Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan

advertisement
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan
Persamaan Maxwell
Rahmat Arief1,2,*), Dodi Sudiana2, dan Kalamullah Ramli2
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN, Indonesia
2
Departemen Teknik Elektro, Universitas Indonesia, Indonesia
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK-Masalah utama pada kerangka Compressive Sensing (CS) yang harus ditangani dengan pencitraan SAR
adalah pada kebutuhan untuk linierisasi persamaan SAR. Makalah ini mengusulkan sebuah pendekatan baru untuk
merumuskan sistem pencitraan SAR terkompresi yang diturunkan dari persamaan Maxwell. Pendekatan approximasi
Born diterapkan untuk membentuk persamaan pencitraan radar menjadi linear. Selain itu, pengambilan sampel
terkompresi dibentuk dengan mengurangi laju sampling sinyal radar yang diterima secara acak pada arah range dan
mengurangi jumlah pulsa pada arah azimuth yang ditransmisikan secara acak. Hasil simulasi menunjukkan bahwa citra
SAR dengan target jarang dapat direkonstruksi dengan fokus yang lebih baik dan side lobe yang lebih sedikit
dibandingkan dengan metoda Range Doppler.
Kata kunci:compressive sensing; persamaan Maxwell; Synthetic aperture radar; approximasi Born
ABSTRACT-Within few years backward, researches had presented the ability of compressive sensing to handle the
large data problem on high resolution synthetic aperture radar (SAR) imaging. The main issue on CS framework that
should be dealt with the SAR imaging is on the requirement of linearization on the measurement system. This paper
proposes a new approach on formulating the compressed SAR echo imaging system which is derived from the
Maxwell’s equations with continuous signal along the SAR antenna movement. Born approximation is applied to
approximate the linear form of the SAR echo imaging system. In addition, the compressed sampling is formed by
reducing the sampling rate of received radar signals randomly simultaneously on both of low sampling of fast time and
slow time signals and by reducing the pulse period interval of transmitted signals. The simulation’s result shows that a
better focused reconstructed sparse target can be achieved compared to the conventional match filter based Range
Doppler method.
Keywords: compressive sensing; fast time and slow time sampling; Maxwell equation; born approximation; Synthetic
aperture radar
1.
PENDAHULUAN
Pencitraan SAR adalah teknologi untuk menghasilkan citra radar dengan resolusi tinggi pada area yang
luas (Cumming and Wong, 2005; Curlander and McDonough, 1991). Beberapa tantangan dalam teknologi
ini (Cheney and Borden, 2009; Cheney and Borden, 2009) adalah menembakkan sinyal chirp ke target
dengan energi gelombang mikro dengan daya besar dan sinyal hamburbalikan dari target diterima oleh
antena penerima dengan sampling rate yang tinggi yang menyebabkan sejumlah besar data.
Teori CS (Candes and Tao, 2006; Donoho, 2006) mengusulkan sebuah pendekatan baru, dimana sinyal
tertentu, termasuk sinyal radar dapat dipulihkan dari pengukuran / sampel jauh lebih sedikit dari pada laju
sampling teori Nyquist/Shanon. Sehingga dengan menerapkan metoda CS maka ADC dengan laju sampling
tinggi pada metoda konvensional dapat digantikan dengan ADC dengan laju sampling rendah. Sehingga daya
dan komponen onboard sebuah sistem radar dapat dihemat dan volume data yang berisikan sinyal SAR
menjadi kecil, tetapi kualitas sebuah citra radar dapat dipertahankan.
Langkah penting pertama pada kerangka CS adalah untuk membuat persamaan radar menjadi linear.
Beberapa studi telah membahas pada pemodelan linear dari sinyal SAR yaitu Herman (Herman and
Strohmer 2009) mengusulkan model linear dari sinyal SAR dengan model Alltop-sequence dan Wei (Wei et
al., 2010) menurunkan sinyal SAR dengan memisahkan target dan persamaan akuisisi SAR. Pendekatan lain
dari model linear berasal dari dari persamaan Maxwell (Cheney and Borden, 2009; Sun et al., 2014). Sun
(Sun et al., 2014) mengusulkan model sinyal SAR dari persamaan Maxwell dan model sampling rendah acak
dalam domain frekuensi hanya pada arah range saja.
- 240 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Makalah ini mengusulkan model baru persamaan linear model baru sinyal SAR dalam fungsi waktu
lambat dan waktu cepat. Persamaan sinyal SAR berasal dari persamaan Maxwell dan dibentuk menjadi
persamaan linier menggunakan pendekatan Born. Pengukuran rendah secara acak dilakukan di kedua arah
waktu yang cepat dan waktu lambat dalam domain waktu secara acak secara simultan. Untuk mendapatkan
target direkonstruksi digunakan minimalisasi L1-norma (Candes and Tao, 2006; Donoho, 2006; 2010).
2.
SAR MODEL BASED ON MAXWELL EQUATION
2.1 EM Wave Propagation
Hampir semua sistem pencitraan SAR menggunakan pendekatan Stop-Go (Franceschetti and Lanari,
1999), di mana sensor SAR dan target diasumsikan pada waktu dan posisi yang tetap, ketika pulsa chirp
mencapai target dan kembali ke antena, ketika pulsa chirp mengenai target dihasilkan sebuah medan insiden
dan hal itu menyebabkan hamburan radiasi dari obyek yang disebut medan hamburbalikan. Medan listrik
secara keseluruhan dapat didefinisikan oleh kedua medan tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut :
(1)
ℰ ( , ) = ℰ ( , )+ℰ ( , )
Dimana ℰ (t, x) adalah medan insiden yang merupakan sebuah model medan listrik dari sinyal chirp yang
ditembakan dari antena radar mengenai target. Sedangkan ℰ (t, x) adalah medan hamburbalikan yang
merupakan sebuah model medan listrik dari sinyal hamburbalik dari target yang diterima oleh antena.
Seperti yang dikaji dari (Cheney and Borden, 2009; Cheney and Borden, 2009; Sun et al., 2014),
persamaan umum Maxwell dapat digunakan untuk mendefinisikan persamaan gelombang elektro magnetik
(EM) dari radar. Medan insiden dan medan hamburbalik dapat diformulasikan sebagai persamaan gelombang
EM dalam bentuk differential dan integral seperti dibawah ini :
1
(2)
−
ℰ ( , )=− ( , )
ℰ ( , )=−
( − , − ) ( , )
−
ℰ ( , )=−
1
( − , − ) ( )
ℰ ( , )=− ( )
ℰ
ℰ
(, )
(3)
( , )
Dimana ( , ) adalah kerapatan arus (current density)pada antena dan ( )adalah nilai reflektiftas target.
⁄ )
(
Fungsi ( , ) =
pada rumus diatas dapat diartikan sebagai medan listrik pada waktu t dan posisi x
dari sumber medan listrik dan disebut the outgoing fundamental solution atau the (outgoing) Green function
(Friedlander and Joshi, 1998; Treves, 1975).
Ketika sinyal chirp mengenai target, menyebabkan arus maka target tersebut memancarkan medan
hamburbalik yang merupakan sinyal yang sama, tapi lebih lemah dan terlambat beberapa saat. Medan
hamburbalik ℰ ( , ) terbentuk dari interaksi antara target dan medan insiden. Jadi nilainya tergantung pada
geometri dan sifat bahan dari target tersebut.
Untuk menyelesaikan persamaan gelombang di atas dengan kecepatan gelombang yang konstan dan
kerapatan arus ( , ) pada antena digunakan fungsi Green, maka persamaan baru dari medan hamburbalik
dapat ditulis sebagai berikut:
( − | − |⁄ )
(4)
( )
ℰ ( , )=−
ℰ ( , )
4 | − |
Persamaan ini menunjukkan bahwa ℰ tergantung pada medan listrik total ℰ . Jadi persamaan ini
menjadi tidak linear, karena ℰ muncul pada kedua sisi pada persamaan diatas. Maka muncul konsekuensi
bahwa ℰ menjadi kompleks untuk diselesaikan.
- 241 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
2.2 Approximasi Born
Pada pencitraan radar, reflektifitas dari target ( ) adalah sebuah nilai yang harus dihitung and medan
hamburbalik dapat diterima dan diukur pada antena. Karena persamaan radar tidak linear, maka fungsi
reflektifitas ( ) dari target sulit untuk diselesaikan. Approximasi Born atau yang disebut pendekatan
hamburbalik lemah dapat diaplikasikan sebagai solusi dari persamaan yang tidak linear. Medan hamburbalik
ℰ diasumsikan memiliki energi yang lemah dibandingkan dengan medan insiden ℰ (ℰ ≪ ℰ ). Jadi
ℰ pada sisi kanan persamaan dapat digantikan dengan ℰ (ℰ ≈ ℰ ). Persamaan baru dari medan
hamburbalik yang linear menjadi :
( − )
(5)
( )
ℰ ( , )=−
ℰ ( , )
4 | − |
dimana t = |x − z|⁄cadalah waktu yang diperlukan gelombang EM dari antena sampai target. Persamaan
medan hamburbalik pada domain frekuensi dapat dituliskan sebagai berikut :
|
|
(6)
( , )=−
( )
( , )
4 | − |
Approximasi born sangat berguna untuk membuat persamaa radar menjadi linear. Pendekatan ini
memang bukan yang terbaik, tetapi pada kenyataanya pada pencitraan radar terdapat beberapa artifact dapat
diabaikan.
3.
MODEL SINYAL HAMBURBALIK SAR
3.1 Sinyal Transmit
Seperti yang diamati dalam (Cheney and Borden, 2009; Sun et al., 2014), kerapatan arus antena
dimodelkan dengan j(t, x) = p(t)δ(x − y) pada posisi antena y dan p(t) adalah sinyal yang ditransmisikan
dari antena. Sinyal transmit dianggap dalam bentuk linearchirp dengan frekuensi pembawa f .
)
(7)
( )=
∙ ( )∙ (
dimana
adalah amplituda independen untuk sinyal transmit berupa nilai konstan atau bervariasi. a(t)
merupakan fungsi sinyal kotak atau fungsi windowing. Frekuensi pembawa berkaitan dengan frekuensi sudut
ω = 2πf , α = B⁄2T adalah chirp rate, T adalah durasi pulsa, dan B adalah bandwidth sinyal chirp.
Dalam domain frekuensi, J(ω, x) = P(ω)δ(x − y), dimanaP(ω)adalah transformasi fourier dari p(t). Medan
listrik insiden dan medan hamburbalik dengan pendekatan approximasi Born dapat dituliskan dalam domain
frekuensi sebagai berikut :
|
|
(8)
( , )=−
( )
4 | − |
3.2 Model Sinyal SAR Kontinu
Medan hamburbalik dengan approximasi Born diperoleh dengan substitusi dari rumus (6) dan (8),
sehingga kita dapat mengukur sinyal SAR pada antena penerima sebagai berikut :
|
|
|
|
(9)
( , ′) =
( )
( )
4 | − |
4 | − |
Dalam hal ini diasumsikan untuk monostatic SAR, dimana posisi antena pengirim sinyal radar x dan
posisi antena penerima y pada satu wahana bergerak (x=y) dan jarak antara posisi target z dan antena jauh.
Maka medan hamburbalik yang diukur pada antena penerima diperoleh dengan rumus berikut :
(10)
(
) )
( ). ( ). . ( ( )
ℰ ( , )=−
16
dimana R(z) = |x − z| adalah jarak antara antena dan target, dan τ = 2R(z)/c adalah waktu delay atau
waktu tempuh sinyal chirp dari antena sampai ke target dan kembali. Sinyal termodulasi base band dalam
proses demodulasi quadrature diperoleh dengan mengeliminasi frekuensi pembawa dan dilanjutkan dengan
melakukan filter lowpass. Maka fungsi baru dari medan hamburbalik adalah sebagai berikut :
- 242 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ℰ ( , )=−
∈
( ). ( ).
16
.
(
(
(11)
) )
Rumus di atas berlaku untuk sistem radar pulsa dengan pendekatan stop-go (Franceschetti and Lanari
1999). Dalam model kontinu, antena radar biasanya menunjuk ke arah target pada platform bergerak dan
sekaligus memancarkan sinyal radar. Jalur pergerakan antena dilambangkan dengan indeks η = 1, … , N ,
yang merupakan indeks dari pulse repetition frequency (PRF) dari sistem radar. Posisi antena x digantikan
oleh index η , sehingga antena berada pada posisi yang berbeda sepanjang jalur gerakan, pada saat antena
mentrasmit sinyal chirp.Skala maktu pada model ini didefinisikan menjadi 2 skala, yang skala waktu pada
pergerakan antena jauh lebih lambat (slow time) dari skala waktu pada gelombang EM dari sinyal radar (fast
time). Maka sinyal radar yang diterima dengan 2 skala waktu dapat didefinisikan sebagai berikut:
(12)
(
(
) )
( ). ( )
ℰ ( , )=−
16
dimana τ = 2. R ⁄c adalah waktu delay sinyal SAR pada index η dan R
adalah jarak antara antena
pada posisi η dan setiap target yang berbeda dengan posisi z (x , y ). Jarak tersebut dapat diformulasikan
sebagai berikut :
(13)
=
−
+ (ℎ + ( + ) )
Dimana h adalah tinggi wahana pembawa sensor radar dan X jarak antara antena dan titik dengan area target.
4.
DATA SAR TERKOMPRES DENGAN CS
4.1 Model Linear Sinyal SAR
Tujuan dari rekonstruksi citra SAR adalah untuk menentukan V sebagai reflektifitas target dari data
mentah SAR. Bentuk paling sederhana dari citra SAR bersifat jarang, jika terdapat beberapa hamburbalik
(scatterers) dominan pada citra, contohnya beberapa kapal di laut. Jadi V ∈ ℂ
adalah koefisien
reflektifitas hamburbalikan yang menunjukkan besarnya reflektifitas target dalam sinyal kompleks dengan
jumlah komponen Knon-zero yang dominan sepanjang N.
Model liniar persamaan SAR dibentuk dengan memisahkan komponen reflektifitas V dan bentuk matriks
akuisisi sinyalSAR Ψ dan sasaran reflectifity dari persamaan (12) dalam bentuk diskrit dituliskan sebagai
berikut
( , )=
( ,
).
=
(14)
.
Skala waktu untuk sinyal pada arah range dan azimuth mempunyai index t = 1, … , N dan η =
1, … , N . Dimana N dan N adalah jumlah sampling pada sinyal pada arah rangedan azimuth. Matriks
ψ (t , η ) untuk setiap target adalah sebagai berikut
( ,
)=
( ,
)=[
( , )
dimana
,…,
=
.
(
, )
( , )
(
(15)
( ,
,…,
,
)
)
,
]
−
( , )=4
.
−
−
2
Jika vektor koefisien hamburbalik didefinisikan V = [v , v , ⋯ , v ] , maka model matematika dari
pembentukan sinyal SAR Ψ dapat ditulis sebagai berikut :
= [ ( , ), ( , ), … , ( , )]
(16)
- 243 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
Matriks Ψ memiliki dimensi (N N × N
), yaitu perkalian jumlah sampling arah range dan azimuth
pada baris dan jumlah total target pada kolom. Untuk mendapatkan sebuah data mentah SAR digital
dilakukan dengan menggunakan ADC converter dengan sampling rate yang disyaratkan oleh Nyquist.
4.2 Sample Model Terkompresi
Untuk menunjukkan efektivitas kinerja algoritma CS, sampling rendah secara acak pada sinyal SAR S
diperlukan. Maka persamaan baru terbentuk dapat dirumuskan sebagai berikut :
=
=
+
(17)
dimana Φ menyatakan sebuah matrik sampling rendah M × N yang dibentuk secara random, y sebuah
vektor hasil sampling rendah dengan panjang M. Semakin sedikit jumlah pengukuran M yang diambil, maka
laju sampling semakin rendah. Jumlah pengukuran M harus dipilih setidaknya lebih besar dari K tetapi dapat
secara signifikan lebih kecil dari dimensi adegan N (K < ≪ N ).
Sampling rendah dilakukan dengan mengurangi jumlah pengukuran sinyal radar yang diterima secara
acak secara bersamaan di kedua waktu cepat dan waktu lambat. Metode ini menunjukkan penurunan jumlah
sampel secara signifikan. Sebuah pengukuran rendah y dibentuk pada 2 skala waktu (1) sampling rendah
dalam waktu lambat yang dihasilkan pengaturan pengiriman pulsa radar secara acak. (2) sampling rendah
dalam waktu cepat
yang dihasilkan sampling rendah pada sinyal hamburbalik dibawah dari persyaratan
teori Nyquist.
Gambar. 1 menjelaskan generasi matriks sampling Φ. Pengukuran dikurangi dilakukan oleh biner acak di
bawah sampling sinyal radar berdasarkan matriks identitas. Matriks identitas yang memiliki ukuran N ×
N of dari dikalikan dengan matrik permutasi acak. Kemudian matriks sampling dapat dibentuk dengan
menghapus baris dengan nilai 0 dan memiliki ukuran matriks × N .
×
×
×1
×
1 0 0 0 ⋯ 0
1 0 0 0 ⋯ 0
1
1 0 0 0 ⋯ 0
⎡0 1 0 0 ⋯ 0⎤
⎡0 0 0 0 ⋯ 0⎤
⎡ 0⎤
0 0 1 0 ⋯ 0
⎢ ⎥ .∗ ⎢
⎥
⎢
⎥
⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 0
1
0
0
1
0
⋯
0
0
0
1
0
⋯
0
⎢ ⎥
⎢
⎥
⎢
⎥
0
0 0 0 0 1
1
⋯
0
0
⋯
0
0
0
0
0
0
0
0
⎢
⎥
⎢
⎥
⎢ ⎥
⎢⋮ ⎥
⎢ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 0⎥
⎢ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 0⎥
⎣ 1⎦
⎣0 0 0 0 0 1⎦
⎣0 0 0 0 0 1⎦
Gambar 1. Cara menghasilkan matrik sampling rendah Φ
4.3 Rekonstruksi
Target dengan reflektifitas V dengan pengukuran rendah dapat direkonstruksi dengan stabil dengan
menyelesaikan persamaan linear berdasarkan L1-norm (Candes and Romberg 2005; David Donoho 2010;
Donoho 2006). Dengan menyelesaian persamaan linear, maka reflektifitas V dapat direkonstruksi dengan
formulasi sebagai berikut :
‖ −
‖ + ‖
‖
,
>0
(18)
Walau Φ acak, asal persyaratan RIP / incoherensy dipatuhi, maka formula diatas dapat merekonstruksi
sinyal V dengan baik. Walaupun algoritma L1-norm dapat memberikan garansi untuk merekonstruksi sinyal
f, tetapi algoritma ini mempunyai kelemahan pada waktu komputasi.
5.
HASIL PEMBAHASAN
Bab ini mengevaluasi kinerja pencitraan SAR terkompres yang diturunkan untuk persamaan Maxwell.
Beberapa eksperimen dilakukan untuk mengevaluasi metode yang diusulkan pada dua data input, yaitu target
titik dan sebuah obyek yang kompleks berupa kapal di laut (lihat Gambar.2).
- 244 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
(a) (b)
Gambar 2. Data input untuk ekperimen (a) target titik (b) objek yang kompleks berupa kapal di laut
Kedua data input memiliki hamburbalikan yang berbeda beda dalam gambar 31x31 pixel. Parameter
penting dari parameter SAR strip map dengan frekuensi 10GHz dengan resolusi azimuth dan resolusi range
masing-masing 1,00m. Data mentah SAR diperoleh dengan sampling rate penuh sesuai teori Nyquist dengan
ukuran Na × Nr dimana N = 96 dan N = 126.
5.1 Eksperimen Target Titik
Pada eksperimen pertama, data input yang digunakan adalah target titik. Pengukuran acak dilakukan
sebagai bentuk kompresi dengan pengambilan sampel M=50-100 secara simultan dikedua azimuth dan
range. Dengan demikian jumlah keseluruhan random sampling di bawah 1% sampel dari jumlah total sampel
Ns = Na × Nr =12096. Jumlah pengukuran rendah diambil sesuai dengan persyaratan RIP untuk
memastikan rekonstruksi yang baik. Perhitungan hasil rekonstruksi yang dilakukan berulang-ulang 100 kali,
maka hasil akhir adalah nilai rata-rata.
Cara mengukur kualitas hasil rekonstruksi menggunakan 2 kriteria: (a) kualitas gambar yang ditandai
dengan nilai pseudo signal noise ratio (PSNR) dan root mean square error (RMSE) dibandingkan dengan
target asli (Gonzalez and Woods, 2006), (b) kualitas citra SAR yang ditentukan oleh nilai resolusi gambar
dalam resolusi 3dB, peak side lobe ratio (PSLR) dan integrated side lobe ratio (ISLR) pada range dan
azimuth. Resolusi gambar SAR ditentukan oleh leba lobus utama dari respon impuls diukur 3dB di bawah
nilai puncak. PSLR dan ISLR mewakili kemampuan SAR untuk mengidentifikasi target yang kuat dari target
terdekat lemah. PSLR dan ISLR adalah rasio antara tinggi dari lobus utama dan lobus samping, dinyatakan
dalam desibel(dB).
Gambar 3 menunjukkan hasil pencitraan dari target titik menggunakan kedua algoritma range doppler
algorithm (RDA) (Cumming and Wong, 2005) dan metode CS. Hasil algoritma RD ditunjukkan pada
Gambar 3(a). Ada gangguan yang serius pada side lobe dalam hasil pencitraan menggunakan algoritma RD.
Sedangkan hasil rekonstruksi menggunakan metoda yang diusulkan diperlihatkan pada gambar. 4(b)(f).hanya menggunakan M=60-100 sampel acak. Hasil menunjukkan bahwa posisi arget titik dan
amplitudonya dapat direkonstruksi secara signifikan dibandingkan dengan algoritma RD.
Sebaliknya, target titik tidak dapat direkonstruksi dengan benar, jika jumlah pengukuran rendah di bawah
M=50 secara acak. Jadi kinerja CS bergantung pada jumlah pengukuran. Semakin besar jumlah pengukuran
rendah, maka reflektifitas dapat direkonstruksi lebih baik.
- 245 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
CS M =50
RDA
0
-10
0
-10
-10
0
10
0
-10
-10
0
-10
10
0
10
range
(a)
range
(b)
range
(c)
CS M =70
CS M =80
CS M =90
0
-10
10
azimuth
10
azimuth
10
azimuth
10
azimuth
10
azimuth
azimuth
10
CS M =60
0
-10
-10
0
10
0
-10
-10
0
range
(d)
-10
10
0
10
range
(f)
range
(e)
Gambar 3. Hasil rekonstruksi dari target titik menggunakan (a) RDA (b)-(f) SAR berbasis CS
dengan pengukuran M=50 – 90.
Tabel 1. Parameter hasil rekonstruksi citra SAR menggunakan RDASAR berbasis CS dengan pengukuran M=50-90.
RDA
Comp.
Ratio
M/N[%]
PSNR
[dB]
RMSE
[dB]
100
23,206
Range
Azimuth
3dBmw
[m]
PSLR
[dB]
ISLR
[dB]
3dBmw
[m]
PSLR
[dB]
ISLR
[dB]
0,203
1,25
-7,014
-8,402
1,06
-11,151
-7,593
CS M=50
0,413
24,682
0,589
1,00
-7,153
-8,859
1,02
-10,113
-10,342
CS M=60
0,496
32,293
0,241
1,00
-15,214
-10,786
1,00
-13,514
-10,834
CS M=70
0,579
42,173
0,063
1,00
-17,610
-10,939
1,00
-27,550
-10,960
CS M=80
0,661
53,347
0,022
1,00
-27,813
-10,960
1,00
-30,030
-10,961
CS M=90
0,744
58,883
0,012
1,00
-30,167
-10,959
1,00
-34,721
-10,957
CS M=100
0,827
65,094
0,005
1,00
-31,920
-10,958
1,00
-35,833
-10,962
RDA
Amplitude [dB]
0
-5
-10
-15
-20
-10
0
0
CS M=70
0
CS M=80
0
-10
-10
-10
-10
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-30
-40
-40
-40
-40
-10
10
0
10
-10
Range [m]
Range [m]
Amplitude [dB]
CS M=60
0
10
-10
Range [m]
0
10
-10
Range [m]
0
0
0
0
-10
-10
-10
-10
-10
-20
-20
-20
-20
-15
-30
-30
-30
-30
-20
-40
-40
-40
0
10
Azimuth [m]
-10
0
10
Azimuth [m]
-10
0
10
Azimuth [m]
0
-40
-10
0
10
Azimuth [m]
-10
0
10
Azimuth [m]
Gambar 4. Spektrum dari point spread function pada arah range dan azimuth
- 246 -
10
Range [m]
-5
-10
CS M=90
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Hasil rekonstruksi menggunakan pengolahan SAR berbasis CS dapat ditentukan oleh nilai-nilai PSNR
dan RMSE dari perspektif gambar. Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas citra target titik menggunakan
pengolahan SAR berbasis CS dapat ditingkatkan sejalan dengan bertambahnya jumlah pengukuran. Hal ini
ditandai dengan nilai PSNR yang lebih tinggi dan nilai RMSE yang semakin kecil. Hasil pencitraan
menggunakan RDA memiliki nilai PSNR 23.206 dB dan RMSE 0.203 dB, sedangkan hasil pencitraan
dengan menggunakan SAR berbasis CS dengan M = 60 dan di atas menunjukkan PSNR yang lebih tinggi
dan RMSE yang lebih kecil.
Selain itu, nilai side lobe pada metode CS berkurang secara signifikan dibandingkan dengan algoritma
RD. Jika nilai PSLR pada target titik menggunakan metode RDA adalah -7,014dB di sumbu range dan 11.151 dB di sumbu azimuth, maka dengan menggunakan metoda CS yang diusulkan dengan M = 60
memiliki nilai PSLR -15.214 dB di range dan -13.514 dB di azimuth. Side lobe semakin berkurang dengan
meningkatkan jumlah pengukuran sampling dengan ditandai oleh nilai resolusi 3dB yang semakin tepat
dengan resolusi 1m dan nilai PSLR / ISLR pada azimuth dan range yang terus meningkat (lihat Tabel 1).
5.2 Eksperimen Menggunakan Objek Kapal
Gambar 5 menunjukkan hasil pencitraan dari objek kapal menggunakan kedua algoritma. Gambar kapal
asli diambil dari data Radarsat1 Gambar 5(a). Karena objek kapal memiliki sifat sparsity lebih rendah dari
target titik, maka jumlah pengukuran rendah secara acak dipilih lebih banyak menjadi M=840-1020 sampel
secara simultan di kedua arah azimuth dan range. Dibandingkan dengan metode konvensional RDA, metode
CS yang diusulkan dapat meningkatkan resolusi pencitraan SAR secara signifikan pada jumlah pengukuran
M=900 atau lebih. Hasil penelitian menggunakan metoda CS yang diusulkan menunjukkan bahwa lokasi dan
koefisien hamburbalik dari objek kapal dapat direkonstruksi dengan baik dan menghasilkan sidelobe yang
lebih rendah.
Gambar 4. Hasil pencitraan dari objek kapal menggunakan (a) RDA (b)-(f) metoda CS yang diusulkan dengan
pengukuran 780-1020
- 247 -
Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell. (Arief, R., et al.)
Tabel 2 Parameter hasil rekonstruksi citra SAR dari objek kapal menggunakan RDAdan SAR berbasis CS
Compression RatioM/N[%]
PSNR [dB]
RMSE [dB]
RDA
100%
26,6729
0,0463
CS M=840
CS M=870
CS M=900
CS M=930
6,94
7,19
7,44
7,69
24,1671
24,9882
26,7983
27,3240
0,0620
0,0563
0,0458
0,0430
CS M=960
CS M=990
CS M=1020
7,94
8,18
8,43
31,6616
35,1881
147,3641
0,0261
0,0174
4,27E-08
Hasil simulasi menunjukkan bahwa target kapal dapat direkonstruksi menggunakan metoda CS yang
diusulkan dengan kualitas lebih baik dari pada metoda RDA. Dengan pengukuran rendah secara acak, sistem
pengolahan menggunakan metoda CS yang diusulkan dapat memulihkan objek kapal dengan kulitias yang
sebanding dengan RDA ketika hanya M=900 atau 7,44% data dari data mentah penuh. Tingkat pemulihan
tinggi dapat dicapai bila jumlah pengukuran rendah ditingkatkan.
6. KESIMPULAN
Makalah ini menyajikan metode pengolahan citra SAR terkompres dengan CS. Persamaan data mentah
SAR yang tidak linear diturunkan menggunakan persamaan Maxwell. Menggunakan pendekatan
approximasi Born, data mentah SAR dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan linier. Sehingga, teori CS
dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk merekonstruksi target jarang dengan memecahkan
pemrograman linear dari pengukuran rendah dari yang sirayatkan oleh toeri Nyquist.
Dibandingkan dengan metode konvensional RD, hasil simulasi menunjukkan kinerja metode CS yang
diusulkan dapat menekan side lobe dan meningkatkan kinerja pencitraan SAR secara signifikan. Jumlah data
mentah sinyal SARdapat dikurangi secara drastis. Namun, kualitas citra SAR masih dapat dipertahankan atau
bahkan ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Candes, E.J., dan Romberg, J. (2005). L1-magic : Recovery of Sparse Signals via Convex Programming. Available at:
http://statweb.stanford.edu/ candes/l1magic/.
Candes, E.J., dan Tao, T. (2006). Near-optimal signal recovery from random projections: Universal encoding strategies?
IEEE
Transactions
on
Information
Theory,
52(12):5406–5425.
Available
at:
http://ieeexplore.ieee.org/xpls/abs_all.jsp?arnumber=4016283.
Cheney, M., dan Borden, B. (2009a). Fundamentals of Radar Imaging, Society for Industrial and Applied Mathematics.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=E7M7HQGB0EwC.
Cheney, M., dan Borden, B. (2009b). Problems in synthetic-aperture radar imaging. Inverse Problems, 25(12),
p.123005. Available at: http://stacks.iop.org/0266-5611/25/i=12/a=123005.
Cumming, G., dan Wong, F.H. (2005). Digital Processing of Synthetic Aperture Radar Data., Norwood, MA: Artech
House.
Curlander, J.C., dan McDonough, R.N. (1991). Synthetic Aperture Radar: Systems and Signal Processing., New York,
John Wiley & Sons.
Donoho, D.L., dan Stodden, Y.T.V. (2010). SparseLab, http://sparselab.stanford.edu/. Available at: http://sparselab
.stanford.edu/.
Donoho, D.L. (2006). Compressed sensing. IEEE Transactions on Information Theory, 52(4):1289–1306.
Franceschetti, G., dan Lanari, R. (1999). Synthetic Aperture Radar Processing, Taylor & Francis. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=3EroVZeuzZwC.
Friedlander, F.G., dan Joshi, M.S. (1998). Introduction to the Theory of Distributions, Cambridge University Press.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=9O-pXIVUEFMC.
Gonzalez, R.C., dan Woods, R.E. (2006). Digital Image Processing (3rd Edition), Upper Saddle River, NJ, USA:
Prentice-Hall, Inc.
Herman, M.A., dan Strohmer, T. (2009). High-Resolution Radar via Compressed Sensing. IEEE Trans. Signal Process,
57(6): 2275–2284.
- 248 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Sun, B. (2014). Compressive sensing imaging for general synthetic aperture radar echo model based on Maxwell’s
equations. EURASIP Journal on Advances in Signal Processing. Available at: http://dx.doi.org/10.1186/16876180-2014-153.
Treves, F. (1975). Basic Linear Partial Differntial Equations, Available at: https://books.google.co.id/books?id=
S6n8tgAACAAJ.
Wei, S.J. (2010). Sparse reconstruction for SAR imaging based on compressed sensing. Progress In Electromagnetics
Research, 109, pp.63–81. Available at: http://www.jpier.org/PIER/pier.php?paper=10080805.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Dr. Ir. Katmoko Ari S, M. Eng
: Pengolahan Citra SAR Terkompres Berbasis Penurunan Persamaan Maxwell
: Rahmat Arief
: 11.02 - 11.25
: Ball Room II
:
Mahdi Kartasasmita (LAPAN)
Bagaimana membangun Matriks Sampling?
Jawaban
Membangun matriks sampling yaitu mengalikan matriks dengan random sampling. Identity matriks dikalikan dengan
sampling menghasilkan matriks itu sendiri.
Ogi Gumelar (LAPAN)
Bagaimana membuktikan persamaan tersebut tidak linear?
Jawaban
Persamaan integral terdapat di dua sisi Karena Ɛsc lebih kecil atau lebih lemah dari Ɛin , sehingga bisa diabaikan
Menjadi persamaan tidak linear.
- 249 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Identifikasi Perbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise
(Speckle) pada citra Radar RGB Pauli Menggunakan Software Polsar Pro
Desi Ariska Putri1,*), dan Rukiyya Sri Rayati Harahap1
1
Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sleman, Yogyakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Informasi yang diperoleh dari Syntetic Aperture Radar (SAR) masih memiliki kelemahan, diantaranya
adanya noise atau speckle pada citra radar yang dapat mengganggu dalam ekstraksi informasi. Hal ini disebabkan
karena objek yang terekam pada citra radar merupakan hasil pulsa balik radar. Intensitas pulsa balik radar baik dari
pesawat udara ini pada dasarnya ditentukan oleh sifat-sifat sebagai berikut, yaitu sifat objek, misalnya ketinggian,
kekasaran objek, sifat dari panjang gelombang radar, sudut depresi, polarisasi dan arah pengamatan antena. Distorsi
pada radar disebabkan oleh kombinasi hamburan dari sejumlah kecil hamburan dalam suatu piksel (polarisasi) . Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk menghilangkan noise (speckle) yang ada pada citra radar dengan bantuan software Polsar
Pro. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra RGB Pauli. Metode yang digunakan yaitu metode Box Filter,
Gaussian, dan J.S.Lee Refined. Disamping itu, Setiap metode juga dibandingkan jumlah window (jendela) filternya.
Hasil dari penelitian ini yaitu pada metode Box Filter (window 7 x 7) hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan jumlah
window 1 x 1; window 5 x 5. Begitu juga halnya dengan metode Gaussian dan J.S Lee Refined. Hasil dari penelitian ini
diantara ketiga metode yang digunakan yang paling bagus adalah Box Filter dengan window 1x1, metode Gaussian
dengan window 5 x 5 dan J.S Refined dengan window 7 x 7. Akan tetapi kelemahannya, proses filtering membutuhkan
waktu yang lama dan prosesnya relatif lambat.
Kata kunci:SAR, Speckle, Polarisasi, Polsar Pro, Filtering
ABSTRACT- Information obtained from Syntetic Aperture Radar (SAR) still has weaknesses, including the noise or
speckles in the image which can disturing extraction of information from radar. This is because the objects are
recorded on a radar image is the result of reverse pulse radar. Intensity radar pulse behind both of aircraft is
essentially determined by the following properties, object properties, such as height, roughness of object, the nature of
radar wavelength, angle of depression, antenna polarization and direction of observation. This result in distortion of
the radar especially because of the combination scattering of scattering in a small number of pixels (polarization). The
purpose of this study is to eliminate noise (speckle) that exist in the radar image with the help of software Polsar Pro.
The data used RGB Pauli Imagery. This study use are Box Filter method, Gaussian method , and J.S. Lee Refined
method. In addition, each method also compared the number of windows (windows) filter. Results of this research is
method of Box Filter (window 7 x 7) results are better than the number of window 1 x 1; window 5 x 5. So is the case
with Gaussian and J.S Lee Refined method. Results from this study among the three methods use the best is Box filter
with 1x1 window, Gaussian method with a window of 5 x 5 and J.S Refined with window 7 x 7. But its weakness, need
the filtering process is too long and relative slow process.
Keywords: SAR, Speckle, Polarization, Polsar Pro, Filtering
1.
PENDAHULUAN
Syntetic Aperture Radar (SAR) merupakan salah satu penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga
elektromagnetik yang berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu singkat (10-6 detik)
(Lillesand et al., 2008), yang menuju ke target dan mengukur kekuatan sinyal yang dipantulkan oleh objek
tersebut dan waktu yang dibutuhkan sinyal balik (backscatter) untuk diterima kembali oleh sensor (Aronof
and Petrie, 2005). Oleh sebab itu istilah sinyal dalam sistem radar bukan pantulan seperti sistem optis
fotografis tetapi adanya hamburan balik (backscatter). SAR memiliki ciri-ciri yaitu memiliki anteran
asli/fisik (bruce force) untuk menghasilkan resolusi yang tinggi. Rentang spektrum panjang gelombang pada
SAR ini dikontrol oleh panjang fisik antena. Sebagai contoh untuk menghasilkan cira dengan rentang 10
mrad dengan panjang gelombang 5 cm, membutuhkan antena sepanjang 5 m. Suatu sistem SAR terdiri atas
pemancar (transmitter), penerima (receiver). Antena dan sistem elektronis untuk memproses dan merekam
data. Bagian pemancar akan mengirimkan pulsa gelombang mikro secara kontiniyu yang terfokus dalam
suatu beam ke permukaan bumi, kemudian antena penerima akan menerima bagian dari energi yang
kemudian dihamburkan balik (backscatter) untuk diproses lebih lanjut. Kelebihan radar ini, karena memiliki
gelombang energi sendiri yaitu dapat beroperasi pada waktu siang ataupun di malam hari. Disamping itu,
- 250 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
radar juga dapat beroperasi di segala kondisi cuaca hal ini disebabkan karena gelombang mikro dapat
menembus awas, asap dan hujan. Berbeda dengan gelombang pasif yang membutuhkan bantuan matahari.
2.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra Radar Pauli RGB, yang belum terkoreksi.
Artinya citra ini masih memiliki noise (speckle). Citra radar ini diolah menggunakan software Palsar Pro.
Metode yang digunakan untuk menghilangkan speckle ini menggunakan metode Box Filter, Gaussian Filter,
C. Lopez Filter, dan J.S.Lee Refined Filter. Secara teknis, untuk menghilangkan speckle menggunakan
software Polsar Pro versi 4.0 yang dapat di download secara gratis di http://www.imagemagick.org/
download/binaries/ImageMagick-6.8.9-0-Q16-x86-static-exe.
Secara teknis pengolahan citra radar ini sebagai berikut;
a) Membuka perangkat lunak Polsar Pro versi 4.0 maka tampilannya akan seperti gambar berikut;
b) Memilih single data set
c) Menentukan directory penyimpanan
d) Input data citra radarsat dalam hal ini data yang digunakan adalah Pauli RGB
e) Memasukkan SAR product file
- 251 -
IdentifikasiPerbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada Citra Radar RGB Pauli Menggunakan
SofwarePolsar Pro (Ariska, D., et al.)
f) Klik open, maka akan muncul ketentuan seperti dibawah ini, dimana V=1 san H= 2
g) Data yang sudah diinput kemudian di extract
- 252 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
h) Setelah diextract menggunakan full resolution, lalu klik tombol display
Maka akan muncul seperti gambar di atas, klik BMP viewer dan open file, buka citra Pauli
RGB asli. Kemudian klik open, maka akan citra Pauli RGB tersebut akan muncul, kemudian klik
processess pada toolbar, dan klik polarimetric filter, maka akan banyak metode-metode untuk
memfilter noise (speckle).
- 253 -
IdentifikasiPerbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada Citra Radar RGB Pauli Menggunakan
SofwarePolsar Pro (Ariska, D., et al.)
i)
3.
Kemudian klik create RGB untuk menyimpan hasil pemfilteran, dengan menggunakan parameter
Pauli RGB.
HASIL PEMBAHASAN
Speckle merupakan salah satu noise yang terjadi pada citra radar, ditandai dengan munculnya bintikbintik yang berwarna keabuan. Munculnya bintik-bintik tersebut disebabkan adanya kombinasi hamburan
dari sebagian kecil hamburan dalam suatu piksel. Gangguan speckle yang membentuk pola seperti butiran
garam dan merica (salt and pepper). Pada sensor dengan resolusi yang lebih tinggi, maka tidak akan
menghasilkan speckle. Adanya speckle merupakan akibat dari interferensi konstruksi dan destruktif antar
siyal hamburan balik dari berbagai objek (penghamburan balik) secara acak dalam suatu area (resolution
cell) tertentu yang disinarinya. Hal ini dapat direduksi dengan memisahkan porsi aperture dan
mengkombinasi kembali porsi tersebut sehingga interferensi tidak terjadi, dimana proses ini sering disebut
penglihatan banyak (multiple looks) atau intergrasi non korelasi (Jensen, 2007)
Terdapatnya speckle dalam jumlah banyak pada citra radar, akan berakibat pada tampilan yang tidak
jelas. Prinsip pada proses pemfilteran citra menurut Danoedoro (2012) menekankan frekuensi tinggi pada
citra atau memperhalus citra, serta menekankan frekuensi rendah, meliputi memperjelas atau mendeteksi tepi
pada citra. Pemfilteran suatu citra untuk menghilangkan gangguan speckle dapat memperhatikan nilai piksel
yang bertetanggaan.Menurut Champbell (2011), gangguan speckle dapat dikurangi dengan proses multilook
atau komputasi dengan menerapkan filter adaptif maupun non adaptif. Filter non adaptif memerlukan sedikit
proses komputasi, sedangkan pada filter adaptif dengan menyesuaikan karakteristik lokal permukaan
sehingga batas dan tepi permukaan secara alami masih terlihat. Gangguan speckle ini pada citra radar dapat
dihilangkan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu Box Filter, Gaussian Filter,C. Lopez Filter, dan
J.S. Lee Refined Filter.
Gambar 1. Citra Asli
- 254 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Citra dengan metode Box Filter menggunakan parameter pauli. Jumlah window yang digunakan yaitu 1,
5, dan 7. Hasil dari window 7 lebih bagus, dibanding window 1 dan window 5. Hal ini karena ukuran window
yang digunakan pada citra sebesar 7 x 7 untuk menfilter specklenya pada suatu citra,akan tetapi proses yang
terjadi pada window ini sangat lama. Sehingga dapat disimpulkan dari nilai ukuraan window semakin tinggi
maka proses pemfilteran semakin lama, namun hasil dari pemfilteran speckle semakin baik. Sementara pada
tampilan citra tampak terlihat kontras perbedaannya dalam menyeleksi specklenya. Pada window 1 speckle
masih hampir sama dengan citra aslinya, dan pada window 5 semakin berkurang hingga window 7 semakin
lebih bagus.
Window 1
Window 5
Window 7
Gambar 2. Hasil dari metode Box Filter
Citra dengan metode Gaussian Filter pada dasarnya juga menggunakan window 1, 5, dan 7. Perbedaan
secara visual dapat tampak pada kehalusan tekstur. Tampilan yang tampak pada citra dengan window 1
secara seluruh menghasilkan warna hitam, dimana speckle tidak terfilter. Tidak terfilternya speckle
mengakibatkan ambiguitas informasi dalam citra, sehingga tidak ada informasi apapun yang ditampilkan.
Hal ini disebabkan window yang digunakan terlalu kecil, maka window yang terlalu kecil tidak dapat difilter
oleh metode gaussian ini. Sebaliknya,pada window 5 dan 7, dapat memfilter speckle. Speckle yang tampak
pada window 5 lebih banyak, dibandingkan specklepada window 7. Hal ini disimpulkan bahwa semakin
tinggi nilai ukuran window, maka semakin halus atau muncul kesan blur dengan pemrosesannya yang
semakin sulit.
Window 5
Window 7
Gambar 3. Hasil dari metode Gaussian
Citra dengan metode C. Lopez Filter mengadaptasi dari jumlah filtering terhadap statistik objek lokal.
Area yang homogen akan mengalami filtering yang maksimum, dimana mengakibatkan noda titik sering
tidak dapat terfiltrasi. Filter ini dapat digunakan untuk struktur dan kelurusan. Seperti percobaan metode
sebelumnya, metode ini memanipulasi ukuran jendelanya. Berdasarkan pengamatan terdapat perbedaan dari
- 255 -
IdentifikasiPerbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan Noise (Speckle) pada Citra Radar RGB Pauli Menggunakan
SofwarePolsar Pro (Ariska, D., et al.)
setiap window pada tingkat kekontrasan dan ukuran citra. Semakin besar ukuran jedela, maka tingkat
kekontrasan semakin besar.
Window 1
Window 5
Window 7
Gambar 4. Hasil dari metode C. Lopez Filter
Citra dengan metode J.S. Lee Refined Filter pengggunaan window sama seperti acara sebelumnya. Akan
tetapi pada window 1 menampilkan non informasi dengan penampakan citra berwarna hitam. Sementara
window 5 dan window7 specklenya mulai tidak kelihatan pada window ke 7. Diantara sekian metode yang
telah dilakukan, metode inilah yang dirasa paling bagus atau sesuai dalam menghilangkan gangguan speckle
khususnya pada window 5 dan window 7. Dari hasil speckle yang ditampilkan yang tampak terlihat pada
metode ini, dimana specklenya tampak lebih sedikit dibandingkan dengan metode-metode yang lainnya.
Window 7
Window 5
Gambar 5. Hasil dari metode J.S. Lee Refined Filter
Semua metode filter menggunakan window 1, window5, dan window7 parameter pauli, sehingga antar
metode dapat dibandingkan. Metode yang paling bagus diantara ke empat metode ini pada window1 yaitu
pada metode Box Filter. Sedangkan pada window 5 dan window 7 hasil yang paling bagus untuk speckle
pada metode J.S.Lee Refined Filter. Hal ini dapat disimpulkan secara visual, maka secara keseluruhan yang
paling bagus adalah metode J.S. Lee Refined Filter.
4.
KESIMPULAN
Pada uji coba yang dilakukan dapat disimpulkan penggunaan data citra Radar RGB Pauli dengan
menggunakan metode filtering, yaitu Box Filter, Gaussian Filter, C. Lopez Filter, dan J.S. Lee Refined Filter
mampu untuk menghilangkan noise (speckle) dengan membandingkan masing-masing metode pada window
1, 5, dan 7. Window 1 sangat bagus menggunakan metode Box Filtering, sementara pada window 5 dan
- 256 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
window 7 sangat bagus menggunakan metode J.S. Lee Refined Filter. Dari hasil perbandingan empat metode
tersebut, secara keseluruhan metode J.S. Lee Refined Filter memiliki hasil yang bagus, dimana tidak
menunjukkan bintik-bintik berwarna keabuan yang berarti dapat mengurangi noise (speckle). Dari
perbandingan keempat metode yang digunakan ini reduksi noise berguna untuk penerapan aplikasi data radar
yang digunakan dengan sedikit speckel yang ada pada radar.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen-dosen penampu mata kuliah Penginderaan Jauh Sistem
Non Fotografi di Fakultas Geografi UGM atas bantuan teknisnya dalam mempersiapkan terhadap penelitian
ini. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan dukungan finansial dan
dukungan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Aronoff, S. (2005). Remote Sensing for GIS Managers, 1st ed.. California, Amerika Serikat : ESRI Press.
Campbell, J.B., dan Wynne, R.H. (2011). Introduction to Remote Sensing, 5th ed. New Yow : The Guilford Press.
Chuvieco, E., dan Huete, A. (2010). Fundamentals of Satellite Remote Sensing. Florida, Amerika Serikat : CRC Press.
Danoedoro, P. (2012). Pengolahan Penginderaan Jauh Digital. Fakultas Geografi UGM : Yogyakarta..
Jensen, dan John, R. (2007). Remote Sensing of The Environment : An Earth Resource Perspective, 2nd ed. New Jersey,
Amerika Serikat : Pearson Prentice Hall.
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W. (2008). Remote Sensing and Image Interpretasion, 6thed. New Jersey,
Amerika Serikat : John Wiley & Sons, Inc.
LoC (1986). Applied Remote Sensing. Essex, UK : Longman, Inc.
Sabins, F.F. (2007). Remote Sensing : Principles and Interpretation, 3rd ed. Illinois, Amerika Serikat : Waveland Press,
Inc.
Sutanto (1987). Penginderaan Jauh, Jilid 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tempfli, K., Kerle, K., Huurneman, G.C., dan Jenssen, L.L. (2009). Principles of Remote Sensing : An Introductory
Texbook, 4th ed. Enschede, Belanda : The International Institute for Geo-Information Scieence and Earth
Observation (ITC).
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Dr. Ir. Katmoko Ari S, M. Eng
: Identifikasi Perbandingan Metode Filtering untuk Menghilangkan
Noise (Speckle) Pada Citra Radar
: Desi Ariska Putri
: 11.26 - 11.42
: Ball Room II
:
Mahdi Kartasasmita (LAPAN)
Apakah Software ini memiliki fasilitas untuk mengukur secara kuantitatif ?
Jawaban
Belum ada tools yang memberikan informasi dari software untuk menghitung secara kuantitatif perbandingan nilai
piksel radar dengan metode filter tersebut.
Risti (IPB)
Mengapa window 1 menggunakan metode Box Filtering?
Jawaban
Karena window 1 ukuran 1x1 menunjukan informasi speckle. Box Filtering menunjukan visualisasi kualitas speckle
dibandingkan metode lainnya.
- 257 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi
Tunggal (HH) ALOS PALSAR
Samsul Arifin1,*)
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN
Email: [email protected]
ABSTRAK : Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki ribuan pulau dan garis pantai terpanjang no.4 di dunia.
Penelitian tentang garis pantai telah banyak dilakukan tetapi hasil yang didapat beragam, tergantung pada tujuan dan
metode yang digunakan. Penggunaan metode dan data penginderaan jauh satelit optik sering mengalami kendala dengan
adanya awan, yang berakibat hasil analisis kurang sempurna. Data ALOS PALSAR merupakan data SAR dapat
digunakan sebagai solusi dalam penentuan garis pantai, baik dari segi teknologi maupun dari segi kondisi alam. Data
yang digunakan untuk simulasi adalah data polarisasi tunggal (HH) ALOS PALSAR Pulau Nias Sumatera Utara,
Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mementukan garis pantai menggunakan data ALOS PALSAR polarisasi
HH. Metode ekstraksi yang digunakan adalah pemisahan peraian laut (L) dengan daratan (D) berdasarkan perbedaan
nilai digital (DN). (DN)max sampel merupakan DN batas ambang antara perairan laut dan daratan. Jika DN < (DN)max
adalah perairan laut (L), dan jika DN > (DN)max adalah daratan (D). Formula logika yang digunakan adalah If DN
INPUT > (DN)max then (D) else (L). Simulasi ini dilakukan pada citra asli dan beberapa citra terfilter Lee, Forst,
Sigma, Wight, Avarage dan Median. Hasil dari simulasi model pembuatan garis pantai diperoleh bahwa filter Avarage
dan Median secara kualitatif merupakan filter yang paling optimal dibandingkan dengan filter Lee, Forst, Sigma dan
Wight.
Kata Kunci: ALOS PALSAR, Garis Pantai, Polarisasi HH
ABSTRACT : As an Archipelago, Indonesia has a thousand islands and about 95 181 km coastline which is the fourth
longest coastline in the world. So many researches about coastline have been done, but the results are variously
depends on the methods and the objects are used. The use of method and optical satellite remote sensing data often has
difficulty with the clouds, which the analysis result is less than perfectly. ALOS PALSAR data is a SAR data can be
used as a solution in the determination of coastline in term of technology and natural environment. The data used for
simulation is a single polarization data HH ALOS PALSAR of Nias island of North Sumatera, Indonesia. The purpose
of this study was to determine the shoreline using ALOS PALSAR HH polarization data. The extraction method used is
the separation between the Sea (L) with Land (D) based on the differences digital number (DN). DN)max sample is the
threshold between the Sea (L) and Land (D). If DN < (DN)max is sea water and if DN > (DN)max is land. The Logical
formula used is If DN INPUT > (DN)max then (D) else (L). this simulation is implemented to original image, and also
several image such as filtered image by Lee, Forst, Sigma, Wight, Average and Median filtering. The result of making
coastline simulation model show us that, average and Median filtering qualitatively give more optimum than Lee,
Forst, Sigma and Wight.
Keywords: ALOS PALSAR, Coastline, HH Polarization
1.
PENDAHULUAN
Panjang garis pantai 95.181 km menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai
terpanjang keempat setelah Kanada, Amerika, dan Rusia. Garis pantai tersebut merupakan kontribusi yang
diberikan oleh banyaknya pulau kecil maupun besar yang menaburi 5,8 juta Km2 laut Indonesia, meliputi
perairan kepulauan atau laut Nusantara dengan luas 2,3 Juta Km2, perairan teritorial dengan luas 0,8 juta
Km2 dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,7 juta Km2. Sebagai negara Kepulauan, Indonesia
masih dihadapi dengan sejumlah persoalan dengan ketidakpastian batasan dan panjang garis pantai.
Permasalahan tersebut sangat penting untuk dipecahkan untuk mendapatkan pengakuan dari PBB.
Dari sisi jumlah pulau, sampai saat ini diinformasikan masih sering bervariasi. Dishidros-TNI AL
menginformasikan bahwa jumlah pulau kurang lebih 17.508 buah. Pihak lain mengatakan bahwa jumlah
pulau hanya 17.000 pulau dan bahkan ada yang mengatakan tidak lebih dari 5.000. Menristek berdasarkan
data dari pemotretan dengan menggunakan teknologi canggih menginformasikan bahwa jumlah pulau
sebanyak 18.110 buah (Suara Pembaharuan, 2003). Lapan menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia
sebanyak 18.108 buah ( Kompas, 2003). Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa jumlah pulau
-258-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
diseluruh Indonesia sebanyak 7.353 pulau telah memiliki nama dan 10.155 pulau belum bernama.
Departemen Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2001 telah melakukan inventarisasi jumlah pulau dan
pulau-pulau yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Perbedaan dan bervariasinya jumlah pulau dan
panjang garis pantai yang diinformasikan oleh berbagai instansi tergantung batasan yang digunakan dan
tujuan perhitungannya. Sampai saat ini kewenangan dalam penentuan jumlah pulau dan panjang garis pantai
yang dimiliki Indonesia belum jelas sehingga menimbulkan adanya informasi yang saling bertentangan
(Winarso, 2009).
Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk
menentukan garis pantai tanpa mengukur secara kontak langsung (Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer, 1990).
Penentuan garis pantai berbasis teknologi penginderaan jauh lebih efektif dan efisien baik dari segi biaya
maupun waktu. Pemanfaatan data penginderaan jauh sistem optik sudah banyak digunakan untuk
menyelesaikan masalah garis pantai dan pulau-pulau kecil, akan tetapi masih memiliki kendala bila data
tertutup awan sehingga informasi yang dihasilkan kurang maksimal.
Data SAR merupakan teknologi penginderaan jauh yang dapat menetralisir adanya wilayah yang tertutup
awan dan bahkan dapat dimanfaatkan pada kondisi apapun (Sitanggang, 2010; Osawa, 2005; Anonim, 2012).
PALSAR ALOS merupakan salah satelit SAR buatan Jepang yang dapat dioptimalkan datanya untuk
kepentingan informasi di Indonesia (Nasda 2004; 2005; Rosenqvist, 2004; Osawa, 2005; Clark, 2014; Fukuda et al,
2001; Kamimura et al, 2008), karena Jepang dan Indonesia telah menjalin kerja sama dalam bidang teknologi
dan pemanfaatan penginderaan jauh buatan Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat suatu
simulasi model yang dapat menentukan garis pantai menggunakan data Polarisasi Tunggal HH PALSAR
ALOS agar data PALSAR ALOS yang tersedia digunakan secara optimal.
2.
METODE
2.1 Data
Data yang digunakan data Polarisasi HH ALOS Palsar. Data ini terdiri dari data dual polarisasi yaitu
polarisasi HH dan HV yang diakuisisi pada tahun 2010 dengan Digital Number (DN) dalam format data 16
bit unsigned dengan liputan area pulau Nias Sumatera Utara. Sumber data dari LAPAN.
Gambar 1. Lokasi Simulasi Data P. Nias, Sumatera, Indonesia
(Sumber Gambar : Google Earth)
Gambar 2. Data ALOS Palsar Polarisasi HH, P. Nias (Sumber Data: Lapan-JAXA)
-259-
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR (Arifin, S.)
2.2 Metode
2.2.1
Penentuan Digital Number (DN) Data
Penentuan DN digunakan cara proses statistik terhadap data. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
informasi DN atau backscatter dari sebuah data. Perhitungan statistik yang digunakan antara lain : nilai
minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata (Mean), nilai tengah (median) dan standard deviasi.
2.2.2
Filtering Data
Filtering data digunakan untuk meminimalkan atau mengihilangkan noise/noda DN atau backscatter yang
ada pada data citra SAR. Filter yang digunakan filter khusus untuk proses pengolahan data SAR antara lain
adalah metode Filter Lee, Filter Ford, Filter Avarege, Filter Sigma, dan Filter Median dengan jendela
(windows) masing-masing filter 5x5 (Richard, 1986).
2.2.3
Pemisahan Perairan Laut dan Daratan
Untuk memisahkan perairan laut dan daratan dengan membuat beberapa polygon training sample pada
perairan laut. Didasarkan pada DN maksimum hasil perhitungan statistik polygon training merupakan batas
ambang wilayah perairan laut dan wilayah daratan. Jadi jika DN > DN maksimum adalah daratan dan jika
DN < DN maksimum adalah perairan laut. Pemisahan ini dapat diformulakan dengan algoritma sebagai
berikut :
DN INPUT < DNmax adalah perairan laut (L)
(1)
DN INPUT > DNmax adalah daratan (D)
(2)
If DN INPUT > DNmax then daratan (D) else perairan laut (L)
(3)
2.2.4
Konversi Raster ke Vektor
Hasil pemisahan perairan laut dan daratan merupakan hasil klasifikasi perairan laut dan daratan berupa
raster. Selanjutnya raster tersebut dikonversi menjadi data vector dengan menggunakan aplikasi pengolahan
data penginderaan jauh dan aplikasi GIS.
3.
HASIL PEMBAHASAN
3.1 Profil Data Citra
Data yang digunakan berupa data Polarisasi Tunggal Horinsontal–HH (Single Polarisation) ALOS
PALSAR yang diperoleh dari LAPAN tahun 2010 dengan wilayah penelitian simulasi P.Nias (Gambar 2) .
Data ALOS PALSAR berformat 16 bit dimana nilai DN berkisar dari 358 sampai 22.729. Untuk keperluan
penelitian simulasi ini DN tidak perlu dikonversi menjadi nilai backstcatter, karena hanya untuk kebutuhan
memisahkan perairan laut dan daratan. Gambar 3 menunjukkan profil data antara air yang ada pada periran
laut dan beberapa objek yang ada pada daratan.
air
dara
t
Gambar 3. Profil Data antara Perariran Laut dan Daratan
-260-
air
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
3.2 Perhitungan Statistik DN
Berdasarkan profil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan DN perairan laut dan DN daratan yang sangat
signifikan. Sementara di dalam perairan laut sendiri juga terdapat perbedaan DN, sehingga DN perairan laut
yang digunakan sebagai batas ambang antara DN perairan laut dan DN daratan sangat sulit ditentukan.
Untuk mengetahui kuantitif nilai batas ambang DN perairan laut dengan DN daratan membuat beberapa
polygon pada area perairan laut. Hasil perhitungan secara statistik pada polygon perairan laut dapat di lihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Statistik DN Data Asli Polarisasi HH PALSAR ALOS
Laut 1
Laut 2
Laut 3
Laut 4
Laut 5
Laut 6
Seluruh
Data
Minimum
366
458
365
842
408
422
358
Maximum
2.351
2.748
3.087
2.032
1.725
1.877
22.729
Dari 6 poligon yang diambil sebagai contoh, maka nilai minimum DN untuk perairan laut 365 dan DN
maksimum 3087 terdapat pada data statistik polygon laut 3, sementara untuk keseluruhan data terdiri dari
nilai minimum DN 358 dan nilai maksimum DN 22.729. Berdasarkan analisis statistik bahwa DN ambang
batas antara perairan laut dan daratan adalah 3087. Hal ini menunjukkan bahwa DN di bawah 3087
merupakan perairan laut dan DN di atas 3087 merupakan daratan.
Dengan menggunakan formula atau algoritma (if DN > 3087 then DN else 0 (nol)) pada aplikasi
software yang penulis digunakan. DN di atas 3087 menunjukkan daratan dan 0 (nol) menunjukkan perairan
laut. Hasil proses / pengolahan dengan menggunakan formula algoritma pada persamaan 3 tersebut di atas
maka dihasilkan data citra PALSAR beserta profilnya dapat di lihat pada gambar 4.
air
darat
air
Gambar 4. Profil data perairan laut dan daratan setelah di proses
3.3 Proses Filter
Hasil DN minimum dan maksimum dari citra yang terfilter dari berbagai filter dapat dilihat pada tabel 2.
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masing-masing citra yang telah terfilter dengan filter Lee, Forst,
Avarage, Wight, Sigma dan Median memiliki nilai DN minimum dan maksimum berbeda. DN maksimum
terkecil terdapat pada filter Average yaitu 2077 dan DN maksimum terbesar terdapat pada filter Sigma. DN
maksimum filter Sigma sama dengan DN maksimum data Asli.
Minimum
Maximum
Filter
Lee
388
2417
Tabel 2 . DN minimum dan Maximum Setelah di Filter
Filter Forst Filter Average
Filter
Filter
Wight
Sigma
402
379
388
365
2333
2077
2454
3087
-261-
Filter Median
402
2159
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR (Arifin, S.)
3.4 Pemisahan Perairan Laut dan Daratan
Data citra yang telah difilter dari berbagai filter, data citra dapat dipisahkan antara perairan laut dengan
daratan dengan menggunakan formula / algoritma persamaan 3 dengan menggunakan DN maksimum
masing-masing citra terfilter. Hasil citra pemisahan antara perairan laut dan daratan dapat di lihat pada
gambar 5 data tersebut. Formula / Algoritma untuk masing-masing citra terfilter antara lain dapat dilihat
dalam tabel 3 dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7
Citra
Asli (Original)
Filter Lee
Filter Forst
Filter Wight
Filter Sigma
Filter Avarage
Filter Median
Tabel 3. Formula / Algoritma
Formula
if DN INPUT>3087 then 1 else 0
if DN INPUT>2417 then 1 else 0
if DN INPUT>2333 then 1 else 0
if DN INPUT>2454 then 1 else 0
if DN INPUT>3087 then 1 else 0
if DN INPUT>2077 then 1 else 0
if DN INPUT>2159 then 1 else 0
Gambar 5. Pemisahan Perairan Laut dan Daratan Pada Data Asli (Original)
Pada dasarnya data polarisasi tunggal HH PALSAR ALOS asli maupun terfilter dapat digunakan untuk
menentukan batas garis pantai. Dari penampilan secara kualitatif beberapa citra setelah terfilter dan setelah
dipisahkan antara perairan laut dan daratan terlihat pada gambar 6. Citra terfilter yang paling bersih dari
bercak hitam terdapat pada citra terfilter Average dan Median. Sedangkan citra terfilter yang bercak / kotor
terbanyak terdapat pada citra data Asli dan terfilter Sigma. Hal ini menunjukkan bahwa citra setelah terfilter
Avarege dan Median, DN di bawah DN maksimum yang berada di daratan tinggal sedikit /diminimumkan.
3.5 Konversi Raster ke Vektor
Konversi Raster ke Vektor dilakukan untuk mengubah dari data raster hasil citra pemisahan perairan laut
dan daratan baik pada citra asli maupun citra terfilter. Hasil konversi raster menjadi vector tampak seperti
pada Gambar 7 dan 8
-262-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Filter Lee
Filter
Sigma
Filter Fort
Filter Average
Filter Sigma
Filter
Median
Gambar 6. Pemisahan Peraian Laut dan Daratan dari Berbagai Citra Filtering
Gambar 7. Konversi Data Raster ke Vektor Data Asli (Original)
-263-
Simulasi Model Penentuan Garis Pantai Menggunakan Data Polarisasi Tunggal (HH) ALOS PALSAR (Arifin, S.)
Filter Lee
Filter Sigma
Filter Sigma
Filter Fort
Filter Average
Filter Median
Gambar 8 . Konversi Data Raster ke Vektor Data Terfilter
Hasil overlay antara vector dengan data asli polarisasi HH PALSAR ALOS sangat baik. Selanjutnya
sebagai saran jika koreksi goemetrik dari data memiliki tingkat ketelitian tinggi dapat dioverlay dengan data
yang dimiliki oleh Google Earth sebagai uji tingkat akurasi.
Gambar 9. Overlay Vektor dengan Data Asli (Original)
-264-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
4.
KESIMPULAN
Penentuan nilai DN maksimum perairan laut pada data polarisasi tunggal HH dapat ditentukan dengan
menghitung DN pada polygon contoh untuk perairan laut. DN maksimum perairan laut baik pada citra asli,
maupun citra terfilter digunakan sebagai batas ambang antara perairan laut dan daratan. Formula / algoritma
penentuan pemisahan perairan laut dan daratan adalah if DN maksimum > Input then 1 else 0 (nol). Simulasi
Model teroptimal yaitu data terfilter Avarage dan Median untuk menentukan garis pantai menggunakan data
polarisasi tunggal HH PALSAR ALOS. Sebagai saran tindak lanjut bahwa model ini dapat dicoba untuk
digunakan pada data polarisasi tunggal lainnya seperti polarisasi HV, VV, dan VH, sehingga data ALOS
PALSAR yang tersedia dapat dioptimalkan.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya ucapkan pada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian dan tulisan ini
dapat diterbitkan dalam publikasi prosiding dipresantikan dan dipublikan pada Sinasinderaja 2015,
khususnya pihak Kediputian Inderaja - LAPAN yang telah menyediakan dan memberikan data ALOS
PALSAR untuk dipergunakan sebagai bahan penelitian.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2012). PALSAR User’s Guide, 2nd Edition, Japan Space Systems
Clark, S. (2014). Japanese craft launched with night-vision mapping radar http://www.space flightnow.com
Fukuda, T. (2001). JAXA’s satellite program to contribute sustainable development in Asia”, Second International
Conference On Sustainability Science In Asia (Icss-Asia), Hanoi.
Jaxa (2005). ALOS Data Aplication ta Landslide and Earthquake, Earth Obsevation Research an Application Center,
Japan
Kamimura, H. (2008). Promotion Activities Of Alos Data Utilization In Jaxa, The International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B6a. Beijing
Lillesand, T.M., dan Kiefer, R.W. (1990). Remote Sensing and Image Interpretation, Gajah Mada University Press,
Yogjakarta.
Nasda (2004). Advanced Land Observationing Salellite and Program, Japan
Nasda (2005). Application ALOS, Japan
Osawa (2005). Characteristic sof the ALOS for Applications in Disaster Management, Asean WS on Satellite
Technology Data Utilization for Disaster Monitoring, Jaxa/ALOS Japan.
Oki, dan Riko (2012). JAXA’s Current and Future Remote Sensing, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).
Richard, J.A. (1986). Remote Sensing Digital Image Analysis, S-Verlag, Berlin,Germany.
Rosenqvist, Ake (2004). ALOS PALSAR:Technical outline and mission concepts, 4th International Symposium on
Retrieval of Bio- and Geophysical Parameters from SAR Data for Land ApplicationsInnsbruck, Austria.
Sitanggang, G. (2010). Sistem Penginderaan Jauh ALOS dan Analisis Pemanfaatan Data, Jurnal Penginderaan
Jauh,Lapan, Jakarta
Winarso, G. (2009). Kajian Penggunaan Data Inderaja untuk Pemetaan Garis Pantai Studi Kasus Pantai Utara Jakarta,
Jurnal Penginderan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, Jakarta ISSN 1412-8098 Vol. 6.
-265-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Aplikasi Data Satelit TerraSAR-X Untuk Mendeteksi Hutan Mangrove
Studi Kasus : Kabupaten Cilacap
Nanin Anggraini1,*) dan Muchlisin Arief1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN
*)
Email: [email protected]
ABSTRAK - TerraSAR-X merupakan merupakan satelit radar yang dapat beroperasi pada 3 mode yang berbeda dan
polarisasi yaitu: High Resolution SpotLight Mode, SpotLight Mode (SL), StripMap Mode (SM), dan ScanSAR Mode (SC)
yang memberikan citra SAR resolusi tinggi . Walaupun dalam interpretasi citra radar masih banyak kendala, karena citra
radar memberikan informasi kekasaran objek dan juga mempunyai mono polarisasi. akan tetapi pada dekade akhir ini,
sudah mulai digunakan karena citra SAR tidak terganggu oleh tutupan awan. Pada makalah ini dijelaskan tentang
pendeteksian mangrove diawali dengan pengamatan nilai backscatter dari masing-masing objek penutup lahan untuk
menentukan jenis filtering yang harus digunakan, kemudian hasil proses filtering dilakukan segmentasi. Sebagai akhir
proses dilakukan dencity slicing untuk penampilan hasil akhirnya. Hasil dari proses segmentasi secara digital menggunakan
citra radar mono-polarisasi untuk memisahkan mangrove dari vegetasi lainnya masih banyak kendala, karena nilai
backscatter antara mangrove dengan vegetasi lainnya banyak yang sama. yang artinya mangrove dan non mangrove dapat
secara visual dengan menganlisis kekasarannya. Penelitian ini bisa dilanjutkan dengan menggunakan multi polarisasi,
karena multi polarisasi dapat menaikkan akurasi pendeteksian.
Kata Kunci : Terra SAR-X, filtering, High Resolution, Mangrove, Mono-Polarisation, segmentasi, Synthetic Aperture
Radar.
ABSTRACT - Terra SAR-X is a radar satellites that can operate in three different modes and polarization, namely: High
Resolution Spotlight Mode, Spotlight Mode (SL), StripMap Mode (SM), and ScanSAR Mode (SC) which gives a SAR image
high resolution. Although the radar image interpretation are still many obstacles, because the radar images provide
information about the object roughness and also having mono polarization. but at the end of this decade, has begun to be
used, because SAR image is not disturbed by cloud cover. In this paper explained about mangrove detection begins with
the observation backscatter value of each object to determine land cover types of filtering that must be used. then the
results of the filtering process is performed segmentation. As the end of the process is done dencity slicing to the
appearance of the end result. Results of the segmentation process digitally using a mono-polarization radar imagery to
separate the mangrove vegetation are still many obstacles, because of the value of mangrove vegetation backscatter among
other much the same. which means mangrove and non-mangrove can visually with menganlisis roughness. This research
can be continued by using multi-polarization, because multi polarization can raise the detection accuracy.
Key Words: Terra SAR-X, filtering, High Resolution, Mangrove, Mono-Polarisation, segmentation, Synthetic Aperture
Radar
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan, yang dengan sendirinya mempunyai banyak wilayah atau lokasilokasi yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Wilayah tersebut biasanya tumbuh hutan mangrove yang
merupakan salah satu sumber daya wilayah pesisir dan laut. Kawasan hutan mangrove umumnya terdapat di
seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan
pengaruh pasang surut yang menggenangi pada aliran sungai.
Kawasan tersebut berfungsi baik sebagai tempat pemijahan ikan-ikan diperairan, pelindung daratan dari
abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan
logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta
manfaat langsung lainnya bagi manusia. Komposisi mangrove di Indonesia bervariasi dari satu pulau ke pulau
lain. Selain flora, fauna mangrove juga terdiri dari Gastropoda terdapat 50 spesies, Bivalvia terdapat 6 spesies
dan Crustacea terdapat 34 spesies (Kusmana, 2012). Selain fauna menetap, ada sejumlah spesies yang
menggunakan ekosistem mangrove hanya sebagai habitat sementara, apakah itu untuk pemijahan, pembibitan,
atau tempat tinggal, misalnya banyak spesies udang telah terbukti tergantung pada ekosistem mangrove
(Macnae,1974).
Penginderaan jauh satelit merupakan alat yang relatif murah dan mudah diperoleh untuk memantau wilayah
yang sulit dijangkau. Citra satelit SAR (Syintetic Aperture Radar) mempunyai keuntungan dibandingkan dengan
citra satelit optik antara lain dapat menembus awan dan tidak tergantung pada pencahayaan sinar matahari, dan
- 267 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
saat ini citra SAR sudah mempunyai resolusi temporal maupun resolusi spasial yang lebih baik, sehingga dapat
digunakan untuk mengembangkan metode guna memantau sumber daya hutan (Holopainen et al., 2010). Citra
penginderaan jauh juga sumber yang menarik untuk mengekstraksi informasi tutupan lahan, di mana dengan
menggunakan algoritma tertentu pada citra maka akan diperoleh klasifikasi berbagai jenis tutupan lahan
(Debojit et al., 2011).
Beberapa penelitian yang telah menggunakan citra SAR antara lain: Rauste et al., (2007) yang telah
melakukan estimasi volume vegetasi menggunakan citra resolusi tinggi citra radar ALOS (Advanced Land
Observing Satellite) dan hasilnya menunjukkan bahwa citra ALOS mempunyai ketelitian relatif lebih baik jika
dibandingkannya dengan data radar dari satelit JERS-1(JepangEarthResourcesSatellite-1). Rauste et al.,
(2008), telah melakukan pemetaan biomassa di kawasan hutan boreal, Finlandia menggunakan data ALOS dan
TerraSAR-X, hasilnya menunjukkan bahwa untuk estimasi biomassa dengan data ALOS polarisasi HH-VV
lebih baik dari data yang TerraSAR-X. Perko et al., (2011) telah melakukan penelitian klasifikasi citra untuk
daerah hutan didasarkan informasi backscatter Terrasar X-band. Penelitian tersebut menggunakan model tinggi
kanopi dan informasi koherensi interferometric. Hasilnya menunjukkan bahwa akurasi klasifikasi mencapai
90%, dan resolusi tinggi sensor X-band memberikan citra yang dapat digunakan untuk penilaian hutan otomatis
dalam skala besar. Pemisahan mangrove dan non mangrove dilakukan dengan melakukan proses
thresholding/segmentasi nilai reflektansi mangrove dari citra AVNIR-2 di daerah Pulau Lancang. Hasilnya
menunjukkan hampir 80% nilai reflektansi citra AVNIR-2 mendekati nilai reflektansi yang diperoleh dari
pengamatan (Arief, 2013).
Penelitian ini mengkaji aplikasi data TerraSAR-X untuk mendeteksi atau membedakan hutan mangrove dan
non mangrove yang didasarkan pada nilai backscatternya. Nilai backscatter mangrove diperoleh dari
pengamatan pada citra. Lokasi penelitian adalah di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
Data yang digunakan adalah citra TerraSar-Xmono/single polarisasi HH (Horizontal Horizontal) yang direkam
pada tanggal 14 Januari 2012, yang didukung dengan informasi lapangan yang dilakukan pada tanggal 11
sampai dengan 18 Agustus 2015.
1.1 Satelit TerraSAR-X
TerraSAR-x merupakan satelit radar Jerman yang diluncurkan pada pertengahan tahun 2007 yang bekerja
pada frekwensi tinggi X-band (9,65 GHz). Misi satelit ini adalah (Suess et al., 2002): untuk memberikan
komunitas ilmiah dengan kualitas tinggi, multi-mode X-band SAR-data untuk mendukung penelitian ilmiah,
serta untuk mendukung pasar komersial dan untuk layanan data yang berkelanjutan, produk informasi
berdasarkan TerraSAR-X (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Satelit penginderaan jauh TerraSAR-X
(Sumber: DLR, 2015)
Gambar 1 menunjukkan beberapa detail dari satelit TerraSAR-X dan panel surya yang dipasang di atas bus
satelit dimana antena SAR berada di sisi bawah satelit. TerraSAR dapat mentrasmisikan signal dalam X-band
dalam dua polarisasi Horizontal (H) dan Vertikal (V). Antena TerraSAR-X dirancang sedemikian rupa
sehingga memungkinkan dapat menghasilkan citra polarimetrik tunggal atau ganda. Disamping itu, sensor SAR
dapat beroperasi pada mode dan polarisasi yang berbeda (Vignolles et al. 2010) yaitu:
- 268 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
a) Mode Spotlight (SL) resolusi tinggi (High Resolution Spotlight) dengan resolusi spasial 1 m
dengan ukuran scenenya 10 km (lebar) x 5 km (panjang),
b) Mode SpotLight (SL) dengan resolusi spasial 2 m, dengan ukuran scenenya 10 km (lebar) x
10 km (panjang),
c) Mode StripMap (SM) dengan resolusi spasial 3,3 m dengan luas daerah scenenya 30 km (lebar) x
50 km (panjang),
d) Mode ScanSAR (SC) dengan resolusi spasial 5 hingga 14,8 m dengan luas wilayah scenenya
100 km (lebar) x 150 km (panjang).
Penjelasan tentang masing-masing mode dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Overview mode citra TerraSAR-X
(Sumber : Scheuchl et al., 2009)
SpotLight Mode (SL)
Polarization
Scene
dimensions
Azimuth
resolution
Full
performanc
e range
Ground
range
resolution
(@
incidence
angle)
StripMap Mode
single:
HH or VV
dual:
HH/VV
single:
HH or VV
10 x 10 (km)
(SL)
10 x 5 (km)
(HS)
1.7m (SL)
1.1m (HS)
20° - 55°
10x10 (km)
(SL)
10 x 5 (km)
(HS)
3.4m (SL)
2.2m (HS)
20° - 55°
1.48 – 3.49m
(@55°...20°)
HS with
300MHz
0.74 – 1.77m
(@55°...20°)
1.70 – 3.49m
(@55...20°)
ScanSAR
Mode
single:
HH or VV
50 x 30 (km)
dual: HH/VV,
HH/HV or
VV/VH
50 x 15 (km)
150 x 100 (km)
3.3m
6.6m
18.5m
20° - 45°
20° - 45°
20° - 45°
1.70 – 3.49m
(@45°...20°)
1.70 – 3.49m
(@45°...20°)
1.70 – 3.49m
(@45°...20°)
Data yang diperoleh dari empat mode tersebut diatas, dapat diproses dan menghasilkan empat produk citra yang
berbeda (Scheuchl et al., 2009), yaitu:
1) Single Look Slant Range Complex (SSC),
SSC adalah basic single look product (produksi dasar single look ) dari sinyal radar. Piksel spasi
berukuran sama di azimuth dan dalam kisaran miring. Data ditulis dalam bentuk kompleks, yaitu
masing-masing sampel terdiri dari real dan bagian imajiner.
2) Multi Look Ground Range Detected (MGD)
MGD adalah produk multi-look dengan mengurangi speckle dan sel resolusi pixel di tanah hampir
mendekati persegi. Pixel berukuran sama di azimuth dan dalam jangkauan miring. Data ini telah
dilakukan proyeksi polinomial sederhana dilakukan dalam jangkauan untuk ellipsoid untuk mencapai
piksel sekitar kuadrat.
3) Geocoded Ellipsoid Corrected (GEC),
GEC adalah multi-look detected product (produk multi-look terdeteksi). Data yang diperoleh dapat
diproyeksikan dan resampel-baik UTM atau UPS dengan WGS84 sebagai referensi.
4) Enhanced Ellipsoid Corrected (EEC).
Seperti MGD dan GEC, MEE adalah multi-look detected product atau produk multi-look terdeteksi .
Namun dapat diproyeksikan dan resampel baik UTM atau UPS menggunakan referensi WGS84 dan
Digital Elevation Model (DEM)
TerraSAR-X, X-band satelit resolusi tinggi milik Jerman telah mengumpulkan citra sejak diluncurkan pada
tanggal 15 Juni 2007. Data dengan kualitas kualitas luar biasa dan priode pengulangan yang relatif tinggi (11
hari) dapat digunakan untuk berbagai aplikasi (Buckreuss et al., 2003; Faller and Weber, 2007) antara lain:
 Pemetaan topografi Pemetaan: 2D dan 3D, dalam skala ke 1: 25.000,
- 269 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)





Permukaan Gerakan (Surface Movement). Berdasarkan time series diakuisisi oleh TerraSAR-X lebih
luas perpindahan permukaan yang sama yang disebabkan oleh pertambangan bawah permukaan,
minyak ekstraksi / gas, pembangunan infrastruktur, penggalian, atau teknik bawah tanah dapat
divisualisasikan
Perubahan Deteksi (Change Detection) untuk pemantauan proyek konstruksi skala besar, jaringan
infrastruktur, pemantauan dan dokumentasi perubahan dan perkembangan
Pemetaan Penutup Tanah dan Penggunaan Lahan (Land Cover and Land Use Mapping): informasi
tutupan lahan / penggunaan lahan yang akurat dan up-to-date, juga dari tempat, di mana sulit untuk
mendapatkan informasi dengan menggunakan teknologi lain karena awan permanen
Cepat Tanggap Darurat (Rapid Emergency Response): karena periode pengulang yang relatif cepat
TerraSAR-X, maka data TerraSAR-X dapat memberikan informasi dalam hal bencana alam atau
buatan manusia (gempa bumi misalnya, banjir, konflik militer dll)
Pemantauan lingkungan (Environmental monitoring): misalnya pemantauan hutan, pemantauan banjir,
aplikasi kualitas air.
2. METODE
2.1 Data dan Metode
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah TerraSar-X mono/single polarisasi HH (Horizontal
Horizontal) yang direkam pada tanggal 14 Januari 2012 dengan wilayah Kabupaten Cilacap, khususnya Segara
Anakan dan sekitarnya (lihat Gambar 2) dan dengan data survei lapangan yang dilakukan pada tanggal 11-18
Agustus 2015. Survei lapangan yang dilakukan tersebut menggunakan alat GPS Trimble Juno 3B yang
berfungsi sebagai pengukur posisi titik pengukuran, Camera DSLR, Spektrometer Ocean Optics HR4000 CGUV-NIR sebagai alat pengukur reflektansi pohon. Alat untuk memproses data TerraSAR adalah: software ER
Mapper, ENVI IDL 4.7 dan 5.0 (untuk menyajikan output pemrosesan dan pemrograman IDL)
a
b
Gambar 2. Lokasi penelitian
Peta kabupaten Cilacap dan sekitarnya (Sumber: White et al., 1989)
b. Citra TerraSar-X Segara Anakan dan sekitarnya tanggal 14-01-2012
a.
Algoritma atau alur proses yang digunakan untuk memproses data TerraSAR adalah sebagai berikut :
1. Membaca data dengan menggunakan soft ware Sentinel-1 .
2. Transformasi dari citra amplitudo ke citra decibel atau backscatter.
3. Mengamati nilai backscatter dari titik pengamatan dan menentukan nilai backscater hasil
pengamatanyang digunakan sebagai nilai acuan dalam menentukan nilai thresholding
4. Melakukan tresholding.
5. Analisis citra dan melakukan klasifikasi
6. Selesai
3. ANALISA DAN DISKUSI
Sebagaimana diterangkan diatas bahwa tahapan pemprosesan data menggunakan software Sentinel-1.
Data radarSat terdiri dari informasi Amplitudo dan Intensity yang direkam dalam 2 byte dalam bilangan integer
(terdistribusi dari nol sampai dengan 3628), setelah diproses dengan software Sentinel-1 menghasilkan
- 270 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
citra/informasi db (decibel) dan backscatter yang kedua duanya disimpan dalam 4 byte real. kedua citra
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
(b)
(a)
Gambar 3. Citra decibel dan backscatter dari TerraSar-x
a.
b.
Citra decibel RadarSar-X dan distribusi frekwensinya
Citra backscatter RadarSar-X dan distribusi frekwensinya
Pada Gambar 3.a, memperlihatkan bahwa nilai decibel terdistribusi dari -48,04 sampai dengan 16, 55
dan nilai backscatter terdistribusi dari nol sampai dengan 2.5. untuk dapat membedakan antara mangrove
dengan vegetasi lainnya, maka perlu diamati baik dari tekstur masing-masing vegetasi maupun dari ditribusi
nilai backscatternya. Untuk pengamatan tekstur dari objek yang terdapat pada citra TerraSar-X, dengan jelas
dapat dibedakan antara perumahan, mangrove, bukan mangrove, tambak dan perumahan. untuk lebih jelasnya
lihat Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. tekstur dari beberapa objek yang terdapat pada citra TerraSar-X
Pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa secara tekstural objek mangrove dapat dibedakan secara murah
dengan objek tambak, sawah, perkebunan maupun objek man-made seperti perkampungan, jalan raya dan
sebagainya. Pada Gambar tersebut memperlihatkan bahwa tekstur objek mangrove relatif lebih mulus
dibandingkan dengan objek lainnya. akan tetapi untuk melakukan proses segmentasi perlu diamati nilai
backscater dari masing-masing objek tersebut. pengamatan nilai backscatter dapat dilihat pada Gambar 5 di
bawah ini.
- 271 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
Gambar 5. Pengamatan nilai backscatter dari mangrove dan non mangrove
yang terdapat pada citra TerraSar-X di daerah sapu regel.
Pada Gambar 5 memperlihatkan nilai backscatter di daerah Sapu Regel, yang mana di daerah tersebut
didominasi oleh mangrove jarang dan pendek (kurang lebih ketinggian 3 sampai 4 meter. Karena mangrove
pada daerah tersebut tumbuh jarang, maka tumbuh tanaman lainnya seperti deris (pohon mangrove yang
tumbuh merambat) dan pohon lainnya yang tumbuh merambat, sehingga menambah rapatnya vegetasi didaerah
tersebut. Vegetasi demikian ini, yang dapat memberikan sifat homogenitas pada nilai backscatter, akan tetapi
kadang kala disela-sela tumbuhan tersebut ada juga beberapa pohon nipah yang pohonnya lebih tinggi dari
pohon sekelilingnya, sehingga sekumpulan pohon nipah ini yang menyebabkan nilai backscatter pada titik lebih
tinggi dari nilai piksel tetangganya.
Lain halnya, dengan daerah yang didominasi dengan tumbuhan mangrove jenis nipah sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai backscatter untuk
mangrove yang didominasi dengan pohon nipah mempunyai nilai yang sama dengan tumbuhan semak belukar
dan kebun rakyat. sehingga untuk wilayah tersebut sangat sulit untuk membedakan mangrove dengan tumbukan
lainnya.
Gambar 6. Pengamatan nilai backscatter dari mangrove dan non mangrove
yang terdapat pada citra TerraSar-X di daerah sapu regel
- 272 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Dengan melihat kedua contoh diatas, maka melakukan segmentasi langsung dari citra digital
menggunakan mono polarisasi untuk membedakan mangrove dan non mangrove sangat sulit (seperti Gambar
5), kecuali wilayahnya hanya terdapat tumbuhan yang homogen (seperti Gambar 6). Hal ini disebabkan, karena
citra radar dibentuk oleh interaksi koheren gelombang mikro ditransmisikan oleh target. Oleh karena itu, selalu
mengandung efek spekel noise yang diakibatkan dari hasil penjumlahan koheren sinyal yang dihamburkan dari
permukaan objek dan didistribusikan secara acak dalam setiap pixel. Citra radar yang dihasilkan kadang kala
lebih banyak spekel-noise. Spekel noise ini kadang kala dapat diminimalisir/filter penghapusan spekel pada
gambar digital sebelum layar dan analisis lebih lanjut. Untuk mengetahui efek filter pada citra, dibahas terlebih
dahulu dalam satu dimensi seperti pada Gambar 7 di bawah ini.
(a)
(b)
Gambar 7. Nilai backscatter 1 dimensi dan efek filter lowpass dan erosi
Pada Gambar 7. memperlihatkan efek filter lowpass pada window 3x3, 5x5, dan filter erosi pada
window 5x5. Efek filter lowpass baik ukuran windows 3x3 maupun 5x5, mengakibatkan penurunan intensitas
noise spekel secara signifikan, dengan posisi spekel yang sama dengan posisi spekel pada citra. Lain halnya
dengan efek dari filter erosi juga mengakibatkan penurunan intensitas noise spekel secara signifikan. Akan
tetapi kelemahannya posisi noise spekel bergeser ke arah piksel tetangganya. Oleh karena itu. pada penelitian
ini digunakan filter lowpass dengan ukuran window 5x5.
Hasil dari proses ini dapat dilihat pada Gambar 8.a dibawah ini, sedangkan Gambar 4.6.b. adalah grafik
frekwensi backscatter dari citra hasil proses filtering.
(a)
(b)
Gambar 8. Citra hasil filtering
a. Citra TerraSar-X setelah proses filter
b. Distribusi nilai backscatter dar Gambar a
Pada Gambar 8b. memperlihatkan bahwa frekwensi grafik backscatter tidak terdistribusi normal,
sehingga agak sulit mencari nilai thresholdingnya. untuk melakukan nilai thresholding maka dilakukan
pengamatan nilai backscatter secara langsung pada citra hasil proses lowpass filte seperti terlihat pada Gambar
9 dibawah ini.
- 273 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
(a)
(b)
Gambar 9. Citra hasil proses loww pass filter dan frekwensi nilai backscatter
a. Line tracing citra TerrSar-x
b. Distribusi nilai Backscatter dari gambar a
Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai backscatter antara mangrove dan non mangrove sangat sulit
dibedakan, begitu nilai backscatter dari pohon nipah dengan vegetasi tinggi. oleh karena itu, nilai threshold
dilambil dari rata-rata nilai backscatter yang dianggap benar-benar mangrove (menurut hasil survey). Dalam
hal ini nilai threshold ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pada citra. untuk segmentasi air, nilai threshold
adalah 0,03. Hasil dari segmentasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
(a)
(b)
Gambar 10. citra hasil segmentasi dari citra yang telah dilakukan filtering
a. Hasil proses segmentasi
b. Region yang diperbesar
Gambar 10 memperlihatkan bahwa proses segmentasi air di sungai lebih mudah dibandingkan dengan
air laut. hal ini disebabkan bahwa hamburan balik di laut tidak seratus persen spekuler atau boleh dikatakan
permukaan air tidak smooth (tidak halus), sehingga ada sebagian air laut yang dikelaskan sebagai mangrove.
Sebaliknya ada sebagian mangrove yang dikelaskan sebagai air. Hal ini mungkin disebabkan efek bayangan,
karena mangrove diregion tersebut sudah ditebang oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil proses segmentasi, mangrove dapat dikelompokkan kedalam 3 klas yaitu: pertama
tumbuhan mangrove yang pendek dan jarang dengan mengrove ikutannya deris (nilai threshold 0.03 - 0.2);
kedua tumbuhan mangrove dengan agak tinggi (sekitar 3 meter) dan rapat juga dengan diselingi dengan deris;
ketiga mangrove dengan diselingi pohon nipah (nilai threshold 0.5 - 1.00), dan yang terakhir bukan mangrove
termasuk tumbuhan di semak belukar (> 1,2). dan tidak bisa menklaskan kedalam jenis tumbuhan mangrove.
Walaupun hasil segmentasi ini dapat mengkelaskan hampir 70 % lebih tumbuhan mangrove. Sisanya
dikelaskan ke kelas air dan ke kelas non mangrove. Akan tetapi proses ini tidak dapat dikatakan berhasil.
Karena pertama ada sebagian air yang juga dikelaskan ke dalam keas mangrove dan sebaliknya ada kelas
mangrove juga dikelaskan ke klas air; kedua ada juga non mangrove yang dikelaskan ke dalam mangrove. Hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa memisahkan vegetasi dan non mangrove secara dijital menggunakan
monopolarisasi sangat sulit. Oleh karena itu, penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan menggunakan citra
radar multipolarisasi.
- 274 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
4. KESIMPULAN
Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Citra TerraSAR-X, objek mangrove dapat dibedakan
dengan objek lainnya berdasarkan teksturnya. Karena tekstur mangrove relatif lebih smooth dibandingkan
lainnya.
Berdasarkan hasil proses segmentasi dari citra dijital, mangrove hanya dapat dibedakan menjadi 3 kelas
yaitu: mangrove pendek dan jarang, mangrove rapat, dan mangrove dengan diselingi pohon nipah (mangrove
heterogen), yang mana ketiga region tersebut masih mengikutsertakan tumbuhan deris sebagai mangrove
ikutannya. Hasil pengkelasan ini amat sangat tidak menggembirakan, karena banyak vegetasi non mangrove
dikelaskan ke dalam mangrove.
Deteksi hutan mangrove menggunakan metode segmentasi citra dijital dari citra TerraSAR-X
monopolarisasi sangat sulit. Hal ini disebabkan sifat fisik dari citra radar, yang dibentuk oleh interaksi koheren
gelombang mikro yang ditransmisikan oleh target, yang selalu mengandung efek spekel noise. Efek ini
diakibatkan dari hasil penjumlahan koheren sinyal hamburan.
Oleh karena itu, penelitian ini perlu diteruskan baik dengan menggunakan citra TerraSAR-X maupun
citra radar lainnya dengan multipolarisasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kami ucapkan untuk Bpk Syarif Budiman M.Sc, sebagai kepala Bidang Sumber Daya
Pesisir dan Laut, yang telah banyak membantu dalam mengerjakan penyelesaian kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA.
Arief, M., Prayogo, T., dan Hamzah, R. (2013). Metode Segmentasi otomatis untuk ekstraksi hutan mangrove
menggunakan data satelit AVNIR-2, Studi Kasus: Pulau Lancang, Jurnal Teknologi Dirgantara Akreditasi LIPI
Nomor: .474/AU2/P2M-LIPI/2012. Vol.11, No.1 Juni.
Buckreuss, S., Balzer, W., Mühlbauer, P., dan Werninghaus, R. (2003). The TerraSAR-X Satellite Project. In Proceedings
IGARSS03, Toulouse (France).
Kusmana, C. (2012). Management Of Mangrove Ecosystem In Indonesia. Paper Presented in Workshop on Mangrove Replantation and Coastal Ecosystem Rehabilitation, Faculty of Forestry Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
Debojit, B.J.H., Arora, M.K., dan Balasubramanian, R. (2011). Study andImplementation of a Non-Linear Support
VectorMachine Classifier. International Journal of Earth Sciences and Engineering ISSN 0974-5904, 4:985- 988.
DLR (2015). Radar satellite TerraSAR-X. http://www.dlr.de/iss/en/DesktopDefault.aspx/tabid-1412/2072_read3536/gallery-1/gallery_read-Image.19.1953/. [03 November 2015].
Faller, N., dan Weber, M. (2007). TerraSAR-X and TanDEM-X: Revolution in Spaceborne Radar. In Proceedings
IGARSS07, Barcelona (Spain).
Holopainen, M., Haapanen, R., Karjalainen, M., Vastaranta, M., Hyyppa, J., Xiaowei, Y., Touminen, S., Hyyppa, H.
(2010). Comparing Accuracy of Airborne Laser Scanning and TerraSAR-X Radar Images in the Estimation of PlotLevel Forest Variables, Remote Sens, 2(2):432-445. doi: 10.3390/rs2020432.
Macnae, W. (1974). Mangrove Forests and Fisheries. FAO/IOFC/DEV/74/34. Rome: FAO.
Perko, R., Raggam, H., Deutscher, J., Gutjahr, K., dan Schardt, M. (2011). Forest Assessment Using High Resolution SAR
Data in X-Band, Remote Sens, 3:792-815, doi:10.3390/rs3040792
Rauste, Y., Lönnqvist, A., Molinier, M., Ahola, H., dan Häme, T. (2007). ALOS PALSAR data in boreal forest monitoring
and biomass mapping. In Proceedings of 1st Joint PI Symposium of ALOS Data Nodes, Kyoto, Japan, November.
Rauste, Y., Lönnqvist, A., dan Ahola, H. (2008). Mapping Boreal forest biomass with imagery from polarimetric and semipolarimetric SAR sensors. Ambiencia, 4:172-180.
th
Suess, M., Riegger, S., Pitz, W., dan Werninghaus, R. (2002). TerraSAR-X – design and performance. In Proc. 4
European Conference on Synthetic Aperture Radar, Eusar, Cologne
Scheuchl, B., Koudogbo, F., Petrat, L., dan von Poncet, F. (2009). TerraSAR-X: Applications for Spaceborne High
Resolution SAR Data,Anais XIV Simpósio Brasileiro de Sensoriamento Remoto, Natal, Brasil
Vignolles, C., Tourre, M.Y., Mora, O., Imanache, L., dan Lafaye, M. (2010). TerraSAR-X high-resolution radar remote
sensing: an operational warning system for Rift Valley fever risk, Geospatial Health, 5(1):23-31.
http://dx.doi.org/10.4081/gh.2010.184
White, T.A., Martosubroto, P., dan Sadorra, M.S.M. (1989). The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan-Cilacap,
SouthJava, Indonesia, Published by: International Center for Living Aquatic Resources, Manag. on behalf of the
Association of Southeast Asian National United States, Coastal Resources Management Projec, Printed in Manila.
Philippines, ISBN 971-1022-54-0
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
- 275 -
Aplikasi Data Satelit TerraSar-X Untuk MendeteksiHutan Mangrove Study Kasus : KabupatenCilacap (Anggraini, N., Arief, M.)
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
DiskusiI
: Dr. Ir. Katmoko Ari S, M. Eng
: Aplikasi Data Satelit TerraSAR-X untuk Mendeteksi Hutan Mangrove
: Nanin Angraini
: 11.59 - 12.14
: Ball Room II
:
Sobirin (UI)
Daerah kajian banyak terdapat sedimentasi, bagaimana membuktikan itu mangrove atau bukan?
Jawaban
Dibuktikan dengan menggunakan data dari tahun yang berbeda dan hasil survey lapangan yang berbeda untuk
mengetahuinya.
Yosi (UNDIP)
Apakah sudah mencoba menggunakan citra lain untuk menentukan mangrove, dan apa solusi untuk menghadapi kesulitan
selama penelitian ini?
Jawaban
Sudah menggunakan data lainnnya untuk identifikasi, misalnya data SPOT dan Landsat.
Masih mencari solusi apa yang terbaik untuk menentukan mangrove mana yang cocok untuk kondisi alam saat itu.
Risti (IPB)
Penggunan data polarisasi vertikal (dual). Kedepannya dapat mennggunakan data dengan polarisasi vertikal.
Fajar (LIPI)
Mengapa memilih lokasi penelitian yang tertutup awan?
Jawaban
Karena wilayah Segara Anakan memiliki lokasi mangrove yang luas.
- 276 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi
Bencana Geologi (Gerakan Tanah)
Muhammad Danu Dirja1,*), Tio Mahar Shah Iskandar1 , Dheswara Adji Mariadi1,
dan Yoshi Wiweka Praba1
1
Teknik Geologi, Universitas Diponegoro
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK- Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana geologi yang tinggi, seperti gerakan tanah dan
banjir. Potensi bencana geologi di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan, sehingga saat ini dengan kemajuan
teknologi yang pesat, pemetaan bencana geologi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien. Salah satu teknologi yang
dapat digunakan untuk menganalisa bencana geologi adalah data citra berupa SRTM (Shuttle Radar Tophography
Mission). Data citra SRTM dapat menganalisa salah satu parameter penting dalam pembuatan peta potensi bencana geologi
yaitu kemiringan lereng yang kemudian digabungkan dengan data lapangan berupa litologi, dan data sekunder berupa tata
guna lahan serta curah hujan, sehingga dapat dihasilkan sebuah peta kerawanan gerakan tanah dengan metode pembobotan.
Pada wilayah Ayah dan sekitarnya didapat rentang kemiringan lereng 0-15% (nilai bobot 1), 16-24% (nilai bobot 2), 2545% (nilai bobot 3), dan >45% (nilai bobot 4). Litologi yang ditemukan melalui pemetaan geologi yaitu endapan alluvium
(nilai bobot 1), batu gamping terumbu (nilai bobot 2), tuff dan andesit (nilai bobot 3), serta breksi vulkanik (nilai bobot 4).
Tata guna lahan yang terdapat di daerah Ayah dan sekitarnya yaitu Perkebunan (nilai bobot 1), semak/belukar dan ladang
(nilai bobot 2), permukiman (nilai bobot 3), dan sawah (nilai bobot 4). Curah hujan pada daerah penelitian dibagi menjadi
tiga yaitu 2800-3050 mm/tahun (nilai bobot 1), 3050-3300 mm/tahun (nilai bobot 2), 3300-3550 mm/tahun (nilai bobot 3).
Hasil pembobotan didapat empat tingkat kerawanan yaitu sangat rendah (nilai 7-11), rendah ( nilai 12-16), sedang (nilai 1721), dan tinggi (nilai 22-27). Melalui data citra DEM SRTM dihasilkan peta wilayah genangan air yang digunakan sebagai
pertimbangan dalam pembuatan peta kerawanan gerakan tanah, sehingga didapat daerah dengan tingkat kerawanan tinggi
berada di wilayah Tlogosari, Argosari dan Candirenggo.
Kata kunci:bencana, geologi, SRTM, longsor
ABSTRACT- Indonesia is a country that has a high potential geological disasters, such as landslides and flood. A lot
ofpotential geological disasters in Indonesia is still uncharted, so this time by using the rapid advances in technology,
mapping of geological disasters can be done more quickly and efficiently. One of the technology that can be used to
analyze geological disasters are imagery data such as SRTM (Shuttle Radar Tophography Mission). SRTM imagery data
can analyze one of the important parameters in the making of geological hazard potential map that is the slopes which are
then combined with field data in the form of litologi, and secondary data in the form of land use as well as rainfall, so it
can be generated a map of insecurity ground motion with the method of weighting. In the area Ayah, acquired range of the
slope 0-15% (weighting value 1), 16-24% (value weighting 2), 25-45% (value weighting 3), and 45% > (weighting value
4). Litologi found through geological mapping is deposits of alluvium (value weighting 1), limestone reefs (value weighting
2), tuff and andesite (value weighting 3), and the volcanic breksi (weighting value 4). Land use in the area surrounding the
estate, namely his father and (value weighting 1), scrubs and fields (value weighting 2), (value weighting 3), and rice field
(the value weights 4). Rainfall on the area of research is divided into three namely 2800-3050 mm/years (value weighting
1), 3050-3300 mm/years (value weighting 2), 3300-3550 mm/years (value weighting 3). Results weighting, gained four
levels of insecurity that is very low (grades 7-11), low (12-16), medium (grades 5-9), and high (22-27). Through DEM
SRTM imagery data, generated map of the puddles that are used as consideration in making a map of insecurity of ground
motion, and so gained high insecurity level area situated in the territory of Tlogosari, Argosari and Candirenggo.
Keywords: disaster, geology, SRTM, landslides
1.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana geologi yang tinggi, seperti gerakan tanah
dan banjir. Potensi bencana geologi di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan, sehingga saat ini
- 277 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
dengan kemajuan teknologi yang pesat, pemetaan bencana geologi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan
efisien. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk menganalisa bencana geologi adalah data citra
berupa SRTM (Satelite Radar Tophography Mission). Data citra SRTM dapat menganalisa parameterparameter penting dalam pembuatan peta potensi bencana geologi seperti kelerengan, sebaran litologi, dan
hidrologi permukaan suatu wilayah. Kelerengan pada suatu wilayah dapat dibuat rentang persen lerengnya
sehingga dapat diketahui daerah yang memiliki kelerengan curam (potensi gerakan tanah tinggi)
dankelerengan landai (potensi gerakan tanah rendah) melalui citra SRTM. Sebaran dan jenis litologi juga
dapat diperkirakan dengan menggunakan karakteristik morfologi pada citra SRTM, namun dibutuhkan data
pendukung lain berupa data pemetaan geologi untuk mempermudah identifikasinya. Pengolahan data citra
SRTM dalam hal hidrologi permukaan yaitu berupa nilai flow slope DI untuk mengetahui gambaran
wilayah yang biasa tergenang air ketika hujan. Kemudian dengan menggunakan data pendukung lain
berupa tata guna lahan dan curah hujan akan dihasilkan peta kerawanan gerakan tanah dengan metode
pembobotan.
Pemanfaatan data citra DEM SRTM dalam pembuatan peta kerawanan bencana geologi khususnya
gerakan tanah akan mengefisienkan waktu serta biaya yang dibutuhkan, sehingga sangat membantu dalam
pembuatan peta rawan bencana geologi dalam skala cukup besar.
2.
METODE
2.1 Metodologi
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah berupa analisa pembobotan menggunakan
parameter-parameter gerakan tanah yaitu kemiringan lereng, litologi, tata guna lahan, dan curah hujan.
Nilai kemiringan lereng didapat dari pengolahan data citra DEM SRTM 30m, parameter litologi didapat
dari hasil pemetaan geologi, parameter tata guna lahan didapat dari data peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
lembar Rowokele (1308-342), dan parameter curah hujan didapat dari data curah hujan tahunan BMKG.
Kemudian setelah dianalisa dan dilakukan pembobotan dari keempat parameter tersebut akan didapat peta
kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya.
Melalui pengolahan data citra SRTM 30m juga dapat dihasilkan nilai flow slope DI, yaitu gambaran
daerah yang biasa tergenang oleh air ketika hujan. Nilai flow slope DI tidak dimasukan ke dalam
parameter namun digunakan sebagai analisa tambahan pada peta kerawanan gerakan tanah.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Citra DEM-SRTM
Sidarto (2010) menjelaskan bahwa DEM adalah suatu citra yang menggambarkan penampakan
digital dari topografi permukaan tanah. Citra ini merupakan hasil dari proses indraan jauh oleh SRTM
(Shuttle Radar Topography Mission) yang dibedakan menjadi dua, yaitu Digital Terrain Model
(DTM) dan Digital Surface Model (DSM). Shuttle Radar Thopography Mission merupakan misi
kerjasama antara National Imagery and Mapping Agency (NIMA) dan NASA untuk memetakan
permukaan bumi secara tiga dimensi. Kerjasama tersebut dengan cara penggabungan perkembangan
teknologi radar dan GPS (Global Positioning System) yang diujicobakan dalam 11 hari misi pesawat
ruang angkasa Eindower pada tahun 2000. Selama penerbangan tersebut dihasilkan citra SRTM yang
memiliki resolusi 30 meter untuk wilayah Amerika dan sekitarnya, 90 meter untuk wilayah di luar
Amerika Serikat (Gesch dalam Sidarto, 2010).
Dalam bidang geologi, penggunaan citra DEM SRTM dapat digunakan dalam interpretasi kondisi
geomorfologi dan struktur geologi, hal ini karena citra tersebut menggambarkan relief muka bumi
yang sebenarnya.
2.2.2 Gerakan Tanah
Proses-proses geologi baik yang bersifat endogenik maupun eksogenik dapat menimbulkan bahaya
bahkan bencana bagi kehidupan manusia. Bencana yang disebabkan oleh proses-proses geologi
disebut dengan bencana geologi. gerakan tanah, erupsi gunungapi, banjir, dan gempa bumi adalah
contoh-contoh dari bahaya geologi yang dapat berdampak pada aktivitas manusia di berbagai wilayah
di muka bumi.
1. Gerakan tanah
Gerakan tanah merupakan suatu proses perpindahan massa tanah dan batuan pada arah tegak,
mendatar, atau miring (bergerak dari kedudukan semula) akibat pengaruh gaya berat tanpa bantuan
langsung dari media air, udara, atau gas. Tipe gerakan tanah antara lain:
- 278 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
- Runtuhan/Jatuhan (Fall)
Runtuhan merupakan tipe gerakan tanah yang diikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas
akibat gaya berat atau gaya gravitasi.
- Jungkitan/Robohan (Topple)
Jungkitan adalah gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa blok tanah atau batuan
akibat gaya gravitasi atau gaya dorong dari massa batuan di belakangnya yang ditimbulkan oleh
endapan air yang mengisi zona rekahan batuan, biasa terjadi pada tebing curam dan tidak
mempunyai bidang longsoran. Atau tanah dan batuan mengalami gerak kopel terhadap sumbu
putar yang tetap, pada sudut lereng sangat curam, kecepatan lambat kemudian sangat cepat.
- Longsoran (Slide)
Longsoran adalah gerakan yang terdiri dari regangan geser dan perpindahan sepanjang
bidang longsoran dengan kondisi massa tanah dan batuan melongsor dari tempat semula dan
terpisah dari massa tanah dan batuan yang mantap. Longsoran dibagi dalam :
a. Longsoran bidang (Plane Slide)
Jenis longsoran ini sangat jarang terjadi karena memerlukan adanya permukaan bebas
pada kedua tepi gesernya. Longsoran ini terjadi pada batuan yang mempunyai bidang-bidang
luncur bebas (bay light) yang mengarah ke lereng. Longsor ini sering terjadi pada lereng
dengan permukaan cembung.
b. Longsoran Baji (wedge slide)
Longsor jenis ini hanya biasa terjadi pada jenis batuan yang mempunyai lebih dari satu
bidang lemah atau bidang discontinue yang bebas, dengan sudut antara kedua bidang
tersebut membentuk sudut yang lebih besar dari sudut geser dalamnya.
c. Longsoran Bujur (Circular slide)
Longsoran ini paling umum terjadi di alam, terutama pada bagian lunak (soil). Jenis
longsoran ini hanya dapat terjadi jika batuan tersebut sudah lapuk dan mempunyai bidangbidang discontinue yang rapat (heavily jointed). Tetapi biasanya yang sering terjadi adalah
gabungan antara longsoran bidang dengan longsoran busur.
d. Longsoran Gulingan (Topping Slide)
Longsoran jenis ini terjadi pada lereng terjal pada batuan yang keras dengan bidangbidang discontinue yang hampir tegak atau tegak. Dapat terbentuk longsoran dalam bentuk
blok atau bertingkat.
- Penyebaran Lateral (Lateral Spreading)
Penyebaran lateral adalah gerakan menyebar ke arah yang disebabkan oleh retak geser dan
retak tarik yang dapat terjadi pada material batuan.
- Aliran (Flow)
Aliran adalah tipe gerakan tanah yang dikarenakan kuat geser tanah yang kecil sekali,
bahkan nol dan material yang bergerak dapat berupa material rombakan yang berukuran kasar,
tanah dengan ukuran halus atau lempung yang jenuh air.
- Komplek (Complex)
Tipe gerakan tanah gabungan antara gerakan tanah jenis jatuhan, longsoran, penyebaran
lateral jungkiran dan aliran.
2.3 Peralatan dan Data Penelitian
Berikut peralatan dan data penelitian yang digunakan selama pelaksanaan penelitian ini:
2.3.1 Peralatan Penelitian
Dalam menunjang penelitian ini digunakan beberapa peralatan untuk menunjang dalam proses
penelitian yang dilakukan, peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. 1 unit notebook Asus A43S Intel (R) Core (TM) i3-2670 QM CPU @ 2.20 GHz, 6,00 GB
(RAM), 64-bit Operating System
2. Software ER Mapper 7.0
3. Software Global Mapper 13
4. Software Mapinfo Discover 2013
- 279 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
2.3.2 Data Penelitian
Selain peralatan yang menunjang dibutuhkan data dalam penelitian ini yang merupakan objek
utama dalam proses penelitian, berikut adalah data yang dipergunakan dalam penelitian ini :
1. Data ditigal DEM SRTM 30m daerah Jawa Tengah, USGS 2014.
2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Rowokele (1308 – 342)
2.4 Diagram Alir
2.5 Lokasi Penelitian
Wilayah pemetaan terletak di daerah administrasi Desa Ayah dan sekitarnya, Kecamatan
Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Wilayah pemetaan ini masuk kedalam lembar Peta
Rupa Bumi Indonesia (RBI) Rowokele dan secara geografis terletak pada koordinat UTM
322.300 – 327.300 mE dan 9.144.800 – 9.149.800 mN. Luas wilayah pemetaan iniadalah
sebesar 25 km2 berbetuk persegi dengan masing-masing sisi memiliki panjang 5km.
- 280 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 1. Lokasi Penelitian
3. HASIL PEMBAHASAN
3.1. Parameter
Pembuatan peta kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya menggunakan beberapa
parameter dalam analisis pembobotannya. Parameter-parameter tersebut yaitu kemiringan lereng,
litologi, tata guna lahan dan curah hujan. Keempat parameter tersebut dipilih karena tergolong kedalam
faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian. Berikut
penjelasan dari masing-masing parameter:
a. Kemiringan Lereng
Berdasarkan hasil pembuatan peta kemiringan lereng menggunakan software Map Info 9.0
(gambar 3) menunjukan daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang beragam. Kemiringan
lereng yang terendah adalah 0-15% diwakili oleh daerah kontur renggang, sedangkan kemiringan
lereng paling tinggi berada pada daerah dengan nilai kemiringan >45% dan diwakili oleh kontur
rapat. Interpretasi pada daerah penelitian diperkirakan nilai kemiringan lereng besar sebagai daerah
dengan batuan yang memiliki tingkat resistensi lebih tinggi terhadap erosi (hard Rock), sedangkan
daerah dengan kemiringan lereng rendah dapat diperkirakan sebagai daerah dengan batuan yang
memiliki tingkat resistensi lebih rendah terhadap erosi (soft Rock).
Pada daerah penelitian kemiringan lereng dikelompokkan menjadi 4 yaitu 0-15% yang memiliki
nilai bobot 1, 16-24% memiliki nilai bobot 2, 25-45% memiliki nilai bobot 3 dan >45% memiliki
nilai bobot 4. Daerah yang memiliki nilai kemiringan lereng besar dapat memiliki potensi bencana
gerakan tanah, sehingga mitigasi bencana dapat difokuskan pada daerah yang memiliki kemiringan
lereng besar. Untuk menghasilkan peta zona kerawanan gerakan tanah yang lebih akurat, maka
parameter kemiringan lereng ini perlu dikombinasikan dengan parameter lainnya yang berpengaruh
dalam mendukung terjadinya bencana gerakan tanah.
No
1
2
3
4
Tabel 1. Nilai Bobot Parameter Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng (%)
Nilai Bobot
0 – 15%
1
16 – 24%
2
25 – 45%
3
>45%
4
- 281 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
Gambar 2. Peta Kemiringan Lereng dan Watershed daerah Ayah dan sekitarnya
b. Litologi
Berdasarkan hasil observasi lapangan, daerah Ayah dan sekitarnya memiliki susunan litologi yang
beragam. Litologi tersebut terdiri dari satuan breksi vulkanik, satuan tuff, satuan intrusi andesit,
satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvium. Breksi vulkanik merupakan batuan yang
memiliki umur paling tua pada daerah penelitian.Litologi breksi vulkanik ditemukan terutama di
daerah yang memiliki topografi yang terjal, hal ini dikarenakan litologi breksi vulkanik bersifat lebih
resisten sehingga dapat mempertahankan morfologi asalnya yang terjal. Litologi andesit membentuk
topografi perbukitan yang berada di Desa Tlogosari. Breksi vulkanik dan intrusi andesityang
terbentuk sejak kala oligo – miosen telah mengalami pelapukan yang intensif dalam kurun waktu
geologi yang sangat panjang, sehingga hal tersebut dapat mengurangi tingkat resistensi batuandan
dapat memicu terjadinya gerakan tanah, sehingga nilai bobot satuan litologi tersebut menjadi tinggi
yaitu 4 untuk breksi vulkanik dan 3 untuk intrusi andesit.
Satuan tuff menyebar pada beberapa tempat daerah penelitian. Satuan ini memiliki sifat yang
mudah lepas akibat erosi, hal tersebut menunjukan tingkat resistensi batuan ini tergolong rendah.
Karena tingkat resistensinya yang rendah, maka dapat memicu terjadinya bencana gerakan tanah,
sehingga nilai bobot satuan ini adalah 3. Litologi batu gamping terumbu memiliki pelamparan paling
luas di daerah penelitian. Litologi ini membentuk topografi perbukitan dengan kondisi yang masih
padu membuktikan litologi ini memiliki tingkat resistensi yang lebih besar, sehingga nilai bobot
satuan ini lebih rendah dari satuan breksi dan satuan intrusi yaitu 2. Satuan endapan alluvium
terdapat pada daerah yang datar, sehingga nilai bobot satuan ini adalah 1 karena dianggap tidak
berpengaruh dalam memicu terjadinya gerakan tanah karena letaknya berada di daerah dataran.
No
1
2
3
4
Tabel 2. Nilai bobot parameter litologi
Litologi
Nilai Bobot
Endapan Alluvium
1
Batugamping Terumbu
2
Tuff dan Andesit
3
Breksi vulkanik
4
- 282 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 3. Peta Litologi daerah Ayah dan sekitarnya
c. Tata Guna Lahan
Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan daerah Ayah dan sekitarnya
Pada peta tata guna lahan menunjukan pemanfaatan lahan dan penataan lahan yang dilakukan
sesuai dengan kondisi eksisting alam dalam hal ini juga disesuaikan dengan kebutuhan dan aktivitas
- 283 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
manusia yang ada pada suatu daerah. Pada daerah Ayah dapat diketahui terdapat beberapa tata guna
lahan yang meliputi perkebunan, semak atau belukar, ladang, permukiman, dan sawah.Perkebunan
merupakan hasil aktivitas manusia yang tinggal pada daerah tersebut yaitu dengan cara
membudidayakan berbagai macam tumbuhan yang umumnya bersifat ekonomis. Pada daerah ini
cenderung memiliki tanah yang lebih resisten karena adanya tanaman berakar tunggang yang
cenderung menguatkan tanah yang ada pada daerah tersebut sehingga bobot untuk daerah ini sebesar
1 poin.
Semak atau belukar dan ladang merupakan daerah yang umumnya belum dimanfaatkan oleh
manusia dan jarang ditemukan aktivitas manusia pada daerah tersebut. Pada daerah umumnya
memiliki tanah yang kurang stabil dibandingkan dengan daerah perkebunan dikarekan faktor jenis
tumbuhan yang cenderung berakar serabut dengan kondisi yang kering sehingga bobot untuk daerah
ini sebesar 2 poin.
Daerah permukiman merupakan daerah yang ditandai dengan adanya perumahan yang disertai
prasana dan sarana serta infrastrukutur yang memadai. Kawasan permukiman ini secara sosial
mempunyai norma dalam bermasyarakat. Umumnya kawasan permukiman ini terdapat pada daerah
yang memiliki kelerengan yang relatif landai. Pada daerah ini cenderung memiliki tanah yang rentan
akan gerakan yang dipicu oleh aktivitas manusia seperti pembangunan sehingga bobot pada daerah
ini sebesar 3 poin.
Sawah merupakan daerah yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian yang umumnya ditanami oleh
tanaman padi, umumnya sawah memiliki kararekteristik tanah yang gembur dan cenderung berair
yang membuat tanah pada daerah sawah menjadi relatif tidak resisten sehingga bobot untuk daerah
ini sebesar 4 poin.
No
1
2
3
4
Tabel 3. Nilai bobot parameter tata guna lahan
Tata Guna Lahan
Nilai Bobot
Perkebunan
1
Semak/belukar dan ladang
2
Permukiman
3
Sawah
4
d. Curah Hujan
Pada peta curah hujan akan diketahui curah hujan pertahun dari daerah tersebut, pada daerah
Ayah cenderung memiliki curah hujan yang berbeda pada tiap daerahnya sehingga berpengaruh
pada proses analisis kerawanan bencana yang akan dilakukan. Pada daerah dengan deliniasi hijau
memiliki curah hujan yang paling rendah pada daerah tersebut yaitu berkisar antara 2800 hingga
3050 mm/tahun sehingga bobot untuk daerah dengan deliniasi warna hijau sebesar 1 poin, pada
daerah dengan deliniasi kuning memiliki curah hujan yang paling rendah pada daerah tersebut yaitu
berkisar antara 3050 hingga 3300 mm/tahun sehingga bobot untuk daerah dengan deliniasi warna
kuning sebesar 2 poin, sedangkan pada daerah dengan deliniasi oranye memiliki curah hujan yang
paling rendah pada daerah tersebut yaitu berkisar antara 3300 hingga 3550 mm/tahun sehingga
bobot untuk daerah dengan deliniasi warna oranye sebesar 3 poin.
No
1
2
3
Tabel 4. Nilai bobot parameter curah hujan
Curah hujan tahunan (mm/tahun)
Nilai Bobot
2800 - 3050
1
3050 - 3300
2
3300 - 3550
3
- 284 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 5. Peta Curah Hujan daerah Ayah dan sekitarnya
3.2. Peta Kerawanan Gerakan Tanah
Gerakan tanah merupakan suatu proses perpindahan massa tanah dan batuan pada arah tegak,
mendatar, atau miring (bergerak dari kedudukan semula) akibat pengaruh gaya berat tanpa bantuan
langsung dari media air, udara, atau gas. Seringkali suatu permukiman dibangun pada daerah yang
memiliki potensi gerakan tanah yang cukup tinggi hal tersebut diakibatkan karena kurang penyelidikan
geologi dalam suatu perencanaan. Gerakan tanah tidak hanya berpotensi pada daerah yang memiliki
kelerengan yang cukup curam akan tetapi gerakan tanah juga banyak terjadi pada daerah yang relatif
datar hal tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan bawah permukaan suatu daerah menyangkut litologi
atau batuan yang ada pada daerah tersebut.
Pada penelitian ini dihasilkan sebuah peta kerawanan gerakan tanah daerah Ayah dan sekitarnya
yang didasari oleh pembobotan empat parameter penting yaitu kemiringan lereng, litologi, tata guna
lahan, dan curah hujan. Perhitungan pembobotan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kerawanan = (3 x kemiringan lereng) + (2 x litologi) + (tata guna lahan) + (curah hujan).......(1)
Faktor kemiringan lereng pada daerah penelitian memiliki pengaruh paling besar, disusul oleh
faktor litologi, sedangkan faktor tata guna lahan dan curah hujan memiliki pengaruh yang lebih kecil
namun tetap berpengaruh terhadap potensi gerakan tanah. Hasil dari pembobotan dengan menggunakan
rumus (1) pada daerah Ayah dan sekitarnya ditunjukkan oleh Gambar 6.
Pembagian tingkat kerawanan gerakan tanah pada daerah penelitian digolongkan menjadi empat
yaitu sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi berdasarkan dari nilai total pembobotan menggunakan
rumus (1). Berikut pembagian tingkat kerawanan gerakan tanah:
- 285 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
No
1
2
3
4
Tabel 5. Pembagian rentang nilai untuk tingkat kerawanan
Rentang Total Pembobotan
Katagori
7 – 11
Sangat rendah
12 – 16
Rendah
17 – 21
Sedang
22 - 27
Tinggi
Gambar 6. Peta Kerawanan Gerakan Tanah daerah Ayah dan sekitarnya
Pada peta kerawanan diketahui bahwa daerah timur dan selatan memiliki potensi gerakan tanah
yang paling besar dibanding daerah lainnya, terutama pada daerah timur yang sudah ditemukan 3 titik
lokasi longsor. Potensi gerakan tanah ini dapat meningkat terutama pada musim-musim penghujan yaitu
pada bulan Oktober – Maret dan pada wilayah – wilayah yang dapat tergenang air.
Wilayah – wilayah yang biasa tergenang air dapat dianalisa menggunakan data citra DEM SRTM
berupa nilai Flow Slope DI. Pada daerah penelitian nilai Flow Slope DI memiliki rentang 0 sampai -66,
dimana semakin besar (mendekati angka nol) menandakan bahwa wilayah tersebut semakin besar
kemampuannya untuk tergenang oleh air. Pada wilayah – wilayah yang nilai Flow Slope DI lebih besar
dari -1 akan memperbesar tingkat kerawanan terjadinya gerakan tanah, sehingga perlu dilakukan
perhatian yang lebih pada wilayah-wilayah tersebut.
Nilai Flow Slope DI tidak dimasukan ke dalam parameter pembobotan tingkat kerawanan, namun
dapat dijadikan pertimbangan dalam pembuatan peta kerawanan gerakan tanah. Pada peta kerawanan
dilakukan overlay menggunakan peta Flow Slope DI dengan nilai diatas -1 hingga maksimum 0 seperti
pada Gambar 8. Wilayah yang biasa tergenang air yang berada pada ketinggian akan dapat
meningkatkan potensi gerakan tanah pada wilayah disekitarnya yang memiliki elevasi lebih rendah,
dikarenakan air yang berada dipermukaan semakin lama akan meresap ke dalam tanah dan
memperbesar berat tanah atau batuan yang berada dibawahnya. Oleh karena itu daerah dengan tingkat
kerawanan sedang dapat meningkat menjadi tinggi pada saat musim hujan dikarenakan faktor nilai Flow
Slope DI yang mendekati angka nol.
- 286 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 7. Peta Flow Slope DI daerah Ayah dan sekitarnya
Gambar 8. Peta Kerawanan Gerakan Tanah yang di overlay wilayah genangan air daerah Ayah dan
sekitarnya
- 287 -
Pemanfaatan Data Citra SRTM Dalam Pembuatan Peta Potensi Bencana Geologi (Gerakan Tanah) (Dirja, M.D., et al.)
3.3. Penanggulangan Bencana Gerakan Tanah
Pada daerah Ayah dan sekitarnya berdasarkan peta kerawanan gerakan tanah yang telah dibuat, wilayah
yang paling rentan terletak di daerah Tlogosari, Argosari dan sedikit di Candirenggo. Pada daerah
tersebut sebaiknya dilakukan tindakan penanggulangan untuk menghindari atau mengurangi dampak
dari bencana gerakan tanah. Berikut ini beberapa upaya penanggulangan yang dapat dilakukan:
a. Menghindari pembangunan infrastruktur umum seperti gedung fasilitas sosial, puskesmas, masjid,
maupun permukiman di daerah yang memiliki tinggi kerawanan tinggi
b. Menghindari terjadinya pemotongan tebing dan pembukaan lahan pada daerah dengan persen lereng
yang terjal
c. Memperbanyak penanaman tanaman-tanaman berakar tunggang yang dapat meningkatkan daya
dukung tanah
d. Mewaspadai tanda-tanda terjadinya gerakan tanah secara lokal seperti retakan pada lereng (bila
terjadi retakan sebaiknya segera diisi oleh tanah), kemiringan tumbuhan di lereng, maupun
miringnya tiang-tiang listrik, dan segera menghubungi dinas BNPB terdekat.
e. Perlunya pengaturan sistem pengaliran di daerah Ayah agar menghindari aliran air permukaan ke
wilayah-wilayah tertentu yang memiliki tingkat kerawanan sedang-tinggi.
4. KESIMPULAN
Pada penelitian ini didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembuatan peta kerawanan gerakan tanah menggunakan beberapa parameter yaitu kemiringan lereng,
litologi, tata guna lahan, dan curah hujan serta tambahan analisis wilayah genangan air
2. Data citra DEM SRTM dalam pembuatan peta kerawanan gerakan tanah dapat membantu dalam hal
efisiensi waktu dan biaya
3. Wilayah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi berdasarkan peta kerawanan gerakan tanah daerah
Ayah dan sekitarnya berada di daerah Tlogosari, Argosari dan Candirenggo
4. Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
 Menghindari pembuatan infrastruktur umum pada daerah dengan tingkat kerawanan tinggi
 Menghindari pemotongan tebing dan pembukaan lahan pada wilayah dengan kemiringan lereng
tinggi
 Memperbanyak tanaman berakar tunggung pada daerah-daerah dengan tingkat perawan sedangtinggi
 Mewaspadai tanda-tanda gerakan tanah lokal dan segera menghubungi dinas BNPB terdekat atau
pemerintah terkait
 Pengaturan drainase lereng dengan menjauhi aliran air permukaan pada wilayah dengan tingkat
kerawanan sedang-tinggi
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. Tjoek Aziz Soeprapto MSc. yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta konsultasi teknik
selama pelaksanaan penelitian ini.
2. Axel Prima AS, Ruth Amelia, Adi Luhung Pekerti, Paramitha yang telah membantu dalam mengerjakan
makalah penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W. (1949). The Geology Of Indonesia, v. IA, The Hague. Gov. Printing Office, Martinus Nijhoff, 732p.
Dirja, M.D. (2014). Geologi Daerah Ayah dan sekitarnyaKecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa
Tengah. Laporan Pemetaan Geologi Mandiri.
Sidarto (2010). Perkembangan Teknologi Inderaan Jauh dan Pemanfaatannya untuk Geologi di Indonesia. Bandung :
Badan Geologi.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
- 288 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Dr. Rokhmatullah
: Pemanfaatan Data Citra SRTM dalam pembuatan Peta potensi Bencana Geologi (Gerakan
Tanah )
: Muhammad Danu Dirja
: 13.55 – 14.19
:Ball Room 2 (Lt.1)
:
Yosef (BIG)
Anda menggunakan data SRTM 30m untuk mendapatkan ketinggian, kenapa tidak menggunakan peta RBI saja 1:25000,
atau data IPSAR yang lebih baik?
Saya tidak setuju dengan kesimpulan nomor 2 dan 3, perlu hati hati jika menyangkut masalah Daya dukung tanah,
kemudian pada point yang ketiga kita harus melihat seperti apa lapisan tanahnya, kalau tidak banyak lapisannya mungkin
bisa dibuat kesimpulan seperti itu.
Firman (LAPAN)
Sumber data yang diolah skalanya berapa? Apakah anda yakin hasilnya sesuai seperti itu?
Udhi (LAPAN)
Apakah tidak seharusnya kalau outputnya detail, data yang seharusnya digunakan adalah data dengan Skala yang besar?
Mungkin bisa disampaikan, metodologi yang digunakan untuk skala ketinggiannya seperti apa, dan jika mengambil dari
penelitian sebelumnya, kelas tersebut didapat dari mana?
Perlu disampaikan lebih jelas lagi tentang kondisi litologi batuannya seperti apa didaerah sekitarnya, karena saudarakan
berasal dari geologi?
Jawaban:
Untuk data kontur menggunakan SRTM 30m meter, karena saya rasa sudah dapat mencakup peta RBI skala 25000, selain
data tersebut penulis belum mengetahui data lainnya yang dapat digunakan selain data ini.
Mengapa pada point 3 hanya saya tulis daya dukung pak, karena saya bukan anak pertanian sehingga saya tidak bisa
memberikan solusi tanaman apa yang perlu di tanam pada daerah tersebut. Kemudian untuk lapisannya tentu kita melihat
pada kondisi geologi dan litologinya, saya juga kurang setuju kalau solusi harus kita pukulrata pada terasering.
Sumberdata saya peroleh dari web USGS untuk SRTM dengan data tahun 2014. Saya juga menggunakan data lapangan
untuk penelitian ini sebagai validasinya, sehingga hasilnya dapat di pertanggungjawabkan. Sedangkan jika ingin dengan
data yang lebih detail lagi, mungkin bisa sebagai acuan penelitian selanjutnya.
Sebenarnya ada beberapa klasifikasi yang dapat dijadikan sebagai rujukan, tetapi kami merasa beberapa rujukan tersebut
kurang tepat sebagai bahan kajian pada daerah penelitian kami, sehingga kami memuat klasifikasi sendiri untuk wilayah
ketinggian ini.
Untuk litologinya memang belum kami tambahkan, nanti pada penyempurnaan makalah akan kami tambahkan.
- 289 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit
(Studi Kasus Lombok, 21 Pebruari 2015)
Anggi Dewita1,*), Hatif Thirafi Zulqisthi1, dan Khafid Dwicahyo1
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK-Radar Gematronik di Selaparang, Lombok menampilkan citra barisan awan yang diidentifikasi sebagai
squall line pada tanggal 21 Pebruari 2015 mulai pukul 02.03 UTC hingga 06.03 UTC. Dengan mengoptimalkan produk
radar Gematronik dapat diketahui struktur dan karakteristik awan badai serta prediksi dampak dari sistem tersebut pada
pulau Lombok. Sistem memiliki panjang 276 km dengan luas inti awan badai 1419 m2 dan bergerak dengan kecepatan
14 ms-1. Tidak ditemukannya rear inflow jet pada sistem. Sel awan memiliki updraft yang lemah. Berdasarkan citra
satelit MTSAT squall line tersebut diketahui berasal dari pusat tekanan rendah di utara benua Australia dan bergerak
mendekati pulau Lombok sebagai barisan awan badai. Namun sistem tersebut mengalami masa pemunahan sebelum
mencapai pulau Lombok, sehingga dampak yang dirasakan di pulau Lombok tidak terlalu signifikan.
Kata Kunci: radar, satelit, squall line
ABSTRACT- Gematronik Radar Gematronik at Selaparang, Lombok featuring image of the cloud line that identified as
squall line at 21st, 2015 start from 02.03 UTC to 06.03 UTC. By optimizing Gematronik’s product, stucture and
characteristic of the squall line and also the impact of system on Lombok can be known. The system’s length up to 276
km with area of storm core 1419 km and the speed of system about 14 ms-1 . There’s no rear inflow jet found at this
system. Cloud cell show a weak updraft. Regarding satellite MTSAT’s image squall line came from low pressure cell at
the north of Australia and moved closerti Lombok Island as a line of thunderstorm. The system run into decay period
before strike Lombok island, so there is no significant impact that accepted by the island.
Keywords: radar, satelit, squall line
1. PENDAHULUAN
Radar Lombok mendeteksi fenomena Squall Line di selatan pulau Lombok pada tanggal 21 Pebruari
2015 antara jam 3 – 6 UTC. Squall line jarang terdeteksi di Pulau Lombok dan ini merupakan fenomena
yang menarik untuk diamati. Squall line merupakan barisan thunderstorm dengan mekanisme pengangkatan
massa udara yang meliputi area lapisan yang luas, contohnya front, outflow boundaries yang besar, dan
pengangkatan secara isentropik. Mengandung awan konvektif sepanjang 100 hingga beberapa ratus
kilometer yang membentuk barisan pada ujung area downdraft yang luas. Di daerah tropis, hujan yang sangat
lebat terjadi secara tiba-tiba dan diikuti oleh hujan yang seragam dan relatif stabil dari awan stratiform sistem
anvil. Kekuatan dari updraft dan downdraft pada tropical squall memiliki kesamaan dengan cumulunimbus
di daerah tropis. Squall line cenderung terbentuk di daerah dengan pengangkatan pada level rendah yang
kuat,CAPE (Convective Available Potential Energy) yang relatif besar. Squall line juga biasanya terbentuk di
daerah yang geser anginnya (wind shear) kuat. Jika kecepatan angin di permukaan rendah sedangkan di
daerah atas kecepatannya tinggi, disertai dengan konveksi yang kuat maka sangat mendukung terbentuknya
squall line.
Berdasarkan kecepatan dari sistem tropical squall, dalam jurnalnya Barnes dan Sieckman (1984)
membagi menjadi dua kategori. Yang pertama tropical squall yang memiliki kecepatan rendah dengan
pergerakan VL < 3 ms-1 dan tropical squall kecepatan tinggi dengan pergerakan VL > 7 ms-1. Tropical squall
berkecepatan tinggi ditandai dengan gisir angin yang kuat pada troposfer bagian bawah yang memotong
garis depan tepi tropical squall.
Pereira et al. (2000) menemukan tropical squall yang melintas melewati Amazon memiliki kesamaan
dengan squall line di lintang menengah baik secara struktural maupun dinamisnya berdasarkan penelitian
menggunakan satelit dan radar. Szoke dan Zipster (1985) yang menganalisa squall line dengan radar
menyatakan sel dengan kekuatan aliran ke atas yang lemah puncak reflektifitasnya terdapat di level bawah.
Penelitian lain menggunakan model 3 D Nonhydrostatis Stormscale oleh Wang et al. (1995) mensimulasikan
- 290 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
arus naik dan arus turun skala konvektif, penyebaran hujan pada dan di belakang front angin kencang serta
hujan dari awan stratiform.
Pemanfaatan radar cukup banyak untuk meneliti squall line. Dengan radar terlihat bentuk squall line bila
dilihat dari atas mulai dari pembentukan hingga pemunahan. Pada awalnya area inti sel dengan nilai dBz
tinggi berada di tengah sistem, kemudian karena dorongan rear inflow jet inti sel terdorong dan terpecah
menjadi beberapa inti sel yang lebih kecil. Dorongan ini juga mengakibatkan sistem tersebut cembung dan
berbentuk menyerupai busur, dan ketika akan musnah akan menyerupai bentuk koma.
Gambar 1. Model konseptual evolusi squall line pada radar
(Sumber: http://www.meted.ucar.edu/radar/tropical_cases/)
Formasi menyerupai busur tersebut terbentuk ketika squall line mendapat rear inflow notch atau rear
inflow jet dari arah belakang sistem yang mendorong sistem sehingga menjadi cembung. Wirohamidjojo
(2012) dalam Dewi (2014) menyebutkan bahwa awan–awan tipis mempunyai nilai albedo sekitar 30 %.
Awan – awan tebal seperti Cirrostratus, Altocumulus, Cumulus dan Stratocumulus memiliki nilai albedo 50
sampai 70 % dan awan Cumulonimbus memiliki albedo >70%. Dengan demikian, semakin putih awannya,
maka mengindikasikan semakin padat awan yang ada dan dapat diidentifikasi sebagai Cumulunimbus.
1.1 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
a. Mempelajari struktur dan karakteristik squall line yang berpotensi muncul di selatan pulau Lombok
b. Mengetahui karakteristik dinamika atmosfer
Manfaat dari penelitian ini dari segi keilmuan untuk menambah pengetahuan dalam memahami
dinamika atmosfer terutama berhubungan aktivitas squall line. Dengan dipahaminya dinamika atmosfer
maka akan meningkat juga ilmu teknologi dalam menganalisa dan memprediksikan prilaku-prilaku fisis
dalam atmosfer. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembuatan
peringatan cuaca dini di pulau Lombok terkait dengan fenomena cuaca skala meso.
2. METODE
Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian berupa studi kasus yang terjadi di Samudera
Hindia sebelah selatan Pulau Lombok ketika muncul sistem awan yang membentuk garis memanjang dalam
pantauan radar cuaca Stasiun Meteorologi Selaparang pada tanggal 21 Pebruari 2015 jam 02.03 UTC.
2.1 Pengolahan Citra Radar
Radar yang berarti deteksi dan penjarakan radio adalah alat penginderaan jarak jauh aktif. Radar akan
mendeteksi keberadaan objek dan mengukur kekuatan reflektifitas dari objek tersebut, bergantung pada
besar komponen dan massa. Radar mampu menyediakan data dengan resolusi spasial dan temporal yang
cukup baik.
Menggunakan software Rainbow untuk radar Gematronik di Lombok yang akan menghasilkan produk
dengan rincian sebagai berikut:
- 291 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
 Produk CMAX
Menampilkan nilai echo maksimum yang didapatkan pengamatan radar pada suatu kolom
 Produk HWind
Turunan dari produk velocity yang dapat memberikan gambaran umum arah dan kecepatan massa udara
yang bergerak
 Produk SWI (Severe Weather Indicator)
Menganalisa data reflectivity, velocity dan spectral width untuk menganalisa data volume radar untuk
mendeteksi wilayah pusat badai, mesocyclone, divergensi, serta microburst.
 Produk VCUT
Menggambarkan irisan vertikal dari suatu data volume
 Produk VIL (Vertical Integrated Liquid)
Prakiraan kandungan uap air secara vertikal yang terdapat pada lapisan atmosfer
2.2 Pengolahan Citra Satelit
Penggunaan kanal visibel untuk mendeteksi keberadaan awan Cumulunimbus pada siang hari. Suhu yang
dingin tidak selalu menunjukkan puncak awan konvektif tetapi juga dapat ditunjukkan oleh awan – awan
tinggi seperti Cirrus yang terdiri dari kristal- kristal es. Kanal visibel yang menggunakan cahaya matahari
sebagai pulsa menjadikan albedo sebagai metode untuk mengetahui jenis awan. Albedo adalah perbandingan
antara jumlah sinar yang dipantulkan dengan yang diterima oleh permukaan. Benda yang warnanya semakin
putih dan padat akan semakin banyak memantulkan sinar tampak.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengolahan Radar
Data mentah radar yang diolah dalam periode jam 02.03 UTC -06.03 UTCtanggal 21 Februari 2015.
a. Produk CMAX dan HWIND
Gambar 2. Produk CMAX overlay HWind
- 292 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Dengan setting range Radar 240 km pada jam 02.03 UTC terdeteksi pola squall line mendekati pulau
Lombok dan musnah pada jam 06.03 UTC. Pola tersebut memilliki garis depan dengan reflektifitas
maksimal yang diidentifikasi sebagai bagian utama tropical squall , kemudian diikuti oleh area reflektifitas
yang lebih rendah yang dikenali sebagai anvil. Pergerakan sistem dihitung menggunakan rumus sederhana
200 km/4 jam atau sekitar 14 ms-1.
Pembacaan produk Hwind pada ketinggian 1 km dan 5 km menunjukan angin bertiup dengan gerak
paralel dengan garis depan squall line. Berbeda dengan hasil penelitian Barnes dan Sieckman (1984),
ternyata tropical squall dalam penelitian ini termasuk kategori berkecepatan tinggi (> 7 ms-1), dengan angin
yang bertiup paralel terhadap garis depan squall.
Gambar 3. CMAX overlay HWind jam 04.03 UTC
Tropical squall yang terbentuk tidak menunjukkan pola bow echo maupun comma yang mudah
diidentifikasi pada radar. Hal ini disebabkan tidak adanya rear inflow jet yang seharusnya mendorong sistem
dari belakang melainkan angin bertiup berlawanan arah terhadap sistem dengan kecepatan maksimum
mencapai 30 knot.
b. Produk SWI
Gambar 4. Produk SWI jam 2.03 - 6.03 UTC
- 293 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
Panjang sistem squall line diukur memanfaatkan fitur measure distance. Lingkaran merah menandakan
daerah badai, sementara lingkaran kuning menandakan pusat badai. Dengan pembacaan jendela bantu, maka
akan didapatkan pembacaan karakteristik sistem menggunakan SSA yang tersaji pada tabel berikut.
Tabel 1. Struktur squall line
Sistem memasuki periode puncak pada jam 04.03 ketika masih berada di perairan. Dan setelah itu mulai
meluruh dan memasuki periode musnah.
Karena sistem memasuki periode musnah ketika masih berjarak ± 50 km dari pulau Lombok, maka dapat
diprediksi curah hujan di pulau Lombok tidak akan terpengaruh oleh sistem tersebut, namun masih perlu
diwaspadai potensi angin kencang yang dapat terjadi, terutama bagi operasional penerbangan.
Dengan pembacaan jendela bantu, dapat diketahui pada awal kemunculan tropical squall di radar titik
konvergen terendah berada di ketinggian 2,2 km sementara titik divergen tertinggi berada pada ketinggian
10,6 km. Tidak semua titik konvergen berada di lapisan bawah, dan tidak semua titik divergen berada di
lapisan atas, namun secara garis besar ditemukan konvergensi di lapisan bawah, terutama pada inti badai.
Hal ini sesuai dengan penelitian Reed dan Recker (1971) yang menemukan adanya konvergensi pada lapisan
bawah dan divergensi pada lapisan atas sistem tropical squall.
Peranan aktivitas konvergensi dan divergensi cukup penting dalam pembentukan sistem squall line.
Ketika level bawah didominasi konvergensi, massa udara yang bertemu akan dipaksa naik ke atas
menjadikan uap air yang melewati inti kondensasi berubah menjadi awan konvektif. Kenaikan ini dibatasi
oleh lapisan stabil dari inversi di leves atas, sehingga angin kembali berpencar atau divergensi.
c. Produk VCUT
Gambar 4. Produk VCUT jam 2.03 - 4.33 UTC
- 294 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Ketinggian awan Cumulunimbus mencapai 18 km dari permukaan. dan nilai dBZ rata-rata tertinggi
adalah 50-55 dBZ yang terletak pada ketinggian sekitar 2 hingga 6 km dari permukaan tanah. Hal ini
sesuai dengan penelitian Szoke dan Zipster (1985) yang menyatakan sel dengan arus naik lemah
memiliki puncak reflektifitasnya berada di level bawah. Sebab butir-butir air yang besar tidak dapat
terangkat oleh arus naik.
d. Produk VIL
Gambar 5. Produk VIL jam 2.03 – 6.03 UTC
Vertical Integrated Liquid (VIL) memperlihatkan kandungan air yang terdapat pada suatu kolom awan
secara vertikal. Pada awal kemunculan squall line di radar, kandungan air secara vertikal pada sisi luar
sistem terlihat hanya berkisar 0.1-0.4 mm, sementara pada bagian inti sistem hanya mencapai 3.2 mm.
Kemudian pada setiap kelipatan 10 menit citra radar, terlihat adanya pertumbuhan awan ditinjau dari makin
banyaknya kandungan air dalam satu kolom vertikal awan dengan puncak pertumbuhan berada pada citra
jam 03.03 UTC dimana jumlah kandungan air mencapai 12.6-25.1 mm di bagian inti badai yang terlihat
lebih besar dibanding 10 menit sebelumnya.
Setelah mencapai pertumbuhan puncak, citra radar 10 menit berikutnya menunjukkan penurunan jumlah
kandungan air pada inti sel badai, dan inti sel badai mulai terlihat pecah menjadi beberapa sel inti yang lebih
kecil, meskipun luas area badai bertambah. Pengurangan kandungan air terus terjadi pada citra periode
selanjutnya hingga akhirnya sistem musnah pada pukul 06.03 UTC Dari sini dapat disimpulkan bahwa
fenomena ini tidak membawa banyak uap air yang dapat mengakibatkan hujan lebat.
- 295 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
3.2 Citra Satelit MTSAT
Dengan menggunakan citra MTSAT kanal visibel dilihat posisi awan Cb sebagai inti dari sel squall line.
Bagian yang berwarna paling putih mempunyai nilai albedo yang tinggi sehingga dapat diidentifikasi sebagai
awan Cb. Dan ketika kepadatan bagian warna putih berkurang sehingga warnanya keabu-abuan hal itu
mengindikasikan tropical squall telah memasuki masa pemusnahan sehingga menyisakan awan tinggi yang
memiliki nilai albedo lebih kecil. Kelemahan kanal visibel ialah, kanal ini hanya dapat menampilkan citra
satelit pada siang hari, karena menggunakan matahari sebagai gelombang pantulannya.
(a) Jam 01.00 UTC
(d) Jam 04.00 UTC
(g) Jam 07.00 UTC
(b) Jam 02.00 UTC
(c) Jam 03.00 UTC
(e) Jam 05.00 UTC
(h) Jam
UTC
Gal08.00
visibel
(f) Jam 06.00 UTC
(i)
Jam 09.00 UTC
Dari kanal visibel terlihat adanya area putih berbentuk bulat yang cukup padat dari arah tenggara
dan memasuki daratan Lombok sebelum akhirnya memudar dan menghilang. Sementara berdasarkan
citra satelit kanal inframerah mulai tanggal 20 Pebruari 2015 jam 18 UTC hingga tanggal 21 Februari
jam 07 UTC (terlampir), terlihat dengan jelas bahwa tekanan rendah di sebelah barat laut benua
Australia telah memicu konvergensi sehingga terbentuk sirkulasi awan konvektif serupa MCS.
Dinamika atmosfer membawa sistem tersebut menuju equator, namun karena gaya coriolis, maka
dibelokan ke arah kiri hingga akhirnya memasuki wilayah sapuan radar cuaca Selaparang sebagai
jajaran awan dengan reflektifitas tinggi dibagian muka dan diidentifikasi sebagai squall line.
- 296 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa poin terkait dengan rumusan masalah
seperti yang tertulis pada bab Pendahuluan. Yaitu sebagai berikut
a. Analisis Radar
 Produk Radar Gematronik memiliki kompetensi dalam menganalisa struktur squall line.
 Panjang squall line mencapai 276 km, luas inti awan badai 1419 m2 dan bergerak dengan
kecepatan 14 ms-1.
 Tidak ditemukannya rear inflow jet pada sistem.
 Sel awan memiliki updraft yang lemah
 Dari analisa Radar, disimpulkan dampak squall line terhadap pulau Lombok tidak terlalu
signifikan
b. Analisis Satelit
 Penggunaan kanal Visible sangat efektif dalam mendeteksi jenis awan pada siang hari
 Sistem berasal dari sebelah utara benua Australia dan bergerak menuju Indonesia namun karena
pengaruh gaya corioli maka sistem dibelokkan ke kiri.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, G.M., dan Sieckman, K. (1984). Environment of Fast and Slow Moving Tropical Mesoscale Convective
Cloud Lines, National Center of Atmospheric Research, Boulder.
Cotton, W.R., dan Anthes, A.R. (1989). Storm and Cloud Dynamics, Academic Press, San Diego, California.
Maddox, A.R. (1980). Mesoscale Convetive Complex, Departement of Atmospheric Science, Universitas Negeri
Colorado.
Rajeevan, M., Kesarkar, A., Thampi, S.B., Rao, T.N., Radhakrishna, B., dan Rajasekhar, M. (2010). Sensitivity
of WRF Cloud Microphysics to Simulations of a Severe Thunderstorm Event Over Southeast India, Ann.
Geophys., 28, 603–619, Copernicus Publications
Rinehart, R.E. (2010). Radar for Meteorologist - Fifth Edition. Nevada, Missouri: Rinehart Publications.
Szoke, E.J., dan Zipser, E.J. (1986). A Radar Study of Convective Cells in Mesoscale Systems in GATE. Part I:
Vertical Profile Statistics and Comparison with Hurricanes, 1. Amos. Sci.43, 182-218.
http://www.meted.ucar.edu/radar/tropical_cases/print_2.htm#page_3.1.0
meteora.ucsd.edu/~mpritchard/bib/Tak07/
theweatherforums.com/archive/index.php?topic/15760-serve-weather/
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Jam
Tempat
Diskusi
: Dr. Rokhmatullah
: Identifikasi Squall Line menggunakan Radar Grmatronik dan Satelit (studi kasus Lombok
21 Febuari 2015)
: Anggi Dewita
:14.35 – 14. 45
: Ball room 2 (Lt.1)
:
Gatot (LAPAN)
Pada judul mungkin lebih dapat diperjelas kalau yang digunakan terutama adalah datar Radar Terestrial agar tidak rancu
bagi yang membacanya.
Apa bisa squall Line diketahui dan di identifikasi dengan citra optik atau NIR?
Yosef (BIG)
Kenapa Kota Raja punya curah hujan yang tinggi padahal tidak ada hubungan dengan Squall line, jika melihat pada
hasil penelitian, dimana pada daerah tersebut seperti diabaikan?
Bisa tidak metode yang adagunkan ini untuk mengetahui squall line tersebiut, digunakan untuk seluruh wilayah di
Indonesia?
Mungkinkah terjadi Squall Line yang terbentuk berasal dari arah Utara Indonesia?
- 297 -
Identifikasi Squall Line Menggunakan Radar Gematronik Dan Satelit(StudiKasus Lombok, 21 Pebruari 2015)(Dewita, A., et al.)
Jawaban:
Penulis akan menambahkan pada judul sebagia perbaikan
Jika menggunakan gelombang Optik tidak akan terlihat dengan jelas proses pembentukan squall line-nya. Proses
terjadinya Squall Line ini terjadi pada malam hari, sehingga dari infra red lebih dapat terlihat. Pada dasarnya lebih
bagus jika squall line dilihat dengan citra visible hanya saya meneliti prosesnya jadi saya menggunakan radar.
Penulis membuat lokasi penulisan pada daerah lombok, dan biasanya pada wilayah ini umumnya adalah cuaca lokal
sedangkan Kota Raja berada dibalik Gn. Rinjani, sehingga tidak terkena squall line tapi lebih pada kondisi
geografisnya.
Bisa dilakukan pada daerah lainnya, seperti di Jakarta pada bulan januari 2015 pernah terjadi, hanya pada komposisi
yang berbeda dan sebeb yang berbeda.
Untuk dari utara pernah terjadi di Sumatera dengan angin berasal dari barat.
- 298 -
Download