BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Bisnis Internasional Menurut Robbins dan Coulter (2012: 36) dalam bukunya yang berjudul Management, manajemen adalah kegiatan mengoordinasi dan mengatur aktivitas dan pekerjaan lainnya sehingga selesai dengan efisien dan efektif. Efisien artinya mendapatkan output semaksimal mungkin dengan input yang lebih sedikit. Sedangkan yang dimaksud dengan efektif adalah “doing the right things” yaitu mengerjakan pekerjaan yang membantu mencapai tujuan suatu organisasi. Fungsi manajemen terdiri dari planning, organizing, leading, dan controlling. Planning (perencanaan) yaitu menetapkan tujuan, menyusun strategi untuk mencapai tujuan tersebut dan mengembangkan rencana agar aktivitas menjadi terintegrasi dan terkoordinasi. Organizing (pengorganisasian) adalah menentukan kebutuhan yang diperlukan, bagaimana mencapai atau menyelesaikannya dan siapa yang dapat melakukannya. Leading (pemimpinan) adalah fungsi manajemen yang melibatkan kegiatan memotivasi, mengarahkan dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan menghadapi orang-orang agar tercapai tujuan organisasi. Sedangakan controlling (pengendalian) adalah mengawasi setiap aktivitas untuk memastikan aktivitasaktivitas tersebut berjalan dan tercapai sesuai rencana (Robbins dan Coulter, 2012: 37). Manajemen dibutuhkan oleh semua jenis, ukuran, tingkat, wilayah kerja dan seluruh ruang lingkup organisasi di manapun mereka berada. Hal ini disebut dengan universality of management atau universalisitas manajemen. Dalam semua lingkup organisasi ini, manajer harus merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan mengontrol (Robbins dan Coulter, 2012: 45). Gambar 2. 1 Kebutuhan Universal Manajemen Sumber: Robbins dan Coulter (2012: 45) Manajemen global adalah manajemen bisnis dan organisasi dengan ketertarikan kepada lebih dari dua negara. Kunci sukses perusahaan dalam bisnis internasional bergantung pada perspektif global yang dimiliki oleh manajer global. Perspektif global tersebut harus kuat, peka terhadap budaya dan memiliki informasi mengenai masalah dan peristiwa internasional terkini (Schemerhorn dan Bachrach, 2015: 87). Pada hakikatnya manajemen adalah sebuah proses dalam pembuatan keputusan. Ada tiga keputusan yang harus dibuat manajer perusahaan ketika dihadapkan pada prospek globalisasi. Keputusan pertama adalah apakah melakukan go international atau tidak. Ketika keputusan tersebut dibuat, manajer harus memutuskan keterlibatan internasionalnya dan menetapkan struktur organisasi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan global. Jadi, dalam membangun bisnis berskala internasional, dibutuhkan manajemen yang baik di mana berperan penting dalam kesuksesan suatu organisasi atau perusahaan. Planning, organizing, leading dan controlling jauh lebih sulit ketika sebuah bisnis beroperasi di beberapa negara (Jane, 2012). Menurut Schemerhorn dan Bachrach (2015: 87), bisnis internasional adalah melakukan transaksi yang menghasilkan laba dari barang dan jasa melintasi batasbatas nasional. Menurut mereka alasan perusahaan melakukan bisnis internasional adalah: 1. Keuntungan: Mendapatkan laba melalui perluasan operasi. 2. Pelanggan: Masuk pasar baru untuk mendapatkan pelanggan baru. 3. Pemasok: Mendapat akses ke bahan-bahan, produk dan jasa. 4. Tenaga Kerja: Mendapat akses ke pekerja yang lebih murah atau berbakat. 5. Modal: Membuka jalan ke dalam sumber finansial yang lebih besar. 6. Resiko: Menyebarkan aset di antara beberapa negara. 7. Perkembangan Ekonomi: Membantu ekonomi lokal. 2.2 Pemasaran Internasional Dalam bukunya Cant et al. (2007: 19), Marketing atau pemasaran didefinisikan sebagai kombinasi tugas manajemen dan keputusan ditujukan untuk memenuhi peluang dan ancaman yang sedemikian rupa dalam lingkungan yang dinamis di mana menawarkan pada pasar akan kepuasan kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga tujuan dari perusahaan, konsumen dan masyarakat tercapai. Cateora dan Graham (2007: 11) mendefinisikan pemasaran internasional sebagai kinerja dari aktivitas-aktivitas bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mengarahkan barang dan jasa perusahaan kepada pelanggan atau pengguna di lebih dari satu negara untuk mendapatkan keuntungan. Satu-satunya perbedaan antara definisi pemasaran domestik dan pemasaran internasional adalah bahwa dalam kasus pemasaran internasional, aktivitas pemasaran dilakukan di lebih dari satu negara. 2.3 Internasionalisasi Hollensen (2011: 6) menyebutkan internasionalisasi berarti melakukan bisnis di beberapa negara di dunia. Internasionalisasi juga didefinisikan sebagai proses di mana perusahaan meningkatkan kertelibatannya pada proses internasionalisasi (Kaffash et al., 2012). Definisi lainnya yaitu, internasionalisasi adalah sejauh mana sebuah perusahaan terlibat dalam bisnis internasional. Yang termasuk internasionalisasi adalah ekspor, adanya anak perusahaan asing, kepemilikan saham oleh pihak asing dan penunjukan pihak asing dalam struktur organisasi (Chelliah, 2010). Lebih lanjut, berdasarkan pendekatan orientasi keputusan (decision-oriented approach) proses internasionalisasi suatu perusahaan diidentifikasikan Hollensen (2011: 6) menjadi 5 proses yaitu: 1. Keputusan melakukan internasionalisasi 2. Memutuskan pasar mana yang akan dimasuki 3. Strategi masuk pasar 4. Mendesain program pemasaran global 5. Implementasi dan koordinasi program pemasaran global Kompetitif global perusahaan bergantung pada hasil dari kelima proses di atas yang disebut Hollensen (2011: 38) sebagai perencanaan pemasaran global. Tujuan dari perencanaan pemasaran global ini adalah menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam pasar global. Normalnya perusahaan melewati proses rumit untuk mengembangkan rencana pemasaran global. Pada UMKM prosesnya lebih informal, namun pada organisasi yang lebih besar proses yang dilewati lebih sistematis. Pada UMKM seringkali dikarakteristikan sebagai entrepreneurial dan model pembuat keputusan berorientasi pada tindakan di mana memungkinkan perubahan drastis pada strategi karena pembuat keputusannya intuitif, sporadis dan tidak terstruktur. Dengan kata lain, UMKM lebih fleksibel dibandingkan perusahaan skala besar dan mampu bereaksi lebih cepat terhadap perubahan lingkungan internasional yang tiba-tiba (Hollensen, 2011: 38). 2.4 Motif Internasionalisasi Alasan mendasar mengapa suatu perusahaan melakukan ekspor adalah untuk menghasilkan uang. Namun, biasanya dalam suatu bisnis jarang yang hanya terpengaruh oleh satu faktor saja. Biasanya mereka termotivasi oleh beberapa faktor sehingga mengambil langkah internasionalisasi. Adapun motif suatu perusahaan melakukan ekspor diklasifikasikan menjadi dua motif, yaitu motif proaktif dan motif reaktif (Hollensen, 2011: 50-56). 1. Motif proaktif Motif proaktif merujuk pada dorongan internal untuk mencoba perubahan strategi, di mana berasal dari kepentingan perusahaan di dalam memanfaatkan kompetensi unik atau peluang pasar. Yang termasuk motif proaktif adalah: a. Profit dan Tujuan Pertumbuhan (profit and growth goals) Keinginan akan keuntungan jangka pendek sangat penting bagi UMKM jika mereka berada pada tahap ketertarikan awal di ekspor. Motivasi untuk bertumbuh juga mungkin penting untuk ekspor awal perusahaan. Semakin kuat motivasi perusahaan untuk tumbuh, semakin besar kegiatan yang dihasilkannya, termasuk aktivitas mencari peluang-peluang baru dalam rangka memenuhi pertumbuhan dan ambisi mengejar keuntungan. b. Dorongan manajerial (managerial urge) Dorongan manajerial adalah motivasi yang mencerminkan keinginan, dorongan dan antusiasme manajemen terhadap kegiatan pemasaran global. Antusiasme ini bisa muncul hanya karena manajer ingin menjadi bagian dari perusahaan yang beroperasi secara internasional. c. Kompetensi teknologi/ produk yang unik (technology competence/ unique product) Perusahaan mungkin memproduksi barang atau jasa yang tidak banyak diproduksi oleh pesaing internasional. Jika produk atau teknologi mereka unik, maka akan terbentuk nilai kompetitif berkelanjutan yang membawa kepada kesuksesan. Perusahaan yang memproduksi produk yang berkualitas akan semakin menerima permintaan dari pasar internasional karena persepsi kompetensi yang ditawarkannya. d. Peluang pasar asing/ informasi pasar (foreign market opportunities/ market information) Peluang pasar mendorong perusahaan untuk melakukan internasionalisasi. Akses pengetahuan dan informasi seperti mengenai konsumen luar negeri dan situasi pasar dapat membuat perusahaan termotivasi untuk melakukan pemasaran global. e. Skala Ekonomi (economies of scale) Menjadi pelaku pemasaran global memungkinkan meningkatkan output dan memperluas pembelajaran. f. Keuntungan pajak (tax benefits) perusahaan untuk Keuntungan pajak juga dapat memainkan peran utama memotivasi suatu perusahaan untuk melakukan ekspor. Di Amerika Serikat, mekanisme pajak yang diberi nama Foreign Sales Corporation (FSC) telah diinstitusikan untuk membantu eksportir. Dalam perjanjian itu, perusahaan diberikan keringanan pajak sehingga biaya produksi menjadi lebih rendah dan meningkatkan keuntungan. 2. Motif reaktif Motif reaktif menunjukkan bahwa perusahaan bereaksi terhadap tekanan atau ancaman di pasar dalam negeri maupun luar negeri dan menyesuaikannya secara pasif dengan cara mengubah aktivitas mereka dari waktu ke waktu. Yang termasuk motif reaktif utama adalah: a. Tekanan persaingan (competitive pressures) Bentuk utama dari motif reaktif adalah tekanan persaingan. Perusahaan mungkin takut kehilangan market share domestik karena bersaing dengan perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari skala ekonomi dari aktivitas pemasaran global. b. Pasar domestik: kecil dan jenuh (domestic market: small and saturated) Untuk beberapa perusahaan, pasar domestik mungkin tidak dapat terus menerus memenuhi skala ekonomi sehingga perusahaan secara otomatis melakukan ekspor sebagai strategi market entry. c. Kelebihan produksi/ kelebihan kapasitas (overproduction/ excess capacity) Jika penjualan domestik di bawah ekspektasi, gudang penyimpanan bisa-bisa tidak mampu menyimpan produk yang tidak terjual. Situasi ini dapat memicu perusahaan untuk melakukan ekspor agar tidak terjadi kelebihan produk di gudang. d. Permintaan asing (unsolicited foreign orders) Banyak perusahaan kecil menjadi sadar pada peluang di pasar ekspor karena produk mereka menghasilkan permintaan dari luar negeri. Permintaan ini dapat dihasilkan dari iklan di jurnal perdagangan yang memiliki saluran di seluruh dunia, melalui pameran dan dengan cara lain. e. Perpanjangan penjualan produk musiman (extend sales of seasonal products) Kondisi permintaan musiman mungkin berbeda antara pasar domestik dengan pasar internasional lainnya. Hal ini dapat menjadi motivasi untuk eksplorasi pasar luar negeri yang dapat mengakibatkan permintaan lebih stabil sepanjang tahun. f. Kedekatan dengan pelanggan internasional/ jarak psikologis (proximity to international customer/ psychological distance) Kedekatan jarak fisik dan psikologis pasar internasional seringkali menjadi motivasi utama dalam aktivitas ekspor bagi suatu perusahaan. 2.5 Strategi Masuk Pasar Entry mode pasar asing adalah proses internasionalisasi di mana suatu entitas perusahaan yang awalnya skala nasional kemudian memperluas pasar mencapai area internasional dengan medium ekspor yang kemudian mengarah pada joint venture atau kemudian menjadi wholly owned subsidiary. Entry mode menurut Hollensen (2011: 320) adalah suatu pengaturan institusional masuknya produk dan jasa perusahaan ke pasar luar negeri baru. Dalam memilih strategi entry mode, Hollensen (2011: 320) menyatakan ada tiga aturan yaitu: 1. Aturan naif Pembuat keputusan menggunakan semua entry mode yang sama untuk semua pasar asing. Aturan ini mengabaikan heterogenitas dari pasar asing. 2. Aturan pragmatis Pembuat keputusan menggunakan entry mode yang dapat bekerja untuk setiap pasar asing. Perusahaan akan mencari alternatif entry mode lain jika entry mode awal tidak menguntungkan. Pada kasus ini, tidak semua alternatif potensial diinvestigasi, dan entry mode yang bisa diterapkan belum tentu yang terbaik. 3. Aturan strategi Pendekatan ini membandingkan dan mengevaluasi semua alternatif entry mode secara sistematis sebelum keputusan dibuat. Aplikasi aturan ini akan memilih entry mode yang dapat memaksimalkan kontribusi profit selama periode perencanaan strategis. Hollensen (2011: 320) juga mengatakan bahwa dari semua aturan di atas, UMKM mungkin memilih aturan pragmatis atau malah aturan naif. Berhubung UMKM menghadapi keterbatasan sumber daya dalam bentuk keuangan, informasi dan kapasitas manajemen yang lebih tinggi juga hambatan eksternal seperti ketidaksempurnaan pasar dan regulasi, mereka cenderung terpaksa untuk mengambil bentuk internasionalisasi yang tidak membutuhkan komitmen tinggi. Hal ini menjelaskan mengapa ekspor masih merupakan jenis yang paling sering aktivitas internasionalnya. Untuk alasan yang sama, UMKM memilih perjanjian kontrak lebih sering daripada perusahaan besar dan lebih memilih saham minoritas dengan kepemilikan penuh (Marshall, 2014). 2.6 Entry Mode Pasar Asing Di kutip dari Hollensen (2008: 215-216), ada banyak strategi cara masuk pasar asing yang kemudian dibagi menjadi tiga kelompok besar; mode ekspor (export modes), mode menengah (intermediate modes) dan mode hirarkis (hierarchical modes). 2.6.1 Ekspor Ekspor adalah usaha suatu perusahaan memasuki pasar asing dengan cara menjual barang yang diproduksi di negara perusahaan tersebut berasal (Kotler dan Armstrong, 2012: 562). Daniels et al. (2015: 566) mendefinisikan ekspor sebagai kegiatan penjualan barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan di satu negara kepada konsumen yang tinggal di negara lain. Ekspor biasanya pilihan strategi masuk pasar asing paling umum bagi perusahaan-perusahaan yang berada di langkah awal mereka untuk internasionalisasi. Langkah ini dipilih karena terbatasnya pengetahuan tentang pasar luar negeri dan transaksi, biaya lebih rendah, sangat fleksibel, dan risiko tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan investasi asing langsung alias foreign direct investment (FDI) atau usaha patungan (joint venture). Alasan tersebut menjelaskan mengapa perusahaan lokal melakukan kegiatan manufakturnya di pasar dalam negeri, tetapi kegiatan pemasaran, distribusi, dan penjualan dikelola di pasar ekspor, biasanya bersama perantara seperti agen atau distributor (Cavusgil et al., 2012: 406-407). Ada beberapa saluran ekspor yang tersedia bagi perusahaan. Saluran tersebut dapat dibagi menjadi tiga golongan: ekspor langsung, ekspor tidak langsung dan ekspor kooperatif (Hollensen, 2008: 216). a. Ekspor langsung (direct export) Ekspor langsung mengacu pada penjualan produk dan atau jasa langsung kepada perantara independen, yang dapat berupa agen atau distributor terletak di target pasar asing. Agen dan distributor adalah perantara independen dalam rantai pasokan internasional (Hollensen, 2008: 222). Direct exporting adalah pendekatan ambisius di mana membutuhkan keterlibatan perusahaan dalam mengelola proses ekspor dan memikirkan berbagai aspek seperti bagaimana memasarkan produk ke pembeli luar negeri (Daniels et al., 2015: 576). Jadi dengan kata lain, tugas utama agen adalah untuk menemukan pelanggan untuk eksportir serta menjual produk mereka, dan tergantung pada kinerja, ukuran pasar dan kepentingannya, dan persaingan di antara agen dan eksportir, dan penerimaan komisi. Perusahaan agen tidak khawatir tentang pembiayaan, promosi, atau harga jual karena hal itu telah dilakukan antara eksportir dan pelanggan. Seorang distributor membeli produk dari eksportir untuk diri sendiri, menyimpannya dan menjualnya untuk harga yang dianggap paling menguntungkan bagi mereka. b. Ekspor tidak langsung (indirect export) Ekspor tidak langsung terjadi ketika eksportir menggunakan organisasi ekspor independen yang yang terletak di negara sendiri untuk mengekspor produkproduknya ke luar negeri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa produsen tidak benar-benar berpartisipasi dalam kegiatan penjualan internasional karena produk yang dibawa ke luar negeri oleh orang lain. Metode ekspor tidak langsung biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang telah membatasi tujuan ekspansi internasional, ingin membuang surplus produksi, atau memiliki sumber daya yang cukup untuk go internasional sendiri dan ingin masuk hati-hati tanpa harus melakukan terlalu banyak di awal (Albaum dan Duerr, 446-447; Hollensen, 2008: 218). Dengan kata lain, melalui ekspor tidak langsung perusahaan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan pengalaman dan sumber daya dari eksportir yang lebih berpengalaman untuk mengembangkan usahanya secara internasional dengan komitmen, kontrol dan resiko kecil. Ada lima entry mode utama ekspor tidak langsung yaitu agen ekspor, broker, perusahaan manajemen ekspor (EMC) juga disebut rumah ekspor, perusahaan perdagangan, dan piggyback yang merupakan singkatan dari Pick-a-Back. c. Ekspor kooperatif (cooperative export) Kelompok pemasaran ekspor dibentuk oleh sekelompok usaha manufaktur yang menginginkan masuk pasar ekspor, tetapi memiliki keterbatasan sumber daya dan keterampilan untuk melakukannya sendiri. Karena alasan itulah, para pemilik manufaktur membentuk kelompok pemasaran ekspor ini. yang berarti bahwa masing-masing memiliki fungsi hulu sendiri yaitu RdanD dan produksi, tetapi mereka bekerja sama dalam fungsi hilir melalui agen berbasis luar negeri bersama. Fungsi hilir mengacu pada pemasaran, penjualan dan layanan (Hollensen, 2008: 227). 2.6.2 Entry Modes Menengah Disebut juga sebagai entry modes kontraktual, terdiri dari seperangkat perjanjian, seperti waralaba, lisensi, joint venture dan kontrak manufaktur. Strategi ini didasarkan pada kontrak tertentu antara dua atau lebih perusahaan yang berbeda melakukan bisnis. a. Lisensi (licensing) Lisensi adalah salah satu strategi entry mode intermediate biasanya digunakan oleh perusahaan teknologi tinggi. Lisensi adalah perjanjian yang memberikan satu perusahaan hak untuk menggunakan kekayaan intelektual untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan royalti atau kompensasi lain seperti pengetahuan atau produk. Lisensi adalah alternatif yang baik untuk pasar di mana ekspor sangat sulit karena hambatan seperti bea masuk dan hambatan non-tarif, atau sekadar ketidakpraktisan menggunakan penjualan langsung atau menjual melalui perantara seperti agen dan distributor. Namun, jenis strategi entry mode ini hanya dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan intelektual (Cavusgil et al., 2012: 464). Perjanjian lisensi dapat dibagi dalam dua jenis utama: lisensi perizinan perdagangan dan hak cipta dan lisensi know-how (pengetahuan). Perjanjian lisensi pengetahuan adalah kontrak di mana suatu perusahaan memberikan teknologi atau manajemen pengetahuan tentang cara pembuatan produk. Perjanjian lisensi merek dagang terdiri dari kontrak di mana suatu perusahaan memberikan perusahaan lain izin untuk menggunakan nama, logo atau karakter dalam pertukaran untuk royalti. Hak cipta memberikan pemilik hak eksklusif untuk mereproduksi, mendistribusikan, melakukan, menampilkan, atau mempersiapkan hasil produk lisensi secara publik (Cavusgil et al., 2012: 467). b. Waralaba (franchising) Waralaba adalah bentuk yang lebih maju dari lisensi di mana pemilik, pemilik waralaba, memberikan hak kepada investor atau pengusaha, penerima waralaba, menggunakan konsep bisnis, merek itikad baik dan bisnis strategi lengkap dengan imbalan kompensasi, biasanya royalti, yang merupakan persentase tertentu dari pendapatan (Jimenez, 2012: 165). Ada dua jenis utama dari waralaba yaitu waralaba produk dan nama dagang, dan waralaba format bisnis. Dalam waralaba produk dan perdagangan nama, pemasok waralaba membuat kontrak dengan dealer untuk membeli atau menjual produk atau lini produk. Dalam waralaba format bisnis, di bawah kondisi kontrak pemilik waralaba memberikan, format bisnis atau konsep keseluruhan bisnis untuk franchisee negara tujuan (Hollensen, 2008: 233). c. Kontrak manufaktur (contract manufacturing) Kontrak manufaktur adalah situasi di mana sebuah perusahaan mengendalikan Research and Development pemasaran, distribusi, penjualan dan jasa dari produk-produknya di pasar internasional, tapi memberikan tanggung jawab untuk produksi ke perusahaan lain yang terletak di pasar luar negeri sasaran. Dengan kata lain outsourcing manufaktur ke mitra eksternal, khusus dalam produksi dan teknologi produksi (Hollensen, 2008: 228). Dalam kontrak manufaktur pembayaran dari kontraktor ke perusahaan yang dikontrakan biasanya berdasarkan per unit, sehingga perusahaan yang dikontrak mampu menghasilkan lebih banyak uang. Keuntungan dari metode ini adalah hal itu memberikan perusahaan kontraktor cukup banyak fleksibilitas karena jika perusahaan dikontrak tidak memenuhi standar kualitas, atau tidak dapat menangani proses pengiriman sesuai kemauan kontraktor, mereka dapat mengubah ke produsen lain, tergantung dari durasi kontrak yang dibuat (Hollensen, 2008: 230). d. Usaha patungan (joint venture/ strategic alliance) Joint venture atau perusahaan patungan terjadi ketika perusahan sedikitnya dua negara yang berbeda (biasanya salah satu berasal dari lokal), mendirikan sebuah perusahaan baru untuk menghasilkan produk atau menyediakan jasa bersama-sama. Aliansi strategis kurang lebih sama dengan joint venture. Namun, perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa dalam aliansi strategis, sebagian besar para pihak tidak menempatkan ekuitas atau berinvestasi dalam aliansi sedangkan jika perusahaan patungan mereka berinvestasi (Albaum dan Duerr, 2011: 550). 2.6.3 Entry Modes Hirarkis Entry mode ini mengarah pada keinginan perusahaan memegang kendali penuh atas operasi di pasar asing. Jenis entri ini membutuhkan banyak komitmen, sumber dana finansial, dan keberanian untuk mengambil resiko, tetapi di sisi lain, jenis entri ini paling menguntukan dan memberi kendali (Hollensen, 2008: 242). Bentuk entry modes hirarkis adalah foreign direct investments (FDI) yang dapat diklasifikasikan dari bentuk investasinya, yaitu: a. Akusisi Akusisi adalah investasi langsung dengan membeli perusahaan yang telah ada. Bentuk investasi ini disukai perusahaan yang ingin segera masuk ke dalam pasar atau masuk ke dalam pasar yang telah jenuh karena banyaknya kompetitor. Kelebihan akusisi adalah cepat untuk melakukan bisnis di pasar luar negeri karena perusahaan yang diakusisi sudah memiliki fasilitas, peralatan dan sumber daya manusia juga pemasok dan pelanggan. Tetapi kelemahannya adalah mahal, beresiko tinggi dan kemungkinan terjado masalah pada komunikasi dan koordinasi antara perusahaan pengakusisi dan perusahaan yang diakusisi (Cavusgil et al., 2012: 444). b. Merger Merger adalah jenis lain dari akusisi di mana dua perusahaan bergabung menjadi satu perusahaan besar yang baru. Contohnya adalah Disney dan Pixar (Cavusgil et al., 2012: 445). c. Greenfield investment Jenis ini berarti perusahaan memulai dari awal membangun produksi, pemasaran atau fasilitas administrasi baru di luar negeri. Alasan perusahaan menggunakan jenis entri ini adalah kemungkinan tidak adanya target akusisi yang cocok, atau perusahaan ingin membuat operasionalnya sendiri. (Cavusgil et al., 2012: 446) d. Brownfield investment Investasi brownfield mengarah pada situasi di mana perusahaan membeli atau menyewa fasilitas lama seperti pabrik yang sudah dipakai, untuk memulai aktivitas produksi baru (Cavusgil et al., 2012: 446) e. Wholly-owned subsidiaries Selain bentuk FDI di atas, ada juga wholly-owned subsidiaries, yaitu membangun anak perusahaan di luar negeri. Anak perusahan ini menjadi milik dan dijalankan oleh pemilik perusahaan tersebut. Tetapi anak perusahaan ini akan menyesuaikan dengan peraturan, norma dan pajak negara tujuan supaya dapat menjalankan bisnisnya (Hollensen, 2008: 244). 2.7 Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Entry Mode Keputusan perusahaan dalam memilih entry mode tergantung pada beberapa faktor. Kaffash et al. (2012) membagi faktor-faktor ini menjadi dua kategori yaitu: 1. Faktor eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi entry mode selection ini tidak dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh perusahaan. Yang termasuk faktor eksternal adalah: a. Faktor negara target pasar (target country market factors) Jika target pasar besar dan memiliki pertumbuhan potensial yang bagus, perusahaan cenderung ingin menggunakan banyak sumber daya untuk pasar tersebut dan akan memilih strategi entry mode FDI atau berpartisipasi dalam joint venture. Sebaliknya, jika ukuran target pasar kecil atau di lokasi geografis terpencil, perusahaan dapat memilih untuk menggunakan strategi entry mode ekspor atau perjanjian kontrak seperti lisensi atau waralaba (Hollensen, 2012: 225). b. Faktor produksi negara target (target country production factors) Ketika biaya produksi dalam negeri tinggi dan kurang/buruknya infrastruktur seperti transportasi, pelabuhan dan komunikasi di dalam negeri, produksi lokal lebih di negara target lebih disukai. Di sini perusahaan mungkin akan mempertimbangkan entry mode hirarkis dan mendirikan anak perusahaan di dalam target pasar asing yang mana biaya produksi lebih rendah (Hollensen, 2012: 225). c. Faktor lingkungan negara target (target country environmental factors) Yang termasuk faktor lingkungan adalah faktor politik, ekonomi, hambatan masuk negara target dan sosial-budaya (Kaffash et al., 2012). Kestabilan ekonomi menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam memutuskan entry mode. Ketidakstabilan ekonomi seperti neraca pembayaran yang lemah berdampak pada pengetatan impor atau devaluasi nilai tukar. Perang, resesi dan masalah politik seperti kebijakan dan regulasi tarif, kuota dan batasan lainnya juga akan memberikan dampak. Jika terjadi hal demikian maka entry modes hirarkis atau entry modes menengah dapat digunakan. Kesenjangan budaya sosial antara perusahaan lokal dan luar negeri juga memiliki dampak besar dalam pemilihan entry mode. Aspek budaya sosial mengarah pada kesamaan atau perbedaan dua negara dalam budaya perusahaan, tingkat pendidikan, praktik bisnis dan industrial atau bahasa. Jika terlalu banyak perbedaan sosial budaya antar negara, perusahaan tidak akan banyak berinvestasi maka dari itu joint venture atau entry mode rendah resiko seperti ekspor tidak langsung adalah yang paling tepat (Hollensen, 2012: 224). d. Resiko negara target (target country risk) Hal lain yang mungkin akan dihadapi perusahaan ketika memasuki pasar baru adalah resiko negara dan ketidakpastian permintaan. Resiko bisa saja berupa resiko ekonomi, politik atau sosial budaya. Jadi diperlukan analisis metode dan resiko pasar sebelum masuk ke dalam pasar baru. Bila resiko negara tinggi, perusahaan lebih memilih entry mode yang melibatkan komitmen sumber daya yang rendah seperti ekspor (Hollensen, 2012: 224). e. Tingkat persaingan (competition level) Persaingan pasar yang ketat biasanya tidak terlalu memberikan keuntungan dan investasi dan komitmen yang besar tidak terlihat begitu berharga. Maka dari itu perusahaan lebih memilih ekspor di mana tidak membutuhkan banyak sumber daya. Jika pasar terkonsentrasi di mana hanya ada beberapa pemain besar, jenis pasar ini memberikan sedikit kemungkinan untuk memberikan perusahaan daya tawar dan membawa kepada situasi monopolistik. Pada situasi tersebut, biasanya pasar berada di bawah beberapa perantara ekspor. Untuk menghindari perilaku tersebut, perusahaan menggunakan entry mode hirarkis seperti akusisi atau greenfield investment (Hollensen, 2012: 225). 2. Faktor internal Faktor internal menekankan kepada apa yang terjadi di dalam perusahaan. Faktor ini terdiri dari besarnya perusahaan, jumlah pengalaman internasional dan karakteristik produk atau jasa. a. Besar perusahaan (size of firm) Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pemilihan entry mode adalah ukuran perusahaan. Perusahaan yang lebih kecil memiliki sumber keuangan dan SDM yang terbatas dan memperbesar resiko gagal bila memilih mode inverstasi asing. Sebaliknya, perusahaan yang lebih besar memiliki sumber daya produktif, kekuatan pasar lebih besar, pengetahuan serta skala ekonomi. Jadi perusahaan besar lebih berpeluang besar mengadopsi mode yang membutuhkan modal investasi besar (Bedi dan Kharbanda, 2014). b. Faktor produk (product factors) Karakteristik produk atau jasa seperti nilai, berat, ukuran dan bahan pembuatan. Sifat produk berbeda-beda dan menjadi faktor penentu pemilihan entry mode. Contohnya, produk yang membutuhkan layanan purna jual seperti instalasi, pelatihan dan sebagainya, bagian pemasaran dan penjual perantara di dalam pasar asing mungkin tidak bisa menanganinya. Jadi lebih baik perusahaan menggunakan entry mode hirarki dan mendirikan anak perusahaan sendiri (wholly owned subsidiary) di mana memungkinkan untuk menawarkan layanan purna jual tersebut dengan leluasa. (Hollensen, 2012: 223) c. Pengalaman internasional (international experience) Selain itu pengalaman internasional perusahaan dan karakteristik produk atau jasa merupakan faktor penting di mana akan menentukan proses internasionalisasi suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki banyak pengalaman internasional seperti tahu bagaimana sesuatu berkerja, mempunyai kontrak yang baik dan sebagainya, mereka mampu mengambil lebih banyak resiko dan memasukan lebih banyak sumber daya ke dalam pasar asing. Mereka akan memilih entry mode FDI seperti wholly owned subsidiary (Hollensen, 2012: 223). d. Karakteristik entry mode yang diinginkan (desired mode characteristic) Setiap pengambil keputusan mempunyai karakteristik sendiri dalam memilih entry mode. Tergantung dari jenis dan umur perusahaan, produk atau jasa yang mereka mau jual dan manajemennya, suatu perusahaan mungkin menginginkan kontrol yang lebih banyak atas operasi internasional. Hal ini berarti membutuhkan lebih banyak komitmen sumber daya juga semakin tinggi resiko yang akan dihadapi dan berkurang fleksibilitas. Jika perusahaan lebih memilih untuk tidak mengambil banyak resiko dalam operasi internasional, mereka akan memilih ekspor atau intermediate mode seperti lisensi karena tidak membutuhkan banyak investasi keuangan dan komitmen. Ketika sebuah perusahaan berusaha untuk banyak mengontrol dalam suatu pasar luar negeri ia lebih suka untuk berinvestasi di anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki (wholly owned subsidiary) atau bahkan brownfield atau investasi greenfield. Meskipun demikian, hal ini membutuhkan komitmen sumber daya yang signifikan. Jika sebuah perusahaan kekurangan (misalnya sumber daya keuangan untuk mendirikan anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki atau fasilitas baru di luar negeri), mereka mungkin ingin masuk dalam joint venture, di mana mereka memiliki sebagian besar kendali atas perusahaan patungan tersebut. Perusahaan perlu mempertimbangkan juga fleksibilitas terkait dengan entry mode tertentu. Mode ekspor memberikan fleksibilitas yang paling bagi perusahaan untuk menarik diri dari pasar internasional jika diperlukan, tetapi entry mode menengah (perjanjian kontraktual dan usaha kolaboratif) membatasi kemungkinan fleksibilita tersebut karena adanya perjanjian dan keterlibatan perusahaan lain. Yang paling sedikit fleksibel adalah hierarchical mode, karena mereka paling memerlukan investasi ekuitas (Hollensen, 2012:226-227). 2.8 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 2.8.1 Definisi Ada banyak definisi UMKM berbeda berdasarkan negara asalnya. Kushnir (2010) mengungkapkan bahwa definisi UMKM dapat bergantung pada beberapa faktor seperti budaya bisnis, ukuran populasi negara, industri, dan tingkat integrasi internasional ekonomi. Atau bisa juga definisi tersebut merupakan hasil dari lobi bisnis untuk definisi tertentu supaya perusahaan mereka berkualifikasi dalam program dukungan pemerintah. Beberapa definisi UMKM yang ada misalnya OECD (2005: 17) menjelaskan definisi UMKM sebagai, perusahaan tidak bercabang, independen, yang mempekerjakan kurang dari jumlah tertentu karyawan. Yang termasuk Usaha Menengah adalah perusahaan dengan 50-249 pekerja yang memiliki omzet tidak lebih dari 10 juta euro. Sedangkan yang termasuk Usaha Kecil adalah perusahaan yang memiliki 10-49 orang pekerja dan omzet tidak melebihi dari 10 juta euro. APEC mengatakan bahwa definisi UMKM dapat berdasarkan beberapa kriteria. Tidak ada satu definisi yang sama diadopsi oleh negara-negara anggota APEC. Untuk kirteria definisi UMKM lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. 1 Kriteria Definisi UMKM Jumlah Penjualan/ tenaga kerja pendapatan Australia X Brunei Darussalam X Canada X X Chile X X China X X Hongkong, China X Indonesia X Japan X Korea X X Malaysia X X Mexico X New Zealand X Aset Modal/ Sektor investasi X X X X X X X X X X X Papua New Guinea X Peru X Philippines X Russia X Singapore X Chinese Taipei X Thailand X United States X Vietnam X X X X X X X X X X X X X X Sumber: APEC (2010) Di Indonesia sendiri, juga banyak definisi UMKM yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UMKM), yang dimaksud dengan Usaha Kecil (termasuk Usaha Mikro) adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (tidak termasuk tanah dan bahan bangunan tempat usaha). Sementara yang dimaksud dengan Usaha Menengah adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 – Rp 10.000.000.000 (tidak termasuk tanah dan bangunan). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik atau BPS (2009), UMKM diklasifikasikan berdasarkan jumlah tenaga kerja fulltime. Bila suatu usaha memiliki 5-19 karyawan disebut sebagai Usaha Kecil. Dan lebih dari 20 sampai 99 karyawan masuk dalam kategori Usaha Menengah. UU RI No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (2008) menyatakan: 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yaitu: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini yaitu: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan yang dinamakan Usaha Mikro adalah usaha yang: 1. Usaha produktif berdiri sendiri, milik perorangan atau badan usaha perorangan 2. Memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50.000.000 (tidak termasuk tanah dan bangunan) 3. Penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000. Lalu yang termasuk Usaha Kecil adalah usaha yang: 1. Usaha produktif berdiri sendiri, milik perorangan atau badan usaha perorangan yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang dari Usaha Menengah maupun Usaha Besar. 2. Memiliki kekayaan bersih Rp 50.000.000 - Rp 500.000.000 (tidak termasuk tanah dan bangunan) 3. Memiliki jumlah tenaga kerja 5 – 19 orang 4. Penjualan tahunan Rp 300.000.000 - Rp 2.500.000.000. Sedangkan yang dimaksud dengan Usaha Menengah adalah usaha yang: 1. Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri milik perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang dari Usaha Kecil atau Usaha Besar. 2. Memiliki kekayaan bersih Rp 500.000.000 – Rp 10.000.000.000. (tidak termasuk tanah dan bangunan) 3. Memiliki jumlah tenaga kerja 20 – 99 orang 4. Memiliki penjualan tahunan Rp 2.500.000.000 – Rp 50.000.000.000. 2.8.2 Perbedaan Usaha Besar dan UMKM Hollensen (2011: 12) membandingkan perbedaan antara perusahaan berskala besar dan UMKM ditinjau dari segi karakteristiknya sebagai berikut: Tabel 2. 2 Karakteristik Usaha Besar dan UMKM Usaha Besar Sumber daya • Banyak sumber daya • Internationalisasi sumber daya Formasi • Formasi strategi dengan strategi/ proses hati-hati pembuatan • Mode pembuatan keputusan keputusan adaptif pada langkah-langkah bertahap kecil (contohnya setiap produk baru: inovasi kecil bagi Usaha Besar) Organisasi • Formal/hirarkis • Independen Pengambilan resiko UMKM • Sumber daya terbatas • Eksternalisasi sumber daya (outsourcing) • Muncul strategi formasi • Model pembuatann keputusan entreprenual (contohnya setiap produk baru: inovasi yang di pertimbangkan bagi UMKM) • Pemilik/manajer terlibat langsung dan mendominasi seluruh pembuatan keputusan. • Informal • Pemilik biasanya memiliki kekuatan/kharisma untuk menginspirasi/mengendalikan seluruh organisasi • Cenderung menghindari • Kadang-kadang mengambil resiko resiko, kadang-kadang menghindari resiko • Fokus pada peluang jangka panjang • Fokus pada peluang jangka pendek • Rendah • Tinggi • Ya • Terbatas Fleksibilitas Mengambil keuntungan dari skala ekonomi dan economies of scope Penggunaan • Menggunakan teknik • Informasi dikumpulkan dengan sumber daya terdepan: database, tindakan informal dan cara informasi konsultan eksternal, yang tidak mahal: sumber daya internet internal, komunikasi antar muka Sumber: Diadaptasi dari Hollensen (2011: 12) 2.9 Kerangka Pemikiran Kerangka pikiran dari penelitan ini dapat ditampilkan melalui diagram berikut ini: UMKM di DKI Jakarta Internasionalisasi Motif Internasionalisasi Pemilihan Aturan Entry Mode Keputusan Entry Mode Pasar Asing Reduksi Data Model Data Penarikan/Verifikasi Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Entry Mode Implikasi Penelitian Gambar 2. 2 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis (2015)