Artikel ISSN : 0852-8489 e- ISSN : 2460-8165 Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, terhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi Penulis: Yulisa Fringka Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Juli 2015; Disetujui: Desember 2016 MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Untuk kriteria dan panduan penulisan artikel maupun resensi buku, silahkan kunjungi tautan berikut: www.journal.ui.ac.id/mjs Untuk mengutip artikel ini (ASA Style): Fringka, Yulisa. 2016. “Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, terhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(2):205-231. SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012 Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan Masyarakat Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, t erhadap Rencana Tambang Bukit Batubasi Yul i s a Fr i n g k a Ikatan Mahasiswa Minang (Imami) Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas resistensi masyarakat lokal terhadap rencana tambang oleh perusahaan ekstraktif yang difokuskan pada studi konflik untuk melihat apakah konflik ini berkembang menjadi sebuah gerakan sosial atau tidak. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Nagari III Koto, Sumatera Barat. Tulisan ini menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi sebab resistensi. Norma dan aturan adat menjadi variabel yang sangat penting sebagai sebab resistensi sekaligus sebagai penentu bentuk resistensi yang dilakukan. Sedikitnya ada tujuh bentuk resistensi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat hingga tujuan resistensi itu dapat tercapai. Selain menjadi sebab dan menentukan bentuk, keberadaan adat dengan legalitas yang tinggi ternyata juga digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan resistensi oleh masyarakat. Berdasarkan bentuk-bentuk resistensi yang teridentifikasi, dapat disimpulkan bahwa perlawanan masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana tambang Bukit Batubasi merupakan suatu gerakan sosial. Abstract This article discusses the resistance in local societies against mining corporate. This study focuses on conflict approach which is seen if it can be a social movement or not. This study uses the qualitative approach with case study held in Nagari III Koto, West Sumatera. This article shows us that there are seven variables which being the cause of resistance. Norms and custom’s tradition are the most important in determining the forms of resistance. At least there are seven forms of resistance which did by actors in the region until it achieved. Highly legal tradition can be used as a tool to reach the goals of resistance in society. Based on such forms of those resistances, it could be concluded that the resistances of the people in Nagari III Koto are social movement. Keywords: resistance, social movement, Nagari, Bukit Batubasi. 206 | YULISA FRINGK A PE N DA H U L UA N Kasus penolakan dan perlawanan masyarakat lokal terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia mulai mengalami peningkatan intensitas yang sangat signifikan terutama setelah reformasi politik 1998 (Prayogo 2008:4). Demokratisasi sebagai wujud perubahan politik menjadi jalan bagi lahirnya berbagai perlwanan terhadap industri tambang di Indonesia, karena demokrasi memberi ruang yang sangat luas bagi komunitas lokal untuk mengekspresikan sikap serta kepentingan ekonomi dan politik mereka terhadap pemerintah dan korporasi (Prayogo 2008:5). Selain demokratisasi, perbedaan kepentingan antara korporasi tambang, pemerintah, dan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam aktivitas pertambangan di Indonesia juga merupakan faktor pendorong konflik yang sangat krusial. Motif penolakan dan pelawanan masyarakat lokal terhadap aktivitas pertambangan juga sangat beragam, mulai dari motif ekonomi, lingkungan, hingga perekrutan tenaga kerja. Konteks kultural masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan relatif sangat kuat di sejumlah masyarakat lokal menjadi faktor yang mewarnai sekaligus mampu membuat kasus penolakan dan perlawanan terhadap aktivitas pertambangan semakin rumit. Cara dan bentuk penolakan yang dilakukan pun dapat menjadi berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan studi lebih mendalam mengenai faktor penyebab serta bentuk penolakan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia. Meskipun studi mengenai kasus serupa sudah mulai banyak dilakukan, studi di daerah yang berbeda dengan ragam kasus yang berbeda perlu dilakukan untuk melihat pola resistensi, konflik atau perlawanan masyarakat lokal terhadap keberadaan dan praktik pertambangan. Beberapa studi terdahulu telah membahas kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia (Regus 2008; Prayogo 2010; Shultan, dkk 2012; Kurniawan 2013). Pembahasan mengenai kasus ini umumnya melihat konflik kepentingan sebagai penyebab utama lahirnya resistensi atau konflik tambang. Melalui kasus resistensi dan presistensi di desa Bonto katute, Kabupaten Sinjai, Kurniawan (2013) menunjukkan bahwa perbedaan kepentingan dan pemahaman mengenai pertambangan yang ada di daerah tersebut melahirkan dua kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok yang resisten (menolak) M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 207 karena menganggap bahwa proses pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan perubahan sosial budaya, dan berbagai dampak negatif lainnya, dan kelompok presisten (mendukung) yang berasal dari kalangan pemerintah dan jajarannya mendukung proses pertambangan ini karena pertambangan dapat dimanfaatkan untuk kemajuan ekonomi. Sejalan dengan temuan Kurniawan, studi yang dilakukan Idhom (2009) mengenai kasus resistensi komunitas Sedulur Sikep terhadap rencana pembangunan tambang semen di Sukolilo, Kabupaten Pati, menemukan bahwa terdapat perbedaan kepentingan dan pemahaman antara komunitas lokal (Sedulur Sikep) yang menganggap pembangunan tambang akan mengganggu keberlangsungan aktivitas pertanian, kerusakan lingkungan, dan perubahan sosial budaya, sementara pemerintah mengganggap bahwa pembangunan pertambangan semen ini akan membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat Sukolilo secara keseluruhan. Berbeda dengan Kurniawan dan Idhom, temuan Shultan, dkk. (2012) dalam kasus perebutan tambang emas masyarakat justru beranggapan bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kesejahteraannya, sementara pemerintah justru menganggap bahwa tambang merusak lingkungan sehingga pemerintah setempat mengeluarkan surat keputusan penertiban penambang tanpa izin. Sementara itu, Regus (2008) lebih fokus terhadap sebab perlawanan rakyat terhadap tambang di Manggarai, NTT. Ia menyimpulkan bahwa terdapat lima sebab terjadinya perlawanan, yaitu dominasi, marjinalisasi, degradasi ekologis, degradasi sosial budaya, dan kemiskinan. Lebih jauh lagi, studi yang dilakukan Prayogo (2010) dengan memfokuskan kajiannya terhadap pemerintah, korporasi, dan masyarakat, tidak lagi melihat sebatas perbedaan kepentingan, tetapi lebih jau melihat dinamika, sebab dan resolusi konflik yang terjadi. Dalam tulisan ini, tambang dan perbedaan kepentingan tetap dijadikan landasan pemikiran utama dalam melihat kasus perlawanan masyarakat terhadap rencana tambang, karena menurut penulis perbedaan kepentingan antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat dapat menjadi penentu yang sangat kuat terhadap perlawanan tambang oleh masyarakat. Meskipun demikian, penulis memiliki asusmsi bahwa perbedaan kepentingan yang terjadi dalam setiap kasus konflik serta resistensi atau perlawanan terhadap rencana tambang ini tidaklah sama di setiap daerah. Selain itu, perbedaan kepentingan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 208 | YULISA FRINGK A dalam tulisan ini lebih dilihat sebagai pemicu terjadinya konflik atau resistensi itu sendiri. Di luar perbedaan kepentingan ini, penulis juga akan fokus melihat sebab-sebab lain yang juga berpengaruh terhadap perlawanan atas rencana tambang. Dalam tulisan ini penulis ingin melihat kasus serupa pada masyarakat adat dengan kultur dan budaya yang kuat, namun tidak termarjinalisasi. Tulisan ini difokuskan pada perspektif konflik yang melihat faktor serta bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat dengan prosedur adat. Untuk itu, tulisan ini bermaksud mengungkap alasan serta faktor dan motif yang menyebabkan masyarakat menolak rencana tambang di Nagari III Koto Kabupaten Tanah Datar, termasuk untuk mengungkap aktor-aktor yang berada di balik penolakan serta kekuatan yang dimilikinya. Kemudian, untuk mencari tahu bagaimana bentuk-bentuk resestensi yang dilakukan masyarakat tehadap rencana penambangan. Dengan demikian, tulisan ini mampu memberikan pembahasan dan kesimpulan yang berbeda dari studi sebelumnya karena menekankan pada kuatnya kultur di dalam masyarakat itu sendiri. Tulisan ini pada akhirnya melihat apakah perlawanan, resistensi, atau gerakan tolak rencana tambang ini merupakan suatu gerakan sosial atau bukan. M E T O DE PE N E L I T I A N Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam (indepth interview) 12 informan yang dipilih secara purposive karena dianggap dapat memberikan informasi secara mendalam mengenai gejala yang diteliti dan terlibat secara aktif dalam proses resistensi terhadap rencana tambang Bukit Batubasi. Kedua belas informan tersebut didapatkan secara snowball (bergulir) sesuai dengan kebutuhan data tulisan. Selain melakukan wawancara mendalam, penulis juga melakukan observasi terhadap proses interaksi, kehidupan sosial-budaya masyarakat, juga terhadap Bukit Batubasi itu sendiri. Untuk melengkapi data tulisan, penulis memperkaya temuan data dengan melakukan penelusuran data sekunder mengenai kasus resistensi berbasis adat masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana tambang Bukit Batubasi dan berbagai berita dari media massa dan elektronik mengenai kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 209 R E S I S T E N S I , KO N F L I K K E PE N T I N G A N, KO N F L I K TA M B A N G , H I N G G A G E R A K A N S O S I A L Untuk menjelaskan bagaimana proses konflik yang terjadi dalam resistensi rencana tambang, penulis menggunakan teori konflik yang dianggap mampu menjeleaskan bagaimana proses terjadinya konflik dalam kasus ini. Teori konflik dalam sosiologi dikemukakan secara berbeda. Marx lebih melihat konflik berdasarkan moda produksi kapitalis yang dimiliki oleh kelas borjuis dan proletar. Perbedaan sumber daya yang dimiliki antar dua kelas ini dapat menimbulkan konflik kepentingan yang inheren antar keduanya (Ritzer dan Goodman 2004). Sementara itu, menurut Dahrendorf, konflik dapat lahir akibat disintegrasi dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pemicu konflik menurutnya adalah kelompok kepentingan yang mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan dan anggota yang jelas (Ritzer dan Goodman dalam Shultan, et al. 2012). Selanjutnya, Fisher (dalam Shultan, et al. 2012) mengungkapkan bahwa konflik disebabkan oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Teori konflik menurut Fisher ini adalah merupakan teori konflik yang hampir mendekati konflik dalam resistensi masyarakat lokal terhadap korporasi tambang ini. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori konflik yang lebih aplikatif dan lebih fokus terhadap konflik antara komunitas lokal, pemerintah, dan korporasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prayogo (2008) untuk menganalisis proses terjadinya konflik, mulai dari sebab hingga resolusinya. Menurut Prayogo (2008:16), konflik dapat dilihat sebagai sebuah proses sosial yang dianalisis melalui tiga variabel, yaitu dimensi sebab, dinamika, dan resolusi. Konflik sosial tidaklah terjadi secara tiba-tiba, melainkan terdapat faktor-faktor penyebabnya dan disertai oleh indikasi awal. Suatu resolusi konflik dapat dikembangkan jika bergantung pada aktor yang terlibat dalam penentuan penyelesaiannya (Prayogo 2008:17). 1. Sebab konflik Menurut Prayogo, penyebab terjadinya konf lik tidak hanya disebabkan oleh variabel ketimpangan, eksploitasi, dan dominasi seperti yang diungkapkan oleh pemikir teori konflik terdahulu, melainkan ada faktor lain, yaitu perubahan politik dan pemberdayaan pada masyarakat. Aspinal dan Feally (dalam Prayogo 2008:22) juga M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 210 | YULISA FRINGK A menyebutkan bahwa munculnya resistensi masyarakat terhadap pemerintah dan korporasi disebabkan oleh adanya perubahan struktur politik akibat terjadinya transisi politik. Prayogo kemudian mengelompokkan ketimpangan, eksploitasi, dan dominasi sebagai sebab struktural dan sebab tidak langsung terjadinya konflik yang sulit diukur, sedangkan perubahan politik dan pemberdayaan masyarakat disebut sebab nonstruktural dan sebab langsung yang berpeluang menimbulkan resistensi masyarakat yang berujung pada konflik. Selain itu, Prayogo dalam hasil temuannya kemudian menambahkan satu variabel lain, yaitu ekonomidemografi yang juga berperan sebagai penyebab konflik. Peran negara kemudian penting untuk meredam terciptanya suatu konflik. Jika masyarakat tidak diberdayakan, mereka tidak akan memiliki kesadaran, keberanian, dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan resistensi terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan. 2. Dinamika Konflik Prayogo (2008:24) melihat dinamika dalam konf lik antara masyarakat lokal dengan korporasi tambang begitu kompleks, sehingga tidaklah sama dengan dinamika dalam konflik antar etnis atau agama. Karakteristik dalam dinamika konflik pada kasus ini ditandai oleh lima variabel, yaitu fluktuasi konflik, intensitas konflik, ekskalasi, dan bentuk konflik, aktor atau lembaga1 serta karakteristik lokal yang terlibat baik sebagai pendorong maupun peredam konflik. Aktor yang dimaksud dalam hal ini adalah para elite lokal, tokoh adat, preman, atau individu yang signifikan. Selain lima variabel di atas, kuat-lemahnya konflik juga dapat ditentukan oleh seberapa banyak lembaga yang terlibat atau adakah kompetisi dan/atau kolaborasi antarlembaga dalam konflik tersebut yang nantinya akan menyebabkan timbulnya konflik kepentingan (Prayogo 2008:26). 3. Resolusi Konflik Resolusi konflik merupakan solusi terbaik dari konflik yang terjadi dan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Resolusi konflik ini dapat dipetakan ke dalam kontrak sosial yang adil dan merata bagi komunitas lokal. Bentuk resolusi yang digunakan sebagai penyelesaian akhir dari suatu konflik sangat ditentukan oleh peran negara. 1 Lembaga yang dimaksud adalah organisasi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, organisasi kepentingan, dan profesi. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 211 Negara dalam hal ini dapat mendorong tercapainya penyelesaian dengan menggunakan kontrak sosial lama atau kontrak sosial baru. Pada variabel resolusi ini, Prayogo lebih melihat peran negara sebagai penentu akan resolusi konflik yang dipilih dalam sebuah konflik. Kerangka berpikir Prayogo dalam teori konflik yang melihat sebab, dinamika, serta resolusi konflik ini tergambar dalam skema berikut: Bagan 1. Kerangka Konflik Korporasi-Komunitas SEBAB Perubahan Politik Ketimpangan Eksploitasi DINAMIKA Fluktuasi, Ekskalasi & bentuk, Intensitas, Aktor dan Lembaga, karakteristik lokal RESOLUSI Keadilan Pemerataan Kontrak Sosial Pemberdayaan Eko-Demografi PERAN NEGARA : Fasilitator, Opurtunistik Sumber: Prayogo 2008:164 Karena tulisan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi apakah resistensi/perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari III Koto ini merupakan suatu bentuk gerakan sosial atau tidak, penulis membutuhkan satu teori lain untuk memperkuat analisis pada kasus ini yaitu teori gerakan sosial yang dikemukakan oleh Snow (2004). Teori ini juga mampu menjelaskan bagaimana masyarakat sebagai suatu kesatuan dengan berbagai alasan dan sebab dapat memobilisasi diri mereka untuk melawan kekuatan yang dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan mereka, yaitu kekuatan korporasi dengan modal yang dimilikinya serta kekuatan pemerintah daerah dengan otoritas kekuasaannya. Snow (2004) mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah tindakan kolektif yang terorganisasi dan berkelanjutan yang M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 212 | YULISA FRINGK A tujuannya adalah untuk menentang otoritas institusi (pemerintahan dan negara) maupun kultural (tradisi dan kepercayaan) sehingga dapat disimpulkan bahwa target dari gerakan sosial itu sendiri adalah negara serta otoritas lain dari berbagai institusi seperti korporasi, agama, atau dunia pendidikan (Snow dalam Hidayat 2012). Berdasarkan definisi di atas, indikator yang dapat menentukan suatu gerakan dapat dikatakan sebagai gerakan sosial adalah gerakan tersebut merupakan suatu: (1) tindakan kolektif, (2) terorganisasi, (3) memiliki kontinuitas, dan (4) memiliki tujuan (Snow, et al. 2004:6). Benford dan Snow (2000) mengungkapkan bahwa gerakan sosial erat kaitannya dengan konsep Colective Action frame. Frame dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi tertentu dalam rangka memobilisasi potensi pengikut, serta untuk mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford dan Snow 2000). M A S Y A R A K AT N AG A R I I I I KO T O Nagari III Koto merupakan salah satu nagari yang terdapat di Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sistem pemerintahan babaliak ka nagari yang lebih mengakui keberadaan adat dan peran Ninik Mamak (pemangku adat), membuat setiap nagari di Sumatera Barat menerapkan nilai dan norma adat dalam kehidupan mereka, tidak terkecuali Nagari III Koto. Masyarakat Nagari III Koto merupakan salah satu masyarakat dengan aturan dan norma adat yang kuat di Minangkabau hingga saat ini. Segala sesuatu di dalamnya akan selalu berhubungan dengan aturan dan norma adat tersebut sehingga kesakralan hubungan antara mamak dan kamanakan masih sangat kuat. Peran Ninik Mamak dan pemangku adat juga sangat kuat dalam segala hal, termasuk mengenai masalah rencana tambang bukit Batubasi. Semua hal mengenai respon dan sikap atas rencana tambang ini akan selalu dimusyawarahkan oleh para pemangku adat. Hal itulah yang membedakan sistem pemerintahan di Sumatera Barat dengan daerah lainnya di Indonesia. Kuatnya nilai dan norma adat dalam masyarakat Nagari III Koto juga terjadi karena tidak adanya pendatang yang kemudian menetap di daerah ini. Seluruh penduduk di Nagari III Koto merupakan penduduk asli Nagari III Koto itu sendiri. Kondisi ini membuat tidak terjadinya pergeseran terhadap budaya tanah pusako, karena perubahan komposisi etnis di Minangkabau dapat menjadi faktor M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 213 yang berpengaruh pada adat kepemilikan tanah pusako (Al Shafa 2014). Para perantau yang berasal Nagari III Koto juga memiliki peran penting terhadap reaksi masyarakat atas rencana rencana tambang atas bukit Batubasi. Kuatnya ikatan antara para perantau dengan masyarakat Nagari III Koto memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan serta wawasan dari para perantau kepada masyarakat Nagari III Koto, misalnya informasi mengenai dampak negatif pertambangan, sehingga pemahaman dan pengetahuan masyarakat di Nagari III Koto akan tambang semakin terbuka luas. Di dalam masyarakakat Nagari III Koto sendiri terdapat budaya dudak di lapau2 yang cukup penting. Lapau dapat dikatakan sebagai suatu ruang publik (public sphere) yang berpengaruh luar biasa dalam kehidupan masyarakat Minang karena lapau merupakan media diskusi mengenai kondisi sosial dan politik yang terjadi pada waktu tertentu sehingga mampu melahirkan opini publik. Dalam proses resistensi terhadap rencana tambang Batubasi, lapau memiliki peran signifikan. Sosialisasi dan pemberian pemahaman akan dampak tambang juga disebarkan saat duduak di lapau. Di sini pula masyarakat membentuk suatu opini publik atau pemahaman mengenai kondisi dan langkah apa yang harus dilakukan pada saat itu. Organisasi pemuda Padang Luar (P3L), sebagai salah satu contoh, melakukan setiap pertemuan dalam membahas kasus ini di lapau-lapau yang ada di Nagari III Koto, khususnya Padang Luar. Di lapau mereka merencanakan langkah yang akan mereka ambil. Begitu juga bagi masyarakat Nagari III Koto secara umum, menggunakan saat duduak di lapau untuk membahas rencana tambang Bukit Batubasi ini, meskipun secara informal. BU K I T B AT U B A S I : K E PE M I L I K A N L A H A N DA N K A I TA N N Y A DE N G A N TA N A H PU S A KO Bukit Batubasi merupakan sebuah bukit yang terletak di Nagari III Koto, berbatasan dengan Galogandang, Turawan, dan 2 Budaya duduak di lapau adalah suatu kebiasaan masyarakat Minangkabau, khususnya kaum laki-laki, untuk duduk di warung minum untuk mengopi, menyantap gorengan dan berkumpul bersama teman sejawat sembari bermain domino atau kartu pada sore hingga malam hari. Orang-orang yang duduk di lapau ini biasanya terdiri dari unsur pemuda, alim ulama, cadiak pandai, dan bahkan Ninik mamak. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 214 | YULISA FRINGK A Padang Luar. Bukit tertinggi dari seluruh bukit pada deretannya ini ternyata memiliki kandungan dan kekayaan alam yang sangat memiliki nilai ekonomi tinggi. yakni kandungan besi dan emas. Data satelit mengungkap bahwa di dalam Bukit Batubasi ini terdapat beberapa macam bahan galian, diantaranya adalah biji besi, tembaga, mangan, ball clain, felpor, tras, granit, bouksit, pasir kuarsa dan koalin hingga uranium tapi ada dua unsur lain yang tidak terbaca oleh satelit dengan total sebanyak 32.417.100 ton. Jauh sebelum itu, masyarakat Nagari III Koto telah memiliki pengetahun mengenai kandungan bukit Batubasi yang secara turun-temurun diwariskan sehingga masyarakat III Koto dari generasi yang ada saat ini sangat mengetahui mineral yang ada di dalam Bukit Batubasi. Di atas Bukit Batubasi juga terdapat sumber mata air yang sangat besar. Mata air inilah yang mengairi seluruh sawah yang ada di Nagari III Koto dengan panjang irigasi 7 kilometer di sepanjang kaki Bukit Batubasi. Tidak hanya itu, mata air ini juga dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air minum yang dialirkan ke seluruh wilayah III Koto melalui pipa air PAMSIMAS. Bukit Batubasi dengan segala kekayaan alamnya ternyata menyimpan cerita lain mengenai tradisi masyarakat Nagari III Koto. Mereka meyakini bahwa Bukit Batubasi merupakan bukit keramat. Keyakinan ini juga diwariskan secara turun temurun sehingga masyarakat III Koto masih meyakini bahwa bukit ini merupakan bukit keramat. Salah satu bukti bahwa bukit ini keramat adalah pernyataan beberapa informan yang mengungkapkan bahwa sawah yang ada di kaki bukit ini tidak pernah mengalami kekeringan saat musim kemarau panjang. Pada saat sawah pada daerah lain gagal panen, sawah di kaki bukit Batubasi ini tetap menghasilkan hasil panen seperti biasanya. Keberadaan makam keramat di puncak Bukit Batubasi ini juga lekat dengan tradisi Bakaua, yaitu melakukan ziarah serta menghantarkan doa atau permohonan ke kuburan keramat ini. Kepemilikan lahan Bukit Batubasi, sesuai dengan aturan kepemilikan tanah di Minangkabau, merupakan tanah ulayat kaum atau yang sering dikenal dengan istilah tanah pusako3. Namun, Bukit Batubasi ini bukanlah milik satu kaum saja, melainkan milik banyak 3 Tanah pusako adalah merupakan tanah yang diwariskan secara turun menurun oleh nenek moyang berdasarkan gelar adat. Tanah pusako ini bukan merupakan hak milik M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 215 kaum di III Koto. Status tanah pusako atas Bukit Batubasi ini membuat kepemilikan terhadapnya sakral secara aturan adat sehingga apapun hal yang terkait dengan lahan di atur secara adat, seperti pengaturan atas kepala waris serta ahli waris yang berada dalam satu kaum. Seluruh anggota dalam satu kaum tersebut merupakan ahli waris atas lahan di Bukit Batubasi ini. Artinya, berbagai hal yang terkait lahan Bukit Batubasi harus dibicarakan oleh seluruh anggota kaum di bawah pimpinan ninik mamak kepala kaumnya, termasuk mengenai rencana tambang atas bukit Batubasi ini. Jika satu kaum ingin mengizinkan tanah kaumnya untuk ditambang, mereka harus mendapat kesepakatan dan izin dari seluruh anggota kaum yang ada dalam ranji4 kaum mereka. Aturan adat inilah yang kemudian menyebabkan perizinan terhadap rencana tambang Bukit Batubasi ini tidaklah mudah. Selain prosedur perizinan tersebut, aturan mengenai tanah pusako dalam Minangkabau juga menjadi alasannya. R E S I S T E N S I M A S Y A R A K AT N AG A R I I I I KO T O T E R H A DA P R E N C A N A TA M B A N G BU K I T B AT U B A S I Rencana tambang Bukit Batubasi sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial. Namun, penolakan terhadap rencana tambang oleh masyarakat Nagari III Koto ini baru dilakukan setelah era demokratisasi, yaitu pada tahun 2006 setelah PT. Citra Tambang Lestari melakukan sosialisasi rencana tambang Bukit Batubasi di Nagari III Koto. Intensitas resistensi kembali meningkat pada tahun 2013 ketika PT. Selaras Bumi Banua telah mendapatkan izin eksplorasi dari Bupati Tanah Datar, tanpa seizin masyarakat Nagari III Koto. Surat izin tersebut ternyata memiliki banyak kejanggalan, khususnya terkait dukungan 14 orang yang mengatasnamakan 14 kaum berbeda tanpa kerapatan (musyawarah) adat, terlebih setelah ditelisik 14 kaum ini sebenarnya hanya terdiri dari 4 kaum saja, sehingga surat pernyataan 14 kaum ini tidak dapat dijadikan landasan untuk mengeluarkan izin eksplorasi tambang Bukit Batubasi oleh pemerintah daerah individu, melainkan milik seluruh kaum (komunal). Tanah pusako bukan merupakan hak milik, melainkan hak pakai seumur hidup sehingga tanah pusako dalam aturan adat Minangkabau tidak dapat dijual dan dipindahtangankan. 4 Ranji dalam masyarakat Minangkabau diartikan sebagai silsilah keluarga dalam kaum tertentu. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 216 | YULISA FRINGK A Kabupaten Tanah Datar. Kejanggalan itu semakin diperkuat dengan adanya pemalsuan tanda tangan dari keempat belas orang tersebut. Indikasi lainnya, luas lahan yang diizinkan mengacu pada izin eksplorasi yang dikeluarkan oleh Bupati Tanah Datar pada akhir tahun 20125 jauh dari luas lahan yang diizinkan oleh 14 kaum sebagai pemilik lahan (Berdasarkan hasil wawancara dengan seluruh informan pada Februari-Maret 2015). Keadaan di atas membuat masyarakat Nagari III Koto semakin gencar melakukan bebagai bentuk resistensi agar izin penambangan Bukit Batubasi dicabut. Seperti yang sudah digambarkan pada bagian kerangka pemikiran, ada beberapa variabel yang menjadi faktor pendorong terjadinya resistensi dalam masyarakat. Varibel tersebut di antaranya adalah perubahan politik dan perkembangan pengetahuan, aturan dan norma adat, dampak tambang yang akan terjadi, ketimpangan sumber daya ekonomi, serta daya dukung lingkungan. Variabel pertama adalah perubahan politik dan perkembangan pengetahuan. Perubahan politik merupakan perubahan sistem dan atmosfir politik akibat reformasi politik (1998) yang kemudian diperkuat dengan digulirkannya desentralisasi melalui Undang-undang Otonomi Daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2004 (Prayogo 2008:84). Variabel perubahan politik sering menjadi sebab resistensi maupun konflik antar korpoarasi tambang dengan masyarakat lokal. Prayogo (2008) menyebut variabel perubahan politik ini sebagai variabel yang sangat khusus terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia, dalam kaitannya dengan konflik antara korporasi dan komunitas lokal. Namun demikian, menurut penulis variabel ini perlu ditambahkan dengan variabel lain yaitu perkembangan pengetahuan. Perubahan politik yang terjadi akan selalu diikuti dengan perkembangan pengetahuan masyarakat seputar aktivitas penambangan, karena dengan masuknya Indonesia ke dalam era demokratisasi, segala informasi lebih mudah didapatkan oleh masyarakat. Hal ini kemudian akan menjadi faktor yang memengaruhi perkembangan pengetahuan mereka. Variabel kedua adalah aturan dan norma adat. Variabel ini merupakan variabel yang sangat siginifikan terhadap penyebab resistensi 5 Dalam surat keputusan tersebut dicantumkan bahwa luas lahan yang diizinkan untuk eksplorasi tambang bijih besi adalah 351,4 Ha. Padahal, luas lahan yang diizinkan oleh 14 ini tidak mencapai angka 50 Ha. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 217 yang terjadi dalam masyarakat Nagari III Koto. Dalam studi sebelumnya mengenai kasus serupa, variabel aturan dan norma adat ini belum pernah dimunculkan sebagai sebab konf lik ataupun resistensi komunitas lokal terhadap korporasi tambang. Prayogo (2008) menemukan signifikansi antara karakteristik lokal (organisasi, norma, dan budaya lokal) dengan dinamika konflik yang terjadi. Kentalnya norma dan budaya lokal menjadi sebab yang paling penting dalam melahirkan resistensi masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana tambang Bukit Batubasi. Variabel ketiga adalah dampak yang akan terjadi jika operasi tambang sudah berlangsung. Variabel ini menjadi landasan utama bagi masyarakat untuk melakukan resistensi terhadap rencana tambang tersebut. Terdapat dua indikator dalam dampak tambang, yaitu dampak lingkungan dan dampak sosial-budaya. Variabel keempat yaitu ketimpangan sumber daya4, terutama antara korporasi (perusahaan tambang, dalam hal ini PT. Selaras Bumi Banua) dan masyarakat (dalam hal ini masyarakat Nagari III Koto). Sebab resistensi kelima adalah tekanan ekonomi dan daya dukung lingkugan sebagai variabel yang sangat penting dalam menetukan resistensi masyarakat Nagari III Koto. Lokasi Bukit Batubasi yang berada di tengah pemukiman dan lahan pertanian penduduk sebagai mata pencaharian utama mereka. Selain lima variabel di atas, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan pada Februari-Maret 2015 di Nagari III Koto, setidaknya terdapat dua variabel lain yang juga signifikan sebagai penyebab resistensi, yaitu dimensi sejarah dan kepercayaan, serta pendekatan konvensional perusahaan. Kedua variabel tesrebut menjadi variabel khusus yang terjadi di Nagari III Koto, karena kuatnya kehidupan sosial dan budaya masyarakat Nagari III Koto. 4 Ketimpangan menurut Prayogo (2008) berkenaan dengan kesenjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan ekonomi diukur dari perbedaan aset dan tingkat pendapatan antara karyawan korporasi dengan penduduk umum, sementara kesenajngan sosial dilihat dari segresi sosial baik secara horizontal dan vertikal. Namun, dalam tulisan ini, ketimpangan yang dimaksudkan adalah ketimpangan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat, pemerintah daerah, dan korporasi tambang. termasuk di dalamnya aspek kekuasaan dan modal. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 218 | YULISA FRINGK A Tabel 1. Kebutuhan Lahan untuk Relokasi Infrastruktur (dalam ha; status November 2011) Sebab Fokus Perubahan trasnsisi politik dari kolonial-Orde BaruReformasi dan dampaknya dalam memperluas dan Perubahan politik dan perkembangan pengetahuan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan tambang khusunya Tanah pusako, terutama tanah pusako tinggi, tidak boleh dijual atau diberikan tanpa kesepatan seluruh anggota Norma dan aturan adat kaum yang terdapat dalam ranji kaum. -Dampak lingkungan: hilangnya sumber irigasi dan sumber air minum PAMSIMAS, rusaknya Danau Singkarak beserta ekosistem di dalamnya dan Dampak tambang menurunnya derajat kualitas lingkungan. -Dampak sosial budaya rusaknya akhlak, adab serta adat masyarakat nagari. Ketimpangan kekuasaan dan modal antara korporasiKetimpangan sumber daya pemerintah daerah-pemilik lahan-masyarakat nagari Daya dukung lingkungan dalam hal ini Bukit Batubasi Ekonomi dan daya dukung dan kaitannya dengan pertanian, jarak pemukiman lingkungan dengan Bukit Batubasi serta tekanan ekonomi akibat profesi utama penduduk sebagai petani. Sejarah Nagari III Koto, sejarah Bukit Batubasi, dan Nilai sejarah dan kepercayaan masyarakat lokal atas Bukit Batubasi kepercayaan adalah suatu tradisi yang harus dipertahankan. Mek a nisme pendek ata n ya ng diguna k a n oleh Pendekatan konvensional perusahaan bersifat konvensional perusahaan Sumber: Hasil olah data penulis Penjelasan mengenai penyebab resistensi di atas telah memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Nagari III Koto melakukan resistensi terhadap rencana tambang. Dalam penjelasan di atas juga dijelaskan bagaimana kondisi yang memicu terjadinya gejolak resistensi tersebut, khususnya pada tahun 2013. Dengan adanya kondisi demikian, gejolak penolakan dari masyarakat Nagari III Koto semakin memanas. Timbulnya penolakan dari masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana penambangan Bukit Batubasi berdasarkan penelitian yang penulis lakukan pada Februari-Maret 2015 tidak didasari oleh motif ekonomi (pemberian hak atas saham untuk masyarakat lokal, ganti rugi sesuai keinginan masyarakat serta perekrutan tenaga kerja yang merata) ataupun motif politik (perebutan kekuasaan antara korporasi M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 219 dengan masyarakat lokal), melainkan motif kultural (mempertahankan nagari, adat, kehidupan sosial, dan budaya mereka dari kehancuran) sebagai wujud kesadaran atas beberapa hal yang menjadi faktor pendorong lahirnya resistensi ini.5 Ketujuh faktor atau variabel yang merupakan penyebab resistensi dapat dikatakan signifikan dalam konteks masyarakat Nagari III Koto. Namun, tingkat signifikansi dari setiap variabel tidaklah sama. Variabel norma dan aturan adat merupakan faktor yang paling signifikan terhadap resistensi, diikuti oleh variabel ekonomidemografi. Hal tersebut karena masyarakat Nagari III Koto hidup dalam aturan adat yang kental dan corak masyarakat agraris. Jika pada tulisan Prayogo (2008) konflik antar korporasi dan komunitas lokal lebih disebabkan oleh faktor ketimpangan, dalam tulisan ini justru faktor ketimpangan tidak terlalu memberikan pengaruh seperti dua variabel sebelumnya. Meskipun pada dasarnya ketimpangan ini besar pengaruhnya sebagai pemicu lahirnya gejolak penolakan. Hal ini mempertegas pernyataan Prayogo (2008) bahwa penyebab terjadinya konflik dapat bervariasi antara satu kasus dengan kasus lainnya bergantung pada kondisi demografis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah. Setiap variabel dalam sebab resistensi ini pada dasarnya memiliki keterkaitan antar satu sama lain. Variabel perubahan politik dan perkembangan pengetahuan, misalnya, dengan situasi perubahan politik dan meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak tambang membuat mereka dapat memprediksi dampak yang akan mereka alami jika tambang Bukit Batubasi terlaksana. Variabel dampak tambang yang akan terjadi ini juga berkaitan erat dengan variabel tekanan ekonomi dan daya dukung lingkungan, terutama ketika aktivitas pertambangan berdampak terhadap sawah sebagai area mata pencaharian utama penduduk akan menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan mereka dan akan mengalami tekanan ekonomi jika hal tersebut terjadi. Dengan demikian, menurut penulis ketiga variabel dalam sebab resistensi ini memiliki keterkaitan dan pengaruh antar satu dengan yang lainnya. Kekhasan karakteristik masyarakat di Nagari III Koto, yakni kultur dan adat istiadat yang begitu kuat, menyebabkan tidak semua 5 Penjelasan ini diungkapkan oleh seluruh informan dan juga didukung oleh pernyataan WALHI SUMBAR yang turut terlibat dalam penyelesaian kasus ini. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 220 | YULISA FRINGK A variabel dalam dimensi sebab menurut pemikiran Prayogo dapat diaplikasikan dalam menganalisis resistensi masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana penambangan Bukit Batubasi. Terdapat tiga varibel dalam pemikiran Prayogo yang berlaku untuk kasus ini, yaitu perubahan politik, ketimpangan dan ekonomi, sebagai penyebab langsung yang menciptakan kondisi yang memicu gejolak penolakan di Nagari III Koto. Kemudian penulis mengajukan empat faktor berbeda lainnya sebagai penyebab tidak langsung yang mempertegas ideologi masyarakat dalam menolak rencana tambang tersebut, yaitu pengembangan pengetahuan sebagai akibat dari adanya perubahan politik, norma dan aturan adat, dampak tambang, dan sebagaimana ditemukan berdasarkan hasil penelitian, yaitu nilai sejarah dan kepercayaan masyarakat terhadap lokasi rencana penambangan. Resistensi yang dilakukan masyarakat Nagari III Koto juga dipengaruhi peran delapan aktor yang terlibat di dalamnya. Setiap aktor memiliki kekuatan dan peran masing-masing dalam resistensi ini. Empat aktor yang paling signifikan perannya adalah ninik mamak, persatuan pemuda, organisasi keperantauan, dan wali jorong. Akan tetapi, dalam proses resistensi ini tidak terjalin kerja sama yang baik antar-Koto, sehingga tidak terdapat koordinasi untuk menjalankan gerakan penolakan bersama antara Galogandang dan Padang Luar, selain kerjasama perantau, koordinasi wali jorong dan tigo tungku sajarangan. B e n t u k R e si st e si Dalam kerangka pemikiran, penulis merumuskan lima bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Nagari III Koto, yaitu jalur diplomasi, rapat adat dan musyawarah, surat, penggalangan tanda tangan dan pemasangan banner. Namun, pada saat penelitian berlangsung muncul dua bentuk resistensi lain, yaitu pemblokiran dan pengusiran serta perluasan jaringan dan dukungan. Tujuh bentuk resistensi ini sebenarnya memiliki keterkaitan tahapan satu sama lain, terutama rapat adat dan musyawarah, karena bentuk resistensi lainnya diputuskan melalui rapat adat dan musyawarah ini. Suatu bentuk resistensi akan selalu diawali dengan rapat adat dan musyawarah. Hal ini juga tidak lepas dari kuatnya kultur dan adat istiadat melalui organisasi sosial lokal yang di bawahi oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN), di mana adat dan pemangku adat sangat berperan. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 2 21 Tabel 2. Bentuk Resistensi Bentuk Fokus Karena menyangkut persoalan adat sehingga harus dibicarakan secara adat. Kemudian, tradisi dalam masyarakat Minangkabau segala persoalan harus dibicarakan dengan musyawarah untuk mencapai kata sepakat. Rapat adat dan Merupakan bukti otentik bahwa masyarakat Nagari III musyawarah Koto menolak. Sebagai bukti bahwa seluruh masyarakat nagari III Koto menolak rencana tambang tersebut dan dapat ‘memperkuat’ surat penolakan. Untuk mempertegas penolakan terhadap tambang dan Surat sebagai media sosialisasi akan tambang. Penggalangan Perusahaan tanpa izin masyarakat dan melakukan tanda tangan pelanggaran dengan masuk lahan orang lain. Karena untuk mendapatkan dukungan dari pihak lain Pemasangan banner guna pencapaian tujuan. Pemblokiran dan Untuk mengklarifikasi serta melakukan negosiasi dan pengusiran konsensus dengan pemerintah daerah Perluasan jaringan Sejarah Nagari III Koto, Sejarah Bukit Batubasi dan kepercayaan masyarakat lokal atas Bukit Batubasi dan dukungan adalah suatu tradisi yang harus dipertahankan. jalur diplomasi Efektivitas Efektif Sangat Efektif Kurang Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif Sumber: Hasil olah data penulis Semua bentuk resistensi dapat dikatakan efektif dalam tujuannya masing-masing. Bentuk resistensi yang dinilai paling efektif oleh masyarakat adalah surat penolakan. Meskipun surat ini harus dikirimkan hingga berkali-kali oleh beberapa unsur, namun efektivitasnya tidak akan terlepas dari bentuk resistensi lain, yaitu musyawarah, jalur diplomasi, serta perluasan jaringan dan dukungan. Pada dasarnya, bentuk resistensi ini sama halnya dengan eskalasi dan bentuk konflik menurut Prayogo (2008), yaitu rumor, keluhan, pelaporan (lisan dan tulisan), tekanan, ancaman dan perusakan/ penjarahan. Apa yang dilakukan oleh masyarakat Nagari III Koto saat itu dipicu oleh rumor mengenai izin ekplorasi yang sudah di dapat oleh PT. Selaras Bumi Banua, sehingga masyarakat menjadi resah, kemudian muncul keluhan terhadap pemerintah daerah yang seolah-olah tidak “pro-rakyat”. Setelah itu diselenggarakan berbagai musyawarah dan pertemuan antarelemem dalam masyarakat untuk membuat langkah yang diambil saat itu adalah membuat surat (pelaporan) bahwa masyarakat menolak rencana tambang tersebut. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 222 | YULISA FRINGK A Namun, karena tidak kunjung membuahkan hasil, maka masyarakat mulai melakukan tekanan dan ancaman, hingga perusakan dan penjarahan. Bentuk konflik yang dijelaskan oleh Prayogo di atas dalam tulisan ini dilihat ke dalam bentuk-bentuk yang lebih spesifik, misalnya tekanan, dilakukan dengan memasang banner penolakan di Nagari III Koto. Selain itu, dilakukan juga perluasan jaringan dan dukungan dari LSM lokal (dalam hal ini WALHI), sehingga perlawanan dari masyarakat dapat dinilai suatu ancaman oleh perusahaan karena melibatkan pihak eksternal yang memiliki kekuatan lembaga dalam segi hukum. Ancaman, perusakan, hingga penjarahan juga dilakukan dengan cara melakukan pemblokiran, penghadangan, dan pengusiran kepada pihak perusahaan yang sedang melakukan kegiatan eksplorasi tambang. Prayogo (2008) menyebutkan bahwa dinamika konflik pada industri tambang dan migas merupakan fenomena terpola sehingga keberlakukannya dapat diprediksi secara umum, namun memiliki kekhasan yang berkaitan dengan keunikan lokal serta jenis industrinya. Pernyataan tersebut berlaku dan terbukti dalam kasus resistensi masyarakat Nagari III Koto. Tahapan, proses, serta bentuk resistensi di Nagari III Koto memiliki pola yang bergerak ke arah intensitas dan tekanan yang lebih tinggi, sama halnya dengan pola ekskalasi dan bentuk konflik yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten.Bandung yang menjadi lokasi studi Prayogo. Akan tetapi, hal tersebut dipengaruhi oleh kekhasan, yaitu karakteristik lokal dan budaya dan organisasi sosial lokal di Nagari III Koto, sehingga dapat melahirkan bentuk yang berbeda dengan daerah lainnya. Grafik 1 di bawah menggambarkan bagaimana intensitas resistensi yang mulai terjadi sejak tahun 2006 ketika tahap sosialisasi rencana tambang pertama kali oleh PT. Citra Tambang Lestari. Pada saat itu intensitas penolakan sama sekali tidak tinggi, karena perusahaan tersebut sebatas melakukan sosialisasi dan gagal mendapat izin dari pemilik lahan juga pemerintah daerah. Resistensi mengalami peningkatan pada tahun 2011 karena sosialisasi izin ekplorasi oleh PT. Selaras Bumi Banua yang sudah didapat dari pemerintah setempat. Akan tetapi, setelah hampir dua tahun ‘diam’, gejolak resistensi kembali meningkat jauh pada tahun 2013 hingga menjadi puncak resistensi yang dialakukan oleh Masyarakat Nagari III Koto, karena seluruh elemen termasuk pemuda dan perantau ikut terlibat M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 223 melakukan berbagai bentuk resistensi. Tingkat intensitas dan frekuensi resistensi juga mengalami peningkatan yang ditandai dengan lahirnya bentuk-bentuk resistensi yang semakin ekstrim dan gejolak yang semakin memanas. Terdapat enam bentuk resistensi yang dilakukan pada tahun ini, yaitu rapat adat/musyawarah, surat penolakan berbagai elemen, pemasangan banner, pemblokiran dan pengusiran, perluasan jaringan dan diplomasi. Masyarakat Nagari III Koto menamakan resistensi pada tahun tersebut sebagai penolakan bersama seluruh elemen masyarakat. Keterlibatan pihak luar juga menyebabkan intensitas resisntensi ini semakin kuat. Sehingga pada akhir tahun 2013 penolakan ini diakhiri dengan surat penolakan tigo tungku sajarangan tadi, sebelum akhirnya izin tersebut tidak diperpanjang kembali oleh Bupati Tanah Datar pada tanggal 7 Januari 2014. Grafik 1. Periodesasi dan Jumlah Bentuk Resistensi di Nagari III Koto Sumber: Penulis R e si st e n si d a n G e r a k a n S osi a l Resistensi masyarakat Nagari III Koto, menurut penulis, dapat dianggap sebagai suatu gerakan sosial karena telah memenuhi karakteristik gerakan sosial yang diajukan Snow (2011:9) sebagaimana telah dijelaskan dalam kerangka pemikiran. Pertama, resistensi yang dilakukan oleh masyarakat nagari III Koto dilakukan secara M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 224 | YULISA FRINGK A kolektif serta melibatkan seluruh elemen yang ada. Resistensi ini juga terorganisasi ke dalam beberapa organisasi dan lembaga yang terlibat, yaitu KAN III Koto, KAN Sub-I dan KAN Sub-II, IKATIKO (IKAPGA, IKPL, IKPT), P3L dan unsur pemuda jorong Galogandang serta lembaga desa (Wali Nagari dan Wali Jorong) dan BPRN. Organisasi dan lembaga lokal tersebut memiliki kontinuitas sebagai sebuah organisasi dan lembaga. Tidak hanya itu, penolakan rencana tambang Bukit Batubasi terus belanjut hingga penelitian selesai dilakukan. Hal tersebut terbukti dari adanya program kerja yang mereka buat. P3L misalnya pada saat ini sedang mencanangkan suatu program untuk menciptakan objek wisata di daerah sekitar Bukit Batubasi dengan tujuan untuk meminimalisasi rencana tambang Bukit Batubasi serta keinginan sebagian warga Nagari III Koto untuk menyerahkan lahannya karena faktor uang. Berkembangnya suatu gerakan sosial ditentukan oleh adanya kesempatan politik yang dimiliki oleh masyarakat sebagaimana dijelaskan Prayogo (2008) sebagai sebab resistensi, yaitu perubahan politik. Runtuhnya rezim Orde Baru membuat iklim politik menjadi terbuka sehingga memungkinkan gerakan sosial dapat berkembang, termasuk gerakan sosial berbasis isu lingkungan, seperti resistensi masyarakat Nagari III Koto untuk melawan tambang Bukit Batubasi. Saat iklim politik sudah terbuka dan gerakan resistensi mulai berkembang, framing terhadap tindakan kolektif dilakukan untuk mencari pengikut dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Jika Prayogo (2008) menyebut ini sebagai rumor yang disebarluaskan oleh sekelompok orang serta dapat menjadi pemicu lahirnya gerakan resistensi, Snow dan Benford (2000) menyebut ini sebagai collective action framing, yakni pemberian makna dan interpretasi terhadap kejadian tertentu untuk menciptakan suatu pemahaman dalam masyarakat. Frame juga dapat didefinisikan sebagai interpretasi skema yang membuat individu menempatkan, merasa, mengidentifikasi dan memberikan label pada suatu peristiwa yang terjadi serta dapat berfungsi untuk mengorganisasi dan memandu tindakan baik individu maupun kolektif (Goffman 1974:21). Terdapat tiga proses framing dalam menunjang perkembangan suatu gerakan sosial, yaitu diagnostic framing, prognostic framing, dan motivational framing (Benford dan Snow 2000). Tiga tahapan dalam proses framing tersebut juga terjadi dalam kasus resistensi masyarakat Nagari III Koto. Diagnostic framing dalam M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 2 25 masyarakat Nagari III Koto pada saat itu adalah telah dikeluarkannya izin ekplorasi oleh pemerintah Kabupaten Tanah Datar kepada PT. Selaras Bumi Banua atas dasar dukungan dari tigo tungku sajarangan kepada 14 orang masyarakat kaum yang telah menyerahkan lahannya. Akan tetapi, izin ini dikeluarkan tanpa sepengetahuan masyarakat, sehingga menimbulkan keresahan dalam masyarakat Nagari III Koto, baik di III Koto sendiri maupun bagi masyarakat perantau. Ini tentu bertentangan dengan kehidupan sosial budaya serta adat yang berlaku dalam masyarakat Nagari III Koto. Tanah pusako, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya tidak dapat dijual atau diserahkan kepada pihak lain. Jika ini terpaksa harus dilakukan, maka harus ada kesepatan seluruh anggota dalam kaum tersebut. Daalm kenyataannya tidak ada kesepatan antar seluruh anggota kaum, sehingga dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku. Di luar itu, dukungan tigo tungku sajarangan dilakukan tanpa adanya musyawarah bersama seluruh anggotanya, sehingga hal ini dianggap tidak sesuai dengan aturan dan norma adat yang berlaku. Framing mengenai aturan dan norma adat semakin gencar dikembangkan oleh ninik mamak pemangku adat dan beberapa aktor lain kepada seluruh masyarakat. Hal ini membuat pemahaman masyarakat luas mengenai aturan dan norma adat khususnya tanah pusako menjadi semakin tinggi sehingga masyarakat semakin sadar akan adat dan mengetahui bahwa jika Bukit Batubasi ditambang, secara tidak langsung akan melemahkan adat yang berlaku di Nagari III Koto. Setelah itu, berkembang pula pemahaman mengenai dampak tambang yang akan merugikan masyarakat, dalam hal lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi, sehingga Nagari III Koto harus dipertahankan dari segala bentuk aktivitas pertambangan di Bukit Batubasi. Hal ini diwujudkan dengan melakukan resistensi terhadap rencana tambang Bukit Batubasi. Pragnostic framing dilakukan dengan memperkuat persatuan dan kebersamaan seluruh unsur masyarakat Nagari III Koto. Dengan demikian, akan tercipta kekompakan dalam masyarakat untuk bersama-sama melakukan resistensi terhadap rencana tambang yang dilakukan. Hal ini ditujukan agar izin eksplorasi terhadap PT. Selaras Bumi Banua dicabut atau tidak diperpanjang lagi oleh pemerintah daerah Kabupaten Tanah Datar. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukanlah berbagai macam tindakan kolektif seperti apa yang sudah dijelaskan pada bentuk resistensi di atas, dimulai dari M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 226 | YULISA FRINGK A rapat adat dan musyawarah, membuat surat penolakan, melakukan pemblokiran dan pengusiran, hingga mencari dukungan dari NGO serta pers lokal. Salah satu tindakan utama yang juga dilakukan pada saat itu adalah memperkuat organisasi pemuda dengan tujuan menggalang persatuan dalam melakukan resistensi terhadap rencana tambang Bukit Batubasi. Untuk mencapai tujuan utamanya dalam “melawan” kekuatan pemerintah lokal dan korporasi tambang, dibutuhkan sumber daya untuk menunjang resistensi yang dilakukan. Segala bentuk resistensi yang dilakukan membutuhkan sumber daya sebagai modal awal dalam menjalankan tindakan kolektif. Dalam hal ini sumber daya yang dibutuhkan adalah kekuatan finansial serta kekuatan jaringan (melalui akses terhadap media, dukungan simpatisan, serta loyalitas kelompok). Dalam kasus resistensi yang terjadi di Nagari III Koto, penulis melihat bahwa aktor-aktor yang terlibat di dalamnya telah melakukan berbagai cara dalam memobilisasi sumber daya yang ada. Salah satu organisasi unsur pemuda di Nagari III Koto, yaitu P3L telah memanfaatkan sumber daya finansial yang dimiliki oleh organisasi keperantauan Nagari III Koto, yaitu IKATIKO, dalam melakukan salah satu bentuk resistensi berupa pemasangan banner penolakan di III Koto. Perantau dengan sumber daya finansial yang dimilikinya memiliki peran besar dalam aksi yang dilakukan oleh P3L dalam melakukan resistensi. Tidak hanya untuk mendanai pemasangan banner penolakan, dukungan finansial dari IKATIKO juga termasuk ke dalam berbagai hal. Misalnya, penerangan (lampu jalan) dipasang oleh P3L untuk mengawasi aktivitas ke arah Bukit Batubasi di malam hari, karena memang para perantau III Koto sangat berperan dalam resistensi ini, terutama dalam hal dukungan finansial. Masyarakat juga melakukan perluasan jaringan seperti apa yang sudah dijelaskan dalam bentuk resistensi. Masyarakat Nagari III Koto memanfaatkan media sosial yang ada untuk memperoleh dukungan dari seluruh masyarakat Nagari III Koto di manapun mereka berada. Dalam media sosial tersebut disampaikan apa yang menjadi frame dalam persoalan ini, sehingga seluruh masyarakat sadar dan memberikan dukungan terhadap resistensi ini. Jaringan juga diperluas dengan cara memanfaatkan relasi yang dimiliki oleh anak nagari (pemuda) III Koto. Salah satu anak nagari Jorong Galogandang memperluas jaringan dengan mencari dukungan dari NGO yang M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 227 memiliki perhatian terhadap lingkungan, yaitu WALHI. Relasi terhadap media lokal juga dimiliki oleh anak nagari III Koto sehingga berbagai isu seputar pertambangan juga dimuat dalam beberapa surat kabar. Hal ini membawa dampak positif bagi masyarakat III Koto, karena dukungan terhadap masyarakat Nagari III Koto juga akan bertambah dan memperluas jaringan yang dimiliki saat itu. Masyarakat juga berhasil memobilisasi kekuatan legalitas yang dimiliki oleh ninik mamak dalam KAN, yaitu kekuatan legalitas adat. Adat dijadikan alat untuk mencapai tujuan dalam menolak tambang sehingga memiliki kekuatan yang tinggi, terutama dalam masyarakat adat Minangkabau. Apa yang disebut sebagai loyalitas kelompok juga telah dibuktikan oleh masyarakat Nagari III Koto dalam pemblokiran dan pengusiran terhadap PT. Selaras Bumi Banua. Setiap daerah dijaga oleh pemuda masing-masing daerah tersebut dalam melakukan pemblokiran pada akses masuk Bukit Batubasi. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menilai bahwa masyarakat Nagari III Koto melakukan mobilisasi sumber daya (resource mobilization) berupa kekuatan finansial, kekuatan jaringan, dan kekuatan legalitas adat yang dimilikinya. K E S I M PU L A N Tulisan ini menunjukkan bahwa pemikiran Prayogo terhadap model koflik, baik itu sebab, dinamika, dan resolusi konflik dapat diterapkan dalam melihat resistensi masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana tambang. Akan tetapi, pemikiran tesrebut tidak berlaku secara keseluruhan, karena perbedaan karakteristik dalam masyarakat yang diteliti sehingga diperlukan model konflik baru dalam melihat persoalan ini, terutama pada konflik yang terjadi saat tahapan rencana tambang (Gambar 6.1). Selain itu, Prayogo (2008) mengaitkan antara karakteristik lokal dengan dinamika konflik yang akan sangat ditentukan oleh karaktertistik lokal. Akan tetapi, menurut penulis karakteristik lokal tidak hanya dapat menentukan dinamika konflik, tetapi juga sangat berperan signifikan sebagai sebab konflik, mengingat di Indonesia karakteristik lokal setiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Hal itu akan menjadi warna tersendiri, baik itu sebagai penentu dinamika, maupun sebagai sebab konflik, dalam hal ini resistensi. Selain dapat menentukan sebab, karakteristik lokal dalam hal ini adat juga digunakan sebagai alat bagi masyarakat M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 228 | YULISA FRINGK A dalam melakukan resistensi. Adat memiliki legalitas yang tinggi dan kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk Nagari III Koto. Dengan menjadikan adat sebagai alat dalam melakukan resistensi, tujuan masyarakat dalam menolak rencana tambang menjadi lebih memungkinkan untuk dicapai. Tulisan ini juga memperkuat pemikiran Prayogo bahwa konflik pada industri tambang dan migas tidak hanya fenomena terpola sehingga dapat diprediksi keberlakuan umumnya, namun juga memiliki kekhasan berkaitan dengan keunikan lokal serta jenis industrinya (Prayogo 2008:77), karena aktor dan bentuk serta resolusi dalam konflik menurut Prayogo juga terjadi secara umum dalam resistensi masyarakat Nagari III Koto. Namun, dibedakan oleh keunikan lokal, dalam hal ini adat, budaya serta organisasi sosial lokalnya. Melihat proses resistensi masyarakat Nagari III Koto mulai dari pemicu, bentuk hingga solusi resistensi dapat disimpulkan bahwa resistensi yang dilakukan ini merupakan suatu gerakan sosial, meskipun masih merupakan gerakan sosial pada level mikro, karena memenuhi karakteristik gerakan sosial menurut Benford dan Snow (2004). Berkembangnya resistensi ini juga ditentukan oleh tiga faktor penentu muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial, yaitu dengan adanya kesempatan politik, colective action framing, dan perluasan jaringan guna mendapat banyak dukungan. Gerakan sosial masyarakat Nagari III Koto ini merupakan suatu bentuk gerakan sosial baru (new social movement) yang berlandaskan, yakni gerakan yang mengusung isu-isu politik identitas dan kualitas hidup seperti lingkungan, preferensi seksual, dan gender (Tilly 1998). Dua pemikiran mengenai konflik (Prayogo 2008) dan gerakan sosial (Benford dan Snow 2000) menurut penulis memiliki korelasi dalam melihat suatu konflik yang dalam prosesnya dapat berkembang sebagai sebuah gerakan sosial. Penyebab konflik menurut Prayogo dapat berperan sebagai faktor pemicu berkembangnya suatu gerakan sosial. Dua teori ini juga memperhatikan aktor sebagai mobilisator dalam mobilisasi pengikut, dukungan, dan sumber daya dalam proses framing yang dilakukan. Dengan kata lain, dua teori ini dapat digunakan secara bersamaan dalam melihat proses resistensi mulai dari pemicunya, penyebab sebab hingga proses yang dijalani untuk mencapai suatu tujuan. Namun, tidak semua konflik dapat M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 2 29 berubah menjadi gerakan sosial jika karakteristik gerakan sosial tidak terpenuhi di dalamnya. Pada akhir kesimpulan ini penulis mencoba memberikan prediksi mengenai rencana tambang Bukit Batubasi dan resistensi yang dilakukan dalam menyikapinya. Prediksi ini dibuat karena menurut penulis meskipun pada dasarnya masyarakat Nagari III Koto telah berhasil mencapai tujuan mereka dalam melakukan resistensi, tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa rencana tambang Bukit Batubasi tidak muncul kembali. Rencana tambang ini dapat benar-benar hilang jika seluruh ninik mamak pemangku adat Nagari III Koto baik pemiliki lahan ataupun tidak, membuat kesepatan bersama tentang legalitas Bukit Batubasi secara adat yang merupakan tanah pusako tinggi dan tidak dapat diserahkan kepada pihak manapun. Ketika kesepatan tersebut talah dibuat, diharapkan seluruh ninik mamak, khususnya pemiliki lahan bertanggung jawab atas apa yang telah mereka buat, sehingga tidak mudah tergoda oleh perusahaan manapun. Jika semua lapisan masyarakat sudah “satu suara”, dapat dipastikan korporasi tambang tidak mampu masuk ke Nagari III Koto. Surat atau lembar kesepatan ninik mamak juga harus didukung oleh peraturan daerah yang dibuat oleh Bupati Tanah Datar. Ketika semua hal ini dilakukan, penulis memprediksi rencana tambang atas Bukit Batubasi tidak akan muncul kembali. Jika dua hal tersebut tidak dilakukan, peluang munculnya rencana tambang Bukit Batubasi semakin besar dan resistensi juga lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 2013. DA F TA R PU S TA K A Ahyar S., Usep. 2014. Gerakan Sosial Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Menentang Pertambangan Pabrik PT. Tirta Investama di Serang, Banten. Tesis. Depok: FISIP Universitas Indonesia. Al Shafa, Hatika. 2014. Risalah Tanah Pusako Minangkabau Kontemporer: Studi Sosiologi Perubahan Sosial Mengenai Kepemilikan Tanah di Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Skripsi. Depok: FISIP Universitas Indonesia. A zeri, Busra. Penataan Hak Atas Tanah Bekas Wilayah Pertambangan, Sawah Lunto, Sumatera Barat. Respository M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 230 | YULISA FRINGK A Universitas Andalas. diakses dari http://repository.unand.ac.id/ cgi/search/simple?q=Busra_Azeri&_action_search=Search&_ action_search=Search&_order=bytitle&basic_srchtype=ALL&_ satisfyall=ALL Benford, Robert D. Snow, David A. 2000. Framing Processes and Social Movements: An Overview and Assessment. Annual Review of Sociology, Vol. 26(2000): 611-639 http://www.jstor.org/ stable/223459. Creswell, J. 2009. Research design. Thousand Oaks, Calif: Sage Publications. Goffman, Erving. 1974. Frame Analysis. New York: Harper and Row. Hidayat, Dady. 2012. “Gerakan Dakwah Salafi di Indonesia pada Era Reformasi.” Masyarakat: Jurnal Sosiologi 17(2):115-133. http:// journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/view/3738 Idhom, Addi Mawahibun. 2009. Resistensi Komunitas Sedulur Sikep Terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen di Pegunungan Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Irawan, A. Andri. 2013. “Dampak Ekonomi dan Sosial Aktivitas Tambang Batubara PT. Tanito Harum Bagi Masyarakat di Kelurahan Loa Tebu, Kec. Tenggarong.” e-Journal Ilmu Pemerintahan 1(1):46-56. http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/ site/?p=567 Kurniawan, A. Hamzah. 2013. Persistensi dan Resistensi Masyarakat Terhadap Eksistensi Pertambangan Emas di Desa Bonto Katute, Kabupaten Sinjai. Skripsi. Makassar: FISIP Universitas Hassanuddin. Neuman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 5th ed. Boston: Pearson Education. Porta, Donatella dan Mario Diani. 2006. Social Movement: An Introduction. 2nd ed. Malden, Oxford: Blackwell Publishing. Prayogo, Dody. 2008. Konflik Antara Korporasi dengan Komunitas Lokal: Sebuah Kasus Empirik pada Industri Geotermal di Jawa Barat. Depok: FISIP UI Press. _________. 2010. “Anatomi Konflik Antara Korporasi dengan Komunitas Lokal dalam Industri Geotermal di JawaBarat.” Makara: Seri Ilmu Sosial dan Humaniora 14(1): M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 R ESISTENSI BERBASIS ADAT | 2 31 __________. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah, Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas di Indonesia. Depok: UI Press. Regus, Max. 2009. “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.” Masyarakat: Jurnal Sosiologi 16(1):1-25. http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/ article/view/4879 Ritzer, Goerge dan Goodman, Douglas J. 2004. Sociological Theory. New York: McGraw-Hill Sayuti, M. Dt.Rajo Pangulu. 2005. Tau Jo Nan Ampek (Pengetahuan yang Empat Menurut Ajaran Adat dan Budaya Alam Minangkabau. Padang. Snow, David. 2004. “Framing Process, Ideology and Discursive Fields.” Hlm. 381-412 dalam The Blackwell Companion to Social Movements. Oxford, UK: Blackwell Publishing. Tilly, Charles. 1998. “Social Movements and (All Sorts of ) OtherPolitical Interactions - Local, National, and International -Including Identities.” Theory and Society: Special Issue on Interpreting Historical Change at the End of the Twentieth Century. 27(4):453-480. http://www.jstor.org/stable/657835 Zainuddin, Sulthan, dkk. 2012. “Kontestasi dan Konf lik Memperebutkan Emas di Poboya.” Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan 6(2):145-159 M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 21, No. 2 , Ju li 2016: 205 -231 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)