analysis of export competitive power of indonesia`s

advertisement
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
ANALYSIS OF EXPORT COMPETITIVE POWER OF INDONESIA'S
FARMING OF COMMODITIES IN ASEAN COUNTRIES
Hardin
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Halu Oleo, Kendari
E-mail: [email protected]
Manat Rahim
Universitas Halu Oleo, Kendari
Rosnawintang
Universitas Halu Oleo, Kendari
-Abstract
This study aims to (1) To analyze and determine the Indonesia's competitive power of
export of commodities in the sub sector of farming among ASEAN countries; (2) To
analyze and determine the types of commodities that can be used as an export commodity
specialization Indonesian in farming sector.
Object of this research is secondary data that the data exports of commodities in the sub
sector of farming in ASEAN countries and world in aggregates in the product
classification (HS Code) 6 digits in the unit of measure US Dollar with the study period
2011-2014. Techniques of data collection is done through the study of literature by means
of browsing or downloading via the website address of the institution
http://www.trademap.org/Product_SelCountry TRADE MAP International (Trade statistics
for International Business Development). The method used is the analysis by using the
Revealed Comparative Advantage (RCA) and Comparative Export performace (CEP).
Results of the analysis showed that the export competitive power of Indonesia’s farming
sub-sector commodity to countries other ASEAN, 15 kinds of commodities studied, there
are 9 types of commodities that have competitive power, namely RCA potatoes with an
average of 2.62; RCA sweet potato an average of 1.80; RCA cashew nut shells, an average
of 5.67; RCA coffee with an average of 1.80; RCA turmeric average 3.18; RCA copra with
an average of 3.81; RCA palm oil with 4.04; cocoa beans with an average of 4.61 RCA
and RCA tobacco with an average of 2.22. Indonesia and competitiveness of the world
shows that of the 15 types of commodities that are analyzed are 8 types of commodities
that can be used as an export commodity specialization namely CEP sweet potato with an
average of 2.96; CEP cashew nut shells, an average of 4.07; CEP coffee with an average of
5.13; CEP pepper on average 2.01; CEP copra with an average of 21.71; CEP palm oil
with an average of 49.55; cocoa beans with an average of 4.27 CEP and CEP rubber with
an average of 1.92.
Keywords: Competitive Power, Export, Commodities In The Farming Sub-Sector.
29
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
1.PENDAHULUAN
Dengan terintegrasinya ekonomi negara-negara anggota ASEAN melalui kerjasama
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 menuntut setiap negara yang ada dalam kawasan
tersebut untuk meningkatkan daya saingnya. Untuk meningkatkan daya saing suatu negara
tidak hanya memerlukan perubahan dari sisi produk yang ditawarkan tetapi yang lebih
penting adalah melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap budaya kerja organisasi baik
perusahaan atau industri sebagai pelaku bisnis itu sendiri maupun pemerintah sebagai
pengambil kebijakan.
Dengan berlakunya kesepakatan kerjasama Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 ini
tentunya setiap negara yang ada dalam kawasan ini sudah harus siap menghadapi persaingan
antar negara, terutama dalam dalam hal daya saing ekspor komoditinya.
Daya saing atau keunggulan suatu komoditi adalah adanya kelebihan yang melekat
pada suatu komoditi yang dihasilkan suatu negara dibandingkan dengan komoditi yang
serupa yang diproduksi oleh negara lain (Amir, 1992:13).
Kesiapan setiap negara dalam menghadapi persaingan antar negara dalam suatu kawasan
perdagangan bebas baik di tingkat regional maupun internasional paling tidak ada dua hal
yang harus dicermati : Pertama, Pemerintah maupun para manajer harus memiliki
kecerdasan dan ketrampilan dalam merespon setiap perubahan dalam menghadapi
persaingan antar negara; Kedua, organisasi secara keseluruhan memiliki budaya kerja yang
baik, luwes dan adaptif dalam menghadapi setiap perubahan sebagai akibat dari keterbukaan
dan penyebaran informasi yang sangant cepat. Kedua hal tersebut diharapkan akan
memberikan dampak positif bagi efektivitas dan efisiensi kinerja organisasi sehingga dapat
meningkatkan daya saing produknya dalam mengadapi perdagangan bebas.
Keberhasilan dalam perdagangan internasional suatu negara dapat dilihat dari daya
saingnya, daya saing ini merupakan suatu konsep umum yang digunakan didalam ekonomi,
yang merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar, baik dalam kawasan regional
maupun internasional. Daya saing telah menjadi kunci bagi perusahaan, negara maupun
wilayah untuk dapat berhasil dalam persaingan global.
Daya saing mengindikasikan kemampuan atau kinerja suatu perusahaan, sub-sektor,
wilayah atau negara untuk menjual dan memasok barang dan jasa di pasar secara lebih baik
dibanding kemampuan perusahaan, subsektor atau negara lain di pasar yang sama. Barang
dan jasa yang berdaya saing mampu bertahan terhadap serangan produk-produk
saingannya karena mempunyai nilai yang lebih atraktif bagi pembelinya.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN dengan jumlah penduduk 253,6
juta jiwa yang merupakan penduduk terbesar ke empat dunia setelah China, India dan
Amerika Serikat atau terbanyak di Asia Tenggara (ASEAN) dengan luas wilayah kurang
lebih 1.904.569 kilometer persegi jauh lebih luas dibanding luas wilayah negara-negara
anggota ASEAN lainnya sebagaimana disajikan dalam tabel berikut :
30
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Tabel. 1.1.Luas wilayah dan jumlah penduduk
Negara-negara anggota ASEAN
Negara Anggota
ASEAN
Indonesia
Myanmar
Thailand
Vietnam
Malaysia
Philiphina
Laos
Kamboja
Bruney Darussalam
Singapura
Luas Wilayah
(km2)
1,904,569
676,578
513,120
331,210
329,847
300,000
236,800
181,035
5,765
697
Jumlah Penduduk
(jiwa)*
253,609,643
55,746,253
67,741,401
93,421,835
30,073,353
107,668,231
6,803,699
15,458,332
422,675
5,567,301
Sumber:http://ilmupengetahuanumum.com/profil-10-negara-anggota-asean
Data di atas menunjukan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan dari segi luas
wilayah dan jumlah penduduk jika dibanding dengan negara-negara anggota ASEAN
lainnya.
Disamping perbedaan luas wilayah serta jumlah penduduk, Indonesia dengan negaranegara anggota ASEAN lainnya mempunyai kesamaan kondisi iklim yang tropis dan letak
geografis, sehingga tidak mengherankan jika negara-negara anggota ASEAN mempunyai
kesamaam produk atau komoditi ekspor pada sektor pertanian.
Berdasarkan data yang dihimpun dan dipublikasi oleh Trade statistics of
International Business development (http://www.trademap.org) terdapat 15 jenis komoditi
sub sektor perkebunan yang masih bersifat bahan baku yang banyak diperdagangkan atau
diekspor ke luar baik antar negara anggota ASEAN maupun antar negara-negara di dunia.
Komoditi ekspor sub sektor perkebunan tersebut dikelompokan berdasarkan pada kode
klasifikasi produk atau Harmonized System Code (HS CODE) yang berlaku secara
internasional dalam 6 digit. 15 jenis komoditi dimaksud adalah :
31
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Tabel 1.2. Jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan negara-negara ASEAN
HS
CODE
'070190
'070310
'071410
'071420
'080131
'080132
'090111
'090412
'091020
'100590
'120300
'151110
'180100
'240120
JENIS KOMODITI EKSPOR
Kentang, segar atau dingin
Bawang merah, segar atau dingin
Ubi kayu (singkong), segar atau kering.
Ubi jalar, segar atau kering.
Kacang mete, dengan cangkang, segar atau kering
Kacang mete, tanpa cangkang, segar atau kering
Kopi, tidak disangrai, tidak dihilangkan kafeinnya.
Lada
Kunyit
Jagung
Kopra
Minyak sawit, minyak mentah
Biji kakao
Tembakau, belum dipabrikasi
Karet reklamasi dalam bentuk asal atau pelat, lembaran atau
'400300
strip
Sumber : ITC calculations based on UN COMTRADE statistics (diolah)
Keunggulan Indonesia dibanding negara-negara tetangga ASEAN lainnya terutama
pada faktor luas wilayah dan jumlah penduduk sebagai faktor tenaga kerja memegang
peranan penting sebagai salah satu faktor penentu daya saing. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Adam Smith dan David Ricardo bahwa tenaga kerja memegang peranan penting
dalam proses produksi dimana biaya tenaga kerja merupakan komponen yang utama
disamping biaya modal atau kapital (Nasir. M, 2013:82). Demikian pula dengan Teori
Heckscher Ohlin (H-O) yang menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditas
yang relatif intensif menggunkan factor produksi yang melimpah, karena biayanya akan
cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang factor produksinya relatif langka dan
mahal.
Berdasarkan kedua teori tersebut dapat dikatakan bahwa Indonesia mempunyai
keunggulan komparatif di sektor pertanian jika dibanding dengan negara-negara anggota
ASEAN lainnya. Namun tidak demikian dengan Keunggulan komparatif dinamis yang
dirintis oleh Michael E. Porter (1990) dan Paul Krugman (1980). Kedua ahli sepakat bahwa
keunggulan komparatif dapat diciptakan (created comparative advantage). Dengan kata
lain, mereka menentang teori Richardo dan Ohlin yang cenderung memandang keunggulan
komparatif yang alami. Demikian halnya dengan konsep keunggulan kompetitif bahwa
kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada
dasarnya dapat diperjuangkan dan ditandingkan (dikompetisikan) dengan berbagai
perjuangan atau usaha. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang dimiliki oleh suatu
negara atau bangsa untuk dapat bersaing di pasar internasional (Hamdy, 2001).
32
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Dengan demikian maka untuk mengetahui tingkat daya saing ekspor komoditi sektor
pertanian khususnya pada sub sektor perkebunan Indonesia dalam rangka menghadapi
perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN serta pemberlakukan MEA akhir 2015,
maka analisis tingkat daya saing komoditi ekspor pada sektor ini perlu dilakukan.
Indonesia dengan keunggulan potensi sumberdaya alam yang didukung oleh iklim
dan sumberdaya manusia, seharusnya mempunyai daya saing komoditi ekspor disektor
pertanian terutama pada sub sektor perkebunan dibanding dengan beberapa negara anggota
ASEAN lainnya yang juga mempunyai komoditi ekspor yang sama dengan Indonesia.
Atas dasar kesamaan komoditi ekspor tersebut, tentunya merupakan tantangan bagi
Indonesia untuk terus berupaya meningkatkan daya saingnya terhadap negara-negara
anggota ASEAN lainnya. Oleh karena itu penting artinya untuk mendorong ekspor komoditi
disektor pertanian khususnya pada sub sektor perkebunan dimana Indonesia memiliki
keunggulan komparatif.
Dilatar belakangi oleh keunggulan sumberdaya alam, kesamaan komoditi ekspor pada
sektor pertanian terutama pada sub sektor perkebunan Indonesia dengan negara anggota
ASEAN lainnya serta dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015,
maka peningkatan daya saing disektor ini dapat dilakukan melaui spesialisasi produk.
Spesialisasi pada ekspor komoditi perkebunan yang berdaya saing tinggi diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dalam menghadapi persaingan global maupun regional.
Dengan demikian informasi mengenai tingkat daya saing tiap komoditas menjadi
sangat penting untuk menentukan spesialisasi pada komoditas yang berdaya saing tinggi.
Selain itu eksistensi persaingan regional terutama dengan negara-negara ASEAN, penting
artinya untuk menentukan spesialisasi produk atau komoditi ekspor pada sub sektor
perkebunan. Hal ini terkait dengan keunggulan komparatif yang didasarkan pada keunggulan
sumberdaya alam atau faktor produksi dan kondisi perekonomian yang berhubungan erat
diantara negara-negara dalam satu kawasan regional ASEAN.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan data atau
informasi terkini tentang daya saing ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia di
negara-negara anggota ASEAN sekaligus memberikan infomrasi serta tentang jenis
komoditi yang dapat dijadikan sebagai spesialisasi komoditi ekspor khususnya disektor
perkebunan.
3.KAJIAN
2.KAJIAN PUSTAKA
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional adalah suatu kegiatan pertukaran barang dan jasa antara
satu negara dengan negara lain yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pengertian
perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang
diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar sukarela dan
saling menguntungkan.
Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk
meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun
(lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan
politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut
mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan
multinasional.
33
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Setiap negara melakukan perdagangan karena ada manfaat atau keuntungan di
dalamnya, Hal ini sebagaiman dijelaskan oleh Krugman dan Obstfeld (1994) dalam Anggit
dkk (2012) bahwa Ada dua alasan suatu negara melakukan perdagangan internasional.
Pertama, setiap negara mempunyai perbedaan dalam pemilikan sumberdaya alam dan
pengolahannya. Kedua, negara-negara yang berdagang bertujuan untuk mencapai skala
ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Perbedaan antar negara dalam pemilikan
sumberdaya tersebut memberikan peluang bagi terjadinya perdagangan antar negara dan
masing-masing menyumbangkan keuntungan perdagangan (gains of trade) bagi mereka.
Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk
menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan
perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang
tersebut dalam skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika
negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Dalam
dunia nyata, pola-pola perdagangan internasional mencerminkan adanya interaksi yang
terus-menerus dari kedua motif dasar di atas.
Dalam sistem perdagangan baik domestik, regional maupun internasional daya saing
suatu produk atau komoditi merupakan hal yang paling penting, karena hanya produk atau
komoditi yang mempunyai daya saing yang akan tetap bertahan bahkan dapat menguasai
pangsa pasarnya.
Teori Daya Saing
Konsep daya saing berawal dari konsep keunggulan komparatif (theory of
comparative advantage) oleh David
Ricardo. Menurutnya bahwa Perdagangan
internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Ia berpendapat
bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi
barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah dari pada negara lainnya.
Dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar
kehidupan dan pendapatannya jika
Negara
tersebut
melakukan
spesialisasi
produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.
Daya saing dapat dilihat dari tiga tingkatan berbeda, yaitu : negara, industri dan
tingkat perusahaan. Daya saing atau competitiveness berasal dari bahasa latin yaitu competer
yang berarti keterlibatan dalam persaingan bisnis dalam sebuah pasar yang menggambarkan
kekuatan ekonomi suatu negara (Ambastha, 2004). Daya saing merupakan kemampuan
perusahaan, industri, negara atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan
faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan
internasional.
Selanjutnya daya saing adalah kemampuan perusahaan, industri, negara, atau antar
daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan
berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional (sumber : OECD). Oleh
karena daya saing industri merupakan fenomena di tingkat mikro perusahaan, maka
kebijakan pembangunan industri nasional didahului dengan mengkaji sektor industri secara
utuh sebagai dasar pengukurannya.
Tingkat daya saing suatu negara dikancah perdagangan internasional, pada dasarnya
amat ditentukan oleh dua
faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative
advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive advantage). Lebih lanjut, faktor
keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah dan faktor
34
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
keunggulan kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat
dikembangkan atau diciptakan (Tambunan, 2001).
Daya saing produk atau komoditi merupakan kemampuan suatu komoditi untuk
memasuki pasar baik di pasar domestik, regional maupun Internasional serta dapat bertahan
di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk
tersebutlah yang banyak diminati konsumen. Daya saing suatu produk tidak terlepas dari
kualitas, kuantitas dan harga dari produk itu sendiri. Sementara kuantitas dan kualitas dari
produk itu sendiri adalah merupakan output dari produktivitas.
Dalam persaingan internasional khususnya didalam daya saing produk ekspor, ada tiga
aspek yang perlu diperhatikan (Amir, 2003:281), aspek tersebut adalah Harga, dalam
menawarkan sesuatu produk harga haruslah sama atau lebih rendah dari harga yang
ditawarkan pesaing, atau biaya produksinya lebih rendah dari biaya produksi di negara
tujuan. Dalam hal ini negara pengekspor memiliki keunggulan komparatif; Mutu Produk,
Mutu yang ditawarkan harus memenuhi atau sesuai dengan selera konsumen; Waktu
Penyerahan, harus sesuai dengan situasi dan kondisi pasaran di negara tujuan.
Keterlambatan pengapalan dan penyerahan barang dapat berakibat fatal karena
memungkinkan produk tersebut tidak lagi dipasarkan yang akhirnya dapat mengurangi
selera dan permintaan akan produk tersebut.
Revealed Comparative Advantage (RCA)
Basri dan Munandar (2010) memaparkan bahwa metode RCA pertama kali diperkenalkan
oleh Bela Balassa pada tahun 1965. Bela Balassa mengajukan postulasi tentang
perdagangan internasional yang didasarkan kepada nisbah atau rasio ekspor-impor. RCA
telah digunakan secara luas dalam penelitian empiris, bahkan merupakan konsep sentral
dalam teori perdagangan internasional.
Ballance et. al. menyatakan adanya keterkaitan antara keunggulan komparatif dan RCA,
yaitu Keadaan tersebut dimana economic condition (EC) di berbagai negara yang
melakukan perdagangan menentukan comparative advantage (CA) secara internasional.
Pola inilah yang mengatur pola dari perdagangan, produksi dan konsumsi internasional
(TPC) antar negara. Keterkaitan antara keunggulan komparatif dan daya saing (RCA)
sebagai berikut (Ballance, Forstner dan Murray, 1987):
EC → CA → TPC → RCA
Dimana : Kondisi ekonomi (EC) di berbagai negara perdagangan akhirnya menentukan pola
internasional keunggulan komparatif (CA). Pola ini, pada gilirannya, mengatur pola
perdagangan internasional, produksi dan konsumsi (TPC) di antara negara-negara. Indeks
dibangun dari TPC dan mungkin variabel pasca-dagang biasanya digunakan untuk
menunjukkan perbandingan keuntungan antara kembali disebut sebagai indeks dari
"mengungkapkan keunggulan komparatif (RCA)".
Indeks keunggulan komparatif terungkap RCA pertama kali diperkenalkan oleh
Liesner (1958) dan dioperasionalkan oleh Balassa (1965) untuk mengukur keunggulan
komparatif (Balassa, 1965). Indeks Revealed Comparative Advantage dalam studi empiris,
konsep keunggulan komparatif telah digunakan secara luas. Bahkan, pola komoditas
keunggulan komparatif merupakan konsep sentral dalam teori perdagangan internasional.
Tambunan dalam Ernawati dan Saptia (2013) menjabarkan bahwa Comparative
Advantage (CA) merupakan indeks yang menjelaskan perbandingan antara pangsa pasar
35
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
suatu produk dalam ekspor total suatu negara dengan pasar ekspor produk yang sama
dalam total ekspor total dunia. Indeks RCA yang memiliki nilai sama atau lebih dari satu
(1) mempunyai arti bahwa negara tersebut memiliki daya saing suatu produk diatas ratarata dunia dan apabila indeks RCA tersebut menunjukkan nilai kurang dari satu (1) maka
daya saing suatu produk dari negara tersebut di bawah rata-rata dunia.
Teori Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif merupakan konsep ekonomi mikro, dengan fokus pada
perdagangan-industri spesifik, menjelaskan mengapa satu negara mungkin mengekspor
produk padat karya sementara negara lain mungkin mengkhususkan diri dalam padat modal.
Dengan definisi masing-masing negara memiliki keunggulan komparatif dalam produksi
beberapa produk atau jasa yang memiliki biaya kesempatan yang lebih rendah dibandingkan
pesaingnya.
Oleh karena itu, keunggulan komparatif memiliki sedikit signifikansi dari perspektif
ekonomi makro. Selain itu, keunggulan komparatif merupakan konsep keseimbangan,
memprediksi pola perdagangan ketika harga, arus perdagangan dan nilai tukar berada dalam
keseimbangan. Keputusan bisnis, sebaliknya, seringkali harus secara eksplisit
mempertimbangkan perkembangan jangka pendek serta hasil ekuilibrium jangka panjang.
Ini akan mencakup kondisi ekonomi saat ini, fluktuasi nilai tukar, dan faktor-faktor lain
yang mewakili penyimpangan dari kondisi ekuilibrium jangka panjang.
Konsep keunggulan komparatif secara luas digunakan dalam literatur ekonomi untuk
mengevaluasi pola perdagangan dan spesialisasi negara dalam komoditas yang mereka
memiliki keunggulan kompetitif (Prasad, 2004). Konsep keunggulan komparatif
berdasarkan David Ricardo (1817) adalah salah satu yang tertua teori perdagangan
internasional (Ricardo, 2007).
Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan
oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan model Ricardian
Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage).
Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien (memiliki kerugian
absolut) dibandingkan negara lain dalam memproduksi ke dua komoditas, namun masih
tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor
komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor komoditas yang memiliki
kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan komparatif merupakan indikator yang paling banyak digunakan
dalam mengukur kinerja perdagangan internasional suatu negara. Suatu negara dianggap
memiliki keunggulan komparatif apabila memiliki biaya relatif rendah dalam produksi bila
dibandingkan dengan negara lain (Acharya, 2008).
Teori keunggulan komparatif dicetuskan pertama kali oleh David Ricardo. Menurut
David Ricardo : Setiap negara atau bangsa seperti halnya orang, akan memperoleh hasil dari
perdagangannya dengan mengekspor barang atau jasa yang merupakan keunggulan
komparatif terbesarnya dan mengimpor barang atau jasa yang bukan keunggulan
komparatifnya (Peter, 1994:24). David Ricardo mengemukakan, terjadinya keunggulan
komparatif timbul dari adanya perbedaan teknologi yang membawa pada perbedaan
produktivitas antar negara (Basri dan Munandar, 2010:34).
36
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Teori keunggulan komparatif David Ricardo dijelaskan lebih lanjut oleh teori cost
comparative (labor efficiency) dan teori production comparative (labor productivity).
Menurut teori cost comparative (labor efficiency) Suatu negara akan memperoleh manfaat
dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang
dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang
dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.
Sedangkan menurut Production comparative advantage (labor productivity), suatu
negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasioanal jika melakukan
spesialisasi produk dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif
lebih serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak
produktif (Hamdy, 2001).
Pengkhususan atau spesialisasi merupakan salah satu bagian dari teori Keunggulan
Absolut (Adam Smith) dan Teori Komparatif (David Ricardo). David Ricardo berpendapat
bahwa Perdagangan internasional dapat terjadi walaupun satu negara tidak mempunyai
keunggulan absolut, asalkan harga komparatif di kedua negara berbeda.
Selanjutnya Ricardo berpendapat bahwa Sebaiknya semua negara lebih baik
berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana negara-negara tersebut mempunyai
keunggulan komparatif dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya.
Teori ini menekankan bahwa perdagangan internasional dapat saling menguntungkan
jika salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi seperti
yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun cukup memiliki keunggulan komparatif di
mana harga untuk suatu komoditi di negara yang satu dengan yang lainnya relatif berbeda.
Kajian Empiris
Dalam mengukur tingkat daya saing atau keunggulan produk atau komoditi ekspor
suatu negara, berbagai literatur atau survey yang telah dilakukan dibeberapa negara
menggunakan metode atau indikator seperti : Revealed Comparative Advantage (RCA)
Index; Comparative Export Performance (CEP) Index; Market Share Index (MSI). Jika suatu
negara dapat memproduksi pada tingkat biaya yang rendah dari pada negara lainnya, maka
negara tersebut menjual dengan harga yang rendah, sehingga dapat dikatakan dia memiliki
keunggulan komparatif. Disisi lain, keungulan komparatif mendeskripsikan kecenderungan
suatu negara untuk mengekspor komoditi unggul dari negaranya dibandingkan negara lain.
Metode atau indikator yang sering digunakan adalah :
1) Indeks RCA merupakan metode yang dikenalkan oleh Bela Balassa sebagaimana
diungkap dalam (Bustami dan Hidayat, 2013) yakni dasar pemikiran yang melandasi
metode ini adalah bahwa kinerja ekspor suatu negara sangat ditentukan tingkat daya
saing relatifnya terhadap produk serupa buatan negara lain, tentu dengan asumsi
(cateris paribus) bahwa faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor
tetap tidak berubah. Dan Tulus Tambunan (2004:110) dalam (Bustami dan Hidayat,
2013) memberikan definisi RCA yaitu jika ekspor dari suatu negara dari suatu jenis
barang, sebagai suatu presentase dari jumlah ekspor dari negara tersebut lebih tinggi
daripada pangsa dari barang yang sama di dalam jumlah ekspor dunia, berarti
negara tersebut memiliki keunggulan komporatif atas produksi dan ekspor dari barang
tersebut. Index ini digunakan untuk menghitung spesialisasi dalam suatu industry yang
menggunakan data perdagangan internasional. RCA dapat dihitung menggunakan
rumus berikut:
37
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
RCA =
X ia / (total X a )
X iw / (total X w )
Dimana :
X = nilai ekspor komoditi
= jenis produk
i
=
negara asal
a
= word atau Negara pesaing
w
Guna mengetahui apakah tiap komoditi memiliki keunggulan komparatif atas
ekspornya dinilai berdasarkan indeks RCA. Nilai 1 dianggap garis pemisah antara
keunggulan dan ketidakunggulan komparatif. RCA ≥ 1 berarti daya saing dari negara
bersangkutan untuk produk yang diukur di atas rata-rata (dunia), sedangkan bila RCA ≤
1 berarti daya saingnya berada dibawah rata-rata (Tambunan, 2004).
2) Kedua, menggunakan metode Comparative Export Performance (CEP). Perhitungan ini
digunakan untuk mengevaluasi spesialisasi ekspor suatu negara pada produk tertentu.
Jika suatu negara memiliki nilai CEP>1 maka negara tersebut memiliki keunggulan
relative dalam ekspornya dan jika CEP<1 maka Negara bersangkutan tidak memilki
keunggulan relative. Untuk menghitung digunakan rumus sebagai berikut:
B
Xi
CEP =
(
XB
W
Xi
)
XW
Dimana:
XBi = ekspor komoditi i negara B
B
X = total ekspor negara B
XWi = total ekspor komoditi i dunia
W
X
= total ekspor dunia
3.METODE PENELITIAN
Dalam melakukan metode penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data
sekunder dalam bentuk kuantitatif yang telah tersedia dalam bentuk angka-angka statis yang
disajikan oleh lembaga pemerintah maupun swasta yang cukup kredibel dan berkompeten
baik nasional maupun internasional dengan desain penelitian yang digunakan adalah metode
analisis survey (analytical survey method).
Jangka waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari proses pengumpulan data, proses
analisis hingga hasil laporan akhir, jangka waktu yang dibutuhkan adalah kurang lebih 2
(dua) bulan terhitung mulai pengajuan proposal ini disetujui.
38
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Variabel yang menjadi fokus dalam penelitian ini terdiri dari : 1). Variabel dependen
atau variabel terikat yaitu Daya saing ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia, dan
2) adalah Variabel bebas yaitu Nilai ekspor komoditi sub sektor perkebunan Negara-negara
ASEAN dan Dunia (secara agregat) periode 2011-2014 yang diukur dalam satuan mata uang
US Dollar dalam klasifikasi produk HS Code 6 Digit.
Dan yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah Nilai ekspor komoditi sub sektor
perkebunan Negara-negara anggota ASEAN dan Dunia (secara agregat) dalam klasifikasi
produk atau HS Code 6 digit dengan periode penelitian 2011-2014. Komoditi dimaksud
meliputi : Minyak sawit (minyak mentah), Kopi yang tidak disangrai, Ubi kayu (singkong),
Ubi jalar, Kacang mete dengan cangkang, Kacang mete tanpa cangkang, Tembakau yang
belum dipabrikasi, Karet reklamasi, Biji Kakao, Kelapa (kopra), Jagung, Kunyit, Lada,
Bawang dan bawang merah, dan Kentang.
Data komoditi ekspor dimaksud diperoleh dengan cara menelusuri situs (website)
lembaga Internasional yang kredibel dan mempunyai kapabilitas dalam menghimpun,
menyusun dan menyajikan data tersebut yakni TRADE MAP (Trade statistics for
International Business development) http://www.trademap.org/Product_SelCountry dan
United Nations COMTRADE Statistic dan Food Agriculture Association/FAO
(http://faostat3.fao.org).
Instrumen atau alat yang digunakan dalam melakukan analisis pada penelitian ini
adalah seperangkat peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang terdiri dari 1
(satu) set komputer dan printer yang dilengkapi atau terkoneksi dengan jaringan internet
baik menggunakan Speedy, Modem Telkomsel Mobile maupun ASTINet.
Disamping perangkat TIK sebagaimana disebutkan diatas juga menggunakan
perangkat lunak lainnya, yakni berupa software atau aplikasi pendukung dalam rangka
mengolah data seperti Microsoft EXEL dan Microsoft Word.
Teknik yang dilakukan dalam menganalisa data pada penelitian ini adalah : 1) Data
yang telah di himpun dari berbagai situs lembaga sebagaimana telah disebutkan pada tehnik
pengumpulan data di atas disimpan di dalam suatu folder tersendiri pada Hardisk komputer
dengan nama tersediri yang mencerminkan isi dari folder tersebut; 2) Proses selanjutnya
adalah membuka lembar kerja pada MS EXEL untuk membuat kolom-kolom sesuai
kebutuhan data yang diinginkan serta mengisi atau mengimput setiap kolom dengan nama
sesuai kebutuhan yang diinginkan. Selanjutnya setiap kolom-kolom tersebut diisi atau
diimput dengan data-data yang akan di analisis berdasarkan Jenis komoditi dan tahun
dilakukan ekspor; 3) Setiap lembar kerja sebagaimana tersebut pada point 2 di atas
merupakan data untuk setiap negara yang jumlahnya disesauikan dengan jumlah negara
yang diteliti; dan 4) Membuat lembar kerja baru yang merupakan lembar kerja untuk
melakukan proses analisis dengan menggunakan alat analisis atau indikator yang telah
ditentukan sebelumnya guna menjawab permasalahan sebagaimana yang telah dirumuskan
pada rumusan masalah:
a. Untuk menjawab masalah 1 yaitu dengan menggunakan alat analisis atau indikator
Revealed Comparative Advantage (RCA) yang menjelaskan perbandingan antara nilai
ekspor komoditi tertentu Indonesia dalam total nilai ekspornya dengan nilai ekspor
komoditi yang sama ASEAN dalam total ekspornya. Indeks RCA yang memiliki
nilai sama atau lebih dari 1 (RCA>1) mempunyai arti bahwa Negara tersebut
memiliki daya saing atas komoditi ekspornya atau sama dengan rata-rata ekspor
komoditi Negara anggota ASEAN lainnya dan apabila indeks RCA tersebut
39
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
menunjukkan nilai kurang dari 1 ( R C A < 1 ) maka komoditi ekspor Negara tersebut
tidak mempunyai daya saing atau di bawah rata-rata Negara anggota ASEAN lainnya.
RCA dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
RCA =
X ia / (total X a )
X iw / (total X w )
dimana:
Dimana :
X = nilai ekspor komoditi
= jenis produk
i
= negara asal
a
= word atau Negara pesaing
w
b. Dan untuk menjawab permasalahan 2 adalah dengan menggunakan alat analisis atau
indikator Comparative Export Performance (CEP) yakni menjelaskan perbandingan
antara nilai ekspor komoditi tertentu sub sektor perkebunan Indonesia dalam Total nilai
ekspornya dengan nilai ekspor komoditi yang sama Dunia dalam Total nilai ekspornya.
Perhitungan ini digunakan untuk menentukan spesialisasi produk atau komoditi
ekspor suatu Negara. Jika komoditi tertentu suatu Negara memiliki nilai CEP>1 maka
komoditi tersebut memiliki keunggulan relative dalam ekspornya atau diatas rata-rata
nilai ekspor dunia dalam artian bahwa komoditi yang mempunyai nilai CEP>1 maka
komoditi tersebut dapat dijadikan sebagai spesialisasi produk ekspor dan jika CEP<1
maka negara bersangkutan tidak memilki keunggulan relative atau dibawah rata-rata
ekspor komoditi dunia. Untuk menghitung digunakan rumus sebagai berikut :
B
Xi
CEP =
(
XB
W
Xi
)
XW
Dimana:
XBi = ekspor komoditi i negara B
B
X = total ekspor negara B
XWi = total ekspor komoditi i dunia
W
X
= total ekspor dunia
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis RCA terhadap komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia dan
negara-negara ASEAN lainnya untuk periode penelitian 2011-2014 untuk setiap tahunnya
adalah sebagai berikut :
Hasil analisis RCA ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia 2011 dari 15
jenis komoditi yang diteliti terdapat 10 jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan
Indonesia yang mempunyai daya saing di negara-negara ASEAN atau mempunyai nilai
RCA>1 yang berarti bahwa komoditi-komoditi tersebut mempunyai nilai ekspor di atas ratarata negara anggota ASEAN.
40
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Dan dari 10 jenis komoditi yang mempunyai daya saing tersebut, 4 jenis komoditi
diantaranya mempunyai daya saing tinggi atau unggul di negara-negara ASEAN dalam
artian bahwa komoditi ini mendominasi pasar ASEAN, seperti : Kentang dengan nilai RCA
1,73; Kacang mete dengan cangkang dengan nilai RCA 5,71; Minyak sawit dengan nilai
RCA 4,15 dan Biji kakao dengan nilai RCA 5,24.
Untuk komoditi ubi jalar, kopi, kunyit, kopra, tembakau, dan karet walaupun masingmasing mempunyai daya saing namun masih ada negara lain yang jauh lebih unggul dari
Indonesia seperti : (1) Laos lebih unggul pada komoditi ubi jalar, kopi, dan tembakau; (2)
Vietnam lebih unggul pada komoditi ubi jalar, kopi, kopra dan karet; (3) Philippine lebih
unggul pada komoditi kunyit dan tembakau; (4) Singapore lebih unggul pada komoditi
kunyit; (5) Malaysia lebih unggul pada komoditi karet; (6) Kamboja lebih unggul pada
komoditi tembakau;
Sementara 5 jenis komoditi lainnya tidak mempunyai daya saing atau nilai RCA<1
yang berarti bahwa komoditi-komoditi tersebut mempunyai nilai ekspor dibawah rata-rata
negara anggota ASEAN lainnya. Komoditi-komoditi dimaksud adalah: Bawang dan bawang
merah, Ubi kayu (singkong), Kacang mete tanpa cangkang, Lada dan Jagung.
Hasil analisis RCA terhadap komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia 2012
dari 15 jenis komoditi yang diteliti terdapat 10 jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan
Indonesia yang mempunyai daya saing di negara-negara ASEAN. Hal ini berarti bahwa 10
jenis komoditi tersebut mempunyai nilai ekspor sama dengan atau di atas rata-rata nilai
ekspor komoditi yang sejenis di negara-negara anggota ASEAN.
Dari 10 jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia yang mempunyai daya
saing, 5 jenis komoditi diantaranya adalah unggul di negara-negara ASEAN. Hal ini berarti
bahwa komoditi tersebut mempunyai nilai ekspor yang tinggi atau berada di atas nilai
ekspor komoditi negara-negara ASEAN lainnya. Komoditi tersebut yakni kacang mete
dengan cangkang dengan nilai RCA 6,48; Biji kakao dengan nilai RCA 4,82; Minyak sawit
dengan nilai RCA 3,86; Kunyit dengan nilai RCA 3,00; dan Kentang dengan nilai RCA
2,14.
Untuk jenis komoditi ubi jalar, kopi, kopra, tembakau dan karet walaupun mempunyai
daya saing di negara-negara ASEAN namun masih ada negara anggota ASEAN lain yang
lebih unggul dari Indonesia, seperti : (1) Vietnam jauh lebih unggul pada komoditi : ubi
jalar dengan RCA 4,72; kopi dengan RCA 7,90; kopra dengan RCA 4,10 dan karet dengan
RCA 1,61; (2) Laos lebih unggul pada komoditi : ubi jalar dengan RCA 94,12; kopi dengan
RCA 6,74 dan tembakau dengan RCA 7,86; (3) Myanmar lebuh unggul pada komoditi
tembakau dengan RCA 3,63; (4) Philippine lebih unggul pada komoditi tembakau dengan
RCA 3,50; (5) Malaysia lebih unggul pada komoditi karet dengan RCA 3,29.
Sedangkan 5 jenis komoditi lainnya tidak mempunyai daya saing atau nilai RCA<1.
Hal ini mengindikasikan bahwa nilai ekspor komoditi tersebut dibawah rata-rata negaranegara anggota ASEAN.
1) Hasil analisis RCA terhadap komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia Tahun
2013, dari 15 jenis komoditi yang diteliti terdapat 9 jenis komoditi yang mempunyai
daya saing atau nilai RCA>1. Hal ini berarti bahwa 9 jenis komoditi tersebut
mempunyai nilai ekspor diatas rata-rata negara anggota ASEAN.
41
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Dari 9 jenis komoditi yang mempunyai daya saing tersebut 5 jenis diantaranya
unggul di negara-negara ASEAN. Empat jenis komoditi lainnya walaupun mempunyai
daya saing namun masih ada negara ASEAN lainnya yang lebih unggul dari Indonesia,
seperti : (1) Bruney Darussalam yang lebih unggul pada komoditi kentang dengan RCA
5,36; (2) Vietnam lebih unggul pada komoditi ubi jalar dengan nilai RCA 4,84 dan kopi
dengan nilai RCA 6,41; (3) Laos jaul lebuh unggul pada komoditi ubi jalar dengan nilai
RCA 67,73; kopi dengan nilai RCA 7,11 dan tembakau dengan nilai RCA 2,62; (4)
Philippine jauh lebih unggul pada komoditi tembakau dengan nilai RCA 5,33.
Sementara 6 jenis komoditi dari 15 komoditi yang diteliti tidak mempunyai daya
saing atau nilai RCA<1 yang berarti bahwa nilai ekspornya dibawah rata-rata negara
anggota ASEAN seperti : Bawang dan bawang merah; Ubi kayu; Kacang mete tanpa
cangkang; Lada; Jagung dan Karet.
2) Hasil analisis RCA terhadap komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia 2014
bahwa dari 15 jenis komoditi yang diteliti terdapat 9 jenis komoditi ekspor sub sektor
perkebunan Indonesia yang mempunyai daya saing di Negara-negara ASEAN.
Sementara 6 jenis komoditi ekspor lainnya tidak mempunyai daya saing atau nilai
RCA<1
Dari 9 jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia yang mempunyai
daya saing tersebut 3 jenis diantaranya unggul di negara-negara ASEAN, yakni :
Kacang mete dengan cangkang dengan nilai RCA 4,15 sementara negara ASEAN
lainnya tidak satupun yang mempunyai daya saing atau RCA<1; demikian pula halnya
dengan Kopra dengan nilai RCA 5,54; dan Minyak sawit dengan RCA 4,00 sementara
Malaysia yang merupakan satu-satunya negara pesaing hanya mempunyai nilai RCA
2,45.
Sementara 6 jenis dari 9 jenis komoditi tersebut, walaupun mempunyai daya saing
namun masih ada negara ASEAN lainnya yang lebuh unggul dari Indonesia, yakni : (1)
Bruney Darussalam jauh lebih unggul pada komoditi kentang dengan nilai RCA 7,91;
(2) Vietnam jauh lebih unggul pada komoditi ubi jalar dengan nilai RCA 4,67; kopi
dengan nilai RCA 5,47 dan kunyit dengan RCA 7,86; (3) Laos jauh lebih unggul pada
komoditi ubi jalar dengan nilai RCA 66,47; kopi dengan nilai RCA 4,62 dan tembakau
dengan nilai RCA 4,05; (4) Malaysia lebih unggul pada komoditi biji kakao dengan
nilai RCA 3,28; (5) Philippine lebih unggul pada komoditi tembakau dengan nilai RCA
5,23.
Sementara 6 jenis komoditi lainnya tidak mempunyai daya saing atau nilai
RCA<1. Hal ini berarti bahwa 6 jenis komoditi tersebut mempunyai nilai ekspor
berada dibawah rata-rata nilai ekspor negara-negara anggota ASEAN.
Berdasarkan penjelasan sebagaimana diuraikan di atas, maka hasil analsis RCA atas
ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia selama periode 2011-2014 dari 15 jenis
komoditi yang diteliti terdapat 9 jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia
yang secara konsisten selama periode tersebut mempunyai daya saing di Negara-negara
Asean.
42
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Tabel 4.2.1.5 Komoditi Ekpor Sub Sektor Perkebunan Indonesia Yang Berdaya Saing
(RCA>1) Selama Periode 2011-2014
2011
2012
2013
2014
RCA
RATA-RATA
PERTAHUN
Kentang, nes segar atau dingin)*
1,73
2,14
2,98
3,64
2,62
Ubi jalar, segar atau kering,
1,72
1,92
1,81
1,75
1,80
5,71
6,48
6,35
4,15
5,67
1,62
1,69
2,15
1,74
1,80
Kunyit)*
1,11
3,00
4,26
4,35
3,18
'120300
Kopra)*
1,36
3,95
4,39
5,54
3,81
7
'151110
Minyak sawit, minyak mentah)**
4,15
3,86
4,14
4,00
4,04
8
'180100
5,24
4,82
5,46
2,92
4,61
9
'240120
1,76
2,08
2,37
2,67
2,22
No
HS Code
1
'070190
2
'071420
3
'080131
4
'090111
5
'091020
6
JENIS KOMODITI
Kacang mete, dengan cangkang,
segar atau kering)**
Kopi, tidak disangrai, tidak
dihilangkan kafeinnya
Biji kakao, utuh atau rusak,
mentah atau panggang
Tembakau, belum dipabrikasi,
sebagian atau seluruhnya berasal
atau dilucuti)*
Sumber Data : ITC calculations based on UN COMTRADE statistics. (Diolah)
*Jenis Komoditi yang mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode tersebut
**Jenis Komoditi yang unggul di ASEAN selama periode tersebut
Dan untuk melihat trend perkembangan daya saing ekspor komoditi sub sektor
perkebunan Indonesia selama periode, secara grafik disajikan pada Gambar 4.1.
Tembakau
Biji kakao
Minyak sawit
Kopra
Kunyit
Kopi
Kacang…
Ubi jalar
Kentang
0,00
2014
2013
2012
2011
5,00
Nilai RCA
10,00
Dan Negara-negara yang menjadi pesaing utama ekspor komoditi sub sektor perkebunan
Indonesia periode 2011-2014 dapat dilihat pada Tabel 4.2.1.6
43
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Tabel 4.2.1.6
Negara-Negara Pesaing Utama Indonesia
No.
Negara
1
Malaysia
2
Vietnam
3
Laos
4
5
Singapore
Pilippines
Jenis Komoditi
Kentang, Minyak Sawit,
Kakao, dan Karet
Ubi Jalar, Kopi dan Kopra
Ubi Jalar, Kopi dan Tembakau
Kunyit
Tembakau
Keunggulan
Biji Karet
Ubi Jalar, Kopi dan
Kopra.
Ubi jalar, Kopi dan
Tembakau.
Tembakau
Sumber Data : ITC calculations based on UN COMTRADE statistics, (Diolah)
Jika dibandingkan dengan hasil riset terdahulu yang pernah dilakukan oleh Rosihan
Asmara dan Nesia Artdiyasa pada periode 1994-2003 tentang hal yang sama, maka dapat
disimpulkan bahwa dari 9 jenis komoditi yang mempunyai daya saing selama periode
penelitian (2011-2014), terdapat 5 jenis komoditi yang mengalami penurunan daya saing
kecuali komoditi Tembakau yang mengalami peningkatan dari sebelumnya yakni dari nilai
RCA 0,18 menjadi 2,22.
Sementara 3 jenis komoditi lainnya seperti: Kunyit, Kentang dan Ubi Jalar merupakan
hasil dari penelitian ini. Adanya penurunan daya saing ekspor komoditi ini disebabkan
karena adanya penurunan permintaan dari negara-negara yang merupakan negara tujuan
ekspor.
berdasarkan pembahasan di atas maka penelitian ini adalah memperkuat teori yang
dikemukakan oleh Michael E. Porter (1990) dan Paul Krugman (1980) tentang Keunggulan
Komparatif Dinamis bahwa Keunggulan komparatif dapat diciptakan (created comparatve
advantage) atau diperbaharui setiap saat lewat investasi modal fisik (teknologi) dan manusia
(tenaga kerja).
A. Hasil analisis CEP terhadap komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia selama
periode 2011-2014 untuk 15 jenis komoditi yang diteliti sebagai berikut :
1. Hasil analisis CEP komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia pada tahun
2011 dari 15 jenis komoditi yang dianalisis terdapat 9 jenis komoditi sub sektor
perkebunan Indonesia yang mempunyai nilai CEP>1 atau mempunyai keunggulan
relatif yang berarti bahwa nilai ekspor dari 9 jenis komoditi tersebut berada di atas
rata-rata Dunia, sehingga komoditi ini dapat dijadikan sebagai spesialiasi produk
atau komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia. Sembilan jenis komoditi
tersebut masing-masing nilai CEP : Ubi kayu (1,71); Ubi jalar (1,22); Kacang mete
dengan cangkang (3,27); Kopi (3,53); Lada (1,50); Kopra (9,93); Minyak sawit
(52,82); Biji kakao (5,70); dan Karet (1,87).
Dari 9 jenis komoditi tersebut 2 jenis komoditi diantaranya mempunyai nilai
CEP tertinggi yakni : Minyak sawit dengan nilai CEP 52,82 dan Kopra dengan nilai
CEP 9,93. Sedangkan 6 jenis komoditi lainnya tidak mempunyai keunggulan relatif
atau nilai CEP<1 yang berarti bahwa komoditi ini mempunyai nilai ekspor dibawah
44
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
rata-rata nilai ekspor negara-negara di dunia. Dengan demikian maka komoditi ini
tidak direkomen-dasikan untuk dijadikan sebagai spesialisasi produk ekspor.
2. Hasil analisis CEP atas komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia Tahun
2012 dari 15 jenis komoditi yang diteliti terdapat 8 jenis komoditi yang mempunyai
keunggulan relatif atau nilai CEP>1 yang berarti bahwa komoditi tersebut
mempunyai nilai ekspor di atas rata-rata ekspor komoditi sejenis dunia. Sehingga
komoditi ini dapat dijadikan sebagai spesialiasi produk yakni masing-masing
mempunyai CEP : Ubi jalar (3,90); Kacang mete dengan cangkang (4,82); Kopi
(5,16); Lada (1,68); Kopra (25,09); Minyak sawit (48,57); Biji kakao (3,63) dan
Karet (2,04). Sementara 7 jenis komoditi lainnya tidak mempunyai keunggulan
relatif atau nilai CEP<1 yang berarti bahwa nilai ekspor komoditi ini dibawah ratarata nilai ekspor komoditi sejenis dunia sehingga tidak dapat dijadikan sebagai
spesialisasi komoditi atau produk ekspor.
3. Hasil analisis CEP untuk komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia Tahun
2013, dari 15 jenis komoditi yang dianalisis terdapat 10 jenis komoditi yang
mempunyai keunggulan relatif atau nilai CEP>1 yang berarti bahwa komoditikomoditi tersebut mempunyai nilai ekspor diatas rata-rata nilai ekspor komoditi
sejenis dunia. Hal ini berarti bahwa komoditi-komoditi tersebut dapat dijadikan
sebagai spesialiasi produk atau komoditi ekspor Indonesia.
Sepuluh jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia yang mempunyai
keunggulan relatif atau yang dapat dijadikan sebagai spesialisasi produk atau komoditi
ekspor dengan nilai CEP>1 masing-masing adalah : Ubi kayu (1,76); Ubi jalar (3,64);
Kacang mete dengan cangkang (4,27); Kopi (6,62); Lada (2,13); Kopra (19,20);
Minyak sawit (50,62); Biji kakao (5,64); Tembakau (1,03) dam Karet (1,92).
Sementara 5 jenis komoditi lainnya tidak mempunyai keunggulan relatif atau nilai
CEP<1 yang berarti bahwa komoditi ini mempunyai nilai ekspor dibawah rata-rata
ekspor komoditi sejenis dunia. Komoditi dimaksud adalah Kentang, Bawang dan
bawang merah, Kacang mete tanpa cangkang, Kunyit dan jagung.
4. Hasil analisis CEP terhadap komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia Tahun
2014, dari 15 jenis komoditi yang dianalisis terdapat 10 jenis komoditi ekspor sub
sektor perkebunan Indonesia yang mempunyai keunggulan relatif atau nilai CEP>1. Hal
ini berarti bahwa nilai ekspor komoditi tersebut diatas rata-rata nilai ekspor komoditi
sejenis dunia.
Dengan demikian berarti bahwa komoditi ini dapat dijadikan sebagai spesialisasi
produk ekspor Indonesia. Sepuluh jenis komoditi ekspor sub sektor perkebunan
Indonesia yang mempunyai keunggulan relatif atau yang dapat dijadikan sebagai
spesialisasi produk atau komoditi ekspor dengan nilai CEP>1 adalah : Ubi jalar (3,10);
Kacang mete dengan cangkang (3,94); Kacang mete tanpa cangkang (1,05); Kopi
(5,22); Lada (2,72); Kopra (32,60); Minyak sawit (46,18); Biji kakao (2,11); Tembakau
(1,11) dan Karet (1,86).
Sedangkan 5 jenis komoditi lainnya dari 15 jenis komoditi yang diteliti (Tabel
4.2.2.4) tidak mempunyai keunggulan relatif atau nilai CEP<1. Hal ini berarti bahwa 5
jenis komoditi ini mempunyai nilai ekspor berada di bawah rata-rata nilai ekspor
komoditi sejenis dunia sehingga tidak dapat dijadikan sebagai spesialisasi komoditi
ekspor Indonesia.
45
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Komoditi-komoditi yang termasuk dalam kategori ini adalah : Kentang dengan
nilai CEP 0,12; Bawang dan Bawang merah dengan nilai CEP 0,10; Ubi kayu
(singkong) dengan nilai CEP 0,92; Kunyit dengan nilai CEP 0,18; dan Jagung dengan
nilai CEP 0,04.
Berdasarkan hasil analisis CEP terhadap nilai ekspor komoditi sub sektor perkebunan
Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas maka selama periode 2011-2014 secara
berturut-turut, dari 15 jenis komoditi yang diteliti terdapat 8 jenis komoditi ekspor sub sektor
perkebunan Indonesia yang mempunyai keunggulan relatif atau memiliki nilai CEP>1.
Hal ini berarti bahwa 8 jenis komoditi ini dapat dijadikan sebagai spesialisasi produk
ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia yakni masing-masing dengan CEP rata-rata
selama periode tersebut : Ubi jalar (3,10); Kacang mete dengan cangkang (3,94); Kopi (5,22);
Lada (2,72); Kopra (32,60); Minyak sawit (46,18); Biji kakao (2,11) dan Karet (1,86).
Delapan jenis komoditi dimaksud sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2.2.5.
Tabel 4.2.2.5 Komoditi Sub Sektor Perkebunan Indonesia Yang Mempunyai
Keunggulan Relatif selama periode 2011-2014
Hs code
Cep indonesia
Product label
2011
'071420
'080131
'090111
'090412
'120300
'151110
Ubi jalar
Kacang mete, dengan
cangkang,
Kopi,
Lada
Kopra
Minyak sawit, minyak
mentah
2012
2013
2014
1,22
3,90
3,64
3,10
3,27
4,82
4,27
3,94
3,53
1,50
9,93
5,16
1,68
25,09
6,62
2,13
19,21
5,22
2,72
32,60)*
52,82
48,57
50,62
46,18)*
'180100
Biji kakao,
5,70
3,63
5,64
2,11
'400300
Karet reklamasi dalam
bentuk asal
1,87
2,04
1,92
1,86
Sumber Data : ITC calculations based on UN COMTRADE statistics, (Diolah
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai daya saing ekspor komoditi
sub sektor perkebunan Indonesia di Negara-negara ASEAN periode 2011-2014 dengan
menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) guna melihat daya
saing ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia di Negara-negara ASEAN dan
Comparatve Export Performance (CEP) guna melihat keunggulan relatif atas komoditi
ekspor sub sektor perkebunan Indonesia terhadap ekspor komoditi yang sama di Dunia. Dari
kedua hasil analisis dan pembahasan tersebut maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut :
a) Daya saing ekspor komoditi sub sektor perkebunan Indonesia di Negara-negara
ASEAN periode 2011-2014 dari 15 jenis komoditi yang dianalisis terdapat 9 jenis
46
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
komoditi yang mempunyai daya saing di Negara-negara ASEAN, yakni Kentang, Ubi
Jalar, Kacang mete dengan cangkang, Kopi, Kunyit, Kopra, Minyak Sawit, Biji Kakao
dan Tembakau dan 2 jenis diantara unggul di ASEAN yakni Minyak sawit dan Kacang
mete dengan cangkang.
b. Untuk komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesai yang dapat dijadikan sebagai
spesialisasi produk atau komodit ekspor, dari 15 jenis komoditi yang dianalisis selama
periode 2011-2014 terdapat 8 jenis komoditi yang mempunyai keunggulan relatif dalam
artian bahwa 8 jenis komoditi ini dapat dijadikan sebagai spesialisasi produk atau
komoditi ekspor sub sektor perkebunan Indonesia. Komoditi-komoditi dimaksud adalah
: Ubi jalar, Kacang mete dengan cangkang, Kopi, Lada, Kopra, Minyak sawit, Biji
Kakao, dan Karet. Dari 8 jenis komoditi ini Lada merupakan komoditi yang nilai CEP
mengalami peningkatan secara terus-menerus selama periode penelitian (2011-2014).
6. REFERENSI
1.
Asmara, Rosihan dan Artdiyasa, Nesia, 2008. The Export Competitiveness Level Analysis
of Indonesia Estate Commodity, Agrise, Volume VIII No. 2, ISSN:1412-1425.
Ambastha A, Momaya K. 2004. Competitiveness of firms- review of theory, frameworks
and models. Singapore Manag Rev. 26:45-61.
Anggit YAD Rashid, Ni Made Suryastiri Y.P dan Antik Suprihanti, 2012. Analisis Daya
Saing Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Pasar Internasional, Vol. 9 No.1 September
2012 : 125 – 133 ISSN : 1829-9946
Balassa, B. 1965. Trade liberalization and revealed comparative advantage. The
Manchester School of Economic and Social Studies,33,99-123.
Bustami, B. R. dan Hidayat, P. 2013. Analisis Daya Saing Produk Ekspor Provinsi Sumatra
Utara. Jurnal Ekonomi dan Keuagan, 2(1): 56 71
Basri, Faisal dan Munandar, Haris. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Internasional
Pengenalan dan Aplikasi Metode Kuantitatif, Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Deliarnov, 1995, Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta, UI Press.
Hamdy, Hady. 2001. Ekonomi Internasional – Teori dan Kebijakan Perdagangan
Internasional. Buku 1, Edisi Revisi, Ghalia. Jakarta Indonesia.
Hardin, 2016. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Perkebunan Indonesia di NegaraNegara Anggota ASEAN, Tesis, PPs UHO. Kendari.
ITC calculations based on UN COMTRADE statistics
Krugman, Paul R., dan Obstfeld, Maurice. 2004. Ekonomi Internasional, Teori dan
Kebijakan, Edisi Kelima, Jilid 1. PT Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta.
MS, Amir, 1992. Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor, Cetakan pertama, IPPM, PT.Karya
Unipress, Jakarta.
MS, Amir, 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, edisi Revisi, Cetakan
9. PPM. Jakarta.
MS, Amir. 2003. Ekspor Impor Teori dan Penerapannya, PPM, Jakarta.
Nasir, M. 2013. Sejarah Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Mitra Wacana Media. Jakarta.
47
Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan
Volume 1, Nomor 1, 2016
e-ISSN : 2502-5171
Osborne, David dan Gaebler, Ted, 1991. Mewirausahakan Birokrasi. Pustaka Binaman
Presindo, Jakarta.
Purnamasari, Meidiana; Hanani, Nuhfil and Chi Huang, Wen, 2014. The Competitiveness
Analysis of Indonesia Coffee Export In The World Market, Agrise, Volume XIV No. 1,
ISSN:1412-1425.
Tri yoso, Bambang. 1994. “Model Ekspor Non Migas Indonesia Untuk Proyeksi Jangka
Pendek”. Ekonomi dan Keuangan Indonesia.
Tambunan, Tulus, 2001, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran, Teori dan
temuan Empiris, LP3ES. Jakarta.
Tambunan, Tulus, 2004. Globalisasi dan perdagangan internasional, Ghalia, Jakarta,
Indonesia.
48
Download