BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian perlindungan konsumen, konsumen dan pelaku usaha menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pasal 1 angka 2 pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum republik indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelengggarakan kegitan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam Undang- undang tersebut dijelaskan yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,pedagang,distributor dan lain-lain.9 2.1.1 Tanggung jawab pelaku usaha Tanggung jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus 9 Celina Tri Siwi Kristiyanti.2008.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.hlm 41 10 10 umum bahasa indonesia adalah berkewajiban menanggung,memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadarankan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.10 Teori hukum Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/ berlawanan hukum. Sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. 11 2.1.2 Tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dijelaskan sebagai berikut 12: 10 BagusArifAndrian2011Manusiadantanggungjawab(online)http://baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20/manu sia-dan-tanggung-jawab/hlm1 11 Anonim.2011.TeoriHansKelsenMengenaiPertanggungjawaban(Online(http://tyokronisilicus.wordpress.com/2011/11/04/ teori-hans-kelsen-mengenai pertanggung jawaban hukum) hlm 1 12 M. Sadar, Moh.Taufik Makaro & Habloel Mahawi, 2012: Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta: Akademia. Hlm 65 11 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7(tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) jelas bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi13 : 1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; 2. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran; dan 3. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen. 13 Ahmadi Miru dan Sutarman.2004. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hlm 126 12 Dalam Undang- undang perlindungan konsumen pelaku usaha untuk dapat dibebaskan dalam memberikan ganti rugi apabila pelaku usaha dapat membuktikan kalau kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen (Pasal 19 ayat (5)). Selain itu, pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila14: a. Barang terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; c. Bahwa produk tersebut tidak di buat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan mendapatkan keuntungan dalam rangka bisnis d. Kelalaian yang di akibatkan oleh konsumen; e. Lewatnya waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan(Pasal 27). Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang perlindungan konsumen memiliki kelemahan yang bersifatnya merugikan konsumen, dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian berdasarkan harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Untuk itu seharusnya Pasal 19 ayat (2) dapat menentukan ganti kerugian dapat berupa pengembalian uang dan/atau penggantian barang yang setara nilainya 14 Celina Tri Siwi Kristiyanti. Op.cit hlm 109 13 dan/atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan dapat diberikan sekaligus kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk. berarti, dapat dirumusan antara kata “setara nilainya” dengan “ perawatan kesehatan” di dalam Pasal 19 ayat (2) yang ada sekarang tidak lagi menggunakan kata “atau” melainkan “dan/atau”. Melalui perubahan seperti ini, kalau kerugian itu menyebabkan sakitnya konsumen, maka selain mendapat penggantian harga barang juga mendapat perawatan kesehatan.15 Kelemahan yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (3) dimana ditententukan bahwa pemberian ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila ketentuan ini dipertahankan, maka konsumen yang mengonsumsi barang yang telah melewati batasan hari transaksi sebagaimana yang telah ditentukan tidak akan mendapatkan penggantian kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. Oleh karena itu, agar undang-undang perlindungan konsumen ini dapat memberikan perlindungan yang maksimal tanpa mengabaikan kepentingan konsumen, maka seharusnya Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti kerugian kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7 (tujuh) hari setelah transaksi seperti rumusan yang ada sekarang.16 15 16 Ahmadi Miru dan Sutarman.2004. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hlm 126 Ibid hlm 127 14 2.1.3 Hak dan kewajiban pelaku usaha Untuk mendapatkan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan untuk keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen.17 2.1.3.1 Hak-hak pelaku usaha dalam Pasal 6 undang-undang perlindungan konsumen sebagai berikut : 1. Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan . 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tindakan konsumen yang tidah beritika baik. 3. Hak untuk pemulihan nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperjualbelikan . 4. Hak untuk melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya 2.1.3.2 Kewajiban pelaku usaha dalan Pasal 6 undang-undang perlindungan konsumen sebagai berikut : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya . 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa . 3. Melayani konsumen secara tidak diskriminasi . 4. Menjamin mutu barang atau jasa yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu barang yang berlaku . 17 Happy Susanto. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia hlm 34 15 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang tertentu serta memberikan jaminan atau garansi barang yang diperdagangkan . 6. Memberi kompensasi ganti rugi apabila baran dn jasa yang diterim tidak sesuai dengan perjanjian. Sebagaimana mestinya, seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan perihal memproduksi dan mengedarkan pangan yang baik bagi kesehatan. Kewajiban produsen/pelaku usaha, antara lain adalah kewajiban berhati-hati (duty of care) dalam melakukan produksi dan mengedarkan makanan.18 Untuk memperoleh haknya dan menuntut tanggung jawab dari konsumen untuk memberikan ganti rugi kadang konsumen terkendala dengan adanya pencantuman klausula baku yang memuat penolakan pengembalian barang yang telah dibeli oleh karena itu dalam undang-undang perlindungan konsumen telah diatur mengenai pencantuman klausula baku pada Pasal 18 adapun ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila; a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen; 18 Janus Sidabalok. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.hlm 131 16 c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang di bayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jaul beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,tambahan,lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. 17 (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentang dengan undang-undang ini. 2.2 Pertanggungjawaban pelaku usaha dalam KUH Perdata Setiap tuntutan hukum mengenai pertanggungjawaban mempunyai dasar, yakni suatu sebab mengapa orang tersebut harus bertanggungjawab. Dasar pertanggungjawaban itu dalam hukum perdata adalah kesalahan dan resiko dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis Pertanggungjawaban berkaitan dengan hubungan hukum antara pihak yang di tuntut untuk bertanggungjawab dengan pihk yang menuntut pertanggungjawaban . Oleh karena itu dasarkan peristiwa hukum atau hubungan hukum yang ada dapat dibedakan sebagai berikut:19 1) Pertanggungjawab atas dasar kesalahan yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbutan melawan hukum, tindakan kurang hati-hati 2) Pertanggungjawab atas dasar resiko, yaitu tanggungjawab yang harus di pikul sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. 2.2.1 Pertanggungjawaban produk( product liability) Jika tidak terdapat hubungan perjanjian sebagai mana dalam buku 3 KUHPerdata (no privity of contract) antar pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability (Pertanggungjawaban Produk), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung/mutlak (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami 19 Ibid hlm 102 18 konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan ataupun yang diedarkannya. 2.2.1.1 Tanggung Jawab Pembayaran Ganti Rugi Secara umum, tuntutan ganti kerugian akibat penggunaan produk yang merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun kesehatan, didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, secara garis besarnya dapat dikategori, yaitu tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata.20 Dasar tuntutan ganti kerugian ini dibahas secara khusus dibawah ini: 2.2.1.2 Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi (Breach of Warranty) Tanggung jawab produsen/pelaku usaha berdasarkan wanprestasi juga merupakan bagian dari tanggung jawab kontrak (contractual liability). Dengan demikian, suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, maka konsumen melihat isi kontrak, baik tertulis maupun tidak tertulis.21 Keuntungan konsumen berdasarkan teori ini penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak (Strict Obligation), yaitu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah yang telah dilakukan pelaku usaha untuk memenuhi janjinya. Artinya, walaupun pelaku usaha telah berupaya memenuhi kewajibannya dan janjinya, tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka pelaku usaha tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian, Namun kelemahan teori ini dalam perlindungan hukum bagi kepentingan konsumen, yaitu pembatasan waktu 20 21 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo.2004.op.cit. hlm 127 Zulham.2013. Hukum perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 92 19 gugatan, persyaratan pemberitahuan, kemungkinan adanya bantahan(disclainer), dan persyaratan hubungan kontrak. Gugatan berdasarkan breach of warranty sesungguhnya dapat diterima walaupun tanpa hubungan kontrak, dengan pertimbangan bahwa dalam praktik bisnis modern, proses distribusi dan iklan langsung ditujukan pada masyarakat (konsumen) melalui media massa. Dengan demikian, tidak perlu ada hubungan kontrak yang mengikat antara produsen dankonsumen. Kewajiban membayar ganti rugi dalam tanggung jawab berdasarkan wanprestasi merupakan akibat penerapan klausula baku dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum bagi para pihak (produsen dan konsumen), yang secara suka rela mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.22 Dasar aturannya Pasal 1233 KUHPerdata, tiap perikatan lahir karena persetujuan dan undang-undang. Hubungan produsen/pelaku usaha dengan pembeli timbul karena kesepakatan. Dimana berawal dari tawar-menawar sampai timbul kesepakatan dalam transaksi dapat dikategorikan suatu perjanjian . Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan untuk sah suatu perjanjian harus memenuhi: 1) kata sepakat/konsensus. 2) kecakapan (dewasa, tidak sakit ingatan) untuk membuat perikatan. 3) mengenai hal atau objek tertentu. 4) adanya dasar/sebab yang halal Dengan dibelinya produk barang yang dipasarkan, itu berarti secara terang-terang maupun diam-diam, pelaku usaha sepakat dengan konsumen, bahwa 22 Ibid hlm 93 20 barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Di sisi lain, tidak boleh ada pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan produsen/penjual terhadap konsumen. Apabila ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (pelaku usaha dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.23 Pemberian ganti rugi karena wanprestasi merupakan akibat tidak terpenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/ garansi dalam perjanjian. Dalam tanggung gugatan berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk memberikan ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausa dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan pemberian ganti kerugian dan besarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada konsumen yang dirugikan, melainkan kedua belah pihak antara pelaku usaha dan konsumen yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai undang-undang mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata).24 23 24 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo .loc.cit hlm 127 Ibid hlm 129 21 2.2.1.3 Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum 2.2.1.3.1 Perbuatan Melanggar Hukum Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbutan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 unsur pokok, yaitu :25 1. Adanya perbuatan melanggar hukum 2. Adanya unsur kesalahan, 3. Adanya kerugian yang diderita, 4. Ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian 2.2.1.3.2 Kerugian Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat di kategorikan atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa harta benda seseorang dan kerugian yang menimpa diri(fisik). Sedangkan kerugian harta benda dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.26 Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ganti kerugian hanya berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang sejenis atau nilainya setara dengan harga barang, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.27 2.2.1.3.3 Hubungan Sebab Akibat Hubungan sebab akibat atau kausalitas, dikenal teori adequat pertama kali diajukan oleh Paul Scholten pada tahun 1902 ini mengandung pengertian “apa 25 Ibid hlm 130 26 Ahmadi Miru.2011. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers hlm 78 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo .op.cit hlm136 27 22 yang diperkirakan sebelumnya atau “akibat yang menurut akal sehat diharapkan dapat timbul dari suatu perbuatan“ teori ini dipahami di Indonesia adalah bahwa akibat tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan, yakni yang dapat menimbulkan akibat itu karena teori adequat diartikan sebagai penyebab yang wajar dapat diduga menimbulkan akibat.28 2.2.1.3.4 Kesalahan Berdasarkan Pasal 1365 B.W salah satu syarat yang dibebankan kepada tergugat dengan pertangungjawaban berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur yaitu : 1. Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan ; 2. Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya ; a. Dalam arti objektif : sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya; b. Dalam arti subjektif : sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya; 3. Dapat dipertanggungjawabkan : debitur dalam keadaan cakap. Jadi dapat di simpulkan Pasal 1365 B.W(KUHPerdata) secara nyata menghendaki adanya kesalahan.29 2.2.1.4 Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pembentukan prinsip tanggung jawab mutlak merupakan hasil akhir dari perkembangan hukum yang terjadi secara bertahap. Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan sistem tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan produsen, yakni menerapkan tanggung jawab kepada penjual produk yang cacat tanpa ada bagi konsumen atau pihak yang dirugikan untuk membuktikan 28 29 Ibid.hlm 136 Ibid. hlm 140 23 kesalahan tersebut. Prinsip tanggung jawab mutlak dinilai lebih responsif terhadap kepentingan konsumen dibanding dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence) dan wanprestasi(breach of warranty)30 Penerapan strict liability tersebut didasarkan pada alasan bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat. Maka penerapan strict liability terhadap pelaku usaha tentu saja membeerikan perlindungan kepada konsumen, karena tidak dibebani untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha akibat penggunaan suatu produk31. 2.2.1.4.1 Pembalikan beban pembuktian dan Strict Liability Pembalikan beban pembuktian merupakan salah satu pemberdayaan konsumen terutama jika terjadi kerugian penggunaan produk, karena sekalipun tanggung gugat berdasarkan kesalahan, namun pihak penggugat (konsumen) tidak lagi dibebani untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha, melainkan pelaku usaha yang harus membuktikan ketidaksalahannya. Hal ini berarti bahwa apabila tidak mampu membuktikan ketidaksalahannya, maka dengan sendirinya dianggap bersalah, sehingga bertanggung gugat untuk membayar ganti kerugian yang ditimbulkan oleh produknya.32 Pengaturan tentang pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan suatu langkah maju dibanding dengan ketentuan beban pembuktian sebelumnya, yang membebankan kepada konsumen 30 31 32 Zulham.2013. op.cit hlm 96 Ibid hlm 99 Ahmadi Miru.2011.op.cit hlm.123 24 untuk kesalahan produsen. Namun, langkah ini akan lebih maju lagi seandainya diberlakukan tanggung gugat resiko atau strict liability.33 Walaupun penerapan strict liability dalam kasus perlindungan konsumen dianggap lebih maju daripada tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian namun apabila dikaji secara seksama, maka penerapan tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian tidak berbeda dengan strict liability dengan beberapa pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menentukan diterapkan tanggung gugat mutlak atas kerugian yang ditimbulkan oleh usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan bahaya dan beracun atau menghasilkan limbah berbahaya dan beracun. Penanggung jawab usaha/kegiatan tersebut dibebaskan dari pembayaran ganti rugi hanya jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh:34 a) Adanya bencana alam atau peperangan; atau b) Adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau c) Adanya tindak pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan. Dengan prinsip tangung jawab mutlak(strict liability) kewajiban produsen untuk mengganti membayar ganti rugi yang di akibatkan mengkonsumsi produk yang cacat merupakansuatu resiko, yaitu termasuk dalam resiko usaha. Oleh 33 34 Ibid hlm 124 Ibid hlm 124 25 karena itu pelaku usaha harus berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.35 Persamaan tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian dengan stict liability tersebut, karena pihak yang digugat masingmasing dapat bebas tanggung gugat mana kala dia dapat membuktikan bahwa kerugian yang dialami oleh penggugat (konsumen) bukan karena kesalahannya. Perbedaannya, karena pada stict liability, tergugat bertanggung gugat bilamana terjadi kerugian, sedangkan pada tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian hanya dianggap bersalah manakala timbul kerugian, akan baik pada tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian maupun stict liability, pihak tergugat dapat bebas dalam pembayaran ganti kerugian jika dapat membuktikan hal tertentu, yang pada umumnya merupakan alasan pembenaran.36 2.3 Penyelesaia Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada dua cara dalam penyelesaian sengketa konsumen yaitu penyelesaian melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pasal 45 Ayat(1):37 Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum 35 Janus Sidabalok. Op.cit.hlm 117 36 Ahmadi Miru. Op.cit. hlm 125 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 37 26 Untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dijelaskan pada Pasal 47 UUPK yakni sebagai berikut:38 Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau akan terulang kembali kerugian atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan di tempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika 2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen(BPSK) Dengan demikian, terbuka tiga cara untuk menyelesaiakan sengketa konsumen, yaitu: 1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan 2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika 3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen(BPSK) 2.3.1 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Ketentuan mengenai Badan penyelesaian Sengketa Konsumen di jelaskan pada Pasal 49 undang-undang perlindungan konsumen sebagai berikut: (1) Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan 38 Ibid 27 (2) Untuk dapat di angkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga negara Republik Indonesia b. Berbadan sehat c. Berkelakuan baik d. Tidak penah dihukum karena kejahatan e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen f. Berusia sekurang-kurangnya 30 tiga (tiga puluh tahun) (3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. (4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya tiga (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. (5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ditetapkan oleh menteri.