Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto

advertisement
Artikel
ISSN : 0852-8489
e- ISSN : 2460-8165
Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto, Tanah
Datar, Sumatera Barat, terhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi
Penulis: Yulisa Fringka
Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI
Diterima: Juli 2015; Disetujui: Desember 2016
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka
pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang
para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa untuk berdiskusi dan
menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia.
Untuk kriteria dan panduan penulisan artikel maupun resensi buku, silahkan
kunjungi tautan berikut: www.journal.ui.ac.id/mjs
Untuk mengutip artikel ini (ASA Style):
Fringka, Yulisa. 2016. “Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat
Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, terhadap Rencana Tambang
Bukit Batubasi.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(2):205-231.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat
Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat,
t erhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi
Yul i s a Fr i n g k a
Ikatan Mahasiswa Minang (Imami) Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini membahas resistensi masyarakat lokal terhadap rencana tambang oleh
perusahaan ekstraktif yang difokuskan pada studi konflik untuk melihat apakah konflik
ini berkembang menjadi sebuah gerakan sosial atau tidak. Tulisan ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Nagari III Koto, Sumatera Barat. Tulisan
ini menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi sebab resistensi. Norma dan
aturan adat menjadi variabel yang sangat penting sebagai sebab resistensi sekaligus
sebagai penentu bentuk resistensi yang dilakukan. Sedikitnya ada tujuh bentuk
resistensi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat hingga tujuan resistensi itu
dapat tercapai. Selain menjadi sebab dan menentukan bentuk, keberadaan adat dengan
legalitas yang tinggi ternyata juga digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan
resistensi oleh masyarakat. Berdasarkan bentuk-bentuk resistensi yang teridentifikasi,
dapat disimpulkan bahwa perlawanan masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana
tambang Bukit Batubasi merupakan suatu gerakan sosial.
Abstract
This article discusses the resistance in local societies against mining corporate. This
study focuses on conflict approach which is seen if it can be a social movement or not.
This study uses the qualitative approach with case study held in Nagari III Koto, West
Sumatera. This article shows us that there are seven variables which being the cause of
resistance. Norms and custom’s tradition are the most important in determining the
forms of resistance. At least there are seven forms of resistance which did by actors
in the region until it achieved. Highly legal tradition can be used as a tool to reach
the goals of resistance in society. Based on such forms of those resistances, it could be
concluded that the resistances of the people in Nagari III Koto are social movement.
Keywords: resistance, social movement, Nagari, Bukit Batubasi.
206 |
YULISA FRINGK A
PE N DA H U L UA N
Kasus penolakan dan perlawanan masyarakat lokal terhadap
aktivitas pertambangan di Indonesia mulai mengalami peningkatan
intensitas yang sangat signifikan terutama setelah reformasi politik
1998 (Prayogo 2008:4). Demokratisasi sebagai wujud perubahan
politik menjadi jalan bagi lahirnya berbagai perlwanan terhadap
industri tambang di Indonesia, karena demokrasi memberi ruang
yang sangat luas bagi komunitas lokal untuk mengekspresikan sikap
serta kepentingan ekonomi dan politik mereka terhadap pemerintah
dan korporasi (Prayogo 2008:5). Selain demokratisasi, perbedaan
kepentingan antara korporasi tambang, pemerintah, dan masyarakat
lokal sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam aktivitas
pertambangan di Indonesia juga merupakan faktor pendorong konflik
yang sangat krusial. Motif penolakan dan pelawanan masyarakat lokal
terhadap aktivitas pertambangan juga sangat beragam, mulai dari
motif ekonomi, lingkungan, hingga perekrutan tenaga kerja.
Konteks kultural masyarakat Indonesia yang sangat beragam
dan relatif sangat kuat di sejumlah masyarakat lokal menjadi faktor
yang mewarnai sekaligus mampu membuat kasus penolakan dan
perlawanan terhadap aktivitas pertambangan semakin rumit. Cara dan
bentuk penolakan yang dilakukan pun dapat menjadi berbeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan studi
lebih mendalam mengenai faktor penyebab serta bentuk penolakan
yang dilakukan masyarakat lokal terhadap aktivitas pertambangan
di Indonesia. Meskipun studi mengenai kasus serupa sudah mulai
banyak dilakukan, studi di daerah yang berbeda dengan ragam kasus
yang berbeda perlu dilakukan untuk melihat pola resistensi, konflik
atau perlawanan masyarakat lokal terhadap keberadaan dan praktik
pertambangan.
Beberapa studi terdahulu telah membahas kasus serupa di
berbagai daerah di Indonesia (Regus 2008; Prayogo 2010; Shultan,
dkk 2012; Kurniawan 2013). Pembahasan mengenai kasus ini
umumnya melihat konflik kepentingan sebagai penyebab utama
lahirnya resistensi atau konflik tambang. Melalui kasus resistensi
dan presistensi di desa Bonto katute, Kabupaten Sinjai, Kurniawan
(2013) menunjukkan bahwa perbedaan kepentingan dan pemahaman
mengenai pertambangan yang ada di daerah tersebut melahirkan dua
kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok yang resisten (menolak)
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 207
karena menganggap bahwa proses pertambangan menyebabkan
kerusakan lingkungan perubahan sosial budaya, dan berbagai
dampak negatif lainnya, dan kelompok presisten (mendukung)
yang berasal dari kalangan pemerintah dan jajarannya mendukung
proses pertambangan ini karena pertambangan dapat dimanfaatkan
untuk kemajuan ekonomi. Sejalan dengan temuan Kurniawan, studi
yang dilakukan Idhom (2009) mengenai kasus resistensi komunitas
Sedulur Sikep terhadap rencana pembangunan tambang semen di
Sukolilo, Kabupaten Pati, menemukan bahwa terdapat perbedaan
kepentingan dan pemahaman antara komunitas lokal (Sedulur
Sikep) yang menganggap pembangunan tambang akan mengganggu
keberlangsungan aktivitas pertanian, kerusakan lingkungan, dan
perubahan sosial budaya, sementara pemerintah mengganggap bahwa
pembangunan pertambangan semen ini akan membawa dampak
positif bagi kesejahteraan masyarakat Sukolilo secara keseluruhan.
Berbeda dengan Kurniawan dan Idhom, temuan Shultan,
dkk. (2012) dalam kasus perebutan tambang emas masyarakat
justru beranggapan bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk kesejahteraannya, sementara pemerintah
justru menganggap bahwa tambang merusak lingkungan sehingga
pemerintah setempat mengeluarkan surat keputusan penertiban
penambang tanpa izin. Sementara itu, Regus (2008) lebih fokus
terhadap sebab perlawanan rakyat terhadap tambang di Manggarai,
NTT. Ia menyimpulkan bahwa terdapat lima sebab terjadinya
perlawanan, yaitu dominasi, marjinalisasi, degradasi ekologis,
degradasi sosial budaya, dan kemiskinan. Lebih jauh lagi, studi yang
dilakukan Prayogo (2010) dengan memfokuskan kajiannya terhadap
pemerintah, korporasi, dan masyarakat, tidak lagi melihat sebatas
perbedaan kepentingan, tetapi lebih jau melihat dinamika, sebab dan
resolusi konflik yang terjadi.
Dalam tulisan ini, tambang dan perbedaan kepentingan tetap
dijadikan landasan pemikiran utama dalam melihat kasus perlawanan
masyarakat terhadap rencana tambang, karena menurut penulis
perbedaan kepentingan antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat
dapat menjadi penentu yang sangat kuat terhadap perlawanan
tambang oleh masyarakat. Meskipun demikian, penulis memiliki
asusmsi bahwa perbedaan kepentingan yang terjadi dalam setiap kasus
konflik serta resistensi atau perlawanan terhadap rencana tambang ini
tidaklah sama di setiap daerah. Selain itu, perbedaan kepentingan
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
208 |
YULISA FRINGK A
dalam tulisan ini lebih dilihat sebagai pemicu terjadinya konflik atau
resistensi itu sendiri. Di luar perbedaan kepentingan ini, penulis juga
akan fokus melihat sebab-sebab lain yang juga berpengaruh terhadap
perlawanan atas rencana tambang.
Dalam tulisan ini penulis ingin melihat kasus serupa pada
masyarakat adat dengan kultur dan budaya yang kuat, namun tidak
termarjinalisasi. Tulisan ini difokuskan pada perspektif konflik
yang melihat faktor serta bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
masyarakat dengan prosedur adat. Untuk itu, tulisan ini bermaksud
mengungkap alasan serta faktor dan motif yang menyebabkan
masyarakat menolak rencana tambang di Nagari III Koto Kabupaten
Tanah Datar, termasuk untuk mengungkap aktor-aktor yang berada
di balik penolakan serta kekuatan yang dimilikinya. Kemudian, untuk
mencari tahu bagaimana bentuk-bentuk resestensi yang dilakukan
masyarakat tehadap rencana penambangan. Dengan demikian, tulisan
ini mampu memberikan pembahasan dan kesimpulan yang berbeda
dari studi sebelumnya karena menekankan pada kuatnya kultur di
dalam masyarakat itu sendiri. Tulisan ini pada akhirnya melihat
apakah perlawanan, resistensi, atau gerakan tolak rencana tambang
ini merupakan suatu gerakan sosial atau bukan.
M E T O DE PE N E L I T I A N
Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian yang menggunakan
metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai
secara mendalam (indepth interview) 12 informan yang dipilih secara
purposive karena dianggap dapat memberikan informasi secara
mendalam mengenai gejala yang diteliti dan terlibat secara aktif
dalam proses resistensi terhadap rencana tambang Bukit Batubasi.
Kedua belas informan tersebut didapatkan secara snowball (bergulir)
sesuai dengan kebutuhan data tulisan. Selain melakukan wawancara
mendalam, penulis juga melakukan observasi terhadap proses interaksi,
kehidupan sosial-budaya masyarakat, juga terhadap Bukit Batubasi itu
sendiri. Untuk melengkapi data tulisan, penulis memperkaya temuan
data dengan melakukan penelusuran data sekunder mengenai kasus
resistensi berbasis adat masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana
tambang Bukit Batubasi dan berbagai berita dari media massa dan
elektronik mengenai kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 209
R E S I S T E N S I , KO N F L I K K E PE N T I N G A N, KO N F L I K
TA M B A N G , H I N G G A G E R A K A N S O S I A L
Untuk menjelaskan bagaimana proses konflik yang terjadi dalam
resistensi rencana tambang, penulis menggunakan teori konflik yang
dianggap mampu menjeleaskan bagaimana proses terjadinya konflik
dalam kasus ini. Teori konflik dalam sosiologi dikemukakan secara
berbeda. Marx lebih melihat konflik berdasarkan moda produksi
kapitalis yang dimiliki oleh kelas borjuis dan proletar. Perbedaan
sumber daya yang dimiliki antar dua kelas ini dapat menimbulkan
konflik kepentingan yang inheren antar keduanya (Ritzer dan
Goodman 2004). Sementara itu, menurut Dahrendorf, konflik dapat
lahir akibat disintegrasi dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pemicu konflik menurutnya adalah kelompok kepentingan yang
mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan dan anggota yang
jelas (Ritzer dan Goodman dalam Shultan, et al. 2012). Selanjutnya,
Fisher (dalam Shultan, et al. 2012) mengungkapkan bahwa konflik
disebabkan oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam masalah
sosial, budaya, dan ekonomi. Teori konflik menurut Fisher ini adalah
merupakan teori konflik yang hampir mendekati konflik dalam
resistensi masyarakat lokal terhadap korporasi tambang ini.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori konflik yang lebih
aplikatif dan lebih fokus terhadap konflik antara komunitas lokal,
pemerintah, dan korporasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Prayogo (2008) untuk menganalisis proses terjadinya konflik, mulai
dari sebab hingga resolusinya. Menurut Prayogo (2008:16), konflik
dapat dilihat sebagai sebuah proses sosial yang dianalisis melalui tiga
variabel, yaitu dimensi sebab, dinamika, dan resolusi. Konflik sosial
tidaklah terjadi secara tiba-tiba, melainkan terdapat faktor-faktor
penyebabnya dan disertai oleh indikasi awal. Suatu resolusi konflik
dapat dikembangkan jika bergantung pada aktor yang terlibat dalam
penentuan penyelesaiannya (Prayogo 2008:17).
1. Sebab konflik
Menurut Prayogo, penyebab terjadinya konf lik tidak hanya
disebabkan oleh variabel ketimpangan, eksploitasi, dan dominasi
seperti yang diungkapkan oleh pemikir teori konflik terdahulu,
melainkan ada faktor lain, yaitu perubahan politik dan pemberdayaan
pada masyarakat. Aspinal dan Feally (dalam Prayogo 2008:22) juga
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
210 |
YULISA FRINGK A
menyebutkan bahwa munculnya resistensi masyarakat terhadap
pemerintah dan korporasi disebabkan oleh adanya perubahan struktur
politik akibat terjadinya transisi politik.
Prayogo kemudian mengelompokkan ketimpangan, eksploitasi,
dan dominasi sebagai sebab struktural dan sebab tidak langsung
terjadinya konflik yang sulit diukur, sedangkan perubahan politik
dan pemberdayaan masyarakat disebut sebab nonstruktural dan sebab
langsung yang berpeluang menimbulkan resistensi masyarakat yang
berujung pada konflik. Selain itu, Prayogo dalam hasil temuannya
kemudian menambahkan satu variabel lain, yaitu ekonomidemografi yang juga berperan sebagai penyebab konflik. Peran negara
kemudian penting untuk meredam terciptanya suatu konflik. Jika
masyarakat tidak diberdayakan, mereka tidak akan memiliki
kesadaran, keberanian, dan kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan resistensi terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan.
2. Dinamika Konflik
Prayogo (2008:24) melihat dinamika dalam konf lik antara
masyarakat lokal dengan korporasi tambang begitu kompleks,
sehingga tidaklah sama dengan dinamika dalam konflik antar etnis
atau agama. Karakteristik dalam dinamika konflik pada kasus ini
ditandai oleh lima variabel, yaitu fluktuasi konflik, intensitas konflik,
ekskalasi, dan bentuk konflik, aktor atau lembaga1 serta karakteristik
lokal yang terlibat baik sebagai pendorong maupun peredam konflik.
Aktor yang dimaksud dalam hal ini adalah para elite lokal, tokoh
adat, preman, atau individu yang signifikan. Selain lima variabel
di atas, kuat-lemahnya konflik juga dapat ditentukan oleh seberapa
banyak lembaga yang terlibat atau adakah kompetisi dan/atau
kolaborasi antarlembaga dalam konflik tersebut yang nantinya akan
menyebabkan timbulnya konflik kepentingan (Prayogo 2008:26).
3. Resolusi Konflik
Resolusi konflik merupakan solusi terbaik dari konflik yang terjadi
dan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Resolusi konflik ini
dapat dipetakan ke dalam kontrak sosial yang adil dan merata bagi
komunitas lokal. Bentuk resolusi yang digunakan sebagai penyelesaian
akhir dari suatu konflik sangat ditentukan oleh peran negara.
1
Lembaga yang dimaksud adalah organisasi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), pers, organisasi kepentingan, dan profesi.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 211
Negara dalam hal ini dapat mendorong tercapainya penyelesaian
dengan menggunakan kontrak sosial lama atau kontrak sosial baru.
Pada variabel resolusi ini, Prayogo lebih melihat peran negara sebagai
penentu akan resolusi konflik yang dipilih dalam sebuah konflik.
Kerangka berpikir Prayogo dalam teori konflik yang melihat sebab,
dinamika, serta resolusi konflik ini tergambar dalam skema berikut:
Bagan 1. Kerangka Konflik Korporasi-Komunitas
SEBAB
Perubahan Politik
Ketimpangan
Eksploitasi
DINAMIKA
Fluktuasi, Ekskalasi &
bentuk, Intensitas,
Aktor dan Lembaga,
karakteristik lokal
RESOLUSI
Keadilan
Pemerataan
Kontrak Sosial
Pemberdayaan
Eko-Demografi
PERAN NEGARA : Fasilitator, Opurtunistik
Sumber: Prayogo 2008:164
Karena tulisan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi apakah
resistensi/perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari III
Koto ini merupakan suatu bentuk gerakan sosial atau tidak, penulis
membutuhkan satu teori lain untuk memperkuat analisis pada kasus
ini yaitu teori gerakan sosial yang dikemukakan oleh Snow (2004).
Teori ini juga mampu menjelaskan bagaimana masyarakat sebagai
suatu kesatuan dengan berbagai alasan dan sebab dapat memobilisasi
diri mereka untuk melawan kekuatan yang dapat dikatakan lebih
kuat dibandingkan mereka, yaitu kekuatan korporasi dengan modal
yang dimilikinya serta kekuatan pemerintah daerah dengan otoritas
kekuasaannya. Snow (2004) mendefinisikan gerakan sosial sebagai
sebuah tindakan kolektif yang terorganisasi dan berkelanjutan yang
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
212 |
YULISA FRINGK A
tujuannya adalah untuk menentang otoritas institusi (pemerintahan
dan negara) maupun kultural (tradisi dan kepercayaan) sehingga dapat
disimpulkan bahwa target dari gerakan sosial itu sendiri adalah negara
serta otoritas lain dari berbagai institusi seperti korporasi, agama, atau
dunia pendidikan (Snow dalam Hidayat 2012).
Berdasarkan definisi di atas, indikator yang dapat menentukan
suatu gerakan dapat dikatakan sebagai gerakan sosial adalah gerakan
tersebut merupakan suatu: (1) tindakan kolektif, (2) terorganisasi, (3)
memiliki kontinuitas, dan (4) memiliki tujuan (Snow, et al. 2004:6).
Benford dan Snow (2000) mengungkapkan bahwa gerakan sosial erat
kaitannya dengan konsep Colective Action frame. Frame dibangun
untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi
tertentu dalam rangka memobilisasi potensi pengikut, serta untuk
mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford dan Snow 2000).
M A S Y A R A K AT N AG A R I I I I KO T O
Nagari III Koto merupakan salah satu nagari yang terdapat di
Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Sistem pemerintahan babaliak ka nagari yang lebih mengakui
keberadaan adat dan peran Ninik Mamak (pemangku adat),
membuat setiap nagari di Sumatera Barat menerapkan nilai dan
norma adat dalam kehidupan mereka, tidak terkecuali Nagari III
Koto. Masyarakat Nagari III Koto merupakan salah satu masyarakat
dengan aturan dan norma adat yang kuat di Minangkabau hingga
saat ini. Segala sesuatu di dalamnya akan selalu berhubungan dengan
aturan dan norma adat tersebut sehingga kesakralan hubungan antara
mamak dan kamanakan masih sangat kuat. Peran Ninik Mamak dan
pemangku adat juga sangat kuat dalam segala hal, termasuk mengenai
masalah rencana tambang bukit Batubasi. Semua hal mengenai respon
dan sikap atas rencana tambang ini akan selalu dimusyawarahkan
oleh para pemangku adat. Hal itulah yang membedakan sistem
pemerintahan di Sumatera Barat dengan daerah lainnya di Indonesia.
Kuatnya nilai dan norma adat dalam masyarakat Nagari III Koto
juga terjadi karena tidak adanya pendatang yang kemudian menetap
di daerah ini. Seluruh penduduk di Nagari III Koto merupakan
penduduk asli Nagari III Koto itu sendiri. Kondisi ini membuat
tidak terjadinya pergeseran terhadap budaya tanah pusako, karena
perubahan komposisi etnis di Minangkabau dapat menjadi faktor
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 213
yang berpengaruh pada adat kepemilikan tanah pusako (Al Shafa
2014).
Para perantau yang berasal Nagari III Koto juga memiliki peran
penting terhadap reaksi masyarakat atas rencana rencana tambang
atas bukit Batubasi. Kuatnya ikatan antara para perantau dengan
masyarakat Nagari III Koto memungkinkan terjadinya transfer
pengetahuan serta wawasan dari para perantau kepada masyarakat
Nagari III Koto, misalnya informasi mengenai dampak negatif
pertambangan, sehingga pemahaman dan pengetahuan masyarakat
di Nagari III Koto akan tambang semakin terbuka luas.
Di dalam masyarakakat Nagari III Koto sendiri terdapat budaya
dudak di lapau2 yang cukup penting. Lapau dapat dikatakan sebagai
suatu ruang publik (public sphere) yang berpengaruh luar biasa dalam
kehidupan masyarakat Minang karena lapau merupakan media diskusi
mengenai kondisi sosial dan politik yang terjadi pada waktu tertentu
sehingga mampu melahirkan opini publik. Dalam proses resistensi
terhadap rencana tambang Batubasi, lapau memiliki peran signifikan.
Sosialisasi dan pemberian pemahaman akan dampak tambang juga
disebarkan saat duduak di lapau. Di sini pula masyarakat membentuk
suatu opini publik atau pemahaman mengenai kondisi dan langkah
apa yang harus dilakukan pada saat itu. Organisasi pemuda Padang
Luar (P3L), sebagai salah satu contoh, melakukan setiap pertemuan
dalam membahas kasus ini di lapau-lapau yang ada di Nagari III
Koto, khususnya Padang Luar. Di lapau mereka merencanakan
langkah yang akan mereka ambil. Begitu juga bagi masyarakat Nagari
III Koto secara umum, menggunakan saat duduak di lapau untuk
membahas rencana tambang Bukit Batubasi ini, meskipun secara
informal.
BU K I T B AT U B A S I : K E PE M I L I K A N L A H A N DA N
K A I TA N N Y A DE N G A N TA N A H PU S A KO
Bukit Batubasi merupakan sebuah bukit yang terletak di
Nagari III Koto, berbatasan dengan Galogandang, Turawan, dan
2
Budaya duduak di lapau adalah suatu kebiasaan masyarakat Minangkabau, khususnya
kaum laki-laki, untuk duduk di warung minum untuk mengopi, menyantap gorengan
dan berkumpul bersama teman sejawat sembari bermain domino atau kartu pada sore
hingga malam hari. Orang-orang yang duduk di lapau ini biasanya terdiri dari unsur
pemuda, alim ulama, cadiak pandai, dan bahkan Ninik mamak.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
214 |
YULISA FRINGK A
Padang Luar.
Bukit tertinggi dari seluruh bukit pada deretannya ini ternyata
memiliki kandungan dan kekayaan alam yang sangat memiliki
nilai ekonomi tinggi. yakni kandungan besi dan emas. Data satelit
mengungkap bahwa di dalam Bukit Batubasi ini terdapat beberapa
macam bahan galian, diantaranya adalah biji besi, tembaga, mangan,
ball clain, felpor, tras, granit, bouksit, pasir kuarsa dan koalin hingga
uranium tapi ada dua unsur lain yang tidak terbaca oleh satelit
dengan total sebanyak 32.417.100 ton. Jauh sebelum itu, masyarakat
Nagari III Koto telah memiliki pengetahun mengenai kandungan
bukit Batubasi yang secara turun-temurun diwariskan sehingga
masyarakat III Koto dari generasi yang ada saat ini sangat mengetahui
mineral yang ada di dalam Bukit Batubasi. Di atas Bukit Batubasi
juga terdapat sumber mata air yang sangat besar. Mata air inilah
yang mengairi seluruh sawah yang ada di Nagari III Koto dengan
panjang irigasi 7 kilometer di sepanjang kaki Bukit Batubasi. Tidak
hanya itu, mata air ini juga dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber
air minum yang dialirkan ke seluruh wilayah III Koto melalui pipa
air PAMSIMAS.
Bukit Batubasi dengan segala kekayaan alamnya ternyata
menyimpan cerita lain mengenai tradisi masyarakat Nagari III Koto.
Mereka meyakini bahwa Bukit Batubasi merupakan bukit keramat.
Keyakinan ini juga diwariskan secara turun temurun sehingga
masyarakat III Koto masih meyakini bahwa bukit ini merupakan
bukit keramat. Salah satu bukti bahwa bukit ini keramat adalah
pernyataan beberapa informan yang mengungkapkan bahwa sawah
yang ada di kaki bukit ini tidak pernah mengalami kekeringan saat
musim kemarau panjang. Pada saat sawah pada daerah lain gagal
panen, sawah di kaki bukit Batubasi ini tetap menghasilkan hasil
panen seperti biasanya. Keberadaan makam keramat di puncak Bukit
Batubasi ini juga lekat dengan tradisi Bakaua, yaitu melakukan ziarah
serta menghantarkan doa atau permohonan ke kuburan keramat ini.
Kepemilikan lahan Bukit Batubasi, sesuai dengan aturan
kepemilikan tanah di Minangkabau, merupakan tanah ulayat kaum
atau yang sering dikenal dengan istilah tanah pusako3. Namun, Bukit
Batubasi ini bukanlah milik satu kaum saja, melainkan milik banyak
3
Tanah pusako adalah merupakan tanah yang diwariskan secara turun menurun oleh
nenek moyang berdasarkan gelar adat. Tanah pusako ini bukan merupakan hak milik
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 215
kaum di III Koto. Status tanah pusako atas Bukit Batubasi ini
membuat kepemilikan terhadapnya sakral secara aturan adat sehingga
apapun hal yang terkait dengan lahan di atur secara adat, seperti
pengaturan atas kepala waris serta ahli waris yang berada dalam satu
kaum. Seluruh anggota dalam satu kaum tersebut merupakan ahli
waris atas lahan di Bukit Batubasi ini. Artinya, berbagai hal yang
terkait lahan Bukit Batubasi harus dibicarakan oleh seluruh anggota
kaum di bawah pimpinan ninik mamak kepala kaumnya, termasuk
mengenai rencana tambang atas bukit Batubasi ini. Jika satu kaum
ingin mengizinkan tanah kaumnya untuk ditambang, mereka harus
mendapat kesepakatan dan izin dari seluruh anggota kaum yang
ada dalam ranji4 kaum mereka. Aturan adat inilah yang kemudian
menyebabkan perizinan terhadap rencana tambang Bukit Batubasi ini
tidaklah mudah. Selain prosedur perizinan tersebut, aturan mengenai
tanah pusako dalam Minangkabau juga menjadi alasannya.
R E S I S T E N S I M A S Y A R A K AT N AG A R I I I I KO T O
T E R H A DA P R E N C A N A TA M B A N G BU K I T B AT U B A S I
Rencana tambang Bukit Batubasi sebenarnya sudah ada sejak
zaman kolonial. Namun, penolakan terhadap rencana tambang
oleh masyarakat Nagari III Koto ini baru dilakukan setelah era
demokratisasi, yaitu pada tahun 2006 setelah PT. Citra Tambang
Lestari melakukan sosialisasi rencana tambang Bukit Batubasi di Nagari
III Koto. Intensitas resistensi kembali meningkat pada tahun 2013
ketika PT. Selaras Bumi Banua telah mendapatkan izin eksplorasi dari
Bupati Tanah Datar, tanpa seizin masyarakat Nagari III Koto. Surat
izin tersebut ternyata memiliki banyak kejanggalan, khususnya terkait
dukungan 14 orang yang mengatasnamakan 14 kaum berbeda tanpa
kerapatan (musyawarah) adat, terlebih setelah ditelisik 14 kaum ini
sebenarnya hanya terdiri dari 4 kaum saja, sehingga surat pernyataan
14 kaum ini tidak dapat dijadikan landasan untuk mengeluarkan
izin eksplorasi tambang Bukit Batubasi oleh pemerintah daerah
individu, melainkan milik seluruh kaum (komunal). Tanah pusako bukan merupakan
hak milik, melainkan hak pakai seumur hidup sehingga tanah pusako dalam aturan
adat Minangkabau tidak dapat dijual dan dipindahtangankan.
4
Ranji dalam masyarakat Minangkabau diartikan sebagai silsilah keluarga dalam kaum
tertentu.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
216 |
YULISA FRINGK A
Kabupaten Tanah Datar. Kejanggalan itu semakin diperkuat dengan
adanya pemalsuan tanda tangan dari keempat belas orang tersebut.
Indikasi lainnya, luas lahan yang diizinkan mengacu pada izin
eksplorasi yang dikeluarkan oleh Bupati Tanah Datar pada akhir
tahun 20125 jauh dari luas lahan yang diizinkan oleh 14 kaum
sebagai pemilik lahan (Berdasarkan hasil wawancara dengan seluruh
informan pada Februari-Maret 2015). Keadaan di atas membuat
masyarakat Nagari III Koto semakin gencar melakukan bebagai
bentuk resistensi agar izin penambangan Bukit Batubasi dicabut.
Seperti yang sudah digambarkan pada bagian kerangka pemikiran,
ada beberapa variabel yang menjadi faktor pendorong terjadinya
resistensi dalam masyarakat. Varibel tersebut di antaranya adalah
perubahan politik dan perkembangan pengetahuan, aturan dan norma
adat, dampak tambang yang akan terjadi, ketimpangan sumber daya
ekonomi, serta daya dukung lingkungan.
Variabel pertama adalah perubahan politik dan perkembangan
pengetahuan. Perubahan politik merupakan perubahan sistem dan
atmosfir politik akibat reformasi politik (1998) yang kemudian
diperkuat dengan digulirkannya desentralisasi melalui Undang-undang
Otonomi Daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung
pada tahun 2004 (Prayogo 2008:84). Variabel perubahan politik
sering menjadi sebab resistensi maupun konflik antar korpoarasi
tambang dengan masyarakat lokal. Prayogo (2008) menyebut
variabel perubahan politik ini sebagai variabel yang sangat khusus
terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia, dalam kaitannya
dengan konflik antara korporasi dan komunitas lokal. Namun
demikian, menurut penulis variabel ini perlu ditambahkan dengan
variabel lain yaitu perkembangan pengetahuan. Perubahan politik
yang terjadi akan selalu diikuti dengan perkembangan pengetahuan
masyarakat seputar aktivitas penambangan, karena dengan masuknya
Indonesia ke dalam era demokratisasi, segala informasi lebih mudah
didapatkan oleh masyarakat. Hal ini kemudian akan menjadi
faktor yang memengaruhi perkembangan pengetahuan mereka.
Variabel kedua adalah aturan dan norma adat. Variabel ini
merupakan variabel yang sangat siginifikan terhadap penyebab resistensi
5
Dalam surat keputusan tersebut dicantumkan bahwa luas lahan yang diizinkan untuk
eksplorasi tambang bijih besi adalah 351,4 Ha. Padahal, luas lahan yang diizinkan oleh
14 ini tidak mencapai angka 50 Ha.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 217
yang terjadi dalam masyarakat Nagari III Koto. Dalam studi
sebelumnya mengenai kasus serupa, variabel aturan dan norma
adat ini belum pernah dimunculkan sebagai sebab konf lik
ataupun resistensi komunitas lokal terhadap korporasi tambang.
Prayogo (2008) menemukan signifikansi antara karakteristik lokal
(organisasi, norma, dan budaya lokal) dengan dinamika konflik
yang terjadi. Kentalnya norma dan budaya lokal menjadi sebab
yang paling penting dalam melahirkan resistensi masyarakat
Nagari III Koto terhadap rencana tambang Bukit Batubasi.
Variabel ketiga adalah dampak yang akan terjadi jika operasi
tambang sudah berlangsung. Variabel ini menjadi landasan utama
bagi masyarakat untuk melakukan resistensi terhadap rencana
tambang tersebut. Terdapat dua indikator dalam dampak tambang,
yaitu dampak lingkungan dan dampak sosial-budaya. Variabel
keempat yaitu ketimpangan sumber daya4, terutama antara korporasi
(perusahaan tambang, dalam hal ini PT. Selaras Bumi Banua) dan
masyarakat (dalam hal ini masyarakat Nagari III Koto). Sebab
resistensi kelima adalah tekanan ekonomi dan daya dukung lingkugan
sebagai variabel yang sangat penting dalam menetukan resistensi
masyarakat Nagari III Koto. Lokasi Bukit Batubasi yang berada di
tengah pemukiman dan lahan pertanian penduduk sebagai mata
pencaharian utama mereka.
Selain lima variabel di atas, berdasarkan hasil penelitian yang
penulis lakukan pada Februari-Maret 2015 di Nagari III Koto,
setidaknya terdapat dua variabel lain yang juga signifikan sebagai
penyebab resistensi, yaitu dimensi sejarah dan kepercayaan, serta
pendekatan konvensional perusahaan. Kedua variabel tesrebut menjadi
variabel khusus yang terjadi di Nagari III Koto, karena kuatnya
kehidupan sosial dan budaya masyarakat Nagari III Koto.
4
Ketimpangan menurut Prayogo (2008) berkenaan dengan kesenjangan ekonomi dan
sosial. Kesenjangan ekonomi diukur dari perbedaan aset dan tingkat pendapatan antara
karyawan korporasi dengan penduduk umum, sementara kesenajngan sosial dilihat
dari segresi sosial baik secara horizontal dan vertikal. Namun, dalam tulisan ini,
ketimpangan yang dimaksudkan adalah ketimpangan sumber daya yang dimiliki oleh
masyarakat, pemerintah daerah, dan korporasi tambang. termasuk di dalamnya aspek
kekuasaan dan modal.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
218 |
YULISA FRINGK A
Tabel 1. Kebutuhan Lahan untuk Relokasi Infrastruktur
(dalam ha; status November 2011)
Sebab
Fokus
Perubahan trasnsisi politik dari kolonial-Orde BaruReformasi dan dampaknya dalam memperluas dan
Perubahan politik dan
perkembangan pengetahuan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan tambang
khusunya
Tanah pusako, terutama tanah pusako tinggi, tidak boleh
dijual atau diberikan tanpa kesepatan seluruh anggota
Norma dan aturan adat
kaum yang terdapat dalam ranji kaum.
-Dampak lingkungan: hilangnya sumber irigasi dan
sumber air minum PAMSIMAS, rusaknya Danau
Singkarak beserta ekosistem di dalamnya dan
Dampak tambang
menurunnya derajat kualitas lingkungan.
-Dampak sosial budaya rusaknya akhlak, adab serta adat
masyarakat nagari.
Ketimpangan kekuasaan dan modal antara korporasiKetimpangan sumber daya
pemerintah daerah-pemilik lahan-masyarakat nagari
Daya dukung lingkungan dalam hal ini Bukit Batubasi
Ekonomi dan daya dukung dan kaitannya dengan pertanian, jarak pemukiman
lingkungan
dengan Bukit Batubasi serta tekanan ekonomi akibat
profesi utama penduduk sebagai petani.
Sejarah Nagari III Koto, sejarah Bukit Batubasi, dan
Nilai sejarah dan
kepercayaan masyarakat lokal atas Bukit Batubasi
kepercayaan
adalah suatu tradisi yang harus dipertahankan.
Mek a nisme pendek ata n ya ng diguna k a n oleh
Pendekatan konvensional
perusahaan bersifat konvensional
perusahaan
Sumber: Hasil olah data penulis
Penjelasan mengenai penyebab resistensi di atas telah memaparkan
beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Nagari III Koto
melakukan resistensi terhadap rencana tambang. Dalam penjelasan
di atas juga dijelaskan bagaimana kondisi yang memicu terjadinya
gejolak resistensi tersebut, khususnya pada tahun 2013. Dengan
adanya kondisi demikian, gejolak penolakan dari masyarakat Nagari
III Koto semakin memanas.
Timbulnya penolakan dari masyarakat Nagari III Koto terhadap
rencana penambangan Bukit Batubasi berdasarkan penelitian yang
penulis lakukan pada Februari-Maret 2015 tidak didasari oleh motif
ekonomi (pemberian hak atas saham untuk masyarakat lokal, ganti
rugi sesuai keinginan masyarakat serta perekrutan tenaga kerja yang
merata) ataupun motif politik (perebutan kekuasaan antara korporasi
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 219
dengan masyarakat lokal), melainkan motif kultural (mempertahankan
nagari, adat, kehidupan sosial, dan budaya mereka dari kehancuran)
sebagai wujud kesadaran atas beberapa hal yang menjadi faktor
pendorong lahirnya resistensi ini.5
Ketujuh faktor atau variabel yang merupakan penyebab resistensi
dapat dikatakan signifikan dalam konteks masyarakat Nagari III
Koto. Namun, tingkat signifikansi dari setiap variabel tidaklah
sama. Variabel norma dan aturan adat merupakan faktor yang
paling signifikan terhadap resistensi, diikuti oleh variabel ekonomidemografi. Hal tersebut karena masyarakat Nagari III Koto hidup
dalam aturan adat yang kental dan corak masyarakat agraris. Jika
pada tulisan Prayogo (2008) konflik antar korporasi dan komunitas
lokal lebih disebabkan oleh faktor ketimpangan, dalam tulisan ini
justru faktor ketimpangan tidak terlalu memberikan pengaruh seperti
dua variabel sebelumnya. Meskipun pada dasarnya ketimpangan
ini besar pengaruhnya sebagai pemicu lahirnya gejolak penolakan.
Hal ini mempertegas pernyataan Prayogo (2008) bahwa penyebab
terjadinya konflik dapat bervariasi antara satu kasus dengan kasus
lainnya bergantung pada kondisi demografis, sosial, dan ekonomi
suatu wilayah.
Setiap variabel dalam sebab resistensi ini pada dasarnya
memiliki keterkaitan antar satu sama lain. Variabel perubahan
politik dan perkembangan pengetahuan, misalnya, dengan situasi
perubahan politik dan meningkatnya pengetahuan masyarakat
mengenai dampak tambang membuat mereka dapat memprediksi
dampak yang akan mereka alami jika tambang Bukit Batubasi
terlaksana. Variabel dampak tambang yang akan terjadi ini juga
berkaitan erat dengan variabel tekanan ekonomi dan daya dukung
lingkungan, terutama ketika aktivitas pertambangan berdampak
terhadap sawah sebagai area mata pencaharian utama penduduk
akan menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan mereka dan
akan mengalami tekanan ekonomi jika hal tersebut terjadi. Dengan
demikian, menurut penulis ketiga variabel dalam sebab resistensi ini
memiliki keterkaitan dan pengaruh antar satu dengan yang lainnya.
Kekhasan karakteristik masyarakat di Nagari III Koto, yakni
kultur dan adat istiadat yang begitu kuat, menyebabkan tidak semua
5
Penjelasan ini diungkapkan oleh seluruh informan dan juga didukung oleh pernyataan
WALHI SUMBAR yang turut terlibat dalam penyelesaian kasus ini.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
220 |
YULISA FRINGK A
variabel dalam dimensi sebab menurut pemikiran Prayogo dapat
diaplikasikan dalam menganalisis resistensi masyarakat Nagari III
Koto terhadap rencana penambangan Bukit Batubasi. Terdapat tiga
varibel dalam pemikiran Prayogo yang berlaku untuk kasus ini, yaitu
perubahan politik, ketimpangan dan ekonomi, sebagai penyebab
langsung yang menciptakan kondisi yang memicu gejolak penolakan
di Nagari III Koto. Kemudian penulis mengajukan empat faktor
berbeda lainnya sebagai penyebab tidak langsung yang mempertegas
ideologi masyarakat dalam menolak rencana tambang tersebut, yaitu
pengembangan pengetahuan sebagai akibat dari adanya perubahan
politik, norma dan aturan adat, dampak tambang, dan sebagaimana
ditemukan berdasarkan hasil penelitian, yaitu nilai sejarah dan
kepercayaan masyarakat terhadap lokasi rencana penambangan.
Resistensi yang dilakukan masyarakat Nagari III Koto juga
dipengaruhi peran delapan aktor yang terlibat di dalamnya. Setiap
aktor memiliki kekuatan dan peran masing-masing dalam resistensi
ini. Empat aktor yang paling signifikan perannya adalah ninik mamak,
persatuan pemuda, organisasi keperantauan, dan wali jorong. Akan
tetapi, dalam proses resistensi ini tidak terjalin kerja sama yang baik
antar-Koto, sehingga tidak terdapat koordinasi untuk menjalankan
gerakan penolakan bersama antara Galogandang dan Padang Luar,
selain kerjasama perantau, koordinasi wali jorong dan tigo tungku
sajarangan.
B e n t u k R e si st e si
Dalam kerangka pemikiran, penulis merumuskan lima bentuk
resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Nagari III Koto, yaitu
jalur diplomasi, rapat adat dan musyawarah, surat, penggalangan
tanda tangan dan pemasangan banner. Namun, pada saat penelitian
berlangsung muncul dua bentuk resistensi lain, yaitu pemblokiran
dan pengusiran serta perluasan jaringan dan dukungan. Tujuh bentuk
resistensi ini sebenarnya memiliki keterkaitan tahapan satu sama lain,
terutama rapat adat dan musyawarah, karena bentuk resistensi lainnya
diputuskan melalui rapat adat dan musyawarah ini. Suatu bentuk
resistensi akan selalu diawali dengan rapat adat dan musyawarah.
Hal ini juga tidak lepas dari kuatnya kultur dan adat istiadat melalui
organisasi sosial lokal yang di bawahi oleh Kerapatan Adat Nagari
(KAN), di mana adat dan pemangku adat sangat berperan.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 2 21
Tabel 2. Bentuk Resistensi
Bentuk
Fokus
Karena menyangkut persoalan adat sehingga harus
dibicarakan secara adat. Kemudian, tradisi dalam
masyarakat Minangkabau segala persoalan harus
dibicarakan dengan musyawarah untuk mencapai kata
sepakat.
Rapat adat dan
Merupakan bukti otentik bahwa masyarakat Nagari III
musyawarah
Koto menolak.
Sebagai bukti bahwa seluruh masyarakat nagari III
Koto menolak rencana tambang tersebut dan dapat
‘memperkuat’ surat penolakan.
Untuk mempertegas penolakan terhadap tambang dan
Surat
sebagai media sosialisasi akan tambang.
Penggalangan
Perusahaan tanpa izin masyarakat dan melakukan
tanda tangan
pelanggaran dengan masuk lahan orang lain.
Karena untuk mendapatkan dukungan dari pihak lain
Pemasangan banner
guna pencapaian tujuan.
Pemblokiran dan
Untuk mengklarifikasi serta melakukan negosiasi dan
pengusiran
konsensus dengan pemerintah daerah
Perluasan jaringan Sejarah Nagari III Koto, Sejarah Bukit Batubasi dan
kepercayaan masyarakat lokal atas Bukit Batubasi
dan dukungan
adalah suatu tradisi yang harus dipertahankan.
jalur diplomasi
Efektivitas
Efektif
Sangat
Efektif
Kurang
Efektif
Efektif
Efektif
Efektif
Efektif
Sumber: Hasil olah data penulis
Semua bentuk resistensi dapat dikatakan efektif dalam tujuannya
masing-masing. Bentuk resistensi yang dinilai paling efektif oleh
masyarakat adalah surat penolakan. Meskipun surat ini harus
dikirimkan hingga berkali-kali oleh beberapa unsur, namun
efektivitasnya tidak akan terlepas dari bentuk resistensi lain, yaitu
musyawarah, jalur diplomasi, serta perluasan jaringan dan dukungan.
Pada dasarnya, bentuk resistensi ini sama halnya dengan eskalasi
dan bentuk konflik menurut Prayogo (2008), yaitu rumor, keluhan,
pelaporan (lisan dan tulisan), tekanan, ancaman dan perusakan/
penjarahan. Apa yang dilakukan oleh masyarakat Nagari III Koto
saat itu dipicu oleh rumor mengenai izin ekplorasi yang sudah di
dapat oleh PT. Selaras Bumi Banua, sehingga masyarakat menjadi
resah, kemudian muncul keluhan terhadap pemerintah daerah yang
seolah-olah tidak “pro-rakyat”. Setelah itu diselenggarakan berbagai
musyawarah dan pertemuan antarelemem dalam masyarakat untuk
membuat langkah yang diambil saat itu adalah membuat surat
(pelaporan) bahwa masyarakat menolak rencana tambang tersebut.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
222 |
YULISA FRINGK A
Namun, karena tidak kunjung membuahkan hasil, maka masyarakat
mulai melakukan tekanan dan ancaman, hingga perusakan dan
penjarahan.
Bentuk konflik yang dijelaskan oleh Prayogo di atas dalam tulisan
ini dilihat ke dalam bentuk-bentuk yang lebih spesifik, misalnya
tekanan, dilakukan dengan memasang banner penolakan di Nagari
III Koto. Selain itu, dilakukan juga perluasan jaringan dan dukungan
dari LSM lokal (dalam hal ini WALHI), sehingga perlawanan dari
masyarakat dapat dinilai suatu ancaman oleh perusahaan karena
melibatkan pihak eksternal yang memiliki kekuatan lembaga dalam
segi hukum. Ancaman, perusakan, hingga penjarahan juga dilakukan
dengan cara melakukan pemblokiran, penghadangan, dan pengusiran
kepada pihak perusahaan yang sedang melakukan kegiatan eksplorasi
tambang.
Prayogo (2008) menyebutkan bahwa dinamika konflik pada
industri tambang dan migas merupakan fenomena terpola sehingga
keberlakukannya dapat diprediksi secara umum, namun memiliki
kekhasan yang berkaitan dengan keunikan lokal serta jenis
industrinya. Pernyataan tersebut berlaku dan terbukti dalam kasus
resistensi masyarakat Nagari III Koto. Tahapan, proses, serta bentuk
resistensi di Nagari III Koto memiliki pola yang bergerak ke arah
intensitas dan tekanan yang lebih tinggi, sama halnya dengan pola
ekskalasi dan bentuk konflik yang terjadi di Kecamatan Pangalengan,
Kabupaten.Bandung yang menjadi lokasi studi Prayogo. Akan tetapi,
hal tersebut dipengaruhi oleh kekhasan, yaitu karakteristik lokal dan
budaya dan organisasi sosial lokal di Nagari III Koto, sehingga dapat
melahirkan bentuk yang berbeda dengan daerah lainnya.
Grafik 1 di bawah menggambarkan bagaimana intensitas resistensi
yang mulai terjadi sejak tahun 2006 ketika tahap sosialisasi rencana
tambang pertama kali oleh PT. Citra Tambang Lestari. Pada saat
itu intensitas penolakan sama sekali tidak tinggi, karena perusahaan
tersebut sebatas melakukan sosialisasi dan gagal mendapat izin
dari pemilik lahan juga pemerintah daerah. Resistensi mengalami
peningkatan pada tahun 2011 karena sosialisasi izin ekplorasi oleh PT.
Selaras Bumi Banua yang sudah didapat dari pemerintah setempat.
Akan tetapi, setelah hampir dua tahun ‘diam’, gejolak resistensi
kembali meningkat jauh pada tahun 2013 hingga menjadi puncak
resistensi yang dialakukan oleh Masyarakat Nagari III Koto,
karena seluruh elemen termasuk pemuda dan perantau ikut terlibat
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 223
melakukan berbagai bentuk resistensi. Tingkat intensitas dan frekuensi
resistensi juga mengalami peningkatan yang ditandai dengan lahirnya
bentuk-bentuk resistensi yang semakin ekstrim dan gejolak yang
semakin memanas. Terdapat enam bentuk resistensi yang dilakukan
pada tahun ini, yaitu rapat adat/musyawarah, surat penolakan
berbagai elemen, pemasangan banner, pemblokiran dan pengusiran,
perluasan jaringan dan diplomasi. Masyarakat Nagari III Koto
menamakan resistensi pada tahun tersebut sebagai penolakan bersama
seluruh elemen masyarakat. Keterlibatan pihak luar juga menyebabkan
intensitas resisntensi ini semakin kuat. Sehingga pada akhir tahun
2013 penolakan ini diakhiri dengan surat penolakan tigo tungku
sajarangan tadi, sebelum akhirnya izin tersebut tidak diperpanjang
kembali oleh Bupati Tanah Datar pada tanggal 7 Januari 2014.
Grafik 1. Periodesasi dan Jumlah Bentuk Resistensi di Nagari III Koto
Sumber: Penulis
R e si st e n si d a n G e r a k a n S osi a l
Resistensi masyarakat Nagari III Koto, menurut penulis, dapat
dianggap sebagai suatu gerakan sosial karena telah memenuhi
karakteristik gerakan sosial yang diajukan Snow (2011:9) sebagaimana
telah dijelaskan dalam kerangka pemikiran. Pertama, resistensi
yang dilakukan oleh masyarakat nagari III Koto dilakukan secara
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
224 |
YULISA FRINGK A
kolektif serta melibatkan seluruh elemen yang ada. Resistensi
ini juga terorganisasi ke dalam beberapa organisasi dan lembaga
yang terlibat, yaitu KAN III Koto, KAN Sub-I dan KAN Sub-II,
IKATIKO (IKAPGA, IKPL, IKPT), P3L dan unsur pemuda jorong
Galogandang serta lembaga desa (Wali Nagari dan Wali Jorong) dan
BPRN. Organisasi dan lembaga lokal tersebut memiliki kontinuitas
sebagai sebuah organisasi dan lembaga. Tidak hanya itu, penolakan
rencana tambang Bukit Batubasi terus belanjut hingga penelitian
selesai dilakukan. Hal tersebut terbukti dari adanya program kerja
yang mereka buat. P3L misalnya pada saat ini sedang mencanangkan
suatu program untuk menciptakan objek wisata di daerah sekitar
Bukit Batubasi dengan tujuan untuk meminimalisasi rencana tambang
Bukit Batubasi serta keinginan sebagian warga Nagari III Koto untuk
menyerahkan lahannya karena faktor uang.
Berkembangnya suatu gerakan sosial ditentukan oleh adanya
kesempatan politik yang dimiliki oleh masyarakat sebagaimana
dijelaskan Prayogo (2008) sebagai sebab resistensi, yaitu perubahan
politik. Runtuhnya rezim Orde Baru membuat iklim politik menjadi
terbuka sehingga memungkinkan gerakan sosial dapat berkembang,
termasuk gerakan sosial berbasis isu lingkungan, seperti resistensi
masyarakat Nagari III Koto untuk melawan tambang Bukit Batubasi.
Saat iklim politik sudah terbuka dan gerakan resistensi mulai
berkembang, framing terhadap tindakan kolektif dilakukan untuk
mencari pengikut dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Jika Prayogo (2008) menyebut ini sebagai rumor yang disebarluaskan
oleh sekelompok orang serta dapat menjadi pemicu lahirnya gerakan
resistensi, Snow dan Benford (2000) menyebut ini sebagai collective
action framing, yakni pemberian makna dan interpretasi terhadap
kejadian tertentu untuk menciptakan suatu pemahaman dalam
masyarakat. Frame juga dapat didefinisikan sebagai interpretasi skema
yang membuat individu menempatkan, merasa, mengidentifikasi
dan memberikan label pada suatu peristiwa yang terjadi serta dapat
berfungsi untuk mengorganisasi dan memandu tindakan baik individu
maupun kolektif (Goffman 1974:21). Terdapat tiga proses framing
dalam menunjang perkembangan suatu gerakan sosial, yaitu diagnostic
framing, prognostic framing, dan motivational framing (Benford dan
Snow 2000).
Tiga tahapan dalam proses framing tersebut juga terjadi dalam
kasus resistensi masyarakat Nagari III Koto. Diagnostic framing dalam
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 2 25
masyarakat Nagari III Koto pada saat itu adalah telah dikeluarkannya
izin ekplorasi oleh pemerintah Kabupaten Tanah Datar kepada PT.
Selaras Bumi Banua atas dasar dukungan dari tigo tungku sajarangan
kepada 14 orang masyarakat kaum yang telah menyerahkan lahannya.
Akan tetapi, izin ini dikeluarkan tanpa sepengetahuan masyarakat,
sehingga menimbulkan keresahan dalam masyarakat Nagari III
Koto, baik di III Koto sendiri maupun bagi masyarakat perantau. Ini
tentu bertentangan dengan kehidupan sosial budaya serta adat yang
berlaku dalam masyarakat Nagari III Koto. Tanah pusako, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya tidak dapat dijual atau diserahkan
kepada pihak lain. Jika ini terpaksa harus dilakukan, maka harus ada
kesepatan seluruh anggota dalam kaum tersebut. Daalm kenyataannya
tidak ada kesepatan antar seluruh anggota kaum, sehingga dinilai
bertentangan dengan adat yang berlaku. Di luar itu, dukungan tigo
tungku sajarangan dilakukan tanpa adanya musyawarah bersama
seluruh anggotanya, sehingga hal ini dianggap tidak sesuai dengan
aturan dan norma adat yang berlaku.
Framing mengenai aturan dan norma adat semakin gencar
dikembangkan oleh ninik mamak pemangku adat dan beberapa
aktor lain kepada seluruh masyarakat. Hal ini membuat pemahaman
masyarakat luas mengenai aturan dan norma adat khususnya tanah
pusako menjadi semakin tinggi sehingga masyarakat semakin sadar
akan adat dan mengetahui bahwa jika Bukit Batubasi ditambang,
secara tidak langsung akan melemahkan adat yang berlaku di Nagari
III Koto. Setelah itu, berkembang pula pemahaman mengenai
dampak tambang yang akan merugikan masyarakat, dalam hal
lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi, sehingga Nagari III Koto
harus dipertahankan dari segala bentuk aktivitas pertambangan di
Bukit Batubasi. Hal ini diwujudkan dengan melakukan resistensi
terhadap rencana tambang Bukit Batubasi.
Pragnostic framing dilakukan dengan memperkuat persatuan dan
kebersamaan seluruh unsur masyarakat Nagari III Koto. Dengan
demikian, akan tercipta kekompakan dalam masyarakat untuk
bersama-sama melakukan resistensi terhadap rencana tambang yang
dilakukan. Hal ini ditujukan agar izin eksplorasi terhadap PT. Selaras
Bumi Banua dicabut atau tidak diperpanjang lagi oleh pemerintah
daerah Kabupaten Tanah Datar. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka dilakukanlah berbagai macam tindakan kolektif seperti apa
yang sudah dijelaskan pada bentuk resistensi di atas, dimulai dari
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
226 |
YULISA FRINGK A
rapat adat dan musyawarah, membuat surat penolakan, melakukan
pemblokiran dan pengusiran, hingga mencari dukungan dari NGO
serta pers lokal. Salah satu tindakan utama yang juga dilakukan
pada saat itu adalah memperkuat organisasi pemuda dengan tujuan
menggalang persatuan dalam melakukan resistensi terhadap rencana
tambang Bukit Batubasi.
Untuk mencapai tujuan utamanya dalam “melawan” kekuatan
pemerintah lokal dan korporasi tambang, dibutuhkan sumber daya
untuk menunjang resistensi yang dilakukan. Segala bentuk resistensi
yang dilakukan membutuhkan sumber daya sebagai modal awal
dalam menjalankan tindakan kolektif. Dalam hal ini sumber daya
yang dibutuhkan adalah kekuatan finansial serta kekuatan jaringan
(melalui akses terhadap media, dukungan simpatisan, serta loyalitas
kelompok). Dalam kasus resistensi yang terjadi di Nagari III Koto,
penulis melihat bahwa aktor-aktor yang terlibat di dalamnya telah
melakukan berbagai cara dalam memobilisasi sumber daya yang
ada. Salah satu organisasi unsur pemuda di Nagari III Koto, yaitu
P3L telah memanfaatkan sumber daya finansial yang dimiliki oleh
organisasi keperantauan Nagari III Koto, yaitu IKATIKO, dalam
melakukan salah satu bentuk resistensi berupa pemasangan banner
penolakan di III Koto. Perantau dengan sumber daya finansial yang
dimilikinya memiliki peran besar dalam aksi yang dilakukan oleh
P3L dalam melakukan resistensi. Tidak hanya untuk mendanai
pemasangan banner penolakan, dukungan finansial dari IKATIKO
juga termasuk ke dalam berbagai hal. Misalnya, penerangan (lampu
jalan) dipasang oleh P3L untuk mengawasi aktivitas ke arah Bukit
Batubasi di malam hari, karena memang para perantau III Koto
sangat berperan dalam resistensi ini, terutama dalam hal dukungan
finansial.
Masyarakat juga melakukan perluasan jaringan seperti apa
yang sudah dijelaskan dalam bentuk resistensi. Masyarakat Nagari
III Koto memanfaatkan media sosial yang ada untuk memperoleh
dukungan dari seluruh masyarakat Nagari III Koto di manapun
mereka berada. Dalam media sosial tersebut disampaikan apa yang
menjadi frame dalam persoalan ini, sehingga seluruh masyarakat sadar
dan memberikan dukungan terhadap resistensi ini. Jaringan juga
diperluas dengan cara memanfaatkan relasi yang dimiliki oleh anak
nagari (pemuda) III Koto. Salah satu anak nagari Jorong Galogandang
memperluas jaringan dengan mencari dukungan dari NGO yang
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 227
memiliki perhatian terhadap lingkungan, yaitu WALHI. Relasi
terhadap media lokal juga dimiliki oleh anak nagari III Koto sehingga
berbagai isu seputar pertambangan juga dimuat dalam beberapa surat
kabar. Hal ini membawa dampak positif bagi masyarakat III Koto,
karena dukungan terhadap masyarakat Nagari III Koto juga akan
bertambah dan memperluas jaringan yang dimiliki saat itu.
Masyarakat juga berhasil memobilisasi kekuatan legalitas yang
dimiliki oleh ninik mamak dalam KAN, yaitu kekuatan legalitas
adat. Adat dijadikan alat untuk mencapai tujuan dalam menolak
tambang sehingga memiliki kekuatan yang tinggi, terutama dalam
masyarakat adat Minangkabau. Apa yang disebut sebagai loyalitas
kelompok juga telah dibuktikan oleh masyarakat Nagari III Koto
dalam pemblokiran dan pengusiran terhadap PT. Selaras Bumi
Banua. Setiap daerah dijaga oleh pemuda masing-masing daerah
tersebut dalam melakukan pemblokiran pada akses masuk Bukit
Batubasi. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menilai bahwa
masyarakat Nagari III Koto melakukan mobilisasi sumber daya
(resource mobilization) berupa kekuatan finansial, kekuatan jaringan,
dan kekuatan legalitas adat yang dimilikinya.
K E S I M PU L A N
Tulisan ini menunjukkan bahwa pemikiran Prayogo terhadap
model koflik, baik itu sebab, dinamika, dan resolusi konflik dapat
diterapkan dalam melihat resistensi masyarakat Nagari III Koto
terhadap rencana tambang. Akan tetapi, pemikiran tesrebut tidak
berlaku secara keseluruhan, karena perbedaan karakteristik dalam
masyarakat yang diteliti sehingga diperlukan model konflik baru
dalam melihat persoalan ini, terutama pada konflik yang terjadi saat
tahapan rencana tambang (Gambar 6.1). Selain itu, Prayogo (2008)
mengaitkan antara karakteristik lokal dengan dinamika konflik
yang akan sangat ditentukan oleh karaktertistik lokal. Akan tetapi,
menurut penulis karakteristik lokal tidak hanya dapat menentukan
dinamika konflik, tetapi juga sangat berperan signifikan sebagai sebab
konflik, mengingat di Indonesia karakteristik lokal setiap masyarakat
berbeda satu dengan lainnya. Hal itu akan menjadi warna tersendiri,
baik itu sebagai penentu dinamika, maupun sebagai sebab konflik,
dalam hal ini resistensi. Selain dapat menentukan sebab, karakteristik
lokal dalam hal ini adat juga digunakan sebagai alat bagi masyarakat
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
228 |
YULISA FRINGK A
dalam melakukan resistensi. Adat memiliki legalitas yang tinggi dan
kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk Nagari
III Koto. Dengan menjadikan adat sebagai alat dalam melakukan
resistensi, tujuan masyarakat dalam menolak rencana tambang
menjadi lebih memungkinkan untuk dicapai.
Tulisan ini juga memperkuat pemikiran Prayogo bahwa konflik
pada industri tambang dan migas tidak hanya fenomena terpola
sehingga dapat diprediksi keberlakuan umumnya, namun juga
memiliki kekhasan berkaitan dengan keunikan lokal serta jenis
industrinya (Prayogo 2008:77), karena aktor dan bentuk serta
resolusi dalam konflik menurut Prayogo juga terjadi secara umum
dalam resistensi masyarakat Nagari III Koto. Namun, dibedakan oleh
keunikan lokal, dalam hal ini adat, budaya serta organisasi sosial
lokalnya.
Melihat proses resistensi masyarakat Nagari III Koto mulai dari
pemicu, bentuk hingga solusi resistensi dapat disimpulkan bahwa
resistensi yang dilakukan ini merupakan suatu gerakan sosial,
meskipun masih merupakan gerakan sosial pada level mikro, karena
memenuhi karakteristik gerakan sosial menurut Benford dan Snow
(2004). Berkembangnya resistensi ini juga ditentukan oleh tiga faktor
penentu muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial, yaitu
dengan adanya kesempatan politik, colective action framing, dan
perluasan jaringan guna mendapat banyak dukungan. Gerakan sosial
masyarakat Nagari III Koto ini merupakan suatu bentuk gerakan
sosial baru (new social movement) yang berlandaskan, yakni gerakan
yang mengusung isu-isu politik identitas dan kualitas hidup seperti
lingkungan, preferensi seksual, dan gender (Tilly 1998).
Dua pemikiran mengenai konflik (Prayogo 2008) dan gerakan
sosial (Benford dan Snow 2000) menurut penulis memiliki korelasi
dalam melihat suatu konflik yang dalam prosesnya dapat berkembang
sebagai sebuah gerakan sosial. Penyebab konflik menurut Prayogo
dapat berperan sebagai faktor pemicu berkembangnya suatu gerakan
sosial. Dua teori ini juga memperhatikan aktor sebagai mobilisator
dalam mobilisasi pengikut, dukungan, dan sumber daya dalam
proses framing yang dilakukan. Dengan kata lain, dua teori ini
dapat digunakan secara bersamaan dalam melihat proses resistensi
mulai dari pemicunya, penyebab sebab hingga proses yang dijalani
untuk mencapai suatu tujuan. Namun, tidak semua konflik dapat
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 2 29
berubah menjadi gerakan sosial jika karakteristik gerakan sosial tidak
terpenuhi di dalamnya.
Pada akhir kesimpulan ini penulis mencoba memberikan prediksi
mengenai rencana tambang Bukit Batubasi dan resistensi yang
dilakukan dalam menyikapinya. Prediksi ini dibuat karena menurut
penulis meskipun pada dasarnya masyarakat Nagari III Koto telah
berhasil mencapai tujuan mereka dalam melakukan resistensi, tetapi
hal tersebut tidak menjamin bahwa rencana tambang Bukit Batubasi
tidak muncul kembali. Rencana tambang ini dapat benar-benar
hilang jika seluruh ninik mamak pemangku adat Nagari III Koto
baik pemiliki lahan ataupun tidak, membuat kesepatan bersama
tentang legalitas Bukit Batubasi secara adat yang merupakan tanah
pusako tinggi dan tidak dapat diserahkan kepada pihak manapun.
Ketika kesepatan tersebut talah dibuat, diharapkan seluruh ninik
mamak, khususnya pemiliki lahan bertanggung jawab atas apa yang
telah mereka buat, sehingga tidak mudah tergoda oleh perusahaan
manapun. Jika semua lapisan masyarakat sudah “satu suara”, dapat
dipastikan korporasi tambang tidak mampu masuk ke Nagari III
Koto. Surat atau lembar kesepatan ninik mamak juga harus didukung
oleh peraturan daerah yang dibuat oleh Bupati Tanah Datar. Ketika
semua hal ini dilakukan, penulis memprediksi rencana tambang atas
Bukit Batubasi tidak akan muncul kembali. Jika dua hal tersebut
tidak dilakukan, peluang munculnya rencana tambang Bukit Batubasi
semakin besar dan resistensi juga lebih besar jika dibandingkan
dengan apa yang terjadi pada tahun 2013.
DA F TA R PU S TA K A
Ahyar S., Usep. 2014. Gerakan Sosial Masyarakat Pedesaan (Studi
Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Menentang Pertambangan
Pabrik PT. Tirta Investama di Serang, Banten. Tesis. Depok: FISIP
Universitas Indonesia.
Al Shafa, Hatika. 2014. Risalah Tanah Pusako Minangkabau
Kontemporer: Studi Sosiologi Perubahan Sosial Mengenai Kepemilikan
Tanah di Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Skripsi. Depok: FISIP Universitas Indonesia.
A zeri, Busra. Penataan Hak Atas Tanah Bekas Wilayah
Pertambangan, Sawah Lunto, Sumatera Barat. Respository
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
230 |
YULISA FRINGK A
Universitas Andalas. diakses dari http://repository.unand.ac.id/
cgi/search/simple?q=Busra_Azeri&_action_search=Search&_
action_search=Search&_order=bytitle&basic_srchtype=ALL&_
satisfyall=ALL
Benford, Robert D. Snow, David A. 2000. Framing Processes and
Social Movements: An Overview and Assessment. Annual Review
of Sociology, Vol. 26(2000): 611-639 http://www.jstor.org/
stable/223459.
Creswell, J. 2009. Research design. Thousand Oaks, Calif: Sage
Publications.
Goffman, Erving. 1974. Frame Analysis. New York: Harper and Row.
Hidayat, Dady. 2012. “Gerakan Dakwah Salafi di Indonesia pada
Era Reformasi.” Masyarakat: Jurnal Sosiologi 17(2):115-133. http://
journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/view/3738
Idhom, Addi Mawahibun. 2009. Resistensi Komunitas Sedulur Sikep
Terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen di Pegunungan
Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga
Irawan, A. Andri. 2013. “Dampak Ekonomi dan Sosial Aktivitas
Tambang Batubara PT. Tanito Harum Bagi Masyarakat
di Kelurahan Loa Tebu, Kec. Tenggarong.” e-Journal Ilmu
Pemerintahan 1(1):46-56. http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/
site/?p=567
Kurniawan, A. Hamzah. 2013. Persistensi dan Resistensi Masyarakat
Terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa Bonto Katute,
Kabupaten Sinjai. Skripsi. Makassar: FISIP Universitas
Hassanuddin.
Neuman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualitative
and Quantitative Approaches. 5th ed. Boston: Pearson Education.
Porta, Donatella dan Mario Diani. 2006. Social Movement: An
Introduction. 2nd ed. Malden, Oxford: Blackwell Publishing.
Prayogo, Dody. 2008. Konflik Antara Korporasi dengan Komunitas
Lokal: Sebuah Kasus Empirik pada Industri Geotermal di Jawa
Barat. Depok: FISIP UI Press.
_________. 2010. “Anatomi Konflik Antara Korporasi dengan
Komunitas Lokal dalam Industri Geotermal di JawaBarat.”
Makara: Seri Ilmu Sosial dan Humaniora 14(1):
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
R ESISTENSI BERBASIS ADAT
| 2 31
__________. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah,
Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri
Tambang dan Migas di Indonesia. Depok: UI Press.
Regus, Max. 2009. “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus
Tambang di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.” Masyarakat:
Jurnal Sosiologi 16(1):1-25. http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/
article/view/4879
Ritzer, Goerge dan Goodman, Douglas J. 2004. Sociological Theory.
New York: McGraw-Hill
Sayuti, M. Dt.Rajo Pangulu. 2005. Tau Jo Nan Ampek (Pengetahuan
yang Empat Menurut Ajaran Adat dan Budaya Alam Minangkabau.
Padang.
Snow, David. 2004. “Framing Process, Ideology and Discursive
Fields.” Hlm. 381-412 dalam The Blackwell Companion to Social
Movements. Oxford, UK: Blackwell Publishing.
Tilly, Charles. 1998. “Social Movements and (All Sorts of )
OtherPolitical Interactions - Local, National, and International
-Including Identities.” Theory and Society: Special Issue on
Interpreting Historical Change at the End of the Twentieth Century.
27(4):453-480. http://www.jstor.org/stable/657835
Zainuddin, Sulthan, dkk. 2012. “Kontestasi dan Konf lik
Memperebutkan Emas di Poboya.” Sodality: Jurnal Sosiologi
Pedesaan 6(2):145-159
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download