Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 EDITORIAL Pada penerbitan Volume I Nomor 2 ini, Dewan Redaksi menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan, menulis hasil penelitian ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan. Harapan kita semoga seluruh dukungan, bantuan yang sangat berarti untuk menuju inovasi bidang penelitian semakin nyata, guna meningkatkan pencerahan ilmu yang berkualitas. Pada publikasi kedua ini ditampilkan limabelas judul penelitian kesehatan dengan penambahan variasi tema yaitu dalam bidang profesi analis kesehatan di samping bidangbidang lain yang telah muncul pada edisi perdana yaitu pendidikan kesehatan, manajemen kesehatan, kebidanan, keperawatan, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan serta kesehatan masyarakat. Tentu saja hal di atas menjadi sumber kegembiraan bagi kita semua. Kami ucapkan terimakasih kepada para kontributor naskah ilmiah, khususnya rekan-rekan dari Prodi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Malang dan Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Depkes Surabaya yang telah turut serta melengkapi isi jurnal ini baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada para pembaca yang telah memberikan kepercayaan kepada jurnal ini sebagai sumber informasi penelitian kesehatan, semoga pada tahap-tahap berikutnya dapat memberikan sumbangsih yang semakin berarti bagi perkembangan dunia kesehatan di tanah air kita. Guna menjadikan sebuah jurnal penelitian kesehatan yang terus eksis dan berkembang, maka Dewan redaksi senantiasa membuka kesempatan kepada sejawat dan praktisi kesehatan, para dosen, untuk berperanserta secara aktif dalam pemuatan hasil penelitian. Redaksi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 1 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 DAFTAR ISI Resiko Terjadinya Gejala Klinis Campak Pada Anak Usia 1-14 Tahun Dengan Status Gizi Kurang dan Sering Terjadi Infeksi di Kota Kediri Suwoyo, Kokoeh Hardjito, Siti Asiyah Pengaruh Kadar Zat-Zat Terlarut di Dalam Air Bersih Terhadap Perkembangan Nyamuk Aedes aegypti Pra Dewasa Diah Titik Mutiarawati Peran Instalasi Pengolah Air Limbah Domestik Untuk Memperbaiki Kualitas Air Limbah Karno Efektifitas Metode Stimulai Satu Jam Bersama Ibu Terhadap Perkembangan Anak Usia 12-24 Bulan Siti Asiyah, Koekoeh Hardjito, Suwoyo Pengaruh Penyimpanan Urin Kultur Pada Suhu 2oC-8oC Selama Lebih Dari 24 Jam Terhadap Pertumbuhan Bakteri Dwi Krihariyani Studi Tentang Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan Karno Perbedaan Perilaku Menjaga Personal Hygiene Saat Menstruasi Pada Remaja Putri Antara Sebelum dan Sesudah Pemberian Penyuluhan Tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi Koekoeh Hardjito, Suwoyo, Siti Asiyah Kinerja Sanitarian Lapangan Dalam Menurunkan Angka Kejadian DBD di Magetan Budi Yulianto Hubungan Antara Motivasi Stimulasi Toilet Training Oleh Ibu Dengan Keberhasilan Toilet Training Pada Anak Prasekolah Subagyo, Ani Sulasih, Siti Widajati Evaluasi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Pelayanan Antenatal Care dan Persalinan di Poskesdes Kabupaten Magetan Hery Sumasto, Nuwening Tyas Wisnu, Nuryani Hubungan Antara Kejadian Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Sepsis Neonatorum di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Madiun Tahun 2004-2007 Sunarto, Dwi Umiyati, Nurlailis Saadah Perbedaan Kekeruhan Air Sumur Gali Antara Sebelum dan Sesudah Pemberian Biji Kelor Sri Sulami Endah Astuti Pengaruh Pemberian Balikan dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Dalam Merawat Payudara Ibu Hamil Tumirah Analisa Kadar Klorida pada Kantong Teh Celup Serta Pengaruhnya Terhadap Mutu Teh Santi Setiorini, Handoyo Pengaruh Nilai ujian Masuk, IQ dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Hasil Belajar Mahasiswa Suparji, Sunarto, Heru Santoso Wahito Nugroho Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 88-95 96-99 100-104 105-114 115-119 120-124 125-129 130-135 136-140 141-148 149-153 154-158 159-164 165-168 169-180 2 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 RESIKO TERJADINYA GEJALA KLINIS CAMPAK PADA ANAK USIA 1-14 TAHUN DENGAN STATUS GIZI KURANG DAN SERING TERJADI INFEKSI DI KOTA KEDIRI Suwoyo*, Koekoeh Hardjito*, Siti Asiyah* ABSTRACT Measles is infection disease caused by measles virus, which attacking many children. The other health problem in child is infectious disease. Infectious disease often concomitance with nutritional status. The frequent of child get infectious disease or under nutrition status is the risk of measles. The objective of this study was to analyse the level of measles risk at children 1-14 years old with under nutritional status and their experience of other infectious disease frequency. This study was observasional analytic using case control design. Case group in this research is children 1-14 years old with measles symptoms and control group is children 1-14 years old which do not suffer measles. hey were examined of serum albumin to determine the nutritional satus of Children. Meanwhile Ig M of measles was examined for the case group only. The research traces the record of other infectious diseases might be suffered by the members of both groups in the last three months. Data was collected by interview and observation. Data was analyzed by Chi square test with significantly level < 0.05. Result, there was not significant correlation between clinical measles with nutritional status, but there was significant correlation between clinical measles and frequency of other infectious disease. Result of risk test show that children which often get frequent other infectious disease have risk 2 times higher to happened measles than children which rarely get other infectious disease . All of the clinical measles cases didn’t have IgM for measles, but 9 cases among them have IgM positive for rubella Conclusion, the frequency of other infectious disease in children can increase the risk for the children to suffer measles. The high content of albumin in the blood serum does not guarantee that the children are safe from mesales. Laboratory Ig M of measles check up must be done for children with clinical measles symptoms to confirm the diagnosis. Sugestion, government should carry out the rubella immunization to prevent this disease to the children. Keywords : clinical measles, nutritional status, infection frequency *: Program Studi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang PENDAHULUAN Latar Belakang Campak adalah salah satu penyakit infeksi yang banyak menyerang anak-anak. Angka kejadian campak di dunia masih cukup tinggi, yaitu 30.000.000 orang setiap tahun. Pada tahun 2002 dilaporkan 777.000 orang meninggal akibat campak di seluruh dunia. Di negara ASEAN terdapat 202.000 orang meninggal akibat campak, dan 15% (30.300) orang di antaranya dari Indonesia. Pada tahun 2005 dilaporkan terjadi 345.000 kematian di seluruh dunia akibat campak, dan berdasarkan laporan rutin dan kejadian luar biasa (KLB) kasus campak di Indonesia antara tahun 2002-2005 terdapat 30.000 anak meninggal akibat campak (Depkes R.I, 2007). Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2001, insiden Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 88 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 campak berdasarkan kelompok umur kurang dari 1 tahun 9 per 10.000 penduduk, antara 1-4 tahun 7,4 per 10.000 penduduk dan antara 5-14 tahun 3,4 per 10.000 penduduk. Angka kejadian campak di Jawa Timur berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2006 terdapat 1548 kasus yang tersebar di tiga kabupaten dan kota yaitu, Surabaya (579 kasus), Sidoarjo (514 kasus), dan Kabupaten Kediri (455 kasus) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2008). Kasus campak di Kota Kediri, berdasarkan laporan rutin dari 46 Puskesmas yang ada pada tahun 2007 tercatat 58 kasus. Jumlah kasus tersebut berdasarkan kelompok usia adalah sebagai berikut: 3 kasus pada kelompok kurang dari satu tahun, 12 kasus kelompok umur 1-4 tahun, 37 kasus kelompok umur 5-9 tahun, dan 6 kasus kelompok umur 10-14 tahun. Jumlah kasus terbanyak terjadi pada bulan September yaitu 28 kasus. Data hasil surveilan campak di Dinas Kesehatan Kota Kediri meliputi nama penderita, umur, jenis kelamin, nama orang tua dan alamat orangtua, serta sumber informasi kasus campak tersebut terjadi. Variabel lain yang terkait dengan kejadian campak seperti antropometri, status gizi anak, dll. belum dilaporkan. Angka kejadian campak di Kota Kediri ini mengejutkan, bila dibandingkan dengan pencapaian imunisasi yang telah melebihi target nasional 80%. Imunisasi campak pada anak dapat memberikan kekebalan seumur hidup. Anak-anak yang sedang tumbuh umumnya mengalami lebih dari 100 macam infeksi sebelum dewasa. Mikroorganisme patogen, termasuk virus, bakteri dan parasit lain dapat menginvasi manusia untuk memulai infeksi. Angka kejadian penyakit infeksi di Indonesia masih tinggi dengan berbagai jenis penyakit infeksi yang telah dikenal. Penyakit infeksi yang banyak menimbulkan kematian di Indonesia adalah infeksi saluran nafas atas, komplikasi perinatal dan diare. Penyakit tersebut memberikan kontribusi 75% kematian anak di Indonesia (Sampurno, 2007). Angka kejadian penyakit infeksi di Jawa Timur cukup tinggi, yang dibuktikan dengan ditemukannya penderita TBC sebanyak 79.658 orang, pneumonia 114.858 orang, diare 837.724 orang, dan berbagai penyakit infeksi lain (Profil Kesehatan Profinsi Jawa Timur, 2006). Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Kediri, penyakit infeksi pada anak mencapai 60% dari seluruh penyakit yang ada. Permasalahan penyakit anak di Indonesia selain penyakit infeksi adalah kasus gizi buruk. Pemantauan rutin oleh pemerintah melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi buruk yang dilaporkan dari Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit semakin meningkat. Pada tahun 2005 di Indonesia diduga terdapat 5 juta anak menderita gizi kurang 1,5 juta di antaranya menderita gizi buruk. Di antara penderita gizi buruk tersebut, 150.000 anak menderita gizi buruk berat yaitu marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor (Sampurno,2007). Komite Penanganan Kemiskinan (KPK) Pemerintah Propinsi Jawa Timur memprediksikan 50.072 balita mengalami gizi buruk. Prediksi ini berdasarkan survei pemantauan gizi buruk oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan survei tersebut, prevalensi balita gizi buruk Jawa Timur 1,7% (50.072 anak ) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2005). Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Kediri pada tahun 2007 dari 14.697 balita yang ditimbang didapatkan 84,75% mengalami gizi baik, 9,07% gizi sedang, 1,64% gizi kurang dan 0,09% gizi buruk. Permasalahan gizi buruk ini bila tidak dilakukan penanggulangan segera dapat mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 89 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 1. Mempelajari diagnosis kejadian gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, 2. Menganalisis besarnya resiko terjadi gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, pada anak berstatus gizi kurang 3. Menganalisis besarnya resiko terjadi gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, pada anak yang menderita penyakit infeksi lain 4. Menganalisis besarnya resiko terjadi gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, pada anak berstatus gizi kurang dan menderita penyakit infeksi lain secara bersama-sama. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di wilayah Dinas Kesehatan Kota Kediri pada tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 30 Juni 2008 ini menggunakan rancangan case control untuk mempelajari hubungan antara status gizi dan frekuensi terkena penyakit infeksi pada anak usia 1-14 tahun dengan kejadian campak. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua anak usia 1-14 tahun yang menderita campak dan berdomisili di Kota Kediri, sedangkan populasi kontrol adalah semua anak usia 1-14 tahun yang tidak menderita campak dan berdomisili di Kota Kediri. Sampel kasus adalah anak usia 1-14 tahun yang menderita campak yang berdomisili di Kota Kediri dengan ibu yang bersedia diwawancarai dan anaknya boleh diperiksa, sedangkan sampel kontrol adalah anak usia 1-14 tahun yang tidak menderita campak yang berdomisisli di Kota Kediri dengan ibu yang bersedia diwawancarai dan anaknya boleh diperiksa. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling. Status gizi dan frekuensi kejadian infeksi pada anak adalah variabel independen, sedangkan kejadian campak pada anak adalah variabel dependen. Definisi operasional dari masing-masing vaiabel ditampilkan pada Tabel 1. Data tentang umur, frekuensi terkena penyakit infeksi, dan imunisasi campak diambil dengan cara menggunakan kuesioner pada saat kunjungan rumah oleh peneliti, sedangkan data tentang status gizi diambil dengan cara pemeriksaan antropometri pada waktu kunjungan rumah dan ditegakkan dengan pemeriksaan albumin di laboratorium. Spesimen untuk pemeriksaan albumin serum diambil oleh peneliti pada saat kunjungan rumah. Variabel Status gizi Frekuensi terkena penyakit infeksi Kejadian campak Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Parameter Cara dan hasil pengukuran Kandungan gizi anak yang Pengukuran Brilian Cresyil Green ditunjukkan dengan kecukupan kadar albumin < 3,3 mg/dl (gizi kurang) kadar albumin dalam serum dalam serum 3,5–4,8 mg/dl (gizi baik) darah darah > 4,8 mg/dl (gizi lebih) Jumlah kejadian penyakit infeksi Kekerapan Kuesioner yang dialami anak dalam tiga terpapar ≥ 3X/3bl=sering bulan terakhir dan sudah infeksi lain < 3X/3bl=jarang dinyatakan sembuh, sebelum dalam tiga terkena penyakit campak saat ini. bulan terakhir Serangan penyakit campak pada Gejala klinis kuesioner anak yang ditunjukkan dengan penyakit gejala klinis penyakit campak campak Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Skala Data Nominal Nominal Nominal 90 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengumpulan data dilakukan melalui pemeriksaan klinis penderita campak, dan pengambilan serum darah untuk pemeriksaan IgM campak serta pemeriksaan protein albumin dalam serum darah. Selama 6 bulan dilakukan pengamatan terhadap 21 anak yang menderita campak dan 21 anak yang tidak menderita campak sebagai kontrol. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari 21 serum darah responden dengan gejala klinis campak didapatkan hasil IgM campak negatif pada semua responden. Karena gejala klinis penyakit campak ini menyerupai gejala klinis Rubela, maka peneliti mengadakan pemeriksaan laboratorium yang dilanjutkan pada pemeriksaan IgM Rubela. Pada 21 serum darah responden, didapatkan IgM Rubela positif sebanyak 9 responden. Tabel 2. Diskripsi Jenis Kelamin, Umur, Kadar Albumin dan Frekuensi Kejadian Infeksi Campak n % Status Responden Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan 1 – 5 tahun 6 – 10 tahun 11 – 14 tahun Baik Lebih < 3 X / 3 bulan ≥3 X / 3 bulan Umur: Status gizi: Frekuensi infeksi: 13 8 5 9 7 5 16 0 21 62 38 24 42 34 23,8 76,2 0 100 Tidak Campak n % Total 12 9 0 8 13 4 17 5 16 58 42 0 38 62 19 81 23.8 76.2 25 17 5 17 20 10 32 22 20 Hasil analisis deskriptif untuk jenis kelamin, umur, kadar albumin dan frekuensi kejadian infeksi dalam 3 bulan terakhir (Januari–Juni 2008) di Kota Kediri dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar penderita campak adalah laki-laki (62%). Sebagian besar penderita campak (81%) mempunyai kadar albumin lebih. Gambar 1 menampilkan kadar albumin lebih dan normal menurut jenis kelamin. A L B U M I N 10 8 Laki-laki 6 Perempuan 4 2 0 Lebih Normal Gambar 1. Kadar Albumin Menurut Jenis Kelamin Anak yang Terserang Campak Frekuensi terjadinya infeksi pada anak yang menderita campak dan tidak menderita campak menurut jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa 42 (100%) anak pernah menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada tiga bulan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 91 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 terakhir dan tidak ada (0%) responden yang menderita Dengue Hemoragie Fever (DHF). Tampak pula bahwa gejala klinis TBC pernah dialami oleh 21 (50%) responden. Jenis Penyakit Diare TBC DHF ISPA Tonsilitis Tabel 3. Frekuensi Kejadian Penyakit Infeksi pada Anak 1–14 Jenis Kelamin Umur Laki-laki Perempuan 1 – 5 Th 6 – 10 Th 11–14 Th Ɖ n % n % n % n % n % 8 50 8 50 16 2 12 6 38 8 50 13 62 8 38 21 5 24 9 42 7 34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25 60 17 40 42 5 12 17 40 20 48 2 40 3 60 5 1 20 2 40 2 40 Ɖ 16 21 0 42 5 Hasil uji chi square (Tabel 4) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan gejala klinis campak (p = 1,00). Hasil uji chi square (Tabel 5) menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kejadian infeksi dengan gejala klinis campak (p = 0,048). Besarnya resiko gejala klinis campak pada anak yang sering mengalami infeksi adalah dua kali lipat jika dibandingkan dengan anak yang tidak sering mendapatkan infeksi. Tabel 4. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Gejala Klinis Campak Status Gizi Campak Tidak Campak Total Baik 5 (23,8%) 4 (19,2%) 9 (21,4%) Lebih 16 (76,2%) 17 (81,0% ) 33 (78,6%) total 21 (100%) 21 (100%) 42 (100%) P = 1,00 OR = 0,753 95% CI = 0,171-3,312 Tabel 5. Hubungan Antara Frekuensi Kejadian Infeksi Dengan Kejadian Klinis Campak. Status Gizi Campak Tidak Campak Total Sering 21 ( 100% ) 16 ( 6,2 % ) 37 ( 88,1% ) Tidak sering 0(0%) 5 (23,8% ) 5 (11,9%) total 21 (100%) 21 (100%) 42 (100%) P = 0,048 OR = 2,213 95% CI = 1,599-3,345 Pembahasan Serum darah yang diambil, selain dilakukan pemeriksaan IgM campak juga dilakukan pemeriksaan protein albumin untuk menilai status gizi anak. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum darah ini dilakukan pada 21 responden sebagi kasus dan 21 responden sebagai kontrol. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan didapatkan hasil kadar protein serum dengan nilai normal dan protein serum lebih. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi pada 42 responden tersebut baik. Keadaan ini dapat terjadi karena 80% responden berusia 6-14 tahun, yaitu masa sekolah. Anak usia sekolah memiliki pola makan yang selalu ingin mencoba jenis makanan baru, pemberian makanan dalam bentuk junk food baik di rumah maupun di sekolah. Makanan tersebut banyak mengandung gula, garam, lemak dan kolesterol, dan kebutuhan tinggi kalori pada anak memicu tingginya kadar albumin serum (Muscari , M,2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan gejala klinis campak. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi anak tidak cukup mampu untuk melawan infeksi virus. Pertahanan tubuh terhadap infeksi virus memerlukan pertahanan yang Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 92 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 bersifat spesifik, sedangkan protein serum merupakan pertahan tubuh yang bersifat non spesifik. Kekebalan terhadap infeksi virus didasarkan pada pembentukan respon imun terhadap antigen khusus yang terletak pada permukaan partikel virus atau sel yang terinfeksi oleh virus. Virus akan menimbulkan respon jaringan yang berbeda dari respon terhadap bakteri pathogen. Pada infeksi virus akan terjadi infiltrasi sel berinti satu dan limfosit. Protein yang disandikan oleh virus, biasanya protein kapsid, merupakan sasaran dari respon imun. Sel yang terinveksi oleh virus dapat menjadi lisis oleh limfosit T sitotoksik yang mengenali polipeptida-poipeptida virus pada permukaan sel. Imunitas humoral akan melindungi inang terhadap infeksi ulang oleh virus yang sama (Jawetz, Melnick, Aldelberg’s, 2001). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi kejadian infeksi dengan gejala klinis campak, yang berarti bahwa anak yang sering terkena penyakit infeksi akan lebih mudah terkena penyakit dengan gejala klinis campak. Penyakit infeksi akut dapat meningkatkan metabolisme dan konsumsi oksigen tubuh. Sel-sel hati dan limfoid secara cepat meningkatkan tingkat sintesis proteinnya yang diperlukan untuk mekanisme defensif tuan rumah dan mempercepat proliferasi sel-sel fagositik dan limfoid. Peningkatan anabolisme dan katabolisme terjadi secara simultan, namun mekanisme katabolik terjadi lebih hebat, sehingga banyak cadangan nitrogen dan lemak yang dikeluarkan selama terjadi infeksi. Seseorang yang sering mengalami infeksi akan mengakibatkan cadangan nitrogen dan lemak akan semakin tipis (Linder, Maria, C,1992). Resiko kejadian campak pada anak yang sering terkena infeksi adalah dua kali lipat jika dibandingkan anak yang tidak sering mengalami infeksi. Hal ini terjadi karena anak yang tidak sering infeksi mempunyai cadangan nitrogen dan lemak yang lebih banyak. Anak yang sering mengalami infeksi akan terjadi proses katabolisme yang lebih cepat. Kesanggupan tubuh untuk merespon reaksi radang tergantung dari pada ketersediaan energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan metabolisme seluler dan mekanisme yang dibutuhkan untuk kehilangan panas. Kedua faktor tersebut akan terganggu oleh malnutrisi umum. Kesanggupan menghasilkan dan mempertahankan reaksi peradangan sangat penting dalam pertahanan tubuh. Respon ini merupakan reaksi yang sangat kompleks, yang memerlukan perubahan-perubahan lokal dalam aliran darah, infiltrasi leukosit, akumulasi zatzat mediator yang berasal dari protein plasma. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa cadangan nutrisi yang kurang dalam tubuh dapat berpengaruh negatif pada reaksi peradangan (Linder, C, Maria, 1992). Keterbatasan pada penelitian ini adalah bahwa pengambilan darah pada responden dilakukan setelah fase penyembuhan sehingga asupan nutrisi responden sudah mulai membaik. Perbaikan asupan tersebut memungkinkan kadar albumin darah menjadi normal. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ditarik simpulan yaitu: 1) gejala klinis penyakit campak yang ditemukan, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorum menunjukkan penyakit rubella, 2) tidak ada hubungan antara status gizi dengan gejala klinis campak, 3) ada hubungan antara frekuensi kejadian infeksi dengan gejala klinis campak, 4) anak yang sering mengalami infeksi lain mempunyai resiko 2 kali lipat untuk terkena gejala klinis campak. Berdasarkan simpulan disarankan: 1) menegakkan diagnosis penyakit campak secara klinis saja belum cukup, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium, 2) perlu vaksinasi rubella Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 93 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 pada anak, selain vaksinasi campak, 3) karena banyaknya penyakit infeksi pada anak, diperlukan peningkatan pemahaman kepada orang tua tentang gejala klinis, faktor-faktor yang mempengaruhi, penanggulangan, dan pencegahan penyakit infeksi pada anak, 4) perlu penyegaran bagi petugas di lapangan melalui pelatihan tentang pengkajian klinis campak. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Syafii. 2007. Indonesia Health Profile. Jakarta: Ministry of Health Republic of Indonesia Arisman, MB. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan, Jakarta : EGC Aritonang. 1996. Pemantauan Pertumbuhan Balita Petunjuk Praktis Menilai Status Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius Bres, 1995. Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat pada Kejadian Luar Biasa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Brown, R E. Interaction of Nutrition and Infection in Clinical Practice, http://www.nchi.mlm.n.h.gov/pubmed/403498 (Diakses 21 Pebruari 2008) Chin, James. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular . Jakarta : Infomedika Danendro. 2004. Demam Campak. http://www.yankes,go.id/html (Diakses 21 Pebruari 2008) Depkes RI. 2004. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat Depkes RI. 1991. Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Wabah. Jakarta: Direktorat Jendral PPM & PLP Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2008. Penyakit Menular yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi, http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html?news-id=492 Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2008. Lembaga Perlindungan Anak Tanggapi Tingginya Balita Gizi Buruk. http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html?news –id=124 Guyton, C, Arthur, 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC Handojo, Indro. 2003. Pengantar imunoasai dasar. Surabaya : Airlangga University Press Hasan, Hayatee. 2006. Health Campaign to Protect Indonesian Children Succesfully Completed. http://www.redcross,org/pres.release/0,1077,0-314-7159,00html (Diakses 21 Pebruari 2008) Hunardja. 2002. Buku Pegangan Pediatri,.Jakarta: Widya Medika Jawetz, Melnick, Alderberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika Lemesho, Stanley.1997.Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Linder, Maria C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI- Press Markum. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: UI- Press Murray, K, Robert. 1999. Biokimia Harper. Jakarta: EGC Muscari, Mary, 2001, Advanced Pediatric Clinical Assessment, New York, Philadelpia, Lippincolt Nanan R. 2008. Measles Virus Infection Causes Transient Depletion of Activated t Cells From Peripheral Circulation. http://cat.inist.fr/?a modele=affi Che N& cpsidt: 1847461(Diakses 21 Pebruari 2008) Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 94 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Narendra, Moersintowati , B (dkk). 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto Nelson. 2003. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC Notobroto, Basuki, Hari. 2007. Penghitungan Besar Sampel dalam Materi Pelatihan Teknik Sampling dan Penghitungan Besar Sampel. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNAIR Rampengan dan Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta: EGC Ranuh I.G.N, dkk. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Rudolph , A. 2006. Buku Ajar Pediatri. Jakarta: EGC Rusepno. Hasan . 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Universitas Indonesia Samik ,Wahab. 2006. Buku Ajar Pediatri. Jakarta: EGC Sardjito. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara Sampurno. 2007. Wajah Kesehatan Indonesia. http://strategic-manage.com/?p=40 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 95 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PENGARUH KADAR ZAT-ZAT TERLARUT DI DALAM AIR BERSIH TERHADAP PERKEMBANGBIAKAN NYAMUK AEDES AEGYPTI PRA DEWASA Diah Titik Mutiarawati* ABSTRACT The existence of Aedes Aegypti in some area is the indicator of the Aedes Aegypti population in that area. Surabaya is the one of endemic cities for dengue fever, because this disease is always found along year. This research aimed to find the content effect of dissolved substances in well water against Aedes Aegypti mosquito breeding in pre-adult period. The charactertistics of the well water are pH, turbidity, calcium content, Fe content dan total dissolved substances, in water well is predicted that may affect the growth and breeding Aedes Aegypti in pre-adult period. The research was done with water well sample collecting in 3 dengue fever endemic areas. The water well was put in 9 containers, that were given 15 Aedes Aegypti eggs each container and observed the growth of mosquitoes in pre-adult period and as control was used PDAM water. Besides that composition of well water was checked in laboratory by using parameters such as pH, turbidity, calcium content, Fe content and total dissolved substances againts Mosquito’s pupa growth, the result of Anova analysis among endemic areas couldn’t find significant difference. Well water has been proved as the potential place for breeding of Aedes Aegypti mosquito, because well water still have micro bacteria and Micro organism with higher content than PDAM water that has been given chlorate. Keywords : pupa, pH, turbidity, calcium content, Fe content and total dissolved substances *: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Di Indonesia, vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) yang penting adalah nyamuk Aedes aegypti (vektor utama), Aedes albopictus dan Aedes scutellacis. Demikian juga di Kota Surabaya, vektor utama adalah Aedes aegypti (Lawuyan S, 1996). Pengendalian perindukan Aedes aegypti lebih dititikberatkan pada penutupan dan abatisasi bak mandi, dan penguburan barang buangan di sekitar rumah yang dapat menampung air hujan. Sedangkan penampungan air hujan belum mendapat perhatian, padahal peluang menjadi habitat Aedes aegypti cukup besar, seperti tempat minum burung, pot bunga, pelepah daun dan sumur. Meskipun sumur merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi sebagian besar penduduk, tetapi sumur juga perlu diwaspadai sebagai tempat perindukan vektor DBD. Dalam daur hidup nyamuk diperlukan dua lingkungan yaitu air dan di luar air (darah atau udara). Stadium pra dewasa (telur, larva, dan pupa) hidup di lingkungan air dan stadium dewasa di luar air. Aedes aegypti menyukai penampungan air jernih dan terlindung dari sinar matahari langsung sebagai tempat perindukannya. Penampungan air seperti itu umumnya banyak dijumpai di rumah dan sekitarnya. Air bersih yang ditampung oleh penduduk berasal dari berbagai sumber, seperti air hujan, ladang, dan sumur. Aedes aegypti lebih tertarik untuk Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 96 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 meletakkan telur pada penampungan air yang berwarna gelap, terbuka lebar, terutama yang terlindung dari sinar matahari (Anonim, 1990). Yoyo R dkk (2000) menyimpulkan bahwa air sumur adalah habitat terpenting bagi Aedes aegypti. Karakteristik air sumur antara lain pH, kekeruhan, kesadahan, kandungan Fe (besi) dan bahan terlarut (total dissolved) diduga bisa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan larva Aedes aegypti. Hidayat C dkk (1997) dalam penelitiannya tentang pengaruh pH air perindukan terhadap perkembangbiakan Aedes aegypti melaporkan bahwa pada pH air perindukan 7, lebih banyak didapati nyamuk daripada pH asam atau basa. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Populasi penelitian pra eksperimental ini adalah air sumur gali dan sumur pompa di Kecamatan Tambaksari Surabaya. Sampel 9 sumur diambil secara simple random sampling dari daerah endemik ringan, sedang dan berat, masing-masing 3 sumur dengan 3 perlakuan (rumus Federer). Lalu dilakukan pemeriksaan kimia terhadap air sumur serta pemberian telur nyamuk pada masing-masing sumur tersebut. Sebagai kontrol dipakai air PDAM Surabaya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Sembilan air sumur gali dan air PDAM masing-masing diberi 15 telur nyamuk, kemudian dieramkan pada suhu kamar sampai hari ke 14. Selanjutnya terjadi pertumbuhan nyamuk pra dewasa dalam bentuk pupa. Rincian hasil penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan Nyamuk Pada Masing-Masing Sampel Air ∑ ∑ jentik ∑ pupa Kelompok TDS Kekeruhan Kesadahan Besi pemberian hari ke hari ke pH air sumur (ppm) (NTU) (ppm) (ppm) telur 3-4 12-14 1.1. 15 8 5 7,21 121,87 1,29 337,15 0 2. 15 7 2 7,18 99,60 0,29 561,92 0 3. 15 11 2 7,09 101,95 0,55 348,58 0 II.4. 15 6 10 7,14 118,05 1,34 360,01 0 5. 15 10 10 7,08 101,94 0,49 241,91 0 6. 15 2 2 7,30 117,53 0,84 340,96 0 III.7. 15 7 5 7,11 114,8 0,66 325,72 0 8. 15 8 8 7,02 105,87 0,90 346,67 0 9. 15 10 7 7,09 109,56 0,91 300,96 0 Kontrol (PDAM) 15 4 0 Keterangan : Kelompok I : Daerah dengan kasus demam berdarah tinggi, Kelurahan Gading Kelompok II : Daerah dengan kasus demam berdarah rendah, Kelurahan Tambaksari Kelompok III : Daerah dengan kasus demam berdarah sedang, Kelurahan Pacarkembang. Menurut Permenkes RI No 416/Menkes/Per/IX/1990, batas maksimal kandungan dalam air bersih adalah: pH: 6,5-9, TDS: 1500 ppm, kekeruhan: 25 NTU, kesadahan: 500 ppm dan Besi: 1,0 ppm. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, kandungan zat dalam air sumur pada daerah terpilih masih dalam batas yang diijinkan. Terdapat perbedaan bermakna mengenai jumlah pupa antara air sumur dengan kontrol. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif dan uji Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 97 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 normalitas data (One-sample Kolmogorou-Smirnov test) yang ditampilkan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat bahwa data homogen (karena nilai SD tidak melebihi reratanya) dan semua data dinyatakan normal sehingga memenuhi syarat untuk uji regresi linier dan Anova. Tabel 2. Analisis Deskriptif dan Uji Normalitas Data Uji Deskriptif ∑ pupa Kekeruhan pH Kesadahan Rerata 5,6667 0,8078 7,1356 351, 5422 SD 3,2787 0,3523 0,0835 86,5496 Uji Normalitas Sig (2 tailed) 0,858 0,969 0,944 0,220 TDS 110,1300 8,2194 0,949 Uji regresi linier ganda dengan metode Enter, dilakukan untuk semua parameter air sumur terhadap jumlah pupa pada hari ke 12-14, dengan signifikansi 0,340, artinya H0 diterima atau tidak ada pengaruh kandungan air sumur terhadap jumlah pupa. Uji Anova dilakukan untuk melihat adanya perbedaan antar kelompok daerah endemik ringan, sedang, dan berat. Nilai signifikansi untuk jumlah pupa, pH, TDS, kekeruhan dan kesadahan masing-masing 0,239; 0,319; 0,827; 0,857 dan 0,324. Hasil data di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada tiap-tiap kelompok. Pembahasan Air sumber daerah endemik DBD rendah, sedang, dan tinggi di Kota Surabaya mempunyai pH 7,02–7,30 yang bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes RI No 416/Menkes/Per/IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Kisaran pH tersebut merupakan pH 6,0–7,5 (Hidayat, 1997), sehingga air sumur merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan nyamuk dari segi pH. Kadar pH 7,02-7,30 tidak berpengaruh terhadap jumlah pupa. Hal ini mungkin disebabkan oleh range pH terlalu sempit. Kekeruhan air sumur daerah endemik DBD rendah, sedang dan tinggi di Kota Surabaya berkisar 0,29–1,34 NTU, bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes RI No. 416/Menkes/Per IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Uji regresi linier menyatakan tidak ada pengaruh kekeruhan air sumur terhadap jumlah pupa. Karena nilai kekeruhan air sumur masih dalam batas yang diijinkan, sehingga sesuai dengan anggapan selama ini bahwa nyamuk Aedes aegypti suka berkembang biak pada air bersih (jernih, kekeruhan rendah). Kesadahan air sumur derah endemik DBD rendah, sedang, dan tinggi di Kota Surabaya berkisar 241,91 – 561,92 ppm, bila 416/Menkes/Per/IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Keberadaan ion logam Ca dan Mg dalam air diperlukan oleh larva untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya (Murray, 1999). Dari uji regresi linier ganda, didapatkan tidak ada pengaruh kesadahan air sumur daerah endemik dengan jumlah pupa. Kadar besi dalam air sumur daerah endemik DBD rendah, sedang, dan tinggi di Kota Surabaya mempunyai nilai 0 ppm, bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes RI No 416/Menkes/Per/IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Kalau dilihat data di atas maka keberadaan zat besi dalam air tidak berpengaruh terhadap jumlah pupa, mungkin zat besi baru diperlukan pada nyamuk Aedes Aegypti. Kandungan zat terlarut (TDS) dalam air sumur daerah endemik DBD rendah, sedang dan tinggi di Kota Surabaya bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes RI No 416/Menkes/Per/XI/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Tidak ada pengaruh Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 98 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 bermakna antara kandungan TDS dalam air sumur dengan jumlah pupa karena nilai TDS masih dalam batas yang diijinkan sebagai air bersih. Pada bahan kontrol (air PDAM), tidak didapatkan pupa pada hari ke 12-14, hal ini disebabkan karena air PDAM sudah mengalami proses pengolahan hingga jumlah mikroorganisme dalam air tersebut sudah diminimalisir. Air sumur terbukti merupakan habitat yang potensial untuk tempat perindukan Aedes aegypti, bila dibandingkan dengan air PDAM. Hal ini mungkin disebabkan air sumur tidak mengalami pengolahan seperti PDAM sehingga kandungan mikroba dan organisme renik lain yang relatif tinggi sebagai sumber makanan utama bagi jentik (Gionar, 2001), meskipun pernyataan ini diperlukan penelitian lebih lanjut. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat ditarik simpulan bahwa pH, kekeruhan, kesadahan, kadar besi dan kadar TDS air sumur daerah endemik DBD tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan Aedes aegypti pra dewasa. Selanjutnya disarankan agar diteliti tentang kandungan mikroorganisme di dalam air sumur dan menempatkan kontainer/toples di ruang bebas nyamuk, misalnya ruang ber-AC. Masyarakat pengguna air sumur sebaiknya lebih berhati-hati karena resiko adanya telur dan jentik Aedes aegypti yang perkembangbiakannya lebih banyak di dalam air sumur. DAFTAR PUSTAKA Gionar YR, Saproto Rusmianto, Dwiko Susapto dkk, 2001. Sumur Sebagai Habitat Yang Penting Untuk Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan No. 29 Hidayat C, Ludfi Santoso, Hadi Suwasono, 1997. Pengaruh pH Air Perindukan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Aedes aegypti Pra Dewasa. Cerminan Dunia Kedokteran, No. 119. James M. T and R. F Harwood, 1969. Herm’s Medical Entomology. Sixth The MacmillanCompany USA. Lawuyan S, 1996. Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Surabaya, Seminar Sehari Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Tropical Desease Center Universitas Airlangga. Martono, Soebari, 1985. Entomologi Medik, 3th, Surabaya: Dinkes Dati Prop Jatim. Murray, 1999, Biokomia Harper, Jakarta: EGC Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Soedarto, 1989, Penelitian Epidemiologi Demam Berdarah Ditinjau dari Sudut Bionomik Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dan Sudut Lokasi Kontak antara Manusia dan Nyamuk di Daerah Perkotaan dan Pedesaan di Jawa Timur. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Soegijanto, 2004. Demam Berdarah Dengue, Surabaya: Airlangga University Press. Sub. Din. P2M, 2004. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Surabaya: Dinkes Kota Surabaya Sumarno, 1988, Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak, Jakarta: UI Press Suroso T, Ali Imran Umar, 1999, Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini. FKUI. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 99 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PERAN INSTALASI PENGOLAH AIR LIMBAH DOMESTIK UNTUK MEMPERBAIKI KUALITAS AIR LIMBAH Karno* ABSTRACT Role of installation processor domestic wastewater in the effect improve the quality of wastewater. Target of research is know role of processor installation domestic wastewater in the effort improve, repairing the quality of wastewater with indicator pH, BOD, TSS Oil and Fat. This research type is descriptive quantitative which is existence control to free variable. Data collected by taking sample wastewater at influent and effluent from processor instalation wastewater counted 12 intake during 1 month various variation of intake time. Measurement of pH is conducted in field and in laboratory, while measurement of BOD, TSS, Oil and fat in laboratory. Analysis of data from various variation of time is done by using percentage and t test for which once indicator utilize to know there is do not it him difference between influent and effluent. Data result of measurement of parameter at effluent is compared to standart quality of domestic wastewater. Pursuant to research is concluded that pH rate, TSS, Oil and fat, ther no difference while the rate of BOD difference between effluent and influent. After compared to standart quality of domestic wastewater hence it still reside in below is standard quality. Keywords : Instalation processor domestic wastewater, quality of wastewater. *: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan mutu, manfaat sumber daya alam secara keseluruhan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Ini mengandung arti bahwa setiap aktivitas pembangunan apapun bentuknya, harus disertai upaya meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif termasuk dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan juga tidak terlepas dari permasalahan lingkungan hidup, antara lain pencemaran air, tanah maupun udara serta penurunan mutu lingkungan hidup bila pengelolaannya tidak memperhitungkan atau memperhatikan aspek kesehatan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup, pembangunan perumahan haruslah memperhatikan hak-hak setiap orang untuk hidup sehat seperti yang telah diamanatkan pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang berbunyi: ”Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur ”. Pada kenyataannya yang dihadapi dalam pembangunan perumahan dengan berpedoman pada penataan lingkungan yang sehat masih sulit Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 100 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 dilaksanakan dengan masih dibangunnya sarana pembuangan kotoran dan air limbah rumah tangga yang mengalir pada tanah dan mencemari air tanah dangkal melalui rembesan dari septic tank untuk menampung kotoran yang dibangun di setiap unit rumah. Untuk mengurangi pencemaran tanah dan air tanah oleh kotoran manusia, perlu dipikirkan untuk membangun sarana pengolah air limbah rumah tangga atau air limbah domestik secara kolektif di setiap perumahan. Hal ini selaras dengan Pasal 8 Ayat (a) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 112 Tahun 2003 tentang Baku mutu air limbah domestik yang menyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate) wajib melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan. Perumahan Tekad Makmur yang berlokasi di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah merupakan salah satu perumahan yang memiliki instalasi pengolah air limbah domestik yang dihasilkan oleh rumah tangga dan telah dioperasikan. Atas dasar latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian tentang peran instalasi pengolah air limbah domestik dalam upaya memperbaiki kualitas air limbah dengan mengetahui perbedaan nilai indikator pH, BOD, TSS, minyak dan lemak pada influent dan efluent-nya. Rumusan Masalah Apakah instalasi pengolah air limbah domestik berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah dengan mengetahui perubahan nilai indikator pH, BOD, TSS, minyak dan lemak? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah mengetahui peran instalasi pengolah air limbah domestik dalam upaya memperbaiki kualitas air limbah dengan indikator pH, BOD, TSS, minyak dan lemak. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian observasional ini dilakukan melalui observasi terhadap faktor-faktor yang dijumpai dengan mengambil sampel tanpa berkesempatan untuk mengatur kondisi atau memanipulasi variabel-variabel yang mempengaruhi faktor-faktor yang dijumpainya. Dalam penelitian ini tidak dibuat rancangan sendiri karena instrumen yang diteliti yaitu instalasi pengolah air limbah domestik telah tersedia dilokasi penelitian yaitu Perumahan Tekad Makmur II Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Sampel penelitian adalah air limbah domestik di instalasi pengolah air limbah domestik yang mencakup parameter pH, BOD, TSS, minyak dan lemak yang diambil baik sebelum (influent) maupun setelah melalui IPAL (efluent) untuk diperiksa di laboratorium dengan rentang waktu pagi (jam 06.00–07.00 WIB), siang (jam 12.00–13.00 WIB) dan sore (Jam 16.00–17.00 WIB) selama 12 kali pengambilan. Semua hasil pengukuran terhadap parameter tersebut ditabulasi secara manual dan selanjutnya dikelompokkan dalam variasi waktu yang meliputi variasi harian dan mingguan. Untuk membuktikan hipotesis yaitu adanya perbedaan yang signifikan pada setiap variasi waktu, digunakan T test (sampel < 30 ). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keseluruhan hasil penelitian ditampilkan secara lengkap pada Tabel 1. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 101 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Tabel 1. Hasil Pengukuran pH, BOD, TSS, Minyak dan Lemak WAKTU NO Hari 1,2,3 1 Rabu 1 2 Sabtu 2 3 Minggu 3 4 Rabu 2 5 Sabtu 3 6 Minggu 1 7 Rabu 3 8 Sabtu 1 9 Minggu 2 10 Rabu 1 11 Sabtu 2 12 Minggu 3 JUMLAH RATA-RATA PARAMETER INFLUENT M&L BOD TSS pH 5.5 171.3 50 7.33 10 393.18 55 6.62 2 219.18 50 6.76 7.5 201.12 60 6.93 6 207.42 70 6.86 8 339.4 85 6.87 3 261.3 75 6.96 5.5 411.18 65 7.75 3.5 99.18 30 6.98 4.5 117.4 60 7.95 5 399.6 50 6.93 3 243 55 7.03 63.50 3063.26 705 84.97 5.29 255.27 5875 7.08 PARAMETER EFLUENT M&L BOD TSS pH 3 37.3 55 7.55 2 20.15 60 6.71 5.5 12.5 55 6.74 4 28.62 45 7.05 4.5 29.8 65 6.96 7 31.4 70 6.91 2 48.9 50 6.94 2 33.2 25 7.22 2 25.4 20 7.09 2.5 20.8 55 7.38 3 15.5 40 7.16 1.5 16.5 50 7.13 39 320.07 590 84.84 3.25 26.67 49.16 7.07 Keterangan : M & L = Minyak dan Lemak, 1 = Pagi, 2 = Siang, 3 = Sore. Baku mutu air limbah domestik (Kep.Men.Neg LH No. 112 Tahun 2003 ) pH = 6 – 9 ; BOD = 100 mg/L ; TSS = 100 mg/L ; Minyak & lemak = 10 mg/L Hasil dari uji hipotesis diuraikan sebagai berikut: 1. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai pH pada influent maupun efluent. 2. Ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai BOD pada influent dan efluent. 3. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai TSS pada influent maupun efluent. 4. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai minyak dan lemak pada influent maupun efluent Tidak adanya perbedaan pH pada influent maupun efluent menunjukkan bahwa IPAL domestik tidak berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah khususnya untuk parameter pH. Hal ini mungkin terjadi karena air yang ada dalam air limbah domestik berfungsi sebagai cairan atau larutan penyangga (buffer) yang berperan sebagai penetral pH. Ketidak berhasilan IPAL dalam memperbaiki kualitas pH dapat membawa dampak negatif antara lain dapat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air disekitarnya. Selain itu air limbah yang mempunyai pH rendah bersifat korosif terhadap logam yang mengakibatkan karat. Adanya perbedaan secara signifikan mengenai besaran nilai BOD pada influent dan efluent menunjukkan bahwa IPAL domestik berperan efektif dalam memperbaiki kualitas air limbah khususnya untuk parameter BOD. Kondisi ini penting karena proses dekomposisi bahan organik yang terkandung dalam air limbah domestik berlangsung secara terus menerus baik proses aerobik maupun an-aerobik. Tidak adanya perbedaan nilai TSS pada influent maupun efluent menandakan bahwa IPAL domestik tidak berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah khususnya untuk parameter TSS. Telah diketahui bahwa Total Suspended Solid atau padatan tersuspensi total merupakan zat padat dalam suspensi yang dalam keadaan tenang dapat mengendap setelah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 102 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 waktu tertentu karena pengaruh gaya berat dan alat yang digunakan untuk analisanya adalah kerucut Im Hoff ( Sri Sumesti, 1987: 141). Padatan tersuspensi total akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air, sehingga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis (Pramudya Sunu, 2001 : 135 ). Tidak adanya perbedaan nilai minyak dan lemak pada influent maupun efluent menunjukkan bahwa IPAL domestik tidak berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah khususnya untuk parameter minyak dan lemak. Hal ini dimungkinkan karena dari sifat minyak dan lemak yang sulit didekomposisi oleh mikro-organisme atau kalaupun dapat didekomposisi oleh mikroorganisme tentu memerlukan waktu yang cukup lama. Minyak dan lemak tidak dapat larut di dalam air, melainkan akan mengapung di atas permukaan air. Minyak dan lemak dapat dijumpai dalam air limbah domestik yang berasal dari makanan. Air limbah yang mengandung minyak dan lemak bila dibuang ke lingkungan seperti sungai akan mengapung menutupi permukaan air. Lapisan minyak yang menutupi permukaan air dapat juga terdegradasi oleh mikro-organisme tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama (Wisnu Arya, 1999:82) Tampak dari hasil penelitian bahwa IPAL di Perumahan Tekad Makmur II Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah hanya berperan efektif untuk parameter BOD, padahal parameter air limbah domestik sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 112 Tahun 2003 tentang Baku mutu air limbah domestik dan digunakan untuk mengetahui pengaruh kinerja instalasi pengolah air limbah domestik meliputi 4 (empat) parameter yaitu pH, BOD, TSS, minyak dan lemak. Menurut Duncan Mara (1994) kondisi ini beresiko menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik pada lingkungan abiotik (polusi tanah, air dan udara) maupun lingkungan biotik (infeksi cacing gilig dari rumput yang terkena limbah tak terolah yang dimakan oleh ternak yang selanjutnya dikonsumsi oleh manusia, infeksi cacing tambang serta dampak sosial budaya misalnya rasa jijik). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari hasil penelitian adalah bahwa peran instalasi pengolah air limbah domestik dengan jauh lebih baik dalam memperbaki kualitas air limbah domestik khususnya dalam menurunkan parameter BOD. Saran yang diajukan adalah: 1) Developer perumahan baru seyogyanya melengkapi Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) domestik rumah tangga di perumahan yang dibangun, 2) Perlu adanya Peraturan Daerah tentang kewajiban mengolah air limbah domestik bagi usaha atau permukiman (real estate), restaurant, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama yang masih menggunakan sistem septictank secara individual guna mengurangi dan mencegah pencemaran tanah dan air tanah yang makin meluas. DAFTAR PUSTAKA Agus Gunardi, 2001. MCK Terpadu datang, Got Jorok Hilang, Intisari Edisi Oktober 2001. Jakarta. PT.Intisari Mediatama. Azrul Azwar,1983, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta, Mutiara. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 103 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Bowo,2000, Teknik Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Surabaya, Media Informasi Alumni Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Modul Tutorial Pendayagunaan Aset Prasarana dan Sarana Penyehatan Lingkungan Permukiman Bidang Air Limbah, Jakarta.Direktorat Jenderal Cipta Karya. Dewats Indonesia,2003, Instalasi Pengolah Air Limbah Tepat Guna, Yogyakarta, DEWATS Indonesia. Duncan Mara,1994, Pemanfaatan air limbah dan Ekskreta, Bandung: Penerbit ITB Bandung dan Penerbit Universitas Udayana. Edmund G Wagner, 1959, Water Supply for Rural Areas and Small Communities, Geneva :WHO. Fardiaz .Srikandi.1992. Polusi Air dan Udara, Yogyakarta : Kanisius. Jesus Cordova, 2000. Biotechnology 2000 Vol 3 ; The World Conggress on Biotechnology 11 th International Biotechnology Symposium and Exhibition, Berlin. Unpublished. Joseph A.Salvato,1992, Environmental Engeneering and Sanitation, New York : Jhon Wiley and Sons. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Lusiana Indriasari, Sungai di Jakarta, WC Terpanjang di Dunia, Harian Umum Kompas 5 Mei 2004, Hal 19. Pramuda Sunu, 2001, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 1400, Jakarta: Grasindo. Reksosoebroto. Soebagio, 1982. Hygiene dan Sanitasi, Jakarta : Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi. Sri Sumesti, 1987. Metode Penelitian Air, Surabaya : Usaha Nasional. Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah, Jakarta, UI Press. Sumardi Suryabrata. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta. Rajawali. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-undang Nomor 23 Tahun 997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Wisnu Aria, 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta :Andi Offset. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 104 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 EFEKTIFITAS METODE STIMULASI SATU JAM BERSAMA IBU TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-24 BULAN Siti Asiyah*, Koekoeh Hardjito*, Suwoyo* ABSTRACT A child is a next generation and as anexpectation of his/her parents. Because of its importance, they need to be prepared early and their parent also have an important role to realize their great quality expectation. The aim of this research is to identify the effectiveness of the method to infant age 12-24 months. In order to solve the problem, the Non Randomized Control Group pretest- posttest design was conducted which is adapted from experimental quasi. This designed program was analyzed by using Probability Proportionate to Size and Simple Random Sampling. The research was done in nine Public Health Center/ Puskesmas in Kediri East Java: Puskesmas Campurejo, Sukorame, Mrican, Balowerti, Kota Wilayah Utara, Kota Wilayah Selatan ( North and South city area), Pesantren I, Pesantren II and Puskesmas Ngletih. It this distributed to 80 people which is divided by 40 of treatment group and 40 of control group. The data was collected twice, before and after treatment. Two instruments were adopted here. They were development Pra Screening Questionnaire for the infant and also the observation sheet. The data was analyzed by descriptive and statistic method to differentiate between both group by using Wilcoxon Rank sum test with the significant average 0,05. The results showed that there was a difference of the infant development before and after the method. In the treatment group, by using Wilcoxon Signed Rank Test the range of scores was p=0,001<0,05 and on the otherside, the control group can achieve p=0,020<0,05. It is proved that by using Man Whitney, effectiveness can active significantly 0,005 (p<0,05). But, this method was said no to effective for the mother and infant intimacy. It can be sharn by M.c Nemar that the result was not significant achieve p=1,000>0,05 and this also happened by using Fisher’s Exact Test that can only achieve p=1,000>0,05. It meant that this methode was not effective for the intimacy. Keyword: an hour stimulation, development, infant *: Prodi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang PENDAHULUAN Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus bangsa dan menjadi tumpuan serta harapan orangtua. Oleh karena itu, mereka perlu dipersiapkan agar kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu berperan aktif dalam pembangunan nasional. Upaya itu harus dimulai sejak dini, dan orangtua mempunyai peranan yang amat penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas tersebut (Sholichin, dkk, 2001). Pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan kepribadian anak kelak adalah ketika anak berusia di bawah enam tahun. Masa ini merupakan peletakan pondasi dalam perkembangan anak karena pada saat itulah pembentukan kepribadian anak terjadi. Ini berarti Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 105 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 bahwa lingkungan keluarga memegang peranan penting dan sangat menentukan kepribadian anak di kemudian hari (Sholichin, dkk, 2001). Pendidikan pada usia dini akan sangat membekas hingga anak dewasa. Keberhasilan pendidikan anak usia dini akan sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya (Yuliana,2007). Hasil analisis Tim Pendidikan Untuk Semua (Education for All) Indonesia tahun 2001 menyebutkan bahwa dari 26,1 juta anak yang ada di Indonesia, baru sekitar 7,1 juta atau 28% anak yang mendapat pendidikan, terdiri atas 9,6% terlayani di Bina Keluarga Balita, 6,5% di Taman Kanak-kanak, 1,4% di Raudhatul Athfal, 0,13% di kelompok bermain, 0,05% di tempat penitipan anak lainnya dan 9,9% di sekolah dasar (Susanti, 2005). Sementara 73% atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan untuk anak usia dini (Suryadi, 2007). Human Development Indeks (HDI) atau tingkat pengembangan sumber daya manusia tahun 2004, Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara. Karena kurang menggali potensi kecerdasan anak usia dini, maka tingkat pendidikan Indonesia di mata dunia berada di kasta terendah (Taufik, 2006). Dari penelitian yang dilakukan Yuliana dkk, dari Kelompok Peduli Ibu dan generasi pada tahun 2004 dan 2005 di Pulau Jawa, diperoleh 86,3% anak-anak prasekolah di pedesaan belum mengakses program pendidikan yang ada baik di jalur formal maupun jalur non formal. Persentase ini jauh lebih besar dibanding di daerah perkotaan yaitu 73,2% (Ma’ruf, 2007). Berdasarkan studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kota Kediri tahun 2007, jumlah balita usia 0-5 tahun di Kota Kediri adalah 17.410 orang, dengan anak usia 0-2 tahun sebanyak 6895 orang (39,60%) dari seluruh balita dan jumlah Posyandu 322 buah. Anak yang sudah menjalani deteksi dini tumbuh kembang adalah 7952 orang (46%), dengan kelainan lingkar kepala 5 orang (0,06%), penyimpangan tumbuh kembang 22 orang (0,27%) dan masalah mental emosional 1 orang (0,01%). Mahalnya biaya pendidikan dan kemampuan ekonomi keluarga diduga menjadi faktor penyulit anak-anak untuk mendapatkan kesempatan belajar terutama untuk anak usia dini. Jika anak tidak mendapatkan rangsangan sejak dini akan mempengaruhi kecerdasan anak. Berbagai terobosan telah dilakukan sebagai langkah peningkatan dan pencapaian target salah satunya adalah program PAUD berbasis keluarga (metode home schooling group). Solusi lain untuk mengatasi masalah perkembangan anak adalah pemberian metode sentuhan ibu. Metode ini sangat membantu dalam menstimulasi otak anak untuk menghasilkan hormon yang diperlukan dalam perkembangan. Cara ini dapat dilakukan dengan mewajibkan setiap ibu yang memiliki anak balita untuk menyediakan waktu satu jam bersama dengan anak tanpa diganggu aktifitas lain. Cara ini terbukti memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan anak (Taufik, 2006). Cara ini paling murah dan efektif dalam mengoptimalkan dan meningkatkan perkembangan otak. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosialisasi-kemandirian anak usia 12-24 bulan pada kedua kelompok sebelum diberikan metode stimulasi satu jam bersama ibu. 2. Mengidentifikasi perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosialisasi-kemandirian anak usia 12-24 bulan pada kedua kelompok sesudah diberikan metode stimulasi satu jam bersama ibu. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 106 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 3. Menganalisis efektifitas metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu terhadap perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosialisasi-kemandirian pada anak usia 12-24 bulan. BAHAN DAN METODE PENELITIAN PENELITIAN Penelitian kuasi eksperimen yang menerapkan non randomized control group pretespostest design ini menggunakan populasi yaitu ibu yang memiliki anak balita usia 12-24 bulan di sembilan wilayah Puskesmas Kota Kediri, dengan besar sampel 80 orang, yang dibagi dalam dua kelompok. Sampel dipilih dengan teknik probability proportionate to size (PPS) yaitu simple random sampling. Dalam penelitian ini, ada sembilan (9) wilayah Puskesmas di Kota Kediri yang dipakai sebagai PSU (Primary Sampling Unit). Variabel bebas berupa metode stimulasi perkembangan 1 jam bersama ibu, variabel tergantung adalah perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosial-kemandirian anak usia 12-24 bulan dan variabel perancu berupa faktor keluarga dan adat istiadat: pekerjaan, pendidikan orang tua, jumlah saudara, stabilitas keluarga, kepribadian orangtua. Pengukuran dilakukan dengan melakukan observasi langsung dan wawancara dengan ibu berdasarkan instrumen Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) dari Depkes tahun 2006 sebanyak 10 soal untuk masing-masing kelompok usia anak yakni usia 12 bulan, 15 bulan, 18 bulan, dan 21 bulan. Untuk anak yang telah mampu melakukan satu tugas perkembangan sesuai aspek KPSP di beri skor 1 dan jika anak gagal diberi skor 0. Jika anak mampu melakukan semua tugas perkembangan, diberi skor 10. Skor 9-10 berarti anak memiliki perkembangan sesuai dengan usianya, skor 7-8 berarti perkembangan anak meragukan dan skor ≤ 6 berarti anak mengalami keterlambatan perkembangan. Bahan penelitian adalah materi stimulasi perkembangan untuk anak usia 12-24 bulan. Instrumen penelitian berupa KPSP untuk anak usia 12-24 bulan dari Depkes tahun 2006, kuesioner, lembar observasi. Analisis dilakukan dalam 2 langkah yaitu menggunakan metode statistik deskriptif dan metode statistik analitik (Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai perbedaan perkembangan anak antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pada kelompok perlakuan, umur anak terbanyak adalah sama (30%) masing-masing dari kelompok 12-14 bulan dan 18-20 bulan, sedangkan pada kelompok kontrol, umur terbanyak adalah 12-14 bulan (45%). Pada kelompok perlakuan, jenis kelamin anak terbanyak adalah laki-laki (60%), sedangkan kelompok kontrol didominasi oleh perempuan (57,5%). Mayoritas ibu berumur 25-30 tahun (47,5% pada kelompok perlakuan dan 40% pada kelompok kontrol). Mayoritas ibu memiliki pendidikan SMP/SMA (75% pada kelompok perlakuan dan 80% pada kelompok kontrol). Uji Mann-Whitney tentang homogenitas pendidikan ibu, menunjukkan nilai p=0,158 > 0,05, berarti pendidikan ibu balita homogen antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Pekerjaan ibu yang paling dominan adalah ibu rumah tangga (67,5% pada kelompok perlakuan dan 82,5% pada kelompok Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 107 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 kontrol). Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,197 > 0,05, berarti jenis pekerjaan pada kedua kelompok penelitian adalah homogen. Sebagian besar ibu memiliki 1-2 anak yaitu 87,5% pada kelompok perlakuan dan 85% pada kelompok kontrol. Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai p=1,000>0,05, berarti jumlah anak yang dimiliki oleh ibu pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah homogen. Pada kedua kelompok, sebagian besar responden memiliki keluarga yang stabil. Hasil Fisher’s Exact Test menunjukkan nilai p=0,675> 0,05, berarti kedua kelompok memiliki kestabilan keluarga yang homogen. Pada kelompok perlakuan ibu yang memiliki kepribadian terbuka lebih banyak 2,5% dibandingkan dengan ibu pada kelompok kontrol. Tetapi pada kedua kelompok kepribadian ibu yang dominan adalah kepribadian terbuka. Hasil Fisher’s Exact Test, menunjukkan nilai p=1,000>0,05, berarti kepribadian ibu pada kedua kelompok tersebut adalah homogen. Hasil penelitian tentang perkembangan anak sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada kelompok perlakuan terdapat 57,5% anak memiliki perkembangan normal. Mayoritas anak pada kelompok kontrol juga memiliki perkembangan normal (57,5%). Hasil uji homogenitas dengan Mann-Whitney juga menunjukkan bahwa kedua kelompok penelitian ini homogen dengan nilai p=0,927>0,05. Tabel 1. Perkembangan Anak Sebelum Perlakuan Perkembangan Anak Keterlambatan Meragukan Normal Jumlah Kelompok perlakuan Frekuensi % 6 15,0 11 27,5 23 57,5 40 100 Kelompok Kontrol Frekuensi % 7 17,5 10 25,0 23 57,5 40 100 Tabel 2. Perbedaan Perkembangan Anak Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan Perkembangan Anak Keterlambatan Meragukan Normal Jumlah Sebelum perlakuan Frekuensi % 6 15,0 11 27,5 23 57,5 40 100 Sesudah Perlakuan Frekuensi % 2 5,0 1 2,5 37 92,5 40 100 Pada kelompok perlakuan, perbedaan perkembangan anak berdasarkan aspek perkembangan pada masing-masing kelompok usia (12 bulan, 15 bulan, 18 bulan dan 21 bulan) secara berurutan disajikan pada Tabel 3 sampai dengan Tabel 6. Tabel 3 menunjukan bahwa pada kelompok usia 12-15 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek motorik halus, yakni dari 8% sebelum perlakuan, menjadi 92% sesudah perlakuan (meningkat 84%). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 15-18 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek bicara dan bahasa, yakni dari 83% sebelum perlakuan, menjadi 100% sesudah perlakuan (meningkat 17%). Tabel 5 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 18-21 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek sosialisasi dan kemandirian anak, yakni dari 58% sebelum perlakuan, menjadi 100% sesudah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 108 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 perlakuan (meningkat 42%). Sedangkan Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 2124 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek motorik kasar, yakni dari 90% sebelum perlakuan, menjadi 100% sesudah perlakuan (meningkat 10%). Tabel 3.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 12 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 12 bulan) Frekuensi % 9 75 % 1 8% 4 33 % 10 83 % Sesudah ( Usia 15 bulan) Frekuensi % 10 83 % 11 92 % 12 100 % 12 100 % Tabel 4.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 15 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 15 bulan) Frekuensi % 4 67 % 5 83 % 5 83 % 4 67 % Sesudah ( Usia 18 bulan) Frekuensi % 5 83 % 5 83 % 6 100 % 5 83 % Tabel 5.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 18 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 18 bulan) Frekuensi % 10 83 % 8 67 % 11 92 % 7 58 % Sesudah ( Usia 21 bulan) Frekuensi % 12 100 % 12 100 % 12 100 % 12 100 % Tabel 6.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 21 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 21 bulan) Frekuensi % 9 90 % 9 90 % 8 80 % 10 100 % Sesudah ( Usia 24 bulan) Frekuensi % 10 100 % 6 60 % 9 90 % 8 80 Kemajuan pencapaian skor ibu dalam menerapkan metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu berdasarkan observasi ditampilkan pada Gambar 1. Dari gambar tersebut terlihat bahwa para ibu telah mampu menerapkan metode stimulasi satu jam 50% pada minggu ke 7 atau setelah observasi ke 3 oleh peneliti. Di akhir pengamatan, para ibu rata-rata Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 109 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 telah mampu ≥ 75%, kecuali responden nomer 27 & 34 yang sejak awal pengamatan memiliki skor yang rendah. Perubahan Perilaku Ibu Dalam Menerapkan Metode Stimulasi Satu Jam 20 15 10 5 0 0 Minggu 1 10 Minggu 3 20 Responden30 Minggu 5 Minggu 7 40 Minggu 9 50 Minggu 12 Gambar 1. Perubahan Skor Penerapan Metode Stimulasi Satu Jam Bersama Ibu di Wilayah Puskesmas Kota Kediri Pada kelompok kontrol, perbedaan perkembangan secara umum disajikan pada Tabel 7 yang memperlihatkan adanya perubahan perkembangan anak pada kelompok kontrol. Misalnya pada awal penelitian ada 7 anak yang mengalami keterlambatan, tetapi sesudah tiga bulan berkurang tinggal 1 anak. Wilcoxon Signed Ranks test, menunjukkan nilai p=0,020< 0,05 yang berarti ada perbedaan perkembangan antara sebelum dan sesudah penelitian pada kelompok kontrol. Tabel 7. Perbedaan Perkembangan Kelompok Kontrol Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian Kategori Perkembangan Anak Keterlambatan Meragukan Normal Jumlah Sebelum Frekuensi 7 10 23 40 % 17,5 25,0 57,5 100 Sesudah Frekuensi % 1 2,5 13 32,5 26 65,0 40 100 Untuk kelompok kontrol, perbedaan perkembangan anak berdasarkan aspek perkembangan pada masing-masing kelompok usia (12 bulan, 15 bulan, 18 bulan dan 21 bulan) secara berurutan disajikan pada Tabel 8 sampai dengan Tabel 11. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 12-15 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek motorik halus, yakni dari 11% menjadi 89% (meningkat 78%). Tabel 9 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 15-18 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek motorik kasar, yakni dari 40% menjadi 70% (meningkat 30%). Tabel 10 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 110 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 18-21 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek motorik halus, yakni dari 33% menjadi 83% (meningkat 50%). Di awal penelitian, pada aspek motorik halus dari 6 anak, hanya 2 anak yang lulus perkembangan 100% dan setelah 3 bulan menjadi 5 anak. Sedangkan Tabel 11 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 21-24 bulan, tidak terjadi peningkatan perkembangan pada setiap aspek. Tabel 8. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 12 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 12 bulan) Frekuensi % 11 61 % 2 11 % 8 44 % 13 72 % Sesudah ( Usia 15 bulan) Frekuensi % 4 22 % 16 89 % 18 100 % 17 94 % Tabel 9. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 15 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 15 bulan) Frekuensi % 4 40 % 5 50 % 10 100 % 9 90 % Sesudah ( Usia 18 bulan) Frekuensi % 7 70 % 5 50 % 10 100 % 10 100 % Tabel 10. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 18 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 18 bulan) Frekuensi % 5 83 % 2 33 % 5 83 % 6 100 % Sesudah ( Usia 21 bulan) Frekuensi % 5 83 % 5 83 % 6 100 % 4 67 % Tabel 11. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 21 Bulan Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan Kategori Aspek Perkembangan Anak Motorik kasar Motorik halus Bicara dan bahasa Sosial & kemandirian Sebelum (Usia 21 bulan) Frekuensi % 5 83 % 4 67 % 4 67 % 6 100 % Sesudah ( Usia 24 bulan) Frekuensi % 5 83 % 4 67 % 4 67 % 6 100 % Efektifitas Metode Stimulasi Perkembangan Satu Jam Bersama Ibu untuk meningkatkan perkembangan anak disajikan pada Tabel 12. Setelah 3 bulan diterapkan metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu dan dilakukan pengukuran perkembangan ulang Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 111 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 terhadap kedua kelompok, dapat dilihat bahwa pada kedua kelompok terjadi perbedaan peningkatan jumlah anak yang memiliki perkembangan normal. Pada kelompok perlakuan lebih tinggi yaitu 92,5% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 65%. Mann-Whitney Test menunjukkan nilai p=0,005<0,05, berarti metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu terbukti efektif untuk meningkatkan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Tabel 12. Perbedaan Perkembangan Anak Setelah Diberi Simulasi Satu Jam Bersama Ibu Antara Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Kategori Perkembangan Anak Keterlambatan Meragukan Normal Jumlah Kelompok perlakuan Frekuensi % 2 5,0 1 2,5 37 92,5 40 100 Kelompok Kontrol Frekuensi % 1 2,5 13 32,5 26 65,0 40 100 Pembahasan Pada kedua kelompok, terjadi perbedaan perkembangan anak antara sebelum dan sesudah diberikan metode stimulasi perkembangan. Pada masa anak-anak, bermain merupakan unsur yang penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas maupun sosial. Bagi anak-anak, bermain merupakan seluruh aktifitasnya termasuk bekerja, untuk kesenangan dan merupakan metode bagaimana mereka mengenal dunia (Soetjiningsih,2002). Pemberian metode stimulasi satu jam bersama ibu memberikan hasil yang bermakna dilihat dari perubahan perkembangan yang terjadi antara sebelum dan sesudah perlakuan. Intervensi yang diberikan kepada ibu-ibu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan dengan pemantauan yang intensif dari peneliti. Melalui metode ini, ibu diharuskan meluangkan waktu untuk bisa bersama-sama dengan anak dan tidak terganggu dengan aktifitas yang lain. Meskipun singkat, metode tersebut betul-betul diisi dengan kegiatan yang berpengaruh banyak terhadap perkembangan anak. Faktor terpenting dalam mengoptimalkan perkembangan anak adalah kualitas perhatian dari orangtua kepada anaknya. Mencintai dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang sangat berperan untuk mengembangkan intelegensia anak secara optimal (Kusnandi, 2008). Nilai p=0,005< 0,05 pada uji Mann-Whitney, menandakan adanya perbedaan perkembangan anak secara bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Berarti, metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu terbukti efektif untuk meningkatkan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Walaupun pada kedua kelompok menunjukkan hasil yang sama-sama bermakna, akan tetapi metode stimulasi perkembangan satu jam lebih efektif dibanding pendekatan stimulasi perkembangan yang ditunjukkan pada kelompok kontrol. Mengapa demikian? Metode ini tidak membutuhkan waktu yang banyak karena setiap hari ibu hanya perlu menyiapkan waktu satu jam bersama anaknya untuk memberikan stimulasi. Metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu juga merupakan metode yang murah. Dalam metode ini, ibu dapat mempergunakan alat permainan yang sederhana dan benda-benda yang ada di sekitar anak. Ibu juga dapat menanamkan nilai-nilai Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 112 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 luhur yang dianut, yang kelak akan sangat berguna bagi kelangsungan hidup anak (Puspita, 2007). Selain murah, metode ini juga bersifat fleksibel. Artinya, pemberian stimulasi dapat disesuaikan dengan kesibukan ibu dengan tetap menyesuaikan dengan kebutuhan anak. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) ada perbedaan perkembangan antara sebelum dan sesudah pemberian metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu pada anak usia 12-24, 2) metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu lebih efektif untuk meningkatkan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Berdasarkan simpulan penelitian, saran yang diajukan antara lain: 1) anak perlu mendapatkan stimulasi perkembangan yang memadai melalui sentuhan ibu, kepedulian para kader, serta petugas kesehatan karena masa lima tahun pertama perkembangan bagi seorang anak merupakan masa yang kritis, 2) metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu dapat dipilih sebagai alternatif untuk memberikan stimulasi kepada anak di samping cara-cara yang sudah ada, misalnya melalui Bina Keluarga Balita. DAFTAR PUSTAKA Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Depkes RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral Bina kesehatan Masyarakat Depkes RI Depkes RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral Bina kesehatan Masyarakat Depkes RI Herdjoko, SU. 2007. 16 Juta Anak Tidak Punya Akses ke Pendidikan. Harian Umum Sore Sinar Harapan No. 5511 Sabtu, 27 Januari Mc Cartney, K& Dearing, E, (Ed).2002. Child Development. Mc Millan Refference USA Notobroto, Basuki Hari. 2007. ”Penghitungan Besar sampel” Dalam Materi Pelatihan Teknik Sampling dan Penghitungan Besar Sampel. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNAIR Purnomo, Windhu. 2002. Handout & bahan Kuliah Statistika Dan Statistika Manajemen. Tidak dipublikasikan Rusmil, Kusnandi. 2008. Pertumbuhan dan Perkembangan anak. http://www.aqilaputri.rachdian.com. Akses 21 Juli 2008. Setyaningsih, T (dkk).2005. Pengaruh Pelatihan BKB terhadap Perkembangan Anak 0-1 tahun.dalam Jurnal Kesehatan Vol 3 No. 2 November 2005. Malang: Poltekkes Malang Soedjatmiko, 2006. Pentingnya stimulasi dini untuk merangsang perkembangan bayi dan balita. Sari pediatri, Vol.8, no.3, Desember 2006.www.IDAI.or.id. Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak.Jakarta: EGC Sholichin, Juni Ichsan, Ieda Purnomo Sigit Sidi, Anindita K. Budiman, 2001. Pola Asuh Yang mendukung perkembangan anak. Jakarta: Direktorat kesehatan Jiwa masyarakat, Direktorat jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 113 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Surana,T. 2007. Meningkatkan Kecerdasan Anak balita dengan Cepat dan Pasti. http://www.republika.co.id/koran Suryadi, 2007. Pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini Masih Rendah. Jurnalnet.com 20/7/2007 diakses 4 januari 2008 Susanti. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini.Pikiran rakyat Cyber Media, Jumat 11 Pebruari 2008 Sutcliffe, J. 2002. Baby Bonding, membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Jakarta: Taramedia & Restu Agung Taufik, 2006. Home Schoolling Bagi Anak Usia Dini. Republika Onlinehttp://www.republika.co.id UNESCO. 2005. Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di Indonesia. Jakarta: Dirjen pendidikan Luar Sekolah dan pemuda Depdiknas Puspita, Widya (dkk).2007. Laporan Analisis Sistemik penyelenggaraan Homeschooling di Jawa Timur. Surabaya: Balai pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional IV Yuliana, 2007. Ibuku Guruku (Metode Home Schooling Group, Alternatif model PendidikanAnakUsiaDini). http://baitijannati.wordpress.com/2007/05/23/ibuku-gurukumetode-home-schooling-group-alternatif-model-pendidikan-anak-usia-dini/ akses 4 Pebruari 2008 Zainuddin, M. 2000. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 114 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PENGARUH PENYIMPANAN URIN KULTUR PADA SUHU 2ºC - 8ºC SELAMA LEBIH DARI 24 JAM TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Dwi Krihariyani* ABSTRAK Salah satu penegakan diagnosis infeksi saluran kemih adalah pemeriksaan urin kultur. Pada pemeriksaan urin kultur, waktu dan suhu penyimpanan harus diperhatikan, sesuai dengan SOP in Microbiology Dir Lab Kes Dep Kes RI 2000 bahwa semua spesimen urin harus sudah diproses kurang dari 2 jam setelah pengambilan atau disimpan pada suhu 20C-80C selama maksimum 18 jam. Urin mengandung sisa metabolisme, garam terlarut, dan materi organik yang dapat menjadi media bagi pertumbuhan bakteri, sehingga waktu dan suhu penyimpanan dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan urin kultur pada suhu 20 C-80 C selama lebih dari 24 jam. Penelitian eksperimental komparatif ini menggunakan sampel spesimen yang diambil dari penderita perempuan berusia 25–50 tahun dan belum mendapat pengobatan. Penelitian dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2009. Metode pengolahan data yang digunakan adalah uji ANOVA. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh lama penyimpanan urin kultur pada suhu 2ºC- 8ºC, dengan nilai signifikansi < 0.05. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari adanya kenaikan jumlah bakteri yang signifikan antara perlakuan spesimen yang diproses kurang dari 2 jam dan setelah penyimpanan 24 jam pada suhu 20C - 80C. Kata kunci: urin kultur, waktu penyimpanan, pertumbuhan bakteri *: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Laboratorium berperan penting dalam penegakan diagnosis dan infeksi, terutama Infeksi Saluran Kemih (ISK), dengan salah satu pemeriksaan yaitu biakan atau kultur. Hingga kini tak semua laboratorium dapat memberikan pelayanan kultur karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh laboratorium tersebut, sehingga diperlukan laboratorium rujukan untuk kultur. Hal yang perlu diperhatikan saat mengirim ke laboratorium rujukan adalah waktu penyimpanan spesimen. Secara ideal spesimen kultur harus sudah sampai di laboratorium dan diproses dalam waktu 2 jam setelah pengambilan, atau disimpan dalam suhu 40C untuk dapat dikirim ke laboratorium dan diproses tidak lebih dari 18 jam (Vandepitte, 2003). Adapun menurut SOP in Microbiology Dir Lab Kes Dep Kes RI, 2000 semua spesimen harus sudah sampai di laboratorium dalam waktu 1 jam setelah pengambilan. Jika hal ini tidak mungkin, spesimen harus disimpan di lemari es (20C-80C) segera setelah pengambilan. Selanjutnya harus sudah diproses di laboratorium dalam waktu 18 jam. Mengingat alasan jarak, tidak sedikit sampel yang dirujuk ke laboratorium membutuhkan melebihi 24 jam. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prosedur dasar laboratorium yang menyarankan waktu pengiriman sampel hingga proses tidak lebih dari 18 jam setelah pengambilan (Dir Lab Kes Dep Kes RI, 2000). Jika sampel yang dikirim serta diproses melebihi 24 jam, secara teoritis akan mengalami perubahan dalam pertumbuhan, sehingga Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 115 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 proses pemeriksaan dikhawatirkan mengalami kegagalan. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian yang mampu menjelaskan pengaruh penyimpanan terhadap tingkat pertumbuhan bakteri pada pemeriksaan urin kultur. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian eksperimental komparatif ini bertujuan membandingkan pengaruh perlakuan penyimpanan spesimen terhadap pertumbuhan bakteri. Sampel penelitian adalah spesimen urin penderita perempuan berusia 25–50 tahun dan belum mendapat pengobatan. Urin porsi tengah diambil oleh penderita, yang sebelumnya telah diberi penjelasan agar didapatkan spesimen yang baik. Disarankan spesimen diambil pada pagi hari (tidak buang air kecil/BAK pada jam 22.00 hingga bangun tidur) dan bila tak dapat, diambil 2 jam setelah BAK terakhir. Urin dikelompokkan menjadi 4 perlakuan berdasarkan waktu dan suhu penyimpanan. Pada kelompok I, urin < 2 jam setelah pengambilan diinokulasi mengunakan ose standard (1µl) pada media CLED, lalu diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Pada kelompok II, urin disimpan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam diinokulasi pada media CLED, diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Untuk Kelompok III dan IV, suhu penyimpanan 2ºC-8º C selama 48 jam dan 72 jam. Pada masing-masing kelompok diamati dan dihitung jumlah bakteri yang tumbuh. Diperlukan 6 replikasi pada masing-masing perlakuan. Penghitungan koloni menggunakan teknik yang umum dilakukan yaitu loop (ose) yang dikalibrasi (volume ose adalah 1/1000 ml). Prosedur yang direkomendasikan menggunakan ose metal atau plastik yang dikalibrasi untuk menanam 1µl (1 mata ose/sengkelit) urin ke medium CLED. Pemeriksaan dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya. Metode statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pertumbuhan bakteri pada 6 spesimen dari masing-masing kelompok perlakuan, dengan penyajian berbentuk tabel frekuensi. Selanjutnya dilakukan uji Anova untuk mengetahui adanya signifikansi perbedaan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pertumbuhan bakteri disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Bakteri pada 4 Kelompok dengan 6 Kali Replikasi Spesimen urin A B C D E F Total I <2 540.000a 850.000 a 37.000 a 750.000 a 600.000 a 650.000 a 3.427.000 a Perlakuan (jam) II = 24 III = 48 2.025.000b 2.135.000c 3.225.000 b 3.400.000 c 140.000 b 150.000 c 2.850.000 b 3.000.000 c 2.265.000 b 2.400.000 c 2.450.000 b 2.650.000 c 12.955.000 b 13.735.000 c IV = 72 1.520.000d 2.400.000 d 105.000 d 2.120.000 d 1.700.000 d 1.900.000 d 9.745.000 d Pada Kelompok I (a) terjadi pertumbuhan bakteri. Pada Kelompok II (b), terjadi peningkatan jumlah bakteri secara signifikan dibandingkan dengan Kelompok I. Pada Kelompok III (c) Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 116 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 terjadi peningkatan jumlah bakteri secara signifikan dibandingkan dengan Kelompok II. Pada Kelompok IV (d) terjadi penurunan jumlah bakteri secara signifikan dibandingkan dengan Kelompok III (setelah pengambilan dalam waktu 48 jam pada suhu 20 C - 80 C ). Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan urin kultur (< 2 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam) terhadap pertumbuhan bakteri, maka data dianalisis dengan uji Anova dengan memperhatikan beberapa asumsi yaitu data berdistribusi normal, berskala interval atau rasio dan bervarians homogen. Hasil Kolmogrov-Smirnov Test menunjukkan p=0,688 untuk pertumbuhan bakteri dan p=0,499 untuk lama penyimpanan. Kedua nilai p tersebut > 0,05, sehingga disimpulkan terdistribusi normal. Hasil Levene’s Test menunjukkan nilai p=0,368 atau >0,05, sehingga disimpulkan data memiliki varians homogen. Ketiga asumsi telah terpenuhi sehingga uji Anova dapat dilakukan. Deskripsi rerata dan simpangan baku untuk tiap kelompok tertera pada Tabel 2, yang menunjukkan bahwa pada penyimpanan 24 jam dan 48 jam terjadi peningkatan pertumbuhan bakteri, namun pada penyimpanan 72 jam mengalami penurunan. Tabel 2. Nilai Rerata dan Simpangan Baku dari 4 Perlakuan (Lama Penyimpanan) Lama penyimpanan kurang dari 2 jam 24 jam 48 jam 72 jam Rerata 571.166,67 2.159,167 2.289,167 1.624,167 Simpangan Baku 283.929,862 1.077.410,863 1.138.553,541 806.017,473 Uji Anova menunjukkan nilai p=0,013 atau < 0,05, sehingga Ho ditolak, artinya ada perbedaan pertumbuhan bakteri menurut perlakuan yang diberikan. Untuk mengetahui kelompok amatan yang berbeda, dilakukan uji perbandingan berganda dengan LSD untuk mencari perbedaan terkecil. Post Hoc Test mendapatkan hasil sebagai berikut: 1. Penyimpanan kurang dari 2 jam berbeda dengan penyimpanan 24 jam 2. Penyimpanan kurang dari 2 jam berbeda dengan penyimpanan 48 jam. Pembahasan Pemeriksaan urin kultur adalah salah satu diagnosa untuk menentukan infeksi saluran kemih dan pemberian jenis antibiotik yang sesuai. Di dalam urin terkandung banyak sisa metabolisme, protein, garam terlarut dan bahan organik (nitrat). Bahan-bahan yang terkandung di dalam urin tersebut menjadi nutrisi atau media bagi pertumbuhan bakteri, maka bila ada sedikit saja bakteri di dalam urin, maka bakteri dapat tumbuh dan berkembang. Selain nutrisi, pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu dapat mempengaruhi metabolisme bakteri. Semakin cepat metabolisme, semakin cepat pertumbuhan bakteri. Bakteri mempunyai suhu optimum (suhu inkubasi) untuk pertumbuhannya, yaitu suhu yang memungkinkan bakteri tumbuh dengan cepat dan optimum. Lain halnya untuk spesimen urin kultur, pada spesimen urin kultur sebagian besar bakteri penyebab infeksi saluran kemih adalah bakteri enterik. Bakteri enterik termasuk kelompok bakteri mesofil, yaitu bakteri yang mempunyai suhu optimum 30ºC-37ºC dan suhu minimum 5ºC-10ºC. Media CLED adalah media untuk mendeteksi adanya bakteri dalam urin kultur. Bakteri yang tumbuh pada media CLED dapat dibedakan antara bakteri pemfermentasi laktose dan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 117 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 non pemfermentasi. Dengan adanya indikator brom thymol blue pada media CLED, maka bakteri pemfermentasi laktose memberi warna kuning. Dalam penelitian ini, pada Kelompok I dari 6 (enam) spesimen urin yang diinokulasikan pada media CLED kurang dari 2 jam, diperoleh hasil: 5 penderita (spesimen A, B, D, E dan F) memiliki jumlah bakteri >100.000 koloni/ml urin dan 1 penderita (spesimen C) memiliki jumlah bakteri <100.000 koloni/ml. Pada Kelompok II, dari 6 spesimen urin yang telah disimpan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam dan diinokulasikan pada media CLED, terdapat peningkatan jumlah bakteri yang sangat signifikan (>100.000 koloni/ml). Dapat dikatakan bahwa peningkatan jumlah bakteri ini terjadi hampir 4 kali lipat daripada Kelompok I. Peningkatan jumlah bakteri juga terjadi pada Kelompok III. Pada Kelompok IV terjadi penurunan jumlah bakteri. Hal ini terjadi sesuai dengan kurva pertumbuhan bakteri yaitu apabila satu bakteri diinokulasikan pada suatu medium, maka bakteri akan memperbanyak diri dengan kecepatan yang konstan pada waktu tertentu, yang kemudian akan berhenti karena nutrisi sudah tidak memadai, sehingga akan terjadi penurunan jumlah bakteri dan akhirnya terjadi kematian dari bakteri itu. Jumlah bakteri yang tumbuh pada spesimen urin kultur dapat menentukan adanya infeksi saluran kemih. Berdasarkan hasil penelitian di atas, terdapat satu spesimen urin kultur dengan kode C yang diinokulasi pada media CLED kurang dari 2 jam setelah pengambilan dan didapatkan jumlah pertumbuhan bakteri sebesar 37.000 koloni/ml. Setelah diperlakukan dengan penyimpanan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam didapatkan jumlah pertumbuhan bakteri sebesar 140.000 koloni/ml. Jumlah bakteri (37.000 koloni/ml urin) pada perlakuan kurang dari 2 jam setelah pengambilan tidak menunjukkan adanya infeksi saluran kemih. Sedangkan jumlah bakteri pada perlakuan setelah penyimpanan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam dapat menunjukkan adanya infeksi saluran kemih. Hal ini sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP), 2000 yang menyatakan bahwa adanya jumlah bakteri 100.000 atau lebih/ml urin dapat menentukan adanya infeksi saluran kemih. Dengan demikian, penyimpanan spesimen urin kultur pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam dapat memberikan hasil diagnosa yang sangat berbeda dengan spesimen urin kultur yang diproses kurang dari 2 jam setelah pengambilan spesimen. Hal ini sesuai dengan signifikasi pembuktian (uji Anova) menunjukkan adanya perbedaan lama penyimpanan urin kultur pada suhu 2ºC-8ºC. DAFTAR PUSTAKA Adelberg, Jawetz, Melnick ,2008; Medical Microbiology, edisi 23, Jakarta penerbit Buku Kedokteran EGC. Anonim 1, Penilaian hasil pemeriksaan urine, www.kalbe.co.id, 18 Juni 2009 Anonim 2, pengantar-tentang-bakteri,filzahazny.wordpress.com, 2008 Anonim 3 Mikro-organisme penyebab Infeksi Saluran Kemih, Cattel WR., Urinary Tract Infections.Definitions and Classifications.In Infectionsof The Kidney and Urinary Tract,Ed by Cattel,WR.,Oxford University Press. 1996. Collee J.Gerald.,Fraser Andrew G, Marmion Berrie P, Simmons Anthony 1996, Makckie & McCartney Practical Medical Microbiology, fourteenth edition, New York Edinburgh London Madrid Melbourne San Fransisco and Tokyo. Darkuni, Noviar 2001, Mikrobiologi, Malang JICA Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 118 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 G. Schlegel, Hans dengan bantuan Karin Schmidt,1994; Mikrobiologi Umum; edisi keenam, Yogyakarta penerbit Gajah Mada University Press. Gerard Bonang, Enggar S.Koeswardono 1982, Mikrobiologi Kedokteran Untuk Laboratorium dan Klinik, Jakarta , penerbit PT Gramedia. Hastuti, Utami Sri, 2008 ; Petunujuk Praktikum Mikrobiologi, Malang, Universitas Negeri Malang. Howes, Davis S, MD, 2005., Urinary Tract Infection, Female, University of Chicago J.Vandepitte and J.Verhaegen, Engbaek K, Rohner P, Piot P, Heuck C.C, 2003, Basic Laboratory Procedures in Clinical Bacteriology, Geneva World Health Organization. Jawetz, Melnick & Adelberg,2008; Medical Microbiology, edisi 23. Johnson, Arthur G., Ziegler Riechard, Fitzgerald Thomas J, Lukasewycz Omelan, Hawley Louise ,1994, Mikrobiologi dan Imunologi;Seri ringkasan, Jakarta penerbit Binarupa Aksara. New Gupte Satish, MD,1990 , Mikrokrobiologi Dasar, edisi ketiga, Jakarta penerbit Binarupa Aksara. Oriputra D, Aryani A, Fauzi A 2008, Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih Pada Pertolongan Persalinan Spontan di R.S. Mohammad Hoesin Palembang. Saifuddin AB, 2001, Infeksi saluran kemih, Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta Shaver DC, Phelan ST, Beckman CRB, Ling FW.,1993. Clinical Manual of Obstetrics, Second edition Standard Operating Procedures in Microbiology,2000; Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tarigan, Jeneng 1998, Pengantar Mikrobiologi, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. www.kalbe.co.id , 2009. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 119 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 STUDI TENTANG KEADAAN SANITASI RUMAH PENDERITA TB PARU DI DESA BANJAREJO KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN *Karno ABSTRAK Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan penularan melalui udara yang terpercik dahak penderita sewaktu batuk maupun bersin. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular berbasis lingkungan dengan salah satu sebab yaitu sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan rumah ini dapat menjadi mata rantai penularannya. Penyakit TB Paru menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, sehingga menjadi program prioritas pemerintah melalui strategi DOTS untuk pemberantasannya. Selain pengobatan secara rutin, perbaikan sanitasi rumah menjadi satu cara untuk memutus mata rantai penularan penyakit. Penelitian ini dilakukan di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan mengenai keadaan sanitasi rumah seluruh penderita penderita TB Paru BTA positif sebanyak 7 penderita. Obyek penelitian deskriptif ini adalah 7 rumah penderita TB Paru dan menggunakan data primer yaitu pengukuran keadaan fisik rumah, observasi, wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder dari puskesmas dan kantor desa. Hasil penelitian menunjukkan sanitasi rumah semua (100%) dalam kategori kurang, tingkat pendidikan sebagian besar tamat SD (57,14%), tingkat pengetahuan dengan kriteria baik 57,14%, sedang 14,29% dan kurang sebanyak 28,57%, sedangkan tingkat pendapatan < Rp. 200.000,- sebanyak 85,71% dan antara Rp. 200.000,- - Rp. 500.000,- sebanyak 14,29%. Kesimpulan penelitian adalah ada keterkaitan antara pendidikan, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan dengan keadaan sanitasi rumah, dan keadaan sanitasi rumah berperan dalam hal penularan penyakit TB Paru. Kata kunci : Sanitasi rumah, TB Paru. *: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang sudah sangat tua dan bahkan mungkin lebih tua daripada sejarah manusia. Gambaran TB telah ada sejak lama, misalnya dalam salah satu tokoh cerita The Hunchback of Notre Dame yang terkenal karya sastrawan besar Vector Hugo. Di dalam Piramida Mesir Kuno juga ditemukan gambar relief manusia bongkok yang kemungkinan menderita TB tulang belakang atau gibbus pada spondilitis TB. Ditemukan pula kuman TB pada sebagian mumi Mesir dan sebagian fosil dinosaurus. Sepanjang dasawarsa terakhir pada abad XX, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, yaitu 95% kasus terjadi di negara sedang berkembang dan Indonesia menduduki peringkat ke-3 penyumbang kasus TB terbanyak di dunia, setelah India dan China. WHO memperkirakan, setiap tahun ada 583.000 kasus baru di Indonesia dengan sekitar 262.000 dalam bentuk aktif yang dapat menular kepada orang lain serta sekitar 140.000 orang meninggal setiap tahun (Harian Umum Kompas, 14 Maret 2002 ). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 120 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Program Pemberantasan penyakit TB Paru saat ini menggunakan strategi pengobatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse ) yang direkomendasikan oleh WHO yang selanjutnya berkembang dengan pembentukan GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis). Lingkungan, khususnya perumahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit TB Paru secara epidemiologi selain agent dan penjamu (host). Rumah yang sehat akan mendukung kelangsungan hidup serta kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya, namun sebaliknya rumah yang tidak memenuhi syarat dapat berperan dalam penularan berbagai penyakit menular berbasis lingkungan termasuk TB Paru. Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian Rumusan masalah penelitian adalah: ”Bagaimana keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan ?” Sedangkan tujuan penelitian adalah menilai keadaan sanitasi rumah (ventilasi, pencahayan, suhu dan kelembaban serta kepadatan penghuni) dan gambaran penderita TB Paru meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan dan pendapatan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan, informasi dan menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam upaya pemberantasan TB Paru. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian deskriptif lapangan ini bertujuan memperoleh gambaran keadaan sanitasi rumah dan penderita TB Paru dari total populasi yaitu seluruh rumah dan penderita TB Paru di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan sebanyak 7 rumah. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keadaan Sanitasi Rumah Data keadaan sanitasi rumah terdiri atas hasil pengukuran keadaan fisik rumah, persentase persyaratan fisik rumah, dan hasil penilaian keadaan sanitasi rumah, yang masingmasing ditampilkan pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Hasil Pengukuran Keadaan Fisik Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo No Pencahayaan (Lux) Kelembaban (%) Suhu (ºC) Luas Ventilasi (m²) Luas Lantai (m²) 1 37 60 15 0 5mx6m 2 58 58 16 2 5mx7m 3 34 56 16 0 4mx6m 4 59 55 17 0,6 7 m x 11 m 5 54 51 17 1 7 m x 11 m 6 50 53 18 12 7 m x 11 m 7 40 50 17 0 4mx6m No 1 2 3 4 Tabel 2. Persentase Persyaratan Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Keadaan fisik Memenuhi Syarat Tidak memenuhi syarat Jumlah rumah Jumlah % Jumlah % Jumlah % Pencahayaan 0 0 7 100 7 100 Kelembaban 7 100 0 0 7 100 Suhu (< 18º C) 1 14,29 6 85,71 7 100 Luas Ventilasi 1 14,29 6 85,71 7 100 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 121 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Tabel 3. Hasil Penilaian Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo. Keadaan Sanitasi Rumah Jumlah Persentase ( % ) Baik 0 0 Sedang 0 0 Kurang 7 100 Jumlah 7 100 Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan semua dalam kategori kurang. Karakteristik Penderita TB Paru Karakteristik penderita TB Paru (umur, jumlah jiwa, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan dan pendapatan) disajikan pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 9. Nomor 1 2 3 Tabel 4. Distribusi Golongan Umur Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Golongan Umur Jumlah Persentase 30 – 45 tahun 4 57.14 46 – 61 tahun 1 14.29 62 – 77 tahun 2 28.57 Jumlah 7 100.00 Tabel 5. Distribusi Jumlah Jiwa Dalam Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Nomor Jumlah Jiwa Dalam Rumah Penderita TB Bukan Penderita TB 1 5 1 4 2 6 1 5 3 5 1 4 4 7 1 6 5 3 1 2 6 6 1 5 7 5 1 4 Jumlah 37 7 30 Tabel 6. Distribusi Tingkat Pendidikan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Nomor Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase 1 Tidak Sekolah 1 14.29 2 Tamat SD 4 57.14 3 Tamat SMP 1 14.29 4 Tamat SMA 1 14.29 5 Tamat Perguruan Tingi 0 0.00 Jumlah 7 100.00 Nomor 1 2 3 Tabel 7. Distribusi Tingkat Pengetahuan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Pengetahuan Jumlah Persentase Baik 4 57.14 Sedang 1 14.29 Kurang 2 28.57 Jumlah 7 100 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 122 Vol.I No.2 April 2010 No 1 2 Nomor 1 2 3 ISSN: 2086-3098 Tabel 8. Distribusi Pekerjaan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Pekerjaan Jumlah Persentase Tani 6 85.71 Wiraswasta 1 14.29 JUMLAH 7 100 Tabel 9. Distribusi Pendapatan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Pendapatan Jumlah Persentase < Rp. 200.000,6 85.71 Rp. 200.000,- - Rp. 500.000 1 14.29 Rp. 500.000,- keatas 0 0 JUMLAH 7 100 Tampak bahwa sebagian besar penderita TB Paru berada pada golongan umur 30-45 tahun, jumlah jiwa di dalam rumah cukup banyak, berpendidikan SD, memiliki tingkat pengetahuan yang baik, bekerja sebagai petani dan memiliki pendapatan < Rp. 200.000,- perbulan. Jelaslah bahwa keadaan sanitasi rumah maupun karakteristik penderita TB Paru di Desa Banjarejo berada dalam kondisi beresiko. Keadaan tersebut mungkin tidak perlu terjadi jika sanitasi terjaga kualitasnya, karenan menurut WHO, sesungguhnya penularan TB dapat dicegah dengan mempraktekkan pola hidup sehat termasuk menjaga lingkungan dan sanitasi rumah. Berkaitan dengan hal tersebut APHA dan Winslow telah memaparkan bahwa salah satu persyaratan dari rumah sehat adalah dapat mencegah terjadinya penularan penyakit dan kecelakaan. Pentingnya rumah yang sehat ini juga dikemukakan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan yang isinya antara lain mencakup: 1) pencahayaan (seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan), 2) ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai, 3) kepadatan hunian ruang tidur, minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun dan 4) kualitas udara (di dalam rumah tidak boleh melebihi ketentuan yaitu: untuk suhu udara nyaman berkisar 18º–30 ºC sedang kelembaban udara berkisar antara 40%–70%). Penelitian tentang faktor resiko terhadap kejadian penyakit TB Paru telah dilakukan oleh Suhardi dkk. (2006) di Salatiga menunjukkan bahwa sebagian besar faktor resiko terjadinya penyakit TB Paru adalah berasal dari keadaan sanitasi rumah, di samping faktor resiko lainnya. Secara lengkap kesimpulan penelitian mereka adalah sebagai berikut: Pertama, resiko terjadinya TB paru pada balita yang menempati rumah padat penghuni (pebih besar atau sama dengan 9 meter persegi per orang) adalah 42,14 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tidak menempati rumah padat penghui. Kedua, resiko terjadinya TB paru pada balita yang rumahnya lembab adalah 18 (dibulatkan) kali dibandingkan dengan balita yang rumahnya tidak lembab. Ketiga, resiko terkenanya penyakit TB paru pada balita yang memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan (lebih kecil dari 10% luas lantai rumah) adalah 15,476 kali dibandingkan balita yang memiliki luas ventilasi memnuhi standar kesehatan (lebih besar atau sama dengan 10% dari luas lantai rumah). Keempat, resiko terkenanya penyakit TB paru pada balita yang memiliki suhu ruangan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 9,8 kali dibandingkan balita yang memiliki suhu ruangan rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Kelima, resiko terjadinya TB paru pada Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 123 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 anak yang rumahnya tidak cukup pencahayaan adalah 4 kali dibandingkan dengan balita yang cukup pencahayaan. Keenam, resiko terjadinya TB paru pada balita yang di rumahnya ada penderita TB yang lain adalah sebesar 49,762 kali dibandingkan dengan balita yang rumahnya tidak ada penderita TB yang lain. Ketujuh, resiko terjadinya penyakit TB pada baita yang tidak memperoleh imunisasi BCG yaitu 16,673 kali dibandingkan balita yang memperoleh imunisasi BCG. Kedelapan, resiko terjadinya TB paru pada balita yang mempunyai status gizi kurang pada masa lampau adalah 11,667 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang mempunyai status gizi lebih baik di masa lampau. Kesembilan, resiko terjadinya penyakit TB paru pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif adalah 9,198 kali lebih besar dibandingkan balita yang mendapatkan ASI eksklusif. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ditarik simpulan sebagai berikut: keadaan sanitasi penderita TB Paru seluruhnya berada dalam kategori kurang. Karakteristik penderita TB Paru adalah: sebagian besar berada pada golongan umur 30-45 tahun, jumlah jiwa di dalam rumah cukup banyak, berpendidikan SD, memiliki tingakat pengetahuan yang baik, bekerja sebagai petani dan memiliki pendapatan kurang dari Rp. 200.000,- perbulan. Saran yang diajukan adalah: 1) institusi kesehatan baik dinas kesehatan maupun puskesmas diharapkan melakukan pengawasan, pemantauan dan penyuluhan secara rutin tentang sanitasi rumah kepada penderita TB Paru dan anggota keluarganya secara lebih intensif sehingga tujuan program pemberantasan TB paru dengan Strategi DOTS dapat berhasil dan rumah tidak menjadi tempat mata rantai penularan penyakit ini, 2) Penderita TB Paru selain berobat secara tepat dan teratur diharapkan juga lebih memperhatikan masalah sanitasi rumah khususnya masalah jendela, ventilasi dan pemasangan genteng kaca agar pencahayaan alami dari sinar matahari masuk secara maksimal. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2010. TB bisa dicegah, TB bisa disembuhkan, Kompas 28 Maret 2010. Aditama Candrayoga, 2002. Harian Umum Kompas 14 Maret 2002 . Gerdu TB Perlu Revitalisasi dan Komitmen Politik. Direktorat Jenderal PPM dan PLP Depkes RI, 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan TBC. Jakarta : Depkes RI Indrarto Wikan, 2010. Harian Umum Kompas 24 Maret 2010 Hal 14. Hari Tuberkulosis Sedunia ”Salah Kaprah Tuberkuilosis Anak”. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 829 /Menkes/ SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Sanropie, Djasio, 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Permukiman. Jakarta: Depkes RI. Slamet Juli Soemirat, 1994, Kesehatan Lingkungan, Bandung, UGM Press. Suhardi, Windarsih DW, Nuryadani SA dan Triana AA. Hubungan Faktor Resiko Kondisi Rumah Terhadap Kejadian TB Paru Pada Balita Di Wilayah Kota Salatiga Tahun 2006, http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes Tabloid ” Senior ”, Gaya Hidup Sehat Nomor 137/22-28 Februari 2002. Tabloid “ Gaya Hidup Sehat, Nomor 558/ 26 Maret – 1 April 2010, Hal 31. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 124 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PERBEDAAN PERILAKU MENJAGA PERSONAL HYGIENE SAAT MENSTRUASI PADA REMAJA PUTRI ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PENYULUHAN TENTANG PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI Koekoeh Hardjito*, Suwoyo*, Siti Asiyah* ABSTRAK Dalam rentang kehidupan manusia, seseorang perlu mampu menjaga kebersihan diri, termasuk saat seorang remaja putri mengalami menstruasi. Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi pada remaja putri di SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra eksperimen dengan One Group Pre test–post test design. Sampel penelitian sebanyak 22 remaja putri yang diambil secara purposif. Analisis menggunakan uji Wilcoxon pada α 5%. Hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,001 > α 5% atau ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Diharapkan dari penelitian ini, ada kerjasama antara pihak sekolah dan petugas kesehatan untuk lebih meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi sehingga perilaku dalam menjaga personal hygiene khususnya saat menstruasi lebih meningkat. Kata kunci: perilaku, personal hygiene, menstruasi, penyuluhan, kesehatan reproduksi *: Program Studi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang PENDAHULUAN Latar belakang Manusia perlu menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar sehat, tidak bau, tidak menyebarkan kotoran atau menularkan penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain. Sepanjang siklus kehidupan manusia, kebersihan diri harus dijaga termasuk saat manusia memasuki masa remaja. Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam rentang kehidupan individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial (IDAI, 2002). Masa remaja (adolescence/puberty) dimulai pada usia 11 atau 13 sampai usia 21 tahun. Masa preadolescence pada wanita terjadi pada usia 11–13 tahun. Secara fisik pada masa ini terjadi perubahan organ seksual. Salah satu perubahan fisik yang dialami remaja putri adalah menstruasi pertama, yang menuntut remaja putri mampu merawat organ reproduksi dengan baik terutama dalam hal kebersihan pribadi (personal hygiene). Hal ini disebabkan oleh peristiwa menstruasi yang merupakan darah kotor, yang jika kurang dijaga kebersihannya akan berpotensi untuk timbul infeksi pada organ reproduksi (Yusuf, 2002). Untuk menghindari infeksi vagina, remaja putri perlu memiliki perilaku yang baik dalam kebersihan diri, khususnya kebersihan alat reproduksi, untuk itu pendidikan kesehatan perlu diberikan agar kebersihan diri bisa dijaga dengan baik. Guna menciptakan perilaku tersebut, perlu diberikan pendidikan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Melalui kegiatan ini dapat disampaikan hal-hal yang terkait dengan organ reproduksi termasuk personal hygiene alat reproduksi, dengan tujuan agar terbentuk pengetahuan tentang perlunya personal Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 125 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 hygiene. Jika pengetahuan meningkat, diharapkan timbul sikap positif dalam menjaga personal hygiene, yang menjadi dasar terbentuknya perilaku menjaga personal hygiene. Menstruasi awal sering dijumpai pada anak kelas 5–6 SD berusia 11–13 tahun. Studi pendahuluan di SDN Jamsaren I Kota Kediri memperoleh hasil bahwa 3 dari 5 siswa yang telah menstruasi mengatakan tidak mengerti cara menjaga kebersihan diri yang benar. Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Adakah perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi pada remaja putri Di SDN Jamsaren I Kota Kediri antara sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi ?” Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi perilaku remaja putri dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan, 2) menganalisis perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah mendapatkan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Diharapkan penelitian ini membawa manfaat sebagai: 1) sumbangsih pemikiran dalam memilih, menyusun dan merencanakan metode pengembangan perilaku sehat remaja putri, 2) masukan bagi masyarakat, sekolah, puskesmas dan pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan perilaku sehat remaja putri, 3) tambahan informasi bagi para akademisi dan praktisi yang terkait dengan Ilmu Perilaku dan Promosi Kesehatan, 4) bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, sesuai dengan permasalahan yang belum teridentifikasi. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian pra eksperimen di SDN Jamsaren I Kediri pada bulan April-Mei 2009 ini menerapkan one group pre test–post test design, yaitu mengungkapkan perbedaan dengan melibatkan satu kelompok subyek. Populasi penelitian adalah seluruh siswi kelas 5 dan kelas 6 yang sudah menstruasi, dan sampel diambil secara purposif sebanyak 22 siswa. Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Variabel Penyuluhan kesehatan reproduksi Pengertian Proses penyampaian pesan tentang kesehatan reproduksi dari penyuluh kepada sasaran penyuluhan yaitu anak perempuan kelas 5 dan 6 SD yang sudah menstruasi, dengan metode tanya jawab dan simulasi Perilaku menjaga Perilaku menjaga personal hygiene personal hygiene yang dilakukan oleh remaja saat saat menstruasi mendapatkan menstruasi Kategori Kriteria Skala Pre Sebelum Nominal diberi penyuluhan Post Setelah diberi penyuluhan Baik Cukup Kurang Skor > 76 Skor 56 - 76 Skor < 56 Ordinal Penyuluhan kesehatan reproduksi merupakan variabel bebas, dan perilaku siswa dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi merupakan variabel terikat, yang masing-masing didefinisikan pada Tabel 1. Data dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner tentang hal-hal yang dikerjakan oleh siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi I. Setelah itu kuesioner diambil dan dilanjutkan dengan pemberian penyuluhan tentang kesehatan reproduksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner yang sama setelah diberikan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 126 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 penyuluhan. Berikutnya dilakukan pengolahan data dan analisis data menggunakan uji beda untuk 2 sampel berpasangan yaitu uji Wilcoxon menggunakan SPSS versi 11.05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perilaku siswi sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi ditampilkan pada Tabel 2. Tabel. 2 Perilaku Remaja Putri Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Kategori Perilaku Baik Cukup Kurang Total Sebelum Penyuluhan Frekuensi Persentase 1 4.5 21 95.5 0 0 22 100 Sesudah Penyuluhan Frekuensi Persentase 4 18 18 82 0 0 22 100 Perbedaan perilaku siswi antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tampak bahwa tak ada peningkatan nilai minimum yaitu 60 sesudah pendidikan. Pada nilai maksimum, perilaku sebelum pendidikan kesehatan meningkat dari 78 menjadi 80. Uji Wilcoxon menunjukkan nilai p 0,001 < α 0,05, maka Ho ditolak, artinya ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi pada siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi. Skor perilaku sebelum HE 7 6 5 4 3 Frequency 2 Std. Dev = 4.46 1 Mean = 66.2 N = 22.00 0 60.0 62.5 65.0 67.5 70.0 72.5 75.0 77.5 Skor perilaku sebelum HE Gambar 1 Skor Perilaku Remaja Putri Sebelum Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Sebelum diberi penyuluhan, hanya ada 1 siswi yang memiliki perilaku menjaga personal hygiene dalam kategori baik, sedangkan sisanya adalah dalam kategori cukup. Satu siswi tersebut telah mengalami menstruasi paling lama yaitu 2 tahun, hal ini sesuai dengan pendapat Potter dan Perry, (2000) bahwa sikap seseorang melakukan personal hygiene Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 127 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Tidak ada dua orang yang melakukan perawatan kebersihan dengan cara yang sama. Beragam faktor pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktek hygiene, juga keterbatasan fisik, kepercayaan, nilai dan kebiasaan. Secara terperinci meliputi citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi, pengetahuan, kebudayaan, pilihan pribadi dan kondisi fisik. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup, motivasi juga harus dilakukan untuk memelihara perawatan diri. Pembelajaran praktik tertentu yang diharapkan dan menguntungkan dalam mengurangi resiko kesehatan dapat memotivasi seseorang untuk memenuhi perawatan yang diperlukan. Lamanya waktu seseorang mengalami menstruasi menjadikan pengetahuannya tentang menstruasi termasuk bagaimana cara mengelola kebersihan diri meningkat. Skor perilaku setelah HE 16 14 12 10 8 Frequency 6 4 Std. Dev = 5.15 2 Mean = 68.7 N = 22.00 0 60.0 65.0 70.0 75.0 80.0 Skor perilaku setelah HE Gambar 2 Skor Perilaku Remaja Putri Sesudah Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Sesudah diberi penyuluhan, terdapat 4 siswi yang memiliki perilaku yang baik dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi. Perilaku yang baik ditunjukkan dengan kemampuannya membersihkan organ reproduksi dengan cara yang benar, namun masih dijumpai beberapa remaja yang melakukan dengan cara yang belum benar, sehingga secara keseluruhan memberikan hasil perilaku yang cukup. Perawatan alat reproduksi bisa dilakukan minimal dua kali sehari dan waktu yang lebih baik adalah pagi dan sore hari sebelum mandi, sesudah buang air kecil atau buang air besar atau empat jam sekali, terutama pada perineum (Cristina, 1999). Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi. Keterpaparan seseorang terhadap informasi dapat merubah pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 128 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Hasil penelitian membuktikan adanya perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan. Menurut Munir (1997), dalam proses penyuluhan ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yaitu: 1) Keberhasilan sesungguhnya, yaitu perilaku sasaran berubah seperti apa yang diharapkan dan berlangsung terus-menerus. 2) keberhasilan semu, yaitu perubahan perilaku baru terjadi dalam waktu terbatas yaitu selama si penyuluh berada bersama sasaran atau selama mereka masih merasakan manfaat dari perilaku itu. Begitu penyuluh berpisah dengan sasaran atau sasaran tak lagi merasakan manfaatnya, mereka kembali keperilaku lama, 3) Kegagalan total, yaitu sasaran menolak secara total inovasi baru yang disampaikan. Mengapa terjadi kegagalan, keberhasilan semu atau keberhasilan sesungguhnya dalam suatu penyuluhan, ini sangat tergantung dari individu dari tingkat pendidikan, pengetahuan yang melatarbelakangi perilaku masing-masing individu. Kondisi yang terjadi pada remaja putri setelah mendapatkan pendidikan kesehatan dapat disebabkan oleh ketiga hal di atas. Pengetahuan yang didapat dari hasil belajar kepada lingkungan selama perjalanan hidupnya, kemudian mendasari seseorang untuk dapat menginterpretasikan obyek dan dijadikan acuan baginya untuk bertindak terhadap obyek tersebut, yang terlihat sebagai perilaku sehari-hari. Helen dan Paul (1980) mengemukakan bahwa efektivitas komunikasi, tentu juga efektivitas penyuluhan, paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu: kesenangan, hubungan sosial yang baik, pengertian, pengaruh pada sikap dan tindakan. Pendidikan kesehatan reproduksi yang dilakukan masih sebagian kecil dapat menimbulkan tindakan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian ini adalah: 1) sebagian besar siswi memiliki perilaku cukup dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi, 2) terdapat peningkatan frekuensi perilaku cukup menuju perilaku baik pada siswi setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, 3) ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan pada siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri. Berdasarkan simpulan diajukan saran antara lain: 1) sekolah hendaknya memantau kemampuan siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi dan menyiapkan pemahaman menjaga personal hygiene pada siswi yang akan mengalami menstruasi I, 2) petugas kesehatan diharapkan meningkatkan pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang cara menjaga personal hygiene pada saat menstruasi dengan berbagai pendekatan. DAFTAR PUSTAKA Munir, B. (1997). Penyuluhan Kesehatan Masyarakat dengan Pendekatan Antropologi , Jakarta: Depkes RI. Notoatmodjo,S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Helen S.Ross and Paul R. Mico. (1980). Theory and Practice in Health Education Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian Pendekatan Suatu Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Syamsu Yusuf, 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 129 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 KINERJA SANITARIAN LAPANGAN DALAM MENURUNKAN ANGKA KEJADIAN DBD DI MAGETAN Budi Yulianto* ABSTRAK Selama tiga tahun terakhir angka kejadian DBD cenderung meningkat tajam baik ditinjau dari peningkatan kelompok usia, kewilayahan, serta kematian. Tenaga Sanitasi di lapangan mempunyai tugas berkaitan dengan pemberantasan DBD di antara tugas lain yang melekat. Peran dan fungsi tenaga sanitasi diharapkan memberikan kontribusi menurunkan kejadian DBD di wilayahnya. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh kinerja tenaga sanitasi lapangan terhadap kejadian DBD di Kabupaten Magetan. Sampel diambil dari sebagian petugas sanitasi lapangan sebanyak 21 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner dan dokumen kejadian DBD selama dua tahun. Hasil analisis menunjukan petugas sanitasi lapangan yang mempunyai kinerja baik (76,2%), kurang baik (23,8%). Kejadian DBD di Puskesmas menunjukan kategori kurang baik atau terjadi peningkatan (85,7%), dan 14,3% kejadian DBD baik atau tidak ada peningkatan. Uji regresi logistik (p)=0,905, artinya tidak ada pengaruh kinerja sanitasi lapangan terhadap angka kejadian DBD. Kata kunci : sanitasi lapangan, DBD. *: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Demam Berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Dalam tiga tahun terakhir kasus DBD meningkat secara tajam baik apabila ditinjau dari peningkatan angka kejadian DBD berdasarkan kelompok usia dari penderita, juga terjadi peningkatan angka kejadian DBD berdasarkan batas teritorial kewilayahan, maupun peningkatan jumlah kematian dari penderita DBD. Seiring dengan peningkatan angka kejadian dan angka kematian akibat DBD sebenarnya di tiap-tiap wilayah kerja puskesmas telah tersedia tenaga sanitasi di lapangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif (kualifikasi pendidikan) sudah lebih baik apabila dibandingkan dengan kuantitas maupun kualitas pada tahun-tahun sebelumnya. Keberadaan tenaga sanitasi di lapangan diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk mencegah dan menurunkan penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan khususnya DBD. Fakta menunjukan bahwa akhir-akhir ini terjadi peningkatan kejadian dan kematian akibat DBD hampir diberbagai daerah di Indonesia. Di Kabupaten Magetan juga terjadi peningkatan angka kejadian DBD dan kematian dari tahun ke tahun. Dalam 4 tahun terakhir perkembangan angka kejadian DBD di Kabupaten Magetan adalah: tahun 2001 terdapat 341 penderita DBD dan 2 orang di antaranya meninggal, tahun 2002 terdapat 244 penderita dan 4 orang di antaranya meninggal, tahun 2003 terdapat 136 penderita, dan tahun 2004 terdapat 260 penderita dan 2 orang di antaranya meninggal (Subdin PPM Dinkes Kab. Magetan 2005). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 130 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Peningkatan angka kejadian dan angka kematian akibat DBD kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Faktor lingkungan (meningkatnya populasi Aedes aegypti) yang dipengaruhi pula oleh perubahan pola hidup nyamuk serta terjadinya kekebalan pada tubuh nyamuk akibat penggunaan bahan-bahan insektisida. 2) Faktor keberadaan virus dengue pada tubuh penderita maupun pada tubuh vektor. 3) Faktor karakteristik manusia termasuk perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari. 4) Faktor pelayanan kesehatan termasuk sarana- prasarana, tenaga, asustibilitas pelayanan. 5) Faktor alam (musim). Dari beberapa faktor di atas, terutama adalah keberadaan tenaga sanitasi di lapangan yang merupakan salah satu tenaga dengan tugas berkaitan dengan penanggulangan DBD di wilayahnya, yaitu melaksanakan monitoring atau pemeriksaan jentik nyamuk (Aedes aegeypti) yang kegiatannya sering diintegrasikan dengan kegiatan Survey Rumah Tangga. Selain itu jika terjadi kasus DBD di wilayahnya, ikut melaksanakan tindakan-tindakan di lingkungan penderita serta memberikan penyuluhan tentang DBD, sehingga diharapkan tidak terjadi peningkatan angka kejadian dan kematian akibat DBD di wilayah kerjanya. Mengingat pentingnya peran dan fungsi petugas ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh kinerja petugas sanitasi di lapangan terhadap angka kejadian DBD di wilayah kerjanya. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Populasi penelitian cross sectional ini adalah petugas sanitasi lapangan yang bekerja di seluruh puskesmas di Kabupaten Magetan sebanyak 22 orang. Besar sampel dengan nilai p = 50% , dan α = 0,05 sebanyak 21 orang, diambil dengan teknik simple random sampling.Data dikumpulkan dengan metode tanya jawab terpimpin dan pengamatan meliputi kinerja petugas, data kejadian DBD dikumpulkan dengan metode dokumentasi yaitu melalui dokumen pada setiap puskesmas. Analisis deskriptif diterapkan untuk menggambarkan kinerja petugas, angka kejadian DBD, sarana, dan prasarana. Uji Regresi Logistik digunakan untuk menguji pengaruh kinerja sanitarian terhadap kejadian DBD. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil PenelitianHAELITIAN Karakteristik pendidikan sanitarian adalah: SPPH (DI) 8 orang (38,1%), D III Kesehatan Lingkungan 2 (57,1%), dan D III + SKM 1 orang (4,8%). Karakteristik masa kerja sanitarian adalah: 15–20 tahun 13 orang (61,9 %), < 15 tahun 2 orang (9,5 %). Sedangkan karakteristik jarak tempat tinggal sanitarian dengan puskesmas adalah: tak lebih dari 10 km sebanyak 13 orang (61,9%), dan lebih dari 10 km sebanyak 8 orang (38,1 %). Distribusi kinerja sanitarian adalah: baik: 16 orang (23,8 %), dan kurang: 5 orang (23,8%). Angka kejadian DBD yang menurun atau tetap daripada tahun sebelumnya: 3 puskesmas (14,3%), dan yang meningkat: 18 puskesmas (85,7%). Peningkatan kejadian DBD terendah: 1 kasus dan tertinggi: 29 kasus. Rerata peningkatan kejadian DBD per-puskesmas adalah 6 kasus. Serta terjadi peningkatan jumlah penderita yang meninggal (2 orang). Angka kejadian DBD menurut pendidikan sanitarian disajikan pada Tabel 1, angka kejadian DBD menurut masa kerja sanitarian disajikan pada Tabel 2, sedangkan angka kejadian DBD menurut kinerja sanitarian disajikan pada Tabel 3. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 131 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Tabel 1 menunjukan bahwa tenaga sanitasi dengan pendidikan D III kesehatan lingkungan, yang mempunyai angka kejadian DBD kurang baik di wilayah kerjanya (terdapat peningkatan kasus DBD) sebanyak 10 (83,3%), sedangkan yang mempunyai angka kejadian DBD baik (terjadi penurunan kasus DBD) sebanyak 2 (16,7%). Tenaga sanitasi berpendidikan S-1 seluruhnya memiliki wilayah dengan angka kejadian DBD kurang baik. Tabel 2 menunjukan bahwa tenaga sanitasi dengan masa kerja 15–20 tahun, yang mempunyai angka kejadian DBD kurang baik di wilayah ada 10 orang (76,9%), sedangkan yang mempunyai angka kejadian DBD baik ada 3 orang (23,1%). Tenaga sanitasi dengan masa kerja >20 tahun, seluruh wilayah kerjanya memiliki angka kejadian DBD kurang baik. Tenaga sanitasi dengan masa kerja <15 tahun, seluruh wilayah kerjanya memiliki angka kejadian DBD kurang baik. Tabel 3 menunjukan bahwa tenaga sanitasi dengan kinerja baik, yang mempunyai angka kejadian DBD kurang baik di wilayah kerjanya ada 13 orang (81,3%), sedangkan yang mempunyai angka kejadian DBD baik ada 3 orang (18,7%). Tenaga sanitasi dengan kinerja kurang baik, seluruhnya memiliki angka kejadian DBD kurang baik di wilayah kerjanya. Tabel 1. Angka Kejadian DBD Menurut Tingkat Pendidikan Sanitarian Tingkat Pendidikan SPPH D III Kesling D III Kesling + S-1 Total Angka kejadian DBD Kurang baik Baik Jumlah % Jumlah % 7 87,5 1 12,5 10 83,3 2 16,7 1 100 18 85,7 14,3 Total Jumlah 8 12 1 21 % 100 100 100 100 Tabel 2 Angka Kejadian DBD Menurut Tingkat Pendidikan Sanitarian Masa kerja < 15 tahun 15 – 20 tahun > 20 tahun Total Angka kejadian DBD Kurang baik Baik Jumlah % Jumlah % 2 100 10 76,9 3 23,1 6 100 18 85,7 14,3 Total Jumlah 2 13 6 21 % 100 100 100 100 Tabel 3. Angka kejadian DBD Menurut Kinerja Sanitarian Kinerja Baik Kurang baik Total Angka kejadian DBD Kurang baik Baik Jumlah % Jumlah % 13 81,3 3 18,7 5 100 18 85,7 14,3 Total Jumlah 16 5 21 % 100 100 100 Uji regresi logistik mendapatkan nilai p = 0,905 > (α = 0,05), berarti tidak ada pengaruh kinerja sanitarian terhadap angka kejadian DBD di Wilayah Dinas Kesehatan Kab. Magetan. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 132 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Pembahasan DBD merupakan merupakan penyakit yang berasal dari lingkungan yang dalam tiga tahun terakhir ini cenderung mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas, artinya dari jumlah penderita mengalami peningkatan termasuk semua kelompok usia mempunyai resiko untuk terkena DBD. Selain peningkatan jumlah penderita, juga terjadi peningkatan luasnya jangkauan wilayah dari masyarakat yang menderita DBD. Penyebab DBD adalah terdapatnya virus dengue dalam tubuh penderita yang ditularkan melalui vektor Aedes aegypti. Demikian pula terjadinya transmisi pada penyakit ini, virus dengue yang berasal dari penderita DBD atau penderita yang bersifat karier melalui gigitan vektor Aedes aegypti berpindah ke dalam tubuh nyamuk, setelah melalui proses yang disebut propogatif dalam tubuh nyamuk dan menyebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk dalam kelenjar liurnya. Dari dalam tubuh vektor, virus ini ditularkan kepada orang yang sehat melalui gigitan hingga timbul gejala atau atau gangguan dalam bentuk sakit. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada pengaruh kinerja petugas sanitasi lapangan terhadap angka kejadian DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan. Dengan demikian terjadinya peningkatan jumlah penderita DBD maupun terjadinya kematian akibat DBD bukan dipengaruhi oleh kinerja petugas sanitasi di lapangan. Meningkatnya angka kejadian DBD tersebut mungkin disebabkan oleh: 1. Tingginya mobilitas penderita Mobilitas adalah salah satu aktifitas seseorang atau masyarakat yang ditandai dengan berpindah-pindahnya seseorang dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Demikian juga dengan penderita DBD yang merupakan sumber atau resevoir virus dengue mempunyai peran sangat besar terhadap penularan DBD kepada orang lain. Berpindahnya penderita dari satu tempat ke tempat lain sama artinya dengan hadirnya sumber atau reservoir virus dengue di tempat tersebut. Terdapatnya reservoir atau sumber virus di tempat tersebut didukung oleh adanya vektor Aedes aegypti, maka mempunyai potensi terjadinya perpindahan virus dari orang yang sakit (karier) kepada orang yang sehat hingga timbul gejala atau gangguan. Peningkatan jumlah penderita baru di tempat tersebut sangat dipengaruhi oleh frekuensi terjadinya perpindahan virus dari reservoir kepada host baru, selain itu juga dipengaruhi oleh jumlah vektor Aedes aegypti di tempat tersebut yang mempunyai kesempatan untuk memindahkan virus dengue dari reservoir kepada host baru. Kemungkinan tidak sedikit penderita yang sudah merasa sehat namun di dalam tubuhnya masih mengandung virus dengue sudah melakukan mobilitas. Keadaan ini juga mempunyai potensi terjadi penularan DBD kepada orang lain. Untuk mencegah perpindahan virus dari dalam tubuh melalui vektor Aedes aegypti kepada host baru di tempat lain, dari hasil penelitian ini diperlukan perlindungan atau barier pada tubuh penderita sampai virus dengue dalam tubuh penderita benar-benar sembuh dan tidak mengandung virus dengue. Perlindungan atau barier ini dapat dipilih dari bahan yang banyak dipasarkan yang bersifat melindungi dan mengusir nyamuk Aedes aegypti pada siang hari. Maksud pemberian barier kepada penderita dari gigitan agar tidak terjadi transmisi virus dengue oleh vektor kepada host baru. Konsep yang ditawarkan ini sebenarnya lebih murah biayanya, mudah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 133 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 dikerjakan, langsung melindungi faktor penyebab pada fokusnya. Konsep ini membutuhkan kesadaran dari dari penderita. 2. Terdapatnya vektor Nyamuk Aedes albopictus dan Aedes aegypti merupakan vektor yang berperan sangat penting dalam pemindahan virus dengue dari tubuh penderita ke tubuh host baru hingga timbul gejala atau gangguan. Keberadaan vektor Aedes aegypti hampir di seluruh daerah atau pelosok. Baik Aedes aegypti maupun virus dengue keduanya merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam menimbulkan DBD. Meskipun banyak kita jumpai vektor ini, tetapi kalau tidak mengandung virus dengue kemungkinan besar tidak akan timbul gejala atau gangguan. Sebaliknya, keberadaan vektor DBD di lingkungan pemukiman banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah musim, kesadaran masyarakat melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk, dan pengawasan terhadap lingkungan masing-masing. Pemberantasan sarang nyamuk sebenarnya mudah dikerjakan oleh masyarakat, tetapi jarang dilakukan follow up, sehingga Aedes aegypti mudah berkembang biak. Terdapatnya penderita DBD sepanjang tahun, dewasa ini diduga karena kualitas lingkungan pemukiman yang menurun, berkaitan dengan musim. Biasanya DBD terjadi menjelang musim hujan, dan pada saat musim penghujan sudah mulai berakhir. Diduga breading please dari vektor ini banyak terdapat di dalam rumah penduduk, serta pada container di sekitar lingkungan rumah yang mudah terisi air, sehingga menjadi tempat untuk perberkembangbiakan vektor ini. Terdapatnya container di dalam rumah sulit diawasi oleh penduduk, hal ini mungkin disebabkan oleh warna container yang mendekati gelap. Konsep yang ditawarkan dari hasil penelitian ini adalah penerapan sanksi kepada masyarakat apabila didapati jentik Aedes aegypti, baik yang ada di dalam rumah maupun di luar rumah. Jika konsep ini dilaksanakan, maka diperlukan dukungan tenaga untuk melakukan monitoring keberadaan jentik di lingkungan pemukiman. Kelebihan dari konsep ini adalah pemberantasan sarang nyamuk yang sudah dicanangkan oleh pemerintah sehingga benar–benar dilaksanakan oleh masyarakat. Dengan demikian, bukan petugas yang melaksanakan pengawasan keberadaan jentik di lingkungan pemukiman tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara petugas dan masyarakat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian antara lain: 1) sebagian besar sanitarian mempunyai kinerja baik, 2) angka kejadian DBD di masing-masing puskesmas sebagian besar mengalami peningkatan, 3) peningkatan angka kejadian DBD tidak dipengaruhi oleh kinerja petugas. Saran relevan yang diajukan adalah: 1) perlu dilakukan perlindungan atau pemberian barier pada penderita sampai mereka benar-benar sembuh dengan menggunakan bahan yang bersifat mengusir nyamuk terutama pada waktu siang hari, 2) perlu dipertimbangkan pemberian sanksi terhadap warga yang didapati jentik nyamuk di lingkungan rumahnya, 3) perlu dilakukan penelitian tentang perilaku masyarakat berkaitan dengan DBD, 4) perlu dilakukan penelitian tentang topografi setiap wilayah kerja Puskesmas, mengingat topografi di wilayah kerja Puskemas banyak yang berbeda. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 134 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 1990, Pedoman Pembinaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD, Jakarta ; Dirjend PPM dan PLP Depkes RI, 1990, Pedoman Pembinaan Kerja Puskesmas Jilid III, Jakarta Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular DBD, Jakarta,Dirjend PPM-PLP Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Pendidikan Epidemiologi, Penanggulangan Seperlunya dan Penyemprotan Masal Dalam Pemberantasan Penyakit DBD, Jakarta,Dirjend PPM-PLP Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit DBD, Jakarta,Dirjend PPM-PLP Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Penemuan, Pertolongan, Pelaporan Penderita Penyakit DBD, Jakarta, Dirjend PPM-PLP Depkes RI, 1999, Tatalaksana Demam Berdarah Dengue, Jakarta, Dirjend PPM-PLP Didik, dkk, 2004. Metodologi Penelitian, Surabaya,Unit PPM Poltekes Surabaya Slamet Ryadi AL,1997. Epidemiologi, Surabaya, AKL Surabaya Sugiyo,2001, Pengantar SPSS 10,0, Surabaya Rineka Cipta Zainudin,2000, Meotologi Penelitian, Surabay, Airlangga Press Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 135 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI STIMULASI TOILET TRAINING OLEH IBU DENGAN KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA ANAK PRASEKOLAH Subagyo*, Ani Sulasih**, Siti Widajati* ABSTRAK Toilet training pada anak merupakan suatu cara untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar, serta buang air besar pada tempatnya. Sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih buang air kecil tidak disengaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk. Jenis penelitian analitik yang bersifat Cross Sectional. Sampel diambil dengan teknik Simple Random Sampling sebesar 32 orang tua anak. Pengumpulan data melalui pengisian kuesioner dan wawancara terstruktur, kemudian dilakukan pengolahan dan analisis statistik Spearman rank. Hasil penelitian menggambarkan bahwa motivasi stimulasi toilet training oleh ibu kategori baik 84,4% dan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah kategori baik 75%. Hasil uji korelasi adalah p ≤ 0,05, dan r=0,597; yang menunjukkan tingkat hubungan agak rendah. Dapat disimpulkan ada hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah. Agar toilet training berhasil, diperlukan motivasi orang tua melakukan stimulasi agar anak terbiasa melakukan secara bertahap dan mandiri. Kata kunci : Motivasi stimulasi, toilet training, anak prasekolah *: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya **: Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk PENDAHULUAN Latar belakang Toilet Training pada anak merupakan cara untuk melatih anak agar mampu mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2005). Latihan buang air besar atau buang air kecil membutuhkan kematangan otot-otot pada daerah pembuangan kotoran (anus dan saluran kemih). Anak-anak harus dilatih menguasai otot-otot alat pembuangan pada waktu buang air besar dan buang air kecil (Anonim, 2008). Anak harus mampu mengenali dorongan untuk melepaskan atau menahan dan mampu mengkomunikasikannya (Nursalam dkk, 2005). Toilet training diharapkan dapat melatih anak untuk mampu BAB dan BAK di tempat yang telah ditentukan. Selain itu, toilet training juga mengajarkan anak dapat membersihkan kotoran sendiri dan memakai kembali celananya (Mufattahah, 2008). Konsep menstimulasi anak untuk melakukan toilet training diperkenalkan pada si kecil sejak dini yaitu usia 1 s/d 3 tahun. Toilet training dilakukan pada anak ketika masuk fase kemandirian (Hidayat, 2005); pelatihan BAB biasanya mulai umur 2 sampai 3 tahun, dan pelatihan BAK ketika anak pada umur 3 sampai 4 tahun. Walaupun bukan pekerjaan sederhana, namun orang tua harus tetap termotivasi untuk merangsang anaknya agar terbiasa BAK atau BAB sesuai waktu dan tempatnya (Mufattahah, 2008). Stimulasi perkembangan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 136 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 anak dalam kemampuan bersosialisasi dan kemandirian dengan melatih BAK dan BAB di kamar mandi/WC, yaitu dengan mengajari anak untuk memberitahu orang tua bila ingin BAK atau BAB dan mendampingi anak saat BAK atau BAB serta memberitahu cara membersihkan diri dan menyiram kotoran (Dep. Kes. RI, 2005). Training BAK mungkin menjadi tidak sempurna sampai anak usia 4-5 tahun terutama pada malam hari. Anak umur 5 tahun kebanyakan dapat melakukan BAB sendiri, melepas dan memakai pakaian dalam sendiri. Sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih mengompol atau BAK secara tak sengaja (Anonim, 2008). Hasil survei pendahuluan tanggal 9-21 Juni 2008 terhadap 10 anak dari 59 anak di TK Pertiwi Desa Plosoharjo Pace Nganjuk adalah 8 anak BAB dan BAK di sembarang tempat, BAK di celana 1 anak, BAB di celana 1 anak, jadi tidak bisa mengontrol BAB dan BAK, serta tidak BAB/BAK di tempat yang telah tersedia sejumlah 10 anak (16,95%). Hasil observasi penulis terhadap ibu yang mengantar anak bahwa sejumlah 6 (10,2%) ibu meskipun mengetahui anaknya ingin BAB dan BAK namun tidak termotivasi untuk mengarahkan anaknya BAB/BAK di tempat yang telah disediakan. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program toilet training antara lain: 1). Motivasi orang tua, 2). Kesiapan anak secara fisik, psikologis maupun secara intelektual (Hidayat, 2005). Selain itu, kesiapan orang tua mengajari anak dan pola asuh orang tua juga penting (Supartini, 2004). Melihat banyaknya faktor yang mempengaruhi keberhasilan toilet training, apabila anak tidak diajarkan toilet training sejak dini dapat berakibat akan susah mengubah pola yang telah menjadi perilaku dan anak tidak dapat segera mandiri. Atas dasar fakta tersebut, perlu dikaji lebih mendalam mengenai “Hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah”. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi motivasi stimulasi toilet training oleh ibu, 2) mengidentifikasi keberhasilan toilet training anak 5-6 tahun, 3) menganalisis hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training anak prasekolah. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian analitik ini menggunakan rancangan cross sectional. Variabel independen penelitian yaitu motivasi stimulasi toilet training oleh ibu, sedangkan variabel dependen adalah keberhasilan toilet training pada anak prasekolah. Populasi penelitian adalah semua ibu beserta anak prasekolah usia 5-6 tahun di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo, Pace, Nganjuk, mulai bulan Juni 2008 sampai dengan Januari 2009 sebesar 32 anak beserta orang tuanya, dengan kriteria: a) di rumah tersedia fasilitas toilet, b) anak tidak sedang sakit, c) anak diasuh sendiri oleh orang tua, d) ibu yang tidak bekerja/ibu rumah tangga. Sampel sebesar 32 orang, yang diambil dengan cara probability sampling, cara simple random sampling. Pengumpulan data motivasi stimulasi toilet training menggunakan kuesioner dengan pertanyaan bentuk tertutup. Data keberhasilan toilet training dikumpulkan dengan pedoman wawancara terstruktur (structured or interview), berskala Likert. Teknik pengumpulan data melaui observasi terhadap anak setiap hari, dan memberikan pertanyaan kepada ibu anak/pengasuh, pada saat mengantar anak. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif berupa distribusi frekuensi. Untuk membuktikan hipotesis penelitian adanya Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 137 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 hubungan antara variabel independen dan dependen, digunakan uji korelasi Spearman rank, dengan α 0,05. Nilai koefisien korelasi dihitung guna menentukan tingkat hubungan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Data yang meliputi motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dan keberhasilan toilet training anak prasekolah diuraikan sebagai berikut: Motivasi Toilet Training oleh Ibu Tabel 1. Keberhasilan Toilet Training Menurut Motivasi Stimulasi Toilet Training pada Anak Prasekolah di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk Nopember 2008 Keberhasilan Toilet Training pada Anak Prasekolah Total Kurang Cukup Baik N % N % N % N % Cukup 2 40 2 40 1 20 5 100 Baik 0 0 4 14,8 23 85,2 27 100 Total 2 6,3 6 18,8 24 75 32 100 1. Ibu yang mempunyai motivasi toilet training kategori baik sebanyak 27 (84,4%), dan yang memiliki motivasi stimulasi toilet training kategori cukup sebanyak 5 (15,6%). 2. Ibu yang mempunyai tingkat keberhasilan toilet training kategori baik sebanyak 24 (75%), memiliki tingkat keberhasilan toilet training kategori cukup sebanyak 6 (18,8%) dan mempunyai tingkat keberhasilan toilet training kategori kurang sebanyak 2 (6,2%). 3. Dengan motivasi stimulasi toilet training kategori baik dengan keberhasilan toilet training baik sejumlah 23 (85,2%); terlihat pada Tabel 1. 4. Uji Spearman rank menunjukkan nilai p=0,00 (<0,05), maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo Pace, Nganjuk. Nilai koefisien korelasi (0,597), menandakan bahwa hubungan antar variabel agak rendah. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar motivasi stimulasi toilet training oleh ibu kategori baik (84,4%). Dapat disimpulkan bahwa motivasi ditunjang oleh usia, sehingga ibu akan mudah menerima dan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang disebabkan oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tertentu, sehingga ibu akan mempunyai motivasi yang baik. Dengan motivasi yang baik untuk melakukan stimulasi toilet training, maka keberhasilan toilet training akan terwujud. Stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang luar, anggota keluarga, atau orang dewasa lain di sekitar anak. Stimulasi adalah perangsangan dan latihan-latihan terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan di luar anak; orang tua hendaknya menyadari pentingnya memberikan stimulasi bagi perkembangan anak (Nursalam, 2005). Mendorong manusia untuk berbuat, hal ini sebagai penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan, sehingga adanya keinginan dari dalam diri seorang ibu dalam hal melakukan stimulasi kepada anak; akan memberikan stimulasi yang teratur dan terus menerus tentang tugas perkembangan anak. Pelaksanaan stimulasi yang demikian akan menciptakan anak yang tumbuh dan berkembang dengan optimal, mandiri, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 138 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 serta memiliki emosi yang stabil, dan mudah beradaptasi. Namun ada beberapa faktor yang ikut menentukan ada tidaknya atau besar kecilnya motivasi. Menurut Widayatun (1999), salah satunya adalah factor intrinsik, yang merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang yaitu berupa pengetahuan, sikap, keadaan mental, dan kematangan usia; sedangkan faktor ekstrinsik antara lain sarana dan prasarana, lingkungan. Dari hasil penelitian didapatkan keberhasilan toilet training pada anak kategori baik sebanyak 75%. Hasil kajian data ditemukan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah kategori cukup sebanyak 18,8% dan kategori kurang sebanyak 6,2%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan toilet training pada anak terkait dan ditentukan oleh berbagai faktor. Keberhasilan toilet training pada anak prasekolah pada hasil penelitian sebagian besar dengan kategori baik, hal ini karena pada usia 5-6 tahun anak sudah dapat melepas pakaian luar dan pakaian dalam sendiri, jongkok sendiri saat BAB, membersihkan kotoran sendiri, serta memakai pakain dalam dan luar sendiri. Hidayat (2005) mengatakan bahwa toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan keluarga, seperti kesiapan fisik, ketika kemampuan anak secara fisik sudah kuat dan mampu. Hal ini dapat ditunjukkan anak mampu duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk dilatih BAB dan BAK, demikian juga kesiapan psikologis di mana anak membutuhkan suasana yang nyaman, agar mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk BAB atau BAK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ibu yang memiliki motivasi stimulasi toilet training baik 85% memiliki keberhasilan toilet training baik. Terbukti juga bahwa ada hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah. Hal ini dapat diasumsikan bahwa motivasi stimulasi ibu yang baik dapat memberi kontribusi yang baik terhadap keberhasilan toilet training. Sebaliknya, jika orang tua salah menerapkan pola asuh, seperti yang dicontohkan oleh Freud, misalnya orang tua melakukan latihan kebersihan secara berlebih dengan kemarahan dan hukuman, maka anak akan membalas dengan meretensi tinja sambil menunjukkan kekuasaan dirinya kepada orang tua. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan toilet training, meliputi pertama kesiapan fisik, (usia telah mencapai 18- 24 bulan, dapat duduk atau jongkok kurang lebih 2 jam, ada gerakan usus yang regular, kemampuan motorik kasar seperti duduk, berjalan, dan kemampuan motorik halus seperti membuka baju). Kedua, kesiapan mental (mengenal rasa yang datang tiba-tiba untuk berkemih dan defekasi, komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin berkemih dan defekasi, keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru perilaku orang lain). Ketiga, kesiapan psikologis (duduk atau jongkok di toilet selama 5-10 menit tanpa berdiri dulu, mempunyai rasa penasaran atau rasa ingin tahu terhadap kebiasaan orang dewasa dalam buang air, merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat di celana, dan ingin diganti segera). Keempat kesiapan orang tua (mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan defekasi, ada keinginan untuk meluangkan waktu yang diperlukan untuk latihan berkemih dan defekasi pada anaknya, dan tidak mengalami konflik atau stres keluarga yang berarti misalnya, perceraian. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian adalah: 1) mayoritas ibu mempunyai motivasi baik dalam stimulasi toilet training, 2) mayoritas anak berhasil baik dalam melakukan toilet training, 3) Uji Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 139 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Spearman rank membuktikan bahwa ada hubungan bermakna antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah. Saran-saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah: 1. Diharapkan ada kelanjutan dari penelitian yang lain tentang faktor yang mempengaruhi motivasi misalnya kelemahan fisik, usia, lingkungan dan sosial budaya yang berhubungan dengan motivasi stimulasi untuk melakukan toilet training pada anak. 2. Diharapkan lembaga pendidikan TK tahun ajaran berikutnya selalu melakukan motivasi stimulasi toilet training oleh ibu sehingga keberhasilan toilet training pada anak tetap baik 3. Diharapkan ibu dengan motivasi stimulasi kategori cukup dan kurang dalam melakukan toilet training mendorong anak melakukan kegiatan ke kamar mandi seperti cuci muka saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki dll., tidak memarahi anak mengalami kegagalan DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008, Mengajak Si Kecil Berlatih Bak-Bab dengan Toilet Training, http://wrmindonesia.org/content/view/1163/57/. , 2008, Masalah Pelatihan Buang Air, http://medicastore.com/ cybermed/detail.pyk.php?idktg=19&iddtl:92. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta. Caroline, Mulawi, 2008, Stimulasi Terus Menerus pada Balita dapat Ciptakan Anak Cerdas, http//www.antara.co.id/arc/2007/9/23/. Dep. Kes. RI, 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Fitriyah, Mariatul, 2007, Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Motivasi Melakukan Toilet Training pada Anak Usia 1-3 Tahun di Dusun Templek Jatirejo - Nganjuk. Hidayat, Aziz Alimul, 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Jakarta : Salemba Medika. IDAI, 2008, Stimulasi Dini untuk Optimalkan Perkembangan Balita, http://www.idai.or.id/hottopics/detil.asp?q:35. Mufattahah, 2008, Toilet Training, http://k34437h,Multiply.com/jowinal/item/362/Toilet Training. , 2008, Toilet Training, http://jawaban.com/news/relationship/jujur-aja.php?. Notoatmodjo, Sukidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : PT. Rineka Cipta. , 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Nursalam dan S. Pariani, 2001, Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta : CV. Sagung Seto. , 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. , Susiloningrum Rekawati, Utami Sri, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta : Salemba Medika. Sardiman, A, 2004, Interaksi dan Motivasi Belajar, Jakarta : Press Gravindo. Soegiyono, 2006, Statistik untuk Penelitian, Bandung : CV. ALFABETA. Soetjiningsih, 1998, Tumbuh Kembang, Jakarta : EGC. Supartini, Yupi, 2004, Konsep Dasar Keperawatan Anak, Jakarta : EGC. Widayatun, Tri Rusmi, 1999, Ilmu Perilaku, Jakarta : CV. Sagung Seto Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 140 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 EVALUASI TINGKAT KEPUASAN KLIEN TERHADAP PELAYANAN ANTENATAL CARE DAN PERTOLONGAN PERSALINAN DI POSKESDES KABUPATEN MAGETAN Hery Sumasto*, Nurwening Tyas Wisnu*, Nuryani* ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan petugas, mutu informasi yang diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum, fasilitas klien, outcome terapi perawatan yang diterima terhadap tingkat kepuasan responden yaitu ibu hamil dan melahirkan di Poskesdes Wilayah Kabupaten Magetan. Jenis penelitian adalah analitik dengan populasi seluruh ibu hamil yang melakukan ANC dan persalinan di Poskesdes Banjarejo, Poskesdes Sidowayah, Poskesdes Sumberdukun dan Poskesdes Banjarpanjang. Teknik analisis dengan menggunakan jendela kepuasan dan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan: semua variabel prediktor memiliki persentase selisih antara kinerja dengan harapan masih di bawah 100%. Semua variabel prediktor berpengaruh terhadap tingkat kepuasan klien. Sumbangan efektif (SE) seluruh variabel adalah 51,6% dan sumbangan relatifnya (SR) secara berurutan adalah outcome terapi (SR=25,7%, SE= 13,21); pendekatan (SR=21,9%; SE=11,3); fasilitas umum (SR=19,4, SE=10,01); mutu informasi (SR=15,9%, SE=8,15), waktu tunggu (SR=7, SE=3,61); prosedur perjanjian (SR=5,7%, SE=2,94) dan fasilitas klien (SR= 4,7%, SE= 2,43). Persamaan regresi berdasarkan unstandardized coefficient adalah: Y= -,097+0,219X1+0,159X2+0,057X3+0,070X4+0,047X5+0,194X6 +0,257X7. Diharapkan kinerja Poskesdes dapat diperbaiki, terutama pada aspek outcome terapi keperawatan, meningkatkan pendekatan terapeutik serta perbaikan fasilitas umum. Ketiga prediktor ini memiliki sumbangan yang paling tinggi. Kata kunci : kepuasan, outcome terapi, pendekatan, fasilitas umum, mutu informasi, waktu tunggu, prosedur perjanjian, fasilitas klien, Poskesdes. *: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Poskesdes merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Poskesdes dibentuk dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, sehingga diperlukan beberapa langkah guna meningkatkan akses pada sarana dan pelayanan kesehatan ibu (Retno D, 2008). Permasalahannya adalah bagaimanakah kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan oleh Poskesdes, saat ini belum ada kajian penelitian yang menjadi bahan evaluasi. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Poskesdes belum teruji. Apakah masyarakat merasa upaya dari, oleh dan untuk masyarakat ini sudah mendapatkan tempat di hatinya? Fakta menunjukkan bahwa dari 77 ibu hamil di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan, 45% menggunakan layanan ANC di Poskesdes, sisanya menggunakan layanan ANC di tempat lain. Dari 33 ibu bersalin pada Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 141 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 bulan Juni-Juli 2008, hanya 37% yang bersalin di Poskesdes. Menurut Kotler dalam Wijono (2000), tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh pendekatan dan perilaku petugas, mutu informasi yang diterima, prosedur, waktu tunggu, fasilitas klien, fasilitas umum, outcome terapi dan perawatan yang diberikan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh secara bersama-sama antara pendekatan petugas, mutu informasi, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas klien, fasilitas umum dan outcome terapi perawatan terhadap tingkat kepuasan ibu terhadap pelayanan ANC dan persalinan di Poskesdes. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian analitik observasional ini menerapkan rancangan cross sectional dengan point time approach. Populasi adalah semua ibu hamil (75 orang) yang melakukan ANC dan ibu bersalin normal di 4 Poskesdes di Kab. Magetan bulan Agustus-Oktober 2009, sebesar 75 orang. Variabel independen adalah pendekatan dan perilaku petugas, mutu informasi yang diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum yang tersedia, fasilitas untuk klien, outcome terapi dan perawatan yang diterima. Variabel dependen yaitu tingkat kepuasan ibu hamil dan ibu bersalin terhadap pelayanan di Poskesdes. Data dikumpulkan melalui kuesioner kepuasan (r=0,8). Analisis data dengan uji regresi linier ganda dan metode jendela kepuasan. HASIL PENELITIAN Hasil Penelitian Deskripsi data penelitian disajikan pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 7 dan Gambar 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Pendekatan dan Perilaku Petugas di Poskesdes Kabupaten Magetan Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jumlah 0 41 34 0 75 % 0 54,6 45,4 0 100 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Mutu Informasi yang Diterima Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Jumlah 1 36 38 0 75 % 1,3 48 50,7 0 100 142 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Prosedur Perjanjian di Poskesdes Kabupaten Magetan Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jumlah 0 16 9 0 75 % 0 64 36 0 100 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Waktu Tunggu di Poskesdes Kabupaten Magetan Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jumlah 0 40 35 0 75 % 0 53,3 46,7 0 100 Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Fasilitas Klien di Poskesdes Kabupaten Magetan Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jumlah 0 38 36 1 75 % 0 50,6 48 1,3 100 Tabel 6. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Fasilitas Umum di Poskesdes Kabupaten Magetan tahun 2009 Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jumlah 5 29 41 0 75 % 6,6 38,6 54,6 0 100 Tabel 7. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Terhadap Outcome Terapi Perawatan Yang Diterima di Poskesdes Kabupaten Magetan Kategori tingkat kepuasan Sangat tidak puas Tidak puas Puas Sangat puas Jumlah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Jumlah 0 39 36 0 75 % 0 52 48 0 100 143 Vol.I No.2 April 2010 Y ISSN: 2086-3098 X 4 2,95 .1 .5 3 .2 .4 1 2 3 .7 4 5 Y= 6 3,21 7 .3 .6 2 1 X 0 1 2 3 4 Pendekatan perilaku petugas Mutu informasi yg diterima waktu tunggu prosedur perjanjian Fasilitas klien Fasilitas umum Outcome mean 3,41 3,13 3,05 3,19 3,39 2,98 3,29 3,21 3,19 2,91 2,76 2,98 2,99 2,78 3,07 2,95 93,69 93,12 90,49 93,56 88,2 93,29 93,31 Gambar 1. Diagram Tebar Tingkat Kepentingan dan Kinerja Poskesdes Hasil analisis korelasi dan regresi, ditampilkan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 8. Hasil Analisis Korelasi dari Pearson Variabel Pendekatan (X1) Mutu informasi (X2) Prosedur Perjanjian X3) Waktu Tunggu (X4) Fasilitas Klien (X5) Fasilitas Umum (X6) Outcome terapi (X7) Sig (P) 0,000 0,000 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 Koefisien Korelasi 0,497 0,460 0,332 0,472 0,392 0,587 0,596 Kesimpulan Signifikan, Hubungan cukup kuat Signifikan,Hubungan cukup kuat Signifikan,Hubungan rendah Signifikan, Hubungan cukup kuat Signifikan, Hubungan rendah Signifikan, Hubungan cukup kuat Signifikan, Hubungan cukup kuat Tabel 9. Model Summary dan Hasil F test/ANOVA(b) Model-1 R Square F Sig ,516 12,79 0,00 Sumbangan relatif dan sumbangan efektif dari masing-masing variabel terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Koefisien Regresi, Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif Konstanta &Variabel (Constant) Pendekatan (X1) Mutu informasi (X2) Prosedur Perjanjian (X3) Waktu Tunggu (X4) Fasilitas Klien (X5) Fasilitas Umum (X6) Outcome terapi (X7) Jumlah Nilai B -,097 ,219 ,159 ,057 ,070 ,047 ,194 ,257 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes SR SE=SRXR square 21,9 15,9 5,7 7,0 4,7 19,4 25,7 100% 21,9 x 0,516 = 11,3 15,9 x 0,516 = 8,153 5,7 x 0,516 = 2,941 7,0 x 0,516 = 3,612 4,7 x 0,516 = 2,425 19,4 x 0,516 = 10,01 25,7 x 0,516 = 13,21 = 51,65 144 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Persamaan Regresi berdasarkan unstandardized coefficient adalah: Y= -,097+0,219X1+0,159X2+0,057X3+0,070X4+0,047X5+0,194X6+0,257X7 Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,6% kepuasan pasien atas layanan Poskesdes dapat dijelaskan oleh 7 variabel independen yaitu pendekatan dari pelaku petugas, mutu informasi yang diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum yang tersedia, fasilitas untuk klien, outcome terapi dan perawatan yang diterima. Sedangkan yang 48,4% (100%-51,6%) dijelaskan oleh sebab lain. Nilai konstanta menunjukkan angka negatif (-0,97), berarti bila variabel prediktor memiliki kekuatan skala 0, maka konstanta kepuasan klien adalah negatif. Untuk memunculkan respon minimal terhadap kepuasan layanan, maka tidak boleh berada pada skala nol. Artinya mesti harus berbuat sesuatu sehingga dapat memberikan nilai kepuasan yang positif. Petugas tidak boleh memberi layanan asal-asalan, supaya ada rasa puas dari klien, sehingga nilai konstanta plus (didownload tgl 20 Oktober 2009). Sumbangan relatif yang paling bermakna secara berurutan adalah outcome terapi keperawatan (25,7), pendekatan petugas (21,9%), fasilitas umum (19,4%), dan mutu informasi (15,9%). Empat variabel prediktor ini memberi sumbangan lebih dari 82% terhadap tingkat kepuasan pasien. Petugas perlu untuk memberikan pelayanan yang benar-benar memberikan dampak kesembuhan atau upaya penyelesaian masalah yang dihadapi pasien ketika datang. Petugas Poskesdes juga dituntut melakukan pendekatan yang bagus kepada masyarakat dalam memberikan layanan kesehatan kepada pasien. Yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pemberian fasilitas umum pasien dan peningkatan mutu informasi yang diterima oleh masyarakat. Empat variabel ini dapat menjadi fokus upaya memperbaiki tingkat kepuasan pengguna layanan Poskesdes. Artinya, jika pihak pengelola Poskesdes ingin meningkatkan kepuasan pasien, maka empat faktor ini merupakan fokus garapan paling penting. Sedangkan 3 variabel lainnya yaitu prosedur perjanjian, waktu tunggu, dan fasilitas klien hanya memberikan sumbangan relatif sebesar 28% saja. Kepuasan responden terhadap pendekatan dan perilaku petugas menurut jendela kepuasan berada pada kuadran II. Artinya, pendekatan dan perilaku petugas merupakan aspek yang dianggap penting oleh pasien dengan kinerja layanan sudah di atas rata-rata kinerja layanan kesehatan, sehingga layanan kesehatan perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Menurut Wiyono (2000), hubungan antar manusia yang baik, menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsif, dan memberikan perhatian, mendengarkan keluhan dan komunikasi secara efektif juga penting. Hubungan antar manusia yang kurang baik akan mengurangi efektifitas dari kepuasan. Pendekatan petugas memegang peran penting karena hakekatnya pendekatan sangat menentukan mutu layanan kesehatan. Penentu kebutuhan pasien bukanlah dia sendiri, namun di dalam mendapatkan kebutuhannya ditentukan oleh orang lain, yaitu tenaga kesehatan. Dalam konteks ini sangat peka untuk terjadi kesalahan penafsiran atau kekeliruan harapan atas layanan yang diterimanya. Sehingga yang dibutuhkan adalah pendekatan untuk secara bersama-sama menentukan kebutuhan pasien (Pohan, 2007). Pada kondisi persaingan sempurna yaitu pelanggan mampu untuk memilih informasi yang memadai, kepuasan pelanggan merupakan satu determinan kunci dari tingkat permintaan pelayanan (Triatmojo, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 145 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 2006). Mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari sudut pandang pasien yaitu layanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakannya dan diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembangnya atau meluasnya penyakit (Pohan, 2006:13). Menurut (Triatmojo, 2006) apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan, dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Faktor-faktor yang akan dipergunakan di dalam mengukur kinerja pelayanan, misalnya tingkat keahlian, ketepatan waktu, kemudahan dihubungi, kemampuan menyelesaikan masalah, dan fasilitas yang dimiliki. Ini sesuai dengan pernyataan Wiyono (2000) bahwa puas bila kinerja sebanding dengan harapan. Ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai suatu pelayanan, yaitu ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan teknis, kualitas dan harga yang sepadan (Triatmojo, 2006). Kinerja layanan dalam memberikan waktu tunggu yang baik oleh petugas kesehatan juga belum memadahi karena masih di bawah rata-rata penilaian kinerja layanan kesehatan. Walau waktu tunggu masih perlu ditingkatkan, prioritasnya masih di bawah aspek layanan kesehatan yang terdapat pada kuadran I. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal sehingga memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat (Pohan, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan responden terhadap fasilitas klien berada pada kuadran kanan atas atau kuadran II. Artinya fasilitas bagi klien dinilai penting bagi klien, dan kinerja layanan kesehatan atas fasilitas klien telah sejalan dengan keinginan masyarakat, karena berada di atas rata-rata kinerja layanan kesehatan. Dengan demikian, pemberian fasilitas pasien di Poskesdes perlu terus ditingkatkan dan dipertahankan, artinya kinerja atau mutu fasilitas harus ditingkatkan sejalan dengan harapan klien. Wiyono (2000) menerangkan bahwa mutu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Fasilitas umum bagi pasien yang datang ke Poskesdes dinilai kurang penting, sedangkan kinerja layanan kesehatan atas fasilitas umum juga belum sesuai dengan harapan pasien. Namun fasilitas umum bagi pasien prioritasnya rendah dalam peningkatan kinerja layanan kesehatan. Wiyono (2000) menerangkan bahwa mutu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Untuk masyarakat, mutu pelayanan berarti respek dan tanggap akan kebutuhannya masyarakat, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka dan diberikan dengan cara yang ramah waktu mereka berkunjung. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa outcome terapi dan perawatan yang diterima tingkat kinerjanya kurang dari harapan. Bila suatu pelayanan tidak memuaskan klien dapat menjadikan kepuasan klien menjadi jelek. Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien, dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif dan negatif (Wiyono, 2000:38-39). Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap outcome adalah hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan. Outcome jangka pendek seperti sembuh dari sakit, cacat, dan lain-lain. Outcome jangka panjang seperti kemungkinan-kemungkinan kambuh, kemungkinan sembuh di masa datang. Berdasarkan dari penilaian di atas, mutu pelayanan yang baik menurut (Sabarguna, 2004) adalah: tersedia dan terjangkau, tepat kebutuhan, tepat sumber daya, tepat standar profesi/etika profesi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 146 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 1. Pendekatan dan perilaku petugas berpengaruh cukup kuat terhadap tingkat kepuasan klien (P=0,000; K=0,49). 2. Mutu informasi yang diterima berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,460). Tingkat kepuasan pasien terhadap pendekatan 93,12% (belum memuaskan). 3. Waktu tunggu pasien berpengaruh rendah terhadap kepuasan klien (P=0,002, K=0,332). Tingkat kepuasan pasien 90,43%, artinya waktu tunggu masih di bawah harapan pasien. 4. Prosedur perjanjian berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,472). Pasien belum puas terhadap prosedur perjanjian (93,55%) 5. Fasilitas klien berpengaruh rendah terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,392) dan berada pada kuadran II. Artinya fasilitas bagi klien dinilai penting bagi klien, dan kinerja layanan kesehatan atas fasilitas klien telah sejalan dengan keinginan masyarakat. Tingkat kepuasan pasien terhadap fasilitas adalah 88,2% (belum memuaskan). 6. Fasilitas umum berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,587). Tingkat kepuasan pasien terhadap fasilitas klien adalah 93,29%. Belum memuaskan. 7. Outcome terapi perawatan yang diterima berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,596). Tingkat kepuasan pasien terhadap outcome terapi dan keperawatan yang diterima adalah 93,31%. Belum memuaskan. 8. Sumbangan efektif adalah 51,6% dan sumbangan relatif adalah pendekatan (SR=21,9%; SE=11,3); mutu informasi (SR=15,9%, SE=8,15), Prosedur perjanjian (SR=5,7%, SE=2,94), waktu tunggu (SR=7, SE=3,61), Fasilitas klien (SR= 4,7%, SE= 2,43), fasilitas umum (SR=19,4, SE=10,01); outcome terapi (SR=25,7%, SE= 13,21). 9. Persamaan Regresi berdasarkan unstandardized coefficientregresi adalah: Y= -,097+0,219X1+0,159X2+0,057X3+0,070X4+0,047X5+0,194X6+0,257X7 Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah: 1. Dalam upaya meningkatkan kepuasan ibu hamil dan melahirkan terhadap pelayanan ANC di Poskesdes diperlukan parbaikan outcome terapi dan pendekatan petugas. 2. Diharapkan ibu hamil dapat mengetahui tingkat kepuasannya terhadap fasilitas kesehatan tersebut dan tetap malakukan ANC secara teratur serta memanfaatkan Poskesdes sebagai tempat melahirkan agar tetap dalam keadaan yang sehat baik bagi Ibu maupun bayi. 3. Perlu penelitian lanjutan dengan menambah besar populasi, waktu penelitian serta instrumen yang digunakan, agar penelitian dapat lebih baik dan sempurna. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Prioritas Pada Penurunan Angka Kematian Ibu Dan Bayi. http://www.tenaga kesehatan.or.id.(diakses 25 maret 2008,pukul 09.40. WIB) Anonim. 2007. Metode Penelitian. http://rigco-geovano.blogspot.com.(diakses 25 Maret 2008, pukul 10.00 WIB) Anonim. 2007. Polindes. www.Balipost.co.id. (diakses 28 Maret 2008, pukul 11.00 WIB) Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi 5. Jakarta: PT Rineka Cipta. Depkes RI. 1993. Bidan Desa di Polindes. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja Jakarta. Depkes RI. 1999. Daftar Tilik Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 147 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Depkes RI. 2001. Buku Saku Bidan di Desa. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja. Depkes RI. 2002. Pedoman Teknis Andil Maternal-Perinatal di Tingkat Kabupaten/Kota. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja. Gklinis. 2005. Kematian Ibu Melahirkan Dan Bayi Masih Tinggi. http://www. gizi.net. (diakses 25 Maret 2008, pukul 09.00 WIB) Hamilton Mary P, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Edisi VI. EGC Jakarta. Kusmiati, S. 1990. Dasar-dasar Perilaku. Erlangga : Jakarta. Manuaba Ida Bagus. G.D. 1998. Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan KB. EGC: Jakarta. Murwantorezky 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Kematian. http://Murwantorezky.blogs.frinster.com. (diakses 28 Maret 2009, pukul 10.00 WIB) Narbuko, C. dan Ahmadi,/.2003. Metodologi Penelitian. Edisi ke 5, Jakarta Bumi Aksara. Notoatmodjo S, 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta. Notoatmojo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta, Rineka Cipta. Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta. Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika. Nursalam dan Pariani S, 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta, Agung Seto. Poerwadarminta. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta. Pohan, Imbalo S, 2006. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Jakarta: EGC. Editor: Palupi Widyastuti. Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Promkes Depkes RI. 2002. Standart Kualitas Kemampuan KIP & K Bagi Bidan dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir di Polindes, Direktorat Jendral Promosi Kesehatan, Jakarta. Riduan, 2004. Metode Teknik Menyusun Tesis, Alfa Beta, Bandung. Saifudin A, 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarana Prawiroharjo : Jakarta. Simamora Bilson, 2002.Panduan Riset Perilaku Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stuart dan Suandeen, 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta, EGC. Subiyati (2005). Studi Tingkat Kepuasan Klien tentang Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Poskesdes Majasem Sudibyo et all, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap di Puskesmas, Baliitbangkes Depkes RI, diakses tgl 12 Oktober 2009 Sugiyono, 2000. Metodologi Penelitian Administrasi, Bandung: CV. Alfabea. Tasrif S, 2000. Libido Kekuasaan Sigmund Frend. Yogyakarta, Tarawang. Triatmojo. 2006. Mengatur Kepuasan Pelanggan. www.triatmojo.wordpress.com. (diakses 12 Oktober 2009, pukul 09.00 WIB) Wiyono, D. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 148 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI DENGAN KEJADIAN SEPSIS NEONATORUM DI RUMAH SAKIT DAERAH KABUPATEN MADIUN TAHUN 2004-2007 Sunarto*, Dwi Umiyati**, Nurlailis Saadah* ABSTRACT Premature rupture membrane can cause infection to childbirth or sepsis neonatorum. Adequate to premature rupture membrane therapy and caring born to decreased mortality and morbidity maternal and neonatal. The objective of this study was to analyze correlation premature rupture membrane into sepsis neonatorum. The population is all chilbirth at Madiun Hospital between 2004-2007. Design of the research retrospective, 1100 samples were recruited by totally population. The independent variable was premature rupture membrane and the dependent variable was sepsis neonatorum. Data were collected by using observation paper. Data were analyzed by Chi-Square test (p<0,05). The analyzed of the exposure with odd ratio. The result showed that there were 1100 childbirth, 366 (33,3%) to exposure with PRM, and 25,1% was sepsis neonatorum, and there were relationship between PRM and sepsis neonatorum with value level of p=0.003. Conclution; the pregnant women with PRM8,16 largest to sepsis neonatorum with childbirth. Keywords: pregnant women, premature rupture membrane (PRM), sepsis neonatorum *: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya **: Rumah Sakit Daerah Kabupaten Madiun PENDAHULUAN Latar Belakang Sepsis neonatorum adalah suatu infeksi bakteri berat yang menyebar ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Prevalensi kejadian ini adalah < 1% dari bayi baru lahir. Penyebab dari 30% kematian bayi adalah sepsis neonatorum. Prevalensi sepsis neonatorum di RSU Kabupaten Madiun cukup tinggi (11%). Penyebab utama kematian bayi tersebut antara lain; asfiksia, prematur, dan sepsis neonatorum. Ketiga faktor ini diperberat jika ibu hamil mengalami KPD sebelum masa inpartu. Seberapa besar sepsis neonatorum disebabkan oleh efek KPD di Madiun belum pernah dilaporkan. Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum ada tanda-tanda awal persalinan (Manuaba, 2007). Efek KPD pada bayi disebabkan oleh infeksi dalam rahim (Mochtar, 1998). Upaya untuk mengurangi angka kesakitan ini adalah dengan pemberian antibiotika segera, observasi vital signs, observasi detak jantung janin dan pembatasan pemeriksaan dalam (vaginal toucher). Menurut Elva (2002), ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban yang terjadi sebelum terjadinya persalinan. Ketuban Pecah Dini (KPD) terjadi sekitar 2,7-17% kehamilan dan pada kebanyakan kasus terjadi secara spontan. Istilah KPD digunakan untuk menyatakan peristiwa pecahnya ketuban pada sembarang waktu sebelum terjadi persalinan, tanpa memperdulikan waktu kehamilan. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 149 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Ketuban pecah dini ada dua macam kemungkinan yaitu premature rupture of membrane dan preterm rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang sama, yaitu keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya KPD adalah keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Aliran cairan tidak terlalu deras, tidak disertai perasaan mulas atau sakit perut. Ibu akan merasakan sakit bila janin bergerak-gerak. Menurut Saifuddin (2002), ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum usia kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm. Menurut Ratih Rochmat (2007), dampak ketuban pecah dini dapat berakibat pada faktor ibu dan faktor janin. Pengaruh pada ibu berupa infeksi intra partum, infeksi nifas, perdarahan post partum, dari akibat ini maka angka kesakitan dan angka kematian ibu meningkat. Pengaruh pada janin berupa prematuritas, infeksi intra uterin, prolapsus funikuli, asfiksia neonatorum, angka kesakitan dan kematian bayi meningkat. Infeksi selama kehamilan akibat TORCH, ibu hamil dengan eklamsia, ibu hamil dengan diabetus mellitus dan penyakit bawaan diduga merupakan faktor resiko sepsis neonatorum. Proses persalinan lama, persalinan dengan tindakan, ketuban pecah dini, air ketuban keruh juga diduga sebagai faktor resiko sepsis neonatorum. Faktor lain yang menyebabkan sepsis neonatorum adalah; bayi lahir dengan trauma, bayi lahir kurang bulan, bayi kurang kalori protein, bayi dengan hipitermia. Vagina toucher yang dilakukan petugas dengan frekuensi sering juga mengakibatkan sepsis neonatorum. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi prevalensi kejadian sepsis neonatorum, 2) mengidentifikasi prevalensi kejadian KPD, 3) menganalisis hubungan antara kejadian KPD dengan kejadian sepsis neonatorum BAHAN DAN METODE PENELITIAN PENELITIAN Penelitian analitik observasional dengan rancangan kasus kontrol (retrospektif) ini berlokasi di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Madiun. Populasi penelitian adalah semua bayi lahir hidup di RSUD Kabupaten Madiun selama tahun 2004-2007, sejumlah 1100 bayi. Variabel bebas penelitian adalah kejadian KPD, sedangkan variabel terikat adalah kejadian sepsis neonatorum. Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder. Data dikelompokkan dalam data resiko (KPD) dan data efek (sepsis neonatorum). Teknik analisis data menggunakan pendekatan statistik Chi-Square dengan α ≤ 0,05. Analisis pengaruh paparan terhadap efek menggunakan odds ratio. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari 1100 persalinan hidup didapatkan; 366 (33,3%) persalinan didahului KPD, dan 734 (66,7%) persalinan normal (Tabel 1). Dari seluruh bayi baru lahir tersebut, ada 121 (11%) mengalami sepsis neonatorum, selebihnya 979 (89%) tidak mengalami sepsis neonatorum (Tabel 2). Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 121 bayi yang sepsis, 92 di antaranya (76%) berasal dari ibu hamil dengan KPD, selebihnya 29 (24%) berasal dari ibu hamil tidak dengan KPD. Sedangkan Tabel 4 menggambarkan bahwa dari 1100 persalinan hidup, didapatkan; Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 150 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 676 (95,9%) persalinan tanpa KPD dan bayi tidak mengalami sepsis neonatorum, 29 (4,1%) persalinan tanpa KPD dan bayi mengalami sepsis neonatorum. No 1 2 Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian KPD Riwayat Persalinan Frekuensi KPD (+) 366 KPD (-) 734 Jumlah 1100 Persentase 33,3 66,7 100 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum No 1 2 Riwayat Bayi Sepsis Neonatorum (+) Sepsis Neonatorum (-) Jumlah Frekuensi 121 979 1100 Persentase 11 89 100 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kejadian KPD pada Sepsis Neonatorum No 1 2 Riwayat Bayi dan Persalinan Bayi Sepsis neonatorum dengan KPD (+) Bayi Sepsis Neonatorum tanpa KPD (-) Jumlah Frekuensi 92 29 121 Persentase 76 24 100 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum pada Persalinan Tanpa KPD No 1 2 Riwayat Persalinan KPD (-) dan Sepsis Neonatorum (+) KPD (-) dan sepsis neonatorum (-) Jumlah Frekuensi 29 676 705 Persentase 4,1 95,9 100 Hubungan antara kejadian KPD dengan kejadian sepsis neonatorum disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum Menurut Kejadian KPD KPD + Total Sepsis Neonatorum + 92 274 29 705 121 979 Total 366 734 1100 Uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,003, dan OR = 8,16. Artinya bila ibu bersalin didahului KPD, bayi yang dilahirkan akan mengalami sepsis neonatorum 8,16 kali lebih besar daripada yang tidak didahului KPD. Diketahui bahwa 40% ibu bersalin yang didahului KPD akan melahirkan bayi beresiko sepsis neonatorum. Sebaliknya 6,53% ibu bersalin yang tidak didahului KPD akan melahirkan bayi beresiko sepsis neonatorum. Ketuban pecah dini terjadi karena beberapa faktor resiko yaitu; infeksi kehamilan, pecahnya membran karena koitus, serviks inkompeten, dan kelainan presentasi janin. Upaya untuk mengurangi resiko antara lain; antenatal care yang rutin minimal 4 kali selama Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 151 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 kehamilan, pendidikan kesehatan pada PUS, dan sistem rujukan yang memadai. Upaya lain dari petugas kesehatan (bidan) adalah melakukan tindakan sesuai standar operasional prosedur, patuh melakukan tidakan pencegahan infeksi (UPI) pada setiap melakukan perawatan, dan pengobatan yang tepat. Upaya-upaya tersebut tidak berhasil mengurangi prevalensi KPD bila petugas kesehatan enggan melakukan pendidikan dan pelatihan yang kontinu. Oleh karenanya diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan petugas dengan kejadian KPD, dan hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Prosedur tetap penanganan KPD adalah ibu inpartu didahului KPD kurang dari 24 jam harus sudah mendapatkan perawatan di RS. Bidan diharuskan mampu mengambil keputusan klinik dengan baik. Kemampuan bidan dalam membuat keputusan klinik sangat tergantung dari intelectual skill, technical skill dan interpersonal skill yang dimiliki. Ketiga kemampuan ini merupakan konsep profesional seorang bidan. Bidan harus mampu menguasai ilmu epidemiologi; perihal faktor resiko kejadian sepsis neonatorum. Bidan juga dituntut mampu menguasai ilmu fisiologi manusia, ilmu kebutuhan dasar manusia, dan ilmu kedokteran klinik. Resiko sepsis neonatorum menjadi 8,16 kali jika terpapar faktor KPD. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hamdah (2006), bahwa gangguan hasil kehamilan disebabkan oleh ibu hamil yang mengalami anemia, besarnya odd ratio 8,81 kali. Ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan keadaan anemia (Mochtar, R, 1998). Perdarahan ante partum dan post partum juga lebih sering dijumpai pada wanita yang anemia (Notobroto,2003). Penelitian Florentina, S (2003) menyebutkan bahwa proporsi terbesar dari hasil kehamilan terganggu akibat kelainan pada kehamilan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil kehamilan antara lain; 1) faktor ibu; demografi, penyakit, status gizi, kelainan persalinan, 2) faktor kehamilan; toksemia gravidarum, kelainan plasenta, kehamilan ganda, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, dan 3) faktor janin; kelainan pertumbuhan konsepsi, infeksi janin, kelainan letak janin, 4) faktor lain yang belum diketahui. Infeksi postnatal adalah infeksi yang diperoleh setelah bayi lahir (aquired infection). Infeksi ini terjadi akibat dari penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, perawatan oleh petugas yang tidak berdasarkan prinsip universal precaution, atau karena infeksi silang. Angka kesakitan infeksi postnatal ini cukup tinggi (Wiknjosastro, H, 2005). Beberapa faktor penyebab antara lain; 1) riwayat obstetrik ibu yang jelek, 2) KPD, 3) keadaan bayi prematur, dan 4) standar pelayanan di unit perawatan intensif khusus anak jelek. Faktor sosial ekonomi masyarakat secara tidak langsung juga menjadi penyebab sepsis neonatorum (Manuaba,1998). Keadaan sosial ekonomi dan stress diduga memudahkan terjadinya infeksi saat kehamilan, nifas dan efeknya adalah infeksi pada anak. Berbagai kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri. Kuman Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus. Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu selama kehamilan atau proses persalinan. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya sepsis pada nenonatus antara lain; perdarahan, demam yang terjadi pada ibu, infeksi pada uterus atau plasenta, KPD sebelum 37 minggu kehamilan, proses kelahiran yang lama dan sulit. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 152 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 KPD yang tidak segera diikuti dengan adanya tanda persalinan, memberikan peluang pada mikroorganisme (bakteri) masuk ke tubuh janin melalui vagina. Lama ketuban pecah berhubungan dengan infeksi neonatal; hal ini dihubungkan dengan peningkatan koloni kuman, ascending infection dan jumlah vaginal toucher. Para ahli kebidanan telah menyepakati bahwa lama ketuban pecah lebih dari 18 jam dianggap sebagai resiko terjadinya infeksi neonatus. Angka paparan KPD terhadap sepsis neonatorum pada kelompok kasus sebesar 40%. Artinya bahwa ibu hamil yang didahului KPD sebelum persalinan, 40% bayi yang dilahirkan akan mengalami sepsis neonatorum. Untuk itu diperlukan pendidikan kesehatan pada ibu hamil untuk mampu menjaga agar kejadian KPD bisa ditekan. Kedua, bila ditemukan kasus KPD, maka dalam waktu kurang dari 24 jam harus segera diberikan pengobatan yang adekuat. Ketiga, bila ditemukan kasus di tempat terpencil, maka diupayakan adanya sistem rujukan yang baik sebelum 24 jam. Upaya-upaya ini hanya bisa dilakukan bila masing-masing petugas dan masyarakat memiliki komitmen yang sama untuk mengurangi kejadian infeksi pada bayi setelah dilahirkan. Angka paparan KPD terhadap sepsis neonatorum pada kelompok kontrol sebesar 6,53%. Fakta ini memberikan peringatan pada petugas, meskipun perawatan kehamilan sudah dilakukan dengan baik, adanya faktor resiko tersebut, resiko sepsis pada neonatorum tetap ada. Untuk itu diperlukan kewaspadaan bidan setiap menolong persalinan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian ini adalah: 1) persalinan yang didahului oleh KPD adalah 33,3%, 2) 25,13% dari persalinan yang didahului oleh KPD menimbulkan dampak sepsis neonatorum pada bayi yang dilahirkan, 3) Ada hubungan bermakna antara kejadian KPD dengan kejadian sepsis neonatorum, 4) ibu bersalin yang didahului oleh KPD memberikan resiko 8,16 kali lebih besar melahirkan bayi dengan sepsis neonatorum. Saran yang diajukan adalah diperlukan teknik keputusan klinik yang tepat saat perawatan kehamilan sesuai standar operasional prosedur ANC, guna menekan angka kejadian sepsis neonatorum akibat resiko KPD. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Sepsis Neonatorum. www.medicastore.com Ditulis,September 2007, Diakses 12 Pebruari 2008, jam 09.15 wib. Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. EGC, Jakarta. Mochtar Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri. EGC, Jakarta. Nailor, C Scott, 2005. Obstetri Ginekologi. EGC, Jakarta. RSD Kabupaten Madiun, 2007. Prosedur Tetap Perawatan Ketuban Pecah Dini. Madiun. Saifuddin, 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. YBPSP, Jakarta. Siregar, 2002. Statistik Terapan. Grasindo, Jakarta. Wiknjosastro, Saifuddin, Rachim Hadhi, 2005. Ilmu Kebidanan. YB-SP, Jakarta Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 153 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PERBEDAAN KEKERUHAN AIR SUMUR GALI ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN BIJI KELOR Sri Sulami Endah Astuti* ABSTRAK Biji kelor kelor bermanfaat sebagai pengendap (koagulan) atau penjernih, bahkan berkasiat sebagai anti bakteri pada kotoran yang terkandung di dalam air. Kekeruhan di dalam air sumur gali dapat dijernihkan dengan cara penambahan biji kelor karena biji kelor berfungsi sebagai pengendap/penggumpal (koagulan) pada kotoran yang terkandung di dalam air. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan kekeruhan pada air sumur gali antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor di Desa Gabahan Sidoklumpuk Sidoarjo. Penelitian eksperimen ini menggunakan bahan berupa air sumur gali yang berjarak 1 meter dari sungai Desa Gabahan. Sebanyak 5 sumur gali masing masing diambil 6 liter untuk djadikan bahan peneltian. Besar sampel adalah 30, dan masing-masing bahan dilakukan 6 kali pemeriksaan yaitu sebelum pemberian biji kelor dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg. Hasil uji One Way Anova menunjukkan nilai signifikansi 0,000, berarti ada perbedaan kekeruhan antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor pada air sumur gali. Melalui Post Hoc Test diperoleh nilai significant sebelum dan sesudah perlakuan pemberian biji kelor 5mg, 10mg, 15mg, 20mg, 25mg adalah 0,000 (<0,05) yang berarti terdapat perbedaan kekeruhan secara nyata pada air sumur gali. Terlihat nilai mean difference dari kelima perlakuan tersebut semakin meningkat yang berarti bahwa kekeruhan semakin menurun dan penurunan tertinggi yaitu pada pemberian biji kelor 25 mg. Kata Kunci: Kekeruhan, Biji Kelor *: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Air adalah zat yang sangat penting untuk kelangsungan semua makhluk hidup, terutama pada manusia dan fungsinya bagi kehidupan tersebut tidak akan dapat digantikan oleh senyawa lain. Air merupakan bahan pokok mutlak yang dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa, baik langsung maupun tidak langsung dan manusia akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air dari pada makanan. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks di antaranya adalah untuk minum, memasak, mencuci dan mandi serta diperlukan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi dan lain-lain. Secara kuantitas dan kualitas, air yang sesuai dengan kebutuhan manusia merupakan faktor penting yang menentukan kesehatannya. Berpedoman pernyataan tersebut, maka dilakukan peningkatan kualitas air melalui pengolahan pada air yang diperlukan. Sedangkan kuantitas air merupakan syarat kedua setelah kualitas karena semakin maju tingkat hidup seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan air masyarakat (Sutrisno, 2004). Secara umum masyarakat di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya masih banyak yang memanfaatkan sumber-sumber air yang berasal dari air hujan, air permukaan dan air tanah. Tetapi masyarakat lebih banyak yang memanfaatkan kualitas air tanah dibandingkan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 154 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 dengan sumber yang lain, padahal di air tanah itu sendiri masih banyak mengandung zat tersuspensi seperti: bahan-bahan organik, anorganik (lumpur dan bakteri), dan zat-zat kimia (garam-garam yang terlarut). Bahan seperti inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan di dalam air tanah. Sedangkan dari segi estetika kekeruhan air dapat disebabkan oleh pencemaran baik melaui pembuangan (limbah, tempat sampah) dan kandang hewan, yang sumber pencemarannya berada dekat dengan air tanah (Alumni,1996). Berdasarkan pernyataan di atas, perlu diteliti tentang penurunan kekeruhan air sumur gali dengan pemberian ekstrak biji kelor (moringa oleifera). Kekeruhan air sumur gali dapat dijernihkan dengan cara penambahan biji kelor karena biji kelor berfungsi sebagai pengendap atau penggumpal (koagulan) pada kotoran yang terkandung di dalam air, seperti pada penelitian yang dilakukan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada proses pengolahan limbah cair dari pabrik, dan hasilnya terjadi degradasi warna hingga 98%, penurunan BOD 62% dan kandungan lumpur 70 ml/liter. Bahkan biji kelor ini juga berkasiat sebagai antibakteri yaitu mampu membersihkan 90% dari total bakteri E. coli dalam seliter air sungai dalam waktu 20 menit. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian eksperimen pada bulan Juni 2008 di BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Surabaya ini menggunakan bahan berupa air sumur gali yang berjarak 1 meter dari sungai di Desa Gabahan Kecamatan Sidoklumpuk Kabupaten Sidoarjo. Sebanyak 5 sumur masing-masing diambil 6 liter untuk dijadikan bahan penelitian. Besar sampel adalah 30 dan masing-masing bahan dilakukan 6 kali pemeriksaan yaitu sebelum pemberian biji kelor dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg. Gambar 1. Biji Kelor (Sumber: http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=5&doc=5b5) Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 155 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode Turbidimetri dengan prinsip pemeriksaan didasarkan pada perbandingan intensitas cahaya dan efek tyndall yang terjadi. Alat dan bahan terdiri atas mortil, timbangan analitik, petridish, batang pengaduk, beaker glass, tabung, turbidimeter, tumbukan biji kelor yang tua dan kering, dan air sumur gali yang keruh. Prosedur pembuatan serbuk biji kelor yaitu menyiapkan biji kelor yang sudah tua dan kering, mengupas biji kelor dan membersihkan kulitnya, biji kelor yang sudah kering, kemudian ditumbuk sampai halus betul, kemudian menimbang biji kelor sebanyak 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg. Perlakuan terhadap sampel sebelum pemberian biji kelor yaitu dengan menuang sampel air masing-masing 1 liter ke dalam tabung pada alat turbidimetri dan diberi tanda A sampai dengan E, mengukur dengan alat turbidimetri, yaitu: tabung ditutup dengan kaca pencelup (plunger) sampai tidak ada udara, dimasukkan ke dalam alat turbidimetri hellige, kemudian kaca filter diatur dan pintu ditutup, diputar tombol sampai bintik dalam alat merata, dilihat alat yang didapat, dilihat dalam tabel akan mendapatkan hasil unit skala TCU. Sedangkan perlakuan sampel sesudah pemberian biji kelor yaitu dengan menuangkan sampel air masingmasing 1 liter dalam beaker glass dan diberi tanda 1 sampai dengan 5, karena setiap sampel mendapat 5 perlakuan, memasukkan serbuk biji kelor sebanyak 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg pada masing-masing beaker glass sesuai dengan urutan, mengaduk dengan menggunakan batang pengaduk secara cepat 30 detik dengan kecepatan 55-60 putaran permenit, mengaduk kembali secara perlahan dan beraturan selama 5 menit dengan kecepatan 15-20 putaran permenit, kemudian air diendapkan selama 1-2 jam, menyaringnya dengan corong, dimasukkan dalam tabung pada alat turbidimetri, kemudian diukur dengan alat turbidimeri, yaitu: tabung ditutup dengan kaca pencelup (plunger) sampai tidak ada udara, dimasukkan ke dalam alat turbidimetri hellige, kemudian kaca filter diatur dan pintu di tutup, diputar tombol sampai bintik dalam alat merata, dilihat alat yang didapat dan dilihat dalam tabel untuk mendapatkan hasil unit skala TCU. Data hasil penelitian yang diperoleh kemudian diuji dengan bantuan Program SPSS for Windows Version 13 meliputi uji normalitas dengan Kolmogrov-Smirnov Test, uji homogenitas varians dengan tes Homogeneity of variances dan terakhir uji One Way ANOVA jika data terdistribusi normal dan memiliki varians homogen. One Way Anova digunakan untuk menguji perbedaan varians kekeruhan air sumur antara sebelum pemberian biji kelor dan sesudah pemberian 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg biji kelor. Hasil pengujian One Way Anova kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test dengan metode Least Significant Difference (LSD) yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan secara nyata dari kekeruhan air sumur gali sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg. Perbedaan secara nyata dapat dilihat apabila nilai signifikan <0,05. Sedangkan untuk mengetahui besarnya perbedaan dilihat dari nilai mean difference apabila positif terjadi penurunan dan apabila negatif berarti terjadi kenaikan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil pemeriksaan kekeruhan pada 5 sampel air sumur gali sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 5mg, 10mg, 15mg, 20mg, dan 25mg, disajikan data pada Tabel 1. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 156 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Tabel Hasil Pemeriksaan Kekeruhan Air Sumur Gali Sampel No. A B C D E Rata-rata Sebelum 4,89 3,93 3,87 3,45 3,98 4,02 5 mg 2,76 2,47 2,59 3,20 3,18 2,84 Kekeruhan (mg/l) Sesudah Pemberian Biji Kelor 10 mg 15 mg 20 mg 2,39 1,88 1,40 2,28 1,12 1,06 2,31 1,94 1,48 2,94 2,33 1,92 2,56 2,18 2,02 2,50 1,89 1,58 25 mg 1,07 0,74 0,19 1,42 1,84 1,05 Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan nilai asymptod significant variabel pemberian biji kelor sebesar 0,604 (> 0,05) yang berarti data berdistribusi normal, dan variabel kekeruhan sebesar 0,940 (> 0,05) yang berarti data berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal, maka pengujian dapat dilanjutkan ke uji One Way Anova. Test Homogeneity of Variances menunjukkan nilai Levene Statistic sebesar 0,553 dan nilai signifikansi 0,735 (> 0,05) yang berarti bahwa data tersebut memiliki varians homogen. Uji One Way Anova memperoleh nilai F hitung=26,909 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000, sedangkan nilai F tabel (df=29, p=0,05) sebesar 2,93. Karena nilai F hitung > F tabel dan taraf signifikansi 0,000 (< 0,05), maka Ho ditolak, berarti ada perbedaan varians kekeruhan air antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor dengan 5 perlakuan yaitu 5mg, 10mg, 15mg, 20mg, 25mg. Dari uji One Way Anova tersebut, diketahui bahwa ada perbedaan kekeruhan air sumur gali antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor, dalam hal ini berupa penurunan kekeruhan. Post Hoc Test dengan metode Least Significant Difference (LSD) menunjukkan nilai signifikansi 0,000 (< 0,05) yang berarti terdapat perbedaan secara nyata kekeruhan pada air sumur gali. Dari nilai mean difference dari masing-masing perlakuan diperoleh nilai positif yang berarti terjadi penurunan kekeruhan. Kekeruhan antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg terjadi penurunan sebesar 1,18, antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 10 mg terjadi penurunan sebesar 1,53, antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 15 mg terjadi penurunan sebesar 2,13, antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 20 mg terjadi penurunan sebesar 2,45, dan antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 25 mg terjadi penurunan sebesar 2,97. Nilai mean difference dari ke 5 perlakuan tersebut semakin meningkat yang berarti bahwa kekeruhan semakin menurun dan penurunan tertinggi yaitu pada pemberian biji kelor 25 mg. Pembahasan Dari uji One Way Anova diketahui bahwa ada perbedaan kekeruhan air sumur gali antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor dengan berbagai variasi dosis. Post Hoc Test membuktikan adanya perbedaan secara nyata mengenai kekeruhan pada air sumur gali tersebut. Dalam hal ini, semakin tinggi dosis biji kelor maka semakin tinggi penurunan kekeruhan yang terjadi. Hal di atas dapat terjadi karena biji kelor mempunyai manfaat sebagai pengedap atau koagulan yang terkandung di dalam air dan berkhasiat sebagai antibakteri yaitu membersihkan 90% dari total bakteri E. coli dalam air seliter. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 157 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Pemakaian biji kelor ini relevan dengan saran yang pernah diberikan melalui artikel: Teknologi Tepat Guna yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi tentang Pengelolaan air dan sanitasi yaitu tentang penjernihan air dengan biji kelor, yang menyatakan bahwa: kebutuhan akan air bersih di daerah pedesaan dan pinggiran kota untuk air minum, memasak , mencuci dan sebagiannya harus diperhatikan. Cara penjernihan air perlu diketahui karena semakin banyak sumber air yang tercemar limbah rumah tangga maupun limbah industri. Cara-cara yang disajikan dapat digunakan di desa karena bahan dan alatnya mudah didapat. Di antara bahan-bahan tersebut adalah biji kelor di samping batu, pasir, kerikil, arang tempurung kelapa, arang sekam padi, tanah liat, ijuk, kaporit, kapur, tawas, dan lain-lain. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian ini adalah: 1) ada perbedaan tingkat kekeruhan air sumur gali secara bermakna antara sebelum pemberian biji kelor dan sesudah pemberian biji kelor dengan peningkatan dosis, 2) kekeruhan air sumur gali menurun dengan peningkatan dosis biji kelor yang diberikan. Selanjutnya disarankan agar masyarakat memanfaatkan biji kelor sebagai teknologi tepat guna dalam upaya penjernihan air untuk keperluan rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA Andi, 2004, Kimia lingkungan, Jakarta. Candra, Budiman, 2005, Pengantar Kesehatan Lingkungan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Pengelolaan Air dan sanitasi: Penjernihan Air Dengan Biji Kelor (Moringa oleifera). http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg =5&doc=5b5 Margono, 2002, Buku Pengantar Bidang Studi Penyediaan Air Bersih. Max Rizald, Rompas, 1998, Kimia Lingkungan, Penerbit Tarsito, Bandung. Notoatmodjo Soehidjo, 2003, Ilmi Kesehatan Masyarakat, PT Rineka Cipta, Jakarta. PERMENKES RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 Saptoraharjho.A, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Universitas Indonesia, Jakarta. Sudjana, Metode Statistika, Tarsito, Bandung. Sugiharto, 1983, Penyediaan air bersih bagi masyarakat, proyek pengembangan pendidikan tenaga sanitasi pusat, tanjungkarang jakarta. Sutrisno,Totok, 2004, Teknologi Penyediaan air Bersih, Rineka Cipta, Bandung. Vogel, Kimia analisis kuantitatif an organik edisi 4, buku kedokteran,EGC, Jakarta. Waluyo, 2005, Mikrobiologi lingkungan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang ....., 1996, Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat (Depkes RI Akademi Kesehatan Lingkunagan Surabaya), ......, 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolahan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yokyakarta. ......., 1989, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Kimia Air, Alumni, Bandung. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 158 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PENGARUH PEMBERIAN BALIKAN DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP HASIL BELAJAR DALAM MERAWAT PAYUDARA IBU HAMIL Tumirah* ABSTRACT This research is aimed at bringing about proof that variative direct feed-back and motivation for achievement have the significant influence on the pregnant woman’s breast treatment. The research treatment on the research subjects is the subject’s skill in doing phantom of treating pregnant woman’s breasts. This research is designed experimentally spesifically factorial research design. The population are the students of the semester II Midwifery Program Magetan, wich sum to 40 person. The drawn sample is 36 students consisting of 18 students belong to experiment group and 18 students belong to control group. The treatment of the research is given in the form of direct feed-back method during two weeks, with frequency of 3X60 minutes, 08.0009.00, ech action. The motivations of the students are scored in result of questionnaires. The student achievements are scored through checklist taken from Sudy Program DIV Nursing Teacher, the Faculty of Medicine, Unair Surabaya, term 1999. The analysis of this research brings about conclusion that the average achievement in pregnant women’s breast treatment is better obtained within the provision of direct feed-back than that within independent learning method , in the significance of p=0,000. Student with higher motivation to achievement get the better average achievement than those with low one. Based on the analysis of multivariate anova, the results drawn results states that there is interaction between the learning method, motivation to achievement, in the significance of p=0,000. Based on t-test, students with the high motivation to achievement get the better average achievement than those with low one, both in experiment group and control group. The research brings about conclusion that there is interaction between, provision of feed back, motivation to achievement in pregnant woman’s breast treatment. Presumably, motivation is the most dominant factor in that achievement. Key words: direct feed-back, learning motivation, achievement in breast treatment. *: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembelajaran laboratorium adalah peningkatan aspek pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Keterampilan yang diperoleh pada pembelajaran laboratorium ini menjadi bekal pada penyesuaian profesionalisasi di lapangan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada klien secara nyata. Permasalahannya adalah selama ini masih banyak rancangan pembelajaran laboratorium tidak sesuai dengan kurikulum. Demikian juga tenaga pengajar kurang memahami secara benar tentang cara merancang pembelajaran Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 159 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 laboratorium, sehingga pemenuhan target keterampilan bagi peserta didik tidak sesuai dengan harapan. Oleh sebab itu, tujuan pembelajaran yaitu perubahan perilaku yang dinyatakan dalam cara bertingkah laku berkat pengalaman dan latihan-latihan tidak tercapai secara maksimal (Hamalik, 1985:25). Hasil penelitian Sunarto dkk (2001) tentang profil dosen Program Studi Kebidanan Magetan menunjukkan bahwa keengganan tenaga pengajar dalam membuat rancangan pembelajaran laboratorium disebabkan oleh: 1) dosen kesulitan membuat silabus pembelajaran laboratorium, 2) dosen kurang sesuai dalam memberikan sistem evaluasi pembelajaran laboratorium, 3) alokasi waktu pembelajaran laboratorium sering tidak sesuai. Sebagai gambaran kurang terprogramnya pembelajaran laboratorium tampak dari tingkat kepuasan mahasiswa yaitu 52% dari 109 responden tidak puas terhadap pedoman praktika di laboratorium. Mereka juga kurang puas terhadap buku panduan (59,6%) dan 79,7% juga kurang puas terhadap pembelajaran klinik. Kondisi di atas adalah dampak dari pola pembelajaran yang belum standar. Pada penelitian ini akan diterapkan metode balikan pada pembelajaran laboratorium karena cukup relevan, efisien, murah dan lebih memberikan suasana interaksi belajar mengajar yang harmonis antara mahasiswa dan pembimbing. Penerapan balikan ini khusus pada pokok bahasan perawatan payudara ibu hamil sebagai salah satu target kompetensi dasar. Pendekatan ini untuk membuktikan perbedaan hasil belajar mahasiswa setelah diberikan metode balikan dan motivasi. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) membuktikan perbedaan hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil menurut pemberian balikan, 2) membuktikan perbedaan hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil menurut tingkat motivasi berprestasi, 3) membuktikan interaksi antara pemberian balikan dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian eksperimental dengan rancangan faktorial 2X2 ini dilakukan di Prodi Kebidanan Magetan Politeknik Kesehatan Surabaya. Variabel bebas penelitian adalah pemberian balikan dan motivasi berprestasi, sedangkan hasil belajar merawat payudara merupakan variabel terikat. Populasi penelitian adalah mahasiswa Prodi Kebidanan Magetan sejumlah 40 orang, dan sampel diambil dengan teknik simple random sampling sejumlah 36 orang yang selanjutnya dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 18 orang. Dosis perlakuan diberikan kepada kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan diberi balikan disertai modul dan kelompok kontrol diberikan perlakuan latihan mandiri. Data motivasi berprestasi diperoleh melalui kuesioner, sedangkan data hasil belajar diperoleh melalui checklist teknik perawatan payudara Prodi DIV Perawat Pendidik FK Unair Surabaya. Setelah terkumpul, data disajikan secara deskriptif berupa distribusi frekuensi dan tendency central, selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji Multivariate Anova dengan terlebih dahulu memenuhi asumsi yang dipersyaratkan. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 160 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Deskripsi perbandingan motivasi berprestasi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol disajikan pada Tabel 1. Tampak bahwa pada kelompok perlakuan, proporsi mahasiswa dengan motivasi tinggi lebih besar (72%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (61%). Tabel 1. Distribusi Motivasi Berprestasi Mahasiswa Kelompok Motivasi Rendah 5 (28%) 7 (39%) 12 (33,33%) Tinggi 13 (72%) 11 (61%) 24 (66,67%) Perlakuan Kontrol Jumlah Jumlah 18 (100%) 18 (100%) 36 (100%) Tendency central motivasi berprestasi mahasiswa disajikan pada Tabel 2. Pada tabel ini data motivasi berprestasi belum dikategorikan dan kelompok perlakuan memiliki nilai rerata yang lebih tinggi (121,1) dibandingkan dengan kelompok kontrol (116,3). Tabel 2. Unsur-Unsur Tendency Central Motivasi Berprestasi Mahasiswa Kelompok Mean Perlakuan 121,1 Kontrol 116,3 SD 12,99 11,75 Variance 168,76 138,23 Median 122 120 Mode 106 125 Min 98 98 Maks 147 135 Tabel 3. Unsur-Unsur Tendency central Hasil Belajar Mahasiswa Dalam Merawat Payudara Variabel Perlakuan Kontrol Motivasi Rendah Motivasi Tinggi Motivasi Tinggi Kelompok Perlakuan Motivasi Rendah Kelompok Perlakuan Motivasi Tinggi Kelompok Kontrol Motivasi Rendah Kelompok Kontrol Rerata 91,5 70,1 103,8 126,12 94,38 84 73 65,57 Simpangan Baku Varians 5,38 28,97 5,61 31,52 3,43 11,78 7,56 57,15 2,69 7,23 2 4 3,74 13,98 5,16 26,62 Data tentang hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara disajikan berupa tendency central (Tabel 3). Terlihat bahwa nilai rerata hasil belajar kelompok perlakuan (91,5) lebih tinggi daripada kelompok kontrol (70,1). Berdasarkan tingkat motivasi dari seluruh mahasiswa, mereka yang bermotivasi tinggi memiliki nilai rerata lebih tinggi (126,12) daripada mahasiswa bermotivasi rendah (103,8). Pada masing-masing kelompok, mahasiswa bermotivasi tinggi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 161 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 juga mendapatkan nilai rerata hasil belajar yang lebih tinggi pula, masing-masing 94,38 melebihi 84 pada kelompok perlakuan dan 73 melebihi 65,57 pada kelompok kontrol. Hasil uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai 0,937 dan p=0,344 pada kelompok perlakuan dan nilai 0,846 dan p=0,472 pada kelompok kontrol. Karena nilai p dari masing-masing kelompok tersebut >0,05, maka kedua data dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berdistribusi normal. Levene’s test untuk menguji homogenitas varians menunjukkan nilai p=0,643 pada kelompok perlakuan dan p=0,133 pada kelompok kontrol. Karena nilai p dari kedua kelompok >0,05, maka data pada kedua kelompok memiliki varians homogen. Hasil uji Multivariate Anova untuk kelompok perlakuan menunjukkan F=60,448 dan p=0,000. Sedangkan pada kelompok kontrol F=12,602 dan p=0,003. Karena nilai p<0,05, maka Ho ditolak, artinya ada perbedaan hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara antara mahasiswa yang diberi balikan dan tak diberi balikan.Dari Uji tersebut juga diketahui bahwa ada interaksi antara motivasi belajar dengan hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil. Karena Ho ditolak, perlu dilakukan uji T untuk mengetahui perbedaan antar kelompok, dengan nilai 7,775 dengan p=0,000 untuk kelompok perlakuan dan nilai 3,550 dengan p=0,003 untuk kelompok kontrol. Dalam hal ini, pengaruh motivasi sangat dominan pada kelompok perlakuan. Pembahasan Meski hasil belajar mahasiswa tidak jauh berbeda antara kelompok yang diberi balikan dan kelompok belajar mandiri, namun kelompok yang diberi balikan memiliki hasil belajar yang lebih baik. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh dosis perlakuan yang berlebihan, sehingga pada kelompok kontrol sudah terbentuk memori yang sangat baik. Memori yang baik tersebut berasal dari latihan berulang-ulang meskipun tak dibimbing. Terbentuknya memori berasal dari rangsangan yang diterima oleh reseptor yang selanjutnya disalurkan berupa impuls melalui neuron sensorik menuju otak. Di otak, impuls akan dipersepsikan, diinterpretasikan kemudian dijawab. Selain itu, otak juga berfungsi menyimpan hasil jawaban rangsangan berupa memori yang sewaktu-waktu bisa di-recall kembali jika ada rangsangan yang sama. Oleh karena itu, rangsangan yang berulang-ulang akan memberikan memori yang kuat dan tahan lama dibanding dengan rangsangan yang cepat. Dengan demikian, intensitas belajar yang berulang-ulang dipandang sebagai stimulator yang baik. Latihan berulang-ulang diyakini dapat menumbuhkan persepsi dam motivasi positif dan memperbaiki mekanisme pertahan diri. Respon emosi positif dan mekanisme pertahanan diri yang positif dapat mengurangi reaksi stress, sehingga meskipiun tidak dibimbing, mahasiswa mampu merubah persepsi dan atau meningkatkan kondisi yang dianggap mengancam, dalam hal ini mempengaruhi hasil belajar (Folkman & Lazarus, 1988). Kelompok mahasiswa dengan motivasi berprestasi lebih tinggi memiliki hasil belajar yang lebih baik. Motivasi berprestasi atau motivasi belajar untuk meningkatkan prestasi mampu menumbuhkan respon emosionl yang positif. Pada kasus ini, motivasi dipandang sebagai stimulasi untuk menumbuhkan respon emosional. Stimulasi yang kuat akan meningkatkan respon emosional, dan sebaliknya motivasi yang rendah akan menurunkan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 162 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 respon emosional, sehingga teknik perawatan payudara sebagaimana keduapuluh delapan langkahnya dipandang oleh mahasiswa yang bermotivasi rendah sebagai stressor belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada interaksi antara pemberian balikan dan motivasi berpreastasi terhadap hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil. Oleh karena itu hasil penelitian ini kurang signifikan untuk membedakan mana yang lebih baik di antara kedua kelompok terhadap hasil belajar. Apakah kelompok perlakuan lebih baik ataukan sebaliknya. Oleh karenanya, tepat bila variabel motivasi merupakan faktor dominan yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar dalam merawat payudara ibu hamil. SIMPULAN DAN SARAN 1. 2. 3. 1. 2. 3. Simpulan dari penelitian ini adalah: Terdapat perbedaan hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil antara mahasiswa yang diberi balikan dan tidak diberi balikan Terdapat perbedaan hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil antara mahasiswa bermotivasi tinggi dan bermotivasi rendah Terdapat interaksi antara pemberian balikan dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil. Diduga variabel motivasi merupakan faktor dominan yang sangat mempengaruhi hasil belajar. Berdasarkan simpulan, diajukan beberapa saran sebagai berikut: Motivasi belajar dapat digunakan sebagai faktor input pengajar dalam menerapkan metode pengajaran untuk memperbaiki respons emosional belajar mahasiswa Perlunya penetapan dosis bimbingan tepat meliputi intensitas, frekuensi, dan waktu, khususnya pada pembelajaran laboratorium sesuai beban SKS yang telah ditentukan agar pencapaian target kompetensi sesuai dengan kemampuan awal mahasiswa. Diperlukan penelitian lanjutan tentang pengaruh dosis bimbingan terhadap kemampuan mahasiswa dalam merawat payudara, dengan menambah variabel dan besar sampel. DAFTAR PUSTAKA Arikunto Suharsimi. 1999. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Ardhana. 1990. Atribut Terhadap Sebab-Sebab Keberhasilan dan Kegagalan serta Kaitannya dengan Motivasi untuk Berprestasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: FKIP IKIP Malang. Aswar Azrul. 1987. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara Azwar Syaifuddin. 1988. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ______. 2000. Test Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Depkes RI. 1993. Asuhan Kebidanan pada Ibu dalam Konteks Keluarga. Jakarta: Pusdiknakes Folkman S, Lazarus RS. 1988. Manual For The Ways of Coping Questionnaire. Palo Alto, CA: Consulting Psychologist Press Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 163 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Gagne, Robert M, et.al. 1988. Principle of Instructional Design. USA Halt, Rinehart and Winston Inc. Guyton AC. 1996. Textbook of medical Physiology. Philadelphia: WB Saunders Co. Hadi Sutrisno. 1984. Statistik Jilid III. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM Karhami S Karim. 2002. Strategi Pengelolaan Sekolah Pasca Penghapusan Ebtanas. Makalah, disampaikan pada acara Seminar Nasional Pendidikan, 25 Mei 2002 Madiun. Kendel E, & Kupferman. 1995. Learning and Memory, In Essential of Neural Science and Behavior. Prentice Hall inc. Lieben Paulus. 1999. Neurotransmitter dan Hormon dalam Psikoneuroimunologi. Makalah Workshop Psikoneuroimunologi. 25-26 September 1999. Kelompok Studi Psikoneuroimunologi, Gramik. Surabaya: FK Unair Mc. Clelland DC. 1967. The Achieving Society. Newyork: The Free Press ______, 1985. Motivation and Immune Function in Health and Disease. Paper Presented at the Amal Meeting of The Society of Behavioral Medicine. New Orleans, March, 1985 Notoatmodjo S. 1993. Metologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam, & Pariani Siti. 2000. Pendekatan Praktik Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto Prijambodo Bambang. 1999. Agenda Bersama Rumah Sakit Pendidikan dan Fakultas Kedokteran, Menyelenggarakan Pendidikan Bermutu dan Pelayanan Prima di Rumah Sakit. Makalah. Surabaya: FK Unair Putra Suhartono Taat, et al.1998. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press PSIK FK Unair. 1998. Pedoman Penyelenggaraan Program Keprofesian Keperawatan pada Program Pendidikan Ners. Surabaya: Unair Sardiman AM. 1980. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press Sauman Muhammad. 2002. Hubungan Antara Motivasi Berprestasi dan Pemanfaatan Sumber Belajar dengan Prestasi Belajar. Tesis. Surakarta: UNS Siegel Sydne. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Soekartawi. 1995. Meningkatkan Efektifitas Mengajar. Jakarta: Pustaka Jaya Sudjana. 1981. Metode Statistika. Bandung: Transito Sugandi Achmad. 1985. Metodologi Pengajaran. Semarang: FKIP IKIP Semarang Sugito Sukewi. 1994. Perencanaan Pengajaran. Semarang: IKIP Semarang Press Sumar.2002. Pengaruh Metode Mengajar dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Siswa SMU. Tesis. Surakarta: UNS Sunarto, Sulikah, Suparji. 2002. Tingkat Kepuasan Mahasiswa dalam Praktek. Magetan: Urusan Penelitian Program Studi Kebidanan Magetan Sunarto, Rudiati. 2001. Profil Mengajar Dosen Prodi Kebidanan Magetan. Magetan: Urusan Penelitian Program Studi Kebidanan Magetan Syamsudin Abin. 1986. Psikologi Pendidikan. Bandung: Publikasi Jurusan PPB FIP IKIP Bandung Wahjosumidjo. 1985. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: PT Ghalia Indonesia Widjajakusumah MD. 1999. Manajemen Pendidikan. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Keperawatan Tanggal 20-21 Desember 1999. Jakarta Zainuddin Mohammad. 1998. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 164 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 ANALISA KADAR KLORIDA PADA KANTONG TEH CELUP SERTA PENGARUHNYA TERHADAP MUTU TEH Santi Setiorini*, Handoyo* ABSTRACT The determination of chloride content in the tea bagpaper from several sample such as; I-VI has been done by volumetric methode. The chloride in the tea bag paper extracted and then titrated with standar solution AgNO3, using Kalium Khromat indicator The content of chloride of each sample are: I (0,988 % ), II (0,708 %), III (0,508 %), IV (0.828 %),V (0,508%), VI(0,728%). All of the samples wich are analyzed are black type. Apparently, the chloride in the tea bag influences the quality of the tea bag is analyzed organoleptically,involving the taste, colour, aroma, tea appearance and infusion leave. Key word: chloride, the tea bag, quality of the tea *: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Aneka produk olahan dari bahan baku teh banyak dijumpai di pasaran dewasa ini. Produk tersebut merupakan bentuk lanjut dari teh seperti bentuk teh yang lebih praktis yaitu teh celup atau dalam bentuk yang siap minum seperti teh kotak, teh botol dan lain-lain. Di antara produk tersebut, teh celup merupakan suatu produk yang sudah dikenal dan sangat digemari oleh masyarakat karena sangat praktis penggunaannya (Werkhoven,1974). Teh kemasan yang satu ini menggunakan kertas tipis sebagai pengemas yang berfungsi ganda. Pada proses pengolahannya, kantong kertas teh celup sering dipucatkan dengan senyawa klorida. Klorida adalah senyawa yang mudah terurai dalam air sehingga diduga akan mempengaruhi rasa, warna dan aroma teh. Pemakaian kantong teh celup sangat beragam dari yang berwarna putih sampai yang kurang putih sebagai akibat beragamnya proses pemucatan. Untuk mengetahui seberapa besar kadar klorida yang masih tertinggal pada kantong teh celup maka perlu dilakukan analisa senyawa klorida dalam kantong teh celup. Selain itu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap mutu teh perlu diamati rasa, warna, aroma serta kenampakan teh yang dikemas dalam kantong teh celup. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar klorida dalam kantong teh celup dan pengaruhnya terhadap rasa, warna, aroma dan kenampakan teh yang dikemas. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan metode volumetri (argentometri ) untuk mengetahui kadar klorida dan organoleptik untuk mengetahui kualitas teh celup. Populasi penelitian adalah semua merk teh celup, dan yang diambil sebagai sampel adalah jenis teh hitam celup. Kadar klorida dalam kantong teh celup merupakan variabel bebas penelitian, sedangkan rasa, warna dan kenampakan teh merupakan variabel terikat. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 165 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Volumetri adalah suatu analisa kuantitatif yaitu jumlah suatu zat dicari dengan mereaksikan suatu volume larutan zat itu dengan larutan suatu zat standar yang telah diketahui konsentrasinya. Kunci keberhasilan suatu titrasi adalah mendapatkan secara tepat volume zat mentitrasi yang dapat bereaksi dengan suatu volume zat dititrasi hingga dari perbandingan volume itu dapat dihitung konsentrasi zat yang diketahui. Pada penelitian ini digunakan titrasi pengendapan, yaitu suatu titrasi antara dua zat yang menghasilkan endapan, dengan persamaan reaksi sebagai berikut: A+ + B- AB Pada tercapainya titik akhir titrasi, ion mentitrasi akan berlebihan dan dapat dinyatakan dengan indikator yang sesuai. Reaksi pada cara titrasi ini hampir selalu antara Ag+ dengan ion halida dan tiosianat, dan sering disebut argentometri. Selanjutnya kadar klorida dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: X = (a-b) ± N x 35,5 x 100% Keterangan: C X: kadar klorida dinyatakan dalam persen (%) a: larutan AgNO3 untuk titrasi contoh b: larutan AgNO3 untuk titrasi blanko N: normalitas larutan AgNO3 c: berat kering contoh (mg) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil pengujian kadar klorida pada kantong teh celup disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengujian Kadar Klorida pada Kantong Teh Celup Sampel Teh Celup pH Warna Putih Kantong Klorida (%) I 6,8 +++++ 0,988 II 6,8 ++++ 0,708 III 6,8 +++ 0,508 IV 6,8 ++ 0,828 V 6,8 + 0,528 VI 6,8 0 0,788 Keterangan: +++++: sangat putih +++ : putih + : agak putih ++++ : putih sekali ++ : putih sedang 0 : buram Hasil uji organoleptik untuk warna dan kenampakan disajikan pada Tabel 2, sedangkan untuk aroma kertas, ampas dan rasa disajikan pada Tabel 3. Sampel Teh I II III IV V VI Tabel 2. Uji organoleptik dari warna dan Kenampakan Warna Kenampakan Dengan kantong Tanpa kantong Dengan kantong Tanpa kantong 5 5 A A 5 5 B B 4 4 C C 4 4 C C 5 5 B B 5 4 C C Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 166 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Tabel 3. Uji organoleptik dari Aroma Kertas, Ampas dan Rasa Sampel Teh I II III IV V VI Aroma Kertas Tanpa Dengan Kantong Kantong 4 4 5 5 3 5 5 5 3 3 4 3 Ampas Tanpa Dengan Kantong Kantong c c c c d d c c b b c c Rasa Tanpa Kantong 37 37 35 35 39 39 Dengan Kantong 37 37 35 35 39 39 Pembahasan Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai klorida dari tiap sampel berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kualitas kertas yang digunakan, dilihat dari warna kantong yang dipakai sebagai penyaring. Menurut teori, semakin putih kantong tersebut, semakin tinggi kloridanya. Dengan demikian, tiap sampel kantong teh celup mempunyai kualitas warna yang berbeda dilihat dari paling putihnya kertas. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 yang menunjukkan bahwa ternyata kantong teh celup secara berurutan mulai dari yang paling putih adalah teh celup I, II, III, IV, V dan VI. Kadar klorida pada tiap kantong teh celup beragam, dan ternyata warna putih kertas tidak bisa mengindikasikan kadar klorida tinggi. Ini dapat disebabkan oleh banyaknya klorida yang digunakan pada kantong tidak sejalan dengan kadar klorida yang tersisa, artinya belum tentu jika klorida yang digunakan banyak, sisanya juga akan banyak. Sebaliknya, jika klorida yang digunakan sedikit, belum tentu bersisa sedikit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air seduhan ternyata dapat dipengaruhi oleh kadar klorida. Walaupun ada sebagian dari teh celup yang tidak terpengaruh oleh kadar klorida seperti teh I, V dan VI, pada ketiga teh celup tersebut kadar klorida tidak mempengaruhi rasa, warna dan aroma. Tabel 2 yang menunjukkan bahwa teh dengan kantong ataupun tidak, variabel rasa, warna, dan aroma tidak terpengaruhi. Pada teh yang lain, yaitu teh II, III dan VI dapat dilihat bahwa warna, rasa dan aroma mengalami penurunan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh adanya zat yang menghalangi warna, rasa dan aroma. Dapat dilihat bahwa klorida ternyata dapat mempengaruhi rasa, warna dan aroma walaupun dalam jumlah yang sedikit. Pada teh tanpa kantong, nilai warna, rasa dan aroma mengalami penurunan. Selain disebabkan oleh kadar klorida, juga dapat disebabkan oleh sisa-sisa klorida yang tertinggal pada bubuk teh. Adanya kertas penyaring dapat juga berfungsi untuk menjaga kualitas air seduhan agar rasa, warna dan aromanya tetap baik. Dalam hal ini, kualitas fisik teh juga perlu dilihat. Pada Tabel 2 dapat dilihat kualitas kenampakan teh kering dan ampas seduhan dari tiap sampel. Ternyata untuk kenampakan teh kering rata-rata dari tiap sampel teh celup memiliki kualitas cukup baik, malah ada yang memiliki kualitas sangat baik. Hal ini menandakan bahwa nilai kenampakan teh kering dari tiap sampel teh celup telah memenuhi syarat standar mutu teh. Untuk kualitas aroma kertas yang terdapat pada air seduhan, kualitas aroma teh tanpa kantong lebih rendah daripada teh dengan kantong. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat adsorben teh yang mudah menyerap bau, sehingga aroma kertas pada teh yang tidak Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 167 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 menggunakan kantong terjadi penurunan. Aroma kertas yang terdapat pada air teh sangat penting dinilai untuk mengetahui apakah kertas yang mengandung klorida yang dipakai sebagai penyaring dapat mempengaruhi rasa, warna serta air seduhan. Untuk warna air seduhan dari tiap sampel rata-rata tidak terjadi penurunan yang berarti. Ini menunjukkan bahwa kualitas warna air seduhan yang menggunakan kantong dengan yang tanpa kantong adalah baik. Ternyata terjadi penurunan pada satu sampel, hal ini dapat disebabkan oleh kualitas kertas penyaring kurang baik, sehingga mempengaruhi warna air seduhan, padahal warna air seduhan sangat menentukan tingkat kesegaran. SIMPULAN DAN SARAN 1. 2. 3. 1. 2. Dari hasil penelitian dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Kadar klorida masing-masing sampel adalah: I (0,988 %), II (0,708%), III (0,508 %), IV (0,828 % ), V (0,528 %) dan VI (0,788 % Kadar klorida tidak selalu sejalan dengan putihnya kertas Kadar klorida pada kertas teh celup dapat mempengaruhi kualitas air seduhan (nilai warna, rasa, kenampakan teh kering, aroma kertas air seduhan serta kenampakan ampas) Selanjutnya diajukan beberapa saran sebagai berikut: Perlu dilakukan analisa klorida pada kantong teh celup dengan metode yang lain agar dapat dijadikan bahan referensi Diharapkan ada penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan adanya senyawa lain yang ada pada kantong teh celup, misalnya sulfat yang juga sering dipakai sebagai bleaching agent DAFTAR PUSTAKA Bambang, K., 1986, Beberapa Pandangan Terhadap Pengemas Teh Hitam, Seminar Alternatif Pengepakan Teh, Bandung Bambang, K., 1990, Pengemasan Teh Indonesia Saat Ini dan Masa Datang, Risalah Seminar Pengemasan Dan Transportasi dalam Menunjang Pengembangan Industri, Distribusi Dalam Negeri Dan Ekspor Pangan, Jakarta. Cotton, F.A dan Wilkinson, G ., 1989, Kimia Anorganik Dasar, Universitas Indonesia, Jakarta Rapson, W. Hoeard.,1963, The Bleaching of Pulp, TAPPI Monograph , New York Suryatmo, F.A, Bambang, K dan Sukapto P., 1987, Kesesuaian Mutu Teh Hitam Celup Di Indonesia Dengan Standar ISO 3720, Seminar Intern BPTK Gambung, Ciwidey, Bandung Sewojo, R. Sodo Ali., 1982, Bercocok Tanam Teh, Cetakan Ke-tiga , Sumur Bandung, Bandung Tim Gambung., 1993-1994, Petunjuk Teknis Pengolahan Teh, Badan Penelitian dan Pengembangan Perkebunan di Indonesia, PPTK, Gambung, Bandung Tim Penulis, 1993, Teh, Perkebunan dan Pengolahan, Jakarta Vogel, 1985, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Mikro, PT. Kalman Media Pustaka, Jakarta Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 168 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 PENGARUH NILAI UJIAN MASUK, IQ DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP PRESTASI HASIL BELAJAR MAHASISWA Suparji*, Sunarto*, Heru Santoso Wahito Nugroho* ABSTRAK Masalah mendasar dalam penelitian ini adalah kemanfaatan dan keberterimaan psikotest sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII kebidanan dalam hubungannya dengan kesuksesan hasil belajar. Rendahnya pencapaian indeks prestasi kumulatif tingkat I menjadi dasar apakah motivasi berprestasi mahasiswa menjadi faktor pengaruh kesuksesan hasil belajar. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh nilai sipensimaru, IQ dan motivasi berprestasi terhadap pencapaian indeks prestasi. Penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional ini mengambil lokasi di Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya. Populasi penelitian adalah mahasiswa semester I tahun akademik 2007-2008 dan 2008-2009 sebanyak 80 mahasiswa. Jumlah subyek keseluruhan sebanyak 77 mahasiswa. Variabel bebas adalah; nilai sipensimaru, IQ, dan motivasi berprestasi dengan skala variabel metrik dan non metrik. Variabel terikat adalah indeks prestasi semester I dengan skala variabel non metrik. Instrumen test berasal dari data sekunder print out hasil sipensimaru, print out psikotes dan daftar nilai semester I. Teknik analisis data dengan uji regresi logistik biner, dengan α ≤ 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian hasil belajar berhubungan bermakna dengan tingkat IQ (OR=2,282: 1,224-4,257), dan tidak berhubungan secara bermakna dengan nilai sipensimaru (OR=1,041: 0,962-1,127) dan motivasi berprestasi (OR=0,640: 0,230-1,780). Probabilitas pencapaian indeks prestasi sebesar 1,44 kali pada mahasiswa dengan tingkat IQ rata-rata 100-109, nilai sipensimaru di atas rerata dan motivasi berprestasi cukup memadai. Kesimpulan penelitian adalah pencapaian indeks prestasi mahasiswa dipengaruhi oleh faktor tingkat IQ. Sesuai dengan hasil penelitian, maka psikotes sebaiknya dipertahankan sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII Kebidanan. Kata Kunci: Nilai Sipensimaru, IQ, Motivasi Berprestasi, Indeks Prestasi *: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan yang bermutu perlu ditunjang oleh ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas. Kualitas tenaga kesehatan dihasilkan dari proses pendidikan tenaga kesehatan yang memenuhi standar jaminan mutu lulusan. Salah satu proses awal pendidikan adalah penjaringan calon mahasiswa baru. Serangkaian kegiatan dalam penjaringan calon mahasiswa baru di antaranya adalah; seleksi administrasi, seleksi uji tulis dan seleksi uji kesehatan. Calon mahasiswa dinyatakan lulus bila ketiga seleksi itu bisa dilalui dengan baik dan memenuhi standar kelulusan yang telah ditetapkan (Depkes, RI, 2007). Raw input calon mahasiswa DIII Kebidanan berasal dari lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Tujuan seleksi ini bukan mengukur tingkat kemampuan calon, tetapi lebih menitikberatkan pada seleksi calon yang diprediksi memiliki kemampuan akademik yang lebih baik dibanding dengan calon yang lain. Tujuan seleksi seperti ini memberi dampak Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 169 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 permasalahan adanya kesulitan mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi kesuksesan hasil belajar. Kesuksesan hasil belajar dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu; kemampuan intelektual dilihat dari pencapaian indeks prestasi, kemampuan teknikal dilihat dari pencapaian uji ketrampilan dan kemampuan interpersonal dilihat dari sikap perilaku sehari-hari mahasiswa selama menjalani proses belajar mengajar di dalam dan di luar kampus. Fakta memberikan gambaran bahwa indeks prestasi mahasiswa < 2,00 sebanyak 2,6% dari 40 mahasiswa pada tahun akademik 2006-2007. Pada tahun akademik berikutnya terdapat 2,5% mahasiswa gagal dalam studi, 5% dari 40 mahasiswa terpaksa harus mengambil cuti akademik karena motivasi kurang dalam mengikuti kegiatan klinik. Dari berbagai fakta tersebut kelemahan selama proses belajar mengajar di Semester I dan II tidak pernah melihat latar belakang apakah mahasiswa memiliki minat yang tinggi, motivasi yang tinggi dan tingkat IQ yang rata-rata dalam studinya. Psikotes hanya sebagai alat mengukur, belum dijadikan alat untuk motivasi mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa berhubungan dengan proses belajar mengajar. Sebagus apapun rancangan dan metode PBM yang disiapkan oleh seorang dosen, apabila mahasiswa tidak memiliki motivasi dan minat tentunya tidak memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu proses pendidikan harus dilihat dan dievaluasi secara utuh mulai dari input-proses-outputoutcome. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam belajar antara lain; faktor minat, faktor motivasi, dan bakat calon mahasiwa, tingkat IQ calon mahasiswa, ketersediaan sarana dan prasarana belajar, kenyamanan ruang belajar, metode mengajar, kualitas tenaga pengajar, rancangan pembelajaran, alat ukur hasil belajar, dan kepuasan mahasiswa terhadap kegiatan PBM. Dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi hasil belajar, maka untuk mencapai target pencapaian IPK ≥ 2,75 di atas 80% maka institusi pendidikan membuat langkah-langkah standarisasi manajemen pembelajaran. Serangkaian standarisasi proses pendidikan ini telah dilaksanakan. Namun evaluasi manajemen atas pelaksanaan standarisasi ini terkadang tidak dilakukan. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah rendahnya evaluasi pelaksanaan standarisasi proses pendidikan dari segi input-proses-output, maka identifikasi hubungan faktor nilai sipensimaru, tingkat IQ dan tingkat motivasi berprestasi perlu diketahui lebih dulu. Solusi ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk memutuskan keberterimaan psikotes sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII Kebidanan. Diketahuinya faktor-faktor ini juga sangat bermanfaat sebelum memberikan penilaian kepada mahasiswa apakah mereka mengalami kesulitan belajar, gangguan belajar atau hambatan dalam belajar. Solusi ini dilakukan dengan mengetahui seberapa besar nilai probabilitas dan odd ratio masing-masing faktor terhadap hasil belajar Semester I. Rasional menggunakan angka prestasi hasil belajar Semester I, karena mahasiswa sudah dianggap mampu beradaptasi dengan dunia kampus, karena mereka telah melakukan proses belajar mengajar selama enam bulan. Hasil penelitian ini sebagai titik awal untuk meningkatkan motivasi mahasiswa bagi mereka yang tingkat motivasi berprestasinya rendah, minatnya rendah dan adanya kesulitan belajar karena tingkat IQ mereka di bawah rerata, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam belajar sampai akhir pendidikan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 170 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 1. Mengidentifikasi gambaran nilai hasil uji tulis sipensimaru calon mahasiswa yang diterima atau dinyatakan lulus di Program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan 2. Mengidentifikasi gambaran tingkat IQ calon mahasiswa yang diterima atau dinyatakan lulus di program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan 3. Mengidentifikasi gambaran tingkat motivasi berprestasi calon mahasiswa yang diterima atau dinyatakan lulus di Program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan 4. Menganalisis pengaruh faktor nilai hasil uji tulis sipensimaru, tingkat IQ dan tingkat motivasi berprestasi calon mahasiswa yang diterima atau dinyatakan lulus di program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan terhadap nilai indeks prestasi semester I BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian analitik observasional dengan rancangan cross-sectional ini mengambil lokasi di Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya, dengan populasi terjangkau yaitu mahasiswa semester III dan semester V Prodi Kebidanan Magetan angkatan tahun 2007-2008 dan 2008-2009 sebanyak 80 mahasiswa. Jumlah subyek keseluruhan sebanyak 77 mahasiswa yang diperoleh secara simple random sampling. Variabel bebas adalah; nilai sipensimaru, tingkat IQ dan tingkat motivasi berprestasi dengan skala data non metrik dan metrik. Variabel terikat adalah indeks prestasi semester I dengan skala data non metrik. Alat ukur adalah data sekunder hasil print out nilai sipensimaru, hasil psikotes dan daftar nilai semester I. Khusus psikotes diukur oleh dari lembaga psikotes Unair Surabaya. Teknik analisis data menggunakan uji statistik regresi logistik biner, dengan tingkat kesalahan yang ditetapkan (α ≤ 0,05). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Nilai sipensimaru dari 77 mahasiswa adalah; rerata: 48,03, median: 49,0, Modus: 38,0, simpangan baku: 7,87, varians: 62,0, nilai maksimal: 62,0 dan nilai minimal: 36,0. Tingkat Intelligence Quotient (IQ), berdasarkan hasil print out psikogram dikategorikan menjadi delapan tingkatan yaitu; borderline, below average, low average, average, high average, above average, superior dan very superior. Gambaran lengkap disajikan pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa proporsi terbanyak pada tingkat IQ average yaitu 29 (37,7%). Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat IQ Mahasiswa Baru Prodi Kebidanan Magetan Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009 Tingkat Skor IQ Frekuensi Persentase Below average 4 5,2 Low average 8 10,4 Average 29 37,7 High average 21 27,3 Above average 15 19,5 Total 77 100 Tingkat motivasi berprestasi dikategorikan menjadi tujuh tingkatan yaitu; kurang sekali, kurang, cukup bawah, cukup, cukup atas, baik dan baik sekali. Gambaran tingkat motivasi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 171 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 berprestasi disajikan pada Tabel 2, yang menunjukkan bahwa proporsi terbesar dari tingkat motivasi berprestasi berada pada tingkat C (cukup memadai) sebesar 47 (61%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Motivasi Berprestasi Mahasiswa Baru Prodi Kebidanan Magetan Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009 Tingkat Motivasi Berprestasi Cukup bawah Cukup Cukup atas Total Frekuensi 7 47 23 77 Persentase 9,1 61,0 29,9 100 Nilai indeks prestasi dikategorikan menjadi dua yaitu nilai kurang dari 2,75 dan lebih dari atau sama dengan 2,75. Gambaran indeks prestasi disajikan pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa indeks prestasi di atas sangat memuaskan sebanyak 61 (79,2%), dan di bawah sangat memuaskan sebanyak 16 (20,8%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Mahasiswa Prodi Kebidana Magetan Semester I Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009 Tingkat Indeks Prestasi < 2,75 ≥ 2,75 Total Frekuensi 16 61 77 Persentase 20,8 79,2 100 Dari Tabel 4 diketahui bahwa 32,8% dari 61 mahasiswa memiliki indeks prestasi >2,75 dan memiliki IQ rata-rata dan di atas rata-rata. Informasi lain adalah 56,3% dari 16 mahasiswa merupakan mahasiswa dengan IQ rata-rata tetapi memiliki indeks prestasi <2,75. Dari Tabel 5 diketahui bahwa 57,4% dari 61 mahasiswa memiliki indeks prestasi >2,75 dengan tingkat motivasi cukup memadai. Indeks prestasi >2,75 yang berasal dari mahasiswa dengan motivasi berprestasi relatif berkembang sebanyak 31,1% dari 61 mahasiswa. Namun demikian ada 75,0% dari 16 mahasiswa dengan indeks prestasi <2,75 memiliki motivasi berprestasi pada kategori cukup memadai. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Menurut IQ Mahasiswa Prodi Kebidanan Magetan Semester I Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009 IQ Total Below Average Low Average Average High Average Above average IP < 2,75 2 (12,5%) 3 (18,8%) 9 (56,3%) 1 (6,3%) 1 (6,3%) 16 ≥2,75 2 (3,3%) 5 (8,2%) 20 (32,8%) 20 (32,8%) 14 (23,0%) 61 Total 4 8 29 21 15 77 Tabel 5. Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Menurut Tingkat Motivasi Berprestasi Mahasiswa Prodi Kebidanan Magetan Semester I Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009 Tingkat Motivasi Berprestasi Total Perlu Optimalisasi Cukup Memadai Relatif Berkembang IP < 2,75 0 (0%) 12 (75,0%) 4 (25,0%) 16 ≥ 2,75 7 (11,5%) 35 (57,4%) 19 (29,9%) 61 Total 7 47 23 77 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 172 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Rangkaian proses pengujian hipotesis dijelaskan sebagai berikut: 1. Hasil Overall Model Fit (uji kecocokan model dengan data) menggunakan pendekatan uji Chi-square menunjukkan nilai X2 hitung = 10,558 dengan p=0,014. Karena α <0,05, maka model (persamaan regresi) yang dipakai untuk menentukan probabilitas telah cocok. 2. Dari uji akurasi model menggunakan persamaan garis regresi melalui tabel klasifikasi, diperoleh hasil sebagaimana tercantum pada Tabel 6. Observed 0 1 Tabel 6. Hasil Uji Akurasi Model Predicted Total Percent Correct 0 1 3 13 16 18,75% 2 59 61 96,72% 5 72 77 Overall = 80,5% Dari 16 mahasiswa dengan IP < 2,75, sebanyak 18 % dapat diprediksi oleh model, sedangkan dari 61 mahasiswa yang IP ≥ 2,75, sebanyak 96% dapat diprediksi oleh model. Secara keseluruhan akurasi model adalah 80,5%. 3. Hasil uji regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa berdasarkan analisis uji Chi-square, variabel nilai sipensimaru memperoleh nilai p = 0,314 yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai sipensimaru dengan indeks prestasi; Odds Ratio (OR) sebesar 1,04 pada interval kepercayaan 0,96-1,12. Untuk variabel IQ, berdasar analisis Chi-square diperoleh nilai p=0,009 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara IQ dengan indeks prestasi; Odds Ratio (OR) sebesar 2,28 pada interval kepercayaan 1,22-4,25. Untuk variabel motivasi berprestasi, berdasarkan uji Chi-square diperoleh nilai p=0,392 yang artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat motivasi berprestasi dengan indeks prestasi; Odds Ratio (OR) sebesar 0,64 pada interval kepercayaan 0,23-1,78. Model akhir tentang pengaruh nilai sipensimaru, IQ dan tingkat motivasi berprestasi terhadap indeks prestasi mahasiswa Semester I Prodi Kebidanan Magetan Tahun Akademik 2007-2008 dan Tahun Akademik 2008-2009, didasarkan pada hasil uji regresi logistik sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pada Tabel 7 tersebut, persamaan model regresi logistik dapat :ditulis sebagai berikut: Logit Indeks Prestasi = -2,163+0,040 (Nilai Sipensimaru)+0,825 (IQ)-0,445 (Motivasi Berprestasi) Tabel 7. Model Akhir Pengaruh Nilai Sipensimaru, IQ dan Tingkat Motivasi Berprestasi Terhadap Indeks Prestasi Mahasiswa Semester I Prodi Kebidanan Magetan Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009 Variabel P OR 95% CI β Nilai Sipensimaru 0,040 0,314 1,041 0,962-1,127 Tingkat IQ 0,825 0,009 2,282 1,224-4,257 Tingkat Motivasi Berprestasi -0,445 0,392 0,640 0,230-1,780 Konstanta -2,163 0,014 0,114 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 173 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Persamaan model regresi logistik tersebut dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas pencapaian indeks prestasi mahasiswa semester I sebagai berikut: 1 P1(Y) = ---------------------------------------------------------------- = 0,148 1 + e –(-2,163+0,040 (1)+0,825 (1)- 0,445(1)) 1 P0(Y) = --------------------------------------------------------------- = 0,103 1 + e –(-2,163+0,040 (0)+0,825 (0)- 0,445(0)) P1(Y) 0,148 RR = ------------ = ---------- = 1,44 P0 (Y) 0,103 Makna persamaan ini menyebutkan bahwa probabilitas pencapaian indeks prestasi >2,75 sebesar 1,44 kali apabila nilai sipensimaru, IQ dan tingkat motivasi berprestasi di atas rerata, dibandingkan nilai sipensimaru, IQ dan tingkat motivasi berprestasi di bawah rerata. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara nilai sipensimaru dengan indeks prestasi mahasiswa Semester I dengan nilai p=0,314. Berdasarkan nilai odds ratio, mahasiswa dengan nilai sipensimarudi atas rerata berpeluang 1,04 kali dapat mencapai indeks prestasi di atas 2,75. Penentuan standar indeks prestasi didasarkan pada predikat kelulusan program DIII Kebidanan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya yaitu; 1) IPK 2,00-2,75 dengan predikat memuaskan; 2) IPK 2,75-3,50 dengan predikat sangat memuaskan; dan 3) IPK 3,51-4,00 dengan predikat dengan pujian atau cum laude (Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya, 2007). Berdasarkan penentuan predikat kelulusan ini, Prodi Kebidanan mengharapkan target bahwa 80% output lulusan harus memiliki indeks prestasi di atas 2,75. Indikator target ini menyesuaikan dengan tuntutan pasar dunia kerja bahwa lulusan kebidanan yang bisa diterima di beberapa pasar kerja bila indeks prestasi kumulatif mereka minimal 2,75. Sebenarnya penilaian kompetensi seseorang ahli madya kebidanan sangat ditentukan oleh tiga domain penilaian yaitu; knowledge, skill dan behavior atau attitude. Namun ketiga domain tersebut masih dituangkan dalam bentuk IPK, sehingga menjadi sangat penting seseorang mahasiswa untuk memperoleh capaian IPK seoptimal mungkin. Menurut Syah (2006) prestasi akademik sangat ditentukan oleh faktor internal (sikap, bakat, minat, motivasi dan intelegensi); faktor eksternal (lingkungan sosial dan non sosial) serta faktor pendekatan belajar. Dari ketiga faktor tersebut, menurut Lunandi (1993) faktor internal paling dominan berpengaruh terhadap prestasi belajar. Sumber bahan belajar terkaya adalah diri sendiri. Zainul (2005) menyatakan ada beberapa alasan untuk menggunakan pengukuran, tes dan penilaian dalam pendidikan, antara lain; 1) seleksi; 2) penempatan; 3) diagnosa dan remedial; 4) umpan balik; 5) memotivasi dan membimbing belajar; 6) perbaikan kurikulum dan program pendidikan; dan 7) pengembangan ilmu. SPMB menggunakan serangkaian uji tulis yang bermanfaat untuk seleksi. Nilai sipensimaru digunakan untuk mengambil keputusan tentang orang yang akan diterima atau ditolak dalam suatu proses seleksi. Keputusan menerima atau menolak ini sangat berat, maka harus digunakan seperangkat alat ukur yang Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 174 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 tepat, memiliki daya beda tinggi, memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Nilai sipensimaru tidak menentukan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan atau program (Zainul; 2005). Syarat kelulusan uji tulis dan uji kesehatan bukan untuk mengukur kemampuan seseorang, namun lebih dititikberatkan pada penjaringan mahasiswa yang diprediksi memiliki kemampuan akademik yang baik, sehingga mampu menyelesaikan pendidikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan (Zainul; 2005). Standar kelulusan adalah semua mata uji harus di atas rerata (4L) karena ada empat mata uji. Maknanya adalah bahwa semua subyek dalam penelitian adalah calon mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rerata calon yang lain. Berdasarkan nilai odds ratio, mahasiswa dengan nilai sipensimaru di atas rerata berpeluang 1,04 kali dapat mencapai indeks prestasi di atas 2,75. Makna peluang ini memberikan gambaran bahwa pencapaian indeks prestasi baik tidak mutlak dipengaruhi oleh kemampuan mereka mengerjakan soal tes ujian masuk. Hal ini dibuktikan dengan analisis bahwa mereka yang lulus hanya memiliki peluang 1,04 kali dibandingkan dengan mereka yang tidak lulus. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nadzirudin, dkk (2006) bahwa pencapaian indeks prestasi kumulatif mahasiswa sangat ditentukan oleh faktor internal berupa minat, motivasi berprestasi, dan IQ seseorang, bukan ditentukan dari kemampuan mengerjakan soal ujian masuk/seleksi masuk. Ada perbedaan signifikan mengenai persentase jumlah mahasiswa yang mendapatkan predikat kelulusan sangat memuaskan dan memuaskan yaitu 1:4. Bila merujuk data asli, tidak ada mahasiswa yang memiliki predikat dengan pujian atau cum laude. Di samping itu tidak ada pola tertentu yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai ujian sipensimaru, semakin tinggi pula indeks prestasi yang dicapai. Tidak adanya pola tertentu yang menduga keterkaitan hubungan positif maupun negatif antara nilai sipensimaru dan indeks prestasi, diduga karena masing-masing mahasiswa memiliki minat berbeda-beda untuk menjadi bidan. Menurut Reber (1988) dalam Syah (2006), minat kurang populer dalam psikologis karena memiliki banyak ketergantungan pada faktor internal seperti; pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Meskipun kurang populer dalam ranah psikologis, menurut Dalyono (1997) dalam Djamarah (2002) minat yang tinggi terhadap sesuatu cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi. Dari hasil wawancara langsung dengan subyek, diperoleh gambaran bahwa hanya 2025% mahasiswa yang betul-betul memiliki minat tinggi menjadi bidan. Rendahnya minat menjadi bidan menjadi problem tersendiri bagi institusi untuk lebih mempromosikan tujuan pendidikan DIII Kebidanan. Meskipun animo pendaftar tinggi, belum tentu mereka betul-betul berminat tinggi menjadi Bidan. Untuk menumbuhkan minat mahasiswa baru yang duduk di semester I, setiap pendidik harus selalu menyampaikan interkorelasi antar mata kuliah, menjelaskan kegunaan materi untuk masa depan setelah menjadi bidan, serta menggunakan metode mengajar yang atraktif dalam setiap pemecahan masalah, serta pengkondisian ketrampilan yang benar-benar dinikmati dan disenangi oleh para mahasiswa melalui pembelajaarn laboratorium klinik. Perkembangan dunia pendidikan menuntut setiap individu untuk berprestasi dengan baik. Prestasi akademik yang baik menjadi tolok ukur keberhasilan mahasiswa. Indeks prestasi (IP) merupakan indikator apakah mahasiswa mendapat predikat berprestasi atau tidak berprestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara IQ Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 175 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 dengan indeks prestasi dengan Odds Ratio 2,28 yang berarti bahwa mahasiswa dengan IQ di atas rata-rata berpeluang 2,28 dapat mencapai indeks prestasi ≥ 2,75. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan pernyataan Goleman (2000) bahwa kontribusi IQ dalam menunjang kehidupan seseorang tidak lebih dari 20% dan sisanya 80% berasal dari faktor lain yaitu emotional quotient (EQ). Kecerdasan emosi (emotional intelligence) mencakup kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengenal emosinya, mengelola emosinya, memotivasi diri, mengenal emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000). Nadziruddin, dkk (2006) melaporkan bahwa faktor internal memberikan kontribusi sangat besar terhadap pencapaian indeks prestasi kumulatif mahasiswa program sarjana keperawatan di Universitas Padjajaran Bandung. Megawangi (2006) juga menyatakan bahwa seseorang yang bisa lulus ke perguruan tinggi memiliki IQ berada di atas 120. Informasi ini didukung oleh penelitian para ahli yang menyebutkan bahwa faktor dominan yang menentukan prestasi seseorang adalah intelegensi (Widayatun; 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki IQ pada tingkat ratarata dan ada kecenderungan bahwa mahasiswa yang memiliki IQ di atas rata-rata, memiliki indeks prestasi di atas 2,75. Sebagian besar mahasiswa memiliki indeks prestasi sangat memuaskan. Seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata tetapi memiliki indeks prestasi di bawah rata-rata dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa dengan indeks prestasi rendah menggambarkan bahwa; mereka kebingungan mempersepsi makna kuliah, merasa kurang mampu beradaptasi dengan dunia kampus, kesulitan belajar karena mata kuliah yang benar-benar baru dan belum pernah diajarkan di sekolah lanjutan, mereka malas membaca, tidak ada motivasi untuk bersaing karena mereka merasa tidak minat kuliah di Kebidanan. Harus dicarikan solusi terhadap masalah di atas agar mereka termotivasi dan memiliki sikap positif terhadap kuliah di kebidanan. Menurut Suwardjono (2009); perbaikan interaksi dosen-mahasiswa, efektivitas proses belajar mengajar, temu kelas merupakan waktu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, pengembangan aspek ketrampilan teknis, pengembangan kepribadian, pengembangan aspek kejujuran, integritas, inovasi, kreativitas, kemampaun interaksi, dan kemampuan dalam berkelompok merupakan strategi motivasi dosen dalam meningkatkan minat mahasiswa. Persamaan Logit indeks prestasi sebagaimana hasil analisis regresi logistic menerangkan bahwa setiap kenaikan satu tingkat dari kategori penilaian IQ, maka indeks prestasi mahasiswa naik 0,825. Namun perlu disadari bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata (Husaini, 2009). Kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual juga memberikan andil yang justru lebih tinggi dalam memberikan kesuksesan pada seseorang. Kelemahan dalam penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel EQ dan SQ, sehingga kesuksesan mahasiswa dalam bidang akademik hanya diukur dari variabel IQ saja. Tentunya penelitian lanjutan yang perlu diperhatikan adalah mengetahui keterkaitan antara variabel sikap, minat, EQ, SQ, kepuasan dalam PBM terhadap indeks prestasi dirasa cukup relevan. Maka test psikotes masih diperlukan dan sangat relevan sebagai penentu lulus tidaknya calon mahasiswa diterima menjadi mahasiswa baru DIII Kebidanan. Hasil penelitian ini memberikan gambaran fakta nyata bahwa indeks prestasi mahasiswa utamanya di semester I sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual (IQ), minat, daya pikir Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 176 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 kongkrit, kepribadian, daya tangkap, kemampuan berhitung, penalaran, daya ingat, kemandirian, dan motivasi berprestasi. Kesemua variabel ini ada di dalam test psikologi. Maka test psikologi sangat dianjurkan untuk diberlakukan terus sebagai penentu keputusan calon mahasiswa diterima atau tidak selain test uji tulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat motivasi berprestasi dengan indeks prestasi; dengan Odds Ratio 0,64. Ini berarti mahasiswa dengan tingkat motivasi berprestasi di atas cukup memadai berpeluang 0,64 dapat mencapai indeks prestasi ≥ 2,75. Hal ini berbeda dengan laporan penelitian Hastuti D (2007) bahwa ada pengaruh motivasi berprestasi secara signifikan terhadap kreativitas belajar mahasiswa FKIP UNS Surakarta. Nadziruddin, dkk (2006) juga melaporkan bahwa motivasi berprestasi mahasiswa program sarjana keperawatan sangat mempengaruhi indeks prestasi. Nadziruddin juga melaporkan bahwa mahasiswa dengan IPK cum laude memiliki motivasi sangat tinggi. Menurut Syah (2006) motivasi berprestasi tinggi cenderung menghasilkan prestasi optimal. Perbedaan hasil penelitian ini terletak pada cara pengukuran variabel motivasi berprestasi. Pada kedua penelitian tadi, pengukuran variabel motivasi berprestasi pada awal semester dan tengah semester. Sedangkan pada penelitian ini, pengukuran motivasi berprestasi menyatu dengan psikotest, sehingga tingkat motivasi berprestasi pada penelitian ini cenderung masih murni (belum pernah mengikuti kegiatan belajar mengajar), belum merasakan sulit tidaknya belajar di perguruan tinggi, dan kesulitan lainnya. Namun rekomendasi hasil psikotest 97% dari 40 calon mahasiswa yang diterima semuanya disarankan masuk kuliah di Kebidanan. Hasil penelitian menggambarkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki motivasi berprestasi di atas cukup memadai dengan indeks prestasi lebih dari 2,75. Sebagian besar mahasiswa dengan motivasi berprestasi cukup atas (C+) atau relatif berkembang, tidak memiliki kecenderungan pencapaian indeks prestasi tertentu. Tidak adanya perbedaan indeks prestasi secara signifikan berdasarkan tingkat motivasi berprestasi, menurut Mc Clelland (1953) dipengaruhi oleh faktor hambatan dari dalam diri dan luar individu. Menurut Herman (1967) motivasi berprestasi sangat dipengaruhi oleh kecemasan seseorang. Dalam proses belajar mengajar, ada dua kecemasan yaitu; 1) facilitating anxiety; yaitu kecemasan yang menstimulasi aktivitas belajar, 2) debilitating anxiety yaitu kecemasan yang menghambat aktivitas belajar. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak mengikutsertakan analisis faktor kecemasan sebagai variabel antara terhadap motivasi berprestasi, sehingga diduga faktor kecemasan mahasiswa sebagai pemicu motivasi berprestasi tidak berhubungan secara bermakna dengan indeks prestasi mahasiswa. Menurut Djamarah (2002), keberadaan motivasi berprestasi pada diri mahasiswa cukup berpengaruh terhadap kemampuan intelektual, sehingga dosen hendaknya berupaya meningkatkan motivasi mahasiswa dengan cara; menciptakan suasana kelas yang kompetitif agar mahasiswa puas dalam belajar, menumbuhkan kesadaran mahasiswa untuk berpendapat agar mereka selalu merasa senang belajar dan menerima tugas sebagai tantangan untuk berprestasi. Menurut Mc Clelland ada beberapa karakteristik orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yaitu; 1) orang dengan n-Ach tinggi memilih untuk menghindari tujuan prestasi yang mudah atau sulit, mereka memilih sesuatu yang mereka pikir mampu mereka raih; 2) orang dengan n-Ach tinggi memilih umpan balik langsung dan dapat diandalkan mengenai bagaimana mereka berprestasi; 3) orang dengan n-Ach tinggi menyukai tanggung jawab Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 177 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 pemecahan masalah. Penelitian ini kurang mampu mengidentifikasi persentase mahasiswa dengan karakteristik di atas karena pengukurannya inklud dengan test psikologi. Dalam perkuliahan, motivasi berprestasi mahasiswa sangat penting karena dapat berfungsi sebagai; 1) motor penggerak belajar, 2) menentukan arah tujuan yang ingin di capai, 3) mampu menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan (Rivai, 2003). Untuk meraih prestasi yang baik harus ditanamkan motivasi dan keyakinan diri yang kuat (Marwaty, 2003). Sebagai solusi untuk mengatasi tujuh mahasiswa yang memiliki motivasi C- (perlu optimalisasi), maka diperlukan sosok dosen, pembimbing atau orang tua sebagai role model atau panutan bagi pengembangan diri mahasiswa. Oleh karena itu seyogyanya dosen atau pembimbing yang memberikan tutorial di semester I harus memiliki kemampuan, komitmen dan integritas tinggi. Mahasiswa dengan motivasi berprestasi di atas cukup memadai berpeluang 0,64 dapat mencapai indeks prestasi ≥ 2,75. Menurut Mc Clelland (dalam Rivai, 2003) motivasi berprestasi seseorang mulai muncul saat berusia 3,5 tahun dan pada usia dewasa justru lebih nyata. Oleh karena itu motivasi berprestasi mahasiswa yang kurang masih bisa ditingkatkan pada saat mereka mengikuti kegiatan perkuliahan di kampus. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang antara lain; 1) keluarga dan lingkungan sosial; pola asuh orang tua dan lingkungan sosial tempat mereka tinggal sangat mewarnai motivasi mereka untuk berprestasi, 2) konsep diri; seorang diri yang percaya diri atas kemampuan biasanya berpikir optimis untuk berprestasi sehingga mempengaruhi perilaku mereka, 3) jenis kelamin; banyak perempuan dengan motivasi berprestasi tinggi namun tidak berpenampilan seperti laki-laki, karena prestasi identik dengan maskulinitas, 4) pengakuan dan prestasi; seseorang akan bekerja keras apabila dipedulikan atau diperhatikan orang lain (Morgan, 1986; Fernald & Fernald, 1999; Eastwood, 1983; Siregar, 2006). Pengharapan akan sukses dan ketakutan akan kegagalan juga merupakan motif dasar seseorang untuk berprestasi (Monk, 1999). Dua fenomena menarik berkaitan dengan motivasi berprestasi dan indeks prestasi sebenarnya terdapat pada motif mahasiswa tentang manfaat kuliah. Apakah mereka kuliah untuk mendapatkan nilai IP bagus/cum laude atau mereka kuliah untuk tahu. Suwardjono (2008) menyatakan bahwa perkuliahan harus mementingkan proses bukan hasil. Nilai yang diperoleh oleh mahasiswa memang merupakan indikator kesuksesan dalam menempuh kuliah, tetapi bukan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dalam mengubah pengetahuan, perilaku dan sikap mahasiswa. Solusi atas permasalahan ini adalah pengendalian proses belajar mengajar menjadi perhatian utama jaminan mutu institusi pendidikan. Oleh karena itu harus ada persepsi yang sama antara dosen dan mahasiswa tentang tujuan perkuliahan atau tujuan belajar di perguruan tinggi. Meskipun hasil penelitian membuktikan tidak ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan indeks prestasi, tetapi kemandirian belajar sebagai motif dasar harus ditanamkan seorang dosen. Kemandirian belajar adalah hasil suatu proses pengalaman belajar itu sendiri. Kemandirian belajar harus dimulai sejak pertama kali mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Variabel motivasi untuk berprestasi sangat berkaitan dengan semangat dalam diri untuk belajar. Kalau proses belajar mandiri diciptakan dengan baik maka kuliah di perguruan tinggi akan mampu mengubah perilaku, pengetahuan, sikap dan ketrampilan mahasiswa. Maka dalam hubungan variabel motivasi berprestasi dengan capaian indeks prestasi sebenarnya Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 178 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 lebih dititik beratkan pada motif dasar individu mahasiswa untuk mandiri dalam belajar, bukan sekedar memperoleh nilai yang bagus. Nilai yang bagus tidak ada artinya bila tidak mampu mengubah pengetahuan, perilaku, sikap dan ketrampilan mahasiswa itu sendiri. Yang baik adalah motivasi untuk berprestasi merupakan tujuan memperoleh atribut sukses bagi seseorang. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, selanjutnya ditarik tiga simpulan sebagai berikut: 1. Nilai sipensimaru tidak berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa 2. IQ berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa 3. Motivasi berprestasi tidak berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa. Sesuai dengan simpulan penelitian, diajukan saran bahwa dalam Sipensimaru, psikotes sebaiknya dipertahankan sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII Kebidanan. DAFTAR PUSTAKA Azwar S, 2000. Test Prestasi. Yogjakarta, Pustaka Pelajar. Arikunto S, 1996. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Yogjakarta, Bumi Aksara. Bahri S, 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Jakarta, Rineka Cipta. Djamarah, SB.2002. Psikologi Belajar. Jakarta, Rineka Cipta. Depkes RI, 2007. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sipensimaru Diknakes. BPPSDM, Jakarta. Huanaini, A, 2008. Keseimbangan IQ, EQ dan SQ dalam Perspektif Islam. www.akhlaq.com. Akses tanggal 29 Nopember 2009. Hidayat S, 2006. Hubungan Minat Terhadap Profesi Guru dan Motivasi Berprestasi dengan Ketrampilan Mengajar. www.lemlit-unsulat.ac.id. Akses 25 Nopember 2009. Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya, 2007. Pedoman Akademik DIII Kebidanan. Surabaya. Kusumawardani P, 2006. Kontribusi Kecerdasan Emosi Terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa. www.usu.ac.id. Akses 25 Nopember 2009. Lembaga Psikologi Unair, 2007. Hasil Psikogram Mahasiswa Baru Prodi Kebidanan Magetan tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009. Surabaya. Mc.Clelland DC, 1953. The Achivement Motive. New York Appleton Century Crof. Megawangi R, 2007. Pendidikan Berbasis Karakter. www.xl.co.id. Akses 27 Pebruari 2007. Prodi Kebidanan Magetan, 2008; 2009. Print Out Nilai Sipensimaru Diknakes Jurusan Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan. -------------------------------------, 2008;2009. Daftar Nilai Semester I Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009. Suryabrata S, 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Rineka Cipta, Jakarta. Suciati, Irawan P, 2005. Teori Belajar dan Motivasi. PAU-PPAI-UT, Jakarta. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 179 Vol.I No.2 April 2010 ISSN: 2086-3098 Suwardjono, 2004. Motivasi Berprestasi Mahasiswa Ditinjau dari Pola Asuh. www.usu.ac.id. Akses 25 Nopember 2009. Zainul AN, 2005. Penilaian Hasil Belajar. PAU-PPAI-UT, Jakarta Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 180