13 BAB II KONSEP KECERDASAN EMOSIONAL DAN

advertisement
BAB II
KONSEP KECERDASAN EMOSIONAL DAN
PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA
A. Konsep Kecerdasan Emosional
1.
Pengertian Kecerdasan Emosional
Emosi (emotion) berasal dari kata movere, kata kerja dalam bahasa latin yang
berarti “menggerakan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk memberi arti
“bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal
mutlak dalam emosi (Goleman, 2007: 7). Dalam makna paling harfiah, Oxford
English Dictionary (Goleman, 2007: 411) mendefinisikan emosi sebagai setiap
kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang
hebat atau meluap-luap. Lalu Ekman dan Epstein (Goleman, 2007: 414-421)
mengungkapkan beberapa ciri emosi diantaranya, yaitu respon yang cepat tetapi
ceroboh; pertama adalah perasaan, kedua adalah pemikiran; realitas simbolik yang
seperti kanak-kanak; masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang; dan
realitas yang ditentukan oleh keadaan. Lebih lanjut Chaplin (2004: 163)
menguraikan arti emosional sebagai suatu yang berkaitan dengan ekspresi emosi,
atau dengan perubahan-perubahan yang mendalam yang menyertai
emosi.
Sedangkan
dalam
kecerdasan
diartikan
sebagai
kemampuan
seseorang
menggunakan konsep abstrak serta menghadapi dan menyesuaiakan diri terhadap
situasi baru secara cepat dan efektif (Chaplin, 2004: 253). Disamping itu, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1996) mengartikan kecerdasan sebagai perihal cerdas;
kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman
pikiran).
13
14
Gardner (Goleman, 2007) seorang ahli psikologi dari Harvard adalah orang
yang melihat keterbatasan cara berpikir konvensional tentang kecerdasan. Dalam
bukunya yang berjudul Frames of Mind pada tahun 1983 (Goleman, 2007),
Gardner menyatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolotik
yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spectrum
kecerdasan yang lebar, dengan tujuh varietas utama yang dikenal sebagai multiple
intelligence. Salah satu aspek kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang
diungkapkan Gardner adalah kecerdasan pribadi yang terdiri dari kecerdasan
intrapribadi dan kecerdasan antarpribadi. Gardner dalam Goleman (2007: 52)
memberikan ringkasan pendek mengenai kecerdasan pribadi yaitu:
Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain;
yaitu kemampuan memahami apa yang memotivasi seseorang,
memahami bagaimana mereka bekerja dan bagaimana bekerja bahumembahu dengan orang lain. Sedangkan kecerdasan intrapribadi adalah
kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan
tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang
teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan
model tersebut sebagai alat ukur untuk menempuh kehidupan secara
efektif.
Goleman mengembangkan teori kecerdasan pribadi Gardner tersebut dengan
mengenalkan istilah emotional intelligence. Istilah kecerdasan emosional
(emotional intelligence) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1990 oleh
psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari University of
New Hampshire. Salovey dan Meyer (Goleman, 2005) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri
dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran
dan tindakan.
15
Sebuah model pelopor lain untuk kecerdasan emosi diungkapkan oleh
seorang Psikolog Israel yaitu Reuven Bar-On. Bar-On (Goleman, 2005)
menjabarkan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi,
dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Sedangkan Goleman sendiri (2005:
512) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain.
Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam menggunakan perasaan secara
optimal untuk mengenal dan mengatur diri sendiri serta mengelola emosi yang
terdapat dalam diri sendiri dan orang lain agar energi emosi tersebut pada waktu
yang tepat dengan frekuensi yang cukup dapat diterapkan secara efektif dalam
membina hubungan yang baik dengan orang lain.
2.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa aspek kemampuan yang
membentuknya.
Aspek-aspek
kemampuan
yang
membentuk
kecerdasan
emosional tidak seragam untuk setiap ahli tergantung dari sudut pandang dan
pemahaman. Lima aspek utama yang terdapat dalam kecerdasan emosional
menurut Salovey (Goleman, 2007: 58-59), adalah:
16
a.
Mengenali emosi sendiri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk memantau perasaan
dari waktu ke waktu merupakan hal penting dan ketidakmampuan untuk
mencermati perasaan diri sendiri dapat membuat seseorang berada dalam
kekuasaan perasaan.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam
keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung,
sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat
dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c.
Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri
dan menguasai diri sendiri, dan untuk berekreasi. Kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati- adalah
landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki
keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun
yang mereka kerjakan.
17
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati,
kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan
“keterampilan bergaul” dasar. Orang yang empatik lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
e.
Membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan mengelola
emosi orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
antarpribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses
dalam bidang apa pun. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan
menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi.
Disisi lain Bar-On (Goleman, 2005: 580) membagi kemampuan pokok
kecerdasan emosional ke dalam lima gugus umum sebagai berikut:
a.
Keterampilan intrapribadi
Kemampuan menyadari diri, memahami emosi diri, dan mengungkapkan
perasaan serta gagasan.
b. Keterampilan antarpribadi
Kemampuan menyadari dan memahami perasaan orang lain, peduli kepada
orang lain secara umum, dan menjalin hubungan dari hati ke hati yang akrab.
18
c.
Adaptabilitas
Kemampuan menguji perasaan diri, kemampuan mengukur situasi sesaat
secara teliti, dengan luwes mengubah perasaan dan pikiran diri, lalu
menggunakannya untuk memecahkan masalah.
d. Strategi pengelolaan stress
Kemampuan mengatasi stress dan mengendalikan luapan emosi.
e.
Motivasi dan suasana hati
Kemampuan
bersikap
optimis,
menikmati
diri
sendiri,
menikmati
kebersamaan dengan orang lain, dan merasakan serta mengekspresikan
kebahagiaan.
Goleman mengadaptasi model teori Salovey dan Bar-On tersebut kedalam
sebuah versi yang menurutnya paling bermanfaat untuk memahami cara kerja
kecerdasan emosional dalam kehidupan individu. Adaptasi Goleman (2005: 513)
meliputi lima dasar kecakapan emosional dan sosial yang dikelompokkan menjadi
dua bagian yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial sebagai berikut:
a.
Kecakapan Pribadi
1) Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur
yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
2) Pengaturan diri
Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada
pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
19
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali
dari tekanan emosi.
3) Motivasi
Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakan dan
menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan
frustrasi.
b. Kecakapan Sosial
1) Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif
mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan bermacam-macam orang.
2) Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan
dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan
lancar;
menggunakan
mempengaruhi,
keterampilan-keterampilan
memimpin,
bermusyawarah,
dan
ini
untuk
menyelesaikan
perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.
Boyatzis kemudian melakukan penelitian untuk mendapatkan tingkat
reliabilitas dan interkorelasi yang lebih baik daripada model kompetensi
emosional yang dikemukakan oleh Goleman (Boyatzis & Goleman, 2005).
Penelitian ini menghasilkan sebuah instrumen pengukuran kompetensi emosional
yaitu Emotional Competence Inventory. Emotional Competency Inventory atau
20
disingkat ECI (Boyatzis & Goleman, 2005) merupakan alat ukur untuk menilai
kompetensi emosional individu maupun organisasi yang didasarkan pada
kompetensi emosional dari Goleman dalam bukunya Working With Emotional
Intelligence dan Self-Assessment Questionnaire (SAQ) dari Boyatzis. ECI
mengemukakan 18 kompetensi emosional yang dikelompokkan dalam 4 kerangka
kerja (klaster) yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, kesadaran sosial, dan
pengaturan hubungan. Instrumen ECI tersebut menjadi acuan peneliti untuk
mengukur kecerdasan emosional dalam penelitian ini. Secara lebih rinci kerangka
kerja (klaster) kecerdasan emosi dalam ECI (Boyatzis & Goleman, 2005) adalah
sebagai berikut:
a.
Kesadaran diri: Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya,
dan intuisi. Klaster kesadaran diri terdiri dari tiga kompetensi sebagai berikut:
a) Kesadaran emosi: Mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
b) Penilaian diri secara teliti: Mengetahui kekuatan dan batas-batas diri
sendiri.
c) Percaya diri: Keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
b. Pengaturan diri: Mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri.
Klaster pengaturan diri terdiri dari enam kompetensi sebagai berikut:
a) Kendali emosi diri: mengelola emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang
mengganggu.
b) Transparansi (sifat dapat dipercaya): menjaga integritas, berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai diri.
c) Adaptabilitas: keluwesan dalam menghadapi perubahan.
21
d) Prestasi: berusaha keras untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar
keberhasilan.
e) Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
f) Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan.
c.
Kesadaran Sosial: Menentukan bagaimana kita menangani suatu hubungan
dan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
Klaster kesadaran sosial terdiri dari tiga kompetensi sebagai berikut:
a) Empati: mengindra perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan
minat aktif terhadap kepentingan mereka.
b) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan
hubungannya dengan kekuasaan.
c) Orientasi membantu orang lain: mengantisipasi, mengenali dan berusaha
memenuhi kebutuhan orang lain.
d. Pengaturan Hubungan: Kemampuan dalam menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain. Klaster pengaturan hubungan terdiri dari enam
kompetensi sebagai berikut:
a) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan orang
lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
b) Kepemimpinan yang inspiratif: Membangkitkan inspirasi serta memandu
kelompok dan orang lain.
c) Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan.
22
d) Pengaruh: memiliki taktik yang efektif untuk membujuk seseorang
(persuasi).
e) Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
f) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama. Menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan
bersama.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Goleman (2007) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional seseorang yaitu:
a.
Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu yang
dipengaruhi oleh anatomi saraf emosinya seperti korteks, neokorteks, lobus
prefrontal, sistem limbik, amigdala dan hal-hal lain yang berada pada otak
emosional. Korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara
mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya
berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Neokorteks merupakan tempat pikiran,
memuat pusat-pusat yang mengumpulkan dan memahami apa yang diserap oleh
indra. Neokorteks menambahkan pada perasaan apa yang kita pikirkan tentang
perasaan itu dan memungkinkan kita untuk mempunyai perasaan tentang ide-ide,
seni, simbol-simbol, khayalan-khayalan. Lobus prefrontal, dapat bertindak
sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum
berbuat sesuatu. Sedangkan, sebagai bagian yang berada dibagian otak yang
mengurusi emosi yaitu system limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi
23
otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung
jawab atas pengaturan emosi dan implus. Bila kita dikuasai oleh hasrat atau
amarah, sedang jatuh cinta atau mundur ketakutan, maka system limbic itulah
yang sedang mencengkeram kita. Selain itu ada amigdala yang dipandang
sebagai pusat pengendalian emosi pada otak dan gudangnya ingatan emosional.
b.
Faktor eksternal
Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu
yaitu lingkungan keluarga dan non keluarga. Kehidupan keluarga merupakan
sekolah pertama dalam mempelajari emosi yaitu belajar bagaimana
merasakan dan menanggapi perasaan diri sendiri, berpikir tentang perasaan
tersebut sehingga mengambil pilihan-pilihan yang dimiliki untuk akhirnya
bertindak serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa
takut. Sedangkan hal yang terkait dengan lingkungan non keluarga adalah
lingkungan masyarakat, pendidikan dan media massa baik cetak maupun
elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
4.
Kecerdasan Emosional pada Masa Remaja
Salah satu tugas perkembangan yang penting pada masa remaja adalah
mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur-figur otoritas. Namun,
dikarenakan masa remaja merupakan masa “badai dan tekanan”, yaitu masa
dimana ketegangan emosi meninggi sehingga remaja mengalami ketidakstabilan
emosi yang menyebabkan emosi pada masa remaja menjadi mudah terangsang
dan cenderung meledak-ledak (Hurlock, 1980). Emosi remaja seringkali sangat
kuat dan tidak terkendali, tetapi pada umumnya pada tahun ke tahun remaja mulai
24
mampu mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya dan berkurang
menjelang berakhirnya masa remaja.
Menurut Hurlock (1980: 213) remaja dikatakan mencapai kecerdasan atau
matang secara emosional, apabila:
1.
Pada akhir masa remaja tidak meledak emosinya dihadapan orang lain
melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan
emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.
2.
Remaja menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara
emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak
atau orang yang tidak matang.
3.
Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil,
tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang
lain, seperti dalam periode sebelumnya.
B. Konsep Penyesuaian Sosial
1.
Pengertian Penyesuaian Sosial
Penyesuaian (adjustment) didefinisikan oleh Schneider (1964: 51) sebagai
berikut:
A Process, involving both mental and behavioural responses, by which an
individual strives to cope successfully with inner needs, tensions,
frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between
these inner demands and those imposed on him by he objective world in
which he lives.
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa penyesuaian merupakan sebuah
proses, yang melibatkan respon baik secara mental dan perilaku, yang merupakan
25
usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, frustrasi, dan
konflik dari dalam dirinya, dengan tujuan untuk tercapainya keharmonisan antara
tuntutan dari dalam dirinya dan tuntutan dari lingkungan di mana ia hidup.
Individu dengan penyesuaian diri yang baik adalah individu yang memiliki: (a)
pengetahuan dan wawasan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, (b)
objektivitas dan penerimaan diri, (c) kontrol dan pengembangan diri, (d) integrasi
pribadi yang baik, (e) adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya, (f)
adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat, (g) mempunyai rasa
humor, (h) mempunyai rasa tanggung jawab, (i) menunjukkan kematangan
respon, (j) adanya pengembangan kebiasaan yang baik, (k) adanya adaptabilitas,
(l) bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat, (m) memiliki
kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain, (n) memiliki
minat yang besar dalam bekerja dan bermain, (o) adanya kepuasan dalam bekerja
dan bermain, (p) memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas Schneiders
(1964: 73-88). Menurut Schneiders (1964: 429) setiap individu memiliki pola
penyesuaian yang khas terhadap setiap situasi dan kondisi serta lingkungan yang
dihadapinya, salah satunya adalah penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial menurut Chaplin (2004; 469) adalah: (1) penjalinan secara
harmonis suatu relasi dengan lingkungan sosial, (2) mempelajari pola tingkah laku
yang diperlukan, atau mengubah kebiasaan yang ada, sedemikian rupa, sehingga
cocok bagi satu masyarakat sosial. Sedangkan, Schneider (1964: 460)
mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai “The capacity to react effectively and
wholesomely to sosial realities, situations, and relations so that he requirements
26
for sosial living is fulfilled in an acceptable and satisfaktory manner”.
Penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif
dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan
atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima
dan memuaskan. Jika individu ingin mengembangkan kemampuan dalam
penyesuaian sosial maka ia harus menghargai hak orang lain, mampu
menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan
persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, menghargai nilai-nilai dari
hukum-hukum sosial dan tradisi. Apabila prinsip-prinsip ini dilakukan secara
konsisten, maka penyesuaian sosial yang baik akan tercapai (Schneiders, 1964:
460).
Schneiders (1964) membagi penyesuaian sosial menjadi tiga aspek yaitu
penyesuaian sosial di lingkungan rumah dan keluarga, penyesuaian sosial di
lingkungan sekolah (kampus), dan penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat.
2.
Penyesuaian Sosial di Kampus
Kehidupan sosial di sekolah merupakan salah satu kehidupan sosial bagi
siswa disamping lingkungan keluarga dan masyarakat serta memerlukan pola
penyesuaian. Hambatan yang dialami individu pada salah satu kehidupan sosial
tersebut akan mempengaruhi pada kehidupan sosial lainnya. Schneiders (1964:
454) mengemukakan karakteristik dari siswa yang mampu menyesuaikan diri
dengan baik di lingkungan sekolah. Dalam penelitian ini karakteristik tersebut
27
adalah mahasiswa yang mampu memenuhi kriteria-kriteria dalam kehidupan
sosial di kampusnya. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Menghargai dan mau menerima otoritas kampus
Adanya otoritas baik berupa aturan-aturan yang mengatur kehidupan di
kampus maupun dosen yang berkedudukan sebagai figur otoritas merupakan
salah satu realitas yang harus dihadapi mahasiswa di kampus. Hal ini
ditunjukkan dengan sikap dan perilaku menerima dan patuh terhadap
peraturan yang berlaku serta menghormati dan menghargai dosen, seperti
memakai pakaian dan sepatu yang sopan dan sesuai dengan aturan yang
berlaku maupun memperhatikan dosen yang sedang menerangkan materi di
depan kelas.
b.
Tertarik dan berpartisipasi dalam kegiatan kampus
Mahasiswa yang memiliki minat dan mau terlibat dalam kegiatan
kemahasiswaan yang ada di kampus dapat menyalurkan aspirasinya dan
memiliki kesempatan lebih luas untuk bergaul dengan teman sebaya.
Misalnya, mahasiswa memiliki rminat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan
kelompok atau diskusi belajar bersama teman, kegiatan intrakurikuler
maupun ekstrakurikuler, seperti menjadi anggota kegiatan kemahasiswaan
(UKM/BEM/DPM) di kampus.
c.
Mempunyai hubungan sosial yang sehat, bersahabat dengan teman, dosen dan
unsur-unsur kampus lainnya
Sebagai bagian dari kehidupan sosial di kampus, seorang mahasiswa tidak
dapat menghindarkan diri dari relasi dengan orang lain, yaitu menjalin
28
hubungan dan interaksi yang baik, sehat, dinamis, dan bersahabat dengan
teman-teman kampus, dosen, dosen pembimbing akademik, staf TU dan
pegawai kampus lainnya baik pada waktu kegiatan perkuliahan maupun di
luar jam perkuliahan. Seperti memiliki teman dekat di kampus, menyapa
dosen yang ditemui meskipun di luar jam kuliah, dan bersikap sopan kepada
pegawai yang bekerja sebagai staf TU, satpam maupun petugas kebersihan.
d.
Menerima batasan dan tanggung jawab sebagai mahasiswa
Kemampuan mahasiswa untuk bertingkah laku sesuai dengan norma yang
berlaku dan juga untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Seperti selalu
mempersiapkan ujian dengan baik, menggunakan fasilitas kampus dengan
sebaik-baiknya, dan tidak makan di kelas jika kegiatan perkuliahan sedang
berlangsung.
e.
Membantu kampus mencapai tujuan intrinsik dan ekstrinsik.
Tercapainya tujuan kampus merupakan kepentingan bersama, tidak terkecuali
para mahasiswa. Sikap dan perilaku yang dapat dilakukan mahasiswa untuk
tercapainya tujuan intrinsik dan ektrinsik kampus beberapa diantaranya
dengan menjaga nama baik kampus di dalam maupun di luar lingkungan
kampus dan berusaha menampilkan yang terbaik saat mewakili kampus di
kegiatan perlombaan antar kampus.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Schneider (1964: 122) mengemukakan bahwa penyesuaian seorang individu
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
29
a.
Kondisi Fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi hereditas,
konstitusi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot.
b.
Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan
emosi.
c.
Kondisi psikologis, meliputi pengalaman, proses belajar, pembiasaan,
frustrasi, dan konflik.
d.
Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah, keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
e.
Faktor kebudayaan, termasuk agama.
4.
Penyesuaian Diri yang Normal
Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal apabila
mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah secara wajar, tidak
merugikan diri sendiri dan lingkungannya. Schneiders (1964: 274) menjelaskan
karakteristik penyesuaian diri yang normal sebagai berikut:
a.
Tidak adanya emosi yang berlebihan
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan adanya emosi yang tidak
berlebihan atau tidak adanya gangguan dalam emosinya. Seseorang
merespon lebih atau sedikit terhadap situasi normal
dan masalah yang
muncul, akan selalu ada tingkat tertentu mengenai ketenangan emosional dan
kontrol, yang memungkinkan mereka untuk menilai situasi dengan baik dan
mengatur mengatasi kesulitan apapun yang ada.
b.
Tidak adanya mekanisme psikologis
30
Pendekatan langsung terhadap permasalahan atau konflik lebih menunjukkan
respon yang normal atau wajar daripada suatu reaksi yang diikuti dengan
mekanisme-mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi, atau
kompensasi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan
yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu
mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga
untuk dicapai.
c.
Tidak adanya rasa frustrasi pribadi
Penyesuaian yang normal adalah terhindar dari perasaan frustrasi pribadi.
Perasaan frustrasi membuat individu mengalami kesulitan untuk bereaksi
secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu yang
mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa
harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan
berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku secara efisien dalam
menghadapi situasi yang dihadapinya.
d.
Pertimbangan yang rasional dan pengarahan diri
Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan
terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran,
tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit
sekalipun menunjukkan penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu
melakukan penyesuaian diri yang baik apabila individu dikuasai oleh emosi
yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik.
31
e.
Kemampuan untuk belajar
Proses penyesuaian yang normal dapat ditandai oleh pertumbuhan atau
perkembangan yang terjadi dalam diri individu untuk mengatasi situasi yang
penuh dengan konflik, frustrasi, atau stres. Penyesuaian diri yang normal
ditandai dengan belajar terus-menerus atau berkesinambungan, yang
menjamin pengembangan kualitas pribadi yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
f.
Pemanfaatan pengalaman masa lalu
Dalam proses pertumbuhan dan perubahan, pemanfaatan pengalaman masa
lalu merupakan salah satu cara dimana individu dapat belajar mengenai
pencapaian penyesuaian yang normal karena dalam banyak situasi ada
beberapa hal yang menguntungkan dari pengalaman tersebut.
g.
Bersikap realistis dan objektif
Penyesuaian yang normal secara konsisten dikaitkan dengan realistis, sikap
objektif. Tetapi harus realistis dan objektif bukanlah hal yang sama dengan
orientasi yang tepat terhadap realitas. Sikap realistis dan obyektif adalah salah
satu yang didasarkan pada pembelajaran, pengalaman masa lalu, dan berpikir
rasional, memungkinkan individu untuk menilai situasi, masalah, atau
pembatasan pribadi seperti yang sebenarnya serta untuk apa yang benarbenar layak.
32
5.
Penyesuaian Sosial pada Masa Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa
dimana status remaja tidaklah jelas dan menimbulkan keraguan akan peran yang
dilakukan. Karena pada masa transisi ini, remaja tidak mau lagi diperlakukan oleh
lingkungan keluarga dan masyarakat sebagian anak-anak, namun dilihat dari
pertumbuhan fisik, perkembangan psikis (kejiwaan), dan mentalnya belum
menjukkan tanda-tanda dewasa. Dalam masa tersebut banyak perubahan yang
terjadi diantaranya adalah perubahan fisik, perubahan emosi dan perubahan sosial
(Hurlock, 1980).
Havighurst (Yusuf, 2001: 74) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan
sosial yang harus dicapai pada masa remaja, yaitu:
a.
Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman-teman sebaya,
baik dengan teman sejenis maupun dengan lawan jenis.
b.
Dapat menjalankan peran sosial menurut jenis kelamin masing-masing.
Artinya mempelajari dan menerima peranan masing-masing sesuai dengan
ketentuan atau norma yang berlaku di masyarakat.
c.
Memperlihatkan tingkah laku secara sosial dan dapat dipertanggung
jawabkan, artinya ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial sebagai seorang
dewasa yang bertanggung jawab, menghormati serta menaati nilai-nilai sosial
yang berlaku dalam lingkungannya.
Penyesuaian sosial terhadap orang lain dan lingkungan sangat diperlukan oleh
setiap orang, terutama dalam usia remaja. Kemampuan dalam melakukan
penyesuaian sosial pada remaja akan tercipta hubungan yang harmonis. Apabila
33
remaja tidak mampu akan mengakibatkan ketidakpuasan pada diri sendiri karena
merasa dikucilkan dan mempunyai sikap-sikap menolak diri. Akibatnya remaja
tidak mengalami saat-saat yang menggembirakan seperti yang dinikmati oleh
teman-teman sebayanya (Hurlock, 1980).
C. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial
Dalam salah satu tugas perkembangan, setiap individu diharapkan mampu
melakukan penyesuaian sosial, baik itu di lingkungan rumah, sekolah maupun
masyarakat. Kemampuan individu untuk melakukan penyesuaian sosial dengan
baik salah satunya tergantung pada keadaan emosi.
Setiap individu memiliki kapasitas emosi dalam dirinya, ia dituntut untuk
dapat mengenal emosi dirinya, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain dalam
menghadapi tuntutan dan harapan dari lingkungan sekitarnya.
Individu yang memiliki kestabilan emosi mampu mengendalikan diri dan
memberikan respon-respon yang matang dan sesuai dengan tuntutan dan harapan
lingkungan yang disebut dengan kecerdasan emosional. Lain halnya dengan
individu yang tidak memiliki kestabilan emosi dengan menunjukkan ciri-ciri
seperti kecemasan atau kesenangan yang berlebihan, kecurigaan, kegelisahan,
ketakutan,
depresi,
Ketidakstabilan
selalu
emosi
berperasaan
tersebut
dapat
negatif,
dan
menimbulkan
merasa
bersalah.
konflik,
frustrasi,
ketidakmatangan psikologis, dan gangguan emosional yang berkaitan dengan diri
sendiri maupun orang lain serta kegagalan-kegagalan dalam menjalin kehidupan.
34
Thorndike dalam Goleman (2007: 56) mengungkapkan bahwa salah satu
aspek dari kecerdaan emosional adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan penting
terhadap penyesuaian sosial individu yang baik. Lebih lanjut Goleman (2007)
menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan
banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya, salah satunya adalah yang
berkaitan dengan aspek emosional. Seseorang yang cerdas dalam mengelola
emosinya akan meningkatkan kualitas kepribadiannya. Oleh karena itu diperlukan
suatu kemampuan dalam diri individu untuk dapat memenuhi tuntutan lingkungan
yaitu kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku, kematangan emosi serta
dapat melaksanakan tugas, peranan dan tanggung jawabnya dengan baik di
lingkungan tempat ia berada agar tercipta penyesuaian sosial yang sehat.
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan Terkait dengan Kecerdasan
Emosional dan Penyesuaian Sosial Mahasiswa
Beberapa penelitian mengenai kecerdasan emosional dan penyesuaian telah
cukup banyak dilakukan dan sedikit banyaknya dapat memberikan gambaran
bahwa kecerdasan emosional penting bagi penyesuaian sosial, termasuk
penyesuaian sosial di perguruan tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2003) mengenai
hubungan antara emotional intelligence dengan penyesuaian sosial di sekolah
pada siswa kelas III SMUN 7 Bandung, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara emotional intelligence dengan
35
penyesuaian sosial, sehingga semakin rendah emotional intelligence yang dimiliki
siswa kelas II SMUN 7 Bandung maka semakin rendah penyesuaian sosial yang
dilakukan oleh siswa, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Kamelia (2003) meneliti hubungan antara kecerdasan emosi dengan
penyesuaian sosial di sekolah pada siswa kelas II SMU PGII II Bandung.
Hasilnya, bahwa kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial di sekolah
mempunyai korelasi yang cukup berarti (rs = 0,58), aspek mengenali emosi diri
dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,56), aspek mengelola emosi diri
dengan penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,45), aspek motivasi diri dengan
penyesuaian sosial di sekolah (rs = 0,51), aspek empati dengan penyesuaian sosial
di sekolah (rs = 0,41), dan aspek membina hubungan dengan penyesuaian sosial di
sekolah (rs = 0,44).
Selain itu hasil penelitian Purnama (2008) mengenai hubungan antara
kecerdasan emosi dengan penyesuaian sosial Siswa Sekolah Menengah Atas,
menjelaskan bahwa: (1) sebagian besar kecerdasan emosional yang dimiliki oleh
siswa berada pada kategori sedang yaitu sebesar 67,77%, (2) sebagian besar
penyesuaian sosial yang dimiliki oleh siswa berada pada kategori cukup baik yaitu
sebesar 67,78%, (3) terdapat hubungan yang kuat antara kecerdasan emosional
dengan penyesuaian sosial siswa, dengan koefisien korelasi sebesar +0,724.
Hasil penelitian Fitriani (2009) mengenai hubungan antara konsep diri dan
kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas XI di SMA Negeri I
Trenggalek menunjukkan bahwa siswa yang memiliki konsep diri sangat positif
adalah berjumlah 14 siswa, yang memiliki konsep diri tinggi berjumlah 77 siswa,
36
dan yang memiliki konsep diri sedang berjumlah 5 siswa. Pada kecerdasan
emosional, siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional sangat tinggi
berjumlah 11 siswa, yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi berjumlah
78 siswa, dan yang memiliki tingkat kecerdasan emosional sedang berjumlah 7
siswa. Pada penyesuaian sosial, siswa yang memiliki tingkat penyesuaian sosial
sangat tinggi berjumlah 14 siswa, dan siswa yang memiliki tingkat penyesuaian
sosial yang tinggi adalah 82 siswa. Berdasarkan hasil analisis regresi linear
berganda, diperoleh nilai R sebesar 0.931. Hal ini berarti variabel penyesuaian
sosial dapat dijelaskan oleh variabel konsep diri dan kecerdasan emosional
sebanyak 93,1% sedangkan sisanya (6,9%) dijelaskan oleh sebab lain. Dengan
kata lain, terdapat hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan
penyesuaian sosial. Namun, sumbangan konsep diri terhadap penyesuaian sosial
lebih besar (69%) jika dibandingkan dengan kecerdasan emosional (27,8%).
Pada penelitian Showi (2009) mengenai hubungan kecerdasan emosional
dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi SMUN 1 Malang diketahui
bahwasanya kecerdasan emosional siswa akselerasi tergolong tinggi dengan
persentase 45,16%. Untuk tingkat penyesuaian sosial siswa akselerasi SMUN 1
Malang berada pada kategori tinggi dengan persentase 54,84%. Hasil uji korelasi
menunjukkan nilai rhit 0.810 dengan probabilitas 0.000. Hasil penelitian ini
menyatakan ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian
sosial siswa akselerasi SMUN 1 Malang. Hal ini berdasarkan pada nilai rhit 0.810
dan nilai rtabel adalah 0.000. Berdasarkan taraf signifikansi 5% r hitung dari hasil
37
korelasi memiliki nilai rhit 0.810 > rtabel 0.000. Semakin tinggi tingkat kecerdasan
emosional siswa, semakin tinggi pula tingkat penyesuaian sosial siswa akselerasi.
E. Kerangka Berpikir
Masa remaja merupakan salah satu periode yang penting dan mempunyai
resiko dalam rentang kehidupan manusia. Pada masa ini pertumbuhan dan
perkembangan pada diri remaja mengalami perubahan yang sangat besar. Sebagai
peralihan dari masa anak menuju masa dewasa, masa remaja merupakan masa
yang penuh dengan kesulitan dan gejolak dalam diri, salah satunya adalah gejolak
emosi.
Goleman (2007) mengatakan bahwa emosi merupakan kekuatan pribadi
(personal power) yang memungkinkan manusia mampu berpikir secara
keseluruhan, mampu mengenali emosi diri sendiri dan orang lain serta tahu
bagaimana harus mengekspresikannya secara tepat. Lalu dilanjutkan oleh Salovey
dalam Goleman (2007) yang menempatkan kecerdasan emosional dalam lima
wilayah utama, yakni, kemampuan untuk mengenal emosi dirinya, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina
hubungan dengan orang lain.
Goleman (2005) menyatakan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengenal perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain agar dapat memotivasi diri
dan mengelola emosi yang terdapat dalam diri sendiri dan orang lain secara
efektif. Lalu dilanjutkan oleh Goleman & Boyatzis (2005) dengan menempatkan
kecerdasan emosional dalam empat kompetensi yang dirangkum dalam Emotional
38
Competence Inventory (ECI), yakni, kemampuan dalam kesadaran diri, mengelola
diri, kesadaran sosial, dan membina hubungan.
Namun dikarenakan masa remaja merupakan masa badai dan tekanan, yaitu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sehingga remaja mengalami
ketidakstabilan emosi yang menyebabkan emosi pada masa remaja menjadi
mudah terangsang dan cenderung meledak-ledak (Hurlock, 1980). Ketidakstabilan
emosi tersebut dapat menimbulkan konflik dan gangguan emosional yang
berkaitan dengan diri sendiri maupun orang lain serta kegagalan-kegagalan dalam
menjalin kehidupan.
Pada saat remaja masuk ke dalam suatu lingkungan tertentu, remaja akan
dihadapkan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan harapan
lingkungannya yaitu penyesuaian sosial, termasuk penyesuaian sosial di kampus.
Remaja dihadapkan pada tuntutan untuk menghargai dan mau menerima otoritas
kampus, tertarik dan berpartisipasi dalam kegiatan kampus, mempunyai hubungan
sosial yang sehat, bersahabat dengan teman, dosen dan unsur-unsur kampus
lainnya, menerima batasan dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, serta
membantu kampus mencapai tujuan intrinsik dan ekstrinsik.
Hurlock (1980) mengatakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa
remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Masih
terdapat remaja yang memiliki ketidakstabilan emosi, berperilaku tidak sesuai
harapan, kurang berempati, dan sukar membina hubungan yang baik dengan orang
lain. Apabila remaja memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya dengan
baik maka ia akan mampu menyesuaikan diri dan bertingkah laku sesuai dengan
39
tuntutan dan harapan kampus. Sebaliknya, remaja yang tidak mampu
menyesuaikan diri dan bertingkah laku sesuai dengan tuntutan dan harapan
kampus dapat diartikan remaja tersebut kurang mampu dalam mengelola
emosinya. Sebagai gambaran untuk memperjelas kerangka berpikir yang telah
diuraikan dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
Remaja
Karakteristik Emosi Remaja:
1. Tidak stabil
2. Berubah-ubah
3. Sangat kuat
4. Tidak terkendali
5. Tidak rasional
Kecerdasan Emosional:
1. Kesadaran diri
2. Pengaturan diri
3. Kesadaan sosial
4. Pengaturan hubungan
Penyesuaian Sosial di Kampus
Baik
Buruk
Download