INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA

advertisement
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
DALAM MEWUJUDKAN CHECKS AND BALANCES SYSTEM
DI NEGARA INDONESIA
Marsudi Dedi Putra2
Abstrak: Salah satu buah manis dari reformasi itu adalah kelahiran kemandirian kekuasaan
kehakiman yang lepas dari pengaruh kekuasaan politik dan eksekutif. Guna mendukung
kemandirian itu lahirlah Komisi Yudisial yang selanjutnya disingkat KY sebagai pengawas
eksternal kekuasaan kehakiman melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Wewenang dan tugas dari
Komisi Yudisial Republik Indonesia Komisi Yudisial adalah: (a) Mengusulkan pengangkatan
hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan (b) Mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Kata kunci: komisi yudisial, lembaga Negara, checks
and balances system
Empat belas tahun silam, angin reformasi telah bergulir. Beragam perubahan dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa telah terjadi hingga saat ini. Salah satu buah manis
dari reformasi itu adalah kelahiran kemandirian kekuasaan kehakiman yang lepas dari
pengaruh kekuasaan politik dan eksekutif. Guna mendukung kemandirian itu lahirlah
Komisi Yudisial yang selanjutnya disingkat KY sebagai pengawas eksternal kekuasaan
kehakiman melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Patmoko, 2011).
Ekspektasi masyarakat terhadap keberadaan Komisi Yudisial (KY) dalam
penegakan hukum di Indonesia sebenarnya sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan telah
diterimanya 9.876 laporan pengaduan dari berbagai lapisan masyarakat dan yang sudah
diregistrasi sebanyak 2.412. Dalam rentang waktu lebih kurang 8 tahun semenjak
pelantikannya komisi Yudisial telah menunjukkan kerja keras dengan berhasil
memproses ribuan laporan pengaduan, dengan rekomendasinya antara lain ada 50
hakim diberi sanksi, baik dengan pemecatan dan hukuman administratif, sementara ada
pula laporan yang tidak didukung dengan bukti-bukti yang relevan (Sutiyoso, 2011).
Apabila dilihat kembali keberadaan lembaga KY selama 8 tahun ke belakang sejak
didirikan, nampaknya lembaga ini terbelenggu dalam posisi yang selalu absurd. Ketika
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan memberikan rekomendasi.
Dengan minimnya kewenangan tersebut KY mencoba beberapa improvisasi, salah
satunya melakukan pengawasan terhadap putusan hakim, tentu saja hal ini mendapatkan
resistensi dari Mahkamah Agung (MA). Kedua lembaga ini akhirnya terlibat
perseteruan yang berpuncak dengan adanya judicial review atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004, sepanjang pasal-pasal mengenai pengawasan ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Akibatnya Komisi Yudisial kehilangan wewenang pengawasannya
selama tahun 2006-2008, sebelum akhirnya dikembalikan lagi oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
yang disahkan awal tahun 2009 (http://dimasprasidi.wordpress.com/menggagaskembali-peranan-komisi-yudisial). Hal ini merupakan bentuk pengawasan dan
pengimbangan (checks and balances system) dalam negara demokrasi.
Marsudi Dedi Putra adalah Dosen FKIP Universitas Wisnuwardhana Malang
Email: [email protected]
14
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sumber dari kekuasaan adalah rakyat.
Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan melahirkan sebuah aturan yang akan
menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Agar itu bisa terlaksana, diperlukan
sebuah peraturan bersama yang mendukung dan menjadi dasar pijakan dalam kehidupan
bernegara untuk menjamin dan melindungi hak-hak rakyat. Peraturan seperti ini biasa
disebut konstitusi.
Dalam konteks Indonesia, konstitusi yang menjadi pegangan adalah UUD 1945.
Jika dicermati, UUD 1945 mengatur kedaulatan rakyat dua kali. Pertama, pada
Pembukaan, alinea keempat: ”...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. Kedua, pada Pasal 1
ayat (2) UUD hasil perubahan berbunyi, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, UUD 1945 secara
tegas mendasarkan pada pemerintahan demokrasi karena berasaskan kedaulatan rakyat
(Harjono, 2009).
Namun demikian dalam melaksanakan demokrasi harus didampingi dengan
hukum. Sunarno Danusastro (2007:13) mengatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum yang berbentuk demokrasi, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi. Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu ciri negara hukum adalah
adanya peradilan yang bebas, hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 24 UUD 1945.
Independensi kekuasaan kehakiman (independency of judiary) merupakan sebuah
prinsip yang harus ada dalam sebuah negara hukum yang dijamin oleh UUD 1945.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka dari pengaruh
atau intervensi cabang-cabang kekuasaan yang lain, terutama pemerintah.
Salah satu buah reformasi di bidang ketatanegaraan yang melahirkan organ
konstitusi baru adalah lahirnya Komisi Yudisial yang kemudian disingkat dengan KY.
Sebagai respon terhadap merosotnya kepercayaan pada kekuasaan kehakiman di bawah
Mahkamah Agung akibat sinyalemen judicial corruption yang meluas, telah diadopsi
satu badan yang disebut Komisi Yudisial. Di masyarakat badan baru ini sangat
didukung, karena berharap komisi ini akan melakukan gebrakan yang dapat secara cepat
membuahkan hasil berupa lahirnya satu kekuasaan kehakiman yang bersih dan
berwibawa Siahaan, 2007).
Suatu yang dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam
tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada
titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin.
Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin
memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu
menjadi korban despotis raja-raja.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap kemerdekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat
dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang
merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis
kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah
yang secara teknis disebut dengan istilah government (pemerintah) yang merupakan
alat-alat perlengkapan negara. Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian
pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
15
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan
lembaga negara lain (Saifudin, 2006).
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara
ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politica
kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya bila adanya penegakan hukum
dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan
yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada
norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.
Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai
peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan
menyelesaikan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah
negara. Kekuasaan yudkatif tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masingmasing yang telah diberikan oleh konstitusi.
Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances
system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang
mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak
ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.
Pasca perubahan ketiga UUD 1945, tidak ada lagi pembagian lembaga negara
tertinggi dan lembaga tinggi negara. Kedudukan semua lembaga negara sederajat,
adapun yang membedakan antara lembaga negara yang satu dengan lainnya adalah
kewenangannya. Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari UUD 1945
(tertuang di dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24A, Pasal 24B dan
Pasal 24C), dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang sederajat.
Dibentuknya Komisi Yudisial (berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945), dapat
dikemukakan: Pertama, dimaksudkan untuk membangun sistem check and balances,
yakni untuk dapat melakukan upaya saling mengimbangi dan saling kontrol terhadap
kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
sehingga dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Kedua, merupakan
tanggapan atau reaksi sehubungan dengan telah terjangkitnya “penyakit” yang melanda
badan peradilan di tanah air dan di hampir semua lingkungan peradilan di berbagai
tingkatannya, yang biasa disebut dengan istilah “praktek mati peradilan” (Saifudin,
2006:3).
Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya selama ini telah banyak hal-hal positif
yang dilakukan oleh KY terutama dalam melakukan seleksi calon hakim agung, namun
dalam tugasnya menjaga kehormatan para hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela
serta tindakan-tindakan tidak profesional sesuai dengan kode etik (unprofessional
conduct) dari para hakim belum maksimal.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis berminat untuk mengangkat judul
skripsi yang berkaitan dengan Komisi Yudisial sebagai salah satu dari lembaga negara
yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari UUD 1945 yakni: ”Independensi
Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Mewujudkan Checks and Balances
System di negara Indonesia”.
Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengkaji dan mendeskripsikan
bagaimanakah kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia dan untuk
mengkaji dan mendeskripsikan independensi Komisi Yudisial dalam mewujudkan
checks and balances system di negara Indonesia.
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
16
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
METODE
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji beberapa ketentuan
perundang-undangan yang mengatur tentang Komisi Yudisial sebagai lembaga negara
sebagai hasil dari reformasi yang mempunyai kewenangan dalam mengawasi hakim di
Indonesia, dengan spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis.
PEMBAHASAN
Kedudukan Komisi Yudisial dalam Ketatanegaraan Indonesia
Konsep tentang lembaga negara yang dalam bahasa Belanda biasanya disebut
staatsorgan, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia ialah alat perlengkapan negara,
badan negara, atau dapat disebut juga organ negara. Istilah alat kelengkapan negara,
lembaga negara, badan negara, ataupun organ negara sering digunakan dalam konteks
yang sama dan merujuk pada pengertian yang sama, yaitu yang membedakannya
dengan lembaga swasta atau masyarakat. Lembaga negara terkadang disebut dengan
istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga
negara saja (Asshiddiqie, 2006:31).
Jimly Asshiddiqie, mengkategorikan lembaga negara dalam lima lapisan atau
bagian yang meliputi (Asshiddiqie, 2006:40-41):
1. Dalam arti yang luas, lembaga negara mencakup setiap individu yang menjalankan
fungsi menciptakan hukum (law creating) dan fungsi menerapkan hukum (law
applyng). Titik berat dari pengertian yang luas ini adalah kata-kata setiap individu.
Individu tersebut bisa siapa saja (baik rakyat atau pun ketiga cabang kekuasaan)
dalam konteks law creating dan law applyng.
2. Pengertian kedua, yang cenderung luas namun lebih sempit dari pengertian pertama,
menyebutkan bahwa lembaga negara mencakup fungsi tersebut diatas dan juga
mempunyai posisi sebagai atau berada dalam struktur jabatan kenegaraan atau
jabatan pemerintahan. Kunci dari pengertian lembaga negara pada pengertian kedua
ini terletak pada kata-kata individu yang menjabat posisi tertentu di pemerintahan
atau kenegaraan. Jadi warga negara atau rakyat sudah tidak masuk dalam lembaga
negara.
3. Pengertian ketiga mengartikan lembaga negara dalam arti sempit sebagai badan atau
organisasi yang menjalankan fungsi menciptakan hukum dan fungsi menerapkan
hukum dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan. Dalam
pengertian yang terakhir ini, lembaga negara mencakup badan-badan yang dibentuk
berdasarkan konstitusi ataupun peraturan perundang-undangan lain dibawahnya yang
berlaku di suatu negara. Dalam pengertian ketiga ini lembaga yang mencakup badanbadan yang dibentuk berdasarkan konstitusi ataupun peraturan perundang-undangan
lain dibawahnya yang berlaku di suatu negara. Dalam pengertian ketiga ini organ
negara yang lebih sempit dari pengertian kedua dan diartikan sebagai badan atau
organisasinya (bukan orang atau individunya), dalam konteks struktur kenegaraan.
Dan tak kalah pentingnya bahwa lembaga negara itu meliputi lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden, ataupun oleh keputusan yang
tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun daerah.
4. Pengertian organ negara yang keempat yang lebih sempit lagi, yaitu lembaga negara
hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
UUD, UU, atau peraturan yang lebih rendah. Yang menjadi kunci pokok untuk
membedakan pengertian lembaga negara yang ketiga dan pengertian lembaga negara
yang keempat ini adalah pada kata-kata “Keputusan-keputusan yang tingkatannya
lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun daerah”. Pengertian organ negara yang
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
17
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
ketiga mencakup lembaga negara mulai di tingkat pusat sampai di daerah, termasuk
pula Kecamatan, Kelurahan, dan lain-lain (RT/Rukun Tetangga, RW/Rukun Warga).
Sedangkan pengertian organ negara yang keempat hanya terbatas pada lembaga
negara di tingkat pusat dan lembaga negara di tingkat daerah saja (hanya hingga
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau DPRD saja).
5. Pengertian organ negara yang kelima, yaitu memberikan kekhususan kepada
lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur
dan ditentukan oleh UUD 1945. Lembaga-lembaga tersebut meliputi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,
Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sesuai dengan tema yang diangkat pada tulisan ini, maka penulis akan
mengkhususkan objek kajian mengenai lembaga Komisi Yudisial. Lembaga ini
merupakan lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur
dan ditentukan oleh UUD NRI Tahun 1945.
2.5.1.3 Sistem Mengawasi dan Mengimbangi (Checks and Balances System)
Sebagaimana telah menjadi kemakluman bersama, John Locke (1632-1704)
memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. Menurutnya, kemungkinan munculnya
negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan
kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi
kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan
dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan
legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan
federatif (federative power).
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturanperaturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang
melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan
dengan masalah hubungan luar negari, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga
dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing (Asshiddiqie,
2006:15).
Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang
berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang
menyelenggarakannya. Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh
diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan yang
telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan
penyalahgunaan kekuasaannya, dengan ada mekanisme kontrol yang harus dilalui.
Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih
terjamin.
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk
mengawasi hakim dan melakukan seleksi hakim agung merupakan perkembangan
gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide
negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta
perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem
constitutional review itu tercakup dua tugas pokok sebagai wujud checks and balances,
yakni: (a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau
interplay antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan (b)
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
18
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga
negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin konstitusi
(Asshiddiqie, 2006:18).
Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun
pembagian kekuasaan, prinsip yag harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam
negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan
agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum dan
keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan
yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada
norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan
demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang
sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaikan
konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampaui batas kewenangan
masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperlukan
adanya ajaran mengenai sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances
system) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan
saling mengawasi satu sama lain, sehinga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari
yang lain ((Asshiddiqie, 2006:17).
Kedudukan Komisi Yudisial, secara akademik masih menimbulkan kontroversi
yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara. “Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi, No. 005/PUU-IV/2006 pengaturan lembaga-lembaga
dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara
yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami
dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs).
Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan dalam Jimmy Z. Usfunan (2008),
mengatakan bahwa “Komisi Yudisial hanyalah organ pendukung (auxiliary agency)
yang melakukan fungsi pengawasan kehakiman”. Lembaga negara Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar. Pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dan ketua Mahkamah Agung itu
tidak sesuai dengan perubahan UUD 1945 yang menghapuskan klasifikasi lembaga
tertinggi dan tinggi negara, dimana setelah amandemen UUD tidak ada lagi hubungan
antar lembaga negara yang bersifat hirarkis.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian
Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga
dinyatakan,”hubungan antara Komisi Yudisial sebagai organ pembantu (supporting
organ) dan Mahkamah Agung sebagai organ utama (main organ) dalam bidang
pengawasan perilaku hakim seharusnya dipahami sebagai hubungan kemitraan
(partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing. Padahal, secara logika
relasi kemitraan seharusnya mensyaratkan adanya posisi yang sejajar. Sangatlah tidak
mungkin suatu pengawasan itu berjalan efektif ketika pengawas dan obyek yang
diawasi memiliki hubungan kemitraan. Dengan demikian, kedudukan antara Komisi
Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi sejajar meskipun tanggung
jawab, fungsi dan tugasnya Mahkamah Agung lebih luas daripada Komisi Yudisial.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 mempertegas bahwa Komisi
Yudisial bagian dari kekuasaan kehakiman. Hal ini dibuktikan dengan tercantumnya
Komisi Yudisial dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
19
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun Komisi Yudisial bukan sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Eksisitensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan sebagai wujud prinsip
check and balances, dimana terdapat sistem saling mengawasi antara lembaga satu
dengan yang lain, sehingga dengan demikian dapat mencegah adanya suatu konsentrasi
kekuasaan pada suatu kekuatan. Selama ini obyek check and balances system dalam hal
ini pengawasan hanya kekuasaan eksekutif dan legislatif. Eksekutif diawasi oleh
legislatif yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh Presiden/Wakil Presiden beserta para pembantunya, yudikatif diawasi
oleh Komisi Yudisial terkait dengan pelaksanaan kekuasaan yudisial. Undang-Undang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang diuji oleh Mahkamah Agung. Namun tidak ada kekuasaan yang
mengawasi Yudisial, sehingga dikhawatirkan akan terjadi “tirani yudisial”, untuk itu
keberadaan Komisi Yudisial yang direkrut oleh eksekutif dan legislatif, secara tidak
langsung merupakan pengawasan pencegahan dari eksekutif dan legislatif terhadap
Yudisial.
Kehadiran Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia memiliki dua fungsi
penting: pertama, untuk merepresentasikan control public ke dalam lembaga peradilan
dan kedua, berperan untuk ‘membentuk’ (reshaping) peradilan di Indonesia”. Tindakan
Komisi Yudisial memanggil sejumlah hakim atas dugaan menerima suap pada saat
menjatuhkan vonis, akan menjadi pelajaran berharga bagi hakim, para pejabat dan dapat
dikatakan sebagai intervensi terhadap indepedensi (kenetralan) hakim, karena prinsip
indepedensi itu berkaitan dengan putusan dan rasa keadilan, sehingga prinsip
indepedensi itu tidak berlaku ketika putusan hakim tidak adil.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian
Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang
menganulir pasal-pasal terkait tata cara pengawasan Komisi Yudisial akan menjadi
salah satu penyebab mafia peradilan semakin tumbuh subur di republik ini. Berdasarkan
putusan tersebut, setidaknya pelaku-pelaku mafia peradilan yang selama ini “ketakutan”
dengan Komisi Yudisial, mulai bernapas “lega” karena merasa bebas dari pengawasan.
Dengan adanya penganuliran pasal-pasal yang berkaitan dengan pengawasan
Komisi Yudisial, mengakibatkan tidak adanya lembaga yang berfungsi mengawasi
jalannya lembaga yudisial di Indonesia saat ini. Memang benar kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka, akan tetapi kemerdekaan itu tidak diartikan
sebagai kekuasaan tanpa pengawasan.
Independensi Komisi Yudisial dalam Menciptakan Checks and Balances System di
Indonesia
Pembahasan mengenai independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman atau
lembaga yudikatif tidak dapat terlepas dari ketentuan-ketentuan tentang sistem
ketatanegaraan yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sebelum Amandemen UUD 1945, diatur di dalam Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang”; dan ayat (2) menyatakan “Susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dan berdasarkan perubahan UUD 1945,
juga tertuang di dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 ayat (1)
menyatakan “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; pada ayat (2)
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
20
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan pada ayat (3) menyatakan
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang”. Masalah independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman
sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 UUD 1945, hal itu merupakan komitmen dan
perwujudan tekad founding fathers untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum
modern, yang menganut kaidah-kaidah paham negara modern yang konstitusional.
Di dalam konsideran bagian menimbang Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
dinyatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi ada lagi satu lembaga negara (baru) yang
kewenangan ditentukan di dalam UUD 1945, yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
ini keberadaannya diatur di dalam Pasal 24B UUD 1945, Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman, oleh karena itu keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan
kehakiman, yang walaupun Komisi Yudisial ini tidak menjalankan kekuasaan
kehakiman.
Amanah UUD 1945 hasil perubahan ketiga Pasal 24B tersebut, baru kemudian pada
tanggal 13 Agustus 2004 dibentuk Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial (terdiri dari 7 Bab 41 Pasal). Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan,
bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan Pasal 24B ayat (1)
tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Bab III tentang Wewenang dan Tugas Komisi
Yudisial.
Dalam Pasal 13 dinyatakan Komisi Yudisial mempunyai wewenang : a)
Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan b) Menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Eksistensi Komisi Yudisial yang memperoleh mandat dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang No. 22 Tahun 2004,
dengan fungsi utama “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim” menjadi sangat penting dan strategis mengingat kedudukan hakim
sebagai pengambil (yang menjatuhkan) putusan bagi pencari keadilan.
Pemahaman terhadap semangat dasar atau gagasan pembentukan Komisi Yudisial,
akan memudahkan kita dalam memahami perbedaan kewenangan antara Mahkamah
Agung dengan Komisi Yudisial di bidang pengawasan. Sebagaimana diketahui secara
internal Mahkamah Agung mempunyai unit pengawasan terhadap para hakim, yaitu
melalui wakil ketua bidang non-yudisial yang membawahi ketua muda pembinaan dan
ketua muda pengawasan, dan juga ada Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (Pasal 5
ayat (5) dan Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No.5 Tahun 2004).
Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung lebih fokus pada tugas yang terkait
dengan :
1. Aspek teknis yudisial yang meliputi kemampuan teknis menangani perkara,
penyusunan dan pengisian kegiatan persidangan, penyelesaian minutasi, kualitas
putusan, dan eksekusi.
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
21
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
2. Aspek administrasi peradilan yang meliputi tertib prosedur penerimaan perkara,
tertib registrasi perkara, tertib keuangan perkara, tertib pemeriksaan buku keuangan
perkara, tertib kearsipan perkara, tertib pembuatan laporan perkara, dan eksekusi
putusan. Rujukan hukum yang berkaitan dengan definisi dan klasifikasi mengenai
tingkah laku dan perbuatan hakim, aspek teknis yudisial, dan aspek administrasi
peradilan tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.005 Tahun 1994
dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.006 Tahun 1994.
Adapun pengawasan Komisi Yudisial lebih fokus untuk mengawasi tingkah laku
dan perbuatan hakim yang berkaitan dengan kedinasan, meliputi kesetiaan, ketaatan,
prestasi kerja, tanggung jawab, integritas, kejujuran, kerjasama, prakarsa, dan
kepemimpinan serta yang berkaitan dengan di luar kedinasan yang meliputi keluarga
dan hubungan baik dengan masyarakat. Komisi Yudisial bertugas menjaga (preventive)
dan menegakkan (corrective and represive) kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian, hakim yang harus dijaga dan
ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung,
hakim pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara, dan
pengadilan militer. Walaupun hal-hal yang menjadi kewenangan pengawasan antara
Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial sudah ditentukan (diatas kertas), namun di
lapangan sangat sulit untuk memisahkan antara aspek teknis yudisial dengan aspek nonyudisial, oleh karena itu kerja sama, koordinasi, dan/atau saling memberikan informasi
diantara keduanya memang sangat diperlukan (Thaib, 2000).
Sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances system) adalah sistem
dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain
dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran hak. Pengawasaan
(checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah maju dan
sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam
checks and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam
cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya
disingkat UUD NRI Tahun 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali mulai
tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun
1945 adalah tidak ada lagi lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara, kini
kedudukan lembaga-lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah sama.
Dengan demikian maka setiap lembaga negara memiliki kekuasaan yang seimbang
(Htpp://handamzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sistem
perwakilan
rakyat
di
indoensia).
Untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaan maka diperlukan sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and
balances system). Dalam checks and balances system masing-masing kekuasaan saling
mengawasi. Checks and balances system yaitu sistem yang saling mengimbangi antara
lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan batasan kekuasaan setiap
lembaga negara sesuai UUD NRI Tahun 1945, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada
yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing. Sistem
checks and balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara
yang memberi kewenangan antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif dan
yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaannya
masing-masing. Dengan demikian dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan oleh
cabang-cabang kekuasaan negara.
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
22
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
KESIMPULAN
Dalam rangka mendorong proses reformasi peradilan yang mewujudkan peradilan
yang bersih dan berwibawa dan dalam rangka tegaknya hukum di Indonesia, maka
penulis memberikan kesimpulan sebagai baerikut:
1. Kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya
bersifat konstitusional, Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri
dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lain. Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial
Republik Indonesia Komisi Yudisial adalah: (a) Mengusulkan pengangkatan hakim
agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan (b) Mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
2. Peran Komisi Yudisial dalam penegakan hukum di Indonesia dengan Komisi
Yudisial dalam menjalankan wewenang dan tugasnya harus bersungguh-sungguh
didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku,
kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi
hakim. Apabila hakim agung dan hakim lainnya menjalankan wewenang dan
tugasnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung
tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keadaan yang
demikian itu tentu tidak hanya mendukung terciptanya kepastian hukum dan
keadilan, tetapi juga mendukung terwujudnya lembaga peradilan yang bersih dan
berwibawa, sehingga supremasi hukum atau penegakan hukum pun dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
SARAN
Dalam paparan ini penulis memberikan saran agar pelaksanaan kekuasaan tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dan tumpang tindah dalam melaksanakan
tugas dan kewenangan sudah saatnya perlu adanya reformasi dalam peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie, Jimly, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press.
Hakim, Lukman, Saifuddin, 2006. Komisi Yudisial dan Fungsi Checks and Balances
Dalam Kekuasaan Kehakiman, Dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial Republik Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial.
Harjono, 2009. Transformasi Demokrasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Thaib, Dahlan, 2000. Independensi dan Peran Mahkamah Agung (Kajian dari Sudut
Pandang Yuridis Ketatanegaraan) Jurnal Hukum No. 14 Vol. 7 Agustus 2000.
Usfunan, Jimmy, Z, 2008. Kewenangan Pengawasan Komisi Yudisial, Lembaga
Pengkajian Hukum dan HAM, Majalah Wawasan.
Bambang Sutiyoso, Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011 Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia.
Patmoko, Sekapur Sirih, Komisi Yudisial, Buletin Komisi Yudisial Vol. V no. 6 JuniJuli 2011, hal. 2.
http://dimasprasidi.wordpress.com/menggagas-kembali-peranan-komisi-yudisial.
Diakses tanggal 20 Desember 2016.
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
23
JURNAL ILMIAH - VIDYA , Vol. 24 No. 2
Htpp://handamzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sistem perwakilan rakyat di indoensia.
Diakses tanggal 20 Desember 2016.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2007. Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Mewujudkan Checks And Balances System Di
Negara Indonesia
Download