BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Hubungan keagenan didefinisikan sebagai hubungan antara satu orang atau
lebih prinsipal dengan agen untuk melakukan tindakan atas nama prinsipal yang
melibatkan pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen.
Teori keagenan (Agency Theory) pertama kali dikemukakan oleh Jensen dan
Meckling (1976).Teori tersebut menjelaskan bahwa kepentingan manajemen
(agen) dan pemegang saham (prinsipal) seringkali bertentangan, sehingga
berpotensi konflik di antara kedua pihak.
Masalah keagenan dapat timbul jika manajer suatu perusahaan memiliki
kurang dari 100 persen saham biasa perusahaan tersebut. Jika suatu perusahaan
berbentuk perseorangan dan dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat
diasumsikan bahwa manajer-pemilik tersebut akan mengambil tindakan yang
mungkin memperbaiki kesejahteraannya. Terutama diukur dalam bentuk
peningkatan kekayaan perorangan dan fasilitas eksekutif seperti tunjangan, kantor
yang mewah, fasilitas transportasi, dan sebagainya. Akan tetapi, jika manajerpemilik tersebut mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan
dan menjual sebagian sahamnya kepada pihak lain (pihak luar), maka
pertentangan kepentingan bisa segera muncul (Jensen dan Meckling, 1976;
Suwaldiman dan Aziz, 2006).
Konflik yang terjadi antara agen dan prinsipal dalam perspektif Teori
Keagenan dilatarbelakangi oleh adanya asimetri informasi. Agen yang
12
13
mempunyai informasi yang lebih banyak melakukan tindakan oportunistik yang
menguntungkan dirinya sendiri.Prinsipalyang merasa memiliki informasi yang
relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pihak agen menuntut adanya kontribusi
yang tinggi. Konflik utama terjadi ketika prinsipal menerima pembayaran kas
dalam jumlah yang lebih kecil (Miller dan Rock, 1985; Fatmasari, 2011).
Tingkat asimetri informasi akan cenderung relatif tinggi pada perusahaan
dengan tingkat kesempatan investasi yang besar (Sunarto, 2004). Manajemen
mempunyai informasi privat mengenai nilai proyek di masa mendatang dan
tindakan yang mereka lakukan tidak dapat diawasi secara detail oleh pemegang
saham. Oleh karena itu, biaya keagenan antara manajemen dan pemegang saham
akan semakin meningkat pada perusahaan-perusahaan dengan kesempatan
investasi yang tinggi. Pemegang saham akan memotivasi manajer untuk
melakukan kepentingan mereka guna memperoleh insentif yang berdampak pada
pembagian dividen perusahaan.
Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen menimbulkan biaya
keagenan, yaitu berupa biaya pengawasan (monitoring cost) oleh prinsipal, biaya
penjaminan (bonding cost) oleh agen, dan kerugian residual (residual loss).
Adanya konflik tersebut, akan mengakibatkan menurunnya nilai perusahaan.
(Jensen dan Meckling, 1976). Biaya pengawasan adalah pengeluaran prinsipal
untuk mengawasi perilaku agen melalui pengetatan anggaran, kebijakan
kompensasi,
serta
aturan-aturan
operasi.
Biaya
penjaminan
merupakan
pengeluaran agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan melakukan tindakan
yang akan merugikan prinsipal atau untuk memastikan bahwa prinsipal akan
14
memberikan sesuatu kompensasi jika agen melakukan tindakan tertentu. Kerugian
residual merupakan nilai rupiah penurunan kesejahteraan prinsipal, karena adanya
ketidakselarasan keinginan agen dan prinsipal, sehingga agen melakukan tindakan
yang menguntungkannya dan merugikan prinsipal (Zulkarnain, 2009).
2.2 Kebijakan Dividen
Suwaldiman dan Aziz (2006) menyatakan dividen adalah bagian dari laba
bersih yang diberikan kepada pemegang saham (pemilik modal sendiri). Laba
bersih (net earnings) ini sering disebut sebagai laba yang tersedia bagi pemegang
saham biasa (earnings available to common stockholders disingkat EAC). Laba
bersih selain dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen juga ditahan
di dalam perusahaan untuk membiayai operasi selanjutnya dan disebut sebagai
laba ditahan (retained earnings). Menurut Hin (2001), pengertian dividen adalah
pembagian keuntungan kepada para pemegang saham. Besarnya dividen yang
dibagikan perusahaan ditentukan oleh rapat umum pemegang saham pada saat
berlangsungnya Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS).
Stice et al (2011) mengartikan dividen sebagai pembagian laba kepada
pemegang saham perusahaan sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh
masing-masing pemilik. Dividen dapat berupa uang tunai maupun saham.
Terdapat tiga tanggal penting sehubungan dengan dividen, yaitu pengumuman,
pencatatan, dan pembayaran/ pembagian.Pada umumnya, dividen tunai lebih
menarik dibandingkan dividen saham bagi pemegang saham. Ikatan Akuntan
Indonesia (2012) dalam PSAK No. 23, merumuskan dividen sebagai distribusi
laba kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi mereka dari jenis modal
15
tertentu. Distribusi laba kepada pemegang saham akan mengurangi saldo laba
perusahaan sebesar nilai yang didistribusikan.
Jumlah dividen yang dibayarkan tergantung pada kebijakan dividen
masing-masing perusahaan.Mulyati (2003) menyatakan kebijakan dividen
merupakan penentuan berapa banyak laba yang diperoleh akan dibagikan kepada
pemegang saham sebagai dividen, dan berapa banyak laba yang akan ditahan
untuk reinvestasi.Rasio antara dividen dan laba bersih sering disebut sebagai
Dividend Payout Ratio (DPR). Kelebihan laba bersih di atas dividen menjadi laba
ditahan, itu berarti keputusan DPR inclusive keputusan mengenai laba ditahan.
Pemegang saham akan merasa senang apabila bagian dari laba bersih yang
dibagikan sebagai dividen semakin besar. Akan tetapi, di pihak lain jika bagian
laba bersih yang dibagikan sebagai dividen semakin besar, berarti laba ditahan
semakin menciut. Padahal pendanaan dengan menggunakan laba ditahan (internal
financing) ini mempunyai cost of capital yang paling kecil dibandingkan dengan
metode pendanaan lainnya.
Menurut Zahro (2009) investor yang tidak menyukai risiko, mensyaratkan
semakin tinggi risiko suatu perusahaan semakin tinggi keuntungan yang
diinginkan. Dividen yang ada di tangan mempunyai nilai yang lebih tinggi
daripada capital gain pada masa mendatang. Dengan demikian, investor yang
menghindari risiko menuntut dividen yang tinggi. Semakin tinggi dividen yang
dibagikan kepada pemegang saham mengakibatkan pendapatan yang diperoleh
perusahaan, semakin banyak yang dialokasikan untuk dividen dibandingkan untuk
laba ditahan. Laba ditahan yang rendah mengakibatkan kesempatan investasi
16
menjadi berkurang. Perusahaan di sisi lain, dituntut untuk terus tumbuh maka
perusahaan harus dapat melaksanakan ekspansi dengan melaksanakan investasi
yang ada.
Keputusan dividen dengan demikian akan mengacu pada suatu kebijakan
dividen (dividen policy) yang optimal, terutama disesuaikan dengan konsep tujuan
memaksimumkan nilai perusahaan. Zahro (2009) menyatakan kebijakan dividen
yang optimal merupakan rasio pembayaran dividen yang ditetapkan dengan
memperhatikan kesempatan untuk menginvestasikan dana serta berbagai
preferensi yang dimiliki para investor mengenai dividen daripada capital gain.
Menurut Sumarto (2007) setiap perusahaan ingin mempertahankan dividen
perusahaan pada tingkatan yang konstan. Akan tetapi, naiknya dividen selalu
terlambat dibandingkan dengan naiknya keuntungan. Artinya, dividen baru akan
dinaikkan, jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan benar-benar mantap
dan nampak cukup stabil.
Menurut Mulyati (2003) kebijakan dividen merupakan suatu kebijakan
yang penting dan harus dipertimbangkan matang-matang oleh manajemen.
Kebijakan dividen akan melibatkan kepentingan pemegang saham dengan
dividennya dan kepentingan perusahaan dengan laba ditahannya. Faktor-faktor
yang perlu dipertimbangkan perusahaan dalam melakukan kebijakan dividen
menurut Weston dan Copeland (1995) adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang yang mengatur bahwa dividen harus dibayarkan dari
laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada dalam
pos laba ditahan (retained earnings) dalam neraca. Ada juga ketentuan
17
yang melindungi kreditur yaitu adanya larangan pembayaran dividen
bila perusahaan dalam keadaan pailit dan larangan pengurangan modal
untuk membayar dividen.
b. Posisi likuiditas perusahaan. Posisi kas atau likuiditas dari suatu
perusahaan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebelum
mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya dividen yang
dibayarkan kepada para pemegang saham. Bila perusahaan berada pada
posisi likuiditas yang kurang menguntungkan sebagai akibat dari laba
ditahan yang sudah diinvestasikan pada aktiva tetap dan tidak disimpan
dalam bentuk kas, maka perusahaan mungkin tidak dapat membagi
dividen kas. Perusahaan yang sedang berkembang, sebagian besar
labanya digunakan untuk reinvestasi maka dalam keadaan seperti ini
perusahaan dapat memutuskan untuk tidak membayar dividen.
c. Apabila manajemen memutuskan untuk melunasi hutang-hutangnya
yang sudah jatuh tempo, maka perusahaan perlu menahan laba yang
diperoleh dalam jumlah yang besar, dengan demikian dividen yang
dibayarkan menjadi kecil.
d. Bagi perusahaan yang mengalami perkembangan yang cepat akan
membutuhkan banyak dana untuk membiayai ekspansinya, biasanya
kebutuhan dana ini diperoleh dari sumber intern yaitu laba. Perusahaan
untuk keperluan itu akan menahan labanya daripada dibayarkan dalam
bentuk dividen. Apabila perusahaan mencari laba dari sumber ekstern,
18
maka sumbernya adalah pemegang saham itu sendiri, yang telah
mengetahui keadaan perusahaan.
e. Stabilitas laba suatu perusahaan mempengaruhi besar kecilnya dividen
yang dibayarkan. Bagi perusahaan yang mempunyai laba relatif stabil,
maka perusahaan bisa membagi dividen yang tinggi tanpa khawatir
nantinya harus menurunkan dividen, karena laba tiba-tiba merosot
cukup besar. Akan tetapi, sebaliknya perusahaan yang labanya
berfluktuasi atau relatif tidak stabil cenderung menahan sebagian besar
labanya, karena tidak yakin apakah laba yang diharapkan di tahun-tahun
yang akan datang dapat tercapai. Perusahaan semacam ini akan
membayar dividen yang rendah untuk memungkinkan membelanjai
rencana-rencana investasinya dengan dana intern.
f. Bagi perusahaan besar yang sudah mapan dan mempunyai catatan
profitabilitas yang baik dan laba yang relatif stabil, maka mempunyai
peluang yang lebih besar untuk masuk ke pasar modal dan bentukbentuk pembiayaan eksternal lainnya dibandingkan dengan perusahaan
kecil dan baru membiayai investasinya dengan dana intern.
g. Bila perusahaan menerbitkan saham baru, maka pemilik saham lama
akan mempunyai proporsi kepemilikan yang semakin kecil, akibatnya
kendali terhadap perusahaan oleh pemilik saham lama akan berkurang.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan kendali perusahaan maka
pembayaran terhadap investasi dilakukan dengan dana intern sehingga
dividen yang dibayarkan kecil.
19
h. Posisi
pemilik
perusahaan
sebagai
pembayar
pajak
sangat
mempengaruhi kebijakan dividen yang dilakukan perusahaan. Konflik
kepentingan pada saat tertentu, terjadi antara pemegang saham yang
terkena tarif pajak tinggi dengan pemegang saham yang terkena tarif
pajak rendah. Kelompok pertama ingin pembagian dividen yang rendah
dan menahan sebagian besar laba, sedangkan kelompok kedua
menginginkan pembagian dividen yang tinggi. Oleh karena itu,
kebijakan dividen yang dapat dijalankan perusahaan adalah dengan cara
kompromi dari kedua kelompok tersebut, yaitu ratio pembayaran
menengah.
2.3 Teori Kebijakan Dividen
Faktor yang memengaruhi kebijakan dividen antara lain peluang investasi
yang tersedia bagi perusahaan, sumber-sumber modal yang ada dan preferensi
para pemegang saham untuk pendapatan saat ini jika dibandingkan pendapatan
masa mendatang (Hasnawati dan Septriana, 2008). Berikut dipaparkan beberapa
teori yang relevan mengenai kebijakan dividen yang telah teruji secara empiris,
yaitu:
a. Bird in the Hand Theory oleh Gordon (1962). Teori ini menyatakan
Bird in the Hand Theory dengan mendapatkan dividen (a bird in the
hand) adalah lebih baik daripada saldo laba (a bird in the bush) karena
pada akhirnya
saldo laba tersebut mungkin tidak pernah terwujud
sebagai dividen di masa depan (it can fly away). Menurut teori ini
pembayaran dividend merupakan bentuk dari kepastian yang artinya
20
mengurangi risiko ketidakpastian para investor karena dividend
diterima pada saat ini, sedangkan capital gain diterima di masa
mendatang.
b. Clientele Effect Theory yang diungkapkan Black dan Scholes (1974)
yang mengasumsikan jika perusahaan membayar dividen, investor
seharusnya mendapatkan keuntungan dari dividen tersebut untuk
menghilangkan konsekuensi negatif dari pajak. Teori ini menyatakan
bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan
memiliki preferensi
yang berbeda terhadap kebijakan dividen
perusahaan. Terdapat suatu kelompok yang menyukai dividend yang
artinya kelompok tersebut lebih senang jika perusahaan memberikan
dividend payout ratio yang tinggi. Di pihak lain, terdapat kelompok
pemegang saham yang menyukai capital gains yang artinya kelompok
tersebut lebih senang jika perusahaan menahan sebagian laba bersihnya.
c. Dividend Irrelevancy Theory dikemukakan oleh Miller dan Modigliani
(1961) yang menjelaskan bahwa kebijakan dividend perusahaan tidak
mempunyai pengaruh, baik terhadap nilai perusahaan maupun biaya
modalnya. Teori ini berpendapat bahwa dividen tidak relevan untuk
diperhitungkan
karena
tidak
akan
meningkatkan
kesejahteraan
pemegang saham. Nilai perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan
dasarnya untuk menghasilkan laba serta risiko bisnisnya. Dengan
asumsi sebagai berikut:
21
a) Tidak ada pajak,
b) Tidak ada biaya emisi saham,
c) Leverage keuangan tidak mempengaruhi biaya modal,
d) Investor dan manajermemiliki informasi yang sama tentang prospek
perusahaan,
e) Biaya
modal
perusahaan
tidak
terpengaruh
oleh
distribusi
pendapatan di antara dividen dan laba ditahan, dan
f) Kebijakan penganggaran perusahaan terlepas dari kebijakan dividen.
d. Tax Differential Theory didasarkan pada pengenaan pajak yang berlaku
bagi setiap investor yang memperoleh capital gain dan dividen. Tax
Differential Theory dikemukakan oleh Litzenberger dan Ramaswamy
(1982), yang menjelaskan bahwa karena adanya pajak terhadap
keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih menyukai
capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak dengan alasan:
a) Capital gains dikenakan tarif pajak yang lebih rendah daripada untuk
pembagian dividen, karenanya investor yang kaya mungkin lebih
menyukai perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba di
dalam perusahaan.
b) Pajak atas capital gains tidak dibayarkan sampai saham terjual,
karena adanya nilai efek waktu, satu dolar pajak yang dibayarkan di
masa mendatang mempunyai biaya efektif yang lebih rendah
daripada satu dolar yang dibayarkan hari ini.
22
c) Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal,
sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang, ahli
waris dapat terhindar dari pajak capital gains.
e. Life Cycle Theory dikemukakan oleh De Angelo, et al (2006),
menyatakan bahwa dividen cenderung mengikuti pola siklus hidup (life
cycle) perusahaan tersebut. Perusahaan yang sedang berada dalam tahap
mature (dewasa) lebih cenderung untuk membayarkan dividen karena
tahap ini perusahaan memiliki kuantitatif laba yang besar. Sementara
perusahaan yang masih dalam tahap growth (pertumbuhan) lebih
cenderung untuk tidak membayarkan dividen karena pada tahap ini
perusahaan memiliki peluang investasi yang tinggi namun memiliki
pendanaan yang terbatas, sehingga laba yang diperoleh ditahan sebagai
retained earnings dan kemudian diinvestasikan kembali karena
pendanaan intenal memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan pendanaan eksternal. Dalam teori ini, keputusan dividen
dipengaruhi oleh kebutuhan perusahaan untuk mendistribusikan aliran
kasnya.
f. Residual Dividend Policy menyatakan bahwa dividen dibayar dari
modal yang sama setelah selesai mendapat keuntungan investasi
keuangan. Dividen yang dibayarkan merupakan sisa dari laba
perusahaan setelah dikurangkan dengan yang dibayarkan untuk
membiayai perencanaan modal perusahaan (Weston dan Brigham,
2001). Hal tersebut berarti, perusahaan membayarkan dividen hanya
23
jika terdapat kelebihan dana atas laba perusahaan yang digunakan untuk
membiayai proyek yang telah direncanakan. Asumsi kebijakan ini
adalah bahwa investor lebih menyukai perusahaan menahan dan
menginvestasikan kembali laba daripada membagikan sebagai dividen.
Apabila laba yang diinvestasikan kembali tersebut dapat menghasilkan
return yang lebih tinggi daripada return rata-rata yang dapat dihasilkan
investor dari investasi lain dengan risiko sebanding.
g. Teori Kontrak diungkapkan oleh Myers (1977).Dalam Rosdini (2009),
hipotesis kontrak menjelaskan bahwa IOS perusahaan merupakan call
option (hak untuk melakukan pembelian atau investasi di masa
mendatang pada tingkat harga tertentu) yang nilainya tergantung pada
kecenderungan bahwa manajemen akan melaksanakan kesempatan
tersebut. Hubungan antara kebijakan investasi dan dividen dapat
diidentifikasi melalui arus kas perusahaan. Semakin besar jumlah
investasi dalam suatu periode tertentu, akan semakin kecil dividen yang
diberikan (Smith dan Watts, 1992). Smith dan Watts juga menemukan
bahwa perusahaan yang tumbuh cenderung untuk mengikuti kebijakan
pembayaran dividen yang lebih rendah untuk menurunkan masalahmasalah agensi yang berasosiasi dengan kebebasan aliran kas
perusahaan.
Argumentasi mengenai hipotesis kontrak bahwa new issue market
merupakan salah satu cara menurunkan biaya agensi, karena berarti hak
kontrol pemegang saham akan lebih besar sehingga pengawasan
24
terhadap manajer oleh pemegang saham juga meningkat. Perusahaan
yang mempunyai pilihan pertumbuhan yang rendah akan jarang
melakukan new issue market dan untuk mempertahankan nilai modal
saham yang ada akan membayar dividen yang lebih tinggi (Rozeff,
1982; Easterbrook: 1984).
h. Teori Pecking Order dikemukakan oleh Myers and Majluf (1984)
dalam Rosdini (2009), menyatakan bahwa perusahaan yang profitable
memiliki dorongan untuk membayar dividen yang relatif rendah dalam
rangka memiliki dana internal yang lebih banyak untuk membiayai
proyek-proyek investasinya. Bagi perusahaan bertumbuh, peningkatan
dividen bahkan dapat menjadi berita buruk (bad news) karena diduga
perusahaan telah mengurangi rencana investasinya (Kalay, 1982).
2.4 Konsep IOS
Menurut Myers (1977) IOS merupakan keputusan investasi dalam bentuk
kombinasi aktiva yang dimiliki (assets in place) dan opsi investasi di masa yang
akan datang, dimana IOS tersebut akan mempengaruhi nilai perusahaan. IOS
merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaranpengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, yang pada
saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan
return yang lebih besar. Menurut Zahro (2009) pertumbuhan perusahaan dapat
diwujudkan dengan menggunakan kesempatan investasi dengan baik.Adam dan
Goyal (2007) menyatakan bahwa IOS mempunyai peranan yang penting dalam
kebijakan keuangan perusahaan.Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan
25
oleh Zulkarnain (2009) yang menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan
merupakan salah satu faktor penting Set kesempatan. Investasi merupakan faktor
kontekstual yang penting, karena perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi berarti masih memerlukan investasi yang tinggi. Korporasi modern akan
tetap eksis dan mendominasi kehidupan ekonomi jika memiliki dua kombinasi
yaitu asset in place (tangible asset) dan investment opportunities (intangible
asset). Perusahaan yang memiliki kesempatan investasi yang tinggi akan
memanfaatkannya untuk mengembangkan perusahaan guna meningkatkan
kesejahteraan bagi pemegang saham. Pihak manajemen cenderung lebih memilih
investasi baru dari pada membayar dividen yang tinggi apabila kondisi perusahaan
dalam keadaan sangat baik. Pemanfaatan kesempatan investasi tersebut
membutuhkan sumber pendanaan yang salah satunya didapat dari laba yang
disisihkan untuk keperluan investasi. Dana yang seharusnya dapat dibayarkan
sebagai dividen tunai kepada pemegang saham akan digunakan untuk pembelian
investasi yang menguntungkan, bahkan untuk menghindari underinvestment.
Perusahaan yang mengalami pertumbuhan lambat sebaliknya, cenderung
membagikan dividen lebih tinggi untuk mengatasi masalah overinvestment
(Suharli, 2007).
IOS secara umum dapat didefinisikan sebagai luasnya peluang investasi
untuk suatu perusahaan yang sangat tergantung pada pilihan pengeluaran
perusahaan demi kepentingan di masa yang akan datang. Menurut Kallapur dan
Trombley (2001) IOS mempunyai sifat yang tidak dapat diobservasi secara
26
langsung (laten) sehingga dalam perhitungannya menggunakan proksi kemudian
dikemukakan empat tipe proksi IOS yaitu:
a. Proksi berbasis pada harga
IOS berbasis harga merupakan proksi yang menyatakan bahwa prospek
pertumbuhan perusahaan, sebagian dinyatakan dalam harga pasar.
Proksi ini didasari suatu ide yang menyatakan bahwa prospek
pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga
saham, dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang
lebih tinggi secara relatif untuk aktiva-aktiva yang dimiliki (asset in
place). IOS yang didasari atas harga akan terbentuk suatu rasio sebagai
suatu ukuran aktiva yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan. Macam
proksi IOS berbasis harga misalnya: Market to Book Value of Equity,
Market to Book Value of Assets, proksi Tobin’Q, Earning to Price
Ratio.
b. Proksi berbasis pada investasi
Ide proksi IOS berdasarkan investasi mengungkapkan bahwa suatu
kegiatan investasi yang besar berkaitan secara positif dengan nilai IOS
suatu
perusahaan.Perusahaan
yang memiliki
IOS
yang
tinggi
seharusnya juga memiliki suatu tingkatan investasi yang tinggi pula
dalam bentuk aktiva yang ditempatkan atau yang diinvestasikan untuk
waktu yang lama dalam suatu perusahaan.Proksi ini berbentuk suatu
rasio yang membandingkan suatu pengukuran investasi yang telah
diinvestasikan. Macam proksi IOS berbasis investasi misalnya: The
27
Ratio of R & D to Assets, The Ratio of R & D to Sales, Investment
Intensity, Ratio of Capital Expenditure to Book Value of Assets.
c. Proksi berbasis varian
Proksi IOS berbasis varian mengungkapkan bahwa suatu opsiakan
menjadi lebih bernilai jika menggunakan variability return yang
mendasari peningkatan aktiva. Macam proksi IOS berbasis varian
misalnya: Variance Return, Assets Betas, Variance of Assets Deflated
Sales.
d. Proksi gabungan dan proksi individual
Alternatif proksi gabungan IOS dilakukan sebagai upaya untuk
mengurangi measurement error yang ada pada proksi individual,
sehingga akan menghasilkan pengukuran yang lebih baik untuk IOS.
Metode dapat dilakukan untuk menggabungkan beberapa proksi
individual menjadi satu proksi yang akan diuji lebih lanjut adalah
dengan menggunakan analisis faktor.
2.5 Umur Perusahaan
Pada dasarnya perusahaan didirikan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas atau jangka waktu yang panjang. Umur perusahaan berkaitan erat dengan
reputasi perusahaan di masyarakat. Perusahaan yang berusia cukup lama secara
umum memiliki reputasi yang baik dalam pandangan para investor. Kristiantari
(2012) mengemukakan bahwa semakin lama perusahaan berdiri maka masyarakat
luas akan lebih mengenalnya dan investor secara khusus akan lebih percaya
terhadap perusahaan yang sudah terkenal dan lama berdiri dibandingkan dengan
28
perusahaan yang relatif masih baru. Perusahaan yang sudah lama berdiri tentunya
mempunyai strategi dan kiat-kiat yang lebih baik untuk tetap bertahan di masa
depan.
Umur perusahaan dapat diartikan sebagai lamanya perusahaan berdiri yang
dapat mencerminkan kemampuan perusahaan untuk terus melangsungkan
usahanya. Perusahaan yang telah lama berdiri membuktikan bahwa perusahaan
tersebut mampu melewati berbagai persoalan yang dihadapi.
2.6 Teori Siklus Hidup Perusahaan
Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan tentang teori siklus hidup
perusahaan yang menyatakan bahwa sebagaimanaorang-orang yang membentuk
organisasi, organisasi sendiri melalui sebuah siklus kehidupan. Organisasi yang
lahir dan membatasi terjadinya penurunan awal, pada akhirnya tumbuh dan
matang. Akan tetapi, jika penurunan tidak tertangani maka organisasi tersebut
akan mati. Senchack dan Lee (1980) yang menyatakan bahwa tahap daur hidup
perusahaan dapat mempengaruhi kebijakan dividen. Perusahaan pada awal
pertumbuhan yang tinggi cenderung untuk tidak membagikan dividen. Perusahaan
yang memiliki pertumbuhan yang rendah sebaliknya akan cenderung untuk
membagikan dividen yang lebih besar.
Teori daur hidup menyatakan bahwa pengembangan strategi yang paling
pas adalah dengan memperhatikan tahapan daur hidup perusahaan (Murhadi,
2008). Besarnya dividen harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan maupun
kebutuhan para pemegang saham.Perusahaan yang berada pada tahapan growth
cenderung memiliki tingkat pembayaran dividen yang rendah, pertumbuhan
29
penjualan yang tinggi, dan umur yang relatif muda. Sedangkan perusahaan pada
tahap maturememiliki karakteristik pembayaran dividen yang lebih tinggi,
pertumbuhan penjualan yang rendah, capital expenditure yang rendah, dan umur
yang relatif tua (Anthony dan Ramesh, 1992).
Menurut konsep siklus hidup perusahaan, tahap-tahap daur hidup
perusahaan terbagi menjadi 4 tahap utama. Empat tahap utama tersebut terdiri
dari: tahap start-up atau pioneering, growth atau expansion, maturity, dan decline
(Weston dan Brigham, 2001; Pashley dan Philippatos, 1990; Black, 1998).
Menurut Weston dan Brigham (2001) siklus hidup suatu perusahaan atau suatu
industri akan cenderung digambarkan seperti bentuk kurva S (S-Shaped curve)
seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Mature
Decline
Growth
Start
1
2
3
Sumber: Weston dan Brigham (2001)
Gambar 2.1
Siklus Hidup Suatu Perusahaan
4
30
Ciri-ciri perusahaan di masing-masing tahap siklus hidup dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Ciri-ciri Perusahaan pada Suatu Tahap Siklus Hidup
Tahap
Ciri-ciri
Start-up
Growth
Maturity
Decline
Volume
Penjualan
Awalnya rendah
Mengalami
peningkatan
Puncak tingkat
penjualan
Laba/Rugi
Rugi akibat
start-up costs
Ada
peningkatan
Dividen
Banyak
perusahaan
yang tidak
membagikan
Rendah
Mulai
Membayar
Laba menurun
akibat kompetisi
harga
Membayar
dividen yang
tinggi
Permintaan
produk
rendah
Rugi
Tingkat
Likuiditas
Lain-lain
Meningkat
 Rasio
ekuitas
terhadap
utang
meningkat
 Diversifika
si lini
produk
Sumber : Pashley dan Philippatos (1990)
Sebagian besar
dana pinjaman
Terhenti
Tinggi
Rendah
Akuisisi
eksternal
merupakan cara
yang baik untuk
menginvestasikan
dana berlebih
-
2.7 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Pada 22 November 2012, pemerintah mengesahkanUndang-undang No. 21
tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan
merupakan suatu lembaga pengawas keuangan yang bersifat independen dalam
menjalankan tugas, kedudukannya berada di luar pemerintahan serta berkewajiban
menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Disahkannya undang-undang tentang OJK menyebabkan
31
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) melebur ke
dalam OJK. Tugas Bapepam LK hanya sebagai pembuat regulasi, sedangkan
tugas pengawasan terhadap lembaga keuangan diambil alih oleh OJK.
Proteksi investor merupakan hal yang sangat penting karena dapat
mendorong perkembangan pasar modal. Bagi investor, disahkannya undangundang tentang OJK memberikan jaminan proteksi yang lebih baik Struktur
kepemilikan saham di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya terkonsentrasi
dan konflik utama yang biasa terjadi dalam kondisi kepemilikan seperti ini adalah
konflik antara pemegang saham mayoritas dan minoritas mengenai masalah
pengendalian (Nurwulandari, 2010).
2.8 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Hasil-hasil penelitian yang mengaitkan antara IOS dan kebijakan dividen
di Indonesia secara umum masih memiliki hasil yang relatif berbeda satu sama
lain. Hal tersebut mungkin disebabkan akibat tidak dilakukannya uji normalitas
data dan pemilihan sampel yang hanya mengambil suatu sektor khusus (Sunarto,
2004). Subekti dan Kusuma (2001) menginvestigasi antara IOS dengan kebijakan
pendanaan dan dividen perusahaan, serta implikasinya pada perubahan harga
saham. Peneliti menggunakan lima variabel yang digunakan sebagai indikator
pertumbuhan yaitu book value of plant, property, dan equipment to assets ratio
(PPE/BVA); market to book of equity ratio (MVE/BE); price to earning ratio
(P/E); market to book of assets ratio (MVA/BE); dan capital addition to book of
assets ratio (CAP/BVA). Peneliti menggunakan analisis faktor terhadap 40
perusahaan yang dikategorikan bertumbuh, 40 perusahaan tidak tumbuh dari 97
32
perusahaan go public pada BEJ dikecualikan perusahaan financialdan perbankan.
Pengujian korelasi antara nilai IOS dengan realisasi perusahaan bertumbuh
digunakan Spearman rank correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat korelasi antara MVA/BVA, MVE/BE, dan CAP/BVA dengan realisasi
perusahaan bertumbuh signifikan positif. Hasil lainnya menunjukkan tidak
terdapat korelasi antara PPE/BVA dan P/E ratio dengan realisasi perusahaan
bertumbuh. Perusahaan bertumbuh memiliki keuangan yang rendah, dan dividend
policy rendah dibanding perusahaan tidak bertumbuh.
Fijrijanti dan Hartono (2001) menguji analisis korelasi pokok IOS dengan
realisasi pertumbuhan, kebijakan pendanaan dan dividen dengan tingkat IOS pada
level (t+1 sampai dengan t+5). Tiga proksi IOS yang digunakan dalam penelitian
tersebut adalah rasio empiris tunggal (market to book assets or MVABVA, market
to book equity or MVEBVE, price to earning per price or PER, dancapital
expenditure to book value of asset or CAPBVAdancapital expenditure to market
value of asset or CAPMVA), instrumental variable (VIIOS), danfactor score
(Skor). Sampel yang digunakan untuk menguji hipotesa ini adalah laporan
keuangan yang dipublikasi Bursa Efek Jakarta antara tahun 1990-1998 dengan
total sampel 68 sampel. Analisis yang digunakan dengan pooled data, pada data
cross section adalah Analisis Spearman Rank Correlation. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rasio individual MVABVA, MVEBVE, PER, CAPBVA, dan
CAPMVA serta indek umum IOS yakni SKOR dan VIOS berkorelasi positif dan
signifikan dengan realisasi pertumbuhan pada periode setelah tahun penetapan
level IOS (tahun dasar) diterima. Signifikasi lag hanya pada rentang waktu satu
33
tahun setelah penetapan level IOS. Penelitian mendukung kontrak kompensasi
bahwa perusahaan bertumbuh memilikileverage dan kebijakan dividen yang lebih
rendah relatif dibandingkan perusahaan tidak bertumbuh, perusahaan bertumbuh
cenderung merupakan perusahaan besar, dan size memiliki korelasi positif dengan
kebijakan investasi melalui hutang.
Mahadwartha dan Hartono (2002) meneliti tentang pengaruh IOS,
kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, dan kebijakan hutang terhadap
dividend payout ratio pada perusahaan-perusahaan sektor manufaktur yang
tercatat di Bursa Efek Jakarta pada periode 1990-2000. Teknik analisis yang
digunakan adalah teknik analisis regresi berganda dengan mengabaikan
normalitas data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hutang, IOS,
memiliki pengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Sedangkan kepemilikan
manajerial dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap dividend
payout ratio.
Sunarto (2004) meneliti pengaruh kepemilikan manajerial, investment
opportunity set, return on asset dan debt to equity ratio terhadap dividend payout
ratio pada perusahaan LQ45 di Bursa Efek Jakarta dan menemukan bahwa
investment opportunity set berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend
payout ratio pada signifikansi 5%. Hal ini konsisten dengan temuan penelitian
Mahadwartha dan Hartono (2002) yang berargumen bahwa pengaruh investment
opportunity set terhadap dividend payout ratioyang positif dan signifikan
menunjukkan bahwa free cash flow hypothesis lebih berlaku dan tidak mendukung
signaling hypothesis. Free Cash Flow hypothesis berargumentasi bahwa growth
34
yang semakin tinggi akan menyebabkan perusahaan membayarkan dividen yang
rendah karena sebagian besar retained earnings digunakan untuk investasi. Alasan
lain ditemukannya pengaruh investment opportunity set terhadap dividend payout
ratio yang positif dan signifikan dalam penelitian ini adalah bahwa sebagian besar
perusahaan sampel dalam penelitian ini merupakan perusahan yang telah cukup
lama beroperasi dan menjalankan bisnisnya, umur rata-rata perusahaan sampel
dalam penelitian ini adalah 34,7 tahun. Secara umum perusahaan pada umur
tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang mapan dan berada
dalam tahap dewasa (maturity) sehingga kegiatannya lebih terfokus pada upaya
menghasilkan keuntungan dan membagikannya kepada para pemegang sahamnya.
Perusahaan pada tahap maturity juga telah memiliki banyak cadangan laba untuk
diinvestasikan kembali tanpa harus mengurangi proporsi dividen bagi pemegang
saham yang sebagian besar merupakan pemegang saham pengendali (managerial
shareholder).
Darmawan (2011) melakukan pengujian terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi dividen dan arus kas bebas pada perusahaan-perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2004-2008. Hasil
penelitian menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan yang membayarkan
dividen adalah perusahaan-perusahaan yang mengurangifree cash flow (FCF) arus
kas bebas yang dimiliki. Hasil penelitian ini memperkuat free cash flow
hypothesis. Hasil penelitian juga menemukan bahwa karakteristik perusahaan
yang dapat mempengaruhi dividen dan FCF adalah usia perusahaan, leverage,
struktur kepemilikan saham perusahaan, investasi, dan peluang pertumbuhan.
35
Suharli (2007) menguji pengaruh profitability dan investment opportunity
set terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat
(studi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2002-2003)
dan menemukan bahwa profitabilitas dan kesempatan investasi mempengaruhi
keputusan jumlah pembagian dividen perusahaan go public di BEJ. Bedanya
adalah profitabilitas berpengaruh secara positif sedangkan kesempatan investasi
berpengaruh secara negatif.Penelitian ini juga membuktikan secara empiris bahwa
variabel likuiditas menguatkan pengaruh profitabilitas dan kesempatan investasi
terhadap kebijakan dividen.
Murhadi (2008) melakukan studi mengenai kebijakan dividen dan
dampaknya terhadap harga saham dengan menguji teori signaling dividen pada
kondisi pasar Indonesia. Penelitian ini juga melakukan pengujian teori keagenan
dan teori daur hidup dengan melihat pengaruh tahapan daur hidup perusahaan
terhadap kebijakan dividen.Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan path analysis. Sampel yang digunakan berupa perusahaan yang
membagikan dividen untuk periode 1995-2005 yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta. Temuan penelitian salah satunya menunjukkan bahwa set kesempatan
investasi memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen, dimana semakin
tinggi kesempatan investasi yang dimiliki perusahaan maka semakin rendah
dividen yang dibayarkan.
Inneke dan Supatmi (2008) melakukan analisis investment opportunity set
dan profitabilitas dalam memoderasi pengaruh kebijakan dividen terhadap Tingkat
leverage perusahaan. Sampel penelitian adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa
36
Efek Jakarta dari tahun 2001 sampai 2004 kecuali perbankan, keuangan, dan
asuransi. Teknik analisis yang digunakan adalah Moderated Regression Analysis
dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil penelitian memberikan bukti empiris bahwa
investment opportunity set dan profitabilitas memiliki pengaruh signifikan pada
hubungan antara kebijakan dividen dan leverage.
Herdinata (2009) meneliti perbedaan kebijakan pendanaan antara
perusahaan yang berpotensi tumbuh tinggi dan perusahaan yang perpotensi
tumbuh rendah serta meneliti perbedaan kebijakan dividen antara perusahaan yang
berpotensi tumbuh tinggi dan perusahaan yang perpotensi tumbuh rendah pada
perusahaan publik non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
Juli 2004 sampai dengan Juni 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kebijakan pendanaan antara perusahaan yang berpotensi tumbuh tinggi
dan perusahaan yang perpotensi tumbuh rendah. Hal ini berarti perusahaan yang
berpotensi tumbuh tinggi mempunyai hutang yang lebih besar daripada
perusahaan yang berpotensi tumbuh rendah, karena pada perusahaan yang
berpotensi tumbuh tinggi diduga mempunyai kesempatan investasi yang tinggi,
sehingga membutuhkan dana yang tinggi dimana tidak cukup jika hanya didanai
dari internal perusahaan. Hasil selanjutnya menunjukkan terdapat perbedaan
kebijakan dividen antara perusahaan yang berpotensi tumbuh tinggi dan
perusahaan yang perpotensi tumbuh rendah, dimana dividend yield perusahaan
yang berpotensi tumbuh tinggi lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang
berpotensi tumbuh rendah. Hal ini menjelaskan bahwa perusahaan yang
37
berpotensi tumbuh tinggi membutuhkan dana untuk membiayai investasinya
sehingga memutuskan untuk membayar dividen yang rendah.
Subramaniam et al. (2011) meneliti hubungan antara IOS dengan
kebijakan dividen dimoderasi oleh struktur kepemilikan pada perusahaanperusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia (Kuala Lumpur Stock Exchange)
periode tahun 2004 sampai 2006. Penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif dan signifikan antara IOS dengan kebijakan dividen yang
diproksi dividend payout dalam konteks perusahaan non pemerintah.Artinya
tingkat pertumbuhan yang tinggi menyebabkan pembayaran dividen yang rendah.
Penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan negatif signifikan antara
perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga dengan dividend payout.Implikasi
penemuan ini bagi penentu kebijakan adalah bahwa perusahaan yang dikendalikan
oleh keluarga membayar dividen yang lebih rendah daripada perusahaan yang
tidak dikendalikan oleh keluarga.
Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian sebelumnya tersebut,
peneliti ingin menguji kembali pengaruh IOS pada kebijakan dividen tunai dengan
memasukkan umur perusahaan sebagai variabel pemoderasi. Peneliti ingin
meneliti dugaan bahwa variabel umur perusahaan dapat membedakan besaran
dividend payout ratio dan IOS berdasarkan hasil penelitian Sunarto (2004).
Variabel umur perusahaan diduga dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh
IOS pada kebijakan dividen tunai perusahaan.
38
Ringkasan penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai variabel IOS,
kebijakan dividen, dan yang menginvestigasi keterkaitan antara kedua variabel
tersebut disajikan dalam Lampiran 1.
Download