II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perdagangan 1. Pengertian Perdagangan secara Umum Perdagangan atau perniagaan pada umumnya ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu ditempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Dalam Buku I Bab 1 Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 KUHD diatur tentang pedagang dan perbuatan perdagangan. Pedagang adalah orang yang melakukan perbuatan perdagangan sebagai pekerjaan sehari-hari (Pasal 2 KUHD). Pengertian perdagangan atau perniagaan dalam Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah membeli barang untuk dijual kembali dalam jumlah banyak atau sedikit, masih berupa bahan atau sudah jadi, atau hanya untuk disewakan pemakaiannya. Perbuatan perdagangan dalam pasal ini hanya meliputi perbuatan membeli, tidak meliputi perbuatan menjual. Menjual adalah tujuan dari perbuatan membeli, padahal menurut ketentuan Pasal 4 KUHD perbuatan menjual termasuk juga dalam perbuatan perdagangan.5 Perbuatan perdagangan dalam Pasal 4 KUHD meliputi: a) Kegiatan jasa komisi; b) Jual beli surat berharga; c) Perbuatan para pedagang, pemimpin bank, bendahara, makelar; 5 Abdulkadir Muhammad, Hukum perusahaan Indonesia, cet.4, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 13. 10 d) Pemborongan pekerjaan bangunan, makanan dan minuman keperluan kapal; e) Ekspedisi dan pengangkutan barang dagangan; f) Menyewakan dan mencarterkan kapal; g) Perbuatan agen, muat bongkar kapal, pemegang buku, pelayan, pedagang, urusan dagang para pedagang; h) Semua asuransi. Ketentuan Pasal 4 KUHD memperluas pengertian perbuatan perdagangan yang dirumuskan dalam Pasal 3 KUHD. Pasal 5 KUHD mengatur kewajiban yang timbul, antara lain tabrakan kapal atau mendorong kapal lain, pertolongan dan penyimpanan barang dari kapal karam, atau penemuan barang di laut, membuang barang ke laut. Dalam penerapannya, ketentuan Pasal 3 dan 4 KUHD ternyata menimbulkan banyak kesulitan, antara lain: a) Pengertian barang yang ditentukan dalam Pasal 3 KUHD hanya meliputi barang bergerak, padahal dalam masyarakat banyak terjadi perdagangan barang tidak bergerak, seperti tanah, gedung, rumah dan lain sebagainya. b) Pengertian perbuatan perdagangan dalam Pasal 3 KUHD hanya meliputi perbuatan pembeli, tidak meliputi perbuatan menjual. Padahal dalam Pasal 4 KUHD, perbuata menjual termasuk juga dalam perbuatan perdagangan. c) Perbuatan perdagangan dalam Pasal 2 KUHD hanya dilakukan pedagang. Padahal dalam Pasal 4 KUHD perbuatan Perdagangan juga dilakukan bukan oleh pedagang, misalnya mengenai komisi, makelar, dan pelayan.6 6 Ibid, hlm. 14-15. 11 d) Jika terjadi perselisihan antara pedagang dan bukan pedagang mengenai pelaksanaan perjanjian, KUHD tidak dapat diterapkan kearena hanya diberlakukan bagi pedagang yang pekerjaan sehari-harinya melakukan perbuatan perdagangan.7 Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menyempurnakan ketentuan diatas maka perbuatan perdagangan juga dirumuskan dalam beberapa peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 1 butir 1 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 23/MPM/Kep/1998 tentang LembagaLembaga Usaha Perdagangan, perdagangan adalah kegiatan jual beli barang dan/atau jasa yang dilakukan secara terus-menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi. Kegiatan perdagangan tentu saja mencakup juga kegiatan jual beli, karena pada dasarnya jual beli merupakan bagian dari perdagangan. Menurut Burgerlijk Wetboek (BW) jual beli adalah perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lainnya berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut, sedangkan menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) jual beli merupakan suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain membayar harga yang telah djanjikan.8 Berdasarkan pada rumusan tersebut, dapat kita ketahui bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk 7 8 Ibid. Gunawan Widjaja, Jual Beli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 7. 12 memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kegiatan perdagangan dan jual beli merupakan kegiatan ekonomi yang mempunyai keterkaitan antara satu dengan lainnya, karena kegiatan perdagangan yang utama adalah membawa barang-barang dari produsen (penghasil) ketempat-tempat konsumen (pemakai), sedangkan kegiatan jual beli yang terpenting adalah mengecerkan barang secara langsung. Berbeda dengan perdagangan yang hanya terbatas pada kegiatan menjual kembali, jual beli memiliki arti yang lebih luas. Dalam kegiatan jual beli, pembeli tidak hanya dapat secara langsung memanfaatkan atau menggunakan barang yang telah dibelinya, tetapi pembeli juga dapat menjual ataupun menyewakan barang tersebut untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan sifatnya, perdagangan terbagi menjadi dua macam yaitu perdagangan yang bersifat nasional dan perdagangan yang bersifat internasional. Dikatakan bersifat nasional, apabila terjadi antara penjual dan pembeli dalam wilayah Negara yang sama, sedangkan perdagangan yang bersifat internasional, apabila terjadi antara penjual dan pembeli yang bertempat tinggal di dalam wilayah Negara yang berlainan (perdagangan antarnegara). Perdagangan dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: a) Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang: 13 (a) Perdagangan mengumpulkan (produsen-tengkulak-pedagang besar- eksportir); (b) Perdagangan menyebarkan (importir-pedagang besar-pedagang menengahkonsumen). b) Menurut jenis barang yang diperdagangkan: 1) Perdagangan barang (yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan jasmani manusia, seperti hasil pertanian, pertambangan, dan pabrik); (2) Perdagangan buku, musik, dan kesenian; (3) Perdagangan uang dan surat-surat berharga (bursa efek). c) Menurut daerah/tempat perdagangan itu dijalankan: (1) Perdagangan dalam negeri (perdagangan nasional); (2) Perdagangan luar negeri (perdagangan internasional), yang meliputi: perdagangan ekspor dan perdagangan impor. (3) Perdagangan meneruskan (perdagangan transito) yaitu perdagangan yang mendatangkan barang dari luar negeri untuk dijual kembali keluar negeri. Perdagangan luar negeri adalah Perdagangan yang mencakup kegiatan ekspor dan/atau impor atas barang dan/atau perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara. Pemerintah mengatur kegiatan perdagangan luar negeri melalui kebijakan dan pengendalian dibidang ekspor dan impor. Pengendalian perdagangan luar negeri meliputi: 1. Perizinan; 2. Standar; serta 3. Pelarangan dan pembatasan (lartas). 14 2. Pengertian Perdagangan Ekspor dan Impor (a) Perdagangan Ekspor Menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian ekspor juga dijumpai dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 146/MPP/IV/99 tanggal 22 April 1999 tentang Ketentuan Umum di bidang Ekspor. (b) Perdagangan Impor Perdagangan impor adalah kegiatan perdagangan yang dilakukan dengan cara membeli barang dari luar negeri kemudian memasukkan barang tersebut ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk kemudian diperdagangkan kepada masyarakat (konsumen). Pengertian impor menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. 3. Dasar Pengaturan Perdagangan Ekspor Impor9 Dalam menggiatkan kegiatan perdagangan internasional terutama ekspor impor, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai dasar pengaturan. Bentuk kebijaksanaan pemerintah tersebut diantaranya: 9 http://repository.usu.ac.id 15 a) Inpres No. 4 Tahun 1985, yaitu tentang penyempurnaan dalam tata cara pelaksanaan ekspor impor terutama tentang pemeriksaan barang ekspor impor. b) Paket Kebijaksanaan Mei (PAKEM) tahun 1986, yaitu tentang tata cara permohonan pengembalian bea masuk atau pembebasan bea masuk tambahan. c) Paket Kebijaksaan Desember (PAKDES) tahun 1987, yaitu tentang kelonggaran yang diberikan berkaitan dengan ekspor impor. d) Paket Kebijaksanaan Oktober (PAKTO) tahun 1988, yaitu tentang perubahan dalam tata cara dan kemudahan ekspor impor. Berdasarkan kebijaksanaan diatas, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan ekspor impor antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan 3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136/MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/MPP/Kep/10/ 2000 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping, 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia, Nomor 16 6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia, 7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 261/MPP/kep/9/1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi,10 8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan 9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M- Dag/per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asala (certificate of origin), terhadap barang impor yang dikenakan tindakan pengamanan (safeguard), 10. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 54/M- DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, serta 11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 12. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M- DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. 4. Subyek Perdagangan Impor a) Pelaku Usaha Undang-Undang Perlindungan konsumen (UUPK) menggunakan istilah pelaku usaha, istilah ini memiliki abstraksi yang tinggi karena dapat mencakup berbagai istilah seperti produsen (producer), pengusaha atau pebisnis (bussinessman), 10 Dumping adalah kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang ke luar negeri lebih murah daripada dijual di dalam negeri. 17 pedagang (trader), eksportir, importir, penjual (seller), pedagang eceran (retailer), pembuat barang-barang jadi atau pabrikan (manufacturer), penyedia jasa, perajin (crafter). Pasal 1 Angka 3 UUPK mengartikan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian tersebut adalah Perusahaan, Korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Koperasi, Importir, Pedagang, Distributor, dan lain-lain. Berkaitan dengan hal diatas, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) membagi pelaku usaha tersebut kedalam 3 (tiga) kelompok besar pelaku usaha ekonomi, antara lain sebagai berikut: (1) Pihak Investor yaitu penyedia dana untuk digunakan pelaku usaha atau konsumen seperti bank, lembaga keuangan non-bank, dan para penyedia dana lainnya; (2) Pihak Produsen yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa seperti penyedia jasa kesehatan, pabrik sandang, pengembang perumahan, dan sebagainya; (3) Pihak distributor yaitu pelaku usaha yang mengedarkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti warung, toko, kedai, supermarket, pedagang kaki lima, dan lain-lain.11 11 Jonathan Eliezer, op.cit, hlm.22. 18 Pelaku usaha pakaian impor bekas adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang impor pakaian bekas dan mengedarkan atau memperdagangkan pakaian impor bekas tersebut kepada masyarakat dengan maksud memperoleh keuntungan. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut jelas telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 yang dipertegas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/MDAG/PER/7/2015 Tahun 2015 tentang larangan impor pakaian bekas. Dalam peraturan tersebut jelas dikatakan bahwa impor barang harus dalam keadaan baru, pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam usaha menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen serta melindungi kepentingan subyek perdagangan khususnya konsumen pakaian impor bekas, maka UUPK telah merumuskan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen yang harus terpenuhi oleh subyek perdagangan pakaian impor bekas. 1) Eksportir dan Importir Eksportir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha atau instansi yang melakukan kegiatan penjualan, pengiriman dan/atau pengeluaran barang atau produk dari batas wilayah suatu negara ke negara yang lain. Disebutkan dalam Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Perdagangan, eksportir diartikan sebagai orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan ekspor, sedangkan importir 19 dalam Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Perdagangan diartikan sebagai orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor, dengan kata lain importir adalah seseorang atau badan usaha yang melakukan kegiatan memasukkkan barang dari luar negeri kedalam negeri untuk diperdagangkan. Macam-macam importir yaitu: (a) Importir Umum (IU) yaitu importir yang mendapatkan ijin dalam Perdagangan Umum, mengimpor barang dengan maksud diperdagangkan. (b) Importir Terbatas (IT) yaitu importir yang mendapatkan ijin perdagangan Umum dengan tugas khusus mengimpor barang tertentu yang diarahkan oleh pemerintah. (c) Importir Produsen (IP) yaitu produsen yang mendapatkan izin untuk mengimpor sendiri barang yang diperlukan dalam proses produksinya. (d) Produsen Importir (PI) yaitu produsen yang mendapatkan izin untuk mengimpor barang yang sejenis dengan yang dihasilkannya (produksinya). (e) Agent Tunggal (AT) yaitu perusahaan yang mendapatkan izin untuk melaksanakan impor barang yang diageninya dan diakui sebagai agent tunggal oleh menteri Perindustrian dan perdagangan. 20 2) Hak Pelaku Usaha Hak pelaku usaha dalam UUPK merupakan hak-hak yang bersifat umum dan sudah menjadi standar. Hak-hak pelaku usaha atau pelaku bisnis dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut: (a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. (b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. (c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. (d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.12 3) Kewajiban Pelaku Usaha Kewajiban pelaku usaha, meliputi pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, ditambah dengan kewajiban lainnya yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan konsumen. Adapun kewajiban pelaku usaha yaitu: (a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. (b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 12 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 196. 21 (c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. (d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. (e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan. (f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. (g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.13 b) Konsumen Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok 13 Ibid. 197. 22 mana pengguna tersebut.14 Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur definisi konsumen: a. Setiap Orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3) UUPK, yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata-kata “ orang-perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang-perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. b. Pemakai Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).15 14 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hlm. 22. 15 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 4-9. 23 Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak sertamerta hasil dari transaksi jual beli, artinya sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu, dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). c. Barang dan/atau Jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/ atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.” Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat, artinya harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. d. Yang Tersedia dalam Masyarakat Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK, barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. 24 e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain.16 Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan mahkluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen diberbagai negara, meskipun pada kenyataannya masih sulit menetapkan batasanbatasan seperti itu.17 Pengertian konsumen sebenarnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, antara lain sebagai berikut: (1) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu; (2) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang dan/atau jasa untuk tujuan memperdagangkannya (distributor) Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; 16 17 Ibid. Ibid. dengan tujuan komersial. 25 (3) Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.18 Istilah konsumen yang dimaksud dalam UUPK berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) merupakan konsumen akhir, kemudian dikaitkan dengan istilah pemakai, pengguna, atau pemanfaat, oleh UUPK tidak diberi penjelasan. Berkaitan dengan hal tersebut, Departemen Kehakiman membuat definisi tentang istilah-istilah tersebut, antara lain sebagai berikut: (1) Pemakai, yaitu setiap konsumen yang memakai barang yang tidak mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang, papan, alat transportasi, dan sebagainya. (2) Pengguna, yaitu setiap konsumen yang menggunakan barang yang mengandung listrik atau elektronika seperti lampu listrik, komputer dan berbagai produk baru lainnya yang menggunakan listrik sebagai sumber tenaga. (3) Pemanfaat, yaitu setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen, seperti jasa kesehatan, jasa jasa transportasi, jasa perbankan, dan produk jasa lainnya.19 Secara umum, konsumen dapat diartikan setiap orang yang menggunakan atau memakai suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, yang menjadi penekanan dalam pengertian konsumen adalah aktifitas atau kegiatan yang memakai atau menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa. 18 Jonathan Eliezer HG, Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Produk Obat Kuat Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Skripsi), (Depok: Universitas Indonesia, 2011), hlm. 20, www.digilib.ui.ac.id 19 Ibid, hlm. 21. 26 Konsumen pakaian impor bekas adalah setiap orang yang menggunakan atau memakai pakaian impor bekas. Konsumen membeli pakaian impor bekas dari pelaku usaha dengan harga yang murah dan kualitas pakaian yang baik. Pakaian impor bekas yang digunakan oleh konsumen tersebut berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Pelaku usaha pakaian impor bekas telah melanggar hak-hak konsumen yang tercantum dalam UUPK, salah satu hak yang dimiliki oleh konsumen yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Seperti halnya pelaku usaha, konsumen pakaian impor bekas juga memiliki hak dan kewajiban yang telah ditentukan dalam UUPK. 1) Hak Konsumen Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Hak Konsumen sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 4 UUPK adalah:20 (a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; (b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 20 Zaeni Asyhadie, op.cit, hlm. 194. 27 (d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. (e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; (f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; (g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak didiskriminatif; (h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; (i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.21 Hak untuk mendapatkan kompensasi (The Right to Redress) adalah salah satu hak tambahan bagi konsumen yang telah diakui secara universal diseluruh dunia. Di Indonesia, Pasal 1365 BW menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membuat kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.22 UUPK lahir untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari perilaku pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen, namun masih ada saja pelaku usaha yang sering kali tidak berorientasi pada konsumen dan memberikan ketidak tahuan konsumen mengenai hak-haknya yang sengaja ditutup-tutupi demi memperoleh laba. 21 Ibid. Hlm. 195. Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.389. 22 28 2) Kewajiban Konsumen Kewajiban konsumen seperti yang tertuang di dalam Pasal 5 UUPK adalah: (a) Membaca atau mengikuti petunjuak informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. (b) Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. (c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. (d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya, dengan mengabaikan pengaturan kewajiban ini, konsumen yang bersangkutan dapat menderita kerugian dalam mengkonsumsi produk akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Mengenai kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen kemungkinan terjadinya kerugian bagi produsen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha). 29 Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya dilakukan oleh konsumen. Kewajiban seperti ini yang diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen dalam mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 5. Obyek Perdagangan Impor UUPK dalam memberikan perlindungan selain berorientasi pada subyek hukum juga pada obyek hukum. Obyek hukum perdagangan impor berupa produk yang terdiri atas barang-barang dan jasa-jasa. Terkait dengan barang sebagai obyek perdagangan impor, terdapat jenis barang yang diperbolehkan untuk diperdagangkan dan terdapat pula jenis barang yang tidak diperbolehkan untuk diperdagangkan. a. Barang yang Diperbolehkan untuk Diperdagangkan Hukum perlindungan konsumen sangat peduli terhadap dampak atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan atau pemanfaatan suatu produk terhadap konsumen. Obyek perdagangan (produk) yang akan dibahas secara khusus dalam penelitian ini yaitu berupa barang. Produk berupa barang-barang dalam UUPK diberikan pengertian yang luas, tidak hanya dibedakan dari sifatnya yaitu barang bergerak (movable) dan tidak bergerak (immovable), tetapi juga barang yang berwujud (tangible) dan tak berwujud (intangible). Barang sering digunakan untuk mengartikan kebendaan yang berwujud, adapun ciri-ciri tertentu yang terdapat pada barang ialah: 1) Dapat ditangkap oleh panca indera; 30 2) Dapat dijadikan sebagai obyek transaksi dagang; 3) Ada susunan, bentuk, dan kegunaan; 4) Dibungkus atau kemasan yang terdiri dari susuna bahan, bentuk, alat pembungkusnya; 5) Memiliki nama dan tanda yang dapat dibedakan dari sifat dan asalnya; 6) Pengawasan produk; 7) Dipasarkan, dapat melalui impor dan ekspor. Arti barang dalam UUPK adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian tentang barang dalam UUPK juga terkait dengan pengertian barang menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang barang, keduanya sama-sama memasukkan unsur dapat untuk diperdagangkan. Arti barang menurut Undang-Undang Barang adalah semua barang yang diperdagangkan atau ditujukan atau diperdagangkan.23 Pasal 4 ayat (2) Permendag 48 tahun 2015 tentang Ketentuan Umum Bidang Impor menyebutkan bahwa semua barang dapat menjadi obyek perdagangan impor, kecuali barang yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undangundang. a. Barang yang Tidak Diperbolehkan untuk Diperdagangkan Barang merupakan obyek perdagangan impor, dimana semua jenis barang dapat menjadi obyek perdagangan impor kecuali barang yang dilarang, dibatasi, atau 23 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007), hlm. 67-69. 31 ditentukan lain oleh undang-undang. Pemerintah dapat melarang impor barang untuk kepentingan nasional dengan alasan sebagai berikut: b. Untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; c. Untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau d. Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan hidup. Dalam pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perdagangan, disebutkan bahwa pemerintah dapat membatasi impor barang sebagaimana dimaksud dengan alasan: (a) Untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri; (b) Untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan. Barang yang dilarang untuk diimpor yaitu: (a) Barang Gombal, seperti: ballpress, pakaian bekas. Dasar Hukum: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 642/MPP/Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya, Permendag Nomor 51/MDAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. (b) Limbah B3, seperti: minyak petroleum dan minyak yang diperoleh dari mineral yang mengandung bitumen, sisa dan skrap dari sel primer, baterai primer dan akumulator listrik. Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun j.o. Peraturan Pemerintah 32 Nomor 85 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). (c) Mesin yang menggunakan BPO, seperti: mesin pengatur suhu ruangan, lemari pendingin, peti kemas dengan perlengkapan pendingin. Dasar Hukum: Kepmenperindag RI Nomor 111/MPP/Kep/1/1998 tentang Perubahan Kepmenperindag Nomor 230/MPP/Kep/9/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya j.o. Kepmenperindag Nomor 411/MPP/Kep/9/1998 tentang Perubahan Kepmenperindag Nomor 111/MPP/Kep/1/1998 tentang Perubahan Kepmenperindag Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 j.o. Kepmenperindag Nomor 789/MPP/Kep/12/2002 tentang Perubahan Kepmenperindag Nomor 111/Mpp/Kep/1/1998 Tentang Perubahan Kepmenperindag Nomor 230/Mpp/Kep/7/1997 sebagaimana telah diubah dengan Kepmenperindag Nomor 411/Mpp/Kep/9/1998, serta Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 55/M-Dag/PER/9/2014 tentang Ketentuan Impor Barang. (d) Udang dengan spesies tertentu, seperti: udang kecil dan udang biasa (dari spesies Penaeus Vanamae) segar, dingin, maupun beku. Dasar Hukum: Peraturan Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52/M-DAG/PER/12/2010 dan Nomor 33 PB.02/MEN/2010 tentang Larangan Impor Udang Spesies Tertentu ke Wilayah Republik Indonesia.24 Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan benda sebagai obyek perdagangan impor adalah pakaian impor bekas, pakaian impor bekas merupakan benda berwujud, bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Pakaian impor bekas ini merupakan salah satu obyek perdagangan impor yang dilarang untuk diperdagangkan di Indonesia, hal ini dikarenakan pakaian impor bekas berpotensi membahayakan kesehatan konsumennya, namun sampai saat ini pakaian impor bekas masih banyak diperdagangkan oleh masyarakat, oleh karenanya penulis menjadikan pakaian impor bekas sebagai obyek dalam penelitian ini. B. Pengertian Pakaian Impor Bekas Pakaian impor bekas merupakan obyek dalam penelitian ini, dimana pakaian impor bekas merupakan benda berwujud, bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen, namun berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Pakaian impor bekas yang mengandung banyak sekali bakteri dan jamur berpotensi membahayakan kesehatan konsumen, hal ini tentu saja membuat pakaian impor bekas menjadi pakaian yang tidak layak untuk digunakan karena telah menyimpang dari fungsi pakaian yang semestinya dapat menjadi pelindung penggunanya dan meningkatkan keamanan selama melakukan kegiatan berbahaya. 24 http://beacukaipasarbaru.com/, diakses pada tanggal 11 oktober 2015 jam 08.34 WIB. 34 Sebagaimana kita ketahui bahwa pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya, namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas masing-masing. Pakaian juga meningkatkan keamanan selama melakukan kegiatan berbahaya seperti hiking dan memasak, dengan memberikan penghalang antara kulit dan lingkungan. Pakaian juga memberikan penghalang higienis, menjaga toksin dari badan dan membatasi penularan kuman. Salah satu tujuan utama dari pakaian adalah untuk menjaga pemakainya agar merasa nyaman, dalam iklim panas busana menyediakan perlindungan dari terbakar sinar matahari atau berbagai dampak lainnya, sedangkan di iklim dingin sifat insulasi termal umumnya lebih penting. Pakaian melindungi bagian tubuh yang tidak terlihat. Pakaian bertindak sebagai perlindungan dari unsur-unsur yang merusak, termasuk hujan, salju dan angin atau kondisi cuaca lainnya, serta dari matahari. Pakaian juga mengurangi tingkat risiko selama kegiatan, seperti bekerja atau olahraga. Pakaian juga dapat dipakai sebagai perlindungan dari bahaya lingkungan tertentu, seperti serangga, bahan kimia berbahaya, senjata, dan kontak dengan zat abrasif, sebaliknya, pakaian dapat melindungi lingkungan dari pemakai pakaian, seperti memakai masker. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pakaian dapat menjadi pelindung bagi pemakainya dari berbagai hal seperti melindungi kulit dari sengatan matahari 35 secara langsung, dan lain sebagainya, namun akan berbeda fungsinya apabila pakaian yang dikenakan merupakan pakaian bekas yang mengandung banyak bakteri dan jamur, hal ini tentu saja akan berdampak buruk terutama bagi kesehatan. Pakaian bekas merupakan pakaian yang telah dikonsumsi oleh masyarakat luar negeri maupun dalam negeri berupa baju kaos, kemeja, celana, jaket, dan lain sebagainya. Pakaian impor bekas adalah pakaian bekas pakai masyarakat luar negeri yang kemudian diimpor masuk ke Indonesia yang kemudian diedarkan dan diperdagangkan kepada masyarakat dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Pakaian impor bekas memiliki peminat yang cukup tinggi dikarenakan harga yang ditawarkan lebih murah serta memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan pakaian baru yang diproduksi oleh masyarakat local, namunpakaian impor bekas berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Pakaian impor bekas memiliki kandungan bakteri dan jamur yang cukup tinggi. Kandungan bakteri dan jamur yang terdapat dalam pakaian impor bekas ini dapat menjadi penyebab munculnya berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit, diare, dan yang mengerikan dampak panjang yang dapat ditimbulkan terhadap penggunaan pakaian impor bekas ini yaitu konsumen dapat terkena penyakit saluran kelamin. C. Ketentuan Larangan Pakaian Impor Bekas Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Permendag 54 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor disebutkan bahwa terhadap impor barang tertentu dapat ditetapkan pengaturan impor tersendiri, kecuali kecuali barang yang secara tegas 36 dilarang untuk diimpor undangan. Berdasarkan berdasarkan Pasal 7 ayat ketentuan [2] peraturan perundang- Permendag 54/2009, Menteri Perdagangan dalam menetapkan peraturan impor barang tertentu ditetapkan didasarkan pada pertimbangan: a) Perlindungan keamanan; b) Perlindungan keselamatan konsumen; c) Perlindungan kesehatan yang berkaitan dengan kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan; d) Perlindungan lingkungan hidup; e) Perlindungan hak atas kekayaan intelektual; f) Perlindungan sosial, budaya dan moral masyarakat; g) Perlindungan kepentingan pembangunan ekonomi nasional lain, termasuk upaya peningkatan taraf hidup petani produsen, penciptaan kondisi perdagangan dan pasar dalam negeri yang sehat, dan iklim usaha yang kondusif; dan/atau h) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan Mengingat bahwa pakaian impor bekas memiliki banyak kandungan bakteri dan jamur yang dapat menjadi penyebab munculnya berbagai macam penyakit, oleh karenanya secara hukum impor pakaian bekas dilarang berdasarkan: 1) Permendag RI 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor, dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa impor barang harus dalam keadaan baru, dan Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag RI) Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Perubahan Permendag 54/MDAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor yang 37 ditetapkan pada tanggal 3 Juli 2015 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2016. 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dalam Pasal 47 ayat (1) jelas dikatakan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. 3) Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, dalam pasal 2 peraturan ini jelas disebutkan bahwa pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2015 dan mulai diberlakukan pada bulan September 2015. D. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Konsumen 1. Perlindungan Hukum Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah tempat berlindung; perbuatan (hal dan sebagainya) memperlindungi. Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu (1) unsur tindakan melindungi; (2) unsur pihak-pihak yang melindungi; (3) unsur cara-cara melindungi, dengan demikian, kata melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu.25 Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen bermacam-macam, dapat berupa perlindungan ekonomi, sosial, politik. Perlindungan konsumen yang paling utama dan yang menjadi topik pembahasan ini adalah perlindungan hukum. 25 Wahyu Sasongko, op.cit, hlm. 30. 38 Perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang utama karena berdasarkan pemikiran bahwa hukum sebagai sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan dan hak konsumen secara komprehensif, di samping itu hukum memiliki kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga dapat dilaksanakan secara permanen. Berbeda dengan perlindungan melalui institusi lainnya seperti perlindungan ekonomi atau politik misalnya, yang bersifat temporer atau sementara.26 Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara tertentu, antara lain yaitu dengan:27 1. Membuat peraturan (by giving regulation) bertujuan untuk: (1) Memberikan hak dan kewajiban; (2) Menjamin hak-hak para subjek hukum. 2. Menegakkan peraturan (by law enforcement) melalui: (1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventive) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan pengawasan; (2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) pelanggaran UUPK, dengan mengenakan sanski pidana dan hukuman; (3) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative; recovery; remedy) dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian. 26 Ibid Ibid, hlm.31 27 39 2. Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen adalah upaya menjamin kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pasal 1 angka (1) UUPK menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan ketentuan UUPK tersebut ada dua persyaratan utama dalam perlindungan konsumen, yaitu adanya jaminan hukum (law guarantee) dan adanya kepastian hukum (law certanty). Tolak ukur adanya jaminan hukum adalah adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan hak-hak konsumen untuk digunakan terhadap perbuatan yang tidak atau kurang baik dari perilaku usaha, dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen berarti hukum memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen sebagai subyek hukum. Dengan adanya kepastian hukum untuk melindungi konsumen dalam UUPK tersebut, setidaknya memberikan suatu pengharapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang dapat mrugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UUPK yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan konsumen, maka konsumen memiliki posisi yang berimbang dengan pelaku usaha. Apabila terjadi suatu pelanggaran atau tindakan yang merugikan hak-hak konsumen, maka konsumen dapat menggugat atau menuntut pelaku usaha.28 Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui adanya kerangka umum tentang sendi-sendi pengaturan perlindungan konsumen, antara lain sebagai berikut: 1) Konsumen mempunyai hak; 28 hlm. 4. Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, cet. 1, (Jakarta: Visimedia, 2008), 40 2) Pemerintah perlu berperan aktif; 3) Pelaku usaha mempunyai kewajiban; 4) Masyarakat juga perlu berperan serta; 5) Perlindungan konsuumen dalam iklim bisnis sehat; 6) Keterbukaan dalam promosi barang dan/atau jasa; 7) Keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha; 8) Konsep perlindungan konsumen yang memerlukan pembinaan sikap; 9) Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang; 10) Pengaturan perlindungan konsumen yang berkontribusi pada pembangunan nasional.29 E. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen Dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia terdapat beberapa asas dan tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adaya asas dan tujuan yang jelas, maka diharapkan hukum perlindungan konsumen dapat memiliki dasar ketentuan yang kuat. 1. Asas Hukum Perlindungan Konsumen Dalam setiap undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasar. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim 29 Ibid, hlm.2. 41 yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.30 Ketentuan Pasal 2 UUPK menjelaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, antara lain sebagai berikut: 1. Asas manfaat Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, sebagai contoh UUPK mengatur bahwa pelaku usaha harus memberikan informasi yang jujur kepada konsumen dalam memperdagangkan produknya. Aturan ini tidak hanya memberikan manfaat kepada konsumen saja, akan tetapi juga terhadap pada pelaku usaha, karena apabila kepercayaan konsumen bertambah pada produk yang diperdagangkan, maka akan menimbulkan adanya sifat saling ketergantungan. 2. Asas keadilan Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, sebagai contoh UUPK mengatur bahwa adanya hak dan kewajiban sebagai konsumen dan pelaku usaha. Beritikad baik merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen dalam hal melakukan transaksi dengan pelaku usaha, dan apabila 30 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 25. 42 kewajiban itu dilanggar, maka pelaku usaha berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari perbuatan konsumen tersebut. Begitu pula sebaliknya berlaku dalam hal ini, sehingga dapat dikatakan bahwa sifatnya asli bagi kedua belah pihak karena adanya hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masingmasing pihak. 3. Asas keseimbangan Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual, sebagai contoh UUPK mengatur bahwa kedudukan dari masing-masing pihak tidak ada yang lebih kuat dari yang lainnya, saling mempengaruhi dan memiliki kedudukan yang seimbang. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan, sebagai contoh UUPK mengatur bahwa produksi barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha harus sesuai dengan standarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena keamana konsumen dijamin dalam hal mengkonsumsi produk pelaku usaha. 5. Asas kepastian hukum Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum, sebagai contoh karena adanya kepastian 43 hukum, maka apabila ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang, dapat dipastikan adanya sanksi hukum bagi pelaku usaha tersebut. Setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus mengacu dan mengikuti kelima asas tersebut, karena dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Asas-asas hukum dapat dibedakan pada dua tingkatan, yaitu asas-asas atau prinsip-prinsip hukum umum (the general principle of law) dan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum khusus (the specilalis principle of law). Prinsip-prinsip hukum umum ini berlaku umum pada seluruh bidang hukum dan biasanya merupakan asas tentang perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Peraturan Umum tentang Perundang-undangan untuk Indonesia).31 Asas-asas hukum di Indonesia berasal dari hukum Belanda yang dipengaruhi oleh hukum Romawi dan Yunani. Asas-asas hukum itu hingga kini masih eksis, di antaranya terdapat dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) yang berlaku berdampingan atau bersamaan dengan UUPK. Asas-asas hukum tersebut antara lain, yaitu: a) Privity of contract: hubungan antara dua atau lebih pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak. Asas ini mensyaratkan harus adanya kontrak yang dibuat antara pihak-pihak, jika akan melakukan gugatan atau tuntutan. Akibatnya, tanpa kontrak tidak dapat menggugat karena kontrak adalah indikator adanya hubungan hukum. Hal ini, tidak sesuai dengan kepentingan konsumen yang memakai dan memanfaatkan produk dari pabrik yang 31 Wahyu Sasongko. op.Cit. hlm 37. 44 memproduksi missal (mass production). Hubungan konsumen, tidak hanya secara langsung (directly) tetapi juga tidak langsung (indirectly). b) Caveat emptor (let the buyer beware): biarkan pembeli berhati-hati. Asas ini berlaku dalam hukum perjanjian yang menganggap bahwa pembeli harus menguji dan menimbang bagi dirinya sendiri. Sepanjang penjual telah memenuhi kewajibannya, maka konsumen yang akan menanggung resiko yang muncul. Asas ini merugikan konsumen karena dalam perlindungan konsumen, ada keseimbangan dan kesetaraan antara pembeli dan penjual. Suatu produk yang cacat, dapat disebabkan karena proses pembuatan dan penjualannya, sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap pihak-pihak yang terlibat. Meskipun prooduk tersebut belum dipakai. c) Caveat venditor (let the seller beware): biarkan penjual berhati-hati. Menurut asas ini, sepanjang penjual telah berhati-hati dalam memenuhi kewajibannya, maka ia akan terbebas dari tanggung jawab.32 Sudah menjadi kewajiban pelaku usaha sebelum menjual, harus melakukan pemeriksaan terhadap produk atau komoditi yang akan dijual. Dalam praktiknya, penjual dapat berkilah tentang produk cacat yang dipasarkan dengan menyatakan bahwa dirinya telah memenuhi kewajibannya secara berhati-hati dan untuk itu dia meminta bukti kesalahan. Jika tidak ada kesalahan, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban (no liability without fault). Menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikan kesalahan penjual. Saat ini, dalam sengketa konsumen, pembuktian unsur kesalahan dapat dikenakan kepada pelaku usaha. 33 32 33 Ibid, hlm.39. Ibid 45 Penggunaan asas caveat emptor telah membuat konsumen berada dalam posisi yang lemah, karena dengan adanya asas ini konsumen tidak dapat berbuat banyak terhadap kerugian yang dialaminya akibat penggunaan produk yang dibeli konsumen kepada pelaku usaha. Dalam asas ini, jika konsumen tidak berhati-hati dalam pembelian suatu produk, maka konsumen akan bertanggungjawab sendiri dan memikul resiko atas pembelian produk tersebut. Dalam praktiknya, penjual dapat berkilah tentang produk cacat yang dipasarkan dengan menyatakan bahwa dirinya telah memenuhi kewajibannya secara berhati-hati dan untuk itu dia meminta bukti kesalahan. Jika tidak ada kesalahan, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban (no liability without fault). Penerapan asas-asas diatas menimbulkan kelemahan pada posisi konsumen, oleh karena itu akan lebih baik apabila dilakukan penerapan terhadap prinsip strict liability (tanggungjawab mutlak) dalam hukum perlindungan konsumen. Strict liability memiliki arti bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti rugi, hal ini diatur secara implisit dalam Pasal 19 UUPK. Pelaku usaha juga harus dapat bertanggungjawab dalam menjual produk kepada konsumen. Prinsip caveat venditor membebankan tanggungjawab produk kepada penjual atau pelaku usaha. Adanya asas ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan konsumen, dan mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kualitas dan mutu produk yang akan dijual. 46 2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPK dirumuskan tujuan perlindungan konsumen yang melandasi terbentuknya undang-undang ini. Tujuan perlindungan konsumen tersebut antara lain sebagai berikut: a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d) Menciptakan sistem perlndungan konsumen yang mengandung unsure kepastian dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen tersebut merupakan isi dari pembangunan nasional yang menjadi sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di dalam bidang hukum perlindungan konsumen, dan enam tujuan tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan 47 sub system perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.34 F. Peran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pemahaman UUPK pada hakekatnya memberikan aturan kepada pelaku usaha agar melakukan aktifitas usahanya secara professional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib ukur dalam konteks pemenuhan persyaratan perlindungan konsumen dimana barang dan/atau jasa yang diperdagangkannya aman untuk dikonsumsi oleh konsumen, dalam upaya penegakan perlindungan konsumen, pemerintah merupakan pihak terkait yang memiliki peranan penting.35 pengawasan dalam penyelenggaran perlindungan Pembinaan dan konsumen merupakan tanggungjawab pemerintah, yaitu menjamin diperolehnya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, serta dapat membentuk peraturan perundangundangan yang terkait dengan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen. Pembinaan itu sendiri dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.36 Pemerintah mempunyai tanggungjawab melakukan pengawasan perlindungan konsumen agar dapat mengetahui apabila pelaku usaha lalai untuk memperhatikan tanda-tanda berbagai macam larangan untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 178 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat 34 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 35. 35 Direktorat Perlindungan Konsumen Depdagri, Peran Pemerintah dan Platform Kebijakan Perlindungan Konsumen, http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=platform diunduh pada 7 Juli 2015 Jam 08.23 WIB. 36 Ibid. 48 dan terhadap setiap penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan, salah satu tujuan dari upaya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen dalam ketentuan Pasal 29 UUPK, didasarkan pada kepentingan yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kehadiran Negara hanya untuk mensejahterakan rakyat. 37 Adanya tanggungjawab pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak lain dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen agar memperoleh haknya.38 Agar dapat mewujudkan tujuan UUPK, pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUPK, dalam hal ini Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang perdagangan dan/atau Menteri ternis terkait lainnya yang sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 13 UUPK, yaitu Menteri Perdagangan.39 Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UUPK, pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen dilakukan dengan upaya untuk: 1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; 37 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hlm.177. Ibid, hlm.181. 39 Shofie, op.cit, hlm.31. 38 49 2) Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat; 3) Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 UUPK, pemerintah mengemban tugas untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dapat dihubungkan dengan penjelasan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) UUPK, sebagaimana disebutkan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survey, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain.40 Pemerintah berkewajiban melakukan upaya pendidikan serta pembinaan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas hak-haknya sebagai konsumen. Melalui upaya tersebut diharapkan timbulnya kesadaran dari pelaku usaha dalam melakukan aktifitasnya, yang menerapkan prinsip ekonomi dan juga tetap menjunjung hal-hal yang patut menjadi hak konsumen. Mengenai hasil pengawasan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 30 ayat (6) UUPK, yang menyatakan bahwa hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. 40 Ibid, hlm.187. 50 G. KERANGKA PIKIR Kerangka pikir penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen atas perdagangan pakaian impor bekas adalah sebagai berikut: Larangan Impor Pakaian Bekas UUPK No. 8 Tahun 1999 UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014 Permendag RI Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas Pelaku Usaha/Pedagang Pakaian Impor Bekas Kerugian Konsumen Pakaian Impor Bekas Upaya Konsumen Pengawasan Pemerintah 51 Keterangan: Berdasarkan kerangka pikir tersebut, dapat dijelaskan bahwa di Indonesia telah terjadi perdagangan pakaian impor bekas, dimana pakaian bekas tersebut diimpor masuk ke Indonesia untuk kemudian diperdagangkan dengan tujuan memperoleh keuntungan, namun oleh pemerintah pakaian impor bekas ini dilarang untuk diperdagangan, hal ini dikarenakan pakaian impor bekas mengandung banyak bakteri dan jamur yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumennya. Larangan perdagangan pakaian impor bekas ini dilakukan melalui UndangUndang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, yang dipertegas dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Adanya larangan impor pakaian bekas tersebut, tenyata tidak mempengaruhi perdagangan pakaian impor bekas, pelaku usaha/pedagang pakaian impor bekas ini tetap saja menjalankan usahanya meskipun para pelaku usaha/pedagang tersebut mengetahui adanya larangan perdagangan pakaian impor bekas oleh pemerintah. Pakaian impor bekas tetap diperjual belikan meskipun telah dikeluarkan beberapa peraturan terkait dengan larangan tersebut. Pakaian impor bekas yang dijual tersebut, dibeli oleh konsumen dengan harga yang murah dan kualitas yang baik, hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk tetap membeli pakaian impor bekas. Proses jual beli yang dilakukan oleh pedagang dan pembeli (konsumen) pakaian impor bekas telah menimbulkan hubungan hukum diantara kedua pihak tersebut. 52 Mengingat bahwa pakaian impor bekas mengandung banyak sekali bakteri, maka hal ini tentu saja dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen itu sendiri terutama pada kesehatannya. Berdasarkan kerugian-kerugian yang ditimbulkan, konsumen dapat berinisiatif melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui instansi terkait melakukan pengawasan terhadap perdagangan pakaian impor bekas dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen. Larangan impor pakaian bekas tersebut dilakukan pemerintah dengan maksud untuk melindungi kepentingan konsumen pakaian bekas serta untuk melindungi produksi tekstil dalam negeri, dengan begitu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan perdagangan pakaian impor bekas seperti UndangUndang Perdagangan, Permendag tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, serta UUPK Nomor 8 Tahun 1999 sebagai pedoman dasar untuk melindungi konsumen Indonesia. Namun peraturan-peraturan tersebut dirasakan kurang efektif dikarenakan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, dilakukannya larangan impor pakaian bekas tersebut tidak mempengaruhi pelaku usaha pakaian impor bekas untuk tetap melanjutkan bisnisnya tersebut, sehingga dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terkait perdagangan pakaian impor bekas tersebut.