aṣ-ṣibyan

advertisement
aṣ-ṣibyan
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
Susunan Redaksi Jurnal aṣ-ṣibyan
Penanggung Jawab: Subhan (Dekan FTK IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)
Redaktur: Umayah Penyunting: Hunainah, Imroatun, Yahdinil Firda Nadhirah, Uyu
Mu’awanah, Tri Ilma Septiana Mitra Bestari: Fattah Hanurawan (UM Malang), Suyadi
(UIN Yogyakarta), Eneng Muslihah (IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), Heru
Kurniawan (IAIN Purwokerto) Setting & Layout: Birru Muqdamien, Juhji Sekretariat: Sri
Sugiyanti, Hujanil Karim,
Penerbit:
Jurusan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani Kp. Andamu'i Kel. Sukawana Kec. Curug
Kota Serang Email: pgra.iainbanten@gm ail.com
aṣ-ṣibyan, ISSN 2541-5549, diterbitkan enam bulan sekali oleh Jurusan Pendidikan Guru
Raudhatul Athfal Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
berdasarkan Surat Keputusan Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten No.
In.10/F.I/HK.00.5/1201/2016, tanggal 04 April 2016.
aṣ-ṣibyan
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-105, Januari - Juni 2016
DAFTAR ISI
Membangun Karakter Anak Melalui Dongeng
Di’amah Fitriyyah..................................................................................................
1 - 10
Metakognisi dalam Pembelajaran RA
Fu`ad Arif Noor .....................................................................................................
11 - 20
Model Pengembangan Kurikulum PAUD
Hasbullah .................................................................................................................
21 - 28
Program Parenting untuk Membentuk Karakter Anak Usia Dini
di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
Heru Kurniawan, Risdianto Kurniawan ...............................................................
29 - 39
Bermain Sebagai Metode Pembelajaran Utama Anak Raudhatul Athfal
Imroatun .................................................................................................................
40 - 48
Pembelajaran Sains pada Anak Raudhatul Athfal
Juhji ........................................................................................................................
49 - 59
Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini
Muhiyatul Huliyah.................................................................................................
60 - 71
Pendidikan Pra Sekolah (Pendidikan Anak Usia Dini) dalam Islam
Nur Rohmah Hayati...............................................................................................
72 - 82
Mengembangkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Usia Dini
Melalui Pendidikan Dalam Keluarga
Sumiyati ..................................................................................................................
83 - 95
Menanamkan Moral dan Nilai-Nilai Agama Pada Anak Usia Dini
Melalui Cerita
Umayah...................................................................................................................
96 - 105
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
MEMBANGUN KARAKTER ANAK MELALUI DONGENG
Di’amah Fitriyyah
Dosen Bahasa Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: diamahfitriyyah@ gmail.com
Abstract
Recently, the condition of socio-cultural of Indonesian increasingly tend to be worried. Moral
crisis and violence case almost happened in every circle either adults, teenagers, or children.
In liputan 6.com on March 3, 2012, reported homicide case which committed by an
elementary student in Depok, West Java. On April 2, 2016. Fourteen teenagers in Bangkulu
were reported to be rape suspects toward a girl. Some criminal cases often publish in mass
media, the phenomenon show moral degradation of Indonesian. Character building comes to
answer and reform moral crisis which happened in Indonesia. Character building better to
introduce since childhood period, early childhood education is started from kindergarten.
Therefore, one of the best way to convey character values is through storytelling. By using
storytelling children will learn character values from characters, plot of story, and moral
values from a story
Keywords: character building, storytelling
Abstrak
Kondisi sosial, kultural masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang semakin
mengkhawatirkan. Krisis moral melanda negeri ini, kasus kekerasan hampir terjadi di semua
kalangan, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak. Dalam liputan 6.com tanggal 3 Maret
2012, diberitakan kasus pembunuhan yang dilakukan anak SD di Depok Jawa Barat. Tanggal
4 April 2016, 14 remaja di Bengkulu dilaporkan menjadi tersangka pemeekosaan terhadap
anak perempuan. Berbagai kasus kriminal lain sering dimuat di surat kabar. Fenomena
tersebut memperlihatkan kemorosotan moral. Pendidikan karakter hadir untuk menjawab dan
memperbaiki krisis moral yang terjadi di Indonesia. Pendidikan karakter lebih baik
disampaikan pada saat usia dini, pendidikan usia dini di Indonesia dimulai dari TK. Oleh
karena itu, metode yang dianggap baik untuk menyampaikan nilai-nilai karakter yaitu metode
dongeng. Melalui dongeng anak akan belajar nilai-nilai karakter dari tokoh-tokohnya, alur
cerita, dan dari pesan yang yang dimuat dalam dongeng.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Dongeng
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
1
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendahuluan
Pemerintah telah mencanangkan dengan jelas kebijakan mengenai pendidikan
karakter yang tersirat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membetuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.1
Berdasarkan pasal pada fungsi dan tujuan pendidikan, ada dua hal penting, pertama
mengembangkan kemampuan dan kedua membentuk watak. Leonardy Harmainy dalam Agus
Wibowo menyatakan bahwa “pendidikan karakter sebaikya dimulai sejak usia dini”.2 Usia 06 atau anak usia TK merupakan momen penting bagi tumbuh kembang anak yang sering
disebut golden age atau usia keemasan, dengan demikian menjadikan usia dini sebagai
penanaman utama karakter anak adalah langkah yang tepat.
Terkait dengan pendidikan karakter anak usiadini perlu dilakukan dengan sangat hatihati karena anak usia dini adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan praoperasional kongkret, sebagaimana dikemukankan oleh Piaget. Sementara nilai-nilai karakter
merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga anak belum bisa secara serta merta
menerima apa yang diajarkan oleh guru ataupun orang tua dengan cepat. Guru atau orang tua
harus cerdas memilih metode yang akan digunakan dalam menyampaikan pendidikan
karakter. Dongeng hadir sebagai alternatif metode yang menyenangkan bagi anak.
Dongeng dapat dijadikan jembatan untuk tercapainya misi dan visi pendidikan
karakter. Selain dapat mengasah fantasi dan imasjinasi anak, mendongeng juga merupakan
metode penyampaian pesan moral yang sangat efektif kepada anak. Pendidikan karakter yang
di dalamnya terdiri dari bayak tujuan positif seperti mendidik dan membina anak lebih
kreatif, mandiri, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat berjalan dengan baik dengan
kegiatan mendongeng sebagai salah satu metode penyampaian pesan-pesan moral kepada
anak.
Karakter
Pada abad ke-14 istilah karakter yang dalam bahasa Perancis “caractere” sudah mulai
digunakan, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” yang akhirnya
menjadi bahasa Indonesia “karakter”. Menurut kamus ilmiah popular karakter adalah watak,
tabiat, pembawaan, pembiasaan. Senada dengan istilah karakter adalah “personality
characteristic yang berarti bakat, kemampuan, sifat, dan sebagainya yang secara konsisten
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
2
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
diperagakan oleh seseorang, termasuk pola-pola perilaku, sifat-sifat fisik, dan ciri-ciri
kepribadian”.3
Wynne dalam Raharjo menyatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter.
Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Kedua, istilah karakter
erat kaitannya dengan personality, seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.4
Secara terminologi karakter adalah sifat, watak, pembawaan, atau kebiasaan yang
mendarah daging yang kemudian menjadi ciri khas seseorang. Menurut Thomas Lickona
karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral.5 Sifat
alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Menurut
Kemendiknas, karakter adalah nilai-nilai unik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan
dalam perilaku. Dalam Islam karakter dikenal dengan istilah akhlak yaitu sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia, dan muncul secara spontan tanpa memerlukan pertimbangan atau
pemikiran, serta tanpa perlu dorongan dari luar,6 dan berkembang menjadi kebiasaan
sedangkan nilainya diletakkan pada ajaran Islam.7
Pendidikan Karakter
Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 1
menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara”.8
Bunyi pasal ini sejalan dengan gagasan John Dewey dalam Mansur Muslich
menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.9 Socrates dalam Abdul Majid
berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang
menjadi good and smart.10
Pendidikan karakter secara eksplisit dapat dikatakan sebagai pendidikan moral yang
mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik, jujur, dan
penyayang11. Pendidikan karakter berarti mengukir sifat hingga terbentuk pola memerlukan
proses yang panjang melalui pendidikan, maka pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk
membentuk kebiasaan hingga sifat anak terukir sejak dini
Indonesia Heritage Foundation dalam Sri Narwanti mengidentifikasikan sembilan
karakter yang menjadi tujuan pendidikan karakter, yaitu: 1) cinta kepada Allah dan semesta
beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5)
kasih sayag, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
3
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta
damai, dan persatuan.12 Dewan sekolah di New York menyepakati ada sepuluh karakter,
yaitu: 1) respect, 2) responsibility, 3) honesty, 4) empathy, 5) fairness, 6) initiative, 7)
courage, 8) perseverance, 9) optimism, 10) and integrity.13 Pusat kurikulum dalam rangka
lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7)
mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, (12)
menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16)
peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab.14
Pendidikan Karakter Anak Usia Dini
Budaya dan pendidikan memberikan pengaruh yang kuat pada perkembangan anak.
Di lingkungan pendidikan guru yang luar biasa dapat membimbing dan memberikan
pengalaman belajar siswa maka akan membantu mereka bergerak ke tahap kognitif yang
lebih tinggi. Tingkat TK menjadi tempat pertama bagi anak-anak memperoleh pendidikan
dan menjadi dasar bagi pendidikan yang lain. Di tempat ini anak lebih cepat mendapat
pengaruh dan mudah dibentuk pribadinya. Di sinilah pentingnya sekolah sebagai counter
untuk menjauhkan anak dari pengaruh lingkungan yang buruk, baik secara jasmani, akal,
moral, maupun kepekaan rasanya, sehingga dapat menempatkan pada lingkungan yang
baik.15
Pendidikan yang diberikan pada anak tetap harus memperhatikan fase pertumbuhan
anak. Ratna Megawati dalam Agus Wibowo, menyatakan bahwa fase 4-6 tahun anak sudah
mulai bisa diajak kerja sama serta lebih penurut.16 Anak sudah dapat menerima pandangan
orang lain, terutama orang dewasa, bisa menerima otoritas orang tua/guru, menganggap orang
dewasa serba tau, serta senang mengadukan teman-temannya yang nakal. Pada fase ini anak
sangat percaya pada orang tua dan guru, sehingga penekanan yang dilakukan oleh orang
tua/guru akan pentingnya perilaku baik dan sopan sangan efektif. Pendidikan karakter harus
memberi peluang bagi anak untuk memahami alasannya.
Penanaman pendidikan karakter bagi anak hendaknya memperhatikan fase
perkembangan anak, agar tidak terjadi salah kaprah dalam pembentukan karakter anak.
Pendidikan karakter pada fase yang tidak tepat akan memberikan konsep yang
membingungkan bagi anak. Pendidikan karakter disesuaikan dengan fase perkembangan anak
sebagimana sabda Rasulullah yang artinya: “Siapa yang memiliki anak yang masih kecil,
maka gaulilah mereka sesuai dengan tingkat akal mereka”. (HR. Ibnu Asakirdan Ibn
Badawih dari Muawiyah).
Mengenai pendidikan karakter, John Piaget dalam Masganti Sit menyatakan bahwa
anak di bawah usia 7 tahun telah memiliki potensi untuk melakukan tindakan-tindakan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
4
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
bermoral seperti kejujuran, keadilan, dan lain sebagainya.17 Pada usia ini anak-anak
melakukan tindakan kejujuran berdasarkan pada pengetahuan yang diperolehnya bahwa
berbohong itu dosa dan setiap dosa akan mendapat hukuman.
Pengetahuan anak tentang berbohong adalah dosa diperoleh melalui dua jalan.
Pertama, kemampuan kognitif anak telah dapat menerima bahwa seseorang yang melakukan
kesalahan seperti berbohong layak mendapatkan hukuman. Kedua, anak akan memahami
bahwa jujur merupakan perbuatan baik atau buruk dari hubungan antara anak dengan orang
dewasa di sekitarnya. Anak akan memahami konsep kejujuran secara benar jika mendapatkan
bimbingan yang baik dari lingkungannya.18 Kohlberg dalam Ormord menyatakan bahwa anak
usia 4 tahun sudah dapat membedakan perbuatan benar dan salah karena adanya hadiah dan
hukuman.19 Kemampuan kognitif anak untuk memahami pendidikan karakter dapat pula
ditingkatkan dengan interaksi anak dengan orang lain, seperti guru dan teman-temannya.20
Berdasarkan uraian di atas, bahwa anak usia TK melakukan perbuatan-perbuatan baik
karena berorientasi pada takut hukuman dan mengharapkan pemberian hadiah. Oleh karena
itu pendidikan karakter di TK hendaknya memanfaatkan metode reward and punishment
untuk menanamkan karakter anak.
Pendidikan karakter yang mulai dibentuk pada diri peserta didik dapat juga terkikis
oleh kebiasan buruk yang dilakukan oleh lingkungannya, yaitu pemberian label negatif pada
anak. Perilaku labeling pada anak terkadang terjadi tanpa disadari. Labeling merupakan
sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang, maka orang itu akan berproses menjadi
seperti label itu. Misalnya anak yang diberi label “bandel atau bodoh” maka lingkungan akan
memuculkan kecenderugan pada perlakuan seperti anak “bandel atau bodoh”, perlakuan yang
secara terus menerus seperti ini akan benar-benar menjadikan anak yang memiliki karakter
“bandel atau bodoh”.21 Berdasarkan pemikiran ini hendaklah orang tua dan guru menghidari
labeling yang negatif untuk anak.
Pendidikan Karakter Anak Usia Dini
Dongeng
Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, selanjutnya dongeng adalah
cerita prosa yang tidak dianggap benar-benar terjadi.22 Dongeng dalam kamus besar bahasa
Indonesia berarti cerita yang tidak benar-benar terjadi. Meskipun dongeng hanya cerita fiktif
namun mampu mengajak anak untuk berfantasi. Dongeng diceritakan terutama untuk
hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, pelajaran moral, atau sindiran.23
Mendengarkan cerita adalah salah satu cara memotivasi anak untuk berpikir tentang
karakter.24
Kemunculan dongeng yang sebagai bagian cerita rakyat berfungsi untuk menghibur
dan juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat pada waktu itu. Dongeng sering mengisahkan penderitaan tokoh, namun karena
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
5
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kejujuran dan kesabarannya tokoh tersebut mendapatkan imbalan yang menyenangkan dan
tokoh jahat pasti mendapatkan hukuman. Jadi, pesan dalam dongeng dapat juga berwujud
peringatan dan atau sindiran bagi orang yang berbuat jahat.25
Dilihat dari waktu kemunculannya dongeng dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
dongeng klasik dan dongeng modern. Dongeng klasik termasuk dalam sastra tradisional,
dongeng modern termasuk dalam sastra rekaan. Dongeng klasik di Indonesia antara lain
adalah Bawang Merah dan Bawang putih dan Timun mas. Dongeng klasik dapat menambah
wawasan tentang cerita-cerita dari pelosok dunia. Dongeng modern dapat dikategorikan
sebagai genre cerita fantasi, cerita sengaja dikreasikan oleh pengarang dengan maksud untuk
memberikan cerita menarik dan ajaran moral tertentu. Dongeng ini juga sebagai karya seni
yang memiliki unsur keindahan.26
Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Dongeng
Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat
ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. suatu karya sastra menciptakan dunianya
sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra
merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karya sastra menciptakan
dunianya sendiri, tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis
dalam teks tersebut. Pemahaman karya sastra termasuk dongeng dapat dilakukan melalui
unsur-unsur intrinsik, yaitu:
Tokoh. Tokoh adalah individu yang berperan dalam cerita. Tokoh cerita dimaksudkan
sebagai pelaku yang dikisahkan perjalanannya dalam cerita fiksi. Dalam dongeng tokoh cerita
tidak harur berwujud manusia, tokoh dapat berupa binatang atau objek lain yang merupakan
personifikasi manusia.27 Lewat tokoh cerita dapat dijadikan sebagai sarana strategis untuk
memberikan pendidikan moral.
Tema. Tema adalah pokok pikiran atau pembicaraan dalam sebuah cerita yang hendak
disampaikan pengarang melalui jalinan cerita. Tema sebagai sebuah gagasan yang ingin
disampaikan, tema dijabarkan dan atau dikongkretkan lewat tokoh, alur, dan latar.
Pemahaman terhadap tema suatu cerita fiksi adalah pemahamann terhadap makna cerita itu
sendiri.28
Plot/Alur. Plot/Alur adalah jalan cerita atau rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan
hukum kausalitas (hubungan yang menunjukkan sebab akibat). Alur berhubungan dengan
peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu yang digerakkan sehingga menjadi sebuah rangkaian
cerita yang padu dan menarik, keterkaitan antar peristiwa dan hubungan sebab akibat yang
menyebabkan cerita menjadi logis. Hal ini dapat memumuk perasaan dan pikiran kritis anak
untuk mengikuti alur cerita.29
Gaya Bahasa. Gaya Bahasa adalah cara khas seorang pengarang dalam mengungkapkan ide,
gagasannya malalui cerita. Bahasa cerita anak haruslah sederhana, maka penggunaan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
6
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
berbagai bentuk bahasa seperti pemajasan, penyiasatan struktur, dan penceritaan
dimanfaatkan sebagai keindahan bahasa tanpa mengurangi kejelasan dan kemudahan
pemahaman cerita.30
Sudut pandang/Point of view. Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para
pelaku dalam cerita yang dipaparkannya, dalam menyuguhkan cerita, pengarang dapat
mengambil atau memilih suatu posisi serta kedudukan tertentu terhadap suatu kisah yang
dipaparkannya. Pada hakikatnya sudut pandang adalah sebuah cara, strategi, atau siasat yang
sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya. Pemilihan
sudut pandang dalam banyak hal akan mempegaruhi kebebasan, ketajaman, dan keobjektifan
dalam bercerita, dan itu juga mempengaruhi kadar kemasukakalan cerita.31
Amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari cerita atau pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca. Amanat merupakan pemecahan suatu tema yang mencerminkan
pandangan hidup pengarang. Amanat sebuah cerita selalu berkaitan dengan berbgai hal yang
berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik, karena dongeng sebagai salah
satu alternatif untuk memberikan pendidikan bagi anak lewat cerita.32
Latar/Setting. Latar/setting adalah pengambaran mengenai waktu, tempat, dan suasana yang
terjadi dalam cerita. Namun ada juga latar yang menjelaskan latar sosial dan moral. Kejelasan
deskripsi latar penting sebagai pijakan untuk mengikuti alur cerita dan mengembangkan
imajinasi. Kesuaian antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberi kesan yang lebih
meyakinkan dan memberi kesan bahwa cerita sugguh ada dan terjadi. Kesan itu penting
dalam rangka membangun kesadaran dan pengembangan imajinasi.33
Dongeng sebagai pembentukan Karakter Anak
Tujuan dari karya sastra termasuk di dalamnya dongeng adalah berupaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia, sebagai manusia yang berbudaya, berpikir, dan
berketuhanan. Dengan demikian, kesusastraan harus mampu melahirkan suatu kreasi yang
indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia.
Berdasarkan tujuan karya sastra maka pendidikan karakter sangat tepat bila
dimasukkan dalam cerita. Pendidikan karakter yang diintruksikan di kelas melalui medium
sastra, dengan keteladanan para tokohnya menjadikan peserta didik memeriksa karakter yang
menjelma dalam diri tokoh. Sifat luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap
dan perilaku para tokoh dalam cerita dapat membantu pribadi peserta didik sebagai makhluk
Tuhan yang bermartabat dan berakhlak baik.
Pendidikan karakter yang disampaikan pengarang menyatu dalam alur cerita. Di
dalam cerita peserta akan menemukan berbagai perbuatan para tokoh yang dilukiskan
pengarang dalam berbagai peristiwa. Melalui alur cerita pengarang memberikan petunjuk,
nasihat, pesan akhlak, dan budi pekerti.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
7
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Manfaat Dongeng Bagi Anak
Mengingat bahwa tahap perkembangan berpikir anak usia dini adalah tahap
operasional kongkret,34 sedangkan pendidikan karakter adalah pengetahuan yang abstrak,
maka dongeng ini memanfaatkan daya imajinasi anak untuk menjembatani pengetahuan
pendidikan karakter yang abstrak. Lewat dongeng inilah pendidikan karakter dapat muncul
secara kongkret dalam perilaku tokoh.
Unsur-unsur yang terdapat dalam dongeng juga membantu imajinasi anak dalam
memahami alur cerita. Unsur yang terdapat dalam dongeng yaitu: 1) subjek atau tokoh dalam
dongeng, 2) waktu dan latar belakang dongeng, 3) tujuan penggambaran suatu keadaan
terutama tujuan nilai-nilai positif, 4) dialektika.35
Dongeng sebagai penanaman mungkin merujuk pada kisah atau qashash yang
dicontohkan Allah dalam mendidik umat manusia. Kisah yang terdapat dalam al-Quran
sering kali dimodifikasi menjadi dongeng bagi anak. Hal ini bertujuan untuk membentuk
karakter anak yang berlandaskan al-Quran.
Hadirnya dongeng dalam sastra anak tentunya juga membawa manfaat bagi anak.
Manfaat yang paling mendasar adalah dongeng sebagian media hiburan bagi anak. Adapun
manfaat lain dari dongeng bagi anak adalah: 1) mengasah daya pikir dan imajinasi anak, 2)
merupakan metode penyampaian pesan moral yang efektif, 3) menumbuhkan minat baca, dan
4) menjadi sebuah jembatan spiritual yang mengarah pada kedekatan emosional antara
pendongeng dan anak, serta 5) memicu daya kreatifitas dan memancing wawasan luas bagi
orang tua.
Catatan Akhir
1
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.36
3
A.Z. Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), h.20
4
S.B. Raharjo, Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia, Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, Vol.16 No.3, 229-239
5
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility,
(New York: Bantam Books, 1992), h.51
6
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY,
2007), h.1
7
Duna Izfanna & Hisyam, N. A., A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq. Diambil pada
tanggal 25 November 2012, dari http://search.proquest.com
8
Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003
9
Masnur Muslich, Pendidikan karakter menjawab tangtangan krisis multidimendional. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2011), h.67
10
Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h.30
11
Darmiyati Zuchdi, Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Kultur
Sekolah, (Yogyakarta: UNY Press, 2011), h.19
12
Sri Narwanti, Pendidikan Karakter Pengintegrasian 18 Nilai pembentuk Karakter dalam Mata
Pelajaran, (Yogyakarta: Familia Grup Relasi Inti Media, 2011), h.25
2
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
8
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
13
Dimerman, Character is the Key: How to Unlock the Best in Our Children and Ourselves, (Canada:
John Wiley & Sons, 2009), h.9
14
Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.
(Jakarta: Puskur, 2010), hh.9-10
15
Abdul Majid, Mendidik Dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.4
16
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, (Yogyakatya: Pustaka Pelajar, 2012), h.89)
17
Masganti Sit, Mengajarkan Kejujuran pada Anak Usia Dini. Jurnal pendidikan dan kebudayaan,
Vol.15 No.2, Tahun 2009, p.338-351
18
Ibid, h.344
19
Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, (New Jersey: Merrill Prentice Hall, 2003),
h.88
20
Masganti Sit, Opcit, h. 344
21
Agus Wibowo, Opcit, h.90
22
James Danandjaja, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, (Jakarta: Grafiti , 2007),
h.83
23
Ibid
24
Lickona, Character Maters, How To Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, And
Other Essential Virtues, (New York: Touchstoon, 2004), p.201
25
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005), h.200
26
Ibid, h.207
27
Ibid, h.223
28
Ibid, h.260
29
Ibid, h.237
30
Ibid, h.277
31
Ibid, h.269
32
Ibid, h.265
33
Ibid, h.249
34
Hetherington, E.M & Parke, R.D., Child Psychology, (Tuas Basin Lik: McGraw-Hill Book
Company, 1986), h.344
35
Suyadi, Membangun Karakter Anak dengan Metode Kisah Qur’ani, Jurnal PGMI Al-bidayah, Vol.2
No.2, Tahun 2010, 289-306
Daftar Pustaka
Danandjaja, James, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti,
2007.
Dimerman, Character is the Key: How to Unlock the Best in Our Children and Ourselves,
Canada: John Wiley & Sons, 2009.
Fitri, A.Z., Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012.
Hetherington, E.M & Parke, R.D., Child Psychology, Tuas Basin Lik: McGraw-Hill Book
Company, 1986.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
UMY, 2007.
Izfanna, Duna & Hisyam, N. A., A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq. Diambil
pada tanggal 25 November 2012, dari http://search.proquest.com
Lickona, Character Maters, How To Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity,
And Other Essential Virtues, New York: Touchstoon, 2004.
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility, New York: Bantam Books, 1992.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
9
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 1-10
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Majid, Abdul & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011.
Majid, Abdul, Mendidik Dengan Cerita, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tangtangan Krisis Multidimendional,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.
Narwanti, Sri, Pendidikan Karakter Pengintegrasian 18 Nilai pembentuk Karakter dalam
Mata Pelajaran, Yogyakarta: Familia Grup Relasi Inti Media, 2011.
Nurgiyantoro, Burhan, Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2005.
Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, New Jersey: Merrill Prentice Hall,
2003.
Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman
Sekolah, Jakarta: Puskur, 2010.
Raharjo, S.B., Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.16 No.3.
Sit, Masganti, Mengajarkan Kejujuran pada Anak Usia Dini. Jurnal pendidikan dan
kebudayaan, Vol.15 No.2, Tahun 2009.
Suyadi, Membangun Karakter Anak dengan Metode Kisah Qur’ani, Jurnal PGMI AlBidayah, Vol.2 No.2, Tahun 2010.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
Wibowo, Agus, Pendidikan Karakter Usia Dini, .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Zuchdi, Darmiyati, Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Kultur
Sekolah, Yogyakarta: UNY Press, 2011.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
D. Fitriyyah
10
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
METAKOGNISI DALAM PEMBELAJARAN RA
Fu`ad Arif Noor
Dosen Tetap STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta
Email: fuad.arif.noor@ gmail.com
Abstract
Based on the study, children 3 years old have the ability to organize his thoughts. Ability is
called metacognitive, ie a cognitive awareness of itself, how cognitive work and how to set it.
Metacognition relates to how a person uses his mind and is the highest cognitive processes
and sophisticated. The expression "knowing what you know and what you do not know" is
one example of a statement that explains the process of metacognition in the regulation of
learning. Metacognition has two components, namely: (1) knowledge, which is the process of
learning can be true or false, while the knowledge of one's self to survive long enough to
change. For example, students can make a mistake in his thinking process, because he was
taking enough time to prepare for the replay. (2) skill, the ability of a person to control their
own cognitive skills, as metacognition in problem solving activity which is an activity plan,
monitor, and reflect, including in metacognitive activities by students and teachers.
Metacognition in learning activities by students and teachers consists of: (1) The process of
planning, required students to predict what will be learned, how it is controlled and image
problem than the problem being studied and planned the right way to solve a problem. (2)
The process of monitoring, students need to ask yourself questions like "what am I doing ?,
what is the significance of this problem ?, how I should solve it ?, and why I do not
understand about this?". (3) The process of assessing / evaluation, students make a reflection
to figure out how a skill, values and a knowledge mastered by the student. Why the students
easy / hard to master, and what actions / improvements to be made.
Keywords: Metacognition, Learning, Child RA
Abstrak
Berdasarkan penelitian, anak 3 tahun memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya.
Kemampuan inilah yang disebut metakognitif, yaitu suatu kesadaran tentang kognitif itu
sendiri, bagaimana kognitif bekerja serta bagaimana mengaturnya.Metakognisi berhubungan
dengan bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang
paling tinggi dan canggih. Pernyataan“mengetahui apa yang kamu ketahui dan apa yang
tidak kamu ketahui” merupakan salah satu contohpernyataan yang menerangkan proses meta
kognisi dalam regulasi pembelajaran. Metakognisi mempunyai dua komponen yaitu: 1)
Pengetahuan,yang merupakanproses belajar dapat benar atau salah, sedangkan pengetahuan
diri seseorang cukup lama bertahan untuk berubah. Misalnya, siswa dapat membuat
kekeliruan dalam proses berpikirnya, karena ia merasa meluangkan cukup waktu untuk
mempersiapkan diri menghadapi ulangan. 2) Ketrampilan, yaitu kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengendalikan keterampilan kognitifnya sendiri, sebagai aktivitas
metakognisi dalam memecahkan masalah yang merupakan aktivitas merencanakan,
memantau, dan merefleksi, termasuk dalam aktivitas meta kognisi oleh siswa dan guru.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
11
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Aktivitas metakognisi dalam pembelajarannya oleh siswa dan guru terdiri dari: 1) Proses
merencanakan, diperlukan siswa untuk meramal apakah yang akan dipelajari, bagaimana
masalah itu dikuasai dan kesan daripada masalah yang dipelajari, dan merencanakan cara
tepat untuk memecahkan suatu masalah. 2) Proses memantau, siswa perlu mengajukan
pertanyaan pada diri sendiri seperti “apa yang saya lakukan?, apa makna dari soal ini?,
bagaimana saya harus memecahkannya?, dan mengapa saya tidak memahami soal ini?” 3)
Proses menilai/evaluasi, siswa membuat refleksi untuk mengetahui bagaimana suatu
kemahiran, nilai dan suatu pengetahuan yang dikuasai oleh siswa tersebut. Mengapa siswa
tersebut mudah/sulit untuk menguasainya, dan apa tindakan/perbaikan yang harus dilakukan.
Kata Kunci : Metakognisi, Pembelajaran, Anak RA.
Pendahuluan
Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan seseorang mengenai proses
berpikiryang merupakan persepektif pribadi dari kemampuan orang lain. Pengalaman
metakognisi adalah pengalaman kognisi atau afektif yang menyertai dan berhubungan dengan
semua kegiatan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognisi adalah pertimbangan
secara sadar dari pengalaman intelektual yang menyertai kegagalan atau kesuksesan dalam
pelajaran.Tujuan atau tugas mengacu pada tujuan berpikir seperti membaca dan memahami
suatu bagian untuk kuis mendatang, yang akan mencetuskan penggunaan pengetahuan
metakognisi dan mendorong kepengalaman meta kognisi baru. Tindakan atau strategi
menunjuk berpikir atau perilaku yang khusus yang digunakan untuk melaksanakannya, yang
dapat membantu untuk mencapai tujuan.
Ketika seseorang mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses
kognitifnya sendiri,mengetahui tugas-tugas mana saja yang dianggap berat atau mudah dan
mengetahui apa yang diketahui, berarti seseorang tersebu ttelah menguasai metakognisinya.
Metakognisi merupakan suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga,
apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Seseorang dengan kemampuan
seperti ini dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah. Hal ini
dikarenakan dalam setiap langkah yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan apa yang
dikerjakan?, mengapa mengerjakan ini?, hal apa yang bisa membantu dalam memecahkan
masalah ini?.
Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang pengetahuannya,
sehinggapemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya yang efektif atau uraian yang
jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini, menunjukkan bahwa pengetahuan
kognisi adalah kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan
regulasi kognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognitifnya secara efektif.
Sehingga uraian makalah ini akan membahas metakognisi dalam pembelajaran.
Metakognisi dalam Pembelajaran RA (Raudlatul Athfal)
Pengertian Metakognisi
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
12
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Istilah metakognisi (metacognition) pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell
pada tahun 1976. Metakognisi terdiri dari imbuhan “meta” dan “kognisi”. “Meta”
merupakan awalan untuk kognisi yang artinya “sesudah ”kognisi. Penambahan awalan“meta”
pada kognisi untuk merefleksikan ide bahwa metakognisi di artikan sebagai kognisi
tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atauberpikir tentang berpikir.1 Laurens
mengemukakan fungsi dari kognisi adalah untuk memecahkan masalah sedangkan fungsi dari
metakognisi adalah untuk mengarahkan pemikiran seseorang dalam memecahkan suatu
masalah.2
Matlin menjelaskan “metacognition is our knowledge, awareness, and control of our
cognitive procces”:metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran danpengontrolanseseorang
terhadap proses kognitifnya yang terjadi pada diri sendiri, bahkan metakognisi juga sangat
penting karena pengetahuan tentang proses kognisi dapat membantu seseorang dalam
menyeleksi strategi–strategi pemecahan masalah.3 Sedangkan menurut McDevitt dan Ormrod
“ the term metacognition refers both to the knowledge that peoplehave about their own
cognitive processes and to the intentional use of certain cognitive processes to improve
learning and memory”.4 Maksudnya, pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya dan
sengaja digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dan ingatan.
Metakognisi berhubungan dengan bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan
merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Pernyataan” mengetahui apa
yang kamu ketahui dan apa yang tidak kamu ketahui”,5 merupakan salah satu contoh
pernyataan yang menerangkan proses metakognisi.
Wellman menyatakan bahwa “meta cognition is a form of cognition,a second or
higher order thinking process which involves active control over cognitive processes. It can
be simply defined as thinking about thinking or as a person’s cognition about cognition”.6
Meta kognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir duatingkat atau lebih yang
melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu metakognisi dapat dikatakan
sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri.
Pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar diatas sangat beragam,
namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada pengetahuan dan kesadaran seseorang
tentang proses berpikirnya sendiri. Metakognisi ini memiliki arti yang sangat penting, karena
pengetahuan tentang proses kognisi sendiri dapat memandu dalam menata suasana dan
menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif dimasa datang. Sedangkan
metakognisi pada makalah ini adalah pengetahuan, kesadaran dan kontrol seseorang terhadap
proses dan hasil berpikirnya.
Komponen Metakognisi
Menurut Flavell kemampuan seseorang untuk memantau berbagai macam aktivitas
kognisinya dilakukan melalui aksi dan interaksi antara 4 komponen yaitu: 1) Pengetahuan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
13
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
metakognisi (metacognitive knowledge), 2) Pengalaman metakognisi
(metacognitive
experience), 3) Tujuan atau tugas-tugas (goals ortasks), 4) Aksi atau strategi (actions or
strategies).7
Desoete menyatakan bahwa metakognisi mempunyai dua komponen yaitu: 1)
pengetahuan meta kognisi, (2) ketrampilan meta kognisi. Sedangkan menurut Huitt juga
berpendapat ada dua komponen metakognisi dalam pembelajaran yaitu apa yang diketahui
dan apa yang tidak diketahui, dalam regulasi pembelajaran.8
Berdasarkan pendapat para ahli tentang komponen metakognisi di atas, maka
komponen yang akan dijelaskan dalam makalah ini adalah pengetahuan metakognisi dan
keterampilan metakognisi:
Pengetahuan Metakognisi (metacognitive knowledge)
Pengetahuan metakognisi mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana
manusia belajar dan memproses informasi, seperti halnya pengetahuan individu mengenai
proses memecahkan masalah. Veenman, menyatakan bahwa: “Metacognitve knowledge abut
our learning processes can becorrector incorrect, and this self-knowledgemay be quite
resistant to change. For instance, a student may incorrectly think that (s)he invested
enough time in preparation for math exams so hard to pas….”. Such misattribution spreven
tstudents from amending their self- knowledge”.9
Pengetahuan metakognisi merupakan proses belajar dapat benar atau salah, sedangkan
pengetahuan diri seseorang cukup lamabertahan untuk berubah. Misalnya, siswa dapat
membuat kekeliruhan dalam proses berpikirnya, karena ia merasa meluangkan cukup waktu
untuk mempersiapkan diri menghadapi ulangan. Namun, kenyataannya ia berkalikaligagal,sehingga ia beranggapan bahwa guru membuat soal yang demikian sulit untuk
diketahuinya. Karenaitu, kesalahan proses berpikir yang dilakukan oleh siswa akan
menghambat siswa untuk memperbaiki pengetahuan diri.
Menurut John Flavell, pengetahuan metakognisi secara umum dapat dibedakan
menjadi 3 (Tiga) variabel, yaitu: 1) variabel individu, yang mencakup pengetahuan tentang
persons,manusia (dirisen diri dan juga orang lain) memiliki keterbatasan dalam jumlah
informasi yang dapat diproses. Dalam variabel individu ini tercakuppulapengetahuan bahwa
Seseorang itu lebih paham dalam suatubidang dan lemah dibidang lain. Demikian juga
pengetahuantentang perbedaan kemampuan anda dengan orang lain, 2)
variabel
tugas,
mencakup pengetahuantentangtugas- tugas(task), yang mengandung wawasan bahwa
beberapa kondisi sering menyebabkan seseorang lebihsulit atau lebih mudah dalam
memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, semakin banyak
waktuyang saya luangkan untuk memecahkan suatu masalah, semakin baiksaya
mengerjakannya; sekiranya materi pembelajaran yang disampaikan guru sukar dan tidak akan
diulangilagi, maka saya harus lebih konsentrasi dan mendengarkan keterangan guru dengan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
14
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
seksama, 3) variabel strategi, mencakup pengetahuan tentang strategi, pengetahuan
tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi kesulitan.10
Adkins menyatakan bahwa metakognisi berkaitan dengan ketiga tipe pengetahuan
yaitu: (1) pengetahuan deklaratif, (2) pengetahuan prosedural (3) pengetahuan kondisional
dalam pembelajaran. Pendapat ini juga diperkuat oleh para ahli lainnya, Crose, Paris dan
Jacobs dalam Usman menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi berkaitan dengan ketiga
tipe pengetahuan yang sama tersebut.11
Pengetahuan deklaratif mengacu kepada pengetahuan tentang fakta dan konsepkonsep yang dimiliki seseorang atau faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya dan
perhatiannya dalam memecahkan masalah. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan
bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana melakukan langkah-langkah atau strategi- strategi
dalam suatu proses pemecahan masalah. Pengetahuan kondisional mengacu pada kesadaran
seseorang akan kondisi yang mempengaruhi dirinya dalam memecahkan masalah yaitu:
kapan suatu strategi seharusnya diterapkan, mengapa menerapkan suatu strategi dan kapan
strategi tersebut digunakan dalam memecahkan masalah.
Gamma dalam Usman menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi adalah
pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang, berarti
pengetahuan tersebut dapat diaktifkan atau dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu
pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa sengaja
yang secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu.12
Berdasarkan beberapa para ahli tentang pengetahuan metakognisi, maka
pengetahuan metakognisi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kesadaran berpikir
seseorang (peserta didik) tentang proses berpikirnya sendiri yang terdiri dari pengetahuan
deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional dalam memecahkan masalah.
Keterampilan Metakognisi
Desoete menggambarkan keterampilan metakognisi sebagai kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk mengendalikan keterampilan kognitifnya sendiri. Desoete dalam
Usman menyatakan ada empat komponen dalam keterampilan metakognisi, yaitu: 1)
Orientation or prospective prediction skills guarantee working slowly when exercises a
renew or complex and working fastwith easy or familiar tasks. 2) Planning skills make
children thank in aduance of how, when and why to actinorderto obtaim their porpuse
through a sequence of sub goals leading to the main problem goal. 3) Monitoring skills are
the on-line, self-regulated control of used cognitive strategies through concurrent
verbalizations during the actual performance ,in order to identify problems and to modify
plans. 4) Evaluation skillscanbedefinedas theretrospective(oroff-line) verbalizations after the
event has transpired, where chidren look at what strategies where used and whether or not
they led to adesired result.13
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
15
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Orientasi atau keterampilan prediksi berkaitan dengan aktivitas seseorang melakukan
pekerjaan secara lambat, bila permasalahan (tugas) itu baru atau kompleks dan melakukan
suatu pekerjaan cepat, bila permasalahan (tugas) itu mudah atau sudah dikenal. Keterampilan
perencanaan mengacu pada kegiatan berpikir awal seseorang tentang bagaimana, kapan
dan mengapa melakukan tindakan guna mencapai tujuan melalui serangkaian tujuan khusus
menuju pada tujuan utama permasalahan. Keterampilan monitoring mengacu pada kegiatan
pengawasan seseorang terhadap strategi kognitif yang digunakannya selama proses
pemecahan masalah guna mengenali masalah dan memodifikasi rencana. Sedangkan
keterampilan evaluasi dapat didefinisikan sebagai verbalisasi mundur yang dilakukannya
setelah kejadian berlangsung, dimana seseorang melihat kembali strategi yang telah ia
gunakan dan apakah strategi tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak.
Keterampilan metakognisi yang dikemukakan olehkaune sebagai aktivitas
metakognisi dalam memecahkan masalah sebagai “The three activities planning,
monitoring, and reflection are main categories…. That includes metacognitive activities of
learners and teacher”.14 Maksudnya, aktivitas merencanakan, memantau, dan refleksi
termasuk dalam aktivitas metakognisi oleh siswa dan guru.
Proses merencanakan. Pada proses ini diperlukan siswa untuk meramal apakah
yangakan dipelajari, bagaimana masalah itu dikuasai dan kesan dari pada masalah yang
dipelajari, dan merencanakan cara tepat untuk memecahkan suatu masalah.
Proses memantau. Pada proses ini siswa perlu mengajukan pertanyaan pada diri
sendiri seperti “apa yang saya lakukan?, apa makna dari soal ini?, bagaimana saya harus
memecahkannya? dan mengapa saya tidak memahami soal ini?”
Proses menilai/evaluasi. Pada proses ini siswa membuat refleksi untuk
mengetahuibagaimana suatu kemahiran, nilai dan suatu pengetahuan yang dikuasai oleh
siswa tersebut. Mengapa siswa tersebut mudah/sulit untuk menguasainya, dan apa
tindakan/perbaikan yang harus dilakukan.
Menurut Nort Central Regional Educational Laboratory (NCREL): “Metacognition
consist of three basic elements: 1) Develoving a plan of action, 2) Maintaining (monitoring
the plan, 3) Evaluating the plan. Before-when you are developing the plan of action,ask your
self: a) What in my prior knowledge will helpme with this particular task? b) In what
direction do I want my thinking to take me? c) What should I do first? d) Why amI reading
this selection? e) How much time do I have to complete the task? During-When you are
maintaining/monitoring the plan of action, ask your self: a) How am I doing? b) Am I on
the right track? c) How should I proceed? d) What information is important to remember? e)
Should I move in a defferent direction? f) Should adjust the pacedepending on the difficulty?
g) What do I need to do if I do not understand? After-in When you are evaluating the plan of
action ask yourself: a) How well did I do? b) Did my particular course of thinking produce
more or less than I had expected? c) What could Ihave done differently? d) How might I
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
16
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
apply this line ofthinking to other problems? e) Do I need to go back through the task to
fillinany “blanks” in my understanding?15
NCREL mengemukakan tiga hal komponen dasar dalam meta kognisi yang secara
khusus digunakan dalam menghadapi suatu masalahatau tugas yaitu: 1) mengembangkan
rencana tindakan, 2) mengatur/memonitoring rencanatindakan, 3) mengevaluasi rencana
tindakan. Selanjutnya NCREL memberikan petunjukuntuk melaksanakan ketiga komponen:
Sebelum-siswa mengembangkan rencana tindakan perlu menanyakan kepada dirinya sendiri
tentang hal-hal berikut: a) Pengetahuan awal apa yang membantu dalam memecahkan tugas
ini? b) Petunjuk apa yang digunakan dalamberpikir? c) Apa yang pertama saya lakukan? d)
Mengapa saya membaca pilihan (bagian) ini? e) Berapa lama saya mengerjakan tugas ini
secara lengkap? Selama-siswa merencanakan tindakan perlu mengatur/memonitoring dengan
menanyakan pada dirinya sendiri tentang hal berikut? a) Bagaimana saya melakukannya? b)
Apakah saya berada pada jalur yang benar? c) Bagaimanasayameneruskannya? d) Informasi
apa yang penting untuk diingat? e) Apakah saya perlu pindah pada petunjuk lain? f) Haruskah
saya mengatur langkah–langkah yang sesuai dengan kesulitan? g) Apa yang harus saya
lakukan jika saya tidak mengerti? Setelah-siswa selesai melaksanakan rencana tugas,
siswa akan melakukan evaluasi yaitu: a) Seberapa baik saya melakukannya? b) Apakah saya
memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang lebih sedikit dari yang saya
pikirkan? c) Apakah saya dapat mengerjakan dengan cara yang berbeda? d) Apakah saya
perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi kekurangan pada ingatan saya?
Berdasarkan pendapat tentang keterampilan metakognisi yang dikemukakan
para ahli, maka yang dimaksud keterampilan meta kognisi dalam tulisan ini adalah
keterampilan berpikir seseorang untuk menyadari proses berpikirnya sendiri yang berkaitan
dengan keterampilan perencanaan, monitoring dan evaluasi dalam memecahkan masalah.
Keterampilan perencanaan adalah kegiatan berpikir awal seseorang tentang, bagaimana,kapan
dan mengapa melakukan tindakan guna mencapai tujuan utama permasalahan. Keterampilan
monitoring adalah kegiatan pengawasan seseorang terhadap strategi kognitif yang
dipergunakannya selama memecahkan masalah, guna mengenali masalah dan memodifikasi
rencana. Sedangkan keterampilan evaluasi didefinisikan sebagai pengecekan seseorang
melihat kembali strategi yang telah digunakan dan apakah strategi tersebut mengarahkannya
pada hasil yang diinginkan atau tidak.
Implementasi Metakognisi dalam pembelajaran RA
Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada
dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dilakukan yang di
dalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas, sebagai berikut: a)
mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar, b) mengidentifikasi kelebihan dan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
17
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kekurangannya berkenaan dengan kegiatan belajar, c) menyusun suatu program belajar untuk
konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru, d) mengidentifkasi dan menggunakan
pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar, e) memanfaatkan teknologi modern
sebagai sumber belajar, f) memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan
masalah kelompok, g) belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu
yang telah berhasil dalam bidang tertentu, h) belajar dari dan mengambil manfaatkan
pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu, i) memahami
faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.16
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa keberhasilan
seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh kemampuan metakognisinya. Jika setiap kegiatan
belajar dilakukan dengan mengacu pada indikator dari learning how to learn maka hasil
optimal akan mudah dicapai.Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan
belajar, maka upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan
meningkatkan metakognisi mereka. Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti
membangun fondasi untuk belajar secara aktif.
Guru sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai
tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar.
Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta
didik melalalui kegiatan belajar dan pembelajaran, adalah sebagai berikut: a) membantu
peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan: 1) mendorong pembelajar untuk
memonitor proses belajar dan berpikirnya, 2) membimbing pembelajar dalam
mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif, 3) meminta pembelajar untuk membuat
prediksi tentang informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang
mereka telah baca atau pelejari, 4) membimbing pembelajar untuk mengembangkan
kebiasaan bertanya, dan 5) menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer
pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan keterampilan dari suatu situasi ke situasi
yang lain; b) membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang
baik melalui: 1) pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri. Pengembangan kebiasaan
mengelola diri sendiri dapat dilakukan dengan: (a) mengidentifikasi gaya belajar yang paling
cocok untuk diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif), (b) memonitor
dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis, mendengarkan, mengelola waktu,
dan memecahkan masalah), (c) memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas
dengan ceramah, diskusi, penugasan, praktik di laboratorium, belajar kelompok, dan
seterusnya), 2) mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif. Kebiasaan berpikir positif
dikembangkan dengan: (a) meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga
diri (self-esteem) dan (b) mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar, 3)
mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis. Kebiasaan untuk berpikir secara
hirarkhis dikembangkan dengan: (a) membuat keputusan dan memecahkan masalah dan (b)
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
18
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru, dan 4)
mengembangkan kebiasaan untuk bertanya. Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan: (a)
mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung; (b)
membangkitkan minat dan motivasi; dan (c) memusatkan perhatian dan daya ingat.17
Pengembangan metakognisi pembelajar dapat pula dilakukan dengan aktivitasaktivitas yang sederhana kemudian menuju ke yang lebih rumit
Kesimpulan
Perkembangan yang optimal pada segala aspek merupakan faktor kesuksesan seorang
anak kedepan. Pola pengasuhan dan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua, guru dan
lingkungan akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Dengan tanpa mengabaikan aspek lain,
perkembangan kognitif menjadi salah satu fokus penting selain perkembangan fisik pada
masa anak-anak.
Seiring dengan peningkatan kemampuan kognitif, anak mulai menyadari bahwa
pikiran terpisah dari objek atau tindakan seseorang. Anak sudah dapat mulai mengatur
pikirannya dalam bentuk yang sederhana. Berdasarkan penelitian Flavel, anak 3 tahun
memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya. Kemampuan inilah yang disebut
metakognitif, yaitu suatu kesadaran tentang kognitif itu sendiri, bagaimana kognitif bekerja
serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan
efisiensi penggunaan kognitif dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif
dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Siswa dapat menggunakan strategi metakognitif dalam pembelajaran meliputi tiga
tahap berikuti, yaitu: merancang apa yang hendak dipelajari; memantau perkembangan diri
dalam belajar; dan menilai apa yang dipelajari. Strategi metakognitif dapat digunakan untuk
setiap pembelajaran bidang studi apapun. Hal ini penting untuk mengarahkan mereka agar
bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dalam pembelajaran.
Untuk meningkatkan kemampuan metakognitif siswa, guru dapat merancang
pembelajaran berkaitan dengan kemampuan metakognitif tetapi secara infuse (tambahan)
dalam pembelajaran atau bukan merupakan pembelajaran yang terpisah.
Catatan Akhir
1
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Anak Didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h.132
Anis Fauziana, Identifikasi Karakteristik Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah di
KelasVIII-F SMPN 1 Gresik, Skripsi, Tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA, 2008), h.18
3
Ibid, h.18
4
Desmita, Opcit, h.132
5
http://www.homestead.com
6
Usman Mulbar, Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah pada Pembelajaran, Makalah,
disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 24 Mei 2008, h.14
2
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
19
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 11-20
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
7
Theresia Kriswianti N, Profil Metakognisi Siswa Kelas Akselerasi dan Non Akselerasi SMA dalam
Memecahkan Masalah Ditinjau dari Perbedaan Gender, Disertasi, tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA,
2008), h.21
8
Ibid, h.15
9
Usman, Opcit, h.24
10
Desmita, Opcit, h.134
11
Usman, Opcit, h.25
12
Ibid, h.26
13
Ibid, h.27
14
Moch. Masykur dan Abdul Halim Fathani, Mathematical Intelligence, (Bandung: ArRuzmedia, 2007), h.59
15
(http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/atrisk/at71k5.html)
16
Taccasu Project, Metacognition, Tersedia pada laman:
http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada Kamis 17 Desember 2015, h. 89
17
Ibid
Daftar Pustaka
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Anak Didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010), h.132
Fauziana, Anis, Identifikasi Karakteristik Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah di
KelasVIII-F SMPN 1 Gresik, Skripsi, Tidak dipublikasikan, (Surabaya: UNESA,
2008), h.18
http://www.homestead.com
http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/atrisk/at71k5.html
Kriswianti N, Theresia, Profil Metakognisi Siswa Kelas Akselerasi dan Non Akselerasi SMA
dalam Memecahkan Masalah Ditinjau dari Perbedaan Gender, Disertasi, tidak
dipublikasikan, (Surabaya: UNESA, 2008), h.21
Masykur, Moch. dan Abdul Halim Fathani, Mathematical Intelligence, (Bandung: ArRuzmedia, 2007), h.59
Mulbar, Usman, Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah pada Pembelajaran,
Makalah, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di IAIN Sunan Ampel
Surabaya, tanggal 24 Mei 2008, h.14
Project,
Taccasu,
Metacognition,
Tersedia
pada
laman:
http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada Kamis 17 Desember
2015, h. 89
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
F. A. Noor
20
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PAUD
Hasbullah
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: hasbullahiainbanten@g mail.com
Abstract
Early childhood education is a development effort which intended for early childhood,
implemented by providing a stimulus to help growth and development of the physical and
spiritual. Learning model in Early Childhood Education is thematic and implemented
integratively, so learning in Early Childhood Education cannot be done with single model.
The Early Childhood Education curriculum can be classified into five learning programs
namely religious study and noble character, social study and personality, science and
technology, aesthetics, and physical education.
Keywords: Curriculum, Model, Early Childhood Education
Abstrak
Pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan pada anak anak usia dini,
yang dilaksanakan melalui pemberian rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani. Model pemebalajaran di PAUD bersifat tematis yang
dilakukan secara integratif, maka pemebalajaran di PAUD tidak bisa dilakukan dengan
metode tunggal. Muatan kurikulum PAUD dapat dikelompokan dalam lima cakupan program
pembelajaran yaitu pembelajaran agama dan akhlak mulia, pembelajaran social dan
kepribadian, pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pembelajaran estetika,
pembelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.
Kata Kunci: Kurikulum, Model, PAUD
Pendahuluan
Kesadaran akan kebutuhan pendidikan kini cenderung meningkat. Pendidikan secara
universal dapat dipahami sebagai upaya pengembangan potensi kemanusiaan secara utuh dan
penanaman nilai nilai sosial budaya yang diyakini oleh sekelompok masyarakat agar dapat
mempertahankan hidup dan kehidupan secara layak.
Sarana utama untuk membangun harkat, martabat dan derajat manusia adalah melalui
jalur pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian,
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
21
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.1
Salah satu komponen oprasional pendidikan sebagi suatu system adalah materi.
Materi pendidikan adalah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik
dalam suatu system institusional pendidikan. Materi pendidikan ini lebih dikenal dengan
istilah kurikulum, sedangkan kurikulum menunjuk kepada materi yang sebelumnya telah
disusun secara sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pada hakekatnya belajar harus berlangsung sepanjang hayat. Untuk menciptkan
generasi yang berkualitas masyarakat sangat mengharapkan adanya pendidikan yang
memadai untuk putra putrinya terlebih pada saat mereka masih berada dalam tataran usia
dini.
Dewasa ini, isu hangat dalam dunia pendidikan adalah tentang penyelenggaraan
Pendidikan Anak Usia dini (PAUD). Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 20 tahun
2003, maka sistem pendidikan di Indonesia sekarang terdidri dari Pendidikan anak usia dini ,
Pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang keseluruhannya
merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggrakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan atau
informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak kanak (TK) Raudatul
Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur non formal berbentuk
kelompok bermain (KOBER) taman penitipan kanak kanak (TPA) atau bentuk lain yang
sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga dan yang
diselenggrakan oleh lingkungan masyarakat dimana ia tinggal.2
Hakikat Anak Usia Dini
Usia dini adalah masa keemasan anak yang juga tahap keemasan dari keseluruhan
pendidikan setiap orang masa ini adalah masa terbaik untuk mengoptimalkan fungsi otak
anak dengan memberikan stimulasi yang sesuai . karena itu pendidikan anak usia dini adalah
upaya pembinaan yang ditujukan pada anak anak usia dini, yang dilaksanakan melalui
pemberian rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
mereka agar mereka memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan dasar dan kehidupan
berikutnya.
Masa ini saat yang sangat tepat untuk meletakan dasar dasar pengembangan
kemampuan fisik, bahasa ,social emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai nilai agama,
serta kecakapan hidup yang diberikan secara terintegrasi dalam pelaksanaan pendidikan.3
Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar
pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai.
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar di sepanjang
rentang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
22
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
berbagai periode penting yang fundamental dalam kehidupan anak selanjutnya sampai
periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini
adalah the golden age atau periode keemasan.
Prinsip prinsip Pembelajaran PAUD
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAUD meliputi: 1)
Berorientasi pada perkembangan anak. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran, guru perlu
memberikan kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, maka perlu
memperhatikan perbedaan anak. 2) Bermain sambil belajar. Bermain adalah keinginan anak
secara alamiah. Mainan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kadang kadang anak anak
lebih mementingkan bermain daripada makan dan minum, maka seorang guru PAUD harus
dapat mengarahkan anak kepermainan yang dapat meningkatkan perkembangan intelek
(Kognitif) dan juga memilih permaian yang mengarah ke psikomotor. Bermain merupakan
penedekatan dalam melaksanakan pembelajaran PAUD. Kegiatan pembelajaran yang
disiapkan oleh pendidik hendaknya dilakukandalam situasi yang menyenangkan dan
menggunakan strategi/ bahan yang menarik serta mudah diikuti anak. 3) Lingkungan
Kondusif. Lingkungan pemeblajaran harus diciptakan sedemikan menarik dan menyenagkan
serta demokratis sehingga anak selalu betah dalam lingkunaga sekolah baik didalam maupun
diluar kelas. Lingkunag belajar hendaknya tidak memisahkan anak dari nilai nilai budayanya,
yaitu tidak membedakan nilai nilai yamng dipelajari dirumah dan disekoalh ataupun
dilingkungan sekitar, seorang guru PAUD harus peka terhadap karakteristik budaya masing
masing anak. 4) Menggunakan berbagai media dan sumber belajar. Setiap kegaiatan untuk
menstimulasi perkembanagan potensi anak perlu memanfaatkan berbagai media dan sumber
belajar, anatara lain lingkungan alam sekitar atau bahan yang dibuat yang disiapkan oleh
guru.
Model Pembelajaran PAUD
Model pembelajaran adalah langkah-langkah pemebelajaran dengan memperhatikan
karakteristik anak dan kompetensi yang akan dicapai, interaksi dalam proses pembelajaran,
alat/media, dan penilaian. Karena model pemebalajaran di PAUD bersifat tematis yang
dilakukan secara integrative, maka pemebalajaran di PAUD tidak bisa dilakukan dengan
metode tunggal, pembelajaran yang dikenalkan di PAUD adalah yang bersifat paduan
(integral). Ada banyak model yang dapat digunakan diantaranya: 1) Model keterhubungan
(connected). Pembelajaran yang dilakukan mengaitkan satu pokok bahasan dengan satu
pokok bahasan berikutnya, mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya,mengaitkan satu
keterampilan dengan keterampilan lainnya. kelebihan dari konsep ini adalah konsep utama
saling terhubung mengarah pada pengulangan dengan konsep lain. Kelemahannya disiplin
disiplin ilmu tidak berkaitan konten tetap pada disiplin ilmu. 2) Model jaring laba laba.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
23
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Model jaring laba laba adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan penedekatan tematik,
pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu
Struktur Kurikulum PAUD
Menurut Soemiarti dalam Anita Kurikulum adalah suatu perencanaan pengalaman
belajar secara tertulis. khusus yang berkaitan dengan PAUD. Ia mengatakan bahwa
kurikulum adalah seluruh usaha / kegiatan sekolah untuk merangsang anak supaya belajar
dalam rangka pengembangan seluruh aspek yang ada pada dirinya baik didalam maupun
diluar kelas serta lingkungannya.4
Dari batasan ini dapat dikemukakan bahwa semua upaya yang akan dilakukan dalam
rangka pengembangan anak tertuang dalam kurikulum. Ini berarti dari kurikulum dapat
diketahui gambaran pengalaman belajar apa yang akan diperoleh anak.
Ruang Lingkup kurikulum PAUD meliputi: 1) Program kegiatan pembentukan prilaku
yang meliputi penegembangan moral dan agama, pengembangan sosial dan emosional, dan
keterampilan hidup; 2) Program kegiatan pengembangan kemampuan dasar, yang meliputi:
pengembangan kognitif, pengembangan bahasa, pengembangan motorik, dan
penegembangan seni.
Tabel 1.
Perbandingan Menu Kurikulum PAUD
Tahun
Usia Perkembangan
Menu-Menu
2002
0 – 1 Tahun
1 – 2 Tahun
2 – 3 Tahun
3 – 4 Tahun
5 – 6 Tahun
Moral dan nilai nilai agama
Fisik
Bahasa
Kognitif
Sosial Emosional
Seni
2006
0 – 1 Tahun
1 – 2 Tahun
2 – 3 Tahun
3 – 4 Tahun
5 – 6 Tahun
2009
0-3 bulan
1-2 bulan
6-9 bulan
9-12 bulan
1-2 tahun
2-3 tahun
3-4 tahun
5-6 tahun
Fisik
Bahasa
Kognitif
Seni
Moral dan Nilai nilai agama
Social dan emosional
Kemandirian
Agama dan moral
Motorik kasar
Motorik halus
Bahasa
Kognitif
Social emosional
Seni
Ketempilan hidup
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
24
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Menu Kurikulum PAUD tahun 2002 dan tahun 2009 tidak terbagi beberapa sub,
sedangkan menu kurikulum tahun 2006 terdapat sub seperti usia 0-1 tahun.
Fisik
: Kemampuan dalam mengkordinasikan beberapa gerakan kasar (dapat
mengangkat kaki dan memainkan jari tangan)
Bahasa
: Kemampuan berbicara, kemampuan mendengar
Kognitif
: Kemampuan mengenal hubungan pola dan fungsi
Sosial Emosional : Berinteraksi dengan orang lain
Kemandirian
: Kemampuan makan
Menu kurikulum tahun 2002, 2006 dan 2009 untuk moral dan nilai agama tidak
terbagi sub. Adapun Struktur dan muatan kurikulum PAUD meliputi sejumlah
pengembangan keluasaan dan kedalamannya merupakan program belajar bagi peserta didik
pada satuan pendidikan.
Menurut Trianto Struktur dan muatan kurikulum PAUD dapat dikelompokan dalam
lima cakupan program pembelajaran yaitu: 1) Program pembelajaran agama dan akhlak
mulia; 2) Program pembelajaran sosial dan kepribadian; 3) Program pembelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi; 4) Program pembelajaran estetika; dan 5) Program pembelajaran
jasmani, olah raga dan kesehatan.
Tabel 2.
Program Pembelajaran PAUD
No
1.
Program
Pembelajaran
Agama dan akhlak
mulia
2.
Sosial dan
kepribadian
3.
Pengetahuan dan
tekhnologi
4.
Estetika
5.
Jasmani Olah raga
dan kesehatan
Cakupan
Peningkatan potensi spiritual peserta didik melalui contoh
pengalaman dari pendidik agar menjadi kebiasaan sehari hari,
baik didalam maupun di luar sekolah sehingga menjadi bagian
dari budaya sekolah
Pembentukan kesadaran dan wawasan peserta didik atas hak
dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan dalam
interaksi social serta pemahaman terhadap diri dan
peningkatan kualitas diri sebagai manusia sehinggamemiliki
rasapercaya diri
Mempersiapkan peserta didik secara akademik memasuki
SD/MI dengan menekankan pada penyiapan kemampuan
berkomunikasi dan berlogikamelalui berbicara, mendengarkan
pra membaca, pra menulis dan pra berhitungyang harus
dilaksanakan secara hati hati tidak memaksa dan menyengkan
sehingga anak menyukai belajar.
Meningkatkan sensitivitas kemampuan mengekpresikan diri
dan kemampuan mengekpresikan keindahandan harmoni yang
terwujud dalam tingkah laku keseharian.
Meningkatkan potensi fisik dan enanamkan sportivitas
kesadaran hidup sehat dan bersih
Tabel 3.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
25
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Tingkat Pencapaian Perkembangan Kelompok Usia 2 - <4 Tahun
Lingkup
Perkembangan
Nilai-Nilai Agama
dan Moral
Merespons hal hal
yang terkait
dengan nilai
agama dan moral
Motorik
Motorik Kasar








Motorik Halus




Kognitif
Mengenal
Pengetahuan
Umum


aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Tingkat Pencapaian Perkembanga
2 - < 3 Tahun
3 - < 4 Tahun
Mulai meniru gerakan
 Mulai memahami penegrtian
berdoa/sembahyang sesuai
perilaku yang berlawanan
dengan agamanya.
meskipun belum selalu
dilakukanseperti pemehaman
Mulai meniru doa pendek
perilaku baik buruk, benar
sesuai dengan agamanya
salah, sopan tidak sopan.
Mulai memahami kapan
 Mulai memahami arti kasihan
mengucapkan salam, terima
dan saying kepada cdiptaan
kasih, maaf,dsb
Tuhan
Berjalan sambil berjinjit.
 Berlari sambil membawa
sesuatu yang ringan (bola).
Melompat kedepan dan
kebelakang dengan dua kaki.  Naik turun tangga atau tempat
yang lebih tinggi dengan kaki
Melempar dan menangkap
bergantian.
bola.
 Meniti diatas papan yang
Menari mengikuti irama.
cukup lebar.
Naik turun tangga atau
 Melompat turundari ketinggian
tempat yang lebih
kurang 20 cm (dibawah tinggi
tinggi/rendah dengan
lutut anak)
berpegangan
 Meniru gerakan senam
sederhana seperti menirukan
gerakan pohon,kelinci
melompat
Meremas kertas atau kain
 Menuang air, pasir ,atau biji
dengan menggerakan lima
bijian kedalam tempat
jari.
penampung (mangkuk, ember
)
Melipat kertas meskipun
belum rapi/lurus
 Memasukan benda kecil
kedalam botol (potongan lidi,
Menggunting kertas tanpa
kerikil , biji bijian)
pola.

Meronce manic manic yang
Koordinasi jari tangan cukup
tidak terlalu kecil dengan
baik untuk memegang benda
benang yang agak kaku.
pipih seperti sikat gigi,
sendok
 Menggunting kertas mengikuti
pola garis lurus
Menyebut bagian bagian
 Menemukan / mengenali
suatu gambar seperti gambar
bagian yang hilang dari suatu
wajah orang, mobil, bintang,
pola gambar seperti pada
dsb
gambar wajah orang, mobil.
Mengenal bagian bagian
 Menyebutkan berbagai nama
tubuh
makanan dan rasanya (garam
gula atau cabai )
 Memahami perbedaan antara
dua hal dar jenis yang asama
Hasbullah
26
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Mengenal Konsep,
ukuran bentuk dan
pola
 Memahami konsep ukuran
(besar,kecil panjang Pendek,
 Mengenal tiga macam bentuk
 Mulai menegnal pola



Bahasa
Menerima Bahasa
Mengungkapkan
Bahasa
Sosial-Emosional
Mampu
Mengendalikan
emosi
 Hafal beberapa lagu anak
sederhana.
 Memhami cerita/dongeng
sederhana.
 Memahami perintah
sederhana seperti letakan
mainan diatas meja, ambil
mainan dari kotak.
 Menggunakan kata Tanya
dengan tepat (apa Siapa,
bagaimana , mengapa,
dimana )

 Mulai bisa mengungkapkan
ketika ingin buang air kecil
dan buang air besar.
 Mulai memahami hak orang
lain (harus antri menunggu
giliran )
 Mulai Menunjukan sikap
berbagi, membantu, bekerja,
bersama.
 Menyatakan perasaan
terhadap anak lain (suka
denagn teman karena baik
hati tidak suka karena nakal
 Berbagi peran dalam suatu
permainan (menjadi dokter,
perawat pasien penjaga took
atau pembeli)









seperti membedakan anatara
buah rambutan dan pisang,
perbedaan ayam dan kucing.
Menempatkan benda dalam
urutan ukuran (paling kecil,
paling besar)
Mulai mengikuti pola tepuk
tangan.
Mengenal konsep banyak,
sedikit
Pura-pura membaca cerita
bergambar dalam buku dengan
kata kata sendiri
Mulai memahami dua perintah
yang diberikan bersamaan
contoh ambil mainan diatas
meja lalu berikan kepada ibu
guru.
Mulai menyatakan keinginan
dengan mengucaplkan kalimat
sederhana (saya ingin Mainan)
Mulai menceritakan
pengalaman yang dialami
dengan cerita sederhana
Mulai bias buang air kecil
tanpa bantuan.
Bersabar menunggu giliran.
Mulai menunjukan sikap
toleran sehingga dapat bekerja
dalam kelompok.
Mulai menghargai orang lain.
Bereaksi terhadap hal hal yang
dianggap tidak benar (marah,
apabila diganggu atau
diperlakukan berbeda)
Mulai menunjukan ekspresi
menyesal ketika melakukan
kesalahan
Penutup
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
27
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 21-28
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Kurikulum PAUD tidak hanya
menyangkut sisi akademik tetapi juga psikologis dan medis karena siswa paud adalah anak
dibawah lima tahun, aspek perkembangan anak dibagi dalam beberapa tahap yaitu 0-2 tahun
2- 4 tahun dan 4-5 tahun sehingga kurikulumnya harus disesuaikan dengan perkembangan
anak.
Pelayanan Paud terbagi atas TK Kelompok bermain tempat penitipan anak dan satuan
pendidikan PAUD. Kurikulum PAUD tentu berbeda dengan kurikulum tingkat dasar dan
menegah yang memuat delapan setandar sedangkan standar PAUD terdiri atas empat
kelompok,yaitu: 1) Standar Tingkat Pencapaian, 2) Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, 3) Standar Isi, Proses, dan Penilaian, dan 4) Standar Sarana dan Prasarana,
Pengelolaan dan pembiayaan.
Catatan Akhir
1
_______, Undang Undang Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara, 2003), h.3.
Anita Yus, Penilaian Perkembangan Belajar Anak TK, (Jakarta: Kencana, 2011), h.21.
3
_______, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Non Formal 2010, (Banten: Dinas Pendidikan
Propinsi Banten, 2010)
4
Anita Yus, Penilaian Perkembangan Bbelajar Anak TK, (Jakarta: Kencana, 2011), h.36.
2
Daftar Pustaka
_____, Undang Undang Sisdiknas, Bandung: Citra Umbara, 2003.
_____, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Non Formal 2010, Banten: Dinas Pendidikan
Propinsi Banten, 2010.
Yus, Anita, Penilaian Perkembangan Bbelajar Anak TK, Jakarta: Kencana, 2011.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Hasbullah
28
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PROGRAM PARENTING UNTUK MEMBENTUK KARAKTER ANAK USIA DINI
DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Heru Kurniawan
Risdianto Hermawan
Dosen PGRA
IAIN Purwokerto
Email: heru_1982@ yahoo.com
Abstract
The importance of character building for children in Early Childhood Education Institution
can be done in the form of parenting program. Parenting is one of activity which carried out
between parents and school in discussing the growth process of children and their problems
in order to be sustainable in receiving education either at school or home. Parenting club is
also an effort to build character in early childhood more maximum, effective and efficient.
Activities can be done in this program are: First, Parenting Gathering; Second, Learning
Together; Third, One day with Parent; Fourth, Home Activities, and another activities which
include into training and providing knowledge in educating and raising children well.
Besides, in Parenting program can help educator and parents in order to be active in
implementing character building
Keywords: Character Building, Urgency of Character Building, Parenting
Abstrak
Pentingnya pendidikan karakter pada anak di lembaga PAUD dapat diwujudkan dalam
bentuk program parenting. Parenting merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan antara
orang tua dan pihak sekolah dalam membahas proses tumbuh kembang anak dan berbagi
permasalahannya agar terjadi kesinambungan dalam pendidikan yang diterima baik di
sekolah maupun di rumah. Parenting club juga sebagai upaya penanaman karakter pada anak
usia dini yang lebih maksimal, efektif, dan efisien. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam
program ini antara lain: Pertama, Parents Gathering; Kedua, Belajar Bareng; Ketiga, One
day with Parent; Keempat, Home Activities, dan bisa kegiatan lainnya yang termasuk dalam
pelatihan serta pemberian pengetahuan dalam mendidik dan mengasuh anak yang baik. Selain
itu, dalam program Parenting dapat membantu pendidik dan orang tua agar aktif dalam
kelancaran pendidikan karakter.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Urgensi Pendidikan Karakter, Parenting.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
29
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendahuluan
Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini telah mengalami dinamika perubahan
orientasi tentang tujuan pendidikan yang diharapkan, bahkan menghadapi keadaan yang
mengarah pada persimpangan jalan. Banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang
ditemukan saat ini terjadi karena kurangnya pendidikan karakter atau pendidikan karakter
yang terabaikan.
Pada tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan karakter kurang diberikan dan
pelaksanaannya kurang ditekankan. Salah satu penyebabnya yaitu sedikitnya komunikasi
antara pihak lembaga pendidikan dengan pihak orang tua peserta didik. Maka dari itu,
lembaga pendidikan mengadakan suatu program yang melibatkan peran orang tua di
dalamnya, yaitu program parenting. Melalui program ini, pendidik memberikan pengetahuan
dan pelatihan tentang cara implikasi dan kunci sukses kepada orang tua supaya anak memiliki
kepribadian dan karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional.
Pada makalah ini penulis akan memaparkan mengenai cara mengoptimalisasi
pendidikan karakter melalui program parenting, selain itu juga akan dibahas mengenai
implementasi program ini untuk membentuk karakter anak usia dini.
Pengertian Pendidikan Karakter
Istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap cirikarakteristik-gaya-sifat khas dari diri seeorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang
sejak lahir.
Namun karakter seseorang dapat saja berubah seperti proses perubahan seseorang dari
baik menjadi jahat atau sebaliknya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa manusia memiliki
daya-daya dinamis (bisa berubah), baik kebaikan maupun kejahatan. Kepemilikan atas daya
dinamis ini, memberikan pendidikan karakter untuk menyempurnakan diri manusia. Dengan
demikian, pendidikan karakter sebagai sebuah usaha manusia untuk menjadikan dirinya
sebagai manusia yang berkeutamaan. Pendidikan karakter merupakan hasil dari usaha
manusia dalam mengembangkan dirinya sendiri.1
Parwez menurunkan beberapa definisi pendidikan karakter yang disimpulkan dari
sekian definisi yang dipahami oleh para penulis barat saat ini. Definisi tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut: 1) Moralitas adalah karakter. Karakter merupakan sesuatu yang
terukur dalam diri seseorang. Karakter merupakan kekuatan batin. Pelanggaran susila
(amoralitas) juga merupakan karakter, tetapi untuk menjadi bermoral dan tidak bermoral
adalah sesuatu yang ambigu; 2) Karakter adalah manifestasi kebenaran dan kebenaran adalah
penyesuaian kemunculan pada realitas; 3) Karakter adalah mengadopsi kebaikan dan
kebaikan adalah gerakan menuju suatu tempat kediaman. Kejahatan adalah perasaan gelisah
yang tiada berjuang dari potensialitas tanpa sesuatu yang dapat dicapai, jika tidak mengambil
arah namun juga tidak terjebak dalam ketidak tahuan, dan akhirnya semua sirna; 4) Dalam
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
30
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pengertian yang lebih umum, karakter adalah sikap manusia terhadap lingkungannya yang
diekspresikan dalam tindakan.
Dapat disimpulkan bahwa karakter adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan,
dan sikap seseorang yang ditunjukan kepada orang lain melalui tindakan.2
Urgensi Pendidikan Karakter
Situasi sosial, kultural masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang semakin
mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin
merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya
ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dan lain-lain. Telah terjadi di pendidikan kita.
Orde Baru telah memberikan sumbangan besar bagi berdirinya banyak Sekolah Dasar
inpres pada tahun 80-an yang memberikan kesempatan besar bagi anak-anak didaerah untuk
memperoleh akses pendidikan. Rupanya usaha nasional bagi perkembangan pendidikan
nasional dengan adanya perbaikan sarana dan fasilitas pendidikan tidak disertai dengan
kurikulum yang memadai sehingga sejak zaman orde baru sampai sekarang selalu bermain
“bongkar pasang” kurikulum. Kita kenal berbagai macam jenis kurikulum seoerti cara belajar
siswa aktif (CBSA), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP), dan sekarng kurikulum 2013 (K.13).3
Pada masa setelah reformasi, situasi pendidikan nasional semakin parah. Kurikulum
tetap berganti setiap pergantian menteri, dari kurikulum 2004 kekurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Sementara itu ribuan sekolah SD inpres yang dibangun oleh orde Baru
pada tahun 80-an mulai roboh.
Dari segi politik pendidikan, pemerintah semakin tidak dapat memiliki daya tawar
terhadap tuntutan persaingan global sehingga privatisasi semakin dipercepat terutama
dibeberapa universitas negeri. Kebijakan politik pendidikan ini jelas semakin jauh dari
pelayanan pada rakyat, sebab universitas negeri semakin menjadi mahal dan tidak terjangkau
oleh rakyat miskin.
Sekolah–sekolah kita sendiri banyak menyamai perilaku tidak adil dan kekerasan,
baik karena intervensi dari pihak luar maupun dari kalangan insan pendidikan sendiri.
Akibatnya para siswa, guru dan masyarakat yang menjadi korban. Banyak peristiwa yang
mengkhawairkan yang terjadi dilingkungan pendidikan kita yang membuat dunia pendidikan
semakin lumpuh.
Kasus tindakan kekerasan yang dilakukan Bupati Kampar (Riau) telah memacetkan
dunia pendidikan di Kampar selama beberapa minggu. Hal tersebut tentunya merugikan
proses belajar siswa. Ada juga kasus guru yang diteror aparat keamanan dan dikecam pejabat
pemerintahan karena bersikukuh mempertahankan sekolahnya yang digusur demi sebuah
program bisnis. Para murid sekolahnya yang menjadi korban kekerasan dan kejahatan entah
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
31
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
itu karena konflik politik maupun karena perilaku kriminal biasa, melalui pembunuhan
maupun pemerkosaan. Ada pula guru yang tega melecehkan anak didiknya secara seksual.
Tentu saja berbagai macam demoralisasi di atas tidak semuanya terjadi karena proses
salah didik dalam lembaga pendidikan kita. Kita percaya terlalu tinggi bahwa “segala segala
sesuatu dapat dipelajari melalui pengajaran” Tidak setiap hal bisa dipelajari dan diatasi hanya
dengan cara pergi ke sekolah. Sekolah bukanlah tempat penyembuh segala luka kemanusiaan.
Lembaga pendidikan memang sejak dahulu memiliki peran penting bagi sumbangsih
perjalanan peradaban umat manusia dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Melihat defisitnya sumbangan lembaga pendidikan dalam kerangka proses pembudayaan
masyarakat kita, sudah sepantasnya bila sekolah mempertanyakan kembali programprogramnya dan mengevaluasinya melalui program-program yang sifatnya lintas kultural
dalam pendidikan anak-anak Indonesia,
Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan
kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan
sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan
keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual
dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi.
Pendidikan karakter secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan
menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunikasi. Para siswa
mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu
meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan
lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan
ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar didalam kelas, orang tua gembira ketika
anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memilki rasa hormat dan produktif.
Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin,
kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga
berkurangnya tindakan vandalisme didalam sekolah.4
Berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia tidak akan berkurang jika pendidikan
karakter tidak segera diterapkan dalam konteks pendidikan. Baik secara langsung maupun
dengan menciptakan sebuah lingkungan yang bersifat asuhsecara moral dalam lingkungan
pendidikan. Lembaga pendidikan demikian ini akan membantu membangun sebuah
masyarakat yang sehat dari pada sekedar mencetak para pekerja sosial, sukarelawan dan
konselor yang membantu mengatasi kemunduran sosial dalam masyarakat.5
Pengertian dan Tujuan Parenting untuk Anak Usia Dini
Sebelum kita mengetahui arti dari parenting, akan lebih baik jika kita mengetahui
pengertian parenting. Parenting berasal dari bahasa Inggris yang berarti proses mengasuh
anak atau pengasuhan. Parenting adalah suatu upaya pendidikan yang dilakukan oleh orang
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
32
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
tua atau keluarga, yang meliputi aktivitas-aktivitas seperti: memberi makan atau asupan
nutrisi yang diberikan kepada anak, memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting)
sebagai usaha untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penggunaan
kata “parenting” disebabkan karena belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk
mewakili aktivitas-aktivitas dari proses interaksi antara orang tua dan anak.
Kegiatan parenting dilakukan dalam keluarga karena keluarga merupakan tempat
pertama di mana seorang anak mendapatkan pendidikan dan merupakan unit terkecil dalam
masyarakat. Untuk mewujudkan fungsi keluarga khususnya yaitu fungsi keluarga dalam
bidang sosial dan pendidikan, kegiatan parenting dilakukan antara keluarga dan pihak
sekolah (lembaga Pendidikan Anak Usia Dini) sehingga keluarga dapat menjadi mitra yang
baik. Proses parenting juga tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja yaitu orang tua kepada
anak, melainkan proses interaksi yang intensif dari kedua belah pihak.
Ada berbagai usaha yang dilakukan oleh sekolah atau lembaga PAUD dalam
menyadari pentingnya peran orang tua untuk menyukseskan pendidikan karakter pada anak,
maka dibentuklah kelompok/perkumpulan orang tua siswa (parenting) yang didalam
kelompok tersebut terdapat kegiatan-kegiatan positif yang melibatkan orang tua, guru dan
siswa dalam upaya peningkatan wawasan orang tua dalam proses mendampingi tumbuh
kembang anak.6
Jadi, program parenting yaitu kegiatan yang dilakukan antara orang tua dan pihak
sekolah dalam membahas proses tumbuh kembang anak dan berbagi permasalahannya agar
terjadi kesinambungan dalam rangka optimalisasi potensi anak. Kegiatan Parenting juga
dilaksanakan untuk memberikan sosialisai tentang program-program yang diselenggarakan
oleh lembaga PAUD.
Secara umum tujuan program parenting adalah mengajak orang tua untuk bersamasama memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak. Selain itu program Parenting dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan,
pengasuhan, dan pendidikan anak di dalam keluarga dengan berlandaskan dasar-dasar
karakter yang baik.
Selain itu, program parenting dilakukan oleh lembaga PAUD agar program sekolah
dan program rumah dapat diselaraskan, sehingga pendidikan karakter yang ditanamkan di
sekolah dapat ditindak lanjuti di lingkungan keluarga. Program ini akan meningkatkan
kerjasama antara orang tua dan pihak lembaga PAUD dan dapat meningkatkan kompetensi
guru.
Program parenting dilakukan dengan memanggil/menghadirkan para ahli dalam
bidang pendidikan anak usia dini. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengundang
psikolog, dosen atau guru. Jadi, guru juga harus tetap meningkatkan kompetensi dan
pengetahuan yang dimiliki. Program parenting juga dapat dilakukan dengan memasukkan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
33
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
beberapa kegiatan yang lain dengan maksud dan tujuan mempererat kerjasama antara pihak
lembaga PAUD dengan orang tua.
Implementasi Program Parenting
Ilmu pendidikan masa silam senantiasa menganggap penting pelatihan dan pendidikan
karakter. Meskipun tidak berhasil menjabarkan apa yang dimaksud dengan karakter atau
menunjukan cara mendidiknya. Kesadaran mengenai pentingnya pendidikan karakter pun
mulai diakui oleh masyarakat. Maraknya fenomena kenakalan pada anak pun sering kita
jumpai dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan karakter sejak anak
berusia dini. Bagaimana pentingnya masa-masa usia dini, sampai disebutkan bahwa masamasa anak usia dini merupakan masa the golden age moment atau masa-masa emas. Pada
usia ini anak menyerap segala sesuatu yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan.
Proses pendidikan pada anak usia dini (usia 0-6 tahun) sebaiknya selalu dipantau oleh
orang tua atau guru, karena anak belum dapat memilih dan memilah informasi yang ia
dapatkan dari alat panca inderanya. Tugas pokok orang tua yaitu membimbing, memberi
stimulus dan mengawasi kegiatan anak. Dengan pemberian stimulus-stimulus yang mengarah
kepada karakter yang baik, maka akan menghasilkan anak yang berkarakter baik pula
nantinya. Begitu juga sebaliknya. Anak akan merekam di pikiran bawah sadar mereka sampai
mereka dewasa kelak.
Keajaiban yang terdapat pada otak anak usia dini inlah yang harus kita optimalkan
agar otak anak dapat berkembang secara optimal dan berkarakter. Karakter sangatlah penting
untuk ditanamkan sejak anak pada usia dini, karakter biasanya disebut juga dengan budi
pekerti. Seseorang dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan
keyakinan masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral didalamnya.7
Keberhasilan dalam pendidikan karakter biasanya besar dipengaruhi oleh keluarga,
karena pada kenyataannya seorang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan
keluarga dari pada di lingkungan sekolah atau pun sosialnya. Oleh karenanya, peran orang
tua sangatlah besar terhadap pendidikan karakter anak. Selain itu guru juga memiliki
kewajiban dalam mendidik dan menjadikan anak didiknya berkarakter.
Telah kita ketahui bahwa guru dituntut untuk menjadikan anak didiknya menjadi anak
yang berkarakter. Padahal jika kita lihat kenyataannya, guru memiliki waktu yang lebih
sedikit jika dibandingan dengan orang tua yang memiliki banyak waktu untuk mendidik anak.
Oleh karenanya, guru harus berinisiatif dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Program parenting club, merupakan salah satu program yang dirasa paling efektif
dalam mengatasi permasalahan diatas. Dengan program Parenting ini akan terjalin
komunikasi antara guru dengan orang tua anak didik sehingga akan menghasilkan suatu
kerjasama antara guru dengan orang tua dalam mendidik anak. Dari sinilah akan terlaksana
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
34
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pendidikan yang optimal, yaitu pendidikan yang saling bersinergi di antara lingkungan
sekolah dan lingkungan keluarga.
Pada hakikatnya, manusia belajar, tumbuh dan berkembang dari pengalaman yang
dipeolehnya melalui kehidupan keluarga. Untuk sampai pada penemuan bagaimana ia
menempatkan dirinya kedalam keseluruhan kehidupan dimana ia berada. Namun
perkembangan manusia tidaklah dimulai dari suatu tabula rasa, melainkan mengandung
sumber daya yang memiliki kondisi sosial kultural, fisik dan biologis yang berdeda-beda,
yang tidak dapat dilihat terlepas dari kondisi sosial, kultural, fisik dan biologis dalam
lingkunganya. Dengan demikian, selain sekolah dan guru, lingkungan keluarga dan orang tua
juga memainkan peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak sejak lahir.8
Pada program parenting terdapat upaya pendidikan yang dilaksanakan oleh guru
bersama dengan orang tua yaitu dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam
keluarga dan lingkungan sekitar yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Program ini
juga berfungsi sebagai proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak.
Orang tualah yang memiliki banyak waktu dalam mendidik anak melalui aktivitasaktivitas keseharian yang dicontohkan orang tua kepada anak serta pemberian keteladanan
yang ditransformasikan melalui orang tua dan orang dewasa di lingkungannya. Dalam
implementasinya, orang tualah yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian
dan karakter anak.
Berikut ini jenis-jenis program Parenting yang dapat dilaksanakan untuk lembagalembaga PAUD, diantaranya: 1) Parents Gathering. Parents Gatering adalah pertemuan
orang tua dengan pihak lembaga PAUD yang difasilitasi oleh panitia program Parenting guna
membicarakan tentang program-program lembaga PAUD dalam hubungannya dengan
bimbingan dan pengasuhan anak di keluarga dalam rangka menumbuh-kembangkan anak
secara optimal. Materi dalam pertemuan dapat berbagai hal tetang kebutuhan tumbuhkembang anak, misalnya: tentang gizi dan makna, tentang kesehatan, tentang pendidikan
karakter, penyakit pada anak, dan sebagainya; 2) Foundation Class. Foundation Class adalah
pembelajaran bersama anak dengan orangtua di awal masuk sekolah dalam rangka orientasi
dan pengenalan kegiatan sekolah. Dilaksanakan pada minggu-minggu pertama anak-anak
mulai masuk sekolah di tahun ajaran baru; 3) Seminar. Seminar adalah kegiatan dalam rangka
program parenting, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan seminar. Misalnya
dengan mengudang tokoh atau praktisi PAUD yang kompeten, pakar dongeng, phisikolog,
dan lain-lain; 4) Hari Konsultasi. Hari Konsultasi adalah hari dengan kegiatan pertemuan
konsultasi untuk orang tua yang dapat disediakan atau di buka oleh lembaga PAUD. Jumlah
hari yang disediakan sesuai dengan tinggi rendahnya kasus atau jumlah orang tua yang
melakukan konsultasi; 5) Field Trip. Field Trip adalah darmawisata, kunjungan wisata, atau
kunjungan ke tempat-tempat yang menunjang kegiatan pembelajaran PAUD. Kegiatan
kunjungan dilakukan bersama dengan orang tua. Misalnya kunjungan ke museum, kunjungan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
35
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
ke bandar udara, pelabuhan, atau tempat-tempat lain yang sesuai dengan tema dalam
pembelajaran; 6) Home Activities. Home Activities adalah aktivitas di rumah dibawa ke
sekolah, yaitu membawa orang tua untuk menginap di sekolah. Hal tersebut bisa dilakukan
dengan kegiatan perkemahan di lapangan apabila di sekolah tidak mampu menyediakan
tempat menginap. Kegiatan yang dilaksakan adalah bimbingan bagaimana kegiatan dirumah
yang baik untuk mendidik anak, dan menciptakan situasi yang kondusif untuk anak di rumah;
7) Cooking on The Spot. Cooking on The Spot adalah anak-anak belajar menyiapkan
masakan, menyajikan makanan dengan bimbingan guru atau bersama dengan orang tua; 8)
Bazar Day. Bazar Day adalah menyelenggarakan bazar di lembaga PAUD, Anak-anak
menampilkan karyanya yang dijual pada orang tua atau umum; 9) Mini Zoo. Mini Zoo adalah
menyelenggarakan kebun binatang mini di sekolah, yaitu anak-anak membawa binatang
kesayangannya atau binatang peliharaannya di rumah ke lembaga PAUD; dan 10) Home
Education Video. Home Education Video adalah mengirimkan rekaman kegiatan
pembelajaran anak-anak di lembaga PAUD pada orang tua dalam bentuk keping CD/DVD,
agar dapat disaksikan dan dipelajari juga orang tua di rumah.
Arti Penting Keluarga dan Kunci Sukses Pendidikan Karakter Bagi Anak
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Mereka berada
dalam keluarga sejak dalam kandungan sampai menjelang pernikahan. Oleh karena itu
peranan keluarga sangat penting dalam perjalanan seorang anak.
Hal tersebut melatarbelakangi lembaga pendidikan anak usia dini merancang acara
yang melibatkan peran orang tua di dalamnya, yaitu parenting club. Pendidikan karakter
harus dilaksanakan sejak usia dini, karena usia dini merupakan, periode perkembangan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal diatas seringkali disebut dengan masa golden
age. Maka dari itu, dengan diadakannya program seperti ini di setiap lembaga pendidikan
anak usia dini, akan sangat memudahkan pendidik dalam upaya penanaman karakter pada
anak untuk menjadi lebih maksimal, efektif, dan efisien.
Untuk menyukseskan acara ini, peran orang tua sangatlah dibutuhkan, karena di
dalam parenting club ada berbagai macam kegiatan yang melibatkan peran orang tua di
dalamnya, seperti Pengajian Jumatan yang diadakan setiap hari Jumat minggu ke-1, belajar
bareng hari sabtu yang diadakan setiap bulan di hari Sabtu dan Minggu ke-2, gerakan orang
tua cinta buku, yakni peminjaman buku perpustakaan oleh orang tua seminggu 1x setiap
jumat bersamaan dengan saat orang tua mengantar atau menjemput putra-putri mereka, dan di
hari Sabtu saat kegiatan pertemuan orang tua, dan one day with parent, yaitu sehari bersama
orang tua di sekolah.
Kegiatan positif ini sangat membantu orang tua dalam upaya peningkatan wawasan
dan membantu dalam proses pendampingan tumbuh kembang anak. Selain itu dengan adanya
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
36
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kegiatan parenting club di sekolah-sekolah akan membuat orang tua ikut aktif dalam proses
pendidikan anak usia dini. Selain peran aktif orang tua kegiatan ini juga meningkatkan
kompetensi guru, dalam pelibatannya sebagai nara sumber kegiatan.
Agar kegiatan parenting club senantiasa berjalan baik dan berkesinambungan,
hendaknya para pendidik menjalin kerja sama yang baik antara guru dan orang tua, untuk
mendapatkan pendidikan karakter yang berkesinambungan baik dirumah maupun di sekolah.
Karena Proses kegiatan belajar mengajar di TK bertitik tumpu pada kerja sama yang baik
antara guru dan orang tua, sehingga para orang tua bisa mengetahui program-program
sekolah dan tujuannya, serta untuk memupuk rasa percaya dari orang tua kepada sekolah.
Dengan adanya komunikasi yang baik dari sekolah pada orang tua, hendaknya orang
tua mampu mengikuti kegiatan parenting club dengan baik pula, sehingga roda
keberlangsungan kegiatan ini di sebuah lembaga sekolah tidak hanya bergantung pada satu
figure saja yaitu pendidik atau guru. Tetapi orang tua juga bisa disiapkan untuk menggantikan
posisi pendidik di sekolah bila saatnya anak berada di lingkungan dirumah.
Sebagai seorang pendidik hendaknya guru selalu meningkatkan wawasan dan
memperbarui pengetahuan agar dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang baru
kepada peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar peserta didik dapat bermanfaat pada
masyarakat sekitar. Karena kebanyakan orang tua siswa, kurang menambah wawasannya
mengenai pendidikan anak usia dini, mereka lebih mengandalkan peran pendidik di sekolah.
Padahal Orang tua hendaknya mampu memberikan pengetahuan dan mampu menjadi teladan
yang baik bagi anaknya dalam lingkungan keluarga untuk menanamkan pendidikan karakter.
Di samping menjadi seorang pendidik yang baik, pendidik juga harus memiliki
kemampuan kepemimpinan (leadership) yang baik. Untuk memimpin sebuah tim dalam
acara parenting club, dengan kemampuan merasa mampu tampil di hadapan publik. Maka
pendidik juga pasti dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua. Untuk menekan
biaya promosi lembaga pendidikan dan biaya acara parenting, karena dengan komunikasi
yang baik dari pendidik maka akan tumbuh rasa loyalitas para orang tua pada sekolah,
sehingga mereka akan dengan suka cita ikut serta mempromosikan pendidikan pada orang–
orang yang di kenal. Selain itu orang tua juga tidak akan ragu untuk ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan yang adala didalam parenting club.
Dalam kegiatan parenting club, pemberdayaan masyarakat sekitar, sangatlah penting
dilakukan, karena dengan melibatkan masyarakat pada proses kegiatan parenting club. Hat
tersebut akan membuat interaksi dengan masyarakat sekitar makin terjalin dengan baik dan
maksimal. Kemudian sebagai masyarakat hendaknya mendukung segala tujuan pembelajaran
yang hendak dicapai oleh lembaga pendidikan, agar senantiasa beriringan dan tujuan
pendidikan bisa dijalankan secara maksimal pula.
Dalam kegiatan parenting club pun, hendaknya pendidik senantiasa memberikan
kesempatan pada siswa untuk melakukan aktualisasi diri dimulai dari lingkungan terkecil
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
37
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
yaitu orang tua/wali murid. Jika kegiatan ini berjalan dengan baik maka hal ini adalah salah
satu dari kelebihan dari potensi yang guru miliki.Tujuan akhir dari semua kegiatan hendaklah
dilandaskan pada uapaya untuk selalu meningkatkan kulaitas sumber daya manusia yang ada
baik itu pendidik, siswa maupun orang tua
Jika semua kegiatan sudah terlaksana, hendaknya pendidik melakukan evaluasi
mengenai pelaksanaan parenting club, untuk mengetahui apakah kegiatan-kegiatan di
dalamnya, sudah mampu memberikan bukti nyata berkaitan dengan tumbuh kembang
pendidikan karakter anak.
Penutup
Pendidikan karakter harusnya diberikan sejak dini, karena perkembangan anak sedang
berlangsung sangat cepat. Sehingga, pendidikan karakter secara sistematis dapat diterapkan
dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh
komunikasi. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mulai dari lembaga pendidikan pra-sekolah
mulai melakukan kerja sama dengan pihak keluarga melalui berbagai program yang
diberikan. Salah satunya yaitu program parenting. Kegiatan positif yang melibatkan orang
tua, guru dan siswa dalam upaya peningkatan wawasan orang tua dalam proses mendampingi
tumbuh kembang anak.9
Jadi, program parenting club yaitu kegiatan yang dilakukan antara orang tua dan
pihak sekolah dalam membahas proses tumbuh kembang anak dan berbagi permasalahannya
agar terjadi kesinambungan dalam rangka optimalisasi potensi anak. Kegiatan parenting juga
dilaksanakan untuk memberikan sosialisai tentang program-program yang diselenggarakan
oleh lembaga PAUD.
Secara umum tujuan program ini adalah mengajak orang tua bersama-sama untuk
memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak. Selain itu program parenting dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan,
pengasuhan, dan pendidikan anak di dalam keluarga dengan berlandaskan dasar-dasar
karakter yang baik. Pada program parenting club terdapat upaya pendidikan yang
dilaksanakan oleh guru bersama dengan orang tua yaitu dengan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan sekitar yang berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri. Banyak hal-hal yang dapat dilaksanakan di sebuah lembaga PAUD yaitu
seperti pengajian jumatan yang diadakan setiap hari Jumat minggu ke-1, belajar bareng hari
Sabtu yang diadakan setiap bulan di hari Sabtu minggu II, gerakan orang tua cinta buku
(Peminjaman buku perpustakaan oleh orang tua seminggu 1x setiap jumat bersamaan dengan
saat orang tua mengantar atau menjemput putra-putri mereka, dan di hari Sabtu saat kegiatan
pertemuan orang tua), dan one day with parent, yakni sehari bersama orang tua di sekolah.
Kegiatan positif ini sangat membantu orang tua dalam upaya peningkatan wawasan dan
membantu dalam proses pendampingan tumbuh kembang anak. Dalam kegiatan parenting
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
38
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 29-39
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pun, hendaknya pendidik senantiasa memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan
aktualisasi diri dimulai dari lingkungan terkecil yaitu orang tua/wali murid.
Catatan Akhir
1
Doni, Koesoema A., Pendidikan Karakter (Jakarta: PT. Grasindo, 2010).
Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar, dan Implementasi, (Jakarta: Kencana,
2014), hh.7-8.
3
Doni, Koesoema A., Op.Cit., h.112
4
Ibid, h.116
5
Ibid, h.118
6
Fauziah, “Optimalisasi Pendidikan Karakter di TK Al Falah Surabaya Melalui Parenting”, dalam EJurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Vol 1, hal 4
7
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007).
8
Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, (Jakarta: PT
Indeks, 2008).
9
Fauziah, “Optimalisasi Pendidikan Karakter di TK Al Falah Surabaya Melalui Parenting”, dalam EJurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Vol 1, hal 4
2
Daftar Pustaka
R. Semiawan, Conny, Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar, Jakarta:
PT Indeks, 2008.
Doni, Koesoema A, Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Grasindo, 2010.
Fauziah. “Optimalisasi Pendidikan Karakter di TK Al Falah Surabaya Melalui Parenting”,
dalam E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Vol 1
Yaumi, Muhammad, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar, Dan Implementasi, Jakarta:
Kencana, 2014.
Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2007
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
H. Kurniawan, dkk.
39
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
BERMAIN SEBAGAI METODE PEMBELAJARAN UTAMA
ANAK RAUDHATUL ATHFAL
Imroatun
Dosen PGRA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: ubi.affan@ gmail.com
Abstract
Children who enter Islamic Kindergarten education are children in preschool age, they are
between four to seven years old. In the new environment and different from family
environment, children begin to feel a more formal environment situation where children
obtain education which aims to development and maturation of basic potentials which
children have had. Playing is one of approach and learning model in Islamic Kindergarten to
develop existing potential and aspect in children. Some education efforts which given by
educator should be done in pleasant situation. Using strategy, method, material, attractive
media as well as easy procedures followed by children. Through playing, children are invited
to explore, discovering, and employing objects which is close to children’s environment. So,
learning process becomes more meaningful.
Keywords: Playing, Method, Learning, Islamic Kindergarten
Abstrak
Anak-anak yang memasuki pendidikan Raudlatul Athfal (RA) adalah anak-anak di usia
prasekolah yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun. Di lingkungan yang baru dan berbeda
dengan lingkungan keluarga, anak mulai merasakan situasi lingkungan yang lebih formal
dimana anak memperoleh pendidikan yang bertujuan untuk pengembangan dan kematangan
potensi-potensi dasar yang telah anak miliki. Bermain merupakan salah satu pendekatan dan
metode pembelajaran di RA untuk mengembangkan potensi dan aspek yang ada pada diri
anak. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan dalam
situasi yang menyenangkan. Menggunakan strategi, metode, materi/ bahan, media yang
menarik serta mudah diikuti oleh anak-anak. Melalui bermain, anak diajak untuk
bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak.
Sehingga pembelajaran menjadi bermakna.
Kata kunci: bermain, metode, pembelajaran, raudhatul athfal
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
40
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendahuluan
Usia belajar di Raudhatul Athfal (RA) merupakan periode yang sangat penting dalam
perkembangan seorang anak karena interaksi sosial yang terjadi pada masa tersebut akan
menentukan dasar sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan orang lain, kelompok
maupun dengan kehidupan sosial secara luas.. Pada usia ini juga di kenal dengan periode
emas sekaligus merupakan periode kritis bagi anak dimana perkembangan yang didapatkan
pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga
masa dewasanya. Periode ini hanya datang sekali dan tidak dapat ditunda kehadirannya,
sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangya.1
Sudjud mengkategorikan masa-masa awal anak memperoleh pendidikan formal itu
sebagai masa strategis sekaligus kritis. Masa ini disebut strategis karena masa ini merupakan
masa peka untuk memperoleh keberhasilan dalam kehidupannya dan dikatakan masa kritis
apabila anak usia prasekolah ini tidak memperoleh stimulan dan perlakuan yang tepat, maka
perkembangan anak tersendat dan tidak sesuai tahapan perkembangannya.2
Pada periode kritis ini anak juga memerlukan berbagai asupan terutama yang
mencakup aspek gizi, kesehatan dan pendidikan yang merupakan pilar utama pengembangan
anak usia RA, mengingat ketiga aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas anak di
kemudian hari.
Anak-anak yang memasuki pendidikan RA adalah anak-anak di usia prasekolah yaitu
antara usia empat sampai tujuh tahun. Di lingkungan yang baru dan berbeda dengan dengan
lingkungan keluarga, anak mulai merasakan situasi lingkungan yang lebih formal dimana
anak memeperoleh pendidikan yang bertujuan untuk pengembangan dan kematangan potensipotensi dasar yang telah anak miliki.
Di sekolah, anak mengalami perkembangan intelektual, fisik, kognisi dan emosi. Di
samping itu, pada masa tersebut anak mulai belajar melakukan hubungan sosial dengan cara
bergaul dengan teman sebaya. Interaksi yang terbentuk di masa-masa pendidikan prasekolah
akan menentukan sikap dan perilaku dalam berhubungan dengan orang lain pada masa
perkembangan sosial pada tahap selanjutnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock,
bahwa perkembangan perilaku sosial tersebut diperlukan selain pengembangan akademik.
Pendidikan di usia prasekolah tidak hanya meningkatkan salah satu ranah akademik saja
tetapi selayaknya juga mengembangkan ranah sosial untuk mengembangkan pribadi anak
secara totalitas.
Dunia anak adalah dunia bermain sehingga tidak terbayangkan bagaimana jadinya
apabila anak melalui hari-harinya tanpa kegiatan bermain. Dalam permainan anak dapat
berbagi perasaan, kegembiraan atau kesedihan dengan sebaya atau gurunya saat bermain.
Hampir semua kandungan kecakapan sosial dapat dimasukkan ke dalam format permainan
melalui cara yang sederhana. Seorang guru dapat menggunakan serangkaian permainan untuk
melatih kecakapan sosial misalnya; meminjam dan mengembalikan barang seseorang dengan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
41
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
benar. Ketika bermain, harapan, perhatian dan ketakutan anak dapat diekspresikan. Bermain
juga menunjang perkembangan konsep diri yang positif dan juga membangun kepercayaan
yang memungkinkan si kecil dapat melakukan banyak hal sesuai dengan pandangan dan
harapannya (pintar melalui bermain).
Namun semua bentuk permainan tidak selalu berfungsi dalam pengembangan sikap,
pengetahuan, ketrampilan, kreativitas dan kecakapan sosial anak. Dalam kenyataan
kehidupan masyarakat, sebagian orang tua memberikan permainan yang lebih memfokuskan
pada perkembangan kognisi, tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak untuk interaksi
dengan teman-temannya. Mereka memberikan permainan elektronik seperti video game,
play station dan jenis-jenis permainan individual lainnya sehingga anak kurang dapat
mengembangkan penyesuaian pribadi dan sosial anak.
Pengertian Bermain
Permainan, bermain dalam bahasa Inggris disebut “games” (kata benda), “to play”
(kata kerja), “toys” (kata benda) ini berasal dari kata “main”. Dalam kamus bahasa Indonesia,
kata main berarti melakukan perbuatan untuk tujuan bersenang-senang (dengan alat alat
tertentu atau tidak); berbuat sesuatu dengan dengan sesuka hati, berbuat asal saja. Dalam
dunia psikologi kegiatan bermain dipandang sebagai suatu kegiatan yang mengandung
keasyikan (fun) dan dilakukan atas kehendak diri sendiri, bebas, tanpa paksaan dengan tujuan
untuk memeroleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut.3
Bermain merupakan kegiatan utama yang dilakukan anak dalam melakukan interaksi
dengan lingkungan untuk membentuk pengetahuannaya. Bermain adalah suatu aktivitas
spontan dimana seorang anak menggunakan orang lain atau benda benda di sekitarnya
dengan senang , sukarela dan penuh imajinatif dan juga menggunakan perasaan, tangan, kaki
dan seluruh anggota tubuh lainnya. Bermain dilakukan oleh anak anak atas dasar inisiatif dan
keputusan sendiri dengan dukungan orang dewasa. Bagi mereka , bermain menjadi sarana
untuk mengubah kekuatan potensial di dalam dirinya mencapai berbagai kemampuan dan
kecakapan actual.
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny
R. Semiawan, bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan ,
bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat
ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk
memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru.4 Melalui permainan ,
anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik
maupun mental intelektual dan spiritual. Oleh karena itu , bermain bagi anak usia RA
merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek.
Garvey dalam buku Perkembangan Kepribadian Anak memberi kriteria tertentu dalam
mendefinisikan permainan yaitu: a) permainan merupakan aktivitas yang menggembirakan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
42
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dan menyenangkan, b) permainan tidak mempunyai tujuan ekstrinsik. Motivasi anak bersifat
subjektif dan tidak mempunyai tujuan praktis, c) permainan merupakan hal yang spontan
dan sukarela, dipilih secara bebas oleh pemain, d) permainan memerlukan keterlibatan aktif
para pemain. 5
Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada
anak RA. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan
dalam situasi yang menyenangkan. Menggunakan strategi, metode, materi/ bahan, media
yang menarik serta mudah diikuti oleh anak-anak. Melalui bermain, anak diajak untuk
bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak.
Sehingga pembelajaran menjadi bermakna.
Upaya mengembangkan anak RA mempunyai cara tersendiri. Berbeda dengan anak
usia sekolah di mana kegiatan pengembangan anak sudah lebih ditujukan pada
pengembangan kemampuan akademik, maka pada anak usia RA, kegiatan lebih ditujukkan
untuk mengembangakan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan kreativitas yang diperlukan
oleh anak untuk hidup di lingkungan masyarakatnya, selain mempersiapkan diri untuk masuk
sekolah. Jadi, upaya pengembnagan anak pada usia RA lebih ditujukan untuk
mengembangankan anak secara utuh, menyeluruh, yaitu mengoptimalkan perkembangan
sosial, intelektual, bahasa, eemosi dan fisik anak.
Berdasarkan sejumlah pengertian dan definisi tersebut di atas, maka yang dimaksud
pengertian permainan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan dan dapat
mencerminkan kemampuan kognisi, emosi dan sosial anak dalam mengulang pengalaman
dan berfantasi serta menangkap rangsangan melalui afeksinya terhadap segala sesuatu yang
ada di sekitar atau berdasarkan latar belakang budaya anak.
Macam-macam Permainan
Jenis permainan berdasarkan bentuk aktivitas dan tingkah laku yang dominan terdiri
dari empat tipe, antara lain: 1) Bermain Fisik. Penekanan pada aksi, melibatkan banyak
aktivitas fisik. Bertujuan membantu anak meningkatkan ketrampilan fisik atau belajar
menggunakannya dalam situasi baru. Bermain fisik mengandung komponen dramatik, bisa
dielaborasi dengan membuat aktivitas fisik lebih menantang atau menambahkan unsur sosial.
Sekecil apapun bentuk keterlibatan apabila memerlukan kerja otot fisik termasuk gerakangerakan dengan tanpa disadari maupun untuk tujuan tujuan tertentu seperti melatih fungsi
organ tubuh maupun melatih pancaindera, contohnya melemparkan sesuatu, menggerakkan
kaki, meremas remas benda, dan seterusnya; 2) Bermain Manipulatif. Penekanan pada usaha
untuk memanipulasi, mengontrol obyek dan situasi, misalnya menggunakan obyek untuk
menghasilkan suatu efek. Contoh bermain manipulatif adalah: puzzle, materi konstruktif atau
materi alami; 3) Bermain simbol atau dramatik. Melibatkan manipulasi terhadap realitas,
penggunaan bahasa untuk simbolisasi. Dalam bermain dramatik, anak mengadopsi dan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
43
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
memainkan suatu peran bersama anak-anak lain dalam situasi yang sering merupakan
representasi dari pengalaman hidup mereka. Situasi, peristiwa, identitas obyek atau orang,
bahkan sikap dan emosi bisa diubah demi permainan ini. Transformasi tersebut bisa
diwujudkan melalui bahasa, penggunaan obyek nyata, atau melalui tindakan. Bermain
simbol-dramatik mempunyai beberapa elemen, yaitu: a) bermain dengan melakukan imitasi.
Anak bermain pura-pura dengan melakukan peran orang di sekitarnya, dengan menirukan
tingkah laku dan pembicaraannya, b) bermain peran dengan menirukan gerakan. Misalnya :
bermain menirukan pembicaraan antara guru dan murid atau orang tua dengan anak, c)
persisten, anak melakukan kegiatan bermain dengan tekun paling sedikit selama 10 menit, d)
interaksi, paling sedikit ada dua orang dalam satu adegan, e) komunuikasi verbal. Pada setiap
adegan ada interaksi verbal antar anak yang bermain; dan 4) Permainan (games). Permainan
bersifat terstruktur, ada pembagian peran dan peraturan spesifik yang harus dipatuhi anak.
Permainan sangat beragam, mempunyai aturan dan menuntut partisipasi minimal dua orang
anak. Permainan mengisyaratkan interaksi sosial, anak harus memahami konsep berbagi,
menunggu giliran, jujur, menang dan kalah untuk dapat terlibat secara efektif.
Bermain Sebagai Metode Pembelajaran Utama Anak Raudhatul Athfal
Manusia dikenal dengan sebutan homuluden atau makhluk bermain, permainan selalu
ada pada setiap tingkat usia manusia namun aktivitas ini seringkali dianggap sebagai suatu
bagian yang bersifat alamiah bagi seorang anak. Gambaran seorang anak akan terlintas
apabila melihat sebuah permainan, maka pernyataan bahwa sesungguhnya dunia anak adalah
dunia bermain adalah ungkapan yang tidak berlebihan, seperti yang diutarakan oleh Hurlock,
masa awal kanak-kanak adalah sebagai usia bermain, karena anak-anak menghabiskan
sebagian waktunya juga bermain dengan mainannya. Penyelidikan tentang permainan akan
menunjukkan bahwa bermain dengan mainan mencapai puncaknya pada tahun-tahun awal
masa kanak-kanak, kemudian mulai menurun pada saat anak mencapai usia sekolah.6
Miller dalam Mulyadi berpendapat bahwa setiap anak memiliki insting untuk bermain
yaitu kebutuhan untuk berkreativitas dalam pola tertentu yang sangat membantu proses
pertumbuhan dan perkembangannya. 7 Hurlock menyatakan bahwa permainan merupakan
kegiatan pokok dalam masa kanak-kanak, yang merupakan sarana improvisasi dan kombinasi
serta sebagai sarana pertama anak memahami aturan-aturan sesuai kendali budaya yang ada.8
Adapun Freud dan Erikson menyatakan bahwa permainan adalah bentuk khusus penyesuaian
diri manusia dan membantu anak mengatasi kecemasan konflik. Sedangkan Piaget
mengartikan permainan merupakan medium yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif.
Piaget yakin bahwa struktur kognitif perlu memperoleh latihan, dan permainan adalah lahan
yang subur untuk berlatih.9
Beberapa ahli pendidikan menganggap bahwa bermain sebagai suatu kegiatan yang
mempunyai nilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai metode pembelajaran untuk
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
44
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
menguatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak, dan bermain sendiri memiliki
manfaat yang positif bagi anak, di antaranya: 1) Mengembangkan aspek fisik. Dalam
bermain, anak berkesempatan melakukan kegiatan yang melibatkan gerakan-gerakan tubuh
yang membuat tubuh anak sehat dan otot-otot tubuh menjadi kuat; 2) Mengembnagkan aspek
motoric halus dan kasar. dalam bermain dibutuhkan gerakan dan koordinasi tubuh (tangan
kaki, mata dan anggota tubuh yang lain); 3) Mengembangkan emosi kepribadian. dalam
bermain anak dapat melepaskan ketegangan yang ada dalam dirinya dan dapat menyalurkan
perasaan yang membuat anak lega dan relaks; 4) Mengembngkan aspek kognisi. Dalam
bermain, anak dapat belajar dan mengembangkan daya pikirnya; 5) Mengembngkan alat
indera. Dalam bermain, penginderaan anak (penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan perabaan) diasah , sehingga anak lebih tanggap atau peka terhadap hal-hal
yang ada di sekitarnya; 6) Mengembangkan ketrampilan olah raga dan menari; 7) Sebagai
media terapi, karena selama bermain perilaku anak akan tampil lebih bebeas dan bermain
adalah suatu yang alamiah pada diri anak; 8) Sebagai media intervensi. Bermain dapat
melatih konsentrasi (pemusatan perhatian pada tugas tertentu) seperti melatih konsep dasar
warna, bentuk dan lain-lain;10 9) Dalam bulletin seloka. Dijelaskan bahwa bermain penuh
nilai positif akan penanaman moral dan pengembnagan kemampuan social anak seperti
pentingnya kerjasama, saling berbagi, kejujuran, saling percaya dan kekompakan. Di samping
itu sebenarnya tujuan bermain (permainan) adalah agar anak dari waktu masih kecil
ditanamkan rasa persaudaraan dan persatuan, rasa senasib dan sepenangunggan yang kita
harus jaga demi kelangsungan bangsa.11
Permainan yang diselenggarakan dalam pembelajaran di RA dapat meningkatkan
berbagai kompetensi perkembangan siswa. Ralibi dalam bukunya Fun Teaching, menjelaskan
kompetensi perkembangan anak melalui metode bermain, yaitu antara lain: 1) Self
Awareness, kemampuan anak untuk menyaddari emosi dan pikiran di dalam dirinya serta
menyadari tindakan apa yang harus dilakukan ; 2) Self Direction, kemampuan anak dalam
menggunakan pilihan pilihan untuk menghadapi persoalan; 3) Self Management, kemampuan
anak untuk mengelola persoalan atau tugasnya secara mandiri; 4) Empathy, kemampuan anak
untuk menyadari emosi yang dirasakan oleh orang lain ; 5) Assertive, kemampuan anak
dalam mengkondisikan diri di antara perilaku submisif (cenderung mengikuti) dan agresif ; 6)
Followership, kemampuan anak lam dmemosisikan diri untuk dipimpin oleh orang lain ; 7)
Creative Thinking, kemampuan berfikir anak dengan cara memadukan pengalaman pikiran
dan tindakannya dalam menghadapi persoalan; 8) Team Work, kemampuan anak untuk
bekerjasama dengan temannya; 9) Problem Solving, kemampuan anak dalam memecahkan
masalah; 10) Oppenes, kemampuan anak membuka diri terhadap orang lain; 11) Team Spirit,
kemampuan anak menghidupkan semangat secara kolektif; 12) Effective Communication,
kemampuan anak berinetraksi dengan orang lain baik verbal maupun non verbal; 13) Self
Communication, kemampuan anak untuk berinteraksi dengan temannya baik secara verbal
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
45
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
maupun non verbal; dan 14) Self motivation, kemampuan anak dalam memacu motivasi di
dalam diri.12
Untuk mencapai manfaat positif dari bermain maka dibutuhkan alait permainan yang
tepat. Untuk itu pendidik perlu memahami karakteristik pemilahan alat dan bahan permainan
yang akan disiapkan untuk anak, yaitu antara lain: 1) Permainan yang mengundang perhatian
anak, dapat memuaskan kebutuhan anak, menarik minat dan menyentuh perasaan anak, baik
warna, jenis, ukuran, bentuk ataupun berat; 2) Pilih alat atau bahan yang mencerminkan
karakteristik tingkat usia anak; 3) Alat dan bahan permaianan yang memiliki unsur
multiguna, yakni dapat memenuhi seluruh aspek perkembangan anak dan dapat dipergunakan
secara fleksibel dan serbaguna; 4) Alat permaianan sebbaiknya beraneka macam sehingga
anak dapat bereksplorasi dengan berbagai macam alat permainan; 5) Pilih bahan yang dapat
memperluas kesempatan anak untuk menggunakannya dengan berbagai cara. Tingkat
kesulitan sebaiknya disesuaikan dengan usia anak; 6) Peralatan mainan tidak terlalu rapu; 7)
Pilih bahan yang tidakmembedakan jenis kelamin; 8) Pilih alat dan bahan yang sesuai dengan
filsafat dan nafs pendidikan. Alat dan bahan ini sering disebut APE (Alat Permainan
Edukatif).13
Para ahli pendidikan Islam mengaitkan pengertian permainan dengan kaitan
penegakan akidah anak, bermain adalah kebiasaan lahiriyah dari insting bagi anak kecil, hal
ini merupakan anugerah yang telah diberikan Allah SWT untuk membantu pertumbuhan dan
pembentukan jiwa dan raganya secara natural.14 Oleh karena itu, diperlukan wawasan yang
luas bagi pendidik untuk menggali kemampuannya dalam memilih permainan yang kreatif,
inovatif, tepat sasarn, sarat makna dan harus tetap menyenangkan.
Dunia bermain adalah kenyataan yang merupakan temuan anak-anak dalam
interaksinya dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, dunia bermain merupakan
hasil transformasi anak terhadap kenyataan. Kegiatan bermain juga memberikan pengalaman
kepada anak untuk membangun dunia tersendiri yang dapat dihuninya sambil terus
memekarkannya melalui berbagai fungsi fisik, mental dan emosional. Hal ini berarti dunia
bermain bagi seorang anak merupakan pengalaman yang bernilai bagi kehidupannya.
Di mata anak-anak, ada beberapa alasan mengapa bemain sebagai salah satu metode
pembelajaran utama. Menurut Sudono,15 beberapa alasan tersebut antara lain: 1) Anak-anak
membutuhkan pengalaman yang kaya, bermakna dan menarik ; 2) Otak anak senang pada
sesuatu yang baru dan hal-hal baru yang menantang dan menarik ; 3) Rangsangan otak
sensori multimedia penting dalam pembelajaran; 4) Anak biasanya senang bergerak, jadi
pendidik seharusnya memasukkan gerak dalam pembelajaran; 5) Berikan kegiatan yang
membuat siswa dapat mengulang pembelajaran tanpa rasa bosan dan jenuh; 6) Bermain
adalah hal yang menyenangkan untuk anak.
Kesimpulan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
46
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Bermain adalah suatu kegiatan yang mempunyai nilai praktis, artinya bermain
digunakan sebagai metode pembelajaran untuk menguatkan ketrampilan dan kemampuan
tertentu pada anak, dan bermain sendiri memiliki manfaat yang positif bagi anak. Dunia
bermain adalah kenyataan yang merupakan temuan anak-anak dalam interaksinya dengan
lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, dunia bermain merupakan hasil transformasi
anak terhadap kenyataan. Kegiatan bermain juga memberikan pengalaman kepada anak untuk
membangun dunia tersendiri yang dapat dihuninya sambil terus memekarkannya melalui
berbagai fungsi fisik, mental dan emosional.
Catatan Akhir
1
Imas Kurniasih, Pendidikan anak Usia Dini, (Edukasia, 2009), h.11
A. Sudjud, “Paradigma Baru Pendidikan Anak Usia Dini”, Makalah PAUD, (Yogyakarta: IKIP
Yogyakarta, 1998), h.24
3
Dani Wardani, Bermain sambil Belajar, (Edukasia, 2009), hh.17-18
4
Imas Kurniasih, Pendidikan Anak Usia Dini, (Edukasia, 2009), h.115
5
P. H. Mussen, dkk., Perkembangan dan Kepribadian Anak, (Jakarta: Erlangga, 1988), hh.157-158
6
E.B. Hurlock, Perkembangan Anak, Edisi Keenam, 2 Jilid, (Jakarta: Erlangga, 1997), h.108
7
S. Mulyadi, Kembalikan Dolanan Tradisional Anak Kita, Artikel dalam Republika, 1 Desember 1999
8
Hurlock, Perkembangan..., hh.322-323
9
Hadis, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktort
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru Universitas Indonesia, 1996), hh.42-143
10
Imam Makruf, dkk., Modul Guru Kelas Raudhatul Athfal, Modul Bahan Ajar PLPG (Jakarta:
kemenerian Agama Republik Indonesia, 2015), hh.185-186
11
"Dolanan", Buletin Seloka Art and Culture “Buletin Kebudayaan”, edisi 11, Diterbitkan oleh
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Gadjah Mada, 2005, h.2
12
Ralibi, Fun Teaching, (Bekasi: Duha Khazanah, 2008), h.23
13
Yayah Kusbudiah, Metode Pembelajaran Anak Usia Dini Melauli Permainan, Jurnal , kemeneg balai
diklat keagamaan bandung, 20 Agustus 2014
14
M.S. Mursi, Seni Mendidik Anak,(Jakarta: Ar-Royan, 2001), h.164
15
Anggani Sudono, Sumber Belajar dan Alat Permainan Untuk Anak usia Dini, (Jakarta: Grasindo,
2004), h.20
2
Daftar Pustaka
Dolanan, Buletin Seloka Art and Culture “Buletin Kebudayaan”, edisi 11, Diterbitkan oleh
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Gadjah Mada, 2005.
Hadis, F.A., Psikologi Perkembangan, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru Universitas
Indonesia, 1996.
Hurlock, E.B. Perkembangan Anak, , Edisi Keenam, 2 Jilid, Jakarta: Erlangga, 1997.
Kurniasih, Imas., Pendidikan Anak Usia Dini, Edukasia, 2009.
Kusbudiah ,Yayah., Metode Pembelajaran Anak Usia Dini Melauli Permainan, Jurnal,
Kemeneg Balai Diklat Keagamaan Bandung, 20 Agustus 2014.
Makruf, Imam. dkk., Modul Guru Kelas Raudhatul Athfal, Modul Bahan Ajar PLPG, Jakarta:
kemenerian Agama Republik Indonesia, 2015
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
47
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 40-48
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Mulyadi, S., Kembalikan Dolanan Tradisional Anak Kita, Artikel dalam Republika, 1
Desember 1999.
Mursi, M.S, Seni Mendidik Anak, Jakarta: Ar-Royan, 2001.
Mussen, P. H. dkk., Perkembangan dan Kepribadian Anak, Jakarta: Erlangga, 1988.
Ralibi, Fun Teaching, Bekasi: Duha Khazanah, 2008.
Sudjud, A., “Paradigma Baru Pendidikan Anak Usia Dini”, Makalah PAUD, IKIP
Yogyakarta, 1998.
Sudono, Anggani, Sumber Belajar dan Alat Permainan Untuk Anak usia Dini, Jakarta:
Grasindo, 2004.
Wardani, Dani., Bermain sambil Belajar, Edukasia, 2009.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Imroatun
48
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PEMBELAJARAN SAINS PADA ANAK RAUDHATUL ATHFAL
Juhji
Dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: juhji.alix@g mail.com
Abstract
The objective of this essay is to describe science learning for Islamic Kindergarten children,
started with introduction of the nature of science, introduction of science for children, the
role of children’s brain, the objectives of science learning, the approaches of science
learning, and the materials of science for Islamic Kindergarten children. Introduction of
science of Islamic Kindergarten more emphasizes on process through scientific method which
include observation, problem solving, doing experiment, data analysis, and drawing
inference. Science study also develops children’s spiritual quotient, observation,
clarification, measurement, using numbers, empathy, and intrapersonal. The objective of
science study for Islamic Kindergarten is to develop cognitive, affective and psychometric of
children as a whole. The approach of science learning which can be used as a guidelines in
developing science learning for children include: situational approach, separated approach,
and integrated approach. Several materials can give first-hand experience among others:
recognizing motion, liquid, scales, resilience objects, stars, and playing bubbles.
Keywords: Science Learning, Approach, Islamic Kindergarte
Abstrak
Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran sains pada anak raudhatul
atfhal mulai dengan mengenalkan hakikat sains, pengenalan sains pada anak, peran otak
anak, tujuan pembelajaran sains, pendekatan pembelajaran sains, dan materi-materi sains bagi
anak raudhatul athfal. Pengenalan sains pada anak TK/RA lebih menekankan pada proses
melalui metode ilmiah yang meliputi observasi, problem solving, melakukan percobaan,
analisa data, serta mengambil kesimpulan. Sains juga mengembangkan kemampuan spiritual,
observasi, klasifikasi, pengukuran, menggunakan bilangan, rasa empati, dan intrapersonal
anak. Tujuan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal mengembangkan asepk kognitif,
afektif, dan psikomotor anak secara utuh. Pendekatan pembelajaran sains yang dapat
dijadikan pedoman dalam mengembangkan pembelajaran sains pada anak meliputi:
pendekatan situasional, pendekatan terpisah, dan pendekatan terpadu. Beberapa materi yang
dapat memberikan pengalaman tangan pertama (first-hand experience) antara lain: mengenal
gerak, mengenal benda cair, mengenal timbangan (neraca), bermain gelembung sabun,
mengenal benda-benda lenting, dan mengenal binatang.
Kata Kunci: Sains, Pembelajaran Sains, Raudhatul Athfal
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
49
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendahuluan
Kehidupan anak tidak dapat dilepaskan dari dunia sains, kreativitas, dan aktivitas
sosial. Kegiatan makan dan minum, menggunakan berbagai benda yang ada di rumah seperti
listrik, radio, dan televisi tidak lepas dari sains dan teknologi. Guru Pendidikan Raudhatul
Athfal (PGRA) hendaknya dapat memberikan stimulus atau rangsangan pada anak dengan
berbagai kegiatan pembelajaran yang terkait dengan proses sains dan teknologi. Untuk itu,
seorang guru raudhatul athfal perlu mempelajari konsep-konsep sains dan metode atau cara
menyampaikan konsep-konsep sains tersebut agar anak dapat memahami hakikat sains
sebenarnya. Pengenalan sains pada anak raudhatul athfal dalam proses pembelajaran
hendaknya lebih menekankan proses daripada produk. Keterampilan proses sains hendaknya
dilakukan secara sederhana sambil bermain. Dengan demikian, memungkinkan anak
raudhatul athfal melakukan eksplorasi terhadap berbagai benda yang ada di sekitarnya, baik
benda hidup maupun benda tak hidup. Anak belajar menemukan gejala pada benda dan gejala
peristiwa dari benda-benda tersebut.
Dalam pembelajaran sains, anak raudhatul athfal juga dilatih untuk dapat
menggunakan alat ukur sederhana agar dapat melakukan pengukuran. Alat ukur tersebut
dimulai dari alat ukur nonstandar seperti jengkal, depa, atau kaki. Selanjutnya anak dilatih
untuk menggunakan alat ukur standar. Anak secara bertahap akan berlatih menggunakan
satuan yang akan memudahkan mereka untuk berfikir secara logis dan rasional. Di samping
itu, sains juga melatih anak raudhatul athfal menggunakan panca inderanya untuk dapat
mengenali berbagai gejala pada benda dan gejala peristiwa dari benda-benda tersebut. Anak
dilatih untuk melihat, meraba, membau, merasakan dan mendengar. Semakin banyak
keterlibatan indera dalam belajar, anak semakin memahami apa yang dipelajari. Anak
memperoleh pengetahuan baru hasil penginderaanya dengan berbagai benda yang ada di
sekitarnya. Pengetahuan yang diperolehnya akan berguna sebagai modal berpikir lanjut.
Melalui proses pembelajaran sains, anak juga dapat melakukan percobaan sederhana.
Percobaan tersebut diharapkan dapat melatih anak menghubungkan sebab dan akibat dari
suatu perlakuan sehingga melatih anak berpikir logis.
Melalui tulisan ini, penulis mencoba mendeskripsikan pembelajaran sains pada anak
raudhatul athfal mulai dengan mengenalkan hakikat sains, pengenalan sains pada anak, peran
otak anak, tujuan pembelajaran sains, pendekatan pembelajaran sains, dan materi-materi sains
bagi anak raudhatul athfal.
Hakikat Sains
Istilah sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berasal dari bahasa Latin yaitu
“Scientia” yang berarti ”saya tahu”. Dalam bahasa Inggris, kata sains berasal dari kata
“science” yang berarti “pengetahuan”.1 Dalam perkembangan selanjutnya dikenal natural
science (ilmu alam) dan social science (ilmu sosial). Dalam kamus Fowler (1951), natural
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
50
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
science didefinisikan sebagai “systematic and formulated knowledge dealing with material
phenomena and based mainly on observation and induction” (pengetahuan yang sistematis
dan disusun dengan menghubungkan gejala-gejala alam yang bersifat kebendaan dan
didasarkan pada hasil pengamatan dan induksi). Sumber lain menyatakan bahwa natural
science didefinisikan sebagai “a pieces of theoritical knowledge” (sejenis pengetahuan
teoritis).2 Hakikat IPA merupakan bagian dari ilmu alam (natural science), dimana konsepkonsepnya diperoleh melalui suatu proses dengan menggunakan metode ilmiah dan diawali
dengan sikap ilmiah kemudian diperoleh hasil (produk).3
Sains pada dasarnya adalah bidang keilmuan yang dibangun dari upaya mencari
penjelasan (explanations) yang dilakukan secara sistematik. Abruscato dalam R. Dicky Agus
Purnama mengemukakan beberapa hal penting yang menjadi karakteristik sains yaitu: (1)
sains memerlukan adanya pembuktian (science demands evidence); (2) sains merupakan
kombinasi antara logika dan imajinasi (science is a blend of logic and imagination); (3) sains
berupaya menjelaskan dan memprediksi (Science explain and predicts); (4) ilmuwan harus
berupaya menghidari bias (Scientists try and to avoid bias); (5) sains tidak bersifat otoriter
(Science is not authoritarian).4
Menurut Surjani Wonorahardjo, sains merupakan ilmu yang merujuk pada
pengetahuan mengenai alam dan mempunyai objek alam dan gejala-gejala dalam alam
semesta, termasuk bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip.5
Pembelajaran Sains
Sains merupakan konsep pembelajaran tentang alam dan mempunyai hubungan yang
sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Pembelajaran Sains sangat berperan dalam
proses pendidikan dan juga perkembangan teknologi, karena Sains memiliki upaya untuk
membangkitkan minat siswa serta kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta pemahaman tentang alam semesta yang mempunyai banyak fakta yang belum
terungkap dan masih bersifat rahasia sehingga hasil penemuannya dapat dikembangkan
menjadi ilmu pengetahuan alam yang baru dan dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari.6
Pembelajaran sains adalah pembelajaran yang menekankan pada pemberian
pengalaman secara langsung baik menggunakan eksperimen maupun observasi ataupun yang
lainnya, sehingga data yang didapatkan benar-benar valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Pembelajaran sains menuntut siswa harus dapat menggunakan metode-metode ilmiah yaitu
menggali pengetahuan melalui mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang,
melaksanakan eksperimen mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain dengan
menggunakan keterampilan berfikir, dan menggunakan sikap ilmiah seperti ingin tahu, hatihati, objektif, dan jujur.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
51
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Gagne menyebutkan bahwa dengan mengembangkan keterampilan sains anak akan
dibuat kreatif, dan mampu mempelajari Sains di tingkat yang lebih tinggi dalam waktu yang
lebih singkat. Dengan menggunakan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa
akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan
dan mengembangkan sikap dan nilai. Seluruh irama, gerak, atau tindakan dalam proses
belajar mengajar seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang melibatkan siswa secara
aktif. Agar keterampilan proses yang dikembangkan dapat berjalan, siswa perlu dilatih
keterampilan proses tersebut sebelum pendekatan keterampilan proses itu dapat dilaksanakan.
Pendekatan keterampilan proses dapat berjalan bila siswa telah memiliki keterampilan proses
yang diperlukan untuk satuan pelajaran tertentu.
Pengenalan sains pada usia TK/RA lebih ditekankan pada proses dari pada produk.
Proses sains ini disebut dengan metode ilmiah yang secara garis besar meliputi: observasi,
problem solving, melakukan percobaan dan analisa data serta mengambil kesimpulan. Sains
juga mengembangkan kemampuan pada anak yaitu: 1) Spiritual, yaitu rasa syukur kepada
Tuhan Sang Penggenggam Alam Semeseta serta memuji keagungan-Nya; 2) Observasi, yaitu
berlatih dengan menggunakan seluruh inderanya untuk mengenali nama benda, bagian-bagian
benda, dan memberi nama bagian serta fungsinya; 3) Klasifikasi, yaitu berlatih
mengelompokkan benda-benda berdasarkan ciri-ciri tertentu; 4) Pengukuran, yaitu berlatih
melakukan pengukuran panjang, luas, masa, dan volume benda secara sederhana; 5)
Menggunakan bilangan, yaitu berlatih menghitung bilangan bulat sederhana dengan bantuan
alat peraga misalnya kelereng, kotak kecil, dan sebagainya; 6) Rasa empati terhadap benda
yang diteliti seperti hewan; 7) Intrapersonal, yaitu merefleksikan kemampuan berpikir dalam
proses belajar seperti penguasaan teknologi.
Peran Otak pada Anak Raudhatul Athfal
Keberhasilan proses pembelajaran sains pada anak TK/RA ditentukan pada
pengalaman, usia, dan tingkat perkembangan otaknya. Berikut ini disajikan tabel indikator
peran otak pada tiap usia.
Tabel 1.1
Peran Otak pada Anak Raudhatul Athfal
Usia (th)
2,5 – 3
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Peran
 Mengembangkan kemampuan motorik.
Pada usia ini, anak dianggap sudah siap untuk bertemu dan bergaul dengan teman
sebayanya di play group atau sekolah khusus persiapan sebelum masuk TK. Anak sudah
siap untuk mengembangkan kemampuan motorik kasarnya seperti melompat, memanjat,
menaiki mobil-mobilan. Ia juga sudah siap untuk mengembangkan kemampuan motorik
halusnya seperti belajar, membaca, berhitung, serta menghafalkan kata-kata dalam bahasa
asing.
 Membantu eksplorasi kemampuan sensorik
Pada usia ini, otak berperan sebagai koordinator dalam pengembangan tubuh dan perasaan
atau kepekaan terhadap diri sendiri, pengembangan diskriminasi visual, menyocokkan
Juhji
52
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
3–4






4–5







5–6









benda-benda nyata (konkret) dan yang ada dalam gambar, mengembangkan kemampuan
visual dan persepsi, mengkoordinasikan keseimbangan seluruh tubuh, serta mengeksplorasi
ilmu pengetahuan, permainan drama, dan imajinasi.
Lebih menyukai aktivitas fisik dan penjelajahan melalui panca indera. Anak sudah mulai
mampu untuk menerima informasi yang mempunyai hubungan langsung dengan
pengalaman yang dia dapat dari percakapan atau dari buku-buku dengan tulisan sederhana.
Mulai berkembang kemampuan bahasanya.
Mulai menjelajah dan melakukan penelitian terhadap apa yang dilihat di sekitar
lingkungannya.
Mulai menyukai ilmu pengetahuan dan mau bekerja sama dengan orang dewasa.
Banyak bertanya tentang apapun tetapi tidak pernah puas dengan jawaban yang diberikan.
Belajar jadi lebih mudah, dimana anak sudah mulai mengerti aktivitas yang akan dia
kerjakan dan mulai percaya pada orang dewasa.
Memahami percakapan dengan yang lain, seperti mereka bermain dan melakukan
percobaan.
Mulai memahami apa maksud penelitian dan menjedi lebih bermakna dan menemukan
penjelajahan mereka.
Mulai mengerti tentang banyak hal berupa informasi yang berhubungan dengan apa yang
terjadi di dunia sekitarnya.
Senang melihat buku-buku dan pura-pura membacanya.
Mulai menyeleksi aktivitas yang dilakukan.
Suka memikirkan penjelasan dari apa yang mereka teliti baik itu fakta ataupun imajinasi
atau fantasi.
Menikmati percakapan dengan anak-anak lain dan mulai secara spontan berbagi dan
mengambil keputusan.
Mulai mampu membuat perkiraan-perkiraan terhadap berbagai peristiwa yang akan terjadi.
Mulai menggunakan gambaran untuk mewakili dan mengungkapkan ide-ide.
Mampu merencanakan penelitian yang berhubungan dengan pemecahan masalah, seperti
ketika mencari jawaban bagaimana cara hewan berkembang biak?
Dapat mengikuti tiga tahap tujuan dan menikmati beberapa penelitian langsung dari guru.
Memiliki perhatian yang lama untuk berbagai aktivitas sains, mereka mulai dapat
menikmati kegiatan yang dilakukan dalam kurun waktu beberapa hari.
Bekerja sama bersama-sama dengan lima atau enam anak.
Tertarik pada buku-buku yang yang berhubungan dengan aktivitas dari praktek sains dengan
beberapa ilustrasi-ilustrasi berupa gambar.
Mulai dapat memahami beberapa konsep sains yang bersifat abstrak, tetapi tetap dengan
contoh-contoh nyata yang kongkrit dan praktek langsung.
Senang menggunakan gambar-gambar dan menulis berbagai pengalaman yang mereka
dapatkan dalam praktek sains yang telah dilakukan.
Tujuan Sains untuk Anak Raudhatul Athfal
Tujuan pembelajaran sains sejalan dengan kurikulum sekolah yaitu mengembangkan
asepk kognitif, afektif, dan psikomotor anak secara utuh. Lebih dari itu, tujuan pembelajaran
sains yang mendasar bagi anak TK/RA adalah sebagai berikut: 1) Agar anak memiliki
pemahaman, minat, dan penghargaan terhadap alam sekitar; 2) Agar anak memiliki sikap
jujur dan berprasangka baik terhadap alam; 3) Agar anak memiliki kemampuan memecahkan
masalah yang dihadapinya melalui penggunaan metode sains, sehingga anak-anak terbantu
dan menjadi terampil dalam menyelesaikan berbagai hal yang dihadapinya; 4) Agar anak
memiliki dasar sikap ilmiah, misalnya: tidak cepat-cepat dalam mengambil keputusan, dapat
melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, berhati-hati terhadap informasi yang
diterimanya serta bersifat terbuka; 5) Agar anak mendapatkan pengetahuan dan informasi
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
53
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
ilmiah yang lebih baik dan dapat dipercaya, artinya informasi yang diperoleh anak
berdasarkan pada standar keilmuan yang semestinya, karena informasi yang disajikan
merupakan hasil temuan dan rumusan yang obyektif serta sesuai dengan kaidah-kaidah
keilmuan yang menaunginya; dan 6) Agar anak lebih berminat dan tertarik untuk menghayati
sains yang berada dan ditemukan di lingkungan dan alam sekitarnya.
Pengembangan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal bukan hanya
membina domain kognitif saja, melainkan juga aspek afektif dan psikomotor secara seimbang
dengan harapan akan dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis anak
sehingga dapat bermanfaat bagi aktualisasi dan kesiapan mereka untuk menghadapi perannya
yang lebih luas dan kompleks di masa yang akan datang.
Pembelajaran sains untuk anak TK/RA difokuskan pada pembelajaran mengenai diri
sendiri, alam sekitar, dan gejala alam. Pembelajaran Sains pada anak usia dini memiliki
beberapa tujuan, diantaranya yaitu: 1) Membantu anak Raudhatul Athfal untuk dapat
mengenal dan memupuk rasa cinta kepada alam sekitar sehingga menyadari kebesaran dan
keagungan Allah SWT; 2) Membantu menumbuhkan minat pada anak Raudhatul Athfal
untuk mengenal dan mempelajari benda-benda serta kejadian di lingkungan sekitarnya; 3)
Membantu melekatkan aspek-aspek yang terkait dengan keterampilan proses sains, sehingga
pengetahuan dan gagasan tentang alam sekitar dalam diri anak menjadi berkembang; 4)
Membantu anak Raudhatul Athfal agar mampu menggunakan teknologi sederhana dan
konsep sains yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam
kehidupan mereka; 5) Mengembangkan sikap ingin tahu, tekun, terbuka, kritis, mawas diri,
bertanggung jawab, bekerjasama, dan mandiri dalam kehidupannya; 6) Membantu agar anak
Raudhatul Athfal mampu menerapkan berbagai konsep sains untuk menjelaskan gejala alam
serta mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; dan 7) Membantu anak
dalam pengenalan dan penguasaan ilmu alam sederhana (basic science) seperti melakukan
eksplorasi atau penyelidikan dan percobaan sederhana dengan berbagai benda misalnya air,
angin, api, dan magnet.
Pendekatan Pembelajaran Sains Anak Raudhatul Athfal
Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran sains yang dapat dijadikan pedoman
dalam pengembangan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal. Pendekatan tersebut
adalah: 1) Pendekatan Situasional, yaitu pendekatan pembelajaran sains yang menekankan
pada munculnya fenomena tertentu yang terkait dengan tuntutan pembahasan konsep dan
pengalaman sains pada anak. Fenomena tersebut diulas (dielaborasi) secara lebih mendalam.
Jadi pendekatan ini sangat ditentukan oleh muncul atau tidaknya konteks sains dalam
pembelajaran yang sedang dilakukan. Jika muncul, maka pembelajaran akan segera
disesuaikan dan diarahkan pada pembahasan sains. Tetapi jika tidak muncul fenomena sains,
maka pembelajaran akan dilanjutkan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, pendekatan ini
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
54
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dapat dikatakan sebagai situasi spontanitas (spontanous based treatment) sebagai titik awal
atau tantangan awal (exelent starting point) untuk menjelaskan sains pada anak; 2)
Pendekatan Terpisah, yaitu pendekatan pembelajaran sains yang direncanakan secara
mandiri dan terpisah dengan alokasi waktu jam belajar tersendiri. Pembelajaran sains
dikemas secara khusus dan tersendiri dengan waktu terpisah dengan pembelajaran lainnya
dan di-setting (dirancang) secara khusus sesuai dengan karakteristik pembelajaran sains yang
khas serta karakteristik anak yang sesuai (relevan) dengan tuntutan penguasaan sains. Jadi,
pembelajaran sains bersifat regular karena memiliki waktu dan tempat khusus dalam program
(kurikulum) pendidikan usia raudhatul athfal yang ada; 3) Pendekatan Terpadu, yaitu
pendekatan pembelajaran sains yang digabungkan secara formal dan sistematis dengan
disiplin ilmu lainnya sehingga pembelajaran sains merupakan bagian dari program kurikulum
yang lebih luas dan terpadu. Dalam pengembangannya harus melihat secara seksama
karakterisik dari setiap bidang ilmu yang diintegrasikan. Misalnya integrasi sains dan
matematika, sains dan sejarah, sains dan olah raga, dan sebagainya.
Beberapa kegiatan sains yang cocok dengan pembelajaran sains pada anak raudhatul
athfal disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 1.2
Kegiatan Sains
No
1
Kegiatan
Lukisan
2
Pusat Air
3
Blok
4
Buku
5
Musik
6
Playground
7
Pengamatan
8
Percobaan
9
Piringan
Berputar
10
Mainan dari
kertas daur
ulang
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Keterangan
Lukisan jari membantu anak-anak belajar untuk melihat dengan ujung jari mereka dan
menunjukkan konsep difusi warna saat mereka membersihkan tangan mereka. Bentuk
dapat dikenali dengan mengecat dengan buah dan benda-benda asing.
Konsep seperti volume dan konservasi mulai digenggam ketika anak mengukur dengan
air dan pasir. Konsep “mengapung” bisa dieksplorasi dengan perahu dan tenggelam dan
objek yang mengambang.
Blok adalah cara yang baik untuk memperkenalkan anak-anak terhadap gesekan,
gravitasi, dan mesin sederhana.
Banyak buku yang meliputi konsep ilmiah saat bercerita. Buku-buku dengan gambar
dapat memberikan pandangan dari hal-hal asing serta dapat membuat sebuah
kesimpulan dalam diskusi.
Anak-anak dapat mengalami pergerakan udara terhadap tubuh mereka. Hambatan udara
juga dapat ditunjukkan dengan menari.
Bermain dapat memberikan kesempatan anak untuk dapat memprediksi cuaca, praktek
balancing, dan pengalaman gesekan.
Anak-anak dapat mengamati peternakan semut, mengamati ukuran dari berbagai bahan
sebelum dan sesudah proses berbeda diterapkan. Misalnya, wortel lebih kecil setelah
mengering, adonan untuk roti lebih kecil sebelum dimasak, dan sebagainya.
Anak-anak dapat melakukan percobaan sederhana dengan balon dan udara yang
bertujuan untuk membantu anak-anak memahami bahwa semua ruang dipenuhi dengan
sesuatu.
Piringan berputar berupa plastik agak tebal dibentuk melingkar, dapat diberi gantungan
benda-benda dengan tali di tepi-tepi sekeliling piring. Kegiatan ini merangsang daya
visual anak dalam mengamati benda- benda yang bergerak.
Dari bahan bubur kertas dapat diolah menjadi bentuk-bentuk lain seperti boneka, buah,
binatang, dan lain-lain. Bubur kertas diperas sampai kering kemudian dicampur dengan
lem dan dibentuk sesuai dengan keinginan. Misalnya, boneka kertas di dalamnya berisi
botol minuman yakult yang sudah tidak terpakai dan diisi dengan biji-bijian kemudian
dibungkus bubur kertas, setelah kering dapat dicat atau ditaburi dengan serbuk-serbuk
tertentu.
Juhji
55
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Materi Sains Bagi Anak Raudhatul Athfal
Ada beberapa materi sains yang sesuai untuk anak TK/RA (usia 5-6 tahun).
Pembelajaran konsep-konsep sains sebaiknya bersifat memberikan pengalaman tangan
pertama (first-hand experience), bukan mempelajari konsep sains yang abstrak. Selain itu
pembelajaran sains sebaiknya dapat mengembangkan kemampuan observasi, klasifikasi,
pengukuran, menggunakan bilangan, dan mengidentifikasi hubungan sebab-akibat. Materimateri tersebut diantaranya adalah:
Mengenal Gerak. Anak sangat senang bermain dengan benda-benda yang dapat
bergerak, memutar, menggelinding, melenting, atau merosot. Ada beberapa kegiatan untuk
mengenalkan anak dengan gerakan diantaranya adalah: a) Menggelinding dan bentuk benda.
Materi ini menyadarkan anak akan sebab-sebab timbulnya gerakan pada benda. Kemiringan
papan, bentuk benda silindris dan kotak, halus kasarnya permukaan benda ikut
mempengaruhi kecepatan gerakan. Materi ini juga dapat melatih kemampuan observasi anak;
b) Menggelinding dan ukuran benda. Bermain dengan cara menggelindingkan benda-benda
dengan berbagai ukuran akan membantu anak untuk mengenal bahwa besar kecil dan berat
ringannya suatu benda akan mempengaruhi gerak benda tersebut. Materi ini juga melatih
kemampuan observasi pada anak.
Mengenal Benda Cair. Bermain dengan air merupakan salah satu kesenangan anak.
Guru dapat mengarahkan permainan tersebut agar anak dapat memiliki berbagai pengalaman
tentang air. Air senantiasa menyesuaikan bentuknya dengan bentuk wadahnya. Air mengalir
dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau dari tempat yang bertekanan
tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Berbagai kegiatan sains yang menggunakan air
diantaranya adalah: a) Konservasi volume. Kegiatan ini merupakan cara untuk melatih anak
dalam memahami isi atau volume benda cair. Menurut Piaget (1972), anak pra-operasional
belum dapat memahami konservasi volume. Oleh karena itu, memperkenalkan anak dengan
bejana yang dapat diisi akan membantu anak memahami konservasi volume. Sambil mengisi
botol besar, lalu memindahkan ke botol yang lebih kecil dan sebaliknya, anak belajar
mengunakan bilangan untuk menghitung banyaknya air yang dimasukkan ke botol tersebut.
Anak juga akan berlatih memahami pengertian lebih banyak dan lebih sedikit. Kegiatan ini
sebaiknya dilakukan di luar kelas agar tidak basah, sebaiknya anak diminta memakai rompi
plastik; b) Tenggelam dan terapung. Kegiatan ini dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas.
Jika di kelas, beri alas plastik dan koran agar air tidak membasahi tempat. Tujuan kegiatan ini
adalah agar anak diberi pengalaman bahwa ada benda yang tenggelam dan ada pula yang
terapung. Anak sering mengira benda yang berukuran kecil terapung dan yang besar
tenggelam. Tenggelam atau terapung tidak ditentukan oleh ukuran benda melainkan oleh
berat jenis benda; c) Membuat benda terapung. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengenalkan anak bahwa benda yang tenggelam dapat dibuat terapung. Dari kegiatan ini
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
56
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pula anak akan memahami mengapa perahu yang berat dapat terapung; d) Larut dan tidak
larut. Sebagian benda larut ke dalam air dan sebagian lagi tidak. Gula, garam dan warna pada
teh larut dalam air sehingga akan membentuk larutan. Jika larutan dibiarkan, maka akan
membentuk endapan, kecuali jika airnya diuapkan semua. Benda lain tidak larut dalam air,
seperti tepung, pasir dan minyak. Jika benda tersebut dicampur dengan air maka tidak akan
membentuk larutan, tetapi membentuk campuran. Campuran kelihatan tidak homogen dan
jika diendapkan, maka akan terlihat adanya endapan; e) Air mengalir. Air mengalir dari
tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah karena gravitasi bumi. Air dari tempat yang
lebih rendah dapat dialirkan ke tempat yang lebih tingi dengan menambah tekanan, misalnya
dengan pompa air. Anak sangat senang bermain dengan air mengalir dan memperoleh
pengalaman langsung yang kelak akan berguna untuk mempelajari sains; dan f) Mengenal
sifat berbagai benda cair. Melalui kegiatan ini anak diperkenalkan bahwa benda cair itu
bermacam-macam, tidak hanya air. Benda-benda cair itu juga memiliki sifat yang berbeda.
Mengenal Timbangan (Neraca). Neraca sangat baik untuk melatih anak
menghubungkan sebab akibat karena hasilnya akan nampak secara langsung. Jika beban di
satu lengan timbangan ditambah, maka beban akan turun. Demikian pula jika beban digeser
menjauhi sumbu. Berbagai benda memiliki massa jenis berbeda. Kapas dan spons memiliki
massa jenis yang lebih kecil dibanding besi dan batu, meskipun batu dan besi ukurannya kecil
tetapi akan lebih berat dari kapas atau spons.
Bermain Gelembung Sabun. Anak sangat menyukai bermain dengan gelembung
sabun. Dengan menambahkan satu sendok gliserin pada dua liter air, larutan sabun, akan
diperoleh larutan yang sabun yang menakjubkan yang dapat digunakan untuk membentuk
gelembung raksasa, jendela kaca, atau bentuknya lainnya dari busa.
Mengenal Benda-Benda Lenting. Benda-benda dari karet pada umumnya memuliki
kelenturan sehingga mampu melenting jika dijatuhkan. Demikian pula benda dari karet yang
diisi udara, seperi bola basket, bola voli dan bola plastik. Anak sangat senang bermain
dengan benda-benda tersebut.
Mengenal Binatang. Binatang merupakan makhluk yang menarik bagi anak-anak
karena mampu merespon rangsang. Anjing, misalnya mampu mengembalikan benda-benda
yang dilemparkan pemiliknya. Anak kucing akan mengejar dan menerkam benda-benda yang
bergerak. Meskipun masih diperdebatkan dari segi sanitasi dan higienisnya, memelihara
hewan peliharaan dapat mengembangkan rasa kasih dan sayang pada anak. Melalui binatang
anak akan belajar banyak tentang makhluk tersebut. Oleh karena itu di negara-negara maju,
kebun binatang dilengkapi dengan pojok sains (sains center) dimana anak dapat berinteraksi
dengan binatang yang jinak dan bersih sambil mempelajarinya. Ada beberapa keuntungan
yang diperoleh anak jika berinteraksi dengan binatang. Pertama, anak belajar mengenal dan
menghargai makhluk hidup, ia belajar bahwa makhluk hidup memerlukan makanan, papan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
57
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dan kasih sayang. Kedua, anak belajar untuk menyayangi binatang yang pada akhirnya akan
menumbuhkan rasa kasih sayang pada makhluk hidup.
Penutup
Pengenalan sains pada anak raudhatul athfal lebih menekankan pada proses daripada
produk melalui metode ilmiah yang meliputi observasi, problem solving, melakukan
percobaan, analisa data, serta mengambil kesimpulan. Sains pada anak juga mengembangkan
kemampuan spiritual, observasi, klasifikasi, pengukuran, menggunakan bilangan, rasa
empati, dan intrapersonal anak. Tujuan pembelajaran sains pada anak raudhatul athfal adalah
mengembangkan asepk kognitif, afektif, dan psikomotor anak secara komprehensif.
Pendekatan pembelajaran sains yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan
pembelajaran sains yang berbasis proses pada anak meliputi pendekatan situasional,
pendekatan terpisah, dan pendekatan terpadu. Beberapa materi yang dapat memberikan
pengalaman tangan pertama (first-hand experience) antara lain: mengenal gerak, mengenal
benda cair, mengenal timbangan (neraca), bermain gelembung sabun, mengenal benda-benda
lenting, dan mengenal binatang.
Catatan Akhir
1
Juhji, Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah, Jurnal Primary, ISSN
2086-1362, Vol. (7) No. 1 2015, hh.43-58
2
Wasih Djojosoediro, Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA, Modul Pengembangan Pembelajaran IPA
SD, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012)
3
Ida Farida dan Juhji, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kelas IV MIS Mu’awanah Jatake
melalui Model Pembelajaran Picture and Picture, Jurnal Primary, ISSN 2086-1362, Vol. (6) No.1 2014, hh.
143-152
4
J. Abruscato & D. A. De Rosa, Teaching children science: A discovery approach, (New York: Allyn
and Bacon, 2010), hh.12-13 lihat juga dalam R. Dicky Agus Purnama, Jurnal Pendidikan, Volume 15, Nomor 1,
Maret 2014, hh.22-30
5
Surjani Wonorahardjo, Dasar-dasar Sains. (Jakarta: Indeks, 2011), h. 11
6
Suhendi, “Konstribusi Pendidikan Sains Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik” dalam Jurnal
Tarbawiyah Volume 9 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2012, h. 59
Daftar Pustaka
Abruscato, J. & D. A. De Rosa, Teaching children science: A discovery approach, (New
York: Allyn and Bacon, 2010), hh.12-13 lihat juga dalam R. Dicky Agus Purnama,
Jurnal Pendidikan, Volume 15, Nomor 1, Maret 2014
Djojosoediro, Wasih, Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA, Modul Pengembangan
Pembelajaran IPA SD, Malang: Universitas Negeri Malang, 2012
Farida, Ida dan Juhji, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kelas IV MIS Mu’awanah
Jatake melalui Model Pembelajaran Picture and Picture, Jurnal Primary, ISSN
2086-1362, Vol. (6) No.1 2014
Juhji, Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah, Jurnal Primary,
ISSN 2086-1362, Vol. (7) No.1 2015
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
58
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 49-59
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Suhendi, “Konstribusi Pendidikan Sains Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik” dalam
Jurnal Tarbawiyah Volume 9 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2012
Wonorahardjo, Surjani, Dasar-dasar Sains. Jakarta: Indeks, 2011
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Juhji
59
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
HAKIKAT PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Muhiyatul Huliyah
Dosen PGRA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: muhiyatul@ gmail.com
Abstract
This research is aimed to give comprehension on Early Childhood Education, the
implementation foundation of early childhood education and the formal pathway of early
childhood education, non-formal and informal. Development Appropriate Practices (DAP)
states that Early Childhood education is on the range 0 to 8 years. In DAP’s perspective,
children who are in this phase have very rapid physical and mental development. Early
Childhood Education is a media to dig and develop some children’s potentials in order to be
able to develop optimally. Based on characteristics, the children’s growth and development is
classified into three phases, that is: (a) infant period to 12 months, (b) toddler period ages 1
to 3 years, (c) preschool period ages 3 to 6 years, (d) early grades of elementary school
period ages 6 to 8 years. Early Childhood Education is organized before elementary stage.
Early Childhood Education can be organized through formal, non-formal, and/or informal
pathway. Formal Early Childhood Education such as Kindergarten (TK), Islamic
Kindergarten (RA), or other forms are equal. Non-formal Early Childhood Education such as
Playgroup (KB), Qur’anic Education Institution (TPA), or other forms are equal. Informal
Early Childhood Education such as family education or education which organized by
environment.
Keywords: Early Childhood Education, Early Childhood Education, Developmentally
Appropriate Practices (DAP)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang Pendidikan Anak usia Dini,
landasan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dan jalur-jalur pendidikan anak usia dini
formal, non formal dan informal. Developmentally Approprite Practices (DAP) menyatakan
bahwa Pendidikan Anak Usia Dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Dalam pandangan
DAP anak yang berada pada fase ini memiliki perkembangan fisik dan mental yang sangat
pesat. Pendidikan anak usia dini merupakan sarana untuk menggali dan mengembangkan
berbagai potensi anak agar dapat berkembang secara optimal. Berdasarkan karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini terbagi tiga tahapan yaitu: (a) masa bayi lahir
sampai 12 bulan, (b) masa toddler usia 1-3 tahun, (c) masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan (d)
masa kelas awal SD 6-8 tahun. Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar. Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melaui jalur formal,
non-formal, dan/atau informal. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA,
atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal: KB,
TPA, atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal:
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
Kata kunci: Anak Usia dini, Pendidikan AUD, Developmentally Approprite Practices (DAP)
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
60
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendahuluan
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan
usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan
cara-cara lainnya yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan merupakan masalah yang sangat esensi bagi manusia. Melalui pendidikan,
manusia akan memperoleh pengetahuan sehingga dapat mengenali dan menggali potensipotensi yang dimilikinya secara optimal. Pendidikan harus diberikan sejak dini, ada juga yang
mengatakan bahwa pendidikan diberikan mulai sejak lahir bahkan sebelum lahir (prenatal).
Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, maka pendidikan
pertama-tama tentunya dilakukan dan diberikan dalam keluarga.
Pendidikan anak usia dini adalah tempat bagi anak usia emas untuk mengembangkan
fondasi dasar, karena menurut para ahli psikologi, usia dini hanya datang sekali dan tidak
dapat diulang lagi, yang sangat menentukan untuk pengembangan kualitas manusia
selanjutnya. Benyamin S, Bloom dkk, berdasarkan hasil penelitian, mereka mengemukakan
bahwa perkembangan intelektual anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan
anak. Sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4
tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Anak merupakan aset berharga bagi keluarganya, lingkungan sekitarnya dan bagi
bangsa. Anak juga merupakan generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang, dan jika
ingin melihat suatu bangsa vang maju di masa yang akan datang maka pendidikan anak usia
dini sangat perlu diperhatikan sekarang ini. Oleh karena itu, pembelajaran bagi anak usia dini
sangat perlu dilakukan baik dari rumah dan sekolah.
Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Secara etimologi pendidikan atau paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari
kata pais yang berarti anak dan again memiliki arti membimbing. Jadi, paedagogie yaitu
bimbingan yang diberikan pada anak.1 Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan
dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada dari dalam. Sementara dalam
bahasa Inggris pendidikan diistilahkan dengan education yang memiliki sinonim dengan
process of teaching, training, and learning yang berarti proses pengajaran, latihan dan
pembelajaran. Dan dalam bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan kata tarbiyat yang
mempunyai banyak makna, antara lain: al-ghadzadza (memberi makan atau memelihara);
ahsanu al-qiyami ‘alaihi wa waliyyihi (baiknya pengurusan dan pemeliharaan); nammaha wa
zadaha (mengembangkan dan menambahkan); atamma wa ashlaha (menyempurnakan dan
membereskan); allawtuhu (meninggikan).2
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
61
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara. Makna pendidikan tidaklah semata-mata dapat
menyekolakan anak di sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas dari itu.
Anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika memperoleh pendidikan yang
komprehensip. Menurut John Dewey, pendidikan diartikan sebagai social continuity of life.3
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama.4 Pendidikan hendaklah dilakukan sejak dini yang dapat dilakukan di keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Pendidikan meliputi perbuatan atau usaha generasi tua untuk
melimpahkan pengetahuanya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada
generasi muda, sebagai uasaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi
hidupnya baik jasmani maupun rohani. Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah membantu membimbing anak dengan mengembangkan dan mengarahkan
seluruh potensi yang dimilikinya agar tercapailah seluruh tujuan hidupnya. Hakikat
pendidikan lebih dari hanya sekedar penyampaian pengetahuan, tetapi bagaimana
membangun sikap positif terhadap nilai-nilai kehidupan. Oleh sebab itu, pemerintah,
keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama dalam pendidikan anak untuk kehidupan yang
lebih baik.
Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah
pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek
perkembangan anak. Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional ini dengan tegas mengamanatkan
pentingnya pendidikan anak sejak dini.
PAUD adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam
tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan nonfisik, dengan memberikan
rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir,
emosional, dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Upaya yang dilakukan mencakup stimulasi intelektual, pemeliharaan kesehatan, pemberian
nutrisi, dan penyediaan kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
62
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Dengan demikian, PAUD didiskripsikan sebagai berikut: 1) Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan
pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan
pada anak; 2) PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan yang menitikberatkan
pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus
dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual),
sosio-emosional (sikap prilaku serta agama), bahasa dan komunikasi; 3) PAUD harus
disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak usia dini itu sendiri.
Bredekamp mengemukakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini mencakup berbagai
program yang melayani anak lahir sampai dengan usia delapan tahun yang dirancang untuk
meningkatkan perkembangan intelektual, sosial, emosi, bahasa dan fisik anak. 5 Hal ini
sejalan dengan pernyataan Developmentally Approprite Practices (DAP) yang menyatakan
bahwa Pendidikan Anak Usia Dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Dalam pandangan
DAP anak yang berada pada fase ini memiliki perkembangan fisik dan mental yang sangat
pesat. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini merupakan sarana untuk menggali dan
mengembangkan berbagai potensi anak agar dapat berkembang secara optimal.
Berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini terbagi tiga
tahapan yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b) masa toddler usia 1-3 tahun, (c) masa
prasekolah usia 3-6 tahun, dan (d) masa kelas awal SD 6-8 tahun.6 Pertumbuhan dan
perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi
pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan
fisik, daya pikir, daya cipta, sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai
dasar pembentukan pribadi yang utuh. PAUD juga dapat dijadikan sebagai cermin untuk
melihat keberhasilan anak di masa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan dengan baik
sejak dini memiliki harapan lebih besar untuk meraih kesuksesan masa depan, sebaliknya
anak yang tidak mendapatkan layanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan
yang cukup berat untuk mengembangkan kehidupan selanjutnya. Perlakuan terhadap anak
usia dini diyakini memiliki efek kumulatif yang akan terbawa dan mempengaruhi fisik dan
mental anak selama hidupnya.
Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini haruslah didasarkan berbagai landasan,
yaitu landasan yuridis, landasan filosofis dan landasan religious serta landasan keilmuan
secara teoritis maupun empiris
Landasan Yuridis
Landasan yuridis (hukum) terkait dengan pentingnya pendidikan anak usia dini
tersirat dalam amandemen UUD 1945 pasal 28B ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
63
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan pasal 28C ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pendidikan
Anak Usia Dini merupakan bagian dari pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana
diatur dalam undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pemerintah Indonesia juga telah menandatangi Konvensi Hak Anak melalui keppres
No. 36 tahun 1990 yang mengandung kewajiban Negara untuk pemenuhan hak anak. Selain
itu pemerintah juga ikut berkomitmen terhadap program pendidikan untuk semua atau
Education forAll (EFA) yang telah ditandatangani pada waktu konprensi internasional di
Dakkar, Senegal tahun 2000, yang terdiri dari enam komitmen. Salah satu butirnya
bersepakat untuk “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak
usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung”. 7 Selanjutnya
berdasarkan UU RI Nomor 23 tahun 2002 pasal 9 ayat 1 tentang Perlindungan Anak
dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Secara khusus pemerintah juga telah mengeluarkan UU RI Nomor 20 tahun 2003
pasal 28 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, pasal 1, butir 14 dinyatakan bahwa
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Sedangkan pada pasal 28
tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatan bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini
diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan Anak Usia Dini dapat
diselenggarakan melaui jalur formal, non-formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan Anak
Usia Dini jalur pendidikan formal : TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan
Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal : KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5)
Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan
yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai Pendidikan Anak Usia
Dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Landasan Filosofis dan Religi
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan bagian dari pendidkan seumur hidup, sebagai
sebuah konsep yang telah dipopulerkan oleh UNESCO dengan istilah “Life long Education”.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
64
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Populernya istilah tersebut, bukan saja karena diprogramkan dan dijadikan sebagai salah satu
pilar pendidikan oleh UNESCO, tetapi juga karena diperintahkan oleh Allah SWT, melalui
petunjuk-petunjuknya. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu sejak dari ayunan hingga
liang lahat. Konsep Islam tentang pendidikan sepanjang hayat akan meninggikan harkat dan
martabat manusia, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini perlu mendapat
pembinaan sejak dini melalui pendidikan agar mereka tidak tertindas oleh bangsa lain di
dunia.
Pada dasarnya pendidikan anak usia dini harus berdasarkan pada nilai-nilai filosofis
dan religi yang dipegang oleh lingkungan yang berada disekitar anak dan agama yang
dianutnya. Di dalam Islam dikatakan bahwa “seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah
(suci), orang tua mereka yang membuat Yahudi, Nasrani, dan Majusi,” maka bagaimana kita
bisa menjaga serta meningkatkan potensi kebaikan tersebut, hal itu tentu harus dilakukan
sejak dini.
Pendidikan agama menekankan pada pemahaman tentang agama serta bagaimana
agama diamalkan dan diaplikasikan dalam tindakan serta prilaku dalam kehidupan seharihari. Penanaman nilai-nilai agama tersebut disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan
anak serta keunikan yang dimiliki setiap anak. Islam mengajarkan nilai-nilai keislaman
dengan cara pembiasaan ibadah contohnya shalat lima waktu, puasa dan lain-lain. Oleh
karena itu, metode pembiasaan tersebut sangat dianjurkan dan dirasa efektif dalam
mengajarkan agama untuk anak usia dini.
Dasar-dasar pendidikan sosial yang diletakkan Islam di dalam mendidik anak adalah
membiasakan mereka bertingkah laku sesuai dengan etika sosial yang benar dan membentuk
akhlak kepribadiannya sejak dini. Jika interaksi sosial dan pelaksanaan etika berpijak pada
landasan iman dan taqwa, maka pendidikan sosial akan mencapai tujuannya yang paling
tinggi yaitu manusia dengan perangai akhlak dan interaksi yang sangat baik sebagai insan
yang shaleh, cerdas, bijak dan dinamis. Pendidikan Anak Usia Dini juga harus disesuaikan
dengan nilai-nilai yang dianut oleh lingkungan disekitarnya yang meliputi faktor budaya,
keindahan, kesenian dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pendidikan anak usia dini tidak terbatas dalam ruang kelas saja, tetapi mencakup
seluruh system pembelajaran yang dapat dilaksanakan diluar ruangan kelas. Pemebelajaran di
PAUD merupakan interaksi antara anak, orang tua, atau orang dewasa lainnya dalam
lingkungan tertentu untuk mencapai tugas perkembangan, sesuai potensi anak. Interaksi
tersebut tercermin dalam suatu hubungan di antara anak, sehingga memiliki pengalaman yang
bermakna, dan proses belajar dapat berlangsung secara efektif. Vygotsky dalam Mulyasa
berpendapat bahwa bahan pengalaman interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi
perkembangan keterampilan berfikir (thinking skill).8 Pembelajaran yang efektif bagi
pendidikan anak usia dini, perlu ditunjang oleh lingkungan dan suasana belajar yang
kondusif. Kegiatan bermain yang memberi kesempatan kepada anak untuk berinteraksi
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
65
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dengan teman dan lingkungannya perlu lebih diprioritaskan. Karena anak merupakan
individu yang unik dan variatif, maka unsur variasi individu, bakat dan minat anak juga perlu
diperhatikan.
Landasan Keilmuan dan Empiris
Pendidikan Anak Usia Dini pada dasarnya harus meliputi aspek keilmuan yang
menunjang kehidupan anak dan terkait dengan perkembangan anak. Konsep keilmuan PAUD
bersifat isomorfis artinya kerangka keilmuan PAUD harus dibangun dari interdisiplin ilmu
yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu diantarnya: psikologi, fisiologi,
sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan dan gizi serta neurosains
(ilmu tentang perkembangan otak). Dalam mengembangkan potensi belajar anak, maka harus
diperhatikan aspek-aspek perkembangan yang akan dikembangkan sesuai dengan disiplin
ilmu yang saling berhubungan dan terintegrasi sehingga diharapkan anak dapat menguasai
beberapa kemampuan dengan baik.
Selanjutnya berdasarkan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa peletak
dasar atau pondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Artinya masa
kanak-kanak yang bahagia merupakan dasar bagi keberhasilan dimasa datang dan sebaliknya.
Untuk itu, agar pertumbuhan dan perkembangan tercapai secara optimal, maka dibutuhkan
situasi dan kondisi yang kondusif pada saat memberikan stimulasi dan upaya-upaya
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang berbeda satu dengan lainnya.
Dari segi empiris banyak sekali penelitian yang menyimpulkan bahwa pendidikan
anak usia dini sangat penting, Clark dalam Semiawan menjelaskan bahwa pada waktu
manusia lahir, kelengkapan organisasi otak memuat 100-200 milyar sel otak yang siap
dikembangkan serta diaktualisasikan mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi.9
Tetapi hanya sekitar 5% saja dari potensi yang ada yang dimanfaatkan, hal ini terjadi karena
kurangnya stimulasi yang mengoptimalkan otak.
Pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini perlu memperhatikan keterkaitan
antara pengenalan materi ajar dengan karakteristik perkembangan serta tipe dan prinsipprinsip belajar anak usia dini. Jika orientasi anak hanya ditekankan pada pencapaian prestasi
akademik, maka mereka hanya dapat mencapai kemampuan sesuai harapan guru, yang boleh
jadi dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan selanjutnya. Dampak negatif
tersebut antara lain tumbuhnya sikap negatif pada diri anak terhadap aktivitas belajar; karena
belajar diterima sebagai tugas atau beban yang menyiksa; dan kemampuan kreativitas anak
kurang berkembang secara optimal.
Pada hakikatnya pendidikan anak usia dini menyajikan konsep belajar sambil
bermain. Hal ini sesuai dengan karakteristik anak yang bersifat aktif dalam melakukan
eksplorasi terhadap lingkungannya, maka aktifitas bermain merupakan bagian dari proses
pembelajaran. Pembelajaran pada anak usia dini harus dirancang agar anak merasa tidak
terbebani dalam mencapai tugas perkembangannya.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
66
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Formal, Nonformal, dan Informal
Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Formal
Pendidikan anak usia dini jalur formal terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK) dan
Raudhatul Athfal (RA). Terlepas dari kementrian apa yang bertanggung jawab terhadap
pembinaanya, dalam beberapa hal baik TK maupun RA dalam pelaksanaanya tetap mengikuti
kebijakan yang sama yang ditetapkan pemerintah baik melalui UU (Undang-undang) maupun
PP (Peraturan Pemerintah).
Taman Kanak-kanak (TK)
Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada
jalur formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun.
Penyelenggaraan PAUD jalur formal baik TK maupun RA khusus ditujukan untuk anak usia
4 hingga 6 tahun. Penyelenggaraan pendidikan pada Taman Kanak-kanak maupun Raudhatul
Athfal (RA) berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut: 1)
Berorientasi pada kebutuhan anak; 2) Sesuai dengan perkembangan anak; 3) Sesuai dengan
keunikan setiap individu; 4) Kegiatan belajar dilakukan melalui bermain; 5) Pembelajaran
berpusat pada anak; 6) Anak sebagai pembelajar aktif; 7) Anak belajar dari konkret ke
abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari gerakan ke verbal, dan dari diri sendiri
ke sosial; 8) Menyediakan lingkungan yang mendukung proses belajar; 9) Merangsang
munculnya kreativitas dan inovasi; 10) Mengembangkan kecakapan hidup anak; 11)
Menggunakan berbagai sumber dan media belajar yang ada dilingkungan sekitar; 12) Anak
belajar sesuai dengan kondisi sosial budayanya; 13) Melibatkan peran serta orang tua; dan
14) Stimulasi pendidikan bersifat menyeluruh dan mencakup semua aspek perkembangan.10
Raudhatul Athfal (RA)
Posisi keberadaan RA dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional setara dengan TK. Secara umum dalam penyelenggaraan dan kebijakan umum RA
tetap mengikuti ketentuan dari pemerintah (kementrian pendidikan dan kebudayaan). Namun,
dalam hal-hal tertentu (khusus) departemn penyelenggara dan Pembina (kementrian agama)
tetap memiliki kebijakan (spesifikasi) tersendiri.
Pengertian RA
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI nomor 90 tahun 2013 tentang
penyelenggaraan madrasah, pasal 1 dinyatakan bahwa Raudhatul Athfal yang selanjutnya
disingkat RA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak
berusia 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) tahun. Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan bahwa
RA memiliki program pembelajaran 1 atau 2 tahun.
Fungsi RA
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
67
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Standar atau aturan yang digunakan dalam melaksanakan program pendidikan RA
sama dengan yang dilaksanakan pada TK. Hanya dalam pelaksanaan RA berada dalam
pembinaan dan pengawasan kementrian agama, sedangkan TK ada dalam pembinaan dan
pengawasan kementrian kependidikan dan kebudayaan. Fungsi RA atau TK sendiri adalah
membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal sehingga
terbentuk prilaku dan kemampuan untuk memasuki pendidikan selanjutnya.
Tujuan RA
Tujuan RA antara lain adalah: 1) Membangun landasan bagi berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri,
percaya diri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab; 2)
Mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosiaonal, kinestetis, dan sosial
peserta didik pada masa usia emas pertumbuhan dalam lingkungan bermain yang edukatif
dan menyenangkan; dan 3) Membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi psikis
dan fisik yang meliputi akhlakul karimah, sosio-emosional dan kemandirian, pendidikan
agama Islam (PAI), bahasa, kognitif dan fisik/motoric agar siap memasuki pendidikan dasar.
Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Bentuk-bentuk satuan PAUD jalur nonformal
anatara lain Kelompok Bermain (KB), Taman pengasuhan Anak (TPA) dan Bina keluarga
balita (BKB)
Kelompok Bermain
Kelompok bermain (Play Group) merupakan tempat bermain dan belajar bagi anakanak sebelum masuk TK/RA. Pada umumnya kelompok bermain menampung anak-anak
normal dalam rentang waktu usia 3-4 tahun. Kelompok bermain bertujuan mengembangkan
seluruh aspek fisik, mental, emosi, dan sosial anak.
Taman Pengasuhan Anak (TPA)
Taman pengasuhan anak adalah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan
layanan pengganti berupa asuhan, perawatan dan pendidikan bagi anak balita selama anak
tersebut ditinggal bekerja oleh orang tuanya. TPA bertujuan membantu orang tua agar dapat
bekerja dengan tenang sehingga mencapai prestasi yang optimal. Selain itu, juga
mengindarkan anak dari kemungkinan terlantar pertumbuhan dan perkembangan jasmani,
rohani, dan sosialnya. TPA umumnya melayani pengasuhan anak usia 2 bulan hingga 5
tahun.
Bina Keluarga Balita (BKB)
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
68
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
BKB adalah suatu kegiatan yang bertujuan memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada orang tua dan keluarga lainnya mengenai bagaimana mendidik,
mengasuh, dan memantau pertumbuhan dan perkembangan anak balita
Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Informal
Pendidikan anak usia dini pertama dan utamanya terdapat pada jalur informal, yaitu
jalur pendidikan kelurga dan lingkungannya. Karena para orang tua banyak orang tua yang
belum memahami pentingnya pendidikan sejak dini, maka pemerintah memfasilitasi
pendidikan anak usia dini jalur formal dan nonformal. Sejatinya baik pendidikan formal
maupun nonformal melengkapi pendidikan informal.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak sebab
pendidikan keluarga merupakan fondasi bagi anak untuk membangun struktur kepribadian
selanjutnya. Dalam hal ini orang tua memegang peran utama, tidak hanya ibu tetapi juga ayah
perlu memberikan nilai-nilai pendidikan kepada anak. Orang tua memegang kunci pertama
bagi keberhasilan anak, hingga dianggap bahwa kelurga adalah madrasatul ula pendidik
pertama dan utama.
Parenting (pendidikan keluarga) adalah upaya pendidikan yang dilaksanakan oleh
keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan
yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Parenting sebagai proses interaksi
berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak mereka yang meliputi aktifitas-aktifitas sebagai
berikut: memberi makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi
(protection) anak-anak ketika mereka tumbuh berkembang.11
Keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk atas dasar
komitmen untuk mewujudkan fungsi keluarga khususnya fungsi sosial dan fungsi pendidikan,
harus benar-benar dioptimalkan sebagai mitra lembaga PAUD. Oleh karena itu melalui
program parenting sebagai wadah komunikasi antar orang tua, disamping itu untuk
memberikan sosialisasi terhadap program-program yang diselenggarakan oleh lembaga
PAUD, secara umum tujuan program parenting, adalah mengajak para orang tua untuk
bersama-sama memberikan yang terbaik buat anak-anak mereka, sedangkan secara khusus
tujuan pengembangan program parenting adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan, pengasuhan dan
pendidikan anak di dalam keluarga sendiri dengan landasan dasar-dasar karakter yang bai; 2)
Mempertemukan kepentingan dan keinginan antara pihak keluarga dan pihak sekolah guna
menyingkronkan keduanya sehingga pendidikan karakter yang dikembangkan di lembaga
PAUD dapat ditindaklanjuti di lingkungan keluarg; dan 3) Menghubungkan antara program
sekolah dengan program rumah. Lembaga PAUD yang memliki program-program
kelembagaan dan pembelajaran kadang kala bertentangan atau tidak selaras dengan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
69
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kebaisaan-kebiasaan yang terjadi di lingkungan keluarga. Dengan program parenting ini akan
tejadi kselarasan dan keterkaitan, kerjasama yang saling mendukung, saling menguatkan
Penutup
Pendidikan Anak Usia Dini sangat penting dilaksanakan sebagai dasar bagi
pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu untuk pembentukan karakter, budi
pekerti luhur, cerdas, ceria, terampil dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan
anak usia dini dapat dimulai di rumah atau dalam keluarga. Developmentally Approprite
Practices (DAP) menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini berada pada rentang usia 08 tahun. Dalam pandangan DAP anak yang berada pada fase ini memiliki perkembangan fisik
dan mental yang sangat pesat. Pendidikan anak usia dini merupakan sarana untuk menggali
dan mengembangkan berbagai potensi anak agar dapat berkembang secara optimal.
Berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini terbagi tiga tahapan
yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b) masa toddler usia 1-3 tahun, (c) masa
prasekolah usia 3-6 tahun, dan (d) masa kelas awal SD 6-8 tahun.
Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melaui jalur formal, non-formal, dan/atau
informal. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang
sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal: KB, TPA, atau bentuk
lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Perkembangan anak pada
tahun-tahun ini sangat penting dan akan menentukan kualitasnya di masa depan. Oleh karena
itu, upaya-upaya pengembangan anak usia dini hendaknya dilakukan melalui belajar melalui
bermain (learning through games). Hal ini karena bermain merupakan kegiatan yang
menyenangkan bagi anak melalui bermain anak memperoleh kesempatan untuk bereksplorasi
(exploration), menemukan (finding), mengekspresikan (expression), perasaannya dan
berkreasi (creation). Lembaga-lembaga PAUD di Indonesia memiliki pijakan yang sangat
kuat berupa landasan yuridis, landasan filosofis, landasan religius, dan landasan keilmuan
serta landasan empirik. 1) Landasan yuridis adalah landasan yang berkaitan dengan
pentingnya penyelenggaraan lembaga PAUD (KB dan TPA); 2) Landasan filosofis dan
religius, yaitu landasan yang didasarkan pada keyakinan agama yang dianut oleh para orang
tua anak usia dini; 3) Landasan empirik adalah landasan yang berdasarkan pada fakta yang
terdapat di lapangan.; 4) Landasan keilmuan adalah teori-teori dan kajian-kajian yang
melandasi apa, mengapa, dan bagaimana anak usia dini mendapat pengasuhan, pendidikan
dan perlindungan yang tepat.
Catatan Akhir
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
70
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 60-71
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
1
Abu Ahmadidan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.69
Dedeng Rosidin, Akar-akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Bandung: Pustaka Umat,
2003), h.16
3
John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Macmilan, 1923), h.23
4
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h.19
5
Bredekamp, SNE, Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving
Children from Birth Throught Age 8. Washington DC.: National Association for the Education of Young
Children, 1993
6
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.88
7
Napitulu, Komitmen dan Strategi Pelayanan Pendidikan untuk Semua dalam Buletin PAUD, (Jakarta:
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas, 2002), h.32
8
Mulyasa, Manajemen PAUD, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2014), h.61
9
Conny Semiawan, Potret Pengasuhan, Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini di Indonesia,
(Jakarta: Forum PAUD, 2004), h.27
10
Direktorat Pembinaan PAUD, 2012.
11
Helmawati. 2015. Mengenal dan Memahami PAUD. Bandung: Rosdakarya. Hal. 60
2
Daftar Pustaka
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989.
Ahmadi, Abu, dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Bredekamp, SNE., Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs
Serving Children from Birth Throught Age 8. Washington DC.: National Association
for the Education of Young Children, 1993.
Helmawati, Mengenal dan Memahami PAUD, Bandung: Rosdakarya, 2015.
John Dewey, Democracy and Education, New York: The Macmilan, 1923.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Mulyasa, Manajemen PAUD, Bandung: PT Rosda Karya, 2014.
Napitulu, “Komitmen dan Strategi Pelayanan Pendidikan untuk Semua”, dalam Buletin
PAUD, Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas, 2002.
Rosidin, Dedeng, Akar-akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Hadits, Bandung: Pustaka
Umat, 2003.
Semiawan, Conny, Potret Pengasuhan, Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini di
Indonesia, Jakarta: Forum PAUD, 2004.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
M. Huliyah
71
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PENDIDIKAN PRA SEKOLAH (PENDIDIKAN ANAK USIA DINI) DALAM ISLAM
Nur Rohmah Hayati
Dosen STAINU Purworejo
dan Mahasiswa S3 Studi Islam Konsentrasi Kependidikan Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: nur.rohmah.hayati@g mail.com
Abstract
Early childhood is a figure of individual who is undergoing a rapid development process and
fundamental for the next life. Early childhood is on the age range 0 – 8 years. In this period,
the growth and development in every aspect is experiencing a rapid period in span of human
life development. Learning process as a treatment form which given to children must
consider characteristics of children in each stage of their development. Children education
according to Islamic teachings can be classified into two periods. That is: first, preparation
period of educating which began since selecting a mate. Second, active period of educating
that is began from birth and continuously throughout his life (until die). Besides, Early
Childhood Education is needed because of some factors among others are first, the fact about
children’s brain which is growing 90% in this age. Second, early anticipation of school
dropouts. Third, education is civilization investment. Fourth, the demands of society.
Keywords: Preschool education, Islam
Abstrak
Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan
dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini berada pada
rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai
aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup
manusia.proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak harus
memperhatikan karakteristik yang dimiliki yang dimiliki setiap tahap perkembangan anak.
Pendidikan anak menurut ajaran Islam itu dapat dibagi dua yaitu pertama, masa persiapan
mendidik yang di mulai sejak pemilihan jodoh. Kedua, masa aktif mendidik yaitu dimulai
sejak lahir dan terus menerus berlangsung sepanjang hidupnya (sampai mati). Selain itu
Pendidikan PAUD dibutuhkan karena banyak factor diantaranya yaitu pertama, fakta tentang
otak anak yang 90% tumbuh di usia dini. Kedua, antisipsi dini anak putus sekolah.Ketiga,
Pendidikan investasi peeradaban. Keempat, tuntutan masyarakat.
Kata Kunci: Pendidikan Pra Sekolah, Islam
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
72
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendahuluan
Pendidikan dengan segala bentuknya merupakan kebutuhan setiap manusia, manusia
akan selalu mencari bentuk atau model serta system pendidikan yang dapat mempersiapkan
peserta didik untuk menyongsong masa depannya karena peserta didik adalah generasi yang
akan menggantikan posisi orang dewasa.1 Pendidikan adalah bantuan atau pertolongan yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk mengembangkan dan mengfungsionalkan
rohani (pikir, rasa, karsa, cipta, dan budi nurani) manusia; dan jasmani manusia (pancaindra
dan ketrampilan) agar meningkat wawasan pengetahuannya, bertambahterampil sebagai
bekal keberlangsungan hidup dan kehidupannya disertai akhlak mulia dan mandiri di tengah
masyarakat.2
Hasan Langgulung berpendapat bahwa secara garis besar fungsi pendidikan itu ada 3
(tiga). Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memiliki kemampuan agar bisa memegang
peranan-peranan pada masa yang akan datang di tengah kehidupan bermasyarakat. Kedua,
memindahkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan peranan-peranan di atas dari generasi
tua ke ke genarasi muda. Ketiga, memindahkan nilai-nilai dari generasi tua ke generasi muda
dengan tujuan agar keutuhan dan kesatuan masyarakat terpelihara, sebagai syarat utama
berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat dan juga peradaban.3
Pendidikan dibagi dalam beberapa tahapan atau tingkatan dimulai dari anak bayi
hingga berusia dewasa dan di Indonesia terdapat PAUD sebagai tingkatan untuk anak
prasekolah.PAUD pada hakikatnya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk
memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.Tujuan Pendidikan
PAUD dikemukakan Suyanto adalah mengembangkan seluruh potensi atau dalam Islam insan
kamil agar anak kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai dengan falsafah
bangsa.4
Pendidikan PAUD dibutuhkan karena banyak factor diantaranya yaitu pertama, fakta
tentang otak anak yang 90% tumbuh di usia dini. Kedua, antisipsi dini anak putus sekolah.
Ketiga, Pendidikan investasi peeradaban. Keempat, tuntutan masyarakat.5 Selain karena
kebutuhan masih ada hal-hal yang menjadi alasan penting dalam memahami anak usia dini
menurut Hibana S. Rahman: 1) Usia dini merupakan usia yang paling penting dalam tahap
perkembangan manusia, sebab usia dini merupakan periode diletakkannya dasar struktur
kepribadian yang dibangun untuk sepanjang hidupnya. Oleh karenanya perlu pendidikan dan
pelayanan yang tepat; 2) Pengalaman awal sangat penting, sebab dasar awal cenderung
bertahan dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya. Di samping
itu, dasar awal akan cepat berkembang menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, perlu pemberian
pengalaman yang positif; 3) Perkembangan fisik dan mental mengalami kecepatan yang luar
biasa, dibanding dengan sepanjang usianya, bahkan usia 0-8 tahun mengalami 80%
perkembangan otak dibanding sesudahnya. Oleh karena itu perlu stimulasi fisik dan mental.6
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
73
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pendidikan dan pelayanan yang tepat untuk membina tatanan nilai pada anak usia dini
salah satunya adalah dengan memasukkan anak ke dalam lembaga pendidikan prasekolah.
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Merekalah yang kelak membangun bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang maju, yang tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Dengan
kata lain, masa depan bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan kepada anakanak kita. Oleh karena itu, PAUD merupakan investasi bangsa yang sangat berharga dan
sekaligus merupakan infrastruktur bagi pendidikan selanjutnya.7
Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam
Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus dikembangkan.
Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka
selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan,
mereka seolah-olah tak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Anak bersifat egosentris,
memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan
fantasi, memiliki daya perhatian yang pendek, dan merupakan masa yang paling potensial
untuk belajar.8
Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses
perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini
berada pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan
dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan
hidup manusia.proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak
harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki yang dimiliki setiap tahap perkembangan
anak.9
Pendidikan anak menurut ajaran Islam itu dapat dibagi dua yaitu pertama, masa
persiapan mendidik yang di mulai sejak pemilihan jodoh.Kedua, masa aktif mendidik yaitu
dimulai sejak lahir dan terus menerus berlangsung sepanjang hidupnya (sampai mati).10
Fungsi utama pendidikan anak adalah melestarikan fitrah anak, yaitu fitrah kebenaran, fitrah
tauhid, fitrah berprilaku positif.Seperti diketahui anak telah diberikan insting atau
kecenderungan dalam kebaikan yang tertanam sebagai suatu naluri dalam dirinya.Fitrah anak
tersebut melalui program pendidikan diharapkan tidak bengkok dan menyimpang, namun
lurus dan kokoh secara lestari.11 Seperti dalam Al Qur’an Surat Ar Ruum ayat 30 yang
artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.12
Tambahan selain persoalan fitrah dalam pendidikan Islam itu sendiri yang menjadi
model pendidikan utama ialah Rosulullah, dan telah disebutkan dalam Al Qur’an bahwa salah
satu tugas dari Nabi adalah memberikan pengajaran. Seperti dalam Al Qur’an Surah Al
Baqarah ayat 151 yang artinya: “sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
74
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayatayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan AlHikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.
Model pendidikan yang dialami Rosul mengisyaratkan tahapan awal proses penataan
diri (tazkiyah) baru diikuti oleh proses ta’lim al kitab (proses pengajaran kitab/materi) dan
disusul oleh ta’lim belajar sesuatu yang belum diketahui oleh peserta didik.13
Disisi selain persoalan peserta didik Islam juga memberikan perhatian khusus kepada
pengajar seperti di kisahkan Pekerjaan mengajar seperti yang disabdakan nabi membawa
kebebasan dari api neraka seperti sabda Nabi “barang siapa mendidik seorang anak kecil
walaupun sekedar mengucapkan la ilaha illallah niscaya Allah tidak akan menghisab pada
hari kiamat”.14
Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia
PAUD dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 angka 14 didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Selain itu dalam
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 4 dinyatakan bahwa
setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Landasan Yuridis penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini adalah: 1) Undangundang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan; 2) Pasal 28 B Ayat 2
dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; 3) Pasal 28 C Ayat 2 dinyatakan
bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya,berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia; 4) UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
75
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
lebih lanjutbentuk lain yang sederajat; 5) Pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini
dinyatakan bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar, (2) Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal, non formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan Anak Usia Dini jalur
pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat,4) Pendidikan Anak Usia Dini
jalur pendidikan nonformal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat (5) Pendidikan Usia
Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan
oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai Pendidikan Anak Usia Dini sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah; 6) UU RI Nomor. 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak
dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pendidikan dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.15
Prinsip pelaksanaan program PAUD harus mengacu pada prinsip umum konvensi Hak
anak, yaitu: 1) Nondiskriminasi, bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa
perkecualian; 2) Dilakukan demi kebaikan terbaik untuk anak (the best interest of the child);
3) Mengakui adanya hak hidup, kelangsungan hidup, perkembangan yang sudah melekat
pada anak; 4) Penghargaan terhadap pendapat anak, pendapat anak terutama yang
menyangkut kehidupannya yang perlu mendapatkan perhatian dan tanggapan;16 5)
Berorientasi pada kebutuhan anak yaitu berhak mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan,
dan gizi yang dilaksanakan secara integrative dan holistik; dan 6) Mengembangkan
ketrampilan hidup dan hidup beragama.17
Pusat kurikulum balitbang depdiknas mendefinisikan pembelajaran PAUD sebagai
berikut: 1) Proses pembelajaran anak usia dini adalah proses interaksi antar anak , sumber
belajar dan pendidikan dalam suatu lingkungan belajar tertentu untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan; 2) Sesuai dengan karakter anak usia dini yang bersifat aktif melakukan
berbagai eksplorasi dalam kegiatan bermain, maka proses pembelajarannya ditekankan pada
aktivitas anak dalam kegiatan belajar sambil bermain; 3) Belajar sambil bermain ditekankan
pada pengembangan potensi dibidang fisik, kecerdasan, sosial emosional, bahasa dan
komunikasi menjadi kompetensi yang secara actual dimiliki anak; 4) Penyelenggaraan
pembelajaran dengan memberikan rasa aman bagi anak usia tersebut; 5) Sesuai dengan sikap
perkembangan anak usia dini proses pembelajarannya dilaksanakan secara terpadu; 6) Anak
aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar; 7) Program belajar mengajar dirancang dan
dilaksanakan sebagai suatu system yang dapat menciptakan kondisi yang menggugah minat
bermain, yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan kehidupan anak usia
dini; 8) Keberhasilan proses pendidikan di tandai dengan pencapaian pertumbuhan dan
perkembangan anak usia dini secara optimal.18
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
76
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Banyak sekolah Pendidikan Anak Usia dini yang berkembang di masyarat, hal ini
membuat orang tua harus teliti atau cermat dalam memilih lokasi yang akan dijadikan tempat
anak melanjutkan kegiatan selepas dari rumah dan ditinggal orang tuanya bekerja.
Metode dan Strategi pembelajaran anak usia dini
Metode itu sendiri merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pembelajaran
yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran
adalah cara yang ditempuh dalam proses pembelajaran sehinga memperoleh hasil optimal.19
Pemilihan metode yang dilakukan pendidik atau guru semestinya dilandasi alasan yang kuat
dan faktor-faktor pendukungnya seperti karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik anak
yang diajar. Anak tidaklah sama dengan orang dewasa ia memiliki karakteristik unik
Pelajaran kepada peserta didik minimal harus memenuhi empat hal: Pertama,
kebutuhan jasmaniyah. Kedua, Kebutuhan sosial. Ketiga kebutuhan intelektual. Keempat,
kebutuhan religious.20 Dalam proses pembelajaran orang tua dan pendidik mesti
memperhatikan bagaimana cara anak belajar yang ternyata juga mengalami perkembangan
dan pertumbuhan seiring bertambahnya usia. Karena anak usia dini mengalami masa golden
age dimana dimasa tersebut pertumbuhan sel otak anak berkembang sangat cepat.
Tahapan Golden Age Anak.21
No
Usia
Tumbuh Kembang Otak Anak(0-3Tahun)
1
10 minggu
pembuahan dan pembentukan sel otak
2
20 minggu
Penambahan sel dan pembentukan dendrit
3
8 bln-Lahir
massa otak bertambah 2x lipat
4
6 bulan
massa otak berkembang 50% dari orang dewasa
5
1 Tahun
Massa otak brkembang 70% dr org dewasa
6
3 Tahun
massa otak meningkat 90% dr orang dewasa
Kecerdasan baru mencapai 100% setelah anak berusia 18 tahun. Karena itu
pendidikan anak usia dini sangat penting untuk membantu anak mengembangkan
kecerdasannya. Sayangnya, hasil pendataan Depdiknas pada Tahun 2004 menunjukkan baru
31,4% dari 11.5 juta anak usia 0-6th yang mendapatkan pendidikan.22 Perkembangan yang
diperoleh pada masa usia dini sangat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap
berikutnya dan meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasanya. Pendidikan usia dini
bukan hanya memiliki fungsi strategis, tetapi juga mendasar dan memiliki andil memberi
dasar kepribadian, daya cipta, kecerdasan.23
Setiap anak memiliki tahap perkembangan. Menurut Montessori dikutip Jamal
Ma’mur Asmani paling tidak ada empat tahap perkembangan sebagai berikut: 1) Sejak lahir
sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat
“menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya: 2) Usia setengah tahun sampai
kira-kira tiga tahun, anak mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
77
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap); 3) Masa usia 2-4 tahun, gerakangerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak
bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai
menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, dan malam); 4) Rentang usia tiga sampai
enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan
inderawi. Khusus pada usia sekitar 4 tahun, anak memiliki kepekaan menulis. Dan pada usia
4-6 tahun, anak memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.24
Berikut ini adalah cara belajar didalam Islam seorang anak seiring bertambahnya usia:
Usia 0-1 Tahun
Anak belajar menggunakan panca indera yang sedang terus disempurnakan meliputi
penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Sebagaimana dalam Al-Quran
yang artinya: “dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".
Menurut Jean-Jacques Rousseau dikutip Anita Yus tentang mendidik anak usia dini
bahwa: Mendidik anak usia dini menggunakan metode pendidikan naturalisme. Metode ini
membiarkan anak tumbuh tanpa intervensi dengan cara tidak membandingkan anak satu
dengan anak lain serta memberikan kebebasan anak untuk mengeksplorasi tanpa
membahayakan diri sendiri dan orang lain.25
Usia 2-3 Tahun.
Anak belajar dengan meniru objek-objek bergerak disekitarnya baik yang ia lihat
maupun yang ia dengar. Perkembangan bahasa juga berkembang dengan meniru orang lain
berkata-kata.Anak sudah mulai belajar berkomunikasi diusia 2-3 tahun ini, semakin sering
diajak berbicara kemampuan anak dalam menyerap kosa-kata atau peningkatan
perkembangan bahasa dapat berkembang pesat.
Usia 4-6 Tahun
Anak belajar tentang apa yang menarik minatnya. Walaupun belum fasih kemampuan
bahasa anak sudah bisa digunakan untuk berkomunikasi.26 Menurut Al Ghazali cara untuk
menanamkan keimanan kepada anak didik ialah dengan metode pengajaran yang dilakukan
secara sabar, dan kasih sayang sehingga mencapai hasil iman yang kuat.27 Munif Chatib
menjelaskan bahwa setiap anak punya harta karun dalam dirinya dan kemampuan anak itu
seluas samudera. Clark mengemukakan bahwa anak usia dini belum memiliki konsep dasar
untuk menolak atau menyetujui segala hal yang masuk pada dirinya. Dalam keadaan lemah
dan tak berdaya tersebut nilai-nilai agama dapat dengan mudah dimasukkan dalam diri
seorang anak.28
Di antara metode-metode pendidikan yang terpenting adalah: 1) Mengikuti Al Qur’an
dan As Sunnah. Sebagaimana dalam QS Al Anfal ayat 20, yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
78
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”. Al Qur’an dan As sunah
mengandung semua yang diperlukan manusia dalam hidupnya, Al Qur’an dapat mengena
kedalam Rohani memberikan konsumsi yang sempurna sebagai kekuatan bagi hati dan akal
dan dua-duany diberi porsi yang sama; 2) Memberi Tauladan yang baik, sebagaimana dalam
QS Al Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” Memberikan tauladan yang baik
sangat berguna sebagai pondasi dalam pendidikan dan juga beraktifitas. Karena keteladanan
yang baik merupakan salah satu cara memperoleh keutamaan dan menjadi contoh hidup; 3)
Penyampaian nasihat yang baik, sebagaimana dalam QS Lukman ayat 13 yang artinya: “dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Metode penyampaian
nasihat yang baik mendapat porsi perhatian yang besar di dalam membentuk keimanan dan
menyiapkan akhlak anak, kepribadian dan jiwa sosialnya;29 dan 4) Pembiasaan yang
konsisten. Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting
terutama bagi anak-anak, karena anak-anak pada usia ini belum mengetahui baik dan buruk
dari apa saja yang mereka perbuat dan katakan. Perhatian mereka mudah sekali beralih
kepada hal-hal baru yang mereka temui di lingkungan sekitarnya. Maka dariitu, sebelum anak
dapat berfikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak, serta belum sanggup menentukan
mana yang baik dan mana yang buruk (tamyiz) mana yang benar dan mana yang salah, maka
contoh-contoh, latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan (habit forming) mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pembinaan pribadi anak. Dalam kaitannya dengan metode
pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara
yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai
dengan tuntunan ajaran agama Islam.30
Tokoh pendidikan Islam Abdullah Nasih Ulwan memberikan pandangan tentang
pendidikan anak yaitu: Pertama, mendidik dengan keteladanan akhlak mulia, rendah hati,
kekuatan fisik, memgang prinsip. Kedua, mendidik anak dengan adat kebiasaan. Ketiga,
mendidik dengan nasihat. Keempat, pendidikan dengan pengawasan dengan cara
mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan. Kelima, metode pemberian
hukuman yang bersifat motivasi dan mengembangkan potensi.31
Kesimpulan
PAUD dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 angka 14 didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
79
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
Pendidikan PAUD dibutuhkan karena banyak factor diantaranya yaitu pertama, fakta
tentang otak anak yang 90% tumbuh di usia dini. Kedua, antisipsi dini anak putus
sekolah.Ketiga, Pendidikan investasi peeradaban.Keempat, tuntutan masyarakat.
Metode itu sendiri merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pembelajaran
yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran
adalah cara yang ditempuh dalam proses pembelajaran sehinga memperoleh hasil optimal
Pelajaran kepada peserta didik minimal harus memenuhi empat hal: Pertama, kebutuhan
jasmaniyah. Kedua, Kebutuhan social. Ketiga kebutuhan intelektual. Keempat, kebutuhan
religious.Di antara metode-metode pendidikan yang terpenting adalah: Pertama, Mengikuti
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, Memberi Tauladan yang baik. Ketiga, Penyampaian
nasihat yang baik. Keempat, Pembiasaan yang konsisten cara belajar didalam Islam seorang
anak seiring bertambahnya usia: Pertama, Usia 0-1 tahun Anak belajar menggunakan panca
indera yang sedang terus disempurnakan meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman,
peraba dan perasa. Kedua, Usia 2-3 tahun.Anak belajar dengan meniru objek-objek bergerak
disekitarnya baik yang ia lihat maupun yang ia dengar. Ketiga, Usia 4-6 tahun anak belajar
tentang apa yang menarik minatnya Menurut Al Ghazali cara untuk menanamkan keimanan
kepada anak didik ialah dengan metode pengajaran yang dilakukan secara sabar, dan kasih
sayang sehingga mencapai hasil iman yang kuat.
Catatan Akhir
1
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2010).
Musaheri, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.19.
3
Ibid.
4
Suyadi, Teori Pembelajaran anak Usia Dini, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h.24.
5
Suyadi, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hh.2-14.
6
Fauzi Rachman, Islamic Parenting, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.29.
7
Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usi Dini, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2005),
2
h.2.
8
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), h.6.
Ibid.
10
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), h.109.
11
Syarifuddin, Ahmad, Mendidik Anak Membaca Menulis dan Mencintai Al-Qur’an, (Jakarta: Gema
Insani, 2004), h.60.
9
13
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h.61.
Rodi Lahij, Dalam Buaian Nabi Merajut Kebahagiaan Si Kecil, (Jakarta: Zahra, 2005), h.64.
15
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), hh.
14
8-9.
16
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.100.
Anita Yus, Model Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), hh.67-68.
18
Ibid, hh.91-92.
19
Suhartono, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.19.
20
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS Group, 2009), h.67
21
Suyadi, Teori Pembelajaran anak Usia dini, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h.68.
22
Fauzi Rachman, Islamic Parenting, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.59.
17
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
80
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
23
24
2009).
Ibid, h.60.
Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen Strategis Pendidikan Anak Usia Dini, (Jogjakarta: Diva Press,
25
Anita Yus, Model Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), h.3.
Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010),h.11.
27
Huda, Miftahul, Idealitas Pendidikan Anak, Malang: UIN Malang Press, 2009), h.64.
28
Suyadi, Ternyata Anakku bisa Kubuat Genius, (Yogyakarta: Powerbooks, 2009), h.155.
29
Khalid Abdurrahman, dkk., Pedoman Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Solo: AlQowam, 2005), hh.274-279)
30
Armei Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
31
Suyadi, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hh.132-139.
26
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Jamal, Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi, Solo: Al Qawam,
2010.
Abdurrahman, Khalid, dkk., Pedoman Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an dan Sunnah,
Solo: Al Qowam, 2005.
Admin, “ Kisah Nabi Yusuf AS Bagian 1”, dalam www.kisahmuslim.com, diakses pada
tanggal 20 Januari 2016.
Admin, “Kisah Nabi Zakaria”, dalam www.Qur’an.al-shia.org, diakses pada tanggal 20
januari 2016.
Arief, Armei, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press,
2002.
Asmani, Jamal Ma’mur, Manajemen Strategis Pendidikan Anak Usia Dini, Jogjakarta: Diva
Press, 2009.
Assegaf, Abd Rachman, Aliran Pemikiran dalam Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013.
Budiyanto, Mangun, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri, 2010.
Harini, Sri, Mendidik Anak Sejak Dini, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Hasan, Maimunah, PAUD Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: Diva Press, 2009
Hibana, S. Rahman, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: PGTKI Press,
2002.
Huda, Miftahul, Idealitas Pendidikan Anak, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Izzad, Ahmad, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, Banten: Pustaka
Aufa Media, 2012.
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2010.
Lahij, Rodi, Dalam Buaian Nabi Merajut Kebahagiaan Si Kecil, Jakarta: Zahra, 2005.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Munif Chatib,Orang tuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan Dengan
Menghargai Fitrah Setiap Anak, Bandung: Kaifa, 2014.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
81
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 72-82
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi, Yogyakarta: Teras, 2008.
Musaheri, Pengantar Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Partini, Pengantar Pendidikan Anank Usia Dini, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010.
Rachman, Fauzi, Islamic Parenting, Jakarta: Erlangga, 2011.
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKiS Group, 2009.
Suhartono, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Sujiono, Yuliani Nurani, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta : PT. Indeks,
2009.
Suyadi, Konsep Dasar PAUD, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013
Suyadi, Teori Pembelajaran anak Usia dini . Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014
Suyadi, Ternyata Anakku bisa Kubuat Genius, Yogyakarta: Powerbooks, 2009.
Suyanto, Slamet, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usi Dini, Yogyakarta: Hikayat Publishing,
2005.
Syarifuddin, Ahmad, Mendidik Anak Membaca Menulis dan Mencintai Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani, 2004.
Ulwan, Abdullah Nasih, Pedoman pendidikan Anak dalam Islam, Jilid 1 dan 2, Bandung: AsSyifa, 2009.
Yus, Anita, Model Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
N. R. Hayati
82
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA DINI
MELALUI PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Sumiyati
Dosen Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA), Margoyoso, Pati
Program Studi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA)
Email: atikpaudi@g mail.com
Abstract
The success of a child does not only lay in how well his mathematics’ score in school, how
expensive his pair of shoes or measured in intellectual ability merely. A smart kid
intellectually is not necessarily success in his future life. One of determining factor of the
success of children is how social-emotional skills of children can be directed properly.
Family plays an important role in developing social-emotional skills of children. Because
family is the first education institution of children. In family environment children will
recognize and learn several kinds of emotion, either positive or negative. Social-emotional
skills of children have been owned since birth. In infant period, a child prefer to be greeted
and to see people smile or laugh. This skill will grow continuously in accordance with age
and stimulus which derived primarily from experiences especially come from family.
Communication which established among family members can show how close the family
members interact each other. Parents often neglect their children with a variety of reasons
such as working or busy with their smartphone certainly will hinder children’s social
emotional development. This happens because children feel neglected. With this condition,
children will be mired in bad deeds. For example, hang out with friends outside home and do
not go home for days. Whereas for preschool children, they will get easily frustrated because
they do not feel accepted and less attention. Therefore, a harmonious family needs to be
realized to develop children’s social-emotional skills optimally. Family education is a
strategy to build children’s self-confident, drill good personality by empathizing and
understanding others.
Keywords: Social-Emotional, Family Education, Communication
Abstrak
Keberhasilan seorang anak tidak hanya terletak pada seberapa bagus nilai matematikanya di
sekolah. Keberhasilan seorang anak juga tidak terletak pada seberapa mahal harga sepatu
yang dipakainya. Keberhasilan anak tidak hanya diukur pada kemampuan intelektualnya
semata. Anak yang pintar secara intelektual belum tentu sukses dalam kehidupan masa
depannya. Salah satu penentu faktor keberhasilan seorang anak adalah bagaimana
kemampuan sosial emosional anak dapat terasah dengan baik. Keluarga memegang peranan
yang penting dalam mengembangkan kemampuan sosial emosional anak. Karena keluarga
merupakan sekolah pertama anak, di dalam lingkungan keluarga anak akan mengenal dan
mempelajari bermacam-macam emosi, baik positif maupun negatif. Kemampuan sosial
emosional seseorang sudah dimiliki semenjak lahir. Pada masa bayi anak-anak lebih senang
disapa dan melihat orang tersenyum atau tertawa. Kemampuan ini akan terus berkembang
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
83
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
sesuai dengan bertambahnya usia dan stimulasi yang didapat anak terutama pengalamanpengalaman yang berasal dari keluarga. Komunikasi yang terjalin diantara anggota keluarga
dapat menunjukkan seberapa dekat keluarga tersebut saling berinteraksi. Orangtua yang
sering mengabaikan anaknya dengan berbagai alasan seperti bekerja, atau sibuk dengan
smartphonenya tentu saja akan menghambat perkembangan sosial emosional anak. Hal ini
terjadi karena anak merasa terabaikan. Dengan kondisi seperti ini, anak akan lebih mudah
terjerumus kepada perbuatan yang tidak baik, misal bergaul dengan teman-teman di luar
rumah dan enggan pulang ke rumah. Sedangkan untuk anak-anak usia pra sekolah, anak akan
mudah frustasi karena merasa tidak diterima dan kurang mendapat perhatian. Dengan
demikian keluarga yang harmonis perlu diwujudkan untuk mengembangkan kemampuan
sosial emosional anak dengan optimal. Pendidikan keluarga merupakan strategi untuk
membangun rasa percaya diri anak, mengasah pribadi yang baik dengan mampu berempati
dan memahami orang lain.
Kata Kunci: Sosial Emosional, Pendidikan Keluarga, Komunikasi
Pendahuluan
Anak merupakan aset yang sangat berharga dalam kehidupan suatu bangsa. Anakanak yang mendapatkan kesempatan dalam hal pengasuhan dan pendidikan yang baik akan
tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Kebahagiaan yang tidak
ternilai harganya bagi setiap orangtua yang memiliki anak sehat, cerdas dan bertumbuh
kembang dengan baik. Tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya sakit, tidak bisa
bermain dan tidak bisa bertumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak seusianya.
Tumbuh kembang anak dimulai dari lingkungan keluarga. Sebagaimana kita ketahui
bahwa keluarga adalah sekolah pertama dan utama untuk anak-anak. Orangtua merupakan
guru pertama yang dikenal oleh anak, terutama seorang ibu. Ibu yang baik dan mampu
mendidik anak-anaknya dengan didikan yang baik, keteladanan yang baik serta perilaku yang
baik pulalah, yang akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan handal.
Usia 0-6 tahun merupakan usia yang sangat penting dan berpengaruh terhadap masa tumbuh
kembang anak selanjutnya. Pada usia ini orang sering menyebutnya dengan usia emas
(golden ages), sehingga pada usia inilah seorang anak diharapkan mendapat pengasuhan dan
pendidikan terbaik dari orangtua dan lingkungannya.
Perkembangan zaman yang semakin pesat dan kesibukan orangtua yang bekerja,
sedikit banyak membawa dampak terhadap perkembangan anak. Sekarang ini banyak kita
jumpai tidak hanya kaum bapak yang bekerja, tetapi para ibu juga bekerja sebagaimana
kesibukan para suami. Terkadang usia emas anak dilewatkan hanya dengan pengasuh atau
asisten rumah tangga saja di rumah. Televisi dan smartphone adalah pilihan yang lain setelah
anak mulai mengerti cara menikmati benda elektronik tersebut. Anak-anak mulai
mempelajari fungsi smartphone ketika melihat orangtuanya asyik menelepon, chatting,
bahkan bermain game di depan anak-anak mereka.
Kebiasaan orangtua yang selalu sibuk dengan smartphone, menonton televisi, bahkan
kadang bergosip dan bermain game online merupakan pendidikan yang buruk bagi
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
84
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
perkembangan sosial emosional anak. Anak-anak akan belajar bagaimana abai terhadap
orang lain dan lingkungan sekitar. Mereka akan belajar untuk menjadi pribadi yang
individualis, tidak peka terhadap sekitar, dan tentu saja mudah marah dan menyalahkan orang
lain.
Perubahan gaya hidup orangtua sekarang yang cenderung instan dan praktis membuat
cara pandang orangtua yang instan juga. Masa keemasan anak yang merupakan periode yang
luar biasa menjadi hal yang biasa-biasa saja. Sehingga orangtua lebih mengutamakan
kebutuhan fisik anak dibanding kebutuhan secara psikis. Bagian kebutuhan psikis yang
berdampak luar biasa pada anak dalam tumbuh kembang selanjutnya adalah terpenuhinya
kebutuhan kasih sayang. Kasih sayang merupakan cerminan arti kebutuhan asih yang dapat
memberikan kehidupan dan ketenteraman secara psikologis pada anak. Terpenuhinya
kebutuhan ini membuat perasaan anak bahagia, tenteram, dan aman. Kebutuhan kasih sayang
ini dapat tercermin pada hubungan yang baik antara kedua orangtua, keluarga, atau
lingkungan.1
Perkembangan Emosional Anak
Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir.
Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini tercermin pada aktivitas yang banyak pada bayi
yang baru lahir. Meskipun demikian, pada saat lahir, bayi tidak memperlihatkan reaksi yang
secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.2 Telah banyak
penelitian tentang perkembangan emosi anak yang mengungkapkan bahwa perkembangan
emosi anak bergantung pada faktor pematangan (maturation) dan faktor belajar yang dimiliki
anak, dan tidak hanya dipengaruhi oleh salah satunya saja. Reaksi emosional yang tidak
muncul pada awal masa kehidupan tidak berarti tidak ada atau tidak memiliki emosi. Reaksi
emosional itu mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan adanya pematangan dan tahap
perkembangan anak. Proses pematangan dan belajar seseorang saling terkait satu sama lain
dalam mempengaruhi perkembangan emosional anak, sehingga pada saatnya akan sulit untuk
menentukan dampak relatifnya, karena akan berjalan secara bersamaan.
Bayi yang baru lahir sekalipun sudah dapat menunjukkan atau telah dapat
mengekspresikan kondisi sosial. Mereka akan senang disentuh, digendong orang terdekatnya,
di tepuk-tepuk supaya ia tertidur, dan melihat senyuman di wajah-wajah orang yang berada di
sekelilingnya. Di antara orang-orang terdekatnya, ibulah yang paling mempunyai kedekatan
lebih. Ibu adalah orang pertama bagi seorang anak, atau seorang bayi. Ibu adalah orang yang
paling spesial baginya. Bayi juga dapat mengenal orang lain yang ada di sekitarnya dan
merasa senang berinteraksi dengan mereka.3 Sehingga perkembangan sosial yang
mempengaruhi perkembangan emosional seseorang dapat distimulasi sedini mungkin, bahkan
saat seseorang tersebut masih bayi.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
85
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Perkembangan emosi seseorang mengalami perkembangan yang sangat pesat di usia
anak-anak. Dengan bertambahnya usia seseorang, maka kemampuan untuk mengungkapkan
emosi akan berkembang, sesuai dengan tahap perkembangannya. Anak-anak akan mulai
belajar mengekspresikan emosinya dan mulai belajar mengenal emosi orang lain di
sekitarnya, yang mana aspek emosi tidak dapat dipisahkan dengan aspek sosial, karena emosi
menentukan atau berpengaruh pada kehidupan sosial anak. Proses sosial-emosi
(socioemotional process) melibatkan perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang
lain, perubahan emosi dan perubahan dalam kepribadian. Senyum seorang bayi karena
belaian dan sentuhan lembut ibunya, serangan anak laki-laki pada teman bermain yang
membuatnya tidak nyaman, perkembangan rasa asertif seorang anak perempuan, semua itu
merupakan cerminan perkembangan sosial-emosi.4
Perkembangan Emosional Anak
Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir.
Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini tercermin pada aktivitas yang banyak pada bayi
yang baru lahir. Meskipun demikian, pada saat lahir, bayi tidak memperlihatkan reaksi yang
secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.5 Telah banyak
penelitian tentang perkembangan emosi anak yang mengungkapkan bahwa perkembangan
emosi anak bergantung pada faktor pematangan (maturation) dan faktor belajar yang dimiliki
anak, dan tidak hanya dipengaruhi oleh salah satunya saja. Reaksi emosional yang tidak
muncul pada awal masa kehidupan tidak berarti tidak ada atau tidak memiliki emosi. Reaksi
emosional itu mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan adanya pematangan dan tahap
perkembangan anak. Proses pematangan dan belajar seseorang saling terkait satu sama lain
dalam mempengaruhi perkembangan emosional anak, sehingga pada saatnya akan sulit untuk
menentukan dampak relatifnya, karena akan berjalan secara bersamaan.
Bayi yang baru lahir sekalipun sudah dapat menunjukkan atau telah dapat
mengekspresikan kondisi sosial. Mereka akan senang disentuh, digendong orang terdekatnya,
di tepuk-tepuk supaya ia tertidur, dan melihat senyuman di wajah-wajah orang yang berada di
sekelilingnya. Di antara orang-orang terdekatnya, ibulah yang paling mempunyai kedekatan
lebih. Ibu adalah orang pertama bagi seorang anak, atau seorang bayi. Ibu adalah orang yang
paling spesial baginya. Bayi juga dapat mengenal orang lain yang ada di sekitarnya dan
merasa senang berinteraksi dengan mereka.6 Sehingga perkembangan sosial yang
mempengaruhi perkembangan emosional seseorang dapat distimulasi sedini mungkin, bahkan
saat seseorang tersebut masih bayi.
Perkembangan emosi seseorang mengalami perkembangan yang sangat pesat di usia
anak-anak. Dengan bertambahnya usia seseorang, maka kemampuan untuk mengungkapkan
emosi akan berkembang, sesuai dengan tahap perkembangannya. Anak-anak akan mulai
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
86
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
belajar mengekspresikan emosinya dan mulai belajar mengenal emosi orang lain di
sekitarnya, yang mana aspek emosi tidak dapat dipisahkan dengan aspek sosial, karena emosi
menentukan atau berpengaruh pada kehidupan sosial anak. Proses sosial-emosi
(socioemotional process) melibatkan perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang
lain, perubahan emosi dan perubahan dalam kepribadian. Senyum seorang bayi karena
belaian dan sentuhan lembut ibunya, serangan anak laki-laki pada teman bermain yang
membuatnya tidak nyaman, perkembangan rasa asertif seorang anak perempuan, semua itu
merupakan cerminan perkembangan sosial-emosi.7
Hurlock juga menyebutkan bagaiman emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan
sosial anak: 1) Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari, bahkan emosi
seperti kemarahan dan ketakutan juga menambah rasa nikmat bagi kehidupan dengan
memberikan suatu kegembiraan. Kenikmatan tersebut terutama ditimbulkan oleh akibatnya
yang menyenangkan; 2) Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, emosi yang
semakin kuat akan semakin mengguncangkan keseimbangan tubuh untuk persiapan
bertindak. Jika persiapan ini ternyata tidak berguna, anak akan gelisah dan tidak tenang; 3)
Ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik, persiapan tubuh untuk bertindak
ternyata menimbulkan gangguan pada keterampilan motorik, sehingga anak menjadi
canggung dan dapat menyebabkan timbulnya gangguan bicara seperti bicara tidak jelas dan
menggagap; 4) Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi, melalui perubahan mimik wajah
dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat mengkomunikasikan perasaan mereka
kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan orang lain; 5) Emosi mengganggu
aktivitas mental, karena kegiatan mental seperti konsentrasi, pengingatan, penalaran dan lainlain, sangat mudah dipengaruhi oleh emosi yang kuat, anak-anak menghasilkan prestasi di
bawah kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu; 6) Emosi merupakan
sumber penilaian diri dan sosial, orang dewasa menilai anak dari cara anak mengekspresikan
emosi dan emosi apa saja yang dominan. Perlakuan orang dewasa yang didasarkan atas
penilaian tersebut merupakan dasar bagi anak untuk melakukan penilaian diri; 7) Emosi
mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan, bagaimana anak-anak memandang peran
mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi
yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia; 8) Emosi
mempengaruhi interaksi sosial, semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui emosi anak belajar cara mengubah
perilakau agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial; 9) Emosi
memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah, emosi yang menyenangkan akan
mempercantik wajah anak-anak, sedangkan emosi yang tidak menyenangkan akan
menyuramkan wajah dan menyebabkan anak-anak jadi kurang menarik. Karena umumnya
orang tertarik atau tidak, tergantung pada ekspresi wajah, emosi memainkan peran penting
bagi penerimaan sosial; 10) Emosi mempengaruhi suasana psikologis, baik di rumah,
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
87
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
sekolah, tetangga ataupun pada kelompok bermain, emosi anak mempengaruhi suasana
psikologis yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Anak yang temperamen menjengkelkan
dan mempermalu orang lain, sehingga mengubah suasana psikologis kepada kemarahan dan
kebencian. Hal ini membuat anak merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan; dan 11) Reaksi
emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan, setiap ekspresi emosi
yang memuaskan anak akan diulang-ulang, dan pada suatu saat yang tertentu akan
berkembang menjadi kebiasaan. Dengan tumbuhnya anak, jika mereka menjumpai reaksi
sosial yang tidak menyenangkan, mereka akan mendapatkan kesukaran untuk mengubah
kebiasaan.
Selain apa yang telah dijelaskan di atas, emosi juga dapat memperkuat motivasi
seseorang, apabila seseorang merasakan kebahagiaan, atau merasa puas terhadap sesuatu
yang telah berhasil dicapainya. Akan tetapi demikian sebaliknya, emosi juga dapat
melemahkan semangat atau motivasi seseorang, apabila seseorang merasa kecewa, dan
mengalami suatu kejadian yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka seseorang
tersebut dapat mengalami keadaan putus asa (frustasi). Emosi juga dapat mengganggu atau
menghambat konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga
menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara. Emosi juga dapat
mengganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati. Selanjutnya,
suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi
sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dengan
demikian emosi yang bersifat positif dapat mulai diajarkan pada anak sedini mungkin.
Perkembangan emosi pada masa bayi, pada awalnya tampil sederhana. Bayi yang
berbeda akan memberikan respons yang tidak sama pada rangsangan yang datang dan
bergantung pada pengalaman sebelumnya. Banyak faktor yang mempengaruhi respons
emosional pada bayi yang tidak saja bergantung pada kondisi fisik dan mentalnya saat
rangsangan itu terjadi, namun juga seberapa berhasilnya rangsangan tersebut memenuhi
kebutuhan dirinya.8 Sehingga perkembangan emosi dan sosial pada bayi berperan penting
dalam hubungan sosial masa mendatang. Pada awal kehidupannya, perhatian seorang anak
akan selalu terfokus pada dirinya (individualis), dan ketika dirinya mulai berinteraksi dengan
orang-orang baru yang ada di sekitarnya, terutama teman sebayanya, secara perlahan anak
akan memiliki rasa ketertarikan terhadap para sahabat dan kawan-kawannya. Ia juga akan
belajar untuk saling bertukar ide pemikiran dan pendapat dengan mereka. Maka, si anak akan
mulai lebih memiliki sisi-sisi positif dan lebih mampu bekerja sama dengan mereka.9
Perkembangan emosional anak usia dini, pada rentang usia 3-4 tahun, anak masih
bersifat egosentris. Egosentris adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara
perspektif seseorang dengan perspektif orang lain, sehingga seolah-olah kepentingannya
adalah yang pertama kali harus didahulukan. Pada usia ini, anak merasa segala keperluan dan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
88
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
keinginannya lebih penting daripada kepentingan teman lainnya. Mereka mulai merasakan
ketakutan-ketakutan yang nyata dan mereka membutuhkan orang-orang dewasa untuk
memberikan kenyamanan dan dukungan kepada mereka di dalam setiap situasi.10 Misal anak
menginginkan mainan tertentu yang sedang dipegang oleh temannya, atau dipakai temannya,
biasanya anak mendekat pada ibunya atau objek lekat yang dikenal anak dan merengek
meminta untuk diambilkan mainan tersebut. Bahkan untuk anak-anak tertentu, mereka akan
dengan berani merebut mainan yang dipegang oleh temannya. Mereka belum mengerti akan
kepemilikan barang, karena masa ini adalah masa untuk menonjolkan keakuan anak,
sehingga dialah yang utama, anak memandang segala persoalana dari satu sisi yaitu dirinya
sendiri. Anak hanya menginginkan apa yang dia inginkan dan melakukannya sekarang juga.11
Dia tidak mengerti bahwa orang lain dapat berpandangan berbeda dengan dirinya. Oleh
karena itu, pada usia ini anak masih suka bermain sendiri atau individual. Selanjutnya, anak
mulai bermain bersama dengan teman sebaya seiring tumbuh sifat sosialnya.
Sewaktu anak-anak berusia tiga, empat, dan lima tahun bertumbuh, mereka semakin
menjadi makhluk sosial. Pada usia tiga tahun memungkinkan mereka untuk bergerak kian
kemari secara mandiri dan mereka ingin tahu tentang lingkungan mereka dan orang-orang
yang berada di dalamnya. Keterampilan kognitifnya juga semakin berkembang, emosi
sosialnya juga makin terasah dengan mengetahui dan merasakan orang-orang yang akrab dan
orang-orang yang tidak akrab dengannya.12 Anak-anak akan dapat menilai dan mulai
merasakan apakah dia nyaman atau tidak nyaman ketika berada di sekeliling temantemannya, baik yang disukai atau tidak.
Perkembangan emosi anak perlu dikawal dan diarahkan sejak dini, supaya emosi yang
menonjol tidak cenderung kepada hal-hal yang bersifat negatif, seperti suka marah, ngambek
dan cenderung mudah menyalahkan orang lain. Terkadang orang tua tidak kuasa untuk
menghadapi emosi anak dan cenderung menuruti setiap keinginan anak disaat anak mulai
ngambek meskipun orang tua tahu bahwa hal yang dilakukannya itu tidak baik. Misalnya
anak ngambek karena tidak dibelikan mainan, padahal sebenarnya di rumah dia sudah banyak
mainan yang seperti itu, sehingga daripada anak ngambek dan menangis yang mungkin
dianggap lebih merepotkan maka dibelikanlah mainan yang diinginkannya, di mana pada
situasi ini orang tua mengambil jalan aman.
Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional Anak
Orangtua dan lingkungan keluarga diharapkan dapat memberikan stimulasi yang tepat
bagi pengembangan kecerdasan sosial emosional anak. Sehingga setiap orangtua dan
keluarga hendaknya selalu mau belajar dan mencari tahu bagaimana memberikan stimulasi
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
89
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
yang baik bagi perkembangan putra-putrinya, termasuk dalam rangka mengembangkan
kecerdasan emosional anak, dengan mengetahui tingkat pencapaian perkembangan sosial
emosional anak, dengan demikian diharapkan setiap orangtua dapat memberikan stimulasi
yang tepat.
Tabel. 1
Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial-Emosional Anak13
ASPEK
KARAKTERISTIK PERILAKU
(USIA 2-4 TAHUN)
Kesadaran Diri
a. Memberi salam setiap mau pergi
b. Memberi reaksi percaya pada orang dewasa
c. Menyatakan perasaan terhadap anak lain
d. Berbagi peran dalam suatu permainan (misal: menjadi dokter,
perawat, pasien)
e. Mengikuti aktivitas dalam suatu kegiatan besar (misal: piknik)
f. Meniru apa yang dilakukan orang dewasa
g. Bereaksi terhadap hal-hal yang tidak benar (marah bila
diganggu)
h. Mengatakan perasaan secara verbal
Tanggungjawab
a. Mulai bisa mengungkapkan ketika ingin buang air kecil dan
Diri dan Orang lain
buang air besar
b. Mulai memahami hak orang lain (harus antri, menunggu
giliran)
c. Menunjukkan sikap berbagi, membantu, bekerja bersama.
d. Mulai bisa buang air kecil tanpa bantuan
e. Bersabar menunggu giliran
f. Mulai menunjukkan sikap toleran sehingga dapat bekerja
dalam kelompok
g. Mulai menghargai orang lain
h. Mulai menunjukkan ekspresi menyesal ketika melakukan
kesalahan
Perilaku Prososial
a. Bermain secara kooperatif dalam kelompok
b. Peduli dengan orang lain (tersenyum, menanggapi bicara)
c. Membagi pengalaman yang benar dan salah pada orang lain
d. Bermain bersama berdasarkan aturan tertentu
e. Membangun kerjasama
f. Memahami adanya perbedaan perasaan (teman takut, saya
tidak)
g. Meminjam dan meminjamkan mainan
(USIA 4-6 TAHUN)
Kesadaran Diri
a. Menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan
b. Mengendalikan perasaan
c. Menunjukkan rasa percaya diri
d. Memahami peraturan dan disiplin
e. Memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah)
f. Bangga terhadap hasil karya sendiri
g. Memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan dengan
situasi
h. Memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
90
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Rasa
Tanggungjawab
untuk Diri Sendiri
dan Orang Lain
Perilaku Prososial
dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa yang
tepat)
i. Mengenal perasaan sendiri dan mengelolanya secara wajar (
mengendalikan diri secara wajar)
a. Menjaga diri sendiri dari lingkungannya
b. Menghargai keunggulan orang lain
c. Mau berbagi, menolong dan membantu teman
d. Tahu akan haknya
e. Mentaati aturan kelas (kegiatan, aturan)
f. Mengatur diri sendiri
g. Bertanggungjawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri
a. Menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan
kompetitif secara positif
b. Mentaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan
c. Menghargai orang lain
d. Menunjukkan rasa empati
e. Bermain dengan teman sebaya
f. Mengetahui perasaan temannya dan merespon secara wajar
g. Berbagi dengan orang lain
h. Menghargai hak/pendapat/karya orang lain
i. Menggunakan cara yang diterima secara sosial dalam
menyelesaikan masalah (menggunakan fikiran untuk
menyelesaikan masalah)
j. Bersikap kooperatif dengan teman
k. Menunjukkan sikap toleran
l. Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada
(senang-sedih-antusias, dsb)
m. Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai
sosial budaya setempat
Perkembangan setiap anak memang tidak sama pada setiap rentang usianya, akan
tetapi tabel di atas setidaknya dapat membantu untuk memberikan gambaran apa yang
sebaiknya dilakukan oleh orangtua maupun pendidik untuk memberikan rangsangan yang
baik dalam rangka mengoptimalkan perkembangan sosial emosional anak.
Pendidikan Anak dalam Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Layaknya keluarga terdiri dari
kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat satu atap
dan biasanya dalam kondisi saling ketergantungan. Kondisi saling ketergantungan inilah yang
membuat seseorang memiliki rasa saling membutuhkan dan saling memiliki. Pendidikan anak
dalam keluarga merupakan pendidikan yang paling mendasar yang seharusnya didapatkan
anak sebelum anak terpapar pendidikan di lingkungan yang lain. Keluarga merupakan
sekolah pertama bagi anak. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pola
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
91
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pengasuhan yang diterimanya di dalam keluarga. Orangtua adalah pihak pertama dan utama
yang mengemban tanggungjawab pendidikan bagi putra-putrinya.
Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis nabi yang menyebutkan tentang betapa besarnya
tanggungjawab yang dimiliki oleh orangtua dalam mendidik anaknya. Kutipan ayat atau
hadis berikut ini menegaskan arti penting tanggungjawab orangtua dalam rangka mendidik
anak antara lain sebagai berikut: “wahai orang yg beriman, jagalah dirimu dan keluargamu
dari siksa neraka…”; “surga berada di bawah telapak kaki ibu”; “didiklah anak-anakmu
mengenai tiga hal: mencintai nabimu, keluarganya, dan membaca al-Qur’an”; “setiap anak
terlahir dlm keadaan fitrah (suci), kedua orangtua anaklah yg menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi”; “sewaktu manusia meninggal dunia, maka segala amal kebaikannya
terputus kecuali tiga hal: amal jariyah, ilmu yg bermanfaat, dan anak yg saleh”, dan lain-lain.
Sungguh luar biasa tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak. Sehingga
sudah menjadi keharusan sebagai orangtua untuk menjadi orangtua yang pedagogis, bukan
sekedar menjadi orangtua biologis saja. Amat disayangkan jika kita masih melihat adanya
orangtua yang berebut remote televisi dengan anaknya hanya gara-gara ingin melihat sinetron
kesayangan. Atau bahkan ketika anak merengek ditemani belajar dan orangtua masih asyik
dengan kegiatannya sendiri. Tentu saja keluarga yang seperti ini belum mampu memainkan
perannya sebagai sekolah pertama untuk anak. Justru anak belajar hal yang kurang
bermanfaat untuk dirinya, seperti banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi,
belajar “cuek” terhadap lingkungan, tidak peka terhadap oranglain.
Keluarga sebagai sekolah pertama anak hendaknya mulai mengajarkan komunikasi
positif dan menyediakan waktu untuk membersamai proses tumbuh dan berkembangnya
anak-anak. Seorang ibu hendaknya mau mendengarkan setiap keluhan anaknya. Menjadi
pendengar yang baik setiap dibutuhkan. Bukan sebagai “diktator” rumah tangga yang suka
marah jika anak melakukukan kesalahan. Karena kurangnya kerhamonisan dalam rumah
tangga,sehingga anak- anak selalu mencontoh dengan bertindak tidak menghargai orang lain,
bahkan melakukan kekerasan pada orang lain. Sikap orang tua yang selalu acuh tak acuh
terhadap anak-anaknya juga pelajaran penting yang diterima oleh anak di mana anak merasa
tidak dihargai.
Di dalam keluarga, anak-anak membutuhkan kenyamanan, sentuhan, senyuman manis
dari orang tua. Sentuhan di sini tidak hanya sentuhan fisik seperti bersalaman setiap kali anak
akan berangkat sekolah, tetapi ciuman di pipi anak, pelukan hangat, serta belaian lembut di
rambut dari seorang ayah dan ibu merupakan sebuah hadiah yang indah bagi tumbuhya emosi
positif anak, bahwa dia diterima dan disayangi oleh keluarganya.
Kenyamanan di rumah, perlakuan yang menyenangkan dan yang lebih penting
penerimaan dan merasa dibutuhkan membuat anak-anak akan menjadikan rumah dan
keluarga sebagi tempat dia selalu ingin pulang. Dengan keluarga yang harmonis, dapat
menurunkan angka kenakalan remaja. Hal ini karena anak-anak akan segera ingin pulang ke
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
92
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
rumah setelah pulang sekolah. Keluarga menjadi prioritas pertama anak untuk berkeluh kesah
dan berbagi. Keluarga menjadi senjata yang ampuh untuk menghasilkan anak-anak yang
berjiwa besar, dan enjalankan pendidikan dengan sadar untuk kepentingan masa depannya.
Karena keluarga yang tenteram akan membawa suasana damai dan menyejukkan, sehingga
anak-anakpun dapat menjalani proses tumbuh kembangnya dengan optimal.
Mengembangkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui Pendidikan
dalam Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi pengembangan kemampuan
sosial emosional anak usia dini. Karena di dalam lingkungan keluargalah anak belajar
bersikap dan membangun karakternya. Perkembanga dan kemampuan emosi anak usia dini
merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
internal maupun eksternal. Kemampuan emosi anak sangat berkaitan dengan bagaimana anak
membentuk konsep diri. Di lingkungan keluargalah anak akan mengolah segala informasi
yang diterimanya. Emosi-emosi yang didapat dari lingkungan keluarga inilah bentuk
pembelajaran emosional anak yang pertama kali diterimanya.
Gaya komunikasi orangtua merupakan cerminan dari pembentukan emosional anak.
Orangtua yang suka marah akan menularkan “virus” suka marahnya kepada anak-anaknya.
Orangtua yang suka membentak, akan mengajarkan anak-anak untuk meniru dan melakukan
hal yang sama. Sebaliknya, orangtua yang mengedepankan kasih sayang dan selalu berpikir
positif, akan menularkan “virus” kebaikan kepada anak-anak mereka.
Sebuah kasus yang pernah terjadi di salah satu lembaga pendidikan anak usia dini,
adalah ketika ada seorang anak perempuan yang suka menyakiti temannya. Anak tersebut
suka sekali melotot dan mencubit temannya. Ketika diingatkan oleh gurunya, anak tersebut
tidak merasa takut dan balik memelototi gurunya. Suatu hari anak tersebut datang ke sekolah
dalam keadaan lengan dan pahanya biru, seperti bekas cubitan. Sesampai di sekolah anak
tersebut bercerita kalau mamanya mencubitnya.
Kasus yang lain mengungkapkan bahwa seorang wali murid dari sekolah tertentu
diingatkan oleh guru karena belum membayar uang sekolah, padahal sudah lewat tanggal
waktu pembayaran, dan biasanya anak tersebut rutin membayar ditanggal yang telah
ditentukan oleh pihak sekolah. Setelah di kroscek ternyata uang untuk membayar sekolah
tersebut diberikan kepada pengemis yang waktu itu lewat dan berada di depan sekolah.
Menurut orangtua siswa tersebut, beliau memang selalu mengajarkan kepada anaknya bahwa
tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan demikian ketika anaknya
dibawakan uang untuk membayar sekolah dan kebetulan ada pengemis yang dijumpainya,
maka tanpa merasa bersalah dikasihkannya uang tersebut kepada pengemis.
Melihat kasus seperti di atas jelas terlihat bahwa anak-anak belajar dari apa yang dia
lihat dan rasakan. Lingkungan keluarga dan orang terdekat menjadi faktor penting bagi
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
93
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pembentukan karakter anak. Orangtuanyalah yang memang memang memegang peranan
penting bagi perkembangan emosional anak, baik emosi negatif, maupun emosi positif.
Perkembangan emosional anak tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan sosial
anak. Perkembangan sosial dan emosional anak ini mulai dapat dipelajari anak dari dalam
lingkungan keluarga. Orangtua perlu mengetahui perkembangan emosi anak, sehinga dapat
memberikan tindakan atau perlakuan yang tepat dan bijaksana dalam menghadapi luapan
emosi anak. Teladan dan contoh yang baik dan positif merupakan kunci utama dalam
mengembangkan kecerdasan emosi anak. Kecerdasan emosi berperan penting dalam
kehidupan seseorang pada perkembangan selanjutnya, sehingga akan menjadi maksimal
apabila dapat dikembangkan dan diasah pada anaksedini mungkin.
Melalui keluargalah mulai diajarkan komunikasi yang baik, saling menghargai dan
memberikan kesempatan pada anak untuk mengeluarkan pendapatnya. Orangtua hendaknya
selalu mengkomunikasikan dengan anak apa yang diharapkan terhadap anaknya, dan
menyampaikan alasan yang tepat, yang mampu diterima oleh anak. Melatih empati anak
dengan mengikutkan anak ketika ada peristiwa sosial, seperti menengok orang sakit,
membantu yang terkena musibah dan berbagi ketika ada pengemis, merupakan hal yang
dapat dilakukan orangtua melalui keluarga, sebagai sekolah pertama anak.
Catatan Akhir
1
Aziz Alimul Hidayat, Ilmu Kesehatan Anak, (Jakarta: Salemba Medika, 2011), h.50.
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak “terj.” Meitasari Tjandrasa, Muslichah Zarkasih, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1978), h.210.
3
Nusaibah dan Amru, Rahasia Umur 7 Hari sampai Umur 7 Tahun, (Surakarta: Cinta, 2009), h.16
4
Jhon W. Santrock, Perkembangan Anak “terj.” Mila Rachmawati, Anna Kuswanti, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007), h.19.
5
Elizabeth B. Hurlock, Opcit.
6
Nusaibah dan Amru, Rahasia Umur 7 Hari sampai Umur 7 Tahun, (Surakarta: Cinta, 2009), h.16.
7
Jhon W. Santrock, Opcit.
8
Reni Akbar, Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2001), h.19.
9
Musthafa, Fuhaim, Assyaikh. Manhaj Pendidikan Anak Muslim, (Jakarta: Mustaqim, 2004), h.346.
10
Wahyudi, CHA, Dwi Retna Damayanti, Program Pendidikan untuk Anak Usia Dini di Prasekolah
Islam, (Jakarta: Grafindo, 2005), h.17.
11
Penney Hames, Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Suka Ngamuk, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005), h.4.
12
Carol Seefeldt dan Barbara A. Wasik, Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), h.83.
13
Permendikbud 2014 No. 137 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini
2
Daftar Pustaka
Akbar, Reni, Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: Grasindo, 2001.
Hames, Penney, Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Suka Ngamuk, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Hidayat, Aziz Alimul, Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: Salemba Medika, 2011.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
94
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 83-95
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak “terj.” Meitasari Tjandrasa, Muslichah Zarkasih, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1978.
Musthafa, Fuhaim, Assyaikh. Manhaj Pendidikan Anak Muslim, Jakarta: Mustaqim, 2004.
Nusaibah dan Amru, Rahasia Umur 7 Hari sampai Umur 7 Tahun, Surakarta: Cinta, 2009.
Permendikbud 2014 No. 137 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini
Santrock, Jhon W., Perkembangan Anak “terj.” Mila Rachmawati, Anna Kuswanti, Jakarta: Penerbit Erlangga,
2007.
Seefeldt, Carol dan Barbara A. Wasik, Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: PT. Indeks, 2009.
Wahyudi, CHA, Dwi Retna Damayanti, Program Pendidikan untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam,
Jakarta: Grafindo, 2005.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Sumiyati
95
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
MENANAMKAN MORAL DAN NILAI-NILAI AGAMA PADA ANAK USIA DINI
MELALUI CERITA
Umayah
Dosen Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA)
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: umayah.uum@ gmail.com
Abstract
Child is a gift which given by Allah to mankind. Something that needs to be developed by
parents in stimulating children is value investment and moral. Development of moral values
is the formation of children’s behavior through habituation which manifested in their daily
behavior. It is to prepare children as early as possible in developing attitudes and behaviors
based on the Pancasila moral. One of appropriate method to develop moral values to early
childhood that is through storytelling. This method is considered will be effective when
applied appropriately. In employing this method, there are several things must be considered,
among others are: stories which deliver to children must have moral values, in selecting
stories must be adjusted to children’s developmental level and not monotonous.
Keywords: Moral, Religious Values, Stories.
Abstrak
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. kepada ummatnya. Salah satu yang perlu
dikembangkan oleh orang tua dalam menstimulasi anak adalah penanaman nilai dan moral.
Pengembangan nilai moral adalah pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan yang
terwujud dalam perilaku sehari-hari, hal tersebut untuk mempersiapkan anak sedini mungkin
dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang dilandasi moral pancasila. Salah satu metode
yang tepat untuk mengembangkan nilai-nilai moral pada anak usia dini, yaitu melalui metode
bercerita, dianggap akan efektif bila diterapkan secara tepat. Dalam menggunakan metode
bercerita untuk menanamkan nilai moral pada anak uasia dini ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, diantaranya adalah: cerita yang disampaikan kepada anak harus memuat
peasn moral, dalam memilih tema cerita disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak
adan tidak monoton
Kata Kunci: Moral, Nilai-nilai Agama, Cerita
Pendahuluan
Setiap orang tua memiliki keinginan anaknya dapat tumbuh menjadi anak yang
pandai, cerdas, rajin, baik, memiliki akhlaqul karimah, beriman serta bertaqwa kepada Allah
SWT, kelak agar anaknaya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Tidak ada orang tua
yang mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang nakal, jahat, memiliki akhlaq
tercela dan jauh dari nilai-nilai Agama Islam dan moral. Harapan untuk menjadikan
mereka yang terbaik, yang dapat menunjang kehidupan mereka di masa depan, atau untuk
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
96
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kebaikan anak itu sendiri. dapat terwujud dengan kesadaran bahwa begitu pentingnya nilainilai Agama Islam dan moral bagi tumbuh kembang anak.
Anak usia dini merupakan “individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik
tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini yaitu 0 sampai 6 tahun merupakan
masa keemasan (golden age) di mana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan
penting untuk tugas perkembangan selanjutnya”.
Raudlatul athfal salah satu bentuk pendidikan formal yang bertujuan mengembangkan
5 (lima) kemampuan dasar yaitu nilai agama, moral, kognitif, fisik motorik, bahasa, dan
sosial emosional. Salah satu yang penting untuk dikembangkan adalah nilai-nilai Agama dan
moral. Pengembangan nilai agama dan moral merupakan pembentukan perilaku anak melalui
pembiasaan yang terwujud dalam keadaan sehari-hari, hal tersebut untuk mempersiapkan
anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku. Pada anak-anak, nilai moral
akan terlihat dari mampu tidaknya seorang anak membedakan antara yang baik dan yang
buruk, jujur, rapi dalam bertindak dan berpakaian, ramah, menghormati guru, tanggung
jawab, berbuat Adil, sopan santun,menghargai teman, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Islam menyatakan bahwa ketika manusia dilahirkan di dunia membawa pembawaan
yang disebut fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang yang berupa keyakinan
beragama, perilaku untuk menjadi baik buruk yang kesemuanya harus dikembangkan agar
dapat tumbuh secara wajar sebagai hamba Allah SWT1.
Perkembangan anak yang dicapai merupakan integrasi dari lima aspek yaitu:
pemahaman nilai-nilai agama dan moral, motorik (kasar dan halus), kognitif (mengenal
pengetahuan umum, konsep ukuran bentuk dan pola), bahasa (menerima dan
mengungkapkan), serta sosial-emosional (mampu mengendalikan emosi). Supaya anak
mencapai tingkat perkembangan yang optimal, dibutuhkan keterlibatan orang tua dan
orang dewasa untuk memberikan rangsangan yang bersifat menyeluruh dan terpadu yang
meliputi pendidikan, pengasuhan, kesehatan, gizi, dan perlindungan yang diberikan secara
konsisten melalui pembiasaan.2
Dalam proses pembelajaran pada anak usia dini masih ditemukan gejala rendahnya
penanaman nilai-nilai Agama Islam. Pada kenyataannya bekal utama untuk membentengi
anak dari pengaruh luar yang dapat merusak moral adalah dengan menanamkan nilai-nilai
Agama Islam pada anak usia dini, karena dapat memperkuat jiwa sang anak dalam
menghadapi segala tantangan zaman. Penanaman nilai- nilai tersebut, bukanlah suatu hal
yang ringan seperti membalikkan telapak tangan, namun untuk mewujudkannya
memerlukan tekad yang kuat dan kesabaran yang ekstra.
Pengembangan nilai nilai Agama dan moral anak usia dini harus dilakukan dengan
tepat. Jika hal ini tidak bisa tercapai, maka pesan moral yang akan disampaikan ‟orang tua‟
kepada anak menjadi terhambat. Pengembangan nilai moral untuk anak usia dini ini bisa
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
97
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dilakukan di dalam tiga tri pusat pendidikan yang ada, yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Upaya pengembangan nilai moral anak usia dini harus dilakukan dengan tepat. Jika
metode, media, bahan ajar, strategi tidak tepat maka pesan moral yang akan disampaikan guru
kepada anak menjadi terhambat. Salah satu metode yang tepat untuk mengembangkan nilainilai moral pada anak usia dini, yaitu melalui metode bercerita. Seto Mulyadi pernah berkata,
"Bukan hanya aspek kecerdasan kognitif belaka yang diperoleh anak melalui medium
bercerita, tetapi juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (moral) yang bias
dikembangkan melalui cerita-cerita (dongeng-dongeng) yang indah itu."3
Metode bercerita ini cenderung lebih banyak digunakan, karena anak RA biasanya
senang jika mendengarkan cerita dari guru. Metode bercerita dapat mengubah etika anakanak karena sebuah cerita mampu menarik anak-anak untuk menyukai dan memperhatikan,
serta merekam peristiwa dan imajinasi yang ada dalam cerita.
Penanaman Nilai Agama Islam Dan Moral
Menurut I Wayan Koyan, nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada
dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai ktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita
setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan seharihari.4
Penanaman nilai keagamaan Islam adalah suatu cara atau metode pada pemberian
arahan yang bertujuan untuk membentuk seseorang memiliki jiwa dan berkarakter Islami.
Ada 3 unsur materi yang dipelajari dalam penanaman nilai keagamaan yaitu Iman, Islam dan
Ihsan dalam prosesnya seorang guru dapat menanamkan nilai-nilai keagamaan tersebut
melalui yaitu antara lain dengan pembiasaan, pengajaran dan teladan. Inti dari tema penulisan
ini adalah “Bagaimana upaya seorang guru terhadap murid-muridnya” yaitu melalui proses
pengajaran dengan menggunakan metode bercerita, hal ini diambil karena dapat dengan
mudah difahami dan dimengerti oleh murid-murid RA.
Moral merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan setiap individu, baik moral yang
baik ataupun buruk. Moral berasal dari bahasa latin “Mores” yang berarti tata cara, kebiasaan,
dan adat. Perilaku sikap moral mempunyai arti perilaku yang sesuai dengan kode moral
kelompok sosial yang dikembangkan oleh konsep moral. Konsep moral ialah peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang
menentukan pada perilaku yang diharapkan dari masing-masing anggota kelompok.5
Menurut Piaget, hakekat moral adalah kecenderungan menerima dan menaati system
peraturan. Selanjutnya ada pndapat lain seperti yang dikatakan oleh Kohlberg yang
mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir tetapi
sesuatu yang berkembang dan dapat dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses
internalisasi nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan seseorang dalam
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
98
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku pada kehidupannya. Jadi perkembangan
moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik atau buruk dan benar atau
salah, dan faktor afektif yaitu sikap atau moral tersebut dipraktikkan.
Teori Perkembangan Moral
Tahapan Perkembangan Moral Piaget
Menurut Piaget perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama
adalah ”tahap realisme moral” atau ”moralitas oleh pembatasan” dan tahap kedua
”tahap moralitas otonomi‟ atau”moralitas kerjasama atau hubungan timbal balik”.6
Dalam tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap
peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang
dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan
pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini anak menilai
tindakannya benar atau salah berdasarkan konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi
di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakannya tersebut.
Dalam tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya.
Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau
lebih. Gagasan yang kaku dan tidak luwes tentang benar salah perilaku mulai dimodifikasi.
Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran
moral.
Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg mengemukakan ada tiga tahap perkembangan moral, yaitu: 1) Tingkat
moralitas prakonvensional. Pada tahap ini perilaku anak tunduk pada kendali eksternal.
Dalam tahap pertama tingkat ini anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan
moralitas suatu rtindakan pada akibat fisiknya. Pada tahap kedua tingkat ini, anak
menyesuaian terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan; 2) Tingkat moralitas
konvensional. Dalam tahap pertama tingkat ini anak menyesuaiakan dengan peraturan untuk
endapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan mereka. Dalam tahap
kedua tingkat ini anak yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai
bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar
terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial; 3) Tingkat moralitas pasca konvensional.
Dalam tahap pertama tingkat ini anak yaki bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinankeyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral. Dalam tahap
kedua tingkat ini, orang menyesuaiakan dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama
untuk menghindari rasatidak puas demngan diri sendiri dan bukan untuk menghindari
kecaman sosial.
Cerita
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
99
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang
lain dengan alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi atau
hanya sebuah dongeng yang dikemas dalam bentuk cerita yang dapat didengarkan dengan
rasa menyenangkan. Pada pendidikan anak usia dini, bercerita merupakan salah satu metode
pengembangan bahasa yang dapat mengembangkan beberapa aspek fisik maupun psikis anak
sesuai dengan tahap perkembangannya.
Menurut Moeslichatoen mengungkapkan bahwa “Metode bercerita merupakan salah
satu pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada anak
secara lisan” cerita yang dibawakan harus menarik, dan mengundang perhatian anak dan
tidak lepas dari tujuan pendidikan bagi anak TK.7 Menurut Musfiroh mengatakan bahwa
“Metode bercerita adalah salah satu metode yang dapat mengembangkan kemampuan
berbahasa anak, yaitu melalui perbendaharaan kosa kata yang sering didengarnya, sedangkan
banyak kata yang dikenalnya semakin banyak juga konsep tentang sesuatu yang
dikenalnya”.8 Nurgiyantoro berpendapat bahwa bercerita merupakan kegiatan berbahasa yang
bersifat produktif. Artinya, dalam bercerita seseorang melibatkan pikiran, kesiapan mental,
keberanian, perkataan yang jelas sehingga dapat dipahami oleh orang lain.9
Dengan kata lain, bercerita adalah salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan
untuk memberikan informasi kepada orang lain dengan cara menyampaikan berbagai macam
ungkapan, berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dan dibaca.
Fungsi Metode Bercerita
Secara umum metode berfungsi sebagai pemberi atau cara yang sebaik mungkin bagi
pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut. Aziz Mustofa dan Imam Musbikin
mengungkapkan apabila dilihat dari isi ceritanya dongeng mempunyai kekuatan dalam
membangun imajinasi anak, menanamkan nilai-nilai etika, menanamkan rasa simpati, rasa
kesetiakawanan pada sesama, yang akhirnya akan membentuk kepribadian pada seorang
anak.10 Jadi dongeng mempunyai fungsi bukan sekedar alat komunikasi tetapi juga alat
nanamkan nilai.
Bercerita bukan hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga merupakan suatu cara
yang dapat digunakan dalam mencapai sasaran–sasaran atau target pendidikan. Metode
bercerita dapat menjadikan suasana belajar menyenangkan dan menggembirakan dengan
penuh dorongan dan motivasi sehingga pelajaran atau materi pendidikan itu dapat dengan
mudah di berikan. Melalui cerita, bisa mengajarkan bagaimana berteman, bagaimana
bermusyawarah, bagaimana menghadapi lawan dan sebagainya.11
Beberapa fungsi metode cerita antara lain: 1) Menanamkan nilai-nilai pendidikan
yang baik. Melalui metode bercerita ini sedikit demi sedikit dapat ditanamkan hal-hal yang
baik kepada anak didik, dapat berupa cerita para rosul atau umat-umat terdahulu yang
memiliki kepatuhan dan keteladanan. Cerita hendaknya dipilih dan disesuaikan dengan
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
100
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
tujuan yang hendak di capai dalam suatu pelajaran. 2) Dapat mengembangkan imajinasi anak.
Kisah-kisah yang disajikan dalam sebuah cerita dapat membantu anak didik dalam
mengembangkan imajinasi mereka. Dengan hasil imajinasinya diharapkan mereka mampu
bertindak seperti tokoh-tokoh dalam cerita yang disajikan oleh guru. 3) Membangkitkan
rasa ingin tahu. Mengetahui hal-hal yang baik adalah harapan dari sebuah cerita sehinnga
rasa ingin tahu tersebut membuat anak berupaya memahami isi cerita. Isi cerita yang
dipahami tentu saja akan membawa pengaruh terhadap anak didik dalam menentukan
sikapnya. 4) Memahami konsep ajaran Islam secara emosional. Cerita yang bersumber dari
Al-Qur‟an dan kisah-kisah keluarga muslim di perdengarkan melalui cerita di harapkan
anak didik tergerak hatinya untuk mengetahui lebih banyak agamanya dan pada akhirnya
terdorong untuk beramal di jalan lurus.
Cerita adalah cara paling ampuh untuk menanamkan suatu gagasan atau pikiran.
Tampaknya sepele saja, tetapi cerita memiliki kekutan luar biasa. Tak kala menarik hingga
kini adalah Kisah Para Nabi yang ada hingga kini di dalam Al-quran. Kisah nabi-nabi yang
selalu kita baca di riwayat para Rassul. Kekuatan cerita sudah sangat diakui menjadi cara
yang paling ampuh pula untuk mengajarkan nilai-nilai moral, budi pekerti, konsep sebab
akibat, dan konsep-konsep dunia lainnya. Kepada kita, kita masih ingat kisah si kancil yang
mengajarkan nilai moral dan kearifan lokal. Memang akan jauh lebih mudah bagi anak untuk
memahami aturan dunia yang sederhana daripada mendengar begitu banyak larangan atau
aturan. Dari situ di ambil dan disimpulkan bahwa dengan bercerita kita dapat menanamkan
nilai-nilai apa yang kita tanamkan kepada anak didik kita.
Dalam proses belajar mengajar, cerita merupakan salah satu metode yang terbaik.
Dengan adanya metode bercerita diharapkan menyentu jiwa jika didasari dengan ketulusan
hati yang mendalam. Metode bercerita ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an:
               
  
 


  
Artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al
Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah
Termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” ( Q.S. Yusuf [12] : 3 ).
Kandungan ayat ini mencerminkan bahwa cerita yang ada dalam Al-Qur‟an
merupakan cerita-cerita pilihan yang mengandung nilai pedagonis. Pertimbangan aspek
pendidikan dalam memilih tema cerita juga penting, sehingga dari tema cerita di peroleh
dua keuntungan, yaitu menghibur dan mendidik anak dalam waktu bersamaan. Disinilah
letak peran pencerita untuk dapat memilih tema cerita dan menyampaikan pesan-pesan
didaktis dalam cerita.Unsur mendidik, baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam
tema dongeng.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
101
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Bercerita Untuk Menanamkan Nilai Moral Pada Anak Usia Dini
Bercerita merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
penanaman nilai moral untuk anak usia dini. Melalui metode bercerita dapat disampaikan
beberapa pesan moral kepada anak. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Otib
Satibi Hidayat bahwa cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral,
nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya.12
Mengingat tahap perkembangan anak usia dini yang masih pada tahap pra operasional
kongkrit, maka dalam bercerita guru harus mampu mengkongkritkan isi cerita dan pesan
moral yang ada di dalam cerita yang disampaikan. Upaya pengkongkritan hal-hal yang
bersifat abstrak ini dapat dilakukan dengan cara penggunaan alat peraga dalam bercerita.
Fungsi alat peraga dalam bercerita adalah untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum
mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga juga berfungsi untuk memusatkan perhatian
anak agar lebih mudah untuk difokuskan. Alat peraga yang dapat digunakan guru dalam
bercerita cukup banyak macam dan jenisnya. Diantaranya adalah boneka tangan, papan
panel, gambar, dan lain sebagainya.
Penggunaan metode bercerita ini membawa pengaruh positif dalam proses
menanamkan nilai moral kepada anak. Jika dibawakan dengan baik oleh sang guru maka
nilai moral yang terkandung di dalam cerita tersebut dapat dipahami oleh anak dengan
baik. Sebaliknya, apabila guru atau pendidik kurang menguasai teknik bercerita maka nilai
moral yang hendak disampaikan kurang berhasil dengan baik, bahkan anak cenderung
bermain sendiri tidak memperhatikan cerita yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu
dalam penyampaian nilai moral melalui cerita seorang guru disamping harus paham dengan
nilai moral yang hendak disampaikan, ia juga harus menguasai dengan baik teknik dalam
bercerita. Dengan demikian lambat laun dengan berjalannya waktu anak akan merubah
perilakunya yang semula tidak sesuai dengan nilai yang ada menjadi lebih baik sesuai
dengan tokoh yang diperankan dalam cerita.
Manfaat Cerita untuk Anak
Cerita sangat bermanfaat bagi pengembangan anak. Berikut ini dapat disimak
beberapa pandangan mengenai manfaat cerita. 1) Membantu pembentukan pribadi dan moral
anak. Cerita sangat efektif membentuk pribadi dan moral anak. Melalui cerita, anak dapat
memahami nilai baik dan buruk yang berlaku pada masyarakat. 2) Menyalurkan kebutuhan
imajinasi dan fantasi. Cerita dapat dijadikan sebagai media menyalurkan imajinasi dan fantasi
anak. Pada saat menyimak cerita, imajinasi anak mulai dirangsang. lmajinasi yang dibangun
anak saat menyimak cerita memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan anak dalam
menyelesaikan masalah secara kreatif. 3) Memacu kemampuan verbal anak. cerita dapat
memacu kecerdasan linguistik anak. Cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
102
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
cerita tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan
bernarasi13.
Ada tiga aspek yang diamati dalam mengembangkan nilai-nilai moral pada anak
melalui metode bercerita, sebagai berikut:
1) Menghargai Teman. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa
“Menghargai mempunyai arti bermacam-macam, diantaranya memberi, menentukan, menilai,
membubuhi harga, menaksir harga, memandang penting (bermanfaat, berguna),
menghormati”14. Menghargai merupakan sebuah ungkapan yang terdengar sederhana, tetapi
banyak orang yang lalai dalam mengaplikasikannya. Saling menghargai dapat diaplikasikan
dengan mudah. Hal ini dapat dimulai dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2) Sopan Santun. Secara etimologis, sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu
kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Sesuai
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan santun dapat diartikan, sebagai berikut: sopan ialah
hormat dengan tak lazim (akan,kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan
sebagai cerminan kognitif (pengetahuan). Santun, yaitu halus dan baik (budi bahasanya,
tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik
(penerapan pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan). Jika digabungkan kedua kalimat
tersebut, sopan santun adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui
sikap, perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata krama;
peradaban; kesusilaan”. Pentingnya nilai moral ditunjukkan melalui sikap sopan santun yang
dimiliki oleh setiap individu. Oleh karena itu, agar anak dapat belajar sopan santun di RA,
maka aspek sopan santun dianggap bisa menanamkan nilai-nilai moral melalui metode
bercerita di RA selanjutnya. Berikut contoh yang perlu ditularkan kepada anak untuk
mengajarkan sopan santun: 1) Mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu atau ketika si
prasekolah dibawakan sesuatu baik oleh orang tua maupun orang lain. Sekaligus
mengajarkan menghargai jerih payah orang lain; 2) Mengucapkan "maaf" jika bersalah.
Mengajarkan sportivitas dan berani mengakui kesalahan; 3) Mengucapkan tolong ketika
meminta diambilkan sesuatu; 4) Menyapa, memberi salam atau mengucapkan permisi
jika bertemu orang lain; 5) Mengajarkan adab menerima telepon. Sekaligus mengajarkan
bagaimana berbudi bahasa yang baik; 6) Etiket makan yang baik, tidak sambil jalanjalan atau melakukan aktivitas lain. Sikap ketika makan di meja makan, tidak
bersendawa atau makan sambil ngobrol. Langkah-langkah mengajarkan sopan santun pada
anak sebagai berikut: ajarkan satu keterampilan sosial dalam satu waktu, berikan
penghargaan atas kesuksesannya, toleransi yang proporsional, ingatkan mereka jika lupa, dan
jadilah contoh yang baik.
3) Tanggung Jawab. Tanggung jawab dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menaggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab
adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
103
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
tidak disengaja”. Mengingat pentingnya sifat tanggung jawab pada diri seseorang, maka sikap
tersebut akan lebih baik jika ditanamkan sedini mungkin, agar anak terbiasa menunjukan
sikap yang bertanggung jawab, seperti mengatasi masalahnya sendiri. Aspek tanggung
jawab penilaiannya, dilihat dalam pencapaian beberapa indikator, yaitu Jika anak mampu
mengurus dirinya sendiri (misalnya memakai sepatu sendiri), anak mampu menyelesaikan
tugas yang diberikan, (misalnya mewarnai gambar dengan baik hingga selesai), Meminta maaf
jika sudah berbuat salah, dapat menyimpan kembali buku dan alat tulis yang sudah dipakai
ketempatnya, membuang sampah pada tempatnya, dan Anak dapat merapikan peralatan
makan dan minum sendiri.
Kesimpulan
Bercerita memberikan sejumlah pengetahuan sosial nilai-nilai moral keagamaan.
Bercerita memberikan pengalaman belajar untuk melatih pendengaran, dan bercerita
memberikan pengalaman belajar yang unik dan menarik, serta dapat mengatakan perasaan,
membangkitkan semangat dan menimbulkan keasyikan tersendiri. Penerapan metode
bercerita pada anak, berdasarkan kemampuan yang diharapkan mencapai beberapa
pengembangan, seperti bahasa, moral, sosial emosional dan dapat memberikan pengetahuan
atau informasi baru bagi anak setelah anak mendengarkan cerita. Saat membawakan cerita
harus sesuai dengan tahap perkembangan anak, baik dari bahasa, media dan langkah-langkah
pelaksanaannya, agar lebih efektif, komunikatif, dan menyenangkan bagi anak.
Catatan Akhir
1
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.113.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009, Standar Pendidikan Anak Usia
Dini, Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan, h.2.
3
Imam Musbikin, “Buku Pintar PAUD” (dalam perspektif Islami), (Jogyakarta: Laksana, 2010), h.246.
4
I Wayan Koyan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya, ( Jakarta: Depdiknas, 2000),
h.12.
5
Mursid, Belajar dan Pembelajaran PAUD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), h.76.
6
Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 1998), h.79
7
R. Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak- Kanak, ( Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,
2014)
8
Tadzkiroatun Musfiroh dkk., Cerita Untuk Perkembangan Anak, (Yogyakarta: Navil, 2005), h.79.
9
Lilis Madyawati, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, (Jakarta. Prenadamedia Group, 2016),
h.162.
10
Aziz Mustafa dan Imam Musbikin, Sepasang Burung dan Nabi Sulaiman, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2003), h.6.
11
Reza Farhadian, Menjadi Orang Tua Pendidik, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h.119.
12
Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2005), h.412.
13
Lilis Madyawati, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h.167.
14
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007),
h.702
2
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
104
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal. 96-105
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Daftar Pustaka
Farhadian, Reza, Menjadi Orang Tua Pendidik, Jakarta: Al-Huda, 2005.
Hidayat, Otib Satibi, Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama, Jakarta:
Universitas Terbuka, 2005.
Hurlock, Elizabeth, Perkembangan Anak Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 1998.
Koyan, I Wayan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya, Jakarta: Depdiknas,
2000.
Madyawati, Lilis, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, Jakarta. Prenadamedia Group,
2016.
Moeslichatoen, R., Metode Pengajaran di Taman Kanak- Kanak, Jakarta: PT. Asdi
Mahasatya, 2014.
Mursid, Belajar dan Pembelajaran PAUD, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015.
Musbikin, Imam, “Buku Pintar PAUD” (dalam perspektif Islami), Jogyakarta: Laksana,
2010.
Musfiroh, Tadzkiroatun, dkk., Cerita Untuk Perkembangan Anak, Yogyakarta: Navil, 2005.
Mustafa, Aziz dan Imam Musbikin, Sepasang Burung dan Nabi Sulaiman, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2003.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009, Standar Pendidikan Anak
Usia Dini, Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,
2007.
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), Bandung: Pustaka Setia, 1997.
aṣ-ṣibyan
ISSN 2541-5549
Umayah
105
PEDOMAN PENULISAN
Penulis yang bermaksud mengirimkan karyanya untuk Jurnal As-Sibyan, dianjurkan
mengikuti pedoman berikut ini:
1. Naskah orisinil hasil penelitian empiris atau kajian teoritis-reflektif mengenai
kajian gender dan anak dalam berbagai metode dan pendekatan yang belum pernah
dipublikasikan dan tidak sedang dalam proses review di jurnal yang lain.
2. Artikel hasil penelitian memuat: Judul, Nama Penulis (disertai dengan identitas
penulis dan alamat instansi/ lembaga penulis, email dan HP), Abstrak (diikuti kata
kunci), Pendahuluan (memuat latar belakang, masalah, tinjauan pustaka secara
ringkas, masalah penelitian dan tujuan penelitian), Metode Penelitian, Hasil
Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam
uraian).
3. Artikel kajian teoritis-reflektif atau kajian konseptual memuat: Judul, Nama Penulis
(disertai dengan identitas penulisan dan alamat instansi/ lembaga penulis, email dan
No. HP), Abstrak (diikuti dengan kata kunci), Pendahuluan, Sub-sub Judul (sesuai
dengan kebutuhan), Penutupan / Kesimpulan dan Daftar Pustaka (berisi pustaka
yang dirujuk dalam uraian).
4. Naskah dalam Bahasa Indonesia dan Inggris diketik 1 spasi pada kertas A4 dengan
menggunakan font Time New Roman ukuran 12 pt untuk tubuh tulisan dan 10 pt
untuk footnotes; sedangkan naskah berbahasa Arab diketik 1 spasi dengan
menggunakan font Traditional Arabic ukuran 14 pt. untuk tubuh Tulisan dan 12 pt
untuk footnotes. Panjang tulisan kurang lebih 15-25 halaman.
5. Abstrak terdiri dari 150-200 kata yang ditulis dalam satu paragraph, dilanjutkan
dengan kata kunci (keywords) 406 kata. Abstark memuat latar belakang penulisan,
tujuan penulisan, pembahasan, dan kesimpulan. Apabila merupakan hasil
penelitian, harus memuat metode dan hasil penelitian.
6. Transliterasi Arab-Latin diharuskan berpedoman pada Pedoman Transliterasi ArabLatin SKB dua menteri, Menteri Agama R.I. Nomor 158 tahun 1987 dan Menteri
Pendidiknan dan Kebudayaan R.I. nomor 0543 b/u/1987 tentang Pedoman
Transliterasi Arab-Latin.
7. Rujukan terjemah Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia mengacu pada Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Departemen Agama R.I.; sedangkan dalam Bahasa Inggris
mengacu pada karya Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and
Commentary.
8. Sumber rujukan dianjurkan menggunakan bahan pustaka manual dan digital
mutakhir (5-10 tahun terakhir). Sistem kutipan harus menyebutkan sumbernya
secara lengkap dan tlisan dalam sistem footnotes.
9. Semua naskah akan ditelaah oleh Dewan Redaksi dan Hasil keputusan siding
redaktur yang relevan disampaikan kepada pengirim tulisan.
10. Penulis menerima bukti pemuatan sebanyak 2 eksemplar jurnal. Naskah yang tidak
dimuat tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
Artikel dapat dikirim ke alamat Redaksi Jurnal pendidikan Guru Raudlatul Athfal,
yaitu Jurnal As-Sibyan, via e-mail: pgra.iainbanten@ gmail.com atau
ubi.affan@ gmail.com
106
Download