Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dengan

advertisement
Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dengan Kemandirian pada Remaja
Lina Ria Erfiana
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
This study aimed to determine the relationship between the meaningfulness of life
with independence in adolescents. The subjects were students of class XI of
SMAN 1 Prambanan Sleman Yogyakarta. Data collection methods used in this
research is the scale, the scale and the scale independence of the meaningfulness
of life. Analysis using Pearson's correlation technique of Product Moment and
computational assistance statisiic 18.00 SPSS for Windows. The results showed
that there was a significant relationship between the variable to an independent
variable meaningfulness of life in adolescents. The relationship is shown by the
correlation coefficient r = 0.497 with a significance level of 0.000 (p <0.01).
Categorization results showed 115 study subjects are 60.87% have a
independence in the medium category, 68.7% have less meaningfulness of life in
the medium category. Based on the data analysis we concluded that there was a
significant relationship between the variable to an independent variable
meaningfulness of life in adolescents.
Keywords: Meaning of Life and independent.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebermaknaan hidup
dengan kemandirian pada remaja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI
SMAN 1 Prambanan Sleman Yogyakarta. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu skala kemandirian dan
skala kebermaknaan hidup. Analisis dengan menggunakan teknik korelasi dari
Pearson’s Product Moment dan bantuan komputasi statisiic program SPSS 18.00
for Windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara variabel kebermaknaan hidup dengan variabel
kemandirian pada remaja. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi
r = 0,497 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,01). Hasil kategorisasi
menunjukkan 115 subjek penelitian terdapat 60,87% memiiki kemandirian pada
kategori sedang, 68,7% memeiliki kebermaknaan hidup pada kategori sedang.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang sangat signifikan antara variabel kebermaknaan hidup dengan variabel
kemandirian pada remaja.
Kata Kunci : Kebermaknaan Hidup dan Kemandirian.
Pendahuluan
Istilah remaja di negara-negara Barat dikenal dengan adolescence yang
berasal dari Bahasa Latin adolescere (kata bendanya adolescentia) yang berarti
tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Masa remaja
merupakan masa yang paling potensial dalam kehidupan manusia karena
memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam melakukan berbagai aktivitas.
Menurut ahli teori psikologi perkembangan, tahapan perkembangan remaja dibagi
menjadi tiga tahapan dengan kisaran umur antara umur 10 sampai 21 tahun.
Menurut Hurlock (Puspitawati, 2009) tahapan masa pubertas mengarah pada
kematangan fisik dan seksual dan terdiri atas masa remaja awal (pre adolescence)
pada umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun, masa remaja tengah pada
umur 13 atau 14 tahun sampai umur 17 tahun, dan remaja akhir pada umur 17
tahun sampai 21 tahun.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa
sehingga merupakan masa yang sulit. Masa remaja sering disebut masa sress and
strom karena pada masa ini remaja dihadapkan pada perubahan-perubahan yang
membuatnya bingung. Pada masa remaja tidak hanya fisik yang berkembang
pesat, tetapi juga perubahan lingkungan yang memaksa remaja untuk menjadi
dewasa seperti yang diharapkan lingkungan, padahal remaja sendiri tidak tahu
harus berbuat seperti apa. Lingkungan mengharapkan remaja bisa bertanggung
jawab seperti halnya orang dewasa. Perubahan-perubahan yang terjadi membuat
remaja yang tidak bisa menemukan identitasnya mengalami kebingungan
sehingga sebagian besar menghadapi masalah-masalah baik dengan orang tua,
teman pacar maupun dengan kehidupan sekolah. Pada masa remaja seseorang
mulai ingin mengetahui siapa dan bagaimana dirinya serta hendak kemana ia
menuju dalam kehidupannya.
Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya, remaja
juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanakkanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada
masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi.
Apabila tugas-tugas tersebut diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai
kepuasan, kebahagiaan dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu
dalam memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu
dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Individu yang memasuki masa remaja memasuki masa trasisi, yaitu
perpindahan dari masa anak menuju masa dewasa. Dalam masa ini banyak ahli
psikologi seperti Hurlock (dalam Syamsu, 2000) memberi label bagi masa remaja
sebagai fase penuh konflik dan fase penuh penentangan, yang menurut Hawari
disebut fase pencarian jati diri. Steinberg (2002) menyatakan bagi kaum remaja,
menegakkan kemandirian adalah sama pentingnya seperti usaha untuk
menegakkan identitas. Remaja menjadi pribadi yang mandiri, yaitu pribadi yang
menguasai dan mengatur diri sendiri yang merupakan salah satu tugas
perkembangan yang paling mendasar pada masa remaja. Pencapaian kemandirian
bagi remaja merupakan sesuatu hal yang tidak mudah sebab, pada masa remaja
terjadi pergerakkan perkembangan psikososial dari arah lingkungan keluarga
menuju lingkungan luar keluarga. Remaja berusaha melakukan pelepasanpelepasan atas keterikatan yang selama ini dialami pada masa kanak-kanak,
dimana segalanya serba diatur dan ditentukan oleh orang tua.
Bagi anak dan remaja di Amerika, perkembangan kemandirian dianggap
sebagai prasyarat untuk kepribadian yang ideal. Banyak orang tua di Amerika
melatih anak untuk bisa mandiri pada usia dini. Keluarga yang sehat secara
psikologis akan menyesuaikan diri dengan desakan remaja untuk kebebasan
dengan memperlakukan remaja secara lebih dewasa dan mengikutsertakan dalam
pengambilan keputusan keluarga. Keluarga yang tidak sehat secara psikologis
seringkali tetap terkunci dalam kendali orang tua yang berorientasi kekuasaan dan
orang tua lebih cenderung menggunakan bentuk otoriter dalam hubungannya
dengan remaja (Santrock 2003).
Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku remaja tersebut bila
ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya dari
keterikatan-keterikatan orang tua yang dirasa terlalu membelanggu. Remaja
merasa mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua sebagai satusatunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Remaja memutuskan sesuatu
atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun pada suatu saat masih
mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang tua. Pada sisi lain orang tua
sebagai orang yang merasa menjadi panutan keluarga, harus dihormati, dipatuhi
dan dituruti apapun yang dikatakan dan dikehendaki. Menurut orang tua, hal
tersebut dilakukan agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berguna di masa
depannya.
Kemandirian dapat dikembangkan dengan baik jika diberikan kesempatan
untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus sejak dini.
Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan yang
disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Pelatihan pengembangan diri bisa
dijadikan alternatif cara untuk mengembangkan kemandirian remaja. Menurut
pendapat Erikson (Desmita, 2009) karakteristik masa remaja merupakan masa
pencarian identitas diri sehingga cukup tepat kiranya langkah untuk membantu
remaja mencapai kemandiriannya dengan cara membantunya menemukan
identitas diri, tujuan hidup dan makna hidup. Secara umum Steinberg (2002)
mengungkapkan bahwa kemandirian remaja meliputi tiga aspek, yaitu
kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai.
Siswa SMA diharakan mempunyai kemandirian yang tinggi, hal tersebut
dikarenakan masa SMA atau masa remaja merupakan masa yang potensial dalam
kehidupan manusia karena memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam
melakukan berbagai aktivitas menuju dewasa yang mandiri, berusaha untuk
menemukan nilai-nilai hidup dan menetapkan cita-cita, perasaan emosional yang
tinggi dan adanya kesadaran perasaan religius, etis, estetis dan nasionalis dalam
diri remaja. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa siswa kelas XI di SMA N
1 Prambanan Sleman pada hari Kamis, 02 Agustus 2012, peneliti memperoleh
fakta bahwa beberapa siswa belum mempunyai kemandirian yang tinggi. Hal itu
terlihat dari siswa yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah secara
mandiri. Saat menghadapi suatu masalah, mereka lebih suka mengungkapkan
perasaan dan meminta saran dari teman-teman akrab mereka tanpa berusaha
secara mandiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada
tanggal 02 Agustus 2012 diperoleh informasi tentang kemandirian siswa yang
rendah. Hal tersebut dapat terlihat dari kebiasaan mencontek pekerjaan teman atau
mencontek lembaran-lembaran yang telah disiapkan dari rumah sebagai bukti
adanya problem kemandirian dalam diri remaja. Selain itu terlihat masih banyak
siswa yang harus selalu diingatkan mengenai peraturan tentang ketepatan waktu
masuk kelas dan pemakaian seragam yang benar.
Kemandirian remaja dapat tercapai apabila remaja mampu mengambil
sikap dan langkah yang tepat dalam rangkaian proses pembentukan identitas
dirinya. Proses yang benar akan membawa pada hasil yang maksimal. Perjuangan
remaja meraih kemandirian di mata dirinya sendiri ataupun di mata orang lain
merupakan proses yang panjang dan terasa sulit. Tiga kondisi utama dalam
perkembangan remaja dalam usahanya mencapai kemandirian yaitu bebas secara
emosional, mampu mengambil keputusan sendiri serta mampu menetapkan
batasan-batasan, nilai-nilai dan moral sendiri. Kemandirian nilai sesungguhnya
menunjuk kepada pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil
sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan atas dasar prinsipprinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang
lain (Steinberg, 2002)
Frankl (Anggawati, 2008) menyatakan bahwa karakteristik remaja yang
mampu menyerap makna hidup antara lain bebas memilih langkah atau tindakan
sendiri dan secara pribadi bertanggungjawab terhadap sikap dan tingkah laku yang
mereka anut terhadap nasib. Hal ini sejalan dengan pendapat Bastaman (2007)
bahwa penghayatan remaja terhadap kehidupan yang bermakna akan tampak pada
kehidupan remaja yang penuh semangat dan gairah hidup serta memiliki tujuan
hidup sehingga remaja akan memiliki kegiatan-kegiatan yang terarah. Tugas-tugas
dan pekerjaan sehari-hari akan menjadi sumber kepuasan dan kesenangan bagi
remaja sehingga dikerjakan dengan semangat dan tanggungjawab.
Remaja yang mampu menghayati kehidupan bermakna akan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara menyadari pembatasan-
pembatasan lingkungan namun tetap dapat menentukan perbuatan yang paling
baik bagi dirinya serta menyadari pula bahwa makna hidup dapat ditemukan
dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruk keadaannya. Selain itu, remaja yang
menghayati kehidupan bermakna akan mampu untuk mencintai dan menerima
cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu
hal yang menjadikan hidup ini bermakna (Anggawati, 2008).
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan kemandirian
anak adalah dengan menumbuhkan kesadaran remaja untuk menemukan makna
hidup (the meaning of life) yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk
pengalaman hidup yang dialami. Makna hidup akan menumbuhkan keinginan
remaja untuk hidup bermakna sebagai tujuan hidupnya (the will to menaning).
Selanjutnya keinginan untuk hidup bermakna tersebut akan mendorong remaja
pada tindakan-tindakan yang positif untuk meraih taraf kehidupan bermakna yang
didambakannya (the meaning full life) yakni mencapai kemandirian (Ichwan,
2008).
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan
dalam kehidupan (the purpose in life). Pengertian mengenai makna hidup
menunjukkan bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni halhal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara makna hidup dan tujuan
hidup tidak dapat dipisahkan, maka untuk keperluan praktis pengertian makna
hidup dan tujuan hidup dapat disamakan. Makna hidup dan tujuan hidup dalam
penggunaan sehari-hari sering disamakan artinya walaupun mengandung konotasi
yang berlainan. Makna hidup lebih menunjuk apa yang seharusnya dicapai
(Bastaman, 2007).
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berkehendak, sadar
diri dan mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sesuai dengan
julukan kehormatan bagi manusia sebagai the self determining being yaitu
makhluk yang mampu memilih dan menentukan hal-hal terbaik bagi dirinya
(Bastaman, 2007). Tentu saja kebebasan ini sama sekali bukan dalam artian
kebebasan mutlak, melainkan kebebasan manusia yang terbatas sebagai mahkluk
serba terbatas pula. Kebebasan ini adalah kebebasan berkehendak yang senantiasa
harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab (responsibility) karena kebebasan
tanpa disertai tanggung jawab merupakan langkah awal ke arah kesewenanganwenangan.
Bastaman (2007) menyebutkan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas
insani (human qualities), yakni berbagai potensi, kemampuan, bakat dan sifat
yang tidak terdapat pada mahkluk-mahkluk lain, seperti kesadaran diri,
transendensi diri, memahami dan mengembangkan diri, kebebasan memilih,
kemampuan menilai diri sendiri dan orang lain, spiritualitas dan religiusitas,
humor dan tertawa, etika dan rasa estetika, nilai dan makna, dan sebagainya.
Semua secara potensial terpatri dalam diri seseorang sejak awal kehidupan
sebagai potensi dan kualitas-kualitas yang khas manusia.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara
kebermaknaan hidup dengan kemandirian? Penelitian ini mengambil judul
“Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dengan Kemandirian”.
Kajian Teori
Kemandirian
1. Pengertian Kemandirian
Steinberg (2002) menyatakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan
individu untuk bertingkah laku secara seorang diri serta kemandirian remaja
ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil
keputusan sendiri dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri.
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara
kumulatif selama perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga pada
akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Seseorang dengan
kemandiriannya dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan
lebih mantap. Seseorang untuk dapat mandiri membutuhkan kesempatan,
dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya agar dapat
mencapai otonomi atas diri sendiri (Fatimah, 2010).
Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan
bagi anak sebagai penguat untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (dalam Fatimah, 2010) bahwa
kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif
bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Seorang
remaja dengan otonomi tersebut diharapkan akan lebih bertanggungjawab
terhadap dirinya sendiri.
2. Aspek Kemandirian
Steinberg (2002) menyatakan bahwa kemandirian terbagi menjadi tiga aspek,
yaitu:
a. Kemandirian emosi merupakan perubahan kedekatan hubungan emosional
antar individu, seperti hubungan emosional individu dengan teman atau dengan
orang tua. Sejauh mana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang
tua, memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya, tergantung kepada
kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain dan
sejauh mana remaja mampu melakukan individualisasi di dalam hubungannya
dengan orang tua.
b. Kemandirian perilaku merupakan kemampuan untuk membuat keputusankeputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara
tanggung jawab. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku bebas dari
pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan. Tetapi bukan
berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain.
c. Kemandirian nilai merupakan kemampuan memaknai seperangkat prinsip
tentang benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.
Remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai
misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi
pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Kemandirian remaja tidak terbentuk begitu saja akan tetapi berkembang karena
pengaruh dari beberapa faktor. Menurut Hurlock (1999), faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian adalah :
a. Pola asuh orangtua
Orangtua yang memiliki nilai budaya yang terbaik dalam memperlakukan
anaknya adalah dengan cara yang demokratis, karena pola ini orang tua memiliki
peran sebagai pembimbing yang memperhatikan setiap aktivitas dan kebutuhan
anaknya, terutama sekali yang berhubungan dengan studi dan pergaulan, baik itu
dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sekolah.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dimana
perbedaan ini mengunggulkan pria karena pria dituntut untuk berkepribadian
maskulin, dominan, agresif dan aktif. Dibandingkan pada anak perempuan yang
memiliki ciri kepribadian yang khs yaitu pola kepribadian yang feminis, pasif dan
kepatuhan serta ketergantungan.
c. Urutan kelahiran dalam keluarga
Anak sulung biasanya lebih berorientasi pada orang dewasa, pandai
mengendalikan diri, cemas takut gagal dan pasif jika dibandingkan dengan
saudaranya, anak tengah lebih ekstrovert dan kurang mempunyai dorongan, akan
tetapi mereka memiliki pendirian, sedang anak bungsu adalah anak yang sangat di
sayang orangtua.
d. Ukuran keluarga
Pada setiap keluarga dapat dijumpai ukuran keluarga yang berbeda-beda. Ada
keluarga besar dengan jumlah anak lebih dari enam orang, keluarga ukuran
sedang dengan jumlah anak empat sampai lima orang dan keluarga kecil dengan
jumlah anak satu orang sampai tiga orang anak. Adanya perbedaan ukuran
keluarga ini dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif pada
hubungan anak dengan orangtua maupun hubungan anak dengan saudaranya.
Biasanya dampak negatif paling banyak dirasakan oleh keluarga yang mempunyai
ukuran besar karena dengan keluarga yang besar berarti orangtua harus membagi
perhatiannya pada setiap anak degan adil yang terkadang anak sering terabaikan.
Kebermaknaan Hidup
1. Pengertian Kebermaknaan Hidup
Kebermaknaan hidup adalah bagian tertinggi dari hierarki kebutuhan yang
dalam konsep Abraham Maslow disebut dengan aktualisasi diri. Pada level inilah
manusia bekerja benar-benar menemukan keikhlasan dan komitmen.
Kebermakanaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi
orang yang berguna bagi orang lain baik itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas,
negara dan bahkan umat manusia (Frankl, dalam Ancok 2006).
Bastaman (2007) menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup adalah pintu
menuju kepuasan dan kebahagiaan hidup, yang artinya hanya dengan memenuhi
makna-makna potensial yang ditawarkan oleh kehidupanlah penghayatan hidup
bermakna tercapai kepuasan dan kebahagian hidup. Individu yang menghayati
hidup bermakna benar-benar tahu untuk apa mereka hidup dan bagaimana mereka
menjalani hidup. Orang yang telah terpenuhi kebermaknaan dalam hidupnya akan
menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta
jauh dari perasaan hampa. Mereka memaknai kehidupannya dalam tujuan-tujuan
yang harus dicapai sehingga kegiatan meraka lebih terarah.
2. Landasan Kebermaknaan Hidup
Bastaman (2007) menyatakan ada tiga landasan penting dalam menemukan
kebermaknaan hidup, yaitu:
a. The freedom of will (Kebebasan berkehendak)
Kebebasan berkendak sifatnya bukan tak terbatas karena manusia adalah makhluk
serba terbatas. Manusia juga memiliki potensi yang luar biasa, tetapi sekaligus
memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya
dan aspek kerohanian.
b. The will to meaning (Hasrat untuk hidup bermakna)
Hasrat untuk hidup bermakna berkaitan dengan setiap orang menginginkan
dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga,
lingkungan kerja, masyarakat sekitar dan berharga dimata Tuhan.
c. The meaning of life (Makna hidup)
Makna hidup berkaitan dengan hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan
hidup dalam kehidupan. Bila hal itu bisa dipenuhi akan menyebabkan seseorang
merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan
bahagia.
3.
Metode Kebermaknaan Hidup
Menurut Bastaman (2007) ada lima metode yang digunakan dalam
menunjukkan pentingnya menemukan dan menetapkan makna dan tujuan hidup
yang jelas dan jelas, yaitu:
a. Pemahaman pribadi dan pengubahan sikap.
Manfaat dari metode ini adalah untuk mengenali keunggulan-keunggulan dan
kelemahan-kelemahan pribadi, menyadari keinginan dari masa kecil hingga
sekarang serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang mendasari keinginankeinginan itu, merumuskan secara lebih jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan
untuk masa mendatang serta menyusun rencana secara realistis untuk
mencapainya.
b. Bertindak positif
Bertindak positif yaitu berusaha untuk menerapkan hal-hal yang baik dan
positif dalam berperilaku dan tindakan nyata sehari-hari.
c. Pengakraban hubungan
Pengakraban hubungan yaitu berusaha untuk menjalin hubungan akrab seorang
pribadi dengan pribadi yang lain sedemikian rupa sehingga dihayati sebagai
hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya dan saling memahami. Jadi
terdapat semacam dukungan sosial. Seseorang dengan cara ini merasa dirinya
berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, karena
hal ini merupakan salah satu sumber makna bagi manusia.
d. Pendalaman tri nilai.
Tri nilai di sini adalah pendalaman nilai-nilai kreatif yaitu dengan memberikan
sesuatu yang berharga bagi kehidupan. Pendalaman nilai-nilai penghayatan,
berkaitan dengan individu mencoba memahami, meyakini dan menghayati
berbagai nilai yang ada dalam kehidupan, seperti keindahan, kebijakan, keimanan,
kebajikan dan cinta kasih. Pendalaman nilai-nilai bersikap yakni memberi
kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat terhadap kondisi
dan peristiwa yang hadir dalam kehidupannya. Dengan mengambil sikap yang
tepat maka beban pengalaman tragis akan berkurang, bahkan mungkin peristiwa
itu dapat memberikan pengalaman yang berharga dan menimbulkan makna
tertentu yang dalam sehari-hari disebut dengan hikmah.
e. Ibadah
Ibadah dalam pengertian umum adalah segala kegiatan untuk melaksanakan
apa yang diperintahkan Tuhan dan mencegah diri dari hal-hal yang dilarang-Nya
menurut ketentuan agama. Sedangkan dalam pengertian khusus ibadah adalah
ritual untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui cara yang diajarkan dalam
agama.
4. Manfaat Kebermaknaan Hidup
Menurut penelitian Haitami (dalam Ardyanti, 2011) kebermaknaan hidup telah
memberikan sumbangan efektif sebesar 20% dalam menurunkan stres,
menjadikan hidup lebih tenang, damai dan bahagia. Sejalan dengan Bastaman
(2007) menyebutkan bahwa individu yang memiliki kebermaknaan tinggi dapat
menigkatkan kemampuan daya tahan stres.
Bastaman (2007) menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup dapat individu yang
mampu mencapainya merasakan kebahagiaan (happiness), sikap menerim dengan
penuh ikhlas dan tabah menghadapi hal-hal tragis yang tidak dapat dielakkan
sehingga indiidu selalu suka cita menjalani kehidupannya, menjadikan hidup yang
penuh semangat.
Hubungan Antara Kebermaknaan Hidup dengan Kemandirian
Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara
seorang diri, serta kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai
dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri dan mampu
mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri (Steinberg, 2002). Pencapaian
kemandirian menunjuk pada suatu proses yang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian di antaranya: kebebasan
dalam bertindak, keprogresifan dan keuletan, inisiatif, internal locus of control
serta kemantapan diri.
Perjuangan remaja meraih kemandirian di mata dirinya sendiri ataupun di mata
orang lain merupakan proses yang panjang dan terkesan sulit. Tiga kondisi utama
dalam perkembangan remaja dalam usahanya mencapai kemandirian, yaitu bebas
secara emosional, mampu mengambil keputusan sendiri, mampu menetapkan
batasan-batasan, nilai-nilai dan moral sendiri. Bagi seorang remaja, menjadi
mandiri adalah satu syarat untuk dapat disebut dewasa, dengan demikian remaja
akan memperoleh pengakuan dari lingkungannya (Steinberg, 2002).
Remaja yang berkualitas adalah seorang remaja yang tangguh, selalu ingin
meningkatkan prestasi menjadi lebih baik, mempunyai daya tahan mental untuk
mengatasi persoalan yang timbul dan mampu mencari jalan keluar yang positif
bagi semua persoalan hidupnya. Bagi individu kemampuan untuk menentukan
tujuan hidup dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga,
tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk memenuhinya secara
tanggungjawab.
Kebermakanaan hidup dalam pengertiannya disebut sebagai kualitas
penghayatan individu terhadap seberapa besar ia dapat mengembangkan dan
mengaktualisasikan potensi-potensi serta kapasitas yang dimilikinya, dan terhadap
seberapa jauh seseorang telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam
rangka memberi makna atau arti kepada kehidupannya. Terdapat tiga landasan
penting dalam menemukan kebermaknaan hidup, yaitu: kebebasan berkehendak,
hasrat untuk hidup bermakna dan makna hidup (Bastaman, 2007).
Dalam prosesnya ketiga hal tersebut erat kaitannya dengan pencapaian
kemandirian. Sesuai dengan pengertiannya kebebasan berkehendak, kebebasan ini
sifatnya bukan tak terbatas karena manusia adalah makhluk serba terbatas.
Kebebasan manusia pun bukan merupakan kebebasan dari bawaan biologis,
kondisi psikososial dan kesejahteraan, melainkan kebebasan untuk menentukan
sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut sehingga manusia menjadi mandiri secara
emosi yaitu sejauhmana remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa
mengharapkan bantuan emosional orang lain. Selain kemandirian emosi seseorang
juga dapat mandiri berperilaku yang merupakan kapasitas individu dalam
menentukan pilihan dan mengambil keputusan, serta kemadirian nilai yaitu
keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief). Perilaku yang dapat
dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang
nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral (Bastaman, 2007).
Hasrat untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat
inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti
kegiatan bekerja dan berkarya agar hidupnya dirasakan berari dan berharga.
Remaja dalam hal ini bebas dari pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan
dan keputusan, tetapi bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain.
Remaja yang memiliki kemandirian perilaku memadai, pendapat atau nasehat
orang lain yang sesuai dijadikan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan
untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Remaja melalui
pertimbangan diri sendiri dan sugesti orang lain dapat mengambil suatu keputusan
yang mandiri bagaimana seharusnya berperilaku atau bertindak (Bastaman, 2007).
Kemandirian nilai ditunjukkan remaja dengan dimilikinya seperangkat nilainilai yang dikonstruksikan sendiri oleh remaja, menyangkut baik-buruk, benarsalah, atau komitmennya terhadap nilai-nilai agama (Steinberg, 2002). Sedangkan
makna hidup adalah hal – hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan
berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan
hidupnya seseorang dapat menemukan makna hidup atau membuat hidupnya
bermakna sampai nafasnya yang terakhir. Remaja yang sudah menemukan makna
hidupnya berarti sudah mandiri secara nilai. Keyakinan akan nilai-nilai semakin
terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang
diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya (independent belief).
Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan
dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain, berpikir sesuai dengan keyakinan
dan nilainya sendiri, dan bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya
sendiri. Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini
kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses evaluasi akan
nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain (Bastaman, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat diduga bahwa ada hubungan positif antara
kebermaknaan hidup dengan kemandirian pada remaja. Semakin tinggi
kebermaknaan hidup maka semakin tinggi pula kemandirian. Sebaliknya, semakin
rendah kebermakanan hidup maka semakin rendah pula kemandirian.
Metode Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala. Skala adalah daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek yang
disusun berdasarkan aspek-aspek dari atribut yang akan diukur. Penelitian ini
menggunakan dua buah skala yaitu: Skala Kemandirian berdasarkan teori dari
Steinberg (2002) yang terdiri dari tiga aspek yaitu kemandirian emosi,
kemandirian bertindak dan kemandirian nilai. Skala Kebermaknaan Hidup yang
berdasarkan teori Bastaman (2007) yang terdiri dari tiga aspek yaitu kebebasan
berkehendak, hasrat untuk hidup bermakna dan makna hidup. Format respon
menggunakan empat kategori interval kesesuaian yaitu: Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Kriteria penilaian
tergantung pada favorable atau unfavorable aitem pada skala.
Peneliti menghendaki koefisien reliabilitas (rtt) skala sebesar 0,8 karena
alat ukur yang digunakan untuk kepentingan diagnosis kelompok menghendaki
koefisien reliabilitas sebesar 0,75 atau 0,80 dengan menggunakan rumus
Spearman-Brown (Suryabrata, 2005). Peneliti menggunakan indeks daya beda
aitem (rit) sebesar 0,4 karena peneliti menaikan dari minimal indeks daya beda
aitem (rit) sebesar 0,3 atau 0,25 agar dapat mendapatkan kualitas aitem yang baik
(Azwar, 2010). Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2010). Validitas alat ukur yang
digunakan adalah content validity (tipe logical validity). Tipe validitas isi yang
digunakan adalah logical validity (validitas logik) yang menunjuk sejauhmana isi
tes merupakan wakil dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Validitas isi
merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan
analisis rasional atau professional judgement. Professional judgement dilakukan
dengan cara meminta pertimbangan dari dosen pembimbing tentang kesesuaian
antaraitem yang dibuat dengan blue print.
Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya
(Azwar, 2010). Metode estimasi reliabilitas skala yang digunakan adalah single
trial administration, yaitu penyajian suatu bentuk skala yang didapatkan dari satu
kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek, dengan
formula reliabilitas yang digunakan yaitu Koefisien Alpha (Cronbach). Uji
reliabilitas dihitung menggunakan bantuan fasilitas komputer program Statistical
Product and Service Sollution (SPSS) 18.0 for windows.
Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswasiswi kelas XI SMA N 1 Prambanan Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013.
Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah cluster random sampling.
Cluster random sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari kelompokkelompok unit yang kecil. Populasi dari cluster merupakan subpopulasi dari total
populasi. Pengelompokan secara cluster menghasilkan unit elementer yang
heterogen seperti halnya populasi sendiri, sedangkan pengambilan secara random
merupakan pengambilan sampel secara acak salah satunya dengan cara diundi.
Randomisasi dilakukan terhadap kelompok kelas XI yang berjumlah 7 kelas yaitu
kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3, XI IPS 1, XI IPS 2, XI IPS 3 dan XI IPS 4.
Hasil dan Pembahasan
Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis product moment untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
kebermaknaan hidup dengan kemandirian, namun sebelumnya akan dilakukan uji
asumsi terlebih dahulu yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas.
a. Uji Normalitas
Normalitas yang dimaksud adalah sebaran skor atau data yang didapatkan
dari pengumpulan data akan membentuk kurva normal jika disajikan dalam
sebuah grafik. Uji normalitas dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada
perbedaan sebaran skor pada sampel dan populasinya dengan menggunakan
teknik One Sample Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan dalam uji
normalitas yaitu jika p > 0,05 (tidak signifikan) berarti tidak ada perbedaan
sebaran skor pada sampel dan populasinya, maka sebaran data tersebut normal.
Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Uji Normalitas
Variabel
Skor KS-Z
Sig
Keterangan
Kemandirian
1,210
0,107
Normal
Kebermaknaan Hidup
0,718
0,680
Normal
b. Uji Linieritas
Uji linieritas dilakukan untuk memastikan bahwa antara masing-masing
variabel bebas dengan variabel tergantung dapat dihubungkan dengan garis lurus,
jika dapat membentuk sebuah garis lurus maka variabel bebas dan variabel
tergantung tersebut dapat dikorelasikan. Kaidah yang digunakan dalam uji linier
jika pada F linearity harga p < 0,05 dan pada F deviation from linearity harga p >
0,05, maka kedua variabel yang dikorelasikan dapat dikatakan linier. Hasil uji
linieritas dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Uji Linieritas
Deviation from
Linearity
Linearity
Variabel
Keterangan
F
P
F
P
Kebermaknaan Hidup
39,699 0.000
1,178
0,267
Linier
dengan Kemandirian
c. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan teknik analisis korelasi product moment
untuk mengetahui hubungan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian.
Hasil analisis product moment menunjukkan hubungan antara kebermaknaan
hidup dengan kemandirian menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = 0,497
dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,01). Teknik analisis korelasi product
moment menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara
kebermaknaan hidup dengan kemandirian sehingga hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini dapat diterima.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa kebermaknaan hidup memberikan
sumbangan sebesar 24,7% (R Squared 0,247 x 100 %) terhadap kemandirian,
maka dengan demikian diasumsikan bahwa ada faktor lain di luar variabel
kebermaknaan hidup sebesar 75,3% (100% - 24,7%) yang berpengaruh terhadap
kemandirian.
Hasil analisis korelasi product moment menunjukkan bahwa ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian
dengan taraf signifikansi 0,001 (p < 0,01) dan koefisien korelasi sebesar R = 0,497
Artinya semakin tinggi kebermaknaan hidup maka semakin tinggi kemandirian
dan sebaliknya, semakin rendah kebermaknaan hidup maka semakin rendah
kemandirian.
Diterimanya hipotesis yang diajukan oleh peneliti menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara kebermaknaan hidup dengan kemandirian, sehingga
kebermaknaan hidup merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kemandirian pada remaja. Menurut Ali (2005) kemandirian dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya gen atau keturunan orangtua, pola asuh orangtua,
sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan di masyarakat. Masrun (2005)
juga berpendadapat bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
kemadirian di antaranya kebebasan dalam bertindak, kaprogresifan dan keuletan,
berinisiatif, internal locus of control dan kematapan diri.
Kategorisasi variabel kemandirian dari 115 subjek penelitian diperoleh 29
subjek (60,87%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 70 subjek (60,87%) berada
pada kategori sedang dan ada 16 subjek (13,91%) yang berada pada kategori
rendah. Sedangkan kategorisasi variabel kebermaknaan hidup dari 115 subjek
penelitian diperoleh sebanyak 19 subjek (16,52%) berada pada kategori tinggi,
sebanyak 79 subjek (68,7%) berada dalam kategori sedang dan sebanyak 17
subjek (14,78%) berada pada kategori rendah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinan (R Square) sebesar
0,247, hal ini menunjukkan besarnya sumbangan kebermaknaan hidup terhadap
kemandirian sebesar 24,7%, sedangkan sisanya sebesar 75,3% merupakan
sumbangan dari variabel lain yang merupakan faktor di luar variabel
kebermaknaan hidup. Remaja yang berkualitas adalah seorang remaja yang
tangguh, selalu ingin meningkatkan prestasi menjadi lebih baik, mempunyai daya
tahan mental untuk mengatasi persoalan yang timbul dan mampu mencari jalan
keluar yang positif bagi semua persoalan hidupnya. Bagi individu kemampuan
untuk menentukan tujuan hidup dan menemukan makna hidup merupakan hal
yang sangat berharga, tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk
memenuhinya secara tanggungjawab.
Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap kemandirian seperti
pendapat yang dikemukakan oleh Musalifah (2007) yaitu komunikasi, tentu saja
komunikasi disini harus dua arah, artinya kedua belah pihak mau saling
mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Orang tua dengan melakukan
komunikasi dua arah dapat mengetahui pandangan –pandangan dan kerangka
berfikir anaknya, atau sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang
diinginkan oleh orangtuanya. Orang tua sebaiknya memberikan juga kesempatan
kepada anak remajanya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang
telah diambilnya. Biarkan remaja terdebut mengusahakan sendiri apa yang
diperlukannya dan biarkan ia juga mengatasi sendiri berbagai masalah yang
muncul. Tanggungjawab, bertanggung jawab atas segala tindakan yang diperbuat
merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggung jawab
remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampakdampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Konsistensi, konsistensi
orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja
sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan atau pedoman
bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berfikir secara
dewasa.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka dapat diambil kesimpulan
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kebermaknaan hidup
dengan kemandirian artinya, semakin tinggi kebermaknaan hidup semakin
tinggi pula kemandirian sebaliknya semakin rendah kebermaknaan hidup
semakin rendah pula kemadirian.
2. Kebermaknaan hidup memberikan sumbangan sebesar 24,7% terhadap
kemandirian, dan ada 75,3% faktor lain di luar variabel kebermaknaan hidup
yang berpengaruh terhadap kemandirian.
3. Hasil kategorisasi menunjukkan bahwa sebagian besar subjek mempunyai
kemandirian dan kebermaknaan hidup pada ketegori sedang.
Daftar Pustaka
Anggawati. 2008. Hubungan Antara Perlaku Propsosial Dengan Kebermaknan
Hidup Pada Siswa SMA Muhammadiyah 1 Magelang. Skripsi. (Tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikolgi Universitas Ahmad Dahlan.
Ali, M & Asrori, M. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta : P.T. Bumi Aksara.
Ardyanti. 2011. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Aktivis Dakwah Dan
Non Dakwah. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan.
Azwar. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar. 2010. Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar. 2009. Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, H.D. 2007. Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih
Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Beck dkk. 2003. Missing Home: Sociotropy and Autonomy and Their
Relationship to Psychological Distress and Homesicknes in College
Freshmen. Taylor & Francis Healthscelences. Vol 16 no 2: hal 155-166.
Chaplin, JP. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Fatimah. 2008. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: CV Pustaka
Ceria.
Fleming, M. ----- . Gender in Adolesiens Autonomy: Distinction between Boys
and Girls Adccelerater at 16 Years Of Age. Electronic Journl Of Research
in Educational Psychology. No 6-3(2): hal 33-52.
Frankl, V.E. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi.
Terjemahan Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Hudha, A.N. 2005. Hubungan antara Persepsi Komunikasi Interpersonal Remaja
dan Orang Tua dengan Kemandirian. Skripsi. (tidak diterbitkan). Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Ichwan. 2008. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Diri Melalui Logoanalisis
Untuk Meningktkan Kemandirian Remaja. Skrispi. (tidak diterbitkan).
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang.
Indrawantiningsih. 2006. Perbedaan Kemandirian Belajar Siswa yang Bersekolah
di Desa Dan di Kota. Skrispi. (tidak diterbitkan) Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Kusumawardhani dkk. ---- . Hubungan Kemandirian dengan Adversity Inteligence
pada Remaja Tuna Daksa di SLB-D YPA C Surakarta. Proceeding
Konferensi Nasional III Ikatan Psikologi Klinis – HIMPSI: hal 252-257.
Masrun dkk. 1986. Study Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku
Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian: Kantor Menteri Negara
dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Monks, F.J. 2002. Psikologi Perkembangan Ppengantar dalam Bebagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Musdalifah. 2007. Perkembangan Sosial Remaja dalam Kemandirian (Study
Kasus Hambatan Psikologis Dependensi terhadap Orang Tua). Jurnal
Psikologi Universitas Gajah Mada. Volume 4. Hal 46-56.
Mu`tadin, Z. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologi Pada Remaja.
WWW. e-Psikologi. Com. 21 juni 2012.
Nugraheni, U.G. 2005. Kebermaknaan Hidup Penulis Fiksi Islam Berdasarkan
Teori Viktor Frankl. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Puspitawati. 2009. Kenakalan Pelajar. Bogor: IPB Press.
Santrock, J.W. 2003. Perkembangan Remaja. Edisi ke enam. Penerjemah: Shinto
B. Adelar dan Sherly Saragih. Jakarta: Erlangga.
Sarwono. 2011. Psikologi Remaja.Jakarta, edisi keenam: PT Raja Grafindo
Persada.
Steinberg (2002). Adolescence, Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Sulastri, R.E. 2002. Pengarauh Dosen, Fasilitas, Orang Tua dan Kemandirian
terhadap Kualitas Belajar Mahasiswa Politeknik Negeri Padang. Jurnal R &
B vol. 2 no. 2: hal 48-51.
Suryabrata, S. 2005. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi
Offset.
Suryantina, E.H. 2002. Kemandirian Ditinjau dari Kebutuhan Berafiliasi dan
Urutan Kelahiran pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Tantri. 2007. Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga Dengan Kemandirian
Pada Remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Wibowo. 2010. Psikologi untuk Pengembangan Diri. Bandung: Widya
Padjadjaran.
Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Download