BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkoba

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan narkoba adalah realitas yang ditemui di dalam
masyarakat. Secara nasional, merebaknya penyalahgunaan narkoba (yang
dalam hal ini sebagai pengguna) tidak saja dilakukan oleh orang dewasa,
tetapi anak-anak yang masih menjalani pendidikan baik pendidikan tinggi,
menengah bahkan pendidikan dasarpun tidak luput untuk melakukan
penyalahgunaan. Bahkan jumlahnya cukup menghawatirkan. Berdasakan
data hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait penggunaan
narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekitar 4,7 persen dari total
pelajar dan mahasiswa di tanah air adalah sebagai pengguna barang haram
tersebut.1
Penyalahgunaan narkoba, khususnya narkotika adalaha bahaya
laten yang setiap kali diberantas tak lantas habis tetapi akan tumbuh di
tempat yang baru dengan modus yang berbeda. Kenyataan tindak pidana
narkotika dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang
meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi pada
1
suaramerdeka.com, “Pengguna Narkotika Paling Banyak di Kalangan Pelajar”, diakses pada 8
Oktober 2012, pukul 06:59.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
2
umumnya.1 Generasi muda menjadi sasaran utama berkembangnya bisnis
narkotika, karena rasa keingintahuan untuk mencoba dari jiwa-jiwa yang
masih muda ini lebih besar dari orang dewasa. Pengedar dan bandar
narkotika pantas mendapatkan hukuman berat pada tindak pidana ini.
Namun untuk pengguna narkotika terutama anak-anak yang awalnya
dibujuk dan ditawari secara gratis oleh si pengedar, lantas dijadikan
terdakwa dan dijatuhi hukuman berupa perampasan kemerdekaan tentu
penerapannya masih harus dikaji lagi.
Dalam
kehidupan
masyarakat,
anak
yang
melakukan
penyalahgunaan narkoba sebagai pengguna dan kemudian diproses
melalui proses peradilan anak, beberapa diantaranya dijatuhi pidana
penjara. Sementara pidana penjara adalah pidana yang paling dihindari
sebagai reaksi kenakalan anak karena dampak yang ditimbulkan akan
mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Pada alinea
terakhir penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak menjelaskan bahwa Putusan Hakim akan mempengaruhi
kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim
harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah
satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju
masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang
bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa, dan negara.
1
Alinea kedua Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
3
Seorang yang hanya menggunakan narkoba bukan pengedar
ataupun bandar berada dalam persimpangan peran, sebagai pelaku atau
sebagai korban. Di negara seperti Inggris dan Australia, mereka
menempatkan para pengguna narkoba sebagai korban bukan sebagai
pelaku, oleh karenanya para pengguna narkoba akan segera direhabilitasi
dan ditangani oleh para ahli yang dibekali oleh kompetensi yang cukup.
Lain halnya dengan di Indonesia, seorang terdakwa tindak pidana
penyalahgunaan narkotika hanya dapat memperoleh tindakan hukum
berupa rehabilitasi bila telah memenuhi persyarataan dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor: 04/ Tahun 2010 yaitu: terdakwa dalam kondisi
tertangkap tangan, pada saat tertangkap tangan barang bukti untuk ganja 5
gram, surat ijin laboratorium positif menggunakan narkotika, surat
keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah, tidak terdapat bukti
bahwa yang bersangkutan terlibat peredaran Narkotika dan adanya
keterangan ahli yang menerangkan seberapa besar kondisi/taraf kecanduan
dari terdakwa.
Beberapa terobosan dalam penanganan masalah kejahatan narkoba
ini sudah dilakukan dibeberapa Negara yaitu berupa konsep diversi dalam
penanganan atau pemidanaan bagi pecandu dan korban penyalahgunaan
narkoba.
Pada
dasarnya
hukum
pidana
sifatnya
keras
dan
menyengsarakan, oleh sebab itu hukum pidana harus dijadikan sebagai
Ultimum Remedium (jalan terakhir) bukan sebagai Primum Remedium
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
4
(jalan utama) apalagi sebagai Maximum Remedium (hukuman terberat).
Tindak pidana anak merupakan tindak pidana yang khas apabila
dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa pada umumnya menginagt sifat-sifat emosional anak
masih belum stabil serta masih belum dapat membedakan
perbuatan mana yang baik dan yang buruk oleh karena itu perlu
ditangani secara khusus dalam rangka memberikan perlindungan
dan kesejahteraan anak.
Pengadilan Negeri Purwokerto menangani suatu kasus mengenai
Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi Diri sendiri yang dilakukan
oleh Saiful Ngibad Bin Kusworo (17th), Hakim memutus terdakwa dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan karena terbukti
melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merumuskan
“Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan 1 bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Hal yang menarik dari
putusan perkara tersebut adalah pemberian pidana penjara pada terdakwa
anak, sedangkan terdakwa adalah pengguna bagi dirinya sendiri dan bukan
pecandu menurut hakim. Ada benturan antara perlindungan hak terhadap
anak dengan tindakan anak dalam kejahatan khusus yang sifatnya extra
ordinary crime. Berdasarkan hal inilah, maka penulis merasa perlu untuk
mengadakan penelitian dan penulisan hukum yang berjudul: Penjatuhan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
5
Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi
terhadap Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.).
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks
dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu
pembatasan masalah. Untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data
guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan
data yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan
masalah secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang
akan dibahas. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah
dalam penelitian sebagai berikut:
1. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Pidana
Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan
Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
2. Apakah Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan
Narkotika pada Putusan Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
sesuai dengan tujuan pemidanaan?
C. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
6
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan
pengetahuan hukum dalam bidang pidana terutama dalam pemberian
putusan hakim untuk menyelesaikan kasus penyalahgunaan Narkotika dan
apa sajakah yang menjadi pertimbangan hakim untuk memutus suatu
kasus penyalahgunaan narkotika.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitiaan ini dapat digunakan sebagai wacana bagi pembaca untuk
menulis judul skripsi ataupun memberikan pengetahuan baru tentang
hukum pidana dan juga berguna bagi masyarakat pada umumnya.
D. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai
secara jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada
Putusan Perkara Nomor : 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
2. Untuk mengetahui kesesuaian Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak
Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor :
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. dengan tujuan pemidanaan.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
1. Istilah Tindak Pidana
Masyarakat
kerap
kali
menyebut
segala
tindakan
yang
bertentangan dengan hukum pidana adalah kejahatan. Berbeda dengan
istilah yang digunakan pada tataran akademisi dan penegak hukum,
kejahatan atau perbuatan yang melanggar hukum memiliki beberapa istilah
salah satunya adalah tindak pidana.
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu Strafbaar Feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS
Belanda, dengan demikian WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada
penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu.
Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi
dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada kesamaan pendapat.1
Secara literlijk, kata “Straf” artinya pidana, “Baar” artinya dapat atau
boleh dan “Feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah
Strafbaar Feit secara utuh, ternyata Straf diterjemahkan juga dengan kata
hukum. Padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata Recht,
1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1), PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 67.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
8
seolah-olah arti Straf sama dengan Recht, yang sebenarnya tidak demikian
halnya.1
Pidana dan hukuman tidaklah sama, sehingga akan dijelaskan terlebih
dahulu perbedaan keduanya. Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah
hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal suatu
istilah untuk keduanya, yaitu Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum
untuk segala macam sanksi baik perdata, administrasif, disiplin, dan
pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan
hukum pidana.2
Perkataan Feit itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “Sebagian dari
suatu kenyataan” atau een gedeelte van de wrkelijkheid, sedang strafbaar
berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu
dapat diterjemahkan sebagai “Sebagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan
kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia
sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.3
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk
dilakukan (dalam peraturan perundang-undangan) yang disertai ancaman
pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi, perbuatan (feit)
di sini adalah unsur pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan
tersebut.4
Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit banyak dikemukakan oleh
para ahli hukum, yang mana pengertian tersebut dibagi menjadi dua
pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan
monistis cenderung tidak memisahkan antara criminal act dan criminal
responsibility sedangkan, pandangan dualistis cenderung memisahkan
secara tegas antara criminal act dan criminal responsibility. Criminal act
1
Ibid., hlm.69.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Bandung, 1994, hlm. 27.
3
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 181.
4
Adami Chazawi, Op.Cit., hlmn 4-5.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
9
adalah perbuatan yang dilarang dengan sanksi ancaman pidana, unsurnya
terdiri dari: perbuatan manusia, memenuhi rumusan undang-undang, dan
bersifat
melawan
hukum.
Criminal
responsibility
adalah
dapat
dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya, unsurnya terdiri
dari: kemampuan bertanggung jawab dan kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa).
Berikut ini pandangan para ahli hukum mengenai tindak pidana yang
disebutkan secara berbeda-beda sesuai istilah mereka masing-masing. Para
ahli hukum yang memiliki pandangan monistis diantaranya adalah J.E.
Jonkers, menurut Beliau, “Peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan
hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan
yang
dilakukan
oleh
orang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan”.1 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang
berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” mengemukakan,
“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana”.2 Menurut H.J. Schravendijk, “Perbuatan yang boleh
dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan
keinsyafan hukum sehinggga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal
dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan”.3 Simons
secara lebih lanjut mengemukakan, “Strafbaar feit adalah kelakuan
1
Adami Chazawi, 2005, Op. Cit, hlm. 75.
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta,
1981, hlm. 50.
3
Adami Chazawi, 2005, Loc.Cit., hlm. 75.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
10
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum,
yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab”.1
Para ahli hukum yang memiliki pandangan dualistis diantaranya
adalah Moeljatno, Beliau mengemukakan, “Perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut”.2 Roeslan Saleh mengemukakan, “Perbuatan
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang”.3 Menurut Pompe, “Strafbaarfeit itu
sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu
rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum”.4 Hampir senada dengan pendapat Pompe, menurut H.B. Vos,
“Starfbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan”.5
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu
unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur
”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud
1
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1982, hlm. 38.
Ibid., hlm. 37.
3
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dalam Mahrus
Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 98.
4
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 72.
5
Ibid., hlm. 72.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
11
dengan unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan. 1
Berkaitan
dengan
pengertian
unsur-unsur
tindak
pidana
(strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian
unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran
dualistis.
Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :
a. D. Simons, sebagai
penganut pandangan monistis Simons
mengatakan bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah
”Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande
handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.
Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut di atas,
unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar
persoon).
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut, Simons membedakan
adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah :
a) perbuatan orang;
b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka
umum”
Selanjutnya unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
a) Orangnya mampu bertanggung jawab.
b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan.
b. Van Hamel, menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en
mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te
wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
2) Bersifat melawan hukum;
1
P.A.F Lamintang, 1984. Op. cit., hlm. 183.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
12
3) Dilakukan dengan kesalahan dan
4) Patut dipidana.
c. E. Mezger, menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk
adanya pidana, dengan demikian unsur-unsurnya yaitu :
1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau
membiarkan);
2) Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat
subyektif);
3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
4) Diancam dengan pidana.
d. J. Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum,
dan dilakukan dengan kesalahan. 1
Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan
criminal responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana
menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai
berikut :
1. H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan :
1) Kelakuan manusia dan
2) Diancam pidana dengan undang-undang.
2. W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit
adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan
undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
3. Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar
larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsurunsur :
1) Perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil) dan
3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang
tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus
ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan
oleh masyarakat. 2
1
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang,
1990, hlm. 41-42.
2
Ibid., hlm. 42-43.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
13
Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada
pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.
Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak
mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana.
Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang
pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian.
Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan
dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena
masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada
pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis
semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap
adanya.1
B. Pengertian dan Jenis Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Narkotika menurut pengertian yuridis diatur dalam Pasal 1 butir 1
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
merumuskan bahwa:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.
Sedangkan dari pendapat dari salah satu sarjana pengertian tentang
narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari bahan alam atau sintesis maupun
semi sintesis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.
Efek narkotika di samping membius dan menurunkan kesadaran, adalah
mengakibatkan daya khayal atau halusinasi (ganja), serta menimbulkan
daya rangsang atau stimulan (cocain). Narkotika dapat menimbulkan
ketergantungan (depence).2
1
Ibid., hlm. 45.
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan
Praktik serta Penyuluh Masalah Narkoba Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 52.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
14
Istilah narkotika biasanya disamakan dengan drug, hal ini sejalan
dengan pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan bahwa:
Istilah narkotika disini bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi),
melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang apabila
dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu
pada tubuh si pemakai, yaitu:
a. Mempengaruhi kesadaran;
b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku
manusia;
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa;
1) Penenang;
2) Perangsang (bukan rangsangan seks);
3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan
antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu
dan tempat).1
Sudarto mengemukakan, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan
Yunani „narke‟, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa”.2
Smith Kline dan Frech Clinical Staff sebagaimana dikutip oleh Djoko
Prakoso mengemukakan:
Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their
depresant offer on the central nervous system, included in this
definition are ophium-ophium derivativis (morphine, codein,
methadone).
Artinya lebih kurang ialah:
Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja
mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini
1
Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum tentang Narkotika Di Indonesia, PT. Karya
Nusantara, Bandung, 1976, hlm. 14, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak
Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, 2005, hlm. 17.
2
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 36.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
15
sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine,
codein, methadone).1
Berbagai pengertian narkotika berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan doktrin para sarjana mempunyai kesamaan pada efek atau akibat yang
ditimbulkan dari penggunaan narkotika yang termasuk obat yang
penggunaanya harus mengunakan ijin yang terbatas.
2. Jenis-Jenis Narkotika
Pembahasan mengenai narkotika berkaitan dengan macam-macamnya.
Mengenai macam macam narkotika dan bagaimana narkotika itu adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa narkotika ada 2 macam, yaitu narkotika alam dan narkotika
sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu,
morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika alam
ini termasuk dalam pengertian narktika sempit. Sedang narkotika
sintesis adalah termasuk pengertian narkotika secara luas. Narkotika
sintesis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong
dalam 3 jenis obat yaitu : Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant;
b. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral
yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.
Berbahaya apabila disalahgunkan;
1
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang
Merugikan dan Membahayakan Negara, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky,
Op.Cit.,hlm. 18.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
16
c. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat
bius dan obat-obat barbahaya atau narcotic and dangerous drugs.
Di Indonesia narkotika alam digolongkan dalam obat-obatan
Daftar O dan narkotika sintesis digolongkan dalam obat-obatan Daftar G.
Karena kebanyakan orang tidak tahu suatu obat dikategorikan dalam
Daftar O atau Daftar G, maka mereka menggunakan istilah baru: obat yang
disalahgunakan (drug abuse).
Berikut jenis-jenis Narkotika yang sering diperkenalkan dalam berbagai
penyuluhan bahaya Narkotika:
1) HEROIN dikenal dengan nama Putaw atau PTW
Efek :
a) Menimbulkan rasa kantuk, lesu, penampilan “dungu‟, jalan
mengambang, rasa senang yang berlebihan.
b) Konsumsi dihentikan menimbulkan rasa sakit dan kejang, perut
kram, menggigil, muntah, mata berair, hidung berlendir, hilang
nafsu makan dan kehilangan cairan tubuh.
c) Menimbulkan kematian bila over dosis.
Karakteristik :
a) Merupakan
Narkoba
ketergantungan.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
yang
sangat
cepat
menimbulkan
17
b) Berupa serbuk putih dengan rasa pahit. Warna bisa putih atau
coklat.
c) Cara penggunaan dapat disuntikkan, dihirup dan dimakan.
2) GANJA dikenal dengan nama Mariyuana, Hashish, Gelek, Budha Stick,
Cimeng, Gras
Efek :
a) Menurunkan ketrampilan motorik, denyut jantung meningkat,
gelisah dan panik, depresi, halusinasi, rasa senang yang berlebihan,
rasa ketakutan dan agresi.
b) Komplikasi kesehatan pada daerah pernafasan, sistem peredaran
darah dan kanker.
Karakteristik :
a) Menimbulkan ketergantungan psikis, yang diikuti oleh kecanduan
dalam waktu lama, terutama bagi pengguna rutin.
b) Bentuk daun kering, cairan lengket, minyak “damar ganja”.
3) MORFIN
Efek :
a) Menurunkan ketrampilan motorik, denyut jantung meningkat,
gelisah dan panik, depresi, halusinasi, rasa senang yang berlebihan,
rasa ketakutan dan agresi.
b) Komplikasi kesehatan pada daerah pernafasan, sistem peredaran
darah dan kanker.
Karakteristik :
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
18
a) Analgesik yang kuat, tidak berbau.
b) Berupa kristal putih yang warnanya menjadi kecoklatan.
Khusus untuk Mariyuana atau ganja yang menjadi jenis narkotika yang
dipakai dalam studi putusan dalam penelitian ini kenyataannya, Mariyuana
adalah zat yang sangat berbahaya. Berbeda dengan minuman keras yang
biasanya keluar dari tubuh dalam 24 jam karena water-soluble, mariyuana
adalah fat-soluble, yang berarti zat psikoaktif ini mengikat pada bagian
lemak tubuh (biasanya pada otak dan sistem reproduksi) dan dapat
dideteksi sampai 30 hari sesudah penggunaan. Penelitian menunjukkan
bahwa Mariyuana mengganggu daya ingat dan mempengaruhi sistem
kognitif, fungsi sistem reproduksi, sakit jantung, paru-paru, kelenjar
endokrin, dan mengurangi daya tahan tubuh sehingga menyebabkan
pemakai mudah terinfeksi penyakit. Mariyuana mengandung zat penyebab
kanker lebih daripada rokok yang paling kuat. Pada umumnya ganja
adalah pintu gerbang menuju penggunaan Narkoba lainnya. Kebanyakan
pecandu berat Narkoba mulai bereksperimen dengan ganja.1
3. Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan istilah teknis
yuridis yang digunakan oleh pembentuk undang-undang sebagai bentuk
penegasan sikapnya dalam menggunakan istilah. Penggunaan narkotika
sebenarnya diperbolehkan, tetapi hanya untuk penelitian dan pengobatan
dengan syarat dan ijin tertentu menurut Undang-Undang. Taufik
Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky tidak menggunakan istilah teknis
yuridis tersebut, mereka menggunakan istilah tindak pidana narkotika,
mereka juga mengemukakan bahwa bentuk umum tindak pidana narkotika
ada tiga, yaitu:
a) Penyalahgunaan/ melebihi dosis;
hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan di
atas.
1
Tim Ahli Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (Apa yang
Bisa Anda Lakukan), Badan Narkotika Kabupaten Banyumas, 2009, hlm. 11.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
19
b) Pengedaran narkotika;
karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika,
baik nasional maupun internasional.
c) Jual beli narkotika;
ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari
keuntungan materiil, namun ada juga untuk motivasi mencari
kepuasan.1
Mengenai gejala-gejala Penyalahgunaan obat berikut macam-macamnya:
1) Hadirnya peralatan sebagai tanda/bukti
- Hadirnya peralatan obat-obatan, seperti pipa rokok yang biasa
dipakai untuk menghirup kokain/heroin; kertas linting untuk ganja
atau botol obat kecil, pematik gas, korek api, plester, kertas timah,
sendok kecil,
- Kehadiran obat-obat sendiri,
- Adanya bau alkohol atau obat lainnya.
2) Tanda-tanda di Sekolah
- Prestasi belajar di sekolah tiba-tiba menurun,
- Sering bolos sekolah, sikap negatif terhadap sekolah,
- Sering mengantuk atau tidur di sekolah.
3) Kehidupan Sosial/Teman
- Anak tiba-tiba mencari teman baru dan tidak suka lagi temanteman lamanya,
- Tiba-tiba bosan dengan kegiatan-kegiatan atau hobinya yang dulu
yang sering ia lakukan dengan senang hati,
- Sering melamun dalam waktu yang lama
- ada kesulitan konsentrasi dan daya ingat menurun.
4) Perubahan Emosi/Perasaan Hati
- Perubahan suasana hati: dulu senang bergaul, sekarang mengunci
diri atau sebaliknya.
- sering tertawa terkikih-kikih tanpa alasan yang cukup jelas, dan
tiba-tiba mulai cerewet atau malah menjadi diam.
5) Masalah perilaku
- Tiba-tiba menjadi pembohong, pencuri
- mudah tersinggung, suka marah, pemalas
- penuh rahasia, tidak mau berkomunikasi
6) Keadaan Tubuh
- tidak memperdulikan kebersihan diri sendiri
- hidung berair walaupun tidak sakit flu
- Mata merah; pupil mata besar atau membesar
- Kurag nafsu makan
- Kulit gatal
- Berat badan anak tiba-tiba menurun.2
1
2
Ibid., hlm. 45.
Tim Ahli Badan Narkotika Nasional, 2009, Op. Cit., hlm.57-58.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
20
Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli, setidaknya ada beberapa
faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika,
diantaranya sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan atau
depresi. Termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian
yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri.
Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan atau depresi adalah
karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga
melarikan diri dengan penggunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang.
Faktor sosial budaya, terdiri dari keluarga dan pengaruh teman.
Kondisi keluarga di sini merupakan kondisi keluarga disharmonis
seperti orang tua bercerai, orang tua sibuk dan jarang di rumah serta
perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba
kekurangan. Sedang yang termasuk pengaruh teman misalnya karena
berteman dengan seorang yang ternyata pemakai narkoba dan ingin
diterima dalam suatu kelompok.
Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak
mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut
perkembangan psikologi anak dan kurangnya perhatian terhadap
anak, juga bisa mengarahkan seorang anak untuk menjadi user atau
pemakai narkotika.
Faktor narkotika itu sendiri, mudahnya narkotika didapat didukung
dengan fakor-faktor yang sudah disebut di atas, semakin
memperlengkap timbulnya narkotika. 1
Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika diatur dalam Pasal 111
sampai Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang merupakan ketentuan khusus (asas lex specialis derogat
lex generalis) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh
karena itu terhadap kejadian yang menyangkut tindak pidana narkotika
harus diterapkan ketentuan-ketentuan tindak pidana dalam Undang-
1
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang- Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hlm. 7.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
21
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kecuali hal-hal yang
belum diatur di dalamnya.
Ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika merupakan delik kejahatan dikarenakan narkotika itu hanya
digunakan untuk pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan
tersebut dan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian
narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
diatur mengenai Penyalahgunaan Narkotika yaitu dalam Pasal 127 yang
berisi :
(1) Setiap penyalahguna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun;dan
c. Narkotiaka Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalahgunaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial.
C. Unsur-Unsur dapat Dipidananya Seseorang
1. Unsur-Unsur Perbuatan
Unsur-unsur tindak pidana dalam tataran Undang-Undang yakni
dalam KUHP pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu,
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
22
unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif
adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk ke
dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsurunsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
b. Maksud atau voornomen pada suatu percobaan atau poeging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
e. Perasan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtetlijkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau “keadaaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.1
Syarat dapat dipidananya seseorang adalah apabila telah memenuhi
dua unsur, yaitu unsur perbuatan dan pembuat (orang). Berikut adalah
skema dapat dipidananya seseorang:2
Syarat pemidanaan
perbuatan
1
2
P.A.F Lamintang, 1997, Op. Cit., hlm. 193-194.
Sudarto, 1990, Op. Cit., hlm.50.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
pidana
orang
23
1. memenuhi rumusan undang-undang
3. kesalahan:
2. bersifat melawan hukum
a. Mampu bertanggung jawab
(tidak ada alasan pembenar)
b. Dolus atau culpa
(tidak ada alasan pemaaf)
2. Unsur Pembuat/Anak
Terkait dengan unsur pembuat sebagai salah satu unsur dapat
dipidananya seseorang yang dalam penelitian ini adalah anak, maka
berikut adalah definisi anak.
Terdapat banyak sekali definisi yang
menjabarkan atau memberikan batasan mengenai anak. Masing-masing
definisi ini memberikan batasan yang hampir sama, tetapi disesuaikan
dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal 1 Konvensi Hak Anak
yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa:
Anak adalah Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
Sama dengan definisi di atas, dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 butir (1)
menyatakan bahwa:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
24
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 butir (1) Undang-Undang
Nomor 3 Thun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian anak
dengan lebih sempit, yaitu:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child), ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Prinsip-prinsip
umum (general principles) Konvensi Hak Anak yang diserap sebagai
prinsip-prinsip dasar dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002
tersebut, yakni: a. Non diskriminasi; b. Kepentingan terbaik bagi anak; c.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; d.
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Empat kategori hak anak dalam konvensi Hak-Hak Anak, yaitu:
a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right) yaitu hak-hak
dalam konvensi hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi
hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of
live) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya (the right to the highest standart of
healt and medical care attainable);
b. Hak terhadap perlindungan (protection right) yaitu hak-hak dalam
konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai
keluarga bagi anak-anak pengungsi;
c. Hak untuk tumbuh kembang (development right) yaitu hak-hak anak
dalam konvensi hak-hak anak yang meliputi segala bentuk
pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar
hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral,
dan sosial anak;
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
25
d. Hak untuk berpartisipasi (partisipation right) yitu hak-hak anak yang
meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak (the right of a child to express her/his views
freely in all matters affectingthe child)1.
Tujuan perlinduangan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera2.
Anak dan kenakalan memang tidak dapat dipisahkan, karena sifat
nakal selalu dimiliki anak berkaitan dengan proses tumbuh kembang
anak yaitu proses meniru dan ingin tahu. Namun kenakalan harus
diwaspadai karena logika berpikir anak belum terbentuk dengan baik,
berbagai faktor dapat mempermudah anak meniru dan melakukan
kenakalan yang berbahaya.
Kenakalan anak berasal dari bahasa asing yaitu Juvenile Deliquency
(JD). Secara etimologi JD terdiri dari kata Juvenile dan Deliquency.
Juvenile sinonim dari young person (orang yang muda), youngster
(masa muda), youth (kaum muda), child (anak-anak) maupun
adolescent (remaja). Deliquency adalah tindakan atau perbuatan itu
yang dilakukan oleh orang dewasa merupakan suatu jawaban.3
Pada Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian tentang
anak nakal.
Anak nakal adalah:
1
Mohammah Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung ,1999, hlm.35.
2
Isi dari pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3
Mohammah Joni dan Zulchaina Z. Tanamas,1999, Op. Cit., hlm. 29.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
26
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak menurut peraturan perundang-undangan maupun
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Pengertian lain dari anak nakal, yaitu setiap perbuatan atau tingkah
laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang
merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku
serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak
bersangkutan.1
Terhadap anak yang melakukan kejahatan sehingga disebut anak
nakal, perlu segera dilakukan berbagai tindakan sampai pada pengajuan
anak dalam proses pengadilan anak. Namun demikian, kita tidak dapat
mengharapkan sepenuhnya pada proses pengadilan anak, masih
terdapat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan.2
Uraian mengenai pengertian Anak dapat disebutkan beberapa unsur
sebagai persyaratan yang harus ada bagi seorang Anak yang
perbuatannya dapat digolongkan sebagai kenakalan Anak, yaitu:3
a. Subjek yang melakukan adalah pria dan/atau wanita di bawah usia
tertentu;
b. Melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di negaranya;
c. Tidak dapat diperbaiki sifatnya;
d. Secara sadar bekerja sama untuk melakukan pelanggaran atau
kejahatan dengan orang lain terutama bersifat amoral;
e. Tanpa sebab yang patut diketahui dan tanpa ijin orang tua atau
walinya pergi dari rumahnya dan menetap;
f. Tanpa pengetahuan orang tuanya atau walinya sering mengunjungi
tempat-tempat yang reputasinya buruk;
g. Berulang-ulang pergi ke tempat yang tertentu atau yang diragukan
haknya;
h. Sering mengeluarkan perkataan yang tidak patut diucapkan;
i. Dipersalahkan melakukan tindakan yang melanggar norma-norma
yang berlaku.
3. Pidana
1
Romli Atmasasmita, dalam Setya Wahyudi,
Implementasi Ide Diversi dalam
Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.30.
2
Ibid. hlm. 21.
3
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak/Remaja (Yuridis Sosio Kriminologis),
Amrico, Bandung, 1984. hlm.19.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
27
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Moeljatno
mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah
“dihukum” yang berasal dari “wordt gestraf” merupakan istilah yang
konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan
menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana yang
menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk
menggantikan kata “wordt gestraf”. Menurut Moeljatno, kalau “straf”
diartikan “hukuman”, maka “straf” seharusnya diartikan sebagai hukum
hukuman”1
Menurut Van Hamel, arti dari pada pidana atau straf menurut hukum
positif adalah :
”Sesuatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar sesuatu peraturan
hukum yang ditegakkan oleh negara”.2
Simons mengatakan pidana atau straf dapat diartikan sebagai berikut :
”Sesuatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap sesuatu norma, yang dengan suatu putusan
hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”. 3
Sejalan
dengan
perkembangan
hukum
dewasa
ini,
Sudarto
mempertanyakan istilah “pidana”. Dalam hal ini Sudarto menyatakan :
“Yang jelas harus disadari ialah bahwa pengertian pidana dari abad
kesembilan belas perlu diadakan revisi apabila kita menghendaki suatu
pembaharuan dalam hukum pidana kita. Pada waktu KUHP kita dibuat,
ialah lebih dari 60 tahun yang lalu, mengenakan pidana diartikan sebagai
pemberian nestapa secara sengaja. Ilmu hukum pidana dalam
perkembangannya, lebih-lebih dengan munculnya sanksi yang berupa
tindakan sebagai akibat dari pengaruh aliran modern maka di berbagi
1
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, dalam Mahrus
Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 185.
2
P.A.F. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Alumni, Bandung. hlm. 47
3
Ibid., hlm. 48.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
28
negara akhirnya
kembali”. 1
pengertian pidana demikian itu harus ditinjau
Apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan
hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kriminalitas, maka adalah wajar apabila penanggulangan
perkembangan kriminalitas agak “agak terganggu”. Hubungan antara
gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas
di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi
Hakim dan Jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang
kebijakan pemidanaan (centencing polity) yang cukup sulit.2
Pilihan untuk memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkotika
sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan Hakim termasuk dalam
menangani perkara anak. Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 bahwa:
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu Narkotika dapat
memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan atau rehabilitasi baik jika terbukti
bersalah atau menetapkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan atau rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah.
Berikut The Beijing Rules menetapkan prinsip-prinsip yang
seharusnya diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil
keputusan dalam perkara anak, adalah sebagai berikut:
Rule 17.1: (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu
harus diseimbangkan dengan keadaan-keadaan dan bobot
keseriusan
tindak
pidana;
(b)
pembatasan
kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan
setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi
seminimal mungkin; (c) perampasan kemerdekaan pribadi
jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan
serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain)
atau terus menerus melakukan tindak pidana serius, dan
kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih
1
2
Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 80.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Op. cit. hlm. 98-99.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
29
tepat; (d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor
pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak.
Rule 17.4:Adanya prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan
kewenangan untuk menghentikan atau tidak melanjutkan
proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim dapat
tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak.
Rule 19.1: Penempatan seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan
harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last
resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan
Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan
dalam The Beijing Rules dalam rule 5.1 bahwa:
The juvenile justice system shall emphasize the well – being of
the juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile
offenders shall always be in proportion to the circumtances of
both the offender and the offence.
Ditegaskan kembali dalam Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 37
huruf (b) Resolusi No. 109, maupun Peraturan Minimum Standar PBB
tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi
No. 40/33, tanggal 29 November 1985, yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor: 36 Tahun
1990. Dinyatakan:
Penangkapan, penahanan, dan penghukuman/pemenjaraan
harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum (ultimum
remedium) dan untuk jangka waktu yang paling pendek/waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Bahkan Kepolisian Republik Indonesia telah membuat pedoman
dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik POLRI melalui Telegram
KAPOLRI tertanggal 11 November 2006 dengan Nomor Pol :
TR/1124/XI/2006, antara lain disebutkan;
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
30
Kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam
dengan sanksi pidana sampai dengan 1 tahun dapat diterapkan
diversi; Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi
pidana di atas 1 tahun s.d. 5 tahun dapat dipertimbangkan
untuk penerapan diversi; dan anak kurang dari 12 tahun
dilarang untuk ditahan, dan penanganan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep
restorative justice.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak
diatur mengenai perbedaan ancaman pidana bagi Anak dan orang
dewasa yaitu menentukan ancaman pidana paling lama ½ ( satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa. Selain itu
sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Anak ditentukan berdasarkan
perbedaan umur, yaitu bagi Anak berumur 8 sampai 12 tahun hanya
dikenakan tindakan, sedangkan Anak yang telah berumur 12 sampai 18
tahun dapat dijatuhi tindakan atau pidana. Jika dilakukan oleh Anak di
bawah usia 8 tahun, maka oleh penyidik akan dikembalikan untuk
dibina kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya atau Departemen
Sosial.
Ketentuan internasional sanksi pidana bagi Anak tertuang dalam
SMRJJ/The Beijing Rules dan The Tokyo Rules, ketentuan sanksi
terhadap Anak dalam The Beijing Rules, terdapat dalam rule 18 tentang
”berbagai tindakan penempatan Anak (various disposition measures)
yaitu :
a.
Care, guidance and supervision orders (perintah pengasuhan,
pembimbingan dan pengawasan);
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
31
b.
Probation (percobaan);
c.
Community service orders (perintah pelayanan masyarakat);
d.
Financial penalties, compensation and restitution (sanksi finansial,
kompensasi dan restitusi);
e.
Intermediate treatment and other treatment orders (perintah untuk
pembinaan langsung atau tindakan pembinaan lain);
f.
Orders to participate in group counseling and similiar activities
(perintah untuk berperan serta dalam kelompok konseling dan
tindakan serupa;)
g.
Orders councerning foster care, living communities or other
educational settings (perintah pembimbingan masyarakat, hidup di
tengah masyarakat tindakan pendidikan lain);
h.
Other relevant orders (perintah relevan yang lain);
4. Tujuan Pemidanaan
Sebelum membahas mengenai tujuan pemidanaan, berikut pengertian
tentang pemidanaan. Menurut Sudarto, perkataan ”pemidanan” adalah
sinomin dengan perkataan penghukuman. Lebih lanjut Sudarto,
mengatakan :
”Penghukuman berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan
sebagai penetapan hukum atau memutus beratkan tentang hukumnya.
Menetapkan/memutuskan
hukumnya
untuk
suatu
peristiwa
tidak
hanya menyangkut bidang khusus hukum pidana saja, akan tetapi juga
bidang hukum lainnya (hukum perdata, hukum administrasi dsb.).
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
32
sehingga menetapkan hukum dalam hukum pidana, maka istilah tersebut
harus disempitkan artinya. Pengertian penghukuman dalam perkara
pidana kerapkali sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/
penjatuhan pidana” oleh Hakim. Penghukuman dalam hal ini juga
mempunyai
makna yang sama dengan “sentence” atau “veroordeling”,
misalnya dalam pengertian “sentence conditionaly” atau “voorwaardelijk
veroordeeid” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau
“dipidana bersyarat”.
Di Indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah merumuskan
tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut
masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, konsep
KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54, yaitu:1
1. Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Mensyaratkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
W.v.S yang asli dari negeri Belanda mempunyai memori penjelasan
yang disebut Memorie van Toilichting (M.v.T) Dari M.v.T inilah dapat
diketahui pernyataan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang
menyatakan sebagai berikut, “Dalam menentukkan tinggi rendahnya
pidana, Hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan
obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus
memperhatiakn perbuatan dan pembuatnya, hak-hak apa saja yang
ditinggal, dan kerugian apa yang ditimbulkannya”.2
1
Konsep KUHP Edisi 2005, dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 192.
2
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, PT
Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 57.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
33
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam dua kelompok teori, yaitu:1
1. Teori absolut atau teori pembalasan (retribituve/vergeldings theorieen)
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)
Teori-teori tentang tujuan pemidanaan:
1. Teori Retributif
Pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil karena akan
memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan.
Ketidakseimbangan akan terjadi bilamana seorang penjahat gagal
untuk menerima penderitaan atas kejahatannya.
2. Teori Teleologis (Teleological Theory)
Pidana sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai
kemanfaatan baik yang berkaiatan dengan orang yang bersalah.
Kemanfaatan suatu perbuatan diukur dari keberhasilannya di dalam
menciptakan kebahagiaan atau mengurangi penderitaan setiap orang.
3. Retributivisme Teleologis (Teleolgical Retributivist)
Tujuan pemidanaan bersifat plural karena menghubungkan prinsipprinsip teleologis dan prinsip-prinsip retributif dalam satu kesatuan,
sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif.
Misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai
sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.2
Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan
tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik
hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan
untuk sama-sama yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan
bahwa tujuan pemidanaan adalah :
a. Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan
orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang
1
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung 1984, hlm. 10.
2
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 49-52.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
34
tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi (special preventie);
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik
tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
negara, masyarakat, dan penduduk, yakni :
1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna
2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana. 1
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pikiran tentang tujuan yang ingin
dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: a.) untuk memperbaiki pribadi dari
penjahatnya itu sendiri. b.) untuk membuat orang menjadi jera untuk
melakukan kejahatan. c.) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi
tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahatpenjahat yang dengan cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.2
Ada beberapa hal yang dapat ditentukan hakim dalam putusannya, artinya
ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan
pidananya.3
a. Pertama, yaitu apa yang disebut orang dengan koreksi adalah
terhadap orang yang melanggar terhadap suatu norma pidana yang
dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan, bahwa hal itu tidak
boleh terulang lagi.4 Pidana yang bersifat koreksi diarahkan pada
manusia yang pada dasarnya mempunyai rasa tanggungjawab, dan
dalam kejadian tertentu itu melakukan kesalahan. Hal ini tidak dapat
menjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran atau kejahatankejahatan yang kurang berat, terutama kejahatan yang dilakukan
karena kelalaian terpidana. Kemudian tujuan lain yang pemidanaan
yang disebutkan Ruslan saleh adalah :
b. Kedua, yaitu resosialisasi yang berarti usaha dengan tujuan bahwa
terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan,
dalam arti bahwa ia dapat hidup dalam masyarakat dan tidak
1
Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 83
P.A.F. Lamintang, 1984, Op.Cit., hlm. 23.
3
Roeslan Saleh, Stetsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm.5.
4
Ibid, hlm. 6.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
35
melakukan tindak kejahatan lagi. Jadi pidana yang bersifat
resosialisasi adalah untuk mereka yang masih bersama-sama dengan
orang lain hidup rukun dan damai dalam masyarakat.1
c. Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat
terjadi apabila manusia yang telah melakukan kejahatan berat dan
dikhawatirkan akan ditakuti, di waktu yang akan masih besar sekali
kemungkinan ia akan melakukan delik-delik berat, walaupun
terhadapnya telah diadakan usaha-usaha resosialisasi. Mengenai hal
ini, bahwa masyarakat memang mempunyai hak, bahkan mempunyai
kewajiban melindungi dirinya terhadap berbagai kemungkinan yang
besar resikonya. Hal ini berarti bahwa dengan keadaan senyatanya
adalah bagaimana membuat terpidana untuk tidak melakukan delikdelik berat yang baru.2
Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan
pidana kita. Apabila proses peradilan yang misalnya berakhir dengan
penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan kita
dinilai baik. Apaila sebaliknya, tentu saja ada kemerosotan kewibawaan
hukum.3
Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan tentu tak lepas dengan
pidana yang ditentukan secara limitatif di Indonesia. Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana,
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan;
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Khususnya untuk Anak Nakal yang melakukan tindak pidana, Pasal 23
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak juga memberi batasan pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan,
yaitu:
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak ialah;
1
Ibid, hlm.7.
Ibid, hlm.8.
3
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 34.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
36
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan, berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Menganai pidana penjara yang menjadi poin pentingnya, seseorang yang
dijatuhi pidana penjara akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan tentu tak
lepas dengan sistem yang dianut lembaga tersebut yaitu pemasyarakatan yang
berlaku saat ini di Indonesia. Pasal 1 angka (2) Undang- Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memberikan pengertiannya sebagai
berikut:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan
pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas waraga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggung jawab.
Suatu lembaga kepenjaraan yang diarahkan kembali dalam masyarakat
tidak mudah diciptakan karena ketentuan undang-undangnya sendiri yang
hampir tidak mungkinkan memeperpendek waktu pidana, dan harus
menjalani pidana tersebut pada umumnya secara penuh, di samping peralatan
yang tidak murah untuk mengadakan lembaga pemasyarakatan dengan ide
tersebut.1
Sifat pidana sebagai “Ultimatum Remidium” (obat yang terakhir)
menghendaki, apabila perlu sekali hendaknya jangan menggunakan pidana
sebagai sarana. Maka peraturan yang mengancam pidana terhadap suatu
perbuatan hendaknya dicabut, apabila tidak ada manfaatnya. Proses
(pencabutan) ini merupakan persoalan kriminalisasi (de-criminalisering).2
1
2
Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 30.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 24.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.1
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif karena
bertujuan mengkaji penerapan pasal dalam undang-undang, yakni data
sekunder
(dalam
hal
ini
adalah
Putusan
Perkara
Nomor:
56/Pid.Sus/201/PN.Pwt.) khususnya berkenaan dengan perkara tindak pidana
penyalahgunaan narkotika yang terdakwanya anak dan putusannya berupa
penjatuhan pidana penjara. Data yang telah diperoleh tersebut kemudian
dianalisa dengan peraturan perundang-undangan serta literatur-literatur yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti (perspektif).2
1
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, 2006, hlm. 295.
2
Tedi Sudrajat, “Aplikasi Metode Penelitian Normatif dalam Penulisan Hukum”,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hlm. 6.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
38
B. Metode Pendekatan
Sehubungan dengan tipe penelitian normatif yang akan peneliti
gunakan, maka ada beberapa pendekatan yang digunakan yaitu
pendekatan perundang-undangan atau Statue Approach dan pendekatan
Analitis atau Analitycal Approach.1
Metode pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan
karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Selain itu peneliti juga akan
menggunakan
pendekatan
analitis
(Analitycal
Approach)
untuk
mendukung pendekatan yang pertama. Pada pendekatan analitis akan
diketahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan
dalam
aturan
perundang-undangan
serta
konsepsional,
sekaligus
mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum.
C. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian terhadap asas-asas
hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Penelitian terhadap
asas-asas hukum dilakukan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
yang digunakan peneliti untuk menghimpun asas-asas hukum yang
merupakan unsur ideal dari hukum khusunya mengenai Penjatuhan
Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika.
1
Op.Cit, hlm. 310.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
39
1. Penelitian Asas-Asas Hukum
Penelitian asas-asas hukum dalam penelitian ini dilakukan
terhadap asas-asas hukum bahan hukum primer dan asas-asas
hukum bahan hukum sekunder. Penelitian asas-asas hukum
terhadap asas-asas hukum bahan hukum primer meliputi asas-asas
hukum
yang
terdapat
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tantang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Penelitian asas-asas hukum terhadap asas-asas hukum
bahan hukum sekunder meliputi asas-asas hukum yang terdapat
pada buku-buku teks dan literatur-literatur lainnya sebagai bahan
hukum sekunder.
2. Sedangkan pada penelitan taraf sinkronisasi hukum, peneliti akan
menginventarisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan
Pidana Penjara bagi Anak dalam Penyalahgunaan Narkotika
dengan menyusunnya sesuai hirarki perundang-undangan, disusun
secara kronologis dan menelaah fungsi perundang-undangan
berdasarkan tinkatannya.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
40
D. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup
permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga
penelitian yang dilakukan lebih terarah. Penelitian hukum ini mengambil
lokasi di Pengadilan Negeri Purwokerto didukung studi kepustakaan di
Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jeneral Soedirman
dan Unit Pelayanan Terpadu Universitas Jenderal Soedirrman.
E. Sumber Data
Jenis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian hukum ini
adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan
dari
studi
dokumen
yang
berhubungan
dengan
permasalahan yang diteliti. Sumber data sekunder dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diperoleh dari:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk
dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau
badan-badan pemerintahan, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh
komisi-komisi internasional, dan seluruh amar putusan badan
yudisial.1
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa:
a. Norma atau kaedah dasar, yakni yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945,
1
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya,
2007, hlm 141.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
41
b. Peratuan dasar yang terdapat dalam batang tubuh UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
c. Peratuaran Perundang-undangan berupa Undang-Undang dan
peraturan setaraf yaitu Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002, dan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, serta Peraturan Pemerintah dan peraturan setaraf,
Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah bila diperlukan.
d. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasi yakni hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menjadi pertimbangan atas putusan
Hakim.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi bahan-bahan
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti
rancangan KUHP dan artikel hukum hasil penelitian hukum yang
dilakukan sebelumnya.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan
adalah kamus hukum.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
42
F. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penelitian normatif, pengumpulan data dilakukan dengan
metode kepustakaan dan metode dokumenter. Penelitian kepustakaan
meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang
berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan Penjatuhan
Pidana Penjara pada Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (yaitu;
literatur, hasil penelitian hukum, artikel ilmiah, dan jurnal ilmiah).
Sedangkan pada metode dokumenter, peneliti menelaah dokumendokumen pemerintah dan nonpemerintah (yaitu: Putusan Pengadilan
Negeri Purwokerto: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Mass Media, Internet,
Aturan suatu Instansi).
G. Teknik Pengolahan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diolah menggunakan
sistem kartu, yaitu membahas bahan hukum yang berhubungan dengan
Penjatuhan Pidana Penjara pada Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika.
Kemudian
dipaparkan,
disistemasi,
lalu
dianalisa
untuk
mengintepretasikan hukum yang berlaku.
H. Teknik Penyajian Bahan Hukum
Dalam menyajikan bahan hukum peneliti memilah-milah bahan
hukum dalam bagaian-bagaian tertentu yang mendeskripsikan seluruh
bahan hukum yang telah dikumpulkan. Data yang disajikan berbentuk
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
43
teks naratif yang disusun secara logis dan sistematis. Dalam
penyusunannya disajikan secara singkat dan jelas, sehingga penyusunan
data dapat mudah dipelajari.
I. Teknik Analisa Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif, teknik analisa data dilakukan
dengan menggunakan teknik analisa normatif kualitatif1 yaitu data yang
diperoleh dari penelitian akan dianalisa dengan mengintepretasikan dan
membahasnya berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teoriteori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
Kualitas dari analisa data penelitian sangat tergantung dari kualitas
intepretasi yang digunakannya. Dalam penelitian yang akan dilaksanakan
ini model intepretasi hukumnya adalah intepretasi Gramatikal2 atau
intepretasi menurut bahasa yang merupakan upaya untuk memahami
suatu teks perundang-undangan berdasarkan bahasa dan susunan kata
yang digunakan. Logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan
dari berbagai asas hukum dan norma hukum yang siftnya umum menjadi
khusus (Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt.) yang
sifatnya khusus lebih konkret dan disinilah proses deduksinya.
1
Nayla Alawiya, “Sistematika Proposal Penelitian”, Fakultas Hukum Unsoed:
Purwokerto, hlm.5.
2
Nayla Alawiya, “Metode dan Penulisan Hukum (bagian pertama)”, Fakultas Hukum
Unsoed: Purwokerto, hlm.6
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto pada perkara Nomor
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, tentang Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak
Pelaku Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana didakwaan terhadap terdakwa
melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Identitas
Terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo, tempat lahir Banyumas,
umur 17 tahun tanggal lahir 2 September 1993, jenis kelamin laki-laki,
kebangsaan Indonesia, alamat/tempat tinggal Jalan Raya Kampus Nomor
50 Kelurahan Grendeng Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten
Banyumas Agama Islam,tidak bekerja, pendidikan SMA.
2. Duduk perkara
Terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo pada hari Kamis tanggal 1
September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya pada
waktu lain dalam bulan September tahun 2011, bertempat di jalan H.
Madrani Kelurahan Grendeng Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten
Banyumas atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
45
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto menyalahgunakan
Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dengan cara sebagai berikut:
 Pada awal bulan Agustus 2011 terdakwa datang ke rumah Ari (status
DPO) di jalan H. Madrani Kel. Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab.
Banyumas, dan setelah berada di rumah Ari, terdakwa ditawari dan
diajak oleh Ari untuk memakai atau menghisap ganja, dan atas ajakan
tersebut terdakwa mau menghisap ganja, lalau Ari memeberikan 1
(satu) linting ganaja, kemudian terdakwa menghisap 1 (satu) linting
ganja , terdakwa merasa pusing dan nikmat yang akhirnya timbul
keinginan kembali untuk menghisap atau memakai ganja,
 Selanjutnya pada tanggal 21 Agustus 2011 terdakwa memesan 1 (satu)
paket ganaja kepada Ar (status DPO) segarha Rp. 100.000,- (seratus
ribu rupiah), kemudian terdakwa diSMS Ari bahwa barang ganja sudah
ada,
 Kemudian pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2011 terdakwa datang ke
rumah Ari (status DPO) di jalan H.Madrani Kel Grendeng Kec.
Purwokerto Utara Kab. Banyumas untuk mengambil 1 (satu) paket
ganja,
dan
setelah
terdakwa
mendapatkannya,
terdakwa
lalu
membaginya menjadi 8 (delapan) linting ganja, kemudian terdakwa dan
Ari (status DPO) memekai ganja tersebut dengan cara 1 (satu) linting
ganaj dibakat lalu dihisap seperti merokok sedangkan pengaruhnya
adalah kepala menjadi pusing,
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
46
 Pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, Niko datang ke rumah
terdakwa di jalan Raya Kampus Nomor 50 Kelurahan Grendeng RT 6/7
Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas untuk memesan ganja seharga
Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk dipakai bersama terdakwa,
kemudian terdakwa datang ke rumah Ari (status DPO) untuk memesan
ganja seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah),
 Keesokkan harinya pada tanggal 31 Agustus 2011 sekitar pukul 19.00
WIB, terdakwa menerima SMS dari Ari yang berbunyi “Barang Ganja
sudah ada disimpan di kamar kosong”,
 Kemudian pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar pukul
14.00 WIB terdakwa datang ke rumah Ari di jalan H.Madrani Kel.
Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas untuk mengecek
ganja yang berada di kamar kososng tersebut, dan setelah berada di
rumah Ari, terdakwa lalu membuka kamar kososn tersebut dan
terdakwa melihat ternyata benar ada 1 (satu) bungkus kertas inyak
warna coklat diduga berisi ganja yang disembunyikan di dalam lemari,
 Selanjutnya sekitar pukul 21.00 WIB terdakwa ditangkap oleh pihak
yang berwajib untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan fakta-fakta perbuatan terdakwa sebagaimana diuraikan
dalam duduk perkara di atas, Penuntut Umum mengajukan terdakwa ke
depan sidang Pengadilan dengan dakwaan alternatif yaitu :
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
47
Kesatu melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
ATAU
Kedua melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
4. Alat bukti yang diajukan di persidangan
a. Keterangan saksi
1) Saksi : Pramuaji, S.H
Saksi tersebut pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

Pada hari Kamis 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB
saksi dan saksi Aris Budi Setiyono bersama tim yang sedang
melakukan tugas di depan pintu taman Andhang Pangrenan
Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto Selatan
Kabupaten Banyumas melihat seseorang yang mencurigakan di
depan pintu taman Andhang Pangrena Purwokerto, kemudian
saksi dan saksi Aris Budi Setiyono mendekati lalu menanyakan
identitasnya dan mengaku bernama Saeful (terdakwa);

Saat terdakwa ditanya identitasnya, terdakwa menerima SMS
dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange wis ana
durung sich”, dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi Setiyono
menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian dijawab
terdakwa pesanan ganja;
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
48

Setelah itu saksi juga menanyakan lagi dimana ganja tersebut
sekarang yang dijawab terdakwa bahwa ganja disimpan di
kamar kosong di rumah Dirin di jalan Raya Kampus
Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara
Kabupaten Banyumas;

Selanjutnya saksi dan saksi Aris Budi serta terdakwa berangkat
menuju rumah Dirin di jalan Raya Kampus Kelurahan
Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten
Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil ganja, dan
setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk ke dalam
kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas minyak
warna coklat yang berisi ganaja yang disembunyikan di lemari;

Saksi Aris Budi sempat menanyakan terdakwa darimana
mendapatkan ganja tersebut dan terdakwa mengakui 1 (satu)
bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja tersebut
adalah miliknya yang dibeli dari Ari (status DPO) seharga Rp.
100.000,- dan terdakwa tidak memeliki ijin dari pihak yang
berwenang untuk membeli ganaja tersebut sehingga kemudian
dilakukan penangkapan terhadap terdakwa;

Menurut pengakuan terdakwa ganja sebanyak 1(satu) bungkus
kertas minyak warna coklat itu akan digunakannya sendiri;

Sebelumnya sebagai seorang anggota , saksi telah mendapat
informasi bahwa di Taman Andhang Pangrenan Purwokerto
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
49
sekitar pukul 19.00 hingga 21.00 WIB sering dijadikan
transaksi Narkoba.
2) Kedua Orang Tua Terdakwa (Kusworo dan Mujinah)

Terdakwa sekarang sudah tidak bersekolah lagi

Terdakwa di rumah tidak pernah berbuat yang aneh-aneh dan
termasuk anak yang pendiam, setelah pulang sekolah langsung
pulang dan kalu akan pergi ke ruma temannya selalu pamit;

Di rumah terdakwa tidak pernah terlihat merokok;

Uang pembayaran SPP di sekolah juga dibayarkan ke sekolah,
jadi tidak ada masalah dengan terdakwa perilakunya selama ini;

Uang jajan untuk terdakwa wajar tidak berlebihan, terdakwa
juga tidak pernah meminta banyak untuk uang sakunya tersebut,
hanya pada waktu lebaran banyak yang memberi uang kepada
terdakwa dan uang itulah yang kemudian digunaka terdakwa
untuk membeli/memesan ganja;

Sebagai orang tua dari terdakwa mereka masih sanggup
mengurus dan mendidik terdakwa menjadi anak yang baik
setelah keluar dari penjara nanti, dan sebagai orang tua pula
setelah keluar dari penjara nanti mereka berharap terdakwa
dapat bersekolah kembali dan masuk Pondok Pesantren.
b. Barang bukti
Dalam persidangan Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa :
1) 1 (satu) paket kecil ganja seberat 4,025 gram;
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
50
2) Hand Phone Nokia tipe 112 warna silver dengan nomor
089665766776;
3) 1 (satu) botol berisi urine milik Seful Ngibad (terdakwa)
Barang bukti telah disita sesuai Pasal 38 KUHAP, sehingga dapat
dipergunakan untuk memperkuat dalam proses pembuktian.
c. Surat
Di persidangan Penuntut Umum mengajukkan alat bukti surat berupa:
1) Berdasarkan
Kriminalistik
Berita
Acara
7
Pemeriksaan
September
2011
Laboratoris
NO.LAB:
1000/NNF/IX/2011 yang ditandatangani oleh Yayuk Murti
Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST terhadap barang bukti
berupa : 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi
batang, daun dan biji dengan berat 4,025 gram dan 1 (satu)
buah tube berisi urine dengan kesimpulan: bahwa batang, daun
dan biji tersebut adalah positif Derivat Cannabinoid atau ganja
dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) Nomor urut 8 (delapan)
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, dan 1 (satu) tube urine tersebut adalah
negatif;
2) Kutipan Akta Kelahiran No. 12160/TP/1998 tertanggal 3
Desember 1998 atas nama Saiful Ngibad, lahir pada tanggal 2
September 1993, anak laki-laki dari suami isteri: Kusworo dan
Mujinah yang dibuat dan ditandatangani oleh Drs. Joeliono
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
51
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Banyumas;
3) Kartu Keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 D
esember 2006 atas nama Kepala keluarga Kusworo.
d. Keterangan Terdakwa
Dipersidangan telah didengar pula keterangan terdakwa yang
pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

Pada pokoknya terdakwa mengakui apa yang telah diungkapkan
para saksi dalam persidangan;

Terdakwa mengakui dirinya menghisap ganja karena ditawari oleh
Ari (DPO) awalnya, setelah itu terdakwa jadi timbul keinginan
kembali untuk menghisap atau memeakai ganja, terdakwa
sebelumnya telah 2 (dua) kali membeli dan menghisap ganja pada
Ari seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) yaitu di awal bulan
Agustus 2011 dan pada tanggal 22 Agustus 2011, dan yang ketiga
kalinya inilah terdakwa ditangkap;

Terdakwa mengaku tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang
untuk memesan/membeli ganja;

Terdakwa belum pernah dihukum;

Terdakwa menyesali perbuatannya

Terdakwa membenarkan trhadap barang bukti yang diperlihatkan
di persidangan.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
52
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut umum dalam tuntutan pidananya, pada pokoknya
menuntut supaya Mejelis Hakim yang mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri,
sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika;
2. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa oleh karena itu
selama 2 (dua) tahun, dikurang selama waktu terdakwa
menjalani tahanan sementara dan memerintahkan terdakwa
tetap dalam tahanan;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja
seberat 4,025 gram.
 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saiful Ngibad Bin
Kusworo
Seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan.

1 (satu) buah Hand Phone merk Nokia warna silver tipe 112
Dirampas untuk Negara.
4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
53
6. Pertimbangan Hukum Hakim
Terdakwa yang didakwa dengan dakwaan alternatif oleh Penuntut
Umum, maka Hakim Pengadilan anak pada Pengadilan Negeri tersebut
akan langsung mempertimbangkan dakwaan yang relevan dengan faktafakta hukum yang terungkap di persidangan, dan dakwaan yang relevan
den fakta-fakta di persidangan menurut pendapat Hakim Pengadilan Anak
pada Pengadilan Negeri tersebut adalah dakwaan Kedua Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
mengandung unsur-unsur sebagi berikut:
1. SETIAP ORANG
2. PENYALAH GUNA NARKOTIKA GOLONGAN 1 BAGI DIRI
SENDIRI
Ad. 1 UNSUR SETIAP ORANG

Udang-Undang Nomo 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak
mendefinisikan secara jelas yang dimaksud dengan “Setiap
Orang”,
tetapi
beberapa
Undang-Undang
mendefinisikan
“Setiap Orang” adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi;

Unsur “Setiap Orang” dalam perkara ini ditunjukkan kepada
orang perseorangan, hal ini sebagaimana dari fakta-fakta hukum
yang terungkap di persidangan, bahwa menurut Penuntut Umum
telah
mengajukkan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
seorang
terdakwa
tersebut
mampu
54
mempertanggungjawabkan
terhadap
perbuatan
yang
dilakukannya sendiri;

Di persidangan terdakwa membenarkan identitas dirinya
sebagaimana termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga
orang dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa
tersebut di atas, sehingga tidak salah orang atau error in
persona;

Sesuai alat bukti surat berupa Kutipan Akta Kelahiran No.
12160/TP/1998 tertanggal Puwokerto 3 Desember 1998, Kartu
Keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 Desember 2006,
serta hasil Laporan Petugas Pembimbing Kemasyarakatan, dan
keterangan terdakwa serta orang tua terdakwa, terbukti bahwa
terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo dilahirkan pada tanggal 2
September 1993;

Apabila kelahiran terdakwa tersebut di atas dikaitkan dengan
kejadian tindak pidana yang terjadi pada tanggal 1 September
2011, maka terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo saat kejadian
tindak pidana berusia 17 (tujuh belas) tahun, 11 (sebelas) bulan,
29 (dua puluh sembilan) hari artinya masih di bawah 18
(delapan belas) tahun;

Karena usia terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo masih di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah,
sehingga secara yuridis terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
55
masih tergolong anak (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997), dengan demikian yang berwenang
memeriksa perkara terdakwa a quo adalah pengadilan anak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997;

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut pendapat
Hakim unsur “Setiap Orang” ini telah terpenuhi.
Ad. 2 Unsur Penyalah Guna Narkotika Golongan 1 untuk Diri Sendiri

Yang dimaksud dengan “Penyalah Guna Narkotika” adalah
orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika), sedangkan
Pecandu Narkotika yaitu orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadan ketergantungan
pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis (vide Ketentuan
Umum Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika);

Pengertian “tanpa hak” di sini adalah tiada kewenangna yang
melekat pada diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
menurut Undang-Undang atau tidak termasuk lingkup tugas dan
wewenang seseorang atau karena tidak mendapat ijin dari
pejabat yang berwenang sebagaimana ditentuka UndangUndang, sedangkan yang dimaksud dengan “Melawan Hukum”
adalah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
56
hukum, baik dalam arti formil yaitu bertentangan dengan
Undang-Undang atau hukum tertulis lainnya, maupun dalam arti
materiil yakni bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan, nilainilai keadialn yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat;

Yang dimaksud dengan “Narkotika Golongan 1” sesuai dengan
Pasal 6 ayat (1) huruf a Penjelasan Undang-Undang RI Nomor
35 Tahun 2009 yaitu Narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunalan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan;

Narkotika Golongan 1 sesuai denga Pasal 8 ayat (1 dan 2)
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
disebutkan bahwa NarkotikaGolongan 1 dilarang digunakan
untuk kepentingan pelayanan Kesehatan, dan dalam jumlah
terbatas Narkotika Golongan 1 dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
setelah mendapat persetujuan dari menteri;

Sesuai fakta-fakta hukum, maka terbukti terdakwa Saiful
Ngibad Bin Kusworo memang telah memesan ganja kepada Ari
(status DPO) seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah)
berpatungan bersama temannnya Niko (status DPO) masingmasing Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), dan dari Ari telah
memberitahukan kedapa terdakwa via SMS kalau ganja pesanan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
57
telah ada dan disimpan di dalam lemari di bawah baju di kamar
Ari, terdakwa sendiri telah memeriksa kamar Ari dan ganja
pesanannya memang telah tersedia, tetapi terdakwa belum
mengambil ganja pesanannya karena terdakwa belum membayar
dan masih menunggu uang patungan dari Niko;

Perbuatan
terdakwa
telah
memesan
ganja
dan
akan
menggunakannya untuk diri sendiri tanpa ijin pihak yang
berwenang, menurut Hakim terdakwa adalah termasuk kategori
penyalah guna narkotika karena hanya menggunakan ganja
tanpa hak atau melawan hukm bukan pecandu karena tidak ada
ketergantungan terdakwa terhadap ganja baik secara fisik
maupun psikis;

Pemesanan dan penggunaan ganja oleh terdakwa tersebut juga
tidak sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana Pasal 7 dan
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika karena terdakwa bukan orang atau
Pejabat yang diberi wewenang untuk melakukan suatu perbuatan
yang berkenaan dengan narkotika sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika;

Semua unsur dari Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terpenuhi, maka
perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
58
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan
kedua Penuntut Umum, maka kepada terdakwa haruslah
dipidana sesuai dengan kesalahan yang telah diperbuatnya;

Mengenai Nota pembelaan/pledoi Penasehat Hukum terdakwa
bahwa terdakwa adalah pecandu sesuai hasil penelitian BAPAS,
menurut pendapat Hakim berdasarkan fakta di persidangan
terdakwa bukanlah seorang pecandu karena Hakim tidak melihat
ada ketergantungan dalam diri terdakwa terhadap ganja, selama
di persidangan juga tidak pernah diajukan suatu surat keterangan
dari seorang dokter ahli yang menerangkan bahwa terdakwa
adalah pecandu dan seberapa besar kondisi/taraf kecanduan
terdakwa, terdakwa di sini menggunakan ganja awalnya hanya
diajak oleh Ari (DPO) dan kemudian karena pernah mencoba
timbul keinginan dari terdakwa untuk menggunakan lagi;

Berkaitan dengan Pledoi Penasehat Hukum bahwa terdakwa
adalah pecandu dan sebaiknya dijatuhkan tindakan hukum
bukan hukuman, maka Hakim mempertimbangkan sesuai Surat
Edaran MA Nomor: 04/Tahun 2010 tentang “Penempatan
Penyalahgunaan,
Narkotika
ke
Korban
dalam
Penyalahgunaan
Lembaga
dan
Rehabilitasi
Pecandu
Medis
dan
Rehabilitasi Sosial” tetapi untuk seorang terdakwa dijatuhi
tindakan hukum ini harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
terdakwa dalam kondisi tertangkap tangan, pada saat tertangkap
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
59
tangan barang bukti untuk ganja 5 gram, surat uji laboratorium
positif menggunakan narkotika, surat keterangan dari dokter
jiwa/psikiater pemerintah, tidak terdapat bukti bahwa yang
bersangkutan
terlibat
peredaran
Narkotika
dan
adanya
keterangan ahli yang menerangkan seberapa besar kondisi/taraf
kecanduan dari terdakwa dan karena terdakwa tidak memenuhi
persyaratan tersebut, maka jenis hukuman yang dijatuhkan oleh
Penuntut Umum bukan tindakan hukum sudah tepat;

Selama proses persidangan Hakim tidak menemukan alasanalasan penghapus pidana dari terdakwa, maka terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya;

Setelah membaca dan memperhatikan dengan seksama laporan
penelitian
Kemasyarakatan
yang
dibuat
oleh
BAPAS
Purwokerto, pendapat orang tua, perbuatan pidana yang
dilakukan oleh terdakwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang
diperoleh di persidangan, serta hal-hal yang memberatkan dan
meringankan dari terdakwa yaitu:
Hal yang memberatkan:

Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam
memberantas peredaran Narkotika.

Perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi muda
yang merupakan modal penerus bangsa.
Hal yang meringankan:
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
60

Terdakwa mengakui dan berterus terang di persidangan.

Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi

Terdakwa belum pernah dihukum

Terdakwa
masih
sangat
muda
bisa
diharapkan
memperbaiki diri di kemudian hari.

-
Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah lagi.
Hakim tidak sependapat dengan dengan tuntutan Penuntut
Umum mengenai lama hukuman pidana yang dijatuhkan
kepada terdakwa karena pada dasarnya penjatuhan pidana
tidak dimaksudkan untuk pembalasan dendam terhadap
terdakwa, tetapi lebih merupakan pembinaan bagi terdakwa
agar setelah menjalankan pidananya dapat menjadi orang
yang lebih baik lagi, apalagi terdakwa masih anak-anak
sehingga
diharapkan
dapat
memperbaiki
diri
dan
dikemudian hari menjadi anak yang lebih baik.
7. Putusan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, serta Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku dan berhubungan dengan perkara ini, khususnya Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
61
peraturan-peraturan lain dari perundang-undangan yang berkenaan dengan
perkara ini:
1. Menyatakan Terdakwa: Saiful Ngibad Bin Kusworo telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:
Penyalah Guna Narkotika Golongan 1 bagi Diri Sendiri;
2. Menjatuhkan pidana bagi terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama: 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan terdakwa agar tetap dalam tahanan;
5. Menyatakan agar barang bukti berupa:

1 (satu) paket kecil ganja dalam bungkus kertas minyak seberat
4,025 gram;

1 (satu) botol plastik berisi urine milik terdakwa Saiful Ngibad
Bin Kusworo;
Dirampas dan dimusnahkan.

1 (satu) buah HP merk Nokia tipe 112
Dirampas untuk Negara.
6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.500 (dua
ribu lima ratus rupiah);
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
62
B. Pembahasan
1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan
Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dengan terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo
yang berusia 17 (tujuh belas) tahun 11 (sebelas) bulan, 29 (dua puluh
sembilan) hari saat melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika,
Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu)
bulan setelah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri sesuai
rumusan yang Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Setiap perkara pidana yang diproses dalam persidangan harus melewati
serangkaian pembuktian yang pada puncaknya akan dibacakan putusan
diakhir persidangan oleh Hakim. Pembahasan mengenai Penjatuhan
Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahguna Narkotika diawali dari
rumusan pada Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan,
Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
63
Berdasarkan rumusan pasal di atas, untuk menjawab perumusan
masalah yang pertama mengenai Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
dalam menjatuhkan pidana penjara bagi anak pelaku penyalahgunaan
narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt peneliti menganalisanya dengan membaginya
menjadi tiga pertimbangan yang didalamnya terdapat serangkaian doktrin,
asas-asas hukum dan peraturan hukum normatif. Hakim dalam memutus
perkara pidana mendasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:
a. Dasar mengadili
b. Dasar memutus
c. Faktor subyektif Hakim
Ad a. Dasar mengadili
Kewenangan mengadili dalam hal ini adalah kewenangan
mengadili bagi Pengadilan Negeri. Dasar hukum menentukan
kewenangan mengadili bagi Pengadilan Negeri diatur pada Pasal
84 sampai dengan Pasal 86 KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan
yang dirumuskan pada pasal-pasal tersebut, menurut M. Yahya
Harahap terdapat beberapa kriteria atau asas yang dapat digunakan
oleh Pengadilan Negeri untuk menentukan kewenangannya
mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya,
yaitu:
1) Tindak pidana dilakukan (locus delicti)
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
64
Menurut asas ini Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap
perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
1
Adapun dasar hukumnya yaitu Pasal 84 (1) KUHAP yang
merumuskan,
Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara
mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah
hukumnya.
Berdasarkan pasal tersebut maka jelas bahwa, “tempat
tindak pidana dilakukan” atau locus delicti menentukan
kewenangan relatif Pengadilan Negeri untuk mengadili perkara
pidana yang bersangkutan.
2) Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar
saksi yang dipanggil.
Menurut asas ini jika saksi yang hendak dipanggil sebagian
besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu
Pengadilan Negeri maka, Pengadilan Negeri tersebut yang
paling berwenang memeriksa dan mengadili.2 Kriteria ini diatur
pada Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:
Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia
diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat
pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan
1
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.
96.
2
Ibid., hlm. 99.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
65
pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana
itu dilakukan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, penentuan kewenangan
relatif menurut asas locus delicti dapat dikesampingkan dengan
asas tempat tinggal, tempat kediaman terakhir, tempat
diketemukan atau tempat terdakwa ditahan akan tetapi, syarat
bahwa saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar
bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri
tempat dimana terdakwa bertempat tinggal, berkediaman
terakhir, diketemukan atau ditahan harus dipenuhi.1
3) Kewenangan relatif sehubungan dengan beberapa tindak pidana
dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri.
Asas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Masing-masing Pengadilan Negeri berwenang mengadili
sesuai dengan asas locus delicti apabila di dalam tindaktindak pidana tersebut tidak terdapat unsur “berlanjut” atau
“perbarengan”.
Menurut asas ini setiap Pengadilan Negeri berwenang
mengadili berdasarkan asas locus delicti akan tetapi,
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku harus
benar-benar murni terpisah dan berdiri sendiri tidak ada unsur
1
Ibid., hlm. 101.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
66
berlanjut atau unsur perbarengan. Adapun dasar hukumnya
yaitu Pasal 84 ayat (3) KUHAP yang menyatakan,
Apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana
dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka
tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang
mengadili perkara pidana itu.
b) Salah satu Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksanya
dengan jalan menggabungkan semua perkara.
Asas ini diatur pada Pasal 84 ayat (4) KUHAP, dalam
penerapannya harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan Pasal
65 KUHP. Tanpa menghubungkan Pasal 84 ayat (4) KUHAP
dengan Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP tersebut, tidak dapat
melaksanakan kemungkinan penggabungan perkara.1 Pasal
84 ayat (4) KUHAP menyatakan:
Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain
ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam
daerah hukum berbagai pengadilan negeri, diadili oleh
masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan
dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
Kalimat “terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama
lain ada sangkut pautnya” pada pasal di atas tersebut adalah
yang dimaksud dalam penerapannya Pasal 84 ayat (4)
KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan Pasal 65
KUHP. Pasal 64 KUHP mengatur tentang perbuatan berlanjut
1
KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (3).
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
67
sedangkan Pasal 65 KUHP mengatur tentang perbarengan
perbuatan.
4) Wewenang mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan
Menteri Kehakiman.
Kewenangan
mengadili
berdasarkan
penetapan
atau
penunjukan Menteri Kehakiman secara tegas diatur pada Pasal
85 KUHAP, kewenangan ini berupa “pengalihan” kewenangan
mengadili dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Negeri
yang lain. Pasal 85 KUHAP menyatakan:
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu
pengadilan negeri mengadili suatu perkara, maka atas usul
ketua pengadilan negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri
yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada
Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjukan
Pengadili Negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal
84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Berdasarkan Pasal 85 KUHAP di atas, pengalihan hanya
terjadi apabila keadaan daerah tidak mengizinkan untuk
mengadili suatu perkara. Artinya, suatu Pengadilan Negeri
mengalami kesulitan tugas operasional peradilan, berhubung
karena keadaan daerah tidak mengizinkan.1 Menurut penjelasan
Pasal 85 KUHAP yang dimaksud “keadaan daerah tidak
mengizinkan”, antara lain karena ada gangguan keamanan atau
karena bencana alam.
1
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 107.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
68
5) Wewenang mengadili Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar
undang-undang.
Khusus bagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat undangundang memberi wewenang kepadanya untuk mengadili tindak
pidana yang dilakukan di luar negeri yang dapat diadili menurut
hukum Republik Indonesia.1 Hal ini sebagaimana diatur pada
pasal 86 KUHAP yang merumuskan,
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri
yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia,
maka pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang
mengadilinya.
Penjelasan mengenai kewenangan mengadili di atas apabila
dihubungkan dengan dari hasil penelitian pada Putusan Perkara
Nomor: 56/Pid.Sus/PN.Pwt. diketahui bahwa, asas yang digunakan
adalah asas locus delicti karena Pengadilan Negeri yang berwenang
mengadili
Tindak
Pidana
Penyalahgunaan
Narkotika
yang
dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo adalah
Pengadilan Negeri Purwokerto, sebagaimana kita ketahui dari data
hasil penelitian tempat terjadinya tindak pidana penyalahgunaan
narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo adalah Taman Andhang Pangrenan dan daerah Grendeng
yang berada di Purwokerto, sehingga termasuk dalam daerah
1
Ibid., hlm. 108.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
69
hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang diatur pada Pasal 84 ayat (1) KUHAP.
Ad b. Dasar memutus
Dasar memutus yang dimaksud di sini adalah dasar Hakim dalam
menjatuhkan putusan. Hakim dalam menjatuhan putusan yang berupa
pemidanaan harus memenuhi syarat pemidanaan. Menurut Sudarto
syarat dapat dipidananya seseorang adalah apabila telah memenuhi dua
unsur, yaitu unsur perbuatan dan pembuat (orang). Berikut adalah
skema dapat dipidananya seseorang:
Syarat pemidanaan
pidana
perbuatan
orang
3. memenuhi rumusan undang-undang
3. kesalahan:
4. bersifat melawan hukum
a. Mampu bertanggung jawab
(tidak ada alasan pembenar)
b. Dolus atau culpa
(tidak ada alasan pemaaf) 1
Syarat pemidanaan di atas apabila dihubungkan dengan data yang
diperoleh dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor:
56/Pid.Sus/PN.Pwt. maka dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Perbuatan
Perbuatan di sini meliputi berbuat dan tidak berbuat.1 Salah satu
ahli hukum yang mengemukakan pengertian perbuatan adalah
1
Sudarto, 1990, op. cit, hlm.50.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
70
Simons,
beliau
mengemukakan,
“Dalam
arti
sesungguhnya
„handelen‟ (berbuat) mempunyai sifat aktif, tiap gerak otot yang
dikehendaki, dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu
akibat”.2 Menurut Sudarto perbuatan yang memungkinkan adanya
penjatuhan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan
undang-undang dan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan
pembenar).3 Diuraikan lebih lanjut mengenai unsur memenuhi
rumusan Undang-Undang dan bersifat melawan hukum adalah
sebagai berikut:
a) Memenuhi rumusan undang-undang
Suatu perbuatan dikatakan memenuhi atau mencocoki
rumusan delik dalam undang-undang apabila perbuatan konkrit
dari si pembuat memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu
sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang”.4
Hal ini sesuai dengan asas nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali yang artinya tiada delik tiada pidana tanpa
peraturan terlebih dahulu. Asas ini dikenal juga dengan asas
legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang
merumuskan,
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan dilakukan.
1
2
3
4
Ibid., hlm. 64.
Ibid., hlm. 64.
Ibid., hlm. 50.
Ibid., hlm. 52.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
71
Berdasarkan data dari hasil penelitian diketahui bahwa,
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, dengan demikian perbuatan yang telah
dilakukannya tersebut termasuk ke dalam perbuatan yang
memenuhi rumusan undang-undang yakni Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b) Memenuhi sifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
Menurut Sudarto, sifat melawan hukum ada dua ajaran yaitu:
1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan
diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam
undang-undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu
dapat dihapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undangundang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan
melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum
tertulis).
2. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya
yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan
tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak
tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata
masuk dalam rumusan delik itu dapat dihapus berdasarkan
ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan
yang tidak tertulis (urbergesetzlich).1
Perbuatan yang dilakukan oleh Saiful Nibad Bin Kusworo
telah memenuhi rumusan delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan
1
Ibid., hlm. 78.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
72
itu menjadi indikasi bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah
bersifat melawan hukum yang tepatnya bersifat melawan hukum
formil. Sedangkan sifat melawan hukum dalam arti materiil
ditemukan pada perbuatan terdakwa yang menggunakan narkotika
sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan dijunjung
tinggi oleh masyarakat karena menggunakan narkotika dapat
merusak masayarakat terutama generasi muda. Generasi muda
baik
pelaku
maupun
lingkungan
pemuda
yang
ikut
mengkonsumsi narkotika akan mengakibatkan masyarakat yang
malas, tidak produktif, dan akan memicu kejahatan-kejahatan
lainnya. Perbuatan terdakwa lebih bersifat melawan hukum
materiil.
Tidak ada alasan pembenar artinya, tidak ada alasan yang
menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang. Secara teoritis yang dapat dikategorikan
sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana adalah pembelaan
terpaksa (nooodwer), melaksanakan ketentuan undang-undang,
dan melaksanakan perintah atasan.1 Secara yuridis yang dapat
dikategorikan alasan pembenar diatur secara tegas pada Pasal 50
dan Pasal 51 ayat (1) KUHP.
Terkait mengenai alasan pembenar, berdasarkan data dari
hasil penelitian tidak ditemukan adanya alasan yang dapat
1
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 151.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
73
menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang telah memenuhi
rumusan delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut karena
perbuatan itu dilakukan bukan untuk pembelaan terpaksa, bukan
untuk melakasanakan ketentuan undang-undang, dan bukan untuk
melaksanakan perintah atasan, melainkan untuk kepentingan
pribadinya yakni pemakaian Narkotika Golongan I untuk
dikonsumsi sendiri.
2) Orang
Orang dalam hal ini adalah orang yang melakukan perbuatan atau
disebut dengan pembuat oleh karena itu, yang dimaksud orang di sini
adalah subjek tindak pidana. Pada dasarnya subjek tindak pidana
adalah
manusia
(natuurlijke
personen).
Sudarto
dalam
kesimpulannya menjelaskan bahwa di samping manusia badan
hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak
pidana di samping manusia, apabila secara khusus ditentukan dalam
undang-undang untuk delik tertentu.1 Unsur “orang” (natuurlijke
personen) ini juga terpenuhi yaitu terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo.
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk adanya pemidanaan adalah
adanya kesalahan karena orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan bersifat
1
Sudarto, op.cit, hlm. 63.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
74
melawan hukum tidak dapat dijatuhi pidana apabila orang tersebut
tidak memiliki kesalahan. Hal ini sesuai asas “Tiada Pidana tanpa
Kesalahan” artinya, untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan
pada orang yang melakukan perbuatan tersebut.
a) Kesalahan
Kesalahan dalam arti yang luas dapat disamakan dengan
pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, di
dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si
pembuat atas perbuatannya.1 Kesalahan dalam pandangan
normatif ditentukan berdasar penilaian normatif yaitu, penilaian
(dari
luar)
mengenai
hubungan
antara
pembuat
dengan
perbuatannya.
Kesalahan terdiri dari beberapa unsur dimana penjatuhan
pemidanaan baru dimungkinkan apabila unsur-unsur tersebut
telah dipenuhi. Unsur-unsur yang dimaksud diantaranya adalah:
1) Mampu bertanggung jawab
Memorie van Tolichting (memori penjelasan) secara negatif
menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggung
jawab sebagai berikut:
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:
1) Dalam hal ia tidak ada kebebasan memilih antara berbuat
dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang.
1
Ibid., hlm. 89-90.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
75
2) Dalam hal ia ada dalam keadaan yang sedemikian rupa,
sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu
bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan
akibat perbuatannya.1
Ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab secara
a contrario dapat dilihat pada rumusan Pasal 44 KUHP yang
merumuskan:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrikkige ontwikeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak
dipidana.
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang
itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama
satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri.
Berdasarkan data dari hasil penelitian, kesalahan yang
dilakukan oleh terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo apabila
dihubungkan dengan pengertian kemampuan bertanggung
jawab dan ketentuan Pasal 44 KUHP di atas maka ia dapat
bertanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Hal ini karena
ia melakukan kesalahan itu dalam keadaan jiwa yang sehat,
tidak ada gangguan, dan tidak dalam keadaan sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sehingga
1
Ibid., hlm. 94.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
76
dapat membedakan mana perbuatan yang diperintahkan dan
dilarang oleh undang-undang, serta dapat menginsyafi akibat
yang akan muncul apabila melakukan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang tersebut.
2) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)
Dolus atau kesengajaan menurut Memorie van Toelichting
adalah menghendaki dan mengetahui (willen and wettens).
Seseorang yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat
dibedakan tiga corak sikap batin yang menunjukan tingkatan
atau bentuk dari kesengajaan itu, yaitu:
a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk
mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus,
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidbewustzijn atau noodzakelijkeidbewustzijn),
c. Kengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis
atau voowaardelijke opzet).1
Culpa atau kealpaan menurut Memorie van Toelichting
disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan
di pihak lain dengan hal yang kebetulan (toevel/ casus).2
Kealpaan ada atau tidak pada suatu kesalahan bukan ditetapkan
secara psikologis oleh psikiater, tetapi ditetapkan secara
normatif oleh Hakim.
Penggunaan kata “Setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 35
1
2
Ibid., hlm. 103.
Ibid., hlm. 124.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
77
Tahun 2009, tidak mempedulikan unsur kesengajaan sehingga
dapat menjerat orang yang tidak berniat melakukan Tindak
Pidana Narkotika. Namun, pada terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo yang mengaku akan menggunakan narkotika berupa
ganja untuk yang ketiga kalinya karena ada keinginan
memakainya kembali setelah sebelumnya telah dua kali
menggunakan termasuk dalam unsur dolus atau kesengajaan.
Pemakaian narkotika ini mempunyai corak kesengajaan
dengan maksud (opzet als oogmerk) karena ia menghendaki
perbuatan
memakai
ganja
dengan
akibat
yang
akan
ditimbulkan setelah mengkonsumsinya.
Alasan pemaaf artinya menyangkut pribadi si pembuat,
dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum)
atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan,
meski perbuatannya bersifat melawan hukum. Pada diri
terdakwa tidak ditemukan alasan pemaaf sebagaimana yang
dirumuskan secara a contrario pada Pasal 44 KUHP (tidak
mampu bertanggung jawab) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP
(dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak
sah).
3) Pidana
Uraian di atas telah menunjukan bahwa Hakim dalam
menjatuhkan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
pidana
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
78
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
telah
memenuhi
syarat
pemidanaan
sebagaimana yang dikemukan oleh Sudarto baik syarat mengenai
perbuatan maupun syarat mengenai orang (pembuat). Sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan
pidana di samping harus memenuhi syarat pemidanaan juga harus
mendasarkan pada hasil pembuktian di persidangan. Pasal 183
KUHAP merumuskan,
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti” pada rumusan Pasal
183 KUHAP di atas mengandung arti bahwa, Hakim baru dapat
menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila mendasarkan minimal
pada dua alat bukti, dan dari pemeriksaan dua alat bukti tersebut
menimbulkan keyakinan bagi Hakim bahwa terdakwa terbukti
bersalah. Alat bukti yang dimaksud pada Pasal 183 KUHAP tersebut
lebih lanjut diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang
merumuskan:
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
79
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, Putusan
Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/PN.Pwt. telah sesuai dengan ketentuan
Pasal 183 KUHAP karena telah diperoleh fakta-fakta hukum yang
terbukti dan tidak disangkal oleh terdakwa. Penjatuhan pidana oleh
Hakim dalam putusan tersebut dilakukan sebagai berikut:
1) Hakim mendasarkan pada lebih dari satu alat bukti yang sah
sebagaimana yang diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang
terdiri dari:
a) Keterangan saksi, yang diperoleh dari:
-
Aris Budi Setiyono (penyidik)
Pramuaji, S.H (penyidik)
Ahmad Sodirin (tetangga terdakwa)
Kusworo dan Mujinah (kedua orang tua terdakwa)
b) Surat, yang berupa:
- Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik
7
September 2011 NO.LAB: 1000/NNF/IX/2011 yang
ditandatangani oleh Yayuk Murti Rahayu, B.Sc dan Ibnu
Sutarto, ST terhadap barang bukti berupa : 1 (satu)
bungkus kertas minyak warna coklat berisi batang, daun
dan biji dengan berat 4,025 gram dan 1 (satu) buah tube
berisi urine dengan kesimpulan: bahwa batang, daun dan
biji tersebut adalah positif Derivat Cannabinoid atau ganja
dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) Nomor urut 8
(delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
80
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan 1 (satu) tube
urine tersebut adalah negatif;
- Kutipan Akta Kelahiran No. 12160/TP/1998 tertanggal 3
Desember 1998 atas nama Saiful Ngibad, lahir pada
tanggal 2 September 1993, anak laki-laki dari suami isteri:
Kusworo dan Mujinah yang dibuat dan ditandatangani
oleh Drs. Joeliono Kepala Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Banyumas;
- Kartu Keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27
Desember 2006 atas nama Kepala Keluarga Kusworo.
c) Keterangan terdakwa, yang diperoleh dari pernyataan
terdakwa di persidangan.
d) Alat bukti di atas disertai dengan barang bukti yang dibawa
ke persidangan, barang bukti tersebut berupa:
- 1 (satu) paket kecil ganja seberat 4,025 gram
- Hand Phone Nokia tipe 112 warna silver dengan nomor
089665766776
- 1 (satu) botol berisi urine milik Saiful Ngibad (terdakwa)
2) Uraian di atas telah menunjukkan bahwa dasar putusan Hakim
dalam menjatuhkan pidana di dalam Putusan Perkara Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak hanya telah memenuhi syarat
pemidanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto
tetapi juga telah memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
81
Hakim dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa
terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo bersalah melakukan
tindak pidana Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi Diri
Sendiri.
Penjatuhan Pidana Penjara bagi Anak
Pejatuhan pidana oleh Hakim pada Putusan Perkara Nomor:
56/Pid.Sus.2011/PN.Pwt. menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika sebagai dasar hukumnya. Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan undang-undang pidana
khusus. Undang-undang tersebut dalam pelaksanaannya berlaku azas lex
specialis derogate legi generalis yang artinya, undang-undang yang
khusus mengesampingkan undang-undang yang umum. Berlakunya azas
lex specialis derogate legi generalis berdasarkan Pasal 103 KUHP
dirumuskan sebagai berikut,
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini
juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika
oleh undang-undang ditentukan lain.
Rumusan Pasal 103 KUHP ini memperbolehkan berlakunya aturan
pidana yang diatur di luar KUHP yang sifatnya lebih khusus seperti
dirumuskan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
khususnya Pasal 111 sampai Pasal 148. Berkaitan dengan penelitian
terhadap Putusan perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. selain
menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dikarenakan
terdakwanya Anak, maka digunakan pula Undang-Undang Nomor 3
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
82
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kedua Undang-Undang ini
berkedudukan sama dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan
sifat berlakunyapun lebih khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Tidak menjadi persoalan apabila kedua Undang-Undang ini dalam
mengatur hal yang sama, terdapat kesamaan pula dalam pengaturannya.
Namun dalam penelitian ini terdapat kerancuan dalam mengatur Anak
Nakal khususnya dalam penyalahgunaan narkotika.
Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan tentu tak terlepas dengan
jenis pidana yang ditentukan secara limitatif di Indonesia. Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang merumuskannya:
Pidana terdiri atas:
c. Pidana pokok:
6. Pidana mati;
7. Pidana penjara;
8. Pidana kurungan;
9. Pidana denda;
10. Pidana tutupan;
d. Pidana tambahan:
4. Pencabutan hak-hak tertentu;
5. Perampasan barang-barang tertentu;
6. Pengumuman putusan hakim.
Terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yang berusia 17 (tujuh belas)
tahun 11 (sebelas) bulan, 29 (dua puluh sembilan) hari saat melakukan
tindak pidana penyalahgunaan Narkotika termasuk Anak sebagaimana
dalam rumusan BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 butir (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi pengertian anak,
yaitu:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
83
Anak Nakal yang dimaksudakan, diperjelas pada Pasal 1 butir (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak memberi pengertian tentang anak nakal sebagai berikiut:
Anak nakal adalah:
c. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
d. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak menurut peraturan perundang-undangan maupun
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Hakim terhadap terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yang masih
Anak dan terbukti melakukan tindak pidana hanya dapat menjatuhkan
pidana atau tindakan kepadanya sesuai rumusan Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997. Hakim dalam putusan yang diteliti ini memilih
menjatuhkan pidana yang aturannya terdapat dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak. Pasal 10 KUHP dikesampingkan dengan aturan yang
lebih khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak khususnya Pasal 23 ayat (2) dan (3) yang mengatur
secara limitatif ancaman pidana pokok dan pidana tambahan terhadap
Anak Nakal, yaitu:
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak ialah;
e. Pidana penjara;
f. Pidana kurungan;
g. Pidana denda; atau
h. Pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan,
berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
84
Pilihan Hakim menjatuhkan pidana pada Anak yang melakukan tindak
pidana, selanjutnya akan ditentukan pidana pokoknya yang di atur secara
limitatif dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Tentu tidak mudah,
karena Pasal 64 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa Perlindungan khusus bagi
anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak1. Sedangkan,
bila dilihat pilihan pidana pada Pasal 23 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak akan sulit menilai bahwa
pidana pokok tersebut terbaik bagi si anak apalagi tindak pidana yang
dilakukannya adalah penyalahgunaan narkotika. Anak yang memakai
narkotika yang terpenting adalah dibina dan diobati supaya tidak timbul
keinginan menggunakan narkotika lagi.
Ancaman pidana paling lama empat tahun pada Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
telah diuraikan sebelumnya dan telah terbukti dilakukan Saiful Ngibad Bin
Kusworo secara sah dan meyakinkan dalam persidangan, tidak begitu saja
dijatuhkan seutuhnya sesuai rumusan pasalnya, karena ada pengkhususan
lagi dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Hakim yang memilih
menjatuhkan pidana penjara bagi anak harus cermat karena menurut
rumusan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak
1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
85
Nakal paling lama ½(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana bagi
orang dewasa.1
Diketahui bahwa ketentuan pidana penjara sebagaimana yang diatur
pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika hanya ditentukan batas maksimumnya yaitu empat
tahun oleh karena itu, untuk menentukan batas minimunya sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya harus dikembalikan pada aturan
induknya yakni KUHP. Pasal 12 ayat (2) KUHP menentukan bahwa batas
minimum pidana penjara selama waktu tertentu adalah satu hari.
Berdasarkan batas minimum yang ditentukan pada Pasal 12 ayat (2)
KUHP dan berdasarkan batas maksimum yang ditentukan pada Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Hakim dapat menjatuhkan pidana penjara berapa pun lamanya
dengan ketentuan tidak boleh kurang dari satu hari dan tidak boleh lebih
dari empat tahun, dan dengan adanya Undang-Undang tentang Pengadilan
Anak maka dibatasi setengahnya. Sehingga lamanya pidana penjara yang
dapat dijatuhkan bagi terdakwa Saiful Ngibad ini antara satu hari sampai
dua tahun. Sehingga tidak ada salahnya jika Hakim memutus pidana
penjara selama satu tahun dan satu bulan terhadap terdakwa anak ini.
1
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
86
Ad.c Faktor subyekif Hakim
Hakim bukanlah corong undang-undang, mereka adalah manusia
yang mempunyai hati nurani yang dalam mengambil keputusan di
akhir persidangan tidak hanya didasarkan peraturan perundangundangan tertulis semata, tetapi juga pertimbangan moril dan sosial.
Memang pribadi hakim mempunyai pengaruh yang besar terhadap
keputusannya yang diambilnya. Di samping pertimbangan yang
rasionil dalam menentukkan pidana, hal-hal yang bersifat emosionil,
misalnya sampai di mana rasa kasih sayangnya terhadap sesama
hidup, akan mempengaruhi keputusannya.1
Setiap putusan akhir dalam suatu perkara pidana diuraikan secara
singkat
mengenai
pertimbangan
Hakim
yaitu
hal-hal
yang
memberatkan dan meringankan dari terdakwa yang termasuk faktor
subyektif Hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana. Putusan
Pengadilan
1
Negeri
Sudarto, 1986, op.cit, hlm.89.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
Purwokerto
pada
perkara
Nomor
87
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt mencantumkan hal-hal yang memberatkan
dan ha-hal yang meringkan terhadap terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo. Hal yang memberatkan dan hal yang meringankan
sebagaimana diatur pada Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang
merumuskan,
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa.
Mengenai hal-hal yang memberatkan, menjadi alasan klasik di
setiap perkara tindak pidana penyalahagunaan narkotika jika terdakwa
tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas peredaran
Narkotika dan perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi
muda yang merupakan modal penerus bangsa sebagai hal yang
memberatkan hukuman pidana bagi terdakwa. Hal ini jelas tidak dapat
disangkal, karena bahaya Narkotika yang disalahgunakan tidak hanya
berimbas pada satu orang atau sekelompok orang saja, tetapi satu
generasi muda yang nantinya akan mengemban tanggung jawab besar
terhadap pembangunan bangsanya di masa depan.
Terkait hal yang meringankan sebagaimana dari data hasil
penelitian diketahui bahwa, terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo
mengakui dan berterus terang terhadap tindak pidana yang dibuktikan
di persidangan, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulanginya
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
88
perbuatannya. Terdakwa yang masih termasuk anak ini juga belum
pernah dihukum sebelumnya, masih ingin melanjutkan sekolah, dan
diharapkan dapat memperbaiki diri di kemudian hari. Hal yang
meringankan ini apabila dicermati maka lebih kepada sikap dan
tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, yang mana sikap
dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana wajib
dipertimbangkan oleh Hakim dalam pemidanaan.1
Sejalan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan
dengan penentuan berat-ringannya suatu pidana, Barda Nawawi Arief
mengutip:
Menurut Oemar Seno Adjie, jika dalam suatu undang-undang
terdapat “ground” yang dimaksudkan untuk memberatkan atau
meringankan hukuman, maka akan mengurangi kebebasan hakim
dalam penjatuhan ataupun pemilihan hukuman. Tetapi sebenarnya
dalam maksimal dan minimal yang ditentukan, hakim pidana bebas
mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat.
Jadi bukan kebebasan mutlak secara tidak terbatas untuk
menyalurkan kehendaknya dengan kesewenang-wenangan subjektif
untuk
menentukan
berat
ringannya
hukuman.
Harus
dipertimbangkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan
yang meliputi perbuatan yang dihadapkan kepadanya, kepribadian
pelaku, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, lingkungannya,
sifatnya sebagai bangsa dan lain-lain.2
Pendapat Oemar Seno Adji tak berbeda jauh dengan J.E.
Sahetapy yang mengemukakan:
Patutlah diingat bahwa masalah berat ringan atau takaran pidana
sangat erat bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan
terhadap kejahatan atau jenis kejahatan yang tertentu. In concreto
1
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 69.
Barda Nawawi Arief, Pidana Penjara Terbatas, dalam Gregorius Aryadi, Putusan
Hakim dalam Perkara Pidana (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di daerah Istimewa
Yogyakarta), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1995, hlm. 73.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
89
lazimnya takaran atau berat ringannya pidana dikaitkan dengan sikap
penjahat selama ia diadili. Selain dari itu takaran tersebut juga
dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti apakah ia mempersulit jalannya
sidang dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya
dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya,
sifat, bentuk, dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga
bagaimana skala nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan.1
Pendapat mengenai penentuan berat-ringannya pidana yang
diberikan Hakim, dari doktrin di atas penulis dapat membaginya
menjadi tiga aspek, yaitu bobot tindak pidana, kondisi diri pelaku, dan
lingkungan sosial.
a) Bobot tindak pidana
Hakim meyakini dakwan kedua dari Jaksa Penuntut Umum yang
tepat dikenakan bagi terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo yaitu
memenuhi rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dipertimbangkan
berdasarkan pembuktian fakta-fakta hukum di persidangan.
Terpenuhinya unsur “Setiap orang” dan “Penyalah guna
narkotika” Golongan I bagi diri sendiri” memasukkan terdakwa
anak ini pada kategori penyalah guna narkotika karena
menggunakan ganja tanpa hak atau melawan hukum bukan
sebagai pecandu karena tidak ditemukan ada ketergantungan pada
terdakwa terhadap ganja baik secara fisik maupun psikis.
Terdakwa yang tidak masuk dalam kategori pecadu narkotika atau
1
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta, 1982. hlm. 180.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
90
korban penyalahgunaan narkotika berakibat pula pada pemberian
pidana terhadapnya dan mengesampingkan pemberian tindakan.
Penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang
pengaturaannya dipisahkan dan termasuk tindak pidana yang berat
karena akibat yang ditimbulkannya dapat meluas hingga merusak
generasi muda.
b) Kondisi diri pelaku
Pada apa yang telah dikemukakan oleh J.E. Sahetapy,
diketahui bahwa untuk menentukan berat ringan pidana yang
hendak dijatuhkan oleh Hakim terhadap terdakwa berkaitan
dengan sikap terdakwa itu selama menjalani proses persidangan
dan berdasarkan data dari hasil penelitian, terdakwa Saiful
Ngibad Bin Kusworo selama menjalani proses persidangan tidak
mempersulit jalannya proses persidangan tersebut. Hal ini tampak
dari sikapnya yang mengakui perbuatan yang telah dilakukannya
dan memberikan keterangan yang jelas dan tidak berbelit-belit.
Ini artinya, sikap yang terdakwa tampakkan selama menjalani
proses persidangan tersebut berkaitan juga dengan penentuan
berat ringan pidana penjara. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam hal
yang sama merumuskan,
Dalam menentukan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
91
Terdakwa yang masih dikategorikan sebgai anak juga
menjadi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Walaupun perkembangan teknologi dan informasi mempengaruhi
perkembangan diri anak menjadi lebih cepat tahu dan
berkembang menjadi lebih cepat dewasa dari umurnya, tapi tidak
mengurangi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana
dengan membedakannya dengan penjatuhan pidana untuk orang
yang sudah dewasa.
Berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan Abdul Latif salah satu Hakim di Pengadilan
Negeri Purwokerto, Hakim sebenarnya mengalami kendala dalam
menjatuhkan pidana penjara pada terdakwa anak. Penjatuhan
pidana penjara bagi anak khususnya dalam tindak pidana
Penyalahgunaan Narkotika pada umumya sangat dihindari, tetapi
untuk beberapa kasus vonis berupa penjatuhan pidana penjara
diputuskan dikarenakan kondisi keluarga dari terdakwa terutama
orang tua ataupun walinya tidak mendukung pemulihan mental
pada diri terdakwa atau cenderung tidak peduli atas kondisi
anaknya
yang
membutuhkan
perhatian
khusus,
sehingga
dikhawatirkan akan memperburuk kondisi fisik dan psikis anak.
Lembaga pemasyarakatan yang nantinya akan menerima anakanak tahanan seperti inilah yang diharapkan akan membantu anak
dengan pembinaan di dalamnya. Bila dikaitkan dengan perbuatan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
92
Saiful Ngibad Bin Kusworo yang menggunakan narkotika dan
orang tuanya mengaku tidak mengetahuinya, apalagi melaporkan
pada pihak yang berwajib untuk dimintakan rehabilitasi setelah
anaknya ditangkap, Hakimpun juga mempertimbangkan hal
tersebut.
c) Lingkungan sosial masyarakat
Selain penentuan berat ringannya pidana dari hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang ditemukan
dalam diri terdakwa saat menjalani proses persidangan. Dalam
perkara
dengan
mempertimbangkan
terdakwa
laporan
anak,
Hakim
penelitian
juga
harus
Kemasyarakatan
sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1997 tentang Pengadilan Anak. Salah satu unsur penting
dalam peradilan pidana anak adalah Probation Officer yang di
Indonesia dilakukan oleh BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan
Pengentasan Anak) yang bertugas menyelidiki latar belakang
sosial dan budaya seorang anak sampai melakukan tindak pidana.1
Serangkaian penelitian yang dilakukan dan beberapa rekomendasi
yang diberikan oleh BISPA ini menjadi unsur penting dalam
Hakim merumuskan putusan, walaupun laporan ini sifatnya tidak
mengharuskan Hakim untuk melaksanakannya. Sejalan dengan
1
Sunaryo,”Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Manusia bagi Anak dalam Proses
Peradilan Pidana”, Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Mei 2002,
hlm. 89.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
93
pemikiran Wagiati Soetodjo, “Demikianlah walaupun Case study
ini tidak mengikat Hakim, namun ia merupakan alat pertimbangan
yang mau tidak mau wajib diperhatikan oleh Hakim, sehingga
menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara pidana
Anak di muka sidang pengadilan”.1 Pertimbangan Hakim dalam
putusan perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt di dasarkan azas
kebebasan dan kemandirian Hakim, Hakim tidak sependapat
dengan saran BAPAS Purwokerto atas penelitian terhadap diri
terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo bahwa terdakwa adalah
Pecandu Narkotika sehingga tindakan lebih tepat diberikan
baginya adalah rehabilitasi dari pada hukuman berupa perampasan
kemerdekaan.
Pengaruh tempat tinggal terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo di Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng dan
pergaulannnya bersama saudaranya dan teman-temanya yang
terlebih dahulu menggunakan Narkotika sangat berpengaruh
terhadap tingkah laku terdakwa. Wagiati Soetodjo mengutip
pendapat Sutherland yang mengembangkan teori Association
Differential menyatakan,
Anak menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengahtengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen
tertentu dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi
kesulitan hidupnya. Karena itu semakin anak luas bergaul,
semakin intensif frekuensinya dengan Anak Nakal, akan menjadi
1
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 46-
47.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
94
semakin lama pula anak tadi menjadi benar-benar menjadi nakal
dan kriminil.1
Pendapat yang senada mengenai perilaku Anak yang dalam
pergaulan
di
lingkungan
sosial
membawa
dampak
yang
menyimpang yaitu,
Perilaku anak/ remaja yang cenderung kriminal umumnya
disebabkan oleh renggangnya interaksi atau kurangnya perhatian
orang tua. Di sisi lain anak berinteraksi sangat erat dengan temantemannya. Interaksi intensif di lingkungan yang kurang
mendukung tumbuh kembangnya pola pikir sehat menyebabkan
dia cenderung bertindak menyimpang, termasuk dari norma
hukum.2
Pidana penjara merupakan bagian dari penegakan hukum pidana
terhadap anak sebagai konsekuensi atas tindak pidana yang
dilakukan
dan
dalam
penjatuhan
putusan
pidana
penjara
sepenuhnya menjadi kewenangan Hakim. Adapun yang biasanya
menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan
pidana penjara terhadap anak adalah :
- Anak tersebut melakukan tindak pidana lebih dari satu kali,
- Anak tersebut melakukan suatu tindak pidana yang tergolong
dalam kejahatan berat,
- Dipandang bahwa anak tersebut sudah tidak dapat diperbaiki lagi
dengan upaya lainnya,
- Anak tersebut membahayakan masyarakat.3
1
Ibid., hlm.24.
Hibnu Nugroho, “Hukuman Anak Bermasalah”
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2012/01/20/174353, diases pada 13 Juni 2013.
3
Madhe Sadhi Asturti, Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP,
2
Malang, 1997, hlm.117.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
95
2. Kesesuaian
Penjatuhan
Pidana
Penjara
bagi
Anak
Pelaku
Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri
Purwokerto
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
dengan
Tujuan
Pemidanaan.
Pemidanaan menjadi suatu masalah yang selalu dikaji baik di
Indonesia maupun di berbagai negara lainnya. Seiring dengan desakan
masyarkat dunia mengenai pentingnya perlindungan hak asasi manusia,
tujuan dari pemidanaanpun berubah ke arah yang lebih humanis. Sulit
memang untuk mengakomodir beberapa keinginan dalam satu regulasi.
Pada satu sisi pelaku tindak pidana hendaknya dihukum sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas akibat tindak pidana yang ia lakukan. Namun, di
sisi lain ada berbagai dampak yang buruk dari suatu hukuman baik untuk
diri si pelaku maupun keberhasilan dari pemberantasan tindak pidana itu
sendiri.
a. Tujuan penjatuhan pidana penjara
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
96
Tujuan agar pelaku tindak pidana yang dikenai pidana itu akan jera,
tidak melakukan tindak pidana lagi, menakut-nakuti masyarakat sehingga
tidak melakukan tindak pidana adalah suatu tujuan pemidanaan yang pada
pelaksanaanya tidak mudah. Bahkan lebih banyak seorang yang dikenai
pidana akan mengulangi tindak pidana itu kembali, tidak dapat di terima
kembali dalam masyarakat, hingga bertambah buruk perilakunya. Tentu
dampak buruk dari pemberian pidana ini tidak diinginkan, tetapi
kenyataanya tidak jarang terjadi dan selalu menjadi permasalahan yang
sering dikaji ulang untuk mendapatkan solusinya.
Hakim sebagai
puncak dari serangkaian proses panjang peradilan
pidana harus cerdas dan berhati nurani karena keputusannya untuk
menjatuhkan pidana kepada seseorang akan sangat mempengaruhi
kehidupan orang tersebut. Dalam perkara dengan terdakwa Saiful Ngibad
Bin Kusworo ini, terdakwa adalah seorang anak yang masih memiliki
masa depan yang panjang. Terdakwa dibujuk oleh saudaranya untuk
menghisap ganja, ia ditangkap dan divonis penjara satu tahun satu bulan.
Hakim tidak menyalahi aturan normatif dalam menjatuhkan pidana dalam
perkara ini, tetapi bila dilhat dari aturannya sendiri ada keganjilan terkait
perkara
dengan
pelaku
anak
yang
melakukan
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika ini.
Mengenai penjatuhan pidana ada yang perlu disadari oleh Hakim,
Sudarto berpendapat:
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
97
Hakim dalam penghukuman yang berupa penjatuhan pidana harus
menyadari apa makna pemidanaan itu, harus menyadari apa yang hendak
dicapai dengan yang ia kenakan kepada sesama manusia yang telah
melanggar ketentuan undang-undang. Dalam menetapkan hukum hakim
tidak semata-mata hanya menegakan hukum demi hukum itu sendiri,
melainkan harus mengejar kemanfaatan sosial. Oleh karena itu keputusan
hakim itu tidak boleh terlepas dari politik kriminil, karena pengadilan
merupakan aparat politik kriminil. Maka dalam hubungan ini hakim harus
“menentukkan posisinya”.1
Penjatuhan pidana penjara bagi Saiful Ngibad Bin Kusworo harus
diketahui tujuan yang hendak dicapai dan manfaat sosial yang akan
berpengaruh pada masyarakat. Khusus mengenai penjatuhan pidana
penjara pada anak, pertimbangan pidana dan perlakuan terhadap anak-anak
yang melakukan tindak pidana perlu mendapat perhatian khusus, sebab
pada peradilan anak ini keputusan Hakim tersebut harus mengutamakan
pada pemberian bimbingan edukatif terhadap anak-anak, di samping
tindakan yang bersifat menghukum.2
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam dua kelompok teori, yaitu:
3. Teori absolut atau teori pembalasan (retribituve/vergeldings theorieen)
4. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) 3
Teori absolut sudah banyak di tinggalkan oleh beberapa negara
termasuk Indonesia dan dengan berlakunya Undang-Undang tentang
Pemasyarakatan yang saat ini sedang mengimplemantasikan teori tujuan
pada
proses
pemidanaannya
1
dengan
metode
pembinaan.
Dasar
Sudarto, Kapita Selekta,1990, hlm. 100.
Wagiati Soetodjo, op.cit, hlm.47.
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung 1984, hlm. 10.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
98
pembenaran adanya pidana menurut teori relatif terletak pada tujuannya
yaitu, pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang
membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan
melakukan kejahatan).1 Tujuan pidana supaya orang jangan melakukan
kejahatan ini terdiri dari:
1) Teori menakuti yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakutnakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik
terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif
umum).
2) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan
mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik
dalam masyarakat (preventif khusus).2
Mengenai
pencegahan
E.
Utrecht
dalam
hal
yang
sama
mengemukakan, sifat prevensi dari hukuman itu ada dua macam:
1) Prevensi umum (generale preventive).
2) Prevensi khusus (special preventive).
Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada
umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan
supaya pembuat (dader) tidak melanggar.3
Mengenai tujuan pemidanaan, Hakim dalam perkara ini tidak
sependapat dengan tuntutan Penuntut Umum untuk memidana terdakwa
dua tahun penjara, karena dari pertimbangan dalam putusannya
“Penjatuhan pidana pada dasarnya adalah bukan dimaksudkan sebagai
pembalasan dendam bagi terdakwa, tetapi lebih merupakan pembinaan
bagi terdakwa agar setelah menjalankan pidananya dapat menjadi orang
lebih baik lagi, apalagi terdakwa masih anak-anak sehingga diharapkan
1
Ibid., hlm. 16.
Roeslan Saleh, 1987, op.cit, hlm. 26.
3
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, 1958, hlm. 157.
2
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
99
dapat memeperbaiki diri dan dikemudian hari dapat menjadi anak yang
lebih baik. Hakim di sini menggunakan teori tujuan dalam menjatuhkan
pidana penjara bagi terdakwa. Hakim bermaksud membina terdakwa
dengan memenjarakannya, tetapi harus dikaji lagi mengenai manfaat dari
dijatuhkannya pidana penjara bagi terdakwa. Seorang yang baru mencobacoba narkotika dan kondisi terdakwa yang masih muda dengan pergaulan
yang saat ini cukup mengkhawatirkan merupakan tantangan bagi negara
untuk memberikan pembinaan dan pendidikan yang sesuai.
b.
Tujuan pidana penjara bagi anak penyalahguna narkotika
Bila dibandingkan, antara Peyalah Guna narkotika yang baru
mencoba-coba dengan Pecandu Narkotika ternyata bisa diperoleh putusan
yang berbeda jauh. Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
ayat (1) dan (2) merumuskan bahwa:
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan atau rehabilitasi baik jika
terbukti
bersalah
atau
menetapkan
yang
bersangkutan menjalani pengobatan atau rehabilitasi
jika tidak terbukti bersalah.
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi
Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Penjelasan Pasal 103 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
100
Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan Hakim tersebut
menggunakan
vonis
(hukuman)
bagi
Pecandu
Narkotika
yang
bersangkutan. Sedangkan pada kata menetapkan berarti tidak terbukti
melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib menjalani
pengobatan dan perawatan.
Pilihan untuk memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkotika
sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan Hakim termasuk dalam
menangani perkara anak. Sebuah problema adalah ketika suatu pilihan
memidana anak dikaitkan dengan Pasal 64 ayat (2) huruf d UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang lebih
menitikberatkan pada aspek pemberian sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi Anak yang berhadapan dengan hukum. Terlebih
lagi khusus untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dimana pelaku
hanya mengkonsumsi untuk diri sendiri tidak untuk tujuan lain seperti
memproduksi, mengedarkan, atau memperdagangkan narkotika upaya
pengobatan untuk menghentikan keinginan memakai narkotika terkadang
harus dikesampingkan karena peraturannya menghendaki demikian.
Salah satu kendalanya adalah beberapa istilah dalam Undang-Undang
Narkotika dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang hampir sama,
tetapi aturannya berbeda-beda.
- Pecandu
Narkotika sebagai
orang
yang
menggunakan
atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
101
pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika);
- Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa
hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika)
- Korban Penyalahguna Narkotika adalah seseorang yang tidak
sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, merumuskan:
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napsza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat
dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat.
Permasalahan kembali terjadi akibat banyaknya istilah adalah
kerancuan pengaturan di mana Pasal 4 huruf d di Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merumuskan bahwa:
Undang-Undang Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika.
Namun jaminan upaya rehabilitasi sosial dan medis dibatasi kembali,
dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika merumuskan bahwa:
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sehingga, berdasarkan Pasal 54 tersebut, hak penyalah guna untuk
mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalnya
mendapatkan jaminan rehabilitasi, tetapi pada Pasal 127 Undang-Undang
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
102
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kemudian juga menjadi subjek
yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika.
Pembuktian bahwa penyalah guna narkotika merupakan korban
narkotika
sebagaimana diatur
dalam
Undang-Undang
Narkotika,
merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna
narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa
penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan atau diancam untuk menggunakan
narkotika. Dalam implementasinya, Mahkamah Agung RI mengeluarkan
Surat
Edaran
Nomor
Penyalahgunaan,
04
Korban
Tahun
2010
Penyalahgunaan,
tentang
dan
Penempatan,
Ketergantungan
Narkotika yang sebenarnya penerapan pemidanaan bagi Pecandu
Narkotika saja karena merujuk pada yang diatur dalam Pasal 103 huruf
dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Sebagaimana yang menjadi pertimbangan Hakim yang mengadili
terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo juga mempertimbangkan penjatuhan
pidana penjara bukan rehabilitasi karena Surat Edaran No. 04 Tahun 2010
tentang
Penempatan,
Penyalahgunaan,
Korban
Penyalahgunaan,
dan Ketergantungan Narkotika yang sifatnya sebagai himbauan dan
digunakan Hakim bila memperoleh kesulitan. Korban Penyalahgunaan
Narkotika dan Pecandu Narkotika telah dijamin Undang-Undang untuk
direhabiltasi, seorang Penyalah Guna Narkotika untuk mendapat
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
103
rehabilitasi medis diperlukan adanya laporan terlebih dahulu dari dirinya
sendiri ataupun keluarganya kepada instansi yang berwenang, dan bila ia
tertangkap tanpa ada bukti melapor terlebih dahulu bila ia seorang
pemakai, ia harus memenuhi persyaratan yang cukup rumit. Seorang
seperti Saiful Ngibad Bin Kusworo yang baru menggunakan Narkotika
Golongan I berupa ganja sebanyak dua kali
karena dibujuk oleh
saudaranya dan tertangkap ketika akan menggunakan yang ketiga kalinya
ini menurut Hakim bukanlah seorang pecandu narkotika, sehingga dapat
dijatuhi pidana penjara. Dalam amar putusan tidak memutuskan agar
terdakwa menjalani rehabilitasi, sedangkan seorang pecandu bisa
mendapat rehabilitasi medis yang diperhitungkan sebagai masa menjalani
hukuman bila ia dapat membuktikan bahwa ia seorang pecandu yang
syaratnya ditentukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04
Tahun 2010.
Pecandu Narkotika juga dapat terbukti melakukan tindak pidana
narkotika seperti halnya Penyalah Guna Narkotika, sehingga dapat dikenai
hukuman. Perbedaannya Pecandu Narkotika mendapat hukuman dengan
cara diobati dan mendapat perawatan, sedangkan Penyalah Guna
Narkotika yang tidak terbukti sebagai pecandu narkotika tidak bisa
memperoleh hukuman berupa pengobatan dan/atau perawatan. UndangUndang Pengadilan Anak, telah secara limitatif menentukan pidana pokok,
sehingga Hakim lebih banyak terpacu menggunakan pilihan pidana dalam
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
104
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak daripada Undang-Undang
tentang Narkotika atau Undang-Undang Perlindungan Anak. Penyalah
guna Narkotika yang masih coba-coba seperti Saiful Ngibad Bin Kusworo
tidak dimungkinkan mendapat pengobatan dan/atau perawatan layaknya
pecandu narkotika, atau secara tidak langsung menyimpulkan ia termasuk
anak yang berbahaya yang harus dibina di Lembaga Pemasyarakatan
bukan orang yang sakit atau sebagai korban yang harus diselamatkan dan
diobati.
Pidana penjara masih dianggap sebagai cara yang tepat untuk
mencapai tujuan dari suatu pemidanaan termasuk upaya membina dan
mendidik anak yang salah bergaul sehingga melakukan perbuatan yang
melanggar Undang-Undang. Mengenai keberadaan penjara sendiri, ada
salah satu pendapat yang ekstrim mengenai peniadaan pidana penjara
adalah pendapat Prof. Herman Bianchi yang menyatakan:
“The institution of prison and imprisonment are to be for ever
abolished, entirely and totality. No trace should be lift of this darkside
in human history”
(Lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selamalamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut
diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini).1
Indonesia sendiri masih menganggap Lembaga kepenjaraan atau
yang kini disebut Lembaga Pemasyarakatan diperlukan untuk membina
orang-orang yang melanggar hukum dapat berubah menjadi orang yang
1
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.37.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
105
baik dan dapat mengembalikkannya di tengah masyarakat. Penjatuhan
pidana penjara bukannlah upaya pertama atau yang utama untuk membina
seseorang terutama bagi anak-anak. Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
Penjatuhan pidana penjara menimbulkan dampak negatif dan kerugian
khususnya terhadap terpidana anak. Adapun dampak dari penjatuhan pidana
perampasan kemerdekaan diantaranya adalah:
- Anak akan akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak
pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu
singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan
yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak
- anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya
pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka
kemungkinan bagi terpidana untuk mempelajari prilaku kriminal
terpidana yang lainnya sehingga anak akan menjadi lebih ahli tentang
kejahatan
- anak tersebut diberi cap oleh masyarakat, hal ini dapat kita kaitkan
dengan teori labeling yang dikemukakan oleh Matza dimana
memandang para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat
tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah
berstatus jahat sebagai pemberian system peradilan pidana maupun
masyarakat luas.1
Perlu kita pikirkan bersama bahwa persoalan penjatuhan pidana
penjara anak sangat serius karena penjara yang menjadi tempat
penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk
membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan.
1
Topo Santoso dan Eva Achjani, Kriminologi, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 98.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
106
Selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum
kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua,
hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan, dan ada stigma yang
melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan
menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya.1
Melihat begitu besarnya kerugian dan dampak negatif yang
ditimbulkan, maka hendaklah dicari dan dirumuskan alternatif-alternatif
dari pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku kejahatan misalnya
dengan memberikan pembinaan yang bersifat noninstitusional seperti:
pidana pembinaan, pengawasan, denda, kerja sosial dan ganti kerugian,
seperti halnya yang disebutkan dalam The Beijing Rules pada Rule 18
mengenai macam-macam tindakan yang dapat dijatuhkan pada terpidana
anak adalah;
- pidana pengawasaan
- pengawasan (Probation),
- kerja sosial (Community Service order),
- pidana denda atau ganti rugi (Compensation, restitution),
- perawatan lanjutan dan perintah perawatan lainnya (intermediete
treatment and other treatment orders),
- berpartisipasi dalam kegiatan kelompok konseling dan kegiatan lain
serupa (orders to participate in group concelling and smiliar activities),
- membantu perkembangan dalam masyarakat atau dalam lingkungan yang
mendidik (orders concerning foster care, living communication or other
educational setting),
- tindakan-tindakan lain yang relevan (other relevant orders).
1
Hadi Supeno, “Alternatif Pemidanaan “Restorative Justice” Bagi Anak Berkonflik
Dengan Hukum” , diakses pada 31 Januari 2013
http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaanrestorative-justice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
107
Penggunaan narkotika untuk diri sendiri yang khususnya dilakukan
anak sebenarnya menempatkan anak pada pelaku sekaligus korban pada
tindak pidana tersebut. Penjatuhan pidana penjara bagi peyalahguna
narkotika yang memandang anak sebagai korbannya, Pasal 64 ayat (3)
huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak merumuskan,
(3)Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga.
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Psal 59, dan
terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui
upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi
oleh pemerintah dan masyarakat.
Kondisi Lembaga Permasyarakatan (Lapas) saat ini sudah tidak
mendukung pemulihan terpidana penyalah guna narkotika khususnya
anak-anak, apalagi minimnya ketentuan yang menjamin pengurangan
dampak buruk pemakaian narkotika. Padahal Declaration on The
Guiding Principles of Drug Demand Reduction menyebutkan bahwa
kebijakan narkotika pada tingkat nasional maupun internasional harus
bertujuan mencegah dan mengurangi dampak buruk dari pemakaian
narkotika.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
108
Bila narapidana narkotika digabung dengan tahanan kriminal
lainnya, dikhawatirkan semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan
kesehatan. Kesehatan yang diderita para narapidana narkotika akan
semakin berat. Bagi pemakai narkotika tempatnya bukan dipenjara
melainkan harus direhabilitasi, hal ini sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sangat diharapkan adanya
kerja sama dengan pihak kepolisian sehingga harus ada kriteria yang
jelas antara pelaku menjadi pemakai dan pelaku yang melakukan
kegiatan seperti memproduksi, pengedaran atau bandar narkotika.
Sehingga ke depan harus memberikan batas yang jelas dalam persoalan
penyalah guna narkotika tersebut sehingga bisa dilakukan rehabilitasi.
Tindak
pidana
penyalahgunaan
narkotika
khususnya
yang
dilakukan untuk pemakai diri sendiri bukan untuk diproduksi dan
diperjual-belikan demi suatu tujuan keuntungan pribadi perlu adanya
pemisahan. Pada dasarnya, pengedar narkotika dalam terminologis
hukum
dikategorisasikan
sebagai pelaku (daders),
akan
tetapi pengguna dapat dikategorisasikan baik sebagai pelaku dan/atau
korban. Selaku korban, maka pengguna narkotika adalah warga negara
yang harus dilindungi, serta dihormati hak-haknya baik dalam proses
hukum maupun dimensi kesehatan dan sosial.
Pengguna narkotika dapat memilih tempat rehabilitasi yang telah
memenuhi
kualifikasi
dan
apabila pengguna
narkotika
dalam
pengawasan negara maka negara memberikan hak rehabilitasi secara
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
109
cuma-cuma kepada pengguna narkotika dimana pembiayaanya dapat
diambil dari harta kekayaan dan asset yang disita oleh negara (Pasal 9
ayat (1), Penjelasan Pasal 103 ayat 1 huruf b dan Penjelasan Pasal 101
ayat (3) UU Narkotika). Tetap harus diingat pula, bahwa pemakai
narkotika lebih-lebih pemakai narkotika yang masih muda umurnya
sebenarnya harus dipandang sebagai orang yang sakit, seorang pasien,
yang perlu ditolong untuk disembuhkan.1
Pengguna narkotika akan dipidanakan terlebih dahulu minimal
empat tahun jika terbukti memiliki narkotika golongan I, sedangkan
rehabilitasinya masih menunggu peraturan pelaksana. Padahal UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 pada dasarnya menganggap pengguna
narkotika sebagai korban sehingga harusnya direhabilitasi terlebih
dahulu. Undang-Undang Narkotika tetap menimbulkan implikasi
yuridis bagi pengguna narkoba. Secara global, implikasi yuridis
tersebut berorientasi kepada aturan pelaksanaan bagi Undang-Undang
Narkotika. Upaya ini merupakan bentuk implementasi dari ketentuan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya
Pasal 54, 55, 103, dan 127. Undang-undang ini lebih bersifat humanis
kepada korban penyalahgunaan Narkotika, tetapi keras terhadap para
pengedar, importir dan produsen Narkotika.
Seorang anak yang masih berada dibawah kekuasaan orang tuanya
harusnya segala tindakannya diawasi oleh orang tua dan menjadi
1
Sudarto, Kapita Selekta,1990, hlm. 42.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
110
kewajiban orang tua untuk melindunginya. Pada perkara ini, jika anak
sebagai pengguna narkotika dan orang tua tidak mengetahuinya, apalagi
sampai anak dipidana penjara tentu orang tua atau wali dari si anak ini
harus ikut bertanggung jawab. Pada Pasal 26 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
merumuskan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
mengasuh, memelihara, mendidik, dan memelihara anak.
Suatu kelalaian jika orang tua tidak mengetahui anaknya sebagai
pemakai narkotika, dan sebuah ironi jika anak dipenjara karena
kelalaian orang tua dalam mengawasi anaknya. Bagi penulis sendiri,
terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo adalah korban penyalahgunaan
narkotika yang akan lebih bijaksana dan lebih bermanfaat bila ia
menjalani pengobatan atau rehabilitasi dari pada dipidana penjara.
Banyak
pencandu,
korban
penyalahgunaan
narkotika
yang
dihukum dengan hukuman pidana. Pecandu dan penyalahguna harusnya
direhabilitasi bukan dipidana, yaitu didorong untuk melakukan upaya
“depenalisasi”
dan
“dekriminalisasi”
bagi
pengguna
narkotika.
Depenalisasi merupakan perbuatan yang semula diancam dengan
pidana, tetapi kemudian ancaman itu dihilangkan, tetapi masih
dimungkinkan
adanya
tuntutan
dekriminalisasi
adalah
proses
dengan
cara
menghilangkan
lain.
Sementara
ancaman
pidana
perbuatan yang semula tindak pidana menjadi tindakan biasa. Terkait
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
111
dengan masih banyaknya pengguna narkotika di Indonesia yang
menerima hukuman pidana, bukan rehabilitasi. Upaya dekriminalisasi
berarti Hakim dalam memutuskan tindak pidana narkotika, khusus
pengguna itu tidak dimasukkan dalam penjara tapi dititipkan ke tempat
rehabilitasi.
Nanda Arum Dhini Ari – E1A009024
FH UNSOED 2013
112
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV maka didapat
simpulan sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan Pidana Penjara bagi
Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika pada Putusan Perkara Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. adalah dari pertimbangan: a) Dasar mengadili
yaitu Pasal 84 ayat 1 KUHAP dengan asas Locus delicti, b) Dasar memutus
yaitu terpenuhinya syarat pemidanaan dan Pasal 183 KUHAP, dan c) Faktor
subyektif Hakim yaitu berupa hal-hal yang memberatkan dan meringankan
yang dilakukan terdakwa di persidangan, serta penilaian bobot tindak pidana
yang dilakukan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan lingkungan tempat
tinggal terdakwa.
2. Penjatuhkan Pidana Penjara bagi Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika
pada Putusan Perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak sesuai dengan
tujuan pemidanaan terhadap anak karena tidak ditujukan untuk kepentingan
terbaik bagi anak. Anak pengguna narkotika membutuhkan pengobatan agar
menghentikan penggunaan dan mengurangi dampak buruk narkotika.
[Type text]
113
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, dalam hal ini saran yang
dapat diberikan adalah Hakim dalam perkara anak pengguna narkotika sebaiknya
mengutamakan sanksi yang terbaik bagi kepentingan anak berupa pengobatan dan
pembinaan atau sanksi berupa tindakan bukan pidana yang bersifat penghukuman
atau perampasana kemerdekaan, sehingga tujuan pemidanaan bagi anak penguna
narkotikapun dapat tercapai.
[Type text]
Download