ANALISIS INFLASI DENGAN PENDEKATAN PANEL DINAMIS

advertisement
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ANALISIS INFLASI DENGAN PENDEKATAN PANEL DINAMIS:
(Studi Kasus Di Kawasan Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali)
Thomy Andryas
Bank Indonesia
ABSTRAK
Masalah ekonomi makro dalam jangka pendek yang tidak mudah untuk diatasi yaitu masalah inflasi.
Permasalahan inflasi muncul ditandai dengan meningkatnya harga-harga secara umum dan bersifat terus
menerus. Untuk melihat permasalahan inflasi, maka dibuatlah suatu penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat dan menganalisis signifikansi dari variabel PDRB Riil, Upah Minimum, dan lag inflasi terhadap inflasi
di daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali. Penelitian ini menggunakan model panel
dinamis dengan data observasi 11 provinsi periode 2009-2013. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa secara
parsial variabel PDRB riil, variabel UMP, dan variabel lag inflation terhadap inflasi berpengaruh signifikan
sedangkan secara simultan (secara bersama-sama) variabel PDRB riil, variabel UMP, dan variabel lag inflation
juga berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Implikasi dari temuan ini adalah variabel PDRB riil, UMP, dan
lag inflation merupakan instrumen yang tepat untuk mempengaruhi inflasi di daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali
Kata Kunci: PDRB Riil, UMP, Lag Inflation, Inflasi, Panel Dinamis.
ABSTRACT
Macroeconomic problems in the short term is not easy to overcome is the problem of inflation. The problem of
inflation appears marked by rising prices in general and is continuous. To see the problem of inflation, then
made a study. This study aims to look at and analyze the significance of variables PDRB Real, Minimum Wage,
and lag inflation to inflation in the region of Jakarta, Banten, West Java, Central Java, Yogyakarta and East
Java, North Sumatra, South Sumatra, South Sulawesi, Kalimantan South and Bali. This study uses a dynamic
panel models with observational data of 11 provinces 2009-2013. The results of this study states that in partial
real GRDP, UMP variables and variable lag inflation have a significant effect on inflation while
simultaneously (together) real GRDP variables, variables UMP, and variable lag inflation is also a significant
effect on inflation. The implications of these findings are variable real GRDP, UMP, and lag inflation is an
appropriate instrument to influence inflation in the region of Jakarta, Banten, West Java, Central Java,
Yogyakarta and East Java, North Sumatra, South Sumatra, South Sulawesi, Kalimantan South and Bali.
Keywords: Real GRDP, UMP, Lag Inflation, Inflation, Dynamic Panel.
- 197 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PENDAHULUAN
Inflasi dalam sejarah perekonomian Indonesia sudah
menjadi masalah secara terus menerus dari satu
pemerintahan ke pemerintahan berikutnya
(Atmadja, 1999). Indonesia pernah mengalami
inflasi yang sangat tinggi (hiperinflasi) mencapai
635,5% yang disebabkan anggaran belanja
pemerintah pusat mengalami defisit, solusi untuk
mengatasi hal itu pemerintah melakukan
pemotongan nilai mata uang rupiah dari Rp1.000
menjadi Rp1 (Atmadja, 1999). Inflasi yang terburuk
selanjutnya terjadi pada tahun 1998, efek dari krisis
keuangan Asia yang mempengaruhi depresiasi nilai
tukar rupiah dari Rp2.800 menjadi Rp16.000
terhadap dolar Amerika, sehingga turut mendorong
kenaikan inflasi Indonesia hingga mencapai 77,5%.
Inflasi tinggi dan nilai tukar yang terdepresiasi cukup
tajam diiringi dengan ketidakstabilan situasi sosial
politik pada saat itu, berakhir dengan bergantinya
kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke
Presiden B.J. Habibie.
Dampak lain dari inflasi seperti kerugian bagi penyimpan uang tunai, kerugian kreditur dengan bunga
pinjaman lebih rendah dari tingkat naik lebih dahulu
daripada kenaikan gaji (Priyono dan Setiasih, 2009).
Sedangkan pada tingkat inflasi, proses produksi
menjadi tidak efisien dan kenaikan produksi dapat
menyebabkan harga inflasi yang sangat parah,
beberapa produksi tidak dapat berjalan sampai
pemberhentian kerja sepihak dari perusahaan (PHK).
Secara otomatis pengangguran bertambah dan daya
beli masyarakat semakin menurun, berdampak
peningkatan angka kemiskinan.
Lebih jauh dampak inflasi juga membuat harga barang
impor lebih murah daripada barang produksi domestik
dan bisa menyebabkan neraca perdagangan menjadi
defisit. Tingginya tingkat inflasi membuat harga
barang domestik relatif lebih mahal dibanding-kan
dengan harga barang-barang impor. Harga barang
domestik yang lebih mahal menyebabkan daya saing
barang domestik menurun di pasar internasional.
Adanya fenomena harga barang domestik relatif lebih
mahal dibandingkan dengan harga barang-barang
impor, masyarakat cenderung untuk membeli barang
impor yang harganya relatif lebih murah. Hal ini
berdampak pada turunnya nilai ekspor dan naiknya
nilai impor sehingga menyebabkan neraca perdagangan menjadi defisit. Selain itu, tingkat inflasi yang
tinggi akan mendorong terjadinya capital out flow
yang lebih cepat daripada capital in flow, sehingga
mengakibatkan kemerosotan nilai mata uang
(Mankiw, 2007:340). Tingkat suku bunga mempu-
nyai hubungan yang erat dengan tingkat inflasi.
Menurut teori internasional fisher effect terjadinya
perbedaan tingkat bunga antar kedua negara
disebabkan adanya perbedaan ekspektasi terhadap
tingkat inflasi. Ketika tingkat inflasi naik, maka
tingkat bunga cenderung semakin tinggi. Jika tingkat
bunga domestik lebih rendah dari tingkat bunga
internasional maka akan terjadi Capital out flow.
Namun demikian, inflasi dalam kategori ringan
memiliki efek positif bagi perekonomian. Para
penerima fixed income seperti PNS, karyawan swasta,
serta buruh semakin semangat dalam bekerja untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Inflasi yang stabil
membuat financial planning di tingkat perusahaan
dan lapisan masyarakat menjadi lebih baik,
purchasing power parity terjangkau, kebutuhan hidup
terpenuhi, investasi lancar karena investasi tidak
bersifat spekulasi dan kredit lancar (Silvia dkk., 2013).
Dalam jangka panjang (long run) akan menyebabkan
income real masyarakat tetap stabil, standar hidup
layak lebih baik dan lebih sejahtera.
Oleh karena itu, inflasi perlu dikendalikan dan salah
satu strategi mengatasi permasalahan inflasi melalui
penetapan sasaran atau target inflasi. Jika inflasi
melampui target yang ditetapkan, dapat mengakibatkan terjadinya overheating economy dan mengarah
pada kondisi resesi (penurunan output). Tugas
pengendalian inflasi diamanahkan kepada Bank
Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang
Bank Indonesia No.23 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.6
Tahun 2009.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 1
Perkembangan Inflasi dan Pertumbuhan
UMP di Indonesia Periode 2001-2013
Gambar 1 di atas menunjukan perkembangan inflasi
Indonesia dari tahun 2001-2013 yang cenderung
berfluktuasi. Menurut Laporan Perekonomian
Indonesia, fluktuasi inflasi dipengaruhi antara lain
kenaikan harga minyak dunia, peningkatan atau
- 198 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
penurunan harga komoditas global, ketidaklancaran
pasokan komoditas pangan dampak anomali cuaca
dan depresiasi kurs rupiah.
Perkembangan inflasi pada Gambar 1 di atas, memiliki kecenderungan diikuti oleh rata-rata kenaikan
UMP (Upah Minimim Provinsi) pada periode
berikutnya. Secara rata-rata angka pertumbuhan
UMP dalam kurun waktu 2001-2013 tersebut lebih
tinggi 1,71 kali dari realisasi angka inflasi pada
periode sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan
bahwa setiap 1% kenaikan inflasi mempengaruhi
kenaikan upah 1,71% pada periode berikutnya.
Hubungan searah kedua indikator tersebut juga
ditunjukkan dari tingkat korelasi positif 0,38.
Bahkan kenaikan UMP di tahun 2012 dan 2013
mencapai rasio 3,52 kali atau melebihi dua kali dari
pola normalnya (1,71 kali), diperkirakan tidak lagi
hanya faktor inflasi dari tahun sebelumnya tetapi
adanya pengaruh faktor lainnya antara lain adanya
pilkada (pemilihan kepala daerah) di beberapa daerah
pada tahun 2012 dan 2013 seperti DKI Jakarta,
Sulawesi Selatan dan Bali. UMP DKI Jakarta tahun
2013 (paska pilkada 2012) naik sebesar 43,88% (ratarata 17,93%), Sulawesi Selatan (pilkada 2013) naik
20,00% dan Bali (pilkada 2013) naik 22,07%,
sementara pola normalnya (atau rata-rata 2001 s.d
2013) masing-masing hanya 17,93%, 16,86% dan
14,48%.
meningkat drastis dari sebesar 9,91% (2012) menjadi
sebesar 18,55% (2013), tidak diikuti dengan
pertumbuhan ekonomi yang kembali menurun dari
6,28% (2012) menjadi 5,90% (2013). Secara statistik,
hubungan kedua variabel ini menunjukan tidak
searah dengan angka korelasi negatif yang cukup
tinggi sebesar 0,71.
Ketiga indikator di atas yaitu inflasi, PDRB dan
UMP tersebut menarik perhatian bagi penulis untuk
mendalami lebih lanjut pengaruh ketiga variabel
tersebut secara simultan maupun secara parsial di
tingkatan regional. Penulis mengambil sampel
sebanyak 11 (sebelas) provinsi dari 33 (tiga puluh
tiga) provinsi populasi di Indonesia.
Sebelum memilih provinsi sampel, penulis terlebih
dahulu membagi wilayah Indonesia ke dalam lima
kawasan yaitu kawasan Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Bali dan Nusa Tenggara atau disingkat Balnusra, dan
terakhir kawasan Sulawesi, Maluku dan Papua atau
disingkat Sulampua, sebagaimana tercermin dalam
Gambar 3.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 3
Proporsi Inflasi, PDRB, Populasi Penduduk dan
Sebaran Provinsi di 5 kawasan di Indonesia
Sumber: BPS, diolah
Gambar 2
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi dan
Pertumbuhan UMP di Indonesia
Periode 2001-2013
Selain itu, keyakinan tingginya kenaikan upah (UMP)
mempengaruhi produktivitas, tidak tercermin seperti
pada Gambar 2 di atas. Kenaikan UMP di tahun 2006
mencapai sebesar 18,61% atau meningkat dibandingkan tahun 2005 sebesar 10,73%, tidak diiringi
kenaikan pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi
sebaliknya yang menurun dari 5,37% di tahun 2005
menjadi 5,19% (tahun 2006). Hal yang sama juga
terjadi di tahun 2013, pertumbuhan UMP yang
Dari Gambar 3 di atas, seluruh provinsi di kawasan
Jawa menjadi objek sampel karena menempati
proporsi terbesar baik aspek jumlah populasi maupun
proporsi PDRB dan inflasi, yaitu DKI Jakarta, Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur. Selanjutnya untuk kawasan Sumatera diwakili
2 propinsi sampel yaitu Sumatera Utara dan Sumatera
Selatan. Sedangkan untuk kawasan Sulampua,
Kalimantan dan Balnusra diwakili 1 provinsi yaitu
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
Pemilihan provinsi sampel di kawasan Sumatera,
Sulampua, Kalimantan dan Balnusra, selain mempertimbangkan proporsi terbesar dari masing-masing
kawasan, juga mempertimbangkan adanya Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Wilayah di provinsi
tersebut yang membawahi beberapa provinsi lainnya,
sehingga memudahkan pelaksanaan koordinasi
- 199 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
pengendalian inflasi di kawasan, seperti Sumatera
Selatan dan Kalimantan Selatan.
menggunakan lag inflasi karena lag inflasi tahun lalu
sangat berpengaruh terhadap inflasi tahun sekarang.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di
atas, maka penulis membuat judul penelitian ini
tentang “Analisis Inflasi Dengan Pendekatan Panel
Dinamis: Studi Kasus Kawasan Jawa, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali”. Penelitian ini menggunakan variabel dependen inflasi dengan variabel
independennya PDRB riil, UMP dan lag inflation
periode tahun 2009-2013 dengan metodologi panel
dynamic analysis.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Menguji dan menganalisis pengaruh variabel
PDRB, Upah Minimum Provinsi, dan laju inflasi
tahun sebelumnya secara simultan terhadap laju
inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali;
(2) Menguji dan menganalisis pengaruh variabel
PDRB, Upah Minimum Provinsi, dan laju inflasi
tahun sebelumnya secara parsial terhadap laju
inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
Alasan penggunaan variabel PDRB dan UMP untuk
mempengaruhi inflasi karena PDRB riil dan UMP
sangat berkaitan dengan inflasi di daerah. PDRB riil
berkaitan dengan perilaku konsumsi kemudian
berpengaruh ke inflasi, sedangkan UMP berkaitan
dengan pengangguran yang kemudian berpengaruh
ke inflasi juga sehingga secara parsial maupun
simultan berpengaruh terhadap inflasi. Alasan
LANDASAN TEORI
Inflasi dan Indeks Harga
Inflasi merupakan tingkat perubahan dalam hargahatga, dan tingkat harga adalah akumukasi dari
inflasi-inflasi terdahulu (Dornbusch, 2008:39).
Tidak ada indeks harga yang sempurna, indeks harga
yang utama adalah GDP deflator, Consumer Price
Index, dan Producer Price Index. CPI mengukur
biaya pembelian sekelompok barang dan jasa yang
mempresentasikan pembelian konsumen perkotaan.
GDP deflator dan CPI memberikan informasi yang
berbeda tentang apa yang terjadi pada seluruh
tingkat harga dalam perekonomian (Mankiw,
2007:31).
Demand Pull Inflation dan Cost Push Inflation
(a)
(b)
Sumber: Gordon, 2006:213
Gambar 4
Demand Pull Inflation Curve dan
Cost Push Inflation Curve
Gambar 4 bagian (a) permintaan agregat awal di AD1
dan P1, serta output sebesar Y1, permintaan agregat
naik menyebabkan kurva AD bergeser ke kanan
menjadi AD2 dengan output sebesar Y2 dan harga
naik dari P1 menjadi P2. Jika masyarakat atau
pemerintah masih tetap menambah pengeluarannya
maka kurva AD akan bergeser lagi ke kanan sehingga
menjadi AD3 dengan ouput menjadi Y3 dan harga naik
dari P2 ke P3. Inilah wujud dari inflasi yang
disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat.
Gambar 4 (b) jika upah naik maka biaya produksi
akan naik, hal ini menyebabkan kurva AS bergeser ke
kiri yaitu dari AS1 ke AS2 sehingga output turun dari
Y1 ke Y2 dan harga naik dari P1 ke P2. Kenaikan harga
menyebabkan pekerja menuntut kenaikan upah lagi,
hal ini akan mengakibatkan kurva AS bergeser ke kiri
lagi dari AS2 ke AS3, output semakin berkurang
menjadi Y3 dan harga naik ke level yang lebih tinggi
yaitu dari P2 ke P3.
Teori Kuantitas Klasik
Secara garis besar teori kuantitas uang klasik mengatakan bahwa perubahan-perubahan money supply
akan menyebabkan kenaikan harga yang sama
tingkatnya dengan tingkat money supply. Penyebab
terjadinya inflasi karena peningkatan money supply
yang dapat diterangkan dengan menggunakan
persamaan pertukaran menurut Irving Fisher. Jika
kuantitas uang meningkat dan perputaran uang tidak
berubah, maka baik harga maupun jumlah transaksi
harus meningkat (Mankiw, 2007:86).
- 200 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Teori Keynes
Menurut teori Keynes inflasi terjadi jika permintaan
agregat melebihi jumlah barang yang mampu
ditawarkan oleh perekonomian sehingga timbul
inflationary gap. Menurut teori Keynes inflasi
terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar
batas ekonomisnya. Permintaan masyarakat akan
barang-barang selalu melebihi jumlah barangbarang yang tersedia sehingga timbul apa yang
disebut inflationary gap”. Secara umum mereka
yang penghasilannya tidak naik secepat kenaikan
harga harus menerima bagian barang yang lebih
kecil (Boediono, 1980:110).
Philips Curve
Persamaan Philips secara umum dapat dirumuskan
dalam persamaan sebagai berikut:
n
p = pt-1- b(u - u ) + v ................................... (1)
Persamaan 1. menjelaskan bahwa inflasi tergantung
pada inflasi tahun lalu, pengangguran siklis dan
guncangan penawaran. Simbol πt-1 menunjukkan
bahwa inflasi memiliki inersia. Inersia ini muncul
karena inflasi masa lalu mempengaruhi ekspektasi
inflasi masa depan dan karena ekspektasi ini
mempengaruhi upah serta harga yang ditetapkan.
Simbol β(u-un) menunjukkan bahwa pengangguran
siklis (penyimpangan dari pengangguran alamiah)
memberi tekanan pada inflasi. Jika pengangguran
rendah maka akan menarik inflasi ke atas. Peramater β
mengukur sejauh mana responsivitas inflasi terhadap
pengangguran siklis. Selanjutnya v menunjukkan
bahwa inflasi juga naik turun karena guncangan
penawaran. Contoh guncangan ini misalnya kenaikan
harga minyak dunia yang pada akhirnya menyebakan
kenaikan hagrga barang.
terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity
effect. Kedua, efek terhadap alokasi faktor produksi
disebut dengan efficiency effect. Ketiga, efek terhadap
produk nasional disebut dengan output effect. Efek
inflasi terhadap pendapatan, inflasi meningkat
pendapatan riil masyarakat akan menurun. Efek
inflasi terhadap alokasi input, inflasi meningkat biaya
produksi meningkat, maka kenaikan biaya produksi
barang pada gilirannya akan merubah pola alokasi
input yang sudah ada. Efek inflasi terhadap output,
inflasi meningkat, pendapatan riil turun, konsumsi
turun, output turun.
Kebijakan Mengatasi Inflasi
Menurut Bank Indonesia, salah satu cara mengatasi
inflasi dengan kebijakan pemerintah dan otoritas
moneter yaitu melalui kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter. Cara ini dilakukan pemerintah dan otoritas
moneter agar tidak menyebabkan dampak inflasi
seperti meningkatnya harga-harga secara umum dan
terus menerus (pengertian inflasi), menjadi tidak
meluas. Karena inflasi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sebaliknya, kebijakan
yang diambil juga harus dapat mencegah penyebab
inflasi maupun timbulnya deflasi.
Contoh kebijakan fiskal pemerintah, misalnya adalah
menurunkan pungutan pajak secara dinamis,
menaikkan insentif bagi dunia usaha yang melakukan
perdagangan internasional, kebijakan ekspor-impor
yang secara positif dapat menurunkan tingkat inflasi,
kebijakan pembangunan infrastruktur yang tidak
menekan dunia usaha. Contoh kebijakan moneter
misalnya adalah open market operation, discount
rate policy, cash ratio policy, dan moral suasion.
Efek Inflasi
Dampak inflasi dalam suatu perekonomian negara
dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama efek
PENELITIAN TERDAHULU
Hasil yang diperoleh dari penelitian Nagayasu
(2010) adalah secara statistik, tingkat signifikansi
inflasi regional di 10 provinsi negara Jepang berbeda
dan tidak ada konvergensi harga di semua provinsi
negara Jepang. Arnold and Kool (2003) juga
meneliti tentang perbedaan inflasi regional. Hasil
yang diperoleh dari peelitian Arnold and Kool
(2003) adalah kenaikan tingkat inflasi regional
akibat efek pro-cyclical, dalam jangka pendek
melalui transmisi tingkat bunga riil dan kekayaan
lebih kuat dibandingkan dengan melalui transmisi
nilai tukar riil.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian Donggori
dkk., (2014) adalah perubahan Indeks Harga Konsumen di kota Jayapura dan kota Manokwari saling
mempengaruhi dan kedua kota tersebut memiliki
karakeristik inflasi yang hampir sama sehingga
hubungan antara keduanya dapat dijelaskan dengan
model koreksi kesalahan (ECM). Berbeda dengan
- 201 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Donggori dkk., (2014), Kesimpulan dari penelitian
Apriliawan dkk., (2013) adalah variabel IHK dan
pertumbuhan PDRB berpengaruh signifikan dan
berbanding lurus terhadap laju inflasi di Provinsi
Jawa Tengah. Variabel UMK berpengaruh signifikan
dan berbanding terbalik terhadap laju inflasi di
Provinsi Jawa Tengah.
jangka pendek dan jangka panjang. Harga komoditas
berpengaruh signifikan dalam mempengaruhi inflasi.
Dengan menggunak metodologi yang sama, yaitu
VAR. Kesimpulan yang didapat dari penelitian
Gabrijelčič dkk., (2012) adalah inflasi harga pangan di
Slovenia dipengaruhi oleh faktor lonjakan permintaan
pangan domestik dan peningkatan HICP.
Kesimpulan dari penelitian Hidayati (2013), inflasi di
Jawa Timur memiliki derajat persistensi yang tinggi.
Persistensi inflasi yang tinggi mengindikasikan
bahwa inflasi membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk kembali kenilai alamiahnya setelah adanya
shock. Persistensi inflasi Jawa Timur dipengaruhi oleh
shock yang terjadi pada komponen administered price
dan volatile foods. Adanya pembentukan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) memiliki pengaruh mengurangi persistensi inflasi Jawa Timur. Metode yang
digunakan oleh Hidayati (2013) menggunakan PAM,
metode ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Apriliawan, dkk (2013), Nagayasu (2010), dan
Arnold dan Kool (2003), serta Donggori, dkk (2014).
Manggi dan Saraswati (2013) menganalisis inflasi di
Indonesia adalah ECM. Kesimpulan yang didapat
adalah suku bunga PUAB berpengaruh signifikan
terhadap inflasi dalam jangka panjang dan jangka
pendek. JUB dan harga minyak dunia dalam jangka
panjang berpengaruh positif. Variabel dummy musim
tidak berpengaruh terhadap inflasi baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek. Hasil penelitian Irz
dkk., (2012) menunjukkan bahwa hubungan
keseimbangan jangka panjang yang signifikan secara
statistik terjadi antara harga makanan, pertanian,
tenaga kerja dan energi. Hasil penelitian Ahsan dkk.,
(2011) menunjukkan agricultural subsidy dan world
food prices berdampak signifikan pada harga
makanan di Pakistan.
Hasil penelitian dari Widiarsih (2012) adalah variabel
harga dasar gabah berpengaruh signifikan terhadap
Inflasi bahan makanan baik dalam jangka panjang
maupun jangka pendek. Variabel jumlah impor beras
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel
inflasi bahan makanan dalam jangka pendek namun
tidak untuk jangka panjang. Dalam jangka panjang,
variabel jumlah produksi padi berpengaruh signifikan
terhadap inflasi bahan makanan. Namun dalam jangka
pendek, variabel ini tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap inflasi bahan makanan.
Kesimpulan penelitian Wei (2013) adalah Harga
komoditas dan harga barang-barang manufaktur dapat
memprediksi fluktuasi jangka pendek dan panjang
dari inflasi. Harga barang-barang manufaktur masih
signifikan dalam mempengaruhi inflasi baik dalam
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
meliputi penggunaan variabel, periode, dan tempat
penelitian, serta metode penelitian. Penelitian ini
menggunakan variabel dependen inflasi di kawasan
Jawa. Untuk variabel independennya UMP di
kawasan Jawa, dan PDRB di kawasan Jawa. Sedangkan jurnal terdahulu lebih membahas IHK, inflasi
bahan makanan, dan banyak yang menggunakan
variabel moneter untuk mempengaruhi inflasi. Untuk
alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah panel dynamic analysis. Selain itu, persamaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
sama-sama membahas mengenai inflasi.
KERANGKA KONSEPTUAL
Secara sistematis hubungan antara keempat variabel
tersebut dalam mempengaruhi inflasi dapat
dituangkan ke dalam kerangka konseptual pemikiran
pada gambar berikut:
PDRB Riil (LPDRBit)
UMP (LUMPit)
Inflasi sebelumnya (INFit-1)
INFLASI
(INFit)
Kerangka konseptual dalam penelitian ini disajikan
untuk mengarahkan pelaksanaan penelitian dan
memudahkan pembaca dalam memahami alur proses
penelitian. Penelitian ini membahas pengaruh secara
parsial dan secara simultan variabel output yang
diproxikan PDRB, upah tenaga kerja yang di
proxikan Upah Minimum Provinsi (UMP), dan lag
inflasi tahun sebelumnya terhadap inflasi daerah
dengan metode regresi panel dinamis. Cross section
berjumlah 11 yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Gambar 5: Kerangka Konseptual
- 202 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali, dengan
menggunakan time series periode tahun 2009-2013.
Dalam penelitian ini inflasi dipengaruhi oleh PDRB,
UMP, dan lag inflasi sebelumnya, dimana terlihat
bahwa pengaruhnya secara simultan dan secara
parsial.
Hubungan antara output dengan inflasi melalui teori
AD-AS, dimana ketika harga semula dan ouput dititik
yang seimbang, kenaikan permintaan total menyebabkan pergeseran kurva AD ke kanan atas dan output
meningkat sehingga ada sebagian permintaan yang
tidak dapat dipenuhi oleh penawaran (asumsi kurva
AS konstan). Akibat dari shortage harga mengalami
kenaikan, atau yang disebut dengan inflasi. Jika output
diproksikan PDRB, maka kenaikan permintaan total
akan meningkatkan PDRB, tetapi juga meningkatkan
inflasi.
Efek kenaikan upah pada laju inflasi dapat ditinjau
baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari
sisi penawaran, upah sebagai salah satu biaya input
produksi dapat berpotensi menyebabkan peningkatan
inflasi, terutama jika peningkatan upah tidak
dibarengi oleh peningkatan produktivitas tenaga
kerja. Sementara dari sisi permintaan, peningkatan
upah berpotensi mendorong peningkatan daya beli.
HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis yang dapat ditarik berdasarkan latar
belakang, tujuan penelitian dan landasan teori yang
telah dipaparkan adalah sebagai berikut:
1. PDRB riil, UMP, dan laju inflasi sebelumnya
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap
laju inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
2. PDRB riil, UMP, dan laju inflasi sebelumnya
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
laju inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
MODEL ANALISIS
Berdasarkan hipotesis di atas, dengan menggunakan
metode regresi panel dinamis dengan model yang
digunakan adalah sebagai berikut:
= lag inflasi
= Logaritma
= Intercept
b1, b2, b3 = Koefisien regresi
µ
= error term (residu)
t
= menunjukkan time series
I
= menunjukkan cross section
pit-1
L
pit = a + b1 L PDRBit + b2LUMPit + b3 pit-1 + µit
Keterangan:
= Inflasi
pit
PDRBit = Produk Domestik Regional Bruto riil
UMPit = Upah Minimum Provinsi
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif menitikberatkan pada
pengujian hipotesa secara statistik, data yang digunakan harus terukur dan akan menghasilkan kesimpulan
yang dapat digeneralisasikan. Selain itu, penelitian ini
menggunakan teknik analisis dynamic panel untuk
mencoba membuat penelitian secara umum mengenai
pengaruh PDRB, UMP, dan lag inflasi terhadap
inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali, selanjutnya akan dilakukan
penjelasan deskriptif untuk membahas intepretasi
lebih lanjut dari temuan yang diperoleh dalam analisis
kuantitatif sehingga dapat diperoleh kesimpulan.
- 203 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan cara membaca bahan-bahan yang
menjadi sumber data baik yang berasal dari laporan
penelitian, laporan kajian ekonomi regional, jurnal,
maupun artikel yang berhubungan dengan perma-
salahan. Data yang dikumpulkan ditabulasi untuk
selanjutnya diolah dan di analisis secara kuantitatif.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data secara online yang
bersumber dari Bank Indonesia dan BPS.
TEKNIS ANALISIS
Arellano dan Bond (1991) (AB) mengajukan metode
dengan prosedur estimasi yang lebih efisien yaitu
metode generalized method of moments (GMM),
estimator AB dapat dilakukan dengan one-step dan
two-step. Estimasi GMM dapat digunakan pada data
dengan cross-section N tak terhinggadan dalam
periode T yang tetap (fixed). Arellano dan Bond
(1991) menderivasi estimator GMM yang konsisten
untuk parameter di dalam model sebagai estimator.
Estimator ini didesain untuk dataset dengan banyak
cross section dan periode yang pendek, dengan syarat
bahwa tidak ada autokorelasi pada idiosyncratic
errors. Estimator untuk model yang menggunakan
additional moment conditions dan dengan syarat
bahwa tidak ada autokorelasi pada idiosyncratic
errors dapat menggunakan estimator yang
dikembangkan oleh Arellano-Bover/Blundell-Bond,
sedangkan estimator untuk model yang mengijinkan
adanya autokorelasi pada idiosyncratic error Arellano
dan Bond (1991) menyatakan dapat digunakan
sebagai estimator.
dinamis. Model yang digunakan dalam estimasi harus
dilakukan uji robust yaitu sargan test, di mana uji ini
akan menentukan valid atau tidaknya model yang
digunakan dalam estimasi. Hipotesis nol (H0) dalam
sargan test adalah overidentifying restriction are valid.
Dalam uji ini terdapat nilai probabilitas chi-square,
dimana jika nilai probabilitasnya signifikan (dibawah
level 1%, 5%, atau 10%) maka mengindikasikan
penolakan terhadap hipotesis nol (H0). Penolakan H0
menyatakan bahwa perlu dipertimbangkan kembali
model dan instrument yang digunakan dalam estimasi.
Post estimation dalam panel dinamis selanjutnya
adalah uji parsial dan simultan. Dalam uji ini terdapat
nilai probabilitas z dan nilai probabilitas wald test, di
mana jika nilai probabilitasnya signifikan (di bawah
level 1%, 5%, atau 10%) maka mengindikasikan
penolakan terhadap hipotesis nol (H0). Penolakan
(H0) menyatakan bahwa menerima H1 dan dapat
disimpulan signifikan secara parsial maupun
simultan.
Terdapat beberapa prosedur ekonometrik yang dapat
dilakukan sebagai post estimation dalam panel
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.
Hasil Uji Statistik Panel Dinamis
Variabel Independen
LPDRBit
LUMPit
INFit-1
Prob. Wald test
Prob.
Keterangan
0,025**
0,015**
0,000**
0,000**
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Sumber: Hasil pengolahan dengan STATA 13
Keterangan:
** = Signifikan pada 5%
Prob. Wald test = Probabilitas untuk uji simultan
Diuji secara general pengaruh PDRB riil terhadap
inflasi dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai probabilitas
LPDRBit sebesar 0,025 yang kurang dari 5% (0,05).
Hal ini dapat simpulkan bahwa hipotesis nol ditolak
dan hipotesis satu diterima, sehingga secara statistik
variabel LPDRBit daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali berpengaruh signifikan
terhadap INFit daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali.
Pengaruh Upah Minimum Provinsi terhadap inflasi
dapat dilihat pada tabel 1. Nilai probabilitas LUMPit
sebesar (0,015) yang kurang dari 5% (0,05). Hal ini
dapat simpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dan
hipotesis satu diterima sehingga secara statistik
variabel UMPit daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
- 204 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali berpengaruh signifikan
terhadap INFit daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali.
Pengaruh lag inflasi terhadap inflasi dapat dilihat pada
Tabel 1. nilai probabilitas INFit-1 sebesar 0,000 yang
kurang dari 5% (0,05). Hal ini dapat simpulkan bahwa
hipotesis nol ditolak dan hipotesis satu diterima
sehingga secara statistik variabel INFt-1 daerah DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan
Bali berpengaruh signifikan terhadap INFt daerah
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali.
Begitu juga dengan pengujian secara simultan yang
dilihat dari wald test. Tabel 1. menunjukkan probabilitas wald test sebesar 0,000 yang kurang dari 5%.
Hal ini dapat simpulkan bahwa hipotesis nol ditolak
dan hipotesis satu diterima sehingga secara simultan
(secara bersama-sama) variabel LPDRBit, LUMPit,
dan INFit-1 daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali berpengaruh
signifikan terhadap INFit daerah DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta
dan Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
Pengujian yang tidak kalah penting adalah melihat
valid tidaknya model panel dinamis digunakan.
Valid tidaknya model panel dinamis dapat dilihat
dari probabilitas uji sargan. Berdasarkan Gambar 6
diketahui bahwa probabilitas uji Sargan sebesar
0,0861 sedangkan tingkat signifikansi yang digunakan adalah 5%. Dengan demikian, probabilitas uji
sargan (0,0861) lebih besar dari 0,05. Kesimpulannya adalah model panel dinamis yang digunakan
dalam penelitian ini valid sehingga model panel
dinamis sudah tepat digunakan.
Sargan test of overidentifying restrictions
H0 : overidentifying restrictions are valid
chi2 (5)
= 9.640816
Prob > chi2 = 0.0861
Sumber: Hasil diolah dengan STATA 13
Gambar 6: Uji Sargan
Melalui pengujian dengan metode panel dynamic
pengaruh PDRB riil terhadap inflasi signifikan. Nilai
probabilitas LPDRBit sebesar 0,025 yang kurang dari
5% (0,05). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari
Apriliawan dkk., (2013), dimana pertumbuhan
ekonomi yang diproksikan oleh PDRB riil berpengaruh signfikan terhadap inflasi di kabupaten/kota Jawa
Tengah. Signifikansi pengaruh PDRB riil daerah DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali terhadap inflasi daerah DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan
Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali
tahun 2009-2013 disebabkan oleh peningkatan
PDRB riil yang didorong oleh komponen demand
side dan supply side. Dari komponen demand side,
PDRB riil didorong oleh konsumsi rumah tangga
untuk barang dan jasa. Permintaan barang dan jasa
yang tinggi menyebabkan tingkat harga barang dan
jasa meningkat atau inflasi. Dari komponen supply
side, PDRB riil didorong oleh sektor industri
manufaktur, meningkatnya Tarif Daya Listrik (TDL)
dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
menyebabkan biaya-biaya operasional meningkat
sehingga harga barang yang dihasilkan oleh industri
manufaktur meningkat dan menyebabkan inflasi.
Nilai probabilitas LUMPit sebesar 0,015 yang kurang
dari 5% (0,05), sehingga LUMPit daerah DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan
Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali
terhadap inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali berpengaruh signifikan.
UMP berpengaruh signifikan terhadap inflasi
disebabkan oleh peningkatan UMP yang didasarkan
pada tuntukan kebutuhan hidup layak oleh para
pekerja (buruh), meningkatnya produktivitas dibeberapa sektor, dan meningkatnya PDRB Riil di daerah
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali. Menurut Laporan Kajian Ekonomi
dan Keuangan Internasional Februari 2014, konsumsi
rumah tangga meningkat seiring dengan peningkatan
UMP. Dengan demikian, peningkatan UMP
menyebabkan peningkatan konsumsi rumah tangga
sehingga menyebabkan peningkatan inflasi di daerah
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
- 205 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali.
Faktor lain yang menyebabkan UMP di daerah DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali meningkat karena UMP di 11
provinsi masih di bawah titik keseimbangan permintaan dan penawaran tenaga kerja di pasar tenaga
kerja, sehingga tidak terjadi sticky wage. Kenaikan
UMP tersebut lebih mendorong tenaga kerja untuk
mendapatkan pekerjaan dan begitu juga bagi sektor
usaha, kenaikan UMP tidak disikapi oleh manajemen
perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja, tetapi
dijadikan sebagai strategi penting dalam meningkatkan kinerja pekerja secara nyata, mendorong
terpeliharanya kelangsungan hidup satuan kerja,
terwujudnya visi misi, dan untuk pencapaian sasaran
kerja melalui produktivitas yang tinggi yang pada
akhirnya akan mengurangi tingkat pengangguran
yang ada. Kenaikan UMP menyebabkan kenaikan
biaya produksi sehingga perusahaan terasa terbebani.
Secara teori, kenaikan biaya produksi yang ditandai
dengan pergesaran kurva AS ke kiri atas akan
menyebabkan kenaikan harga output. Oleh sebab itu,
peningkatan UMP di daerah DKI Jakarta, Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali akan
meningkatkan biaya produksi bagi perusahanperusahan di 11 provinsi dan untuk selanjutnya
perusahaan akan meningkatkan harga, peningkatan
harga menyebabkan peningkatan inflasi.
Melalui pengujian dengan metode panel dynamic
pengaruh inflasi tahun sebelumnya (INFit-1) terhadap
inflasi signifikan. Nilai probabilitas INFit-1 sebesar
0,000 yang kurang dari 5% (0,05). Hal ini dapat
simpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis
satu diterima sehingga secara statistik variabel INFt-1
berpengaruh signifikan terhadap INFt. Hasil yang
signifikan ini sesuai dengan teori dari Philips curve,
dimana inflasi tahun sebelumnya akan berdampak
langsung pada inflasi tahun t. Dengan demikian,
kenaikan inflasi tahun sebelumnya akan memberikan
dampak yang signifikan pada inflasi tahun
berikutnya. Proses ini berjalan secara bergantian dan
mencerminkan bahwa inflasi antarperiode sifatnya
tidak stabil (Priyono dan Setiasih, 2009).
Siginifikasi pengaruh lag inflation daerah DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan
Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali
terhadap inflasi daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Bali tahun 2009-2013,
disebabkan permintaan barang di 11 provinsi tersebut
meningkat didorong naiknya sifat konsumtif
masyarakat di 11 provinsi tersebut. Sifat konsumtif
masyarakat meningkat jika tidak diimbangi oleh
persediaan barang yang diproduksi lebih banyak,
maka harga barang di 11 provinsi tersebut akan naik
karena terjadi kelangkaan atau keterbatasan pada
barang tersebut. Apabila masyarakat di 11 provinsi
tersebut masih terus menambah pengeluarannya maka
harga akan naik secara umum dan terjadi inflasi.
Kondisi ini juga disebabkan karena meningkatnya
inflasi periode-periode sebelumnya yang akan
mendorong harga-harga barang di 11 provinsi tersebut
pada periode berikutnya.
Variabel LPDRBit, LUMPit, dan INFit-1 daerah DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh signifikan terhadap inflasi (INFit)daerah
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
nilai probabilitas wald test sebesar 0,000 yang kurang
dari 5% (0,05). Hal ini dapat simpulkan bahwa
hipotesis nol ditolak dan hipotesis satu diterima
sehingga secara simultan (secara bersama-sama)
variabel LPDRBit, LUMPit, dan INFit-1 berpengaruh
terhadap INFt. Hasil diatas tidak jauh berbeda dengan
pengujian secara parsial, yang menyatakan bahwa
secara masing-masing (terpisah) pengaruh variabel
independen (LPDRB it , LUMP it , dan INF it-1 )
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen
(inflasi).
Signifikansi pengaruh secara bersama-sama antara
LPDRBit, LUMPit, dan INFit-1 dengan INFit daerah
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Bali disebabkan oleh peningkatan PDRB
riil dari sisi permintaan didorong oleh konsumsi
rumah tangga untuk bahan pangan, peningkatan sifat
konsumsi rumah tangga diikuti oleh meningkatnya
UMP sehingga daya beli masyarakat juga ikut
meningkat. Peningkatan daya beli masyarkat tidak
- 206 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
diimbangi oleh persediaan barang lebih banyak yang
diproduksi oleh perusahaan maka harga barang
tersebut akan naik karena di pasar terjadi shortage
(excess demand). Apabila masyarakat di 11 provinsi
tersebut masih terus menambah pengeluarannya,
maka harga akan naik secara umum dan terjadi inflasi.
Selain itu, meningkatnya inflasi tahun sebelumnya
akan mendorong harga-harga barang di 11 provinsi
tersebut pada tahun berikutnya. Misalnya,
peningkatan inflasi tahun 2013 akan dipengaruhi oleh
kondisi inflasi tahun 2012. Selanjutnya, peningkatan
PDRB riil dari sisi penawaran didorong oleh sektor
industri manufaktur. Meningkatnya Tarif Daya Listrik
(TDL) dan kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) menyebabkan biaya-biaya operasional
meningkat sehingga harga barang yang dihasilkan
oleh industri manufaktur meningkat. Disisi lain
perusahaan-perusahaan di daerah DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan
Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali
dibebankan oleh keputusan pemerintah daerah terkait
peningkatan UMP. Dampak negatif bagi perusahaan
dari kenaikan UMP yaitu kenaikan biaya produksi.
Hal ini mempengaruhi peningkatan inflasi akibat dari
dorongan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi
di perusahaan akan menggeser kurva agregat supply
bergeser ke kiri dan di ikuti oleh peningkatan harga.
Kenaikan biaya produksi bagi perusahan-perusahan
di 11 provinsi akan diiringi kenaikan harga yang
mendorong peningkatan inflasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan
maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian
ini antara lain:
1. Variabel LPDRBit, LUMPit, dan INFit-1 secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap inflasi
(INFit) daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
2. Variabel LPDRBit, LUMPit, dan INFit-1 secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap inflasi
(INFit) daerah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan dan Bali.
3. Pengaruh PDRB riil terhadap inflasi sesuai teori
demand pull inflation yang ditunjukkan dengan
peningkatan PDRB riil yang mencerminkan
peningkatan daya beli konsumen, mempengaruhi
peningkatan permintaan masyarakat terhadap
barang dan jasa, jika tidak dibarengi dengan
peningkatan penawaran barang dan jasa akan
menyebabkan shortage (kurva AD bergeser ke
kanan atas), sehingga harga barang dan jasa
meningkat dan akhirnya menimbulkan masalah
inflasi. Pengaruh Upah Minimum Provinsi sesuai
dengan teori yang ditunjukkan dengan kenaikan
UMP menyebabkan kenaikan biaya produksi.
Secara teori, kenaikan biaya produksi yang
ditandai dengan pergesaran kurva AS ke kiri atas
akan menyebabkan kenaikan harga output yang
meningkatkan inflasi. Salah satu variabel yang
mempengaruhi inflasi dalam teori kurva Philips
adalah inflasi tahun sebelumnya (?t-1), pengaruh
inflasi tahun sebelumnya dengan inflasi tahun t
berdampak secara langsung, dengan demikian,
kenaikan inflasi tahun sebelumnya akan
memberikan dampak yang signifikan pada inflasi
tahun berikutnya.
4. Pengaruh PDRB riil terhadap inflasi dalam
penelitian ini didukung dari hasil penelitian
Apriliawan dkk., (2013) yang menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang diproksikan
oleh PDRB riil berpengaruh signfikan terhadap
inflasi. Pengaruh UMP terhadap inflasi dalam
penelitian ini juga didukung dari hasil penelitian
Apriliawan dkk., (2013). Penelitian Apriliawan
dkk., (2013) menunjukkan UMP berpengaruh
signifikan terhadap inflasi. Pengaruh lag inflasi
terhadap inflasi dalam penelitian ini didukung
penelitian yang dilakukan oleh Apriliawan dkk.,
(2013), hasil menunjukkan lag inflation memiliki
pengaruh signifikan dan berbanding lurus
terhadap laju inflasi.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas maka penulis memberikan beberapan saran sebagai berikut:
1. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan melakukan
pengujian dengan metode lain, menambah
variabel makroekonomi lainnya untuk
mempengaruhi inflasi, menambah jumlah data
observasi serta memasukkan variabel dummy
misalnya dummy krisis.
- 207 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
2. Hasil penelitian ini mencerminkan bahwa variabel
PDRB riil, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan
inflasi tahun sebelumnya (lag inflation), merupakan instrumen yang kuat mempengaruhi inflasi
baik secara simultan maupun parsial. Oleh sebab
itu, penting bagi institusi terkait untuk menganalisis lebih lanjut pengaruh variabel-variabel tersebut, agar formulasi dan implementasi kebijakan
baik jangka pendek maupun jangka panjang
menjadi efektif dan tepat sasaran dalam menjaga
stabilitas harga. Misal untuk daerah dengan signifikansi PDRB riil yang kuat seperti Bali dan DI
Yogyakarta, agar terus menjaga daya saing melalui
peningkatan produktivitas. Sedangkan untuk
provinsi Kalimantan Selatan dapat meningkatkan
proporsi belanja modal untuk mendorong efek
multiplier, mengingat konsumsi pemerintah dalam
struktur PDRB relatif cukup besar.
3. Sementara untuk daerah dengan tingkat signifikansi yang kuat antara Upah Minimum Provinsi
(UMP) dengan inflasi seperti di provinsi
Kalimantan Selatan, Bali dan Jawa Timur, perlu
mempertimbangan antara lain hal-hal berikut:
• Kebijakan penetapan Upah Minimum Provinsi
(UMP) mempertimbangkan realisasi inflasi
sebelumnya dan memperhatikan arah penetapan target inflasi dari otoritas moneter, agar
mempermudah pelaku usaha menetapkan
rencana bisnis dan terus menjaga daya saing
serta iklim investasi di daerah setempat.
• Bekerja sama dengan industri meningkatkan
kapasitas dan kapabilitas tenaga kerja melalui
pelatihan secara berkala dan berkesinambungan.
4. Sedangkan untuk daerah dengan tingkat pengaruh
yang kuat terhadap inflasi tahun sebelumnya (lag
inflation) seperti provinsi Banten dan Jawa Timur,
perlu mengantisipasi faktor anomali iklim agar
menjaga kelancaran dan kesinambungan produksi
khususnya komoditas pangan. Sementara untuk
daerah konsumen seperti DKI Jakarta, agar
melakukan kerjasama dengan daerah produsen
untuk menjaga kelancaran pasokan dan distribusi.
Selain itu, kebijakan administered price dapat
diterapkan secara prorata, agar tidak mempengaruhi pergerakan harga komoditas lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, dkk. 2009. Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil: Analisis Komparatif antara Asean+3,
Uni Eropa dan Amerika Utara. Majalah Ekonomi. Tahun XIX. No. 3.
Ahsan, dkk. 2011. The Determinants of Food Prices: A Case Study of Pakistan. PIDE Working Papers. Page 76.
Apriliawan, dkk. 2013. Pemodelan Laju Inflasi Di Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Regresi Data Panel.
Jurnal Gaussian. Volume 2. Nomor 4. Tahun 2013. Halaman 301-321.
Atmadja. 1999. Inflasi di Indonesia: Sumber-Sumber Penyebab dan Pengendaliannya. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan. Vol. 1. No. 1. Page 54-67.
Arellano, M. dan S. Bond. 1991. Some Test of Spesification for Panel Data: Monte Carlo Evidence and
an Application to Employee Equations. Review of Economic Studies 58, 277-297.
Arnold dan Kool. 2003. The Role of Inflation Differentials in Regional Adjustment: Evidence from the
United States. Discussion Paper Series 04-13.
Bank Indonesia. Kajian Regional Laporan Nusantara Bulan November 2014.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Jawa Timur Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Jawa Tengah Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Jawa Barat Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah DKI Jakarta Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Sumatera Utara Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Sumatera Selatan Tahun 2009-2013.
- 208 -
Tahun XXVI, No. 3 Desember 2015
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Bali Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Banten Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah D. I. Yogyakarta Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Kalimantan Selatan Tahun 2009-2013.
____________ Kajian Ekonomi Regional Wilayah Sulawesi Selatan Tahun 2009-2013.
Boediono. 1985. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.
Donggori, dkk. 2014. Model Koreksi Kesalahan pada Data Runtun Waktu Indeks Harga Konsumen Kota-kota
di Papua. JdC. Vol. 3. No. 1. Maret 2014.
Dornbusch, Rudiger, dkk. Makroekonomi. Terjemahan Oleh Mirazudin. 2008. Media Global Edukasi: Jakarta.
Gabrijelčič, dkk. 2012. Food Prices Pass-Through In Slovenia. Prikazi In Analize.
Gordon, Robert J. 2006. Macroeconomics. USA: PEARSON.
Hidayati, Fatimah. 2013. Analisis Persistensi Inflasi Jawa Timur : Suatu Pendekatan Sisi Penawaran. Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Irz, dkk. 2012. Determinants Of Food Price Inflation In Finland. MTT Agrifood Research, Economic
Research Unit.
Manggi dan Saraswati. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia: Model Demand Pull
Inflation. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. Vol. 6. No. 2 Agustus 2013.
Mankiw, N. Gregory. Makroekonomi. Nurmawan. 2000. Erlangga: Jakarta.
____________ Teori Makroekonomi. Terjemahan Oleh Liza dan Nurmawan. 2007. Erlangga: Jakarta.
Nagayasu, Jun. 2010. Regional Inflation (Price) Behaviors: Heterogeneity and Convergence. MPRA.
Priyono dan Setiasih. 2009. Deteksi Faktor Penyebab Inflasi di Purwokerto. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan. Volume 10. Nomor 1.: Hal. 65 ? 76.
Silvia dkk,. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Investasi, dan Inflasi di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi.
Vol. I. No. 02.
Syahriani dkk. 2014. Dampak Peningkatan Upah Minimum Provinsi Terhadap Inflasi Dan Pasar Kerja di
Provinsi Aceh. Agrisep. Vol (15) No. 2.
Wei, Yanfeng. 2013. Commodity Price, Manufactured Good Prices And Inflation: Evidence From Japan.
Economics Bulletin. Vol. 33. No. 2. pp. 986-992.
Widiarsih. 2012. Pengaruh Sektor Komoditi Beras Terhadap Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Sosial Ekonomi
Pembangunan. Tahun II No. 6. Juli 2012.
- 209 -
Download