pembelajaran fisika-sains yang huanis dan

advertisement
PEMBELAJARAN FISIKA YANG HUMANISTIK DAN MENYENANGKAN
Paul Suparno
Pendidikan Fisika, FKIP, USD, Yogyakarta
paulparno@@gmail.com
ABSTRAK
Artikel ini dengan singkat menjelaskan tentang pembelajaran fisika yang humanistik dan
menyenangkan dengan rincian: (1) apa artinya pembelajaran fisika humanistik, (2)
bagaimana dilakukan, dan (3) apa yang dibuat guru dalam mengajar. Pembelajaran fisika
humanistik dimengerti sebagai pembelajaran fisika yang lebih bersifat manusiawi. Dalam
pembelajaran fisika atau sains, diperhatikan segi kemanusiaan dari siswa yang belajar,
termasuk partisipasi, situasi psikologis, lingkungan, budaya, keadaan masyarakat, dan
dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan keadaan siswa maka
siswa dapat belajar sesuai dengan situasinya, menjadi senang dengan fisika, dan akhirnya
dapat senang belajar dan maju. Manusia sendiri kompleks, maka dalam pembelajaran
fisika, perlu guru memperhatikan unsur-unsur yang kompleks itu.
ABSTRACT
This article explains about the humanistic and enjoyable physics teaching-learning such
as (1) what is the meaning of humanistic physics teaching-learning, (2) how to do it, and
(3) what should teachers do in the teaching-learning process. The humanistic physics
teaching-learning is known as physics teaching-learning that is more humanistic. In the
physics teaching-learning it is important to consider all students human aspects, such as
their participation, psychological situation, their environment, culture, society situation,
and their relation with their ordinary lives. By considering all students situation, students
are able to learn according to their situation, become happier and enjoy physics. In the
end they will study physics better and improve their understanding. Human is complex,
so in the physics teaching-learning, teaches should consider all those aspects.
Keywords
Pembelajaran fisika humanistik, pembelajaran, pendekatan humanistik
2
PENDAHULUAN
Meskipun pada akhir-akhir ini sudah mulai banyak perkembangan dalam
pembelajaran fisika di level sekolah dasar dan menengah, namun masih banyak praktek
pembelajaran fisika yang kurang humanistik. Beberapa contoh dapat kita amati antara
lain seperti berikut. Banyak guru mengajarkan fisika hanya dengan ceramah dan siswa
harus dengan pasif mendengarkan. Banyak guru mengajar fisika tidak kontektual, tidak
memperhatikan keadaan siswa yang diajar. Siswa menjadi bosan, jengkel, tidak mengerti,
dan jenuh. Guru kurang memperhatikan siswanya, yang penting mereka terus
mengajarkan isi fisika. Banyak guru mengajar fisika dengan contoh-contoh yang tidak
sesuai dengan keadaan dan lingkungan siswa, sehingga siswa tetap tidak mengerti.
Banyak guru mengajar dengan aktif sendiri, sedangkan siswanya lebih pasif, tidak
dibantu untuk terlibat dalam proses pembentukan pengertian. Mesti inteligensi siswa
bervariasi dan cara belajarnya berbeda, guru tetap mengajar dengan satu model saja;
sehingga banyak siswa menjadi bosan dan tidak senang dengan fisika. Banyak guru di
level SD dan SMP mengajarkan konsep fisika secara abstrak, padahal fisika itu ilmu
tentang alam yang konkrit.
Dari beberapa praktek di atas, dapat dilihat bahwa banyak guru fisika
mengajarkan fisika lebih memperhatikan dirinya sendiri dan tidak atau kurang
memperhatikan keadaan siswa dan situasi yang dihadapi siswa. Secara singkat dapat
dikatakan para guru masih banyak yang mengajarkan fisika secara kurang humanistik,
kurang memperhatikan keadaan siswa yang diajar. Maka tidak mengherankan bahwa
3
banyak siswa menjadi kurang senang dengan fisika dan pengertian fisika mereka kurang
mendalam.
Artikel ini membahas pembelajaran fisika yang lebih humanistik dengan
mempertanyakan apa arti humanistik, model pembelajaran fisika yang humanistik, dan
bagaimana guru dapat lebih mengembangkan pembelajaran yang humanistik.
PEMBELAJARAN FISIKA HUMANISTIK
Pembelajaran fisika pada umumnya mempunyai dua tujuan yang perlu
diperhatikan. Pertama adalah membantu siswa untuk nantinya menjadi “ilmuwan” fisika
atau persiapan profesi yang berkaitan dengan fisika. Maka salah satu tugas guru adalah
membantu siswa menekuni topik-topik yang nantinya akan berguna dalam mempelajari
fisika di perguruan tinggi atau berprofesi berkaitan dengan fisika. Inilah yang dalam
pembelajaran tradisional mendapatkan tekanan. Guru lebih mengajarkan bahan fisika
secara baku. Yang kedua, pembelajaran fisika lebih untuk membantu siswa hidup di
dunia ini dengan berbekal pemikiran dan pendekatan fisika. Bagi mereka ini, pelajaran
fisika lebih untuk digunakan dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini guru fisika
diharapkan dapat membantu siswa mengamati peristiwa sehari-hari yang menggunakan
konsep fisika dan juga mengembangkan aspek pendekatan ilmiah dalam menganalisa
persoalan hidup di masyarakat. Dalam hal yang terakhir ini yang dipentingkan adalah
pemikiran dan sikap ilmiahnya, bukan rumusan atau bahan fisikanya.
Tidak semua siswa yang belajar fisika di SD sampai SMA nantinya akan
berprofesi dalam bidang fisika. Fisika bagi mereka bukan menjadi utama. Bagi mereka
pelajaran fisika lebih untuk melatih berpikir rational dan mengenal peristiwa alam yang
4
dihidupinya sehari-hari sehingga dapat menyikapi dengan tepat. Bila bagi mereka ini
pengajaran fisika disamakan dengan mereka yang akan menekuni profesi fisika
selanjutnya, maka akan menjadi beban dan bahkan kontraproduktif. Maka tidak
mengherankan bila guru hanya menekankan isi bahan fisika, banyak siswa tidak
menangkap dan dapat menjadi tidak suka dengan fisika. Akibatnya kadang muncul
ungkapan siswa ”Fisika itu sulit; Masuk jurusan fisika? Tidak saja!”
Bagi siswa-siswa yang nantinya tidak akan menekuni profesi fisika, pembelajaran
fisika diharapkan lebih humanistik. Artinya, pembelajaran perlu memperhatikan dan
disesuaikan dengan kemanusiaan siswa yang sedang belajar. Secara sederhana,
humanistik berarti berkaitan dengan nilai kemanusiaan, bersesuaian dengan keadaan si
pembelajar, lingkungan, budaya, dan keperluan hidup sehari-hari. Maka cara pendekatan,
metode, sarana, perlu disesuaikan dengan situasi, lingkungan, cara pikir, keadaan, dari
siswa.
Ada banyak perbedaan tentang arti humanistik. Disini diungkapkan beberapa
gagasan yang sering digunakan dalam sejarah pendidikan sains. Aikenhead (2006: 2)
menjelaskan perpektif humanistik sebagai sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai,
hakekat sains, aspek sosial dari sains, budaya sains, dan sifat manusiawi dari sains yang
diungkap melalui sosiologi, sejarah dan filsafatnya. Sejak tahun 1970 perpektif
humanistik pembelajaran sains dicontohkan dalam kurikulum sains yang dikaitkan
dengan tekonologi dan masyarakat yang disebut STS (Science, Technology, and Society).
Tetapi perpektif humanistik tidak dibatasi pada kurikulum STS.
Aikenhead merangkumkan beberapa karakteristik dari perspektik humanistik
dalam sains di sekolah. Pada tabel 1 berikut dikutipkan beberapa perbedaan karakter
5
pendidikan sains yang lebih humanistik dan yang tradisional yang dianggap kurang
humanistik (2006:3):
Tabel 1. Perbandingan Karakter Pendidikan Sains Humanistik dan Tradisional
No
Karakteristik pendidikan sains
humanistik
Karakteristik pendidikan sains
tradisional
1
Induksi, sosialisasi, enkulturasi
pada lingkungan lokal, nasional,
global siswa, yang dibentuk oleh
sains dan teknologi.
Induksi, sosialisasi atau enkulturasi
dalam disiplin ilmiah.
2
Persiapan untuk dunia sehari-hari
Pelatihan profesional untuk dunia
ilmiah
3
Perhatian pada dimensi
manusiawi, social, budaya
Dekontekstual dari kehidupan
sehari-hari
4
Pendekatan multisains
Pendekatan monosains
5
Melihat dunia melalui mata siswa
dan orang dewasa secara
signifikan
Melihat dunia melalui kacamata
ilmuwan saja
6
Belajar adalah interaksi dengan
dunia sehari-hari dan termasuk
pencapaian intelektual, perubahan
personal, membentuk identitas
diri, mengerti kekuatan
sosiopolitik, dll
Belajar adalah tugas intelektual
berfokus pada pencapaian
pengetahuan ilmiah dan kebiasaan
pikiran ilmiah
Dari tabel 1 di atas nampak bahwa pembelajaran sains humanistik lebih
menekankan pada konteks siswa, lingkungan, budaya, nilai, dan dikaitkan dengan hidup
sehari-hari. Pembelajaran humanistik menggunakan pendekatan multisains, integral, dan
bertekanan pada siswa. Jadi pembelajaran sains bukan hanya bertekanan pada segi
kognitif atau ilmiah saja, yang memang juga penting.
6
Dalam pembelajaran sains sebelum tahun 1890, topik terpecah menjadi fisika,
astronomi, geologi, kimia, zoologi, botani; sekarang ini lebih integratif, sains menjadi
kesatuan yang dimengerti sebagai saling terkait. Bahan-bahan itu juga dihubungkan
dengan keadaan sehari-hari (Aikenhead, 2006). Misalnya di Harvard, sekarang ini dalam
pembelajaran sains juga diberikan sejarah, filsafat, dan sosiologi sains. Perpektif filsafat
dan sejarah fisika diajarkan dalam pelajaran fisika.
Frederick Edwords dengan menggunakan definisi Corliss Lamont, menjelaskan
humanisme modern, yang juga disebut humanisme naturalitik, humanisme ilmiah,
sebagai filsafat naturalistik yang menolak semua bentuk supernaturalisme dan
mendasarkan diri terutama pada alasan dan sains, demokrasi, dan rasa belas kasihan
manusiawi (1989:2). Corliss Lamont menekankan pentingnya penalaran, perasaan,
demokrasi dalam hidup manusia. Dia menolak anggapan yang selalu bertolak pada
supernatural, yang ada di atas manusia. Sangat jelas bahwa humanisme modern disatu sisi
menekankan pentingnya rationalitas, tetapi disatu sisi juga menekankan pentingnya
perasaan manusiawi; yang keduanya adalah merupakan sifat manusia yang utuh.
DeBoer (1991: 179) dalam melihat sejarah perkembangan pembelajaran sains,
juga mengungkapkan tentang pendidikan sains yang humanistik. Menurutnya, sejumlah
pendidik sains yakin bahwa pendidikan sains harus berhasil menggambarkan sains
sebagai aktivitas manusiawi dan lebih memperhatikan respons emosional dari
pembelajar. Humanisme adalah suatu keyakinan pada pentingnya makluk hidup,
khususnya kualitas yang membuat setiap orang sungguh-sungguh
manusiawi dan
memungkinkan individu mengalami hidup yang sungguh berarti. Maka orientasi
7
humanistik adalah salah satu yang memperhatikan perasaan dan emosi orang, yang sama
sama penting seperti pengertian dan kemampuan intelektual mereka.
Ann Howe 1971 (dalam DeBoer, 1991: 179), menjelaskan di dunia ini kita
memerlukan orang yang dapat berpikir dan merasa, orang yang mengerti dunia dan juga
cinta padanya, yang mengerti bentuk-bentuk kehidupan dan menghargainya, yang tahu
banyak bintang dan tetap dapat kagum. Dalam contoh itu jelas unsur utama kemanusiaan,
adalah pikiran dan hati, mendapatkan tempat. Maka siswa dengan belajar fisika akan
semakin berkembang sebagai pribadi manusia yang lebih utuh. Oleh karena pikiran dan
hati digunakan, maka dengan belajar sains, siswa tidak menjadi pribadi yang dingin atau
kering, tetapi menjadi pribadi yang semakin penuh.
Bybee dan Welch (1972 dalam DeBoer, 1991: 180) mengungkapkan bahwa
dalam pendidikan sains, pendekatan humanistik adalah pendekatan yang: (1) tidak
melupakan faktor manusiawi bila mengajar tentang kemajuan sains; (2) memasukkan
hubungan antara sains dan kemanusiaan; dan (3) menggunakan metode mengajar yang
manusiawi, termasuk memberikan kesempatan siswa memilih, menyediakan pengalaman
yang berarti bagi siswa dan keterlibatan siswa secara personal. Jelas bahwa unsur
kemanusiaan siswa dalam pembelajaran sains mendapatkan tekanan penting, sehingga
siswa tetap dikembangkan secara utuh.
Dengan perspektif pembelajaran sains humanistik itu, muncullah beberapa bidang
kajian sains yang secara khusus lebih humanistik, lebih integratif, dan berkaitan langsung
dengan hidup sehari-hari. Bidang itu misalnya seperti: bidang lingkungan hidup, ekologi,
sains dan kesehatan, dll.
8
Dari beberapa gagasan tentang pembelajaran sains yang humanistik di atas,
dapatlah dirangkum bahwa pembelajaran sains humanistik dimengerti sebagai
pembelajaran sains yang lebih bersifat manusiawi. Artinya bahwa dalam pembelajaran
fisika atau sains, diperhatikan segi kemanusiaan dari siswa yang belajar, termasuk
partisipasi, situasi psikologis, lingkungan, budaya, keadaan masyarakat, dan dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan keadaan siswa maka siswa dapat
belajar sesuai dengan situasinya, menjadi senang dengan fisika, dan akhirnya dapat
senang belajar dan menjadi maju. Manusia sendiri kompleks, maka dalam pembelajaran
fisika, perlu guru memperhatikan unsur-unsur yang kompleks itu.
MODEL PEMBELAJARAN FISIKA HUMANISTIK
Dari uraian tentang pembelajaran fisika yang humanistik di atas, secara singkat
dalam pembelajaran fisika segi kemanusiaan yang lengkap perlu mendapatkan perhatian,
terutama kemanusiaan siswa yang sedang belajar. Segi itu menyangkut keseluruhan
kehidupan siswa. Dengan pendekatan menyeluruh itu, pembelajaran dapat lebih
membantu siswa senang belajar fisika, dan akibatnya jelas, semakin mengerti konsep
fisika pula. Syukur-syukur dari mereka yang senang ini, muncul calon-calon ilmuwan
fisika.
Beberapa pendekatan dan model pembelajaran fisika yang dipandang dapat
menjadikan pembelajaran fisika lebih humanistik, utuh dan menyenangkan dapat
disebutkan di bawah ini.
Pendekatan konstruktivistik. Pendekatan konstruktivistik secara sederhana
menekankan siswa yang harus aktif mengkonstruksi pengertian fisika mereka. Landasan
9
pendekatan ini adalah filsafat konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu
bentukan siswa yang sedang belajar sendiri (Glasersfeld, dalam Suparno, 1997: 18).
Maka dalam pembelajaran fisika siswa perlu dibantu aktif berpartisipasi dalam belajar.
Dalam pendekatan ini, guru perlu membantu siswa mau aktif belajar, mengolah bahan,
mencerna, merumuskan konsep mereka. Biasanya pada level SD dan SM siswa lebih
mudah mengkonstruksi pengertian fisika, yang merupakan ilmu tentang alam, dengan
langsung mengamati persoalan alam yang ada. Maka model pembelajaran yang lebih
bersifat aktif seperti praktikum, observasi lapangan, inkuiri atau penelitian langsung,
kerja kelompok, akan menarik siswa dan membantu mereka lebih tekun belajar. Dalam
model ini guru sendiri juga perlu menjadi guru yang konstruktivis, bukan guru yang
sukanya berceramah.
Pendekatan konstruktivis sangat cocok dengan siswa SD dan SM, karena secara
psikologis siswa-siswa senang aktif, senang bertanya, senang untuk mengamati dan mainmain dengan hal-hal yang terjadi di alam sekitar mereka. Maka guru diharapkan tidak
mematikan kreativitas mereka dalam mencari tahu persoalan yang mereka hadapi. Model
pendekatan ini dengan jelas membalik paradigma pembelajaran, dari tekanan lebih pada
guru ke tekanan pada siswa. Pendekatan konstruktivis dapat lebih membantu siswa
semakin mengerti konsep fisika secara intelektual karena mereka sendirilah yang aktif
mencerna dan membangun pengertian mereka. Sifat tidak dituntut menghafalkan, tetapi
mengerti konsepnya. Pendekatan ini juga membantu siswa semakin berpikir cerdas, dan
bukan menghafalkan bahan.
Pendekatan multiple intelligences. Pendekatan multiple intelligences (inteligensi
ganda) dengan jelas memperhatikan kekhasan siswa yang belajar. Siswa tidak dilihat
10
sebagai sama, dengan inteligensi matematiknya saja, tetapi sebagai pribadi yang
mempunyai berbeda-beda inteligensi. Menurut Gardner, setiap orang mempunyai 9
inteligensi yaitu inteligensi matematik logis, linguistik, ruang visual, musikal,
interpersonal, intrapersonal, kinestetik badani, lingkungan, dan eksistential.
Dengan
pembelajaran fisika yang menggunakan pendekatan ini, setiap siswa dibantu sesuai
dengan inteligensinya, sehingga mereka dapat mempelajari konsep fisika sesuai dengan
cara yang terbaik bagi mereka. Gardner, si penemu multiple intelligences,
mengungkapkan bahwa siswa dapat belajar bahan apapun dengan mudah dan cepat, bila
bahan itu disampaikan dengan inteligensi yang menonjol yang dipunyai siswa tersebut
(Gardner, 1983; Suparno, 2004). Tentu menjadi persoalan bagi kita, yaitu guru fisika
sendiri harus berani belajar dan mengajar sesuai dengan inteligensi siswanya.
Dari pengalaman dan riset beberapa mahasiswa yang praktek mengajar di SMA di
Yogyakarta, ternyata memang siswa lebih antusias belajar fisika waktu model
pembelajarannya lebih menggunakan multiple intelligenses. Siswa menjadi lebih senang,
gembira, dan antusias belajar fisika. Sebagai hasil akhir memang siswa juga bertambah
berkembang pengetahuan mereka. Yang juga menarik dari penelitian mereka adalah
bahwa siswa merasa disapa, dihargai sesuai dengan inteligensinya. Siswa tidak
merasakan selalu disamaratakan. Mereka merasa mendapatkan perhatian dari guru.
Dari penelitian di antara beberapa guru sains, banyak guru menganggap bahwa
mengajarkan fisika atau sains tidak baik dengan menggunakan inteligensi musikal dan
kinestetik badani. Namun setelah mereka mempelajari dan menggunakan kedua
inteligensi itu, ternyata siswa mereka lebih berminat belajar fisika atau sains.
11
Aspek inteligensi EQ, SQ, IQ. Dalam pembelajaran sangat penting diperhatikan
kecerdasan emosi dan spiritual, selain juga inteligensi intelektual. Dalam beberapa
penelitian dan pemantauan, cukup banyak siswa yang sebenarnya pandai, tetapi gagal
dalam belajar fisika karena emosinya tidak tertata atau juga batinnya tidak tertata.
Banyak siswa yang karena sedang marah, tidak dapat belajar; karena tidak suka pada
guru lalu tidak mau belajar; karena konflik dengan dosen pembimbing, lalu tidak mau
datang dan akhirnya tesis tidak selesai. Maka dalam pembelajaran fisika, guru perlu tetap
juga membantu siswa mengembangkan EQ, SQnya. Dalam praktek mengajar di kelas SD
dan SM, unsur ini menjadi unsur yang sangat penting. Guru membantu siswa agar tetap
senang, gembira dan tidak mudah putus asa kalau gagal.
Aspek psikologis: Kesenangan siswa. Hal yang sangat penting bagi siswa level
dasar dan menengah dalam belajar fisika adalah unsur rasa senang. Kesenangan ini
merupakan bagian sangat penting bagi siswa dalam belajar. Bila seorang siswa suka
dengan pelajaran fisika, maka ia dengan sendirinya akan belajar. Dan hasilnya akan lebih
mendalam. Bila siswa tidak suka, maka meski dipaksa, ia tidak akan belajar dengan
tekun, dan akibatnya hasilnya kurang memuaskan. Maka tugas guru dalam mengajar
fisika di level dasar dan menengah yang utama adalah membantu siswa senang dengan
fisika.
Menarik bahwa dari pengalaman pembelajaran fisika, untuk membantu siswa
senang fisika, jalannya bermacam-macam tergantung pada siswa, guru, dan situasinya.
Beberapa siswa menjadi senang fisika karena tertarik pada pendekatan guru. Beberapa
siswa menjadi senang fisika karena cara mengajar fisika yang menarik. Beberapa siswa
senang fisika karena senang dengan pribadi gurunya. Maka guru diharapkan meneliti
12
siswa di kelasnya lebih dominan tertarik dengan cara apa. Kadang diperlukan riset
tindakan kelas yang dapat membantu. Banyak cara yang dapat dilakukan guru agar
pembelajaran fisika menarik. Dari berbagai metode, dapat disebutkan seperti: metode
inkuiri, dimana siswa diberi kesempatan meneliti sendiri; metode fisika aneh dengan
menunjukkan gejala-gejala aneh yang menarik minat siswa; permainan; debat;
darmawisata, dll. Dengan mengerti berbagai metode yang dapat menarik, guru sendiri
diharapkan memilih metode mana yang tepat bagi siswa di kelasnya.
Pendekatan holistik. Pendekatan holistik menganjurkan bahwa fisika atau sains
diajarkan dengan memperhatikan aspek manusia yang lebih utuh yaitu segi intelektual,
sosial, moral, emosional, spiritual, seni, dan fisik. Model pendekatannya lebih integratif,
multidisipliner, dan menekankan pada partisipasi siswa, serta menekankan pengalaman
siswa belajar. Relasi guru dan siswa menekankan dialog, kerjasama, saling membantu
belajar dan mengembangkan diri.
Guru dalam mengajarkan fisika, kecuali mengajarkan nilai ilmiah atau
intelektualnya, juga mengajarkan nilai sosial, emosi, moral, spiritual lewat pembelajaran
fisika. Dengan demikian maka siswa dengan belajar fisika sekaligus mengembangkan
dirinya menjadi lebih utuh dan penuh. Yang juga perlu ditegaskan dalam pendekatan
holistik, adalah bahwa fisika diajarkan dengan pendekatan integratif, bukan terpisah.
Fisika dikaitkan dengan ilmu sains yang lain seperti biologi, kimia, geologi, dan bahkan
ekonomi dan matematik. Maka pendekatan kasus sering lebih cocok untuk kejadian alam
yang real. Misalnya, mempelajari gempa dari segi fisis, biologis, matematis, ekonomis,
sosial dll. Dengan demikian siswa akan dipacu untuk menempatkan fisika dalam konteks
keilmuan yang luas dan kegunaan yang lebih luas.
13
Pendekatan multikultural. Siswa yang sedang belajar fisika si suatu kelas sering
tidak berasal dari satu budaya atau lingkungan yang sama. Terlebih di Indonesia, dalam
satu kelas dapat berisi siswa-siswa dari berbagai budaya dan lingkungan. Kita juga
mengetahui bahwa beberapa konsep fisika dan hukum fisika ditemukan oleh ahli dari
budaya lain dengan lingkungan dan gagasan yang dapat berbeda. Maka kalau
pembelajaran fisika ingin lebih humanis, jelas perlu memperhatikan ke multikulturalitas
tersebut. Pembelajaran fisika perlu memperhatikan budaya, situasi siswa dan juga budaya
dimana konsep fisika ditemukan. Maka contoh-contoh dalam pembelajaran perlu diambil
dari budaya yang lebih dekat dengan siswa; dan bila siswanya bermacam-macam, maka
contoh pun perlu diambil dari lingkugan dan budaya yang berbeda-beda.
Fisika dan pendidikan nilai. Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, baraklak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggungjawab (UU Sisdiknas, ps 3). Dalam pengertian humanistik, pendidikan
diharapkan membantu siswa menjadi lebih manusiawi, yang berarti salah satunya adalah
mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang berguna bagi kehidupan bersama dengan
orang lain dan juga relasinya dengan Tuhan dan alam semesta. Maka pembelajaran fisika
pun tidak dikecualikan, juga ikut menyumbangkan pendidikan nilai. Guru fisika lewat
pembelajaran fisika sekaligus juga diharapkan dapat membantu siswa mendalami nilai
kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan yang berguna dalam hidup mereka. Maka tidak
ada tempat lagi bagi guru fisika yang mengatakan, ”Aku guru fisika hanya mengajarkan
fisika, dan tidak membantu siswa berurusan dengan nilai hidup.” Tidak ada tempatnya
14
lagi bagi seorang guru fisika yang tidak mau ikut bertangungjawab terhadap
perkembangan ”kebaikan” siswa.
PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN FISIKA HUMANISTIK
Dalam kenyataan ada 2 macam guru fisika dalam kaitan dengan pembelajaran
humanistik ini. Pertama adalah guru fisika yang lebih berpegang pada mengajarkan isi
bahan fisika secara ketat. Bagi mereka yang penting adalah mengajarkan isi fisika seperti
adanya. Mereka dengan segala cara, menolak untuk mengajarkan fisika secara
humanistik. Mereka lebih aman mengajarkan fisika seperti yang sudah-sudah, yaitu
mengajarkan hukum, rumus atau isi fisikanya. Beberapa alasan mengapa guru-guru ini
bertahan dengan prakteknya antara lain:

Pandangan dasar dan keyakinan bahwa mengajar fisika itu hanyalah
mengajarkan isi bahan fisika; bukan yang lainnya.

Sudah enak dengan cara mengajar seperti itu, sehingga tidak mau berubah
karena membutuhkan energi dan tidak aman.

Tidak mengerti bahwa ada perkembangan pembelajaan fisika; mereka tidak
memperoleh informasi perkembangan.

Kurang belajar lagi dan kurang membaca adanya perubahan dan
perkembangan dalam pembelajaran fisika.

Tidak punya kreatifitas, tidak ada inovasi.

Ketakutan bahwa bahan tidak selesai seperti yang direncanakan.

Sarana dan prasarana tidak ada.
15
Kedua adalah kelompok guru yang lebih mau mengembangkan pembelajaran
fisika secara humanistik. Mereka meski sering mengalami kesulitan, mencoha untuk
semakin mengajarkan fisika secara lebih manusiawi. Ada beberapa alasan mengapa
kelompok ini meski mengalami kesulitan, ingin tetap mencoba dan mengembangkan
pembelajaran fisika yang lebih humanistik, al:

Mengerti akan adanya perubahan dan perkembangan pembelajaran fisika atau
sains, lewat bacaan, intenet, TV, studi banding, dll.

Ingin agar siswa semakin senang, mengerti, dan mencintai fisika.

Ingin membantu siswa agar berkembang, maka perlu memperhatikan situasi,
keadaan, dan lingkungan dimana siswa belajar.

Tanggapan siswa, yang ternyata semakin senang dan bersemangat belajar
fisika, setelah diajar dengan pendekatan baru, memacu guru semakin
semangat mengembangkannya.

Sarana dan prasarana yang mendukung.
Agar banyak guru fisika dan sains semakin mengembangkan pembelajaran fisika
yang humanistik dibutuhkan langkah-langkah dan usaha antara lain:

Guru fisika harus terus belajar, tidak puas dengan apa yang telah dibuat;
sehingga semakin maju dalam profesinya.

Guru fisika diharapkan selalu melihat lingkungan hidup sehair-hari dimana
siswa berada, untuk melihat gejala-gejalan dan kejadian sehari-hari yang
menggunakan konsep fisika. Semakin ia mengerti banyak hal ini, akan dapat
membantu mengajar siswa sesuai dengan keadaan hidup siswa.
16

Guru fisika diharapkan terus berusaha mengerti keadaan siswa, emosi,
pemikiran, cara belajar, kesukaan, budaya, dll; sehingga semakin dapat
mengajarkan sesuai dengan keadaan siswa. Maka pembelajaran akan semakin
kontekstual.

Sekolah atau antar sekolah perlu mengadakan pelatihan bagi guru-guru fisika
tentang model-model pembelajaran yang lebih humanistik. Pertemuan antar
guru fisika juga diharapkan menjadi ruang untuk saling belajar terutama
belajar mengembangkan pendidikan fisika yang lebih humanistik.
PENUTUP
Pembelajaran fisika yang humanistik diperlukan bagi siswa tingkat SD-SM. Tidak
semua siswa nantinya ingin menjadi ilmuwan fisika, tetapi lebih mau menggunakan fisika
untuk keperluan hidup sehari-hari. Mereka ini akan lebih menyukai fisika bila
pembelajarannya lebih humanistik, yaitu memperhatikan keadaan siswa, situasi, sifat,
karakter, dan kekhasan siswa masing-masing.
Tantangan pengembangan pembelajaran fisika yang humanistik tetap besar,
terutama pada diri guru fisika sendiri. Apakah guru mau maju dalam pembelajaran atau
mau tetap bekerja seperti dulu? Namun dengan sebagian guru yang dengan tekun mau
berkembang, lama kelamaan diharapkan semakin banyak guru berubah dalam
pembelajaran fisika. Yang kita harapkan bahwa banyak siswa semakin menyenangi
fisika, karena pembelajarannya yang semakin menarik dan membuat siswa senang. Dan
17
akhirnya dari mereka nantinya akan muncul para fisikus yang ulung dan juga banyak
orang yang terbantu hidupnya karena belajar fisika.
ACUAN
Aikenhead, Glen. 2006. Science Education for Everyday Life. New York: Teachers
College Columbia University.
Aikenhead, Glen. 2004. The Humanistik and Cultural Aspects of Science & Technology
Education. Paper disajikan pada Simposium IOSTE ke 11, Lublin, Polandia, Juli 25-30
2004.
DeBoer, George. 1991. A History of Ideas in Science Education. New York: Teachers
College,Columbia University.
Edwords, Frederick. 1989. What is Humanism? Dalam
http://www.jen.com/humanism.html.
Epstein, Marcia. 2004. Teaching a “Humanistik” Science: Reflections on
Interdisciplinary Course Design at the Post-Secondary Level. Dalam
http://cie.ed.asu.edu/volume7/number3/index.html.
Gardner, Howard. 1993. Multiple Intelligences. The Theory in Practice. NY: BasicBooks.
Maslow, A. 1965. Humanistik Science and Trancendent Experiences. Dalam
http://www.westga.edu/~psydept/os1/maslow.htm.
NN. 2003. Undang-undang Sisdiknas.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta:
Kanisius.
Suparno, Paul. 2003. Pendidikan Sains di Sekolah Menengah yang lebih Holistik. Dalam
Widya Dharma, Vol 14, No 1, Oktober 2003. Yogyakarta: USD.
Download