Status Taksonomi Genus Alpinia Berdasarkan Sifat-sifat

advertisement
BioSMART
Volume 1, Nomor 1
Halaman: 31-40
ISSN: 1411-321X
April 1999
Status Taksonomi Genus Alpinia Berdasarkan Sifat-sifat Morfologi,
Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri
AHMAD DWI SETYAWAN
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
ABSTRAK
Holltum (1950) was the first researcher who divided genus Alpinia into three separated genera, i.e. Alpinia, Catimbium and Languas.
This classification was followed by many authors like Backer and Bakhuizen van den Brink (1968), although other authors challenged
it. Justification of the taxonomic status of this genus so far is only based on morphological characters of the flowers, and it has not
solved different opinion of the author yet. It is therefore important to conduct an experiment in order to extend of the character, such as
anatomical characters and their chemical constituent of essential oil to gain representative characters on classifying this genus. For this
reasons this experiment was conducted. Quantitative and qualitative methods were used in this experiment. Five species of genus
Alpinia took from Bogor Botanical Garden`s collection and species collected from highland of northern Purbalingga were used in this
experiment. Morphological character’s examinations were rhizomes, roots, shoots, leave, flowers, fruits and seeds. Anatomical
character’s examinations were the section of the rhizomes, roots, shoots and leave, included sheath and both upper and lower section of
epidermal lamina. Preparats were made by semi permanent method. Experiments on chemotaxonomy were done, including
quantitative analysis of essential oil of the rhizome by water distillation, and determination of the kind of their essential oils by gas
chromatography. The phylogenetic relationships of genus Alpinia were determined by clustering association coefficient continued by
cluster analysis. These results indicate that morphological and anatomical character, and chemical constituent of essential oils both
single or combination could be used as determinant character in genus Alpinia. Combination of these characters strengthen the current
classification based on morphological characters, but the phylogenetic dendrogram based on combination of previous characters
indicated that separation of genus Alpinia to three genera, i.e. Alpinia, Languas and Catimbium could not be confirmed.
Key words: Alpinia, morphology, anatomy, essential oils, phylogenetic
PENDAHULUAN
Ruang lingkup taksonomi tumbuhan meliputi
identifikasi, klasifikasi dan deskripsi (Lawrence,
1955). Taksonomi berlandaskan sifat yang dapat
dilihat, diukur, dihitung dan dibatasi, misalnya sifat
morfologi, anatomi, palinologi, fisiologi, biokimia,
sitologi dan sitogenetika (Shukla dan Misra, 1982).
Sifat yang bernilai tinggi harus jelas dan stabil (Davis
dan Heywood, 1973; Heywood, 1967). Taksonomi
yang sempurna boleh jadi mengharuskan penelitian
semua sifat, sehingga diperoleh klasifikasi yang rinci
dan lebih baik (Turril, 1951).
Zingiberaceae memiliki sekitar 47 genus dan 1400
spesies. Biasa dimanfaatkan untuk obat, rempah,
bumbu, pewarna dan tanaman hias. Alpinia
merupakan genus terbesar dan memiliki 225 spesies.
Tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Wilayah
sebaran utamanya di Indo-Malaysia, ke utara hingga
Jepang dan ke selatan hingga New South Wales
(Lawrence, 1955; Purseglove, 1972).
Taksonomi Zingiberaceae menarik dipelajari
karena adanya banyak perbedaan pendapat, misalnya
status taksonomi genus Alpinia. Holttum (1950)
memisahkan genus ini menjadi tiga, yaitu: Alpinia
(berdasarkan Alpinia sub-genus Dieramalpinia K.
Schum.), Languas (termasuk Alpinia galanga, tipe
konservasi Alpinia) dan Catimbium (Alpinia subgenus Catimbium K. Schum.). Namun pemisahan ini
ditentang banyak ahli.
Genus Alpinia termasuk dalam Tribus Alpineae,
Subfamilia Zingiberoideae, Familia Zingiberaceae,
Ordo Zingiberales (Scitamineae), Kelas
Monocotyledoneae, Subdivisi Angiospermae, Divisi
Spermatophyta (Burtt, 1972; Burtt dan Smith, 1972;
Lawrence, 1951).
Morfologi merupakan sifat utama taksonomi, baik
bagian bunga atau vegetatif. Sifat bunga meliputi
bentuk, warna, jumlah dan organisasi. Sedang sifat
vegetatif meliputi percabangan, pertumbuhan, tekstur
batang serta susunan, ukuran dan bentuk daun (Jones
dan Luchsinger, 1986). Sifat morfologi sering
diperkuat sifat anatomi, meskipun terkadang hanya
berlaku untuk klasifikasi di atas familia (Heywood,
1967). Sifat ini meliputi stomata, bulu-bulu;
substansi ergastik seperti: sel silika, kristal Caoksalat, pati, tanin, sel minyak, getah; parenkim;
xilem, floem dan lain-lain. Sifat ini dipengaruhi
adaptasi dan fungsi (Shukla dan Misra, 1982). Sifat
lain yang mulai banyak digunakan adalah
kemotaksonomi, yaitu penerapan data-data kimia.
Sifat ini tidak mensyaratkan spesimen utuh dan
tersimpan baik (Hegnauer, 1963).
© 1999 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
32
BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40
Tumbuhan memiliki hubungan kekerabatan yang
diturunkan secara genetik. Keeratan kekerabatan naik
dengan turunnya tingkat taksa dan berkurang dengan
naiknya tingkat taksa. Taksonomi merupakan cermin
kekerabatan dan evolusi (Pool, 1941).
Biosintesis Minyak Atsiri
Untuk tumbuh dan berkembang, makhluk hidup
melakukan metabolisme. Proses ini dimulai dengan
fotosintesis, dan hasilnya dapat diubah menjadi
senyawa sekunder (Geissmann dan Crout, 1969).
Senyawa ini dibentuk spesies tertentu, terpengaruh
lingkungan, strukturnya serupa dan fungsi
fisiologisnya seolah-olah tidak penting (Tarigan,
1987)
Struktur minyak atsiri Alpinia berupa modifikasi
sel-sel parenkim, yang dibentuk di semua jaringan
terutama rimpang. Minyak ini memiliki aroma khas,
indek bias tinggi, optis aktif, sudut putar spesifik,
tidak larut dalam air, bening, rasa pedas, pahit dan
hangat karena adanya resin (Burkill, 1935; Claus
dkk., 1970). Dalam minyak atsiri kadar resin sekitar
30% (Paimin dan Murhananto, 1991). Komponen
utama minyak atsiri adalah terpenoid dan senyawa
aromatis turunan asam sikimat (Claus dkk., 1970).
Selanjutnya
Guenther
(1948)
menambahkan
hidrokarbon rantai lurus dan senyawa lain yang
belum jelas asalnya. Komponen minyak atsiri
umumnya tidak stabil dan dapat menyatu kembali
secara intra molekuler.
Minyak atsiri golongan terpenoid terdiri dari
mono-terpen, sesquiterpen dan diterpen (Borner dan
Varner, 1965). Monoterpen merupakan minyak atsiri
paling umum, sedang sesquiterpen paling khas
(Guenther, 1948). Diterpen sangat jarang (Robinson,
1975). Bahkan menurut Ting (1982), tidak ada
minyak atsiri dari diter-pen. Monoterpen dibentuk
oleh ikatan dua isopentenil pirofosfat atau isopentenil
pirofosfat dengan dimetilalil pirofosfat. Penambahan
isopentenilpirofosfat lebih lanjut menyebabkan
terbentuknya sesquiterpen dan diterpen (Borner dan
Varner, 1965; Geissmann dan Crout, 1969).
Turunan asam sikimat dikenal pula sebagai resin.
Asam sikimat berasal dari penggabungan fosfoenol
piruvat dan eritrosa-4-fosfat. Setelah melalui beberapa
tahap akan menghasilkan fenilalanin, prekusor
senyawa-senyawa C6-C3 yang merupakan starter
senyawa-senyawa C6-C3-(C2)n, seperti zingeron dan
senyawa-senyawa keton lain (Geissmann dan Crout,
1969).
Kromatografi Gas Cairan
Penyulingan sering digunakan untuk mendapatkan
minyak atsiri, karena sederhana, cepat dan murah.
Namun pada suhu tinggi minyak atsiri dapat
mengalami hidrodifusi, hidrolisis, polimerisasi dan
resinifikasi, sehingga terbentuk senyawa yang semula
tidak disintesis tumbuhan.Cara yang kini jamak
dipakai adalah ekstraksi, karena komposisinya tidak
banyak berubah. Penyulingan masih digunakan
namun terbatas untuk mengetahui kadar minyak
(Guenther, 1948; Harborne, 1984).
Kromatografi gas cairan merupakan cara
pemisahan minyak atsiri paling lazim. Pemisahan
terjadi pada fase diam berdasarkan kelarutan
cuplikan. Senyawa yang kelarutannya rendah keluar
lebih dulu (Boyer, 1990; Gritter dkk., 1991).
Keunggulan metode ini adalah: cepat setimbang, gas
pembawa kecepatan tinggi, memisahkan pada titik
didih kecil, analisis kualitatif dan kuantitatif
bersamaan, konsentrasi 0,01%, mudah dijalankan dan
dipahami (Harborne, 1984; McNair dan Bonelli,
1968).
Taksonomi Numerik dan Kekerabatan
Taksonomi numerik digunakan untuk menyusun
klasifikasi berdasarkan hubungan fenetik, yaitu
persamaan sifat fenotip. Dalam taksonomi ini taksa
terbawah berupa unit operasional taksonomi (OTUs)
(Shukla dan Misra, 1982). Dendrogram filogeni
dapat dibuat dengan metode koefisien asosiasi,
dimana indek similaritas memakai rumus (Sokal dan
Sneath, 1963):
m
Sm = ------- x 100
n
m = jumlah sifat yang berpasangan (++/--)
µ = jumlah sifat yang tidak berpasangan (+-/-+)
n =m+µ
Sm = indeks similaritas
Tingkat harga koefisien asosiasi dapat ditentukan
dengan analisis klaster (Pielou, 1984).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini memakai metode kualitatif dan
kuanti-tatif di laboratorium. Data diperoleh melalui
pengamatan morfologi, anatomi dan kandungan
kimia minyak atsiri. Prosedur pengamatan morfologi
meliputi analisis langsung tumbuhan hidup dan
pembuatan herbarium (Lawrence, 1951; 1955).
Pengamatan anatomi meliputi pembuatan prepatat
dan pemotretan (Radford dkk.,1982; Soerodikoesoemo,
1989). Pengamatan kemotaksonomi meliputi distilasi
air, ekstraksi dan kromatografi gas (Anonim, 1977;
Harborne, 1984; Pramono, 1988). Analisis data
berupa pembuatan dendrogram filogeni dengan
metode pengelompokan koefisien asosiasi (Sokal dan
Sneath, 1963) dan analisis klaster (Pielou, 1984).
Specimen Alpinia adalah tumbuhan hidup koleksi
Kebun Raya Bogor dan tumbuhan liar dari dataran
tinggi Purbalingga Utara. Pada pengamatan
morfologi dilakukan pula pemeriksaan herbarium
SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia
koleksi Herbarium Bogoriense Bogor. Spesies yang
diteliti adalah: Alpinia galanga (L.) Willd. Sin.
Languas galanga (L.) Stuntz., Alpinia Hookeriana
Val. sin. Catimbium latilabre (Ridl.) Holtt., Alpinia
javanica Bl., Alpinia malaccensis Rosc. sin.
Catimbium malaccensis (Burm.) Holtt. dan Alpinia
nutans Rosc. sin. Catimbium spesiosum (Wendl.)
Holtt. Identifikasi mengacu pada Backer dan
Bakhuizen v.d. Brink (1968), Holttum (1950),
Henderson (1954) dan Ochse (1931).
Pengamatan Morfologi
Pengamatan morfologi dilakukan terhadap
habitus, rimpang, akar, batang semu, daun (helai,
pelepah, upih, tangkai), infloresensi, braktea primer,
braktea sekunder, bunga, kelopak, mahkota, bibir,
staminodia, filamen, anthera, stylus, stigma, ovarium,
buah dan biji. Untuk memudahkan pengamatan juga
dibuat herbarium kering.
Bahan. Dalam pembuatan herbarium diperlukan kertas
herbarium, etiket, label, benang, tali pengikat, lem, selotip
transparan, kertas koran dan kertas kardus.
Alat. Dalam pembuatan herbarium diperlukan sasak, pisau, silet,
gunting, gunting tanaman dan alat tulis. Sedang untuk
pengamatan diperlukan mikroskop stereo, lensa pembesar, cawan
petri, jarum pemisah, silet, pinset, meteran serta kamera
mikrofotografi.
Cara Kerja. Specimen tumbuhan hidup dan herbarium kering
diamati langsung, bagian yang tersembunyi atau kecil diiris
melintang dan diamati dengan lensa pembesar atau mikroskop
stereo. Penampakan umum, bunga dan herbarium dipotret.
Pengamatan Anatomi
Pengamatan anatomi dilakukan pada helai daun
meliputi epidermis, hipodermis, bulu-bulu, stomata,
kloremkim, sel minyak dan berkas pengangkut; pada
pelepah daun meliputi epidermis, stomata, rongga
udara dan berkas pengangkut; pada batang, rimpang
dan akar meliputi susunan kortek dan stele.
Bahan. Dibutuhkan gliserin, alkohol 70%, safranin 1% dalam
alkohol 70% dan cat kuku.
Alat. Untuk membuat preparat digunakan silet, kuas, jarum
preparat, cawan petri, gelas benda dan gelas penutup. Untuk
pengamatan digunakan mikroskop, mikrometer, kamera lucida
dan kamera mikrofotografi.
Cara Kerja. Preparat dibuat dengan metode semi-permanen.
Rimpang, akar, batang, helai dan pelepah daun dibuat preparat
penampang melintang. Khusus helai daun juga dibuat preparat
paradermis. Langkah-langkahnya sebagai berikut: bahan diiris
tipis, difiksasi 24 jam dengan alkohol dan diwarnai safranin 1%
dalam alkohol 70% selama 5 menit. Dicuci alkohol 70% agar
tidak luntur ketika diberi gliserin. Diletakkan pada gelas benda,
ditetesi gliserin, ditutup dengan gelas penutup, dan disegel
dengan cat kuku. Diamati dengan mikroskop dan dipotret dengan
kamera mikrofotografi.
Pengamatan Kemotaksonomi
Pengamatan kemotaksonomi dilakukan terhadap semua jenis
senyawa sekunder minyak atsiri Alpinia.
33
Bahan. Distilasi: xylene dan akuades. Ekstraksi: etanol,
petroleum eter, asam asetat 10% dalam petroleum eter, NH4OH
pekat dan NH4OH 1% dalam petroleum eter. Kromatografi gas
cairan: senyawa identitas.
Alat. Persiapan bahan: kipas angin, blender, ayakan, rak, kain
hitam, ember, pisau, landasan kayu dan nampan pengeringan.
Distilasi air: labu destilasi Stahl berupa labu didih 1000 ml,
pendingin dan buret 0,5 ml berskala 0,01 ml; statis, klem, kasa
keramik dan kompor. Ekstraksi: tabung reaksi, lumpang dan
cawan porselen, tabung sentrifus, sentrifus, penangas air, corong,
kertas saring, vorteks, labu didih 1000 ml, pendingin, kipas
angin, penampung, statis dan klem. Kromatografi gas cairan:
tempat penyuntikan, kolom carbowax, detektor FID, alat
pencatat, syringe dan tabung gas pembawa.
Cara Kerja. Distilasi Air: Rimpang segar yang cukup umur
(sekitar 12 bulan) dicuci bersih, dibuang akar dan sisik daunnya.
Dipotong melintang 1-2 mm. Dikeringkan di bawah sinar
matahari tidak langsung dengan ditutupi kain hitam selama 3-4
hari. Diblender dan diayak hingga menjadi serbuk. Distilasi
dimulai dengan menimbang 100 gram serbuk, dimasukkan dalam
labu 1000 ml, ditambah akuades sampai ¾ isi labu dan
dididihkan selama 5-6 jam hingga minyak atsirinya menguap
sempurna. Sebelumnya buret diisi 0,2 ml xylene untuk
menaikkan daya kohesi minyak atsiri.
Metode Ekstraksi: Rimpang dicuci bersih, dibuang akar dan sisik
daunnya. Ditimbang sekitar 1 kg, dipotong melintang 1-2 cm dan
diblender halus. Dimasukkan dalam labu ekstraksi, ditambah 500
ml petroleum eter dan dibiarkan semalam. Setelah itu divorteks
sekitar 15 menit dan disaring. Filtrat dipekatkan dengan cara
diuapkan pada labu evaporasi yang dipanaskan dengan penangas
air dibantu kipas angin. Petroleum eter akan lebih dulu menguap
sehingga hanya tertinggal minyak atsiri. Selanjutnya siap untuk
kromatografi. Minyak atsiri disimpan di tempat sejuk, gelap dan
ditutup rapat.
Metode Kromatografi Gas Cairan: Minyak atsiri hasil ekstraksi
dianalisis
jenis-jenis
senyawa
penyusunnya.
Kondisi
kromatografi: cuplikan: minyak atsiri rimpang Alpinia, kolom:
10% carbowax 20 M, 2 meter, detektor: FID, suhu injektor
240°C, suhu kolom 90-915°C; 7,5°C per menit, gas pembawa N2
25 ml/menit, hidrogen 0,9 kg/cm2.
Analisis Data
Seluruh data hasil penelitian morfologi, anatomi
dan kandungan kimia minyak atsiri ditabulasikan,
dianalisis dan dibuat dendrogram kekerabatannya.
Kekerabatan fenetik ditentukan dengan metode
numerik, tepatnya metode pengelompokan dengan
koefisien asosiasi. Dimana tingkat persamaan hargaharga koefisien asosiasinya ditentukan dengan
analisis klaster .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kunci Determinasi
Infloresensi terminal pada batang semu, aksis bercagang,
memangku beberapa cincinnus (bunga tangga) yang tersusun
spiral terdiri dari 1-2 bunga atau lebih, dengan ujung 1 bunga;
braktea primer kecil atau tidak ada, jarang besar; braktea
sekunder selalu ada, kecil atau besar; bibir dan filamen
terpisah, sel-sel anthera tanpa apendik; staminodia tereduksi
menjadi gigi-gigi kecil; ovarium bersel 3; bulu-bulu uniselular;
hipodermis hanya di permukaan atas daun; berbau aromatis,
mengandung sel-sel minyak atsiri.
BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40
34
Braktea primer kecil, segera rontok; braktea sekunder
berbentuk mangkuk atau cerobong; bunga besar, bibir sama
panjang dan lebarnya, infloresensi tidak ditutup rapat oleh
pelepah bunga; bibir kuning jeruk atau kuning jeruk dengan
batas tepi putih; tabung mahkota putih atau putih berbintikbintik merah; braktea sekunder panjang mencapai 2 cm,
bentuk mangkuk lebar. Bulu terdapat pada kedua permukaan
daun ………………………………..… Alpinia javanica Bl. 1
Braktea sekunder tidak berbentuk mangkuk atau cerobong,
robek dingga ke dasar, berpelepah atau datar.
Braktea primer hilang (terkadang ada di dekat ujung
infloresensi); braktea sekunder persisten, biasanya besar,
menutup rapat kuncup-kuncup bunga hingga saat mekar,
lalu rontok; kelopak robek sangat dalam ketika bunga
mekar; bibir besar, umumnya kuning jeruk atau kuning
jeruk dengan garis-garis merah, tiap cincinnus memiliki 1-2
bunga.
Braktea sekunder panjang sekitar 2,5 cm, panjang bibir 3,5
cm, berbintik-bintik merah; bibir putih kemerahan
bergaris-garis kuning di pangkal dan berwarna kuning di
tepi; bulu-bulu terdapat di kedua permukaan ..……..
……………………………..Alpinia nutans Rosc.(1805) 2
Braktea sekunder panjang 3-4 cm, panjang bibir lebih 3,5 cm.
Panjang bibir mencapai 4,5 cm, kuning jeruk dengan
garis-garis dan bintik-bintik kemerahan, mulut tabung
mahkota tidak menyolok; bulu-bulu tidak ada,
permukaan bawah daun gundul, lebar mencapai 12 cm
…………………….. Alpinia Hookeriana Val. (1904) 3
Panjang bibir 6 cm, bagian dalam merah berbintik-bintik
kuning, mulut tabung terlihat; permukaan bawah daun
berbulu halus, lebar mencapai 20 cm .
……………....….. Alpinia malaccensis Rosc. (1808) 4
Braktea primer ada, biasanya kecil; braktea sekunder kecil;
kelopak tidak terbelah dalam, bibir kecil, putih atau putih
keunguan, biasanya bercuping 2; permukaan daun gundul
…………………..…... Alpinia galanga (L.) Willd. (1797) 5
Mo rfo logi
Habitus. Herba, menahun, bersemak, langsing, membentuk
rumpun, bunga terminal. Rumpun A.galanga dan A.Hookeriana
tegap, daun kaku menjulang ke atas, sedang A.javanica,
A.malaccensis dan A.nutans daun terjurai ke bawah tidak tegap.
Rimpang. Menjari, berujung pada batang semu, menyerupai
stolon, terletak di atas tanah atau sedikit di bawah permukaan
tanah, memiliki sisik-sisik kecil berseling. Rimpang
A.Hookeriana sering tampak di atas tanah, sehingga berwarna
kehijauan akibat munculnya klorofil. Rimpang A.javanica,
1
2
3
4
5
Sinonim: Costus malaccensis Koen. (1791), Alpinia involucrata
Griff. (1851), Alpinia campanaria Ridl. (1892), Languas javanica
Burk. (1935) (Holttum, 1950).
Sinonim: Zerumbet spesiosus Wendl. (1798), Renealmia nutans
Andr. (1800), Alpinia spesiosa K. Schum., Languas spesiosa Small.
(1913), Catimbium spesiosum (Wendl.) Holtt. (1950) (Holttum,
1950).
Sinonim: Alpinia latilabris Ridl. (1899), Catimbium latilabre (Ridl.)
Holtt. (1950), Alpinia mutica quoad Hk., Languas Hookeriana Merr.
(Anonim, 1986; Holttum, 1950).
Sinonim: Matantha malaccensis Burm. (1768), Galanga malaccensis
Rumph., Languas malaccensis Merr. (1921), Catimbium malaccensis
(Burm.) Holtt. (1950), Alpinia malaccensis (Burm.) Roxb., Alpinia
nobilis Ridl. (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968; Holttum,
1950).
Basionim: Maranta galanga L. (1762); Sinonim: Amomum galanga
(L.) Lour. (1790) , Languas galanga (L.) Stuntz (1912), Languas
vulgare Koen. (1783), Alpinia galanga Sw. (1791) (Burtt dan Smith,
1972; Holttum, 1950; Westphal dan Jansen, 1989)
A.malaccensis dan A.nutans terkadang juga muncul di atas
permukaan tanah. Sedang rimpang A.galanga selalu di bawah
tanah. Arah pertumbuhan rimpang dan daun transversal, sehingga
sangat kokoh. Irisan makroskopis rimpang memperlihatkan dua
sektor. Kortek di tepi berwarna kuning muda, kecuali A.galanga
merah. Stele di tengah kuning tua. Keduanya dipisahkan cincin
melingkar tebal berwarna kuning tua yang di dalamnya terdapat
endodermis, pada A.Hookeriana berwarna biru tua. Rimpang
berserat kuat dan keras, terutama stele. Pada A.galanga
mengkilat hingga usia panen.
Akar. Besar, kuat, ulet, berserat dan berdaging. Bentuk akar
cenderung sesuai bentuk rimpang. Akar A.galanga dan
A.Hookeriana berdaging, sedang akar ketiga spesies lain
berserat.
Batang. Tegak, kuat, tinggi, tumbuh sepanjang tahun, baik pada
musim hujan maupun kemarau. Merupakan pertumbuhan lebih
lanjut ujung rimpang dalam tanah. Pangkal batang ditutupi sisiksisik kecil dan menggembung. Batang merupakan kumpulan
pelepah daun yang panjang, tersusun berturut-turut secara
berseling dan menyatu dengan batang kecil di tengah membentuk
batang besar dan kompak. Kekuatan dan keuletan batang
tergantung pelepah daun yang menyusunnya. Batang A.galanga
dan A.Hookeriana lebih kompak. Tinggi batang A.galanga 1-3
m, A.Hookeriana 3 m, A.javanica 2-3 m, A.malaccensis 1-4 m
dan A.nutans 1-2½ m dimana diameter masing-masing berturutturut 1-3 cm, 2½ -5 cm, 2-4 cm, 2½-4½ cm dan 2-4 cm.
Daun. Tersusun berseling, terdiri dari pelepah, upih, tangkai dan
helai.
Helai Daun. Letak condong ke atas, mendatar atau agak terjurai.
Helai terbawah biasanya terletak sepertiga tinggi batang, bersama
helai teratas ukurannya paling kecil. Helai terbesar terletak di
pertengahan (2/3 tinggi batang). Daun sangat besar, bulat
panjang/jorong, pada A.galanga lanset. Ujung runcing, pada
A.Hookeriana meruncing. Pangkal pasak. Helai A.galanga dan
A.Hookeriana simetris, tepi lurus dan rata, kedua permukaan
gundul tetapi di tepi dan di bawah tulang daun terdapat bulu-bulu
tipis. Pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans asimetris,
tepi berlekuk-lekuk, permukaan atas A.malaccensis gundul,
kecuali di atas tulang daun, sedang permukaan bawah berbuluhalus, rapat, seperti beludru. Warna helai atas dan bawah sama,
hijau, tetapi terkadang warna helai bawah lebih muda. Pada
A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans agak kecoklat-coklatan
sesuai warna bulu-bulu. Khusus A.javanica helai daun berbelang
kuning. Helai berbau aromatis, tergulung ketika masih tunas.
Ukuran helai A.galanga 20-60X4-15 cm, A.Hookeriana 7090X10-15cm, A.javanica 90X15 cm, A.malaccensis 40-90X6-20
cm dan A.nutans 50X8 cm.
Pelepah Daun. Besar, kuat, ulet, sangat panjang, tubuler di
pangkal, membentuk celah memanjang pada sisi yang
berlawanan dengan helai. helai pada pelepah terbawah tereduksi
menjadi sisik rudimenter kecil. Panjang pelepah A.galanga 30-40
cm, A.Hookeriana 40-50 cm, A.javanica 40-60 cm,
A.malaccensis 40-60 cm dan A.nutans 30-40 cm.
Tangkai. Menyatu dengan pelepah, terdapat upih di pangkalnya,
yang terkadang merapat pada batang. Permukaan berbulu tajam
kecuali A.galanga dan A.Hookeriana.Tangkai agak panjang,
pada A.galanga ½-0,8 cm, A.Hookeriana 2½ cm, A.javanica 2½
cm, A.malaccensis 3-7 cm dan A.nutans 2½ cm. Menggembung
membentuk pulvinus.
Upih. Jelas, tegak, pendek, lebar, kuat, berbulu sikat, seperti
kulit, bentuk segitiga bercuping dua. Pada A.galanga upih bulat,
kecil, tipis, bulu tipis halus, terkadang memiliki telinga (auricula)
di kedua sisinya. Panjang A.galanga ½-0,7 cm, A.Hookeriana 1¼
cm, A.javanica 2½ cm, A.malaccensis 2¼ cm dan A.nutans 2 cm.
Infloresensi. Terminal pada batang semu, tegak, pada
A.Hookeriana dan A.nutans mengangguk. Panjang infloresensi
A.galanga 10-20 cm, A.Hookeriana 10-30 cm, A.javanica 20-30
SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia
35
cm, A.malaccensis 13-45 cm dan A.nutans 10-25 cm dengan
diameter secara bertutur-turut 5-7 cm, 14,5 cm, 14,5 cm, 14,3 cm
dan 14,5 cm. Infloresensi berupa sebuah poros yang memangku
beberapa braktea primer spiral, ketiak setiap braktea terdapat
sebuah cincinnus (bunga tangga). Cincinnus A.galanga dan
A.javanica biasanya 2-3 bunga, A.nutans dua bunga, sedang
A.Hookeriana dan A.malaccensis 1-2 bunga, bagian apikal
biasanya hanya terdapat satu bunga. Infloresensi diapit sepasang
pelepah yang segera rontok, letak berseling berhadapan. Panjang
14-15 cm, kecuali A.galanga 10 cm. Pedunculus berbentuk galah
memanjang.
Filamen (tangkai benang sari). Panjang, ramping, putih
kemerahan, kecuali A.galanga kuning kehijauan. Panjang pada
A.galanga 1½-2 cm, A.Hookeriana ¼ cm, A.javanica 1 cm,
A.malaccensis 1½ cm dan A.nutans 1 cm.
Braktea Primer. Hanya ditemukan pada A.galanga dan
A.javanica, masing-masing berwarna putih dan putih kecoklatan,
pada setiap ketiak terdapat sebuah cincinnus. A.Hookeriana,
A.malaccensis dan A.nutans yang tidak memiliki braktea primer,
juga mempunyai cincinnus dengan posisi serupa. Bunga pertama
cincinnus terminal, bunga-bunga selanjutnya aksiler, dilindungi
braktea sekunder yang terletak di sebelah dalam braktea primer
(bila ada). Braktea primer A.galanga dan A.javanica berbentuk
lanset, tepi dan sisi luar berbulu, mudah rontok. Ukuran braktea
primer keduanya hampir sama sekitar 7-10X1½-2 cm.
Stigma (kepala putik). Letak di ujung stylus dekat anthera,
bentuk cawan, kecuali A.galanga segitiga. Umumnya tidak
memanjang.
Braktea Sekunder. Terdapat dua tipe, yaitu: tabung (mangkukcerobong) dan lanset (lunas perahu). Semua berbentuk mangkuk
cerobong, kecuali pada A.galanga. Persisten kecuali pada
A.galanga yang hanya ada ketika muda dan cepat rontok. Ukuran
pada A.galanga 0,7-1X0,3-½ cm, A.Hookeriana 3-3½X2-3 cm,
A.javanica 1½-2X2-3 cm, A.malaccensis 4-2X2-3 cm dan
A.nutans 2½X2½ cm.
Bunga. Berdasarkan filogeninya bertipe liliiflorae, terdiri dari 3
sepala, 3 petala, 3+3 stamen dan 1 ginaesium yang terdiri dari 3
bagian. Sepala menyatu membentuk tabung kelopak. Petala
menyatu membentuk tabung mahkota yang menyolok. Satu
stamen di lingkaran dalam membentuk stamen fertil, 2 stamen di
lingkaran luar membentuk 2 staminodia lateral, sedang 3 stamen
sisanya sebagian atau seluruhnya membentuk bibir. Menurut
Schumman (dalam Holttum, 1950), bibir bercuping tiga seperti
pada Alpinia berasal dari satu stamen luar.
Kelopak. Berbentuk tabung menyerupai mangkuk-cerobong,
bercuping tiga, dangkal, ujung tumpul atau membulat. Warna
putih bergaris-garis merah, pada A.galanga putih penuh. Sisi luar
berbulu, pada A.nutans hanya di tepi. Panjang pada A.galanga 11¼ cm, A.Hookeriana 2½-3 cm, A.javanica 2¼ cm,
A.malaccensis 3¼ cm dan A.nutans 2½ cm.
Tabung mahkota. Lebih pendek dari kelopak, berbentuk pipih
sampai garis lanset. Warna dasar putih, pada A.Hookeriana putih
kekuningan dan A.malaccensis putih keunguan. Sisi luar berbulu
kecuali A.nutans. Ukuran pada A.galanga 1X¼ cm,
A.Hookeriana 1X½ cm, A.javanica 1-2X½ cm, A.malaccensis
1¼X1½ cm dan A.nutans 1-5X½ cm.
Bibir. Diapit sepasang staminodia bulat telur, kecuali A.galanga
lanset. Terbelah membentuk 2 cuping, tepi mengering, kecuali
A.galanga dan A.Hookeriana bulat, tidak mengering. Berkerut,
kecuali A.galanga berombak dan beringgit. Bibir A.galanga
putih kehijauan atau putih kekuningan, A.Hookeriana kuningjeruk, tengah bergaris-garis merah tidak mencapai tepi.
A.javanica kuning, tengah bergaris-garis merah sebagian hingga
tepi. A.malaccensis kuning bergaris-garis dan bercak-bercak
merah menutupi seluruh permukaan kecuali ujung. A.nutans
kuning bergaris-garis merah muda jarang, selalu sampai tepi.
Ukuran A.galanga 2-3X½-1 cm, A.Hookeriana 3¼-3¾X1¾-2½
cm, A.javanica 2½X1¾ cm, A.malaccensis 4X2½ cm dan
A.nutans 2½X1½ cm.
Staminodia. Sangat kecil, berupa gigi-gigi kecil yang menyatu
dengan pangkal bibir. Warna sesuai warna bibir. Menurut Burtt
(1972) staminodia merupakan hasil perkembangan filamen fertil.
Stamen (benang sari). Stamen fertil berasal dari stamen tunggal
di lingkaran dalam (Burtt, 1972).
Anthera (kepala sari). Sangat panjang, tidak membungkus
stylus. Warna krem, kecuali A.galanga putih dan A.Hookeriana
kuning. Panjang pada A.galanga 2-2½ cm, A.Hookeriana 1 cm,
A.javanica ¾ cm, A.malaccensis ½-1 cm dan A.nutans ½-1 cm.
Stylus (tangkai putik). Panjang, ramping, tunggal, terletak di
saluran sepanjang stamen fertil, dekat anthera.
Stylodia (kelenjar nektar). Tidak tereduksi. Nektar disekresi
kelenjar epigen berbentuk kopuler atau masif, berasal dari
permukaan ovarium paling atas (Rao, 1963 dalam Burtt, 1972).
Ovarium. Inferior, trilokuler, plasentasi aksiler, tidak berbulu
kecuali A.galanga. Panjang saat mekar A.galanga ¼ cm,
A.Hookeriana ½-0,6 cm, A.javanica 0,4 cm, A.malaccensis 0,9
cm dan A.nutans 0,6 cm.
Buah. Dehiscent, globose, tanpa braktea, kulit berbulu tajam.
Saat tua pecah menjadi 3 bila ditekan. Warna kuning-jeruk
hingga kuning kemerahan. Diameter A.galanga 1-1½ cm,
A.Hookeriana 2-2½ cm, A.javanica 2½ cm, A.malaccensis 3-3½
cm dan A.nutans 3-4 cm.
Biji. Hitam, berarilus, ovarium seperti amplop, membentuk sudut
disisi dalam dan membulat di sisi luar. Biji tidak memenuhi
ovarium, bagian yang kosong diisi arilus irregular. Testa halus.
Perisperm tebal, putih, kaya pati, mengelilingi endosperm.
Endosperm mengelilingi embryo. Pangkal biji memiliki sumbat
yang menghubungkan radikula embryo dengan arilus. Ketika
tumbuh sumbat ditekan keluar oleh kecambah.
Anatomi
Rimpang. Irisan melintang terdiri dari kutikula, epidermis,
kortek, endodermis dan stele. Kutikula tipis, pada A.galanga
agak tebal dan mengkilat. Epidermis selapis, kecil, agak pipih,
dinding kuning kecoklatan, pada A.galanga kemerahan; pada
rimpang tua sering robek, digantikan periderm. Hipodermis lebih
dari selapis. Hipodermis dan periderm hanya teramati pada
A.Hookeriana. Kortek diisi sel parenkim besar, dinding tipis,
sangat rapat, beberapa lapis di luar tidak berpati. Jumlah sel
minyak atsiri sekitar 10 per satuan bidang pandang, namun pada
distilasi air kadar minyak atsirinya berbeda-beda, tergantung
ukuran, kadar oleoresin dan efisiensi alat. Jumlah sel minyak per
satuan bidang pandang A.Hookeriana, A.galanga dan A.nutans 812, A.javanica 7-12, A.malaccensis 10-13. Endodermis selapis,
dinding menebal radial, tidak berpati. Berkas pengangkut
tersebar di kortek dan stele, tipe kolateral, membentuk sabuk
melingkar. Pada A.galanga dan A.Hookeriana sabuk dipisahpisahkan parenkim, pada tiga spesies lain bersambung dan sering
bertumpuk 2-3. Stele tipe ataktostele, memiliki sel minyak dan
pati. Berkas pengangkut di kortek sangat rapat, kecuali
A.galanga, sehigga rimpang berserat, ulet dan sulit dipatahkan.
Xilem tipe jala, noktah dan tangga. Floem berkelompok, kadang
tidak jelas.
Akar. Irisan melintang terdiri dari kortek, endodermis dan stele.
Bagian terluar kortek berupa selapis sel epi(ekso-)dermis, bentuk
bulat memanjang, rapat dan menebal, sebagian terdiferensiasi
menjadi bulu-bulu akar. Di sebelah dalam endodermis terdapat
parenkim besar, dinding tipis dan tidak teratur. Menjelang
endodermis terdapat 3-5 baris sel parenkim tersusun teratur
secara radial. Endodermis selapis menyerupai huruf "U",
semakin menebal pada akar yang tua. Stele mengandung berkas
pengangkut padat di tepi dan jaringan parenkimatis tipis di
tengah. Floem bulat panjang, tetapi pada A.galanga bulat. Floem
36
BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40
berjajar dalam dua lingkaran, lingkaran luar berupa sel-sel kecil,
lingkaran dalam berupa sel-sel yang besarnya 2-5. Jumlah
lingkaran umumnya 20 buah, tetapi pada A.galanga hanya sekitar
10 buah. Pada A.galanga seluruh ruang stele merupakan berkas
pengangkut yang menebal, parenkim empulur sangat sedikit di
tengah.
Batang. Irisan melintang terdiri dari kortek dan stele yang
dipisahkan cincin tengah. Bagian terluar kortek berupa selapis sel
epidermis dilindungi kutikula agak tebal. Pada A.javanica,
A.malaccensis dan A.nutans kortek sempit, sedang pada spesies
lainnya lebar. Cincin tengah A.Hookeriana dan A.nutans tebal.
Stele tebal. Berkas pengangkut tersebar merata, rapat, tidak
beraturan, agak bulat, ukuran bervariasi. Sel minyak atsiri
kekuningan tersebar merata.
Helai Daun. Pada irisan melintang telihat kutikula, epidermis,
hipodermis, parenkim palisade, parenkim bunga karang dan
berkas pengangkut. Kutikula agak tebal. Epidermis selapis pada
kedua permukaan, berbentuk segienam memanjang atau
segienam irreguler, ukuran lebih kecil dari pada sel-sel lain.
Letak epidermis atas lebih teratur dari pada epidermis bawah.
Pada irisan paradermal terlihat di bawah dan di atas daerah rusuk
sel epidermis lebih kecil dan rapat, berbentuk segienam. Pada
A.galanga dan A.javanica jumlahnya 1-2 baris, pada
A.Hookeriana, A.malaccensis dan A.nutans 2-3 baris. Kristal Caoksalat hanya ditemukan pada A.javanica, A.malaccensis dan
A.nutans, bentuk bulat atau lonjong. Sel minyak atsiri irisan
paradermal hanya ditemukan pada A.galanga.Kerapatan pada
permukaan atas 4-6 per satuan bidang pandang, bawah 50-60 per
satuan bidang pandang. Bulu uniseluler, panjang, tertanam cukup
dalam melebihi batas epidermis. Stomata bertipe ginjal, terdapat .
Bulu permukaan atas hanya ditemukan pada A.javanica, 1-3 per
satuan bidang pandang dan A.nutans 4-6 per satuan bidang
pandang. Sedang bulu permukaan bawah ditemukan pada
A.javanica, 45-55 per satuan bidang pandang, A.malaccensis 2530 per satuan bidang pandang, A.nutans 30-35 per satuan bidang
pandang. Stomata sangat melimpah pada permukaan bawah,
bahkan, kecuali A.galanga, selalu berdempetan di sepanjang sisi
rusuk daun. Kerapatan stomata sangat bervariasi sangat
tergantung spesiesnya.Kerapatan stomata pada permukaan atas
sebagai berikut pada A.Hookeriana 1-2 per satuan bidang
pandang, A.nutans 3-4 per satuan bidang pandang, A.galanga dan
A.malaccensis 4-6 per satuan bidang pandang dan A.javanica 910 per satuan bidang pandang. Kerapatan stomata pada
permukaan bawah sebagai berikut pada A.malaccensis dan
A.nutans sekitar 100 per satuan bidang pandang, pada A.galanga
dan A.javanica sekitar 150 per satuan bidang pandang dan pada
A.Hookeriana sekitar 195-215 per satuan bidang pandang. Sel
tetangga lateral pada berbentuk segitiga, jumlah 2 buah. Sel
tetangga terminal 1 buah berbentuk bulan sabit, ukurannya
sekitar 7-7,5 x 3,5-6 µm. Hipodermis umumnya selapis, hanya
ada di permukaan atas. Pada A.galanga, A.Hookeriana 1-2 lapis,
pada spesies lainya hanya selapis. Hipodermis berbentuk
segienam memanjang atau bulat memanjang, umumnya pipih
antiklinal, namun pada A.malaccensis pipih periklinal. Ukuran
bervariasi, pada A.galanga dan A.Hookeriana 9-9,75 x 8,75-9, 75
µm, pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans sekitar 13-13,5
x 8,25-10 µm. Hipodermis pada daerah rusuk tertekan atau
terpotong, pada daerah antar rusuk beraturan sedang di bawah
stomata tidak beraturan. Klorenkim berdinding tipis terdiri dari
lapisan palisade yang pipih antiklinal dan sel conus. Lapisan
palisade biasanya 1-2. Sel conus umumnya juga 1-2 lapis, kecuali
pad A.Hookeriana, A.javanica dan A.malaccensis 3-5 lapis.
Berkas pengangkut agak rapat hingga sangat rapat, terpisahpisah. Pada A.galanga tidak rapat sedang pada spesies lain
terkadang rapat. Berkas pengangkut umumnya berbentuk pipih
antiklinal, pada A.galanga terkadang membulat. Jumlah dan
ukuran berkas pengangkut pada tulang daun bervariasi,
umumnya 8 buah. Berkas pengangkut selalu menyentuh salah
satu atau kedua permukaan daun kecuali berkas pengangkut
kecil. Sarung berkas pengangkut luar parenkimatis, berdinding
tipis, jarang menebal, umumnya 1-2 lapis. Tetapi pada
A.Hookeriana hanya selapis. Pada Berkas pengangkut kecil
sarung berkas mengelilingai utuh, sedang pada berkas
pengangkut besar sarung berkas terpotong pada salah satu atau
kedua ujungnya.Sarung berkas pengangkut dalam berserat,
berdinding tebal, kompak dan padat. Pada berkas pengangkut
kecil sarung ini hanya ada di gabian bawah, sedang pada berkas
pengangkut besar terletak di bawah dan di atas, terkadang hanya
berupa serabut-serabut tidak kompak.
Pelepah Daun. Sisi luar A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans
berlekuk-lekuk karena penonjolan rusuk berkas pengangkut
perifer, sedang pada A.galanga dan A.Hookeriana rata.
Epidermis rusuk biasanya lebih kecil dan pipih. Stoma agak
melimpah pada garis rusuk. Bulu uniseluler, tidak ada pada
A.galanga, jarang pada A.Hookeriana, rapat-sangat rapat pada
spesies lainnya. Sel minyak berbentuk khas, warna kuning.
Kristal Ca-oksalat biasa ditemukan pada sisi adaksial, bentuk
bulat atau lonjong. Rongga udara besar, bersekat-sekat melintang
oleh untaian sel-sel bulat atau bintang, kecuali A.galanga. Pada
A.nutans antara rongga udara dipisahkan septa tebal berisi berkas
pengangkut. Sistem berkas pengangkut pada tumbuhan dewasa
empat macam. Sistem berkas pengangkut utama (I) bulat
memanjang, jelas, dekat sisi atas, berderet membentuk busur
tunggal, seperti sisir. Setiap berkas mempunyai serabut padat di
atas xilem dan di bawah floem, mempunyai trachea tunggal,
lebar, protoxilem panjang, metaxilem kecil dan floem tunggal.
Busur sistem berkas pengangkut lainnya tereduksi tanpa
protoxilem, namun dikelilingi sabuk kolenkim tipis. Sistem
berkas pengangkut adaksial (II) agak rapat, bentuk bulat,
membentuk selapis busur, ukuran bervariasi. Berkas pengangkut
yang besar dikelilingi sarung serabut tebal, sedang yang kecil
sarung serabut tipis, kadang terdapat kumpulan serabut-serabut
kompak tanpa berkas pengangkut, seperti pada A.javanica dan
A.malaccensis. Sistem berkas pengangkut adaksial membentuk
zona tepi yang kaku. Sistem berkas pengangkut sentral (III) dan
sistem berkas pengangkut abaksial (IV) umumnya tidak dapat
dipisahkan, namun pada A.Hookeriana dan A.javanica masih
bisa dipisahkan. Sistem berkas pengangkut sentral umumnya
hanya selapis, terletak di medula mesofil dan agak besar. Pada
A.Hookeriana sarung serabut agak tebal, sedang pada A.javanica
hampir tidak ada. Sistem berkas pengangkut abaksial biasanya 12 lapis, kecil, letak agak jauh dari sisi abaksial. Sarung serabut
agak tebal, terkadang tidak ada. Sel-sel sarung berkas
pengangkut kolenkimatis. Sel parenkim menjadi sklerotis di sisi
abaksial.
Kandungan Kimia Minyak Atsiri
Alpinia berbau aromatis karena mengandung minyak atsiri.
Kadar minyak atsiri dipengaruhi varitas, iklim, tanah dan organ
(Burkill, 1935; Guenther, 1948). Kadar minyak atsiri rimpang
berbeda-beda, paling banyak tepat di bawah jaringan epidermis
semakin ke tengah semakin sedikit. Kadar minyak atsiri terus
naik sampai umur 12 bulan, lalu turun, sedang bau khas oleoresin
semakin kuat (Paimin dan Murhananto, 1991). Dalam penelitian
ini kadar minyak atsiri tertinggi terdapat pada rimpang
A.malaccensis (3,5%), sedang yang terendah pada A.galanga
(0,5-1%). Pada A.Hookeriana (1,8%), A.javanica (2,1%) dan
A.nutans (2,3%).
Komponen utama penyusun minyak atsiri Alpinia adalah
terpenoid (selanjutnya disingkat ‘T’) dan sebagian kecil turunan
asam sikimat. Jumlah dan macam komponen tiap spesies
berbeda-beda, sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah puncak (Rf)
pada kromatogram. Dalam penelitian ini hanya dapat disediakan
2 zat identitas/standar, yaitu ß-pinen dan eugenol, sehingga hanya
2 dari 52 puncak yang dapat diidentifikasi. Masing-masing T5
untuk ß-pinen dan T47 untuk eugenol. Secara keseluruhan
A.galanga memiliki 36 puncak, A.Hookeriana 29 puncak,
A.malaccensis 23 puncak, A.javanica 21 puncak dan A.nutans 18
puncak.
SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia
Tabel 1. Nilai Rf dan kadar komponen kimia minyak atsiri Alpinia
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
T1 (Rf 0,973)
T2 (Rf 1,049)
T3 (Rf 1,557)
T4 (Rf 1,875)
T5 (Rf 2,243/ βpinen)
T6 (Rf 2,592)
T7 (Rf 2,724)
T8 (Rf 3,090)
T9 (Rf 3,115)
T10 (Rf 3,250)
T11 (Rf 3,900)
T12 (Rf 5,305)
T13 (Rf 6,158)
T14 (Rf 6,759)
T15 (Rf 7,062)
T16 (Rf 7,382)
T17 (Rf 7,478)
T18(Rf 8,062)
T19 (Rf 8,227)
T20 (Rf 8,481)
T21 (Rf 8,842)
T22 (Rf 9,217)
T23 (Rf 9,542)
T24 (Rf 9,775)
T25 (Rf 9,938)
T26 (Rf 10,152)
T27 (Rf 10,294)
T28 (Rf 10,518)
T29 (Rf 10.655)
T30 (Rf 10,956)
T31 (Rf 11, 086)
T32 (Rf 11,293)
T33 (Rf 11,556)
T34 (Rf 11,944)
T35 (Rf 12,490)
T36 (Rf 12,856)
T37 (Rf 13,397)
T38 (Rf 13,800)
T39 (Rf 14,172)
T40 (Rf 14,356)
T41 (Rf 14,690)
T42 (Rf 15,077)
T43 (Rf 15,463)
T44 (Rf 15,860)
T45 (Rf 16,255)
T46 (Rf 16,390)
T47 (Rf 16,819/
eugenol)
T48 (Rf 16,997)
T49 (Rf 17,241)
T50 (Rf 17,563)
T51 (Rf 17,978)
T52 (Rf 18,113)
T53 (Rf 18,754)
T54 (Rf 19,216)
0,3159
8,1185
14,5787
8,9204
0,9296
0,2984
2,8436
0,7647
1,1677
0,2276
1,7644
0,5333
2,6007
0,9470
7,5047
0.2703
0,8392
5,4096
0,4618
0,1009
6,6693
1,0498
0,1871
0,2659
4,0005
37,7958
15,0850
4,9503
7,8000
0,0833
0,5627
0,2660
0,4170
0,0373
1,0972
0,2696
0,3528
0,5085
0,4321
0,2777
0,2099
0,6116
1,1506
5,2599
11,8391
0,6192
0,0694
0,1313
27,4896
4,1588
0,3380
3,8420
2,1570
0,3074
0,8502
0,2505
0,0184
0,0694
0,1772
0,2125
0,0929
0,9702
1,7969
-
3,0011
0,6234
3,6221
3,5498
0,1998
0,2523
1,0401
0,3792
0,9757
0,0965
1,4799
0,4198
0,3424
0,7112
0,1468
76,2422
0,6916
9,726
0,0471
1,4878
0,4461
0,1818
0,1235
0,8694
0,6338
0,1488
0,0533
0,1087
73,5835
0,3195
0,2919
6,7336
0,8580
0,0989
1,6980
2,7061
1,3682
0,4939
2,6874
0,1588
-
2,9458
0,4074
0,5397
1,1967
0,3023
0,0963
0,2427
0,4029
0,0839
0,3094
0,2218
1,3217
0,9097
1,3854
0,7785
0,1719
0,0602
84,603
8
0,0955
-
A. nutans
0.0526
0.9938
0.1416
0.4981
A.malaccensis
A. javanica
1.
2.
3.
4.
5.
Puncak
(nilai Rf)
A. Hookeriana
No
A.galanga
Kadar Komponen Kimia Minyak Atsiri
0,3129
-
37
Eugenol atau 4-alil-2-metoksifenol
merupakan salah satu derivat fenol
dengan
rumus
kimia
C 10 H 12 O 2 ,
umumnya diperoleh dari minyak
cengkeh
(Eugenia
caryophyllum
(Sprengl.) Bullock et Harrison;
Familia
Myrtaceae).
Eugenol
merupakan komponen utama dan
kadarnya mencapai 70-90%, sehingga
mendominasi
sifat-sifat
minyak
cengkeh.
Eugenol tidak berwarna atau
kuning muda, sangat cair, bau
aromatis dan rasa pedas. Eugenol
digunakan untuk mengobati sakit gigi
atau dibalurkan ke seluruh tubuh
untuk mengobati berbagai penyakit
(Trease dan Evans, 1978). Minyak
atsiri A.javanica, A.malaccensis dan
A.nutans kemungkinan dapat menjadi
penggati minyak cengkih karena kadar
eugenolnya cukup tinggi, di atas 70%.
Puncak yang kadarnya tinggi tidak
selalu
menjadi
puncak
utama,
misalnya T27 pada A.galanga (15%)
dan T10 pada A.nutans (9,73%).
Sebaliknya A.Hookeriana memiliki
puncak utama, T3 yang kadarnya
hanya 8,12%. Hal ini disebabkan
komponen tersebut berikatan dengan
komponen atau gugus lain
Dari lima spesies objek penelitian
ini, baru dua yang komponen kimia
minyak atsirinya telah diteliti, yaitu
A.galanga, A.malaccensis, A.nutans.
Komponen minyak atsiri A.galanga
yang telah diidentifikasi antara lain
20-30% sineol, 48% metilsinamat,
kamfer, kamfor, ß-pinen, galangin,
galangol, eugenol, kadinen, kadalen,
α-10-epizonaren dan ß-10-epizonaren
(Hegnauer, 1963; Guenther, 1948;
Youngken, 1948; Wallis, 1955).
Komponen
minyak
atsiri
A.malaccensis
yang
sudah
diidentifikasi antara lain α-pinen, ßpinen, sineol dan 76% metilsinamat
(Hegnauer, 1963). Komponen minyak
atsiri
A.nutans
yang
telah
diidentifikasi adalah α-pinen, ß-pinen,
60% sineol, dan 7,8% metilsinamat.
Di samping itu pada varietas dari
Jepang ditemukan pula 0,053%
kamfen dan 30% kamfer, sedang pada
varietas dari Jawa tertentu ditemukan
suatu ester (5,75%) (Hegnauer, 1963).
Identifikasi minyak atsiri dengan
membandingkan
kadar
komponen
yang ada dalam pustaka dengan hasil
penelitian dalam kromatogam tidak
dijamin
kebenarannya,
karena
sebagian besar komponen minyak
atsiri tidak stabil. Satu-satunya cara
identifikasi yang benar adalah dengan
senyawa identitas. Sedang komponen
yang disebutkan dalam pustaka
berguna untuk memandu pemilihan
senyawa tersebut.
38
BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40
Kekerabatan Genus Alpinia
Jumlah keseluruhan sifat yang diamati dalam
penelitian ini 163 buah, terdiri dari sifat morfologi 65
buah, sifat anatomi 50 buah dan sifat kandung-an
kimia minyak atsiri 48 buah. Perbedaan pemi-lihan
sifat pembeda dapat menghasilkan perbedaan pola
kekerabatan dan model klasifikasi, sekalipun secara
umum tetap sama. Semakin banyak sifat yang
dianalisis, semakin tinggi tingkat kesahihan-nya.
Semakin tinggi kemampuan suatu sifat untuk menjadi
sifat pembeda, semakin jauh tingkat kekerabatannya.
Pada dendrogram berdasarkan kombinasi sifat
morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak
atsiri, A.javanica, A.nutans dan A.malaccensis
bergabung pada tingkat kesamaan 70%, disusul
A.Hookeriana 50% dan A.galanga 30%. Pada
dendrogram berdasarkan sifat morfologi, A.javanica
dan A.malaccensis bergabung dengan tingkat
kesamaan 80%, diikuti A.nutans 70%, A.Hookeriana
50% dan A.galanga 30%. Berdasar-kan sifat ini,
tingkat kesamaan genus Alpinia relatif tinggi,
sehingga fungsinya sebagai sifat pembeda kurang.
Pada dendrogram berdasarkan sifat anatomi,
A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans bersatu pada
tingkat kesamaan 70%, diikuti A.Hookeriana 50%
dan A.galanga 30%. Pada dendrogram berdasarkan
sifat kandungan kimia minyak atsiri A.javanica dan
A.malaccensis bergabung pada tingkat kesamaan
70%, diikuti A.nutans 60% dan A.galangan 30%.
Pada keempat dendrogram tersebut, semua spesies
mengelompok pada kisaran tingkat kesamaan 30%
sampai 70%, pada dendrogram morfologi hingga 80%.
Bentuk keempat dendrogram tersebut pada
prinsipnya sama, meskipun masing-masing punya
ciri khas sendiri-sendiri. Dendrogram kombinasi sifat
morfologi anatomi dan kandungan kimia minyak
atsiri dapat mendukung klasifikasi berdasarkan sifat
morfologi yang berlaku selama ini meskipun tingkat
kesamaannya relatif lebih rendah pada semua tingkat.
Tingkat kesamaan dendrogram kandungan kimia
minyak atsiri relatif lebih rendah dibanding
dendrogram morfologi dan anatomi. Hal ini berarti
kandungan kimia minyak atsiri memiliki kemampuan
lebih tinggi sebagai sifat pembeda. Sejalan dengan
Trease dan Evans (1978) yang berpendapat bahwa
dibandingkan sifat morfologi, kandungan kimia lebih
tegas dan pasti serta memilik arti lebih mendasar
untuk tujuan klasifikasi.
Permasalahan Status Taksonomi Genus Alpinia
Bangsa Yunani dan Romawi mengenal jahe dari
para pedagang Arab yang membawanya dari India.
Nama Zingiber dan Zingiberaceae erat kaitannya
dengan hal ini. Jahe (Zingiber officinale Rosc.),
dalam bahasa Sansekerta dinamai singabera,
sringavera atau shrinjaveram. Nama ini disadur
bangsa Arab menjadi zanjabil, zingabil atau
zindschebil, yang artinya akar dari India, selanjutnya
diadopsi bangsa Yunani menjadi zingiberi dan
bangsa Romawi menjadi zingiber (Burkill, 1935;
Claus dkk., 1970; Fluckinger dan Hanbury, 1874;
Murray, 1881). Zingiberaceae sangat terkenal,
bahkan jahe didalam Al Quraan dinyatakan sebagai
campuran minuman surgawi. "Di dalam surga itu
mereka diberi minum segelas (minuman) yang
campurannya adalah jahe (zanjabil)." (QS. Al Insaan
(76): 17).
Penelitian tentang Zingiberaceae telah banyak
dipublikasikan, tetapi sering terjadi perbedaan
pendapat. Salah satunya adalah sahih tidaknya
pemisahan genus Alpinia menjadi tiga genus yang
berdiri sendiri-sendiri. Holttum (1950) merupakan
orang pertama yang secara tegas membagi Alpinia
menjadi tiga genus terpisah, (1) Alpinia, berdasarkan
Alpinia sub-genus Dieramalpinia K.Schum., (2)
Languas, berdasarkan Alpinia galanga, tipe
konservasi dari Alpinia dan (3) Catimbium,
berdasarkan Alpinia sub-genus Catimbium K. Schum.
Gambar 1. Kekerabatan genus Alpinia berdasarkan: A. Kombinasi sifatmorfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri. B.
Sifat morfologi. C. Sifat anatomi. D. Sifat kandungan kimia minyak atsiri. Keterangan: 1.A.galanga, 2. A.Hookeriana, 3. A. javanica,
4. A.malaccensis, 5.A.nutans.
SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia
39
Tabel 2. Perbandingan morfologi Alpinia, Catimbium dan Languas
Alpinia
Catimbium
Languas
1
Arah percabangan rimpang ketiga
arah berlawanan.
Arah percabanga rimpang ketiga jurusan
berlawanan.
Arah percabangan rimpang menyerong
keatas dan menjari.
2
Braktea primer ada, berbentuk garis
lanset
Braktea primer hilang
Braktea primer ada, biasanya kecil,
berbentuk bulat telur
3
Braktea sekunder berbentuk
cerobong atau cangkir
Braktea sekunder tidak berbentuk cerobong,
terbelah pada salah satu sisi; besar
membungkus seluruh kuncup sampai bunga
mekar
Braktea sekunder terbelah dan kecil
4
Kelopak tidak sangat terbelah
Kelopak sangat terbelah
Kelopak agak terbelah
5
Bibir berbentuk sudip, tepi
beringgit.
Bibir berbentuk bulat telur, tepi berkerut.
Bibir bercuping dua, tepi berkerut-kerut.
Keputusan ini diikuti Backer dan Bakhuizen v.d.
Brink (1968), namun mendapat banyak tantangan.
Salah satunya Burtt dan Smith (1972) yang
memasukkan kembali ketiga genus tersebut kedalam
genus Alpinia dengan dua alasan. Pertama: perluasan
genus dengan menambah jumlah genus, akan
mempersempit konsep dasar yang dapat mencakup
seluruh genus Alpinia, terutama pada spesies-spesies
non-Malaya yang belum banyak diteliti. Kedua:
tatanama tersebut bertentangan dengan Kode
Internasional Tatanama Tumbuhan yang telah
menetapkan Alpinia sebagai nomen conservandum.
Penggunaan nama Languas untuk sebagian
anggota genus Alpinia pernah dilakukan Merrill
(1925) dan Burkill (1935), namun setelah Alpinia
menjadi nomen conservandum (nama yang
dilestarikan) penggunaan nama Languas tidak
dibenarkan, termasuk untuk mena-mai sebagian
anggotanya. Pengunaan nama Catimbium juga tidak
diperkenankan, karena hampir semua anggotanya
dapat menyandang nama Alpinia. Menamai kembali
kumpulan genus tanpa alasan kuat tidak dapat
dipertanggungjawabkan (Burtt dan Smith, 1972).
Holttum (1974) yang menanggapi kritikan
tersebut tetap berpendapat bahwa Alpinia mewakili
kelompok yang berbeda dengan Languas, dan
Catimbium tetap merupakan genus tersendiri,
sekalipun bertentangan dengan Kode Internasional
Tatanama Tumbuhan.
Dalam penelitian ini, perbedaan mendasar antara
Alpinia yang diwakili A.javanica, Catimbium yang
diwakili A.Hookeriana, A.malaccensis dan A.nutans
serta Languas yang diwakili A.galanga dijelaskan
dalam tabel 2.
Perbedaan-perbedaan di atas merupakan alasan
utama yang mendorong Holttum (1950) membagi
genus Alpinia menjadi tiga genus mandiri. Namun
berdasarkan keempat dendrogram filogeni yang
dihasilkan penelitian ini, baik berdasarkan sifat
morfologi, anatomi, kandung-an kimia minyak atsiri
atau kombinasi ketiganya, maka tampaknya
keputusan ini harus ditolak.
Pada keempat dendrogram di atas, A.javanica
(Alpinia sensu Holttum), A.malaccensis dan A.nutans
(Catimbium sensu Holttum), selalu menempati
puncak dendrogram, kemudian A.Hookeriana
(Catimbium sensu Holttum) bergabung dengan
ketiganya, diikuti A.galanga (Languas sensu
Holttum).
Tingkat
kesamaan
A.javanica,
A.malaccensis dan A.nutans rata-rata 70%. Bahkan
pada dendrogram morfologi tingkat kesamaan
A.javanica dan A.malaccensis 80%. Meskipun pada
dendrogram kandungan kimia minyak atsiri tingkat
kesamaan A.malaccensis dengan dua spesies lain
hanya 60%.
Tingkat kesamaan antara gabungan A.nutans dan
A.malaccensis dengan A.Hookeriana yang oleh
Holttum sama-sama dimasukkan dalam genus
Catimbium selalu lebih rendah daripada tingkat
kesamaan antara gabungan dua spesies tersebut
dengan A.javanica, sekalipun A.javanica oleh
Holttum dimasukkan dalam genus yang berbeda,
Alpinia.
Pada keempat dendrogram, A.galanga selalu
merupakan spesies paling berbeda dibanding
keempat spesies lain, dimana tingkat kesamaanya
selalu hanya 30%. Berdasarkan kenyataan ini
pemisahan A.galanga dari kelompok genus Alpinia
oleh Holttum dapat dipahami, namun bagaimanapun
juga A.galanga selalu cenderung mengelompok
dengan sesama genus Alpinia. Oleh karena itu
menetapkan Alpinia sebagai genus tunggal untuk
kelompok ini lebih dapat diterima daripada
memisahkannya menjadi tiga genus mandiri, yaitu:
Alpinia, Catimbium dan Languas.
40
BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40
KESIMPULAN
Dalam penelitian disimpulkan bahwa sifat
morfologi, anatomi, kandungan kimia minyak atsiri
atau kombinasi ketiganya dapat digunakan sebagai
sifat pembeda genus Alpinia. Kombinasi sifat
morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak
atsiri dapat memperkuat klasifikasi genus Alpinia
berdasarkan sifat morfologi yang berlaku selama ini.
Kekerabatan berdasarkan salah satu atau kombinasi
ketiga sifat tersebut secara umum sama, walaupun
masing-masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Dendrogram kekerabatan berdasarkan kombinasi
sifat morfologi, anatomi dan kandungan kimia
minyak atsiri menunjukkan bahwa pemisahan genus
Alpinia menjadi tiga genus tersendiri: Alpinia,
Languas dan Catimbium tidak dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. 1986. Medical Herb Index in Indonesia (Indek Tumbuhtumbuhan Obat di Indonesia). Jakarta: P.T. Eisai Indonesia.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of
Java. Volume III. Groningen: Wolters Noordhoff.
Borner, J. dan J.E. Varner. 1965. Plant Biochemistry. New York:
Academic Press.
Boyer, R.F. 1990. Modern Experimental Biochemistr. Menlo
Park Calif.: The Benjamin Cummings Publishing Company
Inc.
Burkill, I.H. 1935. A Dictoinary of The Economic Product of The
Malay Peninsula. London: Governments of The Straits
Settlements and Federated Malay States by The Crown
Agents for The Colonies.
Burtt, B.L. 1972. General Introduction to Pappers on
Zingiberaceae. Notes from The Botanic Garden Edinburg 31
(2).
Burtt, B.L. dan R.M. Smith. 1972. Key spesies in The
Taxonomic History of Zingiberaceae. Notes from The
Botanic Garden Edinburg 31 (2).
Claus, E.P. V.E. Tyler dan L.R. Brady. 1970. Pharmacognosy.
Sixth edition. Philadelphia: Lea and Febinger.
Davis, P.H. dan V.H. Heywood. 1973. Principles of Angiosperm
Taxonomy. New York: Robert E. Kieger Publishing
Company.
Fluckinger, F.A. dan D. Hanbury. 1874. Pharmacographia. A
History of The Principal Drug of Vegetable Origin.
London: Macmillan.
Geissmann, T.A. dan D.H.G. Crout. 1969. Organic Chemistry of
Secondary Plant Metabolism. New York: Freeman. Cooper
& Co.
Gritter, R.J. J.M. Bobbit dan A.E. Schwarting. 1991. Pengantar
Kromatografi. Terbitan kedua. Bandung: Penerbit ITB.
Guenther, E. 1948. Minyak Atsiri. Jilid I (Penerjemah S. Ketaren.
1987). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (U.I. Press).
Harborne, J.B. 1984. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan (Penerjemah K. Padmawinata dan
I.Soediro. Penyunting S. Niksolihin). Bandung: Penerbit ITB.
Hegnauer, R. 1963. Chemotaxonomie der Pflanzen
(Monocotyledoneae). Band II. Stuttgart. Birkhauser Verlag.
Henderson, M.R. 1954. Malayan Wild Flowers Monocotyledons.
Kuala Lumpur: The Malayan Nature Society.
Heywood, V.H. 1967. Plant Taxonomy. New York: St. Martin's
Press.
Holttum, R.E. 1950. The Zingiberaceae of The Malay Peninsula.
The Gardens Bulletin Singapore. Volume VIII. Part 1.
Holttum, R.E. 1974. A Commentary on Comparative
Morphology in Zingiberaceae. Garden's Bulletin Kew.
Volume XXVII. Part II.
Jones, S.B. dan A.E. Luchsinger. 1986. Plant Systematics.
Second edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomy of Vascular Plant. New
York: John Wiley and Sons.
Lawrence, G.H.M. 1955. An Introduction to Plant Taxonomy.
New York: The Macmillan Company.
McNair, H.M. dan E.J. Bonelli. 1986. Dasar Kromatografi Gas
(Penerjemah K. Padmawinata. 1988). Bandung: Penerbit
ITB.
Merrill, E.D. 1925. An Enumeration of Philippine Flowering
Plants. Volume I. Manila: Bureau of Printing.
Murray, J.A. 1881. The Plants and Drugs of Sind. London:
Richardson &Co.
Ochse, J.J. 1931. Vegetables of The Dutch East Indies.
Buitenzorg: Archipel Drukkerij.
Paimin, F.B. dan Murhananto. 1991. Budidaya. Pengolahan.
Perdagangan Jahe. Jakarta: P.T. Penebar Swadaya.
Pielou, E.C. 1984. The Interpretation of Ecological Data. A
Primer on Classification and Ordination. New York: John
Wiley and Sons.
Pool, R.J. 1941. Flowers and Flowering Plants. Second edition.
New York: McGraw-Hill Book Company Inc.
Pramono, S. 1988. Laporan Penelitian: Identifikasi Kandungan
Kimia Tanaman Obat Melalui Pendekatan Kemotaksonomi
Kaempferia galanga. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
UGM.
Purseglove, J.W. 1972. Tropical Crops Monocotyledons.
London: Longman.
Radford, A.E. W.C. Dickinson. J.R. Masse dan C.R. Bell. 1982.
Vascular Plant Systematics. New York: Harper & Row
Publishers.
Robinson, T. 1975. The Organic Constituents of Hinger Plants.
Their Chemistry and Interrelationships. Third edition. North
Amherst-Mass,: Cordus Press.
Shukla, P. dan S.P. Misra. 1982. An Introduction to Taxonomy of
Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House
PVT.LTD.
Sokal, R.R. dan P.H.A. Sneath. 1963. Principles of Numerical
Taxonomy. San Francisco: W.H. Freeman and Co.
Soerodikoesoemo, W. 1988. Petunjuk Praktikum Anatomi
Tumbuhan. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Tarigan, P. 1987. Pengaturan Biosistesis Sekunder dalam
Fermentasi. Risalah Seminar Nasional Metabolit Sekunder
1987. Yogyakarta: PAU Bioteknologi UGM.
Ting, I.P. 1982. Plant Physyology. Reading-Mass.: Addison
Wesley Publishing Company.
Trease, G.E. dan W.C. Evans. 1978. Pharmacognasy. Eleventh
edition. London: Bailliere Tindall.
Turrill, W.B. 1951. Modern Trends in The Classification of
Plants. Taxon 1 (2).
Wallis, T.E. 1955. Textbook of Pharmacognosy. Third edition.
London: J & A Churchill. Ltd.
Youngken, H.W. 1948. Textbook of Pharmacognosy. Sixth
edition. New York: The Blakingston Division McGraw-Hill
Book Company. Inc.
Westphal, E. dan P.C.M. Jansen. 1989. Plant Resources in SouthEast Asia. A Selection. Wageningen: Pudoc.
Download