Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid REKOMENDASI No.: 018/Rek/PP IDAI/VII/2016 Tentang Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid Rekomendasi: 1. Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur darah mempunyai sensitivitas terbaik (40–60%) bila dilakukan pada minggu pertama—awal minggu kedua. 2. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid, untuk pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan serologis antibodi terhadap antibody Salmonella typhi. 3. Pemeriksaan Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan, karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Pendahuluan Demam enterik masih sering terjadi di negara berkembang dan disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. Paratyphi A, B dan C. Demam tifoid merupakan bagian dari demam enterik, disebabkan oleh S. Typhi. Gejala klinis demam tifoid sangat luas sehingga selain ketajaman klinis, diperlukan pemilihan pemeriksaan penunjang yang tepat.1,2 Pemeriksaan Widal yang selama ini banyak digunakan dalam diagnosis demam tifoid, telah terbukti mempunyai sensitifitas dan spesifisitas rendah, sehingga tidak lagi direkomendasikan. Pemeriksaan kultur darah/ urin/ feses merupakan baku emas diagnosis tifoid, akan tetapi memerlukan tenaga ahli, waktu dan biaya cukup besar. Saat ini, berbagai pemeriksaan serologis demam tifoid terus berkembang sebagai alternatif diagnosis. Pemeriksaan dapat dilakukan secara ELISA, rapid test, hemaglutinasi atau PCR menggunakan spesimen darah, urin atau saliva. Masing-masing tes memiliki sensitivitas/ spesifisitas berbeda dalam mendiagnosis demam tifoid, sehingga dirasakan perlu untuk membuat suatu rekomendasi pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak. Epidemiologi Demam tifoid masih merupakan beban untuk negara berkembang. Angka kejadian pasti tidak diketahui karena surveilans di negara berkembang belum memadai dan di negara maju telah menjalankan imunisasi tifoid. Data tahun 2010, estimasi global jumlah kasus demam tifoid sebesar 13,9-26,9 juta,3 dengan estimasi kasus di negara berkembang sebesar 20.6 juta kasus, dan 223.000 kematian.4 Di Indonesia (2009), kasus demam tifoid mencapai 80.850 kasus, dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1.25%.5 Gejala klinis demam tifoid Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang berbeda. Faktor yang dapat berpengaruh yaitu umur pasien, lamanya penyakit, pemilihan antimikroba, riwayat imunisasi, virulensi dan jumlah bakteri yang tertelan, dan status imun pejamu. Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa gastroenteritis dan sepsis. Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita demam tifoid. Pada kelompok usia kurang dari 5 tahun, gejala yang muncul lebih ringan dan tidak spesifik, kadang hanya berupa demam disertai gejala gastrointestinal, namun bila tidak terdiagnosis dengan cepat, dapat mengalami penyulit yang berat. Pada kelompok usia diatas 5 tahun (usia sekolah), gejala klasik demam tifoid biasa dijumpai. 1,3,4 Setelah seorang terinfeksi S. Typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Onset bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Demam bersifat remitten progresif dan pada minggu kedua demam menetap tinggi (39-40°C). Pasien umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu pertama, dengan gejala demam, gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga dapat ditemukan pada demam tifoid. Rose spot berupa lesi makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm dilaporkan pada 5%-30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada ras Asia. Pada kasus berat, komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis, supresi sumsum tulang, ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati, kolesistitis, osteomyelitis, peritonitis, pnemonia, hemolisis dan syndrome of inappropriate release of antidiuretic hormone (SIADH).6 Pemeriksaan penunjang demam tifoid dan interpretasinya a. Kultur Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.7-10 b. Pemeriksaan PCR Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari.11In-flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.12 Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakanuntuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.1 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%).13 Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian. c. Pemeriksaan serologis Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan saat ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemagglutinin (HA), Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhidot, TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan melalui pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/ koaglutinasi namun sampai saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil.14 C.1. Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan, mengingat sebagian besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara berkembang dengan sarana laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S. Typhi (Typhidot)R memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%.2,15,16 Studi meta analisis di 2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas 88%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur darah dan teknik molekuler tetap merupakan baku emas.18 Penelitian di Bangladesh (2008) menunjukan bahwa Tubex memiliki sensitivitas 60%, spesifisitas 58%, positive predictive value 90% dan negative predictive value 58%; sedangkanTyphidot memiliki sensitivitas 67%, spesifisitas 54%, positive predictive value85% dan negative predictive value 81%.19 Hari pemeriksaan terbaik adalah pada anak dengan demam ≥5 hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa pemeriksaan Tubex-TF untuk deteksi antibodi IgM S. Typhi pada anak demam hari ke-4 dengan nested PCR positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan demam < 5 hari.20 Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun, interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus tersangka demam tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3 bulan dalam darah8,10 Positif palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien dengan infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila pemeriksaandilakukan terlalu cepat.21 Perkembangan ilmu pengetahuan dalam pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus berkembang, antara lain dari spesimen urin dan saliva.22-24 Tabel 1 memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid. Tabel I. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid. 1 Sensitivitas Spesifisitas Uji diagnostik Keterangan (%) (%) Pemeriksaan mikrobiologi Baku emas, namun sensitivitas rendah di daerah endemis Biakan darah 40-80 NA karena penggunaan antibiotic yang tinggi, sehingga spesifisitas sulit diestemasi Biakan sumsum tulang 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun invasif dan terbatas penggunaannya Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi Sensitivitas rendah di negara berkembang dan tidak digunakan Biakan tinja 30 NA secara rutin untuk pemantauan Diagnostik molekular Menjanjikan,namun laporan awal menunjukkan sensitivitas PCR 100 100 mirip biakan darah dan spesifisitas rendah Menjanjikan dan menggantikan biakan darah sebagai baku Nested PCR 100 100 emas baru Diagnostik serologi Klasik dan murah. Hasil bervariasi di daerah endemis, perlu Widal 47-77 50-92 standardisasi dan kualitas kontrol dari reagen Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari Typhidot-M Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjikan dan harus diuji ditingkat komunitas Lainnya Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal NA = not available C.2. Pemeriksaan Widal Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S. Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.25 Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.25 Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik.26 Hasil negatif palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.17,25 Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.27 D. Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif. Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab hepatitis yang lain.7,28,29 Daftar pustaka 1. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ. 2006;333:78-82. 2. Baker S, Favorov M, Dougan G. Searching for the elusive typhoid diagnostic. BMC Infectious Diseases. 2010;10:45-50. 3. Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever: Systematic review to estimate global morbidity and mortality for 2010. J Glob Health 2012; 2:e57080. 4. Mogasale, V, Maskery, B, Ochiai, RL et al. Revisiting the burden of typhoid fever in low- and middle-income countries for policy considerations. Lancet Glob Health. 2014; 2: e570–80. 5. Kemenkes, 2009 6. Malik AS. Complications of bacteriologically confirmed typhoid fever in children. J Trop Pediatr. 2002;48(2):102-8. 7. Christie, A.B. Typhoid fever. in: A.B. Christie (Ed.) Infectious diseases:epidemiology and clinical practice.vol 1.. 4th edition. ChurchillLivingstone, New York; 1987:100–164. 8. Escamilla J, Florez-Ugarte H, Kilpatrick ME. Evaluation of blood clot cultures for isolation of Salmonella typhi, Salmonella paratyphi-A, and Brucella melitensis. J Clin Microbiol. 1986; 24(3):388-90. 9. Gilman RH, Terminel M, Levine MM, Hernandez-Mendoza P, Hornick RB. Relative efficacy of blood, urine, rectal swab, bone-marrow, and rose-spot cultures for recovery of Salmonella typhi in typhoid fever. Lancet. 1975; 1(7918):1211-3. 10. Farooqui BJ, Khurshid M, Ashfaq MK, Khan MA. Comparative yield of Salmonella typhi from blood and bone marrow cultures in patients with fever of unknown origin. J Clin Pathol. 1991; 44(3):258-9. 11. Zhou L, Pollard AJ. A fast and highly sensitive blood culture PCR method for clinical detection of salmonella enterica serovar typhi. Annals of Clin Microb and Antimicrob. 2010; 9:14-20. 12. Chaudhry R, Chandel DS, Verma N, Singh N, Singh P, Dey AB. Rapid diagnosis of typhoid fever by an in-house flagellin PCR. JMM Correspondence 2010; 1391-3. 13. Kumar G, Pratap CB, Mishra OP, Kumar K, Nath G. Use of urine with nested PCR targeting the flagellin gene (fliC) for diagnosis of typhoid fever. J Clin Microbiol 2012; 50:1964-7. 14. Wain J, Hosoglu Salih. The laboratory diagnosis of enteric fever. J Infec Dev Countr 2008;2(6):421-5. 15. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, von Seidlein L, Hendriksen I, dkk. Evaluation of the widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a rural hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infect Dis 2010; 10:180-8. 16. Bakr WMK, El Attar LA, Ashour MS, El Toukhy AM. The dilemma of widal test – which brand to use? A study of four different widal brands: a cross sectional comparative study. Annals of Clin Microb and Antimicrobials 2011; 10:1-8. 17. Storey HL, Huang Y, Crudder C, Golden A, de los Santos T, Hawkins K (2015) A MetaAnalysis of Typhoid Diagnostic Accuracy Studies: A Recommendation to Adopt a Standardized Composite Reference. PLoS ONE 10(11): e0142364. 18. Thriemer K, Ley B, Menten, Jacobs J, Ende J. A systematic review and meta-analysis of the performance of two point of care typhoid fever tests, tubex TF and typhidot, in endemic countries. Plos one. 2013;8:1-8. 19. Naheed A, Ram P, Brooks A, Mintz ED, Hossain MA, Parsons MM, et al. Clinical value of Tubex and Typhidor rapid dagnostic tests for typhoid fever in an urban community clinic in Bangladesh. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease. 2008;61:381-6. 20. Mimi Marleni, Yulia Iriani, Wisman Tjuandra, Theodorus Theodoru. Ketepatan Uji Tubex TF® dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-4. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan FK Unsri 2014; 1(1), 2014: 7-11. 21. Oracz, G., W. Feleszko, D. Golicka, J. Maksymiuk, A. Klonowska, and H. Szajewska. 2003. Rapid diagnosis of acute Salmonella gastrointestinal infection. Clin. Infect. Dis. 36:112-5. 22. Fadeel MA, Crump JA, Mahoney FJ, Nakhla IA, Mansour AM, Reyad B, et al. Rapid diagnostic of typhoid fever by enzyme-linked immunosorbent assay detection of salmonella serotype typhi antigens in urine. Am J Trop Med Hyg 2004;70:323-8. 23. Zaka-ur-Rab Z, Abqari S, Shahab T, Islam N, Shukla I. Evaluation of salivary antisalmonella typhi lipopolysaccharide IgA ELISA for serodiagnosis of typhoid fever in children. Arch Dis Child 2012; 97: 236-8. 24. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella typhi antigen in urine. J Clin Microbiol 1992;30:2513-5. 25. Olopoenia LA, King AL. Widal agglutination test – 100 years later: still plagued by controversy. Postgrad Med J. 2000;76:80-4. 26. Committee on infectious diseases AAP. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMilln JA, editors. Red book: 2006 report of the committee on infectious disease. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2006. h. 579-81. 27. Zorgani A, Ziglam H. Typhoid fever: misuse of Widal test in Lybia. J Infect Dev Ctries. 2014;8:680-7. 28. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. NEJM. 2002;347:1770-82.World Health Organization. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. WHO/V&B/03.07. World Health Organization, Geneva; 2003. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Disusun oleh : UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI