PRODUKSI BIOETANOL DARI SIRUP GLUKOSA UBI JALAR (Ipomoea batatas L) SECARA FED BATCH DENGAN MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae NURHIDAYAH DIDU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2010 Nurhidayah Didu NRP. F351070161 ABSTRACT NURHIDAYAH DIDU. Bioethanol Production from Sweet Potatoes Syrup (Ipomoea batatas L) by Fed Batch Fermentation using Saccharomyces cerevisiae. Under direction of KHASWAR SYAMSU and NUR RICHANA. Bioethanol is one solution to reduce exploitation of oil and global warming issues. Much research must be done to find new source of bioethanol. Sweet potatoes is one of the promising alternative sources from starchy material that can be used to produce bioethanol, because it has high productivity (10-40 ton/ha) and also has a short harvesting time (3-3.5 months). Sweet potatoes are hydrolyzed to glucose by enzymatic and then is converted to ethanol. The aims of this study is to produce bioethanol from sweet potatoes syrup by Saccharomyces cerevisiae at a higher productivity and efficiency. More specificaly, is to find the best form raw material for making syrup glucose from sweet potatoes and to determine the best substrate concentration in fed batch fermentation which produce bioethanol at a higher yield with the lowest remaining sugar. The result shows that dried sweet potatoes starch was the best form of raw material for making glucose syrup from sweet potatoes with efficiency 63.207±0.202%. The result shows that 20% substrate concentration without aeration after 18 hours of fermentation was the best substrate concentration on fed batch system of the highest ethanol production with ethanol concentration produced and efficiency were 10.858±0.003% (v/v) and 97.49%, respectively. Ethanol produced and efficiency in fed batch fermentation of 20% substrate concentration without aeration is higher than the fed batch system with aeration at the same substrate concentration (7.145±0.057% v/v, 95.93%). The fed batch fermentation without aeration could increase the ethanol concentration produced. The result shows that bioengineered fed batch fermentation could improve the product up to 1.422 times. The best result on fed batch system without aeration shows that 20% substrate concentration produce highest the ethanol concentration compared to other treatment. Based on calculation of fermentation kinetic parameters, it is shown that 20% substrate concentration (without aeration) in fed batch system had the highest increasing valuee of Yp/s, Yp/x, P, S0-S/S0 (3.9502 times, 20.6807 times, 3.2883 times, 1.5144 times) compared to 20% substrate concentration (with aeration) and other treatment. On the other hand, Yx/s was smaller (0.1894 times) compared to 20% substrate concentration (with aeration) and other treatment. Generally, this research shows that bioengineered fed batch fermentation could improve the efficiency of ethanol production in term ethanol concentration and product yield. Keywords : Bioethanol, Saccharomyces cerevisiae, Sweet potatoes, Fed batch RINGKASAN NURHIDAYAH DIDU. Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan NUR RICHANA. Ketersediaan pasokan energi khususnya bahan bakar fosil merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia. Cadangan minyak bumi Indonesia semakin menipis sedangkan jumlah kebutuhan bahan bakar semakin meningkat dan diperkirakan akan habis 23 tahun ke depan jika tidak ditemukan sumber energi baru. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor bahan bakar minyak. Kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 215 juta liter per hari sedangkan produksi dalam negeri 178 juta liter per hari dan kekurangannya 40 juta liter per hari harus diimpor. Pengembangan bioenergi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pasokan energi. Indonesia memiliki kondisi iklim dengan curah hujan yang cukup, sinar matahari sepanjang tahun, ketersediaan lahan yang luas, keanekaragaman hayati, sumber daya manusia, sumber daya alam sehingga potensial untuk pengembangan bioenergi. Salah satu sumber bahan baku bioenergi adalah ubi jalar sebagai sumber bahan baku bioetanol untuk subtitusi bensin. Ubi jalar memiliki umur panen yang relatif singkat yaitu antara 3-3.5 bulan dengan produktivitas mencapai 40 ton/ha. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pembuatan bioetanol dari ubi jalar dengan kadar etanol yang dihasilkan sebesar 9-21%. Melalui penelitian ini dilakukan pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dengan mengkaji potensi bahan baku ubi jalar dalam pembuatan sirup glukosa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol serta melalukan rekayasa bioproses pada sistem fed batch dengan perubahan sistem pertumbuhan Saccharomces cerevisiae dari kondisi aerobik menjadi anaerobik serta variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rendemen bioetanol yang lebih tinggi dengan kandungan gula sisa yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari sirup glukosa dengan menggunakan S. cerevisiae pada produktivitas dan efisiensi yang tinggi, menentukan bentuk bahan baku yang terbaik pada pembuatan sirup glukosa ubi jalar dan menentukan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah. Tahap penelitian dimulai dengan pembuatan pati ubi jalar dengan cara ekstraksi basah. Pembuatan pati ubi jalar dimaksudkan untuk mengetahui rendemen pati dari ubi jalar varietas Sukuh yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pati ubi jalar. Rendemen pati ubi jalar yang dihasilkan adalah sebesar 23.97 ± 0.33 %. Tahap selanjutnya adalah pembuatan sirup glukosa dari beberapa bentuk bahan baku dari ubi jalar. Pembuatan sirup glukosa dibuat dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar. Variasi bentuk bahan baku yang dilakukan pada pembuatan sirup glukosa dimaksudkan untuk menentukan bentuk bahan baku yang terbaik digunakan dalam pembuatan sirup glukosa dari ubi jalar dengan melihat efisiensi korversi ubi jalar menjadi sirup glukosa. Efisiensi tertinggi pada konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa diperoleh pada perlakuan ketiga yaitu pati kering ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukosa dengan nilai efisiensi sebesar 63.207±0.202% dan terendah pada perlakuan umbi parut ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukoa dengan nilai efisiensi 22.434±0.268%. Nilai efisiensi ini menunjukkan bahwa enzim alfa amylase dan enzim amiloglukosidase efisien dalam menghidrolisis pati kering menjadi sirup glukosa. Pada kultivasi fed batch terekayasa dilakukan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan dengan penghentian aerasi pada kondisi biomassa maksimal yaitu pada jam ke-18. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar etanol dan efisiensi yang dihasilkan pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi pada konsentrasi substrat 20% lebih tinggi yaitu masing-masing sebesar 10.858±0.003% (v/v) dan 97.49% dibandingkan dengan kadar etanol dan efisiensi pada sistem fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi yang sama yaitu masing-masing sebesar 7.145±0.057% (v/v) dan 95.93%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perubahan kondisi kultivasi dari aerobik ke anaerobik, substrat yang ditambahkan pada saat kondisi biomassa maksimum dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlakuan dengan fed batch terekayasa dalam hal ini penghentian aerasi dapat menghasilkan kadar etanol lebih tinggi dibandingkan dengan fed batch tanpa rekayasa yaitu dengan aerasi. Pada kultivasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi, kadar etanol tertinggi diperoleh pada konsentrasi substrat 20% yaitu sebesar 10.858±0.003% (v/v) dan terendah pada konsentrasi substrat 4% yaitu 5.194±0.195% (v/v). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat fermentasi pada konsentrasi 20% digunakan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi etanol sebanyak-banyaknya. Berdasarkan hasil perhitungan pada parameter kinetika fermentasi, menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi substrat 20% (stop aerasi) memiliki nilai peningkatan Yp/s, Yp/x, P, dan S0-S/S0 paling tinggi (3.9502 kali, 20.6807 kali, 3.2883 kali, 1.5144 kali) dibandingkan pada perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi). Sedangkan nilai peningkatan Yx/s nya lebih kecil (0.1894) dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa rekayasa bioproses dengan fermentasi secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk sebesar 1.422 kali. Pada sistem fed batch terekayasa, konsentrasi substrat 20% (stop aerasi) menunjukkan nilai peningkatan Yp/s Yp/x, P, dan S0-S/S0 paling tinggi dan Yx/s paling rendah (0.1894 kali) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi substrat 20% (stop aerasi), substrat yang ditambahkan hanya sedikit digunakan dalam pembentukan sel, namun dengan biomassa yang sedikit tersebut mampu untuk membuat etanol dalam konsentrasi yang tinggi, hal ini dapat dilihat dengan nilai peningkatan Yp/x dan P yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Secara keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk bahan baku yang terbaik untuk pembuatan sirup glukosa ubi jalar adalah pati kering ubi jalar. Sedangkan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah adalah konsentrasi substrat 20% (stop aerasi). Kata kunci : Bioetanol, Saccharomyces cerevisiae, Ubi Jalar, Fed batch © Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB PRODUKSI BIOETANOL DARI SIRUP GLUKOSA UBI JALAR (Ipomoea batatas L) SECARA FED BATCH DENGAN MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae NURHIDAYAH DIDU Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Liesbetini Haditjarako, MS. Judul Tesis Nama Mahasiswa NIM : Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae : Nurhidayah Didu : F351070161 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Nur Richana, M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran Tanggal Ujian : 12 Februari 2010 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subbahana Wata’ala atas segala berkah dan karunia-Nya yang telah memperkenankan penulis menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis dengan judul “Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Nur Richana, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, bantuan, dan motivasi baik berupa moril maupun materi yang telah diberikan selama penelitian dan penyusunan tesis. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Haditjarako, MS atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dan memberikan saran, ilmu, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran dan Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas bantuan dan masukan yang diberikan untuk kelancaran studi penulis. 3. Seluruh staf pengajar Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama menimba ilmu pengetahuan serta laboran dan teknisi laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas IPB dan laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian. 4. Sekretariat Jendral Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian yang telah memberi dukungan finansial bagi pelaksanaan penelitian ini melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). 5. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian Departemen Pertanian yang telah bersedia memfasilitasi penelitian ini serta staf dan teknisi Balai Besar Litbang Pasca Panen yang telah banyak membantu demi kelancaran pelaksanaan penelitian ini. 6. Ayahanda Drs. H. Suriputra Nurdin Didu, M.Pd dan Ibunda Hj. Nurhayati, S.Pd atas segenap doa, cinta, kasih sayang, nasehat, motivasi dan dukungannya selama ini. Kakak-kakak ku tersayang Saharuddin Didu, S.TP, M.E dan Andi Titin Sumarna, SP., Badra Didu, SP., serta seluruh keluarga besar H. Didu yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segenap doa, cinta, kasih sayang, nasehat, motivasi dan dukungannya baik moril maupun materi selama penulis menyelesaikan studi S2. 7. Rekan-rekan TIP 2007, teman seperjuangan di Laboratorium (Supatmawati, Nunung, Prima), Iffan Maflahah, Muharamia Nasution, Arnida Mustafa, Dewi Cakrawati, Zuhelmi Tazora, Rezki Praja Putra, Pak Alfi, Pak Rika, Pak Alexi, Pak Suharjito, Mba Tuti, Mba Ahnur, Pak Haris, Mas Agus, Wahyu, Totok, Feri, saudara-saudaraku di Millenium (Deeday, Vivay, Bundoy), Ella, Mba Erna, Mba Erni, atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama belajar dan penelitian di Bogor. 8. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga karya ini bisa bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Semoga dengan mengetahui sedikit tentang bioetanol bisa menambah keimanan kita kepada Sang Khalik yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Bogor, Februari 2010 Nurhidayah Didu F351070161 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Januari 1983 dari Ayahanda Drs. H. Suriputra Nurdin Didu, M.Pd dan Ibunda Hj. Nurhayati, S.Pd. Penulis adalah putri bungsu dari tiga bersaudara. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Inpres Bertingkat Kab. Pinrang, kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Kab. Pinrang dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Kab. Pinrang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Hasanuddin pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan dan lulus pada Juni 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........ ................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ... ................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1 Latar Belakang ................................................................................... Rumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Hipotesa Penelitian ............................................................................. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 1 5 5 5 6 II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 7 2.1 Ubi Jalar .......... ................................................................................... 2.2 Sirup Glukosa.. ................................................................................... 2.3 Enzim Penghidrolisis Pati ................................................................... 2.3.1 Enzim α-amilase......................................................................... 2.3.2 Enzim Glukoamilase (AMG) ..................................................... 2.4 Bioetanol ......... ................................................................................... 2.5 Khamir ............ ................................................................................... 2.6 Kultivasi Sistem Fed Batch................................................................. 2.7 Kinetika Fermentasi ............................................................................ 7 9 11 11 12 13 16 19 21 III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 25 3.1 3.2 3.3 3.4 Kerangka Pemikiran............................................................................ Waktu dan Tempat .............................................................................. Bahan dan Alat ................................................................................... TahapanPenelitian ............................................................................... 3.4.1 Pembuatan Pati Ubi Jalar ........................................................... 3.4.2 Pembuatan Sirup Glukosa .......................................................... 3.4.3 Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae.............................. 3.4.4 Kultivasi pada Sistem Fed Batch Terekayasa............................ 3.4.5 Pengamatan, Analisa dan Paramenter Fermentasi ..................... 25 25 25 26 26 27 27 28 29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 31 4.1 4.2 4.3 4.4 Komposisi Kimia Ubi Jalar................................................................ Pembuatan Pati Ubi Jalar ................................................................... Pembuatan Sirup Glukosa.................................................................. Kultivasi Fed Batch Terekayasa ........................................................ 31 33 35 39 Halaman 4.4.1 Total Gula ...................................................................................... 48 4.4.2 Biomassa ......................................................................................... 49 4.4.3 Nilai pH........................................................................................... 51 4.4.4 Kadar Etanol ................................................................................... 51 4.5 Perhitungan Kinetika Fermentasi....................................................... 54 V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 62 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 5.2 Saran....... ........................................................................................... 62 62 DAFTAR PUSTAKA . .................................................................................... LAMPIRAN .................................................................................................... 63 70 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas Ubi Jalar Indonesia .................................................................................................... 2. Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol .......................... 3. Tanaman penghasil bioetanol...................................................................... 4. Variasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian utama........................... 5. Hasil analisa proximat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan.............................................................................. 6. Rendemen pati ubi jalar .............................................................................. 7. Konversi bentuk bahan baku ubi jalar menjadi sirup glukosa ubi Jalar ....................................................................................................... 8. Perbandingan peningkatan X, P, Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi dan aerasi..................................................................................................... 9. Perbandingan peningkatan X, P, Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi ..................... 10. Penetapan Gula Berdasarkan Luff Schoorl .................................................. 8 9 14 29 31 34 37 55 59 73 DAFTAR GAMBAR Halaman 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. Tahap glikolisis (Embden Meyerhof-Parnas Pathway) ............................ Proses pembentukan etanol dari piruvat ................................................... Kinetika fermentasi batch ......................................................................... Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar ........................................... Media propagasi sebelum penambahan kultur dan setelah propagasi 48 jam........................................................................................................ Tahapan penelitian .................................................................................... Sirup glukosa ubi jalar .............................................................................. Kultivasi fed batch terekayasa (a) sebelum penambahan substrat (batch): (b) penambahan substrat yang diumpankan (fed batch) ........................... Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20% ........................................................................................ Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 16% ........................................................................................ Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 12% ........................................................................................ Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 8% .......................................................................................... Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 4% .......................................................................................... Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch (aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20%..... 18 19 24 26 28 30 36 40 42 43 44 45 46 47 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Analisa proksimat ubi jalar dan pati ubi jalar ........................................... 70 Prosedur analisa total gula metode fenol .................................................. 74 Prosedur analisa total gula pereduksi metode DNS .................................. 75 Prosedur analisa parameter fermentasi...................................................... 76 Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari umbi parut ubi jalar ..................................................................................................... 77 Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari pati basa ubi jalar... 78 Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari pati kering ubi jalar ..................................................................................................... 79 Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari tepung ubi jalar...... 80 Kurva standar total gula dan gula pereduksi (DNS) ................................. 81 Kurva standar pertumbuhan S. Cerevisiae ................................................ 82 Tabel perubahan total gula selama fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi................................................................................. 84 Tabel perubahan biomassa selama fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi................................................................................. 87 Tabel perubahan pH selama fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi................................................................................. 90 Tabel perubahan biomassa, total gula, pH, etanol selama fermentasi fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi 20% ........................ 93 Hasil produksi etanol pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan serta perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20% .............................. 94 Data pendukung perhitungan kinetika fermentasi..................................... 95 Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fermentasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan............................................................................................... 96 Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai jam 72 pada sistem fermentasi fed batch dengan perlakuan aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan................................... 98 Perhitungan kinetika fermentasi................................................................ 99 Deskripsi ubi jalar varietas Sukuh............................................................. 100 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan hidup manusia beserta aktivitas ekonomi dan sosialnya. Sejak lima tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional akibat menurunnya cadangan minyak, sedangkan kebutuhan akan sarana transportasi dan aktivitas industri terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pemerintah masih mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Sebagian besar atau bahkan hampir semua teknologi yang digunakan menggunakan bahan bakar minyak sebagai sumber energi. Bahan bakar minyak yang digunakan saat ini semakin langka. Hal ini disebabkan oleh kuantitas minyak bumi pada lapisan bumi terus menipis akibat dari eksploitasi terus-menerus. Kelangkaan tersebut menyebabkan harganya tidak stabil. Selain itu, hasil pembakaran BBM saat ini tidak ramah lingkungan. Bahan bakar yang digunakan dalam kendaraan bermotor saat ini, berdampak negatif terhadap lingkungan (Izzati et al. 2009). Bahan bakar minyak merupakan energi yang tak terbaharukan. Data dari Badan Pusat Statistik (2008a) menunjukkan bahwa produksi BBM Indonesia setiap tahunnya hanya 1,030 juta kL per tahun sedangkan kebutuhan BBM nasional sekitar 1,4 juta kL per tahun. Kekurangan pasokan BBM harus diimpor setiap tahunnya sebesar 40% dari kebutuhan nasional. Bahan bakar minyak jenis premium pada tahun 2009, produksinya diperkirakan hanya 10,9 juta kL, sedangkan kebutuhan premium nasional sebesar 19,7 juta kL sehingga terdapat defisit sebesar 8,8 juta kL yang harus dipenuhi melalui impor. Indonesia yang dulu menjadi negara pengekspor minyak, sejak tahun 2004 berubah menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor minyak 487 ribu barel/hari. Sementara itu, harga minyak dunia terus mengalami peningkatan harga. Penggunaan bahan bakar alternatif harus segera dilakukan terutama yang berbentuk cair, karena masyarakat sudah sangat familiar dengan bahan bakar cair (Chemiawan, 2005). Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Kebijakan tersebut telah menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM. Bahan bakar berbasis nabati diharapkan dapat mengurangi terjadinya kelangkaan BBM, sehingga kebutuhan akan bahan bakar dapat terpenuhi. Bahan bakar berbasis nabati juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan, sehingga lebih ramah lingkungan (Prihandana, 2007). Bahan bakar nabati (bioenergi) merupakan alternatif utama untuk mengatasi krisis bahan bakar berbasis minyak bumi. Salah satu jenis bioenergi yang dapat dikembangkan adalah bioetanol. Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa. Bioetanol dapat digunakan sebagai salah satu energi alternatif pensubtitusi premium yang ramah lingkungan. Data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2007) menunjukkan bahwa proyeksi konsumsi etanol untuk mensubtitusi 5% premium (E5) di Indonesia dari tahun 2007-2010 ditargetkan sekitar 5% dan tahun 20112015 ditargetkan sekitar 10% atau sekitar 2,78 juta kL dari total konsumsi. Bioetanol dapat dibuat dari bahan-bahan bergula atau bahan berpati seperti tebu, nira, sorgum, nira nipah, ubi kayu, ubi jalar, sagu, ganyong dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut tersedia sangat melimpah di Indonesia, sehingga sangat berpeluang untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif. Biotenol sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh potensi lahan yang luas, sumber daya manusia (petani), keanekaragaman hayati, sumber daya alam yang melimpah, memiliki kondisi iklim dengan curah hujan yang cukup serta sinar matahari yang sepanjang tahun. Menurut Martono dan Sasongko (2007) Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan bakar alternatif diantaranya tebu, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan sagu yang bisa dijadikan bioetanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Salah satu sumber daya alam yang dapat digunakan dan berpotensi sebagai bahan bakar alternatif untuk pembuatan bioetanol adalah ubi jalar. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi jalar. Ubi jalar memiliki umur panen yang lebih singkat yaitu antara 3-3.5 bulan dengan produktivitas rata-rata 11-30 ton/ha (Deptan 2008). Bahkan dengan menggunakan varietas unggulan seperti varietas Sukuh, produktivitasnya dapat mencapai 25-30 ton/ha (Puslittan 2007; Musaddad 2005). Ubi jalar dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol karena ubi jalar bukan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Selain harganya murah, ubi jalar memiliki kemudahan dalam pengelolaan yaitu sekitar 3.5 bulan. Umur tersebut umumnya relatif lebih pendek dibandingkan dengan jenis umbiumbian yang lain. Ubi jalar merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang luas terhadap lingkungan hidup sehingga dapat dibudidayakan pada berbagai jenis lahan, ketinggian tempat dan tingkat kesuburan tanah yang berlainan. Oleh karena itu, ubi jalar mudah tersebar di seluruh wilayah pertanian, terutama di daerah tropis. Ubi jalar dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia dengan produktivitas yang tinggi (Zuraedah dan Supriati 2001). Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis. Metode hidrolisis secara enzimatis lebih sering digunakan karena lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan menambahkan yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai sumber energi. Salah satu cara memproduksi etanol adalah memfermentasi sirup glukosa dengan Saccharomyces cerevisiae. Khamir S.cervisiae merupakan khamir yang toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar gula tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC. Penggunaan S. cerevisiae telah merambah ke sektor-sektor komersial yang penting, termasuk makanan, minuman, biofuel, kimia, industri enzim, farmasi, pertanian dan lingkungan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan bioetanol dari beberapa sumber. Yu et al. (1996) menggunakan ubi jalar sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol tanpa melakukan ekstraksi pati. Hasil etanol yang diperoleh sebesar 9.8 g/l (1.23% v/v). Zaldivar et al. (2005) memanfaatkan gandum untuk memproduksi etanol dengan hasil yang diperoleh sebesar 6.9 g/l (0.869% v/v). Chandel et al. (2006) menggunakan teknologi fed batch dengan memanfaatkan tanaman Typa latifolia yang banyak terdapat di India. Hasil etanol yang diperoleh pada sistem fed batch sebesar 28.5±0.46 g/l (3.59 % v/v). Hasil yang diperoleh pada sistem fed batch lebih tinggi dibandingkan dengan sistem batch yaitu 9.74±0.1 g/l (1.23 % v/v). Bunga tanaman mahula (Madhuca latifolia L) dimanfaatkan oleh Swain et al. (2007) untuk produksi etanol dengan hasil etanol yang diperoleh yaitu sebesar 33.99 g/l (4.27% v/v). Laopaiboon et al. (2007) menggunakan sorghum untuk produksi bioetanol secara batch dan fed batch. Hasil yang diperoleh yaitu sistem fed batch lebih efisien bila dibandingkan dengan sistem batch dalam produksi bioetanol. Sukairi (2008), menggunakan tepung tapioka untuk produksi bioetanol secara fermentasi batch menggunakan S.cerevisiae, konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 6.46% (v/v). Wahyuni (2008), melakukan penelitian rekayasa bioproses pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar. Hasil etanol yang diperoleh pada sistem batch sebesar 10.27±0.424% (v/v) dengan nilai efisiensi substrat 90.11%, dan pada sistem fed batch konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 21.385±0.573% (v/v) dengan nilai efisiensi substrat 55.64%. Zhang et al. (2009), menggunakan tongkol jagung kering dalam memproduksi bioetanol dengan proses fermentasi fed batch SSF selama 96 jam. Hasil etanol yang diperoleh dari proses fermentasi tersebut adalah sebesar 84.7 g/l. Wayan (2009), menggunakan ubi kayu dalam pembuatan bioetanol dengan proses fermentasi secara bertahap. Hasil kadar etanol yang diperoleh dari proses tersebut adalah sebesar 11.777±2.228% (v/v) atau 9.29±1.76% (b/v). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dengan mengkaji potensi bentuk bahan baku lain yang dapat digunakan dalam pembuatan sirup glukosa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Melalui penelitian ini juga dilakukan rekayasa bioproses pada sistem fed batch dengan perubahan sistem pertumbuhan S.cerevisiae dari kondisi aerobik menjadi anaerobik serta variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rendemen bioetanol yang lebih tinggi dengan kandungan gula sisa yang rendah. 1.2 Rumusan Masalah Pembuatan bioetanol dari ubi jalar dapat ditingkatkan perolehan etanol dan efisiensinya dengan aplikasi rekayasa bioproses. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah mengembangkan aplikasi rekayasa bioproses pada sistem fed batch terekayasa dengan perubahan kondisi pertumbuhan S.cerevisiae dari aerobik ke anaerobik serta melakukan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memproduksi bioetanol dari sirup glukosa dengan menggunakan S. cerevisiae pada produktivitas dan efisiensi yang tinggi. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan bentuk bahan baku ubi jalar yang terbaik untuk pembuatan sirup glukosa ubi jalar; 2. Menentukan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah. 1.4 Hipotesa Penelitian Produksi bioetanol dari sirup glukosa menggunakan khamir S. cerevisiae secara fed batch terekayasa dengan memilih konsentrasi penambahan substrat yang tepat diharapkan dapat menghasilkan etanol pada produktivitas (rendemen) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah). 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah : 1. Karakteristik kimia umbi dan pati ubi jalar; 2. Pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar dengan metode enzimatis; 3. Kultivasi fed batch terekayasa dengan pengaturan kondisi aerasi (penghentian aerasi saat biomassa maksimum) serta pengaturan konsentrasi substrat yang diumpankan (variasi konsentrasi substrat) untuk menghasilkan etanol dengan produktivitas yang tinggi (rendemen) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah); 4. Perhitungan kinetika fermentasi dilakukan untuk mengetahui nilai peningkatan produk (etanol) yang dihasilkan, rendemen (yield) pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk, rendemen pembentukan produk terhadap sel serta efisiensi penggunaan substrat. (yield) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ubi jalar sebagai salah satu komoditas pertanian penghasil karbohidrat dan sumber energi yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat setelah padi, jagung dan ubi kayu. Sehingga ubi jalar memiliki peran yang penting sebagai cadangan pangan yang bila produksi padi dan jagung tidak mencukupi lagi. Ubi jalar dikenal sebagai bahan pangan alternatif sebagai pengganti beras dan jagung (Juanda dan Bambang 2004). Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian yang tergolong tanaman semusim (berumur pendek). Tanaman ubi jalar hanya satu kali berproduksi dan setelah itu tanaman mati. Tanaman ubi jalar tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai 3 meter, tergantung pada varietasnya (Rukmana 2006). Klasifikasi lengkap ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dycotiledone Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea Spesies : Ipomoea batatas L. Ubi jalar mempunyai keragaman jenis yang cukup banyak, yang terdiri dari jenis-jenis lokal dan varietas unggul. Jenis-jenis ubi jalar tersebut mempunyai perbedaan yaitu pada bentuk, ukuran, warna daging umbi, warna kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen. Varietas ubi jalar cukup banyak diantaranya adalah Mendut, Kalasan, Lampenang, Sawo, Sukuh, Cilembu, Rambo, Georgia, Borobudur, Gedang, Tumpuk, Muara Takus, Klenang dan lain-lain. Varietas unggul dari Papua diantarannya Salosa, Patiki, dan Sawentar (Suhartina 2005). Pada umumnya ubi jalar dibagi dalam dua golongan yaitu ubi jalar yang berumbi lunak karena banyak mengandung air dan ubi jalar yang berumbi keras karena banyak mengandung pati (Lingga et al. 1986). Menurut Suprapti (2003), ubi jalar dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah termasuk lahan kritis. Kondisi tanah yang paling ideal untuk budidaya ubi jalar berada di dataran rendah 500 m di atas permukaan laut. Tanaman ubi jalar. mudah beradaptasi pada lingkungan termasuk tanah dengan aerasi dan drainase yang kurang baik. Potensi pengembangan produksi ubi jalar di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar Indonesia Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 2000 194.262 1.827.687 9.4 2001 181.026 1.749.070 9.7 2002 177.276 1.771.642 10 2003 197.455 1.991.478 10.1 2004 184.546 1.901.802 10.3 2005 178.336 1.856.969 10.4 2006 176.507 1.854.238 10.5 2007 176.232 1.886.852 10.6 2008 170.079 1.824.140 10.7 Sumber : Badan Pusat Statistik (2008b) Ubi jalar bisa ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Pada umumnya di daerah pedesaan mempunyai produktifitas sekitar 10 ton per hektar. Sedangkan dengan teknik budidaya yang tepat beberapa ubi jalar dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah per hektar. Terdapat 8 varietas unggul yang dilepas sejak tahun 1990 hingga 2001. Varietas-varietas ini selain mempunyai produktivitas tinggi, juga mempunyai sifat agak tahan terhadap hama boleng Cylas formicarius dan penyakit kudis Sphaceloma batatas. Pada umumnya di dataran rendah, ubi jalar dipanen pada umur 3.5 sampai dengan 5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi ubijalar dipanen pada umur 5 sampai dengan 8 bulan (Gadang BKP Jatim 2008). Ubi jalar memiliki waktu panen yang lebih singkat jika dibandingkan dengan beberapa tanaman umbi lainnya yang ada di Indonesia. Tabel 2 menunjukkan perbandingan karakteristik beberapa tanaman umbi di Indonesia. Umur panen ubi jalar lebih singkat (3 – 3.5 bulan) serta produktivitas cukup tinggi (10-30 ton/ha). Selain itu, ubi jalar cocok ditanam disemua jenis tanah atau pada daerah yang marijinal yang tidak terlalu subur, tidak membutuhkan pupuk yang banyak untuk pertumbuhannya. Dengan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh ubi jalar, maka diharapkan ubi jalar dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan baku pada pembuatan bahan bakar yang sumbernya dari alam (biofuel) khususnya untuk pembuatan bioetanol. Tabel 2. Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol Karakteristik Ubi Jalar Singkong Tebu Kentang Tanah Tanah Cocok Jenis Tanah Cocok lembab lembab untuk untuk semua jenis semua tanah jenis tanah pH 5.5 – 7.5 4.5 – 8 5–6 5.5 – 6.0 Kebutuhan Rendah Rendah Tinggi Tinggi pupuk Masa panen 3 – 3.5 6 – 12 8 – 14 3–7 (bulan) Kandungan 98.13 51.36 Kadar 18 Karbohidrat sukrosa = (%) bk 10 % Produktivitas 11 – 30 10 – 13 90 13.7 (ton/tahun) Sumber : Departemen Pertanian (2008) Talas Tanah lembab 5–6 Tinggi 6 – 10 21 – 27 30 2.2 Sirup Glukosa Sirup glukosa merupakan suatu larutan yang diperoleh dari pati atau sumber karbohidrat lain melalui hidrolisa yang komponen utamanya adalah glukosa (Judoamidjojo et al. 1989). Defenisi sirup glukosa menurut SNI 01-2978-1992 adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utamanya glukosa, yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Menurut Maiden (1970), glukosa cair berupa larutan dengan kekentalan antara 32-35 Be yang dihasilkan melalui hidrolisis pati dengan katalis asam, enzim, dan gabungan keduanya. Zat pati yang dapat dihidrolisis berasal dari bahan yang mengandung pati seperti jagung, gandum, ubi kayu dan ubi jalar. Sirup glukosa atau sering juga disebut gula cair mengandung D-glukosa, maltosa, dan polimer D-glukosa yang dibuat melalui proses hidrolisis pati. Proses hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H12O6)n menjadi unit-unit monosakarida (C6H12O6). Produk-produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (Dextrose Equivalent) yang menunjukkan persentase dari dekstrosa murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Dekstrosa murni adalah dekstrosa dengan derajat polimerisasi 1 (unit dekstrosa tunggal). Suatu produk hidrolisis pati dengan nilai DE 15, menunjukkan bahwa persentase dekstrosa murni pada produk kurang lebih sebesar 15 % (bk) (Meyer, 1978). Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan menggunakan katalis enzim, asam atau gabungan keduanya pada waktu, suhu dan pH tertentu. Pada hidrolisis pati dengan asam, molekul pati akan dipecah secara acak oleh asam dan gula yang dihasilkan sebagian besar merupakan gula pereduksi. Proses hidrolisis menggunakan katalis asam juga memerlukan suhu yang sangat tinggi yaitu 120 - 160 oC. Menurut Judoamidjojo (1992), hidrolisis pati secara asam hanya akan mendapatkan sirup glukosa dengan dekstrosa equivalen (DE) sebesar 55. Kelemahan dari hidrolisis pati secara asam antara lain yaitu diperlukan peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena katalis asam menghidrolisa secara acak. Jika nilai ekuivalen dekstrosa ditingkatkan, selain terjadi degradasi karbohidrat, juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang dapat berpengaruh terhadap warna, rasa pada sirup glukosa yang dihasilkan. Pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat menghasilkan rendemen dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara hidrolisis asam. Pada hidrolisis pati secara enzimatis, enzim memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis pati secara enzim dapat menghasilkan sirup glukosa dengan dekstrosa equivalen (DE) lebih dari 95%. Penggunaan enzim dapat mencegah terjadinya reaksi sampingan karena sifat enzim sangat spesifik, sehingga dapat mempertahankan flavor dan aroma bahan dasar. Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri dari tiga tahapan dalam mengkonversi pati, yaitu gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa (Chaplin dan Buckle 1990). Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-(1.4) glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak hingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Tahap likuifikasi dilakukan sampai mencapai derajat konversi sekitar 10-20% DE, atau sampai cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan dengan larutan iodium. Tujuan dari likuifikasi adalah untuk melarutkan pati secara sempurna, mencegah isomerisasi gugusan pereduksi dari glukosa dan mempermudah kerja enzim αamilase untuk menghidrolisa pati (Judoamidjojo et al. 1989). Dalam proses likuifikasi, hal yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu tinggi, pengaturan suhu, pengaturan pH dan pengadukan serta pemanasan segera dan kontinu. Pengaturan pH larutan dapat digunakan NaOH dan HCl. Sakarifikasi merupakan proses dimana oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa. Pada proses sakarifikasi, oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim amiloglukosidase. Faktor yang sangat penting diperhatikan pada proses sakarifikasi adalah dosis enzim yang digunakan dan waktu sakarifikasi (Hartoto et al. 2005). 2.3 Enzim Penghidrolisis Pati Enzim yang dapat menghidrolisis pati terdiri dari dua jenis yaitu enzim yang dapat memecah ikatan α-1.4 glikosidik dan enzim yang dapat mengkatalis hidrolisa spesifik dari ikatan α-1.6 glikosidik pada amilopektin. Grup yang pertama dibedakan lagi atas endo-enzim yang memecah ikatan α-1.4 glikosidik secara random atau pada ikatan yang berada di tengah rantai polimer, dan secara ekso-enzim yang memecah ikatan α-1.4 glikosidik dari bagian ujung polimer (Judoamidjojo et al. 1989). 2.3.1 Enzim alfa amilase Enzim α-amilase menghidrolisis ikatan ikatan α-1.4 glikosidik amilosa, amilopektin dan glikogen. Enzim ini bersifat sebagai endoamilase yaitu enzim yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul. Hidrolisis amilosa oleh α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti pula dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu glukosa yang mengandung ikatan α-1.6 glikosidik (Suhartono 1989). Aktivitas α-amilase dapat diukur berdasarkan penurunan kadar pati yang larut dan kadar dekstrin yang terbentuk, pengukuran viskositas atau jumlah gula pereduksi yang terbentuk. Adanya amilosa pada pati atau dekstrin dapat diketahui berdasarkan warna yang terjadi bila diberikan iodium. Amilosa dengan iodium akan memberikan warna biru, sedangkan dekstrin dengan iodium berwarna coklat (Judoamidjojo et al. 1989). Enzim α-amilase terbagi atas dua golongan yaitu α-amilase termostabil yang banyak digunakan pada proses likuifikasi pada suhu tinggi, dan α-amilase termolabil yang banyak digunakan pada proses sakarifikasi. Mikroorganisme penghasil enzim amilase dapat berupa bakteri dan kapang. Bakteri yang dapat menghasilkan amilase diantaranya B. Subtilis, B licheniformis, Aspergillus sp., Bacillus sp., dan Bacillus circulans (Arcinthya 2007). Bakteri tersebut menghasilkan amilase yang bersifat termostabil yaitu, enzim tersebut dapat aktif atau bekerja dalam suhu yang tinggi sehingga proses hidrolisis akan menjadi lebih mudah dan cepat dengan adanya bantuan panas atau suhu, sehingga proses pemutusan ikatan polisakarida lebih mudah. Menurut Fogarty (1983), enzim αamilase pada umumnya stabil pada kisaran pH 5.5-8.0. Enzim α-amilase dari B. licheniformis mempunyai aktivitas optimum pH 6.5 dan suhu 90oC (Berghmans 1980). 2.3.2 Enzim Glukoamilase (AMG) Enzim glukoamilase juga disebut amiloglokosidase yang disingkat AMG, gamma amilase serta α-1.4 D-glukan glukohidrolase atau EC 3.2.1.3 (Fogarty 1983). Enzim glukoamilase memecah ikatan polimer monosakarida pada bagian luar dan menghasilkan unit-unit glukosa dari ujung non-pereduksi rantai polimer polisakarida. Aktifitas enzim ini akan menurun secara drastis bila sampai pada ikatan glukosida α-1.6. Enzim-enzim yang tergolong di dalam kelompok glukoamilase ini dapat diperoleh dari bagian strain Aspergillus dan Rhizopus. Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase yaitu dapat memutus rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi dari molekul tersebut. Baik ikatan α-1.4 maupun α-1.6 dapat diputuskannya (Tjokroadikoesoemo 1986). Aktivitas optimum enzim glukoamilase dipengaruhi oleh pH dan suhu. Sumber enzim yang berbeda akan menghasilkan enzim dengan kondisi aktivitas yang berbeda pula. Menurut Fogarty (1983), pH optimal enzim tersebut berkisar antara 4.5 – 5.0, tetapi hal itu juga tergantung sumber enzimnya. Suhu optimumnya berkisar antara 40 – 50oC. Pada umumnya mikroba termofilik akan menghasilkan enzim glukoamilase yang relatif tahan terhadap panas, demikian juga sebaliknya mikroba mesofilik pada umumnya menghasilkan enzim glukoamilase yang kurang tahan panas. 2.4 Bioetanol Bioetanol merupakan etanol atau etil alkohol (C2H5OH) atau sering juga disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan mempunyai bau yang khas, biodegradable, kadar racun yang rendah dan sangat sedikit menimbulkan polusi bagi lingkungan. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar 0.7937 dan titik didihnya 78.32oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter dan mempunyai panas pembakaran 328 Kkal. Bioetanol diperoleh dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol umumnya digunakan dalam industri sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake atau gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-94 %, netral dengan kadar alkohol 96-99.5 %, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi, dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99.5 – 100 % (Hambali et al. 2007). Bahan baku untuk pembuatan bioetanol secara fermentasi berupa karbohidrat, dan hampir semua karbohidrat terbentuk dalam tanaman melalui proses fotosintesa, baik sebagai gula (sakarida) yang terdiri dari satu atau dua gugus sakarosa, maupun senyawa lebih komplek sebagai zat pati dan selulosa. Bahan hasil pertanian yang berkadar pati tinggi, meliputi biji-bijian (gandum, jagung, beras, dll), kacang-kacangan dan umbi-umbian (kentang, ubi jalar dan ubi kayu). Karbohidrat dalam bentuk zat pati tersebut untuk pembuatan etanol harus dihidrolisa dahulu menjadi glukosa (Assegaf, 2009). Pada Tabel 3 disajikan berbagai jenis tanaman yang biasa dibudidayakan dan dapat dijadikan bahan baku bioetanol. Tabel 3. Tanaman penghasil bioetanol Etanol Produktivitas Tanaman (1/ton) (t/ha) Ubi kayu 180 40 Umur panen (bulan) 9 Etanol (1/ha/tahun) 7200 Jagung 385 6 3.5 4620(6930)* Ubi jalar 142 20 4 5680 (8520)* Sweet sorgum 76.7 6 4 920.4(1378.8)* Biji sorgum 389 4 3.5 3112(4668)* Talas 142 20 10 * diganti oleh penulis dengan 3 kali panen ubi jalar dalam setahun 2840 Sumber : Shintawaty (2006) Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut memiliki nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium dengan nilai oktan 88, dan pertamax dengan nilai oktan 94 (Mursyidin 2007). Penggunaan bioetanol di Indonesia dijadikan sebagai bahan pensubtitusi, yang pada umumnya masih dalam bentuk campuran dengan bensin dalam konsentrasi 10% (E-10) yaitu 10 persen bioetanol dan 90 persen bensin. Campuran bioetanol dalam bensin dikenal dengan istilah gasohol. Penambahan etanol dalam bensin disamping dapat menambah volume bahan bakar minyak juga dapat meningkatkan nilai oktan bensin. Disamping itu, penambahan etanol dalam bensin dapat berfungsi sebagai sumber oksigen sehingga dapat menghasilkan pembakaran yang lebih bersih. Pada point ini bioetanol dapat diposisikan sebagai pengganti methyl tertiary-butyl ether (MTBE) yang banyak digunakan sebagai bahan aditif dalam bensin. Etanol sebagai bahan bakar memiliki karakteristik yang mirip dengan bensin sehingga dapat digunakan untuk mensubstitusinya. Etanol bersifat mudah terbakar dengan nyala biru tanpa jelaga serta mudah menguap. Jika dibandingkan dengan bensin, etanol memiliki karakteristik yang lebih baik. Dilihat dari rumus kimianya, (C2H5OH), etanol mengandung 35 persen oksigen sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca, bersifat ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah terhadap senyawasenyawa yang berpotensi sebagai polutan (karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca), mudah terurai dan aman karena tidak mencemari air. Kelebihan lain yang dimiliki bioetanol dibandingkan dengan bensin yaitu dapat diperbaharui dan cara pembuatannya yang sederhana yaitu melalui fermentasi menggunakan mikroorganisme tertentu. Pembuatan bioetanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk mengkonversi glukosa menjadi bioetanol yang bersifat anaerob yaitu, tidak memerlukan oksigen (O2). Menurut Judoadmidjojo et al. (1989), proses fermentasi pembentukan etanol membutuhkan bantuan yeast atau khamir. Untuk bahan yang mengandung gula dalam bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus diubah dulu dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu monosakarida (fruktosa atau glukosa). Yeast tersebut akan merubah gula-gula sederhana yaitu fruktosa atau glukosa (C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : C6H12O6 Monosakarida Æ 2 C2H5OH + 2 CO2 Etanol Karbondioksida Menurut Paturau (1981) bahwa fermentasi etanol membutuhkan waktu 3072 jam. Prescott dan Dunn (1981) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol yang diperlukan adalah 3 sampai 7 hari. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan suhu optimum fermentasi 25-30 oC dan kadar gula 10 – 18 persen. 2.5 Khamir Khamir maupun bakteri dapat digunakan untuk memproduksi etanol. Khamir Saccharomyces cerevisiae var ellipsoides mampu menghasilkan etanol dalam jumlah tinggi (16-18%) pada media yang sesuai. Khamir yang lain yang dapat digunakan adalah Schizosaccharomyces sp., S. uvarum dan Kluyveromyces sp. Bakteri Zymomonas mobilis diketahui merupakan penghasil etanol yang potensial (Hartoto 1992). Khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, potasium zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sedangkan sebagai sumber notrogen dapat digunakan amonia, garam amonium, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea tergantung dari jenis khamir (Prescott dan Dunn 1981). Menurut Frazier dan Westhoff (1978), khamir tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada suhu 35-47oC, pH yang disukai antara 4-5. Batas minimal aw untuk khamir biasa adalah 0.88-0.94 sedangkan khamir osmofilik dapat tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0.62-0.65, namun banyak juga khamir osmofilik pertumbuhannya terhenti pada aw 0.78 seperti pada larutan garam ataupun sirup gula. Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). S. cerevisiae merupakan top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC (Frazier dan Westhoff 1978). S. cerevisiae dapat toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Harisson dan Graham 1970). Menurut Hartoto (1992), pada kondisi aerobik atau konsentrasi glukosa tinggi S. cerevisiae tumbuh dengan baik, namun alkohol yang dihasilkan rendah. Sedangkan pada kondisi anaerobik, pertumbuhan lambat dan piruvat dari jalur katabolik dipecah oleh enzim piruvat dekarboksilase menjadi asetaldehid dan karbondioksida secara reduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada kondisi aerobik, pemecahan gula mengikutsertakan oksigen atmosfir melalui beberapa lintasan proses. Pada respirasi oksidasi sempurna dari glukosa menghasilkan CO2 dan air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain-lain produk intermediet. Pertumbuhan khamir cukup bervariasi dari suhu 0 oC sampai 47 oC. Secara umum, khamir dapat tumbuh dengan baik pada suasana asam, yaitu pH 3.5 sampai 3.8 yang dapat menghambat sebagian bakteri. Toleransi asamnya adalah selang pH 2.2 sampai 8.0. Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas Pathway atau lebih dikenal dengan jalur glikolisis. Alur dari tahap glikolisis disajikan pada Gambar 01. Hasil dari tahap glikolisis atau jalur EMP adalah memecah glukosa menjadi dua molekul asam piruvat. Proses yang terjadi dalam jalur glikolisis adalah sebagai berikut : 1. Glikolisis diawali dengan reaksi pembentukan senyawa glukosa-6-fosfat dari glukosa. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang membutuhkan energi yang diambil dari pemutusan ikatan fosfat dari ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim heksokinase atau glukokinase. Pada tahap ini, satu molekul ATP digunakan dan satu molekul ADP dihasilkan; 2. Reaksi kedua adalah pembentukan isomer fruktosa-6-fosfat dari glukosa-6fosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim fosfoheksosa isomerase. 3. Fruktosa-6-fosfat selanjutnya dikonversi menjadi fruktosa-1,6-bisfosfat oleh enzim fosfofruktokinase. Reaksi ini berjalan spontan dan merupakan rate limiting step pada proses glikolisis. Pada tahap ini pun satu molekul ATP digunakan dan satu molekul ADP dihasilkan; 4. Tahap selanjutnya adalah reaksi pemecahan fruktosa-1,6-bisfosfat oleh enzim aldolase menjadi dihidroksiasetonfosfat (DHAP) dan gliseraldehid-3-fosfat (GA-3P). Tahap ini merupakan salah satu tahap penting dalam proses glikolisis (dimana C6 dirubah menjadi 2C3); DHAP dan GA-3P merupakan senyawa yang memiliki susunan molekul yang sama; GA-3P langsung digunakan dalam tahap selanjutnya glikolisis dan DHAP dikonversi menjadi GA-3P oleh enzim triosefosfat isomerase; 5. Gliseraldehid-3-fosfat (GA-3P) dioksidasi dengan penambahan fosfat inorganis (Pi) menjadi 1,3-difosfo-gliserat gliseraldehid-3-fosfat-dehidrogenase. (1,3-dP-GA) oleh enzim Gambar 01. Tahap Glikolisis (Embden-Meyerhof-Parnas Pathway) (Crueger dan Anneliese 1984) 6. 1,3-difosfo-gliserat melepaskan satu grup fosfat untuk membentuk ATP dan ADP dan kemudian dikonversi menjadi 3-fosfogliserat (3P-GA) oleh enzim 3fosfogliseratkinase; 7. 3-fosfogliserat (3P-GA) selanjutnya dikonversi menjadi 2-fosfogliserat (2PGA) oleh enzim fosfogliserat mutase; 8. 2-fosfogliserat (2P-GA) selanjutnya didehidrasi menjadi fosfofenol piruvat oleh enzim enolase; 9. Tahap terakhir dari jalur glikolisis adalah defosforelasi fosfofenol piruvat (PEP) menjadi piruvat oleh enzim piruvat kinase; pada tahap ini dibentuk sebuah molekul ATP. Reaksi setelah pembentukan DHAP dan GA-3P selama proses glikolisis berlangsung sebanyak dua kali. Piruvat yang merupakan produk akhir dari tahap glikolisis ini merupakan kunci pada proses metabolisme. Secara keseluruhan, reaksi dari proses glikolisis adalah sebagai berikut : Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi Æ 2 pyruvate + 2 ATP + 2 (NADH + H+) Setelah melalui tahapan glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian diubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvate dekarboksilase, setelah itu enzim alkohol dehidrogenase mengubah asetaldehid menjadi alkohol. Gambar 02. Proses Pembentukan Etanol dari Piruvat 2.5 Kultivasi Sistem Fed Batch Sistem fed batch merupakan kultur batch yang diumpankan dengan media secara kontinyu atau berurutan tanpa pengambilan cairan kultur, sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Kultivasi fed batch umumnya lebih unggul dibandingkan dengan sistem batch dan kontinyu, terutama untuk mengubah konsentrasi media membentuk produk dengan produktivitas yang tinggi (Son et al. 2007). Kultur fed batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang dapat dioperasikan dalam dua cara yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik (Stanbury dan Whitaker 1984). Pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase stasioner (Xmaks), dijelaskan dengan persamaan 1 (dengan asumsi bahwa jumlah inokulum awal tidak signifikan dibandingkan biomassa akhir). Xmax ≈ YSR (1) Dimana, Y = yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi) SR = konsentrasi substrat dalam media. Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang lebih kecil daripada µmax maka sebenarnya semua substrat akan dikonsumsi saat diumpankan ke dalam sistem. Meskipun jumlah volume dalam bejana bertambah seiring waktu kultivasi namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan, yaitu (dx/dt ≈ 0) dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada dalam quasi-steady state. Semakin bertambahnya waktu kultivasi dan volume kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan pada persamaan 2. D = F/Vo + F.t (2) Dimana, D = laju dilusi F = laju pengumpanan Vo = volume awal kultur T = waktu pengumpanan pada operasi fed batch Kinetika Monod memperkirakan bahwa jika nilai D turun maka konsentrasi residu substrat juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa. Pada laju pertumbuhan yang lebih tinggi, konsentrasi substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan secara ekponesial (Trevan et al. 1987). 2.7 Kinetika Fermentasi Mikroorganisme tumbuh dalam suatu spektrum lingkungan fisik dan kimiawi yang sangat luas, pertumbuhannya dan kegiatan-kegiatan fisiologik lainnya merupakan suatu respon terhadap lingkungan fisiko kimiawinya. Kinetika fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme, bukan hanya pertumbuhan sel aktif, tetapi juga kegiatankegiatan sel sel-sel istirahat dan sel mati, berhubung masih banyak produk-produk komersial diproduksi setelah pertumbuhan mikroorganisme terhenti. Menurut Judoamidjojo et al. (1992), pertumbuhan mikrobial biasanya dicirikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel atau jumlah sel. Waktu ganda massa dapat berbeda dengan waktu ganda sel, karena massa sel dapat meningkatkan tanpa peningkatan dalam jumlah sel. Namun demikian bila pada suatu lingkungan tertentu interval antara massa sel atau penggandaan jumlah adalah konstan dengan waktu, maka organisme itu tumbuhan pada kecepatan eksponensial. Pada keadaan ini pertumbuhan dinyatakan sebagai : dX = µX dt (1) atau dN = µn N dt (2) Dimana : X = konsenstrasi sel (g/l) N = jumlah sel (sel/l) µ = laju pertumbuhan spesifik dalam jam-1 (massa) t = waktu (menit) µn = laju pertumbuhan spesifik dalam jam-1 (jumlah) Persamaan (1) menggambarkan peningkatan massa sel dan kesetimbangan dan persamaan (2) menggambarkan peningkatan jumlah sel dengan fungsi waktu. Pada umumnya pertumbuhan diukur dengan peningkatan massa, sehingga µ dapat digunakan. Jika persamaan (1) diintegralkan maka akan menjadi : ∫ X2 X1 dx / x = ∫ t2 t1 µ dt (3) Bila laju pertumbuhan spesifik tetap, maka akan menghasilkan : ln x2 = µ ∆t x1 (4) Untuk kasus dimana ∆t = td, maka : td = ln 2 µ = 0,693 µ (5) Dimana td adalah waktu ganda sel. Selama fermentasi batch, laju pertumbuhan spesifik adalah konstan dan tidak tergantung pada perubahan konsentrasi nutriennya (Stanbury dan Whitaker 1984). Bentuk hubungan antara laju pertumbuhan dan konsentrasi substrat telah diteliti oleh Monod (1942), dengan persamaan sebagai berikut : µmax S µ = Ks + S Dimana, µ = laju pertumbuhan spesifik µmax = laju pertumbuhan spesifik yang maksimal S = konsentrasi substrat Ks = konstanta penggunaan substrat, nilainya sama dengan konsentrasi substrat pada saat µ = ½ µmax dan merupakan ukuran afinitas mikroorganisme terhadap substrat Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme merupakan proses biokonversi. Dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada fermentasi dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit. Setiap konversi dapat dikuantifikasikan oleh suatu koefisien hasil yang dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s untuk sel dan Yp/s untuk produk yang dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : ∆x Yx/s = ∆S ∆p Yp/s = ∆S Dimana, Yx/s = rendemen pembentukan sel oleh substrat Yp/s = rendemen pembentukan produk oleh substrat Menurut Sa’id (1987) bahwa tumbuh yang dicirikan oleh peningkatan massa sel, hanya terjadi bilamana kondisi-kondisi kimiawi dan fisika tertentu terpenuhi, misalnya terdapatnya suhu dan pH yang dapat sesuai dan tersedianya nutrien yang dibutuhkan. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk memperlihatkan kemampuan sel dalam memberikan respon terhadap lingkungan. Pertumbuhan mikroorganisme secara batch yang ditumbuhkan pada medium tertentu, memiliki kurva seperti yang disajikan pada Gambar 03. Umumnya, pertumbuhan diukur dengan pengukuran massa sel. Fase pertumbuhan dimulai pada fase adaptasi, fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial), fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian dipercepat, dan fase kematian logaritma. Pada fase adaptasi, mikroba baru menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang. Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase. Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan konstan. Selama fase logaritmik, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup konstan, seolah-olah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Pada fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut. Gambar 03. Kinetika Fermentasi batch. Kurva : (a) memperlihatkan massa sel bila tidak terjadi lisis, (b) massa sel bila terjadi lisis dan diikuti pertumbuhan kriptik, dan (c) “Viabel Cell Count” bila terjadi lisis (Wang et al. 1979). Menurut Wang et al. (1979), pertumbuhan juga dapat dihubungkan dengan konsumsi nutrien selain dihubungkan dengan pembentukan produk. Pembentukan produk tidak mungkin terjadi tanpa adanya sel. Oleh karena itu, diharapkan pertumbuhan dan pembentukan produk sangat erat kaitannya dengan penggunaan nutrien, dan ini tergantung pada kontrol pengaturan metaboliknya. III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian produksi bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dilakukan sebagai upaya peningkatan nilai tambah dari ubi jalar. Penelitian dilakukan pada skala labarotorium dengan menggunakan bahan-bahan untuk ekstraksi dan analisa. Analisa menggunakan bahan kimia analitik untuk menjamin tingginya kualitas data yang dihasilkan. Skema kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 06. 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Desember 2009 di Laboratorium Balai Besar Penelitian Pascapanen Bogor dan Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Beberapa laboratorium penunjang antara lain Laboratorium Instrumen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. 3.3 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah ubi jalar varietas Sukuh. Mikroorganisme yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Bahan yang digunakan untuk likuifikasi,sakarifikasi dan fermentasi meliputi : enzim α-amilase (Liquizymes), enzim amiloglukosidase (Dextrozymes), aquades, CH3COOH, ekstrak khamir, ekstrak malt, glukosa, peptone, NaOH, HCl, NPK, (NH4)2SO4, trace element, alumunium foil, kapas, tisu. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa meliputi : fenol, H2SO4, 3.5-Dinitrosalisilat (DNS). Alat-alat yang digunakan adalah wadah plastik, parut, kain saring 150 mesh dan 250 mesh, Erlenmeyer, gelas ukur, inkubator, oven, kertas saring, waterbath, inkubator, bioreaktor 2 liter, pompa peristaltik, autoklaf, timbangan, spektrofotometer, tabung reaksi, eppendorf, botol sampling, botol vial, labu ukur, pipet volume, mikropipet dan GC (Gas Chromatography). 3.4 Tahapan Penelitian 3.4.1 Pembuatan Pati Ubi Jalar Pembuatan pati ubi jalar dilakukan secara ekstraksi basah yaitu ubi jalar segar setelah pencucian dilakukan pemarutan ubi disertai dengan penambahan air sebanyak 1 : 5 (ubi : air) yang digunakan untuk mengekstrak pati dari ampasnya. Selanjutnya dilakukan pengendapan selama 8 – 12 jam, setelah terbentuk pati ubi jalar basah kemudian dilakukan pengeringan dan dihasilkan pati ubi jalar kering. Setelah itu dilakukan analisa proximat serta kadar pati dari pati ubi jalar yang telah dibuat. Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar disajikan pada Gambar 04. Gambar 04. Digram Alir Proses Pembuatan Pati Ubi Jalar (Wahyuni 2008) 3.4.2 Pembuatan Sirup Glukosa Sirup glukosa dibuat dengan menggunakan metode enzimatis. Enzim yang digunakan adalah enzim α-amilase dan enzim amiloglikosidase (AMG). Sirup glukosa yang dibuat dari empat bahan ubi jalar yang berbeda yaitu dari umbi parut ubi jalar, larutan pati ubi jalar, pati ubi jalar dan tepung ubi jalar. Setiap bahan tersebut kemudian ditambahkan air dengan perbandingan 1 : 3, kemudian dilakukan pengaturan pH 6 – 6.5. Tahap likuifikasi, ditambahkan enzim α- amilase 0.8 ml/kg bahan yang digunakan. Hidrolisat ubi jalar dipanaskan pada suhu 90oC dengan pengadukan selama 1 jam. Pada tahap ini, dilakukan pengaturan pH 4.5 dengan menambahkan HCl. Pada tahap sakarifikasi, hidrolisat ubi jalar ditambahkan enzim AMG dosis 0.8 ml/kg bahan yang digunakan pada suhu 60oC selama 60 jam kemudian disaring. Setelah itu, sirup glukosa dinetralkan dengan NaOH pada pH 7. Selanjutnya, dilakukan pengujian kadar total gula dan gula pereduksi. Diagram alir proses pembuatan sirup glukosa dari variasi bahan baku ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7 dan 8. 3.4.3 Persiapan Kultur S. cerevisiae Media yang digunakan untuk menumbuhkan khamir S. cerevisiae adalah media YMGP yang terdiri atas 5 g ekstrak khamir, 5 g ekstrak malt, 5 g peptone, dan 20 g glukosa serta 1 liter aquades. Mula-mula bahan ditimbang sesuai dengan jumlah yang ditentukan, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan dilarutkan dengan aquades. Labu erlenmeyer ditutup dengan menggunakan kapas dan alumunium foil, selanjutnya dimasukkan ke dalam autoklaf dan disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah sterilisasi selesai, labu erlenmeyer dikeluarkan dari autoklaf dan didinginkan pada suhu kamar. Pembuatan kultur dilakukan dengan cara memindahkan kultur murni khamir S. cerevisiae dengan jarum Ose secara aseptis ke dalam media cair yang telah disterilisasi. Kemudian erlenmeyer tersebut ditutup kembali dan difermentasikan di dalam inkubator bergoyang selama 48 jam pada suhu kamar sebelum digunakan sebagai media propagasi pada fermentasi etanol yang akan dilakukan. (a) (b) Gambar 05. Media Propagasi : (a). Sebelum penambahan kultur; (b). Setelah propagasi 48 jam 3.4.4 Kultivasi pada Sistem Fed batch Terekayasa Pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi dan agitasi. Sebanyak 600 ml sirup glukosa dengan konsentrasi subtrat 24% yang telah dibuat sebelumnya dimasukkan ke dalam reaktor 2 liter. Setelah itu, reaktor disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin, kemudian ditambahkan sumber N dan trace element sebanyak 1% dari volume substrat yang disterilisasi terpisah lalu dilakukan inokulasi dengan inokulum hasil propagasi S. cerevisiae yang telah dibuat sebelumnya sebanyak 10% dari volume substrat. Pada wadah lain, juga dipersiapkan substrat sirup glukosa yang telah steril sebanyak 600 ml dengan menggunakan konsentrasi substrat 4%, 8%, 12%, 16%, dan 20% untuk dimasukkan ke dalam reaktor dengan laju alir lebih kecil dari µ maksimal. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan sistem fed batch terekayasa. Variasi perlakuan yang dilakukan pada sistem fed batch terekayasa yaitu pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi dan agitasi, untuk selanjutnya setelah mencapai biomassa maksimum dilakukan penambahan substrat secara fed batch terekayasa dengan menghentikan aerasi namun agitasi tetap dilakukan. Penambahan substrat dilakukan dengan variasi konsentrasi substrat yaitu 4%, 8%, 12%, 16%, dan 20%. Tabel 4. Variasi Perlakuan yang dilakukan pada Penelitian Utama Sistem Fed batch terekayasa Kondisi Awal Kultivasi Aerobik : • Aerasi dilakukan • Agitasi dilakukan Aerobik : • Aerasi dilakukan • Agitasi dilakukan Konsentrasi Substrat yang ditambahkan Penambahan substrat, 4%, 8%, 12%, anaerobik : 16%, dan 20% • Aerasi tidak dilakukan • Agitasi dilakukan Kondisi Biomassa Maksimum Penambahan substrat, anaerobik : • Aerasi dilakukan • Agitasi dilakukan Konsentrasi yang optimal pada fed batch terekayasa (stop aerasi) 3.4.5 Pengamatan, Analisa dan Parameter Fermentasi Proses kultivasi dan fermentasi berlangsung selama 72 jam, untuk masingmasing perlakuan kondisi. Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan setiap 6 jam untuk mengetahui keadaan larutan fermentasi. Parameter yang digunakan sebagai indikator kinerja proses fermentasi adalah : 1. Kadar etanol yang diproduksi pada jam ke-18 dan jam ke-72 (akhir) sistem fed batch terekayasa (p) 2. Total biomassa atau sel khamir setiap 6 jam (x) 3. Sisa substrat yang masih terdapat dalam media (s) 4. Nilai rendemen (yield) pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s dan Yp/s) 5. Nilai rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x) 6. Nilai efisiensi penggunaan substrat (1-S/So) Ubi Jalar Analisa proksimat meliputi : Kadar air, Lemak, Protein, Pati, Serat kasar, Abu Pembuatan pati ubi jalar Umbi parut ubi jalar Analisa total gula, gula pereduksi, efisiensi bahan dalam pembuatan SG Pembuatan sirup glukosa (SG) Tepung Ubi jalar Persiapan kultur S.cerevisiae pada media YMGP Variasi konsentrasi substrat yang diumpankan yaitu konsentrasi 4%, 8%, 12%, 16%, dan 20% (pada jam ke18, stop aerasi-agitasi tetap dilakukan) Kultivasi fed batch terekayasa Kultivasi selama 72 jam, sampling per 6 jam Produksi etanol • Analisa total gula sisa, biomassa akhir, OD, pH, kadar etanol • Perhitungan kinetika fermentasi Konsentrasi substrat yang optimal dengan produktivitas yang tinggi (etanol yang tinggi) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah) Larutan pati Ubi jalar Etanol Gambar 06. Tahapan penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar Ubi jalar yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar varietas Sukuh yang merupakan salah satu varietas unggulan ubi jalar. Ubi jalar sebelum digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan sirup glukosa dan bioetanol terlebih dahulu dilakukan dianalisis komposisi kimianya yang meliputi kadar air, abu, protein, serat kasar, lemak, dan pati. Hasil analisa proksimat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisa proksimat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan Parameter (%bb) Ubi Jalar Segar Pati Ubi Jalar Kadar Air 56.78±1.067 9.95±0.312 Kadar Abu 1.08±0.213 0.42±0.007 Kadar Protein 0.95±0.081 0.90±0.450 Kadar Serat Kasar 0.78±0.176 0 Kadar Lemak 1.78±0.027 0.64±0.213 Kadar Pati 29.73±0.98 90.64±1.532 Kandungan air dalam bahan berpengaruh terhadap kesegaran dan daya simpan bahan tersebut. Bahan yang mengalami penurunan kandungan air akan tampak layu. Kandungan air ini dipengaruhi oleh varietas, lokasi, unsur hara tanah, umur tanam dan iklim. Komposisi kimia ubijalar sebagian besar terdiri atas air 72.8%, dan karbohidrat 24.3%, sedangkan komponen lainnya seperti protein, lemak, vitamin dan mineral sangat tergantung terhadap faktor genetik dan kondisi penanamannya (Richana 2009a). Berdasarkan hasil pengukuran analisa proksimat kadar air ubi jalar segar varietas Sukuh yaitu sebesar 56.78±1.067% (b/b), sedangkan menurut Wahyuni (2008), kadar air ubi jalar Sukuh sebesar 64.73±1.018 % (b/b) dan Darmajana (2008) melaporkan kandungan air ubi jalar pada awal penyimpanan adalah 78.28 % (b/b). Ubi jalar varietas Sukuh merupakan salah satu jenis ubi jalar putih yang memiliki kandungan air yang rendah.Menurut Lingga et al. (1986), ubi jalar yang berumbi putih memiliki kadar air yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan ubi jalar yang berumbi merah. Kadar abu ubi jalar segar dan pati ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian adalah masing-masing sebesar 1.08±0.213% (b/b) dan 0.42±0.007% (b/b), hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Wahyuni (2008) yaitu untuk ubi jalar segar sekitar 1.06±0,248% (b/b) dan pati ubi jalar sekitar 0.27±0.086% (b/b). Menurut Sudarmadji et al. (1997), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Kadar protein dan kadar lemak ubi jalar segar yang dihasilkan pada penelitian ini adalah masing-masing sebesar 0.95±0.081% (b/b) dan 1.78±0.027% (b/b), hasilnya tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan pada penelitian Wahyuni (2008) yaitu untuk kadar protein pati ubi jalar sekitar 0.86±0.057% (b/b) dan kadar lemak pati ubi jalar sekitar 0.69±0.243% (b/b). Menurut Richana (2009a), kandungan protein pada ubi jalar rendah sekitar 1.43%, umumnya dalam bentuk globulin. Kandungan lemak dan protein bahan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi dan kekentalan bahan pada saat diolah. Mohammed dan Duaateb (2003) menyebutkan bahwa lemak pada bahan yang mengandung pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati, sedangkan protein dapat menyebabkan kekentalan pati menurun. Kandungan serat kasar ubi jalar segar yang diperoleh pada penelitian adalah 0.78±0.176% (b/b). Karbohidrat terdiri dari fraksi pati dan serat kasar. Serat kasar merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam dan basa kuat. Fraksi serat kasar terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pati dan selulosa merupakan homopolimer glukosa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa, galaktosa arabinopiranosa, arabinofuranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan galaktosa merupakan gula dari gilongan heksosa, sedangkan xylosa dan arabionosa merupakan gula dari pentose (Demirbas 2005; Irawadi 1990). Kandungan serat kasar ini merupakan faktor mutu pati yang penting karena akan berpengaruh terhadap proses likuifikasi dan sakarifikasi. Kandungan serat yang tinggi akan menurunkan efisiensi proses hidrolisis sehingga dapat meningkatkan dosis enzim yang diperlukan dalam proses hidrolisis. Nilai kadar pati ubi jalar segar yang dihasilkan adalah sekitar 29.73±0.98%. Kadar pati yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kandungan pati yang diperoleh oleh Wahyuni (2008) yaitu sekitar 28.21±0.933%. Sedangkan menurut Musaddad (2005) sebesar 31% serta Puslittan (2007) sebesar 31.16%. Kadar pati menunjukkan jumlah pati yang terkandung dalam bahan. Perbedaan kadar pati yang diperoleh dapat disebabkan oleh perbedaan umur simpan dan umur panen dari ubi jalar tersebut. Menurut Winarno (1992), kandungan pati dalam suatu bahan akan berkurang seiring dengan lamanya waktu panen. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan oleh enzim yang terdapat dalam tanaman yang dapat memecah pati menjadi disakarida. Hasil analisa proksimat pada ubi jalar segar menunjukkan penurunan nilai kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan serat kasar setelah diekstraksi menjadi pati ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh terdapat beberapa senyawa seperti lemak, protein serta abu yang tidak ikut terekstraksi sehingga senyawa-senyawa tersebut ikut bersama ampas. Nilai kadar pati dari pati ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian ini mencapai 90.64±1.532%. Dengan kandungan pati yang cukup tinggi menunjukkan bahwa ubi jalar varietas Sukuh memiliki potensi sebagai sumber glukosa dalam substrat fermentasi. Hal ini berarti bahwa ubi jalar varietas Sukuh merupakan salah satu jenis tanaman berpati yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol. 4.2 Pembuatan Pati Ubi Jalar Ubi jalar merupakan salah satu jenis tanaman berpati. Kandungan pati dalam ubi jalar berbeda-beda tergantung dari jenis dan varietas ubi jalar tersebut. Ubi jalar yang digunakan pada pembuatan pati ubi jalar adalah ubi jalar Sukuh. Ubi jalar Sukuh merupakan salah satu jenis ubi jalar putih dan varietas unggulan yang memiliki kandungan pati yang tinggi. Menurut Lingga et al. (1986), umbi yang berwarna putih memiliki kadar pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan umbi yang berwarna merah. Selain memiliki kadar pati yang tinggi (31.16%), ubi jalar sukuh dapat dipanen lebih cepat (3 – 3.5 bulan) (Puslitttan 2007). Pembuatan pati ubi jalar dilakukan dengan cara ekstraksi basah yaitu ubi jalar segar setelah pencucian ubi jalar dilakukan pemarutan dan penambahan air sebanyak 1 : 5 untuk mengekstrak patinya. Selanjutnya dilakukan pengendapan selama 8 – 12 jam. Setelah terbentuk pati ubi jalar basah kemudian dilakukan pengeringan dan dihasilkan pati ubi jalar kering. Fungsi dari pemarutan adalah untuk memperkecil ukuran sehingga sel pati akan pecah dan mengeluarkan pati secara maksimal dari umbinya. Penambahan air dilakukan untuk melarutkan pati yang terdapat pada ampas sehingga dapat diperoleh pati yang banyak. Hasil rendemen pati ubi jalar varietas sukuh disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rendemen pati ubi jalar Berat Awal Ubi Jalar (g) Berat Akhir Pati (g) 5000 1187 5000 1210 Rata-rata 1198.5 Rendemen (%) 23.74 24.20 23.97 ± 0.33 Pembuatan pati dari ubi jalar varietas sukuh menghasilkan rendemen pati sebesar 23.97 ± 0.33 % (Tabel 06). Ubi jalar varietas sukuh merupakan salah satu varietas unggulan ubi jalar yang memiliki kandungan pati yang tinggi mencapai 31.16 % dan umur panen yang relatif singkat (3-3.5 bulan) (Puslittan 2007; Deptan 2008). Rendemen pati tertinggi pada ubi jalar varietas Sukuh yaitu sekitar 14.5%. Ubi jalar varietas Sukuh memiliki tingkat kekerasan dan kekuatan gel tertinggi berkaitan dengan kadar amilosanya yang tinggi yaitu sekitar 39% (bk) dengan suhu gelatinisasi 88.5oC (Erliana et al. 2005). Kadar pati dan gula reduksi ubijalar cukup tinggi yaitu 8-29% dan 0,5-2,5%, maka ubijalar dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup. Sekitar setengah dari produksi ubijalar di Jepang digunakan untuk pembuatan pati yang dimanfaatkan oleh industri tekstil, kosmetik, kertas, dan sirup glukosa. Di Indonesia ubijalar berpeluang sebagai bahan baku terbarukan untuk industri bioetanol sebagai bioenergi. Rendemen yang diperoleh tidak mencapai kadar pati dari ubi jalar yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh adanya loss (kehilangan) pada saat proses ekstraksi. Loss (kehilangan) dapat terjadi pada saat proses pemarutan, pemerasan (ekstraksi), dan perendaman. Pada proses ekstraksi sangat memungkin terjadinya loss karena masih terdapat sisa pati pada ampas yang tidak ikut terekstraksi. Ekstraksi yang tidak optimal dapat mengurangi rendemen yang akan diperoleh. Pati ubijalar dapat digunakan untuk produksi alkohol, etanol atau sekarang lebih populer dengan bioetanol. Solusi untuk mengurangi impor bahan bakar minyak adalah meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan, diantaranya adalah bahan bakar hayati yaitu bioetanol. Seperti halnya ubi kayu, ubi jalar juga dapat dimanfaatkan untuk produk bioetanol. Pembuatan pati ubi jalar merupakan salah satu jenis bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar. Sirup glukosa ubi jalar dibuat dari beberapa variasi ubi jalar yaitu dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar. 4.3 Pembuatan Sirup Glukosa Produksi etanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Oleh karena itu, dilakukan pembuatan sirup glukosa dari variasi bentuk bahan baku ubi jalar yang akan digunakan sebagai substrat fermentasi dalam pembuatan bioetanol. Pembuatan sirup glukosa dilakukan dengan metode enzimatis. Enzim yang digunakan adalah enzim α-amilase dan enzim amiloglikosidase (AMG). Penggunaan kedua enzim ini dimaksudkan untuk mengubah komponen pati yang merupakan polisakarida menjadi glukosa serta gula-gula sederhana lainnya yang merupakan monosakarida. Proses pembuatan sirup glukosa ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Tahap pertama adalah tahap likuifikasi yang terjadi pada suhu 90oC dengan pengadukan selama 1 jam. Pada tahap ini, digunakan enzim α-amilase. Enzim α-amilase termasuk enzim pemecah pati dari dalam molekul, bekerja menghidrolisis dengan cepat ikatan ikatan α-1,4 glikosidik pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Pada proses likuifikiasi ini, enzim α-amilase akan menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik amilosa dan menghasilkan dekstrin. Aktivitas α-amilase pada amilopektin akan menghasilkan oligosakarida dengan jumlah monomer dua sampai enam (Suhartono 1989). Tahap kedua pembuatan sirup glukosa adalah tahap sakarifikasi yang berlangsung selama 60 jam pada suhu 60oC. Proses sakarifikasi merupakan proses hidrolisis dekstrin menjadi gula. Enzim yang digunakan pada tahap ini adalah amiloglukosidase (AMG). Enzim amiloglukosidase berfungsi untuk mengkatalisis reaksi hidrolisis pada ikatan α-1,4 glikosidik dan α-1,6 glikosidik dari pati nonpereduksi, pati oligosakarida untuk membentuk β-D-glukosa (Sauer et al. 2000). Aktivitas enzim ini akan menurun secara drastis bila sampai pada ikatan glukosida α-1,6 (Budiyanto et al. 2006). Sirup glukosa ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 07. Gambar 07. Sirup glukosa ubi jalar Pada tahap pembuatan sirup glukosa ubi jalar digunakan bentuk bahan baku yang bervariasi dari ubi jalar. Pembuatan sirup glukosa dibuat dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar. Variasi bentuk bahan baku yang dilakukan pada pembuatan sirup glukosa dimaksudkan untuk menentukan bentuk bahan baku yang terbaik digunakan dalam pembuatan sirup glukosa dari ubi jalar dengan melihat efisiensi korversi ubi jalar menjadi sirup glukosa. Efisiensi proses pembuatan sirup glukosa dari beberapa variasi bahan baku ubi jalar disajikan pada Tabel 7. Perlakuan pati kering ubi jalar pada pembuatan sirup glukosa menghasilkan nilai total gula yang tinggi yaitu sebesar 235.675±1.110 g/L dan terendah pada perlakuan dengan umbi parut ubi jalar yaitu sebesar 174.705±0.926 g/L (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa pada proses likuifikasi dan sakarifikasi enzim penghidrolisis pati dalam hal ini enzim α-amylase dan enzim amiloglukosidase memecah pati menjadi glukosa secara sempurna. Proses hidrolisis secara enzimatik meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini pati dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan gula kompleks. Pada tahap likuifikasi dilakukan penambahan enzim α-amilase untuk memotong ikatan α-1,4 glikosida pati menjadi dekstrin. Likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Adanya proses gelatinisasi menyebabkan ikatanikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim menjadi lebih mudah. Tabel 7. Konversi bentuk bahan baku ubi jalar menjadi sirup glukosa ubi jalar Rata-Rata Perlakuan Berat bahan Volume akhir Total Gula Berat Gula Efesiensi (bahan) (bk) (g) Sirup (L) (g/L) Akhir (g) (%) 2.775± 174.705± 484.815± 22.434 ± a 2161 0.018 0.936 5.783 0.268 2.861± 206.175± 589.857± 27.296 ± b 2161 0.034 0.559 5.399 0.249 2.682± 235.675± 632.068± 63.207 ± c 1000 0.049 1.110 2.022 0.202 2.119± 193.060± 408.999± 40.899 ± d 1000 0.002 0.933 2.388 0.293 Keterangan : a : umbi parut ubi jalar b : pati basah ubi jalar c : pati kering ubi jalar d : tepung ubi jalar Richana (2009b) menyatakan bahwa enzim α-amilase merupakan enzim yang aktif dalam proses likuifikasi. Cara kerja α-amilase melalui dua tahap, pertama degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Kedua pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir secara tidak acak dan relatif lambat. Keduanya merupakan kerja enzim α-amilase pada molekul amilosa saja. Kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang mengandung ikatan α-1,6. Ditambahkan oleh Musanif (2007), pada proses sakarifikasi yaitu hidrolisis pati (amilosa dan amilopektin) menjadi glukosa. Enzim amiloglukosidase merupakan enzim yang berperan dalam proses sakarifikasi. Enzim ini menghidrolisis ikatan 1,4 α- glikosida dari pati dan oligosakarida menjadi unit-unit glukosa. Kecepatan hidrolisis tergantung pada panjang rantai molekul. Misalnya maltodekstrosa dan oligosakarida dengan bobot molekul lebih tinggi akan dihidrolisis lebih cepat dari maltosa. Amiloglukosidase juga dapat menghidrolisis ikatan 1,6 glikosida. Pada perlakuan umbi parut ubi jalar nilai total gula yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh dari bahan baku yang digunakan yaitu umbi parut ubi jalar dimana pada saat proses hidrolisis komponen pati yang terdapat dalam umbi parut ubi jalar tidak dapat dipecah menjadi unit-unit glukosa secara sempurna oleh enzim karena terdapat komponen-komponen lain selain pati yang terdapat pada umbi parut ubi jalar yang dapat menghambat kinerja enzim dalam menghidrolisis pati menjadi glukosa. Enzim bekerja secara spesifik yang artinya bahwa setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Enzim αamilase dan amiloglukosidase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Efisiensi tertinggi pada konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa diperoleh pada perlakuan ketiga yaitu pati kering ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukosa dengan nilai efisiensi sebesar 63.207±0.202% dan terendah pada perlakuan umbi parut ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukosa dengan nilai efisiensi 22.434 ± 0.268%. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses likuifikasi dan sakarifikasi enzim bekerja dengan efisien dalam mengkonversi pati kering ubi jalar menjadi sirup glukosa. Sedangkan pada umbi parut ubi jalar memiliki nilai efisiensi yang rendah disebabkan oleh pada umbi parut ubi jalar masih terdapat kandungan serat yang tinggi sehingga enzim α-amilase dan amiloglukisidase tidak dapat memecah komponen pati menjadi glukosa secara sempurna sehingga dimungkinkan masih terdapat pati yang tidak terkonversi dan terikut dengan ampas. Pada perlakuan tepung menjadi sirup glukosa diperoleh nilai efisiensi yang rendah dibandingkan dengan pati kering ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan lainnya seperti serat, protein, lemak, yang tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh enzim dalam memecah komponen tepung menjadi sirup glukosa. Dengan adanya partikel pati yang tidak larut yang terbentuk selama proses dapat menghambat proses dalam penyaringan sirup glukosa sehingga hasil yang diperoleh kurang efisien. Nilai efisiensi konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa pada Tabel 7 menunjukkan bahwa bahan umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar dan tepung ubi jalar juga memiliki potensi yang besar untuk dijadikan bahan baku pembuatan sirup glukosa ubi jalar selain bahan baku pati ubi jalar yang umumnya digunakan dalam pembuatan sirup glukosa. Dari segi proses kerja, pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari umbi parut ubi jalar dan pati basah ubi jalar lebih mudah dan lebih singkat karena tidak memerlukan proses pengeringan untuk mendapatkan pati kering ataupun tepung ubi jalar. 4.4 Kultivasi Fed Batch Terekayasa Pada penelitian ini, proses produksi etanol dilakukan melalui fermentasi secara fed batch terekayasa dengan lima perlakuan variasi konsentrasi substrat yang ditambahkan ke dalam media fermentasi awal. Pada awal fermentasi terlebih dahulu dilakukan fermentasi secara batch atau nir sinambung. Sistem fed batch terekayasa ini dilakukan dengan penambahan substrat baru ke dalam media fermentasi pada saat biomassa telah mencapai kondisi optimum. Son et al. (2007) menyatakan bahwa sistem fed batch merupakan kultur batch yang diumpankan dengan media secara kontinyu atau berurutan tanpa pengambilan cairan kultur sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Pada sistem fed batch terekayasa dilakukan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan. Variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch ini dimaksudkan untuk mengetahui konsentrasi substrat yang optimal dimanfaatkan oleh S. cerivisiae dalam membentuk sel atau produk yang lebih banyak. Konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi sistem fed batch terekayasa yaitu konsentrasi substrat 4%, 8%, 12%, 16% dan 20%. Higgins (1984) menyatakan bahwa gula yang paling baik digunakan untuk proses fermentasi adalah 16-25% dimana akan dihasilkan etanol sebesar 6-12%. Paturau (1981) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang digunakan dalam fermentasi alkohol berkisar 14-18%. Mikroorganisme yang digunakan pada penelitian ini adalah khamir S. cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC (Kartika et al. 1992). Khamir S. cerevisiae dapat tumbuh sampai pada suhu 40oC, tetapi pada suhu 42oC pertumbuhan khamir dihentikan dan massa sel-sel akan mati pada suhu 43oC (Mensonides et al. 2002). Penggunaan S. cerevisiae dalam produksi etanol secara fermentasi telah banyak dikembangkan di beberapa negara, seperti Brasil, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat (Elevri dan Putra 2006). Khamir S. cerevisiae merupakan top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC (Frazier dan Westhoff 1978), dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi (12-18% v/v) (Harrison dan Graham 1970). Proses kultivasi menggunakan reaktor 2 liter dengan volume substrat 600 ml pada awal kultivasi sistem batch. Penggunaan bioreaktor pada penelitian ini dengan tujuan mendapatkan lingkungan yang sesuai (pengontrolan pH, suhu, aerasi dan agitasi) untuk mikroorganisme yaitu S. cerevsiae dalam mengkonversi sirup glukosa menjadi etanol dengan hasil yang maksimal. Proses kultivasi dilakukan selama 72 jam untuk semua perlakuan variasi konsentrasi substrat dimana setiap 6 jam dilakukan pengambilan sampel dan pengamatan larutan fermentasi. Fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam atau 3-7 hari pada suhu 25-30 oC (Paturau 1981). Kultivasi fed batch terekayasa dapat dilihat pada Gambar 08. Media fermentasi (kondisi awal) Pengukur aerasi (a) pompa peristaltik Substrat yang diumpankan Media fermentasi (saat penambahan substrat) (b) Gambar 08. Kultivasi fed batch terekayasa : (a). Sebelum penambahan substrat (batch); (b). Penambahan substrat yang diumpankan (fed batch) Perlakuan pertama (konsentrasi substrat 20%), proses awal kultivasi dilakukan dengan sistem batch dengan konsentrasi substrat 24%. Penggunaan konsentrasi substrat 24% pada kultivasi sistem batch didasarkan pada hasil penelitian Wahyuni (2008) yang melaporkan bahwa konsentrasi substrat 24% merupakan konsentrasi gula yang optimal digunakan oleh S.cerevisiae untuk hidup dan menghasilkan kadar etanol yang paling tinggi. Pada kultivasi sistem batch dilakukan aerasi dan agitasi pada 18 jam awal. Aerasi dilakukan bertujuan untuk menyediakan O2 dalam jumlah yang cukup pada mikroba agar kebutuhan metaboliknya terpenuhi (Sa’id 1985). Sedangkan agitasi dilakukan dengan tujuan agar suspensi sel mikroba tetap seragam dan berada pada medium pertumbuhan yang homogeny (Hollaender 1981). Menurut Stanbury dan Whitaker (1984) agitasi berfungsi untuk meningkatkan luasan yang memungkinkan untuk transfer oksigen dengan cara menguraikan udara dalam cairan media ke dalam bentuk gelembung-gelembung kecil, memperlambat hilangnya gelembung-gelembung udara dalam cairan, melindungi penggabungan gelembung udara, dan menurunkan ketebalan lapisan cairan pada permukaan gas atau cairan dengan cara melakukan gerakan putaran di dalam cairan media. Pada saat biomassa mencapai maksimal yaitu pada jam ke-18 dilakukan penghentian aerasi akan tetapi agitasi tetap dilakukan, serta dilakukan penambahan substrat dengan konsentrasi substrat 20%. Penambahan substrat ini dimaksudkan agar substrat yang ditambahkan dalam hal ini glukosa dapat dimanfaatkan oleh S.cerevisiae untuk menghasilkan produk. Penambahan substrat ini dilakukan dengan menggunakan pompa peristaltik dengan kecepatan sesuai atau lebih kecil dari nilai µ maks (0.01 jam-1). Perubahan biomassa, etanol dan etanol selama fermentasi disajikan pada Gambar 09. Penghentian aerasi pada jam ke-18 (biomassa maksium) dilakukan karena pada saat biomassa mencapai kondisi yang maksimum, substrat yang tersedia tidak lagi digunakan untuk pembentukan sel melainkan untuk pembentukan produk yaitu etanol. Kondisi ini sesuai dengan sifat khamir yang anaerobik fakultatif, dimana pada kondisi yang oksigennya tinggi (aerobik), maka khamir melakukan respirasi dan akan mengubah gula yang ada menjadi CO2 dan H2O dengan pembentukan sel. Sedangkan pada kondisi tidak ada oksigen (anaerobik) khamir akan melakukan proses fermentasi anaerobik dimana gula yang ada akan dikonversi menjadi alkohol dan CO2. Khanal (2008) menyatakan bahwa pada fermentasi anaerobik, zat-zat organik dikatabolisme tanpa kehadiran oksigen yang berarti tidak adanya akseptor elektron eksternal melainkan melalui keseimbangan reaksi oksidasi-reduksi internal. Produk dihasilkan selama proses penerimaan elektron yang dilepaskan saat pemecahan zar-zat organik. Oleh karenanya, zat-zat organik tersebut berperan sebagai akseptor dan donor elektron. Pada fermentasi, substrat hanya dioksidasi sebagian dan hanya sedikit energi yang bisa dihasilkan. Glukosa sebagai substrat akan melepaskan elektron saat dirubah menjadi piruvat, namun elektron tersebut kemudian akan diambil oleh piruvat untuk menjadi etanol. Gambar 09. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20% Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat 20% biomassa mengalami peningkatan yang relatif konstan setelah dilakukan penambahan substrat pada jam ke-18. Terjadi penurunan total gula dari 241.871±0.025 g/L menjadi 6.068±0.081 g/L. Etanol mengalami peningkatan yaitu dari 3.302±0.615% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 10.858±0.003% (v/v) pada akhir fermentasi fed batch terekayasa. Menurut Judoamidjojo et al. (1989) fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerobik dengan menggunakan khamir tertentu yang dapat mengkonversi glukosa menjadi etanol melalui jalur glikolisis EMP. Dari satu molekul glukosa akan terbentuk 2 molekul etanol dan CO2, sehingga berdasarkan bobotnya secara teoritis 1 gram glukosa akan menghasilkan 0.51 gram etanol. Bila konsentrasi gula 20% akan menghasilkan jumlah etanol sebesar 10.2%. Nilai kadar etanol yang dihasilkan pada konsentrasi substrat 20% yaitu 10.858±0.003% (v/v). Perlakuan kedua (konsentrasi substrat 16%), proses kultivasi awal yang dilakukan sama halnya dengan perlakuan pertama, yang berbeda hanya pada konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi fed batch terekayasa. Pada jam ke-18, dilakukan penghentian aerasi akan tetapi agitasi tetap dilakukan, kemudian dilakukan penambahan subtrat dengan konsentrasi 16%. Penambahan subsrat dilakukan secara fed batch terekayasa. Perubahan biomassa, total gula dan etanol pada perlakuan kedua ini disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 16% Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat 16% biomassa mengalami peningkatan yang relatif konstan setelah dilakukan penambahan substrat pada jam ke-18. Terjadi penurunan total gula dari 241.853±0.495 g/L menjadi 7.634±0.049 g/L. Etanol mengalami peningkatan yaitu dari 3.56±0.146% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 8.834±0.195% (v/v) pada akhir fermentasi fed batch terekayasa. Nilai kadar etanol secara teoritis dengan konsentrasi gula 16% adalah 8.16 g/L. Perlakuan ketiga (konsentrasi substrat 12%), proses kultivasi awal yang dilakukan sama halnya dengan perlakuan pertama dan kedua, yang berbeda hanya konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi fed batch terekayasa. Konsentrasi substrat yang ditambahkan pada jam ke-18 setelah dilakukan penghentian aerasi yaitu konsentrasi substrat 12%. Penambahan subsrat dilakukan secara fed batch terekayasa. Perubahan biomassa, total gula dan etanol pada perlakuan ketiga ini disajikan pada Gambar 11. Gambar 11. Perubahan biomassa, total gula dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 12% Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat 12% biomassa mengalami peningkatan yang relatif konstan setelah dilakukan penambahan substrat pada jam ke-18. Terjadi penurunan total gula dari 240.454±0.989 g/L menjadi 5.423±0.062 g/L. Sedangkan etanol mengalami peningkatan dari 3.653±0.083% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 7.474±0.161% (v/v) pada akhir fermentasi fed batch terekayasa. Nilai kadar etanol secara teoritis dengan konsentrasi gula 12% adalah 6.12%. Perlakuan keempat (konsentrasi substrat 8%), proses kultivasi awal yang dilakukan sama halnya dengan perlakuan pertama, kedua dan ketiga, yang berbeda hanya konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi fed batch terekayasa. Konsentrasi substrat yang ditambahkan pada jam ke-18 setelah dilakukan penghentian aerasi yaitu konsentrasi substrat 8%. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol pada perlakuan keempat ini disajikan pada Gambar 12. Gambar 12. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 8% Selama proses fermentasi pada perlakuan keempat terjadi penurunan total gula. Penurunan total gula terjadi pada awal fermentasi hingga akhir fermentasi, nilai total gula menurun dari 241.086±0.742 g/L menjadi 4.507±0.037 g/L. Biomassa pada perlakuan ini mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Pada perlakuan ini terjadi peningkatan etanol dari 3.484±0.121% (v/v) menjadi 5.633±0.053% (v/v). Nilai kadar etanol secara teoritis dengan konsentrasi gula 8% adalah 4.08%. Perlakuan kelima pada penelitian ini adalah penambahan susbtrat dengan konsentrasi substrat yang ditambahkan sebesar 4%. Konsentrasi substrat yang ditambahkan ini merupakan konsentrasi substrat yang terendah dari keempat perlakuan. Dengan konsentrasi substrat yang rendah diduga S.cerevisiae dapat memanfaatkan substrat secara optimal untuk pembentukan etanol. Perubahan biomassa, total gula dan etanol pada perlakuan kelima ini disajikan pada Gambar 13. Gambar 13. Perubahan biomassa, total gula, dan pH selama fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 4% Selama proses fermentasi pada perlakuan kelima yaitu penambahan substrat pada konsentrasi 4% mengalami penurunan total gula dari 241.784±0.927 g/L menjadi 4.941±0.019 g/L. Nilai kadar etanol yang dihasilkan pada perlakuan, pada jam ke-18 yaitu sebesar 3.213±0.274% (v/v) dan pada jam ke-72 yaitu sebesar 5.194±0.195% (v/v). Biomassa pada perlakuan ini dari awal fermentasi hingga akhir fermentasi tidak mengalami peningkatan yang cepat. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi substrat glukosa yang digunakan pada fermentasi terlalu rendah. Konsentrasi glukosa yang terlalu rendah berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikroba untuk pembentukan sel dan produk. Laju pertumbuhan mikrobial dipengaruhi oleh konsentrasi komponen-komponen penyusun media pertumbuhannya (Sa’id 1985). Konsentrasi glukosa terlalu rendah akan menyebabkan mikroba kekurangan nutrien dan proses fermentasi tidak ekonomis sehingga penggunaan fermentor tidak efisien. Konsentrasi gula yang baik untuk fermentasi etanol adalah konsentrasi gula 16-25% (Higgins 1984). Pada penelitian ini, dilakukan juga kultivasi fed batch tanpa penghentian aerasi. Pada saat kondisi biomassa maksimum, aerasi dan agitasi tetap dilakukan. Konsentrasi substrat yang diumpankan adalah konsentrasi substrat yang menghasilkan kadar etanol tertinggi pada sistem fed batch terekayasa dengan stop aerasi yaitu konsentrasi substrat 20%. Perlakuan ini dilakukan untuk membandingkan kadar etanol yang dihasilkan pada konsentrasi substrat 20% dengan sistem fed batch tanpa rekayasa dengan terekayasa. Perlakuan penambahan substrat konsentrasi 20% (aerasi), proses awal kultivasi dilakukan dengan sistem batch dengan konsentrasi substrat 24%, pada saat biomassa mencapai maksimal yaitu pada jam ke-18 dilakukan penambahan substrat dengan konsentrasi substrat 20% tanpa penghentian aerasi. Penambahan substrat dilakukan secara fed batch. Substrat yang diumpankan diharapkan dapat dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol dengan konsentrasi yang tinggi. Perubahan biomassa, total gula dan etanol pada konsentrasi substrat 20% (aerasi) disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan sistem fed batch (aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20% Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat 20% (aerasi) terjadi peningkatan biomassa setelah penambahan substrat. Substrat yang ditambahkan digunakan untuk pertumbuhan dan penggandaan sel. Pada perlakuan ini terjadi penurunan total gula dari 240.839±1.112 g/L menjadi 9.813±0.019 g/L. Sedangkan etanol mengalami peningkatan dari 3.089±0.100% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 7.145±0.057% (v/v) pada akhir fermentasi fed batch. Nilai kadar etanol secara teoritis pada konsentrasi gula 20% adalah 10.2%. Konsentrasi etanol yang dihasilkan pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi etanol pada sistem fed batch terekayasa (stop aerasi). Hal ini disebabkan oleh adanya perlakuan aerasi yang dilakukan sehingga mikroba berada pada jalur respiratif dengan lebih cenderung melakukan penggandaan dan pembentukan sel sehingga produk yang dihasilkan lebih rendah. Ikhtiarudin (2009) menyatakan bahwa fermentasi aerobik merupakan fermentasi tidak secara lengkap menguraikan glukosa menjadi CO2 dan H2O. Energi yang dihasilkan melalui proses fermentasi juga sangat sedikit. Koenzim yang menyertai reaksi, yaitu NAD+ yang dihasilkan pada tahap akhir fermentasi juga sedikit. 4.4.1 Total Gula Hasil fermentasi yang dilakukan pada sistem fed batch terekayasa dengan variasi konsentrasi yang diumpankan secara keseluruhan dapat dijelaskan yaitu dari semua perlakuan terlihat bahwa terjadi penurunan konsentrasi gula. Sirup glukosa ubi jalar yang digunakan sebagai substrat fermentasi, pada kondisi aerob dimanfaatkan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi sel sehingga pada kondisi ini aerasi sangat diperlukan karena ketersediaan oksigen sangat berpengaruh besar dalam fermentasi aerob untuk mensuplai kebutuhan oksigen bagi aktivitas metabolik mikroorganisme. Pada kondisi anaerob, glukosa dimanfaatkan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi etanol. Oleh karena itu, seiring berjalannya waktu fermentasi maka kadar gula dari substrat akan semakin menurun karena mikroba memanfaatkan substrat untuk pembentukan produk. Menurut Judoamidjojo et al. (1989), fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerob. Dengan menggunakan khamir tertentu, akan mengubah glukosa menjadi etanol melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas Pathway (EMP). Dari 1 molekul glukosa akan terbentuk 2 molekul etanol dan CO2 sehingga berdasarkan bobotnya secara teoritis 1 gram glukosa akan menghasilkan 0.51 gram etanol. Oksigen dibutuhkan untuk memproduksi Adenosin Trifosfat (ATP) pada glikolisis dan pada fosforilasi oksidatif. Bila tidak ada oksigen (anaerob), NADH dalam mitokondria tidak dapat dioksidasi kembali, maka pembentukan ATP, daur asam sitrat serta pemecahan nutrisi lain juga terhenti. Sebagai substrat energi tetap hanya glukosa yang pemecahannya menjadi piruvat melalui glikolisis menghasilkan dua molekul ATP (Hepworth 2005; Nowak 2000; Tao et al. 2005). Pada sistem fed batch terekayasa, laju fermentasi ditandai dengan laju penurunan konsentrasi gula terjadi lebih cepat pada fase-fase awal sampai memasuki jam ke-18 dan umumnya setelah jam ke-18 laju penurunan konsentrasi gula relatif lambat. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya akumulasi etanol, asam yang cukup tinggi dan semakin terbatasnya konsentrasi substrat. Etanol dapat menghambat fermentasi dengan mekanisme penghambatan produk, sedangkan asam dapat menurunkan pH sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal (You et al. 2003; Pamphula dan Dias 1989). Pada konsentrasi etanol 1-2% (b/v) sudah cukup menghambat pertumbuhan dan pada konsentrasi etanol 10% (b/v) laju pertumbuhan hampir terhenti (Clark dan Mackie, 1984). Etanol merupakan racun bagi khamir. Pada kebanyakan galur, produksi dan pertumbuhan etanol terhenti pada konsentrasi etanol 110-180 g/l (Richana 2009b). 4.4.2 Biomassa Pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan, biomassa pada semua perlakuan setelah penambahan substrat cenderung mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan sel tidak bertambah, substrat yang digunakan berkurang, sel memanfaatkan substrat yang diumpankan selain untuk membentuk sel baru, juga digunakan untuk pembentukan produk yaitu etanol. Menurut Wang (2002), mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktivitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan. Pertumbuhan terjadi bila kondisi optimum fisik dan kimiawi tercapai misalnya suhu, pH, dan ketersediaan nutrisi sesuai dengan kebutuhan mikroba. Penambahan substrat pada sistem fed batch terekayasa dilakukan pada jam ke-18 yaitu disaat pembentukan biomassa maksimal atau akhir sistem batch. Biomassa maksimal terjadi pada awal fase stasioner dimana pada fase ini persediaan substrat semakin berkurang, pertumbuhan sel tidak diimbangi dengan nutrisi yang cukup. Sehingga dengan penambahan substrat baru pada awal fase stasioner diharapkan dapat digunakan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi sel dan produk yang lebih banyak. Fase statisioner merupakan fase pertumbuhan mikroba dimana jumlah sel mati sama dengan jumlah sel hidup Pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologis yang saling mempengaruhi secara berurutan. Fase pertumbuhan dimulai pada fase permulaan, fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial), fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian dipercepat, dan fase kematian logaritma. Menurut Stanbury dan Whitaker (1984), setelah inokulasi kultur ke media, terjadi suatu periode dimana kultur yang dimasukkan tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, fase ini disebut dengan fase adaptasi. Pada fase ini, mikroorganisme membelah dengan cepat. Semua sel mempunyai kemampuan untuk berkembang biak dan tidak terdapat penghambat pertumbuhan lambat (Judoamidjojo et al. 1989). Ditambahkan oleh Rehm dan Reid (1981) di dalam Macfud et al. (1989), bahwa lama fase adaptasi dan pertumbuhan lambat sulit ditentukan karena tidak hanya tergantung pada jumlah inokulum yang diinokulasikan tetapi juga pada karakteristik metaboliknya, seperti “umur” dan “keadaan fisiologik”nya. Selanjutnya fase pertumbuhan lambat, Menurut Fardiaz (1988), fase pertumbuhan lambat ditandai dengan pertumbuhan populasi mikroorganisme diperlambat karena beberapa faktor diantaranya zat-zat nutrisi dalam media yang sudah berkurang, serta adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selanjutnya, mikroorganisme akan memasuki fase stasioner, dimana pada fase ini laju pertumbuhan menurun akibat persediaan substrat (nutrien) berkurang dan terjadi akumulasi zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan. Pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati (Stanburry dan Whitaker 1984). Pada fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut (Assegaf 2009). 4.4.3 Nilai pH Pada semua perlakuan menunjukkan adanya penurunan pH substrat. Hal ini berkaitan dengan adanya konsumsi glukosa melalui proses glikolisis dan akumulasi senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi. Senyawa asam-asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan asam piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H+. Adanya ion H+ ini berpengaruh terhadap penurunan pH substrat. Secara keseluruhan proses glikolisis dapat dilihat dari persamaan berikut ini : Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi Æ 2 piruvat + 2 ATP + 2 NADH + 2 H+ Asam piruvat yang terbentuk ini akan diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh dehidrogenase. Menurut Rehm dan Reed (1983), asam sebagai hasil samping fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik lainnya berperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam lainnya hanya berpengaruh sedikit. Nilai pH yang rendah pada akhir fermentasi menunjukkan bahwa asam yang terbentuk pada akhir fermentasi semakin banyak dan menumpuk. Penumpukan asam ini disebabkan oleh sel S.cerevisiae tidak dapat mengkoversi asam-asam tersebut terutama asam piruvat menjadi etanol. Menurut Hartoto dan Sailah (1992), kondisi medium seperti pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme. Tingkat medium pH juga mempengaruhi produk yang dibentuk, selain mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. 4.4.4 Kadar Etanol Pada kultivasi fed batch terekayasa dengan variasi konsentrasi substrat yang diumpankan, konsentrasi etanol pada semua perlakuan mengalami peningkatan hingga akhir fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat fermentasi pada kondisi anaerobik dimanfaatkan oleh S. cerevisiae membentuk produk. Prasad et al. (2006) menyatakan bahwa pada fermentasi anaerobik melalui jalur EMP yaitu glukosa dikonversi menjadi asam piruvat. Asam piruvat yang terbentuk ini akan diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya diubah menjadi alkohol oleh dehidrogenase. Selama proses berlangsung dua molekul Adenosin Difosfat (ADP) diubah menjadi ATP. Selanjutnya ATP tersebut diregenerasi kembali menjadi ADP, dan pada akhir proses fermentasi menghasilkan dua mol ATP. Nilai kadar etanol pada perlakuan pertama yaitu konsentrasi substrat 20% (stop aerasi) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. Nilai kadar etanol yang diperoleh yaitu 10.858±0.003% (v/v) atau 8.610±0.002% (b/v). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat fermentasi dengan konsentrasi 20% digunakan oleh khamir S. cerevisiae untuk memproduksi etanol sebanyak-banyaknya. Sree et al. (2000) melaporkan bahwa pada produksi etanol menggunakan khamir S. cerevisiae US3 dengan konsentrasi substrat yang berbeda-beda, konsentrasi substrat glukosa 20% memiliki konsentrasi etanol tertingi yaitu 9.30% (b/v) dibandingkan dengan konsentrasi substrat glukosa 15% (7.25%, b/v) dan konsentrasi substrat glukosa 25% (8.3%, b/v). Gaur (2006) menyebutkan bahwa kondisi terbaik untuk produksi etanol adalah pada konsentrasi glukosa 20% dengan konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 9.15% (b/v). Dodic et al. (2009) melaporkan bahwa konsentrasi gula yang optimal untuk produksi bioetanol menggunakan S. cereviasiae adalah konsentrasi gula 20% pada suhu 30oC, pH 5.0 dan agitasi 200 rpm diperoleh konsentrasi etanol maksimum sebesar 12% (v/v). Abedenifar et al. (2009) menyebutkan bahwa pada kultivasi anaerobik dengan konsentrasi gula 20% pada suhu 30oC diperoleh etanol sebesar 0.35 g etanol/g pati. Nilai kadar etanol pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi pada konsentrasi substrat 20% menunjukkan kadar etanol lebih tinggi dibandingkan dengan kadar etanol pada sistem fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20%. Nilai kadar etanol pada konsentrasi substrat 20% dengan perlakuan aerasi yaitu 7.145±0.057% (v/v) atau 5.666±0.455% (b/v). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan fed batch terekayasa dalam hal ini penghentian aerasi dapat menghasilkan kadar etanol lebih tinggi dibandingkan dengan fed batch tanpa rekayasa yaitu dengan aerasi. Caylak dan Vardar Sukan (1998) melaporkan pada produksi etanol menggunakan S. cerevisiae, fermentasi fed batch memberikan hasil etanol yang lebih baik dibandingkan dengan fermentasi batch yaitu pada konsentrasi substrat 100 g/l dengan waktu fermentasi 96 jam diperoleh yield dan efisiensi masing-masing sebesar 49.07% dan 96.22%. Sedangkan pada sistem batch dengan kondisi yang sama diperoleh yield dan efisiensi masing-masing sebesar 43.96% dan 86.19%. Bro et al. (2006) menyebutkan bahwa pada kondisi anaerobik produksi etanol yang dihasilkan adalah 4.2 – 10.4% untuk etanol dan 5.2 – 16.5% untuk biomassa. Zhang et al. (2009) melaporkan bahwa konsentrasi etanol tertinggi pada produksi etanol dari tongkol jagung kering dengan proses fermentasi fed batch SSF selama 96 jam, pada sistem fed batch 84.7 g/l dengan waktu fermentasi dan pada sistem batch diperoleh konsentrasi etanol sebesar 69.2 g/l dengan waktu fermentasi yang sama. Pranamuda (2006) melaporkan kadar etanol yang diperoleh pada kultivasi fed batch dengan menggunakan sagu sebagai substrat fermentasi yaitu 30 g/l dengan nilai Yp/s sebesar 0.40 g etanol/g pati. Pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi nilai kadar etanol pada perlakuan konsentrasi substrat 8% dan konsentrasi substrat 4% yaitu masing-masing sebesar 5.634±0.531% (v/v) atau 4.467±0.421% (b/v) dan 5.194±0.195% (v/v) atau 4.119±0.155% (b/v). Nilai kadar etanol yang dihasilkan pada kedua perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi glukosa yang diumpankan terlalu rendah sehingga kebutuhan nutrisi khamir kurang terpenuhi dan produk yang dihasilkan tidak efisien. Konsentrasi glukosa yang rendah mengakibatkan kinerja khamir dalam memproduksi etanol menjadi rendah. Neves et al. (2007) melaporkan bahwa produksi etanol menggunakan Zymomonas mobilis, penghambatan substrat terjadi pada konsentrasi 4% - 8 %. Paturau (1981) menyebutkan bahwa konsentrasi gula yang digunakan berkisar antara 14% - 18%. Konsentrasi gula rendah (>3 g/l) produktivitas khamir menurun, diatas 150 g/l (konsentrasi gula tinggi) gula akan menghambat proses fermentasi (Richana 2009b). 4.5 Perhitungan Kinetika Fermentasi Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses biokonversi nutrisi dalam fermentasi menjadi massa sel dan atau produk metabolit lainnya (Wang et al. 1979). Yield atau rendemen biomassa (Yx/s), rendemen produk per substrat (Yp/s) dan rendemen produk per biomassa (Yp/x), P (produk), efisiensi substrat (S0-S/S0) merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa atau produk dan biomassa menghasilkan produk. Masing-masing proses konversi dapat dikuantitatifkan oleh koefisien hasil sebagai massa sel atau hasil yang terbentuk per satuan massa nutrient yang dikonsumsi. Perbandingan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, X, P, S0S/S0 dari jam ke-0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi dan aerasi dapat dilihat pada Tabel 8. Sedangkan data pendukung kinetika fermentasi yaitu nilai X, P, dan S disajikan pada Lampiran 16. Hasil perhitungan peningkatan kinetika fermentasi dari jam ke-0 sampai jam ke-72 pada Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi substrat 20% (stop aerasi) peningkatan nilai Yx/s lebih kecil yaitu hanya 0.1894 kali dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi) yaitu sebesar 1.4 kali. Sedangkan nilai peningkatan Yp/s, Yp/x, P, S0-S/S0 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa penghentian aerasi yaitu masing-masing sebesar 3.9502 kali, 20.6807 kali, 3.2883 kali dan 1.5144 kali. Nilai Yx/s menunjukkan rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan sel. Nilai Yx/s yang rendah menunjukkan bahwa khamir S. cerevisiae lebih memanfaatkan substrat yang ditambahkan untuk membentuk produk, hal ini dapat dilihat dari nilai kadar etanol yang dihasilkan pada akhir fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan aerasi (fed batch normal). Nilai peningkatan Yp/s dan Yp/x dengan perlakuan tanpa penghentian aerasi pada konsentrasi 20% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penghentian aerasi pada konsentrasi yang sama (20%). Hal ini menunjukkan bahwa substrat tidak sepenuhnya dikonversi menjadi etanol, karena kondisi fermentasi yang diberikan yaitu aerobik dimana pada kondisi ada oksigen khamir lebih cenderung melakukan pertumbuhan dan pembelahan sel sehingga etanol yang terbentuk kurang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari nilai peningkatan X nya lebih tinggi dibandingkan dengan stop aerasi (1.2076 kali). Tabel 8. Perbandingan Peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, dan S0-S/S0 dari jam ke- 0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi dan aerasi Perlakuan 20% Jam Ke0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 20% Peningkatan (kali) 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) X P Y x/s Y p/s Y p/x S0-S/S0 5.613±0.016 7.049±0.008 7.208±0.008 1.0225 5.541±0.021 7.441±0.081 8.986±0.015 1.2076 0 3.302±0.0615 10.858±0.003 3.2883 0 3.089±0.100 7.145±0.057 2.3130 0 0.0095±0.0001 0.0018±0.0002 0.1894 0 0.0130±0.0002 0.0182±0.0006 1.4 0 0.0221±0.0041 0.0873±0.0072 3.9502 0 0.0212±0.0009 0.0477±0.001 2.25 0 2.3211±0.471 48.002±0.901 20.6807 0 1.6267±0.097 2.6285±0.139 1.6158 0 0.6170±0.0007 0.9344±0.0007 1.5144 0 0.6064±0.0054 0.8964±0.0011 1.4782 Efisiensi pemakaian substrat pada konsentrasi substrat 20% (stop aerasi) lebih tinggi yaitu sebesar 1.5144 kali dibandingkan dengan konsentrasi substrat 20% (aerasi). Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem fed batch stop aerasi, pada biomassa maksimal, kondisi dibuat tanpa ada oksigen yaitu aerasi dihentikan namun agitasi tetap dilakukan, khamir S. cerevisiae melakukan perubahan kondisi pertumbuhan (switching condition) yaitu dari aerobik ke anaerobik, pada kondisi anaerobik S.cerevisiae melakukan aktivitas metaboliknya dengan memproduksi sel dan produk melalui jalur fermentatif yaitu mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2. Pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan penghentian aerasi pada konsentrasi substrat 20% menunjukkan hasil yang optimal untuk pembentukan produk yaitu etanol dibandingkan dengan perlakuan tanpa penghentian aerasi (normal fed batch) pada konsentrasi yang sama (20%). Hal ini disebabkan oleh adanya perlakuan rekayasa bioproses yaitu penghentian aerasi dari jam ke-18 hingga akhir fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa. Rekayasa bioproses yang dilakukan dapat meningkatkan konsentrasi produk yang dihasilkan yaitu etanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa rekayasa bioproses dengan fermentasi secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk sebesar 1.422 kali. Wahyuni (2008) menyebutkan bahwa rekayasa bioproses dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang diperoleh, pada sistem fed batch dengan perlakuan penghentian aerasi dan agitasi tetap dilakukan terjadi peningkatan nilai kadar etanol dari 10.27±0.424% (v/v) menjadi 21.385% (v/v) yang berarti bahwa terjadi peningkatan kadar etanol sebesar 2.082 kali. Rekayasa bioproses yang dimaksud adalah pengaturan kondisi aerasi dan agitasi serta sistem batch maupun fed batch. Chandel et al. (2006) melaporkan bahwa fermentasi etanol dengan menggunakan sistem fed batch dapat meningkatkan kadar etanol yang diperoleh yaitu dapat meningkatkan kadar etaol sebesar 2.92 kali, dimana pada sistem fed batch diperoleh konsentrasi etanol sebesar 28.5±0.46 g/l (3.59% v/v) dan pada sistem batch diperoleh konsentrasi etanol sebesar 9.74±0.1 g/l (1.227% v/v). Pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi, pada perlakuan pertama yaitu perlakuan konsentrasi substrat 20% menunjukkan nilai peningkatan Yx/s paling rendah dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya dan nilai peningkatan Yp/s, Yp/x, dan S0-S/S0 paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Perbandingan Peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, X, P, dan S0-S/S0 dari jam ke- 0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi disajikan pada Tabel 9. Sedangkan data pendukung kinetika fermentasi yaitu nilai X, P, dan S disajikan pada Lampiran 16. Pada sistem fed batch terekayasa dengan stop aerasi menunjukkan hasil bahwa perlakuan konsentrasi substrat 20% memiliki nilai peningkatan Yp/x lebih tinggi dari keempat perlakuan lainnya. Nilai Yp/x tersebut menunjukkan efisiensi pemanfaatan substrat dalam menghasilkan produk. Hal ini menunjukkan bahwa substrat glukosa dengan konsentrasi 20% yang ditambahkan ke dalam media fermentasi sebelumnya dikonversi secara maksimal oleh S.cerevisiae membentuk alkohol (etanol) sehingga nilai peningkatan Yp/x mencapai 20.6807 kali dengan nilai peningkatan produk (P) dan nilai peningkatan efisiensi (S0-S/S0) masingmasing sebesar 3.2883 kali dan 1.5144 kali. Nilai peningkatan Yp/x terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 4% yaitu 3.674 kali. Hal ini menunjukkan bahwa glukosa yang ditambahkan tidak digunakan secara maksimal oleh S.cerevisiae untuk menghasilkan etanol karena selain memproduksi sel juga digunakan untuk memproduksi etanol, hal ini dapat diihat dari nilai peningkatan Yx/s yang diperoleh lebih tinggi yaitu 0.3607 kali dibandingkan dengan perlakuan pertama. Selain itu, konsentrasi glukosa yang ditambahkan terlalu rendah sehingga berpengaruh terhadap kadar etanol yang dihasilkan. Nilai peningkatan Yx/s tertinggi pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 16% yaitu 0.6197 kali. Nilai Yx/s tersebut menunjukkan bahwa kemampuan S.cerevisiae dalam mengkonversi substrat menjadi biomassa pada perlakuan penambahan substrat dengan konsentrasi 16% lebih baik dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa substrat yang diumpankan digunakan oleh S.cerevisiae untuk membentuk sel sebanyak-banyaknya. Sedangkan nilai peningkatan Yx/s terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 20% yaitu 0.1894 kali. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi substrat 20%, sel yang terbentuk hanya sedikit akan tetapi dengan biomassa yang sedikit dapat memproduksi etanol dengan sebanyak-banyaknya, hal ini dapat dilihat dari nilai Yp/x pada konsentrasi substrat 20% paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi substrat 16% dan nilai peningkatan X pada konsentrasi substrat 16% lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi substrat 20% yaitu sebesar 1.0588 kali. Perlakuan konsentrasi substrat 20% pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi menunjukkan nilai peningkatan Yp/s tertinggi yaitu 3.9502 kali dibandingkan keempat perlakuan lainnya. Nilai Yp/s yang tinggi menunjukkan bahwa substrat dapat digunakan secara optimal oleh mikroorganisme untuk menghasilkan produk. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi substrat 20%, khamir S. cerevisiae memanfaatkan substrat tersebut untuk membentuk produk. Nilai peningkatan Yp/x terendah adalah pada perlakuan konsentrasi substrat 4% yaitu 1.1747 kali. Hal ini diduga S. cerevisiae tidak mampu untuk mengubah asam piruvat membentuk etanol sehingga terjadi penumpukan asam. Selain itu, hasil akhir perombakan tersebut dapat berupa senyawa-senyawa lain seperti aldehid, asam organik, dan fusel oil. Pinho et al. (2006) menyebutkan bahwa pada kondisi anaerobik khamir akan mengkonversi gula menjadi alkohol selama fermentasi. Tidak hanya menghasilkan alkohol dan karbondioksida, tetapi bahkan senyawa lain (alkohol yang tinggi, asam organik, ester, aldehid, keton, senyawa belerang) sebagai kunci sensorik pada alkohol (bir). Perlakuan konsentrasi substrat 20% pada sistem fed batch terekayasa dengan stop aerasi menunjukkan peningkatan pada nilai produk (P) dari 3.302±0.0615% (v/v) pada jam ke-18 (stop aerasi) menjadi 10.858±0.003% (v/v) pada jam ke-72 (stop aerasi). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai produk (P) sebesar 3.2883 kali. Nilai peningkatan produk (P) pada konsentrasi substrat 20% paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat penambahan substrat, khamir langsung memanfaatkan substrat untuk membentuk produk sebanyak-banyaknya hingga akhir fermentasi. Glukosa yang ditambahkan dikonversi secara maksimal oleh S.cerevisiae membentuk etanol. Tabel 9. Perbandingan Peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, X, P dan S0-S/S0 dari jam ke- 0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi Perlakuan 4% Jam Ke0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 8% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 12% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 16% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 20% Peningkatan (kali) 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) X P Y x/s Y p/s Y p/x S0-S/S0 4.935±0.0898 5.893 ±0.0063 6.080±0.0127 1.0317 4.967±0.0339 6.032±0.0091 6.169±0.0205 1.0227 4.995±0.0049 6.058±0.0162 6.295±0.0021 1.0391 5.017±0.0339 6.121±0.0449 6.481±0.017 1.0588 5.613±0.016 7.049±0.008 7.208±0.008 1.0225 0 3.213±0.274 5.194±0.195 1.6165 0 3.484±0.121 5.633±0.531 1.6168 0 3.653±0.0834 7.473±0.1605 2.0457 0 3.560±0.146 8.834±0.195 2.4814 0 3.302±0.0615 10.858±0.003 3.2883 0 0.0061±0.0005 0.0022±0.0002 0.3607 0 0.0067±0.0002 0.0017±0.0001 0.2537 0 0.0071±0.0004 0.0028±0.0002 0.3944 0 0.0071±0.0001 0.0044±0.0007 0.6197 0 0.0095±0.0001 0.0018±0.0002 0.1894 0 0.0206±0.0018 0.0242±0.0056 1.1747 0 0.0220±0.0006 0.0272±0.0053 1.2364 0 0.0240±0.0003 0.0458±0.0012 1.9083 0 0.0231±0.0041 0.0654±0.0007 2.8312 0 0.0221±0.0041 0.0873±0.0072 3.9502 0 3.3501±0.0061 10.809±0.3620 3.2265 0 3.2746±0.189 15.510±0.170 4.7364 0 3.3520±0.231 16.135±0.6375 4.8135 0 3.2389±0.4708 14.833±0.2394 4.5796 0 2.3211±0.471 48.002±0.901 20.6807 0 0.6420±0.0009 0.9429±0.0004 1.4687 0 0.6543±0.0031 0.9459±0.0007 1.4456 0 0.6316±0.0022 0.9413±0.0044 1.4903 0 0.6353±0.0007 0.9134±0.0003 1.4377 0 0.6170±0.0007 0.9344±0.0007 1.5144 Nilai peningkatan efisiensi pemanfaatan substrat pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi substrat 20% lebih tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Nilai peningkatan efisiensi yang diperoleh yaitu sebesar 1.5144 kali (97.49%). Nilai efisiensi tersebut menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan substrat untuk menghasilkan produk dari jam ke-18 sampai jam 72 mengalami peningkatan sebanyak 1.5144 kali, artinya bahwa substrat dimanfaatkan secara maksimal untuk membentuk produk. Sedangkan nilai peningkatan efisiensi terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 16% dengan nilai peningkatan efisiensi yang diperoleh hanya 1.4337 kali (96.84%). Efisiensi pemanfaatan substrat pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dan agitasi tetap dilakukan yaitu sebesar 97.49% pada konsentrasi substrat 20%. Nilai efisiensi pemanfaatan substrat yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai efisiensi pemanfaatan substrat yang diperoleh pada penelitian Wahyuni (2008) yaitu pada sistem fed batch dengan perlakuan stop aerasi dan agitasi tetap dilakukan diperoleh nilai efisiensi pemanfaatan substrat sebesar 55.64%. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi perlakuan konsentrasi substrat 20% merupakan konsentrasi substrat yang optimal digunakan oleh S.cerevisiae untuk menghasilkan etanol dengan kadar etanol yang diperoleh pada akhir fermentasi sebesar 10.858±0.003% (v/v) atau 8.610±0.002% (b/v) dengan efisiensi pemanfaatan substrat masingmasing sebesar 1.5144 kali (97.49%). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan. Laopaiboon et al. (2007) melaporkan bahwa pada proses produksi etanol dari sorghum secara fermentasi batch dan fed batch dengan menggunakan S.cerevisiae TISTR 5048 selama 108 jam, pada fermentasi fed batch konsentrasi etanol, yield dan produktivitas yang dihasilkan masing-masing sebesar 120 g/l; 0.48 g/g dan 1.11 g/l/h. Sedangkan pada fermentasi batch konsentrasi etanol, yield dan produktivitas yang dihasilkan masing-masing sebesar 100 g/l; 0.42 g/g dan 1.67 g/l/h. Pada fermentasi fed batch diperoleh peningkatan konsentrasi etanol sekitar 20% dan peningkatan produk sekitar 14% dibandingkan dengan fermentasi batch. Fermentasi fed batch dapat meningkatkan efisiensi produksi etanol dalam hal konsentrasi etanol dan produk. Cheng et al. (2009) menyebutkan bahwa pada proses produksi etanol secara fed batch menggunakan S.cerevisiae selama 32 jam, diperoleh nilai Yp/x dan nilai Yp/s masing-masing sebesar 24.75 g/g dan 2.47 g/g dengan konsentrasi etanol sebesar 17 g/l pada konsentrasi glukosa 2%. Sedangkan pada sistem batch nya diperoleh nilai Yp/x dan Yp/s masing-masing sebesar 21.49 g/g dan 0.81 g/g. Fermentasi fed batch lebih baik dari fermentasi batch karena produk yang dihasilkan lebih tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan dilakukan rekayasa bioproses dapat menghasilkan etanol dengan produktivitas yang tinggi (etanol yang dihasilkan tinggi) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah). Rekayasa bioproses yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengaturan kondisi aerasi (penghentian aerasi saat biomassa maksimum) dan pengaturan konsentrasi substrat yang diumpankan (variasi konsentrasi substrat) melalui sistem kultivasi fed batch terekayasa. Produksi etanol dengan menggunakan bahan baku ubi jalar dalam hal ini sirup glukosa ubi jalar merupakan salah satu alternatif pembuatan bioetanol berbasis pati. Ubi jalar selain mudah untuk dibudidaya, juga dapat tumbuh di lahan yang kurang subur, umur panen yang singkat, sehingga dalam pengembangan industri bioetanol, ubi jalar sangat berpotensi dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Selama ini, yang menjadi bahan baku dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar adalah pati kering ubi jalar. Melalui penelitian ini, tepung ubi jalar, pati basah ubi jalar dan umbi parut ubi jalar pada variasi bentuk bahan baku ubi jalar dalam pembuatan sirup glukosa diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif bahan baku dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar. Melalui penelitian ini juga, dengan hasil kadar etanol tertinggi yang diperoleh pada produksi bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar yaitu mencapai 10.858±0.003% (v/v) atau 8.610±0.002% (b/v) diharapkan ubi jalar dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan baku pembuatan bioetanol dalam pengembangan industri bioetanol di Indonesia. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Ubi jalar sangat potensial dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol. Pada pembuatan sirup glukosa ubi jalar sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol dengan variasi bentuk bahan baku, pati kering ubi jalar merupakan bentuk bahan baku yang terbaik dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar dengan nilai efisiensi yang tertinggi yaitu sebesar 63.207±0.202%. Rekayasa bioproses dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan dibandingkan dengan tidak dilakukannya rekayasa bioproses. Pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi pada konsentrasi substrat 20% diperoleh nilai peningkatan produk tertinggi yaitu sebesar 3.2883 kali dengan nilai peningkatan efisiensi substrat sebesar 1.514 kali. Rekayasa bioproses dengan fermentasi secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk sebesar 1.422 kali. Konsentrasi substrat yang optimal untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi dan efisiensi yang tinggi pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 20% dengan kadar etanol yang dihasilkan adalah 10.858±0.003% (v/v) atau 8.610±0.002% (b/v) dan efisiensi pemanfaatan substrat sebesar 97.49%. 5.2 Saran Pada proses fermentasi sistem fed batch terekayasa penelitian dilakukan dengan menggunakan bioreaktor skala laboratorium, sehingga perlu dilakukan penggandaan skala pada proses fermentasi fed batch terekayasa. DAFTAR PUSTAKA Abedinifar S, Karimi K, Khanahmadi M, Taherzadi MJ. 2009. Ethanol Production by Mucor indicus and Rhizopus oryzae from Rice Straw by Separate Hydrolysis and Fermentation. J Biomass and Bioenergy. 33: 828-833. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official of Analytical Chemist. Washington. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sendarwati, Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Arcinthya RR. 2007. Karakterisasi Ekstrak Kasar Amilase Isolat Bakteri Acinetobacter sp. dari Sumber Air Panas Guci Tegal. [skripsi]. Purwokerto: Fakultas Sains dan Teknik Jurusan MIPA Program Studi Kimia UNSOED. Assegaf F. 2009. Prospek Produksi Bioetanol Bonngol Pisang (Musa paradisiacal) Menggunakan Metode Hidrolisis Asam dan Enzimatis. Di dalam : Daya Saing dan Pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Seni). Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Universitas Jenderal Soedirman. Berghmans S. 1980. Starch Hydrolysate : Improved Sweeteners Obtained by The Used of Enzymes Novo Industry, Denmark [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008a. Produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. [terhubung berkala]: www.bps.go.id [18 Februari 2010]. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008b. Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar di Indonesia. [terhubung berkala]: www.bps.go.id [25Februari 2009]. Bro C, Regenberg B, Forster J, Nielsen J. 2006. In Silico Aided Metabolic Engineering of Saccharomyces cerevisiae for Improved Bioethanol Production. J Metabolic Eng 8:102–111. Budiyanto A, Martosuyono P, Richana N. 2006. Optimasi Proses Produksi Tepung Gula Kasava dari Pati Ubi Kayu Skala Laboratorium. Buletin Balai Besar Pasca Panen 2(1) 28-35, Bogor. Caylak B, Vardar Sukan F. 1998. Comparion of Different Production Process For Bioetanol. J Chemical. 22: 351-359. Chandel AK, Kapoor RK, Rudravaram R. 2006. Production of Bioethanol from Typa latifolia Enzymatic Hydolysates Under Batch and Fed Batch Fermentation Condition. J Fuel 3317:6 pages. Chaplin MF, Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press, New York. Cheng NG, Hasan M, Kumoro AC, Ling CF, Tham M. 2009. Production of Ethanol by Fed Batch Fermentation. J Science and Technology 17(2):399408. Chemiawan T. 2005. Membangun Industri Bioetanol Nasional Sebagai Pasokan Energi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Energi Global. [terhubung berkala]. www.chemitech.com. [31 Juli 2008]. Clark T, Mackie KL. 1984. Fermentation inhibitors in Wood Hydroysates Derived From The Soft Wood Pinus radiate. J Chem. Bioethanol 34B: 101-110. Crueger W, Anneliese C. 1984. Biotechnology A Textbook of Industrial Microbiology. Madison: Science Tech, Inc. Darmajana DA. 2008. Upaya Memperpanjang Umur Simpan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) dengan Teknik Pelilinan. Di dalam : Teknologi Pengawetan Bahan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II-2008; Lampung, 17-18 November 2008. Lampung; Universitas Lampung. hlm VIII/15-VIII/23. Demirbas A. 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials: A Renewable Motor Fuel from Biomass. J Energy Sources 21 : 327-337. [Deptan]. Departemen Pertanian. 2008. Perbandingan Karakteristik Tanaman Penghasil Bioetanol. [terhubung berkala]: www.deptan.go.id. [25 Oktober 2007]. [DESM]. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2007. Target dan Tahapan Penggunaaan Biofuel di Indonesia. Dalam : Agro Observer “ Agribusiness Review and Reference. No. 5. Dodic S, Popov S, Dodic J, Rankovic J, Zavargo Z, Mucibabic RC. 2009. Bioethanol Production From Thick Juice as Intermediate of Sugar Beet Processing. J Biomass and Bioenergy. 33 : 822-827. Dubois MK, Gilles A, Hamilton JK, Rebers DA, Smith F. 1956. Colorimetric Methode for Determination of Sugar and Related Substances. Analitical Chemist 28 : 350-356. Elevri PA, Putra SR. 2006. Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. J Akta Kimindo 1(2) : 105-114. Erliana G, Widodo Y, Rahayuningsih S, Jusuf M. 2005. Karakteristik Pati Beberapa Varietas Ubi Jalar. J Tan. Pangan PP24/01. Frazier WC, Westhoff DC. 1978. Food Microbilogy 4th edition. Mc Graw-Hill Book. Publishing. Co. Ltd, New York. Gadang BKP Jatim. 2008. Prospek Ubi Jalar http://www.bkpjatim.or.id/pages/index.php. [5 Januari 2009] Saat Ini. Gaur K. 2006. Process Optimazation for The Production of Ethanol Via Fermentation. [dissertation]. Thapar Institute Of Engg.& Technology, Deemed University. Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendarko R. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agromedia Pustaka. Harisson JS, Graham JCJ. 1970. Yeast in Distilery Practice. Academic Press, London. Hartoto L. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi. Bogor: Depdikbud Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Hartoto L, Sailah I. 1992. Sistem Bioreaktor. Bogor: Depdikbud Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Hartoto L, Suryani A, Hambali E. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Biodegradable. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Hepworth M. 2005. Technical, Environmental and Economic Aspects of Unit Operations for the Production of Bioethanol from Sugar Beet in the United Kingdom. CET IIA Exercise 5, Corpus Christi College. Higgins B. 1984. Ethanol Fermentations Nutrient Study. J Bacteriol. 49,524,1945. Hollaender M. 1981. Sequential Induction of Maltose Permease and Maltase System in Saccharomyces cerevisiae. J Biochem. 99 : 89-95. Ikhtiarudin I. 2009. Hubungan Antara Respirasi Anaerobik dengan Bioteknologi. [terhubung berkala]. www.ihsanadhi.com. [03 Februari 2010]. Irawadi TT. 1990. Kajian Hidrolisis Limbah Lignoselulosa dari Industri Pertanian. J Tek. Ind. Pert. 8 (3) : 124-134. Izzati N, Rosita Y, Amrullah H. 2009. OptimasiPembuatan Bioetanol dari Ubi Jalar Putih (Ipomoe batatas L) Sebagai Sumber Energi Terbaharukan. [terhubung berkala]. http://karya-ilmiah.um.ac.id [05 Desember 2009] Juanda DJ, Bambang C. 2004. Ubi Jalar-Budi daya dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius. Judoadmidjojo RM, Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Judoadmidjojo RM. 1992. Teknologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Kartika B, Guritno AD, Purwadi D, Ismoyowati D. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Kunkee KD, Mardon CJ. 1970. Yeast in Wine Making. Academic Press, London. Khanal SK. 2008. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production: Principles and Applications. USA: John Wiley & Sons, Inc. [terhubung berkala]. http://journalbiofuel.com/. [13 Desember 2009]. Laopaiboon L, Thanonkeo P, Naunpheng S, Jaisil P, Laopaiboon P. 2007. Ethanol Production from Sweet Shorgum Juice in Batch and Fed Batch Fermentation by Saccharomyces cerevisiae TISTR 5048. J Microbiology and Biotechnology 23(10): 1497-1501. Lingga P, Sarwono B, Rahardi I, Rahardjo PC, Afriastini JJ, Wudianto R, Apriadji WH. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta : Penebar Swadaya. Machfud, Sa’id EG, Krisnani. 1989. Fermentor. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Maiden AM. 1970. Food and Fermentation Application of Starch Hydrolysis. Di dalam Birch, L.F. Green dan G.B. Voulson (eds.) Glucose Syrups and Related Carbohydrates. Elsevier Publ. Cp. Ltd., London. Martono B, Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Bioetanol di Provinsi DIY. [terhubung berkala]. http://202.169.224.75/detail.php. [31 Juli 2008]. Mensonides FIC, Schuurmans JM, Teixeria de Mattos MJ, Hellingwerf KJ, Brul S. 2002. The Metabolic Response of Saccharomyces cerevisiae to Continuous Heat Stress. J Mol. Biol.Rep. 29-103. Meyer HL. 1978. Corporation. Food Chemistry. New York : Reinhold Publishing Mohammed AA, Duateb RP. 2003. The Effect of Mixing and Wheat Protein/Gluten on The Gelatinization of Wheat Starch. J Food Chemistry 81: 533-545. Mursyidin D. 2007. Ubi Kayu dan Bahan Bakar Terbarukan. [terhubung berkala]. [29 http://www.banjarmasin.net/pedoman%Bahan%bakar%berbarukan. Maret 2008]. Musaddad A. 2005. Teknologi Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu, Ubi Jalar). Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Neves MA, Shimizu N, Kimura T, Shiiba K. 2007. Kinetics of Bioethanol Production From Wheat Milling by-Products. J Food Process Engineering 68(6) : 109-116 Nowak J. 2000. Ethanol Yield and Productivity of Zymomonas mobilis in Various Fermentation Methods. J Electronic of Polish Agricultural Universities. 3(2). Pamphula ME, Dias MCL. 1989. Combined Effect of Acetic Acid, Ph and Ethanol On Intracellular Ph of Fermenting Yeast. 31:547-550. Paturau JM. 1981. By Product of the Cane Sugar Industry : An Introduction to their Industrial Ulilization. Elzevier Scientific Publ. Co., Amsterdam. Pinho O, Ferreira IMPLVO, Santos LHMLM. 2006. Method Optimization by Solid-phase Microextraction in Combination with Gas Chromatography with Mass Spectrometry for Analysis of Beer Volatile Fraction. J Chromatography A 1121: 145-153. Prasad S, Sighn A, Jochi HC. 2006. Ethanol as an Alternatif Fuel From Agriculture, Industrial, Urban Residues. J Resources, Conservation and Recycling. 50 : 1-39. Pranamuda A, Won Lee S, Ozawa T, Tanaka A. 2006. Ethanol Production from Raw Sago Starch Under Unsterile Condition. J Chemical 47(7) : 277-280. Prescott SC, Dunn M. 1981. Industrial Microbiology. New York: Mc. Graw Hill Book. Co. Ltd. Prihandana. 2007. Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: Agromedia. [Puslittan]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2008. Ubi Jalar Sukuh. [terhubung berkala]. http://www.puslittan.bogor.net.html. [18 Jan 2008]. Rehm HJ, Reed G. 1983. Biotechnology. Microbial Fundamental (I). Verlag Chemi Gmbh, Weinheim. Richana N. 2009a. Ubi Jalar (Botani, Budidaya, dan Teknologi Pascapanen. [Ebook]. http://www.nurichana.com. Richana N. 2009b. Bioetanol (Bahan baku, Teknologi Produksi dan Pengendalian Mutu. [Ebook]. http://www.nurichana.com. Rukmana R. 2006. Ubi Jalar. Yogyakarta: Kanisius. Sa’id EG. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Shintawaty A. 2006. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia. Economic Review No.23 Maret 2006. Son YJ, Park KH, Lee S, Oh SJ, Kim CK, Choi BT, Park YC, Seo JH. 2007. Effects of Temperature Shift Strategies on Human Preproinsulin Production in The Fed-Batch Fermentation of Recombinant Escherichia coli. J Biotechnol. Bioproc. E. 12 : 556–561. Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Suprapti A. 2003. Tepung Ubi Jalar-Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius. Sree NK, Sridhar M, Suresh K, Bharat IM, Rao LV. 2000. High Alcohol Production by Repeated Batch Fermentation Using Immobilized Osmotolerant Saccharomyces cerevisiae. J Indust Microbiol Biotechnol 24:222-26. Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Pergamon Press, New York. Principles of Fermentation Technology. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Mkaanan dan Pertanian. Yogyakarta; Liberty. Suhartina RS, 2005. Ubi Jalar. [terhubung http://simonbwidjanarko.com.ubijalar.pdf. [20 Januari 2009]. berkala]: Sukairi M. 2008. Batch Ethanol Fermentation Using Glucose Desired From Tapioca Flour Starch by Saccaromyces cerevisiae: Effect of Inocolum Age and Agitation Speed. [thesis]. Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, University Malaysia Pahang. Swain MR, Kar S, Sahoo AK, Ray RC. 2007. Ethanol Fermentation of Mahula (Madhuca latifolia L) Flowers Using Free and Immobilized Yeast Saccharomyces cerevisiae. J Microbial Res. 162(2): 93-98. Tao F, Miao JY, Shi GY, Zhang KC. 2005. Ethanol Fermentation by an Acidtolerant Zymomonas mobilis under Non-sterilized Condition. J Process Biochemistry. 40: 183-187. Tjokroadikoesoemo PS. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Trevan MD, Boffey S, Goulding KH, Stanbury PF. 1987. Biotechnology: The Biological Principles. Chapter 7, p. 80-81. Open University Press Taylor and France, New York. Wahyuni A. 2008. Rekayasa Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnil P, Humphrey AE, Lolly MD. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley&Sons, New York Wang NS. 2002. Starch Hydrolisis by Amylase. [terhubung berkala]. www.glue.umd.edu. [19 November 2006]. Wayan IA. 2009. Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Ubi Kayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. You KM, Rosenfield CL, Kniple DC. 2003. Ethanol Tolerance in the Yeast Saccharomyces cerevisiae is Dependent on Cellular Oleic Acid Content. J Applied and Environmental Microbiology 69(3) : 1449-1503. Yu B, Zhang F, Zheng Y, Wang P. 1996. Alcohol Fermentation from the Mash of dried Sweet Potato with Its Dregs Using Immobilised Yeast. J Process Biochem 31(1): 1-6. Zaldivar J, Roca C, Foll CL, Hagerdal BH, Olsson L. 2005. Ethanolic Fermentation of Acid Pre-treated Starch Industry Effluents by Recombinant Saccharomyces cerevisiae Strains. J Bioresource Technol 96(15): 16701676. Zhang M, Wang F, Su R, Qi W, He Z. 2009. Ethanol Production from High Dry Matter Corncob using Fed-Batch Simultaneous Saccharification and Fermentation after Combined Pretreatment. J Bioresources Technology 22: 1873-1880.. Zuraedah S, Supriati T. 2001. Jakarta: Yasaguna. Budidaya Ubi Jalar (Potensi dan Manfaat). LAMPIRAN Lampiran 1. Analisa Proksimat Ubi Jalar dan Pati Ubi Jalar A. Kadar Air (AOAC 1984) Sebanyak 2 gram sampel segar dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-105oC selama 8 jam atau sampai bobot konstan. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar Air (%) = Bobot Sampel ( segar − ker ing ) x 100% Bobot Sampel Segar B. Kadar Abu (AOAC 1984) Sebanyak 1 gram sampel kering ditempatkan dalam wadah porselin dan dibakar sampai tidak berasap. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 1 jam. lalu ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus : Kadar Abu (%) = Bobot Abu x 100% Bobot Sampel Kering C. Kadar Lemak Kasar (AOAC 1984) Sebanyak 2 gram sampel kering disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble. lalu dimasukkan dalam labu soxhlet. Kemudian dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksana sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam. Kadar lemak kasar dihitung dengan rumus : Kadar Lemak (%) = Bobot Lemak Terekstrak x 100% Bobot Sampel Kering D. Kadar Protein Kasar (AOAC 1984) Sebanyak 0.25 gram sampel kering. ditempatkan dalam labu Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 0.25 gram Selenium dan 3 m H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan dekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40 %. lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO2 2 % dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green – Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan. destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus : %N = ( S − B) x N HCl x 14 x 100% w x 1000 Keterangan : S : Volume titran sampel (ml) B : Volume titran blanko (ml) W : Bobot sampel kering (mg) Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan 4.38 (faktor perkalian untuk jamur umum). Faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 5.18 – 6.38. E. Kadar Serat Kasar (AOAC 1984) Sebanyak 1 gram sampel kering dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1.25 %. dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan dekstruksi selama 30 menit. Kemudian disaring menggunakan kertas saring whatman (Φ : 10 cm) dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20 – 30 ml air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didekstruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1.25 % selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas`dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO4 1.25 % mendidih. 2.5 ml air sebanyak 3 kali. dan 25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan ke cawan porselin untuk dikeringkan dalam oven 130oC selama 2 jam. Setelah dingin resdiu beserta cawan porselin ditimbang (A). lalu dimasukkan dalam tanur 600oC selama 30 menit. didinginkan dan ditimbang kembali (B). Kadar Serat Kasar (%) = Bobot Serat Kasar x 100% Bobot Sampel Kering Keterangan : Bobot serat kasar : w – w0 W = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = A – (bobot kertas saring + cawan) A : bobot residu + kertas saring + cawan W0 = bobot residu setelah dibakar dalam tanur = B – (bobot cawan) B : Bobot residu + cawan F. Kadar Karbohidrat (AOAC 1984) Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference yaitu : 100% - (kadar air + abu + protein + lemak). Kadar karbohidrat N-free menunjukkan besarnya kandungan karbohidrat yang dapat dicerna dari suatu bahan pangan. Ditentukan dengan cara 100% - (kadar air + abu + protein + lemak + serat kasar). G. Kadar Pati (AOAC 1984) Sebanyak kurang lebih 5 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3 % dan dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30 % (indikator lakmus atau fenoftalein). dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3 % agar suasana larutan sedikit asam. Isi dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan diencerkan hingga tanda tera. kemudian disaring. Sebanyak 10 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 25 ml larutan Luff (dengan pipet) dan beberapa butir batu didih serta 15 ml air suling. Campuran dipanaskan dengan nyala tetap. diusahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit (digunakan stopwatch). Campuran terus dididihkan selama tepat 10 menit (dihitung dari saat mulai mendidih) kemudian dengan cepat didinginkan dalam bak berisi es. Setelah dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20 % dan 25 ml H2SO4 25 % secara perlahan-lahan. Penitiran dilakukan secepatnya dengan larutan sodium tiosulfat 0.1 N dengan larutan indikator larutan kanji 0.5 %. Pekerjaan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Perhitungan : (Blanko – Penitar) x N sodium tiosulfat x 10 Setara dengan terusi yang tereduksi. Kemudian dengan daftar Luff Schroorl dilihat jumlah mg gula yang terkandung untuk ml sodium tiosulfat yang digunakan Kadar Glukosa = w1 x fp x 100% w Keterangan : w1 : Bobot contoh (mg) w : Glukosa yang etrkandung untuk ml sodium tiosulfat yang dipergunakan (mg) fp : faktor pengenceran Tabel 10. Penetapan Gula Berdasarkan Luff Schoorl Glukosa. Fruktosa. Gula Na2S2O3 0.1 N (ml) Invert (mg) 1 2.4 2 4.8 3 7.2 4 9.7 5 12.2 6 14.7 7 17.2 8 19.8 9 22.4 10 25.0 11 27.6 12 30.3 13 33.0 14 35.7 15 38.5 16 41.3 17 44.2 18 47.1 19 50.0 20 53.0 21 56.0 22 59.1 23 62.2 Sumber : SNI 01 – 2891 – 1992. Laktosa (mg) 3.6 7.3 11.0 14.7 18.4 22.1 25.8 29.5 33.2 37.0 40.8 44.6 48.4 52.2 56.0 59.9 63.8 67.7 71.1 75.1 79.8 83.9 88.0 Maltosa (mg) 3.9 7.8 11.7 15.6 19.6 23.5 27.5 31.5 35.5 39.5 43.5 47.5 51.6 55.7 59.8 63.9 68.0 72.2 76.5 80.9 85.4 90.0 94.6 Lampiran 2. Prosedur Analisa Total Gula Metode Fenol Penetapan Total Gula Metode Fenol H2SO4 (Dubois et al. 1956) Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar denol adalah sebagai berikut : 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0,10, 20, 30, 40, 50 dan 60 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 % dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit. kocok lalu tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel. Lampiran 3. Prosedur Analisa Total Gula Pereduksi Metode DNS Total Gula Pereduksi Metode DNS (Apriyantono et al. 1989) Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan memproduksi asam 3.5-dinitrosalisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. ¾ Penyiapan Pereaksi DNS Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10.6 g asam 3.5-dinitrosalisilat dan 19.8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tatrat. 7.6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8.3 g Na-Metabisulfit. Larutan ini diaduk rata. kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0.1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0.1 N. ¾ Penentuan Kurva Standar Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0.2 – 0.5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linear. ¾ Penetapan Total Gula Pereduksi Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut : 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 550 nm. Lampiran 4. Prosedur Analisa Parameter Fermentasi 1. pH Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter. 2. Penetapan Total Gula Metode Fenol H2SO4 Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut : 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30,40, 50 dan 60 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 % dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit. kocok lalu tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel. 3. Biomassa Pengukuran massa sel dilakukan dengan menggunakan bobot sel kering. Sampel yang akan diukur dimasukkan ke dalam eppendorf. kemudian disentrifuse. Setelah dicuci dengan menggunakan larutan buffer atau air dan dikeringkan 80oC selama 24 jam atau 110 oC selama 8 jam. 4. OD (Optical Density) Pengukuran OD dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. 5. Kadar Etanol Pengukuran kadar etanol sampel dilakukan menggunakan GC (Gas Chromatography). Penentuan dilakukan dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standar etanol. Standar etanol yang diinjeksikan dengan konsentrasi 99.8 % (v/v). Kadar etanol yang terdapat dalam sampel dihitung dengan menggunakan persaman berikut : Lampiran 5. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Umbi Parut Ubi Jalar Lampiran 6. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Basah Ubi Jalar Umbi parut Pati Basah Air suling Penambahan air 1 : 3 Pengaturan pH 6 - 6,5 Enzim α-amilase Likuifikasi : Pemanasan 90oC dengan pengadukan selama 1 jam Pengaturan pH 4,5 Enzim AMG o Sakarifikasi (suhu 60 C, waktu 60 jam) Pemisahan ampas/penyaringan Penetralan pH 7 Arang aktif 0.5% Pemurnian Sirup Glukosa Ampas Lampiran 7. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati kering Ubi Jalar (Budiyanto et al. 2006) Lampiran 8. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Tepung Ubi Jalar Tepung ubi jalar Air suling Penambahan air 1 : 3 Pengaturan pH 6 - 6,5 Enzim α-amilase Likuifikasi : Pemanasan 90 C dengan pengadukan selama 1 jam o Pengaturan pH 4,5 Enzim AMG Sakarifikasi (suhu 60oC, waktu 60 jam) Pemisahan ampas/penyaringan Penetralan pH 7 Arang aktif 0.5% Pemurnian Sirup Glukosa Ampas Lampiran 9. Kurva Standar Total Gula dan Gula Pereduksi (DNS) A. Kurva Standar Total Gula Konsentrasi Glukosa 0 10 20 30 40 50 60 Absorbansi Nilai Kurva 0.098 0.229 0.345 0.450 0.546 0.668 0.806 0.000 0.131 0.247 0.352 0.448 0.570 0.708 B. Kurva Standar Gula Pereduksi (DNS) Konsentrasi 0 50 100 150 200 250 absorbansi 0.015 0.225 0.416 0.605 0.779 0.898 Nilai Kurva 0.000 0.210 0.401 0.590 0.784 0.883 Lampiran 10. Kurva Standar Pertumbuhan S.cerevisiae A. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 4% OD 0.228 0.348 0.422 0.536 0.648 0.746 Biomassa terukur (g/l) 0.0067 0.0084 0.0105 0.0119 0.0147 0.0168 B. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 8% OD 0.298 0.326 0.416 0.487 0.546 0.613 0.678 Biomassa terukur (g/l) 0.0017 0.0019 0.0023 0.0027 0.0031 0.0034 0.0038 C. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 12% OD 0.238 0.325 0.437 0.549 0.653 0.687 0.723 0.747 0.763 Biomassa terukur (g/l) 0.0034 0.0036 0.0042 0.0044 0.0048 0.0050 0.0053 0.0054 0.0055 D. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 16% OD 0.246 0.328 0.427 0.498 0.594 0.688 0.774 Biomassa terukur (g/l) 0.0048 0.0054 0.0061 0.0066 0.0072 0.0075 0.0082 E. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 20% OD 0.284 0.329 0.497 0.547 0.62 0.656 0.719 0.736 0.769 Biomassa terukur (g/l) 0.0044 0.0046 0.0052 0.0054 0.0058 0.0060 0.0063 0.0064 0.0065 Lampiran 11. Tabel perubahan total gula selama fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan A. Perlakuan konsentrasi substrat 4% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Total Gula (g/L) 1 2 242.439 241.128 172.622 171.923 127.893 128.418 86.774 86.337 35.153 34.874 13.579 13.754 8.384 8.594 5.624 5.694 5.414 5.449 5.589 5.537 5.032 5.059 5.137 5.094 4.927 4.954 Rata-rata Stdev 241.784 172.273 128.156 86.556 35.014 13.667 8.489 5.659 5.432 5.563 5.046 5.116 4.941 0.927 0.494 0.371 0.309 0.197 0.124 0.148 0.049 0.025 0.037 0.019 0.030 0.019 Rata-rata Stdev 241.086 136.423 110.972 83.334 27.003 10.781 7.021 5.744 5.339 5.269 4.464 4.529 4.507 0.741 0.742 0.556 0.494 1.332 0.433 0.006 0.018 0.025 0.025 0.013 0.031 0.037 B. Perlakuan konsentrasi substrat 8% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Total Gula (g/L) 1 2 240.561 241.610 135.898 136.948 111.365 110.578 83.683 82.984 26.061 27.945 10.475 11.087 7.025 7.016 5.731 5.757 5.321 5.356 5.251 5.286 4.455 4.473 4.507 4.551 4.481 4.533 C. Perlakuan konsentrasi substrat 12% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Total Gula (g/L) 1 2 239.755 241.153 152.019 152.806 119.702 118.654 88.697 88.435 30.351 30.561 18.521 19.15 12.108 13.13 7.914 8.019 7.319 7.512 6.848 7.075 6.341 6.428 5.781 5.904 5.379 5.467 Rata-rata Stdev 240.454 152.413 119.178 88.566 30.456 18.836 12.619 7.967 7.416 6.962 6.385 5.843 5.423 0.989 0.556 0.741 0.185 0.148 0.445 0.723 0.074 0.136 0.161 0.062 0.087 0.062 Rata-rata Stdev 241.853 155.691 109.039 88.192 34.139 16.771 8.947 8.923 8.829 8.738 8.192 7.896 7.634 0.495 0.742 0.494 0.892 0.643 0.124 0.018 0.091 0.037 0.056 0.641 0.913 0.049 D. Perlakuan konsentrasi substrat 16% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Total Gula (g/L) 1 2 242.203 241.503 156.215 155.166 109.388 108.689 87.561 88.823 34.594 33.685 16.683 16.858 8.934 8.96 8.858 8.987 8.803 8.856 8.698 8.777 8.645 7.739 8.541 7.25 7.599 7.669 E. Perlakuan konsentrasi substrat 20% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Total Gula (g/L) 1 2 241.853 241.888 186.372 186.495 109.038 109.738 92.491 92.753 21.037 22.007 15.143 15.787 9.249 9.328 8.856 8.961 8.823 8.701 8.054 8.561 7.512 7.599 6.475 6.448 6.011 6.125 Rata-rata Stdev 241.871 186.434 109.388 92.622 21.522 15.465 9.289 8.909 8.762 8.308 7.556 6.462 6.068 0.025 0.087 0.494 0.185 0.686 0.455 0.056 0.074 0.086 0.359 0.062 0.019 0.081 Lampiran 12. Tabel perubahan biomassa selama fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan A. Perlakuan konsentrasi substrat 4% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Biomassa (g/L) 1 2 4.998 4.871 5.589 5.385 5.755 5.793 5.898 5.889 5.889 5.871 5.725 5.743 5.453 5.78 5.553 5.762 5.635 5.853 5.944 5.98 5.961 5.998 5.978 5.989 6.071 6.089 Rata-rata Stdev 4.934 5.487 5.774 5.893 5.88 5.734 5.616 5.657 5.744 5.962 5.979 5.983 6.08 0.089 0.144 0.026 0.006 0.012 0.013 0.231 0.147 0.154 0.025 0.026 0.007 0.012 B. Perlakuan konsentrasi substrat 8% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Biomassa (g/L) 1 2 4.943 4.991 5.116 5.207 5.216 5.271 6.025 6.038 6.052 6.151 6.178 6.176 6.189 6.114 6.191 6.202 6.216 6.202 6.204 6.251 6.138 6.227 6.127 6.201 6.155 6.184 Rata-rata 4.967 5.161 5.243 6.031 6.101 6.177 6.151 6.196 6.209 6.227 6.182 6.164 6.169 Stdev 0.033 0.064 0.038 0.009 0.070 0.001 0.053 0.007 0.009 0.033 0.062 0.052 0.021 C. Perlakuan konsentrasi substrat 12% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Biomassa (g/L) 1 2 4.998 4.991 5.102 5.320 5.525 5.602 6.070 6.047 6.025 6.091 6.002 6.155 6.070 5.826 6.116 5.964 6.173 6.070 6.184 6.134 6.116 6.177 6.139 6.198 6.297 6.294 Rata-rata Stdev 4.995 5.211 5.564 6.059 6.058 6.079 5.948 6.04 6.122 6.159 6.147 6.169 6.296 0.005 0.154 0.054 0.016 0.046 0.108 0.172 0.107 0.072 0.035 0.043 0.041 0.002 D. Perlakuan konsentrasi substrat 16% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Biomassa (g/L) 1 2 4.993 5.041 5.279 5.454 5.692 5.787 6.089 6.152 6.137 6.168 6.168 6.121 6.263 6.105 6.279 6.137 6.279 6.152 6.311 6.184 6.375 6.39 6.438 6.406 6.469 6.493 Rata-rata Stdev 5.017 5.366 5.739 6.120 6.152 6.144 6.184 6.208 6.215 6.247 6.382 6.422 6.481 0.033 0.123 0.067 0.044 0.021 0.033 0.112 0.100 0.089 0.089 0.011 0.022 0.016 E. Perlakuan konsentrasi substrat 20% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Biomassa (g/L) 1 2 5.613 5.635 6.238 6.384 6.861 6.906 7.055 7.043 7.077 7.111 7.111 7.179 7.122 7.213 7.156 7.281 7.157 7.361 7.111 7.338 7.179 7.236 7.213 7.247 7.202 7.214 Rata-rata Stdev 5.624 6.311 6.883 7.049 7.094 7.145 7.167 7.218 7.259 7.224 7.207 7.23 7.208 0.015 0.103 0.031 0.008 0.024 0.048 0.064 0.088 0.144 0.160 0.040 0.024 0.008 Lampiran 13. Tabel perubahan pH selama fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan A. Perlakuan konsentrasi substrat 20% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 pH 1 4.8 4.8 4.7 4.6 4.3 3.9 3.7 3.5 3.2 3 2.8 2.6 2.4 2 4.8 4.6 4.5 4.5 4.3 3.9 3.7 3.7 3.2 3.2 2.8 2.6 2.6 Rata-rata Stdev 4.8 4.7 4.6 4.55 4.3 3.9 3.7 3.6 3.2 3.1 2.8 2.6 2.5 0 0.141 0.141 0.070 0 0 0 0.141 0 0.141 0 0 0.141 B. Perlakuan konsentrasi substrat 16% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 pH 1 4.8 4.5 4 3.9 3.7 3.6 3.4 2.9 2.5 2.3 2.2 2.1 2.1 2 4.8 4.7 4.6 4.6 4.5 4.2 3.9 3.8 3.5 3.3 2.8 2.5 2.5 Rata-rata Stdev 4.8 4.6 4.3 4.25 4.1 3.9 3.65 3.35 3 2.8 2.5 2.3 2.3 0 0.141 0.424 0.494 0.565 0.424 0.353 0.636 0.707 0.707 0.424 0.282 0.282 C. Perlakuan konsentrasi substrat 12% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 pH 1 4.8 4.7 4.6 4.6 4.2 3.6 3.4 3.2 2.9 2.6 2.4 2.2 2.1 2 4.8 4.7 4.6 4.6 4.3 3.8 3.6 3.2 2.9 2.6 2.4 2.4 2.4 Rata-rata Stdev 4.8 4.7 4.6 4.6 4.25 3.7 3.5 3.2 2.9 2.6 2.4 2.3 2.25 0 0 0 0 0.070 0.141 0.141 0 0 0 0 0.141 0.212 D. Perlakuan konsentrasi substrat 8% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 pH 1 4.8 4.6 4.5 4.2 4 3.8 3.6 3.6 3.4 3.3 2.9 2.6 2.3 2 4.8 4.8 4.7 4.6 4.3 3.8 3.6 3.6 3.4 3.3 2.9 2.6 2.6 Rata-rata 4.8 4.7 4.6 4.4 4.15 3.8 3.6 3.6 3.4 3.3 2.9 2.6 2.45 Stdev 0 0.141 0.141 0.282 0.212 0 0 0 0 0 0 0 0.212 E. Perlakuan konsentrasi substrat 4% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 pH 1 4.8 4.7 4.4 4.1 4.1 3.7 3.5 3.4 3.1 2.6 2.4 2.4 2.3 2 4.8 4.7 4.6 4.6 4.3 3.7 3.5 3.4 3.1 2.6 2.4 2.4 2.4 Rata-rata Stdev 4.8 4.7 4.5 4.35 4.2 3.7 3.5 3.4 3.1 2.6 2.4 2.4 2.35 0 0 0.141 0.353 0.141 0 0 0 0 0 0 0 0.070 Lampiran 14. Tabel perubahan biomassa, total gula, pH, etanol selama fermentasi fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20% Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Biomassa (g/L) 5.541 ± 0.029 5.736 ± 0.081 5.997 ± 0.064 7.441 ± 0.081 7.464 ± 0.177 7.998 ± 0.064 8.305 ± 0.045 8.486 ± 0.080 8.691 ± 0.080 8.804 ± 0.048 8.929 ± 0.064 8.941 ± 0.016 8.986 ± 0.015 Total Gula (g/L) 240.839 ± 1.112 160.734 ± 0.494 117.141 ± 0.371 94.790 ± 0.865 74.423 ± 0.494 99.773 ± 0.742 61.206 ± 0.309 43.505 ± 0.865 39.279 ± 0.198 40.888 ± 0.297 21.053 ± 0.247 13.189 ± 0.074 9.813 ± 0.018 pH 4.6 4.6 4.6 4.5 4.2 3.5 3.2 3.1 3.1 2.9 2.3 2.3 2.3 Etanol % (v/v) 3.089 ± 0.100 7.145 ± 0.057 Lampiran 15. Hasil produksi etanol pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan serta perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20% A. Konsentrasi etanol pada jam ke-18 (stop aerasi) Perlakuan Konsentrasi 4% Konsentrasi 8% Konsentrasi 12% Konsentrasi 16% Konsentrasi 20% %EtOH di substrat (v/v) 1 2 3.406 3.019 3.569 3.398 3.594 3.712 3.457 3.663 2.867 3.737 %EtOH di Rata2 Rata2 Stdev Stdev substrat (b/v) %(v/v) %(b/v) (v/v) (b/v) 1 2 2.701 2.394 3.213 2.548 0.274 0.217 2.830 2.695 3.484 2.762 0.121 0.096 2.850 2.944 3.653 2.897 0.083 0.066 2.741 2.905 3.56 2.823 0.146 0.116 2.274 2.963 3.302 2.618 0.615 0.488 B. Konsentrasi etanol pada jam ke-72 (stop aerasi) Perlakuan Konsentrasi 4% Konsentrasi 8% Konsentrasi 12% Konsentrasi 16% Konsentrasi 20% %EtOH di substrat (v/v) 1 2 5.332 6.056 5.258 6.009 7.586 7.359 8.972 8.696 10.86 10.856 %EtOH di Rata2 Rata2 Stdev substrat (b/v) %(v/v) %(b/v) (v/v) 1 2 4.228 4.009 5.194 4.119 0.195 4.169 4.765 5.633 4.467 0.531 6.016 5.835 7.473 5.926 0.161 7.115 6.895 8.534 7.005 0.195 8.612 8.608 10.858 8.610 0.002 Stdev (b/v) 0.155 0.421 0.127 0.155 0.002 C. Konsentrasi substrat 20% (normal/aerasi) Jam ke18 72 %EtOH di substrat (v/v) 1 2 3.16 3.018 7.186 7.105 %EtOH di substrat (b/v) 1 2 2.505 2.393 5.698 5.634 Rata2 Rata2 %(v/v) %(b/v) Stdev (v/v) Stdev (b/v) 3.089 7.145 0.100 0.057 0.079 0.045 2.449 5.666 Lampiran 16. Data pendukung perhitungan kinetika fermentasi Perlakuan Konsentrasi 4% (stop aerasi) Konsentrasi 8% (stop aerasi) Konsentrasi 12% (stop aerasi) Konsentrasi 16% (stop aerasi) Konsentrasi 20% (stop aerasi) Konsentrasi 20% (aerasi) X 4.935 ± 0.089 4.967 ± 0.033 4.995 ± 0.035 5.017 ± 0.034 5.624 ± 0.016 5.541 ± 0.021 Jam ke 0 S 241.784 ± 0.927 241.086 ± 0.742 240.454 ± 0.989 241.853 ± 0.495 241.871 ± 0.025 240.839 ± 1.112 P 0 0 0 0 0 0 X 5.893 ± 0.006 6.032 ± 0.009 6.058 ± 0.016 6.121 ± 0.044 7.049 ± 0.008 7.441 ± 0.081 Jam ke 18 S 86.557 ± 0.309 83.334 ± 0.494 88.566 ± 0.185 88.192 ± 0.892 92.622 ± 0.185 94.790 ± 0.865 P 3.213 ± 0.274 3.484 ± 0.121 3.653 ± 0.083 3.560 ± 0.146 3.302± 0.615 3.089± 0.100 X 6.080 ± 0.013 6.169 ± 0.021 6.295 ± 0.002 6.481 ± 0.017 7.208 ± 0.008 8.986 ± 0.015 Jam ke 72 S P 4.941 ± 5.194 ± 0.019 0.195 4.507 ± 5.633 ± 0.037 0.531 5.423 ± 7.473 ± 0.062 0.161 7.634 ± 8.534 ± 0.049 0.054 6.068 ± 10.858 ± 0.081 0.003 9.813 ± 7.145 ± 0.018 0.057 95 Lampiran 17. Tabel perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai 72 pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan A. Peningkatan kinetika fermentasi I Perlakuan 4% Jam Ke0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 8% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 12% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 16% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 20% Peningkatan (kali) 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Y x/s 0 0.006 0.002 0.333 0 0.006 0.002 0.333 0 0.007 0.003 0.428 0 0.007 0.004 0.571 0 0.009 0.002 0.222 Y p/s 0 0.019 0.028 1.474 0 0.021 0.023 1.095 0 0.024 0.045 1.875 0 0.022 0.065 2.955 0 0.019 0.092 4.842 Y p/x 0 3.354 13.369 3.985 0 3.140 14.307 4.556 0 3.353 16.585 4.946 0 2.983 16.136 5.404 0 1.988 54.374 27.351 S0-S/S0 0 0.642 0.943 1.469 0 0.652 0.946 1.451 0.630 0.944 1.498 0 0.638 0.913 1.431 0 0.617 0.935 1.515 B. Peningkatan kinetika fermentasi II Perlakuan 4% Jam Ke0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 8% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 12% Peningkatan (kali) 16% 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Peningkatan (kali) 20% Peningkatan (kali) 0 (aerasi) 18(stop aerasi) 72 (stop aerasi) Y x/s 0 0.007 0.002 0.285 0 0.006 0.002 0.333 0 0.007 0.003 0.429 0 0.007 0.005 0.714 0 0.009 0.002 0.222 Y p/s 0 0.022 0.020 0.909 0 0.022 0.031 1.409 0 0.024 0.046 1.917 0 0.024 0.065 2.708 0 0.025 0.082 3.280 Y p/x 0 3.426 8.250 2.408 0 3.408 16.712 4.904 0 3.515 15.684 4.462 0 3.495 13.141 3.839 0 2.654 41.632 15.687 S0-S/S0 0 0.642 0.943 1.468 0 0.656 0.945 1.441 0 0.633 0.938 1.481 0 0.632 0.913 1.445 0 0.616 0.934 1.516 Lampiran 18. Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0 sampai 72 pada fermentasi sistem fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20% Perlakuan 20% (I) Jam Ke0 (aerasi) 18(aerasi) 72 (aerasi) Peningkatan (kali) 20% ( II ) Peningkatan (kali) 0 (aerasi) 18(aerasi) 72 (aerasi) Y x/s 0 0.012 0.019 1.583 0 0.013 0.017 1.308 Y p/s 0 0.022 0.047 2.136 0 0.020 0.048 2.40 Y p/x 0 1.695 2.530 1.493 0 1.558 2.726 1.749 S0-S/S0 0 0.602 0.897 1.490 0 0.611 0.896 1.466 Lampiran 19. Tabel perhitungan kinetika fermentasi Sistem Fed batch terekayasa (stop aerasi) Fed batch (aerasi) Perlakuan Konsentrasi 4% Konsentrasi 8% Konsentrasi 12% Konsentrasi 16% Konsentrasi 20% Y x/s 0.0048 ± 0.0004 0.0051 ± 0.0007 0.0055 ± 0.0002 0.0062 ± 0.0005 0.0067 ± 0.0002 Y p/s 0.0705 ± 0.002 0.0238 ± 0.002 0.0317 ± 0.006 0.0377 ± 0.0009 0.0460 ± 0.0001 Y p/x 4.560 ± 0.5785 4.687 ± 0.4939 5.743 ± 0.1108 6.035 ± 0.2032 6.854 ± 0.0288 Efisiensi substrat (%) 96.95 96.13 97.74 96.84 97.49 Konsentrasi 20% 0.015 ± 0.0001 0.030 ± 0.0003 2.067 ± 0.0085 95.93 99 Lampiran 20. Deskripsi ubi jalar varietas Sukuh Nama Varietas Kategori SK : : : Tahun Tetua Rataan Hasil Pemulia : : : : Asal Tipe tanaman Umur panen Diameter buku ruas Panjang buku ruas Warna dominan sulur Warna sekunder sulur Bentuk kerangka daun Kedalam cuping daun Jumlah cuping Bentuk cuping pusat Ukuran daun dewasa Warna tulang daun permukaan bawah Warna daun dewasa : : : : : : : : : : : : : Warna daun muda Pigmentasi pada tangkai daun Panjang tangkai daun Bentuk umbi : : : : : Sukuh Varietas unggul nasional (released variety) 531/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun 2001 2001 Persilangan bebas dari klon induk betina AB 940 25-30 ton/ha M.Jusuf, I Gin Mok, Lisna Ningsih, Tjintokohadi, Suluh Pambudi, Khusnul Makhin, Joko Restuono Persilangan bebas dari klon induk betina AB 940 Kompak 1-1.5 bulan Tipis Pendek Hampir semua berwarna ungu Hijau pada pucuk Berbentuk hati Tidak ada Bercuping satu Gerigi Sedang Semua tulang daun berwarna ungu Hijau dengan tulang tulang daun ungu pada permukaan atas helai daun Hijau denganwarna ungu melingkari tepi daun Sebagian besar tangkai ungu hijau sedikit Pendek Ellips membulat Susunan pertumbuhan umbi Panjang tangkai umbi Warna kulit umbi Warna daging umbi Rasa umbi Serat Bahan kering Protein Gula total pati Vitamin C Beta carotene Ketahanan terhadap hama : : : : : : : : : : : : : Ketahanan terhadap penyakit : Keterangan lain : Terbuka Pendek Kuning Putih Enak 0.85% 35.0% 1.62% 4.56% 31.16% 19.21 mg/100 gram 36.59 mkg/100 gram Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius) dan tahan hama penggulung daun Agak tahan penyakit kudis (Sphaceloma batatas) dan bercak daun (Cercospora sp) Bahan kering umbi tinggi , warna daging putih, sangat baik untuk digunakan sebagai tepung ubi jalar, cocok ditanam pada lahan tegalan dan sawah Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslittan 2009).