1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cara seseorang menginterpretasikan sebuah ungkapan berlatar budaya asing
akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang sudah dijiwainya sebagai bagian dari
kebudayaannya. Jika seseorang dihadapkan pada budaya yang belum dikenalnya, ia
cenderung menilai kebudayaan itu dengan ‘kaca mata’ budayanya sendiri. (Ihroni,
1984:57). Pendapat ini tidak berlebihan karena dalam kehidupan masyarakat terdapat
sistem nilai budaya, dalam sistem nilai budaya itu terdapat norma-norma, dan normanorma itu mempengaruhi pola pikir, serta pola pikir itulah yang melandasi pola
tindakan (Sayogya, 1982:99).
Di antara banyak sumber tatanilai yang ada di masyarakat, Alkitab adalah
salah satu yang spesifik dan bernilai kualitatif. Alkitab tidak saja merupakan sumber
tatanilai dan tatanorma yang urgensinya sudah jelas di masyarakat, tetapi juga
merupakan karya terjemahan yang sarat dengan muatan nilai sosiokultural, yaitu nilai
budaya religi. Brislin menyatakan bahwa Alkitab bukan buku biasa. Di dalamnya
terdapat begitu banyak karya literer yang variatif seperti legenda, sage, puisi,
rumusan hukum, biografi, dan surat yang ditulis dalam satu rangkaian sejarah yang
panjang (Brislin, 1976:279).
Sebagai sumber acuan tata nilai, Alkitab dipakai masyarakat dari zaman ke
zaman, berjalan menurut garis sejarah. Alkitab adalah buku yang paling banyak
1
diterbitkan dan paling luas dibaca di dunia. Alkitab adalah buku yang paling banyak
diterjemahkan di planet ini (Kennedy & Jerry Newcombe, 1999: 18).
Menurut
catatan resmi Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (United Bible
Sicieties), pada tahun 1800 hanya ada 68 bahasa di dunia yang memiliki terjemahan
Alkitab, Perjanjian Baru atau salah satu buku dari Alkitab. Akan tetapi, pada akhir
tahun 1992, telah tersedia terjemahan Alkitab dalam 2012 bahasa di dunia dengan
perincian sebagai berikut. (a) 333 bahasa memiliki terjemahan Alkitab, (b) 769
bahasa memiliki terjemahan Perjanjian Baru, dan (c) 916 bahasa memiliki terjemahan
salah satu buku dari Alkitab, termasuk di dalamnya terjemahan Alkitab dalam 134
bahasa di Indonesia, yang terdiri atas 17 Alkitab, 27 Perjanjian Baru, dan 90 bagian
Alkitab. Ini berarti Alkitab merupakan satu-satunya buku yang paling banyak
diterjemahkan di jagad ini. Bahkan pada saat ini, 110 Lembaga-lembaga Alkitab di
seluruh dunia yang tergabung dalam United Bible Societies, berpartisipasi aktif dalam
usaha penerjemahan Alkitab ke dalam 624 bahasa di dunia, termasuk di dalamnya
426 bahasa yang sebelumnya tidak pernah memiliki terjemahan Alkitab maupun
bagiannya (Latuihamallo, 1994: 11).
Penerjemahan Alkitab sudah dilakukan selama ribuan tahun, Menurut
Latuihamallo (1994: 11-13), secara garis besar perkembangan penerjemahan Alkitab
dapat dibedakan menjadi empat periode sebagai berikut.
2
(1) Periode tahun 200 SM – 400 M
Pada periode ini, yang paling berperan dalam penerjemahan Alkitab adalah
kaum Yahudi. Kitab Torah, yaitu kelima kitab pertama (Kejadian, Keluaran, imamat,
Bilangan, dan Ulangan) merupakan bagian Alkitab Ibrani yang pertama-tama
diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani yang merupakan bahasa pengantar pada
zaman Helenisme. Setelah penerjemahan Kitab Torah, menyusul terjemahan bagianbagian Alkitab yang lain sehingga lengkaplah seluruhnya, yaitu Perjanjian Lama bagi
orang Kristen. Selanjutnya pada abad ke -2 M, tersedia terjemahan Alkitab dalam
bahasa Latin dan bahasa Siria (sekarang Suria). Pada abad ke -3 M tersedia
terjemahan bahasa Koptik (sekarang Mesir). Pada abad ke-4 M telah terdapat
terjemahan Alkitab dalam bahasa Etiopi (sekarang Etiopia), bahasa Gotik (sekarang
Jerman), dan bahasa Georgia (sekarang Kaukasus).
(2) Periode 400 M – 1500 M
Periode ini ditandai oleh kegiatan penerjemahan Alkitab oleh umat Kristiani
(Katolik) dalam bahasa Yunani dan khususnya bahasa Latin. Sekitar tahun 400,
disiapkan terjemahan Alkitab Latin yang disebut Vulgata (artinya ‘untuk semua
orang’). Terjemahan itu dikerjakan berdasarkan teks asli Alkitab. Penerjemahnya
adalah Jerome (Hieronymus), seorang imam dan ahli bahasa yang ditugaskan oleh
Paus Damasus I untuk mengerjakan terjemahan itu. Alkitab Vulgata menjadi Alkitab
resmi lebih dari 1000 tahun, dan masih dipergunakan sampai sekarang. Untuk jangka
waktu yang cukup lama, yaitu sampai dengan era Reformasi, teks Vulgata yang
3
diterjemahkan oleh Jerome dipakai sebagai teks dasar terjemahan. Kemudian pada
abad ke-5, 6, dan 7 berturut-turut tersedia terjemahan Alkitab dalam bahasa Armenia,
bahasa Nubia (sekarang Sudan), dan bahasa Arab. Pada abad ke-8 disediakan
terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggris kuno (Anglo-Saxon) oleh Caedmon dan
Bede. Pada abad ke-9 terdapat terjemahan-terjemahan dalam bahasa Jerman, Slav dan
Frank. Terjemahan dalam bahasa Perancis disiapkan pada abad ke-12 dan
terjemahan-terjemahan dalam bahasa Spanyol, Italia, Belanda, Polandia, dan Islandia
disiapkan pada abad ke13. Pada abad ke-14 tersedia terjemahan-terjemahan dalam
bahasa Inggris, bahasa Persia (Iran), bahasa Ceko dan bahasa Denmark. Pada tahun
1384 John Wycliffe selesai menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin Vulgata ke
dalam bahasa Inggris. Inilah terjemahan Alkitab yang pertama dalam bahasa Inggris
sehari-hari pada waktu itu. Karena keberaniannya dan prakarsanya yang tidak lazim
pada zaman itu, ia dikecam sebagai orang sesat.
(3) Periode tahun 1500 M – 1960 M
Sejak tahun 1500 sampai dengan tahun 1960, umat Protestanlah yang paling
giat dalam usaha penerjemahan Alkitab, khususnya terjemahan ke dalam bahasabahasa di Eropa. Pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, Johannes
Reuchlin (untuk Perjanjian Lama) dan Desiderius Erasmus (untuk Perjanjian Baru)
menghidupkan kembali usaha penerjemahan Alkitab berdasarkan naskah dalam
bahasa aslinya. Pada abad ke-16, tokoh-tokoh reformator gereja juga menyadari
bahwa Alkitab hanya dapat dipahami jika diterjemahkan ke dalam bahasa
4
pembaca/pendengarnya. Maka Martin Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Jerman sehari-hari bagi penutur bahasa Jerman. Alkitab bahasa Inggris yang
pertama dicetak adalah Coverdale Bible (1535) yang diterjemahkan oleh Miles
Coverdale berdasarkan Vulgata, Luther Bible dan Tyndale Bible. Terjemahan ini
dipersembahkan kepada raja Inggris dan menjadi terjemahan resmi. Selanjutnya pada
tahun 1611 diedarkan satu Alkitab edisi ekumenis dalam bahasa Inggris yang dikenal
sebagai King James Version (Authorized Version) yang penerjemahannya dilakukan
oleh 50 orang atas perintah Raja James dari Inggris. King James Bible hingga
sekarang telah direvisi untuk kelima kalinya. Pada periode ini disiapkan terjemahanterjemahan ke dalam bahasa Melayu/Indonesia, antara lain Matius oleh A.C.Ruyl
(1629), Perjanjian Baru oleh D.Brouwerius (1668), Alkitab oleh M.Leijdecker
(1733), Perjanjian Baru oleh J.Emde (1835),dan Alkitab oleh H.C.Klinkert (1879).
Pada hakekatnya selama tiga periode itu metode penerjemahan Alkitab yang dominan
adalah metode penerjemahan harfiah (kata-demi-kata) yang lebih mementingkan
pengalihan bentuk bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
(4) Periode tahun 1960 – sekarang.
Periode ini merupakan masa kerja sama antara umat Yahudi, Katolik, dan
Protestan dalam usaha penerjemahan Alkitab. Ditandai oleh perubahan metode
penerjemahan Alkitab yang lebih mengarah pada penekanan komunikasi makna teks
dari bahasa asli ke dalam bahasa sasaran yang umum dan wajar, dan tidak lagi terikat
pada bentuk-bentuk bahasa aslinya. Hal ini dibenarkan oleh Prof. Harry Orlinsky dari
5
Hebrew Union College – Jewish Institute of Religion, New York.
Metode
penerjemahan Alkitab yang paling menonjol pada periode ini adalah metode Dinamis
atau Fungsional yang dipopulerkan oleh Dr. Eugene Nida. Bahkan Prof. Donald
Carson dari Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, menilai bahwa
metode Dinamis atau Fungsional telah menjadi teladan yang terkemuka dalam bidang
penerjemahan Alkitab. Dan yang menonjol peranannya dalam usaha penerjemahan
Alkitab pada periode ini adalah penutur asli bahasa sasaran, yaitu penutur bahasa ibu
menjadi penerjemah utama di seluruh dunia. Dan usaha penerjemahan Alkitab ke
dalam berbagai bahasa nasional dan bahasa daerah di seluruh dunia telah menjadi
kerangka acuan untuk mengembangkan teologi setempat yang kontekstual seperti
yang dikembangkan oleh Samuel Escobar, Kosuke Koyama, dan lain-lain. Di
Indonesia juga terdapat terjemahan ekumenis seperti Alkitab Terjemahan Baru
(1974), Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (1985), dan Alkitab
dalam berbagai bahasa daerah di Nusantara yang dikerjakan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia dalam kerja sama dengan Lembaga Biblika Indonesia/Konferensi Wali
gereja Indonesia.
Alkitab digunakan oleh bangsa-bangsa di dunia yang berbeda budaya dan
bahasanya, dengan demikian penerjemahannya pun akhirnya tidak dapat dielakkan.
Di Indonesia, hakikat misi Lembaga Alkitab Indonesia secara universal dalam
menerjemahkan Alkitab adalah untuk menyebarkan Firman Allah secara efektif dan
bermakna seluas-luasnya, di dalam bahasa dan media yang sangat dipahami dan
6
dimengerti, dengan cara penerjemahan yang setia kepada naskah asli ke dalam bahasa
ibu sehingga mereka, yaitu para pengguna bahasa itu dapat menerima dengan jelas isi
pesan firman tersebut (Supardan,2004: x-xi). Pada kenyataannya, mayoritas umat
Kristen di Indonesia tidak dididik secara khusus untuk membaca Kitab Suci dalam
bahasa-bahasa ‘asli’,yaitu Ibrani, Aram, dan Yunani. Oleh sebab itu, untuk membaca
dan menghayati Firman Tuhan, mereka pada umumnya bergantung pada terjemahanterjemahan yang tersedia dalam berbagai bahasa. Kenyataan ini mempunyai implikasi
yang penting dalam pemahaman umat akan Firman Allah. Artinya, unsur-unsur
makna yang terkandung dalam teks-teks sumber jelas telah melalaui suatu ‘saringan’
awal para penerjemah sebelum dituangkan ke dalam bahasa sasaran. Jika tugas
menerjemahkan
secara
sederhana
kita
artikan
sebagai
mengalihbahasakan,
mengungkapkan kembali apa yang dimaksud dalam teks sumber, maka hasil
terjemahan itu mau tidak mau merupakan pengungkapan kembali oleh penerjemah
yang bersangkutan menurut apa yang diketahui dan dipahaminya dari teks sumber.
Karena itu, hasil terjemahan seseorang sangat tergantung pada beberapa faktor,
misalnya, kompetensi penerjemah dalam bahasa teks sumber dan bahasa sasaran,
keterampilan penerjemah mengungkapkan kembali apa yang dipahaminya dari teks
sumber, asumsi-asumsi penerjemah mengenai sasaran dari terjemahannya, atau pun
jenis sastra (genre) bahan yang diterjemahkannya (Tjen, Anwar, 2005: 88).
Misi Lembaga Alkitab Indonesia untuk menyebarkan Firman Allah secara
efektif
dan
bermakna
seluas-luasnya
inilah
7
yang
kemudian
mendorong
diselenggarakannya seminar nasional dalam rangka perayaan Tahun Emas (50 tahun)
Lembaga Alkitab Indonesia. Seminar ini berlangsung di Jakarta, pada tangga 9-13
Februari 2004. Ini merupakan upaya Lembaga Alkitab Indonesia yang terus menerus
mengajak gereja-gereja dan umat Kristiani mengembarai lembah, jurang, gunung,
ngarai, dan ladang-ladang pencarian - Hikmat untuk mempertinggi mutu terjemahan
Alkitab milik gereja-gereja dan umat Kristiani. Pada kesempatan seminar nasional
itu, gereja-gereja dan umat Kristiani diajak untuk mengambil bagian dalam salah satu
tugas Lembaga Alkitab Indonesia ini dengan sumbangan yang konstruktif (Supardan,
2004:xi).
Mengenai kualifikasi penerjemah, Latuihamallo (1994:11) mengungkapkan
bahwa kualitas penerjemah yang dipekerjakan Nederlands Bijbelgenootshap (NBG)
nampaknya ada perbedaan yang mendasar antara abad ke-19 dan abad ke20. Dalam
abad ke-19 calon-calon penerjemah tidak memiliki kualifikasi akademik; setiap orang
yang terpanggil untuk pekerjaan itu mendapat sekedar kursus mengenai Alkitab, dan
mereka yang pernah mendapat pendidikan non-akademik dalam bidang teologi
diprioritaskan. Sejak akhir abad ke-19, kebijakan ini diubah dengan mengharuskan
para calon penerjemah mendapatkan pendidikan akademik dalam bidang kebahasaan
di Universitas Leiden. NBG juga mengangkat beberapa ahli linguistik untuk
mengawasi pekerjaan para penerjemah di Indonesia. Salah seorang ahli linguistik
yang sangat penting dalam hal ini adalah Dr. H.Kraemer (1888-1965).
8
Di Indonesia, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang merupakan kelanjutan
dari Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) kemudian bertanggung jawab atas semua
aspek kegiatan, termasuk penerjemahan. Komisi Penerjemahan diperkuat oleh Dr.
J.L. Ch. Abineno dan Dr. R.Soedarmo yang baru menyelesaikan studi teologi di
Negeri Belanda. Komisi Penerjemah menjadi cukup kuat dan tugas utama komisi ini
adalah merampungkan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia yang telah
lama terbengkalai. Dengan demikian jelas bahwa bahasa, khususnya linguistik
mempunyai peran yang luar biasa di dalam penerjemahan. Itulah sebabnya dalam
sudut pandang linguistik terapan, penerjemahan Alkitab bisa menjadi substansi
penting untuk dicermati. Lebih lanjut, dengan mempertimbangkan begitu variatifnya
isi Alkitab, upaya pencermatan terhadap terjemahannya bisa menjadi model
investigasi ilmiah bagi studi linguistik, khususnya bidang penerjemahan.
Di dalam penerjemahan Alkitab, terdapat masalah-masalah penting yang
harus dipecahkan. Kesenjangan waktu, perbedaan sistem bahasa dan perbedaan
budaya BSu dan BSa dapat menimbulkan masalah-masalah dalam penerjemahan.
Istilah-istilah
budaya
biasanya
sangat
sukar
untuk diterjemahkan padahal
penerjemahan yang kurang tepat beresiko fatal karena Alkitab banyak sekali
pembacanya tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras, suku, dan status sosial seperti
diungkapkan seorang penerjemah bahasa Jawa, P.Jansz (1851 di Batavia) sebagai
berikut. “Jadi tugas saya bukanlah mengalihkan cara berbicara Yunani atau Ibrani ke
dalam bahasa Jawa, tetapi men-Jawa-kan bahasa-bahasa itu.” Atau seperti dikemukan
9
oleh Dr. Kraemer, menerjemahkan adalah mencipta kembali, membuat sebuah buku
berbicara
menurut
kebiasaan
berbahasa
dari
bahasa
lain.
Tetapi
untuk
menerjemahkan Alkitab ada prasyarat lain lagi. “Pekerjaan menerjemahkan Alkitab
mengandung kesulitan-kesulitan khusus karena sifat sakral dari Alkitab menuntut
kecermatan khusus yang harus diupayakan dengan penuh kesadaran.” Tidak semua
penerjemah ternyata berhasil mencapainya (Latihamallo, 1994: 5-6).
Masalah-masalah dimaksud dapat terlihat dalam beberapa terjemahan sebagai
berikut.
(1) BSu (Matthew 3:7):
But when he saw many of the Pharisees and Sadducees come to his baptism,
he said unto them, O generation of vipers, who hath warned you to flee the
wrath to come?
BSa (Matius 3:7):
Tetapi waktu ia melihat banyak orang Farisi dan orang Saduki datang untuk
dibaptis, berkatalah ia kepada mereka: Hai kamu keturunan ular beludak.
Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri
dari murka yang akan datang?
Memperhatikan hasil terjemahan di atas, kata jamak vipers diterjemahkan
menjadi ‘ular beludak’ padahal menurut Echols dan Syadily (1979:630), kata vipers
berarti 1) (snake) ular berbisa; 2) orang jahat/busuk, sementara menurut Stein dan
Urdang (1968: 1469), kata vipers berarti 1) any of several venomous Old World
10
snakes of the genus Vipers, esp. V.berus; … 5) a malignant or spiteful person. Dalam
Kamus Umum bahasa Indonesia; Balai Pustaka (1996:1127) tidak dikenal istilah ular
beludak. Berdasarkan ketiga kamus di atas, maka terjemahan viper menjadi ‘ular
beludak’ dapat diasumsikan cukup baik untuk tingkat keakuratan dan keterbacaannya,
namun kurang berterima karena istilah ‘ular beludak’ kurang dipahami oleh sebagian
besar pembaca orang Indonesia.
(2) BSu (Matthew 4:21):
Going on from there, He saw two other brothers, James the son of Zebedee,
and John his brother, in the boat with Zebedee their father, mending their
nets. He called them.
BSa (Matius 4: 21):
Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua bersaudara, yaitu
Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka,
Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil
mereka.
Dalam kutipan di atas, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan agar
makna atau pesan yang disampaikan menjadi lebih jelas dan tepat. Pertama, kata son
dan kedua frasa mending their nets. Menurut Echols dan Shadily (1979:540) kata son
bermakna
1) anak laki-laki; dan
2) putera. Dengan menggunakan teknik
generalisasi, penerjemah mengalihkan kata son
menjadi ‘anak’ yang tingkat
keakuratannya dan keterbacaannya dapat diasumsikan cukup baik, namun hasil
11
terjemahan ini kurang berterima karena ‘anak’ dapat dibedakan menjadi anak lakilaki dan anak perempuan. Demikian juga dengan terjemahan frasa mending their nets
yang dialihkan menjadi ‘membereskan jala’. Kata kerja to mend menurut Echols dan
Shadily (1979:378) berarti 1) menambal (clothes), 2) memperbaiki (road, a breach);
3) membetulkan (an error); 4) menisiki (socks). Oleh karena itu pengalihan mending
their nets menjadi ‘membereskan jala’ dapat diasumsikan kurang akurat walaupun
tingkat keterbacaannya dapat diterima oleh pembaca Indonesia.
(3) BSu (Matthew 7:15):
“Beware of false prophets, who come to you in sheep’s clothing, but inwardly
they are ravenous wolves.”
BSa (Matius 7:15):
“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan
menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang
buas.”
Menurut Echols dan Shadily (1982:63) kata ‘buas’ berarti 1) wild; 2)
cruel. Sementara kata ravenous dalam BSu di atas menurut Kamus Inggris-Indonesia
(1979:467) berarti 1) sangat lapar, kemaruk; 2) rakus sekali. Dalam The Random
House Dictionary of the English Language (1968:1097), kata sifat ravenous berarti
1) Extremely rapacious; 2) Extremely hungry; famished; 3) Extremely eager for
satisfaction; desirous. Berdasarkan ketiga kamus di atas, maka pengalihan frasa
12
ravenous wolves menjadi ‘serigala yang buas’ kurang tepat karena ‘lapar’ dan ‘buas’
memiliki pengertian atau makna yang tidak sama.
(4) BSu (Luke 1:36):
“And behold, thy cousin Elisabeth, she hath also conceived a son in her old
age; and this is the sixth month with her, who was called barren.”
BSa (Lukas 1:36):
“Dan sesungguhnya, Elisabeth, sanakmu itu, ia-pun sedang mengandung
seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi
dia, yang disebut mandul itu.”
Kata cousin dalam BSu di atas yang diterjemahkan menjadi ‘sanak’
menimbulkan padanan informasi/padanan makna yang kurang sesuai. Kata ‘sanak’
menurut Echols dan Shadily (1982:314) berarti relative, bersanak saudara: to have
relatives, ‘sanak saudara’: relatives. Sementara menurut Poerwadarminta (1996:864)
‘sanak, (-saudara)’: orang-orang yang masih sekaum keluarga; kerabat; karib bait;
bersanak: 1) berkerabat dengan; 2) (-bersanak saudara), masih mempunyai kaum
keluarga; … Jadi arti sanak masih bersifat umum. Kata cousin menurut Echols dan
Shadily (1979:152) berarti (saudara) sepupu, misalnya Bill and Mary are my cousins
= ‘Bill and Mary sepupu saya’. Selain itu menurut Stein dan Urdang (1968:309), kata
cousin berarti 1) the child of an uncle or aunt; 2) a person related by descent to a
diverging line from a known common ancestor;
3) a kinsman or kinswoman.
Memperhatikan uraian di atas, penerjemah menggunakan teknik generalisasi dan
13
mengalihkan kata cousin menjadi ‘sanak’. Namun demikian, hasil terjemahannya
tersebut dapat diasumsikan mempunyai tingkat keakuratan, keterbacaan, dan
keberterimaan yang cukup baik.
(5) BSu (Luke 1:11):
“And there appeared unto him an angel of the Lord standing on the right side
of the altar of incense.”
BSa (Lukas 1:11):
“Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah
kanan mezbah pembakaran ukupan.”
Dalam menerjemahkan frasa an angel dalam BSu di atas, penerjemah
menggunakan teknik generalisasi dengan mengalihkannya menjadi ‘seorang
malaikat’ walaupun kata seorang biasanya digunakan untuk orang/manusia,
sementara malaikat (angel) bukanlah manusia. Kata angel dalam Stein dan Urdang
(1968:51) berarti 1) one of a class of spiritual beings; a celestial attendant of God;
2) a messenger; esp. of God; 3) an attendant or guardian spirit. Namun demikian
hasil
terjemahan
tersebut
dapat
diasumsikan
cukup
akurat,
dan
tingkat
keterbacaannya cukup baik demikian juga dengan tingkat keberterimaannya karena
hasil terjemahan tersebut dapat dimengerti dengan baik oleh pembaca Alkitab di
Indonesia.
(6) BSu (Matthew 5:7):
Blessed are the merciful: for they shall obtain mercy.
14
BSa (Matius 5:7):
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh
kemurahan.
Dalam terjemahan di atas, kata mercy diterjemahkan menjadi ‘kemurahan’.
Melihat konteksnya, terjemahan ‘kemurahan’ ini terasa kurang tepat karena menurut
Echols dan Syadily (1979: 378), kata mercy berarti 1) kemurahan hati; 2) belas
kasihan, rahmat, kerahiman. Sementara dalam Stein dan Urdang (1968:836), kata
mercy berarti 1) compassionate or kindly forbearance shown toward and offender,
an enemy, or other person in one’s power; compassion, pity, or beneviolence; … 4)
an act of kindness, of divine favor, … Memperhatikan arti/makna yang diungkapkan
oleh kedua kamus di atas, maka penulis berasumsi terjemahan kata mercy yang lebih
berterima adalah ‘rahmat/kerahiman’ bukan ‘kemurahan’ walaupun hasil terjemahan
tersebut mempunyai tingkat keakuratan dan keterbacaan yang cukup baik.
(7) BSu (Matthew 5:44):
“But I say to you, love your enemies, bless those who curse you, do good to
those who hate you, and pray for those who spitefully use you and persecute
you.”
BSa (Matius 5:44):
“Tetapi aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi
mereka yang menganiaya kamu.”
15
Memperhatikan BSu dan BSa di atas, ada informasi atau pesan yang tidak
utuh disampaikan dalam terjemahan tersebut. Padahal dalam membandingkan teks
BSu dengan BSa yang bertujuan untuk memeriksa padanan informasi, kita harus
yakin bahwa informasi yang ada dalam teks BSu juga ada dalam teks BSa, tanpa
menambah atau mengurangi informasi. Larson (1984:490) menyatakan
“One of the main purposes of the comparison is to check for equivalence of
information content. This check is done to be sure that all the information included
nothing omitted, nothing added, and nothing different.”
Data BSu di atas terdiri dari 5 (lima) pesan yang terdapat dalam 5 klausa,
yaitu 1) love your enemies; 2) bless those who curse you; 3) do good to those who
hate you; 4) pray for those who spitefully use you; dan 5) pray for those who
persecute you. Sedangkan makna atau pesan yang disampaikan dalam BSa hanya
berisikan 2 (dua) pesan, yaitu 1) ‘kasihilah musuhmu’ ; dan 2) ‘berdoalah bagi
mereka yang menganiaya kamu’. Seharusnya pesan yang terdapat dalam klausa 2, 3,
dan 4 juga disampaikan dalam BSa sehingga klausa 2 dialihkan menjadi ‘doakanlah
mereka yang mengutuk kamu’, klausa 3 menjadi ‘berbuat baiklah kepada mereka
yang membenci kamu’, dan klausa 4 ‘berdoalah bagi mereka yang memperdayai
kamu.” Jadi data BSu di atas sebaiknya diterjemahkan menjadi “ Tetapi aku berkata
kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang mengutukmu, yang
memperdayai kamu, dan yang menganiaya kamu, serta berbuat baiklah kepada
mereka yang membenci kamu.” Dengan demikian hasil terjemahan di atas dapat
16
diasumsikan kurang akurat dan kurang berterima walaupun tingkat keterbacaannya
cukup baik.
(8) BSu (Luke 1:28):
“And the angel came in unto her, and said, Hail, thou that art highly
favoured, the Lord is with thee: blessed art thou among women.”
BSa (Lukas 1:28):
“Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau
yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.”
Memperhatikan hasil terjemahan di atas, penerjemah melakukan penghilangan
karena data BSu blessed art thou among women yang padanannya adalah
‘terberkatilah (terpujilah) engkau di antara para wanita” tidak dialihkan ke dalam
BSa. Oleh karena itu terjemahan di atas dapat diasumsikan kurang akurat karena
terjadi penghilangan pesan yang menyebabkan pesan tidak lengkap. Walaupun
demikian, tingkat keterbacaannya dan keberterimaannya cukup baik.
(9) BSu (Luke 1:29):
“And when she saw him, she was troubled at his saying, and cast in her mind
what manner of salutation this should be.”
BSa (Lukas 1:29):
‘ Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya,
apakah arti salam itu.”
17
Memperhatikan hasil terjemahan di atas, dalam menerjemahkan data sumber
ini, penerjemah melakukan penghilangan, yaitu “and when she saw him, …” .
Penghilangan tersebut menyebabkan pengalihan informasi dari bahasa sumber ke
bahasa sasaran tidak
lengkap. Oleh karena itu, hasil terjemahan di atas dapat
diasumsikan kurang akurat sekalipun tingkat keterbacaan dan keberterimaannya baik.
Dengan demikian dapat dikatakan untuk memperoleh hasil terjemahan yang
baik dibutuhkan pula proses penerjemahan yang baik. Larson (1984:6) memberikan
kriteria mengenai penerjemahan yang berkualitas. Penerjemahan yang paling baik
adalah yang menggunakan bentuk bahasa yang wajar dalam bahasa sasaran (BSa).
Suatu terjemahan harus mampu mengkomunikasikan makna yang sama seperti halnya
makna yang dimengerti oleh pembaca dalam bahasa sumber (BSu). Dari sudut
pandang penerjemah, penerjemahan adalah proses pengambilan keputusan dalam
komunikasi interlingual, suatu komunikasi verbal yang melibatkan dua bahasa yang
berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam kaitan itu, semua keputusan
yang diambilnya akan selalu dilandasi oleh ideologi yang dianutnya. Dalam konteks
penerjemahan, ideologi yang dimaksud adalah sistem kepercayaan, cara pandang,
budaya, dan norma yang dimiliki penerjemah yang akan mempengaruhi perilaku
penerjemahannya. Jika penerjemah memandang bahwa budaya bahasa sumber perlu
dipertahankan dalam terjemahan, misalnya, itu berati dia menganut idelogi
foreignisasi. Sebaliknya, jika dia memandang bahwa suatu terjemahan harus lebih
mementingkan budaya bahasa sasaran, dia menganut ideologi domestikasi.
18
Ideologi penerjemahan tersebut merupakan konsep yang relatif, artinya bahwa
sistem kepercayaan atau budaya yang dianut oleh penulis teks bahasa sumber belum
tentu sama dengan ideologi yang dianut oleh penerjemah, dan ideologi penerjemah
belum tentu sesuai dengan ideologi yang dimiliki oleh pembaca teks bahasa sasaran.
Dalam praktek penerjemahan yang sesungguhnya, ideologi penerjemah harus
disesuaikan dengan ideologi pembaca teks bahasa sasaran agar terjemahannya dapat
diterima pembaca teks bahasa sasaran.
Ideologi yang dianut oleh penerjemah akan berpengaruh pada cara dia dalam
menentukan metode penerjemahan yang akan diterapkannya dalam menerjemahkan
suatu teks. Jika penerjemah menganut ideologi foreignisasi, misalnya, maka dia dapat
menentukan salah satu dari beberapa metode penerjemahan, seperti metode
penerjemahan kata demi kata, metode penerjemahan harfiah, metode penerjemahan
setia, dan metode penerjemahan semantik. Sebaliknya, apabila penerjemah menganut
ideologi domestikasi, maka metode penerjemahan yang dipilihnya akan berkisar di
antara metode adaptasi, metode penerjemahan bebas, metode penerjemahan
idiomatis, dan metode penerjemahan komunikatif. Ideologi penerjemahan juga sangat
berpengaruh pada proses pemadanan. Ideologi foreignisasi akan cenderung
menggunakan padanan formal, sedangkan ideologi domestikasi akan cenderung pada
penggunaan padanan dinamis.
Selanjutnya, ideologi penerjemahan dan metode penerjemahan akan
menuntun penerjemah dalam menetapkan teknik penerjemahan, sebagai realisasi dari
19
strategi penerjemahan yang diterapkannya dalam proses penerjemahan. Suatu
terjemahan yang menggunakan banyak kata pinjaman, misalnya, merupakan pertanda
bahwa penerjemah yang menghasilkan terjemahan itu telah menerapkan padanan
formal, atau metode penerjemahan harfiah, dan dapat diduga bahwa penerjemah
merupakan penganut ideologi foreignisasi.
Dengan demikian, ketiga komponen di atas, yakni ideologi penerjemahan,
metode penerjemahan, dan teknik penerjemahan akan berdampak pada kualitas
terjemahan, berdasarkan keakuratan pesan (accuracy in content), keberterimaan
(acceptability), dan keterbacaan (readability) terjemahan. Keempat komponen ini
mempunyai hubungan timbal balik satu sama lain. Penelitian yang diwujudkan dalam
bentuk disertasi ini berusaha mengungkapkan teknik penerjemahan,
metode
penerjemahan, dan ideologi penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan
Holy Bible, yaitu The New Testament (Perjanjian Baru), khususnya The Gospel
According to Matthew (injil Matius) berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Lebih lanjut, penelitian ini mengungkap dampak dari teknik penerjemahan, metode
penerjemahan, dan ideologi penerjemahan terhadap hasil terjemahan yang mencakup
keakuratan, keberterimaan, keterbacaan terjemahan.
Menurut Holy Bible (Alkitab) yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia, Jakarta pada tahun 2009, kitab Injil bukanlah biografi. Kitab tersebut tidak
hanya menceritakan kehidupan dan pengajaran Yesus, tetapi juga menggambarkan
siapa Yesus dan apa yang dilakukan-Nya bagi dunia. Beberapa penulis kitab Injil
20
ingin mengatakan sesuatu yang khusus tentang arti Yesus bagi dunia dan masingmasing memiliki bagian yang disusun berdasarkan tema yang dikembangkannya.
Kitab-kitab Injil berisi informasi sejarah, informasi tersebut selalu digunakan penulis
untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Allah dan Juruselamat dunia.
Dalam Alkitab, terdapat empat kitab Injil, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas,
dan Yohanes. Injil Matius, Markus, dan Lukas disebut Injil-Injil Sinoptik. Kitabkitab tersebut pada umumnya mengikuti sebuah iktisar atau garis-garis besar yang
sama. Ketiga kitab itu dapat dipelajari secara pararel, karena ketiganya memiliki garis
besar yang sama, menggunakan beberapa kata yang sama, dan muatan peristiwa yang
sama. Beberapa penelitian alkitab modern berasumsi bahwa Kitab Matius dan Lukas
menggunakan Kitab Markus sebagai sumber utama dan garis besarnya. Sementara
Kitab Yohanes sama sekali berbeda dari ketiga Injil lainnya. Kitab ini
tidak
mengikuti garis besar yang sama karena Injil ini menggambarkan tiga tahun masa
pelayanan Yesus, bukan satu tahun. Kitab ini juga berisi refleksi yang dalam
mengenai makna pribadi Yesus, bukan ucapan-ucapan singkat dan perumpamaanperumpamaan.
Markus merupakan kitab Injil yang tertua. Menurut tradisi, kitab Markus
ditulis di Roma oleh Yohanes Markus dan berisi kenangan Petrus. Penyaliban dan
kebangkitan merupakan kunci utama untuk memahami siapa Yesus itu, dan hampir
separuh lebih dari kitab Injil ini menceritakan peristiwa tersebut. Kitab Markus tidak
21
dimulai dengan cerita tentang kelahiran, melainkan dimulai dengan kisah Yohanes
Pembaptis.
Matius dimulai dengan menempatkan Yesus dalam seluruh cerita tentang
penyelamatan. Yesus yang merupakan keturunan Abraham dan Daud memenuhi
seluruh janji Allah kepada umat-Nya. Materi pengajaran dalam kitab Matius terdiri
dari lima bagian besar dan bagian yang paling dikenal ialah Khotbah di Bukit.
Banyak yang mengatakan bahwa kitab Matius memandang Yesus sebagai Nabi Musa
kedua yang memberikan sebuah Taurat baru kepada umat-Nya.
Lukas memberikan perhatian pada golongan masyarakat marginal dan
terbuang, terutama perempuan dan orang-orang miskin. Kitab ini dimulai dengan
cerita kelahiran Yohanes Pembaptis dan Yesus. Kitab Lukas merupakan satu-satunya
kitab yang bercerita tentang Yesus di antaranya kelahiran dan pelayanan-Nya, serta
keberadaan-Nya di Bait Allah saat berusia dua belas tahun. Beberapa cerita
perumpamaan yang terkenal seperti orang Samaria yang baik hati, anak yang hilang,
orang kaya dan Lazarus hanya ditemukan dalam kitab Lukas.
Yohanes adalah kitab yang kurang berisi cerita, bahkan tidak ada
perumpamaan di dalamnya, tetapi merupakan rangkaian refleksi yang dalam
mengenai Yesus sebagai Anak Allah. Kitab ini dimulai dengan sebuah nyanyian pujipujian tentang “Sabda” yang tak lain adalah Allah dan menjadi manusia untuk
menyelamatkan dunia. Sabda itu adalah Yesus. Kitab Yohanes juga berisi berbagai
kejadian menakjubkan sebagai tanda penting yang menunjuk kepada Yesus.
22
Pernyataan-pernyataan “Aku ada” mengekspresikan maksud Yesus yang disampaikan
dalam serangkaian metafora yang mencolok.
Dari keempat Injil tersebut di atas, Injil Matius menampilkan
materi
pengajaran yang dibagi dalam lima bagian besar. Bagian yang paling dikenal ialah
Khotbah di Bukit. Berdasarkan alasan inilah maka penelitian ini memutuskan untuk
meneliti Injil Matius, khususnya Khotbah di Bukit karena bagian ini lebih
menekankan pengajaran yang merupakan unsur penting di dalam sebuah kitab suci.
Seperti telah diungkapkan Latuihamallo (1994:11-13) bahwa penerjemahan
Alkitab sudah dilakukan ribuan tahun dan secara garis besar perkembangan
penerjemahan Alkitab dapat dibedakan menjadi empat periode. Selama tiga periode
pertama, metode penerjemahan Alkitab yang dominan adalah metode penerjemahan
harfiah (kata–demi-kata). Metode ini lebih mementingkan pengalihan bentuk bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran. Pada periode keempat, terjadi perubahan metode
penerjemahan Alkitab yang lebih mengarah pada penekanan komunikasi makna teks
dari bahasa sumber ke dalam bahwa sasaran yang umum dan wajar, tidak lagi terikat
pada bentuk-bentuk bahasa sumber. Metode penerjemahan yang paling menonjol
pada periode ini adalah metode penerjemahan dinamis atau metode penerjemahan
fungsional yang dipopulerkan ole Eugene Nida. Dalam sejarah penerjemahan Alkitab
selama empat periode tampak hanya metode penerjemahan harfiah dan metode
penerjemahan dinamis atau fungsional yang masing-masing diterapkan pada periode
yang berbeda.
23
Dalam penelitian ini, penerjemahan Khotbah di Bukit ( Pasal 5-7) dalam Injil
Matius akan diteliti
dengan mendeskripsikan teknik penerjemahan pada tataran
mikro, dilanjutkan dengan mendeskripsikan metode penerjemahan pada tataran
makro dan ideologi penerjemahan pada tataran super makro. Lebih lanjut, penelitian
ini
akan mengkaji
dampak ketiga aspek tersebut terhadap kualitas produk
terjemahan yang mencakup tingkat keakuratan pesan, keberterimaan, dan keterbacaan
produk terjemahan.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan mempengaruhi
kualitas terjemahan yang mencakup tingkat keakuratan pesan, keberterimaan, dan
keterbacaan terjemahan.
Dalam bidang penerjemahan, menurut Brata (2011:157) bahwa dari sudut
pandang penerjemahan praktis, ideologi penerjemahan ditetapkan atau dipilih terlebih
dahulu, yang kemudian diikuti dengan penetapan metode penerjemahan dan teknik
penerjemahan. Sebaliknya, dari sudut pandang penelitian, teknik penerjemahan
diidentifikasi dan diklasifikasi terlebih dahulu untuk menentukan
metode
terjemahannya, maka ideologi penerjemahannya dapat ditentukan. Dengan demikian,
masalah dalam penelitian ini secara terperinci dapat dirumuskan sebagai berikut.
24
1.
Teknik penerjemahan apakah yang diterapkan oleh penerjemah dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia?
2.
Metode
penerjemahan
apakah
yang
diterapkan
penerjemah
dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia?
3.
Ideologi
penerjemahan
apakah
yang
dianut
penerjemah
dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia?
4.
Bagaimana dampak teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan
ideologi penerjemahan yang diterapkan penerjemah terhadap kualitas produk
terjemahan yang mencakup keakuratan pesan,
keberterimaan, dan
keterbacaan ?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada kajian produk atau karya terjemahan. Objek
kajian adalah ideologi
penerjemahan
pada tataran super makro, metode
penerjemahan pada tataran makro, dan teknik penerjemahan serta dampaknya pada
kualitas produk terjemahan yang mencakup keakuratan pesan, keberterimaan dan
keterbacaan terjemahan. Satuan terjemahan (translation unit) yang dikaji dibatasi
pada tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam teks The Gospel According to
25
Matthew dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini difokuskan pada
produk atau karya terjemahan, oleh karena itu strategi penerjemahan dan proses
penerjemahan tidak dikaji dalam penelitian ini. Dengan demikian, teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan yang menyangkut
kualitas terjemahan disimpulkan berdasarkan kajian terhadap produk tanpa
mengkaitkannya
dengan
penerjemah
secara
langsung
dan
dengan
proses
penerjemahan yang telah dilakukan oleh penerjemah.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah pengakumulasian
berbagai ilmu sesuai bidang keilmuan. Penelitian ini adalah penelitian linguistik
dengan
konsentrasi
penerjemahan,
oleh
karenanya
bertujuan
untuk
mengakumulasikan ilmu linguistik, dan penerjemahan khususnya. Penelitian ini juga
bertujuan untuk memberi pemahaman tentang teknik penerjemahan, metode
penerjemahan, dan ideologi
penerjemahan yang dapat mempengaruhi kualitas
terjemahan. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan teknik penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia.
26
2.
Mendeskripsikan
metode
penerjemahan
yang
diterapkan
dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia.
3.
Mendeskripsikan
ideologi penerjemahan yang dianut penerjemah
dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia.
4.
Mendeskripsikan
dan
merumuskan
dampak
dari
penerapan
teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan terhadap
kualitas terjemahan yang mencakup tingkat keakuratan pesan, keberterimaan,
dan keterbacaan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengembangkan ilmu
penerjemahan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan teks The Gospel
According to Matthew. Secara teoritis, penelitian ini menghasilkan temuan yang
bermanfaat, yaitu
1.
Memberikan masukan teoritis perihal ideologi penerjemahan, metode
penerjemahan, dan teknik penerjemahan yang terkait dengan penerjemahan
dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, terutama dalam penerjemahan
teks di bidang keagamaan.
27
2.
Memberikan masukan teoritis perihal keterkaitan antara penerapan teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan dengan
kualitas produk terjemahan, baik dalam hal keakuratan, keberterimaan, dan
keterbacaan teks terjemahan di bidang keagamaan.
3.
Memberikan pandangan teoritis tentang faktor kompentensi penerjemah yang
dominan dan menentukan dalam penerjemahan teks The Gospel According to
Matthew dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini memberikan manfaat praktis sebagai berikut.
1.
Memberikan pandangan atau
masukan bagi
penerjemah,
khususnya
penerjemahan teks The Gospel According to Matthew dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia agar lebih teliti dalam hal ideologi penerjemahan,
metode penerjemahan, teknik penerjemahan, dan dampaknya terhadap
kualitas produk terjemahan.
2.
Memberikan pandangan atau masukan bagi penerbit, pengkritik, korektor dan
lainnya tentang hal-hal tersebut di atas.
3.
Dengan hasil terjemahan yang baik tentunya misi Lembaga Alkitab Indonesia
untuk menyebarkan Firman Allah secara efektif dan bermakna seluas-luasnya
dapat terwujud.
28
1.6 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan untuk menemukan orisinalitas penelitian ini di
antara penelitian- penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang
terjemahan Alkitab tergolong jarang dilakukan di Indonesia.
Berdasarkan
pengamatan penulis, hingga saat ini ada beberapa penelitian yang dilakukan sebagai
berikut.
(1) Penelitian berjudul “Domestikasi Ideologi dalam Penerjemahan Injil:
Inggris-Bali”, dilakukan oleh Frans I Made Brata dari Fakultas Sastra Universitas
Udayana. Diungkapkan bahwa penerjemah Injil berharap agar terjemahannya tidak
hanya akurat, tetapi juga berterima sesuai dengan norma dan nilai budaya
pembacanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan domestikasi ideologi dalam
penerjemahan teori Tu-Vous
dikombinasikan dengan Attitude, yang merupakan
bagian dari teori Appraisal dalam Linguistik Fungsional Sistemik, yang diterapkan
untuk menginvestigasi
bagaimana kata semestinya digunakan. Teori Pemadanan
Dinamis digunakan untuk mendeskripsikan kata yang digunakan dalam masyarakat.
Pendekatan deskriptif kualitatif dalam menentukan dua prinsip orientasi dari teknik,
metode, dan ideologi penerjemahan diterapkan dalam menganalisis data. Kuesioner
digunakan untuk memverifikasi data berupa kalimat-kalimat yang mengandung
sistem sapaan dan padanan terjemahannya dalam bahasa Bali. Temuan ini
29
menunjukkan bahwa domestikasi ideologi berkontribusi positif terhadap kualitas
terjemahan dalam hal keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaannya (Bahasa dan
Seni, tahun 39, Nomor 2, Agustus 2011) .
(2) Dalam penelitian yang berjudul ‘Penerjemahan Simbol dalam Alkitab’,
penelitan difokuskan pada kajian hasil terjemahan simbol di dalam Bible dan Alkitab.
Penelitian ini dilakukan oleh Susi Harliani (2001) dalam bentuk tesis di Universitas
Sebelas Maret, Solo.
Dalam mengkaji produk terjemahan yang terkait pada simbol, lebih rinci ia
memfokuskan
kajiannya
pada
a)
tingkat
kesepadanan
terjemahan
simbol
konvensional dalam Bible dan Alkitab; b) tingkat keterbacaan terjemahan simbol
konvensional dalam Alkitab berdasarkan tingkat pendidikan dan etnis masyarakat
pembacanya; dan c) persepsi masyarakat terhadap terjemahan simbol dalam Alkitab
berdasarkan tingkat pendidikan dan etnis masyarakat pembacanya.
(3) Penelitian
dengan judul “Teknik Penerjemahan Naskah Pidato
Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa
Inggris” ditulis oleh Anam Sutopo dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan teknik penerjemahan yang
digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan naskah pidato kenegaraan
Presiden Republik Indonesia.
30
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif-kualitatif. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus terpancang
atau embedded case study. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, ataupun
kalimat yang berasal dari naskah pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia
tahun 2006 yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa
Inggris yang berjumlah 317, keterangan dari informan ahli tentang ketepatan makna
dan keterangan dari pembaca (English Native Speakers) yang dipilih berdasarkan
kriteria (purposive sampling technique). Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah pemberian kuesioner, wawancara mendalam (in-depth interviewing), dan
teknik simak catat atau content analysis. Validitas data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber dan metode. Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama; terdapat sebelas teknik yang
digunakan oleh penerjemah, yaitu teknik amplifikasi sebanyak 64 data (9,37%),
teknik peminjaman murni sebanyak 63 data (9,22%), peminjaman natural sebanyak
43 data (6,30%), teknik calque sebanyak 67 data (9,81%), teknik deskripsi sebanyak
11 data (1,61%), teknik generalisasi sebanyak 56 data (8,20%), teknik penerjemahan
harfiah sebanyak 263 data (38,51%), teknik modulasi sebanyak 35 data (5,12%),
teknik reduksi sebanyak 4 data (0,59%), teknik transposisi sebanyak 58 data (8,49%),
dan teknik penambahan sebanyak 19 data (1,61%). Kedua, teknik penerjemahan
31
yang diterapkan oleh penerjemah didominasi oleh teknik ganda yang berfokus pada
teknik harfiah (Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 24, No. 1, Juni 2012).
1.7 Landasan Teori
Permasalahan dalam penelitian ini terfokus pada 1) pendeskripsian teknik
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks The
Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia, 2) pendeskripsian metode
penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan teks The Gospel According to
Matthew ke dalam bahasa Indonesia, 3) pendeskripsian ideologi penerjemahan yang
dianut penerjemah dalam menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke
dalam bahasa Indonesia, dan
4) mendeskripsikan dan merumuskan
dampak
penerapan teknik penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan
terhadap kualitas terjemahan. Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut diperlukan
landasan teori sebagai berikut a) teori kebahasaan, b) teori penerjemahan, terutama
yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, dan c) kerangka pikir
penelitian.
1.7.1 Teori Kebahasaan
Menurut Machali (2000:18) bahasa merupakan sistem-terstruktur (structured
system) sebagaimana halnya dengan sistem lain, yaitu memiliki pola yang umumnya
bersifat statis. Bahasa merupakan sistem bunyi yang bersifat manasuka (arbitrar),
32
yang disusun secara manasuka sehingga timbul kata yang membawa makna tertentu.
Oleh karena sifatnya yang manasuka, maka tidak ada hubungan antara kata dan benda
yang diwakilinya; dan orang bebas memberi nama kepada benda atau situasi yang
ditemuinya. Tidak hanya kata yang mempunyai makna. Unsur yang lebih kecil dan
lebih besar dari kata pun mempunyai makna. Selain itu, dapat juga dilihat bahwa
makna kata sebenarnya terdiri dari beberapa komponen makna, yang ‘dikemas’
berbeda pada satu bahasa dengan yang lainnya.
Kesepadanan makna ini tentunya tidak mudah diperoleh karena penerjemahan
melibatkan dua bahasa yang berbeda, yang dengan sendirinya melibatkan dua budaya
yang berbeda pula. Seberapa jauh budaya mempengaruhi penerjemahan masih tetap
diperdebatkan (Katan 1999:7), sebagaimana Newmark (1981:6) ‘no language, no
culture’, artinya bahasa tidak terpisahkan dari budaya para penuturnya (Simatupang,
2000:56). Perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa terlihat juga pada
kosakatanya, karena kosakata adalah wadah konsep yang terdapat dalam budaya.
Kalau dilihat dari struktur lahir bahasa memang seakan-akan penerjemahan itu tak
dapat dilakukan, akan tetapi karena pada struktur batin ada kesemestaan, akhirnya
penerjemahan itu dapat dilakukan. Stuktur lahir ini dibuat berdasarkan persepsi,
seperti bentuk, atau ukuran, sedangkan pada struktur batin, yaitu makna, dibuat
berdasarkan konsepsi (Nida, 1984:21). Oleh karena itu, penerjemahan itu tidak
mudah dilakukan, tetapi sekaligus juga dapat dilakukan. Sehubungan dengan hal
kesepadanan penerjemahan,
Moeliono
(1973:4)
33
dan Simatupang (2000:41)
menekankan pada adanya ekuivalensi antara tanggapan/respons penutur bahasa
sumber terhadap makna yang ada pada Tsu, dengan tanggapan/respons penutur
bahasa sasaran terhadap makna yang ada pada Tsa.
Dalam The Nature and Role of Norms in Translation, Toury (1995)
mengungkapkan “Terjemahan adalah suatu aktivitas yang sedikitnya melibatkan dua
bahasa dan dua budaya”. Kebanyakan terjemahan dimaksudkan untuk melayani,
meskipun tidak sempurna, sebagai pengganti untuk yang asli, untuk membantu orangorang yang tidak bisa membaca bahasa asli dari terjemahan tersebut. Hal ini
merupakan tanggung jawab yang besar bagi penerjemah. Pengetahuan bahasa asing
yang memadai, kosa kata, dan tata bahasa tidaklah cukup membuat seseorang
menjadi penerjemah. Seorang penerjemah harus mengetahui budaya baik dari bahasa
sumber maupun budaya bahasa sasaran sebelum melakukan terjemahan. Pentingnya
seorang penerjemah untuk memahami budaya adalah karena teks merupakan hasil
tindak komunikasi dengan pembaca, norma, budaya, dan sebagainya yang berlainan
(Machali, 2000:45). Itulah sebabnya, setiap terjemahan baik harfiah ataupun bukan
adalah merupakan hasil analisis. Pengalihan, dan penyerasian yang disesuaikan
dengan tindak komunikasi. Jadi terjemahan teks yang berhubungan dengan unsurunsur budaya harus dilakukan secara seksama sehingga tidak menimbulkan perspektif
dan makna yang berbeda.
Secara implisit uraian di atas menunjukkan bahwa pemadanan dalam konteks
penerjemahan selalu diawali dengan penganalisisan terhadap struktur permukaan
34
bahasa sumber dalam rangka mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya
yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa sasaran. Penganalisisan yang seperti itu
termasuk dalam ruang lingkup linguistik struktural. Dalam penelitian ini, cara
tersebutlah yang digunakan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, satuan lingual
yang dikaji dalam penelitian ini berada pada tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat.
Kedua, pengalisisan secara rinci dan cermat terhadap unsur-unsur yang membentuk
teks tersebut akan dapat mengungkapkan makna atau pesan yang terkandung dalam
setiap unsur tersebut.
1.7.2 Teori Penerjemahan
Dalam konteks penerjemahan pemadanan mengandung pengertian ‘pencarian
padanan representasi makna dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran’. Dengan
demikian pemadanan menyangkut pengalihan makna dari suatu bahasa dan budaya ke
dalam bahasa dan budaya lain. Penerjemahan sebagai proses pemadanan tidaklah
sesederhana definisi yang umum diterima, yakni mengungkapkan makna ke dalam
bahasa lain. Pada prakteknya, penerjemahan bisa menjadi rumit, dibuat-buat
(artificial)
dan
dipandang
menipu
(fraudulent)
karena
sebagaimana
yang
dikemukakan oleh Newmark (1988: 5) “by using another language you are
pretending to be someone you are not”. (dengan menggunakan bahasa lain, kamu
berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirimu). Pengertian pemadanan sebagai
‘pengalihan makna’ mengacu pada pengungkapan kembali makna yang berkonteks
35
budaya yang terdapat di dalam teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Secara
leksikal kata ‘pengalihan’ tersebut di atas mengandung pengertian proses
pemindahan, penggantian, dan pengubahan.
Pengertian pemindahan mengacu pada konsep bahwa penerjemahan adalah
penyesuaian budaya berbahasa bahasa sumber ke dalam budaya berbahasa bahasa
sasaran. Seperti dinyatakan Catford (1965:1), bahasa adalah tingkah laku manusia
yang berpola. Bahasa sebagai salah satu subsistem kebudayaan memiliki aturanaturan dalam pemakaiannya. Di dalam kebudayaan manapun orang berbicara dalam
bahasa dan bereaksi dalam pola kebudayaannya sendiri.
Nida (1964:147-149) menunjukkan bahwa penerima pesan atau amanat hanya
bisa bereaksi terhadap pesan yang dikomunikasikan padanya dalam bahasanya
sendiri. Dan hanya bisa mengekspresikan respon tersebut dalam konteks budaya
dimana mereka hidup. Selanjutnya Nida membuatkan suatu formula persamaan
dalam penerjemahan yang bisa diterapkan dalam melihat fenomena pengalihan
makna berkonteks budaya sebagai berikut:
Dalam formula tersebut di atas R singkatan Receptor (penerima) dan M
singkatan
Message
(pesan/amanat).
Lingkaran
36
dan
segitiga
bertanda
C,
merepresentasikan keseluruhan konteks budaya (cultural contexts) tempat terjadinya
komunikasi yang membungkus M dan R. Formula persamaan tersebut menunjukkan
bahwa receptor yang berada dalam budaya bulat harus mampu dalam latar budayanya
sendiri merespon message yang diberikan dalam bahasanya sendiri sebagaimana
halnya pula dengan receptor yang berada dalam budaya segitiga memberi respon,
dalam konteks budayanya sendiri terhadap message yang dikomunikasikan padanya
dalam bahasanya sendiri.
Dengan demikian penerjemahan bukan sekedar menumpangkan bangun
lingkaran pada bangun segitiga atau sebaliknya, tetapi juga menyusun kembali
(restructuring). Dalam proses penyusunan kembali bangun budaya secara kebahasaan
diperlukan penggantian sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa penerjemahan
(Indonesia-Inggris) melibatkan dua bahasa yang tidak serumpun dan bertipologi
berbeda. Produk pengalihan makna muncul di permukaan (dalam surface structure)
berupa transcoding, penggantian satu kode dengan kode yang lain (sistem bahasa
sumber ke dalam sistem bahasa sasaran). Perbedaan sistem linguistik sebagai refleksi
sifat arbitrer dan sui generis bahasa menjadikan pengalihan muncul sebagai
pemandanan dan di dalam pencarian padanan tersebut diperlukan pengubahan yang
sampai batas-batas tertentu bersifat wajib sehingga terjadi pergeseran bentuk dan
makna. Hal ini mungkin bisa menimbulkan kesan terjemahan itu sama dengan
penyelewengan seperti yang diilustrasikan oleh Bambang Kaswanti Purwo (1995)
dengan contoh : Nafasnya berbau jengkol dimana “berbau jengkol” diterjemahkan
37
“garlic smell”. Bisa dipastikan bahwa di dalam kamus manapun tidak ditemukan
“jengkol” berarti garlic atau sebaliknya garlic sama dengan “jengkol”. Dari sisi ini
mungkin bisa dikatakan nyeleweng namun bagaimana kalau jengkol diterjemahkan
secara akurat sebagai “a kind of bean” atau lebih tepat lagi, dengan istilah Latin
pithecolobium. Tentu saja makna “bau sekali” pada kata bahasa Indonesia tersebut
tidak tersampaikan (sepadan) dengan melalui kata bahasa Latin itu. Fenomena ini
mengindikasikan bahwa bahasa sebagai sebuah sistem sulit untuk disepadankan
secara lintas sistem namun yang dimungkinkan adalah menyepadankan pola konsepsi
kedua sistem tersebut. Ini sekaligus juga berarti bahwa terjemahan (secara idiomatik
atau parsial) merupakan sesuatu yang mungkin untuk dilakukan karena adanya
jembatan penahan (bridgehead of comparability) yang berisikan tahapan interpretasi
dari sebuah konsep yang belum dipahami (Sutjiati 2003: 15). Pandangan ini bertolak
dari strategi dasar dalam menginterpretasi sistem linguistik yang menganggap bahwa
penutur bahasa bersifat konsisten dan benar dalam kepercayaannya. Oleh karena itu
bagaimanapun tingkat perbedaan antara dua bahasa pastilah ada sejumlah persamaan
antara kepercayaan masing-masing penutur dan pemahaman tentang dunia yang dapat
digunakan sebagai dasar penerapan penerjemahan (Foley, 1997:172).
Penerjemahan tidak hanya sebatas masalah mencari kata lain yang memiliki
makna yang mirip tetapi menemukan cara yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu
dalam bahasa lain (Thriveni: 2002). Dengan demikian maka pemadanan makna
berkonteks budaya bisa diilustrasikan dengan contoh berikut:
38
BS (Inggris)
Thank You (very much)
BT1 (Indonesia)
BT 2 (Karo)
Terima kasih
Bujur melala
Ungkapan terima kasih
Respon
You’re welcome
Kembali
Bujur/Ue/Uei
Ketiga bahasa (Inggris, Indonesia, dan Karo) tersebut menggunakan bentuk
gramatikal, dan pilihan leksikal yang berbeda untuk menunjukkan makna yang sama.
Respon terhadap ungkapan terima kasih dalam bahasa Inggris ‘You’re welcome’ ,
dalam bahasa Indonesia “kembali/ Sama-sama”, sedangkan dalam bahasa Karo
“Bujur atau Ue atau Uei”
Contoh di atas mengidentifikasikan bahwa baik dalam budaya bahasa sumber
maupun dalam budaya bahasa sasaran sama-sama memiliki konsep ungkapan terima
kasih dan respon terhadap ungkapan terima kasih tersebut. Walaupun demikian di
39
balik persamaan tersebut tidak semua ungkapan yang sama-sama dimiliki
diekspresikan secara verbal melalui tanda-tanda linguistik.
1.7.2.1 Teknik Penerjemahan.
Menurut Collins English Dictionary, a technique is a practical method, skill,
or art applied to a particular task (teknik adalah suatu metode, keahlian atau seni
praktis yang diterapkan pada suatu tugas tertentu). Dalam definisi ini terdapat dua
hal penting: 1) teknik adalah hal yang bersifat praktis; 2) teknik diberlakukan
terhadap tugas tertentu (dalam hal ini tugas penerjemahan). Sesuai dengan sifatnya
yang praktis, ‘teknik’ secara langsung berkaitan dengan permasalahan praktis
penerjemahan dan pemecahannya daripada dengan norma pedoman penerjemahan
tertentu. Teknik penerjemahan akan lebih banyak berkaitan dengan langkah praktis
dan pemecahan masalah (Machali. 2000: 77).
Molina dan Albir (2002: 509) mendefinisikan teknik penerjemahan sebagai
prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan
terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual. Di bawah
ini dikemukakan teknik penerjemahan versi Molina dan Albir (2002: 509-511).
1) Adaptasi (adaptation).
Adaptasi adalah teknik penerjemahan di mana penerjemah menggantikan
unsur budaya bahasa sumber dengan unsur budaya yang mempunyai sifat yang sama
dalam bahasa sasaran, dan unsur budaya tersebut akrab bagi pembaca sasaran.
40
Ungkapan as white as snow, misalnya, digantikan dengan ungkapan ‘seputih kapas’,
bukan ‘seputih salju’ karena salju tidak dikenal dalam bahasa sasaran.
2) Amplifikasi (amplification).
Amplifikasi adalah teknik penerjemahan yang mengeksplisitkan
atau
memparafrase suatu informasi yang implisit dalam bahasa sumber. Kata ‘Ramadan’,
misalnya, diparafrase menjadi ‘Bulan puasa kaum muslim’. Teknik amplikasi ini
mirip dengan teknik addition, atau gain. Teknik amplifikasi ini berlawanan dengan
teknik reduksi.
3) Peminjaman (borrowing).
Peminjaman adalah teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah
untuk meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Peminjaman itu bisa
bersifat murni tanpa perubahan (pure borrowing) atau peminjaman yang sudah
dinaturalisasi (naturalized borrowing). Contoh dari pure borrowing adalah harddisk
yang diterjemahkan menjadi harddisk, sedangkan contoh dari naturalized borrowing
adalah computer yang diterjemahkan menjadi ‘komputer’.
4) Calque.
Calque adalah teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah untuk
menerjemahkan frasa atau kata bahasa sumber secara literal. Contoh: interest rate
diterjemahkan menjadi ‘tingkat suku bunga’. Interferensi struktur bahasa sumber
pada bahasa sasaran adalah ciri khas dari teknik calque.
41
5) Kompensasi (compensation).
Kompensasi adalah teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah
untuk memperkenalkan unsur-unsur informasi atau pengaruh stilistik teks bahasa
sumber di tempat lain dalam teks bahasa sasaran. Misalnya, Never did she visit her
aunt diterjemahkan menjadi ‘Wanita itu benar-benar tega tidak menemui bibinya’.
6) Deskripsi (description).
Deskripsi merupakan teknik penerjemahan yang diterapkan dengan
menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya.
Contoh: kata dalam bahasa Italia panettone diterjemahkan menjadi ‘kue tradisional
Italia yang dimakan pada saat Tahun Baru’.
7) Kreasi diskursif (discursive creation).
Teknik ini dimaksudkan untuk menampilkan kesepadanan sementara yang
tidak terduga atau keluar dari konteks. Teknik ini lazim diterapkan dalam
menerjemahkan judul buku atau judul film. Contoh: Judul buku Si Malinkundang
diterjemahkan sebagai A betrayed son si Malinkundang.
8) Kesepadanan Lazim (established equivalent) .
Kesepadanan lazim adalah teknik untuk menggunakan istilah atau ungkapan
yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Teknik ini mirip
dengan penerjemahan harfiah. Contoh: Kata ‘efisien’ dan ‘efektif’ lebih lazim
digunakan daripada kata ‘sangkil’ dan ‘mangkus’.
42
9) Generalisasi (generalization).
Realisasi dari teknik ini adalah dengan menggunakan istilah yang lebih umum
atau lebih netral. Kata penthouse, misalnya, diterjemahkan menjadi ‘tempat tinggal’,
dan ‘becak’ diterjemahkan menjadi vehicle (subordinat ke superordinat).
10) Amplifikasi linguistik (linguistic amplification).
Perwujudan dari teknik ini adalah dengan menambah unsur-unsur linguistik
dalam teks bahasa sasaran. Teknik ini lazim diterapkan dalam pengalihbahasaan
secara konsekutif atau dalam sulih suara (dubbing).
11) Kompresi linguistik (linguistic compression).
Kompresi linguistik merupakan teknik penerjemahan yang dapat diterapkan
penerjemah dalam pengalihbahasaan simultan atau dalam penerjemahan teks film,
dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks bahasa sasaran.
12) Penerjemahan harfiah (literal translation).
Penerjemahan harfiah merupakan teknik penerjemahan di mana penerjemah
menerjemahkan ungkapan kata demi kata. Misalnya, kalimat I will ring you
diterjemahkan menjadi ‘Saya akan menelpon Anda’.
13) Modulasi (modulation).
Modulasi merupakan teknik penerjemahan dimana penerjemah mengubah
sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan teks sumber.
Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal atau struktural. Misalnya
you are going to have achild, diterjemahkan menjadi ‘Anda akan menjadi seorang
43
bapak’. Contoh lainnya adalah I cut my finger yang diterjemahkan menjadi ‘Jariku
teriris’, bukan ‘saya memotong jariku’.
14) Partikularisasi (particularization).
Realisasi dari teknik ini adalah dengan menggunakan istilah yang lebih
konkrit atau presisi. Contoh: air transportation diterjemahkan menjadi ‘helikopter’
(superordinat ke subordinat). Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik
generalisasi.
15) Reduksi (reduction).
Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi. Informasi teks
bahasa sumber dipadatkan dalam bahasa sasaran. Contoh: the month of fasting
diterjemahkan menjadi ‘Ramadan’. Teknik ini mirip dengan teknik penghilangan
(ommission atau deletion atau subtraction) atau implisitasi. Dengan kata lain,
informasi yang eksplisit dalam teks bahasa sumber dijadikan implisit dalam teks
bahasa sasaran.
16) Substitusi (substitution).
Substitusi merujuk pada pengubahan unsur-unsur linguistik dan paralinguistik
(intonasi atau isyarat). Bahasa isyarat dalam bahasa Arab, yaitu dengan menaruh
tangan di dada diterjemahkan menjadi ‘Terima kasih’.
17) Variasi (variation). Realisasi dari teknik ini adalah dengan mengubah unsurunsur linguistik atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik: perubahan
44
tona tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dialek geografis. Teknik ini lazim diterapkan
dalam menerjemahkan naskah drama.
18) Transposisi (transposition).
Transposisi merupakan teknik penerjemahan dengan mengubah kategori
gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik pergeseran kategori, struktur dan unit.
Kata kerja dalam teks bahasa sumber, misalnya, diubah menjadi kata benda dalam
teks bahasa sasaran. Teknik pergeseran struktur lazim diterapkan jika struktur bahasa
sumber dan bahasa sasaran berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, pergeseran
struktur bersifat wajib. Sifat wajib dari pergeseran struktur tersebut berlaku pada
penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia untuk menghindari
interferensi gramatikal yang dapat menimbulkan terjemahan tidak berterima dan sulit
dipahami.
Pergeseran kategori merujuk pada perubahan kelas kata bahasa sumber dalam
bahasa sasaran, dan dalam banyak kasus, pergeseran kelas kata dapat bersifat wajib
(obligatory) dan bebas (optional). Pergeseran kategori yang bersifat wajib dilakukan
sebagai upaya untuk menghindari distorsi makna, sedangkan pergeseran kategori
yang bersifat bebas pada umumnya diterapkan untuk memberikan penekanan topik
pembicaraan dan untuk menunjukkan preferensi stilistik penerjemah.
Pergeseran unit merujuk pada perubahan satuan lingual bahasa sumber dalam
bahasa sasaran. Pergeseran unit yang dimaksudkan dapat berbentuk pergeseran dari
unit yang rendah ke unit yang lebih tinggi dan dari unit yang tinggi ke unit yang lebih
45
rendah. Bahkan pergeseran tersebut dapat pula berupa pergeseran dari konstruksi
yang kompleks ke konstruksi yang sederhana, dan dari konstruksi yang sederhana ke
konstruksi yang kompleks.
Penerapan dari teknik pergeseran ini dilandasi oleh suatu konsepsi atau
pemahaman berikut ini. Pertama, penerjemahan selalu ditandai oleh pelibatan dua
bahasa, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Bahasa sumber dan bahasa sasaran
tersebut pada umumnya berbeda satu sama lain baik dalam hal struktur maupun
budayanya. Dalam kaitan itu, perubahan struktur sangat diperlukan. Kedua, dalam
konteks pemadanan, korespondensi satu lawan satu tidak selalu bisa dicapai sebagai
akibat dari adanya perbedaan dalam mengungkapkan makna atau pesan antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Dalam kondisi yang demikian diperlukan pergeseran
unit. Ketiga, penerjemahan dipahami sebagai proses pengambilan keputusan dan
suatu keputusan yang diambil oleh penerjemah dapat dipengaruhi oleh berbagai hal,
seperti kompetensi yang dimiliki, kreativitas, preferensi stilistik dan pembaca.
Teknik transposisi dalam bentuk pergeseran struktur merupakan teknik yang
paling lazim diterapkan apabila struktur bahasa sumber berbeda dari struktur bahasa
sasaran. Karena struktur bahasa Inggris dan struktur bahasa Indonesia berbeda,
pergeseran struktur menjadi bersifat wajib (obligatory) agar terjemahan yang
dihasilkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
46
19) Penambahan.
Teknik penambahan lazim diterapkan dalam kegiatan penerjemahan.
Penambahan yang dimaksud adalah penambahan informasi yang pada dasarnya tidak
ada dalam kalimat sumber. Kehadiran informasi tambahan dalam kalimat sasaran
dimaksudkan untuk lebih memperjelas konsep yang hendak disampaikan penulis asli
kepada para pembaca sasaran. Contoh: She came late diterjemahkan menjadi ‘Wanita
tua itu datang terlambat’.
20) Penghilangan (deletion).
Teknik ini mirip dengan teknik reduksi. Baik teknik reduksi maupun teknik
penghilangan menghendaki penerjemah untuk melakukan penghilangan. Teknik
reduksi ditandai oleh penghilangan secara parsial sedangkan teknik penghilangan
ditandai oleh adanya penghilangan informasi secara menyeluruh.
1.7.2.2 Metode Penerjemahan
Dalam Macquarie Dictionary (1982), metode adalah suatu cara melakukan
sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu “a method is a way of
doing something, especially in accordance with a definite plan”. Artinya, 1) metode
adalah cara melakukan sesuatu, yaitu cara melakukan penerjemahan; 2) metode
berkenaan dengan rencana tertentu, yaitu rencana dalam pelaksanaan penerjemahan
yang diwujudkan melalui tiga tahap penting, yaitu analisis, pengalihan, dan
penyerasian. Ketiga tahap ini harus dilewati dalam kegiatan dan perencanaan
penerjemahan. Dalam pelaksanaannya, ketiga tahap tersebut dijalankan dengan
47
menggunakan cara tertentu. Cara itu disebut metode. Jadi pelaksanaan kegiatan dalam
setiap tahap penerjemahan atau proses tersebut berada dalam kerangka cara atau
metode tertentu (Machali. 2000: 49).
Molina dan Albir (2002: 507-508) mengartikan metode penerjemahan sebagai
cara proses penerjemahan dilakukan dalam kaitannya dengan tujuan penerjemah.
Metode penerjemahan merupakan pilihan global yang mempengaruhi keseluruhan
teks. Pada dasarnya metode penerjemahan akan ditetapkan terlebih dulu oleh
penerjemah sebelum dia melakukan proses penerjemahan.
Newmark (1988: 45) memperkenalkan sebuah diagram yang dia sebut sebagai
Diagram V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan.
Kutub yang pertama sangat memperhatikan sistem dan budaya bahasa sumber
sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem dan budaya bahasa sasaran.
SL Emphasis
TL Emphasis
Word-for-word translation
Adaptation
Literal translation
Free translation
Faithful translation
Semantic translation
Idiomatic translation
Communicative translation
Gambar 1. Diagram V Metode Penerjemahan (Newmark, 1988: 45)
48
Metode
penerjemahan
yang
berorientasi
pada
bahasa
sumber
direpresentasikan oleh 1) metode penerjemahan kata-demi-kata, 2) metode
penerjemahan harfiah, 3) metode penerjemahan setia, dan 4) metode penerjemahan
semantik.
1) Metode penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation).
Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata. Dalam
menerapkan metode penerjemahan ini, penerjemah hanya mencari padanan kata
bahasa sumber dalam bahasa sasaran, dan pencarian padanan itu tidak dikaitkan
dengan konteks. Dia tidak mengubah susunan kata bahasa sumber dalam
terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat bahasa sumber sama
persis dengan susunan kata dalam kalimat bahasa sasaran. Metode penerjemahan kata
demi kata ini dapat diterapkan dengan baik hanya jika struktur bahasa sumber sama
dengan struktur bahasa sasaran. Berikut ini adalah contoh hasil terjemahan yang
menerapkan metode penerjemahan kata-demi-kata.
Bahasa Sumber :
When drug therapy is not successful in managing intraocular pressure or
when the glaucoma is acute, operative techniquies are necessary to open the
spaces of the trabeculae or to crate outflow tracks for the fluid.
Bahasa Sasaran
:
Jika obat terapi adalah tidak berhasil dalam mengatur intraokuler tekanan atau
jika itu glaukoma adalah akut, operatif teknik adalah penting untuk membuka
49
itu ruang-ruang dari itu trabekula atau untuk menciptakan pembuangan
saluran untuk itu cairan.
2) Metode penerjemahan harfiah (Literal translation).
Metode penerjemahan harfiah mempunyai kesamaan dengan metode
penerjemahan kata-demi-kata bahwa pemadanan yang dilakukan selalu lepas konteks.
Perbedaannya adalah metode penerjemahan harfiah berusaha mengubah konstruksi
gramatikal bahasa sumber menjadi konstruksi gramatikal bahasa sasaran.
Bahasa Sumber :
When drug therapy is not successful in managing intraocular pressure or
when the glaucoma is acute, operative techniquies are necessary to open the
spaces of the trabeculae or to crate outflow tracks for the fluid.
Bahasa Sasaran
:
Jika terapi obat tidak berhasil dalam mengatur tekanan intraokuler atau jika
glaukoma itu akut, teknik operatif penting untuk membuka ruang-ruang
trabekula tersebut atau untuk menciptakan saluran pembuangan bagi cairan
itu.
3) Metode penerjemahan setia (Faithful translation).
Metode penerjemahan setia berusaha sesetia mungkin menghasilkan makna
kontekstual teks bahasa sumber meskipun melanggar struktur gramatikal bahasa
sasaran seperti terlihat dalam contoh berikut.
50
Bahasa Sumber :
When drug therapy is not successful in managing intraocular pressure or
when the glaucoma is acute, operative techniquies are necessary to open the
spaces of the trabeculae or to crate outflow tracks for the fluid.
Bahasa Sasaran
:
Jika terapi obat tidak berhasil dalam mengatur tekanan intraokuler atau jika
glaukoma itu adalah akut, teknik operatif adalah penting untuk membuka
ruang-ruang trabekula tersebut atau untuk menciptakan saluran pembuangan
bagi cairan itu.
4) Metode penerjemahan semantik (Semantic translation).
Metode penerjemahan semantik terfokus pada pencarian padanan pada tataran
kata dengan tetap terikat pada budaya bahasa sumber, dan berusaha mengalihkan
makna kontekstual bahasa sumber yang sedekat mungkin dengan struktur sintaksis
dan semantik bahasa sasaran. Jika sebuah kalimat perintah bahasa Inggris
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya, maka terjemahannya pun harus
berbentuk kalimat perintah. Kata-kata yang membentuk kalimat perintah bahasa
Inggris itu harus mempunyai komponen makna yang sama dengan komponen makna
kata yang terdapat dalam terjemahan. Berikut adalah contoh penerjemahan yang
menggunakan metode penerjemahan semantik.
51
Bahasa Sumber :
Mr. Andrew : You must not go outn this evening.
Harry
: Yes, dad.
Bahasa Sasaran :
Andrew
: Kamu mestinya nggak keluar malam ini.
Harry
: Iya, pa.
Bandingkan dengan :
Bahasa Sumber
:
Mr. Andrew : You must not go out this evening.
Harry
Bahasa Sasaran
: Yes, sir.
:
Andrew
: Kamu mestinya nggak keluar malam ini.
Harry
: Iya, pak.
Metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran dipresentasikan
oleh 1) metode penerjemahan adaptasi, 2) metode penerjemahan bebas, 3) metode
penerjemahan idiomatis, dan 4) metode penerjemahan komunikatif.
1) Metode penerjemahan adaptasi (Adaptation).
Metode penerjemahan adaptasi berusaha mengubah budaya bahasa sumber
dalam bahasa sasaran. Hasilnya pada umumnya dipandang bukan sebagai suatu
52
terjemahan tetapi merupakan penulisan kembali pesan teks bahasa sumber dalam
bahasa sasaran.
Teks yang dihasilkan dengan menerapkan metode adaptasi
merupakan bentuk terjemahan yang paling bebas dan metode adaptasi ini khususnya
digunakan dalam menerjemahkan teks drama dan puisi seperti dalam contoh berikut.
Bahasa Sumber :
As soon as Jack arrived in Lake Michigan, he called his wife.
Bahasa Sasaran:
Segera setelah Poltak tiba di Danau Toba, dia berkirim surat kepada istrinya.
2) Metode penerjemahan bebas (Free translation).
Metode penerjemahan bebas menghasilkan teks sasaran yang tidak
mengandung gaya, bentuk atau isi teks sumber. Metode penerjemahan bebas tidak
terikat pada pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian padanan itu
cenderung berlangsung pada tataran teks. Metode penerjemahan bebas tidak sama
dengan metode adaptasi. Pesan dalam terjemahan bebas harus tetap setia pada pesan
teks bahasa sumber. Penerjemah hanya mempunyai kebebasan yang terbatas dalam
mengungkapkan pesan itu dalam bahasa sasaran; dia tidak memodifikasi karya asli.
Sebaliknya, dengan metode adaptasi, penerjemah dimungkinkan untuk melakukan
beberapa modifikasi, misalnya, seperti mengganti nama pelaku dan tempat kejadian.
Bahasa Sumber :
She thinks that she has failed twice. It is fortunate that her husband
encourages her and says: “don’t cry over spilt milk”.
53
Bahasa Sasaran:
Siska merasa dia sudah gagal dua kali. Untungnya, dia masih mendapat
dorongan semangat dari suaminya, yang mengatakan “Sesal kemudian tiada
berguna”
3) Metode penerjemahan idiomatis (Idiomatic translation).
Metode penerjemahan idiomatis berusaha untuk menghasilkan kembali
“pesan” teks sumber tetapi cenderung merusak nuansa makna dengan jalan
menggunakan kolokial dan idiom meskipun kedua hal ini tidak ada dalam teks bahasa
sumber.
Bahasa Sumber :
In this research I attempt to investigate the role of translators in decisionmaking process.
Bahasa Sasaran:
Dalam penelitian ini aku berusaha untuk mengkaji peran para penerjemah
dalam proses pembuatan keputusan.
4) Metode penerjemahan komunikatif (Communicative translation).
Metode penerjemahan komunikatif berusaha mengalihkan makna kontekstual
teks bahasa sumber secara akurat ke dalam bahasa teks bahasa sasaran agar
terjemahan dapat berterima dan mudah dipahami oleh pembaca sasaran. Dengan kata
54
lain, metode penerjemahan komunikatif sangat peduli pada masalah efek yang
ditimbulkan oleh suatu terjemahan pada pembaca, yang tidak mengharapkan adanya
kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan dalam terjemahan.
Metode penerjemahan komunikatif juga sangat memperhatikan masalah
keefektifan bahasa terjemahan. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan bahwa metode
penerjemahan komunikatif mempersyaratkan agar bahasa terjemahan mempunyai
bentuk, makna dan fungsi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena ada
kemungkinan suatu kalimat sudah benar secara sintaksis tetapi maknanya tidak logis,
atau, bentuk dan maknanya sudah benar, namun penggunaannya tidak tepat atau tidak
alamiah.
Bahasa Sumber :
I said: “I would admit that I am wrong” not “I will admit that I am wrong”
Bahasa Sasaran:
Aku mengatakan bahwa “aku mau mengakui bahwa aku salah “bukan” Aku
akan mengakui bahwa aku salah”.
1.7.2.3 Ideologi Penerjemahan
Secara umum, ideologi dapat diartikan sebagai gagasan, sudut pandang, mitos
dan prinsip yang dipercayai kebenarannya oleh kelompok masyarakat. Ideologi juga
dapat diartikan sebagai nilai-nilai budaya yang disepakati dan dimiliki oleh kelompok
masyarakat dan berfungsi sebagai landasan dalam berpikir dan bertindak. Oleh sebab
itu, ideologi merupakan
suatu konsep yang relatif karena dalam banyak kasus,
55
“sesuatu’ yang dipandang benar dalam suatu kelompok masyarakat bisa dipahami
sebagai “sesuatu” yang salah dalam kelompok masyarakat lainnya, tergantung kepada
“untuk siapa” dan “untuk tujuan” suatu terjemahan dilakukan. Terjemahan yang
“benar” tergantung “ideologi” yang dianut, jadi sering sekali ditentukan oleh sesuatu
di luar teks itu sendiri dan juga menempatkan penerjemahan sebagai bagian
kebudayaan masyarakat. Dengan kata lain, ideologi dalam penerjemahan memberi
pandangan super makro dalam membahas penerjemahan sebagai bagian dari kegiatan
sosial budaya dan karya terjemahan sebagai bagian dari kebudayaan suatu masyarakat
(Hoed, 2003). Di bawah ini diberikan dua versi terjemahan di bidang politik untuk
menunjukkan dua orientasi ideologi penerjemahan yang berbeda (Machali,
2000:134).
Teks Sumber:
When Indonesia annexed the former Portuguese colony of East Timor in
1975, many Australians understood this as part of the process of
decolonization. Other Australians were unhappy with this situation, believing
that East Timor should become an independent country.
Teks Sasaran I:
Ketika Indonesia mencaplok Timor Timur, bekas koloni Portugis, di tahun
1975, banyak orang Australia yang melihatnya sebagai proses dekolonisasi.
Banyak orang Australia yang beranggapan bahwa Timor Timur seharusnya
menjadi negara yang merdeka.
56
Teks Sasaran II:
Ketika Timor Timur, sebagai bekas daerah jajahan Portugis, berintegrasi
dengan Indonesia pada tahun 1975, banyak orang Australia yang
menganggapnya sebagai proses dekolonisasi. Ada juga orang Australia yang
tidak senang dengan cara ini, karena menurut mereka Timor Timur
seharusnya menjadi negara yang merdeka.
Dalam Teks Sumber terdapat kata annexed yang diterjemahkan menjadi
mencaplok (Teks Sumber I) dan berintegrasi (Teks Sumber II). Penggunaan padanan
yang berbeda tersebut menunjukkan pandangan atau sikap yang berbeda dari kedua
penerjemah terhadap Timor Timur. Penerjemah pertama (Teks Sasaran I)
berpandangan bahwa yang benar adalah Indonesia mencaplok Timor Timur.
Sebaliknya, penerjemah kedua (Teks Sasaran II) berpandangan bahwa Timor Timur
tidak dicaplok tetapi berintegrasi dengan Indonesia.
Dalam bidang penerjemahan, ideologi diartikan sebagai prinsip atau
kenyakinan tentang “benar atau salah” (Hoed, 2003). Bagi sebagian penerjemah,
suatu terjemahan dianggap benar jika terjemahan tersebut telah secara utuh
mengandung pesan teks bahasa sumber. Masalah keberterimaan terjemahan bagi
pembaca sasaran kemudian menjadi sesuatu yang terabaikan. Ada pula penerjemah
yang melegitimasi suatu terjemahan dengan berpedoman hanya pada kesesuaian
terjemahan dengan kaidah, norma, dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran.
Kedua prinsip tersebut melahirkan dua kutub ideologi penerjemahan. Kutub pertama
57
disebut ideologi foreignisasi (foreignization) dan kutub yang kedua adalah ideologi
domestikasi (domestication).
Ideologi foreignisasi sangat berorientasi pada budaya bahasa sumber. Para
penerjemah yang menganut ideologi foreignisasi berupaya untuk mempertahankan
apa yang asing dan tidak lazim bagi pembaca sasaran tetapi merupakan hal yang
lazim, unik, dan khas dalam budaya bahasa sumber (Mazi-Leskovar, 2003: 5). Bagi
mereka, terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya
dan cita rasa kultural bahasa sumber. Penerapan ideologi foreignisasi diwujudkan
melalui penggunaan metode penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harfiah,
penerjemahan setia dan/atau penerjemahan semantik. Dari aspek pemadanan, ideologi
foreignisasi sangat tergantung pada pemadanan formal (formal equivalence).
Sebaliknya, ideologi domestikasi berorientasi pada kaidah, norma dan budaya
bahasa sasaran. Zhao Ni menyatakan: “Domestication refers to the target-cultureoriented translation in which unusual expressions to the target culture are exploited
and turned into some familiar ones so as to make the translated text intellingible and
easy for target readers” (http://www.188mb.com/Newinfor/html/3584.htm). Dalam
kaitan itu, Yan Xiao-Jiang (2007) berpendapat bahwa penerjemah perlu mengetahui
mengapa suatu teks diterjemahkan dan apa fungsi dari teks terjemahan tersebut
karena setiap teks yang dihasilkan pasti mempunyai tujuan tertentu dan teks tersebut
harus bisa memenuhi tujuan tersebut. Penerapan ideologi domestikasi akan tampak
pada penggunaan metode penerjemahan adaptasi, metode penerjemahan bebas,
58
metode penerjemahan idiomatis dan/atau penerjemahan komunikatif. Sementara itu,
dalam hal pemadanan, ideologi domestikasi sangat bertumpu pada
pemadanan
dinamis (dynamic equivalence).
Di atas telah diuraikan perihal dua ideologi penerjemahan yang orientasinya
bertolak belakang satu sama lain. Uraian tersebut menunjukkan seakan-akan
penerjemahan terjebak dalam suatu persoalan “hitam-putih”. Dalam praktek
penerjemahan yang sesungguhnya, tidak ada penerjemah yang secara murni
menerapkan ideologi foreignisasi atau ideologi domestikasi. Yang timbul sebenarnya
adalah kecenderungan bagi seorang penerjemah untuk menerapkan salah satu dari
dua ideologi tersebut.
1.7.2.4 Kerangka Pikir penelitian
Pelaksanaan penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa penerjemah
adalah pelaku utama dalam proses pengambilan keputusan dalam komunikasi
interlingual, baik keputusan yang menyangkut pemilihan pandanan dan maupun yang
menyangkut pengungkapan padanan tersebut dalam bahasa sasaran. Setiap keputusan
yang diambilnya tidak bisa lepas dari ideologi penerjemahan yang dianutnya. Atas
dasar
ideologi penerjemahan
tersebut,
dia
kemudian
menetapkan
metode
penerjemahan yang sejalan dengan ideologi penerjemahannya itu. Selanjutnya,
metode penerjemahan yang telah ditetapkannya itu diwujudkan dalam bentuk teknikteknik penerjemahan yang dia manfaatkan dalam pencarian padanan pada tataran
mikro. Tanpa disadarinya, ideologi yang dianut, metode penerjemahan yang
59
ditetapkan, dan teknik penerjemahan yang digunakannya diarahkan untuk
menghasilkan terjemahan yang berkualitas, yaitu suatu terjemahan yang akurat,
berterima dan mudah dipahami. Akan tetapi, pengetahuan deklaratif yang dimiliki
penerjemah tidak selalu berbanding lurus dengan pengetahuan operatifnya. Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
aspek
ideologi
penerjemahan,
metode
penerjemahan, dan teknik penerjemahan bisa mempunyai dampak positif atau negatif
pada kualitas terjemahan yang dihasilkan. Kerangka pikir penelitian ini diilustrasikan
dalam Gambar berikut ini.
60
Penerjemah
Ideologi
Penerjemahan
Metode
Penerjemahan
Dampak
Kualitas
Teknik
Penerjemahan
Proses
Teks
BSu
TheNew
Testament
(Bible)
The Gospel
According to
Matthew
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
61
Teks
BSa
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Arah Penelitian
Berdasarkan sifatnya, penelitian penerjemahan dapat digolongkan menjadi
dua jenis, yaitu penelitian penerjemahan yang bersifat deskriptif dan penelitian
penerjemahan yang bersifat teoretis. Selanjutnya, penelitian penerjemahan yang
bersifat deskriptif dibagi menjadi tiga jenis yang disesuaikalam dengan orientasinya,
yaitu
1) penelitian yang berorientasi pada fungsi terjemahan, 2) penelitian
penerjemahan yang berorientasi pada proses penerjemahan, dan 3) penelitian
penerjemahan yang berorientasi pada produk atau terjemahan (Holmes dalam Sorvali,
1996:21).
Penelitian yang berorientasi pada fungsi terjemahan memusatkan kajiannya
pada fungsi terjemahan dalam situasi sosio budaya yang terkait dengan teks bahasa
sasaran. Objek kajiannya mengarah pada konteks yang mendasari lahirnya sebuah
karya terjemahan. Oleh sebab itu, penelitian yang seperti ini sangat menaruh
perhatian pada sejarah penerjemahan (Sorvali, 1996:24).
Penelitian yang berorientasi pada proses memusatkan perhatiannya pada
proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerjemah. Proses pengambilan
keputusan tersebut merupakan proses kognitif, yang lazim disebut sebagai kotak
hitam (black box) penerjemah. Sebagai akibatnya, proses kognitif itu tidak bisa
diamati secara langsung. Untuk mengungkapkannya, para peneliti di bidang ini
memanfaatkan teknik TAP (Think-Aloud Protocol) dan wawancara untuk menggali
62
data tentang proses pengambilan keputusan sebagai objek utama kajian mereka.
Kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi informasi telah memberikan peluang
bagi para peneliti untuk memanfaatkan perangkat lunak computer TransLog dalam
merekam semua kegiatan yang dilakukan oleh penerjemah pada saat penerjemah
melakukan proses penerjemahan (Nababan, 2008).
Penelitian yang berorientasi pada produk memusatkan perhatiannya pada
karya terjemahan. Para peneliti yang menganut paradigma ini memandang bahwa
yang menjadi fokus penelitian penerjemahan adalah produk (Toury, 1980) bukan
proses penerjemahan. Pandangan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa data
yang berupa produk atau karya terjemahan dapat diperoleh dengan mudah dan satuan
lingual yang dapat dikaji beragam mulai dari tataran kata hingga tataran tekstual.
Tujuan penelitian ini juga beragam antara lain untuk mengetahui kualitas terjemahan
(baik dari segi tingkat keakuratan pengalihan pesan, tingkat keterbacaan dan tingkat
keberterimaan terjemahan), untuk mengungkapkan tipe-tipe penerjemahan, dan untuk
menemukan strategi dan pendekatan yang diterapkan penerjemah dalam mengatasi
masalah padanan. Di samping itu, mereka juga berpandangan bahwa proses
penerjemahan pada dasarnya dapat diungkapkan dengan jalan mengkaji terjemahan.
Sementara itu, kajian terhadap proses penerjemahan, menurut pandangan mereka,
tidak mungkin dapat dilakukan karena proses penerjemahan pada hakekatnya
merupakan proses kognitif, yang tidak bisa teramati secara langsung.
63
Penelitian ini berorientasi pada produk atau karya terjemahan. Satuan
terjemahan (translation unit) yang dikaji berada pada tataran kata, frasa, klausa, dan
kalimat. Satuan terjemahan pada tataran-tataran tersebut sengaja ditetapkan seperti
itu agar kajian dapat dilakukan secara rinci, yang pada hakikatnya dapat digunakan
sebagai landasan untuk menetapkan kesimpulan kajian pada tataran makro, yaitu
tataran teks.
Seperti telah dijelaskan di atas, penelitian ini bertujuan untuk 1)
mendeskripsikan
teknik penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia;
2) mendeskripsikan metode penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan
teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia; (3)
mendeskripsikan ideologi penerjemahan yang dianut oleh penerjemah
dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia;
dan (4) mendeskripsikan dampak teknik penerjemahan, metode penerjemahan, dan
ideologi penerjemahan
terhadap kualitas terjemahan, yaitu keakuratan pesan,
keberterimaan, dan keterbacaan.
Keempat tujuan penelitian ini disusun secara
berurutan dengan pertimbangan yang logis. Pertama, pengidentifikasian teknik
penerjemahan
akan
dapat
menuntun
peneliti
dalam
menetapkan
metode
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah. Kedua, pendeskripsian metode
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah dapat digunakan sebagai landasan
untuk mengetahui
ideologi penerjemahan yang dianut oleh penerjemah. Ketiga,
64
teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan
ideologi penerjemahan yang
diterapkan oleh penerjemah pada hakikatnya dimaksudkan untuk menghasilkan
terjemahan yang berkualitas. Oleh sebab itu, dampak dari teknik penerjemahan,
metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan juga
perlu dikaji. Istilah kualitas yang digunakan dalam penelitian ini merupakan istilah
payung (umbrella term) yang mencakup tiga hal, yaitu 1) tingkat kesepadanan pesan
antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran, 2) tingkat keberterimaan
terjemahan, dan 3) tingkat keterbacaan terjemahan.
1.8.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan desain
studi kasus terpancang (embedded case study research), artinya penelitian
memperlakukan teori sebagai batasan, sudah diarahkan pada batasan atau fokus
tertentu yang dijadikan sasaran dalam penelitian (Sutopo, 2006:139). Namun
demikian, dalam melakukan analisis, peneliti harus tetap berpikir holistik, dengan
acuan jika ditemukan beragam variabel lain yang mempunyai hubungan dan bersifat
interaktif dengan variabel utamanya, diperlakukan deskripsi penjelasan di dalam
laporan penelitian.
Pendekatan deskritif-kualitatif
yang digunakan dalam penelitian
ini
didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, data yang dikaji merupakan data
kualitatif yang berwujud teks baik yang berasal dari sumber data dokumen, maupun
dari informan kunci dan responden. Data tersebut kemudian dideskripsikan dan
65
disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. Dengan demikian, kajian teori yang
dituangkan dalam kerangka teori bukan sebagai tujuan tetapi sebagai landasan dalam
menganalisis data. Sementara itu, desain penelitian ini, seperti telah disebutkan di
atas, merupakan penelitian kasus tunggal terpancang. Disebut demikian karena
sumber data dan satuan terjemahan yang hendak dikaji sudah ditetapkan sebelum
penelitian dilakukan, dan kesimpulan yang ditarik terpancang atau hanya berlaku
pada data penelitian yang dianalisis. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak bisa
digeneralisasikan.
1.8.3 Teknik Sampling
Sampel penelitian ini dicuplik dengan menggunakan purposive sampling
technique. Sampel penelitian yang dicuplik disesuaikan dengan tujuan penelitian dan
ditentukan berdasarkan kriteria. Objek penelitian ini terkait dengan teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, ideologi
penerjemahan, dan dampak dari
ketiga hal tersebut pada kualitas terjemahan. Dampak yang dimaksudkan terkait
dengan tingkat keakuratan pesan, tingkat keberterimaan, dan tingkat keterbacaan
terjemahan. Data penelitian yang dikaji terkait dengan aspek objektif dan aspek
efektif.
Aspek objektif terkait dengan karya terjemahan itu sendiri yang dianalisis
untuk mengetahui
teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah. Ketiga hal tersebut dikaji
sepenuhnya oleh peneliti sebagai perwujudan dari konsepsi bahwa peneliti adalah
66
instrumen utama dalam penelitian kualitatif. Aspek efektif merupakan tanggapan
pembaca ahli dan pembaca awam terhadap terjemahan. Tanggapan pembaca ahli
digali untuk mengetahui tingkat kesepadanan, dan tingkat keberterimaan terjemahan.
Tanggapan pembaca awam diarahkan untuk menentukan tingkat keterbacaan
terjemahan bagi pembaca sasaran.
1.8.4 Data dan Sumber Data
1.8.4.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup dua kategori. Kategori
pertama
teks yang terdapat dalam The Gospel According to Matthew dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Analisis terhadap data kategori pertama ini
akan mengungkapkan teknik penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah. Kategori kedua merupakan
pernyataan-pernyataan
informan
kunci
terhadap
tingkat
keakuratan
pesan,
keberterimaaan, dan juga tanggapan pembaca sasaran terhadap tingkat keterbacaan
terjemahan.
1.8.4.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa atau
aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar, dan rekaman; serta dokumen
dan arsip (Sutopo, 2002: 50-54).
Dalam penelitian ini, terdapat tiga sumber data, yaitu
67
(1) Holy Bible Idealline, NKJV (New King James Version), 2009. Penerbit Lembaga
Alkitab Indonesia, Jakarta, terdiri atas 594 halaman, dan hasil terjemahannya dalam
bahasa Indonesia dengan judul Alkitab, diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (2009), penerbit Lembaga Alkitab Indonesia Jakarta, terdiri dari 594
halaman. Penelitian ini hanya fokus pada Kitab Perjanjian Baru (The New
Testatment), yaitu The Gospel According To Matthew yang terdiri atas 28 pasal dan
terbagi dalam 1060 ayat. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan judul Injil
Matius juga terdiri atas 28 pasal dan terbagi dalam 1060 ayat. Namun dari ke 28 pasal
dengan 1060 ayat tersebut, penelitian ini hanya akan fokus pada 3 (tiga) pasal,yaitu
pasal 5, 6, dan 7 yang mencakup 138 ayat dengan pertimbangan sebagai berikut.
1)
Kitab Matius ini mewakili kitab Injil lainnya. Dari empat kitab Injil, yaitu
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, tiga diantaranya, yaitu Matius, Markus,
dan Lukas disebut Injil-Injil sinoptik karena kitab-kitab tersebut pada
umumnya mengikuti sebuah iktisar atau garis besar yang sama. Ketiga kitab
itu dapat dipelajari secara pararel, karena ketiganya memiliki garis besar yang
sama, menggunakan beberapa kata yang sama, dan muatan peristiwa yang
sama. Beberapa penelitian alkitab modern didasarkan atas asumsi bahwa
Kitab Matius dan Lukas menggunakan Kitab Markus sebagai sumber utama
dan garis besarnya (Lembaga Alkitab Indonesia, 2009)
2)
Penerjemahan dilakukan oleh satu tim di bawah Lembaga Alkitab Indonesia,
dengan demikian kualitas penerjemahannya relatif sama. Kesamaan sifat
68
tersebut selanjutnya mendorong peneliti untuk mengambil keputusan bahwa
pencuplikan Injil Matius dapat dipandang sudah mewakili Injil-injil lainnya.
3)
Ketiga pasal yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu pasal 5, 6, dan 7
merupakan Khotbah Yesus di Bukit. Injil Matius dimulai dengan
menempatkan Yesus dalam seluruh cerita tentang penyelamatan. Yesus adalah
keturunan Abraham dan ketururunan Daud, memenuhi seluruh janji Allah
kepada umat-Nya. Materi pengajaran dalam kitab Matius dibagi dalam lima
bagian besar dan bagian yang paling dikenal ialah Khotbah di Bukit (pasal 5,
6, dan 7).
4)
Keberhasilan penerjemah dalam menerjemahkan ketiga pasal tersebut akan
sangat menentukan keberhasilannya dalam menerjemahkan pasal-pasal
berikutnya. Pasal 5,6, dan 7 dan pasal-pasal berikutnya mempunyai kesamaan
ditinjau dari jenis teks dan satuan lingual yang digunakan oleh penulis dalam
menyampaikan gagasannya. Kesamaan sifat tersebut selanjutnya mendorong
peneliti untuk mengambil keputusan pencuplikan pasal 5,6, dan 7 dapat
dipandang sudah mewakili pasal-pasal lainnya.
(2) Informan kunci.
Informan kunci yang dilibatkan adalah ahli penerjemahan untuk menentukan
tingkat keakuratan pesan antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran, dan ahli
keagamaan untuk menentukan tingkat keberterimaan terjemahan. Dalam penelitian
ini tiga informan kunci dilibatkan untuk menentukan tingkat keberterimaan
69
terjemahan. Di samping itu, peneliti juga ikut serta dalam menilai tingkat
keberterimaan terjemahan tersebut, khususnya dari segi penggunaan bahasa Indonesia
yang baku. Karena tingkat keakuratan dan tingkat keberterimaan saling terkait satu
sama lain, kedua kelompok informan kunci tersebut dilibatkan dalam forum diskusi
(peer-debriefing) untuk menyamakan persepsi perihal tingkat keakuratan dan tingkat
keberterimaan terjemahan.
(3) Pembaca awam atau responden terdiri atas lima umat Kristen yang menjadi
sasaran karya terjemahan tersebut. Pelibatan mereka dimaksudkan untuk menentukan
tingkat keterbacaan teks terjemahan.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini dikumpulkan dengan menerapkan tiga macam teknik
pengumpulan data sebagai berikut.
1) Analisis dokumen (content analysis). Teknik ini diterapkan untuk
mengumpulkan data yang terkait ideologi penerjemahan, metode
penerjemahan, dan teknik penerjemahan.
2) Kuesioner (questionnaire). Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data
tentang kualitas terjemahan, yang mencakup tiga hal, yaitu tingkat keakuratan,
tingkat keberterimaan, dan tingkat keterbacaan.
3) Wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara dilakukan
terhadap informan kunci dan responden untuk memvalidasi tanggapantanggapan atau pernyataan-pernyataan yang mereka berikan dalam kuesioner.
70
Seperti telah dijelaskan di atas, penelitian ini juga menggunakan kuesioner
untuk mengumpulkan data tentang kualitas terjemahan. Dalam kaitan itu, di dalam
penelitian ini digunakan tiga kuesioner. Kuesioner pertama disebut Accuracy Rating
Instrument, yang dimanfaatkan untuk menentukan tingkat kesepadanan terjemahan.
Kuesioner kedua disebut Acceptability Rating Instrument, yang digunakan untuk
mengukur tingkat keberterimaan terjemahan. Kuesioner ketiga disebut Readability
Rating Instrument, yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan terjemahan.
Masing-masing dari ketiga kuesioner yang disebutkan di atas memuat
pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka (open and close format). Pertanyaan
tertutup menghendaki informan kunci atau responden untuk memilih satu jawaban
dari beberapa alternatif yang disediakan. Pertanyaan terbuka menghendaki informan
kunci atau responden untuk memberikan tanggapan atau alasan yang mendasari
mengapa informan kunci atau responden memilih jawaban tertentu. Tanggapantanggapan tersebut kemudian dipetakan untuk melihat kecenderungan tanggapan
tentang kualitas terjemahan. Cara ini dipandang tepat karena persepsi para informan
kunci atau responden terhadap terjemahan yang mereka nilai tidak bisa sepenuhnya
sama, dan yang mungkin terjadi adalah adanya kecenderungan yang mengarah pada
pilihan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada penetapan ideologi penerjemahan,
metode penerjemahan, dan teknik penerjemahan. Fakta menunjukkan bahwa tidak
ada satu pun terjemahan yang secara mutlak menerapkan satu metode, atau satu
71
ideologi. Yang mungkin terjadi adalah bahwa suatu terjemahan cenderung
menerapkan metode dan ideologi tertentu.
Masing-masing dari ketiga kuesioner di atas didasarkan pada skala penilaian
seperti diungkapkan Mangatur Nababan, dkk (Universitas Sebelas Maret Surakarta)
dalam sebuah penelitian dengan judul “Pengembangan Model Penilaian Kualitas
Terjemahan” (Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 24, No. 1, Juni 2012). Instrumen
Penilai Kualitas Terjemahan meliputi : 1) instrumen penilai tingkat keakuratan pesan,
2) instrumen penilai tingkat keberterimaan terjemahan, dan 3) instrumen penilai
tingkat keterbacaan terjemahan.
Masing-masing dari instrumen penilai kualitas terjemahan terdiri atas tiga
bagian. Bagian pertama menunjukkan kategori terjemahan. Bagian kedua merupakan
skor atau angka dengan skala 1 sampai dengan 3, yang diurutkan menurut piramida
terbalik yaitu semakin berkualitas suatu terjemahan, semakin besar/tinggi skor atau
angka yang diperolehnya dan demikian pula sebaliknya. Bagian ketiga merupakan
parameter kualitatif dari masing-masing kategori terjemahan. Ketiga instrumen itu
disajikan di bawah ini.
72
Tabel 1: Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan
Kategori
Terjemahan
Akurat
Skor Parameter Kualitatif
3
Makna kata,istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks
bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran;
sama sekali tidak terjadi distorsi makna.
Kurang
Akurat
2
Sebagian besar makna kata,istilah teknis, frasa, klausa, kalimat
atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam
bahasa sasaran. Namun, masih terdapat distorsi makna atau
terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang
dihilangkan yang mengganggu keutuhan pesan.
Tidak
Akurat
1
Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks
bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke dalam bahasa
sasaran atau dihilangkan (deleted)
Tabel 1 menunjukkan bahwa instrumen penilai tingkat keakuratan terjemahan
tersebut menganut skala 1 sampai dengan 3. Semakin tinggi skor yang diberikan
penilai, maka semakin akurat terjemahan yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin
rendah skor yang diberikan terhadap terjemahan, maka semakin rendah tingkat
keakuratan terjemahan tersebut.
73
Tabel 2: Instrumen Penilai Tingkat Keberterimaan Terjemahan
Kategori
Terjemahan
Berterima
Skor
Kurang
Berterima
2
Tidak
Berterima
1
3
Parameter Kualitatif
Terjemahan terasa alamiah; istilah teknis yang digunakan
lazim digunakan dan akrab bagi pembaca: frasa, klausa, dan
kalimat yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa Indonesia
Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah; namun ada
sedikit masalah pada penggunaan istilah teknis atau terjadi
sedikit kesalahan gramatikal
Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya
terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak lazim
digunakan dan tidak akrab bagi pembaca; frasa, klausa, dan
kalimat yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa Indonesia
Instrumen penilai tingkat keberterimaan terjemahan merupakan pedoman bagi
penilai dalam menentukan tingkat keberterimaan terjemahan. Skala yang disediakan
berkisar antara 1 sampai dengan 3. Setiap skor yang diberikan merupakan cerminan
dari tingat keberterimaan terjemahan.
Instrumen ketiga yang digunakan adalah instrument untuk menentukan tingkat
keterbacaan terjemahan, yang juga didasarkan pada skala 1 sampai 3.
74
Tabel 3: Instrumen Penilai Tingkat Keterbacaan Terjemahan
Kategori
Terjemahan
Tingkat
Keterbacaan
Tinggi
Tingkat
Keterbacaan
Sedang
Tingkat
Keterbacaan
Rendah
Skor
Parameter Kualitatif
3
Kata, istilah teknis, frasa, klausa, dan kalimat atau teks
terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca
2
Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh pembaca;
namun ada bagian tertentu yang harus dibaca lebih dari
satu kali untuk memahami terjemahan
Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca
1
Di atas telah dijelaskan bahwa suatu terjemahan yang berkualitas harus akurat
(accurate), berterima (acceptable) dan mudah dipahami (readable) oleh pembaca
sasaran. Masing-masing dari ketiga aspek tersebut mempunyai bobot nilai yang
berbeda.
Pembobotan dari Aspek Kualitas Yang Dinilai
No
Aspek Kualitas Yang Dinilai
Bobot
1
Keakuratan
3
2
Keberterimaan
2
3
Keterbacaan
1
Aspek keakuratan memiliki bobot yang paling tinggi, yaitu 3. Hal itu
disesuaikan dengan konsep dasar dari proses penerjemahan sebagai proses pengalihan
pesan (keakuratan) dari teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Aspek
keberterimaan terjemahan menempati urutan kedua, yaitu 2. Penetapan itu didasarkan
75
pada pemikiran bahwa aspek keberterimaan terkait langsung dengan kesesuaian
terjemahan dengan kaidah norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran.
Dalam kasus tertentu, aspek keberterimaan itu berpengaruh pada aspek keakuratan.
Dengan kata lain, dalam kasus tertentu, suatu terjemahah yang kurang atau tidak
berterima juga akan kurang atau tidak akurat. Aspek keterbacaan memiliki bobot
yang paling rendah, yaitu 1. Rendahnya bobot yang diberikan pada aspek keterbacaan
terkait dengan pemikiran bahwa masalah penerjemahan tidak berhubungan langsung
dengan masalah apakah terjemahan mudah dipahami ataukah tidak oleh pembaca
sasaran. Namun, karena pembaca sasaran pada umumnya tidak mempunyai akses ke
teks bahasa sumber, mereka sangat mengharapkan agar terjemahan yang mereka baca
dapat mereka pahami dengan mudah.
Pertanyaan terbuka menghendaki responden (pembaca teks bahasa sasaran)
untuk menyatakan alasan-alasan yang mendasari mengapa teks sulit atau agak sulit
untuk dipahami. Untuk mendukung pernyataannya tentang tingkat keterbacaan teks
terjemahan, responden juga diminta untuk memberikan contoh yang diambil dari teks
terjemahan yang sedang dinilai. Perlu dikemukakan di sini bahwa jawaban yang
diberikan oleh responden terhadap pertanyaan tertutup tersebut merupakan jawaban
yang sangat terbatas, yang tidak akan menggambarkan faktor-faktor yang membuat
suatu terjemahan sulit dipahami. Oleh sebab itu, penyertaan pertanyaan terbuka
sangat diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada responden untuk
76
menyebutkan hal-hal yang menyebabkan dia mengalami kesulitan dalam menangkap
makna terjemahan.
Para pakar penerjemahan seperti Farghal & Al-Masri, 2000; de Waard &
Nida, 1986, Nida & Taber, 1982 menganjurkan bahwa para peneliti perlu mengkaji
tanggapan pembaca sebagai salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan
sebuah terjemahan. Farghal dan Al-Masri memandang tanggapan pembaca sebagai
variabel penting dalam penerjemahan. Nida dan Taber berkeyakinan bahwa
keakuratan pesan harus ditentukan oleh apakah pembaca bahasa sasaran dapat
memahami pesan secara akurat, seperti yang dimaksudkan oleh penulis asli (1982:1).
Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa penerjemah harus membidik pembaca
sasaran tertentu, dan pemahaman terhadap teks pada dasarnya harus diuji berdasarkan
tanggapan pembaca teks bahasa sasaran.
Keterbacaan, menurut Rchards et al (1985:238), merujuk pada seberapa
mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Hal yang sama juga
dinyatakan oleh Dale dan Chall bahwa keterbacaan merupakan keseluruhan unsur
dalam sebuah teks tulis yang mempengaruhi keterpahaman pembaca (dalam Flood,
1984:236). Kedua definisi keterbacaan itu dengan jelas menunjukkan bahwa ada dua
faktor umum yang mempengaruhi keterbacaan sebuah teks, yaitu 1) unsur-unsur
linguistik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan 2) ketrampilan membaca
para pembaca. Menurut Richards et al (1985:238), keterbacaan sebuah teks dapat
diukur secara empirik, yang didasarkan pada panjang rata-rata kalimat, kompleksitas
77
struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks. Hal yang sama
juga dinyatakan oleh Sakri (1993:135) bahwa keterbacaan tergantung kosa kata dan
konstruksi kalimat yang digunakan
(2000:317)
menyebutkan
oleh penulis dalam tulisannya. Nababan
faktor-faktor
lainnya
yang
dapat
mempengaruhi
keterbacaan teks terjemahan : penggunaan kata asing dan daerah, penggunaan kata
dan kalimat taksa, penggunaan kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut.
Untuk mengukur tingkat keakuratan pengalihan pesan, peneliti harus
melakukan perbandingan antara pesan teks bahasa sumber dan pesan teks bahasa
sasaran. Peneliti berpandangan bahwa instrument pengukur tingkat keakuratan pesan
teks terjemahan yang dianjurkan oleh Machali (2002) dapat digunakan. Namun, perlu
dicermati bahwa instrument untuk mengukur kualitas terjemahan yang dianjurkan
oleh Machali memiliki kesalahan atau kelemahan, yaitu pada kolom pertama, yang
tidak menyertakan aspek ketepatan pengalihan makna atau pesan. Untuk memperoleh
hasil evaluasi yang lebih sahih, peneliti perlu mengikutsertakan penilaian ahli (expert
judgement). Seperti yang telah dikemukakan di atas, aspek afektif (tanggapan
pembaca terhadap karya terjemahan) dikaji. Caranya ialah dengan meminta pembaca
menilai tingkat keterbacaan dan tingkat keberterimaan teks terjemahan.
1.8.6 Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, validitas data perlu dilakukan agar data yang telah
berhasil dikumpulkan dapat diusahakan kebenarnya. Validitas ini merupakan jaminan
78
bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian (Sutopo,
2002:78).
Sebagaimana disebutkan terdahulu data yang dianalisis adalah berupa buku
sumber dan buku terjemahannya dan pendapat pakar yaitu pakar penerjemahan dan
pakar bidang ilmu, serta pendapat pembaca sasaran. Karena data primer yang
digunakan adalah bahan yang telah diterbitkan, maka data tersebut akan relatif tetap
dan otomatis valid dengan sendirinya. Namun demikian validasi data tetap dilakukan
dengan melakukan trianggulasi sumber yaitu “memanfaatkan jenis sumber data yang
berbeda-beda untuk menggali data sejenis” (Sutopo, 2002: 79). Trianggulasi metode
pengumpulan data dan sumber data merupakan cara untuk memvalidasi informasi
atau data dalam penelitian kualitatif ini.
1.8.7 Metode Analisis Data
Komponen utama proses analisis dalam penelitian ini adalah (1) reduksi data,
(2) sajian data, (3) penarikan simpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 1994:2223). Model analisis data yang dipergunakan adalah model analisis interaktif
(interactive model of analysis). Cara kerja dari model analisis interaktif berbentuk
interaksi antar komponen dengan proses pengumpulan data sebagai proses yang
berbentuk siklus. Proses siklus interaktif tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
79
Pengumpulan
Data
Sajian
Data
Reduksi
Data
Penarikan
Simpulan
Verifikasi
/
Gambar 2: Model Proses Analisis Interaktif (Sutopo, 2002:187)
Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data. Peneliti bergerak di antara
komponen analisis secara interaktif sambil tetap melakukan pengumpulan data.
Langkah selanjutnya setelah data terkumpul, peneliti hanya bergerak di antara tiga
komponen analisis.
Reduksi dan sajian data disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit
data dari sejumlah unit data yang diperlukan. Apabila pengumpulan data sudah cukup
dan selesai, peneliti mulai membuat kesimpulan dan verifikasi berdasarkan hal-hal
yang terdapat dalam reduksi maupun sajian data. Jika dalam membuat kesimpulan
peneliti merasa ada kekurangan, peneliti melakukan pengumpulan data lagi untuk
lebih memberikan dukungan dan penambahan pemahaman serta pendalaman. Siklus
interaktif ini dilaksanakan beberapa kali sampai dirasa cukup dan mendalam.
80
Analisis data terdiri atas dua tahap. Tahap pertama ditujukan untuk menjawab
masalah penelitian 1,2, dan 3. Analisis pada tahap ini dilakukan sebagai berikut.
1) Mengidentifikasi teknik penerjemahan yang diterapkan dalam
menerjemahkan teks The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa
Indonesia.
2) Setelah teknik penerjemahan dapat dirumuskan, langkah selanjutnya adalah
melihat kecenderungan penerapan metode penerjemahan yang digunakan.
3) Analisis berikutnya diarahkan untuk mengidentikasi ideologi penerjemahan
yang dianut penerjemah. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila metode
penerjemahan sudah teridentifikasi terlebih dahulu.
Tahap kedua ditujukan untuk menjawab permasalahan penelitian nomor 4,
yaitu dampak penerapan teknik penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi
penerjemahan pada kualitas terjemahan.
Analisis pada tahap ini dilakukan sebagai berikut.
1) Membandingkan makna teks bahasa sumber dengan makna teks hasil
terjemahan untuk menentukan tingkat keakuratan terjemahan (accuracy in
content)
2) Analisis kemudian dilanjutkan untuk menentukan tingkat keberterimaan
terjemahan yang didasarkan pada instrumen pengukur tingkat keberterimaan
terjemahan.
81
3) Langkah selanjutnya adalah menetapkan tingkat keterbacaan terjemahan, yang
didasarkan pada tanggapan pembaca perihal seberapa mudah atau seberapa
sulit mereka dalam memahami terjemahan.
4) Hasil dari ketiga analisis tersebut selanjutnya dipadukan untuk mengetahui
kualitas menyeluruh (overall quality) terjemahan tersebut.
5) Tahap terakhir adalah menganalisis dampak teknik penerjemahan, metode
penerjemahan, dan ideologi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan. Hal
ini diperlukan untuk memperoleh masukan perihal teknik penerjemahan,
metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan yang paling tepat untuk
digunakan dalam menerjemahkan teks keagamaan (Bible) berbahasa Inggris
ke dalam bahasa Indonesia.
1.8.8 Prosedur Penelitian
Secara umum, prosedur penelitian adalah sebagai berikut.
1) Menetapkan sumber data, data, dan satuan terjemahan yang hendak dikaji.
2) Menetapkan masalah dan tujuan penelitian.
3) Membandingkan teks bahasa sumber dan teks terjemahan untuk
mengidentifikasikan ideologi penerjemahan apa saja yang diterapkan.
4) Mengkaji kecenderungan dari teknik penerjemahan yang diterapkan dalam
rangka penetapan metode penerjemahan yang digunakan.
5) Mendeskripsikan kecenderungan dari metode penerjemahan yang digunakan
untuk melihat kecenderungan ideologi penerjemahan yang diterapkan.
82
6) Mengkaji tanggapan informan kunci untuk mengetahui tingkat keakuratan
dan tingkat keberterimaan terjemahan.
7) Mengkaji tanggapan responden untuk mengetahui tingkat keterbacaan
terjemahan.
8) Memadukan tingkat keakuratan dan tingkat keberterimaan dengan tingkat
keterbacaan untuk mengungkapkan kualitas menyeluruh (overall quality)
terjemahan.
9) Mengkaji dampak dari penerapan ideologi penerjemahan, metode
penerjemahan, dan teknik penerjemahan terhadap kualitas terjemahan.
1.9 Sistematika Pembahasan.
Pada bab pertama dibahas latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan
metode penelitian.
Bab kedua merupakan paparan penerapan teknik penerjemahan dalam
penerjemahan The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia.
Bab ketiga merupakan paparan penerapan metode penerjemahan dalam
penerjemahan The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia.
Bab keempat merupakan paparan penerapan ideologi penerjemahan dalam
menerjemahkan The Gospel According to Matthew ke dalam bahasa Indonesia.
83
Bab kelima merupakan analisis dampak teknik penerjemahan, metode
penerjemahan, dan ideologi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan.
Bab keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan.
84
Download