Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar

advertisement
PRODUKSI BIOETANOL DARI SIRUP GLUKOSA
UBI JALAR (Ipomoea batatas L) SECARA FED BATCH
DENGAN MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae
NURHIDAYAH DIDU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Bioetanol Dari Sirup
Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae adalah karya saya sendiri dengan
arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis
ini.
Bogor, Februari 2010
Nurhidayah Didu
NRP. F351070161
ABSTRACT
NURHIDAYAH DIDU. Bioethanol Production from Sweet Potatoes Syrup (Ipomoea
batatas L) by Fed Batch Fermentation using Saccharomyces cerevisiae. Under direction
of KHASWAR SYAMSU and NUR RICHANA.
Bioethanol is one solution to reduce exploitation of oil and global warming
issues. Much research must be done to find new source of bioethanol. Sweet
potatoes is one of the promising alternative sources from starchy material that can
be used to produce bioethanol, because it has high productivity (10-40 ton/ha) and
also has a short harvesting time (3-3.5 months). Sweet potatoes are hydrolyzed to
glucose by enzymatic and then is converted to ethanol. The aims of this study is to
produce bioethanol from sweet potatoes syrup by Saccharomyces cerevisiae at a
higher productivity and efficiency. More specificaly, is to find the best form raw
material for making syrup glucose from sweet potatoes and to determine the best
substrate concentration in fed batch fermentation which produce bioethanol at a
higher yield with the lowest remaining sugar. The result shows that dried sweet
potatoes starch was the best form of raw material for making glucose syrup from
sweet potatoes with efficiency 63.207±0.202%.
The result shows that 20% substrate concentration without aeration after 18
hours of fermentation was the best substrate concentration on fed batch system of
the highest ethanol production with ethanol concentration produced and efficiency
were 10.858±0.003% (v/v) and 97.49%, respectively. Ethanol produced and
efficiency in fed batch fermentation of 20% substrate concentration without
aeration is higher than the fed batch system with aeration at the same substrate
concentration (7.145±0.057% v/v, 95.93%). The fed batch fermentation without
aeration could increase the ethanol concentration produced. The result shows that
bioengineered fed batch fermentation could improve the product up to 1.422
times. The best result on fed batch system without aeration shows that 20%
substrate concentration produce highest the ethanol concentration compared to
other treatment.
Based on calculation of fermentation kinetic parameters, it is shown that
20% substrate concentration (without aeration) in fed batch system had the highest
increasing valuee of Yp/s, Yp/x, P, S0-S/S0 (3.9502 times, 20.6807 times, 3.2883
times, 1.5144 times) compared to 20% substrate concentration (with aeration) and
other treatment. On the other hand, Yx/s was smaller (0.1894 times) compared to
20% substrate concentration (with aeration) and other treatment.
Generally, this research shows that bioengineered fed batch fermentation
could improve the efficiency of ethanol production in term ethanol concentration
and product yield.
Keywords : Bioethanol, Saccharomyces cerevisiae, Sweet potatoes, Fed batch
RINGKASAN
NURHIDAYAH DIDU. Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch dengan Menggunakan Saccharomyces
cerevisiae. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan NUR RICHANA.
Ketersediaan pasokan energi khususnya bahan bakar fosil merupakan salah
satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia. Cadangan minyak bumi
Indonesia semakin menipis sedangkan jumlah kebutuhan bahan bakar semakin
meningkat dan diperkirakan akan habis 23 tahun ke depan jika tidak ditemukan
sumber energi baru. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor bahan
bakar minyak. Kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 215 juta
liter per hari sedangkan produksi dalam negeri 178 juta liter per hari dan
kekurangannya 40 juta liter per hari harus diimpor. Pengembangan bioenergi
merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pasokan energi. Indonesia
memiliki kondisi iklim dengan curah hujan yang cukup, sinar matahari sepanjang
tahun, ketersediaan lahan yang luas, keanekaragaman hayati, sumber daya
manusia, sumber daya alam sehingga potensial untuk pengembangan bioenergi.
Salah satu sumber bahan baku bioenergi adalah ubi jalar sebagai sumber bahan
baku bioetanol untuk subtitusi bensin. Ubi jalar memiliki umur panen yang relatif
singkat yaitu antara 3-3.5 bulan dengan produktivitas mencapai 40 ton/ha.
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pembuatan bioetanol dari ubi jalar
dengan kadar etanol yang dihasilkan sebesar 9-21%. Melalui penelitian ini
dilakukan pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dengan mengkaji
potensi bahan baku ubi jalar dalam pembuatan sirup glukosa sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol serta melalukan rekayasa bioproses pada sistem fed batch
dengan perubahan sistem pertumbuhan Saccharomces cerevisiae dari kondisi
aerobik menjadi anaerobik serta variasi konsentrasi substrat yang diumpankan
pada sistem fed batch terekayasa. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan rendemen bioetanol yang lebih tinggi dengan kandungan gula
sisa yang rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari sirup glukosa
dengan menggunakan S. cerevisiae pada produktivitas dan efisiensi yang tinggi,
menentukan bentuk bahan baku yang terbaik pada pembuatan sirup glukosa ubi
jalar dan menentukan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch
terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi
dengan kadar gula sisa yang lebih rendah.
Tahap penelitian dimulai dengan pembuatan pati ubi jalar dengan cara
ekstraksi basah. Pembuatan pati ubi jalar dimaksudkan untuk mengetahui
rendemen pati dari ubi jalar varietas Sukuh yang digunakan sebagai bahan baku
dalam pembuatan pati ubi jalar. Rendemen pati ubi jalar yang dihasilkan adalah
sebesar 23.97 ± 0.33 %.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan sirup glukosa dari beberapa bentuk
bahan baku dari ubi jalar. Pembuatan sirup glukosa dibuat dari umbi parut ubi
jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar. Variasi bentuk
bahan baku yang dilakukan pada pembuatan sirup glukosa dimaksudkan untuk
menentukan bentuk bahan baku yang terbaik digunakan dalam pembuatan sirup
glukosa dari ubi jalar dengan melihat efisiensi korversi ubi jalar menjadi sirup
glukosa. Efisiensi tertinggi pada konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa
diperoleh pada perlakuan ketiga yaitu pati kering ubi jalar dikonversi menjadi
sirup glukosa dengan nilai efisiensi sebesar 63.207±0.202% dan terendah pada
perlakuan umbi parut ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukoa dengan nilai
efisiensi 22.434±0.268%. Nilai efisiensi ini menunjukkan bahwa enzim alfa
amylase dan enzim amiloglukosidase efisien dalam menghidrolisis pati kering
menjadi sirup glukosa.
Pada kultivasi fed batch terekayasa dilakukan variasi konsentrasi substrat
yang diumpankan dengan penghentian aerasi pada kondisi biomassa maksimal
yaitu pada jam ke-18. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar etanol dan
efisiensi yang dihasilkan pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop
aerasi pada konsentrasi substrat 20% lebih tinggi yaitu masing-masing sebesar
10.858±0.003% (v/v) dan 97.49% dibandingkan dengan kadar etanol dan efisiensi
pada sistem fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi yang sama yaitu
masing-masing sebesar 7.145±0.057% (v/v) dan 95.93%. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan perubahan kondisi kultivasi dari aerobik ke anaerobik, substrat
yang ditambahkan pada saat kondisi biomassa maksimum dimanfaatkan oleh S.
cerevisiae untuk memproduksi etanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlakuan
dengan fed batch terekayasa dalam hal ini penghentian aerasi dapat menghasilkan
kadar etanol lebih tinggi dibandingkan dengan fed batch tanpa rekayasa yaitu
dengan aerasi.
Pada kultivasi fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi, kadar
etanol tertinggi diperoleh pada konsentrasi substrat 20% yaitu sebesar
10.858±0.003% (v/v) dan terendah pada konsentrasi substrat 4% yaitu
5.194±0.195% (v/v). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat
fermentasi pada konsentrasi 20% digunakan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi
etanol sebanyak-banyaknya.
Berdasarkan hasil perhitungan pada parameter kinetika fermentasi,
menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi substrat 20% (stop aerasi)
memiliki nilai peningkatan Yp/s, Yp/x, P, dan S0-S/S0 paling tinggi (3.9502 kali,
20.6807 kali, 3.2883 kali, 1.5144 kali) dibandingkan pada perlakuan konsentrasi
substrat 20% (aerasi). Sedangkan nilai peningkatan Yx/s nya lebih kecil (0.1894)
dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi). Hasil yang
diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa fermentasi dengan sistem fed
batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang
dihasilkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa rekayasa bioproses dengan
fermentasi secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk
sebesar 1.422 kali.
Pada sistem fed batch terekayasa, konsentrasi substrat 20% (stop aerasi)
menunjukkan nilai peningkatan Yp/s Yp/x, P, dan S0-S/S0 paling tinggi dan Yx/s
paling rendah (0.1894 kali) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi substrat 20% (stop aerasi), substrat yang
ditambahkan hanya sedikit digunakan dalam pembentukan sel, namun dengan
biomassa yang sedikit tersebut mampu untuk membuat etanol dalam konsentrasi
yang tinggi, hal ini dapat dilihat dengan nilai peningkatan Yp/x dan P yang paling
tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya.
Secara keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk bahan
baku yang terbaik untuk pembuatan sirup glukosa ubi jalar adalah pati kering ubi
jalar. Sedangkan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch
terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih tinggi
dengan kadar gula sisa yang lebih rendah adalah konsentrasi substrat 20% (stop
aerasi).
Kata kunci : Bioetanol, Saccharomyces cerevisiae, Ubi Jalar, Fed batch
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah;
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI BIOETANOL DARI SIRUP GLUKOSA
UBI JALAR (Ipomoea batatas L) SECARA FED BATCH
DENGAN MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae
NURHIDAYAH DIDU
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Liesbetini Haditjarako, MS.
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
NIM
: Produksi Bioetanol Dari Sirup Glukosa Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L) Secara Fed Batch Dengan
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
: Nurhidayah Didu
: F351070161
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Nur Richana, M.Si.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian : 12 Februari 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subbahana Wata’ala atas
segala
berkah
dan
karunia-Nya
yang
telah
memperkenankan
penulis
menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis dengan
judul “Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas L)
Secara Fed Batch dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis
mengucapkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc sebagai ketua Komisi
Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Nur Richana, M.Si sebagai anggota komisi
pembimbing atas segala bimbingan, arahan, bantuan, dan motivasi baik
berupa moril maupun materi yang telah diberikan selama penelitian dan
penyusunan tesis. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Haditjarako, MS atas kesediaannya
sebagai penguji luar komisi dan memberikan saran, ilmu, arahan dan
bimbingan yang sangat bermanfaat.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran dan Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA.,
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas
bantuan dan masukan yang diberikan untuk kelancaran studi penulis.
3.
Seluruh staf pengajar Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberi ilmu
pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama menimba ilmu
pengetahuan serta laboran dan teknisi laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat
Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, laboratorium
Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas IPB dan laboratorium
Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah banyak memberikan
bantuan kepada penulis selama penelitian.
4.
Sekretariat Jendral Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian yang
telah memberi dukungan finansial bagi pelaksanaan penelitian ini melalui
Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi
(KKP3T).
5.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian
Departemen Pertanian yang telah bersedia memfasilitasi penelitian ini serta
staf dan teknisi Balai Besar Litbang Pasca Panen yang telah banyak
membantu demi kelancaran pelaksanaan penelitian ini.
6.
Ayahanda Drs. H. Suriputra Nurdin Didu, M.Pd dan Ibunda Hj. Nurhayati,
S.Pd atas segenap doa, cinta, kasih sayang, nasehat, motivasi dan
dukungannya selama ini. Kakak-kakak ku tersayang Saharuddin Didu, S.TP,
M.E dan Andi Titin Sumarna, SP., Badra Didu, SP., serta seluruh keluarga
besar H. Didu yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segenap doa,
cinta, kasih sayang, nasehat, motivasi dan dukungannya baik moril maupun
materi selama penulis menyelesaikan studi S2.
7.
Rekan-rekan TIP 2007, teman seperjuangan di Laboratorium (Supatmawati,
Nunung, Prima), Iffan Maflahah, Muharamia Nasution, Arnida Mustafa,
Dewi Cakrawati, Zuhelmi Tazora, Rezki Praja Putra, Pak Alfi, Pak Rika, Pak
Alexi, Pak Suharjito, Mba Tuti, Mba Ahnur, Pak Haris, Mas Agus, Wahyu,
Totok, Feri, saudara-saudaraku di Millenium (Deeday, Vivay, Bundoy), Ella,
Mba Erna, Mba Erni, atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama
belajar dan penelitian di Bogor.
8.
Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga karya ini bisa bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan. Semoga dengan mengetahui sedikit tentang bioetanol bisa
menambah keimanan kita kepada Sang Khalik yang Maha Mengetahui Segala
Sesuatu.
Bogor, Februari 2010
Nurhidayah Didu
F351070161
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Januari 1983
dari Ayahanda Drs. H. Suriputra Nurdin Didu, M.Pd dan Ibunda Hj. Nurhayati,
S.Pd. Penulis adalah putri bungsu dari tiga bersaudara.
Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Inpres
Bertingkat Kab. Pinrang, kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Kab. Pinrang dan
lulus pada tahun 1998. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan menengah
atas di SMUN 1 Kab. Pinrang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama
penulis diterima di Universitas Hasanuddin pada Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan dan lulus pada Juni 2006. Pada
tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Teknologi
Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........ ...................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ... ................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1
Latar Belakang ...................................................................................
Rumusan Masalah ...............................................................................
Tujuan Penelitian ................................................................................
Hipotesa Penelitian .............................................................................
Ruang Lingkup Penelitian...................................................................
1
5
5
5
6
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................
7
2.1 Ubi Jalar .......... ...................................................................................
2.2 Sirup Glukosa.. ...................................................................................
2.3 Enzim Penghidrolisis Pati ...................................................................
2.3.1 Enzim α-amilase.........................................................................
2.3.2 Enzim Glukoamilase (AMG) .....................................................
2.4 Bioetanol ......... ...................................................................................
2.5 Khamir ............ ...................................................................................
2.6 Kultivasi Sistem Fed Batch.................................................................
2.7 Kinetika Fermentasi ............................................................................
7
9
11
11
12
13
16
19
21
III. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................
25
3.1
3.2
3.3
3.4
Kerangka Pemikiran............................................................................
Waktu dan Tempat ..............................................................................
Bahan dan Alat ...................................................................................
TahapanPenelitian ...............................................................................
3.4.1 Pembuatan Pati Ubi Jalar ...........................................................
3.4.2 Pembuatan Sirup Glukosa ..........................................................
3.4.3 Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae..............................
3.4.4 Kultivasi pada Sistem Fed Batch Terekayasa............................
3.4.5 Pengamatan, Analisa dan Paramenter Fermentasi .....................
25
25
25
26
26
27
27
28
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
31
4.1
4.2
4.3
4.4
Komposisi Kimia Ubi Jalar................................................................
Pembuatan Pati Ubi Jalar ...................................................................
Pembuatan Sirup Glukosa..................................................................
Kultivasi Fed Batch Terekayasa ........................................................
31
33
35
39
Halaman
4.4.1 Total Gula ......................................................................................
48
4.4.2 Biomassa .........................................................................................
49
4.4.3 Nilai pH...........................................................................................
51
4.4.4 Kadar Etanol ...................................................................................
51
4.5 Perhitungan Kinetika Fermentasi.......................................................
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................
62
5.1 Kesimpulan ........................................................................................
5.2 Saran....... ...........................................................................................
62
62
DAFTAR PUSTAKA . ....................................................................................
LAMPIRAN ....................................................................................................
63
70
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas Ubi Jalar
Indonesia ....................................................................................................
2. Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol ..........................
3. Tanaman penghasil bioetanol......................................................................
4. Variasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian utama...........................
5. Hasil analisa proximat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati
ubi jalar yang dihasilkan..............................................................................
6. Rendemen pati ubi jalar ..............................................................................
7. Konversi bentuk bahan baku ubi jalar menjadi sirup glukosa
ubi Jalar .......................................................................................................
8. Perbandingan peningkatan X, P, Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0
sampai jam 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi
dan aerasi.....................................................................................................
9. Perbandingan peningkatan X, P, Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0
sampai jam 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi .....................
10. Penetapan Gula Berdasarkan Luff Schoorl ..................................................
8
9
14
29
31
34
37
55
59
73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
Tahap glikolisis (Embden Meyerhof-Parnas Pathway) ............................
Proses pembentukan etanol dari piruvat ...................................................
Kinetika fermentasi batch .........................................................................
Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar ...........................................
Media propagasi sebelum penambahan kultur dan setelah propagasi
48 jam........................................................................................................
Tahapan penelitian ....................................................................................
Sirup glukosa ubi jalar ..............................................................................
Kultivasi fed batch terekayasa (a) sebelum penambahan substrat (batch):
(b) penambahan substrat yang diumpankan (fed batch) ...........................
Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 20% ........................................................................................
Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 16% ........................................................................................
Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 12% ........................................................................................
Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 8% ..........................................................................................
Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 4% ..........................................................................................
Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch (aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20%.....
18
19
24
26
28
30
36
40
42
43
44
45
46
47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Analisa proksimat ubi jalar dan pati ubi jalar ...........................................
70
Prosedur analisa total gula metode fenol ..................................................
74
Prosedur analisa total gula pereduksi metode DNS ..................................
75
Prosedur analisa parameter fermentasi......................................................
76
Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari umbi parut
ubi jalar .....................................................................................................
77
Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari pati basa ubi jalar...
78
Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari pati kering
ubi jalar .....................................................................................................
79
Diagram alir pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari tepung ubi jalar......
80
Kurva standar total gula dan gula pereduksi (DNS) .................................
81
Kurva standar pertumbuhan S. Cerevisiae ................................................
82
Tabel perubahan total gula selama fermentasi fed batch terekayasa dengan
perlakuan stop aerasi.................................................................................
84
Tabel perubahan biomassa selama fermentasi fed batch terekayasa dengan
perlakuan stop aerasi.................................................................................
87
Tabel perubahan pH selama fermentasi fed batch terekayasa dengan
perlakuan stop aerasi.................................................................................
90
Tabel perubahan biomassa, total gula, pH, etanol selama fermentasi
fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi 20% ........................
93
Hasil produksi etanol pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan
perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan
serta perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20% ..............................
94
Data pendukung perhitungan kinetika fermentasi.....................................
95
Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0
sampai jam 72 pada sistem fermentasi fed batch terekayasa dengan
perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang
diumpankan...............................................................................................
96
Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0
sampai jam 72 pada sistem fermentasi fed batch dengan perlakuan aerasi
dari variasi konsentrasi substrat yang diumpankan...................................
98
Perhitungan kinetika fermentasi................................................................
99
Deskripsi ubi jalar varietas Sukuh............................................................. 100
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya populasi
manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan hidup
manusia beserta aktivitas ekonomi dan sosialnya. Sejak lima tahun terakhir,
Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional akibat menurunnya
cadangan minyak, sedangkan kebutuhan akan sarana transportasi dan aktivitas
industri terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini
berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pemerintah
masih mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Sebagian
besar atau bahkan hampir semua teknologi yang digunakan menggunakan bahan
bakar minyak sebagai sumber energi. Bahan bakar minyak yang digunakan saat
ini semakin langka. Hal ini disebabkan oleh kuantitas minyak bumi pada lapisan
bumi terus menipis akibat dari eksploitasi terus-menerus. Kelangkaan tersebut
menyebabkan harganya tidak stabil. Selain itu, hasil pembakaran BBM saat ini
tidak ramah lingkungan. Bahan bakar yang digunakan dalam kendaraan bermotor
saat ini, berdampak negatif terhadap lingkungan (Izzati et al. 2009).
Bahan bakar minyak merupakan energi yang tak terbaharukan. Data dari
Badan Pusat Statistik (2008a) menunjukkan bahwa produksi BBM Indonesia
setiap tahunnya hanya 1,030 juta kL per tahun sedangkan kebutuhan BBM
nasional sekitar 1,4 juta kL per tahun. Kekurangan pasokan BBM harus diimpor
setiap tahunnya sebesar 40% dari kebutuhan nasional. Bahan bakar minyak jenis
premium pada tahun 2009, produksinya diperkirakan hanya 10,9 juta kL,
sedangkan kebutuhan premium nasional sebesar 19,7 juta kL sehingga terdapat
defisit sebesar 8,8 juta kL yang harus dipenuhi melalui impor.
Indonesia yang dulu menjadi negara pengekspor minyak, sejak tahun 2004
berubah menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004 Indonesia
mengimpor minyak 487 ribu barel/hari. Sementara itu, harga minyak dunia terus
mengalami peningkatan harga. Penggunaan bahan bakar alternatif harus segera
dilakukan terutama yang berbentuk cair, karena masyarakat sudah sangat familiar
dengan bahan bakar cair (Chemiawan, 2005).
Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM.
Kebijakan tersebut telah menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti
bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM. Bahan bakar berbasis nabati
diharapkan dapat mengurangi terjadinya kelangkaan BBM, sehingga kebutuhan
akan bahan bakar dapat terpenuhi. Bahan bakar berbasis nabati juga dapat
mengurangi
pencemaran
lingkungan,
sehingga
lebih
ramah
lingkungan
(Prihandana, 2007).
Bahan bakar nabati (bioenergi) merupakan alternatif utama untuk mengatasi
krisis bahan bakar berbasis minyak bumi. Salah satu jenis bioenergi yang dapat
dikembangkan adalah bioetanol. Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi
glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa. Bioetanol
dapat digunakan sebagai salah satu energi alternatif pensubtitusi premium yang
ramah lingkungan. Data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2007)
menunjukkan bahwa proyeksi konsumsi etanol untuk mensubtitusi 5% premium
(E5) di Indonesia dari tahun 2007-2010 ditargetkan sekitar 5% dan tahun 20112015 ditargetkan sekitar 10% atau sekitar 2,78 juta kL dari total konsumsi.
Bioetanol dapat dibuat dari bahan-bahan bergula atau bahan berpati seperti
tebu, nira, sorgum, nira nipah, ubi kayu, ubi jalar, sagu, ganyong dan lain-lain.
Bahan-bahan tersebut tersedia sangat melimpah di Indonesia, sehingga sangat
berpeluang untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif. Biotenol sangat
berpotensi dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh potensi lahan yang
luas, sumber daya manusia (petani), keanekaragaman hayati, sumber daya alam
yang melimpah, memiliki kondisi iklim dengan curah hujan yang cukup serta
sinar matahari yang sepanjang tahun.
Menurut Martono dan Sasongko (2007) Indonesia memiliki 60 jenis
tanaman yang berpotensi menjadi bahan bakar alternatif diantaranya tebu, jagung,
ubi kayu, ubi jalar dan sagu yang bisa dijadikan bioetanol untuk dijadikan bahan
bakar alternatif pengganti premium. Salah satu sumber daya alam yang dapat
digunakan dan berpotensi sebagai bahan bakar alternatif untuk pembuatan
bioetanol adalah ubi jalar.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi jalar. Ubi jalar
memiliki umur panen yang lebih singkat yaitu antara 3-3.5 bulan dengan
produktivitas rata-rata 11-30 ton/ha (Deptan 2008). Bahkan dengan menggunakan
varietas unggulan seperti varietas Sukuh, produktivitasnya dapat mencapai 25-30
ton/ha (Puslittan 2007; Musaddad 2005).
Ubi jalar dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol karena
ubi jalar bukan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Selain harganya
murah, ubi jalar memiliki kemudahan dalam pengelolaan yaitu sekitar 3.5 bulan.
Umur tersebut umumnya relatif lebih pendek dibandingkan dengan jenis umbiumbian yang lain. Ubi jalar merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi
yang luas terhadap lingkungan hidup sehingga dapat dibudidayakan pada berbagai
jenis lahan, ketinggian tempat dan tingkat kesuburan tanah yang berlainan. Oleh
karena itu, ubi jalar mudah tersebar di seluruh wilayah pertanian, terutama di
daerah tropis. Ubi jalar dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia dengan
produktivitas yang tinggi (Zuraedah dan Supriati 2001).
Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat,
dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan
beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis.
Metode hidrolisis secara enzimatis lebih sering digunakan karena lebih ramah
lingkungan dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang diperoleh
selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan menambahkan
yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai sumber energi.
Salah satu cara memproduksi etanol adalah memfermentasi sirup glukosa
dengan Saccharomyces cerevisiae. Khamir S.cervisiae merupakan khamir yang
toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar
gula tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC. Penggunaan
S. cerevisiae telah merambah ke sektor-sektor komersial yang penting, termasuk
makanan, minuman, biofuel, kimia, industri enzim, farmasi, pertanian dan
lingkungan.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan bioetanol dari
beberapa sumber. Yu et al. (1996) menggunakan ubi jalar sebagai bahan baku
untuk pembuatan bioetanol tanpa melakukan ekstraksi pati. Hasil etanol yang
diperoleh sebesar 9.8 g/l (1.23% v/v). Zaldivar et al. (2005) memanfaatkan
gandum untuk memproduksi etanol dengan hasil yang diperoleh sebesar 6.9 g/l
(0.869% v/v). Chandel et al. (2006) menggunakan teknologi fed batch dengan
memanfaatkan tanaman Typa latifolia yang banyak terdapat di India. Hasil
etanol yang diperoleh pada sistem fed batch sebesar 28.5±0.46 g/l (3.59 % v/v).
Hasil yang diperoleh pada sistem fed batch lebih tinggi dibandingkan dengan
sistem batch yaitu 9.74±0.1 g/l (1.23 % v/v). Bunga tanaman mahula (Madhuca
latifolia L) dimanfaatkan oleh Swain et al. (2007) untuk produksi etanol dengan
hasil etanol yang diperoleh yaitu sebesar 33.99 g/l (4.27% v/v). Laopaiboon et al.
(2007) menggunakan sorghum untuk produksi bioetanol secara batch dan fed
batch. Hasil yang diperoleh yaitu sistem fed batch lebih efisien bila dibandingkan
dengan sistem batch dalam produksi bioetanol. Sukairi (2008), menggunakan
tepung tapioka untuk produksi bioetanol secara fermentasi batch menggunakan
S.cerevisiae, konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 6.46% (v/v). Wahyuni
(2008), melakukan penelitian rekayasa bioproses pembuatan bioetanol dari sirup
glukosa ubi jalar. Hasil etanol yang diperoleh pada sistem batch sebesar
10.27±0.424% (v/v) dengan nilai efisiensi substrat 90.11%, dan pada sistem fed
batch konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 21.385±0.573% (v/v) dengan
nilai efisiensi substrat 55.64%. Zhang et al. (2009), menggunakan tongkol jagung
kering dalam memproduksi bioetanol dengan proses fermentasi fed batch SSF
selama 96 jam. Hasil etanol yang diperoleh dari proses fermentasi tersebut adalah
sebesar 84.7 g/l. Wayan (2009), menggunakan ubi kayu dalam pembuatan
bioetanol dengan proses fermentasi secara bertahap. Hasil kadar etanol yang
diperoleh dari proses tersebut adalah sebesar 11.777±2.228% (v/v) atau
9.29±1.76% (b/v).
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan bioetanol dari sirup glukosa ubi
jalar dengan mengkaji potensi bentuk bahan baku lain yang dapat digunakan
dalam pembuatan sirup glukosa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
Melalui penelitian ini juga dilakukan rekayasa bioproses pada sistem fed batch
dengan perubahan sistem pertumbuhan S.cerevisiae dari kondisi aerobik menjadi
anaerobik serta variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed
batch terekayasa. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan
rendemen bioetanol yang lebih tinggi dengan kandungan gula sisa yang rendah.
1.2 Rumusan Masalah
Pembuatan bioetanol dari ubi jalar dapat ditingkatkan perolehan etanol dan
efisiensinya dengan aplikasi rekayasa bioproses. Berdasarkan latar belakang di
atas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah mengembangkan
aplikasi rekayasa bioproses pada sistem fed batch terekayasa dengan perubahan
kondisi pertumbuhan S.cerevisiae dari aerobik ke anaerobik serta melakukan
variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch terekayasa.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memproduksi bioetanol dari
sirup glukosa dengan menggunakan S. cerevisiae pada produktivitas dan efisiensi
yang tinggi. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk :
1.
Menentukan bentuk bahan baku ubi jalar yang terbaik untuk pembuatan sirup
glukosa ubi jalar;
2.
Menentukan konsentrasi substrat yang terbaik pada sistem fed batch
terekayasa yang menghasilkan bioetanol pada tingkat rendemen yang lebih
tinggi dengan kadar gula sisa yang lebih rendah.
1.4 Hipotesa Penelitian
Produksi bioetanol dari sirup glukosa menggunakan khamir S. cerevisiae
secara fed batch terekayasa dengan memilih konsentrasi penambahan substrat
yang tepat diharapkan dapat menghasilkan etanol pada produktivitas (rendemen)
dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah).
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah :
1.
Karakteristik kimia umbi dan pati ubi jalar;
2.
Pembuatan sirup glukosa ubi jalar dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi
jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar dengan metode enzimatis;
3.
Kultivasi fed batch terekayasa dengan pengaturan kondisi aerasi (penghentian
aerasi saat biomassa maksimum) serta pengaturan konsentrasi substrat yang
diumpankan (variasi konsentrasi substrat) untuk menghasilkan etanol dengan
produktivitas yang tinggi (rendemen) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang
rendah);
4.
Perhitungan
kinetika
fermentasi
dilakukan
untuk
mengetahui
nilai
peningkatan produk (etanol) yang dihasilkan, rendemen (yield) pemakaian
substrat
terhadap
pembentukan
sel
dan
produk,
rendemen
pembentukan produk terhadap sel serta efisiensi penggunaan substrat.
(yield)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Jalar
Ubi jalar sebagai salah satu komoditas pertanian penghasil karbohidrat dan
sumber energi yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki
peringkat keempat setelah padi, jagung dan ubi kayu. Sehingga ubi jalar memiliki
peran yang penting sebagai cadangan pangan yang bila produksi padi dan jagung
tidak mencukupi lagi. Ubi jalar dikenal sebagai bahan pangan alternatif sebagai
pengganti beras dan jagung (Juanda dan Bambang 2004).
Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian yang tergolong tanaman semusim
(berumur pendek). Tanaman ubi jalar hanya satu kali berproduksi dan setelah itu
tanaman mati. Tanaman ubi jalar tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan
panjang tanaman dapat mencapai 3 meter, tergantung pada varietasnya (Rukmana
2006). Klasifikasi lengkap ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledone
Ordo
: Convolvulales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea batatas L.
Ubi jalar mempunyai keragaman jenis yang cukup banyak, yang terdiri dari
jenis-jenis lokal dan varietas unggul. Jenis-jenis ubi jalar tersebut mempunyai
perbedaan yaitu pada bentuk, ukuran, warna daging umbi, warna kulit, daya
simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen. Varietas ubi jalar
cukup banyak diantaranya adalah Mendut, Kalasan, Lampenang, Sawo, Sukuh,
Cilembu, Rambo, Georgia, Borobudur, Gedang, Tumpuk, Muara Takus, Klenang
dan lain-lain. Varietas unggul dari Papua diantarannya Salosa, Patiki, dan
Sawentar (Suhartina 2005). Pada umumnya ubi jalar dibagi dalam dua golongan
yaitu ubi jalar yang berumbi lunak karena banyak mengandung air dan ubi jalar
yang berumbi keras karena banyak mengandung pati (Lingga et al. 1986).
Menurut Suprapti (2003), ubi jalar dapat tumbuh hampir di semua jenis
tanah termasuk lahan kritis. Kondisi tanah yang paling ideal untuk budidaya ubi
jalar berada di dataran rendah 500 m di atas permukaan laut. Tanaman ubi jalar.
mudah beradaptasi pada lingkungan termasuk tanah dengan aerasi dan drainase
yang kurang baik. Potensi pengembangan produksi ubi jalar di Indonesia disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar Indonesia
Tahun
Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)
2000
194.262
1.827.687
9.4
2001
181.026
1.749.070
9.7
2002
177.276
1.771.642
10
2003
197.455
1.991.478
10.1
2004
184.546
1.901.802
10.3
2005
178.336
1.856.969
10.4
2006
176.507
1.854.238
10.5
2007
176.232
1.886.852
10.6
2008
170.079
1.824.140
10.7
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008b)
Ubi jalar bisa ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Pada
umumnya di daerah pedesaan mempunyai produktifitas sekitar 10 ton per hektar.
Sedangkan dengan teknik budidaya yang tepat beberapa ubi jalar dapat
menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah per hektar. Terdapat 8 varietas unggul
yang dilepas sejak tahun 1990 hingga 2001. Varietas-varietas ini selain
mempunyai produktivitas tinggi, juga mempunyai sifat agak tahan terhadap hama
boleng Cylas formicarius dan penyakit kudis Sphaceloma batatas.
Pada
umumnya di dataran rendah, ubi jalar dipanen pada umur 3.5 sampai dengan 5
bulan. Sedangkan di dataran tinggi ubijalar dipanen pada umur 5 sampai dengan 8
bulan (Gadang BKP Jatim 2008).
Ubi jalar memiliki waktu panen yang lebih singkat jika dibandingkan
dengan beberapa tanaman umbi lainnya yang ada di Indonesia.
Tabel 2
menunjukkan perbandingan karakteristik beberapa tanaman umbi di Indonesia.
Umur panen ubi jalar lebih singkat (3 – 3.5 bulan) serta produktivitas cukup tinggi
(10-30 ton/ha). Selain itu, ubi jalar cocok ditanam disemua jenis tanah atau pada
daerah yang marijinal yang tidak terlalu subur, tidak membutuhkan pupuk yang
banyak untuk pertumbuhannya. Dengan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh
ubi jalar, maka diharapkan ubi jalar dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
bahan baku pada pembuatan bahan bakar yang sumbernya dari alam (biofuel)
khususnya untuk pembuatan bioetanol.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik tanaman penghasil bioetanol
Karakteristik Ubi Jalar
Singkong
Tebu
Kentang
Tanah
Tanah
Cocok
Jenis Tanah
Cocok
lembab
lembab
untuk
untuk
semua jenis
semua
tanah
jenis tanah
pH
5.5 – 7.5
4.5 – 8
5–6
5.5 – 6.0
Kebutuhan
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
pupuk
Masa panen
3 – 3.5
6 – 12
8 – 14
3–7
(bulan)
Kandungan
98.13
51.36
Kadar
18
Karbohidrat
sukrosa =
(%) bk
10 %
Produktivitas
11 – 30
10 – 13
90
13.7
(ton/tahun)
Sumber : Departemen Pertanian (2008)
Talas
Tanah
lembab
5–6
Tinggi
6 – 10
21 – 27
30
2.2 Sirup Glukosa
Sirup glukosa merupakan suatu larutan yang diperoleh dari pati atau sumber
karbohidrat lain melalui hidrolisa yang komponen utamanya adalah glukosa
(Judoamidjojo et al. 1989). Defenisi sirup glukosa menurut SNI 01-2978-1992
adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utamanya glukosa, yang
diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Menurut Maiden
(1970), glukosa cair berupa larutan dengan kekentalan antara 32-35 Be yang
dihasilkan melalui hidrolisis pati dengan katalis asam, enzim, dan gabungan
keduanya. Zat pati yang dapat dihidrolisis berasal dari bahan yang mengandung
pati seperti jagung, gandum, ubi kayu dan ubi jalar.
Sirup glukosa atau sering juga disebut gula cair mengandung D-glukosa,
maltosa, dan polimer D-glukosa yang dibuat melalui proses hidrolisis pati. Proses
hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H12O6)n
menjadi unit-unit monosakarida (C6H12O6). Produk-produk hasil hidrolisis pati
umumnya dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan
dengan nilai DE (Dextrose Equivalent) yang menunjukkan persentase dari
dekstrosa murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Dekstrosa murni
adalah dekstrosa dengan derajat polimerisasi 1 (unit dekstrosa tunggal). Suatu
produk hidrolisis pati dengan nilai DE 15, menunjukkan bahwa persentase
dekstrosa murni pada produk kurang lebih sebesar 15 % (bk) (Meyer, 1978).
Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan menggunakan katalis enzim, asam atau
gabungan keduanya pada waktu, suhu dan pH tertentu.
Pada hidrolisis pati dengan asam, molekul pati akan dipecah secara acak
oleh asam dan gula yang dihasilkan sebagian besar merupakan gula pereduksi.
Proses hidrolisis menggunakan katalis asam juga memerlukan suhu yang sangat
tinggi yaitu 120 - 160 oC. Menurut Judoamidjojo (1992), hidrolisis pati secara
asam hanya akan mendapatkan sirup glukosa dengan dekstrosa equivalen (DE)
sebesar 55. Kelemahan dari hidrolisis pati secara asam antara lain yaitu diperlukan
peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra
tertentu saja karena katalis asam menghidrolisa secara acak. Jika nilai ekuivalen
dekstrosa ditingkatkan, selain terjadi degradasi karbohidrat, juga terjadi
rekombinasi produk degradasi yang dapat berpengaruh terhadap warna, rasa pada
sirup glukosa yang dihasilkan.
Pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat menghasilkan rendemen
dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara hidrolisis
asam. Pada hidrolisis pati secara enzimatis, enzim memutus rantai pati secara
spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis pati secara enzim dapat
menghasilkan sirup glukosa dengan dekstrosa equivalen (DE) lebih dari 95%.
Penggunaan enzim dapat mencegah terjadinya reaksi sampingan karena sifat
enzim sangat spesifik, sehingga dapat mempertahankan flavor dan aroma bahan
dasar.
Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri dari tiga tahapan
dalam mengkonversi pati, yaitu gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi.
Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, likuifikasi
merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya
viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk
menghasilkan glukosa (Chaplin dan Buckle 1990).
Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-(1.4) glikosidik oleh
enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak hingga
dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Tahap likuifikasi
dilakukan sampai mencapai derajat konversi sekitar 10-20% DE, atau sampai
cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan dengan larutan iodium. Tujuan
dari likuifikasi adalah untuk melarutkan pati secara sempurna, mencegah
isomerisasi gugusan pereduksi dari glukosa dan mempermudah kerja enzim αamilase untuk menghidrolisa pati (Judoamidjojo et al. 1989). Dalam proses
likuifikasi, hal yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi substrat, penggunaan
enzim yang stabil pada suhu tinggi, pengaturan suhu, pengaturan pH dan
pengadukan serta pemanasan segera dan kontinu. Pengaturan pH larutan dapat
digunakan NaOH dan HCl.
Sakarifikasi merupakan proses dimana oligosakarida sebagai hasil dari tahap
likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran
menjadi glukosa. Pada proses sakarifikasi, oligosakarida sebagai hasil dari tahap
likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim amiloglukosidase.
Faktor yang sangat penting diperhatikan pada proses sakarifikasi adalah dosis
enzim yang digunakan dan waktu sakarifikasi (Hartoto et al. 2005).
2.3 Enzim Penghidrolisis Pati
Enzim yang dapat menghidrolisis pati terdiri dari dua jenis yaitu enzim yang
dapat memecah ikatan α-1.4 glikosidik dan enzim yang dapat mengkatalis
hidrolisa spesifik dari ikatan α-1.6 glikosidik pada amilopektin. Grup yang
pertama dibedakan lagi atas endo-enzim yang memecah ikatan α-1.4 glikosidik
secara random atau pada ikatan yang berada di tengah rantai polimer, dan secara
ekso-enzim yang memecah ikatan α-1.4 glikosidik dari bagian ujung polimer
(Judoamidjojo et al. 1989).
2.3.1 Enzim alfa amilase
Enzim α-amilase menghidrolisis ikatan ikatan α-1.4 glikosidik amilosa,
amilopektin dan glikogen. Enzim ini bersifat sebagai endoamilase yaitu enzim
yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul.
Hidrolisis amilosa oleh α-amilase terjadi melalui dua tahap.
Tahap pertama
adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak.
Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti pula dengan menurunnya viskositas
dengan cepat.
Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan
maltosa sebagai hasil akhir. Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan
glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang
terdiri dari empat atau lebih residu glukosa yang mengandung ikatan α-1.6
glikosidik (Suhartono 1989).
Aktivitas α-amilase dapat diukur berdasarkan
penurunan kadar pati yang larut dan kadar dekstrin yang terbentuk, pengukuran
viskositas atau jumlah gula pereduksi yang terbentuk. Adanya amilosa pada pati
atau dekstrin dapat diketahui berdasarkan warna yang terjadi bila diberikan
iodium.
Amilosa dengan iodium akan memberikan warna biru, sedangkan
dekstrin dengan iodium berwarna coklat (Judoamidjojo et al. 1989).
Enzim α-amilase terbagi atas dua golongan yaitu α-amilase termostabil yang
banyak digunakan pada proses likuifikasi pada suhu tinggi, dan α-amilase
termolabil yang banyak digunakan pada proses sakarifikasi. Mikroorganisme
penghasil enzim amilase dapat berupa bakteri dan kapang. Bakteri yang dapat
menghasilkan amilase diantaranya B. Subtilis, B licheniformis, Aspergillus sp.,
Bacillus sp., dan Bacillus circulans (Arcinthya 2007). Bakteri tersebut
menghasilkan amilase yang bersifat termostabil yaitu, enzim tersebut dapat aktif
atau bekerja dalam suhu yang tinggi sehingga proses hidrolisis akan menjadi lebih
mudah dan cepat dengan adanya bantuan panas atau suhu, sehingga proses
pemutusan ikatan polisakarida lebih mudah. Menurut Fogarty (1983), enzim αamilase pada umumnya stabil pada kisaran pH 5.5-8.0. Enzim α-amilase dari B.
licheniformis mempunyai aktivitas optimum pH 6.5 dan suhu 90oC (Berghmans
1980).
2.3.2 Enzim Glukoamilase (AMG)
Enzim glukoamilase juga disebut amiloglokosidase yang disingkat AMG,
gamma amilase serta α-1.4 D-glukan glukohidrolase atau EC 3.2.1.3 (Fogarty
1983). Enzim glukoamilase memecah ikatan polimer monosakarida pada bagian
luar dan menghasilkan unit-unit glukosa dari ujung non-pereduksi rantai polimer
polisakarida. Aktifitas enzim ini akan menurun secara drastis bila sampai pada
ikatan glukosida α-1.6.
Enzim-enzim yang tergolong di dalam kelompok glukoamilase ini dapat
diperoleh dari bagian strain Aspergillus dan Rhizopus. Enzim glukoamilase
bersifat eksoamilase yaitu dapat memutus rantai pati menjadi molekul-molekul
glukosa pada bagian non pereduksi dari molekul tersebut. Baik ikatan α-1.4
maupun α-1.6 dapat diputuskannya (Tjokroadikoesoemo 1986).
Aktivitas optimum enzim glukoamilase dipengaruhi oleh pH dan suhu.
Sumber enzim yang berbeda akan menghasilkan enzim dengan kondisi aktivitas
yang berbeda pula. Menurut Fogarty (1983), pH optimal enzim tersebut berkisar
antara 4.5 – 5.0, tetapi hal itu juga tergantung sumber enzimnya. Suhu
optimumnya berkisar antara 40 – 50oC. Pada umumnya mikroba termofilik akan
menghasilkan enzim glukoamilase yang relatif tahan terhadap panas, demikian
juga sebaliknya mikroba mesofilik pada umumnya menghasilkan enzim
glukoamilase yang kurang tahan panas.
2.4 Bioetanol
Bioetanol merupakan etanol atau etil alkohol (C2H5OH) atau sering juga
disebut dengan grain alcohol.
Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan
mempunyai bau yang khas, biodegradable, kadar racun yang rendah dan sangat
sedikit menimbulkan polusi bagi lingkungan. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar
0.7937 dan titik didihnya 78.32oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah
larut dalam air dan eter dan mempunyai panas pembakaran 328 Kkal.
Bioetanol diperoleh dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat
menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol umumnya digunakan dalam
industri sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman
keras seperti sake atau gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan
kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan
kadar alkohol 90-94 %, netral dengan kadar alkohol 96-99.5 %, umumnya
digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi, dan grade bahan bakar
dengan kadar alkohol diatas 99.5 – 100 % (Hambali et al. 2007).
Bahan baku untuk pembuatan bioetanol secara fermentasi berupa
karbohidrat, dan hampir semua karbohidrat terbentuk dalam tanaman melalui
proses fotosintesa, baik sebagai gula (sakarida) yang terdiri dari satu atau dua
gugus sakarosa, maupun senyawa lebih komplek sebagai zat pati dan selulosa.
Bahan hasil pertanian yang berkadar pati tinggi, meliputi biji-bijian (gandum,
jagung, beras, dll), kacang-kacangan dan umbi-umbian (kentang, ubi jalar dan ubi
kayu). Karbohidrat dalam bentuk zat pati tersebut untuk pembuatan etanol harus
dihidrolisa dahulu menjadi glukosa (Assegaf, 2009).
Pada Tabel 3 disajikan
berbagai jenis tanaman yang biasa dibudidayakan dan dapat dijadikan bahan baku
bioetanol.
Tabel 3. Tanaman penghasil bioetanol
Etanol
Produktivitas
Tanaman
(1/ton)
(t/ha)
Ubi kayu
180
40
Umur panen
(bulan)
9
Etanol
(1/ha/tahun)
7200
Jagung
385
6
3.5
4620(6930)*
Ubi jalar
142
20
4
5680 (8520)*
Sweet sorgum
76.7
6
4
920.4(1378.8)*
Biji sorgum
389
4
3.5
3112(4668)*
Talas
142
20
10
* diganti oleh penulis dengan 3 kali panen ubi jalar dalam setahun
2840
Sumber : Shintawaty (2006)
Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar mempunyai beberapa
kelebihan, diantaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut
memiliki nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium dengan nilai oktan 88, dan
pertamax dengan nilai oktan 94 (Mursyidin 2007). Penggunaan bioetanol di
Indonesia dijadikan sebagai bahan pensubtitusi,
yang pada umumnya masih
dalam bentuk campuran dengan bensin dalam konsentrasi 10% (E-10) yaitu 10
persen bioetanol dan 90 persen bensin. Campuran bioetanol dalam bensin dikenal
dengan istilah gasohol. Penambahan etanol dalam bensin disamping dapat
menambah volume bahan bakar minyak juga dapat meningkatkan nilai oktan
bensin. Disamping itu, penambahan etanol dalam bensin dapat berfungsi sebagai
sumber oksigen sehingga dapat menghasilkan pembakaran yang lebih bersih. Pada
point ini bioetanol dapat diposisikan sebagai pengganti methyl tertiary-butyl ether
(MTBE) yang banyak digunakan sebagai bahan aditif dalam bensin.
Etanol sebagai bahan bakar memiliki karakteristik yang mirip dengan bensin
sehingga dapat digunakan untuk mensubstitusinya. Etanol bersifat mudah terbakar
dengan nyala biru tanpa jelaga serta mudah menguap. Jika dibandingkan dengan
bensin, etanol memiliki karakteristik yang lebih baik. Dilihat dari rumus
kimianya, (C2H5OH), etanol mengandung 35 persen oksigen sehingga dapat
meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca,
bersifat ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah terhadap senyawasenyawa yang berpotensi sebagai polutan (karbon monoksida, nitrogen oksida,
dan gas-gas rumah kaca), mudah terurai dan aman karena tidak mencemari air.
Kelebihan lain yang dimiliki bioetanol dibandingkan dengan bensin yaitu dapat
diperbaharui dan cara pembuatannya yang sederhana yaitu melalui fermentasi
menggunakan mikroorganisme tertentu.
Pembuatan bioetanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi
adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Proses
fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk mengkonversi
glukosa menjadi bioetanol yang bersifat anaerob yaitu, tidak memerlukan oksigen
(O2).
Menurut Judoadmidjojo et al. (1989), proses fermentasi pembentukan etanol
membutuhkan bantuan yeast atau khamir. Untuk bahan yang mengandung gula
dalam bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus diubah dulu
dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu monosakarida (fruktosa atau glukosa).
Yeast tersebut akan merubah gula-gula sederhana yaitu fruktosa atau glukosa
(C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2). Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut :
C6H12O6
Monosakarida
Æ
2 C2H5OH + 2 CO2
Etanol
Karbondioksida
Menurut Paturau (1981) bahwa fermentasi etanol membutuhkan waktu 3072 jam. Prescott dan Dunn (1981) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol
yang diperlukan adalah 3 sampai 7 hari. Frazier dan Westhoff (1978)
menambahkan suhu optimum fermentasi 25-30 oC dan kadar gula 10 – 18 persen.
2.5 Khamir
Khamir maupun bakteri dapat digunakan untuk memproduksi etanol.
Khamir Saccharomyces cerevisiae var ellipsoides mampu menghasilkan etanol
dalam jumlah tinggi (16-18%) pada media yang sesuai. Khamir yang lain yang
dapat digunakan adalah Schizosaccharomyces sp., S. uvarum dan Kluyveromyces
sp. Bakteri Zymomonas mobilis diketahui merupakan penghasil etanol yang
potensial (Hartoto 1992).
Khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon,
hidrogen, oksigen, fosfor, potasium zat besi dan magnesium.
Unsur karbon
banyak diperoleh dari gula, sedangkan sebagai sumber notrogen dapat digunakan
amonia, garam amonium, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea tergantung
dari jenis khamir (Prescott dan Dunn 1981).
Menurut Frazier dan Westhoff (1978), khamir tumbuh optimum pada suhu
25-30oC dan maksimum pada suhu 35-47oC, pH yang disukai antara 4-5. Batas
minimal aw untuk khamir biasa adalah 0.88-0.94 sedangkan khamir osmofilik
dapat tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0.62-0.65, namun banyak
juga khamir osmofilik pertumbuhannya terhenti pada aw 0.78 seperti pada larutan
garam ataupun sirup gula.
Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa
serta rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). S. cerevisiae merupakan top yeast
tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC (Frazier dan
Westhoff 1978). S. cerevisiae dapat toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi
(12-18 % v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan
fermentasi pada suhu 4-32oC (Harisson dan Graham 1970).
Menurut Hartoto (1992), pada kondisi aerobik atau konsentrasi glukosa
tinggi S. cerevisiae tumbuh dengan baik, namun alkohol yang dihasilkan rendah.
Sedangkan pada kondisi anaerobik, pertumbuhan lambat dan piruvat dari jalur
katabolik dipecah oleh enzim piruvat dekarboksilase menjadi asetaldehid dan
karbondioksida secara reduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada kondisi
aerobik, pemecahan gula mengikutsertakan oksigen atmosfir melalui beberapa
lintasan proses. Pada respirasi oksidasi sempurna dari glukosa menghasilkan CO2
dan air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain-lain
produk intermediet.
Pertumbuhan khamir cukup bervariasi dari suhu 0 oC sampai 47 oC. Secara
umum, khamir dapat tumbuh dengan baik pada suasana asam, yaitu pH 3.5
sampai 3.8 yang dapat menghambat sebagian bakteri. Toleransi asamnya adalah
selang pH 2.2 sampai 8.0. Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui
jalur Embden-Meyerhof-Parnas Pathway atau lebih dikenal dengan jalur
glikolisis. Alur dari tahap glikolisis disajikan pada Gambar 01.
Hasil dari tahap glikolisis atau jalur EMP adalah memecah glukosa menjadi
dua molekul asam piruvat.
Proses yang terjadi dalam jalur glikolisis adalah
sebagai berikut :
1. Glikolisis diawali dengan reaksi pembentukan senyawa glukosa-6-fosfat dari
glukosa. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang membutuhkan energi yang
diambil dari pemutusan ikatan fosfat dari ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh
enzim heksokinase atau glukokinase.
Pada tahap ini, satu molekul ATP
digunakan dan satu molekul ADP dihasilkan;
2. Reaksi kedua adalah pembentukan isomer fruktosa-6-fosfat dari glukosa-6fosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim fosfoheksosa isomerase.
3. Fruktosa-6-fosfat selanjutnya dikonversi menjadi fruktosa-1,6-bisfosfat oleh
enzim fosfofruktokinase. Reaksi ini berjalan spontan dan merupakan rate
limiting step pada proses glikolisis. Pada tahap ini pun satu molekul ATP
digunakan dan satu molekul ADP dihasilkan;
4. Tahap selanjutnya adalah reaksi pemecahan fruktosa-1,6-bisfosfat oleh enzim
aldolase menjadi dihidroksiasetonfosfat (DHAP) dan gliseraldehid-3-fosfat
(GA-3P).
Tahap ini merupakan salah satu tahap penting dalam proses
glikolisis (dimana C6 dirubah menjadi 2C3); DHAP dan GA-3P merupakan
senyawa yang memiliki susunan molekul yang sama; GA-3P langsung
digunakan dalam tahap selanjutnya glikolisis dan DHAP dikonversi menjadi
GA-3P oleh enzim triosefosfat isomerase;
5. Gliseraldehid-3-fosfat (GA-3P) dioksidasi dengan penambahan fosfat
inorganis
(Pi)
menjadi
1,3-difosfo-gliserat
gliseraldehid-3-fosfat-dehidrogenase.
(1,3-dP-GA)
oleh
enzim
Gambar 01. Tahap Glikolisis (Embden-Meyerhof-Parnas Pathway) (Crueger dan
Anneliese 1984)
6. 1,3-difosfo-gliserat melepaskan satu grup fosfat untuk membentuk ATP dan
ADP dan kemudian dikonversi menjadi 3-fosfogliserat (3P-GA) oleh enzim 3fosfogliseratkinase;
7. 3-fosfogliserat (3P-GA) selanjutnya dikonversi menjadi 2-fosfogliserat (2PGA) oleh enzim fosfogliserat mutase;
8. 2-fosfogliserat (2P-GA) selanjutnya didehidrasi menjadi fosfofenol piruvat
oleh enzim enolase;
9. Tahap terakhir dari jalur glikolisis adalah defosforelasi fosfofenol piruvat
(PEP) menjadi piruvat oleh enzim piruvat kinase; pada tahap ini dibentuk
sebuah molekul ATP.
Reaksi setelah pembentukan DHAP dan GA-3P selama proses glikolisis
berlangsung sebanyak dua kali. Piruvat yang merupakan produk akhir dari tahap
glikolisis ini merupakan kunci pada proses metabolisme. Secara keseluruhan,
reaksi dari proses glikolisis adalah sebagai berikut :
Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi Æ 2 pyruvate + 2 ATP + 2 (NADH + H+)
Setelah melalui tahapan glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian diubah
menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvate dekarboksilase, setelah itu
enzim alkohol dehidrogenase mengubah asetaldehid menjadi alkohol.
Gambar 02. Proses Pembentukan Etanol dari Piruvat
2.5 Kultivasi Sistem Fed Batch
Sistem fed batch merupakan kultur batch yang diumpankan dengan media
secara kontinyu atau berurutan tanpa pengambilan cairan kultur, sehingga volume
kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Kultivasi fed batch umumnya
lebih unggul dibandingkan dengan sistem batch dan kontinyu, terutama untuk
mengubah konsentrasi media membentuk produk dengan produktivitas yang
tinggi (Son et al. 2007).
Kultur fed batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang
dapat dioperasikan dalam dua cara yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan
dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat
terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat
menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik (Stanbury dan
Whitaker 1984).
Pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh
konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase
stasioner (Xmaks), dijelaskan dengan persamaan 1 (dengan asumsi bahwa jumlah
inokulum awal tidak signifikan dibandingkan biomassa akhir).
Xmax ≈ YSR
(1)
Dimana,
Y
= yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi)
SR
= konsentrasi substrat dalam media.
Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang
lebih kecil daripada µmax maka sebenarnya semua substrat akan dikonsumsi saat
diumpankan ke dalam sistem. Meskipun jumlah volume dalam bejana bertambah
seiring waktu kultivasi namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan,
yaitu (dx/dt ≈ 0) dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada
dalam quasi-steady state. Semakin bertambahnya waktu kultivasi dan volume
kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan pada persamaan 2.
D = F/Vo + F.t
(2)
Dimana,
D
= laju dilusi
F
= laju pengumpanan
Vo
= volume awal kultur
T
= waktu pengumpanan pada operasi fed batch
Kinetika Monod memperkirakan bahwa jika nilai D turun maka konsentrasi
residu substrat juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi biomassa. Pada laju pertumbuhan yang lebih tinggi, konsentrasi
substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan
peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed
batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan
secara ekponesial (Trevan et al. 1987).
2.7 Kinetika Fermentasi
Mikroorganisme tumbuh dalam suatu spektrum lingkungan fisik dan
kimiawi yang sangat luas, pertumbuhannya dan kegiatan-kegiatan fisiologik
lainnya merupakan suatu respon terhadap lingkungan fisiko kimiawinya. Kinetika
fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk oleh
mikroorganisme, bukan hanya pertumbuhan sel aktif, tetapi juga kegiatankegiatan sel sel-sel istirahat dan sel mati, berhubung masih banyak produk-produk
komersial diproduksi setelah pertumbuhan mikroorganisme terhenti.
Menurut Judoamidjojo et al. (1992), pertumbuhan mikrobial biasanya
dicirikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel atau
jumlah sel. Waktu ganda massa dapat berbeda dengan waktu ganda sel, karena
massa sel dapat meningkatkan tanpa peningkatan dalam jumlah sel.
Namun
demikian bila pada suatu lingkungan tertentu interval antara massa sel atau
penggandaan jumlah adalah konstan dengan waktu, maka organisme itu tumbuhan
pada kecepatan eksponensial. Pada keadaan ini pertumbuhan dinyatakan sebagai :
dX
= µX
dt
(1)
atau
dN
= µn N
dt
(2)
Dimana :
X = konsenstrasi sel (g/l)
N = jumlah sel (sel/l)
µ = laju pertumbuhan spesifik dalam jam-1 (massa)
t
= waktu (menit)
µn = laju pertumbuhan spesifik dalam jam-1 (jumlah)
Persamaan (1) menggambarkan peningkatan massa sel dan kesetimbangan
dan persamaan (2) menggambarkan peningkatan jumlah sel dengan fungsi waktu.
Pada umumnya pertumbuhan diukur dengan peningkatan massa, sehingga µ dapat
digunakan. Jika persamaan (1) diintegralkan maka akan menjadi :
∫
X2
X1
dx / x =
∫
t2
t1
µ dt
(3)
Bila laju pertumbuhan spesifik tetap, maka akan menghasilkan :
ln
x2
= µ ∆t
x1
(4)
Untuk kasus dimana ∆t = td, maka :
td =
ln 2
µ
=
0,693
µ
(5)
Dimana td adalah waktu ganda sel.
Selama fermentasi batch, laju pertumbuhan spesifik adalah konstan dan
tidak tergantung pada perubahan konsentrasi nutriennya (Stanbury dan Whitaker
1984). Bentuk hubungan antara laju pertumbuhan dan konsentrasi substrat telah
diteliti oleh Monod (1942), dengan persamaan sebagai berikut :
µmax S
µ =
Ks + S
Dimana,
µ
= laju pertumbuhan spesifik
µmax
= laju pertumbuhan spesifik yang maksimal
S
= konsentrasi substrat
Ks
= konstanta penggunaan substrat, nilainya sama dengan konsentrasi
substrat pada saat µ = ½ µmax dan merupakan ukuran afinitas
mikroorganisme terhadap substrat
Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme merupakan
proses biokonversi. Dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada fermentasi
dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit. Setiap konversi dapat
dikuantifikasikan oleh suatu koefisien hasil yang dinyatakan sebagai massa sel
atau produk yang terbentuk per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s
untuk sel dan Yp/s untuk produk yang dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
∆x
Yx/s =
∆S
∆p
Yp/s =
∆S
Dimana,
Yx/s = rendemen pembentukan sel oleh substrat
Yp/s = rendemen pembentukan produk oleh substrat
Menurut Sa’id (1987) bahwa tumbuh yang dicirikan oleh peningkatan massa
sel, hanya terjadi bilamana kondisi-kondisi kimiawi dan fisika tertentu terpenuhi,
misalnya terdapatnya suhu dan pH yang dapat sesuai dan tersedianya nutrien yang
dibutuhkan. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk memperlihatkan
kemampuan sel dalam memberikan respon terhadap lingkungan.
Pertumbuhan mikroorganisme secara batch yang ditumbuhkan pada medium
tertentu, memiliki kurva seperti yang disajikan pada Gambar 03. Umumnya,
pertumbuhan diukur dengan pengukuran massa sel. Fase pertumbuhan dimulai
pada fase adaptasi, fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan
logaritma (eksponensial), fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner
maksimum, fase kematian dipercepat, dan fase kematian logaritma.
Pada fase adaptasi, mikroba baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri
pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang.
Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase.
Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan
logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan
konstan. Selama fase logaritmik, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel
sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya
penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan.
Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan
sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner
maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel
hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel
hidup konstan, seolah-olah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Pada
fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel terus meningkat sedang
kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka
kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun
dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup
tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap
bertahan sangat lama dalam medium tersebut.
Gambar 03. Kinetika Fermentasi batch. Kurva : (a) memperlihatkan massa sel bila
tidak terjadi lisis, (b) massa sel bila terjadi lisis dan diikuti
pertumbuhan kriptik, dan (c) “Viabel Cell Count” bila terjadi lisis
(Wang et al. 1979).
Menurut Wang et al. (1979), pertumbuhan juga dapat dihubungkan dengan
konsumsi nutrien selain dihubungkan dengan pembentukan produk. Pembentukan
produk tidak mungkin terjadi tanpa adanya sel. Oleh karena itu, diharapkan
pertumbuhan dan pembentukan produk sangat erat kaitannya dengan penggunaan
nutrien, dan ini tergantung pada kontrol pengaturan metaboliknya.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Penelitian produksi bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar dilakukan sebagai
upaya peningkatan nilai tambah dari ubi jalar. Penelitian dilakukan pada skala
labarotorium dengan menggunakan bahan-bahan untuk ekstraksi dan analisa.
Analisa menggunakan bahan kimia analitik untuk menjamin tingginya kualitas
data yang dihasilkan. Skema kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 06.
3.2 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Desember 2009 di
Laboratorium Balai Besar Penelitian Pascapanen Bogor dan Laboratorium
Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi
Institut Pertanian Bogor. Beberapa laboratorium penunjang antara lain
Laboratorium Instrumen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor,
Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas Institut
Pertanian Bogor.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan
baku
yang
digunakan
adalah
ubi
jalar
varietas
Sukuh.
Mikroorganisme yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Bahan yang
digunakan untuk likuifikasi,sakarifikasi dan fermentasi meliputi : enzim α-amilase
(Liquizymes), enzim amiloglukosidase (Dextrozymes), aquades, CH3COOH,
ekstrak khamir, ekstrak malt, glukosa, peptone, NaOH, HCl, NPK, (NH4)2SO4,
trace element, alumunium foil, kapas, tisu. Bahan kimia yang digunakan untuk
analisa meliputi : fenol, H2SO4, 3.5-Dinitrosalisilat (DNS).
Alat-alat yang digunakan adalah wadah plastik, parut, kain saring 150 mesh
dan 250 mesh, Erlenmeyer, gelas ukur, inkubator, oven, kertas saring, waterbath,
inkubator,
bioreaktor
2
liter,
pompa
peristaltik,
autoklaf,
timbangan,
spektrofotometer, tabung reaksi, eppendorf, botol sampling, botol vial, labu ukur,
pipet volume, mikropipet dan GC (Gas Chromatography).
3.4 Tahapan Penelitian
3.4.1 Pembuatan Pati Ubi Jalar
Pembuatan pati ubi jalar dilakukan secara ekstraksi basah yaitu ubi jalar
segar setelah pencucian dilakukan pemarutan ubi disertai dengan penambahan air
sebanyak 1 : 5 (ubi : air) yang digunakan untuk mengekstrak pati dari ampasnya.
Selanjutnya dilakukan pengendapan selama 8 – 12 jam, setelah terbentuk pati ubi
jalar basah kemudian dilakukan pengeringan dan dihasilkan pati ubi jalar kering.
Setelah itu dilakukan analisa proximat serta kadar pati dari pati ubi jalar yang
telah dibuat. Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar disajikan pada Gambar
04.
Gambar 04. Digram Alir Proses Pembuatan Pati Ubi Jalar (Wahyuni 2008)
3.4.2 Pembuatan Sirup Glukosa
Sirup glukosa dibuat dengan menggunakan metode enzimatis. Enzim yang
digunakan adalah enzim α-amilase dan enzim amiloglikosidase (AMG). Sirup
glukosa yang dibuat dari empat bahan ubi jalar yang berbeda yaitu dari umbi parut
ubi jalar, larutan pati ubi jalar, pati ubi jalar dan tepung ubi jalar. Setiap bahan
tersebut kemudian ditambahkan air dengan perbandingan 1 : 3, kemudian
dilakukan pengaturan pH 6 – 6.5.
Tahap likuifikasi, ditambahkan enzim α-
amilase 0.8 ml/kg bahan yang digunakan. Hidrolisat ubi jalar dipanaskan pada
suhu 90oC dengan pengadukan selama 1 jam.
Pada tahap ini, dilakukan
pengaturan pH 4.5 dengan menambahkan HCl. Pada tahap sakarifikasi, hidrolisat
ubi jalar ditambahkan enzim AMG dosis 0.8 ml/kg bahan yang digunakan pada
suhu 60oC selama 60 jam kemudian disaring.
Setelah itu, sirup glukosa
dinetralkan dengan NaOH pada pH 7. Selanjutnya, dilakukan pengujian kadar
total gula dan gula pereduksi. Diagram alir proses pembuatan sirup glukosa dari
variasi bahan baku ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7 dan 8.
3.4.3 Persiapan Kultur S. cerevisiae
Media yang digunakan untuk menumbuhkan khamir S. cerevisiae adalah
media YMGP yang terdiri atas 5 g ekstrak khamir, 5 g ekstrak malt, 5 g peptone,
dan 20 g glukosa serta 1 liter aquades. Mula-mula bahan ditimbang sesuai dengan
jumlah yang ditentukan, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan
dilarutkan dengan aquades. Labu erlenmeyer ditutup dengan menggunakan kapas
dan alumunium foil, selanjutnya dimasukkan ke dalam autoklaf dan disterilisasi
pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah sterilisasi selesai, labu erlenmeyer
dikeluarkan dari autoklaf dan didinginkan pada suhu kamar.
Pembuatan kultur dilakukan dengan cara memindahkan kultur murni khamir
S. cerevisiae dengan jarum Ose secara aseptis ke dalam media cair yang telah
disterilisasi. Kemudian erlenmeyer tersebut ditutup kembali dan difermentasikan
di dalam inkubator bergoyang selama 48 jam pada suhu kamar sebelum digunakan
sebagai media propagasi pada fermentasi etanol yang akan dilakukan.
(a)
(b)
Gambar 05. Media Propagasi : (a). Sebelum penambahan kultur; (b). Setelah
propagasi 48 jam
3.4.4
Kultivasi pada Sistem Fed batch Terekayasa
Pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi
dan agitasi. Sebanyak 600 ml sirup glukosa dengan konsentrasi subtrat 24% yang
telah dibuat sebelumnya dimasukkan ke dalam reaktor 2 liter. Setelah itu, reaktor
disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin,
kemudian ditambahkan sumber N dan trace element sebanyak 1% dari volume
substrat yang disterilisasi terpisah lalu dilakukan inokulasi dengan inokulum hasil
propagasi S. cerevisiae yang telah dibuat sebelumnya sebanyak 10% dari volume
substrat. Pada wadah lain, juga dipersiapkan substrat sirup glukosa yang telah
steril sebanyak 600 ml dengan menggunakan konsentrasi substrat 4%, 8%, 12%,
16%, dan 20% untuk dimasukkan ke dalam reaktor dengan laju alir lebih kecil
dari µ maksimal.
Hal ini dimaksudkan untuk melakukan sistem fed batch
terekayasa.
Variasi perlakuan yang dilakukan pada sistem fed batch terekayasa yaitu
pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi dan
agitasi, untuk selanjutnya setelah mencapai biomassa maksimum dilakukan
penambahan substrat secara fed batch terekayasa dengan menghentikan aerasi
namun agitasi tetap dilakukan. Penambahan substrat dilakukan dengan variasi
konsentrasi substrat yaitu 4%, 8%, 12%, 16%, dan 20%.
Tabel 4. Variasi Perlakuan yang dilakukan pada Penelitian Utama
Sistem
Fed batch
terekayasa
Kondisi Awal
Kultivasi
Aerobik :
• Aerasi dilakukan
• Agitasi dilakukan
Aerobik :
• Aerasi dilakukan
• Agitasi dilakukan
Konsentrasi
Substrat yang
ditambahkan
Penambahan
substrat, 4%, 8%, 12%,
anaerobik :
16%, dan 20%
• Aerasi tidak dilakukan
• Agitasi dilakukan
Kondisi Biomassa
Maksimum
Penambahan
substrat,
anaerobik :
• Aerasi dilakukan
• Agitasi dilakukan
Konsentrasi
yang optimal
pada fed batch
terekayasa
(stop aerasi)
3.4.5 Pengamatan, Analisa dan Parameter Fermentasi
Proses kultivasi dan fermentasi berlangsung selama 72 jam, untuk masingmasing perlakuan kondisi. Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan setiap
6 jam untuk mengetahui keadaan larutan fermentasi. Parameter yang digunakan
sebagai indikator kinerja proses fermentasi adalah :
1.
Kadar etanol yang diproduksi pada jam ke-18 dan jam ke-72 (akhir) sistem
fed batch terekayasa (p)
2.
Total biomassa atau sel khamir setiap 6 jam (x)
3.
Sisa substrat yang masih terdapat dalam media (s)
4.
Nilai rendemen (yield) pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan
produk (Yx/s dan Yp/s)
5.
Nilai rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x)
6.
Nilai efisiensi penggunaan substrat (1-S/So)
Ubi Jalar
Analisa proksimat meliputi :
Kadar air, Lemak, Protein,
Pati, Serat kasar, Abu
Pembuatan pati
ubi jalar
Umbi parut
ubi jalar
Analisa total gula, gula
pereduksi, efisiensi bahan
dalam pembuatan SG
Pembuatan sirup
glukosa (SG)
Tepung
Ubi jalar
Persiapan kultur
S.cerevisiae pada media
YMGP
Variasi konsentrasi substrat
yang diumpankan yaitu
konsentrasi 4%, 8%, 12%,
16%, dan 20% (pada jam ke18, stop aerasi-agitasi tetap
dilakukan)
Kultivasi fed
batch terekayasa
Kultivasi selama 72 jam,
sampling per 6 jam
Produksi etanol
• Analisa total gula sisa, biomassa
akhir, OD, pH, kadar etanol
• Perhitungan kinetika fermentasi
Konsentrasi substrat yang optimal
dengan produktivitas yang tinggi
(etanol yang tinggi) dan efisiensi
yang tinggi (gula sisa yang
rendah)
Larutan pati
Ubi jalar
Etanol
Gambar 06. Tahapan penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar
Ubi jalar yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar varietas Sukuh
yang merupakan salah satu varietas unggulan ubi jalar. Ubi jalar sebelum
digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan sirup glukosa dan bioetanol
terlebih dahulu dilakukan dianalisis komposisi kimianya yang meliputi kadar air,
abu, protein, serat kasar, lemak, dan pati. Hasil analisa proksimat ubi jalar segar
varietas Sukuh dan pati ubi jalar yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisa proksimat ubi jalar segar varietas Sukuh dan pati ubi jalar
yang dihasilkan
Parameter (%bb)
Ubi Jalar Segar
Pati Ubi Jalar
Kadar Air
56.78±1.067
9.95±0.312
Kadar Abu
1.08±0.213
0.42±0.007
Kadar Protein
0.95±0.081
0.90±0.450
Kadar Serat Kasar
0.78±0.176
0
Kadar Lemak
1.78±0.027
0.64±0.213
Kadar Pati
29.73±0.98
90.64±1.532
Kandungan air dalam bahan berpengaruh terhadap kesegaran dan daya
simpan bahan tersebut. Bahan yang mengalami penurunan kandungan air akan
tampak layu. Kandungan air ini dipengaruhi oleh varietas, lokasi, unsur hara
tanah, umur tanam dan iklim. Komposisi kimia ubijalar sebagian besar terdiri atas
air 72.8%, dan karbohidrat 24.3%, sedangkan komponen lainnya seperti protein,
lemak, vitamin dan mineral sangat tergantung terhadap faktor genetik dan kondisi
penanamannya (Richana 2009a). Berdasarkan hasil pengukuran analisa proksimat
kadar air ubi jalar segar varietas Sukuh yaitu sebesar 56.78±1.067% (b/b),
sedangkan menurut Wahyuni (2008), kadar air ubi jalar Sukuh sebesar
64.73±1.018 % (b/b) dan Darmajana (2008) melaporkan kandungan air ubi jalar
pada awal penyimpanan adalah 78.28 % (b/b). Ubi jalar varietas Sukuh
merupakan salah satu jenis ubi jalar putih yang memiliki kandungan air yang
rendah.Menurut Lingga et al. (1986), ubi jalar yang berumbi putih memiliki kadar
air yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan ubi jalar yang berumbi merah.
Kadar abu ubi jalar segar dan pati ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian
adalah masing-masing sebesar 1.08±0.213% (b/b) dan 0.42±0.007% (b/b),
hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Wahyuni
(2008) yaitu untuk ubi jalar segar sekitar 1.06±0,248% (b/b) dan pati ubi jalar
sekitar 0.27±0.086% (b/b). Menurut Sudarmadji et al. (1997), abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu
berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan,
kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.
Kadar protein dan kadar lemak ubi jalar segar yang dihasilkan pada
penelitian ini adalah masing-masing sebesar 0.95±0.081% (b/b) dan 1.78±0.027%
(b/b), hasilnya tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan pada penelitian
Wahyuni (2008) yaitu untuk kadar protein pati ubi jalar sekitar 0.86±0.057% (b/b)
dan kadar lemak pati ubi jalar sekitar 0.69±0.243% (b/b). Menurut Richana
(2009a), kandungan protein pada ubi jalar rendah sekitar 1.43%, umumnya dalam
bentuk globulin. Kandungan lemak dan protein bahan berpengaruh terhadap
karakteristik gelatinisasi dan kekentalan bahan pada saat diolah. Mohammed dan
Duaateb (2003) menyebutkan bahwa lemak pada bahan yang mengandung pati
dapat mengganggu proses gelatinisasi karena dapat membentuk kompleks dengan
amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati, sedangkan
protein dapat menyebabkan kekentalan pati menurun.
Kandungan serat kasar ubi jalar segar yang diperoleh pada penelitian adalah
0.78±0.176% (b/b). Karbohidrat terdiri dari fraksi pati dan serat kasar. Serat kasar
merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam dan
basa kuat. Fraksi serat kasar terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Pati dan selulosa merupakan homopolimer glukosa yang jika dihidrolisis
akan menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan
campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa, galaktosa arabinopiranosa,
arabinofuranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan galaktosa merupakan gula dari
gilongan heksosa, sedangkan xylosa dan arabionosa merupakan gula dari pentose
(Demirbas 2005; Irawadi 1990). Kandungan serat kasar ini merupakan faktor
mutu pati yang penting karena akan berpengaruh terhadap proses likuifikasi dan
sakarifikasi. Kandungan serat yang tinggi akan menurunkan efisiensi proses
hidrolisis sehingga dapat meningkatkan dosis enzim yang diperlukan dalam
proses hidrolisis.
Nilai kadar pati ubi jalar segar yang dihasilkan adalah sekitar 29.73±0.98%.
Kadar pati yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
kandungan pati yang diperoleh oleh Wahyuni (2008) yaitu sekitar 28.21±0.933%.
Sedangkan menurut Musaddad (2005) sebesar 31% serta Puslittan (2007) sebesar
31.16%. Kadar pati menunjukkan jumlah pati yang terkandung dalam bahan.
Perbedaan kadar pati yang diperoleh dapat disebabkan oleh perbedaan umur
simpan dan umur panen dari ubi jalar tersebut. Menurut Winarno (1992),
kandungan pati dalam suatu bahan akan berkurang seiring dengan lamanya waktu
panen. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan oleh enzim yang terdapat dalam
tanaman yang dapat memecah pati menjadi disakarida.
Hasil analisa proksimat pada ubi jalar segar menunjukkan penurunan nilai
kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan serat kasar setelah diekstraksi menjadi
pati ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh terdapat beberapa senyawa seperti lemak,
protein serta abu yang tidak ikut terekstraksi sehingga senyawa-senyawa tersebut
ikut bersama ampas.
Nilai kadar pati dari pati ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian ini
mencapai
90.64±1.532%.
Dengan
kandungan
pati
yang
cukup
tinggi
menunjukkan bahwa ubi jalar varietas Sukuh memiliki potensi sebagai sumber
glukosa dalam substrat fermentasi. Hal ini berarti bahwa ubi jalar varietas Sukuh
merupakan salah satu jenis tanaman berpati yang dapat dijadikan sebagai bahan
baku dalam pembuatan bioetanol.
4.2 Pembuatan Pati Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan salah satu jenis tanaman berpati. Kandungan pati
dalam ubi jalar berbeda-beda tergantung dari jenis dan varietas ubi jalar tersebut.
Ubi jalar yang digunakan pada pembuatan pati ubi jalar adalah ubi jalar Sukuh.
Ubi jalar Sukuh merupakan salah satu jenis ubi jalar putih dan varietas unggulan
yang memiliki kandungan pati yang tinggi. Menurut Lingga et al. (1986), umbi
yang berwarna putih memiliki kadar pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan
umbi yang berwarna merah. Selain memiliki kadar pati yang tinggi (31.16%), ubi
jalar sukuh dapat dipanen lebih cepat (3 – 3.5 bulan) (Puslitttan 2007).
Pembuatan pati ubi jalar dilakukan dengan cara ekstraksi basah yaitu ubi
jalar segar setelah pencucian ubi jalar dilakukan pemarutan dan penambahan air
sebanyak 1 : 5 untuk mengekstrak patinya. Selanjutnya dilakukan pengendapan
selama 8 – 12 jam. Setelah terbentuk pati ubi jalar basah kemudian dilakukan
pengeringan dan dihasilkan pati ubi jalar kering. Fungsi dari pemarutan adalah
untuk memperkecil ukuran sehingga sel pati akan pecah dan mengeluarkan pati
secara maksimal dari umbinya. Penambahan air dilakukan untuk melarutkan pati
yang terdapat pada ampas sehingga dapat diperoleh pati yang banyak. Hasil
rendemen pati ubi jalar varietas sukuh disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rendemen pati ubi jalar
Berat Awal Ubi Jalar (g)
Berat Akhir Pati (g)
5000
1187
5000
1210
Rata-rata
1198.5
Rendemen (%)
23.74
24.20
23.97 ± 0.33
Pembuatan pati dari ubi jalar varietas sukuh menghasilkan rendemen pati
sebesar 23.97 ± 0.33 % (Tabel 06). Ubi jalar varietas sukuh merupakan salah satu
varietas unggulan ubi jalar yang memiliki kandungan pati yang tinggi mencapai
31.16 % dan umur panen yang relatif singkat (3-3.5 bulan) (Puslittan 2007;
Deptan 2008). Rendemen pati tertinggi pada ubi jalar varietas Sukuh yaitu sekitar
14.5%. Ubi jalar varietas Sukuh memiliki tingkat kekerasan dan kekuatan gel
tertinggi berkaitan dengan kadar amilosanya yang tinggi yaitu sekitar 39% (bk)
dengan suhu gelatinisasi 88.5oC (Erliana et al. 2005). Kadar pati dan gula reduksi
ubijalar cukup tinggi yaitu 8-29% dan 0,5-2,5%, maka ubijalar dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan sirup. Sekitar setengah dari produksi ubijalar di
Jepang digunakan untuk pembuatan pati yang dimanfaatkan oleh industri tekstil,
kosmetik, kertas, dan sirup glukosa. Di Indonesia ubijalar berpeluang sebagai
bahan baku terbarukan untuk industri bioetanol sebagai bioenergi.
Rendemen yang diperoleh tidak mencapai kadar pati dari ubi jalar yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh adanya loss (kehilangan) pada saat proses
ekstraksi. Loss (kehilangan) dapat terjadi pada saat proses pemarutan, pemerasan
(ekstraksi), dan perendaman. Pada proses ekstraksi sangat memungkin terjadinya
loss karena masih terdapat sisa pati pada ampas yang tidak ikut terekstraksi.
Ekstraksi yang tidak optimal dapat mengurangi rendemen yang akan diperoleh.
Pati ubijalar dapat digunakan untuk produksi alkohol, etanol atau sekarang
lebih populer dengan bioetanol. Solusi untuk mengurangi impor bahan bakar
minyak adalah meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan, diantaranya
adalah bahan bakar hayati yaitu bioetanol. Seperti halnya ubi kayu, ubi jalar juga
dapat dimanfaatkan untuk produk bioetanol.
Pembuatan pati ubi jalar merupakan salah satu jenis bahan yang akan
digunakan dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar. Sirup glukosa ubi jalar dibuat
dari beberapa variasi ubi jalar yaitu dari umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar,
pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar.
4.3 Pembuatan Sirup Glukosa
Produksi etanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung
pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula
(glukosa) larut air. Oleh karena itu, dilakukan pembuatan sirup glukosa dari
variasi bentuk bahan baku ubi jalar yang akan digunakan sebagai substrat
fermentasi dalam pembuatan bioetanol.
Pembuatan sirup glukosa dilakukan dengan metode enzimatis. Enzim yang
digunakan adalah enzim α-amilase dan enzim amiloglikosidase (AMG).
Penggunaan kedua enzim ini dimaksudkan untuk mengubah komponen pati yang
merupakan polisakarida menjadi glukosa serta gula-gula sederhana lainnya yang
merupakan monosakarida.
Proses pembuatan sirup glukosa ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Tahap pertama adalah tahap likuifikasi yang
terjadi pada suhu 90oC
dengan pengadukan selama 1 jam. Pada tahap ini,
digunakan enzim α-amilase. Enzim α-amilase termasuk enzim pemecah pati dari
dalam molekul, bekerja menghidrolisis dengan cepat ikatan ikatan α-1,4
glikosidik pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Pada proses likuifikiasi
ini, enzim α-amilase akan menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik amilosa dan
menghasilkan dekstrin. Aktivitas α-amilase pada amilopektin akan menghasilkan
oligosakarida dengan jumlah monomer dua sampai enam (Suhartono 1989).
Tahap kedua pembuatan sirup glukosa adalah tahap sakarifikasi yang
berlangsung selama 60 jam pada suhu 60oC. Proses sakarifikasi merupakan proses
hidrolisis dekstrin menjadi gula. Enzim yang digunakan pada tahap ini adalah
amiloglukosidase (AMG). Enzim amiloglukosidase berfungsi untuk mengkatalisis
reaksi hidrolisis pada ikatan α-1,4 glikosidik dan α-1,6 glikosidik dari pati nonpereduksi, pati oligosakarida untuk membentuk β-D-glukosa (Sauer et al. 2000).
Aktivitas enzim ini akan menurun secara drastis bila sampai pada ikatan glukosida
α-1,6 (Budiyanto et al. 2006). Sirup glukosa ubi jalar yang dihasilkan pada
penelitian ini disajikan pada Gambar 07.
Gambar 07. Sirup glukosa ubi jalar
Pada tahap pembuatan sirup glukosa ubi jalar digunakan bentuk bahan baku
yang bervariasi dari ubi jalar. Pembuatan sirup glukosa dibuat dari umbi parut ubi
jalar, pati basah ubi jalar, pati kering ubi jalar dan tepung ubi jalar. Variasi bentuk
bahan baku yang dilakukan pada pembuatan sirup glukosa dimaksudkan untuk
menentukan bentuk bahan baku yang terbaik digunakan dalam pembuatan sirup
glukosa dari ubi jalar dengan melihat efisiensi korversi ubi jalar menjadi sirup
glukosa. Efisiensi proses pembuatan sirup glukosa dari beberapa variasi bahan
baku ubi jalar disajikan pada Tabel 7.
Perlakuan pati kering ubi jalar pada pembuatan sirup glukosa menghasilkan
nilai total gula yang tinggi yaitu sebesar 235.675±1.110 g/L dan terendah pada
perlakuan dengan umbi parut ubi jalar yaitu sebesar 174.705±0.926 g/L (Tabel 7).
Hal ini menunjukkan bahwa pada proses likuifikasi dan sakarifikasi enzim
penghidrolisis pati dalam hal ini enzim α-amylase dan enzim amiloglukosidase
memecah pati menjadi glukosa secara sempurna. Proses hidrolisis secara
enzimatik meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini pati
dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan gula kompleks. Pada tahap
likuifikasi dilakukan penambahan enzim α-amilase untuk memotong ikatan α-1,4
glikosida pati menjadi dekstrin. Likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang
telah mengalami gelatinisasi. Adanya proses gelatinisasi menyebabkan ikatanikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim menjadi lebih mudah.
Tabel 7. Konversi bentuk bahan baku ubi jalar menjadi sirup glukosa ubi jalar
Rata-Rata
Perlakuan Berat bahan Volume akhir
Total Gula
Berat Gula
Efesiensi
(bahan)
(bk) (g)
Sirup (L)
(g/L)
Akhir (g)
(%)
2.775±
174.705±
484.815±
22.434 ±
a
2161
0.018
0.936
5.783
0.268
2.861±
206.175±
589.857±
27.296 ±
b
2161
0.034
0.559
5.399
0.249
2.682±
235.675±
632.068±
63.207 ±
c
1000
0.049
1.110
2.022
0.202
2.119±
193.060±
408.999±
40.899 ±
d
1000
0.002
0.933
2.388
0.293
Keterangan : a : umbi parut ubi jalar
b : pati basah ubi jalar
c : pati kering ubi jalar
d : tepung ubi jalar
Richana (2009b) menyatakan bahwa enzim α-amilase merupakan enzim
yang aktif dalam proses likuifikasi. Cara kerja α-amilase melalui dua tahap,
pertama degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara
acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas
dengan cepat. Kedua pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir secara
tidak acak dan relatif lambat. Keduanya merupakan kerja enzim α-amilase pada
molekul amilosa saja. Kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan
menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis limit dekstrin, yaitu
oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang mengandung
ikatan α-1,6. Ditambahkan oleh Musanif (2007), pada proses sakarifikasi yaitu
hidrolisis
pati
(amilosa
dan
amilopektin)
menjadi
glukosa.
Enzim
amiloglukosidase merupakan enzim yang berperan dalam proses sakarifikasi.
Enzim ini menghidrolisis ikatan 1,4 α- glikosida dari pati dan oligosakarida
menjadi unit-unit glukosa. Kecepatan hidrolisis tergantung pada panjang rantai
molekul. Misalnya maltodekstrosa dan oligosakarida dengan bobot molekul lebih
tinggi akan dihidrolisis lebih cepat dari maltosa. Amiloglukosidase juga dapat
menghidrolisis ikatan 1,6 glikosida.
Pada perlakuan umbi parut ubi jalar nilai total gula yang diperoleh lebih
rendah dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan
oleh pengaruh dari bahan baku yang digunakan yaitu umbi parut ubi jalar dimana
pada saat proses hidrolisis komponen pati yang terdapat dalam umbi parut ubi
jalar tidak dapat dipecah menjadi unit-unit glukosa secara sempurna oleh enzim
karena terdapat komponen-komponen lain selain pati yang terdapat pada umbi
parut ubi jalar yang dapat menghambat kinerja enzim dalam menghidrolisis pati
menjadi glukosa. Enzim bekerja secara spesifik yang artinya bahwa setiap jenis
enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini
disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Enzim αamilase dan amiloglukosidase hanya dapat digunakan pada proses perombakan
pati menjadi glukosa.
Efisiensi tertinggi pada konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa diperoleh
pada perlakuan ketiga yaitu pati kering ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukosa
dengan nilai efisiensi sebesar 63.207±0.202% dan terendah pada perlakuan umbi
parut ubi jalar dikonversi menjadi sirup glukosa dengan nilai efisiensi 22.434 ±
0.268%. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses likuifikasi dan sakarifikasi
enzim bekerja dengan efisien dalam mengkonversi pati kering ubi jalar menjadi
sirup glukosa. Sedangkan pada umbi parut ubi jalar memiliki nilai efisiensi yang
rendah disebabkan oleh pada umbi parut ubi jalar masih terdapat kandungan serat
yang tinggi sehingga enzim α-amilase dan amiloglukisidase tidak dapat memecah
komponen pati menjadi glukosa secara sempurna sehingga dimungkinkan masih
terdapat pati yang tidak terkonversi dan terikut dengan ampas.
Pada perlakuan tepung menjadi sirup glukosa diperoleh nilai efisiensi yang
rendah dibandingkan dengan pati kering ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh
kandungan bahan lainnya seperti serat, protein, lemak, yang tidak dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh enzim dalam memecah komponen tepung menjadi
sirup glukosa. Dengan adanya partikel pati yang tidak larut yang terbentuk selama
proses dapat menghambat proses dalam penyaringan sirup glukosa sehingga hasil
yang diperoleh kurang efisien.
Nilai efisiensi konversi ubi jalar menjadi sirup glukosa pada Tabel 7
menunjukkan bahwa bahan umbi parut ubi jalar, pati basah ubi jalar dan tepung
ubi jalar juga memiliki potensi yang besar untuk dijadikan bahan baku pembuatan
sirup glukosa ubi jalar selain bahan baku pati ubi jalar yang umumnya digunakan
dalam pembuatan sirup glukosa. Dari segi proses kerja, pembuatan sirup glukosa
ubi jalar dari umbi parut ubi jalar dan pati basah ubi jalar lebih mudah dan lebih
singkat karena tidak memerlukan proses pengeringan untuk mendapatkan pati
kering ataupun tepung ubi jalar.
4.4 Kultivasi Fed Batch Terekayasa
Pada penelitian ini, proses produksi etanol dilakukan melalui fermentasi
secara fed batch terekayasa dengan lima perlakuan variasi konsentrasi substrat
yang ditambahkan ke dalam media fermentasi awal.
Pada awal fermentasi
terlebih dahulu dilakukan fermentasi secara batch atau nir sinambung. Sistem fed
batch terekayasa ini dilakukan dengan penambahan substrat baru ke dalam media
fermentasi pada saat biomassa telah mencapai kondisi optimum. Son et al. (2007)
menyatakan bahwa sistem fed batch merupakan kultur batch yang diumpankan
dengan media secara kontinyu atau berurutan tanpa pengambilan cairan kultur
sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi.
Pada sistem fed batch terekayasa dilakukan variasi konsentrasi substrat yang
diumpankan. Variasi konsentrasi substrat yang diumpankan pada sistem fed batch
ini
dimaksudkan
untuk
mengetahui
konsentrasi
substrat
yang
optimal
dimanfaatkan oleh S. cerivisiae dalam membentuk sel atau produk yang lebih
banyak. Konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi sistem fed batch
terekayasa yaitu konsentrasi substrat 4%, 8%, 12%, 16% dan 20%. Higgins
(1984) menyatakan bahwa gula yang paling baik digunakan untuk proses
fermentasi adalah 16-25% dimana akan dihasilkan etanol sebesar 6-12%. Paturau
(1981) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang digunakan dalam fermentasi
alkohol berkisar 14-18%.
Mikroorganisme yang digunakan pada penelitian ini adalah khamir S.
cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling
banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan
terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan
tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC (Kartika et al. 1992).
Khamir S. cerevisiae dapat tumbuh sampai pada suhu 40oC, tetapi pada suhu 42oC
pertumbuhan khamir dihentikan dan massa sel-sel akan mati pada suhu 43oC
(Mensonides et al. 2002). Penggunaan S. cerevisiae dalam produksi etanol secara
fermentasi telah banyak dikembangkan di beberapa negara, seperti Brasil, Afrika
Selatan, dan Amerika Serikat (Elevri dan Putra 2006). Khamir S. cerevisiae
merupakan top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu
20oC (Frazier dan Westhoff 1978), dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar
dan mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi (12-18% v/v) (Harrison
dan Graham 1970).
Proses kultivasi menggunakan reaktor 2 liter dengan volume substrat 600 ml
pada awal kultivasi sistem batch. Penggunaan bioreaktor pada penelitian ini
dengan tujuan mendapatkan lingkungan yang sesuai (pengontrolan pH, suhu,
aerasi dan agitasi) untuk mikroorganisme yaitu S. cerevsiae dalam mengkonversi
sirup glukosa menjadi etanol dengan hasil yang maksimal. Proses kultivasi
dilakukan selama 72 jam untuk semua perlakuan variasi konsentrasi substrat
dimana setiap 6 jam dilakukan pengambilan sampel dan pengamatan larutan
fermentasi. Fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam atau 3-7 hari pada
suhu 25-30 oC (Paturau 1981). Kultivasi fed batch terekayasa dapat dilihat pada
Gambar 08.
Media fermentasi
(kondisi awal)
Pengukur aerasi
(a)
pompa peristaltik
Substrat yang diumpankan
Media fermentasi
(saat penambahan substrat)
(b)
Gambar 08. Kultivasi fed batch terekayasa : (a). Sebelum penambahan substrat
(batch); (b). Penambahan substrat yang diumpankan (fed batch)
Perlakuan pertama (konsentrasi substrat 20%), proses awal kultivasi
dilakukan dengan sistem batch dengan konsentrasi substrat 24%. Penggunaan
konsentrasi substrat 24% pada kultivasi sistem batch didasarkan pada hasil
penelitian Wahyuni (2008) yang melaporkan bahwa konsentrasi substrat 24%
merupakan konsentrasi gula yang optimal digunakan oleh S.cerevisiae untuk
hidup dan menghasilkan kadar etanol yang paling tinggi. Pada kultivasi sistem
batch dilakukan aerasi dan agitasi pada 18 jam awal. Aerasi dilakukan bertujuan
untuk menyediakan O2 dalam jumlah yang cukup pada mikroba agar kebutuhan
metaboliknya terpenuhi (Sa’id 1985). Sedangkan agitasi dilakukan dengan tujuan
agar suspensi sel mikroba tetap seragam dan berada pada medium pertumbuhan
yang homogeny (Hollaender 1981).
Menurut Stanbury dan Whitaker (1984)
agitasi berfungsi untuk meningkatkan luasan yang memungkinkan untuk transfer
oksigen dengan cara menguraikan udara dalam cairan media ke dalam bentuk
gelembung-gelembung kecil, memperlambat hilangnya gelembung-gelembung
udara dalam cairan,
melindungi penggabungan gelembung udara, dan
menurunkan ketebalan lapisan cairan pada permukaan gas atau cairan dengan cara
melakukan gerakan putaran di dalam cairan media.
Pada saat biomassa mencapai maksimal yaitu pada jam ke-18 dilakukan
penghentian aerasi akan tetapi agitasi tetap dilakukan, serta dilakukan
penambahan substrat dengan konsentrasi substrat 20%. Penambahan substrat ini
dimaksudkan agar substrat yang ditambahkan dalam hal ini glukosa dapat
dimanfaatkan oleh S.cerevisiae untuk menghasilkan produk. Penambahan substrat
ini dilakukan dengan menggunakan pompa peristaltik dengan kecepatan sesuai
atau lebih kecil dari nilai µ maks (0.01 jam-1). Perubahan biomassa, etanol dan
etanol selama fermentasi disajikan pada Gambar 09.
Penghentian aerasi pada jam ke-18 (biomassa maksium) dilakukan karena
pada saat biomassa mencapai kondisi yang maksimum, substrat yang tersedia
tidak lagi digunakan untuk pembentukan sel melainkan untuk pembentukan
produk yaitu etanol. Kondisi ini sesuai dengan sifat khamir yang anaerobik
fakultatif, dimana pada kondisi yang oksigennya tinggi (aerobik), maka khamir
melakukan respirasi dan akan mengubah gula yang ada menjadi CO2 dan H2O
dengan pembentukan sel. Sedangkan pada kondisi tidak ada oksigen (anaerobik)
khamir akan melakukan proses fermentasi anaerobik dimana gula yang ada akan
dikonversi menjadi alkohol dan CO2. Khanal (2008) menyatakan bahwa pada
fermentasi anaerobik, zat-zat organik dikatabolisme tanpa kehadiran oksigen yang
berarti tidak adanya akseptor elektron eksternal melainkan melalui keseimbangan
reaksi oksidasi-reduksi internal. Produk dihasilkan selama proses penerimaan
elektron yang dilepaskan saat pemecahan zar-zat organik. Oleh karenanya, zat-zat
organik tersebut berperan sebagai akseptor dan donor elektron. Pada fermentasi,
substrat hanya dioksidasi sebagian dan hanya sedikit energi yang bisa dihasilkan.
Glukosa sebagai substrat akan melepaskan elektron saat dirubah menjadi piruvat,
namun elektron tersebut kemudian akan diambil oleh piruvat untuk menjadi
etanol.
Gambar 09. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 20%
Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat
20% biomassa mengalami peningkatan yang relatif konstan setelah dilakukan
penambahan substrat pada jam ke-18. Terjadi penurunan total gula dari
241.871±0.025 g/L menjadi 6.068±0.081 g/L. Etanol mengalami peningkatan
yaitu dari 3.302±0.615% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 10.858±0.003% (v/v) pada
akhir fermentasi fed batch terekayasa.
Menurut Judoamidjojo et al. (1989)
fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerobik dengan menggunakan khamir
tertentu yang dapat mengkonversi glukosa menjadi etanol melalui jalur glikolisis
EMP. Dari satu molekul glukosa akan terbentuk 2 molekul etanol dan CO2,
sehingga berdasarkan bobotnya secara teoritis 1 gram glukosa akan menghasilkan
0.51 gram etanol. Bila konsentrasi gula 20% akan menghasilkan jumlah etanol
sebesar 10.2%. Nilai kadar etanol yang dihasilkan pada konsentrasi substrat 20%
yaitu 10.858±0.003% (v/v).
Perlakuan kedua (konsentrasi substrat 16%), proses kultivasi awal yang
dilakukan sama halnya dengan perlakuan pertama, yang berbeda hanya pada
konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi fed batch terekayasa. Pada
jam ke-18, dilakukan penghentian aerasi akan tetapi agitasi tetap dilakukan,
kemudian dilakukan penambahan subtrat dengan konsentrasi 16%. Penambahan
subsrat dilakukan secara fed batch terekayasa. Perubahan biomassa, total gula
dan etanol pada perlakuan kedua ini disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 16%
Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat
16% biomassa mengalami peningkatan yang relatif konstan setelah dilakukan
penambahan substrat pada jam ke-18. Terjadi penurunan total gula dari
241.853±0.495 g/L menjadi 7.634±0.049 g/L. Etanol mengalami peningkatan
yaitu dari 3.56±0.146% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 8.834±0.195% (v/v) pada
akhir fermentasi fed batch terekayasa. Nilai kadar etanol secara teoritis dengan
konsentrasi gula 16% adalah 8.16 g/L.
Perlakuan ketiga (konsentrasi substrat 12%), proses kultivasi awal yang
dilakukan sama halnya dengan perlakuan pertama dan kedua, yang berbeda hanya
konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi fed batch terekayasa.
Konsentrasi substrat yang ditambahkan pada jam ke-18 setelah dilakukan
penghentian aerasi yaitu konsentrasi substrat 12%. Penambahan subsrat dilakukan
secara fed batch terekayasa. Perubahan biomassa, total gula dan etanol pada
perlakuan ketiga ini disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Perubahan biomassa, total gula dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 12%
Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat
12% biomassa mengalami peningkatan yang relatif konstan setelah dilakukan
penambahan substrat pada jam ke-18. Terjadi penurunan total gula dari
240.454±0.989 g/L menjadi 5.423±0.062 g/L. Sedangkan etanol mengalami
peningkatan dari 3.653±0.083% (v/v) pada jam ke-18 menjadi 7.474±0.161%
(v/v) pada akhir fermentasi fed batch terekayasa. Nilai kadar etanol secara teoritis
dengan konsentrasi gula 12% adalah 6.12%.
Perlakuan keempat (konsentrasi substrat 8%), proses kultivasi awal yang
dilakukan sama halnya dengan perlakuan pertama, kedua dan ketiga, yang
berbeda hanya konsentrasi substrat yang diumpankan pada kultivasi fed batch
terekayasa. Konsentrasi substrat yang ditambahkan pada jam ke-18 setelah
dilakukan penghentian aerasi yaitu konsentrasi substrat 8%. Perubahan biomassa,
total gula, dan etanol pada perlakuan keempat ini disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 8%
Selama proses fermentasi pada perlakuan keempat terjadi penurunan total
gula. Penurunan total gula terjadi pada awal fermentasi hingga akhir fermentasi,
nilai total gula menurun dari 241.086±0.742 g/L menjadi 4.507±0.037 g/L.
Biomassa pada perlakuan ini mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Pada
perlakuan ini terjadi peningkatan etanol dari 3.484±0.121% (v/v) menjadi
5.633±0.053% (v/v). Nilai kadar etanol secara teoritis dengan konsentrasi gula
8% adalah 4.08%.
Perlakuan kelima pada penelitian ini adalah penambahan susbtrat dengan
konsentrasi substrat yang ditambahkan sebesar 4%. Konsentrasi substrat yang
ditambahkan ini merupakan konsentrasi substrat yang terendah dari keempat
perlakuan. Dengan konsentrasi substrat yang rendah diduga S.cerevisiae dapat
memanfaatkan substrat secara optimal untuk pembentukan etanol. Perubahan
biomassa, total gula dan etanol pada perlakuan kelima ini disajikan pada Gambar
13.
Gambar 13. Perubahan biomassa, total gula, dan pH selama fermentasi dengan
sistem fed batch terekayasa (stop aerasi) pada penambahan substrat
konsentrasi 4%
Selama proses fermentasi pada perlakuan kelima yaitu penambahan substrat
pada konsentrasi 4% mengalami penurunan total gula dari 241.784±0.927 g/L
menjadi 4.941±0.019 g/L. Nilai kadar etanol yang dihasilkan pada perlakuan,
pada jam ke-18 yaitu sebesar 3.213±0.274% (v/v) dan pada jam ke-72 yaitu
sebesar 5.194±0.195% (v/v). Biomassa pada perlakuan ini dari awal fermentasi
hingga akhir fermentasi tidak mengalami peningkatan yang cepat. Hal ini
disebabkan oleh konsentrasi substrat glukosa yang digunakan pada fermentasi
terlalu rendah. Konsentrasi glukosa yang terlalu rendah berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan mikroba untuk pembentukan sel dan produk. Laju pertumbuhan
mikrobial dipengaruhi oleh konsentrasi komponen-komponen penyusun media
pertumbuhannya (Sa’id 1985). Konsentrasi glukosa terlalu rendah akan
menyebabkan mikroba kekurangan nutrien dan proses fermentasi tidak ekonomis
sehingga penggunaan fermentor tidak efisien. Konsentrasi gula yang baik untuk
fermentasi etanol adalah konsentrasi gula 16-25% (Higgins 1984).
Pada penelitian ini, dilakukan juga kultivasi fed batch tanpa penghentian
aerasi. Pada saat kondisi biomassa maksimum, aerasi dan agitasi tetap dilakukan.
Konsentrasi substrat yang diumpankan adalah konsentrasi substrat yang
menghasilkan kadar etanol tertinggi pada sistem fed batch terekayasa dengan stop
aerasi yaitu konsentrasi substrat 20%. Perlakuan ini dilakukan untuk
membandingkan kadar etanol yang dihasilkan pada konsentrasi substrat 20%
dengan sistem fed batch tanpa rekayasa dengan terekayasa.
Perlakuan penambahan substrat konsentrasi 20% (aerasi), proses awal
kultivasi dilakukan dengan sistem batch dengan konsentrasi substrat 24%, pada
saat biomassa mencapai maksimal yaitu pada jam ke-18 dilakukan penambahan
substrat dengan konsentrasi substrat 20% tanpa penghentian aerasi. Penambahan
substrat dilakukan secara fed batch. Substrat yang diumpankan diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol dengan konsentrasi
yang tinggi. Perubahan biomassa, total gula dan etanol pada konsentrasi substrat
20% (aerasi) disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Perubahan biomassa, total gula, dan etanol selama fermentasi dengan
sistem fed batch (aerasi) pada penambahan substrat konsentrasi 20%
Selama proses fermentasi pada perlakuan penambahan konsentrasi substrat
20% (aerasi) terjadi peningkatan biomassa setelah penambahan substrat. Substrat
yang ditambahkan digunakan untuk pertumbuhan dan penggandaan sel. Pada
perlakuan ini terjadi penurunan total gula dari 240.839±1.112 g/L menjadi
9.813±0.019 g/L. Sedangkan etanol mengalami peningkatan dari 3.089±0.100%
(v/v) pada jam ke-18 menjadi 7.145±0.057% (v/v) pada akhir fermentasi fed
batch. Nilai kadar etanol secara teoritis pada konsentrasi gula 20% adalah 10.2%.
Konsentrasi etanol yang dihasilkan pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan
dengan konsentrasi etanol pada sistem fed batch terekayasa (stop aerasi). Hal ini
disebabkan oleh adanya perlakuan aerasi yang dilakukan sehingga mikroba berada
pada jalur respiratif dengan lebih cenderung melakukan penggandaan dan
pembentukan sel sehingga produk yang dihasilkan lebih rendah. Ikhtiarudin
(2009) menyatakan bahwa fermentasi aerobik merupakan fermentasi tidak secara
lengkap menguraikan glukosa menjadi CO2 dan H2O. Energi yang dihasilkan
melalui proses fermentasi juga sangat sedikit. Koenzim yang menyertai reaksi,
yaitu NAD+ yang dihasilkan pada tahap akhir fermentasi juga sedikit.
4.4.1 Total Gula
Hasil fermentasi yang dilakukan pada sistem fed batch terekayasa dengan
variasi konsentrasi yang diumpankan secara keseluruhan dapat dijelaskan yaitu
dari semua perlakuan terlihat bahwa terjadi penurunan konsentrasi gula. Sirup
glukosa ubi jalar yang digunakan sebagai substrat fermentasi, pada kondisi aerob
dimanfaatkan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi sel sehingga pada kondisi ini
aerasi sangat diperlukan karena ketersediaan oksigen sangat berpengaruh besar
dalam fermentasi aerob untuk mensuplai kebutuhan oksigen bagi aktivitas
metabolik mikroorganisme. Pada kondisi anaerob, glukosa dimanfaatkan oleh
S.cerevisiae
untuk memproduksi etanol. Oleh karena itu, seiring berjalannya
waktu fermentasi maka kadar gula dari substrat akan semakin menurun karena
mikroba
memanfaatkan
substrat
untuk
pembentukan
produk.
Menurut
Judoamidjojo et al. (1989), fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerob.
Dengan menggunakan khamir tertentu, akan mengubah glukosa menjadi etanol
melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas Pathway (EMP). Dari 1 molekul glukosa
akan terbentuk 2 molekul etanol dan CO2 sehingga berdasarkan bobotnya secara
teoritis 1 gram glukosa akan menghasilkan 0.51 gram etanol.
Oksigen dibutuhkan untuk memproduksi Adenosin Trifosfat (ATP) pada
glikolisis dan pada fosforilasi oksidatif. Bila tidak ada oksigen (anaerob), NADH
dalam mitokondria tidak dapat dioksidasi kembali, maka pembentukan ATP, daur
asam sitrat serta pemecahan nutrisi lain juga terhenti. Sebagai substrat energi tetap
hanya glukosa yang pemecahannya menjadi piruvat
melalui glikolisis
menghasilkan dua molekul ATP (Hepworth 2005; Nowak 2000; Tao et al. 2005).
Pada sistem fed batch terekayasa, laju fermentasi ditandai dengan laju
penurunan konsentrasi gula terjadi lebih cepat pada fase-fase awal sampai
memasuki jam ke-18 dan umumnya setelah jam ke-18 laju penurunan konsentrasi
gula relatif lambat. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya akumulasi etanol,
asam yang cukup tinggi dan semakin terbatasnya konsentrasi substrat. Etanol
dapat menghambat fermentasi dengan mekanisme penghambatan produk,
sedangkan asam dapat menurunkan pH sehingga khamir tidak dapat tumbuh
dengan optimal (You et al. 2003; Pamphula dan Dias 1989). Pada konsentrasi
etanol 1-2% (b/v) sudah cukup menghambat pertumbuhan dan pada konsentrasi
etanol 10% (b/v) laju pertumbuhan hampir terhenti (Clark dan Mackie, 1984).
Etanol merupakan racun bagi khamir.
Pada kebanyakan galur, produksi dan
pertumbuhan etanol terhenti pada konsentrasi etanol 110-180 g/l (Richana 2009b).
4.4.2 Biomassa
Pada fermentasi sistem fed batch terekayasa dengan variasi konsentrasi
substrat yang diumpankan, biomassa pada semua perlakuan setelah penambahan
substrat cenderung mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Hal ini
disebabkan oleh pertumbuhan sel tidak bertambah, substrat yang digunakan
berkurang, sel memanfaatkan substrat yang diumpankan selain untuk membentuk
sel baru, juga digunakan untuk pembentukan produk yaitu etanol. Menurut Wang
(2002), mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktivitas fisiologis sebagai respon
terhadap lingkungannya. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk
menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan. Pertumbuhan
terjadi bila kondisi optimum fisik dan kimiawi tercapai misalnya suhu, pH, dan
ketersediaan nutrisi sesuai dengan kebutuhan mikroba.
Penambahan substrat pada sistem fed batch terekayasa dilakukan pada jam
ke-18 yaitu disaat pembentukan biomassa maksimal atau akhir sistem batch.
Biomassa maksimal terjadi pada awal fase stasioner dimana pada fase ini
persediaan substrat semakin berkurang, pertumbuhan sel tidak diimbangi dengan
nutrisi yang cukup. Sehingga dengan penambahan substrat baru pada awal fase
stasioner diharapkan dapat digunakan oleh S.cerevisiae untuk memproduksi sel
dan produk yang lebih banyak. Fase statisioner merupakan fase pertumbuhan
mikroba dimana jumlah sel mati sama dengan jumlah sel hidup
Pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologis yang saling
mempengaruhi secara berurutan. Fase pertumbuhan dimulai pada fase permulaan,
fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial),
fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian
dipercepat, dan fase kematian logaritma. Menurut Stanbury dan Whitaker (1984),
setelah inokulasi kultur ke media, terjadi suatu periode dimana kultur yang
dimasukkan tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, fase ini
disebut dengan fase adaptasi. Pada fase ini, mikroorganisme membelah dengan
cepat. Semua sel mempunyai kemampuan untuk berkembang biak dan tidak
terdapat penghambat pertumbuhan lambat (Judoamidjojo et al. 1989).
Ditambahkan oleh Rehm dan Reid (1981) di dalam Macfud et al. (1989), bahwa
lama fase adaptasi dan pertumbuhan lambat sulit ditentukan karena tidak hanya
tergantung pada jumlah inokulum yang diinokulasikan tetapi juga pada
karakteristik metaboliknya, seperti “umur” dan “keadaan fisiologik”nya.
Selanjutnya fase pertumbuhan lambat, Menurut Fardiaz (1988), fase pertumbuhan
lambat ditandai dengan pertumbuhan populasi mikroorganisme diperlambat
karena beberapa faktor diantaranya zat-zat nutrisi dalam media yang sudah
berkurang, serta adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun sehingga
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selanjutnya, mikroorganisme
akan memasuki fase stasioner, dimana pada fase ini laju pertumbuhan menurun
akibat persediaan substrat (nutrien) berkurang dan terjadi akumulasi zat-zat
metabolik yang menghambat pertumbuhan. Pada fase ini jumlah populasi sel tetap
karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati (Stanburry dan
Whitaker 1984). Pada fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel
terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian
logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel
hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan
jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba
akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut (Assegaf 2009).
4.4.3 Nilai pH
Pada semua perlakuan menunjukkan adanya penurunan pH substrat. Hal
ini berkaitan dengan adanya konsumsi glukosa melalui proses glikolisis dan
akumulasi senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi.
Senyawa asam-asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan asam piruvat.
Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada
siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah
menjadi dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H+. Adanya ion H+
ini berpengaruh terhadap penurunan pH substrat. Secara keseluruhan proses
glikolisis dapat dilihat dari persamaan berikut ini :
Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi Æ 2 piruvat + 2 ATP + 2 NADH + 2 H+
Asam piruvat yang terbentuk ini akan diubah menjadi asetaldehid oleh
enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh
dehidrogenase. Menurut Rehm dan Reed (1983), asam sebagai hasil samping
fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik
lainnya berperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam
lainnya hanya berpengaruh sedikit. Nilai pH yang rendah pada akhir fermentasi
menunjukkan bahwa asam yang terbentuk pada akhir fermentasi semakin banyak
dan menumpuk. Penumpukan asam ini disebabkan oleh sel S.cerevisiae tidak
dapat mengkoversi asam-asam tersebut terutama asam piruvat menjadi etanol.
Menurut Hartoto dan Sailah (1992), kondisi medium seperti pH mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan pembentukan produk oleh
mikroorganisme. Tingkat medium pH juga mempengaruhi produk yang dibentuk,
selain mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
4.4.4 Kadar Etanol
Pada kultivasi fed batch terekayasa dengan variasi konsentrasi substrat yang
diumpankan, konsentrasi etanol pada semua perlakuan mengalami peningkatan
hingga akhir fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat
fermentasi pada kondisi anaerobik dimanfaatkan oleh S. cerevisiae membentuk
produk. Prasad et al. (2006) menyatakan bahwa pada fermentasi anaerobik
melalui jalur EMP yaitu glukosa dikonversi menjadi asam piruvat. Asam piruvat
yang terbentuk ini akan diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat
dekarboksilase yang selanjutnya diubah menjadi alkohol oleh dehidrogenase.
Selama proses berlangsung dua molekul Adenosin Difosfat (ADP) diubah menjadi
ATP. Selanjutnya ATP tersebut diregenerasi kembali menjadi ADP, dan pada
akhir proses fermentasi menghasilkan dua mol ATP.
Nilai kadar etanol pada perlakuan pertama yaitu konsentrasi substrat 20%
(stop aerasi) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan
lainnya. Nilai kadar etanol yang diperoleh yaitu 10.858±0.003% (v/v) atau
8.610±0.002% (b/v). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai substrat
fermentasi dengan konsentrasi 20% digunakan oleh khamir S. cerevisiae untuk
memproduksi etanol sebanyak-banyaknya. Sree et al. (2000) melaporkan bahwa
pada produksi etanol menggunakan khamir S. cerevisiae US3 dengan konsentrasi
substrat yang berbeda-beda, konsentrasi substrat glukosa 20% memiliki
konsentrasi etanol tertingi yaitu 9.30% (b/v) dibandingkan dengan konsentrasi
substrat glukosa 15% (7.25%, b/v) dan konsentrasi substrat glukosa 25% (8.3%,
b/v). Gaur (2006) menyebutkan bahwa kondisi terbaik untuk produksi etanol
adalah pada konsentrasi glukosa 20% dengan konsentrasi etanol yang diperoleh
sebesar 9.15% (b/v). Dodic et al. (2009) melaporkan bahwa konsentrasi gula
yang optimal untuk produksi bioetanol menggunakan S. cereviasiae adalah
konsentrasi gula 20% pada suhu 30oC, pH 5.0 dan agitasi 200 rpm diperoleh
konsentrasi etanol maksimum sebesar 12% (v/v). Abedenifar et al. (2009)
menyebutkan bahwa pada kultivasi anaerobik dengan konsentrasi gula 20% pada
suhu 30oC diperoleh etanol sebesar 0.35 g etanol/g pati.
Nilai kadar etanol pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop
aerasi pada konsentrasi substrat 20% menunjukkan kadar etanol lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar etanol pada sistem fed batch dengan perlakuan aerasi
pada konsentrasi substrat 20%. Nilai kadar etanol pada konsentrasi substrat 20%
dengan perlakuan aerasi yaitu 7.145±0.057% (v/v) atau 5.666±0.455% (b/v). Hal
ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan fed batch terekayasa dalam hal ini
penghentian aerasi dapat menghasilkan kadar etanol lebih tinggi dibandingkan
dengan fed batch tanpa rekayasa yaitu dengan aerasi. Caylak dan Vardar Sukan
(1998) melaporkan pada produksi etanol menggunakan S. cerevisiae, fermentasi
fed batch
memberikan hasil etanol yang lebih baik dibandingkan dengan
fermentasi batch yaitu pada konsentrasi substrat 100 g/l dengan waktu fermentasi
96 jam diperoleh yield dan efisiensi masing-masing sebesar 49.07% dan 96.22%.
Sedangkan pada sistem batch dengan kondisi yang sama diperoleh yield dan
efisiensi masing-masing sebesar 43.96% dan 86.19%. Bro et al. (2006)
menyebutkan bahwa pada kondisi anaerobik produksi etanol yang dihasilkan
adalah 4.2 – 10.4% untuk etanol dan 5.2 – 16.5% untuk biomassa.
Zhang et al. (2009) melaporkan bahwa konsentrasi etanol tertinggi pada
produksi etanol dari tongkol jagung kering dengan proses fermentasi fed batch
SSF selama 96 jam, pada sistem fed batch 84.7 g/l dengan waktu fermentasi dan
pada sistem batch diperoleh konsentrasi etanol sebesar 69.2 g/l dengan waktu
fermentasi yang sama. Pranamuda (2006) melaporkan kadar etanol yang diperoleh
pada kultivasi fed batch dengan menggunakan sagu sebagai substrat fermentasi
yaitu 30 g/l dengan nilai Yp/s sebesar 0.40 g etanol/g pati.
Pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi nilai kadar
etanol pada perlakuan konsentrasi substrat 8% dan konsentrasi substrat 4% yaitu
masing-masing sebesar 5.634±0.531% (v/v) atau 4.467±0.421% (b/v) dan
5.194±0.195% (v/v) atau 4.119±0.155% (b/v). Nilai kadar etanol yang dihasilkan
pada kedua perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal
ini disebabkan oleh konsentrasi glukosa yang diumpankan terlalu rendah sehingga
kebutuhan nutrisi khamir kurang terpenuhi dan produk yang dihasilkan tidak
efisien. Konsentrasi glukosa yang rendah mengakibatkan kinerja khamir dalam
memproduksi etanol menjadi rendah. Neves et al. (2007) melaporkan bahwa
produksi etanol menggunakan Zymomonas mobilis, penghambatan substrat terjadi
pada konsentrasi 4% - 8 %. Paturau (1981) menyebutkan bahwa konsentrasi gula
yang digunakan berkisar antara 14% - 18%. Konsentrasi gula rendah (>3 g/l)
produktivitas khamir menurun, diatas 150 g/l (konsentrasi gula tinggi) gula akan
menghambat proses fermentasi (Richana 2009b).
4.5 Perhitungan Kinetika Fermentasi
Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses
biokonversi nutrisi dalam fermentasi menjadi massa sel dan atau produk metabolit
lainnya (Wang et al. 1979). Yield atau rendemen biomassa (Yx/s), rendemen
produk per substrat (Yp/s) dan rendemen produk per biomassa (Yp/x), P (produk),
efisiensi substrat (S0-S/S0) merupakan parameter penting yang menggambarkan
efisiensi konversi substrat menjadi biomassa atau produk dan biomassa
menghasilkan produk. Masing-masing proses konversi dapat dikuantitatifkan oleh
koefisien hasil sebagai massa sel atau hasil yang terbentuk per satuan massa
nutrient yang dikonsumsi. Perbandingan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, X, P, S0S/S0 dari jam ke-0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi dan
aerasi dapat dilihat pada Tabel 8. Sedangkan data pendukung kinetika fermentasi
yaitu nilai X, P, dan S disajikan pada Lampiran 16.
Hasil perhitungan peningkatan kinetika fermentasi dari jam ke-0 sampai jam
ke-72 pada Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi substrat 20% (stop aerasi)
peningkatan nilai Yx/s lebih kecil yaitu hanya 0.1894 kali dibandingkan dengan
perlakuan konsentrasi substrat 20% (aerasi) yaitu sebesar 1.4 kali. Sedangkan
nilai peningkatan Yp/s, Yp/x, P, S0-S/S0 lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan tanpa penghentian aerasi yaitu masing-masing sebesar 3.9502 kali,
20.6807 kali, 3.2883 kali dan 1.5144 kali. Nilai Yx/s menunjukkan rendemen
pemakaian substrat terhadap pembentukan sel. Nilai Yx/s yang rendah
menunjukkan bahwa khamir S. cerevisiae lebih memanfaatkan substrat yang
ditambahkan untuk membentuk produk, hal ini dapat dilihat dari nilai kadar etanol
yang dihasilkan pada akhir fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
aerasi (fed batch normal). Nilai peningkatan Yp/s dan Yp/x dengan perlakuan
tanpa penghentian aerasi pada konsentrasi 20% lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan penghentian aerasi pada konsentrasi yang sama (20%). Hal ini
menunjukkan bahwa substrat tidak sepenuhnya dikonversi menjadi etanol, karena
kondisi fermentasi yang diberikan yaitu aerobik dimana pada kondisi ada oksigen
khamir lebih cenderung melakukan pertumbuhan dan pembelahan sel sehingga
etanol yang terbentuk kurang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari nilai
peningkatan X nya lebih tinggi dibandingkan dengan stop aerasi (1.2076 kali).
Tabel 8. Perbandingan Peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, dan S0-S/S0 dari jam ke- 0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop
aerasi dan aerasi
Perlakuan
20%
Jam Ke0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
20%
Peningkatan (kali)
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
X
P
Y x/s
Y p/s
Y p/x
S0-S/S0
5.613±0.016
7.049±0.008
7.208±0.008
1.0225
5.541±0.021
7.441±0.081
8.986±0.015
1.2076
0
3.302±0.0615
10.858±0.003
3.2883
0
3.089±0.100
7.145±0.057
2.3130
0
0.0095±0.0001
0.0018±0.0002
0.1894
0
0.0130±0.0002
0.0182±0.0006
1.4
0
0.0221±0.0041
0.0873±0.0072
3.9502
0
0.0212±0.0009
0.0477±0.001
2.25
0
2.3211±0.471
48.002±0.901
20.6807
0
1.6267±0.097
2.6285±0.139
1.6158
0
0.6170±0.0007
0.9344±0.0007
1.5144
0
0.6064±0.0054
0.8964±0.0011
1.4782
Efisiensi pemakaian substrat pada konsentrasi substrat 20% (stop aerasi)
lebih tinggi yaitu sebesar 1.5144 kali dibandingkan dengan konsentrasi substrat
20% (aerasi). Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem fed batch stop aerasi, pada
biomassa maksimal, kondisi dibuat tanpa ada oksigen yaitu aerasi dihentikan
namun agitasi tetap dilakukan, khamir S. cerevisiae melakukan perubahan kondisi
pertumbuhan (switching condition) yaitu dari aerobik ke anaerobik, pada kondisi
anaerobik S.cerevisiae melakukan aktivitas metaboliknya dengan memproduksi
sel dan produk melalui jalur fermentatif yaitu mengubah glukosa menjadi alkohol
dan CO2.
Pada sistem fed batch terekayasa dengan perlakuan penghentian aerasi pada
konsentrasi substrat 20% menunjukkan hasil yang optimal untuk pembentukan
produk yaitu etanol dibandingkan dengan perlakuan tanpa penghentian aerasi
(normal fed batch) pada konsentrasi yang sama (20%). Hal ini disebabkan oleh
adanya perlakuan rekayasa bioproses yaitu penghentian aerasi dari jam ke-18
hingga akhir fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa. Rekayasa bioproses
yang dilakukan dapat meningkatkan konsentrasi produk yang dihasilkan yaitu
etanol. Hal ini juga menunjukkan bahwa rekayasa bioproses dengan fermentasi
secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk sebesar 1.422
kali.
Wahyuni
(2008)
menyebutkan
bahwa
rekayasa
bioproses
dapat
meningkatkan konsentrasi etanol yang diperoleh, pada sistem fed batch dengan
perlakuan penghentian aerasi dan agitasi tetap dilakukan terjadi peningkatan nilai
kadar etanol dari 10.27±0.424% (v/v) menjadi 21.385% (v/v) yang berarti bahwa
terjadi peningkatan kadar etanol sebesar 2.082 kali. Rekayasa bioproses yang
dimaksud adalah pengaturan kondisi aerasi dan agitasi serta sistem batch maupun
fed batch.
Chandel et al. (2006) melaporkan bahwa fermentasi etanol dengan
menggunakan sistem fed batch dapat meningkatkan kadar etanol yang diperoleh
yaitu dapat meningkatkan kadar etaol sebesar 2.92 kali, dimana pada sistem fed
batch diperoleh konsentrasi etanol sebesar 28.5±0.46 g/l (3.59% v/v) dan pada
sistem batch diperoleh konsentrasi etanol sebesar 9.74±0.1 g/l (1.227% v/v).
Pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi, pada perlakuan pertama yaitu
perlakuan konsentrasi substrat 20% menunjukkan nilai peningkatan Yx/s paling
rendah dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya dan nilai peningkatan
Yp/s, Yp/x, dan S0-S/S0 paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan
lainnya. Perbandingan Peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, X, P, dan S0-S/S0 dari jam
ke- 0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi disajikan pada Tabel
9.
Sedangkan data pendukung kinetika fermentasi yaitu nilai X, P, dan S
disajikan pada Lampiran 16.
Pada sistem fed batch terekayasa dengan stop aerasi menunjukkan hasil
bahwa perlakuan konsentrasi substrat 20% memiliki nilai peningkatan Yp/x lebih
tinggi dari keempat perlakuan lainnya. Nilai Yp/x tersebut menunjukkan efisiensi
pemanfaatan substrat dalam menghasilkan produk. Hal ini menunjukkan bahwa
substrat glukosa dengan konsentrasi 20% yang ditambahkan ke dalam media
fermentasi sebelumnya dikonversi secara maksimal oleh S.cerevisiae membentuk
alkohol (etanol) sehingga nilai peningkatan Yp/x mencapai 20.6807 kali dengan
nilai peningkatan produk (P) dan nilai peningkatan efisiensi (S0-S/S0) masingmasing sebesar 3.2883 kali dan 1.5144 kali.
Nilai peningkatan Yp/x terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi
substrat 4% yaitu 3.674 kali. Hal ini menunjukkan bahwa glukosa yang
ditambahkan tidak digunakan secara maksimal oleh S.cerevisiae untuk
menghasilkan etanol karena selain memproduksi sel juga digunakan untuk
memproduksi etanol, hal ini dapat diihat dari nilai peningkatan Yx/s yang
diperoleh lebih tinggi yaitu 0.3607 kali dibandingkan dengan perlakuan pertama.
Selain itu, konsentrasi glukosa yang ditambahkan terlalu rendah sehingga
berpengaruh terhadap kadar etanol yang dihasilkan.
Nilai peningkatan Yx/s tertinggi pada sistem fed batch terekayasa stop
aerasi diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 16% yaitu 0.6197 kali. Nilai
Yx/s tersebut menunjukkan bahwa kemampuan S.cerevisiae dalam mengkonversi
substrat menjadi biomassa pada perlakuan penambahan substrat dengan
konsentrasi 16% lebih baik dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa substrat yang diumpankan digunakan oleh S.cerevisiae
untuk membentuk sel sebanyak-banyaknya. Sedangkan nilai peningkatan Yx/s
terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 20% yaitu 0.1894 kali.
Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi substrat 20%, sel yang terbentuk
hanya sedikit akan tetapi dengan biomassa yang sedikit dapat memproduksi etanol
dengan sebanyak-banyaknya, hal ini dapat dilihat dari nilai Yp/x pada konsentrasi
substrat 20% paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi substrat 16% dan
nilai peningkatan X pada konsentrasi substrat 16% lebih tinggi dibandingkan
dengan konsentrasi substrat 20% yaitu sebesar 1.0588 kali.
Perlakuan konsentrasi substrat 20% pada sistem fed batch terekayasa stop
aerasi menunjukkan nilai peningkatan Yp/s tertinggi yaitu 3.9502 kali
dibandingkan keempat perlakuan lainnya. Nilai Yp/s yang tinggi menunjukkan
bahwa substrat dapat digunakan secara optimal oleh mikroorganisme untuk
menghasilkan produk. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan
konsentrasi substrat 20%, khamir S. cerevisiae memanfaatkan substrat tersebut
untuk membentuk produk. Nilai peningkatan Yp/x terendah adalah pada
perlakuan konsentrasi substrat 4% yaitu 1.1747 kali. Hal ini diduga S. cerevisiae
tidak mampu untuk mengubah asam piruvat membentuk etanol sehingga terjadi
penumpukan asam. Selain itu, hasil akhir perombakan tersebut dapat berupa
senyawa-senyawa lain seperti aldehid, asam organik, dan fusel oil. Pinho et al.
(2006) menyebutkan bahwa pada kondisi anaerobik khamir akan mengkonversi
gula menjadi alkohol selama fermentasi. Tidak hanya menghasilkan alkohol dan
karbondioksida, tetapi bahkan senyawa lain (alkohol yang tinggi, asam organik,
ester, aldehid, keton, senyawa belerang) sebagai kunci sensorik pada alkohol (bir).
Perlakuan konsentrasi substrat 20% pada sistem fed batch
terekayasa
dengan stop aerasi menunjukkan peningkatan pada nilai produk (P) dari
3.302±0.0615% (v/v) pada jam ke-18 (stop aerasi) menjadi 10.858±0.003% (v/v)
pada jam ke-72 (stop aerasi). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
nilai produk (P) sebesar 3.2883 kali.
Nilai peningkatan produk (P) pada
konsentrasi substrat 20% paling tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat penambahan substrat, khamir
langsung memanfaatkan substrat untuk membentuk produk sebanyak-banyaknya
hingga akhir fermentasi. Glukosa yang ditambahkan dikonversi secara maksimal
oleh S.cerevisiae membentuk etanol.
Tabel 9. Perbandingan Peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, X, P dan S0-S/S0 dari jam ke- 0 sampai 72 pada sistem fed batch terekayasa
stop aerasi
Perlakuan
4%
Jam Ke0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
8%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
12%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
16%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
20%
Peningkatan (kali)
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
X
P
Y x/s
Y p/s
Y p/x
S0-S/S0
4.935±0.0898
5.893 ±0.0063
6.080±0.0127
1.0317
4.967±0.0339
6.032±0.0091
6.169±0.0205
1.0227
4.995±0.0049
6.058±0.0162
6.295±0.0021
1.0391
5.017±0.0339
6.121±0.0449
6.481±0.017
1.0588
5.613±0.016
7.049±0.008
7.208±0.008
1.0225
0
3.213±0.274
5.194±0.195
1.6165
0
3.484±0.121
5.633±0.531
1.6168
0
3.653±0.0834
7.473±0.1605
2.0457
0
3.560±0.146
8.834±0.195
2.4814
0
3.302±0.0615
10.858±0.003
3.2883
0
0.0061±0.0005
0.0022±0.0002
0.3607
0
0.0067±0.0002
0.0017±0.0001
0.2537
0
0.0071±0.0004
0.0028±0.0002
0.3944
0
0.0071±0.0001
0.0044±0.0007
0.6197
0
0.0095±0.0001
0.0018±0.0002
0.1894
0
0.0206±0.0018
0.0242±0.0056
1.1747
0
0.0220±0.0006
0.0272±0.0053
1.2364
0
0.0240±0.0003
0.0458±0.0012
1.9083
0
0.0231±0.0041
0.0654±0.0007
2.8312
0
0.0221±0.0041
0.0873±0.0072
3.9502
0
3.3501±0.0061
10.809±0.3620
3.2265
0
3.2746±0.189
15.510±0.170
4.7364
0
3.3520±0.231
16.135±0.6375
4.8135
0
3.2389±0.4708
14.833±0.2394
4.5796
0
2.3211±0.471
48.002±0.901
20.6807
0
0.6420±0.0009
0.9429±0.0004
1.4687
0
0.6543±0.0031
0.9459±0.0007
1.4456
0
0.6316±0.0022
0.9413±0.0044
1.4903
0
0.6353±0.0007
0.9134±0.0003
1.4377
0
0.6170±0.0007
0.9344±0.0007
1.5144
Nilai peningkatan efisiensi pemanfaatan substrat pada sistem fed batch
terekayasa stop aerasi menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi substrat 20%
lebih tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan lainnya. Nilai peningkatan
efisiensi yang diperoleh yaitu sebesar 1.5144 kali (97.49%). Nilai efisiensi
tersebut menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan substrat untuk menghasilkan
produk dari jam ke-18 sampai jam 72 mengalami peningkatan sebanyak 1.5144
kali, artinya bahwa substrat dimanfaatkan secara maksimal untuk membentuk
produk. Sedangkan nilai peningkatan efisiensi terendah diperoleh pada perlakuan
konsentrasi substrat 16% dengan nilai peningkatan efisiensi yang diperoleh hanya
1.4337 kali (96.84%).
Efisiensi pemanfaatan substrat pada sistem fed batch terekayasa dengan
perlakuan stop aerasi dan agitasi tetap dilakukan yaitu sebesar 97.49% pada
konsentrasi substrat 20%. Nilai efisiensi pemanfaatan substrat yang diperoleh
pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai efisiensi pemanfaatan
substrat yang diperoleh pada penelitian Wahyuni (2008) yaitu pada sistem fed
batch dengan perlakuan stop aerasi dan agitasi tetap dilakukan diperoleh nilai
efisiensi pemanfaatan substrat sebesar 55.64%.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pada sistem fed batch
terekayasa stop aerasi perlakuan konsentrasi substrat 20% merupakan konsentrasi
substrat yang optimal digunakan oleh S.cerevisiae untuk menghasilkan etanol
dengan kadar etanol yang diperoleh pada akhir fermentasi sebesar 10.858±0.003%
(v/v) atau 8.610±0.002% (b/v) dengan efisiensi pemanfaatan substrat masingmasing sebesar 1.5144 kali (97.49%). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
menunjukkan bahwa fermentasi dengan sistem fed batch terekayasa dapat
meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan.
Laopaiboon et al. (2007) melaporkan bahwa pada proses produksi etanol
dari sorghum secara fermentasi batch dan fed batch dengan menggunakan
S.cerevisiae TISTR 5048 selama 108 jam, pada fermentasi fed batch konsentrasi
etanol, yield dan produktivitas yang dihasilkan masing-masing sebesar 120 g/l;
0.48 g/g dan 1.11 g/l/h. Sedangkan pada fermentasi batch konsentrasi etanol,
yield dan produktivitas yang dihasilkan masing-masing sebesar 100 g/l; 0.42 g/g
dan 1.67 g/l/h. Pada fermentasi fed batch diperoleh peningkatan konsentrasi
etanol sekitar 20% dan peningkatan produk sekitar 14% dibandingkan dengan
fermentasi batch. Fermentasi fed batch dapat meningkatkan efisiensi produksi
etanol dalam hal konsentrasi etanol dan produk. Cheng et al. (2009) menyebutkan
bahwa pada proses produksi etanol secara fed batch menggunakan S.cerevisiae
selama 32 jam, diperoleh nilai Yp/x dan nilai Yp/s masing-masing sebesar 24.75
g/g dan 2.47 g/g dengan konsentrasi etanol sebesar 17 g/l pada konsentrasi
glukosa 2%. Sedangkan pada sistem batch nya diperoleh nilai Yp/x dan Yp/s
masing-masing sebesar 21.49 g/g dan 0.81 g/g. Fermentasi fed batch lebih baik
dari fermentasi batch karena produk yang dihasilkan lebih tinggi.
Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan dilakukan rekayasa bioproses
dapat menghasilkan etanol dengan produktivitas yang tinggi (etanol yang
dihasilkan tinggi) dan efisiensi yang tinggi (gula sisa yang rendah). Rekayasa
bioproses yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengaturan kondisi aerasi
(penghentian aerasi saat biomassa maksimum) dan pengaturan konsentrasi
substrat yang diumpankan (variasi konsentrasi substrat) melalui sistem kultivasi
fed batch terekayasa.
Produksi etanol dengan menggunakan bahan baku ubi jalar dalam hal ini
sirup glukosa ubi jalar merupakan salah satu alternatif pembuatan bioetanol
berbasis pati. Ubi jalar selain mudah untuk dibudidaya, juga dapat tumbuh di
lahan yang kurang subur, umur panen yang singkat, sehingga dalam
pengembangan industri bioetanol, ubi jalar sangat berpotensi dijadikan sebagai
bahan baku pembuatan bioetanol. Selama ini, yang menjadi bahan baku dalam
pembuatan sirup glukosa ubi jalar adalah pati kering ubi jalar. Melalui penelitian
ini, tepung ubi jalar, pati basah ubi jalar dan umbi parut ubi jalar pada variasi
bentuk bahan baku ubi jalar dalam pembuatan sirup glukosa diharapkan dapat
dijadikan sebagai alternatif bahan baku dalam pembuatan sirup glukosa ubi jalar.
Melalui penelitian ini juga, dengan hasil kadar etanol tertinggi yang diperoleh
pada produksi bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar yaitu mencapai
10.858±0.003% (v/v) atau 8.610±0.002% (b/v) diharapkan ubi jalar dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan baku pembuatan bioetanol dalam
pengembangan industri bioetanol di Indonesia.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ubi jalar sangat potensial dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan
bioetanol. Pada pembuatan sirup glukosa ubi jalar sebagai bahan baku dalam
pembuatan bioetanol dengan variasi bentuk bahan baku, pati kering ubi jalar
merupakan bentuk bahan baku yang terbaik dalam pembuatan sirup glukosa ubi
jalar dengan nilai efisiensi yang tertinggi yaitu sebesar 63.207±0.202%.
Rekayasa bioproses dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan
dibandingkan dengan tidak dilakukannya rekayasa bioproses. Pada sistem fed
batch terekayasa dengan perlakuan stop aerasi pada konsentrasi substrat 20%
diperoleh nilai peningkatan produk tertinggi yaitu sebesar 3.2883 kali dengan nilai
peningkatan efisiensi substrat sebesar 1.514 kali. Rekayasa bioproses dengan
fermentasi secara fed batch terekayasa stop aerasi dapat meningkatkan produk
sebesar 1.422 kali.
Konsentrasi substrat yang optimal untuk menghasilkan produktivitas yang
tinggi dan efisiensi yang tinggi pada sistem fed batch terekayasa stop aerasi
diperoleh pada perlakuan konsentrasi substrat 20% dengan kadar etanol yang
dihasilkan adalah 10.858±0.003% (v/v) atau 8.610±0.002% (b/v) dan efisiensi
pemanfaatan substrat sebesar 97.49%.
5.2 Saran
Pada proses fermentasi sistem fed batch terekayasa penelitian dilakukan
dengan menggunakan bioreaktor skala laboratorium, sehingga perlu dilakukan
penggandaan skala pada proses fermentasi fed batch terekayasa.
DAFTAR PUSTAKA
Abedinifar S, Karimi K, Khanahmadi M, Taherzadi MJ. 2009. Ethanol Production
by Mucor indicus and Rhizopus oryzae from Rice Straw by Separate
Hydrolysis and Fermentation. J Biomass and Bioenergy. 33: 828-833.
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official of
Analytical Chemist. Washington.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sendarwati, Budiyanto. 1989.
Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor.
Arcinthya RR. 2007. Karakterisasi Ekstrak Kasar Amilase Isolat Bakteri
Acinetobacter sp. dari Sumber Air Panas Guci Tegal. [skripsi]. Purwokerto:
Fakultas Sains dan Teknik Jurusan MIPA Program Studi Kimia UNSOED.
Assegaf F. 2009. Prospek Produksi Bioetanol Bonngol Pisang (Musa
paradisiacal) Menggunakan Metode Hidrolisis Asam dan Enzimatis. Di
dalam : Daya Saing dan Pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Seni). Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Universitas Jenderal
Soedirman.
Berghmans S. 1980. Starch Hydrolysate : Improved Sweeteners Obtained by The
Used of Enzymes Novo Industry, Denmark
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008a. Produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) di
Indonesia. [terhubung berkala]: www.bps.go.id [18 Februari 2010].
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008b. Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar
di Indonesia. [terhubung berkala]: www.bps.go.id [25Februari 2009].
Bro C, Regenberg B, Forster J, Nielsen J. 2006. In Silico Aided Metabolic
Engineering of Saccharomyces cerevisiae for Improved Bioethanol
Production. J Metabolic Eng 8:102–111.
Budiyanto A, Martosuyono P, Richana N. 2006. Optimasi Proses Produksi
Tepung Gula Kasava dari Pati Ubi Kayu Skala Laboratorium. Buletin Balai
Besar Pasca Panen 2(1) 28-35, Bogor.
Caylak B, Vardar Sukan F. 1998. Comparion of Different Production Process
For Bioetanol. J Chemical. 22: 351-359.
Chandel AK, Kapoor RK, Rudravaram R. 2006. Production of Bioethanol from
Typa latifolia Enzymatic Hydolysates Under Batch and Fed Batch
Fermentation Condition. J Fuel 3317:6 pages.
Chaplin MF, Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press,
New York.
Cheng NG, Hasan M, Kumoro AC, Ling CF, Tham M. 2009. Production of
Ethanol by Fed Batch Fermentation. J Science and Technology 17(2):399408.
Chemiawan T. 2005. Membangun Industri Bioetanol Nasional Sebagai Pasokan
Energi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Energi Global. [terhubung
berkala]. www.chemitech.com. [31 Juli 2008].
Clark T, Mackie KL. 1984. Fermentation inhibitors in Wood Hydroysates Derived
From The Soft Wood Pinus radiate. J Chem. Bioethanol 34B: 101-110.
Crueger W, Anneliese C. 1984. Biotechnology A Textbook of Industrial
Microbiology. Madison: Science Tech, Inc.
Darmajana DA. 2008. Upaya Memperpanjang Umur Simpan Ubi Jalar (Ipomoea
batatas L) dengan Teknik Pelilinan. Di dalam : Teknologi Pengawetan
Bahan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II-2008;
Lampung, 17-18 November 2008. Lampung; Universitas Lampung. hlm
VIII/15-VIII/23.
Demirbas A. 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials: A Renewable Motor
Fuel from Biomass. J Energy Sources 21 : 327-337.
[Deptan]. Departemen Pertanian. 2008. Perbandingan Karakteristik Tanaman
Penghasil Bioetanol. [terhubung berkala]: www.deptan.go.id. [25 Oktober
2007].
[DESM]. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2007. Target dan
Tahapan Penggunaaan Biofuel di Indonesia. Dalam : Agro Observer “
Agribusiness Review and Reference. No. 5.
Dodic S, Popov S, Dodic J, Rankovic J, Zavargo Z, Mucibabic RC. 2009.
Bioethanol Production From Thick Juice as Intermediate of Sugar Beet
Processing. J Biomass and Bioenergy. 33 : 822-827.
Dubois MK, Gilles A, Hamilton JK, Rebers DA, Smith F. 1956. Colorimetric
Methode for Determination of Sugar and Related Substances. Analitical
Chemist 28 : 350-356.
Elevri PA, Putra SR. 2006. Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces
cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. J Akta Kimindo 1(2) :
105-114.
Erliana G, Widodo Y, Rahayuningsih S, Jusuf M. 2005. Karakteristik Pati
Beberapa Varietas Ubi Jalar. J Tan. Pangan PP24/01.
Frazier WC, Westhoff DC. 1978. Food Microbilogy 4th edition. Mc Graw-Hill
Book. Publishing. Co. Ltd, New York.
Gadang
BKP
Jatim.
2008.
Prospek
Ubi
Jalar
http://www.bkpjatim.or.id/pages/index.php. [5 Januari 2009]
Saat
Ini.
Gaur K. 2006. Process Optimazation for The Production of Ethanol Via
Fermentation. [dissertation]. Thapar Institute Of Engg.& Technology,
Deemed University.
Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendarko R. 2007.
Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Harisson JS, Graham JCJ. 1970. Yeast in Distilery Practice. Academic Press,
London.
Hartoto L. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi. Bogor:
Depdikbud Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Hartoto L, Sailah I. 1992. Sistem Bioreaktor. Bogor: Depdikbud Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor.
Hartoto L, Suryani A, Hambali E. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam
Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Biodegradable.
Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut
Pertanian Bogor.
Hepworth M. 2005. Technical, Environmental and Economic Aspects of Unit
Operations for the Production of Bioethanol from Sugar Beet in the United
Kingdom. CET IIA Exercise 5, Corpus Christi College.
Higgins B. 1984. Ethanol Fermentations Nutrient Study. J Bacteriol. 49,524,1945.
Hollaender M. 1981. Sequential Induction of Maltose Permease and Maltase
System in Saccharomyces cerevisiae. J Biochem. 99 : 89-95.
Ikhtiarudin I. 2009. Hubungan Antara Respirasi Anaerobik dengan Bioteknologi.
[terhubung berkala]. www.ihsanadhi.com. [03 Februari 2010].
Irawadi TT. 1990. Kajian Hidrolisis Limbah Lignoselulosa dari Industri
Pertanian. J Tek. Ind. Pert. 8 (3) : 124-134.
Izzati N, Rosita Y, Amrullah H. 2009. OptimasiPembuatan Bioetanol dari Ubi
Jalar Putih (Ipomoe batatas L) Sebagai Sumber Energi Terbaharukan.
[terhubung berkala]. http://karya-ilmiah.um.ac.id [05 Desember 2009]
Juanda DJ, Bambang C. 2004. Ubi Jalar-Budi daya dan Analisis Usaha Tani.
Yogyakarta: Kanisius.
Judoadmidjojo RM, Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Bogor: Pusat Antar
Universitas Bioteknologi.
Judoadmidjojo RM. 1992. Teknologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi.
Kartika B, Guritno AD, Purwadi D, Ismoyowati D. 1992. Petunjuk Evaluasi
Produk Industri Hasil Pertanian. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Kunkee KD, Mardon CJ. 1970. Yeast in Wine Making. Academic Press, London.
Khanal SK. 2008. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production: Principles
and Applications. USA: John Wiley & Sons, Inc. [terhubung berkala].
http://journalbiofuel.com/. [13 Desember 2009].
Laopaiboon L, Thanonkeo P, Naunpheng S, Jaisil P, Laopaiboon P. 2007.
Ethanol Production from Sweet Shorgum Juice in Batch and Fed Batch
Fermentation by Saccharomyces cerevisiae TISTR 5048. J Microbiology
and Biotechnology 23(10): 1497-1501.
Lingga P, Sarwono B, Rahardi I, Rahardjo PC, Afriastini JJ, Wudianto R, Apriadji
WH. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta : Penebar Swadaya.
Machfud, Sa’id EG, Krisnani. 1989. Fermentor. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Maiden AM. 1970. Food and Fermentation Application of Starch Hydrolysis. Di
dalam Birch, L.F. Green dan G.B. Voulson (eds.) Glucose Syrups and
Related Carbohydrates. Elsevier Publ. Cp. Ltd., London.
Martono B, Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubi Kayu sebagai Bahan
Baku
Bioetanol
di
Provinsi
DIY.
[terhubung
berkala].
http://202.169.224.75/detail.php. [31 Juli 2008].
Mensonides FIC, Schuurmans JM, Teixeria de Mattos MJ, Hellingwerf KJ, Brul
S. 2002. The Metabolic Response of Saccharomyces cerevisiae to
Continuous Heat Stress. J Mol. Biol.Rep. 29-103.
Meyer HL. 1978.
Corporation.
Food Chemistry.
New York : Reinhold Publishing
Mohammed AA, Duateb RP. 2003. The Effect of Mixing and Wheat
Protein/Gluten on The Gelatinization of Wheat Starch. J Food Chemistry
81: 533-545.
Mursyidin D. 2007. Ubi Kayu dan Bahan Bakar Terbarukan. [terhubung berkala].
[29
http://www.banjarmasin.net/pedoman%Bahan%bakar%berbarukan.
Maret 2008].
Musaddad A. 2005. Teknologi Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian
(Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu, Ubi Jalar). Malang:
Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.
Neves MA, Shimizu N, Kimura T, Shiiba K. 2007. Kinetics of Bioethanol
Production From Wheat Milling by-Products. J Food Process Engineering
68(6) : 109-116
Nowak J. 2000. Ethanol Yield and Productivity of Zymomonas mobilis in Various
Fermentation Methods. J Electronic of Polish Agricultural Universities.
3(2).
Pamphula ME, Dias MCL. 1989. Combined Effect of Acetic Acid, Ph and
Ethanol On Intracellular Ph of Fermenting Yeast. 31:547-550.
Paturau JM. 1981. By Product of the Cane Sugar Industry : An Introduction to
their Industrial Ulilization. Elzevier Scientific Publ. Co., Amsterdam.
Pinho O, Ferreira IMPLVO, Santos LHMLM. 2006. Method Optimization by
Solid-phase Microextraction in Combination with Gas Chromatography
with Mass Spectrometry for Analysis of Beer Volatile Fraction. J
Chromatography A 1121: 145-153.
Prasad S, Sighn A, Jochi HC. 2006. Ethanol as an Alternatif Fuel From
Agriculture, Industrial, Urban Residues. J Resources, Conservation and
Recycling. 50 : 1-39.
Pranamuda A, Won Lee S, Ozawa T, Tanaka A. 2006. Ethanol Production from
Raw Sago Starch Under Unsterile Condition. J Chemical 47(7) : 277-280.
Prescott SC, Dunn M. 1981. Industrial Microbiology. New York: Mc. Graw Hill
Book. Co. Ltd.
Prihandana. 2007. Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta:
Agromedia.
[Puslittan]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2008. Ubi
Jalar Sukuh. [terhubung berkala]. http://www.puslittan.bogor.net.html. [18
Jan 2008].
Rehm HJ, Reed G. 1983. Biotechnology. Microbial Fundamental (I). Verlag
Chemi Gmbh, Weinheim.
Richana N. 2009a. Ubi Jalar (Botani, Budidaya, dan Teknologi Pascapanen.
[Ebook]. http://www.nurichana.com.
Richana N. 2009b.
Bioetanol (Bahan baku, Teknologi Produksi dan
Pengendalian Mutu. [Ebook]. http://www.nurichana.com.
Rukmana R. 2006. Ubi Jalar. Yogyakarta: Kanisius.
Sa’id EG. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta:
Mediyatama Sarana Perkasa.
Shintawaty A. 2006. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol Sebagai
Bahan Bakar Alternatif di Indonesia. Economic Review No.23 Maret 2006.
Son YJ, Park KH, Lee S, Oh SJ, Kim CK, Choi BT, Park YC, Seo JH. 2007.
Effects of Temperature Shift Strategies on Human Preproinsulin Production
in The Fed-Batch Fermentation of Recombinant Escherichia coli. J
Biotechnol. Bioproc. E. 12 : 556–561.
Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Suprapti A. 2003. Tepung Ubi Jalar-Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Yogyakarta: Kanisius.
Sree NK, Sridhar M, Suresh K, Bharat IM, Rao LV. 2000. High Alcohol
Production by Repeated Batch Fermentation Using Immobilized
Osmotolerant Saccharomyces cerevisiae. J Indust Microbiol Biotechnol
24:222-26.
Stanbury PF, Whitaker A. 1984.
Pergamon Press, New York.
Principles of Fermentation Technology.
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Mkaanan dan Pertanian. Yogyakarta; Liberty.
Suhartina
RS,
2005.
Ubi
Jalar.
[terhubung
http://simonbwidjanarko.com.ubijalar.pdf. [20 Januari 2009].
berkala]:
Sukairi M. 2008. Batch Ethanol Fermentation Using Glucose Desired From
Tapioca Flour Starch by Saccaromyces cerevisiae: Effect of Inocolum Age
and Agitation Speed. [thesis]. Faculty of Chemical and Natural Resources
Engineering, University Malaysia Pahang.
Swain MR, Kar S, Sahoo AK, Ray RC. 2007. Ethanol Fermentation of Mahula
(Madhuca latifolia L) Flowers Using Free and Immobilized Yeast
Saccharomyces cerevisiae. J Microbial Res. 162(2): 93-98.
Tao F, Miao JY, Shi GY, Zhang KC. 2005. Ethanol Fermentation by an Acidtolerant Zymomonas mobilis under Non-sterilized Condition. J Process
Biochemistry. 40: 183-187.
Tjokroadikoesoemo PS. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Trevan MD, Boffey S, Goulding KH, Stanbury PF. 1987. Biotechnology: The
Biological Principles. Chapter 7, p. 80-81. Open University Press Taylor
and France, New York.
Wahyuni A. 2008. Rekayasa Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Sirup Glukosa
Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) dengan Menggunakan Saccharomyces
cerevisiae. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnil P, Humphrey AE, Lolly MD. 1979.
Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley&Sons, New York
Wang NS.
2002. Starch Hydrolisis by Amylase. [terhubung berkala].
www.glue.umd.edu. [19 November 2006].
Wayan IA. 2009. Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses Pembuatan
Bioetanol dari Ubi Kayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillus
niger dan Saccharomyces cerevisiae. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
You KM, Rosenfield CL, Kniple DC. 2003. Ethanol Tolerance in the Yeast
Saccharomyces cerevisiae is Dependent on Cellular Oleic Acid Content. J
Applied and Environmental Microbiology 69(3) : 1449-1503.
Yu B, Zhang F, Zheng Y, Wang P. 1996. Alcohol Fermentation from the Mash
of dried Sweet Potato with Its Dregs Using Immobilised Yeast. J Process
Biochem 31(1): 1-6.
Zaldivar J, Roca C, Foll CL, Hagerdal BH, Olsson L. 2005. Ethanolic
Fermentation of Acid Pre-treated Starch Industry Effluents by Recombinant
Saccharomyces cerevisiae Strains. J Bioresource Technol 96(15): 16701676.
Zhang M, Wang F, Su R, Qi W, He Z. 2009. Ethanol Production from High Dry
Matter Corncob using Fed-Batch Simultaneous Saccharification and
Fermentation after Combined Pretreatment. J Bioresources Technology 22:
1873-1880..
Zuraedah S, Supriati T. 2001.
Jakarta: Yasaguna.
Budidaya Ubi Jalar (Potensi dan Manfaat).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisa Proksimat Ubi Jalar dan Pati Ubi Jalar
A. Kadar Air (AOAC 1984)
Sebanyak 2 gram sampel segar dimasukkan ke dalam cawan alumunium
yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan di dalam oven pada
suhu 100-105oC selama 8 jam atau sampai bobot konstan. Setelah itu
didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan
rumus :
Kadar Air (%) =
Bobot Sampel ( segar − ker ing )
x 100%
Bobot Sampel Segar
B. Kadar Abu (AOAC 1984)
Sebanyak 1 gram sampel kering ditempatkan dalam wadah porselin dan
dibakar sampai tidak berasap.
Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu
600oC selama 1 jam. lalu ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :
Kadar Abu (%) =
Bobot Abu
x 100%
Bobot Sampel Kering
C. Kadar Lemak Kasar (AOAC 1984)
Sebanyak 2 gram sampel kering disebar di atas kapas yang beralas kertas
saring dan digulung membentuk thimble. lalu dimasukkan dalam labu soxhlet.
Kemudian dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut
lemak berupa heksana sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam. Kadar lemak kasar
dihitung dengan rumus :
Kadar Lemak (%) =
Bobot Lemak Terekstrak
x 100%
Bobot Sampel Kering
D. Kadar Protein Kasar (AOAC 1984)
Sebanyak 0.25 gram sampel kering. ditempatkan dalam labu Kjeldahl
100 ml dan ditambahkan 0.25 gram Selenium dan 3 m H2SO4 pekat.
Kemudian dilakukan dekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama
1 jam sampai larutan jernih.
Setelah ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40 %. lalu
didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi campuran
10 ml H3BO2 2 % dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green – Methyl Red
berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi
10 ml dan berwarna hijau kebiruan. destilasi dihentikan dan destilat dititrasi
dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda.
Perlakuan yang sama
dilakukan juga terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen
total yang dihitung dengan rumus :
%N =
( S − B) x N HCl x 14
x 100%
w x 1000
Keterangan :
S
: Volume titran sampel (ml)
B
: Volume titran blanko (ml)
W
: Bobot sampel kering (mg)
Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan 4.38
(faktor perkalian untuk jamur umum). Faktor perkalian untuk berbagai bahan
pangan berkisar 5.18 – 6.38.
E. Kadar Serat Kasar (AOAC 1984)
Sebanyak 1 gram sampel kering dilarutkan dengan 100 ml H2SO4
1.25 %. dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan dekstruksi
selama 30 menit. Kemudian disaring menggunakan kertas saring whatman (Φ
: 10 cm) dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas
dengan 20 – 30 ml air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu
didekstruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1.25 % selama 30 menit. Lalu
disaring dengan cara seperti di atas`dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml
H2SO4 1.25 % mendidih. 2.5 ml air sebanyak 3 kali. dan 25 ml alkohol.
Residu beserta kertas saring dipindahkan ke cawan porselin untuk dikeringkan
dalam oven 130oC selama 2 jam. Setelah dingin resdiu beserta cawan porselin
ditimbang (A). lalu dimasukkan dalam tanur 600oC selama 30 menit.
didinginkan dan ditimbang kembali (B).
Kadar Serat Kasar (%) =
Bobot Serat Kasar
x 100%
Bobot Sampel Kering
Keterangan :
Bobot serat kasar : w – w0
W
= bobot residu sebelum dibakar dalam tanur
= A – (bobot kertas saring + cawan)
A : bobot residu + kertas saring + cawan
W0
= bobot residu setelah dibakar dalam tanur
= B – (bobot cawan)
B : Bobot residu + cawan
F. Kadar Karbohidrat (AOAC 1984)
Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by
difference yaitu : 100% - (kadar air + abu + protein + lemak).
Kadar
karbohidrat N-free menunjukkan besarnya kandungan karbohidrat yang dapat
dicerna dari suatu bahan pangan. Ditentukan dengan cara 100% - (kadar air +
abu + protein + lemak + serat kasar).
G. Kadar Pati (AOAC 1984)
Sebanyak kurang lebih 5 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3 % dan
dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Selanjutnya didinginkan
dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30 % (indikator lakmus atau
fenoftalein). dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3 % agar suasana larutan
sedikit asam. Isi dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan diencerkan
hingga tanda tera. kemudian disaring. Sebanyak 10 ml larutan dipipet ke
dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 25 ml larutan Luff (dengan pipet)
dan beberapa butir batu didih serta 15 ml air suling. Campuran dipanaskan
dengan nyala tetap. diusahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3
menit (digunakan stopwatch). Campuran terus dididihkan selama tepat 10
menit (dihitung dari saat mulai mendidih) kemudian dengan cepat didinginkan
dalam bak berisi es. Setelah dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20 % dan
25 ml H2SO4 25 % secara perlahan-lahan. Penitiran dilakukan secepatnya
dengan larutan sodium tiosulfat 0.1 N dengan larutan indikator larutan kanji
0.5 %. Pekerjaan yang sama dilakukan juga terhadap blanko.
Perhitungan :
(Blanko – Penitar) x N sodium tiosulfat x 10
Setara dengan terusi yang tereduksi. Kemudian dengan daftar Luff Schroorl
dilihat jumlah mg gula yang terkandung untuk ml sodium tiosulfat yang
digunakan
Kadar Glukosa =
w1 x fp
x 100%
w
Keterangan :
w1 : Bobot contoh (mg)
w : Glukosa yang etrkandung untuk ml sodium tiosulfat yang
dipergunakan (mg)
fp : faktor pengenceran
Tabel 10. Penetapan Gula Berdasarkan Luff Schoorl
Glukosa. Fruktosa. Gula
Na2S2O3 0.1 N (ml)
Invert (mg)
1
2.4
2
4.8
3
7.2
4
9.7
5
12.2
6
14.7
7
17.2
8
19.8
9
22.4
10
25.0
11
27.6
12
30.3
13
33.0
14
35.7
15
38.5
16
41.3
17
44.2
18
47.1
19
50.0
20
53.0
21
56.0
22
59.1
23
62.2
Sumber : SNI 01 – 2891 – 1992.
Laktosa
(mg)
3.6
7.3
11.0
14.7
18.4
22.1
25.8
29.5
33.2
37.0
40.8
44.6
48.4
52.2
56.0
59.9
63.8
67.7
71.1
75.1
79.8
83.9
88.0
Maltosa
(mg)
3.9
7.8
11.7
15.6
19.6
23.5
27.5
31.5
35.5
39.5
43.5
47.5
51.6
55.7
59.8
63.9
68.0
72.2
76.5
80.9
85.4
90.0
94.6
Lampiran 2. Prosedur Analisa Total Gula Metode Fenol
Penetapan Total Gula Metode Fenol H2SO4 (Dubois et al. 1956)
Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar
fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar denol adalah sebagai berikut :
2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0,10, 20, 30, 40, 50 dan 60 µg
glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. ditambahkan 1 ml
larutan fenol 5 % dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan
dengan cepat. Biarkan selama 10 menit. kocok lalu tempatkan dalam penangas air
selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. pengujian sampel sama
dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan
2 ml sampel.
Lampiran 3. Prosedur Analisa Total Gula Pereduksi Metode DNS
Total Gula Pereduksi Metode DNS (Apriyantono et al. 1989)
Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan
memproduksi asam 3.5-dinitrosalisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.
¾ Penyiapan Pereaksi DNS
Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10.6 g asam 3.5-dinitrosalisilat
dan 19.8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K
Tatrat. 7.6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8.3 g Na-Metabisulfit.
Larutan ini diaduk rata. kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0.1 N
dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Jika kurang
dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0.1 N.
¾ Penentuan Kurva Standar
Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada
glukosa pada selang 0.2 – 0.5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari
dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara
linear.
¾ Penetapan Total Gula Pereduksi
Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah
sebagai berikut :
1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. kemudian ditambahkan 3
ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5
menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Absorbansi diukur pada
panjang gelombang 550 nm.
Lampiran 4. Prosedur Analisa Parameter Fermentasi
1. pH
Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter.
2. Penetapan Total Gula Metode Fenol H2SO4
Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva
standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai
berikut :
2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30,40, 50 dan
60 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 % dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat
pekat ditambahkan dengan cepat.
Biarkan selama 10 menit. kocok lalu
tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada
490 nm. pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol hanya
2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.
3. Biomassa
Pengukuran massa sel dilakukan dengan menggunakan bobot sel kering.
Sampel yang akan diukur dimasukkan ke dalam eppendorf. kemudian
disentrifuse. Setelah dicuci dengan menggunakan larutan buffer atau air dan
dikeringkan 80oC selama 24 jam atau 110 oC selama 8 jam.
4. OD (Optical Density)
Pengukuran OD dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 660 nm.
5. Kadar Etanol
Pengukuran kadar etanol sampel dilakukan menggunakan GC (Gas
Chromatography). Penentuan dilakukan dengan membandingkan waktu
retensi sampel dengan waktu retensi standar etanol.
Standar etanol yang
diinjeksikan dengan konsentrasi 99.8 % (v/v). Kadar etanol yang terdapat
dalam sampel dihitung dengan menggunakan persaman berikut :
Lampiran 5. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Umbi Parut Ubi Jalar
Lampiran 6. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Basah Ubi Jalar
Umbi parut
Pati Basah
Air suling
Penambahan air 1 : 3
Pengaturan pH 6 - 6,5
Enzim α-amilase
Likuifikasi :
Pemanasan 90oC dengan pengadukan selama 1 jam
Pengaturan pH 4,5
Enzim AMG
o
Sakarifikasi (suhu 60 C, waktu 60 jam)
Pemisahan ampas/penyaringan
Penetralan pH 7
Arang aktif 0.5%
Pemurnian
Sirup Glukosa
Ampas
Lampiran 7.
Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati kering Ubi Jalar
(Budiyanto et al. 2006)
Lampiran 8. Diagram Alir Pembuatan Sirup Glukosa dari Tepung Ubi Jalar
Tepung ubi jalar
Air suling
Penambahan air 1 : 3
Pengaturan pH 6 - 6,5
Enzim α-amilase
Likuifikasi :
Pemanasan 90 C dengan pengadukan selama 1 jam
o
Pengaturan pH 4,5
Enzim AMG
Sakarifikasi (suhu 60oC, waktu 60 jam)
Pemisahan ampas/penyaringan
Penetralan pH 7
Arang aktif 0.5%
Pemurnian
Sirup Glukosa
Ampas
Lampiran 9. Kurva Standar Total Gula dan Gula Pereduksi (DNS)
A. Kurva Standar Total Gula
Konsentrasi
Glukosa
0
10
20
30
40
50
60
Absorbansi
Nilai Kurva
0.098
0.229
0.345
0.450
0.546
0.668
0.806
0.000
0.131
0.247
0.352
0.448
0.570
0.708
B. Kurva Standar Gula Pereduksi (DNS)
Konsentrasi
0
50
100
150
200
250
absorbansi
0.015
0.225
0.416
0.605
0.779
0.898
Nilai Kurva
0.000
0.210
0.401
0.590
0.784
0.883
Lampiran 10. Kurva Standar Pertumbuhan S.cerevisiae
A. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 4%
OD
0.228
0.348
0.422
0.536
0.648
0.746
Biomassa terukur
(g/l)
0.0067
0.0084
0.0105
0.0119
0.0147
0.0168
B. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 8%
OD
0.298
0.326
0.416
0.487
0.546
0.613
0.678
Biomassa terukur
(g/l)
0.0017
0.0019
0.0023
0.0027
0.0031
0.0034
0.0038
C. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 12%
OD
0.238
0.325
0.437
0.549
0.653
0.687
0.723
0.747
0.763
Biomassa terukur
(g/l)
0.0034
0.0036
0.0042
0.0044
0.0048
0.0050
0.0053
0.0054
0.0055
D.
Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 16%
OD
0.246
0.328
0.427
0.498
0.594
0.688
0.774
Biomassa terukur
(g/l)
0.0048
0.0054
0.0061
0.0066
0.0072
0.0075
0.0082
E. Kurva Standar OD Vs Biomassa pada Konsentrasi substrat 20%
OD
0.284
0.329
0.497
0.547
0.62
0.656
0.719
0.736
0.769
Biomassa terukur
(g/l)
0.0044
0.0046
0.0052
0.0054
0.0058
0.0060
0.0063
0.0064
0.0065
Lampiran 11. Tabel perubahan total gula selama fermentasi sistem fed batch
terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi
substrat yang diumpankan
A. Perlakuan konsentrasi substrat 4%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Total Gula (g/L)
1
2
242.439
241.128
172.622
171.923
127.893
128.418
86.774
86.337
35.153
34.874
13.579
13.754
8.384
8.594
5.624
5.694
5.414
5.449
5.589
5.537
5.032
5.059
5.137
5.094
4.927
4.954
Rata-rata
Stdev
241.784
172.273
128.156
86.556
35.014
13.667
8.489
5.659
5.432
5.563
5.046
5.116
4.941
0.927
0.494
0.371
0.309
0.197
0.124
0.148
0.049
0.025
0.037
0.019
0.030
0.019
Rata-rata
Stdev
241.086
136.423
110.972
83.334
27.003
10.781
7.021
5.744
5.339
5.269
4.464
4.529
4.507
0.741
0.742
0.556
0.494
1.332
0.433
0.006
0.018
0.025
0.025
0.013
0.031
0.037
B. Perlakuan konsentrasi substrat 8%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Total Gula (g/L)
1
2
240.561
241.610
135.898
136.948
111.365
110.578
83.683
82.984
26.061
27.945
10.475
11.087
7.025
7.016
5.731
5.757
5.321
5.356
5.251
5.286
4.455
4.473
4.507
4.551
4.481
4.533
C. Perlakuan konsentrasi substrat 12%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Total Gula (g/L)
1
2
239.755
241.153
152.019
152.806
119.702
118.654
88.697
88.435
30.351
30.561
18.521
19.15
12.108
13.13
7.914
8.019
7.319
7.512
6.848
7.075
6.341
6.428
5.781
5.904
5.379
5.467
Rata-rata
Stdev
240.454
152.413
119.178
88.566
30.456
18.836
12.619
7.967
7.416
6.962
6.385
5.843
5.423
0.989
0.556
0.741
0.185
0.148
0.445
0.723
0.074
0.136
0.161
0.062
0.087
0.062
Rata-rata
Stdev
241.853
155.691
109.039
88.192
34.139
16.771
8.947
8.923
8.829
8.738
8.192
7.896
7.634
0.495
0.742
0.494
0.892
0.643
0.124
0.018
0.091
0.037
0.056
0.641
0.913
0.049
D. Perlakuan konsentrasi substrat 16%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Total Gula (g/L)
1
2
242.203
241.503
156.215
155.166
109.388
108.689
87.561
88.823
34.594
33.685
16.683
16.858
8.934
8.96
8.858
8.987
8.803
8.856
8.698
8.777
8.645
7.739
8.541
7.25
7.599
7.669
E. Perlakuan konsentrasi substrat 20%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Total Gula (g/L)
1
2
241.853
241.888
186.372
186.495
109.038
109.738
92.491
92.753
21.037
22.007
15.143
15.787
9.249
9.328
8.856
8.961
8.823
8.701
8.054
8.561
7.512
7.599
6.475
6.448
6.011
6.125
Rata-rata
Stdev
241.871
186.434
109.388
92.622
21.522
15.465
9.289
8.909
8.762
8.308
7.556
6.462
6.068
0.025
0.087
0.494
0.185
0.686
0.455
0.056
0.074
0.086
0.359
0.062
0.019
0.081
Lampiran 12. Tabel perubahan biomassa selama fermentasi sistem fed batch
terekayasa dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi
substrat yang diumpankan
A. Perlakuan konsentrasi substrat 4%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Biomassa (g/L)
1
2
4.998
4.871
5.589
5.385
5.755
5.793
5.898
5.889
5.889
5.871
5.725
5.743
5.453
5.78
5.553
5.762
5.635
5.853
5.944
5.98
5.961
5.998
5.978
5.989
6.071
6.089
Rata-rata
Stdev
4.934
5.487
5.774
5.893
5.88
5.734
5.616
5.657
5.744
5.962
5.979
5.983
6.08
0.089
0.144
0.026
0.006
0.012
0.013
0.231
0.147
0.154
0.025
0.026
0.007
0.012
B. Perlakuan konsentrasi substrat 8%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Biomassa (g/L)
1
2
4.943
4.991
5.116
5.207
5.216
5.271
6.025
6.038
6.052
6.151
6.178
6.176
6.189
6.114
6.191
6.202
6.216
6.202
6.204
6.251
6.138
6.227
6.127
6.201
6.155
6.184
Rata-rata
4.967
5.161
5.243
6.031
6.101
6.177
6.151
6.196
6.209
6.227
6.182
6.164
6.169
Stdev
0.033
0.064
0.038
0.009
0.070
0.001
0.053
0.007
0.009
0.033
0.062
0.052
0.021
C. Perlakuan konsentrasi substrat 12%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Biomassa (g/L)
1
2
4.998
4.991
5.102
5.320
5.525
5.602
6.070
6.047
6.025
6.091
6.002
6.155
6.070
5.826
6.116
5.964
6.173
6.070
6.184
6.134
6.116
6.177
6.139
6.198
6.297
6.294
Rata-rata
Stdev
4.995
5.211
5.564
6.059
6.058
6.079
5.948
6.04
6.122
6.159
6.147
6.169
6.296
0.005
0.154
0.054
0.016
0.046
0.108
0.172
0.107
0.072
0.035
0.043
0.041
0.002
D. Perlakuan konsentrasi substrat 16%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Biomassa (g/L)
1
2
4.993
5.041
5.279
5.454
5.692
5.787
6.089
6.152
6.137
6.168
6.168
6.121
6.263
6.105
6.279
6.137
6.279
6.152
6.311
6.184
6.375
6.39
6.438
6.406
6.469
6.493
Rata-rata
Stdev
5.017
5.366
5.739
6.120
6.152
6.144
6.184
6.208
6.215
6.247
6.382
6.422
6.481
0.033
0.123
0.067
0.044
0.021
0.033
0.112
0.100
0.089
0.089
0.011
0.022
0.016
E. Perlakuan konsentrasi substrat 20%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Biomassa (g/L)
1
2
5.613
5.635
6.238
6.384
6.861
6.906
7.055
7.043
7.077
7.111
7.111
7.179
7.122
7.213
7.156
7.281
7.157
7.361
7.111
7.338
7.179
7.236
7.213
7.247
7.202
7.214
Rata-rata
Stdev
5.624
6.311
6.883
7.049
7.094
7.145
7.167
7.218
7.259
7.224
7.207
7.23
7.208
0.015
0.103
0.031
0.008
0.024
0.048
0.064
0.088
0.144
0.160
0.040
0.024
0.008
Lampiran 13. Tabel perubahan pH selama fermentasi sistem fed batch terekayasa
dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang
diumpankan
A. Perlakuan konsentrasi substrat 20%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
pH
1
4.8
4.8
4.7
4.6
4.3
3.9
3.7
3.5
3.2
3
2.8
2.6
2.4
2
4.8
4.6
4.5
4.5
4.3
3.9
3.7
3.7
3.2
3.2
2.8
2.6
2.6
Rata-rata
Stdev
4.8
4.7
4.6
4.55
4.3
3.9
3.7
3.6
3.2
3.1
2.8
2.6
2.5
0
0.141
0.141
0.070
0
0
0
0.141
0
0.141
0
0
0.141
B. Perlakuan konsentrasi substrat 16%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
pH
1
4.8
4.5
4
3.9
3.7
3.6
3.4
2.9
2.5
2.3
2.2
2.1
2.1
2
4.8
4.7
4.6
4.6
4.5
4.2
3.9
3.8
3.5
3.3
2.8
2.5
2.5
Rata-rata
Stdev
4.8
4.6
4.3
4.25
4.1
3.9
3.65
3.35
3
2.8
2.5
2.3
2.3
0
0.141
0.424
0.494
0.565
0.424
0.353
0.636
0.707
0.707
0.424
0.282
0.282
C. Perlakuan konsentrasi substrat 12%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
pH
1
4.8
4.7
4.6
4.6
4.2
3.6
3.4
3.2
2.9
2.6
2.4
2.2
2.1
2
4.8
4.7
4.6
4.6
4.3
3.8
3.6
3.2
2.9
2.6
2.4
2.4
2.4
Rata-rata
Stdev
4.8
4.7
4.6
4.6
4.25
3.7
3.5
3.2
2.9
2.6
2.4
2.3
2.25
0
0
0
0
0.070
0.141
0.141
0
0
0
0
0.141
0.212
D. Perlakuan konsentrasi substrat 8%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
pH
1
4.8
4.6
4.5
4.2
4
3.8
3.6
3.6
3.4
3.3
2.9
2.6
2.3
2
4.8
4.8
4.7
4.6
4.3
3.8
3.6
3.6
3.4
3.3
2.9
2.6
2.6
Rata-rata
4.8
4.7
4.6
4.4
4.15
3.8
3.6
3.6
3.4
3.3
2.9
2.6
2.45
Stdev
0
0.141
0.141
0.282
0.212
0
0
0
0
0
0
0
0.212
E. Perlakuan konsentrasi substrat 4%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
pH
1
4.8
4.7
4.4
4.1
4.1
3.7
3.5
3.4
3.1
2.6
2.4
2.4
2.3
2
4.8
4.7
4.6
4.6
4.3
3.7
3.5
3.4
3.1
2.6
2.4
2.4
2.4
Rata-rata
Stdev
4.8
4.7
4.5
4.35
4.2
3.7
3.5
3.4
3.1
2.6
2.4
2.4
2.35
0
0
0.141
0.353
0.141
0
0
0
0
0
0
0
0.070
Lampiran 14. Tabel perubahan biomassa, total gula, pH, etanol selama fermentasi
fed batch dengan perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20%
Jam ke0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Biomassa
(g/L)
5.541 ± 0.029
5.736 ± 0.081
5.997 ± 0.064
7.441 ± 0.081
7.464 ± 0.177
7.998 ± 0.064
8.305 ± 0.045
8.486 ± 0.080
8.691 ± 0.080
8.804 ± 0.048
8.929 ± 0.064
8.941 ± 0.016
8.986 ± 0.015
Total Gula
(g/L)
240.839 ± 1.112
160.734 ± 0.494
117.141 ± 0.371
94.790 ± 0.865
74.423 ± 0.494
99.773 ± 0.742
61.206 ± 0.309
43.505 ± 0.865
39.279 ± 0.198
40.888 ± 0.297
21.053 ± 0.247
13.189 ± 0.074
9.813 ± 0.018
pH
4.6
4.6
4.6
4.5
4.2
3.5
3.2
3.1
3.1
2.9
2.3
2.3
2.3
Etanol
% (v/v)
3.089 ± 0.100
7.145 ± 0.057
Lampiran 15. Hasil produksi etanol pada fermentasi sistem fed batch terekayasa
dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang
diumpankan serta perlakuan aerasi pada konsentrasi substrat 20%
A. Konsentrasi etanol pada jam ke-18 (stop aerasi)
Perlakuan
Konsentrasi 4%
Konsentrasi 8%
Konsentrasi 12%
Konsentrasi 16%
Konsentrasi 20%
%EtOH di
substrat (v/v)
1
2
3.406 3.019
3.569 3.398
3.594 3.712
3.457 3.663
2.867 3.737
%EtOH di
Rata2 Rata2 Stdev Stdev
substrat (b/v)
%(v/v) %(b/v) (v/v) (b/v)
1
2
2.701 2.394 3.213 2.548 0.274 0.217
2.830 2.695 3.484 2.762 0.121 0.096
2.850 2.944 3.653 2.897 0.083 0.066
2.741 2.905
3.56 2.823 0.146 0.116
2.274 2.963 3.302 2.618 0.615 0.488
B. Konsentrasi etanol pada jam ke-72 (stop aerasi)
Perlakuan
Konsentrasi 4%
Konsentrasi 8%
Konsentrasi 12%
Konsentrasi 16%
Konsentrasi 20%
%EtOH di
substrat (v/v)
1
2
5.332 6.056
5.258 6.009
7.586 7.359
8.972 8.696
10.86 10.856
%EtOH di
Rata2 Rata2 Stdev
substrat (b/v)
%(v/v) %(b/v) (v/v)
1
2
4.228 4.009 5.194 4.119 0.195
4.169 4.765 5.633 4.467 0.531
6.016 5.835 7.473 5.926 0.161
7.115 6.895 8.534 7.005 0.195
8.612 8.608 10.858 8.610 0.002
Stdev
(b/v)
0.155
0.421
0.127
0.155
0.002
C. Konsentrasi substrat 20% (normal/aerasi)
Jam ke18
72
%EtOH di
substrat (v/v)
1
2
3.16 3.018
7.186 7.105
%EtOH di
substrat (b/v)
1
2
2.505 2.393
5.698 5.634
Rata2 Rata2
%(v/v) %(b/v)
Stdev
(v/v)
Stdev
(b/v)
3.089
7.145
0.100
0.057
0.079
0.045
2.449
5.666
Lampiran 16. Data pendukung perhitungan kinetika fermentasi
Perlakuan
Konsentrasi 4%
(stop aerasi)
Konsentrasi 8%
(stop aerasi)
Konsentrasi 12%
(stop aerasi)
Konsentrasi 16%
(stop aerasi)
Konsentrasi 20%
(stop aerasi)
Konsentrasi 20%
(aerasi)
X
4.935 ±
0.089
4.967 ±
0.033
4.995 ±
0.035
5.017 ±
0.034
5.624 ±
0.016
5.541 ±
0.021
Jam ke 0
S
241.784
± 0.927
241.086
± 0.742
240.454
± 0.989
241.853
± 0.495
241.871
± 0.025
240.839
± 1.112
P
0
0
0
0
0
0
X
5.893 ±
0.006
6.032 ±
0.009
6.058 ±
0.016
6.121 ±
0.044
7.049 ±
0.008
7.441 ±
0.081
Jam ke 18
S
86.557 ±
0.309
83.334 ±
0.494
88.566 ±
0.185
88.192 ±
0.892
92.622 ±
0.185
94.790 ±
0.865
P
3.213 ±
0.274
3.484 ±
0.121
3.653 ±
0.083
3.560 ±
0.146
3.302±
0.615
3.089±
0.100
X
6.080 ±
0.013
6.169 ±
0.021
6.295 ±
0.002
6.481 ±
0.017
7.208 ±
0.008
8.986 ±
0.015
Jam ke 72
S
P
4.941 ±
5.194 ±
0.019
0.195
4.507 ±
5.633 ±
0.037
0.531
5.423 ±
7.473 ±
0.062
0.161
7.634 ±
8.534 ±
0.049
0.054
6.068 ± 10.858 ±
0.081
0.003
9.813 ±
7.145 ±
0.018
0.057
95
Lampiran 17. Tabel perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam
ke-0 sampai 72 pada fermentasi sistem fed batch terekayasa
dengan perlakuan stop aerasi dari variasi konsentrasi substrat yang
diumpankan
A. Peningkatan kinetika fermentasi I
Perlakuan
4%
Jam Ke0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
8%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
12%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
16%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
20%
Peningkatan (kali)
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Y x/s
0
0.006
0.002
0.333
0
0.006
0.002
0.333
0
0.007
0.003
0.428
0
0.007
0.004
0.571
0
0.009
0.002
0.222
Y p/s
0
0.019
0.028
1.474
0
0.021
0.023
1.095
0
0.024
0.045
1.875
0
0.022
0.065
2.955
0
0.019
0.092
4.842
Y p/x
0
3.354
13.369
3.985
0
3.140
14.307
4.556
0
3.353
16.585
4.946
0
2.983
16.136
5.404
0
1.988
54.374
27.351
S0-S/S0
0
0.642
0.943
1.469
0
0.652
0.946
1.451
0.630
0.944
1.498
0
0.638
0.913
1.431
0
0.617
0.935
1.515
B. Peningkatan kinetika fermentasi II
Perlakuan
4%
Jam Ke0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
8%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
12%
Peningkatan (kali)
16%
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Peningkatan (kali)
20%
Peningkatan (kali)
0 (aerasi)
18(stop aerasi)
72 (stop aerasi)
Y x/s
0
0.007
0.002
0.285
0
0.006
0.002
0.333
0
0.007
0.003
0.429
0
0.007
0.005
0.714
0
0.009
0.002
0.222
Y p/s
0
0.022
0.020
0.909
0
0.022
0.031
1.409
0
0.024
0.046
1.917
0
0.024
0.065
2.708
0
0.025
0.082
3.280
Y p/x
0
3.426
8.250
2.408
0
3.408
16.712
4.904
0
3.515
15.684
4.462
0
3.495
13.141
3.839
0
2.654
41.632
15.687
S0-S/S0
0
0.642
0.943
1.468
0
0.656
0.945
1.441
0
0.633
0.938
1.481
0
0.632
0.913
1.445
0
0.616
0.934
1.516
Lampiran 18. Perhitungan peningkatan Yx/s, Yp/s, Yp/x, S0-S/S0 dari jam ke-0
sampai 72 pada fermentasi sistem fed batch dengan perlakuan
aerasi pada konsentrasi substrat 20%
Perlakuan
20%
(I)
Jam Ke0 (aerasi)
18(aerasi)
72 (aerasi)
Peningkatan (kali)
20%
( II )
Peningkatan (kali)
0 (aerasi)
18(aerasi)
72 (aerasi)
Y x/s
0
0.012
0.019
1.583
0
0.013
0.017
1.308
Y p/s
0
0.022
0.047
2.136
0
0.020
0.048
2.40
Y p/x
0
1.695
2.530
1.493
0
1.558
2.726
1.749
S0-S/S0
0
0.602
0.897
1.490
0
0.611
0.896
1.466
Lampiran 19. Tabel perhitungan kinetika fermentasi
Sistem
Fed batch
terekayasa
(stop aerasi)
Fed batch
(aerasi)
Perlakuan
Konsentrasi 4%
Konsentrasi 8%
Konsentrasi 12%
Konsentrasi 16%
Konsentrasi 20%
Y x/s
0.0048 ± 0.0004
0.0051 ± 0.0007
0.0055 ± 0.0002
0.0062 ± 0.0005
0.0067 ± 0.0002
Y p/s
0.0705 ± 0.002
0.0238 ± 0.002
0.0317 ± 0.006
0.0377 ± 0.0009
0.0460 ± 0.0001
Y p/x
4.560 ± 0.5785
4.687 ± 0.4939
5.743 ± 0.1108
6.035 ± 0.2032
6.854 ± 0.0288
Efisiensi substrat (%)
96.95
96.13
97.74
96.84
97.49
Konsentrasi 20%
0.015 ± 0.0001
0.030 ± 0.0003
2.067 ± 0.0085
95.93
99
Lampiran 20. Deskripsi ubi jalar varietas Sukuh
Nama Varietas
Kategori
SK
:
:
:
Tahun
Tetua
Rataan Hasil
Pemulia
:
:
:
:
Asal
Tipe tanaman
Umur panen
Diameter buku ruas
Panjang buku ruas
Warna dominan sulur
Warna sekunder sulur
Bentuk kerangka daun
Kedalam cuping daun
Jumlah cuping
Bentuk cuping pusat
Ukuran daun dewasa
Warna tulang daun
permukaan bawah
Warna daun dewasa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Warna daun muda
Pigmentasi pada tangkai daun
Panjang tangkai daun
Bentuk umbi
:
:
:
:
:
Sukuh
Varietas unggul nasional (released variety)
531/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun
2001
2001
Persilangan bebas dari klon induk betina AB 940
25-30 ton/ha
M.Jusuf, I Gin Mok, Lisna Ningsih, Tjintokohadi, Suluh
Pambudi, Khusnul Makhin, Joko Restuono
Persilangan bebas dari klon induk betina AB 940
Kompak
1-1.5 bulan
Tipis
Pendek
Hampir semua berwarna ungu
Hijau pada pucuk
Berbentuk hati
Tidak ada
Bercuping satu
Gerigi
Sedang
Semua tulang daun berwarna ungu
Hijau dengan tulang tulang daun ungu pada permukaan
atas helai daun
Hijau denganwarna ungu melingkari tepi daun
Sebagian besar tangkai ungu hijau sedikit
Pendek
Ellips membulat
Susunan pertumbuhan umbi
Panjang tangkai umbi
Warna kulit umbi
Warna daging umbi
Rasa umbi
Serat
Bahan kering
Protein
Gula total
pati
Vitamin C
Beta carotene
Ketahanan terhadap hama
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Ketahanan terhadap penyakit :
Keterangan lain
:
Terbuka
Pendek
Kuning
Putih
Enak
0.85%
35.0%
1.62%
4.56%
31.16%
19.21 mg/100 gram
36.59 mkg/100 gram
Agak tahan hama boleng (Cylas formicarius) dan tahan
hama penggulung daun
Agak tahan penyakit kudis (Sphaceloma batatas) dan
bercak daun (Cercospora sp)
Bahan kering umbi tinggi , warna daging putih, sangat
baik untuk digunakan sebagai tepung ubi jalar,
cocok ditanam pada lahan tegalan dan sawah
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslittan 2009).
Download