BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kesehatan

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi telah mendapat perhatian khusus secara global sejak
diadakannya Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan
(International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo,
Mesir, pada tahun 1994. Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan mengenai
perubahan
paradigma
dalam
pengelolaan
masalah
kependudukan
dan
pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas
menjadi pendekatan yang lebih terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya
pemenuhan hak-hak reproduksi (UNFPA, 2004). Salah satu yang menjadi fokus
dari kesepakatan tersebut adalah kesehatan reproduksi remaja.
Data PRB (Population Reference Bureau) tahun 2013 menunjukkan jumlah
remaja usia 10-24 tahun di dunia mencapai 1.809.000.000 jiwa (25% dari populasi
penduduk dunia), sedangkan, proporsi remaja di Asia termasuk Indonesia
mencapai 26% dari total populasi (Clifton and Hervish, 2013). Hal ini
menunjukkan tingginya proporsi remaja di populasi dunia, termasuk di Indonesia.
Remaja merupakan investasi negara di masa depan. Selain itu, populasi muda ini
akan memfasilitasi dalam pencapaian Millennium Development Goal (MDGs)
(UNFPA, 2004).
Sensus penduduk tahun 2010 di Indonesia menunjukkan jumlah remaja
(10-24 tahun) mencapai 63,4 juta atau sekitar 26,7% dari total penduduk. Jumlah
1
remaja yang besar ini akan berpengaruh pada pembangunan dari aspek sosial,
ekonomi, dan demografi (BKKBN, 2011). Remaja perlu mendapatkan perhatian
yang serius karena mereka berada pada usia sekolah dan usia kerja yang sangat
berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan reproduksi seperti perilaku seks
pranikah, Napza, dan HIV/AIDS.
Menurut data YRBS (Youth Risk Behavior Survey) tahun 2005, prevalensi
remaja di dunia yang pernah melakukan hubungan seks adalah 35,7% sampai
55,1% (median = 44,8%), di antaranya yang melakukan hubungan seks kurang
dari 13 tahun sebanyak 2,8% sampai 10,8% (median 5,8%), dan remaja seksual
aktif 24,1% sampai 40,6% (median 33,3%) (Center for Disease Control and
Prevention/CDC, 2006). Data perilaku seksual remaja di Indonesia berdasarkan
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) menunjukkan
bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual remaja di antaranya berpegangan tangan
(laki-laki 60,1% dan perempuan 62%), kissing (laki-laki 30,9% dan perempuan
23,2%) dan petting (laki-laki 19,2% dan perempuan 6,5%) (Badan Pusat Statistik
(BPS) dan International Macro, 2007). Selain itu, hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2010 menunjukkan sekitar 1% anak laki-laki dan 4% anak
perempuan di seluruh Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum usia
13 tahun, beberapa bahkan ketika berusia di bawah 10 tahun. Remaja usia 13-14
tahun dilaporkan hampir 4% telah melakukan hubungan seksual dan
persentasenya relatif meningkat seiring dengan pertambahan usia (UNICEF
Indonesia, 2012).
2
Didukung dengan Survei Perilaku Seks yang dilakukan DKT Indonesia
tahun 2011 Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali pada usia 1525 tahun, yang menunjukkan rata-rata remaja mulai berhubungan seks pertama
kalinya pada usia 19 tahun, sebanyak 69,9% remaja usia 15-25 tahun mengaku
telah telah melakukan hubungan seks, dan di antaranya telah melakukan
hubungan seks sejak SMP/SMA (6%) (BKKBN, 2011). Hasil RISKESDAS tahun
2013 menunjukkan proporsi kehamilan pada usia remaja (15-19 tahun) sebanyak
1,97% (RISKESDAS, 2013).
Perilaku seksual remaja di Kalimantan Barat tidak jauh berbeda jika
dibandingkan dengan perilaku seksual remaja di Indonesia. Kalimantan Barat
memiliki proporsi penduduk usia remaja (10-24 tahun) sekitar 29,32% dari total
penduduk (BPS, 2012). Perilaku seksual remaja dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu: ringan (berduaan, kencan, berpegangan tangan, kissing, dan necking) dan
berat (meraba daerah sensitif, petting, seks oral, seks anal dan intercourse)
(L’Engle et al., 2006). Hasil studi pada 348 remaja (studi pada siswa SMA) di
Kota Pontianak menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja kategori ringan di
antaranya 56,9% kissing, 30,7% necking, dan 13,8% petting, sedangkan perilaku
seksual berat, yaitu hubungan seksual pranikah, di antaranya 7,2% seks oral, 5,5%
seks anal, dan 14,7% pernah melakukan intercourse (Suwarni, 2009). Hal ini
menunjukkan angka intercourse yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang
pernah dirilis oleh Kementrian Kesehatan tahun 2009, yaitu 6,9% di empat kota
besar di Indonesia, yaitu: Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya (BKKBN,
2009).
3
Hasil survei awal yang dilakukan peneliti pada sepuluh remaja yang
melakukan seks bebas (intercourse) di Kota Pontianak tahun 2013, menunjukkan
bahwa tujuh di antaranya melakukan pertama kali di rumah sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa remaja sudah tidak lagi mempedulikan bahwa rumah sebagai
daerah kekuasaan (teritori) orangtua. Orangtua tidak menyadari bahwa rumah
merupakan tempat favorit remaja melakukan hubungan seksual atau perilaku seks
pranikah lainnya (BKKBN, 2011). Hal ini dikarenakan sebagian besar orangtua
meyakini bahwa remaja tidak mungkin melakukan seks bebas di rumah karena
merupakan daerah kekuasaan orangtua. Hal ini didukung dengan hasil survei awal
kepada sepuluh orangtua remaja yang menunjukkan delapan di antaranya
meyakini bahwa anak remajanya tidak akan berani melakukan perilaku seks
pranikah dan merasa lebih tenang jika anak remajanya berpacaran di rumah
dibandingkan dengan di luar rumah.
Fenomena di atas berhubungan erat dengan angka HIV AIDS yang ada di
Kalimantan Barat yang menduduki peringkat ke 7 (dari tahun 1987 sampai Juni
2012) setelah DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan Jawa
Tengah dengan jalur penularan terbesar melalui hubungan heteroseksual yang
tidak aman. Persentase kumulatif penderita AIDS tertinggi pada usia 20-29 tahun
(Kemenkes RI, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa penderita AIDS terinfeksi HIV
sekitar lima-sepuluh tahun sebelum menjadi AIDS. Data tersebut menunjukkan
bahwa mereka terinfeksi HIV sejak usia 15-24 tahun (usia remaja).
Hal ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi remaja, karena remaja
yang mulai melakukan hubungan seks dini dihubungkan dengan rendahnya
4
penggunaan alat kontrasepsi dan mempunyai pasangan seks lebih dari satu
(American Academy of Pediatric, 1999; Guiella and Madise, 2007). Usia remaja
dalam melakukan inisiasi seksual bervariasi di berbagai negara. Rentang usia
remaja melakukan inisiasi seksual antara umur 12 sampai 19 tahun (Kinsman et
al., 1998; Kraft, 1991; Miller et al., 1997; French & Dishion, 2003)
Penelitian yang dilakukan Huang dan Murphy (2011) menunjukkan bahwa
rata-rata usia hubungan seksual pertama kali adalah 15,9 tahun pada laki-laki dan
16,6 tahun pada perempuan. Inisiasi sexual intercourse sebelum usia 14 tahun
sekitar 17,0% pada laki-laki dan 7,6% pada perempuan. Sebagian besar remaja
seksual aktif pada usia 14-18 tahun (Huang and Murphy, 2010).
Pada masa remaja terjadi perkembangan, baik secara fisik, biologis maupun
emosional (DiClemente et al., 2009; Papathanasiou & Lahana, 2005; Santrock,
2012; Scherf et al., 2012). Pada masa ini juga terjadi perkembangan seksualitas
yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan hormonal saat pubertas.
Perubahan fisik dan hormonal yang terjadi ini berdampak besar pada aspek sosial
dan psikologis remaja, yaitu mendorong remaja lebih cepat mengikuti perilaku
orang dewasa (misalnya: merokok, konsumsi alkohol, dan melakukan hubungan
seksual) akibat dari perkembangan hormon dan fisik yang lebih cepat (BrooksGunn, 1998; DiClemente et al., 2009; Santrock, 2012).
Adanya perbedaan masa pubertas, keterlambatan kematangan kognitif yang
mengatur berbagai dorongan yang muncul, dan lemahnya kemampuan
mengendalikan emosi serta besarnya pengaruh teman sebaya menjadikan remaja
lebih rentan terhadap perilaku bermasalah (negatif) (Millstein & Halpern-Felsher,
5
2002; Steinberg, 2007). Selain itu, panjangnya waktu pendidikan remaja di
sekolah mengakibatkan masa remaja lebih panjang, sejalan dengan kebebasan dari
orangtua dan keluarga yang meningkat, sehingga memicu remaja melakukan
perilaku seks pranikah (WHO, 2004). Adanya perubahan usia haid pertama kali
pada remaja putri yang semakin dini juga merupakan faktor yang mendorong
terjadinya perilaku seks pranikah. Hal ini dikarenakan, perkembangan hormonal
dan pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja (Santrock, 2012).
Perilaku seks pranikah remaja saat ini sudah sangat mengkhawatirkan dan
menjadi fenomena di masyarakat, salah satunya adalah fenomena “cabe-cabean”
(istilah yang digunakan untuk menggambarkan gadis di bawah umur yang mulai
terlibat dalam prostitusi). Fenomena ini merupakan salah satu bentuk perilaku
seks pranikah. Pengertian perilaku seks pranikah adalah semua bentuk perilaku
seksual yang berasal dari dorongan seksual pada lawan jenis yang dilakukan
remaja sebelum menikah, mulai dari tingkat hubungan yang kurang intim sampai
melakukan hubungan seksual (Soetjiningsih, 2008). Perilaku seksual lebih sering
ditampilkan oleh remaja dibandingkan dengan hubungan seksual. Perilaku seksual
pranikah yang dimaksud antara lain: kissing, necking, petting, dan intercourse.
Perilaku seksual remaja dari berciuman sampai meraba daerah sensitif (perilaku
seksual kategori ringan), pada akhirnya sering akan berlanjut pada hubungan
seksual (perilaku seksual kategori berat) (Johnson and Malow-Iroff, 2008;
L’Engle et al., 2006).
Perilaku seksual pranikah berdampak pada remaja yang meliputi aspek
biologis (tertular IMS (infeksi menular seksual)), dan KTD (kehamilan yang tidak
6
dikehendaki) serta aborsi, sosial (dikeluarkan dari sekolah (drop out/DO) dan
hidup dalam kemiskinan akibat pendidikan rendah), dan psikologis (kehilangan
harga diri, perasaan bersalah, dan ketakutan akan sanksi sosial yang akan
diterima). Dalam hal ini, remaja perempuan menerima lebih berat dampaknya
dibandingkan dengan laki-laki (Abdullahi dan Umar, 2013; Blanc and Way, 1998;
Driscoll et al., 1999; Greenberg et al., 1992; Manlove et al., 2003; Miller et
al.,2001; Santrock, 2012; Singh, 1998).
Faktor risiko dan faktor protektif merupakan faktor yang mempengaruhi
terjadinya perilaku seks pranikah pada remaja (Kirby and Lapore, 2007; Jessor, et
al., 2003). Saat remaja terlibat dalam perilaku bermasalah, maka mengindikasikan
faktor protektif menurun. Faktor protektif psikososial meliputi model positif,
perilaku pro sosial, kontrol personal dan sosial yang bertentangan dengan perilaku
dan lingkungan yang melanggar norma atau kriminal. Sebaliknya, faktor risiko
meningkat pada keterlibatan remaja dalam perilaku bermasalah. Faktor risiko
psikososial meliputi model perilaku berisiko, kesempatan melakukan perilaku
berisiko, dan kerentanan personal dan sosial dalam melakukan perilaku berisiko
(Costa et al., 2007). Lingkungan keluarga merupakan faktor protektif dan
prevensi dari perilaku berisiko pada remaja (Brown, 2005; Miller et al., 2001).
Keluarga merupakan faktor yang terutama dan utama mempengaruhi
perkembangan remaja, walaupun dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga
dipengaruhi oleh teman sebaya, teman sekolah dan masyarakat. Remaja
berkembang dengan lingkungan yang luas dalam beberapa tingkat individu dan
lingkungan, sehingga dapat digambarkan menjadi ecological framework yang
7
berbentuk kumparan, yaitu: microsysytem, mesosystem, exosystem, macrosystem,
dan chronosystem (Bronfenbrenner, 1979). Microsystem merupakan lingkaran
yang paling dalam, yang berkaitan dengan individu dan keluarga. Selain
lingkungan keluarga, faktor pribadi dan lingkungan sekitar juga potensial
mempengaruhi perilaku seorang remaja (Bronfenbrenner cit. Swick and Williams,
2006). Lingkungan keluarga yang positif merupakan tempat yang penting bagi
perkembangan remaja.
Lingkungan
keluarga
mempunyai
peranan
penting
dalam
proses
perkembangan kognitif seorang anak. Hal ini dikarenakan seorang anak mengenal
lingkungan awal dan pertama kali adalah lingkungan keluarga, dan lingkungan ini
merupakan salah satu lingkungan sosialisasi yang berperan sebagai investasi anak
muda di masa depan. Sosialisasi yang dimaksud di antaranya meliputi: nilai-nilai
seksual, seks, peranan seks, dan perilaku lain yang diharapkan. Peran orangtua
dapat dilihat dari adanya pembelajaran remaja melalui observasi dan panutan dari
orangtua. Besarnya peranan orangtua dalam mempengaruhi perilaku remaja
sangat bervariatif, remaja yang sering terlibat konflik dengan orangtua, maka
remaja tersebut cenderung berperilaku berisiko (DiClemente et al., 2009).
Salah satu bentuk peran orangtua dalam mencegah perilaku berisiko remaja
melalui monitoring parental (orangtua). Banyak studi yang sudah dilakukan
menunjukkan bahwa monitoring parental berhubungan signifikan dengan perilaku
seksual remaja yang dapat mengurangi risiko kehamilan, yaitu remaja tidak
melakukan hubungan seksual atau menunda hubungan seksual. Selain itu,
kedekatan/hubungan orangtua dan anak, monitoring, dan nilai orangtua yang
8
konsisten melindungi remaja dari hubungan seksual yang tidak aman sehingga
dapat mengurangi kehamilan remaja (Miller et al., 2001).
Monitoring orangtua dengan remaja berhubungan signifikan dengan
perilaku berisiko remaja. Banyak studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa
remaja yang mendapatkan monitoring parental
tinggi cenderung kurang
berperilaku berisiko dibandingkan dengan remaja dengan monitoring parental
rendah (Borawski et al., 2003; Huebner and Howell, 2003; Jaccard and Dittus,
1991; Li et al., 2000; Suwarni, 2009).
Remaja
yang
mendapatkan
monitoring
parental
secara
konsisten
mempunyai rasa kepercayaan diri yang lebih untuk berkata “tidak” pada seks dan
isu terkait seks dibandingkan dengan yang lainnya (Bhardwaj et al., 2007). Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan Coley et al. (2007) bahwa proses
parenting signifikan dalam memprediksi perilaku seksual berisiko remaja.
Dengan kata lain, seorang remaja yang mendapatkan monitoring parental level
tinggi dapat mengurangi atau mencegah perilaku berisiko seperti merokok,
konsumsi alkohol, narkoba, seks yang tidak aman, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, diperlukan intervensi yang dapat meningkatkan monitoring parental,
sehingga dapat mengurangi perilaku berisiko remaja.
Synder and Sickmund (1999) menyatakan bahwa sekitar delapan juta anak
sekolah berada di rumah sendirian setelah pulang sekolah, yang memberikan
kesempatan mereka melakukan kenakalan seperti pengalaman dengan alkohol,
tembakau, obat-obatan, dan seks. Dengan adanya monitoring parental (kontrol
orangtua) di waktu tersebut dapat mengurangi kesempatan remaja melakukan
9
perilaku berisiko. Monitoring parental pada level tinggi didefinisikan bahwa
orangtua mengetahui keberadaan anak-anak mereka, aktivitas, dan temantemannya (Jacobson and Crocket, 2000). Studi lain menyebutkan bahwa
komponen monitoring parental di antaranya adalah pengetahuan, harapan,
komunikasi, hubungan, kepercayaan dan kontrol orangtua pada anak remajanya
(Ramos et al., 2010). Menurut Anderson and Branstetter (2012), monitoring
parental memiliki lima konstruk, yaitu: pengetahuan monitoring parental, kontrol
psikologis parental, hubungan parental dan remaja, komunikasi parental dan
remaja, dan perilaku monitoring parental.
Berdasarkan teori psikologi perkembangan remaja, early adolescence
merupakan usia ketika orangtua masih berpengaruh walaupun sudah menurun
sebesar hampir 50% yang sisanya digantikan oleh teman sebayanya (Santrok,
2012). Penelitian ini difokuskan pada usia early adolescence, yaitu pada usia
remaja awal (13-15 tahun). Hal ini didukung oleh teori perkembangan kognitif
Piaget yang menyatakan bahwa pada saat itu remaja awal sudah bisa berpikir
abstrak, logis, dan rasional serta sudah bisa menggunakan hipotesis deduktif
(Santrok, 2012).
Selain itu, monitoring parental berpengaruh kuat pada remaja awal, karena
remaja awal yang tidak dimonitor secara baik lebih berisiko dalam melakukan
aktivitas seksual dini (Bogenschneider, 1991). Banyak studi yang dilakukan
menemukan bahwa sebagian besar remaja mulai seksual aktif pada usia 14-18
tahun atau pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan atau
sekolah menengah atas (SMA) (American Academy of Pediatrics, 1999; Guiella
10
and Madise, 2007; Huang and Murphy, 2010; Johnson and Tyler, 2007; Kinsman
et al., 1998; Longmore et al., 2004). Hal ini mengindikasikan pentingnya waktu
periode tersebut untuk program intervensi, yaitu remaja yang secara kontinu
mendapatkan monitoring parental sejak awal (umur 14-16 tahun) relatif rendah
dalam melakukan perilaku seksual berisiko (Huang and Murphy, 2010).
Perilaku seksual berisiko remaja, diawali oleh perilaku seks pranikah yang
meliputi KNPI (kissing, necking, petting, dan intercourse). Berdasarkan Theory of
Reaction Action (TRA) yang merupakan salah satu teori yang digunakan dalam
prevensi primer, perilaku seseorang berhubungan dengan kepercayaan, sikap,
nilai, norma sosial, motivasi, niat berperilaku dan perilaku nyata. Teori ini
memandang perubahan perilaku sebagai keadaan utama dari perubahan struktur
kognitif yang mendasari perilaku (Fishbein et al., cit. Bloom, 1996). Adanya
monitoring parental dapat mempengaruhi sikap berperilaku remaja, norma
subjektif dan niat berperilaku remaja, sehingga remaja menunda atau tidak
berperilaku seks pranikah. Dengan demikian, perlu adanya suatu model intervensi
(monitoring parental) yang dapat mencegah intensi perilaku seks pranikah pada
remaja (khususnya usia 13-15 tahun) melalui monitoring parental.
Penelitian mengenai pengaruh dan peran monitoring parental terhadap
perilaku seksual remaja sudah banyak dilakukan dan menunjukkan adanya
pengaruh yang siginifikan. Bentuk intervensi pada parental dalam program
Family Talking Together efektif dalam mengurangi perilaku seksual berisiko pada
remaja awal (Guilamo-Ramos et al., 2011). Namun, program tersebut belum tentu
dapat diterapkan di Indonesia karena adanya perbedaan budaya. Sampai saat ini,
11
belum ada intervensi monitoring parental yang cocok, efektif dan efisien dalam
mencegah dan menurunkan perilaku seks pranikah remaja di Indonesia.
Monitoring parental yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada review
yang dilakukan Anderson dan Branstter (2012) mengenai konstruk monitoring
parental, yaitu pengetahuan monitoring parental, kontrol psikologis parental,
hubungan parental dan remaja, komunikasi parental dan remaja, dan perilaku
monitoring parental (Anderson and Branstetter, 2012).
Melihat fenomena-fenomena perilaku seks pranikah remaja yang ada, perlu
upaya dalam mencegah dan mengatasi perilaku seks pranikah di kalangan remaja.
Selama ini upaya yang dilakukan di Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak,
dalam rangka mencegah perilaku seks pranikah pada remaja adalah dengan
program Pusat Informasi dan Konseling Remaja/Mahasiswa (PIK R/M) dan Bina
Keluarga Remaja (BKR) yang merupakan program dari BKKBN. BKR
dilaksanakan dengan melibatkan keluarga yang memiliki remaja untuk mengikuti
penyuluhan yang terkait dengan seksualitas, NAPZA, dan HIV AIDS (BKKBN,
2012). Akan tetapi, program ini tidak terlaksana sepenuhnya dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari hanya beberapa BKR yang aktif, belum terbentuk di semua
kecamatan yang ada, belum adanya standar materi intervensi penyuluhan dalam
BKR, dan informasi yang disampaikan belum sepenuhnya disampaikan pada
remaja. Orangtua juga masih bingung dalam berbicara tentang seksualitas dengan
anak remajanya.
Selain itu, belum ada kajian efektivitas dari program yang dilakukan. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini membuat intervensi yang berbasis orangtua, dalam
12
memonitor remaja dalam mencegah perilaku seks bebas berdasarkan kebutuhan
orangtua dan remaja, dan membuat panduan monitoring parental. Hal ini
didukung juga studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 12 remaja beserta
orangtuanya (terdiri 12 ibu dan 3 bapak) tahun 2013 menunjukkan bahwa ibu
memegang peranan penting dalam kegiatan monitoring (pengetahuan, hubungan,
komunikasi, kontrol psikologis, dan perilaku monitoring) kepada remaja,
sedangkan peran bapak sangat kecil. Akan tetapi, dalam penelitian ini tetap
melibatkan peran bapak dalam monitoring anak remaja.
Sejalan juga dengan studi sebelumnya, kesehatan seksual remaja
dipengaruhi oleh orangtua mereka (khususnya ibu) (Jaccard and Dittus, 1991;
Jaccard et al., 1996; Weinstein and Thornton, 1989; Fox and Inazu, 1980). Oleh
karena itu, penelitian ini fokus pada monitoring yang dilakukan oleh ibu tanpa
mengabaikan peran bapak.
Selain monitoring parental, prevensi primer terhadap intensi perilaku seks
pranikah remaja dapat melalui dukungan dari sekolah. Peran sekolah yang dapat
mendukung prevensi intensi remaja melakukan perilaku seks pranikah adalah
dalam memberikan pendidikan seksual. Peran ini dapat dilakukan dengan
pendekatan the information, motivation, and skill behavior model (IMB model),
yang merupakan prediktor dari pencegahan perilaku yang berisiko terhadap HIV
(Fisher et al., 1994). Komponen model IMB antara lain: pengetahuan, motivasi
dan keterampilan remaja untuk menolak perilaku seks berisiko, salah satunya
adalah perilaku seks pranikah. Hal ini didukung juga studi sebelumnya,
menunjukkan bahwa informasi tentang pencegahan perilaku berisiko menjadi
13
prediktor dalam pencegahan perilaku berisiko (Anderson et al., 2006; Mungkuo et
al., 2010). Peneliti-peneliti promosi kesehatan dan HIV menemukan secara
konsisten hubungan yang kuat antara motivasi dan keterampilan berperilaku
dalam menggunakan model IMB (Fisher et al., 1994; Fisher et al., 1999). Studi
lain menunjukkan keterampilan berperilaku sebagai perantara pengaruh motivasi
dalam perilaku pencegahan dan perilaku pencegahan HIV (Avant et al., 2000;
Fisher et al., 1999).
Pusat Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Pontianak sudah
melakukan sosialisasi terhadap sekolah-sekolah yang ada melalui guru BK
tentang kurikulum kesehatan reproduksi remaja, akan tetapi sampai saat ini belum
pernah dilakukan pelatihan bagi guru BK dalam memberikan pengetahuan,
motivasi, dan keterampilan terkait. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan
juga pelatihan bagi guru BK, sehingga mereka dapat menyampaikan informasi,
motivasi dan keterampilan dalam mencegah perilaku seks pranikah di kalangan
remaja.
Dengan demikian, model monitoring parental dan sekolah diharapkan dapat
menjadi panduan bagi orangtua dan sekolah (khususnya guru BK) dalam
mencegah intensi perilaku seks pranikah remaja. Oleh karena itu, penelitian ini
akan menemukan model monitoring parental, memodifikasi information
motivation behavior skill model (model IMB) pada sekolah yang sesuai diterapkan
pada remaja sekolah di Kalimantan Barat pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya, dan menguji kedua model (monitoring parental dan sekolah) sebagai
prevensi primer dalam mencegah intensi perilaku seksual pranikah pada remaja,
14
serta membandingkan efektivitas kedua model tersebut dalam mencegah intensi
perilaku seksual pranikah remaja.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Aspek-aspek apa saja dalam monitoring parental untuk mencegah intensi
perilaku seksual dini pada remaja?
2. Aspek monitoring parental apa yang paling berpengaruh pada intensi perilaku
seks pranikah pada remaja?
3. Apakah intervensi monitoring parental dan IMB (information, motivation, and
skill behavior) sekolah efektif sebagai prevensi primer terhadap intensi
perilaku seksual pranikah pada remaja?”
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Mengeksplorasi dan menguji kelayakan monitoring parental dan sekolah
sebagai prevensi primer terhadap intensi perilaku seks pranikah pada remaja.
2.
Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi dan mengonfirmasi aspek-aspek monitoring parental
(pengetahuan parental, perilaku monitoring, hubungan orangtua dan
remaja, kontrol psikologis, dan komunikasi orangtua dan remaja) yang
dapat diterapkan sebagai prevensi primer pada intensi perilaku seks
15
pranikah remaja melalui identifikasi model yang cocok dan sesuai dengan
kebutuhan remaja dan orangtua.
b. Menganalisis aspek monitoring parental yang mempunyai pengaruh paling
besar pada perilaku seksual remaja.
c. Menganalisis intervensi yang efektif sebagai prevensi primer terhadap
intensi perilaku seks pranikah remaja.
D. Manfaat Penelitian
1.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan model monitoring parental dan
sekolah yang sesuai untuk diterapkan sebagai prevensi primer terhadap
intensi perilaku seksual berisiko remaja. Dengan demikian, dapat mencegah
perilaku seksual berisiko pada remaja, dan remaja dapat berperilaku seksual
yang bertanggungjawab.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang pengetahuan
dan manfaat dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, promosi
kesehatan dan kebijakan kesehatan reproduksi remaja terutama dalam model
prevensi primer terhadap perilaku seksual dini berisiko pada remaja.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi inspirator bagi penelitian
lain untuk melakukan replikasi demi mempertajam, menyangkal, atau
membantah hasil penelitian ini sesuai dengan kebutuhan.
16
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai peran dan kontribusi monitoring parental dan model
IMB dalam mengurangi perilaku berisiko pada remaja serta intervensi berbasis
orangtua dan sekolah sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun penelitian
mengenai model monitoring parental dan model IMB sekolah yang sesuai untuk
diterapkan pada remaja di Indonesia masih belum banyak dilakukan dan dikaji
lebih dalam. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan sudut pandang dan kondisi
yang berbeda, baik dari aspek lokasi penelitian, tahun pelaksanaan, maupun
budaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Li, et al. (2002) tentang intervensi
monitoring parental menunjukkan bahwa program intervensi IMPACT (Informed
Parents and Children Together) melalui pesan video dan diskusi efektif dalam
mengurangi keterlibatan perilaku berisiko pada remaja. Materi dalam program
intervensi IMPACT meliputi demonstrasi pemakaian kondom dan contoh
negosiasi kondom dan enam pesan utama (cara memonitor anak, berbicara dengan
anak tentang seks sebelum mereka memulai untuk melakukan seks atau perilaku
berisiko lainnya, fakta dasar AIDS, cara menggunakan kondom, abstinensia,
risiko menggunakan obat-obatan terlarang atau alkohol dan jika dikombinasikan
dengan seks dapat memicu perilaku seks berisiko). Persamaan dengan penelitian
yang dilakukan adalah program intervensi pada orangtua dan fokus pada variabel
perilaku seksual berisiko remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan
adalah disain penelitian dengan menggunakan mixed methods, fokus pada variabel
penelitian, yaitu perilaku seks pranikah, kontrol perilaku, sikap, norma subjektif
17
dan niat remaja dalam berperilaku seksual, intervensi monitoring parental didisain
berdasarkan teori/literatur dan penelitian terdahulu dengan menyesuaikan dengan
konteks Indonesia dan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan
(kualitatif). Selain itu, penelitian ini dalam membuat model monitoring parental
terhadap perilaku seks pranikah menggunakan analisis faktor (factor analysis)
dan analisis jalur (path analysis) dan bentuk intervensi akan disesuaikan dengan
kebutuhan orangtua dan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Aarons et al. (2000) tentang penundaan
intercourse seksual pada siswa SMP di Washington menggunakan randomized
controlled evaluation menunjukkan bahwa intervensi berupa pendidikan seks oleh
tenaga kesehatan profesional dan kurikulum penundaan keterlibatan seksual oleh
sebaya efektif dalam penggunaan kontrasepsi dalam mengontrol kelahiran. Follow
up intervensi selama tiga bulan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan
adalah bentuk intervensi dalam menunda perilaku seks pranikah pada remaja
SMP. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah bentuk/model
intervensi disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia (khususnya
Kalimantan Barat), intervensi dilakukan oleh orangtua remaja, dilakukan untuk
menunda dan mencegah perilaku seks pranikah remaja dengan tidak melakukan
perilaku seks pranikah, disain penelitian mixed methods, dan analisis model akan
menggunakan analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis).
Penelitian yang dilakukan oleh Sieverding, Adler, Witt, & Ellen (2005)
mengenai pengaruh monitoring parental terhadap inisiasi seksual remaja
menunjukkan bahwa remaja yang dimonitor orangtuanya secara baik (mengetahui
18
keberadaan dan aktivitas remajanya di luar rumah) berhubungan signifikan dalam
kurang mendukung pada inisiasi intercourse dan remaja yang tidak mendapat
monitoring di waktu luang cenderung lebih mendukung pada inisiasi intercourse.
Diperlukan penelitian dalam mendisain intervensi untuk menunda hubungan
seksual pada remaja dan intervensi orangtua dalam meningkatkan komunikasi dan
monitoring parental yang efektif merupakan komponen penting dalam disain
intervensi dalam menunda inisiasi hubungan seksual pada remaja. Persamaan
dengan penelitian yang dilakukan adalah pada variabel penelitian, yaitu
monitoring parental dan perilaku seksual remaja. Perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan adalah penelitian ini merupakan mixed methods antara kualitatif
dan
kuantitatif.
Penelitian
kualitatif
dilakukan
terlebih
dahulu
untuk
mengidentifikasi konsep dan materi yang diperlukan dalam model monitoring
parental yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan remaja dan parental.
Kemudian, dilakukan kelayakan uji model monitoring parental sebagai prevensi
primer terhadap perilaku seksual dini berisiko pada remaja.
Penelitian kuantitatif lainnya juga dilakukan oleh Villarruel et al. (2008)
mengenai
intervensi parental dan remaja untuk meningkatkan komunikasi
seksual berisiko yang menunjukkan bahwa intervensi parental mengenai
pengurangan risiko HIV signifikan lebih melakukan komunikasi general,
komunikasi seksual berisiko dan merasa lebih nyaman dengan komunikasi
tersebut dibandingkan dengan parental dalam kelompok kontrol. Perilaku, norma
dan kontrol kepercayaan signifikan menghubungkan efek intervensi pada semua
dampak komunikasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa efikasi dari suatu
19
intervensi meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi parental dan remaja
dalam komunikasi umum dan seksual. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah pada target intervensi untuk mengurangi perilaku berisiko
remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah penelitian ini
merupakan mixed methods antara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif
dilakukan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi konsep dan materi yang
diperlukan dalam model monitoring parental yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan remaja dan parental. Kemudian, dilakukan kelayakan uji model
monitoring parental sebagai prevensi primer terhadap perilaku seksual dini
berisiko pada remaja.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhardwaj et al. (2007) tentang
pengaruh monitoring parental terhadap perilaku seksual remaja di Jamaica pada
234 siswa tingkat 7 sampai 9 yang berusia 12-14 tahun menunjukkan bahwa
monitoring parental berhubungan signifikan dengan pengaruh kelompok teman
sebaya, yaitu remaja yang mendapatkan monitoring parental rendah cenderung
lebih melakukan perilaku seksual berisiko dan kurang dalam penggunaan
kondom. Sebesar 46% remaja dengan monitoring parental tinggi, pengaruh
kelompok sebaya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan yang monitoring
parental rendah. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung kelompok
sebaya berperan penting dalam pemahaman seksual dan perilaku berisiko ketika
monitoring parental rendah. Selain itu, remaja dengan monitoring parental tinggi
mempunyai kepercayaan diri lebih untuk berkata “tidak” pada seks dan isu terkait
tentang seks dibandingkan dengan yang lainnya. Persamaan dengan penelitian
20
yang dilakukan adalah pada variabel monitoring parental dan perilaku seksual
remaja, intervensi dilakukan pada orangtua remaja. Perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan adalah pada disain penelitian digunakan mixed methods, model
monitoring parental dan variabel yang diteliti. Selain itu, dalam analisis data
kuantitatif menggunakan analisis faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path
analysis).
Hasil penelitian yang dilakukan Guilamo-Ramos, et al. (2011) yang
berjudul A Parent-based Intervention to Reduce Sexual Risk Behavior in Early
Adolescence: Building Alliances between Physicians, Social Workers and Parents
menunjukkan bahwa persentase remaja yang melakukan hubungan seksual pada
kelompok kontrol dan intervensi mengalami perubahan yang siginifikan secara
statistik (terdapat peningkatan persentase hubungan seksual pada kelompok
kontrol dibandingkan dengan kelompok intervensi), terdapat perbedaan signifikan
pada frekuensi hubungan seksual pada kelompok kontrol dan intervensi setelah
follow up selama sembilan bulan. Demikian juga dengan remaja yang melakukan
seks oral, terjadi perbedaan peningkatan yang signifikan antara kelompok kontrol
dan intervensi. Program intervensi yang diterapkan adalah Family Talking
Together yang terbagi menjadi empat sesi, yaitu: (1) sesi tatap muka; (2) modul
yang terdiri dari booklet dan cerita pendek; (3) sesi panggilan booster untuk
melihat tugas yang diberikan sudah dilaksanakan atau belum; (4) adanya
persetujuan dari dokter dan orangtua remaja yang diintervensi. Persamaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah intervensi berbasis orangtua remaja dan variabel
yang diukur pada perilaku seks remaja. Perbedaan dengan penelitian yang
21
dilakukan adalah disain yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring
parental
yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel
outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis yang digunakan adalah analisis
faktor (factor analysis) dan analisis jalur (path analysis).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Borawski et al. (2003) yang berjudul
Parental Monitoring Negotiated Unsupervised Time, and Parental Trust: The
Role of Perceived Parenting in Adolescent Health Risk Behavior pada 692 remaja
kelas 9-10 dengan menggunakan rancangan crosssectional menunjukkan bahwa
level monitoring parental yang tinggi signifikan berhubungan dengan rendahnya
aktivitas seksual, rendahnya niat melakukan hubungan seksual dan rendahnya
penggunaan alkohol, tembakau atau ganja dan rata-rata konsistensi penggunaan
kondom yang lebih tinggi. Monitoring parental merupakan faktor protektif dalam
perilaku berisiko remaja. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah
peran pengasuhan orangtua dan monitoring parental yang dilakukan dalam
mengurangi perilaku berisiko remaja. Perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah pada penelitian ini dilakukan intervensi berbasis orangtua, disain
yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental
yang
digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, variabel outcome (niat
berperilaku seksual), dan analisis yang digunakan adalah analisis SEM.
Hasil penelitian Dilorio et al. (2006) yang berjudul Keepin it R.E.A.L!
Result af Mother-Adolescent HIV Prevention Program menunjukkan bahwa
intervensi Social Cognitive Theory (SCT) dan Life Skill Program (LSK) efektif
dalam menunda hubungan seksual (abstinensia) pada remaja dan komunikasi ibu
22
dengan anak remajanya tentang seks meningkat. Selain itu, remaja yang secara
seksual aktif pada kelompok intervensi LSK meningkat dalam penggunaan
kondom dibandingkan dengan kelompok SCT. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah fokus pada pencegahan perilaku seksual berisiko dengan
menunda hubungan seksual (abstinensia), komunikasi orangtua dan remaja.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada penelitian ini dilakukan
intervensi berbasis orangtua, disain yang digunakan adalah mixed methods, model
monitoring parental
yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia,
variabel outcome (niat berperilaku seksual pranikah), dan analisis faktor (factor
analysis) serta analisis jalur (path analysis).
Hasil penelitian Wu et al. (2003) yang berjudul Sustaining and Broadening
Intervention Impact: A Longitudinal Randomized Trial of Three Adolescent Risk
Reduction Approach menunjukkan bahwa setelah enam bulan intervensi remaja
dalam keluarga yang menerima intervensi FOK (Focus on Kids) dan IMPACT
(Informed Parents and Children Together) dilaporkan signifikan rata-rata yang
lebih rendah dalam melakukan hubungan seks, seks tanpa kondom,
dan
penggunaan alkohol dan rokok serta lebih rendah dalam melakukan perilaku
seksual berisiko dibandingkan dengan yang menerima intervensi FOK saja.
Setelah 12 bulan intervensi dilakukan, rata-rata penggunaan rokok dan niat
berperilaku berisiko lebih rendah pada kelompok yang menerima intervensi FOK
dan ImPACT dibandingkan dengan intervensi FOK saja. Persamaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah menekankan konsep monitoring dan komunikasi
dalam pengurangan perilaku seksual berisiko yang berbasis intervensi pada
23
orangtua dan remaja. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain
yang digunakan adalah mixed methods, model monitoring parental
yang
digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, fokus pada perilaku seksual
pranikah, variabel outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis yang
digunakan adalah analisis faktor (factor analysis)
dan analisis jalur (path
analysis).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2011) yang berjudul
Parental Monitoring during Early Adolescent Deters Adolescent Sexual
Initiation: Disecrete-Time Survival Mixtured Analysis menunjukkan bahwa
remaja awal yang menerima monitoring parental dalam jangka panjang
berpengaruh pada kurangnya perilaku bermasalah remaja (rendahnya keterlibatan
dalam perilaku seks berisiko, penggunaan alkohol). Penelitian tersebut juga
membuktikan bahwa monitoring yang kontinyu signifikan dalam menunda inisiasi
hubungan seksual, level monitoring parental berkorelasi dengan perilaku
bermasalah remaja. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada
monitoring parental pada remaja awal terkait dengan inisiasi seksual remaja.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada penelitian ini dilakukan
intervensi berbasis orangtua, disain yang digunakan adalah mixed methods, model
monitoring parental
yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia,
variabel outcome (niat berperilaku seksual), dan analisis faktor (factor analysis)
dan analisis jalur (path analysis).
Penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2013) yang berjudul Predictors of
consistent condom use based on the Information-Motivation-Behavior Skill (IMB)
24
model among senior high school students in three coastal cities in China
menunjukkan bahwa 4,5% remaja (95% CI: 4,2-5,0) telah melakukan hubungan
seks pranikah, dan hanya satu dari sembilan dari responden yang menggunakan
kondom secara konsisten. Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan bahwa
model akhir IMB yang sesuai (CFI = 0,981, RMSEA = 0,014), penggunaan
kondom yang konsisten berhubungan signifikan dengan motivasi (β = 0,175, P <
0,01) dan keterampilan berperilaku (β = 0,778, P < 0,01). Persamaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah menggunakan model IMB dan menggunakan
analisis SEM (analisis faktor dan analisis jalur), sedangkan perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah intervensi berbasis sekolah, disain yang
digunakan adalah mixed methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan
konteks Indonesia, variabel outcome (intensi berperilaku seksual), dan fokus pada
perilaku seks pranikah.
Hasil penelitian yang dilakukan Mongkuo et al. (2012) tentang The effect of
motivation and knowledge on HIV prevention behavior among Historically Black
college students: an application of the Information-Motivation-Behavioral Skill
Model menunjukkan bahwa motivasi pencegahan HIV dan pengetahuan
pencegahan HIV tidak berefek pada keterampilan perilaku pencegahan pada
siswa. Penelitian tersebut menyarankan pada program pencegahan HIV dalam
mengurangi perilaku berisiko HIV di antara siswa/pelajar, lebih fokus pada
program motivasi pencegahan personal. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah menggunakan model IMB dan menggunakan analisis SEM
(analisis faktor dan analisis jalur), sedangkan perbedaan dengan penelitian yang
25
dilakukan adalah intervensi berbasis sekolah, disain yang digunakan adalah mixed
methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia,
variabel outcome (intensi berperilaku seksual), dan fokus pada perilaku seks
pranikah.
Penelitian yang dilakukan Bazargan et al. (2010) yang berjudul Using the
Information-Motivation-Behavioral Model to Predict Sexual Behavior among
Underserved Minority Youth menunjukkan bahwa 60% responden berusia 15-17
tahun dan satu dari sepuluh responden berusia 11-12 tahun sudah melakukan
hubungan seksual, responden yang seksual aktif (lebih dari separuhnya)
melakukan hubungan seksual yang tidak aman, dan 11% melakukan hubungan
seksual dengan empat atau lebih pasangan. Selain itu, hasil analisis SEM
mengindikasikan usia yang lebih tua berhubungan signifikan dengan aktivitas
seksual, berdampak langsung pada perilaku seksual berisiko. Keterampilan
menolak perilaku merupakan variabel intervening, juga signifikan memprediksi
kurangnya dalam melakukan perilaku seksual berisiko. Persamaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah menggunakan model IMB dan menggunakan
analisis SEM (analisis faktor dan analisis jalur) serta fokus pada perilaku seksual
berisiko, sedangkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah
intervensi berbasis sekolah, disain yang digunakan adalah mixed methods, model
IMB yang digunakan disesuaikan dengan konteks Indonesia, dan variabel
outcome (intensi berperilaku seksual).
Studi yang dilakukan oleh Fisher et al. (2002) yang tentang InformationMotivation-Behavioral
Skill
Model-Based
26
HIV
Risk
Behavior
Change
Intervention for Inner-City High School Youth menunjukkan bahwa intervensi
berbasis kelas lebih efektif dalam perilaku pencegahan HIV dibandingkan dengan
intervensi berbasis teman sebaya. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan
adalah menggunakan model IMB dan intervensi berbasis sekolah pada siswanya,
sedangkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain yang
digunakan adalah mixed methods, model IMB yang digunakan disesuaikan dengan
konteks Indonesia, variabel outcome (intensi berperilaku seksual), dan fokus pada
perilaku seks pranikah.
Berdasarkan keaslian penelitian yang telah diuraikan di atas, bahwa
penelitian sebelumnya menggunakan satu jenis disain penelitian, yaitu kuantitatif,
maka kebaruan dalam penelitian ini adalah disain penelitian yang menggunakan
mixed methods, dengan tiga tahapan penelitian yaitu tahap pertama dengan
pendekatan kualitatif, tahap kedua dengan pendekatan kuantitatif (crossectional),
dan tahap ketiga dengan pendekatan kuantitatif (quasy experiment dengan
factorial design). Selain itu, model intervensi monitoring parental dan model
information motivation behavior skill (IMB) sekolah berbasis kebutuhan orangtua
dan remaja sesuai dengan konteks Indonesia (khususnya Pontianak), analisis data
menggunakan uji structural equation model (SEM).
27
Download