METODOLOGI DAN IDEOLOGI AL-MÂWARDIY DALAM AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta NIM : 036322013 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2008 ii iii iv PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Metodologi dan Ideologi AlMâwardiy dalam Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah” merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka. Yogyakarta, 03 November 2008 Abdurrosyid v MOTTO 4 +, + - . (* !"# $ %&' ("# )* * /-) -!* 01- 2 3' 786 5 "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." Q.S. al-Nisâ’ (4): 58. 9/:9 ; < - =! "Dan sesungguhnya kamu [Muhammad] benar-benar berbudi pekerti yang agung." Q.S. Nun/al-Qalam (68): 4 vi PERSEMBAHAN ! " # $ ! # % $ ! ! & '(() % * % '((+ vii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setiap manusia hidup dengan pemahaman terhadap masa lalu yang diceritakan, yang memungkinkannya mengkondisikan diri dalam kekinian, bahkan menyusun angan-angan masa depan. Dengan demikian, masa lalu adalah lokus pencarian makna "jatidiri" setiap orang. Imajinasi, impian, tak lain kecuali serangkaian preskripsi tentang bagaimana menempatkan hasil pemahaman: – iman /ideologi – dalam orbit kehidupan, dan menghadapi kekuatan-kekuatan yang meremehkan ' jatidiri' . Penulis terlahir di lingkungan budaya yang sangat menghargai masa lalu Islam: pesantren salafiy,1 di sebuah desa pinggiran sebelah timur kota besar, Semarang. Namun, seperti ciri pesantren salafiy pada umumnya, Pondok Pesantren Tafsir dan Sunnah: Al-Itqon, tempat kelahiran penulis, merupakan wahana bagi warga pesantren untuk menemukan jalinan intensif masa lalu-masa kini-masa depan, melalui prinsip fikih: Al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîmi al-shâlihi wa al-akhdzu bi aljadîdi al-’ashlahi ("menjaga nilai-nilai masa lalu yang baik dan mengambil nilai-nilai baru – kekinian – yang lebih baik"), sebuah prinsip melihat sejarah secara dinamis. Melalui prinsip hidup yang dijunjung tinggi di lingkungan pesantren semacam AlItqan ini, warga sangat menyadari dan menghargai arti "relatifitas nilai". Suatu hari, ketika penulis masih duduk di bangku kelas enam Madrasah Diniah Ibtidaiah, masuk seorang santri baru yang berasal dari desa tetangga. Ia berusia kira-kira 5-7 tahun lebih tua dari usia rata-rata santri di kelas kami. Meski teman santri baru ini berumur relatif lebih dewasa daripada santri-santri lain, ia tampak mengalami kesulitan menangkap pemahaman dari pelajaran-pelajaran yang ada, terutama pelajaran pokok ilmu "nahwu" dan "sharaf". Apalagi, ia tidak sebagai 1 Istilah "pesantren salafi" diartikan sebagai pesantren yang masih mengajarkan kitab-kitab warisan intelektual Islam klasik (turâts) sebagai kurikulum utama, dan perbandingannya adalah "pesantren hadîtsiy/khalafiy" seperti pesantren-pesantren yang menamakan diri "pesantren modern". Pada pesantren jenis yang kedua tersebut, kitab-kitab turâts tidak dikaji sebagai kurikulum utama. viii santri mukim melainkan sebagai santri kalong,2 sehingga tidak banyak kesempatan baginya untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan pelajaran yang dihadapinya bersama teman-teman santri maupun guru-guru pembimbing. Hal yang paling menonjol darinya adalah keaktifannya dalam organisasi santri, baik di tingkat kelas maupun di tingkat madrasah. Kurang-lebih dua tahun berikutnya, Sang teman mulai jarang-jarang masuk kelas, hingga akhirnya tidak masuk sama sekali. Belakangan penulis ketahui, ia aktif mengadakan dan mengikuti kajian agama di mana-mana, yang jelas di luar pesantren. Suatu hari ia datang ke pesantren/madrasah dengan penampilan fisik dan sikap yang di luar kebiasaan. Ia tidak lagi memakai sarung dan pecis, ciri khas pakaian santri laki-laki, tetapi baju koko dan celana ' congklang' , dan berkopiah. Ia menampakkan semangat yang gigih dan besar sebagai pemuda gerakan yang menginginkan "kehormatan Islam" dengan mendirikan "Negara Islam" (khilâfah/’imâmah). Bahkan, ia menilai bahwa kajian agama model pesantren/madrasah seperti yang pernah ia ikuti tidak efektif dalam menjawab tuntutan ' kehormatan Islam'yang ia cita-citakan itu. Ia pun memperkenalkan kepada teman-teman santri buku-buku (terjemahan) dan majalah-majalah, sebagai bahan bacaan barunya. Penulis dan teman-teman santri lain, kami warga pesantren umumnya, sebenarnya telah memiliki "standar" penilaian tersendiri terhadap buku-buku dan majalah-majalah seperti yang diperkenalkannya itu. Setelah itu, ia tak pernah lagi berkunjung ke pesantren dan kami tak tahu bagaimana kabarnya. Sampai akhirnya, setelah kurang-lebih 20-an tahun penulis tidak pernah berjumpa dengannya, ketika penulis menyimak siaran ' Kabar Petang' dari sebuah stasiun televisi swasta, diberitakan bahwa seorang laki-laki yang diduga sebagai anggota teroris tewas ditembak petugas "Polisi Detasemen Lapan-Lapan", di Sleman Yogyakarta. Menurut berita itu, laki-laki itu memiliki banyak nama dan salah satunya berinisial "Em-En" yang berasal dari salah satu desa tetanggaku. Penulis penasaran, jangan-jangan laki-laki yang diberitakan itu adalah Sang teman yang 2 Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, santri mukim adalah murid-murid yang tinggal di pesantren, sebaliknya santri kalong adalah murid-murid yang tidak menetap di dalamnya dan disebut juga santri lajon, yaitu mereka yang biasanya berasal dari desadesa di sekeliling pesantren yang bolak-balik dari rumahnya sendiri untuk mengikuti pelajaran di pesantren. Bandingkan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982, h. 51-52. ix penulis ceritakan. Seminggu kemudian ketika penulis pulang ke Semarang, ternyata dugaan itu benar. Tentu, ini hanyalah salah satu kisah yang terkait dengan isu khilâfah/’imâmah. Sebuah isu tentang problem "Islam" yang sampai hari ini masih sangat nyaring terdengar. Isu yang telah meminta banyak keringat, air mata, dan darah "syuhada". Menurut penulis, jarang sekali isu khilâfah/’imâmah itu didekati secara ilmiah melalui kajian sejarah. Bahkan, isu itu telah menjelma sebagai gelora ideologi gerakan yang mendakwahkan diri sebagai kelompok "Islam militan". Bagaimanakah asal-usul dan mekanisme ide khilâfah/’imâmah itu terbangun, dan bagaimana pula ideologi melingkupinya? Kajian terhadap Al-’Ahkâm al- Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy adalah sebuah cara untuk memahami salah satu fenomena sejarah Islam itu yang masih sangat aktual hingga kini. Pertama-tama, Penulis harus menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para petugas di Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Pusat Universitas Sanata Dharma atas pelayanan dan dedikasi mereka, terutama mas Slamet (Kolsani) yang tak pernah jera melayani peminjaman buku oleh penulis dan yang sangat santun dalam memberi teguran kepada penulis karena selalu terlambat dalam pengembalian, bahkan selalu me-ngendon buku-buku dalam waktu yang lama. Yang kedua, terima kasih penulis ucapkan kepada Pak Nardi (Dr. S(i)t(i). Sunardi) atas segala bimbingannya; Romo Baskara, Romo Banar, Pak Budiawan, dan Mbak Devi; mereka yang selalu berempati tehadap penulis, bahkan penulis merasa telah diperlakukan lebih dari sekedar sebagai mahasiswa. Ketiga, terima kasih pula kepada Mas Tri bersama istri yang banyak membantu dan memberi motivasi, tak lupa kepada Entis, I' im dan suami yang memberi banyak waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk selesainya tesis ini, serta Izzah, Mas Totok (juragané "Joglo Semar"), Icul, Pak Teo, Yus, dan semua "adik-adik" di IRB: Hasan, Anziem, Dona, Olvi, dan terutama Kang Wahyudin yang sempat menjadi "dosen penguji" dalam simulasi ujian. Spesial, terima kasih buat Mbak Hengky dan Mbak Yayas, serta Mas Mulyadi yang rajin x selalu, dan terakhir terima kasih kepada Prof. Dr. Mujahirin Tohir (Guru Besar Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang) atas keramahan, keakraban, dan terutama keutuhan dedikasinya dalam membaca laporan penelitian ini secara teliti dan kritis. Akhirnya, penulis berharap dan berdoa, semoga kajian ini bermanfaat dan semua orang yang berjasa pada hidup penulis dan dalam kajian ini mendapatkan ganti kebaikan dari Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ, amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Abdurrosyid Yogyakarta, Desember 2008 xi DAFTAR ISI ............................................................................................... HALAMAN JUDUL ................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... MOTTO ....................................................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ ABSTRAK ................................................................................................... Hal i ii iii iv v vi vii xi xiv xvii BAB I PENDAHULUAN ................................................................... A. Latar Belakang ................................................................... B. Rumusan Masalah.............................................................. C. Tujuan Penelitian .............................................................. D. Relevansi Penelitian........................................................... E. Survei Hasil-hasil Penelitian.............................................. F. Orientasi dan sistematika Penulisan................................... 1 1 11 11 13 21 33 BAB II KERANGKA TEORETIS DAN METODE PENELITIAN A. Kerangka Teoretis dan Pengertian Konsep-Konsep .... 1. Situasi Sosial Historis dan Peranannya dalam Pembentukan Pengetahuan .......................................... 2. Mekanisme Pembentukan Pengetahuan....................... 3. Fungsi Pengetahuan ..................................................... 4. Kritik Pengetahuan...................................................... 5. Ideologi ........................................................................ 6. Kritik Ideologi.............................................................. B. Metode Penelitian ............................................................ 1. Sumber data ................................................................. 2. Teknik Pengumpulan data........................................... 3. Teknik analisa Data...................................................... 37 37 BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY DAN AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH A. Substansi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah........................... 1. Asal-usul Imamah dan Fungsinya................................ 2. Landasan Normatif Legalitas Imamah......................... 3. Ketentuan Yuridis Pengangkatan Imam/Khalifah......... 38 41 45 51 53 56 60 60 60 61 63 64 64 68 70 xii 4. Kualifikasi "Dewan Pemilih" dan Calon Imam .......... a. Kualifikasi "Dewan Pemilih"................................. b. Kualifikasi Calon Imam......................................... 5. Mekanisme Pengangkatan Imam ................................. a. Sistem Pemilihan ................................................... b. Sistem Permandatan............................................... 6. Tugas-tugas Pokok Imam ............................................ 7. Pemakzulan Imam, Kudeta, dan Pemberontakan .. ..... 8. Sistem Birokrasi Negara .............................................. B. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ............. 1. Riwayat Hidup Al-Mâwardiy ...................................... 2. Kondisi Sosial dan Politik di Bagdad abad IV H/10 M 3. Sejarah Wacana Politik Islam ..................................... C. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah........................ 1. Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam) ........... 2. Metodologi Pembentukan Fikih ................................. 3. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah..................... D. Wacana-wacana Ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah BAB IV 71 71 72 73 74 75 77 80 82 84 85 89 99 115 116 120 124 124 ANALISA HISTORIS, METODOLOGIS, DAN MITOS AL131 ’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH ........................................ A. Analisa Historis: Sosiologi-Genealogi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.......... 134 1. Konteks Sosial-Budaya yang Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ........................................ 135 2. Konteks Politik yang Melahirkan 137 al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ........................................ 3. Konteks Budaya Intelektual [Wacana Politik] yang Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ..................... 140 4. Posisi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam Konteks Sosial, Politik, dan Budaya Islam Abad IV H/X M ..... 141 5. Efek Konteks Historis terhadap al-’Ahkâm al-ShulthâNiyyah ......................................................................... 143 a. Historisitas Konsep Imamah .................................... 144 b. Implikasi Ideologis Konsep Imamah ....................... 155 1. Nuansa Ideologis Kewajiban Pengangkatan Imam 167 2. Nuansa Ideologis Mekanisme Pengangkatan Imam 169 3. Nuansa Ideologis Tugas-tugas Imam................... 186 4. Nuansa Ideologis Mekanisme Pemakzulan Imam 188 5. Nuansa Ideologis Pengabsahan Kudeta dan Pemberontakan.............................................. 190 6. Nuansa Ideologis Pembatasan Hak Wanita dalam Kepemimpinan .......................................... 192 Catatan Penutup Analisa Historis .................................. 196 xiii BAB V B. Analisa Metodologis......................................................... 1. Sistem Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah......... 2. Batas-batas Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya .......................................................... a. Batas-batas secara Metodis-Epitemis dan Implikasinya............................................................. b. Batas-batas secara Ideologis dan Implikasinya........ Catatan Penutup Analisa Metodologis........................... 197 199 C. Analisa Mitis .................................................................... 1. Konsep Inti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Sistem Mitisnya ........................................................... 2. Sistem Pemikiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Sistem Mitisnya ........................................................... 3. Fungsi Mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ................... 212 202 202 209 212 216 231 234 KESIMPULAN ....................................................................... A. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya....................................................................... B. Syarat-syarat Ilmiah (Metodologi) al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya ................................................... 238 BAB VI PENUTUP ............................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN : 1. Tabel Operasionalisasi Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah 2. Daftar Isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah 248 255 242 245 261 275 xiv PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi dimaksudkan untuk menuliskan kata-kata atau istilah-istilah Arab ke dalam tulisan bahasa Indonesia (Latin). Semua kata atau istilah Arab, kecuali nama, yang belum menjadi bahasa baku bahasa Indonesia, ketika ditulis dengan bahasa Indonesia, ditransliterasi dan dicetak miring (italik), seperti ditransliterasi dengan khilâfah. Kata-kata atau istilah yang sudah baku tidak perlu ditransliterasi, seperti salat, Zakat, dan Ramadan. Pedoman transliterasi itu sebagai berikut: A. Konsonan Arab Latin ’ (apostrof) b t ts (t dan s) j h (h garis bawah) kh (k dan h) d dz (d dan z) r z s sy (s dan y) sh (s dan h) dh (d dan h) th (t dan h) zh (z dan h) xv ‘ ! gh (g dan h) " f # q $ k % l & m ' n ( w ) h * y B. Vokal 1. Vokal tunggal: a i u 2. Vokal rangkap * : ai (tanda baca "a" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn) ( : au (tanda baca "a" yang bersambungan dengan waw sukûn) 3. Vokal panjang (madd) : â (tanda baca "a" yang bersambungan dengan alif) * + : î (tanda baca "i" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn) ( + : û (tanda baca "u" yang bersambungan dengan waw sukûn) xvi C. Tâ’ Marbûthah ( ): 1. Ditulis dengan "h", apabila tidak berhubungan atau tidak dibaca sambung dengan kata lain, seperti , ./ ditransliterasi dengan al-madînah 2. Ditulis dengan "t" dan disesuaikan dengan tanda baca "a", "u", atau "i", apabila dibaca sambung dengan kata lain sesudahnya, seperti 01, / , ./ ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah, Al-Madînata alMunawwarah, atau Al-Madînati al-Munawwarah, sesuai dengan kaidah ’i‘rab-nya. D. Penulisan kata yang menggunakan "al-" (% ) 1. "Al-" yang terletak di awal kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kapital dan sesudah "l" diberi garis datar "-", seperti 01, / , ./ ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah. Khusus kata 2 "a"-nya ditulis dengan huruf kapital: "Allah", dan tidak dicetak miring jika tidak dalam satu rangkaian dengan kata yang lain. Jika terangkai dengan kata lain menjadi satu kata seperti 2 . 3 4, ditulis menjadi: ‘abdullâh, atau ‘abdillâh, ‘abdallâh. 2. "Al-" yang terletak di tengah kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kecil. 3. "Al" yang dimiliki suatu kata yang terletak di tengah kalimat tetap ditulis "al-", seperti 01, / , ./ ditransliterasi dengan Al-Madînatu al- Munawwarah 4. "Al-" yang berhubungan dengan huruf-huruf Syamsiyyah tetap ditulis dengan "al-", seperti 5/6 ditransliterasi dengan al-syams. 5. Huruf konsonan setelah "al-" ditulis dengan huruf kapital jika merupakan nama benda atau merupakan judul. F. Semua nama surat al-Qur' an ditransliterasi, tetapi tidak ditulis miring. xvii ABSTRAK Penelitian ini membahas metodologi dan ideologi al-Mâwardiy dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sebuah karya monumental dari seorang cendekiawan Muslim klasik, dalam upaya mencari akar-akar sejarah pemikiran etika politik Islam dan kaitannya dengan ideologi. Dalam konteks kajian pemikiran Islam yang lebih luas, penelitian ini merupakan upaya kritik sejarah dan kritik ideolgi, suatu upaya yang dihindari kebanyakan orang karena khawatir dapat merong-rong kemapanan iman. Walaupun al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ditulis al-Mâwardiy pada abad IV H/X M, kitab ini masih dijadikan rujukan utama dalam diskursus mengenai model kekuasaan dan pemerintahan Islam hingga sekarang. Kajian kritis terhadap al’Ahkâm al-Shulthâniyyah mensyaratkan penelusuran sejarah kelahirannya, metode pembentukannya, serta jangkauan-jangkauan ideologisnya. Dalam konteks teoretis dan praktis politik Islam, kehadiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah menjadi wacana "penanda" yang penting bagi pembakuan model "negara Islam": khilâfah, yang merujuk pada pengalaman "negara Madinah". Namun sejarah menunjukkan, bahwa "negara Madinah" sebagai sumber imajinasi politik Islam telah berkembang sedemikian rupa menjadi "negara ‘Umâwiyyah", "negara ‘Abbâsiyyah", "negara Fâthimiyyah", dan "negara ‘Utsmâniyyah" yang semuanya mengklaim sebagai pewaris sah tahta kekuasaan Islam. Al-‘Ahkâm alShulthâniyyah menampilkan dirinya sebagai pemikiran politik Islam yang ideal dan mengatasi perbedaan-perbedaan sejarahnya yang nyata dan penuh konflik. Penelitian ini menyimpulkan, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dilahirkan dan dibentuk oleh sejarah yang melingkupinya, sistem berpikir yang mengarahkannya, serta mengandung fungsi dan bias-bias yang bersifat ideologis. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi kehidupan setiap kelompok orang atau masyarakat, kekuasaan memiliki arti penting karena mereka hidup dan bergerak dengan kekuasaan itu sendiri.3 Dalam konteks Islam, kekuasaan juga selalu menjadi perhatian kaum muslimin. Bahkan, masalah itu telah mengarahkan seluruh sejarah mereka sejak masa pendirian Islam hingga sekarang. Sejak awal pertumbuhan di Arab, fenomena keterkaitan Islam dengan kekuasaan dapat dibuktikan melalui pengalaman Muhammad. Selain sebagai Nabi utusan Allah (Rasulullah), dia juga memiliki “senjata” dengan mendirikan komunitas (’ummah) di bawah kepemimpinannya. Justru karena dia muncul sebagai yang berwenang dalam agama maka dia menjadi pemimpin Umatnya.4 Kenyataannya, Nabi Muhammad memang tampil sebagai pendiri sebuah negara yang sepeninggalnya mampu menguasai tata dunia global selama berabad-abad. Maka wajar, ketika Nabi Muhammad wafat dan jasadnya pun belum dimakamkan, di kalangan Sahabat5 muncul persoalan pertama yang berdimensi 3 Dalam ilmu sosial dan politik, kekuasaan adalah konsep yang penting meskipun hingga sekarang hakikatnya masih sangat sulit untuk dipahami. Namun, menurut April Carter kekuasaan mempunyai dua ciri: pertama kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka rela, dan kedua kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan. Lihat April Carter, Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali, 1985, h. 25-28. 4 Lihat Mohammed Arkoun “Agama dan Kekuasaan”, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.), Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, h. 210. 5 Kata "Sahabat" dengan huruf kapital "S" berarti orang yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad atau orang yang terlahir ketika Nabi masih hidup, dan ia beriman kepadanya. 2 politik: siapa yang akan menjadi pengganti (khalîfah)6 tugas-tugasnya. Persoalan pertama ini segera menjadi polemik, pertentangan dan bahkan di kemudian hari berkembang menjadi krisis politik yang menentukan sejarah Islam ke masa depan. Krisis politik yang terjadi di seputar masalah suksesi kepemimpinan setelah Nabi wafat dan munculnya berbagai peristiwa tragis yang berlipat ganda, adalah bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam sebagaimana teraktualisasikan dalam proses sejarah tidak terlepas dari masalah kekuasaan. Meskipun kekuasaan memiliki arti penting dalam artikulasi Islam dan merupakan pengalaman sejarah umat Islam yang otentik, tetapi secara teoretis ternyata Alquran maupun sunah (hadis) tidak memberikan panduan yang spesifik bagaimana seharusnya sistem kekuasaan dapat ditegakkan dan diorganisasikan dalam Islam. Tepatnya, di dalam dasar-dasar ajaran Islam tidak ada ketentuan yang pasti mengenai bentuk kekuasaan tertentu dan sistem pemerintahannya.7 Oleh sebab itu, dapat dimaklumi adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat sepeninggal Nabi tentang siapa yang akan menjadi penggantinya. Demikian juga 6 Istilah khalîfah secara harfiah berarti "pengganti", dan dalam wacana politik Islam istilah tersebut berarti "pemimpin pengganti Rasulullah", yaitu setiap orang yang memegang jabatan kekuasaan Islam yang tertinggi setelah Rasulullah wafat (dalam urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam di kehidupan negara. Selanjutnya, istilah tersebut ditulis "Khalifah" dengan huruf kapital "K" jika berfungsi sebagai sebutan, dan ditulis "khalifah" jika berarti sebagai jabatan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 563. Dalam konteks Suni (Ahlu Sunah[Waljamaah]), istilah "khalifah" sama artinya dengan "Imam" (’imâm). Istilah "khalifah" dalam laporan peneletian ini juga diartikan sama dengan istilah "Imam", yaitu "pemimpin/penguasa tertinggi Islam". Dalam arti itu, kata "Imam" ditulis dengan huruf kapital "I" yang membedakannya dengan kata "imam" yang berarti "pemimpin" di luar bidang negara atau politik, seperti imam salat, imam mazhab, dll.. "Khalifah/Imam" menunjuk kepada "orang/pejabat" dan "kekuasaan-lembaga-negara" disebut "khilafah" (khilâfah) atau "imamah" (’imâmah). Tetapi tidak demikian halnya dalam konteks Syî‘ah. Mazhab Islam yang satu ini hanya memiliki konsep "Imam-imamah" dalam arti spesifik, yaitu pemimpin/penguasa Islam yang kekuasaannya bersifat suci (ma‘shûm) dan merupakan hak mutlak Nabi Muhammad dan keturunannya (’âlu baiti al-Naby). Syî‘ah tidak menerima konsep "khalifah-khilafah" sebagaimana dipahami Suni. 7 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of The State, Lahore: Islamic Book Foundation, 1983, h. 39. 3 polemik dan pertentangan politik di antara mereka menjadi tidak mudah diselesaikan. Ironisnya, siapapun yang bermaksud menjelaskan karakter tertentu kekuasaan politik yang Islami, memastikan struktur dan mekanismenya, dan menyusun sistemnya, justru tidak akan dapat terhindar dari perangkap-perangkap kepentingan dan ideologi. Karena tidak dapat disangkal bahwa polemik berupa klaim-klaim politik, pertentangan, dan pertumpahan darah yang terjadi adalah bermotivasi kekuasaan dan perbedaan kepentingan antar pribadi atau antar kelompok yang pada taraf tertentu diatasnamakan bermotivasi menegakkan kebenaran agama. Klaim kalangan Quraisy atas hak kekuasaan terhadap selain mereka, klaim elit Quraisy yang pro-’Abû Bakr terhadap kalangan yang pro-‘Aly bin ’Abî Thâlib misalnya, atau sebaliknya, adalah contoh-contoh yang nyata operasi kepentingan politik kekuasaan dan ideologinya. Tidak dapat disangkal pula bahwa faksi-faksi politik yang saling bersaing untuk meraih kekuasaan telah memanfaatkan berbagai sarana seperti kekuatan sosial, kekuatan ekonomi, dan kekuatan ideologi. Khusus mengenai kekuatan ideologi, strategi operasinya dapat dirunut dari munculnya klaim-klaim kelompok sebagai yang paling berhak atas kekuasaan. Wacana yang berkembang adalah bagaimana mekanisme suksesi kepemimpinan harus ditempuh serta siapa aktor dan dari kelompok mana yang berhak dan pantas menduduki jabatan khalifah. Pernyataan ’Abû Bakr misalnya, bahwa tidak ada landasan teoretis yang pasti 4 yang dapat dijadikan pedoman bagi mekanisme suksesi kepemimpinan,8 jelas berhadapan dengan klaim kalangan pro-‘Aly yang memastikan kepemimpinan sebagai hak istimewa keluarga keturunan Nabi (’âlu baiti al-Naby).9 Wacana permulaan yang tidak dapat terlepas dari muatan “penumpang gelap” ideologi ini terus berkembang seiring dengan perkembangan realitas politik di mana otoritas kekhalifahan berhasil ditegakkan di atas segala macam bentuk dominasi sekaligus tandingannya.10 Apalagi dalam prakteknya, masing-masing faksi selain menciptakan komunitas-komunitas yang dibentuk atas dasar keterikatan area geografis, suku, budaya, dan kepentingan tertentu, juga mengembangkan konsep dasar dan karakteristik gerakannya. Konsekuensinya, pertentangan antar faksi untuk meraih kekuasaan berkembang menjadi perbedaan paham (aliran) dalam sistem teologi (dasar-dasar kepercayaan, hukum, dan struktur sosial yang lain). Kebutuhan yang 8 Dalam lingkaran para elit Sahabat di Saqîfah Banî Sâ‘idah, ’Abû Bakr menyatakan: “Seharusnya saya menanyakan, siapa yang akan menggantikan dia (Nabi Muhammad) dalam kekuasaan politik. Jika dia mengangkat seseorang, maka siapapun tidak bisa menolak calonnya dalam masalah ini. Dan seharusnya saya menanyakan juga kepada Nabi, apakah kaum Ansar berhak dalam kekuasaan politik.” Lihat ’Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuriy (’Ibn Qutaibah), Al-’Imâmatu wa al-Siyâsah: Târîkhu al-Khulafâ’, Mesir: Muassasat al-Halabiy wa al-Syarîkah, t.t., jilid I, h. 19. Namun, di tengah-tengah perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan kelompok Ansar, ’Abû Bakr mengemukakan sebuah hadis Nabi bahwa: “Para Imam adalah tetap dari Quraisy”. Lihat al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bairut: Dâru al-Fikr, 1416/1996, h. 6 9 Kelompok Sahabat yang pro-‘Aly berpendirian bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk dan memproklamirkan ‘Aly, menantunya, sebagai penggantinya. Pendirian demikian utamanya didasarkan pada peristiwa Ghâdir Khûm yang terjadi pada bulan Zulhijah tahun ke-10 hijriah ketika Nabi menyampaikan pidato dalam haji wadak. Lihat Usman Abu Bakar dkk., “Negara dan Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran Al-Mâwardiy dan ’Ibn al-Farrâ’”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5, h. 2, tidak diterbitkan. 10 Faksi politik mayoritas yang pada akhirnya menamakan diri golongan Ahlu Sunah Waljamaah (Suni) mengembangkan wacana kekuasaan yang mengkristal pada konsep ‘Wewenang Dewan Permusyawaratan’ (’ahlu al-syûra/’ahlu al-halli wa al-‘aqd). Sementara itu wacana kekuasaan ’âlu al-bait yang diusung oleh kelompok pro-‘Aly yang kemudian menamakan diri Syî‘ah terus dimatangkan menjadi konsep ’imâmah dengan segala keistimewaannya. Demikian juga faksi Khawârij, yang anti pada kedua faksi utama, mengusung wacana "kebebasan" yang berujung pada ekstrimitas dan keabsahan memberontak terhadap penguasa. 5 riil untuk menyusun ajaran-ajaran Islam yang komprehensif dan sistematis oleh masing-masing komunitas bertumpang-tindih dengan kepentingan- kepentingannya sebagai faksi politik. Maka, perkembangan suatu paham atau aliran di dalam Islam sangat terkait dengan kepentingannya sebagai faksi politik dan sangat dipengaruhi oleh dominasi paham atau aliran yang dianut oleh rezim yang berkuasa. Dengan demikian, wacana kekuasaan dengan ideologinya telah menyebar ke segala arah sehingga mampu menembus batas-batas kesadaran massa karena mengambil bentuk-bentuk wacana baru (dogma-dogma keagamaan). Karena latar belakang konflik politik yang berkepanjangan dan tidak adanya pedoman teoretis yang dapat dijadikan pijakan untuk mengorganisasikan sistem kekuasaan dalam Islam, kaum intelektual Muslim (ulama) merasa terpanggil untuk menyusun teori hukum konstitusional Islam seiring dengan semangat untuk mensistematisasi seluruh ajaran Islam. Di dalam golongan Suni misalnya, para imam mazhab fikih seperti: ’Abû Hanîfah [al-Nu‘mân] (80-150 H /699-767 M), Mâlik bin ’Anas (93-179 H /w.795 M), Muhammad bin ’Idrîs alSyâfi‘iy (150-204 H/w. 819 M), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan al-’Auza‘iy (w. 773 M) telah merintis kajian politik (al-fiqh al-siyâsiy) dan memasukkannya ke dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam) karangan mereka, meskipun masih bersifat terbatas dan parsial. Barulah di tangan para murid mereka yang terkemuka kajian politik kenegaraan dibahas secara tersendiri (terpisah dari tema-tema kajian fikih yang lain), mendalam, meluas, detail dan sistematis. Sederet nama besar di antara mereka adalah ’Abû Yûsuf Ya‘qûb al-Kûfiy (w. 182 H, murid ’Abû 6 Hanîfah), ’Ibn Qutaibah (w. 300 H/913 M), al-Jâhizh (w. 305 H/917 M), alBâqillâniy (w. 403 H), ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb [alMâwardiy] (364-450 H /974-1058 M), al- Baghdâdiy (w. 463 H), dan ’Abû Ya‘lâ al-Farrâ’ (380-458 H /963-1011 M). 11 Secara umum dapat dikatakan bahwa sebaik apapun kualitas moral individu para cendekiawan tersebut, sekuat apapun dedikasi mereka terhadap tanggung jawab keilmuan, dan seteguh apapun upaya independensi mereka dari pengaruh kekuasaan, di balik karya teoretis mereka terdapat endapan-endapan kepentingan untuk memanfaatkan agama secara ideologis dalam konteks persaingan bersama lawan-lawan mereka di dalam ruang politik yang ada. Secara khusus dalam kasus ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardiy (terkenal dengan sebutan al-Mâwardiy), ia telah menulis kitab al’Ahkâm al-Sulthâniyyah. Secara substansial, isi kitab ini telah memenuhi tuntutan kebutuhan teoretis atas landasan hukum konstitusional bagi praktek penyelenggaraan kekuasaan negara dalam kerangka etika politik Islam. Bukan saja cakupan materi kitab tersebut yang komprehensif, tetapi juga disusun secara sistematis, dan menggunakan metode ilmiah yang sulit diragukan. Maka tidak mengherankan jika kitab tersebut dinilai sebagai karya monumental, literatur penting tentang prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam, dan memiliki pengaruh yang dominan terhadap pemikiran politik Islam.12 ’Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah merupakan masterpiece karya al-Mâwardiy yang menjadi rujukan 11 Catatan tahun wafat para cendekiawan Muslim tersebut mengacu kepada ‘Umar Ridhâ Kihâlah, Mu‘jamu al-Mu’allifîn, Beirut, Dâru ’Ihyâ’i al-Turâtsi al-‘Arabiy, tt. 12 Lihat Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University Press, 1981, h. 83. 7 terpenting pemikiran politik Suni pada abad-abad setelahnya hingga sekarang. Di Indonesia, pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah tampak seperti dalam tradisi intelektual yang berlaku di dunia pesantren, di mana kitab ini dianggap sebagai literatur yang paling muktabar mengenai pemikiran politik Islam. Selain itu, pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah juga tampak di dalam pemikiran organisasi/gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seperti tertuang di dalam edisiedisi buletinnya: "Al-Islam", yang fokus pada perjuangan menegakkan "khilafah".13 Namun dari sudut pandang sejarah terlihat, bahwa al-’Ahkâm alSulthâniyyah ditulis oleh al-Mâwardiy dalam konteks ketegangan pertentangan politik antar dinasti dan golongan yang terus bersaing untuk meraih kekuasaan dan menanamkan pengaruhnya. Sejak pertengahan abad ke-9 M, kekuasaan khalifah dari dinasti ‘Abbâsiyyah yang berkedudukan di Bagdad mulai melemah. Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif dan penuh. Otoritas khalifah mulai terganggu dengan munculnya penguasa-penguasa lokal yang tidak selalu menaruh respek terhadap eksistensi pemerintahan pusat. Kekuasaan dinasti Thâhir di Persia, dinasti Thûlûn di Mesir, dan berbagai pemberontakan telah ikut serta memperlemah posisi khalifah. Apa yang dapat dipertahankan khalifah pada saat itu adalah sebatas otoritas simbolik sebagai 13 Hizbut Tahrir memang tidak pernah menyebutkan bahwa gagasan "khilafah"-nya merujuk secara spesifik kepada al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy. Tetapi bagi siapapun yang mengusung gagasan itu dalam konteks politik sekarang, atau siapapun yang ingin mendalami teori politik Islam, ia tidak dapat mengabaikan posisi al-Mâwardiy dengan teorinya di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. 8 penguasa tunggal dunia Islam.14 Kemudian, pada tahun 944 M, dinasti Buwaihiy yang merupakan para petinggi militer yang memiliki kecenderungan Syî’ah yang kuat berhasil masuk dan menguasai pusat kekuasaan Khalifah ‘Abbâsiyyah di Bagdad. Faksi Syî’ah yang semula lebih merupakan gerakan bawah tanah, dengan kehadiran dinasti Buwaihiy di pusat kekuasaan, menjadi lebih leluasa berkembang dan membangun jaringan komunitasnya. Sehingga, dalam waktu yang relatif singkat Bagdad, Ray, Isfahan, Qazwin, Syiraz, dan Thabaristan telah berkembang menjadi pusat-pusat dinamika Syî’ah. Di bawah pengaruh perlindungan para ’amîr dan sultan15 dari dinasti Buwaihiy berbagai perayaan keagamaan yang bersandar pada doktrin Syî’ah berlangsung secara semarak. Gerakan intelektual juga berkembang dengan pesat. Beberapa ilmuwan terkenal seperti ’Ibn Bâbawaih, al-Mufîd, ‘Allâm al-Hudâ, dan al-Thûsiy hidup pada masa tersebut dan berhasil mengembangkan doktrin-doktrin Syî’ah lebih jauh.16 Perkembangan situasi sosial dan politik tersebut jelas mengundang reaksi dari kelompok lawan untuk mengadakan gerakan tandingan. Suni (Ahli Sunah) sebagai faksi politik yang terbesar, terutama melalui sayap mazhab Hambali merespon perkembangan situasi tersebut secara fundamental, yakni mengadakan 14 M. Nafis, dkk., “Konfigurasi Keagamaan dalam Islam: Studi tentang Sekte dan Mazhab Abad XI di Daerah Bagdad dan Khurasan”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1996, h. 18, tidak diterbitkan. 15 Pada masa kepemimpinan ’Abû Bakr hingga ’Aly, pemimpin Islam disebut ’amîru al-mu’minîn. Perkembangan kemudian, umat Islam juga mengenal sebutan "khalifah", "Imam", "malik", "amir", dan "sultan" bagi penguasa-penguasa mereka. Dalam tataran praktis maupun teoretis politik Islam yang terus berkembang seiring dinamika politik dan perluasan wilayah kekuasaan Islam , penguasa tertinggi Islam (penguasa pusat) disebut "khalifah", atau "Imam", atau ’amîru almu’minîn yang menyimbolkan kesatuan kekuasaan Islam; sedangkan "malik", "amir", dan "sultan" adalah penguasa-penguasa daerah otonom. Fenomena ini terus berlangsung hingga dihapuskannya lembaga khilafah terakhir yang berpusat di Turki oleh Mustafa Kamal pada pertengahan abad ke19 M. 16 M. Nafis, Ibid., h. 20. 9 polemik serta perlawanan terhadap gerakan Syî’ah. Pertengkaran antara dua kelompok inipun seringkali terjadi. Pada sisi lain, semangat faksi Suni dalam melakukan gerakan tandingan dimanfaatkan Khalifah al-Qâdir Billâh (berkuasa: 991-1031 M) untuk memperkuat posisinya dan mengembalikan otoritas kekuasaan kekhalifahan yang selama hampir dua abad dipegang oleh para "amir" dan sultan yang membangkang. Untuk tujuan tersebut, Khalifah al-Qâdir Billâh menetapkan kebijakan politik berupa “Dekrit Qadiriah”, yaitu pemberlakuan sistem teologi Suni sebagai mazhab resmi negara sekaligus penguatan otoritas institusi khalifah sebagai penguasa tunggal negara Islam (al-Dawlat al-Islâmiyyah). Koalisi antara pihak khalifah dengan faksi Suni ini di kalangan sarjana Barat dikenal sebagai “the Suni Revival and Restoration”.17 Khalifah yang menggantikan al-Qâdir Billâh, yaitu al-Qâ’im Billâh (berkuasa: 1031-1075 M), melanjutkan kebijakan tersebut dengan membentuk panitia khusus yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengembalian otoritas khalifah. Usaha restorasi ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan dinasti Buwaihiy, tetapi juga ditujukan kepada seluruh dinasti yang berkuasa di beberapa daerah Islam, seperti dinasti Hamdâniy, dinasti Saljûq, dan dinasti Fâthimiyyah.18 Koalisi antara pihak Khalifah ‘Abbâsiyyah dengan kekuatan faksi Suni yang mayoritas memiliki makna yang strategis bagi kedua belah pihak, terbukti dengan semakin menguatnya posisi dan otoritas khalifah atas dinasti-dinasti pesaingnya dan diberlakukannya mazhab Suni sebagai mazhab resmi negara, serta 17 Lihat G. Makdisi, “The Suni Revival”, dalam D. S. Richard (ed.), Islamic Civilization 950-1150, Oxford: Bruno Cassier, 1973, h. 68-155. 18 Usman Abu Bakar, Op. Cit., h. 20-21. 10 diangkatnya ulama Suni menjadi pejabat-pejabat penting negara, antara lain sebagai penasehat khalifah atau hakim. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kondisi struktur politik dan formasi keagamaan.19 Gambaran umum situasi dan kondisi sosial dan politik seperti tersebut di atas menjadi pengalaman hidup al-Mâwardiy, bahkan sebagai salah satu tokoh terkemuka dari mazhab Suni dia terlibat langsung dalam struktur pemerintahan dengan menjadi hakim agung (’aqdh al-qudhât). Terkait dengan kehadiran al-Mâwardiy sebagai salah satu pemikir terkemuka mazhab Suni, dan bahkan dia terlibat langsung dalam praktek politik pemerintahan dengan menjadi hakim agung, patut diduga bahwa seluruh situasi yang menjadi konteks dan melingkupi kehidupannya itu memiliki pengaruh yang kuat terhadap karya pemikirannya, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Diasumsikan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bukanlah datang secara sekonyong-konyong: hampa sejarah (a-historis), atau tidak terkait dengan kerangka epistemik (metodologis dan ideologis) yang berkembang pada masa itu. al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai hasil pemikiran merupakan sebagian simbol dari realitas: pergulatan antar-kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada zamannya. Atau dengan perkataan lain, tentu ada kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan budaya (khususnya ilmu pengetahuan dan ideologi) yang mendorong dan atau melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, mengoperasikannya pada zamannya, bahkan mengkanonkannya pada zaman sesudahnya sehingga sekarang. 19 M. Nafis, Op. Cit., h. 4. 11 Dengan demikian ada gejala-gejala sejarah, epistemologi, dan ideologi yang perlu diungkap terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan gejala-gejala itu sulit didekati dengan perspektif teologis-substansialis. Oleh karena itu, gejala-gejala yang terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah perlu dilihat dari sudut pandang teori kritis dan menempatkannya dalam wilayah kajian budaya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil tema “fenomena historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy”. Tema penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab masalah utama: kekuatan-kekuatan sejarah yang melahirkan dan membentuk gagasan etika politik Islam al-Mâwardiy dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah”. Garis besar masalah ini dapat diuraikan menjadi tiga persoalan spesifik sebagai berikut: 1. Kondisi sosial, politik, dan budaya macam apa yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy? 2. Apa metodologi yang dipakai al-Mâwardiy untuk menyusun al-’Ahkâm alShulthâniyyah? 3. Bagaimana implikasi dari keduanya secara ideologis? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan persoalan tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu: 12 1. Mengungkap dan menggambarkan kondisi-kondisi sosial-historis yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy. Pengungkapan kondisi sosial-historis ini penting untuk menunjukkan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah gagasan bukan merupakan kreasi mental al-Mâwardiy yang transenden dan terlepas dari aspek-aspek kesejarahan. Sebaliknya, pengungkapan kondisi sosialhistoris itu akan memperlihatkan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai fenomena yang bersifat budaya dan manusiawi, dan dengan demikian ia sangat terikat dengan aspek-aspek kesejarahan. 2. Mengungkap dan menggambarkan metodologi atau sistem pemikiran yang diapakai untuk merumuskan pandangan-pandangannya tentang etika politik Islam dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penjelasan mengenai sistem pemikiran al-Mâwardiy ini penting, karena pandangan- pandangannya tentang etika politik Islam pastilah berada di dalam sistem budaya pemikiran tertentu dan dirumuskannya melalui teknik-teknik pemikiran yang ada di dalam sistem itu. Pengungkapan aspek metodologi ini merupakan salah satu konsekuensi teoretis dari perspektif penelitian yang menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai fenomena budaya. 3. Menganalisis implikasi-implikasi ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, baik yang terkait dengan aspek historis, metodologis, maupun substansi. Karena penelitian ini menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai fenomena budaya, maka ideologi merupakan sebagian aspek lain yang 13 juga perlu diperhitungkan. Bahkan, jika aspek ini diabaikan dalam mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, selain akan berakibat mengurangi arti bobot kajian dengan perspektif kritik sejarah, lebih-lebih hal itu juga akan mengakibatkan perolehan pemahaman mengenai al-’Ahkâm alShulthâniyyah yang lebih kuat nuansa teologisnya. Padahal pemahaman yang lebih berorientasi teologis sangat kecil kemungkinannya dapat menghindar dari "perangkap" ideologi yang ada pada dirinya sendiri, maupun kemungkinan untuk dapat menangkap keberadaan ideologi dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah wacana keagamaan yang otoritatif. D. Relevansi Penelitian Islam memiliki makna yang historis, tetapi, pada saat yang sama, fenomena ini sering diabaikan dalam pemahaman dan kajian terhadap Islam, atau pemahaman yang ada tentang fenomena ini sangat kurang memadai. Menurut Mohammed Arkoun, telah lama wacana Islam dimonopoli oleh kalangan yang disebut sebagai revivalis (salafiy: secara literal berarti pengikut kaum terdahulu yang saleh) dan terkungkung oleh postulat-postulat modernisme. Sejak permulaan Nahdhah (kebangkitan Islam) pada abad ke-19 M hingga saat ini, wacana Islam terjebak dalam konfrontasi antara dua sikap dogmatis: klaimklaim teologis dari kaum reformis salafiy yang menempuh jalan pemikiran 14 ’ishlâhiy,20 dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme positivis kaum modernis.21 Wacana Islam konfrontatif ini terangkum dalam semua diskusi skolastik tentang Orientalisme. Islam, dalam diskusi-diskusi ini, diasumsikan sebagai sebuah kesatuan sistem pemikiran, kepercayaan, non-kepercayaan yang spesifik, esensial, dan tak dapat diubah, yang superior atau inferior (menurut umat Islam atau non-Islam) terhadap sistem Barat (Kristen). Pendekatan historis terhadap Islam dalam kedua tradisi tersebut tidak lebih dari sebagai sandaran ideologis dan perhitungan naratif terhadap fakta-fakta. Sejarah hanya dilihat secara antikuarian, di mana masa lampau terlalu diagung-agungkan dan diangkat sebagai hakim dan menjadi legitimasi atas masa kini.22 Menurut Arkoun, "inilah saatnya menghentikan konfrontasi tidak relevan antara dua sikap dogmatis ini."23 Ada fenomena lain sebagai akibat dari wacana konfrontatif di atas. Semua polemik yang belakangan ini ditujukan terhadap Orientalisme memperlihatkan 20 Sikap reformis (’ishlâhiy), menurut Mohammed Arkoun, merupakan ciri utama pemikiran Islam sejak Nabi Muhammad wafat (632 M). Dalam pandangan model pemikiran ini, nilai perilaku manusia dan, secara lebih umum, nilai perkembangan suatu masyarakat sejak saat itu, dianggap semata-mata bergantung pada keselarasan dengan teks-sumber-model atau dengan contoh-contoh dan warisan-warisan dari figur-figur yang diidealkan, yaitu Nabi, para Sahabat dan Imam (’imâm). Setiap langkah penyimpangan dari model-model ini dirasa dan dipikir sebagai degenarsi pribadi dan dekadensi komunal. Akibatnya ulama dari setiap mazhab, hingga saat ini, mendakwahkan kembali kepada pola yang benar dari eksistensi manusia yang serba asli. Diskusi yang lengkap mengenai hal ini lihat, Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 21. Di tempat lain Arkoun mendefinisikan pemikiran ’ishlâhiy sebagai pemikiran pembaruan yang muncul sejak abad ke-19 oleh mazhab salaf [kaum revivalis]. Lihat Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam", dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta, Paramadina, 2001, h. 336. 21 Suasana intelektual Barat abad ke-19 M menekankan manusia sebagai makhluk yang dikenal sangat rasional dan menaruh harapan besar dalam pemikiran (akal) sebagai satu-satunya sarana untuk mengerti dan menyelesaikan setiap masalah sosial. Paham ini merasuk dalam lingkungan intelektual Muslim, salah satu nama yang memiliki pengaruh besar hingga saat ini adalah Muhammad ‘Abduh (Mesir: 1849-1905 M). Di Indonesia hingga sekarang, pemikiran-pemikiran pembaruan ‘Abduh masih berpengaruh sangat dominan di lingkungan intelektual Muslim yang mengklaim sebagai kelompok "pembaru" [modernis]. 22 Ungkapan “sejarah antikuarian” meminjam istilah yang dipakai St. Sunardi, lihat tulisannya, “Kajian Budaya: Pada Mulanya Adalah Perlawanan ….”, dalam RETORIK, Vol. 2, No. 4, Oktober 2003, h. 12. 23 Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam”, h. 337. 15 dengan jelas bahwa apa yang dikenal sebagai kelompok Islam "fundamentalis" bersikeras menegakkan simbol-simbol ajaran Islam sebagai sebuah institusi formal (seperti konsep "khilafah" [khilâfah] atau "imamah" [’imâmah]), yang tak lebih hanya sebagai sebuah alat ideologis untuk mencapai kepentingankepentingan politiknya. Pada tataran praktis, Islam diposisikan dalam kerangka strategi yang tidak menyentuh realitas sosial, bahkan seringkali menimbulkan kekerasan. Demikian juga, karena terperangkap dalam wacana Orientalisme, kesarjanaan modern tetap jauh dari proyek epistemologis apapun yang dapat membebaskan Islam dari postulat-postulat esensialis dan substansialis tentang metafisika klasik.24 Studi Islam, khususnya, dihambat oleh warisan definisi dan metode yang kaku dari teologi dan metafisika klasik.25 Kelemahan ini, bahkan tampak lebih jelas tergambar melalui literatur-literatur pemikiran Islam modern yang miskin, konformis, dan seringkali polemis. Kebanyakan literatur justru menunjukkan kecenderungan ke arah jalan pemikiran ’ishlâhiy yang membabibuta.26 Selain itu, karena dikuasai oleh postulat-postulat rasionalisme positivistik, 24 Mohammed Arkoun, Loc. Cit. Contoh yang paling nyata adalah postulat mengenai Alquran. Sejak kekalahan doktrin Muktazilah tentang kemakhlukan Alquran, "Islam resmi" sampai sekarang berpegang pada keyakinan yang baku bahwa Alquran bukan makhluk dan bersifat azali. Oleh karena itu, hingga saat ini masih tidak mungkin, umpamanya, menggunakan ekspresi "problem Tuhan" dalam studi Islam, menggabungkan Tuhan dan musykil (problem); Tuhan tidak dapat dianggap sebagai problematik. Ia diketahui dengan baik, ditampilkan dengan baik dalam Alquran; manusia hanya diharuskan untuk merenungkan, meresapi, dan memuja apa yang Tuhan wahyukan tentang DiriNya dalam Kata-kata-Nya sendiri. Contoh lainnya adalah definisi yang dibakukan mengenai kelompok sosial mu’minûn di satu sisi, dan kâfirûn, munâfiqûn, serta musyrikûn di sisi yang lain. Definisi-definisi tersebut beserta konsep-konsep turunannya terpelihara secara masif dalam literatur Islam dan nyaris tertutup untuk didiskusikan. 26 Corak pemikiran ’ishlâhiy dalam literatur-literatur pemikiran Islam modern, antara lain tergambar melalui pemikiran-pemikiran Jamâl al-Dîn al-’Afghâniy (18381897) dan Muhammad ‘Abduh yang diadopsi dengan yakin oleh program International Institute of Islamic Thougth (didirikan pada tahun 1981 di Washington, D. C., "untuk pembaruan dan kemajuan pemikiran 25 16 pemikiran Islam modern hanya cenderung menitikberatkan esensi dan substansi sebuah ajaran, dengan mengabaikan tata aturan teoretis-metodologis. Pendekatan rasional terhadap esensi dan substansi ajaran Islam lebih dikedepankan ketimbang detail-detail aturan metodologis yang memang rumit dan memusingkan. Akibatnya, literatur-literatur itu tidak hanya miskin nuansa melainkan juga simplistik secara metodologis. Ungkapan-ungkapan seperti: Islam sesuai dengan semangat kemodernan, kemajuan, kebebasan, demokrasi dan egalitarianisme, sebenarnya hanyalah jargon-jargon imitatif yang mengais isu-isu dari Barat. Dalam hal kebebasan berpikir misalnya, kaum intelektual Islam "modernis" dan "liberal" selalu mengedepankan isu kebebasan berijtihad sembari menuduh (seperti perilaku guru-guru Orientalis mereka) kelompok tertentu sebagai yang terbelakang, yang beku, yang anti kemajuan, dan yang menyebabkan kemunduran Islam. Tetapi sampai dengan sekarang, isu-isu mereka tak lebih hanyalah omongkosong. Melalui penelitian ini, penulis tidak mau terlibat dalam semua diskusi yang membicarakan relevansi intelektual dan ilmiah Islam dari sikap mental inferior tersebut, sikap yang tidak memperhatikan problem-problem epistemologis, sikap yang juga memiliki motivasi ideologis. Tugas yang jauh lebih mendesak dan bermakna dibanding semua diskusi skolastik tentang Orientalisme adalah studi kritis-radikal yang mengevaluasi Islam"). Salah satu proyek lembaga ini adalah "Islamisasi Pengetahuan". Di Indonesia, pengaruh keduanya dapat ditemukan dalam pemikiran dan slogan kaum intelektual Muslim "modernis" yang mendengung-dengungkan kebutuhan pembaruan pemikiran Islam (propaganda kebutuhan pemikiran rasional) di satu sisi, dan di sisi lain mempropagandakan kebutuhan umat Islam untuk kembali kepada sebuah "kerangka Islam" yang selalu valid, transenden, otentik, dan universal, yang dengannya seluruh aktivitas dan inisiatif manusia harus dikontrol dan diintegrasikan dengan benar, dan oleh karena itu mereka berusaha keras memberantas "bidah". Salah satu slogan yang sangat terkenal di era 1990-an adalah "otak Jerman-hati Mekah". Slogan ini cukup menggambarkan "imajinasi sosial" kaum intelektual Muslim "modernis" tentang kualitas umat Islam yang "modern". 17 dengan perspektif epistemologi baru terhadap karakteristik-karakteristik sistemsistem pengetahuan Islam. Perspektif ini dapat dirumuskan sebagai sikap yang “regresif-progresif”: perspektif yang mendorong penggunaan nalar (penelitian) secara bebas menuju elaborasi pandangan baru dan koheren, dengan memasukkan situasi-situasi baru yang dihadapi masyarakat-masyarakat dan unsur-unsur hidup tradisi umat Islam.27 Pendekatan historis, arkeologis, sosiologis, antropologis, linguistik, semiotik, kritik ideologi, dan dekonstruksi, yang menjadi perspektif baru ilmu-ilmu sosial kemanusiaan kontemporer, tampaknya lebih memungkinkan sebagai alat bedah untuk membeberkan, menggeledah, membongkar, dan memilah antara dimensi historis, dimensi mitis, dan fungsi-fungsi ideologis pengetahuan yang terbentuk dalam fakta Islam. Dalam model studi demikian, nalar harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansialisme yang telah membuatnya terpenjara, khususnya melalui berbagai postulat teologis yang diterima tanpa diskusi. Pendekatan-pendekatan teoretis tersebut memiliki peran yang lebih penting dalam memikirkan kembali status kognitif wacana Islam. Ia bukan hanya menyediakan cara untuk dapat melihat, menilai, dan menempatkan masa lalu Islam, melainkan pada saat yang sama ia juga mengajak siapapun untuk kritis terhadap apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi dalam Islam. Hal ini adalah sekaligus sebuah metodologi, sebuah epistemologi, dan sebuah teori sejarah.28 Penelitian ini didedikasikan untuk memenuhi tugas mendesak dan penting tersebut, yaitu studi kritis dalam kerangka rethinking Islam. Tentu usaha 27 28 Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam", h. 336. Mohammed Arkoun, Ibid., h. 344 18 memikirkan kembali (rethinking) Islam adalah proyek laten yang tidak akan pernah berhenti dengan hasil yang final. Dalam gagasan Arkoun, proyek memikirkan kembali Islam berarti inisiatif intelektual yang terus-menerus, yang berusaha menemukan suara yang berwenang atau teori yang diakui yang dapat memberikan gambaran tentang sebuah Islam yang menyerap ke dalam mentalitas modern yang saintifik, dan pada saat yang sama ke dalam pengalaman keagamaan umat Islam. Sebagai ilustratif Arkoun mempertanyakan: … mungkinkah mengartikulasi sebuah visi modern Islam dapat mempunyai pengaruh yang sama, terhadap masyarakat, dengan pengaruh Risâlah [’Abû ‘Abdillâh Muhammad] al-Syâfi‘iy (767-820 M.) atau ’Ihy ‘Ulûmu al-Dîn [’Abû Hâmid Muhammad] al-Ghazâliy (1058-1111 M.)? Saya mengacu kepada kedua karya besar itu, karena keduanya menggambarkan inisiatif intelektual yang sama dengan yang saya tuju, yaitu untuk memasukkan, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syâfi’iy dan al-Ghazâliy, disiplin-displin baru, pengetahuan baru, dan pemahamanpemahaman historis yang baru ke dalam Islam sebagai sebuah pandangan spiritual dan historis tentang keberadaan manusia.29 Dengan mengapresiasi semangat dan langkah ilmiah Arkoun, telah cukup jelas perbedaan posisi penelitian ini dibanding posisi revivalisme dalam konteks diskusi tentang Orientalisme. Tetapi orang masih dapat mengajukan pertanyaan: di mana letak perbedaan penelitian ini dengan kajian Orientalis? Bukankah melakukan studi secara kritis dengan menggunakan seperangkat metode ilmu sosial kemanusiaan kontemporer (yang notabene berkembang dalam sejarah tradisi pemikiran Barat) terhadap karakteristik-karakteristik pengetahuan Islam, sama saja dengan apa yang dilakukan oleh para sarjana Orientalis dan para sarjana pengikut mereka? 29 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 338. 19 Budaya Barat seperti juga budaya Timur atau Islam bukanlah budaya yang tunggal dan monolog. Dalam aspek pemikiran misalnya, pengetahuan dan keilmuan Barat merupakan ragam dialog antar gagasan dan bahkan kontradiktif. Rasionalisme positivistik dalam ilmu sosial yang dominan di Barat sejak abad ke19, menjelang berakhirnya abad ke-20 telah banyak digugat paradigma dan status epistemologinya. Postulat-postulat epistemik yang mendasari ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) dibongkar. Maka lahirlah teori-teori ilmu humaniora yang membongkar dan emansipasif, seperti banyak digunakan dalam studi kebudayaan kontemporer (cultural studies). Teori-teori ini lahir di Barat dan sebagai kritik atas tradisi keilmuan Barat. Ketika kebanyakan reaksi sarjana-sarjana non-Barat mengambil bentuk yang secara kultural benar-benar defensif terhadap wacana Orientalisme, sementara itu Edward W. Said secara sengaja berpijak pada keilmuan Eropa yang emansipasif membongkar epistemologi Orientalisme. Orientalisme yang rasionalpositivistik mengklaim bahwa kultur Barat Eropa yang modern dan humanis adalah model bagi masyarakat-masyarakat di luar Eropa, dan bahwa ekspansi Eropa ke seluruh penjuru dunia adalah sebagai proses peradaban global. Klaimklaim seperti ini terasa mengabsahkan bagaimana penjajah-penjajah Eropa membangun dominasi dan kekerasan, dan Orientalisme dengan konsep antropologi dan sosiologinya berperan penting dalam menjamin kelangsungan proses-proses itu. Tetapi dalam pandangan Said, “Timur dulu diciptakan – atau, dalam ungkapan yang lebih saya sukai – , ditimurkan…. Hubungan antara Timur 20 dan Barat didasarkan pada kekuasaan, atau dominasi dan berbagai tingkat hegemoni yang kompleks.”30 Studi Said tentang Orientalisme hanya salah satu dari banyak contoh studi kritik atas tradisi nalar Barat dengan memakai konsep-konsep metodologis yang orisinal milik Barat. Said, yang berpijak pada teori-teori ilmu sosial kemanusiaan kontemporer milik Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan lain-lain, tampak memiliki keistimewaan dalam cara memandang Barat. Sekurang-kurangnya, Said telah menunjukkan bahwa jawaban bagi Orientalisme tidak bisa Oksidentalisme.31 Walaupun penulis sangat simpati dan sependapat dengan kritik Said atas Orientalisme, tetapi pada taraf tertentu penulis melihat kritik Said dapat menjadi senjata atau cara baru bagi Oksidentalisme untuk melawan Orientalisme. Penulis merasa tidak perlu menjadi epigon semangat Said terhadap Orientalisme, tetapi mencoba bertindak seperti Foucault, atau Gramsci, atau ‘pendekar-pendekar’ mazhab Frankfurt yang merumuskan teori kritis untuk mengkritik budayanya sendiri. Jadi, penelitian ini adalah semacam otokritik, tanpa harus menolak atau apalagi mengamini Orientalisme. Terkait dengan pengaruh "wibawa" yang dimiliki al-Ahkâm al- Sulthâniyyah, penelitian ini penting untuk menghindari "perangkap-perangkap" ideologis yang diyakini ada di dalamnya, maupun untuk mengkritisi klaim dari kelompok-kelompok Islam yang mencoba memanfaatkannya – baik langsung atau tidak langsung – secara ideologis sebagai "resep ampuh" atas problem politik Islam sekarang. 30 31 Edward W. Said, Orientalism, New York: Random House, 1979, h. 5. Edward W. Said, Ibid., h. 328. 21 E. Survei Hasil-Hasil Penelitian Di kalangan para ahli studi politik Islam, reputasi al-Mâwardiy dengan karyanya: al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, telah sangat dikenal. Meskipun al-Mâwardiy bukanlah perintis pemikiran politik Islam, tetapi pemikiran politik yang dituangkannya di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dinilai paling komprehensif dan sistematis. Oleh karena itu, al-Mâwardiy dianggap sebagai tokoh pemikir yang berperan penting dalam mengembangkan teori politik Islam yang melebihi para pemikir pendahulunya, mulai dari al-Baghdâdiy, al-Bâqillâniy, ’Ibn Qutaibah, al-Jâhizh, ’Ibn al-Muqaffâ, hingga ’Abû Yûsuf.32 Maxmillian Enger adalah orang pertama yang berjasa memperkenalkan karya al-Mâwardiy tersebut kepada publik ilmiah Eropa. Pada tahun 1853, Enger menterjemahkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ke dalam bahasa Inggris dengan judul yang sama.33 Tulisan yang lebih bersifat kajian dibuat oleh H.A.R. Gibb, (1937), dalam bentuk artikel dengan judul “Al-Mâwardi’s Theory of the Caliphate”.34 Penelitianpenelitian kecil yang lain dilakukan oleh Khâlid M. ’Ishaque dengan judul “AlAhkâm al-Sulthâniyya: Law of Government in Islam”35, dan Muhammad ’Abû Zahrah dengan judul “’Abû al-Hasan al-Mâwardiy”.36 32 Lihat komentar Qamaruddin Khan, Al-Mawardi' s Theory of The State, h. 20-21. Maxmillian Enger (ed.), Al-’Ahkâm al-Sultâniyya, Bonn: Adolphus Marcus, 1853. Di sini, perlu disampaikan koreksi atas informasi Nur Mufid yang melaporkan bahwa al-’Ahkâm alShulthâniyyah dalam edisi bahasa Inggris baru terbit pada tahun 1996 yang ditulis oleh Asadullah Yate dengan judul: the Laws of Islamic Governance, di London oleh penerbit Ta-Ha Publishers. Lihat Nur Mufid, “Lembaga-lembaga Politik Islam Menurut Al-Mâwardiy dalam Kitabnya al’Ahkâm al-Shulthâniyyah ah”, Surabaya: Balai Penelitian IAIN Sunan Ampel, 1998. 34 H.A.R. Gibb, “Al-Mâwardi’s Theory of the Caliphate”, Islamic Culture 11, No. 3, Juli 1937. 35 Khâlid M. Ishaque, “Al-Ahkâm al-Sulthâniyya: Law of Government in Islam”, Islamic Studies 4, No. 3, September 1965. 36 Dimuat dalam Majallat al-‘Arabi 76, Maret 1965. 33 22 Ann K. S. Lambton, melalui perspektif ilmu hukum, menulis buku State and Government in Medieval Islam, 1981. Sesuai judul buku, isinya merupakan pengantar bagi pembaca untuk mengenal konsep negara dan pemerintahan dalam Islam Abad Pertengahan. Di dalam buku tersebut, Lambton mengemukakan ikhtisar pemikiran beberapa tokoh yang dianggap mewakili atas pemikiran beberapa tokoh yang lain, dan di antara tokoh yang dibahas pemikirannya adalah al-Mâwardiy. Lambton mencoba menganalisa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah untuk menemukan corak pemikiran politik al-Mâwardiy. Menurut Lambton, teori politik al-Mâwardiy bersifat yuridis dan bukan teori politik yang bercorak pemikiran spekulatif (filosofis).37 Lambton juga mengemukakan bahwa teori politik alMâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang bersifat yuridis tidak hanya didasarkan pada kaidah-kaidah ijtihad hukum tertentu, melainkan lebih banyak didasarkan pada fakta-fakta historis yang disimpulkan sebagai ijmak. Oleh karena itu, menurut Lambton, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah sebuah dokumen kunci untuk mengetahui prinsip-prinsip kekuasaan dalam praktek Islam yang terdapat pada abad ke-6 M. sampai dengan masa hidup al-Mâwardiy, yang diterima (secara ijmak) oleh para ahli (ulama) hukum Islam.38 Tetapi, Lambton tidak sampai menemukan dan mengulas metodologi penyimpulan hukum (al-manhaj li ’istinbâth al-hukm) yang dipakai al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penulis mempunyai kesan, bahwa Lambton hanya melihat teks pemikiran alMâwardiy yang eksplisit dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sementara aspek historis yang menjadi latar belakang teks dan metodologi yang menjadi kaedah37 Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University Press, 1981, h. 83. 38 Ann K. S. Lambton, Loc. Cit. 23 kaedah pengarah bagi teks, yang kedua-duanya implisit diabaikannya. Selain itu, Lambton hanya berkutat pada aspek hasil pemikiran (product of thought) alMâwardiy dengan memindah isi teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah secara ringkas dan menjelaskan beberapa maknanya. Dengan demikian, Lambton lebih bertindak sebagai promotor atau quality control atas ‘produk’ al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, daripada bertindak sebagai seorang teknisi ahli. Karena itu, Lambton masih berpijak pada posisi tradisi Orientalis klasik yang memiliki kecenderungan esensialis dan substansialis terhadap teks-teks yang menjadi obyek studinya. Sebuah kajian yang eksklusif mengenai al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, ditulis dalam bentuk buku oleh Qamaruddin Khan berjudul Al-Mâwardi’s Theory of the State, (1983). Buku Qamaruddin tersebut, meskipun tipis tetapi koheren, di mana ia menganalisa teori politik al-Mâwardiy secara kritis-refleksif. Ia mencoba membandingkan pemikiran al-Mâwardiy dengan pendirian para ahli hukum sebelumnya di satu sisi, dan mendialogkannya dengan kondisi politik kontemporer pada sisi yang lain. Qamaruddin berhasil menunjukkan poin-poin kelebihan pemikiran al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah atas pemikiran-pemikiran para ahli yang lain, seperti diungkapkannya: bahwa al’Ahkâm al-Shulthâniyyah lebih komprehensif, detil, dan sistematis,39 sehingga “…. al-’Ahkâm al-Sultânia became a standard work of reference on political and administrative practice,”40 dan bahwa “al-Mâwardi was the founder of the science of politics in the political world.”41 Sekaligus, Qamaruddin menggaris-bawahi 39 Qamaruddin Khan, Al-Mâwardi’s Theory of the State, Lahore: Islamic Book Foundation, 1403 H/1983 M, h. 23. 40 Qamaruddin Khan, Ibid., h. 53. 41 Qamaruddin Khan, Ibid., h. 52. 24 beberapa hal di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang menurutnya perlu dikritisi. Di antara kritik-kritik Qamaruddin terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah: pertama, seperti gambaran yang ditangkap oleh Lambton, Qamaruddin juga melihat bahwa al-Mâwardiy bukanlah seorang pemikir (thinker) politik, dan oleh karena itu dia tidak mengemukakan konsepnya tentang negara secara filosofis. Al-Mâwardiy, menurut Qamaruddin, tidak mendiskusikan hakikat (meaning) negara, tujuan-tujuannya, struktur hukumnya (jurisdiction), mekanisme kebijakan-kebijakan (obligations) dan pertanggungan-jawabnya (responsibilities), dan konsep kedaulatannya (sovereignty), sehingga tidak dapat diketahui secara lengkap gagasannya tentang konstitusi. Kehati-hatian al-Mâwardiy, atau dalam ungkapan Qamaruddin dikatakan: “did not indulge in empty speculation”, sehingga memiskinkan teorinya tentang konstitusi negara, menurut Qamaruddin membawa dampak: “….has not only very much reduced the value of alMawardi’s work but has its deadening effect on the later development of Islamic political thought.”42 Kedua, terkait dengan konsep demokrasi, Qamaruddin melihat bahwa kesetujuan al-Mâwardiy terhadap praktek pemilihan khalifah hanya melalui penunjukan oleh khalifah yang menjabat sebelumnya adalah tidak demokratis. Lebih dari itu, menurut Qamaruddin, al-Mâwardiy sangat mengkhususkan hakhak dan prerogatif khalifah, tetapi tidak memberikan atensi pada hak-hak dan tuntutan-tuntutan (claims) rakyat. Akhirnya, kata Qamaruddin: “lack of the idea of 42 Qamaruddin Khan, Ibid., h. 54. 25 fundamental rights of men has been one of the principal sores in Muslim polity for ages, and has been mainly responsible for almost complete absence of the growth of democratic life in Muslim lands”.43 Buku Qamaruddin tersebut telah cukup adil dalam menilai al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Qamaruddin mengkritik pemikiran al-Mâwardiy itu secara seimbang: mengakui kelebihan-kelebihannya dan sekaligus menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Tetapi, Qamaruddin agak berlebihan (kurang proporsional) di dalam kritiknya. Ia tidak fair, karena mengkritik pemikiran alMâwardiy tidak berdasarkan tuntutan konteks situasi politik saat itu (epistème Islam Abad Pertengahan), melainkan berdasarkan wacana-wacana politik dan tuntutan budaya masyarakat kontemporer. Penulis menganggap, Qamaruddin telah meletakkan “beban” yang terlalu berat di atas “pundak” al-Mâwardiy. Di kalangan intelektual Muslim Indonesia, nama al-Mâwardiy dan al’Ahkâm al-Shulthâniyyah juga sangat dikenal. Di lingkungan akademik, kajian terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dapat ditemukan, antara lain, di dalam buku Syafii Maarif yang berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante.44 Buku Syafii Maarif ini semula merupakan disertasinya di Universitas Chicago. Ketika Syafii Maarif membangun kerangka teoretis untuk disertasi tersebut, khususnya konsep ’imâmah, ia menyinggung pemikiran al-Mâwardiy. Dengan mengacu kepada al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, Syafii Maarif mengulas teori al-Mâwardiy tentang ’imâmah. Tetapi, mungkin karena alasan tempat yang sempit atau tema ini bukan merupakan obyek langsung 43 Qamaruddin Khan, Loc. Cit. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985. 44 26 penelitiannya, Syafii Maarif hanya mengutip komentar-komentar orang lain tentang al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tanpa menunjukkan pendapat atau analisanya sendiri. Penulis juga menemukan buku yang ditulis oleh Munawir Sjadzali berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.45 Seperti tampak dari judul buku tersebut, isinya merupakan ringkasan sejarah hidup dan teori politik tokoh-tokoh Muslim Abad Klasik dan Abad Pertengahan. Apa yang dikerjakan Munawir itu hampir sama dengan yang dikerjakan Lambton dalam State and Government in Medieval Islam. Perbedaannya, di antara banyak perbedaan yang lain, Lambton mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah melalui pendekatan ilmu hukum, sedangkan Munawir mengkajinya melalui pendekatan ilmu politik. Sesuatu hal yang baru dalam tulisan Munawir adalah ulasan perbandingan antara konsep bai‘ah (baiat) al-Mâwardiy dengan teori "kontrak sosial" dari pemikiran para filsuf Barat seperti: Hubert Languet (Perancis: 15191581 M), Thomas Hobbes (Inggris: 1588-1679 M), John Locke (Inggris: 16321704 M), dan Jean Jaques Rousseu (Perancis: 1712-1778 M). Usman Abu Bakar bersama dosen-dosen lain sejawatnya di IAIN Walisongo Semarang, melakukan tugas penelitian pada tahun 1994 dengan obyek al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penelitian yang mereka lakukan diarahkan untuk menjawab masalah yang kontroversial di kalangan pemerhati teori politik Islam sehubungan pada tahun 1938 ditemukan kitab tulisan ’Abû Ya’lâ al-Farrâ’ (w. 1066 M) – pengikut ’Ahmad bin Hanbal – yang berjudul sama dengan kitab al45 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990. 27 Mâwardiy: al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Masalah-masalah yang dipolemikkan seperti: apa perbedaan kedua al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah itu? siapa yang lebih dulu menulis, al-Mâwardiy atau al-Farrâ’? mungkinkah seseorang telah menjiplak karya yang lain? Usman dkk. berhasil menemukan jawaban bagi masalah-masalah tersebut.46 Ada sebuah artikel, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku tipis, ditulis oleh Marzuki Wahid dengan judul Latar Historis Narasi Ketatanegaraan al-Mâwardiy dan Ibn al-Farr : Bacaan “Seorang Rakyat” atas Dua Kitab alAhkâm al-Sulthâniyyah.47 Seumpama tubuh, buku Marzuki tersebut berdiri di atas dua kaki. Kaki yang satu adalah Al-Mâwardi’s Theory of the State karya Qamaruddin Khan, dan kaki yang lain adalah hasil penelitian Usman Abu Bakar dkk.. Penulis menganggap, Marzuki banyak berhutang kepada Qamaruddin dan Usman dkk.. Marzuki, sesuai dengan judul bukunya, mengemukakan kembali latar belakang sosial dan politik al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy dan al-Farrâ’. Ia memang menyarankan, bahwa konteks sosial, politik, dan budaya harus diperhatikan ketika membaca kitab al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Tetapi, pemaparan Marzuki tentang latar belakang historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam buku tersebut, sepertinya sia-sia saja. Karena, Marzuki justru menganalisa isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah berdasarkan latar belakang sosial dan politik kekinian (di luar konteks al-Mâwardiy dan al-Farrâ’). Akibatnya, Marzuki mudah 46 Lihat laporan penelitian Usman Abu Bakar, "Negara dan Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran al-Mâwardiy dan al-Farrâ’", Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5. 47 Marzuki Wahid, Latar Historis Narasi Ketatanegaraan al-Mâwardiy-’Ibn al-Farrâ’: Bacaan “Seorang Rakyat” atas Dua Kitab al-Ahkam al-Sulthâniyyah, Cirebon: Jaringan Informasi & Lektur Islam (JILLI), 1997. 28 menyimpulkan bahwa ada problem yang besar jika kitab al-’Ahkâm alShulthâniyyah harus diterapkan secara apa adanya dalam konteks sekarang, di mana masyarakat telah menjadi plural-mondial: agama hanyalah menjadi satu sub dari sejumlah sub dalam sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu Marzuki menyarankan: butuh pemikiran yang mendalam jika kitab al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah harus dibenturkan dengan konsep negara-bangsa (nation-state) yang telah menjadi “anutan suci” masyarakat dunia.48 Pada tahun 1997, Sri Mulyati menulis sebuah artikel berjudul “The Theory of State of al-Mâwardi”. Artikel Sri Mulyati ini bersama artikel-artikel penulis yang lain terkumpul di dalam buku Islam & Development: A Politico-Religious Response.49 Salah satu masalah yang ingin diketahui kejelasannya oleh Sri Mulyati adalah perbedaan antara konsep khilâfah dan konsep ’imâmah dalam teori al-Mâwardiy, mengingat penggunaan dalam kajian politik Islam, kedua konsep itu sering diartikan berbeda: khilâfah adalah konsep kenegaraan mazhab Suni, dan imâmah adalah konsep kenegaraan mazhab Syî‘ah50. Sri Mulyati menemukan kenyataan bahwa di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, al-Mâwardiy tidak membedakan kedua konsep tersebut, bahkan justru al-Mâwardiy yang dikenal sebagai salah satu pembesar ulama Suni lebih banyak menggunakan istilah ’imâmah atau ’imâm daripada khilâfah atau khalîfah. Dengan mengutip Munawir Sjadzali, Sri Mulyati menyatakan: “al-Mâwardi’s understanding of the role the 48 Marzuki Wahid, Ibid., h. 32-33. Sri Mulyati, “The Theory of State of al-Mâwardi”, dalam Sri Mulyati dkk., Islam & Development: A Politico-Religious Response, Montreal: Permika Montreal & LPMI, 1997. 50 Lihat Sri mulyati, Ibid., h. 4. 49 29 imâm is simply that it is equivalent to that of the ’khalîfah, king, sultan or head of state.”51 Terdapat juga laporan penelitian dari Nur Mufid (1998) dengan judul “Lembaga-Lembaga Politik Islam menurut al-Mâwardiy dalam Bukunya al’Ahkâm al-Shulthâniyyah”, di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Yang sedang dikerjakan Nur Mufid sesungguhnya adalah menterjemahkan al-’Ahkâm alShulthâniyyah, kemudian memasukkan unsur-unsurnya yang sesuai dengan judul ke dalam sistematika penelitiannya. Selain ditemukan karya-karya hasil kajian tersebut, juga berhasil didapat sebuah karya terjemahan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang ditulis oleh Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin52. Sepanjang pembacaan terhadap karya-karya tersebut di atas, diperoleh beberapa kesan. Pertama, karya-karya hasil kajian terhadap al-’Ahkâm alShulthâniyyah tersebut cenderung linier, esensialis, substantif, dan reproduktif, terutama karya-karya yang menggunakan pendekatan sejarah-kisah gagasan. Kebanyakan hanya melihat pemikiran jadi (product of thought) al-Mâwardiy dengan memindah isi teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan menjelaskan maksudnya. Hal ini menyebabkan kesan pemikiran al-Mâwardiy yang kering, miskin nuansa, dan a-historis. Khusus mengenai tulisan Lambton dan Munawir Sjadzali, keduanya lebih menempatkan teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai dokumen berbagai himpunan gagasan al-Mâwardiy yang berdiri sendiri dan 51 Sri Mulyati, Ibid., h. 22. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 63. 52 Al-Mâwardiy, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Abdul Hayyie alKattani & Kamaluddin Nurdi (pent.), Jakarta: Gema Insani Press, 2000. 30 berkembang hanya karena interaksi dengan gagasan lain. Padahal, suatu teks (gagasan) adalah produk sebuah budaya. Sebuah gagasan adalah makhluk mental yang tidak stabil. Meminjam ungkapan Mohammed Arkoun, “gagasan tergantung pada kendala bahasa, masyarakat, politik, dan ekonomi.”53 Dengan demikian, penelitian terhadap faktor-faktor historis suatu teks menjadi penting dilakukan untuk menemukan makna teks itu dalam konteks sejarahnya. Walaupun semua karya tulis di atas telah mengemukakan latar historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tetapi satu karyapun belum menjelaskan bagaimana faktor-faktor kesejarahan berpengaruh terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Dengan kata lain, latar kesejarahan pada masa hidup al-Mâwardiy belum dimanfaatkan oleh para penulis tersebut untuk menempatkan al-’Ahkâm alShulthâniyyah fenomena budaya pada masanya. Dalam karya-karya mereka, latar belakang historis ditulis sebatas sebagai ilustrasi konteks bagi al-Mâwardiy dan karyanya, dan hanya demi memenuhi kepatutan (formalitas) sebuah studi mengenai gagasan seorang tokoh. Kedua, karena para penulis di atas lebih condong kepada pemikiran jadi al-Mâwardiy, akibat dari sikap itu, maka mereka mengabaikan proses dan prosedur berpikir yang ditempuh al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Tentu, gagasan Al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah tidaklah datang sekonyong-konyong, tanpa metode. Metode yang dipilih atau digunakan alMâwardiy pun, tentu mengakar pada keyakinan dan konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, dan situasi epistemik tertentu. Semestinya dalam hal ini, 53 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, h. 43. 31 tulisan Lambton lebih dapat membuka kemungkinan untuk memasuki aspek metodologi yang digunakan al-Mâwardiy, karena dia mendekati pemikiran alMâwardiy melalui perspektif ilmu hukum sedangkan teori politik al-Mâwardiy adalah produk dari ilmu hukum Islam. Sayangnya, hal terakhir ini tidak juga dibahas oleh Lambton. Seandainya hal itu benar-benar dikerjakan oleh Lambton, pembaca (khususnya publik ilmiah di Eropa atau non-Muslim) akan mendapatkan gambaran teori politik al-Mâwardiy yang lebih “unik” dan “mengigit”. Karena, persoalan metodologilah yang sesungguhnya menyebabkan ada “jarak” antara tradisi pemikiran hukum Islam dengan tradisi pemikiran hukum yang lain. Ketiga, terkait dengan despotisme Barat, penulis menangkap kesan bahwa ada semacam rasa kekecewaan dan rendah diri yang mengendap dalam batin kebanyakan intelektual Muslim masa kini, baik yang mengaku diri sebagai tradisionalis, moderat, atau liberal sekalipun, meskipun kadar intensitasnya dan cara mereka menyikapinya masing-masing berbeda. Dalam wilayah kasus penelitian ini misalnya, fenomena tersebut terlihat dalam tulisan Qamaruddin Khan, Sri Mulyati, Marzuki Wahid, dan Munawir Sjadzali. Ketika mereka membaca teks pemikiran al-Mâwardiy, perkembangan situasi dan beban problem politik yang dihadapi umat Islam sekarang juga melingkupi benak mereka. Maka, Qamaruddin dan Sri Mulyati menilai bahwa teori ’imâmah al-Mâwardiy tidak demokratis (undemocratic),54 dan Marzuki pun menyatakan bahwa ada problem besar jika teori al-Mâwardiy tersebut harus diterapkan dalam kondisi sekarang.55 Jika ungkapan “undemocratic” direfleksi secara mendalam, hal itu merupakan 54 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mâwardi' s Theory of The State, h. 54, dan Sri Mulyati (ed.), Islam and Development: A Politico-Religious Respons, h. 37. 55 Marzuki Wahid, Latar Historis Narasi Ketatanegaraan al-Mâwardiy-’Ibn al-Farrâ’, h. 32. 32 ekspresi kekecewaan.56 Mereka kecewa, karena problem politik yang bersifat etisfilosofis yang sedang mereka hadapi bersama Umat tidak ditemukan pemecahannya dari membaca al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Mereka kecewa, ternyata al-Mâwardiy tidak memiliki penawarnya. Dan mengenai tulisan Munawir Sjadzali, itu adalah contoh dari fenomena yang lain. Munawir dengan penuh semangat menunjukkan keterdahuluan teori "kontrak sosial" (bai‘ah) yang digagas oleh Al-Mâwardiy (abad X M), atas teori yang sama yang digagas oleh para pemikir di Eropa (abad XVI M) yang termasyhur.57 Munawir seperti mengatakan: “Ternyata, al-Mâwardiy (yang adalah bagian dari Saya-MuslimTerjajah) lebih "senior" daripada mereka: Barat-Kristen-Penjajah.” Jika direfleksi secara mendalam, semangat Munawir itu sebenarnya berangkat dari rasa "rendah diri". Terkait dengan ketiga kesan tersebut, maka penelitian lebih memilih posisi sebagaimana ditunjukkan oleh Arkoun dalam kata-katanya: Kita menengok ke belakang bukan untuk melemparkan ke dalam teks-teks fundamental tersebut tuntutan-tuntutan dan kebutuhan masyarakat Muslim jaman sekarang – sebagaimana dilakukan oleh ‘ulamâ’ ’ishlâhiy – melainkan untuk mengungkap mekanisme historis serta faktor-faktor yang menghasilkan teks-teks tersebut dan fungsi-fungsinya. Pada waktu yang bersamaan kita harus ingat bahwa teks-teks ini masih hidup, aktif sebagai sistem ideologis dari kepercayaan dan pengetahuan yang ikut menentukan dalam membentuk masa depan. Oleh karena itu kita harus memeriksa proses perubahan yang terjadi pada teks-teks tersebut, yaitu dari kandungan dan fungsi perdana ke kandungan dan fungsi yang baru.58 56 Tentu penulis menyadari bahwa ungkapan tersebut bisa memiliki banyak makna yang lain. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 67. 58 Dikutip melalui St. Sunardi, “Islam dan Kekuasaan: Telaah Tentang Pemikiran Arkoun”, makalah yang terkumpul dalam kertas kerja, Islam dalam Lintasan Sejarah, belum diterbitkan. 57 33 Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa Arkoun hendak menggabungkan aspek diakronis dan sinkronis dalam kajian terhadap teks-teks fundamental Islam. Artinya, teks-teks itu dilihat Arkoun sebagai sistem kepercayaan dan pengetahuan yang dipakai kelompok-kelompok Islam dalam situasi historis tertentu untuk memahami dan membentuk tatanan kehidupan yang diinginkan, dan karenanya bersifat historis. Kajian-kajian Arkoun dimaksudkannya untuk mengungkap mekanisme historis pemikiran Islam dan faktor-faktor yang menghasilkannya. Pada waktu bersamaan, Arkoun memeriksa fungsi-fungsi pemikiran-pemikiran itu sebagai sistem mitis/ideologis yang hidup/dihidupkan yang ikut menentukan dalam membentuk masa depan. Dengan demikian, studi Islam Arkoun dapat juga diartikan sebagai usaha intelektual yang memperhadapkan pemikiran-pemikiran Islam klasik yang otoritatif dengan mencari syarat-syarat kemungkinannya yang baru pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Metode inilah yang sesungguhnya telah mengarahkan seluruh studi Arkoun tentang (masyarakat) Islam yang ia sebut sebagai proyek “thinking Islam”. Dengan mengapresiasi sebagian posisi ilmiah Arkoun, telah cukup jelas perbedaan posisi penelitian ini di antara penelitian-penelitian terdahulu mengenai al-Mâwardiy dan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. F. Orientasi dan Sistematika Penulisan Tesis ini disusun menjadi empat bagian. Bagian I merupakan pendahuluan, yang pertama-tama menguraikan pengalaman politik Islam secara umum sejak masa 34 pendirian hingga perkembangannya, sebagai latar belakang masalah penelitian. Titik tolak permasalahan berangkat dari fenomena kemiskinan teori politik Islam yang berguna bagi generasi Sahabat untuk melanjutkan tugas-tugas kepemimpinan Nabi Muhammad setelah wafat, sehingga memunculkan berbagai klaim dari kelompok-kelompok yang bersaing. Klaim-klaim tersebut terus dikembangkan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan ranah kepentingan dan budayanya sehingga, dalam kasus kelompok Suni, muncul teori-teori politik yang digagas oleh kaum intelektualnya (ulama), antara lain teori yang digagas oleh al-Mâwardiy dalam kitab al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Akhirnya, uraian tentang latar belakang masalah mengerucut pada penegasan inti persoalan penelitian. Setelah itu, dalam bagian ini pula ditunjukkan tujuan penelitian dan relevansinya dalam konteks kajian Islam kontemporer. Hasil studi kepustakaan dilaporkan dalam akhir bagian ini, sehingga dapat dibedakan posisi penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain yang pernah ada. Bagian II dibagi menjadi dua bagian: bagian pertama membahas kerangka teori penelitian, dan bagian kedua membahas metode penelitian. Berkenaan dengan kerangka teoretis, akan dibahas beberapa konsep yang penting untuk langkah pendekatan, pengolahan data dan analisanya. Konsep-konsep itu meliputi sosiologi pengetahuan, sejarah pengetahuan, epistème, diskursus, ideologi, dan kritik ideologi. Kemudian, bertolak dari kerangka teoretis tersebut akan ditetapkan metode penelitian. 35 Bagian III merupakan inti pertama penelitian, merupakan bab yang berisi data-data penelitian. Pembahasan bagian III akan dibagi menjadi tiga sub bab sebagai berikut: Sub bab pertama berisi substansi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Pada bagian ini, tidak semua isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah akan dipaparkan melainkan hanya teori dasar al-Mâwardiy tentang ’imâmah. Sub bab kedua berisi latar belakang historis al-Mâwardiy dan karyanya al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Pembahasannya meliputi: riwayat hidup al-Mâwardiy, kondisi sosial dan politik masyarakat Muslim abad IV H/ X M, dan sejarah wacana politik Islam. Pemaparan data-data historis tersebut bermanfaat untuk mengungkapkan konteks al-’Ahkâm alShulthâniyyah, epistème yang membentuknya, dan implikasi-implikasinya yang bersifat metodologis dan ideologis. Pada sub bab ketiga dikemukakan metodologi yang dipakai al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Sebelum pembahasan masuk ke dalam metodologi al-Mâwardiy, pada bagian ini akan disinggung terlebih dahulu selintas pandang sejarah pembentukan fikih (hukum Islam) dan metodologi yang dipakai untuk merumuskannya. Sebagai penutup bagian ini, akan dipaparkan wacana-wacana ideologis al’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Bagian IV merupakan inti kedua penelitian, bab yang paling penting, yaitu analisa data. Dalam bab ini, analisa penelitian dibagi menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama berisi uraian analisa historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, menunjukkan konteks sosial-historis yang melahirkannya, historisitasnya, dan 36 implikasinya. Sub bab kedua berisi ulasan metodologi al-’Ahkâm alShulthâniyyah dan batas-batasnya. Pada sub bab ketiga diisi paparan mitos-mitos dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan analisanya yang disebut analisa mitis. Analisa juga akan diarahkan kepada sistem pemikiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah untuk mengetahui sistem mitis dari sistem pemikiran itu dan fungsinya. Bagian V merupakan kesimpulan penilitian. Bab ini berisi narasi sejarah pembentukan teori politik Islam secara umum, dan secara khusus akan ditunjukkan nuansa kesejarahan (historisitas) al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah: faktorfaktor sejarah (syarat-syarat historis) yang melahirkannya, cara-cara pembentukan (syarat-syarat ilmiah) gagasan-gagasannya, serta implikasi dari keduanya yang bersifat ideologis. Bagian VI adalah penutup yang merupakan ikhtisar penelitian secara umum. 37 BAB II KERANGKA TEORETIS DAN METODE PENELITIAN Perlu dinyatakan kembali di sini bahwa penelitian ini dilakukan dalam rangka menyambut proklamasi Arkoun untuk menghentikan konfrontasi tidak relevan antara dua sikap dogmatis: klaim-klaim teologis dari kaum reformis salafi dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme positivis kaum modernis, dan sekaligus untuk memenuhi tugas, yang menurutnya, mendesak dan penting: yaitu studi kritis dalam kerangka rethinking Islam. Pada bab terdahulu juga telah disinggung metode yang dipakai Arkoun untuk memulai proyek pemikirannya itu, yaitu penggabungan aspek-aspek diakronis dan sinkronis dalam setiap kajian terhadap teks pemikiran Islam. Sejalan dengan maksud dan langkah utama Arkoun tersebut, serta mengingat tiga rumusan persoalan di atas, penelitian ini akan dilakukan dengan memanfaatkan konsep-konsep metodologis Arkoun dan konsep-konsep dari ilmuwan sosial lain yang sejalan, yaitu teori ilmu sosial kontemporer semisal sosiologi pengetahuan, sejarah pengetahuan, dan kritik ideologi, sebagai kerangka teoretis penelitian. Kemudian, berdasarkan kerangka teoretis inilah akan ditetapkan metode penelitian. A. Kerangka Teoretis dan Pengertian Konsep-Konsep Kerangka teoretis yang penting untuk menjawab dan menganalisa tiga persoalan penilitian ini adalah: (1) situasi sosial historis dan peranannya terhadap 38 pembentukan pengetahuan, (2) mekanisme pembentukan pengetahun, dan (3) fungsi-fungsi pengetahuan. Secara berurutan, kerangka teoretis tersebut beserta konsep-konsep kunci yang terkait dijelaskan sebagai berikut: 1. Situasi Sosial Historis dan Peranannya dalam Pembentukan Pengetahuan Mengenai pengetahuan manusia, Arkoun mengatakan: "saya betul-betul meyakini bahwa segala macam dan tingkat pengetahuan diproduksi oleh hidup, aksi, dan pemikiran manusia dalam sebuah situasi-sosial historis yang ada sedemikian rupa",59 dan dengan demikian, "segala upaya untuk memikirkan obyek pengetahuan tergantung pada postulat-postulat epistemik",60 maka: individu, pemikir, dan "penulis (harus) tunduk kepada semua faktor kebahasaan, budaya, politis, dan sosiologis pada semua lingkungan (environment) yang beraneka macam dan pada seluruh periode kesejarahan yang kesemuanya mewarnai pandangan-pandangannya."61 Tesis Arkoun tersebut jika ditempatkan dalam konteks teori ilmu sosialhumaniora kontemporer, berhubungan erat dengan pandangan para ilmuwan sosiologi, antropologi, sejarah, dan psikoanalisa yang memandang individu sebagai produk bahasa dari bahasa-bahasa yang ada dan hasil dari sistem kemasyarakatan dari sistem-sistem kemasyarakatan yang beraneka macam, serta hasil dari tradisi, kepercayaan, orientasi-orientasi imperatif yang diharuskan oleh sejarah tertentu pada setiap (kelompok) masyarakat. 59 Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001, h. 344 60 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 345 61 Mohammed Arkoun, Membongkar wacana Hegemonik, Surabaya: Al Fikr, 1999, h. 9 39 Para pencetus dan pendukung teori sosiologi pengetahuan misalnya, mereka dengan sengaja memahami gagasan tidak mulai dari seorang individu dan pemikirannya secara abstrak melainkan lebih-lebih berusaha memahami pemikiran dalam latar belakang konkret dari situasi sosial-historis tertentu yang memunculkan pikiran individual yang berbeda-beda secara sangat bertahap-tahap. Dalam pandangan ilmuwan sosiologi pengetahuan, bukanlah manusia pada umumnya yang berpikir, melainkan manusia dalam kelompok-kelompok tertentu yang telah mengembangkan suatu gaya pemikiran tertentu dalam rangkaian tanggapan terus-menerus terhadap situasi-situasi khusus tertentu yang mencirikan posisi umum mereka.62 Oleh sebab itu sosiologi pengetahuan menyatakan, seperti diungkapkan Karl Mannheim, terdapat cara-cara berpikir yang tak dapat dipahami secara memadai selama asal usul sosialnya tidak jelas.63 Teori sosiologi pengetahuan juga menegaskan, tidaklah tepat mengatakan bahwa seorang individu berpikir, lebih tepatlah menyatakan bahwa ia mengambil bagian dalam pemikiran lebih lanjut yang telah dipikirkan orang lain sebelumnya. Ia berada dalam suatu situasi yang diwariskan dengan pola-pola pemikiran yang sesuai untuk suatu situasi dan berusaha menjelaskan lebih lanjut cara-cara menanggapi yang telah ada atau menggantinya dengan cara-cara lain supaya dapat menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari peralihan-peralihan dan perubahan-perubahan situasinya secara memadai.64 Perspektif sosiologi pengetahuan ini berbanding lurus dengan tesis dasar ' Teori Kritik' Jurgen 62 Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Yogyakarta, 1991, h. 3 63 Karl Mannheim, Ibid., h. 2 64 Karl Mannheim, Loc. Cit. 40 Habermas (mazhab Frankfurt) yang menyatakan bahwa kemampuan-kemampuan subyek transendental mempunyai landasannya dalam sejarah alam dari species manusia, bahwa mengetahui adalah alat manusia untuk mempertahankan diri.65 Sevisi dengan perspektif sosiologi pengetahuan Karl Mannheim dan Teori Kritik J. Habermas, Michel Foucault dengan arkeologi pengetahuannya menaruh perhatian terhadap kondisi-kondisi historis yang membentuk dan menentukan pengetahuan yang disebutnya epistèmè. Epistèmè adalah sebuah kata Yunani yang berarti "pengetahuan", tetapi oleh Michel Foucault digunakan dalam arti a priori historis: pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, dan cara-cara pendekatan tertentu yang menjadi landasan epistemologis yang dimiliki setiap zaman.66 Keseluruhan pengandaian- pengandaian itu membentuk suatu sistem (pemikiran) yang teguh yang tidak diinsafi dengan jelas oleh orang-orang yang bersangkutan, tetapi secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan, dan pembicaraan mereka (the general system of the formation and transformation of statements).67 Foucault menganggap bahwa bahasa merupakan fenomena penting dalam studi ilmu sosial-kemanusiaan. Bahasa, menurut Foucault, membangun dan menghasilkan makna di bawah kondisi-kondisi historis dan material yang spesifik. Dia menyelidiki bagian-bagian menentukan/memainkan 65 peranan dan atas kondisi-kondisi historis pernyataan-pernyataan yang yang Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, LP3ES, Jakarta, 1990, h. 172 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Gramedia, Jakarta, 2001, h. 215, lihat juga; h. 314-5. Tentang a priori historis lihat, Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault, Paul Rabinow (ed.), Jalasutra, Yogyakarta, 2002, h. 402 67 K. Bertens, Op. Cit., h. 316. Lihat juga, Michel Foucault, Archaeology of Knowledge, Great Britain, London: Tavistock Publications, 1972, h. 126-131 66 41 dikombinasikan dan diregulasikan (regulated) menjadi bentuk (form) yang membatasi perbedaan lapangan pengetahuan/obyek, yang menghendaki seperangkat konsep-konsep dan menentukan batas-batas tertentu “rezim kebenaran” (regime of truth; misalnya apa yang dihitung sebagai kebenaran). Foucault berusaha mendefinisikan kondisi-kondisi historis dan aturan-aturan yang menentukan pembentukan (rules of formation) dan meregulasikan sebagai cara untuk mengatakan sesuatu tentang obyek.68 2. Mekanisme Pembentukan Pengetahuan Setelah tesis-tesis dasar mengenai pengetahuan manusia yang historis tersebut berhasil dijelaskan sebagai kerangka teoretis penelitian yang pertama, selanjutnya perlu dijelaskan pula kerangka teoretis yang kedua tentang bagaimana proses (mekanisme) pembentukan pengetahuan yang historis itu terjadi. Dalam penglihatan Arkoun, umat manusia muncul sedemikian rupa dalam masyarakat melalui berbagai fungsi yang terus berubah. Setiap fungsi dalam masyarakat, kata Arkoun, dikonversi ke dalam suatu tanda dari fungsi itu, yang berarti bahwa realitas-realitas digambarkan melalui bahasa-bahasa sebagai sistem tanda. Tanda-tanda, kata Arkoun, adalah persoalan radikal bagi suatu pengetahuan yang kritis, terkontrol. Persoalan ini muncul terutama pada setiap usaha untuk menafsirkan wahyu. Kitab suci sendiri disampaikan melalui bahasa-bahasa natural yang digunakan sebagai sistem tanda, dan masing-masing tanda adalah tempat yang tepat (locus) bagi operasi-operasi penghampiran (convergent operations) 68 Melalui Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 1999, h. 78 42 (persepsi, ekspresi, interpretasi, terjemah, komunikasi), yang melibatkan seluruh hubungan antara bahasa dan pemikiran. Oleh karena itu, Arkoun menyatakan: "inti pemikiran Islam harus ditampilkan sebagai isu linguistik dan semantik".69 Arkoun mengatakan, bahasa sebagai sistem tanda atas realitas beserta semua produksi semiotik manusia, dalam proses kemunculan sosial dan kulturalnya tunduk pada perubahan historis (historisitas). Kebenaran pun dibentuk dengan alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi, dan postulat-postulat yang terus berubah. Ini berarti bahwa tidak ada akses menuju yang absolut di luar dunia fenomenal dataran kehidupan manusia yang historis.70 Hampir senada dengan Arkoun, J. Habermas menggambarkan secara lebih luas kategori-kategori yang memungkinkan pengetahuan. Dengan perspektif sosiologi pengetahuan, Habermas mengatakan: "Sudut-sudut pandang, yang darinya kita secara transendental harus memahami realitas, menetapkan tiga kategori pengetahuan yang mungkin: informasi-informasi yang memperluas kemampuan penguasaan teknis kita; tafsiran-tafsiran yang memungkinkan suatu pengarahan tindakan di dalam tradisi bersama; dan analisis-analisis yang membebaskan kesadaran dari ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan yang dihipotesiskan. Sudut-sudut pandang itu lahir dari jalinan hubungan kepentingan manusia, yang sudah sejak semula terikat kepada medium-medium sosialisasi tertentu: kepada kerja, bahasa dan kekuasaan.”71 69 Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001, h. 345 70 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 346 71 Jurgen Habermas, Op. Cit., h. 173 43 Dalam konteks sejarah pengetahuan, Foucault mengatakan: "pengetahuan bukanlah ilmu dalam penempatan yang terus-menerus dari struktur internalnya; pengetahuan merupakan lapangan sejarah aktualnya."72 Menurut Foucault, makna-makna secara temporer distabilisasikan atau diregulasikan ke dalam sebuah diskursus (wacana) melalui operasi kekuasaan (the operation of power).73 Dengan demikian, setiap bentuk ' kebenaran'(makna) dapat dilacak secara genealogis (historis) pada institusi dan wacana dominan yang melahirkannya. Terkait dengan kepentingan pengetahuan, kehendak untuk tahu adalah nama lain bagi kehendak untuk berkuasa.74 Diskursus “mempersatukan” antara bahasa dan praktek bahasa, serta menunjukkan produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan arti terhadap obyek-obyek material dan praktek-praktek sosial. Walaupun obyek material dan praktek sosial berdiri di luar bahasa, akan tetapi keberartiannya secara diskurisif dibentuk oleh bahasa. Diskursus menyusun, mendefinisikan, dan menghasilkan obyek-obyek pengetahuan dalam cara yang dapat difahami (intelligible) sambil mengasingkan bentuk-bentuk nalar lain yang dianggap sebagi hal yang tidak mungkin dipahami (unintelligible).75 Selain itu, Foucault juga menyatakan bahwa diskursus tidak hanya meregulasikan apa yang dapat dikatakan di bawah determinasi kondisi-kondisi sosial dan kultural, tetapi juga 72 Michel Foucault, "Arkeologi Pengetahuan: Tanggapan atas Lingkaran Epistemologi", dalam Paul Rabinow (ed.), Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault, Jalasutra, Yogyakarta, 2002, h. 166 73 Melalui Chris Barker, Op. Cit., h. 78 74 Melalui Paul Rabinow (ed.), Op. Cit., h. 333 75 Melalui Chris Barker, Loc. Cit., h. 78 44 siapa yang dapat berbicara, kapan, dan di mana.76 Bagaimana sesuatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada komponenkomponen diskursif: institusi-institusi, teknik-teknik, kelompok sosial, persepsi organisasi-organisasi, dan hubungan di antara bermacam-macam wacana.77 Dari sinilah awal kerja Foucault menginvestigasi sejarah kekuasaan. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengetahuan manusia diekspresikan melalui sistem penandaan; ' kebenaran'(makna) dibentuk dengan alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi, dan postulat-postulat yang memungkinkan pengarahan tindakan kepada nilai yang dikehendaki dalam konteks sosial tertentu, dan yang mengakibatkan konfigurasi sosial tertentu pula. Tanda dan makna bukan suatu yang ajeg dan kodrati, ia dibentuk dan selalu berubah bentuk. Semuanya tak lebih dari bentukan sosial. Setiap ilmu memperoleh suatu jenis kemerdekaan dengan adanya hukum-hukum, dasar-dasar, metode-metode, dan postulat-postulat yang sangat penting bagi pijakan akal untuk menerapkan ilmu-ilmu tersebut.78 Arkoun menyatakan: "Apa yang dapat dipertanyakan adalah bagaimana mendasarkan semua pemikiran pada postulat keberadaannya.79 Keyakinan dibentuk, diekspresikan, dan diwujudkan dalam dan melalui wacana. Secara berturut-turut, keyakinan, setelah mengambil bentuk dan akar-akar melalui wacana keagamaan, politik, dan keilmuan, selanjutnya 76 Melalui Chris Barker, Ibid., h. 79 Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, Great Britain: Tavistock Publications Limited, 1972, h. 72 78 Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik, Al Fikr, Surabaya, 1992, h. 21 79 Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001, h. 348 77 45 mengemukakan sasaran dan postulat-postulatnya terhadap wacana-wacana dan perilaku-perilaku (individual dan kolektif)."80 3. Fungsi Pengetahuan Mohammed Arkoun juga menaruh perhatian kepada fungsi/kepentingan pengetahuan. Menurut dia, manusia tidak semata-mata digerakkan oleh material dan ekonomi tetapi juga digerakkan oleh gambaran fantasi (image) dan mimpimimpi indah. Dalam konteks masyarakat-masyarakat al-Kitab, Arkoun menyatakan: "Terdapat fantasi gabungan (kolektif) pada setiap masyarakat yang terbentuk, diturunkan, dan ditanamkan selama sejarah yang panjang melalui kelahiran kitab yang diwahyukan."81 "Sesungguhnya aspek fungsional yang menguasai fantasi ......... itulah yang seharusnya menjadi bahan pertama untuk analisa, pemahaman, dan penafsiran."82 Dalam hal ini, Arkoun mengajak orang untuk kritis terhadap faktor-faktor non-teoretis yang ikut menentukan pengetahuan. Faktor-faktor non-teoretis itu bisa saja berupa "ideologi" maupun berupa dorongan-dorongan, kehendak kolektif, halusinasi individual, dan fantasi kolektif masyarakat (kelompok). Jika dilihat secara cermat, metode Arkoun tersebut bertolak-belakang dengan metode sejarah intelektual yang berorientasi pada konsep a priori yang meyakini bahwa perubahan-perubahan gagasan dapat dipahami pada taraf gagasan-gagasan (sejarah intelektual imanen). Sebaliknya, metode Arkoun tampak bersesuaian dengan sosiologi pengetahuan yang menganggap bahwa 80 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 347 Mohammed Arkoun, Op. Cit., h. 211 82 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 210 81 46 kekuatan-kekuatan yang hidup dan sikap-sikap aktual yang mendasari sikap-sikap teoretis sama sekali bukan merupakan sesuatu yang individual belaka. Kekuatankekuatan dan sikap-sikap itu lebih-lebih muncul dari tujuan-tujuan kolektif suatu kelompok yang mendasari pemikiran individu. Individu hanyalah berpartisipasi di dalam pandangan yang telah digariskan sebelumnya. Dengan demikian, semakin jelaslah tesis bahwa pengetahuan tidak bisa dimengerti secara betul selama kaitannya dengan kehidupan atau dengan implikasi-implikasi sosial kehidupan manusia tidak diperhitungkan.83 Karl Mannheim mengatakan: Dunia diketahui lewat banyak orientasi yang berbeda-beda karena ada banyak kecenderungan pemikiran yang bersamaan dan saling bertentangan (tidak sama sekali nilai yang sama) yang bersaing satu sama lain dengan berbagai penafsiran mereka tentang pengalaman ' bersama' . Dengan demikian, petunjuk untuk konflik ini tidak dapat ditemukan pada ' objek pada dirinya sendiri'(jika demikian, mustahillah memahami mengapa objek dapat tampak dalam sedemikian banyak pembiasan), melainkan di dalam harapan-harapan, tujuan-tujuan, dorongan-dorongan yang sangat berbeda-beda yang muncul keluar dari pengalaman.84 Atas dasar prinsip tersebut, Mannheim menghendaki sosiologi pengetahuan sebagai sebuah metode tidak memisahkan cara-cara pemikiran yang konkret ada dari konteks tindakan kolektif. Dalam pandangan sosiologi pengetahuan, manusia dilihat sebagai kelompok-kelompok yang menghadapi objek-objek dunia ini dari taraf abstrak pikiran dan bertindak dengan dan terhadap kelompok-kelompok yang lain yang tertata secara berbeda-beda, dan sambil melakukan semua itu, mereka berpikir dengan dan terhadap yang lain. Orang83 Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Yogyakarta, 1991, h. 292 84 Karl Mannheim, Ibid., h. 292-3 47 orang ini yang terikat bersama ke dalam kelompok-kelompok, berjuang keras menurut ciri dan posisi kelompok-kelompok mereka untuk mengubah dunia dan masyarakat atau berusaha memeliharanya tetap pada kondisi yang telah ada. Arah dari kegiatan kolektif inilah yang menghasilkan kompleks pemikiran yang memberi petunjuk bagi munculnya permasalahan, konsep-konsep dan bentukbentuk pemikiran mereka.85 Mannheim menganggap bahwa pertentangan antar kelompok tersebut sebagai kompetisi yang pada dirinya merupakan sebuah kasus yang mewakili tempat proses-proses ekstra-teoretis mempengaruhi kemunculan dan arah perkembangan pengetahuan. Kata Mannheim: Kompetisi tidak hanya mengontrol ekonomi, tidak sekedar arus peristiwaperistiwa sosial dan politis, melainkan juga memberi daya penggerak di balik berbagai penafsiran tentang dunia yang bila latar belakng sosial penafsiran-penafsiran itu disingkapkan, menyatakan diri sebagai ekspresiekspresi intelektual dari kelompok-kelompok yang bertentangan yang memperebutkan kekuasaan.86 "Kompetisi" yang disebut Karl Mannheim sebagai tempat terjadinya proses-proses ekstra-teoretis yang mempengaruhi kemunculan dan arah perkembangan pengetahuan, dapat dibandingkan dengan konsep Foucault tentang "rasionalitas diskursif", yaitu otoritas yang menentukan pilihan teoretis yang dikarakterisasi oleh posisi-posisi kenikmatan (desire) dalam hubungan yang memungkinkan wacana.87 Foucault mengatakan: Tak ada buku yang eksis dengan sendirinya; ia bisa eksis karena adanya relasi dengan dan bergantung pada kesatuan buku yang lain; inilah inti 85 Karl Mannheim, Ibid., h. 4 Karl Mannheim, Ibid., h. 292 87 Lihat Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, Great Britain: Tavistock Publications Limited, 1972, h. 64-70. 86 48 jaringannya, yang isinya suatu sistem indikasi yang memberikan tekanan baik eksplisit maupun implisit terhadap buku, teks, kalimat, dan lainlain.88 Lebih jauh, "kompetisi" yang dimaksudkan Mannheim sebagai tempat proses-proses ekstra-teoretis juga dapat dipahami dengan istilah Foucault "ruang kebebasan konkret", yaitu kemungkinan transformasi bagi cara kerja intelektual, apa yang dibutuhkan akal sebagai kebutuhan, atau apa yang ditawarkan sebagai bentuk-bentuk rasionalitas yang disadari sebagai keharusan mengada. Tapi Foucault mengingatkan bahwa semua bentuk rasionalitas ini – ditempatkan dalam proses kerja dominasi – melarikan analisis di dalam dirinya sendiri.89 Singkatnya, menurut Foucault, dalam pengetahuan (connaissance) atau teknik, di sana terdapat pertukaran: transmisi, perpindahan, dan campur tangan. Pada saat yang sama, terdapat beragam perjanjian yang saling berhubungan.90 Dari sinilah lahirnya konsep Foucault tentang "kekuasaan" dalam hubungannya dengan "rasionalitas diskursif" yang ditempatkan pada posisi kerja dominasi. Meskipun terdapat ragam perjanjian yang saling berhubungan dalam tiga ' kerajaan'pertukaran yang saling berkaitan, itu bukanlah isomorfisme. Oleh karena itu, Foucault mengingatkan: Ketika saya membahas hubungan kekuasaan dari bentuk rasionalitas, yang dapat mengatur dan meregulasikan mereka, saya tidak merujuk pada Kekuasaan – dengan huruf K kapital – yang dominan dan mengesankan rasionalitasnya di atas totalitas struktur sosial. Nyatanya memang ada 88 Michel Foucault, "Arkeologi Pengetahuan: Tanggapan atas Lingkaran Epistemologi", dalam Paul Rabinow (ed.), Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault, Jalasutra, Yogyakarta, 2002, h. 128 89 Michel Foucault, "Strukturalisme dan Post-Strukturalisme", dalam Paul Rabinow (ed.), Ibid., h. 338-9 90 Michel Foucault, “Strukturalisme dan Post-Strukturalisme”, dalam Paul Rabinow (ed.), Ibid., h. 340 49 hubungan kekuasaan. Hubungan yang beragam; hubungan itu mempunyai bentuk yang berbeda-beda, mereka dapat berperan dalam hubungan keluarga, atau dalam suatu institusi atau suatu administrasi, atau antara satu kelas yang mendominasi dan kelas yang didominasi. Hubunganhubungan kekuasaan memiliki bentuk rasionalitas yang spesifik, bentukbentuk yang serupa dengan mereka, dan sebagainya. Ini adalah suatu medan analisis, bukan suatu referensi bagi segala kesementaraan yang unik.91 Foucault memberi ilustrasi yang bagus tentang akibat dari praktek kekuasaan terhadap posisi yang didominasi: ketika psikiatri mendefinisikan konsep modern tentang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktek penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktek-praktek baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau tempat pengasingan untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi.92 Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana (diskursus), kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu, semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol, dan mengatur wacana mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana macam ini dianggap mempunyai otoritas, karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri 91 Michel Foucault, "Strukturalisme dan Post-Strukturalisme", dalam Paul Rabinow (ed.), Ibid., h. 341 92 Melalui Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Gramedia, Jakarta, 2003, h. 220. 50 terhadap subyek: wacana ilmiah memiliki kekuasaan yang bisa mengklaim dirinya benar. Padahal, klaim ini merupakan bagian dari strategi kekuasaan.93 Di antara tujuan penting kekuasaan adalah memberi struktur-struktur kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat. Orang hanya bisa ambil bagian atau menderita kekuasaan melalui jaringan-jaringan atau gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar (micro-pouvoirs) seperti keluarga, sekolah, barak militer, pabrik, penjara, asrama. Dari situ kelihatan bahwa kekuasaan memberi struktur kegiatan-kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Tentu saja pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu.94 Dan salah satu lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat adalah agama. Lembaga ini tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya. Teknik penyeragaman juga berfungsi untuk menafikan mereka yang bukan pengikut.95 Hubungan pengetahuan-kekuasaan itu, dalam konteks pemikiran agama, ditegaskan oleh Arkoun sebagai berikut: 93 Melalui Haryatmoko, Ibid., h. 225-226. Melalui Haryatmoko, Ibid., h. 224. 95 Melalui Haryatmoko, Ibid., h. 230. 94 51 Bahwa pemikiran berdasarkan kitab/tulisanlah yang menetapkan pandangan-pandangan, batasan-batasan, pembagian-pembagian, dan sistem realisasinya terhadap masyarakat dengan medium domain fungsional yang bekerja dan sangat efektif di antara empat kekuatan yang ada. Dan dengan kekuatan-kekuatan tersebut akan berakhir kepada hegemoni terhadap seluruh bidang kemasyarakatan (yaitu kepada seluruh anggota masyarakat) Kekuatan-kekuatan ini adalah: Negara, Tulisan/Kitab, Peradaban elit (yaitu peradaban baku/resmi bagi orang yang mengerti baca-tulis), dan ortodoksi keagamaan.96 Kesimpulannya, jika pengetahuan adalah implikasi kekuasaan dan akibat dari kekuasaan adalah adanya posisi yang didominasi, sementara pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan, maka pengetahuan adalah teknologi/strategi kekuasaan untuk menjalankan operasi dominasinya. Operasi dominasi itu menjadi “tersembunyi” secara “teknologis” atau “strategis”, karena pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subyek tertentu. Kriteria pengetahuan “yang ilmiah” seakan-akan mandiri terhadap subyek. Pendek kata, pengetahuan adalah ideologis: bukan hanya yang berhubungan dengan akibat dominasi golongan/kelas, bahkan lebih menjadi sumber dan pembenaran dominasi dalam masyarakat. 4. Kritik Pengetahuan Proyek Arkoun "rethinking Islam" menyerupai proyek Horkheimer yang ingin sekali membuka selubung ‘ideologis’ dari teori-teori positivistis yang membeku dalam Teori Tradisional. Horkheimer menunjukkan adanya tiga asumsi dasar yang membuat Teori Tradisional menjadi ideologi dalam arti yang ketat. Pertama, 96 Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik, Al Fikr, Surabaya, 1992, h. 123 52 Teori Tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah (a-historis) dan karenanya teori-teori yang dihasilkan juga a-historis dan a-sosial. Apa yang telah lama dicita-citakan dan seolah-olah telah dicapai di dalam Teori Tradisional adalah bentuk pengetahuan yang bebas dari kepentingan (disinterested). Kedua, Teori Tradisional beranggapan bahwa pengetahuan bersifat netral, maka teori-teori yang dihasilkannya pun bersifat netral. Teori adalah deskripsi murni tentang fakta, yang merupakan ‘pengetahuan demi pengetahuan’. Ketiga, bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis, proses penelitian dari tindakan-tindakan etis, dan pengetahuan dari kepentingan.97 Di tangan Habermas, proyek Horkheimer menjadi Teori Kritik yang dimanfaatkan untuk memeriksa syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan dan praxis manusia, yaitu kepentingan-kepentingan yang mengarahkan pengetahuan. Pertama, manusia sebagai spesies memiliki kepentingan teknis untuk mengontrol ligkungan eksternalnya melalui perantaraan kerja dan kepentingan ini mewujudkan dirinya di dalam pengetahuan informatif yang secara metodis disistematisasikan menjadi ilmu-ilmu empiris-analitis. Kedua, manusia sebagai spesies memiliki kepentingan praktis untuk menjalin saling pemahaman timbalbalik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan ini mewujudkan dirinya di dalam pengetahuan interpretatif yang disistematisasikan secara metodis menjadi ilmu-ilmu historis-hermeneutis. Ketiga, manusia memiliki kepentingan emansipatoris untuk membebaskan diri dari hambatan-hambatan ideologis melalui perantaraan kekuasaan dan kepentingan ini mewujudkan dirinya dalam 97 Melalui Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta, Kanisius, 1990, h. 56 53 pengetahuan analitis yang disistematisasikan secara metodis menjadi ilmu-ilmu sosial yang kritis atau kritik-ideologi.98 5. Ideologi Ideologi adalah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal (meragukan) dan elusif (sukar ditangkap), yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial; tidak hanya karena beragamnya pendekatan teoretis yang menunjukkan arti dan fungsi yang berbeda-beda, akan tetapi karena ideologi adalah konsep yang sarat dengan konotasi politik dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna yang beragam.99 Istilah ideologi mula-mula digunakan oleh Destertt de Tracy pada akhir abad ke-18, dan dikembangkan penuh sebagai konsep selama abad ke-19. Tetapi perenungan yang lebih dalam (preokupasi) dengan beberapa persoalan yang dimunculkan oleh pengertian ideologi telah dimulai jauh lebih awal. Ada fenomena yang mengaitkan antara legitimasi intelektual dari dominasi sosial dengan berbagai sumber penyimpangan mental dalam pengetahuan realita selama ada masyarakat-masyarakat golongan. Dalam pengertian ini ideologi bukan fenomena baru dalam sejarah umat manusia. Meskipun demikian analisa yang menarik dan studi yang sistematis berkaitan dengan fenomena ini baru muncul dalam zaman modern setelah disintegrasi masyarakat Barat pada Abad Pertengahan. Dalam konteks zaman modern, persoalan yang timbul, yang selanjutnya berasosiasi dengan konsep ideologi, erat hubungannya dengan 98 99 Melalui Francisco Budi Hardiman, Ibid., h. 192-193 Jorge Larrain, Konsep Ideologi, Yogyakarta: LKPSM, 1996, h. 1 54 perjuangan pembebasan kaum borjuis dari belenggu aristokrasi kaum feodal dan dengan sikap pikiran modern baru yang kritis untuk menjalankan kekuasaan. 100 Ada beberapa pertanyaan yang menjadi sentral perdebatan mengenai konsep ideologi. Pertama, apakah ideologi mempunyai arti negatif atau positif. Di satu pihak, ideologi dapat dimengerti dalam istilah-istilah yang sungguh negatif, sebagai konsep kritis yang berarti bentuk kesadaran palsu atau kebutuhan untuk melakukan penipuan (desepsi), maksudnya bagaimana memutar-balikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Nilai kognitif dari ide-ide yang dipengaruhi oleh ideologi, selanjutnya, dipertanyakan. Di pihak lain, konsep ideologi dapat dimengerti sebagai istilah yang positif, sebagai ekspresi dari sudut pandang mengenai kelas. Sampai tingkat ini orang dapat berbicara mengenai “ideologi”, yang secara umum adalah beberapa pendapat, teori dan sikap yang dibentuk dalam kelas (golongan) untuk membela dan memajukan kepentingankepentingannya. Kemudian, nilai kognitif dari ide-ide ideologis itu dikesampingkan sebagai suatu persoalan yang berbeda.101 Kedua, apakah ideologi mempunyai sifat yang benar-benar subyektif dan memiliki watak psikologis atau sebaliknya, seluruhnya tergantung pada faktorfaktor obyektif. Jika subyektif, ideologi dipahami sebagai perubahan bentuk kesadaran, yang entah bagaimana tidak dapat mengerti realita seperti adanya. Jika obyektif, ideologi muncul sebagai penipuan yang disebabkan oleh realita itu sendiri, bukan subyek itu yang memutar-balikkan realita, tetapi realita itu sendiri yang menipu subyek. Selagi pandangan subyektif menekankan peranan individu, 100 101 Jorge Larrain, Ibid, h. 7-8 Jorge Larrain, Ibid., h. 2 55 golongan, atau partai dalam produksi ideologi, maka pandangan obyektif menganggap ideologi sebagai pengisian struktur dasar masyarakat.102 Ketiga, apakah ideologi harus dianggap sebagai suatu bentuk fenomena tertentu di dalam deret luas fenomena struktural, atau apakah ideologi itu sesuai dan ko-ekstensif dengan seluruh lingkungan kultural yang biasa disebut dengan “super struktur ideologi”. Yang pertama mengandalkan pada konsep ideologi yang restriktif (mengekang) karena tidak semua obyek kultural itu akan menjadi ideologis. Sebaliknya, yang kedua menyamakan ideologi dengan tingkat masyarakat yang obyektif yang mencakup semua bentuk kesadaran sosial.103 Keempat, bagaimana orang harus melihat berbagai hubungan antara ideologi dan ilmu pengetahuan. Ideologi dapat dimengerti sebagai antitesis ilmu pengetahuan yaitu, dapat dipersamakan dengan pre konsepsi atau elemen-elemen tidak rasional yang mengganggu dan mencegah upaya mencapai kebenaran. Maka bila mana metode ilmiah diterapkan dengan betul, ideologi diduga menghilang. Di sisi lain, mungkin sekali ideologi lebih menekankan hal-hal penting dari ilmu pengetahuan dan ideologi daripada perbedaan-perbedaannya, dengan begitu ideologi dan ilmu pengetahuan akan mempunyai basis bersama dalam sudut pandang mengenai golongan yang menciptakannya. Dalam hal ini, ideologi tidak dapat diatasi oleh ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan sendiri dapat menjadi 102 103 Jorge Larrain, Loc. Cit. Jorge Larrain, Ibid., h. 3 56 ideologis.104 Jika penulis mengingat Foucault, pada sisi terakhir inilah dia memandang relasi pengetahuan dan ideologi.105 6. Kritik Ideologi Ada banyak teori yang dimaksudkan sebagai kritik ideologi, hampir sama banyaknya dengan teori ideologi itu sendiri. Teori-teori yang ada tidak perlu diulas semuanya di sini. Tetapi, yang penting, harus dipilih teori mana yang dapat dugunakan untuk melihat dan menganalisa data yang terkait dengan pokok-pokok persoalan penelitian ini. Menurut Haryatmoko, “pemikiran Foucault membawa sikap kritis terhadap para pembacanya, mengajak berpikir secara lain terhadap aktualitas yang ada. Dia menolong mengurai pencampuradukan antara yang seharusnya dan yang sesungguhnya terjadi. Dia mempertanyakan norma. Norma bukan sesuatu yang universal dan bukan tanpa sejarah. Norma atau hukum adalah produk kekuasaan. Selain itu, Foucault juga mengajak bicara benar, jujur terhadap diri sendiri dan orang lain. Dengan prosedur menalar yang kritis dan berpikir dengan menempatkan diri pada posisi orang lain orang belajar bicara benar. Dengan pengambilan jarak orang menyadari konsekuensinya, membongkar kepentingan, motivasi atau ilusinya”.106 Seperangkat konsep yang dikemukakan Foucault memang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kritik ideologi terhadap wacana dengan 104 Jorge Larrain, Loc. Cit.. Lihat Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, Great Britain: Tavistock Publications Limited, 1972, h. 184-6 106 Haryatmoko, Op. Cit., h. 238. 105 57 pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah Foucauldian bermanfaat sebagai kritik ideologi sejauh untuk mengungkap persoalan-persoalan ideologis yang implisit di balik wacana seperti; apa motivasi seseorang mewacanakan sesuatu? dan bagimana hubungan suatu wacana dengan kekuasaan? Selebihnya, pendekatan Foucauldian tidak memiliki cukup konsep untuk melihat unsur-unsur ideologis yang eksplisit di dalam teks suatu wacana dan menjelaskannya secara kritis. Untuk kepentingan yang terakhir itu dibutuhkan model pendekatan sebagaimana yang dirintis oleh Roland Barthes, yaitu semiotika sebagai kritik ideologi.107 Apalagi – dan ini bukan suatu kebetulan – ada kesamaan pandangan antara Foucault dan Barthes tentang bahasa, seperti dikemukakan St. Sunardi berikut ini: Menurut Foucault, yang di kemudian hari diikuti oleh Barthes, masalah berbicara bukan hanya menyangkut masalah bahasa yang tidak lebih hanyalah sistem tanda. Masalah berbicara (wacana), katanya, adalah soal hubungan kekuasaan. Ada kondisi-kondisi sosio-politis (istilahnya: hubungan kekuasaan) yang membuat orang harus berbicara atau tidak berbicara, mengucapkan atau tidak mengucapkan bahasa tertentu. Dengan kata lain narasi kehidupan seseorang bukan hanya soal tanda melainkan kekuasaan.108 Memang, bahasa dan persoalan esensial kehidupan manusia (kemanusiaan) adalah tema sentral proyek pemikiran Barthes. Setelah ia menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan hidupnya untuk melahirkan dan mengembangkan semiotika, ia ingin membawa semiotika sebagai kekuatan eksentrik bagi kehidupan manusia sekarang (modern). Katanya: “……saya ingin 107 Foucault dan Roland Barthes memiliki hubungan “persahabatan istimewa”. St. Sunardi dalam awal bukunya, Semiotika Negativa, menulis kisah singkat yang menarik tentang persahabatan mereka itu. Lihat St. Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002, h. 3-7. 108 St. Sunardi, Ibid., h. 98. 58 sekali menggeser definisi semiotika […] dan menggunakannya sebagai kekuatan eksentrik bagi modernisme.”109 Semiotika pada intinya adalah teori tentang bahasa, tentang tanda. Supaya semiotika bermanfaat bagi kehidupan manusia modern, ia harus digunakan secara kreatif: semiotika harus dapat membuat orang kreatif dalam menggunakan bahasa, atau paling tidak, dapat membuatnya tidak terikat pada bahasa yang diciptakannya sendiri.110 Pendek kata, Barthes ingin menjadikan “semiotika plus”, “pasca semiotika”, atau apapun istilahnya sebagai medium pembebasan manusia dari “belenggu” bahasa yang diciptakannya sendiri. Terkait dengan pengetahuan dan wacana sebagai fenomena bahasa, Barthes berharap: “…semiotika akan menjadi semacam kursi roda, kartu As dalam pengetahuan kontemporer, sebagaimana tanda merupakan kartu As dalam wacana”.111 Bagaimana caranya? Mitos sebagai kritik ideologi adalah konsep yang ditawarkan Barthes untuk proyek tersebut. Barthes berkata: “Mitologi menjadi bagian dari semiotika sejauh mitologi menjadi ilmu formal, dan menjadi bagian ideologi sejauh mitologi menyangkut ilmu sejarah, yaitu mempelajari ide-ide-dalam-bentuk (ideas-inform).”112 Dengan definisi ini, mitologi merupakan bidang yang bisa dipelajari baik oleh semiotika atau ideologi. Dengan definisi ini pula Barthes menunjukkan bahwa semiotika memang sebuah pendekatan formal (cenderung sinkronis); akan tetapi ketika semiotika digabungkan dengan ideologi, bisa didapatkan sebuah pendekatan sinkronis-diakronis tentang ideologi, karena ideologi selalu terkait 109 Melalui St. Sunardi, Ibid., h. 3. Lihat St. Sunardi, Ibid.. h. 98. 111 Melalui St. Sunardi, Ibid., h. 4. 112 Melalui St. Sunardi, Ibid., h. 100. 110 59 dengan masyarakat tertentu. Barthes memilih budaya media sebagai bidang penelitian. Ini berarti bahwa kajian Barthes merupakan sebuah kritik atas ideologi budaya media dengan menggunakan semiotika sebagai pendekatannya. Inti kerjanya memeriksa bentuk-bentuk mitos yang ditemukan dalam media massa dan muatan ideologis di dalamnya.113 Akhirnya, harus dinyatakan di sini bahwa untuk melakukan kritik ideologi terhadap al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, penelitian ini akan memanfaatkan teori kritik sejarah Foucauldian serta teori mitos Barthesian. Model pendekatan pertama akan dimanfaatkan untuk menganalisis motivasi di balik al-Ahkâm al-Sulthâniyyah sebagai sebuah wacana serta bagaimana hubungannya dengan kekuasaan, dan pendekatan kedua akan dimanfaatkan untuk menganalisis mitos-mitos (wacanawacana mitis) yang eksplisit dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Model pendekatan yang terakhir ini masih sangat langka dipakai dalam wilayah studi agama. Karena, seperti dikatakan Arkoun, sesungguhnya agamaagama wahyu, sampai sekarang, menolak untuk mengakui keberadaan pengetahuan mitos pada teks-teks dasarnya. Demikian juga, positivisme historisisme dan sekularisme telah melemparkan pengetahuan mitos ke keranjang sampah atau memasukkannya ke bidang berita dongeng, khurafat (mitologi), keyakinan-keyakinan magis dan sihir.114 113 114 St. Sunardi, Loc. Cit.. Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik, Al Fikr, Surabaya, 1992, h. 101 60 B. Metode Penelitian Penelitian ini mengambil obyek ide-ide atau pemikiran al-Mâwardiy, khususnya yang terdapat dalam buku al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Jadi, penelitian ini merupakan studi kepustakaan. Sesuai dengan pokok-pokok persoalan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini, data-data akan dikumpulkan dari sumber kepustakaan yang bersifat primer dan sumber yang bersifat sekunder. 1. Sumber Data Sumber kepustakaan primer sebagai obyek penggalian data adalah kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, edisi berbahasa Arab yang diterbitkan oleh Dâr alFikr, Beirut, Lebanon (t.t). Sedangkan data-data dari sumber sekunder diambil dari literatur-literatur: etika politik Islam, historiografi Islam, ushûl al-fiqh, filsafat ilmu sosial, dan kritik ideologi. 2. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan tiga persoalan yang telah dirumuskan dan kerangka teoretis yang terbangun, data-data penelitian dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: datadata yang bersifat historis (berupa kondisi sosial, politis, dan budaya yang menentukan kelahiran al-Ahkâm al-Sulthâniyyah), data-data yang bersifat metodologis (metodologi yang dipakai al-Mâwardiy untuk merumuskan ideidenya dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah), dan data-data yang bersifat ideologis. Khusus mengenai data-data yang bersifat ideologis akan diuangkap sejauh yang 61 berkaitan dengan aspek-aspek historis, metodologis, dan substansi al-Ahkâm alSulthâniyyah. Untuk menemukan data-data yang bersifat historis, pendekatan teoretis yang digunakan adalah sosiologi pengetahuan dan arkeologi Foucauldian. Teori sosiologi pengetahuan dan arkeologi pengetahuan digunakan untuk menemukan kondisi-kondisi sosiol-historis yang menentukan kelahiran al-Ahkâm alSulthâniyyah, khususnya, wacana etika politik yang berkembang pada saat itu, dan hubungan antara wacana itu dengan kekuasaan. Kemudian, data-data metodologis al-Ahkâm al-Sulthâniyyah dicari dengan pendekatan ushûli; yaitu sistem metodologis yang dipakai oleh para ahli hukum Islam (fuqah ) untuk merumuskan hukum. Lebih jelasnya, metodologi al-Mâwardiy dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah akan dilihat dalam kerangka ‘ilm al-ushûl, khususnya ushûl alfiqh. Terakhir, data-data yang bersifat ideologis akan diungkap melalui pendekatan konsep ideologi Foucauldian (praktek diskursif: hubungan antar wacana-pengetahuan dan kekuasaan), dan teori mitos Barthesian. 3. Teknik Analisa Data Data yang terkumpul akan diolah secara analitis; yaitu penelaahan, penafsiran, pengelompokan, dan pengorganisasian secara logis-sistematis. Secara umum, langkah penting yang dilakukan pada tahap ini adalah mencari dan menjelaskan arti, sebab-akibat, pola-pola konfigurasi, dan proposisi-proposisi,115 berdasarkan kerangka teoretis yang relevan. Prinsip-prinsip sosiologi pengetahuan dan 115 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, h. 194 62 arkeologi pengetahuan dimanfaatkan untuk menganalisa data-data yang bersifat historis, prinsip-prinsip ‘ilm al-ushûl dimanfaatkan untuk menganalisa data-data yang bersifat metodologis, dan prinsip-prinsip kritik ideologi dimanfaatkan untuk menganalisa data-data yang bersifat ideologis. Selama analisa berlangsung, dilakukan proses seleksi untuk memilih datadata yang perlu dikembangkan narasinya, menajamkannya, menggolongkannya, dan mengorganisasikannya sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulankesimpulan finalnya. Kecenderungan kognitifnya adalah menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk (gestalt) yang disederhanakan atau konfigurasi yang mudah dipahami116. Klimaks dari kegiatan analisis adalah menarik kesimpulan, yang sebenarnya hanyalah sebagian kegiatan dari satu konfigurasi yang utuh. Kesimpulan akhir ditarik dari proposisi-proposisi awal dan konfigurasikonfigurasi yang telah ditemukan selama proses seleksi, melalui metode berpikir induksi. 116 Imam Suprayogo, Ibid., h. 195. 63 BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY DAN AL-’AHKÂM AL-SULTHÂNIYYAH Pada bab ini, akan dikemukakan data yang terkait dengan masalah penelitian. Permasalahan utama yang menjadi topik penelitian ini adalah: (1) kondisi sosial, politik, dan budaya yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, (2) metodologi yang dipakai al-Mâwardiy untuk merumuskan pemikirannya dalam al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, dan (3) implikasi-implikasi dari kondisi sejarah dan metodologi tersebut terhadap al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah secara ideologis. Pada tahap pertama, akan dikemukakan data literer al-’Ahkâm alSulthâniyyah terlebih dahulu, baru kemudian secara berurutan, data-data yang bersifat historis, metodologis, dan ideologis. Pada bagian mengenai kandungan isi al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, akan disajikan rangkuman bab pertama (‘aqd al-’imâmah) saja, yang sebenarnya ditulis al-Mâwardiy dalam 20 bab. Rangkuman bab pertama ini penting sebagai bahan refleksi dan sebagai data yang akan dianalisa. Pada tahap berikutnya, akan dipaparkan data-data historis yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, data-data metodologinya, serta wacana-wacananya yang bersifat ideologis. Wacana ideologis dipahami sebagai mitos-mitos yang ada di dalam al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, maupun wacanawacana yang dapat menunjukkan fungsi dan diperhadapkan dengan wacana lain sebagai tandingannya. kepentingannya ketika 64 A. Substansi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah "Berkatalah selagi kau mampu, dan berusahalah berkata benar. Sesungguhnya perkataanmu akan selalu hidup dan diam adalah beku. Jika kau tak mampu menemukan perkataan benar yang akan kau ucapkan, maka diammu karena tanpa kebenaran adalah benar."117 Al-Mâwardiy Al-Mâwardiy adalah fakih (ahli fikih: ilmu hukum Islam), bahkan ia seorang hakim agung yang menjadi guru besar fikih mazhab Syafii (Muhammad bin ’Idrîs al-Syâfi‘iy) pada masanya.118 Ia menulis kitab: al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, yang sesuai namanya, adalah kitab yang berisi hukum tatanegara. Sebagai kitab hukum, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah disusun oleh al-Mâwardiy dengan bahasa yang sangat lugas dan cenderung legal-formalis. Meskipun al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah berisi hukum tatanegara yang lengkap, tetapi al-Mâwardiy tidak menyebutkan secara eksplisit definisi-definisi dan konsep-konsep, serta tidak mendiskusikan pemikiran-pemikiran hukumnya secara filosofis. Rupanya, kecenderungan ini memang disengaja oleh al-Mâwardiy, karena al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah tidak dimaksudkannya sebatas sebagai wacana untuk memperkaya hazanah pengetahuan tentang hukum Islam, khususnya mengenai tatanegara, melainkan justru sebagai pedoman yuridis-praktis bagi penyelenggaraan pemerintahan Islam pada masa itu. Kesan ini didasarkan pada perkataan al-Mâwardiy sendiri dalam Kata Pengantar al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, sebagai berikut: Keberadaan hukum tatanegara sangat penting bagi para penguasa pemerintahan (wullât al-’umûr), sementara selama ini masih bercampur dengan hukum-hukum yang lain sehingga mereka kesulitan membukanya, 117 Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M, h. 206 Keterangan ini merujuk pada bagian Kata Pengantar yang ditulis oleh Penerbit Dâr al-Fikr untuk buku al-Mâwardiy, Ibid., h. 4 118 65 apalagi mereka disibukkan dengan masalah-masalah politik dan pemerintahan. Maka, saya sengaja menyusun hukum tatanegara dalam kitab tersendiri, karena melaksanakan perintah seseorang yang wajib dipatuhi, agar ia mengetahui pendapat-pendapat para ahli fikih dalam halhal yang menjadi haknya hingga ia berusaha memperolehnya, serta dalam hal-hal yang menjadi tanggung-jawabnya hingga ia menunaikannya, berbuat adil dalam menjaga hak dan menunaikan kewajiban, serta berhatihati dalam mengambil haknya dan memberikan hak yang dimiliki orang lain.119 Al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah ditulis al-Mâwardiy menjadi 20 bab. Pada bab pertama dibicarakan masalah kepemimpinan Islam (al-’imâmah), merupakan bab yang paling pokok (dasar). Al-Mâwardiy mengatakan: Imamah adalah dasar; karena di atasnyalah, peraturan Agama (qawâ’id almillah) dan kemaslahatan Umat (mashâlih al-’ummah) didirikan; dengannyalah, urusan [kepentingan] umum (al-’umûr al-‘âmmah) diselenggarakan; serta darinyalah, dimunculkan kekuasaan-kekuasaan khusus. Maka, pembahasan hukum mengenai masalah itu harus didahulukan dan mengakhirkan pembahasan hukum-hukum tatanegara yang lain.120 Dengan demikian, bab kedua dan seterusnya adalah bab-bab turunan dan sekaligus rincian dari bab pertama tersebut. Karena keterbatasan tempat di sini, seluruh bab itu tidak akan disebutkan dengan penjelasan secara rinci. Yang penting dikemukakan adalah rangkuman bab-bab sebagai data yang diperlukan untuk ’bahan baku’ analisis pada Bab IV nanti. Selebihnya, untuk memberikan gambaran umum mengenai isi al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, akan disebutkan seluruh daftar isinya dalam daftar lampiran laporan penelitian ini. 119 120 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. h. 3 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 66 1. Asal-usul Imamah dan Fungsinya Bagi orang beriman, lebih-lebih fakih seperti al-Mâwardiy, Allah adalah sumber dari segala sesuatu. Allah adalah sumber pengetahuan, ajaran, hukum, kebenaran, wewenang, kekuasaan, dan seterusnya, Yang mengutus Nabi Muhammad untuk menunaikan semua kualitas-kualitas itu dalam sejarah hidup manusia, demi kebaikan hidup mereka. Al-Mâwardiy berkata: Segala puji bagi Allah Yang telah menampakkan petunjuk-petunjuk Agama bagi kita, Yang menganugerahi Kitab yang menjelaskan, Yang memberlakukan hukum halal dan haram untuk kemaslahatan makhluk semesta, hukum yang menetapkan kaidah-kaidah kebenaran; Dia yang memandatkan semua itu kepada para pemimpin/penguasa sebagai pengaturan hidup yang sebaik-baiknya dan peraturan dalam menjalankan pemerintahannya. Hanya bagi-Nya segala pujian atas semua apa yang telah Dia tetapkan dan Dia atur. Shalawat dan salam atas Rasul-Nya yang membawa ajaran-Nya dan menunaikannya dengan benar, Nabi Muhammad, keluarga, serta sahabatnya.121 Kemahabijaksanaan Allah yang transenden mengejawantah dalam sejarah hidup manusia di muka bumi melalui Kalam dan Tindakan-Nya, yang memantul dari sosok Muhammad sebagai seorang nabi. Dengan demikian Nabi adalah wakil utama Allah yang memanifestasikan Kebijaksanaan-Nya bagi manusia, sehingga dia adalah manusia yang paling berwenang dan berkuasa menentukan jalan keselamatan (syarî‘ah) bagi mereka. Nabi adalah manusia, dan dia pasti wafat. Dalam doktrin keimanan Islam, Muhammad adalah Rasul yang terakhir sampai hari kiamat datang. Wafatnya Rasul bukanlah akhir dari dunia. Masyarakat Islam (al-’ummah: Umat) yang telah terbentuk masih harus meniti jalan sejarahnya yang panjang. Lalu, siapakah yang dapat mengganti wewenang dan kekuasaan Nabi dalam mengatur hidup Umat? 121 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 67 Inilah satu pertanyaan yang ternyata tidak mudah dijawab. Seperti perkataan alSyahrastâni di atas, satu pertanyaan itu merupakan masalah besar yang dihadapi umat Islam dan memunculkan perselisihan yang paling dahsyat. Menurut al-Mâwardiy, dalam tubuh Umat harus ditegakkan kepemimpinan (’imâmah) sebagai ganti (khilâfah) dari fungsi kenabian dalam menjaga kelangsungan agama dan mengatur (siyâsah) dunia.122 Sehingga dengan demikian, Imam (al-’imâm) adalah orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur urusan agama dan urusan dunia dalam kehidupan Umat pasca Nabi wafat. Kata ’imâmah atau ’imâm yang sering digunakan al-Mâwardiy sama artinya dengan kata khilâfah atau khalîfah.123 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan atas manusia adalah hak Allah dan berasal dari-Nya. Kepemimpinan Allah atas manusia terjelmakan melalui kenabian Muhammad, dan setelah ia wafat kepemimpinannya dilanjutkan/diganti oleh institusi yang disebut ’imâmah/khilâfah. Orang yang memegang jabatan tertinggi dalam institusi itu disebut ’imâm/khalîfah. Fungsi utama institusi itu adalah melanjutkan fungsi kenabian, yaitu menjaga agama dan mengatur dunia. Berdasarkan fungsi ini al-Mâwardiy kemudian memerinci tugastugas pokok ’imâm/khalîfah, seperti akan disebutkan di bawah nanti.124 Di tempat lain al-Mâwardiy menyatakan bahwa urusan agama dan urusan dunia merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Agama, menurut al- 122 Al-Mâwardiy, Ibid, h. 5 Al-Mâwardiy menggunakan semua empat istilah itu di dalam al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah. ’Imâmah sama artinya dengan khilâfah dan ’imâm sama artinya dengan khalîfah. 124 Selanjutnya, penulisan kata-kata: ’imâmah, khilâfah,’imâm, khalîfah digunakan ejaan sesuai kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu imamah, khilafah, Imam, dan khalifah dengan kandungan arti tersebut di atas serta arti yang telah dijelaskan pada catatan kaki ke-4/Pendahuluan. 123 68 Mâwardiy, merupakan dasar yang paling kuat untuk membangun kebaikan dunia, dan ia merupakan satu-satunya landasan untuk mencapai kebaikan akhirat. Oleh karena itu, lanjut al-Mâwardiy, etika ada dua macam: etika syariat (’adab syarî‘ah) dan etika politik (’adab siyâsah). Etika syariat adalah kebijakan yang mengatur bagaimana kewajiban (fardu) dari Allah dapat dilaksanakan, sedangkan etika politik adalah kebijakan yang mengatur kemakmuran dunia. Kedua-duanya berpulang pada keadilan pemimpin/penguasa. Keadilan merupakan prasyarat kejayaan penguasa dan kemakmuran negara. Orang yang meninggalkan kewajiban dari Allah, maka ia telah menganiaya (zhalama) dirinya sendiri. Sedangkan orang yang merusak dunia, maka ia telah menganiaya orang lain.125 Dari uraian al-Mâwardiy tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan alMâwardiy negara atau penguasa harus merepresentasikan keadilan, dan untuk itu negara harus dipimpin oleh penguasa dengan memakai etika syariat dan etika politik. Al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah dan ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn adalah sebagian karya Al-Mâwardiy yang berisi dua macam etika yang dikatakannya itu. 2. Landasan Normatif Legalitas Imamah Karena kekuasaan imamah dipandang bersumber dari Allah, yang berfungsi sebagai pengganti kenabian dengan tugas pokok menjamin diselenggarakannya kewajiban-kewajiban agama dan mengatur ketertiban dunia, maka Al-Mâwardiy mendasarkan kewajiban pengangkatan Imam pada ketentuan syariat, bukan pada 125 Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, h. 96 69 akal.126 Dengan kata lain, landasan normatif bagi legalitas wewenang dan kekuasaan Imam adalah syariat. Karena itulah, maka semua hal yang terkait dengan imamah yang meliputi pengangkatan Imam, syarat-syarat kompetensinya, mekanismenya, sistem pemerintahannya, dan lain-lain harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan syariat. Singkatnya, bahwa imamah adalah kepemimpinan atas manusia dari syariat, oleh syraiat, dan untuk syariat. Demikianlah, maka seluruh isi al-’Ahkâm al-Sultâniyyah harus dibaca dengan kerangka sistem kekuasaan syariat ini. Tetapi dalam kitab ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn yang lebih memiliki kadar renungan filosofis, al-Mâwardiy mengemukakan secara panjang lebar mengenai eksistensi manusia sebagai makhluk Allah yang bersifat lemah secara individu, yang memiliki perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, sehingga semua itu mendorong manusia untuk bersatu dalam kesatuan sosial dan saling membantu.127 Di sisi lain, manusia juga memiliki keinginan atau aspirasi yang berbeda-beda, kecenderungan untuk menang sendiri dan egois, mengalahkan lawan-lawannya, dan sebagainya. Dilihat dari dua sisi eksistensi manusia itu, kebutuhan manusia untuk hidup bersama dan saling membantu dan dorongan keinginan untuk selalu menang sendiri, maka untuk menjamin kebaikan kehidupan dunia mutlak diperlukan penguasa yang berwibawa (sulthân qâhir).128 Dengan perkataan lain, sebab lahirnya wewenang dan kekuasaan kepemimpinan adalah hajat manusia untuk mencukupi kebutuhan bersama, dan akal mereka yang mengajari tentang bagaimana mengadakan ikatan 126 Lihat al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, h. 5 Lihat Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, h. 92-5 128 Lihat Al-Mâwardiy, Ibid, h. 96 127 70 satu sama lain. Lantas, kepemimpinan macam bagaimana yang memiliki wewenang dan kekuasaan mengatur hajat hidup manusia? Menurut al-Mâwardiy, jawabannya adalah ; “al-sulthânu fî nafsihî ’imâmun matbû‘un wa fî sîratihî dînun masyrû‘un”, yaitu penguasa (negara) yang di dalam dirinya terdapat otoritas kepemimpinan yang diikuti (dipatuhi) dan di dalam penyelenggaraannya terdapat ketentuan-ketentuan agama yang dijalankan; penguasa yang mampu melindungi agama dan yang mau menjalankan kekuasaannya sesuai tradisi (sunan) agama dan hukum-hukumnya. 129 Kesimpulannya, bahwa meskipun al-Mâwardiy juga memperhatikan aspek-aspek fisik, psikologis, dan sosiologis manusia, dia tetap lebih condong mendasarkan legalitas wewenang dan kekuasaan negara pada agama. Atau agama benar-benar dijadikan oleh al-Mâwardiy sebagai landasan normatif legalitas wewenang dan kekuasaan imamah. 3. Ketentuan Yuridis Pengangkatan Imam/Khalifah Setelah al-Mâwardiy menetapkan bahwa landasan legalitas kekuasaan imamah adalah syariat (agama), selanjutnya ia berbicara mengenai ketentuan-ketentuan yuridis yang terkait dengan pengangkatan Imam. Menurut Al-Mâwardiy, karena imamah harus (wâjib) ada, maka demikian juga harus ada seseorang yang berdiri sebagai Imam. Mengenai status kewajiban pengangkatan seseorang dijadikan Imam, al-Mâwardiy mengatakan statusnya adalah wâjib kifâyah (fardu kifayah). Artinya, jika ada seorang yang tampil 129 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 97 71 memangku jabatan itu dari kalangan orang-orang yang berkompeten maka kewajiban itu gugur atas orang lain, seperti berjihad dan mencari ilmu pengetahuan.130 Tetapi jika tidak ada seorang pun yang tampil menjabatnya, maka kewajiban ini menjadi tanggung jawab dua kelompok kualifikasi secara hukum, yaitu: (1) orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai "dewan memilih" (’ahlu al-’ikhtiyâr), dan (2) orang-orang yang memiliki kualifikasi menjadi Imam (’ahlu al-’imâmah). Keseluruhan Umat, selain dua kelompok kualifikasi itu, dianggap tidak bersalah dan tidak berdosa jika terjadi situasi vakum kepemimpinan.131 4. Kualifikasi "Dewan Pemilih" dan Calon Imam Dalam rangka menciptakan imamah, menurut al-Mâwardiy harus ada "dewan pemilih" dan calon Imam yang akan dipilih. Kedua-duanya harus memenuhi kualifikasi yang berbeda: a. Kualifikasi "Dewan Pemilih" Keberadaan "dewan pemilih" (dalam teori al-Mâwardiy disebut dengan istilah: ’ahlu al-halli wa al-‘aqdi, atau ’ahlu al-’ikhtiyâr) merupakan konsekuensi dari penetapan al-Mâwardiy bahwa pemilihan atau pengangkatan Imam hukumnya fardu kifayah, yaitu kewajiban dari syariat (agama) yang melekat kepada umat Islam secara kolektif. Meski kewajiban itu bersifat kolektif, pada prakteknya kewajiban itu terutama "dibebankan" kepada orang-orang yang memenuhi tiga persyaratan 130 131 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, h. 5 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 5-6 72 kualifikasi yang terakui (muktabar), sebagai berikut: (1) memiliki kredibilitaskeadilan (al-‘adâlah),132 (2) memiliki pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui orang yang berhak dan pantas untuk dijadikan Imam dengan syaratsyaratnya, (3) memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih orang yang paling tepat, mampu dan pandai membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan Umat.133 b. Kualifikasi Calon Imam Penetapan al-Mâwardiy mengenai kualifikasi calon Imam adalah konsekuensi yang kedua dari penetapannya bahwa hukum pemilihan atau pengangkatannya adalah fardu kifayah. Menurut al-Mâwardiy, seseorang berhak dicalonkan atau mencalonkan dirinya menjadi Imam, jika dia memenuhi tujuh syarat kualifikasi berikut ini: (1) memiliki kredibilitas-keadilan, (2) memiliki pengetahuan yang memungkinkannya melakukan ijtihad dalam menghadapi kejadian-kejadian yang timbul dan membuat kebijakan hukum, (3) sehat pendengaran, penglihatan, dan pendengaran sehingga ia dapat menangkap dengan benar apa yang dicercap oleh indranya itu, (4) sehat anggota-anggota tubuhnya atau tidak ada kekurangan yang 132 Al-Mâwardiy menyatakan persyaratan yang pertama ini dengan ungkapan al-‘adâlatu aljâmi‘atu lisyurûtihâ: "keadilan yang meliputi seluruh aspeknya". Dia tidak menjelaskan pengertian konsep al-‘adâlah dalam al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah. Dalam kerangka etis-teologis, pengertian keadilan mencakup kualitas pribadi yang memiliki kejujuran (al-shidq) dan keseimbangan (altawassuth) dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan, dalam hubungan dengan Allah maupun makhluk-Nya. Secara teknis, intensitas keadilan yang ada pada diri seseorang diketahui dari tingkatan kredibilitasnya. Citra manusia-manusia yang memiliki kualifikasi keadilan dalam Alquran adalah para nabi dan pengikut-pengikutnya yang setia. Definisi yang lebih kongkrit tentang al-‘adâlah dikemukakan oleh ’Ibn al-’Azraq, ia mengatakan: "Pokok-pokok keutamaan ada tiga; bijaksana, berani, dan menjaga harga diri/kepribadian. Ketiga pokok tersebut tersimpul dalam istilah al-‘adâlah." ’Ibn al-’Azraq, Badâ’i‘u al-Sulk fî Thabâ’i‘i al-Mulk, Vol. 1, h. 102. 133 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 6 73 menghalanginya untuk cepat bergerak, (5) memiliki visi pemikiran yang dapat menghasilkan kebijakan bagi kepentingan rakyat dan kemaslahatan mereka, (6) mempunyai keberanian dan wibawa sehingga mampu menjaga keutuhan wilayah dan melawan serangan musuh, (7) keturunan (nasab) dari suku Quraisy. Khusus mengenai kualifikasi yang ketujuh al-Mâwardiy mengemukakan alasan karena adanya nas tentang hal itu dan telah terwujud ijmak tentang masalah itu.134 5. Mekanisme Pengangkatan Imam Dalam "negara agama" sebagaimana dikonsepsikan al-Mâwardiy, kedaulatan adalah milik Tuhan. Maka, wewenang dan kekuasaan pun harus dijalankan sesuai dengan Kehendak Tuhan. Pengesahan seseorang untuk menjadi Imam juga harus menggunakan mekanisme yang dipahami dan diyakini sebagai bagian dari ajaran Tuhan (syariat). Bagi kalangan ortodoks seperti al-Mâwardiy, ketentuan mekanisme itu tidak cukup deserahkan kepada akal bebas manusia, meskipun tidak ada nas dalam Alquran maupun sunah mengenai hal itu.135 Jalan yang kemudian ditempuh al-Mâwardiy untuk memperoleh ketentuan mekanisme pemilihan dan pengangkatan Imam adalah meneliti praktek-praktek dan kesepakatan-kesepakatan (ijmak) yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, terutama generasi Sahabat. 134 Maksud ijmak dalam ketentuan ini adalah kesepakatan para Sahabat dalam pertemuan di Saqîfah Banî Sâ’idah untuk memilih khalîfah (pengganti) kepemimpinan Rasul, pada hari setelah ia wafat. Pada saat itu terjadi pertentangan sengit antara kelompok Sahabat Muhajirin dan Ansar untuk memperebutkan posisi itu, yang pada akhirnya mereka sepakat (’ajma‘a) bahwa yang berhak menjadi imâm/khalîfah adalah dari kalangan Muhajirin suku Quraisy. Lihat Al-Mâwardiy, Loc. Cit., dan tesis ini pada halaman 3, catatan kaki ke-6. 135 Dalam masalah ini tentu harus dikecualikan pendapat golongan Syî‘ah yang meyakini bahwa ’imâm adalah hak Nabi yang diwariskan kepada ‘Aly bin ’Abî Thâlib dan keturunannya. 74 Menurut al-Mâwardiy, mekanisme pengangkatan Imam ada dua: (a) Melalui pemilihan "dewan pemilih", dan (b) melalui permandatan (al-‘ahd) oleh Imam sebelumnya. a. Sistem Pemilihan Mekanisme yang dianggap al-Mâwardiy paling legal untuk mengangkat Imam adalah melalui prosedur pemilihan oleh "dewan pemilih". Ia mengatakan: "Imam dipilih dan diangkat oleh ' orang-orang yang mempunyai wewenang (kekuasaan) mengurai dan mengikat masalah'(’ahlu al-halli wa al-‘aqdi)."136 Di banyak tempat al-Mâwardiy juga orang-orang itu dengan istilah ’ahlu al-’ikhtiyâr ("dewan pemilih") dan ’ahlu al-syûrâ ("dewan permusyawaratan/legislatif").137 Al-Mâwardiy tidak mendiskusikan secara rinci mengenai mekanisme atau prosedur pembentukan institusi "dewan pemilih" ini, kecuali dia menyebutkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah anggota "dewan pemilih" sebagai standar legalitas keputusannya. Pertama, kelompok pendapat yang menyatakan bahwa Imam dipilih oleh "dewan pemilih" dari setiap daerah "kabupaten" (balad), sehingga keputusan mengenai orang yang dipilih memperoleh persetujuan secara luas (‘âmm) dan kepemimpinannya diterima oleh mayoritas. Kedua, kelompok pendapat yang menyatakan bahwa jumlah minimal "dewan pemilih" adalah lima orang, yang mana salah seorang dari mereka akan dipilih menjadi Imam dengan kesepakatan empat orang selainnya. Ketiga, 136 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 6-7 Secara teknis ketiga istilah yang dipakai Al-Mâwardiy itu dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki kompetensi: orang-orang yang memiliki kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 584. 137 75 kelompok yang berpendapat bahwa jumlah "dewan pemilih" minimal enam orang dengan ketentuan yang sama dengan pendapat kedua. Keempat, kelompok yang berpendapat bahwa jumlah "dewan pemilih" minimal tiga orang dengan ketentuan sama dengan pendapat kedua dan ketiga. Bahkan kelima, kelompok yang menyatakan bahwa pemilihan Imam legal oleh hanya satu orang pemilih.138 Dari kelima prosedur tersebut, prosedur yang pertama justru ditolak oleh Al-Mâwardiy. Menurutnya, Imam tidak harus dipilih oleh "dewan pemilih" dari setiap daerah "kabupaten" karena baiat terhadap ’Abû Bakr untuk memegang khilafah dilakukan oleh hanya orang-orang yang hadir di forum Saqîfah, dan hal itu legal. Pemilihan Imam dengan prosedur yang kedua sampai dengan yang kelima dianggap legal oleh Al-Mâwardiy, karena hal itu telah dipraktekkan pada masa al-khulafâ’u al-râsyidûn.139 Jika Imam tidak dipilih melalui prosedur pemilihan oleh "dewan pemilih" tersebut, maka pengangkatannya dapat dilakukan melalui baiat-mandat oleh Imam sebelumnya (prosedur permandatan). Cara permandatan merupakan prosedur yang kedua untuk mengangkat Imam yang dikatakan "legal" oleh Al-Mâwardiy. b. Sistem Permandatan Dalam sistem permandatan, Imam diangkat melalui mandat dari Imam sebelumnya. Al-Mâwardiy mengatakan bahwa sistem permandatan ini boleh dilakukan sejak sebelumnya dan telah disepakati legalitasnya secara ijmak.140 138 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 140 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10 139 76 Menurut al-Mâwardiy, legalitas prosedur ini didasarkan pada praktek yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin generasi Sahabat dan mereka tidak mengingkarinya. Praktek pertama, ’Abû Bakr telah menyerahkan mandat jabatan Imam kepada ‘Umar bin Khaththâb, kemudian kaum Muslimin mengakui legalitas jabatan ‘Umar itu. Praktek kedua, ‘Umar bin Khaththâb menyerahkan mandat jabatan itu kepada "dewan permusyawaratan". Mereka adalah para Sahabat senior yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang diakui pada masa itu (’a‘yânu al‘ushr) yang berjumlah enam orang, sementara para Sahabat senior yang lain berada di luar dewan itu. Menurut al-Mâwardiy, kedua praktek tersebut telah diterima oleh kaum Muslimin secara ijmak (diakui legalitasnya oleh mayoritas besar kaum Muslimin) sehingga menunjukkan bahwa prosedur permandatan wewenang/kekuasaan Imam itu legal.141 Dengan demikian, al-Mâwardiy tidak mau berspekulasi sedikitpun mencari kemungkinan-kemungkinan yang lain dari apa yang telah dipraktekkan oleh generasi Sahabat mengenai prosedur pemilihan/pengangkatan Imam. Kemudian, ada hal penting yang perlu dikemukakan di sini. Al-Mâwardiy menyebutkan secara rinci terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai otoritas "dewan pemilih" ketika berhadapan dengan otoritas Imam untuk menjatuhkan mandat kepada hanya satu orang (alias orang itu langsung dibaiat menjadi Imam pelanjut). Menurut sebagian ulama Basra, bahwa persetujuan "dewan pemilih" terhadap baiat yang dilakukan Imam kepada hanya satu orang untuk menggantikannya, adalah syarat keabsahan baiat itu sehingga 141 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 77 imamahnya mengikat Umat. Mereka beralasan bahwa baiat imamah adalah hak Umat, dan baiat Imam terhadap hanya satu orang tidak dapat mengikat Umat kecuali dengan persetujuan "dewan pemilih" dari mereka.142 Mengenai pendapat dan argumentasi yang dinyatakan oleh sebagian ulama Basra tersebut alMâwardiy menanggapinya sebagai berikut: Yang sahih, bahwa baiat Imam terhadap satu orang [untuk menggantikannya] adalah ' sah' (mun' aqadah) dan persetujuan ' dewan pemilih'terhadap hal itu tidak dipandang perlu (ghairu mu‘tabar), karena baiat imamah [yang diterima] ' Umar [bin Khaththâb dari ’Abû Bakr] tidak bergantung kepada persetujuan Sahabat, dan kerena Imam lebih berhak dengan baiat imamah itu sehingga keputusan pilihannya lebih berfungsi (’amdhâ) dan perkataan baiatnya lebih memiliki kekuatan (’anfadz).143 6. Tugas-Tugas Pokok Imam Wewenang/kekuasaan imamah diimplementasikan al-Mâwardiy ke dalam tugastugas umum yang menjadi tanggung jawab Imam, yang menurutnya ada sepuluh hal sebagai berikut: a. Menjaga ajaran agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan dan sesuai pemahaman yang telah disepakati oleh generasi terdahulu umat Islam. Jika muncul orang yang membawakan paham baru (mubtadi’) atau pembuat kesesatan, Imam berkewajiban untuk menjelaskan argumen (hujah) kebenaran baginya dan menjelaskan pemahaman yang benar kepadanya. Imam juga harus menuntutnya sesuai dengan hak-hak dan aturan hukum yang 142 143 Lihat Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10. Lihat Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 78 ada, sehingga ajaran agama terjaga dari kerancuan dan pemahaman yang salah.144 b. Menegakkan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan memutuskan permusuhan antar pihak yang berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada orang zalim yang berani berbuat aniaya dan tidak ada orang yang dizalimi yang tidak mampu membela dirinya. c. Menjaga keamanan masyarakat sehingga mereka dapat hidup tenang dan bepergian dengan aman tanpa rasa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya. d. Menjalankan hukum pidana (hadd) sehingga larangan-larangan Allah tidak ada yang melanggarnya dan menjaga hak-hak hamba-Nya agar tidak hilang dan binasa. e. Menjaga perbatasan negara dengan peralatan dan kekuatan yang memadai untuk mempertahankan negara dari serangan kekuatan asing sehingga menjamin keamanan warga Muslimin dan kalangan kâfir mu‘ahhad ("non Muslim yang terikat perjanjian damai"). f. Melaksanakan perang agama (jihâd) melawan pihak yang menentang Islam setelah disampaikan dakwah kepadanya hingga mereka masuk Islam atau masuk dalam jaminan Islam (dzimmah). Dengan demikian, usaha untuk 144 Tidak diragukan, ini adalah kewajiban Imam yang paling utama dan signifikansi negara di bawah syariat. 79 menjunjung tinggi agama Allah di atas agama-agama seluruhnya dapat diwujudkan.145 g. Menarik fai’146 dan memungut zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat berupa nas ataupun hasil-hasil ijtihad, tanpa rasa takut dan usaha-usaha untuk memeras dan menindas. h. Menentukan gaji pegawai negeri dan besarnya subsidi (‘athâ’) kepada rakyat dan pihak-pihak yang mempunyai bagian dari kas perbendaharaan negara (bait al-mâl), tanpa melebihi atau mengurangi, dan memberikannya pada waktunya. i. Mengangkat pejabat-pejabat yang kredibel dan kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanat (wewenang dan kekuasaan) yang ia pegang, sehingga tugas-tugas dapat dikerjakan dengan sempurna dalam pengaturan orang-orang yang terpercaya. j. Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik negara dengan baik dan menjaga Agama. Ia tidak boleh menyerahkan tugas ini kepada orang lain, sementara ia sendiri menikmati kelezatan hidup duniawi atau menenggelamkan diri dalam kehidupan rohani, karena orang yang terpercaya 145 Dengan demikian, seorang Imam terikat dengan perjanjian Allah untuk membangun supremasi Islam lebih dari semua agama dan kepercayaan yang lain. Lihat komentar Qamaruddin Khan, AlMawardi’s Theory of the State, h. 37 146 Fai’ adalah harta yang didapatkan dari kaum non Muslim tanpa melalui perang. Harta ini berbeda sifat dan hukumnya dengan zakat. Lihat Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 128. Ada banyak macam sifat harta dan status hukumnya yang diperoleh negara dari orang-orang non Muslim. Keterangan rinci mengenai hal ini dapat dibaca bab XII dan seterusnya buku AlMâwardiy tersebut atau umumnya buku-buku fikih dalam Pasal Jihâd. 80 dapat saja menjadi pengkhianat dan orang yang baik dapat saja berubah menjadi penipu.147 Dalam keterangan akhir, al-Mâwardiy memperingatkan bahwa meskipun Imam memiliki wewenang/kekuasaan dan hak memerintah sesuai jabatannya berdasarkan legitimasi hukum agama, ia harus sadar bahwa wewenang dan kekuasaannya itu merupakan bagian dari hak-hak politik setiap rakyat (kulli mustar‘in). Untuk itu al-Mâwardiy mengutip sabda Nabi: “Setiap kamu adalah penguasa dan kamu dimintai pertanggungjawaban dari kekuasaanmu itu”.148 Tetapi, al-Mâwardiy tidak menjelaskan bagaimana mekanisme hak politik itu dapat dijalankan oleh rakyat secara terlembaga untuk melakukan kontrol terhadap wewenang dan kekuasaan Imam, dan sampai batas mana hak politik itu dapat dimanfaatkan rakyat untuk melakukan bargaining politik terhadap kekuasaan Imam. Kesepuluh fungsi Imam tersebut selain menjelaskan cakupan wewenang dan kekuasaannya, adalah juga kerangka dasar yang kemudian dipakai alMâwardiy untuk menyusun sistem birokrasi dan administrasi negara. 7. Pemakzulan Imam, Kudeta, dan Pemberontakan Setelah al-Mâwardiy mendiskusikan kewajiban-kewajiban seorang Imam, ia memperluas teori imamahnya dengan menunjukkan batas-batas wewenang dan kekuasaannya. 147 148 Lihat Al-Mâwardiy, Ibid., h. 15-16 Lihat Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 81 Menurut al-Mâwardiy, jika Imam menjalankan fungsinya untuk memenuhi hak-hak Umat seperti telah disebutkan, maka sungguh dia telah menunaikan hakhak Allah baik yang berkenaan dengan hak-hak Umat maupun kewajibankewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka. Selama itu, Imam mempunyai dua hak atas Umat, yaitu: pemerintahannya dipatuhi dan dibantu.149 Namun, masih menurut al-Mâwardiy, Imam dapat saja diberhentikan dari jabatannya (makzul), jika ia mengalami kecacatan sebagai berikut: a. Jika terjadi cacat moral yang secara teknis disebut hilangnya ‘adâlah (kredibilitas-keadilan). Cacat moral yang dimaksud adalah kefasikan (fusq). Cacat moral ini berkaitan dengan dua bidang: (1) berkaitan dengan perbuatan anggota tubuh (fisik), yaitu jika Imam melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Agama, melakukan kemungkaran, mengumbar syahwat, dan menuruti hawa nafsunya, sehingga menghalangi seseorang dapat diangkat sebagai Imam atau melanjutkan jabatan itu, dan (2) berkaitan dengan prinsipprinsip keyakinan (’i‘tiqâd), yaitu jika Imam berpegang pada ’i‘itiqâd yang mentakwil suatu masalah yang kontroversial (syubhât) dengan mengada-ada sehingga dia menghasilkan pemahaman yang menyalahi kebenaran (berpegang pada pendapat yang bertentangan dengan prinsip Agama yang mapan sehingga melakukan bidah). b. Jika terjadi cacat tubuh atau mengalami keterbatasan-keterbatasan politik yang menghalangi fungsi kekuasaannya. Mengenai cacat tubuh, dua macam kecacatan Imam yang dianggap paling fatal adalah karena ia kehilangan akal 149 Al-Mâwardiy, Ibid, h. 17 82 (menjadi gila) dan kehilangan indra penglihat (menjadi buta). Adapun maksud keterbatasan-keterbatasan politik yang dianggap menghalangi fungsi kekuasaan Imam adalah jika ia dikuasai secara paksa (mahjûr) oleh para bawahannya atau ia ditawan oleh musuh (kekuatan asing maupun kekuatan pemberontak).150 Terkait dengan perkataan al-Mâwardiy sendiri bahwa rakyat memiliki hak politik yang berkenaan dengan imamah, dan ia tidak menjelaskan bagaimana hak politik rakyat itu dapat difungsikan secara legal dan formal sebagaimana telah disinggung di atas, teori pemakzulan Imam yang dikemukakan barusan pun tidak dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan yang representatif mengenai pemungsian hak politik itu. Artinya, teori pemakzulan itu tidak cukup merepresentasikan cara bagaimana hak politik rakyat itu dapat direalisasikan secara legal dan formal untuk melakukan kontrol politik bahkan menurunkan Imam dari jabatannya. Karena meskipun pemakzulan Imam diteorisasikan al-Mâwardiy sebagai tindakan yang legal dengan syarat-syarat sebagaimana telah disebutkan, ia juga tidak menyatakan dengan jelas bagaimana mekanisme yang legal dan formal seorang Imam dapat dimakzul dari jabatannya. Satu-satunya cara yang justru tampak "disediakan" oleh al-Mâwardiy adalah melalui kudeta dan pemberontakan. AlMâwardiy benar-benar telah "menyelundupkan" teori legalitas kudeta dan pemberontakan di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan dengan demikian teori itu sekaligus merupakan "prosedur" alternatif untuk mengangkat Imam. 150 Lihat Al-Mâwardiy, Ibid, h. 17-20. 83 8. Sistem Birokrasi Pemerintahan Teori al-Mâwardiy tentang lingkup wewenang dan kekuasaan Imam adalah landasan bagi teorinya kemudian tentang sistem birokrasi pemerintahan. Poin pertama yang mesti dinyatakan di sini adalah bahwa Imam memiliki otoritas penuh untuk menyusun dan mengawasi sistem birokrasi pemerintahannya dan memilih para pejabat pembantunya. Menurut al-Mawardi, sistem birokrasi adalah alat yang dimiliki Imam untuk menjalankan pemerintahannya. Sistem ini meliputi empat kewenangan yang masing-masing berbeda dalam sifat dan bidangnya, yaitu:151 1. Pejabat yang kewenangannya umum dalam mengatur masyarakat secara umum (mencakup seluruh wilayah teritorial negara dan seluruh bidang kehidupan). Pejabat ini diangkat oleh Imam sebagai wakil atau pembantunya dalam mengatur urusan-urusan negara tanpa pembatasan. Mereka adalah perdana menteri (wazîr tafwîdh) dan para menteri eksekutif (wazîr tanfîdz). 2. Pejabat yang kewenangannya umum, namun dalam lingkup teritorial tertentu. Meraka adalah ’amîr al-’aqâlim (gubernur) dan ’amîr al-bilâd (bupati). 3. Pejabat yang kewenangannya khusus, namun dalam lingkup teritorial umum. Mereka adalah ’aqdh al-qudhât (hakim agung), naqîb al-juyûsy (panglima angkatan bersenjata), hâmi al-tsughûr (penjaga perbatasan negara), mustawfi al-kharâj (pemungut pajak), jalbi al-shadaqât (pengumpul zakat). 4. Pejabat yang kewenangannya terbatas pada bidang tertentu dan dalam lingkup teritorial tertentu pula. Mereka adalah para qâdhi ’iqlîm (hakim propinsi), 151 Lihat Al-Mâwardiy, Ibid., h. 21 84 qâdhi balâd (hakim kabupaten), penarik pajak dan pemungut zakat di tingkat provinsi dan kabupaten, panglima daerah, dan sebagainya. Setiap pejabat dalam sistem birokrasi itu, kata al-Mâwardiy, harus dipilih dengan memenuhi syarat-syarat kualifikasi dan diangkat dengan prosedurprosedur tertentu yang menentukan validitas pengangkatannya sehingga ia dapat menduduki jabatannya.152 Bab II sampai dengan bab XX buku al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah berisi pembahasan yang rinci mengenai sistem birokrasi tersebut dan aturan-aturan administrasinya. Menurut Qamaruddin Khan, sumbangan al-Mâwardiy yang paling besar adalah bahwa dia telah memberi paparan yang rinci tentang bagaimana menggerakkan berokrasi dan menata administrasi pemerintahan.153 Memang, al-Mâwardiy tidak hanya menggambarkan apa yang ada, namun juga apa yang seharusnya ada. Sesungguhnya, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah memiliki informasi yang kaya mengenai praktek birokrasi dan administrasi dalam Islam, yang meliputi bidang ritual agama, politik, sosial, maupun ekonomi. Perpaduan antara aspek-aspek yang ideal dan yang real di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah menjadikan karya al-Mâwardiy ini populer bagi setiap rezim penguasa Islam dan generasi yang datang kemudian hingga sekarang. B. Konteks Historis Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Apa yang dimaksud dengan istilah "konteks historis" adalah kondisi sosial, politik, dan budaya Islam pada abad X-XI masehi, serta wacana politik Islam yang 152 153 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. Qamaruddin Khan, Al-Mawardi' s Theory of The State, h. 53. 85 berkembang hingga kurun itu. Kondisi-kondisi tersebut diasumsikan sebagai, sesuai perspektif teoretis yang telah dibahas di depan, fenomena epistemik yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Sebelum hal ini dipaparkan, terlebih dahulu akan dikemukakan biografi alMâwardiy secara singkat. Meskipun singkat, diharapkan biografi ini dapat membantu dalam melakukan analisa nanti, terutama untuk menentukan posisi alMâwardiy dalam struktur sosialnya, dan posisi pemikirannya di antara pemikiranpemikiran yang lain. 1. Riwayat Hidup Al-Mâwardiy Al-Mâwardiy memiliki nama lengkap ’Abû Hasan ‘Aly bin Habîb Al-Mâwardiy al-Bashriy al-Baghdâdiy. Ia lahir di Basra, pada tahun 364 H/974 M, ketika kota ini menjadi salah satu pusat pengajaran dan pendidikan di dunia Muslim.154 Di 154 Kota Bashrah (Basra) dibangun pada tahun 16 H (636 M) pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khaththâb, setelah wilayah Irak dikuasai oleh tentara Islam di bawah pimpinan Sa‘d bin ’Abî Waqqâs tahun 635. Lokasi pembangunan kota Basra ditetapkan sendiri oleh Khalifah ‘Umar di daerah Kharîbah yang berdekatan dengan kota pelabuhan Ubullah di teluk Persia. Selama pemerintahan ‘Umar, Basra menjadi markas tentara Islam. Dalam perkembangannya, setelah didatangi para pedagang, Basra menjadi pusat perdagangan, baik pada masa al-khulafâ’u alrâsyidûn berikutnya, maupun pada masa dinasti ‘Umâwiyyah dan ‘Abbâsiyyah. Untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Basra, Khalifah ‘Umar mengirimkan ulama dari Madinah ke kota itu, antara lain ’Abû Mûsâ al-Asy‘ariy. Sejak itu sampai di masa pemerintahan ‘Umâwiyyah dan ‘Abbâsiyyah, Basra menjadi salah satu pusat pendidikan di dunia Islam. Para siswa berdatangan ke kota itu untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kota itu menjadi tempat bertemunya kebudayaan Persia dan Arab. Ketika ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mencapai puncak kemajuan dengan berpusat di Bagdad, Basra menjadi pusat kajian bahasa Arab, sastra dan sains yang penting, serta menjadi tempat berkumpulnya para pujangga Arab, sehingga kota itu disebut Khazânatu al-‘Arab. Kemajuan Basra di bidang perdagangan, bahasa, sastra dan ilmu pengetahuan serta peradaban Islam disebut dalam buku cerita terkenal Seribu Satu Malam (Alfu Lailatin wa Lailah). Sebagai kota ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra, kota Basra telah melahirkan sejumlah ulama, tokoh pemikir dan penyair. Ulama yang terkenal antara lain ‘Amr bin al-‘Ulâ, Yûnus bin Habîb, ‘Isâ bin ‘Amr, al-Khalîl bin Ahmad bin ‘Amr, dan al-’Asma‘iy, serta Sîbawayh. Tokoh pemikirnya antara lain [’Abû] al-Hasan al-Bashriy dan Wâshil bin ‘Athâ' . Sedangkan penyairnya antara lain Farazdaq, Bisyâr bin Bard, Muslim bin Wahîd, dan ’Abû Nuwwâs. Sampai dengan sekarang, Basra merupakan kota propinsi terbesar kedua setelah Bagdad. Seluruh keterangan ini 86 kota inilah ’Abû Hasan ‘Aly, putra desa yang menjadi tempat sentra penyulingan air mawar (mâ’u al-ward), memperoleh pendidikan dasarnya. Karena berasal dari desa tersebut, ’Abû Hasan ‘Aly kemudian dikenal dengan sebutan al-Mâwardiy. Ia belajar hadis pada al-Hasan bin ‘Aly bin Muhammad al-Jabaly, Muhammad bin ‘Adiy bin Zuhri al-Muqri´iy, Muhammad bin al-Ma' lâ al-’Uzdiy, dan Muhammad bin al-Fadhal al-Baghdâdiy. Ia juga belajar fikih pada ’Abi al-Qâsim ‘Abd alWâhid bin Muhammad al-Shaimariy, seorang hakim di Basra saat itu. Kemudian ia melanjutkan studinya ke kota Bagdad di “kampus” al-Za‘farâniy [Al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabâh Abû ‘Aly al-Za‘farâniy, w. 260 H]. Di kota pusat peradaban Islam dan pusat pemerintahan dinasti ‘Abbâsiyyah ini, al-Mâwardiy menajamkan disiplin ilmunya di bidang hadis dan fikih pada seorang guru bernama ’Abû Hâmid ’Ahmad bin ’Abî Thâhir al-’Isfirâyîniy (w. 406 H).155 AlMâwardiy secara khusus mempersiapkan diri untuk menjadi pejabat negara sebagai hakim,156 dan kenyataannya kemudian, ia memang diangkat oleh Khalifah al-Qâ’imbillâh menjadi hakim tingkat wilayah dan bertugas di beberapa daerah. Selain sebagai hakim, al-Mâwardiy juga diberi jabatan istimewa, yaitu sebagai duta khusus keliling bagi khalifah dari tahun 381 H. sampai dengan tahun 422 merupakan catatan ensiklopedis, lihat Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 243-244 155 Lihat pengantar penerbit Dâr al-Fikr untuk, Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M, h. 4. Lihat juga Nur Mufid, “Lembaga-lembaga Politik Islam Menurut Al-Mâwardiy dalam Bukunya al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah”, Surabaya: Balai Penelitian IAIN Sunan Ampel, 1998, h. 12. 156 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi' s Theory of the Satate, Lahore: Islamic Faoudation, 1983, h. 20-21 87 H.157 Hingga pada tahun 429 H. Khalifah al-Qâ’imbillâh mengangkatnya menjadi hakim agung (’aqdh al-qudhât) yang berkedudukan di Naisabur.158 Setelah sekian lama al-Mâwardiy menekuni karirnya sebagai hakim agung, akhirnya, ia memilih menetap di Bagdad dan menekuni kesibukan baru sebagai pengajar. Di kota ini pula al-Mâwardiy menghabiskan waktunya untuk menulis banyak buku, yang mencakup bermacam-macam disiplin seperti: fikih, hadis, tafsir, bahasa Arab, sastra, administrasi, politik, dan etika. Namun, sampai sekarang hanya 12 karangan al-Mâwardiy yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu: 159 1) Al-Hâwy al-Kabîr [Kandungan Besar]; kitab kumpulan hukum fikih Syafiiah yang terdiri dari 20 jilid 2) Al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah [Hukum-hukum Ketatanegaraan] 3) Nasîhat al-Mulûk [Nasehat untuk Raja-raja] 157 Nur Mufid, Op. Cit., h. 13 Pada tahun 429 H, Khalifah al-Qâ’im bin al-Qâdir Billâh mengumpulkan empat orang ahli hukum, yang masing-masing mewakili empat mazhab fikih, untuk menyusun sebuah ringkasan mengenai fatwa hukum. Al-Mâwardiy dipilih mewakili mazhab Syafii dan menulis kitab yang diberi judul al-’Iqnâ‘, al-Ghuduriy mewakili mazhab Hanafi menulis kitab al-Mukhtashar, sedang dua kitab lainnya dianggap tidak begitu penting. Khalifah mengakui karya al-Mâwardiy sebagai yang terbaik, dan untuk menghargai jasanya itu, al-Mâwardiy diangkat sebagai hakim agung (’aqdh al-Qudhât). Gelar dan jabatan tersebut adalah yang pertama kali dalam sejarah Islam, dan pengangkatan terhadap al-Mâwardiy untuk memegang jabatan dengan gelar tersebut memunculkan keberatan beberapa ahli hukum terkemuka lainnya, seperti ’Abu al-Thayyib alThabariy (seorang hakim waktu itu, w. 460 H, lihat Kihâlah, Mu‘jam al-Mu’allifîn, vol. 8, h. 264) yang menyatakan bahwa tidak seorang pun berhak menyandang gelar itu kecuali Allah. Namun alMâwardiy mengabaikan berbagai keberatan ini dengan tetap menerima pengangkatannya, dan menjalankan jabatan dengan gelarnya itu sampai akhir masa hidupnya. Alasan al-Mâwardiy mempertahankan gelar itu, karena para ahli hukum yang sama sebelumnya telah mengakui gelar Mâlik al-Mulûk al-’A‘zham (Rajadiraja yang paling mulia) bagi Sultan Rukn al-Dawlah. Lihat keterangan ini pada Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, h. 21. Terdapat keterangan yang kontradiktif mengenai alasan al-Mâwardiy tersebut, karena dalam kasus gelar Mâlik al-Mulûk al-’A‘zham, menurut Muhammad bin Kan‘an, al-Mâwardiy tidak memperbolehkannya. Lihat keterangan di bawah nanti. 159 Lihat pengantar penerbit Dâr al-Fikr untuk, Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M, h. 4-5 158 88 4) Qawânînu al-Wizârâh wa Siyâsatu al-Mulk [Undang-undang Kementerian dan Politik Kekuasaan] 5) Al-Nukatu wa al-‘Uyûn fî Tafsîri al-Qur’âni al-Karîm. [Masalah-masalah Pelik dan Pilihan: Tafsir Alquran] 6) Al-’Iqnâ‘ [Kerelaan]; ringkasan al-Hâwy al-Kabîr 7) ’Adab al-Qâdhi [Etika Hakim] 8) ’A’lâm al-Nubuwwah [Tanda-Tanda Kenabian] 9) Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafr [Mempermudah Pandangan dan Mempercepat Hasil Tujuan] 10) Al-Nahw [Tata Bahasa Arab] 11) Al-’Amtsâl wa al-Hukm [Contoh-contoh (Kasus) dan Hukumnya] 12) ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn [Etika Agama dan Dunia] Selain 12 buku tersebut, karya-karya al-Mâwardiy, sampai dengan sekarang, masih dalam bentuk manuskrip yang tersimpan di sejumlah perpustakaan atau museum di berbagai negara, terutama di Eropa.160 Di antara banyak karangan al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah adalah yang memasyhurkan namanya sejak masa hidupnya hingga sekarang. Dalam sejarah Islam, karya itu merupakan naskah ilmiah yang pertama tentang ilmu politik dan administrasi negara.161 160 Komentar singkat tentang keistimewaan buku-buku karya al-Mâwardiy tersebut dan informasi tempat penyimpanan manuskrip-manuskripnya dapat ditemukan dalam Nur Mufid, Op. Cit., h. 1217 161 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi' s Theory of The State, h. 22 89 Al-Mâwardiy adalah seorang ahli fikih yang sangat terkenal, tokoh terkemuka paham Suni dan pendukung utama mazhab Syafii,162 serta pejabat tinggi istana yang besar pengaruhnya pada masa menjelang akhir kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah. Di Bagdad pula, akhirnya, al-Mâwardiy wafat pada tahun 450 H/1058 M.163 Kesimpulannya, al-Mâwardiy terlahir di daerah yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam abad IV H/X M, ia mempelajari berbagai bidang/disiplin ilmu dan terutama mendalami ilmu fikih, karena ilmu ini memang dianggap paling penting dan merupakan standar baku untuk melihat kredibilitas intelektual Muslim di dunia Islam. Karena kemampuan keilmuannya, alMâwardiy dipercaya sebagai salah seorang pejabat tinggi istana yang sangat berpengaruh. Akhirnya, al-Mâwardiy bukan saja tampil sebagai seorang pejabat tinggi negara, melainkan juga seorang intelektual yang produktif menulis karyakarya ilmiah yang penting. Sebuah karya yang memiliki pengaruh besar hingga masa sekarang adalah al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah. 2. Kondisi Sosial dan Politik di Bagdad Abad IV H / X M 162 Lihat, ’Abû Bakr al-Baghdâdiy, Târîkhu al-Baghdâd, Beirut: Dâru al-Turâtsi al-‘Arabiy, 1942, XIII, h. 102. A. Hasjmy memasukkan al-Mâwardiy ke dalam daftar 30 jajaran ulama pendukung utama mazhab Syafii pada urutan ke-16, setelah ’Abû Thayyib Thâhir ‘Abdullâh al-Thabariy (w. 460 H). Lihat, A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1393 H/1973 M, h. 330 163 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990, hlm. 58 90 Sejarah Bagdad sesudah Islam dibagi atas dua periode besar: (1) periode kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah selama kurang lebih 500 tahun dan (2) periode sejak jatuhnya kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah hingga sekarang.164 Periode pertama dimulai sejak ’Abû Ja‘far al-Manshûr, khalifah kedua dinasti ‘Abbâsiyyah. Dialah pendiri kota Bagdad yang sebelumnya hanya sebuah perkampungan kecil. Ia meletakkan batu fondasi pembangunan kota baru itu sebagai ibu kota pemerintahan Khilafah Islam pada tahun 145 H (762 M). Pemilihan Bagdad sebagai ibu kota dinasti ‘Abbâsiyyah yang masih muda itu, utamanya didasarkan pada pertimbangan politis selain geografis. Al-Manshûr tidak memilih Damaskus, ibu kota kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyyah, karena di kota itu masih banyak pendukung dinasti ‘Umâwiyyah yang baru saja digulingkannya itu. Demikian pula ia tidak memilih kota Basra dan atau kota Kufa, karena di dua kota itu banyak pengikut ‘Aly bin ’Abî Thâlib yang menjadi musuhnya, lagi pula letaknya jauh dari Persia, padahal inti kekuatan yang mendukung berdirinya dinasti ‘Abbâsiyyah adalah rakyat Persia.165 Semula, para Khalifah ‘Abbâsiyyah memiliki kekuasaan yang kuat dan penuh. Namun setelah kekuasaan mereka dapat mencapai puncak kejayaan, berangsur-angsur otoritasnya mulai melemah. Kenyataan terpenting yang menjadikan kekuasaan khalifah semakin menurun adalah ketika terjadi penyerbuan oleh tiga amir bersaudara Banî Buwaihiy dari Dailam: ’Ahmad ’Abû al-Hasan (Mu‘izz al-Dawlah), ’Abû al-Hasan (’Imâd al-Dawlah), dan ’Abû ‘Aly (Rukn al-Dawlah), atas Bagdad dengan 164 165 membawa pasukan tentara yang Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, h. 215 Loc. Cit. 91 berjumlah besar, pada tahun 334 H./947 M. Khalifah ‘Abdullâh bin al-Muktafi Billâh (al-Mustakfi Billâh) yang berkuasa ketika itu tidak mampu berbuat banyak untuk menghadang kekuatan para pemberontak itu. Akhirnya, Khalifah alMustakfi diturunkan secara paksa dari kursi singgasananya dan dimasukkan ke dalam penjara hingga akhir hidupnya.166 Banî Buwaihiy bersaudara kemudian berhasil memegang kendali kekuasaan tertinggi dan mengatur pemerintahan Islam, termasuk menentukan orang untuk menduduki posisi sebagai khalifah, yang ketika itu diberikan kepada Abû al-Qâsim al-Fadhl ibn al-Muqtadir Billâh (bergelar Khalifah al-Muthî‘ Lillâh), sebagai khalifah ke-23 Banî ‘Abbâsiyyah. Mulai saat itu kekuasaan khalifah sangat lemah, hingga dia sama sekali tidak memiliki kewenangan mengatur jalannya pemerintahan ataupun mengangkat para menteri. Khalifah hanya memiliki seorang sekretaris yang bertugas mengurusi kebutuhankebutuhannya. Sebaliknya, kekuasaan sepenuhnya atas kendali pemerintahan berada di tangan Mu‘izz al-Dawlah ibn Buwaihiy yang memproklamirkan diri sebagai ’amîr al-’umarâ’ ("amir tertinggi").167 Khalifah al-Muthî‘ menduduki jabatannya selama 29 tahun 5 bulan. Dia memperoleh kesempatan memegang jabatan khalifah sedemikian lamanya karena dia rela menerima posisinya itu sebagai lambang kekuasaan Khilafah Islam belaka. Mu‘izz al-Dawlah sendiri berhasil mempertahankan jabatannya sebagai ’amîr al-’umarâ’ selama 22 tahun (334-356 H/945-966 M).168 166 Muhammad bin Ahmad Kan‘an, Târîkhu al-Dawlati al-‘Abbâsiyyah: Khulâshatu Târîkhi ’Ibni Katsîr, Beirut: Mu’assasatu al-Ma‘ârif, 1419 H/1998 M, h. 270 167 Muhammad bin Ahmad Kan‘an, Ibid., h. 271 168 Joesoef Sou‘yb, Sejarah Daulat Abbasiah, Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, h. 172 92 Suatu kenyataan lain yang sangat menonjol pada masa itu adalah: jikalau Khalifah al-Muthî‘ itu seorang Suni, maka kekuasaan Banî Buwaihiy ditegakkan di atas supremasi doktrin-doktrin Syî‘ah aliran ’Itsnâ-‘Asyarah. Oleh karena kekuasaan Banî Buwaihiy, maka perayaan-perayaan Syî‘ah dijadikan perayaan resmi. Misalnya Perayaan 10 Muharram untuk memperingati peristiwa terbunuhnya Imam Syî‘ah: Husain bin ‘Aly bin ’Abî Thâlib di Karbela, oleh tentara Mu‘âwiyah bin ’Abî Sufyân;169 dan perayaan 1 Zulhijah yang disebut dengan yaum al-ghâdir atau "Hari Raya Ghâdir", yang menurut kepercayaan dalam lingkungan Syî‘ah, bahwa pada tanggal itulah di suatu tempat bernama Ghâdir Khum, Nabi Muhammad menjatuhkan wasiat kepada ‘Aly sebagai warismutlak kekuasaan duniawi maupun kekuasaan agama atas kaum Muslimin, sepeninggalnya kelak.170 Perayaan-perayaan itu dianggap oleh golongan Suni sebagai tindakantindakan berlebihan, aneh, dan bahkan bidah. Namun demikian, mereka tidak mampu berbuat banyak untuk mencegahnya karena kondisi pendukung Syî‘ah yang terlampau banyak dan semakin kuat, apalagi posisi mereka didukung penuh oleh kekuasaan Sultan Mu‘izz al-Dawlah bin Buwaihiy sebagai ’amîr al’umarâ’.171 Kekuasaan Banî Buwaihiy di Bagdad juga mentolerir gerakan Syî‘ah garis keras, yaitu sayap Râfidhah. Karena merasa mendapat dukungan dan perlindungan dari Sultan, kelompok Râfidhah banyak menulis pamflet yang berisi cacian, celaan, dan penghinaan terhadap tokoh-tokoh terdahulu yang dianggap 169 Muhammad bin Ahmad Kan‘an, Op. Cit., h. 285. Joesoef Soe‘yb, Op. Cit., h. 175. Sejak saat itu, perayaan-perayaan serupa dilaksanakan di kalangan Syî‘ah dan menjadi tradisi tahunan yang tetap berlangsung hingga sekarang. Lihat Muhammad bin Kan‘an, Op. Cit., h. 285. 171 Muhammad bin Kan‘an, Loc. Cit. 170 93 musuh besar mereka seperti: Mu‘âwiyah bin ’Abî Sufyân, ’Abû Bakr, ‘Umar bin Khaththâb, ‘Utsmân bin ‘Affân, dan Marwân bin Hakam, yang ditempelkan di masjid-masjid. Tokoh-tokoh tersebut, menurut kelompok Râfidhah, memiliki andil yang besar dalam penyingkiran ’âlu al-bait (keluarga dan keturunan Nabi) dari hak kekuasaan atas kaum Muslimin.172 Musuh terbesar Syî‘ah, menurut kelompok Râfidhah, adalah Mu‘âwiyah. Tokoh ini disebut tidak saja sebagai penentang kekuasaan Imam ‘Aly, tetapi juga sebagai penjagal Imam Hasan dan Imam Husain; dua putra ‘Aly. Mu‘âwiyah adalah tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab atas seluruh penderitaan yang dialami ’âlu al-bait sejak masa pemerintahannya sebagai khalifah hingga khalifah-khalifah berikutnya dari Banî ‘Umâwiyyah. Adapun alasan kelompok Râfidhah melaknat ’Abû Bakr, karena dia dianggap melakukan gasab (mempergunakan milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri) atas hak Fâthimah (puteri Nabi): melaknat ‘Umar bin Khaththâb, karena dia dianggap menjegal masuknya ‘Abbâs (paman Nabi) untuk duduk dalam jajaran syuriah yang memiliki kewenangan memilih dan mengangkat khalifah; melaknat ‘Utsmân, karena dia dianggap menjegal ’Abû Dzarr untuk duduk dalam jajaran dewan tersebut; dan melaknat Marwân bin Hakam, karena dia disebut sebagai orang yang melarang pemakaman jenazah Hasan bin ‘Aly di sisi kakeknya (Nabi) dan ibunya (Fâthimah).173 Sultan Mu‘izz al-Dawlah, menurut kaum Suni, mendukung propaganda kelompok Râfidhah tersebut. Bukti yang diajukan adalah bahwa ketika kaum Suni 172 173 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 283 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 284 94 melaporkan pamflet-pamflet dari kelompok Râfidhah tersebut sebagai aksi protes, Sultan Mu‘izz menganggapnya sebagai bukan tindak kejahatan, dan karena itu, dia tidak bereaksi apa-apa untuk merespon aksi unjuk-rasa mereka. Sehingga, kaum Suni menyimpulkan bahwa Sultan Mu‘izz al-Dawlah memiliki kecondongan yang kuat kepada gerakan Syî‘ah-Râfidhah.174 Setelah empat tahun kekuasaan Banî Buwaihiy, persengketaan antara Syî‘ah dan Suni mulai terjadi.175 Seringkali, keduannya melakukan bentrok setelah sebelumnya saling menghina, dan menyebabkan banyaknya korban yang tewas dari kedua belah pihak. Misalnya, bentrok antara Suni dengan Syî‘ah dari penduduk Karkh yang terjadi pada tahun 346 H,176 bentrok antara Suni dengan Syî’ah dari sayap Râfidhah dua tahun kemudian,177 dan bentrok terbesar terjadi pada tahun 349 H. di Bagdad,178 dan pada tahun 351 H. bentrok yang besar juga pecah di Basra.179 Tampaknya, dari beberapa peristiwa bentrokan tersebut, Suni sudah mulai melancarkan gerakan tandingan atas hegemoni gerakan Syî‘ah. Perubahan lain tampak dalam penyebutan gelar bagi penguasa. Ketika ’Abû Syujâ‘ ibn Rukn al-Dawlah ’Abû ‘Aly al-Husain ibn Buwaihiy berkuasa, ia yang pertama kali memakai gelar syahinsyah, atau mâlik al-mulûk, yang artinya “Rajadiraja“, yang tentu dimaksudkan bahwa pemilik gelar itu posisinya lebih tinggi dari orang yang berkedudukan sebagai khalifah.180 Dalam pandangan ulama Suni semisal Al-Mâwardiy dan ’Ibn Katsîr, menurut kutipan Muhammad bin 174 Muhammad bin Kan‘an, Loc. Cit. Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 274 176 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 279 177 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 280 178 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 281 179 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 284 180 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 316 175 95 Kan‘an, pemakaian gelar tersebut tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hadis sahih yang menyatakan bahwa gelar seperti itu hanya khusus untuk Allah.181 Selain perubahan situasi sosial, budaya, dan politik tersebut, Banî Buwaihiy juga menjadikan Syîraz sebagai ibu kota baru dan sebagai pusat gerakan Syî‘ah yang menggantikan Bagdad.182 Pada masa itu terjadi perubahan bentuk ketatanegaraan secara kongkrit. Kekuasaan sentral Banî Buwaihiy sudah tidak mencapai wilayah-wilayah yang berotonomi penuh, sekalipun satu persatunya masih mengakui khilâfah Banî ‘Abbâsiyyah di Bagdad. Sifat Dawlah Islâmiyyah sudah lebih mirip dengan bentuk Persemakmuran (Commonwealth) di bawah naungan khilafah Banî ‘Abbâsiyyah.183 Pada masa Khalifah ’Abû Bakr ‘Abd al-Karîm (al-Thâ’i‘, berkuasa: 363-381 H/973-991 M) misalnya, Mesir dikuasai oleh Banî Fâthîmiyyah (terutama al-Mu‘izz al-Fâthimiy) dan mulai mengembangkan pengaruh kekuasaannya ke Damaskus setelah membangun kota Kairo.184 Di bawah hegemoni kekuasaan sultan-sultan Banî Buwaihiy, Khalifah Banî ‘Abbâsiyyah setelah al-Thâ’i‘ secara berurutan dipegang oleh al-Qâdir Billâh (berkuasa: 381-422 H /991-1030 M) dan al-Qâ’im Biamrillâh (berkuasa: 422-467 H /1030-1074 M). Namun, sejak menjelang wafatnya Sultan Rukn alDawlah bin ‘Aly bin Buwaihiy, pamor kekuasaan Banî Buwaihiy mulai menurun seiring pembagian wilayah kekuasaannya kepada tiga anak-anaknya: ’Adhdu al181 Lihat Muhammad bin Kan‘an, Loc. Cit., lihat juga, Ibid., h. 363. Joesoef Sou‘yb, Op. Cit., h. 176. 183 Joesoef Sou‘yb, Ibid, h. 204. 184 Muhammad bin Kan‘an, Op. Cit., h. 300 182 96 Dawlah menguasai Persia, Kirman, dan Arjan; Mu’ayyadu al-Dawlah menguasai Ray dan Asbihan; Fakhru al-Dawlah menguasai Hamadzan dan Dinora.185 Kekuasaan Banî Buwaihiy mulai melemah setelah tidak ada persatuan di antara mereka, dan masing-masing berseteru untuk menduduki jabatan tertinggi dengan kekuasaan terbesar.186 Kekuasaan Banî Buwaihiy yang berlangsung 113 tahun lamanya, berakhir pada tahun 447 H/1055 M. Kemudian de facto puncak kekuasaan Islam di Bagdad dipegang oleh dinasti Seljuk. Dinasti Seljuk berasal dari Turki dan beraliran Suni. Naiknya kekuasaan dinasti Seljuk adalah atas "undangan" Khalifah al-Qâ’im untuk melumpuhkan kekuatan Banî Buwaihiy di Bagdad. Sampai dengan tahun 467 H/1074 M, jabatan khalifah masih dipegang oleh Khalifah al-Qâ’im, dan pada tahun ini pula ia wafat. Keadaan khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syî‘ah.187 Jika masa kekuasaan Banî Buwaihiy memunculkan pemikir-pemikir besar seperti ’Ibn Shinâ (980-1037 M), al-Bîrûniy (973-1048 M), ’Ibn Miskawayh (9301030 M), dan kelompok studi ’Ikhwân al-Shafâ,188 maka pada masa kekuasaan dinasti Seljuk yang mendampingi kekuasaan Khalifah al-Qâ’im, ilmu pengetahuan keagamaan yang beraliran Suni mengalami perkembangan pesat. 185 Muhammad bin Kan’an, Ibid., h. 305 Joesof Sou' yb, Op. Cit., h. 220 187 Joesof Sou' yb, Loc. Cit. 188 Menurut Bernard Lewis, kebangkitan dinasti Buwayh yang Syî‘ah di abad ke-10 sesungguhnya menandai titik balik dalam sejarah peradaban Islam Abad Tengah. Syî‘ah selalu merupakan lahan subur bagi tradisi intelektual filsafat dan mistisisme yang menyambungkan keterputusan mata rantai intelektual di dunia Islam ketika filsafat dibabat habis oleh kalangan ortodoksi (Suni, tradisionalis). Lihat Bernard Lewis, Islam in History: Ideas, People, and Events in Middle East, (Chicago dan La Salle, Illionis: Open Court Publishing Company, 1993), h. 113 186 97 Nizhâm al-Mulk, perdana menteri pada masa itu, mendirikan Madrasah Nizhâmiyyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiah di Bagdad. Cabang-cabang Madrasah Nizhâmiyyah didirikan hampir di setiap kota. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan Suni dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah alZamakhsyâriy, penulis dalam bidang tafsir dan ’ushûl al-dîn (teologi), alQusyairiy dalam bidang tafsir, al-Ghazâliy dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan ‘Umar Khayyâm dalam bidang ilmu perbintangan.189 Dari uraian di atas terlihat bahwa al-Mâwardiy hidup di tengah-tengah ketegangan politik di mana kejayaan Daulat Banî ‘Abbâsiyyah berangsur-angsur mengalami kemunduran. Pemikiran al-Mâwardiy pun harus dipahami dalam konteks sejarah ketegangan doktrinal antara Syî‘ah dan Suni khususnya, yang telah terbentuk sejak jauh sebelum masa-masa hidupnya dan masih terus berlangsung. Al-Mâwardiy hidup bersamaan dengan periode panjang perkembangan terpilah antara Islam Arab dan Islam Persia (Islam mawâly190 pada umumnya); Islam Suni, Islam Syî‘ah, Islam Khawârij dan lain-lain, yang menimbulkan pemisahan di antara mereka. Bahkan jika ditelisik secara lebih mendalam, masing-masing faksi tersebut sebenarnya bukan merupakan kelompok yang tunggal dan utuh. Masing-masing faksi memiliki variasi mazhab yang banyak dan kompleks. Perkembangan dan konfigurasi faksi, selain karena latar belakang politis, juga disebabkan oleh faktor 189 190 Ensiklopedi Islam, h. 215 Istilah Islam mawâly merujuk kepada fenomena Islam di daerah taklukan. 98 geografis, tokoh-tokoh pendukung dan institusi pendidikannya, serta metode pengembangannya. Bagdad, Basra, dan Khurasan adalah tiga wilayah penting yang menjadi ruang kontestasi persaingan pengaruh politik, ekonomi, agama, dan budaya; bukan saja antar tiga faksi besar Islam yaitu Suni, Syî‘i, dan Khâriji; melainkan juga antar mazhab dalam satu aliran faksi. Pada abad ke-11 M, Bagdad merupakan kota metropolitan dan masyarakatnya heterogen. Anggota masyarakat terdiri dari keturunan Arab, Turki, Iran, dan memiliki profesi yang beragam juga. Dengan penduduk kurang-lebih 1,5 juta jiwa, di antara mereka ada yang dapat diklasifikasikan sebagai orang yang taat agama seperti kaum ulama dan para pengikut mereka, dan sebagai lawannya banyak juga yang kurang taat agama seperti pelacur, penjual minuman keras dan penyanyi. Bagdad merupakan kota yang kaya budaya, kota di mana ragam budaya yang dibawa oleh penduduk yang datang dari berbagai daerah bertemu. Selain penduduk yang beragama Islam, ada juga yang beragama Yahudi, Kristen, dan Zoroaster.191 Dalam suasana demikian, masing-masing kelompok budaya dan kepentingan saling berlomba memperkuat diri dan berebut pengaruh dalam rangka menciptakan situasi dan kondisi kehidupan sebagaimana yang diinginkan. Dalam faksi Suni misalnya, kelompok pengikut mazhab Hambali (Ahmad bin Hanbal, lahir di Bagdad tahun 164 H / 780 M), tampil sebagai kelompok fanatik yang membela ajaran agama dari para penentang dan penyeleweng. Kelompok ini sangat aktif bergerak melawan orang-orang yang melanggar ajaran agama Islam. Mereka menganggap perlu untuk melakukan reformasi agama untuk 191 M. Nafis dkk., "Konfigurasi Keagamaan dalam Islam: Studi tentang Sekte dan Madzhab Abad XI di Daerah Baghdad dan Khurasan”, Balai Penelitian IAIN Walisongo, Semarang, 1996, h. 22 99 mengembalikan masyarakat setelah dikotori oleh perbuatan maksiat. Kelompok mazhab Hambali yang terorganisir juga aktif melawan kelompok Syî‘ah dan para penguasa yang mendukungnya, beberapa kali mereka bergerak untuk menentang kaum Muktazilah, dan setelah Muktazilah tidak lagi kokoh mereka terlibat pertentangan dengan kelompok Asyariah (pengikut Abû al-Hasan al-’Asy‘âriy alBashriy, seorang ahli ilmu kalâm dan diakui sebagai salah satu tokoh besar pendiri mazhab Suni, w. 307 H) yang didukung oleh pengikut mazhab Syafii. Demikianlah, tidak perlu lagi disebutkan secara rinci berbagai struktur sosial dan praktek budaya serta keagamaan yang berkaitan sejak melemahnya negara khilafah (334 H=945 M) hingga abad XI M yang disaksikan dan dialami oleh al-Mâwardiy. Selain alurnya akan panjang dan rumit, tidak akan diperoleh pelajaran lebih banyak mengenai interaksi antara agama, politik, dan masyarakat. Yang perlu ditambahkan hanyalah bahwa persekutuan terjadi di antara negara, ortodoksi yang ditetapkan kaum ulama yang menjadi pengelola agama (termasuk al-Mâwardiy sehingga ia menyusun al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah), dan angkatan bersenjata yang dikuasai orang-orang ambisius yang berinisiatif besar dan seringkali memiliki kebijakan politik berbiaya tinggi. Karena setiap petualang politik dan militer yang mau berhasil mesti membayar serdadu bayaran dan memenuhi perbendaharaannya, maka beban perpajakan menjadi terlalu berat. Bersama dengan sebab-sebab yang lain, pajak yang berat ini langsung melemahkan kelas pedagang dan kaum profesional, dan memiskinkan kehidupan rakyat pada umumnya.192 192 Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1994, h. 353 100 3. Sejarah Wacana Politik Islam "Perselisihan paling dahsyat yang terjadi di antara umat Islam adalah perselisihan dalam masalah imamah. Kelebatan pedang yang terjadi karena perselisihan dalam masalah kaidah keagamaan, tidak seperti kelebatannya karena perselisihan dalam masalah imamah di setiap zaman."193 Al-Syahrastâniy Ini adalah perkataan-kesaksian seorang ahli sejarah politik Islam ternama, yang menunjukkan masalah di sekitar kepemimpinan sebagai masalah penting dan besar. Ia juga merupakan sumber informasi yang penting sejarah terbentuknya aliran-aliran (firkah) Islam dan pertentangan-pertentangannya, yang masih terus berkembang dan berlangsung hingga masa sekarang.194 Secara historis, keterkaitan Islam dengan politik dapat dirunut jauh ke belakang sejak masa awal pendiriannya di Mekah oleh Nabi Muhammad, hingga masa pemantapannya di Madinah. Kata “keterkaitan” bukan serta-merta berarti bahwa Islam adalah merupakan risâlah agama-politik bagi manusia. Pada ruang sejarah di mana fakta Islam muncul dan berkembang, sebenarnya wacana dan praktek yang menempatkan Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan dapat dilihat kembali secara kritis. Terlepas dari kontroversi teoretis yang masih berlangsung hingga kini berkenaan dengan kepemimpinan Nabi Muhammad, apakah hal itu merupakan model kepemimpinan risâlah, atau kepemimpinan seperti seorang raja; apakah aspek-aspek kewenangannya adalah aspek-aspek dari sebuah negara politik atau 193 Al-Syahrastâniy, Al-Milalu wa al-Nihal, Kairo: Thab' at al-Azhar, vol. 1, h. 20 Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, al-Nazhariyyâtu al-Siyâsiyyâtu al-Islâmiyyât, Kairo: Maktabah Dâr alTurâts, 1979, h. 88 194 101 sebuah kepemimpinan keagamaan; apakah Muhammad hanya seorang rasul atau dia seorang rasul sekaligus sebagai seorang raja; faktanya, misi Muhammad telah mewujudkan sebuah entitas politik yang paling kuat di seluruh semenanjung Arabia. Sebuah entitas politik Islam telah berdiri kokoh di bawah kepemimpinan Muhammad yang berkedudukan di Madinah. Ketika Muhammad wafat, fakta Islam sebagai sebuah entitas politik inilah yang kemudian menjadi perhatian dan incaran orang-orang yang berambisi menggantikan kepemimpinannya, maupun orang-orang yang ingin membebaskan diri dari pengaruh politik Islam. Di tangan keempat khalifah (pemimpin pengganti Rasulullah) yang pertama yang disebut ortodoks (11-41 H=632-661 M), wewenang agama dan kekuasaan negara menyatu dalam istilah ’imâmah/khilâfah. Mereka melanjutkan bentuk hubungan keduanya dengan jalan menerapkan kebijaksanaan- kebijaksanaan mereka di bawah cahaya Alquran195 (yang diterangi oleh Cahaya Allah196) dan pelajaran yang mereka terima dari Rasul. Mereka menjamin kontinuitas negara yang didirikan oleh Rasul sejak 622 M itu, dan mengadakan perluasannya hingga ke Persia dan Afrika. Namun, berbagai peristiwa politis-tragis dengan cepat terjadi dan semakin berlipat ganda. ‘Umar bin Khaththâb, ‘Ustmân bin ‘Affân, dan ‘Aly bin ’Abî Thâlib adalah khalifah-khalifah ortodoks yang mati terbunuh. Tragedi ini merupakan sisi kecil peristiwa yang dilatarbelakangi motif-motif politik, dan sisi yang lebih besar adalah peristiwa dua perang sipil antara Khalifah ‘Aly melawan pemberontakan ‘Â’isyah (janda Rasul), dan antara Khalifah ‘Aly melawan 195 Fazlu Rahman, Op. Cit., h. 51 Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.), Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994., h. 217 196 102 pemberontakan Mu‘âwiyah. Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa pertaruhan utama dari berbagai tragedi adalah perebutan kekuasaan. Tindakan-tindakan untuk meraih kekuasaan atau mempertahankannya, tentu tidak hanya membutuhkan dukungan material dan orang-orang (tentara), tetapi juga selalu membutuhkan alasan-alasan yang membenarkannya. Mengingat kekuasaan yang diperebutkan itu seara faktual tidak terlepas dari fenomena Islam, maka tidak ada alasan pembenaran yang lebih kuat daripada pembenaran atas nama Islam itu sendiri. Dapat ditemukan contoh dengan mudah bagaimana alasan-alasan dalam rangka kekuasaan itu harus ada dengan bentuk sebagai isu Islam, seperti klaim Ansar yang menginginkan kekuasaan dengan alasan bahwa mereka adalah orangorang yang paling berjasa terhadap Islam;197 klaim orang-orang Quraisy bahwa kekuasaan adalah hak mereka berdasarkan alasan: Nabi pernah mengatakan bahwa "pemimpin adalah dari orang Quraisy",198 sebab "manusia mengikuti orang-orang Quraisy: mereka menjadi Muslim karena keislaman orang-orang Quraisy, dan mereka menjadi kafir karena kekafiran orang-orang Quraisy";199 klaim pendukung ‘Aly bin ’Abî Thâlib yang berhadap-hadapan dengan pendukung Khalifah ’Abû Bakr; serta klaim ‘Â’isyah dan para pendukungnya yang memberontak terhadap Khalifah ‘Aly. Pada kasus yang terakhir, polemik yang terjadi sangat rumit, karena melibatkan seluruh elemen masyarakat Islam. 197 Lihat ’Abû Bakr al-‘Arâbiy, al-‘Awâshimu min al-Qawâshim, Arab Saudi: Kementerian Urusan Islam, 1419 H, h. 67 198 Adalah hadis Nabi yang dikutip ’Abû Bakr dalam pidatonya di Saqîfah Banî Sâ‘idah, dapat ditemukan dalam al-Thayâlîsiy, Musnad, hadis ke-926 dan ke-2133. 199 Adalah hadis lain yang dikutip ’Abû Bakr dalam pidatonya di Saqîfah Banî Sâ‘idah, lihat ’Ibnu Katsîr, al-Bidâyatu wa al-Nihâyah, Mesir: Dâr Ihyâ’i al-Turâtsi al-‘Araby, 1408 H/1988 M, vol. 6, h. 305 103 Apalagi, inilah situasi untuk pertama kalinya sejak Rasulullah wafat, dua kelompok kaum Muslim berdiri di pihak yang berlawanan dalam keadaan konflik bersenjata. Inilah situasi yang digambarkan Rasulullah sebagai kemungkinan yang paling buruk yang akan dihadapi Islam, fitnah: perang saudara; saat senjata kaum Muslim diarahkan kepada sesama mereka.200 ‘Â’isyah harus menjelaskan ihwal pemberontakannya terhadap Khalifah ‘Aly. Untuk itu, ‘Â’isyah bersama dua sekutunya, Thalhah [ibn ‘Ubaidillâh alTaimiy] dan al-Zubair [ibn al-‘Awwâm], terus berkampanye dan membujuk orang-orang untuk mendukungnya melawan Khalifah ‘Aly yang dituduh "tidak adil". Ia menyalahkan Khalifah ‘Aly karena tidak berusaha menghukum pembunuh ‘Ustmân (khalifah ketiga), padahal sejumlah orang yang ikut mengepung ‘Ustmân dan identitasnya diketahui, berada dalam barisan tentara Khalifah ‘Aly sebagai pimpinan pasukan. Akibat kampanye ‘Â’isyah ini, opini publik terbagi dua. Sebagian pihak berpandangan bahwa bahaya terbesar yang mengancam umat Islam bukanlah karena diperintahkan oleh "pemimpin yang tidak adil", melainkan jika jatuh ke dalam perang saudara. Mereka berpandangan bahwa kata "islam" berarti "kepatuhan". Jika seorang pemimpin yang sah ditentang, prinsip yang fundamental di dalam tatanan Islam juga berada dalam bahaya. Sedang pihak yang lain menilai, bahaya yang lebih serius akan mengancam negara Islam jika pemimpinnya tidak adil, ketimbang perang saudara. Seorang Muslim tidak harus mematuhi pemimpinnya jika mereka melihat sang 200 Para ahli hadis meriwayatkan hadis-hadis fitnah dalam setiap kitab mereka dan dikumpulkan pada bab tersendiri, al-fitan. 104 pemimpin bertindak tidak adil dan munkar.201 Demikian juga alasan-alasan pembenaran yang digunakan sehingga terjadi perang sipil kedua: Mu‘âwiyah yang memberontak terhadap Khalifah ‘Aly yang terkenal dengan Perang Shiffîn.202 Kesimpulannya, ’imâmah/khilâfah yang ditegakkan orang-orang Muslim pasca Nabi, sebenarnya lebih kental berupa isu politik yang menyeret agama, daripada isu agama yang murni berdiri sendiri. ’Imâmah/khilâfah sebenarnya menyerah pada permainan kekuatan sosial, intrik politik, dan strategi dominasi.203 Dan meskipun demikian, ciri yang sama dari semua kekuasaan adalah membutuhkan dan mempertahankan landasan teoretis dari suatu wewenang yang dapat mengabsahkannya di mana-mana. Maka mudah dipahami ketika segala kekuasaan dan dinasti yang silih berganti menyatakan selalu merujuk kepada Alquran, pengalaman Muhammad, dan tokoh-tokoh pendiri yang ideal. Di sisi lain, pemikiran Islam (dan semua bentuk pemikiran yang lain) memiliki ciri yang sama. Selain ia membutuhkan postulat-postulat yang bersifat intelektual, ia juga sangat bergantung kepada kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain yang bersifat ekstra-teoretis. Pemikiran Islam pun menyatu dengan kepentingankepentingan politik yang mengarahkannya. Maka setiap orang yang ingin memahami bentuk pemikiran Islam, ia mesti merunut asal kelompok yang melahirkannya, yaitu faksi politiko-religius sebagai gerakan-gerakan ideologis. 201 Al-‘Asqalâniy, Fathu al-Bâry, Mesir: al-Mathba‘u al-Bahiyyah, 1928, vol. 13, h. 622. Kisah yang cukup rinci dapat ditemukan juga dalam ’Abû Bakr al-‘Araby, Op. Cit., h. 132-3 202 Peristiwa Perang Shiffin ini dinarasikan oleh ’Ibnu Muzâhim al-Munqiriy, Waq‘atu Shiffîn, ‘Abdu al-Salâm Muhammad Hârûn (ed.), al-Muassasatu al-‘Arabiyyatu al-Hadîtsât, Cet. Ke-2, 1382 H. 203 Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.), Nalar Islami dan Nalar Modern, h. 220 105 Penjelasan di atas akan membantu pemahaman yang lebih baik tentang fenomena konflik-konflik sosial-politik kemudian, antara kaum Suni, Syî‘i, dan Khâriji ketimbang pemahaman yang diberikan oleh penjelasan yang biasa melihat konflik-konflik tersebut dari segi perbedaan-perbedaan teologis. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran Islam yang lahir sejak pendirian ’imâmah/khilâfah hingga "revolusi ‘Abbâsiyyah", lebih dipahami sebagai gerakan-gerakan sosial-politik dalam pencarian doktrin yang pasti ketimbang membicarakannya sebagai kelompok-kelompok keagamaan yang murni. Dari sudut pandang sosial-historis, dua perang sipil besar yang terjadi pada masa Khalifah ‘Aly adalah pendulum sejarah yang membuahkan polarisasi Islam menjadi kelompok-kelompok politiko-religius yang saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan. Bahkan sampai sekarang, Islam nyaris tidak mungkin dibicarakan kecuali dalam bentuk-bentuk polarisasi itu. Kelompok politiko-religius yang pertama kali memunculkan doktrin adalah Khâriji (jamaknya, Khawârij). Doktrin mereka terkait dengan peristiwa arbitrasi (tahkîm) yang disetujui oleh Khalifah ‘Aly setelah ia memperoleh kemenangan terhadap Mu‘âwiyah dalam perang di Shiffîn pada tahun 37 H / 648 M. Dalam perang itu, kelompok Khâriji semula merupakan bagian dari barisan pendukung Khalifah ‘Aly, dan karena ia menyetujui arbitrasi, mereka kecewa dan menyatakan keluar (kharaja) dari barisan Khalifah ‘Aly dan membentuk kelompok tersendiri. Sejak saat itu sebutan Khawârij ("golongan yang keluar") melekat pada kelompok itu. Alasan yang mendasari tindakan mereka adalah diktum Alquran bahwa "Tuhan 106 adalah satu-satunya hakim dan pemutus hukum",204 dan oleh karena itu arbitrasi antara Khalifah ‘Aly dan Mu‘âwiyah tidak dapat dibenarkan. Alasan itu akhirnya berkembang menjadi sebuah kredo yang khas bagi kelompok ini. Atas dasar kredo ini pula mereka mengirim pasukan teroris yang bertugas mengeksekusi Khalifah ‘Aly pada tahun 40 H/661 M, dan melakukan gerakan-gerakan politik dengan cara-cara kekerasan sebagai tindakan "amar makruf nahi mungkar" dalam melawan penguasa-penguasa dari dinasti ‘Umâwiyyah dan ‘Abbâsiyyah. Pemberontakan dan penggunaan cara-cara kekerasan mereka anggap sah dan bahkan harus dilakukan untuk menegakkan "keadilan". Sasaran kekerasan mereka bukan saja setiap pemerintah yang berkuasa, tetapi juga mayoritas umat Islam yang moderat (anti kekerasan dalam penyelesaian setiap konflik yang terjadi antara umat Islam). Mayoritas umat Islam telah mengambil sikap politik yang moderat sejak kerusuhan-kerusuhan pertama pecah di masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân. Khawârij menuduh mayoritas yang moderat itu sebagai "pengecut-pengecut yang menyesuaikan diri dengan keadaan".205 Dan di atas semua itu, Khawârij mengklaim diri sebagai orang-orang yang "berangkat ke medan perang" untuk membela "hak-hak Tuhan".206 Kelompok kedua yang muncul adalah Syî‘ah. Mereka adalah orang-orang yang mendukung ‘Aly bin Abî Thâlib secara fanatik. Meskipun keberadaan mereka telah tampak jelas sejak awal setelah wafat Nabi, pembentukannya semakin mengeras setelah Khalifah ‘Aly terbunuh. Fanatisme Syî‘ah berdasarkan kepada satu doktrin bahwa kepemimpinan Islam adalah hak ‘Aly bin Abî 204 Q.S. Al-’An‘âm (6):57, Yûsuf (12):67, dan lain-lain. Lihat Fazlur Rahman, Islam, h. 244-248 206 Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 32 205 107 Thâlib/keturunan Nabi. Ini adalah isu yang paling mendasar dari Syî‘ah dan mereka menganggapnya sebagai salah satu ketentuan pokok dalam Islam. Lebih daripada itu, orang-orang Syî‘ah memegang dogma bahwa Imam ‘Aly bin Abî Thâlib dan para keturunannya yang menjadi Imam penerus adalah orang-orang istimewa yang "terjaga" (ma‘shûm) dari sifat-sifat tercela dan dosa seperti para nabi.207 Kelompok ketiga adalah mayoritas umat Islam (majma‘u al-’ummah) yang moderat.208 Prinsip utama dari golongan ini adalah kolektifitas.209 Kepemimpinan adalah hak umat Islam, bukan perseorangan yang telah ditentukan secara baku dan pasti atau melalui pewarisan. Dan demi menjaga kebersamaan dan keutuhan umat Islam, mereka akan menghindari konflik dan kekerasan.210 Maka, doktrin yang kemudian berkembang luas dalam golongan ini adalah "pemerintah haruslah dipatuhi walaupun ia tidak adil", karena "penguasa yang tidak adil adalah lebih baik daripada kekacauan".211 Golongan ini dikenal dengan sebutan Ahli Sunah Waljamaah ("orang-orang ortodoks yang menempuh jalan tengah dan persatuan").212 207 Lihat Fazlur Rahman, Islam, h. 224-248. Fazlur Rahman, Loc. Cit. 209 Muhammad Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, al-Nazhariyyâtu al-Siyâsiyyâtu al-’Islâmiyyât, Dâr alTurâts, Kairo, 1979, h. 82 210 Muhammad Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Ibid., h. 239 211 Muhammad Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Ibid., h. 352-3 212 Al-Rais menjelaskan bahwa golongan ini semula adalah para cendekiawan (ulama) genarasi penerus Islam (tâbi' în) yang ahli tafsir Alquran, ahli hadis, dan ahli fikih yang relatif menjaga jarak dengan perkembangan politik praktis. Perhatian mereka lebih besar tercurahkan untuk pembangunan keilmuan Islam daripada terlibat dalam situasi fitnah ["krisis politik"] yang berakibat perpecahan dan pertumpahan darah. Mereka adalah orang-orang yang setuju dengan pendapat dan sikap yang moderat dari Sahabat-sahabat semisal ’Abû Mûsâ al-' ’Asy‘ariy. Tokohtokoh besar yang mewarisi pendapat dan sikap moderat itu seperti [’Abû] al-Hasan al-Bashriy [lahir pada masa Khalifah ‘Umar bin Khaththâb], al-Sya‘biy [lahir pada masa Khalifah ‘Umar bin Khaththâb], Sa‘îd bin Jubair, dan Sa‘îd bin Musayyab yang bersikap "anti konflik" terhadap fenomena fitnah yang terjadi pada masa Khalifah Mu‘âwiyah. Sikap sosial dan politik mereka juga 208 108 "Islam resmi" terus dibentuk dalam suasana persaingan politik yang tajam ini dengan masing-masing gerakan berusaha untuk mengedepankan ide-ide Islam laten yang sangat penting baginya. Ungkapan "Islam resmi" dibenarkan lewat penindasan terhadap pemberontakan kaum Khawârij dan pemberontakan pro-‘Aly bin ’Abî Thâlib oleh suatu negara yang mengklaim diri sebagai pewaris dan pelanjut negara agama yang dibangun oleh Nabi.213 Gerakan sosial-politik yang saling bersaing secara praktis dan teoretis (doktrinal) pada masa awal Islam ini, masing-masing semakin berkembang luas seiring dengan imperialisasi Islam ke wilayah bulan sabit dan Persia. Pada tataran praktis, identitas kelompok politiko-religius itu berkembang menjadi wadah bagi kekuatan-kekuatan ketidakpuasan sosial dan politis, terutama Khawârij dan Syî‘ah. Pada tataran teoretis, doktrin-doktrin awal mereka berkembang lebih jauh setelah bertemu dengan ide-ide Yunani, Kristen, Manikaeisme, dan Budhisme.214 Penerjemahan karya-karya filsuf Yunani telah di mulai sejak masa dinasti ‘Umâwiyyah, yaitu Sekretaris Khalifah, pemerintahan Khalifah Hisyâm (724-743 M/abad 2 H). Sâlim bin ’Abu menerjemahkan risalah-risalah Aristoteles al-’A‘lâ, seorang putera Persia hingga Alexander.215 Hal ini berpengaruh terhadap perubahan diskursus doktrin-doktrin di atas. Karya-karya penulis besar Persia, ’Ibn al-Muqaffâ, seorang sekretaris negara yang mashur di dapat diidentifikasi melalui tokoh-tokoh intelektual seperti ’Abû Hanîfah, Mâlik, Syâfi‘i, dan ’Ahmad (empat ulama mazhab fikih) pada masa kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah. Lihat, Ibid., h. 81-2 213 Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, h. 33. Kaum Khawârij dan kaum Syî‘ah juga bermaksud membangun negara dan memberikan contoh-contoh tentang "Islam resmi". Lihat, Negara Taher di Aljazair (777-909 M), orang-orang Fathimi di Afrika dan Mesir (909-1171 M); negara Iran sejak kaum Safawi. 214 Fazlur Rahman, Islam, h. 252 215 Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, h. 40 109 zaman kekuasaan ’Abu Ja‘far al-Manshûr (pendiri kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah), yang dihukum mati pada tahun 756 M karena dituduh bidah, merupakan salah satu contoh dari perubahan horizon-horizon doktrinal itu. Dalam salah satu karyanya yang paling terkenal, al-Risâlatu fî al-Shahâbah pemikir ini mengusulkan serangkaian pembenahan administratif dan legislatif yang mengekspresikan pendekatan positivis terhadap masalah-masalah politik,216 seperti tampak dalam kutipan berikut ini: Sekarang berkaitan dengan tesis tentang kepatuhan eksklusif kepada Imam, maka hal ini menyangkut masalah-masalah tentang pendapat, pertimbangan yang mendalam dan kekuasaan politik yang seluruh kendalinya ada di tangan Imam, sebuah kekuasaan yang tak seorang pun dapat memiliki untuk memerintah dan mendapatkan kepatuhan. Masalahmasalah itu adalah: memerintahkan penyerangan dan mundur dari peperangan; mengumpulkan pajak dan distribusinya; mengangkat dan memberhentikan (pejabat negara); memberi keputusan pribadi dalam persoalan yang tidak ada petunjuknya dalam Syariat; menjalankan hukumhukum kriminal dan ketetapan-ketetapan lain yang ada dalam Alquran dan sunah; melawan musuh dan menyusun strategi untuk melawannya; membebani pajak kepada umat Islam dan menganugerahi penghargaan kepada mereka. Persoalan-persoalan ini dan yang lain seperti kepatuhan kepada Tuhan adalah kewajiban, dan tidak seorang pun mempunyai hak untuk memerintahkan kepatuhan ini kecuali Imam.217 Peran kaum Muslim non Arab tampak sangat berpengaruh, terutama bagi Syî‘ah dalam perang melawan kekuasaan yang mapan, seperti halnya orang-orang yang pemberontakannya dipimpin oleh Mukhtâr di Kûfah (Kufa) pada tahun 685 M.218 Pengaruh yang sama juga tampak pada pengarahan teoretis yang berjangkauan jauh dalam perumusan esoterisme. Pada umunya, pemeluk-pemeluk Islam non Arab tetap memegang teguh kepercayaan timur dan gnostik mereka 216 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 34 ’Ibn al-Muqaffâ, al-Risâlatu fi al-Shahâbah, Jamharatu al-Rasâ’ili al-‘Arab, vol. 3, h. 31 218 Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, h. 33 217 110 yang lama, bahkan juga praktek-prakteknya, di bawah lapisan tipis rumusanrumusan Islam. Karena itu, di bawah permukaan Islam tersebut tetap terwujud berbagai macam variasi kepercayaan-kepercayaan agama yang konfrontasinya dengan Islam menghasilkan fermentasi spiritual yang besar dan kecairan ide-ide keagamaan. Di antara ide-ide yang ada, terdapat ide-ide Kristen, Manikaeisme, dan Budhisme. Sebagaimana Syiisme memenuhi tujuan orang-orang yang terpencil secara politis, maka demikian pula di bawah selubungnya, orang-orang yang terusir secara spiritual mulai memperkenalkan ide-ide lama mereka ke dalam Islam. Untuk memperoleh tempat dalam Islam buat ide-ide seperti itu, prinsip esoterisme di masukkan dari timbunan doktrin-doktrin gnostik yang lama. Prinsip esoterisme menunjang ide penafsiran ganda, bahkan majemuk, dari teks-teks Alquran.219 Bagi Syî‘ah, pengemban yang tak mungkin salah dari kebijaksanaan esoteris ini adalah Imam yang berwibawa yang merupakan poros berputarnya sistem keagamaan Syî‘ah yang dikelilingi dogma. Namun demikian, sanksi ’imâm tersebut hanyalah bersifat teoretis semata, karena, Imam yang benar-benar diakui sebagai figur-figur sejarah kurang lebih hanyalah menjadi tawanan dari gerakan Syî‘ah yang menciptakan pretensi-pretensi tersebut bagi mereka, sedangkan setelah "menghilangnya" Imam Muhammad al-Hanîfiyyah yang terakhir, bahkan tak ada bimbingan teoretis sekalipun; yang ada hanyalah pengharapan akan "kembali"-nya sebagai al-Mahdiy (yang "terjanji").220 219 220 Fazlur Rahman, Islam, h. 252 Fazlur Rahman, Ibid., h. 253 111 Konsekuensinya, Syî‘ah tidak mengakui kepentingan fundamental dari ijmak, sebagaimana Islam Suni, dan tempat ijmak tersebut digantikan oleh otoritas ’imâm. Sementara Islam Suni menempatkan otoritas religius yang sebenarnya dalam ijmak dan mengakui khalifah hanya sebagai kepala eksekutif keagamaan dan politis, maka Imam Syî‘ah, sebaliknya, adalah tak mungkin berdosa dan pendapatnya tak tergoyahkan dalam pernyataan-pernyataannya tentang dogma, dan bahkan tentang semua hal.221 Pada abad ke-9 M, penguasa dinasti ‘Abbâsiyyah, Khalifah al-Ma’mûn ( 813-833 M) menggalakkan penerjemahan dengan cara mendirikan lembaga ilmu pengetahuan: Bait al-Hikmah.222 Pada masa ini, terjemahan pengetahuan Yunani menjadi lebih akurat dan lebih banyak, apalagi dengan ditemukannya kertas pada tahun 762 M. Penerjemah-penerjemah terbesar adalah para filsuf Muslim itu sendiri. Al-Kindiy (w. 870 M) adalah filsuf besar pertama yang karyanya mencakup berbagai cabang dari apa yang di Zaman Klasik dan Abad Tengah disebut filsafat (ilmu fisika dan ilmu alam, matematika, kebijaksanaan) yang mengoreksi intisari tiga Enneades yang terakhir, yang dikenal sebagai Teologi Aristoteles.223 Sebelum Islam datang, pusat-pusat besar kehidupan intelektual di dalam bahasa Yunani dan bahasa Syiria pada umumnya dimotori oleh orang-orang Kristen, di antaranya yaitu: Edessa, Nisibe, Seleucia-Ctesiphon, Jundisapur, Antioch dan Harran. Pendidikan Kristen di pusat-pusat ini berfungsi untuk menyebarkan modicum persepsi etis, estetis dan logis serta tingkah laku maupun 221 Fazlur Rahman, Loc. Cit. Fazlur Rahman, Ibid., h. 37 223 Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, h. 40 222 112 prinsip-prinsip awal spekulasi tentang "kebijakan eternal" kepada masyarakat secara keseluruhan. Hal ini mengimplikasikan bahwa penetrasi pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Syiria dan kemudian bahasa Arab terjadi di bumi yang secara tepat telah dipersiapkan untuk menerimanya lewat apa yang dapat disebut epistemik Yunani-Semit. Ini merupakan suatu kompleks Aristotelianisme, platonisme, Stoisisme, Epikureanisme, pythagorianisme, Hermetisme, Zoroastrianisme, Manichaeanisme, Semitisme kuno dan wahyu YahudiKristen.224 Pada awal abad ke-10 M adalah masa penerjemahan berbagai teks Yunani: karya-karya Plato baik yang asli maupun yang diragukan keasliannya, dan komentar atas [karya-karya] Alexander Aphridisias, Porphyrius, Themistisius, Simplicius, John Philoponus dan lain-lain. Gelombang penerjemahan ini dan karya-karya orisinal pertama yang diilhaminya ditandai oleh dua ciri khas yang terbukti menentukan bagi masa depan pemikiran Islam: (a) Beberapa dari penerjemah-penerjemah terbaik adalah orang Kristen, yang bekerja untuk patronpatron pengetahuan Muslim yang tercerahkan dan sebagai akibatnya, studi bahasa Yunani benar-benar tidak pernah berakar dalam tradisi Arab – al-Farâbiy dan ’Ibnu al-Sinâ sendiri bertumpu pada terjemahan-terjemahan untuk mengembangkan filsafat mereka; (b) cita-cita menuju kehidupan bijak (kebijakan teoretis yang memungkinkan bagi permenungan harmoni antara alam dan kebijakan praktis yang mengajarkan bagaimana sebenarnya menjadi bagian dari kebijakan teoretis itu) tidak menuntut, dan pada kenyataannya menyebabkan tidak 224 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 37 113 semestinya, catatan tentang doktrin-doktrin tertentu secara historis. Doktrindoktrin ini diseleksi atas dasar kemungkinan-kemungkinan konseptual dan logis yang mereka tawarkan kepada masing-masing "mazhab" Islam-Arab baru dalam mempertahankan atau mengembangkan keyakinan barunya.225 Mistisisme intelektual Plotinus, sains Alexandrian, teologi Proclus, Gnosis Alexandrian dan Gnosis Iran, astrologi Sabine, hermetisme, neo-Pythagorisme, Stoicisme, semuanya menemukan makna penting dan penulisan yang segar sebagai eksistensi baru di kota Muslim kosmopolitan.226 Sebuah perubahan perlu dicatat; pada masa lampau penyampaian suatu tradisi kebudayaan lebih merupakan hasil dari kata yang diujarkan, contoh dan penampilan yang diulangulang tentang suatu tindakan sedemikian rupa ketimbang teks tertulis. Segera setelah ada suatu teks, sehingga metode-metode, skema-skema dan konsep-konsep disesuaikan dengan keadaan masing-masing mazhab yang dibentuk. Sebagai akibatnya, prinsip bahwa filsafat merupakan bagian dari suatu teks dimaksudkan untuk menyarikan darinya apa saja yang membantu untuk mengembangkan jalur penalaran formal tertentu.227 Ini merupakan tempat yang tepat untuk membicarakan kelompok politikoreligius keempat; yaitu apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan Muktazilah. Sebuah kelompok yang pertama-tama muncul di Basra dan kemudian di Bagdad. Melaui prinsip pembenaran rasional, kelompok ini membedakan diri dengan mazhab-mazhab lain yang dominan: Syî‘ah, Khawârij, dan Suni. Di Basra pemikir-pemikir aktif seperti Wâshil bin ‘Athâ’ (w. sekitar 750 M), ’Amr bin 225 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 41 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 42 227 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 38 226 114 ‘Ubaid (w. 762 M) serta Dhirâr bin ‘Amr (w. 800/820 M) meletakkan dasar-dasar apa yang kemudian menjadi lima prinsip doktrin Muktazilah: Tuhan Maha Esa, Dia Maha Adil, pelaku dosa berada pada posisi antara orang mukmin dan orang kafir, Tuhan melaksanakan janji dan ancaman-Nya di akhirat, manusia wajib melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Prinsip-prinsip ini harus dipahami dalam konteks semangat yang realistik, karena diskusi tentang lima prinsip ini memiliki dampak praktis yang langsung: pembelaan terhadap keesaan [Tuhan] sebagai serangan terhadap dualitas Manichean, dan penegasan keadilan Tuhan merupakan suatu cara untuk menolak ketidakadilan para penguasa, dan hal ini membangun suatu persekutuan yang berjalan antara kaum Muktazilah di satu pihak dan kaum Qadariyyah dan bahkan kaum Khawârij di pihak lain.228 Sambutan antusias yang diberikan kepada pemikiran Yunani selama pertengahan pertama abad ke-9 M memungkinkan kaum Muktazilah Bagdad dapat memperkuat arah rasionalisme yang telah muncul di Basra. ’Abû Hudzail al-‘Allâf (w. sekitar 850 M), yang telah diundang ke Bagdad oleh al-Ma’mûn sekitar tahun 820 M, Bisyr al-Mu’tamir (w. 825 M), al-Nazhzhâm (w. 846 M), yang adalah kritikus cemerlang terhadap pemikiran Aristoteles, dan muridnya yang bernama al-Jâhizh (w. 869 M) memberikan andil bagi pengembangan suatu doktrin Muktazilah yang secara resmi dikemukakan pada tahun 827 M. Lima prinsip doktrin Muktazilah membentuk dasar-dasar bangunan sistematik yang dianggap sebagai suatu teologi; atau lebih tepat menyebutnya sebagai ideologi suatu kelas yang berkuasa yang berhasil dikukuhkan antara 813 M dan 847 M. 228 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 42-3 115 Program mihnah [pembakuan doktrin kemakhlukan Alquran oleh negaraMuktazilah] merupakan puncak dari fenomena perkembangan ini, dan sebagai episode yang mengawali periode panjang permusuhan antara sikap tradisionalis dan sikap rasionalis. Di samping itu, episode ini juga menggambarkan dua cara memahami dan hidup bersama dengan fakta Alquran, yang dikaitkan dengan dua tipe diskursus yang secara dialektik terkait dengan dua kelompok sosial yang sangat berbeda.229 Doktrin Muktazilah merupakan ideologi kelas elit yang berkuasa, sedangkan doktrin tradisionalis-ortodoks merupakan ideologi massa awam. Perdebatan teoretis sebagai sistematisasi doktrin terus merambah ke dalam seluruh bidang pemikiran, termasuk pemikiran mengenai asas-asas wewenang dan kekuasaan. Akibatnya, apapun doktrin teologis yang dimunculkan dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok Islam, hal itu merupakan ideologi masing-masing yang sesungguhnya dibuat untuk melayani tujuan sosial-budaya dan politik yang diinginkan. C. Metodologi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Dalam literatur Islam, al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dikategorikan sebagai alsiyâstu al-syar‘iyyatu wa al-qadhâ’ [politik-hukum syariat] dan merupakan bagian dari ilmu fikih. Oleh karena itu, sebelum metodologi yang dipakai alMâwardiy dalam al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dijelaskan, terlebih dahulu akan 229 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 44 116 dibahas sejarah pembentukan fikih, metodologinya (’ushûl al-fiqh dan qawâ' id al fiqhiyyah) dan membahas konsep-konsepnya. 1. Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam) Selama Nabi masih hidup, dialah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum Muslimin, baik melalui wahyu Alquran maupun dengan ucapan-ucapan dia sendiri di luar Alquran, serta tingkah lakunya. Dengan kematiannya Alquran tetap utuh, namun bimbingan keagamaannya yang otoritatif dan pribadi menjadi terputus. Keempat khalifah yang pertama menangani situasisituasi baru yang terus timbul dengan jalan menerapkan kebijaksanaankebijaksanaan mereka di bawah sinaran Alquran dan pelajaran yang mereka terima dari Nabi.230 Abad berikutnya (dari kira-kira 50-150 H/670-767 M), adalah abad yang patut dicatat, karena adanya pertumbuhan suatu fenomena yang tepatnya dijelaskan sebagai fenomena metodologi keagamaan dalam ketiadaan bimbingan yang hidup dari Nabi dan dari generasi Sahabat yang paling awal.231 Manifestasi pertama dari fenomena tersebut dikenal sebagai hadis atau tradisi Nabi, yang kemudian dikumpulkan dalam satu seri kumpulan-kumpulan, enam di antaranya [al-kutub al-sittah], yang ditulis pada abad ke-3 H/9 M, 230 231 Fazlur Rahman, Islam, h. 51 Fazlur Rahman, Loc. Cit. 117 kemudian dianggap sebagai sumber otoritatif kedua tentang Islam sesudah Alquran.232 Hadis (yang secara harfiah berarti ceritera, penuturan, atau laporan) sebagaimana yang dikenal sekarang, adalah sebuah narasi, biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui olehnya, juga informasi yang sama mengenai para Sahabat, terutama Sahabat-sahabat senior, dan lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama. Setiap hadis mengandung dua bagian, teks [matn] dan mata-rantai transmisi atau sanad-nya, yang menyebutkan namanama penuturnya [râwy], yang menjadi dukungan bagi teks hadis tersebut.233 Sementara pada masa Nabi hidup, orang-orang berbicara tentang apa yang dikatakan atau dilakukan oleh dia sebagaimana mereka berbicara tentang hal-hal sehari-hari mereka, maka setelah dia wafat pembicaraan tersebut lalu berubah menjadi suatu fenomena yang disengaja dan penuh kesadaran, karena suatu generasi baru sedang tumbuh, yang tidak menemui masa hidup Nabi, yang dengan sewajarnya menanyakan tentang perilaku Nabi.234 Apalagi, seiring dengan munculnya situasi-kondisi baru yang luas dan kompleks, munculnya kontroversikontroversi dalam sebagian besar masalah, termasuk dalam bidang teologi dan moral, terutama di mana pengaruh-pengaruh asing telah masuk, maka generasi baru umat Islam pun membutuhkan norma keagamaan yang praktis. Dalam kerangka orientasi praktis dan bersifat peneladanan terhadap Nabi atau untuk memperoleh landasan normatif dari dia inilah, hadis ditransmisikan. 232 Fazlur Rahman, Loc. Cit. Fazlur Rahman, Ibid., hal. 68 234 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 69 233 118 Karena itu, untuk memberikan normatifitas kepada pandangan-pandangan atau praktek-praktek yang aktual, orang-orang mulai melancarkan kampanye besar-besaran dan massal untuk menstandardisir hadis dan mengkodifikasikannya, dan menolak penafsiran-penafsiran keagamaan yang ekstrem, baik tentang dogma-dogma maupun hukum-hukum. Sesungguhnya, untuk menghadapi ekstremisme dan penafsiran sewenang-wenang yang sudah gawatlah hadis terjun ke dalam arena dengan skala besar-besaran. Itulah sebabnya mengapa kodifikasi massal hadis sebagai suatu disiplin, bermula menjelang abad ke-1 H/awal abad ke-8 M.235 Hal ini menjurus kepada pengenalan dan penyempurnaan mata-rantai transmisinya, yang mencerminkan suatu kebutuhan dasar yang nyata akan suatu macam kanonisasi pengalaman-pengalaman interpretatif-asimilatif dari kaum Muslimin terhadap ajaran-ajaran Nabi yang dianggap otentik. Akan tetapi, dalam proses kanonisasi ini juga terkandung dua kemungkinan bahaya. Pertama, dengan merujukkan setiap doktrin teologis, dogmatis dan hukum kepada otoritas Nabi sebagaimana dituntut oleh logika fenomena hadis, maka proses interpretasi akan terhenti. Atau kedua, apabila proses kreatif tersebut terus dilanjutkan, maka produksi hadis dan atau pemalsuan hadis secara terus-menerus akan terjadi. Dalam kenyataannya, kedua macam kekhawatiran ini saling berkaitan.236 Namun demikian, sampai kira-kira pertengahan abad ke-3 H/9 M, teologi dan hukum terus berkembang di bawah perlindungan hadis, demikian pula 235 236 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 76 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 77 119 kegiatan seleksi hadis yang "asli" dari yang "lemah" dan yang "palsu". Masa ini adalah juga masa pembentukan dan konsolidasi ortodoksi.237 Dalam bidang hukum, pada akar konsepsi hukum Islam terletak ide bahwa hukum esensinya adalah religius dan berjalan berkelindan secara religius. Itulah sebabnya mengapa sejak dari awal mula sejarah Islam, hukum sudah dipandang bersumber dari Syarî‘ah (pola perilaku yang diberikan Tuhan untuk menjadi tuntunan bagi manusia) atau sebagai bagian darinya.238 Satu-satunya cara yang wajar yang harus dipakai dalam prosedur penafsiran hukum untuk aplikasi yang sesuai dari Alquran terhadap suatu situasi yang baru adalah melihat Alquran dalam keadaan sebagaimana ia benar-benar telah beroperasi dalam masa hidup Nabi, yang merupakan eksponen faktualnya yang berwenang, dan yang perilakunya memiliki kenormatifan religius yang tersendiri. Inilah sunah atau hadis Nabi. Oleh karena pada akhir abad ke-1 H/awal 8 M banyak materi yang masif telah dimasukkan ke dalam bidang sunah dari sumber-sumber yang berbeda, maka kemudian dikenakanlah predikat ‘yang telah disepakati’ (ijmak) kepada sunah,239 bukan hadis. Selama masa keempat khalifah yang pertama (sampai kira-kira 40 H/660 M), hukum hampir tak bisa dipisahkan atau bahkan dibedakan dari pemerintahan. Pada masa ini legislasi, dapat dikatakan, dilakukan oleh khalifah sendiri, karena dalam prakteknya hal itu dilakukan oleh umat Islam pada umumnya atau oleh anggota masyarakat yang senior. Akan tetapi pada masa kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyah, pemerintahan mengambil bentuk otokrasi yang berkuasa yang 237 Fazlur Rahman, Loc. Cit. Fazlur Rahman, Ibid., hal. 91 239 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 94 238 120 menjadi jelas berbeda dari rakyat. Penguasa-penguasa dinasti ‘Umâwiyyah melaksanakan pemerintahannya dari Damaskus, dengan mengambil pedoman terutama dari Alquran dan sunah, tetapi dengan penafsiran oleh penasehatpenasehat dan pejabat-pejabat pemerintahan dengan prinsip kepentingan sendiri dan dalam sinaran praktek-praktek lokal di setiap propinsi yang berbeda-beda. Menghadapi otorita awam ini, pemuka-pemuka masyarakat keagamaan yang berpusat di Madinah mulai menyusun kumpulan hukum Islam (fikih). Praktek lokal daerah Hijaz tak syak lagi merupakan faktor penting dalam kumpulan hukum mereka. Dengan segera kegiatan legislatif keagamaan juga timbul di Irak, Basra dan Kufa. Jadi, negara pada waktu itu adalah lembaga eksekutif yang menerapkan hukum syariat sebagaimana yang dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing propinsi.240 Khalifah-khalifah ‘Abbâsiyyah memberikan perhatian dan validitas sepenuhnya kepada hukum syariat dan menyempurnakan mekenisme penerapannya. Tetapi beberapa perkembangan baru timbul. Tidak hanya para khalifah mulai memberlakukan hukum-hukum khusus buatan mereka sendiri untuk menghadapi situasi-situasi yang mendesak, tapi juga muncul kumpulan hukum yang baru, walupun kecil, yang dibuat oleh otorita-otorita awam untuk melengkapi hukum syariat. Para ahli hukum (fuqahâ’) yang terkemudian, termasuk Al-Mâwardiy, mencoba sedikit demi sedikit untuk mengintegrasikan hukum yang baru ini ke dalam hukum syariat.241 240 241 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 108. Fazlur Rahman, Ibid., hal. 109 121 2. Metodologi Pembentukan Fikih Cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa formulasi syariat, sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan masyarakat. Teknik-teknik penjabaran syariat dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial dan politik umat Islam.242 Seperti telah diketahui, tiga abad pertama Islam (abad VII hingga IX M) adalah periode pembentukan syariat. Sejak masa itu determinan sejarah utama dalam pembentukan syariat mencakup watak teritorial, geografis, dan konteks sosial politik umat Islam. Tahap ekspansi Islam dan masuknya berbagai kelompok etnik dan kultural ke dalam Islam, juga penting. Faktor-faktor teritorial dan demografis ini mempengaruhi sifat politik dan sosiologis negara Islam dan memberikan bahan mentah bagi pengembangan institusi dan kebijakan selama tiga abad pertama yang krusial itu. Kombinasi berbagai faktor itu berpengaruh pada formulasi syariat.243 Empat sumber syariat adalah Alquran, sunah, ijmak dan kias (qiyâs). Dua yang pertama telah cukup dijelaskan di muka. Dua yang terakhir biasanya diterjemahkan dengan "konsensus" dan "penalaran melalui analogi". Logika syariat sebagai suatu sistem perundang-undangan menempuh prosedur: pertama, dijabarkan langsung dari Alquran; kedua, dari tradisi atau 242 243 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, LKIS, Yogyakarta, 1994, h. 30 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Loc. Cit. 122 sunah Nabi; dan terakhir dari tindakan individu yang terpercaya dan terbimbing dan masyarakat yang hidup sesuai dengan wahyu dan tradisi tadi.244 Ijmak sebagai sumber ketiga syariat adalah “tradisi yang hidup” (living tradition) para Sahabat Nabi, yang menjadi "konsensus" bersama atau "praktekpraktek yang telah disepakati bersama". Disamping berdasarkan alasan logis, pembenaran sunah juga turut mendukung ijmak sebagai sumber syariat. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah berkata: “Umatku tidak akan pernah bersepakat dalam kesalahan”.245 Fazlur Rahman menilai, bahwa karena sifatnya sendiri, ijmak merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk dan mengungkapkan kompleks kepercayaan dan praktek kaum Muslimin, dan pada waktu yang sama juga merupakan faktor yang paling membingungkan dalam batas-batas formasinya. Ia adalah suatu proses organis, dan seperti suatu organisme, ia berfungsi dan sekaligus tumbuh: pada setiap saat ia memiliki kekuatan dan validitas fungsional yang tinggi, dan dalam artian ini ia bersifat "final"; tetapi pada saat yang sama ia juga mencipta, mengasimilasi, memodifisir dan menolak unsur-unsur dari luar dirinya. Itulah sebabnya mengapa pembentukannya tidak bisa dilembagakan dalam bentuk yang manapun juga. Kelompok ulama dan ahli hukum yang tumbuh dengan cepat pada abad ke-1 H/7 M dan ke-2 H/8 M dan masa-masa selanjutnya memang dapat membahas dan merumuskan hasil-hasil pemikiran mereka yang sangat berpengaruh, terutama bila mereka bersesuaian pendapat [atau lebih tepatnya, kebetulan bersesuaian – dan ini disebut ijmak ulama], tetapi 244 245 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Ibid., h. 39 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Ibid., h. 47 123 pembentukan ijmak tak dapat dilakukan dalam sebuah ruang diskusi. Ia lebih condong sebagai opini publik yang cerdas, yang dalam pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya, perumusan aliran-aliran merupakan faktor yang paling berpengaruh.246 Walaupun prinsip ijmak sebagai sumber syariat sudah diterima sejak dini, namun pengertian dan ruang lingkupnya masih menjadi bahan perdebatan sampai sekarang. Apakah yang disebut ijmak? Apakah ia mensyaratkan kebulatan suara penuh atau dapat dikatakan ijmak meskipun banyak yang tidak sepakat atau ditolak oleh sebagian kecil orang? Kepada siapa ijmak mengikat? Adakah ia merupakan konsensus para Sahabat dan pengikutnya di Madinah, ulama dan ahli hukum Islam secara umum [atau dalam lokalitas yang ada], atau keseluruhan umat Islam? Adakah ia ijmak satu generasi [ulama atau umat Islam] atau beberapa generasi? Apakah ijmak generasi lebih awal [atau berbagai generasi] mengikat seluruh generasi berikutnya? Seluruh pertanyaan ini dan lainnya yang berhubungan dengan sifat dan ruang lingkup ijmak, terus menjadi perdebatan.247 Di sisi lain, konsep ijtihad (ijtihâd) atau pemikiran rasional (ra‘y) yang sistematis, yang pada awal penggunaannya begitu terbatas, kemudian berkembang menjadi sebuah prinsip pemikiran orisinal yang diakui dan digunakan secara luas pada akhir abad ke-2 H/8 M, dengan mengandalkan kias sebagai metodenya. Dengan berkembangnya penalaran sistematis, pemakaian ra’y dikutuk keras oleh ahlu al-Hadîts (pendukung hadis). Setiap kitab kumpulan hadis yang utama dan sistematis yang mengandung taridisi-tradisi yang dikatakan berasal dari Nabi, 246 247 Fazlur Rahman, Islam, h. 101-102 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Op. Cit., h. 48 124 mengutuk opini pribadi. Meski demikian, kias yang permulaannya sebagai ra’y dan ungkapan-ungkapan tak resmi lainnya, kemudian ia telah memperoleh kedudukan yang mantap. Al-Syâfi‘iy (w. 204 H/819 M) – ahli hukum pertama yang menuliskan dasar-dasar hukum – pada umumnya telah dianggap berjasa meneguhkan kedudukan kias. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip tersebut memang sudah diterima umum.248 3. Metodologi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Apa yang dinyatakan Al-Mâwardiy sebagai hukum-hukum syariat, kenyataannya adalah keputusan-keputusan yang disimpulkannya (’istinbâth) dari ayat-ayat Alquran, hadis, ijmak dan praktek-praktek individu Sahabat, praktek-praktek pemerintahan Islam masa lalu, mazhab ahli fikih yang menggunakan metode kias, serta penalaran bebas Al-Mâwardiy sendiri. Operasionalisasi metodologi Al-Mâwardiy tampak dalam daftar inventarisasi masalah-masalah hukum yang kemudian ia nyatakan status hukumnya. Operasionalisasi metodologi tersebut terangkum dalam daftar lampiran.249 D. Wacana-wacana Ideologis Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Tidak dapat dikatakan secara totaliter bahwa seluruh isi al-’Ahkâm alShulthâniyyah merupakan ideologi dan ditulis demi tujuan ideologis. Demikian 248 Fazlur Rahman, Op. Cit., h. 96. Inventarisasi data-data metodologis ini dibatasi pada 6 bab yang pertama yang mencakup masalah-masalah mendasar dalam tata pemerintahan dan dekat dengan kepentingan-kepentingan ideologis. Lihat daftar lampiran. 249 125 juga, tidak dapat dikatakan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bersih dari ideologi. Berikut ini akan dipaparkan wacana-wacana yang secara kuat menampakkan diri sebagai mitos (simbol ideologi) atau wacana yang memiliki implikasi ideologis: 1. Menurut al-Mâwardiy, pemerintah (wullât al-’umûr) adalah lembaga kekuasaan yang kewenangannya bersumber dari Allah, bertugas (memiliki kewajiban) melaksanakan dan membuat kebijakan yang dapat menjamin pelaksanaan hukum-hukum-Nya, dan oleh karena itu, ia bertanggungjawab kepada-Nya.250 Penegasan al-Mâwardiy ini mengabaikan fakta bahwa pemerintah adalah manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan mengakses Kehendak Allah yang absolut dan transenden. Selain itu, gagasan alMâwardiy tersebut juga mengabaikan fakta bahwa baik Alquran maupun sunah yang disepakati umat Islam sebagai sumber ajaran Islam yang paling otoritatif tidak menjelaskan secara rinci dan pasti mengenai mekanisme pengejawantahan mandat Kekuasaan Ilahi kepada kekuasaan manusiawi. 2. Al-Mâwardiy mengemukakan bahwa salah satu alasannya menulis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah karena melaksanakan perintah seseorang yang wajib dipatuhi.251 Meski al-Mâwardiy tidak menjelaskan siapa orang yang dimaksud, tetapi dapat dijelaskan bahwa yang dimaksudkannya adalah khalifah (al-Qâ’im) karena dialah yang memang wajib dipatuhi sesuai dengan konsep imamah. Sebagai seorang pejabat negara (hakim agung), sudah seharusnya jika al-Mâwardiy mematuhi perintah khalifah yang menjadi 250 251 Al-Mâwardiy, Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 3 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 126 atasannya langsung itu. Terkait dengan relasi jabatan bawahan-atasan, patut dipertanyakan bagaimana sikap al-Mâwardiy untuk menjaga independensi pendapat-pendapatnya, terutama mengenai hal-hal atau hukum-hukum yang bersangkut-paut dengan otoritas khalifah, meskipun al-Mâwardiy mengatakan: "Saya berdoa kepada Allah subhânahû wa ta‘âlâ sambil meminta pertolongan-Nya dan saya memohon taufik dan hidayah-Nya, Dialah sandaranku satu-satunya"?252 3. Al-Mâwardiy mengatakan: "Sesungguhnya Allah yang Maha Kuasa telah menetapkan adanya pemimpin bagi Umat yang menjadi pengganti fungsi kenabian, menjaga terselenggaranya ajaran Agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan pemerintahan yang dilandasi syariat........".253 Pertanyaanpertanyaan yang patut diajukan terkait dengan pernyataan al-Mâwardiy itu antara lain: di manakah garis ketetapan Allah itu? Seperti apakah bunyi ketetapan-Nya? Benarkah memang ada ketetapan-ketetapan itu? 4. Al-Mâwardiy mengatakan: "Imamah adalah dasar bagi tegaknya ajaran-ajaran Agama, bagi terwujudnya kesejahteraan Umat, dan menjadi tumpuan bagi kepentingan-kepentingan publik, serta menjadi sumber wewenang bagi kekuasaan-kekuasaan yang khusus."254 Bahwa negara dan kepemimpinannya harus ada adalah premis yang dapat diterima oleh siapapun yang memiliki akal sehat, karena hal itu dibutuhkan dalam hidup manusia dan untuk menjamin kelangsungannya. Manusia, dan bahkan hewan selainnya yang lebih rendah, tercipta dengan tabiat hidup secara berkelompok, dan di dalam setiap 252 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 254 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 253 127 kelompok itu terdapat "pemimpin" yang memiliki kekuasaan/kemampuan yang mengatasi selainnya. Lalu, sejak kapan "kepemimpinan" itu diagamakan? Sejak kapan ' kepemimpinan'itu menjadi sakral dan suci? Sejak kapan "kepemimpinan" itu menjadi hak istimewa orang/golongan tertentu terhadap orang/golongan yang lain? Atas dasar apa bangunan argumentasi keabsahan model-model "kepemimpinan" itu? 5. Imamah dalam terminologi al-Mâwardiy menunjuk kepada arti "pemerintahan Islam", dan al-’ummah adalah "umat Islam". Pemaknaan ini, selain didekati dari segi semantik, secara gramatika bahasa Arab dua istilah itu dipakai alMâwardiy dalam bentuk definitif (’ism al-ma‘rifah). Meskipun al-Mâwardiy tidak menyertakan kata-kata "Islam" dibelakng dua istilah itu, arti yang dimaksudkan al-Mâwardiy adalah arti tersebut. Apa implikasi dari penggunaan istilah-istilah ini? 6. Mengenai salah satu syarat bagi calon Imam, al-Mâwardiy mengatakan: "ia harus keturunan dari suku Quraisy karena adanya nas tentang hal itu dan telah terwujudkannya ijmak ulama tentang masalah itu".255 7. Pengangkatan Imam dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui pemilihan oleh "dewan pemilih" dan atau melalui permandatan oleh Imam sebelumnya. Dalam dua mekanisme suksesi itu al-Mâwardiy sama sekali tidak memperhitungkan hak suara rakyat dengan dalih bahwa keduanya merupakan mekanisme yang dipraktekkan al-khulafâ’u al-râsyidûn dan telah terwujud 255 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 6 128 ijmak.256 Al-Mâwardiy juga tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengangkatan anggota "dewan pemilih". 8. Seorang Imam dapat mengangkat siapa saja orang yang cocok sebagai penggantinya, termasuk mengangkat ayah atau anak laki-lakinya. Persetujuan "dewan pemilih" tidak diperlukan. Al-Mâwardiy mengatakan: "Imam adalah orang yang paling berhak atas baiat imamah itu, pilihannya dalam masalah baiat imamah lebih kuat dan pendapatnya lebih pasti."257 9. Al-Mâwardiy mengatakan: "Imam yang memberikan mandat kepada orang lain [putra mahkota, pen.] tidak boleh mencabut status mandat yang telah ia berikan, selama kondisinya belum berubah [sampai terjadi perubahan penting pada putra mahkota yang secara hukum membatalkannya, pen.]. Dalam masalah pemberian mandat itu, Imam berlaku sebagai wakil dari kaum Muslimin sehingga ia tidak berhak untuk mencabutnya kembali, sebagaimana halnya dewan pemilih tidak dapat memberhentikan orang yang mereka telah membaiatnya untuk memangku jabatan Imam, selama orang itu belum berubah sifatnya sehingga tetap mencukupi syarat-syarat kompetensi jabatannya."258 10. Al-Mâwardiy berkata: "Khalifah boleh memilih dewan pemilih, sebagaimana ia boleh memilih calon penerima mandat. Hanya pilihan dewan pemilih yang telah ia tunjuk itulah yang sah, juga hanya pengangkatan orang yang ia 256 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 6-10 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10 258 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 11 257 129 calonkan sebagai penerima mandatlah yang sah. Ini karena kedua hal itu merupakan bagian dari hak-hak jabatan kekhalifahannya."259 11. Menurut al-Mâwardiy, khalifah dapat mengangkat dua atau lebih putra mahkota sebagai penggantinya. Argumentasi ini diambil dari peristiwa pertempuran di Mu‘tah, di mana Nabi mengangkat Zaid bin Hâritsah sebagai komandan tentara Islam dan berkata, bahwa jika dia [Zaid] gugur dalam pertempuran, dia digantikan oleh Ja‘far bin ’Abî Thâlib, kemudian digantikan oleh ‘Abdullâh bin Rawâhah. Jika Rawâhah juga gugur, maka umat Islam bisa memilih salah satu di antara mereka sebagai komandannya.260 12. Jika imamah telah dipegang oleh Imam secara resmi, baik dengan penyerahan mandat maupun pemilihan, seluruh rakyat harus mempercayakan semua persoalan mereka kepadanya, menyerahkan kepadanya wewenang penetapan kebijakan umum secara mutlak [tanpa syarat], tanpa meminta penjelasannya apalagi melawan, sehingga ia dapat menjalankan apa yang diamanahkan kepadanya, yaitu menciptakan kebijakan-kebijakan yang dapat mewujudkan kebaikan bagi rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.261 13. Di antara 10 pokok kewajiban Imam, yang paling utama – al-Mâwardiy menyebutnya pertama kali – adalah menjaga dan mempertahankan prinsipprinsip Agama yang telah mapan dan telah terwujud konsensus dari otoritasotoritas masa lalu.262 259 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 13 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 261 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 15 262 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 260 130 14. Jika Imam dikudeta oleh salah seorang pembantunya, yang menginginkan semua kekuasaan ada pada dirinya namun tidak secara terbuka menentang Imam, maka ia akan tetap menempati posisinya [legalitas jabatannya tidak gugur].263 15. Menurut al-Mâwardiy, Jabatan menteri termasuk yang dilarang untuk diduduki wanita. Hal ini berdasarkan hadis: "Suatu bangsa tidak akan mendapatkan keberuntungan jika mereka menyerahkan urusan negara mereka kepada wanita". Berlakunya larangan ini, lanjut al-Mâwardiy, karena menghasilkan pendapat yang tepat serta ketangguhan sikap tidak dimiliki oleh wanita, serta tidak diperbolehkannya untuk tampil di muka umum.264 263 264 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 19-20 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 27 131 BAB IV ANALISA HISTORIS, METODOLOGIS, DAN MITOS AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH Sesuai dengan masalah dan landasan teoretis penelitian, teks al-’Ahkâm alShulthâniyyah akan dianalisis melalui tiga perspektif: historis, metodologis, dan mitis. Dengan analisa historis, akan dilihat pengaruh-pengaruh situasi sosial, politik, dan budaya yang signifikan terhadap kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Melalui analisa historis ini, bukan saja akan diperlihatkan konteks sosial, politik, dan budaya yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah, serta posisinya di dalam konteks historis itu,265 melainkan juga akan diperlihatkan arah kehendak, dorongan-dorongan, dan kepentingankepentingan ideologis yang tersembunyi secara rapat dalam forma wacana hukum al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam konteks sosial dan politiknya. Dalam model analisa yang terakhir ini, analisa historis diarahkan kepada – meminjam istilah Mannheim – faktor-faktor temporal dan sosial266 yang memiliki efek pada isi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah di satu sisi, dan di sisi lain faktor-faktor temporal dan sosial itu menunjukkan fungsi wacana al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam 265 Analisa terhadap masalah-masalah ini berarti memeriksa faktor-faktor eksisitensial al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam proses sosial secara periferis. Faktor-faktor tersebut hanya dipandang semata-mata sebagai sesuatu yang mengkondisikan asal-usul atau perkembangan faktual al’Ahkâm al-Shulthâniyyah, atau sekedar dipandang sebagai faktor-faktor yang memiliki relevansi genetis dengannya. 266 Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 294 132 konteks historisnya. Model analisa inilah yang dimaksudkan sebagai historisitas al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang berkait dengan isi atau wacananya. Analisa metodologis dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai wacana etika politik Islam dibentuk berdasarkan cara pandang dan cara berpikir tertentu (kelompok sosial al-Mâwardiy). Al-Mâwardiy dalam analisa ini, posisinya dipandang sebagai individu yang berpikir dengan mengambil bagian dalam pemikiran lebih lanjut yang telah dipikirkan orang lain sebelumnya. Ia berada dalam suatu situasi yang diwariskan dengan pola-pola pemikiran yang sesuai untuk situasi ini dan berusaha menjelaskan lebih lanjut cara-cara menanggapi yang telah ada atau menggantinya dengan cara-cara lain supaya dapat menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari peralihanperalihan dan perubahan-perubahan situasinya secara memadai.267 Cara-cara tertentu yang dipakai al-Mâwardiy untuk menanggapi situasi yang dihadapinya inilah – penulis mendefinisikannya sebagai metodologi yang membentuk isi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah – yang perlu dikonkretkan rumusannya melalui analisa yang disebut analisa metodologis. Analisa metodologis bukan hanya dimaksudkan untuk mendefinisikan rumusan metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tetapi juga dimaksudkan sebagai upaya mempertimbangkan jangkauan (batasan) metodologi itu, implikasi-ipmlikasinya, serta fungsinya secara historis. Pada momen ini, analisa akan lebih memperkuat fenomena historisitas al-’Ahkâm alShulthâniyyah yang khusus menyangkut aspek metodologinya. Jelasnya, analisa 267 Lihat Karl Mannheim, Ibid., h. 3 133 metodologis juga diupayakan untuk mengungkap historisitas metodolgi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Analisa metodologis pada tahap ini, selain didasarkan pada asumsi teoretis di atas, juga didasarkan pada asumsi bahwa al-Mâwardiy sebagai individu sangat terikat dengan kelompoknya. Ia berjuang keras menurut posisi, ciri, dan cara kelompoknya itu untuk mengubah dunia alam sekitarnya dan masyarakat atau berusaha memeliharanya tetap pada kondisi yang telah ada. Padahal di dalam setiap ruang historis, terdapat ragam kelompok dan setiap kelompok memiliki kepentingan yang sama untuk melakukan tindakan seperti itu dan cenderung saling menolak atau menghancurkan (terjadi kompetisi). Maka, analisa metodologis terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah pada tahap ini adalah sebagai upaya mengungkapkan historisitas metodologinya di dalam ruang kontestasi antar sistem pemikiran yang saling berkompetisi untuk meraih kekuasaan sosial. Dengan demikian, tahap ini merupakan momen yang paling penting untuk mengenali bentuk operasi yang terdalam dari hubungan al-’Ahkâm alShulthâniyyah dengan kekuasaan. Akhirnya, analisa metodologis bertujuan menyatakan bahwa setiap pilihan metodologis tertentu dari kelompok tertentu (seperti metodologi al-’Ahkâm alShulthâniyyah) memiliki keterbatasan jangkauan, mengandung implikasiimplikasi, serta fungsi-fungsi ideologis tertentu yang tidak dapat dielakkannya. Pada taraf tertentu, dalam konteks persaingan sosial, pilihan metodologis itu juga menunjukkan ideologi subyeknya. 134 Kemudian yang terakhir, analisa mitis lebih diartikan sebagai salah satu upaya lain untuk melakukan kritik ideologi terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Dalam konteks ini, analisa mitis dioperasikan untuk membedah struktur wacana mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah: mengenali bentuk-bentuk mitosnya, menjabarkan sistem operasinya, dan mendefinisikan fungsinya secara ideologis. Sehingga, analisa mitis ini juga merupakan salah satu cara untuk melakukan kritik terhadap ideologi al-Mâwardiy bersama kelompoknya dalam konteks masyarakat Bagdad abad IV H/10 M. Sebenarnya, langkah analisis yang terakhir ini pun merupakan strategi yang ketiga untuk menunjukkan historisitas al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Perbedaan strategi ini dengan strategi yang pertama (melalui analisa historis) terletak pada bobot perspektif sinkronis-diakronis. Pada strategi pertama, historisitas al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dibedah melalui isi atau wacananya yang lebih diperlakukan atau dilihat secara sinkronis. Sebaliknya pada strategi ketiga (melalui analisa mitis), isi atau wacana al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah lebih diperlakukan atau dilihat secara diakronis. Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, maka bab ini berisi pembahasan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah melalui: (a) analisa historis, (b) analisa metodologis, dan (c) analisa mitis. A. Analisa Historis: Sosiologi-Genealogi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Seperti telah disebutkan di atas bahwa analisa historis ini dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk melihat kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam hubungannya dengan latar belakang fenomena sosial, politik, dan budaya yang 135 dianggap sangat menentukan. Berdasarkan data-data historis yang telah dipaparkan di dalam Bab III, secara umum dapat dikatakan bahwa kelahiran al’Ahkâm al-Shulthâniyyah sangat dimungkinkan oleh kondisi sosial, politik, dan budaya Islam abad IV H/10 M. 1. Konteks Sosial-Budaya yang Melahirkan Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Secara detail, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah terlahir karena kemampuan intelektual al-Mâwardiy yang mewarisi tradisi intelektual Suni khususnya. Al-Mâwardiy lahir dan besar di lingkungan kultural Suni yang kuat. Ia mempelajari tradisi Suni dari tokoh-tokohnya yang merupakan sumber-sumber ilmu pengetahuan ortodoks yang otoritatif. Secara genealogis, kemampuan intelektual al-Mâwardiy bersumber dari guru-gurunya yang tidak lain adalah murid-murid al-Syâfi‘iy dan [’Abû] al-Hasan al-Bashriy: dua guru besar yang dikenal sebagai bagian dari founding fathers-nya Ahlu Sunah Waljamaah,268 di mana Basra kemudian bagdad merupakan dua kota basisnya yang terpenting. Basra juga menjadi tempat kemunculan dan basis gerakan Muktazilah sebelum berkembang ke Bagdad, baik sebagai gerakan intelektual maupun gerakan sosial. Basra adalah "markas" bagi Wâshil bin ‘Athâ’ [founding father-nya Muktazilah] untuk melancarkan gagasangagasan dan gerakannya.269 268 Yang pertama adalah guru besar bidang fikih, dan yang kedua adalah guru besar bidang kalâm Wâshil bin ‘Athâ’, sebelum kemudian dikenal sebagai pendiri kelompok Muktazilah, adalah salah seorang murid [’Abû] al-Hasan al-Bashriy di "madrasah"-nya. Sang murid memisahkan diri (i' tazala) dari Sang guru karena ada banyak perbedaan pendapat di antara keduanya, terutama masalah "ketentuan Allah" (qadar). Sang murid kemudian mendirikan "madrasah" sendiri dan menggalang pengikut. Peristiwa ini dikomentari oleh Sang guru dengan kata-kata: "i' tazalnâ Wâshil" ["Wâshil memisahkan dirinya dari kita"]. Sejak saat itu Wâshil dan murid-muridnya disebut sebagai firqah mu' tazilah ["kelompok yang memisah"]. Sementara itu, mereka tidak mau diidentifikasi dengan sebutan itu, dan mereka menyebutkan sendiri nama identitas bagi kelompok 269 136 Basra dan Bagdad, yang merupakan dua kota terbesar di wilayah Persia dengan segala prestasi budaya-intelektualnya yang melimpah dan agung pada masa itu dan yang paling lama di diami al-Mâwardiy, adalah medan kultural yang kondusif bagi dia untuk mengembangkan potensi intelektualitasnya. Di dasar puncak-puncak keagungan kultural-intelektual Muslim di dua kota besar tersebut khususnya dan di kota-kota besar yang lain pada umumnya, terdapat faktor sosialbudaya yang sangat penting: bahasa Arab. Tanpa bermaksud menampik peran faktor-faktor sosial-budaya selain bahasa yang juga penting dalam bangunan kebudayaan Islam abad X M, bahasa – dalam hal ini bahasa Arab – merupakan "faktor material" sosial-budaya yang paling pokok sehingga bangunan kebudayaan itu berdiri kokoh. Bahasa Arab pada masa itu merupakan bahasa "nasional" Islam: alat komunikasi dalam pergaulan sehari-hari (interaksi sosial), bahasa "resmi" negara, serta sekaligus "lokus" penghampiran dan medium ekspresi intelektual.270 Dalam lapangan intelektual, penguasaan terhadap ilmu mereka: al-Qadariyyah atau al-‘Adliyyah. Lihat, Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, al-Nazhariyyâtu alSiyâsiyyâtu al-’Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, 1979, h. 75-6. 270 Khalifah ’Abû Ja‘far al-Manshûr [pendiri al-Daulat al-‘Abbâsiyyah, dibaiat pada tahun 136 H] merupakan orang yang punya andil besar dalam proses Arabisasi di wilayah bekas kekuasaan kerajaan Sasanid Persia itu, setelah ' pondasinya'dibangun oleh Khalifah ‘Umar bin Khaththâb jauh sebelumnya. Pembangunan Basra sebagai kota militer Islam dan perdagangan, pembangunan Bagdad sebagai Ibu Kota Khilâfah ’Islâmiyyah yang disebut Madînat al-Salâm dengan segala infrastrukturnya yang lengkap dan megah, serta keberadaan lembaga ilmu pengetahuan Bait alHikmah adalah "artefak" sejarah yang menunjukkan fenomena Arabisasi itu. Puncak dari fenomena itu adalah mengakarnya bahasa Arab bagi bangsa Persia yang "nyaris" menggusur bahasa Persia sendiri. Fenomena itu masih bisa disaksikan hingga sekarang. Beberapa edisi literatur penting yang mengabadikan sejarah Islam Abad Tengah di Bagdad dan kota-kota lain di Irak antara lain: edisi karya al-Khathîb al-Baghdâdiy, Târîkh Baghdâd, Kairo: Maktabah Kubrailiy, 1350 H., edisi karya ’Ibnu Khaldûn, Muqaddimah [Târîkh ’Ibnu Khaldûn], Beirut: Dâr ’Ihyâ’i al-Turâtsi al-‘Arabiy, 1978 M., edisi karya Yâqut al-Hamwiy, Târîkhu al-Buldân, Mesir: Maktabah al-Khanjiy, 1906 M. Khusus mengenai fenomena perkembangan bahasa Arab di wilayah "taklukan" ini dapat diapresiasi dengan lahirnya tokoh-tokoh besar ahli ilmu bahasa Arab/penyair, seperti Sîbawaih [Basra, w. 180 H], al-Kisâ’iy (Basra-Bagdad-Ray, w. 189 H], al’Ashmu‘iy [Bagdad, w. 216 H], ’Ibnu Duraid [Basra, w. 321 H], dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan tokoh-tokoh besar di bidang keilmuan ini kebanyakan berasal dari kota-kota tersebut. Perkembangan ini mudah dipahami karena masa kekuasaan Banî ‘Abbâsiyyah yang berpusat di 137 bahasa dan sastra Arab merupakan salah satu prasyarat pokok bagi seseorang dapat diakui otoritas keilmuannya dalam bidang lain yang spesifik, seperti dalam bidang tafsir, hadis, dan fikih. Karena tanpa penguasaan bahasa Arab secara sempurna, bidang-bidang keilmuan yang spesifik itu tidak dapat dimasuki. AlMâwardiy misalnya, kepakarannya di bidang fikih dilandasi dengan kredibilitasnya dalam hal ilmu bahasa Arab. Dalam hal ini pun, al-Mâwardiy bukan sekedar sebagai konsumen, melainkan ia adalah salah satu "produsen" bahasa Arab. Terbukti, ia menulis sebuah buku: al-Nahw [Gramatika Bahasa Arab, pen.], serta khazanah syair Arab banyak bertebaran di dalam buku-bukunya yang lain, salah satunya adalah ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn. Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa, secara sosiologis-genealogis, konteks sosial-kultural yang melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah lingkungan tradisi sosial-intelektual ortodoksi Suni di Basra dan di Bagdad khususnya, yang secara kultural kelahirannya ditopang dengan modalitas bahasa Arab sebagai "lokus" penghampiran dan "medium ekspresi" intelektual Muslim pada abad IV H/X M, seperti al-Mâwardiy. 2. Konteks Politik yang Melahirkan Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Pada Bab III telah diuraikan secara panjang-lebar dan rinci bagaimana situsi politik Islam pada umumnya, dan secara khusus pertarungan politik antar elit bersama massa di pusat kekuasaan Islam di Bagdad pada abad IV H/X M. Situasi politik tersebut benar-benar disaksikan dan dialami oleh al-Mâwardiy. Ia bukan Bagdad adalah masa puncak keemasan peradaban Islam. Untuk survei para ahli bahasa Arab dan penyair ternama dapat melalui karya ’Abû al-Mahâsin [al-Tanûkhiy], Târîkhu al-' Ulamâ’i alNahwiyyîn [410 H]. 138 sekedar saksi pasif dari situasi carut-marut politik Islam yang telah berlangsung selama kurang-lebih empat abad sebelumnya yang tidak mudah diselesaikan. Bahkan ia menyaksikan situasi politik yang paling krusial di sepanjang sejarah Khilafah Islam: hilangnya kekuatan (power) dan otoritas (authority) khalifah. Terlepas dari segala kekurangan setiap khalifah, kekuatan dan otoritasnya merupakan prasyarat penting untuk menjamin keberlangsungan khilafah dalam menjaga ketertiban dan keamanan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Apalagi, al-Mâwardiy menyaksikan bahwa hilangnya kekuatan dan otoritas institusi kekhalifahan bukan saja disebabkan oleh sikap hidup para khalifah yang secara umum lebih cenderung mengabaikan kualitas moral kepemimpinan, atau disebabkan oleh ambisi-ambisi kekuasaan para pejabat negara yang semestinya harus membantunya [kebetulan, mereka adalah para petinggi militer bersaudara: Banî Buwaihiy, yang berafiliasi dengan faksi politik Syî‘ah], tetapi juga disebabkan oleh ketiadaan sistem perundang-undangan politik dan peraturanperaturan pemerintahan. Situasi-situasi krisis politik tersebut, baik yang bersifat praktis maupun teoretis benar-benar disaksikan, dialami, dan diinsafi oleh al-Mâwardiy. Sebagai warga negara yang relatif telah mengalami pencerahan, al-Mâwardiy berusaha melibatkan dirinya secara aktif dalam kancah krisis. Dengan modalitas sosial dan intelektual yang dimiliki, al-Mâwardiy dapat masuk ke dalam lingkungan "birokrasi" [lingkungan yang memiliki wewenang membuat kebijakan dan menetapkan keputusan]. Tidak tanggung-tanggung, al-Mâwardiy berhasil menjadi pejabat negara dengan posisi yang sangat strategis: sebagai hakim hingga hakim 139 agung. Dialah orang pertama yang menjadi hakim agung dalam sejarah dunia hukum dan pemerintahan Islam. Dalam konteks kebudayaan Islam secara umum pada masa itu, jabatan hakim bukan saja bernilai strategis tetapi juga bersifat prestisius dan sekaligus "sakral", apalagi hakim agung. Melalui jalur jabatan "birokratis" tersebut, al-Mâwardiy memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik-konflik politik, baik yang terjadi di tingkat elit (konflik politik tingkat tinggi) maupun yang terjadi di tingkat massa. Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ditulis al-Mâwardiy bukan dari "menara gading" dunia intelektual yang jauh dari wilayah realitas politik praktis, bahkan ia justru lahir di dalam kancah persaingan politik yang panas. Al-’Ahkâm alShulthâniyyah lahir di dalam pusat kekuasaan: sebuah ruang yang selalu menjadi dambaan dan incaran oleh hampir semua orang, ruang yang telah meminta ratusan ribu atau mungkin jutaan nyawa kaum Muslimin terkorbankan, ruang yang berkubang darah dan air mata. Singkatnya, fenomena carut-marut dunia politik Islam pada abad IV H/X M, yang berpangkal sejak peristiwa-peristiwa politis-tragis awal yang menyebabkan pecahnya perang sipil yang pertama [perang antara pasukan Khalifah ‘Aly melawan pemberontakan yang dipimpin ‘Â’isyah dan para sekutunya] adalah "medan sejarah yang aktual" bagi kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Persaingan politik yang keras di tingkat elit dan massa yang selalu terjadi, berupa rebutan kekuasaan yang selalu mengaitkan kepentingan politik dan agama, adalah salah satu faktor "ekstra-teoretis" yang pasti turut andil dalam melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Semula, ia lahir tampak sebagai upaya 140 intelektual agamis untuk "menata" fenomena itu menjadi "lebih baik", tetapi fenomena itulah yang justru melahirkannya, membentuknya, dan mengarahkan fungsinya seperti akan digambarkan lebih jelas berikut ini. 3. Konteks Budaya Intelektual [Wacana Politik] yang Melahirkan Al’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Berkaitan dengan data historis mengenai sejarah wacana politik Islam seperti telah dipaparkan pada Bab III, diketahui bahwa budaya intelektual Islam hingga abad IV H/X M tidak hanya bertumpu kepada bahasa dan budaya Arab. Fenomena itu juga dihidupi oleh "angan-angan [imajinasi]" kaum Muslimin tentang tatanan kehidupan yang ideal. Angan-angan, imajinasi, atau fantasi kolektif kaum Muslimin itu merujuk kepada masa dan pengalaman sejarah tertentu, yaitu kehidupan kaum Muslimin pada masa puncak keemasannya dalam kepemimpinan Nabi Muhammad. Fantasi kolektif tersebut, yang tersimpul dalam konsep wihdatu al-’ummati al-’Islâmiyyah ["kesatuan umat Islam"], merupakan sebagian faktor yang mendorong dan mengarahkan tujuan-tujuan dari pikiran dan tindakan kaum Muslimin. Kenyataannya, meskipun kaum Muslimin memiliki fantasi kolektif dan menambatkan angan-angan dalam lokus sejarah yang sama, tetapi terwujudnya suatu kesamaan atau kolektifitas yang utuh dan sempurna dalam setiap operasi penghampiran, persepsi, dan interpretasi terhadap lokus sejarah yang sama itu sangat sulit terjadi. Karena proses ini sangat dipengaruhi oleh kepentingankepentingan, dorongan-dorongan, dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan 141 kekuasaan sosial. Persepsi yang justru muncul adalah "kesatuan umat Islam tidak akan terwujud kecuali dengan kesatuan kepemimpinan".271 Dan persis dalam persepsi ini, terkait dengan dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan kekuasaan, umat Islam menjadi kelompok-kelompok yang saling mengajukan klaim sebagai yang paling berhak atas kekuasaan. Dan dengan dalih persepsi tersebut, masing-masing membangun wacana intelektual yang saling mengasingkan. Setiap kelompok berjuang agar wacana intelektualnya yang dianggap paling benar, dapat menjadi sumber wewenang yang terdalam bagi kekuasaan, serta menjadi pedoman yang mengarahkan. Dengan demikian kesimpulannya, imajinasi sosial kaum intelektual Muslim abad IV H/X M tentang kesatuan kekuasaan Islam, serta persepsi-persepsi mereka yang saling berkompetisi di dalam "ruang diskursif" kekuasaan adalah faktor teoretis-diskurif yang memungkinkan kelahiran al-’Ahkâm al- Shulthâniyyah. 4. Posisi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dalam Konteks Sosial, Politik, dan Budaya Intelektual Islam Abad IV H/X M Telah dijelaskan bahwa kelompok sosial yang melahirkan al-’Ahkâm alShulthâniyyah adalah orang-orang Suni, yaitu kelompok masyarakat Muslim yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pengikut dan penerus tradisi Nabi Muhammad dan "konsensus" [tradisi mayoritas]. Kesimpulan ini dapat dipahami dengan menelusuri genealoginya: asal-usul substansi pengetahuannya beserta 271 Lihat Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Op. Cit. H. 245-247 142 lingkup sosial yang menghidupinya. Dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah menempati posisi sebagai wacana pewaris-penerus dari kelangsungan sejarah tradisi-tradisi itu, bahkan yang memperluas wilayahnya. Ia juga sebagai buku yang mendokumentasikan momen peristiwa perjumpaan antara tradisi-tradisi itu dengan fenomena historis yang baru, dan sekaligus yang menampilkan proses dialog antara keduanya. Dalam konteks sosial yang lebih luas, sebagai salah satu wujud ekspresi intelektual masyarakat Suni, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah menempati posisi yang bersinggungan dengan bentuk-bentuk ekspresi intelektual dari kelompok sosial yang lain: Khawârij, Syî‘ah, Muktazilah, dan Murji‘ah. Maka, posisi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bersama bentuk-bentuk ekspresi intelektual yang lain tersebut, masing-masing adalah sebagai wacana "kontestan" di dalam ruang "kompetisi sosial" atau "ruang kebebasan diskursif". Di dalam arena kontesatsi sosial dan wacana, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah pesaing bagi kontestan-kontestan selainnya, demikian juga sebaliknya. Taruhan utama dari semua peristiwa kompetisi ini adalah pemerolehan-pemertahanan identitas dan kekuasaan sosial. Penjelasan posisi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai kontestan dan pesaing di dalam konteks sosial tersebut berlaku juga di dalam konteks politik dan budaya, karena kedua konteks yang terakhir ini juga menjadi ruang kontestasi dan kompetisi bagi masing-masing ekspresi intelektual dari setiap kelompok sosial yang ada. Perbedaannya: dalam konteks sosial setiap posisi diarahkan untuk memperoleh dan mempertahankan identitas dan kekuasaan sosial, sedangkan dalam konteks politik dan budaya setiap posisi bersaing dalam rangka 143 memperoleh dan mempertahankan kekuasaan (power) politik dan pengaruh wewenang-wibawa (authority). 5. Efek Konteks Historis terhadap Isi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dan Fungsinya Sekarang, analisa diarahkan pada isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan fungsinya dalam hubungannya dengan konteks historis yang melahirkannya untuk melihat historisitasnya. Maksud utama analisa pada tahap ini adalah mengukur sejauh mana suatu konteks historis tertentu berpengaruh terhadap pembentukan isi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah berikut pengarahan fungsinya. Atau, analisa ini hendak menunjukkan bukti-bukti bahwa sebuah wacana tertentu yang terbangun di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah mengakar secara kuat ke dalam sejarah aktual dan, pada saat sama, memiliki jangkauan fungsi. Inilah maksud dari historisitas al’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam perspektif sinkronis. Keseluruhan isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sangat mungkin menjadi obyek analisa. Namun tidak mungkin isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dituangkan seluruhnya di sini. Pembahasan sebagai uji historisitas hanya akan diarahkan terhadap konsep "imamah" guna menetapkan premis-premis khusus untuk menarik kesimpulan secara umum. Langkah pembatasan ini bukan bermaksud mereduksi isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah tetapi didasarkan pada tiga alasan: (1) Karena al-Mâwardiy sendiri menekanan urgensi masalah imamah atas masalah yang lain, seperti perkataannya berikut ini: Imamah adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ketentuan-ketentuan agama dan pangkal bagi terwujudnya kebaikan Umat hingga urusan 144 kepentingan umum. Dari kepemimpinan itulah lahir kekuasaan-kekuasaan yang menangani wilayah-wilayah dan bidang-bidang urusan khusus. Maka, pembahasan hukumnya harus didahulukan dari pembahasan hukum-hukum pemerintahan yang lain............[dst., pen.].272 (2) Karena konsep "imamah" merupakan pokok dari keseluruhan isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sebagaimana arti yang tersirat dari perkataan al-Mâwardiy tersebut. (3) Karena konsep "imamah" dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sering menjadi referensi utama dalam kajian politik Islam hingga sekarang. Analisa ini disusun dengan kerangka pembahasan sebagai berikut: (a) historisitas konsep "imamah", dan (b) implikasi ideologis konsep "imamah". A. Historisitas Konsep Imamah “Tidak baik manusia [' masyarakat' , pen.] hidup lepas-bebas tanpa kepemimpinan; dan tidak akan terwujud kepemimpinan [yang baik, pen.] jika orang-orang bodohnya yang berperan memimpin."273 Al-’Afwah al-’Audiy "Kekuasaan (al-mulk) dengan agama (al-dîn) akan tegak lestari, dan agama dengan kekuasaan akan kuat berdiri."274 ‘Abdullâh ibn al-Mu‘taz Al-Ghazâliy menyatakan bahwa keamanan, kerjasama, dan keteraturan adalah kebutuhan-kebutuhan manusia yang fundamental. Kebutuhan manusia itu akan 272 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah., h. 3 Kalimat ini adalah ungkapan seorang penyair Arab Jâhiliyyah (pra Islam): al-’Afwah al’Audiy, yang dikutip al-Mâwardiy ketika dia memulai pembahasan konsep ’imâmah-nya. Lihat alMâwardiy, Loc. Cit. 274 Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1995, h. 97 273 145 terpenuhi jika ada hukum-hukum umum tertentu yang dihormati/dipatuhi oleh semua orang, dan ada organisasi atau lembaga yang memiliki kekuasaan mengatur.275 Organisasi itu lazim dimengerti sebagai organisasi politik atau negara. Terlepas dari mana pun asal kekuasaan yang dimiliki negara, semua teori tentang negara menyatakan bahwa kekuasaan itu harus ada dan diperuntukkan menciptakan kebaikan bagi masyarakat di wilayah kekuasaannya.276 Dalam masalah itu, al-Mâwardiy berpendapat bahwa imamah didirikan untuk menggantikan fungsi kenabian: menjaga agama dan mengatur dunia. Oleh karena itu, pembentukannya adalah wajib. Al-Mâwardiy menyatakan: Imamah diwujudkan sebagai ganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Mengangkat seseorang sebagai Imam dalam kehidupan konsensus Sahabat atau ulama' , Umat adalah wâjib277 berdasarkan ijmak [' pen.], walaupun al-’Asham keluar dari konsensus mereka.278 Dari ungkapan tersebut jelas bahwa al-Mâwardiy meletakkan masalah pendirian negara dan kepemimpinannya di dalam wilayah agama. Inti terdalam negara dalam konsep al-Mâwardiy adalah fungsinya sebagai pengganti kenabian. 275 Lihat al-Ghazâli, al-’Iqtishâd wa al-’I‘tiqâd, Mesir: al-Mathba‘atu al-Mahmûdiyyah, h. 135 Lihat Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996, h. 117 277 Istilah wâjib tidak dapat langsung diterjemahkan dengan kata "wajib", "harus", atau "mesti". Dalam konteks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan umumnya dalam konteks literatur Islam, istilah tersebut mengandung konotasi religius. Yang dimaksud adalah "kewajiban, keharusan, atau kemestian yang bersifat agama dan dengan sanksi yang juga bersifat agama: jika dikerjakan akan memperoleh balasan pahala [’ajr, tsawâb] dari Allah, dan jika ditinggalkan akan memperoleh balasan siksa [' iqâb, ' adâzb] dari-Nya. Catatan-catatan linguistis-semantis tersebut penting, bukan sekedar karena memenuhi tuntutan kaidah penerjemahan teks. Hal itu dilakukan lebih karena alasan bahwa di dalam istilah-istilah/definisi-definisi yang dikatakan al-Mâwardiy secara ' lepas' tersebut justru tersimpan fenomena historisitas-diakronis konsep-konsep al-Mâwardiy yang sangat dalam. 278 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 5 276 146 Secara teologis, acuan konsep bahwa negara berfungsi sebagai pengganti kenabian berpangkal kepada satu doktrin (nas) Alquran bahwa nabi pembawa risâlah Allah yang terakhir adalah Muhammad. Alquran menegaskan: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.279 Pernyataan ayat itu meskipun disebutkan hanya sekali dalam Alquran dan terkait dengan konteks historis tertentu, merupakan pernyataan yang tegas tentang posisi Muhammad di antara manusia dan para nabi selainnya. Ini adalah satu doktrin yang sangat diyakini oleh orang-orang yang beriman sejak ayat itu diturunkan, hingga munculnya klaim kenabian orang-orang yang murtad pasca Muhammad wafat. Atas dasar keyakinan tentang kebenaran doktrin tersebut, Abû Bakr al-Shiddîq selaku penguasa kaum Muslimin kemudian, menumpas habis gerakan orang-orang murtad itu. Setelah penumpasan itu, tidak pernah muncul lagi di lingkungan kaum Muslimin, orang-orang yang mengklaim diri sebagai nabi kecuali klaim dari salah satu aliran Syî‘ah yang menyatakan "kenabian" ‘Aly bin ’Abî Thâlib serta fenomena "nabi baru" seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Ini artinya, tidak ada orang-orang Muslim yang meragukan atau menolak doktrin tersebut di atas kecuali orang-orang yang memang sengaja ingin keluar dari Islam atau ingin membuat fenomena baru di dalam Islam selain mainstream yang ada.280 279 Q.S. Al-’Ahzâb (33):40. Kecenderungan yang terakhir tersebut telah dimulai sejak ‘Abdullâh bin Saba’ [seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam] menyebarluaskan opini-opini tentang keistimewaan ‘Aly bin ’Abî Thâlib yang melebihi semua orang termasuk Nabi Muhammad, pada masa kekuasaan Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân. Lihat Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, al-Nazhariyyâtu al-Siyâsiyyât al’Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Dâru al-Turâts, 1979, h. 55. 280 147 Demikian juga, di lingkungan kaum Muslimin generasi awal tidak pernah muncul wacana yang menginginkan agar tidak usah diwujudkan kepemimpinan Islam pasca Nabi wafat. Karena kenyataannya, Nabi wafat tidak hanya meninggalkan ajaran-ajaran, melainkan bahkan mewariskan suatu komunitas Muslim (al-mujtama‘ al-’Islâmiy) dengan identitas sosial dan politik yang jelas.281 Kenyataan ini sangat diinsafi oleh para Sahabat. Mereka sadar bahwa Nabi wafat serta "ajaran langit" berhenti turun, tetapi bagaimana kelanjutan dari kehidupan komunitas sosial dan politik mereka yang telah terbentuk dengan kokoh? Harus ada kepemimpinan yang menggantikan/meneruskan kepemimpinan Nabi, harus ada pemimpin dalam kehidupan umat Islam yang menggantikannya. Demikianlah aspirasi yang pasti di kalangan Sahabat, terutama mereka yang senior. Itulah aspirasi yang dikatakan atau tidak dikatakan, yang mendorong elit-elit Ansar dan Muhâjirîn berkumpul di Saqîfah Banî Sâ‘idah, bahkan ketika jasad Nabi pun belum diurus pemakamannya. Itulah juga aspirasi ‘Aly bin ’Abî Thâlib dan Sahabat-sahabat yang lain, meskipun mereka ingin menunda dalam sementara waktu untuk membicarakan masalah itu dan tidak hadir di forum Saqîfah. Itulah juga aspirasi kaum Muslimin dari generasi ke generasi, dari waktu ke waktu di setiap momen suksesi, hingga sampai ke konteks sejarah al-Mâwardiy. Lalu, mengapa al-Mâwardiy mesti menyatakan aspirasi itu kembali seperti pernyataannya di atas? Bukankah soal kepemimpinan Islam yang harus selalu ada, benar-benar telah menjadi aspirasi umat Islam?Bukankah hal itu merupakan 281 Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Ibid., h. 25. 148 tuntutan realitas sejarah yang jelas? Dalam konteks apakah pernyataan alMâwardiy itu? Serta, apa tujuannya? Pernyataan al-Mâwardiy bahwa kepemimpinan Islam harus diwujudkan dan di dalam tubuh umat Islam harus ada pemimpin (za' îm atau imâm)282 menunjukkan: dia sependapat dengan aspirasi sebagaimana tersebut di atas yang merupakan mainstream opinion mayoritas besar umat Islam sejak awal hingga pada masanya. Pernyataan pendapat al-Mâwardiy ini penting mengingat terdapat sebagian kecil umat Islam yang memiliki aspirasi atau pendapat yang berbeda. Sebenarnya, sejak kelahiran kelompok Khawârij pada masa Khalifah ‘Aly, kelompok ini telah memunculkan sebuah gagasan baru tentang "kebebasan" yang, dalam konteks waktu itu, berarti bebas dari kekuasaan Khalifah ‘Aly maupun penentangnya: Mu‘âwiyah. Gagasan ini terus dikembangkan oleh salah satu aliran Khawârij: Najdât [pengikut Najdah bin ‘Athiyyah bin ‘Amir al-Hanafiy], dan berkembang pula secara luas di lingkungan Muktazilah (al-Qadariyyah). Seperti telah dipaparkan pada Bab III, dua aliran dan kelompok tersebut menyatakan bahwa orang-orang Muslim tidak perlu pemimpin dan mengikutinya, mereka hanya perlu menunaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing dan saling berlaku adil, serta tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.283 Tokoh-tokoh Muktazilah yang gigih menyebarkan gagasan ini adalah ’Abû Bakr al-’Asham, Hisyâm bin ‘Amru al-Fûthiy, dan ‘Ubbâd bin 282 Lihat al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 3&5. Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Op. Cit., h. 144, yang mengutip narasi al-Syahrastâniy dalam Nihâyatu al-’Iqdâm fî ' Ilm al-Kalâm, h. 481. Survei lebih lanjut tentang masalah ini dapat merujuk kepada ’Abû al-Hasan al-Asy‘ariy, Maqâlât al-’Islâmiyyîn wa ’Ikhtilâf al-Mushallîn, Turki: Thab‘ah ’Istanbul, 1930, vol. 2, h. 460, dan kepada ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdiy, ’Ushûl al-Dîn, Turki: Thab‘ah ’Istanbul, 1928, h. 271. 283 149 Sulaimân.284 Inilah salah satu opini yang berkembang dan berhadapan langsung dengan al-Mâwardiy. Maka kesimpulan dari uraian di atas bahwa kepentingan alMâwardiy menyatakan pendapatnya itu sangat terkait dengan konteks historis yang dihadapinya, yaitu opini "kebebasan" yang diusung sebagian umat Islam. Kemudian soal bahwa aspirasi tentang kepemimpinan Islam pasca Nabi merupakan opini yang memiliki akar kuat dalam realitas sosial dan politik umat Islam, bagi al-Mâwardiy hal itu bukan realitas sejarah yang biasa. Fenomena itu sangat terkait dengan "nasib" misi kenabian: nasib Islam. Selain itu, aspirasi atau opini itu juga dihidupi oleh mayoritas besar umat Islam sejak peristiwa Nabi wafat hingga masa hidup al-Mâwardiy. "Aspirasi mayoritas besar", itu fenomena sejarah yang luar biasa. Terkait dengan "nasib" misi kenabian, nasib Islam dengan segala prestasi sosial dan politik yang telah melekat kepada umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi, merupakan taruhan masa depan yang tidak dapat disepelekan. Demikianlah kurang-lebih suasana pikiran umat Islam pada umumnya ketika menerima kenyataan Nabi wafat. Hal itu sebagaimana tergambar dari petikan pidato ’Abû Bakr berikut ini: Hai manusia, barang siapa menghamba kepada Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad benar-benar telah mati. Dan barang siapa menghamba kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Tidak ada lain Muhammad itu kecuali seorang 284 Khawârij Najdât (pengikut Najdah bin ‘Amir al-Hanfiy dan ‘Athiyyah bin ’Aswad al-Hanafiy), dan Muktazilah (Qadariyyah) pengikut ’Abû Bakr al-’Asham, Hisyâm bin ‘Amr al-Fûthy, dan ‘Ubbâd bin Sulaimân, orang-orang yang mengembangkan wacana "kebebasan" ini ditengarai sebagai kelompok filsuf Muslim yang telah menerima pengaruh pemikiran filsafat Plato (Platonis). Dalam konteks Barat modern pemikiran-pemikiran politik "kebebasan" mereka sama seperti pemikiran-pemikiran filsafat: H. Spenser [Man Versus the State] dan William Godwin [The Political Justice]. Lihat, Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Ibid., h. 146-7 150 rasul yang telah lewat sebelumnya rasul-rasul yang lain. [Syahrastâniy mengisahkan, sampai ’Abû Bakr berkata:] Sesungguhnya Muhammad telah menempuh jalan misinya, dan harus ada orang yang berdiri menggantikannya untuk hal ini. Pikirkan dan ungkapkan pendapat kalian.285 Orang-orang yang menyaksikan sepakat dengan perkataan ’Abû Bakr, dan tidak ada seorang pun yang menyatakan pendapat sebaliknya, atau bahwa misi Muhammad tidak harus dilanjutkan, meskipun ada orang-orang yang menginginkan agar masalah itu tidak langsung diputuskan secepatnya karena butuh pemikiran dalam rangka memilih orang yang tepat. Kesepakatan tentang urgensi masalah ini berlanjut ke dalam forum Saqîfah yang berhasil menetapkan ’Abû Bakr sebagai orang yang diberi wewenang menggantikan misi Nabi. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga masa alMâwardiy. Fenomena inilah yang dimaksud sebagai "kesepakatan besar" dari "mayoritas besar" umat Islam. Dalam pandangan al-Mâwardiy dan ulama Suni sebelumnya, hal ini merupakan fenomena sejarah yang "luar biasa". Oleh karena itu dia menyatakan konsep "imamah"-nya seperti tersebut di atas. Fenomena sejarah itu akhirnya dijustifikasi sebagai sesuatu yang benar-benar "luar biasa" oleh para ulama ortodoksi Suni: fenomena agama dengan sanksi agama. Mereka menganggap bahwa imamah, sebagaimana teraktualisasikan dalam sejarah Islam pasca Nabi, adalah tuntutan agama. Alasan-alasan dasar dari tesis ini adalah: 1) imamah melaksanakan fungsi kenabian, 2) imamah diinginkan oleh mayoritas besar umat Islam sejak pendiriannya, dan dihidupi oleh mereka dalam rentang 285 Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Ibid., Kairo: Maktabah Dâru al-Turâts, 1979, h. 132 dari sumber alSyahrastâniy dalam Nihâyatu al-’Iqdâm fî ' Ilm al-Kalâm, h. 479. 151 waktu yang panjang, yang disebut fenomena ijmak.286 Ijmak yang semula merupakan fenomena yang murni historis kemudian diangkat satusnya oleh ortodoksi Suni sebagai bagian dari [dasar] agama. Ijmak adalah kaidah yang paling dasar bagi Ahli Sunah untuk membangun pemikiran tentang imamah yang telah dirintis oleh al-Syâfi‘iy,287 dan al-Mâwardiy adalah penerusnya.288 Inilah konteks dan sekaligus alasan, kenapa al-Mâwardiy menyatakan bahwa pendirian kepemimpinan Islam adalah wajib atas dasar ijmak. 286 Di sini perlu ditambahkan keterangan mengenai konsep "ijmak" (’ijmâ‘) meskipun telah di paparkan pada Bab III sebagai data metodologis, karena terkait alasan-alasan historis kemunculannya seperti baru saja dijelaskan, dan konsep metodologis itu berperan penting dalam pembentukan isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Sekaligus, pembahasan ini merupakan langkah persiapan untuk analisa metodologis nanti. Al-Syâfi‘iy dianggap orang yang paling berjasa merintis konsep ijmak sebagai metodologi dalam lapangan fikih, khususnya dalam masalah ’imâmah. Ijmak dalam konsep al-Syâfi' iy adalah antitesis dari dua kecenderungan metodologis utama yang saling bertentangan pada waktu itu, yaitu metode pencarian petunjuk pemecahan masalah dari hadis seperti yang dipegang oleh "pendukung hadis" (’ahl al-hadîts) serta metode penalaran akal murni yang dipegang oleh "rasionalis" Muktazilah. Dua kecenderungan ini, seperti telah dipaparkan pada Bab III, memiliki kelemahan. Metode yang pertama memiliki kelemahan berupa kecondongannya yang membabi-buta terhadap hadis sehingga memunculkan hadis-hadis palsu yang menguntungkan mazhabnya, sementara metode yang kedua terjerumus kepada penafsiran akal bebas yang "semena-mena". Al-Syâfi‘iy mengajak kepada mujtahid dari kedua tradisi itu untuk menyandarkan pencarian petunjuk pemecahan masalahnya dari "fenomena faktual" [al-wâqi‘] atau dari "kenyataan" [al-haqîqah], yaitu fenomena fakta kehidupan umat Islam pada masa lalu, khususnya kehidupan umat Islam pada masa keemasannya: masa alkhulafâ’u al-râsyidûn [empat khalifah pembimbing: ’Abû Bakr, ‘Umar bin Khaththâb, ‘Utsmân bin ‘Affân, dan ‘Aly bin ’Abî Thâlib, pen.], - dalam keyakinan al-Syâfi‘iy, di situlah terletak "ruh Islam yang benar" – serta hal-hal yang menjadi "konsensus" dari "mayoritas besar" uamt Islam di setiap masa. Konsep ijmak ini masih dipertajam lagi oleh al-Syâfi‘iy dengan konsep "kias" (qiyâs). Ijmak dan kias adalah dua konsep al-Syâfi‘iy yang saling terkait sebagai alternatif metodologis dari "kelemahan" dua kecenderungan metodologis sebelumnya yang saling berhadap-hadapan. Konsep ijmak al-Syâfi‘iy benar-benar menyiapkan lahirnya konsep "Ahli Sunah Waljamaah" dalam tataran sosial umat Islam. Lihat Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Ibid., h. 102. 287 Al-Syâfi‘iy, karena jasa-jasanya dalam merintis metodologi ’ushûl al-fiqh [prosedur berpikir hukum Islam, pen.], terutama jasanya dalam merintis penggunaan konsep ijmak dan kias, dianggap sebagai "Aristoteles"-nya Islam. Lihat ’Ibn al-Nadîm, al-Fahrasat, Mesir: al-Maktabatu alTijâriyyah, h. 295. 288 Metode ijmak dan kias yang paling banyak dipakai al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm alShulthâniyyah benar-benar menunjukkan bahwa dia merupakan penerus tradisi metodologi alSyâfi‘iy, dan kutipan pendapat al-Mâwardiy seperti telah dikemukakan di atas adalah juga pendapat Abû al-Hasan al-Asy‘ariy, seorang ' founding father' -nya Ahlu Sunah Waljamaah di bidang ' ilm al-kalâm. Lihat, al-’Asy‘ariy, Maqâlât al-’Islâmiyyîn wa ’Ikhtilâf al-Mushallîn, ’Istanbul: Thab‘ah ’Istanbul, 1930, vol. 2, h. 460. Sebelum al-Mâwardiy, pendapat al-’Asy‘ari telah dijadikan posisi teoretis yang mendasar oleh ‘Abd al-Qâhir [al-Baghdâdiy]. Lihat alBaghdâdiy, ’Ushûl al-Dîn, Istanbul: Thab‘ah ’Istanbul, 1928, h. 271. Setelah al-Mâwardiy, posisi yang sama diteruskan oleh ’Ibn Hazm, al-Ghazâliy, Fakhru al-Dîn [al-Râziy], al-Nawawiy, alTaftazâniy, kemudian ’Ibn Khaldûn. Lihat Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Op. Cit., h. 103. 152 Di atas telah dinyatakan bahwa imamah dikonsepsikan al-Mâwardiy sebagai pengganti/pelanjut fungsi kenabian: menjaga agama (Islam) dan mengatur dunia. Dengan demikian, imamah dikonsepsikan secara teologis dan mengandung dimensi-dimensi ibadah (suatu hubungan tanggung jawab penghambaan manusia terhadap Penciptanya). Oleh karena itu mekanisme pendirian imamah harus diatur dengan ketentuan-ketentuan (qânun atau hukm) agama, bukan aturan-aturan akal.289 Konsepsi al-Mâwardiy tentang imamah tersebut sebenarnya masih terkait dengan konteks perbedaan pendapat mayoritas versus pendapat minoritas tentang masalah ini, seperti telah dibahas tadi. Sebagai tambahan penjelasan, sebenarnya inti perbedaan dari dua kelompok besar pendapat itu terletak dalam hal "sumber kebenaran pengetahuan", termasuk sumber pengetahuan tentang imamah: "agama" versus "akal". Dalam tataran sosial, gagasan yang pertama dihidupi oleh kelompok ’ahl al-hadîts / ’ahl al-sunnah yang mengerucut, antara lain, menjadi 289 Oleh karena pendirian negara diwajibkan oleh syariat, menurut Al-Mâwardiy, hukum-hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan manusia adalah ajaran agama (Al-Kitâb) yang dianugerahkan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad. Hukum-hukum Allah itu diberlakukan di dunia untuk menciptakan kebaikan manusia dan menetapkan pokok-pokok kebenaran. Para penguasa (’uly al-’amr) adalah wakil Allah untuk menetapkan keputusankeputusan dan kebijakan-kebijakan pengaturan. Nabi Muhammad adalah Rasul Allah, pembawa ajaran-ajaran-Nya, wakil Allah pertama yang menunaikannya dengan benar. Dengan demikian, ’imâmah dimaksudkan al-Mâwardiy sebagai kepemimpinan Islam yang mengatur kehidupan manusia dengan Alquran sebagaimana kepemimpinan yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad. Nabi Muhammad dan penguasa umat Islam yang diangkat untuk menggantikannya adalah institusi yang berwenang mengatur/memerintah. Lihat, Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm alShulthâniyyah, h. 4. Di tempat lain Al-Mâwardiy menyatakan: "wajib mengangkat ’imâm sebagai penguasa dan pemimpin Umat, agar Agama terjaga dengan kekuasaannya dan kekuasaannya berjalan sesuai dengan hukum-hukum dan tradisi agama." Dengan demikian, urusan agama dan urusan dunia tidak dapat dipisahkan: agama dan politik harus menyatu. Karena itu, Al-Mâwardiy mengutip sebuah syair ’Abdullah bin Mu‘taz: "Kekuasaan (al-mulk) dengan agama (al-dîn) akan tegak lestari, dan agama dengan kekuasaan akan kuat berdiri." Demikianlah penjelasan lebih lanjut tentang fungsi kepemimpinan Islam dalam konsep al-Mâwardiy. Lihat, al-Mâwardiy, ’Adab alDunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1995, h. 97 153 Ahli Sunah Waljamaah, dan gagasan kedua dihidupi oleh ’ahl ra’y yang mengerucut, antara lain, menjadi kelompok Muktazilah (al-Qadariyyah).290 Dalam hal mekanisme pembentukan imamh, perbedaan pendapat keduanya digambarkan al-Mâwardiy berikut ini: Keharusan mendirikan imamah diperselisihkan, apakah berdasarkan [ditentukan oleh, pen.] akal ataukah syariat. Sebuah kelompok mewajibkannya berdasarkan akal, karena ada kecenderungan naluri orangorang yang berakal untuk menyerahkan kepada seorang pemimpin agar bertindak mencegah orang-orang saling berbuat aniaya serta memisah pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Jika tanpa pemimpin, mereka akan menjadi liar tak terkendali. Al-’Afwah al-’Audy, penyair jâhiliy [pra Islam, pen.] mengatakan: ' Tidak baik manusia [' masyarakat' , pen.] hidup lepas-bebas tanpa kepemimpinan; dan tidak akan terwujud kepemimpinan [yang baik, pen.] jika orang-orang bodohnya yang berperan memimpin.' Kelompok yang lain mengatakan, kewajiban pendirian kepemimpinan itu didasarkan [ditentukan oleh, pen.] syariat, bukan akal. Karena seorang Imam berdiri dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat syariat, yang terkadang akal memikirkannya sebagai sesuatu yang hanya ' boleh'(mujawwaz) dan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang terkait dengan pengabdian kepada Tuhan (ta‘abbud).291 Akal hanya mengharuskan kepada setiap orang berakal agar tidak saling menganiaya dan memutus hubungan, agar selalu berbuat adil dalam pergaulan, dan agar bertumpu kepada kemampuan akal sendiri bukan akal orang lain. Tetapi, syariat telah datang dengan menyerahkan urusan-urusan [pengaturan, pen.] kepada penguasa yang [telah, pen.] ditentukan di dalam agama [Islam, pen.]. Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung telah berfirman: ' Hai orang-orang beriman, patuhilah Allah, patuhilah RasulNya, dan patuhilah ' penguasa urusan'di antara kalian.292 290 Diskusi yang sangat intensif mengenai perbedaan paham di antara dua kelompok Muslim tersebut dalam konteks pemikiran politik dapat dilihat dalam Dhiyâ’u al-Dîn al-Rais, Op. Cit., h. 127-152, atau ’Ibn Khaldûn, al-Muqaddimah, Kairo: al-Mathba‘atu al-Azhariyyah, 1930, h. 159161. 291 Seperti pendapat ’Abû Bakr al-’Asham, Hisyâm bin ‘Amru al-Fûthiy, dan ‘Ubbâd bin Sulaimân. Selain orang-orang ini berpendapat bahwa kepemimpinan ' boleh ada-boleh tidak ada' (jawâz atau mubâh), mereka juga berpendapat bahwa seandainya terdapat suatu kepemimpinan, keberadaannya dalam kehidupan sosial tidak melebihi konteks "hubungan sosial" saja (mu‘âmalah), atau kepemimpinan bukan merupakan bagian dari masalah hubungan manusia dengan Tuhan (‘ibâdah). Dalam bidang fikih atau teologi Islam secara umum, istilah jawâz atau mubâh berarti status hukum yang bersifat paling "dasar" dan "netral" yang dikenakan kepada semua perbuatan manusia demi memenuhi kebutuhan kemanusiaannya yang paling mendasar seperti makan dan minum. Teologi Islam menganggap orang "boleh makan atau minum, boleh juga tidak", sepanjang tidak ada petunjuk-petunjuk (dalîlât) atau alasan-alasan (qarînât) syariat yang mewajibkannya atau melarangnya. 292 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 5 154 Lalu, di mana posisi al-Mâwardiy dalam konteks perbedaan pendapat dari dua kelompok tersebut? Kata-kata al-Mâwardiy berikut ini cukup menjelaskan, ia berkata: "[Dengan berdasar pada ayat Alquran tersebut, pen.], maka Allah menetapkan kewajiban (farradha)293 kepada kita patuh kepada penguasa urusan yang ada di antara kita, mereka adalah para Imam yang [berwenang, pen.] memerintah atas kita."294 Dari uraian tersebut menjadi jelas sekarang, di mana akar sejarah yang spesifik, yang telah mendorong al-Mâwardiy menyatakan pemikirannya tentang dasar-pokok kepemimpinan Islam. Konteks sejarah tersebut benar-benar telah menunjukkan bahwa konsep "imamah" al-Mâwardiy sangat terkait dengan kecondongannya terhadap nilai-nilai atau tradisi-tradisi yang dianut oleh kelompok sosialnya (Suni), terkait dengan keyakinan-keyakinannya tentang nilai dan tradisi itu yang dicoba dipertahankannya dengan cara sedemikian rupa, serta pada saat yang sama terkait dengan nilai atau tradisi yang dianut oleh kelompok sosial lain (Khawârij Najdât dan Muktazilah pengikut ’Abû Bakr al-’Asham) yang berbeda yang dicoba ditentangnya dengan cara sedemikian rupa. Konteks sejarah itu telah menunjukkan betapa teori imamah yang diusung al-Mâwardiy tunduk kepada historisitasnya. Ia bukan sesuatu yang "mutlak transenden" melainkan suatu produk budaya yang "ditransendensikan". Analisa ini tidak perlu diperpanjang kepada teori imamah al-Mâwardiy lebih jauh yang lebih rinci, karena pokok-pokok isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan fungsinya seperti 293 Sebuah istilah yang spesifik dipakai dalam bidang fikih dengan pengertian yang sama dengan istilah wâjib adalah fardh. 294 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 155 pembahasan di atas telah cukup menggambarkan keseluruhannya, dan tidak akan diperoleh kesimpulan yang berbeda dengan perspektif analisis yang sama. Karena pokok-pokok isi yang telah di bahas itu benar-benar merupakan inti terdalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan dasar bagi al-Mâwardiy untuk menyusun atau mengembangkan teorinya lebih lanjut. B. Implikasi Ideologis Konsep Imamah Analisa di atas telah menunjukkan konteks historis dan wilayah diskursus yang melingkupi teori al-Mâwardiy tentang imamah, hingga dapat disimpulkan historisitasnya. Analisa berikut ini akan melihat kemungkinan lebih jauh dari historisitas konsep "imamah" tersebut, yaitu fungsinya atau implikasi-implikasi ideologisnya. Kemungkinan yang terakhir ini akan ditempuh dengan mempertimbangkan fungsi konsep "imamah" dalam konteks praktik kekuasaan pada masanya (melalui perspektif kritik sejarah secara sinkronis). Telah dijelaskan pada Bab III bahwa kelahiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah berada di dalam momentum krisis politik yang paling "menggelisahkan". Krisis politik itu ditandai dengan semakin hilangnya kekuatan dan otoritas Khalifah sebagai penguasa tertinggi dalam konsep kepemimpinan Islam.295 Tidak ada orang/kelompok yang paling gelisah karena menyaksikan fenomena krisis politik itu, kecuali mereka yang jelas dirugikan atau menerima akibat jelek dari fenomena tersebut. Mereka adalah Khalifah ‘Abbâsiyyah bersama patron-patron sosial-politiknya. Mereka menggalang usaha bersama 295 Lihat Bab III, h. 81-82, juga analisa "Konteks Politik yang Melahirkan al-’Ahkâm alShulthâniyyah ", h. 132-134. 156 untuk mengembalikan situasi krisis politik itu pada kondisi yang diinginkan seperti semula: restorasi. Dalam konteks di mana Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah yang semakin kehilangan kekuatan dan pamornya, dan di tengah upayanya untuk mengembalikan kekuasaannya, ia jelas membutuhkan jaminan hukum yang mempu melegitimasi posisi dan kekuasaannya itu. Tentu, strategi yang paling ampuh bagi Khalifah adalah jalinan koalisi dengan aliran-aliran Islam, yang secara kasat mata mereka juga menaruh perhatian dan berkepentingan dengan politik. Karena aliran-aliran Islam bukanlah sebagi aliran agama yang murni melainkan juga faksi-faksi politik. Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah yang sedang mengalami "impoten" tidak mungkin berkoalisi dengan Syî‘ah, karena meskipun awalnya mazhab ini adalah pendukung utama dinasti ‘Abbâsiyyah untuk naik tahta dengan menyingkirkan Khalifah dinasti ‘Umâwiyyah dan ikut menyebarkan propaganda bahwa kemunculan dinasti ‘Abbâsiyyah adalah sama artinya dengan kebangkitan kepemimpinan keluarga Nabi, tetapi Syî‘ah jugalah yang telah berperan dalam menggerogoti kekuasaannya bersama petinggi-petinggi militer dinasti Buwaihiy dari Dailam, sehingga otoritas khalifah hanya tinggal simbol belaka. Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah juga tidak mungkin berkoalisi dengan Muktazilah, meskipun ia pernah berjaya bersama mereka pada masa Khalifah alMa’mûn dan al-Rasyîd. Tetapi, Muktazilah telah menorehkan noda sejarah dengan melancarkan program mihnah yang membawa korban nyawa yang tidak 157 sedikit dari orang-orang yang menentangnya, sehingga mengakibatkan kemarahan kelompok mayoritas Suni. Demikian juga halnya, khalifah tidak mungkin berkoalisi dengan Khawârij, karena selain mereka hanya kelompok minoritas dan selalu menjadi "gerakan bawah tanah pengacau keamanan", dengan prinsip-prinsip kebebasan yang mereka semboyankan seperti telah disebutkan di atas, mereka adalah kelompok yang tidak mau berkompromi dengan siapapun, mereka adalah para "ekstremis-anti-damai-langsung-sikat". Citra "anarkis" sangat melekat pada identitas gerakan mereka, karena mereka memang membolehkan cara-cara anarki untuk meraih tujuan-tujuan. Faksi ini sangat ditentang, baik oleh faksi Suni maupun oleh faksi Syî‘ah, dan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam mazhab Muktazilah. Maka, koalisi paling strategis bagi kepentingan Khalifah ‘Abbâsiyyah kemudian adalah bersama mazhab Suni, atas dasar berbagai pertimbangan. Suni adalah mazhab mayoritas; mereka bukan saja rakyat awam, tetapi juga kalangan terpelajar yang menyebar luas di berbagai bidang keilmuan. Lebih dari itu, Suni merupakan tandingan yang sepadan dengan Syî‘ah dalam hal ortodoksi; Suni adalah lawan yang sejajar dengan Muktazilah dalam hal isu "rasionalisasi"; dan, Suni adalah lambang "supremasi" hukum Islam. Selanjutnya, khalifah memang bahu-membahu dengan faksi Suni untuk mengembalikan kekuasaannya, dan salah satunya adalah dengan cara meminta para kaum intelektualnya, terutama para pejabat pembantunya yang diangkat 158 menjadi hakim agar memikirkan landasan hukum yang dapat dimanfaatkan sebagi sandaran legitimasi. Al-Mâwardiy adalah salah seorang elit intelektual Suni pada masa itu. Al’Ahkâm al-Shulthâniyyah, seperti dikatakan Al-Mâwardiy sendiri, ditulis karena alasan-alasan yang menunjukkan arah kepentingan itu. Al-Mâwardiy berkata: Hukum tatanegara (al-’ahkâm al-shulthâniyyah) sangat penting bagi para penguasa (wullât al-’umûr), sementara keberadaannya selama ini masih berkumpul dengan kajian-kajian hukum yang lain, sehingga menyulitkan mereka untuk mempelajarinya, apalagi mereka sibuk dengan urusan politik dan pembangunan negara. [Karena itu, pen.] Saya kemudian menyusun hukum tatanegara itu secara tersendiri dalam satu kitab, dalam rangka melaksanakan perintah seorang yang wajib dipatuhi, agar dia dapat mengetahui pendapat-pendapat para ahli fikih (madzâhib al-fuqah ) mengenai hak-haknya sehingga ia berusaha memperolehnya, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya sehingga ia dapat melaksanakannya dengan baik; berusaha berbuat adil dalam melaksanakan kebijakan kepemimpinanya, adil dalam memutuskan hukum, dan adil dalam mengambil hak-haknya dan dalam memberikan kewajiban296 kewajibannya. Al-Mâwardiy menunjukkan dengan jelas alasan-alasan yang melatarbelakanginya sehingga ia menulis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Alasan demi alasan tersebut disampaikan oleh al-Mâwardiy dengan bahasa yang ringan dan lugas. Sepintas pandangan, alasan-alasan al-Mâwardiy itu masuk akal dan selaras dengan tuntutan situasi dan kondisi historisnya. Setidaknya, ada tiga alasan utama al-Mâwardiy menulis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan perlu dicermati dengan lebih seksama. Pada alasan pertama, al-Mâwardiy menunjukkan situasi wacana hukum tatanegara pada saat itu yang masih berserakan di mana-mana dan bercampur 296 Lihat Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 3 159 dengan kajian hukum-hukum yang lain, sehingga ia tergerak menulis buku yang secara spesifik berisi kumpulan hukum tatanegara, yaitu al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Situasi yang ditunjukkan al-Mâwardiy dan yang menjadi salah satu alasannya untuk menulis buku itu sungguh tepat, karena semula umat Islam memang tidak mengenal adanya hukum-hukum tatanegara hingga ulama berhasil mengumpulkan dan membukukan hadis.297 Di dalam buku-buku hadis itu, masalah tatanegara hanyalah satu bab dari puluhan bab yang membicarakan masalah-masalah yang lain. Seiring waktu dengan pembukuan dan pembakuan hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, teks-teks hadis merupakan rujukan penting ulama untuk merumuskan pandangan-pandangan 297 Meskipun Islam telah menjadi suatu entitas politik yang besar dan kuat sejak Nabi masih hidup, tetapi Alquran tidak menyatakan secara eksplisit dan lengkap mengenai mekanisme atau sistem yang mengatur tegaknya entitas politik Islam itu sebagai sebuah negara. Alquran tidak mendefinisakan prinsip apapun dengan jelas tentang negara. Pengertian dan ide tentang konstitusi, konsepsi tentang kedaulatan yang jelas, prinsip pemilihan pemimpin, dan rincian peraturanperaturan tentang organisasi negara, tidak diberikan oleh Alquran di tempat mana pun. Sejauh menyangkut masalah tatanegara, Alquran hanya memberikan petunjuk-petunjuknya secara umum bagi Nabi dan komunitas umat Islam yang dipimpinnya. Kenyataan posisi Alquran terhadap masalah tatanegara yang seperti itu tidak mengalami perubahan/perkembangan hingga Nabi wafat, yang berarti berakhir pula proses pewahyuan Alquran. Bahkan Abû Bakr pun tidak dapat menemukan landasan teoretis kekhalifahan, karena semasa akhir hidupnya, dia mengatakan telah melakukan satu kesalahan bahwa dia tidak bertanya kepada Nabi untuk menjernihkan persoalan kepemimpinan. Dia berkata: "Seharusnya saya bertanya siapa yang akan menggantikannya dalam kekuasaan politik setelah kematiannya?" Ibnu Qutaibah, al-’Imâmatu wa al-Siyâsah: Târîkhu alKhulafâ’, Mesir: al-Muassasatu al-Halabiy wa al-Syarîkah, tt., Jilid I, h. 19 Sampai berakhirnya masa khulaf’u al-râsyidûn-pun, negara Islam berjalan dengan tanpa adanya sistem politik yang baku yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengorganisasikan kekuasaan, sehingga dinamika politik Islam berlangsung dengan cepat tanpa sisetm kontrol, berubah-ubah, dan bahkan radikal. Politik kenegaraan berjalan mengikuti alur dinamika sejarahnya sendiri. Radikalisme praktek politik Islam bahkan telah terjadi sejak masa awal, yang ditandai, anatara lain, dengan terbunuhnya para khalifah: ‘Umar bin Khaththâb, ‘Ustmân bin ‘Affân, ‘Aly bin ’Abî Thâlib, Hasan bin ‘Aly bin ’Abî Thâlib, dan Husain bin ‘Aly bin ’Abî Thâlib. Fenomena politik yang radikal seperti ini terus berlangsung hingga masa kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyah dan dinasti ‘Abbâsiyyah. Barulah pada masa kekuasaan Mu‘âwiyah (pendiri kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyah) mulai tumbuh pemikiran-pemikiran politik sebagai tanggapan atas peristiwa-peristiwa politik yang baru dan kasuistik, dan wacananya semakin berkembang luas seiring dengan pertumbuhan pemikiran-pemikiran di bidang hukum dan lain-lain. Sampai pada masa awal kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah, pemikiran-pemikiran politik mulai dikembangkan oleh orang-orang yang menaruh perhatian serius di bidang itu secara skolastik. 160 mereka terhadap masalah-masalah baru yang muncul melalui proses ijtihad. Selain ulama merujuk kepada Alquran dan hadis dalam proses ijtihad, mereka juga merujuk kepada ijmak serta memakai metode kias. Hasil ijtihad ulama, yang kebanyakan menyatakan status hukum masalah-masalah temporer dan kasuistik, dikumpulkan ke dalam satu bidang wacana yang disebut fikih. Penyusunan bukubuku fikih pun mengikuti sistematika penyusunan buku-buku hadis. Oleh karena itu, masalah yang berkenaan dengan hukum tatanegara juga ditulis dan dikumpulkan menjadi satu dengan hukum-hukum yang lain di dalam buku-buku fikih.298 Maka, usaha yang dilakukan Al-Mâwardiy untuk membahas masalah hukum tatanegara secara tersendiri dengan menulis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dalam konteks alasan ini, merupakan upaya perluasan wacana hukum tatanegara Islam secara umum, dan secara spesifik kitab itu dimaksudkannya sebagai ' konstitusi kepemimpinan Islam' . Dalam konteks krisis politik seperti di atas, yang pada taraf tertentu sebagian disebabkan oleh tidak adanya peraturan baku yang berfungsi sebagai hukum konstitusi, kehadiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dapat dimanfaatkan sebagai landasan dan rujukan utama bagi praktik politik dan pemerintahan. Pada alasan kedua, al-Mâwardiy menyatakan bahwa penyusunan al’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah dalam rangka memenuhi perintah seorang yang wajib ditaati. Meskipun al-Mâwardiy tidak menyebutkan dengan jelas siapa orang 298 Telah dilihat jasa rintisan al-Syâfi‘iy dalam proses ini yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Metodologi ’ushûl al-fiqh yang disusun al-Syafi‘iy telah memberikan kemungkinan bagi murid-muridnya untuk mengembangkan teori tata negara menjadi sebuah sistem konstitusi yang utuh [qânûn dustûriy], yang salah satu sumber materialnya adalah praktik hukum-politik yang telah dijalankan dan disepakati atau diterima oleh masyarakat Islam pada masa lalu. 161 yang dimaksudkannya itu, dapat dimengerti bahwa orang itu adalah Khalifah alQâ’im Biamrillâh (berkuasa: 422-467 H), karena ia adalah yang mengangkat alMâwardiy menjadi hakim agung.299 Oleh karena kehadiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah tidak terlepas dari kepentingan khalifah mengenai landasan hukum untuk mengembalikan otoritasnya yang dirampas oleh dinasti Buwaihiy, keadaan ini sangat mempengaruhi perspektif yang mesti digunakan al-Mâwardiy dalam menyusun al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, seperti tampak pada alasannya yang terakhir. Pada alasan yang ketiga terlihat bahwa perspektif yang digunakan alMâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah perspektif seorang intelektual Islam ortodoks yang memandang realitas kekuasaan, dengan sentuhan idealitas untuk memperkuat posisi penguasa. Posisi ortodoks dan sentuhan idealitasnya nampak dari kata-katanya tentang hukum tatanegara yang bersumber dari pendapat-pendapat para ahli fikih; dan perspektif kepentingan penguasa tampak sekali, karena Al-Mâwardiy lebih mendahulukan hak-hak penguasa daripada kewajiban-kewajibannya. Sebenarnya, perspektif kepentingan penguasa ini juga tampak dari alasannya yang pertama dan kedua. Berdasarkan analisa terhadap alasan-alasan yang dikemukan al-Mâwardiy tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum kehadiran al-’Ahkâm alShulthâniyyah berfungsi sebagai perluasan wacana teori hukum tatanegara, bahkan sebagai sistem konstitusi Islam. Maka dalam konteks ini, kelahiran al’Ahkâm al-Shulthâniyyah dapat dipandang sebagai sumbangan berharga dalam 299 Lihat catatan ke-149 pada halaman 82, lihat juga Yâqût al-Hamwiy, Mu' jam al-’Adibbâ’, vol. 5, h. 407 162 dunia politik Islam waktu itu, baik pada tataran wacana maupun praktik. Namun di sisi lain, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sangat terkait dengan kebutuhan khalifah untuk mengembalikan kekuasaannya. Dalam konteks ini, al-’Ahkâm alShulthâniyyah juga merupakan semacam “wacana martir” dari al-Mâwardiy yang mendukung restorasi khalifah vis à vis kekuasaan para amîr dan sultan dinasti Buwaihiy yang mendominasi. Secara khusus terkait dengan konsepsi "imamah", nuansa maksud alMâwardiy untuk memperkuat kekuasaan khalifah, semakin terindikasi lebih jelas ketika ia menerangkan lebih jauh tentang posisi khalifah sebagai "wakil" Allah untuk menegakkan ajaran-ajaran-Nya di bumi dan mengatur dunia.300 AlMâwardiy mengatakan: Syariat telah datang dengan menyerahkan urusan dunia dan agama kepada penguasa, Allah ' Azza wa Jall berfirman: ' Hai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, patuhilah Rasul-Nya dan para penguasa urusan di antara kalian' .301 Allah mewajibkan atas kita patuh terhadap penguasa yang ada di antara kita. Mereka adalah para pemimpin yang memerintah kita.302 Indikasi lain yang menunjukkan maksud al-Mâwardiy itu juga terlihat jelas dari pernyataannya mengenai posisi Imam sebagai sentral kekuasaan atau penguasa tertinggi. Al-Mâwardiy mengatakan: Allah SWT menggariskan bahwa dalam Umat harus ada pemimpin yang menjadi pengganti dan pelanjut fungsi kenabian, yang kekuasaannya meliputi pengaturan agama dan politik, supaya pemerintahannya bersumber dari syariat agama, dan mengumpulkan aspirasi ke dalam satu visi kepemimpinan yang diikuti.303 300 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 3 Q.S. An-Nisâ’: 59 302 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 5 303 Al-Mâwardiy, Ibid., hal. 3 301 163 Secara umum, teori tersebut dapat dipahami dan diterima oleh siapapun. Tetapi, sesungguhnya teori itu dapat dimanfaatkan khalifah sebagai landasan untuk mengembalikan kekuasaannya yang kian melemah. Karena melalui ungkapan tersebut, secara tidak langsung, al-Mâwardiy menolak kenyataan dominasi para amir dan sultan dinasti Buwaihiy atas kekuasaan khalifah, serta kecenderungan penguasa-penguasa daerah yang ingin melepaskan diri dari keutuhan imamah. Secara implisit ungkapan al-Mâwardiy tersebut dapat dipahami bahwa khalifah/Imam adalah orang yang kekuasaannya bersumber dari Allah, yang harus dipatuhi (bukan malah didominasi atau ditentang), dan yang memiliki kekuasaan penuh mengatur agama dan dunia (bukan malah diatur-atur atau peraturannya ditentang). Kesimpulannya, konsep al-Mâwardiy tersebut yang tampak normatif-teologis, sebenarnya mengandung fungsi historis yang bersifat temporal dan sosial, yaitu fungsi ideologis: memihak kepentingan khalifah. Selanjutnya, kecenderungan ideologis konsep "imamah" al-Mâwardiy dapat dirasakan ketika dia memberikan nilai "sakral" terhadap lembaga imamah dengan menyebutnya sebagai pengganti fungsi/tugas kenabian, seperti telah disebutkan di muka. Dia juga memberi nilai yang sama kepada pemegangnya: yaitu Imam/khalifah. Mereka dikatakan al-Mâwardiy sebagai "wakil" pemegang "mandat" Allah; mereka diangkat oleh/dengan dan untuk syariat; dan oleh karena itu, syariat juga menuntut agar mereka dipatuhi. Dalam konteks historis seperti di atas, labelisasi syar‘iy (bersifat syariat) dan legitimasi "kesucian" dari pernyataan-pernyataan al-Mâwardiy baik terhadap lembaga kekuasaan maupun pemegangnya tersebut, pastilah merupakan hal yang 164 menjadi keinginan dan harapan khalifah. Terlepas dari substansi makna ayat yang dikutip al-Mâwardiy itu, pemunculan dan penekanan ayat tersebut pada saat itu memiliki relevansi dengan kepentingan khalifah untuk memulihkan kekuasaannya. Ayat tersebut ditunjukkan al-Mâwardiy kepada khalifah, sebagai sumber syar‘iy bagi legalitas hak kepatuhan dan legitimasi kekuasaannya. Implikasinya, al-Mâwardiy dengan sengaja menyembunyikan realitas sejarah kekuasaan-penguasa pada waktu itu dan dalam rentang masa tiga abad sebelumnya yang sangat jauh dari apa yang diteorikannya, sehingga teori alMâwardiy tersebut tampak idealis, bahkan seperti utopis. Al-Mâwardiy tidak melihat secara kritis praktik imamah/khilafah sejak periode itu hingga masa hidupnya yang jelas ada perbedaan signifikan. Sesungguhnya sejak Nabi wafat, “jubah khilâfah” (mahkota kekuasaan) menjadi obyek yang diperdebatkan, diperebutkan, dan bahkan penyebab utama terjadinya “fitnat al-kubrâ”. "Jubah khilâfah" menjadi taruhan pertentangan antar kaum Muslimin di medan pertempuran. Apa yang kemudian terjadi sebenarnya adalah kekuasaan imamah/khilafah ditegakkan di atas kekuatan tentara, modalitas ekonomi, sosial, dan politik: siapa orang yang menguasai dan mampu mengendalikan semua itu, dialah yang berkuasa dan mengabsahkan diri sebagai khalifah, seperti tampak pada proklamasi diri Mu‘âwiyah sebagai khalifah. Maka, labelisasi "kesucian" dan legitimasi al-Mâwardiy terhadap lembaga kekuasaan dan penguasa, sesuai dengan konteks historisnya, adalah justru merupakan salah satu bentuk dari ideologi yang berarti menyembunyikan kebohongan: kebohongan tentang realitas sejarah khilafah yang "kotor" 165 berlumuran darah dan air mata. Kecenderungan ideologis semacam inilah yang ikut andil dalam melanggengkan situasi kekuasaan khalifah yang "tertutup" (mahjûb)304 oleh dinding tebal istana dan keperkasaan tentara/algojo-algojo; kekuasaan yang jauh dari jangkauan rakyat jelata; sehingga melahirkan penguasapenguasa absolut yang tiranik. Labelisasi dan legitimasi al-Mâwardiy terhadap kesakralan dan kesucian lembaga kekuasaan dan penguasa yang tampak sederhana dan dikatakannya secara normatif itu, ternyata membawa implikasi yang lebih jauh lagi terhadap pengembangan teorinya kemudian. Teori politik al-Mâwardiy yang sejak semula menggunakan perspektif kepentingan kekuasaan dan penguasa itu, dalam perkembangannya telah secara nyata berusaha membuat institusi ini menjadi sangat kuat, dan sebaliknya, mengebiri hak-hak kerakyatan dan menyingkirkan rakyat jauh-jauh dari altar istana kekuasaan. Kemudian, dengan cara yang sangat sistematis dan dengan menggunakan teknik-teknik yang diklaim sebagai hal yang bersifat syariat, al-Mâwardiy menteorisasikan mekanisme pengangkatan dan penurunan Imam, tugas-tugasnya, dan hak-haknya. Masalah-masalah ini akan diperiksa lebih mendalam dengan mempertimbangkan implikasi-implikasi ideologisnya. 304 Situasi ini dalam peradaban Arab Pertengahan terkenal dengan istilah hijâb al-khilâfah ["tabir kekuasaan"]. Khalifah ditabiri karena ia merepresentasikan pemusatan kekuasaan yang berbahaya: kekuasaan untuk membunuh. Tabir-tabir khalifah itu berupa dinding-dinding istana yang tinggi dan tebal, tentara pengawal dan algojo yang perkasa, aturan-aturan protokoler dan segala bentuk ritual istana. Sebuah risalah yang banyak memberikan informasi tentang hal ini dan disajikan dalam bentuk cerita anekdot adalah Risalah al-Jâhizh, "Kitâb al-Hijâb", dalam Rasâ' il al-Jâhizh, Kairo: Maktabat al-Khanjiy, 1968, vol. 2, h. 25-86; dan Kitâb al-Tâji fi Akhlâqi al-Mulûk, Beirut: Al-Syarîkah al-Lubnâniyyah li al-Kitâb, tt. Dalam kitab yang kedua ini, al-Jâhizh menyajikan pembahasan panjang mengenai penggunaan tabir khalifah, termasuk situasi di mana ia dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyembunyikan khalifah dari rakyatnya. 166 Jika al-Mâwardiy mengatakan bahwa pendirian lembaga kekuasaan dan pengangkatan Imam adalah wajib secara syariat, maka kewajiban itu hanya didasarkan pada ijmak. Kewajiban itu berbentuk fardu kifayah, seperti kewajiban jihad dan mencari ilmu. Artinya, jika ada orang yang menjalankannya dari orangorang Islam yang berkompeten, maka kewajiban itu gugur atas orang lain.305 Pendasaran kewajiban kepada ijmak tersebut adalah sebagai konsekuensi langsung dari kenihilan dasar-dasar argumentasi yang mewajibkan hal itu di dalam Alquran dan sunah. Ijmak yang dimaksudkan al-Mâwardiy secara khusus mengacu kepada peristiwa pengangkatan Abû Bakr sebagai khalifah pertama. Ijmak dalam konteks ini adalah kesepakatan-kesepakatan politik yang terjadi di kalangan elit Ansar dan Muhajirin dalam hal pemegang tampuk kekuasaan Islam. Peristiwa itu tidak perlu dipaparkan lagi secara rinci di sini, karena selain telah sering disinggung di atas, hal itu sudah lazim diketahui dan selalu ditulis dalam literatur sejarah Islam. Yang paling penting dikatakan di sini adalah bahwa alMâwardiy hanya menerima peristiwa itu apa adanya, dan memanfaatkannya sebagai dasar yang pasti bagi kewajiban pendirian imamah dan pengangkatan Imam. Al-Mâwardiy jelas tidak melihat peristiwa itu secara kritis, misalnya peran Umat secara keseluruhan dalam penentuan suksesi itu. Kecenderungan yang tidak kritis mengenai hal ini tidak hanya dilakukan oleh al-Mâwardiy, tetapi juga dilakukan oleh seluruh yuris Suni yang berusaha menyusun teori politik Islam. 305 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 5 167 Sesungguhnya, kecenderungan demikian telah membawa implikasi ideologis yang sangat jauh terhadap teori politik Islam. Inti dari implikasi itu adalah pengebirian hak-hak rakyat (umat secara keseluruhan) untuk ikut serta dalam proses penentuan hasil suksesi secara khusus, dan pengebirian hak-hak mereka dalam seluruh wilayah politik pada umumnya. Suksesi kekuasaan dan keputusan-keputusan politik yang penting yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, hanya ditentukan oleh segelintir "orang-orang penting" yang ada di lingkaran pusat kekuasaan, dan rakyat hanya diposisikan pada wilayah kepatuhan terhadap apapun yang menjadi hasil keputusan politik dari lingkaran elit itu. Di bawah ini akan ditunjukkan bukti-bukti yang mendukung tesis yang dikemukakan tadi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) kewajiban mengangkat Imam, (2) penetapan persyaratan dewan pemilih dan persyaratan calon Imam, serta mekanisme pengangkatannya, (3) tugas-tugas Imam, (4) mekanisme penurunan Imam, (5) kudeta dan pemberontakan, dan (6) hak kepemimpinan wanita. 1. Nuansa Ideologis Kewajiban Pengangkatan Imam Dalam hal kewajiban mengangkat Imam, Al-Mâwardiy mengatakan: Jika tidak ada seorang pun yang menegakkan imamah, maka kewajiban itu dibebankan kepada dua kelompok: pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilihkan Imam bagi Umat; kedua, adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi menjadi Imam sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu. Adapun orang-orang selain dua kelompok ini tidak berdosa dan tidak bersalah atas penundaan pengangkatan Imam.306 306 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 5-6 168 Teori al-Mâwardiy tersebut patut dipertanyakan: pertama, peristiwa sejarah yang mana dalam pengalaman umat Islam, ketika tidak ada seorang pun yang berusaha menegakkan imamah? Meskipun al-Mâwardiy mengatakan kasus tersebut dengan kalimat pengandaian, pengandaian itu jelas mangada-ada. Karena, tidak pernah ada dalam sejarah Islam pada setiap momen suksesi, terjadi kekosongan kepemimpinan yang disebabkan karena tidak ada orang yang menaruh perhatian pada masalah itu. Justru sebaliknya, setiap orang, terutama para elit yang paling berkompeten, selalu berkompetisi untuk meraih kekuasaan. Ingatlah peristiwa suksesi pertama, ketika Nabi wafat dan bahkan jasadnya saja belum dikebumikan, para elit sudah lebih dulu berkompetisi untuk menentukan penggantinya sebagai Imam baru Islam. Kedua, al-Mâwardiy membahasakan kebutuhan kepemimpinan Islam dengan istilah "kewajiban" (fardu), yang artinya merupakan tanggung jawab yang terkait dengan hak-hak ketuhanan sehingga hal itu terkait dengan hukum dosa/ siksa bagi orang-orang yang mengabaikannya. Sekaligus, dia menganggap proses pengangkatan ’imâm seolah sebagai tanggung jawab yang berat dan besar, sehingga merupakan "kewajiban" yang hanya terkait dengan orang-orang tertentu saja yang dianggap berkompeten. Untuk arti yang pertama, mungkin saja hal itu benar, dan hal itu tidak perlu didiskusikan di sini. Tetapi, benarkah proses pengangkatan Imam hanya soal ' kewajiban'dengan konsekuensinya yang sudah diketahui? Kenapa al-Mâwardiy tidak mendiskusikan masalah ini dari sisi ' hak' semua orang, sehingga konsekuensinya; setiap orang atau umat secara menyeluruh memiliki hak yang sama atas masalah ini? Jika saja al-Mâwardiy mau 169 mendiskusikannya secara demikian, selain ia tidak perlu mengandai-andai, ia akan menaruh perhatian yang besar terhadap hak-hak umat seluruhnya dalam hal suksesi, dan hak-hak mereka dalam relasinya dengan kekuasaan secara menyeluruh. Atau mungkin, al-Mâwardiy justru memaksudkan teori itu sebagai pembatasan hak-hak politik rakyat, dan sebaliknya menekankan bahwa suksesi/politik adalah hak eksklusif orang-orang yang dianggap istimewa (mereka yang berkompetensi saja). Hal terpenting mengenai hak politik rakyat inilah yang justru hilang dari teori imamah al-Mâwardiy. Ini adalah suatu implikasi ideologis yang tak terpikirkan. 2. Nuansa Ideologis Mekanisme Pengangkatan Imam Setelah al-Mâwardiy mengemukakan syarat-syarat kompetensi "dewan pemilih" dan "orang-orang yang memiliki kompetensi menjadi Imam",307 ia mengatakan bahwa mekanisme yang sah untuk mengangkat Imam ada dua cara: (1) dengan cara pemilihan oleh "dewan pemilih", dan atau (2) dengan cara penyerahan mandat dari Imam sebelumnya.308 Teori al-Mâwardiy ini adalah bagian dari konsekuensi karena ia mendasarkannya kepada ijmak. Pada mekanisme yang pertama, al-Mâwardiy hanya mendiskusikan tentang jumlah minimal anggota "dewan pemilih", yang secara keseluruhan dikembalikannya kepada arsip-arsip praktek masa lalu. Ia sama sekali tidak mendiskusikan bagaimana proses pengangkatan "dewan pemilih" di sini, dan justru mendiskusikannya di saat ia mengelaborasi teorinya untuk mekanisme yang 307 308 lihat al-Mâwardiy, Loc. Cit. Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 170 kedua, yaitu bahwa Imam dapat memandatkan kekuasaannya kepada satu orang,309 atau dua orang, atau bahkan lebih310 yang ia pilih untuk memegang jabatan Imam, atau memandatkannya kepada "dewan pemilih" agar bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang jabatan Imam.311 Jelas sekali, al-Mâwardiy tidak menyebutkan mekanisme pemilihan/pengangkatan "dewan pemilih", kecuali ia dipilih/diangkat oleh Imam. Bukankah ini sebuah simalakama? Sebuah situasi yang menggambarkan "jeruk makan jeruk"? Bagaimana ini? Al-Mâwardiy pun mengemukakan dalihnya: Imam adalah orang yang paling berhak atas jabatan kepemimpinan, maka [kepada siapa pun ia memandatkannya, pen.] pilihannya itu lebih dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusannya mengenai hal itu lebih kuat [memiliki kepastian hukum, pen.].312 Apalagi dalam hal jumlah anggota "dewan pemilih", al-Mâwardiy tetap mengakui keabsahan jabatan Imam seandainya pengankatannya hanya dilakukan oleh seorang anggota "dewan pemilih" saja. Untuk hal ini, al-Mâwardiy mengemukakan argumen dengan menceritakan peristiwa pengangkatan ‘Aly bin ’Abî Thâlib sebagai khalifah. Al-Mâwardiy berkata: ‘Abbâs berkata kepada ‘Aly bin ’Abî Thâlib r.a: ' Bentangkanlah tanganmu, aku membaiatmu' . Orang-orang yang mengetahui hal itu, lalu mengatakan: ' Paman Rasulullah s.a.w. telah membaiat anak pamannya, maka tidak ada orang lain yang dapat menentangmu [‘Aly bin ’Abî Thâlib, pen.]. Karena baiat ‘Abbâs adalah sebuah hukum, dan hukum [yang diputuskan, pen.] satu orang adalah sah' .313 309 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 13 311 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10 312 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 313 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 7 310 171 Bagaimana mungkin al-Mâwardiy menteorisasikan hal ini sedemikian rupa? Teori al-Mâwardiy yang menyangkut mekanisme pengangkatan Imam tersebut disebabkan oleh barbagai latar belakang, baik latar belakang metodologis maupun, terutama, latar belakang historis. Dan yang penting, teori itu memiliki implikasi-implikasi ideologis yang tidak dapat diabaikan. Terkait hal itu, akan dikemukakan beberapa tesis sebagai berikut: Pertama, teori-teori Al-Mâwardiy tersebut disebabkan oleh latar belakang metodologi yang dipakainya untuk menetapkan mekanisme pengangkatan Imam, yaitu metode ijmak. Metodologi ini benar-benar telah membatasi al-Mâwardiy untuk mau mengelaborasi teorinya itu. Ia hanya terpaku kepada arsip-arsip masa lalu, dan arsip-arsip ini diperlakukannya sebagai ketentuan-ketentuan pasti dan mengikat yang harus dipakai dan mesti diikuti. Ia tidak mengajukan pemikiran kritis apapun terhadap arsip-arsip itu. Dan, ia juga tidak memikirkan implikasiimplikasi apa pun yang mungkin saja dapat terjadi sebagai akibat langsung dari teorinya itu. Terkait dengan kepentingan ideologis, patut dikatakan bahwa alMâwardiy memang sengaja mendiamkan semua masalah ini. Kedua, teori al-Mâwardiy mengenai syarat-syarat kompetensi yang harus dipenuhi oleh "dewan pemilih" maupun calon Imam, mengindikasikan dengan jelas bahwa al-Mâwardiy bermaksud untuk membatasi kepentingan imamah hanya terkait dengan hak para elit tertentu saja. Rakyat secara umum, tidak memiliki hak dan kompetensi, baik hak memilih Imam, apalagi hak untuk dipilih menjadi Imam. Apapun argumentasi ijmak yang dibangun al-Mâwardiy mengenai hal ini, justru semakin membuktikan bahwa ijmak telah diterapkannya sebagai 172 "hakim" yang membatasi ruang gerak intelektual dan hak-hak politik rakyat. Ada kepentingan apa di balik teori-teori itu? Untuk mengetahui lebih jauh, teori-teori Al-Mâwardiy itu harus diletakkan ke dalam konteks sejarah politik Islam. Tetapi, sekarang belum saatnya membahas kepentingan-kepentingan itu di sini, melainkan nanti pada saat membahas teori kabsahan sistem permandatan. Masih ada satu hal yang penting yang harus dibahas terlebih dahulu sekarang, yang terkait dengan teori al-Mâwardiy mengenai persyaratan yang harus dipenuhi bagi calon Imam. Satu hal penting ini tidak mungkin diabaikan begitu saja. Al-Mâwardiy mengemukakan bahwa persyaratan yang ke-7 bagi seorang calon Imam adalah "ia keturunan dari suku Quraisy, karena adanya nas tentang hal itu dan telah terwujudkannya ijmak ulama tentang masalah itu."314 Terlepas dari klaim al-Mâwardiy mengenai adanya nas dan ijmak tentang masalah itu, yang sebenarnya merupakan masalah kontroversial,315 teori alMâwardiy tersebut harus dilihat dari sisi kepentingannya dalam konteks sejarah politik Islam. Persaingan politik yang telah terjadi sejak Nabi wafat, sebenarnya bukan hanya mengambil bentuk persaingan antar klan (misalnya, persaingan antara 314 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 6 Masalah kontroversial ini, sedikit telah penulis singgung dalam catatan kaki pada bab Pendahuluan. Di sana telah dinyatakan bahwa apa yang disebut al-Mâwardiy sebagai nas mengenai masalah ini adalah pernyataan ’Abû Bakr terhadap kelompok Ansar: "Imam-imam adalah dari orang-orang Quraisy", yang diklaimnya sebagai perkataan Nabi. Dan yang dimaksud al-Mâwardiy dengan pernyataannya bahwa telah ada ijmak mengenai maslah itu adalah penerimaan kelompok Ansar terhadap klaim ’Abû Bakr. Tetapi, ’Ibnu Qutaibah telah menunjukkan bahwa ’Abû Bakr pun tidak begitu yakin mengenai landasan yang pasti tentang siapa yang berhak menjadi Imam setelah Nabi. ’Ibnu Qutaibah menceritakan di antara perkataan Abû Bakr dalam menanggapi aspirasi yang berkembangh di Saqîfah Banî Sâ‘idah: "Seharusnya saya bertanya siapa yang akan menggantikannya dalam kekuasaan politik setelah kematiannya, dan seharusnya saya menanyakan kepada Nabi apakah kaum Anshâr berhak berbagi kekuasaan politik?". Lihat, ’Ibnu Qutaibah, al-’Imâmatu wa al-Siyâsah: Târîkhu al-Khulaf , Mesir: alMuassasatu al-Halabiy wa al-Syarîkah, tt., Jilid I, h. 19 315 173 keturunan Hâsyimiyyah-‘Umâwiyyah), melainkan juga antar suku dan bahkan lintas kerajaan. Apalagi sejak masuknya daerah-daerah non Arab ke dalam teritorial kekuasaan [Arab] Islam. Secara sosio-politis, suku Quraisy khususnya dan bangsa Arab pada umumnya tentu memiliki status tertinggi karena berbagai alasan, antara lain: mereka lebih dulu memeluk Islam dan yang mengenalkannya kepada masyarakat lain; meskipun pendatang, tetapi mereka datang sebagai bangsa “penakluk”.316 Bahkan, eksklusifitas dan hak dominasi bangsa Arab sengaja dilindungi melalui perangkat hukum, sebagaimana hal itu tampak pada pendapat ’Abû Hanîfah317 mengenai hukum jizyah, meskipun al-Mâwardiy tidak sependapat dengannya. ’Abû Hanîfah berkata: “Aku tidak memungut jizyah itu dari orang Arab, agar mereka tidak menjadi hina karena itu”.318 Pada masa hidup al-Mâwardiy, persaingan politik itu semakin kental dan mengambil bentuk yang nyata, yaitu dinasti-dinasti penguasa lokal banyak yang memberontak, baik untuk melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat maupun untuk menguasai pemerintahannya. Mereka adalah dinasti Thâhir di Persia, dinasti Thûlûn dan dinasti Fâthimiyyah di Mesir, dinasti Buwaihiy di Turki, dan lain-lain. Dinasti Buwaihiy-lah yang berhasil menguasai pemerintahan pusat di Bagdad pertama kali, yang kemudian di susul oleh dinasti Fâthimiyyah. Jabatan khalifah, meskipun masih dipegang oleh dinasti ‘Abbâsiyyah yang 316 Hadis-hadis yang menerangkan kelebihan Quraisy dan hak istimewa mereka atas jabatan ’imâm, dikumpulkan oleh Muslim dalam kitab Shahîh pada bab "’Imârah". 317 Salah seorang intelektual Suni yang memiliki otoritas yang sangat tinggi dan dikenal "rasionalis". 318 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 143. Jizyah adalah pajak yang harus dibayar oleh warga non-Muslim kepada penguasa Islam. 174 notabene adalah keturunan Arab-Quraisy, pada saat itu berubah menjadi sebatas simbol kekuasan tunggal dunia Islam. Dalam konteks historis tersebut, terasa sekali nuansa ideologis pendapat al-Mâwardiy mengenai persyaratan Imam harus seorang Quraisy. Dalam konteks awal sejarah khilafah/imamah, persyaratan itu berfungsi sebagai pembenaran dominasi Quraisy terhadap Sahabat Ansar, dan dalam konteks al-Mâwardiy persyaratan itu pun berfungsi yang kurang lebih sama: penolakan terhadap legalitas para pemberontak lokal untuk menduduki jabatan khalifah, dan mempertahankan posisi jabatan itu tetap ada di tangan orang Qurisy (Banî ‘Abbâsiyyah), meskipun sebatas kekuasaan simbolik. Ketiga, teori al-Mâwardiy tentang legalitas sistem permandatan, ia membangun argumentasinya berdasarkan arsip-arsip peristiwa pengangkatan ‘Umar bin Khaththâb dan peristiwa pengangkatan ‘Utsmân bin ‘Affân. AlMâwardiy mengemukakan pendiriannya bahwa pengangkatan seseorang menjadi Imam berdasarkan mandat dari Imam sebelumnya adalah boleh/sah karena hal itu pernah menjadi keputusan ijmak di kalangan kaum Muslimin dan mereka tidak mengingkarinya.319 Pendirian al-Mâwardiy itu didasarkan pada argumentasi seperti di bawah ini: Sesungguhnya ’Abû Bakr memberikan mandat kepemimpinan itu kepada ‘Umar bin Khaththâb, kemudian kaum Muslimin menetapkan kepemimpinan ‘Umar atas dasar mandat itu. Selanjutnya, ‘Umar memberikan mandat kepemimpinannya kepada ' dewan permusyawaratan' , mereka adalah tokoh-tokoh terkenal pada masa itu yang mengesahkan permandatan ‘Umar itu. Bahwa persetujuan ' dewan pemilih'dalam hal permandatan ini tidak diperlukan dan ketidaksetujuan mereka tidak mempengaruhi legalitas mandat yang telah diputuskan. Karena 319 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10 175 pengangkatan ‘Umar oleh ’Abû Bakr tidak tergantung kepada persetujuan para Sahabat yang lain, dan karena Imam adalah orang yang paling berhak atas kepemimpinan itu. Maka keputusan pilihannya adalah yang berlaku, dan keputusannya mengenai hal itu adalah yang paling diakui.320 Pendirian al-Mâwardiy tersebut sepintas tidak ada persoalan, tetapi kesimpulan-kesimpulan hukum yang ditariknya sangat simplistik dan tendensius, serta ia banyak membuang fakta-fakta sejarahnya yang lebih lengkap. ’Ibnu Qutaibah melaporkan dalam bukunya, al-’Imâmah wa al-Siyâsah,321 bahwa ketika tanda-tanda kematian mendekati ’Abû Bakr, dia menjadi sangat cemas tentang siapa yang harus menggantikannya sebagai khalifah. Setelah mempertimbangkan dengan matang, dia kemudian mengangkat ‘Umar bin Khaththâb untuk menggantikannya. Dia pun memanggil ‘Ustmân di samping tempat tidurnya dan memerintahkan kepadanya untuk mengumumkan suksesi. Ketika kabar itu telah menyebar, rakyat datang berduyun-duyun kepada ’Abû Bakr dan mulai mempersoalkan pilihannya itu. Dengan adanya peristiwa tersebut, dia berkata: "Jika Tuhan menanyaiku tentang masalah ini, saya akan mengatakan kepada-Nya bahwa saya telah mengangkat salah satu dari mereka yang saya anggap paling baik." Setelah itu, ’Abû Bakr memerintahkan musyawarah kepada majelis umum rakyat. Ketika mereka telah berkumpul bersama-sama, ia pun mengucap salam kepada mereka dan berpidato bahwa dia telah memilih dari mereka seorang dengan kualitas-kualitas yang sepantasnya, serta berkata: "Jika kalian sedemikian berhasrat, kalian dipersilahkan duduk bersama-sama dan memilih satu orang yang 320 321 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. Seluruh narasi ’Ibnu Qutaibah ini dapat dilihat dalam, ’Ibnu Qutaibah, Op. Cit., h. 19-23. 176 kalian sukai. Namun jika kalian berharap bahwa saya harus menggunakan kebijaksanaan dalam masalah ini, demi kepentingan kalian, maka saya jamin kalian terhadap mereka yang tidak percaya kepada Allah, saya akan mengindahkan tindakan kalian yang terbaik." Dia lalu berhenti dan menangis, kemudian rakyat pun menangisinya dan berkata: "Anda adalah yang terbaik dan paling banyak mengetahui di antara kami, sehingga Anda yang memilihkan bagi kami." Ketika musyawarah dan kerumunan banyak orang itu membubarkan diri, dia kemudia memanggil ‘Umar bin Khaththâb dan memberinya pengumuman suksesi yang berisi mandat kepemimpinan atas dirinya, serta berkata: "Pergilah pada rakyat dan informasikan kepada mereka bahwa ini adalah pendapat saya, dan tanyakan kepada mereka apakah mereka mendengarkan dan mematuhinya."‘Umar menerima dokumen itu dan menyebarluaskan kepada mereka. Mereka semua pun berkata: "Kami semua mendengarkan dan mematuhinya". Kesaksian ’Ibnu Qutaibah ini sangat tegas dan menentukan. Kesaksian ini menolak sama sekali argumentasi al-Mâwardiy. Cukup jelas bahwa Abû Bakr tidak mencabut hak rakyat atas suksesi untuk memilih pemimpin secara bebas. Abû Bakr hanya mengungkapkan pendapat pribadinya dan memberikan contoh kebebasan kepada rakyat. Rakyat boleh menerima atau menolak pandangan dia itu. Tidak ada hambatan politis dalam peristiwa itu yang membatasi hak rakyat, 177 tidak ada keputusan khalifah yang bersifat prerogratif dan absolut untuk melestarikan monopoli atas hak-hak rakyat.322 Argumen al-Mâwardiy yang kedua yang digunakan untuk medukung tesisnya bahwa majelis pemilih terbatas yang dibentuk ‘Umar bin Khaththâb merupakan prosedur yang sah untuk mengangkat ’imâm, tidak dapat terus dipertahankan.323 Karena prosedur yang ditempuh ‘Umar itu terbatas demi menjaga terjadinya pertentangan sipil setelah kematiannya. Dia sepenuhnya tahu bahwa para calon yang dimungkinkan untuk menjadi khalifah adalah orang yang paling baik yang pantas diangkat untuk itu. Dia juga sangat yakin bahwa ‘Ustmân atau ‘Aly adalah orang yang akan dipilih. Karena itu, untuk memfasilitasi pemilihan khalifah baru ini, dia menetapkan satu prosedur yang paling sedikit mengundang kejahatan dan menjamin untuk menghindari terjadinya bentrokan sipil, memilih anggota majelis pemilih terbatas. Karena itu, rencana ‘Umar tersebut ditentukan dengan berbagai pertimbangan yang matang dan bijaksana. Bukti atas penegasan ini adalah bahwa secara kategoris ia mengumumkan kaum Ansar tidak berhak terhadap pembagian apapun mengenai kekuasaan pemerintahan, meskipun Abû Bakr pada masa hidupnya meragukan hal ini, dan sekalipun banyak ahli hukum setelahnya tidak menerima putusan ‘Umar tentang masalah ini. Sebenarnya, ‘Umar bin Khaththâb melakukan langkah yang tidak biasa ini untuk mempertahankan keutuhan umat Islam, dan bukan mempertahankan prosedur prinsip, karena tidak ada prinsip yang jelas mengenai hal ini 322 Qamaruddin Khan, Al-Mâwardiy' s Theory of The State, Lahore: Islamic Book Foundation, 1403 H/1983 M, h. 31 323 Analisis ini berhutang banyak terhadap Qamaruddin Khan. Liaht, Ibid., h. 32-33 178 sebelumnya. Karena itu bangunan teori politik yang keluar dari putusan ‘Umar itu tidak bisa diabsahkan begitu saja secara mengikat dan selamanya, atau dihargai sebagai sebuah prestasi pemikiran politik yang pasti. Argumentasi al-Mâwardiy tersebut hanyalah sebuah upayanya yang serius untuk menafsirkan praktek lama demi mengabsahkan fenomena politik historis yang lebih belakangan. Al-Mâwardiy sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap latar belakang dan tujuan dari keputusan ‘Umar. Sebaliknya, sebagai seorang ahli hukum Suni yang ternama dari mazhab Syâfi‘iy dan yang dekat dengan Khalifah ‘Abbâsiyyah; perhatian utamanya adalah membebaskan khalifah yang Suni dari tirani Buwaihiyah yang Syî‘ah. Karena, teori dan argumentasi alMâwardiy itu adalah stempel yang nyata bagi keabsahan sistem monarki ‘Abbâsiyyah, yang menetapkan sistem itu dengan mengambil preseden sebelumnya dari dinasti ‘Umâwiyyah. Para ahli hukum, termasuk al-Mâwardiy, telah mendamaikan diri mereka sendiri dengan tatanan monarki yang feodalistik saat itu, serta memberinya bentuk dan sanksi dari otoritas agama. Al-Mâwardiy tidak mengalami kesulitan dalam menemukan isyarat dari para pendahulunya, dan dari ide-ide yang telah ada sebelum masa hidupnya. Dengan pembakuan teori prosedur pengangkatan Imam seperti yang dilakukan para yuris hingga al-Mâwardiy tersebut, maka tidak mengherankan ketika Mu’âwiyah (pendiri kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyah) maupun ’Abû Ja‘far al-Manshûr (pendiri kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah) berusaha melanggengkan monopoli kekuasaan dengan mewariskan tahtanya kepada para putranya. 179 Khilafah/imamah yang semula menjadi hak bersama umat, kemudian bergeser menjadi bentuk monarki yang absolut. Khalifah demi khalifah diangkat secara turun temurun sebagai dinasti. Sistem ini berlangsung terus-menerus, sehingga sepanjang sejarah khilafah selalu diwarnai pertentangan antar dinasti yang saling berebut tahta kekuasaan, tanpa mempedulikan apapun suara rakyat. Kenyataan politik itu justru memperoleh legitimasi "sesuai syariat" dari kaum ulama melalui teori tersebut. Dengan demikian, mereka jelas ikut bertanggung jawab dalam proses pelanggengan sistem monarki tersebut dengan menjamin keabsahan pengangkatan khalifah melalui sistem mandat dari khalifah sebelumnya. Dalam kasus mandat kepada putra mahkota, memang ulama berbeda pendapat, dan masing-masing sebenarnya hanya berdasarkan pada pertimbangan rasional/spekulatif belaka. Ada tiga mazhab pendapat dalam masalah ini, seperti disebutkan al-Mâwardiy: Mazhab pertama, Imam tidak boleh melakukan mandat-baiat kepada anak atau orang tuanya sebelum ia melakukan musyawarah dengan ' dewan pemilih'dan mereka setuju atas keputusannya itu. Saat ia mendapatkan persetujuan mereka, saat itu mandat dan baiat yang ia berikan menjadi sah karena tindakan yang ia lakukan itu adalah seperti pengukuhan kompetensi yang berlaku seperti persaksian dan seperti dalam kasus hukum, yaitu seseorang tidak boleh bersaksi bagi orang tuanya atau anaknya dan tidak boleh pula memutuskan hukum bagi salah satunya karena adanya praduga kecenderungan dorongan hati dan keberpihakan. Mazhab kedua, ia boleh memberikan sendiri mandat itu kepada anak dan orang tuanya karena ia adalah pemimpin Umat yang perintahnya wajib dipatuhi, maka hukum kedudukan mengalahkan hukum keturunan dan praduga keberpihakan dan dorongan hati tidak dinilai sebagai pengurang sifat amanahnya dan tidak pula menjadi penentangnya. Dalam tindakan itu, ia seperti memberikan mandat itu kepada selain anak dan orang tuanya. Apakah persetujuan ' dewan pemilih'setelah adanya mandat itu mempunyai kekuatan hukum dalam legalitas jabatan itu bagi Umat atau 180 tidak? Jawabannya adalah seperti yang telah saya katakan sebelumnya, yaitu ada dua bentuk. Mazhab ketiga, Imam boleh memberikan mandat itu sendiri bagi orang tuanya, namun ia tidak boleh melakukannya sendirian kepada anaknya karena tabiat manusia cenderung untuk memihak kepada anak lebih besar daripada kecenderungannya kepada orang tuanya. Oleh karena itu, hasil usaha yang ia dapatkan dalam hidupnya sebagian besar dipersiapkan untuk anaknya, bukan untuk orang tuanya. Adapun pemberian mandat itu kepada saudaranya dan kerabatnya yang dekat, adalah seperti pemberian mandatnya kepada orang jauh yang asing, yaitu boleh melakukannya sendiri.324 Dalam konteks di mana seseorang memiliki kekuasaan yang absolut seperti Mu’âwiyah atau ’Abû Ja‘far al-Manshûr, karena keduanya memperoleh jabatan khalifah setelah sebelumnya memimpin pasukan dan memenangkan pertempuran dengan mengalahkan lawan-lawan politiknya serta menumpas habis, dan naluri dasar manusia adalah ingin mempertahankan apa yang pernah dicapainya melalui pewarisan tahta kepada keturunannya, maka kecil kemungkinan mazhab pertama dan ketiga tersebut di atas akan memperoleh tanggapan dan perhatian dari khalifah yang berkuasa. Mazhab yang justru populer tentu mazhab yang kedua. Kalaupun toh dalam setiap suksesi khalifah mengajak bicara ulama, mereka bukan lagi dalam kapasitas sebagai "dewan pemilih" (’ahl al-halli wa al-‘aqdi), namun sebagai "dewan penasehat" yang rekomendasinya tidak mengikat. Kalaupun saja mereka tetap dianggap sebagai ’ahl al-halli wa al‘aqdi, posisi politik mereka sangat lemah, karena mereka diangkat oleh khalifah. Sebenarnya, sejak Khalifah Mu‘âwiyah mengangkat puteranya menjadi penggantinya, konsep ’ahl al-halli wa al-‘aqd telah kehilangan maknanya, dan ia 324 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 10. 181 hanyalah lembaga simbolis yang terdiri dari kaum ulama terbatas yang dimanfaatkan khalifah untuk memperkuat basis legitimasinya. Sebenarnya, apapun yang mungkin menjadi pertimbangan politik ‘Umar bin Khaththâb ketika ia memutuskan mengangkat majelis pemilih terbatas yang tidak diturunkan dari prinsip umum, tentu saja hal ini membawa implikasi yang sangat berbahaya. Jika hak pengangkatan orang-orang yang berhak memilih dan calon yang akan dipilih diserahkan kepada Imam, maka teori ini telah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi Imam untuk menjadi absolut dan zalim. Al-Mâwardiy dengan jelas menyatakan tidak sependapat dengan pendapat mayoritas ulama Basra (ulama dari kampung halamannya sendiri) yang mengakui bahwa imamah adalah hak kaum Muslimin seluruhnya. Maka, terkait dengan isu legalitas sistem permandatan tadi, al-Mâwardiy menyatakan: Imam adalah orang yang paling berhak atas baiat imamah; maka kepada siapapun imamah itu akan dimandatkannya, ketentuan dan perkataannya lebih menjamin dan terakui.325 Dengan demikian, al-Mâwardiy benar-benar telah membuka peluang selebar-lebarnya dan menjamin legalitas mandat kepemimpinan kepada putera mahkota, dan inilah kenyataan yang terjadi sejak Mu’âwiyah dan terus dilanggengkan. Bahkan al-Mâwardiy mengesahkan pengangkatan dua atau lebih putera mahkota. Dalam hal ini al-Mâwardiy mengemukakan argumen: Rasulullah pernah mengangkat penggantinya untuk memimpin pasukan di Mu‘tah kepada Zaid bin Harîtsah dan berkata: ' jika terjadi suatu musibah, maka terus diganti Ja‘far bin ’Abî Thâlib, dan jika ia terkena musibah, maka dilanjutkan ‘Abdullâh bin Rawâhah, dan jika ia juga terkena musibah, maka orang-orang Islam dapat merelakan seseorang menjadi 325 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 182 pemimpinnya.'Zaid pun maju ke medan pertempuran, ia gugur. Kemudian Ja‘far mengambil komando dan maju, ia pun gugur. Dilanjutkan ‘Abdullâh yang memegang komando, ia juga gugur. Terakhir, orang-orang Islam sepakat memilih Khâlid bin al-Walîd sebagai komandan. Jika Rasulullah melakukan hal itu dalam keamiran (al-’imârah), maka diperbolehkan melakukan hal seperti itu dalam kekhalifahan (al-khlâfah)."326 Penyebutan peristiwa tersebut sebagai acuan untuk mendukung isu diperbolehkannya dua putera mahkota atau lebih, hal itu adalah alasan yang dibuat-buat oleh al-Mâwardiy. Kenyataannya, praktek pengangkatan dua atau lebih putra mahkota ini telah berkembang menjadi kejahatan politik terbesar dalam sejarah pemerintahan Muslim. Ia sering menimbulkan fitnah dan menyebabkan perang internal yang merusak, serta sebagai penyebab berbagai permusuhan dinasti.327 Dan yang lebih penting lagi dikatakan di sini, sebagai konsekuensi dari teori keabsahan permandatan tadi, al-Mâwardiy sama sekali tidak memikirkan cara-cara sebagai sarana yang efektif bagi rakyat untuk berperan aktif dalam politik secara umum, dan khususnya dalam momen setiap suksesi. Padahal, rakyat sangat membutuhkan itu, tetapi mereka selalu ditinggalkan dalam setiap proses politik yang menentukan. Dua ilustrasi berikut ini cukup memberikan gambaran tentang pandangan yang berbeda antara rakyat biasa dan para elit mengenai dinamika kekuasaan. Ilustrasi pertama, dalam sebuah perdebatan yang berlangsung di salah satu masjid Basra, ketika partner ‘Â’isyah yang menggalang dukungan untuk melawan Khalifah ‘Aly bin ’Abî Thâlib diundang masyarakat untuk menjelaskan motif 326 327 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 13 Qamaruddin Khan, Op. Cit. h. 34-35 183 mereka, seorang pemuda yang tidak tergolong kaum elit, mengucapkan sebuah pidato yang menyoroti semua persoalan yang tidak jelas mengenai dinamika Islam yang saat itu dirasakan oleh penduduk awam. Pemuda ini berpidato di masjid Basra, sebuah tindakan yang bisa menghilangkan nyawanya, di hadapan para wakil dan sekutu ‘Â’isyah yang mendorong mereka untuk melakukan subversi, dan mengatakan kepada mereka: Benar bahwa kalian kaum Muhajirin [kelompok imigran yang berasal dari Makkah, pen.] adalah orang-orang yang pertama menanggapi panggilan Rasulullah s.a.w. Kalian memperoleh keistimewaan sebagai seorang Muslim sebelum orang-orang lain. Tetapi kemudian, setiap orang mempunyai keistimewaan tersebut dan setiap orang memeluk Islam. Kemudian setelah Rasulullah wafat, kalian memilih seorang di antara kalian tanpa bermusyawarah dengan kami [rakyat biasa yang bukan bagian dari kelompok elit, pen.]. Setelah kematian khalifah, kalian berkumpul lagi dan mengangkat kembali [khalifah, pen.] yang lain, dan tetap tanpa meminta pendapat kami…….Kalian memilih ‘Ustmân, dan bersumpah setia padanya, juga tanpa bermusyawarah dengan kami. Ketika kalian tidak setuju pada tingkah lakunya, kalian lalu menyatakan perang, juga tanpa berkonsultasi dengan kami. Kalian memutuskan, juga tanpa konsultasi pada kami, untuk memilih ‘Aly bin ’Abî Thâlib dan bersumpah setia padanya. Lalu, apa yang kalian salahkan daripadanya sekarang? Mengapa kalian memutuskan untuk memeranginya? Apakah ia melakukan sesuatu yang patut dicela? Jelaskan pada kami apa yang terjadi. Kami harus yakin jika kami memutuskan untuk terlibat dalam peperangan ini. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kalian berperang?328 Jelas bahwa suara pemuda itu menggambarkan suara rakyat pada umumnya, yang selalu tidak dilibatkan dalam setiap momen suksesi. Meski diam, mereka menyaksikan bahwa suksesi hanya dimonopoli oleh para elit di pusat kekuasaan. Sementara itu, para elit mulai sibuk mendekati mereka jika dukungan 328 Komentar-komentar dalam kurung di dalam kutipan ini berasal dari al-Thabariy, Lihat, [’Abû Ja‘far Muhammad] al-Thabariy, Târîkhu al-’Umami wa al-Mulûk [History of Umams and Kings] , Beirut: Dâru al-Fikr, 1979, vol. 5, h. 179 184 mereka sangat dibutuhkan dalam rangka mencapai kepentingan-kepentingan kekuasaannya. Fenomena seperti ini tidak diperhatikan oleh al-Mâwardiy dalam menyusun teorinya, sebaliknya teorinya mengenai dua prosedur pengangkatan Imam jelas-jelas tidak mengakomodasi hak-hak politik rakyat. Pengacuannya terhadap praktek masa lalu sebagi landasan argumentasi hukumnya, sebenarnya lebih mengarah kepada kepentingan pembenaran status quo khalifah. Ilustrasi kedua, seorang sufi, suatu ketika ia ingin bertanya kepada Khalifah al-Ma’mûn (Khalifah ‘Abbâsiyyah: 198-218/813-833) tentang apa yang dipikirkannya berkenaan dengan tahtanya. Al-Ma’mûn adalah seorang raja yang sangat berkuasa pada masanya. Kemegahan kekuasaan dan kemeriahan perkawinannya dengan Burân mengilhamkan banyak cerita. Namun, di mata sufi itu, khalifah yang tentaranya menggetarkan dunia itu, hanyalah seorang laki-laki sebagaimana laki-laki lainnya; laki-laki yang diberi kekuasaan oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin. Al-Mas‘ûdiy menulis sebuah cerita sebagai berikut: Suatu hari ketika Khalifah sedang mengadakan pertemuan dengan pengurus rumah tangga istana, ‘Aly bin Shâlih muncul dan berkata kepadanya: "Amîrul Mu’minîn, seorang laki-laki berpakaian putih dari bahan yang kasar berada di depan pintu gerbang. Dia minta izin untuk ambil bagian dalam diskusi ini." Saya paham, lanjut Yahya (pencerita, salah seorang saksi peristiwa yang ingat pada peristiwa tersebut dan menceritakannya pada yang lain), laki-laki itu adalah seorang sufi dan saya mau memberi isyarat kepada Khalifah agar tidak mengizinkannya. Namun, Khalifah memerintahkan agar ia dibiarkan masuk. Lalu masuklah seorang laki-laki sambil menyingsingkan jubah dan menenteng sandal. Dia berhenti di ujung karpet dan berkata: "Salam! Semoga rahmat dan berkat dilimpahkan pada Anda sekalian!" Al-Ma’mûn membalas salam. Orang asing itu minta izin mendekat. Khalifah mengizinkan dan mengajak ia duduk. Setelah duduk ia berkata kepada Khalifah: "Apakah kau mengizinkan aku menegurmu?" 185 "Berbicaralah tentang apa yang kau ketahui, untuk itu Allah akan bergembira." Al-Ma’mûn mempersilakannya. Laki-laki itu lalu bertanya: "Apakah kau lebih berhutang kepada umat Islam yang telah mengizinkan kau menduduki tahta ini, atau lebih berhutang kepada kekerasan yang telah kau pergunakan terhadap mereka melalui kekuatan dan kekuasaanmu?" Dengan sadar dan cerdas, Al-Ma’mûn menanggapi pertanyaan itu dengan tepat. Ia menunjukkan hormatnya kepada laki-laki itu yang memiliki keberanian tulus terhadapnya sebagai khalifah yang sangat berkuasa. AlMa’mûn mengatakan: "Aku tidak berhutang kepada umat Islam (ijtimâ' ) atau kepada kekerasan (mughâlabah). Tapi berhutang kepada kenyataan bahwa aku menerima tahta ini dari seorang sultan yang memerintah sebelumnya dengan persetujuan.329 Ironisnya, rakyat justru dibungkam oleh al-Mâwardiy dengan doktrin kepatuhan. Untuk doktrin itu, Al-Mâwardiy mengutip ayat: “Hai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah dan patuhilah Rasul-Nya, dan penguasa urusan di antara kalian….”330 Al-Mâwardiy mengomentari ayat ini dengan mengatakan: Allah SWT mewajibkan kita untuk patuh kepada pemerintah kita. Mereka adalah para pemimpin yang memerintah kita.331 Pengutipan ayat beserta komentar al-Mâwardiy tersebut menyiratkan nuansa ideologis berupa pembelaan dan penguatan terhadap kepentingan kekuasaan/penguasa. Apalagi, al-Mâwardiy jelas-jelas tidak mau mengutip (sengaja menyembunyikan?) satu ayat yang telah didahulukan oleh Allah sebelum ayat kepatuhan itu, yaitu: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya 329 Al-Mas‘ûdiy, Murûj al-Dzahab [Meadows of Gold, pen.], Beirut: Dâru al-Ma‘rifah, 1982, vol. 4, h. 20 330 Q.S. Al-Nisâ’: 59 331 Al-Mâwardiy, Op. Cit., hal. 3 186 Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.332 Pada ayat ini, dengan sangat jelas Allah menuntut, pertama-tama, kepada siapa saja yang memegang kebijakan/hukum yang tidak lain adalah para penguasa agar bertindak adil, baru kemudian memerintahkan orang-orang beriman agar mematuhi mereka. Allah jelas lebih dahulu menuntut keadilan penguasa sebelum menuntut agar mereka dipatuhi. Artinya, keadilan penguasa merupakan prasyarat kepatuhan rakyat terhadap mereka. Dengan demikian, jelas sekali ada upaya alMâwardi untuk menafikan konsep keadilan di dalam teori imamahnya. Padahal, di dalam konsep keadilan inilah tempat satu-satunya bagi penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka yang tidak memegang kekuasaan. 3. Nuansa Ideologis Tugas-tugas Imam Setelah al-Mâwardiy menjelaskan secara panjang lebar teori pengangkatan Imam, ia menyatakan bahwa ada sepuluh tugas-tugas umum yang harus diembannya.333 Di sini perlu disebutkan lagi satu saja dari kesepuluh tugas-tugas pokok Imam yang dikatakan al-Mâwardiy, yaitu tugas yang utama dan disebutnya pertama kali: "Menjaga Agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang telah ditetapkan dan sesuai pemahaman yang disepakati oleh generasi umat Islam terdahulu. Jika muncul pembuat bidah atau pembuat kesesatan, ia berkewajiban menjelaskan argumentasi kebenaran baginya dan menjelaskan pemahaman yang benar 332 Q.S. Al-Nisâ’: 58 Lihat pokok-pokok tugas yang wajib dilaksanakan seorang Imam dalam bab III, tepatnya dalam pembahasan mengenai substansi pemikiran al-Mâwardiy. 333 187 kepadanya, serta menuntunnya sesuai dengan hak-hak dan aturan hukum yang ada, sehingga Agama terjaga dari kerancuan dan pemahaman yang salah."334 Tidak diragukan, ini adalah kewajiban yang paling utama dari seorang Imam di bawah legitimasi syariat. Sayangnya, para petualang dan mereka yang mementingkan diri sendiri sering menggunakan dalih ini untuk kepentingankepentingan politiknya. Perang sipil Islam yang melibatkan pertentangan antara bani ‘Umâwiyyah, bani Hâsyimiyyah dan para pengikut Zubair menggunakan dalih yang seperti ini.335 Ketika ‘Abbâsiyyah berkuasa, mereka menyebut diri sebagai penjaga iman, dan menumpas setiap pertikaian politik atas nama agama, dan mengirim jiwa-jiwa tak berdosa ke tiang gantungan dengan dalih menyelamatkan Islam. Para pengikut ‘Aly bin ’Abî Thâlib selalu mengklaim bahwa mereka adalah satusatunya tempat menyimpan agama, dan Islam aman jika hanya ada di tangan Imâm-imâm mereka. Ketika mereka membangun kekuasaan Fâthimiyyah dan kemudian dinasti Syafawiyyah di Persia, mereka pun memusnahkan lawan-lawan politiknya dengan kekejaman dan pembunuhan yang tak dapat dipikirkan. Penyebutan al-Mâwardiy tentang kewajiban ini adalah sangat efektif dan tepat waktu, karena memberikan peringatan keras kepada dinasti Buwaihiyyah yang mengambil alih kekuasaan khalifah di Bagdad, dan yang telah menampakkan bidah keimanan Syî‘ah. 334 335 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 15-16 Lihat Qamaruddin Khan, Op. Cit., h. 36-37 188 4. Nuansa Ideologis Mekanisme Pemakzulan Imam Al-Mâwardiy menyatakan bahwa Imam dapat diturunkan dari jabatannya, jika ia keluar dari kompetensinya sebagai Imam.336 Dalam hal ini, al-Mâwardiy hanya menyebutkan dan menguraikan kriteriakriteria khalifah yang dapat diturunkan dari jabatannya, yaitu: pertama, jika kredibilitasnya rusak, dan dua, jika terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya. Rusaknya kredibilitas pribadi khalifah dapat terjadi karena ia melakukan perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua macam: ia mengikuti syahwatnya dan mengikuti perkara yang syubhat. Macam yang pertama berkaitan dengan perbuatan tubuh, yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat, dan mengikuti hawa nafsunya. Macam yang kedua adalah berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan takwil terhadap suatu masalah yang syubhat sehingga ia menghasilkan takwil yang menyalahi kebenaran. Kekurangan yang terjadi pada anggota tubuh ada tiga macam: kekurangan pada pancaindra, kekurangan pada anggota tubuh, dan kekurangan dalam melakukan gerakan.337 Jelas bahwa kriteria yang disebutkan al-Mâwardiy tersebut hanya menyangkut cacat fisik dan moral yang bersifat individual. Sedangkan bagi seorang khalifah, selain hal-hal tersebut seharusnya ada kriteria kecacatan yang lebih penting untuk dilihat, yaitu cacat sosial dan politik yang terkait dengan tanggung jawabnya terhadap hak-hak umat. Ini jika al-Mâwardiy mau konsekuen dengan perkataannya sendiri sebelumnya, ketika ia mengatakan: 336 337 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 17 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 189 Jika Imam telah melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah saya sebutkan tadi, yang merupakan hak-hak Umat, maka berarti ia telah melaksanakan hak-hak Allah, baik yang terkait dengan hak-hak mereka maupun kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan.338 Kekurangan khalifah yang semestinya dilihat pertama-tama adalah kekurangan dalam aspek pemenuhannya terhadap hak-hak umat, dan teori alMâwardiy mengenai kecacatan khalifah sehingga ia dapat diturunkan, luput dari kepentingan ini. Selain itu, memang benar bahwa al-Mâwardiy menekankan aspek keadilan seorang Imam terhadap Umat. Tetapi ia tidak cukup serius berbicara tentang hal ini, karena aspek tersebut hanya ditempatkan al-Mâwardiy pada urutan terakhir dari sepuluh tugas pokok yang harus dilakukan Imam. Lebih daripada itu, al-Mâwardiy justru terlalu terobsesi dengan kualitas individual seorang Imam yang harus bersifat amanah seperti nabi,339 sementara itu, ia mengabaikan kenyataan bahwa Imam hanyalah manusia biasa yang diberi kekuasaan oleh orang-orang di sekelilingnya; demikian juga, ia mengabaikan realitas kepemimpinan mereka yang semakin jauh dari kualitas yang ia dambakan. Seandainya al-Mâwardiy konsisten dengan perkataannya tadi tentang hakhak umat, dan ia mau serius membicarakan aspek keadilan Imam, ia akan berupaya untuk memikirkan sistem kontrol yang efektif yang dapat menjamin/memaksa khalifah mau bertindak adil dan bertanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya, daripada ia berbicara mengenai tuntutan moralitas pemimpin secara personal dan ideal. Bukankah seorang pemimpin yang memiliki kualitas moral personal yang jelek dapat menjadi baik dengan adanya 338 339 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. Lihat Al-Mâwardiy, Ibid., h. 16 190 sistem kontrol yang baik? Dan bukankah tidak ada yang bisa menjamin bahwa seorang pemimpin akan selalu baik tanpa adanya sistem kontrol atas kepemimpinannya? Kemudian, di antara kriteria yang disebutkan al-Mâwardiy mengenai seorang Imam yang dapat diturunkan dari jabatannya, atau ia keluar dari kompetensi untuk memegang jabatan tersebut adalah jika terjadi perubahan dalam pribadi Imam. Dalam hal ini ada tiga macam: hilangnya perasaan-perasaan psikis, cacat tubuh, dan hilangnya kemampuan penglihatan.340 Dalam kasus yang pertama dan kedua sudah jelas dan tidak perlu dikomentari. Tetapi kasus yang ketiga perlu dikritisi, karena berhubungan erat dengan diskrusus sejarah politik Islam. Tradisi melumpuhkan penglihatan dengan besi panas untuk menurunkan seseorang dari jabatan Imam atau menghambat langkah lawan untuk menduduki jabatan itu telah menjadi cara yang biasa dilakukan. Kelaziman praktek ini dapat diukur dari kenyataan bahwa kurang lebih dua lusinan Khalifah ‘Abbâsiyyah telah dibuat buta demi untuk menurunkan mereka dari kursi kekhalifahan. Tradisi yang ganjil ini justru mendapatkan sanksi legal dari al-Mâwardiy dengan mengatakan: Hilangnya penglihatan dapat menghalangi seseorang untuk memangku jabatan dan melanjutkan jabatannya. Jika hal itu terjadi pada masa jabatannya, jabatannya itu batal.341 5. Nuansa Ideologis Pengabsahan Kudeta dan Pemberontakan 340 341 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 18 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 191 Al-Mâwardiy mendiskusikan secara rinci tentang kemungkinan-kemungkinan kudeta atau pemberontakan terhadap Imam. Menurut al-Mâwardiy, jika seorang Imam dikudeta oleh salah seorang pembantunya, yang menginginkan semua kekuasaan ada pada dirinya, namun ia tidak menampakkan kemaksiatan dan tidak secara terbuka menentang Imam; maka Imam tetap menempati posisinya dan kekuasaannya tetap sah. Orang yang melakukan kudeta itu harus dilihat perilakunya; jika ia berbuat sesuai dengan hukum-hukum agama dan memenuhi keadilan, ia boleh diakui sebagai pelaksana kebijakan Imam. Hal itu dilakukan agar tindakan kudeta itu tidak mengganggu jalannya pelaksanaan urusan-urusan agama yang dapat membuat kerusakan umat. Jika tindakan-tindakan yang mereka perbuat telah keluar dari rel tuntunan agama dan keadilan, ia tidak boleh diakui dan harus dimintakan pertolongan pihak yang dapat menangkapnya dan menghapuskan hegemoni kekuasaannya.342 Prinsip ini telah dielaborasi al-Mâwardiy dengan ketelitian dan ketajaman hukum yang besar. Prinsip yang tidak memiliki sanksi dalam otoritas lama atau berbagai pendapat para ahli hukum ini, sebenarnya telah didikte oleh jaringan kekuasaan di mana khalifah ‘Abbâsiyyah telah berkuasa selama dua abad sebelum al-Mâwardiy.343 Pemberontakan dinasti Buwaihiy di Bagdad dan jatuhnya kekuasaan khalifah dalam kesia-siaan memerlukan pengembangan formula yang cocok dengan keadaan darurat waktu itu, dan mengakui secara de facto keberadaan hubungan antara dinasti Buwaihiyyah dengan dinasti ‘Abbâsiyyah. Prinsip ini 342 343 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 20 Qamaruddin Khan, Op. Cit., h. 42 192 jelas berasal dari prinsip kekhalifahan yang dikemukakan al-Mâwardiy di bagian awal bukunya. Namun demikian, dia menemukan media untuk mengubah kontradiksi yang mencolok ini.344 Dalam teori tersebut ada pengakuan yang jelas mengenai situasi yang terjadi di Bagdad pada satu sisi, dan ada peringatan yang tidak dapat disembunyikan terhadap dinasti Buwaihiy di sisi yang lain, bahwa jika mereka melampaui batas, maka mereka dapat dihentikan dengan bantuan kekuatan Ghasnâwiyyah sebagai sekutu terbuka Khalifah ‘Abbâsiyyah. Pada bagian di mana al-Mâwardiy mengatakan bahwa jika para pemberontak memperlihatkan kecurigaan dan sikap memberontak, khalifah dapat meminta bantuan seseorang yang dapat membebaskannya dari kesulitan. Orang yang dirujuk itu tidak ada lain adalah Mahmûd al-Ghaznâ. Teori ini telah memberi sumbangan secara langsung terhadap para petualang dan orang-orang ambisius untuk mengedepankan kekuatan secara brutal dan keras yang jauh dari kehendak rakyat.345 6. Nuansa Ideologis Pembatasan Hak Wanita dalam Kepemimpinan Al-Mâwardiy dengan jelas melarang wanita untuk menduduki jabatan-jabatan kepemimpinan. Dalam teorinya, al-Mâwardiy mengemukakan argumentasi syariat yang melarang wanita memegang jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Al-Mâwardiy mengatakan: Jabatan menteri tidak boleh dipegang oleh wanita meskipun beritanya dapat diterima, karena jabatan itu termasuk jabatan yang dilarang untuk diduduki wanita. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. : ' Suatu 344 345 Qamaruddin Khan, Loc. Cit. Qamaruddin Khan, Ibid., h. 43 193 bangsa tidak akan mendapatkan keberuntungan jika mereka menyerahkan urusan negara mereka kepada wanita' .346 Al-Mâwardiy memberikan komentar hadis ini dengan mengatakan: Berlakunya larangan ini karena kemampuan menghasilkan pendapat yang tepat dan ketangguhan sikap tidak dimiliki oleh wanita, serta mereka memiliki banyak kendala untuk mengurusi kepentingan publik.347 Tampak sekali, al-Mâwardiy melihat dan menganggap wanita memiliki kelemahan yang adi-kodrati dan permanen. Pandangan al-Mâwardiy tersebut jelas merupakan bentuk stereotyping, dan memanfaatkan hadis sebagai dasar pembenarannya. Hadis itu memang sangat terkenal dan terdapat dalam kitab kumpulan hadis yang dipandang memiliki otoritas yang tertinggi karya al-Bukhâriy; alJâmi‘ al-Shahîh. Hadis itu diriwayatkan dari Abû Bakrah (w. sekitar 671 M). Hadis tersebut selalu menjadi argumen andalan yang digunakan oleh mereka yang ingin mengucilkan kaum perempuan dari kekuasaan. Hadis yang dikutip al-Mâwardiy tersebut dapat ditemukan juga kutipannya dalam jilid ketiga kitab karya al-‘Asqalâniy (w. 852 H [1372-1449 M]), Huda alSâri: Muqaddimatu Fathu al-Bâriy [The Travellers Guide, Introduction to "The Creator' s Conguest"], yang biasa dikenal dengan Fath al-Bâriy.348 Kitab ini berisi komentar-komentar al-‘Asqalâniy atas hadis-hadis kumpulan al-Bukhâriy yang diklasifikasikan sebagai hadis-hadis otentik setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat dan pemeriksaan balik. 346 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 27 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 348 Hadis yang menjadi perhatian penulis di sini, ditemukan pada halaman 46 volume 13 pada edisi al-Mathba‘atu al-Bahiyyatu al-Mishriyyah (1928), dan pada halaman 166 volume 16 pada edisi Maktabah Musthafâ al-Bâbi al-Halabiy, Mesir (1963). Referensi berikutnya merujuk pada edisi tahun 1928. 347 194 Al-‘Asqalâniy memberikan komentarnya terhadap hadis itu, ia menjelaskan bahwa ’Abû Bakrah adalah seorang Sahabat yang mengenal Rasulullah s.a.w. semasa hidupnya, dan bergaul cukup lama, sehingga memungkinkannya untuk bisa meriwayatkan hadis tersebut di atas. Menurutnya, Rasulullah s.a.w. mengatakan hadis itu setelah mengetahui bahwa bangsa Persia telah menunjuk seorang perempuan untuk memimpin. "Ketika Kisrâ wafat, Rasulullah s.a.w., terdorong oleh rasa ingin mengetahui kabar itu, bertanya: ' Dan, siapa yang telah menggantikannya sebagai pemimpin?' Jawabannya adalah: ' Mereka telah menyerahkan kekuasaan kepada puterinya.' " Saat itulah, kata ’Abû Bakrah, Rasulullah mengemukakan pandangannya tentang perempuan.349 Menurut al-‘Asqalâniy, perkataan Rasulullah itu dikemukakan kembali oleh ’Abû Bakrah pada situasi ketika Khalifah ‘Aly bin ’Abî Thâlib [memerintah 656-661 M] merebut kembali kota Basra, setelah mengalahkan pasukan ‘Â’isyah (istri Nabi) dalam Perang Unta.350 ’Abû Bakrah meriwayatkan hadis tersebut pada saat keadaan ‘Â’isyah sangat kritis. Secara politik ia telah kalah: 13.000 pendukungnya gugur di medan pertempuran.351 Ketika ‘Â’isyah berusaha meminta dukungan dan bantuan kepada ’Abû Bakrah, ia adalah salah satu tokoh terkemuka yang terhormat di kota Basra, ia menyatakan sikapnya: ia bersikap menentang fitnah, namun dengan dalih sebagai berikut: Adalah benar bahwa Anda umm [Ibu, pen.]352 kami; benar bahwa orang semacam Anda memiliki hak atas kami. Tetapi saya mendengar Rasulullah 349 Al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, vol. 13, h. 46 Al-‘Asqalâniy, Loc. Cit. 351 Al-Mas‘ûdiy, Murûj al-Dzahab, Bulaq: Mawqi‘ al-Warrâq, 1866, Vol. 2, h. 380 352 Sesuai Alquran, istri-istri Rasulullah adalah ' Ibu'bagi orang-orang beriman. 350 195 s.a.w. bersabda: ' Barang siapa menyerahkan kekuasaan kepada seorang 353 perempuan, mereka tidak akan pernah sejahtera.' Pernyataan sikap ’Abû Bakrah terhadap ‘Â’isyah yang dalam posisi kalah ini, dapat dibandingkan dengan sikap orang lain dalam posisi yang sama-sama menentang fitnah. Ia adalah ’Abû Mûsâ al-’Asy‘ariy (gubernur Kûfah pada masa pemerintahan Khalifah ‘Aly bin ’Abî Thâlib). Khalifah ‘Aly, sebelum bertolak ke Basra yang menjadi basis gerakan ‘Â’isyah, ia meminta ’Abû Mûsâ agar memobilisasi penduduk Kûfah dan segera mengirimkan pasukan dan persenjataan. ’Abû Mûsâ, tidak saja secara pribadi memilih untuk tidak mematuhi Khalifahnya, bahkan ia merasa berkewajiban untuk "berkonsultasi" dengan masyarakat yang diperintahnya. Ia memutuskan untuk bermusyawarah dengan masyarakat yang diundangnya ke masjid untuk diberi informasi dan bertukar pikiran, seraya menjelaskan kepada mereka tentang pendirian Rasulullah tentang perang saudara. ’Abû Mûsâ menyampaikan kepada mereka sebuah hadis yang mengecam fitnah, dan memerintahkan mereka untuk tidak mematuhi Khalifah ‘Aly, dan tidak perlu menjawab panggilannya untuk bergabung. Baginya, kewajiban seorang Muslim dalam menghadapi fitnah adalah menentang segala bentuk keikutsertaan. Disampaikannya pula beberapa hadis lain di masjid Kûfah, kesemuanya menentang fitnah, menentang perang saudara dengan tegas dan jelas. Ia sama sekali tidak mepermasalahkan jenis kelamin sang pemimpin. Sikap ’Abû Mûsâ tersebut jelas mengandung resiko yang besar bagi pribadinya, karena menentang perintah Khalifah ‘Aly, atasannya. Resiko itu terbukti, karena setelah 353 Al-‘Asqalâniy, Op. Cit., vol. 13, h. 46 196 ‘Aly berhasil mengalahkan ‘Â’isyah, ia memecat ’Abû Mûsâ dari jabatannya. Demi mempertahankan sikap itu, ’Abû Mûsâ kehilangan kedudukan dan kekayaannya.354 Dari analisa itu dapat disimpulkan bahwa pengungkapan hadis tersebut oleh ’Abû Bakrah terindikasi sekedar sebagai dalih pembenaran atas sikapnya dalam rangka mengamankan posisinya. Adapun al-Mâwardiy yang mengemukakan hadis itu dalam al-’Ahkâm alShulthâniyyah, ia sekedar menerima isi hadis itu apa adanya tanpa melakukan analisa historis. Sesungguhnya, hadis itu memiliki pengaruh yang besar terhadap nasib perempuan sejak dikemukakan ’Abû Bakrah sampai dengan sekarang, karena ia menjadi rujukan utama para yuris untuk menentukan hukum yang terkait dengan posisi perempuan dalam posisi sosial-politiknya. Catatan Penutup Analisa Historis Demikianlah analisa historis yang telah dilakukan serta uraian tentang fenomena historisitas isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan fungsinya. Analisa tersebut telah menjelaskan konteks sosial, politik, serta budaya yang melahirkan al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Uraian historisitas juga cukup menjelaskan bagaimana isi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang tampaknya murni teologis, isinya yang menampilkan ketransendenan Khilafah Islam, ternyata memiliki akar-akar dan mengandung fungsi-fungsi yang historis, bahkan ideologis. 354 Thabariy, Târîkhu al-’Umami wa al-Mulûk [History of Umams and Kings] , Beirut: Dâr al-Fikr, 1979, vol. 5, h. 188 197 B. AnalisaMetodologis Pada Bab III telah diperlihatkan cara pandang dan pola-pola pemikiran tertentu yang dipakai al-Mâwardiy untuk merumuskan teorinya. Cara pandang dan polapola itu dimaksudkan sebagai metodologi al-Mâwardiy yang menjadi syaratsyarat "ilmiah" bagi teorinya. Berikut ini akan dilakukan analisa terhadap metodologi al-’Ahkâm alShulthâniyyah. Pembahasan sub bab ini dilakukan dengan penyusunan kerangka sebagai berikut: 1) sistem metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan 2) batasbatas metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan implikasinya. Analisa metodologis dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai wacana etika politik Islam dibentuk berdasarkan cara pandang dan cara berpikir tertentu (kelompok sosial al-Mâwardiy). Al-Mâwardiy dalam analisa ini, posisinya dipandang sebagai individu yang berpikir dengan mengambil bagian dalam pemikiran lebih lanjut yang telah dipikirkan orang lain sebelumnya. Ia berada dalam suatu situasi yang diwariskan dengan pola-pola pemikiran yang sesuai untuk situasi ini dan berusaha menjelaskan lebih lanjut cara-cara menanggapi yang telah ada atau menggantinya dengan cara-cara lain supaya dapat menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari peralihanperalihan dan perubahan-perubahan situasinya secara memadai.355 Cara-cara tertentu yang dipakai al-Mâwardiy untuk menanggapi situasi yang dihadapinya inilah – penulis mendefinisikannya sebagai metodologi yang membentuk isi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah – yang perlu dikonkretkan rumusannya melalui analisa 355 Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, h. 3 198 yang disebut analisa metodologis. Analisa metodologis bukan hanya dimaksudkan untuk mendefinisikan rumusan metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tetapi juga dimaksudkan sebagai upaya mempertimbangkan jangkauan (batasan) metodologi itu, implikasi-ipmlikasinya, serta fungsinya secara historis. Pada momen ini, analisa akan lebih memperkuat fenomena historisitas al-’Ahkâm alShulthâniyyah yang khusus menyangkut aspek metodologinya. Jelasnya, analisa metodologis juga diupayakan untuk mengungkap historisitas metodolgi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Analisa metodologis pada tahap ini, selain didasarkan pada asumsi teoretis di atas, juga didasarkan pada asumsi bahwa al-Mâwardiy sebagai individu sangat terikat dengan kelompoknya. Ia berjuang keras menurut posisi, ciri, dan cara kelompoknya itu untuk mengubah dunia alam sekitarnya dan masyarakat atau berusaha memeliharanya tetap pada kondisi yang telah ada. Padahal di dalam setiap ruang historis, terdapat ragam kelompok dan setiap kelompok memiliki kepentingan yang sama untuk melakukan tindakan seperti itu dan cenderung saling menolak atau menghancurkan (terjadi kompetisi). Maka, analisa metodologis terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah pada tahap ini adalah sebagai upaya mengungkapkan historisitas metodologinya di dalam ruang kontestasi antar sistem pemikiran yang saling berkompetisi untuk meraih kekuasaan sosial. Dengan demikian, tahap ini merupakan momen yang paling penting untuk mengenali bentuk operasi yang terdalam dari hubungan al-’Ahkâm alShulthâniyyah dengan kekuasaan. 199 Akhirnya, analisa metodologis bertujuan menyatakan bahwa setiap pilihan metodologis tertentu dari kelompok tertentu (seperti metodologi al-’Ahkâm alShulthâniyyah) memiliki keterbatasan jangkaun, mengandung implikasi-implikasi, serta fungsi-fungsi ideologis tertentu yang tidak dapat dielakkannya. Pada taraf tertentu, dalam konteks persaingan sosial, pilihan metodologis itu juga menunjukkan ideologi subyeknya. 1. Sitem Metodologi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah. Seperti telah dikemukakan bahwa al-Mâwardiy hidup pada situasi di mana Islam telah merupakan agama yang menyatu dengan kekuasaan, atau dengan kata lain, setelah agama dan kekuasaan memiliki hubungan saling mempengaruhi secara rumit: menjaga Islam adalah tugas kekuasaan, dan kekuasaan adalah kepentingan dari Islam. Teori yang dibangun al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tidak lain adalah teori "negara Islam". Selain gambaran singkat situasi politik tersebut, al-Mâwardiy hidup pada kondisi sosial-budaya ketika kekuasaan negara Islam telah meliputi wilayahwailayah yang didiami oleh bangsa-bangsa bekas jajahan Kerajaan Byzantium Romawi dan Kerajaan Sasanid Persia. Lebih jauh, bahwa al-Mâwardiy sebagai seorang yang terdidik, hidup pada masa kematangan intelektual dan kejayaan peradaban Islam yang bersumber dari kekuatan wahyu dan akal, yang keduanya saling mempengaruhi secara rumit dan bahkan bertentangan/bersitegang. Dari substansi teori al-Mâwardiy di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, khususnya teori ’imâmah, diketahui bahwa fungsi kepemimpinan Islam adalah 200 sebagai pengganti fungsi kepemimpinan Nabi; bahwa ’Iiâm/khalîfah adalah "wakil"/"mandataris" Allah; bahwa wewenang kekuasaannya adalah bersumber dari Allah. Maka dasar-dasar pendiriannya, mekanismenya, dan fungsinya harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Allah. Maka tidak ada cara yang musti ditempuh untuk menegakkan kekusaan dan mengangkat ’imâm, kecuali dengan membangun dasar-dasar kekuasaan dan sumber-sumber legitimasi penguasa dari "material" Kehendak Allah. Kehendak Allah adalah sesuatu yang absolut dan transenden sehingga di luar batas kemampuan akal manusia untuk mengetahuinya. Kehendak Allah atas kehidupan bumi dapat dimengerti manusia melalui perantara seorang nabi. Kehendak Allah mengejawantah pada diri seorang nabi melalui perkataan-perkataan dan tindakan-tindakannya. Dalam konteks Islam, Kehendak Allah dapat diketahui manusia dari wahyu Alquran dan praktek hidup Nabi Muhammad. Maka sumber pengetahuan Islam yang utama adalah Alquran serta perkataan dan praktik hidup Nabi yang disebut sunah/hadis, termasuk pengetahuan tentang kekuasaan dan mekanismenya. Alquran dan sunah Nabi yang tertulis adalah material bagi dasar-dasar kekuasaan Islam dan sumber bagi legitimasi penguasa Islam yang disebut Imam. Tetapi, telah dinyatakan bahwa Alquran tidak mendefinisikan prinsip apa pun dengan jelas tentang lembaga kekuasaan Islam, dan apalagi mekanisme pengorganisasiannya. Para ahli hukum Islam – termasuk al-Mâwardiy – menyadari kenyataan ini dan mereka gagal menemukan materi yang cukup dalam Alquran untuk menyusun teori politik secara rinci. Karena itu, mereka memperluas upaya pencarian material itu dari sunah. Tetapi, upaya mereka yang 201 kedua ini pun mengalami hal yang sama. Mereka tidak menemukan bukti-bukti yang cukup dari sunah, baik bukti yang terbuka atau yang tersembunyi, yang dapat mendukung keinginan mereka untuk menyusun teori kekuasaan Islam. Demi mewujudkan tujuan itu, kemudian mereka memeriksa arsip-arsip sejarah awal Islam. Dan, hanya arsip-arsip sejarah inilah merupakan material yang tersedia untuk penyusunan dasar-dasar kekuasaan Islam, dan hanya pada arsiparsip ini juga letak terdalam sumber legitimasi bagi legalitas mekanisme dan praktek-praktek kekuasaannya. Secara umum, demikianlah cara al-Mâwardiy memikirkan hukum tatanegara dan sistem pemerintahan Islam. Sesuai tuntutan yang terkandung dalam pengertian konsep ' hukum Islam' , al-Mâwardiy membangun pemikirannya dari sudut pandang ilmu fiqh dan menggunakan perangkat pemikiran kefikihan sebagai basis metode keilmiahannya, yaitu ’ushûl al-fiqh yang telah disusun oleh al-Syâfi‘iy. Metode ini bukan saja menjamin ' keilmiahan'pemikiran-pemikiran alMâwardiy melainkan juga memberi legitimasi bahwa hasil-hasil pemikirannya merupakan (bagian) hukum syariat. Dalam rangka itu, al-Mâwardiy mendasarkan pemikirannya kepada ayat-ayat Alquran dan teks-teks hadis – meskipun pada tahap ini ia telah gagal seperti ulama sebelumnya –, kepada perkataan dan pengalaman para Sahabat, kepada praktek hukum yang berlaku dalam pemerintahan dan masyarakat Islam pada masa sebelumnya, dan kepada pendapat-pendapat hukum dari ulama maupun para hakim yang dianggap otoritatif, untuk menarik konklusi darinya. 202 2. Batas-batas Metodologi Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dan Implikasinya Secara umum, metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah memiliki batas-batas, baik bersifat metodis, metodologi epistemis, tersebut beserta maupun ideologis. implikasinya Penelusuran dilakukan melalui batas-batas kerangka pembahasan: (a) batas-batas secara metodis-epistemis, dan (b) batas-batas secara ideologis. a. Batas-batas secara Metodis-Epistemis dan Implikasinya Tanpa harus bersikap a priori terhadap metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, seandainya metodologi itu diapresiasi secara penuh pun, ia memiliki keterbatasanketerbatasan, yaitu "keterbatasan metodis-epistemis pada dirinya". Keterbatasanketerbatasan itu meliputi hal-hal seperti dijelaskan di bawah ini. Pertama, al-Mâwardiy banyak mengutip ayat-ayat Alquran dan teks-teks hadis sebagai dasar-dasar pemikirannya. Namun, setiap kali ia mengutip ayat Alquran atau hadis, ia tidak menyertakan kajian secara mendalam. Sehingga, ayatayat Alquran atau hadis yang dikutipnya itu terkesan hanya berfungsi sebagai "pembingkai", "pembungkus", dan "penyetempel" status konklusi hukum yang ditetapkannya. Melalui pengutipan ayat-ayat Alquran atau hadis yang mengiringi keputusan-keputusan hukum yang ingin ditekankan, al-Mâwardiy seperti ingin menunjukkan bahwa hukum-hukum yang disampaikannya bersifat syariat atau sesuai dengan Kehendak (Ketentuan) Allah dan Rasul-Nya. Padahal, lebih banyak ayat Alquran atau hadis yang dia kutip tidak memiliki relevansi (munâsabah) yang kuat dengan masalah atau kasus yang sedang dibicarakannya, atau ayat 203 Alquran dan hadis itu tidak cukup kuat dijadikan sebagai landasan (dalîl) bagi bangunan hukumnya. Dalam "bahasa" ’ushûl al-fiqh kecenderungan al-Mâwardiy itu disebut kelemahan dalam ber-’istidlâl. Sebagai gambaran, akan diperlihatkan beberapa contoh sebagai berikut: Contoh 1: al-Mâwardiy mengatakan: "Allah s.w.t. mewajibkan kita patuh kepada penguasa urusan yang ada pada kita. Mereka adalah para pemimpin yang memerintah atas kita."356 Dalam konteks perkataan itu, hukum yang ingin ditekankan oleh alMâwardiy adalah kewajiban patuh kepada pemerintah. Dalam rangka maksud itu, al-Mâwardiy memakai dasar argumentasi ayat Alquran: "Hai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, Rasul-Nya, dan penguasa urusan di antara kamu……."357 Bahkan ia juga mengemukakan hadis: Setelah masaku, kalian akan dikuasai oleh berbagai macam penguasa. Penguasa yang baik akan memimpin dengan kebaikannya, dan penguasa yang jahat akan memimpin kalian dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah [perintahnya, pen.] dan patuhilah [mereka, pen.] dalam segala hal yang mencocoki kebenaran. Jika mereka memimpin dengan baik, maka manfaatnya bagi kalian dan mereka. Dan jika mereka memimpin dengan buruk, maka manfaatnya bagi kalian, sedangkan keburukannya bagi mereka.358 Sebagai orang yang ahli fikih, al-Mâwardiy [tentu] juga ahli Tafsir dan ahli hadis. Tetapi sama sekali dia tidak mengalaborasi ayat kutipannya itu serta tidak meneliti status hadisnya. 356 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 5 Q.S. Al-Nisâ’ (4): 59 358 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 5 357 204 Contoh 2: al-Mâwardiy mengatakan bahwa jabatan khalifah dan perdana menteri, masing-masing tidak boleh diduduki oleh dua orang.359 Perkataannya itu didasarkan pada ayat: "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa….."360 Berdasarkan prinsip ilmu ’ushûl al-fiqh (metodologi fikih), bagaimana mungkin al-Mâwardiy menganalogikan khalifah-perdana menteri dengan Tuhan? Adakah "titik temu" (jâmi‘) sebagai "alasan" (' ilah) sehingga kedua hal yang esensinya berbeda itu dapat dipersamakan (tasybîh) dalam rangka kias? Contoh 3: al-Mâwardiy mengatakan: "Seorang panglima perang wajib mengangkat ketua regu dan perwakilan pasukan."361 Dasar yang digunakannya berupa ayat: "…..dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…."362 Apa relevansi tugas panglima mengangkat komandan pasukan dengan "Kreasi" Allah membuat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku? Tanpa pendasaran kepada ayat tersebut, nalar manusia seperti apa yang membenarkan' seorang panglima memimpin puluhan bahkan ratusan ribu pasukan sendirian? Contoh 4: al-Mâwardiy menjelaskan salah satu aturan yang harus dijalankan panglima perang, yaitu: "Tidak memberikan kesempatan dan izin kepada seorang pun dari tentaranya untuk sibuk berdagang atau bercocok tanam".363 Aturan ini di dasarkannya kepada sabda Nabi: 359 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 27 Q.S. Al-Anbiyâ’ (21):22, dan al-Mâwardiy, Loc. Cit. 361 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 36 362 Q.S. Al-Hujurât (49): 13 363 Al-Mâwardiy, Op. Cit., h. 44 360 205 Aku diutus untuk membawa aturan dan rahmat, bukan untuk menjadi pedagang atau petani. Golongan yang paling buruk dari Umat ini adalah para pedagang dan para petani kecuali orang yang amat menjaga tuntunan agamanya.364 Bahwa seorang tentara sebagai pegawai negara yang telah digaji oleh pemerintah dengan uang perbendaharaan negara, sudah seharusnya ia bertanggung jawab dengan tugas-tugas negara yang diberikan oleh pemerintah kepadanya. Tugas seorang tentara adalah selalu menyiapkan dirinya untuk menjaga keamanan negara, bukan malah berdagang atau bertani, ini jelas. Tetapi, apa hubungannya hadis yang dikutip al-Mâwardiy tersebut dengan soal tugas tentara? Juga, apa manfaatnya itu dikemukakan? Terlepas dari masalah mata rantai (sanad) atau kritik yang dapat diterapkan kepada substansi (matn) hadis tersebut, ia memiliki konteks (’asbâb al-wurûd) tersendiri yang tidak dapat secara serta-merta diterapkan kepada suatu kasus dalam konteks yang lain (seperti yang dilakukan al-Mâwardiy). Dan, obyek stressing (maudhû) hadis di atas bukan pada jenis pekerjaan: berdagang, bertani, atau yang lain, tetapi kepada bagaimana (etika) seseorang melakukan pekerjaannya. Jika masalah kecenderungan metodologi al-Mâwardiy ini dikembalikan ke dalam konteks riwayat hidupnya dan kemajuan pengetahuan pada waktu itu yang telah meliputi banyak bidang keilmuan, khususnya ilmu bahasa, filsafat, dan khususnya ilmu pengetahuan agama; al-Mâwardiy tidak kekurangan modal intelektual untuk melakukan telaah secara mendalam atas masalah-masalah yang dipikirkannya jika harus dikaitkan dengan ayat-ayat Alquran dan hadis untuk 364 Al-Mâwardiy, Loc. Cit. 206 menetapkan (konklusi) hukum darinya. Kenapa al-Mâwardiy tidak melakukan hal itu? Jawabannya, mungkin ia tidak cukup kesempatan atau, mungkin ini alasan yang agak lebih jelas, ia memaksudkan pemikiran-pemikiran hukumnya dapat diketahui dengan mudah oleh penguasa/pejabat sebagai jaminan hukum (legitiamasi) kekuasaannya dan pedoman dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Karena al-Mâwardiy tidak melakukan elaborasi kajiannya terhadap ayatayat Alquran dan hadis yang dikutipnya, hal ini membawa implikasi terhadap pemikiran-pemikirannya yang tidak mendalam. Dalam melakukan proses ijtihad, premis-perimis (muqaddimât) yang diajukannya sangat lemah, sehingga menghasilkan konklusi (natîjah) yang juga lemah. Kedangkalan itu membawa implikasi yang lebih jauh, yaitu al-Mâwardiy membicarakan hukum-politik Islam secara normatif dan simbolis, dan pada saat yang sama ia mengabaikan fenomena politik Islam/praktek-praktek kekuasaan yang riil. Dengan kata lain, al-Mâwardiy terlalu memaksakan dirinya berbicara tentang bagaimana “seharusnya” politik yang “Islami” menurut Alquran dan hadis tanpa mau mengakui bahwa sedikit sekali (bahkan mungkin nihil) simbol-simbol (dalîl zhâhir) yang dapat diperoleh dari kedua sumber syariat itu. Kedua, bahwa dalam rangka menjamin interaksi antara negara dengan hukum syariat atau menyediakan sistem konstitusional yang lebih lengkap dan praktis, al-Mâwardiy mengemukakan berbagai produk hukum yang dikatakannya bersumber dari ijmak. Bahkan, dasar ijmak, yang hakikatnya adalah perkataanperkataan dan praktek-praktek para Sahabat senior (khulafâ’u al-râsyidûn) dan Sahabat lain di sekitar mereka, adalah yang mendasari seluruh bangunan teori al- 207 Mâwardiy, khususnya tentang sistem kekuasaan Islam (imamah). Pendasaran teori imamah al-Mâwardiy hanya kepada ijmak, hal ini mengandung dua kemungkinan alasan; (1) karena terkait erat dengan keinginan al-Mâwardiy untuk menjamin "otentisitas" praktik politik Islam awal dan menjaga sejarah ‘kemurnian’-nya; dan (2) karena memang hanya ijmak-lah sumber terdalam yang dapat ditemukan untuk membangun teorinya. Seberapa pun nilai penting metodologi/konsep ijmak bagi umat Islam, ia diaplikasikan al-Mâwardiy tanpa kritik kesejarahan. Al-Mâwardiy dengan jelas melanggengkan metodologi ijmak dalam wilayah pemikiran politik, tanpa mau membongkar kekuatan-kekuatan atau faktor-faktor sejarah yang menjadi latar belakang sebuah peristiwa [politik] sehingga menjadi produk keputusan yang disepakati. Setiap al-Mâwardiy mengatakan bahwa suatu hukum berdasar ijmak, ia selalu tidak menyertakan analisis motif-motif di belakangnya, lebih-lebih ia tidak melakukan kritik apapun terhadap konsep ijmak melainkan hanya mengaplikasikannya saja. Sesungguhnya, di bawah ketentuan konsep ijmak serta timbunan produk-produk hukum yang bersumber dari itulah teori politik Islam menjadi tidak mampu menyelesaikan problem-problem politik yang dihadapi sejak semula hingga sekarang. Konsep ijmak sebenarnya lahir dari faktor-faktor sejarah, dan pada saat yang sama terikat dengan keterbatasan kesejarahannya. Tetapi, ketika ijmak telah diperlakukan sebagai bagian dari metodologi syariat dan produk-produk hukum darinya ditetapkan sebagai hukum syariat, ia dianggap sebagai dogma-dogma keislaman yang harus berfungsi di segala tempat dan waktu. 208 Ketiga, metodologi lain yang digunakan al-Mâwardiy adalah deskripsi sejarah praktek hukum dan administrasi dalam Islam sebagai bagian dari aplikasi konsep ijmak yang sekaligus pintu masuk penerapan konsep kias. Dalam hal ini, al-Mâwardiy banyak berjasa mengumpulkan pendapat para ahli hukum di berbagai wilayah kekuasaan Islam dan menyajikan data-data penting mengenai pengaruh Persia dan Romawi dalam pengembangan sistem administrasi pemerintahan Islam. Para ahli hukum yang pendapatnya banyak dikutip alMâwardiy adalah empat ulama mujtahid yang memiliki otoritas tertinggi dalam kelompok Suni: Mâlik bin ’Anas, ’Abû Hanîfah, al-Syâfi‘iy, dan ’Ahmad bin Hanbal. Al-Mâwardiy sangat toleran terhadap perbedaan pendangan di kalangan madzhab Suni, tetapi tidak satupun pendapat dari otoritas Syî‘ah atau Khawârij yang dijadikannya sebagai bahan pertimbangan untuk menarik konklusi. Keempat, al-Mâwardiy memang banyak mengemukakan pendapatnya sendiri terhadap kasus-kasus yang dikemukakannya berdasarkan penalaran bebas sebagai klimaks dari aplikasi konsep kias. Bahkan, metode ini dipergunakannya lebih banyak daripada metode-metode yang lain. Sampai di sini, dapat diajukan sebuah pertanyaan: mengapa sejak di awal tulisan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, alMâwardiy menolak secara argumentatif terhadap kecenderungan pemikiran rasional tentang etika politik/negara? Ketika sebagian orang (kaum Muktazilah) mencoba melakukan rasionalisasi atas etika politik Islam, al-Mâwardiy mengatakan bahwa politik Islam harus berdasarkan pada hukum-hukum syariat, tetapi kenyataannya, apa yang dikatakan al-Mâwardiy tentang etika politik syariat 209 adalah kebanyakan merupakan hasil dari rasionalisasinya sendiri yang dikalim sebagai sesuatu yang bersifat syariat. b. Batas-batas secara Ideologis dan Implikasinya Dengan mengacu sepenuhnya kepada keterbatasan-keterbatasan metodologi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah secara metodis-epistemis, dapat dijelaskan keterbatasanketerbatasannya secara ideologis. Pertama, keseluruhan sistem metodolgi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah cukup menjelaskan posisi ideologinya, bahwa sistem metodologi itu adalah khas tradisi pemikiran Suni, di mana al-Mâwardiy "tenggelam" atau "menenggelamkan dirinya" ke dalam tradisi itu. Kedua, dalam konteks "kompetisi" antar tradisi, sistem metodologi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah itu juga menjelaskan bahwa secara ideologis ia "bertanding" dengan metodologi Muktazilah yang lebih cenderung "rasionalis murni" dan Khawârij yang lebih cenderung "literalis murni". Muktazilah adalah kelompok yang mengedepankan "rasionalitas bebas" dalam memahami agama dan negara, dan Khawârij lebih berkecenderungan terpaku kepada "teks lahir" yang dipadukan dengan "kebebasan bertindak" (free in action). Khusus mengenai Muktazilah, pandangan rasionalnya sebenarnya merupakan modal yang baik bagi Islam untuk memikirkan problem-problem politik mengalihkan persoalan-persoalan politik pada mereka. Muktazilah tingkat filosofis. Dengan memperkenalkan akal ke pentas politik, Muktazilah memaksa umat Islam membayangkan hubungan-hubungan baru antara penguasa dan yang dikuasai, 210 yang memberi peran kepada semua orang beriman untuk aktif bermain di wilayah politik. Politik tidak lagi hanya merupakan "duel" antara dua pelaku: Imam dan pemimpin pemberontak (Khawârij). Tapi harus ada unsur ketiga yakni semua orang mukmin yang mampu berfikir. Tetapi, sejak Muktazilah menjadi "kuda tunggangan" kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah periode awal, ia menjadi bagian dari kekuasaan yang despotis. Dominasi teologis dan politis Muktazilah pun terdesak oleh Suni. Ketiga, setiap sistem metodologi – termasuk sistem metodologi Suni yang dipakai al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah – adalah ' inti terdalam' keyakinan-keyakinan, tradisi-tradisi, ritus-ritus, dan basis paling kuat bagi bangunan atau jalinan solidaritas sosial. Timbul-tenggelamnya sebuah sistem metodologi sebagai "inti sistem nilai", ia tidak hanya bergantung kepada "kekuatan sistem dalamnya/sistem pada dirinya" melainkan lebih bergantung kepada seberapa kuat kekuasaan [politik] menginginkannya. Demikian juga, timbul-tenggelamnya sebuah kekuasaan [politik], ia bukan sekedar bergantung kepada kekuatan ekonomi dan tentara yang ada pada dirinya, melainkan ia juga sangat ditentukan oleh seberapa besar kekuatan sosial yang terikat dalam satu solidaritas ada bersamanya. Dalam konteks ini, sistem metodologi merupakan wilayah "pusaran", tempat berpadunya kepentingan pengetahuan-kekuasaan, identitas-eksistensi. Di atas semua analisa keterbatasan metodologis tersebut, keempat, tempat teori politik Islam al-Mâwardiy berada pada konteks sejarah ketika Islam tampil sebagai kekuasaan-agama dan agama-kekuasaan. Al-Mâwardiy sama sekali tidak 211 mengelaborasi sejarah Islam secara keseluruhan sejak masa pendiriannya di Mekkah dan masa pembentukannya di Madinah. Dan dengan demikian, teori politik al-Mâwardiy tidak lahir dari refleksi kesejarahan Islam melainkan sekedar idealisasi tentang apa yang disebutnya sebagai politik Islam dan berkutat dalam lokus "Islam politik". Maka, al-Mâwardiy sebagai salah seorang ahli hukum syariat memandang negara sebagai pengejawantahan kekuasaan Allah di bumi, dan karena itu, ia memandangnya dari "atas", yaitu bertolak dari ajaran-ajaran dasar ideal dan ketetapan-ketetapan wahyu secara simbolik. Implikasinya, hukum berarti hukum Allah, Pemberi Hukum Pertama, maupun dari kalangan yang memegang kekuasaan (penguasa ataupun ulama). Untuk menjamin dan mencukupi keharusan keyakinan itu, al-Mâwardiy memanfaatkan perangkat intelektual berupa teknikteknik konklusi (’istinbâth) yang telah tersedia pada zamannya dalam upaya menghasilkan hukum-hukum cabang dari dasar-dasarnya secara teologis, sehingga hukum-hukum itu terkesan bersifat ketuhanan, yang benar, dan yang sempurna. Al-Mâwardiy tidak memikirkan dampak-dampak dari sikap pemahaman dan model ’istinbâth yang ia gunakan terhadap taruhan-taruhan arti politik-negara bagi rakyat/umat, melainkan justru melancarkan dan melanggengkan dominasi kekuasaan negara atas rakyat secara hegemonik: kekuasaan berdiri "atas nama Tuhan", di praktekkan dengan "cara-cara ketuhanan", dan demi Tuhan. Demikian juga, metodologi itu benar-benar berfungsi sebagai sarana transendensi, serta sebagai benteng perlindungan paling dasar untuk membangun identitas dan kekuatan kelompok secara sektarian. 212 Catatan Penutup Analisa Metodologis Uraian di atas cukup memberi gambaran bagaimana perspektif kritik sejarah Foucauldian telah berperan menampilkan cara berpikir al-Mâwardiy yang membentuk al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, yaitu cara berpikir ortodoksi yang bersifat teologis (fiqhiy), cara berpikir yang sesuai dengan tuntutan epistèmè Islam ortodoks. Kajian terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah mesti mempertimbangkan dua aspek tersebut, karena keduanya merupakan dasar yang membentuk isi al’Ahkâm al-Shulthâniyyah seluruhnya serta mengarahkan fungsinya. Meskipun merupakan kritik, kritik sejarah ini merupakan salah satu stretegi untuk memandang al-Mâwardiy dan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah secara lebih adil dan proporsional. Karena, sesuai dengan perspektif sosiologi-arkeologi pengetahuan, cara yang lebih memungkinkan melihat keduanya adalah dengan mempertimbangkan cara-cara berpikir dan epistème yang membentuknya, sehingga diperoleh pemahaman bahwa apapun yang dipikirkan/dikatkan alMâwardiy memiliki relevansi dengan konteks historis serta cara berpikir yang diinginkan oleh epistème sosialnya. C. AnalisaMitis Analisa mitis yang diterapkan terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah semacam upaya "pembebasan" dari wibawanya yang sangat besar sebagai teks "agung". Kewibawaan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bukan saja karena ia ditulis oleh seorang intelektual sekaliber al-Mâwardiy, atas permintaan Khalifah alQâ’im, melainkan juga karena pemikiran-pemikiran al-Mâwardiy di dalamnya 213 dibangun berdasarkan kerangka/metode berpikir teologis yang “suci”, diungkapkan dengan bahasa hukum “penjaga kesucian” dan difungsikan sebagai kitab pedoman bagi khalifah/undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat Islam. Tetapi sebenarnya wibawa inilah yang menjadi tabir tentang hakikat material teori etika politik Islam al-Mâwardiy, yaitu hakikat keberadaannya yang dipikirkan/ditulis oleh manusia yang terikat dengan faktorfaktor kesejarahannya. Analisa mitis dapat membantu untuk membuat jarak dengan "keagungan" dogma-dogma yang diwariskan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, yang seolah-olah di luar sejarah atau di luar masa, maupun yang seolah-olah bersih dari kepentingan ideologis. Dengan demikian, analisa mitis ini berarti menempatkan "keagungan" dan "wibawa" al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sesuatu yang bersifat mitis atau menampilkan bentuk-bentuk mitos. Lalu apa arti "mitos" dalam kaitannya dengan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah? Konsep "mitos" dalam hal ini dimengerti bukan sebagai "cerita yang tidak benar; cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis",365 bukan seperti kata ’usthûrah [jamak: ’asâthîr] yang digunakan Alquran untuk dongeng dan khayalan palsu yang dihubungkan dengan "fabel-fabel orang-orang dahulu kala",366 dan ’asâthîr ini berlawanan dengan "kisah-kisah benar" (qashash alhaqq367 atau ahsan al-qashash368) yang diceritakan Alquran. Konsep "mitos" dalam hal ini, sebagaimana diterapkan pada antropologi kontemporer, justru 365 Mitos (berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita) biasanya dipakai untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Lihat St. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 103. 366 Lihat Q.S. Al-’An‘âm (6): 25; al-’Anfâl (8): 31, 84; al-Naml (27): 68; al-Nahl (16): 24; al’Ahqâf (46): 17; dan Nûn/al-Qalam (68): 15. 367 Lihat Q.S. ’Âlu ‘Imrân (3): 62 368 Lihat Q.S. Yûsuf (12): 3 214 dihubungkan dengan qashas daripada ’asâthîr, yaitu cara bagaimana manusia menyusun suatu strategi, mengatur hubungan daya-daya kekuatannya dan dayadaya kekuatan alam. Konsep "mitos" dimengerti sebagai pola-pola, kaidah-kaidah, dan modal kemungkinan-kemungkinan manusiawi dalam semua lingkungan kebudayaan, sekalipun tidak nampak. Dalam setiap lingkungan kebudayaan perilaku manusia diatur oleh pola-pola semacam itu (bakat atau kemungkinan untuk merumuskan kaidah-kaidah). Dan perlu digarisbawahi, kebudayaan yang satu tidak lebih derajatnya daripada kebudayaan yang lain.369 Mengacu kepada batasan pengertian tersebut, maka definisi-definisi, konsep-konsep, cara-cara berpikir, dan fungsi-fungsi semua itu yang mengatur pemikiran al-Mâwardiy di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah mitos. Mitos-mitos dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah telah cukup dijelaskan bentukbentuk materialnya secara kongkrit pada analisa terdahulu dan pada saat penulis menafsirkannya secara sinkronis. Tugas berikut ini adalah menganalisa mitosmitos itu melalui analisa mitis, yaitu memahami mitos-mitos itu secara diakronis yang terkait dengan sejarah dan masyarakat yang melahirkannya. Memahami mitos-mitos secara diakronis dalam konteks tersebut berarti mengamati macammacam kepentingan yang memberikan bentuk pada cara (mitos) di mana worldview370 ditetapkan dan diadaptasikan oleh al-Mâwardiy dengan kehidupan seharihari. Maka, analisa mitis ini lebih berarti kritik atas kepentingan (ideologi) yang di bawa oleh mitos-mitos al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dengan pendekatan semiotis. 369 370 C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1994, h. 36-7. Dalam batasan pengertian Max Weber 215 Secara semiotik dapat dikatakan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah telah mentransformasikan konsep-konsep dasar tertentu dari Alquran maupun sunah Nabi. Artinya, al-Mâwardiy telah menghadirkan beberapa konsep di dalam al’Ahkâm al-Shulthâniyyah dengan makna-makna yang baru atau berbeda dengan makna-makna ketika konsep-konsep itu berlaku pada masa Nabi masih hidup (masa pendirian Islam). Analisa mitis dimaksudkan untuk melihat perubahan makna konsep-konsep dasar tertentu dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Maka, hal ini meniscayakan pengkajian konsep-konsep dasar secara sinkronis (kajian makna konsep sesuai konteks awal kemunculannya), dan juga secara diakronis, yaitu kajian terhadap perubahan-perubahan maknanya, terutama sampai pada masa hidup al-Mâwardiy. Kajian konsep "kepatuhan" dan "kewenangan" secara sinkronis-diakronis, misalnya, berarti kajian mengenai sejarah perubahan makna konsep-konsep tersebut. Ketika berbicara mengenai etika politik Islam, jelas bahwa hal itu sesungguhnya memaksa untuk kembali ke Jazirah Arab pada Abad ketujuh masehi sejak turunnya wahyu Alquran: yaitu masa kenabian dan masa pendirian Islam, sampai masa terbentuknya negara Islam dan teologi Islam yang mengkristal hingga abad kesepuluh masehi. Secara umum dikatakan bahwa ada "perbedaan makna" konsep-konsep dasar mengenai Islam dan politik dalam rentang masa tersebut. Untuk mendekati permasalahan tersebut perlu ditetapkan obyek analisa berupa fenomena-fenomena pemitosan yang ada, eksplisit maupun implisit dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Fenomena-fenomena tersebut dapat saja berupa 216 konsep, sistem berpikir yang melahirkan konsep, maupun fungsi-fungsi dari keduanya. Terkait dengan hal itu, dalam sub bab ini akan dilakukan analisa mitis dengan kerangka pembahasan: 1) konsep inti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan sistem mitisnya; 2) Sistem berpikir al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan sistem mitisnya; dan 3) fungsi-fungsi mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. 1. Konsep Inti Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dan Sistem Mitisnya Di antara konsep-konsep inti di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang bersifat mitis, terdapat konsep "kepatuhan" (al-thâ‘at), "penguasa" (’uly al-’amr), dan "rakyat" (al-’ummat) Di sini hanya akan dilihat makna konsep "kepatuhan", karena ia merupakan konsep kunci dalam seluruh bangunan teori al-Mâwardiy dan pemikiran etika politik Islam yang lain, dan karena dengan membicarakan konsep "kepatuhan" saja kedua konsep yang lain tercakup di dalamnya. "Kepatuhan" adalah sebuah kualitas tindakan "kepasrahan" (al-taslîm): penyerahan hak "kebebasan" oleh siapa dan kepada siapa. Alquran menegaskan: “Hai orang-orang beriman, patuhilah Allah, Rasul-Nya, dan penguasa urusan di antara kalian”.371 Dalam konteks khusus, ayat tersebut turun sebagai ' perintah' Allah kepada orang-orang beriman (para pengikut Muhammad) agar patuh, selain kepada Allah dan Rasul-Nya, juga patuh kepada seseorang yang diberi mandat oleh Rasul untuk menjalankan tugas kepemimpinan menggantikannya. Dari berbagai riwayat, orang yang diberi mandat tugas itu adalah: ‘Abdullâh bin 371 Q.S: Al-Nisâ’, 59 217 Hudzâfah bin Qais al-Sahmiy, atau ‘Ammâr bin Yâsir, atau Khâlid bin Walîd, untuk memimpin ekspedisi militer. Kenapa Allah memerintah kepada orang-orang beriman agar mematuhi tiga aktan sebagaimana tersebut pada ayat di atas? Inti misi kenabian Muhammad [juga nabi-nabi lain] adalah mengajak manusia kepada ’islâm ("penyerahan"). Orang yang mengaku beriman kepada misi kenabian Muhammad adalah orang yang "berserah diri" kepada Kehendak Allah Yang Mengejawantah ke dalam kehendak Muhammad sebagai rasul-Nya, dan disebut al-muslim [jamak: al-muslimûn]. "Penyerahan diri" itu dinyatakan secara lisan dalam bentuk "kesaksian" (al-syahâdah): pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan dan Muhammad adalah Rasul-Nya, serta diaplikasikan melalui tindakan "kepatuhan" terhadap perintah dan larangan Allah yang disampaikan melalui lidah Rasul-Nya. Sejarah telah mencatat bagaimana ragam tanggapan manusia terhadap misi yang dibawa Muhammad itu, serta bagaimana dia mengelola misinya. Muhammad adalah Rasulullah, dan dalam menunaikan misi kerasulannya ia tidak pernah bertindak sebagai seorang raja karena dia memang bukan seorang raja. Dia tidak pernah mengaku lebih dari seorang rasul, dan sedikitpun tidak pernah mengaggap dirinya seorang raja. Tindakannya memimpin manusia yang mau hidup di bawah kepemimpinannya, bukan semata-mata karena itu merupakan ambisi pribadinya demi kepentingannya, tetapi semata-mata itu adalah proses misi kerasulannya. Dia tidak pernah menikmati hidup selayaknya para raja, dia hidup seperti selayaknya orang biasa. Oleh karena itulah, dia mudah mendapatkan "kepatuhan" dari orang-orang yang telah menyatakan "penyerahan" kepadanya. 218 Hubungan Muhammad dengan "orang-orang yang berserah diri" (al-muslimûn) itu adalah hubungan antara Rasul dengan pengikut, hubungan antara pemilik ' wibawa'(otoritas) dengan orang-orang yang merasa "berhutang makna". Sementara orang-orang yang belum mau "berserah diri" (al-kâfirûn), mereka melihat Muhammad hanya sebagai "orang biasa"-nya, kepemimpinannya terhadap pengikutnya dianggap sebagai kepemimpinan raja terhadap rakyatnya. Muhammad dilihat sebagai raja dengan segala kekuasaan – power – nya. Ketika sebagian besar mereka kemudian "menyerahkan diri" karena kesuksesan Muhammad, "penyerahan" mereka lebih dilatarbelakangi alasan karena mereka melihat power Muhammad tidak mampu lagi mereka tandingi. Mereka adalah orang-orang yang kemudian "menyerahkan diri" karena faktor pertimbangan politik dan ekonomi. Mereka memang disebut muslimûn, tetapi lebih berarti sebagai "orang-orang yang takluk". Sejak bergabungnya orang-orang yang "berserah diri" dengan orang-orang yang "menyerahkan diri" dalam satu komunitas di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, mereka adalah satu komunitas yang sangat besar yang meliputi hampir seluruh penduduk di semenanjung Arab. Dikatakan "hampir" karena, meskipun power Muhammad telah sedemikian besar, masih ada sebagian kecil penduduk Arab yang tidak mau "berserah diri" atau "menyerahkan diri". Satu kenyataan lain, sebagai manusia biasa Muhammad tidak bisa lagi menangani semua hal sendirian dalam memimpin komunitas yang sangat besar itu. Sejauh dia bisa menangani suatu urusan/kebutuhan dengan dirinya sendiri, dia akan menanganinya sendiri dan tidak akan meminta bantuan orang lain. Ia akan 219 meminta bantuan orang lain jika terpaksa harus berbuat begitu, seperti pada kasus yang di atas telah disebutkan. Dalam konteks demikianlah ayat tersebut turun, dan secara khusus berkenaan dengan pengiriman pasukan yang tidak dapat dipimpin oleh Rasulullah sendiri. Dengan mempertimbangkan konteks tersebut, terasa sekali "gigitan" ayat yang telah dinyatakan di atas. Dalam konteks itu, dapat dipahami makna perintah Allah agar komunitas besar itu patuh kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang yang "memegang urusan" (’uly al-’amr) atas mandat Rasul. Bagi orang-orang yang "berserah diri", perintah Allah itu berarti sebagai perintah untuk lebih meningkatkan kualitas "kepatuhan". Tetapi kepada orang-orang yang "menyerahkan diri", perintah itu berarti sebagai "perintah" untuk "mematuhi".372 Dengan demikian gabungan al-muslimûn dan al-thâ' ah, dilihat dari substansinya saja jelas ada perbedaan kualitas, yaitu: "kepatuhan orang-orang yang berserah diri" dan "kepatuhan orang-orang yang menyerahkan diri". Demikian juga, ' kepatuhan mutlak'hakikatnya hanya kepada Aktan Pertama (Allâh), kemudian menurun kepada aktan kedua (Rasûlullâh), dan lebih menurun lagi kepada aktan ketiga (’uly al-’amr). Konsep "kepatuhan" ini mudah dimitoskan (mudah jatuh menjadi mitos "kepatuhan mutlak" untuk semua aktan), apalagi memakai dukungan perkataan Rasulullah: "Barang siapa mematuhiku, maka dia mematuhi Allah; barang siapa menentangku, maka dia menentang Allah; dan barang siapa 372 Perang mulut (cekcok) yang terjadi antara ‘Ammâr bin Yâsir dengan Khâlid bin Walîd di lapangan tugas hingga sekembalinya di hadapan Nabi seperti diriwayatkan ’Ibn Katsîr, semakin memperkuat pemaknaan di atas. Narasi selengkapnya tentang kasus itu, lihat ’Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur' ân al-‘Azhîm, Beirut: Dâr al-Mufîd, 1403/1983, Vol. 1, h. 459. 220 menentang pemerintahku, maka dia menentangku".373 Tetapi, di sepanjang kehidupan Muhammad, dia tidak pernah menuntut dipatuhi secara mutlak demi ke-Muhammad-annya, melainkan semata-mata karena dia adalah Rasulullah. Maka dia pun memberi batasan kepatuhan kepada aktan ketiga. Dia berkata: "Orang yang berserah diri (al-muslim) harus mendengarkan dan patuh [kepada pemerintahku, pen.] dalam hal yang dia senangi atau yang dia benci, selagi dia tidak diperintahkan melakukan kedurhakaan. Jika dia diperintahkan melakukan kedurhakaan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh".374 Demikianlah makna "kepatuhan" ketika Rasulullah masih hidup. Ketika kemudian al-Mâwardiy mengutip ayat tersebut375 (ayat ini juga sering diulang-ulang dalam kitab-kitab teologi Islam yang lain), makna "kepatuahan" mengalami perluasan dari maknanya yang semula. Proses yang kemudian terjadi adalah rasionalisasi "kepatuhan". "Kepatuhan" kepada Allah mulai dipahami sebagai hak-hak (huqûq) Allah atas manusia, karena Allah adalah Pencipta, dan tindakan penciptaan tersebut adalah nikmat (karunia). Karena Allah memberikan nikmat atas manusia dengan menciptakannya pada pusat jagad raya, dan memberinya tempat yang agung di dalamnya, maka sebagai balasan dari nikmat-nikmat ini Allah menunggu jawaban yang baik dari manusia, yaitu kepatuhan dan rasa syukur. Kepatuhan yang dimaksudkan di sini adalah suatu hubungan yang berdasarkan pengakuan manusia terhadap nikmat-nikmat Allah. 373 Hadis riwayat dari ’A‘masy dari ’Abî Shâlih dari ’Abî Hurairah. Lihat al-Mâwardiy, al-Nukat wa al-‘Uyûn, tafsir ayat ke-59, surat al-Nisâ’. 374 Hadis riwayat ’Abû Dâwud, Bukhâriy, dan Muslim. Lihat ’Ibnu Katsîr, Op. Cit., h. 458. 375 Lihat pengutipan ayat tersebut oleh al-Mâwardiy, bagaimana komentarnya, dan bagaimana pula konklusi hukum yang ditariknya dari ayat itu dalam, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 5, lihat juga tesis ini pada halaman 182. 221 Berdasar hubungan yang berdiri di atas dasar pengakuan terhadap nikmat-nikmat inilah ditetapkannya "beberapa kewajiban" (al-wâjibât) atas manusia sebagai hamba kepada Penciptanya. Kewajiban-kewajiban ini merupakan hak-hak Allah atas manusia. Secara teologis ditambahkan, bahwa manusia tidak akan cukup dan tidak akan besar kecuali dengan pertolongan Allah, kecuali jika Allah masuk ke dalam dunia dan “tempat” tinggalnya. Jadi, berdasarkan ayat tersebut al-Mâwardiy menyusun kerangka teologis hubungan Allah dengan manusia. Dalam hal penciptaan, Allah adalah subyek dan manusia adalah obyeknya, dan dalam kaitan itu, karena penciptaan adalah ' nikmat' maka Allah "menuntut" manusia sebagai obyek agar aktif (menjadi subyek) merespon "nikmat" dengan bersyukur kepada-Nya. Sampai di sini, sebenarnya "tuntutan" Allah itu masih bersifat "sukarela"; manusia bebas memerankan dirinya: mau bersyukur atau sebaliknya. Jika manusia merespon "nikmat" dengan bersyukur, maka "kepatuhan" adalah aplikasi syukur dalam tindakan. Dalam hal ini, manusia adalah subyek dan Allah adalah obyek. Dengan demikian syukur manusia memiliki tuntutan aplikasi: sikap dan tindakan kepatuhannya terhadap Kehendak Allah. Tetapi, sedikit pun Allah tidak "mengambil bagian" dari syukur dan kepatuhan manusia. Karena "kepatuhan sukarela" berdiri di atas prinsip kebebasan manusia untuk memilih, dan apapun pilihannya itu, akibat baik atau buruk akan kembali kepada manusia sendiri, cepat atau lambat. Kemudian sistem teologi merubah/menetapkan bahwa "kepatuhan" ini sebagai "kewajiban yang mengikat" (al-wujûb al-taklîfiy) manusia. "Terimakasih" 222 dan "kepatuhan" bukan lagi atas dasar hubungan "sukarela" melainkan "kewajiban (yang memaksa)". Teologi Islam juga menetapkan bahwa pengawasan pelaksanaan "kewajiban" merupakan tanggungjawab Nabi dalam menjalankan risalahnya, dan juga tanggungjawab utama negara (penguasa) yang menggantikannya. Kehidupan Nabi bersama para Sahabat pasca hijrah dipersepsikan oleh ulama teologi sebagai lembaga yang memerankan tanggungjawab pelaksanaan dan pengawasan "kewajiban" tersebut. Demikianlah perubahan makna "kepatuhan", yang semula merupakan hubungan manusia-Allah atas dasar "kesukarelaan-iman-syukur", berubah menjadi hubungan terlembaga atas dasar "kewajiban-paksaan". Lembaga yang berperan merubah pola hubungan ini, tidak ada lain, adalah ulama yang memakai kerangka berpikir teologi. Sistem berpikir teologis mengasumsikan bahwa Allah, Nabi, dan negara (penguasa) adalah lembaga-lembaga yang "berwenang" (berhak) menerima "kepatuhan" manusia, menentukan kewajiban-kewajiban atas mereka dan mengawasi pelaksanaannya. Dari sudut pandang antropologi, bahwa apapun bentuk hubungan mansuiaAllah dikonsepsikan, sebenarnya semuanya itu dibangun di atas dasar keimanan. Artinya, ia merupakan hasil kreasi mental-spiritual dan angan-angan manusia dalam memahami kehadiran dirinya dan relasinya dengan fenomena penciptaan. Dengan kata lain, syukur dan patuh, sampaipun ia dipersepsikan sebagai "kewajiaban (yang memaksa)", ia tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah produk keyakinan/keimanan. Dengan demikian ia merupakan manifestasi dari sejarah iman atau iman yang disejarahkan. Tetapi, teologi hubungan manusia- 223 Allah telah dibangun al-Mâwardiy berdasarkan konsepsi yang kedua (paksaan) yang menghilangkan nuansa kesejarahan iman, atau menutupi kenyataan bahwa konsepsi tersebut sumber terdalamnya adalah keimanan. Selanjutnya, secara antropologis, “campur tangan” Allah ke dalam dunia kemudian terlembagakan melalui sejarah kenabian/pewahyuan, dalam konteks Islam adalah Nabi Muhammad. Oleh karena Muhammad dan para nabi yang lain mengaku diri dan diyakini para pengikutnya memiliki akses komunikasi (wahyu) dengan Allah, dan setiap mereka dianggap menjalankan misi (rasâlah)-Nya, maka – terkait dengan sejarah kepatuhan – kepatuhan kepada Rasul sesungguhnya merupakan kepatuhan manusia kepada manusia, dan ini merupakan kepatuhan level kedua dalam sejarah iman. Artinya, ‘kewenangan’ yang dimiliki Rasul untuk menerima kepatuhan manusia (pengikut-pengikutnya) adalah terbangun atas dasar keimanan bahwa ia Utusan Allah yang menjalankan misi-Nya. ‘Kewenangan’ Nabi hanya mengikat kepatuhan orang-orang yang beriman kepadanya, dan memang pada kenyataannya, Nabi tidak pernah memaksakan keimanan itu kepada siapapun, menonjolkan kewenangannya, dan apalagi memaksakan kepatuhan manusia terhadapnya. Sampai di sini, kepatuhan sebenarnya juga masih bersifat sukarela meskipun Nabi telah menjadi seorang ‘penguasa’ yang memimpin masyarakat/umat di Madinah. Seberapa pun wewenang dan kekuasaan yang diberikan Allah kepada Nabi, wewenang dan kekuasaannya hanya mengharuskan kepatuhan kepada orang-orang yang mau percaya (beriman) dan tidak memaksakannya kepada orang-orang yang tidak (belum mau) beriman. Dan bagi orang-orang beriman, 224 kepatuhan mereka kepada Nabi bukan saja dipahami sebagai keharusan yang diperintahkan Allah sebagaimana bunyi tekas Alquran tersebut di atas, melainkan juga karena kewibawaan Nabi sehingga mereka memberi kepatuhan secara sukarela dan merasa bahwa kepatuhan itu sebagai imbalan balas budi karena mereka "berhutang makna" kepadanya. Mereka meyakini bahwa Nabi adalah "juru selamat", dan tanpa sosok peran Nabi dalam kehidupan mereka, mereka merasa hidup tak bermakna dan sia-sia. Dengan demikian, kemunculan Nabi sebagai "yang berwenang" adalah karena ia diyakini para pengikut sebagai Rasul Allah, dan karena wibawanya, para pengikut kemudian memberikan ' kepatuhan' kepadanya secara "sukarela". Kepatuhan mereka bukan karena Muhammad sebagai seorang "penguasa". "Kepatuhan" secara "sukarela" ini dapat dibedakan secara jelas dengan "kepatuhan" kabilah-kabilah Arab terhadap Nabi setelah posisi politiknya sangat kuat. "Kepatuhan" mereka lebih menunjukkan "ketundukan" secara politik, karena sebelum itu mereka selalu menolak mengakui kerasulan Muhammad dan bahkan selalu menggalang kekuatan untuk menentangnya. Setelah mereka menyadari bahwa kekuasaan Muhammad semakin lama bertambah besar dan tak tertandingi, mereka merasa tak ada lagi pilihan kecuali harus mengakui "kekuasaan" dan "kerasulan"-nya. Maka kemudian mereka berbondong-bondong menyatakan "ketaklukan" dan mengikatkan diri ke dalam kesatuan politik/kekuasaan Muhammad. Karena "kepatuhan" kabilah-kabilah Arab tersebut bermotif politik, maka "kepatuhan" mereka terhadap Islam diharuskan oleh Muhammad sebagai sebuah 225 persyaratan. Dengan kata lain, karena ke-Islam-an mereka karena terpaksa, maka Muhammad pun kemudian memaksakan wewenangnya dan "mewajibkan kepatuhan" mereka terhadapnya. Demikian juga yang dilakukan Muhammad terhadap penduduk Mekkah ketika mereka dapat ditundukkan. Kesimpulannya, karena mereka memeluk Islam disebabkan faktor-faktor politik dan bermotif politis, maka sungguh tepat ketika Nabi memperlakukan ke-Islam-an mereka juga secara politik: menonjolkan kewenangannya dan memaksakan kepatuhan mereka terhadapnya. Singkatnya, terhadap orang-orang yang masuk Islam secara politik, Muhammad menekankan dirinya sebagai "Rasul" yang "penguasa". Fenomena historis inilah yang dilampaui pemikiran teologi Islam yang mengkonsepsikan "kepatuhan" terhadap Rasul sebagai sesuatu yang mutlak: harus (wâjib) bagi siapapun. Ia telah melampaui konsep "kepatuhan" sebagaimana dipraktekkan oleh Rasul sendiri. Ia juga telah menghilangkan dimensi kemanusiaan Rasul yang dipersepsikan sebagai pengejawantah Kehendak Tuhan yang mengatasi segalanya. Demikian juga, pemikiran teologi telah melupakan fakta bahwa legitimasi satusatunya kewenangan Rasul memimpin umat adalah keimanan para pengikutnya. Sekali lagi, keimanan adalah masalah pilihan dan bukan paksaan. Jika hubungan manusia-Allah saja berada di atas kebebasan iman, maka apalagi hubungan manusia-Nabi yang notabene juga seorang manusia; hal itu juga berada di atas landasan kebebasan yang sama. Terkait dengan al-Mâwardiy, ia benar-benar telah memposisikan pemikirannya dalam kerangka berpikir teologis tersebut. Seluruh bangunan teori etika politiknya, terutama mengacu kepada sejarah kepemimpinan Muhammad 226 sebagai seorang Nabi dan sekaligus penguasa, dan tidak membedakan fungsi dari keduanya dalam pentas sejarah pendirian Islam. Tindakan-tindakan politik Nabi yang sebenarnya lebih mencerminkan aktualitas manusiawinya, telah dinaikkan sebagai tindakannya yang sakral dan ideal: Kekuasaan Tuhan Yang Mengejawantah dalam sejarah manusia, dari mana Islam yang telah terbentuk harus dilanjutkan juga di atas kekuasaan.376 Ketika kemudian Rasul mendelegasikan beberapa tugas kerasulannya yang spesifik kepada seorang individu, maka individu tersebut memiliki hak untuk dipatuhi oleh orang lain. Hal ini merupakan kepatuhan level ketiga dalam sejarah iman. Siapapun yang diberi limpahan wewenang dan kekuasaan Rasul untuk melaksanakan sebuah misi tugas tertentu ketika ia masih hidup, bagi orang-orang yang beriman relatif mudah mengakui "legalitas" kewenangannya dan memberikan kepatuhan kepadanya, karena ia memegang mandat dari Rasul. Tetapi pada taraf ini, sesungguhnya konsep kepatuhan telah mengalami penurunan kualitas makna. Kepatuhan yang semula merupakan bentuk rasa syukur kepada karunia Allah dan ungkapan rasa terima kasih atas wibawa Nabi, menurun menjadi kepatuhan yang "terpaksa" (semata karena seseorang itu sebagai pemegang mandat Nabi). Bagaimana kemudian setelah Nabi wafat? Orang-orang beriman yang telah terlembagakan menjadi kaum Muslimin karena faktor-faktor politik 376 Diskusi yang lebih intensif mengenai hakikat risalah Nabi, lihat: ‘Aly ‘Abd al-Râziq, “Risalah Bukan Pemerintahan, Negara Bukan Agama”, dalam Charles Kurzman (Editor), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta, Paramadina, 2001, hal. 317. 227 sebelumnya, ternyata berselisih pendapat tentang ada atau tidak adanya seseorang yang diberi mandat untuk menggantikan tugas-tugas kerasulannya. Sejak saat itu, secara politik terjadi perpecahan aspirasi di kalangan kaum Muslimin yang tidak mudah dipersatukan karena masing-masing memiliki klaim dan dasar pembenarannya, serta semua mengklaim bersumber dari Nabi. Dalam konteks ini, bagaimana ayat Alquran di atas tentang keharusan mematuhi orang-orang yang memiliki kewenangan memerintah (’uly al-’amr) harus dipahami? Siapakah orang yang memiliki kewenangan itu? Menurut orang-orang yang mendukung ‘Aly bin ’Abî Thâlib, ’uly al-’amr adalah dia. Orang-orang ini menyatakan bahwa ‘Aly adalah satu-satunya orang yang diberi mandat oleh Rasul untuk menggantikannya kelak, semenjak dia masih hidup. Kelompok lain menyatakan bahwa kewenangan sebagai pengganti Rasul itu tidak pernah termandatkan kepada siapapun, maka menjadi hak bersama yang perlu dimusyawarahkan/dinegoisasikan. Karena pada kenyataannya, mereka yang dianggap memiliki kompetensi hak dan kewenangan, baik untuk melakukan permusyawaratan maupun memegang pemerintahan hanyalah para elit tertentu yang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan sentimen daripada pengakuan akan kesamaan hak dan kewajiban di antara kaum Muslimin seluruhnya; maka, kelompok yang ketiga berpendapat dan menuntut hak kewenangan itu melekat bagi/kepada semua kaum muslimin secara sama. Jika legalitas kepatuhan kepada Allah bersumber pada keimanan orangorang yang mau percaya, legalitas kepatuhan kepada Rasul juga bersumber kepada hal yang sama, legalitas kepatuhan kepada seseorang yang diberi mandat 228 oleh Rasul ketika dia masih hidup adalah bersumber kepada legalitas ke-Rasul-an itu sendiri, lalu, bagaimana legalitas kewenangan harus bersumber ketika Rasul telah wafat? Dalam konteks ini, sekali lagi, lembaga mana yang benar-benar dapat menjamin kepastian bahwa kewenangan itu sah bagi salah satu kelompok, dan bukan bagi yang lain? Ketika kemudian al-Mâwardiy mengutip ayat tersebut, siapakah yang dimaksudkannya sebagai ’uly al-’amr? Berdasarkan teori kepemimpinannya dapat disimpulkan bahwa yang dia maksudkan dengan istilah tersebut adalah sebagaimana pendapat kelompok kedua dari ketiga kelompok yang telah disebut di atas. Dengan demikian, secara langsung/tidak langsung, al-Mâwardiy mengakui bahwa "kewenangan" dan "' kepatuhan" merupakan hak bagi orang-orang yang memerintah dalam versinya itu, yaitu para penguasa setelah Nabi yang disebut "khalifah" atau ‘amîr al-mu’minîn’. Tetapi juga harus diingat, pada konteks yang sama, ayat tersebut juga menjadi sandaran dua kelompok yang lain dengan versi penafsirannya masing-masing. Maka, sesungguhnya al-Mâwardiy dan hampir seluruh pemikir etika politik Islam yang selalu mengulang-ulang ayat tersebut, mereka telah berperan menutupi "kepatuhan" dan "kewenangan" dari arti kesejarahannya : yaitu sejarah kepatuhan dan kewenangan yang mengalami "penurunan" dan sejarahnya yang "berubah". Berdasarkan ayat tersebut, pemikiran etika politik Islam menyatakan bahwa manusia "wajib" mematuhi Allah karena Kekuasaan-Nya, "wajib" mematuhi Nabi karena ia Rasul-Nya, dan "wajib" mematuhi "para pemerintah" karena hak kewenangannya. Dengan demikian logika pemikiran etika politik 229 Islam juga menyatakan bahwa konsekuensi keimanan seseorang adalah mematuhi Allah, mematuhi Rasul-Nya, dan mematuhi para pemerintah Islam. Mematuhi pemerintah sama dengan mematuhi Rasul dan mematuhi Allah. Maka, lembaga pemerintahan Islam menjadi sesuatu yang sakral. Sakrealitas lembaga pemerintahan kemudian menuntut kepatuhan mutlak umat/rakyat untuk memenuhi hak-hak Allah dan tugas utama negara adalah menjamin hak-hak Allah tersebut terpenuhi. Hak-hak Allah inilah sebenarnya yang berfungsi sebagai kontrol moral penguasa atas rakyat, dan bukan sebaliknya. Dalam konsep "negara kepatuhan", negara benar-benar menjadi sakral dan absolut: penentu "kebenaran", penentu apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, dan yang paling tahu tentang apa "yang baik" bagi kehidupan rakyatnya. Karena negara dilegitimisi dengan hak-hak ketuhanan, maka implikasi terjauh dari konsep "negara kepatuhan" adalah pengabaian terhadap hak-hak asasi manusia. Rakyat dalam relasinya dengan negara ditempatkan dalam konteks manusia dalam relasinya dengan Tuhan. Rakyat awam dianggap berada dalam domain kegelapan dan ilusi. Mereka harus mengikuti aturan model Tuhan (yang hakikat materialnya adalah aturan penguasa/kaum ulama), jika tidak, maka akan dianggap melanggar Hukum (Kehendak) Tuhan dan biadab. Pemikiran etika politik Islam menyatakan bahwa lembaga pemerintah sebagaimana terjelma dalam sejarah Islam dan dalam seluruh angan-angan versi kelompok-kelompok kaum muslimin adalah esensi pemerintah Islam yang hakiki. Tetapi, kenapa mereka berpecah-belah, dan ironisnya, masing-masing mendasarkan legalitasnya kepada Allah dan rasul-Nya, sehingga semua 230 mengklaim bahwa lembaga pemerintah dalam setiap versinya merupakan pemerintahan Allah dan Rasul-Nya? Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran al-Mâwardiy dan pemikiran etika politik Islam yang lain benar-banar telah mengabaikan realitas sejarah kepatuhan, sejarah kewenangan, dan sejarah pemerintahan dalam Islam, mengabaikan penurunan makna legalitasnya, bahkan tidak memikirkan problem legalitas itu sendiri beserta implikasi-implikasinya. Singkatnya, alMâwardiy beserta pemikir-pemikir teologi Islam yang lain telah membaca Alquran dengan sinaran makna yang berlaku pada zaman mereka dan momenmomen sejarah tertentu yang spesifik, serta bukan memahaminya dengan sinaran makna yang berlaku pada masa turunnya. Pada saat yang sama, pembacaan/penafsiran al-Mâwardiy terhadap Alquran yang sungguh mengacu kepada momen-momen sejarah yang spesifik itu, tertutupi oleh klaim syar‘i-nya sehingga seolah-olah konklusi-konklusi yang didapatkannya merupakan manifestasi makna Alquran/Hukum-Kehendak-Tuhan. Jika dikaitkan dengan pembacaan Alquran oleh kelompok-kelompok yang lain, dapat dipertanyakan: bagaimana mungkin Syariat Tuhan itu saling kontradiktif? Demikianlah, makna (penafsiran) yang sesungguhnya menurun telah diangkat tinggi-tinggi; apa yang sesungguhnya bersifat temporal telah dinaikkan statusnya sebagai sesuatu yang azali-abadi: di luar masa, di luar waktu. Hal yang sama dapat ditemukan jika diteliti makna-makna dari konsep "iman" dan "islam". Sebagai contoh hal itu, makna kata "muslim" dalam Alquran atau menurut Alquran, dengan makna kata "muslim" yang dikaitkan setelah berdirinya negara 231 Islam dan teologi Islam. Maka keduanya berbeda dan tidak sesuai. Realitas "keberbedaan" dan "ketidaksesuaian" inilah yang secara sengaja atau tidak sengaja ditutupi di dalam teks-teks pemikiran (teologi) Islam, dan khususnya, alMâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Fenomena yang sama juga terjadi pada konsep ’uly al-amr dan ’ummah. Telah ditunjukkan bahwa pemikiran al-Mâwardiy sesungguhnya sangat terikat kepada momen kesejarahan tertentu/terbatas, yaitu periode zaman pembentukan dan pengokohan teologi dan politik Islam. Sekalipun demikian, dia berusaha menanggalkan sifat historisnya dan menggantikannya dengan esensi: yaitu substansi pemikiran yang dianggap azali dan yang sesuai bagi seluruh zaman dan tempat. Demikianlah, pengacuan al-Mâwardiy terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi telah difungsikan al-Mâwardiy secara mitis. 2. Sistem Pemikiran Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dan Sistem Mitisnya Sistem mitis pemikiran al-Mâwardiy dapat dilihat dari seluruh pemikirannya yang dibangun mengikuti sistem-sistem teologi dengan pembatasan-pembatasan dualistiknya: mukmin-kafir, halal-haram, suci-najis, dan seterusnya. Sesungguhnya, di dalam pembagian-pembagian dualistis ini terdapat kontradiksi antara sistem teologi tertentu dengan sistem teologi lainnya, karena sesuatu yang dipandang haram (tidak boleh) oleh al-Mâwardiy misalnya, ada pada kondisi kesejarahan tertentu, menjadai halal (boleh) pada kondisi yang lain. Demikian juga, pemikiran al-Mâwardiy dibangun di atas sistem teologi yang eksklusif yang mengklaim bahwa dia mewakili kebenaran/realitas yang 232 mutlak tentang kekuasaan. Kontradiksi dualistik dan eksklusifitas ini benar-benar mengendap dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan kitab-kitab teologis yang lain, sehingga yang tampak dari semua itu adalah wajah hukum/etika Islam yang "agung" dan "suci". Karena anggapan kesucian dan keagungannya, konklusikonklusinya dianggap sebagai kepastian yang kokoh dan tak dapat dirubah/diganti. Kontradiksi dualistik dan eksklusifitas adalah sebagian dari "forma-forma retorik": bentuk-bentuk "percakapan" yang lazim dijumpai dalam sistem pemikiran teologis seperti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Bentuk-bentuk tersebut dihadirkan sebagai acuan dalam proses pemaknaan terhadap realitas sosial dan politik secara transenden. Padahal, bentuk-bentuk tersebut sebenarnya historis: ada periode dalam sejarah ketika kelas tertentu (seperti al-Mâwardiy dan golongan intelektual yang lain bersama-sama penguasa) mempunyai kesempatan untuk menciptakannya. Sistem mitis yang lain, yang yang terkait dengan sistem pemikiran alMâwardiy, dapat ditemukan ketika ia menghadirkan "esensi" pendirian Umat atau jamâ' at al-muslimîn pada masa Nabi dan generasi "Sahabat yang tercerahkan" dan mengubah cerita-cerita tersebut menjadi nilai-nilai agung dan orisinal serta kepada model-model ideal tertinggi bagi pemikiran dan perilaku kekuasaan, dan membakukannya sebagai basis pendirian nilai kolektif. Dengan melakukan itu, sesungguhnya al-Mâwardiy telah melakukan pemitosan dalam pengertian: ia mengambil dan menghimpun seluruh bentuk perilaku kekuasaan ideal dan gambaran-gambaran simbolis sebagai medium penyusunan model bagi "ensi (makna) kekuasaan". Kemudian, bentuk-bentuk tersebut dikemukakannya dengan 233 bentuk yang paling jelas dan pakaian yang paling indah agar diterima dan diulangulang oleh seluruh kaum Muslimin. Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah telah menghadirkan bentuk-bentuk perilaku kekuasaan ideal beserta gambaran-gambaran simbolisnya, dan mewujudkannya sebagai "hakikat" kekuasaan Islam dan sekaligus memberinya makna/nilai atau menetapkannya sebagai "skala": pengukuran keabsahan terhadap suatu realitas atau tindakan politik. Kemudian nilai tersebut menguat dan bertambah kaya secara terus-menerus dengan jalan penerapan secara kontinyu dan hidup dalam praktek kekuasaan dan sangat tergantung padanya. Ulama dan penguasa pada masa al-Mâwardiy adalah kelas yang memiliki "kewenangan" menciptakan "esensi kekuasaan" dan memegang kendali "ukuran"-nya, serta paling memiliki "kekuasaan" untuk mempertahan kondisi stabil (status quo) masyarakat Islam. Konsep "ijmak" yang begitu sentral perananya dalam pembangunan pemikiran etika kekuasaan al-Mâwardiy sebagai medium penghadiran esensi/hakikat kekuasaan Islam, sebenarnya ia merupakan bentuk komitmen kelompok elit Islam yang berfungsi sebagai "alat" penjamin "orisinalitas" nilainilai kekuasaan Islam yang kemudian berkembang menjadi dogma yang menentramkan. Ketika dogma-dogma ijmak menjadi semakin kuat, maka etika kekuasaan Islam menjadi menolak terhadap sesuatu yang berbeda darinya. Sampai di sini, mitos "kekuasaan Islam" yang dihadirkan al-Mâwardiy berfungsi sebagai semangat dan cita-cita yang mendorong ke arah realisasi "kekuasaan Islami" di muka bumi dan ke-"menangan"-nya. Sementara itu, mitos "kekuasaan Islami" itu justru mengandung fungsi (disadari atau tidak disadari) 234 melemahkan tekad dan menyerukan sikap menyerah terhadap dekapan kekuasaan otoriter serta tidur di atas sejarah kekuasaan yang tiran dan hegemonik. Fenomena kedua inilah yang kemudian justru memandu sejarah kekuasaan dalam Islam. Di sini, mungkin tempat yang tepat untuk mempertanyakan kembali: benarkah "kekuasaan Islam" adalah [bagian] misi Nabi? Bagaimanakah karakter sesungguhnya "kekuasaan Islmi" itu? Jawaban yang "benar" atas dua pertanyaan itu sangat tergantung kepada sejauh mana orang dapat [mau?] menyadari keberadaan mitos-mitos di dalam "Islam". Tetapi kesadaran tentang mitos, sesuatu yang sulit ditolerir dalam sistem pemikiran teologi Islam klasik, bukan? 3. Fungsi Mitis Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah Pemikiran teologis al-Mâwardiy mengenai etika kekuasaan Islam, secara umum bersumber dari wahyu, tradisi Nabi, dan para "Sahabat yang tercerahkan". Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hakikat pemikirannya dan sumber-sumber tersebut merupakan "benda" yang dikuasai/dimanipulasi oleh kekuasaan yang mewujud pada sistem. Kekuasaan itu berupa kekuasaan politik yang dimiliki oleh para Imam, bersama-sama dengan kekuasaan agama yang dimiliki oleh kelompok ulama yang berada pada posisi melayani kekuasaan politik. Pada kenyataannya, kekuasaan tersebut menjelma pada keduanya ketika sebuah kekuasaan politik terbentuk dan mengambil bentuk secara kooptatif dengan kekuasaan agama. Kondisi tersebut bermula sejak dari kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyah di Damaskus pada tahun 661 M, dan terus berlanjut pada masa kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah di Bagdad (masa hidup al-Mâwardiy), bahkan seterusnya hingga sekarang. 235 Perluasan kultural terhadap "materi" Alquran dan sunah sebagaimana diperankan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, berarti peningkatan dalam bidang penulisan dan bacaan terhadap kedua materi sumber itu. Dan sesungguhnya al-’Ahkâm al- Shulthâniyyah sebagai program penulisan dan bacaan dalam konteks perluasan kultural, adalah medium yang urgen bagi penguasaan pengetahuan dan kekuasaan sekaligus. Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah benar-benar telah memerankan perluasan bidang kultural dengan ciri-ciri itu. Ditulis dan dibakukannya Alquran dan sunah telah memungkinkan semua orang memperolehnya dalam bentuk teks yang terbaca, dan memungkinkan juga bagi kelas terpelajar seperti al-Mâwardiy untuk memperluas dan menjadikannya sebagai alat kekuatan yang "memaksa", karena kelas terpelajar itulah yang mengawasi jalannya kekuasaan yang suci, yang dimaksud adalah pelaksanaan masalah-masalah ibadah, ritus, dan upacara-upacara keagamaan, dan mengenakan "jubah" kesucian terhadap kekuasaan politis atau mencabutnya dengan kriteria yang sama. Maka seperti diketahui bahwa kekuasaan kemudian mengklaim bersumber dari Alquran, sunah, ijmak, dan kitab-kitab lain yang bermacammacam yang ditulis dalam rangka memperluas jangkauannya. Dalam kitab-kitab tersebut ditetapkan seluruh undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat Islam dalam segala seginya. Dengan mengatakan hal-hal di atas, penulis hanya ingin meletakkan masalah-masalah tersebut di bawah pandangan antropologi terhadap fenomena pemikiran pengetahuan dan kekuasaan yang disebut Islami. Maka seperti diketahui bahwa pemikiran dan kekuasaan berdasarkan kitab-kitab tertulis inilah 236 yang menetapkan pandangan-pandangan, batasan-batasan, pembagian-pembagian, dan sistem realisasinya terhadap masyarakat dengan medium domain fungsional yang bekerja sangat efektif di antara kekuatan-kekuatan yang ada: negara, tradisi keilmuan yang berkembang, peradaban elit (yaitu peradaban baku/resmi bagi orang yang mengerti baca-tulis), dan ortodoksi keagamaan. Kekuatan sejarah yang melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, yang membentuknya, serta memfungsikannya, jelas memperlihatkan kerja yang efektif operasi jalinan yang erat antara pengetahuan dan kekuasaan. Negara ‘Abbâsiyyah, Alquran dan sunah yang tertulis, peradaban elit seperti yang dimiliki al-Mâwardiy, dan al-’Ahkâm alShulthâniyyah merupakan salah satu contoh medium domain fungsional operasi antara pengetahuan dan kekuasaan itu. Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebenarnya merupakan salah satu bentuk pemikiran teologi yang berada di bawah pandangan "teosentris": yaitu suatu pemikiran yang ditujukan untuk menaikkan, meninggikan, dan mengingkari serta menjauhkan bentuk kesejarahan dari segala simbol dasar Islam (Alquran, sunah, dan ijmak). Al-Mâwardiy dan semua pemikir teologi Islam ortodoks telah mengangkat kodifikasi tekstual dari simbol dasar Islam tersebut kepada martabat al-Kitâb yang diwahyukan dan disucikan, kepada tahapan al-Kitâb yang tertutup yang menyerupai jejak yang tidak bisa ditelusuri kembali, dan menjadi tempat rujukan yang memaksa bagi setiap wacana yang ingin mendalami dan menyelami firman Allah. Keinginan mereka untuk menaikkan dan meninggikan fenomena alKitâb yang "biasa" menjadi martabat al-Kitâb yang disucikan tersebut telah sampai pada tingkatan yang keras dan kaku, serta mengalami proses pengingkaran 237 dan penggelapan. Mereka menetapkan bahwa mushaf yang memuat keseluruhan ayat-ayat Alquran juga memiliki sifat Al-Qur’ân (Kalam Allah) yang bukan makhluk. Sesungguhnya proses pengingkaran dan penggelapan terhadap realitas Alquran, sunah, dan ijmak, yang bersifat lahiriah ini ditujukan kepada maksud tunggal, yaitu: memberikan model-model ideal yang agung, abadi dan total bagi imajinasi, serta menanggalkan sifat kesejarahannya yang terbentuk dan berlangsung di tengah tindakan-tindakan manusia dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Maka teologi kemudian berkembang di bawah proses penggelapan dan pengingkaran dengan sifatnya yang kuat untuk menakutkan jiwa, membebani kemampuan intelektual, dan kekuatan untuk membangkitkan kenangan terhadap kepribadian-kepribadian simbolis yang besar bagi sejarah penyalamatan di akhirat. Teologi kemudian dihidup-hidupkan dan direnungkan dengan sifatnya sebagai mahkota atau sebagai sesuatu yang menjadi Kehendak Allah atas sejarah bumi. 238 BAB V KESIMPULAN Pada situasi sejarah ketika Alquran berfungsi sebagai salah satu ikon normatif yang ingin mengatur manusia melalui pribadi Muhammad sebagai Rasul Allah, manusia di luar dirinya tidak membutuhkan konsep dan metodologi yang rumit untuk memahami pesan-pesan dan tindakan-tindakannya. Wacana kenabian itu hanya membutuhkan satu instrumen agar dia dapat berfungsi : yaitu keimanan. Wacana kenabian itu, esensinya adalah berupa perkataan (bahasa) dan perilaku Rasul, yang pada konteks waktu itu, lebih banyak terekam dalam ingatan/kesaksian langsung para pengikut terdekatnya daripada dalam bentuk tulisan, karena yang terakhir ini memang belum membudaya atau belum begitu urgen dibutuhkan, bahkan sampai beberapa tahun setelah Rasul wafat. Praktek kehidupan kaum Muslimin pada umumnya selama ditinggalkan Nabi dituntun oleh keimanan dan ingatan mereka kepada perkataan dan contoh aktual dari Nabi pada masa lalu yang berjalan berkelindan dengan kepentingan hidup sehari-hari dan bahkan kepentingan kekuasaan, sampai kemudian muncul tuntutan sejarah untuk mengumpulkan (kodifikasi) Alquran. Pembukuan Alquran yang pada prakteknya merupakan proyek resmi negara/penguasa, tidak bersih dari pertentangan dan kontroversi. Negara/kekuasaan benar-benar telah memainkan peran menentukan (memaksa) terbentuknya satu korpus resmi Alquran, dan menyingkirkan versi-versi lain pesaingnya. 239 Di sisi lain, contoh aktual Nabi yang menjadi praktek hidup sebagian Sahabat terus ditransmisikan baik secara verbal di lingkungan terdidik tertentu di masjid-masjid sebagai pusat pengajaran, maupun berupa praktek-praktek ritus dan klaim-klaim kesalehan dari orang-orang atau kelompok yang memiliki motif dan kepentingan-kepentingan politik di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Perkembangan yang tak terhindarkan adalah meluasnya praktek-praktek kehidupan yang secara bebas mengklaim sebagai yang berdasar pada apa yang dikatakan/dipraktekkan oleh Nabi. Sejarah (wacana) kenabian kemudian menjelma menjadi wacana kesalehan berdasarkan klaim-klaim kelompok yang saling bersaing sebagai yang paling saleh, paling sesuai, paling otentik, dan paling benar, dan karena itu paling berhak berkuasa. Sebagian orang yang terpelajar kemudian berupaya mengumpulkan dan memverifikasi informasi-informasi sejarah (wacana) kenabian dalam rangka mencari otentisitas dan memenuhi kebutuhan untuk mensistematisasi ajaranajaran Islam. Maka lahirlah korpus-korpus kedua setelah Alquran yang kemudian disebut hadis atau sunah, enam korpus diantaranya dianggap paling memiliki otoritas sejak awal pengkodivikasiannya sampai dengan sekarang. Maka Alquran yang telah ditulis dalam satu mushaf bersama keenam kitab hadis sahih yang terkumpul, benar-benar difungsikan sebagai kitab-kitab kanonik, dari mana pemikiran dan praktek Islam harus bersumber. Sejak wacana kenabian yang telah berhasil dibukukan itulah, ia kemudian melahirkan jutaan korpus pemikiran Islam hingga sekarang. Maka hakikat pemikiran Islam adalah merupakan penafsiran-penafsiran orang-orang Islam yang 240 terdidik terhadap wacana kenabian yang telah dibukukan/ditulis secara baku dalam sejumlah kitab kanonik tersebut. Dan salah satu problem pelik bagi orangorang Islam adalah problem penafsiran dan penakwilan terhadap nas-nas wahyu serta pengambilan (istinbâth) hukum-hukum syariat (hukum-hukum turunan wacana kenabian). Kepelikan itu muncul berbarengan dengan terjadinya benturanbenturan sosiologis dan politis yang bermacam-macam serta berhubungan dengan struktur pengetahuan dan bentuk kemsyarakatan bagi pengetahuan dan perjuangan ideologis. Akibatnya, karakter pemikiran Islam dimaksudkan oleh masing-masing kelompok yang saling bersaing sebagai wujud Islam yang benar dan murni yang sesuai dengan pemahaman agama yang "benar" untuk memerangi bidah-bidah, menolak orang-orang yang dianggap mengikuti hawa nafsu, membatalkan pahampaham yang dianggap sesat dan menyesatkan, serta mengucilkan dan menundukkan semua penyelewengan dari jalan yang lurus, kebenaran yang nyata, dan kelompok yang benar. Pemikiran Islam sebagai turunan wacana kenabian tersebut membimbing akal pada fungsinya yang mendasar dan mulia. Hal ini seperti terlihat dalam hadis yang sering dikutip dalam permulaan kitab-kitab fikih: “Siapapun orang, yang Allah menghendaki kebaikan kepadanya, maka Allah akan memberikannya kepahaman pada (ajaran) agama.”377 Adapun ajaran agama yang dikaji dalam kitab-kitab pemikiran Islam menyangkut pemahaman yang rumit yang meliputi makna-makna dan dimensi-dimensi esensial (jauhariyyah) dari Allah atau Maujud Pertama sampai kepada hakikat realitas, serta hal-hal yang menjadi dambaan 377 Hadis riwayat Muslim dari ’Abî Bakr bin ’Abî Syaibah dalam bab "al-Nahyi ‘ani al-Mas’alah", hadis ke- 1719 edisi Mawqi‘ al-’Islâm, tt. 241 setiap manusia seperti nasib dan keadilan, juga hal-hal yang menjadi tujuan setiap pemikiran terhadap konklusi-konklusi yang benar yang tidak mendatangkan keraguan (metode yang memastikan orang dapat beragama secara benar). Tetapi, kebenaran (ajaran agama) kemudian menjadi problem yang selalu diperdebatkan bukan saja mengenai esensinya melainkan juga bagaimana cara yang benar untuk mendapatkannya. Problematisasi kebenaran tersebut sejak masa Sahabat (generasi pendiri/pertama) terpusat pada masalah status kebenaran akal dan kebenaran wahyu serta hubungan antara akal dan wahyu378. Pada generasi kedua (tabi’în: para pengikut Sahabat) pertentangan tersebut mengkristal antara kelompok Muktazilah yang mengatakan tentang kemakhlukan Alquran dengan Ahlu Sunah Waljamaah, terutama pengikut mazhab al-Hanbaliy dan al-’Asy‘ariy yang mengatakan bahwa Alquran bukan makhluk dan wajib bagi akal untuk membacanya tanpa mempertanyakan (kebenaran maknanya/bilâ kaifa, karena memang sudah pasti kebenarannya), dan menerimanya sebagaimana ia diturunkan. Pertentangan antara dua aliran pemikiran Islam tersebut telah menguat dan membentuk dua martabat dan paham, dan dua bentuk ontologi yang berbeda bagi akal, yang bercampur-baur dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Terkakait dengan pertentangan-pertentangan antar aliran pemikiran Islam, fenomena yang tak terpikirkan sampai sekarang adalah kenyataan bahwa akal pada hakikatnya merupakan sumber dan subyek bagi semua yang diungkapkan manusia dan menggunakannya dengan menggunakan bahasa (Arab) tertentu, atau menggunakan sistem semiologi, oleh karena setiap pemikir/penulis (harus) tunduk 378 Lihat, Syah Wâliyullâh, Hujjatullâh al-Bâlibghah, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, vol. 1, hal. 148. 242 kepada semua faktor kebahasaan, budaya, politis, dan sosiologis pada semua lingkungan (environment) yang beraneka macam dan pada seluruh periode kesejarahan yang kesemuanya mewarnai pandangan-pandangan, dan bahkan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dari aliran-aliran pemikiran atau mazhab keagamaan. Kebenaran yang diklaim oleh masing-masing aliran pun sebenarnya tunduk kepada kesejarahan, karena aspek-aspek dan fungsinya berubah dengan berubahnya pandangan akal kepadanya. Demikian juga akal berubah perannya dengan perubahan hasil-hasil dan makna-makna yang menjadi dasar dan penghubung untuk terus melakukan proses pencarian kebenaran dengan cara yang benar demi kebenaran tersebut. Oleh karena itu, apa yang kemudian dibutuhkan terhadap pemikiran Islam sebagi hasil turunan dari wacana kenabian seperti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah melihat faktor-faktor sejarah yang melahirkannya, syarat-syarat ilmiahnya, dan tujuan-tujuan politisnya. Pemikiran Islam adalah sebagaimana pemikiran kesejarahan lainnya, seperti pemikiran Marxis misalnya. Pemikiran-pemikiran itu memperoleh suatu jenis kemampuan karena ada hukum-hukum, dasar-dasar, metode-metode dan postulat-postulat yang sangat penting bagi pijakan akal untuk menghasilkan, menetapkan, dan menerapkannya. A. Konteks Historis Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dan Implikasinya Meskipun Al-Mâwardiy tidak mengatakan secara jelas bahwa al-’Ahkâm alShulthâniyyah ditulisnya untuk mewakili ortodoksi kelompok Suni dalam konteks pertentangannya dengan ortodoksi-ortodoksi yang lain, tetapi analisis di atas telah 243 menunjukkan bahwa teori etika politik Al-Mâwardiy itu merupakan manifestasi dari pola pemikiran ortodoksi Suni yang bersaing dengan ortodoksi-ortodoksi selainnya: Syî‘ah, Muktazilah, dan Khawârij, terkait dengan isu-isu kekuasaan. Demikian juga, terori politik Al-Mâwardiy yang merepresentasikan pandangan ortodoksi Suni itu memiliki jangkauan-jangkauan praktis dan strategis terhadap kekuasaan. Program mihnah yang dilancarkan Khalifah al-Ma’mûn dengan dukungan para elit intelektual Muktazilah, program Syiinisasi yang dilancarkan kaum Syî‘ah di bawah perlindungan sultan/amir Banî Buwaihiy, serta munculnya "Dekrit Qâdiriyyah" yang menonjolkan pengaruh Suni dalam praktek pengelolaan pemerintahan maupun kemasyarakatan; adalah domain kesejarahan yang membuktikan adanya pertarungan politis dan ideologis yang kuat di antara kelompok-kelompok tersebut, bahkan peristiwa-peristiwa tersebut merupakan kristalisasinya. Proyek intelektual Al-Mâwardiy melalui penulisan al-’Ahkâm alShulthâniyyah tampak sebagai bentuk mental agamis yang suci, menghimpun semua bentuk ke-Islaman bagi dirinya sehingga membentuk "ortodoksi murni" yang selamat dan menyelamatkan, dengan pengungkapan kepercayaan- kepercayaan dogmatis yang bersumber kepada kepercayaan dan praktek hidup manusia-manusia besar, sehingga seperti layak disebut sebagai landasan bagi bangunan kekuasaan yang Islami, yang kokoh dan benar. Padahal pada hakikatnya, pemikiran Al-Mâwardiy yang Suni beserta pemikiran-pemikiran sektarian lainnya merupakan “ortodoksi yang menyeleweng” yang justru menjadi 244 sandaran kekuasaan bagi tujuan-tujuan politiknya, karena agama dan agamawan (ulama) telah dikuasai oleh kekuasaan politik sejak permulaan kekuasaan dinasti Mu‘âwiyah, dan penguasaan resmi ini terus berlanjut sampai masa dinasti ‘Abbâsiyyah. Mereka, para elit penguasa telah menguasai dan memonopoli agama untuk membentuk ideologi yang menyeluruh untuk mendapatkan yustfifikasi sakralitas kekuasaan. Dalam kondisi persaingan mental dan intelektual dari masing-masing kelompok Islam untuk membentuk dan mengokohkan ortodoksinya; fungsi penampakannya dalam sejarah masyarakat sangat ditentukan oleh kemauan politik para penguasa. Demikian juga, kekuatan politik para penguasa, selain dia membutuhkan modal materi yang besar untuk mencukupi kebutuhan politisnya, dia sangat membutuhkan dasar legitimasi bagi kekuasaannya. Dan, tidak ada dasar legitimasi yang dianggap lebih kuat dan lebih suci daripada agama. Seperti telah ditunjukkan di atas, Al-Mâwardiy menulis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam konteks situasi persaingan antar ortodoksi tersebut, demi mengokohkan versi ortodoksinya. Pada saat yang sama pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kemauan politik khalifah dinasti ’Abbâsiyyah maupun para amir dinasti Buwaihiy yang sama-sama menginginkan legitimasi bagi kekuasaannya. Kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam konteks sosial-historis tersebut, jangkauan-jangkauan sosial-politisnya, dan fungsinya dalam struktur wacana kekuasaan, memiliki implikasi-implikasi ideologis yang mendalam, yaitu: 1. melanggengkan (status quo) sistem kekuasaan monarki dan sumber legitimasinya; 245 2. merupakan bentuk wacana tandingan terhadap wacana kekuasaan kelompok Syî‘ah dan khawârij; 3. menyembunyikan fakta-fakta historis politik yang penuh intrik dan kekerasan melalui penampakan wacana kekuasaan secara normatif dan ideal; 4. mengandung bias ketidakadilan sosial; 5. mereduksi sejarah kenabian (Islam) sebagai sejarah politik dan kekuasaan. Implikasi-implikasi ideologis tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat sampai masa sekarang, terutama bagi kelompok-kelompok politik yang berjuang untuk meraih kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaannya; atas nama menegakkan "Islam". B. Syarat-syarat Ilmiah (Metodologi) Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah dan Implikasinya Telolog seperti Al-Mâwardiy dan para ahli hukum syariat lainnya, terbiasa untuk memandang agama, negara, dan dunia dari "atas", yakni bertolak dari ajaranajaran dasar ideal dan ketetapan wahyu, baik dari sisi Allah, Pemberi Hukum Pertama, maupun dari kalangan yang memegang kekuasaan (penguasa ataupun ulama). Kemudian dari ajaran-ajaran ideal tersebut mereka menghasilkan hukumhukum cabang yang terkait dengan dasar-dasar keilmuan atau undang-undang pensyariatan. Maka mereka tidak mempertanyakan tentang dampak-dampak dari sikap pemahaman dan istinbâth (proses konklusi hukum) ini terhadap 246 pembentukan manusia sebagai individu, warga negara, dan person, tetapi mereka merasa cukup dengan keharusan akidah (keyakinan) bahwa ajaran-ajaran dasar tersebut sesuai, benar, sempurna, dan bersifat ketuhanan; dan bahwa istinbâth tersebut, apapun aspek-aspek kesejarahan dan perangkat-perangkat intelektual yang digunakan serta pola-pola peradabannya, benar dan sesuai bagi seluruh masa dan tempat. Demikianlah, metodologi istinbâth yang seolah-olah ilmiah justru menjadi sarana yang efektif bagi pengoperasian ideologi. Hukum yang sejatinya merupakan produk pemikiran manusia dengan segala aspek kesejarahannya telah disucikan; dianggap tanpa kepentingankepentingan individual maupun kelompok, dan tampak seperti hanya bertendensi akhirat. Tetapi seperti telah ditunjukkan, metodologi istinbâth Al-Mâwardiy dan hukum yang dihasilkannya sesungguhnya memiliki kepentingan ideologi kelompok Suni vis à vis kelompok Syî‘ah, Muktazilah, dan Khawârij. Metodologi istinbâth bukan saja memiliki implikasi ideologis melainkan juga menimbulkan dampak pembatasan yang serius terhadap dinamika pemikiran mengenai etika politik Islam. Hak-hak manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga negara menjadi problem yang tak terpikirkan, dan sebaliknya, metodologi istinbâth sibuk melindungi otoritas dan dominasi negara dengan jubah kesuciannya. Metodologi istinbâth mengkonsepsikan negara yang terbentuk secara niscaya sebagai "amanat langit" yang suci dan kokoh; dan bukan sebagai lembaga wewenang yang kewenangannya merupakan "mandat bumi" dari individu-individu manusia yang berdaulat yang secara sadar menyerahkan sebagian hak-hak dan kewenangan mereka kepada penguasa yang mereka 247 kehendaki. Maka, metodologi istinbâth sungguh-sungguh berperan meratakan jalan bagi dominasi negara terhadap rakyat dan menuntut kepatuhannya, bahkan menghilangkan hak-hak normatifnya hingga pada tataran wacana. Metodologi istinbâth benar-benar menempatkan rakyat dalam posisi yang sangat lemah dan awam, dan oleh karena itu, rakyat harus bungkam dan menurut kepada kehendak hukum yang dibuat oleh penguasa: umara dan ulama yang berpadu. 248 BAB VI PENUTUP "Penyimpangan ideologis terjadi dalam kerangka pemikiran Islam setiap waktu, bahwa seorang penulis lebih kurang hanya mengumandangkan sebuah mazhab, sebuah komunitas atau sebuah tradisi secara tepat, mentransformasi wacana Qurani dari sistem kognitif yang terbuka kepada sistem kognitif yang tertutup".379 Mohammed Arkoun Kekuasaan, di manapun, selalu membutuhkan pendasaran legitimasi bagi eksistensinya, prakteknya, maupun tujuan-tujuannya, bahkan kekuasaan seorang nabi terhadap umatnya. Dalam konteks umat Islam, sepeninggal Nabi Muhammad krisis yang pertama kali dialami adalah krisis politik yang berujung pada krisis legitimasi bagi kepemimpinan penggantinya. Kedua krisis ini pada taraf tertentu dapat diatasi dengan konsensus-konsensus politik yang terjadi di lingkungan elit Sahabat. Namun sejarah membuktikan bahwa tidak adanya petunjuk yang jelas tentang pemimpin pengganti Nabi dan sistem kepemimpinan yang pasti yang dapat menjamin legitimasinya adalah sumber utama pertentangan antar kelompok yang berkepentingan terhadap kekuasaan dan perbedaan klaim-klaim legitimasinya. Bahkan, konsensus-konsensus politik yang tercipta sejak awal tidak mampu bertahan dalam waktu yang lama, karena pada akhirnya seluruh dinamika politik lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan tentara dan ekstra konsensus. 379 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today, Washington, D.C.: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, Ocassional Papers Series, 1987, h. 94 249 Meski demikian, orang atau kelompok manapun yang memegang kendali politik Islam, selain ia membutuhkan dukungan tentara, ia juga membutuhkan landasan legitimasi, baik yang bersifat personal maupun yang bersifat konseptual. Dalam situasi semacam itu, penyusunan konsep sistem kekuasaan menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Dan dalam setiap konsep mengenai sistem kekuasaan yang disusun dan dibangun, legitimasi merupakan persoalan inti yang dibahas, baik pada tataran eksistensi kekuasaan, prakteknya, dan tujuan-tujuannya. Dengan mengambil al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, penelitian ini dilakukan berdasarkan asumsi teoretis bahwa usaha penyusunan konsep sistem kekuasaan Islam yang dilakukan al-Mâwardiy memiliki keterkaitan kuat secara niscaya dengan sejarah, memakai sistem berpikir tertentu, dan pada saat yang sama, rentan terhadap kepentingan ideologi. Maka, penelitian diarahkan untuk menjawab tiga pertanyaan: pertama, soal bagaimana konteks sosial, politik, dan budaya melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai konsep sistem kekuasaan Islam. Kedua, soal bagaimana kaidah dan sistem berpikir tertentu membentuk al’Ahkâm al-Shulthâniyyah? Ketiga, bagaimana kedua aspek masalah itu mengandung implikasi-implikasi yang bersifat ideologis? Atas dasar asumsi tersebut, penelitian kepustakaan kemudian dijalankan, dengan selalu mengingat satu "postulat": bahwa dalam praktek penyusunan suatu konsep (seperti penyusunan konsep kekuasaan Islam yang dilakukan oleh Al-Mâwardiy), terjadi fenomena yang bersifat paradoksal. Dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, fenomena paradoksal dipahami sebagai terjadinya sesuatu yang sebenarnya ingin dihindari al-Mâwardiy dalam menyusun konsep- 250 konsepnya, berupa keterbatasan-keterbatasan historis, metodologis, dan kepentingan-kepentingan ideologis, sehingga konsep-konsepnya itu diharapakan dapat bersifat ideal dan obyektif. Namun, harapan itu justru tidak akan pernah tercapai, karena al-Mâwardiy secara pasti dibatasi oleh konteks sejarah, metodologi dan ideologi. Meskipun keterbatasan-keterbatasan tersebut selalu ingin dihindari oleh setiap pemikir (seperti al-Mâwardiy) dalam rangka kesempurnaan pemikirannya, tetapi sesungguhnya keterbatasan-keterbatasan yang menunjukkan ketidaksempurnaannya adalah hal yang niscaya, dan hal itu sangat tidak dapat dihindari. Maka dengan asumsi teoretis dan postulat tersebut di atas; konteks historis, metodologi, dan ideologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah kemudian menjadi tinjauan utama dalam penelitian. Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa al-’Ahkâm al- Shulthâniyyah dilahirkan oleh konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya. Secara singkat, konteks historis yang melahirkan al-’Ahkâm alShulthâniyyah yaitu: sistem kepercayaan, pemikiran, dan tradisi-tradisi yang hidup dan dihidupi oleh kelompok Muslim Suni melalui perantaraan bahasa Arab di dalam ruang politik dan budaya Islam abad IV H/X M yang penuh intrik dan gejolak persaingan antar aliran Islam yang sekaligus faksi politik. Penelitian ini juga berhasil menunjukkan bahwa al-’Ahkâm alShulthâniyyah yang dilahirkan oleh konteks historis tersebut, mengandung keterbatasan-keterbatasan historis (historisitas), baik yang mengenai substansinya, metodologinya, maupun fungsinya. 251 Konteks historis dan historisitas adalah dua aspek yang tidak pernah dikatakan oleh al-Mâwardiy di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, juga secara umum oleh setiap pemikir-teolog di dalam buku-bukunya. Hal ini merupakan gejala realitas tersendiri, entah disengaja atau tidak. Dalam kasus al-Mâwardiy dan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, fenomena itu dapat diajukan sebagian alasan pembenarnya, yaitu karena memenuhi tuntutan praktis sebagai buku undangundang pegangan bagi siapa saja, terutama khalifah atau para amirnya; seperti dikatakan sendiri oleh al-Mâwardiy. Al-Mâwardiy memang tidak harus menjelaskan konteks historis dan historisitas karyanya: al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Masalah itu merupakan sebagian "tantangan" bagi pembaca al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan (mungkin) justru di dalam masalah itulah terletak desire-nya. Tetapi, alih-alih orang membaca al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dengan secara kritis melihat aspek konteks historis dan bahkan historisitasnya, sekarang kitab ini lebih cenderung dibaca sebagai pemandu imajinasi sebagian kelompok kaum Muslimin tentang "hakikat" kekuasaan yang Islami. Kecenderungan demikian ini masih belum seberapa, karena pencarian identitas adalah hak setiap orang, termasuk pencarian identitas kekuasaan Islam oleh orang-orang Muslim dengan "mengaca" masa lalu Islam, sementara al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah memang bagian dari masa lalu Islam dan telah berperan membentuk identitasnya pada abad IV H/X M. Tetapi, bagaimana dengan kecenderungan lain, seperti kecenderungan orang-orang yang hanya mengambil konsep-konsep tertentu yang diwariskan oleh al-’Ahkâm alShulthâniyyah – diakui atau tidak diakui – tanpa pemahaman yang memadai 252 terhadap konsep-konsep itu – disengaja atau tidak disengaja – dan menampilkannya hanya sebagai simbol-simbol "politik yang Islami"? Bagaimana dengan orang-orang yang mengusung konsep "khilafah" sebagai jargon "politik yang Islami", bahkan konsep itu dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi semua problem umat Islam dewasa ini? Berdasarkan hasil-hasil penelitian ini, penulis tidak ragu-ragu menyatakan bahwa kecenderungan-kecenderungan tertanda-tanya itu tidak lebih dari tindakan-tindakan pembenaran mereka terhadap tujuan-tujuan politik jangka pendek dan sempit, meskipun mereka mengklaim sebagai sesuatu yang hakiki, yang murni, dan demi ‘izzu al-Islâm wa al-Muslmîn. Omong kosong!!! Tidak lain, itu semua adalah ideologi "murahan" yang paling nyata. Kecenderungan-kecenderungan tersebut, seperti yang ditampilkan oleh kelompokkelompok "Islam politis" dewasa ini, adalah suatu realitas tersendiri, suatu (efek?) yang tak terduga atau bahkan tak disengaja oleh pemikir seperti al-Mâwardiy dari karyanya: al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Dan orang tetap saja boleh mengajukan pertanyaan: apa salahnya memanfaatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai ideologi, kalau memang toh ia juga merupakan sebuah bentuk ideologi? Penulis menyadari, masalah ideologi tidak terkait dengan persoalan "benar-salah" secara "logis", tetapi lebih merupakan masalah yang terkait persoalan "menang-kalah" secara politis, dan karena itu ideologi adalah suatu problem etis. Dengan demikian, persoalan yang mendesak untuk dipikirkan dalam konteks Islam saat sekarang ini adalah bukan pertanyaan: apakah ideologi Islam itu? Atau, bagaimana ideologi Islam (seharusnya) agar dapat "menang" dalam arena politis? Tetapi, bagaimana (seharusnya) Islam terus dipikirkan dan terus diperjuangkan 253 dengan selalu mempertimbangkan peroblem-problem etis kemanusiaan secara menyeluruh dalam konteks sekarang ini? Karena eksistensi Islam tidak akan bergantung banyak kepada seberapa luas wilayah politik yang dikuasainya, atau kepada seberapa banyak sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya, melainkan lebih banyak bergantung kepada seberapa mampu Islam tampil atau ditampilkan sebagai salah satu kekuatan moral dunia untuk memecahkan problem-problem etis kemanusiaannya. Eksistensi Islam lebih ditentukan oleh sejauh mana ia bergerak atau digerakkan untuk "memanusiakan manusia" atau nguwongake wong. Yang terakhir ini, benar-benar merupakan misi utama dan telah dijalankan oleh Muhammad sebagai Rasulullah, bukan? Dia, salah seorang yang dengan sikap penuh rendah hati menyuarakan: "Tidak lain, sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq",380 bukan? Dan Allah pun telah memujinya dengan firman: "Dan sungguh engkau [Muhammad, pen.] memiliki akhlak-akhlak yang agung",381 bukan? Karena, selain pembinaan moralitas manusia adalah misi utama Muhammad dalam rangka meningkatkan kemuliaan harkat kemakhlukan mereka, dia melaksanakan misi itu dengan menghormati martabat kemanusiaan dan dengan moralitas tertinggi, bukan? Dan, karena dia memulai misinya itu dari "perbaikan" bukannya "membaikkan" terhadap dirinya sendiri, bukan? Akhir kata, penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai upaya penurunan derajat kehormatan Al-Mâwardiy sebagai pemikir besar Muslim yang terakui, demikian juga penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melolosi kewibawaan al380 ’Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur' ân al-‘Azhîm, Dâru Thaibah li al-Nasyri wa al-Tauzî‘, 1420/1999, vol. 8, h. 190. 381 Q.S. Al-Qalam: 4 254 ’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai salah satu teks Islam yang agung, melainkan sekedar menunjukkan nuansa kesejarahan dan keterbatasan-keterbatasan jangkauannya yang nyata dan manusiawi. "Kejujuran" melihat al-’Ahkâm alShulthâniyyah secara wajar-manusiawi ini bukan untuk menilainya secara negatif atau melemparkannya ke dalam "keranjang sampah" peradaban, melainkan justru untuk "mengelap debu-debu" yang menempelinya selama ini, ketika sejak akhir abad IV H/X M ia dilahirkan dan hingga kini ia terselip di atas rak buku perpustakaan-perpustakaan, dan masih akan tetap di sana. 255 DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar, Usman dkk., “Negara dan Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran Al-Mâwardiy dan ’Ibn al-Farrâ’”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5 Al-‘Araby, Abû Bakr, Al-‘Awâshim min al-Qawâshim, Arab Saudi: Kementerian Urusan Islam, 1419 H. Al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâry, Mesir: Maktabah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1963 Al-’Asy‘ariy, Maqâlât al-’Islâmiyyîn wa ’Ikhtilâf al-Mushallîn, ’Istanbul: Thab‘ah ’Istanbul, 1930 Al-Baghdâdiy, ‘Abd al-Qâhir,’Ushûl al-Dîn, ’Istanbul: Thab‘ah ’Istanbul, 1928 Al-Baghdâdiy, ’Abû Bakr al-Khathîb, Târîkh al-Baghdâd, Bairut: Dâr al-Turâts al-‘Arabiy, 1942 Al-Farrâ’, ’Abû Ya‘lâ, Al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bairut: Dâr al-Fikr, 1994/1414 Al-Ghazâliy, Al-’Iqtishâd wa al-’I‘tiqâd, Mesir: al-Mathba‘ah al-Mahmûdiyyah, tt. Al-Hamwiy, Yâqût, Mu' jam al-’Adibbâ’, Mauqi‘u al-Warrâq, tt. Al-Hamwiy, Târîkh al-Buldân, Mesir: Maktabah al-Khanjiy, 1906 M. Al-Jâhizh, Rasâ' il al-Jâhizh, Kairo: Maktabat al-Khanji, 1968 Al-Jâhizh, Kitâb al-Tâj fi ’Akhlâq al-Mulûk, Bairut: Al-Syarîkah al-Lubnâniyyah li al-Kitâb, tt. Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bairut: Dâr al-Fikr, tt 256 Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Bairut: Dâr al-Fikr, 1415 H./1995 M Al-Mâwardiy, Al-Nukat wa al-‘Uyûn, Mauqi‘u al-Tafâsir, tt. Al-Mâwardiy, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Abdul Hayyie al-Kattani & Kamaluddin Nurdin (ed.), Jakarta: Gema Insani Press, 2000 Al-Mas‘ûdiy, Murûj al-Dzahab [Meadows of Gold], Bairut: Dâr al-Ma‘rifah, 1982 Al-Munqiry, ’Ibnu Muzâhim, Waq‘at Shiffîn, ’Abdu al-Salâm Muhammad Hârun (ed.), al-Muassasat al-‘Arabiyyât al-Hadîtsât, 1382 H. Al-Muqaffâ, ’Ibnu, Risâlah fi al-Shahâbah, Jamharat al-Rasâ’il al-‘Arabiy, tt. Al-Qur’ân al-Karîm Al-Syahrastâniy, Nihâyat al-’Iqdâm fî ‘Ilm al-Kalâm, Aksapurd: Thab‘ah A Juyyûm, 1943 Al-Syahrastâniy, Al-Milal wa al-Nihal, Bairut: Dâr al-Sa‘b, 1986 Al-Rais, Dhiyâ’u al-Dîn, Al-Nadzariyyât al-Siyâsiyyât al-’Islâmiyyâh, Kairo: Dâr al-Turâts, 1979 Al-Tanûkhiy, ’Abû al-Mahâsin, Târîkh al-‘Ulamâ’i al-Nahwiyyîn, Maiqi‘u alWarrâq, tt. Al-Thabariy, [’Abû Ja‘far Muhammad], Târîkh al-’Umam wa al-Mulûk [History of Umams and Kings] , Bairut: Dâr al-Fikr, 1979 An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKIS, 1994 Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam Today, Washington, D.C.: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University: Ocassional Papers Series, 1987 257 Arkoun, Mohammed, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.), Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994 Arkoun, Mohammed, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Arkoun, Mohammed, Membongkar Wacana Hegemonik, Jauhari dkk. (ed.), Surabaya: Al Fikr, 1999 Barker, Chris, Cultural Studies: Theory and Practice, London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 1999 Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: Gramedia, 2001 Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996 Carter, April, Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali, 1985 Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982 Achols, John M. dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2000 Esposito, John L. (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World New York: Oxford University Press, 1995 Foucault, Michel, Archaeology of Knowledge, Great Britain, London: Tavistock Publications, 1972 Habermas, Jurgen, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990 258 Hardiman, Francisco Budi, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: gramedia, 2003 Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1393 H/1973 Islamic Culture 11, No. 3, Juli 1937 Islamic Studies 4, No. 3, September 1965 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 Kan‘an, ’Ibnu, Târîkh al-Dawlah al-‘Abbâsiyyah: Khulâshah Târîkh ’Ibn Katsîr, Bairut: Muassasat al-Ma‘ârif, 1419 H./1998 M. Katsîr, ’Ibnu, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, Bairut: Dâr al-Mufîd, 1403/1983 Katsîr, ’Ibnu, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Mesir: Dâr ’Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, 1408 H/1988 M. Khaldûn, ’Ibn, Al-Muqaddimah, Kairo: al-Mathba‘ah al-’Azhariyyah, 1930 Khaldûn, ’Ibn, Muqaddimah [Târîkh ’Ibnu Khaldûn], Bairut: Dâr ’Ihyâ’i al-Turâts al-‘Arabiy, 1978 Khan, Qamaruddin, Al-Mawardi' s Theory of The State, Lahore: Islamic Book Foundation, 1983 Kihâlah, ‘Umar Ridhâ, Mu‘jam al-Mu’allifîn, Bairut: Dâru ’Ihyâ’i al-Turâts al‘Arabiy, tt. Kurzman, Charles (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001 Lambton, Ann K. S., State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University Press, 1981 259 Larrain, Jorge, Konsep Ideologi, Yogyakarta: LKPSM, 1996 Lee, Robert D., Overcoming Tradition and Modernity, Boulder, Colorado: Westview Press, 1997 Lewis, Bernard, Islam in History: Ideas, People, and Events in Middle East, Chicago & La Salle, Illionis: Open Court Publishing Company, 1993 Maarif, Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985 Majallat al-‘Arabiy 76, Maret 1965 Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991 Mufid, Nur, "Lembaga-lembaga Politik Islam Menurut Al-Mâwardiy dalam Kitabnya al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah", Surabaya: Balai Penelitian IAIN Sunan Ampel, 1998 Mulyati, Sri dkk., Islam & Development: A Politico-Religious Response, Montreal: Permika Montreal & LPMI, 1997 Nafis, M., dkk., “Konfigurasi Keagamaan dalam Islam: Studi Tentang Sekte dan Madzhab Abad XI di Daerah Baghdad dan Khurasan”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1996 Peursen, C. A. Van, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1994 Qutaibah, ’Ibnu, Al-’Imâmah wa al-Siyâsah: Tarîkh al-Khulafâ’, Mesir: Mu’assasat al-Halabiy wa al-Syarîkah, t.t. Rabinow, Paul (ed.), Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault, Yogyakarta: Jalasutra, 2002 260 Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1994 RETORIK, Vol. 2, No. 4, Oktober 2003 Richard, D. S. (ed.), Islamic Civilization 950-1150, Oxford: Bruno Cassier, 1973 Said, Edward W., Orientalism, New York: Random House, 1979 Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990 Sunardi, St., Islam dalam Lintasan Sejarah, kumpulan makalah belum diterbitkan Sunardi, St., Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002 Suprayogo, Imam, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 Sou' yb, Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 The Scottish Journal of Religious Studies, Volume 6 (1), Musim Semi, 1985 Wahid, Marzuki, Latar Historis Narasi Ketatanegaraan Al-Mâwardiy-’Ibn AlFarrâ’: Bacaan “Seorang Rakyat” atas Dua Kitab Al-’Ahkâm AlSulthâniyyah, Cirebon: Jaringan Informasi & Lektur Islam (JILLI), 1997 Wâliyullâh, Syah, Hujatullâh al-Bâlighah, Bairut: Dâr al-Ma‘rifah, tt. 261 Lampiran 1 : Operasionalisasi Metodologi Al-Mâwardiy No. 1 Kasus/masalah Kewajiban Imam Metode Hukum mengangkat • didasarkan logika Produk Hukum Kembali kepada Alquran yang menyatakan: “Hai Pengangkatan Imam untuk memimpin umat orang-orang yang beriman patuhilah Allah, Islam harus didasarkan patuhilah Rasul, dan patuhilah penguasa urusan di (agama), bukan logika akal. akal atau ketentuan syariat? antara kamu…..” (an-Nisâ’: 59). • Kembali kepada sabda Nabi yang menyatakan: “Setelah masaku, kalian akan dipimpin oleh berbagai macam pemimpin. Pemimpin yang baik dan cakap akan memimpin dengan baik dan cakap pula, sedangkan pemimpin yang buruk dan jahat akan memimpin dengan buruk dan jahat pula. Dengarkanlah dan patuhilah mereka selama kebijakan mereka sejalan dengan kebenaran. Jika mereka memimpin dengan baik maka kalian mendapat ketentaraman hidup dan mereka kepada syariat 262 mendapatkan pahala, dan jika mereka memimpin dengan buruk maka kalian mendapatkan pahala (dengan kesabaran kalian) sementara mereka mendapatkan dosa.” • Kembali ke praktek awal pasca Nabi wafat, umat Islam langsung mengangkat Imam sebagai penggantinya. • Argumentasi rasional bahwa rasio hanya mewajibkan setiap orang yang berakal agar tidak melakukan kezaliman dan tidak memutuskan hubungannya dengan orang lain. Rasio tidak mendorong/mewajibkan pemimpin negara untuk menjalankan tugas-tugas agama. 2 Bagaimana status kewajiban Dianalogikan (qiyâs) dengan hukum berjihad dan Status kewajibannya adalah fardu kifayah, mengangkat Imam didasarkan pada syariat? jika mencari ilmu pengetahuan. yaitu jika ada orang yang telah melaksanakannya dari kalangan umat Islam, maka kewajiban itu gugur atas umat Islam seluruhnya. 263 3 Siapakah yang bertanggung Penalaran bebas dan praktek pemerintahan masa lalu. Ada dua kelompok: jawab atas proses suksesi • imamah? Orang-orang yang mempunyai kualifikasi wewenang untuk memilih Imam. Mereka lazim disebut "dewan pemilih" atau "dewan permusyawaratan" (’ahlu al-halli wa al-‘aqdi, ’ahlu al-’ikhtiyâr, atau ’ahlu al-syûrâ). • Orang-orang yang memiliki kualifikasi untuk menjadi Imam, disebut ’ahlu al’imâmah). Orang-orang selain dua kelompok kualifikasi tersebut tidak berdosa dan tidak bersalah jika terjadi kekosongan Imam. 4 Apa saja syarat kualifikasi Penalaran bebas. • Mempunyai kredibilitas-keadilan "dewan pemilih" ? • Mempunyai pengetahuan • Mempunyai pendapat yang kuat dan kebijaksanaan. 264 5 6 Apa saja syarat kualifikasi Penalaran bebas dan hadis Nabi tentang hak istimewa • Mempunyai kredibilitas-keadilan calon Imam? • Mempunyai pengetahuan • Mempunyai pancaindera yang lengkap • Tidak ada kecacatan pada anggota tubuh • Mempunyai Visi pemikiran yang baik • Berani • Dari suku Quraisy. suku Quraisy. Bagiamna mekanisme Kembali kepada praktek-praktek pemerintahan pada • Melalui prosedur pemilihan oleh "dewan pengangkatan Imam? masa empat khalifah yang pertama dan pendapat- pemilih". pendapat ahli fikih. • Melalui penyerahan mandat dari Imam sebelumnya 7 8 Apakah boleh seseorang Kembali kepada pendapat-pendapat para ahli fikih. Boleh, dan orang-orang yang berebut untuk mencalonkan diri sebagai menjadi Imam tidak kehilangan hak untuk Imam? memangku jabatan itu. Bagaimana penetapan mekanisme Kembali kepada pendapat-pendapat para ahli fikih. Imam jika terdapat calon-calon yang mempunyai kualifikasi yang • Imam ditentukan berdasarkan undian • Imam deitentukan melalui pemungutan suara "ewan pemilih". 265 seimbang? 9 Bagaimana penyelesaian mekanisme Kembali kepada pendapat para ahli fikih dan • jika Pendapat pertama mengatakan bahwa terjadi penalaran bebas, dan sebagian lagi mengacu (melalui orang yang berhak menjadi Imam secara metode kias) kepada hukum pernikahan seorang legal adalah orang yang dibaiat di wanita dengan dua laki-laki yang berbeda. wilayah tempat wafat Imam sebelumnya, dualisme kepemimpinan? karena orang yang berada di tempat kedudukan Imam lebih berhak menjadi "dewan pemilih" dan lebih berhak untuk dipilih. • Pendapat kedua mengatakan bahwa keduanya harus melepaskan jabatan itu dari dirinya dan menyerahkannya kepada yang paling berkompeten untuk menciptakan keamanan dan menghindari terjadinya perang saudara. • Pendapat ketiga mengatakan dilakukan undian bagi keduanya. harus 266 • Pendapat keempat (mayoritas ahli fikih) mengatakan bahwa jabatan itu jatuh kepada orang yang lebih dahulu dibaiat dan diberikan jabatan itu. 10 Bagaimana • legalitas Kembali kepada praktek pada masa Sahabat: pengangkatan Imam 1. Khalifah ’Abû Bakr telah menyerahkan berdasarkan mandat Imam mandat jabatannya sebelumnya? Khaththâb. kepada ’Umar Muslimin mengakui legalitas mengakui legalitas jabatan ’Umar. bin • 2. Khalifah ’Umar menyerahkan mandat jabatan Kaum Kaum Muslimin sistem penyerahan wewenang itu kepada "dewan permusyawaratan" itu kepada “dewan permusyawaratan” yang terdiri dari enam orang untuk memilih seorang Imam. 11 Bagaimana jika penerima Mengacu kepada pendapat para ahli fikih. mandat (mandataris) Ada tiga pendapat: 1. Imam tidak boleh melakukan baiat merupakan anak Imam atau terhadap anak atau orang tuanya orang tuanya sendiri? sendiri sebelum musyawarah ia dengan melakukan "dewan pemilih" dan mereka setuju atas keputusan Imam itu. 267 2. Imam boleh memberikan sendirian mandat itu kepada anak atau orang tuanya karena ia adalah pemimpin umat yang dipatuhi. perintahnya Hukum dengan yang kedudukan mengalahkan keberpihakan. wajib terkait Imam praduga Dorongan hatiny tidak dinilai sebagai pengurang sifat amanahnya dan tidak pula menjadi penentangnya. 3. Imam boleh memberikan mandat itu sendirian terhadap orang tuanya, namun ia tidak boleh melakukan itu terhadap anaknya, karena tabiat manusia cenderung untuk memihak kepada anak lebih besar daripada kecenderungannya tuanya. kepada orang 268 12 Bagaimana menyerahkan jabatannya Imam Kembali kepada hadis Nabi yang menceritakan bahwa Maka penyerahan mandat Imam kepada dua jika mandat Rasulullah SAW pernah memberi mandat pimpinan orang atau lebih secara bergantian boleh kepada dua pasukan dalam Perang Mu’tah kepada Zaid bin dilakukan. orang atau lebih secara Hâritsah, dan berkata: “jika ia terbunuh, pimpinan bergantian menjadi Imam? akan dipegang Ja‘far bin ’Abî Thâlib. Jika ia terbunuh, pimpinan akan dipegang oleh ’Ábdullâh bin Ruwâhah. Jika ia juga terbunuh, pasukan Muslimin dapat memilih sosok yang mereka suakai”. 13 Apa tugas utama Imam? Penalaran bebas Tugas-tugas utama Imam ada sepuluh hal: 1. Menjaga ajaran Agama agar tetap di atas landasan pokok-pokoknya. 2. Memutuskan hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa/bertikai. 3. Menjaga keamanan masyarakat. 4. Menjalankan hukum pidana. 5. Menjaga perbatasan negara. 6. Berjihad melawan pihak yang menentang Islam. 7. Menarik fai’ dan memungut zakat. 269 8. Menentukan gaji tentara dan pegawai serta ‘atha’ kepada rakyat. 9. Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya. 10. Melakukan inspeksi pekerjaan pembantunya. 14 Kapan Imam dapat Penalaran bebas Imam dapat dilengserkan, jika: dilengserkan? 1. kredibilitas moral pribadinya rusak 2. terjadi kecacatan pada anggota tubuhnya yang menghalangi geraknya 3. tertawan musuh. 15 Bagaimana legalitas Kembali kepada Alquran tentang Mûsâ yang ingin Imam boleh mengangkat menteri. pengangkatan menteri? mengangkat Hârun: “Dan jadikanlah untukku pembantu dari keluargaku, (yaitu) Hârun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thâhâ: 29-32). 16 Apa syarat seorang menteri? kualifikasi Penalaran bebas dan sebagian menyandarkan diri pada hadis Nabi. 1. Memiliki kredibilitas 2. Jujur 3. Tidak ambisius 270 4. Memelihara diri dari permusuhan 5. Teliti atas informasi 6. Cerdas 7. Tidak mengikuti hawa nafsu 8. Tidak seorang wanita 17 Bagaimana legalitas jabatan Penalaran bebas Gubernur diangkat dengan penyerahan gubernur? mandat oleh Imam. Kekuasaan gubernur berasal dari Imam. 18 Apa tugas gubernur? Penalaran bebas 1. Mengatur penempatan tentara dan gajinya 2. Mengurus perkara-perkara hukum 3. Memungut kharâj dan zakat 4. Memelihara Agama dari perubahan dan penggantian (bidah) 5. Melaksanakan hukum pidana 6. Menjadi imam salat Jum‘at 7. Mengatur perjalanan jamaah haji 271 19 legalitas Penalaran bebas Bagaimana gubernur yang berkuasa melalui tekanan pasukan Dapat disahkan dengan 3 persyaratan: 1. Menjaga status kedudukan Imam sebagai pengganti tugas Nabi. 2. Menampilkan kepatuhan beragama terhadap Imam? 3. Mewujudkan persatuan Meskipun keluar dari aturan pengangkatan yang semestinya, baik dari segi syarat-syarat maupun aturan hukumnya, legalitasnya dapat diakui dengan tujuan untuk menjaga keberlansungan hukum-hukum syariat dan aturan-aturan agama yang lain, sehingga tidak membiarkan suatu wilayah negara berada dalam situasi tanpa aturan dan kacaubalau. 20 Apa tugas panglima tentara? Penalaran bebas dan sebagain kembali kepada Alquran dan hadis Nabi. a. Mengatur tentara, meliputi 10 hal: 1. menjaga tentara dari jebakan musuh, 2. memilih tempat memerangi musuh, untuk 272 3. menyiapkan peralatan dan perbekalan, 4. mengikuti perkembangan berita, 5. mengatur tentara dalam regu dan barisan perang, 6. memperkuat jiwa anggota pasukan, 7. merawat dan menasihati kesabaran terhadap tentara yang terluka, 8. bermusyawarah dengan para pakar, 9. mengingatkan tentara tentang kewajibannya kepada Allah, 10. menyiagakan pasukan setiap waktu, b. Mengatur strategi perang. 273 21 Apa kewajiban para tentara? Kembali kepada Alquran dan hadis Nabi 1. Bersikap teguh dalam menghadapi musuh. 2. Berperang demi membela agama Allah 3. Menunaikan amanat ghanîmah (harta rampasan perang). 4. Tidak condong kepada kaum musyrikin yang mempunyai ikatan kekerabatan. 22 Apa syarat jabatan hakim? Penalaran bebas, mengutip pendapat ahli fikih, dan 1. Laki-laki dewasa sebagian mengutip ayat Alquran. 2. Mempunyai pengetahuan tentang syariat yang hukum-hukum mencakup ilmu-ilmu pokok (’ushûl) dan cabang-cabangnya (furû‘) 3. Berstatus merdeka 4. Beragama Islam 5. Mempunyai kredibilitas 6. Penglihatan sempurna dan pendengarannya 274 23 Bagaimana legalitas hakim Mengutip pendapat para ahli fikih 1. Boleh yang 2. Tidak boleh berbeda mazhab dengan Imam? 24 Bagaimana hakim menerima hadiah yang Hadis Nabi Tidak boleh/haram. dan mengambil keuntungan dari jabatannya? 25 Bagaimana pengelolaan dan Mendasarkan pada praktek tradisi/kebiasaan yang administrasi pertanahan? 1. diakui (‘urfy) Bagaimana pemanfaatan fasilitas publik? 1. Mendasarkan pada prinsip kemaslahatan (al- (istihsân) area pada untuk lahan perkebunan 1. mendahulukan siapa yang pantas didahulukan, atau mashlahat al-mursalah) 2. Mendasarkan untuk perumahan/pemukiman, atau 2. 26 dimanfaatkan prinsip kepatutan 2. mendahulukan orang yang memang lebih dulu mengakses fasilitas publik itu. 275 2. Daftar Isi Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah PENDAHULUAN BAB 1 : PENGANGKATAN KEPALA NEGARA BAB 2 : PENGANGKATAN MENTERI BAB 3 : PENGANGKATAN GUBERNUR PROVINSI BAB 4 : PENGANGKATAN PANGLIMA PERANG BAB 5 : PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN BAB 6 : PENGANGKATAN HAKIM BAB 7 : PENGANGKATAN PEJABAT MAZHÂLIM (KOMISI PELERAI PERSENGKETAAN) BAB 8 : PENGANGKATAN PERWAKILAN KELUARGA TERHORMAT BAB 9 : PENGANGKATAN IMAM-IMAM SHALAT BAB 10 : PENGANGKATAN PIMPINAN IBADAH HAJI BAB 11 : PENGANGKATAN PETUGAS PEMUNGUT ZAKAT BAB 12 : PEMBAGIAN FAY’I DAN HARTA RAMPASAN PERANG BAB 13 : PENENTUAN JIZYAH DAN KHARÂJ BAB 14 : PENGELOLAAN DAERAH ISTIMEWA BAB 15 : PENGELOLAAN TANAH DAN SUMBER DAYA ALAM 276 BAB 16 : PENGELOLAAN TANAH FASILITAS UMUM BAB 17 : PENGELOLAAN KEPEMILIKAN TANAH DAN SUBSIDI BAB 18 : ADMINISTRASI NEGARA BAB 19 : UNDANG-UNDANG KRIMINAL BAB 20 : PEMBINAAN KETERTIBAN UMUM