iii kerangka pemikiran

advertisement
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan dunia telah mengalami ekspansi besar-besaran selama tiga
dekade terakhir ini. Perubahan teknologi dan komunikasi, keuangan dunia dan
sistem perdagangan yang lebih terbuka kini telah mendorong peningkatan
pendapatan negara-negara di berbagai kawasan. Beberapa negara yang telah
sukses menggunakan pasar dunia sebagai landasan mereka untuk pembangunan
ekonomi sedangkan negara yang lainnya kemajuan ekonominya terhambat karena
mengabaikan dukungan perdagangan dan pengaruh dari luar negeri. Dalam dua
dekade terakhir ini hampir
seluruh negara sepakat bahwa mereka harus
mendapatkan keuntungan dari meningkatnya globalisasi sebagai suatu cara untuk
menaikkan pertumbuhan ekonomi domestik secara optimal.
Indonesia memiliki ekonomi yang relatif terbuka. Menurut Fane (1996),
Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003), liberalisasi di Indonesia telah dimulai
sejak tahun 1980 dan modernisasi sistem pajak sekitar tahun 1983 dan 1985. Hal
ini dilakukan karena Indonesia merupakan anggota dari AFTA (Asian Free Trade
Area), APEC ( Asia Pasific Economic Cooperation), dan WTO (World Trade
Organization) sehingga perdagangan internasional menjadi sangat penting bagi
perekonomian
Indonesia.
Disamping
itu,
Hamdy
Hady
(2004)
juga
mengungkapkan bahwa perdagangan internasional menjadi semakin penting
karena adanya pengaruh globalisasi ekonomi dunia. Adapun ciri atau karakteristik
tersebut diantaranya:
1. Keterbukaan ekonomi terutama dengan adanya liberalisasi pasar dan arus uang
serta transfer teknologi secara internasional.
2. Keterkaitan dan ketergantungan ekonomi, keuangan, perdagangan dan industri
antarnegara atau perusahaan yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan
integrasi ekonomi regional.
3. Persaingan yang semakin kuat antarnegara ataupun perusahaan untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas yang optimal.
14 Menurut Lipsey (1997) perdagangan internasional adalah pertukaran
barang dan jasa yang terjadi melampaui batas-batas negara. Perdagangan
internasional diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang dimungkinkan oleh
spesialisasi. Masing-masing akan memproduksi barang dan jasa yang dapat
dilakukan secara efisien sementara negara tersebut akan berdagang dengan negara
lain untuk memperoleh barang dan jasa yang tidak diproduksinya. Masing-masing
negara mempunyai perbedaan tingkat kapasitas produksi secara kuantitas, kualitas
dan jenis produksinya. Sebagai contoh, suatu negara (A) membutuhkan jenis
barang dan jasa tertentu, tetapi barang dan jasa tersebut hanya bisa dihasilkan oleh
negara lain (B), atau barang tersebut dapat dihasilkan oleh negara (A), tetapi
ongkos produksinya lebih besar jika dibandingkan dengan negara (A) membeli
atau mengimpor dari negara lain. Dari perbedaan inilah akan menimbulkan
transaksi perdagangan.
Gonarsyah (1997) juga menyatakan terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya perdagangan internasional adalah adanya perbedaan
penawaran dan permintaan antar negara dimana tidak
semua negara
menghasilkan komoditi yang diperdagangkan dan adanya perbedaan biaya relatif
dalam menghasilkan komoditi tertentu. Keunggulan yang dimiliki komoditi
tertentu menunjukkan adanya kelebihan yang melekat pada suatu komoditi yang
dihasilkan suatu negara dibandingkan dengan komoditi serupa yang diproduksi di
negara lain. Menurut Amir (2003), beberapa faktor yang menyebabkan suatu
komoditi mempunyai keunggulan tertentu diantaranya adalah faktor alam, faktor
biaya produksi dan faktor teknologi. Di samping itu, Sukinto (1993) juga
mengungkapkan manfaat dari perdagangan internasional diantaranya dapat
memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri, memperoleh
keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar dan menambah keuntungan serta
transfer teknologi modern.
Aktivitas perdagangan internasional (ekspor dan impor barang dan jasa)
terjadi jika suatu negara cenderung mengekspor barang-barang yang biaya
produksi di dalam negeri relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang yang
sama di luar negeri. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang-barang
yang biaya produksi di dalam negerinya relatif lebih mahal dibandingkan dengan
15 barang yang sama di luar negeri. Sehingga selisih antara penawaran dan
permintaan domestik (excess supply) dapat diartikan sebagai penawaran ekspor
sedangkan penawaran impor yaitu adanya kelebihan permintaan domesrik di
negara pengimpor (excess demand).
Secara teoritis, suatu negara (misal negara 1) akan mengekspor suatu
komoditas (komoditas x) ke negara lain (misal negara 2) apabila harga domestik
di negara 1 (sebelum terjadi perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan
harga domestik di negara 2. Kurva perdagangan internasional dapat dilihat pada
Gambar 1. Kondisi awal di negara 1 misalnya berada dalam kondisi
keseimbangan dan harga berada pada P1. Pada kondisi ini tidak terjadi ekspor dari
negara 1. Ketika harga berada pada posisi P2, struktur harga yang relatif lebih
tinggi ini menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran (excess supply) di negara
1 yaitu sebesar QA’QA”. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif
berlimpah, dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan
produksinya ke negara lain.
Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P2, negara ini terjadi
kekurangan supply karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik
(excess demand) sebesar QB’QB” sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada
keadaan ini, negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditas dari negara lain
dengan harga yang relatif lebih murah. Apabila kemudian terjadi komunikasi
antara negara 1 dan 2, maka terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut.
Supply di pasar internasional akan terjadi jika harga lebih besar dari P1, sedangkan
permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih
rendah dari P3. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditas perdagangan
akan sama besarnya dengan besarnya impor komoditas tersebut. Berikut adalah
kurva perdagangan internasional pada gambar berikut.
16 Panel A Panel B Panel C Pasar di negara 1 komoditi X
Hubungan perdagangan internasional komoditi X Pasar di negara 2 komoditi X
Px/Py
P3
Sx
Ekspor
P2 B
P1
Px/Py
S
Px/Py
A*
E
B*
A
Sx
P3
E*
P2 B’
E’
A
C*
Dx
D
Dx
QA’ QA QA”
Q
Impor
Q
QP1
Q
QB QB
QB
Gambar 1. Kurva Perdagangan Internasional
(Sumber: Salvatrore 1997)
Berdasarkan gambar di atas, Panel A menunjukkan bahwa ketika harga
berada pada P1, kuantitas komoditi X yang ditawarkan (QSx) sama dengan
kuantitas yang diminta (QDx) oleh konsumen negara 1 sehingga negara tersebut
tidak akan mengekspor komoditinya sama sekali. Oleh sebab itu, muncul titik C*
yang menunjukkan kurva S pada gambar ii (panel B) yang menandakan kurva
penawaran ekspor negara 1. Apabila Px bergerak naik ke P2 maka akan terjadi
kelebihan penawaran jika dibandingkan dengan permintaannya sebesar BE.
Kuantitas BE merupakan jumlah komoditi yang akan diekspor negara 1 pada
tingkat harga P2. BE sama dengan B*E* pada gambar ii (panel B) dimana titik E*
berpotongan dengan kurva penawaran ekspor komoditi X dari negara 1.
Panel C menunjukkan bahwa ketika harga berada pada P3 maka penawaran
dan permintan komoditi X di negara 2 akan sama besarnya (QDx=QSx) sehingga
negara tersebut tidak akan mengimpor komoditinya sama sekali dimana titik A*
menunjukkan kurva permintaan impor negara 2 yang terdapat pada gambar ii
(panel B). Apabila harga bergerak turun ke P2 maka akan terjadi kelebihan
permintaan sebesar B’E’. Kelebihan tersebut akan diimpor oleh negara 2. Jumlah
B’E’ sama dengan B*E* dimana titik E* berada pada gambar ii.
Panel B menunjukkan bahwa ketika harga berada pada P2, jumlah impor
komoditi X yang diminta negara 2 sama dengan jumlah ekspor yang ditawarkan
17 oleh negara 1. Kurva tersebut menunjukkan perpotongan antara kurva D dan
kurva S setelah komoditi X diperdagangkan antar dua negara. Apabila Px lebih
besar dari P2, maka jumlah ekspor yang ditawarkan akan melebihi jumlah
permintaan impor sehingga lambat laun harga relatif komoditi tersebut akan turun
sehingga pada akhirnya akan sama dengan P2. Sedangkan jika Px lebih kecil dari
P2, jumlah impor yang diminta akan lebih besar dari jumlah ekspor yang
ditawarkan sehingga Px akan naik dan pada akhirnya sama dengan P2. Dengan
demikian, P2 merupakan harga ekuilibrium untuk komoditi X setelah perdagangan
internasional berlangsung.
3.1.2. Teori Permintaan dan Penawaran Ekspor
Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah
permintaan dan harga. Faktor-faktor yang menentukan diantaranya harga barang
itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut,
pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat, corak distribusi
pendapatan dalam masyarakat, cita rasa masyarakat, jumlah penduduk, dan
ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang. Hukum permintaan pada
hakikatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan makin rendah harga suatu
barang maka suatu barang makin banyak permintaan terhadap barang tersebut.
Sebaliknya makin tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan
terhadap barang tersebut 3.
Namun demikian, terdapatnya permintaan belum merupakan syarat yang
cukup untuk mewujudkan transaksi dalam pasar. Permintaan yang wujud hanya
dapat dipenuhi apabila para penjual dapat menyediakan barang-barang yang
diperlukan tersebut sehingga terdapat penawaran dari para penjual atau produsen.
Hukum penawaran adalah suatu pernyataan yang menjelaskan tentang sifat
hubungan antara harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan
para penjual. Oleh sebab itu, hukum penawaran pada dasarnya menyatakan bahwa
semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan
ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang
3
Sukirno S. Juli 2011. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta.RajaGrafindo
Persada.Hlm75-76
18 semakin
sedikit
jumlah
barang
yang
ditawarkan.
Hukum
penawaran
mengindikasikan bagaimana keinginan para penjual untuk menawarkan barangnya
apabila harganya tinggi dan bagaimana pula keinginan untuk menawarkan
barangnya tersebut apabila harganya rendah
4
. Adapun faktor-faktor yang
menentukan diantaranya harga barang itu sendiri, harga barang-barang lain, biaya
produksi, tujuan-tujuan operasi perusahaan tersebut serta tingkat teknologi yang
digunakan.
3.1.3. Teori Nilai Tukar
Menurut Anindita (2008), nilai tukar merupakan suatu harga relatif yang
diartikan sebagai nilai dari satu mata uang terhadap mata uang lainnya.
Perusahaan pengekspor menyukai mata uang dengan nilai yang lebih rendah
karena membuat produk mereka lebih murah bagi pembeli asing. Kegiatan ekspor
suatu komoditi yang terjadi di pasar internasional tidak terlepas dari masalah nilai
tukar yang terjadi. Nilai tukar mata uang ini mempengaruhi kebijakan
perdagangan
antara
masing-masing
negara
pengekspor
dan
pengimpor.
Peningkatan atau penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing
dapat mempengaruhi volume ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau
murahnya suatu komoditi ekspor di pasar internasional sangar ditentukan oleh
nilai tukar mata uang suatu negara.
Nilai tukar riil dihitung berdasarkan pada nilai tukar nominal dan Indeks
Harga Konsumen (IHK) di kedua negara. Hubungan antara nilai tukar suatu mata
uang dengan nilai tukar nominal dan Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x (IHK Negara Pengimpor : IHK Negara Pengekspor)
3.1.4. Teori Ekonometrika
Istilah ekonometrika pertama kali diperkenalkan tahun 1926 oleh seorang
pakar ekonomi dan statistika bangsa Norwegia bernama Ragner Frisch. Kata
ekonometrika terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yang jika
4
Ibid, Hlm 85-86
19 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi economy dan measure. Kata
economy berarti kegiatan manusia untuk mencukupi kebutuhannya melalui usaha
pengorbanan sumber daya yang seefisien dan seefektif mungkin untuk
mendapatkan tujuan yang seoptimal mungkin, sedangkan kata measure berarti
pengukuran. Dengan demikian maka ekonometrika berarti suatu pengukuran atas
kegiatan-kegiatan ekonomi.
Teradapat beberapa pakar yang mendefinisikan ekonometrika sebagai berikut:
1. Ekonometrika dapat didefinisikan sebagai ilmu sosial yang menggunakan alat
berupa teori ekonomi, matematika dan statistika infernesia untuk menganalisis
kejadian-kejadian ekonomi. (Goldberger 1964)
2. Ekonometrika didefinisikan sebagai analisis kuantitatif dari fenomena
ekonomi riil berdasarkan pada pengembangan teori dan observasi yang
dihubungkan dengan metode inferensia. (Samuelson 1954)
3. Ilmu ekonometrika adalah aplikasi dari teori metode statisik dan matematika
untuk menganalisis data-data ekonomi dengan satu tujuan untuk memberikan
kandungan dan verifikasi pada teori ekonomi. (Maddala 1992)
4. Sebagai suatu ilmu yang mengkombinasikan teori ekonomi dan statistika
ekonomi dengan tujuan menyelidiki dukungan empiris dari skema yang
dibangun oleh teori ekonomi dengan memanfaatkan ilmu ekonomi,
matematika dan statistika, ekonometrika membuat hukum-hukum ekonomi
teoritis tertentu menjadi nyata. (Sumodiningrat 1994)
3.1.5. Teori Regresi Linier Berganda
3.1.5.1. Model Regresi Linier Berganda
Analisis regresi pertama kali diperkenalkan oleh Francis Galtom pada
tahun
1886.
Berdasarkan
penelitiannya,
Galtom
menemukan
adanya
kecenderungan bahwa orang tua yang memiliki tubuh tinggi juga memiliki anakanak yang tinggi. Sebaliknya, orang tua yang memiliki tubuh pendek juga
memiliki anak-anak yang bertubuh pendek. Namun demikian juga terdapat
kecenderungan bahwa tinggi anak bergerak menuju ke arah tinggi rata-rata
populasi secara keseluruhan. Hukum regresi Galton didukung oleh Karl Pearson
dan A.lee (1903, dalam Gespersz, 1991) yang menemukan bahwa tinggi rata-rata
20 anak laki-laki dari kelompok ayah yang tinggi adalah lebih pendek dari ayah
mereka, dan sebaliknya tinggi rata-rata anak laki-laki dari kelompok ayah yang
pendek adalah lebih tinggi dari ayah mereka. Dengan demikian, anak laki-laki
yang tinggi dan pendek akan menuju tinggi rata-rata dari semua orang laki-laki.
Oleh karena itu makna regresi itu sendiri berarti kemunduran atau kecenderungan
ke arah sedang.
Menurut Gujarati (2006), model regresi berganda merupakan model
regresi dengan lebih dari satu variabel penjelas atau dapat diartikan terdapat lebih
dari satu variabel penjelas (independent) yang mempengaruhi variabel tak bebas
(dependent). Model regresi penelitian ini disebut berganda karena terdapat banyak
faktor (variabel) yang mungkin mempengaruhi variabel tak bebas. Hubungan
antara peubah-peubah tersebut dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai
berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + … + bnXn + €
Dimana :
Y
= Variabel tergantung
a
= Konstanta (Intercept)
b1
= Koefisien regresi untuk X1
b2
= Koefisien regresi untuk X2
X1
= Variabel bebas pertama
X2
= Variabel bebas kedua
Xn
= Variabel bebas ke- n
€
= Nilai residu
Kuat atau tidaknya hubungan linier antara peubah-peubah bebas dapat
diukur dari koefisien korelasi (r). Sedangkan untuk melihat besarnya pengaruh
dari bebas terhadap peubah tak bebas dapat dilihat dari nilai koefisien r-square
(R²).
Pada penelitian ini menggunakan model regresi linier berganda dengan
metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) yang berfungsi untuk
menduga parameter. Namun demikian, pada metode ini terdapat kelemahan.
Kelemahan tersebut yaitu seluruh asumsi-asumsi yang terkait di dalamnya harus
dapat dipenuhi oleh suatu model. Apabila salah satu asumsi tidak dapat dipenuhi
21 oleh suatu model, maka akan menimbulkan masalah normalitas, heteroskeasitas,
multikolinearitas dan autokorelasi. Dengan demikian, diperlukan suatu pengujian
terhadap model tersebut.
Jika asumsi-asumsi yang telah disebutkan di atas dapat dipenuhi maka
penduga OLS akan dapat menghasilkan koefisien regresi yang memenuhi sifatsifat BLUE (Gujarati 1997), yaitu:
a. Best
= efisien yang berat ragam atau variannya minimum dan konsisten,
dalam artian bahwa walaupun menambah jumlah sampel maka nilai estimasi
yang diperoleh tidak akan berbeda jauh di parameternya.
b. Linier
= koefisien regresinya linier
c. Unbiased = Nilai estimasi dari sampel akan mendekati populasi, ini
mengindikasi bahwa suatu model tidak bias
d. Estimator = penduga parameter
3.1.5.2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan
pengujian asumsi klasik terhadap data-data penelitian yang meliputi pengujian
normalitas, heteroskedastisitas, autokorelasi dan multikolinearitas.
a. Uji Normalitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah peubah bebas dan
terikat dalam model regresi memiliki distribusi normal atau tidak. Apabila
terdapat penyimpangan terhadap asumsi distribusi normalitas maka masih akan
tetap menghasilkan penduga koefisien regresi linear, tidak berbias dan terbaik.
Penyimpangan asumsi normalitas ini akan semakin kecil pengaruhnya jika jumlah
contoh diperbesar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubah bentuk
nilai peubah yang semula nilainya absolut ditransformasikan menjadi bentuk lain
seperti kuadratik, respirokal dan lain sebagainya sehingga akan menghasilkan
distribusi yang normal.
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji statistik non parametrik
Kolmogorov-Smirnov (K-S) dengan kriteria:
1. Jika taraf nyata > 0,05, maka data berdistribusi normal
2. Jika taraf nyata < 0,05, maka data tidak mempunyai distribusi normal
22 b. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan ragam dari sisa satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Model regresi yang baik adalah model yang homokedasitas (tidak terjadi
heteroskedasitas). Terdapat dua cara untuk mengamati ragam dalam model regresi
yaitu dengan menggunakan uji metode grafis dan statistik. Metode grafis adalah
cara untuk melihat ada atau tidaknya pola tertentu yang tergambar pada
scatterplot. Sedangkan, pengujian dengan menggunakan metode statistik dapat
dilakukan dengan menggunakan metode Glejser, Park, White, Rank Spearman
dan Bresch-Pagan-Godfrey (BPG). Pada penelitian ini menggunakan metode
White dengan kriteria:
1. Jika nilai p-value > alpha (α = 5%), maka terjadi homoskedastisitas
2. Jika nilai p-value < alpha (α = 5%), maka terjadi heteroskedastisitas
c. Uji Autokorelasi
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi
antara peubah pengganggu (et) pada periode tertentu dengan peubah penganggu
periode sebelumnya (et-1). Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan
uji Durbin Watson.
d. Uji Multikolinearitas
Pengujian ini bertujuan untuk mengamati apakah dalam model regresi
terdapat korelasi antar peubah bebas atau tidak. Model regresi yang baik adalah
model yang tidak terjadi korelasi antar peubah bebas. Pengujian ini dapat
dilakukan dengan uji Collinearity Statistic dengan kriteria:
1. Jika VIF > 10, maka terdapat multikolinearitas
2. Jika VIF < 10, maka tidak terjadi multikolinearitas
3.1.6. Trend Analysis
Analisis trend merupakan metode analisis yang digunakan untuk
melakukan estimasi atau peramalan di masa depan berdasarkan data historis di
masa lalu. Analisis trend yang dilakukan pada penelitian ini adalah pada trend
ekspor rumput laut Indonesia ke negara China selama 1999-2011. Hasil trend
23 dapat menunjukkan arah trend yang meningkat atau menurun kemudian dapat
trend diproyeksikan untuk 3-5 tahun ke depan. Pengolahan analisis trend
menggunakan software Minitab 14. Pemilihan model pada analisis trend (Linear,
Quadratic, Exponential Growth dan S-Curve) didasarkan pada nilai error MSD,
MAD dan MAPE terkecil. Semakin kecil nilai pada MSD, MAD dan MAPE
menunjukkan tingkat error yang semakin rendah (Santoso 2009).
24 3.2. Kerangka pemikiran Operasional
Sebagai bagian dari Coreal Triangle, Indonesia memang begitu besar
disuguhi potensi perairan dengan segenap sumberdaya dan keanekaragaman
hayati yang ada. Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama yang saat ini
menjadi trend di pasar perdagangan global dan mampu tumbuh subur di perairan
bumi pertiwi ini. Komoditas ini memiliki kegunaan yang sangat tinggi diantaranya
sebagai penyedia bahan makanan (dodol, minuman, kembang gula, dan lain-lain),
kosmetik dan juga untuk bahan obat-obatan. Saat ini, terdapat sekitar 782 jenis
rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 196
algae coklat dan 452 algae merah.
Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang luar biasa. Luas potensi
budidaya rumput laut diperkirakan mencapai 26 juta ha dan kurang lebih 2 juta
diantaranya sangat potensial untuk pengembangan rumput laut dengan potensi
produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per ha. Potensi rumput laut Indonesia
dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi devisa negara yang sekaligus
mampu menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor rumput laut terbesar
dunia.
Dari
aspek
pasar,
rumput
laut
mengalami
peningkatan
dalam
perkembangan perdagangan global yang cukup tinggi seiring dengan kebutuhan
bahan baku industri baik untuk food grade, pharmaeutical, maupun industrial
grade. Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin pesat dan kompleksitas nilai
guna rumput laut yang begitu besar sebagai penunjang kebutuhan hidup
masyarakat dunia, maka tidak heran memang jika saat ini rumput laut menjadi
salah satu kebutuhan yang prospektif dan telah menjadi bagian dari kebutuhan
global.
Pada penelitian akan dilakukan analisis mengenai ekspor rumput laut
kering Indonesia jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis ini merupakan
komoditas ekspor unggulan sektor perikanan. Indonesia adalah pemasok utama
rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii hampir sekitar 80 persen produksinya
untuk di ekspor ke berbagai negara. Terlihat bahwa rumput laut telah menjadi
kebutuhan dunia dan negara China adalah negara pengimpor terbesar rumput laut
Indonesia. China mampu menyerap rumput laut kering Indonesia sebesar 58
25 persen. Peningkatan permintaan terhadap penawaran rumput laut Indonesia
merupakan peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal oleh negara
produsen, khususnya negara Indonesia. Oleh sebab itu, peneliti perlu melihat
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ekspor rumput laut Indonesia yang
meliputi harga ekspor rumput laut Indonesia ke China, nilai tukar, jumlah
produksi domestik, revitalisasi, volume ekspor rumput lndonesia dan GDP China.
Faktor-faktor tersebut akan dianalisis menggunakan alat analisis Ordinary Least
Square (OLS) dengan Principal Component Analysis (Regresi Komponen
Utama). Disamping itu, pada penelitian ini juga akan dideskripsikan keadaan atau
perkembangan dan mengidentifikasi proyeksi tend volume ekspor rumput laut
Indonesia dalam lima tahun mendatang. Alat analisis yang digunakan untuk
mengetahui kecenderungan naik atau turunnya proyeksi trend adalah analisis
trend.
Jenis dan sumber data yang digunakan berasal dari data sekunder tahunan
atau time series periode tahun 1999-2011. Sumber data dan informasi diperoleh
dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, Buku Statistika Hasil Ekspor Perikanan,
UN Comtrade, literatur-literatur pendukung dan lainnya. Data yang digunakan
merupakan data dengan produksi kode HS 121220100 yang mengindikasikan
rumput laut yang diekspor adalah rumput laut kering, tidak termasuk olahan
seperti agar-agar, karaginan dan alginat. Hasil pengolahan data diinterpretasikan
secara kuantitatf serta deskriptif untuk menggambarkan perkembangan ekspor
rumput laut Indonesia. Berikut adalah kerangka pemikiran operasional.
26 Perairan Indonesia
yang luas Potensi Perikanan Indonesia
Eksistensi sektor perikanan komoditas rumput laut Indonesia
Produksi
kode HS
121220100 Sub Sektor Produksi Volume ekspor rumput laut Indonesia ke China Faktor penduga:
- Harga ekspor ke China
- Nilai tukar (Exchange rate)
Trend dan Forecasting - Jumlah produksi rumput laut Indonesia
-Dummy Revitalisasi
-Volume ekspor rumput laut Indonesia
-GDP China
OLS dan PCA
Analisis Trend
Peningkatan Kinerja Ekspor Rumput Laut Indonesia Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
27 3.3. Hipotesis
Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya, dapat dibentuk beberapa
hipotesis dari berbagai penjelasan terkait, diantaranya:
1. Harga ekspor ke China berpengaruh negatif terhadap permintaan eskpor
rumput laut Indonesia. Apabila harga ekspor meningkat maka permintaan
rumput laut dari negara pengimpor akan menurun sehingga jumlah barang yang
diminta akan semakin sedikit.
2. Nilai tukar (Exchange rate) rupiah terhadap dolar berpengaruh negatif terhadap
volume ekspor rumput laut Indonesia. Jika nilai tukar mata uang asing terhadap
rupiah menguat (depresiasi) maka volume ekspor rumput laut cenderung
meningkat dan sebaliknya.
3. Jumlah produksi rumput laut Indonesia berpengaruh positif terhadap ekspor
rumput
laut
Indonesia.
Kenaikan
produksi
rumput
laut
domestik
memungkinkan terjadinya peningkatan terhadap penawaran volume ekspor
rumput laut Indonesia.
4. Dummy Revitalisasi berpengaruh positif terhadap produksi nasional rumput
laut Indonesia sehingga volume ekspor rumput laut Indonesia juga dapat
meningkat.
5. Volume ekspor rumput laut Indonesia berpengaruh positif terhadap volume
ekspor rumput laut Indonesia ke China. Penawaran ekspor dipengaruhi oleh
permintaan ekspor dan sebaliknya.
6. GDP China berpengaruh positif terhadap permintaan volume ekspor rumput
laut Indonesia. Apabila GDP riil suatu negara meningkat maka daya beli
masyarakat terhadap suatu barang dan jasa juga akan meningkat dan
sebaliknya.
28 
Download