BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN 2.1. Tanggung Jawab 2.1.1. Pengertian tanggung jawab Pengertian tanggung jawab sangat luas, menurut Peter Salim, pengertian tanggung jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga dalam arti accountability, responsibility, dan liability. Tanggung jawab dalam arti accountability biasanya berkaitan dengan keuangan atau pembukuan atau yang berkaitan dengan pembayaran. Disamping itu accountability dapat diartikan sebagai kepercayaan. Tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan sebagai ikut memikul beban, akibat suatu perbuatan. Tanggung jawab dalam arti responsibility juga dapat diartikan sebagai kewajiban memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan sebagai wajib menanggung segala sesuatunnya, jika terjadi apaapa dapat disalahkan, dituntut, dan diancam hukuman oleh penegak hukum di depan pengadilan, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggung jawab dalam arti liability dapat pula berarti menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas namanya. Tanggung 18 19 jawab liability dapat diartikan kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita20. 2.1.2. Prinsip-prinsip tanggung jawab Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting, dalam kasus-kasus pelanggaran. Diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup aman berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 1. adanya perbuatan; 2. adanya unsur kesalahan; 3. adanya kerugian yang diderita; 20 K. Martono, 2011, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 217 20 4. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) dan Pasal 1865 KUH Perdata, dikatakan bahwa barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio). Ketentuan di atas sesuai dengan teori umum dalam hukum acara, yaitu asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini adalah subjek pelaku kesalahan pada Pasal 1367 KUH Perdata. Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability. Vicarious liability (atau disebut juga respondeat superior, let the answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/ karyawan yang berada di bawah pengawasannya. Jika karyawan itu dipinjamkan ke pihak lain, maka tanggung jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi. Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Pada dasarnya, lembaga (korporasi) yang menaungi 21 suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Sebagai contoh, dalam hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien, semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga medik dan paramedik dokter adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (digaji oleh rumah sakit), tetapi untuk karyawan monorganik (misalnya dokter yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil). Jika suatu korporasi (misalnya rumah sakit) memberi kesan kepada masyarakat (pasien), orang yang bekerja di situ (dokter, perawat, dan lainlain) adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu wajib bertanggung jawab terhadap konsumennya. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi: a. pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya. b. pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. c. pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. d. pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik. 22 Dasar pemikiran dari teori beban pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat dengan kehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalah si tergugat. 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup tranksaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, Pasal 44 Ayat (2) terdapat penegasan, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak 23 pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada penumpang. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, terdapat pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam). Menurut R.C. Hoeber et.al., prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena, konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. 24 Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab iu dikenal sebagai Product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal: 1. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; 2. ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik; 3. menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Seperti dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab 25 ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. 2.2. Kerugian 2.2.1. Pengertian kerugian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian rugi adalah terjual di bawah modal, tidak mendapat laba, kurang dari modal, tidak mendapat manfaat, sesuatu yang kurang baik, sesuatu yang tidak menguntungkan. Pengertian kerugian adalah, menderita rugi dalam perihal rugi. Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati disebut wanprestasi dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi. Sedangkan pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain disebut perbuatan melanggar hukum, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Terdapat dua sebab ganti rugi yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan perbuatan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata dari Pasal 1243 KUH Perdata s.d. Pasal 1252 KUH Perdata. Ganti Rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti 26 rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi perbuatan melawan hukum timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian21. 2.2.2. Syarat-syarat penuntutan ganti kerugian Dalam sistem KUH Perdata, dikenal berbagai macam gugatan yang tidak dapat dicampur, dalam arti bahwa penggugat tidak cukup minta peradilan begitu saja, melainkan penggugat harus mengutarakan dan membuktikan suatu pelanggaran dari pasal tertentu dari Burgerlijk Wetboek atau Undang-Undang lain, dan harus juga menentukan dari segala apa yang penggugat minta, misalnya penyerahan sesuatu barang tertentu, penggantian kerugian berupa uang atau barang, pengosongan suatu bangunan. Dalam perkara perdata terdapat 3 macam gugatan yaitu, gugatan bersifat perseorangan, gugatan bersifat kebendaan, gugatan bersifat campuran. Gugatan yang bersifat perseorangan adalah berdasarkan atas suatu hak perikatan yang bersumber pada suatu penjualan maupun yang bersumber pada perbuatan perundang-undangan. Gugatan yang bersifat kebendaan adalah berupa penuntutan penyerahan barang harta benda, berdasarkan atas hak milik atau hak-hak kebendaan lain. Gugatan yang bersifat campuran seperti gugatan minta barang warisan (Pasal 834 KUH Perdata), gugatan untuk membagi barang warisan (Pasal 1066 KUH Perdata), gugatan untuk membagi barang-barang yang berkumpul menurut undang-undang (Pasal 128 KUH Perdata). Gugatan atas perbuatan 21 Salim H.S, op.cit., h.100 27 melanggar hukum termasuk gugatan-gugatan yang bersifat perseorangan, karena di dalam KUH Perdata gugatan ini berdasarkan atas perikatan. Hukum dalam perbuatan melawan hukum mengariskan hak-hak dan kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik kesalahan atau kelalaian atau melukai orang lain dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Pengertian melawan hukum mengandung pengertian yang sempit yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Untuk dapat melakukan penuntutan ganti kerugian secara perbuatan melawan hukum, harus memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUH Perdata seperti berikut: 1. Perbuatan Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama, dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat melakukannya). 2. Melawan hukum Perbuatan pada unsur pertama dikatakan memenuhi unsur kedua yaitu melawan hukum apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : 28 2.1 Bertentangan dengan hak subjektif orang lain Melanggar subjektif orang lain berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Sifat hakekat dari hak subjektif wewenang khususnya yang diberikan oleh hukum kepada seseorang yang memperolehnya demi kepentingannya. Hak subjektif dalam masyarakat dikenal sebagai: a) hak kebendaan yang absolut, misalnya hak milik; b) hak-hak pribadi, seperti hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa dan kehidupan, kebebasan pribadi, kehormatan, dan nama baik; c) hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati rumah oleh penyewa rumah. 2.2 Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku Hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang. Undang-undang adalah semua peraturan yang sah dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya ikat keluar. 2.3 Bertentangan dengan kesusilaan Kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial dalam masyarakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh anggota masyarakat sebagai/dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis. 2.4 Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak hanya mementingkan 29 kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat. Perbuatan yang termasuk dalam katagori bertentangan dengan kepatutan yaitu: a) perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak; b) perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan. 3. Kesalahan Unsur kesalahan pada suatu perbuatan tidak berbeda jauh dengan unsur melawan hukum, unsur kesalahan menekankan pada kombinasi antara kedua unsur dimana perbuatan (yang meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi karena perbuatannya yang salah. 4. Kerugian Unsur kerugian pada Pasal 1365 KUH Perdata menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti rugi. Berdasarkan Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”dalam menilai satu dan lain, hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”. Penentuan ganti kerugian berdasarkan 30 Pasal 1365 KUH Perdata menunjukkan segi-segi persamaan dengan penentuan ganti kerugian karena wanprestasi, tetapi juga dalam hal berbeda. Dalam undangundang tidak diatur tentang kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum, Pasal 1243 KUH Perdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena wanprestasi. Untuk penentuan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentuan tentang ganti kerugian karena wanprestasi. 5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian Unsur terakhir yaitu adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang diderita. Pada unsur ini kerugian yang diderita oleh korban haruslah benar-benar sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh akibat perbuatan lain. Terdapat dua ajaran teori yang berkaitan dengan hubungan kausal, yaitu: 22 1. teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri ). Inti dari ajaran teori ini yaitu, tiap-tiap masalah yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat, adalah sebab akibat. 2. teori Adaequate Veroorzaking (Von Kries). Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk menentukan perbuatan yang seimbang adalah perhitungan yang layak, yaitu menurut akal sehat patut dapat diduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat tertentu22. Rosa Agustina et. al., 2012, Hukum Perikatan, Cetakan Pertama, Pustaka Larasan, Denpasar, h. 6 31 2.3. Pengguna Jalan 2.3.1. Pengertian pengguna jalan Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengertian pengguna adalah orang yang menggunakan, pemakai. Pengertian jalan adalah tempat untuk lalu lintas orang atau kendaraan yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 27 UULLAJ “Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas”. Lalu lintas merupakan gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Pengguna jalan antara lain, pejalan kaki, pengguna kendaraan, dan pengemudi angkutan kota. 2.3.2. Resiko bagi pengguna jalan Pengertian resiko menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang kurang menyenangkan sebagai akibat dari perbuatan (tindakan). Manusia sebagai pengguna dapat berperan sebagai pengemudi atau pejalan kaki yang dalam keadaan normal mempunyai kemampuan dan kesiagaan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh keadaan fisik dan psikologi, umur serta jenis kelamin dan pengaruh-pengaruh luar seperti cuaca, penerangan atau lampu jalan dan tata ruang. Berikut ini resiko pengguna jalan saat berkendara di jalan raya: 1. mengemudikan kendaraan sambil menelepon Kebiasaan menggunakan handphone saat berkendara sangatlah berbahaya. Kebiasaan ini bisa mengakibatakan seseorang kehilangan konsentrasi saat berkendara. Sehingga tak jarang seseorang akan menimbulkan reaksi yang salah dan berbahaya saat terjadi hal-hal 32 tidak terduga di jalan raya. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UULLAJ yang menyatakan bahwa “setiap pengendara wajib berkendara dengan penuh konsentrasi dan secara wajar”. 2. kendaraan berbelok tidak menyalakan lampu sein Sering kali pengendara ketika berbelok kendaraannya tanpa lampu sein terlebih dahulu. Tentu saja tindakan memotong jalur atau berbelok tanpa memberi tanda isyarat sangat membahayakan dan mungkin menyebabkan kecelakaan. 3. menerobos lampu merah Lampu lalu lintas merupakan komponen yang sangat penting dalam pengaturan arus kendaraan di jalanan. Banyak kendaraan yang dengan leluasannya menerobos lampu merah, sehingga kejadian tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan bukan lagi sesuatu yang luar biasa. 4. tidak berkonsentrasi atau mabuk dalam mengemudi Miras merupakan suatu fenomena yang meresahkan akan mendorong perilaku menyimpang dan hal ini akan berdampak buruk pada keamanan masyarakat. Seorang pemabuk sering melakukan perbuatan yang membawa cidera pada orang lain dan dirinya sendiri. Terlebih pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk sering mengakibatkan banyak korban23. 23 Rinto Raharjo, 2014, Tertib Berlalu Lintas, Cetakan Pertama, Shafa Media, Yogyakarta, h. 49 33 2.3.3. Hak dan kewajiban pengguna jalan Hak dan kewajiban masyarakat berdasarkan Pasal 216 ayat (1) UULLAJ menyatakan bahwa, “masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan”. Ayat (2) menyatakan bahwa, “masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”. Pasal 217 UULLAJ menyatakan bahwa, “masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”.