KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah & Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: Ilham Herdinata 1110048000064 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ILHAM HERDINATA 1110048000064 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ABSTRAK Ilham Herdinata. KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA. Di bawah bimbingan Dr. Alfitra SH. M. Hum dan Dr. Hj. Mesraini M.Ag. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan kontrak franchise dalam pemberian kredit perbankan melihat adanya kemungkinan penggunaan kontrak franchise sebagai objek jaminan utang dalam perspektif perundang-undangan di Indonesia. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Franchise (waralaba) merupakan salah satu bisnis yang berbasis Hak Kekayaan Intelektual dan memerlukan sebuah modal yang cukup untuk melakukan pengembangan usaha franchise. Sebagai salah satu hak kebendaan yang mempunyai nilai ekonomis dan memenuhi syarat dijadikan sebagai agunan kredit, kontrak franchise belum memiliki dasar hukum yang jelas. Agunan kredit tidaklah menjadi masalah apabila barang yang dijadikan sebagai agunan merupakan barang yang lazim digunakan masyarakat sebagai objek penjaminan atas utang, tetapi akan timbul masalah apabila barang yang dijadikan agunan tidaklah umum dipakai sebagai objek jaminan. Dalam hal konsep hukum perdata dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yakni suatu perjanjian dapat mengesampingkan Undang-undang selama perjanjian tersebut tidak mencederai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Kata Kunci : Franchise, Hukum Jaminan ,Agunan, Surat berharga. Pembimbing : 1. Dr. Alfitra SH. M.Hum. 2. Dr. Hj. Mesraini M.Ag. Daftar Pustaka : Tahun 1986 sampai 2011 v KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, terrucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul anbiya’I walmursalin Muhammad SAW. Dengan setulus hati ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari tanpa dorongan dari pembimbing dan semua pihak yang mendukung penelitian ini hingga selesai, pada kesempatan ini, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada, yang terhormat : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, dan para Wakil Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Isalam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H, M.H, M.A, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, S.Hi, M.A, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Dr. Alfitra, S.H, M.Hum, dan Dr. Hj. Mesraini M.Ag, dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing selama penulisan skripsi. vi 4. Seluruh Staf Dosen dan pengajar yang ada di dalam lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis. Khususnya untuk dosen yang telah memberi inspirasi yang sangat berarti bagi penulis yaitu Prof. Dr. Tahir azhari, S.H,M.H. Asrori S. Karni, S.Ag, M.H., Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., M.H., MM. Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum. Nahrowi, S.H, M.H. Nur Rohim yunus. LL.M serta dosen lainnya yang tak bisa disebutkan namanya tanpa mengurangi rasa hormat. 5. Kedua orang tua terhebat Ayahanda Sadino dan Ibunda Nanik Herawati yang senantiasa mendidik, membantu, mendukung dan melimpahkan kasih sayang serta do’a yang tiada henti. 6. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2010, terima kasih atas segala bentuk dukungan dan ilmu yang telah kalian berikan. Khususnya sahabat luar biasa saya, Aryadillah, Mustafa Aqib, Eko Yulianto, Satyawan Pari Kresno, Chairunisa Juhriyah, Rizky Hariyo, Faizal, dan Galuh Hayu. Terimakasih atas segala bentuk bantuan dan kesabaran kalian selama berkawan dengan saya. Semangat untuk kita semua, raih mimpi kita, kalian adalah orang-orang hebat dengan segala ketulusan dan kebaikan kalian, semoga Tuhan selalu merestui jalan kita. 7. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata di Desa Suka Maju, terimakasih atas kebersamaannya, kekompakan, dan rasa persahabatannya, semoga silaturahmi tetap terjaga sampai nanti. 8. Sahabat terbaik, Sandi AP, Rentino, Rieski, Ria Herdiana, Gerry, Jentel, Apriyanto, Iqrom, Saeful, Soma, Syamsul, Zakaria, Adha, Mona, Sarah Eka, Rahmadianti, Tanti, Azhari, Caesal, Ferdina, Haini, Albert, Ferbian, Reza dan Arif. Semoga semangat membara kita tiada pernah padam. vii 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materil sampai detik ini penulis panjatkan do’a, semoga Allah memberikan Balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaum al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Amin. Jakarta, 2 April 2015 M Ilham Herdinata viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv ABSTRAK .................................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................. vi DAFTAR ISI ................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 7 D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ...................................... 8 E. Kerangka Konseptual ............................................................. 9 F. Metode Penelitian ................................................................... 10 G. Sistematika Penelitian ............................................................ 13 BAB II TINJAUAN UMUM FRANCHISE SEBAGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian Franchise .............................................................. 15 B. Sejarah Franchise.................................................................... 19 C. Perlindungan Terhadap Para Pihak Menurut UndangUndang yang Berlaku di Indonesia ........................................ 23 ix BAB III ASPEK HUKUM DALAM PEMBERIAN KREDIT OLEH LEMBAGA PERBANKAN A. Pengertian dan Prinsip dalam Pemberian Kredit Bank .......... 30 B. Batasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit .................... 36 C. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit dalam Pemberian Kredit ...................................................................................... 40 BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERKAIT KONTRAK FRANCHISE YANG DIJADIKAN AGUNAN KREDIT A. Kedudukan Kontrak Franchise Sebagai Surat Berharga........ 44 B. Posisi Agunan dalam Perjanjian Kredit yang Disalurkan Oleh Lembaga Perbankan....................................................... 48 C. Analisa Kontrak Franchise Sebagai Objek Jaminan dalam Perjanjian Kredit ..................................................................... 56 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 59 B. Saran ....................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 62 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat Indonesia terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan. Animo ini terefleksi pada dua cermin yakni : jumlah pembeli waralaba dan jumlah peluang usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi waralaba. Berdasarkan data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) di tahun 2014, jumlah semua waralaba yang ada di Indonesia sebanyak 2.100 merek, dan 400 di antaranya adalah merek asing1. Menurut Reitzel, Lyden, Roberts dan Severance dikutip dari buku yang berjudul “Study Guide To Accompany Reitzel-lyden-roberts-severance Contemporary Business Law: Principles And Cases”, bahwa franchise di definisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang (merek) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati2. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang 1 2 http://www.franchiseindonesia.org , Diakses pada 19 Agustus 2014. Gunawan Widjaja, Waralaba. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17. 1 2 waralaba, di dalam ketentuan umumnya disebutkan bahwa “waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”. Hak Eksklusif yang dapat diberikan oleh undang-undang dalam hal kontrak franchise ialah Hak untuk membuka dan mengelola counter atau tempat usaha di lokasi yang disepakati para pihak, hak untuk menggunakan nama dan karakteristik milik franchisor yang sudah dikenal secara baik oleh masyarakat, hak untuk menerima informasi mengenai manajemen bisnis dan pemasaran milik franchisor, hak untuk menerima petunjuk/padoman teknis tertentu secara komprehensif dari franchisor ,dan hak promosi atas seluruh counter di Indonesia. Berdasarkan fakta tersebut bahwa sifat dari kontrak franchise memiliki nilai yang berguna dan mengandung beberapa hak ekslusif kekayaan intelektual lainnya seperti hak merek dalam hal penggunaan atas nama dan karakteristik milik franchisor serta hak ekslusif lainnya seperti hak paten dan kontrak, sehingga kontrak franchise tersebut dapat menjadi suatu asset tidak berwujud (intangible asset)3 yang membawa manfaat ekonomi jika diperalihkan karena isi dari kontrak tersebut menghasilkan royalty yang cukup besar. kontrak franchise tersebut dapat dikategorikan sebagai hak milik industri. Bagi bangsa Indonesia, 3 Kuswadi. Meningkatkan Laba Melalui Pendekatan Keuangan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 52. 3 pengembangan Hak Milik Industri merupakan perkembangan yang baru, tetapi bagi negara maju telah dikenal karena pandangan akan prinsip manfaat atau nilai ekonomi (economic value) yang cukup besar bagi pendapatan Negara4. Pengertian jaminan berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tidak sama dengan pengertian jaminan berdasarkan UndangUndang Perbankan Tahun 1967. Menurut Undang-Undang Perbankan Tahun 1967, pengertian “jaminan” disamakan dengan “agunan”. Adapun “jaminan” menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 diartikan “keyakinan atas iktikad dan kemampuan nasabah serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Jaminan kredit yang dimaksud Undang-Undang Perbankan Nomor 8 Tahun 1998 bukanlah jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral yang merupakan bagian dari Prinsip 5 C sebagai penerapan analisis kredit perbankan5. Selama ini masyarakat awam mempersamakan pengertian “jaminan kredit” dengan “agunan kredit”, padahal pengertian keduanya berbeda. Jaminan kredit adalah jaminan utama yang berwujud tidak nyata, yaitu jaminan yang berupa “keyakinan” bank atas “iktikad baik” nasabah debitur 4 5 Suyud Margono. Hak Milik Industri, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2011), h. 24. Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 273. 4 untuk melunasi utangnya sesuai perjanjian, sedangkan agunan kredit adalah jaminan tambahan yang pada umumnya berwujud fisik (misalnya : rumah, tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain) yang dicadangkan untuk pelunasan hutang. Agunan kredit terdiri dari agunan pokok dan agunan tambahan. Pengertian jaminan kredit secara tersirat dan tersurat dijelaskan dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Agunan kredit tidaklah menjadi masalah apabila barang yang dijadikan sebagai agunan merupakan barang yang lazim digunakan masyarakat sebagai objek penjaminan atas utang, tetapi akan timbul masalah apabila barang yang dijadikan agunan tidaklah umum dipakai sebagai objek jaminan. Dalam hal konsep hukum perdata dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (freedom mengesampingkan of contract) yakni undang-undang selama suatu perjanjian perjanjian tersebut dapat tidak mencederai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, melainkan kebebasan berkontrak tersebut akan batal demi hukum apabila tidak memberikan keadilan yang proporsional kepada salah satu pihak, karena hal tersebut dianggap tidak memenuhi Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian terkait sebab yang halal. Oleh sebab itu dalam hal perjanjian yang bersifat 5 tambahan, undang-undang harus memberikan legitimasi perlindungan terhadap pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum perjanjian. Hukum penjaminan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta peraturan pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan Bank Indonesia. Surat berharga itu sendiri adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksana pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang yang pembayarannya tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan alat bayar lain6. Seiring berkembangnya bisnis dan dunia perbankan khususnya perkreditan surat berharga pun bisa dijadikan jaminan. Saat ini berdasarkan regulasi yang terkait, Surat berharga yang dapat dijadikan jaminan antara lain saham, obligasi, sukuk dan lain-lain, namun didalam praktik terdapat surat berharga yang tidak termasuk kedalam kategori surat berharga yang dapat dijadikan agunan, melainkan surat yang berharga untuk pihak tertentu saja dan tidak berlaku umum, yakni Sertifikat franchise. Seiring dengan hal tersebut, keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia khususnya kontrak franchisse kurang diperhatikan untuk dimasukkan ke dalam bentuk barang-barang yang dapat dijadikan agunan. Hal tersebut dikarenakan nilai objek dari HKI bersifat fluktuatif atau tidak 6 Abdulkadir Muhammad. Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), h. 5. 6 tetap, namun akan terjadi perbedaan kepentingan yang disebabkan oleh terpenuhinya nilai-nilai yang terkandung dalam HKI sehingga dapat dijadikan sebagai objek collateral apabila dikaitkan dengan syarat-syarat benda jaminan yang diatur di dalam hukum jaminan di Indonesia dengan praktik yang terjadi. Sehubungan dengan surat berharga yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka penulis tertarik membahas status surat kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan ditinjau dari hukum jaminan Indonesia. Dengan judul “KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan maka penelitian ini difokuskan pada status surat kontrak franchise yang dijadikan sebagai objek agunan penjaminan dalam kredit perbankan di Indonesia dikaitkan dengan regulasi yang mengatur hukum jaminan seperti Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. 2. Perumusan Masalah 7 Berdasarkan uraian pada latar belakang dan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah kedudukan kontrak franchise dalam pemberian kredit perbankan? b. Apakah kontrak franchise dapat digolongkan sebagai suatu surat berharga yang dapat menjadi jaminan dalam pemberian kredit perbankan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia terhadap pernyataan kontrak franchise sebagai objek jaminan kredit perbankan. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan : a. Untuk mengetahui kedudukan kontrak franchise dalam pemberian kredit perbankan. b. Untuk mengetahui kontrak franchise digolongkan sebagai suatu surat berharga yang dapat menjadi jaminan dalam pemberian kredit perbankan. 2. Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Manfaat Teoritis 8 Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perjanjian dengan klausul perjanjian tambahan menggunakan objek jaminan kontrak franchise. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pelaku usaha dan masyarakat yang hendak mengajukan kredit perbankan agar bisa menggunakan surat perjanjian kontrak franchise. D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Penelitian yang terkait dengan penelitian ini berjudul “Fidusia Sebagai Jaminan dalam Pemberian Kredit di Perusda BPR Bank Pasar Klaten” Penelitian ini disusun oleh Sheeny Adisti, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Tahun 2010, dalam skripsinya penulis bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan prosedur pemberian kredit dengan jaminan fidusia di Perusda BPR Bank Pasar Klaten. Serta mengetahui hak–hak dan kewajiban pemberi dan penerima jaminan fidusia bila terjadi wanprestasi dan resiko dalam pemberian kredit. Yang membedakan penelitian yang akan penulis angkat dengan penelitian sebelumnya adalah, peneliti lebih memfokuskan Kontrak Franchise sebagai agunan atau objek jaminan. Dan pembahasan mengenai perlindungan terhadap pihak-pihak melalui analisis peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba. Selanjutnya penelitian oleh Muhammad Rasyid yang berjudul “Analisis Terhadap Bisnis Waralaba Berdasarkan PP.No 42 Tahun 2007”, Fakultas Hukum Univesitas Sumatra Utara 2011. Penelitian ini membahas 9 mengenai perbedaan antara peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah Nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba. Perbedaan penelitian Muhammad Rasyid dengan penulis terletak pada materi dan permasalahan yang dikaji, dimana penulis menganalisis tentang kontrak franchise sebagai jaminan kredit berlandaskan peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Dalam hal ini peneliti fokus terhadap kontrak franchise sebagai sebuah jaminan keterkaitannya dengan syarat-syarat benda jaminan yang diatur di dalam hukum jaminan di Indonesia. Buku yang berjudul “Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan Pada Umumnya” yang ditulis oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja yang diterbitkan oleh Kencana menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan hukum kebendaaan, mulai dari pengaturan kebendaan hukum di Indonesia, pengertian kebendaan hingga macam dan jenis kebendaan serta macam dan jenis hak kebendaan, ciri dan asas hukum kebendaan dan Jura in re alenia. E. Kerangka Konseptual Franchise adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian franchise. Franchise dapat diartikan juga sebagai hak yang 10 diberikan oleh franchisor kepada franchisee berupa Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dan Business Format. Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksana pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang yang pembayarannya tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan alat bayar lain Agunan adalah aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan tersebut. Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. F. Metode Penelitian 1. Tipe penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Sementara itu, penelitian hukum merupakan 11 kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, penelitian dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dan pengkajian terhadap Undang-undang untuk menjelaskan mengenai aspek normatif dan yuridis. 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani7. Pendekatan dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan kontrak franchise sebagai agunan, seperti : Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba dan peraturan organik lain yang berhubungan 7 Peter M Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Jakarta Kencana, 2011). 12 dengan objek penelitian. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep pernyataan penjaminan surat perjanjian kontrak franchise. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi menjadi pemahaman yang kabur dan ambigu. 3. Bahan Hukum Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang-undang : Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti. 4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan 13 berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya. 5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia tentang kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan. G. Sistematika Penelitian Skripsi ini disusun berdasarkan buku Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan. Meliputi latar belakang, dilanjutkan dengan batasan dan rumusan Masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan 14 (Review) kajian Terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Umum Franchise sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Pada bab ini penulis membahas pengertian dari franchise, sejarah dari franchise dan perlindungan terhadap pihak-pihak (analisis peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba). BAB III Aspek Hukum Pemberian Kredit oleh Lembaga Perbankan. Pada bab ini penulis membahas tentang pengertian dan prinsip dalam pemberian kredit bank, batasan dan larangan dalam pemberian kredit, dan kegunaan serta fungsi jaminan kredit dalam pemberian kredit. BAB IV Analisa Kontrak Franchise sebagai Agunan. Pada bab ini menguraikan hasil analisis penelitian dan pembahasan mengenai kontrak franchise sebagai agunan kredit, serta menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini. BAB V Penutup. Bab ini sebagai bagian terakhir dalam penelitian ini. berisi tentang kesimpulan yang bibuat oleh penulis dari pembahasan yang dilakukan, sekaligus merupakan jawaban dari rumusan masalah yang terdapat pada bab satu. Selain itu juga, bab ini berisi tentang uraian kesimpulan, saran dan kata penutup. BAB II TINJAUAN UMUM FRANCHISE SEBAGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian Franchise Waralaba atau dalam istilah Bahasa Inggris disebut dengan Franchise adalah suatu sistem yang berkembang dari lisensi di bidang hak milik intelektual di bidang penjualan barang-barang dan jasa. Apa yang terdapat dalam kontrak lisensi biasanya juga terdapat dalam suatu kontrak franchise, hanya saja kontrak franchise biasanya lebih luas (comprehensif). Hal ini karena selain franchise harus memproduksi barang dan jasa yang sama dengan yang dibuat oleh franchisor atau perusahaan induknya, juga sering sekali pula harus disajikan dan harus dipasarkan sesuai dengan cara yang dilakukan dan diminta oleh franchisor. Franchise sebagai suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai franchisor dan pihak lain sebagai franchisee, dimana di dalamnya diatur, bahwa pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek dan teknologi, memberikan haknya kepada franchise untuk melakukan kegiatan bisnis berdasarkan merek dan teknologi tersebut.8 Ada beberapa pendapat lain yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pengertian atau definisi dari franchise. Dalam hal ini akan 8 Gunawan Widjaja, Waralaba. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal 11. 15 16 dikemukakan beberapa pengertian mengenai franchise sebagai gambaran untuk mengetahui apa itu franchise. Menurut Gunawan Widjaja, Waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif.9 Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba. Menurut pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menjelaskan bahwa: “Perjanjian Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu”. Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan sebagainya. Menurut Adrian Sutendi, Perjanjian Lisensi biasa tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang 9 Gunawan Widjaja, Waralaba. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 12. 17 kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain.”10 Menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba ialah: “suatu sistem pendistribusian barang dan jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan (franchise) untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara – cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”. Di dalam kamus ekonomi bisnis perbankan mengartikan bahwa franchise adalah “suatu hak tunggal yang diberikan kepada perorangan atau suatu organisasi, oleh suatu pihak lain, baik perorangan atau organisasi (perusahaan, pemerintah dan sebagainya) untuk menjalankan suatu wewenang khususnya menyangkut perbuatan dan atau penjualan di wilayah tertentu11. Dari sudut pandang ekonomi franchise adalah hak yang diberikan secara khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau merakit, menjual, memasarkan suatu produk atau jasa. Sedangkan dari sudut pandang hukum franchise adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam 10 11 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h.93. T. Guritno, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), h. 24. 18 bekerjasama memproduksi, merakit, menjual, memasarkan suatu produk jasa. 12 Berdasarkan semua pengertian atau definisi tentang waralaba (franchise) diatas pada dasarnya mengandung elemen/unsur pokok sebagai berikut : 1. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang dan jasa itu. 2. Franchise yaitu pihak yang telah menerima hak eksklusif itu dari franchisor. 3. Penyerahan hak – hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada franchise. 4. Standarisasi mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta supervisi secara sukarela berkala dalam mempertahankan mutu. 5. Imbalan prestasi dari franchise kepada franchisor yang berupa initial fee dan royalties biaya – biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak. 6. Penempatan wilayah tertentu. 7. Pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan. 12 www.franinfo.com , Diakses pada 2 November 2014. yang 19 Waralaba dapat berkembang dengan pesat dikarenakan sarana pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha retail, makanan, salon, binatu dan lain sebagainya. Waralaba juga mulai berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba, maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Alfamart, dan Sabana Fried Chicken. B. Sejarah Franchise Konsep waralaba/franchise pada mulanya muncul sejak 200 tahun sebelum masehi. Ketika itu, terdapat seorang pengusaha keturunan Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan dengan merk tertentu. Kemudian juga terjadi di Perancis pada tahun 1200-an, ketika itu penguasa Negara dan penguasa gereja mendelegasikan kekuasaannya kepada para pedagang dan ahli pertukangan. Pada saat itu hal ini disebut “diartes de franchise”, yang berarti bahwa para pedagang dan ahli pertukangan memiliki hak untuk menggunakan dan mengolah hutan yang berada dibawah kekuasaan Negara dan gereja. Kemudian sebagai imbalannya penguasa Negara dan penguasa gereja menuntut jasa tertentu atau uang. Namun, sebenarnya konsep waralaba seperti yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat13. 13 Sutedi Adnrian, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h.1 20 Pada tahun 1851 konsep dasar waralaba ini diawali dan berkembang di Amerika Serikat, kemudian tumbuh dengan pesat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Ide atau dasar pemikiran ini walnya adalah bagaimana agar suatu produk yang dihasilkan di suatu negara bagian dapat dijual ke negara bagian lainnya. Selanjutnya dikemudian hari ide tersebut diistilahkan sebagai franchise. Hal ini merupakan bentuk penyempurnaan dan/atau perkembangan dari masa-masa sebelumnya14. Kurang lebih dua abad yang lalu perusahaan-perusahaan bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka. Pada masa ini waralaba yang sekarang dikenal diistilahkan sebagai “straight product franchising” (waralaba produksi murni). Pada awalnya sistem ini dipergunakan pada industri Coca Cola yang kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran industri mobil (general-motor) oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak waralaba kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat15. Setelah perang dunia ke II di amerika serikat berkembang sistem waralaba generasi ke dua yang istilahkan “entire business francheshing”. Jadi, sistem waralaba mengalami perkembangan, yaitu tidak hanya perjanjian mengenai satu aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh aspek pengoprasian perusahaan waralaba. Dimana pemberi waralaba 14 Sumardi Juajir, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Trans Nasional, (bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), h.2 15 Sutedi Adnrian, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h.2 21 (Franchisor) memiliki konsep berupa bentuk atau dekorasi tempat usaha, kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen atau organisasi perusahaan. Kemudian di berikan kepada penerima waralaba (franchise). Bentuk franchise yang paling sederhana dan umum adalah produk franchise atau trade name franchise yang dipelopori oleh mesin jahit singer. Singer sewing machine company merupakan pihak pertama yang mengembangkan franchise sebagai cara menjual produk dan jasa serta telah menciptakan suatu bentuk pemasaran produknya (dalam hal ini mesin-mesin jahit), dimana bentuk pemasaran produk tersebut dapat dianggap sebagai bentuk embrio dari sistem franchise. Pada tahun 1980-an singer membangun jaringan dealer dan salesman yang membayar kepada singer, sebagai royalti atas diberikannya hak memasarkan mesin jahit singer ke daerah tertentu. Meskipun usaha tersebut kurang sukses dan tidak dilanjutkan setelah berjalan sepuluh tahun, singer telah berjasa mengembangkan franchise. Bisnis franchise ini seolah-olah melejit begitu saja, banyak orang terkejut. Franchise dianggap tanpa melalui proses perkembangan dari awal. Apa yang dilakukan oleh Ray Kroc pada McDonald’s adalah mempopulerkan sistem bisnis yang telah ada beberapa abad yang lalu. Sesungguhnya franchise telah ada sejak dulu, sebelum McDonald’s sukses. Baru tahun 1950-an sistem bisnis franchise mulai dikenal luas yang juga dikenal sebagai peristiwa “Franchise Boom” di kawasan Amerika dan 22 sekitarnya. Sejak saat itu mulai nampak variasi bentuk dari sistem franchis dan rupanya sistem bisnis ini semakin berkembang hingga saat ini. Ekspansi di bidang franchise secara bertahap dimulai pada era tahun 1950-an, dimana pada masa itu sistem bisnis franchises merupakan suatu jaringan usaha suatu mata rantai. Para franchisor mulai berfikir untuk mencari lokasi yang tepat bagi pendirian output yang menentukan penempatan pengurus yang tepat bagi produksinya. Dalam perkembangannya dewasa ini franchise juga sudah melewati batas-batas negara, artinya sistem bisnis franchise tidak hanya dilakukan dalam wilayah suatu negara tertentu atau nasional, tetapi juga dilakukan dengan pihak asing di luar negara franchisor. Jadi hubungan bisnis franchise bukan hanya bersifat lokal/nasional tetapi sudah bersifat internasional. Sebagai contoh di Indonesia saat ini sudah banyak perusahaan-perusahaan asing yang memberi hak lisensi kepada pengusaha di Indonesia, baik untuk memproduksi barang, memberi hak pemakaian merek, service/format dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan tersebut beragam bentuknya mulai dari bisnis restaurant, retail shop, garment, hotel dan lain-lain, namun yang lebih banyak dikenal orang adalah dalam bisnis fast food seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, Wendy’s dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam perkembangan franchise saat ini adalah bagaimana mengembangkan konsep atau ide franchisor agar dapat dikembangkan oleh franchisee dengan mutu, standar dan keseragaman tetap terjaga. 23 C. Perlindungan Terhadap Para Pihak Menurut Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu. Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya. Dasar pembentukkannya tertuang dalam syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:16 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Para pihak (Franchisor dan franchise) yang bersepakat dalam suatu transaksi franchise selain mempermasalahkan persoalan persoalan yuridis, juga mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu adanya jaminan bahwa baik Franchisor maupun franchisee adalah pihak -pihak yang secara bisnis dapat diandalkan kerjasamanya, kemampuan manajerialnya dan bonafiditasnya untuk bersama – sama membangun kerjasama bisnis. Tuntutan di atas sebenarnya menjadi ukuran dalam menentukan unsur–unsur pokok kesepakatan, persyaratan, hak dan kewajiban para pihak yang pada akhirnya dituangkan di dalam klausula-klausula suatu perjanjian franchise. Dari sudut pandang yang terkandung dalam suatu perjanjian 16 R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 134. 24 franchise yang umumnya terdiri dari pasal–pasal, jika dilakukan suatu identifikasi terhadap pokok materi yang terpenting di dalam perjanjian tersebut, maka terdapat klausula–klausula utama, sebagai berikut: a. Objek yang difranchisekan Objek yang difranchisekan biasanya dikemukakan di awal perjanjian franchising. Objek yang di franchisekan harus menjelaskan secara cermat mengenai barang/jasa apa yang termasuk dalam franchise. b. Tempat Berbisnis Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri Franchisor dibutuhkan dalam usaha franchise. Tempat yang akan dijadikan lokasi berbisnis harus diperhatikan dengan baik agar kerjasama yang dijalankan menghasilkan keuntungan yang layak. Bagian ini memuat persyaratan tempat berbisnis yang layak untuk memasarkan barang/jasa milik Franchisor. Franchisor biasanya turut menentukan dan atau memberikan persetujuan kepada franchisee mengenai tempat yang akan dipakai dalam menjalankan bisnis . c. Wilayah franchise Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh Franchisor kepada franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah yang diberikan merupakan wilayah yang tidak terlampau luas ataupun terlampau sempit, sehingga dapat dieksploitasi secara maksimal. Pemberian 25 wilayah ini didasarkan agar pemberian suatu wilayah tertentu dapat menjamin tidak ada persaingan usaha sejenis baik yang dilakukan oleh sesama jenis franchisee ataupun oleh Franchisor sendiri. d. Sewa Guna Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha franchise didapat dengan suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama dengan jangka waktu berlakunya perjanjian franchise. Seringkali franchise menggunakan tempat untuk berbisnis yang bukan miliknya, ia menyewa suatu tempat untuk melakukan aktivitas franchise. Dalam hal tempat tersebut diperoleh berdasarkan perjanjian sewa menyewa maka secara bijaksana lamanya waktu menyewa tempat tidak lebih singkat dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian franchise. e. Pelatihan Dan Bantuan Teknik Dari Franchisor Pelatihan dan bantuan teknik merupakan hal yang penting karena suatu bisnis dengan pola franchise mengandalkan kualitas produk baik barang/jasa dan kualitas pelayanan yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh dengan cara pemberian pelatihan yang baik, mantap, berkualitas, serta pemberian bantuan teknik yang diberikan secara berkala oleh Franchisor kepada franchisee. Franchisee harus menilai kelayakan dari pelatihan serta bantuan teknik yang diberikan oleh Franchisor kepadanya. Kelayakan ini penting karena sangat berguna bagi franchise didalam menjalankan bisnisnya, karena apabila franchise 26 tidak mendapatkan bantuan teknik serta pelatihan yang cukup maka akan mendapat kesulitan di dalam menjalankan roda bisnisnya. f. Standar Operasional Standar operasional yang diterapkan dalam franchise biasanya terlampir dalam buku petunjuk/operation manuals. Petunjuk tersebut mengandung metode, dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan bisnis franchise. Menurut Martin Mendelsohn17 buku pedoman yang berisikan standar bisnis ini terbagi dalam beberapa bagian, yaitu : 1. Pendahuluan yang mengutamakan uraian pendahuluan yang menguraikan hakikat dasar dari sistem kerja serta falsafah bisnis jasa personal yang mendasarinya; 2. Sistem operasional yang menguraikan bagaimana sistem operasi dibentuk, dan bagaimana serta mengapa berbagai unsur – unsur pokok saling bersesuaian. 3. Metode operasional yang mendetail menguraikan mengenai perlengkapan apa yang diperlukan, apa fungsinya, dan bagaimana mengoperasikannya. 4. Serta instruksi pengoperasian yang meliputi : a. b. c. d. e. f. g. 17 Buka jam/hari; Pola – pola Perdagangan; Jadwal dan pergantian staf; Penggunaan bentuk dan prosedur yang standar; Persyaratan yang berkaitan dengan penampilan staf; Prosedur pelatihan staf; Prosedur memperkerjakan staf dan peraturan perundang – undangannya; Martin Mendelsohn, Franchising – Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchasee, Alih Bahasa oleh : Arief Suyoko, Fauzi Bustami, Hari Wahyudi, PT Pustaka Binaman Presindok, Jakarta, 1993, h. 104-106. 27 h. Prosedur untuk mendisiplinkan staf serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh franchise sebagi pemakai; i. Kebijakan penetapan harga; j. Kebijakan pembelian; k. Standar produk termasuk prosedur mengenai keluhan pelanggan; l. Standar layanan; m. Tugas–tugas staf; n. Pembayaran uang franchise; o. Akuntansi; p. Control kas dan prosedur perbankan; q. Termasuk prosedur yang berhubungan dengan cek, kartu cek dan kartu kredit; r. Periklanan dan pemasaran; s. Persyaratan yang berkenaan dengan presentasi gaya gedung yang dimiliki Franchisor; t. Juga persyaratan mengenai cara untuk mempergunakan merek dagang dan/atau jasa, asuransi, prosedur pengendalian sediaan. Sebelumnya berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007), masalah waralaba menjadi persoalan besar, karena pewaralaba (franchisor) harus menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa yang disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain yang mengatur suatu kerja sama waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada.18 Berarti yang menjadi dasar yang sangat kuat hingga kekuatannya sama dengan undang-undang ialah sebuah perjanjian yang tertuang dalam kontrak waralaba/franchise itu sendiri, sehingga perjanjian waralaba itu merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para 18 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2008), h. 79. 28 pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Adapun asas tersebut merupakan termaktub dalam sebuah asas yang disebut asas Pacta Sun Servanda. Walaupun suatu perjanjian waralaba merupakan kesepakatan antara dua pihak, tetapi paling tidak ada dua pihak lain yang terkena dampak dalam isi perjanjian waralaba, yaitu sebagai berikut: 1. Franchisee lain dalam sistem waralaba yang sama; 2. Konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat umumnya. Franchisee lain dalam sitem waralaba (franchising) yang sama berharap bahwa franchisee yang baru menjadi anggota akan menjaga nama dari seluruh sistem dengan menepati standar yang telah menyebabkan seluruh sistem berhasil. Sebagai payung hukum (umbrella act) dari suatu perjanjian waralaba terdapat Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Pasal 5 mengatakan bahwa sebelum membuat perjanjian, pemberi waralaba harus mencantumkan secara tertulis dan benar, sekurang-kurangnya mengenai:19 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. 19 Nama dan alamat para pihak; Jenis Hak atas Kekayaan Intelektual; Kegiatan usaha; Hak dan kewajiban para pihak; Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba; Wilayah usaha; Jangka waktu perjanjian; Tata cara pembayaran imbalan; Kepemilikkan, perubahan kepemilikkan, dan hak ahli waris; Penyelesaian sengketa; Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2008), cet. 1, h. 90. 29 Hal-hal yang diatur oleh hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Akan tetapi, sering juga terjadi das sein yang menyimpang dari das sollen. Penyimpangan ini menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera di dalam perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak yang menyebabkan kerugian. Kemungkinan pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di Indonesia. Selain itu terdapat beberapa undang-undang yang mengatur terkait perlindungan para pihak yang melakukan perjanjian waralaba/franchising, yaitu Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001, Undang-undang Hak cipta No. 19 Tahun 2002, Undang-undang Hak Paten No 14 Tahun 2001.20 Dengan beranjak pada rumusan , pengertian, dan konsep waralaba yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa pemberian waralaba senantiasa terkait dengan pemberian hak untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan HKI seperti penjelasan di atas. 20 Syopiansyah Jaya Putra, Yusuf Durachman, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet. 1, h. 132-133. BAB III ASPEK HUKUM DALAM PEMBERIAN KREDIT OLEH LEMBAGA PERBANKAN A. Pengertian dan Prinsip Dalam Pemberian Kredit Bank Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti “kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak21. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan) menyebutkan definisi dari kredit yaitu: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan (woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen. 21 Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 263. 30 31 Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuar formulir yang berisi kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam formulir tersebut pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanga hal-hal yang bersifat subjektif, seperti waktu dan identitas. Peranan bank selaku pemberi kredit baru berfungsi apabila telah dicapai kesepakatan dalam perjanjian kredit antara pihak bank/Kreditor dengan pihak nasabah/Debitur yang selanjutnya diikuti dengan penyerahan uang kepada nasabah/Debitur oleh bank selaku Kreditor. Penyerahan uang sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang berlaku dalam model perjanjian kredit kedua belah pihak. Dalam praktek perbankan menunjukkan bahwa seseorang yang bermaksud untuk mendapatkan kredit bank, memulai langkahnya dengan mengajukan permohonan kredit. Untuk itu biasanya bank telah menyediakan formulir tertentu yang harus diisi oleh pemohon kredit. Dalam formulir perjanjian tersebut berisi tentang apa saja syaratsyarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum untuk mengajukan kredit serta berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila permohonan kredit tersebut diberikan. Secara umum terdapat dua jenis kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya, yaitu kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaan dan kredit ditinjau dari segi jangka waktunya. Menurut segi penggunaannya, kredit dibagi menjadi : 32 1. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. 2. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang yang perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Sedangkan jenis kredit ditinjau dari segi jangka waktunya dapat berupa : 1. Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan tidak lebih dari satu tahun. 2. Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari satu tahun tapi tidak lebih dari tiga tahun. 3. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari tiga tahun. Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 bentuk 1. Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata), Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik. 2. Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata) Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak. 33 Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (Kreditor) disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Namun dalam pemberian kredit tersebut haruslah memenuhi unsurunsur pokok kredit, yaitu : 1. Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh Debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. 2. Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh Debitur dipisahkan oleh tenggang waktu. 3. Risiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di dalamnya yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali. 4. Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan Debitur mengenai suatu pemberian kredit, pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.22 Pemrosesan permohonan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu dianalisis oleh bagian marketing, dengan melibatkan bagian lain seperti yang ditunjukkan dalam kurung berikut: 1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitur termasuk di dalamnya (account officer). 22 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana,2009) h. 58. 34 2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha (account officer/bagian hukum). 3. Mengenai usaha debitur, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen (marketing/account officer). 4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (account officer/bagian hukum). 5. Kajian ulang permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit (risk management). 6. Cara pengikatan kredit (bagian hukum). 7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operasional). Menurut Kasmir, prosedur dan penilaian kredit secara umum bagi setiap bank tidak jauh berbeda; yang berbeda hanyalah pada persyaratan dan ukuran penilaian dengan pertimbangan masing-masing bank.23 Dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Perbankan secara tegas disebutkan bahwa yang memberikan kredit adalah bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat sedangkan yang menerima kredit secara tegas tidak disebutkan. Bank dalam menilai suatu permintaan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit/calon penerima kredit berpedoman pada faktor-faktor sebagai berikut: 1. 23 Watak atau Characteristic Kasmir, Manajemen Bank, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) h. 95. 35 Maksud watak disini adalah kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit apakah, dia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik sesuai dengan perjanjian kredit tersebut atau yang akan diadakan. 2. Kemampuan atau Capacity Maksudnya adalah kemampuan mengendalikan, memimpin, menguasai bidang usahakanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon kredit berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan. 3. Modal atau Capital Maksudnya adalah pemohon kredit itu wajib memiliki modal sendiri sebab adanya modal sendiri menunjukkan pemohon itu adalah pengusaha lalu untuk mengembangkan perusahaannya perlu mendapat kredit dari bank yang mana kredit ini berfungsi sebagai tambahan modal. 4. Jaminan atau Collateral Maksudnya adalah kekayaan yang dapat dilihat sebagai jaminan guna pelunasan hutang dikemudian hari seandainya penerima kredit tidak melunasi hutangnya. 5. Kondisi Ekonomi atau Condition of Economy Maksudnya adalah situasi ekonomi dalam jangka waktu tertentu akan memungkinkan pemohon kredit memperoleh keuntungan yang menurut perhitungan didapat dari kegunaan kredit itu. Kelima faktor-faktor tersebut dinamakan Analisa Kredit yang merupakan ukuran kemampuan penerima 36 kredit untuk mengembalikan pinjaman kreditnya dari kelima faktor analisa kredit ini mengandung 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: 1. Unsur Subjektif, yaitu berupa modal. 2. Unsur Objektif, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, modal dan keadaan ekonomi. 3. Unsur Yuridis, yaitu yang berkenaan dengan struktur yuridis dari badan usaha penerima kredit dari bank. Setelah perjanjian tersebut disepakati, maka lahirlah kewajiban pada diri Kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada Debitur, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari Debitur pada waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan kewajiban Debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban Kreditor. Jadi dari berdasarkan hal tersebut di atas , diketahui bahwa: 1. Pemberi kredit adalah bank. 2. Penerima kredit adalah pihak yang memberikan jaminan dan memnuhi syarat-syarat dalam analisa kredit. B. Batasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran 37 (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan pengaturan dasar dalam Undang-Undang Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK 3 vide Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum 5 yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit, tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana bank dalam bentuk : a. b. c. d. e. f. g. h. kredit; surat berharga; penempatan; surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; tagihan akseptasi; darivatif kredit (credit derivative); transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit); tagihan derivatif; 38 i. j. k. l. potential future credit exposure; penyertaan modal; penyertaan modal sementara; bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k. Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara, penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank. Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. Sementara, pihak terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) apabila pada saat pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran terhadap ketentuan BMPK tersebut, selain dapat dikenakan sanksi, juga akan diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Bank diwajibkan pula untuk menyampaikan laporan 39 bulanan setiap bulan kepada Bank Indonesia mengenai penyediaan dana kepada peminjam dan sekelompok peminjam yang melampaui BMPK, seluruh penyediaan dana kepada piihak-pihak yang terkait dengan bank.24 Apabila kewajiban ini dilanggar oleh bank maka bank yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda, administratif dan/atau sanksi pidana.25 Selain pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28 Februari 1991 telah mengatur pembatasan pemberian kredit untuk pembelian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang: a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pemberian kredit investasi untuk pembiayaan barang modal (aktiva tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan di pasar modal; b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan. 24 Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 295 25 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), h. 88. 40 Pelanggaran akan ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan oleh Bank Indonesia. Ketentuan tersebut disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit pada Perusahaan Sekuritas dan Kredit Dengan Agunan Saham. Disebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit bank untuk jual beli saham, yaitu: a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan tambahan berupa saham perusahaan lain; b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan yang bukan perusahaam sekuritas untuk jual beli saham kecuali pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pembelian saham bank yang bersangkutan.26 C. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit dalam Pemberian Kredit Fungsi jaminan kredit dalam dunia perbankan sangat besar. Kewajiban untuk menyerahkan jaminan hutang oleh pihak peminjam dalam rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara pihakpihak yang melakukan pinjam-meminjam uang. Pada umumnya pihak pemberi 26 pinjaman mensyaratkan adanya jaminan hutang sebelum Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h.298. 41 memberikan pinjaman uang kepada pihak peminjam. Sementara itu, keharusan penyerahan jaminan hutang tersebut sering pula diatur dan disyaratkan oleh peraturan intern pihak pemberi pinjaman dan atau oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian hutangpiutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian, dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal dalam hukum Indonesia. Menurut Subekti adanya jaminan ini sangat penting kedudukannya dalam mengurangi resiko kerugian bagi pihak bank (kreditor). Adapun jaminan yang ideal dapat dilihat dari : 1. Dapat membantu memperoleh kredit bagi pihak yang memerlukan; 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk meneruskan usahanya; 3. Memberikan kepastian kepada kreditor dalam arti bahwa apabila perlu maka diuangkan untuk melunasi utang si debitur27 Thomas Suyatno mengemukakan bahwa, ”Jaminan secara umum dapat diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang. Penyerahan kekayaan debitur merupakan bukti kesungguhan debitur untuk mengembalikan dana yang dipinjamkan oleh kreditur”. Thomas Suyatno berpendapat bahwa kegunaan jaminan adalah untuk: 27 Usman,Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Putaka Utama, 2004). h. 286. 42 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan unutk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya. 3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat –syarat yang telah di setujui agar ia tidak kehilang an kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.28 Dalam pelaksanaan perjanjian kredit, jaminan kredit juga sebagai motivator kepada debitur supaya menjalankan usahanya secara baik, dan menggunakan dana kredit sesuai dengan tujuan pengajuan dan pemberian kredit, memanajemen keuangannya secara hati-hati sehingga mampu untuk memenuhi prestasinya sampai berakhirnya perjanjian kredit dengan pelunasan sampai pada akhirnya kembalinya hak menguasai terhadap benda yang dijaminkan kepada kreditur dalam hal ini lembaga pembiayaan. Dari definisi jaminan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa fungsi utama dari 28 Thomas Suyatno, dkk, Dasar-dasar Perkreditan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2007). hal. 81 43 jaminan adalah untuk mendapatkan kepercayaan dari kreditur. Dalam hal ini bahwa seorang calon debitur mempunyai kemampuan untuk memenuhi clausul yang telah disepakati dalam perjanjian kredit yang telah disepakati bersama oleh para pihak. BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERKAIT KONTRAK FRANCHISE YANG DIJADIKAN AGUNAN KREDIT A. Kedudukan Kontrak Franchise Sebagai Surat Berharga Surat berharga biasanya sering disebut dengan istilah negotiable instrument, negotiable paper atau commercial paper.29 Surat berharga diatur secara lex generalis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dimana pada pokoknya KUHD tidak membatasi ruang lingkup surat berharga. Peranan surat berharga sebagai alternatif pendanaan atau pembiayaan dalam kegiatan pasar uang di Indonesia dirasakan mulai sangat penting. Faktor-faktor yang menciptakan kondisi para pelaku pasar uang giat mencari alternatif lain dari sumber penanaman pembiayaan dana antara lain adalah likuiditas perekonomian yang ketat, tingkat suku bunga di dalam negeri yang relatif tinggi, dan ekspansi kredit yang cenderung melambat. Tingginya ongkos pembiayaan perbankan serta sulitnya memperoleh kredit dari bank telah mendorong timbulnya praktek-praktek intermediasi, yaitu perusahaan-perusahaan mencari sumber danayang relatif murah dan cepat tersedia, sedangkan di pihak lain pemilik dana berusaha mencari penanaman dana yang relatif aman. Hal ini tercermin dari pertumbuhan perdagangan instrumen-instrumen pasar uang yang baru seperti surat berharga. 29 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 444. 44 45 Jadi surat berharga itu sebetulnya sama dengan surat hutang lainnya seperti promes dan obligasi. Walaupun pada saat ini surat berharga sedang menarik perhatian berbagai kalangan, sebenarnya ketentuan yang mengatur mengenai surat berharga ini belum ada, sehingga masyarakat masih mengkhawatirkan tentang kepastian hukum atas kepemilikan surat berharga. Oleh karena itu aturan main tentang surat berharga sudah sangat mendesak dan hal ini seharusnya mulai dipikirkan mengingat akhir-akhir ini surat berharga sedang menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang sangat diminati oleh kalangan yang membutuhkannya. Abdulkair Muhammad membedakan hal tersebut kedalam surat berharga dan surat yang memiliki harga, dimana surat berharga adalah surat yang penerbitannya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi. Sedangkan yang kedua adalah surat yang memiliki harga, dimana surat yang memiliki harga atau nilai tidaklah untuk diperjualbelikan, melainkan hanya untuk alat bukti bagi pemegangnya bahwa ia merupakan orang yang berhak secara hukum untuk menikmati hak yang disebutkan dalam surat tersebut.30 Secara umum surat berharga memiliki fungsi antara lain sebagai alat pembayaran, alat pemindahan hak tagih, dan surat legitimasi (surat bukti hak tagih). berdasarkan ciri-cirinya, Pennington dan Hudson menjelaskan ciri-ciri surat berharga antara lain:31 30 Abdulkadir Muhammad. Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), h. 5. 31 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 106. 46 1. Persyaratan dari dokumen tersebut harus mengizinkan dokumen tersebut dipindah tangankan 2. Mengandung suatu kewajiban untuk membayar sejumlah uang 3. Perpindahan hak 4. Memiliki sumber hukum peralihan Selain memiliki ciri-ciri, surat berharga juga memiliki persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu surat dapat dikatakan sebagai surat berharga. Persayaratan tersebut antara lain:32 1. Syarat Formal Syarat Formal dalam satu surat berharga meliputi, nama atau jenis surat berharga disebutkan secara jelas; memuat atau mengandung persyaratan suatu kesanggupan, janji atau perintah membayar yang tidak bersyarat; mencantumkan pihak yang wajib melakukan pembayaran atau memenuhi kewajiban; tertera tanggal dan tempat surat berharga diterbitkan atau ditarik; ditandatangani penerbit atau penarik yang sah. 2. Syarat Materil Syarat materiil dari surat berharaga ialah; adanya perikatan dasar atau sebab yang halal; merupakan hak tagih untuk mendapatkan pembayaran; dapat dialihkan dengan endosemen dan cessie; tidak dapat dibatalkan oleh penerbit atau penarik; tersedia dana atau objeknya jika surat tersebut dicairkan. 32 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 107. 47 Bila dianalisis berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan diatas, maka kontrak franchise dapat saja tergolong kedalam surat berharga berdasarkan KUHD, hal tersebut tidak lepas dari tidak terbatasnya surat berharga menurut KUHD. Akan tetapi karena kebutuhan agar surat berharga dapat dipindahtangankan atau dicairkan secara cepat maka terjadi pembagian dalam pengertian surat berharga yang awalnya tidak terbatas menjadi terbatas. Bila dilihat berdasarkan ciri-ciri surat berharga kontrak franchise dapat saja digolongkan menjadi surat berharga, dimana kontrak franchise telah memenuhi sebagian besar ciri-ciri surat berharga, yakni perpindahan hak dan memiliki sumber hukum perlihan. Sedangkan dalam ciri yang kedua yakni, “mengandung suatu kewajiban untuk membayar sejumlah uang”, kontrak franchise setidaknya juga memiliki kewajiban untuk menyerahkan suatu barang, akan tetapi barang tersebut tidak berbentuk uang, melainkan berbentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang tentunya bernilai ekonomis dan dapat diukur dengan uang. Hanya dalam ciri pertama yang tidak dipenuhi secara mutlak oleh kontrak franchise agar dapat disebut sebagai surat berharga, dimana dalam kontrak franchise tidak diizinkan atau dijelaskan bahwa kontrak tersebut dapat dipindahtangankan, sehingga sementara ini kontrak franchise tidak termasuk kedalam surat berharga dan hanya digolongkan kedalam surat yang memiliki harga yang tidak diperuntukkan untuk diperjualbelikan. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dunia usaha yang semakin pesat bukan tidak mungkin bila 48 kedepannya kontrak franchise dapat lebih mudah dipindahtangankan sebagai objek jaminan, baik berbentuk gadai maupun fidusia. B. Posisi Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Disalurkan Oleh Lembaga Perbankan Secara etimologis kredit berasal dari bahasa latin, yakni credere yang berartikepercayaan. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia, kredit berarti pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.33 Menurut pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Berdasarkan pengertian kredit tersebut, maka diketahui bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur dilakukan dengan kesepakatan (biasa disebut perjanjian) pinjam-meminjam. Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kepercayaan bank sebagai kreditur kepada nasabah sebagai debitur bahwa nasabah akan melunasi pinjamannya berdasarkan waktu dan cara yang telah ditentukan serta disertai dengan pemberian bunga atau bagi hasil. 33 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009 ), h. 57. 49 Setidaknya terdapat 4 (empat) unsur dalam pemberian kredit, yakni:34 1. Kepercayaan, yakni adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikan kepada nasabah debitur akan dilunasi berdasarkan waktu dan cara yang disepakati. 2. Waktu, yakni adanya jangka waktu yang diberikan oleh bank sebagai kredit antara pemberian dan pelunasan kredit yang telah disepakati. 3. Prestasi dan kontraprestasi, yakni adanya objek tertentu dalam pemberian kredit, berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat telah dicapainya kesepakatan pemberian kredit oleh bank. 4. Resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan pengembalian kredit. Guna meminimalisir potensi resiko yang terjadi dalam pemberian kredit, maka bank perlu melakukan analisis kredit yang bertujuan untuk meyakinkan bank bahwa debitur benar-benar dapat dipercaya dan memiliki itikad baik dalam pengembalian pinjamannya. Dalam menerapkan analisis kredit, maka bank wajib menerapkan prinsip 5 C’s dan 5 P yang terdiri atas:35 a. Penilaian watak/kepribadian (charachter) 34 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 268. 35 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 273. 50 Penilaian terhadap watak atau kepribadian debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik debitur dalam mengembalikan dana pinjamannya. b. Penilaian kemampuan (capacity) Penilaian kemampuan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan dan keahlian debitur dalam bidang usaha yang akan dibiayai. Sehingga bank akan memiliki keyakinan bahwa usaha yang akan dibiayainya akan berjalan dengan baik dan debitur dapat mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang ditentukan. c. Penilaian terhadap modal (capital) Dalam menyalurkan kredit bank wajib untuk mengetahui posisi keuangan calon debitur, sehingga dapat diketahui kemampuan debitur dalam menunjang pertumbuhan usahanya. d. Penilaian terhadap agunan (collateral) Untuk menanggung resiko yang mungkin muncul dikemudian hari, maka calon debitur pada umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta memiliki nilai minimal setara dengan jumlah pinjaman. e. Penilaian terhadap prospek usaha debitur (condition of economy) 51 Dalam menyalurkan kredit, bank wajib menganalisis keadaan dan potensi pasar, baik didalam maupun diluar negeri, sehingga prospek perkembangan usaha debitur dapat diketahui prospek usahanya dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: a. Pihak Yang terlibat (Party) Para pihak yang terlibat adalah titik sentral dalam pemberian kredit, maka dari itu bank wajib memperhatikan hal ini. b. Tujuan kredit (Purpose) Tujuan kredit merupakan hal harus diketahui debitur, apakah kredit ditujukan untuk hal yang diperbolehkan oleh undangundang atau tidak, serta memastikan bahwa kredit benar-benar diperuntukkan untuk hal yang telah diperjanjikan. c. Pembayaran (Payment) Bank juga wajib memperhatikan pula apakah debitur memiliki ketersediaan dana untuk melunasi kredit. d. Perolehan laba (Profitability) Dalam pemberian kredit, bank juga wajib untuk memperkirakan dan memastikan potensi keuntungan yang akan didapatkan oleh debitur. e. Perlindungan (Protection) Dalam memberikan kredit bank wajib untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian dari adanya kemungkinan macetnya kredit yang diberikan oleh bank. 52 Berdasarkan analisa dan penilaian yang dilakukan oleh bank dalam pemberian kredit, maka bank memerlukan suatu jaminan dalam memberikan kredit. hal ini bertujuan untuk melindungi bank sebagai kreditur apabila sewaktu-waktu kreditur melakukan wanprestasi yang menyababkan kerugian bagi bank. Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menjelaskan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan dalam prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Sedangkan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa “mengingat bahwa agunan merupakan salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan”. Berdasarkan hal yang telah disebutkan diatas, maka Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 telah membedakan antara jaminan kredit dengan agunan kredit, dimana jaminan kredit dalam Undang-undang tersebut berbeda dengan collateral yang dimaksud dalam prinsip 5 C’s. Yang dimaksud jaminan dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 adalah “keyakinan atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur dalam 53 melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.36 Sedangkan agunan merupakan istilah dari konsep jaminan didalam Undang-Undang nomor 14 Tahun 1967 yang berorientasi barang atau jaminan kebendaan (collateral orientation). Pemberian agunan sebagai salah satu instrumen penyerahan kredit bukan merupakan faktor utama hal tersebut ditunjukkan dalam penjelasan pasal 8 Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 bahwa: “Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debiturmengembalikan utang-utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.” Berdasarkan penjelasan tersebut, maka agunan dapat dibagi kedalam dua jenis, yakni:37 1. Agunan utama Agunan utama dalam pemberian kredit merupakan batrang yang dibiayai oleh dana pinjaman dari bank, misalnya dana kredit dari bank digunakan untuk membeli sebuah truk, maka yang menjadi suatu agunan utama adalah truk tersebut 2. Agunan tambahan 36 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 281. 37 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 283. 54 Agunan tambahan merupakan barang yang tidak dibiayai oleh bank dan tidak terkait dengan kegiatan operasional usaha yang dibiayai oleh bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/2005 Tentang Penilaian Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dapat menjadi agunan tambahan meliputi, surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dalam bursa efek di indonesia atau memiliki peringkat investasi diikat dengan gadai; tanah, gedung dan rumah tinggal diikat dengan hak tanggungan; pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran diatas 20 meter kubik diikat dengan hipotek; serta kendaraan motor dan persediaan diikat dengan fidusia. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka agunan bukanlah hal yang esensial dalam pemberian kredit. Hal tersebut membuat bank dapat memberikan kredit selama jaminan yang berupa keyakinan terhadap kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman telah terpenuhi. Bahkan bank dapat memberikan kredit dengan menggunakan kredit yang seblumnya telah dibiayai sebelumnya dan dimungkinan untuk memberikan pinjaman tanpa agunan tambahan. Ditinjau dari sudut kontraknya, agunan merupakan perjanjian accesoir dari suatu kontrak pemberian kredit. Sedangkan yang menjadi perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang-piutang antara pihak bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Hal tersebut ditujukan untuk memastikan posisi kreditur secara hukum terkait pengembalian piutangnya 55 manakala debitur pailit atau wanprestasi. Hal tersebut sejalan dengan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sedangkan perjanjian yang sah sendiri diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, dimana sayarat sahnya perjanjian meliputi:38 1. 2. 3. 4. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Suatu pokok persoalan tertentu; Suatu sebab yang tidak terlarang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 29, yang berbunyi: Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. An Nisa': 29) Agunan yang diperjanjikan sebagai perjanjian accesoir dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata akan memberikan kepastian hukum bagi bank sebagai kreditur karena perjanjian ini bersifat baku dan memiliki asas eksekutorial, sehingga pihak kreditur (dalam hal ini bank) akan berkedudukan sebagai kreditur preferen yang pelunasan hutangnya akan diutamakan ketimbang kreditur konkuren 38 R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 134. 56 apabila debitur yang menyertakan agunan dalam pemberian kredit mengalaim pailit. C. Analisa Kontrak Franchise Sebagai Objek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrak franchise bukanlah suatu surat berharga, hal ini berdampak kepada sulitnya mengalihkan penguasaan terhadap kontrak franchise kepada pihak ketiga. Salah satu sebabnya ialah karena kontrak franchise erat kaitannya dengan Hak Kekayaan Atas Intelektual (HKI), khususnya merek dan rahasia dagang, sehingga dikhawatirkan apabila kontrak franchise dapat dengan mudah dialihkan akan menggugurkan aspek rahasia dagang yang merupakan bagian dari HAKI dalam kontrak franchise tersebut. Hal tersebut bukan berarti kontrak franchise tidak dapat diuangkan, meskipun tidak semudah surat berharga dalam hal pemindahan tangan, setidaknya HAKI masih berpotensi dijadikan sebagai agunan dalam suatu pemberian kredit. Dimana dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan telah dijelaskan bahwa pemberian suatu kredit yang dilakukan oleh bank tidak diwajibkan menggunakan agunan tambahan, melainkan dapat menggunakan objek yang dibiayai sebagai jaminan selama bank yakin akan itikad dan kemampuan debitur dalam melunasi pinjamannya. Agunan pokok tersebut antara lain dapat berupa barang, proyek ataupun hal tagih yang dibiayai, atau benda lain yang terkait dengan 57 kegiatan operasional yang dibiayai oleh bank. Dalam hal ini pemberian kredit usaha waralaba oleh suatu bank BUMN di Indonesia tidak mensyaratkan adanya agunan tambahan seperti layaknya kredit lainnya. Salah satu faktor yang mendorong hal tersebut menurut pendapat penulis adalah karena bank telah berkeyakinan akan itikad dan kemampuan debitur dalam melunasi hutangnya. Keyakinan tersebut antara lain disebabkan dengan pembiayaan terhadap usaha franchise lebih menjamin dibanding usaha lain karena objek franchise merupakan suatu konsep dan sistem usaha yang telah terbangun dan terbukti berhasil dalam mendapatkan keuntungan berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Franchisor, maka dari itu kredit usaha waralaba seringkali mensyaratkan kontrak franchise dalam pengajuan kredit usaha waralaba, selain sebagai bukti otentik, hal tersebut ditujukan sebagai bahan analisis bagi bank untuk mendapatkan keyakinan penuh atas itikad dan kemampuan debitur dalam mengembalikan kredit sebagai bentuk jaminan. Pemberian kredit tersebut, lebih khususnya dalam hal pemberian kredit investasi, yang menjadi agunan pokok ialah usaha yang dibiayai (dalam hal ini usaha franchise yang dibuktikan dengan kontrak Franchisor dengan franchisee). Sedangkan dalam hal pemberian kredit modal kerja, maka yang akan menjadi agunan pokoknya adalah persediaan barang dari 58 usaha waralaba tersebut, dan dalam hal ini kontrak franchise akan menjadi syarat mutlak bagi pemberian kontrak ini.39 Perkembangan hukum mengenai agunan ini mulai mengalami perkembangan setelah dikeluarkannya Undang-undang No 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang, yang tmemasukan Resi Gudang sebagai bagian dari konstruksi hukum agunan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Peraturan Bank Indonesia atau PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum, pada pasal 46 meliputi : a. Surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dibursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; b. Tanah, gedung dan rumah tinggal yang diikat dengan Hak Tanggungan; c. Pesawat udara atau kapal lau dengan ukuran diatas 20 meter kubik yang diikat dengan Hipotek; d. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara Fidusia; dan atau e. Mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan iikat dengan Hak Tanggungan; f. Resi gudang yang diikat dengan hak Jaminan atas Resi Gudang. 39 www.advokatmuhammadjoni.com diakses pada tanggal 14 Desember 2014. 59 Sangat jelas bahwa hingga saat ini kontrak franchise belum tercantum sebagai salah satu bentuk agunan kredit yang diakui di Indonesia, walaupun disatu sisi seluruh HKI yang diatur dalam undang-undang memuat syarat yang sangat memungkinkan HKI untuk dapat dijadikan sebagai agunan kredit perbankan. Oleh karenanya, menjadikan HKI sebagai bagian dari agunan di Indonesia akan sangat mungkin dilakukan, sebagaimana Resi Gudang yang pada akhirnya dapat dijadikan agunan (collateral). BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Kontrak franchise bukanlah suatu surat berharga yang dapat dijaminkan, dikarenakan sulitnya mengalihkan penguasaan terhadap kontrak franchise kepada pihak ketiga. Salah satu sebabnya ialah karena kontrak franchise erat kaitannya dengan Hak Kekayaan Atas Intelektual (HAKI), khususnya merek dan rahasia dagang. Sehingga dikhawatirkan apabila kontrak franchise dapat dengan mudah dialihkan akan menggugurkan aspek rahasia dagang yang merupakan bagian dari HAKI dalam kontrak franchise tersebut. Hal tersebut bukan berarti kontrak franchise tidak dapat diuangkan, meskipun tidak semudah surat berharga dalam hal pemindahan tangan, setidaknya HAKI masih berpotensi dijadikan sebagai agunan dalam suatu pemberian kredit. Dimana dalam penjelasan pasal 8 UndangUndang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan telah dijelaskan bahwa pemberian suatu kredit yang dilakukan oleh bank tidak diwajibkan menggunakan agunan tambahan, melainkan dapat menggunakan objek yang dibiayai sebagai jaminan selama bank yakin akan itikad dan kemampuan debitur dalam melunasi pinjamannya. 2. Berdasarkan ciri-ciri surat berharga kontrak franchise dapat saja digolongkan menjadi surat berharga, dimana kontrak franchise telah 59 60 memenuhi sebagian besar ciri-ciri surat berharga, yakni perpindahan hak dan memiliki sumber hukum peralihan. Sedangkan dalam ciri yang kedua yakni, “mengandung suatu kewajiban untuk membayar sejumlah uang”, kontrak franchise setidaknya juga memiliki kewajiban untuk menyerahkan suatu barang, akan tetapi barang tersebut tidak berbentuk uang, melainkan berbentuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang tentunya bernilai ekonomis dan dapat diukur dengan uang. Hanya dalam ciri pertama yang tidak dipenuhi secara mutlak oleh kontrak franchise agar dapat disebut sebagai surat berharga, dimana dalam kontrak franchise tidak diizinkan atau dijelaskan bahwa kontrak tersebut dapat dipindahtangankan, sehingga sementara ini kontrak franchise tidak termasuk kedalam surat berharga dan hanya digolongkan kedalam surat yang memiliki harga yang tidak diperuntukkan untuk diperjualbelikan. S eiring dengan perkembangan dunia usaha yang semakin pesat bukan tidak mungkin bila kedepannya kontrak franchise dapat lebih mudah dipindah tangankan sebagai objek jaminan, baik berbentuk gadai maupun fidusia. B. Saran 1. Adanya AFI (Asosiasi Franchise Indonesia) pemerintah diharapkan dapat menciptakan peraturan baru agar kontrak franchise tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan dengan tidak menghilangkan esensi dari HAKI yang terkandung dalam kontrak franchise, khususnya rahasia dagang dari kontrak franchise tersebut. Perlu adanya undang-undang secara khusus mengatur tentang franchise sehingga memberikan jaminan kepastian 61 hukum. Pengawasan yang jelas oleh lembaga yudikatif untuk mencegah terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak. 2. Di dalam memberikan kredit kepada calon debitor, pejabat bank terutama pejabat bank bagian kredit dalam melaksanakan analisis sistem dan tata cara 5 C’s of Credit (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition of economy) diharapkan melakukan analisis tersebut dengan lebih cermat dan cerdik. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah/macet di masa yang akan datang, karena berhasil tidaknya penyaluran kredit bank dapat mempengaruhi kredibilitas bank yang bersangkutan. Diharapkan dalam penyelesaian kredit bermasalah, terjadi kerjasama yang baik antara pihak nasabah, bank, dan pihak ketiga yang membantu penyelesaian kredit bermasalah tersebut. Dalam penyelesaian kredit bermasalah, semakin lama penyelesaiannya justru akan menambah semakin besar kerugian yang akan dialami oleh kedua belah pihak, karena kedua belah pihak baik itu pihak bank atau pihak nasabah akan terus terbebani dengan waktu dan biaya penyelesaian kredit bermasalah tersebut 3. Dalam pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan banyak kendala yang dihadapi, oleh karena itu perlu adanya ketentuan eksekusi yang merupakan terobosan dalam memenuhi tuntutan masyarakat dan penting pula eksekusi dibuat suatu cabang Ilmu Hukum Eksekusi tersendiri, karena selama ini hukum eksekusi yang ada merupakan bagian dari Hukum Acara Perdata. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Djoni S. Gozali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Gunawan Widjaja, Waralaba. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hakim Lukman, Info Lengkap Waralaba, (Yogyakarta: Med Press, 2008). Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana,2009). Kasmir, Manajemen Bank, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Kuswadi, Meningkatkan Laba Melalui Pendekatan Keuangan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005). Margono Suyud, Hak Milik Industri, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011). Mendelsohn Martin, Franchising – Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchaisee, Alih Bahasa oleh : Arief Suyoko, Fauzi Bustami, Hari Wahyudi, (Jakarta: PT Pustaka Binaman Presindok, 1993). M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986). Muhammad Abdulkadir, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007). Muljadi, Kartini & Widjaja Gunawan. Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan Pada Umumnya, (Jakarta: Kencana, 2003). Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011). R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003). Sumardi Juajir, Aspek-Aspek Hukum Franchise & Perusahaan Trans Nasional, (bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995). Sutedi Andrian, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008). Syopiansyah Jaya Putra, Yusuf Durachman, Etika Bisnis & Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009). 62 63 Thomas Suyatno, dkk, Dasar-dasar Perkreditan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2007). T. Guritno, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992). Usman Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Putaka Utama, 2004). Widjaja Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Rahasia Dagang, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Widjaja Gunawan & Yani Ahmad, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000). Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003). B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 1874 KUHPerdata. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007. 64 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. C. Internet www.franchiseindonesia.org/ diakses pada tanggal 8 Oktober 2014. www.franinfo.com diakses pada tanggal 4 Desember 2014. www.advokatmuhammadjoni.com diakses pada tanggal 14 Desember 2014.