremuan dan
Perlindungan Anak (Indonesia) Linda Amalia Sari Gumelar melakukan pertemuan dan
kerjasama dengan Kepala Pusat Urusan Perempuan dan Keluarga (Iran) Mojtehed.
Ketertarikannya untuk bekerjasama dengan Iran adalah karena penerapan sistem organisasi
perempuan di setiap departemen di Iran, yaitu setiap departemen atau lembaga pemerintah di
Iran memiliki centre of women office dan special advisor. Linda pun mengatakan,
Kami sangat cocok untuk bekerja sama dalam isu pemberdayaan perempuan dan
anak, lantaran Iran juga punya model yang bagus dalam pemberdayaan perempuan.
Dengan hadirnya sistem tersebut, setiap kebijakan yang keluar dari setiap departemen
di Iran, selalu diarahkan untuk tidak melupakan kepentingan perempuan dan jender.
Adapun di bidang pemberdayaan ekonomi perempuan, pemerintah Iran memiliki
kebijakan pemberian alokasi dana khusus bagi pemberdayaan ekonomi perempuan.
Alokasi dana itu diberikan terpisah dari program bantuan untuk usaha mikro dan
usaha kecil dan menengah (UKM) (Media Indonesia, 21 Oktober 2010)
Perempuan di Iran termasuk kategori yang maju dan berani untuk melakukan terobosanterobosan baru, jumlah lulusan perempuan di universitas sekitar 60% dari total sarjana atau
lebih tinggi daripada laki-laki yang hanya sebesar 40% (Media Indonesia, 21 Oktober 2010).
Apabila dibandingkan dengan posisi perempuan di berbagai negara, maka Iran dapat
dikatakan sebagai negara yang menghargai perempuan. Isu kesetaraan jender yang
berkembang dan diusung oleh para feminis merupakan suatu upaya perjuangan penyetaraan
yang apabila dikaji lebih jauh akan menimbulkan suatu kontradiksi dan kepincangan.
Perjuangan kesetaraan jender yang dikatakan untuk membela kaum perempuan justru banyak
yang melechkan dan merugikan kaum perempuan itu sendiri.
Dalam menjawab pertanyaan tentang bagaimana Iran memperlakukan perempuan dalam
politik, apakah kabinetnya akan diisi oleh perempuan, Ahmaddinejad menjawab,
Kita semua adalah bagian dari bangsa Iran, seharusnya kita tidak memiliki pandangan
yang bersifat jender (gender gaze), seluruh individu yang paling cocok dan paling
memenuhi kualifikasi (baik pria maupun wanita) akan dipilih. Diskriminasi (yang
didasarkan pada jender) pada kenyataannya akan selalu mempunyai konsekuensi
negatif (Chaidaroh, 2011:47).
Dalam beberapa hal jawaban Ahmaddinejad merupakan jawaban yang tepat untuk
pertanyaan kaum feminis, yaitu tentang keadilan tanpa mempertimbangkan jender, tapi
pertimbangan kualifikasi (kualitas dan kapabilitaas serta akseptabilitas). Apabila kaum
feminis berfikir objektif, jika yang diinginkan adalah kesetaraan dan persamaan, maka dalam
menduduki peran dan posisi sosial politik, faktor yang terpenting adalah kualitas, kapabilitas
dan akseptabilitas, bukan masalah ada atau tidak adanya wanita dalam posisi tersebut.
Sehingga konsekuensinya, adanya posisi semisal mentri pemberdayaan wanita, atau meminta
jatah kuota 30% merupakan isu yang menyalahi unsur kualitas, kapabilitas dan akseptabilitas.
Bahkan isu tersebut secara tidak langsung menunjukan kelemahan perempuan dengan
meminta-minta peran, posisi dan bagian bukan dengan menunjukan potensi atau kemampuan
dirinya. Tidaklah tepat bahwa hal-hal yang biasanya berkaitan dengan perempuan harus
perempuan pula yang mengurusinya karena laki-laki tidak akan memahami apa yang
diinginkan perempuan, pada faktanya banyak laki-laki yang mempunyai keahlian
dan
pengetahuan lebih dari perempuan itu sendiri, keadilan perempuan bukan lah berarti dengan
harusnya perempuan kembali yang memimpin, namun dengan memahaminya si pemimpin
terhadap kebijakan-kebijakan hakiki yang harus diambil demi tebangunnya pemerintahan
yang adil.
4.3 Aflikasi Wilayatul Faqih dalam Republik Islam Iran
4.3.1
Pencantuman Wilayatul Faqih Dalam Konstitusi Iran
Revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979, telah berhasil meruntuhkan
kekuasaan monarki absolut Dinasti Pahlevi. Revolusi Islam ini telah melahirkan paradigma
baru mengenai sistem pemerintahan di Iran. Sistem politik dan bentuk negara Iran berubah,
dari monarki absolut menjadi sebuah republik Islam. Perbedaan yang paling mencolok di
antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan sebuah negara sekuler, maka
Iran pasca-revolusi bisa disebut sebagai sebuah negara ―teo-demokratis‖ yang didominasi
kaum Mullah (ulama Syiah) (Sihbudi, 2004:149-150).
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran adalah sistem wilayatul faqih yang diatur
berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan (wilayatul al-amr), dan kepemimpinan agama.
Dalam konstitusi Iran, Undang-Undang Dasar harus mempersiapkan lahan bagi seorang faqih
yang memenuhi persyaratan yang diakui sebagai pemimpin oleh rakyat. Sebuah keyakinan
bahwa pengaturan urusan-urusan adalah ditangan orang-orang yang alim tentang Allah, yang
terpercaya dalam urusan yang menyangkut apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah,
sebagai bagian dari kewajiban Islam yang sejati, untuk mencegah setiap penyelewengan oleh
berbagai organ negara dan tugas-tugas Islam.
Imam Khomeini mempunyai peran sangat penting terhadap berdirinya Republik Islam
Iran. Dibawah pimpinan Imam Khomeini, seorang pemimpin besar keagamaan yang
keputusan-keputusannya diikuti, menyadarkan perlunya gerakan mengikuti akidah Islam
yang sejati dalam perjuangannya. Rencana pemerintahan Islam yang didasarkan wilayatul
faqih yang kemudian disarankan oleh Imam Khomeini pada puncak rezim Pahlevi,
memberikan motivasi dan harapan yang jelas terhadap masyarakat Iran akan adanya
perubahan pemerintahan di Iran (Satori, 2007:115).
Masih pada tahun 1979, pasca terjadinya revolusi, rumusan rancangan Konstitusi RII
yang telah ditulis sejak Imam Khomeini di Paris kemudian diumumkan. Begitu juga
rancangan UUD rumusan Dewan Revolusi (rancangan keempat) yang menjadikan semua
rumusan sebagai masukannya. Rumusan yang berisi 12 bab dan 151 pasal itu kemudian
dipublikasikan kepada masyarakat. Pasal ke-3 dan ke-15 rumusan ini menyebutkan bahwa
suara mayoritas merupakan prinsip negara dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara
keIslaman sistem negara didukung oleh Dewan Garda Republik Islam Iran. Namun di sana
tidak tercatat kata wilayatul faqih.
Imam Khomeini kembali memberikan waktu selama kurang lebih 1 bulan kepada
seluruh komponen masyarakat untuk memberikan masukan. Sejarah mencatat bahwa pada
musim panas tahun 1979, media massa dipenuhi oleh berbagai macam pandangan. Mereka
yang berlatar belakang agama memberikan penekanan lebih atas pengawasan faqih terhadap
sistem negara dibanding konstitusi bersyarat yang dihasilkan oleh revolusi konstitusi.
Perlahan-lahan kondisi ini bergeser dan mulai bermunculan pandangan dari sebagian mereka,
baik yang bukan dari kalangan rohaniwan. Mereka bersama-sama dengan para maraji’
memunculkan ide wilayatul faqih. Dan masalah ini terus bergulir bagai bola salju yang pada
akhirnya mereka meminta agar wilayatul faqih dimasukkan ke dalam rumusan UUD
Republik Islam Iran (Satori, 2007:116-117).
Menurut Yamani, konsep republik sebagaimana diterapkan dalam RII, telah
dimodifikasi dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama.
Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa
disebut sebagai Trias Politika. Adapun mengenai wilayatul faqih, pasal 5 konstitusi Iran
menyatakan bahwa selama gaibnya Shahib al-Zaman (Imam Mahdi), wilayah dan
kepemimpinan umat beralih ke faqih yang adil dan saleh, yang memahami benar keadaan
zamannya. Yang berani, cerdas, dan mampu memerintah, serta diakui dan diterima sebagai
pemimpin oleh mayoritas rakyat. Adapun yang dirujuk oleh pasal konstitusi ini adalah
tentang Imam Khomeini yang secara otomatis mengemban jabatan wali faqih tanpa proses
seleksi, bukan eleksi (pemilu) (Yamani, 2003:127).
Selain pendapat-pendapat di atas, menurut Lapadi, tiga marja yang berpengaruh di
antara maraji Qom, turut memainkan peran yang sangat penting bagi dimasukkannya prinsip
wilayatul faqih ke dalam UUD RII. Pertama, Ayatullah Golpaigani. Beliau dalam
manifestonya berkata,
Bila UUD secara sempurna tidak sesuai dengan undang-undang syariat maka
UUD seperti itu tidak boleh ditulis. Dan jika masalah asas negara yang
berlandaskan sistem Imamah dan wilayatul faqih tidak dijelaskan dalam UUD,
maka negara berdasarkan thagut dan zalim.
Kedua, Ayatullah Muntazeri yang mengeluarkan statemen berpengaruh dalam sejarah
dicantumkannya kata wilayatul faqih dalam UUD. Ringkasnya beliau menyebutkan,
…suara mayoritas berdasarkan hukum pemberi hidup Islam sebagai dasar
negara...Pada zaman kegaiban besar Imam, maka wilayah (kekuasaan) berada
pada mereka yang memiliki syarat-syarat berikut ini: (1) Orang yang memiliki
kemampuan dalam masalah agama dan mujtahid; (2) Adil dan bertakwa; (3)
Menguasai isu-isu dan dinamika politik.
Ketiga, pendapat yang muncul dari usulan-usulan Ayatullah Mar‘asyi Najafi. Salah
satu usulan beliau agar wilayatul faqih ditambahkan dalam UUD adalah; ―Wilayatul faqih
yang memenuhi segala syarat (jami’us syarait) di setiap masa adalah standar yang tidak dapat
diganggu gugat‖. Fatwa-fatwa ini kemudian diikuti oleh ulama lain dan masyarakat yang
sejak awal dekat dengan mereka dan semakin memperkuat tekanan untuk memasukkan kata
wilayatul faqih ke dalam rancangan UUD. Ditambah kelompok-kelompok lain di luar garis
rohaniwan yang ikut mendukung usulan ini (Satori, 2007:117-118).
Sejak perintahnya untuk menyiapkan rumusan UUD RII, sikap Imam Khomeini
sebagai founding father revolusi tetap berada pada jalurnya. Beliau mengamati proses
penulisan rumusan-rumusan yang ada secara detail dan memberikan masukan poin-poin
mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak. Pidato-pidatonya selalu berisikan
pencerahan
bahwa
yang
diinginkan
adalah
Islam.
Secara
perlahan-lahan
beliau
mengharapkan kesadaran masyarakat dan kaum elit untuk tetap berada pada jalur Islam. Hal
ini untuk juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan dan pengaruh pemikir-pemikir yang
berpihak ke Barat.
Peran ini secara cerdas dimainkan oleh Imam Khomeini hingga pada hari terakhir
pengumuman untuk mengusulkan poin-poin penting sejalan dengan draft UUD RII. Dalam
tanggapannya terhadap kalangan rohaniawan yang kecewa mengapa kata wilayatul faqih
tidak dicantumkan dalam rumusan UUD RII beliau menyampaikan sikapnya dengan ucapan
yang sangat arif namun memberikan jawaban yang sesungguhnya. Khomeini menjawab;
―Masalah wilayatul faqih adalah sekian dari masalah yang saat ini tidak tepat bila saya ikut
campur tangan, karena satu dan lain hal‖.
Kata Wilayatul Faqih pada akhirnya memang tidak secara resmi disebutkan sebagai
dasar negara, namun konsep-konsep dan ketentuan wilayatul faqih mewarnai system
pemerintahan Republik Islam Iran. Beberapa pasal yang menyatakan secara langsung tentang
konsep wilayatul faqih yaiu,
Pasal 5 UUD RRI, menyatakan,
selama masa ketidak hadiran imam yang ke dua belas (semoga Allah mempercepat
kedatangannya), dalam Republic Islam Iran wilayat dan kepemimpinan umat
merupakan tanggung jawab dari seorang faqih yang adil dan taqwa, mengenal zaman,
pemberani, giat, dan berkemampuan memerintah yang akan memegang tanggung
jawab jabatan ini sesuai dengan pasal 107.
Bab Delapan, Pemimpin dan Dewan Kepemimpinan, Pasal 107 UUD RII,
menyatakan,
setelah wafatnya marji’ al-taqlid terkemuka dan pemimpin besar revolusi Islam
universal, dan pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini –
quddisa sirruh al-syarif- yang diakui dan diterima sebagai marji‘ dan pemimpin olh
mayoritas besar rakyat, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak para ahli
yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan meninjau dan bermusyawarah diantara
sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi yang dikhususkan
dalam pasal 5 dan 109. dalam hal mereka mendapatkan satu diantara mereka lebih
ahli dalam pengaturan Islam, masalah fiqih, atau dalam urusan politik dan sosial, atau
memiliki popularitas umum, atau kemenonjolan khusus untuk salah satu dari
kualifikasi yang tersebut pada pasal 109. Mereka harus memilihnya sebagai
pemimpin. Bila tidak demikian halnya, dalam ketiadaan keunggulan semacam itu,
mereka harus memilih dan menyatakan satu diantara mereka sebagai pemimpin.
Pemimpin yang terpilih semacam itu oleh dewan ahli akan memegang semua
kekuasaan wilayatul-amr dan semua tanggung jawab yang timbul daripadanya.
Pemimpin sama dengan rakyat lainnya dalam negara di mata hukum.
Pasal 109 UUD RII menyatakan,
Persyaratan dan kualifikasi utama pemimpin ialah:
a. Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas-tugas mufti (pemberi fatwa)
dalam berbagai bidang fiqih.
b. Adil, taqwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan umat Islam.
c. Berwawasan politik dan sosial, bijaksana,
pemerintahan, dan cakap dalam kepemimpinan.
berani,
mampu
dalam
Dalam hal banyak orang memenuhi kualifikasi dan persyaratan tersebut di atas
maka orang yang lebih mahir dalam fiqih dan tajam pandangan politiknya yang
akan diutamakan.
4.3.2
Bentuk Pemerintahan Iran
Bulan Januari 1979, ketika menulis gagasannya mengenai draft konstitusi
pemerintahan Islam di tempat pengasingannya di Paris, Imam Khomeini ditanya mengenai
bentuk negara dan pemerintahan Islam apa yang di cita-citakannya, ia menjawab, "seperti
sepuluh tahun pemerintahan Rasulullah atau lima tahun pemerintahan Imam Ali bin Abi
Thalib".
Bagi Imam Khomeini, "Negara Islam" seperti Arab Saudi, Libia dan lainnya
bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut ditiru (Sihbudi,1991: 78).
Menurut Imam Khomeini dalam Satori, mengatakan bahwa bentuk pemerintahan
Islam setidaknya mencakup dua kriteria, Pertama, pemerintahan tersebut harus didasarkan
pemilihan umum. Khomeini berpendapat bahwa Seluruh anggota masyarakat ikut
bertanggungjawab atas terpilihnya seseorang yang mampu dan bersedia membentuk republik
tersebut. Seluruh rakyat memiliki hak untuk memilih dengan bebas.
Kedua, mengenai orang yang terpilih dan doktrin politik, ekonomi atau masalah sosial
lainnya, akan didasarkan pada ajaran Islam. Khomeini mengatakan,
Dalam pemerintahan yang demikian, pemerintah harus senantiasa melakukan
hubungan permanen dengan dewan hasil pilihan rakyat, yang bila mereka tidak
menyetujui mengenai suatu hal, pemerintah tak bias mengambil keputusan
sendiri. Dan ia yang dipilih rakyat untuk memimpin pemerintahan Islam harus
benar-benar memiliki berbagai kondisi yang menjamin kepatuhan kepada rakyat
Islam dan bukan mewakili sekelompok minoritas. Sedangkan konstitusi dalam
pemerintahan itu dibuat dengan prinsip-prinsip yang benar-benar terbukti berasal
dari Qur'an dan tradisi Islam (Satori, 2007:116).
Mengenai Bentuk Pemerintahan Iran, semenjak kemenangan revolusi Islam tahun
1979,
Imam Khomeini dan para founding father Republik Islam Iran dengan penuh
kesadaran memilih bentuk republik. Di satu sisi jelas ini merupakan bukti bahwa mereka
tidak tertutup dari gagasan politik baru, di sisi lain ini merupakan bantahan terhadap tuduhan
bahwa para tokoh revolusi Iran bermaksud menarik Iran mundur ke jaman abad pertengahan.
Republik dipilih tentu saja karena bentuk pemerintahan ini dianggap bisa menjadi wadah bagi
pemahaman mereka mengenai tata cara pengaturan negara modern yang sejalan dengan
konsep Islam mengenai masalah ini. Meskipun dalam kenyataannya ada banyak hal penting
yang perlu diperhatikan (Yamani,2002:127).
Konsep republik, sebagaimana di terapkan dalam Republik Islam Iran, telah di
modifikasikan dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama.
Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang biasa disebut Trias Politika (Yamani,2002:127).
Dalam hal persetujuannya dengan konsep demokrasi, di mana ditunjukan dengan
istilah-istilah republik, konstitusi, parlemen dan pemilu yang ada dalam system pemerintahan
Republik Islam saat ini bukan terletak pada kesepakatannya secara substansial mengenai
makna sebagaimana dipahami Barat. Menurut Khomeini sekalipun pemerintahan ini adalah
pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum berasal dari Tuhan. Oleh karena itu konstitusi
maupun peraturan perundang-undangan haruslah mengacu kepada hukum-hukum Tuhan,
yang tertera pada al-Qur'an dan Hadits serta Ijtihad ulama dalam hal ini faqih.
Menurut Imam Khomeini, negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam
adalah pemerintahan konstitusional, namun pengertian konstitusional dengan negara hukum
di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk
pada "hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas", tidak dikenal dalam sistem
pemerintahan Islam, karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum
Tuhan.
Dengan kata lain Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif-disamping sebagai
pemegang kedaulatan- tertinggi yang sebenarnya, bukan parlemen (Azzam,1983:128).
Singkatnya di dalam pemerintahan Islam, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif ada
pada faqih atau fuqaha yang menjalankan fungsi selaku wakil para Imam, maka kekuasaan
legislatif sepenuhnya berasal dari hukum Tuhan. Oleh sebab itu pemerintahan Islam juga
disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas manusia. Tetapi, bukan berarti tidak
diperlukan adanya parlemen. Parlemen diperlukan guna menyusun program untuk berbagai
kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di
seluruh negeri.
Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintahan memiliki tugas dan fungsi sebagai
berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga hukum Islam; (2) melaksanakan hukum
Islam; (3) membangun kembali tatanan yang adil; (5) memungut dan memanfaatkan pajak
sesuai dengan ajaran Islam; (6) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan
kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam; (7) memajukan pendidikan; (8)
memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (9) memberikan perlakuan
yang sama terhadap semua warga negara tanpa diskriminasi; (10) memecahkan masalah
kemiskinan; dan (11) memberi pelayanan kemanusiaan secara umum (Satori, 2007:124).
Adapun berdasarkan asas-asas umum, sistem pemerintahan Republik Islam Iran, yaitu
sebagai berikut,
BAB 1
Asas-Asas Umum Konstitusi Iran
Pasal 1
Pemerintahan Iran adalah Republik Islam, yang telah disepakati oleh rakyat
Iran, berdasarkan keyakinannya yang abadi atas pemerintahan Al-Qur‘an yang benar
dan adil, menyusul revolusi Islam yang jaya yang dipimpin oleh Ayatullah al-‘Uzma
Imam Khomeini, yang dikukuhkan oleh referendum nasional yang dilakukan tanggal
29 dab 30 Maret 1979 bertepatan dengan 1 dan 2 Djumadil Awal tahun 1399 H, yang
ditentukan oleh mayoritas 98, 2% dari jumlah suara orang-orang yang berhak memilih
memberikan suara persetujuannya.
Pasal 2
Republik Islam Iran menerapkan suatu sistem yang berasaskan hal-hal sebagai
berikut;
1. Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (seperti yang terpantul dari kaimat
‘Laailaaha illallāh’). Kemahakuasaan-Nya dan Syari‘at-Nya hanyalah milik-Nya
semata-mata dan kewajiban mentaati perintah-Nya.
2. Wahyu Ilahi dan peranannya yang mendasar dalam mengekspresikan dan
menetapkan hukum perundang-undangan.
3. Qiyamah (kebangkitan di akhirat) dan peranan konstruktifnya dalam evolusi
menuju Tuhan yang berarti kembali kepada Allah di alam Baka‘
4. Keadilan Allah dalam Penciptaan dan Syari‘ah
5. Imamah dan Kepemimpinan positifnya serta peranannya yang terus menerus
dalam kelanjutan Revolusi Islam.
6. Keagungan martabat dan nilai- nilai luhur kemanusiaan yang ada pada manusia
dan kehendak bebas bersama tanggung jawab yang berkaitan dengan itu
dihadapan Tuhan, yang mempersiapkan tegaknya keadilan, kemerdekaan politik,
ekonomi, sosial dan kultural, serta kesatuan nasional, melalui hal-hal sebagai
berikut:
a. Praktek ijtihad yang berlanjut dari fuqaha yang memenuhi syarat
berdasarkan Al-Qur‘an, Hadits Nabi dan para Imam
b. Memanfaatkan pengetahuan dan teknologi serta pengalaman-pengalaman
insani yang telah maju serta usaha-usaha yang dilakukan ke arah
pengembangannya untuk terus memajukannya.
c. Menghapus segala macam penindasan serta penyerahan kepada
penindasan, menghapus tirani dalam penerapan maupun penerimaannya.
Bentuk dan asas-asas umum pemerintahan Republik Islam Iran semuanya mengacu
pada konsep-konsep wilayatul faqih. Penggabungan antara konsep-konsep pemerintahan
dengan konsep yang bukan dari Islam, selalu didasarkan atas penyaringan dan pengkajian
terlebih dahulu sehingga apapun yang diadopsi tidak keluar dari jalur aturan Islam yang
dipahami oleh para Faqih Syiah Iran tersebut.
4.3.3
Struktur Politik Iran Pasca Revolusi
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada di tangan
Imam (pemimpin dalam arti pemimpin spiritual bukan imam sebagaimana keyakinan umat
Syiah) atau dewan kepemimpinan (Syura-e-rahbari). Hal ini memang sesuai dengan mazhab
ajaran Syiah yang menerapkan prinsip imamah (keimaman) sebagai salah-satu ajaran
utamanya. Pasal 5 Konstitusi Iran 1979 menyebutkan:
Selama ketidakhadiran Imam yang kedua belas (semoga Allah mempercepat
kedatangannya, dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan
pimpinan ummat merupakan tanggung jawab dariseorang faqih (ahli hukum
Islam) yang adil dan taqwa, mengenai zaman, pemberani, giat dan berinisiatif
yang dikenal dan diterima oleh mayoritas ummat sebagai imam (pemimpin)
mereka. Apabila faqih seperti itu tidak mempunyai mayoritas semacam itu, suatu
Dewan Pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat
tersebut diatas akan memegang tanggungjawab itu.
Selanjutnya dalam pasal 107 disebutkan antara lain,
Jika seseorang ahli agama memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal
5…sebagaimana halnya otoritas keagamaan yang menonjol (marja’i) dan
pemimpin Revolusi Ayatullah Uzma Imam Khomeini.
Pemimpin ini
berkedudukan wilayatul faqih…apabila tidak demikian halnya maka tiga atau
lima marja’i yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan akan dipilih untuk
jabatan anggota dewan pimpinan dan diperkenalkan kepada rakyat.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut. Jelas kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran
berada di tangan Imam. Semasa hidupnya Imam Khomeini selain berkedudukan sebagai
Imam, juga sebagai wilayatul faqih. Kekuasaan Imam atau pemimpin tidak diperoleh melalui
suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat. Ayatullah Imam Khomeini,
misalnya muncul sebagai penguasa tertinggi, karena dinilai berhasil memimpin revolusi
Islam yang menggulingkan rezim monarki Syah Iran dan membentuk sebuah republik Islam,
sehingga Khomeini juga mendapat gelar sebagai ―Pemimpin Revolusi Islam Iran‖ dan
―Bapak Pendiri Republik Islam Iran‖. Meskipun demikian walaupun Imam Khomeini tidak
memegang jabatan formal, baik sebagai Presiden ataupun Perdana Menteri, tetapi kekuasaan
Khomeini sangatlah besar (Sihbudi,1989:63).
Munculnya
Imam
Khomeini
sebagai
pemimpin
kharismatis,
yang
dapat
mempersatukan rakyat Iran, di sisi lain menimbulkan kesulitan bagi para pemimpin Iran
dalam mencari penggantinya. Pasal 5 dan 107 Konstitusi Iran 1979 bahkan menyebutkan
bahwa dalam hal tidak ada seorang yang dianggap tepat untuk menggantikan Khomeini,
maka harus dibentuk suatu Dewan Kepemimpinan (Council of Leadership) yang terdiri dari
tiga atau lima orang ulama, untuk menggantikan posisi Imam Khomeini jika ia meninggal.
Kekuasaan Imam sangatlah besar seperti terlihat dari sejumlah wewenang yang
dimilikinya, sebagaimana tercantum dalam pasal 110 yang antara lain menyebutkan:
mengangkat fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shuraye-Nigahban); Fuqaha
merupakan bentuk jamak dari faqih (ahli hukum Islam); marja’i adalah ahli agama
yang menjadi panutan; sedangkan wilayatul faqih berarti faqih yang alim, adil takwa
dan saleh, mengenal zam,an, pemberani, aktif, berinisiatif, yang paling menonjol,
dikenal, dan di;akui sebagai pemimpin atau Imam (Konstitusi Iran, 1979: 67-68)
mengangkat pejabat kehakiman tertinggi negara; mengangkat dan memberhentikan
Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam; membentuk
Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional; menyatakan perang dan damai; serta
mengesahkan dan memberhentikan presiden (Sihbudi,1989:64).
Menurut Satori, (2007:127-129) menyatakan bahwa pada masa Kekuasaan Imam
Khomeini, ada tiga lembaga yang sangat penting yang ada dalam pemerintahan Republik
Islam Iran, yaitu: Dewan Revolusi Islam (Revolutionary Council), Partai Republik Islam
(Islamic Republic Party), dan Pasadran (Pasukan Pengawal Revolusi Islam).
Revolusi Iran (DRI) dibentuk tiga bulan sebelum kejatuhan Syah.
Dewan
Dewan ini dibentuk
dengan tujuan meletakan dasar-dasar negara Republik Islam Iran sebagaimana dikehendaki
Khomeini dalam gagasannya tentang wilayatul faqih. Setelah berfungsinya pemerintahan
Republik Islam Iran, DRI mulai menjalankan peranannya sebagai lembaga legislatif, dengan
tugas utama membuat rancangan Undang Undang Dasar, mempersiapkan referendum, dan
menjalankan pemerintahan sementara, namun setelah kejatuhan Presiden Mehdi Bazagan,
DRI memegang peranan sebagai lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sekaligus. Peranan
ini dijalankan sampai berakhirnya masa tugas dewan ini, yaitu setelah terbentuknya parlemen
hasil pemilihan umum tahun 1980. Setelah itu DRI kemudian dibubarkan oleh Imam
Khomeini.
Setelah Dewan Revolusi Islam dibubarkan, Partai Republik Islam (PRI) merupakan
partai yang dominan di Iran yang dijadikan basis utama kelompok mullah yang berhasil
menyingkirkan kekuatan nasionalis dan berhasil menduduki poisisi-posisi penting. Kemudian
partai ini terpecah menjadi dua fraksi, yaitu: Maktabiyah dan Hujatiyah. Keduanya saling
bersaing dalam merebutkan sejumlah posisi. Maktabiyah merupakan fraksi yang radikal yang
didukung mullah berhaluan keras, sedangkan hujatiyah merupakan fraksi yang lebih moderat.
Namun meskipun terjadi pertentangan tetapi kedua fraksi ini sepakat dalam hal-hal:
kepemimpinan Khomeini, perlunya mempertahankan Republik Islam Iran, dan keterlibatan
kaum mullah dalam politik.
Selanjutnya adalah Pasadran yang dibentuk pada Maret 1979, dengan tugas
melindungi Revolusi dan hasil-hasilnya, sebagaimana dinyatakan dalam Kontitusi RII, pasal
150. pembentukan pasadran setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh dua hal: pertama, untuk
menyatukan kelompok-kelompok bersenjata (milisi), kedua, untuk memperkuat angkatan
bersenjata Iran.
Pasadran mempunyai tugas utama membantu Angkatan Bersenjata Iran
dalam memelihara perdamaian dan kemerdekaan negara, serta melawan musuh-musuh dari
luar. Tugas lain Pasadran adalah menumpas apa yang disebut kaum kontra revolusioner,
yaitu geriliya Mujahidin dan Feydan Halq serta suku Kurdi.
Dalam hal ini Pasdaran
berfungsi menjaga kepentingan kaum mullah (Satori,2007:127-128).
Dalam prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul faqih) dan keutamaan hukum Islam
di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi republik Islam mempunyai
pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada pasal 56 UUD RII, mengenai kedaulatan
nasional dan kekuasaan yang berasal dari padanya, telah jelas disebutkan bahwa kedaulatan
adalah di tangan Allah Yang Maha Kuasa, yang kekuasaannya atas umat manusia dan di
dunia ini adalah mutlak. Adapun tiga kekuasaan dalam Republik Islam Iran adalah kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, yang dilaksanakan di bawah
pengawasan wilayatul al-amr yang mutlak dan kepemimpinan umat sesuai dengan pasalpasal yang menyusul dalam Undang Undang Dasar RII. Dalam pelaksanaannya ketiga
lembaga ini independen satu sama lainnya, dan presiden adalah penghubung diantara
ketiganya.
Kekuasaan legislatif melaksanakan prosedurnya melalui Majelis Syura Islami yang
terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih. Perundang-undangan yang disahkan oleh majelis
diteruskan kepada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif untuk penerapannya, setelah
menyelesaikan berbagai tahap. Dalam masalah-masalah penting mengenai masa depan
negara, persetujuan undang-undang itu dapat diperoleh dengan rujukan langsung kepada
suara rakyat. Permintaan untuk melakuksn referendum harus disetujui oleh dua pertiga dari
seluruh jumlah anggota Majelis.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh presiden dan para menteri, kecuali dalam halhal dimana pemimpin secara langsung bertanggungjawab menurut Undang-undang.
Kekuasaan yudikatif dilaksanakan melalui pengadilan, yang harus didirikan di atas dasar
presep-presep Islam dan yang akan menyelesaikan persengketaan, melindungi hak-hak umum
dan perluasan wilayah, administrasi keadilan, serta pelaksanaan perintah-perintah Ilahi.
Ketiga lembaga negara tersebut di atas, mempunyai kedudukan dan fungsinya
masing-masing. Dan semua lembaga dalam RII mengacu pada konsep wilayatul faqih dimana
terintegrasi kesatuan antara para faqih dan keikutsertaan rakyat dalam bentuk pemerintahan
Republik Islam Iran.
Model Kekuasaan Wilayatul Faqih Imam Khomeini
ALLAH
Pemegang Kedaulatan
NABI
12 IMAM
ULAMA
Pemegang Kekuasaan
(Perwakilan
Umum)
UMMAT
(Sumber: Satori, 2007:91 )
Berikut bagan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran:
ALLAH
NUBUWWAH
IMAMAH
DEWAN AHLI
Majlis e-Khubregan
Wilayatul Al-Faqih
Presiden &
Dewan wali
perdana mentri
(syura-ye
Negahban)
EKSEKUTIF
Dewan maslahat
(the council of expediency)
(syura-ye maslahat)
LEGISLATIF
Parlemen
Badan-badan
(majlis syuraye Islami)
yudikatif
YUDIKATIF
Catatan : Anggota Dewan Ahli, Presiden, dan anggota Parlemen dipilih dalam
pemilu langsung
(sumber: Yamani, 2003:164)
Download