KATA MENUNTUT ATAU VORDEREN DALAM PASAL 1156 AYAT (1) KUHPERDATA ADALAH SUATU UPAYA HUKUM PERMOHONAN (SUATU PEMAHAMAN DASAR DAN MENDALAM) Teddy Anggoro 1 Abstrak This paper expalined about crucial problem from financing activity with pledge as security. Creditors often facing a problematical condition related the debtors default to pay his debt and then the creditors still have trouble to collecting the debt from the debtors. Complicated execution procedures is violate Indonesia Civil Law and Security Law that must easy and simple as charactristic of ”hukum kebendaan khusus”. Therefore, in this paper will explain the right legal effort to execute pledge object Kata Kunci: Gadai, eksekusi, permohonan, pembiayaan I. Pendahuluan Pemahaman mutlak atas suatu ketentuan perundang-undangan adalah suatu prasyarat untuk tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari keberlakuan suatu hukum. Terkadang dalam satu ketentuan pasal peraturan perundang-undangan, bahkan satu kata dalam pasal, dapat terjadi perbedaan pemaknaan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Oleh karena itu, didalam doktrin ilmu hukum dikenal suatu cara untuk mengetahui makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan melakukan penafsiran terhadap ketentuan tersebut. Dalam tulisan ini penulis hendak memaparkan suatu konsep yang timbul dalam pemikiran penulis karena timbulnya banyak kesalahan penafsiran kata dalam ketentuan eksekusi obyek jaminan gadai yang banyak 2 dilakukan oleh praktisi hukum maupun hakim di Indonesia, dalam hal ini 1 Penulis merupakan staf Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Alamat korespondensi: [email protected] atau [email protected]. 2 Praktek Eksekusi Gadai Saham Simpang Siur, <http://www. hukumonline.com/detail.asp?id=12420&cl=Berita>. Polemik Penetapan Pengadilan Gadai Saham, <http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=190860&kat_id=59&kat_id1= Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 377 adalah ketentuan dalam Pasal 1156 Ayat (1) KUHPerdata,3 yaitu kata ”menuntut” dalam pasal tersebut. Dalam beberapa kasus di pengadilan, hakim memutuskan bahwa kata ”menuntut” dalam Pasal 1156 Ayat (1) KUHPerdata tersebut harus diterjemahkan dalam suatu upaya hukum gugatmenggugat (Jurisdiksi Contentiusa), dalam hal ini penulis berpendapat lain dengan konsep pemikiran dari beberapa praktisi hukum dan hakim-hakim tersebut. Adapun konsep pemikiran penulis akan disajikan berikut ini: II. Eksekusi Dalam Lembaga Jaminan Gadai Gadai sebagai lembaga jaminan kebendaan yang memberikan kepada pemegangnya kedudukan yang didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya.4 Memiliki salah satu ciri yang juga merupakan hak yang utama bagi pemegang gadai (kreditur), yaitu kreditur dapat melakukan parate executie5 tanpa izin hakim atau titel eksekutorial. Penjualan dimuka umum ini tidak boleh mengakibatkan kerugian bagi pihak pemberi gadai, dimana penjualan tersebut harus dilakukan menurut kebiasaan dan persyaratan yang berlaku. Dalam Pasal 1155 KUHPerdata6 diatur bahwa apabila tidak diperjanjikan lain oleh para pihak, maka si berpiutang adalah berhak menjual &kat_id2=>, Gadai Saham: Voorpost majalahtrust.com/hukum/hukum/864.php>., 3 MA Menyabot Penetapan, <http://www. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Op. Cit., Pasal 1156 ayat (1), menyatakan: Dalam segala hal, bila debitur atau pemberi gadai lalai untuk melakukan kewajibannya, maka kreditur dapat menuntut lewat pengadilan agar barang gadai itu dijual untuk melunasi utangnya beserta bunga dan biayanya, menurut cara yang akan ditentukan oleh hakim, atau agar hakim mengizinkan barang gadai itu tetap berada pada kreditur untuk menutup suatu jumlah yang akan ditentukan oleh hakim dalam suatu keputusan, sampai sebesar utang beserta bunga dan biayanya. 4 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1133. 5 Parate Executie (eigenmachtige verkoop) adalah menjual atas kekuasaan sendiri atau seolah-olah milik sendiri, benda-benda debitur dimuka umum, dalam hal debitur lalai atau wanprestasi. Lihat dalam Frieda Husni Hasbullah, “Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak yang Memberi Jaminan)”, Cet. 2, (Jakarta: Ind-hill-Co, 2005), hal. 34. 6 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Op. Cit., Pasal 1155 menyatakan: Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk 378 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 barang yang menjadi objek gadai dimuka umum, dalam hal si berhutang atau pemberi gadai cidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau atau setelah dilakukan peringatan mengenai hal itu. Penjualan barang gadai dilakukan dimuka umum dan dilakukan menurut kebiasaan setempat serta berdasarkan syarat-syarat yang berlaku dimaksudkan agar didapat harga pasar dan sehingga kreditur dapat mengambil pelunasan piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan barang gadai tersebut. Sehingga apabila kita melihat dari sistematika kalimat dalam Pasal 1155 KUHPerdata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hak parate executie ini merupakan hak yang diberikan demi undang-undang tapi bersyarat.7 Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. Pasal 1155 KUHPerdata tersebut merupakan ketentuan yang bersifat menambahkan (aanvullendrecht), karena apabila para pihak tidak menentukan lain maka barulah ketentuan Pasal 1155 KUHPerdata berlaku. Hak parate executie otomatis timbul saat pemberi gadai melakukan wanprestasi. Dengan kata lain hak untuk mengeksekusi otomatis menjadi terpenuhi saat debitur melakukan wanprestasi. Mengenai wanprestasi yang disaratkan dalam Pasal 1155 KUHPerdata ini, dirumuskan sebagai berikut:8 1) Setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau. Hal ini merujuk pada anak kalimat ”... setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan ...”. yang tertuju pada perjanjian dengan batas akhir (verval termijn). 2) Setelah dilakukan peringatan (somasi) untuk membayar, dalam hal tidak ditentukan mengenai tenggang waktu. Hal ini merujuk pada anak kalimat: ”... atau setelah dilakukan pemenuhan janji dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang gadainya di hadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu. Bila gadai itu terdiri dari barang dagangan atau dari efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu. 7 J. Satrio, ”Eksekusi Benda Jaminan Gadai”, Prosiding Seminar Sehari Perbankan, Aspek Hukum Corporate Financing Oleh Perbankan di Indonesia: Aturan Penegakan dan Penyelesaian Sengketa Hukum Dalam Hubungan Kreditor dan Debitor, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Jakarta, 2006, hal. 5. 8 Satrio, Ibid., hal. 5. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 379 peringatan untuk pemenuhan janji dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti ...”.9 3) Tidak berprestasi sebagaimana mestinya. Hak parate executie ini diberikan oleh undang-undang atau demi hukum dan tidak perlu diperjanjikan terlebih dahulu kepada kreditur pemegang gadai.10 Untuk penjualan tersebut tidak disyaratkan adanya titel eksekutorial. Pemegang gadai dapat melakukan penjualan tanpa perantara pengadilan, tanpa perlu minta bantuan juru sita, tanpa perlu mendahuluinya dengan suatu sitaan. Pemegang gadai disini menjual atas kekuasaan sendiri.11 3. 4. Selain pengaturan dalam Pasal 1155 KUHPerdata, mengenai eksekusi gadai juga diatur dalam Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata.12 Didalam Pasal 1156 ayat (1) tersebut diatur mengenai penjualan dengan cara lain selain apa yang diatur dalam Pasal 1155 KUHPerdata yaitu penjualan dimuka umum melalui lelang. Jadi dalam hal kreditur atau pemegang gadai tidak mau atau tidak dapat atau tidak boleh menggunakan atau melaksanakan hak parate executie, kreditur dapat selalu meminta kepada pengadilan untuk 2 hal yaitu, menentukan cara penjualan obyek gadai atau menentukan agar obyek gadai tersebut dimiliki oleh kreditur pemegang gadai sebagai pelunasan sebagian atau seluruh piutangnya.13 9 Hal ini sangat terkait dengan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyatakan: Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 10 J. Satrio, “Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengahadapi Kredit Macet”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 19. 11 Menurut J. Satrio dalam salah-satu sesi dalam Seminar Sehari Perbankan yang diadakan oleh Jurnal Hukum Dan Pembangunan FHUI pada tanggal 17 Juli 2006. Bahwa dalam prakteknya tidaklah demikian, karena untuk penjualan melalui kantor lelang negara, dengan dikeluarkannya Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 320k/SIP/1980 maka kantor lelang baru mau akan melelang jika ada persetujuan (fiat eksekusi) dari Pengadilan. 12 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Op. Cit., Pasal 1156 ayat (1). 13 Satrio , Op. Cit., hal. 8. 380 III. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 Prosedur Eksekusi Obyek Gadai Pengaturan mengenai gadai yang terdapat dalam didalam KUHPerdata memberikan kelebihan bagi seorang pemegang gadai. Kelebihan yang pertama adalah bahwa gadai memberikan hak pelunasan yang didahulukan (hak preferensi) bagi penerima gadai, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata. Ditambahkan pada ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata bahwa, hak ini memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kreditur atau penerima gadai daripada kreditur konkuren yang dijamin dengan jaminan umum.14 Didalam Pasal 1150 KUHPerdata ditegaskan bahwa pemegang gadai adalah kreditur preferen. Dengan adanya lembaga preferensi ini, maka kreditur pemegang gadai mempunyai kedudukan yang lebih baik untuk mendapatkan pemenuhan hak tagihnya. Konsekuensi dari hak preferen memberikan kemudahan bagi kreditur atau pemegang gadai dalam pemenuhan haknya, karena kreditur tidak perlu menunggu perhitungan pembagian secara pond’s pond’s terhadap harta kekayaan debitur, seperti para kreditur konkuren yang diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata.15 Kelebihan lain bagi seorang pemegang gadai sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, adalah diberikannya hak parate executie. Yang menurut P.A. Stein disebut sebagai ”eksekusi yang disederhanakan”, bahkan karena sedemikian sederhananya A. Pitlo mengatakan: “De pandhouder verkoopt deze zaak als ware het zijn eigen zaak“, yang biasa diterjemahkan menjadi “Pemegang gadai menjual benda tersebut seakan-akan benda itu miliknya sendiri“. Hal ini dikarenakan oleh pelaksanaan parate executie yang tidak melibatkan debitur atau pemberi-gadai.16 Menurut J. Satrio bila melihat pada lembaga preferensi tagihan sebagaimana diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata dan lembaga parate executie yang diatur dalam Pasal 1155 KUHPerdata, sangat terlihat bahwa memang benar undang-undang hendak memberikan kepada kreditur pemegang gadai, kelebihan-kelebihan dan kemudahan dalam mengambil pelunasan dari hak tagihnya.17 Sebagaimana telah dipaparkan secara singkat pada bagian sebelumnya mengenai eksekusi gadai, maka dapat disimpulkan bahwa eksekusi gadai, dapat dilakukan dengan cara: 14 Ibid., hal. 4. 15 Ibid. 16 Ibid., hal. 6. 17 Ibid., hal. 7. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 381 A. Parate Executie, Berdasarkan Pasal 1155 KUHPerdata Kemudahan bagi kreditur pemegang gadai yang terdapat dalam lembaga parate executie ini, dalam pelaksanaannya terdapat syarat yang harus dilakukan, yaitu penjualan benda gadai tersebut harus dilakukan dimuka umum (lelang), menurut kebiasaan setempat dan dengan syarat-syarat yang lazim berlaku. Sedangkan menurut Pasal 1155 ayat 2, terhadap benda gadai yang terdiri dari barang dagangan atau dari efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu. Mengenai lembaga parate executie yang sangat memudahkan bagi kreditur pemegang gadai untuk mendapatkan pelunasan hak tagihnya, sangat terkait dengan perdebatan seru yang terjadi di dalam Parlemen Belanda saat pengesahan Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie. Menurut J. Satrio dasar pemikirannya di dalam Parlemen saat itu, kurang-lebih adalah:18 … bahwa yang namanya menagih hutang melalui suatu gugatan di Pengadilan, dari mulai gugatan dimasukkan sampai pada pelaksanaan eksekusi, baik dizaman dahulu maupun sekarang, memakan waktu yang lama, dan sehubungan dengan itu memakan biaya yang relatif besar. Akibatnya, Bank-bank –sebagai lembaga pemberi kredit yang resmi, yang dalam praktek paling banyak menggunakan lembaga gadai– akan enggan untuk memberikan kredit kepada nasabah kecil-kecil, karena kalau terjadi, bahwa nantinya kredit itu macet, maka waktu yang tersita untuk mengurus penagihan akan lama sekali, dan biayanya bisa tidak imbang dengan tagihan yang hendak dikejar melalui gugatan itu (A.S. van Nierop, Hypotheek, 1937, hal. 155-156). Kalau demikian, maka nasabah-nasabah kecil terpaksa akan mencari pinjaman uangnya kepada para lintah darat, yang pada umumnya tidak menuntut banyak syarat, kecuali bunga yang tinggi. Pembuat undang-undang pada waktu itu dihadapkan pada pilihan, atau ia biarkan orang kecil, yang membutuhkan pinjaman dicekik oleh lintah darat, atau ia berikan kepada Bank suatu sarana yang mudah dalam mengambil 18 Ibid., hal. 6-7. 382 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 pelunasan, yang dengan perkataan lain menyetujui pemberian hak parate executie. Pembuat undang-undang ternyata, demi untuk melindungi rakyat kecil, memilih yang kedua. Mengenai kewajiban melakukan parate executie di muka umum (melalui lelang), ditujukan agar benda gadai bisa mendapatkan harga pasar, yaitu harga yang pantas sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat. Dengan dasar pemikiran seperti ini maka sangatlah logis ketentuan Pasal 1155 ayat (2) yang mengatur bahwa terhadap barangbarang yang mempunyai nilai pasar dan efek-efek yang dapat diperdagangkan di bursa dapat dijual ditempat itu juga (secara tertutup atau private selling) asalkan dengan perantara 2 (dua) orang makelar yang ahli dibidang tersebut. Mengenai hal ini J. Satrio mengatakan:19 ... maka ketentuan Pasal 1155 ayat 2 B.W., yang mengatur tentang barang-barang yang mempunyai nilai pasaran atau yang diperdagangkan di bursa adalah logis sekali, kalau barang-barang seperti itu –menyimpang dari Pasal 1155 ayat 1 B.W.– tidak perlu dijual didepan umum. Kalau benda gadai mempunyai nilai pasar, baik dipasaran maupun di bursa (yang bisa dibaca dari berita pasar atau daftar harga/prijscourant), buat apa lagi mencari nilai pasar melalui lelang. Penjualan benda-benda seperti itu bisa dilakukan di pasar atau bursa (tidak perlu melalui lelang), asal penjualan itu dilakukan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barangbarang itu (Pasal 1155 ayat 2 B.W.). Ini sekali lagi menggambarkan, bahwa pembuat undang-undang memang hendak memberikan kemudahan-kemudahan bagi kreditur pemegang-gadai dalam mengambil pelunasan atas hak tagihnya. B. Menjual Benda Gadai Dengan Cara yang Ditentukan Hakim atau Perantara Pengadilan, Berdasarkan Pasal 1156 Ayat (1) KUHPerdata Dalam pelaksanaan eksekusi benda gadai terkadang tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak dalam perjanjian gadai. Adapun permasalahannya terletak pada, bahwa benda 19 Ibid., hal. 7. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 383 gadai tersebut tidak memiliki harga pasar dan tidak mendapatkan pembeli, atau tidak dapat diharapkan adanya pembeli yang akan membeli dengan harga pantas dalam lelang.20 Untuk peristiwa tersebut pembuat undang-undang sudah menyediakan jalan keluarnya, yaitu pengaturan dalam Pasal 1156 KUHPerdata. Didalam Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata diberikan 2 (dua) sarana yang berbeda dan harus dibedakan, yaitu: 1) Kreditur bisa menuntut di muka hakim supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim (untuk melunasi hutang beserta bunga dan biaya). Dengan perkataan lain, kreditur meminta agar pengadilan menetapkan suatu cara penjualan benda gadai yang bersangkutan. 2) Hakim atas tuntutan si berpiutang, dapat mengabulkan agar barang-barang gadainya akan tetap pada si berpiutang untuk suatu jumlah yang ditetapkan dalam suatu putusan hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya. Atau dengan perkataan lain, memohon agar kreditur, dengan perhitungan sejumlah uang yang ditetapkan oleh pengadilan, boleh memiliki benda gadai. Berdasarkan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata tersebut berarti membuka kemungkinan bagi kreditur melalui pengadilan atau izin hakim, memiliki benda gadai yang telah dikuasainya dengan harga yang ditentukan oleh hakim atau melalui penjualan di bawah tangan atau private selling (sebagai lawan dari penjualan dimuka umum). Pada prakteknya pelaksanaan Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata ini, banyak mengalami polemik terkait dengan penafsiran kata menuntut dalam ketentuan Pasal ini. mengenai hal ini, haruslah diketahui bahwa ketentuan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata merupakan padanan dari ketentuan Pasal 1202 BW Lama Belanda, yang menyatakan: In allen gevallen kan, wanneer de schuldenaar of de pandgever in gebreke is aan zijne verpligtingen te voldoen, de schuldeischer in regten vorderen, dat het pand tot verhaal der schuld met de renten en kosten zal worden verkocht op de wijze door. 20 Ibid. 384 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 Didalam KUHPerdata terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, kata vorderen tersebut dipadankan dengen kata menuntut. Adapun pokok permasalahannya adalah terletak pada, apakah kata menuntut tersebut merujuk pada pada proses permohonan (yurisdiksi voluntair)21 dengan produk berupa penetapan atau merujuk pada proses gugatan (yurisdiksi contentiosa) dengan produk berupa putusan. Mengenai perbedaan pendapat ini dapat dikhususkan sebagai berikut: 1) Pendapat mengenai pelaksanaan Pasal 1156 ini harus melalui permohonan (yurisdiksi voluntair) didasarkan pada: (1) konsepsi jaminan khusus dimana debitur sengaja menyisihkan sebagian harta kekayaannya sebagai jaminan pelunasan hutangnya apabila dikemudian hari debitur wanprestasi; (2) essensialia gadai yaitu inbezitstelling, dimana obyek gadai yang berupa benda bergerak, harus dilepaskan dari kekuasaan si pemberi gadai ke penerima gadai. Terkait dengan obyek gadai yang merupakan benda bergerak tersebut, maka haruslah merujuk pada ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata yang menyatakan bahwa terkecuali bunga dan piutang yang mengharuskan pembayaran kepada pembawanya, terhadap benda bergerak lainnya bagi yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Dalam hal ini haruslah dipahami mengapa kata menuntut tersebut dipadankan dengan sebagai suatu permohonan, karena dengan mengacu pada penjelasan sebelumnya terlihat bahwa kreditur dalam hal ini menuntut kepastian hukum terhadap suatu hal yang merupakan haknya (barang gadai) sendiri tanpa melibatkan pihak lain (hal ini merupakan karakteristik yurisdiksi voluntair). 2) Sedangkan pendapat mengenai bahwa kata menuntut tersebut merujuk pada proses gugatan. Didasari pada penafsiran secara leksikal (makna kata sebagai lambang benda atau peristiwa) kata menuntut tersebut yang dipadankan dengan menggugat. Selain itu pendapat ini juga didasarkan pada pandangan bahwa dalam perjanjian gadai tidak memiliki titel 21 Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, LN No. 74 Tahun 1970, TLN No. 2951, penjelasan Pasal 2 menyatakan: Penyelesaian setiap perkara yang ditujukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 385 eksekutorial, karenanya haruslah diberikan putusan pengadilan terlebih dahulu sebelum adanya eksekusi terhadap jaminan. IV. Penafsiran Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata Menurut Para Ahli Hukum Pada bagian ini, penulis mencoba mengumpulkan dan menganalisis pendapat para ahli mengenai penafsiran kata menuntut dalam Pasal 1156 KUHPerdata sebagai berikut: A. Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H. Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa Pasal 1156 KUHPerdata memperkenankan para pihak untuk meminta kepada hakim untuk menetapkan cara eksekusi benda yang dijaminkan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 1156 KUHPerdata dimungkinkan bagi penerima gadai untuk tidak melakukan penjualan dimuka umum, sepanjang penerima gadai telah terlebih dahulu meminta kepada hakim untuk menetapkan mengenai cara penjualan dimaksud. Hal tersebut secara jelas dinyatakan oleh Wirjono Prodjodikoro sebagai berikut: Menurut Pasal 1156 KUHPerdata pemegang gadai dapat menempuh jalan lain, yaitu meminta kepada hakim, supaya hakim menetapkan cara bagaimana penjualan itu dilakukan.22 B. Prof. Subekti, S.H. Subekti berpendapat bahwa mendapatkan pelunasan dari penjualan barang gadai adalah hak dari pemegang gadai, apabila orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya maka penjualan barang tersebut dapat dilakukan sendiri atau dengan perantara hakim. Mengenai hal ini Subekti menyatakan sebagai berikut: ... penjualan barang itu, dapat dilakukan sendiri, tetapi dapat juga ia minta perantara hakim. Oleh hakim ditetapkan barang itu menjadi milik orang yang 22 Wiryono Prodjodikoro, “Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda”, cet. 5, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), hal. 158. 386 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 menghutangkan itu sebagai pelunasan hutang seluruhnya atau sebagian saja.23 C. J. Satrio, S.H. J. Satrio berpendapat bahwa permintaan kepada hakim untuk menetapkan mengenai cara penjualan tidak dimuka umum sesuai ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata dilakukan oleh penerima gadai dengan mengajukan permohonan kepada hakim atas eksekusi gadai. Pengajuan permohonan kepada hakim sebagai upaya untuk minta ditetapkan cara penjualan benda gadai. Hal ini dengan tegas dinyatakan sebagai berikut: Pasal 1156. Disamping hak untuk menjual sendiri seperti disebut diatas, pemegang gadai, dalam hal debitur atau pemberi gadai wanprestasi, masih dapat menempuh jalan penyelesaian yang lain yaitu: Mohon agar Hakim menentukan cara penjualan barang gadai.24 D. Prof. Wahyono Darmabrata, S.H.,M.H. Menurut Wahyono Darmabrata menjelaskan dalam hal debitur pemberi gadai tidak bersikap kooperatif setelah debitur wanprestasi, Bank sebagai kreditur senantiasa menegakkan prinsip Prudential Banking yang tujuannya untuk memperkuat landasan bagi Bank sebagai kreditur eksekusi gadai terhadap saham. Adapun cara mengaplikasikan prinsip Prudential Banking tersebut dijelaskan Wahyono Darmabrata sebagai berikut: Cara yang ditempuh secara umum terdapat tahapantahapan, seperti halnya dilakukan beberapa kali teguran (somasi) kepada debitur. Apabila cara tersebut tidak diindahkan, maka lazimnya tahap yang dilakukan selanjutnya adalah dengan meminta Penetapan eksekusi gadai saham pada Pengadilan Negeri.25 23 R. Subekti, ”Pokok-Pokok Hukum Perdata”, cet. 32, (Jakarta: Intermasa,2005), hal. 81. 24 J. Satrio, ”Hukum Jaminan: Hak-hak Jaminan Kebendaan”, cet. 3, (Bandung: Citra Aditya, 1996), hal. 140. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 387 E. Prof. Dr. Mr. Sudargo Gautama Mengenai penjualan secara bawah tangan suatu benda gadai, Sudargo Gautama menjelaskan sebagai berikut: It is possible for the pledgee to request the court permission to keep the pledged goods in satisfaction of his claim or to dispose of them by a private sale. Yang dapat diterjemahkan menjadi: Dimungkinkan bagi pemegang gadai untuk meminta izin pengadilan agar memiliki/menahan barang gadai untuk memenuhi tuntutannya atau menentukan penjualan barang tersebut melalui penjualan bawah tangan.26 F. Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa kreditur pemegang gadai mempunyai hak didahulukan terhadap tagihantagihan lainnya, baik terhadap hutang pokok, bunga dan biaya, dengan pengecualian terhadap biaya lelang dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai. Dimana hak kreditur tersebut diwujudkan dengan adanya hak sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 dan 1156. Hal ini dengan tegas dinyatakan sebagai berikut: ”..., hak mana diujudkan dalam hak kreditur menjual barang gadai sendiri ataupun melalui bantuan hakim (Pasal 1155 dan 1156 KUHPerdata)”.27 G. Kartini Muljadi, S.H. dan Gunawan Widjaja, S.H. Mengenai ketentuan 1156 KUHPerdata ini, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menjelaskan sebagai berikut: 25 Wahyono Darmabrata dan Ari Wahyudi Hertanto, "Jual Beli dan Aspek Peralihan Hak Milik Suatu Benda (Dalam Konstruksi Gadai Saham)", Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 1 (Januari-Maret 2005) hal. 64 26 Sudargo Gautama, Indonesia Business Law (Bandung: Citra Aditya, 1995), hal. 583. 27 Mariam Darus Badrulzaman, “Bab-bab tentang Credietverbard: Gadai & Fiducia”, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 62. 388 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 Sedikit berbeda dari rumusan yang diberikan dalam Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memungkinkan kreditor untuk menyuruh menjual sendiri benda yang digadaikan dan mengambil pelunasan atas seluruh utang, bunga dan biaya yang menjadi haknya, ketentuan Pasal 1156 Undang-Undang Hukum Perdata memberikan mekanisme penjualan benda gadai berdasarkan penetapan pengadilan.28 H. Fred B.G. Tumbuan, S.H. Menurut Fred. B.G. Tumbuan, parate executie yang dimilki oleh pemegang gadai dapat dilepaskan jika disetujui oleh para pihak. Dalam hal ini maka eksekusi gadai mengacu pada ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata. Fred B.G. Tumbuan menjelaskan sebagai berikut: Yang dapat diperjanjikan secara sah bahwa pemegang gadai tidak berhak menggunakan ”recht van parate executie” ex Pasal 1155 dimaksud, melainkan harus menempuh jalan yang digariskan dalam Pasal 1156 KUHPerdata, yaitu penjualan barang gadai dengan perantara pengadilan.29 I. Yahya Harahap, S.H. Berbeda dengan pendapat ahli-ahli lain yang menyatakan bahwa kata menuntut dalam Pasal 1156 KUHPerdata mengacu pada pengajuan permohonan kepada pengadilan. Yahya Harahap menyatakan sebagai berikut: ... Pasal 1156 KUHPerdata, memberi hak kepada pemegang gadai/kreditor mengajukan gugatan ke pengadilan agar hakim/pengadilan menjatuhkan putusan penjualan barang gadai menurut cara yang ditentukan hakim/pengadilan.30 28 Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. “Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotik”, Ed. Pertama. Cet. ke-1. Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 175. 29 Fred B.G. Tumbuan, “Beberapa Catatan Mengenai Gadai Saham Dan Fidusia Saham”, Hukum Dan Pembangunan No. 1 (Januari-Maret 1978): hal. 53. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro J. 389 Maria Elisabeth Elijana, S.H.,M.A. Mengenai Maria Elisabith Elijana, mengadopsi pendapat Mantan Ketua Mahkamah Agung, yaitu Prof. Wirjono Prodjodikoro dan Prof. Subekti (yang pendapat keduanya telah dijelaskan sebelumnya) serta pendapat Mahkamah Agung RI dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I MARI, Agustus 1993 yang hingga kini masih berlaku (vide halaman 63 No. 31b, eksekusi langsung parate executie yang diatur dalam Pasal 1155-1156 KUHPerdata dengan se-izin Hakim). Maria Elisabeth Elijana menjelaskan sebagai berikut: …, maka penggunaan Pasal 1156 KUHPerdata cukup ditempuh dengan permohonan kepada Ketua/Hakim Pengadilan yang berwenang, yang menghasilkan Penetapan; Setelah itu kreditor Pemegang gadai melakukan penjualan obyek gadai sesuai cara yang ditentukan dalam penetapan tersebut, atau memiliki obyek gadai tersebut.31 K. Dr. Nurul Elmiyah, S.H.,M.H. dan Suparjo Sujadi, S.H.,M.H. Nurul Elmiyah Dan Suparjo Sujadi mengelompokan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata sebagai salah satu dasar hukum bagi pemohon dalam mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. Nurul Elmiyah dan Suparjo Sujadi menjelaskan: Permohonan dari kreditur kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menyuruh menjual sendiri benda yang digadaikan dan mengambil pelunasan atas seluruh utang, bunga dan biaya yang menjadi haknya berdasarkan 30 Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, ed 2, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hal. 219. 31 Maria Elisabeth Elijana, ”Eksekusi Barang Jaminan Sebagai Salah Satu Cara Pengembalian Hutang Debitur”, Prosiding Seminar Sehari Perbankan, Aspek Hukum Corporate Financing Oleh Perbankan di Indonesia: Aturan Penegakan dan Penyelesaian Sengketa Hukum Dalam Hubungan Kreditor dan Debitor, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Jakarta, 2006., hal. 57. 390 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 ketentuan Pasal 1155 dan Pasal 1156 b Undang-Undang Hukum Perdata.32 Berdasarkan pemaparan pendapat-pendapat para ahli hukum diatas, mengenai maksud dari kata menuntut yang terdapat dalam Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata, terlihat bahwa ahli hukum Indonesia bertendensi memadankan kata menuntut dengan sebuah proses Pengajuan Permohonan yang menghasilkan penetapan pengadilan, hal ini mengacu pada istilah-istilah atau kalimat berupa: ”... meminta kepada hakim, supaya hakim menetapkan …”, atau “… minta perantara hakim. Oleh hakim ditetapkan ...”, atau “… Mohon agar Hakim menentukan ...”, atau ”... meminta izin pengadilan …”, atau “… melalui bantuan hakim ...” atau ”... dengan perantara pengadilan ...”, bahkan ada yang dengan tegas menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1156 ayat (1) tersebut harus diajukan permohonan (voluntair) kepada hakim. Adapun ahli hukum yang berpendapat lain adalah Yahya Harahap, yaitu harus melalui suatu proses gugatan, hal ini terkait dengan cara pandang beliau yang melihat bahwa dalam eksekusi barang gadai terdapat suatu sengketa, dan hal ini merupakan karakteristik perkara contentiosa. V. Hal-Hal Lain Yang Dapat Digunakan Sebagai Rujukan Untuk Mengetahui Maksud Dan Menafsirkan Kata Menuntut Dalam Pasal 1156 Pada bagian ini penulis mencoba menegaskan hasil analisis penulis dengan menambahkan beberapa hal yang terkait dengan penafsiran pasal 1156 KUHPerdata tersebut, sebagai berikut: 1. 32 Buku I Mahkamah Agung, Bab V, “Hal-hal Yang Perlu Diketahui Hakim”, bagian A. Perdata, butir 31. Memberikan pedoman bagi hakim dalam hal untuk mengatasi kredit macet, yaitu dengan menempuh cara: (1) menerapkan Pasal 224 HIR/258 Rbg dalam hal syarat-syaratnya dipenuhi; (2) eksekusi langsung (parate executie) yang diatur dalam Pasal 1155, – 1156 KUH Perdata dengan seizin hakim, atau; (3) dengan menggunakan putusan serta merta dalam hal syarat-syarat Pasal 180 HIR/242 Rbg terpenuhi. Nurul Elmiyah dan Suparjo Sujadi,”Upaya-Upaya Hukum Terhadap Penetapan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan. No. 3 (Juli-September 2005), hal. 331. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 391 Berdasarkan pedoman ini maka dapatlah terlihat bahwa hakim wajib mengetahui bahwa untuk mengatasi kredit macet, dengan gadai sebagai lembaga jaminannya dapat ditempuh dengan meminta izin hakim terkait dengan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata. 2. Ketentuan Pasal 3.9.2.12.1 Niew Burgerlijk Wetboek Nederland mengatakan: Tenzij anders is bedongen, kan de boedelrechter op verzoek van de pandhouder of de pandgever bepalen dat het pand zal worden verkocht op een van het vorige artikel afwijkende wijze, of op verzoek van de pandhouder bepalen dat het pand voor een door de boedelrechter vast te stellen bedrag aan de pandhouder als koper zal verblijven. Yang dapat diterjemahkan menjadi: Kecuali telah disepakati lain, Hakim boedel, atas permohonan dari pemegang gadai atau pemberi gadai, dapat menetapkan, bahwa benda gadai akan dijual dengan cara yang menyimpang dari yang ditentukan dalam Pasal sebelumnya, atau atas permohonan pemegang gadai menetapkan, bahwa benda gadai, untuk suatu jumlah yang ditetapkan oleh Hakim boedel, akan tetap berada pada pemegang gadai sebagai pembeli. Redaksi Pasal ini identik dengan redaksi Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata yang mengatur cara penjualan benda gadai selain dengan cara penjualan dimuka umum atau lelang atau cara agar benda gadai tetap berada pada pemegang gadai. Pasal ini merupakan penyempurnaan dan hasil perkembangan dari ketentuan Pasal 1202 BW Lama Belanda atau Pasal 1156 KUHPerdata Indonesia, hanya saja perubahan tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh indonesia untuk menyempurnakan KUHPerdata. Yang dimaksud dengan ”Pasal sebelumnya” dalam Pasal 3.9.2.12.1 Niew Burgerlijk Wetboek Nederland ini adalah Pasal yang mengatur mengenai penjualan dimuka umum menurut kebiasaan setempat dengan syarat-syarat yang lazim (identik dengan Pasal 1155 KUHPerdata). Dalam redaksi Pasal ini terlihat adanya upaya Legislatif Belanda untuk menghilangkan keragu- 392 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 raguan yang timbul dengan istilah vorderen (menuntut) dalam Pasal 1202 BW Lama Belanda atau Pasal 1156 KUHPerdata Indonesia, dengan merubah istilahnya menjadi op verzoek (atas permohonan). Dengan penjelasan diatas terlihat bahwa kata vorderen (menuntut) Pasal 1156 KUHPerdata tidak ditujukan untuk mengatur cara pelaksanaan eksekusi tetapi mengacu pada keadaan bahwa kreditur menuntut apa yang telah menjadi haknya. VI. Penafsiran Sistematik Ketentuan Eksekusi Gadai (Pasal 1155 dan 1156 KUHPerdata) Untuk mengetahui apakah ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata tersebut menghendaki suatu permohonan (yurisdiksi voluntair) dengan produk penetapan pengadilan atau gugatan (yurisdiksi contentiosa) dengan produk putusan pengadilan, maka salah satu caranya dengan melakukan interpretasi secara sistematis terhadap ketentuan hukum perdata yang pokoknya didasari oleh beberapa pokok pikiran sebagai berikut: A. Gadai Merupakan Suatu Lembaga Jaminan Kebendaan dengan Hak Jaminan Khusus Terhadap Benda-Benda Bergerak Debitur yang Memberikan Kedudukan Lebih Baik Bagi Kreditur yang Memegangnya Penafsiran ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata tidak dapat dilepaskan dari pembahasan sifat gadai sebagai hak jaminan khusus yang memberikan hak didahulukan bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan terhadap tagihannya dibandingkan kreditur konkuren lainnya.33 Sedangkan dilihat dari sisi debitur seolah-olah debitur telah menyisihkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya untuk memberikan keyakinan kepada kreditur bahwa ia akan melunasi hutangnya kemudian hari. Dengan adanya sifat preferensi ini maka kreditur pemegang gadai mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pemenuhan hak tagihnya. Disamping itu, secara tidak langsung ia juga dipermudah dalam pemenuhan haknya, karena ia tidak perlu menunggu perhitungan pembagian secara pond’s pond’s seperti 33 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Op. Cit., Pasal 1132 jo. 1133. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 393 kreditur konkuren. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sifat gadai sebagai hak jaminan khusus ditujukan, agar:34 1. 2. Adanya jaminan yang lebih baik atas piutangnya; dan Ada sarana yang lebih memudahkan untuk mengambil pelunasan dalam hal debitur wanprestasi (default). Sifatnya yang memudahkan dalam mengambil pelunasan tersebut, didasari pula pada konsep bahwa gadai sebagai hak jaminan khusus yang objeknya merupakan benda bergerak milik debitur,35 dimana benda bergerak tersebut harus dilepaskan dari kekuasaan debitur menjadi dibawah kekuasaan kreditur (inbezitstelling) konsekuensi dari tidak dilakukanya perbuatan hukum ini mengakibatkan gadai menjadi hapus (essensialia dari gadai).36 Bila kita kaitkan pada pembahasan sebelumnya mengenai eksekusi gadai (Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata), sifat jaminan khusus yang memberikan kemudahan untuk mendapatkan pelunasan (Pasal 1132 jo. Pasal 1133 KUHPerdata) dan inbezitstelling yang merupakan essensialia dari gadai (Pasal 1152 ayat (3) jo. Pasal 529 jo. Pasal 1977 KUHPerdata). Maka dapatlah dimengerti maksud P.A. Stein37 yang menyebutkan eksekusi gadai sebagai eksekusi yang disederhanakan, bahkan A. Pitlo38 mengatakan: ”Pemegang gadai menjual benda tersebut seakan-akan benda itu miliknya sendiri”, karena berdasarkan keterkaitan yang dimaksudkan diatas terlihat bahwa dalam hal debitur wanprestasi karena lampaunya waktu dan telah diberikan peringatan membayar,39 maka kreditur dapat mengeksekusi terhadap barang gadai tersebut dengan sederhana (tanpa melibatkan debitur), karena barang gadai tersebut sudah merupakan hak kreditur sepanjang jumlah hutang pokok, bunga dan biaya. Berdasarkan interpretasi sistematis Pasal 1132 jo. Pasal 1133 jo. Pasal 1150 jo. Pasal 529 jo. Pasal 1977 jo. Pasal 1155 dan 1156 34 Satrio, Hukum Jaminan: Hak-hak Jaminan Kebendaan, Op. Cit., hal. 89. 35 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Op. Cit., Pasal 1150. 36 Ibid., Pasal 1152 ayat (3), lihat juga Badrulzaman, Op. Cit., hal. 61. 37 Satrio, Op. Cit., hal. 6. 38 Ibid. 39 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Op. Cit., Pasal 1155. 394 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 KUHPerdata, maka sudah ketentuannya kata menuntut tersebut tidak dimaksudkan sebagai suatu gugatan karena sifat eksekusinya yang ”disederhanakan” dan menuntut disini dimaksudkan menuntut suatu yang sudah merupakan hak kreditur. B. Pasal 1156 KUHPerdata Merupakan Bagian Integral yang Tidak Terpisahkan dari Pasal 1155 KUHPerdata Perlu diperhatikan bahwa susunan ketentuan Pasal 1156 dan 1155 KUHPerdata yang diletakan secara berurutan pastilah memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dan lainnya. Apalagi bila kita melihat dari substansinya yang sama-sama mengatur mengenai eksekusi barang gadai, dimana ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata merupakan ketentuan yang dimaksudkan untuk melengkapi ketentuan Pasal 1155 KUHPerdata. Dengan demikian, maka dalam membaca dan menerapkan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata harus dalam kerangka maksud dan jiwa dari Pasal 1155 KUHPerdata sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan mengenai parate executie, yaitu eksekusi yang disederhanakan yang memberikan kemudahan bagi kreditur pemegang gadai untuk mengambil pelunasan terhadap hak tagihnya. Dengan kata lain penerapan terhadap Pasal 1156 harus terikat dengan tinjauan Pasal 1155 KUHPerdata. Selain itu fungsi lain dari Pasal 1156 KUHPerdata adalah apabila para pihak sepakat untuk menyingkirkan ketentuan Pasal 1155 KUHPerdata yang mengatur mengenai parate executie, maka undangundang menyediakan sarana yang mudah, untuk mendapatkan pelunasan dan berkepastian hukum (karena melalui perantara pengadilan), dengan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas adalah tidak relevan sekali apabila pada Pasal 1155 KUHPerdata yang memberikan kemudahan bagi kreditur mengambil pelunasan atas hak tagihnya, harus disandingkan dengan kata menuntut yang diartikan sebagai gugatan. Apabila seperti ini maka konteks gugatan tersebut telah mengeliminasi konsep eksekusi yang dimudahkan yang merupakan jiwa dari Pasal 1155 KUHPerdata. C. Anak Kalimat “… diwajibkan memberitahu …” pada Pasal 1156 Ayat (2) KUHPerdata sebagai Konsekuensi Sifat Eksekusi Gadai Pasal 1156 Ayat (2) KUHPerdata, berbunyi: Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 395 tentang hal penjualan barang gadai dalam hal-hal dimaksud dalam Pasal ini dan dalam Pasal yang lalu, si berpiutang diwajibkan memberitahu si pemberi gadai selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya, apabila ada suatu perhubungan pos harian ataupun pada suatu perhubungan telegraf, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama. Kewajiban pada ayat (2) ini melekat pada penjualan barang gadai, baik yang berdasarkan Pasal 1155 maupun Pasal 1156 ayat (1), hal ini semakin menguatkan penjelasan sebelumnya, bahwa eksekusi berdasarkan Pasal 1155 maupun berdasarkan Pasal 1156 (1) memiliki maksud dan jiwa yang sama serta saling terkait. Maka sama dengan kesimpulan pada penjelasan sebelumnya maka tidaklah pantas apabila kata menuntut dipadankan dengan suatu proses gugatan karena Pasal 1156 ayat (1) konsepnya sama dengan Pasal 1155 KUHPerdata yaitu eksekusi yang disederhanakan dan memudahkan. Selain itu, jelaslah bahwa kewajiban memberitahukan penjualan barang gadai adalah konsekuensi dari pelaksanaan eksekusi baik menurut cara yang ditentukan oleh Pasal 1155 KUHPerdata maupun cara yang ditentukan oleh Pasal 1156 ayat (1) yang dapat dilakukan tanpa melibatkan debitur dan agar debitur mengetahui hasil penjualan barang gadai tersebut dan tidak dirugikan apabila ternyata seharusnya hasil penjualan barang gadai melebihi hutang pokok, bunga dan biaya. Adapun alasan hukum, mengapa eksekusi gadai dapat dilakukan tanpa melibatkan debitur pemberi gadai, menurut penulis disimpulkan sebagai berikut: 1. 2. Untuk menghindari proses yang berbelit-belit apabila harus melibatkan debitur pemberi gadai, dan hal ini sejalan dengan sifat gadai sebagai hak jaminan khusus yang obyeknya merupakan benda bergerak. Adanya jaminan bahwa kreditur akan jujur dalam melakukan penjualan barang gadai karena (1) harus dijual dimuka umum sehingga debitur otomatis mengetahui harga penjualan barang gadai karena akan sesuai dengan harga pasar yang merupakan tujuan penjualan dimuka umum (Pasal 1155 KUHPerdata); atau (2) penjualan dengan cara lain (penjualan bawah tangan) melalui perantara pengadilan/izin hakim, dalam hal ini seolah-olah hakim lah yang melindungi debitur dari kemungkinan adanya kecurangan kreditur. Hal sejalan dengan doktrin umum bahwa 396 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 hakim adalah wakil tuhan didunia, tempat manusia mencari keadilan. Dengan demikian haruslah dipahami bahwa maksud pembuat undang-undang memberikan kewajiban memberitahukan penjualan barang gadai tersebut, harus dalam kerangka suatu upaya hukum yang berupa permohonan (yurisdiksi voluntair) yang pemeriksaannya bersifat ex-parte (sepihak), sehingga sangat logis apabila permohonan tersebut kemudian dikabulkan dengan diterbitkannya penetapan pengadilan, kemudian kreditur pemegang gadai berkewajiban memberitahukan hal penjualan barang gadai tersebut kepada debitur pemberi gadai. Sedangkan apabila kata menuntut tersebut dipadankan dengan suatu proses gugatan, maka ketentuan Pasal 1156 ayat (2) tidaklah mewajibkan pemberitahuan karena dalam suatu gugatan pemeriksaan dan pembacaan putusannya dilakukan dihadapan kedua belah pihak. Sehingga tidak perlu pemberitahuan karena secara otomatis debitur pemberi gadai mengetahui hal penjualan barang gadai tersebut, karena ia merupakan pihak dalam perkara tersebut. D. Berdasarkan Pasal 1155 KUHPerdata, Hak Mengeksekusi Selalu Ada Pada Kreditur Pemegang Gadai. Sedangkan Pasal 1156 Ayat (1) Bukan Mengatur Mengenai Cara, Tetapi Menegaskan Hak Kreditur Berdasarkan Hak Dan Ciri Gadai40 Untuk menjelaskan mengenai hal ini, perlu dibahas sistematika dari Pasal 1156 ayat (1) itu sendiri. Pasal 1156 ayat (1) tersebut dibuka dengan kata Bagaimanapun yang kalau kita hubungkan dengan apa yang selanjutnya disebutkan dalam Pasal tersebut, yaitu ”si berpiutang dapat menuntut dimuka hakim supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim”, maka kata dan kalimat tersebut mengajarkan, bahwa hak kreditur untuk menuntut apa yang disebutkan disebutkan dalam anak kalimat pasal tersebut (”si berpiutang ...”), merupakan hak yang tidak dapat disingkirkan, sekalipun oleh kesepakatan para pihak, karena hak ini diberikan oleh undang-undang (by law).41 Mengenai hal ini J. Satrio menyimpulkan sebagai berikut:42 40 Satrio, Op. Cit., hal. 10. 41 Ibid., hal. 8. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 397 …, bahwa apabila syarat untuk menuntut hak tersebut terpenuhi -- yaitu debitur atau pemberi gadai telah bercidra janji -- maka ketentuan Pasal 1156 ayat 1 B.W. bersifat memaksa. Didalam doktrin ditafsirkan, bahwa hak menuntut cara penjualan seperti tersebut dalam Pasal 1156 ayat 1 B.W. pada anak kalimat yang pertama, merupakan ciri yang melekat pada lembaga Gadai, atau d.p.l. merupakan essensialia Gadai, yang konsekwensinya, tanpa adanya hak seperti itu menjadikan lembaga jaminannya bukanlah Gadai. Dengan demikian hak seperti itu merupakan hak yang melekat pada Gadai, yang sudah dengan sendirinya dipunyai oleh setiap pemegang Gadai. Mengenai hak pemegang gadai, berdasarkan anak kalimat pertama Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata, J. Satrio juga mendasarkannya pada pandangan L.C. Hofmann mengenai hal ini, dengan mengatakan:43 De wet zegt, dat de schuldeischer tot de vordering in alle gevalle bevoegd is, zodat men moet aannemen, dat zij een essenciale van het pandrecht vormt en dus niet kan worden uitgesloten . Yang bisa diterjemahkan menjadi: Undang-undang (dalam Pasal 1156 ayat 1 B.W.) mengatakan, bahwa kreditur dalam peristiwa yang bagaimanapun wenang untuk menuntutnya, sehingga kita bisa menerima, bahwa hak itu (maksudnya: kewenangan untuk “menuntut“, penjelasan dari penulis) merupakan essensialia dari hak gadai, dan karenanya tidak bisa disingkirkan. Sehubungan dengan permasalahan penafsiran kata menuntut dalam penulisan ini, maka sesungguhnya kata menuntut tersebut memiliki hubungan dengan kata bagaimapun dan penjelasannya, yang telah dijelaskan diatas. Adapun adapun hubungannya menurut J. Satrio adalah,44 bahwa digunakannya istilah menuntut, adalah untuk menegaskan, bahwa apa yang diminta oleh kreditur berdasarkan Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata, pada anak kalimat yang pertama, memang 42 Ibid., hal. 9. 43 Ibid. 44 Ibid., hal. 10. 398 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 merupakan sesuatu yang sudah dipunyai oleh pemegang-gadai, yang sudah memang menjadi haknya,jadi kreditur tidak memohon sesuatu hak yang baru. Dengan demikian digunakannya istilah menuntut/vorderen dalam anak kalimat yang pertama Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata adalah sesuai dengan kata-kata bagaimanapun pada pembukaan Pasal tersebut, yaitu menuntut agar kepada kreditur diberikan apa yang dalam Gadai memang sudah dengan sendirinya menjadi haknya, sehingga kata menuntut tidak tertuju kepada debitur, tetapi tertuju kepada Hakim. Dengan demikian, digunakannya menuntut bukan dimaksudkan untuk mengatur caranya melaksanakan hak tersebut, tetapi untuk menegaskan, bahwa kreditur menuntut apa yang berdasarkan sifat dan ciri Gadai memang menjadi hak pemeganggadai. Kreditur tidak minta suatu hak, tetapi menuntut apa yang memang menjadi haknya. Sangat tidak logis, kalau sementara itu ada yang berpendapat, bahwa pelaksanaan hak kreditur berdasarkan Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata harus melibatkan debitur ataupun pemberi gadai, karena Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata masih merupakan pengaturan dalam satu rangkaian dengan Pasal 1155 ayat 1 dan ayat 2 KUHPerdata, yaitu mengatur pelaksanaan eksekusi hak kreditur pemegang gadai yang disederhanakan. Dengan perkataan lain kata menuntut haruslah dipadankan dengan sebuah proses permohonan yang sifat utama pemeriksaannya adalah sepihak (ex-parte). VII. Penutup Pada penutup penulisan ini penulis hanya ingin menegaskan bahwa kata ”menuntut” atau ”vorderen” dalam Pasal 1156 Ayat (1) KUHPerdata merujuk pada suatu upaya hukum Permohonan (Yurisdiksi Voluntair) karena bila kita merujuk pada prosedur eksekusi gadai yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang bersifat sederhana dan mudah, maka kata menuntut tersebut harus diterjemahkan menjadi ”Debitur menuntut yang sudah merupakan haknya” bukan menuntut untuk diberikan haknya oleh hakim sebagaimana suatu proses gugat-menggugat yang menghasilkan putusan condemnatoir (menghukum) dan constitutief (memberikan hak). Oleh karena itu, sekali lagi penulis menegaskan bahwa semua ahli hukum harus memahami konsep pemikiran ini, agar tercapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari keberlakuan suatu hukum khususnya di bidang Hukum Jaminan dalam lembaga gadai. Kata Menuntut atau Vorderen dalam Pasal 1156 KUHPerdata, Anggoro 399 Daftar Pustaka Buku Badrulzaman, Mariam Darus. Bab-bab tentang Credietverbard: Gadai & Fiducia, Bandung: Alumni, 1987. Gautama, Sudargo. Indonesia Business Law. Bandung: Citra Aditya, 1995. Harahap, Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Ed 2. Jakarta: Sinar Grafika,2005. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak yang Memberi Jaminan), Cet. 2, .Jakarta: Ind-hill-Co, 2005. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotik, Ed. Pertama. Cet. ke-1. Jakarta: Prenada Media, 2005. Prodjodikoro, Wiryono. Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet. 5. Jakarta: PT. Intermasa, 1986. Satrio, J. Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengahadapi Kredit Macet. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. __________. Hukum Jaminan: Hak-hak Jaminan Kebendaan, Cet. 3. Bandung: Citra Aditya, 1996. Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 32. Jakarta: Intermasa, 2005. Jurnal Darmabrata, Wahyono dan Ari Wahyudi Hertanto. "Jual Beli dan Aspek Peralihan Hak Milik Suatu Benda (Dalam Konstruksi Gadai Saham)," Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 1. Januari-Maret 2005. Elijana, Maria Elisabeth. ”Eksekusi Barang Jaminan Sebagai Salah Satu Cara Pengembalian Hutang Debitur” Prosiding Seminar Sehari Perbankan, Aspek Hukum Corporate Financing Oleh Perbankan di Indonesia: Aturan Penegakan dan Penyelesaian Sengketa Hukum Dalam Hubungan Kreditor dan Debitor, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Jakarta. 2006. Elmiyah, Nurul dan Suparjo Sujadi. ”Upaya-Upaya Hukum Terhadap Penetapan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan. No. 3. Juli-September 2005. 400 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 Satrio, J. ”Eksekusi Benda Jaminan Gadai”, Prosiding Seminar Sehari Perbankan, Aspek Hukum Corporate Financing Oleh Perbankan di Indonesia: Aturan Penegakan dan Penyelesaian Sengketa Hukum Dalam Hubungan Kreditor dan Debitor, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Jakarta. 2006. Tumbuan, Fred B.G. “Beberapa Catatan Mengenai Gadai Saham Dan Fidusia Saham”, Hukum Dan Pembangunan No. 1 Januari-Maret 1978. Undang-Undang Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, LN No. 74 Tahun 1970, TLN No. 2951. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.