Strategic Supply Chain Management in the Upstream Indonesian Oil

advertisement
Strategic Supply Chain Management
in the Upstream Indonesian Oil & Gas Industry
…………………………………………………
Affan Farid
PENGANTAR
Kelangkaan pasokan minyak dunia dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat menyebabkan harga
minyak mentah cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini mendorong maraknya investasi-investasi baru
untuk pencarian minyak di seluruh dunia. Rentang marjin keuntungan yang lebih tinggi terhadap biaya pengangkatan
minyak menimbulkan peluang yang menarik untuk meningkatkan operasi perminyakan.
Pemerintah Indonesia pun berusaha menarik investor asing dan domestik di industri migas untuk membiayai kegiatan
eksplorasi, pengembangan dan produksi, baik di darat (onshore) maupun di lepas pantai (offshore). Berbagai rincian
pola bagi hasil diterapkan agar menarik bagi investor yang diseuaikan dengan kondisi blok-blok yang ditawarkan.
Peraturan Pemerintah di sektor hulu maupun hilir dibuat untuk menata bisnis menjadi optimal dan membuat iklim
investasi migas menjadi lebih kondusif dan menarik untuk mengimbangi tingkat risiko bisnis yang tinggi terutama di
bidang eksplorasi. 85% lapangan produksi di Indonesia telah memasuki tahap kejenuhan, sementara produksi minyak
mengalami penurunan rata-rata sebesar 15% per tahun sehingga dibutuhkan penemuan dan pengembangan baru
untuk memenuhi permintaan.
Aktivitas eksplorasi, pengembangan serta produksi menuntut tersedianya produk-produk yang berteknologi tinggi
secara tepat waktu. Gairah investasi yang berpacu dengan momentum harga minyak yang tinggi namun demikian
masih menghadapi masalah lain yang menghambat seperti dalam hal perpajakan, lingkungan hidup, dan otonomi
daerah. Aturan-aturan yang kurang jelas dalam bidang pengadaan dan kebijakan penggunaan fasilitas bebas bea
masuk menimbulkan pelaksanaan yang beragam di lapangan. Proses persetujuan yang panjang dan melalui berbagai
pintu, stabilitas politik & keamanan, stabilitas makro ekonomi merupakan faktor-faktor lain yang menjadi
pertimbangan investor.
Sementara, ketersediaan produk penunjang aktivitas-aktivitas di atas tidak senantiasa tersedia secara tepat waktu,
kualitas dan harga yang kompetitif. Kebutuhan papal survey untuk aktivitas seismik, sebagai contoh, seringkali harus
didatangkan dari luar negeri yang bergantung pada ketersediaan di pasar regional dan tentunya memerlukan biaya
mobilisasi dan demobilisasi yang tinggi. Drilling rig (anjungan pengeboran) yang tersedia di pasaran memiliki tingkat
utilisasi hingga 90% untuk tipe-tipe tertentu, menyediakan hanya 10% sisanya untuk “diperebutkan” oleh operatoroperator migas. Lead time yang panjang untuk produk-produk strategis penunjang industri migas merupakan kendala
yang juga sangat dirasakan bagi mereka yang tengah memacu penemuan cadangan dan peningkatan produksi
minyak. Produk pipa untuk jenis dan ukuran tertentu memiliki waktu pembuatan sampai dengan pengiriman hingga
sekitar 6-8 bulan sejak dipesan. Demikian pula sebagian besar komoditi utama penunjang operasi perminyakan
membutuhkan waktu dan proses yang panjang dalam pengadaannya, termasuk barang-barang fast moving seperti
MRO (Maintenance, Repair, Operating supplies).
Hal-hal di atas menuntut manajemen supply chain yang andal untuk menjembatani permintaan dan penyediaan
produk secara efisien, tepat waktu dan berkesinambungan. Ini meliputi aliran produk-produk berkualitas dari pemasok
yang berada di bagian paling hulu hingga pengguna akhir di posisi paling hilir, aliran informasi yang timbal balik antara
pengguna, pemasok dan fungsi-fungsi di antaranya, dan juga aliran
uang untuk mendanai aktivitas dan proses transaksi tersebut.
Tulisan ini membahas bagaimana manajemen supply chain memainkan
peran yang besar untuk mendukung operasi perminyakan yang sukses
serta bagaimana manajemen suplai harus bergerak secara ‘real time’
menembus
batas-batas
regional.
Cluster
development
sebagai
kolaborasi mutual di antara sesama operator industri migas yang
RigLogix – Sep 2007: Current Competitive Offshore
Rig Utilization by Rig Type
terkonsentrasi dalam area geografi yang sama serta penerapan
manajemen supply chain yang stratejik (termasuk global sourcing dan global supply management) menjadi terobosan
yang bukan hanya harus dilakukan tetapi juga tidak dapat dihindari. Bagaimana kita mengidentifikasi pemasokpemasok kunci hingga ke belahan dunia lain dan bagaimana produk-produk mengalir memenuhi secara optimal
kebutuhan dengan tetap mengikuti regulasi-regulasi lokal yang menjadi rambu-rambu yang dibuat oleh otoritas lokal.
LATAR BELAKANG
Pertengahan September 2007 ini harga minyak mentah dunia telah melonjak menyentuh harga di atas 80 dollar AS
per barel, angka tertinggi yang pernah terjadi di pasar dunia. Harga minyak global ini telah mencapai dua kali lipat
lebih dari sekitar 30 dollar AS pada tahun 2003. Para analist mengatakan bahwa tekanan pada kenaikan harga tidak
menunjukkan tanda-tanda yang melemah, sehingga harga
minyak diperkirakan mencapai 100 dollar AS pada tahun
2008.
Permintaan yang terus meningkat secara agregat,
pasokan yang ketat dan akses kepada sumberdaya alam
yang semakin terbatas merupakan beberapa faktor yang
menyebabkan tren kenaikan harga.
Tren kenaikan harga dalam siklusnya yang terakhir dimulai
sejak 2001 telah memicu aktivitas pencarian sumbersumber minyak baru guna meraih momentum keuntungan
dan kesempatan untuk memaksimalkan Return on Capital
Employed (ROCE). Demikian pula dengan industri Migas
nasional. Tuntutan peningkatan produksi minyak nasional
untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat telah mendorong BPMIGAS untuk mendorong upayaupaya penemuan cadangan dan peningkatan produksi minyak nasional bersama-sama Kontraktor KKS (Kontrak Kerja
Sama). Target dicanangkan oleh pemerintah untuk mencapai produksi total sebesar 1,034 juta barrel minyak per hari
pada tahun 2008. Kontrak-kontrak operasi perminyakan barupun ditandatangani, baik untuk mengoperasikan ladangladang minyak yang ada maupun area-area baru, baik dengan oleh pemain-pemain lama yang telah berkecimpung
dalam industri migas di Indonesia maupun pendatang baru di dunia migas nasional.
Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya anggota OPEC yang merupakan net importer minyak. Investasi yang
bergerak lamban sempat dan masih terjadi dalam ladang-ladang minyak baru karena adanya ketidakpastian dalam
berbagai aturan main yang ada apalagi dengan terjadinya perubahan politik dan kekuatan-kekuatan regional baru
akibat pelaksanaan otonomi daerah. Pemisahan Pertamina (perusahaan migas milik pemerintah yang bergerak di
wilayah hulu dan hilir migas sekaligus) dari fungsi pengatur kebijakan memberikan dampak positip secara umum
dengan situasi yang lebih baik. Namun, sebagaimana terjadi di sektor ekonomi manapun di Indonesia, meskipun
2
kebijakan dan peraturan sudah mulai membaik, masih terdapat ketidakpastian dalam pelaksanaan sebenarnya di
lapangan (misalnya dalam bidang perpajakan dan keuangan serta aturan tata kerja) yang menyebabkan tertahannya
investasi-investasi baru di sektor migas dari volume yang diharapkan oleh pemerintah.
Selain padat teknologi, operasi perminyakan juga merupakan aktivitas padat modal yang menghendaki investasi yang
sangat besar untuk memasuki dan beroperasi dalam industri
tersebut baik dalam tahap eksplorasi maupun eksploitasi.
Menurut catatan Departemen ESDM, total investasi di sektor
energi dan sumberdaya mineral terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2007 diproyeksikan akan
mencapai 18,2 milliar dolar AS. Naik dibanding tahun 2006
sebesar 14,3 milliar dolar AS dan tahun 2005 sebesar 12,09
miliar dolar AS. Investasi tahun 2008 juga diproyeksikan naik
menjadi 20,35 milliar dolar AS. Bidang minyak dan gas bumi
(migas), terutama hulu migas masih mendominasi atau paling
besar menarik investasi sektor ESDM dari tahun ke tahun.
Target investasi sebesar 18,2 milliar dolar AS pada tahun
2007 misalnya diharapkan akan didapat dari hulu migas
sebesar 9,92 milliar AS. Sejauh ini, investasi migas hulu masih menjadi penyumbang terbesar di sektor ESDM melebihi
industri migas hilir, kelistrikan, panas bumi, dll. Target investasi tahun 2008 sebesar 20,35 milliar dolar AS diharapkan
akan diraih hulu migas sebesar 11,215 milliar dolar AS, naik dibanding tahun 2007 dan lebih tinggi dari perolehan
investasi 2006 dari hulu migas sebesar 8,625 miliar dolar AS serta tahun 2005 sebesar 8,16 miliar dolar AS.
Kegiatan ekplorasi, pengeboran dan berbagai proyek untuk meningkatkan produksi di sektor hulu migas menuntut
dukungan pengelolaan sumberdaya perusahaan secara tepat guna. Tantangan utama yang dihadapi adalah untuk
tetap beroperasi secara (lebih) efisien ketika biaya rata-rata pencarian dan produksi minyak semakin tinggi. Harga
minyak yang tinggi hanya bisa dinikmati bilamana biaya modal dan operasional yang dikeluarkan masih
menyumbangkan marjin yang dikehendaki melalui pendapatan minyak dalam volume produksi yang ekonomis. Ketika
pendapatan dan kualitas produk minyak mentah bergantung pada kemampuan produksi sumur yang dieksploitasi dan
kondisi reservoir di dalam bumi, maka strategi bisnis generik perusahaan minyak hulu adalah dengan meminimalkan
biaya. Tuntutan beroperasi secara efisien ini memunculkan berbagai upaya terobosan dan kerjasama untuk
menurunkan biaya bersama di beberapa komunitas perminyakan dunia, seperti CRINE (Cost Reduction in New Era) di
kalangan pelaku operasi migas di North Sea, CORAL (Cost Reduction Alliance) di Malaysia, ataupun KRIS (Cost
Reduction Indonesian Style) di Indonesia. Kisah sukses penerapan inisiatif CRINE telah kita dengar, namun tidak
demikian halnya dengan upaya-upaya yang dilakukan di Indonesia. Begitu banyaknya stakeholder yang terlibat dalam
penentuan kebijakan dan dalam operasi industri migas, yang seringkali tidak ’alligned’, merupakan salah satu sebab
yang menciptakan kompleksitas untuk mengadakan perbaikan. Sedang faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah
kondisi rantai suplai yang terkait dengan industri migas yang kurang terintegrasi, baik dalam kegiatan eksplorasi
(seismic), pengeboran (drilling) maupun (eksploitasi).
SUPPLY CHAIN MANAGEMENT
Peran Supply Chain Management dalam Industri Migas
Beberapa tahun lalu, supply chain belum dianggap sebagai strategic asset di sebagian besar perusahaan dalam
industri migas, sehingga pengembangan strategi supply chain belum banyak dilakukan guna mendukung stretegi
bisnis organisasi secara keseluruhan. Fungsi purchasing (lalu berkembang sebagai procurement) lebih banyak
3
dilakukan
barang
INFORMATION FLOW
secara
dan
jasa
tradisional.
lebih
Pembelian
menekankan
atau
pada
pengadaan
kriteria
harga
terendah dari hasil lelang di antara supplier atau kontraktor.
Fungsi procurement juga merupakan aktivitas yang terpisah
CASH FLOW
Supplier
Transfer
Manufacturing
Transfer
Distribution
Customer
Transfer
PRODUCT FLOW
Supply Chain
Upstream
dari logistik (yang lebih dilihat sebagai pengganti fungsi
distribusi).
Downstream
Pemikiran untuk melakukan integrasi kemudian muncul ketika
berbagai tantangan mengemuka seiring dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan customer secara lebih baik serta
perkembangan pasar yang dinamik dan cepat berubah. Permasalahan dalam pengelolaan inventory yang menimbulkan
barang persedian berlebih dan persediaan mati dalam jumlah yang sangat besar juga mendorong dilakukannya
integrasi berbagai aktivitas yang terkait untuk membuat rencana dan koordinasi yang lebih baik dalam satu atap. Lead
time barang-barang tertentu yang sangat panjang dan terkadang sulit diprediksi merupakan masalah lain yang
membuat semakin pentingnya untuk menekankan fokus secara end-to-end. Transformasi ke arah pengelolaan supply
chain secara stratejik menjadi kebutuhan agar perbaikan proses dapat dilakukan secara berkelanjutan dan kontribusi
yang lebih besar dapat diwujudkan untuk memberikan nilai yang lebih besar kepada perusahaan. Peran supply chain
menjadi penting karena sekitar ¾ dari total biaya operasi perusahaan dalam industri migas dibelanjakan untuk
pengadaan barang dan jasa.
Dalam SCOR (Supply-Chain
Operations
model),
pengelolaan
arus
produk,
informasi
dan
keuangan
supply
pada
Plan
Reference-
dalam
chain
lima
siklus
didasarkan
proses
manajemen: Plan, Source,
Deliver
Return
Suppliers’
Supplier
Make
Source
Return
Return
Supplier
serta satu proses Enable.
Plan
(level
Source
Make
Return
Deliver
Source
Return
Return
Your Company
Internal or External
Make, Deliver dan Return
Proses
Deliver
Make
Deliver
Source
Return
Return
Customer
Customer’s
Customer
Internal or External
SCOR Model
2)
terdapat pada tiap-tiap bagian proses manajemen dan Plan (level 1) yang meliputi seluruh proses dalam supply chain
dan juga collaborative plan yang menghubungkan SCOR di pihak Suppliers dan Customers.
Dari model value chain yang berorientasi pada proses, maka primary processes didasarkan pada dua proses utama,
yaitu Orders dan Distribution. Model ini mewakili value chain dalam industri migas di mana menurut konfigurasi SCOR
masing-masing merupakan kategori dari proses Source dan Deliver. Jika dilihat dari sudut pandang organisasi supply
chain secara internal, maka Customer dari proses adalah internal custmers seperti fungsi Eksplorasi/Seismik (G&G),
Drilling serta Produksi, dll. Sedangkan customers dari internal customers merupakan pihak-pihak di luar organisasi
yang membeli produk perusahaan operator migas.
Aktivitas-aktivitas dalam primary processes mencakup seluruh peserta dari value chain yang terintegrasi, termasuk
pertukaran informasi dan transaksi produk. Termasuk dalam Primary process Orders adalah arus informasi dari
customer kepada produsen atau perusahaan stockist tentang permintaan barang/jasa, dan kapada perusahaan jasa
angkutan serta kepada distributor tentang pengiriman. Fungsi Procurement/Logistics mengkoordinasikan informasi
dengan mendapatkan input dari pemasok, produsen, perusahaan pengangkut dan customers. Aktivitas seperti
Strategic Sourcing, Supplier Management & Development, Inventory Management serta Purchasing termasuk sebagai
core primary processes Orders. Distribusi produk dari pabrikan kepada customer utamanya terdiri penyimpanan
4
barang dan transportasi ke tujuan akhir. Aktivitas-aktivitas seperti
Formalities
(Customs
clearance),
Orders
expediting,
Transportation, Quality Control dan Warehousing terkait dengan
primary
processes
Distribution
dan
melibatkan
seluruh
perusahaan / institusi dalam supply chain, termasuk: third party
forwarder, inspector, storage base provider dan fleet controller
untuk mengirimkan barang ke customers.
Analisa Industri
Industri hulu migas memiliki karakteristik yang unik di mana elemen-elemen dalam struktur industri memiliki tingkat
kompetisi yang berbeda dengan industri pada umumnya. Dari lima kekuatan dalam Five Forces Framework Porter,
hanya kekuatan suplier (dalam dimensi vertikal) yang memiliki pengaruh kuat terhadap daya saing atau kinerja
perusahaan. Penjualan produk kepada pembeli di pasar cenderung bersifat captive di mana seluruh produksi migas
secara teoritis akan diserap pasar karena permintaan yang secara agregasi lebih tinggi dibanding kemampuan atau
kapasitas penawaran. Harga jual produk secara umum ditentukan melalui
mekanisme pasar denagn kecenderungan yang terus meningkat seiring
dengan semakin berkurangnya pasokan dibanding kebutuhan secara total.
Secara khusus, variasi harga lebih ditentukan oleh kondisi intrinsik produk
yang dipengaruhi oleh karakteristik reservoir di dalam bumi di mana minyak
itu
diperoleh.
Semakin
tinggi
viskositas
minyak
dan
semakin
‘bersih’
kandungannya dari unsur-unsur yang tidak diinginkan (seperti belerang
misalnya), maka semakin tinggi kualitas minyak tersebut dan harganya
dibanding jenis minyak yang lebih ‘berat’.
Secara dimensi horizontal, persaingan antar sesama operator migas tidak
terjadi secara langsung. Tingkat persaingan tidak terlampau ketat kecuali dalam hal mendapatkan produk-produk
tertentu dari suplier atau kontraktor ketika kondisi pasokan sangat terbatas dari yang dibutuhkan oleh industri.
Ancaman pendatang baru ke dalam industri tidak mempengaruhi dinamika industri secara langsung karena masingmasing perusahaan mendapatkan konsensi dengan area atau blok yang sudah ditentukan sebagai wilayah operasi
masing-masing. Sekali lagi, pengaruh terhadap industri adalah dalam melakukan pengadaan produk-produk strategis
penunjang operasi perminyakan yang secara kompetitif memberikan kekuatan tawar yang lebih besar di sisi suplier
dan kontraktor. Ancaman dari produk substitusi belum merupakan hal yang serius terhadap daya saing dan
kelangsungan industri. Produk substitusi belum secara tepat guna menggeser dominasi produk migas, paling tidak
belum dapat menggantikan baik secara kuantitas maupun dalam skala ekonomi: tenaga panas bumi, air, angin,
batubara, atau sumberdaya alam lain (baik yang dapat diperbarui ataupun tidak), tenaga sel matahari, hingga tenaga
nuklir.
Industri migas yang capacity-driven ini memiliki kecenderungan persaingan yang relatif statis, kecenderungan ketidakstabilan pangsa pasar yang minimal dan harus lebih fokus pada strategi penurunan biaya secara internal. Dalam hal
ini, peran manajemen supply chain menjadi sangat penting untuk mendukung pelaksanaan strategi tersebut untuk
mencapai biaya operasional dan lifting cost yang rendah. Dengan mempertimbangkan kekuatan tawar pemasok dalam
industri, pengelolaan supply chain secara stratejik sangat diperlukan mengingat bahwa belanja terbesar dalam
struktur biaya operasi perminyakan adalah dalam pengadaan barang dan jasa.
5
Sebelum menetapkan langkah-langkah untuk menurunkan biaya, misalnya dengan memangkas beberapa proses
dalam supply chain, perusahaan harus mengidentifikasi elemen-elemen biaya utama dalam supply chain yang
menyumbang pada Total Cost of Ownership (Total Life Cycle Cost). Identifikasi cost drivers tak jarang harus
melibatkan pihak supplier dan customer untuk berkomunikasi dan memahami biaya, kebutuhan, dan tujuan masingmasing bilamana biaya total hendak diturunkan. Ada common costs yang mudah untuk diidentifikasi dan dapat
diturunkan tanpa menyebabkan kenaikan biaya-biaya yang lain. Namun, beberapa elemen biaya lebih sulit untuk
diidentifikasi dan diturunkan kecuali dengan upaya khusus oleh kudua belah pihak dan bahkan melalui perikatan
formal dengan tujuan bersama yang mutual seperti Aliansi Strategis yang memerlukan keterlibatan sumberdaya yang
cukup signifikan. Pada umumnya, cost driver yang kasat mata mewakili hanya sekitar 30% dari potensi penurunan
biaya, sementara 70% yang biasanya tersembunyi membutuhkan upaya lebih keras untuk menyerangnya. Beberapa
contoh cost drivers yang tersembunyi itu misalnya: over engineering, under engineering, proses yang terstandardisasi,
produk yang terstandardisasi, masalah safety, duplicated efforts, down time, kehilangan revenue, penundaan
produksi, masalah lingkungan, dsb.
Peran Pemerintah
Di industri migas Indonesia, peran badan-badan pemerintah masih sangat dominan dan menentukan. Pemerintah
mendorong perkembangan ekonomi melalui berbagai kebijakan maupun insentif. BPMigas, Ditjen Migas (Departemen
ESDM), Ditjen Bea Cukai (Departemen Keuangan), Pemerintah Daerah merupakan beberapa agensi pemenrintah
sebagai stakeholder yang berperan penting dalam mengatur jalannya operasi perminyakan melalui keputusankeputusan yang dibuat termasuk dalam proses-proses supply chain.
Dalam presentasinya pada Half Day Seminar di Jakarta tahun lalu, Prof. Porter mengetengahkan perlunya menggeser
peran dan tanggung jawab itu menuju model yang baru. Menurutnya, pengembangan ekonomi merupakan proses
kolaboratif yang melibatkan pemerintah pada berbagai tingkatan, perusahaan-perusahaan, lembaga pengajaran dan
penelitian, dan lembaga-lembaga untuk kerjasama. Daya saing haruslah menjadi proses dari bawah-ke atas (bottomup) di mana individu-individu, perusahaan-perusahaan, cluster-cluster, dan lembaga-lembaga memegang tanggungjawab. Setiap wilayah dan cluster dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing serta melakukan
akses atas sumber-sumber keunggulan daya saing. Cluster dapat melibatkan perusahaan-perusahaan dengan
beragam ukuran. Para pelaku dapat membuat forum untuk memfasilitasi dialog antara dunia usaha dan pemerintah.
Ini dapat menjadi sarana untuk mengidentifikasi common opportunities, bukan hanya common problems. Cluster
dapat pula menyumbangkan masukan pada kebijakan-kebijakan ekonomi maupun sosial.
PERMASALAHAN
Berikut adalah beberapa permasalahan pokok yang muncul dalam industri migas yang membutuhkan perhatian untuk
mendapatkan pemecahan dengan tindakan nyata dalam implementasinya:
-
Tingkat perputaran inventory yang sangat rendah
-
Nilai inventory yang sangat tinggi dengan item-item yang tidak bergerak
-
Lead time yang panjang untuk pengiriman barang
-
Masalah kualitas
-
Masalah pengaturan dan peraturan
-
Masalah sumberdaya manusia
Secara garis besar ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerja supply chain di industri migas. Yang
pertama adalah dengan melakukan kolaborasi dengan stakeholders melakukan cluster development/cluster activation.
Yang kedua adalah dengan mengembangkan Strategic Supply Chain Management secara internal.
6
CLUSTER DEVELOPMENT
Cluster dalam hal ini adalah industri migas dan industri terkait
yang terkonsentrasi secara geografis. Dalam laporan yang dibuat
untuk proyek CRINE Network’s SCM Initiative, E & Y melibatkan
secara
langsung
lebih
dari 120
perusahaan
termasuk
para
operator migas dan juga contractor dan supplier dari berbagai
ragam
ukuran.
Tujuan
dari
inisiatif
tersebut
adalah
untuk
mengidentifikasi berbagai manfaat dari perbaikan SCM baik atas
pan-industry
maupun
company-specific
yang
dapat
Sumber: E & Y Report, 2000
memperpanjang usia ekonomis industri migas North Sea dan
membuat sektor migas UK meningkatkan perannya di pasar global. Beberapa findings dan rekomendasi dalam laporan
itu
menyebutkan
berbagai
potensi
dalam
proses-proses
planning, source dan delivery dalam supply chain yang bisa
dioptimalkan
melalui
pemanfaatan secara
sharing
bersama
dan
asset
kolaborasi,
dan
juga
dan fasilitas sebagai
inisiatif pan-idustry termasuk dalam sharing of knowledge
melalui pertukaran data teknis dan penerapan standardstandard, training bersama, hingga common industry data
serta format-format yang disetujui bersama.
Seperti halnya di North Sea (UK) dan Houston (AS), cluster
yang sama dapat dikembangkan di Indonesia. Karena kondisi
geografis yang luas dan tersebarnya blok-blok migas dari
Sumber: E & Y Report, 2000
Sumatra hingga Papua, beberapa cluster dapat dikembangkan
berdasarkan konsentrasi aktivitas industri migas di beberapa wilayah tertentu. Beberapa cluster yang memiliki potensi
untuk diaktifkan adalah sebagai berikut. Cluster Sumatra yang terkonsentrasi di Riau dan Batam, cluster Jawa di
daerah Jawa Timur, cluster Kalimatan di Balikpapan, dan cluster Papua di Sorong. Cluster ini merupakan hub untuk
supply chain yang apabila dikembangkan secara aktif dapat membangun kompetensi bersama dan sekaligus
menurunkan biaya bersama secara efektif.
Sumatra & Batam
Papua & Eastern Region
East Java, Madura, Bali
Kalimantan
Porter menyebut beberapa potensi yang diperoleh dari cluster:
-
Peningkatan produktivitas; akses yang efisien terhadap input-input khusus, services, tenaga-kerja, informasi
lembaga-lembaga, dan “public goods”, koordinasi dan transaksi yang lebih mudah antar perusahaan,
7
penyebaran best practices yang cepat, serta perbandingan kinerja yang ongoing dan visible serta insentif
yang kuat untuk melakukan perbaikan.
-
Merangsang
dan
memungkinkan
terjadinya
inovasi;
kemampuan
yang
lebih
baik
untuk mengenali
kesempatan-kesempatan inovasi, terciptanya specialized knowledge karena hadir dan terlibatnya berbagai
entitas, kemudahan melakukan eksperimen dengan tersedianya sumberdaya lokal.
-
Memfasilitasi komersialisasi dan munculnya bisnis baru; kesempatan yang lebih besar bagi perusahaanperusahaan baru dan lini baru dari perusahaan-perusahaan yang ada, komersialisasi produk baru lebih mudah
karena tersedianya skills, suppliers, pendanaan, dll.
Cluster activation dilakukan dalam beberapa tahap: 1) “mengumpulkan” perusahaan-perusahaan, asosiasi-asosiasi
dagang, lembaga-lembaga pendidikan, dan agen-agen pemerintah; 2) mendiskusikan analisa saat ini terhadap cluster:
mengidentifikasikan kebutuhan untuk analisa lebih lanjut dan memprioritaskan hal-hal utama yang harus ditindaklanjuti; 3) mengorganisasikan kelompok-kelompok kerja untuk mengembangkan action plans untuk menanggapi halhal utama yang diidentifikasi. Yang perlu dicatat adalah manakala agen-agen pemerintah dan pihak luar dapat
menyediakan dukungan dan fasilitas untuk memulai pengaktifan cluster, keberhasilkan umumnya lebih ditentukan
oleh pelopor-pelopor di sektor ‘swasta’. Lingkungan bisnis dapat ditingkatkan dengan membangun hubungan dan
tingkat kepercayaan (trust) untuk membuat kolaborasi yang efektif, mendefinisikan common standards, melakukan
tindakan kolektif / aktivitas bersama di area-area tertentu seperti procurement dan pengumpulan informasi, dan juga
menyediakan mekanisme untuk mengembangkan agenda bersama.
Tipe-tipe Kolaborasi
Kolaborasi dalam supply chain dapat dibedakan menurut strukturnya: horisontal, vertikal, dan lateral. Kolaborasi
horisonal terjadi ketika dua atau lebih perusahaan yang tidak terkait dan dalam persaingan bekerjasama untuk
melakukan sharing atas informasi atau sumberdaya mereka untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi vertikal
terjadi ketika dua atau lebih perusahaan dimana satu atau lebih perusahaan menjadi supplier atau customer dari
perusahaan(-perusahaan) lainnya dalam proses supply chain melakukan sharing dalam hal tanggung-jawab,
sumberdaya dan informasi untuk melayani customer akhir mereka. Contohnya adalah Vendor Managed Inventory
(VMI), Logistics outsourcing, Strategic Alliance dengan MRO supplier, integrasi B2B (SRM), dsb. Kolaborasi lateral
mencoba untuk mendapatkan lebih banyak fleksibilitas dan kemudahan dengan menggabungkan dan berbagi
kemampuan baik secara horisontal maupun vertikal.
Ada berbagai bidang di mana perusahaan-perusahaan dapat berkolaborasi satu dengan lainnya. Pada tingkatan yang
paling dasar, perusahaan dapat mengintegrasikan sistem informasinya. Data seperti database vendor termasuk
kualifikasi dan klasifikasinya, planning information seperti rencana lelang atau kebutuhan, visibilitas inventory dan
material surplus, hingga penyelenggaraan platform e-procurement bersama. Sementara sharing sistem informasi
dilakukan, proses-proses dapat dilakukan secara independen oleh masing-masing perusahaan. Namun demikian,
standardisasi proses di antara sesama perusahaan operator minyak merupakan hal yang mudah dilakukan namun
dapat memberikan dampak positip yang signifikan. Proses pra-kualifikasi peserta lelang, evaluasi performance
supplier, hingga standardisasi dokumen-dokumen pengadaan dan kontrak. Adapun standardisasi barang-barang
perminyakan di antara perusahaan-perusahaan operator minyak, meskipun sulit untuk dilakukan secara mendesak,
dalam jangka panjang akan memberikan manfaat dalam upaya pendayagunaan inventory dan barang surplus serta
agar sharing informasi atas material-material yang bersifat generik lebih mudah dilakukan. Seperti diketahuai, jumlah
nilai inventory total industri perminyakan mencapai angka yang luar biasa besarnya, demikian pula untuk barangbarang surplus dan dead stock secara nasional. Untuk mendanai carrying cost saja membutuhkan dana sekitar 25%
dari total nilai inventory. Kesulitan saat ini untuk mewujudkan iniatif tersebut (juga untuk memanfaatkan barangbarang surplus industri migas) adalah katalog material antar perusahaan yang tidak saling bicara. Ketidakadanya
8
kesepakatan dan keseraagaman dalam standard kalalog telah menimbulkan duplikasi luar biasa dalam proses dan aset
di seluruh perusahaan Kontraktor KKS serta hilangnya kesempatan melakukan sinergi.
Operasi perminyakan membutuhkan barang-barang yang
tergolong sebagai critical items (insurance items), yaitu
barang-barang hanya dibutuhkan dalam situasi tertentu
yang apabila tidak tersedia ketika diperlukan akan dapat
menimbulkan
kerugian
yang
sangat
besar
terhadap
kelangsungan produksi, proyek, operasi ataupun dapat
menimbulkan
bahaya
terhadap
keselamatan
orang
maupun lingkungan. Probabilita pemakaian barang ini bisa
sangat kecil dan jarang terjadi kebutuhan serentak pada
perusahaan-perusahaan
di
barang
harus
semacam
ini
saat
yang
sama.
dipastikan
ada
Barangdalam
persediaan jika nilai ekonomis penyediaannya masih lebih kecil dibanding biaya karena ketiadaannya saat diperlukan.
Apabila perusahaan-perusahaan operator melakukan kolaborasi dalam mengalokasikan “kewajiban” menyimpan
persediaan
barang-barang
kritikal
ini,
maka
biaya
pembelian
dan
biaya
persediaan
dapat
dibagi
secara
merata/proporsional untuk mendapatkan penghematan di tiap-tiap perusahaan yang berpartisipasi.
Apabila beberapa perusahaan memiliki kebutuhan bersama yang saling mendukung, maka konsolidasi bisa dilakukan
baik untuk melakukan leverage volume pembelian ke tingkat yang ekonomis atau melakukan lelang terpadu yang
dimotori oleh salah satu perusahaan yang dalam posisi dominan untuk memiliki kontrak bersama. Penggunaan
perusahaan transportasi yang sama merupakan contoh yang sederhana, namun demikian potensi penghematan biaya
yang besar bisa dicapai untuk kontrak-kontrak bernilai tinggi seperti penyediaan kapal dan drilling rig. Tarip sebuah
jack-up rig saat ini bisa mencapai tiga kali lipat dari tarip setahun yang lalu. Tarip rata-rata per hari untuk kelas 300 ft
kini sekitar 150,000 dollar AS dengan biaya mobilasasi/demobilisasi sekitar 1 juta dollar AS per trip untuk jarak
pengiriman tertentu. Dengan melakukan kolaborasi berdasarkan jadwal pemakaian yang disepakati bersama,
kekuatan tawar perusahaan dapat menjadi lebih baik di situasi pasar yang dikuasai pemasok ini. Dan yang lebih
signifikan dan langsung bisa dirasakan adalah penghematan biaya mobilisasi/demobilisasi yang bisa dibagi secara
proporsional, misalnya menurut durasi pemakaian, di antara perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi. Seperti yang
dilakukan oleh para operator migas lepas pantai di North Sea dalam CRINE, tiga perusahaan yang dipimpin oleh Hess
melakukan kerja-sama dalam penggunaan kapal yang dipakai untuk pengangkutan muatan bersama. Lama pemakaian
dan jarak tempuh yang merupakan variabel dalam menentukan besarnya tarif sewa dan konsumsi bahan bakar
diperhitungkan dalam rumus untuk mengalokasikan biaya operasi yang dibebankan secara proporsional kepada tiap
perusahaan yang berpartisipasi. Jalur dan jadwal operasi kapal disepakati bersama dengan memperhitungkan
konfigurasi yang optimal dan keadilan bagi setiap pihak menurut kebutuhan mereka.
Bentuk kolaborasi lain adalah dengan melakukan sharing atas fasilitas dan aset yang memiliki karakteristik umum
untuk mendukung operasi migas. Shore Base dan berbagai fasilitas yang terinterasi di dalamnya seperti warehouse,
jetty serta peralatan pendukung seperti crane, forklift, trucks, dsb merupakan area di mana potensi penghematan
biaya yang signifikan dapat dilakukan baik melalui pengembangan bersama atau sharing terhadap berbagai fasilitas
tersebut. Biaya-biaya tetap dan stand-by rate dapat diminimalkan dan demikian pula konsolidasi penyimpanan dan
penanganan material bisa dilakukan dengan perencanaan dan kesepakatan. Banyak kesempatan lain yang bisa digali
dengan adanya cluster dan kolaborasi horisontal ini, seperti pemanfaatan jalur pipa gas bersama untuk mengalirkan
pasokan hasil produksi ke customers dan juga fasilitas penyimpanan bersama untuk produk-produk cair seperti FSO
dan tangki kondensat. Tentu saja kolaborasi ini harus disertai dengan aturan main yang disepakati bersama hingga ke
tingkat detail yang diinginkan. Pada umumnya, perusahaan yang paling dominan dalam kolaborasi tersebut, baik dari
9
segi volume ataupun keterlibatan finansial, ditunjuk menjadi leader untuk mewakili konsorsium dalam melakukan
transaksi terhadap pihak ketiga.
Ada beberapa faktor kunci yang diperlukan untuk membangun kolaborasi yang efektif, yaitu:
-
Menunjukkan rasa saling-percaya (trust) dan komitmen antara pihak-pihak yang berpartisipasi. Masingmasing harus bersedia untuk mendedikasikan sumberdaya dan berbagi informasi yang diperlukan untuk
menjalankan proyek tersebut serta untuk mengatasi masalah yang akan timbul, khususnya di tahap-tahap
awal dimana biaya yang timbul mulai terlihat sedangkan manfaat yang dihasilkan masih belum nampak.
-
Mendefinisikan secara jelas nilai, tujuan atau hasil yang hendak dicapai dari kolaborasi yang dilakukan. KPI
perlu dibuat untuk digunakan sebagai dasar penetapan gain sharing, cost saving dan juga untuk mengukur
keberhasilan dari proyek tersebut.
-
Menerjemahkan biaya dan manfaat bersama secara kuantitatif. Porsi biaya dan manfaat yang ditanggung
tiap-tiap partner dalam kolaborasi harus disepakati di muka apakah dibagi secara merata atau berdasarkan
kontribusi masing-masing, termasuk peran dan tanggung-jawab masing-masing. Hal ini untuk menghindari
kemungkinan adanya ketidaksepakatan di kemudian hari.
-
Memulai kolaborasi secara bertahap dengan perubahan dan risiko yang relatif kecil. Melakukan perubahan
radikal yang melibatkan supplier dan customer kunci akan membutuhkan upaya yang besar dalam melakukan
koordinasi dan mendapatkan ‘buy-in’. Namun demikian, hal ini sepenuhnya bergantung pada situasi yang
dihadapi dan kesiapan sumberdaya dalam melakukan implementasi. Change management perlu diterapkan di
antara partner-partner yang terlibat untuk mengantisipasi reaksi yang kurang diharapkan akibat cara baru
yang akan dilaksanakan.
STRATEGIC SUPPLY MANAGEMENT
Pengembangan proses supply chain internal harus terintegrasi tidak hanya dengan proses supply chain lain namun
juga dengan proses-proses lain dalam perusahaan seperti drilling, technology, project dan production. Plan merupakan
proses pertama yang menentukan pembuatan keputusan yang lebih baik dan memberikan arahan aktivitas-aktivitas
supply chain yang terkait dalam proses eksekusi: make, deliver, dan return.
Setiap proses supply chain memiliki input dan output. Input dari plan adalah informasi tentang permintaan,
penawaran, dan sumberdaya dalam supply chain. Plan yang baik harus memiliki sekurang-kurangnya beberapa hal
berikut: menggunakan informasi yang relevan, terkini dan akurat, menitikberatkan pada prioritas bisnis dan
keseimbangan antara tujuan internal (inventory cost, turnover ratio, asset utilization) dan tujuan eksternal (service
level, fleksibilitas volume, dsb.), penyederhanaan proses, integrasi proses-proses terkait dari customer’s customer
hingga supplier’s supplier untuk menghindari duplikasi dan excess (end-to-end focus), menetapkan action yang jelas
dan dapat diukur serta mendapatkan ‘buy-in’ dari pihak-pihak internal (departemen terkait) maupun eksternal (key
customers dan key suppliers).
Inti dari Supply Management adalah orientasi pada customer
untuk
secara
berkelanjutan
memenuhi
atau
melebihi
kebutuhan dan keinginan customer. Hubungan partnership
dengan
internal
customer
harus
dikembangkan
karena
keterlibatan customer dalam proses dan keptusan yang
dibuat berperan penting pada keberhasilan implementasi dari
strategi.
Dua
Management
strategi
adalah
utama
dalam
Commodity
Strategic
Strategy
dan
Supply
Supply
Strategy sebagai bagian dari Sourcing Plan dalam proses SCOR.
10
Commodity Team perlu dibentuk untuk mengoptimalkan pembuatan keputusan dalam pengembangan strategi
tersebut. Team ini, walaupun tidak harus struktur yang independen, umumnya terdiri dari berbagai fungsi terkait
dalam organisasi dan dikenal sebagai Cross Functional Commodity Team sebagai sinergi dari berbagai knowledge dan
skill. Keterlibatan Customer dalam proses pengambilan keputusan team sangat penting dalam mengenali kebutuhan
yang akan dipenuhi serta untuk membuat rekomendasi tentang Commodities dan Suppliers. Commodity Strategy
dikembangkan melalui pengolahan berbagai input dan statistik tentang kelompok barang & jasa tertentu yang menjadi
prioritas. Keputusan diambil misalnya berdasarkan matriks yang mengkombinasikan antara nilai strategis produk
tersebut bagi perusahaan dalam hal criticality dan potensi penurunan biaya total dengan tingkat kompleksitas dalam
Plan – Execution – Enable untuk menggarapnya. Penetapan prioritas
COMMODITY PORTFOLIO
commodity akan diikuti dengan rekomendasi suplier yang akan
dilibatkan dalam pengembangan strategi. Early Supplier Involvement
OCTG
COMPLETION
EQPMT
ini penting bagi team untuk memulai dan mencapai hasil-hasil lebih
FUEL &
LUBE
awal dan komprehensif dengan adanya informasi yang lengkap dari
dengan strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan (misalnya:
DOLLAR
VO
LUME
hulu hingga hilir. Supplier Strategy yang dibuat harus bekerja seiring
VALVES
BITS
ELECTRICAL
CHEMICALS
TUBE
FITTINGS
PAINT &
COATINGS
SAFETY
SUPPLIES
GAUGES
strategi teknologi, program outsourcing, dsb.). Penembangan Supplier
GASKET
strategik lain seperti supply base rationalization dan supply base
STUD
BOLTS
TOOLS
Strategy dalam Strategic Supply Management terkait dengan proses
INDUSTRIAL
STRUCTURAL
MATERIALS
BEARINGS
WIPING
RAGS
0
COMPLEXITY / EASE OF
IMPLEMENTATION
characterization dengan fokus jangka panjang untuk menurunkan
TCO. Berikut adalah proses Strategic Supply Management dari Plan hingga Operationalization:
-
Allignment: mengidentifikasi commodity serta membentuk Cross Functional Commodity Team
-
Data Collection/Analysis: mengumpulkan data dan melakukan analisa atas TCO (preliminary), data
benchmark eksternal, business unit operational plan, dan supplier capability review.
-
Streategy Design: menyusun Request for Business Solution, commodity strategy (preliminary), dan short list
dari supplier.
-
Supplier Selection: melakukan proses sourcing sesuai dengan tata cara yang berlaku (melalui proses Direct
Selection atau Tender) serta melakukan evaluasi/analisa atas proposal yang diterima. Penetapan supplier
yang dipilih dilakukan menurut kriteria yang ditetapkan: evaluasi teknis dan komersial dengan dasar TCO.
-
Implementation: membuat Alliance Agreement dengan supplier yang terseleksi, menusun Key Performance
Indicators (KPI) dan menetapkan Goals atas apa yang ingin dicapai sebagai ukuran keberhasilan aliansi.
-
Operationalization (Continuous Improvement): melakukan
proses formal pengukuran TCO secara dinamis dan KPI,
komunikasi,
penyelesaian
masalah
(corrective
action),
pelaporan. Pada tahap yang lebih lanjut, TCO yang diukur
Total System Cost Iceberg
Price
Invoicing
Easy to Identify
Ordering
Easier to Attack
Excess Inventory
30%
Late Deliveries
bisa di sisi internal perusahaan atau eksternal di sisi
Poor Product Quality
Over Engineering
supplier. Bilamana disepakati, kedua TCO internal dan
eksternal bisa dimasukkan dalam pengukuran secara formal
Under Engineering
Standardized Processes
Standardized Products
70%
untuk menghitung TCO secara total dalam Supply Chain
Safety Issues
Start Up Delays
Harder to Find
untuk setiap commodity yang digarap.
Rework
Harder to Attack
Dengan strategi dan operasionalisasi yang tepat, bukan hanya
Down Time
Duplicated Efforts
Lost Revenue
conscious costs saja yang diturunkan tetapi juga biaya yang
Back-Up Systems
Environmental Issues
tersembunyi di balik gunung es bisa diturunkan secara signifikan
untuk mencapai Total System Cost atau TCO yang terendah.
11
Download