Bab I 1. Latar Belakang Masalah Ungkapan “Ajeg Bali” merupakan ungkapan yang cukup populer, sering diucapkan dan diperdebatkan dalam masyarakat Bali akhir-akhir ini. Ungkapan ini dberitakan disetiap media cetak dan televisi lokal, dan menjadi perbincangan yang hangat disetiap kesempatan, bahkan setiap kegiatan yang bernafaskan ritual pastilah ada ungkapan “Ajeg Bali”. Kata Ajeg sendiri berarti kokoh, kukuh, tetap, yang mana selanjutnya ungkapan “Ajeg Bali” berarti orang Bali sebaiknya kembali ke asal, kembali ke Bali yang murni dan damai, dimana semua teratur dan asli1. “Ajeg Bali” merupakan cita- cita masyarakat Bali untuk menjadikan dirinya merasa berkeadilan secara sosial ekonomi maupun secara sosial budaya2. Secara sosial ekonomi, Bali merupakan tempat pariwisata yang cukup ramai dikunjungi, oleh karena itu banyak masyarakat Bali secara ekonomi bergatung pada pariwisata untuk mendapatkan penghasilan. Tetapi sejak terjadinya bom Bali, 12 Oktober 2002, Bali seakan terpuruk, hal ini membuat usaha-usaha yang berhubungan dengan pariwisata menjadi bangkrut dan banyak orang kehilangan pekerjaannya. Belum lagi dengan adanya warga pendatang membuat persaingan dalam bisnis pariwisata semakin kuat yang membuat orang asli menjadi tersisih dan menjadi orang asing di rumahnya sendiri. Dengan keadaan seperti ini masyarakat menjadi waspada dan siaga setiap saat, sehingga dengan cepat memproteksi diri dan curiga dengan orang luar Bali. Usaha meng-Ajeg Bali-kan Bali merupakan tanggung jawab dari orang Bali. Orang Bali merupakan orang yang tepat untuk dapat menjalankan konsep “Ajeg Bali” tersebut, 1 2 Suryawan, I Ngurah, Bali Narasi Dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan. (Yogyakarta, 2005)p67 Wirata, Kehancuran Mesti Dihindarkan, Ajeg Bali Sebuah Cita-cita. (Bali Post, 2004)p.17 5 tetapi siapakah orang Bali itu atau orang Bali yang mana, yang melaksanakan “Ajeg Bali”?. Kebudayaan meliputi semua aspek dalam kehidupan manusia seperti bahasa dan adat istiadat,agama dan kepercayaan, penetapan nilai-nilai dan pengubahannya, ilmu pengetahuan dan filsafat, serta aneka ragam kesenian. Kebudayaan selalu ada dalam setiap aspek kehidupan manusia, jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari yang namanya kebudayaan. Kultur atau kebudayaan adalah sesuatu yang dibuat manusia, dan akhirnya ia juga membentuk manusia dengan kebudayaan. Karena kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka sifatnya hanyalah sementara dan pada umumnya kebudayaan ini sedang mengalami proses perubahan3. Proses perubahan kebuadayaan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan jaman, namun terkadang manusia sulit untuk mengikuti perubahan yang disebabkan oleh perkembangan jaman ini, padahal diketahui bahwa kebudayaan itu dibuat oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri. Manusia terkadang juga terlalu memegang kuat kebudayaan yang telah ada dan ia tidak peduli dengan perubahan jaman yang mengharuskan adanya perubahan kebudayaan karena kebudayaan tersebut dinilai sudah tidak tepat dan relefan lagi. Secara sosial budaya masyarakat Bali, budaya merupakan bagian yang penting. Budaya Bali mememang tidak bisa lepas dengan agama Hindu karena budaya Bali akan selalu bernafaskan ajaran agama Hindu begitu juga sebaliknya. Sehingga dinamika kebudayaan Bali wajib dikendalikan agar jangan kehilangan jati dirinya atau nafasnya yaitu agama Hindu4. Dengan demikian orang Bali adalah orang Hindu yang mana kultur budaya yang ada di Bali merupakan perwujudan rutinitas keagamaan dari agama Hindu. Melihat hal diatas muncul pertanyaan, bagaimana dengan orang Kristen 3 4 Jhon Mbiti, “Injil dan Kebuayaan” Suatu Masalah Hidup, Grafina, 1982, p. 96 Wiana, I Ketut, Mengapa Bali Disebut Bali ? (Surabaya; Paramita, 2004)p.36 6 khususnya GKPB sebagai lembaga geraja yang ada di Bali, apakah mereka bukan bagian dari budaya Bali atau memang sebaliknya. 2. Permasalahan Suatu hal yang unik ketika melihat kedudukan orang Kristen khususnya GKPB dalam menilai konsep “Ajeg Bali”. Dalam bahasa Bali ada istilah Krama Tamiu5 yang berarti tamu, orang asing atau pendatang, dan istilah ini diperuntukan untuk warga di luar orang Bali dan yang terutama orang yang di luar agama Hindu. Tetapi di balik itu semua, banyak warga jemaat GKPB merupakan orang asli Bali (baik itu dia yang pindah agama ataupun yang memang berasal dari keturunan orang Bali Kristen). Sehingga identitas sebagai orang Bali tidak mendapat suatu pengakuan karena kekristenan merupakan bentuk yang berasal dari luar. Identitas atau yang sering disebut juga jati diri, berarti kekhasanorganisasi atau sesuatu yang mencirikan dan membedakannya dari kelompok yang lain6. Sehingga bagaimanapun GKPB (orang Bali Kristen) juga merasa bagian dari budaya Bali terutama ketika budaya itu juga telah menjadi bagian dari gereja karena kekristenan bukan orang asing bagi kehidupan Bali dan kekristenan juga dapat mekmanai keberagaman yang ada di Bali. Dan keberadaan sedemikian sewajarnya GKPB bisa menjad bagian dari proses perwujudan dari konsep “Ajeg Bali”, karena GKPB bukanlah orang luar yang akan menjadi peghambat bagi proses “Ajeg Bali”. Manusia Bali harus tetap menjunjung budayanya, berupaya tetap menjaga lingkungan dan taat pada ajaran agamanya yaitu agama Hindu. Dengan demikian usaha untuk menjadi bagian dari masyarakat Bali 5 Krama Tamiu adalah istilah dan konsep dalam kebudayaan Bali untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat asli Bali. Konsep masyarakat asli dan pendatang telah lama ada dalam pikiran masyarakat Bali. Dalam komunitas adat di Bali, pembedaan ini jelas terlihat dari pemisahan krama (warga) adat dan krama dinas, para pendatang. 6 Dr. Jan Hendriks Jemaat vital dan menarik, (kanisius 2002) p.74 7 yang dimaksud diatas akan terasa sulit terjadi, sehingga proses pemahaman tentang “Ajeg Bali” terjadi perdebatan yang mana konsep ini telah memunculkan berbagai macam pengertian yang mana pengertian tersebut saling berbeda sehingga memunculkan suatu pertentangan baik yang ada di masyarakat dan juga yang ada didalam GKPB sendiri. Pertentangan itu sendiri mengarah kepada pemahaman tentang makna “Ajeg Bali” dan siapa saja yang bisa dan dapat menjadi bagian dari proser pengajegbalian tersebut, sehingga seharusnya GKPB bersikap terhadap proses “Ajeg Bali” ini. Disini penulis sebagai bagian dari GKPB mencoba memahami juga “Ajeg Bali” untuk dapat melihat proses dari “Ajeg Bali” tersebutdapat berdampak bagi kehidupan dari pada GKPB itu sendiri dan penulis dapat memberi masukan untuk GKPB dalam menentukan sikapnya untuk melihat permasalan seputar “Ajeg bali” 3. Judul Penulis memilih judul; Konsep Ajeg Bali dan Dampaknya Bagi Warga GKPB : Sebuah Pendekatan Teologis Kultural 4. Tujuan Penulisan Memahami perdebatan seputar konsep “Ajeg Bali”, dimana konsep ini merupakan ide baru yang dimunculkan untuk memurnikan Bali. Melihat masalah yang timbul dengan adanya konsep “Ajeg Bali” yang dapat mempengaruhi keadaan Bali di kemudian hari. Melihat posisi GKPB dalam memahami dan bersikap terhadap seputar permasalahan “Ajeg Bali” 8 5. Metode Penulisan Untuk menyusun tulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu ; Penelitian pustaka (Library Research) dan hasil wawancara, dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yaitu mengetahui dan mendapatkan landasan teori yang relevan dengan topik pembahasan, sehingga akan memperoleh hasil penulisan yang bersifat ilmiah. 6. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Bab ini merupakan pengantar, penulis bermaksud untuk membawa pembaca mengetahui dan mengerti ke arah mana dan hal apa, serta bagaimana pokok permasalahan skripsi ini dibahas. Dalam bab ini meliputi ; latar belakang permasalahan, permasalahan, judul yang penulis angkat dan tujuannya, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan. Bab II Konsep Ajeg Bali Dalam bab ini, penulis akan memaparkan mengenai sejarah munculnya Ajeg Bali, arti dan maksud dari “Ajeg Bali” dan seputar permasalahan “Ajeg Bali” tersebut, dalam kerangka pemikiran budaya Bali. 9 Bab III Perdebatan yang Terjadi di GKPB dalam Melihat “Ajeg Bali”, Sikap Gereja Terhadap “Ajeg Bali” Dalam bab ini, penulis akan melihat lebih jelas peranan GKPB didalam hubungannya dengan konsep “Ajeg Bali”, dan GKPB sebagai lembaga gereja menilai konsep “Ajeg Bali”. Bab IV Refleksi Teologi Bab ini berisi dengan refleksi teologis penulis mengenai peranan atau kedudukan GKPB dalam kerangka wacana mengenai “Ajeg Bali”. Bab V Kesimpulan Bab ini berisikan dengan kesimpulan akhir penulis terhadap konsep “Ajeg Bali”. 10