BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi telah mendapat perhatian khusus secara global sejak diadakannya Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994. Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan mengenai perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang lebih terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi (UNFPA, 2004). Salah satu yang menjadi fokus dari kesepakatan tersebut adalah kesehatan reproduksi remaja. Data PRB (Population Reference Bureau) tahun 2013 menunjukkan jumlah remaja usia 10-24 tahun di dunia mencapai 1.809.000.000 jiwa (25% dari populasi penduduk dunia), sedangkan, proporsi remaja di Asia termasuk Indonesia mencapai 26% dari total populasi (Clifton and Hervish, 2013). Hal ini menunjukkan tingginya proporsi remaja di populasi dunia, termasuk di Indonesia. Remaja merupakan investasi negara di masa depan. Selain itu, populasi muda ini akan memfasilitasi dalam pencapaian Millennium Development Goal (MDGs) (UNFPA, 2004). Sensus penduduk tahun 2010 di Indonesia menunjukkan jumlah remaja (10-24 tahun) mencapai 63,4 juta atau sekitar 26,7% dari total penduduk. Jumlah 1 remaja yang besar ini akan berpengaruh pada pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, dan demografi (BKKBN, 2011). Remaja perlu mendapatkan perhatian yang serius karena mereka berada pada usia sekolah dan usia kerja yang sangat berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan reproduksi seperti perilaku seks pranikah, Napza, dan HIV/AIDS. Menurut data YRBS (Youth Risk Behavior Survey) tahun 2005, prevalensi remaja di dunia yang pernah melakukan hubungan seks adalah 35,7% sampai 55,1% (median = 44,8%), di antaranya yang melakukan hubungan seks kurang dari 13 tahun sebanyak 2,8% sampai 10,8% (median 5,8%), dan remaja seksual aktif 24,1% sampai 40,6% (median 33,3%) (Center for Disease Control and Prevention/CDC, 2006). Data perilaku seksual remaja di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) menunjukkan bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual remaja di antaranya berpegangan tangan (laki-laki 60,1% dan perempuan 62%), kissing (laki-laki 30,9% dan perempuan 23,2%) dan petting (laki-laki 19,2% dan perempuan 6,5%) (Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Macro, 2007). Selain itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 menunjukkan sekitar 1% anak laki-laki dan 4% anak perempuan di seluruh Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun, beberapa bahkan ketika berusia di bawah 10 tahun. Remaja usia 13-14 tahun dilaporkan hampir 4% telah melakukan hubungan seksual dan persentasenya relatif meningkat seiring dengan pertambahan usia (UNICEF Indonesia, 2012). 2 Didukung dengan Survei Perilaku Seks yang dilakukan DKT Indonesia tahun 2011 Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali pada usia 1525 tahun, yang menunjukkan rata-rata remaja mulai berhubungan seks pertama kalinya pada usia 19 tahun, sebanyak 69,9% remaja usia 15-25 tahun mengaku telah telah melakukan hubungan seks, dan di antaranya telah melakukan hubungan seks sejak SMP/SMA (6%) (BKKBN, 2011). Hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan proporsi kehamilan pada usia remaja (15-19 tahun) sebanyak 1,97% (RISKESDAS, 2013). Perilaku seksual remaja di Kalimantan Barat tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan perilaku seksual remaja di Indonesia. Kalimantan Barat memiliki proporsi penduduk usia remaja (10-24 tahun) sekitar 29,32% dari total penduduk (BPS, 2012). Perilaku seksual remaja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: ringan (berduaan, kencan, berpegangan tangan, kissing, dan necking) dan berat (meraba daerah sensitif, petting, seks oral, seks anal dan intercourse) (L’Engle et al., 2006). Hasil studi pada 348 remaja (studi pada siswa SMA) di Kota Pontianak menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja kategori ringan di antaranya 56,9% kissing, 30,7% necking, dan 13,8% petting, sedangkan perilaku seksual berat, yaitu hubungan seksual pranikah, di antaranya 7,2% seks oral, 5,5% seks anal, dan 14,7% pernah melakukan intercourse (Suwarni, 2009). Hal ini menunjukkan angka intercourse yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang pernah dirilis oleh Kementrian Kesehatan tahun 2009, yaitu 6,9% di empat kota besar di Indonesia, yaitu: Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya (BKKBN, 2009). 3 Hasil survei awal yang dilakukan peneliti pada sepuluh remaja yang melakukan seks bebas (intercourse) di Kota Pontianak tahun 2013, menunjukkan bahwa tujuh di antaranya melakukan pertama kali di rumah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa remaja sudah tidak lagi mempedulikan bahwa rumah sebagai daerah kekuasaan (teritori) orangtua. Orangtua tidak menyadari bahwa rumah merupakan tempat favorit remaja melakukan hubungan seksual atau perilaku seks pranikah lainnya (BKKBN, 2011). Hal ini dikarenakan sebagian besar orangtua meyakini bahwa remaja tidak mungkin melakukan seks bebas di rumah karena merupakan daerah kekuasaan orangtua. Hal ini didukung dengan hasil survei awal kepada sepuluh orangtua remaja yang menunjukkan delapan di antaranya meyakini bahwa anak remajanya tidak akan berani melakukan perilaku seks pranikah dan merasa lebih tenang jika anak remajanya berpacaran di rumah dibandingkan dengan di luar rumah. Fenomena di atas berhubungan erat dengan angka HIV AIDS yang ada di Kalimantan Barat yang menduduki peringkat ke 7 (dari tahun 1987 sampai Juni 2012) setelah DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan Jawa Tengah dengan jalur penularan terbesar melalui hubungan heteroseksual yang tidak aman. Persentase kumulatif penderita AIDS tertinggi pada usia 20-29 tahun (Kemenkes RI, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa penderita AIDS terinfeksi HIV sekitar lima-sepuluh tahun sebelum menjadi AIDS. Data tersebut menunjukkan bahwa mereka terinfeksi HIV sejak usia 15-24 tahun (usia remaja). Hal ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi remaja, karena remaja yang mulai melakukan hubungan seks dini dihubungkan dengan rendahnya 4 penggunaan alat kontrasepsi dan mempunyai pasangan seks lebih dari satu (American Academy of Pediatric, 1999; Guiella and Madise, 2007). Usia remaja dalam melakukan inisiasi seksual bervariasi di berbagai negara. Rentang usia remaja melakukan inisiasi seksual antara umur 12 sampai 19 tahun (Kinsman et al., 1998; Kraft, 1991; Miller et al., 1997; French & Dishion, 2003) Penelitian yang dilakukan Huang dan Murphy (2011) menunjukkan bahwa rata-rata usia hubungan seksual pertama kali adalah 15,9 tahun pada laki-laki dan 16,6 tahun pada perempuan. Inisiasi sexual intercourse sebelum usia 14 tahun sekitar 17,0% pada laki-laki dan 7,6% pada perempuan. Sebagian besar remaja seksual aktif pada usia 14-18 tahun (Huang and Murphy, 2010). Pada masa remaja terjadi perkembangan, baik secara fisik, biologis maupun emosional (DiClemente et al., 2009; Papathanasiou & Lahana, 2005; Santrock, 2012; Scherf et al., 2012). Pada masa ini juga terjadi perkembangan seksualitas yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan hormonal saat pubertas. Perubahan fisik dan hormonal yang terjadi ini berdampak besar pada aspek sosial dan psikologis remaja, yaitu mendorong remaja lebih cepat mengikuti perilaku orang dewasa (misalnya: merokok, konsumsi alkohol, dan melakukan hubungan seksual) akibat dari perkembangan hormon dan fisik yang lebih cepat (BrooksGunn, 1998; DiClemente et al., 2009; Santrock, 2012). Adanya perbedaan masa pubertas, keterlambatan kematangan kognitif yang mengatur berbagai dorongan yang muncul, dan lemahnya kemampuan mengendalikan emosi serta besarnya pengaruh teman sebaya menjadikan remaja lebih rentan terhadap perilaku bermasalah (negatif) (Millstein & Halpern-Felsher, 5 2002; Steinberg, 2007). Selain itu, panjangnya waktu pendidikan remaja di sekolah mengakibatkan masa remaja lebih panjang, sejalan dengan kebebasan dari orangtua dan keluarga yang meningkat, sehingga memicu remaja melakukan perilaku seks pranikah (WHO, 2004). Adanya perubahan usia haid pertama kali pada remaja putri yang semakin dini juga merupakan faktor yang mendorong terjadinya perilaku seks pranikah. Hal ini dikarenakan, perkembangan hormonal dan pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja (Santrock, 2012). Perilaku seks pranikah remaja saat ini sudah sangat mengkhawatirkan dan menjadi fenomena di masyarakat, salah satunya adalah fenomena “cabe-cabean” (istilah yang digunakan untuk menggambarkan gadis di bawah umur yang mulai terlibat dalam prostitusi). Fenomena ini merupakan salah satu bentuk perilaku seks pranikah. Pengertian perilaku seks pranikah adalah semua bentuk perilaku seksual yang berasal dari dorongan seksual pada lawan jenis yang dilakukan remaja sebelum menikah, mulai dari tingkat hubungan yang kurang intim sampai melakukan hubungan seksual (Soetjiningsih, 2008). Perilaku seksual lebih sering ditampilkan oleh remaja dibandingkan dengan hubungan seksual. Perilaku seksual pranikah yang dimaksud antara lain: kissing, necking, petting, dan intercourse. Perilaku seksual remaja dari berciuman sampai meraba daerah sensitif (perilaku seksual kategori ringan), pada akhirnya sering akan berlanjut pada hubungan seksual (perilaku seksual kategori berat) (Johnson and Malow-Iroff, 2008; L’Engle et al., 2006). Perilaku seksual pranikah berdampak pada remaja yang meliputi aspek biologis (tertular IMS (infeksi menular seksual)), dan KTD (kehamilan yang tidak 6 dikehendaki) serta aborsi, sosial (dikeluarkan dari sekolah (drop out/DO) dan hidup dalam kemiskinan akibat pendidikan rendah), dan psikologis (kehilangan harga diri, perasaan bersalah, dan ketakutan akan sanksi sosial yang akan diterima). Dalam hal ini, remaja perempuan menerima lebih berat dampaknya dibandingkan dengan laki-laki (Abdullahi dan Umar, 2013; Blanc and Way, 1998; Driscoll et al., 1999; Greenberg et al., 1992; Manlove et al., 2003; Miller et al.,2001; Santrock, 2012; Singh, 1998). Faktor risiko dan faktor protektif merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seks pranikah pada remaja (Kirby and Lapore, 2007; Jessor, et al., 2003). Saat remaja terlibat dalam perilaku bermasalah, maka mengindikasikan faktor protektif menurun. Faktor protektif psikososial meliputi model positif, perilaku pro sosial, kontrol personal dan sosial yang bertentangan dengan perilaku dan lingkungan yang melanggar norma atau kriminal. Sebaliknya, faktor risiko meningkat pada keterlibatan remaja dalam perilaku bermasalah. Faktor risiko psikososial meliputi model perilaku berisiko, kesempatan melakukan perilaku berisiko, dan kerentanan personal dan sosial dalam melakukan perilaku berisiko (Costa et al., 2007). Lingkungan keluarga merupakan faktor protektif dan prevensi dari perilaku berisiko pada remaja (Brown, 2005; Miller et al., 2001). Keluarga merupakan faktor yang terutama dan utama mempengaruhi perkembangan remaja, walaupun dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh teman sebaya, teman sekolah dan masyarakat. Remaja berkembang dengan lingkungan yang luas dalam beberapa tingkat individu dan lingkungan, sehingga dapat digambarkan menjadi ecological framework yang 7 berbentuk kumparan, yaitu: microsysytem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem (Bronfenbrenner, 1979). Microsystem merupakan lingkaran yang paling dalam, yang berkaitan dengan individu dan keluarga. Selain lingkungan keluarga, faktor pribadi dan lingkungan sekitar juga potensial mempengaruhi perilaku seorang remaja (Bronfenbrenner cit. Swick and Williams, 2006). Lingkungan keluarga yang positif merupakan tempat yang penting bagi perkembangan remaja. Lingkungan keluarga mempunyai peranan penting dalam proses perkembangan kognitif seorang anak. Hal ini dikarenakan seorang anak mengenal lingkungan awal dan pertama kali adalah lingkungan keluarga, dan lingkungan ini merupakan salah satu lingkungan sosialisasi yang berperan sebagai investasi anak muda di masa depan. Sosialisasi yang dimaksud di antaranya meliputi: nilai-nilai seksual, seks, peranan seks, dan perilaku lain yang diharapkan. Peran orangtua dapat dilihat dari adanya pembelajaran remaja melalui observasi dan panutan dari orangtua. Besarnya peranan orangtua dalam mempengaruhi perilaku remaja sangat bervariatif, remaja yang sering terlibat konflik dengan orangtua, maka remaja tersebut cenderung berperilaku berisiko (DiClemente et al., 2009). Salah satu bentuk peran orangtua dalam mencegah perilaku berisiko remaja melalui monitoring parental (orangtua). Banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa monitoring parental berhubungan signifikan dengan perilaku seksual remaja yang dapat mengurangi risiko kehamilan, yaitu remaja tidak melakukan hubungan seksual atau menunda hubungan seksual. Selain itu, kedekatan/hubungan orangtua dan anak, monitoring, dan nilai orangtua yang 8 konsisten melindungi remaja dari hubungan seksual yang tidak aman sehingga dapat mengurangi kehamilan remaja (Miller et al., 2001). Monitoring orangtua dengan remaja berhubungan signifikan dengan perilaku berisiko remaja. Banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa remaja yang mendapatkan monitoring parental tinggi cenderung kurang berperilaku berisiko dibandingkan dengan remaja dengan monitoring parental rendah (Borawski et al., 2003; Huebner and Howell, 2003; Jaccard and Dittus, 1991; Li et al., 2000; Suwarni, 2009). Remaja yang mendapatkan monitoring parental secara konsisten mempunyai rasa kepercayaan diri yang lebih untuk berkata “tidak” pada seks dan isu terkait seks dibandingkan dengan yang lainnya (Bhardwaj et al., 2007). Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Coley et al. (2007) bahwa proses parenting signifikan dalam memprediksi perilaku seksual berisiko remaja. Dengan kata lain, seorang remaja yang mendapatkan monitoring parental level tinggi dapat mengurangi atau mencegah perilaku berisiko seperti merokok, konsumsi alkohol, narkoba, seks yang tidak aman, dan lain sebagainya. Dengan demikian, diperlukan intervensi yang dapat meningkatkan monitoring parental, sehingga dapat mengurangi perilaku berisiko remaja. Synder and Sickmund (1999) menyatakan bahwa sekitar delapan juta anak sekolah berada di rumah sendirian setelah pulang sekolah, yang memberikan kesempatan mereka melakukan kenakalan seperti pengalaman dengan alkohol, tembakau, obat-obatan, dan seks. Dengan adanya monitoring parental (kontrol orangtua) di waktu tersebut dapat mengurangi kesempatan remaja melakukan 9 perilaku berisiko. Monitoring parental pada level tinggi didefinisikan bahwa orangtua mengetahui keberadaan anak-anak mereka, aktivitas, dan temantemannya (Jacobson and Crocket, 2000). Studi lain menyebutkan bahwa komponen monitoring parental di antaranya adalah pengetahuan, harapan, komunikasi, hubungan, kepercayaan dan kontrol orangtua pada anak remajanya (Ramos et al., 2010). Menurut Anderson and Branstetter (2012), monitoring parental memiliki lima konstruk, yaitu: pengetahuan monitoring parental, kontrol psikologis parental, hubungan parental dan remaja, komunikasi parental dan remaja, dan perilaku monitoring parental. Berdasarkan teori psikologi perkembangan remaja, early adolescence merupakan usia ketika orangtua masih berpengaruh walaupun sudah menurun sebesar hampir 50% yang sisanya digantikan oleh teman sebayanya (Santrok, 2012). Penelitian ini difokuskan pada usia early adolescence, yaitu pada usia remaja awal (13-15 tahun). Hal ini didukung oleh teori perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa pada saat itu remaja awal sudah bisa berpikir abstrak, logis, dan rasional serta sudah bisa menggunakan hipotesis deduktif (Santrok, 2012). Selain itu, monitoring parental berpengaruh kuat pada remaja awal, karena remaja awal yang tidak dimonitor secara baik lebih berisiko dalam melakukan aktivitas seksual dini (Bogenschneider, 1991). Banyak studi yang dilakukan menemukan bahwa sebagian besar remaja mulai seksual aktif pada usia 14-18 tahun atau pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan atau sekolah menengah atas (SMA) (American Academy of Pediatrics, 1999; Guiella 10 and Madise, 2007; Huang and Murphy, 2010; Johnson and Tyler, 2007; Kinsman et al., 1998; Longmore et al., 2004). Hal ini mengindikasikan pentingnya waktu periode tersebut untuk program intervensi, yaitu remaja yang secara kontinu mendapatkan monitoring parental sejak awal (umur 14-16 tahun) relatif rendah dalam melakukan perilaku seksual berisiko (Huang and Murphy, 2010). Perilaku seksual berisiko remaja, diawali oleh perilaku seks pranikah yang meliputi KNPI (kissing, necking, petting, dan intercourse). Berdasarkan Theory of Reaction Action (TRA) yang merupakan salah satu teori yang digunakan dalam prevensi primer, perilaku seseorang berhubungan dengan kepercayaan, sikap, nilai, norma sosial, motivasi, niat berperilaku dan perilaku nyata. Teori ini memandang perubahan perilaku sebagai keadaan utama dari perubahan struktur kognitif yang mendasari perilaku (Fishbein et al., cit. Bloom, 1996). Adanya monitoring parental dapat mempengaruhi sikap berperilaku remaja, norma subjektif dan niat berperilaku remaja, sehingga remaja menunda atau tidak berperilaku seks pranikah. Dengan demikian, perlu adanya suatu model intervensi (monitoring parental) yang dapat mencegah intensi perilaku seks pranikah pada remaja (khususnya usia 13-15 tahun) melalui monitoring parental. Penelitian mengenai pengaruh dan peran monitoring parental terhadap perilaku seksual remaja sudah banyak dilakukan dan menunjukkan adanya pengaruh yang siginifikan. Bentuk intervensi pada parental dalam program Family Talking Together efektif dalam mengurangi perilaku seksual berisiko pada remaja awal (Guilamo-Ramos et al., 2011). Namun, program tersebut belum tentu dapat diterapkan di Indonesia karena adanya perbedaan budaya. Sampai saat ini, 11 belum ada intervensi monitoring parental yang cocok, efektif dan efisien dalam mencegah dan menurunkan perilaku seks pranikah remaja di Indonesia. Monitoring parental yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada review yang dilakukan Anderson dan Branstter (2012) mengenai konstruk monitoring parental, yaitu pengetahuan monitoring parental, kontrol psikologis parental, hubungan parental dan remaja, komunikasi parental dan remaja, dan perilaku monitoring parental (Anderson and Branstetter, 2012). Melihat fenomena-fenomena perilaku seks pranikah remaja yang ada, perlu upaya dalam mencegah dan mengatasi perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Selama ini upaya yang dilakukan di Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak, dalam rangka mencegah perilaku seks pranikah pada remaja adalah dengan program Pusat Informasi dan Konseling Remaja/Mahasiswa (PIK R/M) dan Bina Keluarga Remaja (BKR) yang merupakan program dari BKKBN. BKR dilaksanakan dengan melibatkan keluarga yang memiliki remaja untuk mengikuti penyuluhan yang terkait dengan seksualitas, NAPZA, dan HIV AIDS (BKKBN, 2012). Akan tetapi, program ini tidak terlaksana sepenuhnya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hanya beberapa BKR yang aktif, belum terbentuk di semua kecamatan yang ada, belum adanya standar materi intervensi penyuluhan dalam BKR, dan informasi yang disampaikan belum sepenuhnya disampaikan pada remaja. Orangtua juga masih bingung dalam berbicara tentang seksualitas dengan anak remajanya. Selain itu, belum ada kajian efektivitas dari program yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini membuat intervensi yang berbasis orangtua, dalam 12 memonitor remaja dalam mencegah perilaku seks bebas berdasarkan kebutuhan orangtua dan remaja, dan membuat panduan monitoring parental. Hal ini didukung juga studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 12 remaja beserta orangtuanya (terdiri 12 ibu dan 3 bapak) tahun 2013 menunjukkan bahwa ibu memegang peranan penting dalam kegiatan monitoring (pengetahuan, hubungan, komunikasi, kontrol psikologis, dan perilaku monitoring) kepada remaja, sedangkan peran bapak sangat kecil. Akan tetapi, dalam penelitian ini tetap melibatkan peran bapak dalam monitoring anak remaja. Sejalan juga dengan studi sebelumnya, kesehatan seksual remaja dipengaruhi oleh orangtua mereka (khususnya ibu) (Jaccard and Dittus, 1991; Jaccard et al., 1996; Weinstein and Thornton, 1989; Fox and Inazu, 1980). Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada monitoring yang dilakukan oleh ibu tanpa mengabaikan peran bapak. Selain monitoring parental, prevensi primer terhadap intensi perilaku seks pranikah remaja dapat melalui dukungan dari sekolah. Peran sekolah yang dapat mendukung prevensi intensi remaja melakukan perilaku seks pranikah adalah dalam memberikan pendidikan seksual. Peran ini dapat dilakukan dengan pendekatan the information, motivation, and skill behavior model (IMB model), yang merupakan prediktor dari pencegahan perilaku yang berisiko terhadap HIV (Fisher et al., 1994). Komponen model IMB antara lain: pengetahuan, motivasi dan keterampilan remaja untuk menolak perilaku seks berisiko, salah satunya adalah perilaku seks pranikah. Hal ini didukung juga studi sebelumnya, menunjukkan bahwa informasi tentang pencegahan perilaku berisiko menjadi 13 prediktor dalam pencegahan perilaku berisiko (Anderson et al., 2006; Mungkuo et al., 2010). Peneliti-peneliti promosi kesehatan dan HIV menemukan secara konsisten hubungan yang kuat antara motivasi dan keterampilan berperilaku dalam menggunakan model IMB (Fisher et al., 1994; Fisher et al., 1999). Studi lain menunjukkan keterampilan berperilaku sebagai perantara pengaruh motivasi dalam perilaku pencegahan dan perilaku pencegahan HIV (Avant et al., 2000; Fisher et al., 1999). Pusat Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Pontianak sudah melakukan sosialisasi terhadap sekolah-sekolah yang ada melalui guru BK tentang kurikulum kesehatan reproduksi remaja, akan tetapi sampai saat ini belum pernah dilakukan pelatihan bagi guru BK dalam memberikan pengetahuan, motivasi, dan keterampilan terkait. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan juga pelatihan bagi guru BK, sehingga mereka dapat menyampaikan informasi, motivasi dan keterampilan dalam mencegah perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Dengan demikian, model monitoring parental dan sekolah diharapkan dapat menjadi panduan bagi orangtua dan sekolah (khususnya guru BK) dalam mencegah intensi perilaku seks pranikah remaja. Oleh karena itu, penelitian ini akan menemukan model monitoring parental, memodifikasi information motivation behavior skill model (model IMB) pada sekolah yang sesuai diterapkan pada remaja sekolah di Kalimantan Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, dan menguji kedua model (monitoring parental dan sekolah) sebagai prevensi primer dalam mencegah intensi perilaku seksual pranikah pada remaja, 14 serta membandingkan efektivitas kedua model tersebut dalam mencegah intensi perilaku seksual pranikah remaja. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Aspek-aspek apa saja dalam monitoring parental untuk mencegah intensi perilaku seksual dini pada remaja? 2. Aspek monitoring parental apa yang paling berpengaruh pada intensi perilaku seks pranikah pada remaja? 3. Apakah intervensi monitoring parental dan IMB (information, motivation, and skill behavior) sekolah efektif sebagai prevensi primer terhadap intensi perilaku seksual pranikah pada remaja?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengeksplorasi dan menguji kelayakan monitoring parental dan sekolah sebagai prevensi primer terhadap intensi perilaku seks pranikah pada remaja. 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi dan mengonfirmasi aspek-aspek monitoring parental (pengetahuan parental, perilaku monitoring, hubungan orangtua dan remaja, kontrol psikologis, dan komunikasi orangtua dan remaja) yang dapat diterapkan sebagai prevensi primer pada intensi perilaku seks 15 pranikah remaja melalui identifikasi model yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan remaja dan orangtua. b. Menganalisis aspek monitoring parental yang mempunyai pengaruh paling besar pada perilaku seksual remaja. c. Menganalisis intervensi yang efektif sebagai prevensi primer terhadap intensi perilaku seks pranikah remaja. D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan model monitoring parental dan sekolah yang sesuai untuk diterapkan sebagai prevensi primer terhadap intensi perilaku seksual berisiko remaja. Dengan demikian, dapat mencegah perilaku seksual berisiko pada remaja, dan remaja dapat berperilaku seksual yang bertanggungjawab. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang pengetahuan dan manfaat dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, promosi kesehatan dan kebijakan kesehatan reproduksi remaja terutama dalam model prevensi primer terhadap perilaku seksual dini berisiko pada remaja. 3. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi inspirator bagi penelitian lain untuk melakukan replikasi demi mempertajam, menyangkal, atau membantah hasil penelitian ini sesuai dengan kebutuhan. 16 E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai peran dan kontribusi monitoring parental dan model IMB dalam mengurangi perilaku berisiko pada remaja serta intervensi berbasis orangtua dan sekolah sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun penelitian mengenai model monitoring parental dan model IMB sekolah yang sesuai untuk diterapkan pada remaja di Indonesia masih belum banyak dilakukan dan dikaji lebih dalam. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan sudut pandang dan kondisi yang berbeda, baik dari aspek lokasi penelitian, tahun pelaksanaan, maupun budaya. Penelitian yang dilakukan oleh Li, et al. (2002) tentang intervensi monitoring parental menunjukkan bahwa program intervensi IMPACT (Informed Parents and Children Together) melalui pesan video dan diskusi efektif dalam mengurangi keterlibatan perilaku berisiko pada remaja. Materi dalam program intervensi IMPACT meliputi demonstrasi pemakaian kondom dan contoh negosiasi kondom dan enam pesan utama (cara memonitor anak, berbicara dengan anak tentang seks sebelum mereka memulai untuk melakukan seks atau perilaku berisiko lainnya, fakta dasar AIDS, cara menggunakan kondom, abstinensia, risiko menggunakan obat-obatan terlarang atau alkohol dan jika dikombinasikan dengan seks dapat memicu perilaku seks berisiko). Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah program intervensi pada orangtua dan fokus pada variabel perilaku seksual berisiko remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain penelitian dengan menggunakan mixed methods, fokus pada variabel penelitian, yaitu perilaku seks pranikah, kontrol perilaku, sikap, norma subjektif 17 dan niat remaja dalam berperilaku seksual, intervensi monitoring parental didisain berdasarkan teori/literatur dan penelitian terdahulu dengan menyesuaikan dengan konteks Indonesia dan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan (kualitatif). Selain itu, penelitian ini dalam membuat model monitoring parental terhadap perilaku seks pranikah menggunakan analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis) dan bentuk intervensi akan disesuaikan dengan kebutuhan orangtua dan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Aarons et al. (2000) tentang penundaan intercourse seksual pada siswa SMP di Washington menggunakan randomized controlled evaluation menunjukkan bahwa intervensi berupa pendidikan seks oleh tenaga kesehatan profesional dan kurikulum penundaan keterlibatan seksual oleh sebaya efektif dalam penggunaan kontrasepsi dalam mengontrol kelahiran. Follow up intervensi selama tiga bulan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah bentuk intervensi dalam menunda perilaku seks pranikah pada remaja SMP. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah bentuk/model intervensi disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia (khususnya Kalimantan Barat), intervensi dilakukan oleh orangtua remaja, dilakukan untuk menunda dan mencegah perilaku seks pranikah remaja dengan tidak melakukan perilaku seks pranikah, disain penelitian mixed methods, dan analisis model akan menggunakan analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis). Penelitian yang dilakukan oleh Sieverding, Adler, Witt, & Ellen (2005) mengenai pengaruh monitoring parental terhadap inisiasi seksual remaja menunjukkan bahwa remaja yang dimonitor orangtuanya secara baik (mengetahui 18 keberadaan dan aktivitas remajanya di luar rumah) berhubungan signifikan dalam kurang mendukung pada inisiasi intercourse dan remaja yang tidak mendapat monitoring di waktu luang cenderung lebih mendukung pada inisiasi intercourse. Diperlukan penelitian dalam mendisain intervensi untuk menunda hubungan seksual pada remaja dan intervensi orangtua dalam meningkatkan komunikasi dan monitoring parental yang efektif merupakan komponen penting dalam disain intervensi dalam menunda inisiasi hubungan seksual pada remaja. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada variabel penelitian, yaitu monitoring parental dan perilaku seksual remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah penelitian ini merupakan mixed methods antara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi konsep dan materi yang diperlukan dalam model monitoring parental yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan remaja dan parental. Kemudian, dilakukan kelayakan uji model monitoring parental sebagai prevensi primer terhadap perilaku seksual dini berisiko pada remaja. Penelitian kuantitatif lainnya juga dilakukan oleh Villarruel et al. (2008) mengenai intervensi parental dan remaja untuk meningkatkan komunikasi seksual berisiko yang menunjukkan bahwa intervensi parental mengenai pengurangan risiko HIV signifikan lebih melakukan komunikasi general, komunikasi seksual berisiko dan merasa lebih nyaman dengan komunikasi tersebut dibandingkan dengan parental dalam kelompok kontrol. Perilaku, norma dan kontrol kepercayaan signifikan menghubungkan efek intervensi pada semua dampak komunikasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa efikasi dari suatu 19 intervensi meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi parental dan remaja dalam komunikasi umum dan seksual. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada target intervensi untuk mengurangi perilaku berisiko remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah penelitian ini merupakan mixed methods antara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi konsep dan materi yang diperlukan dalam model monitoring parental yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan remaja dan parental. Kemudian, dilakukan kelayakan uji model monitoring parental sebagai prevensi primer terhadap perilaku seksual dini berisiko pada remaja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhardwaj et al. (2007) tentang pengaruh monitoring parental terhadap perilaku seksual remaja di Jamaica pada 234 siswa tingkat 7 sampai 9 yang berusia 12-14 tahun menunjukkan bahwa monitoring parental berhubungan signifikan dengan pengaruh kelompok teman sebaya, yaitu remaja yang mendapatkan monitoring parental rendah cenderung lebih melakukan perilaku seksual berisiko dan kurang dalam penggunaan kondom. Sebesar 46% remaja dengan monitoring parental tinggi, pengaruh kelompok sebaya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan yang monitoring parental rendah. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung kelompok sebaya berperan penting dalam pemahaman seksual dan perilaku berisiko ketika monitoring parental rendah. Selain itu, remaja dengan monitoring parental tinggi mempunyai kepercayaan diri lebih untuk berkata “tidak” pada seks dan isu terkait tentang seks dibandingkan dengan yang lainnya. Persamaan dengan penelitian 20 yang dilakukan adalah pada variabel monitoring parental dan perilaku seksual remaja, intervensi dilakukan pada orangtua remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada disain penelitian digunakan mixed methods, model monitoring parental dan variabel yang diteliti. Selain itu, dalam analisis data kuantitatif menggunakan analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian yang dilakukan Guilamo-Ramos, et al. (2011) yang berjudul A Parent-based Intervention to Reduce Sexual Risk Behavior in Early Adolescence: Building Alliances between Physicians, Social Workers and Parents menunjukkan bahwa persentase remaja yang melakukan hubungan seksual pada kelompok kontrol dan intervensi mengalami perubahan yang siginifikan secara statistik (terdapat peningkatan persentase hubungan seksual pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok intervensi), terdapat perbedaan signifikan pada frekuensi hubungan seksual pada kelompok kontrol dan intervensi setelah follow up selama sembilan bulan. Demikian juga dengan remaja yang melakukan seks oral, terjadi perbedaan peningkatan yang signifikan antara kelompok kontrol dan intervensi. Program intervensi yang diterapkan adalah Family Talking Together yang terbagi menjadi empat sesi, yaitu: (1) sesi tatap muka; (2) modul yang terdiri dari booklet dan cerita pendek; (3) sesi panggilan booster untuk melihat tugas yang diberikan sudah dilaksanakan atau belum; (4) adanya persetujuan dari dokter dan orangtua remaja yang diintervensi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah intervensi berbasis orangtua remaja dan variabel yang diukur pada perilaku seks remaja. Perbedaan dengan penelitian yang 21 dilakukan adalah disain yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis yang digunakan adalah analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Borawski et al. (2003) yang berjudul Parental Monitoring Negotiated Unsupervised Time, and Parental Trust: The Role of Perceived Parenting in Adolescent Health Risk Behavior pada 692 remaja kelas 9-10 dengan menggunakan rancangan crosssectional menunjukkan bahwa level monitoring parental yang tinggi signifikan berhubungan dengan rendahnya aktivitas seksual, rendahnya niat melakukan hubungan seksual dan rendahnya penggunaan alkohol, tembakau atau ganja dan rata-rata konsistensi penggunaan kondom yang lebih tinggi. Monitoring parental merupakan faktor protektif dalam perilaku berisiko remaja. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah peran pengasuhan orangtua dan monitoring parental yang dilakukan dalam mengurangi perilaku berisiko remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada penelitian ini dilakukan intervensi berbasis orangtua, disain yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis yang digunakan adalah analisis SEM. Hasil penelitian Dilorio et al. (2006) yang berjudul Keepin it R.E.A.L! Result af Mother-Adolescent HIV Prevention Program menunjukkan bahwa intervensi Social Cognitive Theory (SCT) dan Life Skill Program (LSK) efektif dalam menunda hubungan seksual (abstinensia) pada remaja dan komunikasi ibu 22 dengan anak remajanya tentang seks meningkat. Selain itu, remaja yang secara seksual aktif pada kelompok intervensi LSK meningkat dalam penggunaan kondom dibandingkan dengan kelompok SCT. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah fokus pada pencegahan perilaku seksual berisiko dengan menunda hubungan seksual (abstinensia), komunikasi orangtua dan remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada penelitian ini dilakukan intervensi berbasis orangtua, disain yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (niat berperilaku seksual pranikah), dan analisis faktor (factor analysis) serta analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian Wu et al. (2003) yang berjudul Sustaining and Broadening Intervention Impact: A Longitudinal Randomized Trial of Three Adolescent Risk Reduction Approach menunjukkan bahwa setelah enam bulan intervensi remaja dalam keluarga yang menerima intervensi FOK (Focus on Kids) dan IMPACT (Informed Parents and Children Together) dilaporkan signifikan rata-rata yang lebih rendah dalam melakukan hubungan seks, seks tanpa kondom, dan penggunaan alkohol dan rokok serta lebih rendah dalam melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan yang menerima intervensi FOK saja. Setelah 12 bulan intervensi dilakukan, rata-rata penggunaan rokok dan niat berperilaku berisiko lebih rendah pada kelompok yang menerima intervensi FOK dan ImPACT dibandingkan dengan intervensi FOK saja. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menekankan konsep monitoring dan komunikasi dalam pengurangan perilaku seksual berisiko yang berbasis intervensi pada 23 orangtua dan remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, fokus pada perilaku seksual pranikah, variabel outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis yang digunakan adalah analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2011) yang berjudul Parental Monitoring during Early Adolescent Deters Adolescent Sexual Initiation: Disecrete-Time Survival Mixtured Analysis menunjukkan bahwa remaja awal yang menerima monitoring parental dalam jangka panjang berpengaruh pada kurangnya perilaku bermasalah remaja (rendahnya keterlibatan dalam perilaku seks berisiko, penggunaan alkohol). Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa monitoring yang kontinyu signifikan dalam menunda inisiasi hubungan seksual, level monitoring parental berkorelasi dengan perilaku bermasalah remaja. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada monitoring parental pada remaja awal terkait dengan inisiasi seksual remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada penelitian ini dilakukan intervensi berbasis orangtua, disain yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis). Penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2013) yang berjudul Predictors of consistent condom use based on the Information-Motivation-Behavior Skill (IMB) 24 model among senior high school students in three coastal cities in China menunjukkan bahwa 4,5% remaja (95% CI: 4,2-5,0) telah melakukan hubungan seks pranikah, dan hanya satu dari sembilan dari responden yang menggunakan kondom secara konsisten. Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan bahwa model akhir IMB yang sesuai (CFI = 0,981, RMSEA = 0,014), penggunaan kondom yang konsisten berhubungan signifikan dengan motivasi (β = 0,175, P < 0,01) dan keterampilan berperilaku (β = 0,778, P < 0,01). Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan model IMB dan menggunakan analisis SEM (analisis faktor dan analisis jalur), sedangkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah intervensi berbasis sekolah, disain yang digunakan adalah mixed methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (intensi berperilaku seksual), dan fokus pada perilaku seks pranikah. Hasil penelitian yang dilakukan Mongkuo et al. (2012) tentang The effect of motivation and knowledge on HIV prevention behavior among Historically Black college students: an application of the Information-Motivation-Behavioral Skill Model menunjukkan bahwa motivasi pencegahan HIV dan pengetahuan pencegahan HIV tidak berefek pada keterampilan perilaku pencegahan pada siswa. Penelitian tersebut menyarankan pada program pencegahan HIV dalam mengurangi perilaku berisiko HIV di antara siswa/pelajar, lebih fokus pada program motivasi pencegahan personal. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan model IMB dan menggunakan analisis SEM (analisis faktor dan analisis jalur), sedangkan perbedaan dengan penelitian yang 25 dilakukan adalah intervensi berbasis sekolah, disain yang digunakan adalah mixed methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (intensi berperilaku seksual), dan fokus pada perilaku seks pranikah. Penelitian yang dilakukan Bazargan et al. (2010) yang berjudul Using the Information-Motivation-Behavioral Model to Predict Sexual Behavior among Underserved Minority Youth menunjukkan bahwa 60% responden berusia 15-17 tahun dan satu dari sepuluh responden berusia 11-12 tahun sudah melakukan hubungan seksual, responden yang seksual aktif (lebih dari separuhnya) melakukan hubungan seksual yang tidak aman, dan 11% melakukan hubungan seksual dengan empat atau lebih pasangan. Selain itu, hasil analisis SEM mengindikasikan usia yang lebih tua berhubungan signifikan dengan aktivitas seksual, berdampak langsung pada perilaku seksual berisiko. Keterampilan menolak perilaku merupakan variabel intervening, juga signifikan memprediksi kurangnya dalam melakukan perilaku seksual berisiko. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan model IMB dan menggunakan analisis SEM (analisis faktor dan analisis jalur) serta fokus pada perilaku seksual berisiko, sedangkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah intervensi berbasis sekolah, disain yang digunakan adalah mixed methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, dan variabel outcome (intensi berperilaku seksual). Studi yang dilakukan oleh Fisher et al. (2002) yang tentang InformationMotivation-Behavioral Skill Model-Based 26 HIV Risk Behavior Change Intervention for Inner-City High School Youth menunjukkan bahwa intervensi berbasis kelas lebih efektif dalam perilaku pencegahan HIV dibandingkan dengan intervensi berbasis teman sebaya. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan model IMB dan intervensi berbasis sekolah pada siswanya, sedangkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain yang digunakan adalah mixed methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (intensi berperilaku seksual), dan fokus pada perilaku seks pranikah. Berdasarkan keaslian penelitian yang telah diuraikan di atas, bahwa penelitian sebelumnya menggunakan satu jenis disain penelitian, yaitu kuantitatif, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah disain penelitian yang menggunakan mixed methods, dengan tiga tahapan penelitian yaitu tahap pertama dengan pendekatan kualitatif, tahap kedua dengan pendekatan kuantitatif (crossectional), dan tahap ketiga dengan pendekatan kuantitatif (quasy experiment dengan factorial design). Selain itu, model intervensi monitoring parental dan model information motivation behavior skill (IMB) sekolah berbasis kebutuhan orangtua dan remaja sesuai dengan konteks Indonesia (khususnya Pontianak), analisis data menggunakan uji structural equation model (SEM). 27