aṣ-ṣibyan Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal Susunan Redaksi Jurnal aṣ-ṣibyan Penanggung Jawab: Subhan (Dekan FTK IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten) Redaktur: Umayah Penyunting: Hunainah, Imroatun, Yahdinil Firda Nadhirah, Uyu Mu’awanah, Tri Ilma Septiana Mitra Bestari: Fattah Hanurawan (UM Malang), Suyadi (UIN Yogyakarta), Eneng Muslihah (IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), Heru Kurniawan (IAIN Purwokerto) Setting & Layout: Birru Muqdamien, Juhji Sekretariat: Sri Sugiyanti, Hujanil Karim, Penerbit: Jurusan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani Kp. Andamu'i Kel. Sukawana Kec. Curug Kota Serang Email: pgra.iainbanten@gm ail.com aṣ-ṣibyan, ISSN 2541-5549, diterbitkan enam bulan sekali oleh Jurusan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten berdasarkan Surat Keputusan Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten No. In.10/F.I/HK.00.5/1201/2016, tanggal 04 April 2016. aṣ-ṣibyan Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-105, Januari - Juni 2016 DAFTAR ISI Membangun Karakter Anak Melalui Dongeng Di’amah Fitriyyah.................................................................................................. 1 - 10 Metakognisi dalam Pembelajaran RA Fu`ad Arif Noor ..................................................................................................... 11 - 20 Model Pengembangan Kurikulum PAUD Hasbullah ................................................................................................................. 21 - 28 Program Parenting untuk Membentuk Karakter Anak Usia Dini di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Heru Kurniawan, Risdianto Kurniawan ............................................................... 29 - 39 Bermain Sebagai Metode Pembelajaran Utama Anak Raudhatul Athfal Imroatun ................................................................................................................. 40 - 48 Pembelajaran Sains pada Anak Raudhatul Athfal Juhji ........................................................................................................................ 49 - 59 Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini Muhiyatul Huliyah................................................................................................. 60 - 71 Pendidikan Pra Sekolah (Pendidikan Anak Usia Dini) dalam Islam Nur Rohmah Hayati............................................................................................... 72 - 82 Mengembangkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui Pendidikan Dalam Keluarga Sumiyati .................................................................................................................. 83 - 95 Menanamkan Moral dan Nilai-Nilai Agama Pada Anak Usia Dini Melalui Cerita Umayah................................................................................................................... 96 - 105 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 MEMBANGUN KARAKTER ANAK MELALUI DONGENG Di’amah Fitriyyah Dosen Bahasa Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: diamahfitriyyah@ gmail.com Abstract Recently, the condition of socio-cultural of Indonesian increasingly tend to be worried. Moral crisis and violence case almost happened in every circle either adults, teenagers, or children. In liputan 6.com on March 3, 2012, reported homicide case which committed by an elementary student in Depok, West Java. On April 2, 2016. Fourteen teenagers in Bangkulu were reported to be rape suspects toward a girl. Some criminal cases often publish in mass media, the phenomenon show moral degradation of Indonesian. Character building comes to answer and reform moral crisis which happened in Indonesia. Character building better to introduce since childhood period, early childhood education is started from kindergarten. Therefore, one of the best way to convey character values is through storytelling. By using storytelling children will learn character values from characters, plot of story, and moral values from a story Keywords: character building, storytelling Abstrak Kondisi sosial, kultural masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang semakin mengkhawatirkan. Krisis moral melanda negeri ini, kasus kekerasan hampir terjadi di semua kalangan, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak. Dalam liputan 6.com tanggal 3 Maret 2012, diberitakan kasus pembunuhan yang dilakukan anak SD di Depok Jawa Barat. Tanggal 4 April 2016, 14 remaja di Bengkulu dilaporkan menjadi tersangka pemeekosaan terhadap anak perempuan. Berbagai kasus kriminal lain sering dimuat di surat kabar. Fenomena tersebut memperlihatkan kemorosotan moral. Pendidikan karakter hadir untuk menjawab dan memperbaiki krisis moral yang terjadi di Indonesia. Pendidikan karakter lebih baik disampaikan pada saat usia dini, pendidikan usia dini di Indonesia dimulai dari TK. Oleh karena itu, metode yang dianggap baik untuk menyampaikan nilai-nilai karakter yaitu metode dongeng. Melalui dongeng anak akan belajar nilai-nilai karakter dari tokoh-tokohnya, alur cerita, dan dari pesan yang yang dimuat dalam dongeng. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Dongeng aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 1 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendahuluan Pemerintah telah mencanangkan dengan jelas kebijakan mengenai pendidikan karakter yang tersirat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membetuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.1 Berdasarkan pasal pada fungsi dan tujuan pendidikan, ada dua hal penting, pertama mengembangkan kemampuan dan kedua membentuk watak. Leonardy Harmainy dalam Agus Wibowo menyatakan bahwa “pendidikan karakter sebaikya dimulai sejak usia dini”.2 Usia 06 atau anak usia TK merupakan momen penting bagi tumbuh kembang anak yang sering disebut golden age atau usia keemasan, dengan demikian menjadikan usia dini sebagai penanaman utama karakter anak adalah langkah yang tepat. Terkait dengan pendidikan karakter anak usiadini perlu dilakukan dengan sangat hatihati karena anak usia dini adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan praoperasional kongkret, sebagaimana dikemukankan oleh Piaget. Sementara nilai-nilai karakter merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga anak belum bisa secara serta merta menerima apa yang diajarkan oleh guru ataupun orang tua dengan cepat. Guru atau orang tua harus cerdas memilih metode yang akan digunakan dalam menyampaikan pendidikan karakter. Dongeng hadir sebagai alternatif metode yang menyenangkan bagi anak. Dongeng dapat dijadikan jembatan untuk tercapainya misi dan visi pendidikan karakter. Selain dapat mengasah fantasi dan imasjinasi anak, mendongeng juga merupakan metode penyampaian pesan moral yang sangat efektif kepada anak. Pendidikan karakter yang di dalamnya terdiri dari bayak tujuan positif seperti mendidik dan membina anak lebih kreatif, mandiri, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat berjalan dengan baik dengan kegiatan mendongeng sebagai salah satu metode penyampaian pesan-pesan moral kepada anak. Karakter Pada abad ke-14 istilah karakter yang dalam bahasa Perancis “caractere” sudah mulai digunakan, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”. Menurut kamus ilmiah popular karakter adalah watak, tabiat, pembawaan, pembiasaan. Senada dengan istilah karakter adalah “personality characteristic yang berarti bakat, kemampuan, sifat, dan sebagainya yang secara konsisten aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 2 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 diperagakan oleh seseorang, termasuk pola-pola perilaku, sifat-sifat fisik, dan ciri-ciri kepribadian”.3 Wynne dalam Raharjo menyatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality, seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.4 Secara terminologi karakter adalah sifat, watak, pembawaan, atau kebiasaan yang mendarah daging yang kemudian menjadi ciri khas seseorang. Menurut Thomas Lickona karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral.5 Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Menurut Kemendiknas, karakter adalah nilai-nilai unik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Dalam Islam karakter dikenal dengan istilah akhlak yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, dan muncul secara spontan tanpa memerlukan pertimbangan atau pemikiran, serta tanpa perlu dorongan dari luar,6 dan berkembang menjadi kebiasaan sedangkan nilainya diletakkan pada ajaran Islam.7 Pendidikan Karakter Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.8 Bunyi pasal ini sejalan dengan gagasan John Dewey dalam Mansur Muslich menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.9 Socrates dalam Abdul Majid berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart.10 Pendidikan karakter secara eksplisit dapat dikatakan sebagai pendidikan moral yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang11. Pendidikan karakter berarti mengukir sifat hingga terbentuk pola memerlukan proses yang panjang melalui pendidikan, maka pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan hingga sifat anak terukir sejak dini Indonesia Heritage Foundation dalam Sri Narwanti mengidentifikasikan sembilan karakter yang menjadi tujuan pendidikan karakter, yaitu: 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayag, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 3 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.12 Dewan sekolah di New York menyepakati ada sepuluh karakter, yaitu: 1) respect, 2) responsibility, 3) honesty, 4) empathy, 5) fairness, 6) initiative, 7) courage, 8) perseverance, 9) optimism, 10) and integrity.13 Pusat kurikulum dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab.14 Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Budaya dan pendidikan memberikan pengaruh yang kuat pada perkembangan anak. Di lingkungan pendidikan guru yang luar biasa dapat membimbing dan memberikan pengalaman belajar siswa maka akan membantu mereka bergerak ke tahap kognitif yang lebih tinggi. Tingkat TK menjadi tempat pertama bagi anak-anak memperoleh pendidikan dan menjadi dasar bagi pendidikan yang lain. Di tempat ini anak lebih cepat mendapat pengaruh dan mudah dibentuk pribadinya. Di sinilah pentingnya sekolah sebagai counter untuk menjauhkan anak dari pengaruh lingkungan yang buruk, baik secara jasmani, akal, moral, maupun kepekaan rasanya, sehingga dapat menempatkan pada lingkungan yang baik.15 Pendidikan yang diberikan pada anak tetap harus memperhatikan fase pertumbuhan anak. Ratna Megawati dalam Agus Wibowo, menyatakan bahwa fase 4-6 tahun anak sudah mulai bisa diajak kerja sama serta lebih penurut.16 Anak sudah dapat menerima pandangan orang lain, terutama orang dewasa, bisa menerima otoritas orang tua/guru, menganggap orang dewasa serba tau, serta senang mengadukan teman-temannya yang nakal. Pada fase ini anak sangat percaya pada orang tua dan guru, sehingga penekanan yang dilakukan oleh orang tua/guru akan pentingnya perilaku baik dan sopan sangan efektif. Pendidikan karakter harus memberi peluang bagi anak untuk memahami alasannya. Penanaman pendidikan karakter bagi anak hendaknya memperhatikan fase perkembangan anak, agar tidak terjadi salah kaprah dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan karakter pada fase yang tidak tepat akan memberikan konsep yang membingungkan bagi anak. Pendidikan karakter disesuaikan dengan fase perkembangan anak sebagimana sabda Rasulullah yang artinya: “Siapa yang memiliki anak yang masih kecil, maka gaulilah mereka sesuai dengan tingkat akal mereka”. (HR. Ibnu Asakirdan Ibn Badawih dari Muawiyah). Mengenai pendidikan karakter, John Piaget dalam Masganti Sit menyatakan bahwa anak di bawah usia 7 tahun telah memiliki potensi untuk melakukan tindakan-tindakan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 4 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 bermoral seperti kejujuran, keadilan, dan lain sebagainya.17 Pada usia ini anak-anak melakukan tindakan kejujuran berdasarkan pada pengetahuan yang diperolehnya bahwa berbohong itu dosa dan setiap dosa akan mendapat hukuman. Pengetahuan anak tentang berbohong adalah dosa diperoleh melalui dua jalan. Pertama, kemampuan kognitif anak telah dapat menerima bahwa seseorang yang melakukan kesalahan seperti berbohong layak mendapatkan hukuman. Kedua, anak akan memahami bahwa jujur merupakan perbuatan baik atau buruk dari hubungan antara anak dengan orang dewasa di sekitarnya. Anak akan memahami konsep kejujuran secara benar jika mendapatkan bimbingan yang baik dari lingkungannya.18 Kohlberg dalam Ormord menyatakan bahwa anak usia 4 tahun sudah dapat membedakan perbuatan benar dan salah karena adanya hadiah dan hukuman.19 Kemampuan kognitif anak untuk memahami pendidikan karakter dapat pula ditingkatkan dengan interaksi anak dengan orang lain, seperti guru dan teman-temannya.20 Berdasarkan uraian di atas, bahwa anak usia TK melakukan perbuatan-perbuatan baik karena berorientasi pada takut hukuman dan mengharapkan pemberian hadiah. Oleh karena itu pendidikan karakter di TK hendaknya memanfaatkan metode reward and punishment untuk menanamkan karakter anak. Pendidikan karakter yang mulai dibentuk pada diri peserta didik dapat juga terkikis oleh kebiasan buruk yang dilakukan oleh lingkungannya, yaitu pemberian label negatif pada anak. Perilaku labeling pada anak terkadang terjadi tanpa disadari. Labeling merupakan sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang, maka orang itu akan berproses menjadi seperti label itu. Misalnya anak yang diberi label “bandel atau bodoh” maka lingkungan akan memuculkan kecenderugan pada perlakuan seperti anak “bandel atau bodoh”, perlakuan yang secara terus menerus seperti ini akan benar-benar menjadikan anak yang memiliki karakter “bandel atau bodoh”.21 Berdasarkan pemikiran ini hendaklah orang tua dan guru menghidari labeling yang negatif untuk anak. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Dongeng Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, selanjutnya dongeng adalah cerita prosa yang tidak dianggap benar-benar terjadi.22 Dongeng dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti cerita yang tidak benar-benar terjadi. Meskipun dongeng hanya cerita fiktif namun mampu mengajak anak untuk berfantasi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, pelajaran moral, atau sindiran.23 Mendengarkan cerita adalah salah satu cara memotivasi anak untuk berpikir tentang karakter.24 Kemunculan dongeng yang sebagai bagian cerita rakyat berfungsi untuk menghibur dan juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Dongeng sering mengisahkan penderitaan tokoh, namun karena aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 5 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kejujuran dan kesabarannya tokoh tersebut mendapatkan imbalan yang menyenangkan dan tokoh jahat pasti mendapatkan hukuman. Jadi, pesan dalam dongeng dapat juga berwujud peringatan dan atau sindiran bagi orang yang berbuat jahat.25 Dilihat dari waktu kemunculannya dongeng dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dongeng klasik dan dongeng modern. Dongeng klasik termasuk dalam sastra tradisional, dongeng modern termasuk dalam sastra rekaan. Dongeng klasik di Indonesia antara lain adalah Bawang Merah dan Bawang putih dan Timun mas. Dongeng klasik dapat menambah wawasan tentang cerita-cerita dari pelosok dunia. Dongeng modern dapat dikategorikan sebagai genre cerita fantasi, cerita sengaja dikreasikan oleh pengarang dengan maksud untuk memberikan cerita menarik dan ajaran moral tertentu. Dongeng ini juga sebagai karya seni yang memiliki unsur keindahan.26 Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Dongeng Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karya sastra menciptakan dunianya sendiri, tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pemahaman karya sastra termasuk dongeng dapat dilakukan melalui unsur-unsur intrinsik, yaitu: Tokoh. Tokoh adalah individu yang berperan dalam cerita. Tokoh cerita dimaksudkan sebagai pelaku yang dikisahkan perjalanannya dalam cerita fiksi. Dalam dongeng tokoh cerita tidak harur berwujud manusia, tokoh dapat berupa binatang atau objek lain yang merupakan personifikasi manusia.27 Lewat tokoh cerita dapat dijadikan sebagai sarana strategis untuk memberikan pendidikan moral. Tema. Tema adalah pokok pikiran atau pembicaraan dalam sebuah cerita yang hendak disampaikan pengarang melalui jalinan cerita. Tema sebagai sebuah gagasan yang ingin disampaikan, tema dijabarkan dan atau dikongkretkan lewat tokoh, alur, dan latar. Pemahaman terhadap tema suatu cerita fiksi adalah pemahamann terhadap makna cerita itu sendiri.28 Plot/Alur. Plot/Alur adalah jalan cerita atau rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hukum kausalitas (hubungan yang menunjukkan sebab akibat). Alur berhubungan dengan peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu yang digerakkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik, keterkaitan antar peristiwa dan hubungan sebab akibat yang menyebabkan cerita menjadi logis. Hal ini dapat memumuk perasaan dan pikiran kritis anak untuk mengikuti alur cerita.29 Gaya Bahasa. Gaya Bahasa adalah cara khas seorang pengarang dalam mengungkapkan ide, gagasannya malalui cerita. Bahasa cerita anak haruslah sederhana, maka penggunaan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 6 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 berbagai bentuk bahasa seperti pemajasan, penyiasatan struktur, dan penceritaan dimanfaatkan sebagai keindahan bahasa tanpa mengurangi kejelasan dan kemudahan pemahaman cerita.30 Sudut pandang/Point of view. Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya, dalam menyuguhkan cerita, pengarang dapat mengambil atau memilih suatu posisi serta kedudukan tertentu terhadap suatu kisah yang dipaparkannya. Pada hakikatnya sudut pandang adalah sebuah cara, strategi, atau siasat yang sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya. Pemilihan sudut pandang dalam banyak hal akan mempegaruhi kebebasan, ketajaman, dan keobjektifan dalam bercerita, dan itu juga mempengaruhi kadar kemasukakalan cerita.31 Amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari cerita atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat merupakan pemecahan suatu tema yang mencerminkan pandangan hidup pengarang. Amanat sebuah cerita selalu berkaitan dengan berbgai hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik, karena dongeng sebagai salah satu alternatif untuk memberikan pendidikan bagi anak lewat cerita.32 Latar/Setting. Latar/setting adalah pengambaran mengenai waktu, tempat, dan suasana yang terjadi dalam cerita. Namun ada juga latar yang menjelaskan latar sosial dan moral. Kejelasan deskripsi latar penting sebagai pijakan untuk mengikuti alur cerita dan mengembangkan imajinasi. Kesuaian antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberi kesan yang lebih meyakinkan dan memberi kesan bahwa cerita sugguh ada dan terjadi. Kesan itu penting dalam rangka membangun kesadaran dan pengembangan imajinasi.33 Dongeng sebagai pembentukan Karakter Anak Tujuan dari karya sastra termasuk di dalamnya dongeng adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sebagai manusia yang berbudaya, berpikir, dan berketuhanan. Dengan demikian, kesusastraan harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Berdasarkan tujuan karya sastra maka pendidikan karakter sangat tepat bila dimasukkan dalam cerita. Pendidikan karakter yang diintruksikan di kelas melalui medium sastra, dengan keteladanan para tokohnya menjadikan peserta didik memeriksa karakter yang menjelma dalam diri tokoh. Sifat luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap dan perilaku para tokoh dalam cerita dapat membantu pribadi peserta didik sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak baik. Pendidikan karakter yang disampaikan pengarang menyatu dalam alur cerita. Di dalam cerita peserta akan menemukan berbagai perbuatan para tokoh yang dilukiskan pengarang dalam berbagai peristiwa. Melalui alur cerita pengarang memberikan petunjuk, nasihat, pesan akhlak, dan budi pekerti. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 7 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Manfaat Dongeng Bagi Anak Mengingat bahwa tahap perkembangan berpikir anak usia dini adalah tahap operasional kongkret,34 sedangkan pendidikan karakter adalah pengetahuan yang abstrak, maka dongeng ini memanfaatkan daya imajinasi anak untuk menjembatani pengetahuan pendidikan karakter yang abstrak. Lewat dongeng inilah pendidikan karakter dapat muncul secara kongkret dalam perilaku tokoh. Unsur-unsur yang terdapat dalam dongeng juga membantu imajinasi anak dalam memahami alur cerita. Unsur yang terdapat dalam dongeng yaitu: 1) subjek atau tokoh dalam dongeng, 2) waktu dan latar belakang dongeng, 3) tujuan penggambaran suatu keadaan terutama tujuan nilai-nilai positif, 4) dialektika.35 Dongeng sebagai penanaman mungkin merujuk pada kisah atau qashash yang dicontohkan Allah dalam mendidik umat manusia. Kisah yang terdapat dalam al-Quran sering kali dimodifikasi menjadi dongeng bagi anak. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter anak yang berlandaskan al-Quran. Hadirnya dongeng dalam sastra anak tentunya juga membawa manfaat bagi anak. Manfaat yang paling mendasar adalah dongeng sebagian media hiburan bagi anak. Adapun manfaat lain dari dongeng bagi anak adalah: 1) mengasah daya pikir dan imajinasi anak, 2) merupakan metode penyampaian pesan moral yang efektif, 3) menumbuhkan minat baca, dan 4) menjadi sebuah jembatan spiritual yang mengarah pada kedekatan emosional antara pendongeng dan anak, serta 5) memicu daya kreatifitas dan memancing wawasan luas bagi orang tua. Catatan Akhir 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.36 3 A.Z. Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h.20 4 S.B. Raharjo, Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.16 No.3, 229-239 5 Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, (New York: Bantam Books, 1992), h.51 6 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY, 2007), h.1 7 Duna Izfanna & Hisyam, N. A., A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq. Diambil pada tanggal 25 November 2012, dari http://search.proquest.com 8 Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003 9 Masnur Muslich, Pendidikan karakter menjawab tangtangan krisis multidimendional. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h.67 10 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.30 11 Darmiyati Zuchdi, Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Kultur Sekolah, (Yogyakarta: UNY Press, 2011), h.19 12 Sri Narwanti, Pendidikan Karakter Pengintegrasian 18 Nilai pembentuk Karakter dalam Mata Pelajaran, (Yogyakarta: Familia Grup Relasi Inti Media, 2011), h.25 2 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 8 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 13 Dimerman, Character is the Key: How to Unlock the Best in Our Children and Ourselves, (Canada: John Wiley & Sons, 2009), h.9 14 Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. (Jakarta: Puskur, 2010), hh.9-10 15 Abdul Majid, Mendidik Dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.4 16 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, (Yogyakatya: Pustaka Pelajar, 2012), h.89) 17 Masganti Sit, Mengajarkan Kejujuran pada Anak Usia Dini. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, Vol.15 No.2, Tahun 2009, p.338-351 18 Ibid, h.344 19 Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, (New Jersey: Merrill Prentice Hall, 2003), h.88 20 Masganti Sit, Opcit, h. 344 21 Agus Wibowo, Opcit, h.90 22 James Danandjaja, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, (Jakarta: Grafiti , 2007), h.83 23 Ibid 24 Lickona, Character Maters, How To Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, And Other Essential Virtues, (New York: Touchstoon, 2004), p.201 25 Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.200 26 Ibid, h.207 27 Ibid, h.223 28 Ibid, h.260 29 Ibid, h.237 30 Ibid, h.277 31 Ibid, h.269 32 Ibid, h.265 33 Ibid, h.249 34 Hetherington, E.M & Parke, R.D., Child Psychology, (Tuas Basin Lik: McGraw-Hill Book Company, 1986), h.344 35 Suyadi, Membangun Karakter Anak dengan Metode Kisah Qur’ani, Jurnal PGMI Al-bidayah, Vol.2 No.2, Tahun 2010, 289-306 Daftar Pustaka Danandjaja, James, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti, 2007. Dimerman, Character is the Key: How to Unlock the Best in Our Children and Ourselves, Canada: John Wiley & Sons, 2009. Fitri, A.Z., Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Hetherington, E.M & Parke, R.D., Child Psychology, Tuas Basin Lik: McGraw-Hill Book Company, 1986. Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY, 2007. Izfanna, Duna & Hisyam, N. A., A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq. Diambil pada tanggal 25 November 2012, dari http://search.proquest.com Lickona, Character Maters, How To Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, And Other Essential Virtues, New York: Touchstoon, 2004. Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1992. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 9 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Majid, Abdul & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Majid, Abdul, Mendidik Dengan Cerita, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tangtangan Krisis Multidimendional, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011. Narwanti, Sri, Pendidikan Karakter Pengintegrasian 18 Nilai pembentuk Karakter dalam Mata Pelajaran, Yogyakarta: Familia Grup Relasi Inti Media, 2011. Nurgiyantoro, Burhan, Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, New Jersey: Merrill Prentice Hall, 2003. Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, Jakarta: Puskur, 2010. Raharjo, S.B., Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.16 No.3. Sit, Masganti, Mengajarkan Kejujuran pada Anak Usia Dini. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, Vol.15 No.2, Tahun 2009. Suyadi, Membangun Karakter Anak dengan Metode Kisah Qur’ani, Jurnal PGMI AlBidayah, Vol.2 No.2, Tahun 2010. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Wibowo, Agus, Pendidikan Karakter Usia Dini, .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Zuchdi, Darmiyati, Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Kultur Sekolah, Yogyakarta: UNY Press, 2011. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 D. Fitriyyah 10 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 METAKOGNISI DALAM PEMBELAJARAN RA Fu`ad Arif Noor Dosen Tetap STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta Email: fuad.arif.noor@ gmail.com Abstract Based on the study, children 3 years old have the ability to organize his thoughts. Ability is called metacognitive, ie a cognitive awareness of itself, how cognitive work and how to set it. Metacognition relates to how a person uses his mind and is the highest cognitive processes and sophisticated. The expression "knowing what you know and what you do not know" is one example of a statement that explains the process of metacognition in the regulation of learning. Metacognition has two components, namely: (1) knowledge, which is the process of learning can be true or false, while the knowledge of one's self to survive long enough to change. For example, students can make a mistake in his thinking process, because he was taking enough time to prepare for the replay. (2) skill, the ability of a person to control their own cognitive skills, as metacognition in problem solving activity which is an activity plan, monitor, and reflect, including in metacognitive activities by students and teachers. Metacognition in learning activities by students and teachers consists of: (1) The process of planning, required students to predict what will be learned, how it is controlled and image problem than the problem being studied and planned the right way to solve a problem. (2) The process of monitoring, students need to ask yourself questions like "what am I doing ?, what is the significance of this problem ?, how I should solve it ?, and why I do not understand about this?". (3) The process of assessing / evaluation, students make a reflection to figure out how a skill, values and a knowledge mastered by the student. Why the students easy / hard to master, and what actions / improvements to be made. Keywords: Metacognition, Learning, Child RA Abstrak Berdasarkan penelitian, anak 3 tahun memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya. Kemampuan inilah yang disebut metakognitif, yaitu suatu kesadaran tentang kognitif itu sendiri, bagaimana kognitif bekerja serta bagaimana mengaturnya.Metakognisi berhubungan dengan bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Pernyataan“mengetahui apa yang kamu ketahui dan apa yang tidak kamu ketahui” merupakan salah satu contohpernyataan yang menerangkan proses meta kognisi dalam regulasi pembelajaran. Metakognisi mempunyai dua komponen yaitu: 1) Pengetahuan,yang merupakanproses belajar dapat benar atau salah, sedangkan pengetahuan diri seseorang cukup lama bertahan untuk berubah. Misalnya, siswa dapat membuat kekeliruan dalam proses berpikirnya, karena ia merasa meluangkan cukup waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi ulangan. 2) Ketrampilan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengendalikan keterampilan kognitifnya sendiri, sebagai aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah yang merupakan aktivitas merencanakan, memantau, dan merefleksi, termasuk dalam aktivitas meta kognisi oleh siswa dan guru. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 11 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Aktivitas metakognisi dalam pembelajarannya oleh siswa dan guru terdiri dari: 1) Proses merencanakan, diperlukan siswa untuk meramal apakah yang akan dipelajari, bagaimana masalah itu dikuasai dan kesan daripada masalah yang dipelajari, dan merencanakan cara tepat untuk memecahkan suatu masalah. 2) Proses memantau, siswa perlu mengajukan pertanyaan pada diri sendiri seperti “apa yang saya lakukan?, apa makna dari soal ini?, bagaimana saya harus memecahkannya?, dan mengapa saya tidak memahami soal ini?” 3) Proses menilai/evaluasi, siswa membuat refleksi untuk mengetahui bagaimana suatu kemahiran, nilai dan suatu pengetahuan yang dikuasai oleh siswa tersebut. Mengapa siswa tersebut mudah/sulit untuk menguasainya, dan apa tindakan/perbaikan yang harus dilakukan. Kata Kunci : Metakognisi, Pembelajaran, Anak RA. Pendahuluan Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan seseorang mengenai proses berpikiryang merupakan persepektif pribadi dari kemampuan orang lain. Pengalaman metakognisi adalah pengalaman kognisi atau afektif yang menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognisi adalah pertimbangan secara sadar dari pengalaman intelektual yang menyertai kegagalan atau kesuksesan dalam pelajaran.Tujuan atau tugas mengacu pada tujuan berpikir seperti membaca dan memahami suatu bagian untuk kuis mendatang, yang akan mencetuskan penggunaan pengetahuan metakognisi dan mendorong kepengalaman meta kognisi baru. Tindakan atau strategi menunjuk berpikir atau perilaku yang khusus yang digunakan untuk melaksanakannya, yang dapat membantu untuk mencapai tujuan. Ketika seseorang mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses kognitifnya sendiri,mengetahui tugas-tugas mana saja yang dianggap berat atau mudah dan mengetahui apa yang diketahui, berarti seseorang tersebu ttelah menguasai metakognisinya. Metakognisi merupakan suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga, apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Seseorang dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan dalam setiap langkah yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan apa yang dikerjakan?, mengapa mengerjakan ini?, hal apa yang bisa membantu dalam memecahkan masalah ini?. Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang pengetahuannya, sehinggapemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini, menunjukkan bahwa pengetahuan kognisi adalah kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan regulasi kognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognitifnya secara efektif. Sehingga uraian makalah ini akan membahas metakognisi dalam pembelajaran. Metakognisi dalam Pembelajaran RA (Raudlatul Athfal) Pengertian Metakognisi aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 12 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Istilah metakognisi (metacognition) pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976. Metakognisi terdiri dari imbuhan “meta” dan “kognisi”. “Meta” merupakan awalan untuk kognisi yang artinya “sesudah ”kognisi. Penambahan awalan“meta” pada kognisi untuk merefleksikan ide bahwa metakognisi di artikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atauberpikir tentang berpikir.1 Laurens mengemukakan fungsi dari kognisi adalah untuk memecahkan masalah sedangkan fungsi dari metakognisi adalah untuk mengarahkan pemikiran seseorang dalam memecahkan suatu masalah.2 Matlin menjelaskan “metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive procces”:metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran danpengontrolanseseorang terhadap proses kognitifnya yang terjadi pada diri sendiri, bahkan metakognisi juga sangat penting karena pengetahuan tentang proses kognisi dapat membantu seseorang dalam menyeleksi strategi–strategi pemecahan masalah.3 Sedangkan menurut McDevitt dan Ormrod “ the term metacognition refers both to the knowledge that peoplehave about their own cognitive processes and to the intentional use of certain cognitive processes to improve learning and memory”.4 Maksudnya, pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya dan sengaja digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dan ingatan. Metakognisi berhubungan dengan bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Pernyataan” mengetahui apa yang kamu ketahui dan apa yang tidak kamu ketahui”,5 merupakan salah satu contoh pernyataan yang menerangkan proses metakognisi. Wellman menyatakan bahwa “meta cognition is a form of cognition,a second or higher order thinking process which involves active control over cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a person’s cognition about cognition”.6 Meta kognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir duatingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar diatas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Metakognisi ini memiliki arti yang sangat penting, karena pengetahuan tentang proses kognisi sendiri dapat memandu dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif dimasa datang. Sedangkan metakognisi pada makalah ini adalah pengetahuan, kesadaran dan kontrol seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya. Komponen Metakognisi Menurut Flavell kemampuan seseorang untuk memantau berbagai macam aktivitas kognisinya dilakukan melalui aksi dan interaksi antara 4 komponen yaitu: 1) Pengetahuan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 13 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 metakognisi (metacognitive knowledge), 2) Pengalaman metakognisi (metacognitive experience), 3) Tujuan atau tugas-tugas (goals ortasks), 4) Aksi atau strategi (actions or strategies).7 Desoete menyatakan bahwa metakognisi mempunyai dua komponen yaitu: 1) pengetahuan meta kognisi, (2) ketrampilan meta kognisi. Sedangkan menurut Huitt juga berpendapat ada dua komponen metakognisi dalam pembelajaran yaitu apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, dalam regulasi pembelajaran.8 Berdasarkan pendapat para ahli tentang komponen metakognisi di atas, maka komponen yang akan dijelaskan dalam makalah ini adalah pengetahuan metakognisi dan keterampilan metakognisi: Pengetahuan Metakognisi (metacognitive knowledge) Pengetahuan metakognisi mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana manusia belajar dan memproses informasi, seperti halnya pengetahuan individu mengenai proses memecahkan masalah. Veenman, menyatakan bahwa: “Metacognitve knowledge abut our learning processes can becorrector incorrect, and this self-knowledgemay be quite resistant to change. For instance, a student may incorrectly think that (s)he invested enough time in preparation for math exams so hard to pas….”. Such misattribution spreven tstudents from amending their self- knowledge”.9 Pengetahuan metakognisi merupakan proses belajar dapat benar atau salah, sedangkan pengetahuan diri seseorang cukup lamabertahan untuk berubah. Misalnya, siswa dapat membuat kekeliruhan dalam proses berpikirnya, karena ia merasa meluangkan cukup waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi ulangan. Namun, kenyataannya ia berkalikaligagal,sehingga ia beranggapan bahwa guru membuat soal yang demikian sulit untuk diketahuinya. Karenaitu, kesalahan proses berpikir yang dilakukan oleh siswa akan menghambat siswa untuk memperbaiki pengetahuan diri. Menurut John Flavell, pengetahuan metakognisi secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (Tiga) variabel, yaitu: 1) variabel individu, yang mencakup pengetahuan tentang persons,manusia (dirisen diri dan juga orang lain) memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang dapat diproses. Dalam variabel individu ini tercakuppulapengetahuan bahwa Seseorang itu lebih paham dalam suatubidang dan lemah dibidang lain. Demikian juga pengetahuantentang perbedaan kemampuan anda dengan orang lain, 2) variabel tugas, mencakup pengetahuantentangtugas- tugas(task), yang mengandung wawasan bahwa beberapa kondisi sering menyebabkan seseorang lebihsulit atau lebih mudah dalam memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, semakin banyak waktuyang saya luangkan untuk memecahkan suatu masalah, semakin baiksaya mengerjakannya; sekiranya materi pembelajaran yang disampaikan guru sukar dan tidak akan diulangilagi, maka saya harus lebih konsentrasi dan mendengarkan keterangan guru dengan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 14 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 seksama, 3) variabel strategi, mencakup pengetahuan tentang strategi, pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi kesulitan.10 Adkins menyatakan bahwa metakognisi berkaitan dengan ketiga tipe pengetahuan yaitu: (1) pengetahuan deklaratif, (2) pengetahuan prosedural (3) pengetahuan kondisional dalam pembelajaran. Pendapat ini juga diperkuat oleh para ahli lainnya, Crose, Paris dan Jacobs dalam Usman menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi berkaitan dengan ketiga tipe pengetahuan yang sama tersebut.11 Pengetahuan deklaratif mengacu kepada pengetahuan tentang fakta dan konsepkonsep yang dimiliki seseorang atau faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya dan perhatiannya dalam memecahkan masalah. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana melakukan langkah-langkah atau strategi- strategi dalam suatu proses pemecahan masalah. Pengetahuan kondisional mengacu pada kesadaran seseorang akan kondisi yang mempengaruhi dirinya dalam memecahkan masalah yaitu: kapan suatu strategi seharusnya diterapkan, mengapa menerapkan suatu strategi dan kapan strategi tersebut digunakan dalam memecahkan masalah. Gamma dalam Usman menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang, berarti pengetahuan tersebut dapat diaktifkan atau dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa sengaja yang secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu.12 Berdasarkan beberapa para ahli tentang pengetahuan metakognisi, maka pengetahuan metakognisi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kesadaran berpikir seseorang (peserta didik) tentang proses berpikirnya sendiri yang terdiri dari pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional dalam memecahkan masalah. Keterampilan Metakognisi Desoete menggambarkan keterampilan metakognisi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengendalikan keterampilan kognitifnya sendiri. Desoete dalam Usman menyatakan ada empat komponen dalam keterampilan metakognisi, yaitu: 1) Orientation or prospective prediction skills guarantee working slowly when exercises a renew or complex and working fastwith easy or familiar tasks. 2) Planning skills make children thank in aduance of how, when and why to actinorderto obtaim their porpuse through a sequence of sub goals leading to the main problem goal. 3) Monitoring skills are the on-line, self-regulated control of used cognitive strategies through concurrent verbalizations during the actual performance ,in order to identify problems and to modify plans. 4) Evaluation skillscanbedefinedas theretrospective(oroff-line) verbalizations after the event has transpired, where chidren look at what strategies where used and whether or not they led to adesired result.13 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 15 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Orientasi atau keterampilan prediksi berkaitan dengan aktivitas seseorang melakukan pekerjaan secara lambat, bila permasalahan (tugas) itu baru atau kompleks dan melakukan suatu pekerjaan cepat, bila permasalahan (tugas) itu mudah atau sudah dikenal. Keterampilan perencanaan mengacu pada kegiatan berpikir awal seseorang tentang bagaimana, kapan dan mengapa melakukan tindakan guna mencapai tujuan melalui serangkaian tujuan khusus menuju pada tujuan utama permasalahan. Keterampilan monitoring mengacu pada kegiatan pengawasan seseorang terhadap strategi kognitif yang digunakannya selama proses pemecahan masalah guna mengenali masalah dan memodifikasi rencana. Sedangkan keterampilan evaluasi dapat didefinisikan sebagai verbalisasi mundur yang dilakukannya setelah kejadian berlangsung, dimana seseorang melihat kembali strategi yang telah ia gunakan dan apakah strategi tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak. Keterampilan metakognisi yang dikemukakan olehkaune sebagai aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah sebagai “The three activities planning, monitoring, and reflection are main categories…. That includes metacognitive activities of learners and teacher”.14 Maksudnya, aktivitas merencanakan, memantau, dan refleksi termasuk dalam aktivitas metakognisi oleh siswa dan guru. Proses merencanakan. Pada proses ini diperlukan siswa untuk meramal apakah yangakan dipelajari, bagaimana masalah itu dikuasai dan kesan dari pada masalah yang dipelajari, dan merencanakan cara tepat untuk memecahkan suatu masalah. Proses memantau. Pada proses ini siswa perlu mengajukan pertanyaan pada diri sendiri seperti “apa yang saya lakukan?, apa makna dari soal ini?, bagaimana saya harus memecahkannya? dan mengapa saya tidak memahami soal ini?” Proses menilai/evaluasi. Pada proses ini siswa membuat refleksi untuk mengetahuibagaimana suatu kemahiran, nilai dan suatu pengetahuan yang dikuasai oleh siswa tersebut. Mengapa siswa tersebut mudah/sulit untuk menguasainya, dan apa tindakan/perbaikan yang harus dilakukan. Menurut Nort Central Regional Educational Laboratory (NCREL): “Metacognition consist of three basic elements: 1) Develoving a plan of action, 2) Maintaining (monitoring the plan, 3) Evaluating the plan. Before-when you are developing the plan of action,ask your self: a) What in my prior knowledge will helpme with this particular task? b) In what direction do I want my thinking to take me? c) What should I do first? d) Why amI reading this selection? e) How much time do I have to complete the task? During-When you are maintaining/monitoring the plan of action, ask your self: a) How am I doing? b) Am I on the right track? c) How should I proceed? d) What information is important to remember? e) Should I move in a defferent direction? f) Should adjust the pacedepending on the difficulty? g) What do I need to do if I do not understand? After-in When you are evaluating the plan of action ask yourself: a) How well did I do? b) Did my particular course of thinking produce more or less than I had expected? c) What could Ihave done differently? d) How might I aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 16 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 apply this line ofthinking to other problems? e) Do I need to go back through the task to fillinany “blanks” in my understanding?15 NCREL mengemukakan tiga hal komponen dasar dalam meta kognisi yang secara khusus digunakan dalam menghadapi suatu masalahatau tugas yaitu: 1) mengembangkan rencana tindakan, 2) mengatur/memonitoring rencanatindakan, 3) mengevaluasi rencana tindakan. Selanjutnya NCREL memberikan petunjukuntuk melaksanakan ketiga komponen: Sebelum-siswa mengembangkan rencana tindakan perlu menanyakan kepada dirinya sendiri tentang hal-hal berikut: a) Pengetahuan awal apa yang membantu dalam memecahkan tugas ini? b) Petunjuk apa yang digunakan dalamberpikir? c) Apa yang pertama saya lakukan? d) Mengapa saya membaca pilihan (bagian) ini? e) Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap? Selama-siswa merencanakan tindakan perlu mengatur/memonitoring dengan menanyakan pada dirinya sendiri tentang hal berikut? a) Bagaimana saya melakukannya? b) Apakah saya berada pada jalur yang benar? c) Bagaimanasayameneruskannya? d) Informasi apa yang penting untuk diingat? e) Apakah saya perlu pindah pada petunjuk lain? f) Haruskah saya mengatur langkah–langkah yang sesuai dengan kesulitan? g) Apa yang harus saya lakukan jika saya tidak mengerti? Setelah-siswa selesai melaksanakan rencana tugas, siswa akan melakukan evaluasi yaitu: a) Seberapa baik saya melakukannya? b) Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang lebih sedikit dari yang saya pikirkan? c) Apakah saya dapat mengerjakan dengan cara yang berbeda? d) Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi kekurangan pada ingatan saya? Berdasarkan pendapat tentang keterampilan metakognisi yang dikemukakan para ahli, maka yang dimaksud keterampilan meta kognisi dalam tulisan ini adalah keterampilan berpikir seseorang untuk menyadari proses berpikirnya sendiri yang berkaitan dengan keterampilan perencanaan, monitoring dan evaluasi dalam memecahkan masalah. Keterampilan perencanaan adalah kegiatan berpikir awal seseorang tentang, bagaimana,kapan dan mengapa melakukan tindakan guna mencapai tujuan utama permasalahan. Keterampilan monitoring adalah kegiatan pengawasan seseorang terhadap strategi kognitif yang dipergunakannya selama memecahkan masalah, guna mengenali masalah dan memodifikasi rencana. Sedangkan keterampilan evaluasi didefinisikan sebagai pengecekan seseorang melihat kembali strategi yang telah digunakan dan apakah strategi tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak. Implementasi Metakognisi dalam pembelajaran RA Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dilakukan yang di dalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas, sebagai berikut: a) mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar, b) mengidentifikasi kelebihan dan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 17 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kekurangannya berkenaan dengan kegiatan belajar, c) menyusun suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru, d) mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar, e) memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar, f) memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah kelompok, g) belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu, h) belajar dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu, i) memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.16 Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh kemampuan metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar dilakukan dengan mengacu pada indikator dari learning how to learn maka hasil optimal akan mudah dicapai.Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan meningkatkan metakognisi mereka. Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Guru sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar. Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalalui kegiatan belajar dan pembelajaran, adalah sebagai berikut: a) membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan: 1) mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya, 2) membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif, 3) meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau pelejari, 4) membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya, dan 5) menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan keterampilan dari suatu situasi ke situasi yang lain; b) membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik melalui: 1) pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri. Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri dapat dilakukan dengan: (a) mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif), (b) memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah), (c) memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan ceramah, diskusi, penugasan, praktik di laboratorium, belajar kelompok, dan seterusnya), 2) mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif. Kebiasaan berpikir positif dikembangkan dengan: (a) meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem) dan (b) mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar, 3) mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis. Kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan: (a) membuat keputusan dan memecahkan masalah dan (b) aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 18 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru, dan 4) mengembangkan kebiasaan untuk bertanya. Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan: (a) mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung; (b) membangkitkan minat dan motivasi; dan (c) memusatkan perhatian dan daya ingat.17 Pengembangan metakognisi pembelajar dapat pula dilakukan dengan aktivitasaktivitas yang sederhana kemudian menuju ke yang lebih rumit Kesimpulan Perkembangan yang optimal pada segala aspek merupakan faktor kesuksesan seorang anak kedepan. Pola pengasuhan dan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua, guru dan lingkungan akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Dengan tanpa mengabaikan aspek lain, perkembangan kognitif menjadi salah satu fokus penting selain perkembangan fisik pada masa anak-anak. Seiring dengan peningkatan kemampuan kognitif, anak mulai menyadari bahwa pikiran terpisah dari objek atau tindakan seseorang. Anak sudah dapat mulai mengatur pikirannya dalam bentuk yang sederhana. Berdasarkan penelitian Flavel, anak 3 tahun memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya. Kemampuan inilah yang disebut metakognitif, yaitu suatu kesadaran tentang kognitif itu sendiri, bagaimana kognitif bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”. Siswa dapat menggunakan strategi metakognitif dalam pembelajaran meliputi tiga tahap berikuti, yaitu: merancang apa yang hendak dipelajari; memantau perkembangan diri dalam belajar; dan menilai apa yang dipelajari. Strategi metakognitif dapat digunakan untuk setiap pembelajaran bidang studi apapun. Hal ini penting untuk mengarahkan mereka agar bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dalam pembelajaran. Untuk meningkatkan kemampuan metakognitif siswa, guru dapat merancang pembelajaran berkaitan dengan kemampuan metakognitif tetapi secara infuse (tambahan) dalam pembelajaran atau bukan merupakan pembelajaran yang terpisah. Catatan Akhir 1 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Anak Didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h.132 Anis Fauziana, Identifikasi Karakteristik Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah di KelasVIII-F SMPN 1 Gresik, Skripsi, Tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA, 2008), h.18 3 Ibid, h.18 4 Desmita, Opcit, h.132 5 http://www.homestead.com 6 Usman Mulbar, Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah pada Pembelajaran, Makalah, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 24 Mei 2008, h.14 2 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 19 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 7 Theresia Kriswianti N, Profil Metakognisi Siswa Kelas Akselerasi dan Non Akselerasi SMA dalam Memecahkan Masalah Ditinjau dari Perbedaan Gender, Disertasi, tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA, 2008), h.21 8 Ibid, h.15 9 Usman, Opcit, h.24 10 Desmita, Opcit, h.134 11 Usman, Opcit, h.25 12 Ibid, h.26 13 Ibid, h.27 14 Moch. Masykur dan Abdul Halim Fathani, Mathematical Intelligence, (Bandung: ArRuzmedia, 2007), h.59 15 (http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/atrisk/at71k5.html) 16 Taccasu Project, Metacognition, Tersedia pada laman: http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada Kamis 17 Desember 2015, h. 89 17 Ibid Daftar Pustaka Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Anak Didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h.132 Fauziana, Anis, Identifikasi Karakteristik Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah di KelasVIII-F SMPN 1 Gresik, Skripsi, Tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA, 2008), h.18 http://www.homestead.com http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/atrisk/at71k5.html Kriswianti N, Theresia, Profil Metakognisi Siswa Kelas Akselerasi dan Non Akselerasi SMA dalam Memecahkan Masalah Ditinjau dari Perbedaan Gender, Disertasi, tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA, 2008), h.21 Masykur, Moch. dan Abdul Halim Fathani, Mathematical Intelligence, (Bandung: ArRuzmedia, 2007), h.59 Mulbar, Usman, Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah pada Pembelajaran, Makalah, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 24 Mei 2008, h.14 Project, Taccasu, Metacognition, Tersedia pada laman: http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada Kamis 17 Desember 2015, h. 89 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 F. A. Noor 20 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PAUD Hasbullah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: hasbullahiainbanten@g mail.com Abstract Early childhood education is a development effort which intended for early childhood, implemented by providing a stimulus to help growth and development of the physical and spiritual. Learning model in Early Childhood Education is thematic and implemented integratively, so learning in Early Childhood Education cannot be done with single model. The Early Childhood Education curriculum can be classified into five learning programs namely religious study and noble character, social study and personality, science and technology, aesthetics, and physical education. Keywords: Curriculum, Model, Early Childhood Education Abstrak Pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan pada anak anak usia dini, yang dilaksanakan melalui pemberian rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Model pemebalajaran di PAUD bersifat tematis yang dilakukan secara integratif, maka pemebalajaran di PAUD tidak bisa dilakukan dengan metode tunggal. Muatan kurikulum PAUD dapat dikelompokan dalam lima cakupan program pembelajaran yaitu pembelajaran agama dan akhlak mulia, pembelajaran social dan kepribadian, pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pembelajaran estetika, pembelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan. Kata Kunci: Kurikulum, Model, PAUD Pendahuluan Kesadaran akan kebutuhan pendidikan kini cenderung meningkat. Pendidikan secara universal dapat dipahami sebagai upaya pengembangan potensi kemanusiaan secara utuh dan penanaman nilai nilai sosial budaya yang diyakini oleh sekelompok masyarakat agar dapat mempertahankan hidup dan kehidupan secara layak. Sarana utama untuk membangun harkat, martabat dan derajat manusia adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 21 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Salah satu komponen oprasional pendidikan sebagi suatu system adalah materi. Materi pendidikan adalah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu system institusional pendidikan. Materi pendidikan ini lebih dikenal dengan istilah kurikulum, sedangkan kurikulum menunjuk kepada materi yang sebelumnya telah disusun secara sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakekatnya belajar harus berlangsung sepanjang hayat. Untuk menciptkan generasi yang berkualitas masyarakat sangat mengharapkan adanya pendidikan yang memadai untuk putra putrinya terlebih pada saat mereka masih berada dalam tataran usia dini. Dewasa ini, isu hangat dalam dunia pendidikan adalah tentang penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia dini (PAUD). Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 20 tahun 2003, maka sistem pendidikan di Indonesia sekarang terdidri dari Pendidikan anak usia dini , Pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggrakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan atau informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak kanak (TK) Raudatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur non formal berbentuk kelompok bermain (KOBER) taman penitipan kanak kanak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga dan yang diselenggrakan oleh lingkungan masyarakat dimana ia tinggal.2 Hakikat Anak Usia Dini Usia dini adalah masa keemasan anak yang juga tahap keemasan dari keseluruhan pendidikan setiap orang masa ini adalah masa terbaik untuk mengoptimalkan fungsi otak anak dengan memberikan stimulasi yang sesuai . karena itu pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan pada anak anak usia dini, yang dilaksanakan melalui pemberian rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani mereka agar mereka memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan dasar dan kehidupan berikutnya. Masa ini saat yang sangat tepat untuk meletakan dasar dasar pengembangan kemampuan fisik, bahasa ,social emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai nilai agama, serta kecakapan hidup yang diberikan secara terintegrasi dalam pelaksanaan pendidikan.3 Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai. Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar di sepanjang rentang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 22 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 berbagai periode penting yang fundamental dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the golden age atau periode keemasan. Prinsip prinsip Pembelajaran PAUD Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAUD meliputi: 1) Berorientasi pada perkembangan anak. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran, guru perlu memberikan kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, maka perlu memperhatikan perbedaan anak. 2) Bermain sambil belajar. Bermain adalah keinginan anak secara alamiah. Mainan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kadang kadang anak anak lebih mementingkan bermain daripada makan dan minum, maka seorang guru PAUD harus dapat mengarahkan anak kepermainan yang dapat meningkatkan perkembangan intelek (Kognitif) dan juga memilih permaian yang mengarah ke psikomotor. Bermain merupakan penedekatan dalam melaksanakan pembelajaran PAUD. Kegiatan pembelajaran yang disiapkan oleh pendidik hendaknya dilakukandalam situasi yang menyenangkan dan menggunakan strategi/ bahan yang menarik serta mudah diikuti anak. 3) Lingkungan Kondusif. Lingkungan pemeblajaran harus diciptakan sedemikan menarik dan menyenagkan serta demokratis sehingga anak selalu betah dalam lingkunaga sekolah baik didalam maupun diluar kelas. Lingkunag belajar hendaknya tidak memisahkan anak dari nilai nilai budayanya, yaitu tidak membedakan nilai nilai yamng dipelajari dirumah dan disekoalh ataupun dilingkungan sekitar, seorang guru PAUD harus peka terhadap karakteristik budaya masing masing anak. 4) Menggunakan berbagai media dan sumber belajar. Setiap kegaiatan untuk menstimulasi perkembanagan potensi anak perlu memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar, anatara lain lingkungan alam sekitar atau bahan yang dibuat yang disiapkan oleh guru. Model Pembelajaran PAUD Model pembelajaran adalah langkah-langkah pemebelajaran dengan memperhatikan karakteristik anak dan kompetensi yang akan dicapai, interaksi dalam proses pembelajaran, alat/media, dan penilaian. Karena model pemebalajaran di PAUD bersifat tematis yang dilakukan secara integrative, maka pemebalajaran di PAUD tidak bisa dilakukan dengan metode tunggal, pembelajaran yang dikenalkan di PAUD adalah yang bersifat paduan (integral). Ada banyak model yang dapat digunakan diantaranya: 1) Model keterhubungan (connected). Pembelajaran yang dilakukan mengaitkan satu pokok bahasan dengan satu pokok bahasan berikutnya, mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya,mengaitkan satu keterampilan dengan keterampilan lainnya. kelebihan dari konsep ini adalah konsep utama saling terhubung mengarah pada pengulangan dengan konsep lain. Kelemahannya disiplin disiplin ilmu tidak berkaitan konten tetap pada disiplin ilmu. 2) Model jaring laba laba. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 23 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Model jaring laba laba adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan penedekatan tematik, pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu Struktur Kurikulum PAUD Menurut Soemiarti dalam Anita Kurikulum adalah suatu perencanaan pengalaman belajar secara tertulis. khusus yang berkaitan dengan PAUD. Ia mengatakan bahwa kurikulum adalah seluruh usaha / kegiatan sekolah untuk merangsang anak supaya belajar dalam rangka pengembangan seluruh aspek yang ada pada dirinya baik didalam maupun diluar kelas serta lingkungannya.4 Dari batasan ini dapat dikemukakan bahwa semua upaya yang akan dilakukan dalam rangka pengembangan anak tertuang dalam kurikulum. Ini berarti dari kurikulum dapat diketahui gambaran pengalaman belajar apa yang akan diperoleh anak. Ruang Lingkup kurikulum PAUD meliputi: 1) Program kegiatan pembentukan prilaku yang meliputi penegembangan moral dan agama, pengembangan sosial dan emosional, dan keterampilan hidup; 2) Program kegiatan pengembangan kemampuan dasar, yang meliputi: pengembangan kognitif, pengembangan bahasa, pengembangan motorik, dan penegembangan seni. Tabel 1. Perbandingan Menu Kurikulum PAUD Tahun Usia Perkembangan Menu-Menu 2002 0 – 1 Tahun 1 – 2 Tahun 2 – 3 Tahun 3 – 4 Tahun 5 – 6 Tahun Moral dan nilai nilai agama Fisik Bahasa Kognitif Sosial Emosional Seni 2006 0 – 1 Tahun 1 – 2 Tahun 2 – 3 Tahun 3 – 4 Tahun 5 – 6 Tahun 2009 0-3 bulan 1-2 bulan 6-9 bulan 9-12 bulan 1-2 tahun 2-3 tahun 3-4 tahun 5-6 tahun Fisik Bahasa Kognitif Seni Moral dan Nilai nilai agama Social dan emosional Kemandirian Agama dan moral Motorik kasar Motorik halus Bahasa Kognitif Social emosional Seni Ketempilan hidup aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 24 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Menu Kurikulum PAUD tahun 2002 dan tahun 2009 tidak terbagi beberapa sub, sedangkan menu kurikulum tahun 2006 terdapat sub seperti usia 0-1 tahun. Fisik : Kemampuan dalam mengkordinasikan beberapa gerakan kasar (dapat mengangkat kaki dan memainkan jari tangan) Bahasa : Kemampuan berbicara, kemampuan mendengar Kognitif : Kemampuan mengenal hubungan pola dan fungsi Sosial Emosional : Berinteraksi dengan orang lain Kemandirian : Kemampuan makan Menu kurikulum tahun 2002, 2006 dan 2009 untuk moral dan nilai agama tidak terbagi sub. Adapun Struktur dan muatan kurikulum PAUD meliputi sejumlah pengembangan keluasaan dan kedalamannya merupakan program belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Menurut Trianto Struktur dan muatan kurikulum PAUD dapat dikelompokan dalam lima cakupan program pembelajaran yaitu: 1) Program pembelajaran agama dan akhlak mulia; 2) Program pembelajaran sosial dan kepribadian; 3) Program pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) Program pembelajaran estetika; dan 5) Program pembelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan. Tabel 2. Program Pembelajaran PAUD No 1. Program Pembelajaran Agama dan akhlak mulia 2. Sosial dan kepribadian 3. Pengetahuan dan tekhnologi 4. Estetika 5. Jasmani Olah raga dan kesehatan Cakupan Peningkatan potensi spiritual peserta didik melalui contoh pengalaman dari pendidik agar menjadi kebiasaan sehari hari, baik didalam maupun di luar sekolah sehingga menjadi bagian dari budaya sekolah Pembentukan kesadaran dan wawasan peserta didik atas hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan dalam interaksi social serta pemahaman terhadap diri dan peningkatan kualitas diri sebagai manusia sehinggamemiliki rasapercaya diri Mempersiapkan peserta didik secara akademik memasuki SD/MI dengan menekankan pada penyiapan kemampuan berkomunikasi dan berlogikamelalui berbicara, mendengarkan pra membaca, pra menulis dan pra berhitungyang harus dilaksanakan secara hati hati tidak memaksa dan menyengkan sehingga anak menyukai belajar. Meningkatkan sensitivitas kemampuan mengekpresikan diri dan kemampuan mengekpresikan keindahandan harmoni yang terwujud dalam tingkah laku keseharian. Meningkatkan potensi fisik dan enanamkan sportivitas kesadaran hidup sehat dan bersih Tabel 3. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 25 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Tingkat Pencapaian Perkembangan Kelompok Usia 2 - <4 Tahun Lingkup Perkembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral Merespons hal hal yang terkait dengan nilai agama dan moral Motorik Motorik Kasar Motorik Halus Kognitif Mengenal Pengetahuan Umum aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Tingkat Pencapaian Perkembanga 2 - < 3 Tahun 3 - < 4 Tahun Mulai meniru gerakan Mulai memahami penegrtian berdoa/sembahyang sesuai perilaku yang berlawanan dengan agamanya. meskipun belum selalu dilakukanseperti pemehaman Mulai meniru doa pendek perilaku baik buruk, benar sesuai dengan agamanya salah, sopan tidak sopan. Mulai memahami kapan Mulai memahami arti kasihan mengucapkan salam, terima dan saying kepada cdiptaan kasih, maaf,dsb Tuhan Berjalan sambil berjinjit. Berlari sambil membawa sesuatu yang ringan (bola). Melompat kedepan dan kebelakang dengan dua kaki. Naik turun tangga atau tempat yang lebih tinggi dengan kaki Melempar dan menangkap bergantian. bola. Meniti diatas papan yang Menari mengikuti irama. cukup lebar. Naik turun tangga atau Melompat turundari ketinggian tempat yang lebih kurang 20 cm (dibawah tinggi tinggi/rendah dengan lutut anak) berpegangan Meniru gerakan senam sederhana seperti menirukan gerakan pohon,kelinci melompat Meremas kertas atau kain Menuang air, pasir ,atau biji dengan menggerakan lima bijian kedalam tempat jari. penampung (mangkuk, ember ) Melipat kertas meskipun belum rapi/lurus Memasukan benda kecil kedalam botol (potongan lidi, Menggunting kertas tanpa kerikil , biji bijian) pola. Meronce manic manic yang Koordinasi jari tangan cukup tidak terlalu kecil dengan baik untuk memegang benda benang yang agak kaku. pipih seperti sikat gigi, sendok Menggunting kertas mengikuti pola garis lurus Menyebut bagian bagian Menemukan / mengenali suatu gambar seperti gambar bagian yang hilang dari suatu wajah orang, mobil, bintang, pola gambar seperti pada dsb gambar wajah orang, mobil. Mengenal bagian bagian Menyebutkan berbagai nama tubuh makanan dan rasanya (garam gula atau cabai ) Memahami perbedaan antara dua hal dar jenis yang asama Hasbullah 26 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Mengenal Konsep, ukuran bentuk dan pola Memahami konsep ukuran (besar,kecil panjang Pendek, Mengenal tiga macam bentuk Mulai menegnal pola Bahasa Menerima Bahasa Mengungkapkan Bahasa Sosial-Emosional Mampu Mengendalikan emosi Hafal beberapa lagu anak sederhana. Memhami cerita/dongeng sederhana. Memahami perintah sederhana seperti letakan mainan diatas meja, ambil mainan dari kotak. Menggunakan kata Tanya dengan tepat (apa Siapa, bagaimana , mengapa, dimana ) Mulai bisa mengungkapkan ketika ingin buang air kecil dan buang air besar. Mulai memahami hak orang lain (harus antri menunggu giliran ) Mulai Menunjukan sikap berbagi, membantu, bekerja, bersama. Menyatakan perasaan terhadap anak lain (suka denagn teman karena baik hati tidak suka karena nakal Berbagi peran dalam suatu permainan (menjadi dokter, perawat pasien penjaga took atau pembeli) seperti membedakan anatara buah rambutan dan pisang, perbedaan ayam dan kucing. Menempatkan benda dalam urutan ukuran (paling kecil, paling besar) Mulai mengikuti pola tepuk tangan. Mengenal konsep banyak, sedikit Pura-pura membaca cerita bergambar dalam buku dengan kata kata sendiri Mulai memahami dua perintah yang diberikan bersamaan contoh ambil mainan diatas meja lalu berikan kepada ibu guru. Mulai menyatakan keinginan dengan mengucaplkan kalimat sederhana (saya ingin Mainan) Mulai menceritakan pengalaman yang dialami dengan cerita sederhana Mulai bias buang air kecil tanpa bantuan. Bersabar menunggu giliran. Mulai menunjukan sikap toleran sehingga dapat bekerja dalam kelompok. Mulai menghargai orang lain. Bereaksi terhadap hal hal yang dianggap tidak benar (marah, apabila diganggu atau diperlakukan berbeda) Mulai menunjukan ekspresi menyesal ketika melakukan kesalahan Penutup Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 27 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Kurikulum PAUD tidak hanya menyangkut sisi akademik tetapi juga psikologis dan medis karena siswa paud adalah anak dibawah lima tahun, aspek perkembangan anak dibagi dalam beberapa tahap yaitu 0-2 tahun 2- 4 tahun dan 4-5 tahun sehingga kurikulumnya harus disesuaikan dengan perkembangan anak. Pelayanan Paud terbagi atas TK Kelompok bermain tempat penitipan anak dan satuan pendidikan PAUD. Kurikulum PAUD tentu berbeda dengan kurikulum tingkat dasar dan menegah yang memuat delapan setandar sedangkan standar PAUD terdiri atas empat kelompok,yaitu: 1) Standar Tingkat Pencapaian, 2) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 3) Standar Isi, Proses, dan Penilaian, dan 4) Standar Sarana dan Prasarana, Pengelolaan dan pembiayaan. Catatan Akhir 1 _______, Undang Undang Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara, 2003), h.3. Anita Yus, Penilaian Perkembangan Belajar Anak TK, (Jakarta: Kencana, 2011), h.21. 3 _______, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Non Formal 2010, (Banten: Dinas Pendidikan Propinsi Banten, 2010) 4 Anita Yus, Penilaian Perkembangan Bbelajar Anak TK, (Jakarta: Kencana, 2011), h.36. 2 Daftar Pustaka _____, Undang Undang Sisdiknas, Bandung: Citra Umbara, 2003. _____, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Non Formal 2010, Banten: Dinas Pendidikan Propinsi Banten, 2010. Yus, Anita, Penilaian Perkembangan Bbelajar Anak TK, Jakarta: Kencana, 2011. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Hasbullah 28 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 PROGRAM PARENTING UNTUK MEMBENTUK KARAKTER ANAK USIA DINI DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Heru Kurniawan Risdianto Hermawan Dosen PGRA IAIN Purwokerto Email: heru_1982@ yahoo.com Abstract The importance of character building for children in Early Childhood Education Institution can be done in the form of parenting program. Parenting is one of activity which carried out between parents and school in discussing the growth process of children and their problems in order to be sustainable in receiving education either at school or home. Parenting club is also an effort to build character in early childhood more maximum, effective and efficient. Activities can be done in this program are: First, Parenting Gathering; Second, Learning Together; Third, One day with Parent; Fourth, Home Activities, and another activities which include into training and providing knowledge in educating and raising children well. Besides, in Parenting program can help educator and parents in order to be active in implementing character building Keywords: Character Building, Urgency of Character Building, Parenting Abstrak Pentingnya pendidikan karakter pada anak di lembaga PAUD dapat diwujudkan dalam bentuk program parenting. Parenting merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan antara orang tua dan pihak sekolah dalam membahas proses tumbuh kembang anak dan berbagi permasalahannya agar terjadi kesinambungan dalam pendidikan yang diterima baik di sekolah maupun di rumah. Parenting club juga sebagai upaya penanaman karakter pada anak usia dini yang lebih maksimal, efektif, dan efisien. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam program ini antara lain: Pertama, Parents Gathering; Kedua, Belajar Bareng; Ketiga, One day with Parent; Keempat, Home Activities, dan bisa kegiatan lainnya yang termasuk dalam pelatihan serta pemberian pengetahuan dalam mendidik dan mengasuh anak yang baik. Selain itu, dalam program Parenting dapat membantu pendidik dan orang tua agar aktif dalam kelancaran pendidikan karakter. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Urgensi Pendidikan Karakter, Parenting. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 29 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendahuluan Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini telah mengalami dinamika perubahan orientasi tentang tujuan pendidikan yang diharapkan, bahkan menghadapi keadaan yang mengarah pada persimpangan jalan. Banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan saat ini terjadi karena kurangnya pendidikan karakter atau pendidikan karakter yang terabaikan. Pada tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan karakter kurang diberikan dan pelaksanaannya kurang ditekankan. Salah satu penyebabnya yaitu sedikitnya komunikasi antara pihak lembaga pendidikan dengan pihak orang tua peserta didik. Maka dari itu, lembaga pendidikan mengadakan suatu program yang melibatkan peran orang tua di dalamnya, yaitu program parenting. Melalui program ini, pendidik memberikan pengetahuan dan pelatihan tentang cara implikasi dan kunci sukses kepada orang tua supaya anak memiliki kepribadian dan karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada makalah ini penulis akan memaparkan mengenai cara mengoptimalisasi pendidikan karakter melalui program parenting, selain itu juga akan dibahas mengenai implementasi program ini untuk membentuk karakter anak usia dini. Pengertian Pendidikan Karakter Istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap cirikarakteristik-gaya-sifat khas dari diri seeorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Namun karakter seseorang dapat saja berubah seperti proses perubahan seseorang dari baik menjadi jahat atau sebaliknya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa manusia memiliki daya-daya dinamis (bisa berubah), baik kebaikan maupun kejahatan. Kepemilikan atas daya dinamis ini, memberikan pendidikan karakter untuk menyempurnakan diri manusia. Dengan demikian, pendidikan karakter sebagai sebuah usaha manusia untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan. Pendidikan karakter merupakan hasil dari usaha manusia dalam mengembangkan dirinya sendiri.1 Parwez menurunkan beberapa definisi pendidikan karakter yang disimpulkan dari sekian definisi yang dipahami oleh para penulis barat saat ini. Definisi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Moralitas adalah karakter. Karakter merupakan sesuatu yang terukur dalam diri seseorang. Karakter merupakan kekuatan batin. Pelanggaran susila (amoralitas) juga merupakan karakter, tetapi untuk menjadi bermoral dan tidak bermoral adalah sesuatu yang ambigu; 2) Karakter adalah manifestasi kebenaran dan kebenaran adalah penyesuaian kemunculan pada realitas; 3) Karakter adalah mengadopsi kebaikan dan kebaikan adalah gerakan menuju suatu tempat kediaman. Kejahatan adalah perasaan gelisah yang tiada berjuang dari potensialitas tanpa sesuatu yang dapat dicapai, jika tidak mengambil arah namun juga tidak terjebak dalam ketidak tahuan, dan akhirnya semua sirna; 4) Dalam aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 30 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pengertian yang lebih umum, karakter adalah sikap manusia terhadap lingkungannya yang diekspresikan dalam tindakan. Dapat disimpulkan bahwa karakter adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang yang ditunjukan kepada orang lain melalui tindakan.2 Urgensi Pendidikan Karakter Situasi sosial, kultural masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang semakin mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dan lain-lain. Telah terjadi di pendidikan kita. Orde Baru telah memberikan sumbangan besar bagi berdirinya banyak Sekolah Dasar inpres pada tahun 80-an yang memberikan kesempatan besar bagi anak-anak didaerah untuk memperoleh akses pendidikan. Rupanya usaha nasional bagi perkembangan pendidikan nasional dengan adanya perbaikan sarana dan fasilitas pendidikan tidak disertai dengan kurikulum yang memadai sehingga sejak zaman orde baru sampai sekarang selalu bermain “bongkar pasang” kurikulum. Kita kenal berbagai macam jenis kurikulum seoerti cara belajar siswa aktif (CBSA), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan sekarng kurikulum 2013 (K.13).3 Pada masa setelah reformasi, situasi pendidikan nasional semakin parah. Kurikulum tetap berganti setiap pergantian menteri, dari kurikulum 2004 kekurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sementara itu ribuan sekolah SD inpres yang dibangun oleh orde Baru pada tahun 80-an mulai roboh. Dari segi politik pendidikan, pemerintah semakin tidak dapat memiliki daya tawar terhadap tuntutan persaingan global sehingga privatisasi semakin dipercepat terutama dibeberapa universitas negeri. Kebijakan politik pendidikan ini jelas semakin jauh dari pelayanan pada rakyat, sebab universitas negeri semakin menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Sekolah–sekolah kita sendiri banyak menyamai perilaku tidak adil dan kekerasan, baik karena intervensi dari pihak luar maupun dari kalangan insan pendidikan sendiri. Akibatnya para siswa, guru dan masyarakat yang menjadi korban. Banyak peristiwa yang mengkhawairkan yang terjadi dilingkungan pendidikan kita yang membuat dunia pendidikan semakin lumpuh. Kasus tindakan kekerasan yang dilakukan Bupati Kampar (Riau) telah memacetkan dunia pendidikan di Kampar selama beberapa minggu. Hal tersebut tentunya merugikan proses belajar siswa. Ada juga kasus guru yang diteror aparat keamanan dan dikecam pejabat pemerintahan karena bersikukuh mempertahankan sekolahnya yang digusur demi sebuah program bisnis. Para murid sekolahnya yang menjadi korban kekerasan dan kejahatan entah aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 31 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 itu karena konflik politik maupun karena perilaku kriminal biasa, melalui pembunuhan maupun pemerkosaan. Ada pula guru yang tega melecehkan anak didiknya secara seksual. Tentu saja berbagai macam demoralisasi di atas tidak semuanya terjadi karena proses salah didik dalam lembaga pendidikan kita. Kita percaya terlalu tinggi bahwa “segala segala sesuatu dapat dipelajari melalui pengajaran” Tidak setiap hal bisa dipelajari dan diatasi hanya dengan cara pergi ke sekolah. Sekolah bukanlah tempat penyembuh segala luka kemanusiaan. Lembaga pendidikan memang sejak dahulu memiliki peran penting bagi sumbangsih perjalanan peradaban umat manusia dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Melihat defisitnya sumbangan lembaga pendidikan dalam kerangka proses pembudayaan masyarakat kita, sudah sepantasnya bila sekolah mempertanyakan kembali programprogramnya dan mengevaluasinya melalui program-program yang sifatnya lintas kultural dalam pendidikan anak-anak Indonesia, Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi. Pendidikan karakter secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunikasi. Para siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar didalam kelas, orang tua gembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memilki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme didalam sekolah.4 Berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia tidak akan berkurang jika pendidikan karakter tidak segera diterapkan dalam konteks pendidikan. Baik secara langsung maupun dengan menciptakan sebuah lingkungan yang bersifat asuhsecara moral dalam lingkungan pendidikan. Lembaga pendidikan demikian ini akan membantu membangun sebuah masyarakat yang sehat dari pada sekedar mencetak para pekerja sosial, sukarelawan dan konselor yang membantu mengatasi kemunduran sosial dalam masyarakat.5 Pengertian dan Tujuan Parenting untuk Anak Usia Dini Sebelum kita mengetahui arti dari parenting, akan lebih baik jika kita mengetahui pengertian parenting. Parenting berasal dari bahasa Inggris yang berarti proses mengasuh anak atau pengasuhan. Parenting adalah suatu upaya pendidikan yang dilakukan oleh orang aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 32 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 tua atau keluarga, yang meliputi aktivitas-aktivitas seperti: memberi makan atau asupan nutrisi yang diberikan kepada anak, memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) sebagai usaha untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penggunaan kata “parenting” disebabkan karena belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk mewakili aktivitas-aktivitas dari proses interaksi antara orang tua dan anak. Kegiatan parenting dilakukan dalam keluarga karena keluarga merupakan tempat pertama di mana seorang anak mendapatkan pendidikan dan merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Untuk mewujudkan fungsi keluarga khususnya yaitu fungsi keluarga dalam bidang sosial dan pendidikan, kegiatan parenting dilakukan antara keluarga dan pihak sekolah (lembaga Pendidikan Anak Usia Dini) sehingga keluarga dapat menjadi mitra yang baik. Proses parenting juga tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja yaitu orang tua kepada anak, melainkan proses interaksi yang intensif dari kedua belah pihak. Ada berbagai usaha yang dilakukan oleh sekolah atau lembaga PAUD dalam menyadari pentingnya peran orang tua untuk menyukseskan pendidikan karakter pada anak, maka dibentuklah kelompok/perkumpulan orang tua siswa (parenting) yang didalam kelompok tersebut terdapat kegiatan-kegiatan positif yang melibatkan orang tua, guru dan siswa dalam upaya peningkatan wawasan orang tua dalam proses mendampingi tumbuh kembang anak.6 Jadi, program parenting yaitu kegiatan yang dilakukan antara orang tua dan pihak sekolah dalam membahas proses tumbuh kembang anak dan berbagi permasalahannya agar terjadi kesinambungan dalam rangka optimalisasi potensi anak. Kegiatan Parenting juga dilaksanakan untuk memberikan sosialisai tentang program-program yang diselenggarakan oleh lembaga PAUD. Secara umum tujuan program parenting adalah mengajak orang tua untuk bersamasama memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak. Selain itu program Parenting dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan, pengasuhan, dan pendidikan anak di dalam keluarga dengan berlandaskan dasar-dasar karakter yang baik. Selain itu, program parenting dilakukan oleh lembaga PAUD agar program sekolah dan program rumah dapat diselaraskan, sehingga pendidikan karakter yang ditanamkan di sekolah dapat ditindak lanjuti di lingkungan keluarga. Program ini akan meningkatkan kerjasama antara orang tua dan pihak lembaga PAUD dan dapat meningkatkan kompetensi guru. Program parenting dilakukan dengan memanggil/menghadirkan para ahli dalam bidang pendidikan anak usia dini. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengundang psikolog, dosen atau guru. Jadi, guru juga harus tetap meningkatkan kompetensi dan pengetahuan yang dimiliki. Program parenting juga dapat dilakukan dengan memasukkan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 33 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 beberapa kegiatan yang lain dengan maksud dan tujuan mempererat kerjasama antara pihak lembaga PAUD dengan orang tua. Implementasi Program Parenting Ilmu pendidikan masa silam senantiasa menganggap penting pelatihan dan pendidikan karakter. Meskipun tidak berhasil menjabarkan apa yang dimaksud dengan karakter atau menunjukan cara mendidiknya. Kesadaran mengenai pentingnya pendidikan karakter pun mulai diakui oleh masyarakat. Maraknya fenomena kenakalan pada anak pun sering kita jumpai dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan karakter sejak anak berusia dini. Bagaimana pentingnya masa-masa usia dini, sampai disebutkan bahwa masamasa anak usia dini merupakan masa the golden age moment atau masa-masa emas. Pada usia ini anak menyerap segala sesuatu yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan. Proses pendidikan pada anak usia dini (usia 0-6 tahun) sebaiknya selalu dipantau oleh orang tua atau guru, karena anak belum dapat memilih dan memilah informasi yang ia dapatkan dari alat panca inderanya. Tugas pokok orang tua yaitu membimbing, memberi stimulus dan mengawasi kegiatan anak. Dengan pemberian stimulus-stimulus yang mengarah kepada karakter yang baik, maka akan menghasilkan anak yang berkarakter baik pula nantinya. Begitu juga sebaliknya. Anak akan merekam di pikiran bawah sadar mereka sampai mereka dewasa kelak. Keajaiban yang terdapat pada otak anak usia dini inlah yang harus kita optimalkan agar otak anak dapat berkembang secara optimal dan berkarakter. Karakter sangatlah penting untuk ditanamkan sejak anak pada usia dini, karakter biasanya disebut juga dengan budi pekerti. Seseorang dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral didalamnya.7 Keberhasilan dalam pendidikan karakter biasanya besar dipengaruhi oleh keluarga, karena pada kenyataannya seorang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga dari pada di lingkungan sekolah atau pun sosialnya. Oleh karenanya, peran orang tua sangatlah besar terhadap pendidikan karakter anak. Selain itu guru juga memiliki kewajiban dalam mendidik dan menjadikan anak didiknya berkarakter. Telah kita ketahui bahwa guru dituntut untuk menjadikan anak didiknya menjadi anak yang berkarakter. Padahal jika kita lihat kenyataannya, guru memiliki waktu yang lebih sedikit jika dibandingan dengan orang tua yang memiliki banyak waktu untuk mendidik anak. Oleh karenanya, guru harus berinisiatif dalam mengatasi permasalahan tersebut. Program parenting club, merupakan salah satu program yang dirasa paling efektif dalam mengatasi permasalahan diatas. Dengan program Parenting ini akan terjalin komunikasi antara guru dengan orang tua anak didik sehingga akan menghasilkan suatu kerjasama antara guru dengan orang tua dalam mendidik anak. Dari sinilah akan terlaksana aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 34 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pendidikan yang optimal, yaitu pendidikan yang saling bersinergi di antara lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Pada hakikatnya, manusia belajar, tumbuh dan berkembang dari pengalaman yang dipeolehnya melalui kehidupan keluarga. Untuk sampai pada penemuan bagaimana ia menempatkan dirinya kedalam keseluruhan kehidupan dimana ia berada. Namun perkembangan manusia tidaklah dimulai dari suatu tabula rasa, melainkan mengandung sumber daya yang memiliki kondisi sosial kultural, fisik dan biologis yang berdeda-beda, yang tidak dapat dilihat terlepas dari kondisi sosial, kultural, fisik dan biologis dalam lingkunganya. Dengan demikian, selain sekolah dan guru, lingkungan keluarga dan orang tua juga memainkan peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak sejak lahir.8 Pada program parenting terdapat upaya pendidikan yang dilaksanakan oleh guru bersama dengan orang tua yaitu dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan sekitar yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Program ini juga berfungsi sebagai proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak. Orang tualah yang memiliki banyak waktu dalam mendidik anak melalui aktivitasaktivitas keseharian yang dicontohkan orang tua kepada anak serta pemberian keteladanan yang ditransformasikan melalui orang tua dan orang dewasa di lingkungannya. Dalam implementasinya, orang tualah yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan karakter anak. Berikut ini jenis-jenis program Parenting yang dapat dilaksanakan untuk lembagalembaga PAUD, diantaranya: 1) Parents Gathering. Parents Gatering adalah pertemuan orang tua dengan pihak lembaga PAUD yang difasilitasi oleh panitia program Parenting guna membicarakan tentang program-program lembaga PAUD dalam hubungannya dengan bimbingan dan pengasuhan anak di keluarga dalam rangka menumbuh-kembangkan anak secara optimal. Materi dalam pertemuan dapat berbagai hal tetang kebutuhan tumbuhkembang anak, misalnya: tentang gizi dan makna, tentang kesehatan, tentang pendidikan karakter, penyakit pada anak, dan sebagainya; 2) Foundation Class. Foundation Class adalah pembelajaran bersama anak dengan orangtua di awal masuk sekolah dalam rangka orientasi dan pengenalan kegiatan sekolah. Dilaksanakan pada minggu-minggu pertama anak-anak mulai masuk sekolah di tahun ajaran baru; 3) Seminar. Seminar adalah kegiatan dalam rangka program parenting, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan seminar. Misalnya dengan mengudang tokoh atau praktisi PAUD yang kompeten, pakar dongeng, phisikolog, dan lain-lain; 4) Hari Konsultasi. Hari Konsultasi adalah hari dengan kegiatan pertemuan konsultasi untuk orang tua yang dapat disediakan atau di buka oleh lembaga PAUD. Jumlah hari yang disediakan sesuai dengan tinggi rendahnya kasus atau jumlah orang tua yang melakukan konsultasi; 5) Field Trip. Field Trip adalah darmawisata, kunjungan wisata, atau kunjungan ke tempat-tempat yang menunjang kegiatan pembelajaran PAUD. Kegiatan kunjungan dilakukan bersama dengan orang tua. Misalnya kunjungan ke museum, kunjungan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 35 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 ke bandar udara, pelabuhan, atau tempat-tempat lain yang sesuai dengan tema dalam pembelajaran; 6) Home Activities. Home Activities adalah aktivitas di rumah dibawa ke sekolah, yaitu membawa orang tua untuk menginap di sekolah. Hal tersebut bisa dilakukan dengan kegiatan perkemahan di lapangan apabila di sekolah tidak mampu menyediakan tempat menginap. Kegiatan yang dilaksakan adalah bimbingan bagaimana kegiatan dirumah yang baik untuk mendidik anak, dan menciptakan situasi yang kondusif untuk anak di rumah; 7) Cooking on The Spot. Cooking on The Spot adalah anak-anak belajar menyiapkan masakan, menyajikan makanan dengan bimbingan guru atau bersama dengan orang tua; 8) Bazar Day. Bazar Day adalah menyelenggarakan bazar di lembaga PAUD, Anak-anak menampilkan karyanya yang dijual pada orang tua atau umum; 9) Mini Zoo. Mini Zoo adalah menyelenggarakan kebun binatang mini di sekolah, yaitu anak-anak membawa binatang kesayangannya atau binatang peliharaannya di rumah ke lembaga PAUD; dan 10) Home Education Video. Home Education Video adalah mengirimkan rekaman kegiatan pembelajaran anak-anak di lembaga PAUD pada orang tua dalam bentuk keping CD/DVD, agar dapat disaksikan dan dipelajari juga orang tua di rumah. Arti Penting Keluarga dan Kunci Sukses Pendidikan Karakter Bagi Anak Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Mereka berada dalam keluarga sejak dalam kandungan sampai menjelang pernikahan. Oleh karena itu peranan keluarga sangat penting dalam perjalanan seorang anak. Hal tersebut melatarbelakangi lembaga pendidikan anak usia dini merancang acara yang melibatkan peran orang tua di dalamnya, yaitu parenting club. Pendidikan karakter harus dilaksanakan sejak usia dini, karena usia dini merupakan, periode perkembangan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal diatas seringkali disebut dengan masa golden age. Maka dari itu, dengan diadakannya program seperti ini di setiap lembaga pendidikan anak usia dini, akan sangat memudahkan pendidik dalam upaya penanaman karakter pada anak untuk menjadi lebih maksimal, efektif, dan efisien. Untuk menyukseskan acara ini, peran orang tua sangatlah dibutuhkan, karena di dalam parenting club ada berbagai macam kegiatan yang melibatkan peran orang tua di dalamnya, seperti Pengajian Jumatan yang diadakan setiap hari Jumat minggu ke-1, belajar bareng hari sabtu yang diadakan setiap bulan di hari Sabtu dan Minggu ke-2, gerakan orang tua cinta buku, yakni peminjaman buku perpustakaan oleh orang tua seminggu 1x setiap jumat bersamaan dengan saat orang tua mengantar atau menjemput putra-putri mereka, dan di hari Sabtu saat kegiatan pertemuan orang tua, dan one day with parent, yaitu sehari bersama orang tua di sekolah. Kegiatan positif ini sangat membantu orang tua dalam upaya peningkatan wawasan dan membantu dalam proses pendampingan tumbuh kembang anak. Selain itu dengan adanya aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 36 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kegiatan parenting club di sekolah-sekolah akan membuat orang tua ikut aktif dalam proses pendidikan anak usia dini. Selain peran aktif orang tua kegiatan ini juga meningkatkan kompetensi guru, dalam pelibatannya sebagai nara sumber kegiatan. Agar kegiatan parenting club senantiasa berjalan baik dan berkesinambungan, hendaknya para pendidik menjalin kerja sama yang baik antara guru dan orang tua, untuk mendapatkan pendidikan karakter yang berkesinambungan baik dirumah maupun di sekolah. Karena Proses kegiatan belajar mengajar di TK bertitik tumpu pada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua, sehingga para orang tua bisa mengetahui program-program sekolah dan tujuannya, serta untuk memupuk rasa percaya dari orang tua kepada sekolah. Dengan adanya komunikasi yang baik dari sekolah pada orang tua, hendaknya orang tua mampu mengikuti kegiatan parenting club dengan baik pula, sehingga roda keberlangsungan kegiatan ini di sebuah lembaga sekolah tidak hanya bergantung pada satu figure saja yaitu pendidik atau guru. Tetapi orang tua juga bisa disiapkan untuk menggantikan posisi pendidik di sekolah bila saatnya anak berada di lingkungan dirumah. Sebagai seorang pendidik hendaknya guru selalu meningkatkan wawasan dan memperbarui pengetahuan agar dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang baru kepada peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar peserta didik dapat bermanfaat pada masyarakat sekitar. Karena kebanyakan orang tua siswa, kurang menambah wawasannya mengenai pendidikan anak usia dini, mereka lebih mengandalkan peran pendidik di sekolah. Padahal Orang tua hendaknya mampu memberikan pengetahuan dan mampu menjadi teladan yang baik bagi anaknya dalam lingkungan keluarga untuk menanamkan pendidikan karakter. Di samping menjadi seorang pendidik yang baik, pendidik juga harus memiliki kemampuan kepemimpinan (leadership) yang baik. Untuk memimpin sebuah tim dalam acara parenting club, dengan kemampuan merasa mampu tampil di hadapan publik. Maka pendidik juga pasti dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua. Untuk menekan biaya promosi lembaga pendidikan dan biaya acara parenting, karena dengan komunikasi yang baik dari pendidik maka akan tumbuh rasa loyalitas para orang tua pada sekolah, sehingga mereka akan dengan suka cita ikut serta mempromosikan pendidikan pada orang– orang yang di kenal. Selain itu orang tua juga tidak akan ragu untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang adala didalam parenting club. Dalam kegiatan parenting club, pemberdayaan masyarakat sekitar, sangatlah penting dilakukan, karena dengan melibatkan masyarakat pada proses kegiatan parenting club. Hat tersebut akan membuat interaksi dengan masyarakat sekitar makin terjalin dengan baik dan maksimal. Kemudian sebagai masyarakat hendaknya mendukung segala tujuan pembelajaran yang hendak dicapai oleh lembaga pendidikan, agar senantiasa beriringan dan tujuan pendidikan bisa dijalankan secara maksimal pula. Dalam kegiatan parenting club pun, hendaknya pendidik senantiasa memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan aktualisasi diri dimulai dari lingkungan terkecil aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 37 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 yaitu orang tua/wali murid. Jika kegiatan ini berjalan dengan baik maka hal ini adalah salah satu dari kelebihan dari potensi yang guru miliki.Tujuan akhir dari semua kegiatan hendaklah dilandaskan pada uapaya untuk selalu meningkatkan kulaitas sumber daya manusia yang ada baik itu pendidik, siswa maupun orang tua Jika semua kegiatan sudah terlaksana, hendaknya pendidik melakukan evaluasi mengenai pelaksanaan parenting club, untuk mengetahui apakah kegiatan-kegiatan di dalamnya, sudah mampu memberikan bukti nyata berkaitan dengan tumbuh kembang pendidikan karakter anak. Penutup Pendidikan karakter harusnya diberikan sejak dini, karena perkembangan anak sedang berlangsung sangat cepat. Sehingga, pendidikan karakter secara sistematis dapat diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunikasi. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mulai dari lembaga pendidikan pra-sekolah mulai melakukan kerja sama dengan pihak keluarga melalui berbagai program yang diberikan. Salah satunya yaitu program parenting. Kegiatan positif yang melibatkan orang tua, guru dan siswa dalam upaya peningkatan wawasan orang tua dalam proses mendampingi tumbuh kembang anak.9 Jadi, program parenting club yaitu kegiatan yang dilakukan antara orang tua dan pihak sekolah dalam membahas proses tumbuh kembang anak dan berbagi permasalahannya agar terjadi kesinambungan dalam rangka optimalisasi potensi anak. Kegiatan parenting juga dilaksanakan untuk memberikan sosialisai tentang program-program yang diselenggarakan oleh lembaga PAUD. Secara umum tujuan program ini adalah mengajak orang tua bersama-sama untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak. Selain itu program parenting dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan, pengasuhan, dan pendidikan anak di dalam keluarga dengan berlandaskan dasar-dasar karakter yang baik. Pada program parenting club terdapat upaya pendidikan yang dilaksanakan oleh guru bersama dengan orang tua yaitu dengan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan sekitar yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Banyak hal-hal yang dapat dilaksanakan di sebuah lembaga PAUD yaitu seperti pengajian jumatan yang diadakan setiap hari Jumat minggu ke-1, belajar bareng hari Sabtu yang diadakan setiap bulan di hari Sabtu minggu II, gerakan orang tua cinta buku (Peminjaman buku perpustakaan oleh orang tua seminggu 1x setiap jumat bersamaan dengan saat orang tua mengantar atau menjemput putra-putri mereka, dan di hari Sabtu saat kegiatan pertemuan orang tua), dan one day with parent, yakni sehari bersama orang tua di sekolah. Kegiatan positif ini sangat membantu orang tua dalam upaya peningkatan wawasan dan membantu dalam proses pendampingan tumbuh kembang anak. Dalam kegiatan parenting aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 38 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pun, hendaknya pendidik senantiasa memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan aktualisasi diri dimulai dari lingkungan terkecil yaitu orang tua/wali murid. Catatan Akhir 1 Doni, Koesoema A., Pendidikan Karakter (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar, dan Implementasi, (Jakarta: Kencana, 2014), hh.7-8. 3 Doni, Koesoema A., Op.Cit., h.112 4 Ibid, h.116 5 Ibid, h.118 6 Fauziah, “Optimalisasi Pendidikan Karakter di TK Al Falah Surabaya Melalui Parenting”, dalam EJurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Vol 1, hal 4 7 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007). 8 Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, (Jakarta: PT Indeks, 2008). 9 Fauziah, “Optimalisasi Pendidikan Karakter di TK Al Falah Surabaya Melalui Parenting”, dalam EJurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Vol 1, hal 4 2 Daftar Pustaka R. Semiawan, Conny, Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, Jakarta: PT Indeks, 2008. Doni, Koesoema A, Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Grasindo, 2010. Fauziah. “Optimalisasi Pendidikan Karakter di TK Al Falah Surabaya Melalui Parenting”, dalam E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Vol 1 Yaumi, Muhammad, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar, Dan Implementasi, Jakarta: Kencana, 2014. Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 H. Kurniawan, dkk. 39 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 BERMAIN SEBAGAI METODE PEMBELAJARAN UTAMA ANAK RAUDHATUL ATHFAL Imroatun Dosen PGRA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: ubi.affan@ gmail.com Abstract Children who enter Islamic Kindergarten education are children in preschool age, they are between four to seven years old. In the new environment and different from family environment, children begin to feel a more formal environment situation where children obtain education which aims to development and maturation of basic potentials which children have had. Playing is one of approach and learning model in Islamic Kindergarten to develop existing potential and aspect in children. Some education efforts which given by educator should be done in pleasant situation. Using strategy, method, material, attractive media as well as easy procedures followed by children. Through playing, children are invited to explore, discovering, and employing objects which is close to children’s environment. So, learning process becomes more meaningful. Keywords: Playing, Method, Learning, Islamic Kindergarten Abstrak Anak-anak yang memasuki pendidikan Raudlatul Athfal (RA) adalah anak-anak di usia prasekolah yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun. Di lingkungan yang baru dan berbeda dengan lingkungan keluarga, anak mulai merasakan situasi lingkungan yang lebih formal dimana anak memperoleh pendidikan yang bertujuan untuk pengembangan dan kematangan potensi-potensi dasar yang telah anak miliki. Bermain merupakan salah satu pendekatan dan metode pembelajaran di RA untuk mengembangkan potensi dan aspek yang ada pada diri anak. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Menggunakan strategi, metode, materi/ bahan, media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak-anak. Melalui bermain, anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak. Sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Kata kunci: bermain, metode, pembelajaran, raudhatul athfal aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 40 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendahuluan Usia belajar di Raudhatul Athfal (RA) merupakan periode yang sangat penting dalam perkembangan seorang anak karena interaksi sosial yang terjadi pada masa tersebut akan menentukan dasar sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan orang lain, kelompok maupun dengan kehidupan sosial secara luas.. Pada usia ini juga di kenal dengan periode emas sekaligus merupakan periode kritis bagi anak dimana perkembangan yang didapatkan pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga masa dewasanya. Periode ini hanya datang sekali dan tidak dapat ditunda kehadirannya, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangya.1 Sudjud mengkategorikan masa-masa awal anak memperoleh pendidikan formal itu sebagai masa strategis sekaligus kritis. Masa ini disebut strategis karena masa ini merupakan masa peka untuk memperoleh keberhasilan dalam kehidupannya dan dikatakan masa kritis apabila anak usia prasekolah ini tidak memperoleh stimulan dan perlakuan yang tepat, maka perkembangan anak tersendat dan tidak sesuai tahapan perkembangannya.2 Pada periode kritis ini anak juga memerlukan berbagai asupan terutama yang mencakup aspek gizi, kesehatan dan pendidikan yang merupakan pilar utama pengembangan anak usia RA, mengingat ketiga aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas anak di kemudian hari. Anak-anak yang memasuki pendidikan RA adalah anak-anak di usia prasekolah yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun. Di lingkungan yang baru dan berbeda dengan dengan lingkungan keluarga, anak mulai merasakan situasi lingkungan yang lebih formal dimana anak memeperoleh pendidikan yang bertujuan untuk pengembangan dan kematangan potensipotensi dasar yang telah anak miliki. Di sekolah, anak mengalami perkembangan intelektual, fisik, kognisi dan emosi. Di samping itu, pada masa tersebut anak mulai belajar melakukan hubungan sosial dengan cara bergaul dengan teman sebaya. Interaksi yang terbentuk di masa-masa pendidikan prasekolah akan menentukan sikap dan perilaku dalam berhubungan dengan orang lain pada masa perkembangan sosial pada tahap selanjutnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock, bahwa perkembangan perilaku sosial tersebut diperlukan selain pengembangan akademik. Pendidikan di usia prasekolah tidak hanya meningkatkan salah satu ranah akademik saja tetapi selayaknya juga mengembangkan ranah sosial untuk mengembangkan pribadi anak secara totalitas. Dunia anak adalah dunia bermain sehingga tidak terbayangkan bagaimana jadinya apabila anak melalui hari-harinya tanpa kegiatan bermain. Dalam permainan anak dapat berbagi perasaan, kegembiraan atau kesedihan dengan sebaya atau gurunya saat bermain. Hampir semua kandungan kecakapan sosial dapat dimasukkan ke dalam format permainan melalui cara yang sederhana. Seorang guru dapat menggunakan serangkaian permainan untuk melatih kecakapan sosial misalnya; meminjam dan mengembalikan barang seseorang dengan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 41 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 benar. Ketika bermain, harapan, perhatian dan ketakutan anak dapat diekspresikan. Bermain juga menunjang perkembangan konsep diri yang positif dan juga membangun kepercayaan yang memungkinkan si kecil dapat melakukan banyak hal sesuai dengan pandangan dan harapannya (pintar melalui bermain). Namun semua bentuk permainan tidak selalu berfungsi dalam pengembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, kreativitas dan kecakapan sosial anak. Dalam kenyataan kehidupan masyarakat, sebagian orang tua memberikan permainan yang lebih memfokuskan pada perkembangan kognisi, tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak untuk interaksi dengan teman-temannya. Mereka memberikan permainan elektronik seperti video game, play station dan jenis-jenis permainan individual lainnya sehingga anak kurang dapat mengembangkan penyesuaian pribadi dan sosial anak. Pengertian Bermain Permainan, bermain dalam bahasa Inggris disebut “games” (kata benda), “to play” (kata kerja), “toys” (kata benda) ini berasal dari kata “main”. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata main berarti melakukan perbuatan untuk tujuan bersenang-senang (dengan alat alat tertentu atau tidak); berbuat sesuatu dengan dengan sesuka hati, berbuat asal saja. Dalam dunia psikologi kegiatan bermain dipandang sebagai suatu kegiatan yang mengandung keasyikan (fun) dan dilakukan atas kehendak diri sendiri, bebas, tanpa paksaan dengan tujuan untuk memeroleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut.3 Bermain merupakan kegiatan utama yang dilakukan anak dalam melakukan interaksi dengan lingkungan untuk membentuk pengetahuannaya. Bermain adalah suatu aktivitas spontan dimana seorang anak menggunakan orang lain atau benda benda di sekitarnya dengan senang , sukarela dan penuh imajinatif dan juga menggunakan perasaan, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya. Bermain dilakukan oleh anak anak atas dasar inisiatif dan keputusan sendiri dengan dukungan orang dewasa. Bagi mereka , bermain menjadi sarana untuk mengubah kekuatan potensial di dalam dirinya mencapai berbagai kemampuan dan kecakapan actual. Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan, bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan , bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru.4 Melalui permainan , anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spiritual. Oleh karena itu , bermain bagi anak usia RA merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek. Garvey dalam buku Perkembangan Kepribadian Anak memberi kriteria tertentu dalam mendefinisikan permainan yaitu: a) permainan merupakan aktivitas yang menggembirakan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 42 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 dan menyenangkan, b) permainan tidak mempunyai tujuan ekstrinsik. Motivasi anak bersifat subjektif dan tidak mempunyai tujuan praktis, c) permainan merupakan hal yang spontan dan sukarela, dipilih secara bebas oleh pemain, d) permainan memerlukan keterlibatan aktif para pemain. 5 Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak RA. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Menggunakan strategi, metode, materi/ bahan, media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak-anak. Melalui bermain, anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak. Sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Upaya mengembangkan anak RA mempunyai cara tersendiri. Berbeda dengan anak usia sekolah di mana kegiatan pengembangan anak sudah lebih ditujukan pada pengembangan kemampuan akademik, maka pada anak usia RA, kegiatan lebih ditujukkan untuk mengembangakan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan kreativitas yang diperlukan oleh anak untuk hidup di lingkungan masyarakatnya, selain mempersiapkan diri untuk masuk sekolah. Jadi, upaya pengembnagan anak pada usia RA lebih ditujukan untuk mengembangankan anak secara utuh, menyeluruh, yaitu mengoptimalkan perkembangan sosial, intelektual, bahasa, eemosi dan fisik anak. Berdasarkan sejumlah pengertian dan definisi tersebut di atas, maka yang dimaksud pengertian permainan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan dan dapat mencerminkan kemampuan kognisi, emosi dan sosial anak dalam mengulang pengalaman dan berfantasi serta menangkap rangsangan melalui afeksinya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar atau berdasarkan latar belakang budaya anak. Macam-macam Permainan Jenis permainan berdasarkan bentuk aktivitas dan tingkah laku yang dominan terdiri dari empat tipe, antara lain: 1) Bermain Fisik. Penekanan pada aksi, melibatkan banyak aktivitas fisik. Bertujuan membantu anak meningkatkan ketrampilan fisik atau belajar menggunakannya dalam situasi baru. Bermain fisik mengandung komponen dramatik, bisa dielaborasi dengan membuat aktivitas fisik lebih menantang atau menambahkan unsur sosial. Sekecil apapun bentuk keterlibatan apabila memerlukan kerja otot fisik termasuk gerakangerakan dengan tanpa disadari maupun untuk tujuan tujuan tertentu seperti melatih fungsi organ tubuh maupun melatih pancaindera, contohnya melemparkan sesuatu, menggerakkan kaki, meremas remas benda, dan seterusnya; 2) Bermain Manipulatif. Penekanan pada usaha untuk memanipulasi, mengontrol obyek dan situasi, misalnya menggunakan obyek untuk menghasilkan suatu efek. Contoh bermain manipulatif adalah: puzzle, materi konstruktif atau materi alami; 3) Bermain simbol atau dramatik. Melibatkan manipulasi terhadap realitas, penggunaan bahasa untuk simbolisasi. Dalam bermain dramatik, anak mengadopsi dan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 43 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 memainkan suatu peran bersama anak-anak lain dalam situasi yang sering merupakan representasi dari pengalaman hidup mereka. Situasi, peristiwa, identitas obyek atau orang, bahkan sikap dan emosi bisa diubah demi permainan ini. Transformasi tersebut bisa diwujudkan melalui bahasa, penggunaan obyek nyata, atau melalui tindakan. Bermain simbol-dramatik mempunyai beberapa elemen, yaitu: a) bermain dengan melakukan imitasi. Anak bermain pura-pura dengan melakukan peran orang di sekitarnya, dengan menirukan tingkah laku dan pembicaraannya, b) bermain peran dengan menirukan gerakan. Misalnya : bermain menirukan pembicaraan antara guru dan murid atau orang tua dengan anak, c) persisten, anak melakukan kegiatan bermain dengan tekun paling sedikit selama 10 menit, d) interaksi, paling sedikit ada dua orang dalam satu adegan, e) komunuikasi verbal. Pada setiap adegan ada interaksi verbal antar anak yang bermain; dan 4) Permainan (games). Permainan bersifat terstruktur, ada pembagian peran dan peraturan spesifik yang harus dipatuhi anak. Permainan sangat beragam, mempunyai aturan dan menuntut partisipasi minimal dua orang anak. Permainan mengisyaratkan interaksi sosial, anak harus memahami konsep berbagi, menunggu giliran, jujur, menang dan kalah untuk dapat terlibat secara efektif. Bermain Sebagai Metode Pembelajaran Utama Anak Raudhatul Athfal Manusia dikenal dengan sebutan homuluden atau makhluk bermain, permainan selalu ada pada setiap tingkat usia manusia namun aktivitas ini seringkali dianggap sebagai suatu bagian yang bersifat alamiah bagi seorang anak. Gambaran seorang anak akan terlintas apabila melihat sebuah permainan, maka pernyataan bahwa sesungguhnya dunia anak adalah dunia bermain adalah ungkapan yang tidak berlebihan, seperti yang diutarakan oleh Hurlock, masa awal kanak-kanak adalah sebagai usia bermain, karena anak-anak menghabiskan sebagian waktunya juga bermain dengan mainannya. Penyelidikan tentang permainan akan menunjukkan bahwa bermain dengan mainan mencapai puncaknya pada tahun-tahun awal masa kanak-kanak, kemudian mulai menurun pada saat anak mencapai usia sekolah.6 Miller dalam Mulyadi berpendapat bahwa setiap anak memiliki insting untuk bermain yaitu kebutuhan untuk berkreativitas dalam pola tertentu yang sangat membantu proses pertumbuhan dan perkembangannya. 7 Hurlock menyatakan bahwa permainan merupakan kegiatan pokok dalam masa kanak-kanak, yang merupakan sarana improvisasi dan kombinasi serta sebagai sarana pertama anak memahami aturan-aturan sesuai kendali budaya yang ada.8 Adapun Freud dan Erikson menyatakan bahwa permainan adalah bentuk khusus penyesuaian diri manusia dan membantu anak mengatasi kecemasan konflik. Sedangkan Piaget mengartikan permainan merupakan medium yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Piaget yakin bahwa struktur kognitif perlu memperoleh latihan, dan permainan adalah lahan yang subur untuk berlatih.9 Beberapa ahli pendidikan menganggap bahwa bermain sebagai suatu kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai metode pembelajaran untuk aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 44 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 menguatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak, dan bermain sendiri memiliki manfaat yang positif bagi anak, di antaranya: 1) Mengembangkan aspek fisik. Dalam bermain, anak berkesempatan melakukan kegiatan yang melibatkan gerakan-gerakan tubuh yang membuat tubuh anak sehat dan otot-otot tubuh menjadi kuat; 2) Mengembnagkan aspek motoric halus dan kasar. dalam bermain dibutuhkan gerakan dan koordinasi tubuh (tangan kaki, mata dan anggota tubuh yang lain); 3) Mengembangkan emosi kepribadian. dalam bermain anak dapat melepaskan ketegangan yang ada dalam dirinya dan dapat menyalurkan perasaan yang membuat anak lega dan relaks; 4) Mengembngkan aspek kognisi. Dalam bermain, anak dapat belajar dan mengembangkan daya pikirnya; 5) Mengembngkan alat indera. Dalam bermain, penginderaan anak (penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan) diasah , sehingga anak lebih tanggap atau peka terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya; 6) Mengembangkan ketrampilan olah raga dan menari; 7) Sebagai media terapi, karena selama bermain perilaku anak akan tampil lebih bebeas dan bermain adalah suatu yang alamiah pada diri anak; 8) Sebagai media intervensi. Bermain dapat melatih konsentrasi (pemusatan perhatian pada tugas tertentu) seperti melatih konsep dasar warna, bentuk dan lain-lain;10 9) Dalam bulletin seloka. Dijelaskan bahwa bermain penuh nilai positif akan penanaman moral dan pengembnagan kemampuan social anak seperti pentingnya kerjasama, saling berbagi, kejujuran, saling percaya dan kekompakan. Di samping itu sebenarnya tujuan bermain (permainan) adalah agar anak dari waktu masih kecil ditanamkan rasa persaudaraan dan persatuan, rasa senasib dan sepenangunggan yang kita harus jaga demi kelangsungan bangsa.11 Permainan yang diselenggarakan dalam pembelajaran di RA dapat meningkatkan berbagai kompetensi perkembangan siswa. Ralibi dalam bukunya Fun Teaching, menjelaskan kompetensi perkembangan anak melalui metode bermain, yaitu antara lain: 1) Self Awareness, kemampuan anak untuk menyaddari emosi dan pikiran di dalam dirinya serta menyadari tindakan apa yang harus dilakukan ; 2) Self Direction, kemampuan anak dalam menggunakan pilihan pilihan untuk menghadapi persoalan; 3) Self Management, kemampuan anak untuk mengelola persoalan atau tugasnya secara mandiri; 4) Empathy, kemampuan anak untuk menyadari emosi yang dirasakan oleh orang lain ; 5) Assertive, kemampuan anak dalam mengkondisikan diri di antara perilaku submisif (cenderung mengikuti) dan agresif ; 6) Followership, kemampuan anak lam dmemosisikan diri untuk dipimpin oleh orang lain ; 7) Creative Thinking, kemampuan berfikir anak dengan cara memadukan pengalaman pikiran dan tindakannya dalam menghadapi persoalan; 8) Team Work, kemampuan anak untuk bekerjasama dengan temannya; 9) Problem Solving, kemampuan anak dalam memecahkan masalah; 10) Oppenes, kemampuan anak membuka diri terhadap orang lain; 11) Team Spirit, kemampuan anak menghidupkan semangat secara kolektif; 12) Effective Communication, kemampuan anak berinetraksi dengan orang lain baik verbal maupun non verbal; 13) Self Communication, kemampuan anak untuk berinteraksi dengan temannya baik secara verbal aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 45 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 maupun non verbal; dan 14) Self motivation, kemampuan anak dalam memacu motivasi di dalam diri.12 Untuk mencapai manfaat positif dari bermain maka dibutuhkan alait permainan yang tepat. Untuk itu pendidik perlu memahami karakteristik pemilahan alat dan bahan permainan yang akan disiapkan untuk anak, yaitu antara lain: 1) Permainan yang mengundang perhatian anak, dapat memuaskan kebutuhan anak, menarik minat dan menyentuh perasaan anak, baik warna, jenis, ukuran, bentuk ataupun berat; 2) Pilih alat atau bahan yang mencerminkan karakteristik tingkat usia anak; 3) Alat dan bahan permaianan yang memiliki unsur multiguna, yakni dapat memenuhi seluruh aspek perkembangan anak dan dapat dipergunakan secara fleksibel dan serbaguna; 4) Alat permaianan sebbaiknya beraneka macam sehingga anak dapat bereksplorasi dengan berbagai macam alat permainan; 5) Pilih bahan yang dapat memperluas kesempatan anak untuk menggunakannya dengan berbagai cara. Tingkat kesulitan sebaiknya disesuaikan dengan usia anak; 6) Peralatan mainan tidak terlalu rapu; 7) Pilih bahan yang tidakmembedakan jenis kelamin; 8) Pilih alat dan bahan yang sesuai dengan filsafat dan nafs pendidikan. Alat dan bahan ini sering disebut APE (Alat Permainan Edukatif).13 Para ahli pendidikan Islam mengaitkan pengertian permainan dengan kaitan penegakan akidah anak, bermain adalah kebiasaan lahiriyah dari insting bagi anak kecil, hal ini merupakan anugerah yang telah diberikan Allah SWT untuk membantu pertumbuhan dan pembentukan jiwa dan raganya secara natural.14 Oleh karena itu, diperlukan wawasan yang luas bagi pendidik untuk menggali kemampuannya dalam memilih permainan yang kreatif, inovatif, tepat sasarn, sarat makna dan harus tetap menyenangkan. Dunia bermain adalah kenyataan yang merupakan temuan anak-anak dalam interaksinya dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, dunia bermain merupakan hasil transformasi anak terhadap kenyataan. Kegiatan bermain juga memberikan pengalaman kepada anak untuk membangun dunia tersendiri yang dapat dihuninya sambil terus memekarkannya melalui berbagai fungsi fisik, mental dan emosional. Hal ini berarti dunia bermain bagi seorang anak merupakan pengalaman yang bernilai bagi kehidupannya. Di mata anak-anak, ada beberapa alasan mengapa bemain sebagai salah satu metode pembelajaran utama. Menurut Sudono,15 beberapa alasan tersebut antara lain: 1) Anak-anak membutuhkan pengalaman yang kaya, bermakna dan menarik ; 2) Otak anak senang pada sesuatu yang baru dan hal-hal baru yang menantang dan menarik ; 3) Rangsangan otak sensori multimedia penting dalam pembelajaran; 4) Anak biasanya senang bergerak, jadi pendidik seharusnya memasukkan gerak dalam pembelajaran; 5) Berikan kegiatan yang membuat siswa dapat mengulang pembelajaran tanpa rasa bosan dan jenuh; 6) Bermain adalah hal yang menyenangkan untuk anak. Kesimpulan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 46 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Bermain adalah suatu kegiatan yang mempunyai nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai metode pembelajaran untuk menguatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak, dan bermain sendiri memiliki manfaat yang positif bagi anak. Dunia bermain adalah kenyataan yang merupakan temuan anak-anak dalam interaksinya dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, dunia bermain merupakan hasil transformasi anak terhadap kenyataan. Kegiatan bermain juga memberikan pengalaman kepada anak untuk membangun dunia tersendiri yang dapat dihuninya sambil terus memekarkannya melalui berbagai fungsi fisik, mental dan emosional. Catatan Akhir 1 Imas Kurniasih, Pendidikan anak Usia Dini, (Edukasia, 2009), h.11 A. Sudjud, “Paradigma Baru Pendidikan Anak Usia Dini”, Makalah PAUD, (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1998), h.24 3 Dani Wardani, Bermain sambil Belajar, (Edukasia, 2009), hh.17-18 4 Imas Kurniasih, Pendidikan Anak Usia Dini, (Edukasia, 2009), h.115 5 P. H. Mussen, dkk., Perkembangan dan Kepribadian Anak, (Jakarta: Erlangga, 1988), hh.157-158 6 E.B. Hurlock, Perkembangan Anak, Edisi Keenam, 2 Jilid, (Jakarta: Erlangga, 1997), h.108 7 S. Mulyadi, Kembalikan Dolanan Tradisional Anak Kita, Artikel dalam Republika, 1 Desember 1999 8 Hurlock, Perkembangan..., hh.322-323 9 Hadis, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktort Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru Universitas Indonesia, 1996), hh.42-143 10 Imam Makruf, dkk., Modul Guru Kelas Raudhatul Athfal, Modul Bahan Ajar PLPG (Jakarta: kemenerian Agama Republik Indonesia, 2015), hh.185-186 11 "Dolanan", Buletin Seloka Art and Culture “Buletin Kebudayaan”, edisi 11, Diterbitkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Gadjah Mada, 2005, h.2 12 Ralibi, Fun Teaching, (Bekasi: Duha Khazanah, 2008), h.23 13 Yayah Kusbudiah, Metode Pembelajaran Anak Usia Dini Melauli Permainan, Jurnal , kemeneg balai diklat keagamaan bandung, 20 Agustus 2014 14 M.S. Mursi, Seni Mendidik Anak,(Jakarta: Ar-Royan, 2001), h.164 15 Anggani Sudono, Sumber Belajar dan Alat Permainan Untuk Anak usia Dini, (Jakarta: Grasindo, 2004), h.20 2 Daftar Pustaka Dolanan, Buletin Seloka Art and Culture “Buletin Kebudayaan”, edisi 11, Diterbitkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Gadjah Mada, 2005. Hadis, F.A., Psikologi Perkembangan, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru Universitas Indonesia, 1996. Hurlock, E.B. Perkembangan Anak, , Edisi Keenam, 2 Jilid, Jakarta: Erlangga, 1997. Kurniasih, Imas., Pendidikan Anak Usia Dini, Edukasia, 2009. Kusbudiah ,Yayah., Metode Pembelajaran Anak Usia Dini Melauli Permainan, Jurnal, Kemeneg Balai Diklat Keagamaan Bandung, 20 Agustus 2014. Makruf, Imam. dkk., Modul Guru Kelas Raudhatul Athfal, Modul Bahan Ajar PLPG, Jakarta: kemenerian Agama Republik Indonesia, 2015 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 47 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Mulyadi, S., Kembalikan Dolanan Tradisional Anak Kita, Artikel dalam Republika, 1 Desember 1999. Mursi, M.S, Seni Mendidik Anak, Jakarta: Ar-Royan, 2001. Mussen, P. H. dkk., Perkembangan dan Kepribadian Anak, Jakarta: Erlangga, 1988. Ralibi, Fun Teaching, Bekasi: Duha Khazanah, 2008. Sudjud, A., “Paradigma Baru Pendidikan Anak Usia Dini”, Makalah PAUD, IKIP Yogyakarta, 1998. Sudono, Anggani, Sumber Belajar dan Alat Permainan Untuk Anak usia Dini, Jakarta: Grasindo, 2004. Wardani, Dani., Bermain sambil Belajar, Edukasia, 2009. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Imroatun 48 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 PEMBELAJARAN SAINS PADA ANAK RAUDHATUL ATHFAL Juhji Dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: juhji.alix@g mail.com Abstract The objective of this essay is to describe science learning for Islamic Kindergarten children, started with introduction of the nature of science, introduction of science for children, the role of children’s brain, the objectives of science learning, the approaches of science learning, and the materials of science for Islamic Kindergarten children. Introduction of science of Islamic Kindergarten more emphasizes on process through scientific method which include observation, problem solving, doing experiment, data analysis, and drawing inference. Science study also develops children’s spiritual quotient, observation, clarification, measurement, using numbers, empathy, and intrapersonal. The objective of science study for Islamic Kindergarten is to develop cognitive, affective and psychometric of children as a whole. The approach of science learning which can be used as a guidelines in developing science learning for children include: situational approach, separated approach, and integrated approach. Several materials can give first-hand experience among others: recognizing motion, liquid, scales, resilience objects, stars, and playing bubbles. Keywords: Science Learning, Approach, Islamic Kindergarte Abstrak Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran sains pada anak raudhatul atfhal mulai dengan mengenalkan hakikat sains, pengenalan sains pada anak, peran otak anak, tujuan pembelajaran sains, pendekatan pembelajaran sains, dan materi-materi sains bagi anak raudhatul athfal. Pengenalan sains pada anak TK/RA lebih menekankan pada proses melalui metode ilmiah yang meliputi observasi, problem solving, melakukan percobaan, analisa data, serta mengambil kesimpulan. Sains juga mengembangkan kemampuan spiritual, observasi, klasifikasi, pengukuran, menggunakan bilangan, rasa empati, dan intrapersonal anak. Tujuan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal mengembangkan asepk kognitif, afektif, dan psikomotor anak secara utuh. Pendekatan pembelajaran sains yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan pembelajaran sains pada anak meliputi: pendekatan situasional, pendekatan terpisah, dan pendekatan terpadu. Beberapa materi yang dapat memberikan pengalaman tangan pertama (first-hand experience) antara lain: mengenal gerak, mengenal benda cair, mengenal timbangan (neraca), bermain gelembung sabun, mengenal benda-benda lenting, dan mengenal binatang. Kata Kunci: Sains, Pembelajaran Sains, Raudhatul Athfal aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 49 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendahuluan Kehidupan anak tidak dapat dilepaskan dari dunia sains, kreativitas, dan aktivitas sosial. Kegiatan makan dan minum, menggunakan berbagai benda yang ada di rumah seperti listrik, radio, dan televisi tidak lepas dari sains dan teknologi. Guru Pendidikan Raudhatul Athfal (PGRA) hendaknya dapat memberikan stimulus atau rangsangan pada anak dengan berbagai kegiatan pembelajaran yang terkait dengan proses sains dan teknologi. Untuk itu, seorang guru raudhatul athfal perlu mempelajari konsep-konsep sains dan metode atau cara menyampaikan konsep-konsep sains tersebut agar anak dapat memahami hakikat sains sebenarnya. Pengenalan sains pada anak raudhatul athfal dalam proses pembelajaran hendaknya lebih menekankan proses daripada produk. Keterampilan proses sains hendaknya dilakukan secara sederhana sambil bermain. Dengan demikian, memungkinkan anak raudhatul athfal melakukan eksplorasi terhadap berbagai benda yang ada di sekitarnya, baik benda hidup maupun benda tak hidup. Anak belajar menemukan gejala pada benda dan gejala peristiwa dari benda-benda tersebut. Dalam pembelajaran sains, anak raudhatul athfal juga dilatih untuk dapat menggunakan alat ukur sederhana agar dapat melakukan pengukuran. Alat ukur tersebut dimulai dari alat ukur nonstandar seperti jengkal, depa, atau kaki. Selanjutnya anak dilatih untuk menggunakan alat ukur standar. Anak secara bertahap akan berlatih menggunakan satuan yang akan memudahkan mereka untuk berfikir secara logis dan rasional. Di samping itu, sains juga melatih anak raudhatul athfal menggunakan panca inderanya untuk dapat mengenali berbagai gejala pada benda dan gejala peristiwa dari benda-benda tersebut. Anak dilatih untuk melihat, meraba, membau, merasakan dan mendengar. Semakin banyak keterlibatan indera dalam belajar, anak semakin memahami apa yang dipelajari. Anak memperoleh pengetahuan baru hasil penginderaanya dengan berbagai benda yang ada di sekitarnya. Pengetahuan yang diperolehnya akan berguna sebagai modal berpikir lanjut. Melalui proses pembelajaran sains, anak juga dapat melakukan percobaan sederhana. Percobaan tersebut diharapkan dapat melatih anak menghubungkan sebab dan akibat dari suatu perlakuan sehingga melatih anak berpikir logis. Melalui tulisan ini, penulis mencoba mendeskripsikan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal mulai dengan mengenalkan hakikat sains, pengenalan sains pada anak, peran otak anak, tujuan pembelajaran sains, pendekatan pembelajaran sains, dan materi-materi sains bagi anak raudhatul athfal. Hakikat Sains Istilah sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berasal dari bahasa Latin yaitu “Scientia” yang berarti ”saya tahu”. Dalam bahasa Inggris, kata sains berasal dari kata “science” yang berarti “pengetahuan”.1 Dalam perkembangan selanjutnya dikenal natural science (ilmu alam) dan social science (ilmu sosial). Dalam kamus Fowler (1951), natural aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 50 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 science didefinisikan sebagai “systematic and formulated knowledge dealing with material phenomena and based mainly on observation and induction” (pengetahuan yang sistematis dan disusun dengan menghubungkan gejala-gejala alam yang bersifat kebendaan dan didasarkan pada hasil pengamatan dan induksi). Sumber lain menyatakan bahwa natural science didefinisikan sebagai “a pieces of theoritical knowledge” (sejenis pengetahuan teoritis).2 Hakikat IPA merupakan bagian dari ilmu alam (natural science), dimana konsepkonsepnya diperoleh melalui suatu proses dengan menggunakan metode ilmiah dan diawali dengan sikap ilmiah kemudian diperoleh hasil (produk).3 Sains pada dasarnya adalah bidang keilmuan yang dibangun dari upaya mencari penjelasan (explanations) yang dilakukan secara sistematik. Abruscato dalam R. Dicky Agus Purnama mengemukakan beberapa hal penting yang menjadi karakteristik sains yaitu: (1) sains memerlukan adanya pembuktian (science demands evidence); (2) sains merupakan kombinasi antara logika dan imajinasi (science is a blend of logic and imagination); (3) sains berupaya menjelaskan dan memprediksi (Science explain and predicts); (4) ilmuwan harus berupaya menghidari bias (Scientists try and to avoid bias); (5) sains tidak bersifat otoriter (Science is not authoritarian).4 Menurut Surjani Wonorahardjo, sains merupakan ilmu yang merujuk pada pengetahuan mengenai alam dan mempunyai objek alam dan gejala-gejala dalam alam semesta, termasuk bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip.5 Pembelajaran Sains Sains merupakan konsep pembelajaran tentang alam dan mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Pembelajaran Sains sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga perkembangan teknologi, karena Sains memiliki upaya untuk membangkitkan minat siswa serta kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pemahaman tentang alam semesta yang mempunyai banyak fakta yang belum terungkap dan masih bersifat rahasia sehingga hasil penemuannya dapat dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan alam yang baru dan dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari.6 Pembelajaran sains adalah pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung baik menggunakan eksperimen maupun observasi ataupun yang lainnya, sehingga data yang didapatkan benar-benar valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Pembelajaran sains menuntut siswa harus dapat menggunakan metode-metode ilmiah yaitu menggali pengetahuan melalui mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang, melaksanakan eksperimen mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain dengan menggunakan keterampilan berfikir, dan menggunakan sikap ilmiah seperti ingin tahu, hatihati, objektif, dan jujur. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 51 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Gagne menyebutkan bahwa dengan mengembangkan keterampilan sains anak akan dibuat kreatif, dan mampu mempelajari Sains di tingkat yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Dengan menggunakan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai. Seluruh irama, gerak, atau tindakan dalam proses belajar mengajar seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang melibatkan siswa secara aktif. Agar keterampilan proses yang dikembangkan dapat berjalan, siswa perlu dilatih keterampilan proses tersebut sebelum pendekatan keterampilan proses itu dapat dilaksanakan. Pendekatan keterampilan proses dapat berjalan bila siswa telah memiliki keterampilan proses yang diperlukan untuk satuan pelajaran tertentu. Pengenalan sains pada usia TK/RA lebih ditekankan pada proses dari pada produk. Proses sains ini disebut dengan metode ilmiah yang secara garis besar meliputi: observasi, problem solving, melakukan percobaan dan analisa data serta mengambil kesimpulan. Sains juga mengembangkan kemampuan pada anak yaitu: 1) Spiritual, yaitu rasa syukur kepada Tuhan Sang Penggenggam Alam Semeseta serta memuji keagungan-Nya; 2) Observasi, yaitu berlatih dengan menggunakan seluruh inderanya untuk mengenali nama benda, bagian-bagian benda, dan memberi nama bagian serta fungsinya; 3) Klasifikasi, yaitu berlatih mengelompokkan benda-benda berdasarkan ciri-ciri tertentu; 4) Pengukuran, yaitu berlatih melakukan pengukuran panjang, luas, masa, dan volume benda secara sederhana; 5) Menggunakan bilangan, yaitu berlatih menghitung bilangan bulat sederhana dengan bantuan alat peraga misalnya kelereng, kotak kecil, dan sebagainya; 6) Rasa empati terhadap benda yang diteliti seperti hewan; 7) Intrapersonal, yaitu merefleksikan kemampuan berpikir dalam proses belajar seperti penguasaan teknologi. Peran Otak pada Anak Raudhatul Athfal Keberhasilan proses pembelajaran sains pada anak TK/RA ditentukan pada pengalaman, usia, dan tingkat perkembangan otaknya. Berikut ini disajikan tabel indikator peran otak pada tiap usia. Tabel 1.1 Peran Otak pada Anak Raudhatul Athfal Usia (th) 2,5 – 3 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Peran Mengembangkan kemampuan motorik. Pada usia ini, anak dianggap sudah siap untuk bertemu dan bergaul dengan teman sebayanya di play group atau sekolah khusus persiapan sebelum masuk TK. Anak sudah siap untuk mengembangkan kemampuan motorik kasarnya seperti melompat, memanjat, menaiki mobil-mobilan. Ia juga sudah siap untuk mengembangkan kemampuan motorik halusnya seperti belajar, membaca, berhitung, serta menghafalkan kata-kata dalam bahasa asing. Membantu eksplorasi kemampuan sensorik Pada usia ini, otak berperan sebagai koordinator dalam pengembangan tubuh dan perasaan atau kepekaan terhadap diri sendiri, pengembangan diskriminasi visual, menyocokkan Juhji 52 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 3–4 4–5 5–6 benda-benda nyata (konkret) dan yang ada dalam gambar, mengembangkan kemampuan visual dan persepsi, mengkoordinasikan keseimbangan seluruh tubuh, serta mengeksplorasi ilmu pengetahuan, permainan drama, dan imajinasi. Lebih menyukai aktivitas fisik dan penjelajahan melalui panca indera. Anak sudah mulai mampu untuk menerima informasi yang mempunyai hubungan langsung dengan pengalaman yang dia dapat dari percakapan atau dari buku-buku dengan tulisan sederhana. Mulai berkembang kemampuan bahasanya. Mulai menjelajah dan melakukan penelitian terhadap apa yang dilihat di sekitar lingkungannya. Mulai menyukai ilmu pengetahuan dan mau bekerja sama dengan orang dewasa. Banyak bertanya tentang apapun tetapi tidak pernah puas dengan jawaban yang diberikan. Belajar jadi lebih mudah, dimana anak sudah mulai mengerti aktivitas yang akan dia kerjakan dan mulai percaya pada orang dewasa. Memahami percakapan dengan yang lain, seperti mereka bermain dan melakukan percobaan. Mulai memahami apa maksud penelitian dan menjedi lebih bermakna dan menemukan penjelajahan mereka. Mulai mengerti tentang banyak hal berupa informasi yang berhubungan dengan apa yang terjadi di dunia sekitarnya. Senang melihat buku-buku dan pura-pura membacanya. Mulai menyeleksi aktivitas yang dilakukan. Suka memikirkan penjelasan dari apa yang mereka teliti baik itu fakta ataupun imajinasi atau fantasi. Menikmati percakapan dengan anak-anak lain dan mulai secara spontan berbagi dan mengambil keputusan. Mulai mampu membuat perkiraan-perkiraan terhadap berbagai peristiwa yang akan terjadi. Mulai menggunakan gambaran untuk mewakili dan mengungkapkan ide-ide. Mampu merencanakan penelitian yang berhubungan dengan pemecahan masalah, seperti ketika mencari jawaban bagaimana cara hewan berkembang biak? Dapat mengikuti tiga tahap tujuan dan menikmati beberapa penelitian langsung dari guru. Memiliki perhatian yang lama untuk berbagai aktivitas sains, mereka mulai dapat menikmati kegiatan yang dilakukan dalam kurun waktu beberapa hari. Bekerja sama bersama-sama dengan lima atau enam anak. Tertarik pada buku-buku yang yang berhubungan dengan aktivitas dari praktek sains dengan beberapa ilustrasi-ilustrasi berupa gambar. Mulai dapat memahami beberapa konsep sains yang bersifat abstrak, tetapi tetap dengan contoh-contoh nyata yang kongkrit dan praktek langsung. Senang menggunakan gambar-gambar dan menulis berbagai pengalaman yang mereka dapatkan dalam praktek sains yang telah dilakukan. Tujuan Sains untuk Anak Raudhatul Athfal Tujuan pembelajaran sains sejalan dengan kurikulum sekolah yaitu mengembangkan asepk kognitif, afektif, dan psikomotor anak secara utuh. Lebih dari itu, tujuan pembelajaran sains yang mendasar bagi anak TK/RA adalah sebagai berikut: 1) Agar anak memiliki pemahaman, minat, dan penghargaan terhadap alam sekitar; 2) Agar anak memiliki sikap jujur dan berprasangka baik terhadap alam; 3) Agar anak memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapinya melalui penggunaan metode sains, sehingga anak-anak terbantu dan menjadi terampil dalam menyelesaikan berbagai hal yang dihadapinya; 4) Agar anak memiliki dasar sikap ilmiah, misalnya: tidak cepat-cepat dalam mengambil keputusan, dapat melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, berhati-hati terhadap informasi yang diterimanya serta bersifat terbuka; 5) Agar anak mendapatkan pengetahuan dan informasi aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 53 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 ilmiah yang lebih baik dan dapat dipercaya, artinya informasi yang diperoleh anak berdasarkan pada standar keilmuan yang semestinya, karena informasi yang disajikan merupakan hasil temuan dan rumusan yang obyektif serta sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang menaunginya; dan 6) Agar anak lebih berminat dan tertarik untuk menghayati sains yang berada dan ditemukan di lingkungan dan alam sekitarnya. Pengembangan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal bukan hanya membina domain kognitif saja, melainkan juga aspek afektif dan psikomotor secara seimbang dengan harapan akan dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis anak sehingga dapat bermanfaat bagi aktualisasi dan kesiapan mereka untuk menghadapi perannya yang lebih luas dan kompleks di masa yang akan datang. Pembelajaran sains untuk anak TK/RA difokuskan pada pembelajaran mengenai diri sendiri, alam sekitar, dan gejala alam. Pembelajaran Sains pada anak usia dini memiliki beberapa tujuan, diantaranya yaitu: 1) Membantu anak Raudhatul Athfal untuk dapat mengenal dan memupuk rasa cinta kepada alam sekitar sehingga menyadari kebesaran dan keagungan Allah SWT; 2) Membantu menumbuhkan minat pada anak Raudhatul Athfal untuk mengenal dan mempelajari benda-benda serta kejadian di lingkungan sekitarnya; 3) Membantu melekatkan aspek-aspek yang terkait dengan keterampilan proses sains, sehingga pengetahuan dan gagasan tentang alam sekitar dalam diri anak menjadi berkembang; 4) Membantu anak Raudhatul Athfal agar mampu menggunakan teknologi sederhana dan konsep sains yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan mereka; 5) Mengembangkan sikap ingin tahu, tekun, terbuka, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, bekerjasama, dan mandiri dalam kehidupannya; 6) Membantu agar anak Raudhatul Athfal mampu menerapkan berbagai konsep sains untuk menjelaskan gejala alam serta mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; dan 7) Membantu anak dalam pengenalan dan penguasaan ilmu alam sederhana (basic science) seperti melakukan eksplorasi atau penyelidikan dan percobaan sederhana dengan berbagai benda misalnya air, angin, api, dan magnet. Pendekatan Pembelajaran Sains Anak Raudhatul Athfal Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran sains yang dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal. Pendekatan tersebut adalah: 1) Pendekatan Situasional, yaitu pendekatan pembelajaran sains yang menekankan pada munculnya fenomena tertentu yang terkait dengan tuntutan pembahasan konsep dan pengalaman sains pada anak. Fenomena tersebut diulas (dielaborasi) secara lebih mendalam. Jadi pendekatan ini sangat ditentukan oleh muncul atau tidaknya konteks sains dalam pembelajaran yang sedang dilakukan. Jika muncul, maka pembelajaran akan segera disesuaikan dan diarahkan pada pembahasan sains. Tetapi jika tidak muncul fenomena sains, maka pembelajaran akan dilanjutkan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, pendekatan ini aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 54 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 dapat dikatakan sebagai situasi spontanitas (spontanous based treatment) sebagai titik awal atau tantangan awal (exelent starting point) untuk menjelaskan sains pada anak; 2) Pendekatan Terpisah, yaitu pendekatan pembelajaran sains yang direncanakan secara mandiri dan terpisah dengan alokasi waktu jam belajar tersendiri. Pembelajaran sains dikemas secara khusus dan tersendiri dengan waktu terpisah dengan pembelajaran lainnya dan di-setting (dirancang) secara khusus sesuai dengan karakteristik pembelajaran sains yang khas serta karakteristik anak yang sesuai (relevan) dengan tuntutan penguasaan sains. Jadi, pembelajaran sains bersifat regular karena memiliki waktu dan tempat khusus dalam program (kurikulum) pendidikan usia raudhatul athfal yang ada; 3) Pendekatan Terpadu, yaitu pendekatan pembelajaran sains yang digabungkan secara formal dan sistematis dengan disiplin ilmu lainnya sehingga pembelajaran sains merupakan bagian dari program kurikulum yang lebih luas dan terpadu. Dalam pengembangannya harus melihat secara seksama karakterisik dari setiap bidang ilmu yang diintegrasikan. Misalnya integrasi sains dan matematika, sains dan sejarah, sains dan olah raga, dan sebagainya. Beberapa kegiatan sains yang cocok dengan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 1.2 Kegiatan Sains No 1 Kegiatan Lukisan 2 Pusat Air 3 Blok 4 Buku 5 Musik 6 Playground 7 Pengamatan 8 Percobaan 9 Piringan Berputar 10 Mainan dari kertas daur ulang aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Keterangan Lukisan jari membantu anak-anak belajar untuk melihat dengan ujung jari mereka dan menunjukkan konsep difusi warna saat mereka membersihkan tangan mereka. Bentuk dapat dikenali dengan mengecat dengan buah dan benda-benda asing. Konsep seperti volume dan konservasi mulai digenggam ketika anak mengukur dengan air dan pasir. Konsep “mengapung” bisa dieksplorasi dengan perahu dan tenggelam dan objek yang mengambang. Blok adalah cara yang baik untuk memperkenalkan anak-anak terhadap gesekan, gravitasi, dan mesin sederhana. Banyak buku yang meliputi konsep ilmiah saat bercerita. Buku-buku dengan gambar dapat memberikan pandangan dari hal-hal asing serta dapat membuat sebuah kesimpulan dalam diskusi. Anak-anak dapat mengalami pergerakan udara terhadap tubuh mereka. Hambatan udara juga dapat ditunjukkan dengan menari. Bermain dapat memberikan kesempatan anak untuk dapat memprediksi cuaca, praktek balancing, dan pengalaman gesekan. Anak-anak dapat mengamati peternakan semut, mengamati ukuran dari berbagai bahan sebelum dan sesudah proses berbeda diterapkan. Misalnya, wortel lebih kecil setelah mengering, adonan untuk roti lebih kecil sebelum dimasak, dan sebagainya. Anak-anak dapat melakukan percobaan sederhana dengan balon dan udara yang bertujuan untuk membantu anak-anak memahami bahwa semua ruang dipenuhi dengan sesuatu. Piringan berputar berupa plastik agak tebal dibentuk melingkar, dapat diberi gantungan benda-benda dengan tali di tepi-tepi sekeliling piring. Kegiatan ini merangsang daya visual anak dalam mengamati benda- benda yang bergerak. Dari bahan bubur kertas dapat diolah menjadi bentuk-bentuk lain seperti boneka, buah, binatang, dan lain-lain. Bubur kertas diperas sampai kering kemudian dicampur dengan lem dan dibentuk sesuai dengan keinginan. Misalnya, boneka kertas di dalamnya berisi botol minuman yakult yang sudah tidak terpakai dan diisi dengan biji-bijian kemudian dibungkus bubur kertas, setelah kering dapat dicat atau ditaburi dengan serbuk-serbuk tertentu. Juhji 55 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Materi Sains Bagi Anak Raudhatul Athfal Ada beberapa materi sains yang sesuai untuk anak TK/RA (usia 5-6 tahun). Pembelajaran konsep-konsep sains sebaiknya bersifat memberikan pengalaman tangan pertama (first-hand experience), bukan mempelajari konsep sains yang abstrak. Selain itu pembelajaran sains sebaiknya dapat mengembangkan kemampuan observasi, klasifikasi, pengukuran, menggunakan bilangan, dan mengidentifikasi hubungan sebab-akibat. Materimateri tersebut diantaranya adalah: Mengenal Gerak. Anak sangat senang bermain dengan benda-benda yang dapat bergerak, memutar, menggelinding, melenting, atau merosot. Ada beberapa kegiatan untuk mengenalkan anak dengan gerakan diantaranya adalah: a) Menggelinding dan bentuk benda. Materi ini menyadarkan anak akan sebab-sebab timbulnya gerakan pada benda. Kemiringan papan, bentuk benda silindris dan kotak, halus kasarnya permukaan benda ikut mempengaruhi kecepatan gerakan. Materi ini juga dapat melatih kemampuan observasi anak; b) Menggelinding dan ukuran benda. Bermain dengan cara menggelindingkan benda-benda dengan berbagai ukuran akan membantu anak untuk mengenal bahwa besar kecil dan berat ringannya suatu benda akan mempengaruhi gerak benda tersebut. Materi ini juga melatih kemampuan observasi pada anak. Mengenal Benda Cair. Bermain dengan air merupakan salah satu kesenangan anak. Guru dapat mengarahkan permainan tersebut agar anak dapat memiliki berbagai pengalaman tentang air. Air senantiasa menyesuaikan bentuknya dengan bentuk wadahnya. Air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Berbagai kegiatan sains yang menggunakan air diantaranya adalah: a) Konservasi volume. Kegiatan ini merupakan cara untuk melatih anak dalam memahami isi atau volume benda cair. Menurut Piaget (1972), anak pra-operasional belum dapat memahami konservasi volume. Oleh karena itu, memperkenalkan anak dengan bejana yang dapat diisi akan membantu anak memahami konservasi volume. Sambil mengisi botol besar, lalu memindahkan ke botol yang lebih kecil dan sebaliknya, anak belajar mengunakan bilangan untuk menghitung banyaknya air yang dimasukkan ke botol tersebut. Anak juga akan berlatih memahami pengertian lebih banyak dan lebih sedikit. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan di luar kelas agar tidak basah, sebaiknya anak diminta memakai rompi plastik; b) Tenggelam dan terapung. Kegiatan ini dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas. Jika di kelas, beri alas plastik dan koran agar air tidak membasahi tempat. Tujuan kegiatan ini adalah agar anak diberi pengalaman bahwa ada benda yang tenggelam dan ada pula yang terapung. Anak sering mengira benda yang berukuran kecil terapung dan yang besar tenggelam. Tenggelam atau terapung tidak ditentukan oleh ukuran benda melainkan oleh berat jenis benda; c) Membuat benda terapung. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenalkan anak bahwa benda yang tenggelam dapat dibuat terapung. Dari kegiatan ini aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 56 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pula anak akan memahami mengapa perahu yang berat dapat terapung; d) Larut dan tidak larut. Sebagian benda larut ke dalam air dan sebagian lagi tidak. Gula, garam dan warna pada teh larut dalam air sehingga akan membentuk larutan. Jika larutan dibiarkan, maka akan membentuk endapan, kecuali jika airnya diuapkan semua. Benda lain tidak larut dalam air, seperti tepung, pasir dan minyak. Jika benda tersebut dicampur dengan air maka tidak akan membentuk larutan, tetapi membentuk campuran. Campuran kelihatan tidak homogen dan jika diendapkan, maka akan terlihat adanya endapan; e) Air mengalir. Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah karena gravitasi bumi. Air dari tempat yang lebih rendah dapat dialirkan ke tempat yang lebih tingi dengan menambah tekanan, misalnya dengan pompa air. Anak sangat senang bermain dengan air mengalir dan memperoleh pengalaman langsung yang kelak akan berguna untuk mempelajari sains; dan f) Mengenal sifat berbagai benda cair. Melalui kegiatan ini anak diperkenalkan bahwa benda cair itu bermacam-macam, tidak hanya air. Benda-benda cair itu juga memiliki sifat yang berbeda. Mengenal Timbangan (Neraca). Neraca sangat baik untuk melatih anak menghubungkan sebab akibat karena hasilnya akan nampak secara langsung. Jika beban di satu lengan timbangan ditambah, maka beban akan turun. Demikian pula jika beban digeser menjauhi sumbu. Berbagai benda memiliki massa jenis berbeda. Kapas dan spons memiliki massa jenis yang lebih kecil dibanding besi dan batu, meskipun batu dan besi ukurannya kecil tetapi akan lebih berat dari kapas atau spons. Bermain Gelembung Sabun. Anak sangat menyukai bermain dengan gelembung sabun. Dengan menambahkan satu sendok gliserin pada dua liter air, larutan sabun, akan diperoleh larutan yang sabun yang menakjubkan yang dapat digunakan untuk membentuk gelembung raksasa, jendela kaca, atau bentuknya lainnya dari busa. Mengenal Benda-Benda Lenting. Benda-benda dari karet pada umumnya memuliki kelenturan sehingga mampu melenting jika dijatuhkan. Demikian pula benda dari karet yang diisi udara, seperi bola basket, bola voli dan bola plastik. Anak sangat senang bermain dengan benda-benda tersebut. Mengenal Binatang. Binatang merupakan makhluk yang menarik bagi anak-anak karena mampu merespon rangsang. Anjing, misalnya mampu mengembalikan benda-benda yang dilemparkan pemiliknya. Anak kucing akan mengejar dan menerkam benda-benda yang bergerak. Meskipun masih diperdebatkan dari segi sanitasi dan higienisnya, memelihara hewan peliharaan dapat mengembangkan rasa kasih dan sayang pada anak. Melalui binatang anak akan belajar banyak tentang makhluk tersebut. Oleh karena itu di negara-negara maju, kebun binatang dilengkapi dengan pojok sains (sains center) dimana anak dapat berinteraksi dengan binatang yang jinak dan bersih sambil mempelajarinya. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh anak jika berinteraksi dengan binatang. Pertama, anak belajar mengenal dan menghargai makhluk hidup, ia belajar bahwa makhluk hidup memerlukan makanan, papan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 57 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 dan kasih sayang. Kedua, anak belajar untuk menyayangi binatang yang pada akhirnya akan menumbuhkan rasa kasih sayang pada makhluk hidup. Penutup Pengenalan sains pada anak raudhatul athfal lebih menekankan pada proses daripada produk melalui metode ilmiah yang meliputi observasi, problem solving, melakukan percobaan, analisa data, serta mengambil kesimpulan. Sains pada anak juga mengembangkan kemampuan spiritual, observasi, klasifikasi, pengukuran, menggunakan bilangan, rasa empati, dan intrapersonal anak. Tujuan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal adalah mengembangkan asepk kognitif, afektif, dan psikomotor anak secara komprehensif. Pendekatan pembelajaran sains yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan pembelajaran sains yang berbasis proses pada anak meliputi pendekatan situasional, pendekatan terpisah, dan pendekatan terpadu. Beberapa materi yang dapat memberikan pengalaman tangan pertama (first-hand experience) antara lain: mengenal gerak, mengenal benda cair, mengenal timbangan (neraca), bermain gelembung sabun, mengenal benda-benda lenting, dan mengenal binatang. Catatan Akhir 1 Juhji, Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah, Jurnal Primary, ISSN 2086-1362, Vol. (7) No. 1 2015, hh.43-58 2 Wasih Djojosoediro, Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA, Modul Pengembangan Pembelajaran IPA SD, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012) 3 Ida Farida dan Juhji, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kelas IV MIS Mu’awanah Jatake melalui Model Pembelajaran Picture and Picture, Jurnal Primary, ISSN 2086-1362, Vol. (6) No.1 2014, hh. 143-152 4 J. Abruscato & D. A. De Rosa, Teaching children science: A discovery approach, (New York: Allyn and Bacon, 2010), hh.12-13 lihat juga dalam R. Dicky Agus Purnama, Jurnal Pendidikan, Volume 15, Nomor 1, Maret 2014, hh.22-30 5 Surjani Wonorahardjo, Dasar-dasar Sains. (Jakarta: Indeks, 2011), h. 11 6 Suhendi, “Konstribusi Pendidikan Sains Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik” dalam Jurnal Tarbawiyah Volume 9 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2012, h. 59 Daftar Pustaka Abruscato, J. & D. A. De Rosa, Teaching children science: A discovery approach, (New York: Allyn and Bacon, 2010), hh.12-13 lihat juga dalam R. Dicky Agus Purnama, Jurnal Pendidikan, Volume 15, Nomor 1, Maret 2014 Djojosoediro, Wasih, Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA, Modul Pengembangan Pembelajaran IPA SD, Malang: Universitas Negeri Malang, 2012 Farida, Ida dan Juhji, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kelas IV MIS Mu’awanah Jatake melalui Model Pembelajaran Picture and Picture, Jurnal Primary, ISSN 2086-1362, Vol. (6) No.1 2014 Juhji, Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah, Jurnal Primary, ISSN 2086-1362, Vol. (7) No.1 2015 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 58 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Suhendi, “Konstribusi Pendidikan Sains Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik” dalam Jurnal Tarbawiyah Volume 9 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2012 Wonorahardjo, Surjani, Dasar-dasar Sains. Jakarta: Indeks, 2011 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Juhji 59 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 HAKIKAT PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Muhiyatul Huliyah Dosen PGRA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: muhiyatul@ gmail.com Abstract This research is aimed to give comprehension on Early Childhood Education, the implementation foundation of early childhood education and the formal pathway of early childhood education, non-formal and informal. Development Appropriate Practices (DAP) states that Early Childhood education is on the range 0 to 8 years. In DAP’s perspective, children who are in this phase have very rapid physical and mental development. Early Childhood Education is a media to dig and develop some children’s potentials in order to be able to develop optimally. Based on characteristics, the children’s growth and development is classified into three phases, that is: (a) infant period to 12 months, (b) toddler period ages 1 to 3 years, (c) preschool period ages 3 to 6 years, (d) early grades of elementary school period ages 6 to 8 years. Early Childhood Education is organized before elementary stage. Early Childhood Education can be organized through formal, non-formal, and/or informal pathway. Formal Early Childhood Education such as Kindergarten (TK), Islamic Kindergarten (RA), or other forms are equal. Non-formal Early Childhood Education such as Playgroup (KB), Qur’anic Education Institution (TPA), or other forms are equal. Informal Early Childhood Education such as family education or education which organized by environment. Keywords: Early Childhood Education, Early Childhood Education, Developmentally Appropriate Practices (DAP) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang Pendidikan Anak usia Dini, landasan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dan jalur-jalur pendidikan anak usia dini formal, non formal dan informal. Developmentally Approprite Practices (DAP) menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Dalam pandangan DAP anak yang berada pada fase ini memiliki perkembangan fisik dan mental yang sangat pesat. Pendidikan anak usia dini merupakan sarana untuk menggali dan mengembangkan berbagai potensi anak agar dapat berkembang secara optimal. Berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini terbagi tiga tahapan yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b) masa toddler usia 1-3 tahun, (c) masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan (d) masa kelas awal SD 6-8 tahun. Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melaui jalur formal, non-formal, dan/atau informal. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan Kata kunci: Anak Usia dini, Pendidikan AUD, Developmentally Approprite Practices (DAP) aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 60 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendahuluan Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan cara-cara lainnya yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan masalah yang sangat esensi bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia akan memperoleh pengetahuan sehingga dapat mengenali dan menggali potensipotensi yang dimilikinya secara optimal. Pendidikan harus diberikan sejak dini, ada juga yang mengatakan bahwa pendidikan diberikan mulai sejak lahir bahkan sebelum lahir (prenatal). Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, maka pendidikan pertama-tama tentunya dilakukan dan diberikan dalam keluarga. Pendidikan anak usia dini adalah tempat bagi anak usia emas untuk mengembangkan fondasi dasar, karena menurut para ahli psikologi, usia dini hanya datang sekali dan tidak dapat diulang lagi, yang sangat menentukan untuk pengembangan kualitas manusia selanjutnya. Benyamin S, Bloom dkk, berdasarkan hasil penelitian, mereka mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Anak merupakan aset berharga bagi keluarganya, lingkungan sekitarnya dan bagi bangsa. Anak juga merupakan generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang, dan jika ingin melihat suatu bangsa vang maju di masa yang akan datang maka pendidikan anak usia dini sangat perlu diperhatikan sekarang ini. Oleh karena itu, pembelajaran bagi anak usia dini sangat perlu dilakukan baik dari rumah dan sekolah. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini Secara etimologi pendidikan atau paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata pais yang berarti anak dan again memiliki arti membimbing. Jadi, paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan pada anak.1 Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada dari dalam. Sementara dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan dengan education yang memiliki sinonim dengan process of teaching, training, and learning yang berarti proses pengajaran, latihan dan pembelajaran. Dan dalam bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan kata tarbiyat yang mempunyai banyak makna, antara lain: al-ghadzadza (memberi makan atau memelihara); ahsanu al-qiyami ‘alaihi wa waliyyihi (baiknya pengurusan dan pemeliharaan); nammaha wa zadaha (mengembangkan dan menambahkan); atamma wa ashlaha (menyempurnakan dan membereskan); allawtuhu (meninggikan).2 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 61 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Makna pendidikan tidaklah semata-mata dapat menyekolakan anak di sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas dari itu. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika memperoleh pendidikan yang komprehensip. Menurut John Dewey, pendidikan diartikan sebagai social continuity of life.3 Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.4 Pendidikan hendaklah dilakukan sejak dini yang dapat dilakukan di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan meliputi perbuatan atau usaha generasi tua untuk melimpahkan pengetahuanya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai uasaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah membantu membimbing anak dengan mengembangkan dan mengarahkan seluruh potensi yang dimilikinya agar tercapailah seluruh tujuan hidupnya. Hakikat pendidikan lebih dari hanya sekedar penyampaian pengetahuan, tetapi bagaimana membangun sikap positif terhadap nilai-nilai kehidupan. Oleh sebab itu, pemerintah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama dalam pendidikan anak untuk kehidupan yang lebih baik. Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek perkembangan anak. Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional ini dengan tegas mengamanatkan pentingnya pendidikan anak sejak dini. PAUD adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan nonfisik, dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir, emosional, dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Upaya yang dilakukan mencakup stimulasi intelektual, pemeliharaan kesehatan, pemberian nutrisi, dan penyediaan kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 62 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Dengan demikian, PAUD didiskripsikan sebagai berikut: 1) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak; 2) PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan yang menitikberatkan pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap prilaku serta agama), bahasa dan komunikasi; 3) PAUD harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak usia dini itu sendiri. Bredekamp mengemukakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini mencakup berbagai program yang melayani anak lahir sampai dengan usia delapan tahun yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan intelektual, sosial, emosi, bahasa dan fisik anak. 5 Hal ini sejalan dengan pernyataan Developmentally Approprite Practices (DAP) yang menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Dalam pandangan DAP anak yang berada pada fase ini memiliki perkembangan fisik dan mental yang sangat pesat. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini merupakan sarana untuk menggali dan mengembangkan berbagai potensi anak agar dapat berkembang secara optimal. Berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini terbagi tiga tahapan yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b) masa toddler usia 1-3 tahun, (c) masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan (d) masa kelas awal SD 6-8 tahun.6 Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta, sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan pribadi yang utuh. PAUD juga dapat dijadikan sebagai cermin untuk melihat keberhasilan anak di masa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan dengan baik sejak dini memiliki harapan lebih besar untuk meraih kesuksesan masa depan, sebaliknya anak yang tidak mendapatkan layanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan kehidupan selanjutnya. Perlakuan terhadap anak usia dini diyakini memiliki efek kumulatif yang akan terbawa dan mempengaruhi fisik dan mental anak selama hidupnya. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini haruslah didasarkan berbagai landasan, yaitu landasan yuridis, landasan filosofis dan landasan religious serta landasan keilmuan secara teoritis maupun empiris Landasan Yuridis Landasan yuridis (hukum) terkait dengan pentingnya pendidikan anak usia dini tersirat dalam amandemen UUD 1945 pasal 28B ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 63 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan pasal 28C ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pendidikan Anak Usia Dini merupakan bagian dari pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pemerintah Indonesia juga telah menandatangi Konvensi Hak Anak melalui keppres No. 36 tahun 1990 yang mengandung kewajiban Negara untuk pemenuhan hak anak. Selain itu pemerintah juga ikut berkomitmen terhadap program pendidikan untuk semua atau Education forAll (EFA) yang telah ditandatangani pada waktu konprensi internasional di Dakkar, Senegal tahun 2000, yang terdiri dari enam komitmen. Salah satu butirnya bersepakat untuk “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung”. 7 Selanjutnya berdasarkan UU RI Nomor 23 tahun 2002 pasal 9 ayat 1 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Secara khusus pemerintah juga telah mengeluarkan UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 28 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, pasal 1, butir 14 dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Sedangkan pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatan bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melaui jalur formal, non-formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal : TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal : KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5) Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai Pendidikan Anak Usia Dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Landasan Filosofis dan Religi Pendidikan Anak Usia Dini merupakan bagian dari pendidkan seumur hidup, sebagai sebuah konsep yang telah dipopulerkan oleh UNESCO dengan istilah “Life long Education”. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 64 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Populernya istilah tersebut, bukan saja karena diprogramkan dan dijadikan sebagai salah satu pilar pendidikan oleh UNESCO, tetapi juga karena diperintahkan oleh Allah SWT, melalui petunjuk-petunjuknya. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat. Konsep Islam tentang pendidikan sepanjang hayat akan meninggikan harkat dan martabat manusia, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini perlu mendapat pembinaan sejak dini melalui pendidikan agar mereka tidak tertindas oleh bangsa lain di dunia. Pada dasarnya pendidikan anak usia dini harus berdasarkan pada nilai-nilai filosofis dan religi yang dipegang oleh lingkungan yang berada disekitar anak dan agama yang dianutnya. Di dalam Islam dikatakan bahwa “seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci), orang tua mereka yang membuat Yahudi, Nasrani, dan Majusi,” maka bagaimana kita bisa menjaga serta meningkatkan potensi kebaikan tersebut, hal itu tentu harus dilakukan sejak dini. Pendidikan agama menekankan pada pemahaman tentang agama serta bagaimana agama diamalkan dan diaplikasikan dalam tindakan serta prilaku dalam kehidupan seharihari. Penanaman nilai-nilai agama tersebut disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak serta keunikan yang dimiliki setiap anak. Islam mengajarkan nilai-nilai keislaman dengan cara pembiasaan ibadah contohnya shalat lima waktu, puasa dan lain-lain. Oleh karena itu, metode pembiasaan tersebut sangat dianjurkan dan dirasa efektif dalam mengajarkan agama untuk anak usia dini. Dasar-dasar pendidikan sosial yang diletakkan Islam di dalam mendidik anak adalah membiasakan mereka bertingkah laku sesuai dengan etika sosial yang benar dan membentuk akhlak kepribadiannya sejak dini. Jika interaksi sosial dan pelaksanaan etika berpijak pada landasan iman dan taqwa, maka pendidikan sosial akan mencapai tujuannya yang paling tinggi yaitu manusia dengan perangai akhlak dan interaksi yang sangat baik sebagai insan yang shaleh, cerdas, bijak dan dinamis. Pendidikan Anak Usia Dini juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh lingkungan disekitarnya yang meliputi faktor budaya, keindahan, kesenian dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang dapat dipertanggung jawabkan. Pendidikan anak usia dini tidak terbatas dalam ruang kelas saja, tetapi mencakup seluruh system pembelajaran yang dapat dilaksanakan diluar ruangan kelas. Pemebelajaran di PAUD merupakan interaksi antara anak, orang tua, atau orang dewasa lainnya dalam lingkungan tertentu untuk mencapai tugas perkembangan, sesuai potensi anak. Interaksi tersebut tercermin dalam suatu hubungan di antara anak, sehingga memiliki pengalaman yang bermakna, dan proses belajar dapat berlangsung secara efektif. Vygotsky dalam Mulyasa berpendapat bahwa bahan pengalaman interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi perkembangan keterampilan berfikir (thinking skill).8 Pembelajaran yang efektif bagi pendidikan anak usia dini, perlu ditunjang oleh lingkungan dan suasana belajar yang kondusif. Kegiatan bermain yang memberi kesempatan kepada anak untuk berinteraksi aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 65 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 dengan teman dan lingkungannya perlu lebih diprioritaskan. Karena anak merupakan individu yang unik dan variatif, maka unsur variasi individu, bakat dan minat anak juga perlu diperhatikan. Landasan Keilmuan dan Empiris Pendidikan Anak Usia Dini pada dasarnya harus meliputi aspek keilmuan yang menunjang kehidupan anak dan terkait dengan perkembangan anak. Konsep keilmuan PAUD bersifat isomorfis artinya kerangka keilmuan PAUD harus dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu diantarnya: psikologi, fisiologi, sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan dan gizi serta neurosains (ilmu tentang perkembangan otak). Dalam mengembangkan potensi belajar anak, maka harus diperhatikan aspek-aspek perkembangan yang akan dikembangkan sesuai dengan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan terintegrasi sehingga diharapkan anak dapat menguasai beberapa kemampuan dengan baik. Selanjutnya berdasarkan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau pondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Artinya masa kanak-kanak yang bahagia merupakan dasar bagi keberhasilan dimasa datang dan sebaliknya. Untuk itu, agar pertumbuhan dan perkembangan tercapai secara optimal, maka dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat memberikan stimulasi dan upaya-upaya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang berbeda satu dengan lainnya. Dari segi empiris banyak sekali penelitian yang menyimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting, Clark dalam Semiawan menjelaskan bahwa pada waktu manusia lahir, kelengkapan organisasi otak memuat 100-200 milyar sel otak yang siap dikembangkan serta diaktualisasikan mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi.9 Tetapi hanya sekitar 5% saja dari potensi yang ada yang dimanfaatkan, hal ini terjadi karena kurangnya stimulasi yang mengoptimalkan otak. Pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini perlu memperhatikan keterkaitan antara pengenalan materi ajar dengan karakteristik perkembangan serta tipe dan prinsipprinsip belajar anak usia dini. Jika orientasi anak hanya ditekankan pada pencapaian prestasi akademik, maka mereka hanya dapat mencapai kemampuan sesuai harapan guru, yang boleh jadi dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan selanjutnya. Dampak negatif tersebut antara lain tumbuhnya sikap negatif pada diri anak terhadap aktivitas belajar; karena belajar diterima sebagai tugas atau beban yang menyiksa; dan kemampuan kreativitas anak kurang berkembang secara optimal. Pada hakikatnya pendidikan anak usia dini menyajikan konsep belajar sambil bermain. Hal ini sesuai dengan karakteristik anak yang bersifat aktif dalam melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, maka aktifitas bermain merupakan bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran pada anak usia dini harus dirancang agar anak merasa tidak terbebani dalam mencapai tugas perkembangannya. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 66 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Formal, Nonformal, dan Informal Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Formal Pendidikan anak usia dini jalur formal terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA). Terlepas dari kementrian apa yang bertanggung jawab terhadap pembinaanya, dalam beberapa hal baik TK maupun RA dalam pelaksanaanya tetap mengikuti kebijakan yang sama yang ditetapkan pemerintah baik melalui UU (Undang-undang) maupun PP (Peraturan Pemerintah). Taman Kanak-kanak (TK) Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun. Penyelenggaraan PAUD jalur formal baik TK maupun RA khusus ditujukan untuk anak usia 4 hingga 6 tahun. Penyelenggaraan pendidikan pada Taman Kanak-kanak maupun Raudhatul Athfal (RA) berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut: 1) Berorientasi pada kebutuhan anak; 2) Sesuai dengan perkembangan anak; 3) Sesuai dengan keunikan setiap individu; 4) Kegiatan belajar dilakukan melalui bermain; 5) Pembelajaran berpusat pada anak; 6) Anak sebagai pembelajar aktif; 7) Anak belajar dari konkret ke abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari gerakan ke verbal, dan dari diri sendiri ke sosial; 8) Menyediakan lingkungan yang mendukung proses belajar; 9) Merangsang munculnya kreativitas dan inovasi; 10) Mengembangkan kecakapan hidup anak; 11) Menggunakan berbagai sumber dan media belajar yang ada dilingkungan sekitar; 12) Anak belajar sesuai dengan kondisi sosial budayanya; 13) Melibatkan peran serta orang tua; dan 14) Stimulasi pendidikan bersifat menyeluruh dan mencakup semua aspek perkembangan.10 Raudhatul Athfal (RA) Posisi keberadaan RA dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional setara dengan TK. Secara umum dalam penyelenggaraan dan kebijakan umum RA tetap mengikuti ketentuan dari pemerintah (kementrian pendidikan dan kebudayaan). Namun, dalam hal-hal tertentu (khusus) departemn penyelenggara dan Pembina (kementrian agama) tetap memiliki kebijakan (spesifikasi) tersendiri. Pengertian RA Berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI nomor 90 tahun 2013 tentang penyelenggaraan madrasah, pasal 1 dinyatakan bahwa Raudhatul Athfal yang selanjutnya disingkat RA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) tahun. Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan bahwa RA memiliki program pembelajaran 1 atau 2 tahun. Fungsi RA aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 67 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Standar atau aturan yang digunakan dalam melaksanakan program pendidikan RA sama dengan yang dilaksanakan pada TK. Hanya dalam pelaksanaan RA berada dalam pembinaan dan pengawasan kementrian agama, sedangkan TK ada dalam pembinaan dan pengawasan kementrian kependidikan dan kebudayaan. Fungsi RA atau TK sendiri adalah membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal sehingga terbentuk prilaku dan kemampuan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. Tujuan RA Tujuan RA antara lain adalah: 1) Membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab; 2) Mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosiaonal, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa usia emas pertumbuhan dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan; dan 3) Membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi psikis dan fisik yang meliputi akhlakul karimah, sosio-emosional dan kemandirian, pendidikan agama Islam (PAI), bahasa, kognitif dan fisik/motoric agar siap memasuki pendidikan dasar. Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Nonformal Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Bentuk-bentuk satuan PAUD jalur nonformal anatara lain Kelompok Bermain (KB), Taman pengasuhan Anak (TPA) dan Bina keluarga balita (BKB) Kelompok Bermain Kelompok bermain (Play Group) merupakan tempat bermain dan belajar bagi anakanak sebelum masuk TK/RA. Pada umumnya kelompok bermain menampung anak-anak normal dalam rentang waktu usia 3-4 tahun. Kelompok bermain bertujuan mengembangkan seluruh aspek fisik, mental, emosi, dan sosial anak. Taman Pengasuhan Anak (TPA) Taman pengasuhan anak adalah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan pengganti berupa asuhan, perawatan dan pendidikan bagi anak balita selama anak tersebut ditinggal bekerja oleh orang tuanya. TPA bertujuan membantu orang tua agar dapat bekerja dengan tenang sehingga mencapai prestasi yang optimal. Selain itu, juga mengindarkan anak dari kemungkinan terlantar pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan sosialnya. TPA umumnya melayani pengasuhan anak usia 2 bulan hingga 5 tahun. Bina Keluarga Balita (BKB) aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 68 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 BKB adalah suatu kegiatan yang bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang tua dan keluarga lainnya mengenai bagaimana mendidik, mengasuh, dan memantau pertumbuhan dan perkembangan anak balita Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Informal Pendidikan anak usia dini pertama dan utamanya terdapat pada jalur informal, yaitu jalur pendidikan kelurga dan lingkungannya. Karena para orang tua banyak orang tua yang belum memahami pentingnya pendidikan sejak dini, maka pemerintah memfasilitasi pendidikan anak usia dini jalur formal dan nonformal. Sejatinya baik pendidikan formal maupun nonformal melengkapi pendidikan informal. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak sebab pendidikan keluarga merupakan fondasi bagi anak untuk membangun struktur kepribadian selanjutnya. Dalam hal ini orang tua memegang peran utama, tidak hanya ibu tetapi juga ayah perlu memberikan nilai-nilai pendidikan kepada anak. Orang tua memegang kunci pertama bagi keberhasilan anak, hingga dianggap bahwa kelurga adalah madrasatul ula pendidik pertama dan utama. Parenting (pendidikan keluarga) adalah upaya pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Parenting sebagai proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak mereka yang meliputi aktifitas-aktifitas sebagai berikut: memberi makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protection) anak-anak ketika mereka tumbuh berkembang.11 Keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk atas dasar komitmen untuk mewujudkan fungsi keluarga khususnya fungsi sosial dan fungsi pendidikan, harus benar-benar dioptimalkan sebagai mitra lembaga PAUD. Oleh karena itu melalui program parenting sebagai wadah komunikasi antar orang tua, disamping itu untuk memberikan sosialisasi terhadap program-program yang diselenggarakan oleh lembaga PAUD, secara umum tujuan program parenting, adalah mengajak para orang tua untuk bersama-sama memberikan yang terbaik buat anak-anak mereka, sedangkan secara khusus tujuan pengembangan program parenting adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak di dalam keluarga sendiri dengan landasan dasar-dasar karakter yang bai; 2) Mempertemukan kepentingan dan keinginan antara pihak keluarga dan pihak sekolah guna menyingkronkan keduanya sehingga pendidikan karakter yang dikembangkan di lembaga PAUD dapat ditindaklanjuti di lingkungan keluarg; dan 3) Menghubungkan antara program sekolah dengan program rumah. Lembaga PAUD yang memliki program-program kelembagaan dan pembelajaran kadang kala bertentangan atau tidak selaras dengan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 69 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kebaisaan-kebiasaan yang terjadi di lingkungan keluarga. Dengan program parenting ini akan tejadi kselarasan dan keterkaitan, kerjasama yang saling mendukung, saling menguatkan Penutup Pendidikan Anak Usia Dini sangat penting dilaksanakan sebagai dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu untuk pembentukan karakter, budi pekerti luhur, cerdas, ceria, terampil dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan anak usia dini dapat dimulai di rumah atau dalam keluarga. Developmentally Approprite Practices (DAP) menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini berada pada rentang usia 08 tahun. Dalam pandangan DAP anak yang berada pada fase ini memiliki perkembangan fisik dan mental yang sangat pesat. Pendidikan anak usia dini merupakan sarana untuk menggali dan mengembangkan berbagai potensi anak agar dapat berkembang secara optimal. Berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini terbagi tiga tahapan yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b) masa toddler usia 1-3 tahun, (c) masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan (d) masa kelas awal SD 6-8 tahun. Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melaui jalur formal, non-formal, dan/atau informal. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Perkembangan anak pada tahun-tahun ini sangat penting dan akan menentukan kualitasnya di masa depan. Oleh karena itu, upaya-upaya pengembangan anak usia dini hendaknya dilakukan melalui belajar melalui bermain (learning through games). Hal ini karena bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi anak melalui bermain anak memperoleh kesempatan untuk bereksplorasi (exploration), menemukan (finding), mengekspresikan (expression), perasaannya dan berkreasi (creation). Lembaga-lembaga PAUD di Indonesia memiliki pijakan yang sangat kuat berupa landasan yuridis, landasan filosofis, landasan religius, dan landasan keilmuan serta landasan empirik. 1) Landasan yuridis adalah landasan yang berkaitan dengan pentingnya penyelenggaraan lembaga PAUD (KB dan TPA); 2) Landasan filosofis dan religius, yaitu landasan yang didasarkan pada keyakinan agama yang dianut oleh para orang tua anak usia dini; 3) Landasan empirik adalah landasan yang berdasarkan pada fakta yang terdapat di lapangan.; 4) Landasan keilmuan adalah teori-teori dan kajian-kajian yang melandasi apa, mengapa, dan bagaimana anak usia dini mendapat pengasuhan, pendidikan dan perlindungan yang tepat. Catatan Akhir aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 70 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 1 Abu Ahmadidan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.69 Dedeng Rosidin, Akar-akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Bandung: Pustaka Umat, 2003), h.16 3 John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Macmilan, 1923), h.23 4 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h.19 5 Bredekamp, SNE, Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving Children from Birth Throught Age 8. Washington DC.: National Association for the Education of Young Children, 1993 6 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.88 7 Napitulu, Komitmen dan Strategi Pelayanan Pendidikan untuk Semua dalam Buletin PAUD, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas, 2002), h.32 8 Mulyasa, Manajemen PAUD, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2014), h.61 9 Conny Semiawan, Potret Pengasuhan, Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini di Indonesia, (Jakarta: Forum PAUD, 2004), h.27 10 Direktorat Pembinaan PAUD, 2012. 11 Helmawati. 2015. Mengenal dan Memahami PAUD. Bandung: Rosdakarya. Hal. 60 2 Daftar Pustaka Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989. Ahmadi, Abu, dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Bredekamp, SNE., Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving Children from Birth Throught Age 8. Washington DC.: National Association for the Education of Young Children, 1993. Helmawati, Mengenal dan Memahami PAUD, Bandung: Rosdakarya, 2015. John Dewey, Democracy and Education, New York: The Macmilan, 1923. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mulyasa, Manajemen PAUD, Bandung: PT Rosda Karya, 2014. Napitulu, “Komitmen dan Strategi Pelayanan Pendidikan untuk Semua”, dalam Buletin PAUD, Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas, 2002. Rosidin, Dedeng, Akar-akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Hadits, Bandung: Pustaka Umat, 2003. Semiawan, Conny, Potret Pengasuhan, Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini di Indonesia, Jakarta: Forum PAUD, 2004. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 M. Huliyah 71 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 PENDIDIKAN PRA SEKOLAH (PENDIDIKAN ANAK USIA DINI) DALAM ISLAM Nur Rohmah Hayati Dosen STAINU Purworejo dan Mahasiswa S3 Studi Islam Konsentrasi Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: nur.rohmah.hayati@g mail.com Abstract Early childhood is a figure of individual who is undergoing a rapid development process and fundamental for the next life. Early childhood is on the age range 0 – 8 years. In this period, the growth and development in every aspect is experiencing a rapid period in span of human life development. Learning process as a treatment form which given to children must consider characteristics of children in each stage of their development. Children education according to Islamic teachings can be classified into two periods. That is: first, preparation period of educating which began since selecting a mate. Second, active period of educating that is began from birth and continuously throughout his life (until die). Besides, Early Childhood Education is needed because of some factors among others are first, the fact about children’s brain which is growing 90% in this age. Second, early anticipation of school dropouts. Third, education is civilization investment. Fourth, the demands of society. Keywords: Preschool education, Islam Abstrak Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia.proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki yang dimiliki setiap tahap perkembangan anak. Pendidikan anak menurut ajaran Islam itu dapat dibagi dua yaitu pertama, masa persiapan mendidik yang di mulai sejak pemilihan jodoh. Kedua, masa aktif mendidik yaitu dimulai sejak lahir dan terus menerus berlangsung sepanjang hidupnya (sampai mati). Selain itu Pendidikan PAUD dibutuhkan karena banyak factor diantaranya yaitu pertama, fakta tentang otak anak yang 90% tumbuh di usia dini. Kedua, antisipsi dini anak putus sekolah.Ketiga, Pendidikan investasi peeradaban. Keempat, tuntutan masyarakat. Kata Kunci: Pendidikan Pra Sekolah, Islam aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 72 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendahuluan Pendidikan dengan segala bentuknya merupakan kebutuhan setiap manusia, manusia akan selalu mencari bentuk atau model serta system pendidikan yang dapat mempersiapkan peserta didik untuk menyongsong masa depannya karena peserta didik adalah generasi yang akan menggantikan posisi orang dewasa.1 Pendidikan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk mengembangkan dan mengfungsionalkan rohani (pikir, rasa, karsa, cipta, dan budi nurani) manusia; dan jasmani manusia (pancaindra dan ketrampilan) agar meningkat wawasan pengetahuannya, bertambahterampil sebagai bekal keberlangsungan hidup dan kehidupannya disertai akhlak mulia dan mandiri di tengah masyarakat.2 Hasan Langgulung berpendapat bahwa secara garis besar fungsi pendidikan itu ada 3 (tiga). Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memiliki kemampuan agar bisa memegang peranan-peranan pada masa yang akan datang di tengah kehidupan bermasyarakat. Kedua, memindahkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan peranan-peranan di atas dari generasi tua ke ke genarasi muda. Ketiga, memindahkan nilai-nilai dari generasi tua ke generasi muda dengan tujuan agar keutuhan dan kesatuan masyarakat terpelihara, sebagai syarat utama berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat dan juga peradaban.3 Pendidikan dibagi dalam beberapa tahapan atau tingkatan dimulai dari anak bayi hingga berusia dewasa dan di Indonesia terdapat PAUD sebagai tingkatan untuk anak prasekolah.PAUD pada hakikatnya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.Tujuan Pendidikan PAUD dikemukakan Suyanto adalah mengembangkan seluruh potensi atau dalam Islam insan kamil agar anak kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai dengan falsafah bangsa.4 Pendidikan PAUD dibutuhkan karena banyak factor diantaranya yaitu pertama, fakta tentang otak anak yang 90% tumbuh di usia dini. Kedua, antisipsi dini anak putus sekolah. Ketiga, Pendidikan investasi peeradaban. Keempat, tuntutan masyarakat.5 Selain karena kebutuhan masih ada hal-hal yang menjadi alasan penting dalam memahami anak usia dini menurut Hibana S. Rahman: 1) Usia dini merupakan usia yang paling penting dalam tahap perkembangan manusia, sebab usia dini merupakan periode diletakkannya dasar struktur kepribadian yang dibangun untuk sepanjang hidupnya. Oleh karenanya perlu pendidikan dan pelayanan yang tepat; 2) Pengalaman awal sangat penting, sebab dasar awal cenderung bertahan dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya. Di samping itu, dasar awal akan cepat berkembang menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, perlu pemberian pengalaman yang positif; 3) Perkembangan fisik dan mental mengalami kecepatan yang luar biasa, dibanding dengan sepanjang usianya, bahkan usia 0-8 tahun mengalami 80% perkembangan otak dibanding sesudahnya. Oleh karena itu perlu stimulasi fisik dan mental.6 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 73 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Pendidikan dan pelayanan yang tepat untuk membina tatanan nilai pada anak usia dini salah satunya adalah dengan memasukkan anak ke dalam lembaga pendidikan prasekolah. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Merekalah yang kelak membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, yang tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, masa depan bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan kepada anakanak kita. Oleh karena itu, PAUD merupakan investasi bangsa yang sangat berharga dan sekaligus merupakan infrastruktur bagi pendidikan selanjutnya.7 Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan, mereka seolah-olah tak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Anak bersifat egosentris, memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan fantasi, memiliki daya perhatian yang pendek, dan merupakan masa yang paling potensial untuk belajar.8 Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia.proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki yang dimiliki setiap tahap perkembangan anak.9 Pendidikan anak menurut ajaran Islam itu dapat dibagi dua yaitu pertama, masa persiapan mendidik yang di mulai sejak pemilihan jodoh.Kedua, masa aktif mendidik yaitu dimulai sejak lahir dan terus menerus berlangsung sepanjang hidupnya (sampai mati).10 Fungsi utama pendidikan anak adalah melestarikan fitrah anak, yaitu fitrah kebenaran, fitrah tauhid, fitrah berprilaku positif.Seperti diketahui anak telah diberikan insting atau kecenderungan dalam kebaikan yang tertanam sebagai suatu naluri dalam dirinya.Fitrah anak tersebut melalui program pendidikan diharapkan tidak bengkok dan menyimpang, namun lurus dan kokoh secara lestari.11 Seperti dalam Al Qur’an Surat Ar Ruum ayat 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.12 Tambahan selain persoalan fitrah dalam pendidikan Islam itu sendiri yang menjadi model pendidikan utama ialah Rosulullah, dan telah disebutkan dalam Al Qur’an bahwa salah satu tugas dari Nabi adalah memberikan pengajaran. Seperti dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 151 yang artinya: “sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 74 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayatayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan AlHikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. Model pendidikan yang dialami Rosul mengisyaratkan tahapan awal proses penataan diri (tazkiyah) baru diikuti oleh proses ta’lim al kitab (proses pengajaran kitab/materi) dan disusul oleh ta’lim belajar sesuatu yang belum diketahui oleh peserta didik.13 Disisi selain persoalan peserta didik Islam juga memberikan perhatian khusus kepada pengajar seperti di kisahkan Pekerjaan mengajar seperti yang disabdakan nabi membawa kebebasan dari api neraka seperti sabda Nabi “barang siapa mendidik seorang anak kecil walaupun sekedar mengucapkan la ilaha illallah niscaya Allah tidak akan menghisab pada hari kiamat”.14 Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia PAUD dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14 didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Selain itu dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 4 dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Landasan Yuridis penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini adalah: 1) Undangundang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan; 2) Pasal 28 B Ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; 3) Pasal 28 C Ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; 4) UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 75 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 lebih lanjutbentuk lain yang sederajat; 5) Pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat,4) Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan nonformal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat (5) Pendidikan Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai Pendidikan Anak Usia Dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah; 6) UU RI Nomor. 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pendidikan dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.15 Prinsip pelaksanaan program PAUD harus mengacu pada prinsip umum konvensi Hak anak, yaitu: 1) Nondiskriminasi, bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa perkecualian; 2) Dilakukan demi kebaikan terbaik untuk anak (the best interest of the child); 3) Mengakui adanya hak hidup, kelangsungan hidup, perkembangan yang sudah melekat pada anak; 4) Penghargaan terhadap pendapat anak, pendapat anak terutama yang menyangkut kehidupannya yang perlu mendapatkan perhatian dan tanggapan;16 5) Berorientasi pada kebutuhan anak yaitu berhak mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan gizi yang dilaksanakan secara integrative dan holistik; dan 6) Mengembangkan ketrampilan hidup dan hidup beragama.17 Pusat kurikulum balitbang depdiknas mendefinisikan pembelajaran PAUD sebagai berikut: 1) Proses pembelajaran anak usia dini adalah proses interaksi antar anak , sumber belajar dan pendidikan dalam suatu lingkungan belajar tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; 2) Sesuai dengan karakter anak usia dini yang bersifat aktif melakukan berbagai eksplorasi dalam kegiatan bermain, maka proses pembelajarannya ditekankan pada aktivitas anak dalam kegiatan belajar sambil bermain; 3) Belajar sambil bermain ditekankan pada pengembangan potensi dibidang fisik, kecerdasan, sosial emosional, bahasa dan komunikasi menjadi kompetensi yang secara actual dimiliki anak; 4) Penyelenggaraan pembelajaran dengan memberikan rasa aman bagi anak usia tersebut; 5) Sesuai dengan sikap perkembangan anak usia dini proses pembelajarannya dilaksanakan secara terpadu; 6) Anak aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar; 7) Program belajar mengajar dirancang dan dilaksanakan sebagai suatu system yang dapat menciptakan kondisi yang menggugah minat bermain, yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan kehidupan anak usia dini; 8) Keberhasilan proses pendidikan di tandai dengan pencapaian pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini secara optimal.18 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 76 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Banyak sekolah Pendidikan Anak Usia dini yang berkembang di masyarat, hal ini membuat orang tua harus teliti atau cermat dalam memilih lokasi yang akan dijadikan tempat anak melanjutkan kegiatan selepas dari rumah dan ditinggal orang tuanya bekerja. Metode dan Strategi pembelajaran anak usia dini Metode itu sendiri merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pembelajaran yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran adalah cara yang ditempuh dalam proses pembelajaran sehinga memperoleh hasil optimal.19 Pemilihan metode yang dilakukan pendidik atau guru semestinya dilandasi alasan yang kuat dan faktor-faktor pendukungnya seperti karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik anak yang diajar. Anak tidaklah sama dengan orang dewasa ia memiliki karakteristik unik Pelajaran kepada peserta didik minimal harus memenuhi empat hal: Pertama, kebutuhan jasmaniyah. Kedua, Kebutuhan sosial. Ketiga kebutuhan intelektual. Keempat, kebutuhan religious.20 Dalam proses pembelajaran orang tua dan pendidik mesti memperhatikan bagaimana cara anak belajar yang ternyata juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan seiring bertambahnya usia. Karena anak usia dini mengalami masa golden age dimana dimasa tersebut pertumbuhan sel otak anak berkembang sangat cepat. Tahapan Golden Age Anak.21 No Usia Tumbuh Kembang Otak Anak(0-3Tahun) 1 10 minggu pembuahan dan pembentukan sel otak 2 20 minggu Penambahan sel dan pembentukan dendrit 3 8 bln-Lahir massa otak bertambah 2x lipat 4 6 bulan massa otak berkembang 50% dari orang dewasa 5 1 Tahun Massa otak brkembang 70% dr org dewasa 6 3 Tahun massa otak meningkat 90% dr orang dewasa Kecerdasan baru mencapai 100% setelah anak berusia 18 tahun. Karena itu pendidikan anak usia dini sangat penting untuk membantu anak mengembangkan kecerdasannya. Sayangnya, hasil pendataan Depdiknas pada Tahun 2004 menunjukkan baru 31,4% dari 11.5 juta anak usia 0-6th yang mendapatkan pendidikan.22 Perkembangan yang diperoleh pada masa usia dini sangat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya dan meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasanya. Pendidikan usia dini bukan hanya memiliki fungsi strategis, tetapi juga mendasar dan memiliki andil memberi dasar kepribadian, daya cipta, kecerdasan.23 Setiap anak memiliki tahap perkembangan. Menurut Montessori dikutip Jamal Ma’mur Asmani paling tidak ada empat tahap perkembangan sebagai berikut: 1) Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya: 2) Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, anak mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 77 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap); 3) Masa usia 2-4 tahun, gerakangerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, dan malam); 4) Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan inderawi. Khusus pada usia sekitar 4 tahun, anak memiliki kepekaan menulis. Dan pada usia 4-6 tahun, anak memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.24 Berikut ini adalah cara belajar didalam Islam seorang anak seiring bertambahnya usia: Usia 0-1 Tahun Anak belajar menggunakan panca indera yang sedang terus disempurnakan meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Sebagaimana dalam Al-Quran yang artinya: “dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". Menurut Jean-Jacques Rousseau dikutip Anita Yus tentang mendidik anak usia dini bahwa: Mendidik anak usia dini menggunakan metode pendidikan naturalisme. Metode ini membiarkan anak tumbuh tanpa intervensi dengan cara tidak membandingkan anak satu dengan anak lain serta memberikan kebebasan anak untuk mengeksplorasi tanpa membahayakan diri sendiri dan orang lain.25 Usia 2-3 Tahun. Anak belajar dengan meniru objek-objek bergerak disekitarnya baik yang ia lihat maupun yang ia dengar. Perkembangan bahasa juga berkembang dengan meniru orang lain berkata-kata.Anak sudah mulai belajar berkomunikasi diusia 2-3 tahun ini, semakin sering diajak berbicara kemampuan anak dalam menyerap kosa-kata atau peningkatan perkembangan bahasa dapat berkembang pesat. Usia 4-6 Tahun Anak belajar tentang apa yang menarik minatnya. Walaupun belum fasih kemampuan bahasa anak sudah bisa digunakan untuk berkomunikasi.26 Menurut Al Ghazali cara untuk menanamkan keimanan kepada anak didik ialah dengan metode pengajaran yang dilakukan secara sabar, dan kasih sayang sehingga mencapai hasil iman yang kuat.27 Munif Chatib menjelaskan bahwa setiap anak punya harta karun dalam dirinya dan kemampuan anak itu seluas samudera. Clark mengemukakan bahwa anak usia dini belum memiliki konsep dasar untuk menolak atau menyetujui segala hal yang masuk pada dirinya. Dalam keadaan lemah dan tak berdaya tersebut nilai-nilai agama dapat dengan mudah dimasukkan dalam diri seorang anak.28 Di antara metode-metode pendidikan yang terpenting adalah: 1) Mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagaimana dalam QS Al Anfal ayat 20, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 78 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”. Al Qur’an dan As sunah mengandung semua yang diperlukan manusia dalam hidupnya, Al Qur’an dapat mengena kedalam Rohani memberikan konsumsi yang sempurna sebagai kekuatan bagi hati dan akal dan dua-duany diberi porsi yang sama; 2) Memberi Tauladan yang baik, sebagaimana dalam QS Al Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” Memberikan tauladan yang baik sangat berguna sebagai pondasi dalam pendidikan dan juga beraktifitas. Karena keteladanan yang baik merupakan salah satu cara memperoleh keutamaan dan menjadi contoh hidup; 3) Penyampaian nasihat yang baik, sebagaimana dalam QS Lukman ayat 13 yang artinya: “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Metode penyampaian nasihat yang baik mendapat porsi perhatian yang besar di dalam membentuk keimanan dan menyiapkan akhlak anak, kepribadian dan jiwa sosialnya;29 dan 4) Pembiasaan yang konsisten. Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting terutama bagi anak-anak, karena anak-anak pada usia ini belum mengetahui baik dan buruk dari apa saja yang mereka perbuat dan katakan. Perhatian mereka mudah sekali beralih kepada hal-hal baru yang mereka temui di lingkungan sekitarnya. Maka dariitu, sebelum anak dapat berfikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak, serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk (tamyiz) mana yang benar dan mana yang salah, maka contoh-contoh, latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan (habit forming) mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembinaan pribadi anak. Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.30 Tokoh pendidikan Islam Abdullah Nasih Ulwan memberikan pandangan tentang pendidikan anak yaitu: Pertama, mendidik dengan keteladanan akhlak mulia, rendah hati, kekuatan fisik, memgang prinsip. Kedua, mendidik anak dengan adat kebiasaan. Ketiga, mendidik dengan nasihat. Keempat, pendidikan dengan pengawasan dengan cara mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan. Kelima, metode pemberian hukuman yang bersifat motivasi dan mengembangkan potensi.31 Kesimpulan PAUD dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14 didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 79 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut Pendidikan PAUD dibutuhkan karena banyak factor diantaranya yaitu pertama, fakta tentang otak anak yang 90% tumbuh di usia dini. Kedua, antisipsi dini anak putus sekolah.Ketiga, Pendidikan investasi peeradaban.Keempat, tuntutan masyarakat. Metode itu sendiri merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pembelajaran yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran adalah cara yang ditempuh dalam proses pembelajaran sehinga memperoleh hasil optimal Pelajaran kepada peserta didik minimal harus memenuhi empat hal: Pertama, kebutuhan jasmaniyah. Kedua, Kebutuhan social. Ketiga kebutuhan intelektual. Keempat, kebutuhan religious.Di antara metode-metode pendidikan yang terpenting adalah: Pertama, Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, Memberi Tauladan yang baik. Ketiga, Penyampaian nasihat yang baik. Keempat, Pembiasaan yang konsisten cara belajar didalam Islam seorang anak seiring bertambahnya usia: Pertama, Usia 0-1 tahun Anak belajar menggunakan panca indera yang sedang terus disempurnakan meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Kedua, Usia 2-3 tahun.Anak belajar dengan meniru objek-objek bergerak disekitarnya baik yang ia lihat maupun yang ia dengar. Ketiga, Usia 4-6 tahun anak belajar tentang apa yang menarik minatnya Menurut Al Ghazali cara untuk menanamkan keimanan kepada anak didik ialah dengan metode pengajaran yang dilakukan secara sabar, dan kasih sayang sehingga mencapai hasil iman yang kuat. Catatan Akhir 1 Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2010). Musaheri, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.19. 3 Ibid. 4 Suyadi, Teori Pembelajaran anak Usia Dini, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h.24. 5 Suyadi, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hh.2-14. 6 Fauzi Rachman, Islamic Parenting, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.29. 7 Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usi Dini, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2005), 2 h.2. 8 Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), h.6. Ibid. 10 Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), h.109. 11 Syarifuddin, Ahmad, Mendidik Anak Membaca Menulis dan Mencintai Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.60. 9 13 Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h.61. Rodi Lahij, Dalam Buaian Nabi Merajut Kebahagiaan Si Kecil, (Jakarta: Zahra, 2005), h.64. 15 Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), hh. 14 8-9. 16 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.100. Anita Yus, Model Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), hh.67-68. 18 Ibid, hh.91-92. 19 Suhartono, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.19. 20 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS Group, 2009), h.67 21 Suyadi, Teori Pembelajaran anak Usia dini, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h.68. 22 Fauzi Rachman, Islamic Parenting, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.59. 17 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 80 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 23 24 2009). Ibid, h.60. Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen Strategis Pendidikan Anak Usia Dini, (Jogjakarta: Diva Press, 25 Anita Yus, Model Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), h.3. Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010),h.11. 27 Huda, Miftahul, Idealitas Pendidikan Anak, Malang: UIN Malang Press, 2009), h.64. 28 Suyadi, Ternyata Anakku bisa Kubuat Genius, (Yogyakarta: Powerbooks, 2009), h.155. 29 Khalid Abdurrahman, dkk., Pedoman Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Solo: AlQowam, 2005), hh.274-279) 30 Armei Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002). 31 Suyadi, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hh.132-139. 26 Daftar Pustaka Abdurrahman, Jamal, Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi, Solo: Al Qawam, 2010. Abdurrahman, Khalid, dkk., Pedoman Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Solo: Al Qowam, 2005. Admin, “ Kisah Nabi Yusuf AS Bagian 1”, dalam www.kisahmuslim.com, diakses pada tanggal 20 Januari 2016. Admin, “Kisah Nabi Zakaria”, dalam www.Qur’an.al-shia.org, diakses pada tanggal 20 januari 2016. Arief, Armei, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Asmani, Jamal Ma’mur, Manajemen Strategis Pendidikan Anak Usia Dini, Jogjakarta: Diva Press, 2009. Assegaf, Abd Rachman, Aliran Pemikiran dalam Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013. Budiyanto, Mangun, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri, 2010. Harini, Sri, Mendidik Anak Sejak Dini, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Hasan, Maimunah, PAUD Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: Diva Press, 2009 Hibana, S. Rahman, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: PGTKI Press, 2002. Huda, Miftahul, Idealitas Pendidikan Anak, Malang: UIN Malang Press, 2009. Izzad, Ahmad, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, Banten: Pustaka Aufa Media, 2012. Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2010. Lahij, Rodi, Dalam Buaian Nabi Merajut Kebahagiaan Si Kecil, Jakarta: Zahra, 2005. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Munif Chatib,Orang tuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan Dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak, Bandung: Kaifa, 2014. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 81 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi, Yogyakarta: Teras, 2008. Musaheri, Pengantar Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Partini, Pengantar Pendidikan Anank Usia Dini, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010. Rachman, Fauzi, Islamic Parenting, Jakarta: Erlangga, 2011. Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKiS Group, 2009. Suhartono, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Sujiono, Yuliani Nurani, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta : PT. Indeks, 2009. Suyadi, Konsep Dasar PAUD, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013 Suyadi, Teori Pembelajaran anak Usia dini . Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014 Suyadi, Ternyata Anakku bisa Kubuat Genius, Yogyakarta: Powerbooks, 2009. Suyanto, Slamet, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usi Dini, Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2005. Syarifuddin, Ahmad, Mendidik Anak Membaca Menulis dan Mencintai Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004. Ulwan, Abdullah Nasih, Pedoman pendidikan Anak dalam Islam, Jilid 1 dan 2, Bandung: AsSyifa, 2009. Yus, Anita, Model Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 N. R. Hayati 82 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA DINI MELALUI PENDIDIKAN DALAM KELUARGA Sumiyati Dosen Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA), Margoyoso, Pati Program Studi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) Email: atikpaudi@g mail.com Abstract The success of a child does not only lay in how well his mathematics’ score in school, how expensive his pair of shoes or measured in intellectual ability merely. A smart kid intellectually is not necessarily success in his future life. One of determining factor of the success of children is how social-emotional skills of children can be directed properly. Family plays an important role in developing social-emotional skills of children. Because family is the first education institution of children. In family environment children will recognize and learn several kinds of emotion, either positive or negative. Social-emotional skills of children have been owned since birth. In infant period, a child prefer to be greeted and to see people smile or laugh. This skill will grow continuously in accordance with age and stimulus which derived primarily from experiences especially come from family. Communication which established among family members can show how close the family members interact each other. Parents often neglect their children with a variety of reasons such as working or busy with their smartphone certainly will hinder children’s social emotional development. This happens because children feel neglected. With this condition, children will be mired in bad deeds. For example, hang out with friends outside home and do not go home for days. Whereas for preschool children, they will get easily frustrated because they do not feel accepted and less attention. Therefore, a harmonious family needs to be realized to develop children’s social-emotional skills optimally. Family education is a strategy to build children’s self-confident, drill good personality by empathizing and understanding others. Keywords: Social-Emotional, Family Education, Communication Abstrak Keberhasilan seorang anak tidak hanya terletak pada seberapa bagus nilai matematikanya di sekolah. Keberhasilan seorang anak juga tidak terletak pada seberapa mahal harga sepatu yang dipakainya. Keberhasilan anak tidak hanya diukur pada kemampuan intelektualnya semata. Anak yang pintar secara intelektual belum tentu sukses dalam kehidupan masa depannya. Salah satu penentu faktor keberhasilan seorang anak adalah bagaimana kemampuan sosial emosional anak dapat terasah dengan baik. Keluarga memegang peranan yang penting dalam mengembangkan kemampuan sosial emosional anak. Karena keluarga merupakan sekolah pertama anak, di dalam lingkungan keluarga anak akan mengenal dan mempelajari bermacam-macam emosi, baik positif maupun negatif. Kemampuan sosial emosional seseorang sudah dimiliki semenjak lahir. Pada masa bayi anak-anak lebih senang disapa dan melihat orang tersenyum atau tertawa. Kemampuan ini akan terus berkembang aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 83 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 sesuai dengan bertambahnya usia dan stimulasi yang didapat anak terutama pengalamanpengalaman yang berasal dari keluarga. Komunikasi yang terjalin diantara anggota keluarga dapat menunjukkan seberapa dekat keluarga tersebut saling berinteraksi. Orangtua yang sering mengabaikan anaknya dengan berbagai alasan seperti bekerja, atau sibuk dengan smartphonenya tentu saja akan menghambat perkembangan sosial emosional anak. Hal ini terjadi karena anak merasa terabaikan. Dengan kondisi seperti ini, anak akan lebih mudah terjerumus kepada perbuatan yang tidak baik, misal bergaul dengan teman-teman di luar rumah dan enggan pulang ke rumah. Sedangkan untuk anak-anak usia pra sekolah, anak akan mudah frustasi karena merasa tidak diterima dan kurang mendapat perhatian. Dengan demikian keluarga yang harmonis perlu diwujudkan untuk mengembangkan kemampuan sosial emosional anak dengan optimal. Pendidikan keluarga merupakan strategi untuk membangun rasa percaya diri anak, mengasah pribadi yang baik dengan mampu berempati dan memahami orang lain. Kata Kunci: Sosial Emosional, Pendidikan Keluarga, Komunikasi Pendahuluan Anak merupakan aset yang sangat berharga dalam kehidupan suatu bangsa. Anakanak yang mendapatkan kesempatan dalam hal pengasuhan dan pendidikan yang baik akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Kebahagiaan yang tidak ternilai harganya bagi setiap orangtua yang memiliki anak sehat, cerdas dan bertumbuh kembang dengan baik. Tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya sakit, tidak bisa bermain dan tidak bisa bertumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak seusianya. Tumbuh kembang anak dimulai dari lingkungan keluarga. Sebagaimana kita ketahui bahwa keluarga adalah sekolah pertama dan utama untuk anak-anak. Orangtua merupakan guru pertama yang dikenal oleh anak, terutama seorang ibu. Ibu yang baik dan mampu mendidik anak-anaknya dengan didikan yang baik, keteladanan yang baik serta perilaku yang baik pulalah, yang akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan handal. Usia 0-6 tahun merupakan usia yang sangat penting dan berpengaruh terhadap masa tumbuh kembang anak selanjutnya. Pada usia ini orang sering menyebutnya dengan usia emas (golden ages), sehingga pada usia inilah seorang anak diharapkan mendapat pengasuhan dan pendidikan terbaik dari orangtua dan lingkungannya. Perkembangan zaman yang semakin pesat dan kesibukan orangtua yang bekerja, sedikit banyak membawa dampak terhadap perkembangan anak. Sekarang ini banyak kita jumpai tidak hanya kaum bapak yang bekerja, tetapi para ibu juga bekerja sebagaimana kesibukan para suami. Terkadang usia emas anak dilewatkan hanya dengan pengasuh atau asisten rumah tangga saja di rumah. Televisi dan smartphone adalah pilihan yang lain setelah anak mulai mengerti cara menikmati benda elektronik tersebut. Anak-anak mulai mempelajari fungsi smartphone ketika melihat orangtuanya asyik menelepon, chatting, bahkan bermain game di depan anak-anak mereka. Kebiasaan orangtua yang selalu sibuk dengan smartphone, menonton televisi, bahkan kadang bergosip dan bermain game online merupakan pendidikan yang buruk bagi aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 84 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 perkembangan sosial emosional anak. Anak-anak akan belajar bagaimana abai terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Mereka akan belajar untuk menjadi pribadi yang individualis, tidak peka terhadap sekitar, dan tentu saja mudah marah dan menyalahkan orang lain. Perubahan gaya hidup orangtua sekarang yang cenderung instan dan praktis membuat cara pandang orangtua yang instan juga. Masa keemasan anak yang merupakan periode yang luar biasa menjadi hal yang biasa-biasa saja. Sehingga orangtua lebih mengutamakan kebutuhan fisik anak dibanding kebutuhan secara psikis. Bagian kebutuhan psikis yang berdampak luar biasa pada anak dalam tumbuh kembang selanjutnya adalah terpenuhinya kebutuhan kasih sayang. Kasih sayang merupakan cerminan arti kebutuhan asih yang dapat memberikan kehidupan dan ketenteraman secara psikologis pada anak. Terpenuhinya kebutuhan ini membuat perasaan anak bahagia, tenteram, dan aman. Kebutuhan kasih sayang ini dapat tercermin pada hubungan yang baik antara kedua orangtua, keluarga, atau lingkungan.1 Perkembangan Emosional Anak Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat. Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini tercermin pada aktivitas yang banyak pada bayi yang baru lahir. Meskipun demikian, pada saat lahir, bayi tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.2 Telah banyak penelitian tentang perkembangan emosi anak yang mengungkapkan bahwa perkembangan emosi anak bergantung pada faktor pematangan (maturation) dan faktor belajar yang dimiliki anak, dan tidak hanya dipengaruhi oleh salah satunya saja. Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal masa kehidupan tidak berarti tidak ada atau tidak memiliki emosi. Reaksi emosional itu mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan adanya pematangan dan tahap perkembangan anak. Proses pematangan dan belajar seseorang saling terkait satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosional anak, sehingga pada saatnya akan sulit untuk menentukan dampak relatifnya, karena akan berjalan secara bersamaan. Bayi yang baru lahir sekalipun sudah dapat menunjukkan atau telah dapat mengekspresikan kondisi sosial. Mereka akan senang disentuh, digendong orang terdekatnya, di tepuk-tepuk supaya ia tertidur, dan melihat senyuman di wajah-wajah orang yang berada di sekelilingnya. Di antara orang-orang terdekatnya, ibulah yang paling mempunyai kedekatan lebih. Ibu adalah orang pertama bagi seorang anak, atau seorang bayi. Ibu adalah orang yang paling spesial baginya. Bayi juga dapat mengenal orang lain yang ada di sekitarnya dan merasa senang berinteraksi dengan mereka.3 Sehingga perkembangan sosial yang mempengaruhi perkembangan emosional seseorang dapat distimulasi sedini mungkin, bahkan saat seseorang tersebut masih bayi. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 85 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Perkembangan emosi seseorang mengalami perkembangan yang sangat pesat di usia anak-anak. Dengan bertambahnya usia seseorang, maka kemampuan untuk mengungkapkan emosi akan berkembang, sesuai dengan tahap perkembangannya. Anak-anak akan mulai belajar mengekspresikan emosinya dan mulai belajar mengenal emosi orang lain di sekitarnya, yang mana aspek emosi tidak dapat dipisahkan dengan aspek sosial, karena emosi menentukan atau berpengaruh pada kehidupan sosial anak. Proses sosial-emosi (socioemotional process) melibatkan perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan emosi dan perubahan dalam kepribadian. Senyum seorang bayi karena belaian dan sentuhan lembut ibunya, serangan anak laki-laki pada teman bermain yang membuatnya tidak nyaman, perkembangan rasa asertif seorang anak perempuan, semua itu merupakan cerminan perkembangan sosial-emosi.4 Perkembangan Emosional Anak Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat. Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini tercermin pada aktivitas yang banyak pada bayi yang baru lahir. Meskipun demikian, pada saat lahir, bayi tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.5 Telah banyak penelitian tentang perkembangan emosi anak yang mengungkapkan bahwa perkembangan emosi anak bergantung pada faktor pematangan (maturation) dan faktor belajar yang dimiliki anak, dan tidak hanya dipengaruhi oleh salah satunya saja. Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal masa kehidupan tidak berarti tidak ada atau tidak memiliki emosi. Reaksi emosional itu mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan adanya pematangan dan tahap perkembangan anak. Proses pematangan dan belajar seseorang saling terkait satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosional anak, sehingga pada saatnya akan sulit untuk menentukan dampak relatifnya, karena akan berjalan secara bersamaan. Bayi yang baru lahir sekalipun sudah dapat menunjukkan atau telah dapat mengekspresikan kondisi sosial. Mereka akan senang disentuh, digendong orang terdekatnya, di tepuk-tepuk supaya ia tertidur, dan melihat senyuman di wajah-wajah orang yang berada di sekelilingnya. Di antara orang-orang terdekatnya, ibulah yang paling mempunyai kedekatan lebih. Ibu adalah orang pertama bagi seorang anak, atau seorang bayi. Ibu adalah orang yang paling spesial baginya. Bayi juga dapat mengenal orang lain yang ada di sekitarnya dan merasa senang berinteraksi dengan mereka.6 Sehingga perkembangan sosial yang mempengaruhi perkembangan emosional seseorang dapat distimulasi sedini mungkin, bahkan saat seseorang tersebut masih bayi. Perkembangan emosi seseorang mengalami perkembangan yang sangat pesat di usia anak-anak. Dengan bertambahnya usia seseorang, maka kemampuan untuk mengungkapkan emosi akan berkembang, sesuai dengan tahap perkembangannya. Anak-anak akan mulai aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 86 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 belajar mengekspresikan emosinya dan mulai belajar mengenal emosi orang lain di sekitarnya, yang mana aspek emosi tidak dapat dipisahkan dengan aspek sosial, karena emosi menentukan atau berpengaruh pada kehidupan sosial anak. Proses sosial-emosi (socioemotional process) melibatkan perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan emosi dan perubahan dalam kepribadian. Senyum seorang bayi karena belaian dan sentuhan lembut ibunya, serangan anak laki-laki pada teman bermain yang membuatnya tidak nyaman, perkembangan rasa asertif seorang anak perempuan, semua itu merupakan cerminan perkembangan sosial-emosi.7 Hurlock juga menyebutkan bagaiman emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak: 1) Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari, bahkan emosi seperti kemarahan dan ketakutan juga menambah rasa nikmat bagi kehidupan dengan memberikan suatu kegembiraan. Kenikmatan tersebut terutama ditimbulkan oleh akibatnya yang menyenangkan; 2) Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, emosi yang semakin kuat akan semakin mengguncangkan keseimbangan tubuh untuk persiapan bertindak. Jika persiapan ini ternyata tidak berguna, anak akan gelisah dan tidak tenang; 3) Ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik, persiapan tubuh untuk bertindak ternyata menimbulkan gangguan pada keterampilan motorik, sehingga anak menjadi canggung dan dapat menyebabkan timbulnya gangguan bicara seperti bicara tidak jelas dan menggagap; 4) Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi, melalui perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat mengkomunikasikan perasaan mereka kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan orang lain; 5) Emosi mengganggu aktivitas mental, karena kegiatan mental seperti konsentrasi, pengingatan, penalaran dan lainlain, sangat mudah dipengaruhi oleh emosi yang kuat, anak-anak menghasilkan prestasi di bawah kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu; 6) Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial, orang dewasa menilai anak dari cara anak mengekspresikan emosi dan emosi apa saja yang dominan. Perlakuan orang dewasa yang didasarkan atas penilaian tersebut merupakan dasar bagi anak untuk melakukan penilaian diri; 7) Emosi mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan, bagaimana anak-anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia; 8) Emosi mempengaruhi interaksi sosial, semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui emosi anak belajar cara mengubah perilakau agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial; 9) Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah, emosi yang menyenangkan akan mempercantik wajah anak-anak, sedangkan emosi yang tidak menyenangkan akan menyuramkan wajah dan menyebabkan anak-anak jadi kurang menarik. Karena umumnya orang tertarik atau tidak, tergantung pada ekspresi wajah, emosi memainkan peran penting bagi penerimaan sosial; 10) Emosi mempengaruhi suasana psikologis, baik di rumah, aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 87 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 sekolah, tetangga ataupun pada kelompok bermain, emosi anak mempengaruhi suasana psikologis yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Anak yang temperamen menjengkelkan dan mempermalu orang lain, sehingga mengubah suasana psikologis kepada kemarahan dan kebencian. Hal ini membuat anak merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan; dan 11) Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan, setiap ekspresi emosi yang memuaskan anak akan diulang-ulang, dan pada suatu saat yang tertentu akan berkembang menjadi kebiasaan. Dengan tumbuhnya anak, jika mereka menjumpai reaksi sosial yang tidak menyenangkan, mereka akan mendapatkan kesukaran untuk mengubah kebiasaan. Selain apa yang telah dijelaskan di atas, emosi juga dapat memperkuat motivasi seseorang, apabila seseorang merasakan kebahagiaan, atau merasa puas terhadap sesuatu yang telah berhasil dicapainya. Akan tetapi demikian sebaliknya, emosi juga dapat melemahkan semangat atau motivasi seseorang, apabila seseorang merasa kecewa, dan mengalami suatu kejadian yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka seseorang tersebut dapat mengalami keadaan putus asa (frustasi). Emosi juga dapat mengganggu atau menghambat konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara. Emosi juga dapat mengganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati. Selanjutnya, suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dengan demikian emosi yang bersifat positif dapat mulai diajarkan pada anak sedini mungkin. Perkembangan emosi pada masa bayi, pada awalnya tampil sederhana. Bayi yang berbeda akan memberikan respons yang tidak sama pada rangsangan yang datang dan bergantung pada pengalaman sebelumnya. Banyak faktor yang mempengaruhi respons emosional pada bayi yang tidak saja bergantung pada kondisi fisik dan mentalnya saat rangsangan itu terjadi, namun juga seberapa berhasilnya rangsangan tersebut memenuhi kebutuhan dirinya.8 Sehingga perkembangan emosi dan sosial pada bayi berperan penting dalam hubungan sosial masa mendatang. Pada awal kehidupannya, perhatian seorang anak akan selalu terfokus pada dirinya (individualis), dan ketika dirinya mulai berinteraksi dengan orang-orang baru yang ada di sekitarnya, terutama teman sebayanya, secara perlahan anak akan memiliki rasa ketertarikan terhadap para sahabat dan kawan-kawannya. Ia juga akan belajar untuk saling bertukar ide pemikiran dan pendapat dengan mereka. Maka, si anak akan mulai lebih memiliki sisi-sisi positif dan lebih mampu bekerja sama dengan mereka.9 Perkembangan emosional anak usia dini, pada rentang usia 3-4 tahun, anak masih bersifat egosentris. Egosentris adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif orang lain, sehingga seolah-olah kepentingannya adalah yang pertama kali harus didahulukan. Pada usia ini, anak merasa segala keperluan dan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 88 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 keinginannya lebih penting daripada kepentingan teman lainnya. Mereka mulai merasakan ketakutan-ketakutan yang nyata dan mereka membutuhkan orang-orang dewasa untuk memberikan kenyamanan dan dukungan kepada mereka di dalam setiap situasi.10 Misal anak menginginkan mainan tertentu yang sedang dipegang oleh temannya, atau dipakai temannya, biasanya anak mendekat pada ibunya atau objek lekat yang dikenal anak dan merengek meminta untuk diambilkan mainan tersebut. Bahkan untuk anak-anak tertentu, mereka akan dengan berani merebut mainan yang dipegang oleh temannya. Mereka belum mengerti akan kepemilikan barang, karena masa ini adalah masa untuk menonjolkan keakuan anak, sehingga dialah yang utama, anak memandang segala persoalana dari satu sisi yaitu dirinya sendiri. Anak hanya menginginkan apa yang dia inginkan dan melakukannya sekarang juga.11 Dia tidak mengerti bahwa orang lain dapat berpandangan berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, pada usia ini anak masih suka bermain sendiri atau individual. Selanjutnya, anak mulai bermain bersama dengan teman sebaya seiring tumbuh sifat sosialnya. Sewaktu anak-anak berusia tiga, empat, dan lima tahun bertumbuh, mereka semakin menjadi makhluk sosial. Pada usia tiga tahun memungkinkan mereka untuk bergerak kian kemari secara mandiri dan mereka ingin tahu tentang lingkungan mereka dan orang-orang yang berada di dalamnya. Keterampilan kognitifnya juga semakin berkembang, emosi sosialnya juga makin terasah dengan mengetahui dan merasakan orang-orang yang akrab dan orang-orang yang tidak akrab dengannya.12 Anak-anak akan dapat menilai dan mulai merasakan apakah dia nyaman atau tidak nyaman ketika berada di sekeliling temantemannya, baik yang disukai atau tidak. Perkembangan emosi anak perlu dikawal dan diarahkan sejak dini, supaya emosi yang menonjol tidak cenderung kepada hal-hal yang bersifat negatif, seperti suka marah, ngambek dan cenderung mudah menyalahkan orang lain. Terkadang orang tua tidak kuasa untuk menghadapi emosi anak dan cenderung menuruti setiap keinginan anak disaat anak mulai ngambek meskipun orang tua tahu bahwa hal yang dilakukannya itu tidak baik. Misalnya anak ngambek karena tidak dibelikan mainan, padahal sebenarnya di rumah dia sudah banyak mainan yang seperti itu, sehingga daripada anak ngambek dan menangis yang mungkin dianggap lebih merepotkan maka dibelikanlah mainan yang diinginkannya, di mana pada situasi ini orang tua mengambil jalan aman. Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional Anak Orangtua dan lingkungan keluarga diharapkan dapat memberikan stimulasi yang tepat bagi pengembangan kecerdasan sosial emosional anak. Sehingga setiap orangtua dan keluarga hendaknya selalu mau belajar dan mencari tahu bagaimana memberikan stimulasi aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 89 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 yang baik bagi perkembangan putra-putrinya, termasuk dalam rangka mengembangkan kecerdasan emosional anak, dengan mengetahui tingkat pencapaian perkembangan sosial emosional anak, dengan demikian diharapkan setiap orangtua dapat memberikan stimulasi yang tepat. Tabel. 1 Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial-Emosional Anak13 ASPEK KARAKTERISTIK PERILAKU (USIA 2-4 TAHUN) Kesadaran Diri a. Memberi salam setiap mau pergi b. Memberi reaksi percaya pada orang dewasa c. Menyatakan perasaan terhadap anak lain d. Berbagi peran dalam suatu permainan (misal: menjadi dokter, perawat, pasien) e. Mengikuti aktivitas dalam suatu kegiatan besar (misal: piknik) f. Meniru apa yang dilakukan orang dewasa g. Bereaksi terhadap hal-hal yang tidak benar (marah bila diganggu) h. Mengatakan perasaan secara verbal Tanggungjawab a. Mulai bisa mengungkapkan ketika ingin buang air kecil dan Diri dan Orang lain buang air besar b. Mulai memahami hak orang lain (harus antri, menunggu giliran) c. Menunjukkan sikap berbagi, membantu, bekerja bersama. d. Mulai bisa buang air kecil tanpa bantuan e. Bersabar menunggu giliran f. Mulai menunjukkan sikap toleran sehingga dapat bekerja dalam kelompok g. Mulai menghargai orang lain h. Mulai menunjukkan ekspresi menyesal ketika melakukan kesalahan Perilaku Prososial a. Bermain secara kooperatif dalam kelompok b. Peduli dengan orang lain (tersenyum, menanggapi bicara) c. Membagi pengalaman yang benar dan salah pada orang lain d. Bermain bersama berdasarkan aturan tertentu e. Membangun kerjasama f. Memahami adanya perbedaan perasaan (teman takut, saya tidak) g. Meminjam dan meminjamkan mainan (USIA 4-6 TAHUN) Kesadaran Diri a. Menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan b. Mengendalikan perasaan c. Menunjukkan rasa percaya diri d. Memahami peraturan dan disiplin e. Memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah) f. Bangga terhadap hasil karya sendiri g. Memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan dengan situasi h. Memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 90 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Rasa Tanggungjawab untuk Diri Sendiri dan Orang Lain Perilaku Prososial dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa yang tepat) i. Mengenal perasaan sendiri dan mengelolanya secara wajar ( mengendalikan diri secara wajar) a. Menjaga diri sendiri dari lingkungannya b. Menghargai keunggulan orang lain c. Mau berbagi, menolong dan membantu teman d. Tahu akan haknya e. Mentaati aturan kelas (kegiatan, aturan) f. Mengatur diri sendiri g. Bertanggungjawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri a. Menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif b. Mentaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan c. Menghargai orang lain d. Menunjukkan rasa empati e. Bermain dengan teman sebaya f. Mengetahui perasaan temannya dan merespon secara wajar g. Berbagi dengan orang lain h. Menghargai hak/pendapat/karya orang lain i. Menggunakan cara yang diterima secara sosial dalam menyelesaikan masalah (menggunakan fikiran untuk menyelesaikan masalah) j. Bersikap kooperatif dengan teman k. Menunjukkan sikap toleran l. Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih-antusias, dsb) m. Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat Perkembangan setiap anak memang tidak sama pada setiap rentang usianya, akan tetapi tabel di atas setidaknya dapat membantu untuk memberikan gambaran apa yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua maupun pendidik untuk memberikan rangsangan yang baik dalam rangka mengoptimalkan perkembangan sosial emosional anak. Pendidikan Anak dalam Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Layaknya keluarga terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat satu atap dan biasanya dalam kondisi saling ketergantungan. Kondisi saling ketergantungan inilah yang membuat seseorang memiliki rasa saling membutuhkan dan saling memiliki. Pendidikan anak dalam keluarga merupakan pendidikan yang paling mendasar yang seharusnya didapatkan anak sebelum anak terpapar pendidikan di lingkungan yang lain. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pola aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 91 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pengasuhan yang diterimanya di dalam keluarga. Orangtua adalah pihak pertama dan utama yang mengemban tanggungjawab pendidikan bagi putra-putrinya. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis nabi yang menyebutkan tentang betapa besarnya tanggungjawab yang dimiliki oleh orangtua dalam mendidik anaknya. Kutipan ayat atau hadis berikut ini menegaskan arti penting tanggungjawab orangtua dalam rangka mendidik anak antara lain sebagai berikut: “wahai orang yg beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka…”; “surga berada di bawah telapak kaki ibu”; “didiklah anak-anakmu mengenai tiga hal: mencintai nabimu, keluarganya, dan membaca al-Qur’an”; “setiap anak terlahir dlm keadaan fitrah (suci), kedua orangtua anaklah yg menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”; “sewaktu manusia meninggal dunia, maka segala amal kebaikannya terputus kecuali tiga hal: amal jariyah, ilmu yg bermanfaat, dan anak yg saleh”, dan lain-lain. Sungguh luar biasa tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak. Sehingga sudah menjadi keharusan sebagai orangtua untuk menjadi orangtua yang pedagogis, bukan sekedar menjadi orangtua biologis saja. Amat disayangkan jika kita masih melihat adanya orangtua yang berebut remote televisi dengan anaknya hanya gara-gara ingin melihat sinetron kesayangan. Atau bahkan ketika anak merengek ditemani belajar dan orangtua masih asyik dengan kegiatannya sendiri. Tentu saja keluarga yang seperti ini belum mampu memainkan perannya sebagai sekolah pertama untuk anak. Justru anak belajar hal yang kurang bermanfaat untuk dirinya, seperti banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi, belajar “cuek” terhadap lingkungan, tidak peka terhadap oranglain. Keluarga sebagai sekolah pertama anak hendaknya mulai mengajarkan komunikasi positif dan menyediakan waktu untuk membersamai proses tumbuh dan berkembangnya anak-anak. Seorang ibu hendaknya mau mendengarkan setiap keluhan anaknya. Menjadi pendengar yang baik setiap dibutuhkan. Bukan sebagai “diktator” rumah tangga yang suka marah jika anak melakukukan kesalahan. Karena kurangnya kerhamonisan dalam rumah tangga,sehingga anak- anak selalu mencontoh dengan bertindak tidak menghargai orang lain, bahkan melakukan kekerasan pada orang lain. Sikap orang tua yang selalu acuh tak acuh terhadap anak-anaknya juga pelajaran penting yang diterima oleh anak di mana anak merasa tidak dihargai. Di dalam keluarga, anak-anak membutuhkan kenyamanan, sentuhan, senyuman manis dari orang tua. Sentuhan di sini tidak hanya sentuhan fisik seperti bersalaman setiap kali anak akan berangkat sekolah, tetapi ciuman di pipi anak, pelukan hangat, serta belaian lembut di rambut dari seorang ayah dan ibu merupakan sebuah hadiah yang indah bagi tumbuhya emosi positif anak, bahwa dia diterima dan disayangi oleh keluarganya. Kenyamanan di rumah, perlakuan yang menyenangkan dan yang lebih penting penerimaan dan merasa dibutuhkan membuat anak-anak akan menjadikan rumah dan keluarga sebagi tempat dia selalu ingin pulang. Dengan keluarga yang harmonis, dapat menurunkan angka kenakalan remaja. Hal ini karena anak-anak akan segera ingin pulang ke aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 92 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 rumah setelah pulang sekolah. Keluarga menjadi prioritas pertama anak untuk berkeluh kesah dan berbagi. Keluarga menjadi senjata yang ampuh untuk menghasilkan anak-anak yang berjiwa besar, dan enjalankan pendidikan dengan sadar untuk kepentingan masa depannya. Karena keluarga yang tenteram akan membawa suasana damai dan menyejukkan, sehingga anak-anakpun dapat menjalani proses tumbuh kembangnya dengan optimal. Mengembangkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui Pendidikan dalam Keluarga Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi pengembangan kemampuan sosial emosional anak usia dini. Karena di dalam lingkungan keluargalah anak belajar bersikap dan membangun karakternya. Perkembanga dan kemampuan emosi anak usia dini merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Kemampuan emosi anak sangat berkaitan dengan bagaimana anak membentuk konsep diri. Di lingkungan keluargalah anak akan mengolah segala informasi yang diterimanya. Emosi-emosi yang didapat dari lingkungan keluarga inilah bentuk pembelajaran emosional anak yang pertama kali diterimanya. Gaya komunikasi orangtua merupakan cerminan dari pembentukan emosional anak. Orangtua yang suka marah akan menularkan “virus” suka marahnya kepada anak-anaknya. Orangtua yang suka membentak, akan mengajarkan anak-anak untuk meniru dan melakukan hal yang sama. Sebaliknya, orangtua yang mengedepankan kasih sayang dan selalu berpikir positif, akan menularkan “virus” kebaikan kepada anak-anak mereka. Sebuah kasus yang pernah terjadi di salah satu lembaga pendidikan anak usia dini, adalah ketika ada seorang anak perempuan yang suka menyakiti temannya. Anak tersebut suka sekali melotot dan mencubit temannya. Ketika diingatkan oleh gurunya, anak tersebut tidak merasa takut dan balik memelototi gurunya. Suatu hari anak tersebut datang ke sekolah dalam keadaan lengan dan pahanya biru, seperti bekas cubitan. Sesampai di sekolah anak tersebut bercerita kalau mamanya mencubitnya. Kasus yang lain mengungkapkan bahwa seorang wali murid dari sekolah tertentu diingatkan oleh guru karena belum membayar uang sekolah, padahal sudah lewat tanggal waktu pembayaran, dan biasanya anak tersebut rutin membayar ditanggal yang telah ditentukan oleh pihak sekolah. Setelah di kroscek ternyata uang untuk membayar sekolah tersebut diberikan kepada pengemis yang waktu itu lewat dan berada di depan sekolah. Menurut orangtua siswa tersebut, beliau memang selalu mengajarkan kepada anaknya bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan demikian ketika anaknya dibawakan uang untuk membayar sekolah dan kebetulan ada pengemis yang dijumpainya, maka tanpa merasa bersalah dikasihkannya uang tersebut kepada pengemis. Melihat kasus seperti di atas jelas terlihat bahwa anak-anak belajar dari apa yang dia lihat dan rasakan. Lingkungan keluarga dan orang terdekat menjadi faktor penting bagi aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 93 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 pembentukan karakter anak. Orangtuanyalah yang memang memang memegang peranan penting bagi perkembangan emosional anak, baik emosi negatif, maupun emosi positif. Perkembangan emosional anak tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan sosial anak. Perkembangan sosial dan emosional anak ini mulai dapat dipelajari anak dari dalam lingkungan keluarga. Orangtua perlu mengetahui perkembangan emosi anak, sehinga dapat memberikan tindakan atau perlakuan yang tepat dan bijaksana dalam menghadapi luapan emosi anak. Teladan dan contoh yang baik dan positif merupakan kunci utama dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak. Kecerdasan emosi berperan penting dalam kehidupan seseorang pada perkembangan selanjutnya, sehingga akan menjadi maksimal apabila dapat dikembangkan dan diasah pada anaksedini mungkin. Melalui keluargalah mulai diajarkan komunikasi yang baik, saling menghargai dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengeluarkan pendapatnya. Orangtua hendaknya selalu mengkomunikasikan dengan anak apa yang diharapkan terhadap anaknya, dan menyampaikan alasan yang tepat, yang mampu diterima oleh anak. Melatih empati anak dengan mengikutkan anak ketika ada peristiwa sosial, seperti menengok orang sakit, membantu yang terkena musibah dan berbagi ketika ada pengemis, merupakan hal yang dapat dilakukan orangtua melalui keluarga, sebagai sekolah pertama anak. Catatan Akhir 1 Aziz Alimul Hidayat, Ilmu Kesehatan Anak, (Jakarta: Salemba Medika, 2011), h.50. Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak “terj.” Meitasari Tjandrasa, Muslichah Zarkasih, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1978), h.210. 3 Nusaibah dan Amru, Rahasia Umur 7 Hari sampai Umur 7 Tahun, (Surakarta: Cinta, 2009), h.16 4 Jhon W. Santrock, Perkembangan Anak “terj.” Mila Rachmawati, Anna Kuswanti, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h.19. 5 Elizabeth B. Hurlock, Opcit. 6 Nusaibah dan Amru, Rahasia Umur 7 Hari sampai Umur 7 Tahun, (Surakarta: Cinta, 2009), h.16. 7 Jhon W. Santrock, Opcit. 8 Reni Akbar, Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2001), h.19. 9 Musthafa, Fuhaim, Assyaikh. Manhaj Pendidikan Anak Muslim, (Jakarta: Mustaqim, 2004), h.346. 10 Wahyudi, CHA, Dwi Retna Damayanti, Program Pendidikan untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam, (Jakarta: Grafindo, 2005), h.17. 11 Penney Hames, Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Suka Ngamuk, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.4. 12 Carol Seefeldt dan Barbara A. Wasik, Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), h.83. 13 Permendikbud 2014 No. 137 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini 2 Daftar Pustaka Akbar, Reni, Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: Grasindo, 2001. Hames, Penney, Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Suka Ngamuk, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hidayat, Aziz Alimul, Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: Salemba Medika, 2011. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 94 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak “terj.” Meitasari Tjandrasa, Muslichah Zarkasih, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1978. Musthafa, Fuhaim, Assyaikh. Manhaj Pendidikan Anak Muslim, Jakarta: Mustaqim, 2004. Nusaibah dan Amru, Rahasia Umur 7 Hari sampai Umur 7 Tahun, Surakarta: Cinta, 2009. Permendikbud 2014 No. 137 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini Santrock, Jhon W., Perkembangan Anak “terj.” Mila Rachmawati, Anna Kuswanti, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007. Seefeldt, Carol dan Barbara A. Wasik, Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: PT. Indeks, 2009. Wahyudi, CHA, Dwi Retna Damayanti, Program Pendidikan untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam, Jakarta: Grafindo, 2005. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Sumiyati 95 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 MENANAMKAN MORAL DAN NILAI-NILAI AGAMA PADA ANAK USIA DINI MELALUI CERITA Umayah Dosen Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: umayah.uum@ gmail.com Abstract Child is a gift which given by Allah to mankind. Something that needs to be developed by parents in stimulating children is value investment and moral. Development of moral values is the formation of children’s behavior through habituation which manifested in their daily behavior. It is to prepare children as early as possible in developing attitudes and behaviors based on the Pancasila moral. One of appropriate method to develop moral values to early childhood that is through storytelling. This method is considered will be effective when applied appropriately. In employing this method, there are several things must be considered, among others are: stories which deliver to children must have moral values, in selecting stories must be adjusted to children’s developmental level and not monotonous. Keywords: Moral, Religious Values, Stories. Abstrak Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. kepada ummatnya. Salah satu yang perlu dikembangkan oleh orang tua dalam menstimulasi anak adalah penanaman nilai dan moral. Pengembangan nilai moral adalah pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan yang terwujud dalam perilaku sehari-hari, hal tersebut untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang dilandasi moral pancasila. Salah satu metode yang tepat untuk mengembangkan nilai-nilai moral pada anak usia dini, yaitu melalui metode bercerita, dianggap akan efektif bila diterapkan secara tepat. Dalam menggunakan metode bercerita untuk menanamkan nilai moral pada anak uasia dini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: cerita yang disampaikan kepada anak harus memuat peasn moral, dalam memilih tema cerita disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak adan tidak monoton Kata Kunci: Moral, Nilai-nilai Agama, Cerita Pendahuluan Setiap orang tua memiliki keinginan anaknya dapat tumbuh menjadi anak yang pandai, cerdas, rajin, baik, memiliki akhlaqul karimah, beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, kelak agar anaknaya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang nakal, jahat, memiliki akhlaq tercela dan jauh dari nilai-nilai Agama Islam dan moral. Harapan untuk menjadikan mereka yang terbaik, yang dapat menunjang kehidupan mereka di masa depan, atau untuk aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 96 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 kebaikan anak itu sendiri. dapat terwujud dengan kesadaran bahwa begitu pentingnya nilainilai Agama Islam dan moral bagi tumbuh kembang anak. Anak usia dini merupakan “individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini yaitu 0 sampai 6 tahun merupakan masa keemasan (golden age) di mana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya”. Raudlatul athfal salah satu bentuk pendidikan formal yang bertujuan mengembangkan 5 (lima) kemampuan dasar yaitu nilai agama, moral, kognitif, fisik motorik, bahasa, dan sosial emosional. Salah satu yang penting untuk dikembangkan adalah nilai-nilai Agama dan moral. Pengembangan nilai agama dan moral merupakan pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan yang terwujud dalam keadaan sehari-hari, hal tersebut untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku. Pada anak-anak, nilai moral akan terlihat dari mampu tidaknya seorang anak membedakan antara yang baik dan yang buruk, jujur, rapi dalam bertindak dan berpakaian, ramah, menghormati guru, tanggung jawab, berbuat Adil, sopan santun,menghargai teman, dan menjaga kebersihan lingkungan. Islam menyatakan bahwa ketika manusia dilahirkan di dunia membawa pembawaan yang disebut fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang yang berupa keyakinan beragama, perilaku untuk menjadi baik buruk yang kesemuanya harus dikembangkan agar dapat tumbuh secara wajar sebagai hamba Allah SWT1. Perkembangan anak yang dicapai merupakan integrasi dari lima aspek yaitu: pemahaman nilai-nilai agama dan moral, motorik (kasar dan halus), kognitif (mengenal pengetahuan umum, konsep ukuran bentuk dan pola), bahasa (menerima dan mengungkapkan), serta sosial-emosional (mampu mengendalikan emosi). Supaya anak mencapai tingkat perkembangan yang optimal, dibutuhkan keterlibatan orang tua dan orang dewasa untuk memberikan rangsangan yang bersifat menyeluruh dan terpadu yang meliputi pendidikan, pengasuhan, kesehatan, gizi, dan perlindungan yang diberikan secara konsisten melalui pembiasaan.2 Dalam proses pembelajaran pada anak usia dini masih ditemukan gejala rendahnya penanaman nilai-nilai Agama Islam. Pada kenyataannya bekal utama untuk membentengi anak dari pengaruh luar yang dapat merusak moral adalah dengan menanamkan nilai-nilai Agama Islam pada anak usia dini, karena dapat memperkuat jiwa sang anak dalam menghadapi segala tantangan zaman. Penanaman nilai- nilai tersebut, bukanlah suatu hal yang ringan seperti membalikkan telapak tangan, namun untuk mewujudkannya memerlukan tekad yang kuat dan kesabaran yang ekstra. Pengembangan nilai nilai Agama dan moral anak usia dini harus dilakukan dengan tepat. Jika hal ini tidak bisa tercapai, maka pesan moral yang akan disampaikan ‟orang tua‟ kepada anak menjadi terhambat. Pengembangan nilai moral untuk anak usia dini ini bisa aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 97 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 dilakukan di dalam tiga tri pusat pendidikan yang ada, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Upaya pengembangan nilai moral anak usia dini harus dilakukan dengan tepat. Jika metode, media, bahan ajar, strategi tidak tepat maka pesan moral yang akan disampaikan guru kepada anak menjadi terhambat. Salah satu metode yang tepat untuk mengembangkan nilainilai moral pada anak usia dini, yaitu melalui metode bercerita. Seto Mulyadi pernah berkata, "Bukan hanya aspek kecerdasan kognitif belaka yang diperoleh anak melalui medium bercerita, tetapi juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (moral) yang bias dikembangkan melalui cerita-cerita (dongeng-dongeng) yang indah itu."3 Metode bercerita ini cenderung lebih banyak digunakan, karena anak RA biasanya senang jika mendengarkan cerita dari guru. Metode bercerita dapat mengubah etika anakanak karena sebuah cerita mampu menarik anak-anak untuk menyukai dan memperhatikan, serta merekam peristiwa dan imajinasi yang ada dalam cerita. Penanaman Nilai Agama Islam Dan Moral Menurut I Wayan Koyan, nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai ktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan seharihari.4 Penanaman nilai keagamaan Islam adalah suatu cara atau metode pada pemberian arahan yang bertujuan untuk membentuk seseorang memiliki jiwa dan berkarakter Islami. Ada 3 unsur materi yang dipelajari dalam penanaman nilai keagamaan yaitu Iman, Islam dan Ihsan dalam prosesnya seorang guru dapat menanamkan nilai-nilai keagamaan tersebut melalui yaitu antara lain dengan pembiasaan, pengajaran dan teladan. Inti dari tema penulisan ini adalah “Bagaimana upaya seorang guru terhadap murid-muridnya” yaitu melalui proses pengajaran dengan menggunakan metode bercerita, hal ini diambil karena dapat dengan mudah difahami dan dimengerti oleh murid-murid RA. Moral merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan setiap individu, baik moral yang baik ataupun buruk. Moral berasal dari bahasa latin “Mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral mempunyai arti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial yang dikembangkan oleh konsep moral. Konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pada perilaku yang diharapkan dari masing-masing anggota kelompok.5 Menurut Piaget, hakekat moral adalah kecenderungan menerima dan menaati system peraturan. Selanjutnya ada pndapat lain seperti yang dikatakan oleh Kohlberg yang mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan seseorang dalam aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 98 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku pada kehidupannya. Jadi perkembangan moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik atau buruk dan benar atau salah, dan faktor afektif yaitu sikap atau moral tersebut dipraktikkan. Teori Perkembangan Moral Tahapan Perkembangan Moral Piaget Menurut Piaget perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama adalah ”tahap realisme moral” atau ”moralitas oleh pembatasan” dan tahap kedua ”tahap moralitas otonomi‟ atau”moralitas kerjasama atau hubungan timbal balik”.6 Dalam tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini anak menilai tindakannya benar atau salah berdasarkan konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakannya tersebut. Dalam tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebih. Gagasan yang kaku dan tidak luwes tentang benar salah perilaku mulai dimodifikasi. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Tahap Perkembangan Moral Kohlberg Kohlberg mengemukakan ada tiga tahap perkembangan moral, yaitu: 1) Tingkat moralitas prakonvensional. Pada tahap ini perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Dalam tahap pertama tingkat ini anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan moralitas suatu rtindakan pada akibat fisiknya. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyesuaian terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan; 2) Tingkat moralitas konvensional. Dalam tahap pertama tingkat ini anak menyesuaiakan dengan peraturan untuk endapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan mereka. Dalam tahap kedua tingkat ini anak yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial; 3) Tingkat moralitas pasca konvensional. Dalam tahap pertama tingkat ini anak yaki bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinankeyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral. Dalam tahap kedua tingkat ini, orang menyesuaiakan dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasatidak puas demngan diri sendiri dan bukan untuk menghindari kecaman sosial. Cerita aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 99 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi atau hanya sebuah dongeng yang dikemas dalam bentuk cerita yang dapat didengarkan dengan rasa menyenangkan. Pada pendidikan anak usia dini, bercerita merupakan salah satu metode pengembangan bahasa yang dapat mengembangkan beberapa aspek fisik maupun psikis anak sesuai dengan tahap perkembangannya. Menurut Moeslichatoen mengungkapkan bahwa “Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan” cerita yang dibawakan harus menarik, dan mengundang perhatian anak dan tidak lepas dari tujuan pendidikan bagi anak TK.7 Menurut Musfiroh mengatakan bahwa “Metode bercerita adalah salah satu metode yang dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak, yaitu melalui perbendaharaan kosa kata yang sering didengarnya, sedangkan banyak kata yang dikenalnya semakin banyak juga konsep tentang sesuatu yang dikenalnya”.8 Nurgiyantoro berpendapat bahwa bercerita merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif. Artinya, dalam bercerita seseorang melibatkan pikiran, kesiapan mental, keberanian, perkataan yang jelas sehingga dapat dipahami oleh orang lain.9 Dengan kata lain, bercerita adalah salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain dengan cara menyampaikan berbagai macam ungkapan, berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dan dibaca. Fungsi Metode Bercerita Secara umum metode berfungsi sebagai pemberi atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut. Aziz Mustofa dan Imam Musbikin mengungkapkan apabila dilihat dari isi ceritanya dongeng mempunyai kekuatan dalam membangun imajinasi anak, menanamkan nilai-nilai etika, menanamkan rasa simpati, rasa kesetiakawanan pada sesama, yang akhirnya akan membentuk kepribadian pada seorang anak.10 Jadi dongeng mempunyai fungsi bukan sekedar alat komunikasi tetapi juga alat nanamkan nilai. Bercerita bukan hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga merupakan suatu cara yang dapat digunakan dalam mencapai sasaran–sasaran atau target pendidikan. Metode bercerita dapat menjadikan suasana belajar menyenangkan dan menggembirakan dengan penuh dorongan dan motivasi sehingga pelajaran atau materi pendidikan itu dapat dengan mudah di berikan. Melalui cerita, bisa mengajarkan bagaimana berteman, bagaimana bermusyawarah, bagaimana menghadapi lawan dan sebagainya.11 Beberapa fungsi metode cerita antara lain: 1) Menanamkan nilai-nilai pendidikan yang baik. Melalui metode bercerita ini sedikit demi sedikit dapat ditanamkan hal-hal yang baik kepada anak didik, dapat berupa cerita para rosul atau umat-umat terdahulu yang memiliki kepatuhan dan keteladanan. Cerita hendaknya dipilih dan disesuaikan dengan aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 100 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 tujuan yang hendak di capai dalam suatu pelajaran. 2) Dapat mengembangkan imajinasi anak. Kisah-kisah yang disajikan dalam sebuah cerita dapat membantu anak didik dalam mengembangkan imajinasi mereka. Dengan hasil imajinasinya diharapkan mereka mampu bertindak seperti tokoh-tokoh dalam cerita yang disajikan oleh guru. 3) Membangkitkan rasa ingin tahu. Mengetahui hal-hal yang baik adalah harapan dari sebuah cerita sehinnga rasa ingin tahu tersebut membuat anak berupaya memahami isi cerita. Isi cerita yang dipahami tentu saja akan membawa pengaruh terhadap anak didik dalam menentukan sikapnya. 4) Memahami konsep ajaran Islam secara emosional. Cerita yang bersumber dari Al-Qur‟an dan kisah-kisah keluarga muslim di perdengarkan melalui cerita di harapkan anak didik tergerak hatinya untuk mengetahui lebih banyak agamanya dan pada akhirnya terdorong untuk beramal di jalan lurus. Cerita adalah cara paling ampuh untuk menanamkan suatu gagasan atau pikiran. Tampaknya sepele saja, tetapi cerita memiliki kekutan luar biasa. Tak kala menarik hingga kini adalah Kisah Para Nabi yang ada hingga kini di dalam Al-quran. Kisah nabi-nabi yang selalu kita baca di riwayat para Rassul. Kekuatan cerita sudah sangat diakui menjadi cara yang paling ampuh pula untuk mengajarkan nilai-nilai moral, budi pekerti, konsep sebab akibat, dan konsep-konsep dunia lainnya. Kepada kita, kita masih ingat kisah si kancil yang mengajarkan nilai moral dan kearifan lokal. Memang akan jauh lebih mudah bagi anak untuk memahami aturan dunia yang sederhana daripada mendengar begitu banyak larangan atau aturan. Dari situ di ambil dan disimpulkan bahwa dengan bercerita kita dapat menanamkan nilai-nilai apa yang kita tanamkan kepada anak didik kita. Dalam proses belajar mengajar, cerita merupakan salah satu metode yang terbaik. Dengan adanya metode bercerita diharapkan menyentu jiwa jika didasari dengan ketulusan hati yang mendalam. Metode bercerita ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an: Artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” ( Q.S. Yusuf [12] : 3 ). Kandungan ayat ini mencerminkan bahwa cerita yang ada dalam Al-Qur‟an merupakan cerita-cerita pilihan yang mengandung nilai pedagonis. Pertimbangan aspek pendidikan dalam memilih tema cerita juga penting, sehingga dari tema cerita di peroleh dua keuntungan, yaitu menghibur dan mendidik anak dalam waktu bersamaan. Disinilah letak peran pencerita untuk dapat memilih tema cerita dan menyampaikan pesan-pesan didaktis dalam cerita.Unsur mendidik, baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam tema dongeng. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 101 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Bercerita Untuk Menanamkan Nilai Moral Pada Anak Usia Dini Bercerita merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia dini. Melalui metode bercerita dapat disampaikan beberapa pesan moral kepada anak. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Otib Satibi Hidayat bahwa cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya.12 Mengingat tahap perkembangan anak usia dini yang masih pada tahap pra operasional kongkrit, maka dalam bercerita guru harus mampu mengkongkritkan isi cerita dan pesan moral yang ada di dalam cerita yang disampaikan. Upaya pengkongkritan hal-hal yang bersifat abstrak ini dapat dilakukan dengan cara penggunaan alat peraga dalam bercerita. Fungsi alat peraga dalam bercerita adalah untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga juga berfungsi untuk memusatkan perhatian anak agar lebih mudah untuk difokuskan. Alat peraga yang dapat digunakan guru dalam bercerita cukup banyak macam dan jenisnya. Diantaranya adalah boneka tangan, papan panel, gambar, dan lain sebagainya. Penggunaan metode bercerita ini membawa pengaruh positif dalam proses menanamkan nilai moral kepada anak. Jika dibawakan dengan baik oleh sang guru maka nilai moral yang terkandung di dalam cerita tersebut dapat dipahami oleh anak dengan baik. Sebaliknya, apabila guru atau pendidik kurang menguasai teknik bercerita maka nilai moral yang hendak disampaikan kurang berhasil dengan baik, bahkan anak cenderung bermain sendiri tidak memperhatikan cerita yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu dalam penyampaian nilai moral melalui cerita seorang guru disamping harus paham dengan nilai moral yang hendak disampaikan, ia juga harus menguasai dengan baik teknik dalam bercerita. Dengan demikian lambat laun dengan berjalannya waktu anak akan merubah perilakunya yang semula tidak sesuai dengan nilai yang ada menjadi lebih baik sesuai dengan tokoh yang diperankan dalam cerita. Manfaat Cerita untuk Anak Cerita sangat bermanfaat bagi pengembangan anak. Berikut ini dapat disimak beberapa pandangan mengenai manfaat cerita. 1) Membantu pembentukan pribadi dan moral anak. Cerita sangat efektif membentuk pribadi dan moral anak. Melalui cerita, anak dapat memahami nilai baik dan buruk yang berlaku pada masyarakat. 2) Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi. Cerita dapat dijadikan sebagai media menyalurkan imajinasi dan fantasi anak. Pada saat menyimak cerita, imajinasi anak mulai dirangsang. lmajinasi yang dibangun anak saat menyimak cerita memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah secara kreatif. 3) Memacu kemampuan verbal anak. cerita dapat memacu kecerdasan linguistik anak. Cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 102 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 cerita tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi13. Ada tiga aspek yang diamati dalam mengembangkan nilai-nilai moral pada anak melalui metode bercerita, sebagai berikut: 1) Menghargai Teman. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “Menghargai mempunyai arti bermacam-macam, diantaranya memberi, menentukan, menilai, membubuhi harga, menaksir harga, memandang penting (bermanfaat, berguna), menghormati”14. Menghargai merupakan sebuah ungkapan yang terdengar sederhana, tetapi banyak orang yang lalai dalam mengaplikasikannya. Saling menghargai dapat diaplikasikan dengan mudah. Hal ini dapat dimulai dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 2) Sopan Santun. Secara etimologis, sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan santun dapat diartikan, sebagai berikut: sopan ialah hormat dengan tak lazim (akan,kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan sebagai cerminan kognitif (pengetahuan). Santun, yaitu halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan). Jika digabungkan kedua kalimat tersebut, sopan santun adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui sikap, perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata krama; peradaban; kesusilaan”. Pentingnya nilai moral ditunjukkan melalui sikap sopan santun yang dimiliki oleh setiap individu. Oleh karena itu, agar anak dapat belajar sopan santun di RA, maka aspek sopan santun dianggap bisa menanamkan nilai-nilai moral melalui metode bercerita di RA selanjutnya. Berikut contoh yang perlu ditularkan kepada anak untuk mengajarkan sopan santun: 1) Mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu atau ketika si prasekolah dibawakan sesuatu baik oleh orang tua maupun orang lain. Sekaligus mengajarkan menghargai jerih payah orang lain; 2) Mengucapkan "maaf" jika bersalah. Mengajarkan sportivitas dan berani mengakui kesalahan; 3) Mengucapkan tolong ketika meminta diambilkan sesuatu; 4) Menyapa, memberi salam atau mengucapkan permisi jika bertemu orang lain; 5) Mengajarkan adab menerima telepon. Sekaligus mengajarkan bagaimana berbudi bahasa yang baik; 6) Etiket makan yang baik, tidak sambil jalanjalan atau melakukan aktivitas lain. Sikap ketika makan di meja makan, tidak bersendawa atau makan sambil ngobrol. Langkah-langkah mengajarkan sopan santun pada anak sebagai berikut: ajarkan satu keterampilan sosial dalam satu waktu, berikan penghargaan atas kesuksesannya, toleransi yang proporsional, ingatkan mereka jika lupa, dan jadilah contoh yang baik. 3) Tanggung Jawab. Tanggung jawab dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menaggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 103 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 tidak disengaja”. Mengingat pentingnya sifat tanggung jawab pada diri seseorang, maka sikap tersebut akan lebih baik jika ditanamkan sedini mungkin, agar anak terbiasa menunjukan sikap yang bertanggung jawab, seperti mengatasi masalahnya sendiri. Aspek tanggung jawab penilaiannya, dilihat dalam pencapaian beberapa indikator, yaitu Jika anak mampu mengurus dirinya sendiri (misalnya memakai sepatu sendiri), anak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, (misalnya mewarnai gambar dengan baik hingga selesai), Meminta maaf jika sudah berbuat salah, dapat menyimpan kembali buku dan alat tulis yang sudah dipakai ketempatnya, membuang sampah pada tempatnya, dan Anak dapat merapikan peralatan makan dan minum sendiri. Kesimpulan Bercerita memberikan sejumlah pengetahuan sosial nilai-nilai moral keagamaan. Bercerita memberikan pengalaman belajar untuk melatih pendengaran, dan bercerita memberikan pengalaman belajar yang unik dan menarik, serta dapat mengatakan perasaan, membangkitkan semangat dan menimbulkan keasyikan tersendiri. Penerapan metode bercerita pada anak, berdasarkan kemampuan yang diharapkan mencapai beberapa pengembangan, seperti bahasa, moral, sosial emosional dan dapat memberikan pengetahuan atau informasi baru bagi anak setelah anak mendengarkan cerita. Saat membawakan cerita harus sesuai dengan tahap perkembangan anak, baik dari bahasa, media dan langkah-langkah pelaksanaannya, agar lebih efektif, komunikatif, dan menyenangkan bagi anak. Catatan Akhir 1 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.113. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009, Standar Pendidikan Anak Usia Dini, Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan, h.2. 3 Imam Musbikin, “Buku Pintar PAUD” (dalam perspektif Islami), (Jogyakarta: Laksana, 2010), h.246. 4 I Wayan Koyan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya, ( Jakarta: Depdiknas, 2000), h.12. 5 Mursid, Belajar dan Pembelajaran PAUD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), h.76. 6 Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 1998), h.79 7 R. Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak- Kanak, ( Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2014) 8 Tadzkiroatun Musfiroh dkk., Cerita Untuk Perkembangan Anak, (Yogyakarta: Navil, 2005), h.79. 9 Lilis Madyawati, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, (Jakarta. Prenadamedia Group, 2016), h.162. 10 Aziz Mustafa dan Imam Musbikin, Sepasang Burung dan Nabi Sulaiman, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h.6. 11 Reza Farhadian, Menjadi Orang Tua Pendidik, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h.119. 12 Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005), h.412. 13 Lilis Madyawati, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h.167. 14 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.702 2 aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 104 aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105 Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal ISSN 2541-5549 Daftar Pustaka Farhadian, Reza, Menjadi Orang Tua Pendidik, Jakarta: Al-Huda, 2005. Hidayat, Otib Satibi, Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama, Jakarta: Universitas Terbuka, 2005. Hurlock, Elizabeth, Perkembangan Anak Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 1998. Koyan, I Wayan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya, Jakarta: Depdiknas, 2000. Madyawati, Lilis, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, Jakarta. Prenadamedia Group, 2016. Moeslichatoen, R., Metode Pengajaran di Taman Kanak- Kanak, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2014. Mursid, Belajar dan Pembelajaran PAUD, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015. Musbikin, Imam, “Buku Pintar PAUD” (dalam perspektif Islami), Jogyakarta: Laksana, 2010. Musfiroh, Tadzkiroatun, dkk., Cerita Untuk Perkembangan Anak, Yogyakarta: Navil, 2005. Mustafa, Aziz dan Imam Musbikin, Sepasang Burung dan Nabi Sulaiman, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009, Standar Pendidikan Anak Usia Dini, Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), Bandung: Pustaka Setia, 1997. aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549 Umayah 105 PEDOMAN PENULISAN Penulis yang bermaksud mengirimkan karyanya untuk Jurnal As-Sibyan, dianjurkan mengikuti pedoman berikut ini: 1. Naskah orisinil hasil penelitian empiris atau kajian teoritis-reflektif mengenai kajian gender dan anak dalam berbagai metode dan pendekatan yang belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang dalam proses review di jurnal yang lain. 2. Artikel hasil penelitian memuat: Judul, Nama Penulis (disertai dengan identitas penulis dan alamat instansi/ lembaga penulis, email dan HP), Abstrak (diikuti kata kunci), Pendahuluan (memuat latar belakang, masalah, tinjauan pustaka secara ringkas, masalah penelitian dan tujuan penelitian), Metode Penelitian, Hasil Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian). 3. Artikel kajian teoritis-reflektif atau kajian konseptual memuat: Judul, Nama Penulis (disertai dengan identitas penulisan dan alamat instansi/ lembaga penulis, email dan No. HP), Abstrak (diikuti dengan kata kunci), Pendahuluan, Sub-sub Judul (sesuai dengan kebutuhan), Penutupan / Kesimpulan dan Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian). 4. Naskah dalam Bahasa Indonesia dan Inggris diketik 1 spasi pada kertas A4 dengan menggunakan font Time New Roman ukuran 12 pt untuk tubuh tulisan dan 10 pt untuk footnotes; sedangkan naskah berbahasa Arab diketik 1 spasi dengan menggunakan font Traditional Arabic ukuran 14 pt. untuk tubuh Tulisan dan 12 pt untuk footnotes. Panjang tulisan kurang lebih 15-25 halaman. 5. Abstrak terdiri dari 150-200 kata yang ditulis dalam satu paragraph, dilanjutkan dengan kata kunci (keywords) 406 kata. Abstark memuat latar belakang penulisan, tujuan penulisan, pembahasan, dan kesimpulan. Apabila merupakan hasil penelitian, harus memuat metode dan hasil penelitian. 6. Transliterasi Arab-Latin diharuskan berpedoman pada Pedoman Transliterasi ArabLatin SKB dua menteri, Menteri Agama R.I. Nomor 158 tahun 1987 dan Menteri Pendidiknan dan Kebudayaan R.I. nomor 0543 b/u/1987 tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin. 7. Rujukan terjemah Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia mengacu pada Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama R.I.; sedangkan dalam Bahasa Inggris mengacu pada karya Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary. 8. Sumber rujukan dianjurkan menggunakan bahan pustaka manual dan digital mutakhir (5-10 tahun terakhir). Sistem kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan tlisan dalam sistem footnotes. 9. Semua naskah akan ditelaah oleh Dewan Redaksi dan Hasil keputusan siding redaktur yang relevan disampaikan kepada pengirim tulisan. 10. Penulis menerima bukti pemuatan sebanyak 2 eksemplar jurnal. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Artikel dapat dikirim ke alamat Redaksi Jurnal pendidikan Guru Raudlatul Athfal, yaitu Jurnal As-Sibyan, via e-mail: pgra.iainbanten@ gmail.com atau ubi.affan@ gmail.com 106