Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dengan Kemandirian pada Remaja Lina Ria Erfiana Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta [email protected] Abstrak This study aimed to determine the relationship between the meaningfulness of life with independence in adolescents. The subjects were students of class XI of SMAN 1 Prambanan Sleman Yogyakarta. Data collection methods used in this research is the scale, the scale and the scale independence of the meaningfulness of life. Analysis using Pearson's correlation technique of Product Moment and computational assistance statisiic 18.00 SPSS for Windows. The results showed that there was a significant relationship between the variable to an independent variable meaningfulness of life in adolescents. The relationship is shown by the correlation coefficient r = 0.497 with a significance level of 0.000 (p <0.01). Categorization results showed 115 study subjects are 60.87% have a independence in the medium category, 68.7% have less meaningfulness of life in the medium category. Based on the data analysis we concluded that there was a significant relationship between the variable to an independent variable meaningfulness of life in adolescents. Keywords: Meaning of Life and independent. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian pada remaja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 1 Prambanan Sleman Yogyakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu skala kemandirian dan skala kebermaknaan hidup. Analisis dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson’s Product Moment dan bantuan komputasi statisiic program SPSS 18.00 for Windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara variabel kebermaknaan hidup dengan variabel kemandirian pada remaja. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi r = 0,497 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,01). Hasil kategorisasi menunjukkan 115 subjek penelitian terdapat 60,87% memiiki kemandirian pada kategori sedang, 68,7% memeiliki kebermaknaan hidup pada kategori sedang. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara variabel kebermaknaan hidup dengan variabel kemandirian pada remaja. Kata Kunci : Kebermaknaan Hidup dan Kemandirian. Pendahuluan Istilah remaja di negara-negara Barat dikenal dengan adolescence yang berasal dari Bahasa Latin adolescere (kata bendanya adolescentia) yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Masa remaja merupakan masa yang paling potensial dalam kehidupan manusia karena memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam melakukan berbagai aktivitas. Menurut ahli teori psikologi perkembangan, tahapan perkembangan remaja dibagi menjadi tiga tahapan dengan kisaran umur antara umur 10 sampai 21 tahun. Menurut Hurlock (Puspitawati, 2009) tahapan masa pubertas mengarah pada kematangan fisik dan seksual dan terdiri atas masa remaja awal (pre adolescence) pada umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun, masa remaja tengah pada umur 13 atau 14 tahun sampai umur 17 tahun, dan remaja akhir pada umur 17 tahun sampai 21 tahun. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa sehingga merupakan masa yang sulit. Masa remaja sering disebut masa sress and strom karena pada masa ini remaja dihadapkan pada perubahan-perubahan yang membuatnya bingung. Pada masa remaja tidak hanya fisik yang berkembang pesat, tetapi juga perubahan lingkungan yang memaksa remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan, padahal remaja sendiri tidak tahu harus berbuat seperti apa. Lingkungan mengharapkan remaja bisa bertanggung jawab seperti halnya orang dewasa. Perubahan-perubahan yang terjadi membuat remaja yang tidak bisa menemukan identitasnya mengalami kebingungan sehingga sebagian besar menghadapi masalah-masalah baik dengan orang tua, teman pacar maupun dengan kehidupan sekolah. Pada masa remaja seseorang mulai ingin mengetahui siapa dan bagaimana dirinya serta hendak kemana ia menuju dalam kehidupannya. Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya, remaja juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanakkanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagiaan dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu dalam memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Individu yang memasuki masa remaja memasuki masa trasisi, yaitu perpindahan dari masa anak menuju masa dewasa. Dalam masa ini banyak ahli psikologi seperti Hurlock (dalam Syamsu, 2000) memberi label bagi masa remaja sebagai fase penuh konflik dan fase penuh penentangan, yang menurut Hawari disebut fase pencarian jati diri. Steinberg (2002) menyatakan bagi kaum remaja, menegakkan kemandirian adalah sama pentingnya seperti usaha untuk menegakkan identitas. Remaja menjadi pribadi yang mandiri, yaitu pribadi yang menguasai dan mengatur diri sendiri yang merupakan salah satu tugas perkembangan yang paling mendasar pada masa remaja. Pencapaian kemandirian bagi remaja merupakan sesuatu hal yang tidak mudah sebab, pada masa remaja terjadi pergerakkan perkembangan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar keluarga. Remaja berusaha melakukan pelepasanpelepasan atas keterikatan yang selama ini dialami pada masa kanak-kanak, dimana segalanya serba diatur dan ditentukan oleh orang tua. Bagi anak dan remaja di Amerika, perkembangan kemandirian dianggap sebagai prasyarat untuk kepribadian yang ideal. Banyak orang tua di Amerika melatih anak untuk bisa mandiri pada usia dini. Keluarga yang sehat secara psikologis akan menyesuaikan diri dengan desakan remaja untuk kebebasan dengan memperlakukan remaja secara lebih dewasa dan mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan keluarga. Keluarga yang tidak sehat secara psikologis seringkali tetap terkunci dalam kendali orang tua yang berorientasi kekuasaan dan orang tua lebih cenderung menggunakan bentuk otoriter dalam hubungannya dengan remaja (Santrock 2003). Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku remaja tersebut bila ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya dari keterikatan-keterikatan orang tua yang dirasa terlalu membelanggu. Remaja merasa mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua sebagai satusatunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Remaja memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang tua. Pada sisi lain orang tua sebagai orang yang merasa menjadi panutan keluarga, harus dihormati, dipatuhi dan dituruti apapun yang dikatakan dan dikehendaki. Menurut orang tua, hal tersebut dilakukan agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berguna di masa depannya. Kemandirian dapat dikembangkan dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Pelatihan pengembangan diri bisa dijadikan alternatif cara untuk mengembangkan kemandirian remaja. Menurut pendapat Erikson (Desmita, 2009) karakteristik masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri sehingga cukup tepat kiranya langkah untuk membantu remaja mencapai kemandiriannya dengan cara membantunya menemukan identitas diri, tujuan hidup dan makna hidup. Secara umum Steinberg (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian remaja meliputi tiga aspek, yaitu kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai. Siswa SMA diharakan mempunyai kemandirian yang tinggi, hal tersebut dikarenakan masa SMA atau masa remaja merupakan masa yang potensial dalam kehidupan manusia karena memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam melakukan berbagai aktivitas menuju dewasa yang mandiri, berusaha untuk menemukan nilai-nilai hidup dan menetapkan cita-cita, perasaan emosional yang tinggi dan adanya kesadaran perasaan religius, etis, estetis dan nasionalis dalam diri remaja. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa siswa kelas XI di SMA N 1 Prambanan Sleman pada hari Kamis, 02 Agustus 2012, peneliti memperoleh fakta bahwa beberapa siswa belum mempunyai kemandirian yang tinggi. Hal itu terlihat dari siswa yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri. Saat menghadapi suatu masalah, mereka lebih suka mengungkapkan perasaan dan meminta saran dari teman-teman akrab mereka tanpa berusaha secara mandiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada tanggal 02 Agustus 2012 diperoleh informasi tentang kemandirian siswa yang rendah. Hal tersebut dapat terlihat dari kebiasaan mencontek pekerjaan teman atau mencontek lembaran-lembaran yang telah disiapkan dari rumah sebagai bukti adanya problem kemandirian dalam diri remaja. Selain itu terlihat masih banyak siswa yang harus selalu diingatkan mengenai peraturan tentang ketepatan waktu masuk kelas dan pemakaian seragam yang benar. Kemandirian remaja dapat tercapai apabila remaja mampu mengambil sikap dan langkah yang tepat dalam rangkaian proses pembentukan identitas dirinya. Proses yang benar akan membawa pada hasil yang maksimal. Perjuangan remaja meraih kemandirian di mata dirinya sendiri ataupun di mata orang lain merupakan proses yang panjang dan terasa sulit. Tiga kondisi utama dalam perkembangan remaja dalam usahanya mencapai kemandirian yaitu bebas secara emosional, mampu mengambil keputusan sendiri serta mampu menetapkan batasan-batasan, nilai-nilai dan moral sendiri. Kemandirian nilai sesungguhnya menunjuk kepada pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan atas dasar prinsipprinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain (Steinberg, 2002) Frankl (Anggawati, 2008) menyatakan bahwa karakteristik remaja yang mampu menyerap makna hidup antara lain bebas memilih langkah atau tindakan sendiri dan secara pribadi bertanggungjawab terhadap sikap dan tingkah laku yang mereka anut terhadap nasib. Hal ini sejalan dengan pendapat Bastaman (2007) bahwa penghayatan remaja terhadap kehidupan yang bermakna akan tampak pada kehidupan remaja yang penuh semangat dan gairah hidup serta memiliki tujuan hidup sehingga remaja akan memiliki kegiatan-kegiatan yang terarah. Tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari akan menjadi sumber kepuasan dan kesenangan bagi remaja sehingga dikerjakan dengan semangat dan tanggungjawab. Remaja yang mampu menghayati kehidupan bermakna akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara menyadari pembatasan- pembatasan lingkungan namun tetap dapat menentukan perbuatan yang paling baik bagi dirinya serta menyadari pula bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruk keadaannya. Selain itu, remaja yang menghayati kehidupan bermakna akan mampu untuk mencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup ini bermakna (Anggawati, 2008). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan kemandirian anak adalah dengan menumbuhkan kesadaran remaja untuk menemukan makna hidup (the meaning of life) yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pengalaman hidup yang dialami. Makna hidup akan menumbuhkan keinginan remaja untuk hidup bermakna sebagai tujuan hidupnya (the will to menaning). Selanjutnya keinginan untuk hidup bermakna tersebut akan mendorong remaja pada tindakan-tindakan yang positif untuk meraih taraf kehidupan bermakna yang didambakannya (the meaning full life) yakni mencapai kemandirian (Ichwan, 2008). Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni halhal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka untuk keperluan praktis pengertian makna hidup dan tujuan hidup dapat disamakan. Makna hidup dan tujuan hidup dalam penggunaan sehari-hari sering disamakan artinya walaupun mengandung konotasi yang berlainan. Makna hidup lebih menunjuk apa yang seharusnya dicapai (Bastaman, 2007). Manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berkehendak, sadar diri dan mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sesuai dengan julukan kehormatan bagi manusia sebagai the self determining being yaitu makhluk yang mampu memilih dan menentukan hal-hal terbaik bagi dirinya (Bastaman, 2007). Tentu saja kebebasan ini sama sekali bukan dalam artian kebebasan mutlak, melainkan kebebasan manusia yang terbatas sebagai mahkluk serba terbatas pula. Kebebasan ini adalah kebebasan berkehendak yang senantiasa harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab (responsibility) karena kebebasan tanpa disertai tanggung jawab merupakan langkah awal ke arah kesewenanganwenangan. Bastaman (2007) menyebutkan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas insani (human qualities), yakni berbagai potensi, kemampuan, bakat dan sifat yang tidak terdapat pada mahkluk-mahkluk lain, seperti kesadaran diri, transendensi diri, memahami dan mengembangkan diri, kebebasan memilih, kemampuan menilai diri sendiri dan orang lain, spiritualitas dan religiusitas, humor dan tertawa, etika dan rasa estetika, nilai dan makna, dan sebagainya. Semua secara potensial terpatri dalam diri seseorang sejak awal kehidupan sebagai potensi dan kualitas-kualitas yang khas manusia. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian? Penelitian ini mengambil judul “Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dengan Kemandirian”. Kajian Teori Kemandirian 1. Pengertian Kemandirian Steinberg (2002) menyatakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri serta kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Seseorang dengan kemandiriannya dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap. Seseorang untuk dapat mandiri membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri (Fatimah, 2010). Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai penguat untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (dalam Fatimah, 2010) bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Seorang remaja dengan otonomi tersebut diharapkan akan lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. 2. Aspek Kemandirian Steinberg (2002) menyatakan bahwa kemandirian terbagi menjadi tiga aspek, yaitu: a. Kemandirian emosi merupakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional individu dengan teman atau dengan orang tua. Sejauh mana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua, memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya, tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain dan sejauh mana remaja mampu melakukan individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua. b. Kemandirian perilaku merupakan kemampuan untuk membuat keputusankeputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara tanggung jawab. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku bebas dari pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan. Tetapi bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain. c. Kemandirian nilai merupakan kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting. Remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. 3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Kemandirian remaja tidak terbentuk begitu saja akan tetapi berkembang karena pengaruh dari beberapa faktor. Menurut Hurlock (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian adalah : a. Pola asuh orangtua Orangtua yang memiliki nilai budaya yang terbaik dalam memperlakukan anaknya adalah dengan cara yang demokratis, karena pola ini orang tua memiliki peran sebagai pembimbing yang memperhatikan setiap aktivitas dan kebutuhan anaknya, terutama sekali yang berhubungan dengan studi dan pergaulan, baik itu dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sekolah. b. Jenis kelamin Jenis kelamin membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dimana perbedaan ini mengunggulkan pria karena pria dituntut untuk berkepribadian maskulin, dominan, agresif dan aktif. Dibandingkan pada anak perempuan yang memiliki ciri kepribadian yang khs yaitu pola kepribadian yang feminis, pasif dan kepatuhan serta ketergantungan. c. Urutan kelahiran dalam keluarga Anak sulung biasanya lebih berorientasi pada orang dewasa, pandai mengendalikan diri, cemas takut gagal dan pasif jika dibandingkan dengan saudaranya, anak tengah lebih ekstrovert dan kurang mempunyai dorongan, akan tetapi mereka memiliki pendirian, sedang anak bungsu adalah anak yang sangat di sayang orangtua. d. Ukuran keluarga Pada setiap keluarga dapat dijumpai ukuran keluarga yang berbeda-beda. Ada keluarga besar dengan jumlah anak lebih dari enam orang, keluarga ukuran sedang dengan jumlah anak empat sampai lima orang dan keluarga kecil dengan jumlah anak satu orang sampai tiga orang anak. Adanya perbedaan ukuran keluarga ini dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif pada hubungan anak dengan orangtua maupun hubungan anak dengan saudaranya. Biasanya dampak negatif paling banyak dirasakan oleh keluarga yang mempunyai ukuran besar karena dengan keluarga yang besar berarti orangtua harus membagi perhatiannya pada setiap anak degan adil yang terkadang anak sering terabaikan. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan hidup adalah bagian tertinggi dari hierarki kebutuhan yang dalam konsep Abraham Maslow disebut dengan aktualisasi diri. Pada level inilah manusia bekerja benar-benar menemukan keikhlasan dan komitmen. Kebermakanaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain baik itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, negara dan bahkan umat manusia (Frankl, dalam Ancok 2006). Bastaman (2007) menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup adalah pintu menuju kepuasan dan kebahagiaan hidup, yang artinya hanya dengan memenuhi makna-makna potensial yang ditawarkan oleh kehidupanlah penghayatan hidup bermakna tercapai kepuasan dan kebahagian hidup. Individu yang menghayati hidup bermakna benar-benar tahu untuk apa mereka hidup dan bagaimana mereka menjalani hidup. Orang yang telah terpenuhi kebermaknaan dalam hidupnya akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa. Mereka memaknai kehidupannya dalam tujuan-tujuan yang harus dicapai sehingga kegiatan meraka lebih terarah. 2. Landasan Kebermaknaan Hidup Bastaman (2007) menyatakan ada tiga landasan penting dalam menemukan kebermaknaan hidup, yaitu: a. The freedom of will (Kebebasan berkehendak) Kebebasan berkendak sifatnya bukan tak terbatas karena manusia adalah makhluk serba terbatas. Manusia juga memiliki potensi yang luar biasa, tetapi sekaligus memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya dan aspek kerohanian. b. The will to meaning (Hasrat untuk hidup bermakna) Hasrat untuk hidup bermakna berkaitan dengan setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar dan berharga dimata Tuhan. c. The meaning of life (Makna hidup) Makna hidup berkaitan dengan hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan hidup dalam kehidupan. Bila hal itu bisa dipenuhi akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia. 3. Metode Kebermaknaan Hidup Menurut Bastaman (2007) ada lima metode yang digunakan dalam menunjukkan pentingnya menemukan dan menetapkan makna dan tujuan hidup yang jelas dan jelas, yaitu: a. Pemahaman pribadi dan pengubahan sikap. Manfaat dari metode ini adalah untuk mengenali keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan pribadi, menyadari keinginan dari masa kecil hingga sekarang serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang mendasari keinginankeinginan itu, merumuskan secara lebih jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa mendatang serta menyusun rencana secara realistis untuk mencapainya. b. Bertindak positif Bertindak positif yaitu berusaha untuk menerapkan hal-hal yang baik dan positif dalam berperilaku dan tindakan nyata sehari-hari. c. Pengakraban hubungan Pengakraban hubungan yaitu berusaha untuk menjalin hubungan akrab seorang pribadi dengan pribadi yang lain sedemikian rupa sehingga dihayati sebagai hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya dan saling memahami. Jadi terdapat semacam dukungan sosial. Seseorang dengan cara ini merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, karena hal ini merupakan salah satu sumber makna bagi manusia. d. Pendalaman tri nilai. Tri nilai di sini adalah pendalaman nilai-nilai kreatif yaitu dengan memberikan sesuatu yang berharga bagi kehidupan. Pendalaman nilai-nilai penghayatan, berkaitan dengan individu mencoba memahami, meyakini dan menghayati berbagai nilai yang ada dalam kehidupan, seperti keindahan, kebijakan, keimanan, kebajikan dan cinta kasih. Pendalaman nilai-nilai bersikap yakni memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat terhadap kondisi dan peristiwa yang hadir dalam kehidupannya. Dengan mengambil sikap yang tepat maka beban pengalaman tragis akan berkurang, bahkan mungkin peristiwa itu dapat memberikan pengalaman yang berharga dan menimbulkan makna tertentu yang dalam sehari-hari disebut dengan hikmah. e. Ibadah Ibadah dalam pengertian umum adalah segala kegiatan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan dan mencegah diri dari hal-hal yang dilarang-Nya menurut ketentuan agama. Sedangkan dalam pengertian khusus ibadah adalah ritual untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui cara yang diajarkan dalam agama. 4. Manfaat Kebermaknaan Hidup Menurut penelitian Haitami (dalam Ardyanti, 2011) kebermaknaan hidup telah memberikan sumbangan efektif sebesar 20% dalam menurunkan stres, menjadikan hidup lebih tenang, damai dan bahagia. Sejalan dengan Bastaman (2007) menyebutkan bahwa individu yang memiliki kebermaknaan tinggi dapat menigkatkan kemampuan daya tahan stres. Bastaman (2007) menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup dapat individu yang mampu mencapainya merasakan kebahagiaan (happiness), sikap menerim dengan penuh ikhlas dan tabah menghadapi hal-hal tragis yang tidak dapat dielakkan sehingga indiidu selalu suka cita menjalani kehidupannya, menjadikan hidup yang penuh semangat. Hubungan Antara Kebermaknaan Hidup dengan Kemandirian Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri, serta kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri (Steinberg, 2002). Pencapaian kemandirian menunjuk pada suatu proses yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian di antaranya: kebebasan dalam bertindak, keprogresifan dan keuletan, inisiatif, internal locus of control serta kemantapan diri. Perjuangan remaja meraih kemandirian di mata dirinya sendiri ataupun di mata orang lain merupakan proses yang panjang dan terkesan sulit. Tiga kondisi utama dalam perkembangan remaja dalam usahanya mencapai kemandirian, yaitu bebas secara emosional, mampu mengambil keputusan sendiri, mampu menetapkan batasan-batasan, nilai-nilai dan moral sendiri. Bagi seorang remaja, menjadi mandiri adalah satu syarat untuk dapat disebut dewasa, dengan demikian remaja akan memperoleh pengakuan dari lingkungannya (Steinberg, 2002). Remaja yang berkualitas adalah seorang remaja yang tangguh, selalu ingin meningkatkan prestasi menjadi lebih baik, mempunyai daya tahan mental untuk mengatasi persoalan yang timbul dan mampu mencari jalan keluar yang positif bagi semua persoalan hidupnya. Bagi individu kemampuan untuk menentukan tujuan hidup dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga, tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk memenuhinya secara tanggungjawab. Kebermakanaan hidup dalam pengertiannya disebut sebagai kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar ia dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi serta kapasitas yang dimilikinya, dan terhadap seberapa jauh seseorang telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam rangka memberi makna atau arti kepada kehidupannya. Terdapat tiga landasan penting dalam menemukan kebermaknaan hidup, yaitu: kebebasan berkehendak, hasrat untuk hidup bermakna dan makna hidup (Bastaman, 2007). Dalam prosesnya ketiga hal tersebut erat kaitannya dengan pencapaian kemandirian. Sesuai dengan pengertiannya kebebasan berkehendak, kebebasan ini sifatnya bukan tak terbatas karena manusia adalah makhluk serba terbatas. Kebebasan manusia pun bukan merupakan kebebasan dari bawaan biologis, kondisi psikososial dan kesejahteraan, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut sehingga manusia menjadi mandiri secara emosi yaitu sejauhmana remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain. Selain kemandirian emosi seseorang juga dapat mandiri berperilaku yang merupakan kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan, serta kemadirian nilai yaitu keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral (Bastaman, 2007). Hasrat untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti kegiatan bekerja dan berkarya agar hidupnya dirasakan berari dan berharga. Remaja dalam hal ini bebas dari pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan, tetapi bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku memadai, pendapat atau nasehat orang lain yang sesuai dijadikan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Remaja melalui pertimbangan diri sendiri dan sugesti orang lain dapat mengambil suatu keputusan yang mandiri bagaimana seharusnya berperilaku atau bertindak (Bastaman, 2007). Kemandirian nilai ditunjukkan remaja dengan dimilikinya seperangkat nilainilai yang dikonstruksikan sendiri oleh remaja, menyangkut baik-buruk, benarsalah, atau komitmennya terhadap nilai-nilai agama (Steinberg, 2002). Sedangkan makna hidup adalah hal – hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya seseorang dapat menemukan makna hidup atau membuat hidupnya bermakna sampai nafasnya yang terakhir. Remaja yang sudah menemukan makna hidupnya berarti sudah mandiri secara nilai. Keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain, berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri. Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain (Bastaman, 2007). Berdasarkan uraian di atas dapat diduga bahwa ada hubungan positif antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian pada remaja. Semakin tinggi kebermaknaan hidup maka semakin tinggi pula kemandirian. Sebaliknya, semakin rendah kebermakanan hidup maka semakin rendah pula kemandirian. Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala adalah daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari atribut yang akan diukur. Penelitian ini menggunakan dua buah skala yaitu: Skala Kemandirian berdasarkan teori dari Steinberg (2002) yang terdiri dari tiga aspek yaitu kemandirian emosi, kemandirian bertindak dan kemandirian nilai. Skala Kebermaknaan Hidup yang berdasarkan teori Bastaman (2007) yang terdiri dari tiga aspek yaitu kebebasan berkehendak, hasrat untuk hidup bermakna dan makna hidup. Format respon menggunakan empat kategori interval kesesuaian yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Kriteria penilaian tergantung pada favorable atau unfavorable aitem pada skala. Peneliti menghendaki koefisien reliabilitas (rtt) skala sebesar 0,8 karena alat ukur yang digunakan untuk kepentingan diagnosis kelompok menghendaki koefisien reliabilitas sebesar 0,75 atau 0,80 dengan menggunakan rumus Spearman-Brown (Suryabrata, 2005). Peneliti menggunakan indeks daya beda aitem (rit) sebesar 0,4 karena peneliti menaikan dari minimal indeks daya beda aitem (rit) sebesar 0,3 atau 0,25 agar dapat mendapatkan kualitas aitem yang baik (Azwar, 2010). Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2010). Validitas alat ukur yang digunakan adalah content validity (tipe logical validity). Tipe validitas isi yang digunakan adalah logical validity (validitas logik) yang menunjuk sejauhmana isi tes merupakan wakil dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau professional judgement. Professional judgement dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dari dosen pembimbing tentang kesesuaian antaraitem yang dibuat dengan blue print. Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Metode estimasi reliabilitas skala yang digunakan adalah single trial administration, yaitu penyajian suatu bentuk skala yang didapatkan dari satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek, dengan formula reliabilitas yang digunakan yaitu Koefisien Alpha (Cronbach). Uji reliabilitas dihitung menggunakan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 18.0 for windows. Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswasiswi kelas XI SMA N 1 Prambanan Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah cluster random sampling. Cluster random sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari kelompokkelompok unit yang kecil. Populasi dari cluster merupakan subpopulasi dari total populasi. Pengelompokan secara cluster menghasilkan unit elementer yang heterogen seperti halnya populasi sendiri, sedangkan pengambilan secara random merupakan pengambilan sampel secara acak salah satunya dengan cara diundi. Randomisasi dilakukan terhadap kelompok kelas XI yang berjumlah 7 kelas yaitu kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3, XI IPS 1, XI IPS 2, XI IPS 3 dan XI IPS 4. Hasil dan Pembahasan Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis product moment untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian, namun sebelumnya akan dilakukan uji asumsi terlebih dahulu yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas. a. Uji Normalitas Normalitas yang dimaksud adalah sebaran skor atau data yang didapatkan dari pengumpulan data akan membentuk kurva normal jika disajikan dalam sebuah grafik. Uji normalitas dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada perbedaan sebaran skor pada sampel dan populasinya dengan menggunakan teknik One Sample Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan dalam uji normalitas yaitu jika p > 0,05 (tidak signifikan) berarti tidak ada perbedaan sebaran skor pada sampel dan populasinya, maka sebaran data tersebut normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Uji Normalitas Variabel Skor KS-Z Sig Keterangan Kemandirian 1,210 0,107 Normal Kebermaknaan Hidup 0,718 0,680 Normal b. Uji Linieritas Uji linieritas dilakukan untuk memastikan bahwa antara masing-masing variabel bebas dengan variabel tergantung dapat dihubungkan dengan garis lurus, jika dapat membentuk sebuah garis lurus maka variabel bebas dan variabel tergantung tersebut dapat dikorelasikan. Kaidah yang digunakan dalam uji linier jika pada F linearity harga p < 0,05 dan pada F deviation from linearity harga p > 0,05, maka kedua variabel yang dikorelasikan dapat dikatakan linier. Hasil uji linieritas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Uji Linieritas Deviation from Linearity Linearity Variabel Keterangan F P F P Kebermaknaan Hidup 39,699 0.000 1,178 0,267 Linier dengan Kemandirian c. Uji Hipotesis Uji hipotesis dilakukan dengan teknik analisis korelasi product moment untuk mengetahui hubungan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian. Hasil analisis product moment menunjukkan hubungan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = 0,497 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,01). Teknik analisis korelasi product moment menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima. Dalam penelitian ini diketahui bahwa kebermaknaan hidup memberikan sumbangan sebesar 24,7% (R Squared 0,247 x 100 %) terhadap kemandirian, maka dengan demikian diasumsikan bahwa ada faktor lain di luar variabel kebermaknaan hidup sebesar 75,3% (100% - 24,7%) yang berpengaruh terhadap kemandirian. Hasil analisis korelasi product moment menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian dengan taraf signifikansi 0,001 (p < 0,01) dan koefisien korelasi sebesar R = 0,497 Artinya semakin tinggi kebermaknaan hidup maka semakin tinggi kemandirian dan sebaliknya, semakin rendah kebermaknaan hidup maka semakin rendah kemandirian. Diterimanya hipotesis yang diajukan oleh peneliti menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian, sehingga kebermaknaan hidup merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian pada remaja. Menurut Ali (2005) kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya gen atau keturunan orangtua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan di masyarakat. Masrun (2005) juga berpendadapat bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kemadirian di antaranya kebebasan dalam bertindak, kaprogresifan dan keuletan, berinisiatif, internal locus of control dan kematapan diri. Kategorisasi variabel kemandirian dari 115 subjek penelitian diperoleh 29 subjek (60,87%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 70 subjek (60,87%) berada pada kategori sedang dan ada 16 subjek (13,91%) yang berada pada kategori rendah. Sedangkan kategorisasi variabel kebermaknaan hidup dari 115 subjek penelitian diperoleh sebanyak 19 subjek (16,52%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 79 subjek (68,7%) berada dalam kategori sedang dan sebanyak 17 subjek (14,78%) berada pada kategori rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinan (R Square) sebesar 0,247, hal ini menunjukkan besarnya sumbangan kebermaknaan hidup terhadap kemandirian sebesar 24,7%, sedangkan sisanya sebesar 75,3% merupakan sumbangan dari variabel lain yang merupakan faktor di luar variabel kebermaknaan hidup. Remaja yang berkualitas adalah seorang remaja yang tangguh, selalu ingin meningkatkan prestasi menjadi lebih baik, mempunyai daya tahan mental untuk mengatasi persoalan yang timbul dan mampu mencari jalan keluar yang positif bagi semua persoalan hidupnya. Bagi individu kemampuan untuk menentukan tujuan hidup dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga, tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk memenuhinya secara tanggungjawab. Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap kemandirian seperti pendapat yang dikemukakan oleh Musalifah (2007) yaitu komunikasi, tentu saja komunikasi disini harus dua arah, artinya kedua belah pihak mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Orang tua dengan melakukan komunikasi dua arah dapat mengetahui pandangan –pandangan dan kerangka berfikir anaknya, atau sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Orang tua sebaiknya memberikan juga kesempatan kepada anak remajanya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang telah diambilnya. Biarkan remaja terdebut mengusahakan sendiri apa yang diperlukannya dan biarkan ia juga mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Tanggungjawab, bertanggung jawab atas segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggung jawab remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampakdampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Konsistensi, konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan atau pedoman bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berfikir secara dewasa. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka dapat diambil kesimpulan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian artinya, semakin tinggi kebermaknaan hidup semakin tinggi pula kemandirian sebaliknya semakin rendah kebermaknaan hidup semakin rendah pula kemadirian. 2. Kebermaknaan hidup memberikan sumbangan sebesar 24,7% terhadap kemandirian, dan ada 75,3% faktor lain di luar variabel kebermaknaan hidup yang berpengaruh terhadap kemandirian. 3. Hasil kategorisasi menunjukkan bahwa sebagian besar subjek mempunyai kemandirian dan kebermaknaan hidup pada ketegori sedang. Daftar Pustaka Anggawati. 2008. Hubungan Antara Perlaku Propsosial Dengan Kebermaknan Hidup Pada Siswa SMA Muhammadiyah 1 Magelang. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikolgi Universitas Ahmad Dahlan. Ali, M & Asrori, M. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta : P.T. Bumi Aksara. Ardyanti. 2011. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Aktivis Dakwah Dan Non Dakwah. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan. Azwar. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar. 2010. Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar. 2009. Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bastaman, H.D. 2007. Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Beck dkk. 2003. Missing Home: Sociotropy and Autonomy and Their Relationship to Psychological Distress and Homesicknes in College Freshmen. Taylor & Francis Healthscelences. Vol 16 no 2: hal 155-166. Chaplin, JP. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Fatimah. 2008. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: CV Pustaka Ceria. Fleming, M. ----- . Gender in Adolesiens Autonomy: Distinction between Boys and Girls Adccelerater at 16 Years Of Age. Electronic Journl Of Research in Educational Psychology. No 6-3(2): hal 33-52. Frankl, V.E. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Terjemahan Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi. Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Hudha, A.N. 2005. Hubungan antara Persepsi Komunikasi Interpersonal Remaja dan Orang Tua dengan Kemandirian. Skripsi. (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Ichwan. 2008. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Diri Melalui Logoanalisis Untuk Meningktkan Kemandirian Remaja. Skrispi. (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Indrawantiningsih. 2006. Perbedaan Kemandirian Belajar Siswa yang Bersekolah di Desa Dan di Kota. Skrispi. (tidak diterbitkan) Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Kusumawardhani dkk. ---- . Hubungan Kemandirian dengan Adversity Inteligence pada Remaja Tuna Daksa di SLB-D YPA C Surakarta. Proceeding Konferensi Nasional III Ikatan Psikologi Klinis – HIMPSI: hal 252-257. Masrun dkk. 1986. Study Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian: Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM. Monks, F.J. 2002. Psikologi Perkembangan Ppengantar dalam Bebagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Musdalifah. 2007. Perkembangan Sosial Remaja dalam Kemandirian (Study Kasus Hambatan Psikologis Dependensi terhadap Orang Tua). Jurnal Psikologi Universitas Gajah Mada. Volume 4. Hal 46-56. Mu`tadin, Z. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologi Pada Remaja. WWW. e-Psikologi. Com. 21 juni 2012. Nugraheni, U.G. 2005. Kebermaknaan Hidup Penulis Fiksi Islam Berdasarkan Teori Viktor Frankl. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Puspitawati. 2009. Kenakalan Pelajar. Bogor: IPB Press. Santrock, J.W. 2003. Perkembangan Remaja. Edisi ke enam. Penerjemah: Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih. Jakarta: Erlangga. Sarwono. 2011. Psikologi Remaja.Jakarta, edisi keenam: PT Raja Grafindo Persada. Steinberg (2002). Adolescence, Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Sulastri, R.E. 2002. Pengarauh Dosen, Fasilitas, Orang Tua dan Kemandirian terhadap Kualitas Belajar Mahasiswa Politeknik Negeri Padang. Jurnal R & B vol. 2 no. 2: hal 48-51. Suryabrata, S. 2005. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi Offset. Suryantina, E.H. 2002. Kemandirian Ditinjau dari Kebutuhan Berafiliasi dan Urutan Kelahiran pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Tantri. 2007. Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga Dengan Kemandirian Pada Remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Wibowo. 2010. Psikologi untuk Pengembangan Diri. Bandung: Widya Padjadjaran. Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.