volume1 nomor2 - Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

advertisement
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
EDITORIAL
Pada penerbitan Volume I Nomor 2 ini, Dewan Redaksi menyampaikan rasa terimakasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan, menulis hasil
penelitian ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang
kesehatan. Harapan kita semoga seluruh dukungan, bantuan yang sangat berarti untuk
menuju inovasi bidang penelitian semakin nyata, guna meningkatkan pencerahan ilmu yang
berkualitas.
Pada publikasi kedua ini ditampilkan limabelas judul penelitian kesehatan dengan
penambahan variasi tema yaitu dalam bidang profesi analis kesehatan di samping bidangbidang lain yang telah muncul pada edisi perdana yaitu pendidikan kesehatan, manajemen
kesehatan, kebidanan, keperawatan, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan serta
kesehatan masyarakat. Tentu saja hal di atas menjadi sumber kegembiraan bagi kita semua.
Kami ucapkan terimakasih kepada para kontributor naskah ilmiah, khususnya rekan-rekan dari
Prodi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Malang dan Jurusan Analis
Kesehatan Poltekkes Depkes Surabaya yang telah turut serta melengkapi isi jurnal ini baik dari
segi kuantitas maupun kualitas. Rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada para pembaca
yang telah memberikan kepercayaan kepada jurnal ini sebagai sumber informasi penelitian
kesehatan, semoga pada tahap-tahap berikutnya dapat memberikan sumbangsih yang
semakin berarti bagi perkembangan dunia kesehatan di tanah air kita.
Guna menjadikan sebuah jurnal penelitian kesehatan yang terus eksis dan berkembang, maka
Dewan redaksi senantiasa membuka kesempatan kepada sejawat dan praktisi kesehatan,
para dosen, untuk berperanserta secara aktif dalam pemuatan hasil penelitian.
Redaksi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
1
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
DAFTAR ISI
Resiko Terjadinya Gejala Klinis Campak Pada Anak Usia 1-14 Tahun Dengan Status
Gizi Kurang dan Sering Terjadi Infeksi di Kota Kediri
Suwoyo, Kokoeh Hardjito, Siti Asiyah
Pengaruh Kadar Zat-Zat Terlarut di Dalam Air Bersih Terhadap Perkembangan Nyamuk
Aedes aegypti Pra Dewasa
Diah Titik Mutiarawati
Peran Instalasi Pengolah Air Limbah Domestik Untuk Memperbaiki Kualitas Air Limbah
Karno
Efektifitas Metode Stimulai Satu Jam Bersama Ibu Terhadap Perkembangan Anak Usia
12-24 Bulan
Siti Asiyah, Koekoeh Hardjito, Suwoyo
Pengaruh Penyimpanan Urin Kultur Pada Suhu 2oC-8oC Selama Lebih Dari 24 Jam
Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Dwi Krihariyani
Studi Tentang Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan
Karno
Perbedaan Perilaku Menjaga Personal Hygiene Saat Menstruasi Pada Remaja Putri
Antara Sebelum dan Sesudah Pemberian Penyuluhan Tentang Pendidikan Kesehatan
Reproduksi
Koekoeh Hardjito, Suwoyo, Siti Asiyah
Kinerja Sanitarian Lapangan Dalam Menurunkan Angka Kejadian DBD di Magetan
Budi Yulianto
Hubungan Antara Motivasi Stimulasi Toilet Training Oleh Ibu Dengan Keberhasilan Toilet
Training Pada Anak Prasekolah
Subagyo, Ani Sulasih, Siti Widajati
Evaluasi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap Pelayanan Antenatal Care dan Persalinan di
Poskesdes Kabupaten Magetan
Hery Sumasto, Nuwening Tyas Wisnu, Nuryani
Hubungan Antara Kejadian Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Sepsis Neonatorum di
Rumah Sakit Daerah Kabupaten Madiun Tahun 2004-2007
Sunarto, Dwi Umiyati, Nurlailis Saadah
Perbedaan Kekeruhan Air Sumur Gali Antara Sebelum dan Sesudah Pemberian Biji
Kelor
Sri Sulami Endah Astuti
Pengaruh Pemberian Balikan dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Dalam
Merawat Payudara Ibu Hamil
Tumirah
Analisa Kadar Klorida pada Kantong Teh Celup Serta Pengaruhnya Terhadap Mutu Teh
Santi Setiorini, Handoyo
Pengaruh Nilai ujian Masuk, IQ dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Hasil Belajar
Mahasiswa
Suparji, Sunarto, Heru Santoso Wahito Nugroho
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
88-95
96-99
100-104
105-114
115-119
120-124
125-129
130-135
136-140
141-148
149-153
154-158
159-164
165-168
169-180
2
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
RESIKO TERJADINYA GEJALA KLINIS CAMPAK PADA ANAK USIA 1-14 TAHUN
DENGAN STATUS GIZI KURANG DAN SERING TERJADI INFEKSI DI KOTA KEDIRI
Suwoyo*, Koekoeh Hardjito*, Siti Asiyah*
ABSTRACT
Measles is infection disease caused by measles virus, which attacking many children.
The other health problem in child is infectious disease. Infectious disease often concomitance
with nutritional status. The frequent of child get infectious disease or under nutrition status
is the risk of measles.
The objective of this study was to analyse the level of measles risk at children 1-14 years
old with under nutritional status and their experience of other infectious disease frequency.
This study was observasional analytic using case control design. Case group in this research
is children 1-14 years old with measles symptoms and control group is children 1-14 years old
which do not suffer measles. hey were examined of serum albumin to determine the
nutritional satus of Children. Meanwhile Ig M of measles was examined for the case group
only. The research traces the record of other infectious diseases might be suffered by the
members of both groups in the last three months. Data was collected by interview and
observation. Data was analyzed by Chi square test with significantly level < 0.05.
Result, there was not significant correlation between clinical measles with nutritional
status, but there was significant correlation between clinical measles and frequency of other
infectious disease. Result of risk test show that children which often get frequent other
infectious disease have risk 2 times higher to happened measles than children which rarely get
other infectious disease . All of the clinical measles cases didn’t have IgM for measles, but 9
cases among them have IgM positive for rubella
Conclusion, the frequency of other infectious disease in children can increase the risk for
the children to suffer measles. The high content of albumin in the blood serum does not
guarantee that the children are safe from mesales. Laboratory Ig M of measles check up
must be done for children with clinical measles symptoms to confirm the diagnosis. Sugestion,
government should carry out the rubella immunization to prevent this disease to the children.
Keywords : clinical measles, nutritional status, infection frequency
*: Program Studi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Campak adalah salah satu penyakit infeksi yang banyak menyerang anak-anak. Angka
kejadian campak di dunia masih cukup tinggi, yaitu 30.000.000 orang setiap tahun. Pada
tahun 2002 dilaporkan 777.000 orang meninggal akibat campak di seluruh dunia. Di negara
ASEAN terdapat 202.000 orang meninggal akibat campak, dan 15% (30.300) orang di
antaranya dari Indonesia. Pada tahun 2005 dilaporkan terjadi 345.000 kematian di seluruh
dunia akibat campak, dan berdasarkan laporan rutin dan kejadian luar biasa (KLB) kasus
campak di Indonesia antara tahun 2002-2005 terdapat 30.000 anak meninggal akibat campak
(Depkes R.I, 2007). Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2001, insiden
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
88
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
campak berdasarkan kelompok umur kurang dari 1 tahun 9 per 10.000 penduduk, antara 1-4
tahun 7,4 per 10.000 penduduk dan antara 5-14 tahun 3,4 per 10.000 penduduk.
Angka kejadian campak di Jawa Timur berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Timur tahun 2006 terdapat 1548 kasus yang tersebar di tiga kabupaten dan kota yaitu,
Surabaya (579 kasus), Sidoarjo (514 kasus), dan Kabupaten Kediri (455 kasus) (Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2008). Kasus campak di Kota Kediri, berdasarkan laporan
rutin dari 46 Puskesmas yang ada pada tahun 2007 tercatat 58 kasus. Jumlah kasus tersebut
berdasarkan kelompok usia adalah sebagai berikut: 3 kasus pada kelompok kurang dari satu
tahun, 12 kasus kelompok umur 1-4 tahun, 37 kasus kelompok umur 5-9 tahun, dan 6 kasus
kelompok umur 10-14 tahun. Jumlah kasus terbanyak terjadi pada bulan September yaitu 28
kasus. Data hasil surveilan campak di Dinas Kesehatan Kota Kediri meliputi nama penderita,
umur, jenis kelamin, nama orang tua dan alamat orangtua, serta sumber informasi kasus
campak tersebut terjadi. Variabel lain yang terkait dengan kejadian campak seperti
antropometri, status gizi anak, dll. belum dilaporkan. Angka kejadian campak di Kota Kediri ini
mengejutkan, bila dibandingkan dengan pencapaian imunisasi yang telah melebihi target
nasional 80%. Imunisasi campak pada anak dapat memberikan kekebalan seumur hidup.
Anak-anak yang sedang tumbuh umumnya mengalami lebih dari 100 macam infeksi
sebelum dewasa. Mikroorganisme patogen, termasuk virus, bakteri dan parasit lain dapat
menginvasi manusia untuk memulai infeksi. Angka kejadian penyakit infeksi di Indonesia
masih tinggi dengan berbagai jenis penyakit infeksi yang telah dikenal. Penyakit infeksi yang
banyak menimbulkan kematian di Indonesia adalah infeksi saluran nafas atas, komplikasi
perinatal dan diare. Penyakit tersebut memberikan kontribusi 75% kematian anak di Indonesia
(Sampurno, 2007). Angka kejadian penyakit infeksi di Jawa Timur cukup tinggi, yang
dibuktikan dengan ditemukannya penderita TBC sebanyak 79.658 orang, pneumonia 114.858
orang, diare 837.724 orang, dan berbagai penyakit infeksi lain (Profil Kesehatan Profinsi Jawa
Timur, 2006). Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Kediri, penyakit infeksi
pada anak mencapai 60% dari seluruh penyakit yang ada. Permasalahan penyakit anak di
Indonesia selain penyakit infeksi adalah kasus gizi buruk.
Pemantauan rutin oleh pemerintah melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi buruk
yang dilaporkan dari Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit semakin meningkat. Pada tahun 2005
di Indonesia diduga terdapat 5 juta anak menderita gizi kurang 1,5 juta di antaranya menderita
gizi buruk. Di antara penderita gizi buruk tersebut, 150.000 anak menderita gizi buruk berat
yaitu marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor (Sampurno,2007). Komite
Penanganan Kemiskinan (KPK) Pemerintah Propinsi Jawa Timur memprediksikan 50.072
balita mengalami gizi buruk. Prediksi ini berdasarkan survei pemantauan gizi buruk oleh Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan survei tersebut, prevalensi balita gizi buruk
Jawa Timur 1,7% (50.072 anak ) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2005). Hasil
pemantauan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Kediri pada tahun 2007 dari 14.697
balita yang ditimbang didapatkan 84,75% mengalami gizi baik, 9,07% gizi sedang, 1,64% gizi
kurang dan 0,09% gizi buruk. Permasalahan gizi buruk ini bila tidak dilakukan penanggulangan
segera dapat mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
89
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
1. Mempelajari diagnosis kejadian gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun,
2. Menganalisis besarnya resiko terjadi gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, pada
anak berstatus gizi kurang
3. Menganalisis besarnya resiko terjadi gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, pada
anak yang menderita penyakit infeksi lain
4. Menganalisis besarnya resiko terjadi gejala klinis campak pada anak usia 1-14 tahun, pada
anak berstatus gizi kurang dan menderita penyakit infeksi lain secara bersama-sama.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan di wilayah Dinas Kesehatan Kota Kediri pada tanggal 1
Januari 2008 sampai dengan 30 Juni 2008 ini menggunakan rancangan case control untuk
mempelajari hubungan antara status gizi dan frekuensi terkena penyakit infeksi pada anak
usia 1-14 tahun dengan kejadian campak. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua
anak usia 1-14 tahun yang menderita campak dan berdomisili di Kota Kediri, sedangkan
populasi kontrol adalah semua anak usia 1-14 tahun yang tidak menderita campak dan
berdomisili di Kota Kediri. Sampel kasus adalah anak usia 1-14 tahun yang menderita campak
yang berdomisili di Kota Kediri dengan ibu yang bersedia diwawancarai dan anaknya boleh
diperiksa, sedangkan sampel kontrol adalah anak usia 1-14 tahun yang tidak menderita
campak yang berdomisisli di Kota Kediri dengan ibu yang bersedia diwawancarai dan
anaknya boleh diperiksa. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling.
Status gizi dan frekuensi kejadian infeksi pada anak adalah variabel independen,
sedangkan kejadian campak pada anak adalah variabel dependen. Definisi operasional dari
masing-masing vaiabel ditampilkan pada Tabel 1. Data tentang umur, frekuensi terkena
penyakit infeksi, dan imunisasi campak diambil dengan cara menggunakan kuesioner pada
saat kunjungan rumah oleh peneliti, sedangkan data tentang status gizi diambil dengan cara
pemeriksaan antropometri pada waktu kunjungan rumah dan ditegakkan dengan
pemeriksaan albumin di laboratorium. Spesimen untuk pemeriksaan albumin serum diambil
oleh peneliti pada saat kunjungan rumah.
Variabel
Status gizi
Frekuensi
terkena
penyakit
infeksi
Kejadian
campak
Tabel 1. Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional
Parameter
Cara dan hasil
pengukuran
Kandungan gizi anak yang
Pengukuran
Brilian Cresyil Green
ditunjukkan dengan kecukupan
kadar albumin < 3,3 mg/dl (gizi kurang)
kadar albumin dalam serum
dalam serum 3,5–4,8 mg/dl (gizi baik)
darah
darah
> 4,8 mg/dl (gizi lebih)
Jumlah kejadian penyakit infeksi Kekerapan
Kuesioner
yang dialami anak dalam tiga
terpapar
≥ 3X/3bl=sering
bulan terakhir dan sudah
infeksi lain
< 3X/3bl=jarang
dinyatakan sembuh, sebelum
dalam tiga
terkena penyakit campak saat ini. bulan terakhir
Serangan penyakit campak pada Gejala klinis
kuesioner
anak yang ditunjukkan dengan
penyakit
gejala klinis penyakit campak
campak
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Skala
Data
Nominal
Nominal
Nominal
90
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pengumpulan data dilakukan melalui pemeriksaan klinis penderita campak, dan
pengambilan serum darah untuk pemeriksaan IgM campak serta pemeriksaan protein albumin
dalam serum darah. Selama 6 bulan dilakukan pengamatan terhadap 21 anak yang menderita
campak dan 21 anak yang tidak menderita campak sebagai kontrol. Berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium dari 21 serum darah responden dengan gejala klinis campak
didapatkan hasil IgM campak negatif pada semua responden. Karena gejala klinis penyakit
campak ini menyerupai gejala klinis Rubela, maka peneliti mengadakan pemeriksaan
laboratorium yang dilanjutkan pada pemeriksaan IgM Rubela. Pada 21 serum darah
responden, didapatkan IgM Rubela positif sebanyak 9 responden.
Tabel 2. Diskripsi Jenis Kelamin, Umur, Kadar Albumin dan Frekuensi Kejadian Infeksi
Campak
n
%
Status Responden
Jenis Kelamin:
Laki-laki
Perempuan
1 – 5 tahun
6 – 10 tahun
11 – 14 tahun
Baik
Lebih
< 3 X / 3 bulan
≥3 X / 3 bulan
Umur:
Status gizi:
Frekuensi infeksi:
13
8
5
9
7
5
16
0
21
62
38
24
42
34
23,8
76,2
0
100
Tidak Campak
n
% Total
12
9
0
8
13
4
17
5
16
58
42
0
38
62
19
81
23.8
76.2
25
17
5
17
20
10
32
22
20
Hasil analisis deskriptif untuk jenis kelamin, umur, kadar albumin dan frekuensi kejadian
infeksi dalam 3 bulan terakhir (Januari–Juni 2008) di Kota Kediri dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar penderita campak adalah laki-laki (62%).
Sebagian besar penderita campak (81%) mempunyai kadar albumin lebih.
Gambar 1 menampilkan kadar albumin lebih dan normal menurut jenis kelamin.
A
L
B
U
M
I
N
10
8
Laki-laki
6
Perempuan
4
2
0
Lebih
Normal
Gambar 1. Kadar Albumin Menurut Jenis Kelamin Anak yang Terserang Campak
Frekuensi terjadinya infeksi pada anak yang menderita campak dan tidak menderita
campak menurut jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa
42 (100%) anak pernah menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada tiga bulan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
91
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
terakhir dan tidak ada (0%) responden yang menderita Dengue Hemoragie Fever (DHF).
Tampak pula bahwa gejala klinis TBC pernah dialami oleh 21 (50%) responden.
Jenis
Penyakit
Diare
TBC
DHF
ISPA
Tonsilitis
Tabel 3. Frekuensi Kejadian Penyakit Infeksi pada Anak 1–14
Jenis Kelamin
Umur
Laki-laki Perempuan
1 – 5 Th
6 – 10 Th
11–14 Th
Ɖ
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
8
50
8
50
16
2
12
6
38
8
50
13
62
8
38
21
5
24
9
42
7
34
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25
60
17
40
42
5
12
17
40
20
48
2
40
3
60
5
1
20
2
40
2
40
Ɖ
16
21
0
42
5
Hasil uji chi square (Tabel 4) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi
dengan gejala klinis campak (p = 1,00). Hasil uji chi square (Tabel 5) menunjukkan bahwa ada
hubungan antara frekuensi kejadian infeksi dengan gejala klinis campak (p = 0,048). Besarnya
resiko gejala klinis campak pada anak yang sering mengalami infeksi adalah dua kali lipat jika
dibandingkan dengan anak yang tidak sering mendapatkan infeksi.
Tabel 4. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Gejala Klinis Campak
Status Gizi
Campak
Tidak Campak
Total
Baik
5 (23,8%)
4 (19,2%)
9 (21,4%)
Lebih
16 (76,2%)
17 (81,0% )
33 (78,6%)
total
21 (100%)
21 (100%)
42 (100%)
P = 1,00
OR = 0,753
95% CI = 0,171-3,312
Tabel 5. Hubungan Antara Frekuensi Kejadian Infeksi Dengan Kejadian Klinis Campak.
Status Gizi
Campak
Tidak Campak
Total
Sering
21 ( 100% )
16 ( 6,2 % )
37 ( 88,1% )
Tidak sering
0(0%)
5 (23,8% )
5 (11,9%)
total
21 (100%)
21 (100%)
42 (100%)
P = 0,048
OR = 2,213
95% CI = 1,599-3,345
Pembahasan
Serum darah yang diambil, selain dilakukan pemeriksaan IgM campak juga dilakukan
pemeriksaan protein albumin untuk menilai status gizi anak. Pemeriksaan kadar albumin
dalam serum darah ini dilakukan pada 21 responden sebagi kasus dan 21 responden sebagai
kontrol. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan didapatkan hasil kadar protein serum
dengan nilai normal dan protein serum lebih. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi pada 42
responden tersebut baik. Keadaan ini dapat terjadi karena 80% responden berusia 6-14 tahun,
yaitu masa sekolah. Anak usia sekolah memiliki pola makan yang selalu ingin mencoba jenis
makanan baru, pemberian makanan dalam bentuk junk food baik di rumah maupun di sekolah.
Makanan tersebut banyak mengandung gula, garam, lemak dan kolesterol, dan kebutuhan
tinggi kalori pada anak memicu tingginya kadar albumin serum (Muscari , M,2001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan
gejala klinis campak. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi anak tidak cukup mampu untuk
melawan infeksi virus. Pertahanan tubuh terhadap infeksi virus memerlukan pertahanan yang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
92
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
bersifat spesifik, sedangkan protein serum merupakan pertahan tubuh yang bersifat non
spesifik. Kekebalan terhadap infeksi virus didasarkan pada pembentukan respon imun
terhadap antigen khusus yang terletak pada permukaan partikel virus atau sel yang terinfeksi
oleh virus. Virus akan menimbulkan respon jaringan yang berbeda dari respon terhadap
bakteri pathogen. Pada infeksi virus akan terjadi infiltrasi sel berinti satu dan limfosit. Protein
yang disandikan oleh virus, biasanya protein kapsid, merupakan sasaran dari respon imun. Sel
yang terinveksi oleh virus dapat menjadi lisis oleh limfosit T sitotoksik yang mengenali
polipeptida-poipeptida virus pada permukaan sel. Imunitas humoral akan melindungi inang
terhadap infeksi ulang oleh virus yang sama (Jawetz, Melnick, Aldelberg’s, 2001).
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi kejadian infeksi dengan
gejala klinis campak, yang berarti bahwa anak yang sering terkena penyakit infeksi akan lebih
mudah terkena penyakit dengan gejala klinis campak. Penyakit infeksi akut dapat
meningkatkan metabolisme dan konsumsi oksigen tubuh. Sel-sel hati dan limfoid secara cepat
meningkatkan tingkat sintesis proteinnya yang diperlukan untuk mekanisme defensif tuan
rumah dan mempercepat proliferasi sel-sel fagositik dan limfoid. Peningkatan anabolisme dan
katabolisme terjadi secara simultan, namun mekanisme katabolik terjadi lebih hebat, sehingga
banyak cadangan nitrogen dan lemak yang dikeluarkan selama terjadi infeksi. Seseorang yang
sering mengalami infeksi akan mengakibatkan cadangan nitrogen dan lemak akan semakin
tipis (Linder, Maria, C,1992). Resiko kejadian campak pada anak yang sering terkena infeksi
adalah dua kali lipat jika dibandingkan anak yang tidak sering mengalami infeksi. Hal ini
terjadi karena anak yang tidak sering infeksi mempunyai cadangan nitrogen dan lemak yang
lebih banyak. Anak yang sering mengalami infeksi akan terjadi proses katabolisme yang lebih
cepat. Kesanggupan tubuh untuk merespon reaksi radang tergantung dari pada ketersediaan
energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan metabolisme seluler dan mekanisme yang
dibutuhkan untuk kehilangan panas. Kedua faktor tersebut akan terganggu oleh malnutrisi
umum. Kesanggupan menghasilkan dan mempertahankan reaksi peradangan sangat penting
dalam pertahanan tubuh. Respon ini merupakan reaksi yang sangat kompleks, yang
memerlukan perubahan-perubahan lokal dalam aliran darah, infiltrasi leukosit, akumulasi zatzat mediator yang berasal dari protein plasma. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa cadangan nutrisi yang kurang dalam tubuh dapat berpengaruh negatif pada
reaksi peradangan (Linder, C, Maria, 1992).
Keterbatasan pada penelitian ini adalah bahwa pengambilan darah pada responden
dilakukan setelah fase penyembuhan sehingga asupan nutrisi responden sudah mulai
membaik. Perbaikan asupan tersebut memungkinkan kadar albumin darah menjadi normal.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ditarik simpulan yaitu: 1) gejala klinis penyakit campak yang
ditemukan, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorum menunjukkan penyakit rubella, 2) tidak
ada hubungan antara status gizi dengan gejala klinis campak, 3) ada hubungan antara
frekuensi kejadian infeksi dengan gejala klinis campak, 4) anak yang sering mengalami infeksi
lain mempunyai resiko 2 kali lipat untuk terkena gejala klinis campak.
Berdasarkan simpulan disarankan: 1) menegakkan diagnosis penyakit campak secara
klinis saja belum cukup, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium, 2) perlu vaksinasi rubella
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
93
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
pada anak, selain vaksinasi campak, 3) karena banyaknya penyakit infeksi pada anak,
diperlukan peningkatan pemahaman kepada orang tua tentang gejala klinis, faktor-faktor yang
mempengaruhi, penanggulangan, dan pencegahan penyakit infeksi pada anak, 4) perlu
penyegaran bagi petugas di lapangan melalui pelatihan tentang pengkajian klinis campak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Syafii. 2007. Indonesia Health Profile. Jakarta: Ministry of Health Republic of
Indonesia
Arisman, MB. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan, Jakarta : EGC
Aritonang. 1996. Pemantauan Pertumbuhan Balita Petunjuk Praktis Menilai Status Gizi dan
Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius
Bres, 1995. Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat pada Kejadian Luar Biasa. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Brown, R E. Interaction of Nutrition and Infection
in Clinical Practice,
http://www.nchi.mlm.n.h.gov/pubmed/403498 (Diakses 21 Pebruari 2008)
Chin, James. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular . Jakarta : Infomedika
Danendro. 2004. Demam Campak. http://www.yankes,go.id/html (Diakses 21 Pebruari 2008)
Depkes RI. 2004. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Ditjen Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat
Depkes RI. 1991. Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Wabah. Jakarta: Direktorat Jendral
PPM & PLP
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2008. Penyakit Menular yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi, http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html?news-id=492
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2008. Lembaga Perlindungan Anak Tanggapi
Tingginya Balita Gizi Buruk. http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html?news –id=124
Guyton, C, Arthur, 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC
Handojo, Indro. 2003. Pengantar imunoasai dasar. Surabaya : Airlangga University Press
Hasan, Hayatee. 2006. Health Campaign to Protect Indonesian Children Succesfully
Completed. http://www.redcross,org/pres.release/0,1077,0-314-7159,00html (Diakses 21
Pebruari 2008)
Hunardja. 2002. Buku Pegangan Pediatri,.Jakarta: Widya Medika
Jawetz, Melnick, Alderberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika
Lemesho, Stanley.1997.Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Linder, Maria C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI- Press
Markum. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: UI- Press
Murray, K, Robert. 1999. Biokimia Harper. Jakarta: EGC
Muscari, Mary, 2001, Advanced Pediatric Clinical Assessment, New York, Philadelpia,
Lippincolt
Nanan R. 2008. Measles Virus Infection Causes Transient Depletion of Activated t Cells From
Peripheral Circulation. http://cat.inist.fr/?a modele=affi Che N& cpsidt: 1847461(Diakses
21 Pebruari 2008)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
94
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Narendra, Moersintowati , B (dkk). 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:
Sagung Seto
Nelson. 2003. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
Notobroto, Basuki, Hari. 2007. Penghitungan Besar Sampel dalam Materi Pelatihan Teknik
Sampling dan Penghitungan Besar Sampel. Surabaya: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat UNAIR
Rampengan dan Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta: EGC
Ranuh I.G.N, dkk. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Rudolph , A. 2006. Buku Ajar Pediatri. Jakarta: EGC
Rusepno. Hasan . 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Universitas Indonesia
Samik ,Wahab. 2006. Buku Ajar Pediatri. Jakarta: EGC
Sardjito. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara
Sampurno. 2007. Wajah Kesehatan Indonesia. http://strategic-manage.com/?p=40
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
95
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PENGARUH KADAR ZAT-ZAT TERLARUT DI DALAM AIR BERSIH
TERHADAP PERKEMBANGBIAKAN NYAMUK AEDES AEGYPTI PRA DEWASA
Diah Titik Mutiarawati*
ABSTRACT
The existence of Aedes Aegypti in some area is the indicator of the Aedes Aegypti
population in that area. Surabaya is the one of endemic cities for dengue fever, because this
disease is always found along year.
This research aimed to find the content effect of dissolved substances in well water
against Aedes Aegypti mosquito breeding in pre-adult period. The charactertistics of the well
water are pH, turbidity, calcium content, Fe content dan total dissolved substances, in water
well is predicted that may affect the growth and breeding Aedes Aegypti in pre-adult period.
The research was done with water well sample collecting in 3 dengue fever endemic
areas. The water well was put in 9 containers, that were given 15 Aedes Aegypti eggs each
container and observed the growth of mosquitoes in pre-adult period and as control was used
PDAM water. Besides that composition of well water was checked in laboratory by using
parameters such as pH, turbidity, calcium content, Fe content and total dissolved substances
againts Mosquito’s pupa growth, the result of Anova analysis among endemic areas couldn’t
find significant difference.
Well water has been proved as the potential place for breeding of Aedes Aegypti
mosquito, because well water still have micro bacteria and Micro organism with higher content
than PDAM water that has been given chlorate.
Keywords : pupa, pH, turbidity, calcium content, Fe content and total dissolved substances
*: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Di Indonesia, vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) yang penting adalah nyamuk
Aedes aegypti (vektor utama), Aedes albopictus dan Aedes scutellacis. Demikian juga di Kota
Surabaya, vektor utama adalah Aedes aegypti (Lawuyan S, 1996). Pengendalian perindukan
Aedes aegypti lebih dititikberatkan pada penutupan dan abatisasi bak mandi, dan penguburan
barang buangan di sekitar rumah yang dapat menampung air hujan. Sedangkan
penampungan air hujan belum mendapat perhatian, padahal peluang menjadi habitat Aedes
aegypti cukup besar, seperti tempat minum burung, pot bunga, pelepah daun dan sumur.
Meskipun sumur merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi sebagian besar
penduduk, tetapi sumur juga perlu diwaspadai sebagai tempat perindukan vektor DBD. Dalam
daur hidup nyamuk diperlukan dua lingkungan yaitu air dan di luar air (darah atau udara).
Stadium pra dewasa (telur, larva, dan pupa) hidup di lingkungan air dan stadium dewasa di
luar air. Aedes aegypti menyukai penampungan air jernih dan terlindung dari sinar matahari
langsung sebagai tempat perindukannya. Penampungan air seperti itu umumnya banyak
dijumpai di rumah dan sekitarnya. Air bersih yang ditampung oleh penduduk berasal dari
berbagai sumber, seperti air hujan, ladang, dan sumur. Aedes aegypti lebih tertarik untuk
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
96
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
meletakkan telur pada penampungan air yang berwarna gelap, terbuka lebar, terutama yang
terlindung dari sinar matahari (Anonim, 1990).
Yoyo R dkk (2000) menyimpulkan bahwa air sumur adalah habitat terpenting bagi Aedes
aegypti. Karakteristik air sumur antara lain pH, kekeruhan, kesadahan, kandungan Fe (besi)
dan bahan terlarut (total dissolved) diduga bisa mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangbiakan larva Aedes aegypti. Hidayat C dkk (1997) dalam penelitiannya tentang
pengaruh pH air perindukan terhadap perkembangbiakan Aedes aegypti melaporkan bahwa
pada pH air perindukan 7, lebih banyak didapati nyamuk daripada pH asam atau basa.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Populasi penelitian pra eksperimental ini adalah air sumur gali dan sumur pompa di
Kecamatan Tambaksari Surabaya. Sampel 9 sumur diambil secara simple random sampling
dari daerah endemik ringan, sedang dan berat, masing-masing 3 sumur dengan 3 perlakuan
(rumus Federer). Lalu dilakukan pemeriksaan kimia terhadap air sumur serta pemberian telur
nyamuk pada masing-masing sumur tersebut. Sebagai kontrol dipakai air PDAM Surabaya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Sembilan air sumur gali dan air PDAM masing-masing diberi 15 telur nyamuk, kemudian
dieramkan pada suhu kamar sampai hari ke 14. Selanjutnya terjadi pertumbuhan nyamuk pra
dewasa dalam bentuk pupa. Rincian hasil penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan Nyamuk Pada Masing-Masing Sampel Air
∑
∑ jentik ∑ pupa
Kelompok
TDS Kekeruhan Kesadahan Besi
pemberian hari ke hari ke pH
air sumur
(ppm)
(NTU)
(ppm)
(ppm)
telur
3-4
12-14
1.1.
15
8
5
7,21 121,87
1,29
337,15
0
2.
15
7
2
7,18 99,60
0,29
561,92
0
3.
15
11
2
7,09 101,95
0,55
348,58
0
II.4.
15
6
10
7,14 118,05
1,34
360,01
0
5.
15
10
10
7,08 101,94
0,49
241,91
0
6.
15
2
2
7,30 117,53
0,84
340,96
0
III.7.
15
7
5
7,11 114,8
0,66
325,72
0
8.
15
8
8
7,02 105,87
0,90
346,67
0
9.
15
10
7
7,09 109,56
0,91
300,96
0
Kontrol (PDAM)
15
4
0
Keterangan :
Kelompok I : Daerah dengan kasus demam berdarah tinggi, Kelurahan Gading
Kelompok II : Daerah dengan kasus demam berdarah rendah, Kelurahan Tambaksari
Kelompok III : Daerah dengan kasus demam berdarah sedang, Kelurahan Pacarkembang.
Menurut Permenkes RI No 416/Menkes/Per/IX/1990, batas maksimal kandungan dalam air bersih
adalah: pH: 6,5-9, TDS: 1500 ppm, kekeruhan: 25 NTU, kesadahan: 500 ppm dan Besi: 1,0 ppm.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium, kandungan zat dalam air sumur pada daerah
terpilih masih dalam batas yang diijinkan. Terdapat perbedaan bermakna mengenai jumlah
pupa antara air sumur dengan kontrol. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif dan uji
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
97
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
normalitas data (One-sample Kolmogorou-Smirnov test) yang ditampilkan pada Tabel 2. Dari
tabel tersebut terlihat bahwa data homogen (karena nilai SD tidak melebihi reratanya) dan
semua data dinyatakan normal sehingga memenuhi syarat untuk uji regresi linier dan Anova.
Tabel 2. Analisis Deskriptif dan Uji Normalitas Data
Uji Deskriptif
∑ pupa
Kekeruhan
pH
Kesadahan
Rerata
5,6667
0,8078
7,1356
351, 5422
SD
3,2787
0,3523
0,0835
86,5496
Uji Normalitas
Sig (2 tailed)
0,858
0,969
0,944
0,220
TDS
110,1300
8,2194
0,949
Uji regresi linier ganda dengan metode Enter, dilakukan untuk semua parameter air
sumur terhadap jumlah pupa pada hari ke 12-14, dengan signifikansi 0,340, artinya H0 diterima
atau tidak ada pengaruh kandungan air sumur terhadap jumlah pupa.
Uji Anova dilakukan untuk melihat adanya perbedaan antar kelompok daerah endemik
ringan, sedang, dan berat. Nilai signifikansi untuk jumlah pupa, pH, TDS, kekeruhan dan
kesadahan masing-masing 0,239; 0,319; 0,827; 0,857 dan 0,324. Hasil data di atas
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada tiap-tiap kelompok.
Pembahasan
Air sumber daerah endemik DBD rendah, sedang, dan tinggi di Kota Surabaya
mempunyai pH 7,02–7,30 yang bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes
RI No 416/Menkes/Per/IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Kisaran pH tersebut
merupakan pH 6,0–7,5 (Hidayat, 1997), sehingga air sumur merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan nyamuk dari segi pH. Kadar pH 7,02-7,30 tidak berpengaruh terhadap
jumlah pupa. Hal ini mungkin disebabkan oleh range pH terlalu sempit.
Kekeruhan air sumur daerah endemik DBD rendah, sedang dan tinggi di Kota Surabaya
berkisar 0,29–1,34 NTU, bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes RI No.
416/Menkes/Per IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Uji regresi linier menyatakan tidak
ada pengaruh kekeruhan air sumur terhadap jumlah pupa. Karena nilai kekeruhan air sumur
masih dalam batas yang diijinkan, sehingga sesuai dengan anggapan selama ini bahwa
nyamuk Aedes aegypti suka berkembang biak pada air bersih (jernih, kekeruhan rendah).
Kesadahan air sumur derah endemik DBD rendah, sedang, dan tinggi di Kota Surabaya
berkisar 241,91 – 561,92 ppm, bila 416/Menkes/Per/IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan.
Keberadaan ion logam Ca dan Mg dalam air diperlukan oleh larva untuk memperlancar
metabolisme dalam tubuhnya (Murray, 1999). Dari uji regresi linier ganda, didapatkan tidak
ada pengaruh kesadahan air sumur daerah endemik dengan jumlah pupa.
Kadar besi dalam air sumur daerah endemik DBD rendah, sedang, dan tinggi di Kota
Surabaya mempunyai nilai 0 ppm, bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih
Permenkes RI No 416/Menkes/Per/IX/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Kalau dilihat
data di atas maka keberadaan zat besi dalam air tidak berpengaruh terhadap jumlah pupa,
mungkin zat besi baru diperlukan pada nyamuk Aedes Aegypti.
Kandungan zat terlarut (TDS) dalam air sumur daerah endemik DBD rendah, sedang
dan tinggi di Kota Surabaya bila dibandingkan dengan persyaratan air bersih Permenkes RI
No 416/Menkes/Per/XI/1990 masih dalam batas yang diijinkan. Tidak ada pengaruh
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
98
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
bermakna antara kandungan TDS dalam air sumur dengan jumlah pupa karena nilai TDS
masih dalam batas yang diijinkan sebagai air bersih.
Pada bahan kontrol (air PDAM), tidak didapatkan pupa pada hari ke 12-14, hal ini
disebabkan karena air PDAM sudah mengalami proses pengolahan hingga jumlah
mikroorganisme dalam air tersebut sudah diminimalisir. Air sumur terbukti merupakan habitat
yang potensial untuk tempat perindukan Aedes aegypti, bila dibandingkan dengan air PDAM.
Hal ini mungkin disebabkan air sumur tidak mengalami pengolahan seperti PDAM sehingga
kandungan mikroba dan organisme renik lain yang relatif tinggi sebagai sumber makanan
utama bagi jentik (Gionar, 2001), meskipun pernyataan ini diperlukan penelitian lebih lanjut.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik simpulan bahwa pH, kekeruhan, kesadahan, kadar besi
dan kadar TDS air sumur daerah endemik DBD tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangbiakan Aedes aegypti pra dewasa.
Selanjutnya disarankan agar diteliti tentang kandungan mikroorganisme di dalam air
sumur dan menempatkan kontainer/toples di ruang bebas nyamuk, misalnya ruang ber-AC.
Masyarakat pengguna air sumur sebaiknya lebih berhati-hati karena resiko adanya telur dan
jentik Aedes aegypti yang perkembangbiakannya lebih banyak di dalam air sumur.
DAFTAR PUSTAKA
Gionar YR, Saproto Rusmianto, Dwiko Susapto dkk, 2001. Sumur Sebagai Habitat Yang
Penting Untuk Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti. Jakarta: Buletin Penelitian
Kesehatan No. 29
Hidayat C, Ludfi Santoso, Hadi Suwasono, 1997. Pengaruh pH Air Perindukan Terhadap
Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Aedes aegypti Pra Dewasa. Cerminan Dunia
Kedokteran, No. 119.
James M. T and R. F Harwood, 1969. Herm’s Medical Entomology. Sixth The MacmillanCompany USA.
Lawuyan S, 1996. Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Surabaya, Seminar Sehari
Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Tropical Desease Center Universitas Airlangga.
Martono, Soebari, 1985. Entomologi Medik, 3th, Surabaya: Dinkes Dati Prop Jatim.
Murray, 1999, Biokomia Harper, Jakarta: EGC
Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta.
Soedarto, 1989, Penelitian Epidemiologi Demam Berdarah Ditinjau dari Sudut Bionomik
Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dan Sudut Lokasi Kontak antara Manusia
dan Nyamuk di Daerah Perkotaan dan Pedesaan di Jawa Timur. Surabaya: Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga.
Soegijanto, 2004. Demam Berdarah Dengue, Surabaya: Airlangga University Press.
Sub. Din. P2M, 2004. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Surabaya: Dinkes
Kota Surabaya
Sumarno, 1988, Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak, Jakarta: UI Press
Suroso T, Ali Imran Umar, 1999, Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini. FKUI.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
99
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PERAN INSTALASI PENGOLAH AIR LIMBAH DOMESTIK
UNTUK MEMPERBAIKI KUALITAS AIR LIMBAH
Karno*
ABSTRACT
Role of installation processor domestic wastewater in the effect improve the quality of
wastewater. Target of research is know role of processor installation domestic wastewater in
the effort improve, repairing the quality of wastewater with indicator pH, BOD, TSS Oil and Fat.
This research type is descriptive quantitative which is existence control to free variable. Data
collected by taking sample wastewater at influent and effluent from processor instalation
wastewater counted 12 intake during 1 month various variation of intake time. Measurement of
pH is conducted in field and in laboratory, while measurement of BOD, TSS, Oil and fat in
laboratory. Analysis of data from various variation of time is done by using percentage and t
test for which once indicator utilize to know there is do not it him difference between influent
and effluent. Data result of measurement of parameter at effluent is compared to standart
quality of domestic wastewater. Pursuant to research is concluded that pH rate, TSS, Oil and
fat, ther no difference while the rate of BOD difference between effluent and influent. After
compared to standart quality of domestic wastewater hence it still reside in below is standard
quality.
Keywords : Instalation processor domestic wastewater, quality of wastewater.
*: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan
Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan mutu, manfaat sumber
daya alam secara keseluruhan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Ini mengandung arti bahwa setiap aktivitas
pembangunan apapun bentuknya, harus disertai upaya meminimalkan dampak negatif dan
memaksimalkan dampak positif termasuk dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
Pembangunan perumahan juga tidak terlepas dari permasalahan lingkungan hidup, antara lain
pencemaran air, tanah maupun udara serta penurunan mutu lingkungan hidup bila
pengelolaannya tidak memperhitungkan atau memperhatikan aspek kesehatan dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Selain memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup, pembangunan perumahan
haruslah memperhatikan hak-hak setiap orang untuk hidup sehat seperti yang telah
diamanatkan pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman yang berbunyi: ”Setiap warga negara mempunyai hak untuk
menempati dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi dan teratur ”. Pada kenyataannya yang dihadapi dalam pembangunan
perumahan dengan berpedoman pada penataan lingkungan yang sehat masih sulit
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
100
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
dilaksanakan dengan masih dibangunnya sarana pembuangan kotoran dan air limbah rumah
tangga yang mengalir pada tanah dan mencemari air tanah dangkal melalui rembesan dari
septic tank untuk menampung kotoran yang dibangun di setiap unit rumah. Untuk mengurangi
pencemaran tanah dan air tanah oleh kotoran manusia, perlu dipikirkan untuk membangun
sarana pengolah air limbah rumah tangga atau air limbah domestik secara kolektif di setiap
perumahan. Hal ini selaras dengan Pasal 8 Ayat (a) Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor: 112 Tahun 2003 tentang Baku mutu air limbah domestik yang menyatakan
bahwa setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate) wajib
melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan.
Perumahan Tekad Makmur yang berlokasi di Desa Joho Kecamatan Mojolaban
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah merupakan salah satu perumahan yang memiliki instalasi
pengolah air limbah domestik yang dihasilkan oleh rumah tangga dan telah dioperasikan. Atas
dasar latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian tentang peran instalasi pengolah air
limbah domestik dalam upaya memperbaiki kualitas air limbah dengan mengetahui perbedaan
nilai indikator pH, BOD, TSS, minyak dan lemak pada influent dan efluent-nya.
Rumusan Masalah
Apakah instalasi pengolah air limbah domestik berperan dalam memperbaiki kualitas air
limbah dengan mengetahui perubahan nilai indikator pH, BOD, TSS, minyak dan lemak?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengetahui peran instalasi pengolah air limbah domestik dalam
upaya memperbaiki kualitas air limbah dengan indikator pH, BOD, TSS, minyak dan lemak.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian observasional ini dilakukan melalui observasi terhadap faktor-faktor yang
dijumpai dengan mengambil sampel tanpa berkesempatan untuk mengatur kondisi atau
memanipulasi variabel-variabel yang mempengaruhi faktor-faktor yang dijumpainya. Dalam
penelitian ini tidak dibuat rancangan sendiri karena instrumen yang diteliti yaitu instalasi
pengolah air limbah domestik telah tersedia dilokasi penelitian yaitu Perumahan Tekad
Makmur II Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
Sampel penelitian adalah air limbah domestik di instalasi pengolah air limbah domestik
yang mencakup parameter pH, BOD, TSS, minyak dan lemak yang diambil baik sebelum
(influent) maupun setelah melalui IPAL (efluent) untuk diperiksa di laboratorium dengan
rentang waktu pagi (jam 06.00–07.00 WIB), siang (jam 12.00–13.00 WIB) dan sore (Jam
16.00–17.00 WIB) selama 12 kali pengambilan. Semua hasil pengukuran terhadap parameter
tersebut ditabulasi secara manual dan selanjutnya dikelompokkan dalam variasi waktu yang
meliputi variasi harian dan mingguan. Untuk membuktikan hipotesis yaitu adanya perbedaan
yang signifikan pada setiap variasi waktu, digunakan T test (sampel < 30 ).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Keseluruhan hasil penelitian ditampilkan secara lengkap pada Tabel 1.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
101
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 1. Hasil Pengukuran pH, BOD, TSS, Minyak dan Lemak
WAKTU
NO
Hari
1,2,3
1
Rabu
1
2
Sabtu
2
3
Minggu
3
4
Rabu
2
5
Sabtu
3
6
Minggu
1
7
Rabu
3
8
Sabtu
1
9
Minggu
2
10
Rabu
1
11
Sabtu
2
12
Minggu
3
JUMLAH
RATA-RATA
PARAMETER INFLUENT
M&L
BOD
TSS
pH
5.5
171.3
50
7.33
10
393.18
55
6.62
2
219.18
50
6.76
7.5
201.12
60
6.93
6
207.42
70
6.86
8
339.4
85
6.87
3
261.3
75
6.96
5.5
411.18
65
7.75
3.5
99.18
30
6.98
4.5
117.4
60
7.95
5
399.6
50
6.93
3
243
55
7.03
63.50 3063.26 705 84.97
5.29 255.27 5875 7.08
PARAMETER EFLUENT
M&L BOD
TSS
pH
3
37.3
55
7.55
2
20.15
60
6.71
5.5
12.5
55
6.74
4
28.62
45
7.05
4.5
29.8
65
6.96
7
31.4
70
6.91
2
48.9
50
6.94
2
33.2
25
7.22
2
25.4
20
7.09
2.5
20.8
55
7.38
3
15.5
40
7.16
1.5
16.5
50
7.13
39 320.07 590 84.84
3.25 26.67 49.16 7.07
Keterangan : M & L = Minyak dan Lemak, 1 = Pagi, 2 = Siang, 3 = Sore.
Baku mutu air limbah domestik (Kep.Men.Neg LH No. 112 Tahun 2003 )
pH = 6 – 9 ; BOD = 100 mg/L ; TSS = 100 mg/L ; Minyak & lemak = 10 mg/L
Hasil dari uji hipotesis diuraikan sebagai berikut:
1. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai pH pada influent maupun efluent.
2. Ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai BOD pada influent dan efluent.
3. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai TSS pada influent maupun efluent.
4. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai besaran nilai minyak dan lemak pada influent
maupun efluent
Tidak adanya perbedaan pH pada influent maupun efluent menunjukkan bahwa IPAL
domestik tidak berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah khususnya untuk parameter
pH. Hal ini mungkin terjadi karena air yang ada dalam air limbah domestik berfungsi sebagai
cairan atau larutan penyangga (buffer) yang berperan sebagai penetral pH. Ketidak berhasilan
IPAL dalam memperbaiki kualitas pH dapat membawa dampak negatif antara lain dapat
mengganggu kehidupan ikan dan hewan air disekitarnya. Selain itu air limbah yang
mempunyai pH rendah bersifat korosif terhadap logam yang mengakibatkan karat.
Adanya perbedaan secara signifikan mengenai besaran nilai BOD pada influent dan
efluent menunjukkan bahwa IPAL domestik berperan efektif dalam memperbaiki kualitas air
limbah khususnya untuk parameter BOD. Kondisi ini penting karena proses dekomposisi
bahan organik yang terkandung dalam air limbah domestik berlangsung secara terus menerus
baik proses aerobik maupun an-aerobik.
Tidak adanya perbedaan nilai TSS pada influent maupun efluent menandakan bahwa
IPAL domestik tidak berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah khususnya untuk
parameter TSS. Telah diketahui bahwa Total Suspended Solid atau padatan tersuspensi total
merupakan zat padat dalam suspensi yang dalam keadaan tenang dapat mengendap setelah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
102
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
waktu tertentu karena pengaruh gaya berat dan alat yang digunakan untuk analisanya adalah
kerucut Im Hoff ( Sri Sumesti, 1987: 141). Padatan tersuspensi total akan mengurangi
penetrasi sinar matahari ke dalam air, sehingga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen
secara fotosintesis (Pramudya Sunu, 2001 : 135 ).
Tidak adanya perbedaan nilai minyak dan lemak pada influent maupun efluent
menunjukkan bahwa IPAL domestik tidak berperan dalam memperbaiki kualitas air limbah
khususnya untuk parameter minyak dan lemak. Hal ini dimungkinkan karena dari sifat minyak
dan lemak yang sulit didekomposisi oleh mikro-organisme atau kalaupun dapat didekomposisi
oleh mikroorganisme tentu memerlukan waktu yang cukup lama. Minyak dan lemak tidak
dapat larut di dalam air, melainkan akan mengapung di atas permukaan air. Minyak dan lemak
dapat dijumpai dalam air limbah domestik yang berasal dari makanan. Air limbah yang
mengandung minyak dan lemak bila dibuang ke lingkungan seperti sungai akan mengapung
menutupi permukaan air. Lapisan minyak yang menutupi permukaan air dapat juga
terdegradasi oleh mikro-organisme tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama
(Wisnu Arya, 1999:82)
Tampak dari hasil penelitian bahwa IPAL di Perumahan Tekad Makmur II Desa Joho
Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah hanya berperan efektif untuk
parameter BOD, padahal parameter air limbah domestik sesuai dengan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 112 Tahun 2003 tentang Baku mutu air limbah domestik
dan digunakan untuk mengetahui pengaruh kinerja instalasi pengolah air limbah domestik
meliputi 4 (empat) parameter yaitu pH, BOD, TSS, minyak dan lemak. Menurut Duncan Mara
(1994) kondisi ini beresiko menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik pada lingkungan
abiotik (polusi tanah, air dan udara) maupun lingkungan biotik (infeksi cacing gilig dari rumput
yang terkena limbah tak terolah yang dimakan oleh ternak yang selanjutnya dikonsumsi oleh
manusia, infeksi cacing tambang serta dampak sosial budaya misalnya rasa jijik).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari hasil penelitian adalah bahwa peran instalasi pengolah air limbah
domestik dengan jauh lebih baik dalam memperbaki kualitas air limbah domestik khususnya
dalam menurunkan parameter BOD.
Saran yang diajukan adalah: 1) Developer perumahan baru seyogyanya melengkapi
Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) domestik rumah tangga di perumahan yang dibangun, 2)
Perlu adanya Peraturan Daerah tentang kewajiban mengolah air limbah domestik bagi usaha
atau permukiman (real estate), restaurant, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama
yang masih menggunakan sistem septictank secara individual guna mengurangi dan
mencegah pencemaran tanah dan air tanah yang makin meluas.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Gunardi, 2001. MCK Terpadu datang, Got Jorok Hilang, Intisari Edisi Oktober 2001.
Jakarta. PT.Intisari Mediatama.
Azrul Azwar,1983, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta, Mutiara.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
103
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Bowo,2000, Teknik Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Surabaya, Media Informasi
Alumni Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Modul Tutorial Pendayagunaan Aset Prasarana dan
Sarana Penyehatan Lingkungan Permukiman Bidang Air Limbah, Jakarta.Direktorat
Jenderal Cipta Karya.
Dewats Indonesia,2003, Instalasi Pengolah Air Limbah Tepat Guna, Yogyakarta, DEWATS
Indonesia.
Duncan Mara,1994, Pemanfaatan air limbah dan Ekskreta, Bandung: Penerbit ITB Bandung
dan Penerbit Universitas Udayana.
Edmund G Wagner, 1959, Water Supply for Rural Areas and Small Communities, Geneva
:WHO.
Fardiaz .Srikandi.1992. Polusi Air dan Udara, Yogyakarta : Kanisius.
Jesus Cordova, 2000. Biotechnology 2000 Vol 3 ; The World Conggress on Biotechnology 11
th International Biotechnology Symposium and Exhibition, Berlin. Unpublished.
Joseph A.Salvato,1992, Environmental Engeneering and Sanitation, New York : Jhon Wiley
and Sons.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Domestik.
Lusiana Indriasari, Sungai di Jakarta, WC Terpanjang di Dunia, Harian Umum Kompas 5 Mei
2004, Hal 19.
Pramuda Sunu, 2001, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 1400, Jakarta:
Grasindo.
Reksosoebroto. Soebagio, 1982. Hygiene dan Sanitasi, Jakarta : Akademi Penilik Kesehatan
Teknologi Sanitasi.
Sri Sumesti, 1987. Metode Penelitian Air, Surabaya : Usaha Nasional.
Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah, Jakarta, UI Press.
Sumardi Suryabrata. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta. Rajawali.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Wisnu Aria, 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta :Andi Offset.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
104
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
EFEKTIFITAS METODE STIMULASI SATU JAM BERSAMA IBU TERHADAP
PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-24 BULAN
Siti Asiyah*, Koekoeh Hardjito*, Suwoyo*
ABSTRACT
A child is a next generation and as anexpectation of his/her parents. Because of its
importance, they need to be prepared early and their parent also have an important role to
realize their great quality expectation.
The aim of this research is to identify the effectiveness of the method to infant age 12-24
months. In order to solve the problem, the Non Randomized Control Group pretest- posttest
design was conducted which is adapted from experimental quasi.
This designed program was analyzed by using Probability Proportionate to Size and
Simple Random Sampling. The research was done in nine Public Health Center/ Puskesmas
in Kediri East Java: Puskesmas Campurejo, Sukorame, Mrican, Balowerti, Kota Wilayah Utara,
Kota Wilayah Selatan ( North and South city area), Pesantren I, Pesantren II and Puskesmas
Ngletih. It this distributed to 80 people which is divided by 40 of treatment group and 40 of
control group.
The data was collected twice, before and after treatment. Two instruments were adopted
here. They were development Pra Screening Questionnaire for the infant and also the
observation sheet. The data was analyzed by descriptive and statistic method to differentiate
between both group by using Wilcoxon Rank sum test with the significant average 0,05.
The results showed that there was a difference of the infant development before and
after the method. In the treatment group, by using Wilcoxon Signed Rank Test the range of
scores was p=0,001<0,05 and on the otherside, the control group can achieve p=0,020<0,05.
It is proved that by using Man Whitney, effectiveness can active significantly 0,005 (p<0,05).
But, this method was said no to effective for the mother and infant intimacy. It can be
sharn by M.c Nemar that the result was not significant achieve p=1,000>0,05 and this also
happened by using Fisher’s Exact Test that can only achieve p=1,000>0,05. It meant that this
methode was not effective for the intimacy.
Keyword: an hour stimulation, development, infant
*: Prodi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak merupakan generasi penerus bangsa dan menjadi tumpuan serta harapan
orangtua. Oleh karena itu, mereka perlu dipersiapkan agar kelak menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas dan mampu berperan aktif dalam pembangunan nasional. Upaya itu
harus dimulai sejak dini, dan orangtua mempunyai peranan yang amat penting dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas tersebut (Sholichin, dkk, 2001).
Pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan kepribadian anak kelak adalah
ketika anak berusia di bawah enam tahun. Masa ini merupakan peletakan pondasi dalam
perkembangan anak karena pada saat itulah pembentukan kepribadian anak terjadi. Ini berarti
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
105
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
bahwa lingkungan keluarga memegang peranan penting dan sangat menentukan kepribadian
anak di kemudian hari (Sholichin, dkk, 2001). Pendidikan pada usia dini akan sangat
membekas hingga anak dewasa. Keberhasilan pendidikan anak usia dini akan sangat
berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya (Yuliana,2007).
Hasil analisis Tim Pendidikan Untuk Semua (Education for All) Indonesia tahun 2001
menyebutkan bahwa dari 26,1 juta anak yang ada di Indonesia, baru sekitar 7,1 juta atau 28%
anak yang mendapat pendidikan, terdiri atas 9,6% terlayani di Bina Keluarga Balita, 6,5% di
Taman Kanak-kanak, 1,4% di Raudhatul Athfal, 0,13% di kelompok bermain, 0,05% di tempat
penitipan anak lainnya dan 9,9% di sekolah dasar (Susanti, 2005). Sementara 73% atau
sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan untuk anak usia dini (Suryadi, 2007).
Human Development Indeks (HDI) atau tingkat pengembangan sumber daya manusia tahun
2004, Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara. Karena kurang menggali potensi
kecerdasan anak usia dini, maka tingkat pendidikan Indonesia di mata dunia berada di kasta
terendah (Taufik, 2006).
Dari penelitian yang dilakukan Yuliana dkk, dari Kelompok Peduli Ibu dan generasi pada
tahun 2004 dan 2005 di Pulau Jawa, diperoleh 86,3% anak-anak prasekolah di pedesaan
belum mengakses program pendidikan yang ada baik di jalur formal maupun jalur non formal.
Persentase ini jauh lebih besar dibanding di daerah perkotaan yaitu 73,2% (Ma’ruf, 2007).
Berdasarkan studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kota Kediri tahun 2007, jumlah
balita usia 0-5 tahun di Kota Kediri adalah 17.410 orang, dengan anak usia 0-2 tahun
sebanyak 6895 orang (39,60%) dari seluruh balita dan jumlah Posyandu 322 buah. Anak
yang sudah menjalani deteksi dini tumbuh kembang adalah 7952 orang (46%), dengan
kelainan lingkar kepala 5 orang (0,06%), penyimpangan tumbuh kembang 22 orang (0,27%)
dan masalah mental emosional 1 orang (0,01%).
Mahalnya biaya pendidikan dan kemampuan ekonomi keluarga diduga menjadi faktor
penyulit anak-anak untuk mendapatkan kesempatan belajar terutama untuk anak usia dini.
Jika anak tidak mendapatkan rangsangan sejak dini akan mempengaruhi kecerdasan anak.
Berbagai terobosan telah dilakukan sebagai langkah peningkatan dan pencapaian target
salah satunya adalah program PAUD berbasis keluarga (metode home schooling group).
Solusi lain untuk mengatasi masalah perkembangan anak adalah pemberian metode sentuhan
ibu. Metode ini sangat membantu dalam menstimulasi otak anak untuk menghasilkan hormon
yang diperlukan dalam perkembangan. Cara ini dapat dilakukan dengan mewajibkan setiap
ibu yang memiliki anak balita untuk menyediakan waktu satu jam bersama dengan anak tanpa
diganggu aktifitas lain. Cara ini terbukti memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap
perkembangan anak (Taufik, 2006). Cara ini paling murah dan efektif dalam mengoptimalkan
dan meningkatkan perkembangan otak.
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosialisasi-kemandirian anak
usia 12-24 bulan pada kedua kelompok sebelum diberikan metode stimulasi satu jam
bersama ibu.
2. Mengidentifikasi perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosialisasi-kemandirian anak
usia 12-24 bulan pada kedua kelompok sesudah diberikan metode stimulasi satu jam
bersama ibu.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
106
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
3. Menganalisis efektifitas metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu terhadap
perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosialisasi-kemandirian pada anak usia 12-24
bulan.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN PENELITIAN
Penelitian kuasi eksperimen yang menerapkan non randomized control group pretespostest design ini menggunakan populasi yaitu ibu yang memiliki anak balita usia 12-24 bulan
di sembilan wilayah Puskesmas Kota Kediri, dengan besar sampel 80 orang, yang dibagi
dalam dua kelompok. Sampel dipilih dengan teknik probability proportionate to size (PPS)
yaitu simple random sampling. Dalam penelitian ini, ada sembilan (9) wilayah Puskesmas di
Kota Kediri yang dipakai sebagai PSU (Primary Sampling Unit).
Variabel bebas berupa metode stimulasi perkembangan 1 jam bersama ibu, variabel
tergantung adalah perkembangan motorik, bicara-bahasa dan sosial-kemandirian anak usia
12-24 bulan dan variabel perancu berupa faktor keluarga dan adat istiadat: pekerjaan,
pendidikan orang tua, jumlah saudara, stabilitas keluarga, kepribadian orangtua.
Pengukuran dilakukan dengan melakukan observasi langsung dan wawancara dengan
ibu berdasarkan instrumen Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) dari Depkes tahun
2006 sebanyak 10 soal untuk masing-masing kelompok usia anak yakni usia 12 bulan, 15
bulan, 18 bulan, dan 21 bulan. Untuk anak yang telah mampu melakukan satu tugas
perkembangan sesuai aspek KPSP di beri skor 1 dan jika anak gagal diberi skor 0. Jika anak
mampu melakukan semua tugas perkembangan, diberi skor 10. Skor 9-10 berarti anak
memiliki perkembangan sesuai dengan usianya, skor 7-8 berarti perkembangan anak
meragukan dan skor ≤ 6 berarti anak mengalami keterlambatan perkembangan.
Bahan penelitian adalah materi stimulasi perkembangan untuk anak usia 12-24 bulan.
Instrumen penelitian berupa KPSP untuk anak usia 12-24 bulan dari Depkes tahun 2006,
kuesioner, lembar observasi.
Analisis dilakukan dalam 2 langkah yaitu menggunakan metode statistik deskriptif dan
metode statistik analitik (Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai perbedaan perkembangan
anak antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pada kelompok perlakuan, umur anak terbanyak adalah sama (30%) masing-masing dari
kelompok 12-14 bulan dan 18-20 bulan, sedangkan pada kelompok kontrol, umur terbanyak
adalah 12-14 bulan (45%). Pada kelompok perlakuan, jenis kelamin anak terbanyak adalah
laki-laki (60%), sedangkan kelompok kontrol didominasi oleh perempuan (57,5%).
Mayoritas ibu berumur 25-30 tahun (47,5% pada kelompok perlakuan dan 40% pada
kelompok kontrol). Mayoritas ibu memiliki pendidikan SMP/SMA (75% pada kelompok
perlakuan dan 80% pada kelompok kontrol). Uji Mann-Whitney tentang homogenitas
pendidikan ibu, menunjukkan nilai p=0,158 > 0,05, berarti pendidikan ibu balita homogen
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Pekerjaan ibu yang paling dominan
adalah ibu rumah tangga (67,5% pada kelompok perlakuan dan 82,5% pada kelompok
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
107
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
kontrol). Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,197 > 0,05, berarti jenis pekerjaan pada
kedua kelompok penelitian adalah homogen.
Sebagian besar ibu memiliki 1-2 anak yaitu 87,5% pada kelompok perlakuan dan 85%
pada kelompok kontrol. Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai p=1,000>0,05, berarti jumlah
anak yang dimiliki oleh ibu pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah homogen.
Pada kedua kelompok, sebagian besar responden memiliki keluarga yang stabil. Hasil
Fisher’s Exact Test menunjukkan nilai p=0,675> 0,05, berarti kedua kelompok memiliki
kestabilan keluarga yang homogen.
Pada kelompok perlakuan ibu yang memiliki kepribadian terbuka lebih banyak 2,5%
dibandingkan dengan ibu pada kelompok kontrol. Tetapi pada kedua kelompok kepribadian ibu
yang dominan adalah kepribadian terbuka. Hasil Fisher’s Exact Test, menunjukkan nilai
p=1,000>0,05, berarti kepribadian ibu pada kedua kelompok tersebut adalah homogen.
Hasil penelitian tentang perkembangan anak sebelum dan sesudah perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada kelompok perlakuan
terdapat 57,5% anak memiliki perkembangan normal. Mayoritas anak pada kelompok kontrol
juga memiliki perkembangan normal (57,5%). Hasil uji homogenitas dengan Mann-Whitney
juga menunjukkan bahwa kedua kelompok penelitian ini homogen dengan nilai p=0,927>0,05.
Tabel 1. Perkembangan Anak Sebelum Perlakuan
Perkembangan Anak
Keterlambatan
Meragukan
Normal
Jumlah
Kelompok perlakuan
Frekuensi
%
6
15,0
11
27,5
23
57,5
40
100
Kelompok Kontrol
Frekuensi
%
7
17,5
10
25,0
23
57,5
40
100
Tabel 2. Perbedaan Perkembangan Anak Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Perkembangan Anak
Keterlambatan
Meragukan
Normal
Jumlah
Sebelum perlakuan
Frekuensi
%
6
15,0
11
27,5
23
57,5
40
100
Sesudah Perlakuan
Frekuensi
%
2
5,0
1
2,5
37
92,5
40
100
Pada kelompok perlakuan, perbedaan perkembangan anak berdasarkan aspek
perkembangan pada masing-masing kelompok usia (12 bulan, 15 bulan, 18 bulan dan 21
bulan) secara berurutan disajikan pada Tabel 3 sampai dengan Tabel 6. Tabel 3 menunjukan
bahwa pada kelompok usia 12-15 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada
aspek motorik halus, yakni dari 8% sebelum perlakuan, menjadi 92% sesudah perlakuan
(meningkat 84%). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 15-18 bulan, peningkatan
perkembangan tertinggi terjadi pada aspek bicara dan bahasa, yakni dari 83% sebelum
perlakuan, menjadi 100% sesudah perlakuan (meningkat 17%). Tabel 5 menunjukkan bahwa
pada kelompok usia 18-21 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek
sosialisasi dan kemandirian anak, yakni dari 58% sebelum perlakuan, menjadi 100% sesudah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
108
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
perlakuan (meningkat 42%). Sedangkan Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 2124 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi terjadi pada aspek motorik kasar, yakni dari
90% sebelum perlakuan, menjadi 100% sesudah perlakuan (meningkat 10%).
Tabel 3.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 12 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 12 bulan)
Frekuensi
%
9
75 %
1
8%
4
33 %
10
83 %
Sesudah ( Usia 15 bulan)
Frekuensi
%
10
83 %
11
92 %
12
100 %
12
100 %
Tabel 4.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 15 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 15 bulan)
Frekuensi
%
4
67 %
5
83 %
5
83 %
4
67 %
Sesudah ( Usia 18 bulan)
Frekuensi
%
5
83 %
5
83 %
6
100 %
5
83 %
Tabel 5.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 18 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 18 bulan)
Frekuensi
%
10
83 %
8
67 %
11
92 %
7
58 %
Sesudah ( Usia 21 bulan)
Frekuensi
%
12
100 %
12
100 %
12
100 %
12
100 %
Tabel 6.Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Usia 21 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 21 bulan)
Frekuensi
%
9
90 %
9
90 %
8
80 %
10
100 %
Sesudah ( Usia 24 bulan)
Frekuensi
%
10
100 %
6
60 %
9
90 %
8
80
Kemajuan pencapaian skor ibu dalam menerapkan metode stimulasi perkembangan satu
jam bersama ibu berdasarkan observasi ditampilkan pada Gambar 1. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa para ibu telah mampu menerapkan metode stimulasi satu jam 50% pada
minggu ke 7 atau setelah observasi ke 3 oleh peneliti. Di akhir pengamatan, para ibu rata-rata
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
109
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
telah mampu ≥ 75%, kecuali responden nomer 27 & 34 yang sejak awal pengamatan memiliki
skor yang rendah.
Perubahan Perilaku Ibu Dalam Menerapkan Metode Stimulasi Satu Jam
20
15
10
5
0
0
Minggu 1
10
Minggu 3
20 Responden30
Minggu 5
Minggu 7
40
Minggu 9
50
Minggu 12
Gambar 1. Perubahan Skor Penerapan Metode Stimulasi Satu Jam Bersama Ibu
di Wilayah Puskesmas Kota Kediri
Pada kelompok kontrol, perbedaan perkembangan secara umum disajikan pada Tabel
7 yang memperlihatkan adanya perubahan perkembangan anak pada kelompok kontrol.
Misalnya pada awal penelitian ada 7 anak yang mengalami keterlambatan, tetapi sesudah tiga
bulan berkurang tinggal 1 anak. Wilcoxon Signed Ranks test, menunjukkan nilai p=0,020<
0,05 yang berarti ada perbedaan perkembangan antara sebelum dan sesudah penelitian pada
kelompok kontrol.
Tabel 7. Perbedaan Perkembangan Kelompok Kontrol Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian
Kategori Perkembangan Anak
Keterlambatan
Meragukan
Normal
Jumlah
Sebelum
Frekuensi
7
10
23
40
%
17,5
25,0
57,5
100
Sesudah
Frekuensi
%
1
2,5
13
32,5
26
65,0
40
100
Untuk kelompok kontrol, perbedaan perkembangan anak berdasarkan aspek
perkembangan pada masing-masing kelompok usia (12 bulan, 15 bulan, 18 bulan dan 21
bulan) secara berurutan disajikan pada Tabel 8 sampai dengan Tabel 11. Tabel 8
menunjukkan bahwa pada kelompok usia 12-15 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi
terjadi pada aspek motorik halus, yakni dari 11% menjadi 89% (meningkat 78%). Tabel 9
menunjukkan bahwa pada kelompok usia 15-18 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi
terjadi pada aspek motorik kasar, yakni dari 40% menjadi 70% (meningkat 30%). Tabel 10
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
110
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
menunjukkan bahwa pada kelompok usia 18-21 bulan, peningkatan perkembangan tertinggi
terjadi pada aspek motorik halus, yakni dari 33% menjadi 83% (meningkat 50%). Di awal
penelitian, pada aspek motorik halus dari 6 anak, hanya 2 anak yang lulus perkembangan
100% dan setelah 3 bulan menjadi 5 anak. Sedangkan Tabel 11 menunjukkan bahwa pada
kelompok usia 21-24 bulan, tidak terjadi peningkatan perkembangan pada setiap aspek.
Tabel 8. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 12 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 12 bulan)
Frekuensi
%
11
61 %
2
11 %
8
44 %
13
72 %
Sesudah ( Usia 15 bulan)
Frekuensi
%
4
22 %
16
89 %
18
100 %
17
94 %
Tabel 9. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 15 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 15 bulan)
Frekuensi
%
4
40 %
5
50 %
10
100 %
9
90 %
Sesudah ( Usia 18 bulan)
Frekuensi
%
7
70 %
5
50 %
10
100 %
10
100 %
Tabel 10. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 18 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 18 bulan)
Frekuensi
%
5
83 %
2
33 %
5
83 %
6
100 %
Sesudah ( Usia 21 bulan)
Frekuensi
%
5
83 %
5
83 %
6
100 %
4
67 %
Tabel 11. Perbedaan Perkembangan Anak Kelompok Kontrol Kelompok Usia 21 Bulan
Antara Sebelum dan Sesudah Penelitian pada Setiap Aspek Perkembangan
Kategori Aspek
Perkembangan Anak
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara dan bahasa
Sosial & kemandirian
Sebelum (Usia 21 bulan)
Frekuensi
%
5
83 %
4
67 %
4
67 %
6
100 %
Sesudah ( Usia 24 bulan)
Frekuensi
%
5
83 %
4
67 %
4
67 %
6
100 %
Efektifitas Metode Stimulasi Perkembangan Satu Jam Bersama Ibu untuk meningkatkan
perkembangan anak disajikan pada Tabel 12. Setelah 3 bulan diterapkan metode stimulasi
perkembangan satu jam bersama ibu dan dilakukan pengukuran perkembangan ulang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
111
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
terhadap kedua kelompok, dapat dilihat bahwa pada kedua kelompok terjadi perbedaan
peningkatan jumlah anak yang memiliki perkembangan normal. Pada kelompok
perlakuan lebih tinggi yaitu 92,5% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
65%. Mann-Whitney Test menunjukkan nilai p=0,005<0,05, berarti metode stimulasi
perkembangan satu jam bersama ibu terbukti efektif untuk meningkatkan perkembangan anak
usia 12-24 bulan.
Tabel 12. Perbedaan Perkembangan Anak Setelah Diberi Simulasi Satu Jam Bersama Ibu
Antara Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Kategori Perkembangan Anak
Keterlambatan
Meragukan
Normal
Jumlah
Kelompok perlakuan
Frekuensi
%
2
5,0
1
2,5
37
92,5
40
100
Kelompok Kontrol
Frekuensi
%
1
2,5
13
32,5
26
65,0
40
100
Pembahasan
Pada kedua kelompok, terjadi perbedaan perkembangan anak antara sebelum dan
sesudah diberikan metode stimulasi perkembangan. Pada masa anak-anak, bermain
merupakan unsur yang penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi, mental,
intelektual, kreativitas maupun sosial. Bagi anak-anak, bermain merupakan seluruh
aktifitasnya termasuk bekerja, untuk kesenangan dan merupakan metode bagaimana mereka
mengenal dunia (Soetjiningsih,2002). Pemberian metode stimulasi satu jam bersama ibu
memberikan hasil yang bermakna dilihat dari perubahan perkembangan yang terjadi antara
sebelum dan sesudah perlakuan. Intervensi yang diberikan kepada ibu-ibu dilakukan secara
terus menerus dan berkesinambungan dengan pemantauan yang intensif dari peneliti. Melalui
metode ini, ibu diharuskan meluangkan waktu untuk bisa bersama-sama dengan anak dan
tidak terganggu dengan aktifitas yang lain. Meskipun singkat, metode tersebut betul-betul diisi
dengan kegiatan yang berpengaruh banyak terhadap perkembangan anak.
Faktor terpenting dalam mengoptimalkan perkembangan anak adalah kualitas perhatian
dari orangtua kepada anaknya. Mencintai dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang
sangat berperan untuk mengembangkan intelegensia anak secara optimal (Kusnandi, 2008).
Nilai p=0,005< 0,05 pada uji Mann-Whitney, menandakan adanya perbedaan
perkembangan anak secara bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.
Berarti, metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu terbukti efektif untuk
meningkatkan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Walaupun pada kedua kelompok
menunjukkan hasil yang sama-sama bermakna, akan tetapi metode stimulasi perkembangan
satu jam lebih efektif dibanding pendekatan stimulasi perkembangan yang ditunjukkan pada
kelompok kontrol. Mengapa demikian? Metode ini tidak membutuhkan waktu yang banyak
karena setiap hari ibu hanya perlu menyiapkan waktu satu jam bersama anaknya untuk
memberikan stimulasi. Metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu juga merupakan
metode yang murah. Dalam metode ini, ibu dapat mempergunakan alat permainan yang
sederhana dan benda-benda yang ada di sekitar anak. Ibu juga dapat menanamkan nilai-nilai
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
112
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
luhur yang dianut, yang kelak akan sangat berguna bagi kelangsungan hidup anak (Puspita,
2007). Selain murah, metode ini juga bersifat fleksibel. Artinya, pemberian stimulasi dapat
disesuaikan dengan kesibukan ibu dengan tetap menyesuaikan dengan kebutuhan anak.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) ada perbedaan perkembangan antara sebelum
dan sesudah pemberian metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu pada anak
usia 12-24, 2) metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu lebih efektif untuk
meningkatkan perkembangan anak usia 12-24 bulan.
Berdasarkan simpulan penelitian, saran yang diajukan antara lain: 1) anak perlu
mendapatkan stimulasi perkembangan yang memadai melalui sentuhan ibu, kepedulian para
kader, serta petugas kesehatan karena masa lima tahun pertama perkembangan bagi seorang
anak merupakan masa yang kritis, 2) metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu
dapat dipilih sebagai alternatif untuk memberikan stimulasi kepada anak di samping cara-cara
yang sudah ada, misalnya melalui Bina Keluarga Balita.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Depkes RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral
Bina kesehatan Masyarakat Depkes RI
Depkes RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral
Bina kesehatan Masyarakat Depkes RI
Herdjoko, SU. 2007. 16 Juta Anak Tidak Punya Akses ke Pendidikan. Harian Umum Sore
Sinar Harapan No. 5511 Sabtu, 27 Januari
Mc Cartney, K& Dearing, E, (Ed).2002. Child Development. Mc Millan Refference USA
Notobroto, Basuki Hari. 2007. ”Penghitungan Besar sampel” Dalam Materi Pelatihan Teknik
Sampling dan Penghitungan Besar Sampel. Surabaya: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat UNAIR
Purnomo, Windhu. 2002. Handout & bahan Kuliah Statistika Dan Statistika Manajemen. Tidak
dipublikasikan
Rusmil,
Kusnandi.
2008.
Pertumbuhan
dan
Perkembangan
anak.
http://www.aqilaputri.rachdian.com. Akses 21 Juli 2008.
Setyaningsih, T (dkk).2005. Pengaruh Pelatihan BKB terhadap Perkembangan Anak 0-1
tahun.dalam Jurnal Kesehatan Vol 3 No. 2 November 2005. Malang: Poltekkes Malang
Soedjatmiko, 2006. Pentingnya stimulasi dini untuk merangsang perkembangan bayi dan
balita. Sari pediatri, Vol.8, no.3, Desember 2006.www.IDAI.or.id.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak.Jakarta: EGC
Sholichin, Juni Ichsan, Ieda Purnomo Sigit Sidi, Anindita K. Budiman, 2001. Pola Asuh Yang
mendukung perkembangan anak. Jakarta: Direktorat kesehatan Jiwa masyarakat,
Direktorat jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
113
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Surana,T. 2007. Meningkatkan Kecerdasan Anak balita dengan Cepat dan Pasti.
http://www.republika.co.id/koran
Suryadi, 2007. Pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini Masih Rendah. Jurnalnet.com
20/7/2007 diakses 4 januari 2008
Susanti. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini.Pikiran rakyat Cyber Media, Jumat 11 Pebruari 2008
Sutcliffe, J. 2002. Baby Bonding, membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Jakarta: Taramedia &
Restu Agung
Taufik, 2006.
Home Schoolling Bagi Anak Usia Dini. Republika Onlinehttp://www.republika.co.id
UNESCO. 2005. Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di
Indonesia. Jakarta: Dirjen pendidikan Luar Sekolah dan pemuda Depdiknas
Puspita, Widya (dkk).2007. Laporan Analisis Sistemik penyelenggaraan Homeschooling di
Jawa Timur. Surabaya: Balai pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda
(BPPLSP) Regional IV
Yuliana, 2007. Ibuku Guruku (Metode Home Schooling Group, Alternatif model
PendidikanAnakUsiaDini). http://baitijannati.wordpress.com/2007/05/23/ibuku-gurukumetode-home-schooling-group-alternatif-model-pendidikan-anak-usia-dini/ akses 4
Pebruari 2008
Zainuddin, M. 2000. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
114
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PENGARUH PENYIMPANAN URIN KULTUR PADA SUHU 2ºC - 8ºC
SELAMA LEBIH DARI 24 JAM TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
Dwi Krihariyani*
ABSTRAK
Salah satu penegakan diagnosis infeksi saluran kemih adalah pemeriksaan urin kultur.
Pada pemeriksaan urin kultur, waktu dan suhu penyimpanan harus diperhatikan, sesuai
dengan SOP in Microbiology Dir Lab Kes Dep Kes RI 2000 bahwa semua spesimen urin harus
sudah diproses kurang dari 2 jam setelah pengambilan atau disimpan pada suhu 20C-80C
selama maksimum 18 jam. Urin mengandung sisa metabolisme, garam terlarut, dan materi
organik yang dapat menjadi media bagi pertumbuhan bakteri, sehingga waktu dan suhu
penyimpanan dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penyimpanan urin kultur pada suhu 20 C-80 C selama lebih dari 24 jam.
Penelitian eksperimental komparatif ini menggunakan sampel spesimen yang diambil
dari penderita perempuan berusia 25–50 tahun dan belum mendapat pengobatan. Penelitian
dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya pada bulan Juli sampai dengan
Agustus 2009. Metode pengolahan data yang digunakan adalah uji ANOVA.
Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh lama penyimpanan urin kultur pada suhu
2ºC- 8ºC, dengan nilai signifikansi < 0.05. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari adanya
kenaikan jumlah bakteri yang signifikan antara perlakuan spesimen yang diproses kurang dari
2 jam dan setelah penyimpanan 24 jam pada suhu 20C - 80C.
Kata kunci: urin kultur, waktu penyimpanan, pertumbuhan bakteri
*: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Laboratorium berperan penting dalam penegakan diagnosis dan infeksi, terutama Infeksi
Saluran Kemih (ISK), dengan salah satu pemeriksaan yaitu biakan atau kultur. Hingga kini tak
semua laboratorium dapat memberikan pelayanan kultur karena keterbatasan fasilitas yang
dimiliki oleh laboratorium tersebut, sehingga diperlukan laboratorium rujukan untuk kultur.
Hal yang perlu diperhatikan saat mengirim ke laboratorium rujukan adalah waktu
penyimpanan spesimen. Secara ideal spesimen kultur harus sudah sampai di laboratorium
dan diproses dalam waktu 2 jam setelah pengambilan, atau disimpan dalam suhu 40C untuk
dapat dikirim ke laboratorium dan diproses tidak lebih dari 18 jam (Vandepitte, 2003). Adapun
menurut SOP in Microbiology Dir Lab Kes Dep Kes RI, 2000 semua spesimen harus sudah
sampai di laboratorium dalam waktu 1 jam setelah pengambilan. Jika hal ini tidak mungkin,
spesimen harus disimpan di lemari es (20C-80C) segera setelah pengambilan. Selanjutnya
harus sudah diproses di laboratorium dalam waktu 18 jam.
Mengingat alasan jarak, tidak sedikit sampel yang dirujuk ke laboratorium membutuhkan
melebihi 24 jam. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prosedur dasar laboratorium yang
menyarankan waktu pengiriman sampel hingga proses tidak lebih dari 18 jam setelah
pengambilan (Dir Lab Kes Dep Kes RI, 2000). Jika sampel yang dikirim serta diproses
melebihi 24 jam, secara teoritis akan mengalami perubahan dalam pertumbuhan, sehingga
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
115
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
proses pemeriksaan dikhawatirkan mengalami kegagalan. Berdasarkan hal tersebut,
diperlukan penelitian yang mampu menjelaskan pengaruh penyimpanan terhadap tingkat
pertumbuhan bakteri pada pemeriksaan urin kultur.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian eksperimental komparatif ini bertujuan membandingkan pengaruh perlakuan
penyimpanan spesimen terhadap pertumbuhan bakteri. Sampel penelitian adalah spesimen
urin penderita perempuan berusia 25–50 tahun dan belum mendapat pengobatan. Urin porsi
tengah diambil oleh penderita, yang sebelumnya telah diberi penjelasan agar didapatkan
spesimen yang baik. Disarankan spesimen diambil pada pagi hari (tidak buang air kecil/BAK
pada jam 22.00 hingga bangun tidur) dan bila tak dapat, diambil 2 jam setelah BAK terakhir.
Urin dikelompokkan menjadi 4 perlakuan berdasarkan waktu dan suhu penyimpanan.
Pada kelompok I, urin < 2 jam setelah pengambilan diinokulasi mengunakan ose standard
(1µl) pada media CLED, lalu diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Pada kelompok II,
urin disimpan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam diinokulasi pada media CLED, diinkubasi
pada suhu 37ºC selama 24 jam. Untuk Kelompok III dan IV, suhu penyimpanan 2ºC-8º C
selama 48 jam dan 72 jam. Pada masing-masing kelompok diamati dan dihitung jumlah bakteri
yang tumbuh. Diperlukan 6 replikasi pada masing-masing perlakuan. Penghitungan koloni
menggunakan teknik yang umum dilakukan yaitu loop (ose) yang dikalibrasi (volume ose
adalah 1/1000 ml). Prosedur yang direkomendasikan menggunakan ose metal atau plastik
yang dikalibrasi untuk menanam 1µl (1 mata ose/sengkelit) urin ke medium CLED.
Pemeriksaan dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya.
Metode statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pertumbuhan bakteri pada 6
spesimen dari masing-masing kelompok perlakuan, dengan penyajian berbentuk tabel
frekuensi. Selanjutnya dilakukan uji Anova untuk mengetahui adanya signifikansi perbedaan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian mengenai pertumbuhan bakteri disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Bakteri pada 4 Kelompok dengan 6 Kali Replikasi
Spesimen urin
A
B
C
D
E
F
Total
I <2
540.000a
850.000 a
37.000 a
750.000 a
600.000 a
650.000 a
3.427.000 a
Perlakuan (jam)
II = 24
III = 48
2.025.000b
2.135.000c
3.225.000 b
3.400.000 c
140.000 b
150.000 c
2.850.000 b
3.000.000 c
2.265.000 b
2.400.000 c
2.450.000 b
2.650.000 c
12.955.000 b
13.735.000 c
IV = 72
1.520.000d
2.400.000 d
105.000 d
2.120.000 d
1.700.000 d
1.900.000 d
9.745.000 d
Pada Kelompok I (a) terjadi pertumbuhan bakteri. Pada Kelompok II (b), terjadi peningkatan
jumlah bakteri secara signifikan dibandingkan dengan Kelompok I. Pada Kelompok III (c)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
116
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
terjadi peningkatan jumlah bakteri secara signifikan dibandingkan dengan Kelompok II. Pada
Kelompok IV (d) terjadi penurunan jumlah bakteri secara signifikan dibandingkan dengan
Kelompok III (setelah pengambilan dalam waktu 48 jam pada suhu 20 C - 80 C ).
Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan urin kultur (< 2 jam, 24 jam, 48 jam dan
72 jam) terhadap pertumbuhan bakteri, maka data dianalisis dengan uji Anova dengan
memperhatikan beberapa asumsi yaitu data berdistribusi normal, berskala interval atau rasio
dan bervarians homogen. Hasil Kolmogrov-Smirnov Test menunjukkan p=0,688 untuk
pertumbuhan bakteri dan p=0,499 untuk lama penyimpanan. Kedua nilai p tersebut > 0,05,
sehingga disimpulkan terdistribusi normal. Hasil Levene’s Test menunjukkan nilai p=0,368
atau >0,05, sehingga disimpulkan data memiliki varians homogen. Ketiga asumsi telah
terpenuhi sehingga uji Anova dapat dilakukan.
Deskripsi rerata dan simpangan baku untuk tiap kelompok tertera pada Tabel 2, yang
menunjukkan bahwa pada penyimpanan 24 jam dan 48 jam terjadi peningkatan pertumbuhan
bakteri, namun pada penyimpanan 72 jam mengalami penurunan.
Tabel 2. Nilai Rerata dan Simpangan Baku dari 4 Perlakuan (Lama Penyimpanan)
Lama penyimpanan
kurang dari 2 jam
24 jam
48 jam
72 jam
Rerata
571.166,67
2.159,167
2.289,167
1.624,167
Simpangan Baku
283.929,862
1.077.410,863
1.138.553,541
806.017,473
Uji Anova menunjukkan nilai p=0,013 atau < 0,05, sehingga Ho ditolak, artinya ada perbedaan
pertumbuhan bakteri menurut perlakuan yang diberikan. Untuk mengetahui kelompok amatan
yang berbeda, dilakukan uji perbandingan berganda dengan LSD untuk mencari perbedaan
terkecil. Post Hoc Test mendapatkan hasil sebagai berikut:
1. Penyimpanan kurang dari 2 jam berbeda dengan penyimpanan 24 jam
2. Penyimpanan kurang dari 2 jam berbeda dengan penyimpanan 48 jam.
Pembahasan
Pemeriksaan urin kultur adalah salah satu diagnosa untuk menentukan infeksi saluran
kemih dan pemberian jenis antibiotik yang sesuai. Di dalam urin terkandung banyak sisa
metabolisme, protein, garam terlarut dan bahan organik (nitrat). Bahan-bahan yang
terkandung di dalam urin tersebut menjadi nutrisi atau media bagi pertumbuhan bakteri, maka
bila ada sedikit saja bakteri di dalam urin, maka bakteri dapat tumbuh dan berkembang. Selain
nutrisi, pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu dapat mempengaruhi
metabolisme bakteri. Semakin cepat metabolisme, semakin cepat pertumbuhan bakteri.
Bakteri mempunyai suhu optimum (suhu inkubasi) untuk pertumbuhannya, yaitu suhu yang
memungkinkan bakteri tumbuh dengan cepat dan optimum. Lain halnya untuk spesimen urin
kultur, pada spesimen urin kultur sebagian besar bakteri penyebab infeksi saluran kemih
adalah bakteri enterik. Bakteri enterik termasuk kelompok bakteri mesofil, yaitu bakteri yang
mempunyai suhu optimum 30ºC-37ºC dan suhu minimum 5ºC-10ºC.
Media CLED adalah media untuk mendeteksi adanya bakteri dalam urin kultur. Bakteri
yang tumbuh pada media CLED dapat dibedakan antara bakteri pemfermentasi laktose dan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
117
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
non pemfermentasi. Dengan adanya indikator brom thymol blue pada media CLED, maka
bakteri pemfermentasi laktose memberi warna kuning. Dalam penelitian ini, pada Kelompok I
dari 6 (enam) spesimen urin yang diinokulasikan pada media CLED kurang dari 2 jam,
diperoleh hasil: 5 penderita (spesimen A, B, D, E dan F) memiliki jumlah bakteri >100.000
koloni/ml urin dan 1 penderita (spesimen C) memiliki jumlah bakteri <100.000 koloni/ml. Pada
Kelompok II, dari 6 spesimen urin yang telah disimpan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam dan
diinokulasikan pada media CLED, terdapat peningkatan jumlah bakteri yang sangat signifikan
(>100.000 koloni/ml). Dapat dikatakan bahwa peningkatan jumlah bakteri ini terjadi hampir 4
kali lipat daripada Kelompok I. Peningkatan jumlah bakteri juga terjadi pada Kelompok III.
Pada Kelompok IV terjadi penurunan jumlah bakteri. Hal ini terjadi sesuai dengan kurva
pertumbuhan bakteri yaitu apabila satu bakteri diinokulasikan pada suatu medium, maka
bakteri akan memperbanyak diri dengan kecepatan yang konstan pada waktu tertentu, yang
kemudian akan berhenti karena nutrisi sudah tidak memadai, sehingga akan terjadi penurunan
jumlah bakteri dan akhirnya terjadi kematian dari bakteri itu.
Jumlah bakteri yang tumbuh pada spesimen urin kultur dapat menentukan adanya
infeksi saluran kemih. Berdasarkan hasil penelitian di atas, terdapat satu spesimen urin kultur
dengan kode C yang diinokulasi pada media CLED kurang dari 2 jam setelah pengambilan
dan didapatkan jumlah pertumbuhan bakteri sebesar 37.000 koloni/ml. Setelah diperlakukan
dengan penyimpanan pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam didapatkan jumlah pertumbuhan
bakteri sebesar 140.000 koloni/ml. Jumlah bakteri (37.000 koloni/ml urin) pada perlakuan
kurang dari 2 jam setelah pengambilan tidak menunjukkan adanya infeksi saluran kemih.
Sedangkan jumlah bakteri pada perlakuan setelah penyimpanan pada suhu 2ºC-8ºC selama
24 jam dapat menunjukkan adanya infeksi saluran kemih. Hal ini sesuai dengan Standard
Operational Procedure (SOP), 2000 yang menyatakan bahwa adanya jumlah bakteri 100.000
atau lebih/ml urin dapat menentukan adanya infeksi saluran kemih. Dengan demikian,
penyimpanan spesimen urin kultur pada suhu 2ºC-8ºC selama 24 jam dapat memberikan hasil
diagnosa yang sangat berbeda dengan spesimen urin kultur yang diproses kurang dari 2 jam
setelah pengambilan spesimen. Hal ini sesuai dengan signifikasi pembuktian (uji Anova)
menunjukkan adanya perbedaan lama penyimpanan urin kultur pada suhu 2ºC-8ºC.
DAFTAR PUSTAKA
Adelberg, Jawetz, Melnick ,2008; Medical Microbiology, edisi 23, Jakarta penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Anonim 1, Penilaian hasil pemeriksaan urine, www.kalbe.co.id, 18 Juni 2009
Anonim 2, pengantar-tentang-bakteri,filzahazny.wordpress.com, 2008
Anonim 3 Mikro-organisme penyebab Infeksi Saluran Kemih,
Cattel WR., Urinary Tract Infections.Definitions and Classifications.In Infectionsof The Kidney
and Urinary Tract,Ed by Cattel,WR.,Oxford University Press. 1996.
Collee J.Gerald.,Fraser Andrew G, Marmion Berrie P, Simmons Anthony 1996, Makckie &
McCartney Practical Medical Microbiology, fourteenth edition, New York Edinburgh
London Madrid Melbourne San Fransisco and Tokyo.
Darkuni, Noviar 2001, Mikrobiologi, Malang JICA
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
118
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
G. Schlegel, Hans dengan bantuan Karin Schmidt,1994; Mikrobiologi Umum; edisi keenam,
Yogyakarta penerbit Gajah Mada University Press.
Gerard Bonang, Enggar S.Koeswardono 1982, Mikrobiologi Kedokteran Untuk Laboratorium
dan Klinik, Jakarta , penerbit PT Gramedia.
Hastuti, Utami Sri, 2008 ; Petunujuk Praktikum Mikrobiologi, Malang, Universitas Negeri
Malang.
Howes, Davis S, MD, 2005., Urinary Tract Infection, Female, University of Chicago
J.Vandepitte and J.Verhaegen, Engbaek K, Rohner P, Piot P, Heuck C.C, 2003, Basic
Laboratory Procedures in Clinical Bacteriology, Geneva World Health Organization.
Jawetz, Melnick & Adelberg,2008; Medical Microbiology, edisi 23.
Johnson, Arthur G., Ziegler Riechard, Fitzgerald Thomas J, Lukasewycz Omelan, Hawley
Louise ,1994, Mikrobiologi dan Imunologi;Seri ringkasan, Jakarta penerbit Binarupa
Aksara.
New Gupte Satish, MD,1990 , Mikrokrobiologi Dasar, edisi ketiga, Jakarta penerbit Binarupa
Aksara.
Oriputra D, Aryani A, Fauzi A 2008, Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih Pada Pertolongan
Persalinan Spontan di R.S. Mohammad Hoesin Palembang.
Saifuddin AB, 2001, Infeksi saluran kemih, Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta
Shaver DC, Phelan ST, Beckman CRB, Ling FW.,1993. Clinical Manual of Obstetrics, Second
edition
Standard Operating Procedures in Microbiology,2000; Direktorat Laboratorium Kesehatan
Departemen Kesehatan RI
Tarigan, Jeneng 1998, Pengantar Mikrobiologi, Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan. www.kalbe.co.id , 2009.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
119
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
STUDI TENTANG KEADAAN SANITASI RUMAH PENDERITA TB PARU
DI DESA BANJAREJO KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN
*Karno
ABSTRAK
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis dengan penularan melalui udara yang terpercik dahak penderita
sewaktu batuk maupun bersin. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular berbasis
lingkungan dengan salah satu sebab yaitu sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dan rumah ini dapat menjadi mata rantai penularannya. Penyakit TB Paru
menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, sehingga menjadi program prioritas
pemerintah melalui strategi DOTS untuk pemberantasannya. Selain pengobatan secara rutin,
perbaikan sanitasi rumah menjadi satu cara untuk memutus mata rantai penularan penyakit.
Penelitian ini dilakukan di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan mengenai keadaan
sanitasi rumah seluruh penderita penderita TB Paru BTA positif sebanyak 7 penderita. Obyek
penelitian deskriptif ini adalah 7 rumah penderita TB Paru dan menggunakan data primer yaitu
pengukuran keadaan fisik rumah, observasi, wawancara dengan menggunakan kuesioner dan
data sekunder dari puskesmas dan kantor desa. Hasil penelitian menunjukkan sanitasi rumah
semua (100%) dalam kategori kurang, tingkat pendidikan sebagian besar tamat SD (57,14%),
tingkat pengetahuan dengan kriteria baik 57,14%, sedang 14,29% dan kurang sebanyak
28,57%, sedangkan tingkat pendapatan < Rp. 200.000,- sebanyak 85,71% dan antara Rp.
200.000,- - Rp. 500.000,- sebanyak 14,29%. Kesimpulan penelitian adalah ada keterkaitan
antara pendidikan, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan dengan keadaan sanitasi
rumah, dan keadaan sanitasi rumah berperan dalam hal penularan penyakit TB Paru.
Kata kunci : Sanitasi rumah, TB Paru.
*: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan
Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang sudah sangat tua dan bahkan
mungkin lebih tua daripada sejarah manusia. Gambaran TB telah ada sejak lama, misalnya
dalam salah satu tokoh cerita The Hunchback of Notre Dame yang terkenal karya sastrawan
besar Vector Hugo. Di dalam Piramida Mesir Kuno juga ditemukan gambar relief manusia
bongkok yang kemungkinan menderita TB tulang belakang atau gibbus pada spondilitis TB.
Ditemukan pula kuman TB pada sebagian mumi Mesir dan sebagian fosil dinosaurus.
Sepanjang dasawarsa terakhir pada abad XX, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh
dunia, yaitu 95% kasus terjadi di negara sedang berkembang dan Indonesia menduduki
peringkat ke-3 penyumbang kasus TB terbanyak di dunia, setelah India dan China. WHO
memperkirakan, setiap tahun ada 583.000 kasus baru di Indonesia dengan sekitar 262.000
dalam bentuk aktif yang dapat menular kepada orang lain serta sekitar 140.000 orang
meninggal setiap tahun (Harian Umum Kompas, 14 Maret 2002 ).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
120
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Program Pemberantasan penyakit TB Paru saat ini menggunakan strategi pengobatan
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse ) yang direkomendasikan oleh WHO yang
selanjutnya berkembang dengan pembentukan GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu Nasional
Tuberkulosis). Lingkungan, khususnya perumahan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penyebaran penyakit TB Paru secara epidemiologi selain agent dan penjamu
(host). Rumah yang sehat akan mendukung kelangsungan hidup serta kenyamanan dan
keamanan bagi penghuninya, namun sebaliknya rumah yang tidak memenuhi syarat dapat
berperan dalam penularan berbagai penyakit menular berbasis lingkungan termasuk TB Paru.
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Rumusan masalah penelitian adalah: ”Bagaimana keadaan sanitasi rumah penderita TB
Paru di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan ?”
Sedangkan tujuan penelitian adalah menilai keadaan sanitasi rumah (ventilasi,
pencahayan, suhu dan kelembaban serta kepadatan penghuni) dan gambaran penderita TB
Paru meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan dan pendapatan.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan, informasi dan menjadi bahan
pertimbangan dan masukan dalam upaya pemberantasan TB Paru.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian deskriptif lapangan ini bertujuan memperoleh gambaran keadaan sanitasi
rumah dan penderita TB Paru dari total populasi yaitu seluruh rumah dan penderita TB Paru di
Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan sebanyak 7 rumah.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Keadaan Sanitasi Rumah
Data keadaan sanitasi rumah terdiri atas hasil pengukuran keadaan fisik rumah,
persentase persyaratan fisik rumah, dan hasil penilaian keadaan sanitasi rumah, yang masingmasing ditampilkan pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Keadaan Fisik Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
No Pencahayaan (Lux) Kelembaban (%) Suhu (ºC) Luas Ventilasi (m²) Luas Lantai (m²)
1
37
60
15
0
5mx6m
2
58
58
16
2
5mx7m
3
34
56
16
0
4mx6m
4
59
55
17
0,6
7 m x 11 m
5
54
51
17
1
7 m x 11 m
6
50
53
18
12
7 m x 11 m
7
40
50
17
0
4mx6m
No
1
2
3
4
Tabel 2. Persentase Persyaratan Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Keadaan fisik
Memenuhi Syarat
Tidak memenuhi syarat
Jumlah
rumah
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah %
Pencahayaan
0
0
7
100
7
100
Kelembaban
7
100
0
0
7
100
Suhu (< 18º C)
1
14,29
6
85,71
7
100
Luas Ventilasi
1
14,29
6
85,71
7
100
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
121
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 3. Hasil Penilaian Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo.
Keadaan Sanitasi Rumah
Jumlah
Persentase ( % )
Baik
0
0
Sedang
0
0
Kurang
7
100
Jumlah
7
100
Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru di
Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan semua dalam kategori kurang.
Karakteristik Penderita TB Paru
Karakteristik penderita TB Paru (umur, jumlah jiwa, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan
dan pendapatan) disajikan pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 9.
Nomor
1
2
3
Tabel 4. Distribusi Golongan Umur Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Golongan Umur
Jumlah
Persentase
30 – 45 tahun
4
57.14
46 – 61 tahun
1
14.29
62 – 77 tahun
2
28.57
Jumlah
7
100.00
Tabel 5. Distribusi Jumlah Jiwa Dalam Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Nomor
Jumlah Jiwa Dalam Rumah
Penderita TB
Bukan Penderita TB
1
5
1
4
2
6
1
5
3
5
1
4
4
7
1
6
5
3
1
2
6
6
1
5
7
5
1
4
Jumlah
37
7
30
Tabel 6. Distribusi Tingkat Pendidikan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Nomor
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase
1
Tidak Sekolah
1
14.29
2
Tamat SD
4
57.14
3
Tamat SMP
1
14.29
4
Tamat SMA
1
14.29
5
Tamat Perguruan Tingi
0
0.00
Jumlah
7
100.00
Nomor
1
2
3
Tabel 7. Distribusi Tingkat Pengetahuan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Pengetahuan
Jumlah
Persentase
Baik
4
57.14
Sedang
1
14.29
Kurang
2
28.57
Jumlah
7
100
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
122
Vol.I No.2 April 2010
No
1
2
Nomor
1
2
3
ISSN: 2086-3098
Tabel 8. Distribusi Pekerjaan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Tani
6
85.71
Wiraswasta
1
14.29
JUMLAH
7
100
Tabel 9. Distribusi Pendapatan Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Pendapatan
Jumlah
Persentase
< Rp. 200.000,6
85.71
Rp. 200.000,- - Rp. 500.000
1
14.29
Rp. 500.000,- keatas
0
0
JUMLAH
7
100
Tampak bahwa sebagian besar penderita TB Paru berada pada golongan umur 30-45 tahun,
jumlah jiwa di dalam rumah cukup banyak, berpendidikan SD, memiliki tingkat pengetahuan
yang baik, bekerja sebagai petani dan memiliki pendapatan < Rp. 200.000,- perbulan.
Jelaslah bahwa keadaan sanitasi rumah maupun karakteristik penderita TB Paru di Desa
Banjarejo berada dalam kondisi beresiko. Keadaan tersebut mungkin tidak perlu terjadi jika
sanitasi terjaga kualitasnya, karenan menurut WHO, sesungguhnya penularan TB dapat
dicegah dengan mempraktekkan pola hidup sehat termasuk menjaga lingkungan dan sanitasi
rumah. Berkaitan dengan hal tersebut APHA dan Winslow telah memaparkan bahwa salah
satu persyaratan dari rumah sehat adalah dapat mencegah terjadinya penularan penyakit dan
kecelakaan. Pentingnya rumah yang sehat ini juga dikemukakan oleh pemerintah melalui
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan yang isinya antara lain mencakup: 1) pencahayaan (seluruh ruangan
minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan), 2) ventilasi alamiah yang permanen
minimal 10% dari luas lantai, 3) kepadatan hunian ruang tidur, minimal 8 meter persegi dan
tidak dianjurkan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5
tahun dan 4) kualitas udara (di dalam rumah tidak boleh melebihi ketentuan yaitu: untuk suhu
udara nyaman berkisar 18º–30 ºC sedang kelembaban udara berkisar antara 40%–70%).
Penelitian tentang faktor resiko terhadap kejadian penyakit TB Paru telah dilakukan oleh
Suhardi dkk. (2006) di Salatiga menunjukkan bahwa sebagian besar faktor resiko terjadinya
penyakit TB Paru adalah berasal dari keadaan sanitasi rumah, di samping faktor resiko
lainnya. Secara lengkap kesimpulan penelitian mereka adalah sebagai berikut:
Pertama, resiko terjadinya TB paru pada balita yang menempati rumah padat penghuni (pebih
besar atau sama dengan 9 meter persegi per orang) adalah 42,14 kali lebih besar
dibandingkan dengan balita yang tidak menempati rumah padat penghui. Kedua, resiko
terjadinya TB paru pada balita yang rumahnya lembab adalah 18 (dibulatkan) kali
dibandingkan dengan balita yang rumahnya tidak lembab. Ketiga, resiko terkenanya penyakit
TB paru pada balita yang memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan (lebih
kecil dari 10% luas lantai rumah) adalah 15,476 kali dibandingkan balita yang memiliki luas
ventilasi memnuhi standar kesehatan (lebih besar atau sama dengan 10% dari luas lantai
rumah). Keempat, resiko terkenanya penyakit TB paru pada balita yang memiliki suhu ruangan
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 9,8 kali dibandingkan balita yang memiliki
suhu ruangan rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Kelima, resiko terjadinya TB paru pada
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
123
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
anak yang rumahnya tidak cukup pencahayaan adalah 4 kali dibandingkan dengan balita yang
cukup pencahayaan. Keenam, resiko terjadinya TB paru pada balita yang di rumahnya ada
penderita TB yang lain adalah sebesar 49,762 kali dibandingkan dengan balita yang rumahnya
tidak ada penderita TB yang lain. Ketujuh, resiko terjadinya penyakit TB pada baita yang tidak
memperoleh imunisasi BCG yaitu 16,673 kali dibandingkan balita yang memperoleh imunisasi
BCG. Kedelapan, resiko terjadinya TB paru pada balita yang mempunyai status gizi kurang
pada masa lampau adalah 11,667 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang
mempunyai status gizi lebih baik di masa lampau. Kesembilan, resiko terjadinya penyakit TB
paru pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif adalah 9,198 kali lebih besar
dibandingkan balita yang mendapatkan ASI eksklusif.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ditarik simpulan sebagai berikut: keadaan sanitasi penderita TB Paru
seluruhnya berada dalam kategori kurang. Karakteristik penderita TB Paru adalah: sebagian
besar berada pada golongan umur 30-45 tahun, jumlah jiwa di dalam rumah cukup banyak,
berpendidikan SD, memiliki tingakat pengetahuan yang baik, bekerja sebagai petani dan
memiliki pendapatan kurang dari Rp. 200.000,- perbulan.
Saran yang diajukan adalah: 1) institusi kesehatan baik dinas kesehatan maupun
puskesmas diharapkan melakukan pengawasan, pemantauan dan penyuluhan secara rutin
tentang sanitasi rumah kepada penderita TB Paru dan anggota keluarganya secara lebih
intensif sehingga tujuan program pemberantasan TB paru dengan Strategi DOTS dapat
berhasil dan rumah tidak menjadi tempat mata rantai penularan penyakit ini, 2) Penderita TB
Paru selain berobat secara tepat dan teratur diharapkan juga lebih memperhatikan masalah
sanitasi rumah khususnya masalah jendela, ventilasi dan pemasangan genteng kaca agar
pencahayaan alami dari sinar matahari masuk secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. TB bisa dicegah, TB bisa disembuhkan, Kompas 28 Maret 2010.
Aditama Candrayoga, 2002. Harian Umum Kompas 14 Maret 2002 . Gerdu TB Perlu
Revitalisasi dan Komitmen Politik.
Direktorat Jenderal PPM dan PLP Depkes RI, 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan
TBC. Jakarta : Depkes RI
Indrarto Wikan, 2010. Harian Umum Kompas 24 Maret 2010 Hal 14. Hari Tuberkulosis
Sedunia ”Salah Kaprah Tuberkuilosis Anak”.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 829 /Menkes/ SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan.
Sanropie, Djasio, 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Permukiman. Jakarta: Depkes
RI.
Slamet Juli Soemirat, 1994, Kesehatan Lingkungan, Bandung, UGM Press.
Suhardi, Windarsih DW, Nuryadani SA dan Triana AA. Hubungan Faktor Resiko Kondisi
Rumah Terhadap Kejadian TB Paru Pada Balita Di Wilayah Kota Salatiga Tahun
2006, http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes
Tabloid ” Senior ”, Gaya Hidup Sehat Nomor 137/22-28 Februari 2002.
Tabloid “ Gaya Hidup Sehat, Nomor 558/ 26 Maret – 1 April 2010, Hal 31.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
124
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PERBEDAAN PERILAKU MENJAGA PERSONAL HYGIENE SAAT MENSTRUASI
PADA REMAJA PUTRI ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PENYULUHAN
TENTANG PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI
Koekoeh Hardjito*, Suwoyo*, Siti Asiyah*
ABSTRAK
Dalam rentang kehidupan manusia, seseorang perlu mampu menjaga kebersihan diri,
termasuk saat seorang remaja putri mengalami menstruasi. Tujuan penelitan ini adalah untuk
mengetahui perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi pada
remaja putri di SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan
tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pra eksperimen dengan One Group Pre test–post test design. Sampel penelitian sebanyak 22
remaja putri yang diambil secara purposif. Analisis menggunakan uji Wilcoxon pada α 5%.
Hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,001 > α 5% atau ada perbedaan perilaku menjaga
personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah pemberian pendidikan
kesehatan reproduksi. Diharapkan dari penelitian ini, ada kerjasama antara pihak sekolah dan
petugas kesehatan untuk lebih meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi sehingga
perilaku dalam menjaga personal hygiene khususnya saat menstruasi lebih meningkat.
Kata kunci: perilaku, personal hygiene, menstruasi, penyuluhan, kesehatan reproduksi
*: Program Studi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang
PENDAHULUAN
Latar belakang
Manusia perlu menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar sehat, tidak bau, tidak
menyebarkan kotoran atau menularkan penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sepanjang siklus kehidupan manusia, kebersihan diri harus dijaga termasuk saat manusia
memasuki masa remaja. Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam
rentang kehidupan individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke
masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan
sosial (IDAI, 2002). Masa remaja (adolescence/puberty) dimulai pada usia 11 atau 13 sampai
usia 21 tahun. Masa preadolescence pada wanita terjadi pada usia 11–13 tahun. Secara fisik
pada masa ini terjadi perubahan organ seksual. Salah satu perubahan fisik yang dialami
remaja putri adalah menstruasi pertama, yang menuntut remaja putri mampu merawat organ
reproduksi dengan baik terutama dalam hal kebersihan pribadi (personal hygiene). Hal ini
disebabkan oleh peristiwa menstruasi yang merupakan darah kotor, yang jika kurang dijaga
kebersihannya akan berpotensi untuk timbul infeksi pada organ reproduksi (Yusuf, 2002).
Untuk menghindari infeksi vagina, remaja putri perlu memiliki perilaku yang baik dalam
kebersihan diri, khususnya kebersihan alat reproduksi, untuk itu pendidikan kesehatan perlu
diberikan agar kebersihan diri bisa dijaga dengan baik. Guna menciptakan perilaku tersebut,
perlu diberikan pendidikan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Melalui kegiatan ini
dapat disampaikan hal-hal yang terkait dengan organ reproduksi termasuk personal hygiene
alat reproduksi, dengan tujuan agar terbentuk pengetahuan tentang perlunya personal
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
125
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
hygiene. Jika pengetahuan meningkat, diharapkan timbul sikap positif dalam menjaga
personal hygiene, yang menjadi dasar terbentuknya perilaku menjaga personal hygiene.
Menstruasi awal sering dijumpai pada anak kelas 5–6 SD berusia 11–13 tahun. Studi
pendahuluan di SDN Jamsaren I Kota Kediri memperoleh hasil bahwa 3 dari 5 siswa yang
telah menstruasi mengatakan tidak mengerti cara menjaga kebersihan diri yang benar.
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Adakah perbedaan perilaku dalam menjaga
personal hygiene saat menstruasi pada remaja putri Di SDN Jamsaren I Kota Kediri antara
sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi ?”
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi perilaku remaja putri dalam menjaga
personal hygiene saat menstruasi sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan, 2)
menganalisis perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi antara
sebelum dan sesudah mendapatkan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi.
Diharapkan penelitian ini membawa manfaat sebagai: 1) sumbangsih pemikiran dalam
memilih, menyusun dan merencanakan metode pengembangan perilaku sehat remaja putri, 2)
masukan bagi masyarakat, sekolah, puskesmas dan pemerintah dalam memfasilitasi
pengembangan perilaku sehat remaja putri, 3) tambahan informasi bagi para akademisi dan
praktisi yang terkait dengan Ilmu Perilaku dan Promosi Kesehatan, 4) bahan pertimbangan
untuk penelitian selanjutnya, sesuai dengan permasalahan yang belum teridentifikasi.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian pra eksperimen di SDN Jamsaren I Kediri pada bulan April-Mei 2009 ini
menerapkan one group pre test–post test design, yaitu mengungkapkan perbedaan dengan
melibatkan satu kelompok subyek. Populasi penelitian adalah seluruh siswi kelas 5 dan kelas
6 yang sudah menstruasi, dan sampel diambil secara purposif sebanyak 22 siswa.
Tabel 1. Definisi Operasional Variabel
Variabel
Penyuluhan
kesehatan
reproduksi
Pengertian
Proses penyampaian pesan tentang
kesehatan reproduksi dari penyuluh
kepada sasaran penyuluhan yaitu
anak perempuan kelas 5 dan 6 SD
yang sudah menstruasi, dengan
metode tanya jawab dan simulasi
Perilaku menjaga Perilaku menjaga personal hygiene
personal hygiene yang dilakukan oleh remaja saat
saat menstruasi
mendapatkan menstruasi
Kategori
Kriteria
Skala
Pre
Sebelum
Nominal
diberi
penyuluhan
Post
Setelah diberi
penyuluhan
Baik
Cukup
Kurang
Skor > 76
Skor 56 - 76
Skor < 56
Ordinal
Penyuluhan kesehatan reproduksi merupakan variabel bebas, dan perilaku siswa dalam
menjaga personal hygiene saat menstruasi merupakan variabel terikat, yang masing-masing
didefinisikan pada Tabel 1. Data dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner tentang hal-hal
yang dikerjakan oleh siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi I. Setelah itu
kuesioner diambil dan dilanjutkan dengan pemberian penyuluhan tentang kesehatan
reproduksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner yang sama setelah diberikan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
126
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
penyuluhan. Berikutnya dilakukan pengolahan data dan analisis data menggunakan uji beda
untuk 2 sampel berpasangan yaitu uji Wilcoxon menggunakan SPSS versi 11.05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Perilaku siswi sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel. 2 Perilaku Remaja Putri Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
Kategori
Perilaku
Baik
Cukup
Kurang
Total
Sebelum Penyuluhan
Frekuensi
Persentase
1
4.5
21
95.5
0
0
22
100
Sesudah Penyuluhan
Frekuensi
Persentase
4
18
18
82
0
0
22
100
Perbedaan perilaku siswi antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi
disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tampak bahwa tak ada peningkatan nilai minimum
yaitu 60 sesudah pendidikan. Pada nilai maksimum, perilaku sebelum pendidikan kesehatan
meningkat dari 78 menjadi 80. Uji Wilcoxon menunjukkan nilai p 0,001 < α 0,05, maka Ho
ditolak, artinya ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi pada siswi
SDN Jamsaren I Kota Kediri antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi.
Skor perilaku sebelum HE
7
6
5
4
3
Frequency
2
Std. Dev = 4.46
1
Mean = 66.2
N = 22.00
0
60.0
62.5
65.0
67.5
70.0
72.5
75.0
77.5
Skor perilaku sebelum HE
Gambar 1 Skor Perilaku Remaja Putri Sebelum Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
Sebelum diberi penyuluhan, hanya ada 1 siswi yang memiliki perilaku menjaga personal
hygiene dalam kategori baik, sedangkan sisanya adalah dalam kategori cukup. Satu siswi
tersebut telah mengalami menstruasi paling lama yaitu 2 tahun, hal ini sesuai dengan
pendapat Potter dan Perry, (2000) bahwa sikap seseorang melakukan personal hygiene
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
127
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Tidak ada dua orang yang melakukan perawatan kebersihan
dengan cara yang sama. Beragam faktor pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktek
hygiene, juga keterbatasan fisik, kepercayaan, nilai dan kebiasaan. Secara terperinci meliputi
citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi, pengetahuan, kebudayaan, pilihan pribadi dan
kondisi fisik. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan
mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup, motivasi juga
harus dilakukan untuk memelihara perawatan diri. Pembelajaran praktik tertentu yang
diharapkan dan menguntungkan dalam mengurangi resiko kesehatan dapat memotivasi
seseorang untuk memenuhi perawatan yang diperlukan. Lamanya waktu seseorang
mengalami menstruasi menjadikan pengetahuannya tentang menstruasi termasuk bagaimana
cara mengelola kebersihan diri meningkat.
Skor perilaku setelah HE
16
14
12
10
8
Frequency
6
4
Std. Dev = 5.15
2
Mean = 68.7
N = 22.00
0
60.0
65.0
70.0
75.0
80.0
Skor perilaku setelah HE
Gambar 2 Skor Perilaku Remaja Putri Sesudah Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
Sesudah diberi penyuluhan, terdapat 4 siswi yang memiliki perilaku yang baik dalam
menjaga personal hygiene saat menstruasi. Perilaku yang baik ditunjukkan dengan
kemampuannya membersihkan organ reproduksi dengan cara yang benar, namun masih
dijumpai beberapa remaja yang melakukan dengan cara yang belum benar, sehingga secara
keseluruhan memberikan hasil perilaku yang cukup. Perawatan alat reproduksi bisa dilakukan
minimal dua kali sehari dan waktu yang lebih baik adalah pagi dan sore hari sebelum mandi,
sesudah buang air kecil atau buang air besar atau empat jam sekali, terutama pada perineum
(Cristina, 1999). Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata
siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi. Keterpaparan seseorang terhadap
informasi dapat merubah pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
128
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Hasil penelitian membuktikan adanya perbedaan perilaku menjaga personal hygiene
saat menstruasi siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian
penyuluhan. Menurut Munir (1997), dalam proses penyuluhan ada tiga kemungkinan yang bisa
terjadi yaitu: 1) Keberhasilan sesungguhnya, yaitu perilaku sasaran berubah seperti apa yang
diharapkan dan berlangsung terus-menerus. 2) keberhasilan semu, yaitu perubahan perilaku
baru terjadi dalam waktu terbatas yaitu selama si penyuluh berada bersama sasaran atau
selama mereka masih merasakan manfaat dari perilaku itu. Begitu penyuluh berpisah dengan
sasaran atau sasaran tak lagi merasakan manfaatnya, mereka kembali keperilaku lama, 3)
Kegagalan total, yaitu sasaran menolak secara total inovasi baru yang disampaikan.
Mengapa terjadi kegagalan, keberhasilan semu atau keberhasilan sesungguhnya dalam suatu
penyuluhan, ini sangat tergantung dari individu dari tingkat pendidikan, pengetahuan yang
melatarbelakangi perilaku masing-masing individu. Kondisi yang terjadi pada remaja putri
setelah mendapatkan pendidikan kesehatan dapat disebabkan oleh ketiga hal di atas.
Pengetahuan yang didapat dari hasil belajar kepada lingkungan selama perjalanan
hidupnya, kemudian mendasari seseorang untuk dapat menginterpretasikan obyek dan
dijadikan acuan baginya untuk bertindak terhadap obyek tersebut, yang terlihat sebagai
perilaku sehari-hari. Helen dan Paul (1980) mengemukakan bahwa efektivitas komunikasi,
tentu juga efektivitas penyuluhan, paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu: kesenangan,
hubungan sosial yang baik, pengertian, pengaruh pada sikap dan tindakan. Pendidikan
kesehatan reproduksi yang dilakukan masih sebagian kecil dapat menimbulkan tindakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah: 1) sebagian besar siswi memiliki perilaku cukup dalam
menjaga personal hygiene saat menstruasi, 2) terdapat peningkatan frekuensi perilaku cukup
menuju perilaku baik pada siswi setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, 3)
ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan
sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan pada siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri.
Berdasarkan simpulan diajukan saran antara lain: 1) sekolah hendaknya memantau
kemampuan siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi dan menyiapkan
pemahaman menjaga personal hygiene pada siswi yang akan mengalami menstruasi I, 2)
petugas kesehatan diharapkan meningkatkan pemberian pemahaman kepada masyarakat
tentang cara menjaga personal hygiene pada saat menstruasi dengan berbagai pendekatan.
DAFTAR PUSTAKA
Munir, B. (1997). Penyuluhan Kesehatan Masyarakat dengan Pendekatan Antropologi ,
Jakarta: Depkes RI.
Notoatmodjo,S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Helen S.Ross and Paul R. Mico. (1980). Theory and Practice in Health Education
Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian Pendekatan Suatu Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta.
Syamsu Yusuf, 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
129
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
KINERJA SANITARIAN LAPANGAN DALAM MENURUNKAN
ANGKA KEJADIAN DBD DI MAGETAN
Budi Yulianto*
ABSTRAK
Selama tiga tahun terakhir angka kejadian DBD cenderung meningkat tajam baik ditinjau
dari peningkatan kelompok usia, kewilayahan, serta kematian. Tenaga Sanitasi di lapangan
mempunyai tugas berkaitan dengan pemberantasan DBD di antara tugas lain yang melekat.
Peran dan fungsi tenaga sanitasi diharapkan memberikan kontribusi menurunkan kejadian
DBD di wilayahnya. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh kinerja tenaga sanitasi lapangan
terhadap kejadian DBD di Kabupaten Magetan. Sampel diambil dari sebagian petugas
sanitasi lapangan sebanyak 21 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner dan dokumen
kejadian DBD selama dua tahun. Hasil analisis menunjukan petugas sanitasi lapangan yang
mempunyai kinerja baik (76,2%), kurang baik (23,8%). Kejadian DBD di Puskesmas
menunjukan kategori kurang baik atau terjadi peningkatan (85,7%), dan 14,3% kejadian DBD
baik atau tidak ada peningkatan. Uji regresi logistik (p)=0,905, artinya tidak ada pengaruh
kinerja sanitasi lapangan terhadap angka kejadian DBD.
Kata kunci : sanitasi lapangan, DBD.
*: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan
Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Demam Berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Dalam tiga tahun terakhir kasus DBD meningkat
secara tajam baik apabila ditinjau dari peningkatan angka kejadian DBD berdasarkan
kelompok usia dari penderita, juga terjadi peningkatan angka kejadian DBD berdasarkan
batas teritorial kewilayahan, maupun peningkatan jumlah kematian dari penderita DBD.
Seiring dengan peningkatan angka kejadian dan angka kematian akibat DBD sebenarnya
di tiap-tiap wilayah kerja puskesmas telah tersedia tenaga sanitasi di lapangan baik secara
kuantitatif maupun kualitatif (kualifikasi pendidikan) sudah lebih baik apabila dibandingkan
dengan kuantitas maupun kualitas pada tahun-tahun sebelumnya.
Keberadaan tenaga sanitasi di lapangan diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
mencegah dan menurunkan penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan khususnya
DBD. Fakta menunjukan bahwa akhir-akhir ini terjadi peningkatan kejadian dan kematian
akibat DBD hampir diberbagai daerah di Indonesia. Di Kabupaten Magetan juga terjadi
peningkatan angka kejadian DBD dan kematian dari tahun ke tahun. Dalam 4 tahun terakhir
perkembangan angka kejadian DBD di Kabupaten Magetan adalah: tahun 2001 terdapat 341
penderita DBD dan 2 orang di antaranya meninggal, tahun 2002 terdapat 244 penderita dan 4
orang di antaranya meninggal, tahun 2003 terdapat 136 penderita, dan tahun 2004 terdapat
260 penderita dan 2 orang di antaranya meninggal (Subdin PPM Dinkes Kab. Magetan 2005).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
130
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Peningkatan angka kejadian dan angka kematian akibat DBD kemungkinan disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu: 1) Faktor lingkungan (meningkatnya populasi Aedes aegypti) yang
dipengaruhi pula oleh perubahan pola hidup nyamuk serta terjadinya kekebalan pada tubuh
nyamuk akibat penggunaan bahan-bahan insektisida. 2) Faktor keberadaan virus dengue
pada tubuh penderita maupun pada tubuh vektor. 3) Faktor karakteristik manusia termasuk
perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari. 4) Faktor pelayanan kesehatan
termasuk sarana- prasarana, tenaga, asustibilitas pelayanan. 5) Faktor alam (musim).
Dari beberapa faktor di atas, terutama adalah keberadaan tenaga sanitasi di lapangan
yang merupakan salah satu tenaga dengan tugas berkaitan dengan penanggulangan DBD di
wilayahnya, yaitu melaksanakan monitoring atau pemeriksaan jentik nyamuk (Aedes aegeypti)
yang kegiatannya sering diintegrasikan dengan kegiatan Survey Rumah Tangga. Selain itu jika
terjadi kasus DBD di wilayahnya, ikut melaksanakan tindakan-tindakan di lingkungan penderita
serta memberikan penyuluhan tentang DBD, sehingga diharapkan tidak terjadi peningkatan
angka kejadian dan kematian akibat DBD di wilayah kerjanya. Mengingat pentingnya peran
dan fungsi petugas ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh kinerja petugas
sanitasi di lapangan terhadap angka kejadian DBD di wilayah kerjanya.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Populasi penelitian cross sectional ini adalah petugas sanitasi lapangan yang bekerja di
seluruh puskesmas di Kabupaten Magetan sebanyak 22 orang. Besar sampel dengan nilai p =
50% , dan α = 0,05 sebanyak 21 orang, diambil dengan teknik simple random sampling.Data
dikumpulkan dengan metode tanya jawab terpimpin dan pengamatan meliputi kinerja petugas,
data kejadian DBD dikumpulkan dengan metode dokumentasi yaitu melalui dokumen pada
setiap puskesmas. Analisis deskriptif diterapkan untuk menggambarkan kinerja petugas,
angka kejadian DBD, sarana, dan prasarana. Uji Regresi Logistik digunakan untuk menguji
pengaruh kinerja sanitarian terhadap kejadian DBD.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil PenelitianHAELITIAN
Karakteristik pendidikan sanitarian adalah: SPPH (DI) 8 orang (38,1%), D III Kesehatan
Lingkungan 2 (57,1%), dan D III + SKM 1 orang (4,8%). Karakteristik masa kerja sanitarian
adalah: 15–20 tahun 13 orang (61,9 %), < 15 tahun 2 orang (9,5 %). Sedangkan karakteristik
jarak tempat tinggal sanitarian dengan puskesmas adalah: tak lebih dari 10 km sebanyak 13
orang (61,9%), dan lebih dari 10 km sebanyak 8 orang (38,1 %).
Distribusi kinerja sanitarian adalah: baik: 16 orang (23,8 %), dan kurang: 5 orang
(23,8%). Angka kejadian DBD yang menurun atau tetap daripada tahun sebelumnya: 3
puskesmas (14,3%), dan yang meningkat: 18 puskesmas (85,7%). Peningkatan kejadian DBD
terendah: 1 kasus dan tertinggi: 29 kasus. Rerata peningkatan kejadian DBD per-puskesmas
adalah 6 kasus. Serta terjadi peningkatan jumlah penderita yang meninggal (2 orang).
Angka kejadian DBD menurut pendidikan sanitarian disajikan pada Tabel 1, angka
kejadian DBD menurut masa kerja sanitarian disajikan pada Tabel 2, sedangkan angka
kejadian DBD menurut kinerja sanitarian disajikan pada Tabel 3.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
131
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 1 menunjukan bahwa tenaga sanitasi dengan pendidikan D III kesehatan
lingkungan, yang mempunyai angka kejadian DBD kurang baik di wilayah kerjanya (terdapat
peningkatan kasus DBD) sebanyak 10 (83,3%), sedangkan yang mempunyai angka kejadian
DBD baik (terjadi penurunan kasus DBD) sebanyak 2 (16,7%). Tenaga sanitasi berpendidikan
S-1 seluruhnya memiliki wilayah dengan angka kejadian DBD kurang baik.
Tabel 2 menunjukan bahwa tenaga sanitasi dengan masa kerja 15–20 tahun, yang
mempunyai angka kejadian DBD kurang baik di wilayah ada 10 orang (76,9%), sedangkan
yang mempunyai angka kejadian DBD baik ada 3 orang (23,1%). Tenaga sanitasi dengan
masa kerja >20 tahun, seluruh wilayah kerjanya memiliki angka kejadian DBD kurang baik.
Tenaga sanitasi dengan masa kerja <15 tahun, seluruh wilayah kerjanya memiliki angka
kejadian DBD kurang baik.
Tabel 3 menunjukan bahwa tenaga sanitasi dengan kinerja baik, yang mempunyai angka
kejadian DBD kurang baik di wilayah kerjanya ada 13 orang (81,3%), sedangkan yang
mempunyai angka kejadian DBD baik ada 3 orang (18,7%). Tenaga sanitasi dengan kinerja
kurang baik, seluruhnya memiliki angka kejadian DBD kurang baik di wilayah kerjanya.
Tabel 1. Angka Kejadian DBD Menurut Tingkat Pendidikan Sanitarian
Tingkat
Pendidikan
SPPH
D III Kesling
D III Kesling + S-1
Total
Angka kejadian DBD
Kurang baik
Baik
Jumlah
%
Jumlah
%
7
87,5
1
12,5
10
83,3
2
16,7
1
100
18
85,7
14,3
Total
Jumlah
8
12
1
21
%
100
100
100
100
Tabel 2 Angka Kejadian DBD Menurut Tingkat Pendidikan Sanitarian
Masa kerja
< 15 tahun
15 – 20 tahun
> 20 tahun
Total
Angka kejadian DBD
Kurang baik
Baik
Jumlah
%
Jumlah
%
2
100
10
76,9
3
23,1
6
100
18
85,7
14,3
Total
Jumlah
2
13
6
21
%
100
100
100
100
Tabel 3. Angka kejadian DBD Menurut Kinerja Sanitarian
Kinerja
Baik
Kurang baik
Total
Angka kejadian DBD
Kurang baik
Baik
Jumlah
%
Jumlah
%
13
81,3
3
18,7
5
100
18
85,7
14,3
Total
Jumlah
16
5
21
%
100
100
100
Uji regresi logistik mendapatkan nilai p = 0,905 > (α = 0,05), berarti tidak ada pengaruh
kinerja sanitarian terhadap angka kejadian DBD di Wilayah Dinas Kesehatan Kab. Magetan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
132
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Pembahasan
DBD merupakan merupakan penyakit yang berasal dari lingkungan yang dalam tiga
tahun terakhir ini cenderung mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas,
artinya dari jumlah penderita mengalami peningkatan termasuk semua kelompok usia
mempunyai resiko untuk terkena DBD. Selain peningkatan jumlah penderita, juga terjadi
peningkatan luasnya jangkauan wilayah dari masyarakat yang menderita DBD.
Penyebab DBD adalah terdapatnya virus dengue dalam tubuh penderita yang ditularkan
melalui vektor Aedes aegypti. Demikian pula terjadinya transmisi pada penyakit ini, virus
dengue yang berasal dari penderita DBD atau penderita yang bersifat karier melalui gigitan
vektor Aedes aegypti berpindah ke dalam tubuh nyamuk, setelah melalui proses yang disebut
propogatif dalam tubuh nyamuk dan menyebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk
dalam kelenjar liurnya. Dari dalam tubuh vektor, virus ini ditularkan kepada orang yang sehat
melalui gigitan hingga timbul gejala atau atau gangguan dalam bentuk sakit.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada pengaruh kinerja petugas sanitasi
lapangan terhadap angka kejadian DBD di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Magetan. Dengan demikian terjadinya peningkatan jumlah penderita DBD maupun terjadinya
kematian akibat DBD bukan dipengaruhi oleh kinerja petugas sanitasi di lapangan.
Meningkatnya angka kejadian DBD tersebut mungkin disebabkan oleh:
1. Tingginya mobilitas penderita
Mobilitas adalah salah satu aktifitas seseorang atau masyarakat yang ditandai dengan
berpindah-pindahnya seseorang dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan
melaksanakan aktifitas sehari-hari. Demikian juga dengan penderita DBD yang merupakan
sumber atau resevoir virus dengue mempunyai peran sangat besar terhadap penularan
DBD kepada orang lain. Berpindahnya penderita dari satu tempat ke tempat lain sama
artinya dengan hadirnya sumber atau reservoir virus dengue di tempat tersebut.
Terdapatnya reservoir atau sumber virus di tempat tersebut didukung oleh adanya vektor
Aedes aegypti, maka mempunyai potensi terjadinya perpindahan virus dari orang yang sakit
(karier) kepada orang yang sehat hingga timbul gejala atau gangguan. Peningkatan jumlah
penderita baru di tempat tersebut sangat dipengaruhi oleh frekuensi terjadinya perpindahan
virus dari reservoir kepada host baru, selain itu juga dipengaruhi oleh jumlah vektor Aedes
aegypti di tempat tersebut yang mempunyai kesempatan untuk memindahkan virus dengue
dari reservoir kepada host baru.
Kemungkinan tidak sedikit penderita yang sudah merasa sehat namun di dalam tubuhnya
masih mengandung virus dengue sudah melakukan mobilitas. Keadaan ini juga mempunyai
potensi terjadi penularan DBD kepada orang lain. Untuk mencegah perpindahan virus dari
dalam tubuh melalui vektor Aedes aegypti kepada host baru di tempat lain, dari hasil
penelitian ini diperlukan perlindungan atau barier pada tubuh penderita sampai virus
dengue dalam tubuh penderita benar-benar sembuh dan tidak mengandung virus dengue.
Perlindungan atau barier ini dapat dipilih dari bahan yang banyak dipasarkan yang bersifat
melindungi dan mengusir nyamuk Aedes aegypti pada siang hari. Maksud pemberian barier
kepada penderita dari gigitan agar tidak terjadi transmisi virus dengue oleh vektor kepada
host baru. Konsep yang ditawarkan ini sebenarnya lebih murah biayanya, mudah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
133
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
dikerjakan, langsung melindungi faktor penyebab pada fokusnya. Konsep ini membutuhkan
kesadaran dari dari penderita.
2. Terdapatnya vektor
Nyamuk Aedes albopictus dan Aedes aegypti merupakan vektor yang berperan sangat
penting dalam pemindahan virus dengue dari tubuh penderita ke tubuh host baru hingga
timbul gejala atau gangguan. Keberadaan vektor Aedes aegypti hampir di seluruh daerah
atau pelosok. Baik Aedes aegypti maupun virus dengue keduanya merupakan unsur yang
tidak dapat dipisahkan dalam menimbulkan DBD. Meskipun banyak kita jumpai vektor ini,
tetapi kalau tidak mengandung virus dengue kemungkinan besar tidak akan timbul gejala
atau gangguan. Sebaliknya, keberadaan vektor DBD di lingkungan pemukiman banyak
dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah musim, kesadaran masyarakat
melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk, dan pengawasan terhadap lingkungan
masing-masing. Pemberantasan sarang nyamuk sebenarnya mudah dikerjakan oleh
masyarakat, tetapi jarang dilakukan follow up, sehingga Aedes aegypti mudah berkembang
biak. Terdapatnya penderita DBD sepanjang tahun, dewasa ini diduga karena kualitas
lingkungan pemukiman yang menurun, berkaitan dengan musim. Biasanya DBD terjadi
menjelang musim hujan, dan pada saat musim penghujan sudah mulai berakhir. Diduga
breading please dari vektor ini banyak terdapat di dalam rumah penduduk, serta pada
container di sekitar lingkungan rumah yang mudah terisi air, sehingga menjadi tempat untuk
perberkembangbiakan vektor ini. Terdapatnya container di dalam rumah sulit diawasi oleh
penduduk, hal ini mungkin disebabkan oleh warna container yang mendekati gelap. Konsep
yang ditawarkan dari hasil penelitian ini adalah penerapan sanksi kepada masyarakat
apabila didapati jentik Aedes aegypti, baik yang ada di dalam rumah maupun di luar
rumah. Jika konsep ini dilaksanakan, maka diperlukan dukungan tenaga untuk melakukan
monitoring keberadaan jentik di lingkungan pemukiman. Kelebihan dari konsep ini adalah
pemberantasan sarang nyamuk yang sudah dicanangkan oleh pemerintah sehingga
benar–benar dilaksanakan oleh masyarakat. Dengan demikian, bukan petugas yang
melaksanakan pengawasan keberadaan jentik di lingkungan pemukiman tetapi merupakan
tanggung jawab bersama antara petugas dan masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari penelitian antara lain: 1) sebagian besar sanitarian mempunyai kinerja
baik, 2) angka kejadian DBD di masing-masing puskesmas sebagian besar mengalami
peningkatan, 3) peningkatan angka kejadian DBD tidak dipengaruhi oleh kinerja petugas.
Saran relevan yang diajukan adalah: 1) perlu dilakukan perlindungan atau pemberian
barier pada penderita sampai mereka benar-benar sembuh dengan menggunakan bahan yang
bersifat mengusir nyamuk terutama pada waktu siang hari, 2) perlu dipertimbangkan
pemberian sanksi terhadap warga yang didapati jentik nyamuk di lingkungan rumahnya, 3)
perlu dilakukan penelitian tentang perilaku masyarakat berkaitan dengan DBD, 4) perlu
dilakukan penelitian tentang topografi setiap wilayah kerja Puskesmas, mengingat topografi di
wilayah kerja Puskemas banyak yang berbeda.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
134
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 1990, Pedoman Pembinaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan
Sarang Nyamuk DBD, Jakarta ; Dirjend PPM dan PLP
Depkes RI, 1990, Pedoman Pembinaan Kerja Puskesmas Jilid III, Jakarta
Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular DBD, Jakarta,Dirjend
PPM-PLP
Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Pendidikan Epidemiologi, Penanggulangan Seperlunya dan
Penyemprotan Masal Dalam Pemberantasan Penyakit DBD, Jakarta,Dirjend PPM-PLP
Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit DBD, Jakarta,Dirjend PPM-PLP
Depkes RI, 1992, Petunjuk Teknis Penemuan, Pertolongan, Pelaporan Penderita Penyakit
DBD, Jakarta, Dirjend PPM-PLP
Depkes RI, 1999, Tatalaksana Demam Berdarah Dengue, Jakarta, Dirjend PPM-PLP
Didik, dkk, 2004. Metodologi Penelitian, Surabaya,Unit PPM Poltekes Surabaya
Slamet Ryadi AL,1997. Epidemiologi, Surabaya, AKL Surabaya
Sugiyo,2001, Pengantar SPSS 10,0, Surabaya Rineka Cipta
Zainudin,2000, Meotologi Penelitian, Surabay, Airlangga Press
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
135
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI STIMULASI TOILET TRAINING OLEH IBU
DENGAN KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA ANAK PRASEKOLAH
Subagyo*, Ani Sulasih**, Siti Widajati*
ABSTRAK
Toilet training pada anak merupakan suatu cara untuk melatih anak agar mampu
mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar, serta buang air besar pada
tempatnya. Sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3% anak berumur
12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih buang air kecil tidak disengaja. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan
keberhasilan toilet training pada anak prasekolah di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo
Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk. Jenis penelitian analitik yang bersifat Cross Sectional.
Sampel diambil dengan teknik Simple Random Sampling sebesar 32 orang tua anak.
Pengumpulan data melalui pengisian kuesioner dan wawancara terstruktur, kemudian
dilakukan pengolahan dan analisis statistik Spearman rank. Hasil penelitian menggambarkan
bahwa motivasi stimulasi toilet training oleh ibu kategori baik 84,4% dan keberhasilan toilet
training pada anak prasekolah kategori baik 75%. Hasil uji korelasi adalah p ≤ 0,05, dan
r=0,597; yang menunjukkan tingkat hubungan agak rendah. Dapat disimpulkan ada hubungan
antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak
prasekolah. Agar toilet training berhasil, diperlukan motivasi orang tua melakukan stimulasi
agar anak terbiasa melakukan secara bertahap dan mandiri.
Kata kunci : Motivasi stimulasi, toilet training, anak prasekolah
*: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
**: Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk
PENDAHULUAN
Latar belakang
Toilet Training pada anak merupakan cara untuk melatih anak agar mampu mengontrol
buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2005). Latihan buang air besar atau buang air
kecil membutuhkan kematangan otot-otot pada daerah pembuangan kotoran (anus dan
saluran kemih). Anak-anak harus dilatih menguasai otot-otot alat pembuangan pada waktu
buang air besar dan buang air kecil (Anonim, 2008). Anak harus mampu mengenali dorongan
untuk melepaskan atau menahan dan mampu mengkomunikasikannya (Nursalam dkk, 2005).
Toilet training diharapkan dapat melatih anak untuk mampu BAB dan BAK di tempat yang
telah ditentukan. Selain itu, toilet training juga mengajarkan anak dapat membersihkan kotoran
sendiri dan memakai kembali celananya (Mufattahah, 2008).
Konsep menstimulasi anak untuk melakukan toilet training diperkenalkan pada si kecil
sejak dini yaitu usia 1 s/d 3 tahun. Toilet training dilakukan pada anak ketika masuk fase
kemandirian (Hidayat, 2005); pelatihan BAB biasanya mulai umur 2 sampai 3 tahun, dan
pelatihan BAK ketika anak pada umur 3 sampai 4 tahun. Walaupun bukan pekerjaan
sederhana, namun orang tua harus tetap termotivasi untuk merangsang anaknya agar terbiasa
BAK atau BAB sesuai waktu dan tempatnya (Mufattahah, 2008). Stimulasi perkembangan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
136
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
anak dalam kemampuan bersosialisasi dan kemandirian dengan melatih BAK dan BAB di
kamar mandi/WC, yaitu dengan mengajari anak untuk memberitahu orang tua bila ingin BAK
atau BAB dan mendampingi anak saat BAK atau BAB serta memberitahu cara membersihkan
diri dan menyiram kotoran (Dep. Kes. RI, 2005).
Training BAK mungkin menjadi tidak sempurna sampai anak usia 4-5 tahun terutama
pada malam hari. Anak umur 5 tahun kebanyakan dapat melakukan BAB sendiri, melepas dan
memakai pakaian dalam sendiri. Sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6
tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih mengompol atau
BAK secara tak sengaja (Anonim, 2008). Hasil survei pendahuluan tanggal 9-21 Juni 2008
terhadap 10 anak dari 59 anak di TK Pertiwi Desa Plosoharjo Pace Nganjuk adalah 8 anak
BAB dan BAK di sembarang tempat, BAK di celana 1 anak, BAB di celana 1 anak, jadi tidak
bisa mengontrol BAB dan BAK, serta tidak BAB/BAK di tempat yang telah tersedia sejumlah
10 anak (16,95%). Hasil observasi penulis terhadap ibu yang mengantar anak bahwa sejumlah
6 (10,2%) ibu meskipun mengetahui anaknya ingin BAB dan BAK namun tidak termotivasi
untuk mengarahkan anaknya BAB/BAK di tempat yang telah disediakan.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program toilet training antara lain: 1). Motivasi
orang tua, 2). Kesiapan anak secara fisik, psikologis maupun secara intelektual (Hidayat,
2005). Selain itu, kesiapan orang tua mengajari anak dan pola asuh orang tua juga penting
(Supartini, 2004). Melihat banyaknya faktor yang mempengaruhi keberhasilan toilet training,
apabila anak tidak diajarkan toilet training sejak dini dapat berakibat akan susah mengubah
pola yang telah menjadi perilaku dan anak tidak dapat segera mandiri. Atas dasar fakta
tersebut, perlu dikaji lebih mendalam mengenai “Hubungan antara motivasi stimulasi toilet
training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah”.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi motivasi stimulasi toilet training oleh ibu, 2)
mengidentifikasi keberhasilan toilet training anak 5-6 tahun, 3) menganalisis hubungan antara
motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training anak prasekolah.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian analitik ini menggunakan rancangan cross sectional. Variabel independen
penelitian yaitu motivasi stimulasi toilet training oleh ibu, sedangkan variabel dependen adalah
keberhasilan toilet training pada anak prasekolah. Populasi penelitian adalah semua ibu
beserta anak prasekolah usia 5-6 tahun di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo, Pace,
Nganjuk, mulai bulan Juni 2008 sampai dengan Januari 2009 sebesar 32 anak beserta orang
tuanya, dengan kriteria: a) di rumah tersedia fasilitas toilet, b) anak tidak sedang sakit, c) anak
diasuh sendiri oleh orang tua, d) ibu yang tidak bekerja/ibu rumah tangga. Sampel sebesar 32
orang, yang diambil dengan cara probability sampling, cara simple random sampling.
Pengumpulan data motivasi stimulasi toilet training menggunakan kuesioner dengan
pertanyaan bentuk tertutup. Data keberhasilan toilet training dikumpulkan dengan pedoman
wawancara terstruktur (structured or interview), berskala Likert. Teknik pengumpulan data
melaui observasi terhadap anak setiap hari, dan memberikan pertanyaan kepada ibu
anak/pengasuh, pada saat mengantar anak. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara
deskriptif berupa distribusi frekuensi. Untuk membuktikan hipotesis penelitian adanya
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
137
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
hubungan antara variabel independen dan dependen, digunakan uji korelasi Spearman rank,
dengan α 0,05. Nilai koefisien korelasi dihitung guna menentukan tingkat hubungan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Data yang meliputi motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dan keberhasilan toilet
training anak prasekolah diuraikan sebagai berikut:
Motivasi
Toilet
Training
oleh Ibu
Tabel 1. Keberhasilan Toilet Training Menurut Motivasi Stimulasi Toilet Training
pada Anak Prasekolah di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo
Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk Nopember 2008
Keberhasilan Toilet Training pada Anak Prasekolah
Total
Kurang
Cukup
Baik
N
%
N
%
N
%
N
%
Cukup
2
40
2
40
1
20
5
100
Baik
0
0
4
14,8
23
85,2
27 100
Total
2
6,3
6
18,8
24
75
32 100
1. Ibu yang mempunyai motivasi toilet training kategori baik sebanyak 27 (84,4%), dan yang
memiliki motivasi stimulasi toilet training kategori cukup sebanyak 5 (15,6%).
2. Ibu yang mempunyai tingkat keberhasilan toilet training kategori baik sebanyak 24 (75%),
memiliki tingkat keberhasilan toilet training kategori cukup sebanyak 6 (18,8%) dan
mempunyai tingkat keberhasilan toilet training kategori kurang sebanyak 2 (6,2%).
3. Dengan motivasi stimulasi toilet training kategori baik dengan keberhasilan toilet training
baik sejumlah 23 (85,2%); terlihat pada Tabel 1.
4. Uji Spearman rank menunjukkan nilai p=0,00 (<0,05), maka Ho ditolak, artinya ada
hubungan antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet
training pada anak prasekolah di TK Pertiwi dan RA Desa Plosoharjo Pace, Nganjuk. Nilai
koefisien korelasi (0,597), menandakan bahwa hubungan antar variabel agak rendah.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar motivasi stimulasi toilet training
oleh ibu kategori baik (84,4%). Dapat disimpulkan bahwa motivasi ditunjang oleh usia,
sehingga ibu akan mudah menerima dan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu
yang disebabkan oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tertentu, sehingga ibu
akan mempunyai motivasi yang baik. Dengan motivasi yang baik untuk melakukan stimulasi
toilet training, maka keberhasilan toilet training akan terwujud. Stimulasi ini dapat dilakukan
oleh orang luar, anggota keluarga, atau orang dewasa lain di sekitar anak. Stimulasi adalah
perangsangan dan latihan-latihan terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan
di luar anak; orang tua hendaknya menyadari pentingnya memberikan stimulasi bagi
perkembangan anak (Nursalam, 2005). Mendorong manusia untuk berbuat, hal ini sebagai
penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan, sehingga adanya keinginan dari dalam
diri seorang ibu dalam hal melakukan stimulasi kepada anak; akan memberikan stimulasi yang
teratur dan terus menerus tentang tugas perkembangan anak. Pelaksanaan stimulasi yang
demikian akan menciptakan anak yang tumbuh dan berkembang dengan optimal, mandiri,
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
138
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
serta memiliki emosi yang stabil, dan mudah beradaptasi. Namun ada beberapa faktor yang
ikut menentukan ada tidaknya atau besar kecilnya motivasi. Menurut Widayatun (1999), salah
satunya adalah factor intrinsik, yang merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri
seseorang yaitu berupa pengetahuan, sikap, keadaan mental, dan kematangan usia;
sedangkan faktor ekstrinsik antara lain sarana dan prasarana, lingkungan.
Dari hasil penelitian didapatkan keberhasilan toilet training pada anak kategori baik
sebanyak 75%. Hasil kajian data ditemukan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah
kategori cukup sebanyak 18,8% dan kategori kurang sebanyak 6,2%. Hal ini menunjukkan
bahwa keberhasilan toilet training pada anak terkait dan ditentukan oleh berbagai faktor.
Keberhasilan toilet training pada anak prasekolah pada hasil penelitian sebagian besar
dengan kategori baik, hal ini karena pada usia 5-6 tahun anak sudah dapat melepas pakaian
luar dan pakaian dalam sendiri, jongkok sendiri saat BAB, membersihkan kotoran sendiri,
serta memakai pakain dalam dan luar sendiri. Hidayat (2005) mengatakan bahwa toilet training
tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan keluarga, seperti kesiapan fisik, ketika
kemampuan anak secara fisik sudah kuat dan mampu. Hal ini dapat ditunjukkan anak mampu
duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk dilatih BAB dan BAK, demikian juga
kesiapan psikologis di mana anak membutuhkan suasana yang nyaman, agar mampu
mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk BAB atau BAK.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ibu yang memiliki motivasi stimulasi toilet
training baik 85% memiliki keberhasilan toilet training baik. Terbukti juga bahwa ada hubungan
antara motivasi stimulasi toilet training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak
prasekolah. Hal ini dapat diasumsikan bahwa motivasi stimulasi ibu yang baik dapat memberi
kontribusi yang baik terhadap keberhasilan toilet training. Sebaliknya, jika orang tua salah
menerapkan pola asuh, seperti yang dicontohkan oleh Freud, misalnya orang tua melakukan
latihan kebersihan secara berlebih dengan kemarahan dan hukuman, maka anak akan
membalas dengan meretensi tinja sambil menunjukkan kekuasaan dirinya kepada orang tua.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan toilet training, meliputi pertama kesiapan fisik,
(usia telah mencapai 18- 24 bulan, dapat duduk atau jongkok kurang lebih 2 jam, ada gerakan
usus yang regular, kemampuan motorik kasar seperti duduk, berjalan, dan kemampuan
motorik halus seperti membuka baju). Kedua, kesiapan mental (mengenal rasa yang datang
tiba-tiba untuk berkemih dan defekasi, komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa
ingin berkemih dan defekasi, keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru
perilaku orang lain). Ketiga, kesiapan psikologis (duduk atau jongkok di toilet selama 5-10
menit tanpa berdiri dulu, mempunyai rasa penasaran atau rasa ingin tahu terhadap kebiasaan
orang dewasa dalam buang air, merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda
padat di celana, dan ingin diganti segera). Keempat kesiapan orang tua (mengenal tingkat
kesiapan anak untuk berkemih dan defekasi, ada keinginan untuk meluangkan waktu yang
diperlukan untuk latihan berkemih dan defekasi pada anaknya, dan tidak mengalami konflik
atau stres keluarga yang berarti misalnya, perceraian.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari penelitian adalah: 1) mayoritas ibu mempunyai motivasi baik dalam
stimulasi toilet training, 2) mayoritas anak berhasil baik dalam melakukan toilet training, 3) Uji
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
139
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Spearman rank membuktikan bahwa ada hubungan bermakna antara motivasi stimulasi toilet
training oleh ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak prasekolah.
Saran-saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah:
1. Diharapkan ada kelanjutan dari penelitian yang lain tentang faktor yang mempengaruhi
motivasi misalnya kelemahan fisik, usia, lingkungan dan sosial budaya yang berhubungan
dengan motivasi stimulasi untuk melakukan toilet training pada anak.
2. Diharapkan lembaga pendidikan TK tahun ajaran berikutnya selalu melakukan motivasi
stimulasi toilet training oleh ibu sehingga keberhasilan toilet training pada anak tetap baik
3. Diharapkan ibu dengan motivasi stimulasi kategori cukup dan kurang dalam melakukan
toilet training mendorong anak melakukan kegiatan ke kamar mandi seperti cuci muka saat
bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki dll., tidak memarahi anak mengalami kegagalan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Mengajak Si Kecil Berlatih Bak-Bab dengan Toilet Training, http://wrmindonesia.org/content/view/1163/57/.
, 2008, Masalah Pelatihan Buang Air, http://medicastore.com/
cybermed/detail.pyk.php?idktg=19&iddtl:92.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta.
Caroline, Mulawi, 2008, Stimulasi Terus Menerus pada Balita dapat Ciptakan Anak Cerdas,
http//www.antara.co.id/arc/2007/9/23/.
Dep. Kes. RI, 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak.
Fitriyah, Mariatul, 2007, Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Motivasi Melakukan Toilet
Training pada Anak Usia 1-3 Tahun di Dusun Templek Jatirejo - Nganjuk.
Hidayat, Aziz Alimul, 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Jakarta : Salemba Medika.
IDAI,
2008,
Stimulasi
Dini
untuk
Optimalkan
Perkembangan
Balita,
http://www.idai.or.id/hottopics/detil.asp?q:35.
Mufattahah, 2008, Toilet Training, http://k34437h,Multiply.com/jowinal/item/362/Toilet Training.
, 2008, Toilet Training, http://jawaban.com/news/relationship/jujur-aja.php?.
Notoatmodjo, Sukidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nursalam dan S. Pariani, 2001, Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta : CV. Sagung Seto.
, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,
Jakarta : Salemba Medika.
, Susiloningrum Rekawati, Utami Sri, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan
Anak, Jakarta : Salemba Medika.
Sardiman, A, 2004, Interaksi dan Motivasi Belajar, Jakarta : Press Gravindo.
Soegiyono, 2006, Statistik untuk Penelitian, Bandung : CV. ALFABETA.
Soetjiningsih, 1998, Tumbuh Kembang, Jakarta : EGC.
Supartini, Yupi, 2004, Konsep Dasar Keperawatan Anak, Jakarta : EGC.
Widayatun, Tri Rusmi, 1999, Ilmu Perilaku, Jakarta : CV. Sagung Seto
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
140
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
EVALUASI TINGKAT KEPUASAN KLIEN TERHADAP PELAYANAN
ANTENATAL CARE DAN PERTOLONGAN PERSALINAN
DI POSKESDES KABUPATEN MAGETAN
Hery Sumasto*, Nurwening Tyas Wisnu*, Nuryani*
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan petugas, mutu informasi
yang diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum, fasilitas klien, outcome
terapi perawatan yang diterima terhadap tingkat kepuasan responden yaitu ibu hamil dan
melahirkan di Poskesdes Wilayah Kabupaten Magetan. Jenis penelitian adalah analitik dengan
populasi seluruh ibu hamil yang melakukan ANC dan persalinan di Poskesdes Banjarejo,
Poskesdes Sidowayah, Poskesdes Sumberdukun dan Poskesdes Banjarpanjang. Teknik
analisis dengan menggunakan jendela kepuasan dan analisis regresi.
Hasil penelitian menunjukkan: semua variabel prediktor memiliki persentase selisih
antara kinerja dengan harapan masih di bawah 100%. Semua variabel prediktor berpengaruh
terhadap tingkat kepuasan klien. Sumbangan efektif (SE) seluruh variabel adalah 51,6% dan
sumbangan relatifnya (SR) secara berurutan adalah outcome terapi (SR=25,7%, SE= 13,21);
pendekatan (SR=21,9%; SE=11,3); fasilitas umum (SR=19,4, SE=10,01); mutu informasi
(SR=15,9%, SE=8,15), waktu tunggu (SR=7, SE=3,61); prosedur perjanjian (SR=5,7%,
SE=2,94) dan fasilitas klien (SR= 4,7%, SE= 2,43). Persamaan regresi berdasarkan
unstandardized coefficient adalah:
Y= -,097+0,219X1+0,159X2+0,057X3+0,070X4+0,047X5+0,194X6 +0,257X7.
Diharapkan kinerja Poskesdes dapat diperbaiki, terutama pada aspek outcome terapi
keperawatan, meningkatkan pendekatan terapeutik serta perbaikan fasilitas umum. Ketiga
prediktor ini memiliki sumbangan yang paling tinggi.
Kata kunci : kepuasan, outcome terapi, pendekatan, fasilitas umum, mutu informasi, waktu
tunggu, prosedur perjanjian, fasilitas klien, Poskesdes.
*: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Poskesdes merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang
dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat desa. Poskesdes dibentuk dalam rangka menurunkan angka kematian ibu,
sehingga diperlukan beberapa langkah guna meningkatkan akses pada sarana dan pelayanan
kesehatan ibu (Retno D, 2008). Permasalahannya adalah bagaimanakah kepuasan
masyarakat atas pelayanan yang diberikan oleh Poskesdes, saat ini belum ada kajian
penelitian yang menjadi bahan evaluasi. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
Poskesdes belum teruji. Apakah masyarakat merasa upaya dari, oleh dan untuk masyarakat
ini sudah mendapatkan tempat di hatinya? Fakta menunjukkan bahwa dari 77 ibu hamil di
Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan, 45% menggunakan layanan ANC
di Poskesdes, sisanya menggunakan layanan ANC di tempat lain. Dari 33 ibu bersalin pada
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
141
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
bulan Juni-Juli 2008, hanya 37% yang bersalin di Poskesdes. Menurut Kotler dalam Wijono
(2000), tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh pendekatan dan
perilaku petugas, mutu informasi yang diterima, prosedur, waktu tunggu, fasilitas klien, fasilitas
umum, outcome terapi dan perawatan yang diberikan. Penelitian ini bertujuan mengetahui
pengaruh secara bersama-sama antara pendekatan petugas, mutu informasi, prosedur
perjanjian, waktu tunggu, fasilitas klien, fasilitas umum dan outcome terapi perawatan
terhadap tingkat kepuasan ibu terhadap pelayanan ANC dan persalinan di Poskesdes.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian analitik observasional ini menerapkan rancangan cross sectional dengan point
time approach. Populasi adalah semua ibu hamil (75 orang) yang melakukan ANC dan ibu
bersalin normal di 4 Poskesdes di Kab. Magetan bulan Agustus-Oktober 2009, sebesar 75
orang. Variabel independen adalah pendekatan dan perilaku petugas, mutu informasi yang
diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum yang tersedia, fasilitas untuk klien,
outcome terapi dan perawatan yang diterima. Variabel dependen yaitu tingkat kepuasan ibu
hamil dan ibu bersalin terhadap pelayanan di Poskesdes. Data dikumpulkan melalui kuesioner
kepuasan (r=0,8). Analisis data dengan uji regresi linier ganda dan metode jendela kepuasan.
HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian
Deskripsi data penelitian disajikan pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 7 dan Gambar 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap
Pendekatan dan Perilaku Petugas di Poskesdes Kabupaten Magetan
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jumlah
0
41
34
0
75
%
0
54,6
45,4
0
100
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap
Mutu Informasi yang Diterima
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Jumlah
1
36
38
0
75
%
1,3
48
50,7
0
100
142
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap
Prosedur Perjanjian di Poskesdes Kabupaten Magetan
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jumlah
0
16
9
0
75
%
0
64
36
0
100
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap
Waktu Tunggu di Poskesdes Kabupaten Magetan
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jumlah
0
40
35
0
75
%
0
53,3
46,7
0
100
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap
Fasilitas Klien di Poskesdes Kabupaten Magetan
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jumlah
0
38
36
1
75
%
0
50,6
48
1,3
100
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Klien Terhadap
Fasilitas Umum di Poskesdes Kabupaten Magetan tahun 2009
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jumlah
5
29
41
0
75
%
6,6
38,6
54,6
0
100
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Terhadap
Outcome Terapi Perawatan Yang Diterima di Poskesdes Kabupaten Magetan
Kategori tingkat kepuasan
Sangat tidak puas
Tidak puas
Puas
Sangat puas
Jumlah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Jumlah
0
39
36
0
75
%
0
52
48
0
100
143
Vol.I No.2 April 2010
Y
ISSN: 2086-3098
X
4
2,95
.1
.5
3
.2
.4
1
2
3
.7
4
5
Y=
6
3,21 7
.3
.6
2
1
X
0
1
2
3
4
Pendekatan perilaku petugas
Mutu informasi yg diterima
waktu tunggu
prosedur perjanjian
Fasilitas klien
Fasilitas umum
Outcome
mean
3,41
3,13
3,05
3,19
3,39
2,98
3,29
3,21
3,19
2,91
2,76
2,98
2,99
2,78
3,07
2,95
93,69
93,12
90,49
93,56
88,2
93,29
93,31
Gambar 1. Diagram Tebar Tingkat Kepentingan dan
Kinerja Poskesdes
Hasil analisis korelasi dan regresi, ditampilkan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 8. Hasil Analisis Korelasi dari Pearson
Variabel
Pendekatan
(X1)
Mutu informasi (X2)
Prosedur Perjanjian X3)
Waktu Tunggu (X4)
Fasilitas Klien (X5)
Fasilitas Umum (X6)
Outcome terapi (X7)
Sig (P)
0,000
0,000
0,002
0,000
0,000
0,000
0,000
Koefisien Korelasi
0,497
0,460
0,332
0,472
0,392
0,587
0,596
Kesimpulan
Signifikan, Hubungan cukup kuat
Signifikan,Hubungan cukup kuat
Signifikan,Hubungan rendah
Signifikan, Hubungan cukup kuat
Signifikan, Hubungan rendah
Signifikan, Hubungan cukup kuat
Signifikan, Hubungan cukup kuat
Tabel 9. Model Summary dan Hasil F test/ANOVA(b)
Model-1
R Square
F
Sig
,516
12,79
0,00
Sumbangan relatif dan sumbangan efektif dari masing-masing variabel terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Koefisien Regresi, Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif
Konstanta &Variabel
(Constant)
Pendekatan
(X1)
Mutu informasi (X2)
Prosedur Perjanjian (X3)
Waktu Tunggu (X4)
Fasilitas Klien (X5)
Fasilitas Umum (X6)
Outcome terapi (X7)
Jumlah
Nilai B
-,097
,219
,159
,057
,070
,047
,194
,257
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
SR
SE=SRXR square
21,9
15,9
5,7
7,0
4,7
19,4
25,7
100%
21,9 x 0,516 = 11,3
15,9 x 0,516 = 8,153
5,7 x 0,516 = 2,941
7,0 x 0,516 = 3,612
4,7 x 0,516 = 2,425
19,4 x 0,516 = 10,01
25,7 x 0,516 = 13,21
= 51,65
144
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Persamaan Regresi berdasarkan unstandardized coefficient adalah:
Y= -,097+0,219X1+0,159X2+0,057X3+0,070X4+0,047X5+0,194X6+0,257X7
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,6% kepuasan pasien atas layanan Poskesdes
dapat dijelaskan oleh 7 variabel independen yaitu pendekatan dari pelaku petugas, mutu
informasi yang diterima, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum yang tersedia,
fasilitas untuk klien, outcome terapi dan perawatan yang diterima. Sedangkan yang 48,4%
(100%-51,6%) dijelaskan oleh sebab lain. Nilai konstanta menunjukkan angka negatif (-0,97),
berarti bila variabel prediktor memiliki kekuatan skala 0, maka konstanta kepuasan klien
adalah negatif. Untuk memunculkan respon minimal terhadap kepuasan layanan, maka tidak
boleh berada pada skala nol. Artinya mesti harus berbuat sesuatu sehingga dapat
memberikan nilai kepuasan yang positif. Petugas tidak boleh memberi layanan asal-asalan,
supaya ada rasa puas dari klien, sehingga nilai konstanta plus (didownload tgl 20 Oktober
2009). Sumbangan relatif yang paling bermakna secara berurutan adalah outcome terapi
keperawatan (25,7), pendekatan petugas (21,9%), fasilitas umum (19,4%), dan mutu informasi
(15,9%). Empat variabel prediktor ini memberi sumbangan lebih dari 82% terhadap tingkat
kepuasan pasien. Petugas perlu untuk memberikan pelayanan yang benar-benar memberikan
dampak kesembuhan atau upaya penyelesaian masalah yang dihadapi pasien ketika datang.
Petugas Poskesdes juga dituntut melakukan pendekatan yang bagus kepada masyarakat
dalam memberikan layanan kesehatan kepada pasien. Yang tidak kalah pentingnya adalah
peningkatan pemberian fasilitas umum pasien dan peningkatan mutu informasi yang diterima
oleh masyarakat. Empat variabel ini dapat menjadi fokus upaya memperbaiki tingkat kepuasan
pengguna layanan Poskesdes. Artinya, jika pihak pengelola Poskesdes ingin meningkatkan
kepuasan pasien, maka empat faktor ini merupakan fokus garapan paling penting. Sedangkan
3 variabel lainnya yaitu prosedur perjanjian, waktu tunggu, dan fasilitas klien hanya
memberikan sumbangan relatif sebesar 28% saja.
Kepuasan responden terhadap pendekatan dan perilaku petugas menurut jendela
kepuasan berada pada kuadran II. Artinya, pendekatan dan perilaku petugas merupakan
aspek yang dianggap penting oleh pasien dengan kinerja layanan sudah di atas rata-rata
kinerja layanan kesehatan, sehingga layanan kesehatan perlu dipertahankan dan ditingkatkan.
Menurut Wiyono (2000), hubungan antar manusia yang baik, menanamkan kepercayaan dan
kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsif, dan
memberikan perhatian, mendengarkan keluhan dan komunikasi secara efektif juga penting.
Hubungan antar manusia yang kurang baik akan mengurangi efektifitas dari kepuasan.
Pendekatan petugas memegang peran penting karena hakekatnya pendekatan sangat
menentukan mutu layanan kesehatan. Penentu kebutuhan pasien bukanlah dia sendiri, namun
di dalam mendapatkan kebutuhannya ditentukan oleh orang lain, yaitu tenaga kesehatan.
Dalam konteks ini sangat peka untuk terjadi kesalahan penafsiran atau kekeliruan harapan
atas layanan yang diterimanya. Sehingga yang dibutuhkan adalah pendekatan untuk secara
bersama-sama menentukan kebutuhan pasien (Pohan, 2007). Pada kondisi persaingan
sempurna yaitu pelanggan mampu untuk memilih informasi yang memadai, kepuasan
pelanggan merupakan satu determinan kunci dari tingkat permintaan pelayanan (Triatmojo,
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
145
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
2006). Mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari sudut pandang pasien yaitu layanan
kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakannya dan diselenggarakan dengan
cara yang sopan dan santun, tepat waktu tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya
serta mencegah berkembangnya atau meluasnya penyakit (Pohan, 2006:13). Menurut
(Triatmojo, 2006) apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan, dapat
dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Faktor-faktor yang akan dipergunakan di dalam
mengukur kinerja pelayanan, misalnya tingkat keahlian, ketepatan waktu, kemudahan
dihubungi, kemampuan menyelesaikan masalah, dan fasilitas yang dimiliki. Ini sesuai dengan
pernyataan Wiyono (2000) bahwa puas bila kinerja sebanding dengan harapan. Ada beberapa
faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai suatu pelayanan, yaitu
ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan teknis, kualitas dan harga yang sepadan
(Triatmojo, 2006). Kinerja layanan dalam memberikan waktu tunggu yang baik oleh petugas
kesehatan juga belum memadahi karena masih di bawah rata-rata penilaian kinerja layanan
kesehatan. Walau waktu tunggu masih perlu ditingkatkan, prioritasnya masih di bawah aspek
layanan kesehatan yang terdapat pada kuadran I. Pelayanan yang efisien akan memberikan
perhatian yang optimal sehingga memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat
(Pohan, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan responden terhadap fasilitas
klien berada pada kuadran kanan atas atau kuadran II. Artinya fasilitas bagi klien dinilai
penting bagi klien, dan kinerja layanan kesehatan atas fasilitas klien telah sejalan dengan
keinginan masyarakat, karena berada di atas rata-rata kinerja layanan kesehatan. Dengan
demikian, pemberian fasilitas pasien di Poskesdes perlu terus ditingkatkan dan dipertahankan,
artinya kinerja atau mutu fasilitas harus ditingkatkan sejalan dengan harapan klien. Wiyono
(2000) menerangkan bahwa mutu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Fasilitas umum bagi
pasien yang datang ke Poskesdes dinilai kurang penting, sedangkan kinerja layanan
kesehatan atas fasilitas umum juga belum sesuai dengan harapan pasien. Namun fasilitas
umum bagi pasien prioritasnya rendah dalam peningkatan kinerja layanan kesehatan. Wiyono
(2000) menerangkan bahwa mutu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Untuk masyarakat,
mutu pelayanan berarti respek dan tanggap akan kebutuhannya masyarakat, pelayanan harus
sesuai dengan kebutuhan mereka dan diberikan dengan cara yang ramah waktu mereka
berkunjung. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa outcome terapi dan perawatan yang
diterima tingkat kinerjanya kurang dari harapan. Bila suatu pelayanan tidak memuaskan klien
dapat menjadikan kepuasan klien menjadi jelek. Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan
tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien, dapat berarti adanya perubahan
derajat kesehatan dan kepuasan baik positif dan negatif (Wiyono, 2000:38-39). Outcome
adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien.
Penilaian terhadap outcome adalah hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan. Outcome
jangka pendek seperti sembuh dari sakit, cacat, dan lain-lain. Outcome jangka panjang seperti
kemungkinan-kemungkinan kambuh, kemungkinan sembuh di masa datang. Berdasarkan dari
penilaian di atas, mutu pelayanan yang baik menurut (Sabarguna, 2004) adalah: tersedia dan
terjangkau, tepat kebutuhan, tepat sumber daya, tepat standar profesi/etika profesi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
146
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
1. Pendekatan dan perilaku petugas berpengaruh cukup kuat terhadap tingkat kepuasan klien
(P=0,000; K=0,49).
2. Mutu informasi yang diterima berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000;
K=0,460). Tingkat kepuasan pasien terhadap pendekatan 93,12% (belum memuaskan).
3. Waktu tunggu pasien berpengaruh rendah terhadap kepuasan klien (P=0,002, K=0,332).
Tingkat kepuasan pasien 90,43%, artinya waktu tunggu masih di bawah harapan pasien.
4. Prosedur perjanjian berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,472).
Pasien belum puas terhadap prosedur perjanjian (93,55%)
5. Fasilitas klien berpengaruh rendah terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,392) dan
berada pada kuadran II. Artinya fasilitas bagi klien dinilai penting bagi klien, dan kinerja
layanan kesehatan atas fasilitas klien telah sejalan dengan keinginan masyarakat. Tingkat
kepuasan pasien terhadap fasilitas adalah 88,2% (belum memuaskan).
6. Fasilitas umum berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan klien (P=0,000; K=0,587).
Tingkat kepuasan pasien terhadap fasilitas klien adalah 93,29%. Belum memuaskan.
7. Outcome terapi perawatan yang diterima berpengaruh cukup kuat terhadap kepuasan
klien (P=0,000; K=0,596). Tingkat kepuasan pasien terhadap outcome terapi dan
keperawatan yang diterima adalah 93,31%. Belum memuaskan.
8. Sumbangan efektif adalah 51,6% dan sumbangan relatif adalah pendekatan (SR=21,9%;
SE=11,3); mutu informasi (SR=15,9%, SE=8,15), Prosedur perjanjian (SR=5,7%,
SE=2,94), waktu tunggu (SR=7, SE=3,61), Fasilitas klien (SR= 4,7%, SE= 2,43), fasilitas
umum (SR=19,4, SE=10,01); outcome terapi (SR=25,7%, SE= 13,21).
9. Persamaan Regresi berdasarkan unstandardized coefficientregresi adalah:
Y= -,097+0,219X1+0,159X2+0,057X3+0,070X4+0,047X5+0,194X6+0,257X7
Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah:
1. Dalam upaya meningkatkan kepuasan ibu hamil dan melahirkan terhadap pelayanan ANC
di Poskesdes diperlukan parbaikan outcome terapi dan pendekatan petugas.
2. Diharapkan ibu hamil dapat mengetahui tingkat kepuasannya terhadap fasilitas kesehatan
tersebut dan tetap malakukan ANC secara teratur serta memanfaatkan Poskesdes sebagai
tempat melahirkan agar tetap dalam keadaan yang sehat baik bagi Ibu maupun bayi.
3. Perlu penelitian lanjutan dengan menambah besar populasi, waktu penelitian serta
instrumen yang digunakan, agar penelitian dapat lebih baik dan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Prioritas Pada Penurunan Angka Kematian Ibu Dan Bayi. http://www.tenaga
kesehatan.or.id.(diakses 25 maret 2008,pukul 09.40. WIB)
Anonim. 2007. Metode Penelitian. http://rigco-geovano.blogspot.com.(diakses 25 Maret 2008,
pukul 10.00 WIB)
Anonim. 2007. Polindes. www.Balipost.co.id. (diakses 28 Maret 2008, pukul 11.00 WIB)
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi 5.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Depkes RI. 1993. Bidan Desa di Polindes. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja Jakarta.
Depkes RI. 1999. Daftar Tilik Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina
Kerja.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
147
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Depkes RI. 2001. Buku Saku Bidan di Desa. Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja.
Depkes RI. 2002. Pedoman Teknis Andil Maternal-Perinatal di Tingkat Kabupaten/Kota.
Jakarta: Dirjen PKM Direktur Bina Kerja.
Gklinis. 2005. Kematian Ibu Melahirkan Dan Bayi Masih Tinggi. http://www. gizi.net. (diakses
25 Maret 2008, pukul 09.00 WIB)
Hamilton Mary P, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Edisi VI. EGC Jakarta.
Kusmiati, S. 1990. Dasar-dasar Perilaku. Erlangga : Jakarta.
Manuaba Ida Bagus. G.D. 1998. Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan KB. EGC:
Jakarta.
Murwantorezky 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Kematian.
http://Murwantorezky.blogs.frinster.com. (diakses 28 Maret 2009, pukul 10.00 WIB)
Narbuko, C. dan Ahmadi,/.2003. Metodologi Penelitian. Edisi ke 5, Jakarta Bumi Aksara.
Notoatmodjo S, 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.
Notoatmojo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta, Rineka Cipta.
Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta,
Salemba Medika.
Nursalam dan Pariani S, 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta, Agung Seto.
Poerwadarminta. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta.
Pohan, Imbalo S, 2006. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Jakarta: EGC. Editor: Palupi
Widyastuti.
Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Promkes Depkes RI. 2002. Standart Kualitas Kemampuan KIP & K Bagi Bidan dalam
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir di Polindes, Direktorat Jendral Promosi
Kesehatan, Jakarta.
Riduan, 2004. Metode Teknik Menyusun Tesis, Alfa Beta, Bandung.
Saifudin A, 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Yayasan Bina Pustaka Sarana Prawiroharjo : Jakarta.
Simamora Bilson, 2002.Panduan Riset Perilaku Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Stuart dan Suandeen, 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta, EGC.
Subiyati (2005). Studi Tingkat Kepuasan Klien tentang Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di
Poskesdes Majasem
Sudibyo et all, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan dan
Rawat Inap di Puskesmas, Baliitbangkes Depkes RI, diakses tgl 12 Oktober 2009
Sugiyono, 2000. Metodologi Penelitian Administrasi, Bandung: CV. Alfabea.
Tasrif S, 2000. Libido Kekuasaan Sigmund Frend. Yogyakarta, Tarawang.
Triatmojo. 2006. Mengatur Kepuasan Pelanggan. www.triatmojo.wordpress.com. (diakses 12
Oktober 2009, pukul 09.00 WIB)
Wiyono, D. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University
Press.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
148
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI
DENGAN KEJADIAN SEPSIS NEONATORUM
DI RUMAH SAKIT DAERAH KABUPATEN MADIUN TAHUN 2004-2007
Sunarto*, Dwi Umiyati**, Nurlailis Saadah*
ABSTRACT
Premature rupture membrane can cause infection to childbirth or sepsis neonatorum.
Adequate to premature rupture membrane therapy and caring born to decreased mortality and
morbidity maternal and neonatal. The objective of this study was to analyze correlation
premature rupture membrane into sepsis neonatorum. The population is all chilbirth at Madiun
Hospital between 2004-2007. Design of the research retrospective, 1100 samples were
recruited by totally population. The independent variable was premature rupture membrane
and the dependent variable was sepsis neonatorum. Data were collected by using observation
paper. Data were analyzed by Chi-Square test (p<0,05). The analyzed of the exposure with
odd ratio. The result showed that there were 1100 childbirth, 366 (33,3%) to exposure with
PRM, and 25,1% was sepsis neonatorum, and there were relationship between PRM and
sepsis neonatorum with value level of p=0.003. Conclution; the pregnant women with
PRM8,16 largest to sepsis neonatorum with childbirth.
Keywords: pregnant women, premature rupture membrane (PRM), sepsis neonatorum
*: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
**: Rumah Sakit Daerah Kabupaten Madiun
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis neonatorum adalah suatu infeksi bakteri berat yang menyebar ke seluruh tubuh
bayi baru lahir. Prevalensi kejadian ini adalah < 1% dari bayi baru lahir. Penyebab dari 30%
kematian bayi adalah sepsis neonatorum. Prevalensi sepsis neonatorum di RSU Kabupaten
Madiun cukup tinggi (11%). Penyebab utama kematian bayi tersebut antara lain; asfiksia,
prematur, dan sepsis neonatorum. Ketiga faktor ini diperberat jika ibu hamil mengalami KPD
sebelum masa inpartu. Seberapa besar sepsis neonatorum disebabkan oleh efek KPD di
Madiun belum pernah dilaporkan.
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-tanda
persalinan, dan ditunggu satu jam belum ada tanda-tanda awal persalinan (Manuaba, 2007).
Efek KPD pada bayi disebabkan oleh infeksi dalam rahim (Mochtar, 1998). Upaya untuk
mengurangi angka kesakitan ini adalah dengan pemberian antibiotika segera, observasi vital
signs, observasi detak jantung janin dan pembatasan pemeriksaan dalam (vaginal toucher).
Menurut Elva (2002), ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban yang terjadi sebelum
terjadinya persalinan. Ketuban Pecah Dini (KPD) terjadi sekitar 2,7-17% kehamilan dan pada
kebanyakan kasus terjadi secara spontan. Istilah KPD digunakan untuk menyatakan peristiwa
pecahnya ketuban pada sembarang waktu sebelum terjadi persalinan, tanpa memperdulikan
waktu kehamilan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
149
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Ketuban pecah dini ada dua macam kemungkinan yaitu premature rupture of membrane
dan preterm rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang sama, yaitu keluarnya
cairan dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya KPD adalah keluarnya cairan dan
tidak ada keluhan sakit. Aliran cairan tidak terlalu deras, tidak disertai perasaan mulas atau
sakit perut. Ibu akan merasakan sakit bila janin bergerak-gerak. Menurut Saifuddin (2002),
ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Pecahnya
selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum usia kehamilan 37 minggu
maupun kehamilan aterm.
Menurut Ratih Rochmat (2007), dampak ketuban pecah dini dapat berakibat pada faktor
ibu dan faktor janin. Pengaruh pada ibu berupa infeksi intra partum, infeksi nifas, perdarahan
post partum, dari akibat ini maka angka kesakitan dan angka kematian ibu meningkat.
Pengaruh pada janin berupa prematuritas, infeksi intra uterin, prolapsus funikuli, asfiksia
neonatorum, angka kesakitan dan kematian bayi meningkat.
Infeksi selama kehamilan akibat TORCH, ibu hamil dengan eklamsia, ibu hamil dengan
diabetus mellitus dan penyakit bawaan diduga merupakan faktor resiko sepsis neonatorum.
Proses persalinan lama, persalinan dengan tindakan, ketuban pecah dini, air ketuban keruh
juga diduga sebagai faktor resiko sepsis neonatorum. Faktor lain yang menyebabkan sepsis
neonatorum adalah; bayi lahir dengan trauma, bayi lahir kurang bulan, bayi kurang kalori
protein, bayi dengan hipitermia. Vagina toucher yang dilakukan petugas dengan frekuensi
sering juga mengakibatkan sepsis neonatorum.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi prevalensi kejadian sepsis neonatorum, 2)
mengidentifikasi prevalensi kejadian KPD, 3) menganalisis hubungan antara kejadian KPD
dengan kejadian sepsis neonatorum
BAHAN DAN METODE PENELITIAN PENELITIAN
Penelitian analitik observasional dengan rancangan kasus kontrol (retrospektif) ini
berlokasi di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Madiun. Populasi penelitian adalah semua bayi
lahir hidup di RSUD Kabupaten Madiun selama tahun 2004-2007, sejumlah 1100 bayi.
Variabel bebas penelitian adalah kejadian KPD, sedangkan variabel terikat adalah kejadian
sepsis neonatorum. Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder. Data
dikelompokkan dalam data resiko (KPD) dan data efek (sepsis neonatorum). Teknik analisis
data menggunakan pendekatan statistik Chi-Square dengan α ≤ 0,05. Analisis pengaruh
paparan terhadap efek menggunakan odds ratio.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari 1100 persalinan hidup didapatkan; 366 (33,3%) persalinan didahului KPD, dan 734
(66,7%) persalinan normal (Tabel 1). Dari seluruh bayi baru lahir tersebut, ada 121 (11%)
mengalami sepsis neonatorum, selebihnya 979 (89%) tidak mengalami sepsis neonatorum
(Tabel 2). Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 121 bayi yang sepsis, 92 di antaranya (76%)
berasal dari ibu hamil dengan KPD, selebihnya 29 (24%) berasal dari ibu hamil tidak dengan
KPD. Sedangkan Tabel 4 menggambarkan bahwa dari 1100 persalinan hidup, didapatkan;
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
150
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
676 (95,9%) persalinan tanpa KPD dan bayi tidak mengalami sepsis neonatorum, 29 (4,1%)
persalinan tanpa KPD dan bayi mengalami sepsis neonatorum.
No
1
2
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian KPD
Riwayat Persalinan
Frekuensi
KPD (+)
366
KPD (-)
734
Jumlah
1100
Persentase
33,3
66,7
100
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum
No
1
2
Riwayat Bayi
Sepsis Neonatorum (+)
Sepsis Neonatorum (-)
Jumlah
Frekuensi
121
979
1100
Persentase
11
89
100
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kejadian KPD pada Sepsis Neonatorum
No
1
2
Riwayat Bayi dan Persalinan
Bayi Sepsis neonatorum dengan KPD (+)
Bayi Sepsis Neonatorum tanpa KPD (-)
Jumlah
Frekuensi
92
29
121
Persentase
76
24
100
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum pada Persalinan Tanpa KPD
No
1
2
Riwayat Persalinan
KPD (-) dan Sepsis Neonatorum (+)
KPD (-) dan sepsis neonatorum (-)
Jumlah
Frekuensi
29
676
705
Persentase
4,1
95,9
100
Hubungan antara kejadian KPD dengan kejadian sepsis neonatorum disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum Menurut Kejadian KPD
KPD
+
Total
Sepsis Neonatorum
+
92
274
29
705
121
979
Total
366
734
1100
Uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,003, dan OR = 8,16. Artinya bila ibu bersalin
didahului KPD, bayi yang dilahirkan akan mengalami sepsis neonatorum 8,16 kali lebih besar
daripada yang tidak didahului KPD. Diketahui bahwa 40% ibu bersalin yang didahului KPD
akan melahirkan bayi beresiko sepsis neonatorum. Sebaliknya 6,53% ibu bersalin yang tidak
didahului KPD akan melahirkan bayi beresiko sepsis neonatorum.
Ketuban pecah dini terjadi karena beberapa faktor resiko yaitu; infeksi kehamilan,
pecahnya membran karena koitus, serviks inkompeten, dan kelainan presentasi janin. Upaya
untuk mengurangi resiko antara lain; antenatal care yang rutin minimal 4 kali selama
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
151
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
kehamilan, pendidikan kesehatan pada PUS, dan sistem rujukan yang memadai. Upaya lain
dari petugas kesehatan (bidan) adalah melakukan tindakan sesuai standar operasional
prosedur, patuh melakukan tidakan pencegahan infeksi (UPI) pada setiap melakukan
perawatan, dan pengobatan yang tepat. Upaya-upaya tersebut tidak berhasil mengurangi
prevalensi KPD bila petugas kesehatan enggan melakukan pendidikan dan pelatihan yang
kontinu. Oleh karenanya diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan petugas dengan
kejadian KPD, dan hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Prosedur tetap penanganan KPD adalah ibu inpartu didahului KPD kurang dari 24 jam
harus sudah mendapatkan perawatan di RS. Bidan diharuskan mampu mengambil keputusan
klinik dengan baik. Kemampuan bidan dalam membuat keputusan klinik sangat tergantung
dari intelectual skill, technical skill dan interpersonal skill yang dimiliki. Ketiga kemampuan ini
merupakan konsep profesional seorang bidan. Bidan harus mampu menguasai ilmu
epidemiologi; perihal faktor resiko kejadian sepsis neonatorum. Bidan juga dituntut mampu
menguasai ilmu fisiologi manusia, ilmu kebutuhan dasar manusia, dan ilmu kedokteran klinik.
Resiko sepsis neonatorum menjadi 8,16 kali jika terpapar faktor KPD. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Hamdah (2006), bahwa gangguan hasil kehamilan disebabkan oleh
ibu hamil yang mengalami anemia, besarnya odd ratio 8,81 kali. Ada hubungan antara
ketuban pecah dini dengan keadaan anemia (Mochtar, R, 1998). Perdarahan ante partum dan
post partum juga lebih sering dijumpai pada wanita yang anemia (Notobroto,2003). Penelitian
Florentina, S (2003) menyebutkan bahwa proporsi terbesar dari hasil kehamilan terganggu
akibat kelainan pada kehamilan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil kehamilan
antara lain; 1) faktor ibu; demografi, penyakit, status gizi, kelainan persalinan, 2) faktor
kehamilan; toksemia gravidarum, kelainan plasenta, kehamilan ganda, perdarahan
antepartum, ketuban pecah dini, dan 3) faktor janin; kelainan pertumbuhan konsepsi, infeksi
janin, kelainan letak janin, 4) faktor lain yang belum diketahui.
Infeksi postnatal adalah infeksi yang diperoleh setelah bayi lahir (aquired infection).
Infeksi ini terjadi akibat dari penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, perawatan oleh
petugas yang tidak berdasarkan prinsip universal precaution, atau karena infeksi silang. Angka
kesakitan infeksi postnatal ini cukup tinggi (Wiknjosastro, H, 2005). Beberapa faktor penyebab
antara lain; 1) riwayat obstetrik ibu yang jelek, 2) KPD, 3) keadaan bayi prematur, dan 4)
standar pelayanan di unit perawatan intensif khusus anak jelek.
Faktor sosial ekonomi masyarakat secara tidak langsung juga menjadi penyebab sepsis
neonatorum (Manuaba,1998). Keadaan sosial ekonomi dan stress diduga memudahkan
terjadinya infeksi saat kehamilan, nifas dan efeknya adalah infeksi pada anak.
Berbagai kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat
yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.
Kuman Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.
Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu
selama kehamilan atau proses persalinan. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya sepsis pada nenonatus antara lain; perdarahan, demam yang
terjadi pada ibu, infeksi pada uterus atau plasenta, KPD sebelum 37 minggu kehamilan,
proses kelahiran yang lama dan sulit.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
152
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
KPD yang tidak segera diikuti dengan adanya tanda persalinan, memberikan peluang
pada mikroorganisme (bakteri) masuk ke tubuh janin melalui vagina. Lama ketuban pecah
berhubungan dengan infeksi neonatal; hal ini dihubungkan dengan peningkatan koloni kuman,
ascending infection dan jumlah vaginal toucher. Para ahli kebidanan telah menyepakati bahwa
lama ketuban pecah lebih dari 18 jam dianggap sebagai resiko terjadinya infeksi neonatus.
Angka paparan KPD terhadap sepsis neonatorum pada kelompok kasus sebesar 40%.
Artinya bahwa ibu hamil yang didahului KPD sebelum persalinan, 40% bayi yang dilahirkan
akan mengalami sepsis neonatorum. Untuk itu diperlukan pendidikan kesehatan pada ibu
hamil untuk mampu menjaga agar kejadian KPD bisa ditekan. Kedua, bila ditemukan kasus
KPD, maka dalam waktu kurang dari 24 jam harus segera diberikan pengobatan yang
adekuat. Ketiga, bila ditemukan kasus di tempat terpencil, maka diupayakan adanya sistem
rujukan yang baik sebelum 24 jam. Upaya-upaya ini hanya bisa dilakukan bila masing-masing
petugas dan masyarakat memiliki komitmen yang sama untuk mengurangi kejadian infeksi
pada bayi setelah dilahirkan.
Angka paparan KPD terhadap sepsis neonatorum pada kelompok kontrol sebesar
6,53%. Fakta ini memberikan peringatan pada petugas, meskipun perawatan kehamilan sudah
dilakukan dengan baik, adanya faktor resiko tersebut, resiko sepsis pada neonatorum tetap
ada. Untuk itu diperlukan kewaspadaan bidan setiap menolong persalinan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah: 1) persalinan yang didahului oleh KPD adalah 33,3%, 2)
25,13% dari persalinan yang didahului oleh KPD menimbulkan dampak sepsis neonatorum
pada bayi yang dilahirkan, 3) Ada hubungan bermakna antara kejadian KPD dengan kejadian
sepsis neonatorum, 4) ibu bersalin yang didahului oleh KPD memberikan resiko 8,16 kali lebih
besar melahirkan bayi dengan sepsis neonatorum.
Saran yang diajukan adalah diperlukan teknik keputusan klinik yang tepat saat
perawatan kehamilan sesuai standar operasional prosedur ANC, guna menekan angka
kejadian sepsis neonatorum akibat resiko KPD.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Sepsis Neonatorum. www.medicastore.com Ditulis,September 2007, Diakses 12
Pebruari 2008, jam 09.15 wib.
Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. EGC,
Jakarta.
Mochtar Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri. EGC, Jakarta.
Nailor, C Scott, 2005. Obstetri Ginekologi. EGC, Jakarta.
RSD Kabupaten Madiun, 2007. Prosedur Tetap Perawatan Ketuban Pecah Dini. Madiun.
Saifuddin, 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. YBPSP,
Jakarta.
Siregar, 2002. Statistik Terapan. Grasindo, Jakarta.
Wiknjosastro, Saifuddin, Rachim Hadhi, 2005. Ilmu Kebidanan. YB-SP, Jakarta
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
153
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PERBEDAAN KEKERUHAN AIR SUMUR GALI
ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN BIJI KELOR
Sri Sulami Endah Astuti*
ABSTRAK
Biji kelor kelor bermanfaat sebagai pengendap (koagulan) atau penjernih, bahkan
berkasiat sebagai anti bakteri pada kotoran yang terkandung di dalam air. Kekeruhan di dalam
air sumur gali dapat dijernihkan dengan cara penambahan biji kelor karena biji kelor berfungsi
sebagai pengendap/penggumpal (koagulan) pada kotoran yang terkandung di dalam air.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan kekeruhan pada air sumur gali
antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor di Desa Gabahan Sidoklumpuk Sidoarjo.
Penelitian eksperimen ini menggunakan bahan berupa air sumur gali yang berjarak 1
meter dari sungai Desa Gabahan. Sebanyak 5 sumur gali masing masing diambil 6 liter untuk
djadikan bahan peneltian. Besar sampel adalah 30, dan masing-masing bahan dilakukan 6 kali
pemeriksaan yaitu sebelum pemberian biji kelor dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg, 10
mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg.
Hasil uji One Way Anova menunjukkan nilai signifikansi 0,000, berarti ada perbedaan
kekeruhan antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor pada air sumur gali. Melalui Post
Hoc Test diperoleh nilai significant sebelum dan sesudah perlakuan pemberian biji kelor 5mg,
10mg, 15mg, 20mg, 25mg adalah 0,000 (<0,05) yang berarti terdapat perbedaan kekeruhan
secara nyata pada air sumur gali. Terlihat nilai mean difference dari kelima perlakuan tersebut
semakin meningkat yang berarti bahwa kekeruhan semakin menurun dan penurunan tertinggi
yaitu pada pemberian biji kelor 25 mg.
Kata Kunci: Kekeruhan, Biji Kelor
*: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Air adalah zat yang sangat penting untuk kelangsungan semua makhluk hidup, terutama
pada manusia dan fungsinya bagi kehidupan tersebut tidak akan dapat digantikan oleh
senyawa lain. Air merupakan bahan pokok mutlak yang dibutuhkan oleh manusia sepanjang
masa, baik langsung maupun tidak langsung dan manusia akan lebih cepat meninggal karena
kekurangan air dari pada makanan. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks di
antaranya adalah untuk minum, memasak, mencuci dan mandi serta diperlukan untuk
keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi dan lain-lain.
Secara kuantitas dan kualitas, air yang sesuai dengan kebutuhan manusia merupakan
faktor penting yang menentukan kesehatannya. Berpedoman pernyataan tersebut, maka
dilakukan peningkatan kualitas air melalui pengolahan pada air yang diperlukan. Sedangkan
kuantitas air merupakan syarat kedua setelah kualitas karena semakin maju tingkat hidup
seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan air masyarakat (Sutrisno, 2004).
Secara umum masyarakat di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya masih banyak
yang memanfaatkan sumber-sumber air yang berasal dari air hujan, air permukaan dan air
tanah. Tetapi masyarakat lebih banyak yang memanfaatkan kualitas air tanah dibandingkan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
154
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
dengan sumber yang lain, padahal di air tanah itu sendiri masih banyak mengandung zat
tersuspensi seperti: bahan-bahan organik, anorganik (lumpur dan bakteri), dan zat-zat kimia
(garam-garam yang terlarut). Bahan seperti inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan di
dalam air tanah. Sedangkan dari segi estetika kekeruhan air dapat disebabkan oleh
pencemaran baik melaui pembuangan (limbah, tempat sampah) dan kandang hewan, yang
sumber pencemarannya berada dekat dengan air tanah (Alumni,1996).
Berdasarkan pernyataan di atas, perlu diteliti tentang penurunan kekeruhan air sumur
gali dengan pemberian ekstrak biji kelor (moringa oleifera). Kekeruhan air sumur gali dapat
dijernihkan dengan cara penambahan biji kelor karena biji kelor berfungsi sebagai pengendap
atau penggumpal (koagulan) pada kotoran yang terkandung di dalam air, seperti pada
penelitian yang dilakukan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada proses pengolahan
limbah cair dari pabrik, dan hasilnya terjadi degradasi warna hingga 98%, penurunan BOD
62% dan kandungan lumpur 70 ml/liter. Bahkan biji kelor ini juga berkasiat sebagai antibakteri
yaitu mampu membersihkan 90% dari total bakteri E. coli dalam seliter air sungai dalam waktu
20 menit.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian eksperimen pada bulan Juni 2008 di BBLK (Balai Besar Laboratorium
Kesehatan) Surabaya ini menggunakan bahan berupa air sumur gali yang berjarak 1 meter
dari sungai di Desa Gabahan Kecamatan Sidoklumpuk Kabupaten Sidoarjo. Sebanyak 5
sumur masing-masing diambil 6 liter untuk dijadikan bahan penelitian. Besar sampel adalah 30
dan masing-masing bahan dilakukan 6 kali pemeriksaan yaitu sebelum pemberian biji kelor
dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg.
Gambar 1. Biji Kelor
(Sumber: http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=5&doc=5b5)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
155
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode Turbidimetri dengan prinsip
pemeriksaan didasarkan pada perbandingan intensitas cahaya dan efek tyndall yang terjadi.
Alat dan bahan terdiri atas mortil, timbangan analitik, petridish, batang pengaduk, beaker
glass, tabung, turbidimeter, tumbukan biji kelor yang tua dan kering, dan air sumur gali yang
keruh. Prosedur pembuatan serbuk biji kelor yaitu menyiapkan biji kelor yang sudah tua dan
kering, mengupas biji kelor dan membersihkan kulitnya, biji kelor yang sudah kering, kemudian
ditumbuk sampai halus betul, kemudian menimbang biji kelor sebanyak 5 mg, 10 mg, 15 mg,
20 mg dan 25 mg.
Perlakuan terhadap sampel sebelum pemberian biji kelor yaitu dengan menuang sampel
air masing-masing 1 liter ke dalam tabung pada alat turbidimetri dan diberi tanda A sampai
dengan E, mengukur dengan alat turbidimetri, yaitu: tabung ditutup dengan kaca pencelup
(plunger) sampai tidak ada udara, dimasukkan ke dalam alat turbidimetri hellige, kemudian
kaca filter diatur dan pintu ditutup, diputar tombol sampai bintik dalam alat merata, dilihat alat
yang didapat, dilihat dalam tabel akan mendapatkan hasil unit skala TCU. Sedangkan
perlakuan sampel sesudah pemberian biji kelor yaitu dengan menuangkan sampel air masingmasing 1 liter dalam beaker glass dan diberi tanda 1 sampai dengan 5, karena setiap sampel
mendapat 5 perlakuan, memasukkan serbuk biji kelor sebanyak 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg
dan 25 mg pada masing-masing beaker glass sesuai dengan urutan, mengaduk dengan
menggunakan batang pengaduk secara cepat 30 detik dengan kecepatan 55-60 putaran
permenit, mengaduk kembali secara perlahan dan beraturan selama 5 menit dengan
kecepatan 15-20 putaran permenit, kemudian air diendapkan selama 1-2 jam, menyaringnya
dengan corong, dimasukkan dalam tabung pada alat turbidimetri, kemudian diukur dengan alat
turbidimeri, yaitu: tabung ditutup dengan kaca pencelup (plunger) sampai tidak ada udara,
dimasukkan ke dalam alat turbidimetri hellige, kemudian kaca filter diatur dan pintu di tutup,
diputar tombol sampai bintik dalam alat merata, dilihat alat yang didapat dan dilihat dalam
tabel untuk mendapatkan hasil unit skala TCU.
Data hasil penelitian yang diperoleh kemudian diuji dengan bantuan Program SPSS for
Windows Version 13 meliputi uji normalitas dengan Kolmogrov-Smirnov Test, uji homogenitas
varians dengan tes Homogeneity of variances dan terakhir uji One Way ANOVA jika data
terdistribusi normal dan memiliki varians homogen. One Way Anova digunakan untuk menguji
perbedaan varians kekeruhan air sumur antara sebelum pemberian biji kelor dan sesudah
pemberian 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg biji kelor. Hasil pengujian One Way Anova
kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test dengan metode Least Significant Difference
(LSD) yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan secara nyata dari kekeruhan air sumur gali
sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg. Perbedaan
secara nyata dapat dilihat apabila nilai signifikan <0,05. Sedangkan untuk mengetahui
besarnya perbedaan dilihat dari nilai mean difference apabila positif terjadi penurunan dan
apabila negatif berarti terjadi kenaikan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil pemeriksaan kekeruhan pada 5 sampel air sumur gali sebelum dan sesudah
pemberian biji kelor 5mg, 10mg, 15mg, 20mg, dan 25mg, disajikan data pada Tabel 1.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
156
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel Hasil Pemeriksaan Kekeruhan Air Sumur Gali
Sampel No.
A
B
C
D
E
Rata-rata
Sebelum
4,89
3,93
3,87
3,45
3,98
4,02
5 mg
2,76
2,47
2,59
3,20
3,18
2,84
Kekeruhan (mg/l)
Sesudah Pemberian Biji Kelor
10 mg
15 mg
20 mg
2,39
1,88
1,40
2,28
1,12
1,06
2,31
1,94
1,48
2,94
2,33
1,92
2,56
2,18
2,02
2,50
1,89
1,58
25 mg
1,07
0,74
0,19
1,42
1,84
1,05
Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan nilai asymptod
significant variabel pemberian biji kelor sebesar 0,604 (> 0,05) yang berarti data berdistribusi
normal, dan variabel kekeruhan sebesar 0,940 (> 0,05) yang berarti data berdistribusi normal.
Karena data berdistribusi normal, maka pengujian dapat dilanjutkan ke uji One Way Anova.
Test Homogeneity of Variances menunjukkan nilai Levene Statistic sebesar 0,553 dan
nilai signifikansi 0,735 (> 0,05) yang berarti bahwa data tersebut memiliki varians homogen.
Uji One Way Anova memperoleh nilai F hitung=26,909 dengan taraf signifikansi sebesar
0,000, sedangkan nilai F tabel (df=29, p=0,05) sebesar 2,93. Karena nilai F hitung > F tabel
dan taraf signifikansi 0,000 (< 0,05), maka Ho ditolak, berarti ada perbedaan varians
kekeruhan air antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor dengan 5 perlakuan yaitu
5mg, 10mg, 15mg, 20mg, 25mg. Dari uji One Way Anova tersebut, diketahui bahwa ada
perbedaan kekeruhan air sumur gali antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor, dalam
hal ini berupa penurunan kekeruhan.
Post Hoc Test dengan metode Least Significant Difference (LSD) menunjukkan nilai
signifikansi 0,000 (< 0,05) yang berarti terdapat perbedaan secara nyata kekeruhan pada air
sumur gali. Dari nilai mean difference dari masing-masing perlakuan diperoleh nilai positif yang
berarti terjadi penurunan kekeruhan. Kekeruhan antara sebelum dan sesudah pemberian biji
kelor 5 mg terjadi penurunan sebesar 1,18, antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor
10 mg terjadi penurunan sebesar 1,53, antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 15
mg terjadi penurunan sebesar 2,13, antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 20 mg
terjadi penurunan sebesar 2,45, dan antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor 25 mg
terjadi penurunan sebesar 2,97. Nilai mean difference dari ke 5 perlakuan tersebut semakin
meningkat yang berarti bahwa kekeruhan semakin menurun dan penurunan tertinggi yaitu
pada pemberian biji kelor 25 mg.
Pembahasan
Dari uji One Way Anova diketahui bahwa ada perbedaan kekeruhan air sumur gali
antara sebelum dan sesudah pemberian biji kelor dengan berbagai variasi dosis. Post Hoc
Test membuktikan adanya perbedaan secara nyata mengenai kekeruhan pada air sumur gali
tersebut. Dalam hal ini, semakin tinggi dosis biji kelor maka semakin tinggi penurunan
kekeruhan yang terjadi. Hal di atas dapat terjadi karena biji kelor mempunyai manfaat sebagai
pengedap atau koagulan yang terkandung di dalam air dan berkhasiat sebagai antibakteri
yaitu membersihkan 90% dari total bakteri E. coli dalam air seliter.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
157
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Pemakaian biji kelor ini relevan dengan saran yang pernah diberikan melalui artikel:
Teknologi Tepat Guna yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi tentang
Pengelolaan air dan sanitasi yaitu tentang penjernihan air dengan biji kelor, yang menyatakan
bahwa: kebutuhan akan air bersih di daerah pedesaan dan pinggiran kota untuk air minum,
memasak , mencuci dan sebagiannya harus diperhatikan. Cara penjernihan air perlu diketahui
karena semakin banyak sumber air yang tercemar limbah rumah tangga maupun limbah
industri. Cara-cara yang disajikan dapat digunakan di desa karena bahan dan alatnya mudah
didapat. Di antara bahan-bahan tersebut adalah biji kelor di samping batu, pasir, kerikil, arang
tempurung kelapa, arang sekam padi, tanah liat, ijuk, kaporit, kapur, tawas, dan lain-lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah: 1) ada perbedaan tingkat kekeruhan air sumur gali secara
bermakna antara sebelum pemberian biji kelor dan sesudah pemberian biji kelor dengan
peningkatan dosis, 2) kekeruhan air sumur gali menurun dengan peningkatan dosis biji kelor
yang diberikan.
Selanjutnya disarankan agar masyarakat memanfaatkan biji kelor sebagai teknologi
tepat guna dalam upaya penjernihan air untuk keperluan rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Andi, 2004, Kimia lingkungan, Jakarta.
Candra, Budiman, 2005, Pengantar Kesehatan Lingkungan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Pengelolaan Air dan sanitasi: Penjernihan Air
Dengan Biji Kelor (Moringa oleifera). http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg
=5&doc=5b5
Margono, 2002, Buku Pengantar Bidang Studi Penyediaan Air Bersih.
Max Rizald, Rompas, 1998, Kimia Lingkungan, Penerbit Tarsito, Bandung.
Notoatmodjo Soehidjo, 2003, Ilmi Kesehatan Masyarakat, PT Rineka Cipta, Jakarta.
PERMENKES RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990
Saptoraharjho.A, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sudjana, Metode Statistika, Tarsito, Bandung.
Sugiharto, 1983, Penyediaan air bersih bagi masyarakat, proyek pengembangan pendidikan
tenaga sanitasi pusat, tanjungkarang jakarta.
Sutrisno,Totok, 2004, Teknologi Penyediaan air Bersih, Rineka Cipta, Bandung.
Vogel, Kimia analisis kuantitatif an organik edisi 4, buku kedokteran,EGC, Jakarta.
Waluyo, 2005, Mikrobiologi lingkungan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang
....., 1996, Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat (Depkes RI Akademi Kesehatan
Lingkunagan Surabaya),
......, 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolahan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan,
Kanisius, Yokyakarta.
......., 1989, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Kimia Air,
Alumni, Bandung.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
158
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PENGARUH PEMBERIAN BALIKAN DAN MOTIVASI BERPRESTASI
TERHADAP HASIL BELAJAR DALAM MERAWAT PAYUDARA IBU HAMIL
Tumirah*
ABSTRACT
This research is aimed at bringing about proof that variative direct feed-back and
motivation for achievement have the significant influence on the pregnant woman’s breast
treatment. The research treatment on the research subjects is the subject’s skill in doing
phantom of treating pregnant woman’s breasts.
This research is designed experimentally spesifically factorial research design. The
population are the students of the semester II Midwifery Program Magetan, wich sum to 40
person. The drawn sample is 36 students consisting of 18 students belong to experiment
group and 18 students belong to control group. The treatment of the research is given in the
form of direct feed-back method during two weeks, with frequency of 3X60 minutes, 08.0009.00, ech action.
The motivations of the students are scored in result of questionnaires. The student
achievements are scored through checklist taken from Sudy Program DIV Nursing Teacher,
the Faculty of Medicine, Unair Surabaya, term 1999.
The analysis of this research brings about conclusion that the average achievement in
pregnant women’s breast treatment is better obtained within the provision of direct feed-back
than that within independent learning method , in the significance of p=0,000. Student with
higher motivation to achievement get the better average achievement than those with low one.
Based on the analysis of multivariate anova, the results drawn results states that there is
interaction between the learning method, motivation to achievement, in the significance of
p=0,000. Based on t-test, students with the high motivation to achievement get the better
average achievement than those with low one, both in experiment group and control group.
The research brings about conclusion that there is interaction between, provision of feed
back, motivation to achievement in pregnant woman’s breast treatment. Presumably,
motivation is the most dominant factor in that achievement.
Key words: direct feed-back, learning motivation, achievement in breast treatment.
*: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan pembelajaran laboratorium adalah peningkatan aspek pengetahuan dan
keterampilan peserta didik. Keterampilan yang diperoleh pada pembelajaran laboratorium ini
menjadi bekal pada penyesuaian profesionalisasi di lapangan untuk memberikan pelayanan
kesehatan kepada klien secara nyata. Permasalahannya adalah selama ini masih banyak
rancangan pembelajaran laboratorium tidak sesuai dengan kurikulum. Demikian juga tenaga
pengajar kurang memahami secara benar tentang cara merancang pembelajaran
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
159
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
laboratorium, sehingga pemenuhan target keterampilan bagi peserta didik tidak sesuai dengan
harapan. Oleh sebab itu, tujuan pembelajaran yaitu perubahan perilaku yang dinyatakan
dalam cara bertingkah laku berkat pengalaman dan latihan-latihan tidak tercapai secara
maksimal (Hamalik, 1985:25).
Hasil penelitian Sunarto dkk (2001) tentang profil dosen Program Studi Kebidanan
Magetan menunjukkan bahwa keengganan tenaga pengajar dalam membuat rancangan
pembelajaran laboratorium disebabkan oleh: 1) dosen kesulitan membuat silabus
pembelajaran laboratorium, 2) dosen kurang sesuai dalam memberikan sistem evaluasi
pembelajaran laboratorium, 3) alokasi waktu pembelajaran laboratorium sering tidak sesuai.
Sebagai gambaran kurang terprogramnya pembelajaran laboratorium tampak dari tingkat
kepuasan mahasiswa yaitu 52% dari 109 responden tidak puas terhadap pedoman praktika di
laboratorium. Mereka juga kurang puas terhadap buku panduan (59,6%) dan 79,7% juga
kurang puas terhadap pembelajaran klinik. Kondisi di atas adalah dampak dari pola
pembelajaran yang belum standar.
Pada penelitian ini akan diterapkan metode balikan pada pembelajaran laboratorium
karena cukup relevan, efisien, murah dan lebih memberikan suasana interaksi belajar
mengajar yang harmonis antara mahasiswa dan pembimbing. Penerapan balikan ini khusus
pada pokok bahasan perawatan payudara ibu hamil sebagai salah satu target kompetensi
dasar. Pendekatan ini untuk membuktikan perbedaan hasil belajar mahasiswa setelah
diberikan metode balikan dan motivasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) membuktikan perbedaan hasil belajar mahasiswa dalam
merawat payudara ibu hamil menurut pemberian balikan, 2) membuktikan perbedaan hasil
belajar mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil menurut tingkat motivasi berprestasi, 3)
membuktikan interaksi antara pemberian balikan dan motivasi berprestasi terhadap hasil
belajar mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian eksperimental dengan rancangan faktorial 2X2 ini dilakukan di Prodi
Kebidanan Magetan Politeknik Kesehatan Surabaya. Variabel bebas penelitian adalah
pemberian balikan dan motivasi berprestasi, sedangkan hasil belajar merawat payudara
merupakan variabel terikat. Populasi penelitian adalah mahasiswa Prodi Kebidanan Magetan
sejumlah 40 orang, dan sampel diambil dengan teknik simple random sampling sejumlah 36
orang yang selanjutnya dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 18 orang.
Dosis perlakuan diberikan kepada kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan diberi
balikan disertai modul dan kelompok kontrol diberikan perlakuan latihan mandiri. Data motivasi
berprestasi diperoleh melalui kuesioner, sedangkan data hasil belajar diperoleh melalui
checklist teknik perawatan payudara Prodi DIV Perawat Pendidik FK Unair Surabaya.
Setelah terkumpul, data disajikan secara deskriptif berupa distribusi frekuensi dan
tendency central, selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji Multivariate Anova
dengan terlebih dahulu memenuhi asumsi yang dipersyaratkan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
160
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Deskripsi perbandingan motivasi berprestasi antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol disajikan pada Tabel 1. Tampak bahwa pada kelompok perlakuan, proporsi mahasiswa
dengan motivasi tinggi lebih besar (72%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (61%).
Tabel 1. Distribusi Motivasi Berprestasi Mahasiswa
Kelompok
Motivasi
Rendah
5 (28%)
7 (39%)
12 (33,33%)
Tinggi
13 (72%)
11 (61%)
24 (66,67%)
Perlakuan
Kontrol
Jumlah
Jumlah
18 (100%)
18 (100%)
36 (100%)
Tendency central motivasi berprestasi mahasiswa disajikan pada Tabel 2. Pada tabel ini
data motivasi berprestasi belum dikategorikan dan kelompok perlakuan memiliki nilai rerata
yang lebih tinggi (121,1) dibandingkan dengan kelompok kontrol (116,3).
Tabel 2. Unsur-Unsur Tendency Central Motivasi Berprestasi Mahasiswa
Kelompok Mean
Perlakuan 121,1
Kontrol
116,3
SD
12,99
11,75
Variance
168,76
138,23
Median
122
120
Mode
106
125
Min
98
98
Maks
147
135
Tabel 3. Unsur-Unsur Tendency central Hasil Belajar Mahasiswa Dalam Merawat Payudara
Variabel
Perlakuan
Kontrol
Motivasi Rendah
Motivasi Tinggi
Motivasi Tinggi Kelompok Perlakuan
Motivasi Rendah Kelompok Perlakuan
Motivasi Tinggi Kelompok Kontrol
Motivasi Rendah Kelompok Kontrol
Rerata
91,5
70,1
103,8
126,12
94,38
84
73
65,57
Simpangan Baku Varians
5,38
28,97
5,61
31,52
3,43
11,78
7,56
57,15
2,69
7,23
2
4
3,74
13,98
5,16
26,62
Data tentang hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara disajikan berupa tendency
central (Tabel 3). Terlihat bahwa nilai rerata hasil belajar kelompok perlakuan (91,5) lebih
tinggi daripada kelompok kontrol (70,1). Berdasarkan tingkat motivasi dari seluruh mahasiswa,
mereka yang bermotivasi tinggi memiliki nilai rerata lebih tinggi (126,12) daripada mahasiswa
bermotivasi rendah (103,8). Pada masing-masing kelompok, mahasiswa bermotivasi tinggi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
161
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
juga mendapatkan nilai rerata hasil belajar yang lebih tinggi pula, masing-masing 94,38
melebihi 84 pada kelompok perlakuan dan 73 melebihi 65,57 pada kelompok kontrol.
Hasil uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai 0,937
dan p=0,344 pada kelompok perlakuan dan nilai 0,846 dan p=0,472 pada kelompok kontrol.
Karena nilai p dari masing-masing kelompok tersebut >0,05, maka kedua data dari kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol berdistribusi normal.
Levene’s test untuk menguji homogenitas varians menunjukkan nilai p=0,643 pada
kelompok perlakuan dan p=0,133 pada kelompok kontrol. Karena nilai p dari kedua kelompok
>0,05, maka data pada kedua kelompok memiliki varians homogen.
Hasil uji Multivariate Anova untuk kelompok perlakuan menunjukkan F=60,448 dan
p=0,000. Sedangkan pada kelompok kontrol F=12,602 dan p=0,003. Karena nilai p<0,05,
maka Ho ditolak, artinya ada perbedaan hasil belajar mahasiswa dalam merawat payudara
antara mahasiswa yang diberi balikan dan tak diberi balikan.Dari Uji tersebut juga diketahui
bahwa ada interaksi antara motivasi belajar dengan hasil belajar dalam merawat payudara ibu
hamil. Karena Ho ditolak, perlu dilakukan uji T untuk mengetahui perbedaan antar kelompok,
dengan nilai 7,775 dengan p=0,000 untuk kelompok perlakuan dan nilai 3,550 dengan
p=0,003 untuk kelompok kontrol. Dalam hal ini, pengaruh motivasi sangat dominan pada
kelompok perlakuan.
Pembahasan
Meski hasil belajar mahasiswa tidak jauh berbeda antara kelompok yang diberi balikan
dan kelompok belajar mandiri, namun kelompok yang diberi balikan memiliki hasil belajar yang
lebih baik. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh dosis perlakuan yang berlebihan, sehingga pada
kelompok kontrol sudah terbentuk memori yang sangat baik. Memori yang baik tersebut
berasal dari latihan berulang-ulang meskipun tak dibimbing. Terbentuknya memori berasal dari
rangsangan yang diterima oleh reseptor yang selanjutnya disalurkan berupa impuls melalui
neuron sensorik menuju otak. Di otak, impuls akan dipersepsikan, diinterpretasikan kemudian
dijawab. Selain itu, otak juga berfungsi menyimpan hasil jawaban rangsangan berupa memori
yang sewaktu-waktu bisa di-recall kembali jika ada rangsangan yang sama. Oleh karena itu,
rangsangan yang berulang-ulang akan memberikan memori yang kuat dan tahan lama
dibanding dengan rangsangan yang cepat. Dengan demikian, intensitas belajar yang
berulang-ulang dipandang sebagai stimulator yang baik. Latihan berulang-ulang diyakini dapat
menumbuhkan persepsi dam motivasi positif dan memperbaiki mekanisme pertahan diri.
Respon emosi positif dan mekanisme pertahanan diri yang positif dapat mengurangi reaksi
stress, sehingga meskipiun tidak dibimbing, mahasiswa mampu merubah persepsi dan atau
meningkatkan kondisi yang dianggap mengancam, dalam hal ini mempengaruhi hasil belajar
(Folkman & Lazarus, 1988).
Kelompok mahasiswa dengan motivasi berprestasi lebih tinggi memiliki hasil belajar
yang lebih baik. Motivasi berprestasi atau motivasi belajar untuk meningkatkan prestasi
mampu menumbuhkan respon emosionl yang positif. Pada kasus ini, motivasi dipandang
sebagai stimulasi untuk menumbuhkan respon emosional. Stimulasi yang kuat akan
meningkatkan respon emosional, dan sebaliknya motivasi yang rendah akan menurunkan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
162
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
respon emosional, sehingga teknik perawatan payudara sebagaimana keduapuluh delapan
langkahnya dipandang oleh mahasiswa yang bermotivasi rendah sebagai stressor belajar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada interaksi antara pemberian balikan dan
motivasi berpreastasi terhadap hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil. Oleh karena
itu hasil penelitian ini kurang signifikan untuk membedakan mana yang lebih baik di antara
kedua kelompok terhadap hasil belajar. Apakah kelompok perlakuan lebih baik ataukan
sebaliknya. Oleh karenanya, tepat bila variabel motivasi merupakan faktor dominan yang
sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar dalam merawat payudara ibu hamil.
SIMPULAN DAN SARAN
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Simpulan dari penelitian ini adalah:
Terdapat perbedaan hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil antara mahasiswa
yang diberi balikan dan tidak diberi balikan
Terdapat perbedaan hasil belajar dalam merawat payudara ibu hamil antara mahasiswa
bermotivasi tinggi dan bermotivasi rendah
Terdapat interaksi antara pemberian balikan dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar
mahasiswa dalam merawat payudara ibu hamil. Diduga variabel motivasi merupakan faktor
dominan yang sangat mempengaruhi hasil belajar.
Berdasarkan simpulan, diajukan beberapa saran sebagai berikut:
Motivasi belajar dapat digunakan sebagai faktor input pengajar dalam menerapkan metode
pengajaran untuk memperbaiki respons emosional belajar mahasiswa
Perlunya penetapan dosis bimbingan tepat meliputi intensitas, frekuensi, dan waktu,
khususnya pada pembelajaran laboratorium sesuai beban SKS yang telah ditentukan agar
pencapaian target kompetensi sesuai dengan kemampuan awal mahasiswa.
Diperlukan penelitian lanjutan tentang pengaruh dosis bimbingan terhadap kemampuan
mahasiswa dalam merawat payudara, dengan menambah variabel dan besar sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. 1999. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Ardhana. 1990. Atribut Terhadap Sebab-Sebab Keberhasilan dan Kegagalan serta Kaitannya
dengan Motivasi untuk Berprestasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: FKIP IKIP
Malang.
Aswar Azrul. 1987. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Edisi I.
Jakarta: Binarupa Aksara
Azwar Syaifuddin. 1988. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
______. 2000. Test Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Depkes RI. 1993. Asuhan Kebidanan pada Ibu dalam Konteks Keluarga. Jakarta: Pusdiknakes
Folkman S, Lazarus RS. 1988. Manual For The Ways of Coping Questionnaire. Palo Alto, CA:
Consulting Psychologist Press
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
163
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Gagne, Robert M, et.al. 1988. Principle of Instructional Design. USA Halt, Rinehart and
Winston Inc.
Guyton AC. 1996. Textbook of medical Physiology. Philadelphia: WB Saunders Co.
Hadi Sutrisno. 1984. Statistik Jilid III. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM
Karhami S Karim. 2002. Strategi Pengelolaan Sekolah Pasca Penghapusan Ebtanas.
Makalah, disampaikan pada acara Seminar Nasional Pendidikan, 25 Mei 2002 Madiun.
Kendel E, & Kupferman. 1995. Learning and Memory, In Essential of Neural Science and
Behavior. Prentice Hall inc.
Lieben Paulus. 1999. Neurotransmitter dan Hormon dalam Psikoneuroimunologi. Makalah
Workshop Psikoneuroimunologi. 25-26 September 1999. Kelompok Studi
Psikoneuroimunologi, Gramik. Surabaya: FK Unair
Mc. Clelland DC. 1967. The Achieving Society. Newyork: The Free Press
______, 1985. Motivation and Immune Function in Health and Disease. Paper Presented at
the Amal Meeting of The Society of Behavioral Medicine. New Orleans, March, 1985
Notoatmodjo S. 1993. Metologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam, & Pariani Siti. 2000. Pendekatan Praktik Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta:
Sagung Seto
Prijambodo Bambang. 1999. Agenda Bersama Rumah Sakit Pendidikan dan Fakultas
Kedokteran, Menyelenggarakan Pendidikan Bermutu dan Pelayanan Prima di Rumah
Sakit. Makalah. Surabaya: FK Unair
Putra Suhartono Taat, et al.1998. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press
PSIK FK Unair. 1998. Pedoman Penyelenggaraan Program Keprofesian Keperawatan pada
Program Pendidikan Ners. Surabaya: Unair
Sardiman AM. 1980. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press
Sauman Muhammad. 2002. Hubungan Antara Motivasi Berprestasi dan Pemanfaatan Sumber
Belajar dengan Prestasi Belajar. Tesis. Surakarta: UNS
Siegel Sydne. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia
Soekartawi. 1995. Meningkatkan Efektifitas Mengajar. Jakarta: Pustaka Jaya
Sudjana. 1981. Metode Statistika. Bandung: Transito
Sugandi Achmad. 1985. Metodologi Pengajaran. Semarang: FKIP IKIP Semarang
Sugito Sukewi. 1994. Perencanaan Pengajaran. Semarang: IKIP Semarang Press
Sumar.2002. Pengaruh Metode Mengajar dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Siswa SMU. Tesis. Surakarta: UNS
Sunarto, Sulikah, Suparji. 2002. Tingkat Kepuasan Mahasiswa dalam Praktek. Magetan:
Urusan Penelitian Program Studi Kebidanan Magetan
Sunarto, Rudiati. 2001. Profil Mengajar Dosen Prodi Kebidanan Magetan. Magetan: Urusan
Penelitian Program Studi Kebidanan Magetan
Syamsudin Abin. 1986. Psikologi Pendidikan. Bandung: Publikasi Jurusan PPB FIP IKIP
Bandung
Wahjosumidjo. 1985. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: PT Ghalia Indonesia
Widjajakusumah MD. 1999. Manajemen Pendidikan. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja
Keperawatan Tanggal 20-21 Desember 1999. Jakarta
Zainuddin Mohammad. 1998. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
164
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
ANALISA KADAR KLORIDA PADA KANTONG TEH CELUP
SERTA PENGARUHNYA TERHADAP MUTU TEH
Santi Setiorini*, Handoyo*
ABSTRACT
The determination of chloride content in the tea bagpaper from several sample such as;
I-VI has been done by volumetric methode. The chloride in the tea bag paper extracted and
then titrated with standar solution AgNO3, using Kalium Khromat indicator The content of
chloride of each sample are: I (0,988 % ), II (0,708 %), III (0,508 %), IV (0.828 %),V (0,508%),
VI(0,728%). All of the samples wich are analyzed are black type. Apparently, the chloride in
the tea bag influences the quality of the tea bag is analyzed organoleptically,involving the
taste, colour, aroma, tea appearance and infusion leave.
Key word: chloride, the tea bag, quality of the tea
*: Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan
Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aneka produk olahan dari bahan baku teh banyak dijumpai di pasaran dewasa ini.
Produk tersebut merupakan bentuk lanjut dari teh seperti bentuk teh yang lebih praktis yaitu
teh celup atau dalam bentuk yang siap minum seperti teh kotak, teh botol dan lain-lain. Di
antara produk tersebut, teh celup merupakan suatu produk yang sudah dikenal dan sangat
digemari oleh masyarakat karena sangat praktis penggunaannya (Werkhoven,1974). Teh
kemasan yang satu ini menggunakan kertas tipis sebagai pengemas yang berfungsi ganda.
Pada proses pengolahannya, kantong kertas teh celup sering dipucatkan dengan senyawa
klorida. Klorida adalah senyawa yang mudah terurai dalam air sehingga diduga akan
mempengaruhi rasa, warna dan aroma teh. Pemakaian kantong teh celup sangat beragam
dari yang berwarna putih sampai yang kurang putih sebagai akibat beragamnya proses
pemucatan. Untuk mengetahui seberapa besar kadar klorida yang masih tertinggal pada
kantong teh celup maka perlu dilakukan analisa senyawa klorida dalam kantong teh celup.
Selain itu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap mutu teh perlu diamati rasa, warna, aroma
serta kenampakan teh yang dikemas dalam kantong teh celup.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar klorida dalam kantong teh
celup dan pengaruhnya terhadap rasa, warna, aroma dan kenampakan teh yang dikemas.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan metode volumetri
(argentometri ) untuk mengetahui kadar klorida dan organoleptik untuk mengetahui kualitas
teh celup. Populasi penelitian adalah semua merk teh celup, dan yang diambil sebagai sampel
adalah jenis teh hitam celup. Kadar klorida dalam kantong teh celup merupakan variabel
bebas penelitian, sedangkan rasa, warna dan kenampakan teh merupakan variabel terikat.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
165
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Volumetri adalah suatu analisa kuantitatif yaitu jumlah suatu zat dicari dengan
mereaksikan suatu volume larutan zat itu dengan larutan suatu zat standar yang telah
diketahui konsentrasinya. Kunci keberhasilan suatu titrasi adalah mendapatkan secara tepat
volume zat mentitrasi yang dapat bereaksi dengan suatu volume zat dititrasi hingga dari
perbandingan volume itu dapat dihitung konsentrasi zat yang diketahui. Pada penelitian ini
digunakan titrasi pengendapan, yaitu suatu titrasi antara dua zat yang menghasilkan endapan,
dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
A+ + B- AB
Pada tercapainya titik akhir titrasi, ion mentitrasi akan berlebihan dan dapat dinyatakan
dengan indikator yang sesuai. Reaksi pada cara titrasi ini hampir selalu antara Ag+ dengan ion
halida dan tiosianat, dan sering disebut argentometri. Selanjutnya kadar klorida dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
X = (a-b) ± N x 35,5 x 100%
Keterangan:
C
X: kadar klorida dinyatakan dalam persen (%)
a: larutan AgNO3 untuk titrasi contoh
b: larutan AgNO3 untuk titrasi blanko
N: normalitas larutan AgNO3
c: berat kering contoh (mg)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil pengujian kadar klorida pada kantong teh celup disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengujian Kadar Klorida pada Kantong Teh Celup
Sampel Teh Celup
pH
Warna Putih Kantong
Klorida (%)
I
6,8
+++++
0,988
II
6,8
++++
0,708
III
6,8
+++
0,508
IV
6,8
++
0,828
V
6,8
+
0,528
VI
6,8
0
0,788
Keterangan:
+++++: sangat putih
+++ : putih
+ : agak putih
++++ : putih sekali
++ : putih sedang
0 : buram
Hasil uji organoleptik untuk warna dan kenampakan disajikan pada Tabel 2, sedangkan untuk
aroma kertas, ampas dan rasa disajikan pada Tabel 3.
Sampel Teh
I
II
III
IV
V
VI
Tabel 2. Uji organoleptik dari warna dan Kenampakan
Warna
Kenampakan
Dengan kantong Tanpa kantong Dengan kantong Tanpa kantong
5
5
A
A
5
5
B
B
4
4
C
C
4
4
C
C
5
5
B
B
5
4
C
C
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
166
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 3. Uji organoleptik dari Aroma Kertas, Ampas dan Rasa
Sampel
Teh
I
II
III
IV
V
VI
Aroma Kertas
Tanpa
Dengan
Kantong
Kantong
4
4
5
5
3
5
5
5
3
3
4
3
Ampas
Tanpa
Dengan
Kantong
Kantong
c
c
c
c
d
d
c
c
b
b
c
c
Rasa
Tanpa
Kantong
37
37
35
35
39
39
Dengan
Kantong
37
37
35
35
39
39
Pembahasan
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai klorida dari tiap sampel berbeda. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan kualitas kertas yang digunakan, dilihat dari warna kantong yang dipakai
sebagai penyaring. Menurut teori, semakin putih kantong tersebut, semakin tinggi kloridanya.
Dengan demikian, tiap sampel kantong teh celup mempunyai kualitas warna yang berbeda
dilihat dari paling putihnya kertas. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3
yang menunjukkan bahwa ternyata kantong teh celup secara berurutan mulai dari yang paling
putih adalah teh celup I, II, III, IV, V dan VI. Kadar klorida pada tiap kantong teh celup
beragam, dan ternyata warna putih kertas tidak bisa mengindikasikan kadar klorida tinggi. Ini
dapat disebabkan oleh banyaknya klorida yang digunakan pada kantong tidak sejalan dengan
kadar klorida yang tersisa, artinya belum tentu jika klorida yang digunakan banyak, sisanya
juga akan banyak. Sebaliknya, jika klorida yang digunakan sedikit, belum tentu bersisa sedikit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air seduhan ternyata dapat dipengaruhi
oleh kadar klorida. Walaupun ada sebagian dari teh celup yang tidak terpengaruh oleh kadar
klorida seperti teh I, V dan VI, pada ketiga teh celup tersebut kadar klorida tidak
mempengaruhi rasa, warna dan aroma. Tabel 2 yang menunjukkan bahwa teh dengan
kantong ataupun tidak, variabel rasa, warna, dan aroma tidak terpengaruhi.
Pada teh yang lain, yaitu teh II, III dan VI dapat dilihat bahwa warna, rasa dan aroma
mengalami penurunan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh adanya zat yang menghalangi
warna, rasa dan aroma. Dapat dilihat bahwa klorida ternyata dapat mempengaruhi rasa, warna
dan aroma walaupun dalam jumlah yang sedikit. Pada teh tanpa kantong, nilai warna, rasa
dan aroma mengalami penurunan. Selain disebabkan oleh kadar klorida, juga dapat
disebabkan oleh sisa-sisa klorida yang tertinggal pada bubuk teh.
Adanya kertas penyaring dapat juga berfungsi untuk menjaga kualitas air seduhan agar
rasa, warna dan aromanya tetap baik. Dalam hal ini, kualitas fisik teh juga perlu dilihat. Pada
Tabel 2 dapat dilihat kualitas kenampakan teh kering dan ampas seduhan dari tiap sampel.
Ternyata untuk kenampakan teh kering rata-rata dari tiap sampel teh celup memiliki kualitas
cukup baik, malah ada yang memiliki kualitas sangat baik. Hal ini menandakan bahwa nilai
kenampakan teh kering dari tiap sampel teh celup telah memenuhi syarat standar mutu teh.
Untuk kualitas aroma kertas yang terdapat pada air seduhan, kualitas aroma teh tanpa
kantong lebih rendah daripada teh dengan kantong. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat
adsorben teh yang mudah menyerap bau, sehingga aroma kertas pada teh yang tidak
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
167
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
menggunakan kantong terjadi penurunan. Aroma kertas yang terdapat pada air teh sangat
penting dinilai untuk mengetahui apakah kertas yang mengandung klorida yang dipakai
sebagai penyaring dapat mempengaruhi rasa, warna serta air seduhan.
Untuk warna air seduhan dari tiap sampel rata-rata tidak terjadi penurunan yang berarti.
Ini menunjukkan bahwa kualitas warna air seduhan yang menggunakan kantong dengan yang
tanpa kantong adalah baik. Ternyata terjadi penurunan pada satu sampel, hal ini dapat
disebabkan oleh kualitas kertas penyaring kurang baik, sehingga mempengaruhi warna air
seduhan, padahal warna air seduhan sangat menentukan tingkat kesegaran.
SIMPULAN DAN SARAN
1.
2.
3.
1.
2.
Dari hasil penelitian dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
Kadar klorida masing-masing sampel adalah: I (0,988 %), II (0,708%), III (0,508 %), IV
(0,828 % ), V (0,528 %) dan VI (0,788 %
Kadar klorida tidak selalu sejalan dengan putihnya kertas
Kadar klorida pada kertas teh celup dapat mempengaruhi kualitas air seduhan (nilai warna,
rasa, kenampakan teh kering, aroma kertas air seduhan serta kenampakan ampas)
Selanjutnya diajukan beberapa saran sebagai berikut:
Perlu dilakukan analisa klorida pada kantong teh celup dengan metode yang lain agar
dapat dijadikan bahan referensi
Diharapkan ada penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan adanya senyawa lain yang ada
pada kantong teh celup, misalnya sulfat yang juga sering dipakai sebagai bleaching agent
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, K., 1986, Beberapa Pandangan Terhadap Pengemas Teh Hitam, Seminar Alternatif
Pengepakan Teh, Bandung
Bambang, K., 1990, Pengemasan Teh Indonesia Saat Ini dan Masa Datang, Risalah Seminar
Pengemasan Dan Transportasi dalam Menunjang Pengembangan Industri, Distribusi
Dalam Negeri Dan Ekspor Pangan, Jakarta.
Cotton, F.A dan Wilkinson, G ., 1989, Kimia Anorganik Dasar, Universitas Indonesia, Jakarta
Rapson, W. Hoeard.,1963, The Bleaching of Pulp, TAPPI Monograph , New York
Suryatmo, F.A, Bambang, K dan Sukapto P., 1987, Kesesuaian Mutu Teh Hitam Celup Di
Indonesia Dengan Standar ISO 3720, Seminar Intern BPTK Gambung, Ciwidey,
Bandung
Sewojo, R. Sodo Ali., 1982, Bercocok Tanam Teh, Cetakan Ke-tiga , Sumur Bandung,
Bandung
Tim Gambung., 1993-1994, Petunjuk Teknis Pengolahan Teh, Badan Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan di Indonesia, PPTK, Gambung, Bandung
Tim Penulis, 1993, Teh, Perkebunan dan Pengolahan, Jakarta
Vogel, 1985, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Mikro, PT. Kalman
Media Pustaka, Jakarta
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
168
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PENGARUH NILAI UJIAN MASUK, IQ DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP
PRESTASI HASIL BELAJAR MAHASISWA
Suparji*, Sunarto*, Heru Santoso Wahito Nugroho*
ABSTRAK
Masalah mendasar dalam penelitian ini adalah kemanfaatan dan keberterimaan
psikotest sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII kebidanan dalam
hubungannya dengan kesuksesan hasil belajar. Rendahnya pencapaian indeks prestasi
kumulatif tingkat I menjadi dasar apakah motivasi berprestasi mahasiswa menjadi faktor
pengaruh kesuksesan hasil belajar. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh nilai
sipensimaru, IQ dan motivasi berprestasi terhadap pencapaian indeks prestasi.
Penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional ini mengambil lokasi
di Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya. Populasi
penelitian adalah mahasiswa semester I tahun akademik 2007-2008 dan 2008-2009 sebanyak
80 mahasiswa. Jumlah subyek keseluruhan sebanyak 77 mahasiswa. Variabel bebas adalah;
nilai sipensimaru, IQ, dan motivasi berprestasi dengan skala variabel metrik dan non metrik.
Variabel terikat adalah indeks prestasi semester I dengan skala variabel non metrik. Instrumen
test berasal dari data sekunder print out hasil sipensimaru, print out psikotes dan daftar nilai
semester I. Teknik analisis data dengan uji regresi logistik biner, dengan α ≤ 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian hasil belajar berhubungan bermakna
dengan tingkat IQ (OR=2,282: 1,224-4,257), dan tidak berhubungan secara bermakna dengan
nilai sipensimaru (OR=1,041: 0,962-1,127) dan motivasi berprestasi (OR=0,640: 0,230-1,780).
Probabilitas pencapaian indeks prestasi sebesar 1,44 kali pada mahasiswa dengan tingkat IQ
rata-rata 100-109, nilai sipensimaru di atas rerata dan motivasi berprestasi cukup memadai.
Kesimpulan penelitian adalah pencapaian indeks prestasi mahasiswa dipengaruhi oleh faktor
tingkat IQ. Sesuai dengan hasil penelitian, maka psikotes sebaiknya dipertahankan sebagai
salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII Kebidanan.
Kata Kunci: Nilai Sipensimaru, IQ, Motivasi Berprestasi, Indeks Prestasi
*: Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan yang bermutu perlu ditunjang oleh ketersediaan tenaga kesehatan
yang berkualitas. Kualitas tenaga kesehatan dihasilkan dari proses pendidikan tenaga
kesehatan yang memenuhi standar jaminan mutu lulusan. Salah satu proses awal pendidikan
adalah penjaringan calon mahasiswa baru. Serangkaian kegiatan dalam penjaringan calon
mahasiswa baru di antaranya adalah; seleksi administrasi, seleksi uji tulis dan seleksi uji
kesehatan. Calon mahasiswa dinyatakan lulus bila ketiga seleksi itu bisa dilalui dengan baik
dan memenuhi standar kelulusan yang telah ditetapkan (Depkes, RI, 2007). Raw input calon
mahasiswa DIII Kebidanan berasal dari lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat.
Tujuan seleksi ini bukan mengukur tingkat kemampuan calon, tetapi lebih
menitikberatkan pada seleksi calon yang diprediksi memiliki kemampuan akademik yang lebih
baik dibanding dengan calon yang lain. Tujuan seleksi seperti ini memberi dampak
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
169
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
permasalahan adanya kesulitan mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi
kesuksesan hasil belajar. Kesuksesan hasil belajar dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu;
kemampuan intelektual dilihat dari pencapaian indeks prestasi, kemampuan teknikal dilihat
dari pencapaian uji ketrampilan dan kemampuan interpersonal dilihat dari sikap perilaku
sehari-hari mahasiswa selama menjalani proses belajar mengajar di dalam dan di luar
kampus. Fakta memberikan gambaran bahwa indeks prestasi mahasiswa < 2,00 sebanyak
2,6% dari 40 mahasiswa pada tahun akademik 2006-2007. Pada tahun akademik berikutnya
terdapat 2,5% mahasiswa gagal dalam studi, 5% dari 40 mahasiswa terpaksa harus
mengambil cuti akademik karena motivasi kurang dalam mengikuti kegiatan klinik. Dari
berbagai fakta tersebut kelemahan selama proses belajar mengajar di Semester I dan II tidak
pernah melihat latar belakang apakah mahasiswa memiliki minat yang tinggi, motivasi yang
tinggi dan tingkat IQ yang rata-rata dalam studinya. Psikotes hanya sebagai alat mengukur,
belum dijadikan alat untuk motivasi mahasiswa.
Hasil belajar mahasiswa berhubungan dengan proses belajar mengajar. Sebagus
apapun rancangan dan metode PBM yang disiapkan oleh seorang dosen, apabila mahasiswa
tidak memiliki motivasi dan minat tentunya tidak memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu
proses pendidikan harus dilihat dan dievaluasi secara utuh mulai dari input-proses-outputoutcome. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam belajar antara
lain; faktor minat, faktor motivasi, dan bakat calon mahasiwa, tingkat IQ calon mahasiswa,
ketersediaan sarana dan prasarana belajar, kenyamanan ruang belajar, metode mengajar,
kualitas tenaga pengajar, rancangan pembelajaran, alat ukur hasil belajar, dan kepuasan
mahasiswa terhadap kegiatan PBM. Dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi hasil
belajar, maka untuk mencapai target pencapaian IPK ≥ 2,75 di atas 80% maka institusi
pendidikan membuat langkah-langkah standarisasi manajemen pembelajaran. Serangkaian
standarisasi proses pendidikan ini telah dilaksanakan. Namun evaluasi manajemen atas
pelaksanaan standarisasi ini terkadang tidak dilakukan.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah rendahnya evaluasi pelaksanaan
standarisasi proses pendidikan dari segi input-proses-output, maka identifikasi hubungan
faktor nilai sipensimaru, tingkat IQ dan tingkat motivasi berprestasi perlu diketahui lebih dulu.
Solusi ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk memutuskan keberterimaan
psikotes sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII Kebidanan. Diketahuinya
faktor-faktor ini juga sangat bermanfaat sebelum memberikan penilaian kepada mahasiswa
apakah mereka mengalami kesulitan belajar, gangguan belajar atau hambatan dalam belajar.
Solusi ini dilakukan dengan mengetahui seberapa besar nilai probabilitas dan odd ratio
masing-masing faktor terhadap hasil belajar Semester I. Rasional menggunakan angka
prestasi hasil belajar Semester I, karena mahasiswa sudah dianggap mampu beradaptasi
dengan dunia kampus, karena mereka telah melakukan proses belajar mengajar selama enam
bulan. Hasil penelitian ini sebagai titik awal untuk meningkatkan motivasi mahasiswa bagi
mereka yang tingkat motivasi berprestasinya rendah, minatnya rendah dan adanya kesulitan
belajar karena tingkat IQ mereka di bawah rerata, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan
dalam belajar sampai akhir pendidikan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
170
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
1. Mengidentifikasi gambaran nilai hasil uji tulis sipensimaru calon mahasiswa yang diterima
atau dinyatakan lulus di Program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan
2. Mengidentifikasi gambaran tingkat IQ calon mahasiswa yang diterima atau dinyatakan lulus
di program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan
3. Mengidentifikasi gambaran tingkat motivasi berprestasi calon mahasiswa yang diterima
atau dinyatakan lulus di Program DIII Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan
4. Menganalisis pengaruh faktor nilai hasil uji tulis sipensimaru, tingkat IQ dan tingkat motivasi
berprestasi calon mahasiswa yang diterima atau dinyatakan lulus di program DIII
Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan terhadap nilai indeks prestasi semester I
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian analitik observasional dengan rancangan cross-sectional ini mengambil lokasi
di Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya, dengan
populasi terjangkau yaitu mahasiswa semester III dan semester V Prodi Kebidanan Magetan
angkatan tahun 2007-2008 dan 2008-2009 sebanyak 80 mahasiswa. Jumlah subyek
keseluruhan sebanyak 77 mahasiswa yang diperoleh secara simple random sampling.
Variabel bebas adalah; nilai sipensimaru, tingkat IQ dan tingkat motivasi berprestasi dengan
skala data non metrik dan metrik. Variabel terikat adalah indeks prestasi semester I dengan
skala data non metrik. Alat ukur adalah data sekunder hasil print out nilai sipensimaru, hasil
psikotes dan daftar nilai semester I. Khusus psikotes diukur oleh dari lembaga psikotes Unair
Surabaya. Teknik analisis data menggunakan uji statistik regresi logistik biner, dengan tingkat
kesalahan yang ditetapkan (α ≤ 0,05).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Nilai sipensimaru dari 77 mahasiswa adalah; rerata: 48,03, median: 49,0, Modus: 38,0,
simpangan baku: 7,87, varians: 62,0, nilai maksimal: 62,0 dan nilai minimal: 36,0.
Tingkat Intelligence Quotient (IQ), berdasarkan hasil print out psikogram dikategorikan
menjadi delapan tingkatan yaitu; borderline, below average, low average, average, high
average, above average, superior dan very superior. Gambaran lengkap disajikan pada Tabel
1, yang menunjukkan bahwa proporsi terbanyak pada tingkat IQ average yaitu 29 (37,7%).
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat IQ
Mahasiswa Baru Prodi Kebidanan Magetan Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009
Tingkat Skor IQ
Frekuensi
Persentase
Below average
4
5,2
Low average
8
10,4
Average
29
37,7
High average
21
27,3
Above average
15
19,5
Total
77
100
Tingkat motivasi berprestasi dikategorikan menjadi tujuh tingkatan yaitu; kurang sekali,
kurang, cukup bawah, cukup, cukup atas, baik dan baik sekali. Gambaran tingkat motivasi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
171
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
berprestasi disajikan pada Tabel 2, yang menunjukkan bahwa proporsi terbesar dari tingkat
motivasi berprestasi berada pada tingkat C (cukup memadai) sebesar 47 (61%).
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Motivasi Berprestasi
Mahasiswa Baru Prodi Kebidanan Magetan Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009
Tingkat Motivasi Berprestasi
Cukup bawah
Cukup
Cukup atas
Total
Frekuensi
7
47
23
77
Persentase
9,1
61,0
29,9
100
Nilai indeks prestasi dikategorikan menjadi dua yaitu nilai kurang dari 2,75 dan lebih dari
atau sama dengan 2,75. Gambaran indeks prestasi disajikan pada Tabel 3, yang menunjukkan
bahwa indeks prestasi di atas sangat memuaskan sebanyak 61 (79,2%), dan di bawah sangat
memuaskan sebanyak 16 (20,8%).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Mahasiswa Prodi Kebidana Magetan Semester I
Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009
Tingkat Indeks Prestasi
< 2,75
≥ 2,75
Total
Frekuensi
16
61
77
Persentase
20,8
79,2
100
Dari Tabel 4 diketahui bahwa 32,8% dari 61 mahasiswa memiliki indeks prestasi >2,75
dan memiliki IQ rata-rata dan di atas rata-rata. Informasi lain adalah 56,3% dari 16 mahasiswa
merupakan mahasiswa dengan IQ rata-rata tetapi memiliki indeks prestasi <2,75.
Dari Tabel 5 diketahui bahwa 57,4% dari 61 mahasiswa memiliki indeks prestasi >2,75
dengan tingkat motivasi cukup memadai. Indeks prestasi >2,75 yang berasal dari mahasiswa
dengan motivasi berprestasi relatif berkembang sebanyak 31,1% dari 61 mahasiswa. Namun
demikian ada 75,0% dari 16 mahasiswa dengan indeks prestasi <2,75 memiliki motivasi
berprestasi pada kategori cukup memadai.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Menurut IQ
Mahasiswa Prodi Kebidanan Magetan Semester I Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009
IQ
Total
Below Average Low Average Average
High Average Above average
IP < 2,75 2 (12,5%)
3 (18,8%)
9 (56,3%) 1 (6,3%)
1 (6,3%)
16
≥2,75 2 (3,3%)
5 (8,2%)
20 (32,8%) 20 (32,8%)
14 (23,0%)
61
Total
4
8
29
21
15
77
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Menurut Tingkat Motivasi Berprestasi
Mahasiswa Prodi Kebidanan Magetan Semester I Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009
Tingkat Motivasi Berprestasi
Total
Perlu Optimalisasi
Cukup Memadai Relatif Berkembang
IP < 2,75
0 (0%)
12 (75,0%)
4 (25,0%)
16
≥ 2,75
7 (11,5%)
35 (57,4%)
19 (29,9%)
61
Total
7
47
23
77
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
172
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Rangkaian proses pengujian hipotesis dijelaskan sebagai berikut:
1. Hasil Overall Model Fit (uji kecocokan model dengan data) menggunakan pendekatan uji
Chi-square menunjukkan nilai X2 hitung = 10,558 dengan p=0,014. Karena α <0,05, maka
model (persamaan regresi) yang dipakai untuk menentukan probabilitas telah cocok.
2. Dari uji akurasi model menggunakan persamaan garis regresi melalui tabel klasifikasi,
diperoleh hasil sebagaimana tercantum pada Tabel 6.
Observed
0
1
Tabel 6. Hasil Uji Akurasi Model
Predicted
Total
Percent Correct
0
1
3
13
16
18,75%
2
59
61
96,72%
5
72
77
Overall = 80,5%
Dari 16 mahasiswa dengan IP < 2,75, sebanyak 18 % dapat diprediksi oleh model,
sedangkan dari 61 mahasiswa yang IP ≥ 2,75, sebanyak 96% dapat diprediksi oleh model.
Secara keseluruhan akurasi model adalah 80,5%.
3. Hasil uji regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa berdasarkan analisis uji Chi-square,
variabel nilai sipensimaru memperoleh nilai p = 0,314 yang berarti tidak terdapat hubungan
bermakna antara nilai sipensimaru dengan indeks prestasi; Odds Ratio (OR) sebesar 1,04
pada interval kepercayaan 0,96-1,12.
Untuk variabel IQ, berdasar analisis Chi-square diperoleh nilai p=0,009 yang berarti
terdapat hubungan bermakna antara IQ dengan indeks prestasi; Odds Ratio (OR) sebesar
2,28 pada interval kepercayaan 1,22-4,25.
Untuk variabel motivasi berprestasi, berdasarkan uji Chi-square diperoleh nilai p=0,392
yang artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat motivasi berprestasi dengan
indeks prestasi; Odds Ratio (OR) sebesar 0,64 pada interval kepercayaan 0,23-1,78.
Model akhir tentang pengaruh nilai sipensimaru, IQ dan tingkat motivasi berprestasi
terhadap indeks prestasi mahasiswa Semester I Prodi Kebidanan Magetan Tahun
Akademik 2007-2008 dan Tahun Akademik 2008-2009, didasarkan pada hasil uji regresi
logistik sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pada Tabel 7 tersebut,
persamaan model regresi logistik dapat :ditulis sebagai berikut:
Logit Indeks Prestasi = -2,163+0,040 (Nilai Sipensimaru)+0,825 (IQ)-0,445 (Motivasi Berprestasi)
Tabel 7. Model Akhir Pengaruh Nilai Sipensimaru, IQ dan Tingkat Motivasi Berprestasi
Terhadap Indeks Prestasi Mahasiswa Semester I Prodi Kebidanan Magetan
Tahun Akademik 2007-2008 dan 2008-2009
Variabel
P
OR
95% CI
β
Nilai Sipensimaru
0,040
0,314
1,041
0,962-1,127
Tingkat IQ
0,825
0,009
2,282
1,224-4,257
Tingkat Motivasi Berprestasi
-0,445
0,392
0,640
0,230-1,780
Konstanta
-2,163
0,014
0,114
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
173
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Persamaan model regresi logistik tersebut dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas
pencapaian indeks prestasi mahasiswa semester I sebagai berikut:
1
P1(Y) = ---------------------------------------------------------------- = 0,148
1 + e –(-2,163+0,040 (1)+0,825 (1)- 0,445(1))
1
P0(Y) = --------------------------------------------------------------- = 0,103
1 + e –(-2,163+0,040 (0)+0,825 (0)- 0,445(0))
P1(Y)
0,148
RR = ------------ = ---------- = 1,44
P0 (Y)
0,103
Makna persamaan ini menyebutkan bahwa probabilitas pencapaian indeks prestasi >2,75
sebesar 1,44 kali apabila nilai sipensimaru, IQ dan tingkat motivasi berprestasi di atas
rerata, dibandingkan nilai sipensimaru, IQ dan tingkat motivasi berprestasi di bawah rerata.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara nilai
sipensimaru dengan indeks prestasi mahasiswa Semester I dengan nilai p=0,314.
Berdasarkan nilai odds ratio, mahasiswa dengan nilai sipensimarudi atas rerata berpeluang
1,04 kali dapat mencapai indeks prestasi di atas 2,75. Penentuan standar indeks prestasi
didasarkan pada predikat kelulusan program DIII Kebidanan Jurusan Kebidanan Poltekkes
Depkes Surabaya yaitu; 1) IPK 2,00-2,75 dengan predikat memuaskan; 2) IPK 2,75-3,50
dengan predikat sangat memuaskan; dan 3) IPK 3,51-4,00 dengan predikat dengan pujian
atau cum laude (Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya, 2007). Berdasarkan
penentuan predikat kelulusan ini, Prodi Kebidanan mengharapkan target bahwa 80% output
lulusan harus memiliki indeks prestasi di atas 2,75. Indikator target ini menyesuaikan dengan
tuntutan pasar dunia kerja bahwa lulusan kebidanan yang bisa diterima di beberapa pasar
kerja bila indeks prestasi kumulatif mereka minimal 2,75.
Sebenarnya penilaian kompetensi seseorang ahli madya kebidanan sangat ditentukan
oleh tiga domain penilaian yaitu; knowledge, skill dan behavior atau attitude. Namun ketiga
domain tersebut masih dituangkan dalam bentuk IPK, sehingga menjadi sangat penting
seseorang mahasiswa untuk memperoleh capaian IPK seoptimal mungkin. Menurut Syah
(2006) prestasi akademik sangat ditentukan oleh faktor internal (sikap, bakat, minat, motivasi
dan intelegensi); faktor eksternal (lingkungan sosial dan non sosial) serta faktor pendekatan
belajar. Dari ketiga faktor tersebut, menurut Lunandi (1993) faktor internal paling dominan
berpengaruh terhadap prestasi belajar. Sumber bahan belajar terkaya adalah diri sendiri.
Zainul (2005) menyatakan ada beberapa alasan untuk menggunakan pengukuran, tes
dan penilaian dalam pendidikan, antara lain; 1) seleksi; 2) penempatan; 3) diagnosa dan
remedial; 4) umpan balik; 5) memotivasi dan membimbing belajar; 6) perbaikan kurikulum dan
program pendidikan; dan 7) pengembangan ilmu. SPMB menggunakan serangkaian uji tulis
yang bermanfaat untuk seleksi. Nilai sipensimaru digunakan untuk mengambil keputusan
tentang orang yang akan diterima atau ditolak dalam suatu proses seleksi. Keputusan
menerima atau menolak ini sangat berat, maka harus digunakan seperangkat alat ukur yang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
174
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
tepat, memiliki daya beda tinggi, memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Nilai sipensimaru
tidak menentukan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan atau program (Zainul; 2005).
Syarat kelulusan uji tulis dan uji kesehatan bukan untuk mengukur kemampuan
seseorang, namun lebih dititikberatkan pada penjaringan mahasiswa yang diprediksi memiliki
kemampuan akademik yang baik, sehingga mampu menyelesaikan pendidikan sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan (Zainul; 2005). Standar kelulusan adalah semua mata uji harus di
atas rerata (4L) karena ada empat mata uji. Maknanya adalah bahwa semua subyek dalam
penelitian adalah calon mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rerata calon yang lain.
Berdasarkan nilai odds ratio, mahasiswa dengan nilai sipensimaru di atas rerata berpeluang
1,04 kali dapat mencapai indeks prestasi di atas 2,75. Makna peluang ini memberikan
gambaran bahwa pencapaian indeks prestasi baik tidak mutlak dipengaruhi oleh kemampuan
mereka mengerjakan soal tes ujian masuk. Hal ini dibuktikan dengan analisis bahwa mereka
yang lulus hanya memiliki peluang 1,04 kali dibandingkan dengan mereka yang tidak lulus.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nadzirudin, dkk (2006) bahwa pencapaian indeks
prestasi kumulatif mahasiswa sangat ditentukan oleh faktor internal berupa minat, motivasi
berprestasi, dan IQ seseorang, bukan ditentukan dari kemampuan mengerjakan soal ujian
masuk/seleksi masuk.
Ada perbedaan signifikan mengenai persentase jumlah mahasiswa yang mendapatkan
predikat kelulusan sangat memuaskan dan memuaskan yaitu 1:4. Bila merujuk data asli, tidak
ada mahasiswa yang memiliki predikat dengan pujian atau cum laude. Di samping itu tidak
ada pola tertentu yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai ujian sipensimaru, semakin
tinggi pula indeks prestasi yang dicapai. Tidak adanya pola tertentu yang menduga keterkaitan
hubungan positif maupun negatif antara nilai sipensimaru dan indeks prestasi, diduga karena
masing-masing mahasiswa memiliki minat berbeda-beda untuk menjadi bidan. Menurut Reber
(1988) dalam Syah (2006), minat kurang populer dalam psikologis karena memiliki banyak
ketergantungan pada faktor internal seperti; pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi,
dan kebutuhan. Meskipun kurang populer dalam ranah psikologis, menurut Dalyono (1997)
dalam Djamarah (2002) minat yang tinggi terhadap sesuatu cenderung menghasilkan prestasi
yang tinggi.
Dari hasil wawancara langsung dengan subyek, diperoleh gambaran bahwa hanya 2025% mahasiswa yang betul-betul memiliki minat tinggi menjadi bidan. Rendahnya minat
menjadi bidan menjadi problem tersendiri bagi institusi untuk lebih mempromosikan tujuan
pendidikan DIII Kebidanan. Meskipun animo pendaftar tinggi, belum tentu mereka betul-betul
berminat tinggi menjadi Bidan. Untuk menumbuhkan minat mahasiswa baru yang duduk di
semester I, setiap pendidik harus selalu menyampaikan interkorelasi antar mata kuliah,
menjelaskan kegunaan materi untuk masa depan setelah menjadi bidan, serta menggunakan
metode mengajar yang atraktif dalam setiap pemecahan masalah, serta pengkondisian
ketrampilan yang benar-benar dinikmati dan disenangi oleh para mahasiswa melalui
pembelajaarn laboratorium klinik.
Perkembangan dunia pendidikan menuntut setiap individu untuk berprestasi dengan
baik. Prestasi akademik yang baik menjadi tolok ukur keberhasilan mahasiswa. Indeks
prestasi (IP) merupakan indikator apakah mahasiswa mendapat predikat berprestasi atau tidak
berprestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara IQ
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
175
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
dengan indeks prestasi dengan Odds Ratio 2,28 yang berarti bahwa mahasiswa dengan IQ di
atas rata-rata berpeluang 2,28 dapat mencapai indeks prestasi ≥ 2,75. Hasil penelitian ini
sedikit berbeda dengan pernyataan Goleman (2000) bahwa kontribusi IQ dalam menunjang
kehidupan seseorang tidak lebih dari 20% dan sisanya 80% berasal dari faktor lain yaitu
emotional quotient (EQ). Kecerdasan emosi (emotional intelligence) mencakup kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk mengenal emosinya, mengelola emosinya, memotivasi diri,
mengenal emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000).
Nadziruddin, dkk (2006) melaporkan bahwa faktor internal memberikan kontribusi sangat
besar terhadap pencapaian indeks prestasi kumulatif mahasiswa program sarjana
keperawatan di Universitas Padjajaran Bandung. Megawangi (2006) juga menyatakan bahwa
seseorang yang bisa lulus ke perguruan tinggi memiliki IQ berada di atas 120. Informasi ini
didukung oleh penelitian para ahli yang menyebutkan bahwa faktor dominan yang menentukan
prestasi seseorang adalah intelegensi (Widayatun; 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki IQ pada tingkat ratarata dan ada kecenderungan bahwa mahasiswa yang memiliki IQ di atas rata-rata, memiliki
indeks prestasi di atas 2,75. Sebagian besar mahasiswa memiliki indeks prestasi sangat
memuaskan. Seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata tetapi memiliki indeks prestasi di
bawah rata-rata dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Hasil wawancara dengan beberapa
mahasiswa dengan indeks prestasi rendah menggambarkan bahwa; mereka kebingungan
mempersepsi makna kuliah, merasa kurang mampu beradaptasi dengan dunia kampus,
kesulitan belajar karena mata kuliah yang benar-benar baru dan belum pernah diajarkan di
sekolah lanjutan, mereka malas membaca, tidak ada motivasi untuk bersaing karena mereka
merasa tidak minat kuliah di Kebidanan. Harus dicarikan solusi terhadap masalah di atas agar
mereka termotivasi dan memiliki sikap positif terhadap kuliah di kebidanan. Menurut
Suwardjono (2009); perbaikan interaksi dosen-mahasiswa, efektivitas proses belajar
mengajar, temu kelas merupakan waktu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman,
pengembangan aspek ketrampilan teknis, pengembangan kepribadian, pengembangan aspek
kejujuran, integritas, inovasi, kreativitas, kemampaun interaksi, dan kemampuan dalam
berkelompok merupakan strategi motivasi dosen dalam meningkatkan minat mahasiswa.
Persamaan Logit indeks prestasi sebagaimana hasil analisis regresi logistic
menerangkan bahwa setiap kenaikan satu tingkat dari kategori penilaian IQ, maka indeks
prestasi mahasiswa naik 0,825. Namun perlu disadari bahwa kesuksesan seseorang tidak
hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata (Husaini, 2009). Kecerdasan
emosional dan kecerdasan intelektual juga memberikan andil yang justru lebih tinggi dalam
memberikan kesuksesan pada seseorang. Kelemahan dalam penelitian ini tidak
mengikutsertakan variabel EQ dan SQ, sehingga kesuksesan mahasiswa dalam bidang
akademik hanya diukur dari variabel IQ saja. Tentunya penelitian lanjutan yang perlu
diperhatikan adalah mengetahui keterkaitan antara variabel sikap, minat, EQ, SQ, kepuasan
dalam PBM terhadap indeks prestasi dirasa cukup relevan. Maka test psikotes masih
diperlukan dan sangat relevan sebagai penentu lulus tidaknya calon mahasiswa diterima
menjadi mahasiswa baru DIII Kebidanan.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran fakta nyata bahwa indeks prestasi mahasiswa
utamanya di semester I sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual (IQ), minat, daya pikir
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
176
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
kongkrit, kepribadian, daya tangkap, kemampuan berhitung, penalaran, daya ingat,
kemandirian, dan motivasi berprestasi. Kesemua variabel ini ada di dalam test psikologi. Maka
test psikologi sangat dianjurkan untuk diberlakukan terus sebagai penentu keputusan calon
mahasiswa diterima atau tidak selain test uji tulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat
motivasi berprestasi dengan indeks prestasi; dengan Odds Ratio 0,64. Ini berarti mahasiswa
dengan tingkat motivasi berprestasi di atas cukup memadai berpeluang 0,64 dapat mencapai
indeks prestasi ≥ 2,75. Hal ini berbeda dengan laporan penelitian Hastuti D (2007) bahwa ada
pengaruh motivasi berprestasi secara signifikan terhadap kreativitas belajar mahasiswa FKIP
UNS Surakarta. Nadziruddin, dkk (2006) juga melaporkan bahwa motivasi berprestasi
mahasiswa program sarjana keperawatan sangat mempengaruhi indeks prestasi. Nadziruddin
juga melaporkan bahwa mahasiswa dengan IPK cum laude memiliki motivasi sangat tinggi.
Menurut Syah (2006) motivasi berprestasi tinggi cenderung menghasilkan prestasi optimal.
Perbedaan hasil penelitian ini terletak pada cara pengukuran variabel motivasi berprestasi.
Pada kedua penelitian tadi, pengukuran variabel motivasi berprestasi pada awal semester dan
tengah semester. Sedangkan pada penelitian ini, pengukuran motivasi berprestasi menyatu
dengan psikotest, sehingga tingkat motivasi berprestasi pada penelitian ini cenderung masih
murni (belum pernah mengikuti kegiatan belajar mengajar), belum merasakan sulit tidaknya
belajar di perguruan tinggi, dan kesulitan lainnya. Namun rekomendasi hasil psikotest 97%
dari 40 calon mahasiswa yang diterima semuanya disarankan masuk kuliah di Kebidanan.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki motivasi
berprestasi di atas cukup memadai dengan indeks prestasi lebih dari 2,75. Sebagian besar
mahasiswa dengan motivasi berprestasi cukup atas (C+) atau relatif berkembang, tidak
memiliki kecenderungan pencapaian indeks prestasi tertentu. Tidak adanya perbedaan indeks
prestasi secara signifikan berdasarkan tingkat motivasi berprestasi, menurut Mc Clelland
(1953) dipengaruhi oleh faktor hambatan dari dalam diri dan luar individu. Menurut Herman
(1967) motivasi berprestasi sangat dipengaruhi oleh kecemasan seseorang. Dalam proses
belajar mengajar, ada dua kecemasan yaitu; 1) facilitating anxiety; yaitu kecemasan yang
menstimulasi aktivitas belajar, 2) debilitating anxiety yaitu kecemasan yang menghambat
aktivitas belajar. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak mengikutsertakan analisis faktor
kecemasan sebagai variabel antara terhadap motivasi berprestasi, sehingga diduga faktor
kecemasan mahasiswa sebagai pemicu motivasi berprestasi tidak berhubungan secara
bermakna dengan indeks prestasi mahasiswa. Menurut Djamarah (2002), keberadaan
motivasi berprestasi pada diri mahasiswa cukup berpengaruh terhadap kemampuan
intelektual, sehingga dosen hendaknya berupaya meningkatkan motivasi mahasiswa dengan
cara; menciptakan suasana kelas yang kompetitif agar mahasiswa puas dalam belajar,
menumbuhkan kesadaran mahasiswa untuk berpendapat agar mereka selalu merasa senang
belajar dan menerima tugas sebagai tantangan untuk berprestasi.
Menurut Mc Clelland ada beberapa karakteristik orang yang memiliki kebutuhan
berprestasi yaitu; 1) orang dengan n-Ach tinggi memilih untuk menghindari tujuan prestasi
yang mudah atau sulit, mereka memilih sesuatu yang mereka pikir mampu mereka raih; 2)
orang dengan n-Ach tinggi memilih umpan balik langsung dan dapat diandalkan mengenai
bagaimana mereka berprestasi; 3) orang dengan n-Ach tinggi menyukai tanggung jawab
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
177
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
pemecahan masalah. Penelitian ini kurang mampu mengidentifikasi persentase mahasiswa
dengan karakteristik di atas karena pengukurannya inklud dengan test psikologi. Dalam
perkuliahan, motivasi berprestasi mahasiswa sangat penting karena dapat berfungsi sebagai;
1) motor penggerak belajar, 2) menentukan arah tujuan yang ingin di capai, 3) mampu
menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan (Rivai, 2003). Untuk meraih prestasi yang
baik harus ditanamkan motivasi dan keyakinan diri yang kuat (Marwaty, 2003). Sebagai solusi
untuk mengatasi tujuh mahasiswa yang memiliki motivasi C- (perlu optimalisasi), maka
diperlukan sosok dosen, pembimbing atau orang tua sebagai role model atau panutan bagi
pengembangan diri mahasiswa. Oleh karena itu seyogyanya dosen atau pembimbing yang
memberikan tutorial di semester I harus memiliki kemampuan, komitmen dan integritas tinggi.
Mahasiswa dengan motivasi berprestasi di atas cukup memadai berpeluang 0,64 dapat
mencapai indeks prestasi ≥ 2,75. Menurut Mc Clelland (dalam Rivai, 2003) motivasi
berprestasi seseorang mulai muncul saat berusia 3,5 tahun dan pada usia dewasa justru lebih
nyata. Oleh karena itu motivasi berprestasi mahasiswa yang kurang masih bisa ditingkatkan
pada saat mereka mengikuti kegiatan perkuliahan di kampus.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang antara lain; 1)
keluarga dan lingkungan sosial; pola asuh orang tua dan lingkungan sosial tempat mereka
tinggal sangat mewarnai motivasi mereka untuk berprestasi, 2) konsep diri; seorang diri yang
percaya diri atas kemampuan biasanya berpikir optimis untuk berprestasi sehingga
mempengaruhi perilaku mereka, 3) jenis kelamin; banyak perempuan dengan motivasi
berprestasi tinggi namun tidak berpenampilan seperti laki-laki, karena prestasi identik dengan
maskulinitas, 4) pengakuan dan prestasi; seseorang akan bekerja keras apabila dipedulikan
atau diperhatikan orang lain (Morgan, 1986; Fernald & Fernald, 1999; Eastwood, 1983;
Siregar, 2006). Pengharapan akan sukses dan ketakutan akan kegagalan juga merupakan
motif dasar seseorang untuk berprestasi (Monk, 1999).
Dua fenomena menarik berkaitan dengan motivasi berprestasi dan indeks prestasi
sebenarnya terdapat pada motif mahasiswa tentang manfaat kuliah. Apakah mereka kuliah
untuk mendapatkan nilai IP bagus/cum laude atau mereka kuliah untuk tahu. Suwardjono
(2008) menyatakan bahwa perkuliahan harus mementingkan proses bukan hasil. Nilai yang
diperoleh oleh mahasiswa memang merupakan indikator kesuksesan dalam menempuh
kuliah, tetapi bukan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dalam mengubah pengetahuan,
perilaku dan sikap mahasiswa. Solusi atas permasalahan ini adalah pengendalian proses
belajar mengajar menjadi perhatian utama jaminan mutu institusi pendidikan. Oleh karena itu
harus ada persepsi yang sama antara dosen dan mahasiswa tentang tujuan perkuliahan atau
tujuan belajar di perguruan tinggi.
Meskipun hasil penelitian membuktikan tidak ada hubungan antara motivasi berprestasi
dengan indeks prestasi, tetapi kemandirian belajar sebagai motif dasar harus ditanamkan
seorang dosen. Kemandirian belajar adalah hasil suatu proses pengalaman belajar itu sendiri.
Kemandirian belajar harus dimulai sejak pertama kali mahasiswa memasuki perguruan tinggi.
Variabel motivasi untuk berprestasi sangat berkaitan dengan semangat dalam diri untuk
belajar. Kalau proses belajar mandiri diciptakan dengan baik maka kuliah di perguruan tinggi
akan mampu mengubah perilaku, pengetahuan, sikap dan ketrampilan mahasiswa. Maka
dalam hubungan variabel motivasi berprestasi dengan capaian indeks prestasi sebenarnya
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
178
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
lebih dititik beratkan pada motif dasar individu mahasiswa untuk mandiri dalam belajar, bukan
sekedar memperoleh nilai yang bagus. Nilai yang bagus tidak ada artinya bila tidak mampu
mengubah pengetahuan, perilaku, sikap dan ketrampilan mahasiswa itu sendiri. Yang baik
adalah motivasi untuk berprestasi merupakan tujuan memperoleh atribut sukses bagi
seseorang.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, selanjutnya ditarik tiga simpulan sebagai
berikut:
1. Nilai sipensimaru tidak berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa
2. IQ berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa
3. Motivasi berprestasi tidak berpengaruh terhadap indeks prestasi mahasiswa.
Sesuai dengan simpulan penelitian, diajukan saran bahwa dalam Sipensimaru, psikotes
sebaiknya dipertahankan sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa DIII
Kebidanan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar S, 2000. Test Prestasi. Yogjakarta, Pustaka Pelajar.
Arikunto S, 1996. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Yogjakarta, Bumi Aksara.
Bahri S, 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Jakarta, Rineka Cipta.
Djamarah, SB.2002. Psikologi Belajar. Jakarta, Rineka Cipta.
Depkes RI, 2007. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sipensimaru Diknakes. BPPSDM, Jakarta.
Huanaini, A, 2008. Keseimbangan IQ, EQ dan SQ dalam Perspektif Islam. www.akhlaq.com.
Akses tanggal 29 Nopember 2009.
Hidayat S, 2006. Hubungan Minat Terhadap Profesi Guru dan Motivasi Berprestasi dengan
Ketrampilan Mengajar. www.lemlit-unsulat.ac.id. Akses 25 Nopember 2009.
Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya, 2007. Pedoman Akademik DIII Kebidanan.
Surabaya.
Kusumawardani P, 2006. Kontribusi Kecerdasan Emosi Terhadap Prestasi Akademik
Mahasiswa. www.usu.ac.id. Akses 25 Nopember 2009.
Lembaga Psikologi Unair, 2007. Hasil Psikogram Mahasiswa Baru Prodi Kebidanan Magetan
tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009. Surabaya.
Mc.Clelland DC, 1953. The Achivement Motive. New York Appleton Century Crof.
Megawangi R, 2007. Pendidikan Berbasis Karakter. www.xl.co.id. Akses 27 Pebruari 2007.
Prodi Kebidanan Magetan, 2008; 2009. Print Out Nilai Sipensimaru Diknakes Jurusan
Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan.
-------------------------------------, 2008;2009. Daftar Nilai Semester I Tahun Akademik 2007-2008
dan 2008-2009.
Suryabrata S, 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Rineka Cipta, Jakarta.
Suciati, Irawan P, 2005. Teori Belajar dan Motivasi. PAU-PPAI-UT, Jakarta.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
179
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Suwardjono, 2004. Motivasi Berprestasi Mahasiswa Ditinjau dari Pola Asuh. www.usu.ac.id.
Akses 25 Nopember 2009.
Zainul AN, 2005. Penilaian Hasil Belajar. PAU-PPAI-UT, Jakarta
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
180
Download