ISBN: 978-602-72935-2-6 - Jurnal Online Universitas Panca Bhakti

advertisement
ISBN: 978-602-72935-2-6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN KUALITAS LAHAN SUBOPTIMAL UNTUK MENDUKUNG TERWUJUDNYAKETAHANAN DAN
KEDAULATAN PANGAN NASIONAL
(Pemanfaatan Biochar Untuk Perbaikan Kualitas Tanah Dan Pertanian
Berlanjut)
Tim Penyusun :
1. Prof. DR. Ir. Rahmatullah Rizieq, M. Si
2. DR. Ir. Agusalim Masulili, MP
3. Ir. Agus Suyanto, MMA
4. Sutikarini, SP, M. Sc
5. Donna Youlla, SP, MEM
6. Mustika, A, Md
Diterbitkan oleh :
Universitas Panca Bhakti Pontianak
Alamat :
Jalan Kom. Yos Sudarso
Telp. (0561) 780051, 772627 Fax. (0561) 774442
PO BOX 78113
Pontianak – Kalimantan Barat
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Syukur Alhamdulillah ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Buku Prosiding Seminar Nasional
dapat terselesaikan atas kerjasama antara Fak Pertanian UPB, UNITRI, UNRAM dan
ABI (Asosiasi Biochar Indonesia).
Buku prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian dengan tema
Pengelolaan Dan Peningkatan Kualitas Lahan Sub-Optimal Untuk Mendukung
Terwujudanya Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan Nasional (Pemanfaatan Biochar
Untuk Mendukung Pertanian Berlanjut) yang telah dilakukan oleh Bapak/Ibu dosen
UPB, UNITRI, UNRAM dan ABI (Asosiasi Biochar Indonesia), serta pihak lainnya
yang terkait.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan aktif sehingga Prosiding
Seminar Nasional ini dapat terselesaikan. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan,
memberikan manfaat bagi kita semua. Kami menyadari, dalam penyusunan yang
kami berikan, banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan, untuk itu kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Wabillahi taufik walhidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pontianak, 3 Mei 2016
Ttd
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BIOCHAR UNTUK PENGELOLAAN HARA NITROGEN1)
Wani Hadi Utomo 2) dan Titiek Islami 3)…………………………………………………………...
1
OPTIMALISASI KINERJA ALAT PENGHASIL ASAP CAIR DARI BAHAN BAKU
LIMBAH PERTANIAN
S.P. Abrina Anggraini, Tiya Nurhazisa .........................................................................................
12
APLIKASI BIOCHAR, PUPUK KANDANG DAN CAMPURAN KEDUANYA PADA BEDENG
PERMANEN YANG DITANAMI CABAI MERAH (Capsicum annum L.)
Raden Unangga Jaya W1, IGM Kusnarta2, Sukartono2, dan Padusung2 ...........................................
20
IMMOBILISATION OF AS AND CU IN GOLD MINE TAILINGS AMENDED WITH
EMPTY FRUIT BUNCH AND RICE HUSK BIOCHARS PYROLYSED AT
DIFFERENT TEMPERATURES
Claoston Nardon, 1 Samsuri Abdul Wahid, 1 Ahmad Husni Mohd Hanif,1 and Mohd Amran
Mohd Salleh2,3 ...................................................................................................................................... 30
PENGARUH PEMBERIAN BIOCHAR DAN KOMPOS KULIT KAKAO
TERHADAP KUALITAS TANAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO
E.R. Indrayatie1) dan W.H. Utomo2 ...................................................................................................
39
PEMANFAATAN BIOCHAR SERASAH TEBU DAN LIMBAH TEBU LAINNYA
UNTUK PERBAIKAN KUALITAS TANAH BERPASIR
Budi Hariyono1,2, Wani Hadi Utomo3,4, Sri Rahayu Utami3 dan Titiek
Islami34………………………………………………………............................................................
USING BIOCHAR TO IMPROVE THE SOIL QUALITY, GROWTH AND YIELD OF
SOYBEAN (Glycine max L.) IN THE SUB-OPTIMAL LAND OF LOMBOK
Mulyati1), Sukartono1), Baharuddin, A.B.1), Tejowulan, R. S.1) .....................................................
PENGARUH PEMBERIAN ARANG DAN CUKA KAYU TERHADAP
PERTUMBUHANCABAI DAN SAWI
Heru S. Wibisono, Novitri Hastuti, Gustan Pari, R. Esa Pangersa G., dan Nela Rahmati Sari150 .....
46
54
62
THE USE OF PYROLYSIS CHARCOAL (BIOCHAR) ORIGINATED FROM PALM
KERNEL SHELLFOR NUTRIENT AND CARBON SEQUESTRATION IN LITHIC
HAPLUDULTS AT OIL PALM MAIN NURSERY
Laksmita Prima Santi ...........................................................................................................................
68
HETEROSIS, PERAN GEN, DAN SIFAT KUALITATIF HASIL PERSILANGAN IPB
3S DAN FATMAWATI DENGAN PADI BERAS MERAH DALAM PEMBENTUKAN
PADI GOGORANCAH TIPE IDEAL
I Gusti Putu Muliarta Aryana , AAK Sudharmawan dan Bambang B Santoso ................................
76
KEEFEKTIFAN BIOCHAR SERBUK GERGAJI DAN PUPUK SUPER(PETRO) GANIK
YANG DIPERKAYA DENGAN Fe DAN Zn TERHADAP SIFAT TANAH DAN
PERTUMBUHAN JAGUNG PADA TANAH INSEPTISOL
Baharuddin, Mulyati, Tejowulan, dan Sukartono ................................................................................
88
RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KEDELAI TERHADAP
PEMBERIAN BIOCHAR DAN BERBAGAI DOSIS BIOAKTIVATOR YANG
DIFERMENTASI DENGAN JAMUR Trichoderma spp. DI LAHAN KERING
I Made Sudantha dan Suwardji ............................................................................................................
97
PERUBAHAN SIFAT-SIFAT KIMIA TANAH DAN HASIL PADI PADA LAHAN RAWA
PASANG SURUT DENGAN APLIKASI PEMBENAH TANAH
Junita Barus1 dan Novilia Santri1 .......................................................................................................
106
ANALISIS KOMPERATIF PENDAPATAN PETANI PENGGUNAAN VARITAS
UNGGUL NASIONAL DAN LOKAL DI LAHAN KERING (STUDI KASUS DI DESA
TANGGERANG KECAMATAN JELAI HULU)
Ellyta dan Saleh Andreas .....................................................................................................................
111
DINAMIKA PENYULUHAN PERTANIAN DALAM MENDUKUNG USAHATANI
PETANIDI LAHAN SUB-OPTIMAL KALIMANTAN BARAT
Gontom C. Kifli1), Dadan Permana1) dan Nurul Ekawati2) ..............................................................
118
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI SAGU (Metroxylon Sp.)
(FACTORS INFLUENCING THE PRODUCTION OF SAGO (Metroxylon Sp.) Starch)
Sitti Aida Adha Taridala1, Satriana Mollah2, Ansharullah3 ...............................................................
128
KARAKTERISTIK 3 JENIS BIOCHAR DENGAN LAMA WAKTU PIROLISIS
BERBEDA SEBAGAI AMELIORAN TANAH GAMBUT
Urai Suci Y.V.I1, Uray Edi Suryadi2, Azwar Maas3, Sri Nuryani H .U4, Eko Hanudin5 ..................
137
PERTUMBUHAN BIBIT JERUK DENGAN APLIKASI BIOCHAR PADA TANAH
ANDOSOL DAN ALUVIAL
Reza Prakoso Dwi Julianto1), Septian Eko Ardiansyah2), Widowati 3) .............................................
148
POTENSI BIOCHAR YANG DIFERMENTASI JAMUR Trichoderma spp. SEBAGAI
BAHAN PEMBENAH TANAH UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN
HASIL BEBERAPA GENOTIPE JAGUNG DI TANAH ENTISOL
Suwardji dan I Made Sudantha ............................................................................................................
153
RESIDU HARA KALIUM DAN BIOCHAR PADA HASIL TANAMAN JAGUNG
MUSIM TANAM KEDUA
Widowati dan Wahyu Fikrinda ............................................................................................................
161
RESPON BIOFERTILIZER TERHADAP SERANGAN HAMA PENYAKIT DAN
PRODUKSI BUAH NAGA
Azri…………………………………………………………………………………………………....
173
PENGARUH PEMBENAH TANAH PROCAL TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI
PADA LAHAN SUB OPTIMAL DI KALIMANTAN BARAT
Pratiwi1, Panut1 dan Erison2………………………………………………………………………..
KONTROVERSI TENTANG DAN STANDAR MUTU BIOCHAR
Controversy on and Quality Standard Biochar
Didiek Hadjar Goenadi 1) dan Laksmita Prima Santi 2)…………………………………………….
PENGELOLAAN DRAINASE DAN PEMBERIAN ARANG HAYATI
UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI LAHAN PASANG SURUT
BUKAAN BARU DI KALIMANTAN BARAT
Muhammad Hatta…………………………………………………………………………………….
181
187
192
PENGARUH BUSUKAN IKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI
PADA TANAH ALLUVIAL
Sutikarini……………………………………………………………………………………………
201
PEMUPUKAN KALIUM UNTUK PERBAIKAN HASIL DAN UKURAN UMBI
TANAMAN UBIJALAR
Sri Umi Lestari1) dan Nur Basuki2)………………………………………………………………. 211
PENGARUH BIOCHAR SEKAM PADI YANG DIPERKAYA HARA DAN
KETEBALAN MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL SELADA DARAT (
Lactuca sativa L.)
Kristina Irna Sari Naikofi, Arnoldus Klau Berek dan Eduardus Yosef Neonbeni…..
218
PENGELOLAAN
AIR
DAN
PEMBERIAN
BAHAN
ORGANIK
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT
UNTUK
Muhammad Hatta…………………………………………………………………………………….
226
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
BIOCHAR UNTUK PENGELOLAAN HARA NITROGEN1)
Wani Hadi Utomo 2) dan Titiek Islami 3)
disampaikan pada Musyawarah Nasional dan Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia ke 3, 2 Mei 2016 di Universitas
Panca Bhakti, Pontianak
Asosiasi Biochar Indonesia; alamat: Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang.
Pusat Studi Tanaman Ubi-Ubian Univrsitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK
Wapaupun ada kontroversi, banyak penelitian telah membuktikan bahwa biochar dapat memperbaiki kualitas tanah
dan meningkatkan hasil tanaman pertanian. Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa pengaruh biochar terhadap
perbaikan kualitas tanah dan hasil tanaman dapat bertahan lama. Kemampuan biochar untuk bertahan lama disebabkan
karena sebagian besar senyawa karbon dalam biochar berbentuk aromatik, sehingga tahan terhadap dekomposisi.
Kenyataan ini memberi harapan positif bagi petani dalam melakukan pengelolaan bahan organik tanah, karena pemberian
bahan organik tidak diperlukan setiap musim tanam sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan usaha taninya.
Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa dapat mengurangi kehilangan hara, dan juga meningkatkan efisiensi
pemupukan, terutama K dan N. Penurunan kkehilangan hara dan penigkatan efisiensi pemupukan dengan penambahan
biochar disebabkan adanya muatan negatif yang cukup besar pada biochar sehingga dapat menjerap kation, dalam hal ini
K+ dan NH4+. Dengan phenomena tersebut dalam artikel ini dibahas kemungkinan penggunaan biochar untuk pengelolaan
hara Nitrogen.
Kata kunci: manajemen kesuburan tanah, efisiensi pemupukan, pencucian nitrogen
1.Pendahuluan
Memperhatikan phenomena pertanian di daeah Amazon, dan cepatnya proses
dekomposisi bahan organik di daerah tropis, para pakar ertanian tertarik untuk menggunakan
bahan organik tahan dekomposisi untuk pengelolaan bahan organik tanah pertanian (Lehman et
al., 2003). Bahan ini kemudian dikenal sebagai “biochar” atau sering juga diebut “agri char”.
Biochar, atau jika diterjemahkan secara bebas kedalam bahasa Indonesia sebagai “arang
organik” yaitu bahan padatan hasil pembakaran biomassa pada kondisi tanpa atau oksigen
terbatas. Pada umumya biochar dihasilkan dari proses pirolisis atau dapat juga dengan teknik
karbonasi. Dengan teknik pirolisis, disamping biochar, dihasilkan panas yang dapat digunakan
sebagai energy pembangkit listrik, dan asap cair (lihat Gambar 1). Asap cair dapat digunakan
untuk berbagai kepentingan, antara lain sbagai bahan pengawet makanan, penggumpal karet
alam dan pestisida organik.
Gambar 1. Teknologi Pyrolisis untuk menghasilkan biochar (sumber: Source: Parliament of
Australia, Oct 2010)
1
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tergantung dari bahan baku dan teknik pembuatanya, sifat biochar sangat beragam.
Walaupun demikian, ada satu sifat yang relatif sama, yaitu semua biochar mengandung senyawa
carbón yang relatif tahan dekomposisi. Hal ini disebabkan karena senyawa karbon dalam biochar
sebagian besar berbentuk “aromatik“ yang bersifat tertutup, sedangkan dalam bahan organik
yang tidak di”arang”kan senyawa karbon didalamnya berbentuk alifatik dan bersifat terbuka
(Gambar 2)
Gambar 2. Bentuk senyawa karbon di dalam biochar (kiri), dan gambar kanan adalah bentuk
senyawa karbon di dalam bahan organik yang belum di”arang”kan.
Adanya senyawa karbon tahan dekomposisi inilah yang menarik minat para pakar
pertanian, karena dengan adanya senyawa karbon tahan dekomposisi maka pemberian bahan
organik tidak perlu dilakukan secara rutin. Bahkan dengan mengacu sifat “terra pretta”
diharapkan sekali pemberian dapat untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun. Beberapa
penelitian (a.l. Islami et al., 2013; Sukartono et al., 2011) telah membuktikan bahwa, walaupun
belum mencapai puluhan tahun, pengaruh positif biochar dapat bertahan beberapa tahun setelah
penambahannya. Kenyataan ini akan membawa prospek yang sangat menguntungkan bagi
petani dalam melakukan pengelolaan bahan organik tanah karena mereka tidak lagi perlu
melakukan penambahan bahan organik stiap musim tanam. Hal ini berarti akan meningkatkan
efisiensi dan keuntungan usaha taninya. Disamping itu, biochar dapat mendorong terwjudnya
pertanian berlanjut, karena dengan fakta tersebut maka 4 kunci utama pertanian berlanjut, yaitu;
(1) keberlanjutan hasil, (2) pemanfaatan sumberdaya terbarukan, (3) keuntungan ekonomis
dapat diwujudkan, dan (4) tidak menimbulkan masalah lingkungan.Di samping itu, para pakar
lingkungan berharap bahwa dengan tersimpannya senyawa karbon dalam tanah dalam waktu
yang lama, biochar daat digunakan untuk mengurangi laju pemanasan global (Lehman.2007).
Terlepas dari kontroversi yang muncul (Ernsting and Smolker, 2009; Senjen,2009),
banyak penelitian telah membuktikan bahwa pemberian biochar dapat memperbaiki kualitas
tanah (Chan et al., 2007; Islami et al., 2011; Liang et al., 2006; Yamato et al., 2006) dan
meningkatkan hasil berbagai tanaman pertanian, antaralain padi (Asai et al., 2009; Masulili et al.,
2010), Jagung (Nur et al.,2014; Sukartono et al., 2011; Yamato et al., 2006), ubikayu (Islami et
al., 2011), kedelai (Tagoe et al., 2008). Dalam hal perbaikan kualitas tanah, disamping terjadinya
perbaikan sifat kimia, sifat fisika tanah dan biologi tanah, biochar juga mampu mempengaruhi
ketersediaan unsur hara. Biochar memang bukan pupuk, tetapi biochar mengandung beberapa
unsur hara yang cukup tinggi, dan dapat mempengaruhi kehilangan unsur hara, antara lain
nitrogen dan Kalium (Widowati et al., 2014). Dalam artikel ini akan dibahas penggunaan
biochar untuk pengelolaan hara nitrogen.
2
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
2. Biochar Untuk Pertanian.
Karena biochar dihasilkan dari pembakaran berbagai macam biomassa, maka sifat
biochar sangat tergantung dari bahan baku. Disamping itu sifat biochar juga akan dipengaruhi
oleh temperatur dan lama pemanasan dalam proses produksi biochar. Oleh karena itu sifat
biochar sangat beragam. Secara umum dapat dikemukakan bahwa biochar kaya senyawa karbon,
bersifat agak basa, mempunyai KTK relatif tinggi dan mengandung beberapa hara essensial,
terutama K, dan P (Tabel 1).
Tabel 1. Beberapa sifat biochar berdasarkan bahan baku
Peneliti
Bahan baku
pH
C (%)
N (%)
P (%)
K (%)
KTK
cmol/kg
Chan et al.,(2007b)
Kotoran ayam
9,9
38
2
2,50
2.20
-
Islami et al. (2011b)
Pupuk kandang
7.9
25.5
0.78
0.82
0.79
17.7
Masulili et al. (2010)
Jerami padi
8,7
38,7
0,0
0,12
0,20
17,7
Sukartono et al. (2011)
Tempurung kelapa
9,9
80
0,34
0,10
0,84
11,7
Rondon et al., (2007)
Eucalyptus
7,0
82,4
0,5
1,4
0,6
-
Widowati et al., (2011)
Sampah kota
7,9
21,4
1,8
0,35
0,82
23,3
Sebagaimana sumber bahan organik yang lain, beberapa penelitian baik yang dilakukan
di daerah sub tropis seperti Australia, pemberian biochar di daerah tropis juga terbukti dapat
meningkatkan hasil beberapa tanaman semusim (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh pemberian biochar terhadap hasil tanaman
Peneliti
tanaman indicator
Dosis
Hasil tanaman
(ton/ha)
tanpa biochar
diberi
biochar
Assai et al. (2009)
padi gogo
16
1,2 t/ha
1,6 t/ha
Islami et al. (2011)
ubikayu (th ke 2)
10
22,32 t/ha
32,06 t/ha
Islami et al. (2011)
jagung (th ke 2)
10
3,62 t/ha
3,99 t/ha
Oguntunde et al. (2004)
jagung
-
1,2 t/ha
2,36 t/ha
Endriani et al. (2013)
kedele
2,0 t/ha
40 g/pot
100 g/pot
Iswaran et al. (1980)
kedele
10
24,3 g/pot
36,7g/pot
Tagoe et al. (2008)
Kedele
50
53,2 g/pot
76,0 g/pot
Yamato et al. (2006)
kacang tanah
10 L/m2
250 g/m2
600 g/m2
Chan et al. (2008)
Raphanus sativus
50
1,95 g/pot
3,95 g/pot
Indrayatie dan Utomo (2016) juga menunjukkan bahwa pemberian biochar juga dapat
memperbaiki pertumbuhan bibit tanaman coklat
3
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tentu saja kenaikan hasil tanaman ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berbeda;
peningkatan hasil tanaman padi gogo pada penelitian Asai et al. (2009) mungkin karena adanya
perbaikan sifat fisik tanah, terutama peningkatan ketersediaan air tanah. Chan et al. (2007)
menjelaskan peningkatan hasil tanaman pada penelitiannya disebabkan karena adanya penurunan
kekuatan tanah dan perbaikan penyediaan hara.Perbaikan sifat kimia tanah, seperti halnya
peningkatan pH (Tabel 3) pada tanah masam, peningatan KTK tentunya juga mempunyai
kontribusi terhadappeningkatan hasil tanaman. Demikian pula, adanya perbikan aktivitas biology
tanah seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (a.l. Rondon et al., 2007)
Data yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umumnya biochar bersifat
basa, dan oleh banyak peneliti telah dibuktikan bahwa penggunaan biochar dapat menngkatkan
pH tanah (Tabel 3), Disamping meningkatkan pH tanah, adanya muatan negatif yang tinggi
pada biochar diharapkan dapat menjerap Al dan dengan demikian akan memperkecil kelarutan
Al. Jika ide ini dapat menjadi kenyataan, maka biochar akan sangat membantuuntuk perbaikan
tanah masam karena dapat menggantikan kapur atau dolomit yang pada umumnya sumbernya
derada jauh dari lahan masam.
Tabel 3. Pengaruh biochar terhadap kandungan bahan organik, pH dan KTK
Peneliti
Dosis
C-Organik (%)
pH
(ton/ha)
tanpa
diberi
tanpa
diberi
KTK
tanpa
diberi
bioch
bioc
bioc
bioc
bioc
bioc
ar
har
har
har
har
har
Chan et al. (2007a)
50,0
2,16
4,34
4,77
5,38
8,40
9,10
Islami et al. (2011b)
15,0
1,04
2,53
-
-
15,15
18,30
Masulili et al. (2010)
10,0
0,78
4,09
3,36
4,40
6,64
8,83
0,9
1,80
5,8
7,6
4,5
4,8
-
-
3,9
5,1
10,12
12,72
Oguntunde et al.
(2004)
Yamato et al. (2006)
Perlu diingat bahwa biochar bukanlah pupuk,tetapi bahan pembenah tanah yang
berbentuk sumber senyawa organik. Walaupun demikian, karena berasal dari biomassa maka
tidak berlebihan jika berharap bahwa biochar juga mengandung sejumlah unsur hara esensiel.
Memang nitrogen dalam pembakaran akan hilang karena terurai dan menguap. Tetapi basa dan
logam yang terkandung dalam biomassa, walaupun teruari tetap berada di dalam biochar.
Dengan demikian maka dapat merupakan hal yang logis bahwa beberapa peneliti telah
menunjukkan bahwa pemberian biochar dapat meningkatkan kandungan hara P dan K di dalam
tanah (Tabel 4 dan Tabel 5).
Tabel 4. Pengaruh pemberian biochar terhadap kandungan hara P. K dan Ca tanah
Peneliti
Dosis
P (ppm)
K (cmolkg-1)
Ca (cmolkg-1)
(ton/ha)
Chan et al. (2007)
50
tanpa
diberi
tanpa
diberi
tanpa
diberi
bioch
bioch
bioc
bioc
bioc
bioch
ar
ar
har
har
har
ar
23,8
32,6
0,24
0,92
5,50
5,58
4
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Islami et al. (2011b)
10
11,56
13,35
1,52
1,76
-
-
Masulili et al. (2010)
10
2,1
3,2
0,20
0,51
0,24
0,44
Oguntunde et al. (2004)
-
9,1
22,8
0,39
1,69
1,88
2,82
4,7
8,0
0,15
0,25
1,21
6,21
Yamato et al. (2006)
Walaupun kandungan nitrogen biochar rendah, beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa kandungaan nitrogen tanah yang diberi bicohar lebih tinggi dibandingkan tanpa
pemberian biochar (Tabel 5).
Tabel 5. Pengaruh bahan amendemen organic terhadap kandungan C-organik, N, P dan K saat
panen jagung ke satu dan ke dua (Widowati et al., 2012)
C-Organik
N
P tersedia
K dapat ditukar
Perlakuan
(%)
Control
(%)
(cmol kg-1)
(ppm)
1st
2nd
1st
2nd
1st
2nd
1st
2nd
1.39 a
1.20 a
0.11 a
0.09 a
21.56 a
19.45 a
0.67 a
0.69 a
23.54
N- tanpa amendemen
1.41 a
1.15 a
0.18ab
0.17 ab
22.54 a
ab
0.75 a
0.74ab
N+kotoran ayam (KA)
2.28 b
1.98ab
0.25 b
0.20 b
36.25 b
26.28 b
1.16ab
1.05ab
N+kompos sampah
0.21
kota(SK)
2.46 b
2.06 b
0.29 b
bc
34.76 b
27.78 b
1.45bc
1.19bc
N+biochar KA
3.14 d
3.14 c
0.24 b
0.39 c
40.26 b
29.45 b
1.98 c
2.18 c
N+biochar SK
3.21 d
3.18 c
0.21 b
0.31 c
38.76 b
30.04 b
2.01 c
2.14 c
Sebagaimana telah dibahas dimuka, kenaikkan hasil tanaman juga mungkin terjadi
Karena adanya perbaikan sifat fisik tanah. Perbaikan sifat fisik karena pemberian biochar telah
dibuktikan oleh beberap peneliti (Tabel 6). Beberapa sifat fisik yang mengalami perbaikan
karena pemberian biochar antara lain, penurunan Berat Isi tanah, penurunan kekuatan tanah dan
peningkatan kemampuan air tersedia. Peningkatan kandungan air tersedia terjadi sebagai akibat
adanya perbaikan struktur tanah sebagaimana telah dibuktikan oleh Islami et al. (2011)
Tabel 6. Pengaruh pemberian biochar terhadap beberapa sifat fisik tanah
Peneliti
Dosis
Berat Isi
Kekuatan tanah
(ton/m3)
(ton/ha
tanpa
)
Air tersedia (%)
(k.a. KL – Tl)
kPa
diberi
tanpa
bioch
bioch
ar
ar
diberi
biochar
tanpa
diberi
bioch
bioch
bioch
ar
ar
ar
Chan et al. (2007)
50
-
-
0,2 Pa *)
0,1 Pa
-
-
Islami et al. (2011a)
7,5
1,20
11,2
-
-
15,67
17,15
Masulili et al. (2010)
10
1,24
1,17
500kPa
393
11,0
14,0
**)
Sukartono
al. (2011)
1
et
0
1
,28
1
.15
kPa
-
-
1
1
4,67
0,56
5
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Perbaikan kesuburuan biologi tanah dan aktivitas organismo tanah juga telah
ditunjukkan oleh para pakar, antara lain bakteri rhizobium (Rondon et al., 2007; Tagoe et al.,
2008), dan mycorrhiza (Warnock et al., 2007).
Hasil penelitian Widowati et al., (2012) yang disajikan pada Tabel 5 juga menunjukkan
bahwa sampai panen jagung ke dua kandungan bahan organik tanah yang diberi biochar masih
tetap tinggi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Sukartono et al. (2011) sebagai mana disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Stabilitas C tanah pada berbagai perlakuan sumber bahan organik (Sukartono et al.,
2011).
Karena senyawa C-organik di dalam biochar tahan terhadap dekomposisi dan
demineralisasi, maka diharapkan pengaruh positif biochar terhdap kenaikan hasil tanaman dapat
bertahan untuk waktu yang lama. Hasil penelitian Islami et al. (2011) yang disajikan dalam
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampai panen jagung tahun ke 3, pemberian biochar masih
memberi pengruh yang nyata. Sedangkan untuk pupuk kandang pengruh positifnya hanya
bertahan satu tahun, sehingga untuk mendapatkan hasil yang sama dengan biochar pemberian
pupuk kandang harus diberikan setiap kali musim tanam.
6
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 6. Pengaruh pemberian bahan amandemen organic terhadap hasil tanaman jagung (Islami
et al. 2011b)
Perlakuan
Hasil jagung (t/ha)
2009
2010
2011
Jagung+cassava
Kontrol
3.06 a A
2.73 a B
2.06 a C
Jagung+cassava
FYM
3.62 bc A
2.69 a B
2.15 a C
Maize+cssava
FYM
4.06 c A
4.13 c A
3.89 c A
Jagung monokultur
Kontrol
4.09 cd A
3.62 b B
3.06 b C
Jagung monokultur
FYM
4.56 d A
3.87 bc B
3.19 b C
Jagung monokutur
FYM
4.17 d A
3.99 bc B
4.06 c C
biochar
biochar
3. Biochar Untuk Pengelolaan Hara Nitrogen.
Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan kandungan N pada tanah
yang diberi biochar setelah tanaman dipanen lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan N
pada tanah tanpa biochar. Kandungan N yang tinggi pada tanah yang diberi biochar dapat
dipastikan bukan berasal dari biochar, tetapi disebabkan oleh faktor lain mungkin karena adanya
penurunan kehilangan N karena pencucian (Ding et al., 2010; Widowati et al., 2011). Oleh
karena itu tidak berlebihan jika dalam paparan ini penulis mengemukakan pendapat bahwa
biochar dapat digunakan untuk mengelola nitrgen tanah. Ada 2 pokok pikiran yang penuils
sampaikan, yaitu (1) biochar untuk mitigasi kehilangan N, dan (2) Biochar untuk meningkatkan
efisiensi pemupukan nitrogen.
3.1.Mitigasi pencucian nitrogen
Mechanisme pertama yang dapat dipikirkan terjadinya penurunan pencucian nitrogen
dengan pemberian biochar karena adanya penjerapan (adsorbsi) nitrogen oleh biochar. Semula
dipikirkan bahwa jerapan nitrogen hanya dalam bentuk NH4+ oleh muatan negative biochar.
Tetapi kemudian terbukti bahwa penjerapan nitrogen oleh biochar ternyata bukan hanya pada
nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+), tetapi juga terjadi pada nitrogen dalam bentuk nitrat
(NO3-). Yao et al. (2012) menunjukkan bahwa biochar dari bahan bagasse, dan bamboo yang
dihasilkan dengan pyrolisis pada temperature 6000 C mampu menjerap nitrogen dari larutan
sebesar 0.12% to 3.7% NO3-. Hasil yang sama telah ditunjukkan oleh Dempster et al. (2012)
yang menunjukkan bahwa biochar berbhan baku dari Eucalyptus sp. (600 °C) jika dimasukkan
dalam larutan ammonium nitrate (NH4NO3) dapat menjerap NO3 sampai 80%. Menurut
Kameyama et al. (2012) penjerapan NO3 terjadi karena berfungsinya senyawa basa pada
biochar, bukan karena penjerapan fisik. Tetapi perlu disampaikan bahwa tidak semua biochar
dapat menjerap NO3. Disamping dipengaruhioleh bahan baku, hasil hasil penelitian yang telah
dipublikasimenunjukkan bahwa untuk dapat menjerap NO3, biochar harus dibuat pada
temperature paling rendah 6000C
Immobilisasi N juga patut dipikirkan menjadi salah satu factor yang menyebabkan
penurunan kehilangan N pada tanah yang diberi biochar. Widowati et al. (2011) menunjukkan
bahwa biochar mampu mempertahankan N yang dibebaskan dari pupuk urea dalam bentuk NNH4+. Dan dengan demikian akan meningkatkan nitogen terjerap sehingga tidak mudah tercuci.
7
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tetapi perlu dipahami bahwa pengaruh biochar terhadap pencucian nitrogen tentu tidak
sesederhana mekanisme diatas. Perlu dipikirkan pula bagaimana pengaruh perbaikan sifat fisik
tanah akibat pemberian biochar. Misalnya perbaikan porositas bukankah akan meningkatkan
konduktivitas hidraulik tanah danmestinya akan meningkatkan pencucin. Tetapi sebaliknya
peningkatan kapasitas menyimpan air tanah kan memperkecil pencucian. Jadi masih banyak
yang perlu dipelajari, tetapi satu fakta yang telah terbukti bahwa biochar (dengan persyaratan
tertentu) dapat mengurangi kehilangan N karena pencucian. Fakta ini telah membuka
kemungkinan untuk menggunakan biochar sebagi “carrier” nitrogen.
3.2. Efisiensi peningkatan pemupukan Nitrogen
Dengan adanya penururunan kehilangan nitrogen dapat diharapkan pemberian biochar
akan meningkatkan efisiensi pemupukan Nitrogen. Utomo dan Islami (2013) telah membuktikan
bahwa pemberian biochar dapat meningkatkan efisiensi pemupukan pada tanaman jagung (Tabel
7).
Tabel 7. Pengaruh biochar terhadap penyerapan N dan efisiensi pemupukan (Utomo& Islami,
2013)
N dalam
N dalam
Penyerapan
Efisiensi
batang
biji
N (kg
pemupukan
Bahan amandemen
dosis (kg ha
(%)
(%)
ha-1)
(%)
1
)
Tanpa Biochar
0
0.65 a
0.98 ab
37.73 a
-
Diberi biochar
45
0.72 ab
1.05 c
53.29 b
34.57 a
90
0.74 ab
1.02 bc
75.06 c
41.47 ab
180
0.86 c
1.10 d
91.08 d
29.63 a
0
0.70 ab
0.96 a
56.54 b
-
45
0.76 b
0.98 ab
74.57 c
81.86 c
90
0.86 c
1.14 d
108.37 e
78.49 c
180
0.95 d
1.13 d
119.37 e
45.35 b
Angka rata rata yang didampingi hurup sama pada kolom sama tidk berbeda nyata (p=0,05)
Dari hasil penelitiannya, Widowati et al. (2012) mendapatkan model perhitungan
kebutuhan nitrogen (pers. 1 dan Gambar 2)
Y = 1,691 +0,0192 N +0,0273 B – 0,000060 N2 – 0,000205 B2 – 0,000094 NB
Di mana Y adalah hasil biomasa (t/ ha), N adalah dosis nitrogen (kg/ha), dan B
adalah dosis biochar (t/ ha).
8
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
3
3-3,5
2,5
2,5-3
2
2-2,5
1,5
1,5-2
1
60
30
0,5
0
0
15
45
90
0
135
Biochar (t ha-1)
Yield (t ha-1)
3,5
1-1,5
0,5-1
0-0,5
180
N (kg ha-1)
Gambar 2. Respon biomassa tanaman jagung terhadap pemberian N dan biochar (Widowati et
al., 2012)
Dari model tersebut dapat diperhitungkan bahwa untuk menghasilkan 3,2 t/ha
biomassa, pada tanah yang diberi biiochar 15 t/ha hanya memerlukan 90 kg N/ha, sedangkan
pada tanah yang tidak diberi biochar membutuhkan 160 Kg N/ha. Denga demikian terjadi
penghematan pemakaian pupuk lebih dari 70 %.
Hasil penelitian Utomo dan Islami (2013) yang disajika pada Gambar 3 menujukkan
bahwa hasil jagung (tanaman ke dua) pada tanah yang tidak diberi biochar lebih rendah
dibandingkan tanah yang diberi biochar dan masih meningkat secara linear sampai dosis N 180
kg N/ha. Pada tanah yang diberi biochar hasil maksimum diperoleh pada dosis sekitar 135 kg
N/ha. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tanpa biochar pada dosis N tertinggi (180
kg N/ha) sekalipun. Pada perlakuan tanpa pupuk, tanah yang diberi biochar juga memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanpa bichar. Hal ini disebabkan adanya tabungan N pada
tanaman jagung sebelumnya, sehagai hasil berkurangnya pencucian N pada tanah yang diberi
biochar.
Gram Yield Mg ha-1
8
y = -0.0001x2 + 0.042x + 3.156
R² = 0.990
6
4
y = 0,0136x + 2,65
R² = 0,9629
2
0
0
45
90
Nitrogen Rate Kg N
135
180
ha-1
Gambar 3.Hubungan antara dosis N dan hasil jagung pada tanah diberi biochar (▲) dan
tanah tanpa biochar (♦)
9
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
4. Kesimpulan
Walaupun masi hada kontroversi, hasil hasil penelitian yang dibahas dalam makalah ini
membuktikan bahwa biochar dapat memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan hasil hasil;
dan pengaruhnya dapat bertahan lama. Kemampuan biochar untuk bertahan lama disebabkan
karena sebagian besar senyawa karbon dalam biochar berbentuk aromatik, sehingga tahan
terhadap dekomposisi. Kenyataan ini memberi harapan positif bagi petani dalam melakukan
pengelolaan bahan organik tanah, karena pemberian bahan organik tidak diperlukan setiap
musim tanam sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan usaha taninya.
Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa biochar dapat mengurangi
kehilangan hara, dan juga meningkatkan efisiensi pemupukan, terutama K dan N. Penurunan
kkehilangan hara dan penigkatan efisiensi pemupukan dengan penambahan biochar disebabkan
adanya muatan negatif yang cukup besar pada biochar sehingga dapat menjerap kation, dalam
hal ini K+ dan NH4+. Dengan phenomena tersebut maka penggunaan biochar dapat digunakan
untuk pengelolaan hara Nitrogen.
Ucapan Terima kasih.
Terima kasih pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan dana untuk
menghadiri seminar ini melalui proyek penelitian dengan kontrak No. ...........
REFERENSI
Asai, H., Samson, B.K., Stephan, H.M., Songyikhangsuthor, K., Homma, K., Kiyono, Y., Inoue, Y., Shiraiwa,
T., & Horie, T. (2009). Biochar amendment techniques for upland rice production in Northern Laos 1.
Soil physical properties, leaf SPAD and grain yield. Field Crops Research, 111, 81–84.
Chan, K.Y., van Zwieten, B.L., Meszaros, I., Downie, D., & Joseph, S. (2007). Agronomic values of
greenwaste biochars as a soil amendments. Australian Journal of Soil Research, 45, 437–444.
Endriani, Sunarti & Ajidirman. 2013. Pemanfaatan biochar cangkang kelapa sawit sebagai soil amandement
Ultisol Sungai Bahar, Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 15:39-46
Dempster, D.N., Jones, D.L. & Murphy, D.M. Clay and biochar amendments decreased inorganic but not
dissolved organic nitrogen leaching in soil. Soil Res. 2012, 50, 216–221.
Ding, Y., Liu, Y.X., Wu, W. X., Shi, D. Z. & Khong, Z.K. 2010. Evaluation of biochar effects on nitrogen
retention and leaching in multi-layered soil columns. Water Air Soil Pollut 213: 47-55
Ernsting, A., & Smolker, R. (2009). Biochar for climate change mitigation: Fact or fiction. [Online] Available:
www.biofuelwatch.org.uk/docs/biocharbriefing.pdf. February 2009. Retrieved via Internet Explorer
Ver. 6, 2 October 2009.
Indrayatie, E.R. & Utomo, W.H. 2016. Pengaruh pemberian biochar dan kompos kulit kakao terhadap kualitas
tanah dan pertumbuhan bibit kakao. Makalah disampaikan pada Kongres 3 dan Seminar Nasional
Asosiasi Biochar Indonesia (ABI). Universitas Panca Bhakti, Pontianak, 2-4 Mei 2016.
Islami. T., Guritno,B., Basuki, N. & Suryanto. A. 2011a. Biochar for sustaining productivity of cassava based
cropping systems in the degraded lands of East Java, Indonesia. J. Tropical Agriculture 49: 40-46.
Islami, T. Guritno, B. Nur Basuki , N. & Suryanto,, A. 2011b. Maize yield and associated soil quality changes
in Cassava + Maize intercropping System after 3 years of biochar application. J. Agric. Food. Tech. 1:
112-115
Islami,T. Kurniawan, S. & Utomo, W.H. 2013. Yield stability of cassava (Manihot esculenta Crantz) planted in
intercropping system after 3 years of biochar aplication. American-Eurasian Journal of Sustainable
Agriculture, 7(4): 306-312, 2013
Iswaran. V., Jalihri, K. S. & A. Sen, A. 1980. Effect of charcoal, coal and peat on the yield of moong, soybean
and pea Soil Biol. Biochem. 12: 191-192
Kameyama, K., Miyamoto, T., Shiono, T., & Shinogi, Y. 2012. Influence of sugarcane bagasse-derived biochar
application on nitrate leaching in calcaric dark red soil. J. Environ. Qual. 41: 1131–1137.
10
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Lehman, J. 2007. Biochar for mitigating climate change: carbon sequestration in the black. Forum Geokol 18:
15-17
Lehman, J., J.P. da Silva Jr., C. Steiner, T. Nehls, W. Zech & B. Glaser, 2003. Nutrient availability and leaching
in an archaeological Anthrosol and a Ferralsol of the Central Amazon basin: fertilizer, manure and
charcoal amendments. Plant and Soil., 249: 343-357.
Liang, B., Lehmann, J., Kinyangi, D., Grossman, J., O’Neill, B., Skjemstad, J.O., Thies, J., Luizao, F.J.,
Peterson, J., & Neves, E.G. 2006. Black carbon increases cation exchange capacity in soils. Soil Sci.
Soc. Am. J., 70, 1719–1730.
Parliament
of`Australia.
2010.
Carbon
sequestration.
www.aph.gov.au/About_Parliament/
Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/Browse_by_Topic/ClimateChangeold/responses/m
itigation/carbon.
Nur, M.S.M., Islami, T., Handayanto, E., Nugroho, W.H. & Utomo, W.H. 2014. The use of biochar fortified
compost on calcareous soil of East Nusa Tenggara, Indonesia: 2. Effect on the yield of maize (Zea Mays
l) and phosphate absorption. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture, 8: 105-111.
Rondon, M.A., Lehmann, J., Ramirez, J. & Hurtado. M. 2007. Biological nitrogen fixation by common beans
(Phaseolus vulgaris L.) increases with bio-char additions. Biology and Fertility of Soils 43: 699-708.
Senjen, R. (2009). Biochar, another dangerous techno fix. Friend of Earth Australia. [Online] available:
www.foe.au.org. Retrieved via Internet Explorer Ver. 6, 2 October 2009.
Sukartono, Utomo, W.H. Kusuma, Z. & Nugroho, W.H. 2011. Soil fertility status, nutrient uptake, and maize
(Zea mays L.) yield following biochar application on sandy soils of Lombok, Indonesia. J. Tropical
Agriculture 49: 47-52.
Tagoe, S.O., Takatsugu Horiuchi, T., & Matsui, T. 2008. Effects of carbonized and dried chicken manures on
the growth, yield, and N content of soybean. Plant Soil, 306, 211–220.
Utomo, W.H. & Islami, T. 2013. Nitrogen fertilizer requirement of maize (Zea mays L.) on biochar-treated
soil.Proc. worksop: “Biochar for future food security: Learning from Experiences and Identifying
Research Priorities” . IRRI- CFORD, Bogor, 4-5, 2013
Widowati, Utomo, W.H., Soehono, L.A, & Guritno, B. 2011. Effect of biochar on the release and loss of
nitrogen from urea fertilization. J. Agric. Food Technol. 1: 127–132.
Widowati, Utomo, W.H., Soehono, L.A. & Guritno, B. 2012. The effect of biochar on the growth and N
fertilizer requirement of maize (Zea mays L.) in green house experiment. Journal of Agricultural Science
4: 255-260
Widowati, Asnah, A. & Utomo, W.H. 2014. The use of biochar to reduce of nitrogen and potassium leaching
from soil cultivated with maize. Journal of Degraded Land and Mining Management 2: 211 – 218.
Yamato, M., Okimori,Y., Wibowo, I.F., Anshori, S., & Ogawa, M. 2006. Effects of the application of charred
bark of Acacia mangium on the yield of maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in
South Sumatra, Indonesia. Journal Soil Science and Plant Nutrition, 52, 489–495
Yao, Y., Gao, B., Zhang, M., Inyang, M., & Zimmerman, A.R.2012. Effect of biochar amendment on sorption
and leaching of nitrate, ammonium, and phosphate in a sandy soil. Chemosphere 89:1467–1471.
11
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
OPTIMALISASI KINERJA ALAT PENGHASIL ASAP CAIR DARI
BAHAN BAKU LIMBAH PERTANIAN
S.P. Abrina Anggraini, Tiya Nurhazisa
Program Studi Teknik Kimia,Fakultas Teknik,Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
Jl. Telaga Warna-Tlogomas Malang 65144
Korespondensi Email : [email protected]
ABSTRAK
Pengawetan perlu dilakukan karena banyaknya bahan pangan segar yang mudah rusak. Penggunaan asap cair
sudah mulai dikembangkan karena aman bagi kesehatan dan lingkungan. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan
asap cair dapat berasal dari limbah pertanian yang mengandung arang. Agar mendapatkan asap cair yang berkualitas dan
aman dikonsumsi maka diperlukan suatu alat yang mempunyai kinerja yang optimal dan dalam penelitian ini direkayasa alat
pembuat asap cair tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan uji kinerja alat penghasil asap cair dan mengetahui
kualitas asap cair yang dihasilkan.
Pada penelitian ini melakukan proses pirolisis dan pemurnian asap cair dari tempurung kelapa dan tongkol jagung
menggunakan alat pirolisis, destilasi dan kolom filtrasi pada kondisi operasi optimum kemudian di analisa menggunakan
GC/MS dan LC/MS sehingga dapat lebih aman digunakan sebagai bahan pengawet.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya rendemen asap cair dari tempurung kelapa tanpa penjemuran dan
melalui penjemuran adalah 36% dan 28,8% sedangkan dari tongkol jagung adalah 61,2% dan 30,4%. Arang sisa
pembakaran dari tempurung kelapa 33% dan 50% sedangkan dari tongkol jagung adalah 16,7% dan 33,3%. Jumlah
komponen yang hilang dari tempurung kelapa adalah 31 % dan 21,2% sedangkan dari tongkol jagung adalah 22,1% dan
36,3% %. Kinerja alat asap cair dari tempurung kelapa adalah 4,37 g/(jam.m) dan 5,59 g/(jam.m) sedangkan dari tongkol
jagung adalah 7,42 g/(jam.m) dan 7,37 g/(jam.m). Kualitas asap cair yang dihasilkan untuk fenol dari tempurung kelapa dan
tongkol jagung adalah 3,04 % dan 1,38 %. Kualitas keasaman adalah 7,3 % dan 1,3 %. Nilai pH adalah 1,41 dan 2,47.
Kata Kunci : asap cair, kinerja alat, kualitas, rendemen
PENDAHULUAN
Saat ini banyak produsen yang sering meresahkan masyarakat adalah banyaknya penggunaan bahan
kimia sebagai bahan pengawet seperti senyawa formalin (sebagai pengawet mayat), boraks, dan sebagainya
untuk tujuan mencari keuntungan karena praktis dan mudah didapat. Bahan-bahan kimia tersebut yang dapat
membahayakan kesehatan manusia, seperti penyebab munculnya penyakit kanker dan kematian bagi para
konsumen.
Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan, melalui
pemanfaatan limbah pertanian seperti tempurung kelapa dan tongkol jagung. Pemanfaatannya dapat digunakan
sebagai bahan pengawet makanan yang alami sekaligus menjawab permasalahan tentang pengawet makanan
yang aman bagi masyarakat. Pemanfaatan tempurung kelapa dan tongkol jagung dapat dibuat sebagai asap cair.
Asap cair digunakan sebagai pengawet makanan karena mengandung senyawa asam organik, fenol, dan
karbonil yang merupakan senyawa fungsional dalam pengawetan bahan antara lain untuk menghambat
pertumbuhan mikroba selain itu lebih bersahabat dengan lingkungan, karena tidak menimbulkan pencemaran
udara.
Penggunaan asap cair sudah mulai dikembangkan karena aman bagi kesehatan dan lingkungan. Pada
peneliti menurut Aulia S.A (2011) berpendapat bahwa kapasitas alat dengan bahan baku tempurung kelapa
paling tinggi yaitu 1,0838 kg/jam sedangkan tongkol jagung sebesar 0,9091 kg/jam. Rendemen yang didapat
yaitu tempurung kelapa 31,85% dan tongkol jagung 33%. Penelitian asap cair juga pernah dilakukan Sari R.N
et al (2007) dengan kondensor sepanjang 1,2 m dan lama waktu pirolisis 8 jam diperoleh kinerja alat asap cair
dengan bahan baku serbuk gergaji kayu jati sabrang sebesar 6,89 g/(jam.m) dan rendemen asap cair adalah
38,0%; arang 32,0% sedangkan komponen yang hilang sebesar 30,0%. Pada peneliti Ernita Y (2011)
menyatakan bahwa kinerja alat sebesar 1,25 kg/jam. Agar mendapatkan asap cair yang berkualitas dan aman
dikonsumsi maka diperlukan suatu alat yang mempunyai kinerja yang optimal dan dalam penelitian ini
direkayasa alat pembuat asap cair tersebut. Penelitian ini menggunakan bahan baku yang berasal dari limbah
pertanian yaitu tempurung kelapa dan tongkol jagung. Menurut hasil penelitian Anggraini SPA (2014) bahwa
12
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
untuk mendapatkan asap yang baik sebaiknya menggunakan kayu keras seperti tempurung kelapa dan tongkol
jagung sehingga diperoleh produk asapan yang baik dengan rendemen yaitu 26,35% dan 27,58%.
Asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu yang mengandung sejumlah besar senyawa
yang terbentuk oleh proses pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan
menggunakan suhu tinggi melalui proses pembakaran dalam ruangan tertutup atau hampa udara dengan
menggunakan alat penghasil asap cair. Alat penghasil asap cair merupakan alat yang digunakan untuk
memproduksi asap cair yang terdiri dari tabung pirolisis, pipa penyalur asap, penangkap tar, kondensator, dan
penampung asap cair. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji kinerja alat yang menyangkut rendemen asap
cair, rendemen arang, komponen yang hilang, dan kinerja alat penghasil asap cair serta uji kualitas asap cair
dengan alat gas kromatografi spectrometri massa (GC/MS) dan gas kromatografi spectrometri liquid ( LC/MS).
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan uji kinerja alat penghasil asap cair dan mengetahui kualitas asap
cair yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan bahan baku yaitu tempurung kelapa dan tongkol jagung. Bahan bakar pada
proses pirolisis ini digunakan adalah gas elpiji. Bahan- bahan kimia yang digunakan untuk karakterisasi asap cair
antara lain larutan NaOH, KI, Na2S203, kanji, HCl pekat, metanol dan aquades. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah alat reaktor pirolisis dan alat destilasi yang dilengkapi dengan kolom filtrasi zeolit aktif dan
kolom filtrasi karbon aktif. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
eksperimental laboratorium.
Peralatan untuk analisa hasil asap cair menggunakan antara lain pH meter merk Waterproof, Erlenmeyer
bertutup, termometer, botol pisah, perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium
kimia, sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah spektrometer Gas Chromatography and Mass
Spectrometri (GCMS) merk Hewlett Packard GC 6890 MSD 5973 yang dilengkapi data base sistem
Chemstation dan LCMS (Liquid Chromatography Mass Spectrometri) merk Shimadzu dengan kolom HP5
panjang 30 meter.
Pelaksanaan Penelitian
Mula-mula tempurung kelapa dan tongkol jagung dibersihkan dan dicacah dengan ukuran 6cm x 6cm,
selanjutnya dijemur dan ditimbang 3 kg kemudian dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis, dipanasi dengan suhu
yaitu 250 ºC selama 4 jam, akan diperoleh 3 fraksi yaitu fraksi padat berupa arang, fraksi berat berupa tar, dan
fraksi ringan berupa asap dan gas methane. Dari fraksi ringan kita alirkan ke pipa kondensasi sehingga diperoleh
asap cair sedangkan gas methane tetap menjadi gas tak terkondensasi (bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar)
Kemudian melakukan proses pemurnian. Proses tersebut dapat dilakukan dengan proses destilasi. Asap cair yang
diperoleh dari kondensasi asap pada proses pirolisis diendapkan lebih dahulu satu minggu kemudian cairan diatas
kita ambil untuk disaring dan dimasukkan ke dalam alat destilasi pada suhu sekitar 150 ºC, kemudian dilewatkan
proses filtrasi destilat dengan zeolit aktif. Caranya dengan mengalirkan asap cair distilat ke dalam kolom zeolit
aktif sehingga diperoleh filtrat asap cair yang benar-benar aman dari zat berbahaya seperti benzopyrene.
Kemudian melakukan proses filtrat zeolit aktif dengan karbon aktif dengan cara filtrat dari filtrasi zeolit aktif
dialirkan ke dalam kolom yang berisi karbon aktif sehingga filtrat yang kita peroleh berupa asap cair dengan bau
asap yang ringan dan tidak menyengat, maka sempurnalah asap cair sebagai bahan pengawet alami yang aman.
Parameter kualitas pada asap cair yaitu meliputi penetapan pH, total fenol, kadar asam dan benzo (A)pyrene.
Parameter kinerja alat asap cair yaitu melalui penetapan persentase asap cair, persentase arang, komponen yang
hilang dan kapasitas alat/kinerja alat.
Analisis Hasil Penelitian
Selanjutnya, dianalisis jenis komponen kimia penyusun asap cair dengan teknik GCMS menggunakan
kolom HP Ultra 2, temperatur oven 280 °C/10 menit,injeksi 250 °C, dan interface 280 °C, gas pembawa helium,
laju alir 0,6 µL/menit, dan volume injeksi I µL dan kandungan benzo(a)pyrene dianalisis dengan LCMS merk
13
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Shimadzu dengan kolom HP5 panjang 30 meter. Detektor yang digunakan Flame Ionozation Detector (FID)
dengan suhu 270 ºC, suhu injektor 260 ºC dan suhu kolom awal 50 ºC dan akhir 250 ºC dengan kenaikan 7,5 ºC
/menit. Gas pembawa adalah helium dengan kecepatan alir 40 ml/menit pada tekanan 60 KPa. Kecepatan kertas
adalah1 cm/menit dan banyaknya injeksi 0,08 µl serta pH meter merk Waterproof.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Asap Cair, Arang dan Komponen yang Hilang
Pada hasil penelitian ini, ada beberapa parameter untuk mengetahui kuantitas (rendemen) asap cair dari
tempurung kelapa dan tongkol jagung yang tanpa penjemuran dan melalui penjemuran. Hasil penelitian berikut
ini akan ditunjukkan pada Grafik 1.
RENDEMEN ASAP CAIR
70,0
% Rendemen
60,0
50,0
40,0
Tempurung Kelapa
30,0
Tongkol Jagung
20,0
10,0
0,0
Tanpa
Penjemuran
Melalui Penjemuran
Jenis Bahan Baku
Grafik 1. Hasil Rendemen Asap Cair tanpa penjemuran dan melalui proses penjemuran dari
tempurung kelapa dan tongkol jagung
Asap cair yang dihasilkan berwarna merah kecoklatan. Total asap cair yang tertampung (rendemen) dari
tempurung kelapa tanpa penjemuran (basah) dan melalui penjemuran (keri-ng) adalah 36% dan 28,8%
sedangkan tongkol jagung sebesar 61,2% dan 30,4%. Rendemen asap cair tempurung kelapa pada keadaan
basah lebih sedikit daripada tongkol jagung, hal ini karena tongkol jagung memiliki kadar air lebih besar yaitu
9,6% dari pada tempurung kelapa yaitu 8,0% sehingga menyebabkan persen kondensat yang didapatkan pada
tongkol jagung lebih besar. Hal ini disebabkan pada saat pembakaran berlangsung, kandungan air pada bahan
akan ikut menguap pada suhu 1000C dan mengalami kondensasi ketika uap air melalui kondensor sehingga
meningkatkan jumlah kondensat asap cair yang dihasilkan. Rendemen asap cair tempurung kelapa pada keadaan
lebih kering juga lebih sedikit yaitu 61,2 daripada tongkol jagung yaitu 30,4. Hal ini disebabkan karena kadar air
yang terkandung di dalam tempurung kelapa maupun tongkol jagung akan lebih banyak berkurang karena proses
penguapan kadar air saat proses penjemuran bahan baku. Perbedaan jumlah rendemen distilat asap disebabkan
oleh semakin tinggi kandungan air dalam bahan baku maka semakin tinggi pula jumlah rendemen distilat air
yang dihasilkan. Perbedaan rendemen asap cair lebih disebabkan oleh jenis kayu yang memiliki kadar lignin,
selulosa yang bervariasi.
Cairan, gas dan arang diperoleh dengan pirolisis. Cairan memiliki kelembaban tinggi yang berasal dari
kelembaban asli dan air yang dihasilkan, dan itu merupakan campuran air dan bahan organik polar nilai.
Hubungan antara viskositas dan nilai pemanasan cairan (12,5-21 MJ/Kg) ditunjukkan pada Gambar 1.
14
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
(Sumber : Biomassa Handbook
Gambar 1. Hubungan antara viskositas dan nilai kalor cairan pirolisis
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air
tinggi pada proses pembakaran menghasilkan viskositas rendah dan nilai pemanasan yang lebih rendah. Gas
pirolisis memiliki banyak CO2, CO, H2, Cl-5hidrokarbon sebagai gas yang mudah terbakar.
Komponen kimia utama dari biomassa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Gambar 2
menunjukkan komposisi yang berubah selama pirolisis. Selulosa, hemiselulosa dan lignin terdekomposisi seiring
dengan kenaikan suhu.
(Sumber : Biomassa Handbook)
Gambar 2. Perubahan komposisi selama pirolisis
Residu padat adalah arang dengan hasil antara 33 sampai 50%, hal ini tampak pada Grafik 2 yaitu pada %
arang tempurung kelapa pada keadaan basah dan melalui penjemuran sebesar 33% dan 50% sedangkan tongkol
jagung sebesar 16,7% dan 33,3%.
Hasil persentase arang dapat dilihat pada Grafik 2 berikut ini.
15
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
% Arang
60
% Arang
50
40
30
Tempurung Kelapa
20
Tongkol Jagung
10
0
Tanpa Penjemuran
Melalui Penjemuran
Jenis Bahan Baku
Grafik 2. Hasil Persentase Arang dari Proses Pirolisis dalam kondisi tanpa
penjemuran dan melalui proses penjemuran dari tempurung kelapa
dan tongkol jagung
Pada persentase arang dari tempurung dalam keadaan basah lebih besar daripada tongkol jagung, hal ini
dikarenakan kandungan air yang terdapat pada tempurung lebih sedikit dari pada tongkol jagung sehingga hasil
residu dari sisa pembakaran akan tersisa persentase arang yang lebih besar. Persentase arang dari tempurung
kelapa pada keadaan kering lebih besar daripada tongkol jagung, hal ini disebabkan karena pada keadaan proses
penjemuran kandungan air yang terdapat pada tempurung lebih banyak kadar air yang berkurang sehingga
terdapat persentase arang tempurung kelapa lebih besar dengan adanya proses pemanasan sehingga terjadi proses
kondensasi.
Pada hasil komponen yang hilang dapat ditunjukkan di dalam Grafik 3 berikut di bawah ini.
% Komponen ynag
Hilang
Komponen yang Hilang
40
30
Tempurung
Kelapa
20
Tongkol Jagung
10
0
Tanpa
Penjemuran
Melalui
Penjemuran
Jenis Bahan Baku
Grafik 3. Hasil Komponen yang Hilang dari Proses Pirolisis dalam kondisi
penjemuran dan melalui proses penjemuran dari tempurung kelapa
dan tongkol jagung
Pada Grafik 3 menunjukkan hasil komponen yang hilang tempurung kelapa tanpa penjemuran (basah)
dan melalui penjemuran sebesar 31 dan 21,2 sedangkan tongkol jagung sebesar 22,1 dan 36,3. Hal ini disebabkan
karena pada proses pirolisis berlangsung banyak asap yang keluar melalui tempat penampung tar dan tempat
penampung asap cair yang keluar dari kondensor.Selain itu banyak komponen yang hilang saat proses
penyaringan dan proses redestilasi karena terjadinya heat loss.
16
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Kualitas Asap Cair
Kualitas asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini ditentukan oleh kadar fenol dan kadar asam
karena kedua senyawa tersebut yang memiliki peranan paling besar sebagai zat antimikroba. Semakin tinggi
kadar fenol dan kadar asam dari asap cair, maka kemampuan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme
dari asap cair tersebut akan semakin tinggi. Kombinasi keduanya dapat bekerja secara efektif untuk mengontrol
pertumbuhan mikroba, disamping itu fenol juga memiliki aktivitas antioksidan yang cukup besar. Hasil kadar
fenol, asam asetat, nilai pH dan benzo(a)pyrene dari asap cair dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Besarnya Nilai pH, Fenol dan Keasaman (Asam Asetat) Asap Cair dari
Tempurung Kelapa dan Tongkol Jagung melalui proses penjemuran pada grade 1.
1
Tempurung Kelapa
3,04 %
Keasaman
(Asam
Asetat)
7,3 %
2
Tongkol Jagung
1,38 %
1,3 %
No
Bahan Baku
Fenol
Nilai pH
Benzo(A)pyrene
(ppb)
1,41
Tidak terdeteksi
2,47
Tidak terdeteksi
Kadar Fenol
Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair.
Kadar fenol asap cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa menunjukkan kadar tertinggi 3,04% dibandingkan
dengan tongkol jagung (1,38 %). Hasil pirolisis lignin akan menghasilkan senyawa fenol. Senyawa ini berperan
dalam pemberi aroma dan sebagai antioksidan. Tingginya kadar fenol asap cair tempurung kelapa memberikan
indikasi asap cair sangat baik digunakan sebagai bahan pengawet dan penghambat kerusakan yang disebabkan
karena oksidasi lemak.
Kadar Keasaman (Asam Asetat)
Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan kualitas dari asap cair yang diproduksi.
Asam organik yang memiliki peranan tinggi dalam asap cair adalah asam asetat. Asam asetat terbentuk sebagian
dari lignin. Kadar asam asetat asap cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa lebih besar 7,3 % jika
dibandingkan dengan tongkol jagung (1,3 %). Asam asetat ini tergolong senyawa asam yang mempengaruhi pH
asap cair dan citarasa serta umur simpan produk asapan sekaligus mempunyai peranan sebagai anti bakter
(Girard, 1992). Senyawa-senyawa asam ini merupakan hasil pirolisis dari selulosa (Vivas, 2006).
Nilai pH Asap Cair
Pengukuran pH dilakukan terhadap asap cair yang telah dipisahkan dari tar dengan menggunakan pH
meter. Hasil pengukuran keasaman (pH) asap cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa lebih kecil 1,41
dibandingkan dengan tongkol jagung (2,47). Hal ini menunjukkan bahwa asap cair yang dihasilkan bersifat
asam. Sifat asam ini berasal dari senyawa-senyawa asam yang terkandung dalam asap cair terutama asam asetat
dan juga kandungan asam lainnya. Selain itu kadar fenol juga mempengaruhi pH dari asap cair karena fenol
memiliki sifat asam yang merupakan pengaruh dari cincin aromatisnya. Hasil perbandingan kadar asam asetat
dan nilai pH dari ketiga asap cair dapat dilihat pada Tabel 1.
Pemanfaatan zeolit untuk menyerap benzo(a)pyrene
Zeolit mengalami dehidrasi apabila dipanaskan. Meskipun struktur kerangka zeolit akan menyusut,
kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan yang nyata, karena molekul H2O dapat dikeluarkan secara
reversibel. Sifat zeolit terdehidrasi sebagai adsorben dan penyaring molekul, dikarenakan strukturnya yang
berongga, sehingga mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran sesuai. Selektivitas dan efektivitas
adsorpsinya juga tinggi. Penggunaan zeolit aktif sebagai penyerap sangat efektif dalam menurunkan kandungan
benzo(a)pyrene yang terdapat di dalam asap cair grade 1.
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan zeolit aktif sebagai penyerap pada hasil penelitian
17
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
menunjukkan kandungan benzo(a)pyrene pada asap cair grade 1 setelah melewati proses filtrasi zeolit aktif tidak
terdeteksi. Penurunan ini disebabkan karena pada proses aktivasi akan menyebabkan peningkatan pelepasan
aluminium dari kerangka zeolit sehingga meningkatkan rasio Si/Al (Trisunaryanti, 1991). Rasio Si/Al yang
semakin besar akan meningkatkan adsorpsi molekul-molekul organik yang kurang polar dan berinteraksi lemah
dengan air dan molekul-molekul lain yang polar (Barrer, 1978). Proses aktivasi juga meningkatkan kristalinitas
dan luas permukaan zeolit, dengan demikian kemampuan adsorpsinya akan makin besar.
Asap cair yang digunakan untuk pengawet bahan pangan harus bebas dari senyawa-senyawa berbahaya
seperti hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic hydrocarbon) atau PAH. Menurut
Anonymousa(2016), senyawa PAH dapat bersifat karsinogenik. Diantara senyawa-senyawa PAH, yang sering
digunakan sebagai indikator tingkat keamanan PAH adalah benzopyrene karena paling tinggi sifat
karsinogeniknya. Di beberapa negara seperti Jerman telah menetapkan bahwa batas maksimum benzopyrene
dalam produk adalah 1 ppb (Anonymousa2016). Selain bebas dari senyawa-senyawa berbahaya, asap cair yang
digunakan sebagai pengawet bahan pangan haruslah memiliki flavor yang dapat diterima konsumen.
Zeolit bersifat adsorben karena memiliki struktur berongga-rongga, sehingga senyawa tar dan
benzo(a)pyrene yang terdapat dalam asap cair saat dilewati penyaring zeolit aktif akan terjebak di dalam rongga
zeolit, disini zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan
ukuran rongganya. Sedangkan asap cair yang molekulnya jauh lebih kecil dapat melewati rongga dari zeolit
keluar sebagai filtrat yang bebas senyawa tar dan benzo(a)pyrene, dan zeolit juga dapat melepaskan molekul air
dari dalam permukaan rongga sehingga menyebabkan medan listrik meluas ke dalam rongga utama yang
menyebabkan terjadinya interaksi saling mengikat antara zeolit dengan tar dan benzo(a)pyrene.
Kinerja Alat Penghasil Asap Cair
Dengan kondensor sepanjang 0,84 m dan lama pirolisis antara 2,5 sampai 4 jam maka diperoleh
besarnya kinerja alat dengan bahan baku tempurung kelapa pada keadaan basah dan kering adalah sebesar 4,37
g/(jam.m) dan 5,59 g/(jam.m), sedangkan tongkol jagung adalah sebesar 7,42 g/(jam.m) dan 7,37 g/(jam.m).
Kinerja Alat Pirolisis
Kinerja Alat (g/jam.m)
8,00
6,00
Tempurung Kelapa
4,00
Tongkol Jagung
2,00
0,00
Tanpa Penjemuran
Melalui Penjemuran
Jenis bahan Baku
Grafik 4. Hasil Komponen yang Hilang dari Proses Pirolisis dalam kondisi tanpa
penjemuran dan melalui proses penjemuran dari tempurung kelapa
dan tongkol jagung
Kinerja alat ini sudah tinggi dengan menghasilkan asap cair dengan kadar fenol, kadar asam, nilai pH dan
kadar benzo(a)pyrene yang baik (sesuai pembahasan pada masing-masing bagian diatas). Hasil kinerja alat
pirolisis pembuatan asap cair dapat di lihat pada Grafik 4 di atas.
18
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
KESIMPULAN
1. Rendemen asap cair dari tempurung kelapa tanpa penjemuran dan melalui penjemuran adalah 36% dan
28,8% sedangkan dari tongkol jagung adalah 61,2% dan 30,4%. Arang sisa pembakaran dari tempurung
kelapa 33% dan 50% sedangkan dari tongkol jagung adalah 16,7% dan 33,3%. Jumlah komponen yang
hilang dari tempurung kelapa adalah 31 % dan 21,2% sedangkan dari tongkol jagung adalah 22,1% dan
36,3% %. Kinerja alat asap cair dari tempurung kelapa adalah 4,37 g/(jam.m) dan 5,59 g/(jam.m) sedangkan
dari tongkol jagung adalah 7,42 g/(jam.m) dan 7,37 g/(jam.m). Kualitas asap cair yang dihasilkan untuk fenol
dari tempurung kelapa dan tongkol jagung adalah 3,04 % dan 1,38 %.
2. Kualitas kadar fenol tempurug kelapa dan tongkol jagung adalah 3,04% dan 1,38%; keasaman adalah 7,3 %
dan 1,3 %. Nilai pH adalah 1,41 dan 2,47.Asap cair pada grade 1 pada tempurung dan tongkol jagung tidak
terdeteksi adanya benzo(A)pyrene.
REFERENSI
Anonymous.2016Polycyclic Aromatic Hydrocarbon. http://en.wikipedia.org/wiki/ Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon . Tanggal akses 14 April 2016
Anonymous. 2016. benzopyrene. http://en.wikipedia.org/wiki/ benzopyrene. Tanggal akses 14 April 2016
Barrer. R.M. 1978. Zeolites and Clay Minerals as Sorbents and Molekuler Sieves. Academic Press, London.
Aulia S.A. 2011. Kinerja dan Analisis Tekno-Ekonomi Alat Penghasil Asap Cair dengan Bahan Baku Limbah
Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Andalas.Padang
Anggraini SPA, dkk (2014). Pemanfaatan berbagai jenis limbah pertanian menjadi asap cair menggunakan
proses pirolisis. Laporan akhir Penelitian Hibah Bersaing, Malang
Ernita Y. dkk, 2011. Rekayasa Alat Pembuat Asap Cair dengan Limbah Pertanian sebagai Bahan Baku.
Prosiding Seminar Nasional. Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh-Sumatara Barat. 284 pp.
Girard, J.P., 1992, Smoking In: Technology of Meat and Meat Products, J.P Girard and I. Morton (ed) Ellis
horword Limited, New York.
Miura, M. Biomassa Handbook, Japan Institute of Energy Ed.Ohm-sha, 2002,pp.106-115
Sari R.N, dkk (2007). Uji coba alat penghasil asap cair skala laboratorium dengan bahan pengasap serbuk
gergaji kayu jati sabrang atau sungkai. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol
2 No.1. pp.27-34
Trisunaryanti, Wega. 1991. Modifikasi, karakteristik dan Pemanfaatan Zeolit. Tesis-S2. Fakultas Pasca Sarjana
UGM, Yogyakarta
Vivas, N., Absalon, C., Soulie, Ph., Fouquet, E., 2006, Pyrolysis-gas chromatography / mass spectrometry of
Quercus sp. wood, J. of Anal. and App. Pyrol., 75: 181-193
19
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
APLIKASI BIOCHAR, PUPUK KANDANG DAN CAMPURAN KEDUANYA PADA BEDENG
PERMANEN YANG DITANAMI CABAI MERAH (Capsicum annum L.)
Raden Unangga Jaya W1, IGM Kusnarta2, Sukartono2, dan Padusung2
1) Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram
2)Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Korespondensi: email [email protected]
ABSTRAK
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang berpengaruh signifikan
terhadap perekonomian nasional. Ia juga memiliki kandungan gizi yang bermanfaat, seperti protein, lemak, karbohidrat,
kalsium dan minyak esensial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh biochar, pupuk kandang dan campuran
keduanya terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah yang ditanam pada bedeng permanen. Penelitian
dilakukan di Desa Batujai Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah pada bulan April sampai dengan September
2015. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan diulang sebanyak 3
kali. Perlakuan tersebut meliputi: K0 (control), B10 (Biochar 10 ton/ha), PK10 (Pupuk Kandang 10 ton/ha), B5PK10
(Campuran biochar 5 ton/ha dan pupuk kandang 10 ton/ha), B10PK5 (Campuran biochar 10 ton/ha dan pupuk kandang 5
ton/ha), B15PK5 (Campuran biochar 15 ton/ha dan pupuk kandang 5 ton/ha), serta B5PK15 (Campuran biochar 5 ton/ha
dan pupuk kandang 15 ton/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan campuran B5PK15 memberikan pengaruh
yang nyata terhadap tinggi tanaman cabai merah pada umur 21 HST, 28 HST dan 35 HST. Perlakuan B15PK5 cenderung
memberikan jumlah dan berat buah per tanaman tertinggi. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada parameter berat
berangkasan (basah dan kering) tanaman.
Kata kunci :Cabai Merah, Biochar, Pupuk Kandang, Berangkasan
PENDAHULUAN
Cabai merah merupakan tanaman hortikultura yang mampu mengendalikan perekonomian nasional. Hal
ini, antara lain, karena harganya dapat mencapai level tertinggi, pada saat di mana produksinya langka di pasaran.
Di samping itu, harga tinggi tersebut juga dipicu oleh kebutuhan masyarakat akan menu makanan bercabe yang
relative tinggi. Kenyataan ini menjadikan cabe sebagai salah satu tanaman hortikultura yang menempati posisi
strategis. Ditambah lagi (Santika, 2006; Herawati, 2012) melaporkan, bahwa cabe dapat dimanfaatkan bahan
baku obat-obatan tradisional dan industri.
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia penghasil cabai merah. Menurut Badan
Pusat Statistik NTB (2014) produksi cabai di provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2012 dan 2013, masingmasing adalah 36.882 ton dan 35.324 ton. Produksi yang fluktuatif disebabkan oleh perubahan luas areal tanam
pada setiap musim. Di samping itu, disebabkan karena degradasi kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia
maupun biologi. Kondisi fisik tanah terkait dengan tekstur dan ketersediaan air (Kusnarta, 2011, Suwardji, 2013).
Pulau Lombok bagian Selatan didominasi oleh jenis tanah Vertisol dengan kandungan klei (clay) tinggi mencapai
50% atau lebih dan memiliki sumber air terbatas atau bersifat tadah hujan (Kusnarta, 2011), karena sumber air
pengairan hanya berasal dari air hujan. Kondisi ini diperparah oleh struktur tanahnya yang kurang bahkan tidak
stabil, sehingga membutuhkan rekayasa struktur tanah melalui aplikasi bahan organik. Kandungan bahan organik
tanah di kawasan tersebut sangat rendah yaitu sekitar 0,6-1,5% (Kusnarta et al, 2011).
Sifat dari tanah berordo Vertisol, antara lain, adalah penguapan lebih tinggi dibandingkan dengan daya
infiltrasi dan mudah mengalami erosi, sehingga menyebabkan bahan organik dan unsur-unsur hara mudah hilang
(Ma’shum et al., 2003). Kenyataan ini mendorong terlaksananya berbagai penelitian tentang pengelolaan
Vertisol, yang salah satunya menemukan teknologi bercocok tanam sistem bedeng permanen.
Sistem bedeng permanen merupakan teknik penyiapan lahan untuk budidaya tanaman dengan mengelola
tanah minimum (Minimum tillage) dan bisa digunakan dalam kurun waktu yang yang cukup lama (4 atau 5
tahun) (Kusnarta, 2012). Menurut Ma’shum, et al. (2005) keunggulan dari sistem bedeng permanen dapat
memperbaiki kemantapan agregat tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan mengurangi biaya
20
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
pengolahan tanah. Selanjutnya Kusnarta (2012) menyatakan bahwa teknologi bedeng permanen yang dipadukan
dengan pemberian bahan organik (pupuk kandang) lebih unggul dibandingkan dengan sistem konvensional cara
petani. Limbah pertanian seperti tempurung kelapa, batang tembakau dan sekam padi dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik dalam bentuk biochar (Sukartono, 2011), karena mengandung hara esensial seperti N, P,
K, Ca dan Mg, serta memiliki sifat karbon negatif yang mampu mengadsorpsi hara agar tidak mudah terlindih
(Yuwono, 2006, Ma’shum dan Sukartono, 2012). Pupuk kandang berperan sebagai bahan pembenah tanah yang
bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah, mengikat lengas, meningkatkan daya ikat ion, memacu aktivitas
mikroba pendaur hara dan pendekomposisi bahan organik di dalam tanah (Mulyati dan Susilowati, 2006).
Menurut Suwardji (2012) biochar lebih lambat dalam menyediakan hara bagi tanaman bila dibandingkan
dengan pupuk kandang. Hal ini karena biochar di dalam tanah relatif lebih tahan terhadap perombakan
mikroorganisme dibandingkan dengan bahan organik yang lain, sehingga pelepasan hara dari biochar berjalan
lebih lambat (Gani, 2010). Akan tetapi, mengingat bahan organik di dalam tanah yang bersifat labil, maka
aplikasi secara periodik menjadi suatu keharusan yang tentunya membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Dengan
demikian perpaduan antara aplikasi biochar dan pupuk kandang menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam
upaya saling melengkapi kelemahan masing-masing dari kedua sumber bahan organik tersebut dalam upaya
memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan unsur hara. Akan tetapi, takaran kombinasi dari biochar
dan pupuk kandang tersebut perlu mendapat kajian yang lebih mendalam, sehingga penelitian yang bertujuan
untuk mencari takaran kombinasi yang tepat antara biochar dan pupuk kandang dalam upaya memperbaiki
kesuburan Vertisol mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah pada sistem bedeng permaen perlu
untuk dilakukan.
METODE PENELITIAN
Desain dan perlakuan
Penelitian dirancang menggunakan metode eksperimen di lapangan dengan rancangan acak kelompok
(Randomized Complete Block Design). Ada 7 perlakuan yang diuji, yaitu:
1. K0
= Kontrol (tanpa input bahan organik)
2. B10 = Biochar Sekam padi pada takaran 10 ton/ha
3. PK10
= Pupuk kandang sapi pada takaran 10 ton/ha
4. B5PK10 = Biochar sekam padi 5 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 10 ton/ha
5. B10PK5 = Biochar sekam padi 10 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 5 ton/ha
6. B15PK5 = Biochar sekam 15 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 5 ton/ha
7. B5PK15 = Biochar sekam 5 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 15 ton/ha
Masing-masing perlakuan diulang 3 (tiga) kali, sehingga diperoleh 21 plot percobaan.
Pelaksanaan Percobaan
Tahapan penelitian ini meliputi pembuatan biochar, pembuatan bedeng permanen, aplikasi biochar,
pupuk kandang dan campuran keduanya, persemaian benih, penanaman, irigasi, pemupukan, penyiangan,
pengendalian hama dan penyakit, serta pemanenan. Pembuatan biochar dilakukan dengan cara pembakaran
tidak sempurna pada kondisi oksigen terbatas dengan suhu rata-rata 300 oC (Jaya, 2014). Bahan biochar yang
digunakan adalah sekam padi. Pembakaran dilakukan di dalam drum sampai membentuk arang. Biochar yang
telah jadi diletakkan di atas seng, kemudian disemprot menggunakan handsprayer sebelum dimasukkan ke dalam
karung.
Bedeng permanen dipersiapkan berukuran panjang 6 m x 1 m, dengan tinggi 20 cm dan kemiringan tepi
bedeng 60o. Antara dua bedeng dipisahkan oleh parit dengan lebar dasar 0,30 m (Kusnarta et al., 2012). Pada
permukaan bedeng tersebut kemudian biochar, pukan dan campuran keduanya ditebar merata pada permukaan
bedeng sesuai denan perlakuan.
Penyemaian cabai merah dilakukan pada lahan terpisah di dekat lahan percobaan, dengan menebar benih
21
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
cabai merah secara merata di permukaan bedeng persemaian, selanjutnya ditutup tipis dengan tanah. Setelah bbit
cabai di persemaian berumur 27 hari dipindahkan ke bedeng permanen yang sudah disiapkan, dan penanaman
dilakukan dengan jarak tanam 60 x 60 cm. Penanaman dilakukan di lubang tanam yang telah dibuat dan
diusahakan sebatas leher akar tanaman, sehingga tidak menyebabkan pembusukan pada perakarannya.
Penyiraman dilakukan secara rutin setiap hari, menggunakan air simpanan di dalam embung, dengan cara
mengalirkan air ke saluran antar bedeng menggunakan mesin pompa air. Tinggi air penyiraman adalah 10 cm
(separoh) tinggi bedeng.
Pemupukan diberikan dengan cara menugal pada jarak 5 cm dari titik tumbuh tanaman. Pupuk yang
digunakan adalah urea dan SP 36, masing-masing pada takaran 200 dan 150 kg/ha. Aplikasi SP 36 dilakukan
sebelum penanaman, sedangkan pupuk urea diberikan 2 kali, yaitu 1/3 dosis pada umur 7 hari setelah pindah
tanam, dan 2/3 dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 20 hari setelah pindah tanam.
Penyiangan dilakukan setiap minggu dengan cara manual, yaitu mencabut rumput atau gulma yang
tumbuh di sekitar tanman. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) baik hama maupun penyakit
dilakukan dengan pengendalian hama terpadu secara mekanik dan jika serangan melebihi ambang, maka
digunakan pestisida bersifat selektif sesuai dengan jenis hama atau penyakit yang menyerang. Pestisida yang
sempat digunakan adalah “Cyperin” konsentrasi 2 ml/liter air untuk hama (serangga) dan “Moltovin” konsentrasi
2 ml/liter air untuk pengendalian penyakit, yang disemprotkan pada seluruh bagian tanaman.
Cabai merah mulai dipanen umur 90 hari setelah tanam, dengan kriteria 90% bagian buah cabai berwarna
merah. Cara pemanen dengan memetik buah cabai dan menyertakan tangkai buahnya. Pemetikan buah cabai
dilakukan secara manual dan hati-hati untuk menghindari kerusakan atau luka batang. Cabai yang sudah dipetik
kemudian dikumpulkan, dan ditimbang sesuai dengan perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat tanah tempat percobaan
Sifat kimia tanah sebelum percobaan (Tabel 1), menunjukkan vertisol lokasi percobaan bersifat netral
(pH tanah 7). Kandungan C-organik tanah 0,90% tergolong sangat rendah dan N-total 0,10% berharkat rendah
(Balai penelitian tanah, 2005). Rendahnya kandungan bahan organik berakibat pada rendahnya kandungan Ntotal, karena sebagian besar N-tanah berasal dari bahan organik yang telah mengalami dekomposisi (Sutanto,
2005). Kadar P-tersedia tanah adalah 15 ppm berharkat sedang (Balai Penelitian Tanah, 2005). Ketersediaan P
dalam tanah ditentukan oleh kondisi kemasaman tanah. K- tertukar tanah adalah 3,57 me/100 g tergolong sangat
tinggi (Balai Penelitian Tanah, 2005). Menurut Priyono (2005) K di dalam tanah salah satunya berasal dari batuan
induk mineral, khususnya kelompok mineral mika dan feldspar yang banyak terdapat di dalam tanah di Lombok
secara umum.
22
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1. Sifat Fisika dan Kimia Tanah Sebelum Percobaan
Parameter
Tekstur tanah
Metode
Metode Sedimentasi &
pemipetan
Nilai
Kriteria
Clay*/
a. Pasir (%)
14,00
b. Debu (%)
26,60
c. Klei (%)
59,40
Air Tersedia (%)
Gravimetri
29,63
Struktur tanah
a. BV (g/cm3)
Bongkah (lilin)
1.32
b. BJ (g/cm3)
Piknometer
2.31
c. Porositas total (%)
44,00
d. pH-H2O
Gelas elektrode
7,4
e. N-Total(%)
Kjeldhal
0,10
f. P-Tersedia (ppm)
Olsen
15
g. K-Tertukar (me%)
(NH4-Asetat)
3,57
h. C-Organik(%)
(Walkey & Black)
0,90
Keterangan: */ Segitiga tekstur USDA; **/ Balai penelitian tanah (2005)
Agak alkalis**/
Rendah**/
Sedang**/
Sangat tinggi**/
Sangat rendah**/
Sifat fisika tanah sebelum percobaan menunjukkan tekstur tanah sangat halus dengan kelas klei atau
clay (Hardjowigeno, 2006), kandungan fraksi klei sangat tinggi (59,4%). Kapasitas air tersedia pada tanah
tersebut sebesar 29,63%. Nilai BV dan BJ masing-masing sebesar 1,32g/cm3 dan 2,31 g/cm3, sehingga
porositas total tanahnya adalah 43%.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Merah
Tinggi tanaman
Data tinggi tanaman cabai umur 7 hingga 49 hari setelah tanam disajikan pada Tabel 2.
Pertumbuhan cabai merah yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman umur 7 hingga 49 hari setelah tanam tidak
berbeda antar perlakuan, kecuali pada umur 21, 28, dan 35 hari setelah tanam ada kecenderungan perbedaan
antara control dengan perlakuan campuran Biochar 5 t/ha dan Pukan 15 t/ha (B5PK15).
Tabel 2. Rerata Tinggi Tanaman Cabai Merah Pada Semua Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm) Hari Setelah Tanam (HST)
Perlakuan
7 HST
14 HST
K0
7.7 a
11.8 a
21 HST
16.7 b
28 HST
35 HST
42 HST
49 HST
25,1 b
34,5 b
45.1 a
53.9 a
B10
7.7 a
11.7 a
17.0 b
26 ab
35.2 ab
45.3 a
54.8 a
PK10
8.0 a
12.2 a
17.7 ab
26.6 ab
35.8 ab
45.4 a
54.7 a
B5PK10
8.5 a
12.4 a
18.1 ab
27.6 ab
36.7 ab
45.9 a
56.3 a
B10PK5
8.1 a
12.0 a
18.0 ab
27.4 ab
36.6 ab
46.0 a
56.9 a
B15PK5
7.9 a
11.8 a
18.5 ab
28.0 ab
36.9 ab
47.3 a
58.6 a
B5PK15
8.1 a
12.1 a
19.4 a
28.6 a
38.4 a
47.3 a
57.5 a
BNJ, 5%
NS
NS
2,11
2,98
3,61
NS
NS
Keterangan : Notasi huruf yang sama pada setiap kolom menunjukan tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%.
Tinggi tanaman cabai pada perlakuan campuran B5PK15 nyata lebih tinggi daripada perlakuan kontrol,
namun tetap tidak berbeda dengan semua perlakuan penambahan bahan organic. Pengaruh perlakuan yang tidak
berbeda ini diduga akibat cara aplikasinya yang ditebarkan di permukaan. Selain itu juga diduga karena periode
pengamatan yang relatif singkat. Kenyataan yang dapat dijelaskan dari data tersebut adalah, bahwa penambahan
bahan organik pada perlakuan B5PK15 dapat meningkatkan bahan organik dalam tanah, sehingga meningkatkan
undur hara N yang dapat memacu pertumbuhan vegetatif tanaman (Sutedjo, 2008). Kenyataan ini didukung
oleh hasil analisis tanah setelah percobaan (Tabel 1), bahwa kadar N-total sebesar 0,17% pada perlakuan B5PK15
yang nyata lebih tinggi daripada K0 (0,13%).
23
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Berat Berangkasan Basah dan Kering Cabai Merah
Hasil uji statistik pengaruh perlakuan terhadap berat berangkasan basah dan kering cabai merah
terangkum pada Tabel 3. Semua perlakuan input organic, biochar, pukan maupun campuran keduanya tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap berat berangkasan basah dan kering tanaman cabai merah (Tabel
3). Hal ini sejalan dengan status hara N-total pada semua perlakuan yang tergolong berharkat rendah, yang
mana hara N berperan penting pada pertumbuhan vegetatif tanaman seperti batang dan daun yang merupakan
komponen-komponen penentu berat berangkasan tanaman (Sutedjo, 2008). Namun hara N mudah menguap
dan mudah tercuci oleh air, menyebabkan hasil analisis N-total sebelum percobaan maupun setelah percobaan
tergolong dalam kriteria rendah (Zaenal et al., 2012). Sejalan dengan pendapat Glaser (2002), bahwa unsure
hara N mudah mengalami pencucian oleh air, sehingga mengganggu ketersediaan bagi tanaman.
Tabel 3. Berat berangkasan basah dan kering cabai merah pada semua perlakuan
Perlakuan
Berat berangkasan basah
(gram/tan)
Berat Berangkasan Kering
(gram/tan)
K0
134,5 a
36,9 a
B10
137,6 a
37,7 a
PK10
141,0 a
39,5 a
B5PK10
145,1 a
40,6 a
B10PK5
153,5 a
41,1 a
B15PK5
166,8 a
46,0 a
B5PK15
162,7 a
44,5 a
BNJ, 5%
NS
NS
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf 5%.
Jumlah dan Berat Buah Cabai Merah
Uji statistik terhadap parameter jumlah dan berat buah cabai merah per tanaman (Tabel 4)
menunjukkan bahwa perlakuan campuran biochar dan pupuk kandang memberikan pengaruh yang nyata,
terutama antara perlakuan B15PK5 dengan P0. Perlakuan campuran tersebut yaitu, B15PK5 menghasilkan 50
buah/tanaman dan berat buah 495,5 g/tanaman merupakan hasil yang relatif tinggi diantara semua perlakuan,
dan berbeda nyata terhadap perlakuan K0 dengan jumlah 41 buah/tanaman dengan berat 414 g/tanaman, tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan input organic lainnya, seperti B10, PK10, B5PK10, B10PK5, dan B5PK15. Hal
ini mengindikasikan bahwa perlakuan biochar perlu dipadukan dengan pupuk kandang untuk lebih
meningkatkan lagi pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman.
Tabel 4. Jumlah dan Berat Buah Cabai Merah pada semua perlakuan
Perlakuan
Jumlah Buah
Berat Buah (Gram)
(buah)
K0
41 b
414,1 b
B10
43 ab
435,3 ab
PK10
44 ab
442,5 ab
B5PK10
44 ab
448,8 ab
B10PK5
47 ab
469,7 ab
B15PK5
50 a
495,5 a
B5PK15
47 ab
470, 6 ab
BNJ, 5%
8,22
77,39
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama,
tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%.
Bahan organik menjadikan akar tanaman berkembang lebih cepat dan mampu menyerap hara lebih
baik, menyebabkan tanaman cabai merah mampu menghasilkan buah yang banyak (Notohadiprawiro et al.,
2006). Selain itu Hayati, et al. (2012) input organik mampu memacu pertumbuhan generatif tanaman cabai
merah sehingga meningkatkan produksi tanaman, karenapupuk organic dapat menyediakan hara makro
terutama P. Mulyati dan Lolita (2006) melaporkan, bahwa hara P berperan penting dalam pertumbuhan akar,
bunga, buah dan biji serta salah satu komponen penyusun enzim dan ATP yang berguna dalam proses transfer
24
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
energi hasil-hasil fotosintat pada proses fotosintesis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rosman et al. (2012)
bahwa hara P memiliki peran penting dalam proses fotosintesis.
Kapasitas air tersedia tanah
Penambahan bahan organik dapat meningkatkan kapasitas air tersedia tanah. Uji statistik
menunjukkan bahwa perlakuan campuran B10PK5 menghasilkan air tersedia 34,83%, selanjutnya B15PK5
58% dan perlakuan B10 34,26% memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan PK10 dengan nilai
31,40% yang tidak berbeda dengan K0 30,70% (Tabel 5). Tingginya kapasitas air tersedia pada perlakuan
campuran B10PK5 dan B15PK5 serta perlakuan biochar B10 disebabkan oleh sifat dari bahan organik biochar
yang memiliki ukuran ukuran partikel sangat halus, dapat mengikat air lebih banyak (Ma’shum dan Sukartono,
2011). Pendapat ini didukung oleh Gani (2009) bahwa dalam hal menahan atau meretensi air pada tanah,
biochar lebih baik daripada bahan organik lainnya, seperti kompos dan pupuk kandang. Hal lain yang terungkap
dari data Tabel 5, bahwa bahan organic berupa biochar lebih tinggi kemampuannya dalam penyediaan air
dibandingkan pukan. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas biochar dalam penyediaan air perlu di
kombinasikan dengan pupuk kandang, karena terbukti bahwa kombinasi pukan dan biochar menunjukkan nilai
yang lebih tinggi, seperti contohnya perlakuan B15PK5.
Tabel 5. Air Tersedia Setelah Percobaan Pada Semua Perlakuan
Perlakuan
Kapasitas Air Tersedia (%)
K0
30,70 c
B10
34,26 ab
PK10
31,40 c
B5PK10
32,22 bc
B10PK5
34,83 a
B15PK5
35,58 a
B5PK15
32,43 bc
BNJ, 5%
2,12
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%.
Kondisi struktur tanah setelah percoban
Perlakuan biochar, pupuk kandang dan campuran keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap struktur tanah yang dinyatakan dengan nilai BV, BJ dan Porositas total tanah (Tabel 6). Hal ini
disebabkan karena penerapan perlakuan tersebut baru berjalan selama satu periode tanam, sehingga
pengaruhnya belum nampak. Akan tetapi, nilai BV tanah pada perlakuan campuran B15PK5 terindikasi
relative lebih rendah yaitu sebesar 1,12 g/cm3 disusul oleh perlakuan B10PK5, B5PK15,B5PK10, B10, PK10
dan K0. Rendahnya nilai BV pada perlakuan B15PK5, dimungkinkan karena, ruang pori total tanah (46,85%)
yang bernilai lebih tinggi. Total ruang pori yang yang lebih tinggi akan menghasilkan berat bongkah tanah per
satuan volume menjadi rendah, yang akhirnya menjadikan nilai BV yang lebih rendah. Sesungguhnya, nilai
BV yang rendah akan memudahkan pertumbuhan dan pergerakan akar menembus media tumbuh. Hal yang
sama terjadi pada nilai BJ yang lebih rendah (2,11 g/cm3), disebabkan karena berat partikel bahan organik per
satuan volume yang lebih rendah, sehingga semakin banyak bahan organic yang ditambahkan, maka akan
menurunkan nilai BJ. Kenyataan ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Juo and Franzluebbers (2003),
bahwa berat jenis tanah akan menurun ketika jumlah bahan organik yang diberikan ke dalam tanah semakin
tinggi. Hairiah (2000) menyatakan bahwa porousnya sifat dari bahan organik dapat membentuk pori-pori tanah
yang membuat berat jenis dan berat volume tanah menurun jika diaplikasikan pada tanah bertekstur klei.
Porositas total pada perlakuan B15PK5 juga relatif tinggi, yaitu 46,85%, disusul perlakuan B10PK5,
B5PK15, B5PK10, B10, PK10 dan K0. Menurut Suntoro (2003) bahan organik yang diaplikasikan pada tanah
bertekstur kleian dapat meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro, sehingga menurunkan pori-pori
yang jenuh air dan meningkatkan pori-pori yang dapat diisi oleh oksigen. Selain itu interaksi bahan organik
dengan partikel tanah dapat memperbesar ruang pori dan membuat struktur tanah lebih baik (Zulkarnain et al.,
2013).
25
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 6. Struktur tanah setelah percobaan pada semua perlakuan
BV
BJ
(g/cm
(g/cm
Porositas
3
3
Perlakuan
)
)
(%)
K0
1,28 a
2,27 a
43,63 a
B10
1,20 a
2,20 a
45,22 a
PK10
1,22 a
2,21 a
44,96 a
B5PK10
1,18 a
2,17 a
45,55 a
B10PK5
1,14 a
2,13 a
46,51 a
B15PK5
1,12 a
2,11 a
46,85 a
B5PK15
1,15 a
2,15 a
46,44 a
BNJ, 5%
NS
NS
NS
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada
kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
BNJ pada taraf 5%.
Sifat kimia tanah setelah percobaan
Kemasaman tanah (pH-H2O) setelah percobaan pada semua perlakuan (Tabel 7), menunjukkan
adanya penurunan dari kondisi agak alkalis sebelum percobaan (Tabel 1) menjadi mendekati netral setelah
percobaan. Hal ini diduga disebabkan oleh pelepasan asam-asam organik oleh akar-akar tanaman cabai merah
yang dapat menurunkan pH tanah (Sutanto, 2005), di samping itu sumber ion H juga berasal dari penguraian
bahan organik. Turunnya pH tanah mendekati netral berpengaruh positif terhadap produktivitas tanah dan
tanaman (Hanafiah, 2004).
Produktivitas tanah dan tanaman dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah. Menurut Andre
(2009) melaporkan bahwa bahan organik tanah diukur melalui pengukuran C-organik. Pada Tabel 7 terlihat
bahwa perlakuan biochar, pupuk kandang serta campuran biochar dan pupuk kandang menghasilkan Corganik yang berbeda nyata dengan perlakuan tanpa bahan organik. Perlakuan campuran B5PK15 dengan nilai
1,50% merupakan perlakuan yang menghasilkan C-organik relatif lebih tinggi diantara semua perlakuan,
disusul oleh perlakuan campuran B15PK15, B5PK10, B10PK5, walaupun senyatanya antar perlakuan bahan
organic tersebut tidak menunjukkan perbedaan. Mulyati dan Lolita (2006) menyatakan, bahwa salah satu cara
menaikkan bahan organik di dalam tanah yaitu dengan cara pemberian berbagai macam bahan organic.
Selanjutnya Setyowati, et al. (2009) menjelaskan bahwa bahan organik yang dibenamkan dalam tanah akan
mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan senyawa-senyawa organik yang dapat meningkatkan
kandungan C-organik dalam tanah.
Penambahan bahan organik, baik sebagai biochar, pukan maupun campuran keduanya, memberikan
pengaruh nyata pada parameter N-total, meskipun perbedaan tersebut hanya terjadi antara perlakuan
penambahan bahan organik terhadap kontrol. Perlakuan dengan nilai N-total yang cenderung tinggi terjadi pada
perlakuan B5PK15 dengan nilai N-total 0,17%, disusul oleh perlakuan B15PK5, B5PK10, B10PK5 dan PK10.
Walaupun terdapat semua perlakuan masih menunjukkan harkat rendah seperti pada analisis tanah sebelum
percobaan (Tabel 1). Hal ini diduga disebabkan oleh waktu aplikasi yang relatif singkat sehingga belum
member kesempatan bagi input organic tersebut untuk terurai sempurna. Dari Tabel 7 juga terlihat, bahwa
pemberian bahan organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter P-tersedia tanah. Perlakuan
dengan nilai P-tersedia tertinggi cenderung terjadi pada campuran B5PK15, disusul oleh perlakuan PK10,
B5PK10, B15PK5, B10PK5 dan B10 yang berbeda nyata terhadap K0. Kenyataan lain yang dapat dipelajari
dari hasil tersebut adalah, bahwa penggunaan bahan organik berupa biochar saja nyata memberikan nilai Ptersedia lebih rendah jika dibandingkan dengan pukan maupun campuran pukan dan biochar. Kenyataan ini
memperkuat data sebelumnya bahwa aplikasi biochar akan lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan
pukan, walaupun dari hasil percobaan ini takaran campuran yang paling unggul belum ditemukan.
Ketersediaan P di dalam tanah dapat secara langsung dipengaruhi oleh bahan organik tanah setelah mengalami
proses mineralisasi (Priyono, 2005). Proses mineralisasi bahan organik akan melepaskan mineral hara seperti
N, P ,K, Ca, Mg dan S yang bermanfaat bagi tanaman (Suntoro, 2003).
26
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 7. Analisis Sifat Kimia Tanah Setelah Percobaan Pada semua Perlakuan
Analisis Sifat Kimia Tanah Setelah Percobaan Pada Berbagai Perlakuan
C-organik
N-total
P-tersedia
Perlakuan
pH
(%)
(%)
(ppm)
K0
7,13 b
0,95 c
0,13 c
10,8 e
B10
7,21 ab
1,35 b
0,15 bc
14,1 d
PK10
7,15 b
1,41ab
0,16 ab
18,2 ab
B5PK10
7,19 ab
1,43 ab
0,16 ab
17 bc
B10PK5
7,22 ab
1,41 ab
0,16 b
16,4 c
B15PK5
7,24 a
1,44 ab
0,16 ab
16,9 c
B5PK15
7,18 ab
1,50 a
0,17 a
19 a
BNJ, 5%
0,086
0,107
0,020
1,232
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa
hal, sebagai berikut:
1. Penambahan input organik biochar, pukan dan campuran keduanya dengan menempatkan
bahan-bahan tersebut di permukaan bedeng permanen dalam kurun waktu satu musim tanam,
belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai merah.
2. Ada kecenderungan peningkatan produktivitas tanah melalui aplikasi biochar, pukan dan
campuran kedua bahan tersebut, meskipun perbedaan baru nampak antara perlakuan dengan
input bahan organic tersebut dengan perlakuan tanpa input bahan organic (kontrol).
3. Terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa aplikasi bahan organik dalam bentuk biochar akan
lebih bermanfaat meningkatkan produktivitas tanah jika dikombinasikan dengan pupuk
kandang.
Saran
1. Aplikasi bahan organik (biochar, pukan, dan campuran keduanya) pada system bedeng
permanen, perlu mempertimbangkan kedalaman pembenaman untuk meningkatkan
efektifitasnya.
2. Penelitian jangka panjang sangat diperlukan untuk penyempurnaan terhadap jumlah dan
takaran masing-masing bahan organik yang akan diaplikasikan pada system bedeng
permanen.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik NTB, 2014. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun. 2013. Badan Pusat Statistik
NTB.
Balai Penelitian Tanah, 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Pupuk, Tanaman dan Air. Balai
Penelitian Tanah. Bogor.
Dwidjoseputro, D, 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan : PT Gramedia. Jakarta. 232 hlm.
27
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Gani, A. 2009,Potensi Arang Hayati Biochar Sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan
Pertanian. Iptek Tanaman Pangan. Vol. No. 1. Hal 33-48.
Gani, A. 2010, Multi Guna Arang Hayati (Biochar).Sinar Tani Edisi 13-19 oktober 2010.
Glaser. 2002, Ameliorating Physical and Chemical Properties of Highly Weathered Soils in The Tropiics With
Charcoal: A review, Biol. Fertil. Soils. (35): 219-230
Hairiah, K, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. International Centre For Research In
Agroforestry. Bogor.
Hanafiah, K.A, 2004.Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT RAJAGRAFINDO. Jakarta.
Hardjowigeno, S, 2006. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Presindo.
Hayati, E, Mahmud, T, Faizil, R, 2012. Pengaruh Jenis Pupuk Organik dan Varietas Terhadap Pertumbuhan
Cabai dan Hasil Tanaman Cabai (Capsicum annum L.). J.Floratek. Universitas Syiah Kuala Darussalam
Banda Aceh. Hlm 173-181.
Herawati, W.D, 2012.Budidaya Sayuran. Javalitera. Jogjakarta.
Jaya, W.J, 2014. Pengaruh Berbagai Macam Biochar dan Dosis N Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai.Skripsi. Universitas Mataram. Mataram.
Juo, A.S.R and Franzluebbers, K, 2003. Tropical Soils.Oxford University Press. New York
Kusnarta, I.G.M, B.P Kertonegoro, B.H. Sunarminto, dan D. Indradewa, 2011. Beberapa Faktor Yang
Berpengaruh Dominan Terhadap Struktur Vertiosol Tadah Hujan Lombok. Agroteksos Jurnal Ilmiah
Ilmu Pertanian, Vol 21, No. 2-3, 120-128.
Kusnarta, I.G.M, 2012. Kajian Sifat Tanah Penentu Stabilitas Bedeng Permanen Sawah Tadah Hujan Pada
Vertisol Lombok. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
Lingga, P. dan Marsono. 2006,Petunjuk Penggunaan Pupuk : Penebar Swadaya. Jakarta.
Ma’shum dan Sukartono, 2012. Pengelolaan Tanah. Penerbit Arga Puji Press. Mataram.
Ma’shum, M, Kusnarta, I.G.M, Sukartono, Mahrup, Tisdall, Gill, J.S, 2005. Permanent Rasied Bed Used For
Farming In The Semi-and Tropics Of Southern Lombok. Indonesia : Performance and adaption.
ACIAR Workshop Procedings No. 121, Griffith, Australia.
Mulyati dan Susilowati, L.E.2006.Pupuk dan Pemupukan.UPT Mataram University Press. Mataram
Musnamar. 2006, Pupuk Organik : Cair dan Padat, Pemberian dan Aplikasi : Penebar Swadaya. Jakarta.
Notohadiprawiro, Soeprapto dan E. Susilowati, 2006.Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Efesiensi
Pemupukan : Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Prijatna, 2006.Buku Analisis Kimia Tanah : Universitas Mataram. Mataram
Priyono, J, 2005. Kimia Tanah: Universitas Mataram. Mataram
Rosman, R,. Tjokrowardojo, A.S, pradono, W, Hadi, U.K, 2012. Pengaruh Pemupukan N dan P Terhadap
Pertumbuhan, Produksi dan Kadar Piperin Tanama Kamandrah. Balai Penelitian Tanaman.
Santika, 2006.Agribisnis Cabai : Penebar Swadaya. Jakarta. 183 hlm.
Setyowati,N.,U.Nurjanah.,dan R. Korisma, 2009. Korelasi Antara Sifat-Sifat Tanah Dengan Hasil Cabai Merah
Pada Substitusi Pupuk N-Anorganik Dengan Bokashi Tusuk Konde (Wedelia trilobata L.). Akta
Agrosia Vol.12 No.2 hlm 184-194-Des 2009.ISSN 1410-3354.
Subroto, 2009. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian : Pustaka Buana. Bandung
Sukartono, 2011.Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Amendemen Tanah Untuk Meningkatkan Efisiensi
Penggunaan Air dan Nitrogen Tanaman Jagung (Zea mays) Di Lahan Kering Lombok Utara.
Universitas Brawijaya. Malang.
Sumarni, N dan Muharam, 2005.BudidayaTanaman Cabai Merah. Panduan Teknis.PTTCabai Merah No. 2.
Balai Penelitian TanamanSayuran, Lembang. 37 hlm.
Sutanto, R, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah : Kanisius. Yogyakarta.
Suntoro, W.A, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya.Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Solo
Susilowati, L.E, 2006. Prospek Penggunaan Pupuk Kandang Sebagai Amelioran Tanah Lapar. Makalah:
disampaikan pada Sarasehan Petani Organik se-Pulau Lombok. Mataram
Sutedjo, M.M, 2008. Pupuk dan cara pemupukan. Renika cipta. Jakarta
Suwardji, 2013.Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering. Universitas Mataram. Mataram.
Wahyudi, 2011.5 Jurus Sukses Bertanam Cabai. PT AGROMEDIA PUSTAKA. Jakarta
Yuwono, N.W, 2006. Pupuk Organik. Http//Nasih. Staff.Ugm.Ac. Id. [Diakses tanggal 21November 2015].
28
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Zaenal, A.M, Khotib, M, M. Anwar Nur dan Ahmad Sjahria, 2012. Pola pelepasan urea dari urea enriched soil
conditioner. Prosiding Insinas 2012. PG-248: 0220. Disajikan 29-30 November 2012.
Zulkarnain, M, Budi Prasetya, Soemarno, 2013. Pengaruh Kompos, Pupuk Kandang dan Custom-Bio
Terhadap Sifat Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tebu (Saccharum Officinarum L.) Pada Entisol di
Kebun Ngrangkah-Pawon, Kediri.Indonesian Green Technology Journal. Universitas Brawijaya.
Malang.
29
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
IMMOBILISATION OF AS AND CU IN GOLD MINE TAILINGS AMENDED
WITH
EMPTY FRUIT BUNCH AND RICE HUSK BIOCHARS PYROLYSED AT
DIFFERENT TEMPERATURES
Claoston Nardon, 1 Samsuri Abdul Wahid, 1 Ahmad Husni Mohd Hanif,1 and Mohd Amran
Mohd Salleh2,3
1Department of Land Management, Faculty of Agriculture, Universiti Putra Malaysia, 43400 Serdang, Selangor Darul Ehsan,
Malaysia
2Department of Chemical and Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Universiti Putra Malaysia, 43400 Serdang,
Selangor Darul Ehsan, Malaysia
3Materials Processing and Technology Laboratory, Institute of Advanced Technology, Universiti Putra Malaysia, 43400 Serdang,
Selangor Darul Ehsan, Malaysia
ABSTRACT
These studies were done to investigate the effectiveness of empty fruit bunch and rice husk biochars that had been
pyrolysed at temperatures of 350, 500 and 650 oC in reducing the availability of As and Cu in the gold mine tailings.
Incubation experiment was conducted by adding 0, 5, 15 and 20% of EFBB and RHB in the tailings for 2, 8 and 24 weeks and
leaching experiment was done by adding the same amount of each biochar and leached using simulated rain water at day 1,
15, 30, 45 and 60. From the result, the amounts of extractable and leachable As were increased as the rate of each biochars
increased and incubated for a longer period. However, the amounts of extractable and leachable Cu were decreased.
EFBB650 and RHB650 were more effective in reducing the amount of extractable metals from the tailings, followed by 500
and 350 oC. Meanwhile, adding RHB had released leachable As to the smallest amount while Cu were by EFBB. The effects
of immobilisation of As and Cu were dependable with the large BET surface area, porosity and variety of functional groups in
each biochar.
Keywords: arsenic, biochar, immobilisation, incubation, leaching, tailings
INTRODUCTION
Over the past few years, there has been a dramatic increase in the potential of mining
operations to damage the environment due to the utilization of modern mining technique and
high-capacity processing plants. Many of the larger mining operations displace tonnes of rock
and produce an enormous amount of wastewater and tailings. Mine tailings often contain
sulphide minerals such as pyrite (FeS2), arsenopyrite (FeAsS), galena (PbS), chalcopyrite
(CuFeS2) and sphalerite [(Fe,Zn)S]. Oxidation of suphides minerals results in contamination of
the soil and groundwater from the release of As and other contaminants in sulphide-bearing
minerals [1]. Tailings need to be managed well otherwise the heavy metals will be released into
the environment, which could pose adverse health and ecosystem impacts.
A number of innovative treatment methods to remediate As and heavy metals in the
environment have been invented at the laboratory and/or field-scale. Among the treatment
methods include: soil excavation, electrokinetics, solidification/stabilisation, vitrification,
chemical oxidation, soil flushing surfactant foam technology, bioremediation and natural
attenuation [2]. However some of these methods would produce voluminous sludge that need to
be treated and disposed-off and very costly to maintain. Lately, interest has been shifted towards
the use of low cost materials such as biochars, which are produced from organic wastes and has
been applied as sorbents for the removal of heavy metals from the aqueous solutions [3-7].
Positive results regarding the immobilisation and stabilisation of heavy metals in soil by
biochars have reported [5, 8-9]. Several mechanisms have been suggested for sorption of heavy
metals by biochars, which includes the coordination of π-electrons from C=C bonds [10], intraparticle diffusion [11], complexation with biochar surface group [12] and interaction with weak
organic acids that undergo dissociation within the normal pH range [13]. However the
mechanisms for the sorption and mobility of metals by biochars in soil and aqueous solution are
not fully understood yet. Investigation on soils from an embankment that separates two canals in
30
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Kidsgrove, Staffordshire found that Cd and Zn were immobilised, while Cu and As were
mobilized in soil samples amended with hardwood-derived biochars [5]. Using the same soil and
biochar through in a column-leaching experiment, the concentrations of Cd and Zn in the
leachates were reduced to 300 and 45 folds, respectively [14]. However, there are contrasting
reports in the literature on the effectiveness of biochars to reduce the availability of the metals in
the tailings. For example, the concentrations of extractable As and Zn in soil increased with
biochar application, whereas the concentration of extractable Cd showed an inconsistent trend
while research by Jiang and the colleagues reported that Cu and Pb were efficiently immobilised
in simulated polluted Ultisol in pristine area of Liuzhou, Guangxi Province as amended with rice
straw derived biochar while Cd was not [15,16]. Therefore, more studies are needed on the
effectiveness of biochars to reduce the availability of heavy metals in environment, especially in
the mine tailings.
Pyrolysis of biomasses greatly affects biochar physicochemical properties, hence its
potential usage. Pyrolysis processes can be divided into three classes depending on the pyrolysis
temperature range; conventional pyrolysis or carbonization (500 – 950 oC), fast pyrolysis (850 –
1250 oC) and flash pyrolysis (1050 – 1300 oC) [17]. Furthermore, there are four categories of
biochar based on their molecular structures upon pyrolysis; transitions, amorphous, composite
and turbostratic [18]. Transition char are dominated by precursor plant materials with evidence
of depolymerisation of lignin and cellulose, amorphous chars have lost most of the crystalline
character associated with cellulose comprised a random amorphous mix of heat-altered
molecules and aromatic poly condensates, composite chars consist of poorly ordered graphene
stacks embedded in amorphous phases and turbostratic chars are dominated by disordered
graphite domains. High treatment temperature (HTT) during pyrolysis affects the porosity and
surface area of the biochar. At the HTT, the micropores of biochars and the walls between the
adjacent pores are destroyed and expanded causing enlargement and swelling of pores. The HTT
is the most important factors studied due to the fundamental physical changes (i.e. the release of
volatiles, the formation of intermediate melts and the volatilization of the intermediate melts) are
all temperature dependant.
This study was undertaken to determine the effectiveness of empty fruit bunch (EFB) of
oil palm and rice husk (RH) biochars produced at different pyrolysis temperatures as biosorbents
to reduce the mobility and availability of As and Cu in gold mine tailings. The EFB and RH
biochars were used since both are the major agricultural residues in Malaysia and their
commercial utilizations are not fully developed.
MATERIALS AND METHODS
1. Biomass sources and biochar production
The preparation of EFB and RH biochars used in this study has been previously
described [19]. Briefly, the EFB and RH were oven-dried until they reached a constant weight
and grounded to < 2mm. The ground EFB and RH were pyrolysed in a large chamber muffle
furnace at 350, 500 or 650 oC. The biochars were then passed through a 1 mm sieve and kept at
room temperature. The EFB and RH biochars were analysed for pH, electrical conductivity (EC),
ash content, cation exchange capacity (CEC), total nutrient content, oxygen functional groups,
surface area and total pore volume by BET method and functional group by FTIR. The analytical
methods used and the physicochemical characteristics of EFB and RH biochars are described in
previous publication [19].
2. Tailings preparation and analyses
The tailings were collected from a gold mine in Pahang, Malaysia. The tailings were
taken at different points from the upper 30 cm of the mine tailings. After air-dried, the tailings
were grounded, sieved through 2-mm mesh, homogenized and stored in plastic bags prior to
analyses. The particle distribution of the tailings was determined using the pipette method [20].
The pH and EC were measured by adding 50 mL of Milipore® Direct-Q deionized water to 10 g
31
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
of tailings (tailings/water – 1:5 (w/v) and the mixture was agitated for an hour and allowed to
settle for 24 hours. The pH and EC in the supernatant were determined using a pH meter
(Methrohm 827 pH Lab) and EC meter (Eutech Instruments CON 700 EC meter) respectively.
The CEC was determined using 1 M ammonium acetate at pH 7 [21]. The extracted NH4+ was
measured using an auto-analyzer (Lachat Instruments QuikChem 8000 Series FIA+ System) and
the concentrations of exchangeable cations (K, Ca and Mg) in the NH4OAc extract were
measured by atomic absorption spectrometry (PerkinElmer AAnalyst 400).
Acid neutralization capacity (ANC) of the tailings was measured by mixing 1 g of
tailings with 25 mL of 0.2 M HCl solution. The mixture was warmed for 3 hours at 90 oC. After
cooling, the remaining solution was titrated with 0.2 M NaOH and the ANC was calculated in
terms of kg of H2SO4/t [22]. The amount of CaCO3 and organic matter (OM) was determined
[23,24]. Total elements in the tailings were determined using a digestion method and the
elements in the digestion were determined by ICP-OES (PerkinElmer Optima 8300 ICP-OES
Spectrometer) [25].
3. Sequential extraction of the tailings
The procedure for sequential extraction employed in this study designed to separate
heavy metals into six defined fractions: water soluble, exchangeable, carbonate bound, Fe-Mn
oxide bound, organic bound and residual fractions [26].
4. Incubation and leaching experiment
An incubation experiment was conducted to determine the effects of different rates of
biochars on the availability of As and Cu in the tailings. About 20 g of air-dried tailings were
mixed with either EFB or RH biochars to achieve 0, 5, 15 and 20% (v/v) biochar/tailings
mixture. The mixture was then placed into a tube and covered with parafilm with poked pinsized holes to allow aeration. Each treatment was done in triplicate and kept for 23 ± 2 oC for 2,
8 and 24 weeks and the sample mixtures are designated as W2, W8 and W24, respectively.
Simulated rain water (SRW) was added to the mixture to maintain 70% moisture content
throughout the experiment. The SRW was prepared by adding 10 mM sulphuric acid (H2SO4) to
Milipore® Direct-Q deionized water until pH 4.5 was obtained. The moisture was checked every
week by weighing, and the SRW was re-added when necessary. At the end of the incubation
period, 40 mL of SRW was added to the samples and were shaken on an end-over-end shaker for
24 hours. The supernatant was carefully decanted into a clear vial, filtered, raised to 50 mL in
volume and acidified with 4% nitric acid (v/v) solution and kept in a fridge prior to analysis.
Each treatment was conducted in triplicates. The concentrations of As and Cu in the solution
were determined using PerkinElmer Optima 8300 ICP-OES Spectrometer.
The leaching experiment was conducted using leaching tubes of 30 cm in length and 10
cm in diameter. The bottoms were sealed with cotton to support the tailings and to minimize the
tailings loss. About 100 g of air-dried tailings were mixed with either EFB or RH biochars to
achieve 0, 5, 15 and 20% (v/v) biochar/tailings mixture. Each treatment was set-up in triplicate.
The mixtures were then placed into the tubes and about 8 to 10 cm space were left above the
tubes to add the SRW which was used to simulate the percolating rainfall. The tubes were left at
room temperature and were leached at day 1 (D1), 15 (D15), 30 (D30), 45 (D45) and 60 (D60).
Each tube was leached with 100 mL of SRW and the leachate was collected. The pH of each
leachate was determined before acidified with 1 mL of 4% nitric acid (v/v) solution and kept in a
fridge prior to analysis. The leachates were analysed for the concentrations of As and Cu with
PerkinElmer Optima 8300 ICP-OES Spectrometer.
RESULTS AND DISCUSSIONS
1. Physicochemical properties of the mine tailings
The characteristics of the gold mine tailings are shown in Table 1. The textural class of
the tailings was silt loam, as the tailings contained 19.03% clay, 52.47% silt and 24.56% sand.
32
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
The CEC of the tailings was 10.13 cmol+/kg and the pH was slightly alkaline (7.87). The EC of
the tailings was 148 μS/cm and it has an acid neutralization capacity (ANC) of 67 kg H2SO4/t.
The organic matter (OM) content in the tailings was 2.29% and the CaCO3 content was 5.7%.
The chemical analysis of the tailings showed that it has high concentrations of As (2080 mg/kg)
and Cu (78 mg/kg). The tailings was slightly alkaline due to the addition of liming materials in
the wastewater treatment process and the wastewater was pumped back into the tailings pond.
This is also the reason for the high concentrations of CaCO3 in the tailings. The EC of the
tailings was low compared to naturally acidic tailings (EC > 4000 μS/cm) [27]. The high ANC
value indicates the alkaline nature of the tailings which is caused by the presence of calcite and
dolomite, and exchangeable cations on clay and silicate materials [22]. The organic matter (OM)
content in the tailings was in the range which it below the detection level of 5.8%, and presence
of OM can contribute significantly to the retention of heavy metals [28,29]. The concentrations
of As and Cu were much higher than the values found in typical soil, which are 5 (As) and 25
(Cu) mg/kg [30]. The high concentration of heavy metals was due to the mining and mineral
processing practices that control the release of contaminants from mine sites and mine wastes. In
this particular mine, the gold is recovered using cyanidation process, and cyanide is known to
react with wide range of elements in solution, resulting in the formation of many cyanide-related
complexes. Large quantity of effluent which contain free cyanide and metal-cyanide complexes,
including Zn, Ni, Cd, Cu, As and Fe are produced during cyanidation process. These complexes
are released into the surrounding usually under very little control; hence they will flood the
tailings with large concentrations of metals.
2. Fractionation of heavy metals in the mine tailings
The percentages of each heavy metal for these six fractions are shown in Figure 1. The
water soluble, exchangeable and bound to carbonates species are categorized as bioavailable
species as these fractions generally exhibit mobility relative to the environment and are
potentially available for plants [31]. Heavy metal in water soluble fraction is considered more
mobile and biotoxic to environments. The results indicate that the Cu had the highest water
soluble fraction (11.25%) followed by As (9.38%). Metals associated with the exchangeable
fraction indicate that the metals form as various complexes with inorganic and organic ligands or
as free hydrated ions. It may include weakly sorbed metal species, predominantly retained on the
soil surface by relatively weak electrostatic interactions and can be released by sorptiondesorption processes caused by the changes in water ionic composition [32]. The amount of As
(42.67%) in exchangeable fraction were the highest followed by Cu (1.28%). Metals in the water
soluble and exchangeable fractions are consider as bioavailable species. Metals bound to
carbonates are immobile and they are able to buffer soil pH [34]. The results indicated that Cu
has the highest concentration in the carbonates (49.95%), followed by As (1.70%). Overall, the
percentages of the fractions for each element are in these decreasing orders:
As: exchangeable > residual > Fe-Mn oxide > water soluble > carbonates > OM
Cu: carbonates > OM > water soluble > residual > Fe-Mn oxide > exchangeable
3. Incubation and leaching experiment
a. Water extractable As and Cu in mine tailings amended with EFBB and RHB by
incubation studies
The results show the concentration of extractable As and Cu in mine tailings amended
by EFBB and RHB (Figure 2 and 3 respectively). In control treatment, the concentrations of As
were decreased throughout the incubation period; with declination from 0.520 mg at W2 to 0.407
and 0.268 at W8 and W24 respectively. The same scenario goes to the concentration of Cu. The
concentrations of Cu were decreased from 0.160 mg at W2 to 0.146 and 0.125 at W8 and W24
accordingly. Throughout the incubation experiment, addition of 20% of each RH and EFB
biochars to the tailings extracted the higher amount of As compared to addition of 5% of
biochars into the tailings. However the conditions were difference to the Cu. The extractable Cu
was getting lesser as 20% of biochars were added to the tailings other than addition of 5% of
33
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
biochars. By comparing the total cumulative values of each metal, the utilization of RH biochars
had extracted the least amount of As and Cu in the tailings other than application of EFB
biochars.
b. Immobilisation of As and Cu in the tailings through leaching experiment
The results show the concentrations of As and Cu that leached out from the tailings
and these concentrations were affected by EFBB and RHB (Figure 6, 7, 8 and 9, respectively),
and incubation period. In all of the control samples, the concentration of As in the leachates
increased throughout the period of leaching, whereas the concentrations of Cu were decreased. In
the control treatments (D1), the concentrations of As and Cu in the leachates were 0.269 and
0.038 mg, respectively. After D60, the concentrations of As increased to 2.046 mg while the
concentration of Cu were reduced to 0.004 mg, respectively.
Throughout the incubation experiment, addition of 20% of each RH and EFB biochars to
the tailings extracted the higher amount of As compared to addition of 5% of biochars into the
tailings. However the conditions were difference to Cu. The extractable Cu was getting lesser as
20% of biochars were added to the tailings other than addition of 5% of biochars. By comparing
the total cumulative values of each metal, the utilization of RH biochars had extracted the least
amount of As and Cu in the tailings other than application of EFB biochars.
c. Mechanisms of stabilisation and immobilisation of As and Cu in the mine tailings
amended with various rates of EFB and RH biochars
The different sorption/dissolution processes in stability and mobility of the metals were
influenced by many factors: pH, redox potential, type of soil constituents, cation exchange
capacity, etc. Biochar as an alkaline material, have a liming effect than can contributes to the
reduction of mobility and stability of Cu in the tailings, except for As. An increase in pH were
related with the increasing of As in pore water, especially when biochar was applied in the
tailings, as As solubility is increased with more alkaline pH (pH > 7) [33]. The same condition
goes to research by Beesley and the other researchers [5]. Throughout the experiments, due to
the lack of retention and mobilisation by the EFB and RH biochars observed from the leaching
and incubation experiment, As was probably retained by both biochars itself. These situations
were due to the biochars that could act as a sink for dissolved P added to the tailings [34]. This
hypothesis could be approved by statement of Hartley and the colleagues as they stated that an
increase in As mobility in biochars treated soils have been explained by the out-competition of P
with As for binding sites in alkaline pH conditions, and the subsequent release of As [35].
Furthermore, as the pH increases, the number of positively charged sites on the tailings
decreases, which lowers the sorption capacity of negatively charged oxy-anions of As [36].
Hence, it is reasonable that the As mobility and stability increased after additions of EFB and RH
biochars which greatly increased the tailings pH and P level, which addition of biochar will
raised soil pH which then will increased the bioavailability of P [37].
In the first fraction of incubating and leaching experiment, the amounts of Cu were high,
shows the solubility of these metals were high, contrasting with As. The Cu had a similar trend,
where the amounts were started to decrease after the second and next fraction of the incubating
and leaching, suggesting strong initial desorption from the tailings which were reduced as the
water-soluble fraction was depleted. Addition of tailings with EFB and RH biochars reduced the
amounts of Cu as the consistent reductions in the amount of these metals in the eluates indicating
a strong tendency of biochars to retain these metals. The amounts of soluble Cu have been
associated with relatively high water soluble and exchangeable fraction (Figure 1). However, in
the case of As, pseudo-total concentration was high in the tailings but the solubility was low due
to majority of As is in more stable form (residual with 29.39%) compared to Cu (residual with
7.82%); despite As also was weakly water-soluble in the tailings.
The ability of EFB and RH biochars to immobilise and stabilise As and Cu were due to
the complexation of each heavy metals with different functional groups that exist in the biochar
through the exchange of As and Cu with cations (Ca2+, Mg2+, K+, Na+ and S), physical
34
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
adsorption or by the richness of oxygenated compounds (lactone, phenolic and carboxylic) on
the surface of the biochars [38]. Furthermore, the reduction amount of Cu in the leachates were
due to the availability of functional groups such as ‒O‒, =O and ‒CHO on the biochars surface,
hence reduce the mobility of the metals. This statement can be verified by the presence of Hbonded hydroxyl groups (phenols and alcohols), C-H bond (alkene groups), C≡C groups and
carboxylate functional groups. Moreover, the presence of other functional groups such as
carbonyl, carboxyl, hydroxyl, ether, aromatic C=N bond and N-H3 bond indicate that EFB and
RH biochars are rich with functional groups that may help to immobilise and stabilise As and Cu
in both leachate and eater-extractable system.
The higher O/C ratio of RH biochars compared to EFB biochars confirms the higher
effects on reducing the availability of Cu. The higher content of O/C ratio is correlated with
CEC, which in turn correlated with the presence of oxygenated compounds (hydroxyl, phenolic
and carboxylic) that are able to chelate these metals [39]. As mentioned in the previous studies,
atomic ratio of H/C was decreased while O/C was increased throughout the increasing pyrolysis
temperatures, suggesting that the process of dehydrogenation and demethanation process of the
biochar at HH were occurred [19]. However at low pyrolysis temperature (350 oC), the H/C ratio
was higher than O/C, due to the biochars that transformed gradually to more aromatic and
carbonaceous materials, but at HTT, dehydration, decarboxylation and decarbonylation process
will release CO2, CO and water [19].
Determination of the mobility and stability of As and Cu were also depending on the
structure and porosity of the biochar itself since the nutrient leaching and retention effects to
pore sizes, outer and inner surfaces of biochar [14]. The porous structure of each resulting
biochars can be clearly seen in the SEM photographs exposing a variety of shapes in the
micropores, macropores and mesopores, as showed in previous studies [19]. The biochars of
EFB350 and RH350 were filled with tissue that was not devolatilized and can be seen that the
pores were not fully developed. As the pyrolysis temperature started to increase, the micrographs
of both biochars showed many orderly pores on the surface and form an arranged pore structures.
However, at HTT (650 oC), EFB and RH biochars showed some cracks and shrinkages on the
surface of the biochars due to severe thermal treatment. Besides, the biochar particles attained at
650 oC form the characteristics of highly porous, hollow, spherical particles and well-arranged.
These particles seem very fragile and thin walled. Throughout the increasing pyrolysis
temperature, can be seen that the structural ordering and the decrease in the numbers of
micropores and increase in macropores. This postulation had been proved by Major and the
colleagues as they stated that the biochar porosity contributes to organic and inorganic nutrient
and metals adsorption directly through charge or covalent interaction on a large surface area, i.e.
the high porosity of biochar is accompanied by high surface area, to which hydrophilic and
hydrophobic molecules can sorb dependent upon the functional groups in the biochar [39].
Besides of availability of oxygen compound in the biochars itself, the uncovered mine
tailings at active dam had been allowed to be in contact with oxygen. This situation might have
resulted in the oxidation of sulphide minerals in the mine tailings. The oxidation of sulphide
minerals will combine of As can result in the dissolution of As by water. Availability of
sulphides, high contents of As, potential of oxygen contact and high sulphate concentration in
the mine tailings, equation 1 – 3 that were stated may show related to dissolution of Fe and As,
as an example, could have occurred in the mine tailings [1]:
FeS2 + 3½O2 + H2O  Fe2+ + 2SO2-4 + 2H+
(1)
Fe(1 – x)S + (2 – x/2)O2 + xH2O  (1 – x)Fe2+ + SO2-4 + 2xH+
(2)
4FeAsS + 13O2 + 6H2O  4Fe2+ + 4H2AsO-4 + 4SO2-4 + 4H(3)
Here, ferrous ions will precipitate in the form of ferric hydroxide by hydrating or
oxidizing as shown in equation 4 below:
Fe2+ + ¼O2 + 2½H2O  Fe(OH)3 + 2H+
(4)
35
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Heavy metals released by oxidation can re-adsorbed onto the surface of the ferric
hydroxide, and adsorbed heavy metals can be separated from the surface of ferric hydroxide by
water [40]. The high leaching concentration in these experiments indicate that easing soluble
fraction of As and other contaminants might be already released by the oxidation of sulphide
minerals with air and water with the help of the physicochemical properties of EFB and RH
biochars.
REFERENCES
M. Lim, G. C. Han, J. W. Ahn, K. S. You, and H. S. Kim, “Leachability of arsenic and heavy metals from mine
tailings of abandoned metal mines,” International Journal of Environmental Research and Public Health,
vol. 6, no. 11, pp. 2865-2879, 2009.
C. N. Mulligan, R. N. Yong, and B. F. Gibbs, “An evaluation of technologies for the heavy metal remediation of
dredged sediments,” Journal of Hazardous Materials, vol. 85, no. 1-2, pp. 145-163, 2001.
J. Chen, D. Zhu, and C. Sun, “Effect of heavy metals on the sorption of hydrophobic organic compounds to
wood charcoal,” Environmental Science and Technology, vol. 41, no. 7, pp. 2536-2541, 2007.
D. Mohan, C. U. Pittman Jr, and P. H. Stelle, “Pyrolysis of wood biomass for bio-oil: a critical review,” Energy
and Fuels, vol. 20, no. 3, pp. 848-889, 2006.
L. Beesley, E. Moreno-Jimenez, and J. L. Gomez-Eyles, “Effects of biochar and greenwaste compost
amendments on mobility, bioavailability and toxicity of inorganic and organic contaminants in a multielement polluted soil,” Environmental Pollution, vol. 158, no. 6, pp. 2282-2287, 2010.
X. Chen, G. Chan, L. Chen, Y. Chen, J. Lehmann, M. B. McBride, and A. G. Hay, “Adsorption of copper and
zinc by biochars produced from pyrolysis of hardwood and corn straw in aqueous solution,” Bioresource
Technology, vol. 102, no. 9, pp. 8877-8884, 2011.
M. Kiliç, C. Kirbiyik, Ӧ. Çepelioğullar, and A. E. Pütün, “Adsorption of heavy metal ions from aqueous
solutions by bio-char, a by-product of pyrolysis,” Applied Surface Science, vol. 283, pp. 856-862, 2013.
G. Fellet, L. Marchiol, G. D. Vedove, and A. Peressotti, “Application of biochar on mine tailings: effects and
perspective for land reclamation,” Chemosphere, vol. 83, no. 9, pp. 1262-1267, 2011.
D. Houben, L. Evrard, and P. Sonnet, “Mobility, bioavailability and pH-dependent leaching of cadmium, zinc
and lead in contaminated soil amended with biochar,” Chemosphere, vol. 92, no. 11, pp. 1450-1457,
2013.
M. Uchimiya, I. M. Lima, K. T. Klasson, and L. H. Wartelle, “Contaminant immobilization and nutrient release
by biochar soil amendment: role of natural organic matter,” Chemosphere, vol. 80, no. 8, pp. 935-940,
2010.
F. Rees, M. O. Simonnot, and J. L. Morel, “Short-term effects of biochars in soil heavy metal mobility are
controlled by intra-particle diffusion and soil pH increase,” European Journal of Soil Science, vol. 65, no.
1, pp. 149-161, 2014.
X. Xu, X. Cao, and L. Zhao, “Comparison of rice husk and dairy manure derived biochars for simultaneously
removing heavy metals from aqueous solutions: role of mineral components in biochars,”
Chemosphere, vol. 92, no. 8, pp. 955-961, 2013.
J. Ni, J. J. Pignatello, and B. Xing, “Adsorption of aromatic carboxylate ions to black carbon (biochar) is
accompanied by proton exchange with water,” Environmental Science and Technology, vol. 45, no.21,
pp. 9240-9248, 2011.
L. Beesley and M. Marmiroli, “The immobilization and retention of soluble arsenic, cadmium and zinc by
biochar,” Environmental Pollution, vol. 159, no. 2, pp.474-480, 2011.
T. Namgay, B. Singh, and B. P. Singh, “Influence of biochar application to soil on the availability of As, Cd, Cu,
Pb and Zn to maize (Zea mays L.),” Soil Research, vol. 48, no. 7, pp. 638-647, 2010.
J. Jiang, R. K. Xu, T. Y. Jiang, and Z. Li, “Immobilization of Cu(II), Pb(II) and Cd(II) by the addition of rice
straw derived biochar to a simulated polluted Ultisol,” Journal of Hazardous Materials, vol. 229-230, pp.
145-150, 2012.
G. Maschio, C. Koufopanos, and A. Lucchesi, “Pyrolysis, a promising route for biomass utilization,”
Bioresource Technology, vol. 42, no. 3, pp. 219-231, 2003.
36
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
M. Keiluweit, P. S. Nico, M. G. Johnson, and M. Kleber, “Dynamic molecular structure of plant biomassderived black carbon (biochar),” Environmental Science and Technology, vol.44, no. 4, pp. 1247-1253,
2010.
N. Claoston, A. W. Samsuri, M. H. A. Husni, and M .S. M. Amran, “Effects of pyrolysis temperature on the
physicochemical properties of empty fruit bunch and rice husk biochars,” Waste Management and
Research, vol. 32, no. 4, pp. 331-339, 2014.
T. A. Kettler, J. W. Doran, and T. L. Gilbert, “Simplified method for soil particle-size determination to
accompany soil-quality analyses,” Soil Science of America Journal, vol. 65, no. 3, pp. 849-852, 1999.
H. D. Chapman, “Cation-exchange capacity,” in Methods of soil analysis – Part 2: Chemical and
microbiological properties, C. A. Black, Eds., pp. 891-901, Agronomy, Wisconsin, USA, 1965.
W. S. Shu, Z. H. Ye, C. Y. Lan, Z. Q. Zhang, and M. H. Wong, “Acidification of lead/zinc mine tailings and its
effect on heavy metal mobility,” Environmental International, vol. 25, no. 5-6, pp. 389-394, 2001.
T. B. Goh, R. J. St Arnaud, and A. R. Mermet, “Carbonates,” in Soil sampling and method of analysis, M. R.
Carter, Eds., pp. 177-185, Lewis Publishers, Florida, USA, 1993.
G. Frangipane, M. Pistolato, E. Molinaroli, S. Guerzoni, and D. Tagliapierta, “Comparison of loss on ignition
and thermal analysis stepwise methods for determination of sedimentary organic matter,” Aquatic
Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems, vol. 19, no. 1, pp. 24-33, 2009.
V. Cappuyns, R. Swennen, and M. Niclaes, “Application of the BCR sequential extraction scheme to dredged
pond sediments contaminated by Pb-Zn mining: A combined geochemical and mineralogical
approach,” Journal of Geochemical Exploration, vol. 93, no. 2, pp. 78-90, 2007.
J. Li, Z. M. Xie, Y. G. Zhu, and R. Naidu, “Risk assessment of heavy metal contaminated soil in the vicinity of a
lead/zinc mine,” Journal of Environmental Sciences (China), vol. 17, no. 6, pp. 881-885, 2005.
J. W. C. Wong, C. M. Ip, and M. H. Wong, “Acid-forming capacity of lead-zinc mine tailings and its
implications for mine rehabilitation,” Environmental Geochemistry and Health, vol. 20, no. 3, pp. 149155, 1998.
S. C. Wu, K. C. Cheung, Y. M. Luo, and M. H. Wong, “Effects of inoculation of plant growth-promoting
rhizobacteria on metal uptake by Brassica juncea,” Environmental Pollution, vol.140, no. 1, pp. 124-135,
2006.
P. Schwab, D. Zhu, and M. K. Banks, “Heavy metal leaching from mine tailings as affected by organic
amendments,” Bioresource Technology, vol. 98, no. 15, pp. 2935-2941, 2007.
P. Hazeton and B. Murphy, “Interpreting the soil test results: what do all the numbers mean?,” CSIRO
Publications, Australia, pp. 119-126, 2007.
E. A. Konradi, T. Frentiu, M. Ponta, and E. Cordos, “Use of sequential extraction to assess metal fractionation in
soils from Bozanta Mare, Romania,” Seria F Chemia, vol. 8, pp. 5-12, 2005.
D. Laird, P. Fleming, B. Wang, R. Horton, and D. Karlen, “Biochar impact on nutrient leaching from a
Midwestern agricultural soil,” Geoderma, vol. 158, no. 3-4, pp. 436-442, 2010.
W. Hartley, N. M. Dickinson, P. Riby, and N. W. Lepp, “Arsenic mobility in brownfield soils amended with
greenwaste compost or biochar and planted with Michantus,” Environmental Pollution, vol. 157, no. 10,
pp. 2564-2662, 2009.
S. C. Wilson, P. V. Lockwood, P. M. Ashley, and M. Tighe, “The chemistry and behaviour of antimony in the
soil environment with comparisons to arsenic: a critical review,” Environmental Pollution, vol. 158, no.
5, pp. 1169-1181, 2010.
R. E. Lucas, and J. F. Davis, “Relationships between pH values of organic soils and availabilities of 12 plant
nutrients,” Soil Science, vol. 92, no. 3, pp. 177-182, 1961.
M. Uchimiya, L. H. Wartelle, K. T. Klasson, C. A. Fortoer, and I. M. Lima, “Influence of pyrolysis temperature
on biochar property and function as a heavy metal sorbent in soil,” Journal of Agricultural and Food
Chemistry, vol. 59, no. 6, pp. 2501-2510, 2011.
J. W. Lee, M. Kidder, B. R. Evans, S. Paik, A. C. Buchanan III, C. T. Graten, and R. C. Brown,
“Characterization of biochars produced from cornstovers for soil amendment,” Environmental Science
and Technology, vol. 44, no. 20, pp. 7970-7974, 2010.
X. Cao, L. Ma, B. Gao, and W. Harris, “Dairy-manure derived biochar effectively sorbs lead and atrazine,”
Environmental Science and Technology, vol. 43, no. 9, pp. 3285-3291, 2009.
37
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
J. Major, C. Steiner, A. Downie, and J. Lehmann, “Biochar effects on nutrient leaching,” in Biochar for
environmental management: Science and Technology, J. Lehmann, and S. Lehmann, Eds., pp. 271-288,
Earthscan, London, 2009.
H. Holmstrom, J. Ljunberg, M. Ekstrom, and B. Ohlander, “Secondary copper enrichment in tailings at the
Laver mine, northern Sweden,” Environmental Geology, vol. 38, no. 4, pp. 327-342, 1999.
38
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
PENGARUH PEMBERIAN BIOCHAR DAN KOMPOS KULIT KAKAO
TERHADAP KUALITAS TANAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO
E.R. Indrayatie1) dan W.H. Utomo2)
E.R. Indrayatie, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Indonesia. Email :[email protected]
IRC MEDMIND, Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK
Penelitian untuk mempelajari pengaruh biochar dan kompos yang dibuat dari kulit kakao dilakukan di “screen
house” Universitas Brawijaya, Malang. Bibit kakao ditanam dalam polybag yang diisi media tanah lempung berliat
sebanyak 5 kg. Ada 7 perlakuan yang diuji dalam penelitian ini, yaitu: (1) control (tanah tidak diperlakukan), (2) control + N,
tanah diberi kompos, (4) tanah dicampur kompos dan dipupuk nitogen, (5) tanah diberi biochar, (6) tanah diberi biochar dan
dipupuk nitrogen, (7) tanah diberi kompos dan biochar. Ke 7 perlakuan tersebut diatur dalam Rancangan Acak Lengkap
dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian biochar, sebagaimana pemberian kompos dapat
memperbaiki kualitas media tumbuh bibit kakao. Biochar dibandingkan control tanpa pupuk dapat meningkatkan C
(82,18%), P (11,79%), KTK (15,48%) dan menurunkan BI (21,09%) serta menaikkan porositas (20,62%) dan kandungan
air tersedia (15,79%). Biochar dapat memperbaiki pertumbuhan bitit tanaman kakao. Dalam hal ini dapat meningkatkan
tinggi tanaman, luas daun dan berat kering tanaman. Walaupun demikian, pada tahap pertumbuhan awal, pemberian
biochar tanpa disertai pupuk N menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang baik. Jika ditambah kompos pengaruh negative
biochar tidak Nampak, bahkan bibit kakao tumbuh lebih baik. Kombinasi pemberian biochar dan kompos dibandingkan
perlakuan control (tanah tidak diperlakukan) memperbaiki kualitas tanah tertinggi dengan meningkatkan C (88,12%) , N
(137,50%), P (16,09%), KTK (21,70%) dan menurunkan BI (25, 78%) serta menaikkan porositas (20,91%).
Kata kunci: pupuk organic, bahan pembenah tanah, Carbon tanah, pemanfaatan limbah
PENDAHULUAN
Tanaman kakao (Theobroma cacao L), pada perkebunan rakyat menghasilkan limbah kulit buah
kakao (cangkang) yang cukup melimpah dan dapat dimamfaatkan sebagai, pakan ternak, kompos dan
pembenah tanah serta selalu tersedia sepanjang tahun. Buah Kakao terdiri dari kulit buah/cangkang (75,65%),
biji (21,74%), plasenta (2,59%). Keberadaan limbah kulit buah kakao belum banyak dimanfaatkan, padahal
memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan amandement tanah atau pembenah tanah (Biochar) dan
kompos. Bobot buah kakao yang dipanen per ha akan diperoleh 6200 kg kulit buah dan 2178 kg biji basah.
Limbah kulit buah kakao dapat diolah menjadi kompos untuk menambah bahan organik tanah. Kandungan
hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara Kalium dan Nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari
total nutrien buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Aplikasi kulit buah kakao dalam bentuk kompos secara
langsung kedalam tanah, maka hasil dekomposisinya berupa unsur hara dan emisi gas rumah kaca seperti
karbon dioksida. Pendekatan ini, setiap tahun untuk menambanhakan bahan organic perlu input pupuk
(Kamara et al, 2015). Alternative yang lebih berkelanjutan adalah mengkonversi limbah tanaman dalam bentuk
biochar yang diaplikasikan ke dalam tanah. Biochar merupakan bahan arang yang dibuat dari limbah pertanian
organik, yang bisa berasal dari sisa-sisa penebangan kayu, tempurung kelapa, dan kotoran sapi (Sukartono et al,
2011). Hasil penelitian terbaru menunjukkan kemampuan biochar untuk meningkatkan kualitas tanah,
menunjukkan adanyan peningkatan hasil produksi panen dan juga memiliki waktu tinggal yang lama di dalam
tanah (Lehmann et al, 2003;. Chan, Van Zwieten, Meszaros, Downie, Joseph, 2008; Chintala et al., 2014a).
Luas permukaan dan porositas biochar yang tinggi memungkinkan untuk menyerap atau mempertahankan
nutrisi dan air (Chintala et al, 2013a;. Chintala et al, 2013b.), menyediakan habitat yang menguntungkan bagi
mikroorganisme untuk berkembang biak dan mengurangi tingkat penipisan unsur hara tanah. Biochar juga
mempertahankan C yang tinggi di dalam tanah sebagai hasil yang stabil dari proses perombakan oleh
mikroorganisme. (Baldock & Smernik, 2002; Chintala et al, 2013a.; Chintala, 2014b). Retensi unsur hara
dalam tanah dapat ditingkatkan dengan menambahkan biochar sehingga mengurangi kebutuhan pupuk total
dan mengurangi efek samping yang berkaitan dengan pupuk (Yeboah et al. 2009). Menurut Lehmann (2007)
semua bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mampu meningkatkan berbagai fungsi tanah tak
terkecuali retensi berbagai unsur hara esensial bagi pertumbuhan tanaman. Biochar lebih efektif menahan unsur
hara untuk ketersediaannya bagi tanaman dibandingkan bahan organik lain.
39
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Indonesia potensi limbah hasil pertanian seperti limbah kulit kakao, tempurung kelapa, sekam padi
untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembenah tanah cukup tinggi, sehingga penggunaan dan manfaat biochar
sebagai pembenah tanah berbahan limbah pertanian merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan
untuk memperbaiki sifat fisik-kimia tanah dan pertumbuhan tanaman. Dalam pengeloaan limbah dikenal
dengan kosep 3R (reuse, reduse dan recicle) . mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan setiap panen Kakao
Reuse berarti menggunakan kembali limbah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama atau fungsi
yang lain. Reduse artinya mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan limbah. Recicle artinya mengolah
kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.
Dalam penelitian ini mencoba menerapkan konsep pengelolaan limbah dengan memanfaatkan limbah
kulit kakao untuk kompos dan biochar agar dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan setiap panen
Kakao sehingga apabila diaplikasikan ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik kima tanah dan
meningkatkan pertumbuhan bibit kakao itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian biochar dan kompos terhadap kualitas tanah dan petumbuhan bibit Kakao.
BAHAN DAN METODA
Bahan Percobaan:
Untuk media tanaman diambil tanah (0-20 cm) dari perkebunan kakao di daerah Dampit, Kabupaten
Malang. Untuk kompos dan biochar digunakan kulit kakao dari perkebunan rakyat. Pembuatan kompos
dilakukan dengan cara memotong-motong kulit buah kakao yang dilakukan secara manual. Selanjutnya kulit
buah yang telah dipotong potong tersebut dimasukan ke dalam kotak pengomposan di tumpuk sampai
ketebalan sekitar 30 cm. Untuk membantu proses pengomposan tumpukan potongan buah tersebut ditaburi
dengan bioaktivator yang berbahan aktif Trichoderma sp. Kemudian dilakukan lagi penambahkan potongan
kulit buah kakao dan bioaktivator sampai 4 tumpukan. Pembuatan Biochar dilakukan sesuai dengan metoda
yang dijelaskan oleh Skartono et al. (2011). Beberapa sifat tanah, kompos dan biochar yang digunakan dalam
percobaan ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa sifat Tanah, kompos kulit kakao dan biochar kulit kakao yang
dipakai dalam percobaan.
Perlakuan
Tanah
Kompos kulit kakao
Biochar kulit kakao
pH
6,7
6,1
7,8
C
(%)
0,92
24,28
29,55
N
(%)
0,08
2,05
0,03
P
%
8,25*)
0,69
0,72
K
%
1,81*)
0,47
0,56
KTK
cmol/kg
11,25
14,60
19,38
_______________________________________________________________________
*) kandungan P dalam tanah dinyatakan dalam ppm dan K dalam cmol/kg
Benih kakao (varitas ICCRI 02) yang diperoleh dari PTPN XII disemaikan dan setelah berumur 1 bulan
dipindahkan ke media percobaan.
Pelaksanaan Percobaan.
Enam kg tanah lolos ayakan 2,0 mm dimasukkan ke dalam polybag, selanjutnya diperlakukan sebagai
berikut:
1.
2
3.
4.
5.
6.
7.
Kontrol (media tanah tanpa penambahan bahan lain)
.Diberi pupuk N (6 g N/polybag): Kontrol + N
Lima kg tanah diberi kompos kulit kakao (kadar air 70%) 1 kg per polybag: Kompos
Kompos + N
5,9 kg tanah diberi biochar 0,1 kg/polybag: Biochar
Biochar + N
Biochar + kompos kulit kakao
40
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Ke tujuh perlakuan tersebut diatur dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 4 ulangan. Variabel yang
diamati meliputi sifat tanah (pH, C, N, P, K, KTK, Berat Isi, porositas, dan kandungan air tersedia), serta tinggi
tanaman, jumlah daun, luas daun, keliling batang, berat kering akar dan berat kering tanaman. Keliling tanaman
diukur pada keliling maksimum.
Analisa tanah dilakukan setelah bibit dipanen ( 4 bulan). pH dinalisa dalam larutan H2O (1:1), C dengan
metoda Walkley & Black, N dengan metode Kejldahl, P dengan Bray 2. Untuk menentukan kandungan K dan
KTK, tanah dijenuhi dengan Amonium Acetat 1 N, pH 7 kemudian kandungan K dibaca dengan AAS
(Shimatzu, Jepang). Karakteristik biochar dianalisis dengan yang dijelaskan oleh Ahmedna et al. (1998) dan
ASTM D 3176 (ASTM, 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sifat Kimia Tanah
Pengaruh pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 (empat) bulan terhadap pH, C, N, P, K dan
KTK dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ke 7 (tujuh) perlakuan berpengaruh
nyata terhadap pH, C, N, P dan KTK, sedangkan terhadap kandungan K tidak berpengaruh.
Tabel 2. Beberapa sifat kimia Tanah setelah 4 bulan pemberian kompos dan biochar
Perlakuan
Control (tanpa
pupuk)
Kontrol + N
Kompos (tanpa N)
Kompos + N
Biochar (tanpa N)
Biochar +N
Biochar + kompos
BNJ 5%
pH
C
(%)
N
(%)
P
(ppm)
K
cmol/kg
KTK
cmol/kg
6,8
1,01
0,08
8,14
1,21
12,21
6,7
6,3
6,3
7,1
6,9
6,9
0,98
1,25
1,28
1,84
1,79
1,90
0,11
0,16
0,15
0.07
0,18
0,19
7,98
8,84
8,28
9,10
8,90
9,45
1,35
1,60
1,70
1,66
1,70
1,84
0,5
0,65
0,03
1,07
0,45
11,60
12,03
11,98
14,10
15,06
14,86
1,58
Pemberian Biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 bulan ternyata mampu meningkatkan kadar pH, C,
N, P, K dan KTK dibandingkan Control (tanpa pupuk) dan terutama pada kombinasi perlakuan biochar dan
kompos mampu meningkatkan kadar C, N, P dan K tertinggi yaitu berturut-turut sebesar 1,9%, 0,19%, 9,45
ppm, 1,84 cmol/kg. Namun demikian pemberian biochar pada tanah dibandingkan control (tanpa pupuk) juga
mampu meningkatkan kadar pH (4,41%), C (82,18%), P (11,79%) dan KTK (15,48%).
Nilai pH pada perlakuan pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 (empat) bulan apabila
dibandingkan dengan control (tanpa pupuk) meningkat dari 6,8 menjadi 6,9 (1,47%). Nilai pH 6,5 – 7,5 termasuk
dalam kriteria netral (Sulaeman et al ,2005), dimana pada tanah dengan kondisi pH netral akan mempengaruhi
perharaan menjadi tersedia bagi tanaman. Pada tanah yang diberi biochar dan kompos kulit kakao setelah 4
(empat) bulan mampu mempertahankan pH tanah pada kondisi netral, demikian juga untuk perlakuan tanah yang
hanya diberi biochar. Menurut Utomo et al (2012) biochars memiliki beberapa efek tidak langsung pada sifat
kimia tanah yang dapat berdampak pada mobilitas unsur dalam tanah. Efek penambahan biochar pada tanah akan
menyebabhan peningkatan pH tanah.
Nilai C pada perlakuan pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 (empat) bulan apabila
dibandingkan dengan control (tanpa pupuk) meningkat dari 1,01% menjadi 1,9% (88,12%) dan nilai KTK
meningkat dari 12,21 cmol/kg menjadi 14,86 cmol/kg (21,70%). Selain kompos, maka biochar juga berperan
41
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
dalam meningkatkan kadar C. Menurut Jose et al (2013) Pirolysis bahan organik untuk menghasilkan hasil
biochar yang diaplikasikan dalam tanah akan meningkatkan sifat seperti (i) luas permukaan internal, (ii) kapasitas
tukar kation (CEC), (iii) pH, dan menurunkan (iv) degradasi tanah.
Kalau dibandingkan sifat kimia tanah control (tanpa pupuk), maka kombinasi perlakuan biochar dan
kompos setelah 4 (empat) bulan meningkatkan kadar N dari 0,08% menjadi 0,19% (137,5%), kadar P dari 8,14
ppm menjadi 9,45 ppm (16,09%) dan kadar K dari 1,21 cmol/kg menjadi 1,84 cmol/kg (52,07%). Menurut
Yamoto et al (2006) aplikasi biochar dari kulit pohon Accasia mangium (37 ton/ha) pada lahan yang kurang
subur yang ditanamai Jagung dan kacang tanah hasilnya mampu meningkatkan N dan P tersedia. Tingginya K
tersedia dalam biochar yang di aplikasikan dalam tanah dapat meningkatkan K serapan (Lehmann et al,2003b;
Chan et al, 2007).
Dengan sifat kompos dan biochar yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah maka dengan kombinasi
antara biochar dan kompos kulit kakao akan semakin meningkatkan sifat kimia tanah seperti pH, C, N, P, K dan
CEC (Tabel 2).
2. Sifat Fisik tanah
Pengaruh pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4(empat) bulan terhadap berat isi,
porositas dan air tersedia dapat dilihat pada Tabel 3 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ke 7 (tujuh)
perlakuan berpengaruh nyata terhadap berat isi, porositas dan air tersedia.
Tabel 3. Beberapa sifat fisik tanah setelah 4 bulan pemberian kompos dan biochar
Perlakuan
Control (tanpa pupuk)
Kontrol + N
Kompos (tanpa N)
Kompos + N
Biochar (tanpa N)
Biochar +N
Biochar + kompos kulit kakao
BNJ 5%
Berat Isi
Mg/m3
1,28
1,22
1,05
1,12
1,01
1,02
0,95
0,16
Porositas
(%)
48,78
51,21
55,82
53,40
58,84
56,70
58,98
5,40
Air tersedia
(%)
13,68
13,05
15,33
15,82
15,84
16,14
15,60
1,76
Pemberian Biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 bulan ternyata mampu memperbaiki sifat fisik
tanah menurunkan berat isi dan meningkatkan porositas dan air tersedia dibandingkan dengan perlakuan control
(tanpa pupuk) terutama pada kombinasi perlakuan biochar dan kompos dimana berat isi tanah menurun dari 1,28
Mg/m3 menjadi 0,95 Mg/m3 (34,74%) dan meningkatkan porositas tanah dari 49,78% menjadi 58,98%
(17,29%) dan air tersedia dari 13,68% menjadi 15,60% (12,31%). Aplikasi biochar pada tanah dibandingkan
control (tanpa pupuk) dapat menurunkan berat isi (21,09%), meningkatkan porositas (20,62%) dan air tersedia
(15,79%). Hal ini diduga berhubungan dengan peran biochar dan kompos. Menurut Chan et al, (2007) ada
indikasi bahwa biochar akan mengubah sifat fisik tanah dan memiliki banyak manfaat yang sama dengan
amandemen organic lainnya. Biochar mempunyai permukaan spesifik, yang umumnya lebih tinggi dari pasir dan
sebanding dengan atau lebih tinggi dari tanah liat, sehingga akan menyebabkan kenaikan bersih total permukaan
tanah khusus ketika ditambahkan sebagai amandemen. Menurut Karen Hammes and Michael W. I. Schmidt,
2007 luas permukaan dari partikel tanah merupakan karakteristik tanah yang sangat penting karena
mempengaruhi kesuburan, termasuk air, udara, siklus nutrisi dan aktivitas mikroba. Biochar dapat memperbaiki
struktur tanah atau aerasi tanah di tanah bertekstur halus (Kolb, 2007) sehingga menurunkan persentase berat is
42
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
3. Pertumbuhan Bibit Kakao
Pengaruh pemberian biochar dan kompos kulit kakau terhadap pertumbuhan bibit kakao yang
meliputi: tinggi tanaman , jumlah daun, luas daun, keliling batang, berat kering akar dan berat total tanaman
dapat dilihat pada Tabel 4,5 dan 6.
Tabel 4. Tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun
jumlah
Tinggi tanaman
(cm)
Perlakuan
3
bulan
4
bulan
Control (tanpa pupuk)
21,28
Kontrol + N
Kompos (tanpa N)
Kompos + N
Biochar (tanpa N)
Biochar +N
Biochar + kompos
BNJ 5%
Luas daun
daun
3 bulan
4 bulan
3 bulan
4 bulan
36,42
14,1
18,0
267,42
28,42
30,57
31,42
19,71
31,42
35,71
44,28
44,00
48,00
41,14
49,71
50,85
15,0
14,3
15,0
14,8
16,1
15,6
20,1
20,0
21,0
19,8
21,6
20,4
350,00
355,28
385,14
290,14
402,85
415,65
470,28
613,56
590,30
620,14
455,06
655,62
675,55
6,70
7,55
NS
NS
74,5
115,5
Tabel 5. Keliling (lilit) batang tanaman
Perlakuan
Control (tanpa pupuk)
Kontrol + N
Kompos (tanpa N)
Kompos + N
Biochar (tanpa N)
Biochar +N
Biochar + kompos
BNJ 5%
Keliling batang (cm)
3 bulan
1,18
1,45
1,40
1,62
1,01
1,70
1,65
0,60
4 bulan
1,94
2,58
2,32
2,57
2,06
2,90
3,05
0,85
Pada Tabel 4 dan 5. terlihat bahwa penambahan biochar dan kompos kulit buah Kakao meningkatkn
tinggi tanaman, luas daun dan keliling batang bibit kakao setelah umur 4 bulan secara signifikan dibandingkan
control dan perlakuan kompos dan biochar secara sendiri sendiri. Tinggi tanaman, luas daun dan keliling batang
bibit Kakao pada pelakuan pemberian kompos baik dengan maupun tanpa N pada umur bibit Kakao 4 (empat)
bulan dan perlakuan pemberian biochar+N dan Biochar+kompos tidak berbeda namun tinggi tanaman, luas daun
dan keliling batang tertinggi terdapat pada perlakuan biochar+kompos yaitu berturut turut sebesar 50,85 cm, 675
dan 3,05 cm.
43
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 6. Berat kering akar dan berat kering total tanaman umur 4 bulan
Berat kering akar
Berat kering total
Perlakuan
(g/tanaman)
(g/tanaman)
Control (tanpa pupuk)
4,20
16,00
Kontrol + N
5,00
20,20
Kompos (tanpa N)
6,17
19,00
Kompos + N
7,01
22,49
Biochar (tanpa N)
5,14
17,79
Biochar +N
6,60
24,50
Biochar + kompos
8,85
25,63
BNJ 5%
3,15
4,20
Pada Tabel 6. terlihat bahwa penambahan biochar dan kompos kulit buah Kakao meningkatkan
pertumbuhan tanaman ( berat kering akar dan berat kering total bibit Kakao setelah umur 4 bulan secara
signifikan dibandingkan control dan perlakuan kompos dan biochar secara sendiri sendiri. . Berat kering ajakar
dan berat kering total bibit Kakao pada pelakuan pemberian kompos baik dengan maupun tanpa N pada umur
bibit Kakao 4 (empat) bulan dan perlakuan pemberian biochar+N dan Biochar+kompos tidak berbeda namun
berat kering akar dan berat kering total tertinggi terdapat pada perlakuan biochar+kompos yaitu berturut turut
sebesar 8,85 g/tanaman dan 25,63 g/tanaman.
Pada tabel 4,5 dan 6 menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pemberian biochar dan kompos kulit buah
Kakao setelah 4 bulan ternyata meningkatkan pertumbuhan tanaman bibit Kakao (tinggi tanaman ,luas daun,
keliling batang, berat kering akar dan berat total tanaman). Kompos merupakan bahan organic yang dapat
meningkatkan kapasitas tukar kation, hal ini berhubungan dengan muatan-muatan negatif yang berasal dari
gugusan –COOH dan OH yang berdisosiasi menjadi COO- dan H+ dan O- + H+. Muatan negatif ini merupakan
potensi humus mengadsorbsi kation-kation seperti Ca, Mg dan K yang diikat dengan kekuatan sedang sehingga
mudah dipertukarkan atau mengalami proses pertukaran kation (Sutedjo, 1999). Jumlah dan ukuran daun
dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya serta ketersediaan unsur hara. Stevenson dalam Thamrin (2000)
menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber cadangan unsur hara N, P, K dan S serta unsur hara mikro
(Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, Ca) akan dilepaskan secara berlahan–lahan melalui proses dekomposisi dan mineralisasi
untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Senyawa N yang terkandung dalam bahan organik berperan dalam
sintesa asam amino dan protein secara optimal, selanjutnya digunakan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Kekurangan unsur hara N menyebabkan pertumbuhan vegetatif terhambat dan tanaman
menjadi kerdil (Decoteau, 2000). Dengan penambahan biochar dalam kompos yang mempunyai kandungan N
yang tinggi akan mengurangi hilangnya N total sampai 52% (Steiner et al ,2010; Steiner et al, 2011), sehingga
pertumbuhan vegetatif tidak terhambat.
KESIMPULAN
Pemberian biochar dan kompos kulit kakao perpengaruh terhadap sifat kimia tanah (pH, C, N, P, K
dan KTK), sifat fisik tanah (berat isi, porositas dan air tersedia) dan pertumbuhan tanaman bibit kakao (tinggi
tanaman ,luas daun, keliling batang, berat kering akar dan berat total tanaman) sedangkan terhadap unsur hara
Kalium dan jumlah daun tidak berpengaruh. Aplikasi Biochar dan kompos secara sendiri sendiri dapat
meningkatkan kualitas tanah dan pertumbuhan tanaman, namun pemberian campuran biochar dan kompos
menghasilkan pH, C, N, P, K, KTK, berat isi, porositas, air tersedia, tinggi tanaman ,luas daun, keliling batang,
berat kering akar dan berat total tanaman tertinggi.
44
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Ahmedna, M., Johns, M.M., Clarke, S.J., Marshall, W.E. and Rao, R.M. 1977. Potential of agriculture byproductbased activated carbons for use in raw sugar decolorization. J. Sci. Food Agric., 75: 117–124.
ASTM, 2006. Petroleum Products, Lubricants, and Fossil Fuels: Gaseous Fuels; Coal and Coke. ASTM Inter,
West Conshohocken, PA. Vol. 05.06: D 3178.
Baldock, J. A., & Smernik, R. J. (2002). Chemical composition and bioavailability of thermally altered Pinus
resinosa (Red pine) wood. Organic Geochemistry, 33(9), 1093-1109.
Chan, K.Y., Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A. and Joseph, S. (2007) Agronomic Values of Green
Waste Biocharas a Soil Amendment. Australian Journal of Soil Research, 45, 629-634. Chan, K. Y.,
Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A., & Joseph, S. (2008). Using poultry litter biochars as soil
amendments. Australian Journal of Soil Research, 46, 437-444.
Chintala, R., Mollinedo, J., Schumacher, T. E., Malo, D. D., Papiernik, S., Clay, D. E., … Gulbrandson, D.
W.(2013a). Nitrate sorption and desorption by biochars produced from microwave pyrolysis.
Microporous and Mesoporous Materials, 179, 250-257.
Chintala, R., Schumacher, T. E., McDonald, L. M., Clay, D. E., Malo, D. D., Clay, S. A., … Julson, J. L.
(2013b). Phosphorus sorption and availability in biochars and soil biochar mixtures. CLEAN-Soil Air
Water, 41(9999), 1-9.
Chintala, R., Mollinedo, J., Schumacher, T. E., Malo, D. D., & Julson, J. L. (2014a). Effect of biochars on
chemical properties of acidic soil. Archives of Agronomy and Soil Science, 60(3), 393-404.
Decoteau, D.R., 2000. Vegetable Crop Prentice Hall Upper Saddille River N3 07458.
Daniel Fischer and Bruno Glaser (2012). Synergisms between Compost and Biochar for Sustainable Soil
Amelioration, Management of Organic Waste, Dr. Sunil Kumar (Ed.), ISBN: 978-953-307-925-7,
InTech, Available from:
Kamara A., S.U. Kamara, M.S. Kamara.Effect of Rice Straw Biochar on Soil Quality and the Early Growth and
Biomass Yield of Two Rice Varieties. Journal Agricultural Sciences, 6. 798-806
Kolb, S.E., K.J. Fermanich and M.E. Dornbush. 2009. Effect of charcoal quantity on microbial biomass and
activity in temperate soils. Soil Science Society of America Journal, 73:1173–1181
Lehmann, J., da Silva, Jr., J. P., Steiner, C., Nehls,T., Zech,W. and Glaser, B. (2003b) ‘Nutrient availability and
leaching in an archaeological Anthrosol and a Ferralsol of the Central Amazon basin: fertilizer, manure
and charcoal amendments’,Plant and Soil, vol 249, pp343–357
Lehmann, J., 2007. Bioenergy in the black. Frontiers in Ecology and the Environment Vol. 5, Hal: 381—387.
Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis Kimia Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertania
Sutedjo, M.M., 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan Tanaman Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Sukartono, Utomo, W. H., Kusuma, Z. & Nugroho, W. H. (2011). Soil fertility status, nutrient uptake, and
maize(Zea mays L.) yield following biochar application on sandy soils of Lombok, Indonesia. Journal of
Tropical Agriculture, 49, 47-52.
Steiner, C., Das, K.C., Melear, N. and Lakely, D. (2010) Reducing Nitrogen Loss During Poultry
Litter Composting Using Biochar. Journal of Environmental Quality. 39:1236‐ 1242.
Steiner, C., Melear, N., Harris, K. and Das, K.C. (2011). Biochar as bulking agent for poultry litter composting.
Carbon Management. 2:227‐ 230
Utomo, W. H., Guritno, B., & Soehono, L. A. (2012). The Effect of Biochar on the Growth and N Fertilizer
Requirement of Maize (Zea mays L.) in Green House Experiment. Journal of Agricultural Science,
4(5),255-262.
Yamato, M., Okimori, Y., Wibowo, I. F., Anshori, S., & Ogawa, M. (2006). Effects of the application of charred
bark of Acacia mangium on the yield of maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in
South Sumatra, Indonesia. Soil Sci. Plant Nutr., 52, 489-495
Yeboah, E., Ofori, P., Quansah, G.W., Dugan, E. and Sohi, S. (2009) Improving soil productivity through
biochar amendments to soils. African Journal of Environmental Science and Technology 3(2): 34 – 41
45
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
PEMANFAATAN BIOCHAR SERASAH TEBU DAN LIMBAH TEBU LAINNYA
UNTUK PERBAIKAN KUALITAS TANAH BERPASIR
Budi Hariyono1,2, Wani Hadi Utomo3,4, Sri Rahayu Utami3 dan Titiek Islami5
1 Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
2 Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat – Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jl. Karangploso PO.Box 199,
Malang 65152, Indonesia. Email: [email protected]
3 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
4 Pusat Penelitian Internasional untuk Pengelolaan Lahan Terdegradasi dan Pertambangan, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang
65145, Indonesia
5 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
ABSTRAK
Serasah tebu yang tersisa di lahan setiap panen dapat dikonversi menjadi biochar untuk bahan pembenah tanah.
Penelitian pot dilakukan di Malang, Jawa Timur (7o54’26” LS; 112o37’22” BT; 522 m dpl) pada Oktober 2013 hingga
Oktober 2014. Penelitian bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat tanah bertekstur pasir akibat pemberian biochar
serasah tebu dan limbah tebu lainnya, serta pengaruhnya pada pertumbuhan tebu asal budchip. Penelitian disusun dalam
rancangan acak kelompok dengan 6 perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan meliputi: 1) Biochar serasah tebu 10 t ha-1; 2)
Abu ketel 10 t ha-1; 3) Kompos serasah tebu 10 t ha-1; 4) Biochar serasah tebu 5 t ha-1 + kompos serasah tebu 5 t ha-1; 5)
Abu ketel 5 t ha-1 + kompos serasah tebu 5 t ha-1; dan 6) Kontrol. Analisis FTIR menunjukkan biochar memiliki gugus
fungsional utama O-H, N-H, C=C, C-O, C=O, C-H, C-O-C, yang berpotensi sebagai sumber muatan. Analisis SEM
menunjukkan biochar memiliki struktur mikropori yang berpotensi untuk mengikat air dan hara. Aplikasi biochar serasah
tebu dan limbah tebu lainnya dapat memperbaiki sifat fisika tanah berpasir yakni berat isi, porositas total, kadar air tersedia
dan kemantapan agregat. Sifat kimia tanah berpasir juga dapat diperbaiki yakni C-organik, N-total, P-tersedia, K-dapat
ditukar dan KTK. Perbaikan sifat fisika dan kimia tanah yang terjadi belum dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tebu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari pengaruh residu dari aplikasi biochar pada tebu ratoon, dan
penelitian di lahan pengembangan tebu.
Kata kunci: serasah tebu, biochar, kompos, tebu (Saccharum officinarum L.)
PENDAHULUAN
Dalam budidaya tebu (Saccharum officinarum L.), pada saat panen tersisa serasah tebu di lahan yang
jumlahnya berlimpah; yakni sekitar 6-8 t ha-1 (Singh et al., 2008; Chandel et al., 2012), bahkan mencapai 10-20 t
ha-1 (Leal et al., 2013). Hassuani et al. (2005) melaporkan bahwa rata-rata serasah yang tertingal di lahan setelah
panen tebu adalah 14% dari biomassa batang tebu yang diangkut sebagai bahan baku gula. Dengan perbandingan
tersebut, jika produktivitas tebu di Indonesia 85 t ha-1, maka ada 11,9 t serasah tebu yang tertinggal di lahan.
Di Indonesia, serasah yang berlimpah ini seringkali dipandang sebagai sampah yang menyulitkan petani
dalam mengelola lahannya untuk ratoon, sehingga serasah dibakar dan hanya menyisakan abu. Tidak banyak
yang menggunakannya sebagai mulsa, atau diproses menjadi kompos (Goenadi dan Santi, 2006; Chandel et al.,
2012). Serasah yang berlimpah ini berpotensi untuk dikonversi menjadi biochar, yang dapat dikembalikan ke
tanah sebagai pembenah tanah (Bonelli et al., 2006; Quirk et al., 2012). Dalam industri gula tebu, dihasilkan
limbah berupa ampas (bagasse) 28% (Almazan, 1998). Biasanya bagasse digunakan untuk bahan bakar ketel dan
menyisakan abu ketel 2-5% (Gartner, 2012). Abu ketel dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kualitas lahan tebu.
Biochar yang merupakan bahan padatan karbon hasil proses pyrolysis atau pembakaran biomassa dalam
kondisi oksigen terbatas pada suhu <700 oC, diketahui lebih efisien dalam memperbaiki kualitas tanah
dibandingkan dengan bahan organik pembenah tanah lainnya (Brown, 2009; Lehmann dan Joseph, 2009).
Biochar tahan terhadap degradasi oleh mikroorganisme sehingga karbon akan bertahan lebih lama (stabil) di
dalam tanah. Oleh karena itu, biochar sangat bermanfaat untuk memelihara kandungan karbon tanah (Kimetu
dan Lehmann, 2010).
Biochar diketahui dapat memperbaiki kualitas tanah baik karakter fisika, kimia dan biologi tanah (Chan et
al., 2007; Quilliam et al., 2012). Biochar dapat meningkatkan daya pegang air sehingga menghemat irigasi,
46
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
mendukung fiksasi dan retensi N sehingga mengurangi pencucian N dan emisi N2O. Aplikasi biochar dapat
meningkatkan KTK dan memperbaiki kemasaman tanah sehingga kesuburan meningkat. Aplikasi biochar dapat
meningkatkan jumlah mikrobia tanah yang menguntungkan. Aplikasi biochar ke dalam tanah berarti menyimpan
C dalam tanah sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan demikian aplikasi biochar dapat mengurangi
ketergantungan petani terhadap input pupuk, dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Barrow,
2012).
Dalam rangka peningkatan produksi tebu sebagai bahan baku pembuatan gula di Indonesia,
pengembangan tebu dilakukan juga ke lahan suboptimal, diantaranya lahan kering tadah hujan yang tanahnya
bertekstur pasir, yang biasanya kualitas tanahnya rendah. Dari sisi tanaman, selain penggunaan bibit tebu dalam
bentuk setek (bagal), dikembangkan pula budidaya tebu menggunakan bibit yang berasal dari satu mata tunas
(budchip). Mata tunas tebu disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam di lahan pengembangan. Untuk
keberhasilan budidaya tebu dengan sistem penanaman menggunakan bibit budchip di tanah berpasir diperlukan
dukungan teknologi pengelolaan tanah yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan
beberapa sifat tanah bertekstur pasir akibat pemberian biochar serasah tebu, kompos serasah tebu, abu ketel dan
kombinasinya, serta pengaruhnya pada pertumbuhan tebu asal budchip.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) di
Karangploso, Malang, Jawa Timur, Indonesia (7o54’26” LS; 112o37’22” BT; 522 m dpl) pada bulan Oktober
2013 sampai dengan Oktober 2014. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Ubi (Balitkabi) dan Laboratorium Tanah Universitas Brawijaya, Malang. Analisis fourier transform
infrared spectroscopy (FTIR) dengan Shimadzu FTIR-8400S dilaksanakan di Laboratorium Kimia Universitas
Brawijaya Malang untuk mengidentifikasi gugus fungsional ikatan kimia yang terdapat dalam biochar. Untuk
mengetahui struktur morfologi permukaan biochar dilakukan analisis scanning electron microscopy (SEM) dan
Energy Dispersive X-Ray (EDX) dengan Hitachi TM3000 di Laboratorium Biosains Universitas Brawijaya,
Malang.
Bahan yang digunakan yakni: tanah berpasir, serasah tebu yang diproses menjadi biochar dan kompos,
abu ketel, bibit tebu asal budchip varietas Bululawang (BL), pupuk NPK phonska, pupuk ZA, bahan kimia untuk
analisa laboratorium. Tanah diambil dari Asembagus-Situbondo (7o45’35” LS; 14o15’ BT; 46 m dpl) dengan
beberapa sifat fisika: berat isi 1,23 g cm-3, berat jenis 2,09 g cm-3, porositas total 40,90%, kadar air pada pF 0, 2,5
dan 4,2 berturut-turut 41%, 35% dan 5%, fraksi pasir, debu dan liat berturut-turut 92,40%, 3,10% dan 4,50%.
Beberapa sifat kimia tanah: pH (H2O) 6,7, C-organik 0,61%, N-total 0,1%, P2O5 (Bray-1) 5,17 mg kg-1. Kation
dapat ditukar (ekstrak Amonium asetat 1N pH7) yakni Kdd 0,09 cmol kg-1, Nadd 0,35 cmol kg-1, Cadd 5,57
cmol kg-1, Mgdd 0,48 cmol kg-1, kapasitas tukar kation (KTK) 11,54 cmol kg-1.
Biochar serasah tebu dibuat dengan biochar drum kiln. Sifat kimia biochar yang digunakan yakni pH
(H2O) 9,1, C-organik 35,2%, N-total 0,92%, P-total, K-total, Na-total, Ca-total dan Mg-total (ekstrak HNO3 +
HClO4) berturut-turut 2,75%, 3,19%, 0,28%, 1,60% dan 0,39%; KTK (amonium asetat 1N pH7) 15,08 cmol kg1. Kompos diproses dari serasah tebu yang dikomposkan dengan bantuan degradator EM4. Sifat kimia kompos
yakni pH (H2O) 7,60, C-organik 12,9%, N-total 0,97%, P-total, K-total, Na-total, Ca-total dan Mg-total (ekstrak
HNO3 + HClO4) berturut-turut 2,31%, 1,23%, 0,45%, 1,21% dan 0,33%; KTK (amonium asetat 1N pH7) 22,83
cmol kg-1. Abu ketel diperoleh dari Pabrik Gula Kebon Agung Malang, dengan sifat kimia: pH (H2O) 9,2, Corganik 2,80%, N-total 0,08%, P-total, K-total, Na-total, Ca-total dan Mg-total (ekstrak HNO3 + HClO4)
berturut-turut 4,05%, 2,83%, 0,12%, 11,81% dan 0,37%; KTK (amonium asetat 1N pH7) 13,63 cmol kg-1.
Peralatan yang digunakan yakni: pot, ring sampler tanah, timbangan, dan peralatan analisis laboratorium.
Pot dibuat dari drum yang dibagi dua, berukuran dameter 58 cm dan tinggi 42 cm. Bagian bawah pot diberi 49
lubang drainase berdiameter 1 cm. Bagian dalam pot dilapisi dengan plastik berwarna perak. Bagian luar pot dicat
47
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
dengan warna perak.
Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 6 perlakuan dan diulang tiga kali. Perlakuan
meliputi: 1) Biochar serasah tebu 10 t ha-1; 2) Abu ketel 10 t ha-1; 3) Kompos serasah tebu 10 t ha-1; 4) Biochar
serasah tebu 5 t ha-1 + kompos serasah tebu 5 t ha-1; 5) Abu ketel 5 t ha-1 + kompos serasah tebu 5 t ha-1; dan 6)
Kontrol (tanpa bahan pembenah tanah).
Pot diisi tanah setinggi 30 cm, dengan berat 95 kg. Pot disusun mengikuti jarak tanam tebu di lapangan,
dengan jarak antar blok/ulangan 200 cm, jarak antar pot 130 cm. Setiap unit terdiri dari 3 pot, disusun berjajar
sehingga jarak antar lubang tanam 60 cm. Semua bahan pembenah tanah dihaluskan hingga lolos ayakan
berdiameter 2 mm. Bahan pembenah tanah dicampur merata dengan tanah dalam pot sesuai perlakuan,
kemudian diinkubasi selama 2 minggu dalam kondisi kapasitas lapangan. Pembibitan dimulai 3 bulan sebelum
tanam, menggunakan mata tunas (budchip) yang disemaikan dalam media pasir+tanah+pupuk kandang (1:1:1),
dilanjutkan dalam nampan (tray) pembibitan hingga siap ditanam. Bibit tebu dipilih yang seragam, kemudian
ditaman 1 bibit pada setiap pot pada bagian tengah, dengan kedalaman pangkal batang 10 cm dari permukaan
tanah.
Kelembapan tanah dipertahankan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dua minggu setelah tanam
dilakukan pemupukan NPK 15:15:15 (phonska) 600 kg ha-1, pada lubang-lubang yang berjarak 10 cm dari
pangkal tanaman sedalam 10 cm. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam dengan pupuk
ZA 500 kg ha-1. Setelah pemupukan kedua selanjutnya tanaman dibumbun dengan menambahkan tanah
setinggi 10 cm. Pot dikendalikan dari gangguan gulma dan hama. Tanaman dipanen pada umur 11 bulan.
Contoh tanah untuk analisis diambil pada akhir masa inkubasi (saat tanam), 4 bulan setelah tanam (akhir
fase pertunasan), dan pada saat panen tebu. Sifat yang diamati meliputi berat isi (metode silinder), porositas total
(1-(BI/BJ)x100%), kadar air tersedia yakni selisih kadar air pada kapasitas lapangan (pF2,5 sand box) dan kadar
air pada titik layu permanen (pF4,2 pressure plate), kemantapan agregat (metode Vilensky), C-organik (Walkey
dan Black), N-total (Kjehldahl), P tersedia (spektrofotometri), K dapat ditukar (NH4OAc 1N pH7,
flamefotometer), KTK (NH4OAc 1N pH7, titrasi). Pengamatan tanaman tebu meliputi tinggi tanaman, diameter
batang (rata-rata bagian atas, tengah dan bawah), jumlah dan bobot batang terpanen per pot dan potensi
rendemen. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Anova) pada taraf 5%. Pengaruh yang
nyata dari perlakuan dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian biochar dan limbah tebu lainnya terhadap sifat fisika tanah berpasir disajikan pada
Tabel 1. Dibandingkan dengan perlakuan kontrol, pemberian bahan pembenah tanah dapat menurunkan berat isi
tanah berpasir. Perlakuan biochar serasah tebu yang dikombinasikan dengan kompos serasah tebu menurunkan
berat isi tanah lebih banyak dibanding perlakuan lainnya. Hal ini dimungkinkan karena struktur biochar yang
sangat berpori. Sifat porous dan besarnya permukaan dalam biochar menyebabkan berat isi rendah, sehingga
jika diaplikasikan ke dalam tanah menyebabkan berat isi tanah menjadi lebih rendah (Atkinson et al., 2010; Abel
et al.,2013; Mukherjee dan Lal, 2013; Githinji, 2014).
Perbaikan porositas terkait dengan peningkatan kemampuan tanah memegang air. Pemberian biochar
dan limbah tebu lainnya tidak nyata meningkatkan kadar air tersedia tanah pada akhir masa ikubasi hingga akhir
fase pertunasan, tetapi berpengaruh nyata saat panen. Peningkatan ketersediaan air tanah mendukung tanaman
agar tidak mengalami stress air (Baronti et al., 2014). Peningkatan air tersedia tanah disebabkan adanya pori dan
luas permukaan spesifik dari biochar demikian pula adanya bahan organik (Uzoma et al., 2011; Zeelie, 2012;
Abel et al., 2013; Bruun et al., 2014), yang memperbaiki agregasi dan struktur tanah (Nelissen et al., 2015).
Aplikasi biochar, abu ketel, kompos dan kombinasinya dapat secara nyata meningkatkan kemantapan
agregat pada saat akhir fase pertunasan dan pada saat panen tebu (Tabel 1). Perlakuan biochar menunjukkan
lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Faktor fisik (mineral tanah), kimia (logam/basa tanah dan gugus
fungsional biochar) dan biologi (bahan organik dan mikrobia tanah) saling berinteraksi dengan kompleks
menyebabkan agregat semakin lama semakin mantap (Bronick dan Lal, 2005; Lin et al., 2012).
48
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Pengaruh aplikasi biochar, abu ketel, kompos dan kombinasinya terhadap sifat kimia tanah berpasir ialah
seperti pada Tabel 2. Perlakuan bahan pembenah tanah dapat meningkatkan kadar C organik tanah pada akhir
masa inkubasi hingga saat panen. Kadar C-organik dipertahankan lebih tinggi dibanding kontrol hingga saat
panen. Perlakuan biochar, kompos dan kombinasinya memberikan pengaruh terbaik. Perlakuan bahan
pembenah tanah meningkatkan N total tanah pada akhir masa inkubasi hingga pada saat panen tebu. Pada tanah
berpasir aplikasi biochar dapat meningkatkan retensi N sehingga tidak mudah tercuci karena adanya kapasitas
tukar anion dari biochar (Inyang et al., 2010; Uzoma et al., 2011; Sika, 2012; Lawrinenko, 2014). Aplikasi bahan
pembenah tanah menunjukkan pengaruhnya terhadap P tersedia tanah pada akhir masa inkubasi dan pada akhir
fase pertunasan, namun tidak nyata pengaruhnya pada saat panen. Perubahan ketersediaan P tanah dapat terjadi
karena perubahan reaksi tanah, demikian pula karena adanya pelepasan P dari biochar (Chan et al., 2007; Xu et
al., 2013).
Tabel 1. Pengaruh biochar serasah tebu dan limbah tebu lainnya terhadap sifat fisika tanah
berpasir sebagai media tanam tebu asal budchip.
Perlakuan
Berat isi
g cm-3
1
2
3
4
5
6
Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
Kompos serasah tebu 10 t ha-1
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Kontrol
BNT 5%
1,26 b
1,33 a
1,32 a
1,30 ab
1,29 ab
1,33 a
0,05
1
2
3
4
5
6
Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
Kompos serasah tebu 10 t ha-1
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Kontrol
BNT 5%
1,25 ab
1,29 a
1,26 ab
1,24 bc
1,20 c
1,29 a
0,05
1
2
3
4
5
6
Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
Kompos serasah tebu 10 t ha-1
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Kontrol
BNT 5%
1,23 b
1,22 bc
1,18 bc
1,15 c
1,22 bc
1,32 a
0,07
Kadar air Kemantapan
tersedia
agregat
%
% volume tetes hancur
Setelah inkubasi (saat tanam)
43,77 a
10,57
11,50
40,45 b
10,09
11,83
40,99 b
10,43
12,50
41,94 b
11,06
12,17
42,21 ab
10,25
10,50
40,40 b
8,81
10,00
1,83
tn
tn
Saat akhir fase pertunasan
44,97 ab
15,55
19,11 a
43,10 c
15,50
15,67 b
43,30 c
14,90
13,33 c
44,65 b
15,93
15,22 b
46,12 a
14,96
15,67 b
42,22 c
12,71
8,11 d
1,25
tn
1,59
Saat panen
46,20 a
9,60 a
19,22 a
46,49 a
8,43 bc
18,33 ab
48,17 a
9,14 ab
14,67 d
48,96 a
8,24 c
15,89 c
46,65 a
8,44 bc
17,56 b
41,29 b
7,35 d
10,11 e
3,04
0,88
1,18
Porositas total
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNT 5%; tn: tidak berbeda nyata; Tetes hancur: jumlah tetesan air yang
dibutuhkan untuk menghancurkan agregat + 1 cm.
Pemberian biochar dan bahan pembenah lainnya meningkatkan kadar Kdd tanah pada akhir fase
pertunasan hingga saat panen seperti terlihat pada Tabel 2. Peningkatan K tersedia tanah dapat terjadi karena
pengaruh langsung dari aplikasi biochar (Sika, 2012; Xu et al., 2013). Dibanding dengan kontrol, perlakuan
pemberian bahan pembenah tanah yang diuji dapat mempertahankan Kdd tanah sehingga masih lebih tinggi
pada saat panen. Perlakuan hanya berpengaruh nyata meningkatkan KTK tanah berpasir pada akhir masa
inkubasi/saat tanam dan akhir fase pertunasan. Sifat biochar yang memiliki pori, luas permukaan yang tinggi,
gugus fungsional dan muatan permukaan menyebabkan terjadinya kenaikan KTK tanah (Liang et al., 2006;
Sukartono et al., 2011; Sika, 2012).
49
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Terjadinya perbaikan sifat fisika dan kimia tanah berpasir disebabkan karakter biochar serasah tebu
seperti pada Gambar 1. Spektrum FTIR menunjukkan gugus fungsional utama yang terkandung dalam biochar
serasah tebu adalah O-H, N-H (dengan bilangan gelombang 3443,66 cm-1), C=C aromatik, C-O karboksilat,
C=O keton (1627,81 cm-1), C-H alifatik (1416,62 cm-1), ester, fenol C-O-C, C-OH (1087,78 cm-1), dan C-H
aromatik (875,62-793,65 cm-1) (Derrick et al., 1999; Parikh et al., 2014). Permukaan biochar yang mengandung
O, H, OH ini jika teroksidasi atau terhidrolisis dapat menyebabkan muatan negatif atau positif, sehingga biochar
memiliki kapasitas tukar kation dan kapasitas tukar anion (Amonette dan Joseph, 2009; Larwinenko, 2014).
Potensi muatan negatif dari biochar juga berpeluang untuk berikatan dengan materi lain di dalam tanah seperti
partikel tanah, bahan organik tanah dan mikrobia tanah. Interaksi tersebut akan mendorong perbaikan agregasi
tanah (Joseph et al., 2010).
Tabel 2. Pengaruh biochar dan limbah tebu lainnya terhadap sifat kimia tanah berpasir
sebagai media tanam tebu asal budchip.
Perlakuan
1
2
Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1
4 Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
5
6 Kontrol
BNT 5%
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
2
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
4
5 Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Kontrol
6
BNT 5%
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
2
3
4
5
6
Kompos serasah tebu 10 t ha-1
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Kontrol
BNT 5%
C-organik
N-total
P-tersedia K- dapat
KTK
ditukar
...........% .........
mg kg-1
.... cmol kg-1 ....
Setelah inkubasi (saat tanam)
0,92 a
0,047 cd
14,55
0,58
15,33 a
ab
0,69 bc
0,047 cd
14,52
0,84
11,95 abc
ab
0,89 a
0,070 a
17,49 a
0,59
12,69 abc
0,80 ab
0,067 ab
18,33 a
0,85
11,25 bc
0,88 a
0,057 bc
11,20
0,62
15,14 ab
bc
0,60 c
0,040 d
8,29 c
0,42
10,33 c
0,13
0,013
5,84
tn
4,07
Saat akhir fase pertunasan
0,71 a
0,050 b
14,00 a
0,98 a
15,73 a
0,51 bc
0,048 b
13,44 a
0,75
13,94 a
ab
0,53 bc
0,069 a
14,23 a
0,34 c
15,19 a
0,58 b
0,053 b
14,97 a
0,48
15,85 a
bc
0,48 c
0,059 ab
12,87 a
0,38 c
13,84 a
0,49 c
0,045 b
8,03 b 0,41
10,34 b
bc
0,09
0,014
4,02
0,36
2,33
Saat panen
0,70 a
0,052 ab
8,34
0,78 a
14,06
0,48 b
0,048 bc
7,67
0,57
12,40
bc
0,74 a
0,060 a
7,68
0,61 b
14,06
0,79 a
0,051 b
9,13
0,60 b
14,49
0,70 a
0,060 a
6,71
0,58 b
13,89
0,45 b
0,041 c
4,33
0,41 c
10,33
0,16
0,008
tn
0,17
tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNT 5%; tn: tidak berbeda nyata.
Hasil scanning electron microscopy (SEM) biochar serasah tebu dengan perbesaran 500x menunjukkan
banyaknya pori mikro dengan bentuk permukaan yang tidak beraturan (Melo et al., 2013). Unsur yang terdeteksi
dengan analisa energy dispersive X-ray (EDX) dari area yang diblok pada SEM menunjukkan kandungan
50
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
karbon yang tinggi, yakni 68,81 % berat. Unsur lainnya yang terdeteksi ialah N, O, Si, P, S, K berturut-turut
7,35, 14,28, 3,74, 0,10, 1,13, 4,61 % berat.
6 1 2 .3 6
5 6 1 .2 5
90
%T
7 9 3 .6 5
75
8 7 5 .6 2
60
4 5 8 .0 6
30
1 4 1 6 .6 2
1 6 2 7 .8 1
45
1 0 8 7 .7 8
3 4 4 3 .6 6
15
0
4000
BHL
Gambar 1.
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
1/cm
Spektrum FTIR biochar serasah tebu (kiri) dan mikrografik Scanning
Electron Microscopy (SEM) dengan perbesaran 500x (kanan).
Tabel 3. Pengaruh biochar dan limbah tebu lainnya terhadap pertumbuhan dan hasil tebu
asal budchip di tanah berpasir.
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
Biochar serasah tebu 10 t ha-1
Abu ketel 10 t ha-1
Kompos serasah tebu 10 t ha-1
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1
Kontrol
BNT 5%
cm
mm
Jumlah
Berat tebu Potensi
batang
terpanen Rendemen
terpanen
-1
pot
kg pot-1
%
234,17
235,39
228,67
227,50
236,61
228,89
tn
25,69
24,68
24,87
25,34
25,60
23,94
tn
10,67 ab
10,00 bc
11,33 a
11,00 ab
10,00 bc
9,00 c
1,15
Tinggi
Diameter
tanaman batang*)
9,50
8,81
9,52
9,20
9,36
8,48
tn
10,23
9,92
9,73
9,94
9,71
9,32
tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNT 5%; tn: tidak berbeda nyata; *) diameter rata-rata batang atas, tengah dan
bawah.
Pemberian bahan pembenah tanah belum dapat secara nyata meningkatkan tinggi tanaman, diameter
batang, berat tebu dan potensi rendemen (Tabel 3). Hasil analisis ragam menyatakan bahwa perlakuan bahan
pembenah tanah hanya nyata pengaruhnya terhadap jumlah batang terpanen. Peningkatan jumlah batang
tertinggi 26% dicapai pada perlakuan kompos 10 t ha-1, tidak berbeda nyata dengan perlakuan biochar 5 t ha-1 +
kompos 5 t ha-1 dan biochar t ha-1.
Perbaikan beberapa sifat fisika dan kimia tanah berpasir akibat pemberian biochar dan limbah tebu
lainnya belum dapat meningkatkan hasil tanaman secara nyata, seperti juga dilaporkan oleh Quirk et al. (2012)
dan Nelissen et al. (2015). Berat tebu tidak meningkat dengan nyata dibanding kontrol; tidak sesuai dengan
Gilbert et al. (2008) yang menyatakan bahwa aplikasi bahan pembenah tanah organik ke dalam tanah berpasir
berpengaruh yang nyata pada tebu. Berat tebu terpanen meningkat 12% dibanding kontrol pada perlakuan
kompos 10 t ha-1 dan biochar 10 t ha-1. Chen et al. (2010) melaporkan bahwa biochar dari bagasse tebu yang
diaplikasikan ke dalam tanah dapat meningkatkan hasil dan kadar gula tebu. Dalam penelitian ini walaupun ada
peningkatan potensi rendemen 10% pada perlakuan biochar10 t ha-1, namun tidak nyata dibanding perlakuan
lainnya.
51
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
KESIMPULAN DAN SARAN
Aplikasi biochar serasah tebu dan limbah tebu lainnya dapat memperbaiki sifat fisika tanah berpasir
yakni berat isi, porositas total, kadar air tersedia dan kemantapan agregat. Sifat kimia tanah berpasir juga dapat
diperbaiki yakni C-organik, N-total, P-tersedia, K-dapat ditukar dan KTK tanah berpasir. Perbaikan sifat fisika
dan kimia tanah yang terjadi belum dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu. Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mempelajari pengaruh residu dari aplikasi biochar pada tebu ratoon. Demikian pula perlu
dilakukan penelitian di lahan pengembangan tebu.
REFERENSI
Abel, S., Peters, A., Trinks, S., Schonsky, H., Facklam, M. and Wessolek, G. 2013. Impact of biochar and
hydrochar addition on water retention and water repellency of sandy soil. Geoderma 202-203:183-191.
Almazan, O., Gonzalez, L. and Galvez, L. 1998. The Sugar cane, its by-products and co-products. AMAS 98.
Food and Agricultural Research Council, Réduit, Mauritius. 13p.
Amonette, J.E. and Joseph, S. 2009. Characteristic of biochar: Microchemical properties. In Biochar for
environmental management: Science and technology, eds. Lehmann, J. and Joseph, S. Earthscan.
London, UK. p.33-52.
Atkinson, C.J., Fitzgerald, J.D. and Hipps, N.A. 2010. Potential mechanisms for achieving agricultural benefits
from biochar application to temperate soils: a review. Plant Soil 337:1-18.
Baronti, S., Vaccari, F.P., Miglietta, F., Calzolari, C., Lugato, E., Orlandini, S., Pini, R., Zulian, C. and Genesio,
L. 2014. Impact of biochar application on plant water relations in Vitis vinifera (L.). Europ. J. Agronomy
53:38-44 .
Barrow, C.J. 2012. Biochar: Potential for countering land degradation and for improving agriculture. Applied
Geography 34:21-28.
Bonelli, P.R., Ramos, M.E., Buonomo E.L. and Cukierman, A.L. 2006. Potentialities of the biochar generated
from raw and acid pre-treated sugarcane agricultural wastes. 8th Asia-Pacific International Symposium
on Combustion and Energy Utilization October 10-12, 2006, Sochi, Russian Federation. 6p.
Bronick, C.J. and Lal, R. 2005. Soil structure and management: a review. Geoderma 124:3-22.
Brown, R. 2009. Biochar production technology. In Biochar for environmental management: Science and
technology, eds. Lehmann, J. and Joseph, S. Earthscan. London, UK. p.127-146.
Bruun, E.W., Petersen, C.T., Hansen, E., Holm, J.K. and Hauggaard-Nielsen, H. 2014. Biochar amendment to
coarse sandy subsoil improves root growth and increases water retention. Soil Use and Management
30:109-118.
Chan, K.Y., Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A. and Joseph, S. 2007. Agronomic values of greenwaste
biochar as a soil amendment. Australian Journal of Soil Research 45:629-634.
Chandel, A.K., da Silva, S.S., Carvalho, W. and Singh, O.V. 2012. Sugarcane bagasse and leaves: foreseeable
biomass of biofuel and bio-products. J Chem Technol Biotechnol 87:11-20.
Chen, Y, Shinogi, Y and Taira, M. 2010. Influence of biochar use on sugarcane growth, soil parameters, and
groundwater quality. Australian Journal of Soil Research 48:526-530.
Derrick, M.R., Stulik, D. and Landry, J.M. 1999. Infrared spectroscopy in conservation science. The Getty
Conservation Institute. Los Angeles USA. 236p.
Gartner, S. 2012. Sustainable disposal of boiler ash. Proc S Afr Sug Technol Ass 85:278-294.
Gilbert, R.A., Morris, D.R., Rainbolt, C.R., McCray, J.M., Perdomo, R.E., Eiland, B., Powell, G. and Montes,
G. 2008. Sugarcane response to mill mud, fertilizer, and soybean nutrient sources on a sandy soil.
Agronomy Journal 100(3):845-854.
Githinji, L. 2014. Effect of biochar application rate on soil physical and hydraulic properties of a sandy loam.
Archives of Agronomy and Soil Science 60(4):457-470.
Goenadi, D.H and Santi, L.P. 2006. Aplikasi Bioaktivator SuperDec dalam Pengomposan Limbah Padat
Organik Tebu. Bul. Agron. 34(3):173-180.
Hassuani, S.J., Leal, M.R.L.V. and Macedo, I.C. 2005. Biomass power generation, sugar cane bagasse and
trash. PNUD-CTC, Piracicaba, Brazil. 217p.
52
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Inyang, M., Gao, B., Pullammanappallil, P., Ding, W. and Zimmerman, A.R. 2010. Biochar from anaerobically
digested sugarcane bagasse. Bioresource Technology 101:8868-8872.
Joseph, S.D., Camps-Arbestain, M., Lin, Y., Munroe, P., Chia, C.H., Hook, J., van Zwieten, L., Kimber, S.,
Cowie, A., Singh, B.P., Lehmann, J., Foidl, N., Smernik, R.J. and Amonette, J.E. 2010. An investigation
into the reactions of biochar in soil. Australian Journal of Soil Research 48:501-515.
Kimetu, J.M. and Lehmann, J. 2010. Stability and stabilisation of biochar and green manure in soil with different
organic carbon contents. Australian Journal of Soil Research 48:577-585.
Lawrinenko, M. 2014. Anion exchange capacity of biochar. Graduate Theses and Dissertations. Paper 13685.
Iowa State University. 85p.
Leal, M.R.L.V, Galdos, M.V., Scarpare, F.V., Seabra, J.E.A., Walter, A. and Oliveira, C.O.F. 2013. Sugarcane
straw availability, quality, recovery and energy use: A literature review. Biomass and Bioenergy 53:1119.
Lehmann, J. and Joseph, S. 2009. Biochar for environmental management: An introduction. In Biochar for
environmental management: Science and technology, eds. Lehmann, J. and Joseph, S. Earthscan.
London, UK. p.1-12.
Liang, B., Lehmann, J., Solomon, D., Kinyargi, J., Grossman, J., O’Neill, B., Skemjstad, J., Thies, J., Luizao, F.,
Peterson, J. and Noves, E. 2006. Black carbon increases cation exchange capacity in soil. Soil Science
Society of America Journal 70:1719-1730.
Lin, Y., Munroe, P., Joseph, S., Kimber, S. and Van Zwieten, L. 2012. Nanoscale organo-mineral reactions of
biochars in ferrosol: an investigation using microscopy. Plant Soil 357:369-380.
Melo, L.C.A., Coscione, A.R., Abreu, C.A., Puga, A.P. and Camargo, O.A. 2013. Influence of pyrolysis
temperature on Cadmium and Zink sorption capacity of sugar cane straw-derived biochar. BioResources
8(4):4992-5004.
Mukherjee, A. and Lal, R. 2013. Biochar impacts on soil physical properties and greenhouse gas emissions.
Agronomy 3:313-339.
Nelissen, V., Ruysschaert, G., Manka’Abusi, D., D’Hose, T., De Beuf, K., Al-Barri, B., Cornelis, W. and
Boeckx, P. 2015. Impact of a woody biochar on properties of a sandy loam soil andspring barley during
a two-year field experiment. Europ. J. Agronomy 62:65-78.
Parikh, S.J., Goyne, K.W., Margenot, A.J., Mukome, F.N.D. and Calderón, F.J. 2014. Soil chemical insights
provided through vibrational spectroscopy. Advances in Agronomy, Volume 126, Chapter one. 148p.
Quilliam, R.S., Marsden, K.A., Gertler, C., Rousk, J., DeLuca, T.H. and Jones, D.L. 2012. Nutrient dynamics,
microbial growth and weed emergence in biochar amended soil are influenced by time since application
and reapplication rate. Agriculture, Ecosystems and Environment 158:192-199.
Quirk, R.G., Van Zwieten, L., Kimber, S., Downie, A., Morris, S. and Rust, J. 2012. Utilization of biochar in
sugarcane and sugar-Industry management. Sugar Tech 14(4):321-326.
Sika, M.P. 2012. Effect of biochar on chemistry, nutrient uptake and fertilizer mobility in sandy soil. MSc.
Thesis of University of Stellenbosch. 139p.
Singh, P., Suman, A., Tiwari, P., Arya, N., Gaur, A. and Shrivastava, A.K. 2008. Biological pretreatment of
sugarcane trash for its conversion to fermentable sugars. World J Microbiol Biotechnol 24:667-673.
Sukartono, Utomo, W.H., Kusuma, Z. and Nugroho, W.H. 2011. Soil fertility status, nutrient uptake, and maize
(Zea mays L.) yield following biochar and cattle manure application on sandy soils of Lombok,
Indonesia. Journal of Tropical Agriculture 49(1-2):47-52.
Uzoma, K.C., Inoue, M., Andry, H., Zahoor, A. and Nishihara, E. 2011. Influence of biochar application on
sandy soil hydraulic properties and nutrient Retention. Journal of Food, Agriculture & Environment
9(3&4):1137-1143.
Xu, G., Wei, L.L., Sun, J.N., Shao, H.B. and Chang, S.X. 2013. What is more important for enhancing nutrient
bioavailability with biochar application into a sandy soil: Direct or indirect mechanism? Ecological
Engineering 52:119-124.
Zeelie, A. 2012. Effect of biochar on selected soil physical properties of sandy soil with low agricultural
suitability. MSc. Thesis of University of Stellenbosch. 145p.
53
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
USING BIOCHAR TO IMPROVE THE SOIL QUALITY, GROWTH
AND YIELD OF SOYBEAN (Glycine max L.) IN THE
SUB-OPTIMAL LAND OF LOMBOK
Mulyati1), Sukartono1), Baharuddin, A.B.1), Tejowulan, R. S.1)
Lecturer and Researcher at Faculty of Agriculture, Mataram University
Email : [email protected]
ABSTRAK
Most of the agricultural soil in Lombok are Sandy soils with very course in texture, low soil organic carbon (SOC),
fertility and poor water holding capacity (WHC). Using biochar would improve the soil quality in sub optimal (dryland) and
degraded land. Two set of experiments were carried out to evaluate the soil chemical properties after incubating for 15 and
30 days; and to investigate the response of growth and yield of soybean plants. Two factors were tested : the first factor was
three types of biochar ( without biochar, B0; tobacco stem, B1; rice husk, B2; and coconut shell, B3), and the second factor
consisted three rates of nitrogen fertilizers ( 0, 50, 100 kg urea ha-1). Pots were arranged in a Completely Randomized
Design (CRD) in the pattern of factorial, with three replicates under glass house condition. Data obtained were analyzed by
analysis of variance at 5% significance level. Results show that the application of biochar significantly enchanced the
changes of soil chemical properties or improve the soil quality especially for soil pH, soil carbon organic (SOC), cation
exchange capacity (CEC) at 15 days incubation. Soil without biochar added had the lowest levels of total N and the highest
total N was obtained in adding tobacco stem biochar. There was no interaction between the biochars and nitrogen rates on
soybean growth and yield. Adding biochar increased the number of leaves and seeds, but no significant effects on plant
height, days of flowering, shoot dry weight, number of pods and the weight of seeds. Therefore, further research should be
done to investigate if the application of biochar had a residual effect for the next cropping.
____________________________________________________
Keywords : biochar, soil quality, growth, yield,
INTRODUCTION
Soybean Glycine max (L.) Merr. is one of the major cash crop which is usually used as human food
and row material for food processing. The use of soybean product as human food has increased steadly, it is
due to their product is associated with their high nutrition quality and medicinal value. They are play an
important role in the human diet throughtout the world, they are recognized as an excellent source of dietary
protein and amino acids, which generally containing between 20 – 30% of energy, dietary fiber, and a variety
of micronutrients and phyto-chemicals (Onor, et al., 2014). Due to the high protein content it is highly suited for
infants and children growth and also for people who have chronic diseases such as HIV/Aids (Gandhi. 2006).
In addition, soybeans have a concentrated source of isoflavons, which have potential role in preventing and
treateing cancer and osteoporosis and also may decrease the risk of prostate (Onor et al., 2014).
Besides that, soybeans are a source of the isoflavons which have beneficial effect on heart and bone,
including cholesterol reduction and improve vascular health, preserved bone mineral bone density and
reduction of menopausal symptoms. A study by Umpieerrez et al. (2012) indicated that there is no different
effect between soybean oil and olive oil on clinical attention such as infectious and noninfectious
complications. Futhermore, soybeans are an excellent source of folate, it is also high in micronutrients content
such as iron, zinc and calcium. However, it is low in fat, with the predominant fatty acid is linoleic acid is about
5%. This fatty acid particularly eicosa pentaenoic acid (EPA) and decosa hexaenoic (DHA) have an important
role for health benefits (Gandhi, 2006).
Until now, the soybean production still low and national demand can not be covered by local
production, therefore soybeans are imported. To overcome this problem, there are several ways can be
conducted to increase the production. In West Nusa Tenggara, soybeans are mainly grown in dryland area with
very low in production due to the low soil fertility. Dryland farming system can be potentially used to increase
the soybean production by integrated nutrient management by using the anorganic and organic fertilizers to
increase the soil quality. There are many constraints for the use of these soil. Sandy soils are dominated in the
dryland of West Nusa Tenggara. The soil characteristics are low in nutrient content such as nitrogen,
phosphorus, potassium, calcium and magnecium, low in carbon organic content with less than 1%, cation
exchange capacity (CEC), poor soil aggregate and low in water and nutriens retention (Mulyati et al., 2014a;
54
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Sukartono et al., 2014). These soils characteristics mainly indicate a very poor for growth and yield of
soybean, which lead to low in nitrogen (N) fertilizer use efficiency. Hence, to overcome this constraint,
alternative can be used is soil management to increase and to maintain soil organic carbon (SOC) and improve
crop water and nutrients use efficiency (Lehmann et al., 2003).
The use of organic matter such as compost and manure to improve the sandy soil fertility in Northern
Lombok has been reported elsewhere. The result shows that the effects are very short-lived under cropping
system in dryland, therefore, there have to be applied in a large amount generally between 20 to 40 ton ha-1
and it means that famers have to spend more money. This practices are also become more expensive due to
the rapid and easely to decomposition and mineralization of organic substances in the tropical regions.
Recently, Glaser et al., (2002) propose the use of more stable substances and has the longterm effect such as
biochar, which can be used to sustain soil organic C sequestration, in order to improve the soil quality.
Biochar is a type of charcoal which is rich in carbon material and obtained from heating organic
biomass (agriculture waste) under limited oxygen conditions, which refers to a solid product that derived
from biomass pyrolysis (Lehman, 2007). Biochar contains an aromatic structure, therefore it is chemically
and biologically more stable in soil and it is resistant to decompose, as a result the use of biochar has the
longterm effect in the soil and would be stable for hundreds to thousands of years (Woolf, 2008). Application of
biochar into soil would change the soil physical (Glaser et al., 2002; Chan et al., 2008) and soil chemical
properties (Lehman et al ., 2003). Previous study showed that biochar can be used as soil amendment and will
be enchaned soil nutrients availability which lead to increase the soil productivity (Steiner et al., 2008; Mulyati
dkk., 2014).
Biochars can be made from a range of agriculture waste which under vary condition producing
difference characteristic that will influence the different of soil amendment value for soil. There are sufficient
amounts and types of biomass materials /agriculture waste (residue) to produce biochar. The characteristics of
biochar is depended on the source of agriculture waste (biomass) being used such as rice strow, maize stover,
wood biochar, tobacco stem, rice husk biochar and coconut shell biocahar. Biochar that produces from organic
materials from plant waste are usually low in nutrients content especially nitrogen compare with animal
waste. Hence, in order to obtain the optimal growth and yield of soybean, nitrogen fertilizers it should be
added.
Nitrogen (N) is an essential macronutrient generally required in the greatest amounts by plants.
Nitrogen plays an important role for plant development , growth and yield production (Machsner, 2002).
Lehmann et al., (2003) found the use of biochar can increase the nitrogen fertilizer efficiency and for
leguminous plant such as soybean the use of biochar can course the biological changes in the soil especial can
improve the ability of to aquire N for growth through N fixation (Rondon et al., 2007). The advantages effects
of biochar on soil and crop growth have been reported widely, however, the responses of biochar from some
agriculture waste (biomass) and the nitrogen supply efficiency on growth and the uptake of nitrogen by
soybean plant in the dryland Northern Lombok has not been investigated.
This study was conducted to evaluate the changes of soil chemical properties after incubating for 15
and 30 days; and also to investigate the response of growth and nitrogen content and uptake by soybean plants.
MATERIALS AND METHODS
A glasshouse experiment was conducted in Faculty of Agriculture, Mataram University. Two set of
experiments were done, which the first set was incubation and the second set was to grow soybean plants. The
design was a Completely Randomized Design (CRD), with consisted of two factors under three different
biochars type namely :
B0
= without biochar as control,
B1
= tobacco stem biochar,
B2
= coconut shell biochar
B3
= rice husk biochar
Each pot was treated by the same level of biochar (40 kg ha-1) and a treatment without biochar as a
control; the second factors was nitrogen rates, which consisted of three rates were as follow :
N0 = without urea fertilizer
N1 = 50 kg urea ha-1
N2 = 100 kg urea ha-1
55
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Both of these factors were combined, and obtain 12 treatment combinations. Each treatment
combination comprised of three replications, so that 36 pot experiment were obtained. Pots were arranged in a
factorial completely randomized design (CRD). Representative soil were collected from the field on 0 – 20 cm
depth. Air dried soil were sieved with a 5 mm screen and mixed thoroughly, the place in 2.5 kg portion of the
plastic bags fitted inside plastic pots. All treatment (the first and the second sets) were received basic fertilizers of
150 kg SP36 ha-1 and 100 kg KCl ha-1 according to the famer practices. Each pot was added the water until
reached of the field capacity, then incubated for 15 and 30 days. Soil sampel was taken from each pot to test the
soil chemical properties. After that, Grobogan variety of soybeans were grown until their reached maximum
vegetative growth for measurement of nitrogen uptake by soybean plants. Some soil chemical properties of
soil that used in this experiments were presented in Table 1 and biochars in Table 2.
Table 1. Initial Soil Chemical Properties For The Experiment.
Parameter
Organic-C
Total-N
P2O5
K
CEC
pH
EC
Soil Moisture
Field Capcity
BV
BJ
Texture
% Sand
% Silt
% Clay
Method
Walkley & Black
Kjeldahl
Bray I
IAAS
NH4 acetic 1 mol
pH=7
pH meter
EC meter
Gravimetry
Gravimetry
Gravimetri
Picnometer
Sedimentation
Unit
%
%
Ppm
me%
Value
0.81
0.07
20.77
5.49
me%
µS/cm
%
%
g cm-3
g cm-3
8.21
6.1
44.53
1.63
36.12
1.23
3.31
%
%
%
59.82
30.17
10.02
Status
very low*
very low*
very high*
very low *
low*
slightly acid*
Texture class :
Sandy loam**
Keterangan: *Soil Research Centre (1983) in Rosmarkam dan Yuwono (2002)
**Triangular Texture USDA in Hardjowigeno (2006)
Table 2. The Karacteristic Of Several Biochars That Used In This Experiment.
pH
C
N
C:N
P
K
Biochar Types
1 : 2.5
(%)
(%
(%
(cmol kg1
)
)
)
Tobacco Stem
9.90
34.34
0.63
54.51
0.72
17.40
CEC
(cmol kg1
)
41.20
Coconut Shell
7.65
15.85
0.36
44.03
0.84
1.62
29.20
Rice Husk
7.41
17.00
0.28
60.71
0.97
6.07
21.20
Soil
6.1
0.81
0.07
11.57
0.21
5.49
8.21
The method used for data analyzed were: pH (H2O, measured by using pH meter; organic carbon,
determined with the the Walkley and Black (Soil Survey Laboratory Staff, 1992); total N, analyzed by using
Kjeldahl method; available-P, extracted with Bray I solution and the concentration was measured with a
spectrophotometer; CEC, extracted with 1M NH4Oac (buffered at pH 7.0), and exchangeable K was measured
using AAS (Shimatzu). Shoot dry weights were determinated by cutting plant on above ground, and after that
shoot dry weights were oven dried at temperature of 70o C until constant weight was reached.
56
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Data collected were analyzed statistically using the analysis of variance (ANOVA) and the significant
difference among the treatments was tested by Honestly significant difference (P=0.05) using MINITAB
program.
RESULTS AND DISCUSSION
Change in Soil Chemical After Incubation
Three type of biochars (Tobacco stem, coconut shell and Rice husk) and nitrogen rates (0, 50, 100 kg
urea ha-1) were incorporated in to 2.5 kg air-dried soil. Each treatment was set up in triplicate, water then mixed
into each treatment to obtain a soil moisture content representing of the field capacity. This treated soils were
laboratory incubated for 15 and 30 days. Soil samples were collected and analyzed for the soil chemical
properties (Table 3), including soil pH, CEC, total organic carbon and nitrogen total in the soil after incubation.
Table 3. The Change Of Soil pH and CEC At 15 And 30 Days After Incubation
Incubation (15 days)*
Incubation (30 days)*
Treatments
pH (H2O)
CEC (cmol kg-)
pH (H2O)
CEC (cmol kg-1)
B0
6.44 a
70.13 a
6.30 b
39.46 a
B1
7.23 a
68.36 a
7.30 a
48.16 a
B2
6.49 b
71.23 a
6.32 b
43.96 a
B3
6.69 b
41.64 b
6.48 b
41.79 a
BNJ (5%)
0.20
10.89
0.22
Ns
N0
6.52 b
67.61 a
6.57 a
45.62 a
N1
6.65 b
61.61 a
6.60 a
42.72 a
N2
6.97 a
59.29 a
6.63 a
41.68 a
BNJ (5%)
0.17
ns
Ns
ns
* Means followed by the same letter in the same column are not significantly different by HSD test at
5%.
Data on soil chemical changes in 15 and 30 days after incubation indicated that under the different
biochar types and nitrogen rates had different soil chemical characteristics, hence, it will be have different
response in plant growth. There was a significant difference between the biochar types. The use of biochar can
increase the soil pH and cation exchange capacity (CEC). The increase of soil pH through biochar applications
can be used to ameliorate the soil properties especially for soil with low in pH and also improved the CEC.
Due to the sandy soil in Northen Lombok which has very course in texture, therefore, the application of
biochars attributed to the increase of water and nutrient retention (Mulyati et al., 2014a). The increment of the
CEC in rice husk biochar was higher than in coconut shell and tobacco stem biochar. Hence, rice husk biochar
has a high potential in improving soil physical and chemical properties. Recent study reveal that the organic
carbon was increased by the use of biochar.
The mean values of soil carbon organic total and nitrogen total in the soil after incubation between the
treatments were different depend on the kind of agriculture residues (Table 3), due to the characteristics of each
biochar. Application of biochars indicated a significantly different on C-organic total. Tobacco stem biochar
had the highest contribution of C-organic and N-total to the soil. On the other hand, there were quite similar or
no significantly different between coconut shell and rice husk biochars. However, similar soil organic carbon
concentrations was also present in the soil after 15 and 30 days after incubation. These fenomenon indicated
that no significant loss of biochars during the incubation. It was evidence that biochars had high stability and
long term effect in the soil with respect to C sequestration (Glaser et al., 2002).
57
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Table 4. Effect of biochar types and nitrogen rates on soil organic carbon (%) and nitrogen
total (%) at in 15 and 30 days after incubation (DAI).
Incubation (15 days)*
Incubation (30 days)*
Treatments
C-org (%)
Total-N (%)
C-org (%)
Total-N (%)
B0
8.64 c
0.1367 c
10.95 b
0.13 c
B1
19.55 a
0.1711 a
16.60 ab
0.17 a
B2
13.87 b
0.1544 b
14.81 a
0.15 b
B3
15.71 b
0.1478 bc
14.83 a
0.15 b
BNJ (5%)
2.03
0.0072
2.29
0.001
N0
13.59 b
0.15 a
17.29 a
0.14 a
N1
13.74 b
0.15 a
15.69 a
0.15 a
N2
15.99 a
0.15 a
16.78 a
0.15 a
BNJ (5%)
1.75
ns
Ns
Ns
* Means followed by the same letter in the same column are not significantly different by HSD test
at 5%.
Growth and Sympton Development
Visible N deficiency symptoms was observed at soybean growth with absence of N and without
biochar supply. Plant height and the leaf numbers at maximum vegetative growth were shown in Table 5.
Both indicated that no significant difference among the treatment.
There were no significant difference among treatments for plant height and number of leaves both at
15 and 30 days after incubation ( Table 5). However, shoot dry weights for 15 and 30 DAI indicated that there
were a significant difference between the treatments. Application of coconut shell biochar has the highest shoot
dry weight compared with tobacco stem and rice husk biochars. On the other hand, application of N rates did
not affect the shoot dry weight.
Response of biochar applications and N rates on the number of soybean pods by day 15 and 30 after
incubation (DAI) can be seen at the Figure 1. Analysis variance indicated that there was no significant effect
between the number of soybean pods at 15 and 30 DAI. The lowerst number of soybean pods was found at
treatment without N application both at with or without biochar applied.
Table 5. Response of biochar applications and N rates on soybean growth at maximum
vegetative growth by day 15 and 30 after incubation (DAI).
Growth componens
Plant heght (cm)
Leaf numbers
Shoot dry weight (g)
Treatments
15 DAI
30 DAI
15 DAI 30 DAI
15 DAI
30 DAI
B0
65.2 a
74.1 a
17.8 a
19.8 a
2.03 b
2.71 ab
B1
71.5 a
76.6 a
20.8 a
20.7 a
2.75 a
2.31 b
B2
67.2 a
78.2 a
18.7 a
22.7 a
2.36 ab
3.03 a
B3
69.4 a
76.6 a
20.9 a
20.4 a
2.38 ab
2.82 ab
HSD 5%
ns
ns
ns
ns
0.43
0.23
N0
65.8 a
71.8 a
20.3 a
20.3 a
2.33 a
2.67 a
N1
71.9 a
78.4 a
18.8 a
18.8 a
2.54 a
2.96 a
N2
67.3 a
76.0 a
19.5 a
19.5 a
2.26 a
2.53 a
ns
ns
ns
ns
Ns
ns
HSD 5%
*
Means followed by the same letter in the same column are not significantly different by HSD test at
5%.
58
Number of soybean pod
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
14
12
10
8
6
4
2
0
ISBN 978-602-72935-2-6
30 DAI
15
DAI
Treatments
Soybean pod weights (g)
Figure 1. Effect of biochar application and N rates on the number of soybean
pods at 15 and 30 days after incubation.
Based on the statistically analysis showed that there was no interaction between biochars
application and N rates on the soybean pod weights (Figure 2). It is clearly shown that the highest soybean
pod weight was 10.74 g obtained at the combination treatment of rice husk biochar (B3) and 50 kg urea ha-1
(N1) and showed no different with B0N2. In these regard, biochars application can increase N use efficiency
by plans.
12
10
8
6
4
2
0
Treatments
Figure 2. Effect of biochar application and N rates on the weight of
soybeands.
These results similar to previous study conducted by Glaser et al., (2002) and Lehmann et al., (2003),
implied that biochar had an important role in lowering N-rates for soybean growth and yield. It is possible that N
use efficiency occurred due to the better by applying biochar which the soil quality and enchanced the formation
of noodles, eventually increased the N fixation. The formation of soybean noodles is affected by the nutrients
concentration in the soil such as P, K, Ca, S and Mo (Collino, 2000).
CONCLUSIONS
1
2
3
The application of biochar significantly improved the soil quality especially for soil pH, soil organic carbon
(SOC), cation exchange capacity (CEC) both at 15 days after incubation.
Soil without biochar added had the lowest levels of total N and the highest total N was obtained in tobacco
stem.
There was no interaction between the biochars and nitrogen rates on soybean growth and yield. Soil
59
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
4
ISBN 978-602-72935-2-6
without biochar added has the lowest levels of total N and the highest total N was obtained on tobacco
stem.
Adding biochar had significant effects on the number of leaves and seeds, but no significant effects on plant
height, shoot dry weight, number of soybean pods and the weight of pods.
Therefore, further research should be done to investigate if the application of biochar had a residual
effect for the next cropping.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors gratefully thanks for financial support from the directorate of higher education of
Indonesia for the research grant to conduct this research.
REFERENCES
Busscher, W., Novak, J., and Ahmedna, M. 2009. Biochar Addition to Southern USA Coastal Sand Decrease
Soil Strength and Improve Soil quality. ISTRO 18th Triennial Conference Proceedings, June 15-19,
Izmir Turkey.
Collino, D.J. 2000. Physiological responses of argentine peanut varieties to water stress, water uptake and water
use efficiency. Field Crops Research 68:133-142.
Demirbas, A. 2004. Effects of Temperature and Particle Size on Biochar Yield From Pyrolysis of Agricultural
Residues. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 72(2): 243-248.
Gandhi, A.P. 2006. Soybean-the greater bean, world grain (USA), February Issue, p. 59-62.
Glaser B. 2007. Prehistorically Modified Soils of Central Amazonia: A Model for Sustainable Agriculture in the
Twenty-first Century. Phil. Trans. R. Soc. B (2007) 362, 187–196
Hardjowigeno, S. 2002. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo. Jakarta.
Hairiah, K., Widianto, E. dan Sunaryo. 2002. Sstem Agroforestry di Indonesia. Dalam WaNulCas, Model
Simulasi Unuk Sistem Agroforestry International Centre For Research in Agroforestry. ICRAF.
Southeast Asia Indonesia.
Lehman J. 2007. Bio-energy in the black. Front Ecology Environment 5, 381–387.
Lehmann J. and Rondon, M., 2006. Biochar soil management on highly weathered soils in the humid tropics.
In: Uphoff, N., Ball, A.S., Palm, C., Fernandes, E., Pretty, J.,Herrren, H., Sanchez, P., Husson, O.,
Sanginga, N., Laing, M., Thies, J. (Eds.), Biological Approaches to Sustainable Soil Systems. CRC
Press, Boca Raton, FL,pp. 517–530.
Liang B., Lehmann, J., Kinyangi, D., Grossman, J., O’Neill, B., Skjemstad, JO., Thies, J., Luizao, FJ.,
Peterson, J., Neves, EG. 2006. Black carbon increases cation exchange capacity in soils. Soil Sci. Soc.
of America Journal 70, 1719–1730.
Marschner, H. 2002. Mineral nutrition on higher plant. Academic Press. USA.
Masulili A., Utomo W.H and Syechfani. 2010. Rice husk biochar for rice based cropping system in acid soil 1.
The characteristics of rice husk biochar and its influence on the properties of acid sulfate soils and rice
growth in West Kalimantan, Indonesia. Journal of Agriculture Science. 2 (1): 39-47.
Mulyati, Baharuddin, AB., Tejowulan, S., dan Muliatiningsih, 2014a. Penggunaan Biochar Limbah Pertanian
Sebagai Bahan Pembenah Tanah (Soil Ameliorant) Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Pada
Tanaman Kedelai. Makalah disampaikan pada “ Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terdegradasi”
pada Tanggal 5 Maret 2014 di Mataram.
Mulyati, Olivia, I. Y., Sukartono dan Dahlan, M. 2014b. Retensi hara pada tanah lempung berpasir akibat
pemberian biochar dan pupuk kandang pada sistem simulasi pelindian untuk tanaman jagung. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional : Pengelolaan Biomassa Untuk Konservasi Lahan dan Untuk
Sistem Pertanian Berkelanjutan, pada tanggal 18 Juni 2014.
Onor, I.O., Onor, Jr.G.I. and Kambhampati, M.S. 2014. Ecophysiological Effects of Nitrogen on Soybean
Glycine max (L.) Merr.. Open Journal of Soil Science, 4: 357-365.
60
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Pohan. 2002. Pengaruh suhu dan konsentrasi natrium hidroksida pada pembuatan karbon aktif dari sekam padi.
Fakultas MIPA Jurusan Kimia. Unvrsitas Indonesia. Jakarta.
Sohi, S., Lopez-Capel, E., Krull, E. and Roland Bol. 2009. Biochar, climate change and soil: A review to
guide future research. CSIRO Land and Water Science Report 05/09, 64 pp.
Steiner C., Teixeris, W.G., Lehmann, J. 2007. Long term effect of manure, charcoal and mineral fertilization on
crop production and fertility on a highly weathered Central Amazonian upland soil. Plant Soil 291: 257290.
Tejowulan, R.S., NWD. Dulur dan Suwardji. 2008. Evaluasi kapasitas jerapan dan pelepasan nitrogen urine
sapi pada arang (charcoal) dari berbagai limbah pertanian. Laporan Penelitian Fundamental. Fakultas
Pertanian UNRAM.
Umpieerrez, G.E., Splegelman, R., Zhao, V., Smilley, D.D., Pinzon, I., Griffith, D.P., Peng, L., Morris,T., Luo,
M., Garcia, H., Thomas, C., Newton, C.A. and Ziegler, T.R. 2012. A double –Blind, Randomized
Clinical Trial Comparing Soybean Oil-Based Lipid Emulsions in Adult Medical-Surgical Intensive Care
Unit Patients Requiring Parenteral Nutrition. Critical Care Medicine, 40, 1792 – 1798.
Verheijen F.G.A., Jeffery, S., Bastos, A.C., Van der Velde, M., and Diafas, I. 2009. Biochar Application to Soils
- A Critical Scientific Review of Effects on Soil Properties, Processes and Functions. EUR 24099 EN,
Office for the Official Publications of the European Communities, Luxembourg, 166pp.
Woolf, D. 2008. Biochar as a soil Amendment: A Rreview of the Environmental Implications.
61
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
PENGARUH PEMBERIAN ARANG DAN CUKA KAYU TERHADAP
PERTUMBUHAN CABAI DAN SAWI
Heru S. Wibisono, Novitri Hastuti, Gustan Pari, R. Esa Pangersa G., dan Nela Rahmati Sari1
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu 5 Bogor, Telp/Fax. 0251-8633378/8633413
Email: [email protected]
ABSTRAK
Studi ini mengamati pengaruh pemberian arang dan cuka kayu terhadap pertumbuhan benih cabai dan sawi. Rasio
arang yang digunakan pada studi ini 100 g dan 50 g dari total media tanam. Cuka kayu dibuat larutan menggunakan air
suling dengan konsentrasi 0,5% dan 1%. Kombinasi arang dan cuka kayu yang digunakan antara lain 100 g: 0,5%; 100 g:
1%; 50 g: 0,5%; 50 g: 1%. Sebagai pembanding diamati pula pertumbuhan benih yang hanya murni menggunakan tanah
(kontrol). Parameter pertumbuhan yang diamati adalah pertambahan tinggi semai, persentase hidup dan kandungan kimia.
Hasil analisis varian (ANOVA) menunjukkan variasi dosis arang dan cuka kayu berbeda nyata hanya pada pertumbuhan
tinggi sawi, namun untuk persentase hidup tidak berbeda nyata. Kemudian pada perlakuan yang berbeda nyata dianalisis
kandungan kimianya menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometre (GCMS). Pertambahan tinggi terbesar cabai
dan sawi pada dosis arang dan cuka kayu 100 g: 1%. Persentase hidup tertinggi cabai ada pada dosis arang dan cuka kayu
50 g: 0,5% sedangkan pada sawi ada pada dosis 100 g: 0,5%. Hasil analisis GCMS menunjukkan perbedaan kandungan
senyawa kimia antara kontrol dan yang diberi arang dan cuka kayu.
Kata Kunci: arang, cuka kayu, cabai, sawi, pertumbuhan
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Arang merupakan pupuk hayati (biochar) yang diperoleh dari pembakaran yang tidak
sempurna. Arang memiliki banyak manfaat dalam bidang pertanian diantaranya sebagai agen
penyubur tanah (soil conditioning). Selain arang terdapat produk turunan berupa destilat yang
dihasilkan dari kegiatan produksi arang dan juga bermanfaat bagi tanaman. Destilat tersebut
dikenal dengan nama cuka kayu (asap cair). Komarayati et al. (2013) menyatakan bahwa arang
dan cuka kayu merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan serapan hara karbon. Dibidang pertanian dan kehutanan arang dan
cuka kayu sudah banyak dimanfaatkan dalam penelitian sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.
Siringoringo dan Siregar (2011) meneliti pengaruh aplikasi arang terhadap pertumbuhan awal
Michelia montana Blume dan perubahan sifat kesuburan tanah pada tipe tanah latosol. Selain
itu, Komarayati dan Pari (2012) juga melakukan penelitian pengaruh arang dan turunannya
sebagai stimulus pertumbuhan jabon dan sengon. Respon arang dan cuka kayu terhadap tanaman
memberikan hasil yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian tentang
pengaruh arang dan cuka kayu pada tanaman yang berbeda jenisnya.
Cabai dan Sawi merupakan jenis tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis
tinggi. Produksi cabai dan sawi nasional dari tahun 2010-2014 mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2010 produksi sawi sebesar 583.770 sedangkan tahun 2014 sebesar 800.484 ton.
Untuk produksi cabai tahun 2010 sebesar 521.704 ton dan tahun 2014 meningkat menjadi
sebesar 602.478 ton (BPS, 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis tanaman terebut
memiliki tingkat permintaan yang tinggi di masyarakat. Dengan demikian pola tanam dan
tindakan silvilkuktur yang benar dapat meningkatan produksi dan kualitas cabai dan sawi. Salah
satu tindakan silvikultur adalah pemberian stimulan atau pemupukan. Studi ini bertujuan untuk
mengetahui respon pemberian arang dan cuka kayu pada tanaman cabai dan sawi. Selain sebagai
pupuk hayati, arang dan cuka kayu juga diharapkan dapat mengurangi alokasi pupuk kimia yang
dapat memberikan dampak pencemaran lingkungan.
62
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
B.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pemberian arang dan cuka kayu
terhadap pertumbuhan cabai dan sawi.
BAHAN DAN METODE
A. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di rumah kaca dan Laboratorium Proksimat Terpadu Puslitbang Hasil
Hutan, Bogor, Jawa Barat.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih cabai, benih sawi, arang pinus,
cuka kayu pinus dan tanah. Alat yang digunakan antara lain polybag, ayakan tanah, gelas ukur,
Gas Chromatography Mass Spectrometre (GCMS) dan X-Ray Defragtometre (XRD).
C. Prosedur Kerja
1 Persiapan media semai
2 Media semai yang digunakan adalah tanah. tanah diayak sampai halus dan dikeringudarakan. Sebelum
media tanah dimasukkan ke dalam polybag, tanah dicampur dengan arang terlebih dahulu sesuai dengan
perlakuan. Perlakuan arang yang diberikan sebesar 50g dan 100g.
3 Persiapan benih dan penanaman
4 Benih cabai dan sawi direndam selama 15 menit lalu disemaikan di media tanah. setelah itu, cabai dan sawi
disemaikan kedalam polybag. Masing-masing polybag ditanam 20 benih.
5 Penyemprotan cuka kayu
6 Cuka kayu pinus disemprotkan ke tanaman selama masa pengamatan (30 hari) dan dilakukan setiap
seminggu sekali. Masing-masing perlakuan disemprot cuka kayu sebanyak 10ml dengan konsentrasi 0,5%
dan 1%.
7 Pengukuran tinggi dan persentase hidup
8 Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap seminggu sekali dengan menggunakan mistar sedangkan
persentase hidup dihitung berdasarkan jumlah tanaman yang hidup.
9 Waktu pengamatan
10 Pengamatan dilakukan selama 30 hari. Selama masa pengamatan dilakukan penyiraman sehari sekali.
11 Uji seyawa kimia
12 Pengujian senyawa kimia hanya dilakukan pada perlakuan yang berbeda nyata dan dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Sampel yang diuji adalah pada bagian daun. Alat pengujian menggunakan GCMS.
13 Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan,
yaitu kontrol, kombinasi arang dan cuka kayu (50g:0,5%), kombinasi arang dan cuka kayu (50g:1%),
kombinasi arang dan cuka kayu (100g:0,5%) dan perlakuan kombinasi arang dan cuka kayu (100g:1%).
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 unit.
63
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1. Rancangan percobaan
Tanaman
Sawi
Cabe
Kontrol
x
x
Arang:Cuka
kayu
(50g:0,5%)
X
X
Perlakuan
Arang:Cuka
Arang:Cuka kayu Arang:Cuka kayu
kayu
(100:0,5%)
(100:1%)
(50g:1%)
X
X
X
X
X
X
14 Analisis Data
Data dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (ANOVA) kemudian sampel yang berbeda nyata
dilakukan pengujian GCMS untuk mengamati perbedaan kandungan senyawa kimia antara sebelum dan
sesudah perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Cabai
1. Pertambahan Tinggi
Tabel 2. Pertambahan tinggi Cabai
Perlakuan
Kontrol
50g A; 0,5% CK
50g A; 1% CK
100g A; 0,5% CK
100g A; 1% CK
Keterangan:
A: Arang
CK: Cuka Kayu
Pertambahan Tinggi (cm)
6,85
6,83
6,66
6,78
7,88
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa pertambahan tinggi terendah cabai terjadi pada kombinasi
perlakuan 50g arang dan cuka kayu 1%, yaitu sebesar 6,66%. Pertambahan tinggi lebih baik ditunjukkan pada
perlakuan kombinasi arang 100g dan cuka kayu 0,5% yaitu sebesar 6,78cm diikuti kombinasi perlakuan 50g
arang dan 0,5% cuka kayu, yaitu sebsar 6,83cm . Perlakuan kombinasi 50g arang dan cuka kayu 1%
memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (6,85cm). Hal ini diduga bahwa kombinasi
arang 50g dan cuka kayu 1% membutuhkan waktu lebih lama agar perlakuan tersebut membentuk
keseimbangan dengan tanah.
Pertambahan tinggi terbesar cabai terjadi pada perlakuan kombinasi 100g arang dan 1% cuka kayu,
yaitu terjadi pertambahan tinggi sebesar 7,88cm. Hal diduga bahwa perlakuan kombinasi arang 100g dan cuka
kayu 1% memberikan respon terbaik karena pada kondisi ini arang dan cuka kayu lebih mudah mencapai
keseimbangan dengan media tanah.
Untuk melihat respon dari masing-masing perlakuan dilakukan uji ANOVA. Hasil pengujian
menyatakan bahwa perlakuan kombinasi dan kontrol tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa pemberian
arang dan cuka kayu tidak berdampak signifikan dibandingkan dengan kontrol.
2. Persentase Hidup
Persentase hidup dihitung untuk mengetahui tingkat ketahanan hidup tanaman terhadap respon
perlakuan. Persentase hidup tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi 50g arang dan cuka kayu 0,5%, yaitu
sebesar 98,33%. Sedangkan perlakuan kombinasi arang 50g dan cuka kayu 1% menghasilkan persentase hidup
terendah yaitu sebesar 75,00%. Hasil selengkapnya tersaji pada Tabel 3.
64
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 3. Persentase Hidup Cabai
Perlakuan
Kontrol
50g A; 0,5% CK
50g A; 1% CK
100g A; 0,5% CK
100g A; 1% CK
Keterangan:
A: Arang
CK: Cuka Kayu
B.
Persentase Hidup (%)
95,00
98,33
75,00
81,67
86,67
Sawi
1. Pertambahan tinggi
Tabel 4. Pertambahan Tinggi Sawi
Perlakuan
Kontrol
50g A; 0,5% CK
50g A; 1% CK
100g A; 0,5% CK
100g A; 1% CK
Keterangan:
A: Arang
CK: Cuka Kayu
Pertambahan Tinggi (cm)
11,96
12,73
14,74
14,87
15,40
Pertambahan tinggi terendah pada sawi terjadi pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar 11,96 cm
sedangkan pertambahan tinggi terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi 100g arang dan cuka kayu 1%.
Perlakuan kombinasi 100g arang dan cuka kayu 1% memberikan hasil paling baik hal ini diduga karena tanah
mencapai keseimbangan. Arang dan cuka kayu mampu memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah. Ogawa
(1994) menyatakan bahwa arang dapat meningkatkan pH, KTK dan memperbaiki sifat fisika, kimia biologi
tanah sehingga pemberian arang ke dalam tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan
produksi. Selain itu, penambahan cuka kayu juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Komarayati dan
Santoso (2011) menyatakan bahwa konsentrasi cuka kayu 2% dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
mengkudu.
Uji statistik ANOVA menyatakan bahwa perlakuan kombinasi 100g arang dan cuka kayu 1%
berbeda nyata. Hal ini berarti pemberiam arang dan cuka kayu mampu memacu pertumbuhan sawi secara
signifikan.
2. Persentase Hidup
Persentase hidup sawi tertinggi sebesar 100% terjadi pada perlakuan kombinasi arang 100g dan cuka
kayu 0,5%. Aplikasi asap cair (cuka kayu) juga dapat memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan akar dan
perkecambahan benih (Mu et al 2003 & 2004). Sehingga, hal ini dapat menunjang perkecambahan dan
perkembangan benih tanaman. Persentase hidup terendah pada perlakuan kombinasi arang 100g dan cuka kayu
1%, yaitu sebesar 81,67%. Data selengkapnya tersaji pada tabel 5. Hasil analisis ANOVA, persentase hidup
tidak berbeda nyata.
Tabel 5. Persentase hidup Sawi
Perlakuan
Kontrol
50g A; 0,5% CK
50g A; 1% CK
100g A; 0,5% CK
100g A; 1% CK
Keterangan:
Persentase Hidup (%)
96,67
83,33
83,33
100,00
81,67
65
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
A: Arang
CK: Cuka Kayu
3. Kandungan Senyawa Kimia
Salah satu cara untuk mengetahui respon perlakuan terhadap kontrol adalah dengan menguji
kandungan senyawa kimia. Pengujian kandungan senyawa kimia dilakukan pada perlakuan yang berbeda nyata
dan perlakuan kontrol. Hasil analisa statistik ANOVA, perlakuan kombinasi arang 100% dan cuka kayu 1%
pada sawi memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap parameter tinggi.
Pengujian kandungan senyawa kimia menggunakan GSMS dengan sampel berupa daun. Hasil
pengujian GCMS daun sawi dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Kandungan senyawa kimia
Perlakuan
Jenis Senyawa
I-limonene
Phenol
Phytol
Asam palmitat
Keterangan:
A: Arang
CK: Cuka Kayu
Kontrol
(%)
2,5
1,29
2,64
4,96
100g A: 1% CK
(%)
1,17
1,86
7,16
2,89
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa terdapat perubahan kandungan senyawa kimia pada daun
sawi. Kandungan I-limonene pada daun sawi sebelum perlakuan (kontrol) sebesar 2,5% sedangkan setelah
perlakuan mengalami penurunan menjadi 1,17%. Berbeda halnya dengan I-limonene, kandungan phenol,
phytol dan asam palmitat mengalami kenaikan antara sebelum dan setelah perlakuan. Kandungan phenol
sebelum perlakuan sebesar 1,29% sedangkan setelah perlakuan sebesar 1,86%. Kandungan phytol dan
asam palmitat sebelum perlakuan sebesar 2,64% dan 4,96% sedangkan setelah perlakuan sebesar 7,16%
dan 2,89%.
Kandungan phenol setelah perlakuan mengalami peningkatan karena adanya penambahan cuka
kayu 1%. Hal ini berarti tanaman sawi lebih resisten terhadap hama dan penyakit. Yatagai (2002)
menyatakan kandungan cuka kayu terdiri dari phenol yang berfungsi sebagai pencegah serangan hama dan
penyakit. Sebelumnya, Roliadi (2011) mengemukakan bahwa cuka kayu dapat dijadikan sebagai pestisida
alternatif untuk membasmi hama dan penyakit pada tanaman.
Phytol merupakan senyawa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aromatik (Costa et al., 2012).
Setelah adanya perlakuan, senyawa phytol mengalami kenaikan. Sehingga, diduga akan meningkatkan
aroma atau ciri khas daun sawi tersebut. Asam palmitat tergolong dalam asam lemak jenuh yang memiliki
peran dalam menyediakan kalori namun memiliki daya antioksidasi yang rendah. Berdasarkan tabel di atas,
terlihat bahwa kandungan asam palmitat mengalami penurunan konsentrasi dari 4,96% menjadi 2,89%.
Penurunan kandungan asam palmitat diduga karena adanya senyawa phenol yang masuk ke dalam
tanaman. Phenol merupakan senyawa yang baik dalam hal antioksidasi.
C. Arang dan Cuka Kayu Pinus
Penelitian ini menggunakan arang dan cuka kayu yang berasal dari kayu pinus. Arang pinus
dilakukan analisa kristanilitasnya menggunakan X-Ray Defragtometre (XRD) sedangkan untuk
mengetahui komponen kimia cuka kayu pinus dianalisa menggunakan GCMS.
Derajat kristalinitas menyatakan tingkat keteraturan struktur suatu mineral (Husain et al., 2000).
Hasil pengujian XRD menyatakan bahwa derajat krsitanilitas arang pinus sebesar 15,39%. Semakin tinggi
derajat kristanilitas arang maka keteraturan atom karbon semakin tinggi sehingga semakin luas
permukaannya dan dapat mendukung arang dalam mengikat gas/mineral dalam tanah.
Analisa GCMS menghasilkan sebanyak 32 komponen kimia yang terkandung di dalam cuka kayu
pinus. 2 komponen terbesar dalam cuka kayu pinus antara lain asam asetat dan phenol. Phenol bermanfaat
66
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
sebagai pestisida sedangkan asam asetat dapat berperan sebagai anti mikrobial. Peranan sebagai
antimikrobial semakin meningkat ketika kedua senyawa tersebut ada secara bersamaan (Darmadji, 1995).
KESIMPULAN
1. Pertambahan tinggi terendah cabai terjadi Perlakuan kombinasi arang 50g arang dan cuka kayu 1% yaitu
sebesar 6,66% sedangkan pertambahan tinggi terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi 100g arang dan 1%
cuka kayu, yaitu sebesar 7,88cm.
2. Pertambahan tinggi terendah sawi terjadi pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar sebesar 11,96 cm sedangkan
pertambahan tinggi terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi 100g arang dan cuka kayu 1%, yaitu sebesar
15,40cm.
3. Hasil uji statistik ANOVA perlakuan kombinasi arang 100g dan cuka kayu 1% yang berbeda nyata terhadap
parameter tinggi sawi.
4. Beberapa senyawa kimia daun sawi mengalami kenaikan konsentrasi antara sebelum dan sesudah perlakuan
yaitu phenol, phytol dan asam palmitat sedangkan senyawa kimia yang mengalami penuruan konsentrasi
adalah I-limonene.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Costa JP, Ferreira PB, De Souza DP, Jordan J. & Freitas RM. (2012). Anticonvulsant effect of phytol in a
phylocarpine model in mice. Neuroscience Letters (52) 3: 115-118.
Darmadji P. (1995). Produksi asap cair dan sifat-sifat fungsionalnya. Fakultas Teknologi Pangan, Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hussain R., Qadeer R, Ahmad M, Saleem M. (2000) X-Ray Diffraction Study of Heat-Treated Graphitized and
Ungraphitized Carbon.Turk J Chem 24 (1) : 177-183.
Komarayati S & Santoso E. (2011).Arang dan cuka kayu: Produk HHBK untuk stimulan pertumbuhan
mengkudu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (29) 2: 155-178.
Komarayati S. & Pari G. (2012). Arang hayati dan turunannya sebagai stimulan pertumbuhan jabon dan
sengon. Buana Sains (12) 1: 1-6.
Komarayati S., Gusmailina & Pari G. (2013). Produksi cuka kayu hasil modifikasi tungku arang terpadu. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan, 29 (3): 234-247.
Komarayati S., Gusmailina & Pari G. (2013). Arang dan Cuka Kayu: Produk hasil hutan bukan kayu untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan serapan hara karbon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1): 4962.
Mu J, Uehara T. & Furuno, T. (2003). Effect of bambu vinegar on regulation of germination and radicle growth
of seed plants. Journal of Wood Science, 49 (3), 262-270.
Mu J, Uehara T. & Furuno, T. (2004). Effect of bambu vinegar on regulation of germination and radicle growth
of seed plants II: Composistion of moso bamboo vinegar at different collection temperature and its
effect. Journal of Wood Science, 50 (5), 470-476.
Roliadi H., Nurhayati T. & Sylviani. (2001). Kemungkinan produksi arang dan wood vinegar dan bahan baku
kayu asal hutan tanaman industri menggunakan teknik pirolisa ramah lingkungan. Prosiding Lokakarya
Penelitian Hasil Hutan, Bogor 7 Nopember 2001: 245-260. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Siringoringo HH & Siregar CA. (2011). Pengaruh aplikasi arang terhadap pertumbuhan awal Michelia montana
Blume dan perubahan sifat kesuburan tanah pada tipe tanah latosol. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam, (8)1: 65-85.
Yatagai. (2002). Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Graduate school of Agricultural and Life
Science, The University of Tokyo.
67
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
THE USE OF PYROLYSIS CHARCOAL (BIOCHAR) ORIGINATED FROM
PALM KERNEL SHELLFOR NUTRIENT AND CARBON SEQUESTRATION
IN LITHIC HAPLUDULTS AT OIL PALM MAIN NURSERY
Laksmita Prima Santi
Indonesian Research Institute for Biotechnology and Bioindustry
PT Riset Perkebunan Nusantara
Jl. Taman Kencana No. 1, Bogor.
Email: [email protected]
ABSTRACT
The potential use of biochar originated from palm kernel shell as soil ameliorant seems promising in the sustainability
development of oil palm plantation in marginal land. This study was conducted to investigate the effects of three biochar
dosages (50; 100; and 150 gram) in combination with 75% NPK-Mg dosages on the growth performance of oil palm
seedling, nutrient uptake and carbon sequestration in the main nursery stage. Research arrange in a randomized block design
(RBD) with five treatments and twenty replications. The best vegetative growth performance of oil palm seedlings in Lithic
Hapludults soil was shown by the application of 75% standard dosage of NPK-Mg fertilizers in combination with the addition
of 150 gram biochar/seed. These treatment increased height (33.9%); leaf number (36.2%); stem diameter (28.9%); length
and width of the leaf (22.6 and 33.3%), dry weight of oil palm seedlings, especially on root (65.2%), soil pH 4.3 to 6.0, CEC
(17.2%), and C-organic (26.9%) respectively. The results of this treatment was shown that the absorption N nutrient leaf of the
oil palm seedlings was highest and not significantly differences for P and K uptake than that obtained by standard 100%
dosage of NPK-Mg fertilizer.
Keywords : oil palm seedling, bioameliorant, nutrient, C sequestration, biochar.
PENDAHULUAN
Permasalahan yang memerlukan penanganan dalam perbaikan sifat fisik dan kimia
tanah untuk budidaya kelapa sawit secara umum yang ditemui di Sumatera, sebagian Jawa, dan
Kalimantan adalah agregat kurang stabil, permeabilitas, bahan organik dan tingkat kebasaan
rendah, serta pH tanah rata-rata 4,2-4,8. Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar produktivitas
tanaman tidak dapat dicapai secara optimal. Dalam hal pemenuhan bahan organik, pemanfaatan
cangkang kelapa sawit yang diproses melalui pirolisis (biochar) dapat mengoptimalkan sumber
daya alam. Aplikasinya sebagai pembenah tanah pada tanah Lithic Hapludults diharapkan dapat
mengefisiensikan penggunaan pupuk dan menjadi sumber penyimpanan karbon di dalam tanah.
Hasil penelitian Santi dan Goenadi (2010a; 2010b; dan 2012) menunjukkan aplikasi arang
pirolisis (biochar) asal cangkang kelapa sawit yang dilakukan pada tanaman jagung di Lampung
dengan tanah Typic Kanhapludults beragregasi rendah berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan vegetatif (tinggi) tanaman jagung varietas Bisma mengalami kenaikan 6,5-13,4%.
Pada perlakuan 100% dosis pupuk NPK tunggal yang dikombinasikan dengan 2,1 gram biochar
per tanaman, produktivitas tanaman jagung mengalami peningkatan dalam jumlah tongkol, bobot
kering tongkol dan pipilan jagung masing-masing sebesar 31,3%; 6,1% dan 15,7% dibandingkan
perlakuan 100% dosis pupuk NPK tunggal. Pemanfaatan arang pirolisis sebagai bahan
pembenah tanah juga dapat meningkatkan nilai indeks kemantapan agregat lahan uji. Hasil
penelitian Nurida et al. 2013 juga mendukung penelitian tersebut yang menyatakan bahwa
respon tanaman jagung terhadap perbedaan formula pembenah tanah biochar limbah pertanian
nyata terlihat pada tanah mineral non masam dimana formula dengan proporsi kompos lebih
besar (biochar lebih rendah) memberikan tanaman yang lebih tinggi.
Dalam upaya memperoleh justifikasi lebih lanjut mengenai potensi biochar sebagai
bahan pembenah tanah, kegiatan penelitian yang disampaikan ini dilakukan pada tanah tekstur
berpasir Lithic Hapludults. Permasalahan yang dijumpai pada tanah jenis ini dalam kapasitasnya
sebagai media tumbuh bibit kelapa sawit adalah memiliki kadar C-organik, KTK, dan pH
rendah, sehingga kapasitasnya dalam merentensi dan menyediakan unsur hara bagi tanaman juga
68
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
rendah. Pada musim kemarau, kelembaban tanah tidak mencukupi kebutuhan air untuk tanaman
kelapa sawit. Nilai kapasitas tukar kation yang rendah menjadi faktor penghambat dalam
kemampuan mengikat hara terutama kation-kation basa sehingga pemupukan menjadi tidak
efisien (Carvalho et al. 2014). Lithic Hapludult dicirikan oleh solum dangkal (< 50 cm), tekstur
kasar, memiliki pH masam sampai sangat masam, kandungan N-total rendah sampai sangat
rendah, ketersediaan P sangat rendah, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB)
rendah sampai sangat rendah.
Makalah ini menyampaikan hasil kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
potensi arang pirolisis (biochar) asal cangkang kelapa sawit untuk sekuestrasi hara dan karbon
pada tanah Lithic Hapludults di pembibitan kelapa sawit.
BAHAN DAN METODE
Bahan baku biochar
Arang pirolisis (biochar) yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini berasal dari
cangkang kelapa sawit yang diproses melalui metode pembakaran lambat (karbonasi) pada
temperatur 300 – 400oC selama lebih kurang 8 jam dengan kondisi tanpa oksigen (pirolisis)
(Solichin, 2009). Untuk mengetahui potensi cangkang kelapa sawit yang diproses melalui teknik
pirolisis sebagai pembenah tanah dilakukan analisis di Laboratorium Pusat Penelitian
Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia. Analisis meliputi: analisis kimia N (metode Kjeldahl),
P dan K (ekstrak HCl 25%) C-organik metode Walkley-Black (Eneje et al. 2007), logam berat
(As, Hg, Pb, Cd, Fe, Mn, dan Zn) menggunakan AAS (Atomic absorption spectroscopy), pH
biochar dalam suspensi air 1:2,5 (w/v) - pH meter, serta analisis bakteri patogenik (Escherichia
coli dan Salmonella sp) menggunakan metode plate count (Tabel 1).
Tabel 1. Karakterisasi Kimia dan Mikrobiologi Biochar Cangkang Kelapa Sawit
Jenis Analisis
C-organik (%)
N (%)
C/N
P (%)
K (%)
As (ppm)
Hg (ppm)
Pb (ppm)
Hasil
Standar IBI
30,38
> 20
0,96 Disesuaikan**
31,6
0,09
disesuaikan
0,08
disesuaikan
0,23
12-100
ttd*
1-17
8,73
70-500
Jenis Analisis
Cd (ppm)
pH-H2O
Fe total
Fe tersedia (ppm)
Mn (ppm)
Zn (ppm)
Escherichia coli
Salmonella sp.
Hasil
ttd
7,3
2000 ppm
39,3
51,1
29,7
<3 MNP/g
Negatif
Standar IBI
1,4-39
6-10
200-7000
<3 MNP/g
Negatif
* ttd = tidak terdeteksi (nd= not detected)
** tergantung pada jenis bahan baku yang diproses
Analisis tanah media pembibitan
Bahan tanah untuk media bibit kelapa sawit adalah Lithic Hapludult yang diperoleh dari
area perkebunan di PT Astra Agro Lestari, Tbk. Kalimantan Tengah yang terletak di 1○19′ – 3○
36′ Lintang Selatan dan 110○ 25′ – 112○ 50′ Bujur Timur, Desa Pandu Senjaya, Kecamatan
Pangkalan Lada, Kabupaten Kotawaringin Barat, dengan karakteristik fraksi pasir (46,2%), debu
(29,4%), liat (24,4%), kapasitas tukar kation 4,8 cmol(+)kg(-), C-organik 1,9%, pH 4,3, dengan
kadar N (0,15%); P2O5 (0,006%); K2O (0,003%); Ca (0,07%); dan Mg (0,017%). Sementara
itu panduan klasifikasi tanah ditetapkan berdasarkan Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2010).
Aplikasi biochar pada bibit kelapa sawit dalam media tanah Lithic Hapludults
Aplikasi biochar pada media tanah Lithic Hapludults dengan menggunakan bibit kelapa
sawit sebagai indikator keefektifan biochar dilaksanakan di main nursery (lapang) kebun PT
Astra Agro Lestari, Tbk Kalimantan Tengah. Bahan tanah yang digunakan untuk media bibit
kelapa sawit adalah jenis tanah tekstur berpasir Lithic Hapludults yang memiliki tingkat agregasi
rendah. Pengambilan bahan tanah dilakukan pada kedalaman
0-30 cm. Bahan tanah
selanjutnya diayak dengan menggunakan ayakan 5 mm dan diaduk hingga homogen. Kecambah
kelapa sawit jenis DxP diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan, Sumatera
69
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Utara. Kecambah kelapa sawit terlebih dahulu ditumbuhkan dalam bak-bak persemaian ukuran
39 x 31 x 11 cm (50 benih/bak). Setelah disemaikan selama dua bulan, bibit kelapa sawit dipilih
untuk memperoleh bahan tanaman yang seragam. Bibit kelapa sawit selanjutnya ditanam dalam
polibag berisi 20 kg tanah. Pupuk an-organik yang diberikan untuk perlakuan biochar dan
kontrol adalah NPKMg 15.15.6.4.TE dan 12-12-17-2.TE (trace element) dengan dosis 75-100%
dari dosis anjuran untuk bibit umur 5-24 minggu (Tabel 2) yang berdasarkan bobot kering tanah
pada kondisi lapang. Untuk pemeliharaan bibit kelapa sawit dilakukan penyiraman setiap hari
sesuai kadar air kapasitas lapang. Perlakuan terdiri dari :
1.
100% dosis standar pupuk NPK majemuk per bibit (kontrol)
2.
75% dosis standar pupuk NPK majemuk per bibit
3.
75% dosis standar NPK majemuk + 50 g biochar/bibit
4.
75% dosis standar NPK majemuk + 100 g biochar/bibit
5.
75% dosis standar NPK majemuk + 150 g biochar/bibit
Tabel 2.
1)
2)
Dosis penuh pupuk NPKMg-TE untuk bibit kelapa sawit.
Minggu setelah
tanam
Cara aplikasi
5
6
7
8
9
11
13
15
17
19
21
23
25
Siram (spray)1)
Siram (spray)
Siram (spray)
Siram (spray)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Tabur (spread)
Dosis
(g)
per bibit
0,5
1
1,5
1,5
3
3
4
4
5
5
7,5
7,5
7,5
Komposisi pupuk
NPK 15.15.6.4.TE2) (150 ml/bibit)
NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
NPK 15.15.6.4.TE
NPK 15.15.6.4.TE
NPK 15.15.6.4.TE
NPK 15.15.6.4.TE
NPK 12.12.17.2.TE
NPK 12.12.17.2.TE
NPK 12.12.17.2.TE
NPK 12.12.17.2.TE
NPK 12.12.17.2.TE + Kieserite 10 g
Metode siram dan tebar = dilakukan dengan cara disiram atau ditebar di sekitar perakaran bibit kelapa
sawit dengan jarak kurang lebih 7-10 cm dari bibit.
TE = trace element [Boron (B) dan Copper (Cu), 2 ppm]
Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan
dua puluh ulangan. Data yang diperoleh diolah dengan analisis ragam dan apabila ada beda
nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1980).
Adapun peubah yang diamati untuk mengetahui efektivitas perlakuan biochar meliputi : (i) kadar
hara tanah (N, P2O5, K2O, KTK, dan C-organik), (ii) serapan hara daun N (metode Kjeldahl,
menggunakan H2SO4 pekat dan Selenium mixture), P dan K (ekstraksi menggunakan HNO3
pekat dan HClO4 pekat), (iii) tinggi bibit, (iv) jumlah daun, (v) diameter batang, dan (vi) panjang
dan lebar daun ke-3. Analisis hara tanah dan daun mengacu pada metode yang dikemukakan
Balai Penelitian Tanah (2009). Kadar hara tanah ditetapkan sebelum dan setelah perlakuan,
sedangkan peubah lainnya ditetapkan setelah kegiatan penelitian berakhir yaitu pada saat bibit
berumur enam bulan di pembibitan utama. Pada akhir pengamatan ini, masing-masing sebanyak
lima ulangan dengan pertumbuhan bibit seragam dari lima perlakuan yang diuji tetap diteruskan
pengamatannya hingga dua belas bulan setelah aplikasi, khusus untuk melihat korelasi antara
waktu inkubasi biochar di dalam tanah terhadap sekuestrasi karbon dan kapasitas tukar kation.
70
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik biochar asal cangkang kelapa sawit
Penggunaan cangkang kelapa sawit sebagai pembenah tanah adalah salah satu upaya
untuk efisiensi biaya pengelolaan perkebunan secara berkelanjutan. Biochar yang dihasilkan
dengan teknik pirolisis dapat melepaskan unsur hara yang terkandung di dalam bahan secara
terkendali untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman (Prakongkep et al. 2013). Hasil
karakterisasi biochar asal cangkang kelapa sawit dengan teknik Fourier-transformed infrared
spectroscopy (FTIR) yang dilakukan sebelumnya oleh Santi dan Goenadi (2012) disampaikan
bahwa biochar ini memiliki pita-pita intensif pada rentang 3413- 3400 cm-1 yang mencirikan
pita regangan O-H (hidroksil) dan N-H (amina). Pada wilayah 1170-950 cm-1, biochar
menunjukkan karakteristik penyerapan pada 1034 cm-1 yang mencirikan vibrasi O-CH3. Gugus
– gugus fungsional tersebut, sebagaimana halnya dengan gugus fungsional bahan organik
lainnya berperan dalam agregasi tanah.
Dalam penelitian ini, biochar asal cangkang kelapa sawit memiliki kadar C-organik
30,4%, dengan pH 7,3 dan kadar logam berat yang dikatagorikan rendah, di bawah ambang baku
mutu standardisasi biochar yang ditetapkan oleh International Biochar Initiative (IBI) (Tabel 1).
Potensi biochar sebagai pembenah tanah telah banyak dilaporkan dan umumnya untuk kegunaan
peningkatan produksi pada tanaman semusim seperti padi, jagung, sorgum, gandum, dan
tanaman buah-buahan lainnya (Nurida et al. 2013; Blackwell et al. 2010). Namun demikian
belum ada informasi mengenai penggunaan biochar untuk kelapa sawit di media tanah Lithic
Hapludults.
Karakteristik bahan tanah
Lithic Hapludults memiliki epipedon ochrik dengan horizon tipis, khroma dan
kandungan bahan organik rendah serta kedalaman dangkal. Bahan tanah Lithic Hapludults yang
digunakan sebagai media tanam bibit kelapa sawit dalam kegiatan penelitian ini mengandung
fraksi pasir 46,2%. Berdasarkan kecukupan hara tanah untuk bibit kelapa sawit yang
disampaikan oleh Fairhurst dan Hardter (2003), bahan tanah ini memiliki pH sedang, KTK
sangat rendah, kadar hara N rendah, P dan K sangat rendah, serta C-organik sedang. Untuk
mengoptimalkan pertumbuhan bibit kelapa sawit di dalam media tanah jenis ini diperlukan
pembenah tanah yang dapat berfungsi dalam meretensi hara, air, dan karbon organik tanah
sehingga mengoptimalkan penyediaan unsur hara bagi bibit tersebut. Penambahan unsur hara
dilakukan dengan berpedoman pada hasil analisis tanah media. Unsur hara mikro, utamanya B
dan Cu diperlukan untuk bibit kelapa sawit yang ditanam pada tanah tekstur berpasir.
Aplikasi biochar pada bibit kelapa sawit dalam media tanah Lithic Hapludults
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini, penggunaan 150 gram
biochar/bibit yang dikombinasikan dengan 75% dosis pupuk NPK-Mg menghasilkan
pertumbuhan vegetatif (tinggi, jumlah daun, diameter batang, panjang dan lebar daun ke-3) bibit
kelapa sawit yang lebih baik serta berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan 75 dan
100% dosis pupuk NPK-Mg (kontrol). Persentase peningkatan pertumbuhan vegetatif terhadap
perlakuan 100% dosis NPK-Mg (kontrol) masing-masing 33,9 (tinggi); 36,2 (jumlah daun); 28,9
(diameter batang); 22,6 (panjang daun ketiga); dan 33,3% (lebar daun ketiga) (Tabel 3).
Pemberian 100-150g biochar + 75% dosis NPK-Mg menghasilkan bobot kering daun, pelepah,
batang, dan akar bibit kelapa sawit yang berbeda nyata terhadap perlakuan kontrol. Peningkatan
untuk bobot kering (%) mencapai 53,5 - 55,4 (daun); 53,3 – 57,4 (pelepah); 53,5-54,9 (batang);
dan 61,9 – 65,2 (akar) (Tabel 4). Persentasi peningkatan bobot kering akar dengan pemberian
biochar rata-rata di atas 60%. Dalam hal ini biochar dapat menginduksi perkembangan akar bibit
kelapa sawit yang ditanam pada media tanah jenis Lithic Hapludults yang didominasi fraksi
pasir. Fungsi biochar untuk menginduksi pertumbuhan akar tanaman dilaporkan oleh Lehmann et
al., (2011); Prendergast-Miller et al., (2011); dan Brennan et al., (2014). Dalam kegiatan
penelitian tersebut dilaporkan bahwa perkembangan akar yang lebih baik dapat terjadi karena
71
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
terdapat interaksi antara rambur-rambut akar tanaman dengan struktur pori mikro biochar.
Biochar juga memiliki kemampuan dalam meretensi hara dan air. Hasil penelitian tersebut
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Santi dan Goenadi (2010b) yang menunjukkan
bahwa kapasitas menahan air pada biochar lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bahan
organik lainnya seperti kompos dan gambut dengan nilai masing-masing 25,30% (Biochar);
9,7% (kompos); dan 10,10% (gambut). Ketersediaan hara karbon (C ) yang cukup tinggi di
dalam media Lithic Hapludults dengan penambahan biochar dapat memperbaiki agregat bahan
tanah dan mengurangi pencucian hara yang ditambahkan ke dalam media tanam ini sehingga
dapat dimanfaatkan oleh perakaran bibit kelapa sawit secara optimal.
Tabel 3. Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Umur Enam Bulan di Pembibitan Utama.
Perlakuan
100% dosis NPK-Mg
75% dosis NPK-Mg
75%NPK-Mg+50g
biochar/bibit
75%NPK-Mg+100g
biochar/bibit
75%NPK-Mg+150g
biochar/bibit
Koefisien keragaman (%)
*)
Peubah
Tinggi
(cm)
Jumlah
daun
Diameter
batang
(cm)
67,2 c*)
86,7 b
95,3 ab
11,3 c
14,0 bc
15,6 ab
98,7 ab
4,9 c
5,7 b
6,4 a
Panjang
daun ke3
(cm)
23,6 c
26,5 b
27,6 b
Lebar
daun ke3
(cm)
1,6 c
1,9 b
2,2 b
16,3 ab
6,6 a
27,8 b
1,9 b
101,8 a
17,7 a
6,9 a
30,5 a
2,4 a
7,6
11,4
8,5
4,0
9,3
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
jarak ganda Duncan (P<0,05).
Tabel 4. Bobot Kering Bibit Kelapa Sawit Umur Enam Bulan di Pembibitan Utama
Perlakuan
100% dosis NPK-Mg
75% dosis NPK-Mg
75%NPK-Mg+50g biochar/bibit
75%NPK-Mg+100g
biochar/bibit
75%NPK-Mg+150g
biochar/bibit
Koefisien keragaman (%)
*)
Daun
42,7 c*)
71,7 b
72,6 b
91,9 a
Bobot kering (g)/bibit
Pelepah
Batang
32,8 c
32,3 c
65,1 b
47,4 b
64,8 b
51,3 b
77,0 a
69,4 a
Akar
12,9 e
20,0 d
25,7 c
33,9 b
95,8 a
70,2 ab
71,7 a
37,1 a
4,5
6,4
7,2
0,4
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
jarak ganda Duncan (P<0,05).
Hasil yang cukup menarik dari kegiatan penelitian ini bahwa pemberian pupuk NPK-Mg
75% dari dosis standar menghasilkan pertumbuhan bibit yang lebih baik jika dibandingkan
dengan dosis 100% pupuk NPK-Mg. Dalam hal ini, rekomendasi dosis pupuk dapat ditinjau
kembali tidak hanya atas dasar jumlah hara yang tersedia dalam bahan tanah, namun juga
memperhatikan sifat fisik tanah lainnya seperti tekstur dan porositasnya.
Pemberian biochar yang dikombinasikan dengan pupuk NPK-Mg setelah enam bulan
aplikasi dapat meningkatkan pH tanah media dari 4,3 menjadi 5,8-6,0 atau setara 25,9 – 28,3%
(Tabel 5). Peningkatan pH tanah media akan mengoptimalkan ketersediaan nutrisi bagi bibit
kelapa sawit. pH tanah optimal untuk pertumbuhan tanaman rata-rata berkisar antara 6,0-6,5.
Pemberian 150 gram biochar/bibit yang dikombinasikan dengan 75% dosis pupuk NPK-Mg pada
72
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
pengukuran enam bulan setelah aplikasi dapat meningkatkan ketersediaan hara N, P, KTK dan
kadar C-organik di dalam tanah, serta berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Sementara itu untuk unsur hara K, ketersediaannya tidak berbeda nyata jika
dibandingkan dengan kontrol. Sifat kimia tanah lainnya yang meningkat dengan aplikasi 150
gram biochar/bibit adalah KTK dan kadar C-organik tanah, dengan nilai masing-masing
peningkatan sebesar 15,5 dan 26,9% jika dibandingkan perlakuan kontrol.
Tabel 5. pH, C-Organik, dan Kadar Hara Tanah Media Bibit Kelapa Sawit, Enam Bulan
Setelah Aplikasi dengan Biochar.
Perlakuan
Peubah
P2O5K2 O
K2 O
KTK
C-organik
H
Bra
(ppm)
Bray
[cmol(+)kg(%)
1
y
(ppm)
]
(pp
m)
100% dosis NPK-Mg
6,0
0,16 b*) 900 a
120,8
1010,8
1115,4 a
4,9 bc
1,9 c
a
a
75% dosis NPK-Mg
5,8
0,15 c
600 b
80,6 c
694,8 c
725,7 b
4,6 c
1,9 c
75%NPK-Mg+50g biochar/bibit
5,9
0,14 c
700 b
100,9
849,9 b
773,7 b
4,7 c
2,1 b
b
75%NPK-Mg+100g
6,0
0,17 a
400 d
102,5
830,9 b
746,7 b
5,2 b
2,5 a
biochar/bibit
b
75%NPK-Mg+150g
6,0
0,17 a
500 c
123,4
970,5 a
899,1 ab
5,8 a
2,6 a
biochar/bibit
a
Koefisien keragaman (%)
2,4
2,9
3,8
1,9
9,9
2,6
3,1
*)
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
jarak ganda Duncan (P<0,05).
p
N
(%)
P2O5
(ppm)
Pemberian biochar dengan dosis 50-150 gram biochar/bibit yang dikombinasikan dengan
75% dosis pupuk NPK-Mg dapat meningkatkan kadar hara N (Tabel 6). Kadar hara N daun bibit
kelapa sawit dengan pemberian biochar berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Sementara itu dosis pemberian 150 gram biochar/bibit yang dikombinasikan dengan 75%
dosis pupuk NPK-Mg kadar hara P dan K yang tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan
100% dosis pupuk NPK.
Tabel 6.
Kadar hara daun bibit kelapa sawit enam bulan setelah aplikasi biochar
Perlakuan
100% dosis NPK-Mg
75% dosis NPK-Mg
75%NPK-Mg+ 50g biochar/bibit
75%NPK-Mg+ 100g biochar/bibit
75%NPK-Mg+ 150g biochar/bibit
Koefisien keragaman (%)
*)
Peubah
N (%)
3,7 b*)
3,7 b
3,9 a
3,8 a
3,9 a
2,0
P (%)
0,14 a
0,11 b
0,12 b
0,12 b
0,14 a
4,2
K (%)
2,5 a
2,4 a
2,2 ab
1,9 b
2,5 a
5,6
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji jarak ganda Duncan (P<0,05).
Hasil analisis kadar C-organik dan kapasitas tukar kation terhadap media tanah Lithic
Hapludults 12 bulan setelah diaplikasi biochar menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis biochar
yang diberikan ke dalam media tanam, maka kadar C-organik yang terdapat di dalam media
tanam juga semakin meningkat, demikian halnya dengan kapasitas tukar kation (Gambar 1). Hasil
ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Steiner (2007). Peningkatan nilai kapasitas tukar
kation (KTK) dapat mempertahankan ion bermuatan positif seperti Ca2+, Mg2+, dan K+ melalui
gaya elektrostatik. Tanah yang memiliki KTK tinggi lebih dapat mempertahankan ion-ion
bermuatan positif tersebut di atas. Nilai KTK tinggi juga memungkinkan ditempati oleh kation
73
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
asam seperti H+ dan Al3+. Yamato et al. (2006) melaporkan bahwa aplikasi biochar ke dalam
tanah selain dapat meningkatkan pH, KTK, kadar N total dan P2O5 tersedia serta tingkat
kebasaan, biochar juga dapat menurunkan kandungan Al3+ yang dapat dipertukarkan.
Penambahan biochar diharapkan dapat meningkatkan kadar bahan organik di dalam tanah dan
dapat bertahan dalam periode yang cukup lama. Dampak yang diharapkan adalah KTK di dalam
tanah juga dapat dipertahankan tetap tinggi.
Gambar 1. Grafik hubungan antara perlakuan dosis pupuk dan biochar terhadap kandungan C-organik
dan kapasitas tukar kation di dalam tanah Lithic Hapludults.
KESIMPULAN DAN SARAN
Aplikasi biochar dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit pada media tanam
Lithic Hapludults. Dosis optimum biochar pada penelitian ini belum diperoleh. Aplikasi dosis
tertinggi 150 gram biochar/bibit, peningkatan pertumbuhan bibit kelapa sawit masih bersifat
linier. Biochar dapat meretensi hara, karbon organik, serta meningkatkan nilai KTK dan pH tanah.
Kombinasi pemberian biochar sebanyak 150 gram/bibit dengan 75% dosis pupuk NPK-Mg
menghasilkan bobot kering bibit dan kadar hara N paling tinggi. Perlakuan ini juga mampu
mempertahankan kadar C-organik dan KTK dalam tanah Lithic Hapludults lebih baik daripada
perlakuan pupuk NPK-Mg saja (kontrol). Disarankan untuk penetapan dosis aplikasi biochar
dapat disesuaikan dengan tingkat efisiensi biaya pupuk di pembibitan kelapa sawit atas hasil yang
diperoleh dari penelitian ini.
REFERENSI
Blackwell, P., G. Riethmuller, dan M. Collins. 2010. Biochar Application to Soil. In . J. Lehmann and S.
Joseph (Eds.) Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan Publishing,
UK and Washington DC. 416p.
Brennan, A., E.M. Jiménez, M. Puschenreiter, J.A. Alburquerque, dan C. Switzer. 2014. Effects of biochar
amendment on root traits and contaminant availability of maize plants in a copper and arsenic impacted
soil. Plant Soil. DOI 10.1007/s11104-014-2074-0. Springer International Publishing Switzerland. p.
351-360.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. ISBN 978-602-8039-21-5.
Bogor, Balai Penelitian Tanah. 234p.
Carvalho M T., A.H.N Maia, B.E. Madari, L. Bastiaans, P.A . van Oort , A. B. Heinemann, M.A. Soler da
Silva, F.A. Petter, B.H. Marimon Jr, dan H.Meinke. 2014. Biochar increases plant-available water in a
sandy loam soil under an aerobic rice crop system. Solid Earth 5: 939–952.
Eneje, R.C., P.C Oguike dan Osuaku. 2007. Temporal variations in organic carbon, soil reactivity and aggregate
stability in soils of contrasting cropping history. African J Biotechnol 6(4): 369-374.
74
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Fairhurst, T. dan R. Hardter. 2003. Management for Large and Sustainable Yields. Potash and Phosphate
Institute of Canada. 382p.
Lehmann, J., M.C Rillig, J. Thies, C.A. Masiello, W.C. Hockaday, dan D. Crowley. 2011 Biochar effects on soil
biota—a review. Soil Biol Biochem 43:1812–1836.
Nurida, N.L., Ai Dariah, dan A. Rachman. 2013. Peningkatan kualitas tanah dengan pembenah tanah biochar
limbah pertanian. Jurnal Tanah dan Iklim. 37 (2): 69-78.
Prakongkep, N., R. J. Gilkes, W. Wiriyakitnateekul, A. Duangchan, dan T. Darunsontaya. 2013. The effects of
pyrolysis conditions on the chemical and physical properties of rice husk biochar. Int. J. Material Sci.
3(3): 97-103.
Prendergast-Miller, M.T, M. Duvall, dan S.P. Sohi. 2011. Localisation of nitrate in the rhizosphere of biocharamended soils. Soil Biol Biochem 43:2243–2246.
Santi, L.P., dan D.H. Goenadi. 2012. The use of bio-char originated from palm kernel shell as a carrier of
aggregate stabilizing microbes. Seminar Nasional Pengelolaan Biomassa sebagai Sumber Energi
Terbarukan, Pertanian Berlanjut dan Mitigasi Pemanasan Global (Prospek Konversi Biomassa ke
Biochar di Indonesia) di UNITRI Malang, tanggal 26-27 Juni 2012.
Santi, L.P., dan D.H. Goenadi. 2010a. The potential use of pyrolysis charcoal (bio-char) for Ultisol soil bioameliorant. Proceeding: 3 rd International Biochar Conference 2010, Rio de Janeiro, Brazil 12-15 Sept
2010.
Santi, L.P., dan D.H. Goenadi. 2010b. Pemanfaatan bio-char sebagai pembawa mikroba untuk pemantap
agregat tanah Ultisol dari Taman Bogo-Lampung. Menara Perkebunan 78(2): 11-22.
Soil Survey Division Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 11th Edition. United States Departement of
Agriculture. Natural Resources Conservation Service.
Solichin, M. 2009. Teknologi asap cair ”deorub” dalam industri karet alam. Technology Indonesia.
http://www.technologyindonesia.com.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2 nd ed.
McGraw-Hill, New York.
Steiner, C. 2007. Soil charcoal amendments maintain soil fertility and establish carbon sink-research and
prospects. Soil Ecology Res Dev, 1-6.
Yamato, M., Y. Okimori, I.F. Wibowo, S. Anshori, dan M. Ogawa. 2006. Effects of the application of charred
bark of Acacia mangium on the yield of maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in
South Sumatra, Indonesia. J. Soil Sci. Plant Nutrition 52: 489–495.
75
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
HETEROSIS, PERAN GEN, DAN SIFAT KUALITATIF HASIL
PERSILANGAN
IPB 3S DAN FATMAWATI DENGAN PADI BERAS MERAH
DALAM PEMBENTUKAN PADI GOGORANCAH TIPE IDEAL
I Gusti Putu Muliarta Aryana , AAK Sudharmawan dan Bambang B Santoso
Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Jalan Pendidikan 37 Mataram e-mail : muliarta1@yahoo co.id
ABSTRAK
Untuk mengetahui penampilan hiterosis, peran gen dan sifat kualitatif hibrada hasil persilangan IPB 3S dan
Fatmawati degan beberapa genotipe padi beras merah yang berpeluang sebagai gen pool pembentukan padi gogorancah
beras merah tipe ideal telah dilakukan penelitian melalui percobaan eksperimintal di lahan sawah desa Nyur Lembang,
Lombok Barat pada Agustus - Nopember 2015. Rancangan Acak Kelompok 12 genotipe padi (Fatmawati, IPB 3S, Inpago
Unram I, G9(F2BC4P19-36), F1 Fatmawati/Inpago Unram 1, F1 Fatmawiti/G9, F1 IPB 3S/Inpago Unram I, F1 IPB
3S/G9, F1Inpago Unram I/Fatmawati, F1 G9/Fatmawati, F1 Inpago unram I/IPB 3S, dan F1 G9/IPB 3 S) sebagai
perlakuan diulang lima kali. Penilian nilai hiterosis berdasarkan rerata kedua tetua dan tetua tertinggi, untuk peran gen
berdasarkan potence ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, berdasarkan nilai hiterosis dan Heterobeltiosis sebagian
besar penentu produksi, maka empat hibrida (F1 Fat/Inpago , F1 Fat/G9, F1 IPB 3S/Inpago serta F1 IPB 3S/G90
berpeluang sebagai varietas unggul tipe ideal. Hibrida hasil persilangan tersebut lebih mendominasi pada aksi gen
dominan sebagian positif dan negatif serta over dominan,sedangkan hibrida hasil silang tunggal dan resiprok memberikan
warna organ tanaman dan bentuk gabah yang bervariasi.
Kata kunci : Inpago Unram I, gabah, heterobeltiosis,gen pool
PENDAHULUAN
Beras merupakan sumber pangan yang memiliki kandungan protein, vitamin dan
mineral yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh manusia terutama beras merah dan sekaligus
sebagai salah satu pangan fungsional terutama karena kandungan antosianinnya yang berfungsi
sebagai antioksidan, kandungan asam folat, magnesium, niasin, Posfor, vitamin A, B, C, serta B
kompleks. Beras merah berkhasiat untuk mencegah penyakit kangker khusus, batu ginjal, beriberi, insomnia, sembelet, dan wasir, serta mampu menurunkan kadar gula dan kolesterol
(Suardi, 2005; Suliartini et al., 2011; Wijayanti, 2012) .
Perakitan varietas padi gogo rancah beras merah tipe baru di Indonesia sama sekali
belum mendapat perhatian, sehingga sampai saat ini satu varietaspun belum ada yang dilepas
sebagai varietas padi gogo rancah tipe baru. Dari 233 varietas padi unggul yang dilepas oleh
Kementrian Pertanian sebagian besar berupa varietas padi sawah, padi gogo, padi rawa pasang
surut. Sebagai padi sawah, beras merah baru beberapa varietas antaranya Aek Sibundong dan
Inpara 24 Gabusan, sedangkan sebagai padi gogo, baru satu varietas yaitu Inpago Unram1 (
Suprihatno, et al., 2010; Muliarta, et al., 2014). Oleh karena itu, sumber gen baru yang
berpotensi untuk pembentukan varietas unggul padi gogo rancah beras merah tipe baru yang
berpotensi hasil tinggi umur genjah sangat diperlukan mengingat masih banyak plasma nutfah
untuk sifat-sifat tersebut belum teridentifikasi. Penelitian Muliarta, et al.,(2010) melalui
persilangan back cross sebanyak 4 (empat) kali antara galur harapan padi beras merah toleran
kekeringan dengan kultivar Kala Isi Tolo yang memiliki kandungan antosian tinggi umur
genjah telah dihasilkan beberapa galur padi gogo beras merah. Galur-galur tersebut diseleksi
dilanjutkan dengan uji daya hasil pendahuluan dan Uji daya hasil lanjutan sehingga dihasilkan
beberapa galur harapan salah satunya galur harapan padi gogo beras merah F2BC4P19-36 yang
memiliki kandungan antosianin tinggi, umur genjah 107 hari namun masih memiliki daya hasil
relatif rendah yaitu 4,8 ton/ha. Inpago Unram I merupakan varietas unggul baru padi gogo
beras merah yang memiliki daya hasil 5 ton/ha juga merupakan salah satu sumber gen baru
yang dapat dipergunakan sebagai tetua (Muliarta et al., 2013)
Mengingat rendahnya potensi hasil yang dimiliki galur padi gogo beras merah
F2BC4P19-36 dan Inpago Unram I sehingga masih perlu ditingkatkan potensi hasilnya sebesar
> 7 ton/ha dan berumur genjah (<110 hari) melalui pembentukan varietas padi gogo rancah Tipe
76
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Baru yang adaptif pada lahan sawah tadah hujan pada system tanam gogo rancah. Peluang
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan persilangan varietas padi tipe baru IPB 3S dan
Fatmawati. Varietas IPB 3S potensi hasilnya 11,2 ton/ha GKG, berumur 112 hari, tekstur nasi
pulen sedangkan Fatmawati potensi hasilnya 9 ton/ha GKG umur 115 hari dengan tekstur nasi
pulen.
Untuk dapat membentuk varietas unggul maka diperlukan metode seleksi pemuliaan
yang tepat dan benar. Penggunaan metode seleksi yang benar dan tepat dapat dilakukan bila
mana telah diketahui peran gen dan heteroris dari karakter-karakter kuantitatif tanaman padi
tersebut. Mengetahui peran gen tanaman tersebut maka efisiensi suatu program pemuliaan
tanaman dapat lebih di tingkatkan, karena peran gen menggambarkan kerja gen. Bila peran gen
aditif lebih menonjol dari peran gen dominan dalam pengendalian suatu karakter, maka seleksi
massa merupakan metode yang lebih tepat. Bila peran gen dominan lebih menonjol maka
program pemuliaan sebaiknya diarahkan untuk membentuk varietas hibrida (Gudoy et al., 1987)
Heterosis merupakan peningkatan atau penurunan nilai-nilai F1 jika dibandingkan
dengan nilai rerata tetuanya untuk karakter yang sama (Sukirman, 2005). Heterosis akan
terekspresikan dalam dua kondisi yaitu hadirnya beberapa tingkat dominansi dan perbedaan
relative frekwensi gen dari kedua tetua dalam menentukan besarnya heterosis yang dieksperikan
pada hasil persilangan. Bila salah satu atau kedua keadaan ini tidak terujud, maka hiterosis tidak
terekspresikan (Falconer.1989; Satono dan Suprihatno. 1997). Virnani et al.,(1991) dan Darlina
et al., (1992) menambahkan, pemilihan tipe kultivar padi yang digunakan sebagai tetua
menentukan besarnya heterosis yang diteliti. Efek heterosis pada F1 dalam hibridisasi
mempunyai arti yang sangat penting dalam pembentukan suatu varietas hibrida terutama dalam
menentukan pemilihanan suatu
tetua yang potensial untuk membentuk varietas hibrida
berdaya hasil tinggi.
Penampilan karakter suatu tanaman baik berupa karakter kualitatif maupun kuantitatif
adalah penampilan sifat tanaman pada suatu lingkungan tubuh yang merupakan hasil kerjasama
antara faktor genetik dan lingkungan. Evaluasi terhadap karakter morfologi suatu tanaman
sangat membantu dalam kegiatan seleksi sifat-sifat unggul yang diinginkan dan sesuai dengan
tujuan kegiatan pemuliaan tanaman itu sendiri (Mangondidjoyo, 2000: Muliarta.et al., 2015)
Artikel ini memaparkan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penampilan
hiterosis , peran gen dan sifat kualitatif hibrada hasil persilangan IPB 3S dan Fatmawati degan
beberapa genotipe padi beras merah yang a berpeluang sebagai gen pool untuk pembentukan
padi gogorancah beras merah tipe ideal.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilakukan di lahan sawah di desa Nyur Lembang Kecamatan Narmada
kabupaten Lombok Barat pada Agustus – Nopember 2015. Percobaan ditata dalam Rancangan
Acak Kelompok dengan 12 genotipe padi sebagai perlakuan yang diulang lima kali, yaitu
empat tetua yang terdiri atas varietas Fatmawai, IPB3S, Inpago Unram I, Galur Harapan
G9(F2BC4P19-36), dan delapan genotipe F1 hasil persilangan: F1 Fatmawati/Inpago Unram 1,
F1 Fatmawati/G9, F1 IPB 3S/Inpago Unram I, F1 IPB 3S/G9, F1 Inpago Unram I/Fatmati, F1
G9/Fatmawati, F1 Inpago Unram I/IPB 3S, dan F1 G9/IPB 3S.
Penanaman dilakukan seperti budidaya padi sawah dengan umur bibit 21 hari.
Pemeliharan tanaman meliputi penyiangan, pemupukan dengan 300 kg/ha Ponska diberikan
satu minggu setelah tanam, 200 kg/ha Urea diberikan 2 kali pada saat tanaman umur 30 hst dan
50 hst. Analisis heterosis rerata kedua tetua (MP) dan heterosis berdasarkan tetua tertinggi
(Heterobeltiosis) (HP) menggunakan rumus Fehr (1987), sebagai berikut
F1  MP
x100%
MP
F1  HP
HPH (%) 
x100%
HP
MPH (%) 
77
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Dimana: MPH = Heterosis berdasarkan rerata kedua tetua, HPH=Hiterosis berdasarkan
tetua tertinggi (Heterobeltiosis); F1 = rerata kombinasi persilangan; MP = rerata kedua tetua,
HP= rerata tetua tertinggi
Untuk menentukan peran gen digunakan rumus potensi rasio (hp) berdasarkan Peter
and Frey (1966) sebagai berikut :
hp 
mF1  MP
HP  MP
Dimana hp= potensi rasio, mF1 = Nilai rata-rata tanaman F1.
Berdasarkan nilai potence ratio, derajat dominansi diklasifikasikan sebagai berikut :
(hp=0) tidak ada dominansi atau aditif; (hp= +1 atau hp= -1) dominasi sempurna; hp berada
diantara -1 sampai +1 dominasi sebagian; (hp>1 atau hp<-1) over dominasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Heterosis dan heterobeltiosis
Nilai heterosis dan rerata dari beberapa kombinasi persilangan tunggal dan resiprok
antara varietas Fatmawati dan IPB 3S dengan padi beras merah untuk semua karakter yang
diamati dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2 dan 3. Dalam penelitian ini perhitungan nilai
heterosis berdasarkan rerata kedua tetua (MPH) dan berdasarkan tetua tertinggi (Heterobeltiosis)
(HPH). Heterosis negatif memberikan arti bahwa persilangan di antara kedua tetua akan
menghasilkan hibrida yang memiliki karakter lebih jelek atau lebih rendah jika dibandingkan
dengan rerata kedua tetuanya dengan nilai tertentu pada karakter tertentu. Sedangkan heterosis
positif menunjukkan bahwa persilangan kedua tetua akan menghasilkan hibrida yang memiliki
karakter lebih baik dari rerata kedua tetuanya dengan besaran tertentu.
Pada karakter umur berbunga terdapat tiga hibrida yang memiliki nilai heterosis
negatif dan 3 hibrida yang miliki heterosis positif. Sedangkan berdasarkan heterobeltiosis
semua hibrida memberikan nilai negatif kecuali
hibridaF1Fat/Inpogo dan F1 F1 G9/Fat
memberikan nilai positip. Nilai heterosis F1 hasil persilangan Fatmawati dan IPB 3S dengan
padi beras merah dan resiproknya, untuk umur berbunga F1 G9/IPB 3S yaitu 82,17 hss
menunjukan nilai heterosis negatif tertinggi yakni berdasarkan rerata kedua tetua (MPH = 1,60 %) dan berdasarkan tetua tertinggi (HPH = -4,27 %). Hal ini menunjukkan terdapat
pengurangan umur berbunga . Artinya tanaman tersebut berbunga lebih cepat dibandingkan
dengan rerata kedua tetuanya maupun tetua tertingginya. Untuk tetua galur harapan G9
berbunga umur 81,17 hss dan varietas IPB 3S umur 85,83 hss. Sedangkan hasil persilangan
F1 G9/Fatmawati memberikan umur berbunga 87,83 hss dengan nilai heterosis positif
berdasarkan rerata kedua tetua (MPH = 5,82 %) dan berdasarkan tetua tertinggi (HPH = 3,54
%). Hal ini menunjukkan bahwa turunan tanaman tersebut berbunga lambat atau lebih dalam
dibandingkan dengan kedua tetuanya, yaitu Fatmawati 84,83 hss. Menurut Ismunadji et al.,
(1988) tanaman yang berbunga lebih cepat memiliki fase generatif yang cepat pula, sehingga
semangkin cepat tanaman padi mencapai umur berbunga 50 % maka umur panen akan
semakin cepat pula.
78
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1 : Rerata, heterosis dan heterobeltiosis karakter umur berbunga, tinggi tanaman
dan jumlah anakkan per rumpun hasil persilangan Fatmawati dan IPB 3S
dengan padi beras merah.
Perlakuan
F1 Fat/Inpago
F1 Fat/G9
F1 Inpago/Fat
F1 G9/Fat
F1 IPB 3S/Inpago
F1 IPB 3S/G9
F1 Inpago/IPB 3S
F1 G9/IPB 3S
FATMAWATI
IPB 3S
Inpago Unram 1
G9
Umur berbunga
(hss)
Rerata
MPH HPH
(%)
(%)
85,67
4,58
0,98
84,17
1,41
-1,68
82,33
0,51
-2,95
87,83
5,82
3,54
82,33
-0,10
-0,10
82,17
-1,60
-1,60
81,83
-0,71
-4,66
82,17
-1,60
-4,27
84,83
85,83
79,00
81,17
Tinggi Tanaman
Jumlah Anakan per rumpun
(cm)
(buah)
Rerata
MPH HPH Rerata
MPH
HPH
(%)
(%)
(%)
(%)
125,17
3,94
-1,57
15,33
-21,38 -47,45
116,83
0,50
2,79
14,67
4,47 -22,31
131,00
8,79
3,01
18,50
-11,95 -41,14
122,00
4,95
7,33
16,83
13,33 -15,72
124,67
1,08
-1,97
13,00
-35,00 -55,43
123,50
3,64
3,35
11,83
-23,68 -41,35
128,83
4,46
1,31
21,00
-5,00 -34,86
131,50 10,35 10,04
14,83
-4,32 -26,47
113,67
9,83
119,50
10,83
127,17
26,50
118,83
20,17
Keterangan : MPH= heteroris berdasarkan rerata kedua tetua, HPH = heteroris berdasarkan
tetua tertinggi (Heterobeltiosis).
Tinggi tanaman pada padi umumnya diharapkan heterosis negatif atau rendah karena
dengan demikian akan diperoleh tanaman-tanaman yang lebih pendek dari rata-rata kedua
tetuanya. Pada Tabel 1 nampak semua hibrida memberikan nilai hiterosis positif pada tinggi
tanaman, dan tiga hibrida memberikan nilai heterobeltiosis negatif serta lima positif.
Heterobeltiosis terendah didapat pada hibrida F1Fat/Inpago sebesar -1,57 % dengan tinggi
125,17 cm, F1 Fat/G9 sebesar -2,79 % dengan tinggi 116,83 cm serta F1 IPB 3S/Inpago sebesar
-1,97 % dengan tinggi 124,67 cm. Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan bahwa pemulia
memfokuskan seleksi untuk tanaman yang lebih pendek untuk mengatasi kerebahan akibatan
tiupan angin kencang. Selanjutnya Yunnita et al., (2015) menambahkan bahwa tinggi tanaman
sangat berhubungan erat dengan tingkat kerebahan dan kemudaan saat panen.
Pada Karakter jumlah anakan produktif per rumpun nampak dari semua hibrida
memberikan nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif , kecuali pada hibrida F1 Fat/G9 dengan
jumlah anakan 14,67 buah dan F1 G9/Fat dengan jumlah anakan 16,83 buah memberikan nilai
heterosis positif yaitu sebesar 4,47 % dan 13,33 % . Pada jumlah anakan non produktif per
rumpun semua hibrida memberikan nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif artinya hibrida
yang dihasilkan memberikan jumlah anakan non produktif yang semakin rendah per rumpun
tanamannya. Jumlah anakan yang sedikit tanpa adanya anakan yang non produktif merupakan
salah satu ciri kreteria dari padi tipe ideal (Yunita dan Harnowo.2010)
Untuk karakter panjang malai nampak terdapat empat hibrida yang memiliki nilai
heterosis positif dan empat bernilai negatif. Namun berdasarkan nilai heterobeltiosis semua
kombinasi persilangan memberikan nilai negatif. Hibridayang memberikan nilai heterosis
positif adalah F1 Fat/Inpogo dengan rerata panjang malai 27,23 cm, F1 Fat/G9 dengan
panjang malai 27,15 cm, F1 IPB 3S/Inpago dengan panjang malai 27,26 cm serta F1 IPB 3S/G9
dengan panjang malai 27,32 cm secara berurutan bernilai 7,33 %; 8,51 %; 6,92 % dan 8,65
%. Panjang malai sangat erat kaitannya dengan jumlah gabah berisi. Pada pembentukan padi
tipe ideal sangat diharapkan dihasilkan malai yang panjang disertai dengan jumlah gabah berisi
yang tinggi. Dewi at al.,(2009) menyatakan bahwa panjang malai memiliki korelasi positif
dengan jumlah gabah permalai. Makarim dan Suhartatik (2009) menambahkan semakin
panjang malai tanaman padi maka semangkin banyak gabah yang akan dihasilkan.
Pada karakter jumlah gabah berisi per malai (Tabel 2) nampak bahwa terdapat empat
hibrida yang memberikan nilai heterosis positif dan empat hibrida memberikan nilai heterosis
negatif. Sedangkan berdasarkan nilai heterobeltiosis (HPH) semua hibrida memberikan nilai
79
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
negatif kecuali hibrida F1 Fat/Inpago dan F1 IPB 3S/Inpago memberikan nilai positif. Nilai
heterosis dan heterobeltiosis positif tertinggi jumlah gabah berisi per malai (223,70 butir) di
jumpai pada hibrida F1 IPB 3S/Inpago secara berurutan sebesar 17,07 % dan 2,48 %. Nilai
Hererosis positif lainnya nampak pada hibrida F1 IPB3S/G9 , F1 Fat/G9 dan F1 Fat/Inpago
secara berurutan sebesar 16,76 %, 15,96 % dan 14.11 %. Untuk karakter jumlah gabah hampa
per malai semua hibrida memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif. Nilai heterosis
dan heterobeltiosis jumlah gabah hampa permalai terendah terdapat pada hibrida F1
G9/Fatmawati dengan rerata jumlah gabah hampa per malainya 17,83 butir sebesar -52,82 %
dan -65,43%. Adanya peningkatan jumlah gabah berisi yang dihasilkan dari hasil persilangan
ini sangat diharapkan dalam pembentukan padi tipe ideal. Hal ini sesuai dengan Ma et al.,
(2006) dalam Dewi et al., (2009) menyatakan bahwa salah satu karakter padi tipe ideal adalah
memiliki jumlah gabah antara 180 -240 butir per malai dengan jumlah gabah berisi lebih dari
85 persen. Yunita et al., (2015) menambahkan bahwa jumlah gabah berisi dan gabah hampa
permalai merupakan salah satu karakter agronomi yang pertama di seleksi dalam kreteria
membentuk padi tipe ideal.
Tabel 2 : Rerata, heterosis dan heterobeltiosis karakter jumlah anakan non
produktif per rumpun, panjang malai dan jumlah gabah berisi per malai hasil
persilangan Fatmawati dan IPB 3S dengan padi beras merah.
Jumlah anakan Non
Panjang Malai (cm)
Jumlah Gabah Berisi per
Produktif per rumpun
malai (butir)
(buah)
Perlakuan
Rerata
MPH
HPH
Rerata MPH HPH Rerata
MPH
HPH
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
7,33
-1,80 216,05 14,11
0,35
F1 Fat/Inpago
0,00 -100,00 -100,00
27,23
8,51
-2,09 214,07 15,96
-0,57
F1 Fat/G9
0,00 -100,00 -100,00
27,15
-77,33
-88,67
-9,59 169,68 -10,38
-21,19
F1 Inpago/Fat
0,17
25,07 -1,18
-56,00
-78,00
F1 G9/Fat
0,33
24,33 -2,76 -12,26 157,27 -14,80 -26,96
6,92
-2,57 223,70 17,07
2,48
F1 IPB 3S/Inpago
0,00 -100,00 -100,00
27,26
8,65
-2,36 217,28 16,76
-0,46
F1 IPB 3S/G9
0,00 -100,00 -100,00
27,32
-77,33
-88,67
-8,49
-16,62
-13,37
-24,16
F1 Inpago/IPB 3S
0,17
23,33
165,55
-77,33
-88,67
F1 G9/IPB 3S
0,17
22,99 -8,57 -17,83 144,17 -22,53 -33,95
FATMAWATI
0,00
27,73
215,30
IPB 3S
0,00
27,98
218,28
Inpago Unram 1
1,50
23,01
163,37
G9
1,50
22,31
153,90
Keterangan : MPH= heteroris berdasarkan rerata kedua tetua, HPH = heteroris berdasarkan
tetua tertinggi.
Pada berat 100 butir gabah nampak semua hibrida memberikan nilai heterosis positif
kecuali pada hibrida F1 Inpago/Fatmawati dan F1 Inpago /IPB 3S memberikan nilai heterosis
negatif. Sedangkan berdasarkan nilai heterobeltiosis (Tabel 3) menunjukkan semua hibridanya
memberikan nilai negatif kecuali hibrida F1 IPB 3S/G9 dan F1 G9/IPB 3S memberikan nilai
positip. Hibrida F1 IPB3S/Inpago yang memiliki bobot 100 butir 2,85 gram memberikan nilai
hetorosis positif sebesar 4,78 % sedangka berdasarkan nilai heterobeltiosis nampak hibrida
F1 IPB 3S/G9 memberikan nilai positif sebesar 1,05 %.
Berat gabah per rumpun merupakan faktor terpenting pada produksi hasil tanaman
padi. Pada Tabel 3 nampak bahwa ada empat hibridayang memberikan heterosis positif dan
empat hibrida yang memberikan heterosis negatif. Sedangkan berdasarkan penilaian
heterobeltiosis semua hibridamemberikan nilai negatif kecuali hibridaF1 Inpago /IPB 3S
bernilai heterobeltiosis positif. Munculnya efek heterosis ini disebabkan oleh akumulasi gen
80
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
dominan, sedangkan hetrobeltiosis tidak lepas dari adanya effek dominan lebih (over dominan)
pada karakter tersebut (Nasir, 1999). Tulu (2001) menambahkan bahwa nilai heterosis
dipengaruhi keragaman dan jarak genetik tetua yang digunakan. Nilai heterosis tinggi yang
melebihi rerata kedua tetuanya atau bahkan tetua terbaiknya menandakan keragaman genetik
yang luas di antara individu dalam populasi . Pada Tabel 3 nampak bahwa nilai heterosis
terbaik berat gabah per rumpun dimiliki oleh hibrida F1 Fat/G9 yaitu 5,47 % dengan rerata
69,17 gram; kemudian diikuti oleh F1 Inpago /IPB 3S yaitu 3,17 % dengan rerata 78,67 gram,
F1 IPB 3S/G9 yaitu 2,47 % dengan rerata 69,17 gram dan F1 IPB 3 S/Inpago yaitu 0,55 %
dengan rerata 76,67 gram. Sedangkan heterobeltiosis terbaik terjadi pada hibrida F1 Inpago/IPB
3S yaitu 1,08 %. Melalui persilangan antara CGMJI4PO2F/R114002R dihasilkan hibrida
terbaik terhadap nilai heterosis dan heribeltiosis tertinggi, positif dan melebih 15% pada
karakter hasil dan komponen hasil jumlah gabah berisi permalai, jumlah gabah total permalai
serta persentae gabah berisi permalai yang meningkat ( Sholekha et al.,2015)
Tabel 3 : Rerata, heterosis dan heterobeltiosis karakter jumlah gabah hampa per malai,
berat 100 butir gabah dan berat gabah per rumpun hasil persilangan Fatmawati
dan IPB 3S dengan padi beras merah.
Perlakuan
F1 Fat/Inpago
F1 Fat/G9
F1 Inpago/Fat
F1 G9/Fat
F1 IPB 3S/Inpago
F1 IPB 3S/G9
F1 Inpago/IPB 3S
F1 G9/IPB 3S
FATMAWATI
IPB 3S
Inpago Unram 1
G9
Jumlah gabah hampa per
malai (butir)
Rerata
MPH
HPH
(%)
(%)
26,90 -21,57
-47,84
32,80 -13,27
-36,40
22,70 -33,82
-55,98
17,83 -52,86
-65,43
21,80 -27,25
-49,18
28,90 -13,69
-32,63
17,33 -42,17
-59,60
25,93 -22,56
-39,56
51,57
42,90
17,03
24,07
Berat 100 butir gabah
Berat gabah per rumpun
(butir)
(gram)
Rerata MPH HPH Rerata
MPH
HPH
(%)
(%)
(%)
(%)
2,75
0,55
-5,17
71,67
-3,58
-7,91
2,89
1,76
-0,34
69,17
5,47
-2,34
2,70
-1,28
-6,90
74,00
-0,44
-4,92
2,86
0,70
-1,38
56,17 -14,35 -20,70
2,85
4,78
-0,70
76,67
0,55
-1,49
2,90
2,65
1,05
69,17
2,47
-7,37
2,62
-3,68
-8,71
78,67
3,17
1,08
2,88
1,95
0,35
57,33 -15,07 -23,22
2,90
70,83
2,87
74,67
2,57
77,83
2,78
60,33
Keterangan : MPH= heteroris berdasarkan rerata kedua tetua, HPH = heteroris berdasarkan
tetua tertinggi
Berdasarkan hasil pengujian di atas dapat dilihat bahwa nilai heterosis tinggi tidak
selalu menjamin rataan hasil yang tinggi pada hibridanya. Hal yang sama juga dinyatakan
Hadiatmi et. al., (2001) bahwa nilai heterosis yang tinggi tidak selalu menunjukkan daya hasil
hibrida yang tinggi, tetapi masih dipengaruhi faktor lain, yaitu kemampuan daya gabung dari
tetuanya.
Heterosis rendah umumnya disebabkan karena tetua yang digunakan untuk persilangan
memiliki hubungan kekerabatan dekat sebaliknya heterosis yang tinggi memiliki kekerabatan
cukup jauh. Menurut Bohn et al., (1999) genotipe tetua yang berkerabat dekat akan menunjukkan
kesamaan genetik sehingga persilangan di antara mereka tidak akan menimbulkan efek heterosis
yang besar. Manjarrez et al., (1997) menambahkan bahwa jarak tetua yang semakin jauh akan
semakin memperbesar perbedaan gen-gen dan memperbesar interaksi gen-gen potensial dalam
bentuk epistasis dan dominan sehingga akhirnya akan memperbesar potensi heterosisnya.
Hasil penelitian yang telah dilakukan Cina maupun IRRI pada umumnya menunjukkan
bahwa tingkat heterosis pada berbagai hibridapadi ternyata mengikuti kecenderungan sebagai
berikut; Indica/Japonica > Indica/Javanica > Japonica/Javanica > Indica/Indica >
Japonica/Japonica. Tiga macam hibrida yang pertama adalah hibrida antar sub spesies sedangkan
dua hibrida berikutnya adalah hubungan antar varietas. Persilangan antara indica/japonica
81
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
menimbulkan gabah kurang bernas ( hampa / steril ), hal ini dapat diatasi dengan menggunakan
gen WC (Wide Compatibility Gene) Ikekashi et al., 1994.
Dalam melakukan kombinasi persilangan yang baik dengan memanfaatkan efek
heterosis maupun heterobeltiosis, hendaknya pemilihan di arahkan pada kombinasi persilangan
yang memiliki efek heterosis tinggi, Tapi perlu diingat bahwa nilai heterosis yang tinggi tidak
selalu diikuti oleh nilai rerata karakter yang tinggi pula (Tabel 1- 3). Oleh karena itu untuk
memanfaat efek heterosis dan heterobeltiosis untuk diarahkan dalam pembentukan varietas
padi tipe ideal yang berumur genjah maka kombinasi – kombinasi persilangan yang perlu
dipertimbangkan untuk dikembangkan lebih lanjut adalah hasil persilangan antara
F1
Fat/Inpago , F1 Fat/G9, F1 IPB 3S/Inpago serta F1 IPB 3S/G9. Hasil persilangan di atas pada
umumnya memberikan jumlah gabah berisi per malai, panjang malai, jumlah anakan per
rumpun kearah ciri padi tipe ideal.
Pendugaan Peran Gen dan Karakter Morfologi
Hibrida yang menghasilkan aksi gen over dominan positif (OD+) dengan nisbah
potensinya (hp= >+1) pada umur berbunga yaitu F1 Fat/Inpago serta F1 G9/Fat. Pada tinggi
tanaman aksi gen over dominan positip nampak pada hibrida F1 Inpago/Fat, F1 G9/Fat. F1 IPB
3S/G9, F1 Inpago/IPB 3S serta F1 G9/IPB 3S. Pada Jumlah gabah berisi permalai aksi gen
over dominan positif di jumpai pada hibrida F1 Fat/Inpago serta F1 Inpogo/IPB 3S. Pada berat
100 butir gabah aksi gen over dominan ditunjukkan pada hibrida F1 IPB 3S/G9 serta pada F1
G9/IPB 3S. Aksi gen over dominan positif nampak pula pada berat gabah per rumpun dari
hibridaF1 Inpago IIPB 3S. Menurut Peter dan Jink (1966) dalam Ujianto (2013) menyatakan
gen yang tergolong over dominan (dominan lebih) menunjukan bahwa hasil turunannya
memiliki karakter yang lebih baik dibandingkan rata-rata tetua atau tetua terbaiknya.
Hibrida yang menghasilkan aksi gen bersifat dominan sebagian positif (DS+) degan
nilai kisaran nisbah potensi ( hp = (1>h>0) pada umur berbunga nampak pada hibrida F1
Fat/G9, F1 Inpago /Fat. Pada tinggi tanaman aksi gen bersifat dominan sebagian positif nampak
pada hibrida F1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, serta pada hibridaF1 IPB 3S /Inpago. Pada jumlah
anakan produktif per rumpun, Panjang Malai dan Jumlah Gabah berisi permalai nampak pada
hibridaaksi gen F1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, F1 G9/Fat, dan F1IPB3S/Inpago aksi gennya
menunjukka dominan sebagian positif. Pada berat 100 butir gabah semua hibridamenunjukan
aksi gen dominan sebagian positif kecualai pada hibrida F1 Inpago /Fat dan F1 Inpago /IPB 3S
menunjukkan aksi gen dominan sebagian negatif (DS-). Hibrida F1 Fat/G9, F1 IPB/Inpago dan
F1 IPB/G9 menghasilan aksi gen bersifat dominan sebagian positif pada berat gabah per
rumpun. Menurut Peter dan Jink (1966) dalam Ujianto (2013) menyatakan bahwa gen dominan
sebagian atau tidak sempurna mengindikasikan bahwa terdapat salah satu tetua yang memiliki
peranan lebih penting di bandingkan tetua yang lain. Suprapto dan Kairudin, (2007)
menambahkan oleh karena tindak gen dominan sebagian positif dan over dominan berperanan
dalam menentukan penampilan suatu sifat, maka kemajuan genetik yang tinggi dapat dicapai
melalui pemanfaatan heterosis.
Penampilan gen atau aksi gen yang bersifat dominan sebagaian negatif (DS-) dengan
nilai kisaran nisbah potensi (hp= (-1>h>0) pada umur berbunga nampak pada hibridaF1
IPB3S/Inpago, F1 IPB 3S/G9, F1 Inpago/IPB 3S dan F1 G9/IPB 3S. Untuk karakter jumlah
anakan produktif per rumpun hibridayang memberikan aksi gen dominan sebagian negatif
nampak pada IPB 3S/G9, F1 Inpago/IPB 3S dan F1 G9/IPB 3S. Pada Jumlah anakan non
produktif per rumpunnya Nampak hibrida F1 Inpago/Fat, F1 G9/Fat, F1 Inpago/IPB 3S dan F1
G9/IPB 3S. Pada karakter panjang malai nampak hibrida yang memiliki panjang malai
dengan aksi gen dominan sebagian negatif di tunjukkan pada F1 Inpago/Fat, F1 G9/Fat, F1
Inpago/IPB 3S dan F1 G9/IPB. Pada karakter jumlah gabah berisi per malai nampak pada
hibridaF1 Inpago/Fat, F1 G9/Fat, serta F1 Inpago /IPB 3S.
82
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 4 : Nilai nisbah potensi (hp) /aksi gen pada karakter kuantitatif hasil
persilangan padi Fatmawati dan IPB 3 S dengan padi beras merah.
Genotipe
F1 Fat/Inpago
F1 Fat/G9
F1 Inpago/Fat
F1 G9/Fat
F1 IPB 3S/Inpago
F1 IPB 3S/G9
F1 Inpago/IPB 3S
F1 G9/IPB 3S
Genotipe
F1 Fat/Inpago
F1 Fat/G9
F1 Inpago/Fat
F1 G9/Fat
F1 IPB 3S/Inpago
F1 IPB 3S/G9
F1 Inpago/IPB 3S
F1 G9/IPB 3S
Genotipe
Nilai Nisbah Potensi (hp) /aksi gen pada Karakter
Umur berbunga
Tinggi Tanaman
Jumlah Anakan per
rumpun
hp
Aksi gen
hp
Aksi gen
hp
Aksi gen
1,29
0,64
0,14
2,64
-0,02
-0,57
-0,17
-0,57
OD +
DS+
DS+
OD +
DSDSDSDS-
Jumlah anakan Non
Produktif per rumpun
hp
Aksi gen
-1,0
-1,0
-0,77
-0,56
-1,0
-1,0
-0,77
-0,77
DPDPDSDSDPDPDSDS-
Jumlah gabah hampa
per malai
hp
Aksi gen
0,70
0,23
1,57
2,23
0,35
13,00
1,43
37,00
DS+
DS+
OD +
OD +
DS+
OD +
OD +
OD +
Panjang Malai
hp
0,79
0,79
-0,13
-0,25
0,71
0,77
-0,87
-0,76
Aksi gen
DS+
DS+
DSDSDS+
DS+
DSDS-
Berat 100 butir
gabah
hp
Aksi gen
0,13
0,13
-0,24
0,39
0,76
-0,79
-0,11
-0,14
DS+
DS+
DSDS+
DS+
DSDSDS-
Jumlah Gabah Berisi per
malai
hp
Aksi gen
1,03
0,96
-0,76
-0,89
1,20
0,97
-0,94
-1,30
OD+
DS+
DSDSOD +
DS+
DSOD-
Berat gabah per rumpun
hp
Aksi gen
-0.43
DS0.09
DS+
-0.76
DSF1 Fat/Inpago
-0.37
DS0.83
DS+
0.68
DS+
F1 Fat/G9
-0.67
DS-0.21
DS-0.09
DSF1 Inpago/Fat
-1.45
OD0.33
DS+
-1.79
ODF1 G9/Fat
-0.63
DS0.87
DS+
0.27
DS+
F1 IPB 3S/Inpago
-0.49
DS1.67
OD
+
0.23
DS+
F1 IPB 3S/G9
-0.98
DS-0.67
DS1.53
OD +
F1 Inpago/IPB 3S
-0.80
DS1.22
OD +
-1.42
ODF1 G9/IPB 3S
Keterangan : OD+ = over dominan positif, OD- = over dominan negatif; DS+ = Dominan
sebagian positif; DS- = Dominan sebagian negatif; DP- = dominan sempurna negatif
Pada karakter jumlah gabah hampa per malai semua hibridnya menunjukkan peran gen
dominan sebagian negatif kecuali pada hibrida F1 G9/Fat menunjukan peran gen over dominan
negatif. Pada karakter berat 100 butir gabah peran gen dominan sebagian negatif nampak pada
hibrida F1 Inpago/Fat dan F1 Inpago/IPB 3S. Peran gen dominan sebagian negatif pada berat
gabah per rumpun di jumpai pada hibrida F1 Fat /Inpago serta F1 Inpago /Fat. Menurut
Sulistyowati dan Machfud (2009) menyatakan derajat dominansi negatif tidak sempurna
(dominan sebagian negatif) mengindikasikan adanya gen yang lemah yang diwariskan oleh
tetuanya dan pewarisan sifatnya dikendalikan oleh gen resesif. Penampilan aksi gen dominan
sempurna negatif (DP-) dengan nisbah potensinya (HP=-1) hanya dijumpai pada karakter
jumlah anakan non produktif per rumpun yaitu pada hibridaF1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, F1 IPB
3S/Inpago dan F1 Inpago/IPB 3S.
83
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Pengetahuan tentang peran gen sangat erat kaitannya dengan penentuan metode seleksi
pada materi yang ditangani (Salazar et al.,1997). Menurut Basuki (1995) apabila peran gen
aditif lebih berperan dibandingkan dengan gen dominan dalam pengendalian suatu karakter
maka seleksi massa lebih efektif diterapkan pada materi tersebut, sebaliknya jika peran gen
dominan lebih berperan dibandingan gen aditif dalam pengendalian suatu karakter maka
sebaiknya arah pembentukan varietas hibrida lebih cepat.
Karakter-karakter morfologi yang bersifat kualitatif yang diamati pada penelitian ini
bersifat sebagai cross check penampilan hibrida terhadap para tetuanya. Berdasarkan hasil
pengamatan, karakter kualitatif tetua dan hibrida yang muncul beragam. Ini disebabkan karena
keragaman tetua yang digunakan baik berdasarkan sifat kualitatif maupun kuantitatifnya.
Tetua IPB 3S dan Fatmawati dengan warna beras putih merupakan padi tipe baru dengan
jumlah anakan sedang, tanpa anakan non produktif, berbatang besar dan kuat, berbiji berat,
bertipe tegak, bermalai panjang dengan jumlah gabah isi permalai lebih dari 200 butir. Inpago
Unram 1 dan galur harapan G9 merupakan padi gogo beras merah tergolong padi unggul baru
dengan jumlah anakan banyak serta memiliki anakan non produktif, jumlah gabah per malai
dan panjang malai lebih pendek dibandingkan denga padi tipe baru. Pada pengamatan sifat
kualitatif hasil persilangan tunggal seperti warna kaki anakan, warna batang, warna daun, warna
lidah daun, warna bunga jantan dan bunga betina , telinga daun, warna gabah, bentuk gabah dan
warna beras dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 tersebut nampak pada hibridanya terjadi
perubahan warna kaki anakan, warna batang, warna daun, warna dan bentuk lidah daun,
keberadaan daun bendera, bentuk gabah, warna gabah serta warna beras. Sedangkan warna
bunga jantan, betina dan keberadaan telinga daun nampak hibridanya menyerupai kedua
tetuanya.
Tabel 5. Penampilan karakter kualitatif hasil persilangan padi varietas Fatmawati dan IPB
3S dengan padi beras merah.
Genotipe
Warna
Warna
Warna
Warna lidah
Warna
Warna
kaki
batang
daun
daun
bunga
bunga
anakan
betina
jantan
F1 Fat/Inpago
Ungu
Hijau
Hijau
Putih Acute Hitam
Kuning
keunguan bergaris
ungu
F1 Fat/G9
Ungu
Hijau
Hijau
Ungu
Hitam
Kuning
keunguan
F1 Inpago/Fat
Ungu
Hijau
Hijau
Ungu Acute Hitam
Kuning
keunguan bergaris
ungu
F1 G9/Fat
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau Acute Hitam
Kuning
F1 IPB 3S/Inpago
Ungu
Hijau
Hijau
Bergaris
Hitam
Kuning
keunguan bergaris
ungu Acute
ungu
F1 IPB 3S/G9
Ungu
Hijau
Hijau
Bergaris
Hitam
Kuning
keunguan bergaris
Ungu Acute
ungu
F1 Inpago/IPB 3S
Ungu
Hijau
Hijau
Bergaris
Hitam
Kuning
keunguan bergaris
ungu Acute
ungu
F1 G9/IPB 3S
Ungu
Hijau
Hijau
Putih Acute Hitam
Kuning
keunguan
FATMAWATI
Hijau
Hijau
Hijau
Putih Acute Hitam
Kuning
IPB 3S
Ungu
Hijau
Hijau
Putih Acute Hitam
Kuning
Inpago Unram 1
Ungu
Hijau
Hijau
Hijau Acute
Kasar
Kuning
keunguan
84
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
G9
ISBN 978-602-72935-2-6
Ungu
Hijau
Hijau
F1 Fat/Inpago
F1 Fat/G9
F1 Inpago/Fat
Telinga
daun
Ada
Ada
Ada
Daun
Bendera
Tegak
Tegak
Sedang
F1 G9/Fat
F1 IPB 3S/Inpago
F1 IPB 3S/G9
F1 Inpago/IPB 3S
F1 G9/IPB 3S
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Sedang
Tegak
Sedang
Datar
Sedang
FATMAWATI
IPB 3S
Inpago Unram 1
G9
Ada
Ada
Ada
Ada
Tegak
Tegak
Tegak
Datar
Bentuk
Gabah
Sedang
Sedang
Agak
bulat
Sedang
Ramping
Ramping
Sedang
Agak
bulat
Ramping
Ramping
Sedang
Sedang
Genotipe
Bergaris
Kasar
Ungu Split
Warna Gabah
Kuning
Kuning bercak coklat
Kuning Jerami
Kuning Jerami
Warna
Beras
Merah
Merah
Merah
Kuning bercak coklat
Kuning bercak coklat
Kuning jerami
Kuning bercak coklat
Kuning jerami
Merah
Merah
Merah
Merah
Merah
Kuning jerami
Kuning Jerami
Kuning jerami
Kuning jerami
Putih
Putih
Merah
Merah
Persilangan antara tetua yang memiliki warna kaki anakan hijau dengan tetua yang
memiliki warna kaki daun ungu, pada umumnya menyebakan hibridanya memberikan warna
ungu terhadap warna kaki daunnya. Kecuali nampak pada hasil persilangan padi beras merah
(G9) dengan Fatmawati memberikan warna kaki hijau. Warna ungu pada kaki daun
nampaknya memberikan pengaruh terhadap warna daun pada hibridnya dimana warna daunnya
hijau bergaris ungu kecuali pada F1G9/Fat dan F1 G9/IPB 3S memberikanan warna daun hijau.
Pada warna batang semua hibrida memberikan warna batang hijau keunguan walaupun salah
satu tetuanya memiliki warna batang hijau.
Pada warna lidah daun (Ligula) yang terletak pada ketiak daun nampak adanya variasi
warna lidah daunnya namun bentuknya semua ke acute walaupun salah satu tetuanya yaitu
beras merah G9 berbentuk split. Pada daun bendera nampak hibridanya menunjukan posisi
daun bendera yang beragam, posisi tegak (sudut antara daun bendera dengan batang < 300)
dijumpai pada hibrida F1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, dan F1 IPB 3S/Inpago, posisi sedang ( 300450) dijumpai pada hibrida F1 Inpago/Fat, F1 G9/Fat, F1 IPB 3S/G9 dan F1 G9/IPB 3S.
Sedangkan hibrida F1 Inpago/IPB 3S posisi datar. Warna gabah hibridanya nampak ada 2
warna gabah yang dihasilkan yaitu kuning jerami coklat pada hibrida F1 Fat/Inpago, F1 G9/Fat,
F1 IPB 3S/ Inpago serta F1 Inpago/IPB 3S sedangkan hibrida lainnya memberikan warna gabah
kuning jerami. Bentuk gabah yang di hasilkan juga bervariasi dimana dari bentuk tetua
Fatmawati dan IPB 3S ramping dan Inpago Unram I dan G9 sedang menghasilkan hibrida
dengan bentuk gabah sedang (P/l= 2,1 – 3). pada F1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, F1 G9/Fat dan F1
Inpago IPB 3S. Sedangkan pada hibrida F1 Inpago/Fat dan F1 G9/IPB 3S berbentuk gabah
agak bulat (p/l= 1,1 – 2). Sedangkan pada hibrida F1 IPB 3S/ Inpago dan F1 IPB 3S/G9
memberikan bentuk gabah ramping (P/l >3). Pada warna beras nampak dari hasil persilangan
padi beras putih yaitu IPB 3S dan Fatmawati dengan padi beras merah Inpago Unram I dan G9
serta resiproknya menunjukan semua hibridnya berwarna merah.
Karakter keragaman sifat morfologi suatu tanaman penting diketahui karena dapat
menjadi penciri yang paling mudah untuk mengidentifikasi tanaman, selain itu dapat juga
digunakan menentukan hubungan kekerabatan antar spesies (Titin, 2010). Lesmana et al., (2004)
dalam Purbayanti dan Irawan, ( 2008) menambahkan ciri morfologi yang sering digunakan
sebagai pembeda kultivar padi anatara lain warna batang, bentuk gabah, dan warna daun.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan nilai hiterosis dan Heterobeltiosis umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per
85
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
rumpun , panjang malai, jumlah gabah berisi per malai, berat gabah 100 butir dan berat gabah per rumpun
maka empat hibrida yaitu F1 Fat/Inpago , F1 Fat/G9, F1 IPB 3S/Inpago serta F1 IPB 3S/G9 berpeluang
untuk dijadikan varietas unggul tipe ideal
2. Hibrida hasil persilangan Fatmawari dan IPB3S dengan padi beras merah lebih mendominasi pada aksi gen
dominan sebagian positif dan negatif dan over dominan positif pada karakter umur berbunga, tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif dan non produktif , panjang malai, jumlah gabah berisi dan hampa
permalai, berat 100 butir gabah dan berat gabah per rumpun
3.
4. Pada hibrida hasil persilang tunggal dan resiprok memberikan warna merah pada beras, warna ungu pada
kaki anakan, hijau keunguan pada batang, hijau bergaris ungu pada daun, putih acute pada lidah daun,
kuning pada bunga jantan, hitam pada bunga betina, daun bendera tegak, sedang dan datar, warna gabah
kuning bercak coklat, kuning jerami, dan bentuk gabah sedang, agak bulat dan ramping
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sedalamnya penulis sampaikan kepada Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dukungan dana penelitian Stranas
2016.
REFERENSI
Basuki, N. 1995. Pendugaan Peran Gen. (diktat) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 48 h.
Bohn, M., H.F. Utz and A.E. Melchinger. 1999. Genetik Similarities Winter Wheat cultivars Determined on
The Basic of RFLPs, AFLPs and SSRs and Their Use for Predicting Progency Shorgum, Crop Sci,
25(5): 749-752
Darlina, A., A. Baihaki, A.A. Darajat dan T. Herawati, 1992. Daya gabung dan heterosis karakter hasil dan
komponen hasil enam genotipe kedelai dalam silang dialele. Zuriat 3(2): 32-38
Dewi I.S. Purwoko B.S., dan Herawati R. 2009. Keragaman genetik dan dan karakter agronomi galur haploid
ganda padi gogo dengan sifat tipe baru hasil kuntur antera. J. Agron. Indonesia 37(2):87-94.
Falconer, D.S.1989. Quantitative genetik Studies and population improvement in maize and sorgum. Iowa
State Univ. press. Amess
Fehr.R.W. 1993. Principle of cultivar development Volume I. Theory and technique. Departemen of Agronomy
Iowa State University USA. 115-117
Gudoy,L.B., E.B. Venture and R.L. Rivere. 1987. Diallel Cross and Combining Abality in Burley Tobacco.
J.Tob.Sci. and Tech. I (1): 240-245
Hadiatmi, S.G. Budiarti, dan Sutoro. 2001. Evaluasi Heterosis tanaman jagung . Seminar hasil dan penelitian
rintisan dan bioteknologi tanaman .Bogor. 7 hal.
Ikehashi H., Jiang-shi Zou,H.P. Moon, and K. Murayama. 1994. Wide compatibility gene (s) and IndicaJaponica heterosis in rice for temperate countries. Page 21-23. in: Hybrid Rice Technology: New
developments and future prospects. Selected papers from the Intl. Rice Res. Conference, IRRI
Philippines
Makarim A.K., dan Suhartatik E. 2009. Morfologi dan fisiologi tanaman padi. Di dalam : Suyanto, I Nyoman
Widiarta, Satoto (ed.). Padi : Inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku 1. LIPI Press. Jakarta p.
295-330.
Mangondidjoyo,W.200. Analisis interaksi genotipe x lingkungan tanaman perkebunan (studi kasus pada
tanaman the). Zuriat. 11(1):15-21
Manjjerez S,P., T.E. Carter, J,r., D.M., Web and J.W. Burton,1997. Heterosis in Soybean its Prediction by
Genetik Similirity Measures. Crop Sci. 37:1443-1452.
Muliarta A, Kisman, Zairin M. 2010. Perakitan varietas unggul padi beras merah toleran kekeringan serta
berdaya hasil dan kandungan antioksidan tinggi. Penelitian KKP3T. Deptan (tidak dipublikasikan) 51 h.
86
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Muliarta , 2012. Peranan Pemuliaan Padi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Seminar Nasional tentang
Peranan Pertanian dalam menunjang Ketahanan Pangan dn Enegi untuk Memperkuat Ekonomi
Nasional Berbais Smbe daya lokal . Unsoed Purwokerto. Prosiding
Muliarta IGP,Sudanta M. Bambang BS. 2013. Pengembangan padi gogo beras merah
potensi hasil tinggi dengan kandungan antosianin tinggi. Laporan penelitian insentif Riset Sinas RT2013-119 . Teknologi Pangan, Riset Terapan. 60 h.
Muliarta A ; AAK Sudharmawan; BB Santoso, 2015. Perakitan Varietas Padi Gogo Rancah Beras merah
fungsional tipe baru potensi hasil tinggi (> 7 ton/ha) serta berumur Genjah (<110 hari). Laporan
penelitian Strategis Nasional Tahun I
Nasir,M. 2009. Pengantar pemuliaan tanaman, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta. 325 h
Salazar, F.S. S. Panday., L.Naro., J.C. Perez,H.Ceballos,S.N. Parentoni and A.F.C. Bahian Filho.1997. Diallel
analisys of acid soil tolerant and in tolerant tropikal Maize populations. Crop Sci. 37: 1452-1462.
Satono dan Suprihatno. 1997. Beberapa alternatif pendekatan pemuliaan untuk peningkatan potensi hasil padi.
Pros. Simposium Nasional dan Kongres III, PERIPI. Bandung. Hal 101 –109
Sholekha U., Basuki N., dan Kuswanto.2015. Analisis daya gabung galur mandul jantan dan heterosis pada 12
padi hibrida (Oryza sativa L.).Jurnal Produksi Tanaman. 3 (3) :225-232.
Suardi,K.2005. Potensi beras merah untuk peningkatan mutu pangan pangan. Balai Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi Sumber Daya Genetik Pertanian. Bogor.
Suliartini S., Sadimantra W.N., Wijayanto. R.G.T., dan Muhidin. 2011. Pengujian kadar antosianin padi gogo
beras merah hasil seleksi plasma nutfah Sulawesi Tenggara. Crop Agro 4(2):43-48
Sulistyowati E. dan Machmud M. 2009. Pendugaan aksi gen dan daya waris ketahanan kapas terhadap
amarasca bigutta. Jurnal Litri 15(3): 131-138
Suprapto dan N.M. Kairudin. 2007. Variasi genetic, heritabilitas, tindak gen dan kemajuan genetic kedelai pada
Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Vol 9(2): 183-190
Suprihatno, B, Aan A. Darajat, Satoto, Baehaki, Suprihatno, A Setyono, S. D. Indrasari, I.P. Wardana dan H.
Sembiring . 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar penelitian Tanaman Padi. Balai Peneltian dan
Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. 114h
Tintin. S.2010. Keragaman karakter morfologi plasma nutfah spesies padi liar (Oryza spp). Buliten Plasma
Nutfah Vol. 16 N0.1 (17-28) Th 2010
Tulu.L. 2001. Hetrosis and genetic diversity in crosses of seven East African maize (Zea mays L.)
populations.pp.125-129. Dalam Seventh Eastern and Southern African Regional Maize Conference,
11th-15th February 2001.
Ujianto L. 2013. Pemuliaan tanaman kacang-kacangan melalui hibridisasi antar spesies. Arga Puji Press.
Mataram
Virnani,S.S., J.B. Young,H.P. Moon, I. Kumar and J.C. Flinn. 1991. Increasing rice yields through exploitation
of heterosis. IRRI.Res.P.Series. 156:136p.
Wijayanti, H.2012. Bedanya beras merah dan beras putih. http://www.Ibudanbalita.com
/diskusi/pertanyaan/78642/bedanyaberas-merah-dan-beras putih.{Diakses pada tanggal 2 September
2015]
Yunita R., Chaeruni, Lestari E.G., dan Dewi I.I. 2015. Penampilan galur harapan mutan diploid padi tipe baru
di Sulawesi Selatan. J.Agron.Indonesia 43(2): 89-98.
Yunita A. dan Harnowo.D. 2010. Teknologi Budidaya Padi sawah mendukung SI-PTT.BPTP. Sumatra Utara
Universitas.
87
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
KEEFEKTIFAN BIOCHAR SERBUK GERGAJI DAN PUPUK SUPER(PETRO)
GANIK YANG DIPERKAYA DENGAN Fe DAN Zn TERHADAP SIFAT TANAH
DAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA TANAH INSEPTISOL
Baharuddin, Mulyati, Tejowulan, dan Sukartono
(Fakultas Pertanian Universitas Mataram)
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) mengetahui karakterisitik kedua bahan (pupuk)
organik sebagai bahan pembenah tanah, (2) mengetahui tanggapan tanaman jagung terhadap pemberian kedua pupuk
organik yang diperkaya dengan unsur mikro Fe dan Zn. Penelitian dilaksanakan di Rumahkaca Fakultas Pertanian Unram,
menggunakan tanah Inseptisol berkadar bahan organik rendah dan kahat hara mikro Fe dan Zn. Desain penelitian adalah
desain factorial 2x8 yang ditata secara acak lengkap. Faktor pertama adalah jenis bahan pupuk organik, yaitu Biochar
Serbuk Gergaji dan Pupuk Super(petro)ganik. Faktor kedua adalah dosis hara mikro (Fe – Zn) yang terdiri atas 8 taraf: (00, 5-0, 0-5, 5-5, 10-0, 0-10, 5-10, dan 10-5 kg Fe-Zn per-ha), sehingga seluruhnya ada 16 kombinasi perlakuan yang
dilaksanakan dalam 3 ulangan. Variabel tanah yang dikaji adalah: C-organik, pH, KTK, kadar hara P, Fe, dan Zn. Variabel
tanaman meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, serta bobot kering tanaman. Data agronomis dianalisis dengan analisis
varians (anova) dan beda rata-rata perlakuan dibandingkan dengan uji BNJ pada taraf nyata 5%. Keefektifan penggunaan
bahan pupuk organik dikaji berdasarkan nilai persentase peningkatan pertumbuhan pada setiap perlakuan pengayaan unsur
hara mikro Fe-Zn
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Biochar serbuk gergaji dan pupuk Super(petro)ganik berpotensi sebagai
bahan pembenah tanah. Kedua bahan pupuk organik ini nyata mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung. Pupuk
Super(petro)ganik lebih efektif daripada Biochar serbuk gergaji dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.
Pengayaan bahan organik dengan unsur hara mikro Fe dan Zn dapat meningkatkan nilai tambah keefektifan pupuk organik.
Pengayaan Biochar dengan 10 kg Zn/ha tanpa Fe dapat meningkatkan bobot brangkasan kering sebesar 22 % dan
pengayaan pupuk Super(petro)ganik dengan dosis hara mikro yang sama dapat meningkatkan bobot brangkasan kering
sebesar 19%.
____________________________________________________________________
Kata Kunci: keefektifan, Biochar, pupuk Super(petro)ganik, unsur hara mikro,
pertumbuhan jagung;
PENDAHULUAN
Degradasi lahan pertanian menyebabkan sifat-sifat tanah, terutama sifat kimia tanah
mengalami kemerosotan dan/atau penurunan kualitas. Kandungan bahan organik sebagian besar
lahan pertanian tergolong rendah sampai sangat rendah; kadar beberapa unsur hara, baik unsur
hara makro maupun mikro berkurang hingga tidak mencukupi kebutuhan untuk pertumbuhan
tanaman secara normal. Keadaan ini diperparah oleh kebiasaan petani yang membakar limbah
pertanian (jerami, sisa panen, dan bagian-bagian tanaman ) serta terangkutnya sebagian besar
hasil pertanian keluar dari area pertanian.
Rendahnya kualitas kesuburan tanah merupakan faktor pembatas biofisik yang dianggap
bertanggung jawab terhadap rendahnya produksi tanaman pangan. Sebagian besar lahan
pertanian terdiri atas tanah Inseptisol berpasir, berpori makro tinggi, miskin bahan organik,
sehingga kemampuan retensi hara dan air rendah. Dengan demikian maka pengelolaan tanah
berbasis bahan organik untuk meningkatkan kualitas kesuburan tanah merupakan upaya strategis
dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan yang diharapkan dapat menunjang peningkatan
produksi tanaman pangan. Bahan organik berperan sangat penting untuk memperbaiki kualitas
tanah Inseptisol berpasir, baik yang terkait dengan sifat fisik dan kimia tanah maupun biologi
tanah. Beberapa penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji respon tanaman pangan dengan
aplikasi bahan (pupuk) organik / biochar pada tanah-tanah pertanian di pulau Lombok, baik yang
dilaksanakan di lapangan maupun di rumahkaca, antara lain Surianingsun, Suwardji, dan
Baharuddin (2012) terhadap tanaman jagung, Baharuddin, dkk (2013) terhadap tanaman kedelai,
dan Sukartono, dkk (2013) terhadap tanaman ubikayu
88
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Peranan bahan organik terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah adalah jelas, namun
sumbangan bahan / pupuk organik terhadap ketersediaan /pelepasan unsur hara masih relatif
kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi.
Hal ini akan lebih jelas tampak pada lahan pertanian dengan jenis tanah Inseptisol berpasir,
berkadar bahan organik rendah, dan kahat hara baik makro (N, P, K) maupun mikro mikro (Fe,
Cu, dan Zn). Oleh karena itu diperlukan penambahan unsur hara dari bahan-bahan (pupuk) yang
relatif cepat tersedia bagi tanaman. Untuk itu perlu diketahui jenis/macam bahan pupuk
organik yang lebih efektif dalam menyediakan hara dalam jumlah yang memadai bagi tanaman
dan apabila diperkaya dengan unsur hara (makro dan mikro), berapa banyak ditambahkan untuk
menopang pertumbuhan tanaman.
Penelitian ditujukan untuk mengetahui potensi biochar serbuk gergaji dan pupuk organik
Super(petro)ganik sebagai bahan pembenah tanah serta tanggapan tanaman jagung terhadap
pemberian bahan (pupuk) organik yang diperkaya dengan unsur hara mikro Fe dan Zn pada
tanah Inseptisol.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Rumahkaca Fakultas Pertanian Unram dengan menggunakan
tanah Inceptisol berkadar bahan organik rendah dan kahat hara mikro Fe dan Zn. Penelitian ini
adalah penelitian eksperimen faktorial 2x8 yang ditata secara acak lengkap. Faktor pertama
adalah Jenis bahan pupuk organik dan faktor kedua adalah dosis unsur hara mikro Fe dan Zn.
Faktor Jenis bahan pupuk organik terdiri atas 2 jenis: Pupuk Super(petro)ganik dan Biochar
Serbuk Gergaji. Faktor Dosis Hara Mikro (Fe dan Zn) terdiri atas 8 taraf: Dosis Fe – Zn : (0 –
0) , (0 – 5), (5 - 0), (5 – 5), (0 - 10), (10 –0), (5 – 10), dan (10 – 5) kg/ha. Dengan demikian
terdapat 16 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan dilaksanakan dalam tiga
ulangan.
Tanah tempat percobaan disiapkan sesuai rancangan (desain) yang telah ditetapkan.
Pupuk dasar yang diberikan adalah pupuk urea dengan dosis setara 300 kg Urea/ha. Pupuk
perlakuan yang digunakan adalah pupuk Super(petro)ganik dan Biochar serbuk gergaji dengan
dosis setara 20 ton/ha. Sebagai sumber hara mikro Fe dan Zn digunakan bahan pupuk besi
klorida (FeCl3) dan seng klorida (ZnCl2) dengan dosis sesuai perlakuan. Benih jagung ditanam
pada tanah yang disiapkan pada pot-pot percobaan dengan jumlah benih 2-3 biji per pot.
Pengairan diatur sesuai kebutuhan tanaman jagung dan diberikan hingga mencapai kapasitas
lapang. Penyiangan dilakukan disesuaikan dengan kondisi yaitu ada tidaknya gulma yang
tumbuh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan dan memperhatikan
keadaan gangguan/ serangan.
Variabel yang diukur adalah: Tinggi Tanaman (30 hari setelah tanam), Jumlah Daun,
Bobot Brangkasan kering tanaman, Kadar C-organik tanah, Kemasaman (pH) tanah, dan Kadar
hara N, P, Fe dan Zn tanah. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis keragaman
(anova) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap terhadap variabel pertumbuhan tanaman
. Apabila ada perlakuan yang berpengaruh nyata, akan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
pada taraf nyata 5%. Keefektifan jenis bahan pupuk organik yang diperkaya dengan hara mikro
(Fe dan Zn) dikaji berdasarkan persentase peningkatan pertumbuhan tanaman.
89
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah
Hasil analisis tanah sebelum percobaan disajikan dalam Tabel 1 dan hasil analisis kadar
hara mikro Fe dan Zn serta pH tanah setelah proses inkubasi disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Sebelum Percobaan
Parameter
Metode
Satuan
Nilai
Harkat
_________________________________________________________________________
Kadar lengas
Gravimetri
%
4,0
rendah*
pH
pH meter
7,4
netral**
C-organik
Walkley&Black
%
1,79
rendah**
N-total
Kjeldahl
%
0,18
rendah**
P-tersedia
Bray 1
ppm
7,13
sedang*
KTK
NH4-asetat
me%
19,46
sedang**
Fe
AAS
ppb
25,66
rendah**
Zn
AAS
ppm
11,30
rendah**
Keterangan: *) Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) **) Balai Penelitian
Tanah (2005)
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa tanah yang digunakan untuk penelitian ini tergolong
ber pH netral, berkadar bahan organik (C-organik) dan Nitrogen-total rendah, kadar fosfortersedia dan kapasitas tukar kation tergolong sedang. Kadar Fe dan Zn total tergolong rendah.
Dengan demikian tanah ini memerlukan penambahan nitrogen dan bahan organik dalam
budidaya tanaman. Penambahan bahan organik diharapkan dapat meningkatkan KTK dan kadar
bahan organik tanah yang rendah.
Selain itu penambahan bahan organik dapat meningkatkan kemampuan tanah meretensi
air (Baharuddin, dkk, 2013 dan Sukartono, dkk, 2013). Hasil analisis kadar Fe dan Zn tanah
setelah diinkubasi (Tabel 2) menunjukkan bahwa kandungan Fe dan Zn tanah secara umum
meningkat sebanding dengan penambahan bahan pupuk Fe dan Zn. Hal ini berdampak terhadap
pertumbuhan tanaman jagung yang ditanam setelah proses inkubasi.
Hal yang menarik dari
data dalam Tabel 2 adalah adanya perubahan kemasaman (pH) tanah dari kondisi awal yang
tergolong netral (pH 7,4) menjadi agak masam (pH 5,6 – 6.5) setelah proses inkubasi akibat
pemberian bahan organik, baik bahan Biochar serbuk gergaji maupun pupuk Super(petro)ganik.
Hal yang mungkin terjadi adalah bertambahnya kemasaman tanah karena terlepasnya beberapa
ion hidrogen (H+) dari gugus karboksil (-COOH) dan fenol (-OH) baik dari tanah maupun dari
kedua sumber bahan organik tersebut selama proses inkubasi. Bertambahnya kemasaman tanah
akan meningkatkan kelarutan unsur-unsur hara mikro Fe, Mn, Cu, dan Zn (Lindsay, 1971 dalam
Baharuddin et.al., 1993).
Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa adanya peningkatan kandungan Fe dan Zn tanah
setelah inkubasi, dari kondisi awal sebesar 25,66 ppb dan 11,30 ppm (Tabel 1) menjadi 43,9 ppb
Fe dan 29,8 ppm Zn karena pemberian biochar serbuk gergaji serta menjadi 45,4 ppb Fe
dan 27,7 ppm Zn karena pemberian pupuk Super(petro)ganik. Selanjutnya data Tabel 2
menunjukkan bahwa adanya peningkatan kandungan Fe dan Zn tanah setelah inkubasi karena
pemberian bahan pupuk yang mengandung kedua unsur hara mikro tersebut. Sebagai contoh
90
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
pemberian 5 kg Fe/ha dapat meningkatkan kandungan Fe menjadi 49,5 ppb dan pemberian 10 kg
Fe/ha dapat meningkat kandungan Fe menjadi 45,6 ppb serta pemberian 5 kg Zn/ha dapat
meningkatkan kandungan Zn menjadi 35,9 ppm dan pemberian 10 kg Zn/ha dapat meningkatkan
kandungan Zn menjadi 41,6 ppm dalam kombinasi perlakuan dengan Biochar serbuk gergaji.
Sedangkan dalam kombinasi perlakuan dengan pupuk Super(petro) ganik, bahwa pemberian 5
dan 10 kg Fe/ha berturut-turut dapat meningkatkan kandungan Fe tanah menjadi 49,19 dan 50,66
ppb serta pemberian 5 dan 10 kg Zn/ha berturut-turut dapaat meningkatkan kandungan Zn tanah
mejadi 33,3 dan 46,3 ppm.
Tabel.2 Hasil Analisis Kadar Hara Fe dan Zn serta pH tanah setelah Inkubasi
Perlakuan
Fe / Zn
(kg/ha)
0- 0
0- 5
5- 0
5- 5
0 -10
10 - 0
5 -10
10 - 5
Biochar Serbuk Gergaji
Fe
Zn
pH
( ppb )
( ppm )
43,9
29,8
5,95
40,8
35,9
5,95
49,5
28,5
5,88
37,7
28,0
5,93
32,1
41,6
5,88
45,6
28,9
5,98
41,6
40,6
5,93
50,2
36,2
5,90
Pupuk Super(petro)ganik
Fe
Zn
pH
( ppb)
( ppm )
45,40
27.7
5,80
47,39
33,3
5,80
49,19
27,0
5,80
49,17
41,5
5,80
45,02
46,3
5,80
50,66
27,0
5,80
38,47
45,5
5,75
40,66
32,5
5,75
Karakteristik Biochar Serbuk Gergaji dan Pupuk Super(petro)ganik
Biochar merupakan residu hitam yang mengandung karbon tidak murni yang dihasilkan
dengan menghilangkan kandungan air dan komponen volatil dari limbah pertanian, yang
dihasilkan dengan cara memanaskan bahan organik limbah pertanian (kayu, serbuk gergaji,
batang tembakau, batang jagung, dan lainnya). Pemanfaatan biochar untuk tanah pertanian
mempunyai pengaruh jangka panjang dan merupakan cadangan karbon (Woolf, 2008). Biochar
berpotensi untuk memperbaikai sifat fisik dan kimia tanah antara lain: meningkatkan agregasi
tanah dan kapasitas tanah menahan air, serta meningkatkan kadar karbon, KTK, dan ketersediaan
beberapa unsur hara N, P, Ca, dan Mn (Chan, et a.l, 2007; Novak, et al., 2009).
Pupuk Super(petro)ganik adalah pupuk organik produksi PT Petrokimia Gresik yang
diproduksi untuk memperbaiki kualitas tanah dan membatasi penggunaan pupuk kimiawi
anorganik dalam menopang sistem pertanian organik. Dari hasil analisis karakteristik Biochar
serbuk gergaji dan pupuk Super(petro)ganik dari penelitian ini (Tabel 3) bahwa kedua bahan
memiliki nilai kemasaman yang sama yaitu dengan nilai pH sebesar 8,10 dan 8,03. Kadar CBiochar sedikit lebih tinggi daripada kadar C-Pupuk Super(petro)ganik. Kadar N dan P Pupuk
Super(petro)ganik jauh lebih tinggi daripada kadar N dan P Biochar. Kapasitas tukar kation
(KTK) pupuk Super(petro)ganik lebih tinggi daripada KTK Biochar. Secara umum dapat
dikatakan bahwa potensi pupuk Super(petro)ganik cukup tinggi sebagai bahan pembenah tanah
(soil ameliorant). Namun karena kadar karbon biochar serbuk gergaji lebih tinggi daripada kadar
karbon pupuk Superganik, maka biochar serbuk gergaji dapat digunakan sebagai bahan
pembenah tanah yang berpotensi, karena menurut Lehman (2009) prinsip pemanfaatan Biochar
adalah menggunakan bahan yang bersifat stabil dan aplikasinya ke dalam tanah bertujuan untuk
menyimpan karbon.
91
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 3 Hasil Analisis Biochar Serbuk gergaji dan Pupuk Super(petro)ganik
Sebelum Percobaan
Parameter
pH
C-organik
N-total
P-total
KTK
Satuan
Biochar Serbuk Gergaji
8,10
%
17,33
%
0,14
%
0,03
me/100g
6,12
Super(petro)ganik
8,03
12,30
0,78
1,89
11,20
Hasil penelitian Baharuddin, et al. (2013) menunjukkkan bahwa setiap jenis limbah
pertanian mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga dapat dipahami bahwa
perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan Biochar dalam menangkap, menjerap, dan
melepaskan ion sehingga berbeda kemampuannya sebagai bahan pembenah tanah.
Respon Pertumbuhan Tanaman Jagung
Respon pertumbuhan tanaman jagung diukur dari variabel tinggi tanaman,
jumlah daun, bobot brangkasan basah, dan bobot brangkasan kering. Hasil analisis keragaman
variabel tersebut akibat pemberian bahan Biochar Serbuk Gergaji dan pupuk Super(petro)ganik
dapat dilihat dalam Tabel 4. Hasil analisis tinggi tanaman dan jumlah daun 30 hari setelah tanam
serta bobot brangkasan basah dan bobot brangkasan kering tanaman jagung umur 30 hari setelah
tanam disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis bahan organik sangat nyata mempengaruhi
tinggi tanaman, jumlah daun, bobot brangkasan basah, dan bobot brangkasan kering tanaman.
Dosis hara mikro Fe-Zn nyata mempengaruhi tinggi tanaman dan bobot brangkasan basah.
Pengaruh interaksi jenis bahan organik dan dosis hara mikro Fe-Zn hanya nyata mempengaruhi
jumlah daun tanaman jagung. Hasil analisis keragaman tersebut mengindikasikan bahwa terjadi
perbedaan respon yang nyata dan jelas antara biochar dan pupuk Super(petro)ganik dalam
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Perbedaan karakteristik biochar dan pupuk
Super(petro)ganik (Tabel 3) dapat menjelaskan tentang perbedaan respon tersebut.
Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Analisis Keragaman terhadap Parameter yang Diamati
Parameter
____________Sumber
Keragaman______________
Jenis Bahan Organik (J) Dosis Fe-Zn (D)
JxD
Tinggi Tanaman
**
**
NS
Jumlah daun
**
NS
**
Bobot Brangkasan Basah
**
**
NS
Bobot Grangkasan Kering
**
NS
_____________________________________________________________________
Keragaman dosis unsur hara mikro Fe dan Zn yang diberikan, mempengaruhi ketersediaan
kedua unsur tersebut dalam tanah (Tabel 2). Perbedaan tingkat ketersedian kedua unsur mikro
ini berimplikasi terhadap perbedaan respon pertumbuhan tanaman, terutama terhadap tinggi
tanaman dan bobot brangkasan basah.
92
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tinggi dan Jumlah Daun Tanaman
Data dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pupuk Super(petro)ganik
menghasilkan pertumbuhan tanaman jagung yang secara umum lebih tinggi daripada yang
diberikan biochar serbuk gergaji. Perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman yang sangat nyata
berdasarkan hasil analisis keragaman (Tabel 4), besar kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
nilai karakteristik kedua bahan tersebut (Tabel 3). Dari Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa
pemberian dosis Fe-Zn menunjukkan respon yang bervariasi terhadap tinggi tanaman.
Pemberian Fe 5 kg/ha dan Zn 5 kg/ha (5 – 5) dan/atau pemberian Fe 10 kg/a tanpa Zn (10 – 0)
dalam memperkaya biochar, memiliki nilai keefektifan yang tinggi, yaitu dengan peningkatan
pertumbuhan tinggi tanaman masing-masing sebesar 19 persen dan/atau 21 persen. Sedangkan
dalam pengayaan pupuk Super(petro)ganik nilai keefektifan yang tinggi dicapai dengan
pemberian Fe 5 kg/ha tanpa Zn (5 – 0) atau pemberian Zn 10 kg/ha tanpa Fe (0 – 10) serta
pemberian Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 – 10) dengan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman
masing-masing sebesar 12 dan 14 persen.
Tabel 5 Tinggi dan Jumlah DaunTanaman Jagung Umur 30 Hari
Setelah Tanam
Perlakuan
Biochar Serbuk Gergaji
Pupuk Super(petro)ganik
Fe / Zn
Tinggi KE*
Jumlah KE*
Tinggi
KE*
Jumlah
KE*
( kg/ha )
(cm)
(%)
daun
(%)
(cm)
(%)
daun
0- 0
45,17
100
7,25
100
50,08
100
7,33
0- 5
43,37
96
7,08
98
53,08
106
7,42
5- 0
48,25
107
7,33
101
55,92
112
8,00
5- 5
53,58
119
7,67
106
55,17
110
8,08
0 - 10
50,83
113
8,08
111
56,25
112
8,08
10 - 0
54,67
121
7,75
107
52,42
105
8,17
5 -10
50,67
112
7,25
100
57,08
114
8,17
(%)
100
101
109
110
110
111
111
10 - 5
46,75
103
7,00
97
54,03
108
95
_______________________________________________________________________________
*) KE = Nilai keefektifan kedua pupuk organik dari setiap perlakuan Fe-Zn.
7,00
Nilai keefektifan tertinggi terhadap jumlah daun tanaman dalam kombinasi pemberian
biochar dan dosis Fe-Zn, diperoleh pada perlakuan pemberian Zn 10 kg/ha tanpa Fe (0 – 10)
dengan peningkatan jumlah daun sebesar 11 persen; sedangkan dalam kombinasi pemberian
pupuk Super(petro)ganik dan Fe-Zn nilai keefektifan tertinggi diperoleh pada perlakuan Fe 10
kg/ha tanpa Zn (10 -0) atau pemberian Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 -10) dengan peningkatan
jumlah daun sebesar 11 persen. Pemberian dosis Fe-Zn yang lebih tinggi (10 -5) kg/ha
memperlihatkan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun yang lebih rendah.
Bobot Brangkasan Basah (BB) dan Brangkasan Kering (BK)
Pemberian pupuk organik Super(petro)ganik yang diperkaya dengan Fe dan Zn
menghasilkan bobot brangkasan basah dan bobot brangkasan kering tanaman yang lebih tinggi
93
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
daripada yang dikombinasikan dengan Biochar serbuk gergaji.
Variasi dosis Fe-Zn
menghasilkan bobot brangkasan basah dan brangkasan kering yang beragam pula seiring dengan
perubahan dosis Fe-Zn yang diberikan (Tabel 6). Dari pengayaan Biochar dengan Zn 10 kg/ha
tanpa Fe (0 – 10) diperoleh nilai keefektifan tertinggi dengan persentase peningkatan bobot
basah dan bobot kering tanaman berturut-turut sebesar 30 dan 22 persen,sedangkan pada
kombinasi perlakuan dengan pupuk Super(petro)ganik, nilai keefektifan tertinggi diperoleh pada
pengayaan Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 – 10) dengan persentase peningkatan bobot basah
sebesar 29 persen atau pada pengayaan Fe 10 kg/ha dan Zn 5 kg/ha (10 -5) dengan persentase
peningkatan bobot kering tanaman sebesar 21 persen.
Berdasarkan hasil kajian terhadap data bobot brangkasan basah dan bobot brangkasan
kering (Tabel 6), bahwa untuk meningkatkan efisiensi (daya guna) bahan pupuk hara mikro FeZn, pemberian bahan untuk memperkaya pupuk organik adalah cukup dengan pemberian Zn 10
kg/ha tanpa Fe (0 – 10). Dari perlakuan ini didapatkan peningkatan bobot brangkasan kering
dari penggunaan Biochar serbuk gergaji dan pupuk organik Super(petro)ganik berturut-turut
sebesar 22 dan 19 persen. Namun, apabila ada interaksi antar Fe dan Zn yang memperkaya
pupuk organik Super(petro)ganik, maka pemberian Fe 5 kg/ha dan Zn 5 kg/ha (5 – 5) akan lebih
efisien (berdayaguna) dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Dari perlakuan ini
didapatkan peningkatan bobot brangkasan basah maupun bobot brangkasan kering sebesar 16
persen.
Tabel 6. Bobot Brangkasan Basah (BB) dan Brangkasan
Kering (BK) Tanaman Jagung Umur 30 Hari Setelah Tanam
Perlakuan
(Fe–Zn)
BB
Biochar Sebuk gergaji
KE*
BK
KE*
Pupuk Super(petro)ganik
BB
KE*
BK
KE*
(kg/ha)
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
(0 - 0)
15,48
100
5,81
100
20,02
100
7,64
(0 - 5)
13,88
90
5,40
93
19,41
97
7,24
(5 - 0)
17,27
112
5,83
100
22,64
113
8,56
(5 - 5)
18,59
120
6,23
107
23,13
116
8,84
(0 - 10)
20,20
130
7,06
122
22.51
112
9,07
(10 - 0)
18,00
116
6,46
111
22,00
110
8,75
(5 -10)
17,02
110
6,61
114
25,92
129
8,85
(%)
100
95
112
116
119
115
116
(10 - 5)
16,69
108
5,92
102
23,23 116
121
_________________________________________________________________
*) KE = Nilai keefektifan kedua pupuk organik dari setiap perlakuan Fe-Zn
9,24
Nisbah Keefektifan (KE-%) Pupuk Super(petro)ganik dan Biochar Serbuk Gergaji
Nisbah keefektifan pupuk Super(petro)ganik dan Biochar adalah perbandingan nilai
karakterisitik pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun, bobot brangkasan basah, dan
bobot brangkasan kering tanaman) yang diberikan pupuk organik Super(petro)ganik dengan
94
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
yang diberikan Biochar serbuk gergaji pada berbagai dosis (Fe –Zn) dikalikan 100 persen. Nilai
keefektifan adalah persentase peningkatan hasil dari setiap perlakuan dosis (Fe–Zn)
dibandingkan tanpa Fe dan Zn. Data dalam Tabel 7 menunjukkan bahwa pupuk
Super(petro)ganik lebih efektif daripada Biochar serbuk gergaji dalam memacu pertumbuhan
tanaman. Nilai tambah keefektifan pupuk Super(petro)ganik terhadap Biochar pada berbagai
dosis (Fe – Zn) dalam memacu pertumbuhan tinggi tanaman adalah berkisar dari 3 hingga 22
persen. Nilai tambah tertinggi diperoleh pada perlakuan Zn 5 kg/ha tanpa Fe (0 -5). Nilai
tambah yang diperoleh dalam memacu jumlah daun adalah bervariasi dari 1 hingga 13 persen
dengan nilai tambah tertinggi diperoleh pada perlakuan Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 – 10).
Hal yang menarik dari data dalam Tabel 7 adalah nilai tambah yang diperoleh dengan
penggunaan pupuk Super(petro)ganik dalam memacu pertambahan bobot brangkasan basah dan
brangkasan kering adalah cukup tinggi, yaitu sekitar 11 hingga 53 persen untuk bobot
brangkasan basah dan sekitar 28 hingga 57 persen untuk bobot brangkasan kering tanaman .
Tabel 7. Nisbah Keefektifan (KE %) Pupuk Super(petro)ganik dan Biochar Serbuk
Gergaji pada berbagai dosis (Fe–Zn) terhadap Nilai Karakteristik Pertumbuhan Tanaman
__________________________________________________________________
Dosis
Tinggi
Jumlah
Brangkasann
Brangkasan
(Fe – Zn)
Tanaman
Daun
Basah
Kering
_________________________________________________________________
0 - 0
111
101
129
0 - 5
122
105
140
5 - 0
116
109
131
5 - 5
103
105
124
0 - 10
111
100
111
10 - 0
96
105
122
5 - 10
113
113
152
10 - 5
116
100
139
________________________________________________________________
131
134
147
142
128
135
134
157
Apabila dicermati variasi data tingkat keefektifan (Tabel 7), bahwa pada
perlakuan tanpa unsur hara mikro Fe dan Zn (0 – 0), pupuk Super(petro)ganik menunjukkan
perbedaan tingkat keefektifan yang cukup tinggi yaitu sebesar 29 persen untuk bobot brangkasan
basah dan 31 persen untuk bobot brangkasan kering. Perbedaan hasil ini selain disebabkan oleh
perbedaan nilai karakterisitik kedua bahan pupuk organik (Tabel 3) bahwa pupuk
Super(petro)ganik lebih berpotensi sebagai bahan pembenah tanah dalam waktu cepat daripada
biochar serbuk gergaji, juga disebabkan oleh bertambahnya kelarutan / ketersediaan Fe dan Zn
tanah setelah diinkubasi (Tabel 2). Perubahan kemasaman tanah dari kondisi awal netral
sebelum diinkubasi menjadi tanah ber pH agak masam, akan meningkatkan kelarutan/
ketersediaan unsur hara mikro Fe dan Zn. Menurut Lindsay (1971) dalam Baharuddin, et.al
(1993) bahwa setiap unit penurunan pH akan meningkatkan kelarutan Zn dan Fe 100 kali.
KESIMPULAN
1.
Biochar serbuk gergaji dan pupuk organik Super(petro)ganik berpotensi sebagai bahan pembenah tanah
Inseptisol berpasir.
2. Inkubasi tanah dengan Biochar serbuk gergaji dan pupuk Super(petro)ganik serta bahan pupuk hara mikro
Fe–Zn dapat meningkatkan kemasaman tanah dan meningkatkan kelarutan /ketersediaan unsur hara mikro
Fe dan Zn.
3. Pupuk Super(petro)ganik dan Biochar serbuk gergaji berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman
jagung. Pupuk Super(petro)ganik lebih efektif daripada Biochar serbuk gergaji dalam meningkatkan
95
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
pertumbuhan tanaman jagung
4. Pengayaan dengan unsur hara mikro Fe dan Zn dapat meningkatkan nilai tambah keefektifan pupuk organik
Super(petro)ganik. .
5. Daya guna (efisiensi) pupuk organik Super(petro)ganik dan Biochar serbuk gergaji diperoleh dengan
pengayaan 10 kg Zn/ha tanpa Fe. Bobot brangkasan kering tertinggi dicapai dengan peningkatan sebesar 22
dan 19 % berturut-turut karena penggunaan Biochar sebuk gergaji dan pupuk organik Super(petro)ganik
REFERENSI
Baharuddin, J. Priyono, S. Mastar, Muhlis, dan E. Hendro. 1993. Penentuan status hara Daerah Irigasi MamakKakiang Sumbawa. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Mataram..
Baharuddin, Mulyati, dan S. Tejowulan. 2013. Ameliorasi Lahan Kering Bertekstur Pasir melalui Penggunaan
Biochar sebagai Alternatif Strategis untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai. Laporan Penelitian.
Universitas Mataram.
Jyung, W. H., A. Ehmann, K. K. Schilinder, and J. Skala. 1975. Zinc nutritional and starch metabolism in
Phaseolus vulgaris, L. Plant Physiol. 55:414-420.
Rondon, M. A., J. Lehmann, J. Ramirez, and M. Hurtado. 2007. Biological Nitrogen Fixation by Common
Beans (Phaseolus vulgaris l.) Increases with Biochar Additions. Biology and Fertility of Soils 43, 69708.
Sukartono, Suwardji, Mulyati, Baharuddin, S. Tejowulan. 2013. Modifikasi Rhizosfer menggunakan Biochar
sebagai Upaya meningkatkan Produktivitas Ubikayu di Tanah Lempung Berpasir Lahan Kering
Lombok Utara. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Mataram.
Surianingsun, B. I, Suwardji, dan Baharuddin.
2012. Kajian Biochar Tempurung Kelapa dalam
Meningkatkan Hasil dan Efisiensi Penggunaan Pupuk nitrogen pada tanaman Jagung serta Perbaikan
Sifat Tanah Berpasir Kabupaten L0mbok Utara. Tesis. Magister. Universitas Mataram.
96
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KEDELAI TERHADAP
PEMBERIAN BIOCHAR DAN BERBAGAI DOSIS BIOAKTIVATOR YANG
DIFERMENTASI DENGAN JAMUR Trichoderma spp. DI LAHAN KERING
I Made Sudantha dan Suwardji
Dosen Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering Universitas Mataram
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
terhadap pemberian biochar dan berbagai dosis bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit
Trichoderma harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04. Penelitian
ini dilaksanakan di lahan kering Desa Banyu Urip Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat mulai
bulan Juni sampai Agustus 2015. Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot
Design) yang terdiri dari 2 faktor. Petak utama adalah pemberian biochar yang difermentasi dengan
jamur Trichoderma spp., yang terdiri dari dua aras yaitu tanpa pemberian biochar dan pemberian
biochar 10 kg/petak setara 20 ton/ ha. Anak petak adalah dosis bioaktivator yang difermentasi jamur
Trichoderma spp., yang terdiri dari lima aras yaitu: tanpa bioaktivator, dengan bioaktivator 2 g/lubang
tanam setara 200 kg/ ha, dengan bioaktivator 3 g/lubang tanam setara 300 kg/ ha, dengan bioaktivator
4 g/lubang tanam setara 400 kg/ ha, dan dengan bioaktivator 5 g/lubang tanam setara 500 kg/ ha.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pemberian biochar sebanyak 20 ton/ha yang difermentasi
dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO04 dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan kering. (2) Pemberian
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit
T. polysporum isolat ENDO-04 sebanyak 5 g/tanaman setara 500 kg/ ha dapat meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan kering.
___________________________________________________________
Kata Kunci: biochar, bioaktivator, Trichoderma spp., biochar dan kedelai
PENDAHULUAN
Tanaman kedelai (Glycine (L.) Merr.) merupakan komoditas pangan utama ketiga setelah
padi dan jagung serta menjadi salah satu komoditas yang diprioritaskan dalam program
Revitalisasi Pertanian. Selain mengandung protein nabati yang cukup tinggi yang dibutuhkan
untuk meningkatkan gizi masyarakat, kedelai juga aman dikonsumsi, dan harganya cenderung
terjangkau disemua lapisan masyarakat (Arsyad dan Syam, 1998: Direktorat Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian, 2004)
Di Indonesia, sekitar 60 % tanaman kedelai dibudidayakan di lahan sawah setelah
tanaman padi dan 40 % di lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia mencapai 32,9 juta ha,
dari total luas tersebut baru 25,2 juta ha (76 %) telah dapat dimanfaatkan, sedangkan sisanya 7,7
juta ha belum termanfaatkan. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), pengembangan pertanian lahan
kering merupakan unggulan dan andalan masa depan, karena sebagian besar wilayah NTB yaitu
84% dari luas wilayah NTB (1,8 juta hektar) merupakan lahan kering yang mempunyai potensi
dikembangkan menjadi lahan pertanian yang produktif untuk berbagai komoditi pertanian
tanaman pangan terutama tanaman kedelai (Suwardji et al., 2003).
Di NTB kedelai merupakan tanaman utama yang ditanam dengan pola tanam kedelaikedelai-jagung atau kedela-jagung-kedelai. Produktivitas hasil kedelai di tingkat petani baru
mencapai 1,0 ton/ha, dan hasil ini masih tergolong rendah karena potensi biologis hasil kedelai
pada lahan kering di NTB dapat mencapai 3,3 ton/ha, dan hasil penelitian rata-rata telah mencapai
2,5 ton/ha atau 75 persen dari potensi biologisnya. Hal ini berarti tanaman kedelai berpotensi
untuk dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya (Sudantha et al., 1999).
97
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa salah satu faktor pembatas utama dalam
pengembangan tanaman kedelai pada lahan kering adalah kesehatan tanaman kedelai karena
adanya serangan patogen tular tanah, masalah yang lain adalah ketidak mampuan tanaman
kedelai beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan terutama pada fase perkecambahan,
pertembuhan vegetatif dan pembungaan dan kesuburan tanah (Sudantha dan Suwardji, 2013).
Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan ini perlu adanya penerapan teknologi
hayati atau teknologi sepadan yang sesuai dengan kondisi lahan kering. Salah satu alternatif
untuk pemecahan masalah ini adalah memperbaiki kondisi fisik dan biologis tanah menuju
pertanian yang berkelanjutan berbasis pertanian organik dengan pengelolaan tanaman kedelai
secara terpadu, yaitu dengan memadukan berbagai komponen teknologi hayati yang memberikan
pengaruh sinergistik antara lain penggunaan bioaktivator dan biochar, sehingga tanaman kedelai
mampu menginduksi ketahanan terhadap cekaman kekeringan, sehingga mampu memacu
pertumbuhan dan pembungaan serta meningkatkan hasil kedelai.
Bioaktivator yang merupakan inokulan unggul lokal NTB (jamur saprofit T. harzainum
isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04) sebagai pemacu
pertumbuhan dan pembungaan berbagai tanaman (Sudantha, 2010a). Sudantha (2010b)
melaporkan bahwa percobaan di rumah kaca aplikasi jamur T. koningii isolat ENDO-02 dan T.
polysporum isolat ENDO-04 lebih memacu pertumbuhan tinggi tanaman kedelai, sedang jamur T.
harzianum isolat SAPRO-07 dan T. hamtum isolat SAPRO-09 lebih memacu keluarnya bunga
lebih awal, menambah polong isi dan bobot biji kering kedelai per tanaman.
Biochar atau arang biologis adalah arang hitam hasil proses pemanasan biomassa organik
pada keadaan oksigen terbatas (Tunggal, 2009). Hasil penelitian aplikasi biochar limbah arang
tempurung kelapa yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan
jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 pada tanaman jagung yang dilakukan di lahan
kering pada dosis 20 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung (Sudantha dan
Suwardji, 2015), namun pengaruhnya terhadap tanaman kedelai di lahan kering belum diketahui.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
respon pertumbuhan dan hasil kedelai terhadap pemberian biochar dan berbagai dosis
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur
endofit T. polysporum isolat ENDO-04 di lahan kering.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di lahan kering tadah hujan yang berpengairan High Level
Diversion di Desa Banyu Urip Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat NTB. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan dua faktor. Sebagai
petak utama adalah pemberian biochar terdiri atas dua aras, yaitu: tanpa pemberian biochar dan
pemberian biochar (10 kg/petak setara 20 ton/ha). Sebagai anak petak adalah dosis bioaktivator
granula tediri atas lima aras, yaitu: tanpa pemberian bioaktivator, dosis 2 g/lubang tanam setara
200 kg bioaktivator/ha, dosis 3 g/lubang tanam setara 300 kg bioaktivator/ha, dosis 4 g/lubang
tanam setara 400 kg bioaktivator/ha, dan dosis 5 g/lubang tanam setara 500 kg bioaktivator/ha.
Perlakuan merupakan kombinasi antara aplikasi biochar dan dosis bioaktivator sehingga
terdapat 30 unit percobaan.
Penyediaan Bioakivator Granula
Formulasi granula/butiran dibuat dengan mencampur substrat daun kopi dengan tanah
liat/clay steril masing-masing berukuran 2 mm dengan perbandingan 10:1 (v/v), kemudian
difermentasi dengan suspensi biomasa konidia jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07
dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 selanjutnya dimasukkan ke dalam alat
pembuatan formulasi granula, dan diinkubasikan selama 14 hari.
Penyediaan Biochar
Biochar berasal dari sisa-sisa pembuatan arang tempurung kelapa dari Industri Kecil
Pembuatan Arang di Desa Bengkaung Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat. Biochar
98
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
ditumbuk (grinding) sedemikian rupa kemudian diayak dengan ayakan mata saring 1,0 mm.
Selanjutnya biochar difermentasi dengan jamur konidia jamur saprofit T. harzainum isolat
SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 selama 21 hari.
Penyedian Lahan
Pengolahan tanah dilakukan dengan cara pencangkulan sebanyak dua kali,
selanjutnya dibuat petakan berukuran 2 x 2,5 m2 sebanyak 30 petak.
Cara Pemberian Biochar dan Bioaktivator
Pemberian biochar dengan cara cara dibenamkan ke dalam tanah pada saat pengolahan
tanah sebanyak 20 ton/ha atau 10 kg/petak. Untuk biaoaktivator diberikan disebelah lubang tanam
bersamaan dengan penugalan benih sesuai dengan dosis perlakuan.
A
B
Gambar 1. Bioaktivator granula (A) dan biochar limbah arang tempurung kelapa
(B) yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat
SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
Penanaman Benih Kedelai
Benih kedelai varietas Anjosmoro ditanam sebanyak tiga biji dengan jarak 40 x 25 cm
dengan cara dimasukkan ke dalam lubang tanam, dan setelah berumur satu minggu diakukan
penjarangan dengan menyisakan dua tanaman.
Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, pengairan dan penyiangan. Pemupukan
dengan pemberian pupuk phonska sebanyak 50% dari rokemdasi. Pengairan dilakukan
dengan sistem pengairan High Level Diversion.
Pengamatan Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: tinggi tanaman, bobot
brangkasan basah dan kering tanaman, bobot polong per tanaman, bobot biji per tanaman,
bobot 100 biji, dan bobot biji kering per ha.
Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis keragaman pada taraf nyata 5%. Selanjutnya
diuji lanjut menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf nyata yang sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Biochar
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara biochar dengan dosis
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur
endofit T. polysporum isolat ENDO-04 tidak berbeda nyata terhadap variabel pertumbuhan,
sedangkan pemberian biochar dan bioaktivator secara tunggal menunjukkan beda nyata. Hasil
uji lanjut pengaruh pemberian biochar terhadap pertumbuhan tanaman kedelai (tinggi tanaman,
berangkasan basah/tanaman dan berangkasan kering/tanaman) dan hasil tanaman kedelai (bobot
polong kering/tanaman, bobot 100 biji dan bobot biji kering/ha) disajikan pada Tabel 1 dan 2.
99
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1. Pengaruh pemberian biochar yang difermentasi dengan jamur saprofit T.
harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
terhadap tinggi tanaman kedelai pada umur 5 mst, berangkasan basah/tanaman
dan berangkasan kering/tanaman
Biochar
Tanpa Biochar
Dengan Biochar (20
ton/ha)
BNJ 5%
Tinggi tanaman
kedelai (cm)
26,69 a*)
30,98 b
Bobot berangkasan
basah/tanaman (g)
13,79 a*)
20,83 b
Bobot bereangkasan
kering/tanaman (g)
4,89 a*)
4,14 b
8,07
4,32
3,29
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNJ 5%
Tabel 2. Pengaruh pemberian biochar yang difermentasi dengan jamur saprofit T.
harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
terhadap bobot polong kering/ tanaman, bobot 100 biji dan bobot biji kering/ha
Biochar
Tanpa biochar
Dengan biochar (20 ton/ha)
BNJ 5%
Bobot polong kering
panen/tanaman (g)
13,91 a*)
14,38 b
2,80
Bobot 100
biji kedelai
(g)
18,79 a*)
21,28 b
2,58
Bobot biji Kering
panen/ha (ton)
1,26 a*)
2,96 b
0,75
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNJ 5%.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa pengaruh pemberian biochar yang difermentasi dengan jamur
saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
berbeda nyata dengan tanpa pemberian biochar terhadap varibel pertumbuhan tanaman (tinggi
tanaman kedelai pada umur 5 mst, bobot berangkasan basah/tanaman dan bobot berangkasan
kering/tanaman). Demikian juga pada Tabel 2 terlihat bahwa pengaruh pemberian biochar yang
difermentasi menunjukkan beda nyata dengan tanpa pemberian biochar terhadap variabel hasil
tanaman kedelai (bobot polong kering/ tanaman, bobot 100 biji dan bobot biji kering/ha). Untuk
bobot biji kering panen terjadi peningkatan 57% akibat penggunan biochar yang difermentasi
dengan jamur Trichoderma spp., yaitu dari 1,26 ton/ha menjadi 2,96 ton/ha. Hal ini berarti bahwa
pemberian biochar limbah arang tempurung kelapa sebanyak 10 kg/petak setara 20 ton/ha
mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai mendekati potensi biologisnya.
Ada dua hal yang menyebabkan meningkatnya pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
setelah diberikan biochar yang difermentasi dengan jamur Trichoderma spp., yaitu:
(1) Jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat
ENDO-04 yang digunakan untuk fermentasi biochar dapat berkolonisasi dengan baik dalam
biochar yang kemudian diberikan ke dalam tanah. Pada penelitian ini ditemukan populasi
jamur Trichoderma spp. di biochar dan di daerah perakaaran tanaman kedelai 6,0 x 10 6
propagul/g tanah. Hal ini berarti biochar merupkan host yang baik untuk jamur Trichoderma
spp. Menurut Sudantha (2007) bahwa kedua species jamur ini mempunyai karakter yang
berbeda, yaitu jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 berkolonisasi di rhizosfer
tanaman kedelai dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 masuk ke dalam
jaringan tanaman kedelai. Lebih lanjut Sudantha (2010b) mengatakan bahwa jamur endofit
dalam jaringan tanaman kedelai lebih berperan dalam memacu pertumbuhan vegetatif
dibandingkan dengan generatif, dan sebaliknya jamur saprofit lebih berperan dalam memacu
pertumbuhan generatif dibandingkan dengan vegetatif. Dalam hal peran jamur endofit T.
polysporum isolat ENDO-04 di dalam jaringan tanaman kedelai menstimulir etilen dalam
memacu pemanjangan sel sehingga bertambahnya tinggi tanaman, sedangkan jamur saprofit
100
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
T. harzainum isolat SAPRO-07 di rhizosfer atau daerah perakaran tanaman kedelai
mengeluarkan etilen yang didifusikan ke tubuh tanaman melalui silem yang berperan
memacu pertumbuhan generatif.
(2) Biochar yang telah difermentasi dengan kedua species jamur ini berpengaruh langsung dalam
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dengan demikian sifat fisik, kimia dan
biologi tanah yang baik dapat meningktkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Pada
penelitian ini analisis tanah setelah pemberian biochar menunjukkan bahwa pH tanah
meningkat dari 6,0 menjadi 6,2; terjadi peningkatan C organik dari 1,93% menjadi 2,09%;
terjadi peningkatan N total dari 0,16% menjadi 0,44%; terjadi peningkatan P tersedia dari
0,46 ppm menjadi 43,86 ppm, terjadi peningkatan K tertukar dari 1,28 M% menjadi 2,68
M%; dan terjadi peningkatan KTK dari 11,25 Me% menjadi 17,67 Me%. Menurut Sukartono
dan Utumo (2012) bahwa peningkatan pH tanah pada perlakuan biochar berkaitan dengan
bahan baku biochar yang di gunakan yaitu tempurung kelapa yang memiliki tingkat alkalin
yang tinggi. Lebih lanjut Priyono (2005) mengatakan bahwa pH tanah berpengaruh terhadap
ketersediaan unsur hara karena merupakan salah satu sifat kimia tanah yang penting yang
dapat menentukan kualitas tanah sebagai media tumbuh tanaman. Lehman et al. (2006)
mengatakan bahwa peningkatan C-Organik pada perlakuan biochar disebabkan oleh
kandungan C-organik pada biochar memiliki struktur C aromatik yang lebih tahan terhadap
dekomposisi, sehingga keberadaan C-Organik pada tanah meningkat bahkan bertahan lama.
Menurut Islami (2012) bahwa peningkatan C-Organik tanah berimplikasi terhadap
peningkatan kandungan bahan organik didalam tanah dan selanjutnya akan berpengaruh juga
terhadap perbaikan kualitas tanah dan keberadaan unsur hara di dalam tanah karena bahan
organik tanah merupakan salah satu kunci yang menentukan kesuburan dan produktivitas
tanah. Bahan organik merupakan sumber utama beberapa unsur hara tanaman terutama N, P,
S dan sebagian besar K. Selanjutnya Priyono (2005) berpendapat bahwa peningkatan nilai
KTK pada perlakuan biochar menunjukkan terjadi perbaikan sifat tanah setelah aplikasi
karena nilai KTK suatu tanah mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesuburan tanah.
Selanjutnya Islami (2012) menyatakan peningkatan efisiensi pemupukan terjadi sebagai
akibat adanya KTK yang tinggi pada perlakuan biochar sehingga mampu menyerap hara
pada pupuk dan selanjutnya memperkecil kehilangan hara karena pencucian. Sukartono
(2011) mengatakan bahwa peningkatan kadar N Total pada tanah setelah aplikasi biochar
berkaitan erat dengan peningkatan C-Organik didalam tanah. Peningkatan C-Organik
didalam tanah tersebut selanjutnya dapat meningkatkan kandungan bahan organik sehingga
akan berdampak juga terhadap peningkatan nitrogen di dalam tanah karena salah satu sumber
utama nitrogen di dalam tanah adalah bahan organik. Nurida dan Rachman (2012)
mengatakan bahwa peningkatan kadar P Tersedia dan K Tertukar ini berkaitan dengan
peningkatan pH dan KTK didalam tanah setelah aplikasi biochar tersebut. Nilai KTK tanah
dapat menjadi indikator kesuburan tanah dalam hal ini mampu menyediakan unsur hara P
dan K didalam tanah bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pengaruh Bioaktivator
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara biochar dengan dosis
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur
endofit T. polysporum isolat ENDO-04 tidak berbeda nyata terhadap variabel pertumbuhan dan
hasil tanaman kedelai, sedangkan
pemberian biochar dan bioaktivator secara tunggal
menunjukkan beda nyata. Hasil uji lanjut pengaruh pemberian dosis bioaktivator terhadap
pertumbuhan tanaman kedelai (tinggi tanaman kedelai pada umur 5 mst, berangkasan
basah/tanaman dan berangkasan kering/tanaman) dan hasil tanaman kedelai (bobot polong
kering/tanaman, bobot 100 biji dan bobot biji kering/ha) disajikan pada Tabel 3 dan 4.
101
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 3. Pengaruh berbagai dosis bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T.
harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO04terhadap tinggi tanaman kedelai pada umur 5 mst, berangkasan basah/tanaman
dan berangkasan kering/tanaman.
Dosis bioaktivator formulasi
granula
0 g/lubang tanam atau kontrol
2 g/lubang tanam setara 200
kg/ha
3 g/lubang tanam setara 300
kg/ha
4 g/lubang tanam setara 400
kg/ha
5 g/lubang tanam setara 500
kg/ha
BNJ 5%
Tinggi tanaman
kedelai (cm)
25,00 a*)
26,83 b
Bobot
berangkasan
basah/tanaman
(g)
14,13 a*)
16,75 b
Bobot
berangkasan
kering/tanaman
(g)
2,85 a*)
4,79 b
26,86 b
17,81 b
4,99 b
26,90 b
17,85 b
5,13 b
28,55 c
19,72 c
6,66 c
1,81
1,52
1,63
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNJ 5%.
Tabel 4. Pengaruh pemberian berbagai dosis bioaktivator yang difermentasi dengan jamur
saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat
ENDO-04 terhadap bobot polong kering/ tanaman
Dosis bioaktivator formulasi granula
Bobot polong kering
panen/ tanaman (g)
12,19 a*)
14,74 b
14,75 b
15,02 b
17,59 c
1,60
Bobot 100 biji
kedelai (g)
18,70 a*)
20,53 b
20,62 b
20,70 b
22,85 c
1,53
Bobot biji kering
panen/ ha (ton)
1,35 a*)
2,43 b
2,72 b
2,75 b
3,25 c
0,45
0 g/lubang tanam atau kontrol
2 g/lubang tanam setara 200 kg/ha
3 g/lubang tanam setara 300 kg/ha
4 g/lubang tanam setara 400 kg/ha
5 g/lubang tanam setara 500 kg/ha
BNJ 5%
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ 5%.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa pengaruh pemberian bioaktivator yang difermentasi dengan
jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
berbeda nyata dengan tanpa pemberian bioaktivator terhadap varibel pertumbuhan tanaman
(tinggi tanaman kedelai pada umur 5 mst, bobot berangkasan basah/tanaman dan bobot
berangkasan kering/tanaman). Demikian juga pada Tabel 4 terlihat bahwa pengaruh pemberian
bioaktivator yang difermentasi menunjukkan beda nyata dengan tanpa pemberian bioaktivator
terhadap variabel hasil tanaman kedelai (bobot polong kering/ tanaman, bobot 100 biji dan bobot
biji kering/ha). Untuk bobot biji kering panen terjadi peningkatan 58% akibat penggunan
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur Trichoderma spp., yaitu dari 1,35 ton/ha menjadi
3,25 ton/ha. Hal ini berarti bahwa pemberian bioaktivator yang difermentasi dengan jamur
Trichoderma spp. mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai mendekati
potensi biologisnya. Dosis bioaktivator yang terbaik yang dapat meningkatkan variabel
pertumbuhan tanaman kedelai dan hasil tanaman kedelai adalah 5 g/lubang tanam setara 500
kg/ha.
Ada beberapa hal yang menyebabkan meningkatnya pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai setelah diberikan bioaktivator yang difermentasi dengan jamur Trichoderma spp., yaitu:
102
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
(1) Jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat
ENDO-04 yang digunakan untuk fermentasi bioaktivator dapat berkolonisasi dengan baik
dalam bioaktivator formulasi granula yang kemudian diberikan ke dalam tanah. Pada
penelitian ini ditemukan populasi jamur Trichoderma spp. dalam bioaktivator adalah 20,0 x
106 propagul/g bahan dan di daerah perakaaran tanaman kedelai 15,0 x 106 propagul/g tanah.
Hal ini berarti bioaktivator dengan bahan dasar daun kopi dengan tanah liat/clay merupkan
host yang baik untuk jamur Trichoderma spp. Substrat daun kopi dan tanah liat yang
digunakan mengandung bahan organik yang berperan sebagai stater untuk pembiakan
massal kedua jamur ini di dalam tanah. Menurut Sudantha (2010b) bahwa peran jamur
endofit T. polysporum isolat ENDO-04 di dalam jaringan tanaman kedelai menstimulir
etilen dapat memacu pemanjangan sel sehingga bertambahnya tinggi tanaman, sedangkan
jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 di rhizosfer atau daerah perakaran tanaman
kedelai mengeluarkan etilen yang didifusikan ke tubuh tanaman melalui silem yang berperan
memacu pertumbuhan generatif.
(2) Peran jamur endofit dan saprofit Trichoderma spp. dalam memacu pertumbuhan vegetatif
dan generatif tanaman pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Windham et al.
(1986) melaporkan bahwa jamur T. harzianum dapat meningkatkan perkecambahan benih
dan pertumbuhan tanaman. Tronsmo dan Dennis (1977 dalam Cook dan Baker, 1983)
melaporkan bahwa penyemprotan konidia jamur T. viride dan T. koningii untuk melindungi
tanaman strawberi dari penyakit busuk ternyata dapat memacu pembungaan lebih awal.
Salisbury dan Ross (1995) mengatakan bahwa dari empat macam auxin yaitu geberelin,
sitokinin, asam absisat dan etilen, diduga etilen merupakan hormon yang dihasilkan oleh
jamur Trichoderma spp. yang dapat memacu pembungaan pada tanaman. Lebih lanjut
Salisbury dan Ross (1995) mengungkapkan bahwa beberapa jenis jamur yang hidup di
tanah dapat menghasilkan etilen. Diduga etilen yang dilepaskan oleh jamur tersebut
membantu mendorong perkecambahan biji, mengendalikan pertumbuhan kecambah,
memperlambat serangan organisme patogen tular tanah, dan memacu pembentukan bunga.
Pada tumbuhan berbiji semua bagian tumbuhan menghasilkan etilen, baik pada akar, batang,
daun dan bunga. Etilen merupakan hormon yang mudah menguap sehingga mudah berpindah
dari satu organ tanaman ke organ lainnya. Pengaruh etilen dalam jaringan dapat
meningkatkan sintesis enzim, jenis enzimnya bergantung pada jaringan sasaran. Saat etilen
memacu gugur daun, sellulase dan enzim pengurai dinding sel lainnya muncul di lapisan
absisi. Jika sel terluka, fenilalanin amonialiase muncul, enzim ini penting dalam
pembentukan senyawa fenol yang berperan dalam pemulihan luka. Jika jamur patogenik
tertentu menyerang sel, etilen menginduksi tanaman untuk membentuk dua macam enzim
yang menguraikan dinding sel jamur tersebut, yaitu β-(1,3) glucanase dan chitinase (Boller,
1988 dalam Salisbury dan Ross, 1995).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian biochar yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07
dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 sebanyak 10 kg/petak setara 20 ton/ha
dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan kering. Terjadi
peningkatan hasil bobot biji kedelai kering panen mencapai 57% yaitu dari 1,26 ton/ha
menjadi 2,96 ton/ha.
2. Pemberian bioaktivator
formulasi granula yang difermentasi dengan jamur saprofit
Trichoderma harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
sebanyak 5 g/tanaman setara 500 kg/ ha dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai di lahan kering. Terjadi peningkatan hasil bobot biji kedelai kering panen mencapai
58% yaitu dari 1,35 ton/ha menjadi 3,25 ton/ha.
103
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang cara dan waktu aplikasi biochar dan bioaktivator yang difermentasi jamur
saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
pada tanaman kedelai di lahan kering sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan potensi
biologis tanaman kedelai apabila ditanaman di lahan kering..
REFERENSI
Arsyad dan Syam, 1998. Kedelai Sumber Pertumbuhan Produksi dan Teknik Budidaya Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian 30 hal.
Cook, R. J. and K. F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The
American Phytopathol. Society, St. Paul MN. 539 p.
Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2004. Program Bangkit Kedelai Tahun 2004. Dirjen Bina
Produksi Tanaman Pangan. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jakarta. 27 hal.
Islami, T. 2012. Pengaruh Residu Bahan Organik Pada Tanaman Jagung (Zea Mays L) Sebagai Tanaman Sela
Pertanaman Ubi Kayu (Manihot Esculenta L.). Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya,
Malang.
Buana Sains Vol 12 No 1:131 136,2012
http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/ viewFile/160/161 . [Diakses Sabtu 04 April
2015].
Nurida, NL., A, Dariah., A, Rachman. 2008. Kualitas Limbah Pertanian Sebagai Bahan Baku Pembenah Tanah
Berupa
Biochar
Untuk Rehabilitasi Lahan.
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/ prosiding2008pdf/neneng_biochar.pdf
[Diakses Sabtu 04 april 2015].
Priyono, J. 2005. Kimia tanah. Mataram university press. Mataram
Salisbury, F. B. and C. W. Ross, 1995. Fisiology Tumbuhan Jilid 3. Perkembangan tumbuhan dan fisiologi
Tumbuhan (Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB Bandung.
Sudantha, I. M., B. Supeno, Tarmizi dan N. M. L. Ernawati. 1999. Pemanfaatan Jamur Trichoderma harzianum
Sebagai Fungisida Mikroba Untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah Pada Tanaman Kedelai dan
Tanaman Semusim Lainnya di Nusa Tenggara Barat. Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP3M Dikti,
Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 52 hal.
Sudantha, I. M. 2007. Karakterisasi dan Potensi Jamur Endofit dan Saprofit Antagonistik Sebagai Agens
Pengendali Hayati Jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae Pada Tanaman Vanili di Nusa Tenggara
Barat. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. http://prasetya.ub.ac.id/berita/I-MadeSudantha-Karakterisasi-dan-Potensi-Jamur-Pengendali-Fusarium-7407-id.html. [Diakses 2 Pebruari
2016].
Sudantha, I. M. 2010 a. Buku Teknologi Tepat Guna: Penerapan Biofungisida dan Biokompos pada Pertanian
Organik. Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram.
Sudantha, I. M. 2010 b. Pengujian beberapa jenis jamur endofit dan saprofit Trichoderma spp. terhadap penyakit
layu Fusarium pada tanaman kedelai. Jurnal Ilmu Pertanian Agroteksos, Fakultas Pertanian Universitas
Mataram, Mataram. Vol. 20 No. 2 Desember 2010. http: fp.unram.ac.id/data/2012/.../20-2-3_02Sudantha_Rev-Wangiyana__P.p... [Diakses 2 Pebruari 2016].
Sudantha, I. M. dan Suwardji. 2013. Pemanfaatan Bioaktivator dan Biokompos (Mengandung Jamur
Trichroderma spp. dan Mikoriza) Untuk Meningkatkan Kesehatan, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai di Lahan Kering. Laporan Penelitian Tim Pascasarjana DP2M Dikti. 170 hal.
Sudantha, I. M. dan Suwardji. 2014. Pemanfaatan Biokompos, Bioaktivator dan Biochar Untuk Meningkatkan
Hasil Jagung dan Brangkasan Segar pada Lahan Kering Pasiran dengan Sistem Irigasi Sprinkler Big
Gun. Laporan Penelitian Strategi Nasional DP2M Dikti. 150 hal.
Sukartono. 2011. Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Amendemen Tanah Untuk Meningkatkan Efisiensi
Penggunaan Air Dan Nitrogen Tanaman Jagung (Zea Mays) Di Lahan Kering Lombok Utara. Laporan
Hasil Penelitian Disertasi Doktor Tahun Anggaran 2011.
104
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Sukartono., W, H, Utomo. 2012. Peranan Biochar Sebagai Pembenah Tanah Pada Pertanaman Jagung Di
Tanah Lempung Berpasir (Sandy Loam) Semiarid TropIs Lombok Utara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Lahan kering Universitas Mataram. Buana Sains vol 12 No 1 : 9l98,2012 http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/viewFile/ 155/156 [Diakses Sabtu 04
April 2015].
Suwardji, S. Tejowulan, A. Rakhman, dan B. Munir (2003) Rencana Strategis Pengembangan Lahan Kering
Provinsi NTB. Bappeda NTB. 157 halaman.
Tunggal, N., 2009. Biochar Suburkan Lahan dan Serap Karbon.
Windham, M., Y. Elad and R. Baker. 1986. A Mechanism of Increased Plant Growth Induced by Trichoderma
spp. Phytopathology 76: 518 - 521.
105
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
PERUBAHAN SIFAT-SIFAT KIMIA TANAH DAN HASIL PADI PADA LAHAN
RAWA PASANG SURUT DENGAN APLIKASI PEMBENAH TANAH
Junita Barus1 dan Novilia Santri1
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
Jl. ZA. Pagar Alam 1A Bandar Lampung
Telp. (0721) 781776. email :[email protected]
ABSTRAK
Percobaan terdiri dari dua tahap yaitu percobaan laboratorium dan percobaan lapangan. Pada percobaan
laboratorium, sebanyak 5 kg tanah yang telah dikering anginkan dan diayak untuk mendapatkan butiran < 4 mm,
selanjutnya dimasukkan kedalam pot plastik dan dicampur dengan pembenah tanah sesuai perlakuan. Perlakuan terdiri dari
A. Biochar sekam padi dengan dosis 0, 5, dan 10 t ha-1; B. Dolomit dengan dosis 0, 1, dan 2 t ha-1. Perlakuan dirancang
dalam acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Setelah inkubasi selama satu bulan, tanah dianalisis terhadap sifat-sifat kimia
tanah, diantaranya sifat-sifat tanah indikator kemasaman (pH tanah, Al dd dan H dd), indikator salinitas dan Na-dd, serta COrganik tanah. Percobaan di lapangan, terdiri dari perlakuan : A. Varietas Unggul Baru (VUB) padi rawa (A1. Inpara 2
dan A2. Inpara 7); dan B. Pembenah tanah (B0. Tanpa/kontrol; B1. Dolomit 1 t ha-1; B2. Biochar 2 t ha-1; dan B3. Biochar
4 t ha-1). Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan luas petakan sesuai ukuran petak lahan petani (sekitar
10 x 20 m). Dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan dan komponen hasil tanaman. Data produktivitas (t ha-1)
dikonversi dari hasil/petak. Data yang terkumpul dianalisis sidik ragamnya dan apabila menunjukkan perbedaan dilanjutkan
dengan uji Duncan menggunalan alat bantu SPSS/PASW Statistic 18. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
bahan pembenah tanah (dolomit dan biochar) dapat memperbaiki sifat-sifat kimia tanah seperti kemasaman tanah (pH
tanah, Al dd dan H dd). Dengan aplikasi dolomit 1 atau 2 t ha-1 dan biochar 10 t ha-1 nyata meningkatkan pH tanah dan
salinitas tanah. Perlakuan dolomit dan biochar meningkatkan produktivitas padi dibandingkan kontrol, dimana hasil
tertinggi untuk kedua varietas tersebut diperoleh pada perlakuan dolomit 1 t ha-1 yaitu 6.32 t ha-1 dan 5.51 t ha-1 GKP.
Kata Kunci : pembenah tanah, biochar, dolomit, padi
PENDAHULUAN
Lahan rawa pasang surut cukup potensial sebagai penghasil padi, dengan luas potensial
di Sumatera 3.927.000 ha, dan yang telah di reklamasi 2.784.000 ha (Alihamsyah, 2004). Di
Lampung, luas lahan rawa sekitar 162.900 ha terdiri atas lahan rawa pasang surut 68.900 ha dan
rawa lebak 94.030 ha. Pada umumnya lahan rawa dimanfaatkan oleh petani untuk pertanaman
padi menggunakan varietas lokal yang cenderung sudah adaptif dengan teknologi seadanya,
sehingga produktivitasnya relatif rendah sekitar 4,0 ton/ha.
Fluktuasi air menjadi kendala pengembangan rawa pasang surut, terutama pada lahan
bertipe luapan A yang sering mengalami kebanjiran karena keadaan topografinya menyulitkan
pembuangan airnya. Kemasaman tanah yang tinggi mempengaruhi keseimbangan reaksi kimia
dalam tanah dan ketersediaan unsur hara dalam tanah terutama fosfat (Nazemi et al. 2012).
Rendahnya tingkat kesuburan alami tanah di lahan pasang surut berkaitan erat dengan
karakteristik lahannya, seperti fluktuasi rejim air, beragamnya kondisi fisiko-kimia tanahnya,
tingginya kemasaman tanah dan asam organik pada lahan gambut, adanya zat beracun, intrusi air
garam, dan rendahnya kesuburan alami tanahnya. Adanya intrusi air laut yang biasanya terjadi
pada bulan Juli-September menyebabkan salinitas yang tinggi pada zona perakaran yang bisa
menghambat penyerapan air dan unsur hara.
Untuk mengatasi kemasaman tanah tinggi dan ketersediaan unsur hara dalam tanah yang
relatif rendah, Nazemi et al. (2012) merekomendasikan ameliorasi dan pemupukan yang tepat,
dimana bahan amelioran yang telah banyak diuji adalah kapur atau abu sekam. Rendahnya
ketersediaan P merupakan salah satu masalah pada tanah masam yang berhubungan dengan
kesetimbangan sifat-sifat kimia tanah, dimana telah banyak penelitian untuk upaya peningkatan
ketersediaan P salah satunya dengan pengapuran (Sanchez and Uehara, 1980; Sarker et al.,
106
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
2014). Hasil penelitian Koesrini et. al. (2011) menunjukkan ameliorasi dapat memperbaiki
kualitas lahan (peningkatan pH tanah dan penurunan kejenuhan Al) serta meningkatkan
produktivitas kedelai di lahan rawa pasang surut. Aplikasi kapur 80% dari kejenuhan Al
awal meningkatkan hasil kedelai 47,4 % lebih tinggi dibandingkan tanpa kapur.
Pengaruh kapur umumnya sangat nyata musim pertama, namun residunya pada musim
kedua dan ketiga tidak terlalu terlihat. Berbeda dengan biochar yang lebih stabil di dalam tanah.
Stabilitas biochar dalam tanah mungkin tidak semata-mata disebabkan karakteristik kimianya,
tetapi juga dipengaruhi sifat-sifat tanah dimana biochar diaplikasikan (Fang et al., 2014), dimana
aksesibilitas juga berkurang ketika terlibat dalam asosiasi organo-mineral. Biochar dapat menjadi
stabil melalui interaksi kimia dengan mineral tanah dan oklusi fisik di fraksi organo-mineral,
sehingga membatasi aksesibilitas spasial untuk mikroorganisme tanah dan enzimnya (Lehmann
et al., 2011)
Limbah pertanian yang sulit didekomposisi seperti sekam padi, tongkol jagung,
tempurung kelapa, kulit buah kakao, kulit buah kelapa sawit, dll sangat melimpah tersedia
terutama saat musim panen sehingga sangat potensial untuk dikonversi menjadi pembenah tanah
biochar (Nurida, 2012). Biochar merupakan arang hayati yang berasal dari pembakaran
tidak sempurna (pirolisis) dari bahan organik sisa-sisa tanaman yang dapat meningkatkan
kualitas tanah dan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk pembenah tanah (Gani,
2009), dengan ciri luas permukaan per volume yang tinggi dan rendah residual resin (Hunt et al.,
2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi kapur (dolomit) dan
biochar sekam padi terhadap sifat-sifat kimia tanah dan hasil varietas unggul padi rawa Inpara 2.
METODOLOGI
Percobaan terdiri dari dua tahap yaitu percobaan laboratorium dan percobaan lapangan.
Percobaan laboratorium dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung pada bulan
Februari – April 2015, dan percobaan lapangan dilakukan di Desa Taman Sari, Kecamatan
Ketapang, Lampung Selatan.
Percobaan Laboratorium
Sebanyak 5 kg tanah yang telah dikering anginkan dan diayak untuk mendapatkan
butiran < 4 mm, selanjutnya dimasukkan kedalam pot plastik dan dicampur dengan pembenah
tanah sesuai perlakuan. Perlakuan terdiri dari A. Dolomit dengan dosis 0, 1, dan 2 t ha-1; B.
Biochar sekam padi dengan dosis 0, 5, dan 10 t ha-1. Biochar diproduksi dengan cara pyrolysis
menggunakan drum minyak dengan suhu 200 – 300 oC selama 6 – 8 jam. Perlakuan dirancang
dalam acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Perlakuan diinkubasi selama satu bulan, kemudian
diambil sampel tanah untuk dianalisis sifat-sifat kimia tanahnya. Analisis dilakukan terhadap
sifat-sifat tanah indikator kemasaman (pH tanah, Al dd dan H dd), kation-kation yang dapat
dipertukarkan, P dan K tersedia, C-Organik dan N-total tanah. Percobaan disusun dalam
rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan.
Percobaan Lapangan
Perlakuan yang diaplikasikan terdiri dari : A. Dolomit 0, 1 dan 2 t ha-1; B2. Biochar 0,
2 dan 4 t ha-1. Perlakuan pembenah tanah tersebut diaplikasikan pada saat pengolahan tanah
terakhir. Sebagai indikator adalah tanaman padi Varietas Inpara 2. Perlakuan disusun dalam
rancangan acak kelompok dengan luas petakan sesuai ukuran petak lahan petani (sekitar 10 x 20
m). Pengamatan dilakukan pada saat panen yaitu terhadap komponen hasil tanaman dan produksi
per hektar yang dikonversi dari produksi per plot. Data yang terkumpul dianalisis sidik ragamnya
dan apabila menunjukkan perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inkubasi pembenah tanah (dolomit dan biochar) mempengaruhi sifat-sifat kimia tanah
(Tabel 1). Nilai pH tanah meningkat dibandingkan kontrol, dimana meningkatnya dosis kapur
107
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
sampai 2 t ha-1 nyata meningkatkan pH tanah. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada
biochar, dimana pH tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B2 (Dolomit 2 t ha-1 dan biochar 4 t
ha-1). Maftu’ah et al. (2013) melaporkan dengan aplikasi pembenah tanah dolomit dan pupuk
kandang nyata meningkatkan pH dan ketersediaan hara pada tanah rawa gambut. Namun, Chan
et al. (2007) melaporkan aplikasi biochar dari limbah hijauan tanaman tidak nyata meningkatkan
pH tanah sampai dengan taraf 10 t ha-1.
Tabel 1. Sifat-sifat kimia tanah setelah inkubasi dolomit dan biochar selama satu bulan
Jenis analisis
Perlakua
No
n
pH H2O
C-Org.
N-Total (%)
P2O5 (ppm)
1
A0B0
4,84 ±0,12b 1,12 ±0,04 a 0,11 ±0,015 a 26,55 ±2,33 b
2
A0B1
5,13 ±0,08ab 1,22 ±0,04 a 0,13 ±0,010 a 27,87 ±2,11b
3
A0B2
5,22 ±0,09ab 1,28 ±0,06 a 0,14 ±0,020 a 30,19 ±0,28 ab
4
A1B0
5,24 ±0,08ab 1,17 ±0,06 a 0,12 ±0,015 a 31,87 ±1,21 ab
5
A1B1
5,30 ±0,12ab 1,25 ±0,08 a 0,11 ±0,025 a 32,66 ±0,33 ab
6
A1B2
5,22 ±0,04ab 1,31 ±0,03 a 0,15 ±0,012 a 33,33 ±0,58 a
7
A2B0
5,35 ±0,11 a 1,16 ±0,04 a 0,12 ±0,057 a 35,34 ±1,52 a
8
A2B1
5,35 ±0,12 a 1,24 ±0,04 a 0,12 ±0,021 a 33,54 ±1,53 a
9
A2B2
5,52 ±0,10 a 1,21 ±0,07 a 0,13 ±0,018 a 35,45 ±1,03 a
Keterangan : A. Dolomit ( 0, 1, dan 2 t ha-1); B. Biochar sekam padi ( 0, 5, dan 10 t ha-1).
- Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0.05.
-
Aplikasi dolomit dan biochar sekam padi meningkatkan kadar kation tanah, terutama
basa-basa (Ca dan Mg) dibandingkan kontrol. Pengapuran mempengaruhi kesetimbangan kimia
di dalam tanah, dengan penambahan kation-kation basa akan mengikat kation-kation logam
seperti Al dan Fe. Moreira and Fageria (2010) melaporkan Peningkatan dosis kapur (0; 3,8; 6,6;
dan 10,3 t ha-1) berkorelasi positif dengan peningkatan kadar basa-basa, yaitu Ca, Mg, dan K di
dalam tanah dengan R2 masing-masing 0,99; 0,99, dan 0,63.
Pada Tabel 2 terlihat kadar Al-dd menurun dengan perlakuan dolomit dan biochar
dibandingkan kontrol. Pengapuran dan biochar mengurangi daya larut aluminium, dimana Al-dd
diikat baik oleh asam-asam organik maupun oleh kapur sehingga Al-dd di dalam tanah
makin rendah. Wahjudin (2006) melaporkan pengapuran dengan dosis setara 1 x Aldd pada
tanah Vertic Hapludult nyata menurunkan Al-dd dan kemasaman tanah.
Tabel 2. Kadar kation yang dapat ditukar dan KTK tanah setelah inkubasi dolomit dan
biochar selama satu bulan
N
o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perlakua
n
A0B0
A0B1
A0B2
A1B0
A1B1
A1B2
A2B0
A2B1
A2B2
Al-dd
0,27
0,23
0,19
0,18
0,15
0,16
0,13
0,14
0,11
Kation-kation dipertukarkan (Cmol(+)/kg)
H-dd
K-dd
Na-dd
Ca-dd
0,06
0,37
0,56
5,13
0,09
0,43
0,59
5,34
0,08
0,48
0,43
6,11
0,06
0,39
0,59
5,58
0,11
0,42
0,42
6,24
0,08
0,45
0,45
6,76
0,07
0,41
0,46
6,12
0,06
0,42
0,42
6,54
0,08
0,46
0,39
7,11
Mg-dd
0,94
1,04
1,12
1,43
1,28
1,48
1,36
1,49
1,67
KTK
6,29
7,60
8,34
8,19
8,58
9,38
8,55
9,45
9,83
Keterangan : A. Dolomit ( 0, 1, dan 2 t ha-1); B. Biochar sekam padi ( 0, 5, dan 10 t ha-1).
Aplikasi dolomit 1 t ha-1 dan biochar 2 atau 4 t ha-1 nyata meningkatkan jumlah
gabah/malai dan hasil padi Inpara 2 dibandingkan kontrol (Tabel 3). Penelitian yang
108
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
membandingkan pengaruh kapur (kalsit) dengan biochar telah dilaporkan oleh Mariati (2014).
Perlakuan terdiri dari a1. Kalsit; a2. Arang sekam; dan a3. Biochar tongkol jagung; serta d1.
dosis 3 t/ha; d2. 6 t/ha; dan d3. 9 t/ha. Hasil penelitian menunjukkan aplikasi ketiga macam
pembenah tanah tersebut nyata meningkatkan hasil berat tongkol jagung manis dibanding
kontrol. Pada aplikasi arang sekam dosis terbaik adalah 6 t/ha, dan pada aplikasi biochar tongkol
jagung, dosis terbaik adalah 9 t/ha.
Beberapa hasil penelitian terkait seperti yang dilaporkan oleh Koesrini et al. (2015) pada
lahan pasang surut sulfat masam, aplikasi dolomit setara 1 x Al-dd nyata meningkatkan tinggi
tanaman dan hasil kedelai. Cornellisen et al., (2013) melaporkan efek pemberian biochar dari
tongkol jagung dan kayu terhadap peningkatan hasil biji pada lima asal tanah berbeda pada
setiap lokasi, peningkatan hasil biji tertinggi diperoleh pada perlakuan biochar tongkol jagung 4 t
ha-1 dengan peningkatan hasil lebih dari 300 % dibandingkan kontrol (Cornellisen et al., 2013).
Kelebihan biochar dibandingkan pembenah tanah lainnya adalah lebih bertahan (persisten) di
dalam tanah, ditunjukkan dengan hasil penelitian Mawardiana et al., (2013) yaitu residu biochar
tongkol jagung 10 t ha-1 mempengaruhi dinamika nitrogen, sifat kimia tanah dan hasil
tanaman padi sampai musim tanam ketiga.
Tabel 3. Pengaruh aplikasi dolomit dan biochar terhadap jumlah gabah/malai dan
produktivitas padi varietas Inpara 2
No
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
A0B0
A0B1
A0B2
A1B0
A1B1
A1B2
A2B0
A2B1
A2B2
Jumlah
gabah/malai
105,3 b
116,7 ab
118,4 ab
111,6 ab
128,9 a
127,9 a
108,4 b
113,5 ab
116,8 ab
Hasil (t/ha)
5,25 b
5,36 ab
5,29 b
5,56 ab
6,01 a
6,32 a
5,69 ab
5,35 ab
5,42 ab
Keterangan :- A. Dolomit (0, 1 dan 2 t ha-1); B2. Biochar (0, 2 dan 4 t ha-1)
- Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0.05.
KESIMPULAN
Aplikasi dolomit dan biochar mempengaruhi keseimbangan dan ketersediaan hara di
dalam tanah, menurunkan pH dan Al-dd tanah, meningkatkan jumlah basa-basa yang dapat
dipertukarkan dan KTK tanah, serta cenderung meningkatkan C-Organik tanah. Terhadap hasil
tanaman, aplikasi dolomit 1 t ha-1 dan biochar 2 atau 4 t ha-1 nyata meningkatkan jumlah
gabah/malai dan hasil padi Inpara 2 dibandingkan kontrol.
REFERENSI
Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi. Ekonomi
Padi dan beras Indonesia. Dalam Faisal Kasrino, Effendi Pasandaran dan A.M. Fagi (Penyunting).
Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Chan, K.Y., L. Van Zwieten, I. Meszaros, A. Downie, and S. Joseph. 2007. Agronomic values of greenwaste
biochar as a soil amendment. Australian Journal of Soil Research 45 : 629–634
Cornelissen, G., V. Martinsen, V. Shitumbanuma, V. Alling, G. D. Breedveld, D. W. Rutherford
,M.
Sparrevik, S. E. Hale, A. Obia, and J. Mulder. 2013. Biochar Effect on Maize Yield and
Soil
Characteristics in Five Conservation Farming Sites in Zambia. Agronomy J.(3) :
256-274;
doi:10.3390
109
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Fang, Y., B. Singh, B. P. Singh & E. Krull. 2014. Biochar Carbon Stability in Four Contrasting Soils. European
Journal of Soil Science 65 : 60–71
Gani, A. 2009. Potensi Arang Hayati Biochar sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan
Pertanian. Iptek Tanaman Pangan 4 (1) : 33 – 48
Hunt, J., M. DuPonte, D. Sato, and A. Kawabata. 2010. The Basics of Biochar : A Natural Soil Amendment.
Soil and Crop Management 30 : 1 – 6
Koesrini, K. Anwar, dan Nurita. 2011. Perbaikan Kualitas Lahan untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai di
Lahan Rawa Sulfat Masam Potensial. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus Rawa : 55-62.
Koesrini, K. Anwar dan E. Berlian. 2015. Penggunaan kapur dan varietas adaptif untuk meningkatkan hasil
kedelai di lahan sulfat masam aktual. Berita Biologi 14 (2): 155 – 161.
Lehmann, J., Rillig, M.C., Thies, J., Masiello, C.A., Hockaday, W.C. and Crowley, D. 2011. Biochar effects
on soil biota – A review. Soil Biology & Biochemistry, 43, 1812–1836
Maftu’ah, E., A. Maas, A. Syukur, dan B. H. Purwanto. 2013. Efektivitas Amelioran pada Lahan
Gambut
Terdegradasi untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Serapan NPK Tanaman Jagung Manis (Zea mays
L. var. saccharata). J. Agron. Indonesia 41 (1) : 16 - 23 (2013)
Moreira, A and N.K. Fageria.2010. Liming influence on soil chemical properties, nutritional status and yield of
Alfafa grown in acid soil. R. Bras. Ci. Solo, 34:1231-1239.
Nazemi, D., A. Hairani, dan Nurita 2012. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut
melalui
Pengelolaan Lahan Rawa dan Komoditas. Jurnal Agrovigor 5 (1) : 52
- 57.
Nurida, N. L., A. Rachman, and Sutono. 2012. Potensi pembenah tanah biochar dalam pemulihan sifat tanah
terdegradasi dan peningkatan hasil jagung pada Typic Kanhapludults Lampung. Buana Sains 12 (1): 6974.
Mariati, N. 2014. Utilization of maize cob biochar and rice husk charcoal as soil amendments for improving acid
soil fertility and productivity. Journal of Degraded and mining lands management. Volume 2 (1) : 223230.
Mawardiana, Sufardi, dan E. Husen. 2013. Pengaruh residu biochar dan pemupukan NPK terhadap dinamika
nitrogen, sifat kimia tanah dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) musim tanam ketiga. Jurnal
Manajemen Sumber Daya lahan 2 (3): 255-260.
Moreira, A., and N. K. Fageria. 2010. Liming influence on soil chemical properties, nutritional status and yield
of Alfafa grown in acid soil. R. Bras. Ci. Solo 34:1231-1239.
Sanchez, P.A. and Uehara, G. (1980) Management Considerations for Acid Soils with High Phosphorus
Fixation Capacity. In: Khasawneh, F.E., Sample, E.C. and Kamprath, E.J., Eds., The Role of
Phosphorus in Agriculture, American Society of Agronomy, Madison, 471-514.
Sarker, A., Md. A. Kashem, K. T. Osman, I. H., and F. Ahmed. 2014. Evaluation of Available Phosphorus by
Soil Test Methods in an Acidic Soil Incubated with Different Levels of Lime and Phosphorus. Open
Journal of Soil Science 4 : 103-108.
Wahjudin. U. M. 2006. Pengaruh pemberian kapur dan kompos sisa tanaman terhadap aluminium dapat
ditukar dan produksi tanaman kedelai pada tanah Vertic Hapludult dari Gajrug, Banten. Buletin
Agronomi. 34(3): 141 – 147.
110
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
ANALISIS KOMPERATIF PENDAPATAN PETANI PENGGUNAAN VARITAS
UNGGUL NASIONAL DAN LOKAL DI LAHAN KERING
(STUDI KASUS DI DESA TANGGERANG KECAMATAN JELAI HULU)
Ellyta dan Saleh Andreas
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pendapatan petani yang
menggunakan Varitas unggul nasional dan petani yang menggunakan varitas unggul lokal di lahan kering. Jumlah sampel
yang diambil sebesar 15 % dari seluruh jumlah petani (N) 247 orang petani, yaitu 37 orang. Penentuan sampel berdasarkan
rumus Stratified Random Sampling (SRS) proposional, sehingga diperoleh jumlah sampel dari pengguna varitas unggul
nasional adalah 17 orang dan yang menggunkan varitas unggul lokal sebanyak 20 orang. Hasil penelitian menunjukan ratarata penerimaan petani responden pengguna varitas unggul nasional sebesar Rp.15.223.529/Hektar/Musim tanam, rata-rata
biaya yang di keluarkan oleh responden Rp.7.363.391/Hektar/Musim tanam dan rata-rata pendapatan tenaga kerja keluarga
(TKDK) sebesar Rp. 12.678.238/Hektar/Musim tanam. Sedangkan rata-rata penerimaan pada responden yang
menggunakan varitas lokal sebesar Rp. 12.540.000/Haktar/Musim tanam, rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.
4.944.700/Hektar/Musim tanam dengan rata-rata pendapatan tenaga kerja keluarga (TKDK) sebesar Rp.
7.595.300/Hektar/Musim tanam. Dari perhitungan uji-t dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan antara
petani yang menggunakan varitas unggul nasional dan petani yang menggunakan varitas unggul lokal di Desa Tanggerang
Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang.
Kata Kunci: lahan kering, pendapatan, varietas unggul.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan teknologi pengembangan lahan suboptimal (tanaman, peternakan, dan
perikanan) saat ini adalah masih rendahnya adopsi teknologi oleh petani, peternak, atau nelayan
dan pembudidaya ikan. Rendahnya teknologi tersebut lebih sering bukan disebabkan oleh
rendahnya relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan atau persoalan petani tapi
lebih disebabkan oleh rendahnya kapasitas adopsi petani, terutama secara finansial.
Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil
kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini
mungkin karena ada anggapan bahwa meningkatkan produksi padi sawah lebih mudah dan lebih
menjanjikan dibanding padi gogo yang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi. Padahal lahan
kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk menghasilkan padi gogo > 5 ton/ha
(Abdurachman dkk,2008)
Oleh karena potensi lahan kering Indonesia juga cukup besar, Balitbangtan
mengembangkan varietas yang sesuai dengan keadaan tersebut, adapun varietas yang dilepas
adalah Inpago 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, Situ Patenggang, dan Situ Bagendit (Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, 2015). Sebagai salah satu daerah yang memiliki lahan kering, Desa Tanggerang
Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang diberikan inovasi dengan penggunaan varietas Situ
Bagendit. Namun varietas ini masih sangat rendah tingkat adopsinya oleh petani setempat. Untuk
memastikan keuntungan relatif dari varietas Situ Bagendit maka dilakukanlah penelitian ini
sebagai pembuktian.
Perkembangan pertanian di Desa Tanggerang apabila ditelusuri dari waktu ke waktu
mengalami berbagai pasang surut, lebih lanjut dinyatakan bahwa bidang pertanian sebagai dasar
perekonomian kerakyatan pada awalnya sangat diandalkan dalam menopang sendi-sendi
pembangunan di Desa Tanggerang, dan pada akhirnya mengalami gejolak permasalahan.
Realitas permasalahan keadaan pertanian di Desa Tanggerang yang menjadi latar belakang yang
penting adalah dimana petani tidak mau beralih menanam padi unggul mengingat hasil
pendapatan yang dicapai dari varietas lokal hampir sama dan tidak perlu adanya perlakuan
111
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
khusus terhadap padi lokal menurut petani desa tersebut (Mantri Tani dan Peternakan Kecamatan
Jelai Hulu, 2015).
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta permasalahan yang ada tujuan dari penelitian ini adalah
membandingkan pendapatan usaha tani padi varietas unggul nasional jenis Situ Bagendit dengan
varietas padi lokal jenis Senduak pada lahan kering di Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu
Kabupaten Ketapang.
Masalah Penelitian
Berdasarkan pengamatan di Desa Tanggerang ternyata dari aspek pelaksanaan di
lapangan Gambaran kondisi aktual usaha tani padi lahan kering di desa Tanggerang masih
banyak petani yang menanam padi dengan menggunakan benih lokal yang umurnya lebih
panjang yaitu tiga setengah bulan baru panen seperti Varietas Senduak.Dari luas areal 217 Ha
yang ada di Desa Tanggerang yang menanam padi Varietas Unggul Nasional Situ Bagendit 107
Ha, sedangkan padi varietas lokal Senduak sebanyak 110 hektar. Dari kondisi ini faktor modal
merupakan permasalahan dalam berusaha tani padi varietas unggul karena memerlukan biaya
yang besar untuk pembelian benih padi, pupuk dan obat-obatan. Dari aspek teknologi biaya
tanaman benih padi varietas unggul menghendaki perlakuan yang intensif seperti penyulaman,
pemupukan, penyiangan, pengendalian OPT dan pengairan. Namun pada padi varietas lokal
tidak memerlukan perlakuan yang intensif.
METODE PENELITIAN
Variabel Pengamatan
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Kareteristik petani yang meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, luas lahan, jumlah
tanaman (rumpun/hektar), jumlah produksi (kg/ha/mt), harga jual (Rp/kg)
2. Penggunaan sarana produksi yang meliputi: benih, pupuk urea, pupuk NPK, rodentisida
Klerat, herbisida Round up, insektisida Starfos 25 ec.
3. Penggunaan tenaga kerja dewasa keluarga petani yang meliputi: penebasan lahan,
pengolahan tanah, penanaman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama penyakit,
panen/pasca panen.
4. Penggunaan peralatan perhektar petani yang meliputi: cangkul, parang, sabit bergerigi, hand
sprayer
5. Jumlah produksi yang dihasilkan petani selama satu kali musim tanam dalam bentuk Gabah
Kering Panen (GKP)
6. Harga jual produk yang diterima petani (Rp/Kg).
7. Pendapatan tenaga kerja keluarga petani (Rp)
Populasi dan Sampel
Metode penentuan petani sampel dalam penelitian ini menggunakan Stratified Random
Sampling (SRS). Jumlah sampel yang akan diambil (n) adalah 15% dari jumlah seluruh petani
(N) sebesar 247 orang petani, sehingga n = N x 15% yaitu 247 x 15% = 37,05. Jadi jumlah
sampel yang diambil sebanyak 37 orang petani padi. Untuk menentukan jumlah sampel yang
akan diambil dari setiap kelas kelompok tani berdasarkan rumus Stratified Random Sampling
(SRS) proporsional, yaitu :
Keterangan :
nhi = Jumlah sampel strata ke-i
Nhi = Jumlah petani tiap kelas kelompok tani
N
= Jumlah populasi petani
n
= Jumlah petani sampel
112
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Dengan demikian jumlah sampel yang akan diambil dari setiap kelas kelompok tani
adalah sebagai berikut :
Pengguna Varietas Unggul Nasional
= 16,7 jadi = 17 orang Pengguna Varietas
Lokal
= 20,2 jadi = 20 orang
Analisis Data
Perhitungan pendapatan petani dengan menggunakan pendapatan tenaga kerja keluarga,
dimana pendapatan ini diperoleh dari penghasilan kerja petani ditambah nilai tenaga kerja dalam
keluarga petani. Menurut Soekartawi (2003) untuk menguji hipotesis bahwa tingkat pendapatan
rata-rata antara 2 (dua) kelompok strata yang berbeda yaitu petani yang menggunakan varietas
unggul dan lokal menggunakan uji t dengan Rumus :
Dimana :
x1
=
x2
n1
n2
S1/2
S2/2
Rata-rata pendapatan petani menggunakan varietas unggul
= Rata-rata pendapatan petani menggunkan varietas unggul lokal
= Sampel Petani menggunakan varietas unggul Nasional
= Sampel petani yang mnggunakan varietas unggul lokal
= Varian sampel petani yang mneggunakan varietas unggul nasional
= Varian sampel petani yang menggunakan varietas unggul lokal
Adapun kaidah dari keputusannya adalah :
1. Jika t hitung ≤ t tabel, maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat perbedaan rata-rata
pendapatan petani yang menggunakan varietas unggul nasional dan petani yang
menggunakan varietas unggul lokal.
2. Jika t hitung ≥ t tabel, maka Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan rata-rata pendapatan
antara petani yang menggunakan padi varietas unggul nasional dan petani yang
menggunakan varietas unggul lokal.
HASIL
Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek
teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai
masalah tersebut dapat diatasi. Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang
memiliki luas tanah sawah 200 Ha, tanah kering 2.066 Ha, tanah basah 40 Ha, tanah perkebunan
2.500 Ha, tanah fasilitas umum 20 Ha, dan tanah hutan 25.500 Ha. Salah satu strategi yang
diterapkan di Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang untuk meningkatkan
produksi padi adalah penggunaan varietas Situ Bagendit. Di Desa Tanggerang petani selain
menanam varietas unggul Situ Bagendit, mereka juga menanam padi lokal varietas Senduak.
Penanaman kedua jenis varietas ini menunjukkan adanya perbedaan produksi dan pendapatan.
Perbedaan pendapatan dari penanaman kedua jenis varietas ini dapat dilihat besaran saprotan
yang digunakan dan curahan tenaga kerja yang dipakai.
Analisis Pendapatan Tenaga Kerja Keluarga
1. Biaya Usahatani
Biaya merupakan sejumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli sarana produksi,
membeli peralatan dan membayar upah tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan uang.
Penerimaan adalah pendapatan yang diterima petani dengan mengalikan antara produksi dengan
harga jual. Besar kecilnya penerimaan ditentukan oleh besarnya jumlah produksi yang dihasilkan
serta tinggi rendahnya harga per kilogram. Produksi yang dimaksud adalah jumlah produksi
gabah yang dihasilkan oleh petani responden dari luas tanam usahatani padi seluas 1 hektar
113
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
dalam satu musim tanam. Dari responden pada masing-masing kelompok responden baik yang
mengusahakan padi varietas unggul maupun yang mengusahakan padi varietas lokal rata-rata
biaya n dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rata-Rata Biaya
Jenis
Unggul
Lokal
Biaya
(Rp)
(Rp)
Saprodi
1.305.823
212.450
TKDK
5.517.647
3.972.500
Peralatan
471.617
218.000
Sumber : Analisis Data, 2015.
Sarana produksi merupakan tambahan input yang harus dikeluarkan dalam suatu proses
produksi pertanian, adapun tujuan dari penambahan input untuk mendapatkan produksi yang
maksimal. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa sarana produksi yang digunakan oleh
responden terdiri atas benih, pupuk urea, NPK, pestisida, herbisida dan insektisida. Rata-rata
penggunaan biaya sarana produksi terhadap varietas unggul dalam satuan hektar/musim tanam
adalah sama seperti penggunaan benih, pupuk, pestisida karena dikelola dalam kelompok tani
namun untuk penggunaan benih pada varietas lokal sangat bervariatif setiap hektar/musim
tanamnya, untuk rata-rata penggunaan biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-Rata Biaya Penggunaan Sarana Produksi
Unggul
Saprodi
(kg/ltr/btl
Benih
50
Pupuk Urea
50
Pupuk NPK
62.647
Pestisida
1.2
Herbisida
4.117
Insektisida
1,764
Total
Sumber : Analisis Data, 2015.
(rupiah)
392.647
250.000
313.235
58.823
205.882
80.882
1.301.470
Lokal
(kg/ltr/btl)
30.35
-
(rupiah)
212.450
212.450
Selain biaya sarana produksi seperti terlihat pada tabel di atas, responden juga
mengeluarkan biaya lain yakni biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Penggunaan biaya
tenaga kerja dalam keluarga meliputi penebasan lahan, penyemprotan dengan herbisida Round
Up. Pada lahan varietas lokal ditebas dikeringkan kemudian dibakar kemudian ditanamai,
Sedangkan untuk varietas unggul setelah ditebas/disemprot dengan herbisida rumput mati
kemudian tanah diolah menggunakan cangkul atau mekanisasi kemudian diberakan dan diberi
pupuk kemudian baru ditanami. Penyiangan lahan dapat dilakukan apabila lahan tersebut
terdapat gulma demikian pula halnya dengan pengendalian hama maupun penyakit jika
ditemukan gejala serangan di atas ambang ekonomi baru dikendalikan. Upah tenaga kerja baik
laki-laki maupun perempuan dalam hitungan Hari Orang Kerja (HOK) adalah Rp. 70.000/HOK.
Rata-rata penggunaan biaya tenaga kerja dalam keluarga dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
114
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
Tabel 3.
ISBN 978-602-72935-2-6
Rata-Rata Penggunaan Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga
TKDK
Unggul
(hok/ha/mt)
(rupiah)
Penebasan
Pengolahan Tanah
Penanaman
Penyiangan
Pemupukan
Pemberantasan H/P
Pasca Panen/panen
Jumlah
Sumber : Analisis Data, 2015.
4
17
24
3
3,5
2
26
304.705
971.764
1.601.764
222.352
247.058
156.471
1.836.471
5.340.583
Lokal
(hok/ha/m
(rupiah)
t)
4,5
318.950
24
1.655.500
3
266.000
25
1.732.500
3.972.950
Biaya lain yang juga dikeluarkan responden dalam mengusahakan tanaman padi adalah
biaya-biaya peralatan. Rata-rata pengeluaran biaya-biaya peralatan dapat dilihat seperti pada
tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Biaya Peralatan
Unggul
(bh/mt)
(rupiah
)
Cangkul
1
78.823
Parang
2
111.17
Sabit Bergerigi
2
6
Hand Sprayer
1
65.588
657.05
8
Jumlah
912.64
5
Sumber : Analisis Data, 2015.
Peralatan
(bh/mt
)
1
2
1
Lokal
(rupiah)
81.000
103.750
27.250
212.00
2.
Pendapatan Tenaga Kerja Keluarga Petani
Pada penelitian ini ukuran yang digunakan untuk mengukur pendapatan responden
adalah pendapatan tenaga kerja keluarga petani yaitu pendapatan yang dihitung dari nilai
produksi total dikurangi total biaya (total cost) yang kemudian ditambahkan dengan nilai tenaga
kerja dalam keluarga petani.
Tabel 5. Rata-Rata Biaya dan Pendapatan Tenaga Kerja Keluarga Per
Hektar/Musim Tanam
Varietas
Penerimaan
Total Biaya
Biaya TKDK
Pendapatan TKDK
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
Unggul
15.223.529
7.295.088
5.517.647
13.451.029
Lokal
12.540.000
4.402.950
3.972.500
12.109.550
Sumber : Analisis data, 2015.
Untuk rata-rata produksi per musim tanam padi varietas unggul sebesar 3.806 ton/ha
GKP dan untuk rata-rata produksi padi varietas lokal 3.135 ton/ha GKP dengan harga di
penampung Rp. 4.000.
Rata-rata pendapatan tenaga kerja dalam keluarga responden yang mengusahakan padi
varietas unggul yakni sebesar Rp.13.451.029/hektar/musim tanam, sedangkan rata-rata
pendapatan tenaga kerja dalam keluarga responden yang mengusahakan padi varietas lokal yakni
sebesar Rp.12.109.550/ hektar/musim tanam. Hasil ini sejalan dengan penelitian Mustaqim, dkk
(2015) mengenai perbedaan pendapatan petani di lahan kering anatara padi lokal dan padi unggul
115
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
yaitu besarnya keuntungan Rp 6.034.134/Ha usahatani padi lahan kering menggunakan benih
Ciherang lebih tinggi daripada keuntungan usahatani padi lahan kering menggunakan benih
Segreng Rp 5.466.247/Ha.
Analisis Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Tenaga Kerja Keluarga Petani Padi
Unggul dan Padi Lokal
Untuk membuktikan ada tidaknya perbedaan rata-rata pendapatan TKDK dari dua
sampel yang berbeda antara petani yang menggunakan varietas unggul dan petani yang
menggunakan varietas lokal maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji t atau t- test.
Ditentukan bahwa tingkat signifikan α = 1 % = 0,01 dan df = 17 + 20 – 2 = 35. T-table dalam
Lampiran 11 dengan two tailed test pada α = 0,01 dan df = 35 adalah 2.457.
Hasil perhitungan uji t diperoleh t hitung sebesar 10,50. Dengan demikian maka t-hitung
> t- table atau 10,50 > 2,457, sehingga dari hasil uji t atau t-test tersebut dapat disimpulkan
bahwa responden yang menggunakan padi varietas unggul nasional (Situ Bagendit) dan
responden yang menggunakan varietas lokal (Senduak) memilki nilai 10,50 sedangkan nilai pada
alpha 0,01 sebesar 2.457. Oleh karena itu nilai dari t-hitung lebih besar dari t-table pada alpha
0,01. Berdasarkan dari hasil analisis ini maka uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa Ho di tolak
dan Hi diterima, artinya terdapat perbedaan nyata petani yang menggunakan varietas unggul
Nasional (Situ Bgendit) lebih baik dari petani yang menggunakan varietas Lokal (Senduak) di
Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang. Kesimpulannya bahwa terdapat
perbedaan pendapatan tenaga kerja keluarga responden yang menggunakan varietas unggul
nasional terhadap pendapatan tenaga kerja keluarga responden yang menggunakan varietas
lokal.
Menurut Murtilaksono (2014), strategi pengelolaan sub optimal antara lain dengan
teknologi tepat guna dan spesifik lokasi (sc) yaitu penyediaan input produksi pertanian,
perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan, pengembangan teknologi,
pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan kelembagaan. Sayangnya strategi ini tidak
terlaksana dengan baik, salah satunya adalah belum adanya perbaikan infrastruktur jalan.
Buruknya jalan menuju Desa Tanggerang menyebabkan dua hal yaitu penyediaan input produksi
seperti pupuk dan obat-obatan yang tidak lancar dan pemasaran terhambat. Produk tidak dapat
dikeluarkan dari lokasi produksi dan tidak adanya pedagang pengumpul yang datang untuk
membeli produksi petani. Hal ini menyebabkan petani tidak mau menanam Situ Bagendit karena
bagi mereka merasa dengan menanam sekali setahun sudah dapat mencukupi kebutuhan mereka.
Apabila mereka menanam dua kali setahun hasilnya berlebihan dan sulit untuk memasarkannya.
Disamping itu penggunaan varietas Situ Bagendit memerlukan dukungan finansial yang tidak
sedikit seperti penggunaan pupuk dan obat-obatan yang harus optimal sedangkan kemampuan
masyarakat untuk membeli kedua input tersebut masih rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian
Lakitan dan Gofar (2013) yang menyatakan aksesibilitas yang rendah akibat prasarana
transportasi yang belum tersedia atau dalam kondisi yang buruk juga menjadi tantangan dalam
pengelolaan lahan suboptimal. Terbatasnya aksesibilitas menyebabkan biaya angkut hasil
produksi maupun sarana produksi relatif mahal. Kurangnya infrastruktur penunjang dalam
pembangunan pertanian di lahan suboptimal akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan
kualitas produk serta sulitnya pemasaran.
Adopsi inovasi varietas unggul nasional ini juga berjalan lambat karena cara panen yang
berbeda dari kebiasaan masyarakat setempat. Situ Bagendit memiliki tinggi tanaman 99-105 cm
dan Senduak tingginya 120 cm sampai dengan 150 cm, dimana cara atau kebiasaan petani untuk
panen Senduak adalah dengan menggunakan ani-ani sedangkan panen untuk Situ Bagendit
dengan menggunakan arit (dikarenankan rendahnya tanaman lebih efektif menggunakan arit) dan
petani tidak biasa menggunakan arit. Adopsi inovasi yang diberikan kepada petani di Desa
Tanggerang dapat berjalan dengan lancar apabila memenuhi persyaratan pengelolaan lahan
kering. Menurut Soemarno (2007) lima syarat dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan
kering, adalah (i) teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) ekonomis
menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani,
116
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
(iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.
Pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi yang
diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan dan faktor sosial budaya
masyarakat. Karena sifatnya yang unik makan pengelolaan lahan sub obtimal memerlukan peran
multi sektotoral dan multidisiplin agar pemanfaatan lahan ini dapat dilakukan secara optimal,
efektif, dan efesien.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.
Rata-rata penerimaan responden yang menggunakan padi varietas unggul sebesar
Rp.15.223.529/hektar/musim tanam, dan responden yang menggunakan padi varietas lokal rata-rata
penerimaan sebesar Rp.12.540.000/hektar/musim tanam.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh responden yang menggunakan padi varietas unggul sebesar
Rp.7.295.088/hektar/musim tanam, dan responden yang menggunakan padi varietas lokal rata-rata biaya
sebesar Rp. 4.402.950/hektar/musim tanam.
Rata-rata pendapatan tenaga kerja dalam keluarga responden yang menggunakan padi varietas unggul
sebesar Rp.13.451.029/hektar/musim tanam, sedangkan rata-rata pendapatan tenaga kerja keluarga yang
menggunakan padi varietas lokal sebesar Rp. 12.109.550/hektar/musim tanam.
Dari hasil uji t atau t- test dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan tenaga kerja dalam
keluarga responden yang menggunakan padi varietas unggul terhadap pendapatan tenaga kerja dalam
keluarga responden yang menggunakan padi varietas lokal.
REFERENSI
A. Abdurachman, A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Litbang Pertanian Vol 27. No.2.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat, 2009. Cara Bercocok Tanam Padi dan Palawija,
Pontianak
Lakitan, B dan Gofar, N. 2014. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan Suboptimal
Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang
Mantri Tani dan Peternakan, 2015. Analisis Data dan Pelaporan. Mantanak Kecamatan Jelai Hulu
Mustaqim, F.B.Y, Kusnandar, Widiyanti, E. Studi Komparasi Usahatani Padi Lahan Kering Menggunakan
Benih Padi Lokal (Segreng) Dengan Benih Padi Unggul Non Hibrida (Ciherang) Di Kecamatan
Pracimantoro Kabupaten Wonogiri. Jurnal Agrista Vol. 3. No. 3.
Murtilaksono, K. 2014. Teknologi Untuk Pengelolaan Lahan Suboptimal Kering Masam Dan Beriklim Kering
Secara Produktif, Inklusif, Dan Ekologis. Makalah Keynote Speaker Seminar Nasional Lahan
Suboptimal 2014.
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemarno. 2007. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering Dalam Rangka Pembangunan Daerah dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id. Ragam Pilihan Varietas Unggul Padi untuk Lahan Kering. Diakses tanggal
4 Pebruari 2016.
117
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
DINAMIKA PENYULUHAN PERTANIAN DALAM MENDUKUNG
USAHATANI PETANIDI LAHAN SUB-OPTIMAL KALIMANTAN BARAT
Gontom C. Kifli1), Dadan Permana1) dan Nurul Ekawati2)
Peneliti pada BPTP Kalimantan Barat, [email protected]
Penyuluh Pertanian pada Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
ABSTRAK
Wilayah Kalimantan Barat sebagian besar merupakan lahan sub-optimal, yang terdiri dari lahan kering, lahan
pasang surut dan lahan gambut dengan luas sekitar 1 juta Hektar. Kondisi lahan sub-optimal yang miskin unsur hara
mempengaruhi produktivitas tanaman yang diusahakan oleh petani menjadi rendah. Salahsatu upaya meningkatkan
produktivitas adalah dengan digunakannya inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi, sehingga inovasi dimaksud menjadi
pemacu meningkatnya produktivitas komoditas pertanian. Proses adopsi dan aplikasi teknologi spesifik oleh petani akan
berjalan baik apabila melibatkan penyuluh pertanian lapangan (PPL) sebagai agen inovasi di lapangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan rekonstruksi dinamika sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan
Barat pada masa lalu hingga saat ini, melakukan analisis rencana strategis sistem penyuluhan dan memberikan alternatif
pola dan sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang sesuai dengan kondisi lokal dan regional.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif untuk menjelaskan fenomena dinamika penyuluhan di
Kalimantan Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PPL di Kalimantan Barat pada tahun 2015 berjumlah 1.700 orang, yang
terdiri dari PPL PNS, THL TBPP dan PPL Swadaya, dominasi PPL berasal dari PPL PNS sebanyak 46,8% dari jumlah
PPL, sedangkan Kabupaten terbanyak yang memiliki PPL adalah Kabupaten Sambas. Kantor PPL di lapangan memiliki
nama yang berbeda-beda yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan (BP3K). Kondisi pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang
memiliki tiga aspek skenario, yaitu ; revitalisasi akses terhadap media penyuluhan, memaksimalkan peran THL TBPP
sebagai generasi penerus PPL PNS dan mengoptimalkan peran penyuluh swadaya.
Kata Kunci : Lahan sub-optimal, produktivitas rendah, inovasi teknologi spesifik, peran penyuluh dan Kalimantan
Barat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyuluhan pertanian tidak dapat terpisahkan dalam catatan pembangunan pertanian
nasional. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan kepada eksistensi
tanah atau lahan pertanian. Produktivitas komoditas pertanian yang diusahakan petani akan
sangat tergantung kepada potensi lahannya. Namun demikian, rekayasa teknologi yang tepat
guna dapat meningkatkan kapasitas dari lahan dan tanaman, sehingga dapat memperbaiki
produktivitas yang telah ada. Rekayasa teknologi yang telah teruji dan dapat meningkatkan
produktivitas komoditas pertanian tersebut menjadi sebuah inovasi. Inovasi tersebut akan
bermanfaat bagi penggunanya melalui proses adopsi dan difusi inovasi. Proses adopsi dan difusi
inovasi tersebut akan berjalan baik apabila dilakukan melalui media dan perantara yang
menyampaikan inovasi tersebut. Penyuluh pertanian merupakan salahsatu agen atau perantara
yang menyampaikan inovasi bagi penggunanya sehingga terjadi perubahan kapasitas sehingga
penyuluh pertanian disebut juga sebagai agen perubahan atau istilah Rogers (2003) sebagai
change agent, yaitu orang yang memengaruhi targetnya (petani) untuk mengambil keputusan
sesuai tujuan lembaganya, walaupun pada perkembangannya, istilah dan makna agen perubahan
tersebut mengalami pergeseran menjadi fasilitator, sesuai fungsi sistem penyuluhan dan azas
penyuluhan beradasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 Bab
II pasal 2 tentang sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutan, yang berazaskan
demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan keseimbangan dan partisipatif.
Kalimantan Barat sebagai daerah yang memiliki lahan pertanian potensial maupun telah
diusahakan yang cukup luas di samping lahan perkebunan dan kehutanan, menjadikan
118
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Kalimantan Barat memiliki potensi yang tinggi unyuk menjadi salahsatu sumber produksi
pertanian lokal maupun nasional. Potensi yang tinggi tersebut akan linier dengan potensi
produksi dan produktivitas hasil pertaniannya. Produktivitas hasil pertanian akan dipengaruhi
oleh daya dukung lahan, potensi produksi komoditas dan kemampuan petani dalam mengelola
usahataninya. Kemampuan petani dalam mengelola usahatani diawali dengan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilki dan kemampuan mengembangkannya. Upaya petani dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya tersebut tidak terlepas dari faktor eksternal,
salahsatunya adalah akses informasi, khususnya akses informasi mengenai inovasi pertanian.
Penyuluh pertanian memiliki peran yang strategis saat ini dalam melakukan difusi dan
diseminasi atau penyebar luasan inovasi teknologi. Inovasi teknologi yang akan disebarluaskan
tersebut merupakan teknologi yang telah teruji sesuai dengan agrosistem setempat atau disebut
sebagai teknologi pertanian spesifik lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(2013) menguraikan bahwa teknologi spesifik lokasi adalah suatu hasil kegiatan pengkajian yang
memenuhi kesesuaian lahan dan agroklimat setempat. Inovasi teknologi pertanian merupakan
bagian integral dari peran dan fungsi penyuluh pertanian karena di dalam inovasi tersebut
terkandung hal, ide dan teknologi baru dan terus berkembang yang dibutuhkan oleh petani
sebagai pelaku utama dalam meningkatkan dan mengembangkan usahataninya. Sumber inovasi
teknologi pertanian yang akan disebarkan kepada petani sebagai pengguna dan pelaku utama dari
inovasi, merupakan lembaga yang terpercaya dalam menghasilkan inovasi tersebut, namun
demikian sumber inovasi tersebut dapat berasal dari kearifan lokal masyarakat setempat yang
merupakan bagian dari budaya atau kehidupan dari suatu kelompok masyarakat dan telah teruji
secara berkali-kali dalam aplikasinya dan memiliki hasil produksi atau output yang konsisten
dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Inovasi teknologi dari luar dan dalam sistem kehidupan masyarakat khususnya petani
tersebut memiliki sifat yang sama yaitu telah teruji, konsisten dan spesifik lokasi. Hal tersebut
dianggap penting sebagai materi dalam penyuluhan yang akan disampaikan, karena penyuluhan
memiliki salahsatu tujuan akhir yaitu untuk meningkatkan kemampuan produksi dari tanaman
yang diusahakan petani. Penyuluh pertanian sendiri memiliki peran yang strategis dan dinamis
seiring perkembangan isu, fisik dan lingkungan yang berkembang, sehingga diperlukan peran
dan fungsi penyuluh yang secara konsisten mendukung pembangunan pertanian melalui
penyuluhannya kepada pelaku utama pertanian, yaitu petani. Peran dan fungsi penyuluh
pertanian akan relatif berbeda dengan dinamika sistem penyuluhannya, sehingga diperlukan
suatu analisis dan kajian dalam mengamati, menganalisis, memetakan dan merancang strategi
sistem penuluhan yang tepat sesuai kebutuhan penggunanya dan tutntutan zamannya.
Permasalahan
1. Bagaimanakah dinamika sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada masa lalu
hingga saat ini?
2. Bagaimanakah posisi dan keberadaan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada saat
ini?
3. Bagaimanakan perencanaan strategis dari sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat
di masa mendatang?
Tujuan
Tujuan dalam kajian yang dilakukan adalah :
1. Merekonstruksi dinamika dari sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada masa
lalu hingga saat ini.
2. Memetakan posisi dan keberadaan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada saat ini.
3. Merancang rencana strategis sistem penyuluhan dan memberikan alternatif pola dan sistem
penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang sesuai dengan kondisi lokal
dan regional.
119
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
BAHAN DAN METODE
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan
analisis statistik deskriptif dan pengambilan data sekunder yang didapatkan dari koleksi data
penyuluhan lingkup Kalimantan Barat yang didapatkan dari Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Provinsi Kalimantan Barat. Data tersebut selanjutnya diolah dan kemudian
diartikan dan dimaknai dan dibahas untuk mendapatkan kesimpulan. Data penyuluhan
meliputi 14 kabupaten/kota dan 1 provinsi di Kalimantan Barat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyuluhan pertanian pada era terkini secara mendasar merupakan suatu sistem dalam
menyampaikan informasi berupa pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir dalam lingkup
pertanian dengan tujuan untuk memberikan pemahaman, berbagi pengalaman agar dapat
dipahami bersama diantara para pelaku penyuluhan pertanian yang selanjutnya dapat
diaplikasikan sesuai dengan hasil penyuluhan tersebut. Makna dan arti penyuluhan tersebut
mengalami pergeseran dan pengembangan sesuai dengan perkembangan zaman, yang pada
awalnya penyuluhan terbatas sebagai proses memberikan penerangan atau informasi dan
bersifat satu arah dan top-down. Mardikanto (2007) menerangkan bahwa penyuluhan
pertanian di Indonesia seperti disebutkan oleh Prof. Iso Hadiprojo, diawali bersamaan
didirikannya Departemen Pertanian pada tahun 1905 oleh pemerintah Belanda pada saat itu,
yang di dalamnya terdapat kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan tetap berlangsung
setelah masa kemerdekaan dengan dibentuknya Balai Pendidikan Masyarakat Desa pada tahun
1949 dan semakin intensif saat era revolusi hijau dimulai dan kemudian semakin berkembang
pada era BIMAS pada tahun 1967.
Penyuluhan pertanian pada era BIMAS tersebut mengalami perkembangan yang pesat
dengan ditandai jumlah penyuluh yang banyak dan memadai, kegiatan yang intensif baik
secara kuantitas dan kualitas dari penyuluhan. Keberhasilan Swasembada beras pada tahun
1984 tidak terlepas dari peran penting penyuluhan pertanian saat itu, bahkan dapat dikatakan
bahwa saat tersebut merupakan era keemasan atau golden age dari penyuluhan pertanian di
Indonesia. Pada era tersebut penyuluhan mengalami implikasi dan memiliki peran yang besar
dalam pembangunan pertanian. Penerapan konsep dan teori komunikasi pada saat tersebut
telah membuktikan akan kebenarannya, salahsatunya dengan penerapan kerucut terbalik dari
pendekatan jenis komunikasi dari pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa yang
kemudian diperkuat melalui komunikasi kelompok dan dilajutkan dengan penguatan pesan
pada komunikasi interpersonal kepada satu per satu petani sasaran yang merupakan bagian
dari metode atau sistem kerja LAKU SUSI, yaitu latihan, kunjungan dan supervisi. Era
BIMAS merupakan era sentralisasi penyuluhan yang saat itu dianggap terbaik pada waktunya.
Penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami distorsi dan momen penting pada saat
mulai diterapkannya desentralisasi kepemerintahan pada pertengahan tahun 1990-an dan
puncaknya pada saat jatuhnya orde baru dan diawalinya era reformasi pada tahun 1998.
Euforia politik di tingkat negara dan masyarakat yang terjadi pada saat tersebut, berimbas
kepada tata kelola kepemerintahan dengan diberlakukannya desentralisasi dalam bentuknya
otonomi daerah, termasuk dalam bidang penyuluhan pertanian. Pengelolaan penyuluhan pada
saat tersebut dilimpahkan sepenuhnya kepada daerah, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, salahsatunya dengan dihapuskannya Kantor Wilayah Departemen Pertanian.
Perkembangan yang terjadi saat itu, termasuk di Kalimantan Barat, tata kelola otonomi daerah
belum sepenuhnya dapat tertata dengan baik, sehingga terdapat beberapa lembaga yang masih
mencari bentuk organisasi dan struktur kelengkapannya, termasuk lembaga penyuluhan.
Kondisi yang terjadi pada saat tersebut mengakibatkan melambatnya aktivitas
penyuluhan di tingkat perencanaan dan pelaksanaan di lapangan dan berimbas kepada kegiatan
para penyuluh pertanian dalam berinteraksi dengan petani dalam rangka penyuluhan. Keadaan
tersebut terjadi cukup lama hingga pemerintah pada tahun 2005 menyadari akan pentingnya
merevitalisasi kembali penyuluhan pertanian, yaitu dengan mengesahkan Undang-Undang
120
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 15 Nopember 2006 yang
memuat hal-hal penting mengenai kebijakan, penyelenggaraan dan pengawasan penyuluhan
pertanian. Undang-undang tentang sistem penyuluhan tersebut memiliki nilai-nilai baru yang
dianggap sesuai dengan kondisi dan tuntutan pembangunan pertanian di Indonesia melalui
penyuluhan pertaniannya.
Pelaksanaan penyuluhan pertanian pada masa lalu, terutama pada masa keemasan
penyuluhan pertanian hingga dapat tercapainya swasembada beras, didorong oleh beberapa
faktor, diantaranya; 1) pembiayaan yang penuh (full financial) dari semua aspek kegiatan
penyuluhan, termasuk pembiayaan penuh untuk pemenuhan sarana dan prasarana pertanian
seperti bibit, pupuk dan lainnya, 2) media penyuluhan yang digunakan secara terintegrasi,
yaitu antara penyuluhan melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi dan brosur
dengan media pertemuan kelompok dan pertemuan perseorangan penyuluh dengan petani
sasaran, sehingga pesan yang disampaikan melalui media massa menjadi lebih kuat dengan
menggunakan media pertemuan kelompok tani dan diperkuat lagi dan diperjelas melalui
komunikasi perseorangan dengan petani, 3) sistem penyuluhan memiliki struktur dan
organisasi yang jelas dan kuat dari tingkat pusat hingga daerah sebagai konsekuensi dari pola
top-down, sehingga program dan output yang menjadi target dan sasaran dapat dilaksanakan
secara sistematis dan tegas, 4) penyuluh yang bertugas memiliki sumberdaya manusia yang
cukup dan memadai serta umumnya berusia muda, sehingga memiliki kekuatan yang besar
dalam menjalankan penyuluhan secara massal. Adapun kelemahan yang dimiliki pada sistem
penyuluhan pada masa tersebut adalah diantaranya 1) sistem penyuluhan menganggap target
penyuluhan bersifat homogen di semua tempat dalam aspek ekosistem maupun sosial, seperti
pola budidaya yang sama antara lahan di Jawa dengan di Kalimantan, media penyuluhan yang
sama untuk masyarakat yang memiliki budaya berbeda, 2) Model penyuluhan yang
menganggap bahwa penyuluh “lebih tahu” dari pada petani dan pihak penyuluh memiliki
otoritas yang dominan dalam penguasaan pengetahuan pertanian, sehingga Freire di dalam
Joebhaar (1984) mengistilahkan dengan sistem bank, yang secara umum berarti bahwa
penyuluh menempatkan dirinya dominan terhadap petani yang dianggap sub-ordinat.
Kelebihan dan kekurangan sistem penyuluhan di masa keemasannya, menjadi catatan
penting dan bermanfaat dalam merancang dan mengembangkan penyuluhan di masa kini dan
mendatang, agar tidak terjadi kesalahan yang berulang. Kelebihan atau keunggulan di masa
lalu tersebut dapat diaplikasikan kembali dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan
dengan masa kini dan mendatang. Perencanaan dan pelaksanaan sistem penyuluhan di
Indonesia termasuk di Kalimantan Barat saat ini selayaknya memperhatikan kondisi regional,
yaitu dengan memperhatikan paradigma Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Millenium
Development Goal’s (MDG’s) dan Sustainable Developmen Goal’s (SDG’s), apalagi
Kalimantan Barat memiliki wilayah yang berbatasan langsung dan dekat dengan Malaysia.
Posisi dan keberadaan penyuluh pertanian Kalimantan Barat terkini
Penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat saat ini mengalami dinamika yang mengarah
positif dengan ditandai diantaranya; 1) institusi penyuluhan di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota memiliki otoritas sendiri dalam bentuk badan atau dinas, 2) semakin
meningkatnya potensi peningkatan sumber daya manusia (SDM) penyuluhan dengan
banyaknya penyuluh swadaya dan THL TBPP.
Nomenklatur atau nama institusi penyuluhan pertanian di masing-masing
kabupaten/kota memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya (Tabel 1). Lembaga penyuluhan
yang ada di kabupaten/kota di Kalimantan Barat saat ini, sebagian besar terintegrasi dengan
bidang ketahanan pangan dan sebagian kecil lainnya berada dalam dinas lingkup pertanian.
Penyuluhan pertanian memiliki kaitan erat dengan ketahanan pangan, karena salahsatu peran
dan fungsinya adalah sebagai ujung tombak dalam mendukung dan melancarkan terwujudnya
ketahanan pangan melalui penyuluhan, dan diharapkan inovasi yang diadopsi petani dapat
secara langsung meningkatkan produksi dan produktivitas padi dan komoditas pertanian
121
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
lainnya, dengan demikian dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani di
daerah tersebut.
Tabel 1. Nomenklatur Instansi Penyuluhan di Kalimantan Barat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Nomenklatur institusi penyuluhan
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
Kantor Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan
dan Ketahanan Pangan
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan
Kantor Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
Kehutanan dan Ketahanan Pangan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan
Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan
dan Ketahanan Pangan
Dinas Pertanian dan Peternakan
Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan
Dinas Pertanian
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan
Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota
Provinsi, Sekadau
Pontianak
Singkawang
Kubu Raya, Sanggau dan
Landak
Melawi
Kapuas Hulu
Sintang
Ketapang
Mempawah
Bengkayang
Sambas
Kayong Utara
Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2016
Lembaga penyuluhan di masing-masing kabupaten/kota di Kalimantan Barat tersebut di
dalam struktur organisasinya memiliki lembaga di bawahnya yang berada di tiap kecamatan
dengan nama instansi yang berbeda di tiap kabupaten, seperti Balai Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan di kecamatan yang berada di Kabupaten Bengkayang dan Balai
Penyuluhan Pertanian di kecamatan-kecamatan di Kota Singkawang.
Kuantitas penyuluh di Kalimantan Barat terdiri dari beberapa kelompok, yaitu Penyuluh
PNS, Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) dan penyuluh
swadaya. Jumlah penyuluh di Kalimantan Barat saat ini adalah sebanyak 1.644 orang, yang
didominasi oleh PPL PNS sebanyak 45,07% dari jumlah keseluruhan penyuluh (Tabel 2).
Jumlah perbandingan ideal penyuluh adalah 1 orang untuk satu desa seperti yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani Bab V Pasal 46 Nomor (4), sehingga untuk wilayah Kalimantan Barat
dengan jumlah desa sebanyak 1.737 desa (Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, 2015),
maka diperlukan sedikitnya 1.737 orang penyuluh pertanian, maka dengan demikian
kekurangan jumlah penyuluh pertanian yang diperlukan adalah sebanyak 93 orang. Jumlah
penyuluh pertanian yang dimiliki tersebut relatif telah terpenuhi (94,6%), sehingga dalam segi
sumber daya manusia, kebutuhan tersebut hanya memerlukan sedikit tambahan.
Penyuluh swadaya merupakan pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga
masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.
Penyuluh swadaya tersebut tercatat di instansi penyuluhan tempat penyuluh berada dan diikut
sertakan dalam beberapa kegiatan penyuluhan di wilayahnya, namun tidak berstatus Pegawai
Negeri Sipil (PNS), bukan THL-TBPP dan bersifat mandiri. Penyuluh swadaya sebagian
merupakan petani yang berhasil dalam usaha agribisnisnya dan sebagian lainnya berasal dari
Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) yang telah lama dan berpengalaman dalam kegiatan
penyuluhan di wilayahnya.
122
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 2. Jumlah penyuluh Pertanian di Kalimantan Barat Tahun 2016
PPL PNS
THL TBPP
Swadaya
Jumlah
………………..(orang)………………..
1.
Propinsi
12
12
2.
Sambas
80
71
93
244
3.
Bengkayang
39
72
34
145
4.
Landak
88
60
13
161
5.
Mempawah
65
3
24
92
6.
Sanggau
53
47
74
174
7.
Ketapang
64
49
113
8.
Sintang
80
22
27
129
9.
Kapuas Hulu
79
54
13
146
10.
Sekadau
40
30
11
81
11.
Melawi
32
20
53
105
12.
Kayong Utara
22
6
28
13.
Kubu Raya
56
19
82
157
14.
Kota Pontianak
6
1
16
23
15.
Kota Singkawang
27
7
2
36
Jumlah
741
461
442
1.644
Persentase (%)
45,07
28,04
26,89
Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2016
No.
Propinsi/Kab/Kota
Persen
0,73
14,82
8,81
9,78
5,59
10,57
6,87
7,84
8,87
4,92
6,38
1,70
9,54
1,40
2,19
100,00
Penyuluh swadaya turut merencanakan dan melaksanakan penyuluhan di wilayahnya
seperti dimuat di dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bab V Pasal 17. Penyuluh swadaya memiliki potensi
dalam mendukung penyuluhan pertanian di wilayahnya, karena memiliki banyak pengalaman
dan cukup berhasil di dalam usaha pertaniannya, sehingga penyuluh swadaya secara konsisten
sebaiknya diikutsertakan di dalam seluruh proses penyuluhan di wilayahnya.
Umur penyuluh pertanian di Provinsi Kalimantan Barat, sebagian besar (42,07%)
berumur di atas 50 tahun (Tabel 3) dan diperkirakan 1-10 tahun kemudian telah masuk dalam
masa pensiun sebagai PPL PNS. Kelompok umur di bawahnya adalah berumur antara 38 – 49
tahun sebanyak 36,96% dengan masa perkiraan umur pensiun 11-22 tahun kemudian.
Tabel 3. Umur PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2016
Umur
(tahun)
Jumlah
Orang
Persentase
26 – 37
156
20,97
38 – 49
275
36,96
50 – 62
313
42,07
Jumlah
744
100,00
Rata-rata
46,00 + 9,19 tahun
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2016
123
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 4. Perkiraan masa pensiun PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2016
Masa pensiun
(tahun lagi )
Jumlah
Orang
Persentase
1 – 10
313
42,07
11 – 22
275
36,96
23 – 34
156
20,97
Jumlah
744
100,00
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2016
Data yang didapatkan menunjukkan bahwa hampir setengah jumlah PPL PNS
diperkirakan akan mengalami pensiun pada masa 10 tahun mendatang, maka diperlukan suatu
perencanaan dalam menggantikan kelompok penyuluh tersebut, sehingga pada saatnya tidak
terdapat kekosongan Sumber Daya Manusia (SDM) penyuluh. Komposisi umur untuk THLTBPP dan penyuluh swadaya belum dapat diidentifikasi, namun demikian untuk THL TBPP
yang sebagian besar merupakan hasil rekrutmen tenaga sarjana yang dimulai pada tahun 2007,
maka diasumsikan sebagian besar THL TBPP merupakan tenaga muda dengan kisaran umur
termasuk dalam kelompok umur 26-37 tahun. Kondisi tersebut menjadi potensi dalam
pemberdayaan SDM, termasuk dalam melakukan regenerasi penyuluh di masa mendatang.
Pemanfaatan SDM penyuluh ini sangat penting dalam sistem penyuluhan saat ini seperti
menurut Sadono (2008) Paradigma baru penyu saat ini bergeser dari menekankan pada alih
teknologi ke paradigma baru yang mengutamakan pada sumberdaya manusianya, yang dikenal
dengan pendekatan farmer first, atau “mengubah petani” dan bukan “mengubah cara bertani”,
yang memungkinkan terjadi pemberdayaan pada diri petani.
Pendidikan PPL PNS di Provinsi Kalimantan Barat sebagian besar (49,19%) dari jumlah
keseluruhan adalah Sarjana atau sederajat dan sebesar 29,03% nya adalah SMA atau sederajat
(Tabel 5). Kondisi tersebut menunjukkan potensi yang cukup tinggi dalam mengembangkan
penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat melalui SDM yang dimilikinya. Potensi dari aspek
pendidikan SDM tersebut semakin tinggi apabila digabungkan dengan tenaga THL TBPP yang
sebagian besar berpendidikan sarjana atau sederajat dan berusia muda.
Tabel 5. Pendidikan PPL PNS di Kalimantan Barat Tahun 2016
Pendidikan
SMP/ sederajat
SMA/ sederajat
Diploma-1
Diploma-3
Diploma-4
Sarjana/ sederajat
Pascasarjana/ S2
Jumlah
Orang
1
216
3
112
40
366
6
744
Jumlah
Persentase
0,13
29,03
0,40
15,05
5,38
49,19
0,81
100,00
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Prov. Kalimantan Barat, 2016
Sebagian PPL PNS lainnya sebesar 15,05% dari jumlah keseluruhan memiliki
pendidikan Diploma 3 (D-3), yang berarti kelompok penyuluh tersebut memiliki kesempatan
yang besar untuk meningkatkan tingkat pendidikannya menjadi sarjana, sehingga dapat
meningkatkan tingkat pendidikan keseluruhan PPL PNS di Kalimantan Barat. Kelompok PPL
124
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
PNS yang memiliki tingkat pendidikan paling tinggi adalah pasca sarjana S-2 sebanyak 0,81%
dari jumlah total. Kelompok SDM tersebut menjadi potensi dalam memanfaatkan pendidikan
dan wawasannya dengan menjadi sumber pengetahuan, guru atau mentor bagi kolega lainnya
yang memiliki tingkat pendidikan berbeda, sehingga menjadi sumber pendidikan informal
yang bermanfaat.
Latar belakang pendidikan dan bidang keahlian PPL PNS sebagian besar (81,85%)
adalah tanaman pangan (Tabel 6). Kondisi tersebut diduga karena pembangunan pertanian
selama ini fokus kepada tanaman pangan, terutama padi dan jagung, sehingga mempengaruhi
bidang minat yang dipilih dari sebagian orang yang ingin menjadi penyuluh pertanian pada
waktu tersebut. Kondisi tersebut dianggap kurang ideal, karena pembangunan pertanian saat
ini berorientasi kepada integrasi antar sub-bidang pertanian, sehingga memerlukan berbagai
SDM penyuluh pertanian di lapangan yang terdiri dari beberapa bidang keahlian.
Tabel 6. Bidang keahlian PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2016
Bidang keahlian
Jumlah
Orang
Tanaman pangan
Persentase
609
81,85
Peternakan
61
8,20
Perkebunan
49
6,59
Hortikultura
25
3,36
744
100,00
Jumlah
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa, umumnya petani selain berusaha tani dengan
tanaman pangannya, juga memiliki hewan ternak, termasuk yang banyak dipelihara adalah
ternak sapi, sehingga penyuluhan pertanian meliputi bidang peternakan dan memberikan
konsekuensi diperlukannya tenaga penyuluh pertanian dengan bidang ahli peternakan.
Demikian pula halnya dengan tenaga SDM penyuluh pertanian dengan bidang lainnya seperti
perkebunan dan hortikultura, sehingga keperluan informasi petani terhadap usahatani selain
tanaman pangannya dapat terpenuhi. Rivera dan Qamar (2003) mengungkapkan bahwa
salahsatu pendekatan baru bagi penyuluhan pertanian di negara berkembang, selayaknya tetap
melibatkan dukungan pemerintah dan melibatkan antar-subsektor pertanian di dalamnya yang
terintegrasi.
Strategi penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang
Kondisi penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa lalu dan masa kini telah
diuraikan pada pembahasan di atas, maka dalam menjalankan penyuluhan pertanian di masa
mendatang diperlukan rencana atau strategi yang tepat dengan masanya, seperti dikaitkan
dengan kondisi regional MEA, MDG’s dan SDG’s yang meliputi aspek-aspek daya saing,
keberlanjutan penyuluhan pertanian yang stabil dan memperhatikan pola partisipatif dan
berwawasan ramah lingkungan, maka beberapa strategi yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut :
1) Struktur organisasi penyuluhan dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota sebaiknya memiliki
jalur koordinasi yang jelas, walaupun tidak bersifat instruktif atau komando, namun memiliki
komunikasi yang baik, konvergen dan jelas, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan
penyuluhan di lapangan dan dalam pembangunan pertanian baik lokal maupun nasional.
125
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
2) Pola penyuluhan sudah selayaknya bersifat dialogis atau bottom-up, sehingga penyuluh dan
petani dapat saling berbagi dalam pengetahun dan pengalaman yang pada akhirnya dapat
tercapai dengan baik pemahaman bersama dalam pengelolaan usahatani di suatu wilayah.
Hariadi (2009) menyebutnya dengan penyuluhan dialogis, yaitu penyuluh yang petani dan
petani yang penyuluh.
3) Komposisi kelompok umur penyuluh pertanian yang cenderung kurang akan SDM muda,
memerlukan rekrutmen yang seimbang, terutama merekrut tenaga-tenaga muda. Kondisi
tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan pengangkatan menjadi PPL PNS dari THLTBPP yang sebagian besar memiliki usia yang masih muda, pendidikan yang cukup baik dan
pengalaman yang cukup lama dan mumpuni, sehingga pada masa mendatang, komposisi
umur penyuluh seimbang antara tenaga muda dan lanjut, sehingga dapat meningkatkan
dinamika penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat. Selain itu, apabila dimungkinkan
rekrutmen tenaga muda penyuluh pertanian tersebut, sebaiknya rekrutmen berasal dari bidang
keahlian yang berbeda, sehingga seimbang antar sub-bidang pertanian, bidang keahlian
lainnya seperti peternakan, perikanan dan kehutanan.
4) Upaya meningkatkan tingkat pendidikan penyuluh pertanian dirasakan sangat perlu dilakukan
demi meningkatkan kapasitas SDM penyuluh pertanian. Cara yang dapat dilakukan, yaitu
dengan memberikan kesempatan kepada penyuluh pertanian untuk melaksanakan tugas
belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
5) Penyuluh swadaya menjadi salahsatu potensi kunci atau penting di dalam meningkatkan
pembangunan pertanian di Kalimantan Barat melalui penyuluhan pertanian. Kondisi tersebut
perlu dilakukan karena penyuluh swadaya memiliki beberapa kelebihan, yaitu jumlahnya
yang banyak, pengalaman yang mumpuni, memiliki kepedulian untuk turut membangun
pertanian melalui penyuluhan. Pemberdayaan penyuluh swadaya dapat dilakukan dengan
lebih banyak dan lebih intensif mengikut sertakan penyuluh swadaya tersebut dalam beberapa
kegiatan dan diberikan porsi yang lebih banyak dalam merencanakan dan memecahkan
permasalahan pertanian di wilayah kerjanya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil kajian dan pembahasan pada bagian sebelumnya menghasilkan kesimpilan sebagai
berikut;
1) Sistem penyuluhan di Kalimantan Barat pada masa lalu, terutama pada era keemasan
penyuluhan pertanian hingga tercapainya swasembada beras, memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihannya dapat tetap digunakan dalam strategi dan pelaksanaan
penyuluhan pertanian saat kini dan di masa mendatang.
2) Penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat saat ini memiliki potensi yang tinggi berupa jumlah
SDM penyuluh pertanian yang mencukupi keperluan dan memiliki latar belakang pendidikan
yang cukup tinggi.
3) Strategi pengembangan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa kini dan mendatang
dilakukan melalui peningkatan SDM penyuluhan pertanian dengan melakukan regenerasi
yang terencana berupa perekrutan tenaga THL TBPP menjadi PPL PNS dengan pertimbangan
bahwa kelompok penyuluh THL TBPP tersebut memiliki usia yang lebih muda, pendidikan
yang cukup baik dan memiliki cukup pengalaman yang mumpuni dalam penyuluhan. Strategi
yang lain adalah dengan memberdayakan penyuluh swadaya yang cukup banyak, dengan lebih
banyak melibatkan tenaga penyuluh swadaya tersebut dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan penyuluhan di wilayahnya. Hal tersebut dilakukan karena penyuluh swadaya
memiliki potensi yang tinggi dalam hal pengalaman dan peran serta di dalam penyuluhan
pertanian di wilayahnya.
126
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Badan Litbang Pertanian. 2013. Panduan Umum Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi. Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2015. Kalimantan Barat dalam Angka. BPS Kalimantan
Barat. Pontianak
Freire, P. di dalam Joebhaar, M. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. PT Sangkala Pulsar. Jakarta
Hariadi, S.S. 2009. Penyuluhan Dialogis Untuk Menjadikan Petani Penyuluh dan Mandiri. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Mardikanto, T. 2007. Sistem Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Agrobisnis dan Perhutanan Nasional,
Surakarta.
Rivera, W.M dan M.K. Qamar. 2003. Agricultural Extension, Rural Development and The Food Security
Challenge. FAO, Rome.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovations, fifth edition. Free Press. Newyork
Sadono, D. 2008. Pemberdayaan Petani : Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Jurnal
Penyuluhan Vol 4 No.1, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013
Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Jakarta
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang No.16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta
127
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI SAGU
(METROXYLON SP.)
(Factors Influencing the Production of Sago (Metroxylon Sp.) Starch)
Sitti Aida Adha Taridala1, Satriana Mollah2, Ansharullah3
1Dosen Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo; e-mail : [email protected]
2Guru SMKN 5 Kendari; [email protected]
3Dosen Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian Universitas Halu Oleo
ABSTRAK
Sagu merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena selain sebagai bahan pangan, sagu
juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri modern. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi aci sagu di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juli hingga Oktober 2014 dengan jumlah responden 60 orang, yang merupakan pengolah sagu pada tiga Kecamatan di
Kabupaten Konawe, yaitu Kecamatan Sampara, Bondoala, dan Besulutu. Model analisis yang digunakan adalah fungsi
produksi Cobb-Douglas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah bahan baku yang diolah, jumlah tenaga kerja, bahan
bakar, dan jumlah air berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi. Sedangkan pengalaman mengolah tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu.
Kata Kunci : Aci sagu, produksi, Cobb-Douglas
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pencapaian ketahanan pangan di suatu negara merupakan sasaran pembangunan pangan
yang dicirikan oleh meningkatnya ketersediaan pangan dan meningkatnya diversifikasi produk
pangan. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan, dimana
kebutuhan akan pangan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Beras
merupakan salah satu jenis pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Bintoro,
et al. (1999) menjelaskan bahwa kebutuhan beras di Indonesia sekitar 30.2 juta ton/tahun untuk
jumlah penduduk sekitar 229 juta jiwa, hal ini berarti konsumsi beras orang Indonesia sekitar
132 kg/kapita/tahun. Apabila pertumbuhan populasi penduduk Indonesia sebesar 2% per tahun,
maka pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 300 juta jiwa. Apabila
produksi beras tidak meningkat, maka pada tahun 2025 kekurangan beras akan sebanyak 18 juta
ton.
Untuk menghadapi permasalahan kekurangan bahan pangan pokok, perlu dioptimalkan
pemanfaatan tanaman sumber karbohidrat lain. Sebagai negara yang terletak di daerah tropika
basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber
karbohidrat terbesar di dunia. Salah satu komoditas pertanian yang potensial dan punya nilai
ekonomi tinggi untuk dikembangkan adalah sagu. Sagu merupakan salah satu tanaman pangan
yang perlu menjadi perhatian. Sagu dapat menjadi pangan alternatif yang meringankan atau
bahkan mengatasi masalah ketahanan pangan nasional.
Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), tanaman sagu sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat selain padi. Pasalnya, sagu
menghasilkan pati kering sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Peran pati sagu tidak hanya
dapat digunakan sebagai bahan pangan, dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu
dapat dijadikan bahan baku berbagai jenis industri makanan, industri kayu lapis, berpeluang
sebagai salah satu sumber bahan baku bio-etanol. Abbas dan Ehara (2012) juga mengemukakan
hal yang sama bahwa produk terpenting dari palma sagu adalah aci (tepung) sagu yang
jumlahnya sangat besar dan digunakan untuk berbagai tujuan. Bahkan, menurut Gurusamy, et
al. (2011), di daerah Salem (Tamil Nadu, India) industri sagu saat ini merupakan tulang
punggung perekonomian di daerah pedesaan.
128
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Sagu (Metroxylon sp.) dapat tumbuh di daerah rawa atau tanah marjinal dimana tanaman
penghasil karbohidrat lainnya sukar untuk tumbuh dengan wajar. Taridala et al. (2013b)
mengemukakan bahwa dipusat-pusat pertumbuhan sagu, komoditas ini terutama digunakan
sebagai bahan pangan pokok. Padahal dalam perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sagu
dengan sifat fisis dan khemis yang dimilikinya dapat dimanfaatkan tidak terbatas pada bahan
baku untuk berbagai macam industri modern. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
produksi tidak hanya dilakukan pada lahan-lahan irigasi atau lahan-lahan yang secara intensif
telah dimanfaatkan, melainkan juga pada lahan-lahan alternatif seperti lahan rawa pasang surut,
gambut dan lahan kering.
Indonesia memiliki daerah-daerah sentra produksi sagu yaitu Papua, Maluku,
Kalimantan, Sumatra, Sulawesi (utara, tengah, tenggara, dan selatan), dan Jawa Barat. Menurut
Taridala, et al. (2013a), di daerah Sulawesi Tenggara, ketersediaan produksi aci sagu menjadi
semakin penting, karena aci sagu ini memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai bahan pangan pokok
sebagian masyarakat (disamping beras), juga sebagai bahan baku untuk agroindustri sagu.
Untuk wilayah Sulawesi Tenggara, salah satu sentra produksi sagu di wilayah ini adalah
Kabupaten Konawe.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kabupaten Konawe 2013, bahwa produksi sagu di
daerah ini berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 produksi sagu mencapai 1.184,1
ton, tahun 2010 produksi sagu mengalami penigkatan menjadi 2.285,4 ton dan pada tahun 2011
produksi sagu mengalami penurunan menjadi 1.398,0 ton. Kemudian pada tahun 2012 produksi
sagu kembali meningkat menjadi 2.402,9 ton. Hal ini dapat disebabkan oleh : 1) belum adanya
budidaya sagu secara intensif, dimana secara umum sagu tumbuh alami di hutan, 2) alih fungsi
lahan sagu menjadi lahan sawah, 3) kurang termanfaatkannya beberapa faktor produksi seperti
lahan dan pohon sagu yang siap panen, dan 4) dalam kegiatan ekstraksi sagu digunakan
teknologi pengolahan yang sederhana.
Jika dilihat dari luas lahan berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kabupaten
Konawe (2013) bahwa ada sekitar 10.567 ha lahan rawa yang tidak termanfaatkan, maka
berdasarkan hal tersebut di Kabupaten Konawe terdapat peluang untuk peningkatan produksi
sagu.
Seperti yang diketahui bahwa dalam kegiatan pengolahan aci sagu, terdapat beberapa
input (faktor) produksi yang diperlukan, seperti pohon atau batang sagu yang akan diolah,
tenaga kerja, bahan bakar untuk mesin pemarut, dan air. Disamping itu, jumlah produksi sagu
yang dihasilkan juga ditentukan oleh jenis pohon sagu, serta faktor internal pada diri petani
pengolah sebagai pelaku usaha, misalnya pengalaman. Sebagaimana usaha lainnya, usaha
pengolahan aci sagu di Kabupaten Konawe juga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
pendapatan maksimal, sehingga sumberdaya yang sifatnya terbatas harus dialokasikan dan
dikombinasikan dengan tepat. Oleh karena itu, informasi yang berhubungan dengan penggunaan
faktor-faktor produksi dan faktor lain yang mempengaruhi produksi aci sagu sangat dibutuhkan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
aci sagu di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di sentra produksi sagu di Kabupaten Konawe, yang dari tingkat
kabupaten dipilih beberapa kecamatan secara purposive, yaitu Kecamatan Besulutu, Bondoala,
dan Sampara. Ketiga kecamatan tersebut merupakan sentra produksi sagu terbesar di kabupaten
Konawe dengan penggunaan teknologi ekstraksi aci sagu yang relatif homogen. Pengambilan
data di lapangan dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2014. Responden pengolah sagu
yang berjumlah 60 orang keseluruhannya dijadikan responden dalam penelitian ini (metode
sensus).
129
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Data yang diperoleh dalam penelitian ini ditabulasi lalu dianalisis dengan menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas. Model persamaan Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah
sebagai berikut :
Y = aX1b1X2b2X3b3 X4b4 X5b5eu
Untuk mempermudah perhitungan, dari fungsi tersebut kemudian diubah dalam bentuk
logaritma linear, sehingga persamaan matematisnya menjadi :
Ln Y = ln a + b1lnX1 + b2lnX2 + b3lnX3 + b4lnX4 + b5lnX5 + u ln e
Keterangan :
Y = Produksi aci sagu (kg);
X1= Jumlah bahan baku yang diolah (ton)
X2= Jumlah tenaga kerja (HOK);
X3= Bahan bakar (liter)
X4= Air (m3); X4= Pengalaman (tahun);
a0= Intersep
bi= Koefisien parameter dimana i = 1,2,3,….
u = Kesalahan/pengganggu;
e = Logaritma natural = 2,7182
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Pengolahan Sagu
Umumnya pohon sagu yang diolah diperoleh dari kebun-kebun sagu milik masyarakat
(Taridala, 1999). Sagu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan tanaman penghasil
karbohidrat lainnya, misalnya tahan simpan untuk jangka waktu lama sehingga cocok untuk
menjadi pangan disaat darurat, sebagai stok pangan, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal
musim, serta tidak mempunyai resiko diserang hama dan penyakit yang dapat mengancam
produksi patinya (Bintoro, 2008; Saediman, et al., 2006). Hasil pengamatan terhadap teknologi
ekstraksi aci sagu yang digunakan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa secara umum
pengolahan sagu masih dilakukan secara semi mekanik dan tradisional. Ternyata cara seperti ini
telah dilakukan pada sekitar Tahun 1990-an (Taridala, 1999). Bahkan, hingga 10 tahun
berikutnya, cara ini masih dilakukan oleh para pengolah sagu (Papilaya , 2009).
Secara ringkas, proses memproduksi aci sagu di lokasi penelitian diawali dengan
memilih pohon sagu yang akan dipanen. Pohon sagu siap panen adalah tanaman yang sudah
berumur antara 7 – 10 tahun dengan tinggi antara 8 – 10 m. Penebangan dilakukan dengan
menggunakan chainsaw atau kampak. Sebelum dilakukan penebangan dan pengangkutan hasil
tebangan, dilakukan pembersihan untuk membuat jalan masuk ke lokasi dan pembersihan pohon
sagu yang akan dipotong. Setelah pohon tumbang, pelepahnya dibersihkan.
Pohon sagu yang sudah ditebang dipotong menjadi beberapa bagian yang panjangnya
antara 70 cm – 1 m. Hal ini dilakukan untuk memudahkan para pekerja membawa dan
mengangkut batang sagunya. Pemotongan batang sagu diusahakan dekat dengan permukaan
tanah agar aci sagu tidak banyak yang terbuang pada bagian pangkal batang. Gelondongan
tersebut kemudian diangkut ketempat ekstraksi atau kadang-kadang diolah ditempat penebangan
dengan membuat sumur darurat disekitarnya sebagai sumber air. Sebelum dilakukan pemarutan,
batang sagu yang dipotong menjadi beberapa bagian selanjutnya dibelah lagi menjadi beberapa
bagian untuk memudahkan dalam proses pemarutan.
Hasil parutan empulur sagu kemudian diekstraksi menggunakan peralatan berupa
saringan untuk memisahkan pati sagu dari empulur dengan menggunakan air. Ada 2 (dua)
macam jenis penyaringan, yaitu penyaringan dengan menggunakan saringan kasar dan saringan
halus sehingga pati sagu menjadi lebih bersih dan bebas dari ampas atau kotoran-kotoran
lainnya. Proses penyaringan dilakukan agar serat-serat kasar maupun yang halus tidak sampai
terikut atau terbawa ke tempat bak penampungan aci sagu. Dengan demikian akan dihasilkan aci
sagu yang bersih dari ampas halus dan kasar.
Hasil penyaringan berupa aci sagu ditampung dalam bak yang menggunakan terpal yang
selanjutnya aci sagu tersebut diendapkan selama satu malam. Setelah aci mengendap, air yang
berada dalam bak penampungan atau pengendapan aci dikeluarkan. Aci yang telah mengendap
130
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
dimasukkan dalam karung-karung nilon yang sudah disediakan yang berat isinya adalah 18 – 20
kg aci basah, kemudian dijahit dengan tali rafia. Selanjutnya siap untuk dipasarkan.
Jumlah Bahan Baku yang Diolah
Secara umum pengolah sagu di Kabupaten Konawe sangat tergantung pada ketersediaan
jumlah bahan baku (pohon sagu siap panen) dalam pengolahan. Jenis pohon sagu yang dominan
diolah di Kabupaten Konawe adalah jenis sagu roe (Metroxylon sagus Rottbol) yang merupakan
sagu tidak berduri. Sebagian kecil jenis pohon sagu lainnya yang diolah adalah baruwila
(Metroxylon sylvester Martius) dan rui (Metroxylon microcanthum Martius) yang merupakan
sagu berduri. Hal ini dimungkinkan karena populasi sagu roe lebih besar dan produksi acinya
lebih tinggi dibandingkan dengan sagu berduri (baruwila dan rui). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semakin banyak jumlah bahan baku yang diolah, maka semakin tinggi jumlah aci sagu
yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksinya responden perlu
memiliki kemampuan untuk mengolah bahan baku lebih tinggi lagi. Hal ini berarti bahwa
responden dalam mengolah sagu sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku, dimana ratarata bahan baku yang dapat diolah adalah 21,6 ton per bulannya.
Penggunaan Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang perlu diperhitungkan di dalam proses
produksi. Bukan saja jumlahnya yang hrus cukup, tetapi juga tetapi juga kualitasnya.
Tersedianya tenaga kerja merupakan hal terpenting dalam melakukan pengolahan sagu karena
tenaga kerja yang mau melakukan pengolahan sagu sangat terbatas jumlahnya. Jumlah tenaga
kerja yang diperlukan disesuaikan dengan kebutuhan sampai tingkat tertentu. Penggunaan
tenaga kerja pada usaha pengolahan sagu di Kabupaten Konawe hanya menggunakan tenaga
kerja upahan atau tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja berbeda-beda pada setiap
pengolah. Hal ini disesuaikan dengan jumlah bahan baku yang akan diolah, dimana penggunaan
tenaga kerja berkisar antara 2 – 5 jiwa pada setiap periode pengolahan. Gambaran mengenai
penggunaan tenaga kerja pada usaha pengolahan sagu disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan Tenaga Kerja pada Usaha Pengolahan Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun
2014
Uraian
Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Bahan Baku
Produksi
(HOK)
(ton)
(Kg)
Terendah
7
8,0
3.060
Tertinggi
18
33,0
13.050
Rata- rata
13
21,6
8.712
Tinggi atau rendahnya penggunaan tenaga kerja tergantung pada jumlah pohon sagu
yang akan diolah. Semakin tinggi jumlah bahan baku yang diolah, maka semakin banyak
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan sampai pada tingkat tertentu sehingga produksi aci
sagupun akan meningkat.
Penggunaan Bahan Bakar
Bahan bakar yang diperlukan dalam proses pengolahan sagu adalah bensin untuk
menghidupkan mesin pemarut empulur sagu dan solar untuk pelumas mesin. Penggunaan bahan
bakar oleh pengolah sagu berbeda antara pengolah, tergantung banyaknya batang sagu yang akan
diolah sampai menghasilkan aci sagu. Bahan bakar tersebut diperlukan mulai dari panen hingga
pascapanen. Setiap pengolahan 1 (satu) batang sagu yang beratnya 0,9 – 1 ton, membutuhkan
bahan bakar bensin sebanyak 3 – 4 liter per batang dan untuk pergantian oli mesin (0,8 liter)
dilakukan setiap pengolahan 4 – 10 pohon sagu. Informasi mengenai penggunaan bahan bakar
dalam pengolahan sagu disajikan pada Tabel 2.
131
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 2. Jumlah Penggunaan Bahan Bakar oleh Pengolah Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun
2014
Uraian
Jumlah Bahan Baku (ton)
Jumlah Bahan Bakar (liter)
Terendah
8,0
29
Tertinggi
33,0
85
Rata-rata
21,6
93
Tabel 2 menunjukkan jumlah rata-rata bahan bakar yang digunakan adalah 93
liter/bulan dengan rata-rata jumlah bahan baku yang diolah sebanyak 21,6 ton. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin banyak bahan baku yang diolah, maka semakin tinggi jumlah
bahan bakar yang dibutuhkan (sampai pada tingkat tertentu), sehingga dapat meningkatkan
produksi aci sagu.
Penggunaan Air
Air juga merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan pengolahan aci
sagu. Air digunakan sebagai bahan untuk memisahkan pati sagu dengan ampasnya, sekaligus
sebagai media untuk mengendapkan acinya. Banyaknya air yang digunakan tergantung pada
banyaknya empulur sagu yang terkandung pada batang sagu yang diolah, yang merupakan
bahan baku dari aci sagu. Semakin banyak bahan baku yang diolah, maka semakin banyak air
yang dibutuhkan. Disamping jumlahnya, kualitas air juga sangat menentukan kualitas sagu
yang dihasilkan. Penggunaan air yang jumlahnya memadai dan kualitasnya baik, akan
mempengaruhi warna aci sagu yang dihasilkan. Aci sagu yang baik adalah berwarna putih
seperti susu, tidak kecoklatan dan tidak berbau asing. Hubungan antara jumlah batang sagu
yang diolah dan air yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penggunaan Air oleh Pengolah Aci Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun 2014
Uraian
Jumlah Bahan Baku (ton)
Jumlah Air (m3)
Terendah
Tertinggi
Rata-rata
8, 0
33,0
21,6
66
301
189
Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak bahan baku yang diolah (yang di dalamnya
terdapat empulur), maka semakin banyak air yang dibutuhkan (sampai pada batas tertentu). Air
yang digunakan umumnya bersumber dari rawa-rawa dan sumur gali yang dibuat di sekitar area
pengolahan sagu.
Untuk menarik air dari sumbernya, sebagian besar pengolah sagu
menggunakan mesin pompa air. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan dalam proses
pemisahan aci sagu relatif lebih singkat. Juga aci sagu yang diperoleh akan berwarna putih, yang
merupakan salah satu indikator baik tidaknya kualitas aci sagu yang dihasilkan (Taridala, 1999).
Analisis Faktor Produksi yang Mempengaruhi Produksi Aci Sagu
Alat analisis untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai faktor produksi pada
usaha pengolahan sagu di Kabupaten Konawe menggunakan model non linear, yaitu persamaan
Cobb-Douglas. Pengujian parameter dilakukan pada tingkat kesalahan (α) sebesar 5 %.
Variabel-variabel yang dimasukkan sebagai faktor produksi yaitu jumlah bahan baku yang diolah
(X1), jumlah tenaga kerja (X2), bahan bakar (X3), air (X4), dan pengalaman (X5). Hasil analisis
menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 1059,593 dengan signifikansi nol (0), pada tingkat
kepercayaan 95%. Karena nilai signifikansi F lebih kecil dari 0,05, berarti variabel independen
(Xi) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Y).
Model persamaan yang digunakan sangat baik, yang diindikasikan oleh nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,99. Artinya, sebesar 99 % keragaman (variasi) produksi aci sagu
dapat dijelaskan oleh keragaman variabel independen yang dimasukkan ke dalam model. Dengan
132
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
kata lain bahwa kemampuan variabel bebas dalam memberikan informasi untuk memprediksi
variasi variabel terikat relatif tinggi. Sisanya sebesar 1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan ke dalam model, seperti jenis sagu yang diolah1.
Pengujian Variabel Bebas
Pengujian pengaruh masing-masing variabel bebas (Xi) terhadap produksi aci sagu (Y)
menggunakan uji-t. Hasil pendugaan fungsi produksi pada usaha pengolahan sagu di Kabupaten
Konawe disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Aci Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun 2014
Konstanta, Variabel
Koefisie
Signifikansi
n
Konstanta
X1= Jumlah bahan baku
X2=Jumlah tenaga kerja
X3= Bahan bakar
X4= Air
X5= Pengalaman
Keterangan :
Y = Produksi Aci Sagu (kg);
X2= Jumlah tenaga kerja (HOK);
3
X4= Air (m );
141,17
4
0,544
0,061
0,175
0,273
0,025
0,000
0,000
0,013
0,023
0,033
0,190
X1= Jumlah bahan baku yang diolah (ton)
X3= Bahan bakar (liter)
X5= Pengalaman (tahun)
Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa dari lima variabel bebas yang dimasukkan
ke dalam model, empat variabel berpengaruh positif dan nyata. Keempat variabel tersebut adalah
jumlah bahan baku yang diolah, tenaga kerja, air, dan jumlah bahan bakar. Sedangkan variabel
pengalaman mengolah sagu tidak pengaruh nyata terhadap jumlah aci sagu yang dihasilkan.
a. Jumlah Bahan Baku yang Diolah
Berdasarkan hasil analisis, jumlah bahan baku yang diolah (X1) mempunyai tingkat
signifikansi sebesar 0,000 (lebih kecil dari α = 0,05). Artinya, jumlah bahan baku yang diolah
berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi aci sagu. Nilai koefisien regresi variabel bahan
baku yang diolah (b1) sebesar 0,544. Kondisi ini menjelaskan bahwa setiap penambahan 1 %
jumlah bahan baku, maka akan meningkatkan produksi sebesar 0,544 % (ceteris paribus).
Jumlah bahan baku mempengaruhi produksi aci sagu dikarenakan bahan baku (pohon
sagu yang siap panen) merupakan bahan utama yang harus ada untuk dapat memproduksi aci
sagu. Semakin banyak jumlah bahan baku yang diolah, maka akan semakin tinggi produksi aci
sagu yang diperoleh.
b. Jumlah Tenaga Kerja
Hasil analisis terhadap variabel tenaga kerja (X2) diperoleh tingkat signifikansi sebesar
0,013 (nilainya lebih kecil dari α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa bahwa jumlah tenaga
kerja berpengaruh nyata terhadap produksi, sehingga setiap kenaikan sebesar 1 % jumlah tenaga
kerja akan meningkatkan produksi sebesar 0,061 % (ceteris paribus). Kondisi ini sangat relevan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2006) yang menemukan bahwa jumlah tenaga
1
Variabel jenis sagu tidak dimasukkan dalam model karena pengolah sagu yang diolah merupakan campuran dari
beberapa jenis sagu. Umumnya jenis sagu yang diolah di lokasi penelitian adalah sagu roe (Metroxylon sagus Rottbol),
baruwila (Metroxylon sylvester Martius), dan rui (Metroxylon microcanthum Martius).
133
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
kerja merupakan faktor produksi yang mempengaruhi produksi. Semakin banyak jumlah tenaga
kerja yang digunakan semakin besar produksi yang diperoleh.
Proses pengolahan aci sagu sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja. Pada
usaha pengolahan sagu di Kabupaten Konawe, tenaga kerja yang digunakan umumnya berasal
dari luar keluarga pengolah. Tenaga kerja yang bersedia bekerja sebagai pengolah aci sagu
sangatlah terbatas. Dalam keadaan demikian, para pengolah sagu kadang menggunakan tenaga
kerja yang berasal dari luar Kabupaten Konawe. Umumnya tenaga kerja yang digunakan dalam
pengolahan aci sagu berkisar 2 – 5 jiwa (7 – 18 HOK), dengan besaran upah berkisar antara Rp
50.000 – 75.000 per hari.
Semakin banyak jumlah bahan baku yang diolah, maka semakin banyak tenaga kerja
yang dibutuhkan. Berpengaruh nyatanya tenaga kerja terhadap peningkatan produksi disebabkan
karena hampir semua proses dalam pengolahan aci sagu, menggunakan tenaga manusia. Semua
pekerja ikut terlibat dalam setiap tahap proses pengolahan sagu, mulai dari penebangan hingga
panen aci sagu.
Menurut Soekartawi (2003), salah satu aspek penting dalam pengelolaan produksi adalah
tenaga kerja. Kecenderungan yang terjadi di lokasi penelitian, pada usaha pengolahan sagu
kebanyakan dikelola oleh lelaki yang berusia diatas 31 tahun. Tenaga kerja dengan usia yang
lebih muda, lebih tertarik untuk bekerja pada perusahaan swasta, pegawai negeri, atau merantau
ke kota. Jika hal ini terjadi terus-menerus, dapat menyebabkan kelangkaan produksi aci sagu.
Menurut Retno, dkk. (2004) bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang
menyerap tenaga kerja cukup banyak. Oleh karena itu, kedepan perlu adanya terobosan baru
untuk dapat menarik minat tenaga kerja muda, untuk mau terjun ke usaha pertanian. Dengan
demikian sektor pertanian dapat betul-betul menjadi salah satu sektor di Kabupaten Konawe yang
mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak, dan disisi lain produksi aci sagu dapat
ditingkatkan.
c. Bahan Bakar
Hasil analisis regresi diperoleh tingkat signifikansi bahan bakar sebesar 0,023 yang
nilainya lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah bahan bakar
berpengaruh nyata terhadap produksi. Artinya setiap penambahan 1 % jumlah bahan bakar, maka
akan meningkatkan produksi sebesar 0,175 % (ceteris paribus). Besarnya produksi pada
pengolahan sagu yang diakibatkan oleh penambahan bahan bakar, pada hakekatnya disebabkan
oleh penggunaan bahan bakar pada mesin yang dilakukan pada hampir semua proses produksi.
Proses produksi yang dimaksud, mulai dari panen hingga pascapanen (penebangan, pemarutan,
dan pengambilan air dari sumbernya).
Pada sebagian proses produksi lainnya, dilakukan secara tradisional. Misalnya pada
pembelahan batang sagu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, digunakan kampak atau parang.
Demikian juga dengan proses pemisahan pati dengan ampasnya, masih dilakukan secara
tradisional, yaitu menggunakan tenaga manusia (tanpa menggunakan mesin pengaduk) yang
menginjak-injak empulur sagu sambil dilakukan penyiraman. Terdapat pengolah (dua responden)
yang masih menggunakan cara manual ketika mengambil air dalam proses pemisahan aci dengan
ampasnya. Cara ini membutuhkan waktu yang lebih lebih lama dan tenaga kerja yang relatif lebih
besar.
d. Air
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel air memiliki nilai signifikansi sebesar
0,033. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari α = 0,05, berarti variabel air berpengaruh nyata
terhadap produksi aci sagu. Artinya, setiap penambahan 1 % air, akan meningkatkan produksi
aci sagu sebesar 0,273 % (ceteris paribus).
Kuantitas air berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu karena air merupakan bahan
untuk memisahkan aci dengan ampasnya, sekaligus media pengendapan aci sagu (tanpa air sagu
tidak dapat mengendap). Penggunaan air tergantung pada banyaknya pati yang terdapat dalam
134
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
pohon sagu. Artinya, semakin banyak pati yang terdapat pada pohon sagu, maka semakin banyak
air yang dibutuhkan.
e. Pengalaman Mengolah Aci Sagu
Hasil analisis parsial terhadap variabel pengalaman diperoleh tingkat signifikansi sebesar
0,190 yang nilainya lebih besar dari α = 0,05. Hal ini berarti bahwa pengalaman mengolah sagu
tidak berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu.
Variabel pengalaman mengolah sagu tidak berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu,
disebabkan karena umumnya para pengolah termasuk dalam kategori cukup berpengalaman dan
telah berpengalaman. Seperti diketahui bahwa antara pengolah yang cukup berpengalaman dan
pengolah yang telah berpengalaman memiliki teknik dan teknologi pengolahan yang relatif sama
dalam memproduksi aci sagu. Teknologi pengolahan yang digunakan tidak berkembang pesat,
meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa telah ada perubahan cukup besar dibanding teknik dan
teknologi yang digunakan pada masa-masa sebelumnya. Seperti diketahui bahwa pada masamasa sebelumnya, keseluruhan proses pengolahan sagu dilakukan secara manual. Beberapa studi
sebelumnya menguatkan temuan ini (Haryanto dan Pangloly, 1992; Taridala, 1999; Saediman et
al., 2006; Papilaya, 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat
ditarik adalah variabel jumlah bahan baku yang diolah (X1), tenaga kerja (X2), bahan bakar (X3),
dan air (X4) berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi aci sagu. Sedangkan variabel
pengalaman (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan produksi dan
mendukung ketersediaan bahan pangan, maka perlu dilakukan budidaya sagu secara intensif
karena selama ini pengolah hanya bergantung pada ketersediaan pohon sagu yang tumbuh secara
alami tanpa upaya budidaya yang baik dan benar. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan dan
diajarkan tentang cara-cara budidaya sagu yang baik dan benar kepada para petani (yang juga
merupakan pengolah sagu). Dalam hal ini, sangat dibutuhkan kebersamaan antara pemerintah
sebagai motivator dan fasilitator, dan pihak swasta sebagai investor.
REFERENSI
Abbas, B. and H. Ehara. 2012. Assessment Genetic Variation and Relationship of Sago Palm (Metroxylon
sagu Rottb.) in Indonesia Based on Specific Expression Gene (Wx genes) Markers. African Journal of
Plant Science, 6(12),314-320.
BPS Kabupaten Konawe. 2012. Konawe Dalam Angka. BPS Kabupaten Konawe. Unaaha.
Gurusamy, M., A. Velsamy, dan DR.N.Rajasekar. 2011. A Study on Price Fluctuation in Sago Industry at
Salem City, Tamil Nadu. Zenith International Journal of Bussiness Economics and Management
Research, 1 (3), 147-166.
Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan
Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
……………….. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor.
Haryanto, B. dan Pangloli, P.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Bogor.
Papilaya, E.C. 2009. Sagu untuk Anak Negeri. IPB Press. Bogor.
135
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Retno Widowati, Emilya, Hamsudin dan Dewa K.S Swastika. 2004. Dampak Kebijakan Penghapusan Subsidi
Pupuk terhadap Kinerja Usahatani dan Efektivitas Kebijakan Harga Dasar Gabah di Provinsi
Kalimantan Timur, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 7, No 2, P 105-117.
Saediman, S. A. A. Taridala dan Ono M. 2006. Sago Marketing Problem and Practices in Kendari District of
Southeast Sulawesi. Majalah Ilmiah Agriplus (Terakreditasi), 16 ( 1), 1-7.
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb Douglas. CV
Rajawali. Jakarta.
Taridala, S. A. A. 1999. Analisis Permintaan Sagu (Metroxylon sp.) dan Bahan Pangan Terpilih di Sulawesi
Tenggara (Studi Kasus di Kendari). Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
-----------, Saediman, dan I. Merdekawati. 2013a. Efisiensi Pemasaran Sagu (Metroxylon Sp.). Prosiding
Seminar Nasional pada Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertania, UTM Madura. Bangkalan.
-----------, K. Jusoff, M. Zani, W. G. Abdullah, Suriana dan I. Merdekawati. 2013b. Supply Chain in Sago
Agribusiness. World Applied Sciences Journal 26 (Natural Resources Research and Development in
Sulawesi Indonesia) : 7-12.
136
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
KARAKTERISTIK 3 JENIS BIOCHAR DENGAN LAMA WAKTU PIROLISIS
BERBEDA SEBAGAI AMELIORAN
TANAH GAMBUT
Urai Suci Y.V.I1, Uray Edi Suryadi2, Azwar Maas3, Sri Nuryani H .U4, Eko Hanudin5
1.Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak
2.Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Gadjahmada, Yogyakarta e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Biochar adalah produk pirolisis, yaitu pembakaran biomasa pada kondisi rendah oksigen atau tanpa oksigen.
Biochar merupakan senyawa karbon yang relatif stabil, lebih stabil dari bahan organik, disamping itu, biochar memiliki
afinitas yang tinggi terhadap kation.Pemberian biochar pada tanah gambut diharapkan dapat memperbaiki sifat kimia dan
kesuburan tanah gambut. Penelitian ini menggunakan 3 bahan organic sebagai bahan baku biochar yaitu serutan kayu
(tatal), sekam padi dan gambut asal Bengkalis lapisan atas (A1) dan lapisan bawah (A2). Tujuan penelitian adalah
mengetahui karakteristik masing masing biochar yang dipanaskan pada suhu 350oC dengan lama pirolisis yang berbeda
dan berpotensi sebagai amelioran pada tanah gambut. Lama waktu pirolisis yang digunakan adalah 3 jam (3’), 4 jam (4’)
dan 5 jam (5’). Setelah dianalisis sifat kimia bahan organic segar, kandungan hemiselulosa dan selulosa, penentuan gugus
funsional dari masing masing biochar dengan FITR dan ukuran pori dari masing masing biochar dengan SEM didapat 3
jenis biochar yang mempunyai karakteristik lebih baik dibanding lainnya, apabila digunakan sebagai amelioran pada tanah
gambut yaitu sekam dengan lama pirolisis 3 jam dan 4 jam dan gambut Bengkalis lapisan bawah (A2).
Kata kunci: biochar, pirolisis,gambut bengkalis, sekam, serutan kayu
BAB I
PENDAHULUAN
Di daerah tropis tanah gambut penyusun utama tanahnya adalah robohan pohon ke
dalam rawa berair dan kondisi anaerob sehingga proses dekomposisinya terhambat, kejadian ini
terjadi berkesinambungan sehingga gambut menjadi semakin tebal dan dapat membentuk kubah.
Tanah gambut sebagai ekosistem berperan untuk pemendam karbon, penyimpan dan pelepas air,
disamping itu juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sumber energi atau dapat
diekstraks komponen humatnya. Kesuburan gambut lebih ditentukan oleh keadaan lingkungan,
relatif subur pada daerah cekungan (topogen) dan pantai, semakin rendah kesuburan pada
gambut yang telah membentuk kubah .
Untuk kegiatan budidaya tanaman, gambut perlu ditingkatkan kesuburannya, sehingga
penggunaan amelioran organik biasa digunakan oleh petani di tanah gambut, umumnya berupa
kompos dan pupuk kandang, kegiatan tersebut masih belum sepenuhnya memuaskan karena
pengaruh positifnya hanya berlangsung dalam rentang waktu singkat (satu sampai dua musim
tanam saja) dan penggunaan pembenah organik dengan kandungan karbon yang tinggi yang
bersifat stabil dan laju perombakan yang lambat sekarang ini menjadi obsesi ilmuan lingkungan.
(Lehman, 2007). Bahan yang bersifat demikian ialah Biochar, suatu bahan pengandung karbon
tinggi yang dihasilkan dari proses pemanasan biomassa organik dalam keadaan oksigen terbatas
(Lehman, 2007; Steiner, et.al., 2007). Manfaat biochar di bidang pertanian mulai banyak
dilaporkan, akan tetapi informasi yang berkenaan dengan penggunaannya sebagai amelioran dan
pengaruhnya terhadap komposisi kimia, stabilisasi bahan organik dan humifikasi dalam proses
pengomposan sangat terbatas (Hua et al., 2009). Sukartono, 2011, menjelaskan bahwa dengan
menggunakan Biochar, sebuah bahan arang pembenah tanah, kesuburan tanah pada tanah kering
dan berpasir bisa diperbaiki. Biochar lebih efektif digunakan karena aplikasi biochar mampu
meningkatkan kandungan C-organik tanah khususnya pada lapisan 0-10 cm. Disamping itu
aplikasi pada biocar lebih efektif digunakan karena pelapukan atau dekomposisinya sangat
lambat dan bertahan lama (3 tahun bahkan lebih) dibandingkan dengan bahan organik segar
137
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
seperti kompos dan pupuk kandang. Untuk mempertahankan ketersediaan unsur hara, pupuk
kandang harus diberikan secara berulang setiap musim tanam, sementara aplikasi tunggal
biochar dapat mempertahankan ketersediaan unsur hara dalam jangka waktu yang lebih lama.
Selain itu ditambahkan juga bahwa semakin tingginya konsentrasi hara (N, P, K, Ca dan Mg)
pada biochar, semakin menunjukkan adanya kontribusi positif pembenah organik terhadap
perbaikan ketersediaan hara tanah. Biochar juga bisa meningkatkan Kapasitas Tukar Kation
(KPK) tanah, sehingga dapat mengurangi resiko pencucian hara khususnya kalium dan N-NH4.
Kualitas biochar yang baik ditentukan oleh bahan baku dan cara pembuatannya.
Dalam penelitian ini, akan di dilihat karakteristik macam bahan baku untuk pembuatan
Biochar (tandan sawit, serutan kayu (tatal), gambut asal Bengkalis lapisan atas (A1) dan lapisan
bawah (A2)), sebagai amelioran tanah gambut. Ketiga bahan organik tersebut akan dipanaskan
pada suhu 350oC dengan lama waktu pemanasan yang berbeda yaitu 3, 4, dan 5 jam (3’, 4’ dan
5’)
BAB II.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui karakteristik masing masing biochar dengan
lama pirolisis yang berbeda dan berpotensi sebagai amelioran pada tanah gambut
Manfaat Hasil Penelitian
Informasi dari penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi bagi para peneliti yang
menggunakan biochar sebagai amelioran pada tanah gambut
BAB III.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, dari 19 November 2015 sampai dengan 19 April 2016 .
B. Bahan dan Alat Penelitian





serutan kayu (tatal), tanah gambut Bengkalis ,tandan sawit kosong
SEM, Pirolisis, Spektroskopi Infra Merah
Alat tulis menulis dan kertas label
Pirolisator (Retort), Muffle, esksikator, ayakan, timbangan digital, AAS.
pH meter, Spektrofotometer , Flamefotometer, tabung kimia, perkolasi, labu semprot dll
C. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian terdiri atas 2 kegiatan yaitu 1. Karakterisasi kimia bahan organic segar
dan tanah gambut dilanjutkan dengan persiapan bahan dan pembuatan biochar di Laboratorium
Energi Biomasa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). 2.Pembuatan Biochar
dari 3 jenis bahan baku dan karakteristik biocharnya
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENGAMATAN
a. Karakterisasi sifat kimia bahan organic sebelum penelitian
138
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1.
Karakterisasi sifat kimia bahan organic sebelum penelitian
Parameter Analisis
Ph
Carbon organic
Nitrogen total
C/N Ratio
P total
K total
Ca total
Mg total
%
%
%
%
%
%
Serutan kayu
(tatal)
5.01
49.30
0.73
67.53
0.05
0.20
0.55
0.06
Sekam
padi
6.31
45.24
0.64
70.69
0.03
0.16
0.10
0.05
Tankos
kering
6.27
55.68
4.60
12.10
0.09
0.21
0.36
0.21
Tankos
basah
9.43
55.87
2.07
26.99
0.08
1.28
0.16
0.21
Harkat
C = 5.5-6.6 ; T > 6.5
T > 32
R<1.26 ; T > 2.5
R < 20 ; T > 25
R < 0.132
R < 1.35
R < 0.3 ; T > 4.5
R < 0.4
b. Karakterisasi kimia tanah gambut terdegradasi
Tabel 2. Karakterisasi kimia tanah gambut terdegradasi
Parameter Analisis
Nilai
Harkat
pH H2O
2.90
SM < 4.5
pH KCl
2.24
C Organik
%
56.26
ST > 3.5
Nitrogen Total
%
9.09
ST > 1.0
P2O5 (Bray 1)
Ppm
82.93
ST > 46
K
me/100 g
0.29
R 0.1-0.3
Na
me/100 g
0.39
R 0.1-0.3
Ca
me/100 g
4.19
S 1,5-3,0
Mg
me/100 g
1.41
S 1,5-3,0
KPK
me/100 g
117.86
T > 40
Kejenuhan Basa
%
5.33
R < 5.33
Hidrogen
me/100 g
0.96
Alumunium
me/100 g
0.00
Berdasarkan data Tabel 2, tanah ini kesuburannya rendah. Kesuburan tanah seperti ini,
jika akan digunakan sebagai lahan budidaya tanaman pertanian, lahan tersebut membutuhkan
amelioran tanah yang tepat sebelum pemupukan karena pemupukan tidak akan efektif jika sifat
kimia tanah belum diperbaiki. Tujuannya menciptakan kondisi tanah yang sesuai untuk
pergerakan akar, menurunkan tingkat kemasaman tanah, menekan pelindian hara setelah
pemupukan, mampu mempertahankan kandungan air pada kapasitas lapangan, yang dapat
meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. Bahan amelioran seperti biochar memiliki sifat
kimia dan fisika yang baik untuk memperbaiki sifat alamiah Gambut yang kurang subur menjadi
lebih produktif. Sifat-sifat biochar tersebut tercermin pada karakteristik fisik dan kimianya.
Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relative tinggi dengan
kisaran pH 3 - 4. Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asamasam organik, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990).
Bahan organic yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif karboksil dan fenol
yang bersifat sebagai asam lemah. Diperkirakan 85-95% sumber kemasaman tanah gambut
disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut. Kemasaman tanah gambut
cenderung menurun seiring dengan kedalaman gambut. Pada lapisan atas pada gambut dangkal
cenderung mempunyai pH lebih tinggi dari gambut tebal (Suhardjo dan Widjaja-Adhi,1976).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation
basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal
gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam
139
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
(Driessen dan Suhardjo, 1976). Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah,
kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan
Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai kapasitas tukar
kation (KTK) yang tinggimenyebabkan ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya
kandungan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya
yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB) tanah
gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah.
Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi (90- 200 me/100 g).
Hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil
dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974)
dan Driessen (1978), kapasitas tukar kation tanah gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar
ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Tanah gambut di Indonesia, terutama tanah
gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut didominasi dari bahan
kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam
proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).
Sebelum bahan organic dijadikan biochar, perlu diketahui terlebih dahulu kandungan
selulosa dan lignin dari masing masing biochar. Dapat dilihat pada table 3 berikut ini :
Tabel 3.Komposisi Selulosa, Hemi selulosa, Lignin pada
Bahan organic
Bahan
Organik
Gambut Bengkalis
Sekam padi
Tatal
Hemi Selulosa
Lignin
38.68
29.10
18.59
50.23
40.57
25.75
Hemiselulosa terdegradasi pada suhu 200- 260°C, selulosa pada suhu 240-350°C, dan
lignin pada suhu 280°C sampai 500°C (Sjostrom, 1993 cit. Lehmann & Joseph, 2009).
Komponen kimia ini meningkatkan reaktivitas dan perubahan struktur fisik saat proses pirolisis.
Tingginya kandungan senyawa tersebut dalam bahan baku akan mengurangi kandungan abu
pada biochar. Kondisi proses pembuatan tertentu kadar abu yang dihasilkan mengakibatkan
terjadi perubahan sifat fisik dan komposisi struktural luas permukaan biochar (Lehmann &
Joseph, 2009). Menurut Lua et al.(2004); Zabaniotou et al. (2008) suhu dan lama waktu
pirolisis mempengaruhi luas permukaan. Pengaruh lain dari perlakuan suhu terhadap struktur
kompleks fisik biochar adalah terjadinya retak pori, akibatnya komposisi pori ini tersusun oleh
makro pori, makro retak dan mikro pori. Peristiwa patah dan retak akibat meningkatnya tekanan
pengembangan pori karena permukaan bahan terurai lebih cepat daripada interiornya.
Biochar dari gambut bengkalis dan sekam padi memiliki kandungan selulosa dan lignin
yang tinggi. Hal ini sangat menguntungkan karena mengandung karbon yang tinggi dan kadar
abu yang rendah, tidak mudah hancur (Schmidt & Noack, 2000). Biochar seperti ini dapat
diarahkan sebagai amelioran untuk pemulihan dan peningkatan kualitas tanah jangka panjang;
sedangkan biochar dari biomasa seperti jerami, empulur batang sagu, jagung dan residu
peternakan kandungan abu tinggi dengan karbon rendah, secara fisik mudah hancur. efek
pemberiannya di dalam tanah lebih cepat berlangsung dalam meningkatkan kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman.
Dilihat dari kandungan selulosanya yang tinggi maka gambut bengkalis dan sekam padi
mempunyai potensi yang lebih baik sebagai amelioran dibanding tatal.
Gugus Fungsional Biochar
Identifikasi dan interpretasi gugus fungsional (Sastromijojo1992; Whittaker 2000;
Coates, 2000; Tan 2003) biochar dengan menggunakan spektroskopi infra merah dapat dilihat
pada (Gambar 1, 2, 3 dan tabel 3, 4, 5). Gugus-gugus fungsional yang terbaca dari biochar
140
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
suhu pirolisis 350oC dapat dibedakan menjadi gugus alifatik (> 2000 cm-1), gugus aromatik
(900 - 2000 cm-1) dan gugus anorganik (< 900 cm-1). Identifikasi gugus fungsional biochar
dilakukan dengan menggunakan spektroskopis inframerah berdasarkan serapan sinar infra merah
akibat getaran masing-masing gugus fungsional pada panjang gelombang tertentu (Tan, 2003)
dan interpretasinya berdasarkan Stevenson (1994).
Berikut adalah gugus fungsional dari masing masing Biochar :
Tabel 4. Susunan Gugus Fungsional Biochar Gambut Bengkalis A1 dan A2
No
Gambut
A1
%
Gugus Fungsional
Gambut
A2
%
Gugus Fungsional
1118.71
1226.73
1273.02
1411.89
1597.06
2854.65
2924.09
9.02
9,89
10.26
11.38
12.87
23.01
23.57
Gugus C-O-C glukosa
Gugus C-O-C glukosa
Gugus C-O-C glukosa
CH3-bendy
C=O karbonil
H-alifatik
H-alifatik
918.12
1033.85
1219.01
1265.32
1381.03
1411.89
1512.19
1627.92
4.26
4.80
5.66
5.87
6.41
6.55
7.02
7.56
9
1967.39
9.13
10
11
12
2854.65
2924.09
3425.58
21541.04
13.25
13.57
15.90
Alkuna C-H
C-O alkohol
C-O alcohol-Eter
C-O alcohol-Eter
CH3 bending
CH3 bending
CH3 bending
N-H amida primer dan
sekunder
N-H amida primer dan
sekunder
H-Alifatik
H-Alifatik
H-Alifatik
1
2
3
4
5
6
7
8
12406.15
141
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Dari gambut Bengkalis A1 terdapat 7 gugus fungsional yang didominasi oleh gugus
aromatic (5 gugus) dan gugus alifatik ( 2 gugus). Sedangkan gambut Bengkalis A2 terdapat 12
gugus fungsional yang didominasi oleh gugus aromatic (9 gugus) dan gugus alifatik (3 gugus)
serta 1 gugus anorganik (1 gugus).
Gambar 2. Gugus Fungsional pada Biochar Sekam 3’, 4’ dan 5’
2
.
Tabel 5. Susunan Gugus Fungsional Biochar Sekam dengan Lama Pirolisis 3, 4 dan 5 jam
142
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
No
Sekam
3’
%
Gugus Fungsional
Sekam
4’
%
1
617.22
3.45
Gugus anorganik:
C-Cl, SO42-, PO42, CO32-, NO3-
702.09
3.69
Alkuna
802.39
8.13
2
794.67
4.45
794.67
4.18
Alkuna
1103.28
11.18
3
1103.28
6.17
Fluoride
1103.28
5.80
1581.63
16.03
1319.31
7.38
1473.62
7.75
2931.8
29.7
4
5
S=O sulfon
Garam dari asam
karboksilat
C-O Alkohol
Eter
R-NO2
1373.32
7.68
1597.06
8.40
Aromatik
3448.72
34.95
6
7
8
1604.77
1851.66
2854.65
8.98
10.36
15.97
Asam arboksilat
9
2924.09
16.36
Asam karboksilat
2931.8
10
3433.29
19.21
O-H Alkohol
fenol
3417.86
Sekam
5’
%
Gugus
Fungsional
Aromatic
C-O Alkohol
Eter
N-H Bending
amino
N-H Amida
primer
1851.66 9.74
2276.00 11.97
2862.36 15.06
15.42
17.98
1
7876.3
Gugus
Fungsional
Asam
karboksilat
N-H Amida
primer dan
sekunder
1
9010.
4
986
7.82
Pada Biochar sekam padi dengan semakin lama pirolisis dilakukan, maka gugus
fungsional semakin berkurang, dengan lama 3’ gugus fungsional berjumlah 10 gugus dan
didominasi oleh gugus aromatic (5 jenis), kemudian gugus alifatik (3 jenis) dan gugus anorganik
(2 jenis). Dengan lama pirolisis 4’, gugus fungsional berjumlah 10 jenis dengan 5 gugus alifatik,
3 jenis gugus aromatic dan 2 gugus anorganik. Pada lama pirolisis 5’ gugus fungsional berjumlah
5 gugus yang terdiri dari 2 gugus alifatik, 3 gugus aromatic.
Tabel 6. Susunan Gugus Fungsional Biochar Tatal dengan Lama Pirolisis 3, 4 dan 5 jam
143
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
No
Tatal
3’
%
Gugus
Fungsional
ISBN 978-602-72935-2-6
Tatal
4’
%
Gugus
Fungsional
Tatal
5’
%
Gugus
Fungsional
1
2
3
4
624.94
910.4
1111
1319.31
3.85
5.61
6.85
8.14
Klorida
Aromatic
Fluoride C-X
S=O
671.23
771.53
879.54
1442.75
5.72
6.58
7.50
12.30
Klorida C-X
Klorida c-x
aromatik
-CH3 bending
833.25
879.24
1442.75
1581.63
6.82
7.20
11.81
12.95
Alkena bidang
Alkena bidang
CH3 bending
C=C Aromatik
5
6
7
1435.04
1604.77
2862.36
8.85
9.90
17.65
1589.34
2924.09
3448.72
13.55
24.93
29.41
C=C aromatik
C-H Alkena
O-H fenol
1705.07
2345.44
3425.58
13.96
19.20
28.05
C=O Keton
C=C Alkuna
O-H Ikatan H
8
2924.09
18.03
9
3425.58
21.12
-CH3
C=C alkena
Asam
karboksilat
Asam
karboksilat
OH Alkohol
fenol
16217.49
11727.2
12212.96
Pada Biochar tatal dengan semakin lama pirolisis dilakukan, maka gugus fungsional
berkurang, dengan lama 3’ gugus fungsional berjumlah 9 gugus dan didominasi oleh gugus
aromatic (5 jenis), kemudian gugus alifatik (3 jenis) dan gugus anorganik (1 jenis). Dengan lama
pirolisis 4’, gugus fungsional berjumlah 6 jenis dengan 2 gugus alifatik, 2 jenis gugus aromatic
dan 2 gugus anorganik. Pada lama pirolisis 5’ gugus fungsional berjumlah 7 gugus yang terdiri
dari 2 gugus alifatik, 3 gugus aromatic dan 1 gugus an organic.
Dari 8 biochar yang dihasilkan, didapatkan hasil bahwa jenis biochar terpilih dengan
assumsi dari bahan organic yang kandungan selulosanya tinggi dan mempunyai gugus fungsional
yang paling banyak, yaitu sekam 3 jam, sekam 4 jam dan gambut bengkalis lapisan bawah
(A2).
Kandungan C-organik yang tinggi pada biochar ini cocok sebagai amelioran untuk
memperbaiki kesuburan tanah jangka panjang. Penambahan biochar dengan kandungan Corganik tinggi sebagai amelioran ke tanah mengindikasikan bahwa amelioran ini tahan terhadap
dekomposisi dan stabil dalam tanah untuk kurun waktu lama; meskipun biochar tahan
perombakan namun untuk waktu lama dapat mengalami reduksi dan oksidasi serta mineralisasi
pada permukaan biochar (Demirbas, 2004; Gaskin et al.,2008). Fakta ini menunjukkan bahwa,
makin tinggi terbentuk pori mikro menyebabkan luas permukaan biochar semakin tinggi. Luas
permukaan yang semakin tinggi, diduga sebagai penyebab peningkatan muatan negatif pada
permukaan biochar. Karakteristik amelioran seperti ini aplikasinya ke tanah diharapkan akan
meningkatkan kompleks jerapan; retensi air, pelepasan kation dan anion P di Gambut yang pada
gilirannya meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman.
Analisis gugus fungsional dengan FTIR (Gambar 1-3 dan Tabel 4-6) bertujuan untuk
mengetahui kandungan gugus fungsional biochar, menunjukkan bahwa biochar sebagian besar
tersusun atas gugus aromatik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase luasan gugus aromatik yang
tinggi pada biochar. Komposisi ini dipengaruhi oleh proses pembuatan dan bahan baku. Bahan
baku sekam padi dan gambut bengkalis dengan kandungan selulosa (29.10 % dan 36.68 %) dan
lignin (40.57% dan 50.23%) lebih kuat terkonversi menjadi arang dibanding terbentuk kadar abu
yang dipanaskan sampai suhu pirolisis 350 °C (Demirbas, 2004; Gaskin et al.,2008). Menurut
Lehmann & Joseph, (2009) biomasa dengan kandungan selulosa dan lignin rendah lebih banyak
terbentuk abu saat proses pirolisis (tatal dan sekam padi). Kaitan bahan baku dan suhu pirolisis
adalah terbentuknya susunan pori mikro. Pori-pori mikro akan terbentuk seiring suhu pirolisis
meningkat.
Suhu pirolisis di atas 350 °C pembentukan pori mikro mengarah ke pembesaran ukuran
dan terbentuk sekat yang lebar antara susunan pori. Sekat yang terbentuk ini menyebabkan luas
permukaan partikel semakin tinggi. Sekat yang terbentuk diantara susunan pori mikro ini juga
144
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
menyebabkan pori-pori rentan runtuh akan menurunkan kemampuan adsorb dan mekanisme
lainnya di dalam tanah jika biochar diaplikasikan pada tanah (James et al., 2009). Brown, (2009)
mengilustrasikan hasil percobaan Rutherford et al. (2004) bahwa C alifatik dari biochar,
terkonversi membentuk cincin penghubung C aromatik. Selulosa disusun oleh C alifatik,
transformasi alifatik akan terjadi pada suhu minimal 300 oC;semakin tinggi suhu, C aromatik
secara bertahap hilang dan porositas mulai terbentuk dengan demikian akan terbentuk struktur
campuran cincin C aromatik yang menuju terciptanya sebuah matriks pori mikro
c. Ukuran pori biochar
Penampakan permukaan pori biochar sekam 3’, sekam 4’ dan gambut bengkalis A2
menggunakan analisis SEM yang terbaca pada permbesaran 1000 kali, terhadap bentuk pori dan
ukuran pori disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4. bentuk pori dan ukuran pori biochar sekam 3’, 4’ dengan pembesaran
SEM permukaan bochar
sekam 3 jam, suhu
pirolisis 350oC, dengan
ukuran pori 10 µm (1.612
µm ; 1.800 µm ; 2.953
µm)
Penampakan pori permukaan biochar sekam padi yang dipirolisis pada suhu 350 °C
dengan lama waktu 3 jam, kokoh dan teratur susunannya, ukuran pori makro dan mikro lebih
kecil (1.612 µm; 1.800 µm ; 2.593 µm) dibanding pada biochar sekam yang dipirolisis selama 4
jam (6.956 µm ; 9.402 µm ; 5.012 µm). Susunan dan bentuk pori yang besar dan tersusun rapi
akan meningkatkan peranan biochar sebagai amelioran di dalam tanah. Menurut Lehmann &
Joseph, (2009) pembentukan pori permukaan biochar pada suhu pirolisis 250 – 500 °C susunan
pori belum teratur, pori biochar mulai teratur susunannya pada suhu pirolisis 800 – 2500 °C,
namun pori yang terbentuk ini mudah runtuh (Brown, 2009) sehingga rentan hancur akibatnya
susunan pori berantakan. Hal ini akan menurunkan peranan biochar sebagai amelioran tanah.
Biochar gambut bengkalis A2 masih berpotensi untuk dijadikan ameliorant pada tanah
gambut karena selain pori porinya yang masih utuh dan susunanya masih rapi dan teratur.
Selanjutnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
145
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Gambar 5. bentuk pori dan ukuran pori biochar gambut Bengkalis A2 dengan
pembesaran 1000 x
SEM permukaan biochar
sekam 4 jam, suhu pirolisis
350oC, dengan ukuran pori
10 µm (6.956 µm ; 9.402
µm ; 5.012 µm)
Penampakan pori permukaan biochar gambut Bengkalis A2 pori makro dan mikro
dengan pembesaran 1000x kokoh dan teratur susunannya, ukuran porinya sebagian runtuh
sehingga ukurannya lebih kecil dan belum bisa terukur.
Peranan biochar dipertimbangkan sebagai amelioran tanah salah satunya adalah
kemampuannya didalam memperbaiki pori makro dan mikro tanah.Kesimbangan udara dan air
dibutuhkan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan untuk menopang kehidupan dan viabilitas
mikroba dalam tanah dalam waktu lama. Hal ini dipertegas dengan hasil analisis SEM (Gambar
4 dan 5) struktur pori mikro biochar dengan pembesaran 1000 kali menunjukkan keporian yang
relatif teratur, ;pada beberapa pori terlihat tunggal utuh dan beberapa bagian pori yang letaknya
berdampingan. Pembentukan pori yang utuh ini mejadikan biochar lebih baik dalam hal
kerapatan lindak, kerapatan partikel, dan aerasi. Kemampuan retensi air oleh biochar
dipengaruhi oleh luas permukaan, volume dan ukuran pori biochar yang tinggi.
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. Dari 3 jenis bahan organic yang digunakan yaitu sekam padi, serutan kayu (tatal) dan
gambut dari Bengkalis, dan mendapat perlakuan lama pirolisis 3 jam, 4 jam dan 5 jam, dan
suhu 350oC, didapat 3 jenis biochar yang mempunyai karakteristik lebih baik dibanding
lainnya, apabila digunakan sebagai ameliorant pada tanah gambut yaitu sekam 3 jam, sekam
4 jam dan gambut Bengkalis lapisan bawah (A2).
2. Penentuan karakteristik 3 biochar terpilih berdasarkan sifat kimia bahan organic segar,
kandungan hemiselulosa dan selulosa, penentuan gugus funsional dari masing masing
biochar dengan FITR dan ukuran pori dari masing masing biochar dengan SEM
Saran yang diberikan :
Hasil penelitian yang didapat baru mencerminkan separuh dari penelitian yang sedang
dilakukan, dan sebaiknya masih diuji dengan analisis surface area dan analisis kimia (pH,
DHL, dan KTK dari masing masing Biochar) agar ameliorant terpilih mempunyai
karakteristik yang lebih spesifik sebelum di uji di tanah gambut
146
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Demirbas, A. 2004. Effects of temperature and Particle Size On Bio-Char Yield from Pyrolysis of Agricultural
Residues. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 72(2): 243-248.
Driessen, P.M. and Soepraptohardjo 1974. Organic soil.In: Soil for Agricultural
expansion in Indonesia. ATA 106 Bulettin.Soil Reseach Institute Bogor.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils.pp. 763-779. In: IRRI. Soil and rice.IRRI. Los
Banos. Philippines.
Hua, L., W. Wu, Y. Liu, M.B. McBride, and Y. Chen. 2009. Reduction of nitrogen loss and Cu and Zn
mobility during sludge composting with bamboo charcoal amendment Environmental Science and
Pollution Research 16: 1–9.
Gaskin, J.W., C. Steiner, K. Harris, K.C. Das, K.C.and B. Bibens.2008. Effect of Low-Temperature Pyrolysis
Conditions on Biochar for Agricultural Use. Transactions of the ASABE 51(6): 2061-2069.
Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat Lahan Yang Tersedia Pada Daerah Transmigrasi.
Seminar Pemantapan Usaha-usaha Pembangunan di Daerah
Transmigrasi oleh JTKI-PPSM.
Lehmann, J. 2007. Bio-energy in the Black. Department of Crop and Soil Sciences, College of Agriculture and
Life Sciences, Cornell University, Ithaca, NY 14853 ([email protected]). © The Ecological Society
of America. Front Ecol Environ 2007; 5(7): 381–387.
Lehmann, J &Joseph, 2009. Biochar for Environmental Management. First Published by Earthscan in the UK
and USA in 2009. P416.
Lima, I. M. and W. E. Marshall.2005. GranularActivated Carbons from Broiler Manure:Physical, chemical
and adsorptive properties,Bioresource Technology, vol 96, pp699–706
Lua, A. C., T. Yangand J. Guo.2004.Effects ofPyrolysis Conditions on The Properties of ActivatedCarbons
Prepared from Pistachio-NutShells’, Journal of Analytical and AppliedPyrolysis, vol 72, pp279–287.
Miller, R.M. and J.D. Jastrow. 1990. Hierarchy of root and mycorrhizal fungal interactions with soil
aggregation. Soil Bio. Biochem. 22: 579–584.
Schmidt, M.W.I., and A.G. Noack. 2000. Black Carbon in Soils and Sediments:Analysis, Distribution,
Implications, and Current Challenges.Global Biogeochem. Cycles 14:777–793.
Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30
cm of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst. Bogor.Driessen dan Suhardjo, 1976
Sukartono, W.H. Utomo, Z. Kusuma and W.H. Nugroho. 2011. Soil fertility status, nutrient uptake, and maize
(Zea mays L.) yield following biochar and cattle manure application on sandy soils of Lombok,
Indonesia. Journal of Tropical Agriculture 49 (1-2) : 47-52, 2011.
Steiner, C. 2007. Slash and Char as Alternative to Slash and Burn: soil charcoal Amendments Maintain Soil
Fertility and Establish A Carbon Sink. Cuvillier Verlag, Gottingen.
Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition and Reaction. Sec. Edition. John Willey&
Sons Inc. New York. 496 hlm.
Swiatkowski, A, M. Pakula, S. Biniak, M. Walczyk. 2004. Influence of TheSurface Chemistry of Modified
Activated Carbon on itsElectrochemical Behavior in The Presence of Lead (II) Ions. Carbon2004; 42:
3057-3069.
Tan, K.H. 1998. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Terjemahan D.h. Goenadi dan B. Radjagukguk, 1998. Edisi ke-8.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Zabaniotou, A., G. Stavropoulosand V. Skoulou. 2008. ‘Activated Carbon From Olive Kernels inA Two-Stage
Process: Industrial Improvement’,Bioresource Technology, vol 99, pp320–326
147
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
PERTUMBUHAN BIBIT JERUK DENGAN APLIKASI BIOCHAR PADA
TANAH ANDOSOL DAN ALUVIAL
Reza Prakoso Dwi Julianto1), Septian Eko Ardiansyah2), Widowati3) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas
Tribhuwana Tunggadewi, Malang
ABSTRAK
Kegiatan pembibitan tanaman merupaka salah satu cara untuk mendapatkan tanaman dengan kondisi sehat, yaitu
tanaman yang tidak terserang hama atau penyakit. Kegiatan pembibitan memerlukan kondisi lingkungan secara optimal,
salah satunya adalah terpenuhi unsur-unsur hara makro seperti nitrogen, phospor dan kalium, selain itu juga diperlukan
bahan organik tanah yang mencukupi. Tanah andosol dan aluvial adalah salah satu jenis tanah yang memiliki tingkat
kesuburan tinggi, tetapi akibat seringnya petani memanfaatkan tanah tersebt untuk sistem tanam monokultur tanpa adanya
pengembalian unsur hara kedalam tanah, menyebabkan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tersedia semakin
sedikit. Penggunaan biochar merupakan salah satu alternatif untuk menyediakan unsur hara tersebut dalam waktu cukup
panjang (sekitar 3 musim tanam). Penelitian dilakukan dengan menggunaan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan
tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis tanah (andosol dan aluvial),
faktor kedua adalah dosis biochar (0, 02,5, 0,5, 0,75, 1 tonha-1). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Aplikasi
biochar pada tanaman dengan dosis 0,25 tonha1 pada tanah andosol dan tanah aluvial dapat memberikan rata-rata tertinggi untuk tinggi tanaman dan jumlah
daun, meskipun perbedaan yang ada tidak berbeda secara signifikan berdasarkan hasil uji lanjut beda nyata jujur (BNJ) dan
Peningkatan dosis biochar pada kedua jenis tanah mampu meningkatkan jumlah unsur hara yang tersedia meliputi nitrogen,
phospor, kalium, dan bahan organik tanah
Kata Kunci: Biochar, Tanah Andosol, Tanah Aluvial, Pertumbuhan tanaman, dan Kesuburan Tanah
PENDAHULUAN
Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani pangan maupun
petani hortikultura. Pertanian komoditas pangan saat ini telah terbukti keberhasilannya menyediakan
kebutuhan pangan dalam jumlah yang memadai saat terjadi krisis ekonomi dan tingkat pertumbuhannya yang
positif dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Selain pertanian di bidang pangan, pertanian hortikultura
yang meilupti sayuran dan buah juga memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani,
perdagangan, industri, maupun penyerapan tenaga kerja. Secara Nasional pertanian hortikultura mampu
memberikan sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifika
Tanaman jeruk merupakan salah satu tanaman buah yang cukup menguntungkan untuk diusahakan
saat ini dan mendatang. Nilai keuntungan usaha tani sangat bervariasi tergantung kondisi lingkungan dan
varietas jeruk yang dibudidayakan. Tanaman jeruk dapat tumbuh dan dibudiayakan petani di dataran rendah
maupun dataran tinggi. Produksi jeruk di Indonesia menurut data BPS 2013 pada tahun 2007 mencapai
2.625.884 ton, tetapi pada tahun 2008 hingga tahun 2012 produksi jeruk terus mengalami penurunan hingga
mencapai 36,4%, dan diperkirakan akan terus mengalami penurunan setiap tahunnya, hal ini dikarenakan oleh
beberapa hal antara lain areal penanaman yang semakin menyempit serta tidak tersedianya benih jeruk yang
tahan tehadap hama dan penyakit. Semakin menyempitnya areal pertanian yang ada, memaksa petani untuk
mampu memanfaatkan lahan-lahan kurang produktif untuk pemenuhan kebutuhan komoditas jeruk. Akibatnya
tanaman jeruk tidak dapat berproduksi secara optimal.
Kegiatan pembibitan merupakan kegiatan penting untuk penyediaan tanaman-tanaman unggul.
Proses pembibitan memerlukan kondisi lingkungan yang optimal, sehingga bibit yang dihasilkan adalah
berupa bibit yang sehat tidak terserang hama maupun penyakit. Ketersediaan unsur hara makro berupa unsur
Nitrogen, Kalium dan Phopsor (N, P, dan K) dalam jumlah yang tinggi merupakan salah satu faktor penting
dalam pertumbuhan tanaman, selain itu bahan organik yang cukup juga berperan penting dalam pertumbuhan
tanaman. Tanah andosol dan aluvial merupakan salah satu jenis tanah yang mempunyai kandungan unsur
hara dan bahan organik yang tinggi, tetapi akibat seringnya petani di Indonesia memanfaatkan jenis tanah
tersebut untuk kegiatan pertanian secara monokultur tanpa adanya pengembalian unsur hara kedalam tanah,
menyebabkan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tersedia semakin sedikit, sehingga tanaman tidak
dapat tumbuh dengan baik.Pemberian pupuk dan bahan organic oleh petani harus terus
148
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
dilakukan setiap waktu, agar tanaman jeruk dapat tumbuh dengan baik. Hal tersebut menyebabkan modal
usaha pertanian yang dibutuhkan oleh petani semakin besar. Pemberian biochar merupakan salah satu
alternatif yang dapat digunakan oleh petani untuk memperkecil modal usaha kegiatan pertanian, hal ini
dikarenakan biochar adalah bahan organik yang mampu bertahan dalam tanah sampai tiga musim tanam.
Kemampuan biochar tersebut setara dengan kemampuan pupuk kandang yang diberikan pada setiap musim
tanam (Suwardji et al.,2012). Sehingga kebutuhan tanaman akan unsur hara dan bahan organik bisa terus
dipenuhi tanpa harus melakukan penambahan pupuk setiap waktunya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Dusun Bawang kelurahan Tunggulwulung Kecamatan Lowokwaru Kota
Malang, ketinggian tempat 529,9 m dari permukaan laut (dpl). Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari –
Mei 2014. Bahan tanam yang digunakan adalah bibit jeruk yang berumur 4 bulan setelah okulasi, kulit nangka,
polibag, pupuk NPK dan urea.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak kelompok Faktorial (RAKF) yang terbagi dalam 3
ulangan. Faktor pertama adalah jenis tanah terdiri dari tanah andosol dan tanah aluvial, dan faktor kedua
adalah dosis Biochar yang terdiri dari kontrol (tanpa pemberian biochar);0,25 tonha-1; 0,5 tonha-1; 0,75
tonha-1, dan 1 tonha-1. Parameter yang diamati terbagi menjadi dua aspek, yaitu parameter pertumbuhan dan
parameter kesuburan tanah. Parameter pertumbuhan antara lain terdiri dari Tinggi tanaman, Diameter batang,
dan Jumlah Daun, sedangkan parameter kesuburan tanah terdiri dari Kandungan unsur Nitrogen Phopsor
dan kalium serta kandungan bahan organik tanah. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan pada umur 4,
6, 8 dan 10 minggu setelah pembibitan (msp), sedangkan pengamatan kesuburan tanah dilakukan pada umur 10
minggu setelah pembibitan (msp). Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji F dengan selang
kepercayaan
(α=5%)
dan
apabila
berbeda
nyata
dilanjutkan
dengan
uji
BNJ.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penampilan fenotipik karakter kuantitatif secara umum bervariasi. Analisis uji F pada taraf 5%,
diketahui pada parameter pengamatan pertumbuhan untuk karakter tinggi tanaman dan jumlah daun
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada pengamatan 8 dan 10 minggu setelah pembibitan,
sedangkan pada umur 4 dan 6 minggu setelah pembibitan tidak terdapat perbedaaan yang nyata, begitu juga
dengan parameter pengamatan kesuburan tanah untuk semua karakter pengamatan antara lain kandungan unsur
nitrogen, phospor, dan kalium, serta bahan organik tanah menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Analisis Uji F Parameter Pertumbuhan Tanaman
F-hitung
F-hitung
F-hitung
Parameter
(4 msp)
(6 msp)
(8 msp)
Parameter Pertumbuhan Tanaman
Tinggi tanaman
1,34ns
2,36ns
3,66*
F-hitung
(10 msp)
4,77*
Diameter Batang
2,88ns
2,67ns
3,19ns
3,19ns
Jumlah Daun
1,56ns
1,47ns
4,18*
4,56*
Parameter Kesuburan Tanah
Kandungan Nitrogen
8,18*
Kandungan Phospor
45,39*
Kandungan Kalium
60,95*
Bahan Organik Tanah
138,99*
Ket: *=berbeda nyata, ns=tidak berbeda nyata, msp=minggu setelah pembibitan
149
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
Perbedaan pertumbuhan tanaman dapat dilihat secara nyata pada tanaman berumur 8 dan 10 minggu
setelah pembibitan, sedangkan pada pengamatan umur 4 dan 6 minggu setelah pembibitan perbedaan yang ada
tidak berbeda secara signifikan, hal ini dikarenakan tanaman tahunan membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk berkecambah, tumbuh, berbunga, dan berbuah untuk
menghasilkan biji dibandingkan dengan tanaman semusim. Menurut Syafrezani (2009), tumbuhan
semusim adalah tumbuhan yang mampu menyelesaikan siklus hidupnya hanya dalam waktu setahun atau
kurang dari setahun. Oleh karena itu aplikasi yang diberikan baru menunjukan adanya perbedaan pada umur
8 dan 10 minggu setelah pembibitan.
Berdasarkan hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ), pada parameter tinggi tanaman, dan jumlah daun
aplikasi biochar sebesar1 tonha-1 pada tanah aluvial dan tanah andosol menunjukkan rata-rata yang rendah,
sedangkan aplikasi biochar sebesar 0,25 tonha-1 pada tanah aluvial dan andosol menunjukan rata-rata yang
tinggi untuk parameter pertumbuhan karakter tinggi tanaman dan jumlah daun, meskipun perbedaan yang
muncul
tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistic dari hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
(Tabel 2). Pemberian biochar dengan dosis yang tepat mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyanto dan Fitrianingsih (2010) pemberian arang sekam
pada media semai tanaman tahunan yaitu tanaman jabon mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi semai
sebesar 18,31% - 28,36% dan meningkatkan berat pucuk, berat basah akar serta berat kering tanaman.
Tabel 2. Uji Beda Nyata Jujur Parameter Pertumbuhan
Tinggi Tanaman (cm)
8 msp
10msp
-1
Andosol 0 ton ha
23,83 ab
24,40 ab
Jumlah Daun
8msp
10msp
20,67 ab
22,00 ab
Andosol 0,25 ton ha-1
Andosol 0,5 ton ha-1
Andosol 0,75 ton ha-1
Andosol 1 ton ha-1
Aluvial 0 ton ha-1
Aluvial 0,25 ton ha-1
Aluvial 0,5 ton ha-1
Aluvial 0,75 ton ha-1
Aluvial 1 ton ha-1
BNJ
34,67 b
18,33 ab
26,33 ab
15,00 a
28,33 ab
32,77 ab
16,00 ab
22,67 ab
15,33 ab
19,66
27,93 abc
21,73 ab
27,66 abc
17,43 ab
28,76 bc
37,16 c
18,63 ab
29,60 bc
15,60 a
12,35
27,70 ab
22,36 ab
27,96 ab
17,56 a
32,06 bc
40,96 c
21,50 ab
32,90 bc
15,63 a
12,23
34,33 b
18,00 ab
25,00 b
14,00 ab
32,00 b
36,33 b
18,66 ab
24,00 ab
13,33 a
11,42
Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata
pada taraf 5% pada uji BNJ
Peningkatan jumlah daun merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan
produktivias tanaman jeruk, hal tersebut dikarenakan semakin banyak jumlah daun maka aktivitas fotosintesis
yang terjadi pada tanaman tersebut akan terjadi semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan pada daun
terdapat kloroplas, menurut Salisbury dan Ross (1995) Kloroplas pada tanaman ditemukan dalam bentuk dan
ukuran yang berbeda-beda, kloroplas merupakan salah satu rangkain membran yang didalamnya mengandung
pigmen-pigmen fotosintetik. Setiap membran yang mengandung pigmen fotosintetik tersebut mempunyai
permukaan seperti tabung atau kantung yang disebut dengan thylakoid. Fotosintesis dapat dijelaskan sebagai
kecepatan penyerapan CO2 per unit nutrisi yang diakumulasi dalam jaringan daun, hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah daun serta semakin luas ukuran daun maka proses fotosintesis dapat terjadi secara
efisien.
Hasil pengamatan untuk kandungan unsur nitrogen, phopsor dan kalium serta bahan organik dalam
tanah menunjukkan bahwa perlakuan pada tanah andosol dan aluvial dengan pemberian dosis biochar semakin
150
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISBN 978-602-72935-2-6
meningkat, menyebabkan peningkatan unsur- unsur hara yang terkandung dalam tanah (Tabel 3). Kandungan
unsur nitrogen dari hasil pengamatan terlihat bahwa pemberian biochar
sebesar 1 tonha-1 pada tanah andosol mempunyai rata-rata tertinggi, dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya, kecuali perlakuan dengan dosis biochar 0,75 tonha-1 pada tanah andosol. Pengamatan unsur
phospor dan kalium pada tanah aluvial dan tanah andosol dengan pemberian biochar sebesar 1 tonha-1
mempunyai rata-rata tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kandungan Bahan organik tanah
berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa perlakua biochar sebesar 1 tonha-1 pada tanah aluvial
mempunyai kandungan bahan organik yang berbeda dengan perlakuan lainnya (Tabel 3).
Apliksi biochar dimakasudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman melalui perbaikan kualitas
tanah. Kekurangan bahan organik pada tanah akan berpengaruh terhadap ketersediaan unsur P dalam tanah.
Kedua hal tersebut akan mempengaruhi proses fisik, kimia dan aktivitas biologi dalam tanah. Menurut Vaccari
(2011), bahan organik dapat mempebaiki sifat fisik tanah seperti perubahan warna yang menjadi lebih gelap
dan struktur lembih gembur. Menurut Lehman (2011), bahan organik juga dapat meningkatkan aktivitas
organisme mikro di dalam tanah.
Tabel 3. Uji Beda Nyata Jujur Parameter Kesuburan Tanah
Perlakuan
Andosol 0 ton ha-1
Andosol 0,25 ton ha-1
Andosol 0,5 ton ha-1
Andosol 0,75 ton ha-1
Andosol 1 ton ha-1
Aluvial 0 ton ha-1
Aluvial 0,25 ton ha-1
Aluvial 0,5 ton ha-1
Aluvial 0,75 ton ha-1
Aluvial 1 ton ha-1
BNJ
Unsur
Nitrogen
0,23 bc
0,23 bc
0,26 cd
0,29 ef
0,31 f
0,19 a
0,22 b
0,22 b
0,27 de
0,27 de
0,03
Unsur
Phospor
116,34 c
118,57 c
121,92 c
123,69 c
151,90 d
68,55 a
73,25 a
90,39 b
95,84 b
163,73 d
13,86
Unsur
Kalium
1,88 b
2,20 bcd
2,82 d
4,35 e
5,58 f
1,02 a
1,77 b
2,07 bc
2,57 cd
5,41 f
0,68
Bahan
Organik
1,29 b
1,41 bc
1,57 d
1,77 e
1,89 e
1,09 a
1,27 b
1,33 bc
1,46 cd
2,52 f
0,14
Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata
pada taraf 5% pada uji BNJ
Bahan organik merupakan sistem zat yang paling rumit dan dinamik, menurut Harahap (2000)
menyatakan bahwa secara garis besar peranana bahan organik adalah menjaga kelembaban tanah, menawarkan
sifat racun dari Al dan Fe, Penyangga hara tanaman, membantu dalam meningkatkan penyediaan hara,
menstabilkan temperatur tanah, memperbaiki organisme dan strukutr tanah, serta meningkatkan efisiensi
pemupuakn dan mengurangi terjadinya erosi. Pemberian biochar menurut Nurida (2009) juga mampu
meningkatkan pH tanah yang rendah, sehingga tanah-tanah masam yang kurang produktif untuk kegiatan
pertanian, akan dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan produksi tetap optimal.
KESIMPULAN
1.
2.
Aplikasi biochar pada tanaman dengan dosis 0,25 tonha-1 pada tanah andosol dan tanah aluvial dapat
memberikan rata-rata tertinggi untuk tinggi tanaman dan jumlah daun, meskipun perbedaan yang ada
tidak berbeda secara signifikan berdasarkan hasil uji lanjut beda nyata jujur (BNJ).
Peningkatan dosis biochar pada kedua jenis tanah mampu meningkatkan jumlah unsur hara yang
tersedia meliputi nitrogen phospor, kalium, dan bahan organik tanah
151
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
3.
4.
ISBN 978-602-
Pemberian dosis biochar sebesar 1 ton/ha-1 pada tanah andosol mempunyai nilai rata-rata
tertinggi untuk kandungan nitrogen yang tersediada dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya kecuali perlakuan dosis sebesar 0,75 tonha-1 pada tanah andosol, sedangkan untuk
kandungan phospor dan kalium pemberian biochar sebesar 1 tonha-1 pada tanah andosol
dan aluvial memberikan rata-rata tertinggi dan berbeda dengan perlakuan lainnya
Bahan
organik
dengan pemberian dosis biochar sebesar 1 tonha-1 pada tanah
alluvial memberikan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan yang ada.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik. 2013.
Produksi buah-buahan di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta
Harahap, E. M. 2000. Pembuatan Asam Organik untuk Pupuk. Lokakarya Pengembangan Budidaya
Kewirausahaan Melalui Bahan Ajar. Jurusan Ilmu Tanah FP-USU. Medan.
Lehman, J. 2011. Biochar Effects on Soil Biota - A review. Soil Biology and Biochemistry 43:
1812-1836.
Nurida, N. L. 2009. Efisikasi formula pembenah tanah biochar dalam berbagai bentuk (serbuk,
granular dan pelet) dalam meningkatkan kualitas lahan kering masam terdegradasi. Bogor:
Balai Penelitian Tanah.
Salisbury, F.B., dan C.W. Ross.
1995. Fisiologi tumbuhan. Jilid 1 Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryo. ITB, Bandung.
Supriyanto dan Fitrianingsih. 2010.
Pengaruh Pemberian arang sekam pada tanaman jabon. Journal Agronomi Indonesia.
Suwardji, Suardiari, G & Hippi A.,
2007. Meningkatkan Efisiensi Air Irigasi dari Sumber Air Tanah Dalam pada Lahan Kering Pasiran
Lombok Utara Menggunakan Teknologi Irigasi Sprinkler Big Gun. Prosiding Kongres
Nasional HITI IX, 5-7
Desember 2007, Yogyakarta. Syafrezani S. 2009. Manfaat
Tumbuhan Bunga Penghias Perkarangan. Titiian Ilmu: Bandung
Vaccari, F. 2011. Biochar as a strategy to sequster carbon and increase yield in durum wheat.
European Journal of Agronomy 34(4): 231-238
152
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
POTENSI BIOCHAR YANG DIFERMENTASI JAMUR Trichoderma spp.
SEBAGAI BAHAN PEMBENAH TANAH UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA GENOTIPE JAGUNG DI
TANAH ENTISOL
Suwardji dan I Made Sudantha
Dosen Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering Universitas Mataram
Korespondensi: email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi biochar yang difermentasi dengan jamur Trichoderma
harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat ENDO-02 terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe
jagung di tanah Entisol. Penelitian ini dilaksanakan di tanah Entisol Desa Montong Are Kecamatan Kediri
Kabupaten Lombok Barat mulai bulan Maret sampai Agustus 2015. Penelitian menggunakan Rancangan Petak
Terbagi (Split Plot Design) yang terdiri dari 2 faktor. Sebagai petak utama yaitu genotipe jagung dengan 3 aras
perlakuan yaitu: Galur C2 unram, varietas Bisi 2, dan varietas Srikandi, dan sebagai anak petak yaitu biochar
dengan 3 aras perlakuan yaitu: tanpa biochar, biochar tanpa fermentasi dengan dosis 20 ton/ha, dan biochar
yang difermentasi jamur Trichoderma spp. dengan dosis 20 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan biochar yang difermentasi dengan jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat ENDO02 lebih berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung dibandingkan dengan perlakuan biochar
tanpa fermentasi dan perlakuan tanpa biochar di tanah Entisol. Produktivitas hasil jagung pada perlakuan
biochar yang di fermentasi dengan jamur Trichoderma spp. adalah 8,28 ton/ha, sedangkan perlakuan biochar
tanpa fermentasi adalah 4,85 ton/ha, dan tanpa biochar adalah 2,62 ton/ha.
______________________________________________
Kata kunci: Jagung, Genotipe, Biochar, Trichoderma spp.
PENDAHULUAN
Provinsi NTB merupakan provinsi agraris, sehingga untuk pembangunan daerah
ke depan sektor pertanian tetap akan menjadi sektor andalan dan unggulan dalam
penerimaan pendapatan daerah. (Suwardji, 2005). Data menunjukkan bahwa produksi
jagung berdasarkan angka tetap 2013 adalah sebesar 633.773 ton pipilan kering, jumlah
produksi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi pada tahun 2012 yang
mencapai angka 642.674 ton (BPS NTB, 2014). Banyak faktor yang mempengaruhi
menurunnya produksi jagung Provinsi NTB tersebut salah satunya adalah faktor kualitas
lahan yang kurang subur.
Untuk dapat memperbaiki kualitas lahan diperlukan pengelolaan tanah yang
berorientasi pada perbaikan sifat fisika-kimia tanah yang menunjang pertumbuhan
tanaman. Pemanfaatan biochar dapat menjadi pilihan altenatif yang sangat tepat untuk
membenahi kualitas tanah dan produktivitas tanaman jagung (Sukartono & Utomo,
2012).
Untuk meningkatkan efektivitas biochar terlebih dahulu dilakukan fermentasi.
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan mikrobia fermentatif. Ada beberapa jamur
fermentasi yang dapat digunakan salah satunya yaitu menggunakan jamur saprofit T.
harzianum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. koningii isolat ENDO-02 sebagai
dekomposer (Sudantha, 2010).
Selain memperbaiki kualitas lahan, peningkatan hasil jagung juga dapat
dilakukan dengan penerapan teknologi tepat guna, salah satunya dengan penanaman
genotipe jagung yang unggul (Rukmana, 2007).
Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui pengaruh potensi biochar
yang difermentasi dengan jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat
ENDO-02 terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe jagung di tanah Entisol.
153
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Desa Montong Are Kecamatan Kediri Kabupaten
Lombok Barat dari bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2015. Penelitian
menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan dua faktor yaitu
sebagai petak utama adalah genotipe jagung dengan 3 aras perlakuan yaitu: Galur C2
Unram, Varietas Bisi-2 dan Varietas Srikandi. Sebagai Anak Petak adalah Biochar
dengan 3 aras perlakuan yaitu tanpa biochar, dengan biochar tanpa fermentasi, dan
dengan biochar yang difermentasi dengan jamur Trichoderma spp.
Pelaksanaan percobaan ini meliputi serangkaian kegiatan sebagai berikut
: Penyediaan biakan jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat ENDO02 yang digunakan berasal dari koleksi Prof. Sudantha yang ada di Laboratorium
Produksi Tanaman dan Pasca Panen Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Biochar yang digunakan berasal dari limbah pembuatan arang tempurung kelapa
di Desa Bengkaung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat. Biochar yang
telah disiapkan diinfestasikan dengan jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T.
koningii isolat ENDO-02 selama 21 hari.
Pemupukan dilakukan dengan Urea dan Phonska dengan dosis masing-masing
150 kg/ ha yang setara dengan 75 g/petak (50% dari rekomendasi). Penanaman
dilakukan dengan cara ditugal, dengan menempatkan 3 biji dalam setiap lubang dan
dilakukan penjarangan setelah tanaman berumur 1 minggu dengan meninggalkan 2
tanaman yang tumbuh sehat. Pengendalian gulma dilakukan dengan melakukan
penyiangan untuk menghilangkan gulma atau tanaman yang tidak diharapkan tumbuh.
Peubah yang diamati adalah komponen pertumbuhan (meliputi tinggi tanaman,
berat berangkasan basah dan kering) dan komponen hasil tanaman (meliputi berat
tongkol dan berat pipilan jagung). Selain itu diamati pula data pendukung yaitu analisis
sifat tanah sebelum dan sesudah percobaan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Sifat Tanah Sebelum dan Sesudah Percobaan
Tabel 1. Analisis sifat tanah sebelum percobaan
Parameter
Metode
Satuan
Nilai
Harkat
pH
H2O
%
5,90
Agak masam
N-total
Kjeldah
%
0,22
Sedang
P-tersedia
(Olsen) (Spektro)
Ppm
10,36
Sedang
K-tertukar
(NH4-Acctt) (ASS)
Me%
1,75
Tinggi
C-organik
Walkey & Black
%
1,34
Rendah
%
6,09
C/N Ratio
KTK
NH4 asetat
Me%
53,33
Kadar lengas
Gravimetri
%
4,78
Sedang
Pada Tabel 1 menunjukkan nilai pH tanah sebelum percobaan adalah 5,90 yang
menunjukkan bahwa tanah dengan pH demikian bereaksi agak masam. Nilai KTK dari
tanah sebelum percobaan adalah sebesar 21,33 me%, nilai KTK demikian tergolong
dalam harkat sedang (Balai Penelitian Tanah, 2009). Kadar N-total tanah sebelum
154
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
percobaan adalah sebesar 0,22 %, menurut Balai Penelitian Tanah (2009) Kadar N-total
demikian tergolong dalam harkat sedang, salah satu penyebab kurangnya kadar N dalam
tanah adalah rendahnya kandungan bahan organik (Hanafiah, 2005). Hal ini sesuai
dengan kandungan C-organik dalam tanah yang hanya 1,34 %, menurut Balai Penelitian
Tanah (2009) tergolong dalam harkat rendah. Kadar P-tersedia tanah sebelum percobaan
adalah 10,36 ppm. Kadar P-tersedia demikian tergolong dalam harkat sedang (Balai
Penelitian Tanah, 2009). Sedangkan Kadar K-tertukar tanah sebelum percobaan adalah
0,71 me%, kadar K-tertukar demikian tergolong dalam harkat tinggi (Balai Penelitian
Tanah, 2009). Ketersediaan K didalam tanah dipengaruhi salah satunya oleh pH tanah
(Hanafiah, 200).
Tabel 2. pH, C-organik, KTK, N Total, P Tersedia, dan K Tertukar pada tanah setelah
panen.
Sifat tanah
Perlakuan
Tanpa
Biochar tanpa
Biochar
fermentasi
6
6,20
6,20
C Organik (%)
1,49
1,93
2,09
KTK (Me%)
11,25
16,74
17,67
N Total (%)
0,16
0,19
0,44
P Tersedia
0,46
20,93
43,86
1,28
2,36
2,68
pH (H2O)
Biochar yang difermentasi
(ppm)
K Tertukar
(Me%)
Pada Tabel 2 terlihat adanya peningkatan pH pada perlakuan biochar berkaitan
dengan bahan baku biochar yang di gunakan yaitu tempurung kelapa yang memiliki
tingkat alkalin yang tinggi (Sukartono & Utomo, 2012). Peningkatan kadar C-Organik
pada tanah setelah aplikasi biochar disebabkan oleh kandungan karbon yang tinggi pada
biochar. Terjadi peningkatan KTK tanah setelah panen pada perlakuan biochar. Hal ini
juga dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Sukartono, 2011;Sukartono & Utomo, 2012;
Islami, 2012). KTK suatu tanah mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesuburan tanah
(Priyono, 2005). Peningkatan kadar N pada tanah setelah aplikasi biochar berkaitan erat
dengan peningkatan C-Organik didalam tanah karena salah satu sumber utama nitrogen
di dalam tanah adalah bahan organik. Kadar P Tersedia dan K Tertukar di dalam tanah
pada perlakuan biochar lebih tinggi jika di bandingkan dengan perlakuan tanpa biochar.
Peningkatan kadar P Tersedia dan K Tertukar ini berkaitan dengan peningkatan pH dan
KTK didalam tanah setelah aplikasi biochar (Nurida & Rachman, 2012).
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa biochar yang di fermentasi lebih baik
dibandingkan dengan biochar tanpa fermentasi. Hal ini di sebabkan oleh proses
fermentasi pada biochar sebelum di aplikasikan berpengaruh positif terhadap perbaikan
sifat tanah. Pernyataan ini di perkuat dengan pernyataan Sukamadi (1999) selama proses
penguraian bahan organik unsur hara makanan akan bebas menjadi bentuk yang larut
dan dapat diserap oleh tanaman. Lebih lanjut Sukamadi (1999) menjelaskan bahan
organik yang telah mengalami proses fermentasi berperan terhadap perbaikan sifa tanah
155
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Pengaruh Biochar dan Genotipe Jagung terhadap Tinggi Tanaman Jagung
Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak terjadi interaksi antara faktor
biochar dan faktor genotipe tetapi masing-masing faktor berbeda nyata. Pengaruh faktor
biochar dan genotipe tanaman jagung disajikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Pengaruh biochar terhadap tinggi tanaman jagung
Perlakuan
Pengamatan umur
2 mst
3 mst
4 mst
5 mst
6 mst
7,34 b*)
17,01 b*)
28,77 b*)
53,08 b*)
93,73 b*)
Biochar tanpa fermentasi
9,73 a
19,24 a
32,6 ab
62,44 a
110,51 a
Biochar yang di fermentasi
10,17 a
19,63 a
35,8 a
66,24 a
116,95 a
1,18
1,98
3,84
7,51
10,84
Tanpa biochar
BNJ 5%
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNJ taraf 5%.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan biochar baik yang di fermentasi maupun
tanpa fermentasi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa biochar, sementara perlakuan
biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp. tidak berbeda nyata dengan
perlakuan biochar tanpa fermentasi.
Peningkatan tinggi tanaman pada perlakuan biochar disebabkan oleh
tersedianya unsur hara pada tanah setelah aplikasi biochar. Hasil analisis tanah setelah
panen pada perlakuan tersebut menunjukkan terjadi peningkatan kadar hara di dalam
tanah jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa biochar seperti yang di tunjukkan pada
Tabel Hasil Analisis Tanah setelah Panen (Tabel 2). Salah satunya dengan peningkatan
nitrogen didalam tanah, peningkatan nitrogen akan berdampak baik pada pertumbuhan
tanaman jagung, sebagaimana menurut Sutedjo (2008) nitrogen merupakan unsur hara
utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk
pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang
dan akar.
Secara umum perlakuan biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp.
lebih baik dalam memperbaiki sifat tanah jika dilihat dari hasil analisis tanah setelah
panen (Tabel 2). Namun, berdasarkan Tabel 3 perlakuan biochar yang di fermentasi
jamur Trichoderma spp. tidak berbeda nyata dengan perlakuan biochar tanpa fermentasi
terhadap peningkatan tinggi tanaman jagung. Hal ini di duga biochar yang di fermentasi
belum optimal dalam memperbaiki sifat tanah saat pertumbuhan tinggi tanaman jagung.
Tabel 4. Pengaruh genotipe terhadap tinggi tanaman jagung
Perlakuan
Pengamatan umur
2 mst
3 mst
4 mst
5 mst
6 mst
10,47 a*)
19,58 a*)
38,93 a*)
76,93 a*)
144,82 a*)
Bisi-2
7,3 b
15,66 b
25,17 b
45,37 c
73,95 c
Srikandi
9,47 a
20,63 a
33,06 a
59,46 b
102,32 b
1,49
3,82
6,30
7,90
9,39
C2 Unram
BNJ 5%
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ taraf 5%.
156
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Pada Tabel 4 menunjukkan terjadi perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman pada
masing-masing genotipe. Perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman pada masing-masing
genotipe ini di pengaruhi oleh faktor genetik dari masing masing genotipe tersebut. Hal
ini berkaitan dengan umur panen tanaman, dimana galur C2 Unram umur tanaman bisa
di panen adalah 73 hari setelah tanam (Sudantha & Suwardji, 2013).
Pengaruh Biochar dan Genotipe Jagung terhadap Berat berangkasan
Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak terjadi interaksi antara faktor
biochar dan faktor genotype jagung, sedangkan faktor biochar berbeda nyata, sementara
itu faktor genotipe jagung menunjukkan tidak berbeda nyata. Pengaruh faktor biochar
dan genotipe tanaman jagung disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Pengaruh biochar terhadap berat berangkasan basah dan berat berangkasan
kering jagung
Perlakuan
Tanpa biochar
Biochar tanpa fermentasi
Biochar fermentasi
BNJ 5%
Berat berangkasan basah (kg)
Berat berangkasan kering (g)
1,46 c *)
828,6 c *)
943,46 b
1,79 b
2,03 a
0.32
1054, 37 a
151,79
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ taraf 5%.
Pada tabel 5 terjadi peningkatan berat berangkasan tanaman jagung pada
perlakuan biochar berkaitan dengan kemampuan biochar memperbaiki sifat tanah, hasil
analisis tanah setelah panen menunjukkan terjadi perbaikan sifat tanah jika dibandingkan
dengan perlakuan tanpa biochar sebagaimana di tunjukkan pada Tabel analisis tanah
setelah panen (Tabel 2). Perbaikan sifat tanah berdampak pada ketersediaan hara yang
dibutuhkan tanaman. Hal ini sesusai dengan pendapat Glaser et al. (2002) yang
menyatakan bahwa fungsi biochar sebagai soil conditioner dapat mengurangi kehilangan
hara melalui proses leaching ke dalam tanah. Jika di lihat dari hasil analisis tanah setelah
panen perlakuan biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp. lebih baik dalam
membenahi sifat tanah dan menyediakan unsur hara. Hal ini menunjukkan proses
fermentasi biochar berpengaruh positif terhadap perbaikan sifat tanah. Sudantha (2007)
menyatakan jamur T. harzianum sebagai jamur saprofit membantu dalam mensuplai
hara sebagai bentuk mineralisasi dari hasil fermentasi bahan organik.
Hasil analisis keragaman terhadap berat berangkasan basah dan kering
menunjukkan masing-masing genotipe jagung tidak berbeda nyata. Tidak terjadinya
perbedaan berat berangkasan basah dan berat berangkasan kering pada masing-masing
genotipe jagung
dipengaruhi oleh faktor genetik yang sama antara masingmasing genotipe jagung.
Pengaruh Biochar dan Genotipe Jagung terhadap Berat Tongkol
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara
faktor biochar dan faktor genotype tanaman jagung, sedangkan faktor biochar berbeda
nyata, sementara itu faktor genotipe tidak berbeda nyata.
157
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Tabel 7. Pengaruh biochar terhadap berat tongkol jagung
Perlakuan
Berat satu tongkol (gram)
Tanpa biochar
85, 44 c
Biochar tanpa fermentasi
112, 77 b
Biochar fermentasi
146, 66 a
BNJ 5%
28, 21
Keterangan : Angka-angka pada setiap baris yang diikuti oleh huruf yang sama dalam masingmasing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa peningkatan berat tongkol pada perlakuan biochar
dibandingkan dengan perlakuan tanpa biochar di sebabkan oleh peningkatan unsur hara
fosfor, sebagaimana dilihat dari hasil analisis tanah setelah panen (Tabel 2). Unsur fosfor
sangat dibutuhkan tanaman dalam pembentukan tongkol. Warisno (1998) menyatakan
untuk memperoleh pembentukan tongkol yang baik dan berisi penuh serta hasil jagung
yang bermutu tinggi dapat diperoleh dengan pemberian hara fosfor.
Hasil analisis tanah setelah panen menunjukkan perlakuan biochar yang di
fermentasi jamur Trichoderma spp. lebih baik dalam memperbaiki sifat tanah, hal ini
dapat dilihat pada Tabel Analisis Tanah setelah Panen (Tabel 2) sehingga kondisi
demikian berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung yang
lebih baik.
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan masing-masing genotipe tidak
berbeda nyata terhadap berat tongkol jagung. Perbedaan berat tongkol jagung antara
masing-masing genotipe dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Efendi
(2010) menyatakan perbedaan yang nyata antara masing masing varietas dikarenakan
oleh interaksi faktor lingkungan tumbuh dengan faktor genetik yang berbeda pula
Pengaruh Biochar dan Genotipe Jagung terhadap Berat pipilan
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara
faktor biochar dan faktor genotype tanaman jagung, sedangkan faktor biochar berbeda
nyata, sementara itu faktor genotype jagung tidak berbeda nyata
Tabel 9. Pengaruh biochar terhadap berat pipilan jagung
Perlakuan
Tanpa biochar
Biochar tanpa fermentasi
Biochar yang di fermentasi
BNJ 5 %
Berat pipilan/tongkol (gram)
Hasil pipilan (ton/ha)
36,77 c *)
2,62
68,00 b
4, 85
116,00 a
8, 28
3,42
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ taraf 5%.
Pada Tabel 9 terlihat bahwa peningkatan berat pipilan jagung pada perlakuan
biochar secara umum di sebabkan oleh perbaikan sifat tanah. Salah satunya di tunjukkan
dengan peningkatan kadar fosfor di dalam tanah. Menurut Sutedjo (2008) bahwa unsur
158
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
fosfor didalam tanah dapat mempercepat pertumbuhan akar semai, dapat mempercepat
serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa, dapat
mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji dan gabah, dan dapat
meningkatkan produksi biji-bijian.
Adanya peningkatan berat pipilan jagung pada perlakuan biochar yang di
fermentasi jamur Trichoderma spp. dibandingkan dengan biochar tanpa fermentasi
menandakan biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp. lebih baik dalam
menyediakan unsur hara yang di perlukan tanaman saat proses pertumbuhan dan
perkembangannya.
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan masing-masing genotipe tidak
berbeda nyata terhadap berat pipilan jagung. Umumnya perbedaan hasil antara masing
masing genotipe tersebut disebabkan oleh perbedaan faktor genetik. Sebagaimana
pernyataan Sitompul & Guritno, (1995) dalam Kuruseng & Kuruseng (2008), bahwa
faktor genetik tanaman merupakan salah satu penyebab perbedaan antara tanaman satu
dengan lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlakuan biochar yang difermentasi jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T.
koningii isolat ENDO-02 lebih berpotensi dalam meniingkatkan pertumbuhan dan
hasil jagung dibandingkan dengan perlakuan biochar tanpa fermentasi dan perlakuan
tanpa biochar di tanah Entisol. Produktivitas hasil jagung pada perlakuan biochar
yang di fermentasi dengan jamur Trichoderma spp. adalah 8,28 ton/ha, sedangkan
perlakuan biochar tanpa fermentasi adalah 4,85 ton/ha, dan tanpa biochar adalah 2,62
ton/ha.
2. Galur C2 Unram, varietas Bisi-2, dan varietas Srikandi memberikan hasil yang sama
terhadap berat berangkasan, berat tongkol, dan berat pipilan jagung.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang dosis dan cara aplikasi biochar yang difermentasi dengan
jamur Trichoderma spp. Selain itu perlu dipertimbangkan pengembangan Galur C2
Unram karena hasilnya sama dengan varietas Bisi-2 dan varietas Srikandi yang
merupakan varietas yang sudah di lepas secara nasional, serta umur panen Galur C2
Unram lebih pendek dibandingkan dengan varietas Bisi-2 dan varietas Srikandi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ilmiah ini disusun menggunakan sebagian dari data hasil penelitian
Strategi Nasional Tahun 2014 dan 2015, sehingga pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada Direktur Penelitian Pengabdian Masyarakat Dikti,
Ketua Lembaga Penelitian Universitas Mataram dan Rektor Universitas Mataram yang
telah memberikan dukungan dana dan fasilitas.
REFERENSI
Balai Penelitian Tanah, 2009. Analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Balai
Penelitian Tanah, Bogor. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/juknis/juknis
_kimia2.pdf. [Diakses selasa 23 Juni 2015]
159
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Bappenas. 2000. Budidaya pertanian. System informasi manajemen pembangunan di pedesaan,
Proyek PEMD, Bappenas. Jakata
Effendi.2010. Peningkatan Pertumbuhan Dan Produksi Kedelai Melalui Kombinasi Pupuk Organik
Lamtorogung
Dengan
Pupuk
Kandang.
Prodi
Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. J. Floratek 5: 65 73.http:/
/www.jurnal.unsyiah.ac.id/floratek/article/download/387/371 [Diakses selasa 23 Juni 2015]
Islami, T. 2012. Pengaruh Residu Bahan Organik Pada Tanaman Jagung (Zea Mays L) Sebagai
Tanaman Sela Pertanaman Ubi Kayu (Manihot Esculenta L.). Jurusan Agronomi, Fakultas
Pertanian,
Universitas
Brawijaya,
Malang.
Buana Sains Vol 12 No 1:131 136,2012 http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/vi
ewFile/160/161 . [Diakses sabtu 04 april 2015].
Kuruseng, H., M.A. Kuruseng, 2008. Pertumbuhan Dan Produksi Berbagai Varietas Tanaman Jagung
Pada Dua Dosis Pupuk Urea. Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa.
Jurnal
Agrisistem,
Juni
2008,
Vol.
4
No.
1.
Http://www.stppgowa.ac.id/datadownloadcentrepap/data-jurnal-agrisistem.pdf
[Diakses
selasa 23 Juni 2015]
Maharani, 2014. Iklim Usaha Komoditas Sapi Dan Jagung Di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Http://Jikti.Bakti.Or.Id/Uploadedpublications/Iklim-Usaha-Komoditas-Sapi- dan-Jagung-DiProvinsi-Nusa-Tenggara-B [Diakses Selasa 14 April 2015].
Nurida, NL., A, Dariah., A, Rachman. 2008. Kualitas Limbah Pertanian Sebagai Bahan
Baku Pembenah
Tanah
Berupa
Biochar
Untuk Rehabilitasi Lahan. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/prosiding2
008pdf/neneng_biochar.pdf [Diakses sabtu 04 april 2015].
Steiner, Christoph. 2006. Soil Charcoal Amndments Maintain Soil fertility and Establish a Carbon
Sink. Dissertation Faculty of Biology, Chemistry and Geoscience University of Bayreuth,
Germany
Sudantha, I. M., Suwardji. 2013. Pemanfaatan Biokompos, Bioaktivator Dan Biochar Untuk
Meningkatkan Hasil Jagung Dan Brangkasan Segar Pada LahanKering Pasiran Dengan
Sistem Irigasi Sprinkler Big Gun. Laporan Penelitian Strategis Nasional, Mataram.
Sukartono. 2011. Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Amendemen Tanah Untuk Meningkatkan
Efisiensi Penggunaan Air Dan Nitrogen Tanaman Jagung (Zea Mays) Di Lahan Kering
Lombok Utara. Laporan Hasil Penelitian Disertasi Doktor Tahun Anggaran 2011.
Sukartono., W, H, Utomo. 2012. Peranan Biochar Sebagai Pembenah Tanah Pada Pertanaman Jagung
Di Tanah Lempung Berpasir (Sandy Loam) Semiarid Tropis Lombok Utara. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Lahan kering Universitas Mataram. Buana Sains vol 12 No 1 : 9l98,2012 http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/viewFile/155/156 [Diakses sabtu
04 april 2015].
Sukmadi, Bambang. 1999. Teknologi fermentasi pembuatan biokompos. Direktorat teknologi
bioindustri. BPPT, Jakarat, PPP Bioteknologi industry dan pertanian. BPPT. PUSPIPTEK,
Serpong. http://digilib.bppt.go.id/sampul/000110.pdf. [diakses 13 agustus 2015].
Sutedjo, M.M. 2008. Pupuk dan cara pemupukan. Renika cipta. Jakarta
Suwardji. 2005. Komoditas Dan Teknologi Yang Cocok Untuk Lahan Kering Di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Makalah Ini Disampaikan Pada Saat Pertemuan Nasional Badan Ketahanan
Pangan Nasional Di Hotel Jayakarta , Senggigi Pada Bulan Desember 2005.
Syapriari,
L,
M.
2014.
Prospek
Pengembangan
Jagung
di
NTB
http://www.mataramnews.com/index.php/component/k2/item/3452-prospek-pengembanganjagung-di-ntb.html. [Diakses Rabu 15 april 2015].
Warisno, 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta
160
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
RESIDU HARA KALIUM DAN BIOCHAR PADA
HASIL TANAMAN JAGUNG MUSIM TANAM KEDUA
Widowati dan Wahyu Fikrinda
Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang
[email protected]
ABSTRAK
Aplikasi biochar telah terbukti dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara sehingga hasil panen
meningkat. Penelitian lanjutan musim tanam kedua telah dilakukan di tanah Inseptisol dengan tujuan untuk
mengevaluasi pengaruh residu dosis pupuk K dan biochar terhadap hasil tanaman jagung musim tanam kedua.
Penelitian diatur dalam Rancangan Acak Kelompok yang diulang 3 kali. Perlakuan pada tanaman jagung musim
tanam pertama terdiri atas biochar (30 t ha-1), biochar yang ditambah pupuk kalium (0, 50, 100, 150 dan 200 kg
KCl ha-1), dan pupuk kalium 200 kg KCl ha-1 tanpa biochar. Pada musim tanam pertama telah menggunakan
pupuk dasar 90 kg N ha-1 dan 100 kg P2O5 ha-1. Pada musim tanam kedua hanya menggunakan pupuk 90 kg N
ha-1 dan tIdak menggunakan pupuk P dan K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi biochar yang
ditambah pupuk P dan K pada tanaman jagung musim tanam pertama dapat memberi efek residu hara P dan K
pada musim tanam kedua. Residu hara (khususnya P dan K) dan biochar dari tanaman jagung musim tanam
pertama telah mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman jagung musim tanam kedua. Residu biochar secara
mandiri maupun yang dikombinasi dengan pupuk kalium berbagai dosis telah menghasilkan jagung yang tidak
berbeda (7,2 – 7,8 ton ha-1). Residu pupuk kalium dan biochar dapat berpengaruh pada kandungan karbohidrat
dalam biji. Residu biochar yang dikombinasi dengan pupuk kalium 200 kg KCl ha-1 telah menghasilkan kadar K
dalam biji yang tertinggi dan karbohidrat yang terendah kedua setelah perlakuan yang hanya menggunakan
biochar. Residu biochar meningkatkan ketersediaan hara N, P, K+, Ca++, Na+ di dalam tanah.
Kata kunci : residu, kalium, biochar
PENDAHULUAN
Penggunaan pupuk organik telah terbukti meningkatkan kesuburan tanah dan
efisiensi pemupukan. Hanya sebagian kecil dari pupuk organik akan stabil di dalam
tanah dalam jangka panjang sebab berturut-turut akan dilepaskan ke atmosfer sebagai
CO2 (Fearnside, 2000). Menurut Tiessen et al. (1994), mineralisasi bahan organik
berlangsung cepat dan unsur haranya rendah sehingga menjadi kendala pada pertanian
berkelanjutan di daerah tropis dan menyebabkan kapasitas tukar kation (KTK) dalam
tanah menjadi rendah. Dalam keadaan seperti itu, efisiensi pupuk mineral sangat rendah
karena hilangnya nutrisi mobil seperti NO3- atau K+ dari tanah, apalagi dengan curah
hujan yang tinggi (Cahn et al., 1993). Widowati et al. (2012) melaporkan penghematan
pemakaian pupuk urea lebih dari 70% ketika menggunakan biochar. Karena biochar
mampu mempertahankan N yang dilepaskan dari pupuk urea dalam bentuk NH4+
(Widowati et al., 2011). Kondisi ini disebabkan oleh tingginya muatan negatif pada
tanah yang diberi biochar sehingga NH4+ terjerap dan pencucian N berkurang.
Demikian pula pencucian kalium tidak meningkat pada 30-60 hari setelah aplikasi
biochar dan pupuk KCl dengan dosis yang semakin bertambah (Widowati et al., 2012).
Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa biochar dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman tertentu. Biochar merupakan arang
organik yang dihasilkan dari proses pirolisis. Pirolisis (konversi thermo dalam kondisi
tanpa oksigen) dapat memberikan suatu alternatif untuk menghasilkan energi,
mengembalikan karbon, dan nutrisi ke dalam tanah (Laird, 2008). Biochar merupakan
bentuk karbon amorf yang terdiri dari banyak senyawa karbon dan abu (Chun et al.,
2004). Kondisi selama pirolisis seperti suhu dan waktu dapat mempengaruhi
karakteristik biochar (Antal dan Gronli, 2003). Pada suhu rendah (<500°C), komposisi
bahan baku memiliki pengaruh besar terhadap karakteristik biochar dan berdampak pada
pertanian seperti kapasitas tukar kation dan kandungan nutrisi (Gaskin et al., 2008).
Konsentrasi karbon pada suhu rendah berkisar dari 380 g kg-1 untuk biochar limbah
161
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
unggas (Chan et al., 2008), 692 g kg-1 untuk brangkasan gandum (Chun et al., 2004) dan
790 g kg-1 untuk biochar chip pinus (Gaskin et al., 2008). Konsentrasi nitrogen dalam
biochar berkisar 1,4 g kg-1 (pinus), 19 g kg-1 (kacang tanah), 40 g kg-1 (limbah
unggas). Konsentrasi P dan K rendah pada biochar chip pinus masing-masing 0,089 dan
0,659 g kg-1 dan tinggi pada biochar unggas masing-masing 33,6 dan 45,6 g kg-1
(Gaskin et al., 2008). Konsentrasi P dan K pada biochar sampah organik kota masingmasing 0.72% dan 0.93% (Widowati et al., 2011).
Arang karbon telah ditemukan berkisar dari 10-35% dari total karbon organik
tanah di tanah pertanian dari Amerika Serikat (Skjemstad et al., 2002). Arang juga
dilaporkan menjadi komponen penting dari Chernozems di Jerman (Schmidt et al.,
1999), Australia (Skjemstad et al., 1996), dan Terra Preta di daerah tropis Amerika
Selatan (Glaser et al., 2002). Mineralisasi dari biochar dalam lingkungan sangat lambat
(sekitar 2% lebih dalam 2 tahun) (Major et al., 2010). Biochar dianggap resisten
terhadap degradasi mikroba (Sombroek et al., 1993), akibatnya nitrogen yang
terkandung dalam matriks biochar polisiklik mungkin tidak tersedia untuk digunakan
tanaman. Beberapa dekomposisi biochar dapat terjadi yang tergantung pada kondisi
tanah dan penggunaan lahan (Czimczik dan Masiello, 2007). Mayor et al. (2010) yang
melaporkan bahwa hasil jagung tidak meningkat pada tahun pertama tetapi meningkat
pada tahun kedua, ketiga, dan keempat setelah aplikasi biochar.
Hasil penelitian Widowati et al. (2012) pada tanaman jagung musim tanam
pertama menunjukkan bahwa penggunaan biochar (30 t ha-1) secara mandiri, maupun
yang dikombinasi dengan pupuk kalium, dan tanpa biochar telah menghasilkan jagung
pipilan yang sama. Serapan dan kadar kalium meningkat akibat peningkatan dosis
kalium (100-150 kg ha-1). Secara mandiri, biochar mampu untuk menyediakan hara
kalium sebanding dengan pupuk kalium. Perubahan biomasa menjadi biochar masih
mengandung unsur hara (Widowati et al., 2011). Aplikasi biochar akan efektif apabila
ada informasi tentang dampak aplikasi biochar terhadap musim tanam berikutnya.
Bagaimana pengaruh residu pemupukan (khususnya K) dan biochar pada tanaman
jagung musim tanam kedua? Oleh karena itu, tujuan penelitian untuk mengevaluasi
pengaruh residu dosis pupuk K dan biochar terhadap hasil tanaman jagung pada musim
tanam kedua.
BAHAN DAN METODE
Penelitian lanjutan (September 2012-Pebruari 2013) pada tanah Inseptisol telah
dilaksanakan di Dusun Bawang, Kelurahan Tunggulwulung, Kecamatan Lowokwaru,
Kotamadaya Malang. Bahan baku yang dijadikan biochar berupa sampah organik kota
yang diambil dari UPTD Pengolahan Sampah Dinas Kebersihan Kota Malang.
Pembuatan biochar dengan cara pirolysis. Biochar diaplikasikan ke tanah Inceptisol
sebanyak 30 t ha-1. Aplikasi biochar di lapangan pada Pebruari 2012. Setelah 2 minggu
kemudian dilakukan penanaman jagung pertama dan panen pada bulan Juni 2012.
Penamanan jagung kedua pada bulan September 2012 dengan varietas yang Bisi 12.
Perlakuan diatur dalam Rancangan Acak Kelompok. Pada musim tanam pertama, semua
perlakuan diberi pupuk urea dengan dosis 90 kg N/ha. Pemupukan dilakukan pada umur
6 hari setelah tanam (hst), yaitu untuk SP36 dan KCl, sedangkan urea diberikan dua kali.
1/3 bagian pada umur 6 hari setelah tanam (hst) dan 2/3 bagian pada umur 4 minggu
setelah tanam (mst). Pemupukan kalium diberikan saat 1 dan 4 mst sesuai dengan
perlakuan yaitu B0K200 (tanpa biochar, dengan KCl 200 kg/ha), BK0 (dengan biochar,
tanpa KCl), BK50 (biochar+KCl 50 kg ha-1), BK100 (biochar+KCl 100 kg ha-1),
BK150 (biochar+KCl 150 kg ha-1), dan BK200 (biochar+KCl 200 kg ha-1). Pemupukan
pada penelitian ini hanya menggunakan urea 90 kg N/ha dan tanpa pupuk P dan K.
Setiap perlakuan diulang tiga (3) kali. Petak percobaan sebanyak 21 plot dengan ukuran
3 x 4 m2.
162
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Pemeliharaan tanaman dilakukan secara optimum. Jarak tanam jagung 80 x 25
cm, 1 tanaman dalam 1 lubang tanah sehingga populasi tanaman 50.000 tanaman ha-1.
Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman sample. Setelah panen pertama dan kedua
dilakukan pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat-sifat tanah. Analisis sifat tanah
meliputi bahan organik tanah (Walkey & Black), N (Kjedahl), P tersedia (Bray 1), K
tersedia (NH4OAC1N pH:7), K total (HCl 25%), Ca, Mg, Na. Analisis tanaman
dilakukan untuk tinggi tanaman, diameter batang (jangka sorong), luas daun (leaf area
meter), bobot kering batang, daun, total tanaman di atas tanah, panjang dan diameter
tongkol, bobot kering hasil jagung pipilan kering, kadar K tanaman (HNO3 + HClO4)
dalam daun pada vegetatif maksimum (10 mst) dan dalam biji saat panen dan serapan
hara K. Pengamatan bobot kering dilakukan dengan mengeringkan bahan tanaman
dalam oven pada suhu 70oC selama 2 x 24 jam. Serapan hara N,P,K tanaman jagung
ditentukan oleh bobot kering tanaman jagung dan kadar hara dalam tanaman jagung.
Data dianalisis dengan menggunakan program software SPSS versi 13.0, apabila nyata
dilanjutkan uji BNT untuk melihat perbedaan diantara perlakuan. Analisis regresi untuk
melihat hubungan diantara parameter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman Jagung
Residu kalium dari biochar secara mandiri maupun yang dikombinasi
dengan pupuk K pada dosis rendah (50 kg KCl ha-1) telah meningkatkan tinggi
tanaman, tetapi tinggi tanaman berkurang pada dosis selanjutnya (100-200 kg KCl ha1) (Tabel 1). Biochar dengan dan tanpa pupuk K dapat memberi efek residu yang
sama pada diameter batang dan luas daun tanaman jagung. Setelah musim tanam
jagung pertama, biochar masih memberi efek residu yang lebih baik dalam
menyediakan unsur hara N, P, K+ dan K total, Ca++. Biochar sebagai amandemen
tanah telah memperbaiki sifat kimia tanah dan perkembangan akar yang lebih baik
(Tabel 2) sehingga tanaman mampu menyerap hara dan bahkan menyisakan hara bagi
tanaman berikutnya. Meskipun tidak ada penambahan pupuk P dan K pada penelitian
ini, pertumbuhan tanaman tidak mengalami gangguan. Hal ini menunjukkan
ketersediaan unsur hara setelah panen (musim tanam pertama) masih mencukupi
kebutuhan hara bagi tanaman tanaman jagung musim tanam kedua.
Serapan hara oleh tanaman dan proses fotosintesa berjalan dengan baik,
terbukti dari luas daun berkembang dengan baik sehingga menghasilkan produksi
biomassa (Tabel 2) dan hasil jagung pipilan kering (Tabel 5). Residu kalium yang
berasal dari biochar secara mandiri maupun yang dikombinasi dengan pupuk K dapat
melaksanakan fungsinya untuk metabolisme karbohidrat (Gambar 1).
Residu biochar dan kalium pada berbagai dosis (50 – 200 kg KCl ha-1)
memberi pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman (Tabel 1 dan 2)
maupun hasil jagung (Tabel 5). Kemampuan biochar dalam menyediakan hara sangat
berarti dalam mengurangi ataupun tidak menggunakan pupuk mineral (khususnya P
dan K) dan bahkan berdampak positif dalam menyediakan hara pada musim tanam
kedua. Keadaan ini yang menyebabkan tanaman dapat tumbuh dengan baik walaupun
tanpa masukan pupuk P dan K.
163
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Tabel 1. Tinggi Tanaman, Diameter Batang, dan Luas Daun pada Umur 10 mst
Tinggi Tanaman
Diameter Batang
Perlakuan
(cm)
(cm)
Luas Daun (cm2)
B0 K200
233.82 b
2.46 a
5493.22 a
B30 K0
252.83 c
3.02 b
6712.51 b
B30 K50
250.69 c
2.80 b
6397.63 b
B30 K100
230.18 ab
2.93 b
6581.94 b
B30 K150
227.67 ab
2.87 b
6601.77 b
B30 K200
222.29 a
2.89 b
6310.49 b
BNT 0.05
10.99
0.20
487.68
Berat kering tanaman sejalan dengan diameter batang dan luas daun. Residu
dosis pupuk K dan biochar akan menghasilkan bobot kering daun, batang, akar, dan
produksi biomasa yang lebih baik daripada tanpa biochar (Tabel 2). Residu biochar
secara mandiri maupun yang kombinasi dengan pupuk kalium telah menghasilkan
bobot kering daun, batang, akar, dan produksi biomassa yang sama. Produksi
biomassa merupakan pembentukan biomassa sepanjang pertumbuhannya. Hal ini
sejalan dengan laporan Lehmann et al. (2003) bahwa dalam jangka pendek, pupuk
yang ditambahkan pada biochar dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun
ada hipotesis bahwa efek jangka panjang biochar pada ketersediaan hara karena
peningkatan permukaan oksidasi dan kapasitas tukar kation yang intensif dari waktu
ke waktu dan dapat menyebabkan retensi hara yang lebih besar (Liang et al., 2006).
Kadar dan Serapan N, P, K Tanaman Jagung
Aplikasi biochar pada musim tanam jagung pertama telah mampu
menyediakan unsur hara bagi tanaman jagung pada musim tanam kedua (khususnya P
dan K). Ditunjukkan dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman tidak
menunjukkan gejala defisiensi P dan K serta kadar dan serapan hara dalam jaringan
tanaman (Tabel 3 dan Gambar 1, 2, 3). Jumlah N (0.17-0.26%), P (60-185 mg kg-1)
dan K (0.5-0.9 me 100 g-1) yang tersedia di dalam tanah setelah panen jagung
pertama. Unsur hara yang tersedia setelah panen jagung pertama, telah digunakan
tanaman untuk mencukupi kebutuhan tanaman jagung musim tanam kedua.
Efek residu pupuk K dengan dan tanpa biochar dapat memberikan pengaruh
yang sama terhadap kadar N dan P dalam daun maupun kadar P dalam biji, akan tetapi
biochar dapat meningkatkan kadar N dalam biji (Tabel 3). Residu biochar dapat
meningkatkan kadar K dalam daun. Selain itu, residu biochar secara mandiri maupun
yang dikombinasi dengan pupuk K berbagai dosis akan memberikan efek yang sama
terhadap kadar K dalam daun. Residu biochar dan pupuk K yang digunakan pada dosis
tertinggi dapat menghasilkan kadar K dalam biji yang terbaik. Rondon et al. (2007)
melaporkan bahwa kadar hara dalam biochar umumnya rendah dan konsentrasi hara
dalam jaringan tanaman meningkat, disebabkan oleh peningkatan ketersediaan hara.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Julia et al., (2010) yang mengatakan
bahwa efek terbesar dari biochar polong kacang adalah penambahan kation basa
sehingga memiliki efek pada pH tanah dan meningkatnya K tersedia, Ca, dan Mg.
Biochar tidak banyak berpengaruh pada status hara pada tanaman jagung. Nitrogen
dalam jaringan jagung tidak terpengaruh baik dalam biochar polong kacang ataupun
chip pinus. Kalium dalam jaringan jagung meningkat dengan biochar polong kacang.
164
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Tabel 2. Berat Kering Daun, Batang, dan Produksi Biomassa Tanaman Jagung pada
Umur 10 mst dan BK Akar Saat Panen
BK Produksi
Perlakuan
Biomassa
BK Akar (g
BK Daun (t ha-1)
BK Batang (t ha-1)
(t ha-1)
tanaman-1)
B0 K200
1.90 a
2.81 a
4.71 a
18.69 a
B30 K0
2.69 cd
4.06 b
6.75 b
26.76 b
B30 K50
2.42 b
4.00 b
6.42 b
26.80 b
B30 K100
2.78 d
3.92 b
6.70 b
26.65 b
B30 K150
2.55 bcd
3.67 b
6.22 b
26.82 b
B30 K200
2.47 bc
3.79 b
6.27 b
26.01 b
BNT 0.05
0.25
0.43
0.58
4.65
Tabel 3. Kadar N, P, K dalam Daun dan Biji Jagung Saat 10 mst
Perlakuan
B0 K200
B30 K0
B30 K50
B30 K100
B30 K150
B30 K200
BNT 0.05
Kadar N
daun
(%)
3.22
a
3.37
a
3.24
a
3.24
a
3.26
a
3.32
a
0.26
Kadar N
Biji (%)
1.43
a
1.77
b
2.04
b
2.01
b
2.00
b
1.83
b
0.33
Kadar
daun
(%)
0.29
0.31
0.28
0.28
0.29
0.30
0.04
P
a
a
a
a
a
a
Kadar P
Biji (%)
0.16
a
0.16
a
0.20
a
0.18
a
0.16
a
0.20
a
0.08
Kadar
daun
(%)
0.08
0.14
0.13
0.13
0.13
0.16
0.03
K
a
bc
b
bc
b
c
Kadar K Biji
(%)
0.13
ab
0.12
a
0.16
bc
0.13
a
0.13
a
0.17
c
0.03
Serapan hara ditentukan oleh keragaan tanaman dan keteresediaan hara di
dalam tanah. Meskipun dosis urea yang ditambahkan sama pada semua perlakuan,
namun serapan hara N dalam daun, biji, dan daun+biji dapat meningkat dengan
biochar (Gambar 1). Diduga karena kandungan nitrogen yang tersedia setelah panen
jagung pertama masih lebih tinggi (0.24%) daripada tanpa biochar (0.17%). Serapan
N dalam daun (R2=0.94) lebih tinggi dalam mempengaruhi hasil tanaman daripada
dalam biji (R2=0.56). Serapan N dalan daun lebih tinggi daripada serapan N dalam
biji (Gambar 1).
Tanaman menggunakan P yang berasal dari residual pupuk P dan kandungan
P dalam biochar dari musim tanam pertama. Dosis pupuk P yang sama pada semua
perlakuan telah menghasilkan serapan P yang sama dalam biji, tetapi berbeda dalam
daun maupun biji+daun. Penggunaan biochar dapat meningkatkan serapan P dalam
daun (Gambar 2). Serapan P dalam daun (R2=0.36) lebih rendah dalam
mempengaruhi hasil tanaman daripada dalam biji (R2=0.69).
Serapan K dalam daun meningkat dengan biochar, tetapi tidak demikan dalam
biji maupun batang (Gambar 3). Nampaknya residu biochar secara mandiri akan lebih
baik dalam menghasilkan serapan K dalam batang, tetapi bila biochar dikombinasi
dengan pupuk K yang dosisnya semakin bertambah, justru akan menurunkan serapan
K (Gambar 3). Serapan K dalam daun (R2=0.63), biji (R2=0.47), dan batang
(R2=0.04) dalam mempengaruhi hasil tanaman.
165
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
N Uptake (kg ha-1)
Uptake N in Seeds
(kg ha-1)
Uptake N in Leaves
(kg ha-1)
Uptake N in Seeds
and Leaves (kg ha1)
Treatment
Gambar 1. Serapan N dalam Daun, Biji, dan Daun+Biji
40
P Uptake (kg ha-1)
35
30
25
20
Uptake P in Seeds (kg ha-1)
15
Uptake P in Leaves (kg ha-1)
10
Uptake P in Seeds and Leaves
(kg ha-1)
5
0
B0K200
B30K0
B30K50 B30K100 B30K150 B30K200
Treatment
K Uptake (kg ha-1)
Gambar 2. Serapan P dalam Daun, Biji, dan Daun+Biji
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Uptake K in Seeds (kg ha-1)
Uptake K in Leaves (kg ha-1)
Uptake K in Steams (kg ha-1)
B0K200 B30K0 B30K50 B30K100 B30K150 B30K200
Treatment
Gambar 3. Serapan K dalam Daun, Biji, dan Batang
Hasil Tanaman dan Kandungan Karbohidrat dalam Jagung
Komponen hasil dan hasil tanaman seiring dengan hasil pertumbuhan
tanaman. Produksi biomassa tanaman mempengaruhi hasil biji pipilan kering sebesar
R2=0.75. Meskipun tanpa penambahan pupuk P dan K, pertumbuhan dan hasil biji
166
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
tidak dibatasi oleh ketersediaan unsur hara P dan K dari residu panen jagung pertama.
Hal ini menunjukkan bahwa suplai hara P dan K dari pupuk mineral maupun biochar
pada musim tanam pertama lebih besar dari jumlah hara P dan K yang diserap
tanaman. Selanjutnya sebagian unsur hara tersebut masih tersisa di dalam tanah dan
mampu mencukupi kebutuhan hara P dan K bagi tanaman jagung musim tanam kedua.
Bahkan masih menyisakan hara yang lebih baik untuk digunakan pada musim tanam
berikutnya (Tabel 5). Hasil penelitian membuktikan bahwa residu biochar akan
memiliki efek yang lebih baik dalam menyediakan hara (khususnya P dan K),
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung pada musim tanam kedua.
Residu biochar secara mandiri maupun yang dikombinasi dengan pupuk
kalium akan mampu meningkatkan diameter biji dan tongkol, panjang tongkol, berat
kering biji per tanaman, berat kering tongkol per tanaman, BK 1000 butir, dan hasil
jagung pipilan kering. Hasil tanaman jagung ditentukan oleh komponen hasil jagung.
Komponen hasil mempengaruhi hasil tanaman masing-masing sebesar R2=0.80
(diameter tongkol berbiji), R2=0.65 (BK tongkol per tanaman), R2=0.59 (BK 1000
butri), R2=0.55 (panjang tongkol). Peningkatan hasil jagung dari residu biochar secara
mandiri lebih rendah (11%) daripada bila biochar dikombinasi dengan pupuk kalium
(18-20%). Hal ini menunjukkan perlunya tambahan pupuk mineral ketika
menggunakan biochar. Sementara itu aplikasi biochar belum meningkatkan hasil
jagung pada musim tanam pertama. Sebuah peningkatan yang progresif dalam efek
biochar yang menguntungkan dari waktu ke waktu juga diamati oleh Steiner et al.,
(2007). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi biochar akan dapat memberikan manfaat
yang meningkat seiring waktu. Hasil penelitian ini sejalan dengan Major et al., 2010
yang melaporkan bahwa hasil jagung tidak meningkat pada tahun pertama setelah
aplikasi biochar, namun meningkat pada tahun kedua, ketiga, dan keempat.
Residu pupuk kalium pada berbagai dosis akan memberi efek yang sama
terhadap komponen hasil dan hasil jagung pipilan kering (Tabel 5). Aplikasi biochar
secara mandiri menunjukkan hasil jagung yang sama bila biochar dikombinasi dengan
pupuk kalium pada berbagai dosis. Pupuk P dan K berbagai dosis yang
dikombinasikan dengan biochar pada musim tanam pertama dapat memberi efek
residu hara pada musim tanam kedua. Karena biochar mampu meretensi hara sehingga
sebagian pupuk masih tersisa/ tertinggal di dalam tanah. Selain itu, sebagian besar
kation dalam abu yang terkandung dalam biochar tidak terikat oleh gaya elektrostatik
tetapi hadir sebagai garam larut yang tersedia untuk serapan hara (Glaser et al., 2002).
Biochar batubara tidak hanya sebagai kondisioner tanah yang meningkatkan kapasitas
tukar kation (Glaser et al., 2001a) namun dapat bertindak sebagai pupuk sendiri.
Aplikasi biochar yang pasti mengandung abu yang menambahkan kation basa seperti
K, Ca, Mg ke dalam larutan tanah, meningkatkan nilai pH tanah dan memberikan
nutrisi tersedia untuk pertumbuhan tanaman (Glaser et al., 2001a). Residu biochar
memberi efek pada peningkatan bahan organik tanah (Tabel 5). Peningkatan bahan
organik tanah sebagian besar terkait dengan penambahan dekomposisi aktif bahan
organik (Wilhelm et al., 2004). Meningkatnya hasil tanaman dengan penambahan
biochar mungkin berhubungan dengan perubahan dalam siklus hara yang terlihat dari
bahan organik tanah yang meningkat. Steiner et al., (2007) melaporkan kumulatif
peningkatan hasil padi dan sorgum pada Oxisol Amazon Brazil sekitar 75% setelah
empat musim tanam lebih dari 2 tahun ketika digunakan 11 t ha-1 biochar. Dalam
Oxisol terdegradasi di Kenya, Kimetu et al.,(2008) ditemukan dua kali lipat dari
kumulatif produksi jagung setelah tiga aplikasi biochar berulang dari 7 t ha-1 lebih
dari 2 tahun.
167
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
Ketersediaan Hara di Dalam Tanah Setelah Panen
Ketersediaan unsur hara (N, P, K tersedia, K total, Ca, Mg) meningkat setelah
aplikasi biochar pada panen jagung pertama. Peningkatan hara masing-masing sebesar
35-53% N, 179-208% P, 70-91% K, 9-184% K total, 61-70% Ca, 1-22% Mg.
Ketersediaan hara yang meningkat setelah panen pertama diduga sebagai akibat
pemberian pupuk mineral dan atau dengan biochar. Kondisi ini membuktikan
hipotesis dan meningkatnya hasil jagung pipilan kering pada musim tanam kedua
(meskipun tanpa masukan pupuk mineral P dan K). Hasil jagung pipilan kering pada
musim tanam pertama berkisar 5,46-7,02 t ha-1 yang lebih rendah dibanding musim
tanam kedua (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi biochar akan mampu
memberikan efek positif terhadap penyediaan unsur hara sehingga hasil panen jagung
meningkat pada musim tanam berikutnya. Demikian pula ditunjukkan bahwa aplikasi
biochar dapat meningkatkan ketersediaan hara setelah dua kali musim tanam jagung
(Tabel 5). Peningkatan hasil jagung pada musim tanam kedua juga disebabkan oleh
intensitas hujan yang lebih rendah daripada pertama. Glaser et al., (2002)
menyebutkan bahwa menambahkan biochar secara signifikan akan meningkatkan
ketersediaan kation basa dalam tanah. Demikian pula N total dan bentuk P tersedia
lebih tinggi setelah amandemen dengan biochar. Hasil penelitian Widowati et al.,
(2012) mengatakan bahwa penggunaan biochar secara mandiri dapat menekan
pencucian K dan garam larut, sedangkan kombinasi biochar dan dosis pupuk KCl
yang semakin banyak tidak akan meningkatkan pencucian K.
Meningkatnya hasil jagung pada musim tanam kedua dibandingkan pada
musim tanam pertama tentu tidak lepas dari pengaruh positif dari pemberian biochar.
Menurut Chan et al. (2007), kekuatan tanah berkurang setelah aplikasi biochar.
Biochar memiliki efek penting pada kapasitas pertukaran kation (Liang et al., 2006.),
retensi air tanah (Glaser et al., 2002), kesuburan tanah (Steiner et al., 2007), dan
biologi (Pietikainen et al., 2000), dan peningkatan akar koloni oleh jamur mikoriza
(Warnock et al., 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biochar telah dapat
meningkatkan berat kering akar rata-rata sebesar 42% (Tabel 2). Di sisi lain juga
diketahui bahwa biochar memiliki luas permukaan yang tinggi dan memiliki struktur
berpori. Kishimoto dan Sugiura (1985) memperkirakan bahwa luas areal bagian
permukaan biochar berkisar 200-400 m2 g-1 yang terbentuk antara 400°C dan
1.000°C.
Tabel 5. Komponen Hasil dan Hasil Jagung pada Musim Tanam Kedua
Perlakuan
Panjang
Tongkol
Diameter
Tongko
l + Biji
BK
1000
butir
BK
Tong
kol
B0 K200
B30 K0
B30 K50
B30 K100
B30 K150
B30 K200
17.62
20.33
19.91
19.78
19.76
19.29
5.43
5.77
5.82
5.78
5.81
5.97
302.93
338.97
346.73
348.43
359.07
325.20
21.63
32.22
30.29
32.50
33.75
30.01
a
b
b
b
b
b
a
b
bc
bc
bc
c
a
b
b
b
b
b
BK Biji
per
Tanam
an (g)
a
b
b
b
b
b
122.52
141.38
155.46
154.47
151.97
154.26
BK Jagung
Pipilan
Kering
a
ab
b
b
b
b
6.46
7.18
7.77
7.72
7.60
7.71
a
ab
b
b
b
b
Efek residu dosis pupuk K dengan dan tanpa biochar sangat nyata pada kadar
karbohidrat dalam biji. Penggunaan biochar secara mandiri menunjukkan kadar
168
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
72935-2-6
ISBN 978-602-
karbohidrat terendah dan tertinggi dicapai oleh kombinasi biochar dan 150 kg KCl ha1. Residu pupuk kalium dan biochar dapat meningkatkan kadar karbohidrat dalam biji
jagung. Kenaikan kandungan karbohidrat lebih efektif jika biochar diterapkan dengan
pupuk kalium hingga dosis 150 kg KCl ha-1, aplikasi pupuk K dengan dosis yang
bertambah (200 kg KCl ha-1) akan menurunkan kandungan karbohidrat (Gambar 4).
Kadar Karbohidrat (%)
60.00
50.00
d
c
c
e
b
40.00
30.00
a
20.00
10.00
0.00
B0K200
B30K0
B30K50
B30K100 B30K150
B30K200
Treatment
Gambar 4. Kadar Karbohidrat dalam Biji Saat Panen
Ketersediaan Unsur Hara Setelah Panen
Efek residu pupuk K dan biochar pada hasil tanaman dapat dikaitkan dengan
meningkatnya konsentrasi kation basa di dalam tanah (Tabel 5). Beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa biochar dapat meningkatkan K, Ca, Mg (Major et al., 2010),
pertumbuhan tanaman, dan berbagai perubahan kesuburan tanah (Rondon et al., 2007;
Steiner et al, 2007; Topoliantz et al., 2005). Secara umum ketersediaan hara yang
meningkat dengan biochar (Tabel 5) akan dapat mendorong pertumbuhan tanaman
lebih baik sehingga hasil panen meningkat. Meskipun tanpa masukan pupuk P dan K,
kebutuhan hara P dan K tanaman jagung kedua masih tercukupi dari hara P dan K
yang tersedia di dalam tanah setelah panen jagung pertama, bahkan masih bisa
menyediakan unsur hara yang lebih baik (Tabel 5). Ketersediaan kalium dengan
aplikasi biochar telah meningkat 2-4 kali lipat pada musim tanam setelah
penerapannya. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Steiner et al., (2007) yang
menyampaikan tidak mendapati ketersediaan K yang lebih besar dengan biochar kayu
setelah satu musim tanam, meskipun biochar yang telah digunakan mengandung K
dalam jumlah yang kecil.
169
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
C
Treatment
K
N total
(%)
P (mg kg-1)
K+ (me 100
g-1)
Tot
al
Ca++
(me
100 g-1)
Mg++ (me
100 g-1)
Na+ (me
100
g-1)
org
anik
(%)
B0K200
0.11
a
41.84
a
0.35
a
284.01
b
15.94
a
3.26
c
0.82
a
B30K0
0.17
c
48.01
ab
1.03
c
234.57
a
22.36
cd
3.25
c
0.99
b
B30K50
0.16
bc
91.87
e
0.70
b
526.12
d
21.82
bc
3.14
bc
1.19
cd
B30K100
0.20
d
61.08
c
1.25
d
891.81
e
23.29
d
2.77
b
1.25
d
B30K150
0.16
b
71.04
d
0.99
c
355.85
c
22.02
bc
4.43
d
1.36
e
B30K200
0.16
b
51.63
b
1.17
d
334.35
c
21.18
b
1.99
a
1.15
c
BNT 0.05
0.01
8.99
0.13
27.99
1.11
0.41
0.06
1.93
2.30
2.27
2.28
2.26
2.27
0.16
Tabel 5. Ketersediaan Hara Setelah Panen
KESIMPULAN DAN SARAN
Aplikasi biochar yang ditambah pupuk P dan K pada tanaman jagung musim tanam
pertama dapat memberi efek residu hara P dan K pada musim tanam kedua. Efek residu hara
(khususnya P dan K) dan biochar telah mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman jagung musim
tanam kedua. Residu biochar secara mandiri maupun kombinasi dengan pupuk K berbagai dosis
telah menghasilkan jagung yang tidak berbeda (7,2 – 7,8 ton ha-1). Residu pupuk K berpengaruh
pada kandungan karbohidrat dalam biji. Residu biochar yang dikombinasi dengan pupuk kalium
200 kg KCl ha-1 telah menghasilkan kadar K dalam biji yang tertinggi dan karbohidrat yang
terendah kedua setelah perlakuan yang hanya menggunakan biochar. Residu biochar meningkatkan
ketersediaan hara N, P, K+, Ca++, Na+ di dalam tanah.
Studi jangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan biochar tanpa
masukan P dan K pada hasil tanaman musim tanam ketiga.
UCAPAN TERIMA KASIH
Diucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah menyediakan dana penelitian lanjutan Hibah Bersaing.
REFERENSI
Antal, M.J., and M. Gronli. 2003. The art, science, and technology of charcoal production. Ind. Eng. Chem. Res.
42:1619–1640.
Cahn, M.D., Bouldin, D.R., Cravo, M.S., Bowen, W.T. 1993. Cation and nitrate leaching in an oxisol of the
Brazilian Amazon. Agron J. 85:334–340.
Chan, K.Y., Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A., Joseph, S. 2007. Agronomic values of greenwaste biochar
as a soil amendment. Aust J Soil Res 45:629–634.
Chan, K.Y., L.V. Zwieten, I. Meszaros, A. Downie, and S. Joseph. 2008. Using poultry litter biochars as soil
amendments. Aust. J. Soil Res. 46:437–444.
Chun, Y., G. Sheng, C.T. Chiou, and B. Xing. 2004. Compositions and sorptive properties of crop residue-derived
chars. Environ. Sci. Technol. 38:4649–4655.
Czimczik, C.I., and C.A. Masiello. 2007. Controls on black carbon storage in soils. Global Biogeochem. Cycles 21:3
doi:10.1029/2006GB002798.
Fearnside, P.M. 2000. Global warming and tropical land-use change: greenhouse gas emissions from biomass
burning, decomposition and soils in forest conversion, shifting cultivation and secondary vegetation. Climatic
Change 46:115–158.
170
a
b
b
b
b
b
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Gaskin, J.W., Steiner, C, Harris, K, Das KC, Bibens, B. 2008. Effect of low temperature pyrolysis conditions on
biochar for agricultural use. T Asabe 51:2061–2069
Glaser, B,, Haumaier, L,, Guggenberger, G,, Zech, W. 2001a. The Terra Preta phenomenon – a model for
sustainable agriculture in the humid tropics. Naturwissenschaften 88:37–41
Glaser, B.,Johannes, L., Wolfgang, Z. 2002. Ameliorating physical and chemical properties of highly weathered soils
in the tropics with charcoal – a review. Biol Fertil Soils 35:219–230. DOI 10.1007/s00374-002-0466-4.
Global Biogeochem. Cycles 14:777–794.
Julia, W. Gaskin, R. Adam, S., Keith, H. K., Das, R. Dewey Lee, Lawrence A. Morris, dan Dwight S. Fisher. 2010.
Effect of Peanut Hull dan Pine Chip Biochar on Soil Nutrients, Corn Nutrient Status, and Yield. Agron. J.
102:623-633. doi: 10.2134/agronj2009.0083
Kimetu, J., Lehmann, J., Ngoze, S.O., Mugendi, D.N., Kinyangi, J.M., Riha, S., Verchot L, Recha, J.W., Pell, A.N.
2008. Reversibility of soil productivity decline with organic matter of differing quality along a degradation
gradient. Ecosystems 11:726–739
Kishimoto, S., and Sugiura, G. 1985. Charcoal as a soil conditioner. Int Achieve Future 5:12–23.
Laird, D.A. 2008. The charcoal vision: A win-win-win scenario for simultaneously producing bioenergy,
permanently sequestering carbon, while improving soil and water quality. Agron. J. 100:178–181.
Lehmann, J., J. Pereira da Silva, Jr., C. Steiner, T. Nehls, W. Zech, and B. Glaser. 2003. Nutrient availability and
leaching in an archaeological Anthrosol and a Ferralsol of the Central Amazon basin: Fertilizer, manure and
charcoal amendments. Plant Soil 249:343–357.
Liang, B., Lehmann, J., Solomon, D., Kinyangi, J., Grossman, J., O’Neill, B., Skjemstad, J.O., Thies, J.E.,.Luizao,
F.J., Petersen, J. & Neves, E.G. 2006. ‘Black carbon increases cation exchange capacity in soils’, Soil Science
Society of America Journal 70: 1719–30.
Mayor, J., M. Rondon, D. Molina, Susan, J. R., J. Lehmann. 2010. Maize yield and nutrition during 4 years after
biochar application to a Colombian savanna oxisol. Plant Soil (2010) 333:117–128. DOI 10.1007/s11104010-0327-0.
Major, J. 2009. Biochar application to a Colombian savanna Oxisol: fate and effect on soil fertility, crop production
and soil hydrology. PhD Thesis, Cornell University, NY
Rondon, M., J. Lehmann, J. Ramírez, and M. Hurtado. 2007. Biological nitrogen fixation by common beans
(Phaseolus vulgaris L.) increases with biochar additions. Biol. Fertil. Soils 43:699–708.
Schmidt, M.W.I., J.O. Skjemstad, E. Gehrt, and I. Kagel-Knabner. 1999. Charred organic carbon in German
chernozemic soils. Eur. J. Soil Sci. 50:351–365.
Skjemstad, J.O., D.C. Reicosky, A.R. Wilts, and J.A. McGowan. 2002. Charcoal carbon in U.S. agricultural soils.
Soil Sci. Soc. Am. J. 66:1249–1255.
Skjemstad, J.O., P. Clarke, J.A. Taylor, J.M. Oades, and S.G. Mcclure. 1996. The chemistry and nature of protected
carbon in soil. Aust. J. Soil Res. 34:251–271.
Sombroek, W.G., F.O. Nachtergaele, and A. Hebel. 1993. Amounts, dynamics and sequestering of carbon in tropical
and subtropical Soils. Ambio 22:417–426.
Steiner, C, Teixeira, W.G, Lehmann, J., Nehls, T., de Macedo, J.L.V., Blum, W.E.H., Zech, W. 2007. Long term
effects of manure, charcoal and mineral fertilization on crop production and fertility on a highly weathered
Central mazonian upland soil. Plant Soil 291:275–290
Steiner, C., Glaser, B., Teixeira, W.G., Lehmann, J., Blum, W.E.H., Zech, W. 2008. Nitrogen retention and plant
uptake on a highly weathered central Amazonian Ferraisol amended with compost and charcoal. J Plant Nutr
Soil Sci 171:893–899.
Tiessen, H., Cuevas, E., Chacon, P. 1994. The role of soil organic matter in sustaining soil fertility. Nature 371:783–
785.
Warnock, D.D., Lehmann, J., Kuyper, T.W., Rillig, M.C. 2007. Mycorrhizal responses to biochar in soil—
concepts and mechanisms. Plant Soil 300:9–20.
Widowati, W.H. Utomo, L.A.Soehono, B.Guritno. 2011. Effect of biochar on the release and loss of nitrogen from
urea fertilization. Journal of Agriculture and Food Technology 1 (7) : 127 – 132.
Widowati, W. H. Utomo., B.Guritno, L.A.Soehono. 2012. The effect of biochar on the growth and n fertilizer
requirement of maize (Zea mays L.) in Green House Experiment. Journal of Agricultural Science 4(5) : 255 –
262.
171
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Widowati, Asnah, Sutoyo. 2012. The Effects of Biochar and Potassium Fertilizer to the Uptake and Potassium
Leaching. Buana Sains 12: 83 – 90.
Wilhelm, W.W., J.M.F. Johnson, J.L. Hatfield, W.B. Voorhees, and D.R. Linden. 2004. Crop and soil productivity
response to corn residue removal: A literature review. Agron. J. 96:1–17.
172
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
RESPON BIOFERTILIZER TERHADAP SERANGAN HAMA PENYAKIT DAN
PRODUKSI BUAH NAGA
Azri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo, 45 Siantan Hulu Pontianak
Email : [email protected]
ABSTRAK
Permasalahan budidaya tanaman buah naga di Kabupaten Mempawah adalah gejala penyakit busuk pangkal batang
pada tanaman buah naga, gejala serangan penyakit akar putih dan rendahnya produksi buah naga. Untuk itu dilakukan
pengkajian teknologi pengendalian penyakit dan peningkatan produks buah naga dengan meggunakan michoriza dan pupuk
organic. Adapun perlakuan yang akan diteliti berupa jenis pupuk organic dan trichoderma sebagai berikut : 1) Pupuk kandang :
Po = tanpa pukan, P1 = Pukan kotyoran ayam, P2 = Pukan kotoran sapi, P3 = pukan kambing dan 2). Trichoderma : Mo =
tanpa Trichoderma, M1 = 75 g trichoderma, M 2 = 25 g Tricoderma + 25 g Michgoriza dan M 3 = 50 g Michoriza. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dalam bentuk faktorial ulangan 3 kali dengan respon tanaman yang diamati
jumlah cabang, jumlah buah, berat buah, gejala penyakit busuk pangkal batang, busuk bakteri dan Fusarium.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeberian pupuk hayati (trichderma dan mikoriza) mengurangi serangan penyakit
busuk pangkal batang, busuk bakteri, dan Fusarium pada tanaman buah naga. Pemberian pupuk organik mengurangi serangan
gejala busuk pangkal batang, busuk bakteri dan Fusarium. Pupuk hayati nyata meningkatkan jumlah buah dan produksi buah
naga. jenis pupuk organik tidak beda nyata terhadap jumlah buah dan produksi buah naga, Pemberian pupuk kotoran sapi
disertai dengan trichoderma menghasilkan produksi buah naga tertinggi yaitu 3.36 ton/ha.
Kata kunci : pupuk kandang, pupuk hayati dan produksi buah naga
ABSTRAK
The Problems in dragon fruit cultivation in the Mempawah District are the symptoms of stem rot disease in the plant
dragon fruit, white root disease and the low production of dragon fruit.
For that carried of the study of disease control and
produks improvement of dragon fruit with. Organic fertilizers and trichoderma as follows : 1) Manure: Po = without manure , P1
= Chicken manure, P2 = Cows manure, P3 = Goat manure 2). Trichoderma: Trichoderma Mo = without Trichoderma, M1 = 75
g trichoderma, M2 = 25 g Trichoderma + 25 g Michgoriza and M3 = 50 g Michoriza. The study using randomise complete block
design (RAK) factoral with plant responses observed number of branches, number of fruits, fruit weight, symptoms of stem rot
disease, root bacteria and Fusarium rotten.
The results showed that aplication of organic biological fertilizer (trichderma and mycorrhizal) reduces stem rot disease,
bacterial and Fusarium on dragon fruit plants. Biological fertilizer significantly increased the amount of fruit and production
dragon fruit. Type of organic fertilizer is not significantly different to the amount of fruit and production of dragon fruit. Aplication
of cow manure with Trichoderma produce the fragmest dragon fruit production 3.36 tonnes / ha.
Keywords : manure , biofertilizers and dragon fruit production
PENDAHULUAN
Buah naga atau lazim juga disebut pitaya, terakhir ini menjadi salah satu buah yang popular
di kalangan masyarakat. Buah yang termasuk kelompok kaktus atau family cactaceae ini sangat
digemari oleh masyarakat untuk konsumsi. Rasa yang manis dan segar pada buah naga membuat
para konsumennya ketagihan, buah naga juga memiliki berbagai khasiat obat yang bermanfaatkan
bagi kesehatan tubuh.
Buah naga cukup banyak khasiat bagi kesehatan diantaranya untuk menurunkan kholesterol
dan gula darah ini memiliki kandungan protein 0,48-0,5 %, karbohidrat 4,33-4,98, lemak 0,17-0,18,
dan vitamin seperti karoten, thiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat (Morton, 1987) Tanaman
buah naga di Kalimantan Barat tersebar di Kabupaten Mempawah, Kota Singkawang dan Kabupaten
Sambas. Hasil identifikasi dan wawancara Bapak Ambok Angka petani buah naga adalah adanya
gejala penyakit busuk pangkal batang dan busuk bakteri dan rendahnya produksi buah naga.
Permasalahan budidaya tanaman buah naga di Kabupaten Mempawah adalah gejala penyakit busuk
pangkal batang pada tanaman buah naga, gejala serangan penyakit akar putih dan rendahnya
173
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
produksi buah naga. Untuk itu dilakukan pengkajian teknologi pengendalian penyakit dan
peningkatan produks buah naga dengan meggunakan michoriza dan pupuk organik. Pupuk hayati
(biofertilizer) didefinisikan sebagai substansI yang mengandung mikroorganisme hidup yang
mengkolonisasi rhizosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan tanaman dengan
jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan atau stimulus pertumbuhan tanaman
target, bila dipakai pada benih, permukaan tanaman, atau tanah (FNCA Biofertilizer Project Group
2006).
Peranan mikoriza sangat penting terutama dapat meningkatkan nutrisi tanaman dan
menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin dan giberelin. Auksin berfungsi untuk
mencegah penuaan akar, sehingga akar dapat berfungsi lebih lama dan penyerapan unsur hara akan
lebih banyak (Husin (1994). Pengendalian biologi (hayati) menunjukkan alternative pengedalian
yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negative terhadap lingkungan dan
sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau
cendawan, bakteri atau aktiomisetes. Beberapa jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai
agens hayati dari dari jamur patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker dan Cook,1983
dalam Tindaon, 2008). Menurut Wiyono (2013) bahwa Penyakit busuk pangkal batang umumnya
menyerang pada awal penanaman buah naga, tanaman buah naga sering mengalami pembusukan
pada pangkal batang, berwarna kecokelatan dan terdapat bulu putih. Sedangkan gejala busuk bakteri
adalah tanaman tampak layu, kusam, terdapat lendir putih kekuningan pada tanaman yang
mengalami pembusukan, penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas sp. Mikoriza sangat diperlukan
untuk mengubah lahan yang semula tandus atau kering menjadi lahan subur. Karena dengan adanya
mikoriza dapat menyerap unsur hara. Jamur Trichoderma spp. digunakan sebagai jamur atau
cendawan antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses
mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi (Mukerji dan Garg, 1988 dalam Rifai, et. al., 1996).
Menurut Hartati dan Widowati (2006) bahwa Pupuk kandang/kotoran hewan yang berasal
dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, dan kambing. Komposisi
hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya.
Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah daripada pupuk kimia. Oleh
karena itu biaya aplikasi pemberian pupuk kandang (pukan) ini lebih besar daripada pupuk
anorganik.
METODOLOGI
Lokasi Pengkajian
Penelitian dilakukan di Desa Peniti Besar Kecamatan Segedong Kabupaten Mempawah
Kalimantan Barat. Waktu penelitian dilakukan Maret – Desember 2014. Adapun perlakuan yang
akan diteliti berupa jenis pupuk organic dan trichoderma sebagai berikut :
Pupuk kandang :
Po = tanpa pukan
P1 = Pukan kotyoran ayam
P2 = Pukan kotoran sapi
P3 = pukan kambing
Trichoderma :
Mo = tanpa Trichoderma
M1 = 75 g trichoderma
M 2 = 25 g Tricoderma + 25 g Michgoriza
M 3 = 50 g Michoriza
Penelitian menggunakan Rancangan acak kelompok dalam bentuk faktorial dengan 3 x
ulangan.
Tanaman buah naga yang digunakan dalam penelitian telah berumur 3 tahun, jumlah petak
tanaman terdapat 4 x 4 x 3 = 48 petak tanaman dengan jumlah tanaman setiap petak 9 tanaman,
sehingg jumlah tanahan keseluruhan adalah 432 tanaman.
174
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan respon tanaman yang
diamati jumlah cabang, jumlah buah, berat buah, gejala penyakit busuk pangkal batang, busuh
bakteri dan Fusarium. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam sesuai dengan
rancangan, sedangkan rata-rata perlakuan dibedakan dengan uji DMRT (Gomez dan Gomez,
1992).
Untuk menghitung persentase serangan penyakit tanaman Buah Naga ditentukan dengan
rumus sebagai berikut :
X=
Jumlah tanaman terserang
Jumlah tanaman
X = persentase serangan
x 100 %
HASIL DAN PEMBAHASAN
Busuk Pangkal Batang
Penyakit busung pangkal batang umumnya menyerang pada saat awal penanaman. Gejala
serangan ditandai dengan adanya pembusukan pada pangkal batang sehingga menyebabkan batang
berair dan berwarna kecokelatan. Pada daerah terserang terdapat bulu-bulu putih halus yang
merupakan miselium cendawan. Penyakit ini disebabkan oleh serangan cendawan Sclerotium rolfsii
Sacc. dan lebih sering menyerang tanaman pada saat cuaca lembab. Upaya pengendalian dapat
dilakukan dengan pengaturan drainase dan kelembaban pada saat musim hujan. Upaya lain yang bisa
dilakukan adalah dengan pemanfaatan agensia hayati, seperti Trichoderma sp. dan Gliocldium sp.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Papavizaz (1985) dalam Sulistyowati,. et al
(1997), bahwa pengendalian penyakit busuk batang sklerotium juga dapat dilakukan secara hayati
dengan menggunakan cendawan antagonis, misalnya Trichoderma spp..
Pada table 1. Ternyata pemeberian pupuk hayati dengan trichderma dan mikoriza dapat
mengurangi serangan penyakit busuk pangkal batang sebesar 4.97 % sampai 7.64 %. Hal ini
disebabkan karena pupuk hayati trichoderma dan mikoriza cendawan merupakan cendawan
antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses mikroparasitisme,
antibiosis, dan kompetisi.
Hasil penelitian Djatmiko dan Rohadi (1997) menunjukkan pellet T. harzianum yang
diperbanyak dalam sekam padi dan bekatul mempunyai kemampuan menekan patogenitas
Plasmodiophora brassicea dan penyakit akar gada, baik pada tanah andosol maupun latosol.
Darmono (1994) tentang aplikasi Trichoderma spp.. dengan menggunakan dedak ternyata dapat
menekan serangan Phytophthora spp. di dalam jaringan buah kakao
Menurut Hardiningsih (1993) dalam Sulistyowati,. et al (1997) melaporkan bahwa penyakit
busuk batang yang disebabkan oleh infeksi S. roflsii yang menyerang tanaman pada masa vegetative
dapat menyebabkan tanaman mati.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Penyakit Busuk Pangkal Batang
Perlakuan
Sebelum Perlakuan
Setelah Perlakuan
P0
30.54
28.87
P1
35.65
33.05
P2
24.33
22.57
P3
25.85
21.97
M0
25.55
19.86
M1
18.23
10.59
M2
15.66
7.63
M3
15.35
10.38
Persentase penurunan
1.67
1.60
2.76
3.88
5.69
7.64
8.03
4.97
Sedangkan pemberian jenis pupuk kandang terhadap serangan penyakit busuk pangkal
batang, ternyata kotoran kambing dapat menekan serangan sebesar 3.88 % dibanding dengan kotoran
sapi dan ayam (2.76 % dan 1.60 %). Menurut Hartatik dan Widowati (2005) bahwa kadar hara
pukan kambing mengandung kalium yang relatif lebih tinggi dari pukan lainnya. Sementara kadar
175
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
hara N dan P hampir sama dengan pukan lainnya. Kalium (K) adalah salah satu hara makro yang
diserap dalam jumlah besar oleh tanaman termasuk buah naga dan berperan utama dalam pembukaan
dan penutupan stomata, transportasi hara-hara dari akar ke daun serta dalam aktivitas berbagai enzim
dalam pertumbuhan tanaman (Cherney, 2004).
Busuk Bakteri
Serangan penyakit ini desebabkan oleh infeksi bakteri Pseudomonas sp. Gejala tanaman yang
terserang penyakit busuk bakteri ditandai dengan adanya pembusukan pada pangkal batang, terdapat
lendir putih kekuningan pada daerah serangan, serta tanaman tanpak kusan dan layu. Pemberian
pupuk hayati dengan Trichoderma dan mikoriza dapat menurunkan gejala serangan busuk bakteri
seperti pada Tabel 2. Pemberian pupuk hayati mengurangi busuk bakteri pada tanaman buah naga
sebesar 4.56 % dan 5.45 %, namun bila dikombinasikan dengan kedua perlakuan tersebut maka dapat
mengurangi serangan busuk bakteri lebih tinggi yaitu 8.59 %. Pengendalian terhadap serangan bakteri
ini dilakukan dengan melakukan sanitasi kebun secara rutin, perbaikan drainase untuk mencegah
adanya genangan air, pencabutan tanaman terserang dan tanah disekitar titik tanam dibuang jauh dari
areal budidaya. Usahakan pembuangan tanah tersebut jangan sampai tercecer. Lubang bekas titik
tanam ditaburi dengan kapur agar pH tanah lokal meningkat. Mukerji dan Garg (1986) dalam
Djatmiko dan Rohadi (1997) melaporkan bahwa mikroorganisme antagonis terutama Trichoderma
spp.. mempunyai kemampuan berkompetisi dengan patogen terbawa tanah terutama dalam
mendapatkan nitrogen dan karbon.
Table 2. Hasil Pengamatan Penyakit Busuk Bakteri Tanaman Buah Naga
Perlakuan
Sebelum Perlakuan
Setelah Perlakuan
Persentase penurunan
P0
33.45
31.79
1.66
P1
21.33
17.48
3.95
P2
20.15
13.19
6.94
P3
20.95
15.53
4.42
M0
24.15
22.15
2.0
M1
18.33
13.77
4.56
M2
25.66
17.07
8.59
M3
22.45
17.00
5.45
Pengaruh kotoran ternak, kotoran kambing dapat mengurangi gejala busuk bakteri terbaik
(6.94%) dibanding dengan kotoran ayam dan sapi, hal ini disebabkan karena kandungan pada kotoran
ini kandungan N, P2O5 dan CaO lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi proses fisiologi tanaman
dalam ketahanan tanaman terhadap penyakit (Lingga, 1991). Unsur Ca pada pupuk kandang berperan
penting dalam menyusun dinding sel baru pada tanaman selain itu unsur hara N juga cukup tersedia.
Selanjutnya Tisdale dan Nelson (1984) mengemukakan bahwa ketersediaan unsur hara yang baik
dapat meningkatkan berat kering yang dihasilkan oleh tanaman karena unsur hara mineral terutaman
N berperan dalam proses pembentukan berat kering dan salah satu komponen pembentuk berat kering
tanaman.
Fusarium
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hayati dapat menekan gejala
serangan Fusarium pada tanaman buah naga sebesar 8.36% - 12.58 %, hal ini disebabkan hasil
pengamatan dilapang penyakit ini disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporium. Gejala serangan
antara lain cabang tanaman berkerut, layu dan busuk berwarna cokelat. Secara umum gejala yang
tampak hampir sama dengan serangan penyakit busuk bakteri.
Pengendalian terhadap serangan bakteri ini dilakukan dengan melakukan sanitasi kebun
secara rutin, perbaikan drainase untuk mencegah adanya genangan air, pencabutan tanaman terserang
dan tanah disekitar titik tanam dibuang jauh dari areal budidaya. Lubang bekas titik tanam ditaburi
dengan kapur agar pH tanah lokal meningkat. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan
pemanfaatan agensia hayati, seperti Trichoderma sp. dan Gliocldium sp.
176
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Menurut Ismujiyanto, et.al., (1996), aplikasi Trichoderma Sp dengan kompos jerami dapat
menurunkan intensitas serangan Fusarium oxysporum pada pangkal batang dan akar tanaman vanili
Beberapa jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens hayati dari dari jamur
patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker dan Cook,1983 dalam Tindaon, 2008).
Trichoderma spp. yang dinfestasikan kedalam tanah dilaporkan oleh Rifai,dkk., et al (1996) mampu
menekan serangan Phytium sp pada tanaman Kedelai. Data mereka menunjukkan bahwa semakin
panjangnya jarak antara infestasi T. viride dengan saat saat dating Phytium cenderung semakin
menurunkan intensitas dan persentase bibit dan benih yang terserang Phytium spp.
Pemberian pupuk organik, kotoran sapi menghasilkan penurunan gejala serangan Fusarium
terbaik dibanding dengan kotoran kambing dan ayam masing-masing 12.39 %; 6.03 % dan 9.12%
(Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Pengamatan Fusarium menyerang tanaman Buah Naga
Perlakuan
Sebelum Perlakuan
Setelah Perlakuan
Persentase penurunan
P0
21.15
19.14
1.99
P1
20.55
11.43
9.12
P2
20.72
8.33
12.39
P3
15.22
6.19
6.03
M0
25.66
15.84
9.82
M1
24.34
12.69
11.65
M2
21.33
8.75
12.58
M3
15.22
6.86
8.36
Produktivitas Buah Naga
Hasil analsis, pengaruh pupuk hayati berbeda sangat nyata dapat meningkatkan jumlah buah
dan produksi buah naga dibanding dengan kontrol (tanpa pupuk hayati). Namun pemberian
Trichoderma tidak nyata dengan pemberian Michoriza. Produktivitas buah naga tertinggi dijumpai
pada perlakuan pemberian Trichoderma dikombinasikan dengan Michoriza seperti pada Tabel 4).
Hal ini disebabkan karena pupuk hayati ini sangat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, selain
dapat menekan pathogen, michoriza juga dapat berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi tanaman.
Dengan pemberian mikoriza menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi pada tanaman inang, yaitu
meningkatnya pertumbuhan tanaman dan ketahanan terhadap cekaman lingkungan yang berbeda
dengan tanaman tanpa mikoriza (Mosse, 1981). Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara jamur
dan sistem perakaran tanaman tinggi, dalam fenomena ini jamur menginfeksi dan mengkoloni akar
tanpa menimbulkan nekrosis sebagaimana biasa terjadi pada infeksi jamur patogen, dan mendapat
pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman (Rao, 1994). Beberapa mikroba tanah mempunyai
kemampuan melarutkan fosfat yang tidak larut dalam air dan menjadikannya tersedia bagi akar
tanaman. Mikroba ini merubah bentuk P di alam untuk mencegah terjadinya proses fiksasi P. dalam
proses pelarutan P oleh mikroba berhubungan dengan diproduksinya asam yang sangat erat
berhubungan dengan proses metabolisme (Prihatini,. et al 1996).
Tabel 4. Pengaruh Pupuk Organik dan Pupuk Hayati terhadap Produktivitas Buah Naga
Perlakuan
Jumlah buah/tanaman
Produktivitas (ton/ha
M0
5.91 a
1.60 a
M1
6.74 ab
2.91 b
M2
7.98 bc
2.99 b
M3
8.25
c
2.74 b
P0
5.58 a
1.87 a
P1
7.65 b
2.64 b
P2
7.71 b
2.87 b
P3
7.94 b
2.90 b
177
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Pada tabel 4, ternyata pemberian jenis pupuk organik tidak beda nyata terhadap jumlah buah
dan produksi buah naga, namun pupuk organik berasal dari kotoran kambing produksi lebih tinggi
dibanding dengan kotoran sapi dan ayam. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) bahwa pupuk
kandang/kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi,
kerbau, dan kambing. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada
jumlah dan jenis makanannya. Menurut Lingga (1991) bahwa diantara jenis pupuk kandang, pupuk
kandang kambing mengandung N, P2O5 dan CaO lebih tinggi dibanding kotoran ternak lainnya.
Pertumbuhan buah juga memerlukan unsur hara terutama nitrogen, fosfor dan kalium. Nitrogen
diperlukan untuk pembentukan klorofil yang berguna dalam proses fotosintesis, selain itu berfungsi
dalam pembentukan protein dan lemak. Unsur fosfor berguna untuk merangsang pertumbuhan akar,
membantu asimilasi dan pernafasan sekaligus mempercepat pembungaan, pembentukan buah dan
pemasakan buah dan biji.
Menurut Lingga dan Marsono (2002) Ca berfungsi dalam merangsang pembentukan bulu
akar, mengeraskan batang tanaman dan merangsang pertumbuhan biji. Ca yang terdapat pada batang
dan daun berkhasiat untuk menetralisasikan senyawa atau suasana yang tidak mengutungkan didalam
tanah.
Penyerapan P terus meningkat dari fase pembibitan sampai berbunga. Dalam keadaan
lingkungan kimiawi optimum, interaksi antara tanah dan unsur hara berbeda beda tergantung pada
macam unsur hara. Kesulitan akan bertambah kalau bahan pupuk mengandung lebih daripada satu
macam unsur hara (amonium sulfat) atau mengandung satu macam unsur hara dalam bentuk kimia
lebih daripada sebuah (amonium nitrat). Efisiensi pemupukan suatu unsur hara berubah menurut
umur tanaman (kelakuan fisiologi). Kelakuan fisiologi tanaman juga dipengaruhi oleh cuaca, musim
dan suhu. Keadaan lingkungan hayati juga mempengaruhi efisiensi pemupukan (Notohadiprawiro ,. et
al 2006).
Tabel 5. Pengaruh Kombinasi Michoriza dan Pupuk Kandang terhadap Produktivitas Buah Naga
Perlakuan
Jumlah buah/tanaman
Produktivitas (ton/ha
MoPo 4.44 a
1.16 a
MoP1 6.15
c
1.52 a
M0P2 6.59
c
1.88 bc
MoP3 6.44
c
1.85 bc
M1P0 5.04 ab
1.55 ab
M1P1 6.89
c
3.27
d
M1p2 7.08
c
3.36
d
M1P3 7.96
cd
3.45
d
M2P0 6.89
c
2.56 bcd
M2P1 9.00
f
3.13
d
M2p2 7.74
cd
3.11
d
M2P3 8.29
de
3.14
d
M3p0 5.96 b
2.04 abc
M3P1 8.55
def
2.65
cd
M3P2 9.41
f
3.12
d
M3P3 9.07
f
3.15
d
Pada tabel 5, ternyata perlakuan (M1P2) pemberian pupuk kotoran sapi disertai dengan
trichoderma menghasilkan produksi buah naga tertinggi yaitu 3.36 ton/ha dibanding dengan
perlakuan lainnya. Hal ini diduga hara berasal dari pupuk dan Trichoderma dapat dimanfaatkan
oleh pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya memperkuat tanaman terhadap serangan penyakit.
Sifat antagonis Cendawan Trichoderma spp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma spp. ke
dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan cendawan ini (Khaeruni,, 2010).
178
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Pemanfaatan pupuk hayati dilakukan berdasarkan respon positif terhadap peningkatan
efektivitas dan efisiensi pemupukan sehingga dapat menghemat biaya pupuk dan penggunaan tenaga
kerja. Teknologi yang dapat digunakan adalah penerapan pupuk mikroba (microbial fertilizer).
Tombe (2008) pupuk hayati bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikroorganisme dan
mempercepat proses mikrobiologis untuk meningkatkan ketersediaan hara, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Pupuk hayati bermanfaat untuk mengaktifkan serapan hara oleh
tanaman, menekan soil borne disease , mempercepat proses pengomposan, memperbaiki struktur
tanah, dan menghasilkan substansi aktif yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.
KESIMPULAN :
1.
Pemeberian pupuk hayati dapat mengurangi serangan penyakit busuk pangkal batang, busuk bakteri, dan
Fusarium pada tanaman buah naga. Pemberian pupuk organik dapat mengurangi serangan gejala busuk pangkal
batang, busuk bakteri dan Fusarium.
2. Pupuk hayati nyata meningkatkan jumlah buah dan produksi buah naga, namun pemberian Trichoderma tidak
nyata dengan pemberian Michoriza. jenis pupuk organik tidak beda nyata terhadap jumlah buah dan produksi
buah naga, namun kotoran kambing produksinya lebih tinggi. Pemberian pupuk kotoran sapi disertai dengan
trichoderma menghasilkan produksi buah naga tertinggi yaitu 3.36 ton/ha.
REFERENSI
Darmono, T. W., 1994. Kemampuan beberapa isolat Trichoderma spp.. Dalam Menekan Inokulum Phytophthora
sp. di dalam Jaringan Buah Kakao. Menara Perkebunan 62 : 2 :25-29.
Djatmiko, H.A., dan Rohadi, S.S., 1997. Efektivitas Trichoderma harzianum Hasil Perbanyakan dalam Sekam Padi
dan Bekatul Terhadap Patogenesitas Plasmodiophora brassicae pada Tanah latosol dan Andosol. Majalah
Ilmiah UNSOED, Purwokerto 2 : 23 : 10-22.
Cherney, J.H.; Q.M. Ketterings & J.L. Orloski (2004). Plant and soil elemental status as influenced by multi-year
nitrogen and potassium fertilization. Journal of Plant Nutrition, 27, 991—1014.
FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Biofertilizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA).
Jurnal Lahan Suboptimal, 1(1) April 2012 39 Tokyo : Japan Atomic Industrial Forum.
Gomez, Kwanchai A, and Arturo A. Gomez. 2007. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition.
An International Rice Research Institute Book. A wiley Interscience Publication. P. 1-15; 97-116;121-156.
Hartati W dan L.R. Widowati .
2006. Pupuk organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Husin, E. F. 1994. Mikoriza. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas, Padang
Ismujiyanto, S. B., Aeny, T.N., Ginting, C., 1996. Pengaruh Cendawan Antagonis Trichoderma viride dan Kompos
Terhadap Intensitas Serangan Fusarium oxysporum Schl. F. Sp. Vanillae (TUCKER) Gordon Penyebab
Penyakit Busuk Batang pada Tanaman Panili (Vanilla plafolia Andrews). JPP. Vol. VIII. No 8 Agustus, hal
85-90
Khaeruni, A.R., 2010. Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Padi: Masalah dan Upaya Pemecahannya.
http://www.rudyct. com/PPS702- ipb/03112/andi_khaeruni.htm
Morton J., 1987. Strawberry Pear, in : Morton, J., Fruits of Warm Climates, Miami Florida, p. 347-348 Prihatini, T.,
A. Kenjtanasari, dan Subowo. 1996. Pemanfaatan Biofertilizer Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian XV (1).
Notohadiprawiro T, Soeprapto Soekodarmodjo dan Endang Sukana. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah dan
Peningkatan Efisiensi Pemupukan. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada
Prihatini, T., A. Kenjtanasari, dan Subowo. 1996. Pemanfaatan Biofertilizer Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian XV (1).
Rao, N.S.S. 1994. Soil Microorganism and Plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co. (Terjemahan H. Susilo.
Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia Press).
179
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Rifai, M., Mujim, S., dan Aeny, T.N., 1996. Pengaruh Lama Investasi Trichoderma viride Terhadap Intensitas
Serangan Pythium sp. Pada Kedelai. Jurnal Penelitian Pertama VII : 8 : 20-25
Sulistyowati, L., Estiejarini, M., Cholil, A., 1997. Tehnik Isolat Trichoderma spp. Sebagai Agen Pengendali Hayati
Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kacang Tanah. Lembaga Penelitian, Universitas Brawijaya, Malang.
Tindaon, H., 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum dan Pupuk Organik Untuk Mengendalikan
Patogen Tular Tanah Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa.
http://repository.usu.ac.id.pdf Akses 10 Agustus 2010
Pinus Lingga. 1991. Jenis dan Kandungan Hara pada Beberapa Kotoran Ternak. Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya (P4S) ANTANAN. Bogor (Tidak dipublikasikan).
Lingga, P. dan Marsono. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tombe, M. 2008. Teknologi aplikasi mikroba pada tanaman. http://www.google/sekilas pupuk hayati.html. [28
Desember 2009].
Wiyono, S. 2013. Mengendalikan Penyakit Buah Naga. Fakultas Pertanian IPB. Peneliti pada Pusat Kajian
Hortikultura – IPB
180
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PENGARUH PEMBENAH TANAH PROCAL TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI
PADA LAHAN SUB OPTIMAL DI KALIMANTAN BARAT
Pratiwi1, Panut1 dan Erison2
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat
2PT. Pertani (Persero)
ABSTRAK
Tanah merupakan media tumbuh alami yang menyediakan makanan (unsur hara) bagi kelangsungan hidup tumbuhtumbuhan (tanaman). Agar tanaman mampu berproduksi optimal berkesinambungan, kualitas tanah harus tetap dipertahankan.
Pada tanah asam serta miskin unsur hara (lahan sub optimal), pertumbuhan tanaman akan terganggu sehingga dapat
menurunkan produksi secara signifikan. Penggunaan bahan pembenah tanah Procal pada budidaya padi sebagai alternatif
amelioran terbaik bagi sustainable kesuburan tanah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas padi, sehingga perlu
dilakukan penelitian untuk melihat sampai seberapa efektif penggunaan bahan pembenah tanah tersebut bagi produktivitas padi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pembenah tanah PROCAL terhadap pertumbuhan dan produktifitas
padi sawah di sub optimal. Penelitian dilakukan di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, pada
bulan April sampai Oktober 2015. Petak penelitian berjumlah 25 buah, dengan ukuran masing-masing petak 20 m x 25 m.
Terdapat empat perlakuan yaitu pemberian Procal 50 kg/ha, 75 kg/ha, 100 kg/ha dan 125 kg/ha, dan sebagai pembanding
digunakan kontrol (perlakuan petani). Varietas yang ditanam adalah Inpara 3. Pengamatan komponen pertumbuhan tanaman
(tinggi tanaman dan jumlah anakan) dilakukan pada umur tanaman 15, 30, 45 dan 60 hari setelah tanam, dengan ulangan
sebanyak 10 tanaman tiap petak perlakuan, dan komponen hasil (berta jerami dan provitas) dilakukan setelah panen. Rancangan
penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap, dan dilanjutkan uji F.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak berbeda nyata, namun
pemberian pembenah tanah PROCAL dengan dosis 125 kg/ha berpengaruh nyata terhadap produktifitas tanaman
padi. Berdasarkan data produktifitas padi pemberian pembenah tanah PROCAL dapat meningkatan produksi ± 25% GKP/ha.
Hasil analisis tanah menyebutkan bahwa terjadi perubahan sifat kimia tanah dan pH tanah. Pada T0= kontrol P2O5 tersedia
18.48 ppm, sementara pada T4 P2O5 tersedia menjadi 58.01 ppm. Kalium pada T0 tersedia 2.81 cmol (+)kg-1, sedangkan pada
T4 tersedia 4.04 cmol (+)kg-1. Dosis pemberian 125 kg/ha pembenah tanah Procal sebelum olah tanah, dapat direkomendasikan
untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan sub optimal.
Kata kunci: pembenah tanah Procal, sub optimal, padi
ABSTRACT
Soil is a natural growing medium which provides food (nutrients) to the survival of plants (plants). So that the plant is able
to produce optimal sustainable, soil quality must be maintained. On acid soils and poor in nutrients (sub-optimal land), plant
growth will be interrupted so as to reduce manufacturing costs significantly. Use sol conditioner of Procal in rice cultivation as
ameliorant best alternative for sustainable soil fertility is expected to increase rice productivity, so it is necessary to do some
research to see how effective until soil conditioner use of the land for rice production.
This study aims to determine the effectiveness of soil conditionerProcal on the growth and productivity of paddy in suboptimal. The study was conducted in Sungai Rengas, Sungai snapper, Kubu Raya, in April and October 2015. The study plots
totaling 25 pieces, with each block size of 20 m x 25 m. There are four treatments, giving Procal 50 kg / ha, 75 kg / ha, 100 kg / ha
and 125 kg / ha, and as a comparison-use controls (treatment of farmers). The varieties planted are Inpara 3. The observation
component of plant growth performed at the age of plants 15, 30, 45 and 60 days after planting, with replications of 10 plants per
plot treatment, and yield components performed after the harvest. Study design Randomized Complete Block Design, and its
continued test F.
The results showed that the parameters of plant height and number of tillers were not significantly different, but the
provision of soil conditioner Procal with 125 kg / ha significantly affect the productivity of rice plants. Based on data from the
productivity of paddy soil conditoner Procal can increase the production of ± 25% GKP / ha. The results of the soil analysis says
that the change of chemical properties of soil and soil pH. At T0 = control P2O5 available 18:48 ppm, while the T4 is available
P2O5 be 58.01 ppm. Available potassium at T0 2.81 cmol (+) kg-1, while the T4 is available 4:04 cmol (+) kg-1. The application of
125 kg / ha soil conditioner Procal before tillage, can be recommended to increase rice productivity in sub-optimal land.
Key words: soil conditioner Procal, sub-optimal land, paddy
181
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan
produkivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu sumber pangan
utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus
bertambah dengan laju peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi
penduduk dari non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat
konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan
lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan
dengan perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan
penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang
ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan
marginal seperti lahan rawa pasang surut. Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta
diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993).
Pemanfaatan lahan tersebut untuk pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi
berkurangnya lahan produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan
pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993) menunjukkan bahwa lahan rawa ini
cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman pangan, perkebunan, hortikultura maupun
usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan
pertanian sekaligus mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya produktivitasnya masih rendah, karena
tingkat kesuburan lahannya rendah, mengandung senyawa pirit, masam, terintrusi air laut dan
dibeberapa bagian tertutup oleh lapisan gambut. Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut
menghadapi berbagai kendala seperti kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas serta
air yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Komoditas yang banyak diusahakan petani
adalah padi dengan teknik budidaya yang diterapkan masih sederhana dan menggunakan varietas
lokal serta pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al, 2000). Untuk
mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut, pemerintah melalui lembaga penelitian
dan perguruan tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa lokasi pasang surut
Kalimantan dan Sumatera selama sekitar 20 tahun. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian
Tanaman Rawa dan berbagai proyek penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara
intensif sejak pertengahan tahun 1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan
dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk mendukung pengembangan
usahatani atau agribinis di lahan pasang surut. Litbang pertanian juga telah menghasilkan berbagai
komponen teknologi pengelolaan lahan dan komoditas serta model usahatani (Ismail et al., 1993 dan
Alihamsyah et al., 2003). Usaha pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut telah lama
digalakkan, namum belum memberikan hasil yang maksimal dan cenderung rendah. Hasil yang
rendah sangat berhubungan erat dengan kendala fisika dan kimia lahan. Sehingga penambahan
bahan organik harus dilakukan tiap tahun untuk mempertahankan produktivitas tanah. Oleh karena
itu, diperlukan bahan amelioran yang mudah tersedia dan mampu bertahan lama di dalam tanah atau
mempunyai efek yang relatif lama.
Pembenah tanah merupakan amelioran tanah yang mampu memperbaiki kemampuan jerap
dan tukar kation, air, dan hara mikro sehingga mengurangi kehilangannya di dalam tanah. Pembenah
tanah merupakan alternatif amelioran terbaik bagi sustainable kesuburan tanah agar nutrisi tanaman
yang ditambahkan menjadi terkontrol sehingga tidak hilang ke lingkungan, keseimbangan antar
kation terjaga, air dapat disimpan dalam tanah sebagai cadangan. Bahan pembenah tanah (soil
conditioner) adalah material-material yang ditambahkan kedalam tanah. Pembenah tanah mampu
memperbaiki struktur tanah, mengubah kapasitas tanah menahan dan melalukan air, sehingga dapat
mendukung pertumbuhan tanaman. Penambahan pembenah tanah dapat meningkatkan kapasitas
lapang dan pertumbuhan pada tanaman padi. Salah satu kunci perbaikan lahan pasang surut adalah
penambahan pembenah tanah. Bahan pembenah tanah merupakan bahan-bahan sintetis atau alami
yang berpotensi untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Tujuan penggunaan bahan
182
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
pembenah tanah adalah : 1. Memperbaiki agregat tanah, 2. Meningkatkan kapasitas tanah menahan
air (water holding capacity), 3. Meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KPK) tanah dan 4.
Memperbaiki ketersediaan unsur hara tertentu. Pemanfaatan pembenah tanah harus memprioritaskan
pada bahan-bahan yang murah, bersifat insitu, dan terbarukan. Menurut Partoyo (2005) indikator
kualitas tanah harus mencerminkan 3 fungsi, yaitu; 1. Melestarikan aktivitas biologi, 2. Pengaturan
dan penyaluran air dan 3. Filter dan buffering.
Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakeristik fisika, kimia dan biologis tanah yang
menggambarkan kondisi tanah. Indeks kualitas tanah menggunakan parameter jeluk perakaran, berat
volume, porositas, debu dan lempung, C-organik, pH, P-tersedia, K-tertukar, N-tersedia dan N-total.
Menurut Yuniwati (2012) kualitas tanah dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyediakan hara
tanaman dan fungsi tanah sebagai produksi tanaman.
Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah. Rata-rata produktivitas padi
4,4 ton/ha (Purba S dan Las, 2002) jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibanding dengan
negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada
peringkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina
6,35 ton/ha (FAO, 1993). Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah
(a) penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) tingkat kesuburan lahan yang
terus menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum
optimal (Guedev S Kush, 2002 dalam Hutapea dan Mashar, 2005).
Lahan kritis adalah kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya kemampuan lahan
dengan penggunaan lahannya, sehingga mengakibatkan kerusakan lahan secara fisik, kimia, maupun
biologis. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan pemberian pembenah
tanah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu
Raya pada bulan April sampai dengan Oktober 2015. Varietas padi yang digunakan adalah varietas
unggul baru (VUB) Inpara 3 yang sudah adaptif. Observasi awal pada lokasi pengkajian dan
pengambilan sampel tanah sawah tempat diadakan demplot untuk mengetahui kebutuhan pupuk dan
pH tanah. Penyiapan lahan dengan pengolahan tanah diawali dengan pembersihan gulma secara
mekanis menggunakan traktor diseluruh lahan sedalam lapisan olah kurang lebih 20 cm. Lahan
kemudian dibuat petak-petak percobaan sesuai dengan perlakuan yang diuji menghadap timur.
Ukuran petak 20 m x 25m, jarak antara petak 50 cm, jumlah petak 25 buah.
Pemberian pembenah tanah Procal dilakukan pada tiap petak perlakuan. Penanaman padi
sistem jajar legowo 4:1, dengan 2-3 batang per lobang tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi
Penyulaman, Penggantian tanaman yang mati dilakukan sampai 7 hari setelah tanam. Pemupukan
dilakukan 3 kali, yaitu; 5-7 HST dengan dosis 33% Urea dan 100% Sp-36, pemupukan kedua umur
15 HST dengan dosis 33% Urea dan 50 % KCL, dan pemupukan ketiga 30 HST dengan dosis 33%
ditambah 50% KCL. Pengamatan OPT dilakukan mulai tanam sampai padi siap panen.
Pengkajian dilaksanakan di lahan sawah pasang surut luapan type C dengan komoditas
tanaman padi varietas unggul baru (VUB) Inpara-1 dan Inpara-2. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap, dengan dosis Procal sebagai perlakuan.
Perlakuan yang digunakan adalah T0 (kontrol/perlakuan petani), T1 (Procal 50 kg/ha), T2 (Procal 75
kg/ha), T3 (Procal 100 kg/ha) dan T4 (Procal 125 kg/ha). Parameter yang diamati meliputi Data
tanah sebelum dan sesudah pengkajian. Data fisiologis tanaman, meliputi komponen pertumbuhan
tanaman (tinggi tanaman dan jumlah anakan pada umur 15, 30, 45 dan 60 HST); komponen hasil
(berat jerami dan dan produktivitas tanaman per ha). Data yang diperoleh dianalisis secara tabulasi
dan statistik. Analisis statistik menggunakan anova dan jika terdapat perbedaan yang nyata
dilanjutkan dengan Uji DMRT 5%.
183
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan penelitian uji pengaruh Procal dilakukan di Desa Sungai Rengas, Kecamatan
Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya dengan topografi lahan pasang surut type luapan C dan
dilaksanakan pada MK 2015. Pengamatan tinggi dan jumlah anakan tanaman padi dilakukan pada
umur tanaman 15 HST,30 HST, 45 HST, dan 60 HST. Pengamatan dilakukan di setiap petak
perlakuan dengan sampel 10 tanaman tetap. Dari hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif tanaman
(tinggi tanaman dan jumlah anakan) padi pada setiap perlakuan T0= kontrol, T1=50 kg Procal/ha,
T2=75 kg Procal/ha, T3=100 kg Procal/ha, dan T4=125 kg Procal/ha, menunjukkan bahwa dengan
pemberian PROCAL 125 kg/ha memberikan parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan memiliki
nilai terbesar dengan rata-rata 95,21 cm, sedangkan jumlah anakan rata-rata 14 batang/rumpun.
Sedangkan T1, T2, dan T3 tinggi tanaman padi rata-rata 93,4 - 94,8 cm, dengan jumlah anakan ratarata 13 batang/rumpun. T0 sebagai kontrol rata-rata tinggi tanaman padi 93,04 cm dengan jumlah
anakan rata-rata 12 batang/rumpun.
Tabel 1. Keragaan komponen pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) pada umur
15, 30, 45 dan 60 hst.
Waktu Pengamatan
15 HST
30 HST
45 HST
60 HST
P
Tinggi
Jumlah
Tinggi
Jumlah
Tinggi
Jumlah
Tinggi
Jumlah
erlakuan
Tanaman Anakan Tanaman Anakan Tanaman Anakan Tanaman Anakan
(cm)
(cm)
(cm)
(cm)
T0
48,06 a
15,64 a 74,14 a
23,28 a 79,68 a
23,62 a 94,16 a
27,1 a
T1
50,46 a
8,7 a
77,02 a
12,82 a 82,02 a
13,64 a 93,50 a
12,34 a
T2
49,34 a
12,08 a 77,26 a
12,5 a
81,36 a
13,58 a 94,46 a
11,76 a
T3
50,44 a
11,78 a 78,08 a
12,72 a 82,88 a
13,4 a
94,80 a
12,16 a
T4
50,18 a
9,82 a
77,18 a
12,42 a 81,74 a
14,26 a 95,32 a
12,54 a
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Berdasarkan anova pada tabel 1 ditunjukkan bahwa pemberian pembenah tanah Procal tidak
berpengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tinggi tanaman sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik varietas namun dapat dipengaruhi juga oleh sensitifitas tanaman
terhadap lingkungan seperti ketersediaan hara dalam tanah, namun belum menjamin tingkat
produksinya (Kaihatu dan Pesireron, 2011). Pemberian pembenah tanah Procal dengan berbagai
dosis yang diperlakukan tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman padi.
Tabel 2. Keragaan hasil (berat jerami dan provitas) tanaman padi dengan pemberian pembenah tanah
Procal.
Perlakuan
Berat jerami (gram)
Provitas (ton/ha)
T0
64,04 b
1,68 c
T1
70,82 ab
1,92 b
T2
71,92 ab
2,02 ab
T3
79,48 a
2,05 ab
T4
73,82 ab
2,10 a
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Hasil anova pada tabel 2 menunjukkan bahwa pembenah tanah Procal berpengaruh nyata
pada berat jerami dan provitas. Terlihat bahwa dengan pemberian Procal dapat meningkatkan berat
kering jerami padi. Berat kering jerami berbanding lurus dengan berat brangkasan dan hasil panen,
sehingga semakin besar dosis Procal yang diuji, produksi juga makin tinggi. Pemberian Procal
dengan dosis 125 kg/ha mampu memberikan produktivitas tertinggi yaitu sebesar 2,10 ton/ha.
184
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Apabila tidak menggunakan Procal (kontrol) hanya mampu berproduksi 1,68 ton/ha. Penambahan
Procal mampu meningkatkan produksi 0,42 ton/ha atau meningkat sekitar 25% per hektar.
Pemberian Procal dengan dosis 125 kg/ha mampu memberikan produktivitas tertinggi yaitu
sebesar 2,10 ton/ha. Apabila tidak menggunakan Procal (kontrol) hanya mampu berproduksi 1,68
ton/ha. Penambahan Procal mampu meningkatkan produksi 0,42 ton/ha atau meningkat sekitar 25%
per hektar. Apabila diasumsikan harga jual gabah Rp.5.000,- per kilogram maka keuntungan yang
didapat sekitar Rp. 2.100.000,- per hektar.
Soil management atau pengelolaan tanah secara berimbang, sesuai dengan tingkat kesuburan
tanah dan kebutuhan tanaman menjadi penentu dalam peningkatan produksi. Fungsi pembenah tanah
PROCAL bagi tanaman padi yaitu, 1) Meningkatkan pH tanah yang asam. Di lokasi kegiatan
pengkajian pada TO (kontrol ) tidak menggunakan pembenah tanah PROCAL pH tanah 4,27,
terjadi peningkatan pH tanah 16,2% atau pH 4,96 pada perlakuan T4 (dosis 125 kg Procal/ha). Hal
ini disebabkan karena ion hidroksi OH dari hasil hidrolisa akan mengikat ion Hidrogen H di dalam
tanah yang masam sehingga pH tanah akan naik. Kondisi pH yang optimum, secara kimia akan
menurunkan daya larut Fe, Mn, dan Al sedangkan di sisi lain akan memperbaiki ketersediaan Fosfat,
Mo, dan Kalium. Selain itu secara biologi akan merangsang kegiatan mikroba, merangsang fiksasi
nitrogen dari udara, dan mempercepat proses aminisasi, amonifikasi, dan oksidasi belerang, 2)
Meningkatkan ketahanan dari hama dan penyakit tanaman. Hal tersebut disebabkan karena ion
Calsium (Ca2+) akan diserap tanaman untuk memperkuat dinding sel, sehingga daun tanaman padi
lebih tebal dan batang kokoh, 3) Meningkatkan warna daun (klorofil), hal ini karena dalam Procal
mengandung unsur Magnesium (Mg) yang berperan dalam proses fotosintesa, sehingga warna daun
akan menjadi lebih hijau dan, 4) mempercepat pertumbuhan tanaman padi karena PROCAL
mengandung unsur Nitrogen (N). Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi
atau hasil yaitu : 1) penggunaan VUB, 2) benih bermutu, 3) penggunaan bibit muda, 4) cara tanam
jajar legowo, dan 5) pengelolaan hara terpadu menjadi kunci keberhasilan peningkatan produksi padi
sawah. Kelima faktor tersebut merupakan komponen utama dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu
atau dikenal dengan istilah PTT (Anonim, 2010).
Komponen rekomendasi pembenah tanah “Procal”
Penelitian uji pengaruh Procal ini dilakukan dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) padi. Komponen teknologi yang diterapkan tertera pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Komponen teknologi rekomendasi pembenah “Procal”
Komponen Teknologi
Dosis pembenah tanah “Procal”
125 kg/ha
Aplikasi pembenah tanah “Procal”
Ditebar sebelum olah tanah
Pengolahan tanah
Sempurna
Umur pindah bibit
2-3 minggu
Sistem tanam
Jajar legowo 4 : 1
Jumlah bibit per lubang tanam
2-3 batang
Dosis pupuk anorganik
- Urea 200 kg
- Sp-36 100 kg
- KCl 50 kg
Untuk mendapatkan hasil produksi padi yang optimal, perlu dilakukan dengan memberikan
bahan pembenah tanah Procal dengan dosis 125 kg/ha yang ditebarkan sebelum pengolahan tanah.
Pengelolaan budidaya padi dianjurkan menggunakan komponen teknologi PTT.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penggunaan pembenah tanah Procal dengan berbagai macam dosis yang diuji tidak
memberikan pengaruh nyata pada komponen pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) padi,
namun berpengaruh nyata pada komponen hasil padi (berat jerami dan produktivitas). Penggunaan
pembenah tanah PROCAL dengan dosis 125 kg/ha dapat meningkatan produksi ± 25% GKP/ha.
185
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
REFERENSI
Ahmad Ansori Mattjik Ir., M. Sc., Ph.D dan Made Sumertajaya Ir., M.Si. (2000). Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS, MINITAB, dan SPSS. IPB PRESS, BOGOR.
Alihamsyah, T., Muhrizal Sarwani, and Isdianto Ar-Riza. 2002. "Komponen utama teknologi optimalisasi lahan
pasang surut sebagai sumber pertumbuhan produksi padi masa depan." Makalah disajikan pada Seminar
IPTEK Padi, Pekan Padi Nasional di Sukamandi. Vol. 5.
Anonim. http://www.petrokimia-gresik.com/SP-36.asp> Diakses tanggal 5 April 2011 Pukul 14.00 WIB 2002.
Pupuk SP-36 Sebagai Sumber Fosfor.
Hutapea, J., dan Ali Zum Mashar, 2007. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas menuju Kemandirian
Pertanian Indonesia. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi
22 Maret 2002.
Ismail, I. G., T. Alihamsyah, I.P. Widjaja-Adi, Suwarno, T. Herawati, R. Tahir dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu
Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Kaihatu, S. S. dan M. Pesireron. 2011. Adaptasi beberapa varietas unggul padisawah di Morokai. Jurnal Agrivigor
11(2): 174-184.
Partoyo. 2005. Analisis indeks kualitas tanah pertanian di lahan pasir pantai Samas Yogyakarta. Ilmu Pertanian Vol.
12 No.2, 2005 : 140 – 15
Sri Adiningsih J., M. Soepartini, A. Kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan
Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk
Pembangunan Kawasan Baratl Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994
Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000.Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan
teknologi sistem usaha tani terpadu. Dalam E.E. Ananto, I.G. Ismail, Subagio, Suwarno, A. Djajanegara, dan
H. Supriyadi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. Bogor.
Yuniwati, M., F. Iskarima, dan Adiningsih. P. 2012. Optimasi kondisi proses pembuatan kompos dari sampah
organk dengan cara fermentasi mengguakan EM4. Jurnal Teknologi. Volume 5 Nomor 2. 172-181
186
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
KONTROVERSI TENTANG DAN STANDAR MUTU BIOCHAR
Controversy on and Quality Standard Biochar
Didiek Hadjar Goenadi 1) dan Laksmita Prima Santi 2)
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia
PT Riset Perkebunan Nusantara
Jl. Taman Kencana No.1 Bogor, 16128 - E-mail: [email protected]
1) Advisor of the International Biochar Initiative
2) Chapter Member of the International Biochar Initiative & ABI
ABSTRAK
Biochar is a new materials researched intensively within the last years in various parts of the world. This is fuelled by the
fact that the lands of Terra Preta in the Amazon region of South America, is known to be very fertile because it contains charchoal
that was formed from the minimal oxygen combustion (pyrolysis) at times thousands of years ago. Under the conditions of
technological advances like this now researchers tried to replicate in obtaining similar material which was then widely known by
the term biochar and test its usefulness mainly to improved soil conditions in order to generate growth and better crop production
and the same time capable of being a barrier to the release of carbon into the atmosphere (carbon sequestering). As a new
research topic of course understandable that it raises and the pro-cons, especially regarding the positive benefits widely. One of the
pro-was written by Lehman & Joseph (2010) entitled Biochar Environment Management-Science and Technology. Otherwise the
controversy are presented by F. Verheijen et al. (2010) entitled Biochar Application to Soils. The following description is trying to
look at it from two angles to give the real picture for the prospective applicants for research and or user of biochar to the benefit of
improved health and productivity of the soil. At the end of the description given the need for quality requirements of biochar to
obtain comparable results.
[Key words: charchoal, pyrolysis, soil conditions, quality]
_________________________________________________________________________
Makalah disajikan pada Kongres Asosiasi Biochar Indonesia (ABI) dan Seminar Nasional
Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lahan Sub-Optimal untuk Mendukung Terwujudnya
Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional di Gedung Auditorium Universitas Panca Bhakti,
Pontianak, 2-3 Mei 2016.
ABSTRAK
Biochar merupakan material baru yang diteliti secara intensif dalam waktu sepuluh tahun terakhir di berbagai penjuru
dunia. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa tanah-tanah Terra Preta di wilayah Amazon, Amerika Selatan, dikenal sangat subur
karena mengandung arang yang dibentuk dari pembakaran minim oksigen (pirolisis) di jaman ribuan tahun yang lalu. Dalam
kondisi kemajuan teknologi seperti sekarang ini para peneliti mencoba untuk meniru dalam memperoleh material serupa yang
kemudian dikenal secara luas dengan istilah biochar dan menguji manfaatnya terutama untuk perbaikan kondisi tanah agar
menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik dan sekaligus mampu menjadi penghambat lepasnya karbon
ke atmosfir (carbon sequestering).
Sebagai sebuah topik riset yang baru tentu saja dapat dipahami bahwa hal tersebut menimbulkan pro- dan kontra,
khususnya yang menyangkut manfaat positif secara luas. Salah satunya yang pro- adalah yang ditulis oleh Lehmann & Joseph
(2010) yang berjudul Biochar-Environment Management-Science and Technology. Sebaliknya yang kontra adalah yang disajikan
oleh F. Verheijen et al. (2010) yang berjudul Biochar Application to Soils. Uraian berikut ini mencoba untuk melihat dari dua
sudut tersebut untuk memberikan gambaran yang sebenarnya bagi para calon peminat riset dan/atau pengguna biochar untuk
kepentingan perbaikan kesehatan dan produktivitas tanah. Pada akhir uraian disampaikan perlunya persyaratan mutu bio-char
untuk memperoleh hasil yang dapat diperbandingkan.
PENDAHULUAN
Secara sederhana biochar adalah produk yang kaya dengan karbon yang diperoleh dari
biomas, seperti kayu, pupuk kandang, atau dedaunan dipanaskan dalam tempat tertutup dengan
187
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
sedikit atau tanpa tersedia udara. Secara lebih teknis, biochar dihasilkan melalui teknologi proses
yang disebut dekomposisi termal dari bahan organik di bawah kondisi pasokan oksigen yang terbatas
dan pada suhu yang tergolong rendah (< 7000 C ). Proses ini mirip dengan pembuatan arang, yang
merupakan teknologi kuno, kalau bukan yang tertua. Bagaimanapun juga proses produksi biochar
berbeda dengan produksi arang dari sisi tujuan penggunaannya di mana biochar ditujukan untuk
aplikasi ke tanah sebagai alat untuk memperbaiki produktivitas tanah, penyimpanan karbon, atau
filtrasi dari perkolasi air tanah.
Pendapat Kelompok Pro-Biochar
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kumpulan artikel yang dihimpun oleh Lehmann &
Joseph (2010) menyajikan aspek-aspek sebagai berikut: pengertian dasar, sifat-sifat fisik, sifat
mikrokimia, sifat organo-kimia, sifat hara dan manfaatnya, sifat-sifat biologi, klasifikasi dan metode
uji, tehnologi produksi, sistem biochar, perubahan biochar dalam tanah, kemantapan biochar di
dalam tanah, aplikasi ke tanah, emisi dari gas rumah kaca bukan CO2 dari tanah, pengaruh terhadap
transformasi hara, pengaruhnya terhadap pencucian hara, jerapan oleh senyawa organik, prosedur uji
untuk menentukan jumlahnya di dalam tanah, perhitungan dan perdagangan gas rumah kaca,
keekonomian produksi, penggunaan, dan penurunan gas rumah kaca, penilaian dan implementasi
sosio-ekonomi skala kecil, konsep esensial untuk pemasarannya, dan kebijakan tentang ancaman
perubahan iklim dan peran biochar.
Para penulis dalam edisi tersebut di atas sebagian besar menyadari keterbatasan data yang
tersedia dan oleh karenanya mereka mengidentifikasi berbagai hal yang masih memerlukan riset
lanjutan.
Di antara topik riset yang diusulkan adalah menyangkut mekanisme bio-char
mempengaruhi proses di dalam tanah dan informasi tentang perubahan sifat fisik biochar sejalan
dengan waktu dan pengaruh perubahannya terhadap fungsinya. Para peneliti juga menyadari bahwa
perkembangan teknologi bio-char masih dalam tahap awal sehingga memerlukan banyak konfirmasi,
walaupun di antara riset yang dilaporkan menunjukkan hasil yang positif. Untuk menyebutkan
contoh tentang hal ini adalah yang telah dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri
Indonesia (PPBBI). Hasil pengujian sifat retensi air, kemampuan menaikkan kemantapan agregat
tanah, sebagai tempat kolonisasi bakteri dan fungi bermanfaat, serta dampak terhadap pertumbuhan
akar tanaman menunjukkan hasil yang positif. Selain itu pula telah dilakukan riset dasar di PPBBI
mengenai komposisi gugus fungsional biochar untuk mengetahui potensinya sebagai pemantap
agregat tanah dan kemampuan meretensi air (Santi & Goenadi, 2012).
Prospek penggunaan biochar untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas serta
sequestrasi karbon tergolong cukup prospektif. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa penambahan
bio-char ke tanah mampu mengubah sifat fisik tanah yaitu mempengaruhi kedalaman tanah, tekstur,
struktur, porositas dan konsistensi melalui perubahan luas permukaan, distribusi ruang pori,
kerapatan dan pemampatan. Pengaruh biochar terhadap sifat fisik tanah dapat kemudian
mempengaruhi secara langsung terhadap pertumbuhan tanaman karena kedalaman penetrasi akar dan
ketersediaan udara dan air di dalam zona perakaran sangat ditentukan oleh perbaikan horizon tanah.
Kehadiran bio-char dalam tanah akan secara langsung mempengaruhi tanah dalam merespon air,
agregasi, kemudahan olah, dinamika mengembang dan mengkerut dan permeabilitas, serta kapasitas
mengikat kation dan tanggap terhadap perubahan suhu. Selain itu, secara tidak langsung perubahan
sifat fisik ini akan mempengaruhi sifat kimia tanah seperti misalnya reaksi kimia dan perubahan
habitat mikroba yang terlindungi. Selain itu, keberadaan pori makro dan mikro menentukan sifat
aerasi dan hidrologi tanah.
Bagaimanapun juga pengaruh biochar terhadap transformasi hara tanah belum cukup
dipelajari. Beberapa aspek penting yang perlu ditentukan antara lain adalah: (i) mekanisme bio-char
mempengaruhi mineralisasi dan imobilisasi N pada berbagai ekosistem, (ii) jerapan NH4 oleh
biochar akan mengurangi ketersediaan N atau memusatkan N untuk kebutuhan tanaman dan
mikroba, dan (iii) mekanisme stimulasi bio-char dalam meningkatkan P tanah. Di pihak lain
beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa permukaan negatif biochar secara langsung menjerap
kation, meningkatkan kapasitas menyimpan air tanah, dan meningkatkan biomas mikroba dan siklus
hara.
188
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Pendapat Kelompok yang Kontra Bio-Char
Kelompok yang dapat dikatakan kontra biochar adalah di antaranya diwakili oleh F.
Verheijen et al. (2010) dengan melakukan review terhadap berbagai hasil riset yang dapat
dijumpainya. Review ini dikemas dengan judul Biochar Application to Soils dan diterbitkan oleh
JRC Scientific and Technical Reports. Tim Reviewer ini mencoba menganalisis secara kritis dari sisi
ilmiah dalam rangka memberikan saran untuk penggunaan bio-char secara luas. Peneliti dari
kelompok ini berpendapat bahwa data yang diperoleh sejauh ini dalam pengujian biochar dianggap
belum memadai karena masih tergolong penelitian awal dan memerlukan bukti-bukti yang valid
untuk berbagai lingkungan agroklimat.
Hal-hal yang disoroti adalah yang bersifat negatif seperti: (i) penggunaan bio-char yang
terkait dengan kondisi di wilayah Amazon, (ii) kehilangan tanah akibat erosi, (iii) pemadatan tanah
selama aplikasi, (iv) risiko kontaminasi, (v) pengambilan residu tanaman, (vi) aspek kesehatan dan
bahaya api, dan (vii) pengurangan tingkat kehidupan cacing. Di samping itu, beberapa aspek yang
menyangkut manfaat penggunaan bio-char dan mekanismenya juga menjadi perhatian para peneliti
ini. Beberapa hal yang dipersoalkan sudah diteliti salah satunya di Pusat Penelitian Bioteknologi dan
Bioindustri Indonesia, misalnya seperti kadar logam berat dalam bio-char dan hal lainnya yang
terkait standardisasi produk biochar yang telah ditetapkan oleh IBI (International Biochar Initiatives).
Selain itu beberapa penelitian lain juga mendukung asumsi positif dari pemanfaatan biochar, seperti
Zagal et al. (2013) dan Carter et al. (2013). Bagaimanapun juga, kelompok ini meminta perhatian
semua pihak untuk mengumpulkan data yang menyeluruh sebelum merekomendasikan penggunaan
biochar dalam skala luas.
Standar Mutu
Seperti halnya produk-produk yang digunakan dalam bidang pertanian dan industri harus
memenuhi standar mutu tertentu. Tujuannya adalah memenuhi keinginan pelanggan tentang sifatsifat produk yang dibelinya dan menentukan pilihan jenis produk yang mana yang tepat untuk
memenuhi tujuan aplikasinya. Dengan kata lain, klasifikasi produk diperlukan sebagai referensi
jaminan mutu bagi pelanggan karena perbedaan kelas yang dibuat akan terkait erat dengan karakter
dari barang termaksud. Ketika sistem klasifikasi sudah dikembangkan, satu perangkat standar dapat
dibuat. Standar ini selanjutnya bisa diformalkan melalui sebuah forum internasional atau asosiasi
standar negara. Sebagai contoh adalah berkembangnya berbagai sistem klasifikasi kompos di
berbagai negara. Bagaimanapun juga, sistem klasifikasi harus bersifat terbuka dan mengakomodasi
kemungkinan perubahan sesuai dengan perkembangannya.
Untuk tujuan seperti itulah International Biochar Initiative (IBI), sebuah organisasi nir-laba
yang berpusat di Westerville, Ohio, AS, mencoba secara rutin melakukan perbaikan terhadap skema
standar mutu biochar. Standar mutu yang dikembangkan ini dari tahun ke tahun dievaluasi oleh
sebuah komisi penasehat yang beranggotakan berbagai peneliti biochar di berbagai negara, termasuk
Indonesia. Tujuan utama yang paling penting yang mendorong pengelolaan biochar untuk tanah
antara lain adalah (Joseph et al., 2009):

Meningkatkan kapasitas menahan air dan sifat-sifat fisik lain tanah,

Meningkatkan sumber karbon yang stabil

Jerapan/pengkompleksan bahan organik tanah dan senyawa beracun

Jerapan dan reaksi dengan gas-gas di antara tanah contohnya NO2

Pengikatan nutrisi dan penambahan (dalam kasus biochar mengandung abu mineral tinggi)
dan

Peningkatan pertumbuhan dari mikroba bermanfaat.
Berbagai peneliti dan pengguna menggunakan satu terminologi yang berbeda-beda di dalam
membahas biochar. Terdapat berbagai naman untuk untuk produk bahan organik yang telah diproses
secara pirolisis (karbonisasi) atau gasifikasi (oksidasi sebagian), dan penggunaan dalam tujuan
pertanian dan industri (seperti karbon amorf, arang, arang hitam, karbon aktif, biochar dan Agrichar
TM). Salah satu terminologi adalah yang diusulkan oleh Fitzer et al., (1995). Perbedaan istilah
terjadi untuk ‘char’ yang merupakan sisa pembakaran biomasa dari pembakaran alami dan arang
(charcoal) yang ditujukan untuk bahan bakar/energi. Komisi Penasehat IBI telah sepakat dengan
189
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
definisi biochar sebagai berikut: Biochar adalah arang hitamg berukuran halus yang mengandung
bahan karbon organik tinggi dan sangat tanah terhadap dekomposisi. Bahan ini diproduksi dari
pirolisis dari tanamanan dan limbah kayu sebagai bahan baku. Sebagai pembenah tanah, biochar
menciptakan kumpulan karbon tanah rekalsitran yang bersifat karbon negatif, yang berfungsi sebagai
suatu pelepasan bersih karbon dioksida atmosfir yang disimpan dalam cadangan karbon yang sangat
rekalsitran. Kapasitas retensi hara dari tanah yang diberi biochar tidak saja mengurangi kebutuhan
pupuk secara total , tetapi juga dampak iklim dan lingkungan dari lahan pertanaman.
Selain hal tersebut di atas, definisi yang lebih mendasar pernah diberikan oleh FAO (1983)
dan Clarke (2001) ketika ditujukan sebagai bahan bakar atau pereduksi. Bagaimanapun juga belum
ada klasifikasi untuk arang.
Standar Mutu versi IBI
Untuk memberikan pedoman tentang standar produk biochar, IBI telah mengeluarkan standar
mutu biochar. Versi terakhir (Versi 2.0) diterbitkan bulan Oktober 2014. Revisi kebijakan dalam
versi terbaru ini mencakup: (i) kebutuhan uji untuk biochar yang melapuk (disetujui oleh 86%
anggota), (ii) waktu uji untuk biochar pasca-proses (disepakati oleh 93% anggota), (iii) provisi untuk
abu biomasa karbon yang tinggi (disepakati oleh 82% anggota), dan (iv) prosedur pengambilan
contoh biochar (disepakati oleh 93% anggota). Keputusan ini diambil setelah proses setahun lebih
yang melibatkan aspirasi publik, informasi dari webminar, dua putaran sekelompok ahli biochar, dan
pemilihan suara oleh anggota resmi IBI.
Pada tanggal 29 Mei 2013, IBI secara resmi meluncurkan Program Sertifikasi Biochar IBI,
yang dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan industri biochar. Melalui program ini produsen
biochar dapat mensertifikasi produknya sesuai dengan standar mutu dan aman diaplikasikan ke
dalam tanah. Sekali mendapat sertifikat IBI, maka label IBI Certified dapat dipasang pada labelnya.
Standard Biochar IBI berfungsi sebagai landasan untuk Program Serifikasi Biochar IBI dan
persetujuan sertifikasi ini membutuhkan bahwa biochar lolos uju persyaratan yang disepesifikasikan
oleh Standar Biochar IBI. Program ini dengan mudah dapat diakses oleh perusahaan melalui
http://www.biochar-international.org/certification, yang memungkinkan produsen biochar
berpartisipasi untuk mendaftar, mengajukan, dan menyerahkan dokumentasinya secara on-line.
Penutup
Dari uraian di atas yang menyangkut kedua kelompok pandangan terhadap aplikasi biochar
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Keduanya memiliki pandangan yang sama tentang tingkat riset dan pengembangan biochar masih
tergolong dini, sehingga tidak cukup untuk membangun sebuah formulasi kebijakan untuk skala
luas.
2. Kelompok yang Kontra biochar kurang menyadari bahwa perkembangan riset biochar dalam
lima tahun terakhir telah cukup maju dan bukti-bukti tentang peran biochar dalam memacu
pertumbuhan tanaman telah muali banyak diperoleh.
3. Secara teori sifat fisiko-kimia biochar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanaman,
karena perannya dalam imobilisasi hara yang kemudian akan dapat diambil akar dan kapasitas
menahan air yang lebih baik.
4. Perlunya standar mutu biochar untuk menjamin manfaat yang akan dinikmati oleh pengguna di
berbagai bidang aplikasi, khususnya di bidang pertanian.
REFERENSI
Carter, S., S. Shackley, S. P. Soji, B. S. Tan & S. Haefele. 2013. The impact of biochar application on soil properties
and plant gowth of pot grown lettuce (Lactuca sativa) and cabbage (Brassica chinensis). Agron., 3:404-418.
Clarke, K. 2001. Alternatives Reductants of Silicon Smelting. Investigation Report CET/IR289, SCIRO, Sydney,
Australia.
FAO. 1983. Simple technology for charcoal making. FAO Forestry Paper 41. FAO, Rome, Italy.
190
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Fitzer, E., K-H. Kochling, H. P. Boem & H. Marsh. 1995. Recommended terminology for the description of carbon
as a solid. Pure Appl. Chem., 67:473-506
Joseph, S., C. Peacocke, J. Lehmann & P. Munroe. 2009. Developing a biochar classification and test methods. In:
Biochar for Environmental Management. J. Lehmaan & S. Joseph (eds). p.:107-126. Earthscan Pub. Co.
London, UK.
Lehmann, J. & S. Joseph. 2010. Biochar for Environmental Management. 2nd Ed. Earthscan Pub. Co. London,
UK. 416pp.
Prendergast-Miller, M. T., M. Duvall & S. P. Sohi.. 2014. Biochar-root interactions are mediated by biochar nutrient
content and impacts on soil nutrient availability. Eu. J. Soil Sci., 65:173-185.
Santi, L. P. & D. H. Goenadi. 2012. The use of bio-char originated from palm kernel shell as a carrier of aggregate
stabilizing microbes. Pros Seminar Nasional Biochar, Malang 26-27 Juni 2012
Verheijen, F., S. Jeffery, A.C. Bastos, M. van der Velde, I. Diafas. 2010. Biochar Application to Soils: A Critical
Scientific Review of Effects on Soil Properties, Processes and Function. European Commission, Joint
Research Centre Institute for Environment and Sustainability. 166pp.
Zagal, E., C. Cordova, S. P. Soji & D. S. Powlson. 2013. Free and intra-aggregate organic matter as indicators of
soil quality change in volcanic soils under contrasting crop rotations. Soil Use & Manag., 29:531-539.
[akhir dokumen]
191
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PENGELOLAAN DRAINASE DAN PEMBERIAN ARANG HAYATI
UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI LAHAN PASANG SURUT
BUKAAN BARU DI KALIMANTAN BARAT
Muhammad Hatta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No 45 Pontianak, 78241. Fax : 0561883883.
HP : 0816 4983449. e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non pertanian rata-rata 200.000 hektar setiap tahun. Upaya yang
telah dilakukan dengan pembukaan sawah baru yang luasannya telah mencapai 17.000 hektar di Kalimantan Barat. Namun
demikian masih banyak kendala dan masalah antara lain produktivitas lahan yang masih rendah. Tujuan penelitian untuk
mengkaji pengelolaan drainase dan pemberian arang hayati terhadap produktivitas tanaman padi di lahan sawah pasang surut
bukaan baru. Metoda yang digunakan berupa percobaan lapang di lahan sawah pasang surut bukaan baru dengan Rancangan
Acak Kelompok diulang 5 kali. Perlakuan yang dicobakan adalah pengelolaan drainase dengan cara pengeringan lahan sawah
selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu, pengeringan 1 minggu dan penggenangan 2 minggu, dan pemberian arang hayati
5 t ha-1 yang dibandingkan dengan cara petani atau anjuran setempat. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan drainase
dengan cara pengeringan 1 minggu dan penggenangan 1 minggu dan pemberian arang hayati 5 t ha-1 pada lahan sawah pasang
surut bukaan baru dapat meningkatkan hasil gabah kering giling (GKG) sebesar 237 % atau dari 1,4 t ha-1 menjadi 4,7 t ha-1
GKG dan dapat menurunkan kadar Fe sebesar 50 % atau dari 384 ppm menjadi 192 ppm.
Kata Kunci : pasang surut, bukaan baru, unsur beracun, drainase, arang hayati, produktivitas, padi
PENDAHULUAN
Program swasembada beras dan pemantapan ketahanan pangan nasional terus dilakukan pemerintah
melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi tanaman padi di Pulau Jawa cukup berhasil dengan
adanya surplus beras 4,5 – 5 juta t pada tahun 2012, dan pemerintah telah mencanangkan pertumbuhan produksi
padi meningkat sebesar 5,22% per tahun (Perrmentan, 2011). Namun demikian kebutuhan beras nasional akan terus
meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin sempitnya lahan sawah karena telah beralih fungsi
menjadi lahan non pertanian. Badan Pusat Statistik (2015) melaporkan berdasarkan data Susenas tahun 2015, jumlah
penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 1,49 persen per tahun. Sementara itu luas
lahan pertanian yang beralih fungsi ke non-pertanian rata-rata 200.000 hektar per tahun. Kondisi demikian program
peningkatan produksi beras nasional menjadi sangat penting guna mendukung pencapaian swasembada beras yang
berkelanjutan dan pemantapan ketahanan pangan nasional. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk
mencapai target produksi atau peningkatan produksi padi 5,22% per tahun tersebut adalah dengan perluasan areal
(ekstensifikasi). Program ekstensifikasi dilakukan dengan pembukaan persawahan baru di luar Pulau Jawa antara
lain di Kalimantan Barat. Perluasan areal tanaman padi di Kalimantan Barat melalui pencetakan sawah baru telah
dilakukan di beberapa kabupaten dan luasannya telah mencapai 17.000 hektar (Ditjen PSP, 2012). Tahun 2016 telah
diprogramkan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat untuk mencetak sawah baru seluas
15.000 ha (Dinas TPH Provinsi Kalimantan Barat, 2015).
Perluasan lahan sawah baru untuk tanaman pangan terutama di lahan sawah pasang surut masih banyak
mengalami kendala dan masalah terutama produktivitas lahan yang masih rendah. Hal ini disebabkan adanya
konsentrasi unsur beracun di dalam tanah seperti Fe, Al, dan Mn, serta kahat akan unsur hara P, K, Ca, Mg, dan Zn.
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produktivitas lahan sawah pasang surut bukaan baru di
Kalimantan Barat adalah meningkatkan produktivitas lahannya dengan melakukan pengelolaan drainase dan hara
secara spesifik lokasi. Oleh karena itu penerapan teknologi spesifik lokasi yang berdasarkan kondisi dan karakteristik
lahan setempat, merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Upaya yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan peningkatan produktivitas tanaman padi di lahan sawah pasang surut bukaan
baru antara lain dengan pengelolaan drainase. Pengelolaan drainase ini dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi
kelarutan Fe2+ dan unsur-unsur beracun lainnya melalui proses perlindian. Sedangkan pemberian arang hayati
192
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
(biocharcoal) dimaksudkan untuk mengelola kesimbangan unsur hara dalam tanah sehingga dapat meningkatkan
kesuburan tanah.
Arang hayati (biochar) mampu meningkatkan retensi hara dalam tanah. Penggunaan arang hayati sebagai
penyubur tanah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat tani di Kalimantan Barat, sering
masyarakat tani di Kalimantan Barat menyebutnya dengan tanah hitam/tanah bakar. Tanah hitam tersebut ternyata
disebabkan kandungan karbon hitam (biochar) dan sebagai sumber bahan organik tanah dan mepunyai retensi hara
yang tinggi. Karbon hitam tersebut berasal dari pembakaran tak sempurna biomassa karbon. Biomassa tersebut bisa
berasal dari kayu dapur atau mungkin juga dari pembakaran oleh penduduk di lahan. Menurut Lehmann dan
Rondon (2006) bahwa residu dari prosesing biji-bijian seperti sekam padi dan residu usaha perkayuan seperti serbuk
gergaji dapat digunakan untuk membuat arang hayati.
Arang hayati dapat menambah retensi air dan hara tanah dan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara
dalam tanah. Dilaporkan oleh Gani (2014) bahwa efek peningkatan kandungan karbon dalam tanah lebih permanen
pada penambahan biochar dibanding penambahan bentuk-bentuk bahan organik atau pemupukan lainnya.
Karakteristik fisiko – kimia dan pori – pori mikro pada arang hayati dapat meningkatkan penyimpanan maupun
pergantian nutrisi yang dibutuhkan tanaman sehingga dapat berpengaruh terhadap pengurangan kebutuhan pupuk
dan meningkatkan hasil panen. Selanjutnya dilaporkan bahwa biochar juga mempunyai beberapa efek positif dalam
kehidupan mikroba di dalam tanah, dan memainkan peran penting dalam menahan kelembaban. Hasil penelitian
Nisa (2010) menunjukkan bahwa tanah yang diberikan perlakuan biochar 10 t ha-1 dapat menaikkan nilai pH tanah
dari 6,78 menjadi 7,40 atau naik 9,14%. Hasil penelitian yang dilakukan Mawardiana, et al. (2013) melaporkan
bahwa pemberian residu biochar 10 t ha-1 arang hayati dapat menghasilkan padi rata-rata 6,07 t ha-1.
Tujuan peneitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh pengelolaan drainase dengan cara pengeringan dan
penggenangan pada petak sawah dan pemberian arang hayati terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan
sawah pasang surut bukaan baru. Harapan yang diinginkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi pilihan
petani dan pengguna lainnya dalam pengelolaan lahan sawah pasang surut bukaan baru untuk usahatani tanaman
padi. Hasil penelitian juga dapat sebagai pilihan untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam
upaya optimalisasi lahan sawah pasang surut bukaan baru.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Nipah, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah dilaksanakan
pada bulan Maret – Oktober 2013. Bahan yang digunakan antara lain sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk,
dan obat – obatan serta arang hayati dari arang sekam padi. Varietas padi yang digunakan varietas Inpara 3.
Penelitian ini merupakan percobaan lapang di lahan sawah pasang surut bukaan baru dengan tipe luapan B dimana
lahan tersebut baru dibuka pada tahun 2012. Pada saat akan dimulai penelitian lahannya baru dilakukan dua kali
tanam oleh petani dan hasilnya kurang dari 2 t ha-1 menggunakan varietas Inpara 3.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan diulang 5 (lima)
kali dengan luasan setiap petak percobaan (100 m2). Adapun perlakuannya sebagai berikut :
T0 = tanpa pengelolaan drainase dan tanpa arang hayati (kebiasaan petani setempat).
T1 = Pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu dari mulai saat tanam sampai dengan 30
hari sebelum panen.
T2 = Pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 2 minggu dari mulai saat tanam sampai dengan 30
hari sebelum panen.
T3 = Pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu dari mulai saat tanam sampai dengan 30
hari sebelum panen, dan diberi arang hayati 5 t ha-1.
T4 = Pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 2 minggu dari mulai saat tanam sampai dengan 30
hari sebelum panen, dan diberi arang hayati 5 t ha-1.
Parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman, panjang malai, berat gabah per rumpun, berat gabah
1000 butir, dan produksi padi per hektar. Pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati dilakukan sidik
ragam menggunakan uji F pada taraf kepercayaan 5 %. Jika menunjukkan pengaruh nyata dilanjutkan analisis beda
nilai tengah DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 5 % (Gomez, K,A. and A. A. Gomez.
1995).
193
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman
Hasil analisis sidik ragam terhadap tinggi tanaman padi pada masing – masing petak percobaan
menunjukkan bahwa pada perlakuan T1, T2, T3 dan T4 tidak berbeda nyata, sedangkan untuk perlakuan T0
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengelolaan drainase
serta pemberian arang hayati pada sawah pasang surut bukaan baru dapat meningkatkan tinggi tanaman padi ratarata 10 cm (Gambar 1).
Tinggi Tanaman (cm)
105,0
100,0
95,0
98,0
97,5
T1
T2
99,4
97,5
89,8
90,0
85,0
T0
T3
T4
Gambar 1. Rata – rata tinggi tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, T3 dan T4 di
lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah, Kab. Mempawah
Panjang Malai
Hasil pengamatan panjang malai pada tanaman padi masing – masing perlakuan T0, T1, T2, T3 dan T4
tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengelolaan drainase dan pemberian arang
hayati pada sawah pasang surut bukaan baru tidak berpengaruh terhadap panjang malai pada tanaman padi.
Panjang Malai (cm)
25,0
20,0
22,3
21,1
T1
T2
22,9
22,8
T3
T4
16,8
15,0
10,0
5,0
0,0
T0
Gambar 2. Rata – rata panjang malai tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, T3 dan T4
di lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah, Kab. Mempawah
Berat Gabah Per Rumpun
Hasil analisis sidik ragam terhadap berat gabah per rumpun menunjukkan bahwa pada masing – masing
perlakuan T0, T1, T2, T3 dan T4 berbeda nyata (Tabel 1). Pada perlakuan T3 dimana lahan sawah pasang surut
bukaan baru diperlakukan dengan pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu dari mulai saat tanam
sampai dengan 30 hari sebelum panen, dan diberi arang hayati 5 t ha-1 memberikan hasil berat gabah per rumpun
paling tinggi yaitu sebesar 27,8 gram, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan T0 yaitu sebesar 14,7 gram
(Gambar 3).
194
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Berat Gabah Per Rumpun (gram)
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
27,8
25,4
22,0
18,6
14,7
T0
T1
T2
T3
T4
Gambar 3. Rata – rata berat gabah per rumpun tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
T3 dan T4 di lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah. Kab.
Mempawah.
Berat Gabah 1000 butir
Hasil pengamatan berat 1000 butir gabah pada masing – masing petak percobaan seperti pada Gambar 4.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa berat gabah 1000 butir pada masing – masing perlakuan T0, T1, T2,
T3 dan T4 menunjukkan beda nyata (Tabel 1). Pada perlakuan T3 dimana lahan sawah bukaan baru dilakukan
pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu mulai saat tanam sampai dengan 30 hari sebelum
panen, dan diberi arang hayati 5 t ha-1 memberikan hasil berat 1000 butir gabah paling tinggi yaitu sebesar 25,4
gram, sedangkan yang paling rendah perlakuan T0 yaitu sebesar 12,3 gram (Gambar 4).
Berat Gabah 1000 Butir (gram)
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
25,4
23,8
T3
T4
20,0
16,0
12,3
T0
T1
T2
Gambar 4. Rata – rata berat gabah 1000 butir tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
T3 dan T4 di lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah. Kab.
Mempawah
Hasil gabah kering panen
Hasil pengamatan berat gabah kering panen menunjukkan bahwa pada masing – masing perlakuan T0,
T1, T2, T3 dan T4 berbeda nyata (Tabel 1). Pada perlakuan T3 dimana lahan sawah pasang surut bukaan baru
diperlakukan dengan pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu mulai dari saat tanam sampai
dengan 30 hari sebelum panen, dan diberi arang hayati 5 t ha-1 memberikan hasil berat gabah kering panen paling
tinggi yaitu sebesar 5,64 t ha-1, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan T0 yaitu sebesar 1,66 t ha-1 (Gambar
5).
195
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Hasil Gabah Kering Panen (t ha-1)
6
5
4
3
2
1
0
5,64
4,74
3,54
2,68
1,66
T0
T1
T2
T3
T4
Gambar 5. Rata – rata hasil gabah kering panen tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
T3 dan T4 di lahan sawah bukaan baru Desa Sei Nipah. Kab. Mempawah
Hasil Gabah Kering (Kadar Air 14%)
Hasil pengamatan berat gabah kering giling (Kadar Air 14%) menunjukkan bahwa pada masing – masing
perlakuan T0, T1, T2, T3 dan T4 berbeda nyata (Tabel 1). Pada perlakuan T3 dimana lahan sawah pasang surut
bukaan baru didilakukan pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu dari mulai saat tanam sampai
dengan 30 hari sebelum panen, dan diberi bahan organik sebanyak 5 t ha-1 memberikan hasil berat gabah kering
giling (GKG) paling tinggi yaitu sebesar 4,7 t ha-1. Sedangkan yang paling rendah perlakuan T0 yaitu sebesar 1,4 t
ha-1 .
5,000
4,500
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
0,500
0,000
Hasil Gabah Kering Giling (KA 14% (t ha-1)
4,724
3,970
2,963
2,254
1,400
T0
T1
T2
T3
T4
Gambar 6. Rata – rata hasil gabah kering giling (Kadar Air 14%) tanaman padi perlakuan
T0 , T1, T2, T3 dan T4 di lahan sawah pasang surut bukaan baru desa Sei
Nipah. Kab. Mempawah.
Tabel 1. Beda nilai tengah Duncan’s Multiple Range Test taraf kepercayaan 5 % pada tinggi tanaman
padi, panjang malai, berat gabah per rumpun, berat gabah 1000 butir, gabah kering panen
dan kering giling (Kadar Air 14%) (Gomez, K,A. and A.A. Gomez. 1995)
Perlakuan*)
Tinggi
Panjang
Berat
Berat
Gabah
Gabah
Tanaman malai
Gabah per Gabah
kering
kering
rumpun
1000 butir panen
KA 14%
(cm)
(cm)
(gram)
(gram)
(t ha-1)
(t ha-1)
T0: tanpa pengelolaan
89.84 a
16.80 a
14.74 a
12.26 a
1.66 a
1.40 a
drainase dan tanpa arang
hayati
T1: pengeringan 1 minggu
98.04 b
22.25 a
22.00 b
19.98 b
3.54 b
2.96 b
dan penggenangan 1
196
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
minggu
T2: pengeringan 1 minggu
97.48 b
21.07 a
18.60 c
dan penggenangan 2
minggu
T3: pengeringan 1 minggu
99.40 b
22.91 a
27.84 d
dan penggenangan 1
minggu + arang hayati
5 t ha-1
T4: pengeringan 1 minggu
97.92 b
22.84 a
25.38 e
dan penggenangan 2
minggu + arang hayati
5 t ha-1
*)Angka dalam kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama
pada uji DMRT taraf 5%.
ISSN1 693-5225
16.02 c
2.68 c
2.25 c
25.40 d
5.64 d
4.72 d
23.84 e
4.74 e
3.97 e
menunjukkan tidak beda nyata
Hasil analisis beda nilai tengah (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan T0 dimana petak
sawah bukaan baru tidak diperlakuan pengelolaan drainase dan tanpa pemberian arang hayati (sesuai
kebiasaan petani setempat) menunjukkan hasil gabah yang paling rendah (1,40 t ha -1 GKG) dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. perlakuan T1 dan T3 dengan pengeringan selama 1 minggu
dan penggenangan 1 minggu dari mulai saat tanam sampai dengan 30 hari sebelum panen,
memberikan peningkatan hasil padi yang nyata, apabila dibandingkan dengan perlakuan pengeringan
selama 1 minggu dan penggenangan 2 minggu (T2 dan T4). Perlakuan T1 hasil gabahnya lebih baik
dari pada T2 dimana masing – masing perlakuan tidak diberikan arang hayati (2,96 t ha-1 > 2,25 t ha-1
GKG), dan T3 lebih baik dari pada T4 dimana masing – masing perlakuan ditambahkan arang hayati
5 t ha-1 (4,72 t ha-1 > 3,97 t ha-1 GKG). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan drainase dengan
melakukan pelindian dan penggenangan di lahan sawah pasang surut bukaan baru yang frekuensinya
lebih sering (T1 dan T3) yaitu 7 kali pengeringan dan 6 kali penggenangan dalam satu musim tanam
padi, lebih efektif dalam melindi unsur hara yang bersifat meracuni tanaman padi dibandingkan
dengan yang frekuensi pengeringan dan penggenangan yang agak jarang (T2 dan T4) yaitu 5 kali
pengeringan dan 4 kali penggenangan dalam satu masim tanam padi. Hal ini terbukti dari hasil
pengukuran kadar Fe2+ pada masing – masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan T1 dan T3
menghasilkan kadar Fe2+ yang menurun yaitu 307 ppm dan 192 ppm (Gambar 7).
Menurunnya konsentrasi Fe tersedia pada perlakuan (T1 dan T3) pengeringan 1 minggu
dan penggenangan 1 minggu karena pada saat tanah dikeringkan keadaan tanah menjadi oksidatif
sehingga fero (Fe2+) dioksidasi menjadi ferri (Fe3+). Di samping itu, dengan pengairan terputus tidak
terjadi akumulasi ferro, karena yang terbentuk pada saat penggenangan ikut terbuang bersamaan
dengan air pengairan pada saat dilakukan pengeringan. Dengan demikian kandungan kadar Fe2+ yang
paling rendah di dalam petak percobaan tersebut pertumbuhan padi menjadi yang paling baik
sehingga produktivitasnya paling tinggi.
197
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Fe (ppm)
500
400
384
307
321
279
300
192
200
100
0
T0
T1
T2
T3
T4
Gambar 7. Rata – rata hasil kadar unsur Fe pada tanaman padi dengan perlakuan T0 ,
T1, T2, T3 dan T4 di lahan sawah bukaan baru Desa Sei Nipah.
Menurut Bremen dan Moorman (1978) konsentrasi besi terlarut di tanah yang menjadi batas
kritis keracunan adalah 300 sampai 500 ppm Fe2+. Sedangkan menurut Tanaka et al. (1970) sebesar
100 sampai 300 ppm Fe2+. Penggenangan pada tanah sawah bukaan baru menyebabkan terjadinya
reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+). Pada kondisi ini kadar Fe2+ pada tanaman padi bisa
lebih 300 ppm yang merupakan batas kritis keracunan besi pada tanaman padi (Yusuf et al., 1990).
Selanjutnya Yusuf (1992) melaporkan bahwa pada sawah bukaan baru yang digenangi secara
kontinyu konsentrasi Fe2+ meningkat sejak awal penggenangan hingga minggu ke-12 dan stabil pada
minggu ke-14. Menurut Zaini et al., (1997) melaporkan bahwa sistem pengairan terputus dapat
mengendalikan keracunan besi pada lahan sawah bukaan baru. Pengairan terputus dengan melakukan
pengeringan 1 minggu dan penggenangan 1 – 2 minggu mulai saat tanam sampai 30 hari sebelum
panen dapat meningkatkan hasil padi antara 37 – 51 % dibanding dengan penggenangan terus
menerus. Pada kondisi tertentu pengaruh sistem drainase lebih dominan untuk menurunkan
konsentrasi besi dalam tanah, kemudian dapat diikuti dengan penambahan bahan amalioran seperti
arang hayati.
Penambahan amelioran berupa arang hayati pada perlakuan T3 dan T4 juga dapat menambah
tingkat kesuburan tanahnya. Peningkatan hasil gabah pada T3 dan T4 tersebut disebabkan disamping
pengelolaan drainase juga disebabkan pemberian arang hayati yang diduga dapat meningkatkan
konsentrasi hara N, P, K dan Ca dan menurunkan Fe dalam tanah. Oleh karena itu pada perlakuan T3
dapat menghasilkan gabah yang paling tinggi. Arang hayati merupakan suatu bahan amelioran yang
mengandung Carbon (C) tinggi yaitu 85 - 95 % dan memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang
tinggi sehingga mampu mengikat kation-kation tanah yang dapat bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman padi. Arang hayati dapat memperbaiki sifat kimia dan hayati tanah, efektif dalam
meningkatkan sifat fisik tanah seperti agregat tanah dan kemampuan tanah mengikat air. Arang hayati
juga mempunyai pori-pori yang banyak karena luas permukaan yang besar sehingga memiliki daya
ikat air yang tinggi dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Asai et al.(2009) melaporkan
bahwa pemberian arang hayati sebesar 16 ton ha-1 meningkatkan konduktifitas hidrolik tanah lapisan
atas. Pada tanah dengan ketersediaan P yang rendah arang hayati dapat meningkatkan hasil gabah.
Disamping itu respon terhadap pemupukan N meningkat, sehingga disimpulkan bahwa arang hayati
berpotensi untuk memperbaiki produktifitas tanah dan padi di Laos, namun efek dari arang hayati
tersebut tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan pengelolaan pemupukan.
Pada tanah berliat, arang hayati dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan
mempertinggi kemampuan pengikatan air tanah, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas
mikroorganisme tanah. Penggunaan arang hayati dilahan sawah dapat meningkatkan jumlah bakteri
fiksasi nitrogen (Azotobacter) di dalam tanah terutama di sekitar akar tanaman pangan (Badan Litbang
Pertanian, 2011).
198
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengelolaan drainase dengan pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu serta
pemberian arang hayati sebanyak 5 t ha-1 pada lahan sawah pasang surut bukaan baru dapat
meningkatkan hasil gabah kering giling (GKG) sebesar 237 % atau dari 1,4 t ha -1 menjadi 4,7 t ha1
.
2. Pengelolaan drainase dengan pengeringan selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu serta
pemberian arang hayati sebahyak 5 t ha -1 dapat menurunkan kadar Fe sebesar 50 % atau dari 384
ppm menjadi 192 ppm.
Saran
Penelitian ini dilakukan pada musim tanam gadu (kemarau), sehingga untuk mengetahui
pengaruh drainase dan konsentrasi Fe pada dua musim tanam, perlu dilakukan penelitian yang
sama pada musim rendengan (penghujan).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan hasil kerjasama kemitraan pengkajian dan pengembangan inovasi
pertanian spesifik lokasi (KKP3SL) Tahun 2014. Kami sangat berterima kasih kepada Manager
Sustainable Management Of Agricultural Research And Technology Disseminations (SMARTD)
dan Kepala Balitbangtan Kementerian Pertanian atas dukungan dana dalam penelitian ini.
REFERENSI
Asai,H., B.K. Samson, H. M. Stephan, K. Songyikhangsuthor, K. Homma, Y. Kiyono, Y. Inoue, T.
Syiraiwa, & T. Horie. 2009. Biochar amandemen tecnigues for upland rice production in
Northern Laos: 1. Soil physical properties, leaf SPAD and grain yield. Field Crops Research
Volume 111 (1-2): 81-84.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Edisi 6-12 April
2011. No. 3400.
Bremen, V. N. and F.R. Moorman. 1978. Iron Toxic Soils. In: IRRI. 1978. Soils and Rice . Int.
Rice Res. Ist., Los Banos, The Philippines.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortiultura Kalbar. 2016. Laporan Tahunan 2015. Dinas
Pertanian Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortiultura Kalbar. Kalimantan Barat. 125 p.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Perluasan Areal Tanaman
Pangan : Cetak Sawah Tahun 2012. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 76 p.
Gani, A. 2009. Iptek Tanaman Pangan (ISSN 1907-4263) Vol.4 No.1, Juli 2009. p. 33-48.
Gomez, K,A. and A. A. Gomez. 1995. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second
Edition. John Willey and Sons, New York.
Yusuf, A., S. Djakamihardja, G. Satari, dan S. Djakasutami. 1990. Pengaruh pH dan Eh terhadap
kelarutan Fe, Al dan Mn pada lahan sawah bukaan baru jenis Oxisol Sitiung. hlm. 237-269
dalam Prosiding Pengelolaan Sawah Bukaan Baru Menunjang Swasembada Pangan dan
Program Transmigrasi: Prospek dan Masalah. Padang, 17-18 September 1990. Fakultas
Pertanian Universitas Ekasakti dan Balai Penelitian Tanaman Pangan, Sukarami.
Yusuf, A. 1992. Pengaruh Redoks Potensial dan pH terhadap Ketersediaan Fe, Al, dan Mn pada
Tanah Sawah Bukaan Baru jenis Oxisols di Daerah Transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat.
Desertasi Universitas Padjadjaran Bandung. 223 hlm
199
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Lehmann, J. and M. Rondon. 2006. Biochar soil management on highly weathered soils in the humid
tropics. p: 517-530 In Biological Approaches to Sustainable Soil Systems (Norman Uphoff et
al Eds.). Taylor & Francis Group PO Box 409267Atlanta, GA30384-9267.
Mawardiana, Sufardi, dan Edi Husen, 2013. Pengaruh Residu Biochard dan Pemupukan NPK
Terhadap Dinamika Nitrogen. Jurnal Manajemen Sumber Daya Lahan. Volume 2, Nomor 3,
Juni 2013: hal. 255-260.
Nisa, K. 2010. Pengaruh Pemupukan NPK Dan Biochar Terhadap Sifat Kimia tanah, serapan Hara,
Dan Hasil Tanaman Padi sawah. Thesis. Universitas Syiah kuala. Banda Aceh.
Perrmentan, 2011. Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian dan Pengembangan,
dan Penyuluhan Pertanian Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).
Kementerian Pertanian.
Tanaka, A. and S.Yoshida. 1970. Nutritional disorders of the rice plant in Asia. Tech. Bul. 10.The
International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.
Zaini Z. Burbey N. Jalid dan A. Kaher. 1987. Teknologi Pengendalian Keracunan Besi pada Sawah
Bukaan Baru. Balitan Sukarami. 16 – 21 p.
200
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PENGARUH BUSUKAN IKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL
KEDELAI PADA TANAH ALLUVIAL
Sutikarini
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dosis terbaik dari busukan ikan terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai pada tanah alluvial. Penelitian dilaksanakan di kebun penelitian yang beralamat di Jalan Perintis No.21
Kelurahan Akcaya Kecamatan Pontianak Selatan selama 5 bulan yaitu dari bulan Juli sampai dengan Desember 2015.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen lapangan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor
tunggal yaitu busukan ikan yang terdiri dari 6 taraf perlakuan. Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak 4 kali, dan
setiap perlakuan terdiri dari 3 sampel tanaman, sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 72 tanaman. Perlakuan busukan ikan yang
diberikan adalah b0 (tanpa busukan ikan), b1 (132 gram/polybag), b2 (264 gram/polybag), b3 (396 gram/polybag), b4 (528
gram/polybag), dan b5 (660 gram/polybag). Variabel pengamatan terdiri dari jumlah bintil akar (butir), volume akar (cm3), bobot
kering tanaman (g), jumlah polong isi (butir), bobot biji per tanaman (g) dan bobot 100 butir biji kering (g).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan busukan ikan berpengaruh tidak nyata terhadap volume akar, dan
berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman, jumlah polong isi, bobot biji per tanaman dan bobot 100 butir biji kering,
sedangkan bintil akar tidak terbentuk. Pemberian busukan ikan dengan dosis 528 g/polybag dalam penelitian ini memberikan
hasil terbaik.
Kata kunci : Busukan ikan, Kedelai, Tanah Alluvial
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L. Merill) merupakan salah satu komoditas pertanian tanaman pangan
yang memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan diantaranya adalah sebagai bahan
pangan bagi manusia, bahan pakan ternak, bahan baku industri dan bahan minuman. Pada tatanan
perdagangan pasar internasional, kedelai merupakan komoditas ekspor berupa minyak nabati di
berbagai negara di dunia. Kedelai diminati oleh masyarakat luas karena di dalam biji kedelai
terkandung gizi yang tinggi, terutama kadar protein nabati yaitu lebih dari 40% dan kadar lemak 1015 %.
Kebutuhan kedelai akan semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan pertambahan
penduduk, perbaikan pendapatan per kapita, dan berkembangnya pabrik pakan ternak serta
meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi. Meningkatnya permintaan akan komoditi
kedelai ini belum mampu diimbangi oleh produksi yang dihasilkan di dalam negeri sehingga perlu
dilakukan impor kedelai. Hal tersebut terjadi karena produksi kedelai di Indonesia masih rendah.
Rendahnya produksi kedelai yang dicapai selama ini memerlukan tindakan yang tepat dan
efektif dalam mengatasinya agar sesuai dengan sasaran sehingga mendapatkan hasil yang optimal.
Tanah merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam budidaya kedelai. Kedelai dapat
ditanam pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerase yang baik.
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah alluvial dimana secara umum
permasalahan yang sering muncul adalah pada sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang kurang baik.
Berdasarkan hasil analisis tanah alluvial yang digunakan dalam penelitian menunjukkan C-organik
cukup tinggi namun belum mencukupi kebutuhan kedelai, pH tanah dan kandungan hara juga
tergolong masih rendah sehingga tanah tersebut masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan seperti
penambahan bahan organik.
Penambahan bahan organik ke dalam tanah diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia
maupun biologi tanah agar pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai menjadi optimal. Salah satu
sumber bahan organik yang dapat digunakan adalah busukan ikan. Berdasarkan Hasil analisis di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak
menunjukkan bahwa busukan ikan memiliki kandungan C-organik yang cukup tinggi yaitu mencapai
33,64% dengan C/N rasio 11,64 sehingga diharapkan mampu memperbaiki sifat tanah baik secara
fisik, kimia maupun biologinya.
201
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Pemberian busukan ikan memerlukan dosis yang tepat dalam pemakaiannya, karena bila
dosis yang diberikan terlalu rendah maka akan menyebabkan kurangnya daya hasil tanaman dan bila
pemberiannya dengan dosis yang terlalu tinggi maka akan menjadi tidak efisien. Oleh karena itu,
perlu dicari dosis optimal agar penggunaannya lebih efisien dan mendapatkan hasil yang terbaik.
Tujuan penelitan adalah untuk mengetahui pengaruh dan dosis terbaik dari busukan ikan terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah alluvial.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kebun yang beralamat di jalan Perintis, Kelurahan Akcaya,
Kecamatan Pontianak Selatan, selama 5 bulan yaitu dari Bulan Juli sampai dengan Desember 2015 .
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
a. Benih kedelai
Benih kedelai yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Anjasmoro
(deskripsi terlampir). Benih berasal dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Malang.
b. Tanah
Tanah yang digunakan sebagai media tanam adalah tanah alluvial yang diambil pada
kedalaman 0-20 cm. Tanah alluvial diambil dari tanah yang beralamat di jalan Wonobaru, gang
Wonodadi 1, Kecamatan Pontianak Selatan.
c. Pupuk Dasar
Pupuk dasar yang diberikan berupa urea, SP-36 dan KCl.
d. Pupuk Organik
Pupuk organik yang digunakan adalah busukan ikan.
e. Inokulan Bradyrhizobium japonicum.
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini belum pernah ditanami kedelai sehingga perlu
dilakukan inokulasi Bradyrhizobium japonicum pada benih. Inokulan yang digunakan adalah legin
yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
f. Polybag
Polybag yang digunakan adalah polybag yang berukuran 40 cm x 50 cm dan berwarna hitam.
Setiap polybag diisi tanah alluvial sebanyak 10 kg.
g. Kapur
Kapur yang digunakan adalah kapur dolomit (CaMg(CO3)2) dengan daya netralisasi 104%.
h. Pestisida
Pestisida yang digunakan adalah tembakau dan serai untuk mengendalikan kutu, belalang
dan Lamprosema indicata.
2. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi arit, cangkul, ayakan tanah, palu,
gergaji, pisau tajam, hand sprayer, gembor, sekop, timbangan, termometer, higrometer, oven, ember,
alat tulis menulis, peralatan dokumentasi, dan alat-alat lain yang diperlukan.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang terdiri dari 6 taraf perlakuan dan 4 ulangan, setiap perlakuan terdiri dari 3 sampel tanaman.
Perlakuan yang dimaksud adalah :
b0
=
tanpa busukan ikan / polybag
b1
=
132 g busukan ikan / polybag
b2
=
264 g busukan ikan / polybag
202
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
b3
=
396 g busukan ikan / polybag
b4
=
528 g busukan ikan / polybag
b5
=
660 g busukan ikan / polybag
Sehingga jumlah keseluruhan tanaman adalah 72 tanaman.
Keterangan : Setiap polybag berisi 10 kg tanah alluvial
D. Pengamatan
1. Jumlah bintil akar (butir )
Perhitungan jumlah bintil akar tanaman dilakukan pada fase vegetatif maksimum yaitu pada
saat 60 % populasi tanaman sudah mengeluarkan bunga yaitu saat tanaman berumur 39 hari setelah
tanam, dimana setiap perlakuan diambil satu tanaman.
2. Volume akar (cm3)
Pengukuran volume akar dilakukan pada fase vegetatif maksimum. Volume akar diukur
dengan menggunakan metode penggantian volume (displacement), yaitu gelas ukur diisi dengan air
sampai volume tertentu kemudian akar yang telah dibersihkan dan dikeringanginkan dimasukkan ke
dalam gelas ukur tersebut. Penambahan volume yang terjadi merupakan volume dari akar yang
diamati. Dilakukan pada satu tanaman tiap perlakuan saat vegetatif maksimum dengan umur 39 hari
setelah tanam.
3. Bobot Kering Tanaman (g)
Perhitungan bobot kering tanaman dilakukan pada fase vegetatif maksimum yaitu pada saat
60 % populasi tanaman sudah mengeluarkan bunga yaitu saat tanaman berumur 39 hari setelah
tanam, dimana setiap perlakuan diambil satu tanaman.
4. Jumlah polong isi (butir)
Jumlah polong isi dihitung pada akhir penelitian yang diambil dari setiap tanaman perlakuan.
Polong yang dianggap berisi adalah apabila polong tersebut berisikan satu atau lebih, sedangkan
polong hampa tidak dihitung.
5. Bobot biji kering per tanaman (g)
Perhitungan bobot biji kering per tanaman dilakukan pada akhir penelitian yaitu dengan
menimbang semua biji kering yang dihasilkan tiap tanaman dalam setiap perlakuan.
6. Bobot 100 butir biji kering (g)
Bobot 100 butir biji kering diukur dengan menimbang 100 biji kering yang diambil secara
acak dalam setiap ulangan per perlakuan, kemudian ditimbang menggunakan timbangan elektrik.
Selain pengamatan terhadap variabel pertumbuhan dan hasil, juga dilakukan pengamatan
terhadap kondisi lingkungan penelitian, yaitu :
1. Suhu dan kelembaban udara
Suhu dan kelembaban udara diukur setiap hari dengan menggunakan termometer dan
higrometer yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB, siang hari pukul 12.00 WIB dan sore hari pukul
17.00 WIB.
2 xSuhupagi  SuhuSiang  SuhuSore
4
2 xKelembaba nPagi  Kelembeban Siang  Kelembaban Sore
Kelembaban 
4
Suhu 
2. Curah hujan
Curah hujan diukur setiap hari dengan menggunakan aplikasi sederhana yaitu wadah untuk
menampung air yang diatasnya diberi corong dengan diameter mulut corong 13,3 cm. Perhitungan
curah hujan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
CH = Volume air yang tertampung
Luas mulut corong
E. Analisis Statistik
Model matematika untuk metode eksperimen lapangan dengan satu faktor dalam
Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Gaspersz (1991:35) adalah sebagai berikut :
203
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
Yij =µ + Ơi + ∑ij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan
µ
= nilai tengah populasi
Ơi = pengaruh aditif dari perlakuan busukan ikan ke-i
∑ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan busukan ikan ke-i pada
Tabel .1. Analisis Keragaman Rancangan Acak Lengkap
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadarat
Keragam
F Hitung
Bebas
Kuadrat
Tengah
an
Perlakuan
t–1
JKP
KTP
KTP/KTG
Galat
t(r - 1)
JKG
KTG
Total
t.r–1
JKT
Sumber : Gaspersz (1991 : 39).
ISSN1 693-5225
pengamatan ke-j
F Tabel
Setelah didapat F hitung, maka hasilnya dibandingkan dengan F tabel taraf 0,05 sehingga
jika :
1. F hitung ≤ F tabel 0,05 maka perlakuan berpengaruh tidak nyata
2. F hitung > F tabel 0,05 maka perlakuan berpengaruh nyata
Untuk mengukur keragaman dari hasil penelitian dilakukan perhitungan koefisien keragaman
(KK) yang dinyatakan dalam % dengan rumus :
KK = √KTG x 100%
x
Dimana x : = rerata data
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan mana yang menunjukkan
perbedaan nyata dari perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 0,05
dengan rumus :
BNJ 5% = Q 5% x KTG / r
Dimana :
Q
= Nilai yang dipakai dalam tabel Q 0,05%
db
= Derajat Bebas
KTG
= kuadrat tengah galat
r
= jumlah ulangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Jumlah bintil akar (butir)
Dari hasil pengamatan jumlah bintil akar terhadap masing-masing perlakuan di lapangan,
bintil akar hanya ditemukan pada perlakuan b0 (tanpa busukan ikan) sedangkan pada perlakuan yang
lain bintil akar sama sekali tidak terbentuk. Data hasil pengamatan terhadap jumlah bintil akar dapat
dilihat pada tabel 2. Hasil pengamatan jumlah bintil akar tidak dapat dilanjutkan ke analisis
keragaman karena banyak data kosong akibat bintil akar tidak terbentuk pada setiap perlakuan,
sedangkan bintil akar yang terbentuk pada perlakuan b0 (tanpa busukan ikan) tidak aktif.
204
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
Tabel 2.
Perlakuan
Hasil Pengamatan Terhadap Jumlah Bintil Akar
Ulangan
I
II
III
IV
3
2
2
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
2
2
4
ISSN1 693-5225
Total
b0
11
b1
0
b2
0
b3
0
b4
0
b5
0
Jumlah
11
2. Volume akar (cm3)
Hasil analisis keragaman pengaruh busukan ikan terhadap volume akar dapat dilihat pada
Tabel 3
Tabel 3.
Analisis Keragaman Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Volume Akar
SK
DB
JK
KT
F Hit
F Tabel 5%
Perlakuan
5
2.21
0.44
1.41tn
2.77
Galat
18
5.63
0.31
Total
23
7.83
KK =23,96%
Keterangan : tn = berpengaruh tidak nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
3. Bobot Kering Tanaman (gram)
Hasil analisis keragaman pengaruh busukan ikan terhadap bobot kering tanaman kedelai
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Analisis Keragaman Busukan Ikan Terhadap Bobot Kering tanaman.
SK
DB
JK
KT
F Hit
F Tabel 5%
Perlakuan
5
23.61
4.72
2.89*
2.77
Galat
18
29.44
1.64
Total
23
53.05
KK = 32,01%
Keterangan : * = berpengaruh nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
bobot kering tanaman. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian dosis
busukan ikan, dilakukan uji lanjut dengan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 5. Uji BNJ
pada tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0, sedangkan antar
perlakuan lainnya berbeda tidak nyata.
Tabel 5.Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Bobot Kering Tanaman Kedelai (gram)
Perlakuan(busukan ikan)
Rata-rata
Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan/polybag)
2.65
a
b1 (132 g /polybag)
3.55
ab
b2 (264 g /polybag)
3.73
ab
b3 (396 g /polybag)
3.78
ab
b5 (660 g /polybag)
4.38
ab
b4 (528 g /polybag)
5.90
b
BNJ 5%
= 2,87
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang
sama berbeda
tidak nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
4. Jumlah Polong Isi (butir)
205
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Hasil analisis keragaman pengaruh busukan ikan terhadap jumlah polong isi tanaman kedelai
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Keragaman Busukan Ikan Terhadap Jumlan Polong Isi per Tanaman.
SK
DB
JK
KT
F Hit
F Tabel 5%
Perlakuan
5
1354.83
270.97
3.24*
2.77
Galat
18
1507.63
83.76
Total
23
2862.46
KK = 17,34%
Keterangan : * = berpengaruh nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong isi per tanaman. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian
dosis busukan ikan, dilakukan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 7. Uji BNJ pada
tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0, sedangkan antar perlakuan
lainnya berbeda tidak nyata.
Tabel 7.
Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Jumlah Polong Isi Tanaman Kedelai (butir)
Perlakuan (busukan ikan)
Rata-rata
Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan/polybag)
41.13
a
b1 (132 g /polybag)
47.88
ab
b2 (264 g /polybag)
48.63
ab
b3 (396 g /polybag)
57.88
ab
b5 (660 g /polybag)
58.13
ab
b4 ( 528 g /polybag)
63.13
b
BNJ 5%
= 20,54
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak
nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
5. Bobot Biji Kering Per Tanaman (gram)
Hasil analisis keragaman pengaruh busukan ikan terhadap bobot biji kering per tanaman
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisis Keragaman Busukan Ikan Terhadap Bobot Biji Kering per Tanaman
SK
DB
JK
KT
F Hit
F Tabel 5%
Perlakuan
5
169.40
33.88
3.38*
2.77
Galat
18
180.27
10.02
Total
23
349.67
KK = 16,08%
Keterangan : * = berpengaruh nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
bobot biji kering per tanaman. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian dosis
busukan ikan, dilakukan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 9. Uji BNJ pada tabel 9
menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0, sedangkan antar perlakuan lainnya
berbeda tidak nyata.
Tabel 9. Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Bobot Biji Kering per Tanaman (gram)
206
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Perlakuan(busukan ikan)
Rata-rata
Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan /polybag)
16.89
a
b1(132 g /polybag)
17.49
ab
b2(264 g /polybag)
17.54
ab
b3(396 g /polybag)
20.66
ab
b5(660 g /polybag)
21.10
ab
bP4( 528 g /polybag)
24.39
b
BNJ 5%
= 7,10
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
6. Bobot 100 Butir Biji Kering (gram)
Hasil analisis keragaman pengaruh busukan ikan terhadap bobot 100 butir biji kering dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Analisis Keragaman Busukan Ikan Terhadap Bobot 100 Butir Biji Kering
SK
DB
JK
KT
F Hit
F Tabel 5%
Perlakuan
5
15.13
3.03
5.34*
2.77
Galat
18
10.20
0.57
Total
23
25.33
KK = 4,54 %
Keterangan : * = berpengaruh nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
bobot 100 butir biji kering. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian dosis
busukan ikan dilakukan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 11. Uji BNJ pada tabel 11
menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0 b1, b2, dan b5, sedangkan pada
perlakuan b3 berbeda tidak nyata terhadap b4. Pada perlakuan b0 berbeda tidak nyata terhadap b1,
b2, b3 dan b5.
Tabel 11. Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Bobot 100 Butir Biji Kering (gram)
Perlakuan (busukan ikan)
Rata-rata
Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan/polybag)
15.83
a
b1 (132 g /polybag)
15.90
a
b2 (264 g /polybag)
16.07
a
b5 (396 g /polybag)
16.14
a
b3 (528 g /polybag)
16.62
ab
b4 ( 660 g /polybag)
18.14
b
BNJ 5%
= 1,69
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
B. Pembahasan
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dilakukan dua tahap yaitu pada fase
pertumbuhan vegetatif saat tanaman berumur 39 hari setelah tanam dan fase generatif saat tanaman
berumur 96 hari setelah tanam. Variabel pengamatan pada fase vegetatif adalah jumlah bintil akar,
volume akar dan bobot kering tanaman, sedangkan variabel pengamatan pada fase generatif adalah
jumlah polong isi, bobot biji kering per tanaman dan bobot 100 biji kering.
Hasil pengamatan pada fase vegetatif terhadap jumlah bintil akar menunjukkan pada
perlakuan b0 (tanpa busukan ikan), bintil akar terbentuk namun tidak efektif dan pada perlakuan
yang lainnya bintil akar tidak terbentuk sama sekali. Bintil akar yang efektif dapat dilihat dengan
207
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
cara membelah bintil akar untuk melihat warna pada bagian tengahnya. Jika bagian tengah bintil
akar berwarna merah maka dapat dikatakan aktif sedangkan pada pengamatan yang dilakukan,
bagian tengah bintil akar berupa cairan yang berwarna coklat muda.
Bintil akar pada tanaman kedelai tidak terbentuk dengan efektif. Hal ini menunjukkan
ketidakserasian pada proses pembentukan bintil akar. Pembentukan bintil akar dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik dari varietas tanaman kedelai itu sendiri, strain Rhizobium maupun dari
lingkungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ratna, Nurul dan Lilik (2015)
menunjukkan bahwa penggunaan rhizobium dan penambahan mulsa organik jerami padi
berpengaruh nyata terhadap bintil akar. Varietas tanaman kedelai sangat mempengaruhi dalam
pembentukkan bintil akar. Menurut Yutono (1993:218), pada kedelai terdapat galur-galur yang
berbakat tidak berbintil akar dan keserasian hubungan antara strain Rhizobium dan varietas kedelai
yang berbintil akar menentukan efektivitas fiksasi N2.
Diduga faktor lain yang mempengaruhi pembentukkan bintil akar adalah kondisi tanah baik
sifat fisik, kimia maupun biologinya. Penambahan busukan ikan yang digunakan sebagai sumber
bahan organik pada tanah akan mengubah komposisi dan aktivitas yang ada di dalamnya.
Penambahan busukan ikan dalam bentuk pasta pada tanah perlakuan b1, b2, b3, b4 dan b5
mengakibatkan terjadinya penggumpalan–penggumpalan. Kondisi ini bertambah buruk akibat curah
hujan pada awal penanaman hingga tanaman berumur 39 hari mencapai 244,88 mm yang telah
melebihi kondisi optimal yang dibutuhkan tanaman kedelai yaitu
100- 200 mm mengakibatkan
struktur tanah menjadi teguh dan konsistensinya lebih lekat. Pada perlakuan b0 sifat fisik tanahnya
juga jelek, meskipun tanpa penambahan busukan ikan. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang
cukup tinggi mengakibatkan struktur tanah menjadi teguh karena tekstur tanah alluvial yang
digunakan didominasi oleh debu mencapai 90,34%.
Curah hujan yang cukup tinggi juga akan mempengaruhi sifat biologi tanah karena
kandungan air tanah akan meningkat sehingga kelembaban tanah menjadi tidak optimal dan dapat
menghambat bakteri untuk melakukan proses fisiologi dalam tubuhnya sehingga bakteri tidak dapat
berkembangbiak membentuk bintil akar. Kondisi tanah yang cukup banyak mengandung air dapat
juga berpengaruh pada penurunan pH tanah, menghambat proses dekomposisi bahan organik dalam
tanah dan aerasi tanah menjadi kurang baik sehingga pembentukkan akar terhambat mengakibatkan
bintil akar juga terhambat.
Pembentukkan bintil akar juga dipengaruhi kandungan N karena bila nitrogen terlalu banyak
akan menekan jumlah dan ukuran bintil. Diduga kandungan N dalam tanah cukup banyak akibat
penggunaan busukan ikan dan penambahan urea sebagai pupuk dasar. Selain itu, berdasarkan hasil
analisis tanah alluvial yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan kandungan N cukup tinggi
mencapai 0,61%.
Hasil analisis keragaman perlakuan busukan ikan terhadap volume akar berpengaruh tidak
nyata, diduga karena sifat fisik tanah yang kurang baik sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan
akar. Menurut Adisarwanto (2007:9) perkembangan akar kedelai sangat dipengaruhi oleh kondisi
fisik dan kimia tanah, jenis tanah, cara pengolahan lahan, kecukupan unsur hara, serta ketersediaan
air di dalam tanah.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata
terhadap bobot kering tanaman kedelai. Uji BNJ menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terjadi pada
perlakuan b4 (528 g/polibag). Hal ini diduga respons tanaman pada perlakuan b4 (528 g/polibag)
lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain karena ketersediaan unsur hara cukup optimal.
Menurut Setyadi (1991:10) tanaman yang memperoleh unsur hara yang optimal bagi
kebutuhan tanaman akan menyebabkan pertambahan bagian vegetatif berlangsung dengan baik.
Pertumbuhan bobot kering tanaman ini sangat membutuhkan unsur hara yang cukup agar dapat
berkembang dengan optimal. Unsur hara yang sangat dibutuhkan untuk fase vegetatif ini terutama
unsur N, walaupun tetap juga harus ditunjang dengan unsur-unsur yang lain. Unsur N sangat
diperlukan untuk pembentukkan dan pertumbuhan vegetatif terutama daun, mempertinggi kandungan
protein, meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap unsur hara lain seperti P, K dan lainlain (Jumin, 1991: 100).
208
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Faktor lain yang mempengaruhi bobot kering tanaman adalah faktor lingkungan terutama
curah hujan dan naungan. Pada masa pertumbuhan fase vegetatif hujan sering terjadi, hal ini
menyebabkan intensitas cahaya matahari dan lama penyinaran yang diterima tanaman kedelai
rendah. Lama penyinaran dan intensitas cahaya matahari merupakan salah satu faktor penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena berpengaruh terhadap laju fotosintesis,
pertumbuhan memanjang dan pertumbuhan ke arah datangnya sinar.
Pertumbuhan memanjang dan pertumbuhan ke arah datangnya sinar, terjadi sebagai
pengaruh intensitas cahaya. Peristiwa ini berkaitan dengan cara kerja distribusi auksin. Proses kerja
auksin akan lebih baik apabila intensitas cahaya rendah sehingga menyebabkan pemanjangan sel
akan lebih cepat. Menurut Sumarno (1994:51), kekurangan sinar matahari dapat mengakibatkan ruas
tanaman menjadi lebih panjang, batang lebih tinggi, mudah rebah, dan polong sedikit. Penaungan
saat penelitian terjadi karena didirikannya pagar yang cukup tinggi sehingga menghalangi datangnya
sinar matahari bagi tanaman. Selain itu, disekitar tanaman kedelai terdapat tanaman tinggi yang
dapat menaungi kedelai. Hal tersebut mengakibatkan sinar matahari yang diterima tanaman tidak
merata.
Menurut Goldsworthy dan Fisher (1992 : 178) bahwa paling sedikit 90% bahan kering
tanaman adalah hasil fotosintesis. Jadi semakin besar bahan kering tanaman yang dihasilkan maka
hasil tanaman kedelai semakin baik pula. Hal ini terlihat dari korelasi yang cukup besar antara bobot
kering tanaman dengan bobot biji kering (r = 0,61) dan bobot 100 butir biji kering (r = 0,77) yang
berarti semakin tinggi bobot kering tanaman yang dihasilkan maka semakin tinggi pula bobot biji
kering dan bobot 100 butir biji kering.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian busukan ikan yang semakin meningkat
sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai dan akan menurun lagi setelah
melewati batas optimum. Kondisi ini ditunjukkan pada perlakuan b5 (528 g/polybag) dimana hasil
rerata semua variabel pengamatan lebih rendah dari b4 (660 g/polybag).
Pengamatan pada fase generatif dilakukan terhadap variabel jumlah polong isi, bobot biji
kering dan bobot 100 butir biji kering. Hasil analisis keragaman menunjukkan busukan ikan
memberikan pengaruh nyata terhadap semua variabel tersebut.
Busukan ikan digunakan sebagai sumber bahan organik. Berdasarkan hasil pengamatan
busukan ikan memberikan pengaruh nyata terhadap semua variabel hasil, diduga karena busukan
ikan ini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah pada fase pertumbuhan generatif.
Kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara di dalam tanah yang tersedia bagi tanaman
dipengaruhi oleh sifat fisik tanah yang baik. Sifat fisik tanah yang baik akan mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme, sehingga semakin baik sifat fisik tanah maka akan semakin baik pula aktivitas
mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme yang berada di tanah akan menguraikan unsur hara
yang sulit diserap menjadi bentuk yang mudah diserap bagi tanaman. Hal ini akan menyebabkan
tersedianya unsur hara bagi tanaman yang menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai semakin
meningkat.
Suhu sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut
Baharsjah, Suardi dan Las (1993:89) suhu optimal saat pengisian polong adalah 26,6-32 0C dan suhu
pada saat tanaman berumur 39 hari setelah tanam hingga akhir penelitian ini berkisar 27-32 0C
sehingga kondisi optimal tersebut terpenuhi. Pada suhu optimal proses fotosintesis berjalan lancar
sehingga fotosintat dapat ditimbun pada bagian vegetatif kemudian akan ditranslokasikan kebagian
yang sedang aktif tumbuh yaitu polong.
Jumlah polong isi memberikan korelasi yang cukup besar terhadap bobot biji kering
tanaman (r = 0,95). Semakin tinggi jumlah polong isi yang terbentuk maka bobot biji kering juga
meningkat, begitu pula sebaliknya. Menurut Garner, Pearce dan Mitchell (1991:323) menyatakan
bahwa fotosintesis dalam periode pengisian biji biasanya menjadi sumber berat hasil panen karena
sebagian besar asimilat yang terbentuk maupun yang tersimpan digunakan untuk meningkatkan
bobot isi.
209
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Menurut Baharsjah, dkk (1993:89) lama penyinaran yang panjang dan suhu tinggi sampai
batas tertentu mengakibatkan terbentuknya biji-biji yang besar. Lama penyinaran yang pan 2jang
terjadi karena saat tanaman berumur 39 hari setelah tanam hingga akhir penelitian curah hujan
berkurang sehingga cahaya matahari lebih banyak yang tembus ke bumi dan suhu juga mencapai
optimum. Hal ini menyebabkan proses metabolisme tanaman berjalan lancar sehingga biji yang
terbentuk besar. Hasil pengamatan bobot 100 butir biji kering pada penelitian ini lebih besar dari
deskripsi tanaman yang digunakan sebagai benih. Bobot 100 butir biji kering hasil penelitian
berkisar antara 15,83-18,14 dan yang terbesar diperoleh pada perlakuan b4 dengan berat 18,14 g,
sedangkan pada deskripsi berkisar antara 14,78-15,3 g.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan selama penelitian berlangsung, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemberian busukan ikan dalam bentuk pasta ke dalam tanah alluvial mengakibatkan bintil
akar tidak terbentuk dan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap volume akar, sedangkan
pada bobot kering tanaman, jumlah polong isi, bobot biji kering per tanaman dan bobot 100
butir biji kering memberikan pengaruh nyata.
2. Penggunaan busukan ikan dengan dosis 528 g/ polybag (b 4) merupakan dosis terbaik yang
dapat digunakan dalam budidaya kedelai di tanah alluvial.
B. Saran
1. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebaiknya hindari naungan dalam budidaya kedelai
varietas Anjasmoro.
2. Sebaiknya inkubasi busukan ikan pada media tanam minimal 1 minggu sebelum penanaman
agar tidak menganggu perakaran tanaman.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk di lapangan.
4. Busukan ikan pada penelitian ini masih dalam bentuk pasta maka perlu dilakukan
pengenceran dalam aplikasi di lapangan agar hasilnya lebih baik dan lebih efisien.
REFERENSI
Adisarwanto, T.,2005, Bertanam Kedelai, Penebar Swadaya, Jakarta
Baharsjah, J.S., D. Suardi dan I.Las, 1985, Hubungan Iklim Dengan Pertumbuhan Kedelai dalam Kedelai, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
Gasperz, V., 1994, Metode Perancangan Percobaan, Armico, Bandung
Golswarthy dan N.M. Fisher, 1992, Fisiologi Lingkungan Tanaman Budidaya, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A, M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A.Diha, B.H.Go dan H. Biley., 1986, Dasardasar Ilmu Tanah, Universitas Lampung, Lampung
Jumin, H.B., 1991, Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi, Rajawali Press, Jakarta
Ratna, Nurul, dan Lilik, 2015, Pengaruh Penggunaan Rhizobium Dan Penambahan Mulsa Organik Jerami Padi
Pada Tanaman Kedelai Hitam (Glycine max (L) Merril) Varietas Detam 1, Jurnal Produksi Tanaman,
Volume 3, Nomor 8, 2015, hlm 689-696.
Salisbury, F.B., dan C.W Ross, 1995, Fisiologi Tumbuhan Jilid III, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Setyamidjaja, D., 1986, Pupuk dan Cara Pemupukan, Simplex, Jakarta
Sumarno, 1994, Kedelai dan Cara Budidayanya, Yasaguna, Jakarta
Yutono., 1993, Inokulasi Rhizobium pada Kedelai, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian, Bogor
210
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PEMUPUKAN KALIUM UNTUK PERBAIKAN HASIL DAN UKURAN UMBI
TANAMAN UBIJALAR
Sri Umi Lestari1) dan Nur Basuki2)
1) Fakultas Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang
2) Fakultas Pertanian, Univ. Merdeka Pasuruan
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Budidaya ubijalar untuk penyediaan pangan dan pakan (dual purpose) penting bagi pembangunan pertanian berkonsep
bio-industri, namun hasil umbi dan brangkasanya selama ini masih rendah, diduga diakibatkan oleh ketersediaan kalium pada
tanah yang sangat rendah. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengevaluasi respon ubijalar terhadap peningkatan dosis
pemupukan kalium. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Universitas Brawijaya, berlokasi di Desa Jatikerto, Kec.
Kromengan, Kab. Malang. Rancangan percobaan strip plot dengan 3 ulangan digunakan dalam penelitian ini. Dua faktor
percobaan meliputi tiga klon (D67, 73 OP-8, 73 OP-5) dan 2 varietas (Boko dan Sari) sebagai faktor pertama dan diletakkan
sebagai vertical-strip; faktor kedua adalah dosis pupuk kalium sebagai horizontal-strip, terdiri dari 4 level KCl, yaitu K0 (0 kg
KCl/Ha), K1 (133 kg KCl/Ha), K2 (333 kg KCl/Ha) dan K3 (533 kg KCl/Ha). Seluruh tanaman diberikan pupuk dasar 100 kg N
dan 75 kg P2O dalam bentuk Urea dan SP-36. Tanaman dipanen pada umur empat bulan setelah tanam. Jumlah umbi, bobot
umbi, bobot brangkasan, bobot per umbi, bobot kering umbi, bobot kering brangkasan, bobot kering biomass dan indeks panen
(IP) diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon kelima kultivar berbeda-beda terhadap pemberian dosis kalium, terlihat
pada parameter bobot umbi dan brangkasan (segar maupun kering), bobot kering biomass, dan IP. Peningkatan pemupukan
kalium mampu meningkatkan hasil umbi dan ukuran umbi pada ubijalar melalui mekanisme peningkatan jumlah translokasi hasil
fotosintat ke umbi yang ditandai dengan meningkatnya ratio root/shoot dan korelasi positif antara ratio root/shoot terhadap nilai
indeks panen.
Kata kunci: dosis kalium, dual purpose, hasil umbi, hasil brangkasan, ubijalar
Pendahuluan
Tanaman ubijalar berpotensi dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah pangan,
pakan dan energi pada abad 21 (Islam, 2007). Tanaman ini dapat diusahakan pada tanah-tanah
marginal yang tidak subur. Dalam konsep pertanian bio-industri (Kementan, 2013), selain penghasil
pati dan tepung, ubijalar mampu menghasilkan hijauan (brangkasan) dalam jumlah besar yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak. Menurut Ahmed et al. (2012) memproduksi ubijalar
untuk tujuan ganda (dual purpose, untuk pangan dan pakan) perlu ditingkatkan, namun informasi
praktek-praktek agronomis untuk menghasilkan produksi umbi maupun hijauan/brangkasan secara
optimum masih terbatas.
Hasil penelitian Lestari dan Basuki (2013; 2014), hasil yang dicapai dari penelitian ubijalar
di lokasi Malang dan Blitar pada tahun 2012-2013 masih dibawah potensi hasil. Beberapa kultivar
ubijalar yang dapat diklasifikasikan sebagai dual purpose mampu menghasilkan hasil umbi segar
berkisar antara 2 – 6 t/ha dan brangkasan segar berkisar antara 6 – 13 t/ha pada kondisi tanah dengan
kandungan C-organik, N-total maupun K yang sangat rendah (Lestari dan Hapsari, 2015).
Kandungan C-organik dan kalium tanah yang rendah menjadi gambaran tanah-tanah pertanian yang
telah mengalami degradasi akibat praktek pertanian yang intensif dalam jangka panjang (Husnain et
al., 2010; Roy et al., 2003). Bahkan hasil penelitian Husnain et al. (2010) pada lahan-lahan pertanian
padi sawah di wilayah DAS Citarum telah menunjukkan terjadinya nilai kesetimbangan negatif pada
hara kalium yang diakibatkan oleh pengangkutan melalui hasil panen padi tanpa penggantian melalui
pemupukan kalium yang cukup. Menurut Agus dan Ruijter (2004) setiap ton hasil panen padi, unsur
kalium yang bisa terangkut berkisar antara 2.5 – 3.7 kg K. Dijelaskan pula bahwa tanaman ubijalar
mampu mengangkut jumlah kalium yang lebih besar dari pengangkutan oleh padi, yaitu sebesar 5.2
kg K dari setiap ton hasil panen umbi. Dengan demikian diperkirakan pengurasan unsur hara,
terutama kalium akan sangat besar ketika tanah-tanah pertanian ditanami ubijalar.
Mempertimbangkan kondisi ini maka dilakukan percobaan yang bertujuan mengevaluasi respon hasil
umbi dan brangkasan beberapa kultivar ubijalar terhadap peningkatan dosis kalium.
211
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Metode Percobaan
Rancangan percobaan strip plot dengan 3 ulangan digunakan dalam penelitian ini. Dua
faktor percobaan meliputi 5 kultivar ubijalar yang terdiri dri 3 klon (D67, 73 OP-8, dan 73 OP-5)
dan 2 varietas (Boko dan Sari) sebagai faktor pertama dan diletakkan sebagai vertical strip; sebagai
faktor kedua adalah dosis pupuk kalium, terdiri dari 4 level KCl, yaitu K0 (0 kg KCl /Ha), K1 (133
kg KCl /Ha), K2 (333 kg KCl /Ha) dan K3 (533 kg KCl /Ha) diletakkan sebagai horizontal strip.
Seluruh tanaman diberikan pupuk dasar 100 kg N dan 75 kg P2O dalam bentuk Urea dan SP-36.
Penelitian menggunakan plot percobaan berukuran 5m x 1,5m, terdiri dari 5 gulud, ditanami
dengan stek yang berukuran panjang + 25 cm, dengan jarak tanam dalam baris (gulud) 25 cm.
Dengan demikian setiap plot percobaan terdiri dari 30 tanaman. Populasi tanaman per Ha yang
digunakan untuk konversi hasil umbi per hektar sebesar 40 000 tanaman. Panen dilakukan setelah
tanaman berumur 4 bulan setelah tanam. Parameter pengamatan yang dievaluasi meliputi: jumlah
umbi, bobot umbi, bobot brangkasan, bobot per umbi, bobot kering umbi, bobot kering brangkasan,
bobot kering biomass dan indeks panen (IP) serta ratio root/shoot. Ratio root/shoot dihitung dengan
rumus bobot kering umbi dibagi dengan bobot kering brangkasan, digunakan untuk memperkirakan
jumlah fotosintat yang ditranslokasikan dari daun ke organ penyimpanan tanaman ubijalar, yakni
umbi (storage root). Analisis ragam dikerjakan untuk semua parameter pengamatan (Gomez dan
Gomez, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersedian kalium pada lahan pertanian
Hasil analisis tanah pada lahan percobaan disajikan pada Tabel 1. Ketersediaan C-organik,
N-total dan unsur K yang sangat rendah (kriteria Balittanah, 2005) mencirikan kondisi lahan
pertanian yang telah mengalami degradasi tanah secara intensif. Kualitas kesuburan tanahnya sangat
menurun, secara biologi maupun kimiawi. Seperti dikemukakan oleh Husnain et al. (2010) bahwa Corganik dan kalium tanah yang rendah menjadi gambaran tanah-tanah pertanian yang telah
mengalami degradasi akibat praktek pertanian yang intensif dalam jangka panjang. Pada konsisi
ketersediaan kalium yang sangat rendah dapat berdampak terhadap tingkat produksi tanaman yang
memerlukan kalium dalam jumlah yang tinggi seperti halnya pada tanaman ubijalar (George et al.,
2002).
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah di Lokasi Percobaan
pH 1:1
Lokasi
peneliti
an
Malang
Jenis
tana
h
Alfisol
Sifat*)
H2O
5.4
Masam
Ntot
al
(%
)
KCl
1
N
C-org
(%)
4.5
0,59
0.05
Sangat
ren
dah
Sanga
t
ren
dah
P (mg/kg)
Bray
1
12.6
5
tingg
i
Olse
n
-
K
Ca
NH4OAC 1 N
pH 7
Fe
HCl 0.1 N
me/100 g
0.09
0.06
Sangat
ren
dah
Sanga
t
ren
dah
Zn
ppm
172.
8
8.8
9
*) Menurut Balittanah (2005)
Pada lahan-lahan pertanian yang telah dikelola secara intensif seperti di wilayah DAS
Citarum telah menunjukkan terjadinya nilai kesetimbangan negatif pada hara kalium yang
diakibatkan oleh pengangkutan melalui hasil panen padi tanpa penggantian melalui pemupukan
kalium yang cukup (Husnain et al. (2010). Besarnya unsur kalium yang diangkut oleh setiap ton
hasil panen padi berkisar antara 2.5 – 3.7 kg K (Agus dan Ruijter, 2004). Oleh karena itu diduga
apabila lahan pertanian dengan ketersediaan kalium yang sangat rendah ditanami dengan tanaman
ubijalar akan memerlukan dosis kalium yang tinggi agar tidak terjadi kesetimbangan negatif untuk
kalium tersebut.
212
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Keragaan hasil dan ukuran umbi beberapa kultivar ubijalar
Jumlah umbi, bobot umbi per plot dan estimasi hasil umbi segar per ha disajikan pada Tabel
2. Demikian pula untuk parameter ukuran umbi yang dinyatakan dengan bobot (g) per umbi yang
dihitung dari bobot segar umbi per plot dibagi dengan jumlah umbi per plot yang dipanen, disajikan
pada kolom terakhir Tabel 2. Hasil analisis ragam dari parameter-parameter tersebut disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 2. Keragaan hasil dan ukuran umbi pada beberapa kutivar bijalar
Jumlah umbi
Bobot umbi segar
Estimasi hasil
Kultivar
(buah/plot)
(kg/plot)
umbi (t/ha)
D67
31
3.11
4.16
73 OP-8
68
11.38
15.42
73 OP-5
52
4.96
6.79
Boko
62
8.33
11.10
Sari
64
7.12
9.49
Ukuran umbi
(g/umbi)
100.72
165.03
103.61
131.99
114.13
Dari Tabel 3 terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah umbi dan bobot umbi diantara kelima
kultivar yang dievaluasi, namun tidak berbeda dalam hal ukuran per umbinya. Kisaran ukuran per
umbi diantara kelima kultivar yang dievaluasi berkisar antara 100 – 165 g per umbi, semuanya
tergolong pada ukuran umbi sedang.
Tabel 3.Hasil Analisis Ragam pada parameter jumlah umbi, bobot umbi dan berat per umbi pada
percobaan pemupukan lima kultivar ubijalar dengan pemberian beberapa dosis kalium
jumlah
Sumber Keragaman
db
bobot umbi/plot
berat/umbi (g/umbi)
umbi/plot
Kelompok
2
1354.85
53.64
13206.09
Pemupukan Kalium (K)
3
133.91 ns
6.92 ns
1667.28 ns
Galat a
6
339.96
11.73
1290.38
Varietas (V)
3
3605.86 *
293.40 *
11194.11 ns
Galat b
6
606.86
60.23
5895.04
VxK
9
134.49 ns
23.06 *
3314.85 *
Galat c
18
150.56
8.77
1382.38
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada level 5
Keragaan hasil brangkasan segar dan kering beberapa kultivar ubijalar
Bobot segar brangkasan, estimasi hasil brangkasan per hektar maupun bobot keringnya
disajikan pada Tabel 4. Terlihat bahwa terdapat perbedaan nyata bobot segar brangkasan diantara
kelima kultivar yang dievaluasi, namun dalam hal bobot kering brangkasannya tidak berbeda nyata
(Tabel 5). Oleh karena itu pada parameter bobot kering biomass maupun nilai indeks panen juga
tidak berbeda nyata diantara kelima kultivar tersebut (Tabel 5). Varietas Boko mampu menghasilkan
hasil brangkasan yang berlimpah, hampir mencapai 11 t/ha, jumlah ini berpotensi dimanfaatkan
sebagai bahan substitusi pakan ternak. Menurut Sirait dan Simanihuruk (2010) bahwa limbah
pertanian berupa daun ubijalar sangat potensial dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia ditinjau
dari ketersediaan maupun kandungan nutrisi. Daun ubi jalar mempunyai kandungan karbohidrat yang
rendah namun mempunyai kandungan protein tinggi (hingga 29%) dan vitamin sehingga dapat
dijadikan sebagai sumber pakan yang dapat meningkatkan kualitas daging (Adewolu, 2008; Peters,
2008; Abonyi et al., 2012).
213
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Tabel 4. Keragaan hasil brangkasan segar dan kering pada beberapa kutivar bijalar
Estimasi hasil
Estimasi bobot
Bobot
Bobot kering
brangkasan
kering
Kultivar
brangkasan
brangkasan
segar (t/ha)
bragkasan
segar (kg/plot)
(kg/plot)
(t/Ha)
D67
2.63
3.50
0.71
1.59
73 OP-8
5.30
7.07
1.47
4.69
73 OP-5
3.71
4.94
0.90
2.21
Boko
8.22
10.96
1.81
4.23
Sari
3.25
4.33
0.70
2.40
Tabel 5. Hasil Analisis Ragam pada parameter bobot brangkasan segar, bobot umbi dan berat per
umbi pada percobaan pemupukan lima kultivar ubijalar dengan pemberian beberapa dosis kalium
Bobot
Bobot
Bobot Kering
Kering
Indeks Panen
Sumber Keragaman
db
Brangkasan
Brangkasan
Biomass
(IP)
per plot
per plot
per plot
Kelompok
2
4.99
2.95
5.81
879.35
Pemupukan Kalium (K)
3
6.05 ns
1.01 ns
0.87 ns
452.86 ns
Galat a
6
2.45
0.60
1.14
161.03
Varietas (V)
3
80.35 *
3.96 ns
29.24 ns
710.63 ns
Galat b
6
12.32
1.61
6.85
428.46
VxK
9
5.03 *
0.97 *
2.09 *
306.81 *
Galat c
18
2.00
0.37
0.86
78.07
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada level 5%
Respon hasil dan ukuran umbi terhadap peningkatan dosis kalium
Hasil analisis ragam untuk hasil umbi dan ukuran umbi (Tabel 3) memperlihatkan adanya
interaksi antar kultivar (varietas) dengan dosis kalium secara nyata. Hasil pengamatannya disajikan
pada Tabel 6 dan 7. Respon diantara kelima kultivar terhadap pemberian kalium berbeda-beda.
Secara rata-rata terjadi peningkatan hasil umbi segar/ha akibat peningkatan dosis pupuk kalium yang
diberikan sampai dengan dosis 133 kg KCl/ha. Pemberian dosis sebanyak 333 kg KCl/ha atau yang
lebih tinggi lagi secara rata-rata tidak memberikan hasil yang berbeda dengan dosis 133 kg KCl/ha,
bahkan ada kecenderungan menurunkan hasil umbi segar.
Tabel 6. Respon bobot segar umbi (t/ha) beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
Bobot umbi segar (t/ha)
Pemberian
dosis pupuk KCl
Kultivar
K0 (0kg/Ha)
D67
73 OP-8
73 OP-5
Boko
Sari
Rerata
2.80
14.01
4.92
9.78
10.62
8.43
K1 (133 kg/Ha)
4.48
14.74
9.31
16.00
5.33
9.97
K2 (333 kg/Ha)
K3 (533 kg/Ha)
4.45
17.40
7.24
8.89
10.67
9.73
4.93
15.54
5.71
9.73
11.33
9.45
Rerata ukuran umbi (g/umbi) dari kelima kultivar pada berbagai dosis pemberian kalium
disajikan pada Tabel 7. Terlihat bahwa ada variasi respon kultivar terhadap pemberian dosis kalium
diantara kelima kultivar yang dikaji, namun ada kecenderungan peningkatn bobot per umbi ketika
214
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
diberikan peningkatan dosis kalium. Peningkatan ukuran per umbi disebabkan oleh peningkatan
ratio root/shoot (Tabel 8).
Tabel 7. Respon ukuran umbi (g/umbi) beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
Ukuran umbi (g/umbi)
Kultivar
Pemberian dosis pupuk KCl
K0 (0kg/Ha)
K1 (133 kg/Ha)
K2 (333 kg/Ha)
K3 (533 kg/Ha)
D67
86.46
97.48
110.85
108.08
73 OP-8
159.83
160.33
180.68
159.29
73 OP-5
65.34
162.69
112.45
73.97
Boko
121.69
166.92
125.31
114.04
Sari
132.77
65.90
138.86
118.97
Rerata
113.22
130.66
133.63
114.87
Tabel 8. Ratio root/shoot beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
Ratio root/shoot
Kultivar
Pemberian dosis pupuk KCl
K0 (0kg/Ha)
K1 (133 kg/Ha)
K2 (333 kg/Ha)
D67
0.93
1.00
1.25
73 OP-8
2.16
2.73
1.31
73 OP-5
0.62
1.88
2.66
Boko
1.58
1.67
0.74
Sari
2.31
1.01
3.52
Rerata
1.52
1.66
1.90
K3 (533 kg/Ha)
2.02
3.96
2.23
1.72
4.04
2.79
Tabel 9. Keragaan nilai IP (%) beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
Kultivar
D67
73 OP-8
73 OP-5
Boko
Sari
Rerata
K0 (0kg/Ha)
45.04
71.29
36.26
64.73
77.86
59.04
IP (%)
Pemberian dosis pupuk KCl
K1 (133 kg/Ha)
K2 (333 kg/Ha)
57.91
49.31
72.54
76.96
74.35
78.10
65.20
49.49
56.84
83.17
65.37
67.40
K3 (533 kg/Ha)
57.41
79.14
77.85
64.97
75.90
71.05
Dengan demikian peningkatan hasil umbi dan ukuran umbi tanaman ubijalar diakibatkan
oleh meningkatnya ratio root/shoot akibat peningkatan dosis kalium. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian George et al. (2002). Meningkatnya pemberian kalium akan meningkatkan jumlah
fotosintat yang ditranslokasikan ke organ-organ penyimpanan yang berada di dalam umbi (storage
root). Ketika dihitung nilai korelasi antara ratio root/shoot terhadap nilai IP diperoleh nilai sebesar +
0.78 (data tidak disajikan). Nilai IP diantara kelima kultivar tidak berbeda nyata, namun nilai IP
tersebut meningkat sejalan dengan peningkatan dosis kalium dan perilaku kelima kultivar bervariasi
terhadap pemberian kalium (Tabel 9).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
1. Hasil ubijalar sangat rendah ketika ditanam pada kondisi lahan dengan tingkat ketersediaan kalium rendah
215
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
sampai sangat rendah
2. Hasil umbi dari lima kultivar ubijalar yang ditanam pada lahan dengan tingkat ketersediaan kalium yang sangat
rendah hanya berkisar antara 3 kg – 11 kg/plot (7.5 m2) atau hasil estimasi berkisar antara 4 t – 15 t/ha. Klon 73
OP-8 mampu menghasilkan umbi segar sebesar 15 t/ha, lebih tinggi dari varietas Boko yang mencapai hasil
estimasi sebesar 11 t/ha.
3. Hasil brangkasan dari kelima kultivar berkisar antara 2.63 – 8.22 kg/plot atau hasil brangkasan estimasi berkisar
antara 3.5 t – 11 t/ha. Varietas Boko mampu menghasilkan brangkasan segar sebesar 11 t/ha, cukup potensial
menyediakan bahan hijauan pakan ternak.
4. Respon hasil umbi meningkat dengan peningkatan pemberian dosis kalium. Peningkatan hasil umbi ini
diakibatkan oleh peningkatan ukuran umbi (g/umbi).
5. Peningkatan hasil umbi dan ukuran umbi dapat dijelaskan melalui hasil pengukuran ratio root/shoot akibat
peningkatan kalium. Dengan demikian peningkatan kalium mendorong jumlah fotosintat yang ditranslokasikan
ke organ-organ penyimpanan tanaman ubijalar yang berada di dalam akar (storage root).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada FP-UB yang mengijinkan penulis melaksanakan
penelitian dan menyimpan koleksi klon-klon ubijalar hasil penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini.
REFERENSI
Abonyi, F.O., E. O. Iyi and N. S. Machebe. 2012. Effects of feeding sweet potato (Ipomoea batatas) leaves on
growth performance and nutrient digestibility of rabbits. African Journal of Biotechnology Vol. 11(15), pp.
3709-3712.
Adewolu, M.A. 2008. Potentials of Sweet Potato (Ipomoea batatas) Leaf Meal as Dietary Ingredient for Tilapia zilli
Fingerlings. Pakistan Journal of Nutrition 7 (3): 444-449
Agus, F. dan J. Ruijter.
2004.
Perhitungan kebutuhan pupuk.
World Agroforestry Centre.
http://old.icraf.org/sea/Publications/files/leaflet/LE0018-04.pdf
Ahmed, M., R. Nigussie-Dechassa, and B. Abebie. 2012. Effect of planting methods and vine harvesting on shoot
and tuberous root yields of sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam.) in the Afar region of Ethiopia. African
J. Agric. Res. Vol 7 (7): 1129-1141.
Balittanah. 2005. Petunjuk Tenis Analisis tanah, Tanaman, Pupuk dan air. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian.
George, M.S., G. Lu, and W. Zhou. 2002. Genotypic vaiation for potassium uptake and utilization efficiency in
sweet potato (Ipomoea batatas L.). Field Crops Research 77: 7-15. http://www.proper.edu.cn.
Gomez, K. A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical procedures for Agricultural Research. 2nd Edition. John Wiley &
Sons. New York.
Husnain, H., T. Masunaga, and T. Wakatsuki. 2010. Field assessment of nutrient balance under intensive ricefarming systems, and its effects on the sustainability of rice production in Java Island, Indonesia. J. Agric.
Food and Environmental Sci. Vol 4 (1): 1-11.
Islam, S. 2007. Nutritional and Medicinal Qualities of Sweetpotato Tops and Leaves. Cooperative Extension
Program. University of Arkansas at Pine Bluff. SA6135.
Kementan. 2013. Pertanian Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan (Konsep
Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013 – 2045). Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Lestari, S.U. and R.I. Hapsari. 2015. Dual-purpose Assessment for Sweet Potato. Agrivita, Vol 37, No 2: 123-129.
Lestari, S.U. dan N. Basuki. 2013. Variabilitas Kandungan Besi pada Beberapa Varietas Ubijalar di Indonesia.
Seminar Nasional 3 in 1 Agronomi, Hortikultura dan Pemuliaan Tanaman di FP-UB, 21-22 Agustus 2013.
Lestari, S.U. dan N. Basuki. 2014. Stabilitas Kandungan Besi pada Klon/Varietas Ubijalar. Seminar Nasional Hasil
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2014. Malang.
216
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Peters, D. 2008. Assessment of the Potential of Sweetpotato as Livestock Feed in East Africa: Rwanda, Uganda, and
Kenya. A report presented to The International Potato Center (CIP) in Nairobi.
Roy, R.N., R.V. Misra, J.P. Lesschen and E.M. Smaling. 2003. Assessment of soil nutrient balance. Approaches and
methodologies. FAO Fertilizer and Plant Nutrition Bulletin 14. Food and Agriculture Organization of the
United Nations. 101 pp. Available online at URL: http://www.fao.org/docrep/006/ y5066e/y5066e00.htm.
Sirait, J. Dan K. Simanihuruk. 2010. Potensi Dan Pemanfaatan Daun Ubikayu Dan Ubijalar Sebagai Sumber Pakan
Ternak Ruminansia Kecil. Wartazoa Vol. 20 No. 2 Th. 2010:75-84.
217
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PENGARUH BIOCHAR SEKAM PADI YANG DIPERKAYA HARA DAN
KETEBALAN MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL SELADA
DARAT ( Lactuca sativa L.)
Kristina Irna Sari Naikofi, Arnoldus Klau Berek dan Eduardus Yosef Neonbeni
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Timor; Jl. km 9, kelurahan Sasi, Kec. Kota, Kefamenanu, TTU, NTT; email :
[email protected]
ABSTRAK
Sebuah percobaan pot telah dilakukan untuk menguji efek biochar sekam padi yang diperkaya hara dan ketebalan mulsa
terhadap pertumbuhan dan hasil selada (Lactuca sativa L.) varietas Grand Rapids. Biochar sekam padi yang diperkaya
(direndam dalam pupuk organik cair) diaplikasikan dalam 3 aras yakni 0, 0,2 dan 0,4% dikombinasikan dengan mulsa alangalang 0, 2 dan 4 cm. Biochar dicampur merata dengan tanah Vertisol dimasukan ke dalam pot-pot percobaan, disusun dalam
sebuah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 ulangan, diinkubasikan pada kadar lengas 70% selama 2 minggu dan
ditanami bibit selada, dipelihara dan diamati hingga pertumbuhan vegatatif maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
aplikasi biochar sekam padi dan mulsa berinteraksi positif (P≤0.01) dalam pengaruhi pertumbuhan selada (tinggi tanaman,
jumlah daun, berat segar tajuk, dan berat segar tanaman) dan meningkat hasil 3-7 kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Hasil
tertinggi (berat segar tajuk) sebesar 37,2 g per tanaman diperoleh dari pemberian biochar sekam padi 2% yang dikombinasikan
dengan mulsa 2 cm.
Kata kunci :biochar sekam padi, mulsa lang-alang, selada
PENDAHULUAN
2008) dan penurunan bobot volume tersebut dapat meningkatkan laju infiltrasi (Franzluebbers,
2002 Selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran daun yang berumur pendek (30 hari), dan dapat
ditanam di dataran tinggi atau dataran rendah (Edi dan Yusri, 2010). Sayuran ini biasa dikonsumsi
sebagai lalap mentah, salad, dan hamburger (Sastradiharja, 2011), atau dijadikan penghias hidangan
karena daunnya yang hijau segar dan bergerigi atau berombak. Kandungan mineral selada cukup
tinggi termasuk fosfor, zat besi, kalsium, kalium, natrium, magnesium, vitamin A, B dan C sehingga
berkhasiat dalam menjaga keseimbangan cairan elektrolit tubuh manusia (Wahyudi, 2005).
Di lahan kering penanaman selada di tanah Vertisol pada musim hujan dapat menjamin
ketersedian air, namun kondisi air yang berlebihan dan kondisi tanah Vertisol yang mengembang, dapat
menghambat perkembangan dan respirasi akar selada yang dangkal dan halus. Oleh karena itu, upaya
untuk memperbaiki aerasi tanah Vertisol agar dapat ditanami selada pada musim hujan perlu dilakukan.
Biochar sekam padi yang diperkaya hara merupakan biochar sekam padi yang direndam di dalam
larutan hara. Luas dan muatan permukaan biochar yang tinggi diproyeksikan dapat meretensi hara
selama perendamannya di dalam larutan hara. Ketika biochar sekam diberikan ke dalam tanah
diharapkan unsur-unsur hara yang telah diikat tersebut dilepaskan secara perlahan-lahan ke dalam tanah
dan dapat diserap oleh tanaman. Hal tersebut didukung oleh hasil-hasil penelitian bahwa pemberian
biochar ke dalam tanah dapat menurunkan kehilangan hara (Major et al., 2012, Venture et al., 2012, Liu
et al., 2014). Sebagai contoh, pemberian biochar campuran kayu keras 20 g/kg yang dikombinasikan
dengan pupuk kandang babi 5 g/kg pada tanah Molisol menekan pelindian total N dan total P terlarut
masing-masing 11% and 69% (Laird et al., 2010). Biochar juga memiliki bobot volume yang rendah
sehingga ketika diberikan ke dalam tanah dapat menurunkan bobot volume tanah dan memperbaiki
kapasitas infiltrasi. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan penurunan bobot volume tanah setelah
pemberian biochar karena rendahnya bobot volume biochar (Laird et al., 2010b; Oguntunde et al.,).
Aplikasi biochar di tanah Vertisol pada musim hujan diharapkan dapat memperbaiki aerasi dan
memperkaya hara tanaman. Selain itu, mulsa juga dapat berperan ganda ketika diaplikasikan pada
musim hujan, yakni menjaga fluktasi suhu tanah, mengurangi pemadatan tanah dan menutup
permukaan tanah sehingga menghindari daun-daun selada dari percikan tanah yang boleh jadi
membawa-serta soil-born pest, disamping fungsi-fungsi lainnya. Permasalahannya adalah belum
tersedia informasi tentang takaran biochar sekam padi yang diperkaya hara dan ketebalan mulsa yang
218
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
tepat yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil selada, sehingga tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui takaran biochar sekam padi yang diperkaya hara bagi tanaman selada darat
jika
dikombinasikan
dengan
pemberian
mulsa.
BAHAN DAN METODE
Penelitian telah dilaksanakan pada Desember 2015 sampai Februari 2016 di kebun percobaan
Fakultas Pertanian, Universitas Timor, Kelurahan Sasi, Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten
TTU. Rancangan percobaan yang diterapkan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap berpola
faktorial, yang terdiri dari 2 faktor yaitu : faktor pertama takaran biochar sekam padi yang diperkaya
terdiri dari 3 aras yaitu 0, 2 dan 4%; faktor kedua adalah ketebalan mulsa terdiri dari 3 aras yaitu 0, 2
dan 4 cm selanjutnya disusun secara acak 3 x 3 yang diulang sebanyak 3 kali.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: tinggi tanaman, jumlah
daun, berat segar berangkasan, berat kering berangkasan dan berat kering akar.
Data pengamatan dianalisis menggunakan sidik ragam (Anova) Rancangan Acak lengkap.
Rata-rata perlakuan selanjutnya diuji lanjut dengan menggunakan Tukey test atau HSD dengan tingkat
signifikasi 5% sesuai Gomez, ( 2010). Analisis data menggunakan program SAS 9.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi tanaman
Tinggi tanaman (cm)
Aplikasi biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan mulsa berinteraksi secara positif
(P<0.05) dalam mempengaruhi tinggi tanaman selada. Tinggi tanaman selada yang dihasilkan secara
signifikan lebih tinggi dari pada kontrol (Tabel 4). Tinggi tanaman yang tertinggi hingga pertumbuhan
vegetatif maksimum adalah 8,22 cm yang diperolah dari kombinasi biochar 2% dan mulsa 2 cm.
9
8
b
7
bc
b
b
6
5
d
cd
4
Grafik 1. Tinggi tanaman 35 HST
Rerata perlakuan yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak
nyata berdasarkan uji tukey α = 5% ; HST= hari setelah tanam ; = A=
arang sekam; P= ketebalan mulsa; angka 0,2 dan 4 pada A: takaran
Jumlah daun
Aplikasi biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan mulsa berinteraksi secara positif
(P<0.05) dalam mempengaruhi jumlah daun selada. Jumlah helai daun yang dihasilkan secara signifian
219
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
lebih banyak dari pada kontrol ( Tabel 2). Jumlah helai daun terbanyak hingga pertumbuhan vegetatif
maksimum adalah 7 helai diperoleh dari komibinasi biochar 2% dan mulsa 2 cm.
Tabel 2. Jumlah daun (cm).
Jumlah daun 35 HST
8
a
7
6
b
5
Grafik 2. jumlah daun 35 hari setelah tanam
Rerata perlakuan yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata
berdasarkan uji tukey α = 5% ; HST= hari setelah tanam ; = A= arang sekam; P=
4.7 Berat segar trubus
Aplikasi biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan mulsa Tabel 7. Berat Segar Trubus
(g) berinterkasi secara nyata positif (P<0.05) dalam mempengaruhi berat segar trubus tanaman selada.
Berat segar trubus yang terbanyak hingga pertumbuhan vegetatif maksimum adalah 22,16 yang
diperoleh da ri kombinasi biochar 2% dan mulsa 2 cm.
220
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
Berat segar trubus (g)
50
ISSN1 693-5225
a
45
40
35
b
30
b
25
bcd
20
15
10
cd
b
cbd
d
5
0
Grafik 3. berat segar trubus
Rerata perlakuan yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji tukey α = 5%
; HST= hari setelah tanam ; = A= arang sekam; P= ketebalan mulsa; angka 0,2 dan 4 pada A:
takaran arang (%), angka 0,2 dan 4 pada P= ketebalan mulsa ( cm).
4.8 Berat kering trubus
Aplikasi biochar sekam padi dan yang dikombinasikan dengan mulsa Tabel 7. Berat kering
trubus (g) berinterkasi secara nyata positif (P<0.05) dalam mempengaruhi berat kering trubus tanaman
selada. Berat kering trubus yang tertinggi hingga pertumbuhan vegetatif maksimum adalah 1,44 yang
diperoleh dari kombinasi biochar 2% dan mulsa 2 cm.
221
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Tabel 8. Berat Kering Trubus(g)
berat kering trubus (g)
3
a
2
ba
bcd
1
bc
d
0
Grafik 4. Berat kering trubus
Rerata perlakuan yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji
tukey α = 5% ; HST= hari setelah tanam ; = A= arang sekam; P= ketebalan mulsa; angka
0,2 dan 4 pada A: takaran arang (%), angka 0,2 dan 4 pada P= ketebalan mulsa ( cm).
4.10 Berat kering akar
Aplikasi biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan mulsa Tabel 10. Berat kering akar
berinterkasi secara positif (P<0.05) dalam mempengaruhi berat kering akar tanaman selada. Berat kering
akar yang terberat hingga pertumbuhan vegetatif maksimum adalah 0,61 g yang diperoleh dari
kombinasi biochar 2% dan mulsa 2 cm.
222
berat segar akar (g)
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
ISSN1 693-5225
a
b
Grafik 3. berat kering akar
Rerata perlakuan yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji
tukey α = 5% ; HST= hari setelah tanam ; = A= arang sekam; P= ketebalan mulsa;
angka 0,2 dan 4 pada A: takaran arang (%), angka 0,2 dan 4 pada P= ketebalan mulsa
Tanah vertisol dengan pori mikro yang banyak menyebabkan aerasinya sangat kurang,
apabila tidak diberikan biochar akan menghambat penyerapan hara oleh akar dan pertumbuhan
tanaman. Ini terbukti pada rerata berat segar akar pada control (tanpa biochar) yang lebih rendah
dibandingkan perlakuan 2% dan 4% biochar. Demikian pula bila pemberian biochar yang
dikombinasikan dengan mulsa juga menunjukkan bahwa pemberian biochar dengan mulsa
menyebabkan berat kering akar lebih tinggi dari pada perlakuan kombinasi tanpa arang dengan
semua taraf mulsa (0, 2 dan 4 cm).
Demikian pula pemberian mulsa dengan ketebalan lebih dari 2 cm menyebapkan aerasi
dalam tanah tidak baik, berdampak pada respirasi akar yang tidak baik pula. Mulsa yang lebih
tebal dari 2 cm menyebabkan kelembaban tanah semakin tinggi, sekalipun diberikan bersama
biochar yang lebih dari 2% justeru semakin mengganggu pertumbuhan akar dan menyebapkan
pertumbuhan serta produksi tanaman tidak maksimal.
Pemberian arang dan mulsa memberikan pertumbuhan tanaman yang paling baik berupa
tinggi tanaman (8,22 cm), jumlah daun yang cukup banyak (7 helai), berat segar trubus (23,49),
berat kering tanaman (2,39), berat kering akar (0,61). Pemberian biochar sekam padi dan mulsa
meningkatkan pertumbuhan dan hasil selada dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini
disebabkan pemberian Biochar 2% lebih optimum dalam memperbaiki porositas tanah vertisol,
sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, penyerapan air dan
unsur hara pun menjadi lebih baik untuk pertumbuhan dan produksinya.
Kesimpulan
Dari analisis hasil dan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Pemberian biochar dan mulsa meningkatkan pertumbuhan dan hasil selada dibandingkan dengan kontrol.
2. Biochar sekam padi 2% dan mulsa alang-alang 2 cm memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik bagi selada
REFERENSI
Ashari, S. 1995, Hortikultura Aspek Budidaya : Universitas Indonesia.
Atkison, C. J. J. D. Fitzgerald, and N. A. Hipps. 2010. Potential mechanisms for achieving agricultural benefits
from biochar application to temperae soils: a review.Plant and soil 337:1-8.
223
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Berek, A. K. 2015. Biochars as an amendment to acid soils. Dissertation. University of Hawaii at Manoa,
Hawaii, USA.
Dariah, A. dan N. L. Nurida. 2012. Pemanfaatam biochar untuk meningkatkan produktivitas lahan kering
beriklim kering. Buana Sains, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Kealaman, 12(1).
Dariah, A., N. L. Nurida, dan Sutono. 2013. The effect of biochar on soil quality and maize productivity in
upland in dry climate region. 11th International Conference The East and South East Asia Federation of
Soil Science Societies. 21-24 Octocer. Bogor Indonesia.
Demank. 2012. Mikro Organisme Lokal Dari Buah-Buahan. Jambi: Universitas Jambi Fakultas Pertanian
Jurusan Agroekoteknologi.
Edi dan Yusri. 2010. Budidaya Sawi Hijau. Jurnal Agrisistem. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Jambi.
Franzluebbers, A. J. 2002 . Water infiltration and soil structure related to organic matter and its stratification with
depth. Soil & Tillage Research 66 : 197-205.
Gomez, K. A. dan A. A. Gomes. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke 2. Jakarta:UI
Press.
Glaser, B., J. Lehmann, and W. Zech. 2002. Ameliorating physical and chemical properties of higly weathered
soils in the tropic with charcoal: A review. Biol. Fertil. Soils 35:219-230.
Hanolo, W. 1997. Tanggapan Tanaman Selada dan Sawi Terhadap Dosis dan Cara Pemberian Pupuk Cair
Stimulan. Jurnal Agrotropika Vol. 1 (1): 25-29
Hardjowinego, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademik Presido. Jakarata.
Harist, A. 2000. Petunjuk penggunaan mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Haryanto, E., E. Rahayu, T. Suhartini. 1995. Sawi dan selada. Penebar Swadaya, Jakarta.
Indrakusuma. 2000. Pupuk Organik Cair Supra Alam Lestari. PT Surya Pratama Alam.Yogyakarta.
Laird, D. A. 2008. The charcoal vision: a winewinewin scenario for simultaneously producing bioenergy,
permanently,sequestering carbon, while improving soil and water quality, Agronomy Journal 100,178181.
Laird, D., P. Fleming, B. Wang, R. Horton, & D. Karlen. 2010a. Biochar impact on nutrient leaching from a
Midwestern agricultural soil. Geoderma, 158 : 436-442.
Laird, D., P. Fleming, D. Davis, R. Horton, B. Wang, & D. L. Karlen. 2010b. Impact of biochar amendments
on the quality of a typical Midwestern agricultural soil. Geoderma, 158 : 443-449.
Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta : Penebar Swadaya.
Major, J. 2010. Soil Improvement from Application of Biochar. International Biochar Inititive. IBI Research
Summaries are intended to provide answers about biochar science for the general public. Soil
Improvement. 8 June 2010.
Marsono dan P. Sigit. 2008. Pupuk Akar: Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Matarirano, L. 1994. Liquid manure is good fertilizer. Developing Countries Farm Radio Network. Oktober
1994, Paket 34, Naskah 3 (Unpublished).
Ogawa, M. 1994. Sybiosis of people and nature in tropics. Farming. Japan 28:10-34.
Oguntunde, P. G., B. J. Abiodun, A. E. Ajayi, & N. van de Giesen. 2008. Effects of charcoal production on soil
physical properties in Ghana. Journal of Plant Nutrition and Soil Science, 171: 591-596.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Selada dan Andewi, PT Kanisius, Jakarta.
Saparinto, C. 2013. Gown Your Own Vegetables-Paduan Praktis Menenam Sayuran Konsumsi Populer di
Pekaranagan. Lily Publisher. Yogyakarta. 180 hal.
Sastradiharja, S. 2011. Praktis Bertanam Selada dan Ansewi Secara Hidroponik. Bandung: Penerbit Angkasa
Bandung. Hal. 1-17.
Sipahutar, D. 2010. Teknologi Briket Sekam Padi. Riau: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Soares, B. 2002. Pengaruh Dosis Pupuk Kascing dan Jenis Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang
Putih (Allium sativum L.). Varietas Lokal Sanur. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana, Denpasar.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Faperta, IPB. Bogor.
Sunarayono, 1998. Kunci Bercocok Tanam Sayur-sayuran Penting, Mulia, Jember.
224
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Suprayitno. 1996. Selada Bertanam dan Pengolahan, Pascapanen. Kanisius.Yogyakarta.
Sukartono, W.H. Utomo, Z. Kusuma, and W.H. Nugroho. 2011. Soil fertility status, nutriend uptake, and maize
(zea mays L) yield following biochar and cattle manure application on sandy soils of lombok, Indonesia.
Journal of Tropical Agryculture 49(1-2):47-52.
Thomas, R. S.,
R.L. Franson,
& G.J. Bethlenfalvay.1993. Separation of VAM Fungus
and
Root Effects on Soil Agregation. Soil Sci. Am. J. Edition:57:77-31.
USDA. 2010. National Nutrient Database for Standart Reference. United States
Departement of Agriculture.
Yuniati. 2008. Pertumbuhan Tanaman Anthurium plowmanii Pada Media Biochar Sekam Dan Cocopeat
Dengan Pemberian Starbio. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta. http:// etd.eprints.ums.ac.id/1197/. Diakses tanggal 27-02-2016.
225
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
PENGELOLAAN AIR DAN PEMBERIAN BAHAN ORGANIK UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT
Muhammad Hatta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No 45 Pontianak, 78241. Fax: 0561883883.
HP: 0816 4983449. e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Lahan rawa pasang surut mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah. Kandungan Al3+, Fe3+,
Mn dan ion H+ yang tinggi bersifat toksik pada tanaman padi dan menyebabkan kondisi tanah menjadi
masam. Kendala lainnya adalah kelarutan fosfat rendah, kejenuhan basa rendah, kekahatan unsur hara,
salinitas tinggi, pada kondisi tergenang menyebabkan toksisitas Fe2+, H2S, CO2, dan bahan organik
tanah yang masih lunak, dan drainase tanah sangat buruk. Sistem pengairan satu arah dan pemberian
bahan amelioran berupa bahan organik merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman padi di lahan sawah pasang surut. Penelitian bertujuan untuk
mengkaji teknologi pengairan satu arah dan pemberian bahan organik yang dapat meningkatkan
produktivitas padi di lahan pasang surut. Metoda yang digunakan adalah percobaan lapang di lahan
sawah pasang surut dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK), diulang 5 kali. Perlakuan yang
dicobakan antara lain: pengairan sistem satu arah, pemupukan berimbang, pemberian bahan organik
berupa kompos jerami dan pupuk organik granule. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi
pengairan sistem satu arah, pemupukan berimbang (N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1),
pengapuran 500 kg ha-1 dan pemberian kompos jerami padi 5 t ha-1 memberikan hasil gabah kering
giling sebesar 5,4 t ha-1, atau meningkat 64 % dari hasil yang dilakukan petani yang sebesar 3,3 t ha-1
dan memberikan keuntungan sebesar Rp. 10.900.000,- per hektar per musim tanam.
Kata Kunci : Padi, sawah, pasang surut, tata air, amelioran, bahan organik
PENDAHULUAN
Peningkatan produktivitas lahan pasang surut untuk tanaman padi sangat layak
diprioritaskan karena kebutuhan pangan terus meningkat rata-rata sekitar 3,5 persen per tahun
(Dirjen Tanaman Pangan. 2011). Hal ini disebabkan peningkatan produksi pangan di lahan
pertanian non rawa melalui perluasan areal pangan maupun pemacuan produktivitas dirasakan
tidak cukup (Balittra, 2011). Luas tanaman padi pasang surut di Kalimantan Barat mencapai
92.250 ha. Potensi lahan pasang surut yang cukup besar ini masih belum mampu memberikan
kontribusi terhadap peningkatan produksi padi di Kalimantan Barat. Produktivitas padi lahan
pasang surut di Kalimantan Barat masih tergolong rendah yaitu berkisar 2 – 2,5 t ha-1 (BPS
Provinsi Kalimantan Barat, 2014). Rendahnya produktivitas padi tersebut antara lain disebabkan
belum diperhatikannya teknologi spesifik lokasi pada agroekosistem lahan sawah pasang surut.
Lahan rawa pasang surut mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah sampai sangat rendah.
Kandungan Al3+, Fe3+, Mn2+, dan ion H+ yang tinggi bersifat toksik pada tanaman padi dan
menyebabkan kondisi tanah menjadi masam. Kendala lainnya adalah kelarutan fosfat rendah,
kejenuhan basa rendah, kekahatan akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, salinitas tinggi,
pada kondisi tergenang menyebabkan toksisitas Fe2+, H2S, dan CO2 (Dent, 1986; Noor, 2004).
Sifat fisika tanah belum matang, lapisan lempung (clay) dan bahan organik tanahnya masih
lunak, serta drainase tanah sangat buruk. Kendala dan permasalahan tersebut dapat diperbaiki
dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan dan air yang benar dan spesifik.
Pengelolaan air secara spesifik di lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan air yang
diperlukan untuk evapotranspirasi tanaman, membuang air berlebihan, mencegah terjadinya
elemen toksik dan melindi (leaching) elemen toksik. Pengelolaan air di lahan pasang surut dapat
berupa irigasi, drainase, konservasi ataupun intersepsi. Pengelolaan air tersebut dapat dilakukan
226
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
secara terpisah atau kombinasinya, dan dengan kultur teknis yang tepat dapat meningkatkan
produktivitas padi di lahan pasang surut.
Sistem pengairan yang tepat untuk tanaman padi pasang surut di Kalimantan Barat masih
belum banyak dilakukan. Demikian pula terhadap teknologi pemupukan dan ameliorasi yang
berimbang masih jarang ditemui. Oleh karena itu diperlukan teknologi dalam menentukan sistem
tata air dan ameliorasi padi sawah pasang surut yang lebih mudah, tepat, praktis, dan spesifik
lokasi. Sistem pengairan satu arah dan pemberian bahan organik merupakan teknologi yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatur keluar dan masuknya air ke dalam petakan sawah secara satu
arah dan menambahkan unsur hara ke dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Teknologi ini
cukup sederhana dan mudah diadopsi dan dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi. Hasil
penelitian yang telah dilakukan di lahan pasang surut di Bintang Mas, Kabupaten Kubu Raya,
Provinsi Kalimantan Barat dengan pengelolaan lahan dan air yang baik dapat menghasilkan padi
5 - 6 t ha-1(Sutanto, 2009).
Pemberian bahan amelioran pada lahan sawah pasang surut sangat diperlukan dalam
upaya meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Nursyamsi, et al. (2001), bahan organik
merupakan parameter kesuburan tanah yang penting, karena di samping sebagai bahan amelioran,
bahan organik dalam tanah dapat menghasilkan hara N, P, K, Ca, Mg dan S tanah. Sedangkan
menurut Deturck dan Vlassak (1991), menyatakan bahwa dengan meningkatnya kadar bahan
organik tanah akan meningkatkan kemampuan KTK tanah yang pada gilirannya akan
meningkatkan daya pegang tanah terhadap hara sehingga terjadi kondisi yang baik disekitar
perakaran Keadaan ini akan merangsang pertumbuhan akar dalam meningkatkan kemampuan
mekanisme penolakan Fe (excluding Fe mechanishm) (Ottow et.al. 1991). Dengan membaiknya
suplai hara di sekitar perakaran dan meningkatnya kemampuan oksidasi akar, maka serapan Fe
yang berlebihan dapat teratasi.
Lahan rawa pasang surut secara spesifik mempunyai beberapa kelebihan terutama dengan
adanya air pasang yang dapat digunakan sebagai sumber irigasi dan adanya sumberdaya lokal
yang tedapat pada agroekosistem lahan pasang surut dapat dimanfaatkan secara optimal.
Pemberian bahan amelioran, berupa kapur dan bahan organik yang banyak terdapat disekitar
lahan pasang surut dapat dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu perlu model tata air dan
ameliorasi tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanah di lahan rawa pasang surut.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan sistem pengairan satu arah dan pemberian bahan
amioran berupa kapur dan bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas tanah dan
sekaligus dapat meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian ini dilaksanakan di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang, Kabupaten
Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat pada bulan Januari – Desember 2013. Bahan yang
digunakan antara lain : benih padi varietas Inpara 3, saprodi berupa pupuk Urea, Sp-36, KCl dan
amelioran berupa kapur dan bahan organik, Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR), dan bahan
penolong lainnya.
Kajian dilakukan dengan metoda percobaan lapang di lahan sawah pasang surut milik
petani dengan ukuran tiap petak percobaan seluas 100 m2 (5 m x 20 m). Rancangan percobaan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), masing – masing perlakuan diulang 5
kali. Perlakuan tersebut antara lain adalah :
T0 = Pemupukan N 67,5 kg ha-1, P2O5 22,5 kg ha-1, K2O 22,5 kg ha-1 (anjuran
setempat) dan tanpa pemberian bahan organik
T1 = Pemupukan N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 dan pengapuran 500
kg ha-1 (hasil uji tanah dengan Perangkat Uji Tanah Rawa/PUTR) dan tanpa pemberian bahan
organik
227
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
T2 = Pemupukan N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 dan pengapuran 500
kg ha-1, pemberian kompos jerami 5 t ha-1 dan dengan sistem pengairan satu arah.
T3 = Pemupukan N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 dan pengapuran 500
kg ha-1, pemberian pupuk organik granule (Pabrikan) 0,5 t ha-1 dan dengan sistem pengairan satu
arah.
Selanjutnya data hasil percobaan dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan
uji lanjut beda nyata. Parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman, panjang malai, berat
gabah per rumpun, berat gabah 1000 butir, dan produksi padi per hektar. Untuk mengetahui
sejauh mana masing – masing perlakuan dapat menguntungkan, maka dilakukan analisis finansial
dengan menggunakan analisis Input – Output, R/C ratio, dan efisiensi ekonomis dari masingmasing perlakuan (Cramer dan Jensen, 1979 dalam Margaretha et. al., 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tinggi tanaman antara perlakuan T1, T2, dan T3
tidak berbeda nyata, namun pada perlakuan T0 yang biasa dilakukan petani atau sesuai dengan
anjuran setempat berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Sistem pengairan satu arah
dan pemberian kapur dan bahan organik pada sawah pasang surut dapat meningkatkan tinggi
tanaman padi rata-rata 8,2 cm (Gambar 1
Tinggi Tanaman (cm)
98
96
94
92
90
88
86
84
82
80
96,3
95,02
92,8
86,5
T0
T1
T2
T3
Gambar 1. Rata – rata tinggi tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3
di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya
Panjang malai
Hasil pengamatan panjang malai pada masing – masing perlakuan seperti pada Gambar 2.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa panjang malai pada masing – masing perlakuan T0, T1,
T2, dan T3 tidak beda nyata (Tabel 1). Sistem pengairan satu arah dan pemberian kapur dan
bahan organik pada sawah pasang surut tidak mempengaruhi panjang malai (Gambar 2).
228
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Panjang Malai (cm)
22,5
22,0
21,5
21,0
20,5
20,0
19,5
19,0
18,5
18,0
22,2
21,9
20,7
19,6
T0
T1
T2
T3
Gambar 2. Rata – rata panjang malai tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3
di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Jumlah malai
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah malai pada masing – masing perlakuan T0
dan T1 tidak menujukkan beda nyata, namun perlakuan T0 dengan T2 dan T3 berbeda nyata.
Perlakuan T1 tidak berbeda nyata dengan T3 akan tetapi berbeda nyata dengan T2. Perlakuan T3
tidak menunjukkan beda nyata dengan T2 (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa sistem
pengairan satu arah dan pemberian amelioran berupa pemberian kapur dan kompos jerami
sebanyak 5 t ha-1 pada sawah pasang surut dapat mempengaruhi jumlah malai tanaman padi.
Hasil pengamatan jumlah malai pada masing – masing perlakuan seperti pada Gambar 3.
Jumlah Malai
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
11,16
9,6
9,16
8
T0
T1
T2
T3
Gambar 3. Rata – rata jumlah malai tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
dan T3 di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Berat Gabah per Rumpun
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa berat gabah per rumpun pada masing – masing
perlakuan T0 dan T1 tidak beda nyata, namun T0 dengan T2 dan T3 berbeda nyata. Perlakuan T1
tidak berbeda nyata dengan T3, akan tetapi berbeda nyata dengan T2. Perlakuan T3 tidak
menunjukkan beda nyata dengan T2 (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengairan satu
arah dan pemberian kapur dan bahan organik berupa kompos jerami sebanyak 5 t ha-1 pada
229
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
sawah pasang surut dapat mempengaruhi terhadap berat gabah per rumpun Hasil pengamatan
berat gabah per rumpun masing – masing perlakuan seperti pada Gambar 4.
Berat Gabah per Rumpun (gram)
60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
56,92
43,52
35,38
29,78
T0
T1
T2
T3
Gambar 4. Rata – rata berat gabah per rumpun tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1,
T2, dan T3 di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Berat Gabah 1000 Butir
Hasil pengamatan berat gabah 1000 butir pada masing – masing perlakuan seperti pada
Gambar 5. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa berat gabah 1000 butir pada perlakuan T0
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan antara perlakuan T1, T2, dan T3 tidak
menunjukkan beda nyata (Tabel 1). Pengairan satu arah dan pemberian kapur dan bahan organik
pada sawah pasang surut dapat meningkatkan penampilan padi pada berat gabah 1000 butir.
Berat Gabah 1000 Butir (gram)
28,0
26,5
25,8
26,0
26,1
24,1
24,0
22,0
T0
T1
T2
T3
Gambar 5. Rata – rata berat gabah per rumpun tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan
T3 di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Hasil Gabah Kering Panen
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hasil gabah kering panen pada perlakuan T0, T1,
T2, dan T3 masing – masing berbeda nyata (Tabel 1). Pemupukan berimbang dan pemberian
kapur 500 kg ha-1 dengan menggunakan perangkat uji tanah rawa (PUTR) dapat meningkatkan
hasil gabah kering panen sebesar 13 % dari 3,8 t ha-1 menjadi 4,3 t ha-1. Hasil gabah kering
panen tersebut meningkat menjadi 6,3 t ha-1 (66%) setelah dilakukan pengairan sistem satu arah
dan pemberian kompos jerami 5 t ha-1. Sedangkan pemberian pupuk organik granule 0,5 t ha-1
dan sistem pengairan satu arah memberikan hasil 5,4 t ha-1 atau meningkat 42% (Gambar 7).
230
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Hasil Gabah GKP (t/ha)
7,0
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0
6,3
5,4
3,8
T0
4,3
T1
T2
T3
Gambar 7. Rata – rata berat gabah kering panen dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3 di lahan
sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Hasil Gabah Kering Giling
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hasil gabah kering giling (Kadar Air 14%) pada
perlakuan T0, T1, T2, dan T3 berbeda nyata (Tabel 1). Hasil gabah kering giling yang paling
tinggi seperti pada perlakuan pemupukan N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 dan
pengapuran 500 kg ha-1 dan pemberian kompos jerami 5 t ha-1 serta dengan sistem pengairan
satu arah (T2) yaitu sebesar 5,4 t ha-1, sedangkan yang paling rendah perlakuan pemupukan N
67,5 kg ha-1, P2O5 22,5 kg ha-1, K2O 22,5 kg ha-1 (anjuran setempat) dan tanpa pemberian
bahan organik (T0) yaitu sebesar 3,3 ha-1 (Gambar 8).
Hasil Gabah Kering Kadar Air 14% (t/ha)
5,4
6,0
5,0
4,0
4,5
4,0
3,3
3,0
2,0
1,0
0,0
T0
T1
T2
T3
Gambar 8. Rata – rata berat gabah kering Kadar Air 14% dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3 di
lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Tabel 1. Beda nilai tengah DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 5 %
pada tinggi tanaman, panjang malai, jumlah malai, berat gabah pe rumpun, berat gabah 1000
butir, gabah kering panen dan gabah kering KA 14% (Gomez, K,A. and A.A. Gomez. 1995).
231
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
Perlakuan*)
Tinggi
Tanama
n
Panjang
malai
(cm)
(cm)
86,50 a
Jumlah
malai
ISSN1 693-5225
Berat
Gabah/
rumpun
(gram)
Berat
Gabah
seribu
butir
(gram)
Gabah
kering
panen
Gabah
kering
KA14
%
( t ha-1)
( t ha-1)
3,3 a
T0: N 67,5 kg ha-1, P2O5 22,5
19,6 a
8,00 a 29,78 a 24,1 a
3,8 a
kg ha-1, K2O 22,5 kg ha-1 /cara
petani
T1: N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg
92,80 b 20,7 a
9,16 ab 35,38
25,8 b
4,3 b
4,0 b
ha-1, K2O 75 kg ha-1 (PUTR)
ab
T2: N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg
96,30 b 22,2 a
11,16
56,92
26,5 b
6,3 c
5,4 c
ha-1, K2O 75 kg ha-1 (PUTR) +
bc
bc
kompos jerami 5 t ha-1+
pengairan satu arah
T3: N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg
95,02 b 21,9 a
9,60 c 43,52 c 26,1 b
5,4 d
4,5 d
ha-1, K2O 75 kg ha-1 (PUTR) +
pupuk organik granule 0,5 t ha1
+ pengairan satu arah
*)Angka dalam kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata
pada uji DMRT taraf 5%.
Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan introduksi teknologi sistem pengairan satu arah, pemupukan
berimbang dan pemberian bahan amelioran seperti kapur dan bahan organik menunjukkan hasil
yang lebih baik terhadap tinggi tanaman, panjang malai, berat gabah per rumpun dan berat gabah
seribu butir, dan hasil gabah kering panen maupun kering giling, apabila dibandingkan dengan
sistem usahatani yang biasa dilakukan petani. Sedangkan hasil yang paling baik dari beberapa
perlakuan tersebut di atas adalah teknologi sistem pengairan satu arah, pemupukan berimbang,
pemberian kapur 500 kg ha -1 dan kompos jerami 5 t ha-1 pada lahan sawah pasang surut
memberikan hasil gabah kering giling sebesar 5,4 t ha-1 atau dapat meningkatkan hasil sebesar
64%.
Sistem pengairan satu arah bertujuan agar aliran air pasang dan surut dapat mengalir satu arah dan
mengurangi unsur – unsur yang beracun bagi tanaman seperti H+, Al3+, Fe2+, dan Mn2+. Hal ini
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Widjaja Adhi dan Alihamsyah (1998) bahwa penerapan
pengelolaan air satu arah pada lahan rawa pasang surut di Karang Aung Ulu, Sumatera Selatan
dapat merubah kualitas air dari kondisi awal pH 4,2 dan Fe2+ larut sebesar 430 ppm menjadi pH
4,8 dan Fe2+ larut sebesar 160 ppm.
Pemberian amelioran berupa kapur dolomit dengan takaran 500 kg ha-1 bertujuan untuk
mengurangi kemasaman tanah. Beberapa hasil penelitian pada lahan sulfat masam dengan tipe
luapan B di Unit Tatas Kalimantan Tengah bahwa pemberian kapur 1,5 t ha-1 dapat meningkatkan
hasil padi sebesar 30 %, sedang pada lahan sulfat masam tipe luapan C di Barambai, Kalimantan
Selatan pemberian kapur 2 t ha-1 dapat meningkatkan hasil padi sebesar 20 %. Petak percobaan
yang tidak dikapur, tanahnya dalam kondisi ekstrim masam (pH 4,0). Pada tanah yang bereaksi
masam terjadi interaksi antara ion Al dan P, dimana Al akan mengikat P tanah ataupun P dari
hasil pemberian pupuk dalam bentuk persenyawaan yang tidak larut atau dalam ikatan yang
sangat kuat (Noor, 2004).
Pemberian bahan organik berupa kompos dari jerami padi berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan tanaman padi. Menurut Kertonegoro (2006) bahan organik mempunyai fungsi
keharaan, fungsi biologis, fungsi fisika dan fisiko-kimia di dalam tanah sehingga memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi keharaan, sebagai sumber hara N, P dan S
melalui proses mineralisasi. Fungsi biologis sebagai sumber energi bagi makro dan
232
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
mikroorganisme tanah. Fungsi fisika dan fisiko-kimia berpengaruh nyata terhadap struktur tanah,
aerasi, lengas dan permeabilitas tanah. Penambahan bahan organik cenderung menyebabkan
terbentuknya senyawa-senyawa organik kompleks yang dapat mengikat partikel – partikel tanah
dan membentuk agregat–agregat tanah. Agregat – agregat ini dapat membantu mempertahankan
kondisi tanah yang remah, terbuka, dan berbutir-butir (granuler). Air akan mudah masuk ke
dalam tanah dan mengalir meresap ke bawah di dalam tanah. Pasokan O 2 bagi akar-akar tanaman
untuk pernafasan menjadi lebih baik dan pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik pula.
Pori - pori berukuran besar meningkat jumlahnya sehingga menyebabkan pertukaran gas – gas di
dalam tanah dan di atmosfir menjadi lebih lancar.
Pemberian pupuk berimbang N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 mengakibatkan
pertumbuhan tanaman padi menjadi optimal dan memberikan komponen hasil yang lebih baik. N
dan P diperlukan untuk sintesis protein dan asam nukleat, sedang K dan Mg untuk aktivasi enzim
dalam proses metabolisme tanaman.
Analisa Keuntungan
Hasil analisis keuntungan usahatani padi pada masing – masing perlakuan seperti pada
Gambar 9. Hasil analisis keuntungan menunjukkan bahwa takaran pemupukan N 90 kg ha-1,
P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 dan pengapuran 500 kg ha-1 dan kompos jerami 5 t ha-1 dan
sistem pengairan satu arah memberikan hasil berat gabah kering giling paling menguntungkan
yaitu sebesar Rp. 10.900.000,-.
Nilai Keuntungan (Rp/ha/musim)
12.000.000
10.900.000
10.170.000
10.000.000
8.000.000
6.935.000
7.150.000
T0
T1
6.000.000
4.000.000
2.000.000
T2
T3
Gambar 9. Nilai keuntungan usahatani padi pada masing – masing petak percobaan (T0 , T1, T2,
dan T3) di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
233
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Tabel 2. Hasil Analisa Usahatani Padi Lahan Sawah Pasang Surut di Sei Berembang. Kubu Raya
Perlakuan
T0: N 67,5 kg ha-1, P2O5 22,5 kg ha-1,
K2O 22,5 kg ha-1 /cara petani
T1: N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1,
K2O 75 kg ha-1 (PUTR)
T2: N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1,
K2O 75 kg ha-1 (PUTR) + kompos
jerami 5 t ha-1+ pengairan satu arah
T3: N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1,
K2O 75 kg ha-1 (PUTR) + pupuk
organik granule 0,5 t ha-1 +
pengairan satu arah
Pengeluaran
(Rp)
5.225.000
Pendapatan
(Rp)
12.160.000
Keuntungan
(Rp)
6.935.000
R/C
Ratio
1,33
Efisiensi
(%)
133
6.610.000
13.760.000
7.150.000
1,08
108
9.260.000
20.160.000
10.900.000
1,18
118
7.110.000
17.280.000
10.170.000
1,43
143
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Teknologi sistem pengairan satu arah dan pemupukan berimbang N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1,
K2O 75 kg ha-1 serta pemberian kapur 500 kg ha-1 dan kompos jerami 5 t ha-1 pada lahan sawah
pasang surut dapat meningkatkan hasil padi sebesar 64% atau memberikan hasil sebesar 5,4 t ha-1
gabah kering giling dan memberikan keuntungan sebesar Rp. 10.900.000,- per hektar per musim
tanam.
Saran
Perlunya penelitian takaran pupuk organik yang berbeda mengingat potensi lahan sawah pasang
surut masih dapat ditingkat produktivitasnya, sehingga dapat mencapai hasil padi yang optimal.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka. BPS Propinsi
Kalimantan Barat.
Balittra, 2011. State of teha Art dan Grand Design Pengembangan Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian
Lahan Rawa. Banjarbaru
Dent, D., 1986. Acid Sulphate soils: a base line for research and development. ILRI Publication 44 Wageningen,
The Netherlands.
Deturck, P. and Vlassak. 1991. Potassium Management on wet Ultisols grown to rice. In: P. Deturck and F.N.
Ponnamperuma (eds.). Rice produktion on acid soils of the tropics. P. 191-196. Institute of Fundamental
Studies, Kandy, Sri Langka.
Dirjen Tanaman Pangan. 2011. Kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Workshops P2BN
dalam Rangka Mengahdapi Dampak Perubahan Iklim, 11-13 Januari 2011 di Jakarta.
Gomez, K,A. and A. A. Gomez. 1995. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. John
Willey and Sons, New York.
Kertonegoro B. D. 2006. Bahan Humus Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.
Noor M. 2004. Upaya Perbaikan Produktivitas Tanah Sulfat Masam. Disertasi Doktor Fakultas Pertanian
bidang Studi Ilmu Tanah pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
234
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016
ISSN1 693-5225
Noor M. 2004a. Lahan Rawa : Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Nursyamsi, D., M.E. Suryadi, A. Hasanudin, dan S. Abdulah. 2001. Pengaruh Pengelolaan Tanah dan Air
Terhadap Air Genangan dan Hasil Padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 20. N0. 1, 2001:
50 – 60.
Margaretha S. L., Ningsih W., Subandi, dan Zubachtiroddin. 2004. Respon Pemupukan Jagung Terhadap
Pupuk N, P Dan K Pada Lahan Kering Beriklim Kering di Sambelia, Lombok Timur. Balai Penelitian
Tanaman Serealia. Maros.
Ottow, J.C..G., K. Prade, W. Bertenbreiter, and V.A. Jack. 1991. Strategies to Alleviate Iron Toxicity of
Wetland Rice on Nutritionally Poor and/or Acid Sulphate Soils. In: P. P. Deturck and F.N.
Ponnamperuma (eds.). Rice Produktion on Acid Soils of the Tropics. P. 205-211. Institute of
Fundamental Studies, Kandy, Sri Langka.
Sutanto, R. H. 2009. Review Hasil Pembahasan Workshop Pengembangan dan Pengelolaan Rawa dalam
Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional, 16 Desember 2009, Hotel Nikko Jakarta. Kadiputian
Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinasi Bidang
Perekonomian. Jakarta. 27 hal.
Widjaja Adhi IPG dan Alihamsyah, T. 1998. Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan Rawa
untuk Usahatani dalam Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. dalam Proseding
Seminar Nasional dan Petermuan Tahunan Komda HITI. Buku I.
235
Download