1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkoba adalah realitas yang ditemui di dalam masyarakat. Secara nasional, merebaknya penyalahgunaan narkoba (yang dalam hal ini sebagai pengguna) tidak saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi anak-anak yang masih menjalani pendidikan baik pendidikan tinggi, menengah bahkan pendidikan dasarpun tidak luput untuk melakukan penyalahgunaan. Bahkan jumlahnya cukup menghawatirkan. Berdasakan data hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekitar 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di tanah air adalah sebagai pengguna barang haram tersebut.1 Penyalahgunaan narkoba, khususnya narkotika adalaha bahaya laten yang setiap kali diberantas tak lantas habis tetapi akan tumbuh di tempat yang baru dengan modus yang berbeda. Kenyataan tindak pidana narkotika dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi pada 1 suaramerdeka.com, “Pengguna Narkotika Paling Banyak di Kalangan Pelajar”, diakses pada 8 Oktober 2012, pukul 06:59. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 2 umumnya.1 Generasi muda menjadi sasaran utama berkembangnya bisnis narkotika, karena rasa keingintahuan untuk mencoba dari jiwa-jiwa yang masih muda ini lebih besar dari orang dewasa. Pengedar dan bandar narkotika pantas mendapatkan hukuman berat pada tindak pidana ini. Namun untuk pengguna narkotika terutama anak-anak yang awalnya dibujuk dan ditawari secara gratis oleh si pengedar, lantas dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman berupa perampasan kemerdekaan tentu penerapannya masih harus dikaji lagi. Dalam kehidupan masyarakat, anak yang melakukan penyalahgunaan narkoba sebagai pengguna dan kemudian diproses melalui proses peradilan anak, beberapa diantaranya dijatuhi pidana penjara. Sementara pidana penjara adalah pidana yang paling dihindari sebagai reaksi kenakalan anak karena dampak yang ditimbulkan akan mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Pada alinea terakhir penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa Putusan Hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa, dan negara. 1 Alinea kedua Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 3 Seorang yang hanya menggunakan narkoba bukan pengedar ataupun bandar berada dalam persimpangan peran, sebagai pelaku atau sebagai korban. Di negara seperti Inggris dan Australia, mereka menempatkan para pengguna narkoba sebagai korban bukan sebagai pelaku, oleh karenanya para pengguna narkoba akan segera direhabilitasi dan ditangani oleh para ahli yang dibekali oleh kompetensi yang cukup. Lain halnya dengan di Indonesia, seorang terdakwa tindak pidana penyalahgunaan narkotika hanya dapat memperoleh tindakan hukum berupa rehabilitasi bila telah memenuhi persyarataan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 04/ Tahun 2010 yaitu: terdakwa dalam kondisi tertangkap tangan, pada saat tertangkap tangan barang bukti untuk ganja 5 gram, surat ijin laboratorium positif menggunakan narkotika, surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah, tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat peredaran Narkotika dan adanya keterangan ahli yang menerangkan seberapa besar kondisi/taraf kecanduan dari terdakwa. Beberapa terobosan dalam penanganan masalah kejahatan narkoba ini sudah dilakukan dibeberapa Negara yaitu berupa konsep diversi dalam penanganan atau pemidanaan bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba. Pada dasarnya hukum pidana sifatnya keras dan menyengsarakan, oleh sebab itu hukum pidana harus dijadikan sebagai Ultimum Remedium (jalan terakhir) bukan sebagai Primum Remedium Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 4 (jalan utama) apalagi sebagai Maximum Remedium (hukuman terberat). Tindak pidana anak merupakan tindak pidana yang khas apabila dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya menginagt sifat-sifat emosional anak masih belum stabil serta masih belum dapat membedakan perbuatan mana yang baik dan yang buruk oleh karena itu perlu ditangani secara khusus dalam rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan anak. Pengadilan Negeri Purwokerto menangani suatu kasus mengenai Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi Diri sendiri yang dilakukan oleh Saiful Ngibad Bin Kusworo (17th), Hakim memutus terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan karena terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merumuskan “Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan 1 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Hal yang menarik dari putusan perkara tersebut adalah pemberian pidana penjara pada terdakwa anak, sedangkan terdakwa adalah pengguna bagi dirinya sendiri dan bukan pecandu menurut hakim. Ada benturan antara perlindungan hak terhadap anak dengan tindakan anak dalam kejahatan khusus yang sifatnya extra ordinary crime. Berdasarkan hal inilah, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian dan penulisan hukum yang berjudul: Penjatuhan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 5 Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi terhadap Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.). B. Perumusan Masalah Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu pembatasan masalah. Untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.? 2. Apakah Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. sesuai dengan tujuan pemidanaan? C. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 6 Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang pidana terutama dalam pemberian putusan hakim untuk menyelesaikan kasus penyalahgunaan Narkotika dan apa sajakah yang menjadi pertimbangan hakim untuk memutus suatu kasus penyalahgunaan narkotika. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitiaan ini dapat digunakan sebagai wacana bagi pembaca untuk menulis judul skripsi ataupun memberikan pengetahuan baru tentang hukum pidana dan juga berguna bagi masyarakat pada umumnya. D. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. 2. Untuk mengetahui kesesuaian Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. dengan tujuan pemidanaan. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana 1. Istilah Tindak Pidana Masyarakat kerap kali menyebut segala tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana adalah kejahatan. Berbeda dengan istilah yang digunakan pada tataran akademisi dan penegak hukum, kejahatan atau perbuatan yang melanggar hukum memiliki beberapa istilah salah satunya adalah tindak pidana. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar Feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada kesamaan pendapat.1 Secara literlijk, kata “Straf” artinya pidana, “Baar” artinya dapat atau boleh dan “Feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah Strafbaar Feit secara utuh, ternyata Straf diterjemahkan juga dengan kata hukum. Padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata Recht, 1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 67. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 8 seolah-olah arti Straf sama dengan Recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.1 Pidana dan hukuman tidaklah sama, sehingga akan dijelaskan terlebih dahulu perbedaan keduanya. Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal suatu istilah untuk keduanya, yaitu Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administrasif, disiplin, dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.2 Perkataan Feit itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “Sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de wrkelijkheid, sedang strafbaar berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai “Sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.3 2. Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (dalam peraturan perundang-undangan) yang disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi, perbuatan (feit) di sini adalah unsur pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut.4 Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit banyak dikemukakan oleh para ahli hukum, yang mana pengertian tersebut dibagi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis cenderung tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility sedangkan, pandangan dualistis cenderung memisahkan secara tegas antara criminal act dan criminal responsibility. Criminal act 1 Ibid., hlm.69. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Bandung, 1994, hlm. 27. 3 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 181. 4 Adami Chazawi, Op.Cit., hlmn 4-5. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 9 adalah perbuatan yang dilarang dengan sanksi ancaman pidana, unsurnya terdiri dari: perbuatan manusia, memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat melawan hukum. Criminal responsibility adalah dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya, unsurnya terdiri dari: kemampuan bertanggung jawab dan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Berikut ini pandangan para ahli hukum mengenai tindak pidana yang disebutkan secara berbeda-beda sesuai istilah mereka masing-masing. Para ahli hukum yang memiliki pandangan monistis diantaranya adalah J.E. Jonkers, menurut Beliau, “Peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.1 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” mengemukakan, “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.2 Menurut H.J. Schravendijk, “Perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehinggga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan”.3 Simons secara lebih lanjut mengemukakan, “Strafbaar feit adalah kelakuan 1 Adami Chazawi, 2005, Op. Cit, hlm. 75. Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 1981, hlm. 50. 3 Adami Chazawi, 2005, Loc.Cit., hlm. 75. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 10 (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.1 Para ahli hukum yang memiliki pandangan dualistis diantaranya adalah Moeljatno, Beliau mengemukakan, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.2 Roeslan Saleh mengemukakan, “Perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang”.3 Menurut Pompe, “Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.4 Hampir senada dengan pendapat Pompe, menurut H.B. Vos, “Starfbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”.5 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud 1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1982, hlm. 38. Ibid., hlm. 37. 3 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 98. 4 Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 72. 5 Ibid., hlm. 72. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 11 dengan unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 1 Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis. Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu : a. D. Simons, sebagai penganut pandangan monistis Simons mengatakan bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut di atas, unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah : 1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); 2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); 3) Melawan hukum (onrechtmatig); 4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad); 5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon). Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut, Simons membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah : Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah : a) perbuatan orang; b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka umum” Selanjutnya unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah : a) Orangnya mampu bertanggung jawab. b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. b. Van Hamel, menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah : 1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum; 1 P.A.F Lamintang, 1984. Op. cit., hlm. 183. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 12 3) Dilakukan dengan kesalahan dan 4) Patut dipidana. c. E. Mezger, menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian unsur-unsurnya yaitu : 1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2) Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subyektif); 3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; 4) Diancam dengan pidana. d. J. Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan. 1 Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut : 1. H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan : 1) Kelakuan manusia dan 2) Diancam pidana dengan undang-undang. 2. W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. 3. Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsurunsur : 1) Perbuatan (manusia); 2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil) dan 3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat. 2 1 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hlm. 41-42. 2 Ibid., hlm. 42-43. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 13 Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.1 B. Pengertian dan Jenis Narkotika 1. Pengertian Narkotika Narkotika menurut pengertian yuridis diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang merumuskan bahwa: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini. Sedangkan dari pendapat dari salah satu sarjana pengertian tentang narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari bahan alam atau sintesis maupun semi sintesis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika di samping membius dan menurunkan kesadaran, adalah mengakibatkan daya khayal atau halusinasi (ganja), serta menimbulkan daya rangsang atau stimulan (cocain). Narkotika dapat menimbulkan ketergantungan (depence).2 1 Ibid., hlm. 45. Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan Praktik serta Penyuluh Masalah Narkoba Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 52. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 14 Istilah narkotika biasanya disamakan dengan drug, hal ini sejalan dengan pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan bahwa: Istilah narkotika disini bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: a. Mempengaruhi kesadaran; b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa; 1) Penenang; 2) Perangsang (bukan rangsangan seks); 3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).1 Sudarto mengemukakan, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani „narke‟, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa”.2 Smith Kline dan Frech Clinical Staff sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso mengemukakan: Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their depresant offer on the central nervous system, included in this definition are ophium-ophium derivativis (morphine, codein, methadone). Artinya lebih kurang ialah: Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini 1 Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum tentang Narkotika Di Indonesia, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1976, hlm. 14, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, 2005, hlm. 17. 2 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 36. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 15 sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).1 Berbagai pengertian narkotika berdasarkan peraturan perundang-undangan dan doktrin para sarjana mempunyai kesamaan pada efek atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika yang termasuk obat yang penggunaanya harus mengunakan ijin yang terbatas. 2. Jenis-Jenis Narkotika Pembahasan mengenai narkotika berkaitan dengan macam-macamnya. Mengenai macam macam narkotika dan bagaimana narkotika itu adalah sebagai berikut: a. Bahwa narkotika ada 2 macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narktika sempit. Sedang narkotika sintesis adalah termasuk pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintesis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam 3 jenis obat yaitu : Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant; b. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunkan; 1 Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit.,hlm. 18. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 16 c. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat barbahaya atau narcotic and dangerous drugs. Di Indonesia narkotika alam digolongkan dalam obat-obatan Daftar O dan narkotika sintesis digolongkan dalam obat-obatan Daftar G. Karena kebanyakan orang tidak tahu suatu obat dikategorikan dalam Daftar O atau Daftar G, maka mereka menggunakan istilah baru: obat yang disalahgunakan (drug abuse). Berikut jenis-jenis Narkotika yang sering diperkenalkan dalam berbagai penyuluhan bahaya Narkotika: 1) HEROIN dikenal dengan nama Putaw atau PTW Efek : a) Menimbulkan rasa kantuk, lesu, penampilan “dungu‟, jalan mengambang, rasa senang yang berlebihan. b) Konsumsi dihentikan menimbulkan rasa sakit dan kejang, perut kram, menggigil, muntah, mata berair, hidung berlendir, hilang nafsu makan dan kehilangan cairan tubuh. c) Menimbulkan kematian bila over dosis. Karakteristik : a) Merupakan Narkoba ketergantungan. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 yang sangat cepat menimbulkan 17 b) Berupa serbuk putih dengan rasa pahit. Warna bisa putih atau coklat. c) Cara penggunaan dapat disuntikkan, dihirup dan dimakan. 2) GANJA dikenal dengan nama Mariyuana, Hashish, Gelek, Budha Stick, Cimeng, Gras Efek : a) Menurunkan ketrampilan motorik, denyut jantung meningkat, gelisah dan panik, depresi, halusinasi, rasa senang yang berlebihan, rasa ketakutan dan agresi. b) Komplikasi kesehatan pada daerah pernafasan, sistem peredaran darah dan kanker. Karakteristik : a) Menimbulkan ketergantungan psikis, yang diikuti oleh kecanduan dalam waktu lama, terutama bagi pengguna rutin. b) Bentuk daun kering, cairan lengket, minyak “damar ganja”. 3) MORFIN Efek : a) Menurunkan ketrampilan motorik, denyut jantung meningkat, gelisah dan panik, depresi, halusinasi, rasa senang yang berlebihan, rasa ketakutan dan agresi. b) Komplikasi kesehatan pada daerah pernafasan, sistem peredaran darah dan kanker. Karakteristik : Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 18 a) Analgesik yang kuat, tidak berbau. b) Berupa kristal putih yang warnanya menjadi kecoklatan. Khusus untuk Mariyuana atau ganja yang menjadi jenis narkotika yang dipakai dalam studi putusan dalam penelitian ini kenyataannya, Mariyuana adalah zat yang sangat berbahaya. Berbeda dengan minuman keras yang biasanya keluar dari tubuh dalam 24 jam karena water-soluble, mariyuana adalah fat-soluble, yang berarti zat psikoaktif ini mengikat pada bagian lemak tubuh (biasanya pada otak dan sistem reproduksi) dan dapat dideteksi sampai 30 hari sesudah penggunaan. Penelitian menunjukkan bahwa Mariyuana mengganggu daya ingat dan mempengaruhi sistem kognitif, fungsi sistem reproduksi, sakit jantung, paru-paru, kelenjar endokrin, dan mengurangi daya tahan tubuh sehingga menyebabkan pemakai mudah terinfeksi penyakit. Mariyuana mengandung zat penyebab kanker lebih daripada rokok yang paling kuat. Pada umumnya ganja adalah pintu gerbang menuju penggunaan Narkoba lainnya. Kebanyakan pecandu berat Narkoba mulai bereksperimen dengan ganja.1 3. Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak Tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan istilah teknis yuridis yang digunakan oleh pembentuk undang-undang sebagai bentuk penegasan sikapnya dalam menggunakan istilah. Penggunaan narkotika sebenarnya diperbolehkan, tetapi hanya untuk penelitian dan pengobatan dengan syarat dan ijin tertentu menurut Undang-Undang. Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky tidak menggunakan istilah teknis yuridis tersebut, mereka menggunakan istilah tindak pidana narkotika, mereka juga mengemukakan bahwa bentuk umum tindak pidana narkotika ada tiga, yaitu: a) Penyalahgunaan/ melebihi dosis; hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan di atas. 1 Tim Ahli Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (Apa yang Bisa Anda Lakukan), Badan Narkotika Kabupaten Banyumas, 2009, hlm. 11. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 19 b) Pengedaran narkotika; karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional. c) Jual beli narkotika; ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materiil, namun ada juga untuk motivasi mencari kepuasan.1 Mengenai gejala-gejala Penyalahgunaan obat berikut macam-macamnya: 1) Hadirnya peralatan sebagai tanda/bukti - Hadirnya peralatan obat-obatan, seperti pipa rokok yang biasa dipakai untuk menghirup kokain/heroin; kertas linting untuk ganja atau botol obat kecil, pematik gas, korek api, plester, kertas timah, sendok kecil, - Kehadiran obat-obat sendiri, - Adanya bau alkohol atau obat lainnya. 2) Tanda-tanda di Sekolah - Prestasi belajar di sekolah tiba-tiba menurun, - Sering bolos sekolah, sikap negatif terhadap sekolah, - Sering mengantuk atau tidur di sekolah. 3) Kehidupan Sosial/Teman - Anak tiba-tiba mencari teman baru dan tidak suka lagi temanteman lamanya, - Tiba-tiba bosan dengan kegiatan-kegiatan atau hobinya yang dulu yang sering ia lakukan dengan senang hati, - Sering melamun dalam waktu yang lama - ada kesulitan konsentrasi dan daya ingat menurun. 4) Perubahan Emosi/Perasaan Hati - Perubahan suasana hati: dulu senang bergaul, sekarang mengunci diri atau sebaliknya. - sering tertawa terkikih-kikih tanpa alasan yang cukup jelas, dan tiba-tiba mulai cerewet atau malah menjadi diam. 5) Masalah perilaku - Tiba-tiba menjadi pembohong, pencuri - mudah tersinggung, suka marah, pemalas - penuh rahasia, tidak mau berkomunikasi 6) Keadaan Tubuh - tidak memperdulikan kebersihan diri sendiri - hidung berair walaupun tidak sakit flu - Mata merah; pupil mata besar atau membesar - Kurag nafsu makan - Kulit gatal - Berat badan anak tiba-tiba menurun.2 1 2 Ibid., hlm. 45. Tim Ahli Badan Narkotika Nasional, 2009, Op. Cit., hlm.57-58. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 20 Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika, diantaranya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan atau depresi. Termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan atau depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dengan penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Faktor sosial budaya, terdiri dari keluarga dan pengaruh teman. Kondisi keluarga di sini merupakan kondisi keluarga disharmonis seperti orang tua bercerai, orang tua sibuk dan jarang di rumah serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba kekurangan. Sedang yang termasuk pengaruh teman misalnya karena berteman dengan seorang yang ternyata pemakai narkoba dan ingin diterima dalam suatu kelompok. Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologi anak dan kurangnya perhatian terhadap anak, juga bisa mengarahkan seorang anak untuk menjadi user atau pemakai narkotika. Faktor narkotika itu sendiri, mudahnya narkotika didapat didukung dengan fakor-faktor yang sudah disebut di atas, semakin memperlengkap timbulnya narkotika. 1 Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus (asas lex specialis derogat lex generalis) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu terhadap kejadian yang menyangkut tindak pidana narkotika harus diterapkan ketentuan-ketentuan tindak pidana dalam Undang- 1 AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hlm. 7. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 21 Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kecuali hal-hal yang belum diatur di dalamnya. Ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika merupakan delik kejahatan dikarenakan narkotika itu hanya digunakan untuk pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut dan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur mengenai Penyalahgunaan Narkotika yaitu dalam Pasal 127 yang berisi : (1) Setiap penyalahguna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;dan c. Narkotiaka Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalahgunaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. C. Unsur-Unsur dapat Dipidananya Seseorang 1. Unsur-Unsur Perbuatan Unsur-unsur tindak pidana dalam tataran Undang-Undang yakni dalam KUHP pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu, Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 22 unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsurunsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b. Maksud atau voornomen pada suatu percobaan atau poeging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtetlijkheid; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.1 Syarat dapat dipidananya seseorang adalah apabila telah memenuhi dua unsur, yaitu unsur perbuatan dan pembuat (orang). Berikut adalah skema dapat dipidananya seseorang:2 Syarat pemidanaan perbuatan 1 2 P.A.F Lamintang, 1997, Op. Cit., hlm. 193-194. Sudarto, 1990, Op. Cit., hlm.50. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 pidana orang 23 1. memenuhi rumusan undang-undang 3. kesalahan: 2. bersifat melawan hukum a. Mampu bertanggung jawab (tidak ada alasan pembenar) b. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf) 2. Unsur Pembuat/Anak Terkait dengan unsur pembuat sebagai salah satu unsur dapat dipidananya seseorang yang dalam penelitian ini adalah anak, maka berikut adalah definisi anak. Terdapat banyak sekali definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai anak. Masing-masing definisi ini memberikan batasan yang hampir sama, tetapi disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal 1 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa: Anak adalah Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sama dengan definisi di atas, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 butir (1) menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 24 BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 3 Thun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian anak dengan lebih sempit, yaitu: Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) Konvensi Hak Anak yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, yakni: a. Non diskriminasi; b. Kepentingan terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Empat kategori hak anak dalam konvensi Hak-Hak Anak, yaitu: a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right) yaitu hak-hak dalam konvensi hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of live) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the right to the highest standart of healt and medical care attainable); b. Hak terhadap perlindungan (protection right) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi; c. Hak untuk tumbuh kembang (development right) yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak-hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak; Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 25 d. Hak untuk berpartisipasi (partisipation right) yitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the right of a child to express her/his views freely in all matters affectingthe child)1. Tujuan perlinduangan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera2. Anak dan kenakalan memang tidak dapat dipisahkan, karena sifat nakal selalu dimiliki anak berkaitan dengan proses tumbuh kembang anak yaitu proses meniru dan ingin tahu. Namun kenakalan harus diwaspadai karena logika berpikir anak belum terbentuk dengan baik, berbagai faktor dapat mempermudah anak meniru dan melakukan kenakalan yang berbahaya. Kenakalan anak berasal dari bahasa asing yaitu Juvenile Deliquency (JD). Secara etimologi JD terdiri dari kata Juvenile dan Deliquency. Juvenile sinonim dari young person (orang yang muda), youngster (masa muda), youth (kaum muda), child (anak-anak) maupun adolescent (remaja). Deliquency adalah tindakan atau perbuatan itu yang dilakukan oleh orang dewasa merupakan suatu jawaban.3 Pada Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian tentang anak nakal. Anak nakal adalah: 1 Mohammah Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung ,1999, hlm.35. 2 Isi dari pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3 Mohammah Joni dan Zulchaina Z. Tanamas,1999, Op. Cit., hlm. 29. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 26 a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengertian lain dari anak nakal, yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak bersangkutan.1 Terhadap anak yang melakukan kejahatan sehingga disebut anak nakal, perlu segera dilakukan berbagai tindakan sampai pada pengajuan anak dalam proses pengadilan anak. Namun demikian, kita tidak dapat mengharapkan sepenuhnya pada proses pengadilan anak, masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan.2 Uraian mengenai pengertian Anak dapat disebutkan beberapa unsur sebagai persyaratan yang harus ada bagi seorang Anak yang perbuatannya dapat digolongkan sebagai kenakalan Anak, yaitu:3 a. Subjek yang melakukan adalah pria dan/atau wanita di bawah usia tertentu; b. Melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di negaranya; c. Tidak dapat diperbaiki sifatnya; d. Secara sadar bekerja sama untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan dengan orang lain terutama bersifat amoral; e. Tanpa sebab yang patut diketahui dan tanpa ijin orang tua atau walinya pergi dari rumahnya dan menetap; f. Tanpa pengetahuan orang tuanya atau walinya sering mengunjungi tempat-tempat yang reputasinya buruk; g. Berulang-ulang pergi ke tempat yang tertentu atau yang diragukan haknya; h. Sering mengeluarkan perkataan yang tidak patut diucapkan; i. Dipersalahkan melakukan tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku. 3. Pidana 1 Romli Atmasasmita, dalam Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.30. 2 Ibid. hlm. 21. 3 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak/Remaja (Yuridis Sosio Kriminologis), Amrico, Bandung, 1984. hlm.19. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 27 Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari “wordt gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana yang menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Menurut Moeljatno, kalau “straf” diartikan “hukuman”, maka “straf” seharusnya diartikan sebagai hukum hukuman”1 Menurut Van Hamel, arti dari pada pidana atau straf menurut hukum positif adalah : ”Sesuatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar sesuatu peraturan hukum yang ditegakkan oleh negara”.2 Simons mengatakan pidana atau straf dapat diartikan sebagai berikut : ”Sesuatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap sesuatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”. 3 Sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini, Sudarto mempertanyakan istilah “pidana”. Dalam hal ini Sudarto menyatakan : “Yang jelas harus disadari ialah bahwa pengertian pidana dari abad kesembilan belas perlu diadakan revisi apabila kita menghendaki suatu pembaharuan dalam hukum pidana kita. Pada waktu KUHP kita dibuat, ialah lebih dari 60 tahun yang lalu, mengenakan pidana diartikan sebagai pemberian nestapa secara sengaja. Ilmu hukum pidana dalam perkembangannya, lebih-lebih dengan munculnya sanksi yang berupa tindakan sebagai akibat dari pengaruh aliran modern maka di berbagi 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 185. 2 P.A.F. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Alumni, Bandung. hlm. 47 3 Ibid., hlm. 48. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 28 negara akhirnya kembali”. 1 pengertian pidana demikian itu harus ditinjau Apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “agak terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan (centencing polity) yang cukup sulit.2 Pilihan untuk memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkotika sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan Hakim termasuk dalam menangani perkara anak. Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 bahwa: (1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu Narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan atau rehabilitasi baik jika terbukti bersalah atau menetapkan yang bersangkutan menjalani pengobatan atau rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah. Berikut The Beijing Rules menetapkan prinsip-prinsip yang seharusnya diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak, adalah sebagai berikut: Rule 17.1: (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan dengan keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; (b) pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; (c) perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih 1 2 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 80. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Op. cit. hlm. 98-99. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 29 tepat; (d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak. Rule 17.4:Adanya prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak. Rule 19.1: Penempatan seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam The Beijing Rules dalam rule 5.1 bahwa: The juvenile justice system shall emphasize the well – being of the juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence. Ditegaskan kembali dalam Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 37 huruf (b) Resolusi No. 109, maupun Peraturan Minimum Standar PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi No. 40/33, tanggal 29 November 1985, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor: 36 Tahun 1990. Dinyatakan: Penangkapan, penahanan, dan penghukuman/pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu yang paling pendek/waktu yang sesingkat-singkatnya. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia telah membuat pedoman dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik POLRI melalui Telegram KAPOLRI tertanggal 11 November 2006 dengan Nomor Pol : TR/1124/XI/2006, antara lain disebutkan; Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 30 Kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 tahun dapat diterapkan diversi; Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1 tahun s.d. 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk penerapan diversi; dan anak kurang dari 12 tahun dilarang untuk ditahan, dan penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep restorative justice. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak diatur mengenai perbedaan ancaman pidana bagi Anak dan orang dewasa yaitu menentukan ancaman pidana paling lama ½ ( satu per dua) dari maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa. Selain itu sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur, yaitu bagi Anak berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan Anak yang telah berumur 12 sampai 18 tahun dapat dijatuhi tindakan atau pidana. Jika dilakukan oleh Anak di bawah usia 8 tahun, maka oleh penyidik akan dikembalikan untuk dibina kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya atau Departemen Sosial. Ketentuan internasional sanksi pidana bagi Anak tertuang dalam SMRJJ/The Beijing Rules dan The Tokyo Rules, ketentuan sanksi terhadap Anak dalam The Beijing Rules, terdapat dalam rule 18 tentang ”berbagai tindakan penempatan Anak (various disposition measures) yaitu : a. Care, guidance and supervision orders (perintah pengasuhan, pembimbingan dan pengawasan); Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 31 b. Probation (percobaan); c. Community service orders (perintah pelayanan masyarakat); d. Financial penalties, compensation and restitution (sanksi finansial, kompensasi dan restitusi); e. Intermediate treatment and other treatment orders (perintah untuk pembinaan langsung atau tindakan pembinaan lain); f. Orders to participate in group counseling and similiar activities (perintah untuk berperan serta dalam kelompok konseling dan tindakan serupa;) g. Orders councerning foster care, living communities or other educational settings (perintah pembimbingan masyarakat, hidup di tengah masyarakat tindakan pendidikan lain); h. Other relevant orders (perintah relevan yang lain); 4. Tujuan Pemidanaan Sebelum membahas mengenai tujuan pemidanaan, berikut pengertian tentang pemidanaan. Menurut Sudarto, perkataan ”pemidanan” adalah sinomin dengan perkataan penghukuman. Lebih lanjut Sudarto, mengatakan : ”Penghukuman berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai penetapan hukum atau memutus beratkan tentang hukumnya. Menetapkan/memutuskan hukumnya untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang khusus hukum pidana saja, akan tetapi juga bidang hukum lainnya (hukum perdata, hukum administrasi dsb.). Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 32 sehingga menetapkan hukum dalam hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya. Pengertian penghukuman dalam perkara pidana kerapkali sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/ penjatuhan pidana” oleh Hakim. Penghukuman dalam hal ini juga mempunyai makna yang sama dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam pengertian “sentence conditionaly” atau “voorwaardelijk veroordeeid” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”. Di Indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54, yaitu:1 1. Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Mensyaratkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana 2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. W.v.S yang asli dari negeri Belanda mempunyai memori penjelasan yang disebut Memorie van Toilichting (M.v.T) Dari M.v.T inilah dapat diketahui pernyataan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang menyatakan sebagai berikut, “Dalam menentukkan tinggi rendahnya pidana, Hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatiakn perbuatan dan pembuatnya, hak-hak apa saja yang ditinggal, dan kerugian apa yang ditimbulkannya”.2 1 Konsep KUHP Edisi 2005, dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 192. 2 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 57. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 33 Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu:1 1. Teori absolut atau teori pembalasan (retribituve/vergeldings theorieen) 2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) Teori-teori tentang tujuan pemidanaan: 1. Teori Retributif Pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Ketidakseimbangan akan terjadi bilamana seorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas kejahatannya. 2. Teori Teleologis (Teleological Theory) Pidana sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan baik yang berkaiatan dengan orang yang bersalah. Kemanfaatan suatu perbuatan diukur dari keberhasilannya di dalam menciptakan kebahagiaan atau mengurangi penderitaan setiap orang. 3. Retributivisme Teleologis (Teleolgical Retributivist) Tujuan pemidanaan bersifat plural karena menghubungkan prinsipprinsip teleologis dan prinsip-prinsip retributif dalam satu kesatuan, sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif. Misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.2 Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah : a. Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1984, hlm. 10. 2 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 49-52. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 34 tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie); b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat; c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni : 1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna 2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. 1 Pada dasarnya terdapat tiga pokok pikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: a.) untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. b.) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan. c.) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahatpenjahat yang dengan cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.2 Ada beberapa hal yang dapat ditentukan hakim dalam putusannya, artinya ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidananya.3 a. Pertama, yaitu apa yang disebut orang dengan koreksi adalah terhadap orang yang melanggar terhadap suatu norma pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan, bahwa hal itu tidak boleh terulang lagi.4 Pidana yang bersifat koreksi diarahkan pada manusia yang pada dasarnya mempunyai rasa tanggungjawab, dan dalam kejadian tertentu itu melakukan kesalahan. Hal ini tidak dapat menjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran atau kejahatankejahatan yang kurang berat, terutama kejahatan yang dilakukan karena kelalaian terpidana. Kemudian tujuan lain yang pemidanaan yang disebutkan Ruslan saleh adalah : b. Kedua, yaitu resosialisasi yang berarti usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa ia dapat hidup dalam masyarakat dan tidak 1 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 83 P.A.F. Lamintang, 1984, Op.Cit., hlm. 23. 3 Roeslan Saleh, Stetsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm.5. 4 Ibid, hlm. 6. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 35 melakukan tindak kejahatan lagi. Jadi pidana yang bersifat resosialisasi adalah untuk mereka yang masih bersama-sama dengan orang lain hidup rukun dan damai dalam masyarakat.1 c. Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi apabila manusia yang telah melakukan kejahatan berat dan dikhawatirkan akan ditakuti, di waktu yang akan masih besar sekali kemungkinan ia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya telah diadakan usaha-usaha resosialisasi. Mengenai hal ini, bahwa masyarakat memang mempunyai hak, bahkan mempunyai kewajiban melindungi dirinya terhadap berbagai kemungkinan yang besar resikonya. Hal ini berarti bahwa dengan keadaan senyatanya adalah bagaimana membuat terpidana untuk tidak melakukan delikdelik berat yang baru.2 Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan pidana kita. Apabila proses peradilan yang misalnya berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan kita dinilai baik. Apaila sebaliknya, tentu saja ada kemerosotan kewibawaan hukum.3 Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan tentu tak lepas dengan pidana yang ditentukan secara limitatif di Indonesia. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan; b. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Khususnya untuk Anak Nakal yang melakukan tindak pidana, Pasal 23 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga memberi batasan pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu: (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak ialah; 1 Ibid, hlm.7. Ibid, hlm.8. 3 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 34. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 36 a. Pidana penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Menganai pidana penjara yang menjadi poin pentingnya, seseorang yang dijatuhi pidana penjara akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan tentu tak lepas dengan sistem yang dianut lembaga tersebut yaitu pemasyarakatan yang berlaku saat ini di Indonesia. Pasal 1 angka (2) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memberikan pengertiannya sebagai berikut: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas waraga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Suatu lembaga kepenjaraan yang diarahkan kembali dalam masyarakat tidak mudah diciptakan karena ketentuan undang-undangnya sendiri yang hampir tidak mungkinkan memeperpendek waktu pidana, dan harus menjalani pidana tersebut pada umumnya secara penuh, di samping peralatan yang tidak murah untuk mengadakan lembaga pemasyarakatan dengan ide tersebut.1 Sifat pidana sebagai “Ultimatum Remidium” (obat yang terakhir) menghendaki, apabila perlu sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Maka peraturan yang mengancam pidana terhadap suatu perbuatan hendaknya dicabut, apabila tidak ada manfaatnya. Proses (pencabutan) ini merupakan persoalan kriminalisasi (de-criminalisering).2 1 2 Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 30. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 24. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 37 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.1 Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif karena bertujuan mengkaji penerapan pasal dalam undang-undang, yakni data sekunder (dalam hal ini adalah Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/201/PN.Pwt.) khususnya berkenaan dengan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang terdakwanya anak dan putusannya berupa penjatuhan pidana penjara. Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisa dengan peraturan perundang-undangan serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti (perspektif).2 1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, hlm. 295. 2 Tedi Sudrajat, “Aplikasi Metode Penelitian Normatif dalam Penulisan Hukum”, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hlm. 6. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 38 B. Metode Pendekatan Sehubungan dengan tipe penelitian normatif yang akan peneliti gunakan, maka ada beberapa pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan atau Statue Approach dan pendekatan Analitis atau Analitycal Approach.1 Metode pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Selain itu peneliti juga akan menggunakan pendekatan analitis (Analitycal Approach) untuk mendukung pendekatan yang pertama. Pada pendekatan analitis akan diketahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan serta konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. C. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian terhadap asas-asas hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan peneliti untuk menghimpun asas-asas hukum yang merupakan unsur ideal dari hukum khusunya mengenai Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika. 1 Op.Cit, hlm. 310. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 39 1. Penelitian Asas-Asas Hukum Penelitian asas-asas hukum dalam penelitian ini dilakukan terhadap asas-asas hukum bahan hukum primer dan asas-asas hukum bahan hukum sekunder. Penelitian asas-asas hukum terhadap asas-asas hukum bahan hukum primer meliputi asas-asas hukum yang terdapat pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tantang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penelitian asas-asas hukum terhadap asas-asas hukum bahan hukum sekunder meliputi asas-asas hukum yang terdapat pada buku-buku teks dan literatur-literatur lainnya sebagai bahan hukum sekunder. 2. Sedangkan pada penelitan taraf sinkronisasi hukum, peneliti akan menginventarisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan Pidana Penjara bagi Anak dalam Penyalahgunaan Narkotika dengan menyusunnya sesuai hirarki perundang-undangan, disusun secara kronologis dan menelaah fungsi perundang-undangan berdasarkan tinkatannya. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 40 D. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah. Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Purwokerto didukung studi kepustakaan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jeneral Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu Universitas Jenderal Soedirrman. E. Sumber Data Jenis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dari studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Sumber data sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini diperoleh dari: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh komisi-komisi internasional, dan seluruh amar putusan badan yudisial.1 Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa: a. Norma atau kaedah dasar, yakni yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, 1 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya, 2007, hlm 141. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 41 b. Peratuan dasar yang terdapat dalam batang tubuh UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, c. Peratuaran Perundang-undangan berupa Undang-Undang dan peraturan setaraf yaitu Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta Peraturan Pemerintah dan peraturan setaraf, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah bila diperlukan. d. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasi yakni hukum yang hidup dalam masyarakat yang menjadi pertimbangan atas putusan Hakim. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan KUHP dan artikel hukum hasil penelitian hukum yang dilakukan sebelumnya. 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus hukum. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 42 F. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pada penelitian normatif, pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan dan metode dokumenter. Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan Penjatuhan Pidana Penjara pada Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (yaitu; literatur, hasil penelitian hukum, artikel ilmiah, dan jurnal ilmiah). Sedangkan pada metode dokumenter, peneliti menelaah dokumendokumen pemerintah dan nonpemerintah (yaitu: Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Mass Media, Internet, Aturan suatu Instansi). G. Teknik Pengolahan Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diolah menggunakan sistem kartu, yaitu membahas bahan hukum yang berhubungan dengan Penjatuhan Pidana Penjara pada Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika. Kemudian dipaparkan, disistemasi, lalu dianalisa untuk mengintepretasikan hukum yang berlaku. H. Teknik Penyajian Bahan Hukum Dalam menyajikan bahan hukum peneliti memilah-milah bahan hukum dalam bagaian-bagaian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan hukum yang telah dikumpulkan. Data yang disajikan berbentuk Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 43 teks naratif yang disusun secara logis dan sistematis. Dalam penyusunannya disajikan secara singkat dan jelas, sehingga penyusunan data dapat mudah dipelajari. I. Teknik Analisa Bahan Hukum Dalam penelitian hukum normatif, teknik analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik analisa normatif kualitatif1 yaitu data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisa dengan mengintepretasikan dan membahasnya berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teoriteori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Kualitas dari analisa data penelitian sangat tergantung dari kualitas intepretasi yang digunakannya. Dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini model intepretasi hukumnya adalah intepretasi Gramatikal2 atau intepretasi menurut bahasa yang merupakan upaya untuk memahami suatu teks perundang-undangan berdasarkan bahasa dan susunan kata yang digunakan. Logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari berbagai asas hukum dan norma hukum yang siftnya umum menjadi khusus (Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt.) yang sifatnya khusus lebih konkret dan disinilah proses deduksinya. 1 Nayla Alawiya, “Sistematika Proposal Penelitian”, Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto, hlm.5. 2 Nayla Alawiya, “Metode dan Penulisan Hukum (bagian pertama)”, Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto, hlm.6 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto pada perkara Nomor 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, tentang Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana didakwaan terhadap terdakwa melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Identitas Terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo, tempat lahir Banyumas, umur 17 tahun tanggal lahir 2 September 1993, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, alamat/tempat tinggal Jalan Raya Kampus Nomor 50 Kelurahan Grendeng Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas Agama Islam,tidak bekerja, pendidikan SMA. 2. Duduk perkara Terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan September tahun 2011, bertempat di jalan H. Madrani Kelurahan Grendeng Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 45 dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dengan cara sebagai berikut: Pada awal bulan Agustus 2011 terdakwa datang ke rumah Ari (status DPO) di jalan H. Madrani Kel. Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas, dan setelah berada di rumah Ari, terdakwa ditawari dan diajak oleh Ari untuk memakai atau menghisap ganja, dan atas ajakan tersebut terdakwa mau menghisap ganja, lalau Ari memeberikan 1 (satu) linting ganaja, kemudian terdakwa menghisap 1 (satu) linting ganja , terdakwa merasa pusing dan nikmat yang akhirnya timbul keinginan kembali untuk menghisap atau memakai ganja, Selanjutnya pada tanggal 21 Agustus 2011 terdakwa memesan 1 (satu) paket ganaja kepada Ar (status DPO) segarha Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah), kemudian terdakwa diSMS Ari bahwa barang ganja sudah ada, Kemudian pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2011 terdakwa datang ke rumah Ari (status DPO) di jalan H.Madrani Kel Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas untuk mengambil 1 (satu) paket ganja, dan setelah terdakwa mendapatkannya, terdakwa lalu membaginya menjadi 8 (delapan) linting ganja, kemudian terdakwa dan Ari (status DPO) memekai ganja tersebut dengan cara 1 (satu) linting ganaj dibakat lalu dihisap seperti merokok sedangkan pengaruhnya adalah kepala menjadi pusing, Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 46 Pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, Niko datang ke rumah terdakwa di jalan Raya Kampus Nomor 50 Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas untuk memesan ganja seharga Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk dipakai bersama terdakwa, kemudian terdakwa datang ke rumah Ari (status DPO) untuk memesan ganja seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah), Keesokkan harinya pada tanggal 31 Agustus 2011 sekitar pukul 19.00 WIB, terdakwa menerima SMS dari Ari yang berbunyi “Barang Ganja sudah ada disimpan di kamar kosong”, Kemudian pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 14.00 WIB terdakwa datang ke rumah Ari di jalan H.Madrani Kel. Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas untuk mengecek ganja yang berada di kamar kososng tersebut, dan setelah berada di rumah Ari, terdakwa lalu membuka kamar kososn tersebut dan terdakwa melihat ternyata benar ada 1 (satu) bungkus kertas inyak warna coklat diduga berisi ganja yang disembunyikan di dalam lemari, Selanjutnya sekitar pukul 21.00 WIB terdakwa ditangkap oleh pihak yang berwajib untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan fakta-fakta perbuatan terdakwa sebagaimana diuraikan dalam duduk perkara di atas, Penuntut Umum mengajukan terdakwa ke depan sidang Pengadilan dengan dakwaan alternatif yaitu : Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 47 Kesatu melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. ATAU Kedua melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4. Alat bukti yang diajukan di persidangan a. Keterangan saksi 1) Saksi : Pramuaji, S.H Saksi tersebut pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Pada hari Kamis 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan saksi Aris Budi Setiyono bersama tim yang sedang melakukan tugas di depan pintu taman Andhang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas melihat seseorang yang mencurigakan di depan pintu taman Andhang Pangrena Purwokerto, kemudian saksi dan saksi Aris Budi Setiyono mendekati lalu menanyakan identitasnya dan mengaku bernama Saeful (terdakwa); Saat terdakwa ditanya identitasnya, terdakwa menerima SMS dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange wis ana durung sich”, dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi Setiyono menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian dijawab terdakwa pesanan ganja; Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 48 Setelah itu saksi juga menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab terdakwa bahwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas; Selanjutnya saksi dan saksi Aris Budi serta terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil ganja, dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk ke dalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganaja yang disembunyikan di lemari; Saksi Aris Budi sempat menanyakan terdakwa darimana mendapatkan ganja tersebut dan terdakwa mengakui 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja tersebut adalah miliknya yang dibeli dari Ari (status DPO) seharga Rp. 100.000,- dan terdakwa tidak memeliki ijin dari pihak yang berwenang untuk membeli ganaja tersebut sehingga kemudian dilakukan penangkapan terhadap terdakwa; Menurut pengakuan terdakwa ganja sebanyak 1(satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu akan digunakannya sendiri; Sebelumnya sebagai seorang anggota , saksi telah mendapat informasi bahwa di Taman Andhang Pangrenan Purwokerto Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 49 sekitar pukul 19.00 hingga 21.00 WIB sering dijadikan transaksi Narkoba. 2) Kedua Orang Tua Terdakwa (Kusworo dan Mujinah) Terdakwa sekarang sudah tidak bersekolah lagi Terdakwa di rumah tidak pernah berbuat yang aneh-aneh dan termasuk anak yang pendiam, setelah pulang sekolah langsung pulang dan kalu akan pergi ke ruma temannya selalu pamit; Di rumah terdakwa tidak pernah terlihat merokok; Uang pembayaran SPP di sekolah juga dibayarkan ke sekolah, jadi tidak ada masalah dengan terdakwa perilakunya selama ini; Uang jajan untuk terdakwa wajar tidak berlebihan, terdakwa juga tidak pernah meminta banyak untuk uang sakunya tersebut, hanya pada waktu lebaran banyak yang memberi uang kepada terdakwa dan uang itulah yang kemudian digunaka terdakwa untuk membeli/memesan ganja; Sebagai orang tua dari terdakwa mereka masih sanggup mengurus dan mendidik terdakwa menjadi anak yang baik setelah keluar dari penjara nanti, dan sebagai orang tua pula setelah keluar dari penjara nanti mereka berharap terdakwa dapat bersekolah kembali dan masuk Pondok Pesantren. b. Barang bukti Dalam persidangan Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) paket kecil ganja seberat 4,025 gram; Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 50 2) Hand Phone Nokia tipe 112 warna silver dengan nomor 089665766776; 3) 1 (satu) botol berisi urine milik Seful Ngibad (terdakwa) Barang bukti telah disita sesuai Pasal 38 KUHAP, sehingga dapat dipergunakan untuk memperkuat dalam proses pembuktian. c. Surat Di persidangan Penuntut Umum mengajukkan alat bukti surat berupa: 1) Berdasarkan Kriminalistik Berita Acara 7 Pemeriksaan September 2011 Laboratoris NO.LAB: 1000/NNF/IX/2011 yang ditandatangani oleh Yayuk Murti Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST terhadap barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi batang, daun dan biji dengan berat 4,025 gram dan 1 (satu) buah tube berisi urine dengan kesimpulan: bahwa batang, daun dan biji tersebut adalah positif Derivat Cannabinoid atau ganja dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) Nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan 1 (satu) tube urine tersebut adalah negatif; 2) Kutipan Akta Kelahiran No. 12160/TP/1998 tertanggal 3 Desember 1998 atas nama Saiful Ngibad, lahir pada tanggal 2 September 1993, anak laki-laki dari suami isteri: Kusworo dan Mujinah yang dibuat dan ditandatangani oleh Drs. Joeliono Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 51 Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Banyumas; 3) Kartu Keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 D esember 2006 atas nama Kepala keluarga Kusworo. d. Keterangan Terdakwa Dipersidangan telah didengar pula keterangan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Pada pokoknya terdakwa mengakui apa yang telah diungkapkan para saksi dalam persidangan; Terdakwa mengakui dirinya menghisap ganja karena ditawari oleh Ari (DPO) awalnya, setelah itu terdakwa jadi timbul keinginan kembali untuk menghisap atau memeakai ganja, terdakwa sebelumnya telah 2 (dua) kali membeli dan menghisap ganja pada Ari seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) yaitu di awal bulan Agustus 2011 dan pada tanggal 22 Agustus 2011, dan yang ketiga kalinya inilah terdakwa ditangkap; Terdakwa mengaku tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang untuk memesan/membeli ganja; Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa menyesali perbuatannya Terdakwa membenarkan trhadap barang bukti yang diperlihatkan di persidangan. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 52 5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut umum dalam tuntutan pidananya, pada pokoknya menuntut supaya Mejelis Hakim yang mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa oleh karena itu selama 2 (dua) tahun, dikurang selama waktu terdakwa menjalani tahanan sementara dan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan; 3. Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat 4,025 gram. 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saiful Ngibad Bin Kusworo Seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan. 1 (satu) buah Hand Phone merk Nokia warna silver tipe 112 Dirampas untuk Negara. 4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 53 6. Pertimbangan Hukum Hakim Terdakwa yang didakwa dengan dakwaan alternatif oleh Penuntut Umum, maka Hakim Pengadilan anak pada Pengadilan Negeri tersebut akan langsung mempertimbangkan dakwaan yang relevan dengan faktafakta hukum yang terungkap di persidangan, dan dakwaan yang relevan den fakta-fakta di persidangan menurut pendapat Hakim Pengadilan Anak pada Pengadilan Negeri tersebut adalah dakwaan Kedua Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengandung unsur-unsur sebagi berikut: 1. SETIAP ORANG 2. PENYALAH GUNA NARKOTIKA GOLONGAN 1 BAGI DIRI SENDIRI Ad. 1 UNSUR SETIAP ORANG Udang-Undang Nomo 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak mendefinisikan secara jelas yang dimaksud dengan “Setiap Orang”, tetapi beberapa Undang-Undang mendefinisikan “Setiap Orang” adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi; Unsur “Setiap Orang” dalam perkara ini ditunjukkan kepada orang perseorangan, hal ini sebagaimana dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, bahwa menurut Penuntut Umum telah mengajukkan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 seorang terdakwa tersebut mampu 54 mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri; Di persidangan terdakwa membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga orang dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang atau error in persona; Sesuai alat bukti surat berupa Kutipan Akta Kelahiran No. 12160/TP/1998 tertanggal Puwokerto 3 Desember 1998, Kartu Keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 Desember 2006, serta hasil Laporan Petugas Pembimbing Kemasyarakatan, dan keterangan terdakwa serta orang tua terdakwa, terbukti bahwa terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo dilahirkan pada tanggal 2 September 1993; Apabila kelahiran terdakwa tersebut di atas dikaitkan dengan kejadian tindak pidana yang terjadi pada tanggal 1 September 2011, maka terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo saat kejadian tindak pidana berusia 17 (tujuh belas) tahun, 11 (sebelas) bulan, 29 (dua puluh sembilan) hari artinya masih di bawah 18 (delapan belas) tahun; Karena usia terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo masih di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, sehingga secara yuridis terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 55 masih tergolong anak (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), dengan demikian yang berwenang memeriksa perkara terdakwa a quo adalah pengadilan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997; Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut pendapat Hakim unsur “Setiap Orang” ini telah terpenuhi. Ad. 2 Unsur Penyalah Guna Narkotika Golongan 1 untuk Diri Sendiri Yang dimaksud dengan “Penyalah Guna Narkotika” adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika), sedangkan Pecandu Narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika); Pengertian “tanpa hak” di sini adalah tiada kewenangna yang melekat pada diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan menurut Undang-Undang atau tidak termasuk lingkup tugas dan wewenang seseorang atau karena tidak mendapat ijin dari pejabat yang berwenang sebagaimana ditentuka UndangUndang, sedangkan yang dimaksud dengan “Melawan Hukum” adalah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 56 hukum, baik dalam arti formil yaitu bertentangan dengan Undang-Undang atau hukum tertulis lainnya, maupun dalam arti materiil yakni bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan, nilainilai keadialn yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat; Yang dimaksud dengan “Narkotika Golongan 1” sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 yaitu Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunalan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan; Narkotika Golongan 1 sesuai denga Pasal 8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa NarkotikaGolongan 1 dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan Kesehatan, dan dalam jumlah terbatas Narkotika Golongan 1 dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapat persetujuan dari menteri; Sesuai fakta-fakta hukum, maka terbukti terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo memang telah memesan ganja kepada Ari (status DPO) seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) berpatungan bersama temannnya Niko (status DPO) masingmasing Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), dan dari Ari telah memberitahukan kedapa terdakwa via SMS kalau ganja pesanan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 57 telah ada dan disimpan di dalam lemari di bawah baju di kamar Ari, terdakwa sendiri telah memeriksa kamar Ari dan ganja pesanannya memang telah tersedia, tetapi terdakwa belum mengambil ganja pesanannya karena terdakwa belum membayar dan masih menunggu uang patungan dari Niko; Perbuatan terdakwa telah memesan ganja dan akan menggunakannya untuk diri sendiri tanpa ijin pihak yang berwenang, menurut Hakim terdakwa adalah termasuk kategori penyalah guna narkotika karena hanya menggunakan ganja tanpa hak atau melawan hukm bukan pecandu karena tidak ada ketergantungan terdakwa terhadap ganja baik secara fisik maupun psikis; Pemesanan dan penggunaan ganja oleh terdakwa tersebut juga tidak sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena terdakwa bukan orang atau Pejabat yang diberi wewenang untuk melakukan suatu perbuatan yang berkenaan dengan narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Semua unsur dari Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terpenuhi, maka perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 58 bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut Umum, maka kepada terdakwa haruslah dipidana sesuai dengan kesalahan yang telah diperbuatnya; Mengenai Nota pembelaan/pledoi Penasehat Hukum terdakwa bahwa terdakwa adalah pecandu sesuai hasil penelitian BAPAS, menurut pendapat Hakim berdasarkan fakta di persidangan terdakwa bukanlah seorang pecandu karena Hakim tidak melihat ada ketergantungan dalam diri terdakwa terhadap ganja, selama di persidangan juga tidak pernah diajukan suatu surat keterangan dari seorang dokter ahli yang menerangkan bahwa terdakwa adalah pecandu dan seberapa besar kondisi/taraf kecanduan terdakwa, terdakwa di sini menggunakan ganja awalnya hanya diajak oleh Ari (DPO) dan kemudian karena pernah mencoba timbul keinginan dari terdakwa untuk menggunakan lagi; Berkaitan dengan Pledoi Penasehat Hukum bahwa terdakwa adalah pecandu dan sebaiknya dijatuhkan tindakan hukum bukan hukuman, maka Hakim mempertimbangkan sesuai Surat Edaran MA Nomor: 04/Tahun 2010 tentang “Penempatan Penyalahgunaan, Narkotika ke Korban dalam Penyalahgunaan Lembaga dan Rehabilitasi Pecandu Medis dan Rehabilitasi Sosial” tetapi untuk seorang terdakwa dijatuhi tindakan hukum ini harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: terdakwa dalam kondisi tertangkap tangan, pada saat tertangkap Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 59 tangan barang bukti untuk ganja 5 gram, surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika, surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah, tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat peredaran Narkotika dan adanya keterangan ahli yang menerangkan seberapa besar kondisi/taraf kecanduan dari terdakwa dan karena terdakwa tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka jenis hukuman yang dijatuhkan oleh Penuntut Umum bukan tindakan hukum sudah tepat; Selama proses persidangan Hakim tidak menemukan alasanalasan penghapus pidana dari terdakwa, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya; Setelah membaca dan memperhatikan dengan seksama laporan penelitian Kemasyarakatan yang dibuat oleh BAPAS Purwokerto, pendapat orang tua, perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan, serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa yaitu: Hal yang memberatkan: Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas peredaran Narkotika. Perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi muda yang merupakan modal penerus bangsa. Hal yang meringankan: Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 60 Terdakwa mengakui dan berterus terang di persidangan. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi Terdakwa belum pernah dihukum Terdakwa masih sangat muda bisa diharapkan memperbaiki diri di kemudian hari. - Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah lagi. Hakim tidak sependapat dengan dengan tuntutan Penuntut Umum mengenai lama hukuman pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa karena pada dasarnya penjatuhan pidana tidak dimaksudkan untuk pembalasan dendam terhadap terdakwa, tetapi lebih merupakan pembinaan bagi terdakwa agar setelah menjalankan pidananya dapat menjadi orang yang lebih baik lagi, apalagi terdakwa masih anak-anak sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri dan dikemudian hari menjadi anak yang lebih baik. 7. Putusan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, serta Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan berhubungan dengan perkara ini, khususnya Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 61 peraturan-peraturan lain dari perundang-undangan yang berkenaan dengan perkara ini: 1. Menyatakan Terdakwa: Saiful Ngibad Bin Kusworo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Penyalah Guna Narkotika Golongan 1 bagi Diri Sendiri; 2. Menjatuhkan pidana bagi terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama: 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan terdakwa agar tetap dalam tahanan; 5. Menyatakan agar barang bukti berupa: 1 (satu) paket kecil ganja dalam bungkus kertas minyak seberat 4,025 gram; 1 (satu) botol plastik berisi urine milik terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo; Dirampas dan dimusnahkan. 1 (satu) buah HP merk Nokia tipe 112 Dirampas untuk Negara. 6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah); Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 62 B. Pembahasan 1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dengan terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yang berusia 17 (tujuh belas) tahun 11 (sebelas) bulan, 29 (dua puluh sembilan) hari saat melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika, Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan setelah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri sesuai rumusan yang Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Setiap perkara pidana yang diproses dalam persidangan harus melewati serangkaian pembuktian yang pada puncaknya akan dibacakan putusan diakhir persidangan oleh Hakim. Pembahasan mengenai Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahguna Narkotika diawali dari rumusan pada Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan, Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 63 Berdasarkan rumusan pasal di atas, untuk menjawab perumusan masalah yang pertama mengenai Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara bagi anak pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt peneliti menganalisanya dengan membaginya menjadi tiga pertimbangan yang didalamnya terdapat serangkaian doktrin, asas-asas hukum dan peraturan hukum normatif. Hakim dalam memutus perkara pidana mendasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: a. Dasar mengadili b. Dasar memutus c. Faktor subyektif Hakim Ad a. Dasar mengadili Kewenangan mengadili dalam hal ini adalah kewenangan mengadili bagi Pengadilan Negeri. Dasar hukum menentukan kewenangan mengadili bagi Pengadilan Negeri diatur pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 86 KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan pada pasal-pasal tersebut, menurut M. Yahya Harahap terdapat beberapa kriteria atau asas yang dapat digunakan oleh Pengadilan Negeri untuk menentukan kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya, yaitu: 1) Tindak pidana dilakukan (locus delicti) Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 64 Menurut asas ini Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. 1 Adapun dasar hukumnya yaitu Pasal 84 (1) KUHAP yang merumuskan, Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Berdasarkan pasal tersebut maka jelas bahwa, “tempat tindak pidana dilakukan” atau locus delicti menentukan kewenangan relatif Pengadilan Negeri untuk mengadili perkara pidana yang bersangkutan. 2) Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil. Menurut asas ini jika saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu Pengadilan Negeri maka, Pengadilan Negeri tersebut yang paling berwenang memeriksa dan mengadili.2 Kriteria ini diatur pada Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan 1 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 96. 2 Ibid., hlm. 99. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 65 pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Berdasarkan pasal tersebut di atas, penentuan kewenangan relatif menurut asas locus delicti dapat dikesampingkan dengan asas tempat tinggal, tempat kediaman terakhir, tempat diketemukan atau tempat terdakwa ditahan akan tetapi, syarat bahwa saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana terdakwa bertempat tinggal, berkediaman terakhir, diketemukan atau ditahan harus dipenuhi.1 3) Kewenangan relatif sehubungan dengan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri. Asas ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Masing-masing Pengadilan Negeri berwenang mengadili sesuai dengan asas locus delicti apabila di dalam tindaktindak pidana tersebut tidak terdapat unsur “berlanjut” atau “perbarengan”. Menurut asas ini setiap Pengadilan Negeri berwenang mengadili berdasarkan asas locus delicti akan tetapi, beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku harus benar-benar murni terpisah dan berdiri sendiri tidak ada unsur 1 Ibid., hlm. 101. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 66 berlanjut atau unsur perbarengan. Adapun dasar hukumnya yaitu Pasal 84 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, Apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. b) Salah satu Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksanya dengan jalan menggabungkan semua perkara. Asas ini diatur pada Pasal 84 ayat (4) KUHAP, dalam penerapannya harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP. Tanpa menghubungkan Pasal 84 ayat (4) KUHAP dengan Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP tersebut, tidak dapat melaksanakan kemungkinan penggabungan perkara.1 Pasal 84 ayat (4) KUHAP menyatakan: Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. Kalimat “terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya” pada pasal di atas tersebut adalah yang dimaksud dalam penerapannya Pasal 84 ayat (4) KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP. Pasal 64 KUHP mengatur tentang perbuatan berlanjut 1 KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (3). Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 67 sedangkan Pasal 65 KUHP mengatur tentang perbarengan perbuatan. 4) Wewenang mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan Menteri Kehakiman. Kewenangan mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan Menteri Kehakiman secara tegas diatur pada Pasal 85 KUHAP, kewenangan ini berupa “pengalihan” kewenangan mengadili dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Negeri yang lain. Pasal 85 KUHAP menyatakan: Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjukan Pengadili Negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 85 KUHAP di atas, pengalihan hanya terjadi apabila keadaan daerah tidak mengizinkan untuk mengadili suatu perkara. Artinya, suatu Pengadilan Negeri mengalami kesulitan tugas operasional peradilan, berhubung karena keadaan daerah tidak mengizinkan.1 Menurut penjelasan Pasal 85 KUHAP yang dimaksud “keadaan daerah tidak mengizinkan”, antara lain karena ada gangguan keamanan atau karena bencana alam. 1 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 107. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 68 5) Wewenang mengadili Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undang-undang. Khusus bagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat undangundang memberi wewenang kepadanya untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia.1 Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 86 KUHAP yang merumuskan, Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya. Penjelasan mengenai kewenangan mengadili di atas apabila dihubungkan dengan dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/PN.Pwt. diketahui bahwa, asas yang digunakan adalah asas locus delicti karena Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo adalah Pengadilan Negeri Purwokerto, sebagaimana kita ketahui dari data hasil penelitian tempat terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo adalah Taman Andhang Pangrenan dan daerah Grendeng yang berada di Purwokerto, sehingga termasuk dalam daerah 1 Ibid., hlm. 108. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 69 hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 84 ayat (1) KUHAP. Ad b. Dasar memutus Dasar memutus yang dimaksud di sini adalah dasar Hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim dalam menjatuhan putusan yang berupa pemidanaan harus memenuhi syarat pemidanaan. Menurut Sudarto syarat dapat dipidananya seseorang adalah apabila telah memenuhi dua unsur, yaitu unsur perbuatan dan pembuat (orang). Berikut adalah skema dapat dipidananya seseorang: Syarat pemidanaan pidana perbuatan orang 3. memenuhi rumusan undang-undang 3. kesalahan: 4. bersifat melawan hukum a. Mampu bertanggung jawab (tidak ada alasan pembenar) b. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf) 1 Syarat pemidanaan di atas apabila dihubungkan dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/PN.Pwt. maka dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Perbuatan Perbuatan di sini meliputi berbuat dan tidak berbuat.1 Salah satu ahli hukum yang mengemukakan pengertian perbuatan adalah 1 Sudarto, 1990, op. cit, hlm.50. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 70 Simons, beliau mengemukakan, “Dalam arti sesungguhnya „handelen‟ (berbuat) mempunyai sifat aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki, dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat”.2 Menurut Sudarto perbuatan yang memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).3 Diuraikan lebih lanjut mengenai unsur memenuhi rumusan Undang-Undang dan bersifat melawan hukum adalah sebagai berikut: a) Memenuhi rumusan undang-undang Suatu perbuatan dikatakan memenuhi atau mencocoki rumusan delik dalam undang-undang apabila perbuatan konkrit dari si pembuat memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang”.4 Hal ini sesuai dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang artinya tiada delik tiada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini dikenal juga dengan asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang merumuskan, Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. 1 2 3 4 Ibid., hlm. 64. Ibid., hlm. 64. Ibid., hlm. 50. Ibid., hlm. 52. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 71 Berdasarkan data dari hasil penelitian diketahui bahwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan demikian perbuatan yang telah dilakukannya tersebut termasuk ke dalam perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b) Memenuhi sifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) Menurut Sudarto, sifat melawan hukum ada dua ajaran yaitu: 1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undangundang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). 2. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat dihapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (urbergesetzlich).1 Perbuatan yang dilakukan oleh Saiful Nibad Bin Kusworo telah memenuhi rumusan delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan 1 Ibid., hlm. 78. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 72 itu menjadi indikasi bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah bersifat melawan hukum yang tepatnya bersifat melawan hukum formil. Sedangkan sifat melawan hukum dalam arti materiil ditemukan pada perbuatan terdakwa yang menggunakan narkotika sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat karena menggunakan narkotika dapat merusak masayarakat terutama generasi muda. Generasi muda baik pelaku maupun lingkungan pemuda yang ikut mengkonsumsi narkotika akan mengakibatkan masyarakat yang malas, tidak produktif, dan akan memicu kejahatan-kejahatan lainnya. Perbuatan terdakwa lebih bersifat melawan hukum materiil. Tidak ada alasan pembenar artinya, tidak ada alasan yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Secara teoritis yang dapat dikategorikan sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana adalah pembelaan terpaksa (nooodwer), melaksanakan ketentuan undang-undang, dan melaksanakan perintah atasan.1 Secara yuridis yang dapat dikategorikan alasan pembenar diatur secara tegas pada Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Terkait mengenai alasan pembenar, berdasarkan data dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya alasan yang dapat 1 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 151. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 73 menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut karena perbuatan itu dilakukan bukan untuk pembelaan terpaksa, bukan untuk melakasanakan ketentuan undang-undang, dan bukan untuk melaksanakan perintah atasan, melainkan untuk kepentingan pribadinya yakni pemakaian Narkotika Golongan I untuk dikonsumsi sendiri. 2) Orang Orang dalam hal ini adalah orang yang melakukan perbuatan atau disebut dengan pembuat oleh karena itu, yang dimaksud orang di sini adalah subjek tindak pidana. Pada dasarnya subjek tindak pidana adalah manusia (natuurlijke personen). Sudarto dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa di samping manusia badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana di samping manusia, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang untuk delik tertentu.1 Unsur “orang” (natuurlijke personen) ini juga terpenuhi yaitu terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo. Syarat lain yang harus dipenuhi untuk adanya pemidanaan adalah adanya kesalahan karena orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan bersifat 1 Sudarto, op.cit, hlm. 63. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 74 melawan hukum tidak dapat dijatuhi pidana apabila orang tersebut tidak memiliki kesalahan. Hal ini sesuai asas “Tiada Pidana tanpa Kesalahan” artinya, untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada orang yang melakukan perbuatan tersebut. a) Kesalahan Kesalahan dalam arti yang luas dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya.1 Kesalahan dalam pandangan normatif ditentukan berdasar penilaian normatif yaitu, penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara pembuat dengan perbuatannya. Kesalahan terdiri dari beberapa unsur dimana penjatuhan pemidanaan baru dimungkinkan apabila unsur-unsur tersebut telah dipenuhi. Unsur-unsur yang dimaksud diantaranya adalah: 1) Mampu bertanggung jawab Memorie van Tolichting (memori penjelasan) secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab sebagai berikut: Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat: 1) Dalam hal ia tidak ada kebebasan memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. 1 Ibid., hlm. 89-90. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 75 2) Dalam hal ia ada dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.1 Ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab secara a contrario dapat dilihat pada rumusan Pasal 44 KUHP yang merumuskan: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrikkige ontwikeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. (2) Jika ternyata bahwa perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Berdasarkan data dari hasil penelitian, kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo apabila dihubungkan dengan pengertian kemampuan bertanggung jawab dan ketentuan Pasal 44 KUHP di atas maka ia dapat bertanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Hal ini karena ia melakukan kesalahan itu dalam keadaan jiwa yang sehat, tidak ada gangguan, dan tidak dalam keadaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sehingga 1 Ibid., hlm. 94. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 76 dapat membedakan mana perbuatan yang diperintahkan dan dilarang oleh undang-undang, serta dapat menginsyafi akibat yang akan muncul apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tersebut. 2) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf) Dolus atau kesengajaan menurut Memorie van Toelichting adalah menghendaki dan mengetahui (willen and wettens). Seseorang yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan tiga corak sikap batin yang menunjukan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu, yaitu: a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus, b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidbewustzijn atau noodzakelijkeidbewustzijn), c. Kengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voowaardelijke opzet).1 Culpa atau kealpaan menurut Memorie van Toelichting disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yang kebetulan (toevel/ casus).2 Kealpaan ada atau tidak pada suatu kesalahan bukan ditetapkan secara psikologis oleh psikiater, tetapi ditetapkan secara normatif oleh Hakim. Penggunaan kata “Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 35 1 2 Ibid., hlm. 103. Ibid., hlm. 124. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 77 Tahun 2009, tidak mempedulikan unsur kesengajaan sehingga dapat menjerat orang yang tidak berniat melakukan Tindak Pidana Narkotika. Namun, pada terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yang mengaku akan menggunakan narkotika berupa ganja untuk yang ketiga kalinya karena ada keinginan memakainya kembali setelah sebelumnya telah dua kali menggunakan termasuk dalam unsur dolus atau kesengajaan. Pemakaian narkotika ini mempunyai corak kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk) karena ia menghendaki perbuatan memakai ganja dengan akibat yang akan ditimbulkan setelah mengkonsumsinya. Alasan pemaaf artinya menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meski perbuatannya bersifat melawan hukum. Pada diri terdakwa tidak ditemukan alasan pemaaf sebagaimana yang dirumuskan secara a contrario pada Pasal 44 KUHP (tidak mampu bertanggung jawab) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). 3) Pidana Uraian di atas telah menunjukan bahwa Hakim dalam menjatuhkan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 pidana pada Putusan Perkara Nomor: 78 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. telah memenuhi syarat pemidanaan sebagaimana yang dikemukan oleh Sudarto baik syarat mengenai perbuatan maupun syarat mengenai orang (pembuat). Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan pidana di samping harus memenuhi syarat pemidanaan juga harus mendasarkan pada hasil pembuktian di persidangan. Pasal 183 KUHAP merumuskan, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti” pada rumusan Pasal 183 KUHAP di atas mengandung arti bahwa, Hakim baru dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila mendasarkan minimal pada dua alat bukti, dan dari pemeriksaan dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan bagi Hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah. Alat bukti yang dimaksud pada Pasal 183 KUHAP tersebut lebih lanjut diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang merumuskan: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 79 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/PN.Pwt. telah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP karena telah diperoleh fakta-fakta hukum yang terbukti dan tidak disangkal oleh terdakwa. Penjatuhan pidana oleh Hakim dalam putusan tersebut dilakukan sebagai berikut: 1) Hakim mendasarkan pada lebih dari satu alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang terdiri dari: a) Keterangan saksi, yang diperoleh dari: - Aris Budi Setiyono (penyidik) Pramuaji, S.H (penyidik) Ahmad Sodirin (tetangga terdakwa) Kusworo dan Mujinah (kedua orang tua terdakwa) b) Surat, yang berupa: - Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik 7 September 2011 NO.LAB: 1000/NNF/IX/2011 yang ditandatangani oleh Yayuk Murti Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST terhadap barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi batang, daun dan biji dengan berat 4,025 gram dan 1 (satu) buah tube berisi urine dengan kesimpulan: bahwa batang, daun dan biji tersebut adalah positif Derivat Cannabinoid atau ganja dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) Nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 80 No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan 1 (satu) tube urine tersebut adalah negatif; - Kutipan Akta Kelahiran No. 12160/TP/1998 tertanggal 3 Desember 1998 atas nama Saiful Ngibad, lahir pada tanggal 2 September 1993, anak laki-laki dari suami isteri: Kusworo dan Mujinah yang dibuat dan ditandatangani oleh Drs. Joeliono Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Banyumas; - Kartu Keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 Desember 2006 atas nama Kepala Keluarga Kusworo. c) Keterangan terdakwa, yang diperoleh dari pernyataan terdakwa di persidangan. d) Alat bukti di atas disertai dengan barang bukti yang dibawa ke persidangan, barang bukti tersebut berupa: - 1 (satu) paket kecil ganja seberat 4,025 gram - Hand Phone Nokia tipe 112 warna silver dengan nomor 089665766776 - 1 (satu) botol berisi urine milik Saiful Ngibad (terdakwa) 2) Uraian di atas telah menunjukkan bahwa dasar putusan Hakim dalam menjatuhkan pidana di dalam Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak hanya telah memenuhi syarat pemidanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto tetapi juga telah memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 81 Hakim dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo bersalah melakukan tindak pidana Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri. Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pejatuhan pidana oleh Hakim pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus.2011/PN.Pwt. menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai dasar hukumnya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan undang-undang pidana khusus. Undang-undang tersebut dalam pelaksanaannya berlaku azas lex specialis derogate legi generalis yang artinya, undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum. Berlakunya azas lex specialis derogate legi generalis berdasarkan Pasal 103 KUHP dirumuskan sebagai berikut, Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Rumusan Pasal 103 KUHP ini memperbolehkan berlakunya aturan pidana yang diatur di luar KUHP yang sifatnya lebih khusus seperti dirumuskan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 111 sampai Pasal 148. Berkaitan dengan penelitian terhadap Putusan perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. selain menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dikarenakan terdakwanya Anak, maka digunakan pula Undang-Undang Nomor 3 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 82 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kedua Undang-Undang ini berkedudukan sama dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan sifat berlakunyapun lebih khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tidak menjadi persoalan apabila kedua Undang-Undang ini dalam mengatur hal yang sama, terdapat kesamaan pula dalam pengaturannya. Namun dalam penelitian ini terdapat kerancuan dalam mengatur Anak Nakal khususnya dalam penyalahgunaan narkotika. Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan tentu tak terlepas dengan jenis pidana yang ditentukan secara limitatif di Indonesia. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang merumuskannya: Pidana terdiri atas: c. Pidana pokok: 6. Pidana mati; 7. Pidana penjara; 8. Pidana kurungan; 9. Pidana denda; 10. Pidana tutupan; d. Pidana tambahan: 4. Pencabutan hak-hak tertentu; 5. Perampasan barang-barang tertentu; 6. Pengumuman putusan hakim. Terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yang berusia 17 (tujuh belas) tahun 11 (sebelas) bulan, 29 (dua puluh sembilan) hari saat melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika termasuk Anak sebagaimana dalam rumusan BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian anak, yaitu: Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 83 Anak Nakal yang dimaksudakan, diperjelas pada Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian tentang anak nakal sebagai berikiut: Anak nakal adalah: c. Anak yang melakukan tindak pidana; atau d. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hakim terhadap terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yang masih Anak dan terbukti melakukan tindak pidana hanya dapat menjatuhkan pidana atau tindakan kepadanya sesuai rumusan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Hakim dalam putusan yang diteliti ini memilih menjatuhkan pidana yang aturannya terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Pasal 10 KUHP dikesampingkan dengan aturan yang lebih khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak khususnya Pasal 23 ayat (2) dan (3) yang mengatur secara limitatif ancaman pidana pokok dan pidana tambahan terhadap Anak Nakal, yaitu: (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak ialah; e. Pidana penjara; f. Pidana kurungan; g. Pidana denda; atau h. Pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 84 Pilihan Hakim menjatuhkan pidana pada Anak yang melakukan tindak pidana, selanjutnya akan ditentukan pidana pokoknya yang di atur secara limitatif dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Tentu tidak mudah, karena Pasal 64 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak1. Sedangkan, bila dilihat pilihan pidana pada Pasal 23 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak akan sulit menilai bahwa pidana pokok tersebut terbaik bagi si anak apalagi tindak pidana yang dilakukannya adalah penyalahgunaan narkotika. Anak yang memakai narkotika yang terpenting adalah dibina dan diobati supaya tidak timbul keinginan menggunakan narkotika lagi. Ancaman pidana paling lama empat tahun pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah diuraikan sebelumnya dan telah terbukti dilakukan Saiful Ngibad Bin Kusworo secara sah dan meyakinkan dalam persidangan, tidak begitu saja dijatuhkan seutuhnya sesuai rumusan pasalnya, karena ada pengkhususan lagi dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Hakim yang memilih menjatuhkan pidana penjara bagi anak harus cermat karena menurut rumusan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 85 Nakal paling lama ½(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.1 Diketahui bahwa ketentuan pidana penjara sebagaimana yang diatur pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya ditentukan batas maksimumnya yaitu empat tahun oleh karena itu, untuk menentukan batas minimunya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya harus dikembalikan pada aturan induknya yakni KUHP. Pasal 12 ayat (2) KUHP menentukan bahwa batas minimum pidana penjara selama waktu tertentu adalah satu hari. Berdasarkan batas minimum yang ditentukan pada Pasal 12 ayat (2) KUHP dan berdasarkan batas maksimum yang ditentukan pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Hakim dapat menjatuhkan pidana penjara berapa pun lamanya dengan ketentuan tidak boleh kurang dari satu hari dan tidak boleh lebih dari empat tahun, dan dengan adanya Undang-Undang tentang Pengadilan Anak maka dibatasi setengahnya. Sehingga lamanya pidana penjara yang dapat dijatuhkan bagi terdakwa Saiful Ngibad ini antara satu hari sampai dua tahun. Sehingga tidak ada salahnya jika Hakim memutus pidana penjara selama satu tahun dan satu bulan terhadap terdakwa anak ini. 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 86 Ad.c Faktor subyekif Hakim Hakim bukanlah corong undang-undang, mereka adalah manusia yang mempunyai hati nurani yang dalam mengambil keputusan di akhir persidangan tidak hanya didasarkan peraturan perundangundangan tertulis semata, tetapi juga pertimbangan moril dan sosial. Memang pribadi hakim mempunyai pengaruh yang besar terhadap keputusannya yang diambilnya. Di samping pertimbangan yang rasionil dalam menentukkan pidana, hal-hal yang bersifat emosionil, misalnya sampai di mana rasa kasih sayangnya terhadap sesama hidup, akan mempengaruhi keputusannya.1 Setiap putusan akhir dalam suatu perkara pidana diuraikan secara singkat mengenai pertimbangan Hakim yaitu hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa yang termasuk faktor subyektif Hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana. Putusan Pengadilan 1 Negeri Sudarto, 1986, op.cit, hlm.89. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 Purwokerto pada perkara Nomor 87 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan ha-hal yang meringkan terhadap terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo. Hal yang memberatkan dan hal yang meringankan sebagaimana diatur pada Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang merumuskan, (1) Surat putusan pemidanaan memuat: f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Mengenai hal-hal yang memberatkan, menjadi alasan klasik di setiap perkara tindak pidana penyalahagunaan narkotika jika terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas peredaran Narkotika dan perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi muda yang merupakan modal penerus bangsa sebagai hal yang memberatkan hukuman pidana bagi terdakwa. Hal ini jelas tidak dapat disangkal, karena bahaya Narkotika yang disalahgunakan tidak hanya berimbas pada satu orang atau sekelompok orang saja, tetapi satu generasi muda yang nantinya akan mengemban tanggung jawab besar terhadap pembangunan bangsanya di masa depan. Terkait hal yang meringankan sebagaimana dari data hasil penelitian diketahui bahwa, terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo mengakui dan berterus terang terhadap tindak pidana yang dibuktikan di persidangan, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulanginya Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 88 perbuatannya. Terdakwa yang masih termasuk anak ini juga belum pernah dihukum sebelumnya, masih ingin melanjutkan sekolah, dan diharapkan dapat memperbaiki diri di kemudian hari. Hal yang meringankan ini apabila dicermati maka lebih kepada sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, yang mana sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana wajib dipertimbangkan oleh Hakim dalam pemidanaan.1 Sejalan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan dengan penentuan berat-ringannya suatu pidana, Barda Nawawi Arief mengutip: Menurut Oemar Seno Adjie, jika dalam suatu undang-undang terdapat “ground” yang dimaksudkan untuk memberatkan atau meringankan hukuman, maka akan mengurangi kebebasan hakim dalam penjatuhan ataupun pemilihan hukuman. Tetapi sebenarnya dalam maksimal dan minimal yang ditentukan, hakim pidana bebas mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Jadi bukan kebebasan mutlak secara tidak terbatas untuk menyalurkan kehendaknya dengan kesewenang-wenangan subjektif untuk menentukan berat ringannya hukuman. Harus dipertimbangkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan yang dihadapkan kepadanya, kepribadian pelaku, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan lain-lain.2 Pendapat Oemar Seno Adji tak berbeda jauh dengan J.E. Sahetapy yang mengemukakan: Patutlah diingat bahwa masalah berat ringan atau takaran pidana sangat erat bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan atau jenis kejahatan yang tertentu. In concreto 1 Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 69. Barda Nawawi Arief, Pidana Penjara Terbatas, dalam Gregorius Aryadi, Putusan Hakim dalam Perkara Pidana (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di daerah Istimewa Yogyakarta), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1995, hlm. 73. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 89 lazimnya takaran atau berat ringannya pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama ia diadili. Selain dari itu takaran tersebut juga dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti apakah ia mempersulit jalannya sidang dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya, sifat, bentuk, dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga bagaimana skala nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan.1 Pendapat mengenai penentuan berat-ringannya pidana yang diberikan Hakim, dari doktrin di atas penulis dapat membaginya menjadi tiga aspek, yaitu bobot tindak pidana, kondisi diri pelaku, dan lingkungan sosial. a) Bobot tindak pidana Hakim meyakini dakwan kedua dari Jaksa Penuntut Umum yang tepat dikenakan bagi terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yaitu memenuhi rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dipertimbangkan berdasarkan pembuktian fakta-fakta hukum di persidangan. Terpenuhinya unsur “Setiap orang” dan “Penyalah guna narkotika” Golongan I bagi diri sendiri” memasukkan terdakwa anak ini pada kategori penyalah guna narkotika karena menggunakan ganja tanpa hak atau melawan hukum bukan sebagai pecandu karena tidak ditemukan ada ketergantungan pada terdakwa terhadap ganja baik secara fisik maupun psikis. Terdakwa yang tidak masuk dalam kategori pecadu narkotika atau 1 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta, 1982. hlm. 180. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 90 korban penyalahgunaan narkotika berakibat pula pada pemberian pidana terhadapnya dan mengesampingkan pemberian tindakan. Penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang pengaturaannya dipisahkan dan termasuk tindak pidana yang berat karena akibat yang ditimbulkannya dapat meluas hingga merusak generasi muda. b) Kondisi diri pelaku Pada apa yang telah dikemukakan oleh J.E. Sahetapy, diketahui bahwa untuk menentukan berat ringan pidana yang hendak dijatuhkan oleh Hakim terhadap terdakwa berkaitan dengan sikap terdakwa itu selama menjalani proses persidangan dan berdasarkan data dari hasil penelitian, terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo selama menjalani proses persidangan tidak mempersulit jalannya proses persidangan tersebut. Hal ini tampak dari sikapnya yang mengakui perbuatan yang telah dilakukannya dan memberikan keterangan yang jelas dan tidak berbelit-belit. Ini artinya, sikap yang terdakwa tampakkan selama menjalani proses persidangan tersebut berkaitan juga dengan penentuan berat ringan pidana penjara. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam hal yang sama merumuskan, Dalam menentukan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 91 Terdakwa yang masih dikategorikan sebgai anak juga menjadi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana. Walaupun perkembangan teknologi dan informasi mempengaruhi perkembangan diri anak menjadi lebih cepat tahu dan berkembang menjadi lebih cepat dewasa dari umurnya, tapi tidak mengurangi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dengan membedakannya dengan penjatuhan pidana untuk orang yang sudah dewasa. Berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Abdul Latif salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, Hakim sebenarnya mengalami kendala dalam menjatuhkan pidana penjara pada terdakwa anak. Penjatuhan pidana penjara bagi anak khususnya dalam tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika pada umumya sangat dihindari, tetapi untuk beberapa kasus vonis berupa penjatuhan pidana penjara diputuskan dikarenakan kondisi keluarga dari terdakwa terutama orang tua ataupun walinya tidak mendukung pemulihan mental pada diri terdakwa atau cenderung tidak peduli atas kondisi anaknya yang membutuhkan perhatian khusus, sehingga dikhawatirkan akan memperburuk kondisi fisik dan psikis anak. Lembaga pemasyarakatan yang nantinya akan menerima anakanak tahanan seperti inilah yang diharapkan akan membantu anak dengan pembinaan di dalamnya. Bila dikaitkan dengan perbuatan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 92 Saiful Ngibad Bin Kusworo yang menggunakan narkotika dan orang tuanya mengaku tidak mengetahuinya, apalagi melaporkan pada pihak yang berwajib untuk dimintakan rehabilitasi setelah anaknya ditangkap, Hakimpun juga mempertimbangkan hal tersebut. c) Lingkungan sosial masyarakat Selain penentuan berat ringannya pidana dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang ditemukan dalam diri terdakwa saat menjalani proses persidangan. Dalam perkara dengan mempertimbangkan terdakwa laporan anak, Hakim penelitian juga harus Kemasyarakatan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1997 tentang Pengadilan Anak. Salah satu unsur penting dalam peradilan pidana anak adalah Probation Officer yang di Indonesia dilakukan oleh BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak) yang bertugas menyelidiki latar belakang sosial dan budaya seorang anak sampai melakukan tindak pidana.1 Serangkaian penelitian yang dilakukan dan beberapa rekomendasi yang diberikan oleh BISPA ini menjadi unsur penting dalam Hakim merumuskan putusan, walaupun laporan ini sifatnya tidak mengharuskan Hakim untuk melaksanakannya. Sejalan dengan 1 Sunaryo,”Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Manusia bagi Anak dalam Proses Peradilan Pidana”, Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Mei 2002, hlm. 89. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 93 pemikiran Wagiati Soetodjo, “Demikianlah walaupun Case study ini tidak mengikat Hakim, namun ia merupakan alat pertimbangan yang mau tidak mau wajib diperhatikan oleh Hakim, sehingga menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara pidana Anak di muka sidang pengadilan”.1 Pertimbangan Hakim dalam putusan perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt di dasarkan azas kebebasan dan kemandirian Hakim, Hakim tidak sependapat dengan saran BAPAS Purwokerto atas penelitian terhadap diri terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo bahwa terdakwa adalah Pecandu Narkotika sehingga tindakan lebih tepat diberikan baginya adalah rehabilitasi dari pada hukuman berupa perampasan kemerdekaan. Pengaruh tempat tinggal terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng dan pergaulannnya bersama saudaranya dan teman-temanya yang terlebih dahulu menggunakan Narkotika sangat berpengaruh terhadap tingkah laku terdakwa. Wagiati Soetodjo mengutip pendapat Sutherland yang mengembangkan teori Association Differential menyatakan, Anak menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengahtengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin anak luas bergaul, semakin intensif frekuensinya dengan Anak Nakal, akan menjadi 1 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 46- 47. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 94 semakin lama pula anak tadi menjadi benar-benar menjadi nakal dan kriminil.1 Pendapat yang senada mengenai perilaku Anak yang dalam pergaulan di lingkungan sosial membawa dampak yang menyimpang yaitu, Perilaku anak/ remaja yang cenderung kriminal umumnya disebabkan oleh renggangnya interaksi atau kurangnya perhatian orang tua. Di sisi lain anak berinteraksi sangat erat dengan temantemannya. Interaksi intensif di lingkungan yang kurang mendukung tumbuh kembangnya pola pikir sehat menyebabkan dia cenderung bertindak menyimpang, termasuk dari norma hukum.2 Pidana penjara merupakan bagian dari penegakan hukum pidana terhadap anak sebagai konsekuensi atas tindak pidana yang dilakukan dan dalam penjatuhan putusan pidana penjara sepenuhnya menjadi kewenangan Hakim. Adapun yang biasanya menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak adalah : - Anak tersebut melakukan tindak pidana lebih dari satu kali, - Anak tersebut melakukan suatu tindak pidana yang tergolong dalam kejahatan berat, - Dipandang bahwa anak tersebut sudah tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya lainnya, - Anak tersebut membahayakan masyarakat.3 1 Ibid., hlm.24. Hibnu Nugroho, “Hukuman Anak Bermasalah” http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2012/01/20/174353, diases pada 13 Juni 2013. 3 Madhe Sadhi Asturti, Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP, 2 Malang, 1997, hlm.117. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 95 2. Kesesuaian Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dengan Tujuan Pemidanaan. Pemidanaan menjadi suatu masalah yang selalu dikaji baik di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya. Seiring dengan desakan masyarkat dunia mengenai pentingnya perlindungan hak asasi manusia, tujuan dari pemidanaanpun berubah ke arah yang lebih humanis. Sulit memang untuk mengakomodir beberapa keinginan dalam satu regulasi. Pada satu sisi pelaku tindak pidana hendaknya dihukum sebagai bentuk pertanggungjawaban atas akibat tindak pidana yang ia lakukan. Namun, di sisi lain ada berbagai dampak yang buruk dari suatu hukuman baik untuk diri si pelaku maupun keberhasilan dari pemberantasan tindak pidana itu sendiri. a. Tujuan penjatuhan pidana penjara Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 96 Tujuan agar pelaku tindak pidana yang dikenai pidana itu akan jera, tidak melakukan tindak pidana lagi, menakut-nakuti masyarakat sehingga tidak melakukan tindak pidana adalah suatu tujuan pemidanaan yang pada pelaksanaanya tidak mudah. Bahkan lebih banyak seorang yang dikenai pidana akan mengulangi tindak pidana itu kembali, tidak dapat di terima kembali dalam masyarakat, hingga bertambah buruk perilakunya. Tentu dampak buruk dari pemberian pidana ini tidak diinginkan, tetapi kenyataanya tidak jarang terjadi dan selalu menjadi permasalahan yang sering dikaji ulang untuk mendapatkan solusinya. Hakim sebagai puncak dari serangkaian proses panjang peradilan pidana harus cerdas dan berhati nurani karena keputusannya untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang akan sangat mempengaruhi kehidupan orang tersebut. Dalam perkara dengan terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo ini, terdakwa adalah seorang anak yang masih memiliki masa depan yang panjang. Terdakwa dibujuk oleh saudaranya untuk menghisap ganja, ia ditangkap dan divonis penjara satu tahun satu bulan. Hakim tidak menyalahi aturan normatif dalam menjatuhkan pidana dalam perkara ini, tetapi bila dilhat dari aturannya sendiri ada keganjilan terkait perkara dengan pelaku anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini. Mengenai penjatuhan pidana ada yang perlu disadari oleh Hakim, Sudarto berpendapat: Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 97 Hakim dalam penghukuman yang berupa penjatuhan pidana harus menyadari apa makna pemidanaan itu, harus menyadari apa yang hendak dicapai dengan yang ia kenakan kepada sesama manusia yang telah melanggar ketentuan undang-undang. Dalam menetapkan hukum hakim tidak semata-mata hanya menegakan hukum demi hukum itu sendiri, melainkan harus mengejar kemanfaatan sosial. Oleh karena itu keputusan hakim itu tidak boleh terlepas dari politik kriminil, karena pengadilan merupakan aparat politik kriminil. Maka dalam hubungan ini hakim harus “menentukkan posisinya”.1 Penjatuhan pidana penjara bagi Saiful Ngibad Bin Kusworo harus diketahui tujuan yang hendak dicapai dan manfaat sosial yang akan berpengaruh pada masyarakat. Khusus mengenai penjatuhan pidana penjara pada anak, pertimbangan pidana dan perlakuan terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat perhatian khusus, sebab pada peradilan anak ini keputusan Hakim tersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif terhadap anak-anak, di samping tindakan yang bersifat menghukum.2 Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu: 3. Teori absolut atau teori pembalasan (retribituve/vergeldings theorieen) 4. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) 3 Teori absolut sudah banyak di tinggalkan oleh beberapa negara termasuk Indonesia dan dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pemasyarakatan yang saat ini sedang mengimplemantasikan teori tujuan pada proses pemidanaannya 1 dengan metode pembinaan. Dasar Sudarto, Kapita Selekta,1990, hlm. 100. Wagiati Soetodjo, op.cit, hlm.47. 3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1984, hlm. 10. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 98 pembenaran adanya pidana menurut teori relatif terletak pada tujuannya yaitu, pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).1 Tujuan pidana supaya orang jangan melakukan kejahatan ini terdiri dari: 1) Teori menakuti yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakutnakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum). 2) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).2 Mengenai pencegahan E. Utrecht dalam hal yang sama mengemukakan, sifat prevensi dari hukuman itu ada dua macam: 1) Prevensi umum (generale preventive). 2) Prevensi khusus (special preventive). Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar.3 Mengenai tujuan pemidanaan, Hakim dalam perkara ini tidak sependapat dengan tuntutan Penuntut Umum untuk memidana terdakwa dua tahun penjara, karena dari pertimbangan dalam putusannya “Penjatuhan pidana pada dasarnya adalah bukan dimaksudkan sebagai pembalasan dendam bagi terdakwa, tetapi lebih merupakan pembinaan bagi terdakwa agar setelah menjalankan pidananya dapat menjadi orang lebih baik lagi, apalagi terdakwa masih anak-anak sehingga diharapkan 1 Ibid., hlm. 16. Roeslan Saleh, 1987, op.cit, hlm. 26. 3 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, 1958, hlm. 157. 2 Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 99 dapat memeperbaiki diri dan dikemudian hari dapat menjadi anak yang lebih baik. Hakim di sini menggunakan teori tujuan dalam menjatuhkan pidana penjara bagi terdakwa. Hakim bermaksud membina terdakwa dengan memenjarakannya, tetapi harus dikaji lagi mengenai manfaat dari dijatuhkannya pidana penjara bagi terdakwa. Seorang yang baru mencobacoba narkotika dan kondisi terdakwa yang masih muda dengan pergaulan yang saat ini cukup mengkhawatirkan merupakan tantangan bagi negara untuk memberikan pembinaan dan pendidikan yang sesuai. b. Tujuan pidana penjara bagi anak penyalahguna narkotika Bila dibandingkan, antara Peyalah Guna narkotika yang baru mencoba-coba dengan Pecandu Narkotika ternyata bisa diperoleh putusan yang berbeda jauh. Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ayat (1) dan (2) merumuskan bahwa: (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan atau rehabilitasi baik jika terbukti bersalah atau menetapkan yang bersangkutan menjalani pengobatan atau rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah. b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Penjelasan Pasal 103 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 100 Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan Hakim tersebut menggunakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Sedangkan pada kata menetapkan berarti tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan. Pilihan untuk memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkotika sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan Hakim termasuk dalam menangani perkara anak. Sebuah problema adalah ketika suatu pilihan memidana anak dikaitkan dengan Pasal 64 ayat (2) huruf d UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang lebih menitikberatkan pada aspek pemberian sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi Anak yang berhadapan dengan hukum. Terlebih lagi khusus untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dimana pelaku hanya mengkonsumsi untuk diri sendiri tidak untuk tujuan lain seperti memproduksi, mengedarkan, atau memperdagangkan narkotika upaya pengobatan untuk menghentikan keinginan memakai narkotika terkadang harus dikesampingkan karena peraturannya menghendaki demikian. Salah satu kendalanya adalah beberapa istilah dalam Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang hampir sama, tetapi aturannya berbeda-beda. - Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 101 pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika); - Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) - Korban Penyalahguna Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, merumuskan: Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napsza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Permasalahan kembali terjadi akibat banyaknya istilah adalah kerancuan pengaturan di mana Pasal 4 huruf d di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merumuskan bahwa: Undang-Undang Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Namun jaminan upaya rehabilitasi sosial dan medis dibatasi kembali, dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika merumuskan bahwa: Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sehingga, berdasarkan Pasal 54 tersebut, hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, tetapi pada Pasal 127 Undang-Undang Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 102 Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kemudian juga menjadi subjek yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika. Pembuktian bahwa penyalah guna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika, merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Nomor Penyalahgunaan, 04 Korban Tahun 2010 Penyalahgunaan, tentang dan Penempatan, Ketergantungan Narkotika yang sebenarnya penerapan pemidanaan bagi Pecandu Narkotika saja karena merujuk pada yang diatur dalam Pasal 103 huruf dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Sebagaimana yang menjadi pertimbangan Hakim yang mengadili terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo juga mempertimbangkan penjatuhan pidana penjara bukan rehabilitasi karena Surat Edaran No. 04 Tahun 2010 tentang Penempatan, Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Ketergantungan Narkotika yang sifatnya sebagai himbauan dan digunakan Hakim bila memperoleh kesulitan. Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Pecandu Narkotika telah dijamin Undang-Undang untuk direhabiltasi, seorang Penyalah Guna Narkotika untuk mendapat Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 103 rehabilitasi medis diperlukan adanya laporan terlebih dahulu dari dirinya sendiri ataupun keluarganya kepada instansi yang berwenang, dan bila ia tertangkap tanpa ada bukti melapor terlebih dahulu bila ia seorang pemakai, ia harus memenuhi persyaratan yang cukup rumit. Seorang seperti Saiful Ngibad Bin Kusworo yang baru menggunakan Narkotika Golongan I berupa ganja sebanyak dua kali karena dibujuk oleh saudaranya dan tertangkap ketika akan menggunakan yang ketiga kalinya ini menurut Hakim bukanlah seorang pecandu narkotika, sehingga dapat dijatuhi pidana penjara. Dalam amar putusan tidak memutuskan agar terdakwa menjalani rehabilitasi, sedangkan seorang pecandu bisa mendapat rehabilitasi medis yang diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman bila ia dapat membuktikan bahwa ia seorang pecandu yang syaratnya ditentukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010. Pecandu Narkotika juga dapat terbukti melakukan tindak pidana narkotika seperti halnya Penyalah Guna Narkotika, sehingga dapat dikenai hukuman. Perbedaannya Pecandu Narkotika mendapat hukuman dengan cara diobati dan mendapat perawatan, sedangkan Penyalah Guna Narkotika yang tidak terbukti sebagai pecandu narkotika tidak bisa memperoleh hukuman berupa pengobatan dan/atau perawatan. UndangUndang Pengadilan Anak, telah secara limitatif menentukan pidana pokok, sehingga Hakim lebih banyak terpacu menggunakan pilihan pidana dalam Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 104 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak daripada Undang-Undang tentang Narkotika atau Undang-Undang Perlindungan Anak. Penyalah guna Narkotika yang masih coba-coba seperti Saiful Ngibad Bin Kusworo tidak dimungkinkan mendapat pengobatan dan/atau perawatan layaknya pecandu narkotika, atau secara tidak langsung menyimpulkan ia termasuk anak yang berbahaya yang harus dibina di Lembaga Pemasyarakatan bukan orang yang sakit atau sebagai korban yang harus diselamatkan dan diobati. Pidana penjara masih dianggap sebagai cara yang tepat untuk mencapai tujuan dari suatu pemidanaan termasuk upaya membina dan mendidik anak yang salah bergaul sehingga melakukan perbuatan yang melanggar Undang-Undang. Mengenai keberadaan penjara sendiri, ada salah satu pendapat yang ekstrim mengenai peniadaan pidana penjara adalah pendapat Prof. Herman Bianchi yang menyatakan: “The institution of prison and imprisonment are to be for ever abolished, entirely and totality. No trace should be lift of this darkside in human history” (Lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selamalamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini).1 Indonesia sendiri masih menganggap Lembaga kepenjaraan atau yang kini disebut Lembaga Pemasyarakatan diperlukan untuk membina orang-orang yang melanggar hukum dapat berubah menjadi orang yang 1 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.37. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 105 baik dan dapat mengembalikkannya di tengah masyarakat. Penjatuhan pidana penjara bukannlah upaya pertama atau yang utama untuk membina seseorang terutama bagi anak-anak. Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Penjatuhan pidana penjara menimbulkan dampak negatif dan kerugian khususnya terhadap terpidana anak. Adapun dampak dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan diantaranya adalah: - Anak akan akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak - anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka kemungkinan bagi terpidana untuk mempelajari prilaku kriminal terpidana yang lainnya sehingga anak akan menjadi lebih ahli tentang kejahatan - anak tersebut diberi cap oleh masyarakat, hal ini dapat kita kaitkan dengan teori labeling yang dikemukakan oleh Matza dimana memandang para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian system peradilan pidana maupun masyarakat luas.1 Perlu kita pikirkan bersama bahwa persoalan penjatuhan pidana penjara anak sangat serius karena penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan. 1 Topo Santoso dan Eva Achjani, Kriminologi, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 98. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 106 Selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan, dan ada stigma yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya.1 Melihat begitu besarnya kerugian dan dampak negatif yang ditimbulkan, maka hendaklah dicari dan dirumuskan alternatif-alternatif dari pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku kejahatan misalnya dengan memberikan pembinaan yang bersifat noninstitusional seperti: pidana pembinaan, pengawasan, denda, kerja sosial dan ganti kerugian, seperti halnya yang disebutkan dalam The Beijing Rules pada Rule 18 mengenai macam-macam tindakan yang dapat dijatuhkan pada terpidana anak adalah; - pidana pengawasaan - pengawasan (Probation), - kerja sosial (Community Service order), - pidana denda atau ganti rugi (Compensation, restitution), - perawatan lanjutan dan perintah perawatan lainnya (intermediete treatment and other treatment orders), - berpartisipasi dalam kegiatan kelompok konseling dan kegiatan lain serupa (orders to participate in group concelling and smiliar activities), - membantu perkembangan dalam masyarakat atau dalam lingkungan yang mendidik (orders concerning foster care, living communication or other educational setting), - tindakan-tindakan lain yang relevan (other relevant orders). 1 Hadi Supeno, “Alternatif Pemidanaan “Restorative Justice” Bagi Anak Berkonflik Dengan Hukum” , diakses pada 31 Januari 2013 http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaanrestorative-justice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 107 Penggunaan narkotika untuk diri sendiri yang khususnya dilakukan anak sebenarnya menempatkan anak pada pelaku sekaligus korban pada tindak pidana tersebut. Penjatuhan pidana penjara bagi peyalahguna narkotika yang memandang anak sebagai korbannya, Pasal 64 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan, (3)Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Psal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Kondisi Lembaga Permasyarakatan (Lapas) saat ini sudah tidak mendukung pemulihan terpidana penyalah guna narkotika khususnya anak-anak, apalagi minimnya ketentuan yang menjamin pengurangan dampak buruk pemakaian narkotika. Padahal Declaration on The Guiding Principles of Drug Demand Reduction menyebutkan bahwa kebijakan narkotika pada tingkat nasional maupun internasional harus bertujuan mencegah dan mengurangi dampak buruk dari pemakaian narkotika. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 108 Bila narapidana narkotika digabung dengan tahanan kriminal lainnya, dikhawatirkan semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan. Kesehatan yang diderita para narapidana narkotika akan semakin berat. Bagi pemakai narkotika tempatnya bukan dipenjara melainkan harus direhabilitasi, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sangat diharapkan adanya kerja sama dengan pihak kepolisian sehingga harus ada kriteria yang jelas antara pelaku menjadi pemakai dan pelaku yang melakukan kegiatan seperti memproduksi, pengedaran atau bandar narkotika. Sehingga ke depan harus memberikan batas yang jelas dalam persoalan penyalah guna narkotika tersebut sehingga bisa dilakukan rehabilitasi. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika khususnya yang dilakukan untuk pemakai diri sendiri bukan untuk diproduksi dan diperjual-belikan demi suatu tujuan keuntungan pribadi perlu adanya pemisahan. Pada dasarnya, pengedar narkotika dalam terminologis hukum dikategorisasikan sebagai pelaku (daders), akan tetapi pengguna dapat dikategorisasikan baik sebagai pelaku dan/atau korban. Selaku korban, maka pengguna narkotika adalah warga negara yang harus dilindungi, serta dihormati hak-haknya baik dalam proses hukum maupun dimensi kesehatan dan sosial. Pengguna narkotika dapat memilih tempat rehabilitasi yang telah memenuhi kualifikasi dan apabila pengguna narkotika dalam pengawasan negara maka negara memberikan hak rehabilitasi secara Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 109 cuma-cuma kepada pengguna narkotika dimana pembiayaanya dapat diambil dari harta kekayaan dan asset yang disita oleh negara (Pasal 9 ayat (1), Penjelasan Pasal 103 ayat 1 huruf b dan Penjelasan Pasal 101 ayat (3) UU Narkotika). Tetap harus diingat pula, bahwa pemakai narkotika lebih-lebih pemakai narkotika yang masih muda umurnya sebenarnya harus dipandang sebagai orang yang sakit, seorang pasien, yang perlu ditolong untuk disembuhkan.1 Pengguna narkotika akan dipidanakan terlebih dahulu minimal empat tahun jika terbukti memiliki narkotika golongan I, sedangkan rehabilitasinya masih menunggu peraturan pelaksana. Padahal UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 pada dasarnya menganggap pengguna narkotika sebagai korban sehingga harusnya direhabilitasi terlebih dahulu. Undang-Undang Narkotika tetap menimbulkan implikasi yuridis bagi pengguna narkoba. Secara global, implikasi yuridis tersebut berorientasi kepada aturan pelaksanaan bagi Undang-Undang Narkotika. Upaya ini merupakan bentuk implementasi dari ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 54, 55, 103, dan 127. Undang-undang ini lebih bersifat humanis kepada korban penyalahgunaan Narkotika, tetapi keras terhadap para pengedar, importir dan produsen Narkotika. Seorang anak yang masih berada dibawah kekuasaan orang tuanya harusnya segala tindakannya diawasi oleh orang tua dan menjadi 1 Sudarto, Kapita Selekta,1990, hlm. 42. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 110 kewajiban orang tua untuk melindunginya. Pada perkara ini, jika anak sebagai pengguna narkotika dan orang tua tidak mengetahuinya, apalagi sampai anak dipidana penjara tentu orang tua atau wali dari si anak ini harus ikut bertanggung jawab. Pada Pasal 26 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan memelihara anak. Suatu kelalaian jika orang tua tidak mengetahui anaknya sebagai pemakai narkotika, dan sebuah ironi jika anak dipenjara karena kelalaian orang tua dalam mengawasi anaknya. Bagi penulis sendiri, terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo adalah korban penyalahgunaan narkotika yang akan lebih bijaksana dan lebih bermanfaat bila ia menjalani pengobatan atau rehabilitasi dari pada dipidana penjara. Banyak pencandu, korban penyalahgunaan narkotika yang dihukum dengan hukuman pidana. Pecandu dan penyalahguna harusnya direhabilitasi bukan dipidana, yaitu didorong untuk melakukan upaya “depenalisasi” dan “dekriminalisasi” bagi pengguna narkotika. Depenalisasi merupakan perbuatan yang semula diancam dengan pidana, tetapi kemudian ancaman itu dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dekriminalisasi adalah proses dengan cara menghilangkan lain. Sementara ancaman pidana perbuatan yang semula tindak pidana menjadi tindakan biasa. Terkait Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 111 dengan masih banyaknya pengguna narkotika di Indonesia yang menerima hukuman pidana, bukan rehabilitasi. Upaya dekriminalisasi berarti Hakim dalam memutuskan tindak pidana narkotika, khusus pengguna itu tidak dimasukkan dalam penjara tapi dititipkan ke tempat rehabilitasi. Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024 FH UNSOED 2013 112 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV maka didapat simpulan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. adalah dari pertimbangan: a) Dasar mengadili yaitu Pasal 84 ayat 1 KUHAP dengan asas Locus delicti, b) Dasar memutus yaitu terpenuhinya syarat pemidanaan dan Pasal 183 KUHAP, dan c) Faktor subyektif Hakim yaitu berupa hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang dilakukan terdakwa di persidangan, serta penilaian bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan lingkungan tempat tinggal terdakwa. 2. Penjatuhkan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan terhadap anak karena tidak ditujukan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Anak pengguna narkotika membutuhkan pengobatan agar menghentikan penggunaan dan mengurangi dampak buruk narkotika. [Type text] 113 B. Saran Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, dalam hal ini saran yang dapat diberikan adalah Hakim dalam perkara anak pengguna narkotika sebaiknya mengutamakan sanksi yang terbaik bagi kepentingan anak berupa pengobatan dan pembinaan atau sanksi berupa tindakan bukan pidana yang bersifat penghukuman atau perampasana kemerdekaan, sehingga tujuan pemidanaan bagi anak penguna narkotikapun dapat tercapai. [Type text]