II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perdagangan 1. Pengertian

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Perdagangan
1.
Pengertian Perdagangan secara Umum
Perdagangan atau perniagaan pada umumnya ialah pekerjaan membeli barang dari
suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu ditempat lain atau
pada waktu yang berikut dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Dalam
Buku I Bab 1 Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 KUHD diatur tentang pedagang dan
perbuatan perdagangan. Pedagang adalah orang yang melakukan perbuatan
perdagangan sebagai pekerjaan sehari-hari (Pasal 2 KUHD). Pengertian
perdagangan atau perniagaan dalam Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) adalah membeli barang untuk dijual kembali dalam jumlah
banyak atau sedikit, masih berupa bahan atau sudah jadi, atau hanya untuk
disewakan pemakaiannya. Perbuatan perdagangan dalam pasal ini hanya meliputi
perbuatan membeli, tidak meliputi perbuatan menjual. Menjual adalah tujuan dari
perbuatan membeli, padahal menurut ketentuan Pasal 4 KUHD perbuatan menjual
termasuk juga dalam perbuatan perdagangan.5 Perbuatan perdagangan dalam
Pasal 4 KUHD meliputi:
a)
Kegiatan jasa komisi;
b) Jual beli surat berharga;
c)
Perbuatan para pedagang, pemimpin bank, bendahara, makelar;
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum perusahaan Indonesia, cet.4, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2010), hlm. 13.
10
d) Pemborongan pekerjaan bangunan, makanan dan minuman keperluan kapal;
e)
Ekspedisi dan pengangkutan barang dagangan;
f)
Menyewakan dan mencarterkan kapal;
g) Perbuatan agen, muat bongkar kapal, pemegang buku, pelayan, pedagang,
urusan dagang para pedagang;
h) Semua asuransi.
Ketentuan Pasal 4 KUHD memperluas pengertian perbuatan perdagangan yang
dirumuskan dalam Pasal 3 KUHD. Pasal 5 KUHD mengatur kewajiban yang
timbul, antara lain tabrakan kapal atau mendorong kapal lain, pertolongan dan
penyimpanan barang dari kapal karam, atau penemuan barang di laut, membuang
barang ke laut.
Dalam penerapannya, ketentuan Pasal 3 dan 4 KUHD ternyata menimbulkan
banyak kesulitan, antara lain:
a)
Pengertian barang yang ditentukan dalam Pasal 3 KUHD hanya meliputi
barang bergerak, padahal dalam masyarakat banyak terjadi perdagangan
barang tidak bergerak, seperti tanah, gedung, rumah dan lain sebagainya.
b) Pengertian perbuatan perdagangan dalam Pasal 3 KUHD hanya meliputi
perbuatan pembeli, tidak meliputi perbuatan menjual. Padahal dalam Pasal 4
KUHD, perbuata menjual termasuk juga dalam perbuatan perdagangan.
c)
Perbuatan perdagangan dalam Pasal 2 KUHD hanya dilakukan pedagang.
Padahal dalam Pasal 4 KUHD perbuatan Perdagangan juga dilakukan bukan
oleh pedagang, misalnya mengenai komisi, makelar, dan pelayan.6
6
Ibid, hlm. 14-15.
11
d) Jika terjadi perselisihan antara pedagang dan bukan pedagang mengenai
pelaksanaan perjanjian, KUHD tidak dapat diterapkan kearena hanya
diberlakukan bagi pedagang yang pekerjaan sehari-harinya melakukan
perbuatan perdagangan.7
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menyempurnakan ketentuan diatas maka
perbuatan perdagangan juga dirumuskan dalam beberapa peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 1 butir 1 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 23/MPM/Kep/1998 tentang LembagaLembaga Usaha Perdagangan, perdagangan adalah kegiatan jual beli barang
dan/atau jasa yang dilakukan secara terus-menerus dengan tujuan pengalihan hak
atas barang dan/atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi. Kegiatan
perdagangan tentu saja mencakup juga kegiatan jual beli, karena pada dasarnya
jual beli merupakan bagian dari perdagangan.
Menurut Burgerlijk Wetboek (BW) jual beli adalah perjanjian timbal balik dimana
pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang
pihak lainnya berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang
sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut, sedangkan menurut Pasal 1457
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) jual beli merupakan suatu
persetujuan dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan dan pihak yang lain membayar harga yang telah djanjikan.8
Berdasarkan pada rumusan tersebut, dapat kita ketahui bahwa jual beli merupakan
suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk
7
8
Ibid.
Gunawan Widjaja, Jual Beli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 7.
12
memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan
kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada
penjual.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kegiatan
perdagangan dan jual beli merupakan kegiatan ekonomi yang mempunyai
keterkaitan antara satu dengan lainnya, karena kegiatan perdagangan yang utama
adalah membawa barang-barang dari produsen (penghasil) ketempat-tempat
konsumen (pemakai), sedangkan kegiatan jual beli yang terpenting adalah
mengecerkan barang secara langsung. Berbeda dengan perdagangan yang hanya
terbatas pada kegiatan menjual kembali, jual beli memiliki arti yang lebih luas.
Dalam kegiatan jual beli, pembeli tidak hanya dapat secara langsung
memanfaatkan atau menggunakan barang yang telah dibelinya, tetapi pembeli
juga dapat menjual ataupun menyewakan barang tersebut untuk memperoleh
keuntungan.
Berdasarkan sifatnya, perdagangan terbagi menjadi dua macam yaitu perdagangan
yang bersifat nasional dan perdagangan yang bersifat internasional. Dikatakan
bersifat nasional, apabila terjadi antara penjual dan pembeli dalam wilayah Negara
yang sama, sedangkan perdagangan yang bersifat internasional, apabila terjadi
antara penjual dan pembeli yang bertempat tinggal di dalam wilayah Negara yang
berlainan (perdagangan antarnegara). Perdagangan dibagi dalam beberapa jenis,
yaitu:
a)
Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang:
13
(a) Perdagangan
mengumpulkan
(produsen-tengkulak-pedagang
besar-
eksportir);
(b) Perdagangan menyebarkan (importir-pedagang besar-pedagang menengahkonsumen).
b) Menurut jenis barang yang diperdagangkan:
1) Perdagangan barang (yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
kebutuhan jasmani manusia, seperti hasil pertanian, pertambangan, dan
pabrik);
(2) Perdagangan buku, musik, dan kesenian;
(3) Perdagangan uang dan surat-surat berharga (bursa efek).
c)
Menurut daerah/tempat perdagangan itu dijalankan:
(1) Perdagangan dalam negeri (perdagangan nasional);
(2) Perdagangan luar negeri (perdagangan internasional), yang meliputi:
perdagangan ekspor dan perdagangan impor.
(3) Perdagangan meneruskan (perdagangan transito) yaitu perdagangan yang
mendatangkan barang dari luar negeri untuk dijual kembali keluar negeri.
Perdagangan luar negeri adalah Perdagangan yang mencakup kegiatan ekspor
dan/atau impor atas barang dan/atau perdagangan jasa yang melampaui batas
wilayah negara. Pemerintah mengatur kegiatan perdagangan luar negeri melalui
kebijakan dan pengendalian dibidang ekspor dan impor. Pengendalian
perdagangan luar negeri meliputi:
1.
Perizinan;
2.
Standar; serta
3.
Pelarangan dan pembatasan (lartas).
14
2.
Pengertian Perdagangan Ekspor dan Impor
(a) Perdagangan Ekspor
Menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean
sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian ekspor juga
dijumpai dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
146/MPP/IV/99 tanggal 22 April 1999 tentang Ketentuan Umum di bidang
Ekspor.
(b) Perdagangan Impor
Perdagangan impor adalah kegiatan perdagangan yang dilakukan dengan cara
membeli barang dari luar negeri kemudian memasukkan barang tersebut ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk kemudian
diperdagangkan kepada masyarakat (konsumen). Pengertian impor menurut Pasal
1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah
perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke dalam wilayah
pabean dengan memenuhi ketentuan yang berlaku.
3.
Dasar Pengaturan Perdagangan Ekspor Impor9
Dalam menggiatkan kegiatan perdagangan internasional terutama ekspor impor,
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai dasar pengaturan. Bentuk
kebijaksanaan pemerintah tersebut diantaranya:
9
http://repository.usu.ac.id
15
a)
Inpres No. 4 Tahun 1985, yaitu tentang penyempurnaan dalam tata cara
pelaksanaan ekspor impor terutama tentang pemeriksaan barang ekspor
impor.
b) Paket Kebijaksanaan Mei (PAKEM) tahun 1986, yaitu tentang tata cara
permohonan pengembalian bea masuk atau pembebasan bea masuk
tambahan.
c)
Paket Kebijaksaan Desember (PAKDES) tahun 1987, yaitu tentang
kelonggaran yang diberikan berkaitan dengan ekspor impor.
d) Paket Kebijaksanaan Oktober (PAKTO) tahun 1988, yaitu tentang perubahan
dalam tata cara dan kemudahan ekspor impor.
Berdasarkan kebijaksanaan diatas, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan ekspor impor
antara lain:
1.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan
3.
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
136/MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia
4.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/MPP/Kep/10/
2000 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping,
5.
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia,
Nomor
16
6.
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
428/MPP/kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping
Indonesia,
7.
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor 261/MPP/kep/9/1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan
Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi,10
8.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang- Undang
Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
9.
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
37/M-
Dag/per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asala (certificate of origin),
terhadap barang impor yang dikenakan tindakan pengamanan (safeguard),
10. Peraturan
Menteri
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
54/M-
DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, serta
11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
12. Peraturan
Menteri
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
51/M-
DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
4.
Subyek Perdagangan Impor
a) Pelaku Usaha
Undang-Undang Perlindungan konsumen (UUPK) menggunakan istilah pelaku
usaha, istilah ini memiliki abstraksi yang tinggi karena dapat mencakup berbagai
istilah seperti produsen (producer), pengusaha atau pebisnis (bussinessman),
10
Dumping adalah kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual
barang ke luar negeri lebih murah daripada dijual di dalam negeri.
17
pedagang (trader), eksportir, importir, penjual (seller), pedagang eceran (retailer),
pembuat barang-barang jadi atau pabrikan (manufacturer), penyedia jasa, perajin
(crafter). Pasal 1 Angka 3 UUPK mengartikan pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi,
selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha yang
termasuk dalam pengertian tersebut adalah Perusahaan, Korporasi, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), Koperasi, Importir, Pedagang, Distributor, dan lain-lain.
Berkaitan dengan hal diatas, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) membagi
pelaku usaha tersebut kedalam 3 (tiga) kelompok besar pelaku usaha ekonomi,
antara lain sebagai berikut:
(1) Pihak Investor yaitu penyedia dana untuk digunakan pelaku usaha atau
konsumen seperti bank, lembaga keuangan non-bank, dan para penyedia dana
lainnya;
(2) Pihak Produsen yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa seperti penyedia jasa kesehatan, pabrik sandang, pengembang
perumahan, dan sebagainya;
(3) Pihak
distributor
yaitu
pelaku
usaha
yang
mengedarkan
atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti
warung, toko, kedai, supermarket, pedagang kaki lima, dan lain-lain.11
11
Jonathan Eliezer, op.cit, hlm.22.
18
Pelaku usaha pakaian impor bekas adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam bidang impor pakaian bekas dan mengedarkan atau
memperdagangkan pakaian impor bekas tersebut kepada masyarakat dengan
maksud memperoleh keuntungan. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku
usaha tersebut jelas telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku khususnya Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014
yang dipertegas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/MDAG/PER/7/2015 Tahun 2015 tentang larangan impor pakaian bekas. Dalam
peraturan tersebut jelas dikatakan bahwa impor barang harus dalam keadaan baru,
pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam usaha
menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen serta melindungi
kepentingan subyek perdagangan khususnya konsumen pakaian impor bekas,
maka UUPK telah merumuskan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen
yang harus terpenuhi oleh subyek perdagangan pakaian impor bekas.
1) Eksportir dan Importir
Eksportir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha atau instansi
yang melakukan kegiatan penjualan, pengiriman dan/atau pengeluaran barang atau
produk dari batas wilayah suatu negara ke negara yang lain. Disebutkan dalam
Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Perdagangan, eksportir diartikan sebagai
orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan ekspor, sedangkan importir
19
dalam Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Perdagangan diartikan sebagai orang
perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor, dengan kata lain importir
adalah seseorang atau badan usaha yang melakukan kegiatan memasukkkan
barang dari luar negeri kedalam negeri untuk diperdagangkan. Macam-macam
importir yaitu:
(a) Importir Umum (IU)
yaitu importir yang mendapatkan ijin dalam Perdagangan Umum, mengimpor
barang dengan maksud diperdagangkan.
(b) Importir Terbatas (IT)
yaitu importir yang mendapatkan ijin perdagangan Umum dengan tugas
khusus mengimpor barang tertentu yang diarahkan oleh pemerintah.
(c) Importir Produsen (IP)
yaitu produsen yang mendapatkan izin untuk mengimpor sendiri barang yang
diperlukan dalam proses produksinya.
(d) Produsen Importir (PI)
yaitu produsen yang mendapatkan izin untuk mengimpor barang yang sejenis
dengan yang dihasilkannya (produksinya).
(e) Agent Tunggal (AT)
yaitu perusahaan yang mendapatkan izin untuk melaksanakan impor barang
yang diageninya dan diakui sebagai agent tunggal oleh menteri Perindustrian
dan perdagangan.
20
2) Hak Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha dalam UUPK merupakan hak-hak yang bersifat umum dan
sudah menjadi standar. Hak-hak pelaku usaha atau pelaku bisnis dalam kaitannya
dengan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
(a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
(b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
(c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
(d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.12
3) Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban pelaku usaha, meliputi pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh
konsumen, ditambah dengan kewajiban lainnya yang pada dasarnya untuk
melindungi kepentingan konsumen. Adapun kewajiban pelaku usaha yaitu:
(a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
(b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
12
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012), hlm. 196.
21
(c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
(d) Menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
(e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
(f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
(g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.13
b) Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument
itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer
adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan
penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok
13
Ibid. 197.
22
mana pengguna tersebut.14 Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi
arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) UUPK adalah setiap orang pemakai
barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Unsur-unsur definisi konsumen:
a.
Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan,
apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau
termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian
yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3) UUPK, yang secara
eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan
kata-kata “ orang-perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak
membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang-perseorangan. Namun,
konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada
badan hukum.
b.
Pemakai
Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan,
konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).15
14
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), Hlm. 22.
15
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 4-9.
23
Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan
tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak sertamerta hasil dari transaksi jual beli, artinya sebagai konsumen tidak selalu harus
memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang
dan/atau jasa itu, dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan
pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).
c.
Barang dan/atau Jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/ atau jasa, sebagai pengganti terminologi
tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang
dan/atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang dapat
dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak
menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.”
Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan
kepada masyarakat, artinya harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya,
layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam
pengertian tersebut.
d.
Yang Tersedia dalam Masyarakat
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK, barang dan/atau jasa yang ditawarkan
kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran.
24
e.
Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup
Lain.16
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, dan mahkluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba
untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar
ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu
diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk
makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.
f.
Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.
Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen
diberbagai negara, meskipun pada kenyataannya masih sulit menetapkan batasanbatasan seperti itu.17
Pengertian konsumen sebenarnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, antara lain
sebagai berikut:
(1) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;
(2) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang dan/atau jasa untuk
tujuan
memperdagangkannya
(distributor)
Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha;
16
17
Ibid.
Ibid.
dengan
tujuan
komersial.
25
(3) Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga
atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.18
Istilah konsumen yang dimaksud dalam UUPK berdasarkan ketentuan Pasal 1
ayat (2) merupakan konsumen akhir, kemudian dikaitkan dengan istilah pemakai,
pengguna, atau pemanfaat, oleh UUPK tidak diberi penjelasan. Berkaitan dengan
hal tersebut, Departemen Kehakiman membuat definisi tentang istilah-istilah
tersebut, antara lain sebagai berikut:
(1) Pemakai, yaitu setiap konsumen yang memakai barang yang tidak
mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang,
papan, alat transportasi, dan sebagainya.
(2) Pengguna, yaitu setiap konsumen yang menggunakan barang yang
mengandung listrik atau elektronika seperti lampu listrik, komputer dan
berbagai produk baru lainnya yang menggunakan listrik sebagai sumber
tenaga.
(3) Pemanfaat, yaitu setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen,
seperti jasa kesehatan, jasa jasa transportasi, jasa perbankan, dan produk jasa
lainnya.19
Secara umum, konsumen dapat diartikan setiap orang yang menggunakan atau
memakai suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, yang menjadi
penekanan dalam pengertian konsumen adalah aktifitas atau kegiatan yang
memakai atau menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa.
18
Jonathan Eliezer HG, Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Produk Obat Kuat
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Skripsi),
(Depok: Universitas Indonesia, 2011), hlm. 20, www.digilib.ui.ac.id
19
Ibid, hlm. 21.
26
Konsumen pakaian impor bekas adalah setiap orang yang menggunakan atau
memakai pakaian impor bekas. Konsumen membeli pakaian impor bekas dari
pelaku usaha dengan harga yang murah dan kualitas pakaian yang baik. Pakaian
impor bekas yang digunakan oleh konsumen tersebut berpotensi membahayakan
kesehatan konsumen. Pelaku usaha pakaian impor bekas telah melanggar hak-hak
konsumen yang tercantum dalam UUPK, salah satu hak yang dimiliki oleh
konsumen yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Seperti halnya pelaku usaha, konsumen
pakaian impor bekas juga memiliki hak dan kewajiban yang telah ditentukan
dalam UUPK.
1) Hak Konsumen
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh
karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Dengan kata lain,
perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Hak Konsumen sebagaimana
dikemukakan dalam Pasal 4 UUPK adalah:20
(a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
(b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
(c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
20
Zaeni Asyhadie, op.cit, hlm. 194.
27
(d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
(e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
(f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
(g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
didiskriminatif;
(h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
(i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.21
Hak untuk mendapatkan kompensasi (The Right to Redress) adalah salah satu hak
tambahan bagi konsumen yang telah diakui secara universal diseluruh dunia. Di
Indonesia, Pasal 1365 BW menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membuat kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.22
UUPK lahir untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari perilaku
pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen, namun masih ada saja pelaku
usaha yang sering kali tidak berorientasi pada konsumen dan memberikan ketidak
tahuan konsumen mengenai hak-haknya yang sengaja ditutup-tutupi demi
memperoleh laba.
21
Ibid. Hlm. 195.
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2002), hlm.389.
22
28
2) Kewajiban Konsumen
Kewajiban konsumen seperti yang tertuang di dalam Pasal 5 UUPK adalah:
(a) Membaca atau mengikuti petunjuak informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
(b) Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
(c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
(d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Pentingnya kewajiban
ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada
suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah
disampaikan kepadanya, dengan mengabaikan pengaturan kewajiban ini,
konsumen yang bersangkutan dapat menderita kerugian dalam mengkonsumsi
produk akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
Mengenai kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada transaksi
pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi
konsumen kemungkinan terjadinya kerugian bagi produsen dimulai pada saat
melakukan
transaksi
dengan
produsen.
Berbeda
dengan
pelaku
usaha
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
29
Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan
pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya dilakukan oleh
konsumen. Kewajiban seperti ini yang diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab
kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen dalam mendapatkan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
5.
Obyek Perdagangan Impor
UUPK dalam memberikan perlindungan selain berorientasi pada subyek hukum
juga pada obyek hukum. Obyek hukum perdagangan impor berupa produk yang
terdiri atas barang-barang dan jasa-jasa. Terkait dengan barang sebagai obyek
perdagangan
impor,
terdapat
jenis
barang
yang
diperbolehkan
untuk
diperdagangkan dan terdapat pula jenis barang yang tidak diperbolehkan untuk
diperdagangkan.
a.
Barang yang Diperbolehkan untuk Diperdagangkan
Hukum perlindungan konsumen sangat peduli terhadap dampak atau akibat yang
ditimbulkan dari penggunaan atau pemanfaatan suatu produk terhadap konsumen.
Obyek perdagangan (produk) yang akan dibahas secara khusus dalam penelitian
ini yaitu berupa barang. Produk berupa barang-barang dalam UUPK diberikan
pengertian yang luas, tidak hanya dibedakan dari sifatnya yaitu barang bergerak
(movable) dan tidak bergerak (immovable), tetapi juga barang yang berwujud
(tangible) dan tak berwujud (intangible).
Barang sering digunakan untuk mengartikan kebendaan yang berwujud, adapun
ciri-ciri tertentu yang terdapat pada barang ialah:
1) Dapat ditangkap oleh panca indera;
30
2) Dapat dijadikan sebagai obyek transaksi dagang;
3) Ada susunan, bentuk, dan kegunaan;
4) Dibungkus atau kemasan yang terdiri dari susuna bahan, bentuk, alat
pembungkusnya;
5) Memiliki nama dan tanda yang dapat dibedakan dari sifat dan asalnya;
6) Pengawasan produk;
7) Dipasarkan, dapat melalui impor dan ekspor.
Arti barang dalam UUPK adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian tentang barang dalam UUPK juga
terkait dengan pengertian barang menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961
tentang barang, keduanya sama-sama memasukkan unsur dapat untuk
diperdagangkan. Arti barang menurut Undang-Undang Barang adalah semua
barang yang diperdagangkan atau ditujukan atau diperdagangkan.23
Pasal 4 ayat (2) Permendag 48 tahun 2015 tentang Ketentuan Umum Bidang
Impor menyebutkan bahwa semua barang dapat menjadi obyek perdagangan
impor, kecuali barang yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undangundang.
a.
Barang yang Tidak Diperbolehkan untuk Diperdagangkan
Barang merupakan obyek perdagangan impor, dimana semua jenis barang dapat
menjadi obyek perdagangan impor kecuali barang yang dilarang, dibatasi, atau
23
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
(Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007), hlm. 67-69.
31
ditentukan lain oleh undang-undang. Pemerintah dapat melarang impor barang
untuk kepentingan nasional dengan alasan sebagai berikut:
b.
Untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan umum, termasuk
sosial, budaya, dan moral masyarakat;
c.
Untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau
d.
Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan,
dan lingkungan hidup.
Dalam pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perdagangan, disebutkan bahwa
pemerintah dapat membatasi impor barang sebagaimana dimaksud dengan alasan:
(a) Untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam
negeri;
(b) Untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan.
Barang yang dilarang untuk diimpor yaitu:
(a) Barang Gombal, seperti: ballpress, pakaian bekas.
Dasar Hukum: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor
642/MPP/Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang
Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya, Permendag Nomor 51/MDAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
(b) Limbah B3, seperti: minyak petroleum dan minyak yang diperoleh dari
mineral yang mengandung bitumen, sisa dan skrap dari sel primer, baterai
primer dan akumulator listrik.
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun j.o. Peraturan Pemerintah
32
Nomor 85 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,
Peraturan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
RI
Nomor
520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3).
(c) Mesin yang menggunakan BPO, seperti: mesin pengatur suhu ruangan, lemari
pendingin, peti kemas dengan perlengkapan pendingin.
Dasar Hukum: Kepmenperindag RI Nomor 111/MPP/Kep/1/1998 tentang
Perubahan Kepmenperindag Nomor 230/MPP/Kep/9/1997 tentang Barang
yang
Diatur
Tata
Niaga
Impornya
j.o.
Kepmenperindag
Nomor
411/MPP/Kep/9/1998
tentang
Perubahan
Kepmenperindag
Nomor
111/MPP/Kep/1/1998
tentang
Perubahan
Kepmenperindag
Nomor
230/MPP/Kep/7/1997 j.o. Kepmenperindag Nomor 789/MPP/Kep/12/2002
tentang Perubahan Kepmenperindag Nomor 111/Mpp/Kep/1/1998 Tentang
Perubahan Kepmenperindag Nomor 230/Mpp/Kep/7/1997 sebagaimana telah
diubah
dengan
Kepmenperindag
Nomor
411/Mpp/Kep/9/1998,
serta
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 55/M-Dag/PER/9/2014
tentang Ketentuan Impor Barang.
(d) Udang dengan spesies tertentu, seperti: udang kecil dan udang biasa (dari
spesies Penaeus Vanamae) segar, dingin, maupun beku.
Dasar Hukum: Peraturan Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 52/M-DAG/PER/12/2010 dan Nomor
33
PB.02/MEN/2010 tentang Larangan Impor Udang Spesies Tertentu ke
Wilayah Republik Indonesia.24
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan benda sebagai obyek perdagangan
impor adalah pakaian impor bekas, pakaian impor bekas merupakan benda
berwujud, bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Pakaian impor bekas ini merupakan salah satu
obyek perdagangan impor yang dilarang untuk diperdagangkan di Indonesia, hal
ini dikarenakan pakaian impor bekas berpotensi membahayakan kesehatan
konsumennya, namun sampai saat ini pakaian impor bekas masih banyak
diperdagangkan oleh masyarakat, oleh karenanya penulis menjadikan pakaian
impor bekas sebagai obyek dalam penelitian ini.
B. Pengertian Pakaian Impor Bekas
Pakaian impor bekas merupakan obyek dalam penelitian ini, dimana pakaian
impor bekas merupakan benda berwujud, bergerak, yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen, namun berpotensi
membahayakan kesehatan konsumen. Pakaian impor bekas yang mengandung
banyak sekali bakteri dan jamur berpotensi membahayakan kesehatan konsumen,
hal ini tentu saja membuat pakaian impor bekas menjadi pakaian yang tidak layak
untuk digunakan karena telah menyimpang dari fungsi pakaian yang semestinya
dapat menjadi pelindung penggunanya dan meningkatkan keamanan selama
melakukan kegiatan berbahaya.
24
http://beacukaipasarbaru.com/, diakses pada tanggal 11 oktober 2015 jam 08.34 WIB.
34
Sebagaimana kita ketahui bahwa pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain
makanan dan tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk
melindungi dan menutup dirinya, namun seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun
kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian
tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas
masing-masing. Pakaian juga meningkatkan keamanan selama melakukan
kegiatan berbahaya seperti hiking dan memasak, dengan memberikan penghalang
antara kulit dan lingkungan. Pakaian juga memberikan penghalang higienis,
menjaga toksin dari badan dan membatasi penularan kuman.
Salah satu tujuan utama dari pakaian adalah untuk menjaga pemakainya agar
merasa nyaman, dalam iklim panas busana menyediakan perlindungan dari
terbakar sinar matahari atau berbagai dampak lainnya, sedangkan di iklim dingin
sifat insulasi termal umumnya lebih penting. Pakaian melindungi bagian tubuh
yang tidak terlihat. Pakaian bertindak sebagai perlindungan dari unsur-unsur yang
merusak, termasuk hujan, salju dan angin atau kondisi cuaca lainnya, serta dari
matahari. Pakaian juga mengurangi tingkat risiko selama kegiatan, seperti bekerja
atau olahraga. Pakaian juga dapat dipakai sebagai perlindungan dari bahaya
lingkungan tertentu, seperti serangga, bahan kimia berbahaya, senjata, dan kontak
dengan zat abrasif, sebaliknya, pakaian dapat melindungi lingkungan dari pemakai
pakaian, seperti memakai masker.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pakaian dapat menjadi pelindung bagi
pemakainya dari berbagai hal seperti melindungi kulit dari sengatan matahari
35
secara langsung, dan lain sebagainya, namun akan berbeda fungsinya apabila
pakaian yang dikenakan merupakan pakaian bekas yang mengandung banyak
bakteri dan jamur, hal ini tentu saja akan berdampak buruk terutama bagi
kesehatan.
Pakaian bekas merupakan pakaian yang telah dikonsumsi oleh masyarakat luar
negeri maupun dalam negeri berupa baju kaos, kemeja, celana, jaket, dan lain
sebagainya. Pakaian impor bekas adalah pakaian bekas pakai masyarakat luar
negeri yang kemudian diimpor masuk ke Indonesia yang kemudian diedarkan dan
diperdagangkan
kepada
masyarakat
dengan
maksud
untuk
memperoleh
keuntungan. Pakaian impor bekas memiliki peminat yang cukup tinggi
dikarenakan harga yang ditawarkan lebih murah serta memiliki kualitas yang
lebih baik dibandingkan dengan pakaian baru yang diproduksi oleh masyarakat
local, namunpakaian impor bekas berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
Pakaian impor bekas memiliki kandungan bakteri dan jamur yang cukup tinggi.
Kandungan bakteri dan jamur yang terdapat dalam pakaian impor bekas ini dapat
menjadi penyebab munculnya berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit,
diare, dan yang mengerikan dampak panjang yang dapat ditimbulkan terhadap
penggunaan pakaian impor bekas ini yaitu konsumen dapat terkena penyakit
saluran kelamin.
C.
Ketentuan Larangan Pakaian Impor Bekas
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Permendag 54 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum
di Bidang Impor disebutkan bahwa terhadap impor barang tertentu dapat
ditetapkan pengaturan impor tersendiri, kecuali kecuali barang yang secara tegas
36
dilarang
untuk
diimpor
undangan. Berdasarkan
berdasarkan
Pasal
7
ayat
ketentuan
[2]
peraturan
perundang-
Permendag 54/2009,
Menteri
Perdagangan dalam menetapkan peraturan impor barang tertentu ditetapkan
didasarkan pada pertimbangan:
a)
Perlindungan keamanan;
b) Perlindungan keselamatan konsumen;
c)
Perlindungan kesehatan yang berkaitan dengan kehidupan manusia, hewan
dan tumbuh-tumbuhan;
d) Perlindungan lingkungan hidup;
e)
Perlindungan hak atas kekayaan intelektual;
f)
Perlindungan sosial, budaya dan moral masyarakat;
g) Perlindungan kepentingan pembangunan ekonomi nasional lain, termasuk
upaya peningkatan taraf hidup petani produsen, penciptaan kondisi
perdagangan dan pasar dalam negeri yang sehat, dan iklim usaha yang
kondusif; dan/atau
h) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
Mengingat bahwa pakaian impor bekas memiliki banyak kandungan bakteri dan
jamur yang dapat menjadi penyebab munculnya berbagai macam penyakit, oleh
karenanya secara hukum impor pakaian bekas dilarang berdasarkan:
1) Permendag RI 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di
Bidang Impor, dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa impor barang harus
dalam keadaan baru, dan Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag RI)
Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Perubahan Permendag 54/MDAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor yang
37
ditetapkan pada tanggal 3 Juli 2015 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1
Januari 2016.
2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dalam Pasal 47
ayat (1) jelas dikatakan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang dalam
keadaan baru.
3) Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang
Larangan Impor Pakaian Bekas, dalam pasal 2 peraturan ini jelas disebutkan
bahwa pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 9
Juli 2015 dan mulai diberlakukan pada bulan September 2015.
D.
Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Konsumen
1.
Perlindungan Hukum
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah tempat
berlindung; perbuatan (hal dan sebagainya) memperlindungi. Pemaknaan kata
perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan
unsur-unsur, yaitu (1) unsur tindakan melindungi; (2) unsur pihak-pihak yang
melindungi; (3) unsur cara-cara melindungi, dengan demikian, kata melindungi
dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan
menggunakan cara-cara tertentu.25 Perlindungan yang diberikan terhadap
konsumen bermacam-macam, dapat berupa perlindungan ekonomi, sosial, politik.
Perlindungan konsumen yang paling utama dan yang menjadi topik pembahasan
ini adalah perlindungan hukum.
25
Wahyu Sasongko, op.cit, hlm. 30.
38
Perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang utama karena
berdasarkan pemikiran bahwa hukum sebagai sarana yang dapat mengakomodasi
kepentingan dan hak konsumen secara komprehensif, di samping itu hukum
memiliki kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga
dapat dilaksanakan secara permanen. Berbeda dengan perlindungan melalui
institusi lainnya seperti perlindungan ekonomi atau politik misalnya, yang bersifat
temporer atau sementara.26
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh hukum atau
perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Hukum dalam
memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara tertentu, antara lain yaitu
dengan:27
1.
Membuat peraturan (by giving regulation) bertujuan untuk:
(1) Memberikan hak dan kewajiban;
(2) Menjamin hak-hak para subjek hukum.
2.
Menegakkan peraturan (by law enforcement) melalui:
(1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventive)
terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan
pengawasan;
(2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive)
pelanggaran UUPK, dengan mengenakan sanski pidana dan hukuman;
(3) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative;
recovery; remedy) dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.
26
Ibid
Ibid, hlm.31
27
39
2.
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah upaya menjamin kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Pasal 1 angka (1) UUPK
menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Berdasarkan ketentuan UUPK tersebut ada dua persyaratan utama
dalam perlindungan konsumen, yaitu adanya jaminan hukum (law guarantee) dan
adanya kepastian hukum (law certanty). Tolak ukur adanya jaminan hukum
adalah adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan hak-hak
konsumen untuk digunakan terhadap perbuatan yang tidak atau kurang baik dari
perilaku usaha, dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen berarti
hukum memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen sebagai subyek hukum.
Dengan adanya kepastian hukum untuk melindungi konsumen dalam UUPK
tersebut, setidaknya memberikan suatu pengharapan agar pelaku usaha tidak lagi
bertindak sewenang-wenang yang dapat mrugikan hak-hak konsumen. Dengan
adanya UUPK yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan konsumen,
maka konsumen memiliki posisi yang berimbang dengan pelaku usaha. Apabila
terjadi suatu pelanggaran atau tindakan yang merugikan hak-hak konsumen, maka
konsumen dapat menggugat atau menuntut pelaku usaha.28
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui adanya kerangka umum tentang
sendi-sendi pengaturan perlindungan konsumen, antara lain sebagai berikut:
1) Konsumen mempunyai hak;
28
hlm. 4.
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, cet. 1, (Jakarta: Visimedia, 2008),
40
2) Pemerintah perlu berperan aktif;
3) Pelaku usaha mempunyai kewajiban;
4) Masyarakat juga perlu berperan serta;
5) Perlindungan konsuumen dalam iklim bisnis sehat;
6) Keterbukaan dalam promosi barang dan/atau jasa;
7) Keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha;
8) Konsep perlindungan konsumen yang memerlukan pembinaan sikap;
9) Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai
bidang;
10) Pengaturan perlindungan konsumen yang berkontribusi pada pembangunan
nasional.29
E. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia terdapat beberapa asas dan
tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adaya asas dan
tujuan yang jelas, maka diharapkan hukum perlindungan konsumen dapat
memiliki dasar ketentuan yang kuat.
1.
Asas Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam setiap undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang
mendasar. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya. Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit,
melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem
hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
29
Ibid, hlm.2.
41
yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat
atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.30
Ketentuan Pasal 2 UUPK menjelaskan bahwa perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, antara lain sebagai berikut:
1.
Asas manfaat
Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
sebagai contoh UUPK mengatur bahwa pelaku usaha harus memberikan informasi
yang jujur kepada konsumen dalam memperdagangkan produknya. Aturan ini
tidak hanya memberikan manfaat kepada konsumen saja, akan tetapi juga
terhadap pada pelaku usaha, karena apabila kepercayaan konsumen bertambah
pada produk yang diperdagangkan, maka akan menimbulkan adanya sifat saling
ketergantungan.
2.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, sebagai contoh
UUPK mengatur bahwa adanya hak dan kewajiban sebagai konsumen dan pelaku
usaha. Beritikad baik merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh
konsumen dalam hal melakukan transaksi dengan pelaku usaha, dan apabila
30
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 25.
42
kewajiban itu dilanggar, maka pelaku usaha berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari perbuatan konsumen tersebut. Begitu pula sebaliknya
berlaku dalam hal ini, sehingga dapat dikatakan bahwa sifatnya asli bagi kedua
belah pihak karena adanya hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masingmasing pihak.
3.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual,
sebagai contoh UUPK mengatur bahwa kedudukan dari masing-masing pihak
tidak ada yang lebih kuat dari yang lainnya, saling mempengaruhi dan memiliki
kedudukan yang seimbang.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan, sebagai contoh UUPK mengatur
bahwa produksi barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha harus sesuai dengan
standarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena keamana
konsumen dijamin dalam hal mengkonsumsi produk pelaku usaha.
5.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum, sebagai contoh karena adanya kepastian
43
hukum, maka apabila ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang,
dapat dipastikan adanya sanksi hukum bagi pelaku usaha tersebut.
Setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pelaku
usaha dan konsumen harus mengacu dan mengikuti kelima asas tersebut, karena
dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Asas-asas
hukum dapat dibedakan pada dua tingkatan, yaitu asas-asas atau prinsip-prinsip
hukum umum (the general principle of law) dan asas-asas atau prinsip-prinsip
hukum khusus (the specilalis principle of law). Prinsip-prinsip hukum umum ini
berlaku umum pada seluruh bidang hukum dan biasanya merupakan asas tentang
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesie (Peraturan Umum tentang Perundang-undangan untuk
Indonesia).31
Asas-asas hukum di Indonesia berasal dari hukum Belanda yang dipengaruhi oleh
hukum Romawi dan Yunani. Asas-asas hukum itu hingga kini masih eksis, di
antaranya terdapat dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) yang berlaku
berdampingan atau bersamaan dengan UUPK. Asas-asas hukum tersebut antara
lain, yaitu:
a)
Privity of contract: hubungan antara dua atau lebih pihak yang mengadakan
perjanjian atau kontrak. Asas ini mensyaratkan harus adanya kontrak yang
dibuat antara pihak-pihak, jika akan melakukan gugatan atau tuntutan.
Akibatnya, tanpa kontrak tidak dapat menggugat karena kontrak adalah
indikator adanya hubungan hukum. Hal ini, tidak sesuai dengan kepentingan
konsumen yang memakai dan memanfaatkan produk dari pabrik yang
31
Wahyu Sasongko. op.Cit. hlm 37.
44
memproduksi missal (mass production). Hubungan konsumen, tidak hanya
secara langsung (directly) tetapi juga tidak langsung (indirectly).
b) Caveat emptor (let the buyer beware): biarkan pembeli berhati-hati. Asas ini
berlaku dalam hukum perjanjian yang menganggap bahwa pembeli harus
menguji dan menimbang bagi dirinya sendiri. Sepanjang penjual telah
memenuhi kewajibannya, maka konsumen yang akan menanggung resiko
yang muncul. Asas ini merugikan konsumen karena dalam perlindungan
konsumen, ada keseimbangan dan kesetaraan antara pembeli dan penjual.
Suatu produk yang cacat, dapat disebabkan karena proses pembuatan dan
penjualannya, sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap
pihak-pihak yang terlibat. Meskipun prooduk tersebut belum dipakai.
c)
Caveat venditor (let the seller beware): biarkan penjual berhati-hati. Menurut
asas ini, sepanjang penjual telah berhati-hati dalam memenuhi kewajibannya,
maka ia akan terbebas dari tanggung jawab.32 Sudah menjadi kewajiban
pelaku usaha sebelum menjual, harus melakukan pemeriksaan terhadap
produk atau komoditi yang akan dijual. Dalam praktiknya, penjual dapat
berkilah tentang produk cacat yang dipasarkan dengan menyatakan bahwa
dirinya telah memenuhi kewajibannya secara berhati-hati dan untuk itu dia
meminta bukti kesalahan. Jika tidak ada kesalahan, maka tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban (no liability without fault). Menjadi
kewajiban konsumen untuk membuktikan kesalahan penjual. Saat ini, dalam
sengketa konsumen, pembuktian unsur kesalahan dapat dikenakan kepada
pelaku usaha. 33
32
33
Ibid, hlm.39.
Ibid
45
Penggunaan asas caveat emptor telah membuat konsumen berada dalam posisi
yang lemah, karena dengan adanya asas ini konsumen tidak dapat berbuat banyak
terhadap kerugian yang dialaminya akibat penggunaan produk yang dibeli
konsumen kepada pelaku usaha. Dalam asas ini, jika konsumen tidak berhati-hati
dalam pembelian suatu produk, maka konsumen akan bertanggungjawab sendiri
dan memikul resiko atas pembelian produk tersebut. Dalam praktiknya, penjual
dapat berkilah tentang produk cacat yang dipasarkan dengan menyatakan bahwa
dirinya telah memenuhi kewajibannya secara berhati-hati dan untuk itu dia
meminta bukti kesalahan. Jika tidak ada kesalahan, maka tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban (no liability without fault).
Penerapan asas-asas diatas menimbulkan kelemahan pada posisi konsumen, oleh
karena itu akan lebih baik apabila dilakukan penerapan terhadap prinsip strict
liability (tanggungjawab mutlak) dalam hukum perlindungan konsumen. Strict
liability memiliki arti bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar ganti rugi, hal ini diatur secara implisit dalam Pasal 19
UUPK.
Pelaku usaha juga harus dapat bertanggungjawab dalam menjual produk kepada
konsumen. Prinsip caveat venditor membebankan tanggungjawab produk kepada
penjual atau pelaku usaha. Adanya asas ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan konsumen, dan mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kualitas
dan mutu produk yang akan dijual.
46
2.
Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPK dirumuskan tujuan perlindungan konsumen
yang melandasi terbentuknya undang-undang ini. Tujuan perlindungan konsumen
tersebut antara lain sebagai berikut:
a)
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c)
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d) Menciptakan sistem perlndungan konsumen yang mengandung unsure
kepastian dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e)
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
berusaha;
f)
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen tersebut merupakan isi dari pembangunan
nasional yang menjadi sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di dalam bidang hukum perlindungan konsumen, dan enam tujuan
tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan
47
sub system perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas
penunjang dan kondisi masyarakat.34
F. Peran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Pemahaman UUPK pada hakekatnya memberikan aturan kepada pelaku usaha
agar melakukan aktifitas usahanya secara professional, jujur, beretika bisnis, tertib
mutu, tertib ukur dalam konteks pemenuhan persyaratan perlindungan konsumen
dimana barang dan/atau jasa yang diperdagangkannya aman untuk dikonsumsi
oleh konsumen, dalam upaya penegakan perlindungan konsumen, pemerintah
merupakan pihak terkait yang memiliki peranan penting.35
pengawasan
dalam
penyelenggaran
perlindungan
Pembinaan dan
konsumen
merupakan
tanggungjawab pemerintah, yaitu menjamin diperolehnya hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha, serta dapat membentuk peraturan perundangundangan yang terkait dengan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.
Pembinaan itu sendiri dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.36
Pemerintah mempunyai tanggungjawab melakukan pengawasan perlindungan
konsumen agar dapat mengetahui apabila pelaku usaha lalai untuk memperhatikan
tanda-tanda
berbagai
macam
larangan
untuk
memproduksi
dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 178 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat
34
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 35.
35
Direktorat Perlindungan Konsumen Depdagri, Peran Pemerintah dan Platform
Kebijakan Perlindungan Konsumen, http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=platform
diunduh pada 7 Juli 2015 Jam 08.23 WIB.
36
Ibid.
48
dan terhadap setiap penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan sumber
daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan, salah satu tujuan dari
upaya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk
melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan
bahaya bagi kesehatan.
Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan penyelenggaraan
perlindungan konsumen dalam ketentuan Pasal 29 UUPK, didasarkan pada
kepentingan yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
bahwa kehadiran Negara hanya untuk mensejahterakan rakyat. 37 Adanya
tanggungjawab pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen tidak lain dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen agar
memperoleh haknya.38
Agar dapat mewujudkan tujuan UUPK, pemerintah bertanggungjawab atas
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan pada ketentuan
Pasal 29 ayat (1) UUPK, dalam hal ini Menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya meliputi bidang perdagangan dan/atau Menteri ternis terkait
lainnya yang sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 13
UUPK, yaitu Menteri Perdagangan.39 Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4)
UUPK, pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen dilakukan dengan
upaya untuk:
1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen;
37
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hlm.177.
Ibid, hlm.181.
39
Shofie, op.cit, hlm.31.
38
49
2) Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat;
3) Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 UUPK, pemerintah mengemban tugas untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dapat dihubungkan dengan
penjelasan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) UUPK, sebagaimana disebutkan
bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survey,
terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan
barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain.40
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya pendidikan serta pembinaan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat atas hak-haknya sebagai konsumen. Melalui
upaya tersebut diharapkan timbulnya kesadaran dari pelaku usaha dalam
melakukan aktifitasnya, yang menerapkan prinsip ekonomi dan juga tetap
menjunjung hal-hal yang patut menjadi hak konsumen. Mengenai hasil
pengawasan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 30 ayat (6) UUPK, yang
menyatakan bahwa hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.
40
Ibid, hlm.187.
50
G. KERANGKA PIKIR
Kerangka pikir penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen atas
perdagangan pakaian impor bekas adalah sebagai berikut:
Larangan Impor Pakaian Bekas
UUPK No. 8 Tahun 1999
UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014
Permendag RI Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015
Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas
Pelaku
Usaha/Pedagang
Pakaian Impor
Bekas
Kerugian
Konsumen
Pakaian Impor
Bekas
Upaya
Konsumen
Pengawasan
Pemerintah
51
Keterangan:
Berdasarkan kerangka pikir tersebut, dapat dijelaskan bahwa di Indonesia telah
terjadi perdagangan pakaian impor bekas, dimana pakaian bekas tersebut diimpor
masuk ke Indonesia untuk kemudian diperdagangkan dengan tujuan memperoleh
keuntungan, namun oleh pemerintah pakaian impor bekas ini dilarang untuk
diperdagangan, hal ini dikarenakan pakaian impor bekas mengandung banyak
bakteri dan jamur yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumennya.
Larangan perdagangan pakaian impor bekas ini dilakukan melalui UndangUndang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, yang dipertegas dengan
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan
Impor Pakaian Bekas.
Adanya larangan impor pakaian bekas tersebut, tenyata tidak mempengaruhi
perdagangan pakaian impor bekas, pelaku usaha/pedagang pakaian impor bekas
ini tetap saja menjalankan usahanya meskipun para pelaku usaha/pedagang
tersebut mengetahui adanya larangan perdagangan pakaian impor bekas oleh
pemerintah. Pakaian impor bekas tetap diperjual belikan meskipun telah
dikeluarkan beberapa peraturan terkait dengan larangan tersebut. Pakaian impor
bekas yang dijual tersebut, dibeli oleh konsumen dengan harga yang murah dan
kualitas yang baik, hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen
untuk tetap membeli pakaian impor bekas. Proses jual beli yang dilakukan oleh
pedagang dan pembeli (konsumen) pakaian impor bekas telah menimbulkan
hubungan hukum diantara kedua pihak tersebut.
52
Mengingat bahwa pakaian impor bekas mengandung banyak sekali bakteri, maka
hal ini tentu saja dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen itu sendiri
terutama pada kesehatannya. Berdasarkan kerugian-kerugian yang ditimbulkan,
konsumen dapat berinisiatif melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan ganti
kerugian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
hal tersebut, pemerintah melalui instansi terkait melakukan pengawasan terhadap
perdagangan pakaian impor bekas dengan tujuan untuk melindungi kepentingan
konsumen.
Larangan impor pakaian bekas tersebut dilakukan pemerintah dengan maksud
untuk melindungi kepentingan konsumen pakaian bekas serta untuk melindungi
produksi tekstil dalam negeri, dengan begitu pemerintah mengeluarkan beberapa
peraturan terkait dengan perdagangan pakaian impor bekas seperti UndangUndang Perdagangan, Permendag tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, serta
UUPK Nomor 8 Tahun 1999 sebagai pedoman dasar
untuk melindungi
konsumen Indonesia. Namun peraturan-peraturan tersebut dirasakan kurang
efektif dikarenakan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah,
dilakukannya larangan impor pakaian bekas tersebut tidak mempengaruhi pelaku
usaha pakaian impor bekas untuk tetap melanjutkan bisnisnya tersebut, sehingga
dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah terkait perdagangan pakaian impor bekas tersebut.
Download