TUGAS TERSTRUKTUR DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT GONORE DAN PENCEGAHANNYA Disusun oleh: Kelompok 10 Mohamad Maskur (G1B008134) Fera Yeni Utami (G1B009076) Lucy Kurnianty (G1B011008) Hilda Nur Sa’adah (G1B011012) Diah Rakhmawati (G1B011032) KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT PURWOKERTO 2012 GONORE Gonore merupakan infeksi mukosa pada epitel kolumnar yang ditularkan melalui hubungan seksual dan disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (Mandal, et. al, 2008). Penyakit gonore paling banyak dijumpai dalam penyakit hubungan seksual, namun mudah diobati, tetapi bila terlambat atau pengobatan kurang tepat dapat menimbulkan komplikasi yang fatal. Bakteri yang menyebabkan gonore tergolong bakteri dilpokokus berbentuk buah kopi. (Chandranita, 2009) A. Riwayat Alamiah Penyakit Gonore 1. Tahap Prepatogenesis atau Rentan Bakteri penyebab gonore dapat ditemukan setelah kontak seksual dengan orang yang terinfeksi (atau kontak langsung, dalam kasus infeksi pada bayi baru lahir). Host dari penyakit gonore adalah manusia, baik wanita maupun pria yang melakukan hubungan seksual dengan penderita yang telah terinfeksi sebelumnya. Seorang ibu yang terinfeksi juga dapat mengirimkan gonore kepada bayinya selama persalinan, kondisi ini dikenal sebagai oftalmia neonatorum. Lingkungan sosial masyarakat sangat berpengaruh pada terjadinya penyakit gonore. Perkembangan zaman dan teknologi membawa perubahan, baik yang berdampak positif maupun negatif. Namun saat ini banyak masyarakat yang mengikuti kebudayaan yang salah, seperti seks bebas dan berganti pasangan, yang mengakibatkan penularan penyakit menular seksual seperti gonore semakin meningkat. Lingkungan yang berisiko terkena penyakit menular seksual adalah tempat prostitusi. 2. Tahap Sub Klinis atau Inkubasi Daili (2009) menyatakan bahwa masa inkubasi gonore sangat singkat, pada pria umumnya berkisar antara 2–5 hari, namun terkadang dapat terjadi lebih lama. Masa inkubasi pada wanita sulit ditentukan karena pada umumnya asimtomatik. Tanda dini gonore pada wanita biasanya ialah gonore pada suami. Terkadang inkubasi dapat terjadi lebih lama (7–10 hari), karena penderita telah mengobati diri sendiri dengan dosis yang tidak cukup (adekuat) atau gejala samar yang tidak diperhatikan oleh penderita. 3. Tahap Klinis Gambaran klinis infeksi gonore antara pria dan wanita berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi organ reproduksi pria dan wanita. Gejala klinis gonore terbagi menjadi 4, yaitu gejala klinis yang asimtomatik (terjadi infeksi pada uretra, endoserviks, rektum dan faring tanpa memberi gejala klinis), gejala yang simtomatik tanpa komplikasi, gejala yang simtomatik dengan komplikasi, dan Disseminated Gonococcal Infection (DGI: infeksi diseminasi gonokokus) (Jawas, Fitri A, et. al, 2008). Gejala klinis simtomatik tanpa komplikasi terutama terjadi pada laki-laki. Uretritis anterior akuta adalah yang paling sering terjadi dan dapat menjalar ke proksimal, dan mengakibatkan komplikasi lokal, asendens, serta diseminata. Keluhan subjektif berupa rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum. Kemudian disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra yang terkadang disertai darah dan disertai nyeri ketika ereksi. Tampak orifisium uretra eksternum yang kemerahan, edema, dan ektropion, serta duh tubuh yang mukopurulen ketika dilakukan pemeriksaan. Pembesaran kelenjar getah bening unilateral atau bilateral juga dapat terjadi untuk beberapa kasus. Gambar 1. Gonore pada Pria (Sumber: ) Ernawati (2011) dalam jurnal Uretritis Gonore menyatakan bahwa pria yang sekali kontak dengan wanita yang terinfeksi, 25% akan terkena uretritis gonore dan 85% berupa uretritis yang akut. Setelah masa tunas yang berlangsung antara 2-10 hari, penderita mengeluh nyeri dan panas pada waktu kencing yang kemudian diikuti keluarnya nanah kental berwarna kuning kehijauan. Umumnya penderita dalam keadaan ini tetap merasa sehat, hanya terkadang dapat diikuti gejala konstitusi ringan. Sebanyak 10% pada laki-laki dapat memberikan gejala yang sangat ringan atau tanpa gejala klinis sama sekali pada saat diagnosis, tetapi hal ini sebenarnya merupakan stadium presimtomatik dari gonore, karena waktu inkubasi pada laki-laki bisa lebih panjang (1-47 hari dengan rata-rata 8,3 hari) dari laporan sebelumnya. Selanjutnya adalah gejala klinis gonore pada wanita. Gejala gonore pada wanita sering kali tidak tampak. Hal ini disebabkan karena pendeknya uretra wanita dan gonokokus yang lebih banyak menyerang serviks. Infeksi gonore pada wanita awalnya hanya mengenai serviks uteri. Terkadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul bawah. Tampak kemerahan dengan erosi dan sekret mukopurulen ketika dilakukan pemeriksaan serviks. Duh tubuh akan terlihat lebih banyak, jika terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis yang disebabkan Trichomonas vaginalis (Daili, Sjaiful F, et. al, 2009). Hal itulah yang menyebabkan wanita seringkali menjadi carrier dan menjadi sumber penularan yang tersembunyi. Kasus-kasus yang asimtomatis dengan keluhan keputihan harus dapat dibedakan dengan penyebab keputihan yang lain seperti trikomoniasis, vaginosis, candidiasis maupun uretritis non gonore yang lain. Gambar 2. Gonore pada wanita (Sumber: http://www.kesehatanmasyarakat.info/wp-content/uploads/2012/08/EpidemiologiPenyakit-Gonore.jpg) Bayi baru lahir juga dapat terinfeksi gonore dari ibunya selama proses persalinan, yang dinamakan ophtalmia neonatorum. Ophtalmia neonatorum disebabkan oleh gonococci, yaitu suatu infeksi mata pada bayi yang baru lahir yang didapat selama bayi berada dalam saluran lahir yang terinfeksi. Conjungtivitis inisial dengan cepat dapat terjadi dan bila tidak diobati dapat menimbulkan kebutaan (Ernawati, 2011). Gambar 3. Bayi penderita ophtalmia neonatorum (Sumber: http://yumizone.files.wordpress.com/2008/11/konjungtivitis.jpg) 4. Tahap Penyakit Lanjut Komplikasi dapat terjadi bila pengobatan tidak segera dilakukan atau pengobatan sebelumnya tidak adekuat. Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis (radang kelenjar Tyson), parauretritis, littritis (radang kelenjar Littre), dan cowperitis (radang kelenjar Cowper). Selain itu, infeksi dapat menjalar kematas (asendens), sehingga terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis, epididimitis, yang dapat menyebabkan infertilitas. Infeksi dari uretra pars posterior dapat mengenai trigonum kandung kemih dan menimbulkan trigonitis, yang memberi gejala poliura, disuria terminal, dan hematuria (Daili, Sjaiful F, et. al, 2009). Infeksi primer pada wanita tejadi di endoserviks dan menyebar ke arah uretra dan vagina, meningkatkan sekresi cairan yang mukopurulen. Infeksi ini dapat berkembang ke tuba uterine, menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi tuba. Ketidaksuburan (infertilitas) dapat terjadi pada 20% wanita dengan salpingitis karena gonococci (Ernawati, 2011). Komplikasi pada wanita, yaitu infeksi pada serviks (servisitis gonorrhoea) yang dapat menimbulkan komplikasi salpingitis, ataupun penyakit radang panggul (PRP). Jika infeksi mengenai uretra dapat terjadi parauretritis, sedangkan pada kelenjar bartholin akan menyebabkan bartholinitis. Penderita dengan infeksi gonokokus akut, dapat terjadi koinfeks dengan kuman lain penyebab penyakit menular seksual, yang paling sering adalah Chlamydia trachomatis. Sementara pada wanita, sering juga mengalami koinfeksi dengan Trichomonas vaginalis (Jawas, Fitri A, et. al, 2008). Komplikasi yang dapat terjadi pada pria dan wanita, yaitu diseminasi, perihepatitis (sindrom Fitz-Hugh-Curtis), endokarditis, dan meningitis. Diseminasi terjadi pada 1-2% kasus dan bermanifestasi sebagai arthritis sendi besar atau tenosinovitis, yaitu suatu ruam makulopapular/pustular yang jarang (umumnya pada ekstermitas) dan gejala sistemik. Hal ini lebih sering terjadi pada wanita (Mandal, et. al, 2008). Kelainan juga dapat timbul akibat hubungan kelamin selain cara genitogenital berupa infeksi nongenital, yaitu orofaringitis, prokitis, dan konjungtivitis. Pria homoseksual yang melakukan hubungan seksual melalui anus (lubang dubur) dapat menderita gonore pada rektumnya. Penderita merasakan tidak nyaman di sekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah di sekitar anus tampak merah dan kasar, tinjanya terbungkus oleh lendir dan nanah. Pada pemeriksaan dengan anaskop akan tampak lendir dan cairan di dinding rektum penderita. Melakukan hubungan seksual melalui mulut (oral sex) dengan seorang penderita gonore bisa menyebabkan gonore pada tenggorokan (faringitis gonokokal). Biasanya infeksi ini tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan menelan. Jika cairan yang terinfeksi mengenai mata maka bisa terjadi infeksi mata luar (konjungtivitis gonore) (Daili, Sjaiful F, et. al, 2009). 5. Tahap Terminal atau akhir Penyakit Penderita dapat sembuh dari penyakit gonore dengan melakukan pengobatan. Sebagian besar gonokokus yang berhasil diisolasi pada saat ini telah resisten terhadap penisilin, tetrasiklin dan anti mikroba terdahulu lainnya, sehingga obat-obat ini tidak bisa digunakan lagi untuk pengobatan gonore. Kini di Indonesia, kanamisin dan tiamfenikol telah menunjukkan keampuhannya kembali setelah lama ditinggalkan. Secara umum dianjurkan pada semua pasien gonore untuk diberikan pengobatan bersamaan dengan obat anti klamidiosis, karena infeksi campuran antara klamidiosis dan gonore sering dijumpai. B. Pencegahan Penyakit Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatan, dengan menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yang telah dibuktikan efektif. Dalam mencegah penyakit menular seksual terdapat tiga tingkatan pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kleinbaumet al., 1982; Last, 2001). 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor risiko atau mencegah berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, dengan tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit (AHA Task Force, 1998). Menurut Depkes RI( 2008 ) pencegahan primer pada Gonore yaitu penggunaan kondom pada saat berhubungan intim dengan benar dan konsisten, tidak berganti – ganti pasangan, dan tidak melakukan hubungan intim. ( Depkes RI.Infeksi Menular Seksual Dan infeksi Saluran Reproduksi pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu.2008 ). Sedangkan menurut Widoyono ( 2011 ) dalam bukunya “Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, pencegahan dan Pemberantasannya” dalam menanggulangi dan mencegahan penyakit – penyakit infeksi menular seksual secara primer diantaranya sebagai berikut : a. Intervensi Perubahan Perilaku ( IPP ) Intervensi perubahan perilaku yaitu bertujuan mengubah perilaku orang yang beresiko tinggi tertular penyakit IMS yang di antaranya yaitu Gonore melalui proses komunikasi dan interaksi dengan tujuan mengubah dan membangun norma baru, meningkatkan pengetahuan, serta membangun sikap yang di harapkan dapat mengubah perilaku beresiko. Kegiatan – kegiatan dalam komponen ini meliputi : a.1 Pemberian informasi tentang IMS dalam kegiatan penjangkauan individu. a.2 Diskusi interaktif kelompok untuk perubahan perilaku dan keterampilan individu dan kelompok. a.3 Konseling penurunan risiko untuk perubahan perilaku seksual dan perilaku mencari pelayanan kesehatan. b. Penguatan Pemangku Kepentingan Merupakan kegiatan perubahan perilaku pemangku kepentingan seperti mucikari, pengurus resosialisasi, pengurus RT dan RW, petugas keamanan setempat, serta aparat desa atau kelurahan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengendalian IMS. Kegiatan - kegiatan ini meliputi : b.1 Need assessment atau penilaian kebutuhan yang dapat berupa pertemuan untuk mengakomodasi berbagai usulan, masukan dan saran dari para pemangku kepentingan setempat. b.2 Sosialisasi, diseminasi informasi dan edukasi pemberian program pengendalian IMS bagi pemangku kepentingan. c. Pengelolaan Kondom dan Pelicin Ini merupakan program kegiatan yang menjamin adanya kondom dan pelicin yang cukup dengan harga terjangkau di lokasi program. Kegiatan – kegiatan ini meliputi : c.1 Kesepakatan pengelolaan kondom yang di dalamnya terdapat pengaturan distribusi kondom. c.2 Kemungkinan adanya outlet kondom di beberapa lokasi resosialisasi. (Widoyono, 2011) 2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-gejala penyakit secara klinik melalui deteksi dini (early detection). (Last, 2001). Pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual. (WHO, 2006). Deteksi dini penyakit gonore dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pembantu untuk mengurangi gejala yang dapat menimbulkan terjadinya atau bertambahnya penyakit atau timbulnya rasa sakit yang di timbulkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang terdiri atas beberapa tahapan diantaranya : a. Sediaan langsung Pada sediaan langsung dengan pengecatan Gram akan di temukan gonokok negative-Gram, intraselular dan ekstraselular. b. Kultur ( biakan ) Dua macam media yang dapat digunakan ialah media transport dan media pertumbuhan. c. Tes beta-laktamase Tes ini menggunakan cefinase TM disc.BBL 96192 yang mengandung chromogenic cephalosporin. d. Tes Thomson Tes ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi tersebut sudah berlangsung tanpa melakukan pemeriksaan labortorium. Selain itu dalam pengelolaan skrining dan pelayanan IMS serta pengobatan bagi penderita gejala terutama pada pekerja seks meliputi komponen – komponen kegiatan meliputi: a. Persiapan klink IMS berupa inventarisasi dan pemenuhan kebutuhan petugas kesehatan. b. Persiapan saranan peralatan kesehatan dan ruangan tempat pelayanan. c. Persiapan barang habis pakai seperti kapas, alcohol, dan reagen d. Persiapan pbat untuk layanan pengobatan IMS rutin. e. Program periodic presumtif treatment (PPT). (Widoyono, 2011) 3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier yaitu pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut (akhir periode patogenesis) dengan tujuan untuk mencegah cacat dan mengembalikan penderita ke status sehat. Tujuannya yaitu menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi, terdiri dari: a. Disability limitation b. Rehabilitation Pada pencegahan tersier dibedakan dengan pengobatan (cure), meskipun batas perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis intervensi yang dilakukan sebagai pencegahan tersier bisa saja merupakan pengobatan. Tetapi dalam pencegahan tersier, target yang ingin dicapai lebih kepada mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan organ, mengurangi sekulae, disfungsi, dan keparahan akibat penyakit, mengurangi komplikasi penyakit, mencegah serangan ulang penyakit, dan memperpanjang hidup. Sedang target pengobatan adalah menyembuhkan pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah terjadi. Berdasarkan pedoman dari Centers for Disease Control (CDC) dari Amerika, rekomendasi terapi pada anak dengan penyakit gonore adalah sebagai berikut: a. Pasien Anak-Anak Pasien anak-anak/pediatric mencakup mulai dari sejak lahir hingga remaja. Ketika seorang anak telah pubertas atau berat badan melebihi 45 kg, maka harus diterapi dengan regimen dosis sebagaimana orang dewasa. Akibat prevalensi resistensi penisilin dan tetrasiklin pada N. gonorrhoeae, pemberian golongan cephalosporin direkomendasikan sebagai terapi awal pada anak. Cephalosporin secara parenteral direkomendasikan penggunaannya pada anak-anak; ceftriaxone terbukti dapat diberikan pada semua infeksi gonokokal pada anak dan cefotaxime sodium hanya dapat diberikan pada oftalmia gonokokal. Antimikroba lain yang diberikan secara oral, telah terbukti efektif untuk pengobatan uretritis gonokokal dan servisitis pada dewasa dan remaja yang lebih tua meliputi ciprofloxacin, ofloxacin dan levofloxacin. Fluoroquinolones secara umum tidak direkomendasikan pada mereka yang kurang dari 18 tahun, juga di kontraindikasikan pada wanita hamil. b. Pada Neonatal. Bayi dengan oftalmia neonatorum, abses skalp, atau infeksi diseminata harus dirawat di rumah sakit. Kultur darah, duh dari mata atau tempat lain yang terinfeksi, dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan antimikroba yang sesuai. Tes untuk infeksi yang dapat terjadi bersamaan seperti chlamydia, sifilis kongenital, dan HIV juga harus dilakukan. Ibu dan pasangannya juga diperiksa dan mendapat terapi gonore. c. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonokokal. Jika profilaksis diberikan dengan benar, bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonore biasanya jarang terdapat oftalmia gonokokal. d. Infeksi Diseminata. Terapi yang direkomendasikan, termasuk untuk oftalmia neonatorum, adalah ceftriaxone (25-50 mg/kg, IV atau IM, dosis tunggal, tidak melebihi 125 mg). Bayi dengan oftalmia gonokokal harus mendapat irigasi pada mata dengan larutan salin fisiologis sesegera mungkin sampai duh tersebut tereliminasi. Bayi tersebut harus dirawat. Antimikroba topikal dapat diberikan tapi tidak terlalu berpengaruh untuk bayi. e. Infeksi Nondiseminata. Terapi yang direkomendasikan untuk artritis dan septikemia adalah ceftriaxone 25-50 mg/kg/ hari dosis tunggal atau cefotaxime selama 7 hari. Cefotaxime direkomendasikan untuk bayi dengan hiperbilirubinemia. Jika terdapat meningitis, terapi harus dilanjutkan 10 sampai 14 hari. f. Infeksi Gonokokal pada Anak dan Remaja. Rekomendasi terapi untuk infeksi gonokokal, berdasarkan usia dan berat badan. Pasien dengan infeksi endoserviks yang tidak komplikasi, uretritis, atau proktitis yang alergi dengan sefalosporin harus diterapi dengan spectinomycin (40 mg/kg, maksimum 2 g, IM dosis tunggal), jika penderita belum cukup umur untuk mendapat fluoroquinolones. Doxycycline atau azithromycin dihydrate harus diberikan jika diduga terdapat infeksi chlamydia yang bersamaan. Pasien dengan infeksi gonokokal faring yang tidak komplikasi mendapat terapi ceftriaxone 125 mg IM dosis tunggal. Bagi yang tidak dapat mentoleransi ceftriaxone harus mendapat ciprofloxacin 500 mg, oral, dosis tunggal. Spectinomycin cukup efektif 50% untuk terapi gonore faringeal, jadi dapat digunakan pada mereka yang tidak dapat menerima ceftriaxone atau ciprofloxacin, dan kultur faringeal harus dilakukan dalam 3 sampai 5 hari terapi untuk mengetahui eradikasi. DAFTAR PUSTAKA Daili, Sjaiful F, et. Al. 2009. Infeksi Menular Seksual Edisi Keempat. FK UI: Jakarta. Ernawati. 2011. Uretritis Gonore. FK Universitas Wijaya Kusuma: Surabaya. Fakultas Kedokteran Umum Indonesia. 2006. Infeksi Menular Seksual. Balai Penerbit FKUI: Jakarta, hal.68-69. Jawas, Fitri A, et. Al. 2008. Penderita Gonore di Divisi Penyakit Menular Seksual Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002–2006. BIKKK 2008 Vol. 20 No. 3. FK UNAIR: Surabaya. Mandal, et. al, 2008. Lecture Notes Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Penerbit Erlangga: Jakarta. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Penerbit Erlangga: Jakarta.