ISSN 2541-3953 JSE VOL. 1 NO. 1 HAL 1-71 Diterbitkan Oleh: SLB NEGERI SERDANG BEDAGAI Jl. Besar Desa Bengabing Kec. Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai 20988 Website: www.slbnserdangbedagai.sch.id NOVEMBER DESEMBER 2016 Pengantar Puji syukur kita sampaikan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt., atas limpahan karunia-Nya kita terus dibimbing untuk menjadi insan-insan terdidik dan menebarkan energi kebaikan melalui dunia pendidikan. Terbitnya Jurnal Pendidikan Khusus dengan nama Jurnal Special Edu – sebagai Jurnal Pendidikan Khusus yang pertama dan satu-satunya di Sumatera Utara – adalah bagian usaha dari insan-insan terdidik SLB Negeri Serdang Bedagai untuk menebarkan energi kebaikan melalu dunia pendidikan terutama pendidikan khusus. Dengan kehadiran jurnal ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana bagi Praktisi, Pegiat dan/atau Pemerhati Pendidikan Khusus di Sumatera Utara pada khususnya dan Nusantara pada umumnya untuk berbagi ide dan gagasan; bertukar pengalaman dalam memberikan layanan prima, optima dan ultima berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan khusus serta tantangan dan harapan bagi Anak Berkemampuan/Berkebutuhan Khusus (ABK) pada masa yang akan datang. Pada terbitan yang pertama ini Jurnal Special Edu akan membahas tentang: Kemampuan Membaca Pemahaman Pada Anak Dengan Hambatan Pendengaran Kelas 4 Di SLB-B Prima Bakti Mulya; Profil Pelaksanaan Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu Di SLB Kabupaten Sukoharjo; Program Pembelajaran Membaca Permulaan Untuk Mengakomodasi Siswa Kelas II Dengan Kesulitan Membaca Permulaan di Sekolah Dasar; Kursi Roda Kerja Untuk Bapak X (individu dengan hambatan fisik); Pelaksanaan Pembelajaran Agama Islam Materi Sholat Bagi Anak Tunagrahita di SLB Sukoharjo; Model Pembelajaran Dengan Pendekatan Saintifik Berbasis Ice Breaker Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Anak Tunagrahita Ringan Di SLB C YPAC Semarang. Akhirnya dengan mengharap ridho Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt., semoga kehadiran jurnal ini mencerahkan, mengedukasi dan bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Serdang Bedagai, November 2016 Penanggung jawab Jurnal Special Edu SUHENDRI NIP. 19820504 200604 1 004 i Dewan Redaksi JURNAL SPECIAL EDU Jurnal Pendidikan Khusus Terbit Enam Kali Setahun (2 Bulanan) Pada Bulan Januari, Maret, Mei, Juli, September, November ISSN 2541-3953 PENANGGUNGJAWAB: SUHENDRI KETUA PENYUNTING: ELFA ADILA PENYUNTING PELAKSANA: DARTA PARDAMEAN SARAGIH NICKI ANDRINA SARI VIVI WAHYUNINGSIH ROSMA BR. SEMBIRING NELDEWITA PENYUNTING AHLI MUSYAFAK ASSJARI (UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG) RAHMAT HIDAYAT (UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN) CANDRA WIJAYA (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA) HAIDIR LUBIS (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA) MUHAMMAD FADHLI (IAIN MALIKUSSALEH ACEH) TATA USAHA: RICKI KURNIAWAN IMELDA NASUTION SURI HAKIKI FREDY PRATAMA PENERBIT: SLB NEGERI SERDANG BEDAGAI JURNAL SPECIAL EDU menerima artikel kebijakan, penelitian, pemikiran, review teori/konsep/metodologi, dan informasi lain yang berkaitan dengan pendidikan khusus. “Isi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis” ii Pedoman Penulisan 1) Artikel merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah di publikasikan. 2) Artikel ditulis di kertas A4 dengan font “Times New Roman 12pt” 3) Artikel ditulis maksimal 15 halaman. 4) Seluruh artikel ditulis dengan Bahasa Indonesia 5) Susunan Jurnal Hasil Penelitian: Judul (14 pt) Nama Penulis Institusi dan Alamat Email Abstrak (150-200 kata) Kata Kunci (Maks. 5 kata) Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Ucapan Terima Kasih (jika diperlukan) Referensi (Daftar Pustaka) 6) Susunan Artikel Kajian Teori: Judul (14 pt) Nama Penulis Institusi dan Alamat Email Abstrak (150-200 kata) Kata Kunci (Maks. 5 kata) Pendahuluan Sub Judul Sub Judul Kesimpulan Ucapan Terima Kasih (jika diperlukan) Referensi (Daftar Pustaka) iii Sistematika Penulisan 1. Artikel yang ditulis untuk Jurnal Special Edu meliputi hasil penelitian dan hasil telaah di bidang Pendidikan Khusus, yakni mengenai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) baik berupa konsep pemikiran, hasil kajian, maupun hasil penelitian yang memberi kontribusi pada pemahaman, pengembangan, dan penanganan terhadap ABK di Indonesia. 2. Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Times New Roman, ukuran 12pt dengan spasi 1,5 pada kertas A4 menggunakan margin sisi atas dan kiri 4 cm, margin sisi bawah dan kanan 3 cm, dengan panjang tulisan 1015 halaman. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia. 4. Artikel ditulis dengan sistematika dan ketentuan sebagai berikut: Judul Artikel Judul artikel tidak boleh lebih dari 25 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di tengah-tengah dengan ukuran huruf 14 pt. Nama Penulis Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai asal lembaga, dan ditempatkan di bawah judul artikel. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting atau redaksi hanya berhubungan dengan penulis utama atau yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespondensi atau e-mail. Instansi Penulis Ditulis nama instansi tempat penulis berasal, letaknya dibawah nama penulis, misal: Universitas Negeri Medan. iv Abstrak Abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia. Abstrak diketik 1 cm menjorok kedalam. Panjang abstrak 150-200 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata (sesuai dengan variabel penelitian/telaah). Abstrak Hasil Penelitian: memuat tujuan, metode penelitian dan hasil penelitian. Artikel Kajian dan Konsep Pemikiran: memuat permasalahan dan pembahasan. Kata Kunci Berisi kata atau istilah yang mencerminkan esensi konsep dalam cakupan permasalahan, dapat terdiri dari beberapa buah kata/istilah dan terdapat dalam abstrak. Kata kunci ditulis di bawah abstrak dicetak miring-tebal. Batang Tubuh Artikel Artikel hasil penelitian terdiri atas pendahuluan yang memuat latar belakang permasalahan termasuk tujuan, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, serta kesimpulan. Artikel kajian dan konsep pemikiran terdiri atas pendahuluan yang berisi permasalahan dan kerangka berpikir dan atau kerangka analisis, sub-subjudul yang berisi pembahasan, dan penutup. Daftar Pustaka/Daftar Rujukan Daftar pustaka yang dirujuk sangat disarankan dari pustaka primer, mutakhir dan bukan merupakan tulisan sendiri. Daftar rujukan/daftar pustaka disusun mengacu pada APA Style seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis: Rujukan dari buku: Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai Ideology Bangsa: dari Pilihan Satusatunya ke Satu-satunya Azas. Malang: FPIPS IKIP Malang. Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh huruf a, b, c, dan seterusnya yang urutannya v ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul bukubukunya. Contoh: Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career Ladder Plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning Carrer Ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (terdapat editornya). Ditambah dengan ed jika satu editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh: Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., eds. 2009. Handbook of Qualitative Research. Terj. Daryatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya) contoh: Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat dan YA3. Rujukan dari buku yang ditulis lebih dari dua penulis et.al maupun dkk. ditulis lengkap nama penulis lainnya. Heo, K. H. G., Cheatham, A., Mary, L. H., & Jina, N. 2014. Korean Early Childhood Educators’ Perceptions of Importance and Implementation of Strategies to Address Young Children’s Social-Emotional Competence. Journal of Early Intervention, 36 (1), hlm. 49-66. Rujukan dari artikel dalam jurnal, contoh: Naga, D.S. 1998. Karakteristik Butir pada Alat Ukur Model Dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III (4), hlm. 34-42 Rujukan dari artikel dalam majalah atau koran, contoh: Alka, D.K. 4 Januari 2011. Republik Rawan Kekerasan? Suara Karya, hlm. 11 Rujukan dari Koran tanpa penulis, contoh: Kompas. 19 September 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji, Berkreasi dengan Wayang di Eropa, hlm. 16 vi Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan tanpa lembaga, contoh: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya. Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut, contoh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Rujukan dari karya terjemahan, contoh: Sztompka, P. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terj. Alimandan) Jakarta: Penerbit Prenada. Rujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi, contoh: Indarno, J. 2002. Kontribusi Penerapan Berbasis Sekolah terhadap Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Tingkat Dasar di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, atau lokakarya, contoh: Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah: Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus 2003 di Hotel Inna Garuda Yogyakarta. Rujukan dari internet, contoh: Jamhari, M. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp. diakses tanggal 15 Januari 2012. 5. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah dan ihwal lain yang terkait dengan HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel. 6. Artikel yang masuk ke meja redaksi diseleksi oleh tim penyuntingRedaksi hanya menerima tulisan yang sesuai dengan ketentuan redaksi. Redaksi hanya vii menerima tulisan yang sesuai dengan ketentuan redaksi. Artikel dapat diterima tanpa perbaikan, diterima dengan perbaikan dan/atau ditolak. 7. Tulisan dapat dikirimkan kepada redaksi Jurnal “SPECIAL EDU” melalui email dengan alamat [email protected] atau diserahkan langsung/via pos berupa hard copy dan softcopy sebanyak 1 eksemplar ke: Sekretariat Jurnal Pendidikan Khusus “SPECIAL EDU” SLB Negeri Serdang Bedagai Jl. Besar Desa Bengabing Kec. Pegajahan Kab. Serdang Bedagai Kode Pos. 20988 8. Sebagai bukti pemuatan artikel, kepada penulis akan dikirimkan Jurnal Special Edu melalui email. viii Daftar Isi Pengantar i Dewan Redaksi ii Pedoman Penulisan iii Sistematika Penulisan iv Daftar Isi ix Dewi Ekasari Kusumastuti, Zaenal Alimin Kemampuan Membaca Pemahaman Pada Anak Dengan Hambatan Pendengaran Kelas 4 Di SLB-B Prima Bakti Mulya 1-13 Dieni Laylatul Zakia, Sunardi, Sri Yamtinah Profil Pelaksanaan Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu Di SLB Kabupaten Sukoharjo 14-26 Elfa Adila Program Pembelajaran Membaca Permulaan Untuk Mengakomodasi Siswa Kelas II Dengan Kesulitan Membaca Permulaan di Sekolah Dasar 27-37 Asrori Ahmad, Amanah , Suratmi Rachmat , Sri Rezeki Sulantina Kursi Roda Kerja Untuk Bapak X (individu dengan hambatan fisik) 38-44 Nurian Anggraini, Dwi Aris Himawanto, Abdul Salim Pelaksanaan Pembelajaran Agama Islam Materi Sholat Bagi Anak Tunagrahita di SLB Sukoharjo 45-55 Wahyu Agus Setyani Model Pembelajaran Dengan Pendekatan Saintifik Berbasis Ice Breaker Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Anak Tunagrahita Ringan Di SLB C YPAC Semarang. 56-71 ix Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN PADA ANAK DENGAN HAMBATAN PENDENGARAN KELAS 4 DI SLB-B PRIMA BAKTI MULYA Dewi Ekasari Kusumastuti dan Zaenal Alimin Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40154 Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya pemahaman anak dengan hambatan pendengaran dalam memahami bacaan (membaca pemahaman). Untuk mengetahui kemampuan membaca pemahaman anak dengan hambatan pendengaran secara lebih mendalam perlu dilakukannya asesmen membaca pemahaman. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan membaca pemahaman anak dengan hambatan pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata siswa dengan hambatan pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya mengalami hambatan dalam pemahaman konsep kata tanya, penguasaan kosakata dan pemahaman isi teks bacaan secara utuh. Kata kunci: Kemampuan Membaca Pemahaman, Asesmen Membaca Pemahaman, Anak dengan Hambatan Pendengaran PENDAHULUAN Bunawan dan Yuwati (2000 : 33) mengemukakan bahwa “Permasalahan utama yang dialami oleh anak dengan hambatan pendengaran adalah bukan ketidakmampuannya dalam berbicara melainkan akibat dari keadaan tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasa, yaitu ketidakmampuan mereka dalam memahami lambang dan aturan bahasa.” Selain itu, mereka juga mengalami keterbatasan dalam penguasaan kosakata dan memaknai kata. Sebagaimana dikemukakan oleh Queril dan Forschhammer (dalam Bunawan dan Yuwati, 2000 : 52) : Anak yang mendengar tidak mengalami masalah dalam memperoleh masukan bahasa dalam jumlah yang besar, lengkap dan jelas karena sepanjang hari akan dibanjiri dengan bahasa melalui pendengarannya, 1 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 sedangkan bagi kaum anak dengan hambatan pendengaran keadaan itu hanya dapat dicapai bila diimbangi dengan membaca. Sejalan dengan pernyataan di atas, salah satu dampak dari hambatan berbahasa yang dialami anak dengan hambatan pendengaran adalah mereka mengalami kesulitan dalam memahami isi bacaan atau yang biasa disebut dengan membaca pemahaman. Aulia (2012 : 347) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa “ membaca pemahaman bagi anak dengan hambatan pendengaran dilihat sebagai alat yang tidak tergantikan dalam perkembangan bahasa, karena kemampuan tersebut merupakan dasar untuk memiliki kemampuan selanjutnya.” Berkenaan dengan itu, penguasaan dari kemampuan ini ditekankan pada pemahaman makna dari bacaan yang dibaca. Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa pentingnya penguasaan kemampuan membaca pemahaman bagi anak dengan hambatan pendengaran. Namun, proses penguasaan kemampuan tersebut tidaklah mudah dikarenakan hambatan pendengaran yang mereka alami. Berlandaskan pendapat beberapa ahli (dalam Coppens, dkk, 2010 : 464) dalam penelitiannya diketahui bahwa ‘In general, hearing-impaired children show lower levels of reading comprehension than their hearing peers’. Makna pernyataan beberapa ahli di atas adalah secara umum, anak-anak dengan hambatan pendengaran menunjukkan tingkat pemahaman bacaan yang lebih rendah daripada anak mendengar. Lebih lanjut beberapa ahli (dalam coppen, dkk, 2010 : 464) tersebut mengemukakan bahwa ‘Only 4% of the hearing-impaired students in their study were reading at an ageappropriate level. The poor vocabulary (in terms of size and/or depth of semantic knowledge) of hearing-impaired students may limit their reading comprehension’. Secara garis besar, beberapa ahli tersebut mengemukakan bahwa hanya 4% dari siswa dengan hambatan pendengaran dalam penelitian mereka yang mampu membaca pada tingkat yang sesuai dengan usia. Minimnya kosakata yang dimiliki (dalam hal ukuran dan/atau kedalaman pengetahuan semantik) siswa dapat membatasi kemampuannya dalam memahami bacaan. Sehubungan dengan pemaparan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan membaca pemahaman anak dengan hambatan 2 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya. Dalam rangka mencapai tujuan penelitian tersebut, peneliti harus menjawab pertanyaan penelitian, “Bagaimana kemampuan membaca pemahaman anak dengan hambatan pendengaran kelas 4 SDLB?”. METODE PENELITIAN Penelitian ini berlokasi di SLB-B Prima Bakti Mulya dengan subyek penelitian 6 orang anak dengan hambatan pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan asesmen membaca pemahaman dengan teknik analisis data secara kualitatif. Sehubungan dengan itu, analisis data yang digunakan berlandaskan pada kerangka yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Teknik analisis ini terdiri dari tiga fase, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan menarik kesimpulan atau verifikasi (Basrowi dan Suwandi, 2008). Sehingga dalam penelitian ini kemampuan membaca pemahaman anak dengan hambatan pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya yang diperoleh dari kegiatan asesmen membaca pemahaman dianalisis secara kualitatif. Sebagai penunjang, sebelum dilakukan analisis, dilakukan penskoran nilai terlebih dahulu untuk menentukan tingkat kemampuan membaca pemahaman masing-masing anak. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian Peneliti melakukan asesmen kepada enam orang siswa dengan hambatan pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya. Jenis-jenis pertanyaan yang diujikan dalam proses asesmen tersebut meliputi jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta, eksplisit tentang urutan/sekuen, eksplisit tentang argumentasi, implisit dan pertanyaan terkait pemahaman interpretasi. Berkenaan dengan itu; Herdianti, dkk (2014) secara garis besar memaparkannya pada tabel di bawah ini: Tabel 1. 1 Indikator Pencapaian Kemampuan Membaca Pemahaman 3 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Ruang Jenis Indikator Bobot Lingkup Pertanyaan Pemahaman Eksplisit tentang Dapat memahami isi teks bacaan Isi Bacaan Fakta yang Penilaian bersifat tekstual. 1 Cara untuk menggali pemahaman ini melalui pertanyaan apa, siapa, berapa dan kapan. Eksplisit tentang Dapat memahami isi teks bacaan Sekuen / Urutan berdasarkan urutan logika teks 1 yang dibacanya. Pemahaman ini dapat digali melalui pertanyaan yang mengarah kepada urutan peristiwa atau kejadian dan hubungan sebab akibat. Eksplisit tentang Dapat memahami isi teks bacaan Argumentasi yang mengandung argumentasi. 2 Pemahaman ini digali melalui pertanyaan yang mengandung argu-mentasi. Seperti: mengapa, bagaimana. Implisit Dapat memahami isi teks bacaan 1 yang terdapat di luar konten bacaan tetapi masih memiliki hubungan dengan teks tersebut. Pertanyaan Dapat memahami teks bacaan terkait dengan pemahaman kembali apa yang tersampaikan interpretasi dalam cara teks 2 mengungkapkan dalam suatu ringkasan yang relatif sederhana. 4 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Langkah selanjutnya setelah diketahui indikator pencapaian kemampuan membaca pemahaman siswa melalui tes pemahaman isi bacaan, dilakukan penskoran nilai untuk menentukan tingkat kemampuan membaca pemahaman. Adapun hasil penskoran tes pemahaman isi bacaan dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 1.2 Hasil Penskoran Tes Pemahaman Isi Bacaan Perolehan Nilai Kelas 4 No. Nama Paket Tahap 1 Siswa Soal 16 Maret 16 Maret 2016 2016 1. HAS A 73,33 % 2. WMF A 46,67 % 3. AAR B 73,33 % 4. RMA B 46,67 % 5. PNS B 73,33 % 6. MTA A 46,67 % Level Instruction Level Frustation Level Instruction Level Frustation Level Instruction Level Frustation Level Tahap 2 53,33 % 46,67 % 66,67 % 33.33 % 60 % 38,46 % Level Instruction Level Frustation Level Instruction Level Frustation Level Instruction Level Frustation Level Setelah diketahui indikator pencapaian dan tingkat kemampuan membaca pemahaman masing-masing siswa, diperoleh gambaran kemampuan pemahaman isi bacaan anak dengan hambatan pendengaran kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya. Adapun gambaran kemampuan tersebut dijelaskan lebih lanjut pada tabel di bawah ini: Tabel 1.3 Gambaran Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas IV di SLB-B Prima Bakti Mulya Berdasarkan Hasil Asesmen Inisial Siswa Gambaran Kemampuan Siswa HAS Kemampuan pemahaman isi bacaan HAS dikategorikan berada 5 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 pada instruction level. Artinya, HAS dapat memahami isi bacaan namun belum sempurna sehingga membutuhkan bantuan berupa penjelasan lebih detail tentang soal atau konsep yang tidak dipahami. Berdasarkan hasil asesmen tahap I dan II, HAS telah mampu menjawab jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta. Hal tersebut terlihat dari HAS mampu menjawab dengan benar pertanyaan apa, siapa, berapa, kapan dan dimana dengan mencari jawabannya pada teks bacaan. Untuk jenis pertanyaan implisit, HAS telah mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang menanyakan judul dari teks bacaan. Sedangkan, untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, salah atau benarnya jawaban HAS tergantung pada teks bacaan. Diasumsikan seperti itu karena terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, HAS mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II HAS tidak mampu menjawab dengan benar. Sama halnya dengan jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, pada jenis eksplisit tentang Argumentasi juga terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, HAS mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II, HAS tidak mampu menjawab dengan benar. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman siswa terhadap teks bacaan yang diberikan. Selanjutnya, untuk pertanyaan terkait pemahaman interpretasi, HAS telah mampu menceritakan kembali inti dari isi teks bacaan dalam bentuk poin-poin, namun poin-poin tersebut belum mencakup inti dari isi teks bacaan. Dapat dikatakan hampir mendekati indikator yang ingin dicapai. WMF Kemampuan pemahaman isi bacaan WMF dikategorikan pada frustation level. Artinya, WMF belum mampu atau gagal dalam memahami isi bacaan walaupun telah diberikan bantuan atau 6 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 AAR arahan. Berdasarkan hasil asesmen tahap I dan II, WMF telah mampu menjawab jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta. Hal tersebut terlihat dari WMF mampu menjawab dengan benar pertanyaan siapa, berapa, kapan dan dimana dengan mencari jawabannya pada teks bacaan. Namun, pada pertanyaan “apa” salah atau benarnya jawaban WMF tergantung pada teks bacaan yang diberikan. Diasumsikan seperti itu karena terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, WMF tidak mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II WMF mampu menjawab dengan benar. Untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, WMF telah mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang mengarah kepada hubungan sebab akibat. Selain itu, WMF juga telah mampu menjawab dengan benar jenis pertanyaan implisit yang menanyakan tentang judul teks bacaan. Sedangkan, untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang Argumentasi, WMF belum mampu menjawab dengan tepat. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman siswa terhadap teks bacaan yang diberikan. Selanjutnya, untuk pertanyaan terkait pemahaman interpretasi, WMF telah mampu menceritakan kembali inti dari isi teks bacaan dalam bentuk poin-poin. Poin-poin tersebut tampak menyalin dari teks bacaan dan belum mencakup inti dari isi teks bacaan tersebut. Namun, dapat dikatakan hampir mendekati indikator yang ingin dicapai. Kemampuan pemahaman isi bacaan AAR dikategorikan berada pada instruction level. Artinya, AAR dapat memahami isi bacaan namun belum sempurna sehingga membutuhkan bantuan berupa penjelasan lebih detail tentang soal atau konsep yang tidak dipahami. Berdasarkan hasil asesmen tahap I dan II, AAR telah mampu menjawab jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta. Hal tersebut terlihat dari AAR mampu menjawab dengan benar pertanyaan apa, berapa, kapan dan dimana dengan mencari jawabannya pada teks bacaan. Namun, pada pertanyaan yang mengandung kata tanya “siapa”, salah atau benarnya jawaban AAR tergantung pada teks bacaan yang diberikan. Diasumsikan seperti itu karena terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, AAR tidak mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II AAR mampu menjawab 7 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 RMA dengan benar. Untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, AAR telah mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang mengarah kepada hubungan sebab akibat. Selain itu, AAR juga telah mampu menjawab dengan benar jenis pertanyaan implisit yang menanyakan tentang judul teks bacaan. Sedangkan, untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang Argumentasi, terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, AAR mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II AAR tidak mampu menjawab dengan benar. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman siswa terhadap teks bacaan yang diberikan. Selanjutnya, untuk pertanyaan terkait pemahaman interpretasi, AAR telah mampu menceritakan kembali inti dari isi teks bacaan dalam bentuk poin-poin. Poin-poin tersebut tampak menyalin dari teks bacaan dan belum mencakup inti dari isi teks bacaan tersebut. Namun, dapat dikatakan hampir mendekati indikator yang ingin dicapai. Kemampuan pemahaman isi bacaan RMA dikategorikan berada pada frustation level. Artinya, RMA belum mampu atau gagal dalam memahami isi bacaan walaupun telah diberikan bantuan atau arahan. Berdasarkan hasil asesmen tahap I dan II, RMA telah mampu menjawab jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta. Hal tersebut terlihat dari RMA mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang mengandung kata tanya “siapa, berapa dan kapan” dengan mencari jawabannya pada teks bacaan. Namun, pada pertanyaan apa, salah atau benarnya jawaban RMA tergantung pada teks bacaan. Diasumsikan seperti itu karena terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, RMA mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II RMA tidak mampu menjawab dengan benar. Selain itu, RMA belum mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang mengandung kata tanya “dimana”. Ia tampak belum memahami penggunaan kata tanya “dimana.” Dikarenakan tidak terdapat hubungan sama sekali antara jawaban RMA dengan pertanyaan bacaan. Begitu halnya dengan jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, RMA juga belum mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang mengarah kepada hubungan sebab akibat. Untuk jenis pertanyaan implisit, RMA telah mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang menanyakan judul 8 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PNS MTA dari teks bacaan. Sedangkan, untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang Argumentasi, RMA belum mampu menjawab dengan tepat. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman siswa terhadap teks bacaan yang diberikan. Selanjutnya, untuk pertanyaan terkait pemahaman interpretasi, RMA telah mampu menceritakan kembali inti dari isi teks bacaan dalam bentuk poin-poin. Poin-poin tersebut tampak menyalin dari teks bacaan dan belum mencakup inti dari isi teks bacaan tersebut. Namun, dapat dikatakan hampir mendekati indikator yang ingin dicapai. Kemampuan pemahaman isi bacaan PNS dikategorikan berada pada instruction level. Artinya, PNS dapat memahami isi bacaan namun belum sempurna sehingga membutuhkan bantuan berupa penjelasan lebih detail tentang soal atau konsep yang tidak dipahami. Berdasarkan hasil asesmen tahap I dan II, PNS telah mampu menjawab jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta. Hal tersebut terlihat dari PNS mampu menjawab dengan benar pertanyaan apa, siapa, berapa, kapan dan dimana dengan mencari jawabannya pada teks bacaan. Untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, PNS telah mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang mengarah kepada hubungan sebab akibat. Selain itu, PNS juga telah mampu menjawab dengan benar jenis pertanyaan implisit yang menanyakan tentang judul teks bacaan. Sedangkan, untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang Argumentasi, PNS belum mampu menjawab dengan tepat. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman siswa terhadap teks bacaan yang diberikan. Selanjutnya, untuk pertanyaan terkait pemahaman interpretasi, PNS telah mampu menceritakan kembali inti dari isi teks bacaan dalam bentuk poin-poin. Poin-poin tersebut tampak menyalin dari teks bacaan dan belum mencakup inti dari isi teks bacaan tersebut. Namun, dapat dikatakan hampir mendekati indikator yang ingin dicapai. Kemampuan pemahaman isi bacaan MTA dikategorikan berada pada frustation level. Artinya, MTA belum mampu atau gagal dalam memahami isi bacaan walaupun telah diberikan bantuan atau arahan. Berdasarkan hasil asesmen tahap I dan II, MTA 9 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 telah mampu menjawab jenis pertanyaan eksplisit tentang fakta. Hal tersebut terlihat dari MTA mampu menjawab dengan benar pertanyaan apa, berapa, kapan dan dimana dengan mencari jawabannya pada teks bacaan. Namun, pada pertanyaan siapa salah atau benarnya jawaban MTA tergantung pada teks bacaan. Diasumsikan seperti itu karena terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, MTA mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II MTA tidak mampu menjawab dengan benar. Begitu halnya dengan jenis pertanyaan eksplisit tentang sekuen/urutan, terdapat perbedaan hasil pada tahap I dan II. Pada tahap I, MTA tidak mampu menjawab dengan benar, sedangkan pada tahap II, MTA mampu menjawab dengan benar. Untuk jenis pertanyaan implisit, MTA telah mampu menjawab dengan benar pertanyaan yang menanyakan judul dari teks bacaan. Sedangkan, untuk jenis pertanyaan eksplisit tentang Argumentasi, MTA belum mampu menjawab dengan tepat. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman siswa terhadap teks bacaan yang diberikan. Selanjutnya, untuk pertanyaan terkait pemahaman interpretasi, pada dasarnya MTA telah memahami inti dari teks bacaan. MTA menceritakan kembali isi teks ini berdasarkan pengalamannya dan mencoba mengungkapkannya dengan bahasanya sendiri. Namun, bukan hal tersebut yang dimaksudkan dalam pertanyaan ini sehingga diasumsikan jawaban MTA belum sesuai dengan indikator. Berdasarkan gambaran kemampuan siswa kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hambatan yang dialami siswa di kelas tersebut pada pemahaman konsep kata tanya, penguasaan kosakata dan pemahaman isi teks bacaan secara utuh. 2. Pembahasan Setelah melakukan kegiatan asesmen membaca pemahaman diperoleh gambaran kemampuan pemahaman isi bacaan siswa kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya. Pada dasarnya hambatan yang dialami siswa di kelas tersebut adalah pemahaman konsep kata tanya, penguasaan kosakata dan pemahaman 10 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 isi teks bacaan secara utuh. Hambatan yang dialami oleh para siswa tersebut merupakan dampak dari keterlambatan perkembangan bahasa yang mereka alami. Hal tersebut didukung oleh pendapat Leigh dalam Hernawati (2007, hlm.2-3): Masalah utama kaum dengan hambatan pendengaran bukan terletak pada tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan, melainkan akibat hal tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa. Secara lebih spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang/kode atau „nama‟ yang digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan/sistem/tata bahasa. Keadaan ini terutama dialami anak tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir atau usia dini (tuli prabahasa). Sejalan dengan pendapat di atas, Rachman (dalam Rohman, 2013, hlm. 2) mengemukakan bahwa: Penguasaan bahasa anak dengan hambatan pendengaran dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari banyaknya perbendaharaan kata yang dimilikinya. Peningkatan perbendaharaan kata dalam menyusun kata atau kalimat menentukan keberhasilan anak dengan hambatan pendengaran sedang dalam berkomunikasi dan dapat memahami informasi yang diperolehnya. Bahwa perbendaharaan atau kosa kata yang dimiliki seseorang biasanya dijadikan ukuran untuk menetapkan kadar pengetahuan, tingkat kecerdasan, dan pengalaman pribadi orang yang bersangkutan. Beberapa pendapat di atas memperkuat hasil asesmen membaca pemahaman yang telah dilakukan pada penelitian ini. Anak dengan hambatan pendengaran mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga perbendaharaan kata yang dimilikinya tidak seperti siswa reguler pada umumnya. Adapun dampak dari kondisi tersebut, mereka mengalami kesulitan untuk mengenal atau mengerti lambang/kode atau „nama‟ yang digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan/sistem/tata bahasa. Sehingga para siswa dengan hambatan pendengaran mengalami kesulitan dalam memahami konsep kata tanya, penguasaan kosakata dan pemahaman isi teks bacaan secara utuh. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian ini sejalan dengan 11 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 pernyataan Yuwati (dalam Budiarti, 2013) dalam penelitiannya yang mengemukakan bahwa „tingkat pemahaman membaca siswa sekolah luar biasa berada jauh di bawah kemampuan siswa sekolah reguler, bahkan nilai yang diperoleh siswa dengan hambatan pendengaran berada jauh dibawah kemampuan siswa sekolah reguler‟. KESIMPULAN Kemampuan Anak Dengan Hambatan Pendengaran Kelas 4 di SLB-B Prima Bakti Mulya adalah rata-rata siswa di kelas tersebut mengalami hambatan dalam pemahaman konsep kata tanya, penguasaan kosakata dan pemahaman isi teks bacaan secara utuh. Sehingga dapat dikatakan Anak dengan hambatan pendengaran di kelas tersebut memiliki kemampuan membaca pemahaman yang membutuhkan perhatian dan intervensi khusus. DAFTAR PUSTAKA Aulia, R. 2012. Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Pada Anak Tunarungu. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1 (2), hlm. 347357 Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta Budiarti, K. (2013). Strategi Pembelajaran PQ4R Terhadap Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Tunarungu di SMALB-B Surabaya. Jurnal Pendidikan Khusus, 3 (3), hlm. 1-7. Bunawan dan Yuwati. 2000. Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santirama Coppens, K.M., Tellings, A., Verhoeven, L.., & Schreuder, R. 2011. Depth of Reading Vocabulary in Hearing and Hearing-impaired children. Journal Reading and Writing, 24 (4), hlm. 463-477 Herdiyanti, R.S, dkk. Bandung : ________ 2014. Asesmen Membaca Lanjutan. Hernawati, Tati. 2007. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu. JASSI_anakku, 7 (1), hlm. 101-110 12 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Rohman, F. (2013). Permainan Susun Kata Terhadap Peningkatan Perbendaharaan Kata Anak Tunarungu. Jurnal Pendidikan Khusus, 2 (2), hlm. 1-10 13 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO Dieni Laylatul Zakia, Sunardi, Sri Yamtinah Magister Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana UNS Jl. Ir. Sutami No. 36A, Surakarta, Jawa Tengah 57126 Email : [email protected] Hp. 085642224207 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran IPA, hambatan pelaksanaan pembelajaran IPA dan upaya mengatasi hambatan pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu di SLB Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah guru kelas, siswa, dan kepala sekolah. Fokus penelitian ini adalah 1) pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu di SLB Kabupaten Sukoharjo, 2) hambatan pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu pada SLB Kabupaten Sukoharjodan 3) upaya mengatasi hambatan pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungupada SLB Kabupaten Sukoharjo. Data dikumpulkan dengan melakukan studi dokumen, observasi, dan wawancara serta dianalisis secara interpretatif dengan teknik trianggulasi sumber informasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwapelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu masih belum berjalan dengan optimal meskipun sudah sistematis sesuai silabus dan RPP, ada beberapa kendala yang dialami selama pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu terutama dalam penerapan metode dan penggunaan media, sudah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi kendala yang dialami selama pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu. Kata kunci : pembelajaran IPA, SLB, Tunarungu 14 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PENDAHULUAN Anak berkebutuhan khusus merupakan individu yang unik. Hal ini sesuai dengan beberapa pengertian mengenai anak berkebutuhan khusus yang dikemukakan beberapa ahli. Menurut Cahya (2013: 5), anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Sesuai dengan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, mental atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah : 1) tunanetra; 2) tunarungu; 3) tunawicara; 4) tunagrahita; 5) tunadaksa; 6) tunalaras; 7) berkesulitan belajar; 8) lamban belajar; 9) autis; !0) memiliki gangguan motorik; 11) menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya; 12) memiliki kelainan lainnya; 13) tunaganda. Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembangunan bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pembangunan negaranegara maju adalah tersedianya penduduk yang terdidik dalam jumlah jenis dan tingkat yang memadai. Pelaksanaan pendidikan yang berkualitas merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang pada Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 artinya tanpa terkecuali setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, termasuk anak atau peserta didik dengan kebutuhan khusus. Pelaksanaan pendidikan yang berkualitas dilihat pada proses belajar mengajar.Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus yang dimaksud adalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak berkebutuhan khusus. Pendidikan yang tidak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa tidak dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Meskipun anak yang mendapatkan pendidikan ini merupakan anak berkebutuhan khusus, hasil yang diharapkan juga sama seperti hasil pendidikan anak normal yaitu sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tingkat kekhususannya. 15 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus adalah anak tuna rungu. Menurut Cahya (2013: 11), tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Keterbatasan secara fisik yang dimiliki anak tunarungu (pada organ pendengaran) mempengaruhi juga faktor lain seperti mental, sosialmaupun intelektual. Meskipun sebenarnya IQ mereka sama seperti anak normal, namun karena pengaruh keterbatasan pendengaran tersebut menyebabkan pengetahuan yang mereka peroleh hanya sebagian. Adanya keterbatasan secara fisik, mental, sosial maupun intelektual maka mereka memerlukan pemenuhan kebutuhan yang berbeda sesuaidengan kondisi mereka. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar pun mereka memerlukan bantuan sesuai dengan kebutuhan mereka agar mereka dapat menerima pembelajaran dengan baik. Pembelajaran merupakan proses dimana seseorang sengaja maupun tidak sengaja untuk mendapatkan suatu kemampuan atau potensi yang mereka miliki untuk dapat dieksplor atau ditonjolkan. Dalam proses pembelajaran tersebut banyak pihak-pihak terkait sebagai penyalur pembelajaran baik dari manusianya maupun alat bantu dalam belajar untuk pembelajaran agar sampai pada seseorang yang akan mendapat suatu pembelajaran tersebut. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan baik SD, SMP dan SMA. Berlaku juga untuk anak berkebutuhan khusus, tidak hanya anak normal pada umumnya. Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu. Salah satu ilmu yang harus dikuasai oleh peserta didik dari semua jenjang adalah IPA. IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai hubungan yang sangat luas dengan kehidupan manusia. Pembelajaran IPA sangat berkaitan dengan dunia nyata dalam kehidupan sehari – hari. Siswa dapat menghubungkan materi pelajaran IPA yang dipelajari dengan permasalahan atau persoalannya dalam kehidupan sehari – hari. 16 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Tujuan pembelajaran IPA antara sekolah umum dan SLB sama begitujuga dengan ruang lingkup materi yang dipelajari. Perbedaannya terletak pada sub materi SLB yang lebih sederhana dibandingkan sekolah umum. Persamaan tujuan pembelajaran IPA tersebut tidak dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran IPA yang terjadi di kedua sekolah sama. Mengingat latar belakang peserta didik SLB merupakan anak berkebutuhan khusus yang dalam proses pembelajarannya memerlukan bantuan karena adanya keterbatasan yang dimilikinya, terutama anak tunarungu yang memiliki keterbatasan dalam komunikasi dan pendengarannya. Bagi siswa tunarungu, IPA merupakan pelajaran yang cukup sulit dipahami karena IPA memiliki karakteristik khusus yaitu mempelajari fenomena alam yang faktual (factual) baik berupa kenyataan atau kejadian dan hubungan sebab akibat. Dalam hal ini anak tunarungu kesulitan dalam menghubungkan sebuah peristiwa sebab akibat. Permasalahan umum yang dihadapi oleh siswa tunarungu adalah kurang dapat memahami hal yang bersifat abstrak dan verbal, padahal dalam proses belajar mengajar kemampuan verbal sangat diutamakan untuk penyampaian materi. Selain itu sifat IPA yang cenderung memerlukan media malah yang terlihat banyak diajarkan dengan metode penjelasan sehingga apa yang didapatkan anak tunarungu pun tidak maksimal. Pembelajaran IPA merupakan interaksi antara komponen-komponen pembelajaran dalam bentuk proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi yang telah ditetapkan. Pembelajaran IPA merupakan sebuah sistem, yang terdiri atas komponen-komponen masukan pembelajaran, proses pembelajaran dan keluaran pembelajaran. Komponen masukan pembelajaran adalah komponen yang diperlukan proses pembelajaran agar dapat berjalan dengan maksimal yang meliputi kurikulum, guru, metode pembelajaran, media pembelajaran, sarana/prasarana pembelajaran, lingkungan dan peserta didik. Dengan adanya ketersediaan komponen-komponen masukan pembelajaran yang lengkap akan menyebabkan proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan perencanaan dan akhirnya hasilnya/keluaran pembelajaran pun sesuai 17 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 dengan yang diharapkan yaitu peserta didik yang berhasil, dalam hal ini adalah siswa tunarungu yang berhasil. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penggalian informasi mengenai proses pembelajaran IPA di SLB bagi anak tunarungu, baik dalam perencanaan, pelaksanaan serta penilaian pembelajaran IPA. Hal ini dikarenakan guru yang professional dituntut untuk mampu menyusun perangkat perencanaan pembelajaran meliputi silabus dan RPP yang mengikuti standar proses, pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan anak didik, melakukan penilaian hasil belajar dan mengkondisikan kelas agar sesuai dengan perencanaan yang dilakukan (BSNP, 2007). Oleh karena itu, penelitian ini merupakan kajian menarik dan urgen yang bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu di SLB Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian ini diharapkan memberi umpan balik terhadap pendidik dan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran IPA di SLB. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Arikunto (2010: 3) menjelaskan penelitian deskriptif adalah “Penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi, atau hal lain-lain, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian”. Sejalan dengan hal tersebut Penelitian deskriptif (descriptive research) adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan atau menjelaskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi tertentu (Sanjaya, 2013: 59). Subjek dalam penelitian adalah sesuatu yang dijadikan responden dalam penelitian. Subjek penelitian ini adalah siswa tunarungu yang berada di kelas XI SLB se-Kabupaten Sukoharjo. Dengan demikian sumber data utama penelitian yang bersifat deskritif kualitatif ini adalah semua yang terkait kedalam pembelajaran IPA di kelas XI untuk anak tunarungu ini seperti siswa, guru, dan kepala sekolah yang membantu pembelajaran IPA tersebut. Data dikumpulkan melalui wawancara, studi 18 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 dokumen, dan observasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis interpretatif dengan teknik triangulasi sumber informasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pendeskripsian hasil penelitian ini, peneliti mengambil data meliputi observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Berdasarkan kisi-kisi yang telah dirancang hasil penelitian pun dideskripsikan sebagai berikut : A. Pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu kelas XI di SLB Kabupaten Sukoharjo Pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu kelas XI dalam penelitian ini meliputi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian (evaluasi). 1. Perencanaan pembelajaran IPA Berdasarkan hasil penelitian, guru kelas XI telah membuat silabus dan RPP. Pembuatan silabus dan RPP ini disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa. Tetapi dalam pelaksanaannya silabus dan RPP ini mengalami perubahan-perubahan karena kemampuan siswa tunarungu yang beragam sehingga disesuaikan dengan kemampuan akademik masing-masing siswa. 2. Pelaksanaan pembelajaran IPA Berdasarkan hasil penelitian, guru kelas XI telah melaksanakan pembelajaran sudah sistematik sesuai dengan silabus dan RPP yang dibuat dan melakukan beberapa perubahan karena disesuaikan dengan kemampuan penerimaan dan akademik masing-masing siswa. Sehingga target yang harus dicapai dan sudah ditentukan dalam silabus dan RPP sering meleset. Guru sudah menggunakan metode yang bervariasi seperti ceramah, drill, tanya jawab, demonstrasi dan eksperimen. Variasi ini dilakukan agar siswa kelas XI mengerti setiap pembelajaran yang guru berikan. Hanya saja dalam penyampaian materi IPA metode ceramah masih mendominasi karena waktu yang tidak cukup ketika ingin menerapkan metode lain dan materi yang diberikan cukup banyak sehingga menyebabkan materi yang diberikan tidak maksimal lagi. 19 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Penggunaan media dalam pembelajaran IPA juga kurang maksimal karena keterbatasan media yang dimiliki sekolah. Guru hanya menggunakan alat yang seadanya dan yang dimiliki sekolah saja. Penggunaan media ini monoton karena guru hanyamenggunakan yang tersedia di sekolah. Hal ini menyebabkan siswa kurang termotivasi dalam belajar IPA. Padahal ada banyak media yang dapat digunakan untuk pembelajaran IPA. Keterbatasan pelaksanaan pembelajaran IPA ini adalah tidak adanya buku teks atau bacaan yang bisa dibawa pulang siswa untuk belajar mandiri di rumah sehingga selama proses pembelajaran mengharuskan guru untuk menjelaskan dan membuat catatan. Karena tidak memiliki buku teks, siswa tidak bisa belajar materi terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran berlangsung. Sehingga pengetahuan awal siswa mengenai materi yang akan diajarkan pun sangat minim. 3. Penilaian Pembelajaran IPA Berdasarkan hasil penelitian, penilaian dilakukan melalui kegiatan ujian tengah semester dan ujian semester. Sedangkan untuk penilaian ulangan harian jarang dilakukan karena guru lebih fokus dalam mengejar materi pembelajaran yang cukup banyak. B. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu kelas XI di SLB Kabupaten Sukoharjo Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan beberapa kendala yang dihadapi selam pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu : 1. Siswa masih terlihat pasif dalam penerimaan materi yang diajarkan oleh guru. Kepasifan siswa ini terlihat ketika siswa dilakukan tanya jawab, dan anak tidak mau bertanya jika ada materi yang belum paham. 2. Siswa tidak memperhatikan saat guru menyampaikan materi pembelajaran, terutama ketika guru sedang membuat catatan di papan tulis. 20 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Siswa secara diam-diam melakukan kegiatan seperti berbicara dengan teman, keluar masuk kelas, dan bermain hp. 3. Beberapa metode yang diterapkan seperti diskusi, kerja kelompok dan eksperimen memerlukan waktu yang lama dan tempat yang memadai agar pelaksanaannya dapat terlaksana dengan baik. Sedangkan alokasi waktu pelajaran hanya sedikit (40 menit). Sehingga untuk menerapkan metode tersebut kekurangan waktu. Jika bisa diterapkan materi yang tercapai sangat sedikit. 4. Penggunaan media yang kurang maksimal. Lebih banyak menggunakan media papan tulis dan gambar. Hal ini membuat pembelajaran IPA menjadi monoton dan minat siswa sangat kurang sehingga siswa menjadi sering keluar masuk kelas. 5. Minimnya ketersediaan buku teks. Sekolah hanya memiliki 2 buku teks IPA khusus SMALB. Sehingga siswa tidak memiliki buku pelajaran IPA yang dapat dibawa pulang untuk belajar mandiri di rumah. Sedangkan anak malas untuk mencari sumber informasi lain misalnya melalui internet atau perpustakaan. C. Usaha-usaha yang dilakukan pada saat pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu kelas XI di SLB Kabupaten Sukoharjo Berdasarkan hasil penelitian, usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi hambatan pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu adalah sebagai berikut : 1. Melibatkan keaktifan siswa selama proses pembelajaran melalui variasi penggunaan metode dan media. 2. Adanya bimbingan dari guru kepada siswa agar siswa lebih memperhatikan ketika pembelajaran berlangsung. 3. Menerapkan variasi metode yang lain yaitu metode latihan dan penugasan agar siswa tunarungu tidak kesulitan dengan metode ceramah yang selalu dipakai oleh guru kelas. 4. Membawa anak ke media aslinya misalnya melihat benda konkrit yang bisa menunjang pelaksanaan pembelajaran IPA tersebut. 21 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 5. Memberikan catatan mengenai materi yang dibahas pada hari tersebut. Sehingga ketika ujian siswa memiliki bahan untuk bisa dipelajari. Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki keterbatasan dalam pendengarannya namun dalam segi intelektualnya sama dengan anak normal lainnya. Anak tunarungu dalam segi pembelajaran sangat memerlukan media/objek agar mereka dapat lebih paham dalam menerima pembelajaran IPA karena mereka memiliki keterbatasan dalam komunikasi dan kemampuan verbal sehingga jika guru hanya menggunakan metode ceramah/menjelaskan secara verbal saja maka siswa tunarungu tidak akan paham tentang materi yang dijelaskan. Pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu yang diterapkan SLB di Kabupaten Sukoharjo masih kurang sesuai dengan kemampuan anak tunarungu. Menurut Nasichin (2002: 17) menyatakan bahwa : 1. Menetapkan bidang-bidang atau aspek kesulitan belajar yang akan ditangani. 2. Menetapkan pendekatan pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah bentuknya berupa pembelajaran remedial, penambahan latihan dan penguasaan pembelajaran. 3. Menyusun program pembelajaran individual sesuai dengan kebutuhan khusus bagi anak yang berkesulitan belajar dan anak berkebutuhan khusus. Sehingga pelaksanaan pembelajaran IPA di SLB Kabupaten Sukoharjo bagi anak tunarungu kelas XI ini kurang terlaksana dengan baik. Sehingga agar pelaksanaan pembelajaran IPA dapat berjalan baik diperlukan program pembelajaran individual yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing siswa. Bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus, penggunaan media pembelajaran merupakan komponen yang penting dari sistem pendidikan yang diselenggarakannya. Media pembelajaran yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah media yang telah dimodifikasi sesuai dengan tingkat kebutuhan para peserta didik karena tidak semua media yang berada di masyarakat dapat digunakan dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Ketidaksesuaian media pembelajaran dengan tingkat kebutuhan anak berkebutuhan khusus menyebabkan anak berkebutuhan khusus (ABK) belum 22 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 termotivasi sekaligus mengembangkan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental sampai mencapai potensi mereka yang optimal. Oleh karena itu diperlukan pengembangan media pembelajaran yang diupayakan sesuai dengan kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus sehingga media pembelajaran tersebut dapat dimanfaatkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh media tersebut dan menghindari hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus (ABK). Dalam Musfiqon (2012: 118), kriteria pemilihan media yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Kesesuaian dengan tujuan Pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan. Maka pemilihan media hendaknya menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan tersebut. Kehadiran media dalam pembelajaran adalah untuk mendukung pencapaian tujuan pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaranlah yang dapat berfungsi secara optimal. 2) Ketepatgunaan Tepat guna dalam konteks media pembelajaran diartikan pemilihan media telah didasarkan pada kegunaan. Jika media itu dirasakan belum tepat dan belum berguna maka tidak perlu dipilih dan digunakan dalam pembelajaran. 3) Keadaan peserta didik Kriteria pemilihan media yang baik adalah disesuaikan dengan keadaan peserta didik, baik keadaan psikologis, filosofis, maupun sosiologis anak. Sebab media yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik tidak dapat membantu banyak dalam memahami materi pembelajaran. 4) Ketersediaan Walaupun suatu media dinilai sangat tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran, media tersebut tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. 23 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 5) Biaya kecil Faktor biaya seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan media pembelajaran. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menggunakan media hendaknya benar-benar seimbang dengan hasil-hasil yang akan dicapai. 6) Keterampilan guru Aspek keterampilan guru ini seringkali menjadi kendala tersendiri dalam proses pemilihan media. Banyak guru yang memilih media sederhana dengan alasan tidak bisa mengoperasionalkan media yang lebih canggih atau modern. Padahal dari sisi hasil media yang lebih canggih bisa menghasilkan pembelajaran yang lebih optimal. 7) Mutu teknis Kualitas media jelas mempengaruhi tingkat ketersampaian pesan atau materi pembelajaran kepada anak didik. Untuk itu, media yang dipilih dan digunakan hendaknya memiliki mutu teknis yang bagus. Berdasarkan uraian di atas, pemilihan media bagi anak tunarungu juga harus memenuhi kriteria tersebut agar didapatkan hasil yang maksimal. Hanya saja dalam prakteknya pemilihan media masih belum disesuaikan dengan karakteristik anak karena guru hanya menggunakan media yang dimiliki sekolah saja, jika tidak ada maka penyampaian materi dilakukan dengan ceramah. Dalam Sartika (2013: 42), mengemukakan bahwa anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar, sehingga media pembelajaran yang cocok untuk anak tunarungu adalah media visual dan cara menerangkannya dengan Bahasa bibir/gerak bibir. Salah satu jenis media visual adalah media cetak yang dapat berupa buku, modul, majalah, koran dan sebagainya. Pemilihan media visual ini disebabkan karena indera penglihatan merupakan indera yang tersisa dan pengaruhnya paling besar dalam menerima pembelajaran dibandingkan indera lainnya. Hal yang sama mengenai anak tunarungu merupakan pembelajar visual disampaikan oleh Marlon Kuntze, Debbie Golos and Charlotte Enns (2014) yang menyebutkan bahwa “in deaf education the fact that deaf children are by nature visually oriented has been historically marginalized in favor of focusing on a lack 24 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 of auditory access”.Sehingga media yang efektif digunakan bagi anak tunarungu adalah media visual, yang dapat memberikan gambaran konkrit tentang peristiwa dalam pembelajaran IPA. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu masih belum berjalan dengan optimal meskipun sudah sistematis sesuai silabus dan RPP 2. Ada beberapa kendala yang dialami selama pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu terutama dalam penerapan metode dan penggunaan media. 3. Sudah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi kendala yang dialami selama pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat diberikan saran sebagai berikut: 1. Bagi Sekolah Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka diharapkan kepada seluruh pihak yang terkait dalam sekolah agar membantu berjalanannya pelaksanaan pembelajaran IPA bagi anak tunarungu pada kelas XI. 2. Bagi guru Bagi guru agar dapat memotivasi lagi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran IPA karena guru yang merupakan tenaga pendidik dan fasilitator. 3. Bagi orang tua Dukungan orang tua merupakan pensupport anak untuk pelaksanaan pembelajaran IPA, dengan bantuan orang tua anak dapat lebih baik lagi. Jika anak yang kurang perhatiannya dari orang tua akan menyebabkan anak 25 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 menjadi malas untuk belajar, karena hal tersebut orang tua dapat mencarikan jalan yang terbaik untuk masa depan anaknya kelak. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. BSNP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP. Cahya, Laili S. (2013). Buku Anak untuk ABK. Yogyakarta : Familia Marlon Kuntze, Debbie Golos, Charlotte Enns. 2014. Rethinking Literacy : Broadening Opportunities for Visual Learners. Sign Language Studies. Volume 14, Number 2, Winter 2014, pp 203 – 224. Musfiqon. 2012. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran.Jakarta : Prestasi Pustaka Karya. Nasichin. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Sanjaya, M. 2013.Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep: Karakteristik dan Implementasi.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sartika, Y. 2013. Ragam Media Pembelajaran Adaptif untuk Anak Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta : Familia 26 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PROGRAM PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN UNTUK MENGAKOMODASI SISWA KELAS II DENGAN KESULITAN MEMBACA DI SEKOLAH DASAR Elfa Adila SLB Negeri Serdang Bedagai Email : [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang ditemui di lapangan, bahwa adanya siswa kelas dua yang belum mampu menguasai keterampilan membaca permulaan, yang merupakan pelajaran dasar dan kunci untuk pelajaran-pelajaran lainnya. Selanjutnya ditemukan pembelajaran yang dilaksanakan guru belum dapat mengakomodasi anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan dan tidak adanya program pembelajaran yang dipersiapkan oleh sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk membuat program pembelajaran membaca permulaan yang mampu mengakomodasi siswa yang mengalami kesulitan membaca. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan dua tahap penelitian, tahap pertama, pendahuluan, untuk menggali kemampuan objektif siswa dan pelaksanaan pembelajaran, dan tahap kedua, perumusan program dan uji keterlaksanaan. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. Teknik analisis data melalui reduksi data, display data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi. Berdasarkan hasil analisis kondisi objektif kemampuan anak dan hasil analisis kondisi objektif pembelajaran di kelas, dirumuskanlah sebuah program pembelajaran membaca permulaan yang meliputi program perumusan perencanaan pembelajaran, dan program pelaksanaan pembelajaran. Program di validasi oleh beberapa validator dengan menggunakan teknik delphie, dan setelah divalidasi, dilaksanakan uji coba keterlaksanaan program. Dari keterlaksanaan program diperoleh hasil bahwa adanya perubahan yang terjadi pada anak yang kesulitan membaca permulaan di dalam kelas, dan perubahan positif yang terjadi pada kondisi pembelajaran membaca permulaan di kelas serta terciptanya suasana dan pelaksanaan pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan siswa. Hasil dari keterlaksanaan program akan direkomendasikan kepada guru dan peneliti selanjutnya. Kata Kunci : Membaca Permulaan, Kesulitan Membaca, Program Pembelajaran 27 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PENDAHULUAN Membaca merupakan suatu pengetahuan yang harus dimiliki setiap orang. Kemampuan membaca adalah suatu fungsi kemanusian yang tertinggi yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk yang lain (Sumarlin, et.al 2013). Membaca mempunyai manfaat bagi orang dewasa dalam hubungan sosial, pekerjaan, kesenangan, dan informasi (Sadoski,2004 :46). Jadi membaca memegang peranan yang sangat penting untuk segala aspek kehidupan manusia. Keterampilan membaca bagi siswa sekolah dasar merupakan bekal kemampuan yang mutlak harus dimiliki. Membaca merupakan hal yang paling mendasar untuk anak dapat mengembangkan pengetahun dan informasi yang diterima (Razak.2011). Membaca bagi anak yang mengalami kesulitan belajar membaca bukanlah hal yang mudah (Isnaini.2013). Kondisi kesulitan yang dihadapi anak dalam mengembangkan kemampuan membaca, khususnya membaca permulaan dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal, berupa dukungan lingkungan dalam mengembangkan kesadaran linguistic (Lyster. 1999), kemampuan perceptual (English. 1981) dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah (Westwood.2001). sedangkan menurut Ruhaena (2008) menyatakan bahwa kemampuan anak untuk mengenali kata dan huruf saat membaca dipengaruhi juga oleh cara pengajaran atau metode mengajar yang digunakan oleh guru. Latar belakang peneliti mengangkat masalah pembelajaran membaca permulaan ini karena adanya keresahan yang penulis alami setelah melihat kondisi pembelajaran dan kondisi siswa yang mengalami kesulitan membaca di lapangan Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, penulis menemukan beberapa fakta yang membuat peneliti merasa perlu mengangkat masalah ini ke dalam penelitian, ditemukan seorang anak kelas II sekolah dasar yang belum mampu membaca dengan baik, setelah dilaksanakan identifikasi secara mendalam, ternyata kemampuan membaca anak masih pada tahap mengenal huruf, dan belum mampu membaca huruf, 28 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 suku kata secara fasih, padahal kurikulum kelas II sekolah dasar menuntut para siswa untuk dapat memiliki kemampuan membaca beberapa kalimat. Selain hal itu, di lapangan juga ditemukan bahwa guru dalam pelaksanaan pembelajaran tidak ada acuan program yang jelas. Jadi pembelajaran hanya disesuaikan dengan materi pada buku paket tanpa adanya menyusun silabus, rancangan program pembelajaran, ataupun program pembelajaran individual. Sehingga selama pembelajaran terlihat materi yang disampaikan tidak runtut dan kegiatan pembelajarannya melompat-lompat, dan terlihat juga sewaktu guru menerangkan materi bahasa Indonesia, ada beberapa siswa yang sibuk dengan mata pelajaran yang lain. Selanjutnya khusus untuk anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan, tidak ada program khusus yang disusun atau direncanakan guru untuk mampu mengakomodasi kemampuan belajar anak. Tidak ada perlakuan atau kegiatan khusus yang diberikan kepada anak yang mengalami kesulitan membaca. Selain itu dalam pembelajaran, tidak terlihat perhatian yang diberikan oleh guru kepada anak yang mengalami kesulitan membaca ini. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah “Program pembelajaran membaca permulaan yang bagaimanakah yang sesuai untuk mengakomodasi siswa kelas II yang mengalami kesulitan membaca permulaan di SD?” METODE PENELITIAN Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Research and Development, menurut (Sugiyono 2009a, 2012b) metode penelitian Research and Development yang disingkat dengan R&D adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Penelitian akan dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Cidadap 1 di kota Bandung. Subjek penelitian ini adalah seorang siswa laki-laki yang mengalami kesulitan membaca permulaan di kelas dua dengan inisial AG, dimana anak ini mengalami kesulitan membaca permulaan dengan belum mampu membaca huruf, suku kata 29 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 maupun kata-kata. Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2012 : 334) Langkah-langkah penelitian ini terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan reduksi data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstraksian, dan mentransformasi data kasar dari lapangan. Penyajian data adalah secara sistematis hasil reduksi data, diketahui tema dan polanya dengan menentukan bagaimana data disajikan antara lain dengan mengklasifikasikan data sesuai dengan pokok masalah. Verifikasi, merupakan proses membuat rumusan proposisi terkait ciri, logika mengangkat sebagai temuan penelitian, dilanjutkan dengan mengkaji secara mendalam data yang ada untuk keperluan menyusun program pembelajaran membaca permulaan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ini dilaksanakan kepada salah seorang anak yang mengalai kesulitan membaca permulaan di kelas 2 SD, penelitian dilaksanakan dengan mengamati dan mengasesmen kemampuan awal anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan dan pengamatan langsung proses pembelajaran membaca dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Berikut secara garis besar dipaparkan tentang profil kemampuan anak dan profil pembelajaran sebelum diberikan program: Tabel 1.1 Kondisi Objektif Anak yangMengalami Kesulitan Membaca Permulaan Kemampuan Mampu membaca huruf vokal Kesulitan Secara dominan anak belum mampu melafalkan huruf konsonan Mampu membaca vocal Anak secara umum Kebutuhan Pengenalan kembali konsep huruf konsonan, baik huruf besar maupun huruf kecil Diberikan pemahaman 30 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 rangkap Mampu membaca beberapa huruf konsonan Dilihat dari segi social dan interaksi, Patuh kepada tugas yang diberikan guru membaca huruf konsonan dengan penambahan vocal “a” Pembalikan huruf, beberapa huruf dibalikkan konsepnya, misalnya : b dan d, u,v,dan n, p dan q, j dan h Ketidakkonsistenan membaca huruf, selama test membaca, jawaban anak berubah-berubah, padahal soal yang diberikan sama Terlihat kurang percaya diri dan kurang berinteraksi dengan temannya tentang membaca huruf tanpa ditambah huruf “a” Latihan diskriminasi dan identifikasi huruf Bimbingan intensif membaca permulaan kepada anak selama dan setelah pembelajaran Bimbingan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan interaksi Tabel 1.2 Profil Proses Pembelajaran Membaca Permulaan Kekuatan Kelemahan Guru mampu Tidak ada rencana memberikan keceriaan pembelajaran dan semangat belajar kepada siswa Guru selalu memberikan penghargaan atas hasil pekerjaan siswa, walaupun berupa tepuk tangan Pada saat pembelajaran, gaya mengajar guru kurang variasi. Alokasi waktu pembelajaran tidak jelas Penyampaian materi Metode dan media kurang jelas dan melayani variatif, metode hanya semua pertanyaan siswa ceramah dan tanya jawab serta sekali permainan, dan media hanya buku teks Kebutuhan Pengetahuan tentang cara perumusan dan penyusunan program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak Modifikasi dan penyesuaian silabus dan RPP yang mampu mengakomodasi pembelajaran secara umum dan anak-anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan. Adanya variasi metode pembelajaran dan media pembelajaran yang menarik bagi anak dalam pembelajaran 31 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 pelajaran. Kurang melibatkan Pembelajaran kelompok keaktifan siswa secara atau metode permainan keseluruhan sehingga meningkatkan keaktifan siswa Pembelajaran bersifat Perlunya bimbingan keseluruhan, tidak khusus kepada anak yang mengakomodasi anak- mengalami kesulitan anak yang memiliki membaca permulaan kesulitan belajar, seperti selama pembelajaran kesulitan membaca permulaan Tidak adanya penarik Memberikan informasi kesimpulan diakhir akhir dari pelajaran pembelajaran Evaluasi belajar hanya Perlu adanya evaluasi berpatok kepada hasil, dan proses dan pelaksanaan tidak ada evaluasi khusus evaluasi hasil dengan untuk anak yang memperhatikan mengalami kesulitan kemampuan siswa membaca permulaan serta tidak adanya format evaluasi. Setelah dilaksanakan asesmen kepada anak dan pengamatan langsung proses pembelajaran membaca permulaan, disusunlah sebuah program pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan. Program disusun dan disesuaikan dengan profil siswa dan pembelajaran. Program pembelajaran membaca permulaan ini disusun dengan guru sebagai target utama, yang diharapkan guru mampu meningkatkan proses pembelajaran sehingga kemampuan membaca anak pun dapat ditingkatkan. Program pembelajarannya meliputi : 1) petunjuk penyusunan program pembelajaran, seperti menyusun silabus dan menyusun rencana pembelajaran yang mampu mengakomodasi anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan untuk bisa belajar bersama dengan temannya yang tidak mengalami kesulitan membaca permulaan, 2) Penyusunan perencanaan pembelajaran yang telah disesuaikan sehingga mampu 32 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 mengakomodasi semua kemampuan siswa. Berikut hasil keterlaksanaan program yang telah dilaksanakan : Tabel 1.3 Keterlaksanaan Program Pembelajaran pada Siswa No Aspek Kondisi Sebelum Pelaksanaan Program 1 2 3 1. Pelaksanaan AG selama Pembelajaran pembelajaran duduk di belakang dan tidak adanya teman yang membantu dalam belajar Khusus untuk AG, kegiatan inti pembelajaran mengikuti materi temannya dan mengerjakan instruksi guru tentang materi yang dia tidak mengerti Kondisi Setelah Pelaksanaan Program 4 Posisi duduk AG dipindah ke depan dan diberikan tutor sebaya selama pembelajaran Dalam kegiatan inti pembelajaran AG diberikan materi tentang mengenal bentukbentuk huruf konsonan dan dalam pembelajaran AG diberikan media berupa kartu huruf dan latihan mengenal huruf selama pembelajaran yang dibimbing oleh guru. Selama Dengan adanya pembelajaran AG program khusus tidak dilibatkan untuk AG, selama secara penuh pembelajaran AG dalam mempu pembelajaran berpartisipasi aktif Perubahan 5 AG bisa berinteraksi dengan temannya dan tutor sebaya mampu membantu AG belajar membaca selama di kelas AG mendapatkan materi sesuai dengan kemampuannya dan mampu mengikuti materi yang diberikan oleh guru Meningkatnya kepercayaan diri dan semangat belajar AG 33 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Bimbingan belajar diakhir pelajaran kepada AG tidak sesuai dengan kemampuan dasarnya dalam pembelajaran dan berani tampil di depan kelas Setelah adanya asesmen, bimbingan belajar AG disesuaikan dengan hasil asesmen, dan diberikan dengan media yang menarik Konsep tentang pengenalan huruf AG sudah meningkat, dimana AG sudah mampu mengenal huruf konsonan dengan lebih baik 2. Pembahasan Berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan, baik itu dengan melaksanakan tes, wawancara kepada guru, dan observasi selama anak belajar, diketahui bahwa kemampuan membaca permulaan anak baru menguasai huruf vokal, anak belum menguasai huruf konsonan secara keseluruhan, dan belum mampu membaca suku kata dengan baik dan benar. Menurut Hargrove & Poteet dalam Abdurrahman (2012), perilaku anak yang mengalami kesulitan membaca atau kesulitan membaca adalah : (1) Tidak mampu memahami simbol bahasa, (2) Kesulitan mengurutkan kata dan huruf-huruf, (3) Tidak mampu menganalisa huruf-huruf, (4) Membaca secara terbata-bata. Selanjutnya sesuai dengan hasil observasi, terlihat bahwa anak selama pembelajaran cendrung pendiam, kurang kepercayaan diri, kurang antusias untuk belajar. Hal ini mungkin terjadi karena anak kurang dilibatkan oleh guru selama pembelajaran, diberikan materi yang tidak sesuai dengan kemampuannya, serta ketidakmampuan siswa untuk mengikuti pembelajaran bersama dengan teman-teman yang lain. Menurut McCombs (dalam Santrock,2007) menemukan bahwa siswa yang didukung dan diperhatikan oleh guru lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan akademik daripada siswa yang tidak didukung dan diperhatikan oleh guru. Dari teori 34 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa pemberian materi yang sesuai dengan anak dapat meningkatkan motivasi belajar. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Berdasarkan hasil asesmen diketahui bahwa anak belum mampu mengidentifikasi semua huruf, terutama huruf konsonan, namun anak sudah menguasai semua huruf vokal, anak juga belum mampu membaca suku kata, baik itu dengan pola konsonan vokal, maupun vokal konsonan. Terdapat kesalahan konsep seperti pembalikan huruf yang dilakukan oleh anak. Kemampuan membaca permulaan anak sangat rendah dibandingkan dengan teman sekelasnya, 2. Selama proses pembelajaran, terlihat pelaksanaan pembelajaran yang monoton, kurangnya variasi dalam pembelajaran, langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran kurang terstruktur, evaluasi pembelajaran yang kurang jelas, dan tidak adanya perhatian atau pembelajaran khusus yang diberikan oleh guru kepada anak, 3. Dari hasil keterlaksanaan didapatkan hasil bahwa program ini mampu memberikan pengetahuan baru kepada guru tentang penyusunan program, guru mengerti bagaimana mengakomodasi kebutuhan anak dalam praktek pembelajaran, dan program ini mampu menciptkan suasana kelas yang semangat belajar. Sedangkan dari program ini, juga memberikan manfaat kepada siswa khususnya siswa yang mengalami kesulitan membaca permulaan, dimana dalam pembelajaran semua kebutuhan siswa dapat diberikan dan diakomodasi oleh guru, sehingga anak yang tertinggal belajarnya mampu mengikuti pelajaran di kelas secara baik, dan meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi belajarnya. 35 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 SARAN Anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan, kemampuannya berbeda dengan temannya yang lain, hendaknya guru mampu untuk mengasesmen siswa sehingga yang menjadi kebutuhan dan kelemahan siswa dapat digali dengan baik, sehingga nantinya dalam menyusun sebuah program pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan semua anak, dimana anak yang mengalami kesulitan membaca permulaan mampu diakomodasi dengan baik untuk bisa belajar bersama dengan temannya yang lain yang tidak mengalami kesulitan membaca permulaan. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono (2012) Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : Rineka Cipta Al Razak. (2011) Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Bagi Anak Kesulitan Belajar Melalui Brain Gym. E-JUPEKhu Vol 3,No. 1. Ejupekhu English, Kevin. (1981) Visual Perception and Reading Disabilities (Review). Dimuat : Australian Jounal of Ophtamology.1981 Isnaini, Sari Selviana. (2013) Penggunaan Metode AISMA untuk meningkatkan kemampuan Membaca Permulaan Bagi Anak Berkesulitan Belajar Membaca. Jurnal Pendidikan Luar Biasa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Lyster, Solveig – Alma Halaas. (1999) Learning to Read and Write the Individual Child and Contextual Interaction. Oslo : University of Oslo. Rch.Ltd Ruhaena, L. (2008). Pengaruh Metode Pembelajaran Jolly Phonics terhadap Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris pada Anak Prasekolah. Jurnal Penelitian Humaniora, 9 (2), 192-206. Sadoski, Mark. 2004. Conceptual Foundation of Teaching Reading. London : The Gulidford Press. Santrock, J. (2007). Perkembangan Anak. University of Texas: Erlangga 36 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Sumarlin, Desi, et.al. (2013) Meningkatkan kemampuan membaca permulaan melalui metode Glenn Doman bagi anak tuna grahita sedang. E-JUPEKhu Vol 2,No. 3. Ejupekhu Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Westwood, Peter. (2001) Reading and Learning Difficulties : Approaches to Teaching and Assessment . Victoria : The Australian Council for Educational Reseach. 37 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 KURSI RODA KERJA BAGI BAPAK X (individu dengan hambatan fisik) Asrori Ahmad, Amanah , Suratmi Rachmat &Sri Rezeki Sulantina Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia Email : [email protected] ABSTRAK Berbagai usaha dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap manusia memiliki aktifitas/mobilitas kehidupan sehari-hari, tak luput juga para penyandang disabilitas seperti Bapak X dengan hambatan motorik fisik. Mobilitas merupakan kesulitan tersendiri dengan aktifitasnya sebagai perajin sangkar burung. Walaupun dengan berbagai kesulitan aktifitas hidup harus terus dijalani untuk bisa bertahan hidup. Selama ini setiap aktifitas dan kegiatannya dilakukan dengan sebuah papan gelinding yang sangat sederhana sekali. Melihat dari hal tersebut, maka dirancanglah sebuah kursi roda kerja yaitu suatu kursi roda kerja khusus untuk Bapak X dengan hambatan motorik fisik. Langkah-langkah dalam mewujudkan kursi roda kerja ini yaitu observasi, wawancara, studi pendahuluan, perancangan prototype, pembuatan, dan uji coba. Setelah diuji coba dapat diketahui kelebihan, efektifitas, dan kekurangan. Dengan kursi roda kerja ini Bapak X dapat lebih mudah dalam beraktifitas, mendapat kenyamanan dalam bekerja, dan produktifitas hasil kerjanya sebagai perajin sangkar burung meningkat. Dengan demikian kursi roda kerja ini efektif dapat membatu Bapak X. Sedangkan kekurangan alat ini yaitu alat ini bisa digunakan dengan baik jika banyak berlatih. Kata kunci: kursi roda kerja, tuna daksa PENDAHULUAN Berbagai usaha dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap manusia memiliki aktifitas kehidupan sehari-hari sesuai dengan tujuan dan keinginan yang hendak dicapai. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seorang anak dengan rutinitasnya menuntut ilmu atau bersekolah. Aktifitas atau mobilitas sangat dipengaruhi oleh keadaan motorik fisik seseorang. Hal ini terlihat pada perbedaan bagaimana cara melakukan aktifitas kesehariannya. 38 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Sejauh ini orang dengan hambatan motorik fisik beraktifitas dengan berbagai alat bantu, misalnya kursi roda. Akan tetapi bantu tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan setiap orang dengan hambatan motorik fisik dalam beraktifitas/bekerja. Hal ini terbukti pada Bapak X dengan hambatan motorik fisik. Mobilitas merupakan kesulitan tersendiri dengan aktifitasnya sebagai perajin sangkar burung. Walaupun dengan kursi roda, ia merasa kesulitan saat bekerja. Sehingga ia membuat sebuah papan gelinding sederhana. Akan tetapi dengan alat tersebut ia masih merasa kesulitan dalam berpindah. Walaupun demikian aktifitasnya harus terus dijalani untuk bisa bertahan hidup. Oleh karena itu perlu dirancang sebuah kursi roda kerja untuk mempermudah dalam beraktifitas, mendapat kenyamanan dalam bekerja, dan meningkatkan produktifitas hasil kerjanya sebagai perajin sangkar burung. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut Susetyo (2010) metode diskriptif adalah pencarian facta dengan interpretasi yang tepat. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Menurut Susan Stainback (Sugiyono,2010) mengemukakan bahwa ‘… provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or phenomenon than can be gained through observation alone.’ Jadi dengan wawancarra, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan (informan) dalam menginterpretasikan, situasi dan fenomena yang terjadi. Sedangkan dokumentasi menurut Satori dan Komariah (2010) adalah mengumpulkan dokumen dan data yang diperlukan dalam permasalahan peneitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan serta membuktikan suatu kejadian. Penelitian dilakukan tiga tahap yaitu studi pendahuluan, rancangan prototipe, sampai pada uji coba penggunaan kursi roda kerja oleh penyandang tunadaksa untuk bekerja. 39 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Subjek Bapak X adalah seorang yang mengalami hambatan motorik. Beliau mengalami kesulitan dalam berpindah tempat, merasa kurang nyaman saat bekerja, dan produktifitas kurang maksimal. Selama ini Bapak X hanya menggunakan papan gelinding sederhana untuk berpindah tempat. Papan ini tidak dilengkapi system transmisi sehingga pengoperasiannya masih manual. Cara yang dilakukan Bapak X tidak efektif dan membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Kesulitan dalam berpindah lebih banyak, kenyamanan dalam bekerja sangat kurang, dan produktifitasnya belum optimal. 2) Kursi Roda Kerja (1) Desain Menurut Gregory (Hurst, Ken. 2006) mendefinisikan desain sebagai “relating product with situation to give satisfaction”, yang lebih mengutamanakan hubungan antar benda (barang) dengan suatu keadaan atau kondisi tertentu; dengan tujuan memberikan kepuasan bagi pengguna barang (benda,produk) tersebut. Gambar 1 Desain Kursi Roda Kerja Kursi roda yang kami namakan kursi roda kerja ini terdapat meja kerja, loker, sandaran, dan system transmisi. Meja kerja berfungsi sebagai tempat bekerja. Loker berfungsi sebagai tempat untuk 40 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 menyimpan peralatan kecil misalnya pensil. Sandaran berfungsi sebagai tempat beristirahat saat kelelahan dalam bekerja. System transmisi berfungsi sebagai system penggerak utama kursi roda kerja. Dengan kursi kerja ini diharapkan dapat berpindah dengan mudah, lebih nyaman dalam bekerja, dan dapat meningkatkan produktifitas dalam bekerja. (2) Proses Pembuatan Kursi Roda Kerja Proses pembuatan kursi roda kerja ini didasarkan pada masalah yang bersifat aplikatif, yaitu perencanaan dan perealisasian kursi roda kerja agar dapat bekerja sesuai dengan yang direncanakan dengan mengacu dalam rumusan masalah. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk merealisasikan alat yang dirancang adalah penentuan spesifikasi, studi literature, perancangan dan pembuatan, pengujian, dan pengambilan kesimpulan. a. Perancangan dan Pembuatan Kursi Roda Kerja Secara garis besar perancangan dan pembuatan kursi roda kerja dibagi dalam beberpa tahapan yaitu penentuan spesifikasi, pengukuran dimensi yang sesuai kebutuhan Bapak X, menggambar dengan program Auto CAD, pembuatan kerangka, pembuatan system transmisi, pembuatan loker dan meja, membuat jog, perakitan, dan finising. b. Pengujian dan Analisis Pengujian Pengujian dan analisis pengujian dilakukan pada setiap bagian kursi roda kerja seperti kerangka, system transmisi, loker, meja kerja, dan jog. Setelah pengujian tiap bagian kemudian dilakukan pengujian operasional kursi roda kerja dengan tahapan sebagai berikut: (1) sosialisasi kursi roda kerja; (2) penjelasan fungsi dan cara pengoperasian setiap bagian; dan (3) pengoperasian kursi roda kerja. 41 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 (3) Penggunaan Kursi Roda Kerja Kursi roda kerja dapat dioperasikan untuk berpindah, bekerja, dan beristirahat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur ster untuk menentukan arah dan memutar handel untuk bergerak maju atau mundur. Meja kerja dapat dibuka dan ditutup sesuai keperluan. Loker dapat dijangkau dengan mudah. Roda dirancang sedemikian rupa sehingga dapat diganti ketika sudah menipis. 3) Proses Uji Coba Alat Tahap ini penting dilakukan untuk mengetahui keefektifan dari kursi roda kerja yang telah dibuat. Subjek dari pembuatan kursi roda kerja ini adalah Bapak X. Prosedur cara pemakaian kursi roda kerja, berdasarkan modul cara penggunaan yang sudah kami susun sebelumnya. Garis besar prosedur pemakaian kursi roda kerja yaitu: (1) cara membuka dan menutup meja kerja; (2) cara mengendalikan setir; (3) cara memutar hendel; dan (4) cara membuka loker. 4) Perkembangan Alat Gambar 2 Rancangan Pertama Kursi Roda Kerja Gambar 3 Rancangan Kedua Kursi Roda Kerja Dari papan gelinding kami tambahkan meja kerja (lihat gambar 2) dengan pengoperasian manual, selanjutnya kami tambahkan system transmisi Rantai Rol (lihat gambar 3). Menurut Sularso (1997) Transmisi Rantai Rol dapat meneruskan daya tanpa slip, sehingga perbandingan 42 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 putaran tidak berubah-ubah. Selain itu kursi roda kerja ini juga menggunakan setir berbentuk lingkaran dengan tongkat pengendali, namun setelah di uji cobakan Bapak X merasa kesulitan dalam mengoperasikannya. Sehingga diganti dengan setang berupa batang pipa agar Bapak X lebih mudah dalam mengoperasikannya. Penambahan panjang jog sandaran dan ujung kursi roda kerja bertujuan untuk meningkatkan kenyaman pada saat digunakan. Sehingga tumit dan kepala tidak sakit ketika menggunakan kursi roda kerja tersebut. 5) Efektifitas Kursi Roda Kerja Berdasarkan Uji Coba diketahui efektif dapat digunakan dalam berpindah, bekerja, dan beristirahat saat bekerja. 6) Testimoni Pengguna Kursi Roda Kerja “ Kursi roda kerja ini dapat membantu saya untuk berpindah, bekerja, dan beristirahat di saat kelelahan dalam bekerja, sehingga saya lebih mudah dalam berpindah tempat, lebih nyaman dalam bekerja, lebih mudah dalam menggambil peralatan yang kecil-kecil, dan lebih nyaman ketika beristirahat sejenak ketika kelelahan dalam bekerja. Hanya saja untuk mengoperasikan kursi roda kerja ini harus banyak latihan.” 7) Kelebihan alat ini yaitu dapat membantu Bapak X dalam berpindah tempat, meningkatkan produktifitas kerja dan kenyamanan dalam bekerja 8) Kelemahan kursi roda kerja ini yaitu hanya bisa dikendalikan dengan baik jika banyak berlatih dan terbiasa menggunakannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kursi roda kerja merupakan alat bantu sederhana yang dirancang bagi penyandang tunadaksa dengan transmisi rantai rol sebagai penggerak utama, meja kerja dan loker tempat penyimpanan peralatan dengan ukuran kecil. Dengan 43 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 demikian dapat mempermudah Bapak X dalam melakukan aktifitas pekerjaannya sebagai perajin sangkar burung. DAFTAR PUSTAKA Hurst, Ken. (2006) Prinsip-prinsip Perancangan Teknik. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Satori, Dj., dan Komariah, S. (2010) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Sugiono, (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sularso, & Kiyokatsu, S., (1997). Dasar perencanaan dan pemilihan elemen mesin. Edisi ke 9. Jakarta, Indonesia: PT Pradnya Paramita Susetyo. (2010). Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: PT. Revika Aditama. 44 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PELAKSANAAN PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MATERI SHOLAT BAGI ANAK TUNAGRAHITA DI SLB SUKOHARJO Nurian Anggraini, Dwi Aris Himawanto, Abdul Salim Pascasarjana Pendidikan Luar Biasa Universitas Sebelas Maret Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran agama Islam materi sholat bagi anak tunagrahita di SLB Sukoharjo, yakni di SLB Negeri Sukoharjo, SLB B-C YPALB Langenharjo, SLB ABC Tawangsari, SLB BC YSD Polokarto, dan SLB B-C Hamongputro Jombor. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan fokus penelitian berupa penggunaan metode dan media pembelajaran oleh guru agama Islam dalam mengajarkan materi sholat berupa gerakan dan bacaan sholat kepada anak tunagrahita tingkat dasar di SLB Sukoharjo, alasan menggunakan metode dan media pembelajaran tersebut, dan respon siswa ketika mengikuti kegiatan pembelajaran. Subyek penelitian adalah guru agama Islam dan siswa tunagrahita kelas IV di masing – masing sekolah. Pengambilan sampel sebagai subyek penelitian menggunakan teknik non-probability sampling tipe purposeful sampling. Peneliti melakukan wawancara semi terstruktur kepada subyek penelitian mengenai penggunaan metode dan media pembelajaran dan observasi langsung untuk mengamati keberlangsungan kegiatan pembelajaran agama Islam. Data yang telah dikumpulkan atau diperoleh dianalisis melalui reduksi data, display data, dan menarik kesimpulan. Kesimpulan disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran agama Islam materi sholat dilaksanakan dengan menggunakan metode demonstrasi atau praktek langsung dan media pembelajaran yang sederhana berupa buku pedoman pembelajaran dan visualisasi berupa gambar karena mudah diperoleh, sedangkan respon siswa ketika mengikuti kegiatan pembelajaran sudah lumayan baik, siswa mau mengikuti petunjuk guru untuk mempraktikkan gerakan sholat dan membaca ulang bacaan sholat, mereka juga tertarik dan memperhatikan ketika guru menampilkan media visualisasi gambar yang menarik dan bagus untuk menyampaikan materi pelajaran. Kata kunci: Pembelajaran agama Islam, Materi Sholat, Anak Tunagrahita, SLB Sukoharjo. 45 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PENDAHULUAN Anak tunagrahita adalah salah satu jenis anak yang masuk pada kategori anak berkebutuhan khusus. Anak tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata – rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan (Meimulyani dan Caryoto, 2013:15). Keterbatasan inteligensi yang dialami oleh anak tunagrahita menjadi kendala ketika ia meniti tugas perkembangannya. Beberapa hambatan yang tampak pada anak tunagrahita adalah keterlambatan dalam hal berfikir, kesulitan menganalisis, kesulitan berkonsentrasi, keterbatasan bersosialisasi, memiliki daya ingat yang lemah, dan sebagainya. Mengacu pada skala Weschler (WISC) anak tunagrahita diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan yaitu tunagrahita ringan dengan tingkat IQ 69-55, tunagrahita sedang dengan tingkat IQ 54-40, dan tunagrahita berat dengan tingkat IQ 39-25. Meskipun memiliki tingkat inteligensi di bawah rata-rata, anak tunagrahita masih bisa dididik dan dilatih di sekolah baik dari segi akademis maupun vokasional sebagai bekal mereka di kala dewasa. Tak hanya bekal akademik dan vokasional yang dibutuhkan anak tunagrahita, mereka juga berhak mendapatkan bekal spiritual dari segi keagamaan seperti pembelajaran mengenai pengenalan al-qur’an, aqidah, akhlak, dan fiqih. Kegiatan pembelajaran baik dari aspek akademik, vokasional, maupun spiritual yang dilakukan di sekolah luar biasa bagi anak tunagrahita harus dibarengi dengan penggunaan metode pembelajaran, media pembelajaran, dan bahan ajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Selama proses pembelajaran, anak hendaknya dilibatkan secara aktif dan materi yang dipelajari dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu cara yang bisa dilakukan guru adalah menggunakan metode dan media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaran. 46 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Dalam dunia pendidikan metode pembelajaran adalah suatu cara atau upaya yang dilakukan oleh para pendidik agar proses belajar-mengajar pada siswa tercapai sesuai dengan tujuan. Menurut Andayani (2015:84) metode penelitian adalah istilah yang berkaitan dengan perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran secara runtut dan teratur. Sedangkan media pembelajaran diartikan sebagai alat dan bahan yang bisa digunakan sebagai perantara dan mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar untuk menerima pengetahuan dan sikap. Media pembelajaran menurut Musfiqon (2012:28) merupakan alat bantu fisik maupun non fisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan efisien, sehingga materi pembelajaran lebih cepat diterima siswa dengan utuh serta menarik minat siswa untuk belajar lebih lanjut. Media pembelajaran berfungsi sebagai pemusat perhatian siswa, menggugah emosi siswa, membantu siswa memahami materi pembelajaran, membantu siswa mengorganisasikan informasi, membangkitkan motivasi belajar siswa, membuat pembelajaran menjadi lebih konkret, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra, mengaktifkan pembelajaran, mengurangi kemungkinan pembelajaran yang melulu berpusat pada guru, dan mengaktifkan respon siswa. Penggunaan metode dan media pembelajaran bisa disesuaikan dengan karakteristik siswa, tujuan pembelajaran, dan lingkungan pembelajaran. Hal ini berlaku untuk semua mata pelajaran, termasuk pada pelajaran agama Islam. Pelajaran agama Islam merupakan pelajaran yang wajib diikuti oleh seluruh siswa yang beragama Islam. Hakikat pembelajaran agama Islam di sekolah luar biasa menekankan pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Pada pembelajaran agama Islam, penggunaan metode pembelajaran yang bisa digunakan adalah metode ceramah, demontrasi, latihan keterampilan, diskusi, dan beberapa metode pembelajaran lainnya. Sedangkan media pembelajaran bisa menjadi alternatif 47 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 dalam menyampaikan materi pelajaran, seperti penggunaan media gambar, video pembelajaran, buku cerita, dan sebagainya. Namun fakta dilapangan tidak sedikit pula guru yang masih belum memanfaatkan berbagai metode dan media pembelajaran sebagai perantara dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Oleh karena itu perlu dianalisa lebih lanjut apa saja metode pembelajaran dan media pembelajaran yang sudah dan belum digunakan serta respon dari siswa ketika mengikuti pembelajaran dengan metode dan media yang digunakan. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui metode dan media pembelajaran yang diterapkan atau digunakan oleh guru agama Islam dalam mengajarkan materi sholat berupa gerakan dan bacaan sholat kepada anak tunagrahita tingkat dasar di SLB Sukoharjo, alasan guru menggunakan metode dan media tersebut, dan respon siswa ketika mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di lima SLB yang ada di kabupaten Sukoharjo, yakni SLB Negeri Sukoharjo, SLB B-C YPALB Langenharjo, SLB ABC Tawangsari, SLB BC YSD Polokarto, dan SLB B-C Hamongputro Jombor. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2009:15) penelitian kualitatif adalah “suatu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan dengan tiangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi”. Subyek penelitian adalah guru agama Islam tingkat dasar dan siswa tunagrahita kelas IV di masing-masing sekolah. Pemilihan subyek penelitian sebagai sampel penelitian dilakukan melalui teknik sampling non-probability sampling tipe purposeful sampling, yaitu memilih sampel penelitian berdasarkan kepada ciri-ciri 48 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 yang dimiliki oleh subyek penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan (Herdiansyah, 2010:106). Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan bentuk wawancara semi terstruktur, yakni pelaksanaan wawancara menggunakan pertanyaan terbuka dengan tema yang telah ditentukan, fleksibel, mengacu pada pedoman wawancara yang bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan memahami suatu fenomena. Sedangkan observasi dilakukan oleh peneliti selama kegiatan pembelajaran agama Islam berlangsung di masing – masing sekolah. Analisis data dilakukan menggunakan teknik analisis data model interaktif menurut Miles & Huberman (Herdiansyah. 2010:164) yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) display data, dan 4) penarikan kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan di SLB Negeri Sukoharjo, SLB B-C YPALB Langenharjo, SLB ABC Tawangsari, SLB BC YSD Polokarto, dan SLB B-C Hamongputro Jombor diketahui bahwa di kelima SLB tersebut guru agama Islam ketika mengajarkan materi sholat yakni gerakan dan bacaan sholat menggunakan metode ceramah dan demonstrasi, sedangkan untuk bacaanya guru menggunakan pendekatan meniru bacaan dengan harapan semakin sering anak mengucapkan bacaan maka anak mampu menghafal bacaan sedikit demi sedikit. Adapun media pembelajaran yang digunakan adalah media sederhana seperti buku cetak dan visualisasi gambar. Buku yang digunakan adalah buku pedoman pembelajaran dan media visualisasi gambar biasanya berupa gambar diam. Deskripsi mengenai fokus penelitian dijabarkan sebagai berikut: 49 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 1. Metode dan media yang digunakan oleh guru agama Islam Guru agama Islam ketika mengajarkan materi pelajaran agama Islam materi sholat menggunakan metode ceramah dan demonstrasi. Guru menjelaskan nama gerakan dan mendemonstrasikannya di hadapan para siswa, kemudian siswa diminta satu persatu untuk mempraktekkan seperti yang telah didemonstrasikan guru, untuk bacaan sholat biasanya siswa menirukan atau mengikuti bacaan yang dilafalkan guru secara perlahan dengan harapan bisa mengingat bacaan tersebut sedikit demi sedikit. Adapun untuk penggunaan media pembelajaran cenderung menggunakan media pembelajaran sederhana seperti buku pelajaran, visualisasi gambar melalui gambar yang ditempel di atas karton atau menggambar langsung di papan tulis. Sedangkan untuk media pembelajaran yang kreatif dan modern seperti media audio visual, media yang berbasis IT, dan sebagainya masih belum sering digunakan. 2. Alasan penggunaan metode dan media pembelajaran Pemilihan metode ceramah dan demonstrasi dalam mengajarkan materi sholat yang mencakup gerakan dan bacaan sholat bertujuan agar dengan mempraktekkan langsung kegiatan atau urutan sholat siswa bisa menghafal sedikit demi sedikit gerakan dan menyelaraskannya dengan bacaan yang seharusnya. Adapun untuk menghafal bacaan sholat guru membimbing siswa untuk mengikuti bacaan yang telah diucapkan guru sedikit demi sedikit secara perlahan, dengan harapan agar siswa bisa mengingat bacaan setelah mengulangnya berkali-kali. Adapun penggunaan beberapa media pembelajaran sederhana seperti buku cetak/ buku pedoman pembelajaran dikarenakan medianya mudah diperoleh dan bisa disesuaikan dengan tema atau tujuan pembelajaran yang sedang dilaksanakan. Sedangkan tidak dipilihnya media yang modern atau canggih seperti media audio visual atau media yang berbasis IT disebabkan oleh beberapa hal seperti minimnya fasilitas yang disediakan sekolah, kurangnya pengetahuan guru mengenai penggunaan media pembelajaran yang berbasis IT, dan kurangnya materi ajar yang mendukung tujuan pembelajaran agama Islam. Sehingga apabila guru hendak menggunakan media pembelajaran yang lebih modern atau canggih maka guru harus mencari referensi 50 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 terlebih dahulu, dan tak jarang beberapa materi tersebut belum tersedia di pasaran dan guru harus membuat atau memproduksinya sendiri. Oleh karena itu, para guru agama islam cenderung cendrung memilih untuk menggunakan buku cetak pelajaran agama Islam anak regular yang disesuaikan dengan materi atau tujuan pembelajaran yang dilaksanakan, menggambarkan suatu materi atau memberi gambaran dengan cara menjelaskan secara langsung dan disertai tulisan atau gambar yang telah di cetak dan ditempelkan di atas karton atau yang digambar langsung di papan tulis. 3. Respon siswa terhadap metode dan media pembelajaran yang digunakan. Penggunaan metode ceramah ataupun demonstrasi sudah bisa membuat anak untuk lebih aktif ketika tiba giliran mereka untuk mendemonstrasikan gerakan dan menirukan bacaan. Namun ketika menunggu giliran praktek siswa terkadang merasa sedikit jenuh karena guru lebih berfokus pada satu siswa. sedangkan untuk penggunaan media pembelajaran yang masih bersifat konvensional tersebut juga berpengaruh terhadap keberlangsungan kegiatan pembelajaran bagi siswa tunagrahita. Beberapa siswa yang telah diwawancarai mengatakan mereka cenderung jenuh dan kurang bersemangat mengikuti pembelajaran ketika guru hanya menggunakan buku cetak atau buku pedoman pembelajaran sahaja, namum ketika menggunakan gambar mereka merasa bersemangat dan suka melihat gambar yang ditampilkan. Namun tidak semua gambar yang disediakan guru bisa menarik minat dan perhatian siswa, terkadang apabila gambar yang disediakan kurang bagus dan tidak menarik dari sudut pandang siswa maka ketika mengikuti kegiatan pembelajaran mereka memilih untuk diam dan ada juga siswa yang memilih untuk keluar dengan alasan hendak ke kamar mandi, dan hal ini dilakukan tidak hanya sekali, namun berkali – kali. Pembahasan Pada dasarnya anak tunagrahita memiliki tingkat inteligensi yang rendah/ dibawah normal dan memerlukan bantuan atau layanan yang berbeda dalam meniti tugas kesehariannya, termasuk dalam hal mengikuti kegiatan pembelajaran. Somantri 51 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 (2006:105) menjelaskan “tunagrahita merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal”. Wijaya (2013:21) juga mengemukakan tunagrahita sebagai individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Effendi (2006:98) menjelaskan bahwa anak tunagrahita cenderung memiliki kemampuan berfikir konkrit/ nyata dan sukar berfikir abstrak, mengalami kesulitan dalam konsentrasi, kemampuan sosialnya terbatas, tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit, kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi, dan prestasi tertinggi bidang baca, tulis, hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV SD. Rendahnya tingkat inteligensi yang dimiliki oleh anak tunagrahita tidak hanya berdampak pada aspek kehidupannya dalan hal sosial, adaptasi perilaku, pemahaman terhadap situasi, berkomunikasi, dan memahami keadaan sekitarnya, tetapi juga berdampak pada kegiatan pembelajaran yang diikutinya di sekolah luar biasa. Pembelajaran yang dilakukan bagi siswa tunagrahita disajikan melalui metode dan cara belajar yang disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, guru juga bisa menggunakan media pembelajaran yang kreatif dan bisa menarik minat dan perhatian siswa untuk memperhatikan materi pelajaran dengan seksama. Metode pembelajaran menurut Sutikno (2009: 88) adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan. Metode pembelajaran terbagi menjadi beberapa macam diantaranya adalah metode ceramah, demonstrasi, diskusi, tanya jawab, eksperimen, latihan, penyelesaian masalah, dan sebagainya. Media pembelajaran merupakan perantara yang berfungsi untuk menyampaikan pesan berupa meteri pembelajaran agar tujuan pembelajaran yang ditentukan bisa tercapai dengan optimal (Susilana dan Riyana, 2009: 7). Pemilihan 52 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan karakteristik siswa yang akan menerima materi pelajaran, efektif, efisien, relevan, dan produktif dalam menyampaikan pesan atau materi pembelajaran. Media pembelajaran terbagi menjadi beberapa macam, yakni media visual, media audio, dan media audio-visual. Pemilihan dan penggunaan metode dan media pembelajaran oleh guru agama Islam di kelima SLB di kabupaten Sukoharjo masih sederhana. Para guru cenderung memilih media berupa media visual seperti buku cetak pelajaran agama Islam, gambar diam yang berkaitan dengan materi pelajaran, atau menggambar langsung di papan tulis. Pemilihan media tersebut dikarenakan mudah diperoleh dan tidak membutuhkan alat bantu atau alat proyeksi untuk menampilkan media tersebut. Metode dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru agama Islam di masing-masing sekolah bertujuan untuk membuat pembelajaran menjadi lebih menarik, efisien, hemat tenaga, dan bisa meningkatkan kualitas belajar siswa. Namun tidak semua tema atau materi pelajaran bisa disajikan melalui metode dan media pembelajaran yang sama, beberapa materi membutuhkan metode yang diintegrasikan dan media pembelajaran yang lebih inovatif dan tentunya membutuhkan alat bantu proyektor, penguasaan terhadap penggunaan alat tersebut. Selain itu, guru juga harus menyiapkan atau mencari materi ajar berupa video, slide, film, dan sebagainya karena pihak sekolah belum memfasilitasi hal tersebut. Kondisi dilapangan menunjukkan tidak semua kelas memuliki LCD atau alat bantu proyektor, sehingga apabila guru hendak menggunakan media berbasis IT tersebut mereka harus bergantian dengan guru yang lainnya, dan juga sebagian guru masih belum terampil dalam mencari dan membuat materi ajar yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan dipelajari. Oleh karena itu mereka lebih memilih menggunakan buku cetak dan gambar diam sebagai media pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Penggunaan metode dan media pembelajaran yang beragam juga berdampak pada pemahaman dan minat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa cenderung lebih tertarik ketika mengikuti kegiatan pembelajaran menggunakan 53 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 tampilan gambar dibandingkan bila hanya menggunakan buku cetak saja. Gambar yang disajikan dengan kreatif dan sesuai materi pelajaran bisa membuat siswa fokus dan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Berdasarkan pada hasil analisis data penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penggunaan metode pembelajaran oleh guru dalam mengajarkan materi sholat sudah cukup bagus, namun media pembelajaran yang digunakan masih belum bervariasi dan belum optimal. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru lebih menggunakan metode ceramah dan demonstrasi untuk mengajarkan gerakan sholat, untuk mengajarkan mengenai bacaan sholat biasanya guru melafalkan bacaan dan siswa mengikuti bacaan tersebut. Penyampaian materi mengenai gerakan dan bacaan sholat ini ditunjang dengan pemakaian media pembelajaran berupa media pembelajaran sederhana seperti buku cetak/ buku pedoman pembelajaran dan cetakan gambar yang berkaitan dengan materi pembelajaran, guru belum menggunakan bantuan media yang berbasis IT dalam mengajarkan materi tersebut. Hal ini dilakukan karena media sederhana lebih mudah diperoleh dan penggunaannya juga tidak membutuhkan alat bantu lainnya. Respon siswa ketika mengikuti pembelajaran berbeda sesuai dengan strategi dan media yang digunakan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran. Ketika menggunakan buku cetak/ buku pedoman pembelajaran siswa cenderung lebih mudah bosan dan kurang memperhatikan, namun apabila menggunakan visualisasi gambar yang kreatif dan bagus, maka siswa cenderung tertarik dan memperhatikan pembelajaran. Namun tidak semua gambar bisa menarik minat dan perhatian siswa, adakalanya gambar yang ditampilkan tergolong biasa dan membuat siswa tidak betah mengikuti kegiatan pembelajaran. 54 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah ditemukan maka peneliti memberikan saran kepada guru yakni hendaknya menggunakan variasi metode dan media pembelajaran ketika mengajarkan pelajaran agama Islam, penggunaan beberapa metode yang diintegrasikan dan media berbasis teknologi atau yang lebih modern bisa digunakan agar tujuan pembelajaran bisa lebih optimal dan materi pelajaran tersampaikan dengan baik. Sedangkan bagi pihak sekolah bisa memfasilitasi kegiatan pembelajaran agama Islam dengan menyediakan media pembelajaran yang lebih modern dan kreatif, dan juga bisa memberi pelatihan mengenai berbagai macam metode dan media pembelajaran dan cara menggaplikasikannya. DAFTAR PUSTAKA Andayani. (2015). Problema dan Aksioma dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta. Deepublish. Effendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta. Bumi Aksara. Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta. Salemba Humanika. Meimulyani, Y. & Caryoto. (2013). Media Pembelajaran Adaptif. Bandung. Luxima Metro Media. Musfiqon. (2012). Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta. Prestasi Pustakarya. Somantri, T. S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung. Anggota IKAPI. Sugiyono.(2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta. Susilana, R dan Cepi Riyana. (2009). Media Pembelajaran; Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Penilaian. Bandung. Wacana Prima. Wijaya, A. (2013). Teknik Mengajar Siswa Tunagrahita. Yogyakarta. Imperium. 55 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 MODEL PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS ICE BREAKER UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB C YPAC SEMARANG Wahyu Agus Setyani [email protected] ABSTRAK Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan menggunakan ice breaker. Ice breaker adalah pemecah kebekuan fikiran atau fisik siswa agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar pada anak tunagrahita ringan melalui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis ice breaker. Obyek penelitian ini adalah model pembelajaran dengan pendekatan saintifik di SLB C YPAC Semarang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian pengembangan. Metode penelitian yang digunakan pada tahap I adalah: 1) wawancara mendalam, 2) pengamatan terlibat, 3) analisis isi dokumen. Hasil yang sudah dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) identifikasi model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dijalankan oleh guru bagi anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang,2) Identifikasi gambaran motivasi belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang, 3) susunan draft model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis Ice Breaker yang efektif dapat meningkatkan motivasi belajar bagi anak tunagrahita ringan. Kata Kunci : pendekatan saintifik, ice breaker,Motivasi Belajar Siswa. 56 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 PENDAHULUAN Kurikulum yang dipakai di Indonesia saat ini adalah Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 juga digunakan pada anak berkebutuhan khusus pada semua kategori ketunaan termasuk pada anak tunagrahita ringan. Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 memiliki karakterisitik yang menjadi ciri khas pembeda dengan kurikulum-kurikulum yang telah ada selama ini salah satunya adalah pada pendekatan pembelajarannya. Pendekatan pembelajaran yang dipakai pada Kurikulum 2013 adalah mengggunakan pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah). Berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada pendekatan saintifik ini meliputi tiga ranah belajar, yaitu: Sikap (yang terdiri dari sikap spiritual dan sikap sosial), Pengetahuan (Produk), dan Keterampilan (Proses dan Psikomotorik). Peserta didik diharapkan mampu mengimplementasikan penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang saling terintegrasi satu sama lain. Hasil akhirnya diharapkan implementasi kurikulum ini dapat membantu siswa menjadi insan yang pandai bersyukur, berjiwa sosial tinggi, cerdas, mandiri, dan kreatif ( soft skill dan hard skill seimbang). Pada beberapa jurnal dan penelitian ilmiah, pengggunaan pendekatan saintifik dalam pembelajaran di sekolah umum dengan peserta didik non tunagrahita telah terbukti berhasil untuk meningkatkan motivasi maupun hasil belajar anak. Menurut Deden (2015) Dengan pendekatan saintifik peserta didik akan lebih tertarik untuk belajar, dengan konsep menemukan sendiri maka mereka juga dapat lebih mengingat materi yang dibahas dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pendapat serupa juga diberikan oleh Sumayasa, Marhaeni dan Dantes (2015) yang mengatakan motivasi belajar dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran saintifik (kelompok eksperimen) hasilnya lebih baik daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional (kelompok kontrol). Namun, pada anak tunagrahita yang mengalami hambatan khususnya yang berkenaan dengan perhatian atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang benar, dan dalam kemampuan akademiknya, pendekatan saintifik yang menekankan pada keterlibatan peserta didik secara aktif sepanjang kegiatan pembelajaran, mungkin akan 57 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 nampak rumit bagi anak tunagrahita. Oleh karena itu, kurikulum 2013 yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan modifikasi yang disesuaikan dengan ragam hambatan yang dialami peserta didik yang bervariasi, sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didikterutama pada anak tunagrahita. Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik dan dapat mengakomodir segala kebutuhan dan kekhasan yang ada pada setiap individu. Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada seorang guru di SLB C YPAC Semarang menyebutkan bahwa motivasi belajar siswa masih rendah. Siswa juga kurang bersemangat untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Rendahnya motivasi belajar siswa tersebut mengakibatkan hasil belajar yang rendah pula pada anak. Motivasi belajar juga berpengaruh terhadap hasil belajar. Siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung memiliki hasil belajar yang baik. Begitu juga sebaliknya, siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah cenderung memiliki hasil belajar yang kurang baik. Hasil belajar akan menjadi lebih optimal jika disertai dengan motivasi belajar yang baik. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi siswa (Sardiman, 2012). Temuan pada observasi peneliti menunjukkan bahwa pola pembelajaran di kelas sebagian besar guru masih mengandalkan pada metode ceramah. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, hanya 5-10 menit anak dapat berkonsentrasi pada pelajaran yang disampaikan oleh guru, setelah ituanak mengalami kejenuhan dan tidak lagi memperhatikan pelajaran yang disampaikan. Mereka melampiaskannya dengan mengobrol, berbaring di lantai bahkan ada yang keluar dari kelas. Menanggapi masalah tersebut, pendekatan dapat dikembangkan melalui teknik pembelajaran kreatif, inovatif dan menyenangkan yang cocok untuk mengatasi kejenuhan anak. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan menggunakan ice breaker. Icebreaker adalah pemecah kebekuan fikiran atau fisik siswa agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Penggunaan ice breaker dalam pembelajaran akan sangat membantu dalam menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis (Sunarto, 2012). 58 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Ice breaker sangat diperlukan dalam proses pembelajaran di kelas untuk menjaga stamina emosi dan kecerdasan berfikir siswa. Ice breaker diberikan untuk memberikan rasa gembira yang bisa menumbuhkan sikap positif siswa dalam proses pembelajaran. Suasana belajar yang menyenangkan dan penuh semangat tentu tidak terjadi begitu saja, tetapi harus direncanakan dengan baik oleh guru. Untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan selain membuat skenario pembelajaran yang dapat melibatkan seluruh siswa aktif, tentu akan sangat membantu jika para guru bisa menggunakan ice breaker sebagai alat untuk menciptakan nuansa kegembiraan. Hasil penelitian ini diharapkan keakraban antar siswa, maupun antara guru dan siswa (Sunarto, 2012). Hasil penelitian pada model pembelajaran melalui pendekatan saintifik berbasis ice breaker diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi anak tunagrahita ringan. Secara khusus penelitian ini bertujuan :1) Untuk mengetahui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dijalankan oleh guru bagi anak tunagrahita ringan pada saat ini, 2) Untuk mengetahui gambaran motivasi belajar anak tunagrahita ringan pada saat ini, 3) Untuk mengetahui gambaran hasil belajar anak tunagrahita ringan pada saat ini, 4) Untuk mengetahui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis ice Breaker yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi anak tunagrahita ringan, 5) Untuk mengetahui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik dengan berbasis ice breaker efektif untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar anak tunagrahita ringan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SLB C YPAC Semarang dengan pendekatan kualitatif. Kajiannya ditekankan pada aspek pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dapat meningkatkan memotivasi siswa untuk yang bisa menumbuhkan sikap positif siswa dalam proses pembelajaran. Teknik cuplikan yang digunakan didasarkan pada konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik dan lain-lainnyan (Sutopo, 2006). Beberapa sumber data yang dipilih sebagai sampling dalam penelitian meliputi informan, tempat/ peristiwa dan dokumen didasarkan dengan teknik purposive sampling. Adapun sampel penelitian adalah berupa orang (guru dan siswa) dan atau benda seperti silabus serta materi pembelajaran. Teknik untuk melangkapi data hasil pengamatan adalah wawancara mendalam. 59 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Validitas dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1) tringulasi sumber, (2) recheck, (3) peer debriefing. Tringulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan data informasi terhadap berbagai sumber data berbeda mengenai masalah yang sama. Recheck dilakukan dengan cara meneliti ulang data informasi dari para informan agar diperoleh perbaikan atau kebenrana data terhadap berbagai sumber informasi yang salah dan tidak lengkap dari hasil informasi sebelumnya. Peer debriefing, yaitu mendiskusikan hasil penelitian dengan personal yang sebanding (setara pengetahuan) untuk memperoleh kritikan dan pertanyaan tajam yang menentang tingkat kepercayaan terhadap kebenaran penelitian, dengan demikian peneliti sebagai instrumen penelitian senantiasa melakukan koreksi secara terus menerus mengenai hasil penelitian yang telah dihimpun. (Nasution, 1988:116). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian telah dilaksanakan selama kurun waktu 1 bulan, yaitu pada bulan April 2016 di SLB C YPAC Semarang. Berdasarkan penelitian permasalahannya dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Model pembelajaran yang dijalankan oleh guru bagi anak tunagrahita ringan pada saat ini. Model pembelajaran yang digunakan di SLB C YPAC Semarang adalah pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Dalam pengembangan silabus kurikulum 2013, setiap satuan pendidikan diberikankebebasan dan keleluasaan dalam mengembangkanya disesuaikan dengan kebutuhan masing masing sekolah. Prinsip ini belum dilaksanakan oleh guru untuk anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang. Dalam pengembangan silabus guru masih mengadopsi silabus dari hasil rapat KKG/KKS. Selanjutnya model silabus tersebut ditelaah dan disesuaikan dengan kondisi sekolah. Apabila silabus tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa maka akan direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Untuk penyusunan rencana Pelaksanaan model pembelajaran (RPP) guru berpedoman pada silabus yang telah disediakan oleh KKG/KKS. Dalam silabus tersebut sudah disediakan pemetaan KI/KD setiap mata pelajaran 60 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 yang akan dalam hal ini media tersebut harus memilki kegunaan yang dapat dimanfaatkan olehberbagai bidang studi yang terkait dan terpadu. Penggunaan metode pembelajaran yang dipakai guru dalam pembelajaran saintifik bagi siswa tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang dapat dideskrisikan guru berorientasi pada metode ceramah dan pemberian tugas. Sehingga pembelajaran yang dilaksanakan kurang menarik perhatian siswa. Dalam penerapannya, kurikulum 2013 memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk dapat memperkaya pengetahuan dari berbagai sumber, seperti buku, internet, dan lingkungan sosial masyarakat. Peran guru dalam kurikulum 2013 hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, yang fungsinya mengarahkan peserta didik untuk mencapai target pembelajaran sesuai dengan yang ditetapkan. Hasil akhir yang diharapkan dari model pembelajaran yang aktif, kreatif, dan gembira ini adalah para peserta didik terpacu untuk meningkatkan kemampuannya di bidang sains, matematika, dan membaca. Namun, pada anak tunagrahita yang mengalami hambatan khususnya yang berkenaan dengan perhatian atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang benar, dan dalam kemampuan akademiknya, pendekatan saintifik yang menekankan pada keterlibatan peserta didik secara aktif sepanjang kegiatan pembelajaran, mungkin akan nampak rumit bagi anak tunagrahita. Oleh karena itu, kurikulum 2013 yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan modifikasi yang disesuaikan dengan ragam hambatan yang dialami peserta didik yang bervariasi, sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didikterutama pada anak tunagrahita. Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik dan dapat mengakomodir segala kebutuhan dan kekhasan yang ada pada setiap individu. Menurut Mulyasa (2014) kunci sukses pembelajaran dengan pendekatan saintifik ada beberapa faktor yaitu: a) Kepemimpinan Kepala Sekolah Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor penentu yang dapat menggerakkan semua sumber daya sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan terprogram. 61 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 b) Kreativitas guru Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya siswa dalam belajar. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang berbasis karakter dan kompetensi, antara lain ingin mengubah pola pendidikan sebagai sebuah proses yang dalam pembelajarannya harus sebanyak mungkin melibatkan melibatkan siswa agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi dan kebenaran ilmiah. Dalam kerangka inilah perlunya kreativitas guru, agar mereka mampu menjadi fasilitator dan mitra belajar bagi siswa. Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada siswa, tetapi harus kreatif memberikan layanan dan kemudahan belajar kepada seluruh siswa agar mereka belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka. c) Aktivitas peserta didik Dalam rangka mendorong dan mengembangkan aktivitas peserta didik, guru harus mampu mendisiplinkan peserta didik, terutama disiplin diri. Guru harus mampu membantu peserta didik mengembangkan pola perilakunya, meningkatkan standar perilakunya, dan melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin dalam setiap aktivitasnya. Untuk mendisiplinkan diri perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap demokratis sehingga peraturan disiplin perlu berpedoman pada hal tersebut. dalam hal ini guru harus mampu memerankan diri sebagai pengemban ketertiban, yang patut ditiru dan diteladani serta tidak otoriter. d) Sosialisasi Kurikulum 2013 Sosialisasi sangat penting dilakukan, agar semua pihak yang terlibat dalam implementasinya di lapangan paham dengan perubahan yang harus dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga mereka memberikan dukungan terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah memberikan grand 62 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 design yang jelas dan menyeluruh, agar konsep kurikulum yang diimplementasikan dapat dipahami oleh para pelaksana secara utuh, tidak ditangkap secara parsial, keliru atau salah paham. e) Fasilitas dan sumber ajar Dalam pengembangan fasilitas dan sumber ajar, guru di samping harus mampu membuat sendiri alat pembelajaran dan alat peraga juga harus berinisiatif mendayagunakan lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber ajar yang lebih konkret. Pendayagunaan lingkungan sebagai sumber ajar misalnya memanfaatkan bebatuan, tanah, tumbu-tumbuhan, keadaan alam, pasar, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya kehidupan yang berkembang di masayarakat. f) Lingkungan yang kondusif akademik Lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik merupakan iklim yang membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar. Iklim belajar yang kondusif merupakan tulang punggung dan faktor pendorong yang dapat memberikan daya tarik sendiri bagi proses belajar, sebaliknya iklim belajar yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan. 2. Gambaran motivasi belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa motivasi belajar pada anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang cenderung rendah. Motivasi belajar yang rendah menyebabkan siswa menjadi kurang bersemangat dalam belajar terlebih dengan karakteristik anak tunagrahita yaitu keterlambatan dalam proses berfikir, maka karakteristik anak tunagrahita berdampak pada keseluruhan perilaku dan pribadinya, termasuk dalam pencapaian hasil belajarnya. Menurut pendapat Schunk, Pintrich, dan Meece (2012:6) “Motivasi merupakan sebuah 63 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 proses diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian tujuan.” Ini berarti motivasi menyangkut berbagai tujuan yang memberikan daya penggerak dan arah bagi tindakan. Mengawali pencapaian sebuah tujuan merupakan sebuah proses penting dan sering kali sulit. Akan tetapi, proses-proses motivasi seperti pengharapan, persepsi penyebab, emosi, dan afek membantu invidu mengatasi kesulitan dan mempertahankan motivasi. Menurut Slameto (2003:2) Belajar adalah “Suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik (Uno, 2006). Slameto (2010: 54) berpendapat bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi minat belajar, yakni faktor jasmani, faktor psikologis, dan faktor kelelahan. Beberapa hal yang harus dikuasai anak tunagrahita dalam motivasi belajar yaitu ketekunan belajar, keuletan dalam belajar, minat/perhatian dalam belajar, tidak bosan belajar, belajar dan senang belajar. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka diperlukan pelayanan pendidikan khusus untuk mengembangkan motivasi anak. 3. Gambaran hasil belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang Berdasarkan penelitian, menunjukan bahwa hasil belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang rendah. Hal ini ditunjukkan dari penilaian hasil belajar pada anak tunagrahita ringan yang hampir semua tidak mencapai Standar Kelulusan Batas Minimum (SKBM) yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sekolah tidak menentapkan SKBM (standar kelulusan batas minimum) kepada siswa dengan alasan memperhatikan kemampuan yang dimiliki 64 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 siswa.Apabila SKBM ditetapkan sesuai aturan maka akan banyak siswa yang tidak naik kelas sedangkan usia mereka sudah besar. Ada keterkaitan langsung antara kemampuan intelektual dengan hasil belajar pada anak. Menurut Edgar dalam Efendi (2006) mengatakan bahwa sesorang dikatakan tunagrahita jika (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah anak normal sebayanya, (3) Kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda dan (4) kematangannya terhambat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat intelektual yang rendah yaitu dibawah 70, karena ketunagrahitaanya tersebut berdampak pula pada keterbatasan kecerdasannya, maupun keterlambatan dalam sosial, akademik dan tingkat kematangan dari seorang anak tunagrahita. Keterbatasan kecerdasan yang dimiliki anak tunagrahita menjadi kendala utama dalam belajar. Materi pembelajaran bagi anak tunagrahita harus dirinci dan sedapat mungkin dimulai dari hal-hal konkrit, mengingat mereka mengalami keterbatasan dalam berfikir abstrak. Materi yang bersifat akademik juga diberikan pada anak tunagrahita. Namun, hanya anak tunagrahita dengan kategori ringan yang masih mendapatkan pembelajaran akademik di sekolah. Walaupun begitu, mereka tetap memiliki kemampuan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang memiliki tingkat intelegensi normal atau diatas rata-rata. 4. Model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis Ice Breaker yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi anak tunagrahita ringan. Teknik pembelajaran Ice Breaker mengutamakan suasana belajarmengajar yang ceria, semangat, dan tidak membosankan yang dilakukan secara individual dan kelompok. Memang, ice breaker ini biasanya dipakai pada saat penataran atau diklat. Namun, ice breaker juga sangat baik diterapkan pada saat proses pembelajaran. Chlup and Collin (2009) berpendapat bahwa: Icebreaker activities, as the name implies help "break the ice" in various ways. They help group members get acquainted and begin conversations, relieve inhibitions or tension between people, allowing those involved to build trust with and feel more open to one another. Icebreakers encourage 65 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 participation by all, helping a sense of connection and shared focus to develop. Artinya adalah kegiatan Ice breaker, seperti namanya membantu "memecahkan es" dalam berbagai cara. Mereka membantu anggota kelompok berkenalan dan mulai percakapan, meredakan hambatan atau ketegangan antara orang-orang, yang memungkinkan mereka yang terlibat untuk membangun kepercayaan dengan dan merasa lebih terbuka satu sama lain. Ice breaker mendorong partisipasi dari semua, membantu rasa saling membutuhkan dan mengembangkan kefokusan. Penggunaan Ice breaker dalam pembelajaran dimaksudkan untuk memecahkan kejenuhan dan kebosanan di saat pembelajaran tengah berlangsung. Hal ini sesuai dengan fungsi Ice Breaker dalam pembelajaran menurut Pramudyo (2007) yaitu: a) Membuat anak saling mengenal dan akan menghilangkan jarak mental sehingga suasana menjadi benar-benar rileks, cair dan mengalir, b) Mengarahkan atau memfokuskan peserta pada topik pembahasan atau pembicaraan, c) Dapat digunakan sebagai daya pembangkit (energizer), d) Menghidupkan anak. Hal ini terutama bila anak menunjukkan gejala bosan, jenuh, capai atau mengantuk, e) Memotivasi anak untuk melanjutkan pembelajaran berikutnya, f) Membantu memahami masalah, g) Mempercepat proses pembelajaran, h) Membantu memahami orang lain. 5. Model pembelajaran dengan pendekatan saintifik / berbasis ice breaker efektif untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar anak tunagrahita ringan. Tujuan utama ice breaker dalam pembelajaran adalah untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa. Dengan dilakukannya ice breaker motivasi siswa menjadi tinggi, sehingga mempunyai rasa senang dalam mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, penggunaan ice breaker dalam pembelajaran perlu mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu; efektivitas, motivate, sinkronized, 66 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 tidak berlebihan, tepat situasi, tidak mengandung unsur SARA, serta tidak mengandung unsur pornografi. Jenis ice breaker yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar anak menurut Sunarto (2012:110) adalah: a) Jenis Yel-yel b) Jenis tepuk c) Jenis lagu d) Jenis game e) Dan jenis cerita Ice breaker dalam pembelajaran dapat dilakukan secara spontan, pada awal pelajaran, inti proses pembelajaran, maupun pada akhir pembelajaran. a) Penerapan ice breaker secara spontan dalam proses pembelajaran Ice breaker dapat dilakukan secara spontan tanpa persiapan sebelumnya. Seorang guru yang tanggap terhadap kondisi siswa tentu akan segera mengambil tindakan terhadap kondisi dan situasi pembelajaran yang kurang kondusif selama proses pembelajaran berlangsung. Ice breaker diberikan spontan dalam pembelajaran dengan tujuan: (1) Memusatkan perhatian siswa kembali (2) Memberikan semangat baru pada saat siswa mencapai titik jenuh (3) Mengalihkan perhatian terhadap fokus materi pelajaran yang berbeda b) Ice breaker di awal kegiatan pembelajaran Pada saat mengawali proses pembelajaran seorang guru harus melaksanakan beberapa hal yang berkaitan dengan “kesiapan mental” anak didik dalam mengikuti proses pembelajaran yang akan berlangsung. Dalam rangka menyiapkan kondisi tersebutselain melakukan apersepsi, guru dapat memulai proses pembelajaran dengan ice breaker. Kelebihan-kelebihan ice breaker pada awal kegiatan pembelajaran adalah: (1) Ice breaker dapat terpilih secara lebih tepat, baik dalam menyesuaikan materi maupun ketepatan memilih prinsip penggunaan ice breaker 67 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 (2) Ada kesempatan bagi guru untuk belajar terhadap ice breaker yang akan disampaikannya (3) Ice breaker dapat dipersiapkan lebih sinkron dengan strategi pembelajaran yang dipilih guru saat itu (4) Ice breaker terasa lebih menyatu dengan proses pembelajaran c) Ice breaker pada inti kegiatan pembelajaran Pada kegiatan inti pembelajaran merupakan waktu yang krusial dimana siswa harus terus memusatkan perhatiannya selama pembelajaran berlangsung. Waktu yang begitu panjang untuk terus berkonsentrasi pada hal yang sama adalah hal yang sangat sulit, untuk itu dibutuhkan ice breaker untuk memceahkan kejenuhan tersebut. Penggunaan ice breaker pada inti pembelajaran dilakukan dengan ketentuan-ketentuan berikut: (1) Ice breaker digunakan pada saat pergantian sesi atau pergantian kegiatan, (2) Ice breaker digunakan pada saat anak mengalami kejenuhan atau kebosanan pada saat belajar, (3) Ice breaker digunakan untuk memberikan penguatan materi yang sedang diberikan. d) Ice breaker pada akhir kegiatan Walaupun pelajaran sudah selesai ice breaker masih dianggap perlu. Ice breaker diakhir pembelajaran berfungsi untuk : (1) Memberikan penguatan tentang pemahaman konsep pelajaran yang baru saja dilaksanakan, (2) Mengakhiri kegiatan dengan penuh kegembiraan, (3) Memotivasi siswa untuk selalu senang mengikuti pelajaran berikutnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pembelajaran selama di lapangan telah ditemukan masalah-masalah yaitu: 68 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 1. Perbedaan tunagrahita dengan anak normal dalam proses belajar adalah terletak pada hambatan dan amsalah atau karakteristik belajarnya. Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan anak sebayanya, anak tunagrahita mengalami masalah pada tingkat kemahiran dalam memecahkan masalah, melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru, minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas. 2. Model pembelajaran yang diberlakukan saat ini menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik namun belum dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan khusus anak tunagrahita ringan. 3. Karakteristik yang dimiliki oleh anak tunagrahita ringan, berdampak pada rendahnya motivasi dan hasil belajar pada anak tunagrahita ringan. 4. Guru mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekaan saintifik ini disebabkan kurangya pemahaman guru dalam melaksanakan pembelajaran ini. 5. Teknik pembelajaran Ice Breaker dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar pada anak tunagrahita ringan. Ice breaker mengutamakan suasana belajar-mengajar yang ceria, semangat, dan tidak membosankan yang dilakukan secara individual dan kelompok. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dapat diperoleh suatu kesimpulan sebagaimana telah diuraikan diatas, untuk itu peneliti mengajukan beberapa saran yang mungkin bermanfaatkan bagi berbagai pihak. 1. Kepala Sekolah, dengan adanya penelitian ini hendaknya kepala sekolah dapat memotivasi dan memfasilitasi guru – gurunya untuk mengikuti pelatihan -pelatihan yang berkaitan dengan pembelajaran 69 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 saintifik ini sendiri. Baik itu tentang perencanaanya, pelaksanaan, maupun penilaianya. 2. Guru hendaknya bisa lebih aktif dalam mencari informasi yang berkaitan dengan pembelajaran dengan pendekatan saintifik . Baik itu aktif dalam mengikuti kegiatan yang dilaksanakan KKG, agar bisa membahas secara bersama-sama bagaimana bentuk pelaksanaan model pembelajaran tematik bagi siswa tunagrahita ringan di sekolahsekolah luar biasa yang ada. 3. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya maupun masyarakat. Dalam hal ini peserta didik semestinya menerima pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan. 4. Pelaksanaan pembelajaran memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik. Pembelajaran dilaksanakan dalam suasana hubungan yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, dan berbobot. DAFTAR PUSTAKA Chlup, Dominique; Tracy E. Collins. (2014).Breaking the Ice: Using Ice-Breakers and Re-Energizers with Adult Learners. Adult Learning. Hal. 35A39A.https://learningtrendz.files.wordpress.com/2014/06/collins-chlupbreaking-the-ice.pdf Deden. (2015). Penerapan Pendekatan Saintifik Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Pada Mata Pelajaran Ekonomi. Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015. Universitas Negeri Surabaya. 98-107. Effendi, Mukhlison. (2006). Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Nadi Ofset. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Depdikbud. 70 Jurnal Special Edu ISSN: 2541-3953 2016. Vol. 1 No. 1 Mulyasa. (2014). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Nasution. 2003. Metode Research, Jakarta : PT. Bumi Aksara Sardiman. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Schunk, Dale; Paul, R; Judith, L. (2012). Motivasi dalam Pendidikan. Jakarta: Indeks. Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sumayasa, I Nyoman; A.A.I.N.Marhaeni; Nyoman Dantes. (2015). Pengaruh Implementasi Pendekatan Saintifik Terhadap Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas Vi Di Sekolah Dasar Se Gugus Vi Kecamatan Abang, Karangasem. e- Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar. Volume 5. hal 1-11. Sunarto.(2012).Ice breaker Dalam Pembelajaran Aktif. Cakrawala Media: Surakarta. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS. Uno, H. B. (2006). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara. 71 SPECIAL EDU . Jurnal Pendidikan Khusus Dewi Ekasari Kusumastuti, Zaenal Alimin Kemampuan Membaca Pemahaman Pada Anak Dengan Hambatan Pendengaran Kelas 4 Di SLB-B Prima Bakti Mulya 1-13 Elfa Adila Program Pembelajaran Membaca Permulaan Untuk Mengakomodasi Siswa Kelas II Dengan Kesulitan Membaca Permulaan di Sekolah Dasar 27-37 Asrori Ahmad, Amanah , Suratmi Rachmat , Sri Rezeki Sulantina Kursi Roda Kerja Untuk Bapak X (individu dengan hambatan fisik) 38-44 Nurian Anggraini, Dwi Aris Himawanto, Abdul Salim Pelaksanaan Pembelajaran Agama Islam Materi Sholat Bagi Anak Tunagrahita di SLB Sukoharjo 45-55 Wahyu Agus Setyani Model Pembelajaran Dengan Pendekatan Saintifik Berbasis Ice Breaker Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Anak Tunagrahita Ringan Di SLB C YPAC Semarang. 56-71 November-Desember 2016 14-26 Volume. 1 Nomor. 1 Hal. 1-71 Dieni Laylatul Zakia, Sunardi, Sri Yamtinah Profil Pelaksanaan Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu Di SLB Kabupaten Sukoharjo