kewenangan penyidik polri dan jaksa penuntut umum dalam kuhap

advertisement
KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM
DALAM KUHAP DITINJAU DARI CHECK AND BALANCE SYSTEM
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 219/PID.B/2012/PN.JKT PST ATAS
NAMA TERDAKWA HASAN BASRI)
Roberto Bosta Sianturi, Narendra Jatna
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas dua permasalahan pokok. Pertama, pengaturan sistem koordinasi antara
Penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut umum dalam KUHAP. Kedua, mengenai penerapan
sistem koordinasi check and balance dalam kasus korban salah tangkap. Dengan
menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber,
penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem koordinasi perseimbangan dan
berimbang antara penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut Umum, baik secara peraturan
perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Permasalahan mengenai adanya sistem
koordinasi yang dimulai oleh penyidik pada saat dimulainya penyidikan terkait dengan
pemberitahuan oleh penyidik dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa
Peneliti. Seperti yang telah ditetapkan oleh KUHAP bahwa penyidik wajib menyampaikan
kepada jaksa sejak dimulainya penyidikan agar Jaksa mengikuti perkembangan kasus sejak
dimulainya penyidkan, yang mana menjadi dasar penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Katakunci:
Hukum acara pidana, check and balance system, koordinasi penyidik dan jaksa penuntut
umum, salah tangkap.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Check and Balance System between National Police Investigator and Public Prosecutor
Authority in accordance with Criminal Law Procedure (Case Study of Court Decision
219/PID.B/2012/PN. JKT PST on behalf of Hasan Basri)
Abstract
This thesis addresses two issues. First, regarding the rules and regulation concerning
coordination system between National Police Investigator and Public Prosecutor in
accordance with Criminal Law Procedure. Second, regarding the implementation of such
coordination system in respect of check and balance system against the victim of wrongful
arrest. By using the method of literature research combined with sources interviews, this
thesis aims to determine the coordination system as check and balance system between
National Police Investigator and Public Prosecutor, both in rule and regulation and in practice.
The issue regarding coordination system must be addressed when Investigator starting the
investigation in relation with the notification to Prosecutor that the investigation is formally
commencing. As stipulated in Criminal Law Procedure (KUHAP) that Investigator obliged to
convey the case progress to the Prosecutor as from the investigation is commencing,
considering such investigation result would be determine as the basis of prosecution.
Keywords: Criminal Law Procedures, Check and Balance System, Coordination between
Police Investigator and Public Prosecutor, Wrongful Arrest.
Pendahuluan
Pada akhir tahun 2011 silam, mencuat sebuah kasus perampokan yang diduga
dilakukan oleh seorang tukang ojek. Hal ini dimulai pada saat Kepolisian Jakarta Pusat
menangkap Hasan pada tanggal 9 November 2011 silam di pangkalan ojek Lapangan
Banteng, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 20.00 WIB, Hasan dibawa sejumlah polisi ke Polsek
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Menteng dengan tuduhan terlibat perampokan.1 Kasus ini dimulai pada saat kepolisian
menangkap hasan Waktu ditangkap dia dituduh sebagai Lala gara-gara kasus pencurian.
Padahal, KTP dan tanda pengenal lainnya menuliskan nama Hasan Basri.2
Beberapa bulan setelah peristiwa penangkapan Hasan Basri, dijatuhkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan nomor 219/PID.B/2012/PN.JKT PST yang pada
pokoknya membebaskan terdakwa Hasan Basri dengan pertimbangan hukum bahwa
keterangan saksi yang dibawa kedalam persidangan tidaklah cukup kuat dalam membuktikan
kesalahan yang didakwakan pada Hasan Basri. Dengan memanggil saksi-saksi yang kurang
kuat nilai pembuktiannya, hakim dalam pertimbangannya 3 beranggapan bahwa terpenuhinya
azas unus testis nulus testis dan adanya subjektifitas yang harus dikesampingkan
kesaksiannya, yakni pemanggilan polisi pemeriksa sebagai saksi yang dalam hal cenderung
membenarkan hasil pemeriksaannya sendiri. Kejadian ini memunculkan pertanyaan besar,
apakah fungsi check and balance dalam penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan dan
penyidik berjalan sebagaimana yang dicita-citakan oleh hukum? lantas siapakah yang
bertanggung jawab terhadap check and balance system dalam tahapan penyidikan dan
penuntutan?
Pasal 1 butir 1 KUHAP menjelaskan, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Adapun pengaturan mengenai wewenang Penyidik diatur secara jelas dalam Pasal 7
KUHAP yaitu:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
1
Diunduh penulis pada tanggal 26-10-2013:
http://news.detik.com/read/2013/05/02/112627/2236111/10/?nd772204topnews
2
Diunduh
penulis
pada
tanggal
26-10-2013:
http://tempo.co/read/news/2012/02/10/214383015/Gara-gara-Mirip-Buron-Hasan-MasukPenjara+&cd=19&hl=en&ct=clnk&gl=us
3
Putusan Nomor 219/Pid.B/2012/Pn.Jkt Pst. Hlm. 29
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan
perkara;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Persoalan yang sering kali muncul dalam proses penyidikan adalah adanya salah tafsir
pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf J diatas, sekalipun dalam penjelasannya sudah diuraikan
apa yang dimaksud dengan kewenangan tersebut4, namun dalam prakteknya sering kali
muncul ketidak konsistenan penafsiran bergantung dari kepentingan penyidik semata.5
Pokok Permasalahan
Sehubungan dengan adanya korban salah tangkap sebagaimana yang melatar
belakangi penulisan skripsi ini, muncul pertanyaan apakah terdapat perseimbangan dan
seimbang antara penyidik POLRI dan Jaksa Penuntut Umum, dalam kaitannya dengan
urgensi perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem peradilan pidana. Adapun rumusan
permasalahannya dapat dinyatakan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam penelitian
ini yakni sebagai berikut:
1. Apakah ada penerapan perseimbangan dan berimbang berdasarkan peraturan
perundang-undangan terkait dalam melaksanakan kewenangan yang dilakukan
penyidik dengan jaksa peneliti ?
2. Bagaimana penerapan Check And Balance System terkait wewenang penyidik dan
jaksa peneliti (studi kasus No. 219/PID/B/2012/PN JKT PST) ?
Metode Penelitian
4
Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal termasuk dalam lingkungan jabatannya
d. Atas pertimbangan yang layak dan berdasarkan keadaan yang memaksa
e. Menghormati hak asasi manusia
5
Al. Wisnubroto, G. Widiarta, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung, Citra Aditya
Bakti:2005)
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif6, dimana penelitian ini mengacu pada
norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan dan keputusan
pengadilan, serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat. Penelitian ini
mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional berupa KUHAP, Undang-Undang
Kepolisian NRI sampai pada peraturan Kapolri serta Prosedur Tetap yang dikeluarkan oleh
Kepala Kepolisian Indonesia, juga dikaitan dengan prinsip-prinsip internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia.
PEMBAHASAN
Didalam sistem praperadilan di Indonesia, terkait jelas mengenai adanya hubungan
fungsional di antara Jaksa Penuntut Umum dan Kepolisian RI, yang mana menurut M. Karjadi
dalam bukunya POLISI (Fisafat dan Perkembangan Hukumnya) mengatakan bahwa
berdasarkan penelitian para ahli, hakikat polisi ialah “kontrol”, yang artinya pengawasan dan
pengadilan terhadap sesuatu yang tidak beres.7 Didalam masyarakatpun ada sesuatu yang
mutlak harus ada untuk dapat dicapai keadaan tertib, aman, sejahtera dan bahagia dalam
kehidupan bersama, dan sesuatu yang mutlak harus ada ialah yang disebut kontrol, dan
kontrol ini adalah polisi, yang merupakan hati nurani masyarakat atau rakyat.8
Lingkup wewenang penyidikan secara dasar telah diatur di dalam KUHAP yakni Pasal
1 butir 1 jo. Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa pejabat yang berwenang dalam
melakukan penyidikan adalah polisi atau Penyidik pegawai negeri sipil, selanjutkan tugas
penyidikan diatur lebih khusus oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian
NRI serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana. Adapun sebagai Penyidik, Penyidik memiliki wewenang dalam melakukan upaya
paksa yakni diantaranya terdiri atas :
i.
Penangkapan
Penangkapan merupakan salah satu lembaga hukum yang diatur di
dalam KUHAP, yang merupakan ”senjata ampuh” bagi penyidik dalam
melakukan upaya paksa terhadap tersangka untuk mempercepat proses
penyidikan dan memastikan penghadapannya kepada penuntut umum
6
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10.
7
Djoko Prakoso, POLRI sebagai Penyidik dalam penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hlm. 164.
8
Ibid.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
karena diduga ia telah melakukan suatu tindak pidana dan
dikhawatirkan ia akan menghambat/mempersulit proses penyidikan atau
mengulangi tindak pidana. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam
Pasal 1 butir 20 KUHAP yakni sebagai berikut :
ii.
1.
Pengekangan (pembatasan) kebebasan untuk sementara waktu;
2.
Yang boleh ditangkap adalah tersangka atau terdakwa;
3.
Apabila terdapat cukup bukti;
4.
Guna keperluan penyidikan, penuntutan atau peradilan;
5.
Prosedur dan landasan hukumnya harus menurut KUHAP.
Penahanan
Diatur dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP dimana penahanan dilakukan
dalam rangka menempatkan tersangka/terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dengan
memenuhi persyaratan materiil dan formil.
iii.
Penggeledahan
Penggeledahan diatur Pasal 1 butir 17 dan 18 KUHAP yang
mengklasifikasikan penggeledahan sebagai berikut:
a.
Penggeledahan
rumah,
dimana
tindakan
yang
dilakukan
diantaranya untuk memasuki rumah dan tempat tertutup lainnya,
untuk melakukan tindakan pemeriksaan, penyitaan, penangkapan;
b.
Penggeledahan badan, dilakukan terhadap badan dan atau pakaian
tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawa olehnya agar dapat disita.
iv.
Penyitaan
Berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP penyitaan terdiri atas unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Serangkaian tindakan penyidik;
b. Untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaan
penyidik;
c. Objeknya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud;
d. Bertujuan untuk kepentingan pembuktian dalam tahap penyidikan,
pennuntutan dan peradilan.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Adapun mengenai lingkup wewenang Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan Pasal
30 tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum diantaranya sebagai berikut :
(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
(3) Dalam
bidang
ketertiban
dan
ketentraman
umum,
kejaksaan
turut
meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
Adapun fungsi Jaksa Penuntut Umum sebagai penyelenggara kekuasaan negara di
bidang penuntutan untuk mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan
kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan
kesusilaan, dengan menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.9
9
Penjelasan umum atas Undang-Undang
Republik Indonesia.
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Sebagaimana telah dijabarkan pada bagian Penyidik POLRI dan Jaksa Penuntut Umum
di atas, dapat diketahui bahwa hubungan fungsional diantaranya keduanya adalah hubungan
kerjasama yang bersifat saling mengawasi dalam proses penanganan perkara pidana.
Meskipun, fungsi penyidik dan penuntut umum dibedakan secara tegas, namun KUHAP
meletakkan dasar-dasar yang mewajibkan adanya mekanisme yang bersifat koordinatif yang
saling mengawasi.
Adapun, hubungan koordinatif yang bersifat fungsional dapat dirincikan sebagai
berikut:
1.
Penyampaian pemberitahuan dimulainya penyelidikan.
Hal ini sebagaimana diatur oleh Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan,
dalam hal dimulainya penyidikan suatu peristiwa pidana, penyidik wajib
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Sehingga secara tidak langsung,
penuntut umum yang tugasya mempersiapkan penuntutan harus sejak dini,
mengikuti perkembangan suatu perkara. Hal ini dikarenakan hasil penyidikan
tersebut akan menjadi dasar penyidikan, oleh karenanya sejak awal penuntut
umum melakukan pelaksanaan konsultasi antara penyidik dan penuntut umum,
dimana penuntut umum memberikan petunjuk pentunjuk yang mengarahkan
arahnya penyidikan untuk mengungkapkan data dan fakta yang diperlukan dalam
penuntutan perkara.10
2.
Penanganan pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh jaksa peneliti.
Sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu jaksa peneliti adalah jaksa yang bertindak
dalam kapasitasnya untuk meneliti dan memeriksa berkas perkara dalam tahap Pra
penuntutan, tepatnya yakni sebelum melimpahkan perkara kepada Pengadilan
Negeri yang berwenang. Penunjukan jaksa penuntut umum peneliti, dilakukan
oleh kepala Kejaksaan Negeri dengan menerbitkan surat perintah penunjukan
Jaksa Penuntut Umum untuk penelitian dengan kode PK-5.
Penerbitan
surat
perintah
tersebut
dilakukan
setelah
menerima
surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan, dengan maksud agar jaksa yang ditunjuk
itu mengikuti perkembangan penyidikan. Sehingga jaksa yang ditunjuk itulah
bertugas mempelajari berkas perkara setelah penyidik menyerahkan berkas
penyidikan tahap pertama.11
10
Op.Cit, Harun, Hlm. 271-272.
11
Ibid. Hlm 280.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Mengacu kepada hubungan fungsional antara Jaksa Penuntut Umum dengan Penyidik
tentu dapat kita lihat adanya Check and Balances System mempunyai arti yaitu suatu
pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat
sebebas-bebasnya
yang
dapat
menimbulkan
kesewenang-wenangan.
Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law Dictionary, diartikan
sebagai “arrangement of governmental powers whereby powers of one governmental branch
check or balance those of other brances”.12 Menurut Miriam Budiardjo, ajaran
mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara
lembaga-lembaga negara adalah adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain,
sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.13
Dalam pemisahan pelaksanaan tugas menangani perkara pidana, antara penyidik dan
penuntut umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instasional. Yang dimaksud
dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut
umum menurut fungsi dan wewenang masing-masing dalam penanganan perkara pidana.
Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara
penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana.14
Disamping hubungan yang bersifat fungsional tersebut, terdapat pula hubungan yang
bersifat instansional antara kepolisian dan kejaksaan dalam melaksanakan tugas penegakan
hukum. Hubungan kerja sama yang bersifat instansional tersebut, pengaturannya tidak
terdapat dalam KUHAP. Hubungan tersebut pelaksanaannya didasarkan pada petunjuk
pelaksanaan dan atau petunjuk teknis yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama.
Hubungan koordinasi instansional ini meskipun tidak secara langsung mengenai pelaksanaan
tugas, fungsi kewenangan masing-masing, tetapi dalam praktek hal ini dirasakan manfaatnya
dalam menanggulangi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Keterkaitan antara penyidikan dan penuntutan sangatlah jelas. Polisi melakukan
penyidikan tidak boleh semata-mata melakukan penyidikan karena perkara tidak berhenti
hanya pada penyidikan. Polisi dalam melakukan penyidikan hendaknya menyadari bahwa
hasil karyanya sangat menentukan bagi proses perkara selanjutnya dalam penuntutan.
Keberhasilan penyidikan mesti terkait dengan keberhasilan penuntutan. Sebaliknya, bagi
12
A. Bryan Garner, Black's law dictionary, West Group:1999, hlm. 680.
13
Budiarjo Miriam, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 296.
14
Op. Cit., Harun, Hlm. 269-270.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
jaksa, mereka pun semestinya mengikuti proses penyidikan suatu perkara dengan sebaikbaiknya, sebab hal itu akan menjadi bekal baginya dalam menyusun surat dakwaan dan dalam
melakukan penuntutan di sidang pengadilan. Apabila ia tidak menguasai perkara yang akan ia
tuntut, karena tidak mengetahui proses penyidikannya, penuntutan yang ia lakukan menjadi
tidak meyakinkan, yang pada gilirannya gagal membuktikan keyakinan hakim bahwa si
terdakwa memang benar-benar bersalah. Pada ujungnya kebenaran tidak dapat dibuktikan di
depan sidang pengadilan, dan si pelaku gagal dipidana.15
KUHAP dalam penjelasan umumnya menyatakan, “Kepada seorang tersangka sejak
saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar
hukum apa yang didakwakannya kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu, termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum”. Dari asas itu pada dasarnya ada
dua hal penting yakni adanya dakwaan dan adanya perlindungan terhadap hak tersangka. Di
samping itu, sesuai dengan Pasal 137 KUHAP maka lembaga kejaksaan adalah satu-satunya
alat negara yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan sebagai penuntut
umum. Hal ini membawa konsekuensi logis, yaitu merupakan suatu kewajiban mutlak bagi
penuntut umum untuk senantiasa mengikuti perkembangan setriap pemeriksaan yang
dilakukan penyidik dalam hal seorang disangka melakukan tindak pidana.16
Perlu diingat bunyi diktum angka 1 dari Instruksi Bersama Jaksa Agung RI dan
Kapolri tanggal 6 oktober 1981 yang secara tegas menyatakan bahwa antara Kejaksaan dan
Polri senantiasa meningkatkan kerja sama secara fungsional dan instansional yang sebaikbaiknya untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana dengan sempurna menurut hukum mulai
dari penyidikan sampai ke pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dengan demikian, meskipun penjelasan resmi Pasal 109 KUHAP tidak
mengandung kejelasan, tetapi bilamana kita kaitkan dengan uraian singkat di atas pada
hakikatnya dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pemberitahuan oleh penyidik kepada penuntut umum sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 109 KUHAP adalah merupakan suatu kewajiban bagi
penyidik;
2. Pemberitahuan tersebut ujudnya harus tertulis demi ketertiban administrasi
perkara dan dalam hubungan ini perlu adanya suatu standardiisasi;
15
Ibid.
16
Ibid. Hlm. 98
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
3. Batas waktu pemberitahuan seyogyanya dilakukan dalam waktu relatif
singkat, yaitu sejak penyidik memulai pemeriksaan terhadap tersangka.17
Dalam perihal terkait check and balance antara penyidik dan jaksa penuntut umum
dikenal juga tahapan pra-penuntutan yaitu penelitian berkas perkara tahap pertama, pemberian
petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penelitian ulang berkas perkara, Penelitian
tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti serta pemeriksaan tambahan.18
Pemeriksaan tambahan disini merupakan hak dari seorang jaksa untuk dapat turun
langsung dalam penyidikan yang mana dalam melakukan peyidikan suatu perkara pidana.
Adapun pemeriksaan tambahan disini dapat dilakukan jaksa setelah memperoleh hasil
penelitian atas berkas perkara yang diserahkan pada tahap pertama ternyata hasil penyidikan
belum lengkap, yang melalui proses sebagai berikut:
Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk
untuk dilengkapi dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah penerimaan atas
pengembalian berkas perkara. Dalam rangka mengembalikan berkas perkara dimaksud,
diterbitkan pemberitahuan bahwa hasil penyidikan belum lengkap (P-18) dan pengembalian
berkas perkara dengan petunjuk dilaksanakan dengan menerbitkan (P-19) dan selanjutnya
telah diterbitkan pula Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-21), akan tetapi
kemudian ternyata berkas perkara tersebut belum memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan
ke pengadilan (sesuai pasal 139 KUHAP), maka untuk melengkapinya dapat dilakukan
Pemeriksaan Tambahan.19 Jaksa Penuntut Umum melaporkan hal itu kepada Kepala
Kejaksaan Negeri disertai usul untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan
Pemeriksaan Tambahan. Hasil penelitian ulang tersebut dituangkan dalam bentuk Berita
Acara Pendapat Hasil Penelitian Berkas Perkara (P-24) lalu memerintahkan penyidik disertai
petunjuk untuk dilengkapi dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah penerimaan atas
pengembalian berkas perkara.20 Dalam hal batas waktu penyidikan tambahan hampir berakhir,
Jaksa Penuntut Umum mengingatkan Penyidik dengan menerbitkan P-20. Setelah berakhirnya
17
Abdul Hakim G Nusantara; Luhut Pangaribuan’ dan Achmad Santosa, KUHAP (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan Peraturan-peraturan Pelaksana, (Jakarta: Djambata,
1992), Hlm. 274-277.
18
Poin 1 Surat Edaran -JAMPIDUM-B- 401/E/9/1993 tentang Pelaksanaan tugas Pra
Penuntutan. Hlm. 1
19
SE-JAMPIDUM-B-536-E-11-1993 Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan
Pemeriksaan Tambahan. Hlm. 2
20
Ibid
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
batas waktu Penyidikan Tambahan dan tidak ada jaminan bahwa hasil penyidikan sesuai
dengan harapan, diterbitkan P-22 guna meminta penyerahan berkas perkara. tersangka dan
barang bukti untuk pelaksanaan Pemeriksaan Tambahan.21 Setelah berkas perkara, tersangka
dan barang bukti berada di tangan Jaksa Penuntut Umum, Kepala Kejaksaan Negeri
menerbitkan Surat Perintah melengkapi berkas perkara (P-25), dan dalam pelaksanaan
Pemeriksaan Tambahan sesuai ketentuan pasal 27 (1) huruf d Undang-Undang Nomor : 5
Tahun 1991 beserta, penjelasannya, dilakukan dengan memperhatikan: Tidak dilakukan
terhadap tersangka
A. Hanya terdapat perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan atau
yang dapat meresahkan masyarakat, dan atau dapat membahayakan
keselamatan negara
B. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan
ketentuan pasal 110 dan pasal 138 (2) KUHAP
C. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan Penyidik.
Setelah selesai Pemeriksaan Tambahan Jaksa Penuntut Umum menentukan pendapat
tentang telah dapat dilengkapi atau tidaknya berkas perkara, yang dituangkan dalam bentuk
Berita Acara Pendapat (P-24).22
Hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum seyogyanya merupakan
hubungan kerjasama yang bersifat saling mengawasi, dalam proses penanganan pidana.
Adapun hal tersebut diimplementasikan melalui mekanisme koordinatif yang saling
mengawasi. Dalam penanganan perkara tersebut, penyidik wajib wajib memberitahukan hal
itu kepada penuntut umum. Sehingga secara tidak langsung, penuntut umum yang tugasya
mempersiapkan penuntutan harus sejak dini, dapat mengikuti perkembangan suatu perkara.
Hal ini dikarenakan hasil penyidikan tersebut akan menjadi dasar bagi penuntut umum dalam
menyusun surat dakwaan. Dalam perkara tersebut, khususnya dalam pertimbangan hakim,
dapat diketahui bahwa surat dakwaan penuntut umum disusun berdasarkan keterangan yang
telah dihimpun oleh Penyidik dalam masa penyidikan. Sehingga terlihat bahwa peran
penuntut umum dalam meneliti berkas perkara hasil penyidikan tidak lah bersifat signifikan,
melainkan hanya meneliti berkas perkara penyidikan secara administratif. Padahal telah diatur
oleh peraturan perundang-undangan mengenai fungsi dari jaksa penuntut umum untuk
penelitian setelah diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh
penyidik, dengan maksud agar jaksa peneliti tersebut mengikuti perkembangan penyidikan
21
22
ibid
Ibid. Hlm. 3
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
dan mempelajari berkas perkara setelah penyidik menyerahkan berkas perkara penyidikan
tahap pertama.
Hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum yang demikian itu,
merupakan salah satu mekanisme Check And Balance System yang dimaksud oleh Penulis
dalam penulisan skripsi ini, sehingga pelaksanaan tugas penyelenggaraan penyidikan dapat
berjalan sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan hak-hak warga negara terutama
dalam hal ini hak-hak sipil yang seharusnya dapat dinikmati oleh Hasan Basri. Lebih lanjut
hubungan fungsional penyidik dan penuntut umum dalam kaitannya dengan Check and
Balance System terimplementasi dengan adanya pengembalian berkas perkara penyidikan
kepada penyidik dalam hal hasil penyidikan tersebut masih belum lengkap atau kurang
lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut disertai petunjuk-petunjuk
guna melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib mengadakan penyidikan tambahan.
Dalam prakteknya, hal petunjuk-petunjuk dan arahan tersebut diberikan dalam
bentuk berkas P-18 dan P-19, dimana pada intinya jaksa peneliti akan memberikan instruksi
untuk melengkapi persyaratan formil dan materiil dalam hal berkas hasil penyidikan belum
dapat dinyatakan lengkap.
Namun, penyelenggaraan Check and Balance System melalui mekanisme SPDP
tersebut dalam kasus Hasan Basri ini tidak terlaksana dengan baik, dimana memang pada
prakteknya, SPDP diserahkan bersamaan dengan pelimpahan perkara kepada Kejaksaan.
Penanganan lebih lanjut atas pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut,
akan diperiksa oleh jaksa peneliti. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jaksa peneliti
adalah jaksa yang bertindak dalam kapasitasnya untuk meneliti dan memeriksa berkas perkara
dalam tahap Pra penuntutan, tepatnya yakni sebelum melimpahkan perkara kepada Pengadilan
Negeri yang berwenang. Penunjukan jaksa peneliti yang dilakukan oleh kepala Kejaksaan
Negeri, dilakukan dengan menerbitkan surat perintah penunjukan Jaksa Penuntut Umum
untuk penelitian dengan kode PK-5 tersebut menunjukkan adanya realisasi secara teoritis
adanya Check and Balance System dari institusi kejaksaan terhadap institusi kepolisian dalam
proses peradilan pidana (Criminal Justice System).23
Sehubungan dengan hal tersebut, pada penanganan perkara Hasan Basri tersebut
berdasarkan aturan hukumnya, Penyidik seyogyanya menyampaikan SPDP kepada Jaksa, agar
Jaksa dapat mengikuti perkembangan penyidikannya. Sehingga jaksa yang ditunjuk tersebut
23
Ibid.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
dapat mempelajari berkas perkara setelah penyidik menyerahkan berkas penyidikan tahap
pertama.24 Namun dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa pada akhirnya dalam kasus Hasan
Basri baik Jaksa maupun Polisi mengalami kesalahan yang sedemikian rupa, dikarenakan
dalam prakteknya, SPDP yang disampaikan bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara
tersebut tidak memberikan waktu yang banyak bagi Jaksa untuk meneliti berkas penyidikan
dengan seksama. Dengan demikian, jaksa tidak dapat menyelenggarakan Check and Balance
System dalam melaksanakan surat perintah melakukan penelitian untuk dapat diperiksanya
berkas penyidikan dan memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilengkapi apabila
terdapat bukti yang kurang atau perihal lain bagi hasil penyidikan yang dipertimbangkan
belum lengkap.25
Jaksa dalam melakukan penelitian terhadap hasil penyidikan, tidaklah turun langsung
ke dalam proses penyidikan, dimana penyidikan tambahan oleh jaksa hanya dilakukan apabila
terdapat kendala dari pihak kepolisian dan dalam hal ini seringkali baik Polisi maupun Jaksa
tidak melakukan koordinasi, dikarenakan secara khusus bagi Jaksa yang dikejar waktu untuk
menyelesaikan berkas, sehingga koordinasi yang dilakukan oleh penyidik seringkali hanyalah
terkait dengan adanya kasus yang menarik perhatian publik mereka terkadang berkoordinasi
untuk hal itu. Terlebih lagi Jaksa berusaha untuk menghindari adanya stigma mencampuri
tugas dan wewenang penyidik.26 Hal ini lah yang menjadi celah tidak terselenggaranya Check
and Balance System sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan, sebagaimana hal
yang kemungkinan besar terjadi pada perkara Hasan Basri.
Hal yang terjadi pada Hasan Basri inilah yang menjadi celah hukum di Indonesia,
dimana hal ini berkaitan erat dengan sistem inquisitor yang menjadikan tersangka hanya
sebagai subjek sehingga penyidik cenderung menyalahgunakan kekuasaannya/abuse of power
yang jelas-jelas berkontradiksi dengan asas dari KUHAP yang meletakkan dasar persamaan di
mata hukum bagi tersangka dalam mendapatkan hak-hak dasarnya.27
24
Ibid., Hlm 280.
Hasil wawancara dengan Bapak Mudjiono, Kejaksaan Tinggi Kota Jakarta pada
tanggal 11
Maret 2014
25
26
Hasil wawancara dengan Bapak Mudjiono, Kejaksaan Tinggi Kota Jakarta pada
tanggal 11
Maret 2014
27
http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/02/Pretrial-Hearing-in-Indonesia.pdf,,
hlm. 4.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Dalam studinya, Komisi Hukum Nasional menemukan bahwa pemeriksaan untuk
melakukan penahanan, masih terdapat penyalahgunaan dalam tahap penyidikan oleh Polisi
dan penuntutan oleh jaksa.28 Studi tersebut menemukan, hal tersebut disebabkan karena
KUHAP dan peraturan pelaksanaannya memberikan kewenangan diskresional yang tinggi
kepada aparat penegak hukum. Penggunaan kewenangan tersebut sangat tergantung dari
penilaian subjektif aparat penegak hukum ditambah dengan peraturan perundang-undangan
yang banyak memberikan ruang intrepretasi bagi aparat penegak hukum.29
Potensi penyalahgunaan wewenang juga terjadi terhadap ketentuan KUHAP mengenai
“bukti permulaan yang cukup” karena KUHAP tidak pernah menjelaskan secara memadai
pengertian dan batasannya. Penafsiran atas “bukti permulaan yang cukup” akhirnya
diserahkan kepada aparat penegak hukum, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
dan berakibat pada metode kerja penyidik yang masih mewarisi cara-cara masa lalu yaitu
dengan “tangkap dulu baru pembuktian”. Penelitian KHN tersebut menyebutkan30:
“Ketidakjelasan pengertian maupun batasan ”bukti permulaan yang cukup”
menunjukkan bahwa KUHAP tidak konsisten dengan semangat lahirnya, yaitu
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang memilki hak-hak asasi yang
harus dihormati dan dijunjung tinggi. Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar
untuk melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan, dalam
menggunakan upaya paksa ini telah terjadi pengurangan terhadap hak asasi manusia
yaitu kebebasan, sehingga harus betul-betul didasarkan pada bukti yang akurat dan
memadai, apalagi penangkapan, penahananan maupun upaya paksa lainnya terkait
dengan nama baik seseorang, meski di dalam hukum pidana digunakan asas praduga
tidak bersalah tetapi di tengah masyarakat orang yang pernah ditangkap dan ditahan
terkadang mendapat stigma yang negatif. Bukti permulaan yang cukup seharusnya
dikaitkan dengan ketentuan pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang batas minimal
alat bukti yaitu minimal harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim”
Keterkaitan antara bukti permulaan yang cukup menjadi faktor utama bagi fungsi
pelaksanaan Check and Balance System, yang mana merupakan keterkaitan hubungan
28
KHN, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyidikan Oleh Polisi Dan Penuntututan Oleh
Jaksa Dalam Proses Peradilan Pidana, (Jakarta: 2007), Hlm. 81.
29
Ibid.
30
Ibid, Hlm. 82
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
fungsional antara jaksa dan polisi. Hal ini lah yang menurut Penulis, bahwa diperlukannya
faktualisasi pengawasan antara Jaksa dan Polisi dalam menangani perkara pidana. Dalam hal
ini, polisi harus dapat bersikap lebih kooperatif terhadap Jaksa dalam mengirimkan SPDP
pada kesempatan pertama, sehingga Jaksa dapat mengikuti perkembangan perkara dari awal
dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, korban salah tangkap seperti Hasan Basri dapat
dihindari di kemudian hari.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya mengenai hubungan
antara penyidik Polri dengan Jaksa Peneliti yang saling bekoordinasi dalam suatu tindak
pidana, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Dalam hubungan antara Penyidik Polri dengan Jaksa Peneliti, telah diletakkan
dasar dalam KUHAP mengenai adanya sebuah hubungan koordinasi yang dimulai
sejak awal dimulainya penyidikan dengan adanya pemberian SPDP dari Penyidik
ke Jaksa Peneliti, agar nantinya dapat diteliti oleh Jaksa Peneliti dan adanya berkas
P-18 dan P-19 sebagai bentuk pengawasan dari Jaksa Peneliti apabila berkas
penyidikan
belum
dapat
dinyatakan
lengkap,
sehingga
adanya
sistem
perseimbangan dan seimbang anatara keduanya disini hanyalah dalam bentuk
berkas saja, dimana jaksa tidaklah mengetahui mengenai perkembangan mengenai
kasus sejak dimulainya penyidikan secara menyeluruh.
2. Terkait dengan penerapan Check and Balance System dalam kasus Hasan Basri
(studi kasus No. 219/PID/B/2012/PN JKT PST) belum terselenggara dengan baik,
mengingat adanya pembagian secara tegas mengenai wewenang penyidik dan
jaksa yang mengakibatkan adanya celah hukum yang cenderung dapat merugikan
hak-hak tersangka, dimana Penerapan koordinasi sistem ceking antara penyidik
Polri dengan jaksa peneliti dalam kasus Hasan Basri yang dalam KUHAP diatur
seharusnya terjadi koordinasi pada tahap dimulainya Penyidikan (SPDP) namun
dalam kenyataannya pemberian surat dimulainya penyidikan ini diberikan oleh
pihak Penyidik pada saat pelimpahan berkas yang mana kemudian tahap
koordinasi ini hanyalah sebatas kelengkapan materiil dan formil mengenai berkas
yang telah dilimpahkan oleh pihak penyidik kepada jaksa peneliti. Sehingga
dengan adanya korban salah tangkap terhadap Hasan Basri yang dilakukan oleh
Penyidik, menunjukkan tidak adanya perseimbangan dan seimbang dengan tidak
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
adanya pengawasan yang memadai terhadap jalannya penyidikan suatu perkara
terkait dengan aturan yang telah diatur dalam KUHAP dari Jaksa Peneliti,
sehingga aturan untuk saling koordinasi antara jaksa dan penyidik yang tidak
terselenggara mengorbankan hak-hak tersangka itu sendiri, dalam hal ini Hasan
Basri. Adapun faktor lain tidak adanya keseimbangan disini, dikarenakan pihak
kepolisian memisahkan secara tegas mengenai pembagian kewenangan, yang
mana kepolisian mempunyai wewenang dalam penyidikan dan jaksa dalam
penuntutan, adanya pembagian ini cenderung mengakibatkan adanya abuse of
power dari pihak kepolisian dalam mendapatkan keterangan mengenai suatu
perkara dalam tahap penyidikan tanpa adanya pengawasan dari Jaksa, namun hal
ini tidaklah berjalan sebagaimana seharusnya, dimana Hasan Basri merupakan
salah satu contoh kasus korban salah tangkap dikarenakan tidak adanya Check and
Balance System.
SARAN
1. Perlu adanya perbaikan sistem pada institusi penyidik Polri dan Kejaksaan, dimana
diadakannya pengawasan sebuah perkara yang dimulai sejak adanya penyidikan,
yang dalam hal ini bertujuan agar menghindari adanya proses salah tangkap yang
mana adalah sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia, terkait dengan upaya paksa
yang mengakibatkan hilangnya sebuah kemerdekaan seseorang dalam sementara
waktu. Model sistem peradilan pidana
yang harus diperbaiki
mengacu
keseimbangan kepentingan, yang mana model sistem ini memperhatikan berbagai
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentinga nindividu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan
kepentingan korban kejahatan yang mana hal ini didukung oleh check and balance
diantara lembaga tersebut.
2. Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan, harus berpatokan
dan berpegang pada ketentuan khusus yang diatur dalam hukum acara pidana dalam
hal ini adalah KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) mengingat di negara
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut asas supremasi hukum yang
menegaskan bahwa segala tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis atau disebut due process of law, terlebih
adanya pengurangan dominasi peranan di antara aparatur, yang seyogyanya justru
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
sudah seharusnya lebih diutamakan pandangan yang mengangkat kebersamaan dan
semangat bekerja sama yang tulus dan ikhlas serta positif diantara aparatur negara.
KEPUSTAKAAN
Buku
Garner, A. Bryan. Black's Law Dictionary. West Group:1999.
Husein, Harun M. Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,
1991.
Mamudji, Sri, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Miriam, Budiarjo. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Nusantara, Abdul Hakim G, Luhut Pangaribuan dan Achmad Santosa. KUHAP (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan Peraturan-peraturan Pelaksana. Jakarta:
Djambata, 1992.
Prakoso, Djoko. POLRI sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Internet
http://news.detik.com/read/2013/05/02/112627/2236111/10/?nd772204topnews.
Diunduh
pada tanggal 26 Oktober 2013.
http://tempo.co/read/news/2012/02/10/214383015/Gara-gara-Mirip-Buron-Hasan-MasukPenjara+&cd=19&hl=en&ct=clnk&gl=us. Diunduh pada tanggal 26 Oktober 2013.
http://www.columbia.edu/~cp2124/papers/JudicialChecksFinal_JPE.pdf.
Diunduh
pada
tanggal 12 Desember 2013.
http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2013.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_5106. Diunduh pada tanggal 27
Desember 2013.
http://www.jsijournal.ie/html/Volume%204%20No.%202/4%5B2%5D_Mahoney_Right%20t
o%20a%20Fair%20Trial%20in%20Criminal%20Matters.pdf. Diunduh pada tanggal
27 Desember 2013.
http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/02/Pretrial-Hearing-in-Indonesia.pdf. Diunduh
pada tanggal 14 Januari 2014.
KASUS
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: Putusan Nomor 219/Pid.B/2012/Pn.Jkt Pst, (2012).
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No.76
Tahun 1981. TLN. No. 3209.
________. Undang-Undang Kejaksaan RI. UU No. 16 Tahun 2004. LN No. 67 Tahun 2004.
TLN. No. 4401.
________. Surat Edaran JAMPIDUM-B-536/E/11/1993 Melengkapi Berkas Perkara Dengan
Melakukan Pemeriksaan Tambahan.
________. Surat Edaran Jaksa Agung No.SE-013/J.A/8/1982. Tanggal 20 Agustus 1982.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 12 Tahun 2009.
Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014
Download