BAB I. PENDAHULUAN A. LATARBELAKANG

advertisement
BAB I.
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Gelombang Tsunami di Aceh (2004) yang manandai pergeseran pada
sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya bukanlah
merupakan satu satunya faktor yang menyebabkan kebangkitan lokal di Aceh,
tetapi agenda ini juga merupakan akibat dari sejarah masa lalu Aceh, seperti
konflik GAM (1976), pemberontakan DI/TII (1953), hingga perang melawan
Belanda (1873). Bahkan lebih dari 130 tahun lamanya Aceh telah mengalami
masa-masa perang yang berkelanjutan, seperti
bentuk-bentuk
rebellion,
repression, termasuk mengalami tekanan-tekanan politik (Reid, 2007: 2)1. Sejarah
masa lalu Aceh sudah sepatutnya menjadi dasar pijakan dalam studi tentang
identitas keacehan secara umum. Sejalan dengan itu, mengidentifikasi setiap
perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Aceh belakangan menjadi hal
yang sangat penting, terutama tehun-tahun terakhir pasca tsunami.
Peristiwa tsunami yang melanda Aceh 26 Desembar 2004 silam telah
memporak-porandakan tidak kurang dari 236.116 jiwa manusia2. Tidak hanya
menelan ratusan ribu jiwa, ribuan sektor sosial (perumahan, pendidikan,
kesehatan, agama dan budaya), insfrastruktur seperti (transportasi, komunikasi, air
dan sanitasi) dan sektor-sektor produksi seperti (pertanian, perikanan industri dan
1
Menurut Anthony Reid, konflik Aceh atau masa krisis Aceh dimulai dari masa
penjajahan Portugis yaitu pada tahun 1521. Baca Anthony Reid. Verendah of Violence, the
Background of the Aceh Problem. Singgapure: NUS Press. 2007. Hal: 2
2
Data dikeluarkan oleh tim Satkorlak provinsi NAD (Serambi Indonesia, Sabtu 19
Februari 2005)
1
perdagangan)3 juga telah menjadi korban tsunami ini. Gempa dengan kekuatan 8,9
sekala richter ini tidak hanya melenyapkan meterial bangunan dan perumahan
penduduk serta fasilitas sosial yang lain tetapi juga hilangnya peluang ekonomi
dan luka mental yang diderita oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Belum lagi
proses recovery Aceh juga telah menyisakan berbagai persoalan identitas lokal
yang kompleks.
Aceh
sebagai
representasi
gejala
umum
kebencanaan,
memiliki
karakteristik yang berbeda dengan konteks sosial dan kultural di tempat lain.
Latarbelakang konflik GAM yang berkepanjangan juga menentukan bagaimana
masyarakat Aceh mendefinisikan hubungan-hubungan simbolik yang terus
menerus berkembang antara pengalaman masa lalu Aceh dengan masa pasca
tsunami. Bahkan Irwan Abdullah menegaskan bahwa perang dan konflik
bersenjata juga telah memecahbelah masyarakat dan melemahkan kelembagaankelembagaan tradisional yang menyebabkan tidak jelasnya sistem referensi nilai
dan tokoh, hingga melemahnya ikatan komunal secara sistematis (Abdullah,
2006). Dengan demikian persoalan Aceh telah menjangkau sampai pada batasbatas teritori kesejarahan, budaya, hingga persoalan masa depan Aceh yang kini
dapat dilihat melalui proses pembangunan Aceh .
Studi tentang konstruksi identitas keacehan setidaknya melibatkan tiga
unsur pentiing di atas, yaitu aspek kesejarahan, budaya, serta aspek strategis
sebagai bentuk perkembangan modernitas. Identitas merupakan suatu entitas yang
selalu melekat dalam setiap subjek yang menyertainya. Stuart Hall (1976)
mendefinisikan bahwa identitas bukanlah suatu tanda atau ciri yang bersifat
3
Sumber :Bappenas 2005
2
mutlak dan komplit/sempurna bahkan statis, tetapi ia akan selalu berubah dan
direproduksi setiap saat. Melalui teori inilah identitas kemudian menjadi suatu
yang berpeluang untuk dinegosiasikan, direkonstruksi, bahkan direproduksi. Oleh
karena itu, tesis mengenai tafsir atas kenyataan dunia sosial yang dirumuskan oleh
Berger dan Luckman (1966) dalam subjektifikasi, objektivasi, dan internalisasi
telah menandai terbukanya identitas akan proses-proses dialogis, negosiasi,
hingga bahkan identitas layak untuk direkonstruksi sepanjang zaman.
Apa yang terjadi di Aceh belakangan ini merupakan suatu gerakan budaya
yang menunjukkan upaya sistematis penggalian kekuatan-kekuatan dari dalam
untuk menciptakan tatanan Aceh baru yang lebih baik. Modal social (social
capital) Aceh merupakan entitas kebudayaan yang penting terutama dalam
meletakkan pondasi bagi pembangunan Aceh kedepan. Sebut saja seperti
mengaktifkan kembali ruang publik seperti Gampong, Meunasah, Dayah,
lembaga-lembaga adat, LSM lokal, termasuk juga ruang budaya seperti “Warung
kopi” di Aceh menjadi penting diidentifikasi sebagai peluang ruang publik yang
dinamis, dialogis, bahkan negosiatif. Dengan demikian perannya tidak saja
menjadi ajang kontestasi antar aktor dan agensi yang merepresentasi kekuatan dari
dalam, akan tetapi juga merepresentasi kekuatan dari luar yang ikut terlibat dalam
proses-proses pembangunan Aceh selama ini.
Bagi pandangan konstruktivis, sebagai suatu yang bersifat dinamis,
identitas lokal keacehan juga mengalami berbagai bentuk perkembangan, di mana
entitas yang dinilai sebagai suatu yang membedakan antara identitas satu dengan
yang lainnya dihadapkan dengan berbagai sentuhan budaya baik nasional, maupun
internasional. Oleh karena itu, asumsi tentang kompleksitas perubahan sosial pada
3
tingkat lokal telah menandai berbagai bentuk perubahan sosial di berbagai aspek
di Aceh, mulai dari persoalan budaya, ekonomi, politik, keamanan, sampai
persoalan disorientasi identitas lokal serta bahkan kearifan masyarakat setempat
yang mau tidak mau telah menjadi fakta sosial yang tak terbantahkan. Melalui
pergeseran identitas di beberapa tingkat ini persoalan kegelisahan empiris
masyarakat lokal mulai teridentifikasi secara jelas. Bahkan setidaknya telah
menyumbang konsekuensi-konsekuensi paradigmatik, termasuk mempertanyakan
otentisitas pandangan kelompok esensialisme dalam pemetaan teori identitas Hall
(1996)4.
Jika demikian faktanya, maka harus diakui bahwa di Aceh telah
mengalami perubahan struktur identitas lokal keacehan yang terakumulasi pada
perilaku sosial di beberapa tingkat, misalnya dari yang biasanya mengedepankan
aspek-aspek kebersamaan, kini masyarakat mulai cenderung menunjukkan
perilaku yang sebaliknya karena akibat tuntutan hidup yang serba cepat dan
canggih di tengah masa-masa sulit pasca konflik dan tsunami, serta didukung oleh
kecenderungan pasar yang sedang menguat di Aceh5; dari masyarakat yang
memegangi sistem anutan kelembagaan-kelembagaan tradisional seperti tokoh,
orang tua, ulama bergeser ke dalam kelembagaan modern seperti media elektronik
TV, Internet, maupun cetak, inilah yang oleh Irwan Abdullah disebut
deteritorialisasi budaya (Abdullah, 2006:130, 136). Sikap ini tidak saja memicu
munculnya praktik sosial baru, tetapi juga mempengaruhi konstruksi identitas;
4
Baca juga dalam Chris Barker. Cultural Studies, theory and practice. London: Sage
Publication. 2000 hal: 166
5
Hasil pengamatan terlibat pada masa-masa krisis tsunami di Banda Aceh 2009. Gejala
ini hampir menjadi praktik keseharian masyarakat Aceh di tengah maraknya euforia kebebasan
dan keterbukaan pasca konflik dan tsunami. Pengamatan ini di dukung oleh hasil penelitian
kawan-kawan Aceh Institute pada dua tahun pertama pasca tsunami dalam Sulaiman Tipa.
Problematika Kebudayaan di Aceh, Aceh Institute, Banda Aceh. 2006 hal: 35-37
4
seperti masyarakat yang dulunya memegangi nilai-nilai kesederhanaan, kini
bergeser ke arah gaya hidup konsumtif, orientasi pada McDonaldisasi,
Amerikanisasi, termasuk dalam praktik tingkah laku dalam memahami fashion.
Bahkan pada tahun-tahun belakangan beberapa anak muda Aceh tergabung dalam
jaringan komunitas “Punk”6 yang kehadirannya telah memicu wacana
kontraproduktif di tengah krisis identitas lokal yang dialami Aceh.
Di tengah pergeseran perilaku sosial di atas, fakta lain yang dapat menjadi
konteks penting dalam studi identitas ini adalah bahwa masyarakat Aceh secara
umum menginginkan kembalinya identitas lokal seperti nilai-nilai keacehan
menjadi sistem anutan dalam praktik kehidupan sosial masyarakatnya7. Bahkan
praktiknya justru masyarakat Aceh sedang dihadapkan pada upaya untuk
memformalkan
beberapa
produk
kearifan
lokal
dalam
bentuk
qonun
(Kamarruzaman, 2012: 56)8. Selain itu menguatnya pusat-pusat kebudayaan di
Aceh dengan berbagai kegiatan dan gerakan sosial menjadi indikator lahirnya
kebangkitan lokal di Aceh, seperti MAA (Majelis Adat Aceh) telah memberikan
advokasi pada masyarakat di tingkat Gampong dan Meunasah; Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata juga melakukan sosialisasi melalui kegiatan Pekan Kebudayaan
Aceh (PKA) 2013 tingkat Internasional, yang dalam bebarapa temanya
menekankan pada isu-isu dan tema revitalisasi nilai-nilai lokal melalui visit Aceh
2013; institusi-institusi agama meningkatkan pemberlakuan Syariat Islam secara
6
. Selain hasil pengamatan terlibat, data atau berita ini bisa dilihat dalam beberapa
media cetak dan elektronik Aceh, serambi news, Acehkita, dll. Komunitas Pank di Aceh, tidak saja
dipahami sebagai bagian dari suatu proses globalisasi di Aceh, tetapi juga terbukanya jaringan
modernitas yang begitu luas di Aceh.
7
. Hasil wawancara peneliti dengan Badruzzaman Ismail, Ketua MAA Banda Aceh, dan
para elit agama dan adat di Banda Aceh.
8
. Qanun yang menjelaskan tentang pelaksanaan kearifan lokal bisa dibaca lebih lanjut
dalam Qanun Aceh No.2 tahun 2011 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
5
ketat9; JKMA (Jaringan Kebudayaan Masyarakat Aceh) mempelopori gerakan
kebudayaan di tingkat Mukim dengan memperkuat dayah dan pesantren sebagai
miniatur pendidikan nilai-nilai lokal/keacehan, serta memperkuat kesenian Aceh
sebagai industri budaya. Gerakan kultural yang diciptakan instansi-instansi adat
dan agama ini juga didukung oleh NGO-NGO lokal yang memiliki perhatian pada
isu-isu kearifan lokal semacam ini. Mereka menginginkan nilai lokal tetap
menjadi praktik anutan sehari-hari yang tidak tergantikan oleh sistem anutan yang
lain meskipun faktanya desakan global semakin mengancam keberadaan identitas
lokal keacehan secara umum10.
Dari rangkaian fakta perubahan sosial yang digambarkan di atas, ada
persoalan mendasar yang harus dipikirkan, yaitu: di satu sisi, masyarakat Aceh
sedang perhatian pada upaya kebangkitan lokal, seperti beberapa hal yang
dilakukan di antaranya adalah gerakan sosial penciptaan wacana publik melalui
advokasi adat, kelangsungan pendidikan dayah dan meunasah, penegasan
peradilan hukum, hingga restrukturisasi peran-peran keulamaan pada tingkat
lembaga pemerintahan. Pada saat yang sama sebuah gagasan menegaskan
perlunya pembangunan Aceh sebagai Aceh baru, Aceh yang tidak lagi hidup
dalam kungkungan konflik, penjajahan, tekanaan-tekanan politik nasional maupun
internasional, Aceh yang merdeka dari aspek budaya dan politik, Aceh yang
9
. PERDA Syariat Islam tidak lagi sebagai simbol formalitas masyarakat dalam
menjalankan Islam, akan tetapi PERDA Syariat Islam kemudian dinterpretasi sedemikian rupa
melalui rapat kajian di MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), diharapkan Syariat Islam dapat
dipahami secara lebih kontekstual dan dapat diterima oleh konteks sosial masyarakat Aceh, yaitu
dengan dibubuhi istilah Syariat Islam “kaffah” yang artinya komprahensif, menyeluruh, tidak
parsial.
10
. Wawancara dengan salah satu pengurus JKMA (Jaringan Kebudayaan dan
Masyarakat Adat), dengan menyebutkan bahwa gerakan ini memberi semangat untuk menjaga
keseimbangan antara Identitas, budaya dan kepentingan berbagai kelompok atau organisasiorganisasi internasional yang selama ini terlibat dalam program-program rehabilitasi Aceh dan
rekonstruksi pasca tsunami, 9 September 2012
6
mampu berdaulat, tidak ditentukan oleh suatu kekuatan dari luar, tetapi dibentuk
oleh kekuatan negosiasi yang seimbang, sampai Aceh yang lebih kondusif, aman,
damai dan berdaulat kini kondisi itu juga sedang diupayakan. Implikasinya
hampir di semua lini kehidupan Aceh dihadapkan pada tuntutan modernitas dan
globalitas yang mau tidak mau akan menggeser kekuatan-kekuatan dari dalam.
Sementara, di sisi yang lain fakta historis bahwa Aceh dikenal sebagai
tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial,
Adat bak po Teumeureuhum, hukom bak Syiah Kuala. Sisi-sisi kehidupan sosial
budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan adat. Hal ini yang membentuk suatu
sumber dalam penataan sosial yang berlangsung di Aceh. Dalam peribahasa yang
sedikit berbeda “hukom ngon adat han jeuet cre, lagee dat ngon sifeuet” yang
artinya hukum agama tidak dapat dipisahkan dari adat, seperti tidak dapat
dipisahkannya antara dzat Tuhan dengan sifat-Nya11. Termasuk keberadaan ulama
merupakan menifestasi dari adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat
penting bagi kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, yang menjadi kegelisahan akademis sekaligus empirik
dari fakta ini adalah bahwa entitas agama dan adat Aceh yang diterjemahkan
sebagai yang mewakili kepentingan identitas lokal telah dihadapkan pada
persoalan riil praktik-praktik global dan perilaku sosial baru di luar sistem anutan
lokal yang mengejawantah dalam tatanan sosial masyarakat Aceh sebelumnya.
Sementara hubungan lokal dan global tidak bisa dipisahkan, terutama dalam
membangun spirit kebangkitan lokal yang kini sedang digerakkan di Aceh.
Konsekuensinya adalah bahwa gejala semacam ini harus direspon sebagai suatu
11
Ibrahim Alfian. Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan mengenai Hikayat Perang
Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.1992
7
tuntutan modernitas yang dapat mendukung harapan-harapan akan Aceh yang
lebih baik.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latarbelakang persoalan keacehan di atas, dapat kita
rumuskan beberapa masalah penelitian, diantaranya adalah bahwa identitas selalu
mengalami perubahan yang terus menerus, bersifat dinamis, tidak stagnan, dan
karena itu ia dikonstruksi oleh banyak hal, terutama yang berkaitan dengan
kondisi objektif kesejarahan masyarakat Aceh, struktur kebudayaannya, serta
lingkungan sosial-politiknya. Oleh karena itu, desakan kultur global yang meluas
pada masa-masa periode pasca konflik dan tsunami telah memberi pengaruh
sosial-budaya masyarakat secara masif. Tidak saja pada aspek sistem nilai, sistem
keyakinan, dan gaya hidup, tetapi juga pada identitas lokal.
Alfred Schutz menekankan peran-peran subjek dalam pembentukan
identitas, sebagaimana yang berkembang di Aceh, bahwa identitas Aceh juga
telah dikonstruksi oleh para subjek/aktor baik mereka yang menggerakkan sebuah
institusi-institusi sosial/masyarakat/adat, ataupun ekonomi/pasar, maupun politik
atau negara. Terlepas dari relasi para aktor, proses-proses negosiasi identitas juga
harus dilihat sebagai fakta penting dalam pembentukan identitas dan dalam
menentukan pilihan-pilihan hidup dan kehidupannya.
Adapun yang menjadi kegelisahan empiris sekaligus akademis penelitian
ini adalah bahwa mengapa identitas keacehan yang menguat pada periode pasca
konflik dan tsunami ini, justru cenderung dibangun berdasarkan spirit
universalisme, melalui kerangka kekuatan-kekutan global? Seperti penyeragaman
8
yang terjadi pada pemberlakuan PERDA Syariat Islam melalui kanonik agama
menjadi tanda dari sebuah konstruksi negara. Sementara spirit lokalitas keacehan
dinilai lamban –meski juga bersikap terbuka-- dalam memberdayakan peran-peran
institusi keagamaan dan adat, terutama dalam merespons geliat yang justru akan
melemahkan basis-basis lokal keacehan ini? seiring berjalannya waktu bersamaan
dengan proses pembangunan Aceh, kini masyarakat mulai menemukan
bentuknya, lalu pertanyaannya adalah: peta kekuatan lokal seperti apa yang dapat
menggerakkan masyarakatnya hingga Aceh mampu membangun kembali
kebangkitan Aceh yang kini sedang diupayakan?
Dari uraian rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam tiga
pertanyaan penelitian di bawah ini:
1. Bagaimana identitas keacehan mengalami perkembangan pembentukannya
sejak sebelum dan sesudah tsunami?
2. Bagaimana relasi masyarakat, negara, dan pasar dalam pembentukan
identitas keacehan di tanah rencong berlangsung?
3. Bangunan negosiasi identitas seperti apa yang telah dilakukan di Aceh,
sehingga dapat menggerakkan masyarakatnya mewujudkan gagasangagasan Aceh baru, serta membangun kembali kebangkitan Aceh yang
dicita-citakan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan kajian penelitian disertasi ini mengacu pada tiga hal yang telah
dirumuskan dalam pertanyaan penelitian ini, oleh karena itu tujuan penelitian ini
dapat diuraikan dalam tiga tujuan utama di bawah ini, yaitu:
9
1. Penelitian ini ingin memetakan perkembangan identitas keacehan selama
masa atau periode sebelum dan sesudah tsunami sebagai sebuah proses
konstruksi identitas Aceh yang berlangsung secara dinamis.
2. Penelitian ini selain memetakan perkembangan identitas di Aceh, juga
menjelaskan para aktor yang terlibat dan relasi-relasinya dalam
menjelaskan tentang pembentukan identitas keacehan pasca konflik dan
tsunami
3. Selain itu, penelitian ini juga berusaha menjelaskan bangunan negosiasi
yang telah diciptakan, terkait hubungan identitas lokal dan global,
sehingga
dapat
mewujudkan
gagasan-gagasan
Aceh
baru,
serta
membangun kembali kebangkitan Aceh yang dicita-citakan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian dapat dilihat dalam rumusan penjelasan di bawah ini:
1. Penelitian ini dapat mengetahui peta perubahan konstruksi identitas
keacehan sejak sebelum dan sesudah tsunami 2004.
2. Pembahasan bagian ke dua bermanfaat untuk memahami sekaligus
mengetahui aktor atau subjek-subjek yang terlibat dalam menjaga
kesimbangan antara identitas, kultur dan kepentingan, terutama dalam
merespon gejolak globalitas pasca tsunami.
3. Penelitian ini dapat menunjukkan lebih jauh tentang kerja-kerja negosiasi
yang telah dilakukan masyarakat Aceh melalui tema-tema yang berkaitan
dengan menguatnya arus globalisasi dan modernisasi di Aceh, terutama di
Banda Aceh.
10
E. KERANGKA KONSEP DAN LANDASAN TEORI
Penelitian ini berlangsung dengan kerangka konsep dan paradigma
konstruktivisme, di mana teori-teori yang digunakan banyak bersentuhan dengan
teori-teori konstruksi sosial. Penelitian ini dibangun dengan dua konsep utama,
yaitu konsep yang berhubungan dengan dunia konstruksi sosial dan konsepkonsep yang dibangun dengan pendekatan fenomenologis. Oleh karena itu,
pertama, meletakkan teori konstruksi sosial yang dikenalkan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann tentang tafsir atas realitas sosial untuk menjelaskan
proses pembentukan identitas yang selama ini berlangsung di Aceh mulai dari
Aceh yang dikonstruksi oleh sejarah perang atau aspek-aspek kolonialitas, disusul
juga aspek kebudayaan khususnya budaya Melayu yang hampir berpengaruh pada
wilayah nusantara, dan juga Islam sendiri yang bahkan dalam praktiknya telah
menjadi anutan dan referensi tindakan bagi masyarakatnya, hingga yang terakhir
soal konstruksi modernitas yang dapat dilihat pada dinamika Aceh pasca konflik
dan tsunami ini; Kedua, penelitian ini menggunakan basis fenomenologi Alfred
Schutz untuk membantu menganalisis hubungan-hubungan antar subjek yang
terumus dalam teori paradigma fenomenologi sosial/konstruktivis, di mana
digambarkan dalam penelitian ini sebagai pembahasan tentang hubungan antar
aktor.
1. Kerangka konseptual dan teoritis tentang konstruksi sosial
Bagian pertama dari studi ini menggunakan teori konstruksi sosialnya
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Sebelum sampai pada penjelasan inti
tentang teori konstruksi sosial, peneliti merasa perlu menjelaskan bagaimana
11
bentuk-bentuk konstruksi dalam ilmu sosial. Sejauh ini ada tiga macam
Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis;
dan
konstruktivisme biasa12.
1). ”Konstruktivisme radikal” hanya dapat mengakui apa yang dibentuk
oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum
konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan
dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka
tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas
yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer
kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan
sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah
saran terjadinya konstruksi itu.
2.) “Realisme hipotesis” pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur
realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang
hakiki.
3.) “Konstruktivisme biasa” mengambil semua konsekuensi
konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari
realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran
yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme di atas terdapat kesamaan di mana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan
yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut
dengan konstruksi sosial.
Sebagai catatan akademik, pemikiran Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann secara utuh dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul “the Social
12
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta:Kanisius,
1997,Ibid, hlm. 25
12
Construction of Reality: A Treatisein the Sociology of Knowledge”. Keduanya
meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif
melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya, “reality
is socially constructed”.
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial
sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya.
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas
kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu melalui respon-respons
terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya.
Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi paradigma
konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh
individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang
berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat,
1999: 112). Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori
konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. Oleh
karena itu, pemikiran Berger banyak terpengaruh oleh pemikiran Schutzian
tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subjektif”, DurkheimianParsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta Mead tentang
“interaksi simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan
realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme.
13
Beberapa argumen Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial berikut
ini dapat dipertimbangkang untuk membantu menganalisis gejala konstruksi
identitas yang berlangsung di Aceh: Pertama, realitas merupakan hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di
sekelilingnya; Kedua, hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial
tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan; Ketiga,
kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus; Keempat,
membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai
kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki
keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri.
Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu
nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Selanjutnya Berger dan Luckman mengatakan bahwa institusi masyarakat
tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia.
Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun
pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses
interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang
diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada
tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna
simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang
memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada
berbagai bidang kehidupannya.
Jika dilihat dari perspektif teori Berger dan Luckman, maka konstruksi
sosial berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas
14
yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan
objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga
momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.
Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger dan Luckman
menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif
melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasiinternalisasi. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural
sebagai produk manusia. “Society is a human product”. Sedangkan Objektivasi
ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. Sementara
internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga
sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man
is a social product” (Berger dan Luckmann, 1966: 213)..
Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan
hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini
menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya
ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di
luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam
(internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada
dalam diri atau kenyataan subyektif.
Selanjutnya sumbangan Schutz dalam penelitian ini. Bagi Schutz memang
pengetahuan mengenai dunia sosial itu merupakan pengetahuan yang sifatnya
inderawi belaka dan tidak lengkap, tidak akan pernah utuh, karena kemampuan
indera manusia dalam menyerap pengetahuan itu memang memiliki keterbatasan.
15
Konsep Schutz mengenai dunia sosial sesungguhnya dilandasi oleh kesadaran
(consciousness) karena menurutnya di dalam kesadaran itu terdapat hubungan
antara orang (orang-orang) dengan objek-objek (Basrowi, 2005:8). Dengan
kesadaran itu pulalah kita dapat memberi makna atas berbagai objek yang ada.
Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama adalah bersifat pribadi
dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap-muka dengan orang lain.
Kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk
dan dianut oleh semua anggota budaya dengan memfokuskan pada pemahaman
dan pemberian makna atas berbagai tindakan yang dilakukan seseorang atau
orang lain di dalam kehidupan keseharian sehingga fenomenologi memang
merupakan pengetahuan yang sangat praktis serta bukan merupakan pengetahuan
yang sifatnya intuitif dan metafisis. Sosiologi memang termasuk ke dalam
pengetahuan yang sifatnya praktis karena sosiologi dapat memberikan penjelasan
mengenai dunia sosial. Fenomenologi mengatakan bahwa kenyataan sosial itu
tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu melainkan pada
kesadaran subyektif para aktor. Tujuan dari fenomenologi adalah menganalisis
dan melukiskan kehidupan sehari-hari atau dunia kehidupan sebagaimana disadari
oleh aktor. Dalam melakukan studi ini seorang individu harus mengurungkan
(bracketing off) atau meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang sudah
ada tentang struktur sosial dan mengamati sesuatu secara langsung. Pendukung
teori ini berpendapat bahwa sekalipun orang melihat kehidupan sehari-hari
seperti terjadi begitu saja, namun analisis fenomonelogi bisa menunjukkan
bagaimana dunia sehari-hari itu tercipta. Schutz mengawali pemikirannya dengan
mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan
16
interpretasi terhadap realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, kita pun harus
membuat interpretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat
satu sama lain ketika membuat interpretasi ini (Bernard Raho, 2007:126).
Fenomenologi sosial yang diintrodusir oleh Schutz mengandaikan adanya
tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat,
yaitu dunia sehari-hari, tindakan sosial dan makna. Dunia sehari-hari adalah dunia
yang paling fundamental dan terpenting bagi manusia. Di katakan demikian
Dikarenakan dunia sehari-hari adalah lokus kesadaran intersubjektif yang
menjembatani adanya kesadaran sosial. Dalam dunia ini, seseorang selalu berbagi
dengan teman, dan orang lain, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Schutz
mengkhususkan perhatiannya kepada satu
bentuk dari subyektivitas yang
disebutnya, antar subyektivitas. Konsep ini menunjuk kepada pemisahan keadaan
subyektif atau secara sederhana menunjuk kepada dimensi dari kesadaran umum
ke kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi (because
motive and in order to motive). Intersubyektivitas yang memungkinkan pergaulan
sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing
yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi dan fenomnologi.
Konsep intersubyektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompokkelompok sosial saling menginterpretasikan tindakannya masing-masing dan
pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami
dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik
antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja
sama di hampir semua organisasi sosial. Schutz memusatkan perhatiannya kepada
struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau
17
interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan berlangsung melalui penafsiran dan
pemahaman tindakan masing-masing
baik antar individu maupun antar
kelompok.
2. Kerangka Konsep dan Teori tentang Pembentukan Identitas
Pandangan Stuart Hall dalam artikelnya yang berjudul The Question of
Cultural
Identity,
mengidentifikasi
tiga
perbedaan
cara
yang
mengkonseptualisasikan identitas, yaitu (a) subyek pencerahan; (b) subyek
sosiologi, dan (c) subyek posmodernisme. Dalam perspektif era pencerahan
berkembang gagasan bahwa pribadi dipandang sebagai agen kesatuan yang unik
dan bersekutu terhadap Pencerahan (Enlightenment). Hall menuturkan:
The enlightenment subject was based on conception of the human person
as a fully centred, unified individual, endowed with the capacities of
reason, consciousness and action, whose „centre‟ consisted of an inner
core …. The essensial centre of the self was a person‟s identity (Hall,
1992: 275).
Hall juga menganjurkan bahwa untuk memahami konsep identitas kebudayaan
juga erat kaitannya dengan asumsi-asumsi yang berkembang dalam aliran
pemikiran esensialisme dan anti-esensialisme kebudayaan (Barker, 2000: 166).
Dalam pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-pribadi mempunyai hakekat
tentang diri yang disebut identitas. Kaum esensialisme berasumsi bahwa diskripsi
diri kita mencerminkan hakekat yang didasari identitas. Dengan demikian akan
bisa ditetapkan apa itu hakekat femininitas, maskulinitas, orang Asia, remaja dan
semua kategori sosial yang lain. Sebaliknya, terdapat pula pandangan bahwa
18
identitas sepenuhnya merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang
dan waktu. Ini merupakan pandangan kaum anti-ensensialisme yang menjelaskan
bahwa bentuk-bentuk identitas senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi
sosial dan kebudayaan. Identitas adalah konstruksi-konstruksi yang tidak saling
berkaitan, makna-maknanya senantiasa berubah mengikuti ruang dan waktu, serta
penggunaannya.
Asumsi kaum esensialisme meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari
nilai-nilai dan norma-norma yang telah selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri.
Dalam pandangan mereka, tingkah laku sekelompok orang akan tergantung
kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk
mengubah tingkah laku budaya perlu diubah terlebih dahulu seluruh perangkat
nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pendoman bagi tingkah laku budaya.
Salah satu ungkapan yang khas kaum esensialisme budaya ini adalah: “Jangan
salahkan kebudayaan, tetapi salahkan orangnya.” Kalau ada yang menyimpang
dalam kebudayaan maka yang harus diubah adalah tingkah laku budaya dan
bukannya nilai dan norma-norma kebudayaannya. Dalam pandangan mereka,
sistem dan norma itu sudah baku, tidak bisa diubah, sehingga jika ada fenomena
penyimpangan, tingkah laku manusia dianggap sebagai menyimpang dari sistem
nilai dan norma yang berlaku (Hall, 1992: 275).
Berdasarkan konsep anti-esensialisme di atas, konsep identitas sendiri juga
sangat ditentukan oleh bagaimana identitas itu dibentuk dan dinegosiasikan.
Untuk itu menurut Hall (1996: 2).
“konsep identitas juga tidak bisa dilepaskan dari konsep menganai diri dan
identifikasinya. Identifikasi dibangun berdasarkan pengakuan atas asal-usul
yang sama atau ciri-ciri yang sama dengan orang lain atau atas gagasan
19
gagasan tertentu, dan atas ikatan solidaritas atau persekutuan yang terbentuk
di atas fondasi ini”.
Dengan demikian, identifikasi selalu berproses dan berada dalam pembentukan
secara terus-menerus. Karena identifikasi merupakan proses artikulasi dan
pengenalan diri dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh yang
ada di lingkungannya.
Jika dihubungkan dengan sejarah, maka identitas merupakan subjek dari
konstruksi sejarah yang selalu dalam proses transformasi dan perubahan yang
terus-menerus. Dengan kata lain, identitas dibangun dalam perkembangan sejarah
yang dapat dilihat dari praktik-praktik dalam masyarakat dan kebudayaan. Ia
dihasilkan dalam ruang lingkup historis bukan a historis, dan proses
institusionalisasi tertentu, serta dalam pembentukan wacana yang spesifik, karena
ia dibangun melalui sebuah wacana. Selanjutnya Hall menekankan bahwa:
“sesungguhnya masalah identitas itu adalah pertanyaan tentang bagaimana
menggunakan sumber-sumber sejarah, bahasa, dan kebudayaan, dalam
proses yang “menjadi” bukan semata-mata “ada”, sebagaimana harapan
akan menjadi bagaimana, apa yang telah kita tampilkan, dan bagaimana kita
menampilkan diri kita” (Hall, 1996:4-5).
Terlepas dari identitas sebagai sebuah produksi wacana, Hall menegaskan bahwa
konsepnya tentang identitas bukanlah konsep esensialis, melainkan strategis dan
posisional. Dengan demikian, konsep identitas bukan berarti keadaan diri yang
stabil, permanen, dan bahkan tetap dari awal sampai akhir tanpa perubahan.
Identitas tidak pernah menyatu selalu terpecah-pecah dan terbagi-bagi, karena
telah dibangun dalam sebuah wacana, praktik-praktik, dan posisi, serta menjadi
subjek kesejarahan yang radikal dan selalu dalam transformasi yang terus
20
berubah-ubah. Masih menurut Hall, bahwa identitas itu dibentuk mellaui
representasi dari dalam bukan dari luar, sebagaimana yang dikonsepsikan Darrida
dalam memandang konstruksi identitas. Oleh karena itu, rasa memiliki yang
melaluinya, identitas itu dibangkitkan, terletak dalam representasi simbolik dan
imajiner, dan oleh karenanya terbentuk dalam ranah imajiner (Hall, 1996: 4).
Melalui pengertian di atas, Hall kemudian menegaskan kembali bahwa
sesungguhnya identitas adalah semacam “titik singgung” “titik temu” antara
praktik dan wacana di satu sisi, kemudian disisi lain proses prodeksi subjektivitas
yang membentuk kita sebagai subjek. Oleh karena itu, identitas merupakan titik
singgung yang menghubungkan antara posisi subjek dengan praktik diskursif
yang membentuknya. Identitas adalah posisi di mana subjek “mengetahui” dan
posisi tersebut merupakan sebuah representasi yang selalu dibentuk melalui
pembedaan dan dari sudut pandang orang lain, sehingga identitas itu tidak pernah
permanen. Oleh karena itu. Posisi titik temu bisa dianggap sebagai sebuah
artikulasi dari sebuah identifikasi (Hall, 1996: 6-5). Proses inilah yang
menentukan bahwa identitas itu berada dalam proses negosiasi. Dalam hal proses
negosiasi identitas ini Hall meminjem Althusser melalui apa yang disebut sebagai
“titik interpelasi” antar subjek dan aparat-aparat ideologis.
Terlepas dari soal titik temu atau titik interpelasi suatu identitas, Anthony
Giddens (1991)13 juga memberi kontribusi yang sangat nyata dalam hal
perdebatan identitas ini. Sebuah teori identitas yang cair muncul dengan asumsi
identitas diri sebagai projek. Identitas merupakan apa yang oleh person pikirkan,
identitas bukanlah merupakan kumpulan ciri-ciri tertentu sebagaimana yang kita
13
Baca dalam Chris Barker. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage
Publication, 2000. P. 166-168. Lebih langkapnya baca Anthony Giddens. Modernity and Self
Identity. Cambridge: Polity Press 1991
21
miliki, bukan pula sesuatu yang kita miliki, entitas yang menyebabkan kita
mendapat poin tertentu. Melainkan lebih dari itu, identitas adalah sebuah “mode
of thinking” tentang diri kita sendiri. Oleh karena itu, identitas adalah apa yang
kita bayangkan bahwa kita berubah dari suatu keadaan ke keadaan dalam suatu
ruang dan waktu tertentu, ini lah apa yang disebut Giddens bahwa identitas
sebagai sebuah projek. Dengan demikian, bagi Giddens identitas adalah suatu
yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses.
3. Kerangka konsep Identitas dan budaya lokal
Oleh karena itu, secara tidak langsung, pandangan di atas telah
menginspirasi pandangan-pandangan generasi selanjutnya. Seperti bagaimana
Liliweri misalnya membagi bentuk identitas menjadi tiga jenis, yaitu: identitas
pribadi, identitas sosial, dan identitas budaya. Identitas pribadi adalah identitas
yang didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi yang berbeda degan orang
lain, seperti kemampuan bakat, minat, serta pilihan-pilihan pribadi lainnya.
Sedang identitas sosial sebagai hasil dari keanggotaan pada kelompok sosial
tertentu atau sebuah komunitas tertentu. Identitas sosial adalah sebuah identitas
yang diperoleh melalui usaha dan pembelajaran dalam jangka waktu yang lama.
Bentuk-bentuk kelompok sosial yang dapat memberikan identitas sosial bagi
anggotanya antara lain kelompok sosial yang berdasarkan usia, jenis kelamin,
kelas sosial, agama, profesi, atau bahkan lokasi tertentu. Sementara identitas
budaya adalah karakteristik-karakteristik yang diperoleh karena seorang itu
menjadi anggota dari suatu kelompok budaya tertentu. Identitas budaya meliputi
proses pembelajaran dan penerimaan dari tradisi, ciri-ciri khas alami atau bawaan,
22
bahasa, keyakinan agama yang diajarkan secara turun temurun dalam suatu
kebudayaan atau kelompok budaya tertentu (Liliweri, 2002:96-98).
Dari penjelasan Liliweri di atas dapat disimpulkan bahwa identitas itu
selalu dibentuk dalam strukstur sosial dan budaya masyarakat. Dengan demikian
berarti bahwa pengertian identitas budaya adalah karakteristik dari suatu budaya
yang dapat diketahui batas-batasnya dibanding identitas yang lain. Identitas
budaya bukan hanya bermakna karakteristik fisik semata, tetapi lebih sebagai
sebuah sistem yang merepresentasi cara, motivasi, orientasi dalam berfikir,
merasa, dan bahkan berperilaku (Liliweri, 2002: 71-73).
Terlepas dari konteks identitas pribadi, sosial, maupun identitas budaya,
teoritikus asal Jepang, ikut menyumbangkan pemikirannya dalam persoalan
konstruksi identitas. Dia adalah Amartya Sen, dalam bukunya “identity and
violance”2006, menjelaskan bahwa identitas itu selalu bergantung pada konteks
sosial, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas pasti bergantung
pada lingkungan sosialnya (Sen, 2006:26-27). Dengan demikian, manusia menjadi
anggota dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda, bisa melalui kelahiran,
hubungan sosial, mapun persekutuan. Dari keanggotaan ini, setiap identitas
kelompok akan memberikan rasa keterikatan dan loyalitas pada seseorang. Karena
manusia bisa bergabung pada kelompok sosial yang berbeda-beda. Dengan begitu,
setiap bentuk kolektifitas akan memberikan identitas yang berbeda pula.
Oleh karena itu, identitas adalah masalah pilihan dan batasan-batasan, dan
seluruh proses ini bergantung pada signifikansi sosial. Sen memberikan ilustrasi
contoh yang baik untuk menguatkan teorinya tersebut, yaitu ketika seorang warga
negara Jepang yang tinggal di Inggris menolak untuk menjadi warga negara
23
Inggris, karena ia tidak ingin kehilangan identitas Jepangnya, menunjukkan
sebuah loyalitas kepada identitas nasional kejepangannya (Hall, 2006: 29).
Sedangkan loyalitas sendiri bisa berpotensi konflik dalam memberikan prioritasprioritas, terutama pada masalah-masalah suku, agama, kewarganegaraan, afiliasi
politik, dan juga termasuk tugas profesional. Oleh karena itu, seseorang dalam
identitas jamaknya harus memutuskan kepentingan identitas-identitas yang
berbeda secara relatif, di mana penalaran dan ketelitian berperan penting dalam
mengambil keputusan. Di sinilah dapat ditegaskan bahwa manusia sesungguhnya
selalu membuat pilihan-pilihan atas prioritas yang diberikan pada suatu afiliasi
atau ikatan (Hall, 2006: 30).
Pada batas itulah, Sen juga menegaskan suatu prioritas identitas yang
bebasis kamunitas adalah berdasarkan filsafat komunitarian, yang memberi
prioritas pada pentingnya menjadi anggota komunitas tertentu, dan memandang
bahwa kamunitas adalah sebuah “perluasan” dari diri seseorang. Oleh karena itu,
identitas dalam sebuah komunitas menjadi suatu yang utama atau dominan dalam
identitas seseorang. Latarbelakang sosial seseorang tidak bisa dilepaskan dari
komunitas dan kebudayaan, yang menentukan cara-cara untuk melakukan
penalaran dan pilihan. Pada ujung diskusi ini Sen menegaskan bahwa apabila
proses pembantukan identitas dianggap sebagai sebuah “penemuan baru”, maka
identitas komunitarian tetep merupakan sesuatu yang utama dan dipertahankan
(Hall, 2006: 33-33).
Secara lebih longgar, hubungan komunitas dan identitas juga dijelasakan
oleh Irwan Abdullah (2006), yang menunjukkan bahwa makna dari istilah
komunitas itu sendiri juga mengandung kesamaan identitas atau kaerakteristik
24
dari para anggotanya. Abdullah mengilustrasikan sebuah kelompok yang para
anggotanya mempunyai minat atau hobi yang sama atau yang disebut dengan
“komunitas hobi” (community of interest) (Abdullah, 2006: 141-142). Dalam hal
ini, Abdullah mengutip Robert Redfield dalam menjelaskan karakteristik sebuah
komunitas, yaitu suatu kelompok yang memiliki ciri-ciri: 1) unit-unit yang kecil,
2) homogenitas pemikiran dan aktifitas dari para anggotanya, 3) kemandirian, dan
4) adanya kesadaran akan perbedaan dengan kelompok yang lain.
Alhasil, kesadaran sebuah kelompok tentang perbedaan identitas mereka
dengan kelompok lain memerlukan penafsiran yang lebih kontekstual. Di satu sisi,
perbedaan identitas
muncul sebagai
bagian dari pilihan rasional
dan
bergemingnya sebuah kelompok melawan gerakan sosial dan ekonomi yang
ekspansif, kesadaran sebuah kelompok untuk memelihara dan melestarikan
identitasnya terjadi dalam interaksi yang dinamis di dalam kelompok itu sendiri,
serta dalam jaringan dan sistem sosial yang lebih luas, dan bukan semata-mata
sebagai kesadaran yang muncul dan terbentuk berdasarkan sistem internal
kelompok itu sendiri yang tertutup (Abdullah, 2006: 148-149).
Identitas yang dilekatkan pada ideologi terhubung dengan faham yang
biasanya di bawah kontrol suatu negara untuk menjalankan hubungan diplomasi
dengan bangsa-bangsa lain. Identitas dalam konteks ini sering digolongkan
sebagai identitas bangsa, hasil konstruksi dari berbagai kelompok identitas etnis.
J. Jones (1972) menguraikan etnis atau kelompok etnis adalah sebuah himpunan
manusia yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau
subkultur, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa bahkan peran dan
fungsi tertentu (Alo Liliweri, 2007: 14).
25
Dalam studi tentang lokalitas dan globalitas, keacehan merupakan subjek
yang dikonstruksi dalam ranah lokal, sehingga perspektif global (outsider)
melihat keacehan sebagai miniatur lokal yang berisi sistem anutan lokal yang
menurut penelitian ini dapat disandingkan maknanya menjadi identitas lokal.
Local identity atau identitas lokal yang merupakan representasi lokal dapat
digambarkan sebagai suatu konstruksi lokal dengan berdasarkan etnisitas suatu
kultur tertentu. Salah satu yang merepresentasi identitas keacehan adalah local
wisdom atau “kearifan lokal”, yang secara literal bisa disandingkan dengan
pengertian sejenis seperti; “nilai indegenous” (Indegenous values), atau bahkan
beberapa ahli antropologi menyebut “local genius”. Secara substansial, kearifan
lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari
masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila Clifford Geertz
(1989), mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti
kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan, kreativitas, dan
pengetahuan
lokal
menjadi
penentu
dalam
pembangunan
peradaban
masyarakatnya. Dalam masyarakat kita, kearifan lokal dapat ditemui dalam
nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat
dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaankebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan
kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok
masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
26
tertentu dan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dan dapat diamati
melalui sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah “local genius”. Local genius
ini merupakan istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para
antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini
(Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local
genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal di antaranya: mampu bertahan
terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada
perkembangan budaya.
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www.
balipos.co.id, didownload 17/9/2013, mengatakan bahwa kearifan lokal (local
genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
27
dalamnya dianggap sangat universal. S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan
Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa
secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku
yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap
baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan
melembaga.
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan
masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik
dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal
berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan
pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam
sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily
problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara
spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup
suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal
bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Untuk itu dalam konteks Aceh, kebangkitan lokal yang mengusung nilainilai dan kearifan lokal kembali menjadi referensi anutan kehidupan sehari-hari
bagi masyarakatnya, di mana kini menjadi agenda yang terbuka, artinya
kebangkitan lokal telah secara terang-terangan diusung menjadi orientasi baru,
terutama pasca tsunami. Bahkan, masyarakat saat ini sedang dihadapkan pada
pemformalan produk “kearifan lokal” dalam bentuk qanun. Oleh karena itu, studi
28
tentang identitan keacehan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
harapan-harapan umum masyarakat Aceh saat ini.
Wacana tentang kebangkitan lokal hampir menjadi isu yang sangat
populer di tengah berlangsungnya masa-masa transisi pasca tsunami. Secara
teoritis, Keesing (1999:257)14 menjelsakan bahwa kebangkitan lokal adalah
perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau
menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan
nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada
kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang
sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Kebangkitan lokal dapat berupa cara
hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturanaturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan
lama yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
Oleh karena itu, dalam era global ini, menurut Ardana, telah muncul
upaya-upaya untuk membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan
pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat (Ardana, 2004: 34).
Menggunakan nilai-nilai budaya lokal untuk menjawab berbagai tantangan global.
Inilah sebagai wujud nyata dari konteks yang melatari studi ini yaitu kebangkitan
lokal. Oleh karena itu, perlunya lebih ditingkatkan peran lembaga adat dalam
menangani persoalan-persoalan konflik politik, krisis ekonomi, degradasi budaya
sebagai akibat pengaruh globalisasi. Kebudayaan nasional merupakan proses dari
bawah, dengan bertumpu pada dualistik antara kebudayaan lama dan kebudayaan
baru. Meskipun pada kenyataannya, kebudayaan baru terus mendominasi
14
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif kontemporer.
(Samuel Gunawan, Pentj). Jakarta: Erlangga.
29
kebudayaan lama yang sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dapat
menangkal gelombang pasang globalisasi dan bergulirnya proses transformasi
berbagai dimensi kehidupan sosial yang mengarah pada satu pusat budaya
kosmopolitan. Strategi kebudayaan melalui revitalisasi identitas lokal, harus
membuka akses partisipatif dan membangkitkan respon mutualistik dari eksponen
budaya yang beragam.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bagian ini dibicarakan tentang tinjauan pustaka relevan yang dapat dibagi
ke dalam dua bagian. Pertama. Pustaka yang memiliki perhatian pada sejarah
keacehan, terutama pada masa sebelum tsunami dan sebelum kemerdekaan.
Pembicaraan meliputi masa pra kolonial, kolonial, hingga pasca kolonial. Tidak
hanya itu, di bagian ini juga digambarkan kondisi pada masa-masa menjelang
kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, sampai pada masa-masa konflik yang
berkepanjangan, di mana masa-masa itu merupakan momentum sejarah keacehan
yang tidak bisa lepas dari studi tentang pembentukan identitas keacehan. Kedua,
adalah pustaka yang juga perhatian pada perkembangan identitas keacehan pasca
konflik, perdamaian Aceh, hingga pasca tsunami. Dalam kaitan ini ada beberapa
kepustakaan relevan yang banyak membantu menemukan gagasan, kerangka,
serta starting point yang menjelaskan kekhususan penelitian yang sedang peneliti
ajukan, serta isu-isu yang belum disentuh dalam kajian atau penelitian
sebelumnya.
Atas alasan kekhususan penelitian ini, pada bagian berikut akan dipetakan
beberapa kepustakaan menurut isu, konteks dan ranah masing-masing. Pertama,
30
karya-karya yang muncul sebagai sebuah kajian yang mengupas tentang masa
sebelum dan awal konflik yaitu yang direpresentasi dalam kajian pra kolonial,
kolonial, hingga pasca kolonial. Kajian James T. Siegel The Rope of God (1969),
menggambarkan akibat perang di Aceh yang mempengaruhi identitas keacehan.
Buku ini secara umum telah menggambarkan bagaimana transisi Aceh (sebelum
tsunami) mempengaruhi pemaknaan identitas, simbol-simbol keagamaan, juga
menggambarkan keterlibatan para elit Aceh dalam perang/pemeberontakan,
seperti Sultan dan nasionalisme Aceh, ulama’ dan pesantren. Di dalamnya juga
dibicarakan bagaimana kondisi Aceh di bawah jajahan Belanda serta ide tentang
agama pada saat itu. Yaitu menyangkut gejala sosial yang dijelaskan kurang lebih
lima dasawarsa yang lalu. Penelitian yang dilakukan Siegel tidak memperlihatkan
krisis Aceh pasca tsunami, tetapi paling tidak konstruksi identitas keacehan pada
masa-masa perang melawan Belanda banyak digambarkan.
Karya sejarah monumental yang ditulis Anthony Reid yang berjudul “Asal
Mula Konflik Aceh; Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir
Kerajaan Aceh Abad ke–19” terbit 2005. Secara historis buku ini banyak
memberikan
pathokan-pathokan
yang
penting
dalam
menulis
tentang
perkembangan identitas keacehan. Buku ini sebenarnya adalah disertasi doktoral
Anthony Reid di Cambridge University yang ditulis lebih dari 40 tahun silam.
Judul asli disertasi ini adalah The Contest for North Sumatera Acheh, The
Netherlands and Britain 1858-1898) sangat tepat menggambarkan kenyataan
hidup orang-orang Aceh, baik pada periode dan paska kolonial. Buku yang
sumbernya banyak berasal dari arsip historis Eropa (terutama Belanda dan
Inggris) ini banyak menawarkan kajian menarik, antara lain upaya diplomasi
31
Aceh yang sudah dilakukan di abad ke-19, latar pertarungan ekonomi politik
Barat di Aceh, hubungan luar negeri, peristiwa politik yang bermuara pada
konflik fisik dan peperangan, hingga berakhirnya kerajaan Aceh.
Latarbelakang konflik yang cukup panjang itu kemudian telah meletakkan
dasar-dasar historis, sosiologis, serta bahkan politis dalam pembentukan identitas
keacehan. Oleh karena itu, kata Reid apa yang terjadi hari ini bukanlah konflik
yang a-historis, tetapi suatu pertarungan perebutan sumberdaya ekonomi-politik
yang tak kunjung usai. Pembedanya hanya waktu dan pelaku, selebihnya nyaris
sama. Reid menemukan bahwa Aceh memiliki marwah (martabat) yang tak
mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi,
kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka.
Semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris
dan Belanda, serta terakhir Indonesia.
Sebagai sebuah karya sejarah keacehan, beberapa hal yang masih luput
dari diskusi buku ini adalah belum disentuhnya sejarah masa-masa menjelang dan
pasca kemerdekaan. Disadari atau tidak masa-masa itu banyak menentukan
bagaimana identitas keacehan dikonstruksi. Baik soal kelanjutan perebutan
ekonomi politik, janji-janji keistimewaan Aceh yang tidak saja segampang
memperjuangkan hak makan, tetapi juga menyangkut harga diri masyarakat Aceh,
dan masih banyak sisa-sisa peninggalan masa lalu dan bergabungnya dengan
Indonesia.
Buku selanjutnya masih kontribusi dari Anthony Reid yang berjudul An
Indonesia Frontier; Acehnese and Other History of Sumatra, terbit (2005).
Perjalanan sejarah Aceh memang tidak bisa lepas dari geopolitik Sumatra. Buku
32
ini ditulis sejak periode modern awal sampai sekarang. Mulai dari periode klasik
sampai sekarang. Studi ini banyak mengupas tentang "era perdagangan" dengan
sejarah dan politik Sumatera Utara. Mungkin buku ini sebagai yang paling
revolusioner yang pernah ditulis oleh Anthony Reid tentang sejarah Asia
Tenggara, dengan revolusi Indonesia, termasuk manifestasi hubungan pusat dan
daerah, serta masalah-masalah kontemporer. Masalah yang dia kembangkan
cukup beragam dan penting seperti identitas masyarakat, etnis dan agama,
pembangunan, kependudukan, kemakmuran, kekerasan dan akomodasi, ideologi
dan legitimasi. Sebagai sebuah karya induk, buku ini baik untuk sebuah referensi
bagi studi yang multi interest, tetapi bukan sebuah representasi karya tunggal yang
membidik perjalanan sejarah keacehan tertentu.
Buku ini berisi esai pencarian identitas Sumatera, gerakan perpindahan
dan demografi, kontestasi elit, konflik etnis, dan agama. Salah satu aspek yang
paling menarik dan bermanfaat adalah mengenali cara-cara di mana hal
perdebatan antara masa lalu dan sekarang berevolusi. Mungkin contoh yang
paling mengejutkan tentang bagaimana pendekatan moral dan politik yang
berubah (tetapi tidak, mengubah moral). Yakni sebuah studi tentang latarbelakang
kontemporer identitas Aceh. Di sini, desain sejarah yang sebelumnya berperan
dalam hal perjuangan yang adil dan heroik indigeneity terhadap asing (terutama
Belanda) penindasan dan pengkhianatan tidak berjalan. Oleh karena itu, buku ini
adalah buah dari studi 40 tahun sejarah Sumatera, dari abad ke-16 hingga saat ini.
Sementara mencari pola koherensi di pulau yang luas, berfokus pada Aceh, yang
memiliki masa lalu yang paling terkenal dan saat ini yang paling bermasalah dari
wilayah yang ada di Sumatera.
33
Sejalan dengan itu yang membedakan dari penelitian buku ini adalah
bahwa identitas distudi sebagai sebuah studi kasus (material culture), sedangkan
di dalam penelitian yang sedang peneliti ajukan adalah bahwa identitas distudi
dari bagaimana identitas itu dikonstruksi, direproduksi, bahkan diwacanakan.
Untuk itu, menjelaskan pada aspek struktur dan agensi/aktor menjadi kajian yang
urgen dalam penelitian ini, dan perlu diketahui bahwa yang demikian ini tidak
didiskusikan secara komprehensif dalam buku ini.
Selanjutnya karya penting Denys Lombard: Kerajaan Aceh; Zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) terbit edisi Indonesia (2007). The golden age of
Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta
Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the
realm of legend.” Statemen C. Snouck Hurgronje inilah yang membuat penasaran
Sejarawan Prancis Denys Lombard dalam menulis buku ini. Dalam buku ini
Lombard membantah pendapat Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa
kegemilangan Aceh pada masa itu sekadar legenda atau isapan jempol belaka.
Menurut Lombard secara historis disebutkan bahwa Aceh dulunya berbentuk
kerajaan, berdaulat, dan tidak tunduk apalagi takluk di bawah kekuasaan asing,
kerajaan Aceh masa itu memang benar-benar sukses bahkan menjadi penghubung
Nusantara dan Barat. Lombard membahas segenap aspek kehidupan Kerajaan
Aceh, baik politik, ekonomi, kemiliteran, maupun budaya, agama, dan filsafat.
Bagian awal menceritakan tentang muasal nama “Aceh” itu sendiri, kemudian
sejarahnya, hingga persoalan kebudayaan. Pada bagian penutup, Lombard
memaparkan juga perihal kerja sama Aceh dengan beberapa negara luar yang
sangat fantastis
34
Sumber yang digunakan Lombard adalah naskah lokal (Bustan al-Salatin,
Hikayat Aceh, dan Adat Aceh), sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Ia juga
memakai laporan perjalanan para kelana Eropa seperti Frederik de Houtman, John
Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu.
Selain itu kita mengenal Denys Lombard melalui karya magnum opusnya
“Nusa Jawa: silang Budaya”, sebuah buku komprehensip mengenai peranan pulau
Jawa dalam percaturan sejarah Nusantara, semenjak zaman Hindu, Islam, hingga
era kolonial. Dalam buku kerajaan Aceh ini, Lombard selain menggunakan
sumber-sumber Melayu setempat, Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat
Aceh, juga menggunakan sumber-sumber laporan autentik eropa dan tionghoa.
Selain itu Lombard juga menggunakan sumber dari kesaksian para musafir eropa
yang sempat tinggal di Aceh waktyu itu, seperti Frederick De Houtman, John
Devis dan Lombard. Dokumen-dokumen tersebut sangat berharga sekali karena
merupakan suatu korpus linguistik yang amat langka sebagai sebuah tonggak
dalam perkembangan bahasa Melayu.
Buku ini bisa dibilang dapat menyajikan fakta sejarah Aceh secara lebih
transparan dan acuntable sesuai dengan aslinya. Di buku ini Lombard telah
membuat antithesis dari peneliian C.S. Hurgronje. Lombard menggambarkan
situasi dan kondisi sosial masyarakat Aceh pada saat itu. Seperti mengapa masa
keemasan Sultan Iskandar Muda sedemikian bercahaya, demikian pula intrikintrik politik dibalik dinding istana. Oleh karena itu, menurut Henry Chambartloin dalam pengantarnya; buku ini telah meluruskan sejarah yang telah
dibengkokkan oleh Christian Snouck Hurgronje, di mana dalam karyanya yang
35
sangat terkenal itu, “The Acehnese” ia menggabarkan bahwa kisah tentang Sultan
Iskandar Muda merupakan dongen belaka.
Tulisan Peter G. Riddell yang mengupas tentang “serambi mekkah” dan
identity, dalam Anthony Reid “Verandah of Violance” (2006) juga merupakan
sumberdaya pustaka penting yang membahas tentang identitas keacehan pada
abad 16-17 an. Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana pada abad tersebut
Identitas masyarakat Aceh banyak bersentuhan dan bahkan ditentukan oleh makna
sebuah serambi Mekkah yang artinya Identitas Aceh tidak bisa dilepaskan dari
konstruksi Islam dengan simbol “Serambi Mekkah”nya. Untuk itu, sebuah
pertanyaan penting dalam buku ini adalah apakah Islam yang dikembangkan lebih
merupakan Islam konstruksi Arab ataukah Islam yang sudah mengalami
dialektika pada ranah lokal Aceh? persoalan ini tidak banyak diuraikan secara
tegas dalam tulisan ini. Oleh karena itu, sub bagian dari penelitian yang sedang
dikerjakan ini adalah mencoba untuk membahas persoalan itu.
John R. Bowen, The Transformation of An Indonesian Property System
“Adat”, Islam, and social change in the Gayo highland” (1988) adalah salah satu
karya penting lainnya dalam melihat Aceh dari perspektif kawasan dengan fokus
pada etnis Gayo. Karya ini menempatkan Gayo sebagai sebuah peradaban
tunggal, karena ia memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan Aceh secara
umum. Mulai dari bahasa, budaya, dan sejarah. Hanya kemudian ketika sampai
pada persoalan konteks bagaimana menempatkan identitas Gayo yang bersifat
kawasan dilekatkan pada Islam sebagai sebuah peradaban yang bersifat religi.
Belum lagi jika hal ini dikaitkan dengan adat istiadat Gayo yang telah dipengaruhi
36
Islam. Persoalan ini merupakan kesulitan tersendiri bagi sebuah keberadaan
identitas Gayo.
Persoalan lain yang melingkupi sejarah Identitas ke-Gayo-an juga muncul
seperti bagaimana sejarah, budaya dan bahasa Gayo dihubungkan dengan konsepkonsep kebangsaan, atau juga konsep-konsep ideologis Gerakan Aceh Merdeka
yang kemudian dipahami sebagai realitas objektif ke Indonesiaan. Pertanyaanpertanyaan di atas adalah bagian dari persoalan yang menyelimuti sejarah
identitas Gayo selama ini. Oleh karena itu karya ini musti lebih didekatkan
dengan beragam perspektif atau multidisipliner agar mendapatkan suatu tesis yang
lebih komprehensif. Studi ini memberi warna lain terkait studi yang peneliti
kerjakan saat ini yaitu tentang konstruksi identitas keacehan yang secara umum
akan membahas tentang perkembangan identitas, agensi-agensi/aktor, serta
persoalan globalisisi yang melilit wajah identitas keacehan belakangan ini.
Meskipun secara spesifik tidak membahas persoalan Gayo, tetapi identitas
kegayoan akan menjadi landasan berfikir komparatif bagi sebuah eksistensi
identitas keacehan secara umum. Terlebih perdebatan antar aktor yang tentu akan
mempengaruhi konstruksi identitas, baik dalam sejarah maupun nilai-nilai
keethnikan.
Kedua, kepustakaan yang akan dipilih untuk pemetaan kedua ini adalah
kepustakaan yang berhubungan dengan sejarah, dinamika, dan pembentukan
identitas keacehan yang hingga saat ini dampaknya masih melekat pada
konstruksi keidentitasan masyarakat Aceh. Kepustakaan dipilih sesuai dengan
perkembangan isu, konteks, serta ranah di mana rata-rata membahas persoalan
keacehan atau diteliti pada masa konflik, pasca konflik dan perdamaian, dan pasca
37
tsunami. Selain itu, kepustakaan juga akan diperlihatkan dari karya atau tulisan di
luar konteks keacehan, tetapi memiliki kerangka yang hampir sama dengan studistudi masyarakat yang sedang berubah seperti Aceh.
Sebuah buku yang disajikan sebagai hasil riset pasca konflik di Aceh
yaitu: Konflik Aceh: menuju damai di serambi mekah” dalam Disintegrasi pasca
Orde Baru, Nagara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional, terbit (2006),
sebuah karya bersama tim Peneliti FISIP UI yang diketuai oleh Syamsul Hadi. Di
dalam buku ini ada satu bab tersendiri yang membahas tentang konflik Aceh:
Menuju Damai di Serambi Mekah. Bagian dari bab ini mengurai tentang Aceh
dalam kilasan sejarah. Menurutnya ada 4 hal yang menjadi dasar pijakan yang tak
bisa dilupakan yaitu: kekecewaaan historis rakyat Aceh, peminggiran identitas
kulural masyaakat Aceh, eksploitasi dan ketimpangan ekonomi, serta gerakan
separatis. Empat hal tersebut telah banyak membantu menjelaskan persoalan
pembentukan identitas keacehan di masa konflik, jadi bagaimana identitas
dikonstruksi pada masa konflik. Tentu akan berbeda hasilnya dengan
pembentukan identitas yang dihasilkan dari tatanan masyarakat yang penuh
kedamaian.
Oleh karena itu, empat hal di atas sebagai bentuk studi kritis atas kondisi
sejarah sosial politik masyarakat Aceh paling tidak wajah keacehan dapat dilihat
melalui empat masalah di atas. Hanya sebagai sebuah hasil riset juga perlu
kiranya diuji melalui perdebatan kepustakan-kepustakaan yang perhatian pada isu
yang sama. Terlebih jika pembahasan dalam bab ini terhitung tidak kaya akan
data-data, sehingga tampak tidak komprehensif. Hampir semua isu diungkap
dalam bab ini, mulai dari bagaimana proses dan penyelesaian konflik yang tak
38
kunjung selesai, juga seperti otonomi khusus sebagai jalan keluar, pemberlakuan
darurat sipil, disusul dengan dinamika internasional yang dihubungkan dengan
gejolak pasca tsunami, serta bagaimana Aceh melakukan perjanjian damai.
Sehingga karya ini memuat banyak hal dengan analisis yang terbatas karena data
yang dimiliki tidak dapat mencover semua isu yang digarap.
Literatur selanjutnya buku yang membahas tentang identitas kultural
sebuah Gampong di Aceh, dengan judul “Runtuhnya Gampong di Aceh, studi
masyarakat desa yang sedang bergejolak”, terbit (2008). Buku ini telah ditulis
oleh tim peneliti LIPI sebagai sebuah hasil penelitian yang melihat dinamika
kelembagaan desa Gampong dalam era otonomi khusus Aceh. Beberapa hal yang
digarap dalam penelitian ini adalah menganalisis dinamika peran dan fungsi
kelembagaan gampong, serta menggambarkan persepsi masyarakat lokal terhadap
kebijakan penataan kelembagaan gapong, dan juga memetakan persoalan
demokratisasi dan otonomi yang muncul di lingkungan gampong. Asumsi dari
penulisan buku ini adalah bahwa Indonesia sebuah negara yang tengah berada
dalam proses transformasi sosial-dan politik. Salah satu arenanya adalah di
wilayah desa atau gampong di Aceh. Sebelum terbentuknya negara modern, desa
merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli,
termasuk sistem ekonomi pertanian, serta tradisi atau pranata lokal yang beragam.
Pasca diberlakukannya UU tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan
kelembagaan desa semacam ini. Akibatnya Desa telah mengalami berbagai
tekanan politik. Oleh karena itu, IDENTITAs Gampong telah dibentuk oleh suatu
tekanan politik yang sekian puluh tahun mengalami abnormalitas politik akibat
berlangsungnya konflik bersenjata. Buku ini belum banyak ditemukan perdebatan
39
antar agen/aktor dalam pembentukan identitas gampong secara lebih terbuka,
tetapi kalau toh ada dialektikanya masih strukturatif seperti hubungan negara dan
masyarakat, sebuah kelompok dominan dan tertindas.
Selanjutnya karya Edward Aspinal “Islam and Nation” Separatist
Rebellion in Aceh Indonesia, terbit (2009). Sebuah buku babon yang layak
menjadi literatur pilihan yang akan menjadi referensi penting bagi suatu projek
disertasi ini. Buku ini jelas membahas tentang identitas etnis yang dikaji dalam
perspektif sosial-politik secara kritis. Meski karya ini disampaikan dengan
kerendahan hati, karya ini merupakan studi yang ambisius. Aspinall telah
memberikan narasi sejarah yang seimbang dan menyeluruh dari konflik Aceh,
sekaligus membicarakan kasus Aceh dalam kaitannya dengan penjelasan yang
luas dari perdebatan teoritis dan studi banding terkait dengan Islam, nasionalisme,
perang saudara, dan konflik internal. Tujuannya bukan hanya untuk menggunakan
perspektif teoretis sebagai alat analisis dalam menjelasakan studi tentang Aceh
untuk efek yang lebih besar. Tetapi juga untuk berkontribusi pada perdebatan
komparatif yang lebih luas. Berdasarkan tahun penelitian, termasuk beberapa
ratus wawancara yang dilakukan di Aceh maupun di negara-negara lain seperti
Swedia dan Malaysia, studi ini berhasil dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam
proses penelitian ini Aspinall telah menyampaikan wawasan penting, dikemas dan
disajikan menjadi serangkaian karya yang berkelanjutan dan argumentasi yang
halus dan elegan yang menambah luas pemahaman kita tentang konflik di Aceh
dan resolusi yang dicapai. Hanya kemudian yang luput dari penjelasan buku ini
adalah bahwa dampak konflik di Aceh tidak ditunjukkan secara lebih terbuka
40
pada pembentukan identitas keacehan yang pengaruhnya sebenarnya sampai pada
perkembangan identitas keacehan belakangan ini, terutama pasca tsunami.
Selanjutnya karya Arndt Graf, Susanne Schroter, dan Edwin Wieringa (ed)
yang berjudul Aceh: History, Politic and Culture. Iseas. 2010. Sebuah karya
penting lainnya pasca konflik dan tsunami yang mencoba menunjukkan beberapa
informasi penting yang sangat membantu tentang sejarah Aceh, politik dan
budaya. Tentu saja juga menjelaskan bagaimana lembaga donor, sebagaimana
orang asing maupun intelektual domestik lainnya telah membangun jaringan
dengan orang Aceh. Buku ini ditulis sebagian oleh orang-orang Indonesia dan
para peneliti Aceh dari berbagai negara bersama intelektual Aceh sendiri. Buku
ini juga mewakili banyak aspek baru, seperti aspek kesejarahan keluarga Sultan,
hubungan orang-orang Turki Aceh dengan perang kolonial Belanda di Aceh.
Utamanya buku ini menekankan pada perkembangan kontemporer mengenai isuisu ekonomi, politik, Islam, dan media sebagaimana telah mewarnai literatur
Aceh.
Sebagai litaratur yang ditulis oleh banyak orang, tentu ditulis juga dengan
aneka perpektif dan temuan-temuan yang layak didedikasi dan disumbangkan
sebagai studi Aceh. Hanya dalam konteks tinjauan pustaka ini persoalan yang
masih menjadi kegelisahan peneliti adalah berbagai temuan yang didapatkan dari
para intelektual baik dari Indonesia maupun luar Indonesia belum menyentuh
pada persoalan pembentukan identitas keacehan sendiri sebagaimana konsentrasi
tema yang peneliti tulis. Temuan dilihat sebagai relasi-relasi antar variabel saja.
Aspek ekonomi, politik, maupun budaya berhenti didiskusikan lewat analisis
interpretatif kritis. Sementara hubungan yang sifatnya fenomenologi konstruktifis
41
belum banyak dieksplorasi dengan teori-teori kontempores sebagaimana kajian
identitas yang berkembang saat ini.
Dan terahir buku dengan judul “Acehnologi” yang ditulis oleh intelektual
Aceh sendiri Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, (2012). Buku ini terbilang masih
sangat segar dan fresh, bahkan ditulis dengan tampak ambisius namun mampu
menunjukkan data dan sumber-sumber pendukungnya. Buku ini sebenarnya telah
berkeinginan memetakan, sekaligus menjelaskan studi tentang Aceh (studi
keacehan) menjadi bagian dari disiplin keilmuan tersendiri seperti yang saya
inginkan bahwa studi-studi Aceh menjadi disiplin ilmu yaitu semacam Aceh
Studies. Artinya studi Aceh bukan lagi sebagai pelengkap tetapi menjadi objek
studi. Terlebih jika Aceh diletakkan dalam kajian interdisipliner, sehingga Aceh
bisa dilihat dari pendekatan sosiologis, antropologis, bahkan politik, dan teologis.
Namun formasi semacam ini masih sulit dilakukan karena selain sumberdaya
yang terbatas juga memang aspek filosofi studi ini belum terstruktur dengan
matang.
Sebagai sebuah buku yang ditulis secara matang, tema-tema di dalamnya
tentu tidak sekedar basa-basi intelektual, tetapi juga dibarengi dengan
penjelajahan tema-tema, sumber kepustakaan yang berhubungan dengan disiplin
keacehan, serta data dan analisis yang cukup seimbang dan representatif. Selain
itu Kamaruzzaman juga berusaha membangun dasar-dasar pemikiran untuk suatu
bidang keilmuan Aceh Studies. Oleh karena itu, menurut pengamatan peneliti
identitas keacehan yang disajikan dalam buku ini bukan sebuah proses sejarahkultural tentang keacehan secara empiris, yang dilalui oleh masa-masa perang,
konflik, hingga periode tsunami, tetapi merupakan bagian dari identitas keacehan
42
yang berbasis pada sumber-sumber pengetahuan, yaitu melalui pemahaman Aceh
Studies. Seperti yang tampak pada dua bab berturut2 yang secara khusus ingin
mendalami cara memahami alam pikiran keacehan yaitu melalui studi tentang
kearifan lokal dan isu yang paling dilarang di Aceh pada masanya yakni tradisi
tasawuf wahdat-al-wujud. Pada tataran kearifan lokal orang Aceh sangat
dianjurkan untuk menerapkannya walaupun sebenarnya terkadang berasal dari
tradisi Hindu dan Budha. Di sini tugas studi keacehan adalah menjelaskan
bagaimana orang Aceh bisa melegalkan tradisi-tradisi yang melawan keyakinan
mereka pada agama yang dianut. Dengan kata lain seorang Acehnologist perlu
mendalami akar kebudayaan dan dunia keacehan secara komprehensif.
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptifinterpretatif, yaitu selain didasarkan pada pengolahan data-data kualitatif, metode
penelitian deskriptif-interpretatif dirumuskan sebagai alat untuk menggambarkan
suatu fenomena melalui gejala, variabel-variabel, serta keadaan tertentu yang
menjadi kondisi objektif tema penelitian ini. Fenomena itu bisa berbentuk,
aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, serta perbedaan antara
fenomena satu dengan fenomena yang lain, antara kondisi sejarah tertentu dengan
masa sejarah kemudian.
Salah satu pendukung metode ini adalah Whintney (1960), ia turut
menjelaskan mengenai metode deskriptif-interpretatif ini adalah sebuah pencarian
fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajarai masalahmasalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta
situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap43
sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskriptif interpretatif
ini, masih menurut Whitnay, peneliti bisa membandingkan fenomena-fenomena
tertentu sehingga merupakan suatu setudi komparatif. Dengan demikian, melalui
metode deskriptif-interpretatif ini tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan
dan penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti yang
tersembunyi dari data tersebut, termasuk fakta-fakta ralasional yang berkembang.
Oleh karena itu, melalui metode penelitian deskriptif–interpretatif ini salah
satunya adalah ditandai dengan bentuk-bentuk penelitian komparatif, yaitu suatu
penelitian yang membandingkan satu fenomena atau gejala keacehan tertentu
dengan fenomena atau gejala keacehan yang lain.
Unit analisis penelitian atau juga disebut sebagai subjek penelitian ini
dibagi ke dalam dua penggolongan utama: Pertama, tentang pengamatan
menganai kondisi sosial-budaya masyarakat secara umum seperti sistem dan
praktik sosial masyarakat, sistem kekerabatan, praktik keagamaan dan adat,
pandangan hidup, lifestyle, serta hubungan sosial-kemasyarakatan pasca konflik
dan tsunami, kemudian mencoba membandingkan dengan kondisi sosial-budaya
masyarakat Aceh pada masa konflik dan sebelum tsunami; Kedua, secara khusus
penelitian ini fokus pada dua kategori subjek penelitian yaitu: a). Pada tingkat
personal, di antaranya tokoh agama, politik, pemerintah, maupun tokoh adat;
representasi perempuan; anak muda Aceh dan “para korban konflik dan tsunami”.
b). Tingkat kelembagaan, di antaranya: NGO lokal dan International, Ormas,
lembaga pendidikan dan pesantren, lembaga kebudayaan, Dinas pemerintahan
daerah maupun sektor swasta / kelompok bisnismen.
44
Adapun beberapa hal menjadi kreteria dalam memilih subjek penelitian,
antara lain: a) lembaga atau personal yang memiliki tingkat representasi publik
yang kuat, seperti: lembaga yang masih aktif dan punya kegiatan membawa misi
dan visi, serta wacana keacehan, lembaga yang banyak melakukan kegiatan
bersama masyarakat secara kongkrit, universitas-universitas, lembaga yang sevisi
dengan pengembangan dan pembangunan keacehan, dan begitu juga berlaku
untuk tingkat personal, aspek ketokohan seseorang, integritas ketokohan, aspek
popularitas, aspek pengakuan publik, aspek kepedulian terhadap masalah umat,
dan lain-lain, b) lembaga atau personal yang memiliki hubungan tematik dengan
isue atau concern terhadap objek penelitian, yang mana ditunjukkan dengan
program-program dan aktifitas lembaga yang relevan, c) lembaga independen dari
luar Aceh yang bekerja untuk pembangunan keacehan, seperti: lembaga donor,
lembaga penelitian, lembaga advokat, dan lain lain. Karena tidak mudahnya
menemukan kreteria tersebut, maka metode pengumpulan datanya diperluas
sampai pada metode-metode yang dapat menyaring pandangan, aspirasi, ataupun
kecenderungan-kecenderungan secara kolektif , termasuk dengan menggunakan
FGD (Focus Group Discussion) maupun juga FGI (Focus Group Interview).
Metode yang terkait dengan teknik pengumpulan data penelitian ini
adalah: Pertama, penelitian terhadap dokumen-dokumen dan data pendukung,
baik berbentuk buku-buku, jurnal, maupun hasil penelitian yang berbasis sejarah,
pemikiran, gaya hidup, perilaku keberagamaan, serta buku-buku yang bertemakan
konflik di Aceh, dan termasuk di antaranya adalah dokumen yang diperoleh dari
Kementrian Agama wilayah Banda Aceh, juga lembaga-lembaga NGO
internasional, pesantren, Ormas, lembaga adat dan Ulama dan juga dari lembaga-
45
lembaga penelitian yang memiliki perhatian pada studi-studi keacehan, seperti
The Aceh Institute, Kata hati, kontras, dll.
Kedua, dalam riset ini menggunakan metode partisipant observation
(pengamatan terlibat), indepth interview, dan Focus Group Discussion (FGD).
Ketiga metode penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung
terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan dan adat, baik yang dilakukan
secara individu maupun kolektif; program-program kerja lembaga atau pusatpusat kebudayaan; aktifitas dan hubungan antar elit baik pemerintah, aktifis NGO,
elit agama, maupun elit adat serta pimpinan kebudayaan Aceh; selain itu
pertanyaan
juga
difokuskan
pada
perubahan-perubahan
perilaku
sosial-
keagamaan, dan juga yang terpenting adalah melihat efek sosial-budaya pasca
konflik dan tsunami; juga tidak lupa menemukan informasi terkait dengan
keterlibatan seseorang, ataupun kelompok dalam kegiatan-kegiatan sosial
hubungannya dengan objek riset ini. Indepht interview di dalam studi ini
dilakukan juga untuk menggambarkan hubungan pola setiap tahap perubahan
historis (makro) dengan kecenderungan-kecenderungan sikap serta pandangan
masyarakat maupun responnya atas kondisi krisis pasca konflik dan tsunami.
Selain itu dalam melakukan indepth interview, peneliti menggunakan (interview
guide) pedoman wawancara yang sifatnya terbuka agar dapat berkembang sesuai
keperluan dan situasi yang dihadapi serta untuk membuat masyarakat merasa
nyaman dalam mengungkapkan semua pengetahuan, pengalaman dan informasi
penting lainnya yang sekiranya berhubungan dengan subjek penelitian ini.
Dalam pendekatan FGD ini peneliti mengundang perwakilan lembagalembaga sosial keagamaan, maupun dari perwakilan lembaga pemerintah. Mereka
46
dibagi dalam 3 (tiga) cluster. Pertama cluster lembaga adat, agama dan budaya,
seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Adat Aceh (MAA),
Lembaga Adat dan Kebudayaan (LAKA), Dinas Syariat, Kyai dayah / pesantren
tradisonal, pesantren modern, dan juga tarekat groups, ; kedua, cluster organisasi
masyarakat, dan LSM lokal maupun Internasional seperti Yayasan Pengembangan
Sumber Daya Insani, Remaja Melati Tunas Marhamah, Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan
Masyarakat
Aceh,
Masyarakat
Kota,
Aceh
Foundation
Community and Education, Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa, Mitra Sejati
Perempuan Indonesia, Pusat Gerakan dan Advokasi Rakyat, Aceh Institute, Kata
Hati, Kontras, dan lain-lain. Sementara dari NGO Internasional, seperti: CWS,
Islamic Relief, IOM, Caritas, dan Bunda Suci, world Bank, USAID-CSSP, Mercy,
dan lain-lain. Ketiga, adalah cluster instansi pemerintah, sektor swasta, Akademisi
dan peneliti. Ketiga cluster di atas masing-masing mengirimkan perwakilan dan
ketiganya dilaksanakan dalam waktu yang berbeda.
Ketiga, berkaitan dengan menguji keabsahan data: untuk mengecek
keabsahan data digunakan metode triangulasi yaitu menggunakan sesuatu yang
lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan pembandingan. Ada empat
cara dalam triangulasi yaitu 1) membandingkan data pengamatan dengan hasil
wawancara, 2) membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi, 3) mengkonfirmasi hasil wawancara dari satu
orang ke orang lain yang sifatnya cross-cek, 4) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Keempat, berkaitan dengan tahapan menganalisis data: yaitu dilakukan
dengan cara 1) tematis, yakni berdasarkan data-data yang relevan, 2) kontekstual,
47
yakni menguji kaitan data dengan konteks eksternal seperti lingkungan dan
komunitas, nilai dan pandangan hidup dsb 3) interpretative, yakni: melihat makna
yang terkandung dalam data yang telah didapatkan.
48
Download