BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian perlindungan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian perlindungan konsumen, konsumen dan pelaku usaha
menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Pasal 1 angka 1 pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen.
Pasal 1 angka 2 pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga,
orang
lain,
maupun
makhluk
hidup
lain
dan
tidak
untuk
diperdagangkan.
Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 pengertian pelaku usaha adalah setiap
orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum republik indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelengggarakan kegitan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dalam Undang- undang tersebut dijelaskan yang termasuk dalam pelaku usaha
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,pedagang,distributor dan
lain-lain.9
2.1.1 Tanggung jawab pelaku usaha
Tanggung jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib
menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus
9
Celina Tri Siwi Kristiyanti.2008.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.hlm 41
10
10
umum bahasa indonesia adalah berkewajiban menanggung,memikul, menanggung
segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran
manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak
di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan
kesadarankan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah
menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani dengan tanggung
jawab, apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul
sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri
manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari
akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain
memerlukan pengadilan atau pengorbanan.10
Teori hukum
Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep
kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang
yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/ berlawanan
hukum. Sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang
tersebut bertanggungjawab. 11
2.1.2
Tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dijelaskan sebagai berikut 12:
10
BagusArifAndrian2011Manusiadantanggungjawab(online)http://baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20/manu
sia-dan-tanggung-jawab/hlm1
11
Anonim.2011.TeoriHansKelsenMengenaiPertanggungjawaban(Online(http://tyokronisilicus.wordpress.com/2011/11/04/
teori-hans-kelsen-mengenai pertanggung jawaban hukum) hlm 1
12
M. Sadar, Moh.Taufik Makaro & Habloel Mahawi, 2012: Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta:
Akademia. Hlm 65
11
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa
pengembalian atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7(tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) jelas
bahwa tanggung jawab
pelaku usaha, meliputi13 :
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
2. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran; dan
3. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen.
13
Ahmadi Miru dan Sutarman.2004. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hlm 126
12
Dalam Undang- undang perlindungan konsumen pelaku usaha untuk
dapat
dibebaskan dalam memberikan ganti rugi apabila pelaku usaha dapat
membuktikan kalau kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen (Pasal
19 ayat (5)). Selain itu, pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila14:
a. Barang terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. Bahwa produk tersebut tidak di buat oleh produsen baik untuk dijual atau
diedarkan untuk tujuan mendapatkan keuntungan dalam rangka bisnis
d. Kelalaian yang di akibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan(Pasal 27).
Memperhatikan substansi
ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang
perlindungan konsumen memiliki kelemahan yang bersifatnya merugikan
konsumen, dalam
hal konsumen menderita suatu
penyakit. Melalui pasal
tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian
yaitu ganti kerugian berdasarkan harga barang atau hanya berupa perawatan
kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas
harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan.
Untuk itu seharusnya Pasal 19 ayat (2) dapat menentukan ganti kerugian dapat
berupa pengembalian uang dan/atau penggantian barang yang setara nilainya
14
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Op.cit hlm 109
13
dan/atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan dapat diberikan
sekaligus kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi
suatu produk. berarti, dapat dirumusan antara kata “setara nilainya” dengan “
perawatan kesehatan” di dalam Pasal 19 ayat (2) yang ada sekarang tidak lagi
menggunakan kata “atau” melainkan “dan/atau”. Melalui perubahan seperti ini,
kalau kerugian itu menyebabkan sakitnya konsumen, maka selain mendapat
penggantian harga barang juga mendapat perawatan kesehatan.15
Kelemahan yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen yaitu
ketentuan Pasal 19 ayat (3) dimana ditententukan bahwa pemberian ganti kerugian
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila ketentuan ini
dipertahankan, maka konsumen yang mengonsumsi barang yang telah melewati
batasan hari transaksi sebagaimana yang telah ditentukan tidak akan
mendapatkan penggantian kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata
konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. Oleh karena itu, agar
undang-undang perlindungan
konsumen ini dapat memberikan perlindungan
yang maksimal tanpa mengabaikan kepentingan konsumen, maka seharusnya
Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti kerugian
kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7
(tujuh) hari setelah transaksi seperti rumusan yang ada sekarang.16
15
16
Ahmadi Miru dan Sutarman.2004. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hlm 126
Ibid hlm 127
14
2.1.3 Hak dan kewajiban pelaku usaha
Untuk mendapatkan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan untuk
keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen.17
2.1.3.1 Hak-hak pelaku usaha dalam Pasal 6 undang-undang perlindungan
konsumen sebagai berikut :
1. Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan .
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tindakan konsumen
yang tidah beritika baik.
3. Hak untuk pemulihan nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang
diperjualbelikan .
4. Hak untuk melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya
2.1.3.2 Kewajiban pelaku usaha dalan Pasal 6 undang-undang perlindungan
konsumen sebagai berikut :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya .
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa .
3. Melayani konsumen secara tidak diskriminasi .
4. Menjamin mutu barang atau jasa yang diperdagangkan sesuai dengan
standar mutu barang yang berlaku .
17
Happy Susanto. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia hlm 34
15
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba
barang tertentu serta memberikan jaminan atau garansi barang yang
diperdagangkan .
6. Memberi kompensasi ganti rugi apabila baran dn jasa yang diterim tidak
sesuai dengan perjanjian.
Sebagaimana mestinya, seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan perihal memproduksi dan mengedarkan pangan yang baik bagi
kesehatan. Kewajiban produsen/pelaku usaha, antara lain adalah kewajiban
berhati-hati (duty of care) dalam melakukan produksi dan mengedarkan
makanan.18
Untuk memperoleh haknya dan menuntut tanggung jawab dari konsumen
untuk memberikan ganti rugi kadang konsumen terkendala dengan adanya
pencantuman klausula baku yang memuat penolakan pengembalian barang yang
telah dibeli oleh karena itu dalam undang-undang perlindungan konsumen telah
diatur mengenai pencantuman klausula baku pada Pasal 18 adapun ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila;
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan
kembali barang yang dibeli konsumen;
18
Janus Sidabalok. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.hlm 131
16
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang di bayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jaul beli
jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru,tambahan,lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat
sepihak
oleh
pelaku
usaha
dalam
masa
konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
mengungkapkannya sulit dimengerti.
17
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentang dengan
undang-undang ini.
2.2 Pertanggungjawaban pelaku usaha dalam KUH Perdata
Setiap tuntutan hukum mengenai pertanggungjawaban mempunyai dasar,
yakni suatu sebab mengapa orang tersebut harus bertanggungjawab. Dasar
pertanggungjawaban itu dalam hukum perdata adalah kesalahan dan resiko dalam
setiap peristiwa hukum. Secara teoritis Pertanggungjawaban berkaitan dengan
hubungan hukum antara pihak yang di tuntut untuk bertanggungjawab dengan
pihk yang menuntut pertanggungjawaban . Oleh karena itu dasarkan peristiwa
hukum atau hubungan hukum yang ada dapat dibedakan sebagai berikut:19
1) Pertanggungjawab atas dasar kesalahan yang dapat lahir karena terjadinya
wanprestasi, timbulnya perbutan melawan hukum, tindakan kurang hati-hati
2) Pertanggungjawab atas dasar resiko, yaitu tanggungjawab yang harus di
pikul sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan
usahanya.
2.2.1
Pertanggungjawaban produk( product liability)
Jika tidak terdapat hubungan perjanjian sebagai mana dalam buku 3
KUHPerdata (no privity of contract) antar pelaku usaha dengan konsumen,
maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability
(Pertanggungjawaban
Produk),
yaitu
tanggung
jawab
perdata
secara
langsung/mutlak (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
19
Ibid hlm 102
18
konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan ataupun yang
diedarkannya.
2.2.1.1 Tanggung Jawab Pembayaran Ganti Rugi
Secara umum, tuntutan ganti kerugian akibat penggunaan produk yang
merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun kesehatan,
didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, secara garis besarnya
dapat dikategori, yaitu tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi dan tuntutan
ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melawan hukum pasal 1365
KUHPerdata.20
Dasar tuntutan ganti kerugian ini dibahas secara khusus dibawah ini:
2.2.1.2 Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi (Breach of Warranty)
Tanggung jawab produsen/pelaku usaha berdasarkan wanprestasi juga
merupakan bagian dari tanggung jawab kontrak (contractual liability). Dengan
demikian, suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, maka konsumen
melihat isi kontrak, baik tertulis maupun tidak tertulis.21
Keuntungan konsumen berdasarkan teori ini penerapan kewajiban yang sifatnya
mutlak (Strict Obligation), yaitu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya
yang telah yang telah dilakukan pelaku usaha untuk memenuhi janjinya. Artinya,
walaupun pelaku usaha telah berupaya memenuhi kewajibannya dan janjinya,
tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka pelaku usaha tetap dibebani
tanggung jawab untuk mengganti kerugian, Namun kelemahan teori ini dalam
perlindungan hukum bagi kepentingan konsumen, yaitu pembatasan waktu
20
21
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo.2004.op.cit. hlm 127
Zulham.2013. Hukum perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 92
19
gugatan, persyaratan pemberitahuan, kemungkinan adanya bantahan(disclainer),
dan persyaratan hubungan kontrak.
Gugatan berdasarkan breach of warranty sesungguhnya dapat diterima
walaupun tanpa hubungan kontrak, dengan pertimbangan bahwa dalam praktik
bisnis modern, proses distribusi dan iklan langsung ditujukan pada masyarakat
(konsumen) melalui media massa. Dengan demikian, tidak perlu ada hubungan
kontrak yang mengikat antara produsen dankonsumen.
Kewajiban membayar ganti rugi dalam tanggung jawab berdasarkan
wanprestasi merupakan akibat penerapan klausula baku dalam perjanjian, yang
merupakan ketentuan hukum bagi para pihak (produsen dan konsumen), yang
secara suka rela mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.22
Dasar aturannya
Pasal 1233 KUHPerdata, tiap perikatan lahir karena
persetujuan dan undang-undang. Hubungan produsen/pelaku usaha dengan
pembeli timbul karena kesepakatan. Dimana berawal dari tawar-menawar sampai
timbul kesepakatan dalam transaksi dapat dikategorikan suatu perjanjian . Pasal
1320 KUHPerdata mensyaratkan untuk sah suatu perjanjian harus memenuhi:
1) kata sepakat/konsensus.
2) kecakapan (dewasa, tidak sakit ingatan) untuk membuat perikatan.
3) mengenai hal atau objek tertentu.
4) adanya dasar/sebab yang halal
Dengan dibelinya produk barang yang dipasarkan, itu berarti secara
terang-terang maupun diam-diam, pelaku usaha sepakat dengan konsumen, bahwa
22
Ibid hlm 93
20
barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Di sisi lain, tidak boleh ada
pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan produsen/penjual terhadap konsumen.
Apabila ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu
tergugat dengan penggugat (pelaku usaha dengan konsumen) terikat suatu
perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian)
yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.23
Pemberian ganti rugi karena wanprestasi merupakan akibat tidak terpenuhinya
kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi
utama atau kewajiban jaminan/ garansi dalam perjanjian. Dalam tanggung
gugatan berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk memberikan ganti
kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausa dalam perjanjian, yang
merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk
berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang
menentukan pemberian ganti kerugian dan besarnya ganti kerugian yang harus
diberikan kepada konsumen yang dirugikan, melainkan kedua belah pihak antara
pelaku usaha dan konsumen yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya
ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut,
mengikat sebagai undang-undang mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH
Perdata).24
23
24
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo .loc.cit hlm 127
Ibid hlm 129
21
2.2.1.3 Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum
2.2.1.3.1
Perbuatan Melanggar Hukum
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus
merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUH Perdata, yang
lazim dikenal sebagai pasal tentang perbutan melawan hukum, mengharuskan
terpenuhinya 4 unsur pokok, yaitu :25
1. Adanya perbuatan melanggar hukum
2. Adanya unsur kesalahan,
3. Adanya kerugian yang diderita,
4. Ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
2.2.1.3.2
Kerugian
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat di kategorikan atas
dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa harta benda seseorang dan kerugian
yang menimpa diri(fisik). Sedangkan kerugian harta benda dapat berupa kerugian
nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.26
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ganti kerugian hanya
berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang sejenis atau nilainya
setara dengan harga barang, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.27
2.2.1.3.3
Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat atau kausalitas, dikenal teori adequat pertama kali
diajukan oleh Paul Scholten pada tahun 1902 ini mengandung pengertian “apa
25
Ibid hlm 130
26
Ahmadi Miru.2011. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers hlm 78
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo .op.cit hlm136
27
22
yang diperkirakan sebelumnya atau “akibat yang menurut akal sehat diharapkan
dapat timbul dari suatu perbuatan“ teori ini dipahami di Indonesia adalah bahwa
akibat tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan, yakni yang
dapat menimbulkan akibat itu karena teori adequat diartikan sebagai penyebab
yang wajar dapat diduga menimbulkan akibat.28
2.2.1.3.4
Kesalahan
Berdasarkan Pasal 1365 B.W salah satu syarat yang dibebankan kepada
tergugat dengan pertangungjawaban berdasarkan perbuatan melanggar hukum
adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan ;
2. Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya ;
a. Dalam arti objektif : sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;
b. Dalam arti subjektif : sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;
3. Dapat dipertanggungjawabkan : debitur dalam keadaan cakap.
Jadi dapat di simpulkan Pasal 1365 B.W(KUHPerdata) secara nyata
menghendaki adanya kesalahan.29
2.2.1.4 Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Pembentukan prinsip tanggung jawab mutlak merupakan hasil akhir dari
perkembangan hukum yang terjadi secara bertahap. Prinsip tanggung jawab
mutlak merupakan sistem tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan
produsen, yakni menerapkan tanggung jawab kepada penjual produk yang
cacat tanpa ada bagi konsumen atau pihak yang dirugikan untuk membuktikan
28
29
Ibid.hlm 136
Ibid. hlm 140
23
kesalahan tersebut. Prinsip tanggung jawab mutlak dinilai lebih responsif terhadap
kepentingan konsumen dibanding dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian/kesalahan (negligence) dan wanprestasi(breach of warranty)30
Penerapan strict liability tersebut didasarkan pada alasan bahwa konsumen
tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang
disebabkan oleh produk cacat. Maka penerapan strict liability terhadap pelaku
usaha tentu saja membeerikan perlindungan kepada konsumen, karena tidak
dibebani untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha akibat penggunaan suatu
produk31.
2.2.1.4.1
Pembalikan beban pembuktian dan Strict Liability
Pembalikan beban pembuktian merupakan salah satu pemberdayaan
konsumen terutama jika terjadi kerugian penggunaan produk, karena sekalipun
tanggung
gugat berdasarkan kesalahan, namun pihak penggugat (konsumen)
tidak lagi dibebani untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha, melainkan pelaku
usaha yang harus membuktikan ketidaksalahannya. Hal ini berarti bahwa apabila
tidak mampu membuktikan ketidaksalahannya, maka dengan sendirinya dianggap
bersalah, sehingga bertanggung gugat untuk membayar ganti kerugian yang
ditimbulkan oleh produknya.32
Pengaturan tentang pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen merupakan suatu langkah maju dibanding dengan
ketentuan beban pembuktian sebelumnya, yang membebankan kepada konsumen
30
31
32
Zulham.2013. op.cit hlm 96
Ibid hlm 99
Ahmadi Miru.2011.op.cit hlm.123
24
untuk kesalahan produsen. Namun, langkah ini akan lebih maju lagi seandainya
diberlakukan tanggung gugat resiko atau strict liability.33
Walaupun penerapan strict liability dalam kasus perlindungan konsumen
dianggap lebih maju daripada tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan
pembalikan beban pembuktian namun apabila dikaji secara seksama, maka
penerapan tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan
beban
pembuktian tidak berbeda dengan strict liability dengan beberapa pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menentukan diterapkan tanggung
gugat mutlak atas kerugian yang ditimbulkan oleh usaha/kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang
menggunakan bahan bahaya dan beracun atau menghasilkan limbah berbahaya
dan beracun. Penanggung jawab usaha/kegiatan tersebut dibebaskan dari
pembayaran ganti rugi hanya jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
disebabkan oleh:34
a) Adanya bencana alam atau peperangan; atau
b) Adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau
c) Adanya
tindak
pihak
ketiga
yang
menyebabkan
terjadinya
pencemaran/perusakan lingkungan.
Dengan prinsip tangung jawab mutlak(strict liability) kewajiban produsen
untuk mengganti membayar ganti rugi yang di akibatkan mengkonsumsi produk
yang cacat merupakansuatu resiko, yaitu termasuk dalam resiko usaha. Oleh
33
34
Ibid hlm 124
Ibid hlm 124
25
karena itu pelaku usaha harus berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan
keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.35
Persamaan tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban
pembuktian dengan stict liability tersebut, karena pihak yang digugat masingmasing dapat bebas tanggung gugat mana kala dia dapat membuktikan bahwa
kerugian yang dialami oleh penggugat (konsumen) bukan karena kesalahannya.
Perbedaannya, karena pada stict liability, tergugat bertanggung gugat bilamana
terjadi kerugian, sedangkan pada tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan
pembalikan beban pembuktian hanya dianggap bersalah manakala timbul
kerugian, akan baik pada tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan
pembalikan beban pembuktian maupun stict liability, pihak tergugat dapat bebas
dalam pembayaran ganti kerugian jika dapat membuktikan hal tertentu, yang pada
umumnya merupakan alasan pembenaran.36
2.3
Penyelesaia Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada dua cara dalam
penyelesaian sengketa konsumen yaitu penyelesaian melalui pengadilan dan
penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Pasal 45 Ayat(1):37
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan
umum
35
Janus Sidabalok. Op.cit.hlm 117
36
Ahmadi Miru. Op.cit. hlm 125
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
37
26
Untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dijelaskan pada
Pasal 47 UUPK yakni sebagai berikut:38
Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau
akan terulang kembali kerugian atau tidak akan terulang kembali kerugian
yang diderita oleh konsumen.
Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut, penyelesaian sengketa konsumen diluar
pengadilan di tempuh dengan dua cara, yaitu:
1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika
2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen(BPSK)
Dengan demikian, terbuka tiga cara
untuk menyelesaiakan sengketa
konsumen, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika
3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen(BPSK)
2.3.1
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Ketentuan mengenai Badan penyelesaian Sengketa Konsumen di jelaskan
pada Pasal 49 undang-undang perlindungan konsumen sebagai berikut:
(1) Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di
daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan
38
Ibid
27
(2) Untuk dapat di angkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, Seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga negara Republik Indonesia
b. Berbadan sehat
c. Berkelakuan baik
d. Tidak penah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan
konsumen
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 tiga (tiga puluh tahun)
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur
pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah
sedikit-dikitnya tiga (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen ditetapkan oleh menteri.
Download