Strategic Supply Chain Management in the Upstream Indonesian Oil & Gas Industry ………………………………………………… Affan Farid PENGANTAR Kelangkaan pasokan minyak dunia dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat menyebabkan harga minyak mentah cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini mendorong maraknya investasi-investasi baru untuk pencarian minyak di seluruh dunia. Rentang marjin keuntungan yang lebih tinggi terhadap biaya pengangkatan minyak menimbulkan peluang yang menarik untuk meningkatkan operasi perminyakan. Pemerintah Indonesia pun berusaha menarik investor asing dan domestik di industri migas untuk membiayai kegiatan eksplorasi, pengembangan dan produksi, baik di darat (onshore) maupun di lepas pantai (offshore). Berbagai rincian pola bagi hasil diterapkan agar menarik bagi investor yang diseuaikan dengan kondisi blok-blok yang ditawarkan. Peraturan Pemerintah di sektor hulu maupun hilir dibuat untuk menata bisnis menjadi optimal dan membuat iklim investasi migas menjadi lebih kondusif dan menarik untuk mengimbangi tingkat risiko bisnis yang tinggi terutama di bidang eksplorasi. 85% lapangan produksi di Indonesia telah memasuki tahap kejenuhan, sementara produksi minyak mengalami penurunan rata-rata sebesar 15% per tahun sehingga dibutuhkan penemuan dan pengembangan baru untuk memenuhi permintaan. Aktivitas eksplorasi, pengembangan serta produksi menuntut tersedianya produk-produk yang berteknologi tinggi secara tepat waktu. Gairah investasi yang berpacu dengan momentum harga minyak yang tinggi namun demikian masih menghadapi masalah lain yang menghambat seperti dalam hal perpajakan, lingkungan hidup, dan otonomi daerah. Aturan-aturan yang kurang jelas dalam bidang pengadaan dan kebijakan penggunaan fasilitas bebas bea masuk menimbulkan pelaksanaan yang beragam di lapangan. Proses persetujuan yang panjang dan melalui berbagai pintu, stabilitas politik & keamanan, stabilitas makro ekonomi merupakan faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan investor. Sementara, ketersediaan produk penunjang aktivitas-aktivitas di atas tidak senantiasa tersedia secara tepat waktu, kualitas dan harga yang kompetitif. Kebutuhan papal survey untuk aktivitas seismik, sebagai contoh, seringkali harus didatangkan dari luar negeri yang bergantung pada ketersediaan di pasar regional dan tentunya memerlukan biaya mobilisasi dan demobilisasi yang tinggi. Drilling rig (anjungan pengeboran) yang tersedia di pasaran memiliki tingkat utilisasi hingga 90% untuk tipe-tipe tertentu, menyediakan hanya 10% sisanya untuk “diperebutkan” oleh operatoroperator migas. Lead time yang panjang untuk produk-produk strategis penunjang industri migas merupakan kendala yang juga sangat dirasakan bagi mereka yang tengah memacu penemuan cadangan dan peningkatan produksi minyak. Produk pipa untuk jenis dan ukuran tertentu memiliki waktu pembuatan sampai dengan pengiriman hingga sekitar 6-8 bulan sejak dipesan. Demikian pula sebagian besar komoditi utama penunjang operasi perminyakan membutuhkan waktu dan proses yang panjang dalam pengadaannya, termasuk barang-barang fast moving seperti MRO (Maintenance, Repair, Operating supplies). Hal-hal di atas menuntut manajemen supply chain yang andal untuk menjembatani permintaan dan penyediaan produk secara efisien, tepat waktu dan berkesinambungan. Ini meliputi aliran produk-produk berkualitas dari pemasok yang berada di bagian paling hulu hingga pengguna akhir di posisi paling hilir, aliran informasi yang timbal balik antara pengguna, pemasok dan fungsi-fungsi di antaranya, dan juga aliran uang untuk mendanai aktivitas dan proses transaksi tersebut. Tulisan ini membahas bagaimana manajemen supply chain memainkan peran yang besar untuk mendukung operasi perminyakan yang sukses serta bagaimana manajemen suplai harus bergerak secara ‘real time’ menembus batas-batas regional. Cluster development sebagai kolaborasi mutual di antara sesama operator industri migas yang RigLogix – Sep 2007: Current Competitive Offshore Rig Utilization by Rig Type terkonsentrasi dalam area geografi yang sama serta penerapan manajemen supply chain yang stratejik (termasuk global sourcing dan global supply management) menjadi terobosan yang bukan hanya harus dilakukan tetapi juga tidak dapat dihindari. Bagaimana kita mengidentifikasi pemasokpemasok kunci hingga ke belahan dunia lain dan bagaimana produk-produk mengalir memenuhi secara optimal kebutuhan dengan tetap mengikuti regulasi-regulasi lokal yang menjadi rambu-rambu yang dibuat oleh otoritas lokal. LATAR BELAKANG Pertengahan September 2007 ini harga minyak mentah dunia telah melonjak menyentuh harga di atas 80 dollar AS per barel, angka tertinggi yang pernah terjadi di pasar dunia. Harga minyak global ini telah mencapai dua kali lipat lebih dari sekitar 30 dollar AS pada tahun 2003. Para analist mengatakan bahwa tekanan pada kenaikan harga tidak menunjukkan tanda-tanda yang melemah, sehingga harga minyak diperkirakan mencapai 100 dollar AS pada tahun 2008. Permintaan yang terus meningkat secara agregat, pasokan yang ketat dan akses kepada sumberdaya alam yang semakin terbatas merupakan beberapa faktor yang menyebabkan tren kenaikan harga. Tren kenaikan harga dalam siklusnya yang terakhir dimulai sejak 2001 telah memicu aktivitas pencarian sumbersumber minyak baru guna meraih momentum keuntungan dan kesempatan untuk memaksimalkan Return on Capital Employed (ROCE). Demikian pula dengan industri Migas nasional. Tuntutan peningkatan produksi minyak nasional untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat telah mendorong BPMIGAS untuk mendorong upayaupaya penemuan cadangan dan peningkatan produksi minyak nasional bersama-sama Kontraktor KKS (Kontrak Kerja Sama). Target dicanangkan oleh pemerintah untuk mencapai produksi total sebesar 1,034 juta barrel minyak per hari pada tahun 2008. Kontrak-kontrak operasi perminyakan barupun ditandatangani, baik untuk mengoperasikan ladangladang minyak yang ada maupun area-area baru, baik dengan oleh pemain-pemain lama yang telah berkecimpung dalam industri migas di Indonesia maupun pendatang baru di dunia migas nasional. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya anggota OPEC yang merupakan net importer minyak. Investasi yang bergerak lamban sempat dan masih terjadi dalam ladang-ladang minyak baru karena adanya ketidakpastian dalam berbagai aturan main yang ada apalagi dengan terjadinya perubahan politik dan kekuatan-kekuatan regional baru akibat pelaksanaan otonomi daerah. Pemisahan Pertamina (perusahaan migas milik pemerintah yang bergerak di wilayah hulu dan hilir migas sekaligus) dari fungsi pengatur kebijakan memberikan dampak positip secara umum dengan situasi yang lebih baik. Namun, sebagaimana terjadi di sektor ekonomi manapun di Indonesia, meskipun 2 kebijakan dan peraturan sudah mulai membaik, masih terdapat ketidakpastian dalam pelaksanaan sebenarnya di lapangan (misalnya dalam bidang perpajakan dan keuangan serta aturan tata kerja) yang menyebabkan tertahannya investasi-investasi baru di sektor migas dari volume yang diharapkan oleh pemerintah. Selain padat teknologi, operasi perminyakan juga merupakan aktivitas padat modal yang menghendaki investasi yang sangat besar untuk memasuki dan beroperasi dalam industri tersebut baik dalam tahap eksplorasi maupun eksploitasi. Menurut catatan Departemen ESDM, total investasi di sektor energi dan sumberdaya mineral terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2007 diproyeksikan akan mencapai 18,2 milliar dolar AS. Naik dibanding tahun 2006 sebesar 14,3 milliar dolar AS dan tahun 2005 sebesar 12,09 miliar dolar AS. Investasi tahun 2008 juga diproyeksikan naik menjadi 20,35 milliar dolar AS. Bidang minyak dan gas bumi (migas), terutama hulu migas masih mendominasi atau paling besar menarik investasi sektor ESDM dari tahun ke tahun. Target investasi sebesar 18,2 milliar dolar AS pada tahun 2007 misalnya diharapkan akan didapat dari hulu migas sebesar 9,92 milliar AS. Sejauh ini, investasi migas hulu masih menjadi penyumbang terbesar di sektor ESDM melebihi industri migas hilir, kelistrikan, panas bumi, dll. Target investasi tahun 2008 sebesar 20,35 milliar dolar AS diharapkan akan diraih hulu migas sebesar 11,215 milliar dolar AS, naik dibanding tahun 2007 dan lebih tinggi dari perolehan investasi 2006 dari hulu migas sebesar 8,625 miliar dolar AS serta tahun 2005 sebesar 8,16 miliar dolar AS. Kegiatan ekplorasi, pengeboran dan berbagai proyek untuk meningkatkan produksi di sektor hulu migas menuntut dukungan pengelolaan sumberdaya perusahaan secara tepat guna. Tantangan utama yang dihadapi adalah untuk tetap beroperasi secara (lebih) efisien ketika biaya rata-rata pencarian dan produksi minyak semakin tinggi. Harga minyak yang tinggi hanya bisa dinikmati bilamana biaya modal dan operasional yang dikeluarkan masih menyumbangkan marjin yang dikehendaki melalui pendapatan minyak dalam volume produksi yang ekonomis. Ketika pendapatan dan kualitas produk minyak mentah bergantung pada kemampuan produksi sumur yang dieksploitasi dan kondisi reservoir di dalam bumi, maka strategi bisnis generik perusahaan minyak hulu adalah dengan meminimalkan biaya. Tuntutan beroperasi secara efisien ini memunculkan berbagai upaya terobosan dan kerjasama untuk menurunkan biaya bersama di beberapa komunitas perminyakan dunia, seperti CRINE (Cost Reduction in New Era) di kalangan pelaku operasi migas di North Sea, CORAL (Cost Reduction Alliance) di Malaysia, ataupun KRIS (Cost Reduction Indonesian Style) di Indonesia. Kisah sukses penerapan inisiatif CRINE telah kita dengar, namun tidak demikian halnya dengan upaya-upaya yang dilakukan di Indonesia. Begitu banyaknya stakeholder yang terlibat dalam penentuan kebijakan dan dalam operasi industri migas, yang seringkali tidak ’alligned’, merupakan salah satu sebab yang menciptakan kompleksitas untuk mengadakan perbaikan. Sedang faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah kondisi rantai suplai yang terkait dengan industri migas yang kurang terintegrasi, baik dalam kegiatan eksplorasi (seismic), pengeboran (drilling) maupun (eksploitasi). SUPPLY CHAIN MANAGEMENT Peran Supply Chain Management dalam Industri Migas Beberapa tahun lalu, supply chain belum dianggap sebagai strategic asset di sebagian besar perusahaan dalam industri migas, sehingga pengembangan strategi supply chain belum banyak dilakukan guna mendukung stretegi bisnis organisasi secara keseluruhan. Fungsi purchasing (lalu berkembang sebagai procurement) lebih banyak 3 dilakukan barang INFORMATION FLOW secara dan jasa tradisional. lebih Pembelian menekankan atau pada pengadaan kriteria harga terendah dari hasil lelang di antara supplier atau kontraktor. Fungsi procurement juga merupakan aktivitas yang terpisah CASH FLOW Supplier Transfer Manufacturing Transfer Distribution Customer Transfer PRODUCT FLOW Supply Chain Upstream dari logistik (yang lebih dilihat sebagai pengganti fungsi distribusi). Downstream Pemikiran untuk melakukan integrasi kemudian muncul ketika berbagai tantangan mengemuka seiring dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan customer secara lebih baik serta perkembangan pasar yang dinamik dan cepat berubah. Permasalahan dalam pengelolaan inventory yang menimbulkan barang persedian berlebih dan persediaan mati dalam jumlah yang sangat besar juga mendorong dilakukannya integrasi berbagai aktivitas yang terkait untuk membuat rencana dan koordinasi yang lebih baik dalam satu atap. Lead time barang-barang tertentu yang sangat panjang dan terkadang sulit diprediksi merupakan masalah lain yang membuat semakin pentingnya untuk menekankan fokus secara end-to-end. Transformasi ke arah pengelolaan supply chain secara stratejik menjadi kebutuhan agar perbaikan proses dapat dilakukan secara berkelanjutan dan kontribusi yang lebih besar dapat diwujudkan untuk memberikan nilai yang lebih besar kepada perusahaan. Peran supply chain menjadi penting karena sekitar ¾ dari total biaya operasi perusahaan dalam industri migas dibelanjakan untuk pengadaan barang dan jasa. Dalam SCOR (Supply-Chain Operations model), pengelolaan arus produk, informasi dan keuangan supply pada Plan Reference- dalam chain lima siklus didasarkan proses manajemen: Plan, Source, Deliver Return Suppliers’ Supplier Make Source Return Return Supplier serta satu proses Enable. Plan (level Source Make Return Deliver Source Return Return Your Company Internal or External Make, Deliver dan Return Proses Deliver Make Deliver Source Return Return Customer Customer’s Customer Internal or External SCOR Model 2) terdapat pada tiap-tiap bagian proses manajemen dan Plan (level 1) yang meliputi seluruh proses dalam supply chain dan juga collaborative plan yang menghubungkan SCOR di pihak Suppliers dan Customers. Dari model value chain yang berorientasi pada proses, maka primary processes didasarkan pada dua proses utama, yaitu Orders dan Distribution. Model ini mewakili value chain dalam industri migas di mana menurut konfigurasi SCOR masing-masing merupakan kategori dari proses Source dan Deliver. Jika dilihat dari sudut pandang organisasi supply chain secara internal, maka Customer dari proses adalah internal custmers seperti fungsi Eksplorasi/Seismik (G&G), Drilling serta Produksi, dll. Sedangkan customers dari internal customers merupakan pihak-pihak di luar organisasi yang membeli produk perusahaan operator migas. Aktivitas-aktivitas dalam primary processes mencakup seluruh peserta dari value chain yang terintegrasi, termasuk pertukaran informasi dan transaksi produk. Termasuk dalam Primary process Orders adalah arus informasi dari customer kepada produsen atau perusahaan stockist tentang permintaan barang/jasa, dan kapada perusahaan jasa angkutan serta kepada distributor tentang pengiriman. Fungsi Procurement/Logistics mengkoordinasikan informasi dengan mendapatkan input dari pemasok, produsen, perusahaan pengangkut dan customers. Aktivitas seperti Strategic Sourcing, Supplier Management & Development, Inventory Management serta Purchasing termasuk sebagai core primary processes Orders. Distribusi produk dari pabrikan kepada customer utamanya terdiri penyimpanan 4 barang dan transportasi ke tujuan akhir. Aktivitas-aktivitas seperti Formalities (Customs clearance), Orders expediting, Transportation, Quality Control dan Warehousing terkait dengan primary processes Distribution dan melibatkan seluruh perusahaan / institusi dalam supply chain, termasuk: third party forwarder, inspector, storage base provider dan fleet controller untuk mengirimkan barang ke customers. Analisa Industri Industri hulu migas memiliki karakteristik yang unik di mana elemen-elemen dalam struktur industri memiliki tingkat kompetisi yang berbeda dengan industri pada umumnya. Dari lima kekuatan dalam Five Forces Framework Porter, hanya kekuatan suplier (dalam dimensi vertikal) yang memiliki pengaruh kuat terhadap daya saing atau kinerja perusahaan. Penjualan produk kepada pembeli di pasar cenderung bersifat captive di mana seluruh produksi migas secara teoritis akan diserap pasar karena permintaan yang secara agregasi lebih tinggi dibanding kemampuan atau kapasitas penawaran. Harga jual produk secara umum ditentukan melalui mekanisme pasar denagn kecenderungan yang terus meningkat seiring dengan semakin berkurangnya pasokan dibanding kebutuhan secara total. Secara khusus, variasi harga lebih ditentukan oleh kondisi intrinsik produk yang dipengaruhi oleh karakteristik reservoir di dalam bumi di mana minyak itu diperoleh. Semakin tinggi viskositas minyak dan semakin ‘bersih’ kandungannya dari unsur-unsur yang tidak diinginkan (seperti belerang misalnya), maka semakin tinggi kualitas minyak tersebut dan harganya dibanding jenis minyak yang lebih ‘berat’. Secara dimensi horizontal, persaingan antar sesama operator migas tidak terjadi secara langsung. Tingkat persaingan tidak terlampau ketat kecuali dalam hal mendapatkan produk-produk tertentu dari suplier atau kontraktor ketika kondisi pasokan sangat terbatas dari yang dibutuhkan oleh industri. Ancaman pendatang baru ke dalam industri tidak mempengaruhi dinamika industri secara langsung karena masingmasing perusahaan mendapatkan konsensi dengan area atau blok yang sudah ditentukan sebagai wilayah operasi masing-masing. Sekali lagi, pengaruh terhadap industri adalah dalam melakukan pengadaan produk-produk strategis penunjang operasi perminyakan yang secara kompetitif memberikan kekuatan tawar yang lebih besar di sisi suplier dan kontraktor. Ancaman dari produk substitusi belum merupakan hal yang serius terhadap daya saing dan kelangsungan industri. Produk substitusi belum secara tepat guna menggeser dominasi produk migas, paling tidak belum dapat menggantikan baik secara kuantitas maupun dalam skala ekonomi: tenaga panas bumi, air, angin, batubara, atau sumberdaya alam lain (baik yang dapat diperbarui ataupun tidak), tenaga sel matahari, hingga tenaga nuklir. Industri migas yang capacity-driven ini memiliki kecenderungan persaingan yang relatif statis, kecenderungan ketidakstabilan pangsa pasar yang minimal dan harus lebih fokus pada strategi penurunan biaya secara internal. Dalam hal ini, peran manajemen supply chain menjadi sangat penting untuk mendukung pelaksanaan strategi tersebut untuk mencapai biaya operasional dan lifting cost yang rendah. Dengan mempertimbangkan kekuatan tawar pemasok dalam industri, pengelolaan supply chain secara stratejik sangat diperlukan mengingat bahwa belanja terbesar dalam struktur biaya operasi perminyakan adalah dalam pengadaan barang dan jasa. 5 Sebelum menetapkan langkah-langkah untuk menurunkan biaya, misalnya dengan memangkas beberapa proses dalam supply chain, perusahaan harus mengidentifikasi elemen-elemen biaya utama dalam supply chain yang menyumbang pada Total Cost of Ownership (Total Life Cycle Cost). Identifikasi cost drivers tak jarang harus melibatkan pihak supplier dan customer untuk berkomunikasi dan memahami biaya, kebutuhan, dan tujuan masingmasing bilamana biaya total hendak diturunkan. Ada common costs yang mudah untuk diidentifikasi dan dapat diturunkan tanpa menyebabkan kenaikan biaya-biaya yang lain. Namun, beberapa elemen biaya lebih sulit untuk diidentifikasi dan diturunkan kecuali dengan upaya khusus oleh kudua belah pihak dan bahkan melalui perikatan formal dengan tujuan bersama yang mutual seperti Aliansi Strategis yang memerlukan keterlibatan sumberdaya yang cukup signifikan. Pada umumnya, cost driver yang kasat mata mewakili hanya sekitar 30% dari potensi penurunan biaya, sementara 70% yang biasanya tersembunyi membutuhkan upaya lebih keras untuk menyerangnya. Beberapa contoh cost drivers yang tersembunyi itu misalnya: over engineering, under engineering, proses yang terstandardisasi, produk yang terstandardisasi, masalah safety, duplicated efforts, down time, kehilangan revenue, penundaan produksi, masalah lingkungan, dsb. Peran Pemerintah Di industri migas Indonesia, peran badan-badan pemerintah masih sangat dominan dan menentukan. Pemerintah mendorong perkembangan ekonomi melalui berbagai kebijakan maupun insentif. BPMigas, Ditjen Migas (Departemen ESDM), Ditjen Bea Cukai (Departemen Keuangan), Pemerintah Daerah merupakan beberapa agensi pemenrintah sebagai stakeholder yang berperan penting dalam mengatur jalannya operasi perminyakan melalui keputusankeputusan yang dibuat termasuk dalam proses-proses supply chain. Dalam presentasinya pada Half Day Seminar di Jakarta tahun lalu, Prof. Porter mengetengahkan perlunya menggeser peran dan tanggung jawab itu menuju model yang baru. Menurutnya, pengembangan ekonomi merupakan proses kolaboratif yang melibatkan pemerintah pada berbagai tingkatan, perusahaan-perusahaan, lembaga pengajaran dan penelitian, dan lembaga-lembaga untuk kerjasama. Daya saing haruslah menjadi proses dari bawah-ke atas (bottomup) di mana individu-individu, perusahaan-perusahaan, cluster-cluster, dan lembaga-lembaga memegang tanggungjawab. Setiap wilayah dan cluster dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing serta melakukan akses atas sumber-sumber keunggulan daya saing. Cluster dapat melibatkan perusahaan-perusahaan dengan beragam ukuran. Para pelaku dapat membuat forum untuk memfasilitasi dialog antara dunia usaha dan pemerintah. Ini dapat menjadi sarana untuk mengidentifikasi common opportunities, bukan hanya common problems. Cluster dapat pula menyumbangkan masukan pada kebijakan-kebijakan ekonomi maupun sosial. PERMASALAHAN Berikut adalah beberapa permasalahan pokok yang muncul dalam industri migas yang membutuhkan perhatian untuk mendapatkan pemecahan dengan tindakan nyata dalam implementasinya: - Tingkat perputaran inventory yang sangat rendah - Nilai inventory yang sangat tinggi dengan item-item yang tidak bergerak - Lead time yang panjang untuk pengiriman barang - Masalah kualitas - Masalah pengaturan dan peraturan - Masalah sumberdaya manusia Secara garis besar ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerja supply chain di industri migas. Yang pertama adalah dengan melakukan kolaborasi dengan stakeholders melakukan cluster development/cluster activation. Yang kedua adalah dengan mengembangkan Strategic Supply Chain Management secara internal. 6 CLUSTER DEVELOPMENT Cluster dalam hal ini adalah industri migas dan industri terkait yang terkonsentrasi secara geografis. Dalam laporan yang dibuat untuk proyek CRINE Network’s SCM Initiative, E & Y melibatkan secara langsung lebih dari 120 perusahaan termasuk para operator migas dan juga contractor dan supplier dari berbagai ragam ukuran. Tujuan dari inisiatif tersebut adalah untuk mengidentifikasi berbagai manfaat dari perbaikan SCM baik atas pan-industry maupun company-specific yang dapat Sumber: E & Y Report, 2000 memperpanjang usia ekonomis industri migas North Sea dan membuat sektor migas UK meningkatkan perannya di pasar global. Beberapa findings dan rekomendasi dalam laporan itu menyebutkan berbagai potensi dalam proses-proses planning, source dan delivery dalam supply chain yang bisa dioptimalkan melalui pemanfaatan secara sharing bersama dan asset kolaborasi, dan juga dan fasilitas sebagai inisiatif pan-idustry termasuk dalam sharing of knowledge melalui pertukaran data teknis dan penerapan standardstandard, training bersama, hingga common industry data serta format-format yang disetujui bersama. Seperti halnya di North Sea (UK) dan Houston (AS), cluster yang sama dapat dikembangkan di Indonesia. Karena kondisi geografis yang luas dan tersebarnya blok-blok migas dari Sumber: E & Y Report, 2000 Sumatra hingga Papua, beberapa cluster dapat dikembangkan berdasarkan konsentrasi aktivitas industri migas di beberapa wilayah tertentu. Beberapa cluster yang memiliki potensi untuk diaktifkan adalah sebagai berikut. Cluster Sumatra yang terkonsentrasi di Riau dan Batam, cluster Jawa di daerah Jawa Timur, cluster Kalimatan di Balikpapan, dan cluster Papua di Sorong. Cluster ini merupakan hub untuk supply chain yang apabila dikembangkan secara aktif dapat membangun kompetensi bersama dan sekaligus menurunkan biaya bersama secara efektif. Sumatra & Batam Papua & Eastern Region East Java, Madura, Bali Kalimantan Porter menyebut beberapa potensi yang diperoleh dari cluster: - Peningkatan produktivitas; akses yang efisien terhadap input-input khusus, services, tenaga-kerja, informasi lembaga-lembaga, dan “public goods”, koordinasi dan transaksi yang lebih mudah antar perusahaan, 7 penyebaran best practices yang cepat, serta perbandingan kinerja yang ongoing dan visible serta insentif yang kuat untuk melakukan perbaikan. - Merangsang dan memungkinkan terjadinya inovasi; kemampuan yang lebih baik untuk mengenali kesempatan-kesempatan inovasi, terciptanya specialized knowledge karena hadir dan terlibatnya berbagai entitas, kemudahan melakukan eksperimen dengan tersedianya sumberdaya lokal. - Memfasilitasi komersialisasi dan munculnya bisnis baru; kesempatan yang lebih besar bagi perusahaanperusahaan baru dan lini baru dari perusahaan-perusahaan yang ada, komersialisasi produk baru lebih mudah karena tersedianya skills, suppliers, pendanaan, dll. Cluster activation dilakukan dalam beberapa tahap: 1) “mengumpulkan” perusahaan-perusahaan, asosiasi-asosiasi dagang, lembaga-lembaga pendidikan, dan agen-agen pemerintah; 2) mendiskusikan analisa saat ini terhadap cluster: mengidentifikasikan kebutuhan untuk analisa lebih lanjut dan memprioritaskan hal-hal utama yang harus ditindaklanjuti; 3) mengorganisasikan kelompok-kelompok kerja untuk mengembangkan action plans untuk menanggapi halhal utama yang diidentifikasi. Yang perlu dicatat adalah manakala agen-agen pemerintah dan pihak luar dapat menyediakan dukungan dan fasilitas untuk memulai pengaktifan cluster, keberhasilkan umumnya lebih ditentukan oleh pelopor-pelopor di sektor ‘swasta’. Lingkungan bisnis dapat ditingkatkan dengan membangun hubungan dan tingkat kepercayaan (trust) untuk membuat kolaborasi yang efektif, mendefinisikan common standards, melakukan tindakan kolektif / aktivitas bersama di area-area tertentu seperti procurement dan pengumpulan informasi, dan juga menyediakan mekanisme untuk mengembangkan agenda bersama. Tipe-tipe Kolaborasi Kolaborasi dalam supply chain dapat dibedakan menurut strukturnya: horisontal, vertikal, dan lateral. Kolaborasi horisonal terjadi ketika dua atau lebih perusahaan yang tidak terkait dan dalam persaingan bekerjasama untuk melakukan sharing atas informasi atau sumberdaya mereka untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi vertikal terjadi ketika dua atau lebih perusahaan dimana satu atau lebih perusahaan menjadi supplier atau customer dari perusahaan(-perusahaan) lainnya dalam proses supply chain melakukan sharing dalam hal tanggung-jawab, sumberdaya dan informasi untuk melayani customer akhir mereka. Contohnya adalah Vendor Managed Inventory (VMI), Logistics outsourcing, Strategic Alliance dengan MRO supplier, integrasi B2B (SRM), dsb. Kolaborasi lateral mencoba untuk mendapatkan lebih banyak fleksibilitas dan kemudahan dengan menggabungkan dan berbagi kemampuan baik secara horisontal maupun vertikal. Ada berbagai bidang di mana perusahaan-perusahaan dapat berkolaborasi satu dengan lainnya. Pada tingkatan yang paling dasar, perusahaan dapat mengintegrasikan sistem informasinya. Data seperti database vendor termasuk kualifikasi dan klasifikasinya, planning information seperti rencana lelang atau kebutuhan, visibilitas inventory dan material surplus, hingga penyelenggaraan platform e-procurement bersama. Sementara sharing sistem informasi dilakukan, proses-proses dapat dilakukan secara independen oleh masing-masing perusahaan. Namun demikian, standardisasi proses di antara sesama perusahaan operator minyak merupakan hal yang mudah dilakukan namun dapat memberikan dampak positip yang signifikan. Proses pra-kualifikasi peserta lelang, evaluasi performance supplier, hingga standardisasi dokumen-dokumen pengadaan dan kontrak. Adapun standardisasi barang-barang perminyakan di antara perusahaan-perusahaan operator minyak, meskipun sulit untuk dilakukan secara mendesak, dalam jangka panjang akan memberikan manfaat dalam upaya pendayagunaan inventory dan barang surplus serta agar sharing informasi atas material-material yang bersifat generik lebih mudah dilakukan. Seperti diketahuai, jumlah nilai inventory total industri perminyakan mencapai angka yang luar biasa besarnya, demikian pula untuk barangbarang surplus dan dead stock secara nasional. Untuk mendanai carrying cost saja membutuhkan dana sekitar 25% dari total nilai inventory. Kesulitan saat ini untuk mewujudkan iniatif tersebut (juga untuk memanfaatkan barangbarang surplus industri migas) adalah katalog material antar perusahaan yang tidak saling bicara. Ketidakadanya 8 kesepakatan dan keseraagaman dalam standard kalalog telah menimbulkan duplikasi luar biasa dalam proses dan aset di seluruh perusahaan Kontraktor KKS serta hilangnya kesempatan melakukan sinergi. Operasi perminyakan membutuhkan barang-barang yang tergolong sebagai critical items (insurance items), yaitu barang-barang hanya dibutuhkan dalam situasi tertentu yang apabila tidak tersedia ketika diperlukan akan dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap kelangsungan produksi, proyek, operasi ataupun dapat menimbulkan bahaya terhadap keselamatan orang maupun lingkungan. Probabilita pemakaian barang ini bisa sangat kecil dan jarang terjadi kebutuhan serentak pada perusahaan-perusahaan di barang harus semacam ini saat yang sama. dipastikan ada Barangdalam persediaan jika nilai ekonomis penyediaannya masih lebih kecil dibanding biaya karena ketiadaannya saat diperlukan. Apabila perusahaan-perusahaan operator melakukan kolaborasi dalam mengalokasikan “kewajiban” menyimpan persediaan barang-barang kritikal ini, maka biaya pembelian dan biaya persediaan dapat dibagi secara merata/proporsional untuk mendapatkan penghematan di tiap-tiap perusahaan yang berpartisipasi. Apabila beberapa perusahaan memiliki kebutuhan bersama yang saling mendukung, maka konsolidasi bisa dilakukan baik untuk melakukan leverage volume pembelian ke tingkat yang ekonomis atau melakukan lelang terpadu yang dimotori oleh salah satu perusahaan yang dalam posisi dominan untuk memiliki kontrak bersama. Penggunaan perusahaan transportasi yang sama merupakan contoh yang sederhana, namun demikian potensi penghematan biaya yang besar bisa dicapai untuk kontrak-kontrak bernilai tinggi seperti penyediaan kapal dan drilling rig. Tarip sebuah jack-up rig saat ini bisa mencapai tiga kali lipat dari tarip setahun yang lalu. Tarip rata-rata per hari untuk kelas 300 ft kini sekitar 150,000 dollar AS dengan biaya mobilasasi/demobilisasi sekitar 1 juta dollar AS per trip untuk jarak pengiriman tertentu. Dengan melakukan kolaborasi berdasarkan jadwal pemakaian yang disepakati bersama, kekuatan tawar perusahaan dapat menjadi lebih baik di situasi pasar yang dikuasai pemasok ini. Dan yang lebih signifikan dan langsung bisa dirasakan adalah penghematan biaya mobilisasi/demobilisasi yang bisa dibagi secara proporsional, misalnya menurut durasi pemakaian, di antara perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi. Seperti yang dilakukan oleh para operator migas lepas pantai di North Sea dalam CRINE, tiga perusahaan yang dipimpin oleh Hess melakukan kerja-sama dalam penggunaan kapal yang dipakai untuk pengangkutan muatan bersama. Lama pemakaian dan jarak tempuh yang merupakan variabel dalam menentukan besarnya tarif sewa dan konsumsi bahan bakar diperhitungkan dalam rumus untuk mengalokasikan biaya operasi yang dibebankan secara proporsional kepada tiap perusahaan yang berpartisipasi. Jalur dan jadwal operasi kapal disepakati bersama dengan memperhitungkan konfigurasi yang optimal dan keadilan bagi setiap pihak menurut kebutuhan mereka. Bentuk kolaborasi lain adalah dengan melakukan sharing atas fasilitas dan aset yang memiliki karakteristik umum untuk mendukung operasi migas. Shore Base dan berbagai fasilitas yang terinterasi di dalamnya seperti warehouse, jetty serta peralatan pendukung seperti crane, forklift, trucks, dsb merupakan area di mana potensi penghematan biaya yang signifikan dapat dilakukan baik melalui pengembangan bersama atau sharing terhadap berbagai fasilitas tersebut. Biaya-biaya tetap dan stand-by rate dapat diminimalkan dan demikian pula konsolidasi penyimpanan dan penanganan material bisa dilakukan dengan perencanaan dan kesepakatan. Banyak kesempatan lain yang bisa digali dengan adanya cluster dan kolaborasi horisontal ini, seperti pemanfaatan jalur pipa gas bersama untuk mengalirkan pasokan hasil produksi ke customers dan juga fasilitas penyimpanan bersama untuk produk-produk cair seperti FSO dan tangki kondensat. Tentu saja kolaborasi ini harus disertai dengan aturan main yang disepakati bersama hingga ke tingkat detail yang diinginkan. Pada umumnya, perusahaan yang paling dominan dalam kolaborasi tersebut, baik dari 9 segi volume ataupun keterlibatan finansial, ditunjuk menjadi leader untuk mewakili konsorsium dalam melakukan transaksi terhadap pihak ketiga. Ada beberapa faktor kunci yang diperlukan untuk membangun kolaborasi yang efektif, yaitu: - Menunjukkan rasa saling-percaya (trust) dan komitmen antara pihak-pihak yang berpartisipasi. Masingmasing harus bersedia untuk mendedikasikan sumberdaya dan berbagi informasi yang diperlukan untuk menjalankan proyek tersebut serta untuk mengatasi masalah yang akan timbul, khususnya di tahap-tahap awal dimana biaya yang timbul mulai terlihat sedangkan manfaat yang dihasilkan masih belum nampak. - Mendefinisikan secara jelas nilai, tujuan atau hasil yang hendak dicapai dari kolaborasi yang dilakukan. KPI perlu dibuat untuk digunakan sebagai dasar penetapan gain sharing, cost saving dan juga untuk mengukur keberhasilan dari proyek tersebut. - Menerjemahkan biaya dan manfaat bersama secara kuantitatif. Porsi biaya dan manfaat yang ditanggung tiap-tiap partner dalam kolaborasi harus disepakati di muka apakah dibagi secara merata atau berdasarkan kontribusi masing-masing, termasuk peran dan tanggung-jawab masing-masing. Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya ketidaksepakatan di kemudian hari. - Memulai kolaborasi secara bertahap dengan perubahan dan risiko yang relatif kecil. Melakukan perubahan radikal yang melibatkan supplier dan customer kunci akan membutuhkan upaya yang besar dalam melakukan koordinasi dan mendapatkan ‘buy-in’. Namun demikian, hal ini sepenuhnya bergantung pada situasi yang dihadapi dan kesiapan sumberdaya dalam melakukan implementasi. Change management perlu diterapkan di antara partner-partner yang terlibat untuk mengantisipasi reaksi yang kurang diharapkan akibat cara baru yang akan dilaksanakan. STRATEGIC SUPPLY MANAGEMENT Pengembangan proses supply chain internal harus terintegrasi tidak hanya dengan proses supply chain lain namun juga dengan proses-proses lain dalam perusahaan seperti drilling, technology, project dan production. Plan merupakan proses pertama yang menentukan pembuatan keputusan yang lebih baik dan memberikan arahan aktivitas-aktivitas supply chain yang terkait dalam proses eksekusi: make, deliver, dan return. Setiap proses supply chain memiliki input dan output. Input dari plan adalah informasi tentang permintaan, penawaran, dan sumberdaya dalam supply chain. Plan yang baik harus memiliki sekurang-kurangnya beberapa hal berikut: menggunakan informasi yang relevan, terkini dan akurat, menitikberatkan pada prioritas bisnis dan keseimbangan antara tujuan internal (inventory cost, turnover ratio, asset utilization) dan tujuan eksternal (service level, fleksibilitas volume, dsb.), penyederhanaan proses, integrasi proses-proses terkait dari customer’s customer hingga supplier’s supplier untuk menghindari duplikasi dan excess (end-to-end focus), menetapkan action yang jelas dan dapat diukur serta mendapatkan ‘buy-in’ dari pihak-pihak internal (departemen terkait) maupun eksternal (key customers dan key suppliers). Inti dari Supply Management adalah orientasi pada customer untuk secara berkelanjutan memenuhi atau melebihi kebutuhan dan keinginan customer. Hubungan partnership dengan internal customer harus dikembangkan karena keterlibatan customer dalam proses dan keptusan yang dibuat berperan penting pada keberhasilan implementasi dari strategi. Dua Management strategi adalah utama dalam Commodity Strategic Strategy dan Supply Supply Strategy sebagai bagian dari Sourcing Plan dalam proses SCOR. 10 Commodity Team perlu dibentuk untuk mengoptimalkan pembuatan keputusan dalam pengembangan strategi tersebut. Team ini, walaupun tidak harus struktur yang independen, umumnya terdiri dari berbagai fungsi terkait dalam organisasi dan dikenal sebagai Cross Functional Commodity Team sebagai sinergi dari berbagai knowledge dan skill. Keterlibatan Customer dalam proses pengambilan keputusan team sangat penting dalam mengenali kebutuhan yang akan dipenuhi serta untuk membuat rekomendasi tentang Commodities dan Suppliers. Commodity Strategy dikembangkan melalui pengolahan berbagai input dan statistik tentang kelompok barang & jasa tertentu yang menjadi prioritas. Keputusan diambil misalnya berdasarkan matriks yang mengkombinasikan antara nilai strategis produk tersebut bagi perusahaan dalam hal criticality dan potensi penurunan biaya total dengan tingkat kompleksitas dalam Plan – Execution – Enable untuk menggarapnya. Penetapan prioritas COMMODITY PORTFOLIO commodity akan diikuti dengan rekomendasi suplier yang akan dilibatkan dalam pengembangan strategi. Early Supplier Involvement OCTG COMPLETION EQPMT ini penting bagi team untuk memulai dan mencapai hasil-hasil lebih FUEL & LUBE awal dan komprehensif dengan adanya informasi yang lengkap dari dengan strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan (misalnya: DOLLAR VO LUME hulu hingga hilir. Supplier Strategy yang dibuat harus bekerja seiring VALVES BITS ELECTRICAL CHEMICALS TUBE FITTINGS PAINT & COATINGS SAFETY SUPPLIES GAUGES strategi teknologi, program outsourcing, dsb.). Penembangan Supplier GASKET strategik lain seperti supply base rationalization dan supply base STUD BOLTS TOOLS Strategy dalam Strategic Supply Management terkait dengan proses INDUSTRIAL STRUCTURAL MATERIALS BEARINGS WIPING RAGS 0 COMPLEXITY / EASE OF IMPLEMENTATION characterization dengan fokus jangka panjang untuk menurunkan TCO. Berikut adalah proses Strategic Supply Management dari Plan hingga Operationalization: - Allignment: mengidentifikasi commodity serta membentuk Cross Functional Commodity Team - Data Collection/Analysis: mengumpulkan data dan melakukan analisa atas TCO (preliminary), data benchmark eksternal, business unit operational plan, dan supplier capability review. - Streategy Design: menyusun Request for Business Solution, commodity strategy (preliminary), dan short list dari supplier. - Supplier Selection: melakukan proses sourcing sesuai dengan tata cara yang berlaku (melalui proses Direct Selection atau Tender) serta melakukan evaluasi/analisa atas proposal yang diterima. Penetapan supplier yang dipilih dilakukan menurut kriteria yang ditetapkan: evaluasi teknis dan komersial dengan dasar TCO. - Implementation: membuat Alliance Agreement dengan supplier yang terseleksi, menusun Key Performance Indicators (KPI) dan menetapkan Goals atas apa yang ingin dicapai sebagai ukuran keberhasilan aliansi. - Operationalization (Continuous Improvement): melakukan proses formal pengukuran TCO secara dinamis dan KPI, komunikasi, penyelesaian masalah (corrective action), pelaporan. Pada tahap yang lebih lanjut, TCO yang diukur Total System Cost Iceberg Price Invoicing Easy to Identify Ordering Easier to Attack Excess Inventory 30% Late Deliveries bisa di sisi internal perusahaan atau eksternal di sisi Poor Product Quality Over Engineering supplier. Bilamana disepakati, kedua TCO internal dan eksternal bisa dimasukkan dalam pengukuran secara formal Under Engineering Standardized Processes Standardized Products 70% untuk menghitung TCO secara total dalam Supply Chain Safety Issues Start Up Delays Harder to Find untuk setiap commodity yang digarap. Rework Harder to Attack Dengan strategi dan operasionalisasi yang tepat, bukan hanya Down Time Duplicated Efforts Lost Revenue conscious costs saja yang diturunkan tetapi juga biaya yang Back-Up Systems Environmental Issues tersembunyi di balik gunung es bisa diturunkan secara signifikan untuk mencapai Total System Cost atau TCO yang terendah. 11