tinjauan perjanjian perkawinan terhadap perkawinan campuran

advertisement
TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN
TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN
WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA
YANG DILANGSUNGKAN DI
NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA
TESIS
IRA RASJID
0906582614
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN
TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN
WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA
YANG DILANGSUNGKAN DI
NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan
IRA RASJID
0906582614
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Ira Rasjid
Program Studi : Kenotariatan
Judul
: Tinjauan Perjanjian Perkawinan terhadap Perkawinan Campuran
Warga negara Indonesia – Warga negara Australia yang
Dilangsungkan di New South Wales – Australia
Tesis ini membahas mengenai tinjauan akta perjanjian perkawinan yang dibuat
di Indonesia oleh notaris di Indonesia untuk perkawinan campuran beda
kewarganegaraan antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Australia
yang mana perkawinannya itu dilangsungkan di negara bagian New South Wales –
Australia berdasarkan hukum perkawinan Australia. Maka timbul permasalahan
mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia dalam
hukum perkawinan di Australia. Apakah akta perjanjian perkawinan tersebut berlaku
dan diakui kedudukannya sebagai perjanjian perkawinan di Australia atau tidak.
Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif
dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang
terdapat dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan
perjanjian perkawinan campuran beda kewarganegaraan dan dilihat dari teori-teori
Hukum Perdata Internasional yang terkait dengan masalah perjanjian perkawinan
yang bersifat internasional ini. Serta peraturan dan perundang-undangan Australia
yang mengatur mengenai perkawinan, perjanjian perkawinan dan pengakuan
perjanjian perkawinan yang dibuat di luar Australia. Sebagai hasil dari penelitian ini,
bahwa Australia hanya mengakui perjanjian perkawinan asing bilamana segala
persyaratan tentang tata cara pembuatan perjanjian perkawinan Bindin Financial
Agreement di Australia. Jadi dalam kasus tesis ini akta perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh notaris di Indonesia tidak diakui dan secara hukum tidak mengikat.
Perjanjian perkawinan tersebut hanya dipakai oleh hakim di Pengadilan Keluarga
Australia sebagai bahan pertimbangan saja.
Kata Kunci:
Perkawinan Campuran, Perjanjian Perkawinan, Akta Perjanjian Perkawinan Indonesia
dalam Hukum Australia
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name
: Ira Rasjid
Program of Study : Notary
Title
: Review on Prenuptial Agreement of Mixed Marriage between
Indonesia and Australia, where the wedding was held in New
South Wales – Australia
This thesis is the review of a prenuptial agreement deed that made in Indonesia by
Indonesian Public Notary for a mixed marriage with different nationalities between an
Indonesian nationality and an Australian nationality, where the wedding was held in
New South Wales – Australia. Is the prenuptial deed above valid and recognise as
prenuptial agreement in Australia. The above conflicts, has been reviewed and
obsereved by the writer using a yuridis normative method and deskriptive analitic,
law principles rules by Indonesian regulation related with mixed marriage prenuptial
agreement subject, also using the principles by International Private Law, Australian
Acts and regulation that rules international mixed marriage on how foreign prenuptual
agreement is recognise in Australia. The result has come up that Australian only
recognise foreign prenuptial agreement as long as it meet with all the requirements on
how Australian make a binding financial agreement. So in this case, the prenuptial
agreement deed made by Indonesian public notary in Indonesia does not recognise
and does not binding in Australian. Its use for the judge in Family Court for a
concideration only.
Key Word:
Mixed Marriage, Prenuptial Agreement, Indonesian Prenuptial Agreement Deed in
Australian Marriage Law.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis
ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Lita Arijati, SH, LL.M, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan penulis
dalam penyusunan tesis ini.
2. Atika Rasyid, Reni Rasyid, dan Ery Rasyid yang selalu menjadi teman dan
saudara kandung terbaik dan tak tergantikan yang penulis miliki.
3. Robert Reid, for being the best husband one could ever have.
4. Ibu Tati, ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan moriil yang
sangat berarti buat penulis.
5. Ayahanda H.M. Rasjid Umar SH, dear bapak, tesis dan gelar Magister
Notariat ini Ira persembahkan hanya untuk bapak.
Akhir kata, saya berharap tesis ini dapat diterima dan membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Jakarta, 14 Januari 2013
Ira Rasjid
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
DAFTAR ISI
BAB I………………………………………………………………………………….1
PENDAHULUAN………………………………………………………………..........1
A. Latar Belakang Pemilihan Judul……………………………………………….1
B. Rumusan Permasalahan………………………………………………………..4
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………5
D. Metode Penelitian……………………………………………………………...6
E. Sistematika Penulisan………………………………………………………….8
BAB II………………………………………………………………………………..10
TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN
CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA – WARGA NEGARA
AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI NEW SOUTH WALES –
AUSTRALIA………………………………………………………………………...10
A. Perkawinan Campuran di Indonesia………………………………………….10
1. Keadaan Sebelum Berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974………………..………………..………………….10
2. Keaadaan Setelah Berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974……………………………………………….……12
3. Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan
Isteri dan Suami………………………………………………………….16
4. Teori-teori dalam Hukum Perdata Internasional
yang Terkait dalam Perkawinan Campuran……………………………...18
B. Perjanjian Perkawinan Indonesia…………………………………………….35
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
1. Tinjauan Umum Perjanjian Perkawinan di Bidang
Kenotariaatan………………………………………………………….….35
2. Alasan-alasan untuk Membuat Perjanjian Perkawinan…………………..42
3. Peraturan Perkawinan di Indonesia………………………………………50
a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Perkawinan………………….51
b. Sesudah Berlakunya Undang-Undang Perkawinan………………….52
4. Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata……………………………………………………………………52
5. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974…………………………………………………….54
6. Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris……………….…..56
C. Perjanjian Perkawinan di Australia…………………………………….…….64
1. Sejarah Perjanjian Perkawinan di Australia……………………….……..66
2. Pelaksanaan Binding Financial Agreement sebagai Perjanjian
Perkawinan di Australia…………………………………………….……70
D. Analisis Kasus pada Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh
Notaris di Indonesia untuk Perkawinan di New South Wales –
Australia……………………………………………………………………...75
1. Status Personal para Pihak yang Terlibat dalam Perkawinan……………75
2. Tinjauan terhadap Akta Perjanjian Perkawinan dalam
Hukum Australia…………………………................................................76
3. Pengaruh terhadap Kewarganegaraan Isteri……………………………..79
BAB III……………………………………………………………………………….81
PENUTUP……………………………………………………………………………81
A. Kesimpulan…………………………………………………………………...81
B. Saran………………………………………………………………………….82
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..............…84
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Judul
Dengan era globalisasi yang lebih terbuka untuk lintas batas antar negara
yang satu dan negara yang lain menjadikan interaksi yang tidak bisa dihindari
antara orang dari satu warga negara dengan warga negara lainnya, dimana tidak
jarang dari interaksi tersebut sampai pada dilakukannya proses perkawinan
dengan beda kewarganegaraan . Begitu juga yang terjadi di Indonesia, telah
banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah menikah dengan Warga
Negara Asing (WNA).
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok tanah air dan
kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi
telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara
ekspatriat kaya dan orang Indonesia.
Perkawinan merupakan salah satu kaidah hukum yang termasuk dalam
bidang hukum keluarga. Perkawinan campuran di Indonesia sudah umum dan
banyak terjadi. Semakin bertambah dan berkembangnya hubungan-hubungan
dengan luar negeri, maka semakin banyak sesama Warga Negara Asing di
Indonesia, maupun antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia.
Hubungan-hubungan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang mengandung
unsur asing saat ini sudah sangat sering terjadi.
Jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan
menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, bekas teman kerja/ bisnis,
berkenalan saat berlibur, atau bekas teman sekolah/ kuliah. Dengan banyak
terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2 dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundangundangan di Indonesia.
Dalam
perundang-undangan
di
Indonesia,
perkawinan
campuran
didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.
Mengenal sistem hukum dan budaya calon pasangan merupakan
keniscayaan bagi perempuan Indonesia yang ingin menikah dengan pria warga
negara asing. Atau sebaliknya, pria Indonesia yang akan menikah dengan
perempuan warga negara asing. “Dalam perkawinan campuran, akan muncul
banyak masalah hukum1. Agar problema hukum tidak merepotkan pada saat
melangsungkan pernikahan atau sesudah membina rumah tangga, pasangan
perkawinan campuran harus memahami sistem hukum masing-masing. Perempuan
Indonesia yang ingin menikah dengan pria warga negara asing perlu memahami
hukum di negara calon suaminya, termasuk tata cara dan aturan perkawinan lintas
negara.
Dorongan agar Warga Negara Indonesia (WNI) lebih memahami sistem
hukum negara calon pasangan sebenarnya juga tersirat dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apalagi kalau perkawinan itu berlangsung di
negara calon pasangan yaitu dalam tesis ini adalah Australia. Simak saja rumusan
Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan
di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
1
Merry Girsang, Ketua Umum KPS Melati, Perkawinan Campuran, KPC Melati Center,
http://www.kpcmelaticenter.com/id/pernak-pernik-perkawinan-campuran/kenali-lebih-dekat-sistemhukum-dan-budaya-calon-pasangan.html, Hukum Online 25 April 2008.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
3 menurut hukum yang berlaku di negara perkawinan itu dilangsungkan”. Dalam
Australian Marriage Act 1961 juga disebutkan dalam Section 88C (1)(a)2 yaitu
bahwa perkawinan dianggap sah bilamana diresmikan/dilangsungkan menurut
hukum tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan.
Pemahaman perempuan Indonesia atas budaya calon suami sangat penting
artinya dalam menjalin komunikasi lanjutan. Budaya dalam berkeluarga di tiap
negara berbeda-beda. Suatu perbuatan menjadi biasa di negara tertentu, sebaliknya
menjadi aib di negara lain.
Pada masyarakat yang individualistik, segala sesuatu dilandaskan pada
tataran hukum (law). Cara berpikirnya adalah menghindari ketidakpastian. Tidak
mengherankan, perjanjian pranikah atau perjanjian kawin adalah hal yang lazim
dilakukan agar di belakang hari tidak menimbulkan masalah pelik.
Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah atau lazimnya disebut juga
Perjanjian Kawin adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri
secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling
setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing
dalam perkawinan mereka kelak.
Dengan dibuat dan ditanda-tanganinya perjanjian ini, maka semua harta
mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah,
maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak adalah
hak dan milik mereka masing-masing. Demikian pula dengan hutang-hutang dari
masing-masing pihak tersebut.
Perjanjian Kawin merupakan kesepakatan antara para pihak calon
pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan. Maka sangatlah penting agar
kedua pasangan datang dan hadir untuk mengetahui pro dan kontra serta seluk
2
Australian Marriage Act 1961, Section 88C(1)(a), Act No.12 of 1961 as amended, 2006.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
4 beluk perkawinan campuran. Sebab kedua belah pihak harus benar-benar paham
apa yang tertuang di dalam perjanjian perkawinan dan apa yang tertulis tersebut
adalah benar-benar apa yang kedua belah pihak inginkan.
Permasalahan bisa saja timbul, ketika Notaris yang bersedia
membuatkan draft perjanjian kawin, bertemu dengan calon mempelai pria yang
berkebangsaan Australia, ia malah menjadi sasaran kemarahan sang calon suami,
karena ternyata apa yang tertuang ternyata tidak seperti apa yang diinginkan oleh
pihak calon suami. Disinilah dibutuhkan sikap ketelitian dari seorang Notaris yang
hendak membuat perjanjian perkawinan bagi pasangan beda kewarganegaraan.
Notaris harus bisa merubah draft perjanjian perkawinan standard dan mengubah isi
dari apa yang diatur dalam perjanjian tersebut sesuai dengan kebutuhan dari kedua
belah pihak. Serta memperhatikan penggunaan perjanjian perkawinan tersebut
dikemudian hari. Sebab mengingat bahwa pasangan tersebut akan menikah di luar
negeri yang secara hukum maka berlaku hukum perkawinan negara dimana mereka
menikah.
Oleh karena itu penulis memilih judul dalam tesis ini, “Tinjauan
Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia terhadap
Perkawinan Campuran Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Australia
yang dilakukan di New South Wales – Australia”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas,
permasalahan yang akan diangkat adalah mengenai Perjanjian Perkawinan yang di
buat oleh notaris di Indonesia terhadap perkawinan beda warga negara yaitu antara
seorang wanita yang berkewarganegaraan Indonesia dengan seorang pria yang
berkewarganegaraan Australia yang tunduk pada peraturan perkawinan Australia
dikarenakan melangsungkan pernikahannya di Australia. Perjanjian perkawinan
dibuat sebelum pasangan melaksanakan pernikahan di Australia, pasangan tersebut
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
5 membuat perjanjian kawin yang dibuat di Indonesia oleh Notaris Indonesia.
Dengan alasan bahwa pasangan pihak istri berkewarganegaraan Indonesia dan
pasangan ini berdomisili di Indonesia. Hal tersebut membuat pasangan wanita
yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki segudang pertanyaan mengenai
kedudukan akta perjanjian perkawinan yang mereka buat di Indonesia oleh Notaris
di Indonesia di Australia.
Penulis mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang harus di perhatikan oleh Notaris di Indonesia dalam hal
pembuatan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) terhadap
perkawinan campuran/ beda warga negara?
2. Bagaimana kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris
di Indonesia terhadap perkawinan yang dilaksanakan di Australia dan
tunduk pada hukum perkawinan Australia (dalam hal ini yaitu negara
bagian New South Wales - NSW)?
Pada akhir tesis ini penulis akan membahas dan menjawab apa yang menjadi
permasalahan dalam kasus tesis ini.
C. Tujuan Penelitian
Fenomena tersebut diatas diangkat oleh penulis untuk diteliti lebih lanjut
mengenai perkawinan dua kewarganegaraan yang berbeda yaitu Indonesia dan
Australia. Harapan penulis dari penelitian tesis ini yaitu:
1.
Agar dapat membantu memberi masukan serta argumentasi untuk
menjamin rasa kepastian hukum mengenai perkawinan campuran,
supaya wanita Indonesia yang ingin menikah dengan Warga Negara
Australia dapat memahami seluk beluk hukum perkawinan di Negara
Kangguru tersebut.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
6 2. Agar dapat memberikan informasi yang kuat mengenai kedudukan
hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia
dalam perkawinan campuran Indonesia - Australia, baik dalam hukum
perkawinan Indonesia dan dalam hukum perkawinan Australia.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang
bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan bahan
Hukum Sekunder yang dimulai dengan analisis mengenai perkawinan dan
perjanjian perkawinan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, buku-buku
mengenai Hukum Perdata Internasional Indonesia, Australian Marriage Act Law
1961, dan Australia Family Law Act 1975, sedangkan untuk permasalahan
hukumnya penulis mengambil bahan dari literatur Indonesia dan literatur asing,
buku kumpulan mata kuliah Pembuatan Akta Perorangan dan Keluarga, The
Practioner’s Guide to International Law, serta peraturan pelaksanaannya dan
ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan data
primer yang bertujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang
ditelaah3 serta studi dokumen-dokumen.
Untuk bahan Hukum Primer penulis menggunakan akta perjanjian
perkawinan campuran yang dibuat oleh notaris di Indonesia untuk pasangan
dalam kasus tesis ini, serta Marriage Certificate mereka yang di keluarkan oleh
negara bagian New South Wales, Australia.
Bahan Hukum Tersier dalam tesis ini yaitu berupa berbagai artikel yang di
buat oleh pengacara-pengacara Australia yang ahli dalam bidang family law dan
artikel dari kalangan praktisi Hukum Indonesia dalam bidang Hukum Perdata,
3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 53.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
7 Hukum Keluarga dan Hukum Perdata Internasional, kamus Inggris-Indonesia,
Black’s Law Dictionary, dan ensiklopedia hukum. .4
Metode penelitian tersebut digunakan mengingat bahwa permasalahan
yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan, yaitu hubungan antara
peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya bahkan peraturan di negara
lain yang melintasi batas negara yang ada kaitannya dengan penerapannya dalam
praktek. Selain itu penelitian ini juga didukung dengan hasil wawancara yang
diperoleh dari narasumber.
Tipe penelitian yang dipergunakan adalah tipe penelitian eksplanatoris,
khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teoriteori hukum di Indonesia dan teori-teori hukum yang berlaku di Australia serta
praktek pelaksanaan yang menyangkut dengan perkawinan campuran beda
warganegara.
Alat Pengumpul Data dalam penulisan ini berupa studi dokumen yaitu
mencari dan mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan teori hukum
dan praktik pelaksanaan yang terjadi dalam perkawinan campuran.
Metode Analisis Data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah menggunakan metode analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang
menekankan pada data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, artikel,
penulis juga menekankan pada peraturan perundang-undangan.
Bentuk hasil penelitian-penelitian yang penulis lakukan adalah bentuk
normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada penelitian
4
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada), hal 13 et seq.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
8 terhadap peraturan perundang-undangan serta pandangan hukum para ahli.
Kualitatif karena analisa data berasal dari perilaku sikap dan pandangan dalam
praktek dalam rangka menerapkan peraturan perundang-undangan.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penulisan tesis ini disusun secara
sistematis
terbagi
atas
tiga
bab.
Pembagian
ini
dibuat
agar
dalam
pengembangannya dapat lebih sistematis dan terarah pada apa yang menjadi pokok
permasalahan serta dapat dihindarinya penyimpangan dari yang sudah digariskan.
Secara garis besar sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah yang
terjadi dalam masyarakat mengenai perkawinan campuran beda negara,
pokok permasalahan yang timbul dari adanya perkawinan campuran
beda negara yaitu antara Indonesia dan Australia dan metodelogi
penulisan tesis ini.
BAB 2 : TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP
PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA- AUSTRALIA YANG
DILANGSUNGKAN DI AUSTRALIA
Bab ini berisi perkawinan campuran menurut Hukum Perdata dan
Hukum Perdata Internasional, perjanjian dalam bidang kenotariatan,
perjanjian perkawinan menurut hukum di Indonesia, perjanjian
perkawinan menurut hukum Australia dan macam-macam jenis akta
perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris di Indonesia, tinjauan secara
yuridis dan analisa terhadap perjanjian kawin Indonesia yang dibuat
oleh notaris di Indonesia pada perkawinan yang dilaksakan di Australia
yang tunduk pada hukum perkawinan Australia.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
9 BAB 3 : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis mengenai pelaksanan
akta perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris di Indonesia pada
perkawinan campuran (beda Warga Negara) yang salah satu pihaknya
adalah Warga Negara Indonesia namun perkawinan tersebut tunduk
pada hukum perkawinan Australia.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
10 BAB II
TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP
PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA – WARGA
NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI
NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA
A. Perkawinan Campuran di Indonesia.
1. Keadaan Sebelum Berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan campuran diatur dalam Reglement op de Gemende
Huwelijken (GHR) (S 1898 No. 158)5.
Pasal-pasal penting dalam Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) yaitu
pasal 1,2,6 ayat (1), 7 ayat (2), 10. Dalam Pasal 1 berisi bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Pasal 2 berisi bahwa seorang
perempuan yang melangsungkan perkawinan campuran, selama perkawinan itu
belum putus, perempuan tersebut tunduk pada hukum suami, baik di bidang
hukum publik maupun hukum perdata. Intinya yaitu karena perkawinan campuran,
isteri memperoleh status suami. Terdapat anasir memilih: persetujuan/ pilihan dari
pihak
perempuan
selalu
diisyaratkan
sebelum
perkawinan
campuran
dilangsungkan.
Pasal 2 Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) ini merupakan pasal
terpenting dalam seluruh ketentuan Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR),
karena mencerminkan asas persamarataan dari semua stelsel hukum. Tidak ada
kesan mengeloni salah satu stelsel hukum. Pasal 2 Reglement op de Gemende
Huwelijken (GHR) ini merupakan kebalikan dari pasal 15 OV (S. 1840/ 10) yang
berisi bahwa seorang bukan Eropah yang ingin menikah dengan perempuan
Eropah harus tunduk lebih dahulu kepada hukum Perdata Eropah.
5
Zulfa Djoko Basuki, Hukum Perkawinan di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 79.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
11 Luas Lingkup Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR)6:
a) Aliran Luas.
Meliputi perkawinan antar golongan, perkawinan antar agama, perkawinan
antar tempat, termasuk perkawinan berbeda kewarganegaraan. Penganut:
Nederburg, Lemaire, Kollewijn dan Sudargo Gautama. Menurut Sudargo
Gautama, masalah hukum antar tempat merupakan pengaruh dari pada
percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan masyarakat
hukum setempat.
Perkawinan Antar Golongan diartikan sebagai perkawinan antara
orang-orang dari golongan penduduk yang berbeda, karena berlakunya Pasal
163 Indische Staatsregeling (IS) yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berbeda pula, Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS). Contohnya: perkawinan
antara orang-orang dari golongan bumiputera (berlaku hukum ada) dengan
orang-orang dari golongan Eropah yang tunduk pada BW (Burgerlijk
Wetboek).
Perkawinan antar tempat, misalnya perkawinan antara laki-laki
Palembang dengan perempuan Sunda. Perkawinan antar agama misalnya
perkawinan antara penduduk yang beragama Islam dengan yang beragama
Nasrani.
Perkawinan berbeda kewarganegaraan misalnya antara warga Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
b) Aliran Sempit.
Hanya berlaku untuk perkawinan antar golongan. Reglement op de Gemende
Huwelijken (GHR) tidak berlaku untuk perkawinan antar agama dan antar
tempat. Sulit dikatakan suami ikut isteri bila keduanya dari golongan yang
sama. Penganut aliran ini : Van Vollenhoven, Winckel, Carpentir Alting.
c) Aliran Setengah Luas Setengah Sempit.
Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) berlaku untuk perkawinan antar
6
Ibid, hal. 80
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
12 golongan dan perkawinan antar agama. Tidak berlaku untuk perkawinan antar
tempat. Penganut aliran ini: Van Hasselt. Dalam hukum antar tempat sering
suami ikut status isteri. Misalnya dalam kasus perkawinan antara laki-laki
Palembang dengan perempuan Sunda.
Jadi dalam kasus tesis, keadaan perkawinanan campuran di Indonesia sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
maka perkawinan antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Australia, masuk
kedalam ruang lingkup Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) dalam ruang
lingkup aliran luas, sebab meliputi perkawinan berbeda kewarganegaraan.
2. Keadaan Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia7. Dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan
menentukan mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia,
yaitu8:
1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga
negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga
negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku
di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.
2) Dalam waktu satu tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
7
Wahyono Darmabrata, dan Surini Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan ke
II, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 155.
8
Ibid., hal. 153.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
13 Ketentuan pasal tersebut diatas, jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kemiripan. Dapat dikatakan bahwa
Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan mengambil prinsip yang terdapat dalam Pasal
83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut menentukan bahwa
perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia baik antara warga
negara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain,
adalah sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri
dimana perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan, dan suami/isteri warga negara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Hal ini diatur juga dalam Pasal 23 Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 15
Tahun 1999. Setelah itu barulah dilakukan pelaporan. Dalam surat pelaporan
perkawinan akan tertulis dengan tegas bahwa surat pelaporan perkawinan ini bukan
merupakan akta perkawinan9. Dinyatakan bukan sebagai akta perkawinan karena
yang merupakan akta perkawinan adalah akta perkawinan yang dibuat dihadapan
kantor catatan sipil di luar negeri tersebut, dan bukti pelaporan itu hanya untuk
memenuhi syarat dalam Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan. Akta
Perkawinan bersama-sama dengan bukti pelaporan perkawinan dapat dijadikan
sebagai bukti bila pasangan itu ingin bercerai di hadapan pengadilan di Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai masalah pelaporan
perkawinan. Pasal 84 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri
pulang kembali di wilayah indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar
Indonesia harus dipindah bukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal
mereka10.
Kaitan Pasal 83 dan Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
dapat dipisahkan dengan prinsip dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang memandang perkawinan hanya dari segi perdatanya saja. Dengan
demikian, dapat kiranya diambil kesimpulan bahwa lazimnya perkawinan antara
9
Zulfa Djoko Basuki, op.cit., hal 91.
Ibid., hal. 154.
10
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
14 mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri tidak menjadi masalah karena
tidak memperhatikan hukum agama. Formalitas-formalitas yang berlaku di negara
tempat perkawinan dilangsungkan lebih mudah untuk dapat diterima dan
diberlakukan berdasarkan prinsip perkawinan perdata yang dianut dalam Pasal 26
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur
perkawinan berbeda agama. Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan memiliki
hubungan yang unik dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang konsepsinya
sudah berbeda dengan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang hanya
memperhatikan segi perdata dalam perkawinan. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan
menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dikalangan ahli hukum, terdapat pendapat bahwa perkawinan antara mereka
yang berbeda agama juga merupakan perkawinan campuran. Karena perbedaan
agama, merupakan perkawinan antara mereka yang tunduk pada hukum yang
berbeda, bukan hanya karena perbedaan kewarganegaraan.
Hal ini mengakibatkan pengaturan dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan dijadikan sebuah jalan
keluar bagi Warga Negara Indonesia yang ingin menikah namun berbeda agama.
Sehingga yang lazim terjadi di masyarakan yaitu pasangan berbeda agama ini
menikah di luar negeri secara sipil, setelah kembali ke Indonesia mereka melaporkan
dan mendaftarkan perkawinan mereka di Kantor Pencatatan Perkawinan di tempat
tinggal mereka.
Sehubungan dengan masalah tata cara pelaporan dan pendaftarannya itu
sendiri, diatur lebih lanjut dan rinci dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 37 yang menentukan : Perkawinan
Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada
Perwakilan Republik Indonesia. Sebagai pedoman mengenai tata cara pelaporan dan
pendaftarannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 dan 15 Peraturan Menteri Nomor
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
15 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang
Diterbitkan oleh Negara Lain.
Perkawinan campuran, meskipun dilakukan di luar negeri tetapi memiliki
aturan-aturan yang harus dipenuhi mengenai syarat-syarat sah nya suatu perkawinan
oleh negara. Syarat mengenai diri pribadi yang harus dipenuhi ialah bahwa bagi
warga negara Indonesia harus memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan di
dalam Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan bagi orang asing harus memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh hukum negara yang bersangkutan. Untuk
membuktikan bahwa persyaratan tersebut telah dipenuhi, mereka harus dapat
menunjukkan surat keterangn yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu,
menurut hukumnya yang menerapkan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi
syarat. Hal ini diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Perkawinan menentukan:
1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing telah dipenuhi.
2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan
itu, maka atas permintaan yang berkepentingan. Pengadilan memberikan
keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi
tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau
tidak.
4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai
kekuatan jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam)
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
16 bulan sesudah keterang itu diberikan.
Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa:
1) Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatatan yang berwenang.
2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan
lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau
keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4)
Undang-Undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1
(satu) bulan.
Oleh
karena
kompleksnya
masalah
perkawinan
campuran
yang
melangsungkan perkawinan diluar Indonesia, kiranya perlu mendapatkan perhatian
dan pemahaman agar justru tidak terdapat kesimpang siuran penafsiran, dan dijadikan
sebagai sarana upaya penyelundupan hukum11.
3. Terhadap Kewarganegaraan Isteri dan Suami.
Pasal 19 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia mengatur tentang perolehan kewarganegaraan Indonesia
melalui perkawinan. Ini adalah suatu hal yang didalam Undang-Undang
Kewarganegaraan yang lama tidak dikenal bagi seorang laki-laki. Perolehan
kewarganegaraan Indonesia semacam itu cukup dengan menyampaikan pernyataan
untuk menjadi Warga negara Indonesia dihadapan pejabat dengan syarat sudah
bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun
tidak berturut-turut, kecuali mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Apabila tidak
memperoleh Warga Negara Indonesia karena mengakibatkan kewarganegaraan
ganda, kepada yang bersangkutan dapat diberikan izin tinggal tetap. Ketentuan
dalam pasal ini bagi perempuan asing yang kawin dengan laki-laki Warga Negara
Indonesia tidak menyebutkan berapa tahun setelah perkawinan, seperti diatur dalam
pasal 7 Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, UU No 62 Tahun 1958,
11
Wahyono Darmabrata, dan Surini Sjarif, op.cit., hal 155.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
17 yaitu satu tahun setelah perkawinannya untuk dapat menjadi Warga negara
Indonesia apabila ia menyatakan hal untuk itu, tetapi menyebutkan jangka waktu
telah bertempat tinggal di Indonesia yang berlaku baik bagi perempuan asing
maupun laki-laki asing yang menikah dengan seorang Warga negara Indonesia.
Ketentuan ini bagi perempuan asing yang menikah dengan laki-laki Warga negara
Indonesia dapat merupakan kemunduran tetapi mungkin pula tidak bila ia telah
bertempat tinggal di Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10
(sepuluh) tahun tidak berturut-turut, ia tidak perlu menunggu jangka waktu satu
tahun setelah perkawinannya. Bagi laki-laki asing ini suatu kemudahan yang baru,
karena berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan lama, si suami tidak
mungkin menjadi Warga negara Indonesia kecuali melalui naturalisasi dengan
syarat-syarat yang ketat dan tidak ada ketentuan yang memberikan izin tinggal
tetap di Indonesia apabila ia menikah dengan perempuan Warga negara Indonesia.
Sekarang dengan telah dipenuhinya jangka waktu yang ditetapkan, si suami dapat
dengan mudah menjadi Warga negara Indonesia dengan hanya menyampaikan
pernyataan kepada Pejabat untuk menjadi Warga negara Indonesia.
Selanjutnya Pasal 26 mengatur pula tentang kehilangan kewarganegaraan baik
bagi perempuan Warga Negara Indonesia maupun laki-laki Warga negara
Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing apabila negara isteri atau
suami menganut ketentuan isteri atau suami mengikuti kewarganegaraan asing
pasangannya12. Kemudian dalam ayat 3 dan 4 diatur bahwa, bila perempuan atau
laki-laki Warga Negara Indonesia itu tetap ingin memprtahankan kewarganegaraan
Indonesianya, dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya
berlangsung dapat menyatakan kepada Pejabat, kecuali hal itu mengakibatkan ia
menjadi
bipatride.
Pasal
32
mengatur
mengenai
perolehan
kembali
kewarganegaraan yang hilang sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 butir (i) dan
12
Suatu ketentuan yang di Indonesia dulu dianut dalam Pasal 2 GHR, yang menyatakan dalam hal
suatu perkawinan campuran si isteri mengikuti status si suami baik di dalam hukum perdata maupun
hukum publik, sehingga si isteri akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianyayang mengikuti
kewarganegaraan suaminya. Dianut adanya kesatuan hukum di dalam keluarga.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
18 pasal 26 yaitu dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya dengan
mengajukan permohonan kepada menteri, atau bila berada di luar negeri ke
perwakilan Indonesia yang mewilayahi tempat tinggal si pemohon, dan bagi
pasangan yang kehilangan kewarganegaran Indonesianya karena mengikuti status
suami atau isteri dapat mengajukan kembali kewrganegaraan Indonesianya sejak
putusnya perkawinan. Tidak diperlukan prosedur naturalisasi bagi mereka13.
4. Teori-teori dalam Hukum Perdata Internasional yang terkait dengan
Perkawinan Campuran.
Sistem hukum atau aturan-aturan hukum dari suatu negara berdaulat
seringkali dihadapkan pada masalah-masalah hukum yang tidak sepenuhnya bersifat
intern-domestik tetapi menunjukkan kaitan dengan unsur-unsur asing (foreign
elements). Hubungan atau peristiwa hukum, baik di bidang hukum keperdataan
maupun non keperdataan, yang mengandung unsur-unsur transnasional itulah yang
diatur oleh bidang hukum yang dikenal dengan sebutan Hukum Perdata Internasinal
(HPI), yang dalam bahasan tesis ini adalah perkawinan campuran beda
kewarganegaraan. Jadi segala hubungan-hubungan hukum yang mengandung unsur
asing (foreign elements) masuk kedalam kaidah Hukum Perdata Internasional14.
Pengertian dari “foreign element” itu berarti suatu pertautan (contact) dengan sebuah
sistem hukum lain di luar sistem hukum negara “forum” (negara tempat pengadilan
yang mengadili perkara, dan pertautan itu sebenarnya ada di dalam fakta-fakta dari
perkara.
Di sini timbul persoalan-persoalan khas yang dapat dianggap sebagai masalahmasalah pokok Hukum Perdata Internasional, yaitu15 :
a. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan
perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing.
13
Zulfa Djoko Basuki, op.cit., hal 104-106.
Mutiara Hikmah, Artikel Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi kodifikasi hukum
Perdata Internasional bagi Indonesia, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 6, 2002, hal 65.
15
Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, 2010,
http://semutuyet.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-perdata-internasional.html
14
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
19 b. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan / atau
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur
asing.
c. Bilamana, sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan
mengakui putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang
terbit berdasarkan putusan pengadilan asing.
Masalah pokok ketiga ini berkaitan erat dengan persoalan yang mana apabila
berdasarkan pendekatan HPI ternyata hukum asing yang seharusnya diberlakukan
atau hak-hak asing yang harus ditegakkan dalam putusan perkara, timbul masalah
apakah pengadilan suatu negara harus selalu mengakui dan memberlakukan
hukum atau hak asing di wilayah yurisdiksinya. Apakah landasan bagi forum
untuk menolak atau membenarkan penerimaan atau pengakuan hukum asing
tersebut. Hal inilah yang secara singkat disebut sebagai pengakuan putusan hakim
asing (recognition of foreign judgements)
Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistem Hukum Perdata
Internasional-nya16 masing-masing. Republik Indonesia sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat juga mempunyai sistem Hukum Perdata Internasional
sendiri. Republik Indonesia sebagai bagian dari negara-negara yang melakukan
pergaulan internasional dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain, soal-soal
yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang yang tunduk
dibawah hukum yang berbeda karena keturunan mereka, kini telah berubah
menjadi persoalan yang meletak titik berat kepada perbedaan kewarganegaraan /
nasionalitas.17
Perkawinan campuran adalah perkawinan dari orang-orang yang tunduk
dibawah hukum yang berlainan. Yang dimaksud dengan berlainan disini adalah
16
Sudargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum, Edisi kedua, Cetakan I (Bandung:Alumni, 1996),
hal.171.
17
Ibid. hal.172
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
20 dulu bisa berupa beda golongan rakyat maka disebut perkawinan antar golongan,
beda agama maka disebut perkawinan antar agama, beda karena tempat kediaman
maka disebut perkawinan antar tempat, dan beda hukum yang dapat berlangsung
dalam suatu suasana internasional. Jika dua orang yang berkewarganegaraan
berbeda kemudian menikah, maka terjadilah suatu perkawinan campuran
internasional atau disebut juga perkawinan antar warga negara18. Maka yang
termasuk perkawinan campuran yang bersifat internasional adalah:
a. Perkawinan WNI dengan WNI di luar negeri
b. Perkawinan WNI dengan WNA di Indonesia
c. Perkawinan WNA dengan WNA di Indonesia
d. Perkawinan antara WNI dengan WNA di luar negeri.
Menurut teori Hukum Perdata Internasional untuk suatu perkawinan campuran
yang bersifat internasional, harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat materiil
berdasarkan hukum status personal para calon mempelai19 dan syarat formil
berdasarkan hukum dimana perkawinan dilangsungkan (Lex Loci Celebrations)20.
Ada empat macam konsep tentang ruang lingkup Hukum Perdata
Internasional yang berlainan. Keempat konsep tersebut adalah:
a. Yang paling sempit.
Pendapat ini yang dianut di negara Jerman dan Belanda. Menurut konsep ini
ruang lingkup Hukum Perdata Internasional hanya terbatas pada masalahmasalah tentang “conflict of laws” atau perselisihan hukum. Dalam hal ini,
lebih tepat dipakai istilah choice of laws, karena sebenarnya tidak ada suatu
perselisihan diantara sistem-sistem hukum yang dipertemukan, melainkan
hanya suatu pilihan diantara beberapa sistem hukum, yang mana yang
18
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Cet.4, (Bandung:Penerbit Alumni, 1987), hal.
130.
19
Marriage Act 1961, Act No. 12 of 1961 as amended, 2006, section 88D.
20
Ibid, section 88C(1)(a)
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
21 sebaiknya diberlakukan21. Maka Hukum Perdata Internasional sebenarnya
merupakan istilah untuk mengatur diberlakukannya suatu hukum yang
berlainan dari hukum sendiri. Dengan kata lain hanya mengedepankan
“rechtstoepassingrecht” yaitu untuk menentukan apa yang dianggap
hukum22.
b. Yang lebih luas.
Pendapat ini dianut terutama dalam konsep negara-negara Anglo Saxon,
seperti Inggris dan Amerika Serikat. Hukum Perdata Internasional bukan saja
terbatas pada masalah-masalah “conflict of laws”. Disamping itu terdapat
pula persoalan “conflict of jurisdiction” (persoalan mengenai kompentensi
Hakim). Menurut Rabel, maka jurisdiksi justru merupakan suatu persoalan
yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum kita tiba pada masalah hukum
yang harus dipergunakan.
c. Yang lebih luas lagi.
Pendapat ini dianut oleh negara-negara latin, seperti : Italia, Spanyol, Amerika
Selatan. Menurut konsep ini, Hukum Perdata Internasional terdiri dari tiga
bagian, yaitu: conflict of laws, conflict of jurisdiction and condition des
estrangers (mengenai status orang asing).
d. Yang terluas.
Pendapat ini dianut di dalam sistem Hukum Perdata Internasional negara
Prancis. Menurut konsep ini, ruang lingkup Hukum Perdata Internasioanl
terdiri dari: conflict of laws,conflict of jurisdiction, condition des estranges
and nationality (masalah kewarganegaraan). Sistem yang dikenal di Prancis
ini dianut oleh kebanyakan penulis, yaitu konsep yang terluas. Demikian
pula dengan Hukum Perdata Internasional Indonesia23.
21
Hal ini mengutip dari Arthur Kuhn yang berbicara tentang Hukum Perdata Internasional, yaitu: “ a
choice between two or more systems of Laws”, (Lih: Arthur Kuhn, Comparative Commentaries On
Private International Law of Conflict of Laws, New York, 1973, page 1.
22
Mutiara Hikmah, op. cit., hal 70.
23
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, buke ke VII, jilid III, cetakan ke-3,
(Bandung: Binacipta, 1987), hal 10.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
22 Dalam teori-teori khusus mengenai Hukum Perdata Internasional, masalahmasalah hukum keluarga sudah menjadi bahan kajian para sarjana-sarjana Hukum
Perdata Internasional sejak dulu. Namun keadaan sekarang justru tidak banyak
sarjana-sarjana Hukum Perdata Internasional yang tertarik untuk meneliti dan
mendalami masalah-masalah hukum keluarga24.
Dalam teori Hukum Perdata Internasional, masalah hukum keluarga diatur sebagai
berikut25:
1. Mengenai perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan, maka
untuk perkawinan tersebut harus memenuhi syarat-syarat materiil dan syaratsyarat formil. Untuk syarat materiil, maka hukum yang berlaku adalah hukum
nasional masing-masing pihak dan untuk syarat formil, maka hukum yang
berlaku adalah hukum negara tempat dimana perkawinan dilangsungkan (Lex
Loci Celebrations)26.
2. Mengenai Harta Benda Perkawinan dari suami-isteri yang berbeda
kewarganegaraan, maka hukum yang berlaku untuk mengatur harta
perkawinan pasangan tersebut adalah hukum domisili bersama pasangan
suami-isteri27.
3. Mengenai perceraian, ada dua kategori yaitu perceraian warga negara
Indonesia di Luar Negeri dan perceraian orang-orang asing di Indonesia.
Untuk perceraian orang-orang Indonesia di Luar Negeri, berlaku hukum
Indonesia (hukum nasional para pihak). Untuk perceraian orang-orang asing
di Indonesia, jika suami-isteri berkewarganegaraan sama maka berlaku hukum
nasional mereka, tetapi jika berkewarganegaraan berbeda maka terdapat
24
Mutiara Hikmah, op.cit., hal 70.
Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional, yang diterbitkan oleh Dirjen Hukum
Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, tahun 1997-1998.
26
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, buku ke- III bagian I, (Bandung:
Alumni, 1981),hal 118.
27
Ibid, hal 153.
25
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
23 pengecualian, yaitu berlaku hukum domisili bersama28. (hukum dimana
perceraiannya diajukan).
4. Mengenai pengesahan / pengakuan seorang anak, hukum yang berlaku adalah
hukum orang yang mengesahkan / mengakui29.
5. Menegenai perwalian anak, dipakai hukum yang ditentukan oleh status
personal anak yang bersangkutan30.
6. Mengenai Adopsi, hukum yang berlaku adalah hukum adoptant (hukum orang
yang mengangkat anak)31.
7. Mengenai Warisan, Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur bahwa
hukum yang berlaku adalah hukum nasional si pewaris32.
Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia, hukum mengenai perkawinan
termasuk bidang status personal. Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet
Geving Voor Indonesie 30 April 1847) berlaku dalam hal hendak dilangsungkannya
perkawinan dan akibat-akibat hukum dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur
internasional. Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie)
mengatur tentang status personel33. Dalam hal ini berlaku hukum nasional warga
negara yang bersangkutan (asas lex patriae). Pasal ini harus dianalogikan terhadap
orang asing dimana harus dinilai. Misalnya perkawinan harus berlaku hukum
nasionalnya sendiri. Pasal ini erat hubungannya dengan traktat Den Haag 1902
tentang kawin campur yang bersifat internasional (yang berlaku adalah hukum
suami). Pasal 17 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie)
mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu benda (Lex Rei Sitae). Yaitu bendabenda tetap atau tidak bergerak. Pasal 18 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet
Geving Voor Indonesie) mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu perbuatan
28
Ibid, hal 187.
Ibid, hal 80.
30
Ibid, hal 25.
31
Ibid, hal 97.
32
Ibid, hal 276.
33
Yang dimaksud dengan status personel adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang
dimanapun ia berada atau kemanapun ia pergi.
29
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
24 hukum (Locus Rechit Actum/ Lex Loci Celebrationis).
Melihat dari status personel dari kasus yang diteliti dalam tesis ini. Baik pihak
wanita yang berkebangsaan Indonesia dan pihak suami yang berkebangsaan
Australia, Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur bahwa status personel
adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/ diakui oleh
negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya.
Status personel ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan
bersikap tindak di bidang hukum yang unsur-unsurnya tidak dapat diubah atas
kemauan pemiliknya34.
Isi dan jangkauan status personel ada 3 yaitu:
a. Konsepsi luas.
Mengartikan status personel meliputi berbagai hak, permulaan / lahir dan
terhentinya / mati, kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum, perlindungan kepentingan pribadi, soal-soal yang berhubungan
dengan hukum keluarga dan perkawinan.
b. Konsep yang agak sempit.
Seperti yang dianut Prancis, tidak menganggap sebagai status personel,
hukum harta benda perkawinan, pewarisan, dan ketidakmampuan bertindak di
bidang hukum dalam hal khusus.
c. Konsepsi yang lebih sempit.
Sama sekali tidak memasukan hukum keluarga dan pewarisan dalam
jangkauan status personelnya.
Untuk menentukan status personel seseorang terdapat 2 asas yang mengatur:
a. Asas Personalitas / Kewarganegaraan (Lex Patriae)
Untuk personel suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya. Biasanya dianut
oleh negara-negara Eropa Kontinental (Civil Law) contohnya: Indonesia yang
34
Purnadi Purbacaraka dan Agus Broto Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu
Orientasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm 15.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
25 mengedepankan segi personalitasnya.
Ada dua asas menentukan kewarganegaraan seseorang:
a) Asas tempat kelahiran (Ius Soli) yaitu kewarganegaraan
seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
b) Asas keturunan (Ius Sanguinis) yaitu kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunannya.
Alasan yang mendukung asas kewarganegaraan adalah:
a) Cocok untuk perasaan hukum seseorang.
b) Sifatnya lebih permanen.
c) Lebih membawa kepastian.
b. Asas Teritorialitas / Domisili (Lex Domicili)
Status personel suatu pribadi tunduk pada hukum di negara mana ia
berdomisili. Domisili adalah negara / tempat menetapnya yang menurut
hukum dianggap sebagai pusat daripada kehidupan seseorang (center of his
life)35. Banyak dianut oleh negara Anglo Saxon. Alasan yang mendukung asas
domisili, yaitu:
a) Hukum dimana yang bersangkutan hidup.
b) Prinsip kewarganegaraan memerlukan bantuan prinsip
domisili (dalam hal terdapat perbedaan kewarganegaraan).
c) Seringkali hukum domisili sama dengan hukum hakim.
d) Cocok dalam negara pluralisme hukum.
e) Menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat
dilaksanakan.
f) Demi kepentingan adaptasi dari negara imigran.
Sudargo Gautama berpendapat bahwa sebaiknya Indonesia memakai prinsip
domisili. Tetapi perlu ditambahkan bahwa beliau tidak menolak untuk memakai
35
Ibid, hal 20.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
26 prinsip nasionalitas bahwa sistem Hukum Perdata Internasional
Indonesia36.
Hanya harus dijaga agar supaya prinsip nasionalitas tidak dipakai secara rigereous /
kaku, sehingga membawa kepada “Jurisisch Chauvinisme”. Menurut beliau
sebaikanya diadakan kombinasi antara asas kewarganegaraan dan asas domisili.
Misalnya dapat ditentukan bahwa asas kewarganegaraan terus berlaku bagi orangorang asing yang berada di Indonesia selama orang asing tersebut tidak lebih dari 2
(dua) tahun berdiam di Indonesia37. Hukum nasional negara asal mereka akan tetap
dipergunakan untuk status personel mereka dalam jangka waktu itu. Tetapi setelah
2 (dua) tahun itu dan mereka masih terus menetap disini, maka hukum domisili
yaitu hukum Indonesia yang menjadi berlaku terhadap orang asing tersebut.
Masalah dalam perkawinan campuran yang bersifat internasional baru akan
timbul bilamana terjadinya perceraian, pembagian harta dan wasiat atau
kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut. Hal-hal
seperti ini, yang menandakan adanya unsur asing, sehingga ada kemungkinan suatu
kaidah hukum asing yang berlaku bagi suatu peristiwa hukum, dinamakan titik-titik
taut.
Titik-titik taut dalam suatu peristiwa Hukum Perdata Internasional dapat
berbentuk38 :
a. Kewarganegaraan.
b. Domisili seseorang, atau domisili (tempat kediaman) suatu badan
hukum.
c. Tempat kedudukan suatu benda tetap (situs rei).
d. Bendera kapal asing.
e. Tempat suatu perbuatan dilakukan (locus actus).
36
Sudargo Gautama, Pengatar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cetakan ke-5, (Bandung:
Binacipta, 1987), hal 87.
37
Masa 2 tahun ini disesuaikan dengan peraturan-peraturan imigratoir tentang Kartu Izin Masuk.
38
Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, 2010,
http://semutuyet.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-perdata-internasional.html
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
27 f. Tempat di mana akibat suatu perbuatan hukum timbul (locus
solutionis).
g. Pilihan hukum para pihak.
h. Tempat perbuatan-perbuatan resmi dilakukan
Macam-macam titik taut dalam peristiwa Hukum Perdata Internasional, dapat
dibedakan antara :
1. Titik Taut Primer.
Adalah unsur-unsur yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum
merupakan peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan suatu
peristiwa Hukum Intern Nasional. Jadi, titik taut primer adalah titik taut
yang membedakan Hukum Perdata Internasional dari peristiwa hukum
Intern Nasional. Oleh sebab itu titik taut primer juga dinamakan titik taut
pembeda.
2. Titik Taut Sekunder.
Adalah unsur-unsur yang akan menentukan hukum manakah yang
seharusnya berlaku (lex causae) bagi peristiwa hukum perdata
internasional itu. Karena itu titik taut sekunder disebut juga titik taut
penentu. Titik taut sekunder dalam hukum perdata internasional pada
umumnya merupakan asas-asas Hukum Perdata Internasional yang
merupakan kaidah-kaidah penunjuk hukum apa yang seharusnya berlaku,
dan tidak bermaksud untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang
dimaksud.
Lex Fori adalah hukum sang hakim yang seharusnya berlaku Lex Causae
adalah hukum di mana tempat diadakan atau diajukan nya perbuatan-perbuatan resmi
yang penting. Menentukan hukum yang berlaku (Lex Cause) dengan bantuan titiktitik taut. Dalam menghadapi suatu peristiwa hukum atau kasus, pola berpikir yuridik
Hukum Perdata Internasional adalah :
a) Pertama kita mencari titik-titik taut primer menurut Lex Fori untuk
mengetahui apakah kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
28 internasional atau bukan.
b) Jika ternyata bahwa kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata
internasional, maka kita mengadakan kualifikasi fakta menurut Lex Fori.
c) Kemudian kita mencari titik-titik taut sekunder menurut Lex Fori untuk
menentukan sistem hukum yang berlaku (Lex Causae).
d) Titik-titik taut menurut Lex Causae lalu akan menentukan apakah kaedah
hukum Lex Causae, Lex Fori, atau kaidah hukum asing lain yang harus
berlaku.
e) Jika berdasarkan titik-titik taut dari Lex Causae telah dapat ditentukan kaidah
hukum materil mana yang seharusnya berlaku, hakim akan menentukan
penyelesaian masalahnya dan menjatuhkan putusan.
Salah satu bagian dari teori umum Hukum Perdata Internasional yang selalu
menarik untuk dibahas adalah masalah “Renvoi”. Masalah Renvoi atau “Penunjukan
Kembali” atau dengan kata lain Partial / Single Renvoi ; Renvoi Ersten Grades ;
Remission,
timbul karena adanya aneka warna sistem Hukum Perdata
Internasional39. Sebab tiap-tiap negara nasional di dunia ini memiliki sistem Hukum
Perdata Internasional nya sendiri-sendiri. Hal ini berarti bahwa tidak ada
keseragaman
cara-cara
menyelesaikan
masalah-masalah
Hukum
Perdata
40
Internasional . Secara khusus, dapatlah dikatakan bahwa masalah Renvoi ini timbul
sebagai akibat adanya hukum di dunia yang di satu pihak menggunakan asas
Nasionalitas (kewarganegaraan), sedangkan di pihak lain menggunakan asas
domicile untuk menentukan status dan wewenang personal seseorang.
Renvoi atau penunjukan kembali sangat erat hubungannya dengan kualifikasi
dan titik taut41. Memang sebenarnya ketiga soal ini dapat mencakup dalam satu
permasalahan, yaitu hukum manakah yang akan berlaku (Lex Cause) dalam suatu
39
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ketiga, Jilid kedua (bagian kedua),
Cetakan ketiga, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1988, hal. 2-5.
40
Sudargo Gautama, op.cit., hal 14.
41
Ibid, hal 165.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
29 peristiwa Hukum Perdata Internasional. Renvoi timbul apabila hukum asing yang
ditunjuk oleh Lex Fori, menunjuk kembali ke arah Lex Fori itu, atau kepada sistem
hukum asing lain42. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem hukum
Perdata Internasional di setiap masing-masing negara. Renvoi merupakan salah satu
pranata Hukum Perdata Internasional tradisional yang terutama berkembang di
dalam tradisi Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) sebagai pranata yang dapat
digunakan untuk menghindari pemberlakuan kaidah hukum yang seharusnya
berlaku (Lex Cause) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur Hukum Perdata
Internsional yang normal43.
Menunjuk ke arah sistem hukum tertentu, orang dapat melakukan penunjukan
kembali dengan 2 pengertian yang berbeda44:
a. Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu
sistem hukum tertentu. Penunjukan semacam ini dalam Bahasa Jerman
dinamakan sachnormenverweishung.
b. Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya, prima
facie adalah kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (Kollisionsnormen)
dari
sistem
hukum
tersebut.
Penunjukan
semacam
ini
dinamakan
gesamtverweisung.
Perlu disadari sepenuhnya bahwa doktrin renvoi harus digunakan sebagai alat
bagi hakim untuk merekayasa penentuan Lex Cause ke arah sistem hukum mana
yang dianggap memberikan putusan yang dianggap terbaik. Masalah-masalah
Hukum Perdata Internasional yang juga dimungkinkan masih dapat diselesaikan
dengan menggunakan doktrin renvoi adalah masalah validitas pewarisan
(testamenter atau intestatis), tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara
42
Bayu Seto, Dasar-dasar hukum perdata Internasional, Bandung : PT Citra Aditya bakti, 2001, hal
80.
43
Sudargo Gautama, op.cit, hal 91.
44
http://inspirasihukum.blogspot.com/2011/04/hukum-perdata-internasional-status_23.html.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
30 asing, perkara-perkara yang menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah
hukum keluarga dalam kasus tesis ini yaitu perjanjian perkawinan yang
berhubungan dengan harta perkawinan dan status personel. Dalam Hukum Perdata
Internasional, orang mengenal dua macam kemungkinan Renvoi, yaitu :
a. Penunjukan Kembali (Remission) yaitu Penunjukan oleh kaidah
Hukum Perdata Internasional asing kembali kearah lex fori)
b. Penunjukan Lebih Lanjut (Transmission).
Orang dapat menerima renvoi atau menolak renvoi bila:
a) Bila suatu sistem hukum (Lex Fori) menunjuk ke arah suatu sistem hukum
asing dan penunjukan itu langsung dianggap sebagai Sachnormverweisung
(penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern dari sistem hukum asing
itu), maka dapatlah dikatakan bahwa Hakim telah menolak Renvoi.
b) Bila hakim Lex Fori menunjuk suatu sistem hukum asing, dan penunjukan ini
dianggap sebagai suatu Gesamtverweisung (penunjukan ke seluruh sistem
hukum asing – termasuk kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasionanya),
maka ada kemungkinan bahwa kaidah Hukum Perdata Internasional dari
sistem hukum asing itu menunjuk kembali ke arah Lex Fori tersebut. Disinilah
terjadi Renvoi.
The Foreign Court Theory atau dikenal dengan istilah lain yaitu Double
Renvoi atau Total Renvoi atau The English Concept Renvoi. Foreign Court Theory
(FCT) adalah sejenis Renvoi yang dikembangkan di dalam sistem Hukum Perdata
Internasional Inggris. Teori ini didasarkan pada fiksi hukum, bahwa Pengadilan
Inggris dalam menyelesaikan suatu perkara Hukum Perdata Internasional haruslah
bertindak sekan-akan sebagai Forum / Pengadilan Asing, dan memutus perkara
dengan cara yang sama seperti suatu badan peradilan asing (yang sistem
hukumnya telah ditunjuk oleh Kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori /
Hukum Perdata Internasional Inggris). Ada dua hal yang perlu disadari dalam
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
31 pelaksanaan Doktrin Foreign Court Theory ini, yaitu45
1) Hakim harus menentukan terlebih dahulu Sistem Hukum / Badan Peradilan
Asing manakah yang seharusnya mengadili dan menyelesaikan perkara
yang dihadapi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan titik-titik taut dan
kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori. Pada tahap ini yang
sebenarnya dilakukan adalah menentukan badan peradilan mana yang
seharusnya menjadi The Proper Lex Fori atau The Foreign Lex Fori atau
lex fori asing.
2) Langkah selanjutnya haruslah dilakukan berdasarkan sistem Hukum
Perdata Internasional dari “The Foreign Lex Fori” itu. Pada tahap kedua
ini, pada dasarnya terjadi proses ulangan untuk menentukan Lex Causae
dengan menggunakan “Lex Fori Asing” itu dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan, yaitu :
a) Kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lex fori asing menunjuk
kembali kearah lex fori (Hukum Inggris)
b) Kaidah-kaidah HPI lex fori asing menunjuk lebih lanjut ke arah suatu
sistem hukum asing lain.
c) Lex Fori (Hukum Inggris) menunjuk kembali ke arah lex fori Asing,
dan lex fori asing menerima penunjukan kembali itu.
Jadi pada Foreign Court Theory, yang menjadi masalah utama bukanlah mengenai
Lex Fori (hukum Inggris) menerima atau menolak Renvoi, melainkan apakah Lex
Fori asing menerima / menolak Renvoi.
Untuk masalah kualifikasi masalah hukum ini ditangani secara lebih khusus,
karena dalam perkara-perkara Hukum Perdata Internasional orang selalu berurusan
dengan kemungkinan berlakunya lebih dari satu sistem atau peraturan hukum dari
dua negara yang berbeda untuk mengatur sekumpulan fakta tertentu46. Kualifikasi
sebenarnya adalah melakukan translation atau penyalinan daripada fakta-fakta
45
46
Sudargo Gautama, op.cit., hal 102.
Bayu Seto, op. cit., hal 47.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
32 sehari-sehari dalam istilah-istilah hukum.
Dalam garis besar terdapat 3 (tiga) macam kualifikasi:
a. Kualifikasi menurut Lex Fori (hukum hakim).
Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang
mengadili perkara (Lex Fori), sebab kualifikasi adalah bagian dari hukum
intern forum. Kualifikasi dilakukan berdasarkan Lex Fori karena alasanalasan47:
a.1. Kesederhanaan (simplicity), sebab bila kualifikasi dilakukan berdasarkan
Lex Fori maka pengertian / batasan tentang hukum yang digunakan
adalah pengertian-pengertian yang telah dikenal oleh hakim.
a.2. Kepastian (certainty), sebab orang - orang yang berkepentingan dalam
suatu perkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa
hukum apa suatu peristiwa hukum akan dikualifikasikan oleh hakim,
beserta segala konsekuensinya.
b. Kualifikasi menurut Lex Cause (hukum yang dipergunakan untuk
menyelesaikan persoalan Hukum Perdata Internasional bersangkutan).
Teori ini beranggapan bahwa setiap kualifikasi sebaiknya dilakukan sesuai
dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan
dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan yaitu untuk menentukan
kaidah Hukum Perdata Internasional mana dari Lex Fori yang erat kaitannya
dengan kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini
dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang telah
dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah
lembaga hukum tersebut ditetapkan barulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum
apa diantara kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori yang harus
digunakan untuk menyelesaikan perkara.
47
Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com,
http://semutuyet.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-perdata-internasional.html.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
2010,
Universitas Indonesia
33 c. Kualifikasi secara Otonom berdasarkan Comparative Method atau Analytical
Jurisprudence.
Kualifikasi ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu. Menurut para
penganut teori ini, tindakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus
dilakukan secara terlepas dari kaitannya terhadap suatu system hukum lokal /
nasional tertentu (Otonom). Artinya, dalam Hukum Perdata Internasional
seharusnya ada pengertian-pengertian hukum yang khas dan berlaku umum
serta mempunyai makna yang sama di manapun di dunia.
Ide yang menarik (dan ideal) ini dalam praktek sulit diwujudkan sebab :
a) Menemukan dan menetapkan pengertian-pengertian hukum yang
dapat dianggap sebagai pengertian yang berlaku umum, adalah
pekerjaan yang sangat sulit dilaksanakan.
b) Hakim yang hendak menggunakan cara kualifikasi / sistem
kualifikasi ini harus mengenal semua system hukum di dunia agar ia
dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui di seluruh
dunia.
Sudargo Gautama beranggapan bahwa walaupun teori kualifikasi ini sulit
dijalankan, tetapi hal yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah cara pendekatan /
sikap seperti itu perlu dibina dalam Hukum Perdata Internasional, walaupun
seseorang akan mengkualifikasikan sekumpulan fakta berdasarkan Lex Fori
sekalipun. Artinya konsep-konsep Hukum Perrdata Internasional jangan diartikan
hanya berdasarkan pengertian Lex Fori belaka, tetapi harus juga disandarkan pada
prinsip-prinsip yang dikenal secara universal, dengan memperhatikan konsepsikonsepsi di dalam sistem hukum asing yang dianggap hampir sama (Analogous)
Kualifikasi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu48:
a. Kualifikasi Primer
Adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang
48
Sudargo Gautama, op. cit., hal 207.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
34 harus dipergunakan.
b. Kualifikasi Sekunder.
Adalah apabila sudah diketahui hukum asing manakah yang harus
dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum
asing tertentu49.
Beberapa hal yang menyebabkan rumitnya persoalan kualifikasi Hukum Perdata
Internasional adalah :
a. Berbagai sistem hukum menggunakan istilah (terminologi) hukum yang sama
atau serupa, tetapi untuk menyatakan hal yang berbeda. Misalnya istilah
domisili berdasarkan hukum Indonesia yang berarti tempat kediaman seharihari (Habitual Residence), dibandingkan dengan pengertian domicile dalam
hukum Inggris, yang dapat berarti Domicile of Origin, Domicile of
Dependence, atau Domicile of Choice.
b. Berbagai sistem hukum mengenal konsep / lembaga hukum tertentu yang
ternyata tidak dikenal di dalam sistem hukum yang lain.
c. Berbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara
faktual sama, tetapi dengan menetapkan kategori yuridik yang berlainan.
d. Berbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda-beda,
untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama.
e. Berbagai sistem hukum menempuh proses / prosedur yang berbeda-beda
untuk mewujudkan atau menerbitkan hasil atau status hukum yang pada
dasarnya sama.
Ketertiban umum adalah kepentingan umum berkaitan dengan hal-hal yang
tidak dapat disentuh dari ketentuan-ketentuan Lex Fori sehingga menyebabkan
ketentuan asing yang seharusnya diberlakukan tetapi tidak dapat diberlakukan karena
bertentangan dengan asas-asas Hukum Perdata Internasional sang hakim. Gautama
mengatakan bahwa, lembaga kepentingan umum haruslah berfungsi sebagai rem
49
Sudargo Gautama, Ibid, hal 127.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
35 darurat dalam suatu kereta api yang tidak boleh dipergunakan setiap saat. Karena
kalau digunakan setiap saat akan mengganggu pergaulan internasional. Dengan
demikian, sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan dalam menyelesaikan
masalah Hukum Perdata Internasional tidak harus selalu dipergunakan. Hukum asing
tidak selalu dipakai, apabila bertentangan dengan kepentingan umum dari hukum si
forum50.
Jadi dari uraian diatas mengenai teori- teori Hukum Perdata Internasional
yang terkait dalam masalah hukum keluarga dalam tesis ini khususnya adalah
perjanjian perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Maka hukum yang berlaku
pada kasus dalam tesis ini adalah hukum perkawinan Australia, dimana
perkawinannya dilangsungkan dan sah menurut hukum Australia di negara bagian
North South Wales. Bilamana terjadi perceraian, maka perceraian hendaknya di
ajukan di negara setempat yaitu Australia.
B. Perjanjian Perkawinan di Indonesia
1. Tinjauan Secara Umum Perjanjian Perkawinan di Bidang Kenotariatan.
Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kemungkinan
kepada calon suami isteri untuk dalam mengatur harta yang akan dibawa dalam
perkawinan menyimpang dari prinsip pokok yang terkandung dalam ketentuan
Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Penyimpangan yang
dimaksud harus dituangkan dalam perjanjian yang disebut perjanjian perkawinan.
Jadi perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan atau dibuat oleh
calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan, yang bertujuan untuk
mengatur hak dan kewajiban suami isteri atas harta kekayaan masing-masing yang
dibawa ke dalam perkawinan, menyimpang dari prinsip harta campuran bulat51.
Untuk mengetahui apakah kita berhadapan dengan perjanjian atau bukan, kita perlu
50
http://dogelblast.blogspot.com/2010/10/hukum-perdata-internasional.html
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata, Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban
Suami Isteri Harta Benda Perkawinan, Jilid 1, Penerbit Rizkita, Jakarta, 2009, hal 161.
51
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
36 mengenali unsur-unsur perjanjian. Unsur-unsur tersebut terdiri atas52:
a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih.
b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak.
c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum.
d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain
atau timabal balik, dan
e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.
Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu
pernyataan kehendak beberapa orang (duorum vel plurium in idem placitum
consensus). Artinya perjanjian hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua
orang atau lebih atau perjanjian dibangun oleh perbuatan dari beberapa orang.
Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. Pengertian
tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata,
yang berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian harus
dibedakan dari perbuatan hukum sepihak. Disamping itu, perbuatan hukum sepihak
ini pun jangan dipersamakan dan dikacaukan dengan perjanjian sepihak. Tindakan
hukum sepihak adalah pernyataan kehendak dari cukup satu orang saja. Dan
pernyataan ini menimbulkan akibat hukum.
Tindakan hukum sepihak mencakup perbuatan-perbuatan, seperti penerimaan
atau warisan, membuat suatu wasiat, pengakuan anak luar kawin, dan pernyataan
hapusnya suatu perjanjian. Sebenarnya yang dimaksud dengan “dua orang atau
lebih” adalah “dua pihak atau lebih”. Dalam praktek kenotariatan lazim, penandatanganan akta dapat dilakukan oleh penghadap. Keadaan demikian belum tentu
berarti bahwa perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur dua orang (pihak) atau
52
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT
Citra Aditya Bakti, Cet I, th 2009,
hal 5.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
37 lebih. Perjanjian tetap terjadi walau yang bertindak hanya seorang, yakni dalam hal
ini seorang (penghadap) yang selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga bertindak
dalam kedudukan pihak lain, misalnya mewakili berdasarkan kuasa. Dengan kata
lain, seorang yang bertindak untuk mewakili dua pihak merupakan kelaziman
dalam praktek kenotariatan. Dalam komparisinya, yaitu bagian pada akta notaris
yang menguraikan kedudukan dan kewenangan para pihak.
Unsur kedua yaitu kata sepakat tercapai jika pihak yang menyetujui apa yang
ditawarkan oleh pihak lainnya. Dengan kata lain, para pihak saling menyetujui.
Namun kehendak para pihak saja tidaklah cukup. Kehendak tersebut harus pula
dinyatakan. Kehendak saja dari para pihak tidak akan menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian terbentuk setelah para pihak saling menyatakan kehendaknya dan
adanya kesepakatan antar mereka. Pembeli berhak mendapatkan benda yang
dibelinya dan berkewajiban membayar harganya. Di lain pihak, penjual
mengharapkan diterimanya harga jual beli, tetapi berkewajiban menyerahkan benda
yang dijualnya. Tanpa tercapainya kata sepakat diantara penjual dan pembeli tidak
akan terjadi jual beli. Sebaliknya, jika tercapainya kata sepakat tidak bergantung
pada para pihak terkait, tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum tersebut
adalah perjanjian. Jadi perlu ditekankan bahwa pada perjanjian, kata sepakat
bergantung pada para pihak. Pengertian kata “perbuatan” merupakan perbuatan
atau tindakan hukum, yang tidak hanya menunjukan akibat hukum yang
“disepakati”, dan merupakan ciri dari sahnya perjanjian sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari bunyi Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suatu
perjanjian dapat juga dinamakan persetujuan karena dua pihak saling setuju
melakukan sesuatu53.
Unsur ketiga yaitu keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat
hukum. Tidak semua janji di dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum.
53
Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 1.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
38 Memang janji yang dapat dibuat seseorang dapat memunculkan kewajiban sosial
atau kesusilaan. Akan tetapi, hal itu muncul bukan sebagai akibat hukum. Ada
kemungkinan para pihak tidak sadar bahwa janji yang dibuatnya berakibat hukum.
Kesemua itu bergantung pada keadaan dan kebiasaan di dalam masyarakat. Faktor
itulah yang harus diperhitungkan untuk mempertimbangkan apakah suatu
pernyataan kehendak yang muncul sebagai janji akan memunculkan akibat hukum
atau sekedar kewajiban sosial dan kemasyarakatan. Di dalam praktik kita juga
mengenal Gentlemen’s Agreement. Dari segi muatannya, harus dibedakan
Gentlemen’s Agreement yang hanya memunculkan kewajiban moril dengan
memunculkan kewajiban hukum. Pembedaan ini bergantung pada maksud dari para
pihak. Disamping itu, dikenal pula letter of intent yang sering kali merupakan hasil
perundingan dan bukan merupakan tujuan akhir dari para pihak. Bentuk letter of
intent demikian sebagai suatu hasil perundingan dimaksudkan untuk memberi dasar
dan memberikan struktur pada perjanjian yang akan dituju oleh para pihak.
Unsur yang keempat yaitu akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu
dan atas beban yang lain atau timbal balik. Keinginan atau kemauan para pihak saja
tidaklah cukup untuk memunculkan akibat hukum. Untuk terbentuknya perjanjian
diperlukan pula unsur bahwa akibat hukum tersebut adalah untuk kepentingan
pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat timbal balik. Akibat
hukum perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak
ketiga, lagi pula tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga. Ini merupakan
asas umum dari hukum kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315
Kitab Undang-Undang Perdata jo Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya.
Unsur yang terakhir yaitu dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundangundangan. Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun
undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus di buat
dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai bentuk
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
39 yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlaknya bagi
terjadinya perbuatan hukum tersebut (solemnitas causa, securitas causa).
Beberapa contoh perjanjian yang harus dilakukan dengan akta notaris:
1. Perjanjian Kawin.
Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Pasal 147 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Hibah.
Kecuali pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan
utang atas tunjuk dari tangan ke tangan. Yaitu ketentuan Pasal 1682 dan Pasal
1687 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Pendirian Perseroan Terbatas.
Pasal 7 butir 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007.
4. Jaminan Fidusia.
Pasal 5 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
5. Pemisahan dan Pembagian Warisan dalam hal tertentu.
Pasal 1071 jo Pasal 1072 dan Pasal 1074 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999
tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
Undang-undang adakalanya hanya mensyaratkan bentuk tertulis. Artinya,
terbuka pilihan untuk membuat perjanjian dengan akta otentik atau akta dibawah
tangan, seperti cessie (Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata),
perdamaian (dalam Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan
Perjanjian Kawin (Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan). Perjanjian di
bidang hukum kebendaan dan hukum keluarga (misalnya, perjanjian kawin) pada
umumnya diwajibkan dilakukannya dalam bentuk tertentu.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
40 Tidak dilakukannya perbuatan hukum dalam bentuk yang diwajibkan oleh
undang-undang54 akan mengakibatkan batalnya perbuatan hukum tersebut55.
Mengenai sanksi terhadap batalnya tindakan hukum (tertentu) yang harus
dibuat dalam bentuk tertentu diatur, antara lain, di dalam ketentuan Pasal 617 ayat
1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa: “Tiap-tiap akta dengan mana
kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau dipindah
tangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan”. Kadang
disebutkan secara tegas sanksi batalnya perbuatan hukum bilamana kewajiban
tersebut dilanggar, misalnya, seperti yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1682
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Tiada suatu hibah, kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya
dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Pasal 147 ayat 1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Ancaman kebatalan, setiap perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung”.
Pasal 148 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, perubahan
perjanjian kawin juga harus dibuat secara akta notariil.
Ketentuan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa: “
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Menurut
pendapat ahli hukum Perancis, perkawinan merupakan suatu lembaga (institution).
Van Mourik menyatakan bahwa perkawinan (sebagai suatu perjanjian) terbentuk
dengan dipenuhinya formalitas tertentu.56 Ada argumen bahwa karena pernikahan
adalah kesepakatan, maka perkawinan dalam arti umum adalah perjanjian di bidang
hukum keluarga. Namun, perkawinannya sendiri bukanlah suatu perjanjian
obligatoir, melainkan harus dipandang sebagai suatu contractus sui generis. Hal ini
pernah dikemukakan oleh ilmu hukum atau doktrin, karena jika dilihat dari sudut
54
Ketentuan Pasal 3:39 ayat (1) NBW menyebutkan dengan jelas bahwa:
“Kecuali ditentukan lain di dalam undang-undang, maka semua perbuatan hukum yang
tidak dilakukan dalam bentuk yang diharuskan adalah batal”
55
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti,
2008,hal. 363-389.
56
Ibid., hal 16.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
41 harus dipenuhinya syarat persetujuan bebas atau kata sepakat untuk dapat
melangsungkan perkawinan secara sah, maka tampaknya perkawinan itu
merupakan suatu perjanjian. Akan tetapi jika diteliti lebih jauh, maka jelas tampak
bahwa hakekat perkawinan bukanlah merupakan suatu perjanjian sebab tidak
mengandung hakekat yang sesungguhnya dari sutu perjanjian yaitu adanya isi
perjanjian yang seluruhnya ditentukan oleh pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak57.
Perkawinan yang didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
mengandung beberapa aspek yang perlu diperhatikan, seperti:
1. Persetujuan untuk menikah adalah perbuatan hukum, tetapi juga
2. Akibat daripadanya, hubungan hukum yang timbul di antara para pihak-nya,
dan
3. Hubungan hukum tersebut merupakan peristiwa hukum yang hampir
seluruhnya diatur undang-undang dan bersifat memaksa.
Akibat hukum dari perjanjian perkawinan adalah terikatnya para pihak selama
mereka berada dalam ikatan perkawinan. Perkawinan yang merupakan contractus
sui generis mempunyai kekhususan yang berbeda dengan perjanjian obligatoir,
diantaranya:58
1. Subjek hukum dari perkawinan telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu
seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
2. Para pihak yang telah terikat dengan perkawinan tak bolehlah salah satu pihak
melakukan perkawinan dengan orang lain, terkecuali dengan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang.
3. Perkawinan tersebut harus dilangsungkan dihadapan pejabat tertentu dan
dengan memenuhi prosedur tertentu.
4. Akibat hukum perkawinan, yakni yang merupakan hak dan kewajiban para
pihak telah ditentukan secara memaksa oleh undang-undang.
57
58
Wahyono Darmabrata, op.cit., hal. 60-61.
Herlien Budiono, op.cit., hal 17.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
42 Jadi perjanjian perkawinan adalah masuk dalam kategori perjanjian secara
umum, namun ditentukan secara bentuknya yaitu berupa akta otentik. Sedangkan
isinya merupakan kesepakatan para pihak mengenai apa yang ingin diatur
mengenai harta benda para pihak selama baik terikat tali perkawinan maupun
setelah putusnya tali perkawinan. Sedangkan perkawinannya itu sendiri bukanlah
merupakan kategori perjanjian.
2. Alasan-Alasan untuk Membuat Perjanjian Perkawinan.
Perkawinan yang dilakukan oleh suami-isteri secara sah akan membawa
konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang
hukum kekayaan. Suami-isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan
mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama
perkawinan. Tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya konflik sebelum
melakukan perkawinan adalah dengan membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian
perkawinan belum menjadi lembaga hukum yang terbiasa dilakukan di masyarakat
Indonesia. Meskipun perjanjian perkawinan diatur jelas dalam Undang- Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang
terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi. Oleh karena itu masalah
perjanjian perkawinan oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap tidak etis
dan pamali. Karena bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang bertengkar
ketika ide perjanjian perkawinan dilontarkan, namun bisa merembet menjadi
masalah keluarga antara calon besan. Sebab perjanjian perkawinan dianggap
tindakan materialistis.
Tetapi dengan semakin meningkatnya angka perceraian, meningkatkan
keinginan orang untuk membuat perjanjian perkawinan. Terutama dengan
bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini semakin kompleks
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
43 dan rumit. Diperparah dengan adanya globalisasi yang mementingkan semangat
individualistis dan materialistis, maka pola hidup pasangan calon suami-isteri pun
mulai berubah. Kini banyak pasangan muda yang sering menyatakan dirinya
sebagai orang modern, membuat surat perjanjian kawin. Dengan berbagai alasan
mereka membuat perjanjian kawin kepada masing-masing pasangannya. Hal ini
dikarenakan59:
a. Proses Individualistis
Proses individualistis ialah proses kemandirian untuk membedakan harta yang
didapat oleh suami-isteri masing-masing.
b. Proses Kapitalistik
Proses kapitalistik ialah proses untuk mempertahankan harta suami-isteri dari
kepailitan/ untung-rugi
c. Proses Aktualisasi
Proses aktualisasi ialah proses untuk mengemukakan keinginan dari pribadi
masing-masing suami-isteri terhadap kelangsungan mengenai harta yang dia
peroleh.
Gejala ini terlihat pada masyarakat tertentu seperti selebritis, pengusaha dan
lain-lain. Mereka berpandangan bahwa dengan membuat perjanjian perkawinan,
suami-isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka dapat berbagi
rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati tanpa harus merugikan salah
satu pihak.
Dengan adanya perjanjian perkawinan hubungan suami - isteri akan terasa
aman karena jika suatu saat hubungan mereka retak bahkan berujung pada
perceraian, maka ada sesuatu yang dapat dijadikan pegangan dan dasar hukum60.
59
Heru Kuswanto, Perjanjian Kawin, Modul Hukum Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas
Narotama, http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id, Surabaya, 2002
60
Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jakarta : Varia Peradilan No
273 edisi Agustus 2008.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
44 Perjanjian perkawinan mempunyai cukup manfaat antara lain61:
1) Dapat menimbulkan sikap saling terbuka antar pasangan dalam hal keuangan.
2) Menghindari sifat boros salah satu pasangan. Dalam hal salah satu pasangan
mempunyai indikasi boros, maka perjanjian ini dapat menyelamatkan rumah
tangga / perkawinan mereka nantinya. Dengan adanya perjanjian ini, maka
pihak yang boros harus mentaati semua aturan-aturan yang sudah disepakati
dalam perjanjian perkawian.
3) Menghindari dari maksud buruk salah satu pasangan. Seringkali pernikahan
menjadi suatu saran untuk memperoleh keuntungan atau kekayaan dari pihak
lain. Misalnya dengan menikah, tapi kemudian mengajukan gugatan cerai
untuk mendapatkan harta gono-gini.
4) Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum. Apabila salah satu pihak
mengajukan kredit (misalnya kredit rumah), biasanya akan dilakukan
penandatanganan perjanjian kredit oleh suami-isteri sehingga utang kredit
tersebut ditanggung bersama. Namun, dengan adanya perjanjian perkawinan,
maka yang mengajukan kredit bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan
bukan menjadi utang bersama.
Pada umumnya perjanjian kawin dibuat:
a. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak
daripada pihak lain.
b. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreng) yang cukup
besar kedalam perkawinan.
c. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang
lain tidak tersangkut.
d. Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan
bertanggung jawab sendiri-sendiri.
61
Mike Rini, Perlukah Perjanjian Pranikah, Will You Say “I do” to Prenuptial Agreement, dikutip dari
Danareksa.com, http://www.perencanakeuangan.com, 2002.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
45 Warga Negara Indonesia yang ingin melangsungkan pernikahan dengan
Warga Negara Asing, perjanjian kawin atau Prenuptual Agreement bahkan
menjadi hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan, dengan dibuatnya perjanjian
kawin tersebut, maka suami / isteri yang berkewarganegaraan Indonesia dapat
tetap memiliki tanah di wilayah Indonesia (dengan status Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan) ataupun saham di dalam Perusahaan yang berstatus PT
Indonesia.
Alasannya:
1. Untuk Tanah Hukum tanah di Indonesia menganut asas larangan pengasingan
tanah (gronds verponding verbood) yang artinya melarang tanah-tanah di
Indonesia untuk dimiliki oleh orang-orang yang bukan berkewarganegaraan
Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 26 ayat 3 Undang-Undang No.
5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa dalam hal
seseorang karena perkawinan, pewarisan atau dengan cara lain kehilangan
kewarga negaraan Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun dia harus
mengalihkan tanahnya kepada pihak ketiga atau tanah tersebut jatuh ke
negara.
2. Untuk saham dalam PT Indonesia Salah satu syarat untuk memiliki saham
dalam suatu PT Indonesia adalah: yang bersangkutan adalah warga negara
Indonesia. Apabila terdapat unsur asing dalam saham tersebut, maka PT
tersebut harus merubah statusnya menjadi PT. PMA (Penanaman Modal
Asing).
Hal ini disebkan oleh karena hukum di Indonesia menganut sistem
percampuran harta, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 Kitab UndangUndang Hukum Perdata: “mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar
mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”. Maka
berdasarkan pasal tersebut berarti bahwa kekayaan suami isteri yang dibawanya
kedalam perkawinan itu dicampur menjadi sati menjadi harta persatuan / harta
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
46 kekayaan bersama diantara mereka. Bila mereka bercerai, meskipun baru 1 (satu)
bulan perkawinan, maka kekayaan mereka itu harus dibagi dua, masing-masing
setengah bagian.
Perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam
hukum perjanjian buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sebagaimana
Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak
melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang. Biasanya berisi
pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa
perkawinan, antara lain62 :
a. Tentang pemisahan harta kekayaan. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh
sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum
pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang
didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta
apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.
b. Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan
atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset
baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan,
perceraian, atau kematian.
c. Tetapi untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak
dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam
Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian
perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap
terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami
menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT isteri dapat
62
Mike Rini, Ibid.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
47 membantu suami dalam menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa
diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses
cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjikan tentang bagaimana cara
pembagian harta.
d. Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian
pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi
tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang
yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa
pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.
e. Tidak terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa
meliputi hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama
perkawinan, antara lain hak dan kewajiban suami-isteri dalam perkawinan,
tentang pekerjaan, tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal
sebagaimana diatur dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak
adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama
pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian
ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah.
f. Pada perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab
terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi
pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada
prinsipnya semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan,
kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga isteri juga ikut bertanggung
jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan
anak.
Dalam membuat perjanjian pranikah perlu dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu63 :
a. Keterbukaan.
Dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun
sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaaan masing-masing pihak
63
Mike Rini, Ibid.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
48 sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan
meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima
warisan. Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak
sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang
bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar Anda tahu
persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan
berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya,
b. Kerelaan.
Perjanjian pranikah harus disetujui dan ditanda-tangani oleh ke dua belah
pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa,
karena
diancam
atau
berada
dalam
tekanan
sehingga
terpaksa
menandatanganinya, perjanjian pranikah bisa terancam batal karenanya,
c. Pejabat yang objektif.
Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga
obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian pranikah bisa tercapai
keadilan bagi kedua belah pihak,
d. Notariil.
Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus
disahkan oleh notaris. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan
perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian pra nikah juga
harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (Kantor Urusan Agama
maupun Kantor Catatan Sipil).
Kompleksitas permasalahan hukum yang terjadi didalam perkawinan
campuran, baik yang menyangkut persoalan kewarganegaraan, harta benda
perkawinan, hak-hak isteri dan anak dalam perkawinan maupun perlindungan hukum
yang diberikan pada mereka setelah perkawinan berakhir karena terjadinya perceraian
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
49 ataupun salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia64, menjadi suatu
kendala sendiri dalam penyelesaiannya. Mengingat tidak ada aturan khusus yang
mengatur secara tersendiri mengenai perkawinan campuran dalam hukum positif
Indonesia, maka dalam berbagai kasus yang terjadi, para praktisi hukum selalu
merujuk pada beberapa peraturan yang berhubungan dengan
substansi yang
ditanganinya, seperti misalnya :
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur
tentang keabsahan perkawinan merujuk pada pelaksanaannya yang tertuang
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
b. Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Juncto Peraturan Pemerintah No.37
Tahun 2007.
c. Peraturan Presiden No.25 Tahun 2008 masalah pencatatan dan perkawinan di
luar negeri.
d. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria berikut
aturan tehnisnya, , yang mengatur kepemilikan property bagi Warga Negara
Asing yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan
di Indonesia, dan Peraturan Mentri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.7 dan No.8 Tahun 1996.
Adanya unsur asing dari salah satu pihak, apakah dari pihak suami atau
dari pihak isteri, merupakan suatu syarat mutlak suatu perkawinan disebut sebagai
perkawinan campuran. Oleh karena itu untuk mendapatkan legalitas dan
keabsahan hukum perkawinan campuran maka perkawinan tersebut harus diakui
oleh dua sistim hukum yang berasal dari masing-masing negara pasangan.
Legalitas suatu perkawinan campuran, sangat menentukan dalam
kepemilikan properti di Indonesia, karena aturan dua hukum yang berkaitan
64
Retno S Darussalam, Perkawinan Campuran dan Permasalahan Hukumnya, Dharma Wanita
Persatuan KJRI Dubai, Konsulat Jendral Republik Indonesia, Dubai, 06 Desember 2011,
http://www.dwp.ae.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
50 dengan perkawinan campuran hanya dapat diberlakukan bila para pelaku
perkawinan tersebut melangsungkan perkawinan secara sah menurut hukum
Indonesia. Terhadap perkawinan campuran yang tidak sah, dapat diartikan bahwa
menurut hukum Indonesia, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi atau
tidak pernah ada.
3. Peraturan Perkawinan di Indonesia
Pembinaaan terhadap bidang hukum keluarga khususnya hukum perkawinan
adalah konsekuensi logis dan sekaligus merupakan cita-cita bangsa Indonesia untuk
memiliki sautu peraturan hukum yang bersifat nasional. Hal tersebut berarti bahwa
peraturan yang dicita-citakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, yaitu
unifikasi. Cita-cita unifikasi selanjutnya diwujudkan dalam dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dengan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanannya. Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam Lembaran
Negara Nomor 1 tahun 197465.
Mengenai cita-cita unifikasi ini K. Wantjik Saleh mengatakan bahwa;
unifikasi dalam Undang-Undang Perkawinan adalah unifikasi yang unik, dengan
menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan
yang berketuhanan Yang maha Esa. Lagi pula unifikasi tersebut bertujuan hendak
melengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan,
karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan jaman66.
Ditinjau dari sudut hukum adat, Ter Haar memberikan pandangan yang
berbeda dengan menyatakan, bahwa perkawinan tidak semata-mata sebagai
65
66
J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal:46.
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 3.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
51 perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus perikatan
kekerabatan dan ketetanggaan. Perkawinan oleh karenanya, tidak hanya membawa
akibat dalam hukum keperdataan seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta
bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut
hukum adat67. Sementara menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan suci
sebagai suatu perikatan jasmani dan rohani.
a. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan.
Sebelum Undang-Undang Perkawinan di Indonesia berlaku, berbagai
macam peraturan perundang-undangan antara lain:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya dalam buku I
yang berjudul tentang orang
b) Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Reglement
Staatblad 1898 Nomor 158).
c) Ordonasi Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijke
Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74) yang
merupakan peraturan perkawinan untuk yang beragama Kristen.
Perundang-undangan tersebut diatas diberlakukan berdasarkan Pasal II dan
Pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 66
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara garis
besar menentukan bahwa: “ untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonasi Ordonasi
Perkawinan Kristen Indonesia, Peraturan Perkawinan Campuran dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku. Jadi dapat
ditafsirkan bahwa sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut maka peraturan-peraturan
67
Hilam Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat Hukum
Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 8.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
52 tersebut masih tetap berlaku.
b. Sesudah berlakunya Undang-Undang Perkawinan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan atau
hukum keluarga di Indonesia yang diberlakukan setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain:
a)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
Tambahan Lembaran negara Nomor 3019
b)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, lemabaran Negara republik Indonesia tahun 1975
Nomor 12, tambahan Lembaran negara Nomor 3050.
c)
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai Negeri Sipil
d)
Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tanhun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai negeri Sipil
4. Perjanjian Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tegas menetapkan,
bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancama52n
kebatalan.
Syarat tersebut dimaksudkan agar 68:
a. Perjanjian kawin tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik,
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.
b. Agar terdapat kepastian hukum/ tentang hak dan kewajiban suami 68
Heru Kuswanto, Perjanjian Kawin, Hukum Perkawinan, Modul Hukum Perkawinan, Fakultas
Hukum Universitas Narotama, Surabaya, http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
53 isteri atas harta benda mereka.
c. Untuk mencegah perbuatan tergesa-gesa, oleh karena akibat dari
perjanjian akan mengikat para pihak.
d. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.
e. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan hukum.
Selanjutnya Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) menyebutkan, bahwa perjanjian kawin tersebut harus dibuat sebelum
perkawinan berlangsung, dan mulai berlaku semenjak perkawinan dilangsungkan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
terkandung asas-asas yang menentukan bahwa kedua belah pihak bebas untuk
menentukan isi dari perjanjian kawin supaya perjanjian tersebut tidak cacat hukum,
kebebasan membuat isi perjanjian kawin tersebut harus dibatasi dengan ketentuanketentuan sebagai berikut:
a. Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban.
b. Isi perjanjian kawin memuat mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan
suami sebagai kepala rumah tangga (maritale macht)
c. Tidak membuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta
peninggalan keluarga
d. Tidak membuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih
besar dari pada bagian aktivanya.
Megenai boleh tidaknya perjanjian perkawinan dirubah selama perkawinan
Hal tersebut diatur pada Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
“Setelah
perkawinan
berlangsung,
perjanjian
perkawinan
dengan
cara
bagaimanapun, tak boleh diubah”. Perjanjian kawin harus diikuti dengan
perkawinan dan perjanjian kawin tidak akan berlaku jika tidak diikuti dengan
perkawinan. Hal ini tertera pada Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
54 yaitu: “Perjanjian perkawinan, seperti pun hibah-hibah karena perkawinan tidak
akan berlaku, jika tidak diikuti oleh perkawinan”. Yang dapat membuat perjanjian
kawin adalah mereka yang memenuhi syarat untuk menikah pada waktu perjanjian
itu dibuat. Pasal 151 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan demikian:
“Anak belum dewasa, yang memenuhi syarat-syarat untuk kawin, cakap juga
menyetujui sela perjanjian yang boleh mengandung perjanjian perkawinan, asal
anak itu, tatkala menyetujuinya, dibantu oleh segala mereka, yang izinnya untuk
kawin diperlukannya”
5. Perjanjian Perkawinan menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur tentang
perjanjian kawin pada Pasal 29.
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Makna yang dapat dilihat dari Pasal 29 tersebut diatasa pada pokoknya adalah:
a. Perjanjian kawin dibuat berdasarkan persetujuan bersama antara calon suamiisteri sebelum atau pada saat melakukan perkawinan
b. Dibuat secara tertulis, namun tidak perlu dibuat secara notariil atau tidak
harus dengan akta notaris.
c. Dapat diubah sepanjang tidak merugikan pihak ketiga.
d. Disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragam Islam atau
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
55 Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam.
Menurut Happy Susanto,
perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang
dibuat oleh pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan sebelum
perkawinan mereka dilangsungkan, dalam isi perjanjian tersebut mengikat
hubungan perkawinan mereka69. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat
oleh calon suami-isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur akibat-akibat perkawianan terhadap harta kekayaan mereka70.
Perjanjian perkawianan umumnya mengatur ketentuan bagaimana harta
kekayaan mereka akan dibagi jika terjadi perceraian ataupun kematian.
Sebenarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas
tentang perjanjian perkawinan. Hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat
mengadakan perjanjian tertulis yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam undangundang ini tidak disebutkan batasan yang jelas bahwa Perjanjian Perkawinan itu
mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat
mencakup banyak hal. Disamping itu Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur
lebih lanjut tentang bagaimana Hukum Perjanjian Perkawinan yang dimaksud71.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang perjanjian
perkawinan dimaksud. Pasal 12h hanya menyebutkan bahwa kalau ada perjanjian
perkawinan harus dimuat dalam Akta Perkawinan72.
Perjanjian kawin harus disahkan petugas pencatatan perkawinan. Sebenarnya
diperbolehkan untuk menyusun perjanjian secara pribadi atau hanya melibatkan
69
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, Jakarta; Visimedia, hal 78.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam perundangan-undangan perkawinan di Indonesia,
Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hal 57.
71
Djaja S. Moliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa
Aulia, bandung, 2006, hal 67
72
K. Wantjik Saleh, Ibid.
70
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
56 pihak ketiga. Kemudian surat perjanjian tersebut diserahkan pada pagawai
pencatatan untuk dilakukan pengesahan. Perjanjian kawin yang dilakukan seperti
itu dikatakan sah namun kekuatan hukumnya lemah. Oleh karena itu banyak pihak
yang membuat perjanjian ini dihadapan Notaris dengan menggunakan akta
Notariat. Jika perjanjian dilakukan dengan notaris maka kekuatan hukum
perjanjian tersebut kuat dan tidak diragukan.
Perjanjian kawin tidak dapat dirubah secara sepihak melainkan harus ada
kesepakatan kedua belah pihak untuk merubahnya. Manusia kadang berubah
pikiran sehingga undang-undang perkawinan mengakomodir hal ini dalam
ketentuan Pasal 29 ayat 4 Undang-Undang Perkawinan. Perubahan perjanjian juga
tidak boleh melibatkan pihak ketiga dalam perjanjian.
6. Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris
Secara Akta Notariil ada beberapa macam Perjanjian Perkawinan. 1. Dimana tidak terdapat persekutuan harta benda menurut undang-undang
a) Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan Harta Benda
b) Perjanjian Kawin Hasil dan Pendapatan
c) Perjanjian Kawin Untung Rugi
d) Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan dengan Bersyarat
e) Perjanjian Kawin Diperjanjikan
2. Dimana ada persekutuan harta menurut undang-undang, tetapi (oleh isteri )
dikehendaki adanya penyimpangan. Perjanjian kawin dengan diperjanjikan.
a) Perjanjian Kawin dengan Diperjanjikan Pasal 140 ayat 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Lagi pun perjanjian itu tak
boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami sebagai
kepala persatuan suami-isteri, kecuali namun ini, bahwa berhaklah si
isteri memperjanjikan bagi dirinya, akan mengatur sendiri urusan harta
kekayaannya pribadi, baik bergerak maupun tak bergerak, dan akan
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
57 menikmati sendiri pula dengan bebas akan segala pendapatannya
pribadi”
b) Perjanjian Kawin dengan Diperjanjikan Pasal 140 ayat 3 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Pula selanjutnya berhaklah
mereka, memperjanjikan, bahwa kendati berlakunya persatuan
menurut undang-undang, namun tanpa persetujuan isteri, si suami tak
boleh memindahtangankan atau membebani barang-barang tak
bergerak si isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang
perutangan umum, surat-surat berharga lainnya dan putang-piutang
atas nama isteri sekadar olehnya dimasukkan dalam persatuan, atau
yang sepanjang perkawinan masuk kiranya dari pihak isteri
didalamnya”
Pengertian lebih lanjut mengenai akta-akta perjanjian kawin adalah sebagai berikut:
Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan Harta Benda
Di Indonesia kebanyakan orang kawin dengan perjanjian kawin jenis ini.
Sehingga di dalam praktek perjanjian kawin ini meniadakan sama sekali persatuan
harta kekayaan. Yang dimaksud dengan perjanjian kawin diluar persekutuan harta
benda yaitu antara suami-isteri diperjanjikan tidak adanya persekutuan harta benda
sama sekali, jadi bukan hanya tidak ada persekutuan harta benda menurut undangundang, tetapi juga persekutuan untung rugi, persekutuan hasil dan pendapatan
serta percampuran apapun dengan tegas ditiadakan. Menurut Pasal 144 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk meniadakan sama sekali persatuan harta
kekayaan, yaitu menghendaki agar harta mereka sepanjang perkawinan terpisah
sama sekali, maka para pihak di dalam perjanjian kawin harus menyatakan bahwa
mereka calon suami-isteri itu secara tegas-tegas menyatakan bahwa mereka juga
tidak menghendaki adanya persatuan untung dan rugi. Perjanjian kawin diluar
persekutuan harta benda ini diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Pasal 29 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
58 Inti dari perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda adalah:
a. Tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun juga.
b. Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
c. Isteri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak
perlu bantuan suaminya.
d. Hutang masing-masing juga menjadi tanggungan masing-masing.
e. Biaya rumah tangga dan lain-lain menjadi tanggungan suami.
f. Perabotan rumah tangga dan lain-lain menjadi pihak istri.
g. Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan
pendidikan/ pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap
menggunakan barang itu.
h. Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan, atau jalan lain selama
perkawinan menjadi jatuh pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asalusul perolehannya tersebut.
Sedangkan mengenai sistematika isi aktanya adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada persekutuan harta dalam bentuk apapun, masing-masing tetap
memiliki apa yang dibawanya atau diperolehnya dalam perkawinan. Hutang
yang dibawa atau diperoleh selama perkawinan menjadi tanggungan masingmasing.
b. Isteri tanpa perlu bantuan suami, berhak mengurus hartanya sendiri dan bebas
memungut hasilnya. Bila suami menjalankan urusan tersebut, maka ia harus
bertanggung jawab mengenai hal itu.
c. Semua pengeluaran rumah tangga dan pendidikan anak menjadi tanggungan
suami. Pengeluaran biasa untuk keperluan rumah tangga yang dilakukan isteri
dianggap dilakukan dengan persetujuan suami.
d. Pakaian, perhiasan, buku, perkakas berkenaan dengan pendidikan atau
pekerjaan
masing-masing
adalah
milik
dari
pihak
yang
dianggap
menggunakan barang itu, perabot rumah tangga adalah milik isteri.
e. Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan atau jalan lain selama
perkawinan jatuh pada salah satu pihak harus ternyata dari bukti-bukti atau
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
59 penjelasan lain. Bila tidak terdapat bukti maka suami tidak berhak
menganggap barang itu miliknya, sedangkan isteri berhak untuk membuktikan
adanya dengan saksi-saksi atau karena umum telah mengetahui. Bila tidak
dapat diberikan pembuktian maka dianggap sebagai milik bersama secara
bebas, masing-masing ½ (setengah) bagian.
Perjanjian Kawin Persekutuan Hasil dan Pendapatan
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata peraturan mengenai perjanjian
kawin dengan persekutuan hasil dan pendapatan hanya ada satu pasal saja yaitu
diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata “ Perjanjian, bahwa
antara suami-isteri hanya akan berlaku persatuan hasil dan pendapatan, berarti
secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut
undang-undang, dan ketiadaan persatuan untung rugi.
Jika dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon suami – isteri hanyalah
diperjanjikan bahwa persatuan perkawian mereka akan berlaku persatuan untung
rugi, maka berarti perjanjian tersebut dengan tidak sama sekali tak berlakunya
persatuan harta kekayaan seluruhnya, maka setelah berakhirnya perkawinan antara
suami – isteri tersebut segala keuntungan yang diperoleh sepanjang perkawinan
harus dibagi antara mereka berdua, hal tersebut berlaku juga terhadap kerugian
yang harus mereka pikul berdua pula. Sebab dalam persekutuan hasil dan
pendapatan terdapat tiga macam harta, yaitu harta prive suami, harta prive isteri
dan harta persatuan.
Menurut pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan “ yang
dinamakan keuntungan dalam persatuan suami-isteri ialah, tiap-tiap bertambahnya
harta kekayaan mereka sepanjang perkawianan yang disebabkan hasil harta
kekayaan mereka dan pendapatan mereka masing-masing, karena usaha dan
kerajian mereka dank arena penabungan pendapatan-pendapatan yang tak dapat
dihabiskan; yang dinamakan kerugian ialah, tiap-tiap berkurangnya harta kekayaan,
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
60 disebabkan pengeluaran yang melampaui pendapatan”. Dalam pemahaman
mengenai keuntungan termasuk pula semua yang diperoleh suami-isteri atau salah
seorang dari mereka yang karena nasib baik atau secara kebetulan.
Menurut sistem murni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (dimana
pengelolaan harta perkawinan hanya dilakukan oleh suami tanpa campur tangan
isteri), utang-utang yang dibuat oleh suami ditanggung dengan harta persatuan dan
apabila masih kurang maka harus dibayar dengan harta prive suami. Untuk utang
yang dibuat suami, isteri tidak perlu menanggung dengan harta privenya. Setelah
isteri dinyatakan cakap berbuat hukum (dalam hal ini bersama dengan suami
mengelola harta perkawinan), maka utang yang dibuat oleh isteri juga harus
ditanggung dengan harta persatuan dan kekurangannya juga ditanggung dengan
harta prive isteri dan pihak suami tidak perlu menanggung dengan harta prive nya.
Sistematika isi aktanya adalah:
a. Akan terdapat persekutuan hasil dan pendapatan.
b. Apa yang dimaksud dengan keuntungan.
c. Apa yang termasuk benda.
d. Jika oleh persekutuan dilakukan pembayaran untuk menambah nilai harta
yang sebenarnya tidak termasuk persekutuan.
e. Jika suatu barang yang dibawa dalam atau diperoleh selama perkawinan oleh
salah seorang suami-isteri tidak terdapat lagi.
f. Isteri akan mengurus hartanya sendiri, ia akan menyerahkan penghasilannya
kepada suami.
g. Pakaian dan perhiasan pada waktu perkawinan barakhir.
h. Daftar barang yang dibawa masing-masing dalan perkawinan.
Perjanjian Kawin Persekutuan Untung dan Rugi
Menurut Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketiadaan
persatuan harta kekayaan menurut Undang-Undang tidak berarti tidak adanya
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
61 persatuan untung dan rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas ditiadakan.
Jadi jika dalam perjanjian kawin hanya dikatakan “tidak ada persekutuan harta”,
hal itu berarti ada persekutuan untung rugi.
Persekutuan untung rugi dapat terjadi karena:
1. Bilamana ada secara khusus diperjanjikan dalam perjanjian kawin
2. Bilamana dalam suatu perjanjian kawin diluar persekutuan harta tidak secara
tegas dikecualikan untung dan rugi (Pasal 141 ayat 1 BW)
Dalam perjanjian kawin ini yang diperjanjikan hanyalah adanya persekutuan
untung dan rugi saja, suami-isteri adalah tetap pemilik dari barang bawaan masingmasing dan juga barang-barang yang diperoleh selama perkawinan, tetapi barangbarang milik isteri diurus oleh suami sebagai kepala rumah tangga, kecuali
diadakan perjanjian yang menyimpang (Pasal 140 ayat 3)
Dalam perjanjian kawin untung dan rugi terdapat 3 budel, yaitu,
1. Harta suami pribadi.
2. Harta isteri pribadi.
3. Harta persekutuan, yaitu laba dan rugi.
Menurut Pasal 150 BW, suami-isteri mendapat keuntungan persatuan dan
memikul kerugiannya masing-masing ½ (setengah) bagian, kecuali ditentukan lain
(tetapi dengan mengingat Pasal 142 BW tidak boleh memikul suatu bagian
kerugian yang lebih besar dari bagiannya dalam keuntungan. Yang dimaksud
dengan keuntungan adalah pada umumnya setiap pertambahan harta kekayaan
mereka sepanjang perkawinan, kecuali Undang-Undang menetapkan lain (Pasal
157 BW). Pasal 158 – 162 menetapkan apa yang tidak termasuk keuntungan.
Dalam pasal tersebut belum ditentukan apakah “nasib baik atau secara kebetulan”
termasuk dalam keuntungan. Supaya tidak meninmbulkan berbagai interprestasi
maka dalam perjanjian kawin (pasal-pasalnya) ditegaskan bahwa hal tersebut juga
termasuk dalam keuntungan. Yang dimaksud dalam kerugian adalah tiap-tiap
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
62 berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan karena pengeluaran yang
melampaui pendapatan (Pasal 157 BW).
Hak dari salah seorang suami atau isteri untuk menuntut suatu pergantian dari
harta persekutuan disebut Ripse. Sedangkan kewajiaban dari salah seorang suami
atau isteri untuk mengganti kepada harta persekutuan disebut Recompanse.
Sistematika isi akta perjanjian kawin untung dan rugi:
a. Akan terdapat persekutuan untung dan rugi.
b. Tentang pengeluaran rumah tangga dan beban lain berkenaan dengan
perkawinan dan pendidikan anak. Pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk
keperluan rumah tangga yang dilakukan isteri, dianggap dilakukan dengan
persetujuan suami.
c. Apa saja yang masuk dalam paham keuntungan.
d. Apa saja yang dinamakan kerugian.
e. Jika oleh persekutuan dilakukan pembayaran untuk menambah nilai harta
yang sebenarnya tidak termasuk dalam persekutuan.
f. Jika ada barang yang dibawa dalam atau diperoleh selama perkawinan tetapi
tidak ada lagi pada waktu perkawinan bubar.
g. Pengurusan harta isteri oleh suami:
a) bila ada barang pribadi isteri yang tidak ada lagi atau,
b) bila barnag isteri tersebut dijual dan hasilnya untuk membayar
pengeluaran untuk keperluan persekutuan.
c) bila pengurusan itu tidak dilakukan dengan baik.
h. Pakaian dan perhiasan badan.
i. Barang bergerak yang selama perkawinan diperoleh salah seorang suami atau
isteri karena warisan, legaat, atau hibah harus ternyata dari tulisan atau suratsurat lain yang mebuktikan hal tersebut. Jika tidak ada penjelasan, maka:
a) suami tidak berhak mengambil sebagai miliknya.
b) isteri dapat membuktikan dengan segala cara bahwa barang tersebut
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
63 adalah miliknya.
j. Bila tidak secara tegas diatur dan terdapat keraguan:
a) keuntungan/kerugian masuk harta persatuan.
b) daftar dan nilai barang-barang yang dibawa masing-masing.
c) kapan rencana perkawian akan diadakan.
Perbedaan antara persekutuan hasil dan pendapatan dengan persekutuan
untung rugi, dahulu ada banyak pendapat, namun kemudian diikuti satu pendapat,
yaitu dalam persekutuan
hasil dan pendapatan yang bersatu (menjadi harta
bersama) hanyalah keuntungan saja, sedangkan kerugian ditanggung oleh yang
membuat. Dalam persatuan untung rugi, semua keuntungan dan semua kerugian
pada umumnya menjadi tanggungan bersama suami-isteri. Dalam persekutuan hasil
dan pendapatan sudah jelas bahwa yang menjadi harta bersama hanyalah
keuntungan saja, yaitu yang berupa hasil dan pendapatan.
Perjanjian Kawin Diluar Persekutuan dengan Bersyarat
Dalam perjanjian kawin ini hal yang diperjanjikan yaitu, bila suami hidup
lebih lama dari isteri, maka tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun. Tetapi
kalau isteri yang hidup lebih lama dari suami, maka terdapat persatuan hasil dan
pendapatan. Hal ini dikarenakan dikhawatirkan si isteri akan menikah lagi,
sedangkan hak suami jatuh ke anak-anak. Untuk barang bergerak, seperti mobil,
barang-barang tetap seperti perhiasan, tanah dll harus dilihat siapa yang
memperoleh barang tersebut. Jika barang tersebut diperoleh oleh suami, maka jatuh
kepada anak-anak.
Perjanjian Kawin Persatuan Harta tetapi diperjanjikan Pasal 140 ayat 3 BW
Dalam hal ini, walaupun terdapat persatuan harta menurut undang-undang,
tetapi tanpa adanya persetujuan isteri, suami tidak dapat memindah tangankan atau
membebani harta isterinya yang dimasukkan dalam persatuan atau yang sepanjang
perkawinan masuk ke dalam persatuan. Walaupun merupakan harta gono gini tapi
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
64 merupakan harta bawaan atau harta yang diperoleh isteri selama perkawinan
berlangsung, maka suami tidak boleh menjual atau menjaminkan tanpa persetujuan
isteri.
Perjanjian Kawinan Persatuan Harta tetapi diperjanjikan Pasal 140 ayat 2 BW
Dalam hal ini, walaupun telah berlaku persatuan harta menurut undangundang, tetapi jika si isteri selama perkawinan mendapat harta yang menurut
keterangan pemberi hibah akan jatuh diluar persekutuan harta yang akan terjadi
karena perkawinan, isteri akan berhak mengurus sendiri harta tersebuat dan akan
bebas memungut hasilnya, dan pemberi hibah harus hadir.
Meskipun terdapat banyak macam jenis akta yang dapat dibuat oleh notaris
untuk perjanjian kawin, namun yang terjadi di masyarakat yang banyak sekali dipilih
ataupun dibuat adalah perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda. Yang mana
perjanjian kawin ini benar-benar meniadakan adanya percampuran dalam bentuk
apapun.
C.
Perjanjian Perkawinan di Australia
Perkawinan dengan beda warga negara diperbolehkan atau diakui oleh
Hukum Australia. Hal ini diatur dalam Marriage Act 1961 Part VA, Section 88
yaitu tentang recognition of foreign marriages. Sepanjang atau selama perkawinan
tersebut dilangsungkan berdasarkan hukum yang berlaku dan memenuhi unsur
sahnya suatu perkawinan di negara atau tempat dimana perkawinan tersebut
dilangsungkan73. Selanjutnya perkawinan tersebut dapat didaftarkan di Australia
dengan menunjukkan marriage certificate yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Namun
demikian, bilamana perkawinan beda kewarganegaraan tersebut melibatkan salah
satu calon pasangan pengantin merupakan warga negara Australia, maka meskipun
73
Marriage Act 1961, Act No. 12 of 1961 as amended, section 88C(1)(a), page 57.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
65 pernikahan tersebut dilangsungkan di luar Australia, hukum perkawinan mengenai
sahnya suatu perkawinan74 akan tetap melekat pada si calon pengantin yang
berwarganegara Australia tersebut, misalnya mengenai batas usia perkawinan di
Australia75. Meski demikian Hukum Australia tidak serta merta mengakui semua
perkawinan yang dilaksanakan di luar Australia. Ada beberapa pengecualian yang
diatur mengenai perkawinan yang tidak diakui sah oleh Hukum Perkawinan
Austalia. Pengecualian tersebut antara lain76:
1.
Dimana salah satu pihak telah sebelumnya menikah dengan orang
lain.
2.
Dibawah usia sahnya perkawinan.
3.
Para pihak/ calon mempelai memiliki hubungan darah yang sangat
dekat. Contohnya, memiliki hubungan kakak beradik ataupun
saudara sepupu hingga saudara karena adopsi.
Perjanjian perkawinan atau yang dikenal secara internasional sebagai
prenuptial agreement dikenal di Australia sebagai “Binding Financial Agreement
(BFA)” 77. Definisi Binding Financial Agreement adalah perjanjian yang diantara
dua pihak yang mengatur tentang masalah harta benda dan/ atau biaya hidup yang
disepakat diatara kedua belah pihak bilamana terjadi perceraian. Ciri-ciri pasangan yang lazim membuat Binding Financial Agreement ini adalah78:
a.
Terdapat ketidak seimbangannya jumlah asset yang dimiliki oleh kedua
belah pihak
b.
Terdapatnya satu dan/ atau beberapa asset yang salah satu pihak atau para
pihak hendak pertahankan. Misalnya: lahan pertanian milik keluarga
74
Ibid, Part VA, section 88D(2)(b), page 58.
Ibid, Part II, page. 9
76
Australian Consulate-General Bali, Indonesia,
http://www.bali.indonesia.embassy.gov.au/blli/marriage.html
77
Jeremy D Morley, International Family Law, International Prenuptial Agreement,
http://www.international-divorce.com
78
Dowd, Justin.,McCray, Watts., & Tindale, Alexandra. Binding Financial Agreements: A Fricle
Friend, paper presented at 12th Australian Family Lawyers’ Confrence, hal 1, 10-14 June 2011,
Singapore.
75
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
66 c.
Perkawinan yang akan berlangsung merupakan perkawinan kedua atau
berikutnya dimana para pihak memiliki pengalaman sebelumnya yang
melibatkan pengadilan dikarenakan para pihak ingin mempertahankan
asset untuk keturunan / anak-anak mereka dari hasil perkawinan
sebelumnya.
d.
Para pihak menginginkan kebebasan dan keleluasaan pribadi.
e.
Adanya keinginan untuk menghilangkan kewajiaban terus memberi biaya
hidup.
Binding Financial Agreements untuk pasangan calon suami istri diatur dalam
Part VIIIA dalam peraturan hukum yang disebut “Family Law 1975”. Peraturan
ini tidak hanya mengatur perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita bahkan juga mengatur perjanjian yang dibuat oleh pasangan de
Factos. Yaitu pasangan yang secara fakta adalah merupakan pasangan hidup
layaknya pasangan suami-isteri namun tidak melangsungkan pernikahan. Untuk
pasangan de Facto ini diatur dalam Part VIIIAB Division 4.
Meski diatur,
peraturan ini hanya membolehkan pasangan de Facto untuk membuat Binding
Financial Agreement hanya untuk penduduk asli yang tinggal di New South Wales,
Queensland, South Australia, Victoria, the ACT, the Nothern Teriritory atau di
Norfolk Island saja.
1. Sejarah Perjanjian Perkawinan di Australia
Prenuptial Agreements atau Binding Financial Agreements dilaksanakan di
Australia pada tahun 2000. Yaitu sejak diundangkannya pada tanggal 27 Desember
2000 dalam “Family Law Amendment Act 2000”79. Diatur dalam Part VIIIA of
Family Law Act. Baru pertama kalinya dalam sejarah Australia bahwa pasangan
suami-isteri diperbolehkan membuat perjanjian yang mengatur harta benda mereka
79
Dowd, Justin., McCray., Watts., & Tindale, Alexandra. Ibid, hal 1.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
67 tanpa adanya campur tangan pengadilan.
Sejak pertama kali Family Law Act diundangkan pada tahun 1975. Family
Law Act tidak mengakui ataupun mengatur tentang perjanjian perkawinan atau
Binding Financial Agreements. Setelah 25 tahun kemudian Famiy Law Act dirubah
dengan adanya amendments pada tahun 2000. Perubahan tersebut terdapat pada
Part VIIIA yang mengatur mengenai Financial Agreements.80 Untuk pertama
kalinya pasangan suami-isteri dapat membuat perjanjian perkawinan/ binding
financial agreement yang mengatur mengenai aset-aset mereka dan hak-hak
lainnya tanpa harus melibatkan pengadilan.
Sebelum
adanya
Binding
Finacial
Agreements,
suami-isteri
yang
membutuhkan hukum pengaturan dalam keluarga atau Family Law procedings
menggunakan peraturan pada Section 7981, Section 8682 atau Section 8783
Agreements dalam The Family Law Act. Pada tahun 2008 yaitu tepatnya pada
tanggal 1 Maret 2009 The Family Law Act mengalami perubahan yang dituangkan
dalam The Family Law Amendments yang juga memasukkan pasangan De Facto
diperbolehkan untuk membuat binding financial agreements. Banyak terjadi
argumen-argumen yang kuat di masyarakat dari pihak yang pro dan kontra
terhadap reformasi tersebut.
Desakan untuk membolehkan pasangan membuat Binding Financial
Agreements ini adalah merupakan hasil dari perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat Australia. Selama 30 tahun terakhir banyak terjadi perubahan dalam hal
cara pandang masyarakat Australia terhadap perkawinan, tingginya tingkat angka
perceraian, kegagalan dalam membangun rumah tangga, meninggkatnya pasangan
80
Galloway, Richard., Emerson, Michael., & Daykin, Shannon. Binding Financial Agreements: Do the
Reforms Make any Difference?, Family Law, CPD Essential Confrence, Television Education
Network, February 28, Australia, 2011, hal 1
81
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 79, page 305.
82
Ibid, page 325.
83
Ibid, page 327.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
68 yang lebih memilih hanya menjadi pasangan hidup tanpa perkawinan (de facto
relationship), serta meninggkatnya jumlah pasangan yang menikah untuk kedua,
ketiga kali dan seterusnya.
Hal - hal tersebutlah yang membuat masyarakat Australia lebih memilih untuk
memiliki pasangan hidup tanpa melakukan perkawinan, sebab dengan demikian
mereka merasa lebih memiliki kebebasaan dan keleluasan dalam melakukan
perjanjian ketimbang pasangan suami-isteri yang terikat dalam sebuah tali
perkawinan.
Keanehan yang terjadi di dalam pasangan suami-isteri yang terikat tali
perkawainan
memiliki
kecenderungan
yang
rendah
untuk
menghormati
kesepakatan yang dibuatnya sendiri pada saat perkawinan ketimbang pasangan
yang memiliki pasanagan hidup tanpa perkawinan84.
Pada saat Binding Financial Agreements ini di ajukan ke legislative, Jaksa
Umum Australia menyatakan bahwa “perubahan pada undang–undang ini
bertujuan untuk memberikan peraturan yang berlaku dan kuat terhadap kebutuhan
masyarakat”.
Dalam sebuah paper yang di presentasikan pada the 9th National Family Law
Confrence in Sydney in 200085, Ian Kennedy mengidentifikasikan bahwa ada 5
alasan mengapa banyak pasangan yang berniat kawin, baik pada saat
berlangsungnya perkawinan atau pasangan yang hidup sebagai suami-isteri (de
facto relationship) memiliki hasrat yang kuat untuk membuat suatu perjanjian yang
berhubungan dengan pengaturan financial mereka. Alasan-alasan tersebut adalah:
a. Memiliki kemampuan untuk membuat pengaturan-pengaturan sendiri
84
Morley, Jeremy D. Ibid.
Ian Kennedy, “Financial Agreements Under the Family Law Act”. 9th National Family Law
Confrence, 3-7 July 2000, Sydney.
85
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
69 terhadap baik kepemilikan maupun management dari aset-aset property dan
sumber-sumber financial / keuangan selama perkawainan atau setelah
berakhirnya perkawinan.
b. Keinginan untuk adanya kepastian terhadap aset-aset, property serta financial
mereka bilamana dihadapkan dengan perceraian.
c. Menghindari adanya konflik diantara suami-isteri tentang masalah financial /
keuangan, baik itu selama berlangsungnya perkawinan atau pada saat
berakhirnya perkawinan.
d. Menghindari adanya pengeluaran yang tidak diinginkan , ketidakpastian serta
waktu tunda dalam suatu proses hukum.
e. Kemampuan untuk melindungi kepemilikan atas aset-aset dan property pada
saat sebelum terjadinya perkawinan, selama perkawinan berlangsung yang
dikarenakan adanya warisan, hibah dll.
Selain dari lima alasan tersebut diatas, untuk pasangan suami-isteri yang
sebelumnya sudah pernah melakukan perkawinan, mereka lebih memiliki alasan
yang jauh lebih kuat untuk melakukan binding financial agreement ini, antara lain
alasan tersebut adalah:
a. Dalam hal perkawinan kedua ataupun perkawinan berikutnya, untuk
melakukan perlindungan terhadap aset-aset demi kepentingan anak-anak yang
terlahir dari perkawinan sebelumnya.
b. Dalam hal pemeliharaan terhadap aset-aset perkebunan, ataupun bisnis
keluarga yang sudah dijalankan secara turun menurun dari satu generasi ke
generasi berikut dibawahnya.
c. Dimana terdapat banyak perbedaan mengenai kekayaan pada masing-masing
pihak, atau melakukan antisipasi bilamana masing-masing pihak menerima
warisan yang banyak.
d. Bagi pasangan atau individu yang berasal dari kebudayaan yang melazimkan
pembuatan binding finacial agreement. Karena secara budaya menganggap
bahwa binding finacial agreement adalah suatu kebiasaan.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
70 e. Untuk menghindari perselisihan diantara anggota keluarga dalam hal adanya
kematian yang terjadi dalam perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Pelaksanan Binding Financial Agreements sebagai Perjanjian Perkawinan di
Australia.
Berbeda dengan Perjanjian Kawin di Indonesia yang hanya bisa dibuat
sebelum atau pada saat pasangan calon suami-isteri melangsungkan perkawinan. Di
Australia Binding Financial dapat dibuat pada saat86:
1. Akan terjadinya perkawinan87
2. Sedang berlangsungnya perkawinan tetapi sebelum terjadi perpisahan88.
3. Setelah terjadinya perceraian89
4. Akan terjadinya hubungan De Facto ( De Facto Relationship)90
5. Sedang berlangsungnya hubungan De Facto tersebut91
6. Setelah bubarnya atau berakhirnya hubungan De facto tersebut92.
Bagi pasangan de facto relationship, bilamana pada akhirnya mereka
memutuskan untuk melakukan perkawinan, maka sebelum membuat Binding
Financial Agreement pasangan de facto relationship harus membuat pernyataan
perpisahan/berakhirnya hubungan de facto yang di tanda tangani oleh paling tidak
salah satu pihak. Kemudian barulah membuat binding financial agreement yang
dimaksud.
Mengenai hal–hal yang dapat diatur dalam Financial Agreements adalah antara
86
Amstrong Legal, Financial Agreements, Family Law, Sydney,
http://www.armstronglegal.com.au/web/page/financial_agreements
87
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90B, page 343.
88
Ibid, section 90C, page 344.
89
Ibid, section 90D, page 345.
90
Ibid, Part VIIIAB, section page 394.
91
Ibid, section 90UC, page 395.
92
Ibid, section 90UD, page 396.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
71 lain93:
a) Pembagian harta benda, keuangan dan utang setelah terjadinya perceraian
atau berakhirnya hubungan.
b) Uang pensiun.
c) Biaya hidup pasangan (suami, isteri atau pasangan hidup) baik itu sebelum,
selama maupun sesudah perkawinan.
d) Masalah atau keadaan yang tak teduga.
Bila di Indonesia perjanjian kawin harus dibuat dengan akta otentik oleh
seorang notaris. Di Australia, binding financial agreement
tidak diatur secara
specifik agar binding financial agreement dibuat dengan format tertentu dan juga
tidak dibuat oleh seorang notaris/ public notary. Namun meski demikian ada syaratsyarat yang harus dipenuhi dalam pembuatannya, agar binding financial agreement
tersebut dianggap sah secara hukum dan mengikat kedua belah pihak yaitu pihak
suami dan pihak isteri. Berikut adalah syarat-­â€syarat agar Financial Agreement dapat
mengikat pasangan calon atau suami-isteri tersebut adalah94:
a) Perjanjian harus dibuat secara tertulis.
b) Perjanjian harus di tanda tangani oleh kedua belah pihak.
c) Sebelum penanda tanganan perjanjian tersebuat kedua belah pihak harus
menerima opini hukum dari pihak yang berkompeten yaitu pengacara yang
independent. Hal ini untuk memastikan bahwa apa yang mereka perjanjikan
adalah benar apa yang mereka inginkan untuk kepentingan masing masing
pihak baik itu berupa keuntungan maupun kerugiannya.
d) Perjanjian harus berisi pernyataan yang mengakibatkan bahwa kedua belah
pihak telah menerima nasihat hukum ataupun telah di konsultasikan kepada
pengacara masing-masing.
e) Pernyataan yang disebut dalam point d tersebut diatas harus dilampirkan dan
93
94
Amstrong Legal, Ibid.
Galloway, Richard., Emerson, Michael., & Daykin, Shannon. Op.cit., hal 3.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
72 dijadikan satu dengan Financial Agreements yang hendak di tanda tangani.95
f) Perjanjian tidak dapat dikesampingkan ataupun diakhiri dengan keputusan
pengadilan .
g) Terakhir, masing-masing pihak harus memiliki salinan atau perjanjian asli
Financial Agreemnets tersebut96.
Dari butir diatas maka jelas, meskipun tidak ada format yang khusus ataupun
tidak disebutkan bahwa binding financial agreement harus dibuat oleh notaris /
public notary maupun pengacara. Tetapi harus di konsultasikan terlebih dahulu
kepada pengacara mengenai apa yang ingin mereka perjanjikan, membuat surat
pernyataan bahwa masing-masing pasangan telah menerima masukan / advice
hukum dari pengacara yang independen serta melampirkan surat pernyataan
tersebut dalam binding financial agreement mereka.
Dengan kata lain bahwa, disarankan untuk meminta praktisi hukum atau
pengacara untuk membuatkan draft perjanjiannya. Dan perlu diperhatikan pula,
apabila ada dari salah satu syarat tersebut diatas tidak terpenuhi, maka akan
mengakibatkan binding financial agreement menjadi tidak memiliki kekuatan
hukum. Sehingga tidak mengikat para pihak secara hukum.
Meski telah disebutkan bahwa binding financial agreement tidak dapat
dikesampingkan ataupun diakhiri oleh pengadilan, namun dalam Family Law Act
diatur hal-hal yang berupa pengecualian. Dimana pengadilan (Family Court)
memiliki kekuatan atau berhak memutuskan bahwa Binding Financial Agreements
tersebut tidak berlaku, bilamana financial agreements tersebut tidak dibuat sesuai
peraturan yang diatur dalam Family Law Act97.
95
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90G(ca), page 348.
Invess Legal, Binding Financial Agreements, Sydney, http://www.inveiss.com/binding-financialagreement.
97
The Norton Law Group, The Law Society of NSW, Are Prenuptial Agreements Binding?, Sydney,
http://www.thenortonlawgroup.com.au.
96
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
73 Hal-hal yang berupa pengecualian tersebut adalah98;
1. Terdapatnya unsur penipuan99.
Termasuk dalam hal ketidak jujuran pada saat pembagian harta
kebendaan.
2. Kepentingan Kreditor100.
Bilamana financial agreements dibuat dengan bertujuan untuk
menggelapkan uang kreditor ataupun untuk menghindari/ mengabaikan
adanya tagihan utang.
3. Tidak sah atau tidak dapat diberlakukan101
Perjanjian tidak sah atau tidak berlaku dikarenakan adanya kesalahan,
pernyataan yang salah, peraturan umum, ketidapastian, paksaan, ketidak
lengkapan, dibawah pengaruh, tidak dalam keadaan sadar, pelanggaran
dan lainnya.102
4. Menjadi tidak praktis103
Yang dimaksud dengan menjadi tidak praktis disini adalah keadaan
dimana
financial
agreements
menjadi
menyulitkan
atau
menyengsarakan bila terdapat suatu perubahan keadaan.
5. Mengakibatkan penderitaan104.
Isi dalam financial agreement mengakibatkan kesengsaraan/penderitaan
yang terhadap keadaan anak yang lahir dari perkawinan tersebut
dikarenakan adanya kekurangan pengaturan dalam financial agreement
tersebut.
6. Dibuat dalam keadaan tidak sadar105
Pada saat dibuat maupun ditanda tanganinnya binding financial
98
Legal, Amstrong, Financial Agreements, Ibid.
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90K(1)(a), section
90UM(1)(a),page 351 and 404.
100
Ibid, section 90K(1)(aa), section 90UM(1)(b).
101
Ibid, section 90K(1)(b), section 90UM(1)(f).
102
http://www.austtlii.edu.au/au/legis/nsw/consol_act/ssma1996242/
103
Australian Family Law Act 1975, Ibid, section 90K(1)(c), section 90UM(1)(f), page
104
Ibid, section 90K(1)(d), section 90UM(1)(g).
105
Ibid, section 90K(1)(e), section 90UM(1)(h).
99
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
74 agreement, ada pihak yang tidak dalam keadaan sadar dengan apa yang
sedang diperjanjikan.
7. Alasan uang pensiunan/ jaminan hari tua (superannuation)106.
Tidak ada alasan yang memungkinkan bahwa pembagian mengenai uang
jaminan hari tua untuk memberhentikan.
8. Berisi suatu pengaturan mengenai bunga dari uang pensiun/ jaminan hari
tua yang tidak dapat dibagi-bagi (harus diberikan secara utuh /bulat)107.
9. Kepentingan lainnya108.
Upaya untuk melindungi kepentingan para pihak diluar pihak-pihak
yang menanda tangani Binding Financial Agreements tersebut.
Berdasarkan hukum Australia Binding Financial Agreement dapat diakhiri
bilamana dikehendaki demikian.
Binding Financial Agreements dapat berakhir atau diakhiri dengan cara109:
a. Dibuatnya Financial Agreement yang baru yang mana dalam Financial
Agreement yang baru tersebut dinyatakan bahwa Finacial Agreement
yang terdahulu dianggap sudah berakhir atau tidak berlaku lagi.
b. Kedua belah pihak membuat pernyataan tertulis mengenai kesepakatan
bersama untuk mengakhiri Financial Agreements yang pernah mereka
buat sebelumnya.
106
Australian Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended, Section 90K(1)(f), section
90UM(1)(i).
107
Ibid, section 90K9(1)(g), section 90UM(1)(g).
108
Ibid, section 90K(1)(ab), section 90UM(1)(c) and (d).
109
Farmers, Pre-Nuptial Agreements Australia, Welcome to Pre-Nuptial Agreements Australia,
http://www.pre-nuptialagreements.com.au/Pre-Nuptial-Laws, Australia, 2009.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
75 D. Analisis Kasus tentang Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh
Notaris di Indonesia untuk Perkawinan di Australia (New South Wales).
1. Status Personal para Pihak yang Terlibat dalam Perkawinan.
Dalam tesis ini penulis meneliti kasus perkawinan campuran dimana
calon pasangan suami dan calon pasangan isteri memiliki kewarganegaraan
yang berbeda. Pihak isteri berkewarganegaraan Indonesia dan pihak suami
berkewarganegaraan Australia. Pasangan tersebut berencana untuk melakukan
pernikahannya
di
New
South
Wales
–
Australia.
Jauh
sebelum
berlangsungnya pernikahan, baik pihak isteri maupun pihak suami telah
mempersiapkan diri untuk memenuhi persyaratan-persyaratan untuk dapat
dilakukannya perkawinan beda kewarganegaraan di Australia. Sudah tentu
pihak isteri yang berkewarganegaraan Indonesia harus menyiapkan dokumendokumen mengenai dirinya untuk dibawa ke Australia. Calon istreri yang
berkebangsaan Indonesia ini harus memenuhi syarat-syarat perkawinan
menurut
hukum nasionalnya, yaitu Indonesia. Hal ini sesuai dengan
pengaturan Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor
Indonesie).
Sekitar 2 (dua) bulan sebelum pasangan ini menikah, pihak keluarga
suami sudah melaporkan dan memilih celebrant (pejabat yang berwenang
secara hukum untuk menikahkan pasangan calon suami – isteri). Pihak calon
suami harus mengisi formulir permohonan perkawinan yang disebut Notice of
Intended Marriage yang diisi lengkap dan ditanda tangani oleh pemohon
disertai dengan semua dokumen asli yang menunjukkan identitas pemohon,
yaitu calon mempelai wanita dan calon mempelai pria. Pihak isteri juga harus
melampirkan akta lahir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dan di legalisir oleh Notaris untuk menjamin kebenaran terjemahannya
tersebut. Selain itu pihak istri juga meminta surat keterangan dari kepolisian
bahwa pihak istri tidak memiliki gugatan perceraian ataupun sedang dalam
perkawinan. Notice of Intended Marriage dan Marriage Certificate nantinya
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
76 akan di daftarkan oleh si celebrant ke kantor pencatatan perkawinan di
Sydney, Australia yang disebut “Registry of Births Deaths & Marriages”.
Kantor inilah yang mengurus semua pendaftaran yang berhubungan dengan
kelahiran, kematian dan perkawinan di negara bagian New South Wales Australia110. Setelah dilangsungkannya pernikahan celebrant diberi waktu
untuk mendaftarkan pernikahan yang ia sahkan dalam waktu 14 hari setelah
ceremony dilangsungkan. Setelah perkawinan pasangan ini didaftarkan dan
dinyatakan sah secara hukum negara Australia, pihak istri melaporkan
tindakan hukum perkawinannya ke Kantor Konsulat Indonesia yang berada di
Sydney, New South Wales – Australia.
2. Tinjauan Terhadap
Akta Perjanjian Perkawinan Indonesia dalam
Hukum Australia.
Pasangan tersebut melakukan pernikahannya dengan sah di negara
Australia (suami) yaitu bagian New South Wales (NSW) di kota Sydney pada
tanggal 17 May 2009. Setelah berlangsungnya perkawinan maka pasangan
tersebut sudah jelas masuk ke dalam suasana hukum perkawinan campuran yang
bersifat internasional, maka beberapa akibat hukumnya pun akan mengikuti.
Sebagai gambaran adalah bahwa mereka akan memasuki hukum harta benda
perkawinan internasional, jika mereka tidak bisa mempertahankan perkawinannya
maka akan memasuki hukum perceraian internasional, atau jika salah satu dari
mereka meninggal maka mereka akan memasuki hukum waris internasional.
Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang telah memasuki hukum
perkawinan campuran yang bersifat internasional, maka akibat-akibat hukum
yang bernuansa internasional pun akan mengikuti juga111.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya mengenai alasan-alasan
110
New South Wales Government, Registry of Birth Deaths & Marriages, Attorney General & Justice,
http://www.bdm.nsw.gov.au/marriages/marriages.htm.
111
Mutiara Hikkmah, Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi Kodifikasi Hukum Perdata
Internasional bagi Indonesia, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 6, tahun 2002, hal 67.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
77 pasangan kawin campur membuat perjanjian perkawinan, tidak terkecuali pada
pasangan dalam kasus tesis ini. Pasangan ini membuat perjanjian perkawinan
yang dibuat di Indonesia berdasarkan hukum Indonesia. Alasan kedua belah
pihak
membuat
perjanjian
perkawinan
dikarenakan
pihak
isteri
yang
berkewarganegaraan Indonesia tidak ingin kehilangan hak nya untuk dapat
menguasai atau memiliki harta benda yang berada di Indonesia, baik itu yang ia
peroleh secara pewarisan maupun yang akan ia peroleh dikemudian harinya.
Pasangan ini membuat perjanjian perkawinan di Indonesia saja, sedangkan di
Australia, pasangan ini tidak membuat perjanjian perkawinan, di Australia
disebut dengan Binding Financial Agreement.
Perjanjian perkawinan yang
dibuat di Indonesia tidak didaftarkan di Australia, sebab Australia tidak
mengakui adanya foreign prenuptial agreement (perjanjian pra nikah) atau
marriage contract (perjanjian kawin) kecuali, foreign prenuptial agreement
tersebut dibuat dengan mengikuti peraturan dan perundang-undangan Australia.
Foreign Agreement hanya dapat diperhitungkan dalam penentuan pembagian
property diantara para pihak dalam hal perceraian, dan dalam keadaan tertentu
akan menjadi bahan pertimbangan pengadilan Family Court Australia112. Jadi
kedudukan Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat di Indonesia oleh Notaris di
Indonesia, hanya akan diberlakukan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam
hal memutuskan pembagian harta benda / gono-gini perkawinan yang berada di
Australia.
Dalam kasus tesis ini bilamana dikemudian hari terjadi perceraian
maka perceraian pasangan ini diperbolehkan dilakukan di Indonesia dan negara
Australia akan mengakui keabsahan perceraian tersebut. Sebab secara fakta
bahwa salah satu pihak adalah berkewarganegaran Indonesia (pihak isteri) dan
pihak suami (Australia) telah berdomisili di Indonesia untuk waktu yang cukup
lama. Jadi mereka memiliki hubungan yang cukup dengan negara Indonesia.
Perceraian di luar negeri / foreign divorces (di luar Australia) yang dilakukan
112
Ian Keneddy, International Issue for Pre-Nuptial Agreements and Marriage Contracts – Making
them work under Australian Law, Paper for IAML Capetown Annual Meeting, September 2008.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
78 berdasarkan hukum dimana perceraian tersebut diajukan dan memenuhi syarat
yang telah diatur dalam hukum negara tersebut, diakui oleh negara Australia,
selama salah satu pihak atau kedua belah pihak (suami-isteri) memiliki hubungan
yang cukup dengan negara tersebut. Foreign divorce ditolak pengakuannya oleh
negara Australia bilamana113:
a. Salah satu pihak dalam perkawinan telah ditolak dalam hal hak nya untuk
mendengar alasan atas putusan yang dijatuhkan kepadanya. Yaitu tidak
diberikannya
pemberitahuan
mengenai
hal
persidangan
atau
tidak
diberikannya kesempatan untuk melakukan pembelaan dalam persidangan.
b. Pengakuan perceraian akan bertentangan dengan peraturan umum Australia.
Tempat terjadinya perceraian akan berpengaruh terhadap pilihan kekuasaan
hukum dalam hal penyelesaian / keputusan mengenai pembagian harta benda / gonogini dan hak asuh anak. Perkawinan yang dilakukan di Australia dan tunduk pada
hukum perkawinan Australia, bilamana perceraiannya dilakukan menurut hukum
Indonesia, meskipun perceraiannya diakui oleh Australia, namun dalam hal
pelaksanaan putusan pengadilan yang mengatur harta gono-gini tidak dapat
diterapkan. Australia tidak ikut dalam konvensi internasional apapun yang mengatur
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan luar negeri (foreign
judgement) yang berhubungan dengan perubahan dalam kepentingan property
diantara pasangan suami-isteri114. Australia juga tidak memiliki hubungan hukum
timbal-balik dan paksaan penegakkan hukum (Reciprocal Recognition and
Enforcement of Judgements),dengan Indonesia seperti halnya dengan Inggris. Hanya
keputusan yang dibuat dalam kekuasaan hukum tertentu yang dapat didaftarkan,
diakui serta dapat dilaksanakan keputusannya di Australia. Putusan seperti ini
memiliki kekuatan hukum yang sama seperti keputusan hukum pengadilan Australia.
113
Shepherds, The Law Society of NSW, International Family Law,
http://shepherdsfamilylaw.com.au/international-family-law/, 2007
114
Amanda Humphreys, Kennedy Partners Lawyers, International Family Law, International
Recognition and Enforcement of Property Orders and Maintenance and Child Support Obligations, 7th
Family Law Conference 2011, Merbourne, 22 March 2001, Page 1.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
79 Pengecualian ini diatur dalam Part 2 dalam Australian Foreign Judgement Act
1991115.
Pembagian harta perkawinan / gono-gini dalam kasus tesis ini dapat diajukan
di pengadilan Keluarga Australia / Australian Family Court, dikarenakan salah satu
pihak yaitu suami, memenuhi salah satu kriteria ini:
a) Warga negara Australia, atau
b) Bertempat tinggal di Australia, atau
c) Berada di Australia
Australian Family Court memiliki kebebasan yang luas untuk membuat putusan
apapun yang dapat memaksakan pelaksanaan binding financial agreement. Sebab itu,
dalam pembuatan perjanjian perkawinan di Australia sangatlah penting untuk
memperhatikan asas-asas dan dasar-dasar hukum perjanjian,
untuk dapat
terlaksananya kesepakat yang diatur dalam perjanjian sehingga perjanjian berlaku
layaknya sebuah keputusan pengadilan. Mengikatnya suatu perjanjian sangat
berpengaruh semata-mata terhadap keabsahannya suatu perjanjian dalam memenuhi
persyaratan formal.
3. Pengaruh terhadap Kewarganegaraan Isteri
Pernikahan yang dilangsungkan oleh pasangan beda kewarganegaraan dalam
kasus tesis ini, tidak mengakibatkan perubahan kewarganegaraan terhadap
kewarganegaraan si isteri. Departement of Immigration dan Citizenship (DIAC)
Australia mengatur bahwa menikah dengan pria berkewarganegaraan Australia tidak
mengakibatkan pihak isteri memiliki kewarganegaraan Australia secara otomatis.
Untuk menjadi warga negara Australia pihak isteri harus mengajukan permohonan
terlebih dahulu116. Hal permohonan untuk menjadi warga negara Australia dengan
115
Keputusan hakim luar negeri (foreign judgement) yang dapat didaftarkan hanya Foreign Judgement
yang berupa “Money Judgement”.
116
Australian
Government,
Department
of
Foreign
Affair
and
Trade,
http:
www.smartraveller.gov.au/tips/marriage.html.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
80 alasan menikah dengan pria berkebangsaan Australia memiliki tahapan yang cukup
panjang. Dimulai dengan permohonan visa dengan klasifikasi “Partner Visa”. Selama
masa proses partner visa, si isteri akan diberi visa dengan klasifikasi Temporary
Partner Visa. Dalam kebanyakan kasus, temporary partner visa ini baru akan diganti
dengan Permanent Partner Visa setelah 2 tahun lamanya. Setelah 5 tahun memegang
Permanent Partner Visa baru si istri bisa mengajukan permohonan Citizenship
Secara rinci hal ini diatur dalam Australian Migration Act 1958117.
117
Migration Act 1958, Act No. 62 of 1958 as amended, prepared by Office of Legislative Drafting
and Publishing, Attorney-General’s Department, Canberra.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
81 BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam BAB II maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk
dalam hukum perjanjian buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata,
sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian
selama
tidak
melanggar
kesusilaan,
ketertiban
umum
dan
undang-
undang. Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira
akan timbul selama masa perkawinan
Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah atau lazimnya disebut juga
Perjanjian Kawin adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan
calon isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka
telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka
masing-masing dalam perkawinan mereka kelak. Peliknya masalah yang
mungkin akan dihadapi oleh pasangan campuran yang menikah di luar negeri.
Notaris harus memperhatikan mengenai isi yang tertuang ataupun yang diatur
dalam akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Notaris harus memahami
apa yang diharapkan oleh pasangan campuran tersebut dari akta perjanjian
kawin yang mereka buat. Dengan demikian notaris dapat mengubah isi akta
perjanjian standart agar sesuai dengan apa yang ingin diatur dan disepakati.
Selama apa yang diatur dan disepakati tidak bertentangan dengan peraturanperaturan yang berlaku di Indonesia. Notaris juga harus memberikan
pengertian kepada klien nya bahwa sampai sejauh mana akta perjanjian kawin
yang dibuat di Indonesia dapat diberlakukan di negara asing.
2. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia hanya memiliki
kekuatan hukum yang kuat di Indonesia. Australia tidak mengakui adanya
foreign prenuptial agreement (perjanjian pra nikah) atau marriage contract
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
82 (perjanjian kawin) kecuali, foreign prenuptial agreement tersebut dibuat
dengan mengikuti peraturan dan perundang-undangan Australia. Namun,
foreign agreement dapat diperhitungkan dalam penentuan pembagian property
diantara para pihak dalam hal perceraian, dan dalam keadaan tertentu akan
menjadi bahan pertimbangan pengadilan Australia. Jadi sudah Akta Perjanjian
Perkawinan yang dibuat di Indonesia oleh Notaris di Indonesia, hanya akan di
berlakukan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam hal memutuskan
pembagian harta benda/ gono-gini perkawinan yang berada di Australia.
B. Saran
Setelah menarik kesimpulan berdasrkan data-data yang ada, maka penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi pasangan perkawinan campur sangat disarankan untuk membuat
perjanjian perkawinan di Indonesia oleh notaris di Indonesia. Dan setelah
diberlangsungkannya
perkawinan
tersebut
di
negara
asing,
segera
mendaftarkan pernikahannya agar perjanjian perkawinan yang dibuat di
Indonesia dapat berlaku efektif dan mengikat secara hukum di Indonesia.
Sebab hal ini akan sangat menguntungkan pihak istri yang berwarganegaraan
Indonesia.
2. Pasangan perkawinan campur sudah seharusnya mempelajari atau memahami
juga seluk beluk tentang prenuptial di negara pasangannya. Dengan demikian
dapat mempertimbangkan untuk membuat prenuptial agreement di negara
mana perkawinan akan dilaksanakan.
3. Konsultasikan keinginan anda kepada pengacara atau penasihat hukum.
Sehingga pada saat pembuatan perjanjian perkawinan dimana para pihak
menghadap notaris pasangan calon suami-isteri sudah tau apa yang ingin diatur
dalam perjanjian perkawinan, sehingga notaris dapat menambah pasal-pasal
yang berisikan kesepakatan atas keinginan kedua belah pihak.
4. Untuk para notaris yang hendak membuatkan perjanjian perkawinan untuk
perkawinan campuran, pastikan pada klien anda mengerti batasan-batasan apa
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
83 yang dapat diatur oleh perjanjian perkawinan di Indonesia. Dan dalam wilayah
serta kapasitas seperti apa perjanjian perkawinan tersebut dapat diberlakukan
di negara asing. Sehingga klien anda tidak salah pengertian.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
84 DAFTAR PUSTAKA
Attorney General & Justice. (t.thn.). New South Wales Goverment. Dipetik January
2013, dari Registry of Birth Death & Marriages: http://www.bdm.nsw.gov.au
Australian Goverment. (t.thn.). Diambil kembali dari Departement of Foreign Affair
and Trade: http://smartraveller.gov.au
Basuki, Z. D. (2010). Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Budiono, H. (2009). Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan (Cetakan I ed.). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Budiono, H. (2008). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.
Bandung: PT. Citra Aditya Nakti.
Darmabrata, W. (2009). Hukum Perkawinan Perdata, Syarat Sahnya Perkawinan,
Hak dan Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda Perkawinan (Vol. I). Jakarta:
Rizkita.
Darmabrata, W., & Sjarif, S. (2004). Hukum Perkawinan dan keluarga di Indonesia.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Darusalam, R. S. (2011, Desember 6). Perkawinan Campuran dan Permasalahan
Hukumnya. Dipetik 2012, dari Dharma Wanita Persatuan KJRI Dubai:
http://www.dwp.ae
Dowd, J., McCray, W., & Tindale, A. (2011). Binding Financial Agreement: A
frickle Friend. 12th Australian Family Lawyers's Confrence. Singapore.
Farmers. (t.thn.). Welcome to Pre-Nuptial Agreements Australia . Dipetik Juni 5,
2012, dari Pre-Nuptial Agreements Australia: http://prenuptialagreements.com.au
Galloway, R., Emerson, M., & Daykin, S. (2011). Binding Financial Agreement : Do
the Reforms Make any Difference? CPD Essential Confrence, Family Law.
Television Education Network.
Gautama, S. (1996). Hukum Antar Tata Hukum (Cetakan ke 1 ed., Vol. II). Bandung:
Alumni.
Gautama, S. (1988). Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid ke 2 bagian ke 2
cetakan ke III ed., Vol. III). Bandung: PT. Eresco.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
85 Gautama, S. (1981). Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bagian 1 ed., Vol. III).
Bandung: Alumni.
Gautama, S. (1987). Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III, Cetakan ke-3
ed., Vol. VII). Bandung: Binacipta.
Gautama, S. (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Cetakan ke
5 ed.). Bandung: Binacipta.
Gautama, S. (1987). Warga Negara dan Orang Asing (Vol. 4). Bandung: Penerbit
Alumni.
Girsang, M. (2008, April 2008). Perkawinan Campuran. Kenali Lebih Dekat Sistem
Hukum dan Budaya Caln Pasangan . Jakarta, Indonesia.
Hadikusuma, H. (2003). Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan
Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: CV. Mandar Maju.
Hikmah, M. (2002). Artikel Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi
Kodifikasi Hukum Perdata Internasional bagi Indonesia. Jurnal Keadilan , 2
(6).
Humpreys, A., & Partners Lawyers, K. (2011). International Family Law,
International Recognition and Enforcement of Property Orders and
maintenance and Child Support Obligations. 7th Family Law Confrence, (hal.
1). Melbourne.
Kennedy, I. (2000). Financial Agreement Under the Family Law Act. 9th National
Family Law. Sydney.
Kennedy, I. (2008). International Issue for Pre-Nuptial Agreements and Marriage
Contracts - Making Them Work under Australian Law. IAML Capetown
Annual Meeting. Capetown.
Kuhn, A. (1973). A Choice between Two or more System of Laws. Comparative
Commentaries On Private International Law of Conflict of Laws. New York.
Kuswanto, H. (2002). Perjanjian Kawin Hukum Perkawinan. Diambil kembali dari
Modul Hukum Perkawinan: http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id
Legal, A. (t.thn.). Financial Agreement. Dipetik 1012, dari Family Law:
http://www.amstronglegal.com.au
Legal, I. (t.thn.). Binding Financial Agreements. Dipetik 2012, dari Family Law:
htttp://www.inveiss.com
Lejap, B. D. (2010, October 19). Hukum Perdata Internasional. Dipetik November
2012, dari dogelblast.blogspot.com: http://dogelblast.blogspot.com
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
86 Moliala, D. S. (2006). Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
Keluarga. Bandung: Nuansa Aulia.
Morley, J. D. (t.thn.). International Prenuptial Agreement. Diambil kembali dari The
Premier Resource for International Divorce & Custody Law:
http://www.international-divorce.com
Muchsin. (2008, Agustus). Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional.
(No. 273).
Prawirohamidjojo, S. (1986). Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
Purbacaraka, P., & Susilo, A. B. (1997). Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional
suatu Orientasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R, V. (2011, April 23). Hukum Perdata Internasional, Status Personel dan Renvoi.
Dipetik January 6, 2013, dari Insirasi Hukum:
http://insirasihukum.blogspot.com
Rahayu, S. (2010, June). Pengertian Hukum Perdata Internasional. Dipetik January
2013, dari Syaiful-Rahayu.com: http://semutuyet.blogspot.com
Rini, M. (2000). Will You Say "Ido" to Prenuptial Agreement. Dipetik Juni 2012, dari
Perlukah Perjanjian Pranikah?: http://www.perencanakeuangan.com
Saleh, K. W. (1980). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Satrio, J. (1993). Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Seto, B. (2001). Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Shepherds. (2007). International Family Law. Dipetik 2012, dari Shepherds The
Family Law Specialist: http://shepherdsfamilylaw.com
Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum (Vol. 3). Jakarta: UI-Press.
Soerjono Soekanto, S. M. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Subekti. (1996). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
Susanto, H. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadinya Perceraian. Jakarta:
Visimedia.
The Norton Law Group. (t.thn.). Are Prenutial Agreements Binding? Diambil
kembali dari The Law Society of New South Wales: http://www.
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
87 The Norton Law Group. (t.thn.). Are Prenutial Agreements Binding? Dipetik 2012,
dari The Law Society of New South Wales:
http://www.thenortonlawgroup.com.au
Peraturan Australia
Family Law Act 1975, Act No.53 of 1975 as amended.
Foreign Judgement Act 1991, Act No.112 of 1991 as amended.
Marriage Act 1961, Act No 12 of 1961 as amended.
Guidelines on the Marriage Act 1961 for Marriage Celebrants.
Migration Act 1958, Act No. 62 of 1958 as amended.
Peraturan Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Tinjauan perjanjian..., Ira Rasjid, FH UI, 2013
Download