1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah tanah mempunyai kedudukan penting dalam transformasi masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Oleh Kuntowijoyo 1 pentingnya kedudukan tanah itu dijelaskan karena ada empat hal. Pertama bentuk masyarakat industrial ditentukan oleh jalan yang ditempuh dalam upaya pembaharuan agraris. Kedua, pemecahan masalah tanah menentukan kedudukan politik petani dalam perubahan sosial. Ketiga, kedudukan politik petani dalam perubahan sosial dan keempat adalah hubungan tanah dengan faktor produksi lainnya yakni modal. Permasalahan tanah lebih sering disebut sebagai sengketa agraria atau sengketa tanah merupakan sebuah konflik sosial yang sering terjadi semenjak sebelum pendudukan pemerintah kolonial Belanda sampai sekarang. Di negara agraris, tanah merupakan sumber penghidupan utama bagi berlangsungnya kehidupan. Tanah bagi kehidupan manusia mengandung makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya, dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral, 1 Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman, (Yogyakarta: Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan 1992), hlm.2 2 karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah. 2 Makna yang multidimensional tersebut menimbulkan kecenderungan bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Arti penting tanah bagi individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Di Undang-Undang Pokok Agraria tertulis perbedaan pengertian “bumi” dan “tanah” yang tertuang dalam pasa l 1 ayat (4) UUPA, “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.: Pasal tersebut memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah “bumi”. Di UUPA pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah) berikut apa yang ada dibawahnya yang berada di bawah air. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) menyatakan, “Atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun 2 Heru Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press 2001), hlm.27 3 bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum.” Dari dua pengertian di atas terlihat jelas terdapat perbedaan pengertian bumi disatu pihak dan pengertian tanah di pihak lainnya, yang dimaksud dengan tanah adalah bagian permukaan bumi. Keterikatan antara orang dengan tanah yang dimiliki, menjadi sangat kompleks dengan berbagai dimensinya, sehingga proses pengambilan tanah penduduk tanpa adanya unsur “kerelaan” dari pemegang hak akan menimbulkan banyak masalah. Persoalan pengadaan tanah, pencabutan hak atau pelepasan hak selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang yaitu kepentingan Pemerintah dan kepentingan Warga masyarakat. Dominasi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah di bidang ekonomi diwujudkan melalui pemanfaatan tanag sesuai dengan ketentuan UUPA dengan berbagai jenis hak atas tanag seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan sebagainya. Selain itu tanah juga sering menjadi obyek yang sangat subur untuk dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok.3 Permasalahan agraria hal pokoknya adalah tanah yang merupakan sumber kehidupan seluruh manusia terutama masyarakat yang hidup di sektor agraris atau bidang pertanian, perkebunan, perladangan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tanah. Bagi petani, tanah adalah nyawanya, karena 3 Arif Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis (Jakarta: Sinar Grafika,1996), hlm.69 4 itu tanah selalu menjadi pangkal sengketa atau perebutan.4 Perebutan dengan tetangga sedesa, perebutan dengan orang di satu desa dengan desa lainnya, juga menjadi pangkal sengketa antara bangsa dengan bangsa, negara dengan negara.5 Pada masa kemerdekaan, konflik agraria masih menjadi fenomena yang menonjol dalam peta konflik di Indonesia, terlebih pada masa pemerintahan Orde Baru. Konflik agraria pada masa pemerintahan orde baru mengalami ekskalasi yang sangat signifikan dengan dua bentuk konflik yang sangat umum. Pertama, konflik antara petani dengan swasta, terutama karena keluarnya HGU di atas tanah yang selama ini telah dikuasai oleh rakyat secara turun temurun. Kedua, adalah konflik antara petani dengan pemerintah terkait dengan pembebasan lahan diatas tanah yang telah dikuasai atau dimiliki petani untuk pembangunan berbagai kepentingan umum. Selama pemerintahan Orde Baru, perlawanan petani mengalami pasang surut, dimana ada saatnya petani seolah memiliki energi untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Akan tetapi tindakan represif oleh pemerintah maupun swasta yang didukung oleh polisi dan juga TNI memaksa petani untuk menyurutkan langkah 4 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria: Sebagai Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia II, Tjakrawala,1952), hlm 17. 5 Ibid, hlm.19 Masalah (Jakarta: 5 perlawanan, dan bagi petani tindakan tersebut merupakan strategi yang paling tepat agar tidak menelan banyak korban.6 Bagi masyarakat agraris tanah merupakan sumber kehidupan mereka, dengan kata lain dari tanahlah mereka bisa bertahan hidup ataupun meneruskan hidupnya. Faktor itulah yang membuat mereka berusaha mempertahankan tanah yang mereka tempati. Mereka tidak begitu menghiraukan apakah itu secara sah atau tidak. Sengketa agraria merupakan persoalan yang selalu berkepanjangan dan rumit sekali penyelesaiannya. Selalu ada pihak yang tidak puas dengan keputusan akhirnya, selanjutnya hal ini menimbulkan lagi masalah yang semakin panjang. Masalah tanah menjadi menarik karena merupakan kekayaan penting bagi masyarakat pedesaan dan merupakan faktor produksi alam, yang dikelola untuk menjadi faktor pendapatan mereka. Selain itu, masalah tanah mempunyai kedudukan penting dalam transformasi masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Dengan segala konsekuensinya sebagai warga yang aktif berperan dalam percaturan ekonomi global, Indonesia terutama di masa Orde Baru telah menyatakan bahwa praktek pembangunan telah memakai pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur keberhasilan negara dalam mencapai masyarakat yang dianggap makmur dan sejahtera.7 Puji Astuti, dalam Makalah “Kekerasan dalam Konflik Agraria : Kegagalan Negara dalam Menciptakan Keadilan di Bidang Pertanahan.” Diakses dari www.kumpulanmakalah.com Tanggal 8 Juli 2015 7 Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman (Progres, Jilid 2,1992), hlm. 2 6 6 Masalah pertanahan muncul ketika kewenangan (hak menguasai negara) dihadapkan dengan hak asasi warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Mencermati konflik pertanahan di Indonesia yang terus meningkat, akar masalahnya terletak pada benturan antara hak menguasai negara (HMN) dengan hak asasi warga negara (HAM) yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelola pembagian, penguasaan, pemanfaatan dan peruntukan tanah harus berhadapan dengan hak-hak asasi yang melekat pada rakyatnya sendiri. Sengketa konflik pertanahan yang semakin semarak dan kompleks belakangan ini terlihat sangat jelas. Indonesia di masa Orde Baru telah menyatakan bahwa praktek pembangunan telah memakai pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur keberhasilan negara dalam mencapai masyarakat yang dianggap makmur dan sejahtera. Kondisi sosial politik di masa Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Soeharto dengan penerapan dwifungsi ABRI. Pendekatan keamanan digunakan untuk menjaga stabilitas nasional dan memperbesar angka pertumbuhan ekonomi. Kebijakan dwifungsi ABRI merujuk kepada pemahaman profesionalisme baru. Militer yang profesional adalah militer yang memiliki kecakapan, ketrampilan, pengetahuan dan tanggungjawab pada bidang hankam dan sekaligus juga pada bidang non-hankam (sosial, politik, ekonomi dan sebagainya).8 8 Jun Honna, Serdadu Memburu Hantu: Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orba, (Yogyakarta: Center Information Analysis, 2006), hlm. 6-7 7 Salah satu permasalahan krusial yang muncul sebagai konsekuensi pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pasar adalah munculnya berbagai konflik yang menyangkut sumber daya alam termasuk tanah.9 Kasus-kasus konflik tanah yang muncul di Indonesia selama Orde Baru tidak saja mengalami peningkatan dalam hal jumlah (frekuensi), akan tetapi juga dalam intensitas. Fenomena konflik agraria pada periode Orde Baru dapat terjadi terutama disebabkan oleh adanya aktivitas negara dalam penguasaan sumber daya untuk kepentingan pembangunan, akibatnya konflik agraria yang muncul berwujud konflik struktural. Konflik pertanahan yang muncul sebagai akibat aktivitas pembangunan dalam hal ini kemudian justru dipandang sebagai salah satu faktor penghambat pembangunan, penyelesaiannya seringkali menggunakan pendekatan represif. Gerakan dan pemberontakan petani pada umumnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan-perubahan sosial atau perubahan nilai-nilai sosial yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat dengan serba mendadak yang kemudian mengakibatkan munculnya frustasi dalam kehidupan petani. Terancamnya kehidupan petani secara ekonomis karena tanah merupakan alat produksi petani memunculkan gerakan perlawanan dikalangan petani. Gerakan petani dipahami sebagai sebuah gerakan dengan mayoritas kekuatan utamanya adalah petani baik petani pemilik tanah maupun penggarap tanah (buruh tani) yang didalamnya terdapat berbagai unsur 9 Tim Pussbik, Tanah Lampung, Sengketa Pertanahan dan Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), hlm.1 8 pendukung seperti pemimpinnya merupakan satu golongan elite.10 Gerakan petani sebagai bentuk protes diwujudkan baik dalam tindakan yang bersifat agresif dan radikal, maupun gerakan protes petani yang bersifat pasif dan tidak bersifat kekerasan. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat sengketa agraria yang cukup tinggi. 11 Salah satunya terjadi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. Sengketa bermula ketika Kecamatan ini merupakan tempat dilaksanakannya proyek Rawasragi. Proyek Rawasragi merupakan areal yang dibuka oleh transmigran pada tahun 1971. Area tersebut merupakan areal program landreform yang melibatkan masyarakat untuk membuka lahan yang kemudian oleh masyarakat diolah menjadi persawahan dan ditanami padi. Pelaksanaan konsep landreform merupakan upaya yang dilakukan oleh setiap negara untuk melakukan perubahan dalam proses pemilikan atas tanah. Pelaksanaan landreform berkaitan erat dengan kemauan politik suatu negara. Program landreform mempunyai tujuan untuk memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah bagi warga Indonesia, terutama kaum tani. Selain itu, program ini bertujuan menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kepemilikan tanah yang melebihi dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti 10 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta : Pustaka Jaya 1985), hlm.16 11 Nugraha Setiawan, Transmigrasi di Indonesia : Sejarah dan Perkembangannya (Yogyakarta : Program Studi Kependudukan, Program Pascasarjana UGM 1994), hlm.3 9 kerugian untuk kemudian dibagikan keada rakyat yang membutuh melalui program redistribusi tanah. Kecamatan Palas merupakan salah satu kecamatan yang menjadi daerah proyek pertanian Rawasragi. Proyek pertanian rawasragi merupakan program yang dijalankan oleh pemerintah melalui bantuan IGGI. Proyek ini bertujuan membuka lahan untuk dijadikan lahan pertanian yang ditujukan pada masyarakat yang sudah mendiami Kecamatan Palas sejak tahun 1977. Pembukaan lahan dilakukan oleh rakyat dan proses pendestribusian lahan akan dilakukan oleh pemerintah melalui tim agraria. Awal konflik bermula ketika pembuka dan penggarap tanah di Kecamatan Palas tidak kunjung mendapatkan hak atas tanah garapan mereka. Hal ini mengidentifikasikan bahwa sesuatu berjalan tidak adil. Terlebih ketika diketahui bahwa ada sekelompok orang yang sudah memegang sertifikat tanah atas tanah garapan yang sudah sejak pembukaan lahan digarap oleh petani. Berbagai kasus tanah, tanah yang dimiliki oleh petani miskin pedesaan memberikan bukti dan menjelaskan bagaimana kedudukan antara negara, modal dan tanah. Ada 4 bentuk ketimpangan atau ketidakserasian agraria, yaitu, pertama ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria. Kedua, ketidakserasian dalam hal peruntukan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Ketiga, ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Keempat, ketidakserasian antara berbagai produk hukum sebagai akibat pragmatisme dan kebijakan sektoral. Sengketa Agraria yang 10 terjadi dalam Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan tahun 1985-2000 merupakan fenomena yang diakibatkan oleh ketimpangan yang muncul dari ketidakserasian antara berbagai produk hukum sebagai akibat pragmatisme dan kebijakan sektoral. B. Rumusan Masalah a. Apakah latar belakang terjadinya sengketa agraria akibat proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Lampung Selatan tahun 1983-2000? b. Bagaimanakah kronologi dan proses terjadinya sengketa agraria akibat proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Lampung Selatan tahun 1983-2000? c. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari adanya sengketa agraria tehadap kepemilikan tanah akibat proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Lampung Selatan tahun 1983-2000? C. Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian ini untuk mengetahui : a. Latar belakang terjadinya sengketa agraria di Kecamatan Rawasragi Kabupaten Lampung Selatan. b. Kronologi dan proses terjadinya sengketa agraria di Kecamatan Rawasragi Kabupaten Lampung Selatan. c. Dampak yang ditimbulkan dari adanya sengketa agraria terhadap kepemilikan tanah di Kecamatan Rawasragi Kabupaten Lampung Selatan. D. Manfaat Penelitian 11 Maksud dari sebuah penelitian yaitu agar pembaca dapat mengambil manfaat baik manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari hasil penelitian tersebut. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang sejarah agraria dan memperkaya studi sejarah pedesaan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan dan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah, terutama sejarah agraria dan khususnya pada sengketa-sengketa agraria yang banyak terjadi di Indonesia. E. Kajian Pustaka Guna mendukung penelitian ini maka digunakan literatur sebagai acuan atau pedoman untuk berfikir. Literatur tersebut diharapkan dapat membantu memecahkan permasalahan pokok yang akan diteliti. Buku yang berjudul Petani dan Konflik Agraria karya dari Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni (1998) ini menjadi buku acuan dalam penulisan penelitian ini karena sesuai dengan tema penelitian. Buku ini menjelaskan tentang berbagai bentuk konflik yang dikategorikan sesuai dengan periodesasinya. Dijelaskan bahwa periode Orde Baru merupakan 12 periode konflik agraria yang bersifat horizontal. Penjabaran tentang fenomena konflik di buku ini sangat relevan dengan penelitian ini. Sengketa agraria yang terjadi dalam proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan merupakan sebuah konflik antara pemerintah dan masyarakat transmigran. Teori-teori yang dikemukakan di buku Petani dan Konflik Agraria dapat membantu penulis melakukan penelitian ini. Masalah agraria sangat dimungkinkan terjadinya pelanggaran HAM dalam proses penyelesaiannya. Seperti dalam bukunya Noer Fauzi Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria di Indonesia (1999), menjelaskan ideologi kapitalisme telah memasuki Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perubahan-perubahan struktural yang menyangkut segala aspek kahidupan baik sosial, ekonomi, budaya dan politik. Masalah pertanahan telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan, pelanggaran HAM terjadi dalam bentuk yang menjadikan petani sebagai obyek yang tertindas oleh penguasa. Demikian halnya sengketa yang terjadi dalam Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan yang melibatkan petani dan pemerintah. Sengketa ini mengakibatkan petani sebagai pihak yang tertindas. Sediono M.P Tjondronegoro dalam bukunya Sosiologi Agraria (1999), memberikan penjelasan tentang struktur agraria dan dinamikanya yaitu hubungan sosio agraria antara golongan penguasa tanah dan proses-proses sosial yang menyertainya serta perubahan-perubahan hubungan tersebut dari masyarakat agraria menjadi masyarakat industri. Analisa difokuskan pada gejala konflik agraria dalam hal hubungan sosio-agraria. Buku ini membantu dalam menemukan serta menjelaskan kerangka pikir dari sebuah konflik 13 agraria. Sengketa agraria yang terjadi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan tidak lepas dari hubungan sosio-agraria antara golongan penguasa (pemerintah) dengan petani. Skripsi yang berjudul Sengketa Tanah Bekas Perkebunan Tembakau Bandar Chalipah, Kabupaten Deli Serdang Tahun 1947-1960 karya : Sutrisna Lestari (2010) mengungkapkan sengketa tanah yang terjadi di Deli Serdang. Skripsi ini membahas sengketa tanah yang terjadi diakibatkan oleh pendudukan Jepang yang mendorong petani-petani kecil untuk menduduki lahan-lahan perkebunan tembakau milik Belanda. Kemudian dijelaskan lebih lanjut ketika memasuki zaman kemerdekaan, terjadi kekacauan karena rakyat yang bermukim di sekitar perkebunan tembakau ingin memiliki tanah tersebut. Tidak hanya penduduk sekitar, namun penduduk imigran pun ingin memiliki lahan itu dengan alasan mereka penduduk Indonesia yang sah. Fokus skripsi ini membahas tentang bentuk sengketa yang terjadi selama 1947-1960 di tanah bekas pekebunan tembakau Bandar Chalipah. Selain itu, skripsi ini juga membahas bagaimana proses penyelesaian konflik tersebut. Relevansinya dengan penelitian ini terletak pada tema pembahasan yang sama-sama membahas tentang sengketa tanah. Meskipun untuk temporal dan spasialnya berbeda, skripsi ini membantu penulis sebagai referensi dalam melakukan penelitian. Skripsi lainnya merupakan skripsi karya Hasrie Fathonatin Purwanita (2011) yang berjudul Sengketa Lahan Perkebunan Swarubuluruto di Desa Karangrejo Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar Tahun 1960-1997. Skripsi ini menuliskan bagaimana krusialnya konflik yang tidak segera diselesaikan. 14 Pembukaan lahan yang dilakukan oleh petani tiba-tiba berpindah tangan di bawah penguasaan perusahaan perkebunan swasta milik Belanda. Kasus konflik tanah tersebut melibatkan tiga komponen yaitu rakyat, pengusaha/pemilik modal, dan negara. Pengelolaan tanah yang berpindah dari perusahaan satu ke peusahaan lain menambah kasus sengketa semakin meruncing. Pembahasan dalan skripsi ini juga sangan berguna bagi penulis untuk melakukan penelitian. Terlebih pada penyebab sengketa tanah yang terjadi hampir sama dengan sengketa agraria yang terjadi dalam Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Lampung Selatan tahun 1985-2000. Sehingga skripsi ini sangat dibutuhkan penulis dalam menambah referensi. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman maupun peninggalan masa lampau, kemudian dilakukan rekonstruksi berdasarkan data-data yang kemudian diperoleh suatu historiografi atau penulisan sejarah.12 Proses metode penelitian sejarah meliputi 4 tahapan yaitu, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. 1. Heuristik Tahap pertama yaitu heuristik, merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data atau materi sejarah atau evidensi 12 Louis Gottschalkm 1985, Mengerti Sejarah (Terjemahan Nugroho Notosusanto), Jakarta : UI Press. 15 sejarah.13 Oleh karena periode penulisan ini merupakan periode kontemporer, maka sumber yang dihimpun dan digunakan dalam penelitian mencakup sumber tertulis dan juga sumber wawancara. Data-data yang dikumpulkan berupa dokumen, arsip, data yang diperoleh melalui wawancara, maupun studi pustaka yang relevan dengan tema dan permasalahan. Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu : a. Studi Dokumen Arsip atau dokumen dipilih sebagai langkah untuk mendapatkan sumber data primer yaitu sumber-sumber data yang di dalamnya terdapat sejumlah fakta dan data sosial yang mendukung penelitian ini. Dokuman yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa arsip-arsip yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, Arsip Daerah Provinsi Lampung, dan Badan Pertanahan Nasional Arsip yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1) Peta Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. 2) Data Penduduk Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan Tahun 1985-2000 3) Surat Kabar Lampung Post Tanggal 11 Februari tahun 2000, Kalianda Post Tanggal 11 Februari 2000, dan Trans Sumatera 11 Februari 2000 4) Arsip koleksi ANRI perihal pembentukan Pokja Pertanahan Nomor 500.05-1600 13 Helius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak) hlm 86. 16 5) Arsip koleksi ANRI yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Bidang Pertanahan Nasional tentang tata cara penanganan sengketa pertanahan 6) Peta Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan 7) Arsip tekstual dari Badan Pusat Statistik Lampung Selatan mengenai jumlah penduduk Kecamatan Palas tahun 1985-2000. 8) Arsip tekstual dari Badan Pusat Statistik Lampung Selatan mengenai luas lahan pertanian di Kecamatan Palas Tahun 1985-2000. 9) Arsip Foto yang diperoleh dari badan pertanian Kecamatan Palas yang berkaitan dengan sengketa agraria akibat proyek Rawasragi tahun 19832000. b. Studi Pustaka Sebagai pendukung sekaligus sumber teori maka penelitian ini menggunakan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku pengetahuan, artikel yang diperoleh di pepustakaan pusat UNS, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UNS, perpustakaan sejarah UNS, perpustakaan daerah Lampung dan Perpustakaan Nasional. c. Wawancara Metode wawancara adalah metode yang betujuan mencari kebenaran atau dengan kata lain mengcrosschek antara data dengan peristiwa yang sebenarnya. Wawancara yaitu percakapan seseorang dengan orang lain 17 dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan lisan dari informan.14 Wawancara dilakukan untuk melengkapi informasi yang kurang jelas dari suatu dokumen/arsip. Adapun teknik wawancara yang digunakan yaitu teknik wawancara terstruktur. Teknik ini bertujuan untuk mengarahkan topik permasalahan dari alur pembicaraan secara sistematis, sehingga diperoleh informasi secara mendalam tentang masalah tersebut. Wawancara dilakukan dengan beberapa warga Kecamatan Palas dan informan-informan yang dapat memberikan informasi mengenai Sengketa Agraria dalam Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan. Narasumber yang diwawancarai antara lain : 1) Rusnal Effendi, sebagai Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan. 2) Fatno Wahid, sebagai perwakilan petani yang melakukan konsolidasi dengan tim sengketa. 3) Darmawan, sebagai perwakilan pihak kecamatan. 4) Darussalam, sebagai ketua badan pertanian Kecamatan Palas. 5) Sudarto, sebagai petani pembuka pertama lahan pertanian Proyek Rawasragi. 6) Dulhawi, sebagai petani pemilik sertifikat. 14 Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gajah Mada Perss), hlm. 16. 18 2. Kritik Sumber Tahap kedua adalah kritik sumber, yaitu proses penyeleksian sumber. Tahap kritik sumber mencakup kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mendapatkan sumber yang otentik, asli dan utuh dengan mengamati wujud, kertas, tinta dan bentuk tulisan sesuai zaman. Sementara kritik intern dilakukan untuk mendapatkan sumber yang kredibel. Pengujian kredibelitas dilakukan dengan menelaah sifat dan pengarang dari sumber tulisan. Pada tahap ini penulis membandingkan kesesuaian teks pada naskah dengan identitas waktu yang termuat pada dokumen, menelusuri identitas penulis dokumen guna menilai kredibilitas sumber, menguji pemaknaan konsep, dan realitas pada zamannya dan membandingkan dua atau lebih sumber guna memperkuat pernyataan. 3. Interpretasi Merupakan tahapan penafsiran atau menganalisis data atau keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh dan dilakukan kritik. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis. Deskriptif analisis adalah menggambarrkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena berdasarkan fakta-fakta yag tersedia. Tahap selanjutnya dari sumber bahan dokumen diadakan analisis/diinterpretasikan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya merupakan fakta-fakta yang akan diuraikan dan 19 dihubungkan sehingga menjadi satu kesatuan yang harmonis, beupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.15 Selain itu juga menggunakan teknik analisa historis. Analisa historis untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari penggunaan teknik ini agar tidak hanya menjawab apa, dimana dan kapan peristiwa itu terjadi namun juga menjelaskan gambaran sejarah kausalitas. Analisis ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan deskriptif. 4. Historiografi Merupakan tahapan penulisan sejarah yaitu meupakan klimaks dari sebuah metode sejarah yang hasilnya berupa tulisan dalam bentuk kronologis. Historiografi merupakan bentuk penyajian hasil penelitian berupa penyesuaian fakta-fakta yang sistematis menurut teknik penulisan sejarah. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis kemudian disajikan dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. 15 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Indayu), hlm.36. 20 Bab II membahas tentang kondisi geografis Kecamatan Palas, kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap terjadinya sengketa dan kondisi lahan sebelum dilaksanakannya Proyek Rawasragi. Bab III membahas tentang latar belakang terjadinya sengketa dilihat dari faktor historis dan faktor struktural. Bab ini juga membahas kronologis terjadinya sengketa yang dimulai tahun 1983 hingga tahun 2000, yang meliputi pembahasan sengketa antara rakyat dengan pemerintah hingga menyisakan sengketa antara rakyat dengan rakyat, Jalur penyelesaian yang ditempuh oleh petani dan pemerintah, dan pihak-pihak yang terlibat sengketa agraria dalam kurun waktu tersebut, akhir sengketa agraria ini juga dibahas di bab ini. Bab IV membahas tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya sengketa agraria tehadap kepemilikan tanah akibat proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Lampung Selatan tahun 1983-2000, dampak lain yang ditimbulkan juga berupa dampak sosial, ekonomi yang dirasakan oleh petani. Bab V merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari penulisan skripsi.