BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anjing Anjing adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi dari serigala sejak 10.000 – 15.000 tahun yang lalu (Budiana, 2006) dan telah mengalami perkembangan hingga kini yang telah mencapai ratusan ras dengan berbagai macam jenis. Anjing dikaruniai kelebihan pada indra penciuman, pendengaran dan penglihatan. Anjing juga disebut-sebut memiliki indera keenam, karena ia punya naluri dan insting yang sangat kuat, yang menyebabkan anjing menjadi salah satu hewan yang sangat peka. Disamping itu, seperti halnya dengan manusia, anjing merupakan hewan sosial. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialisasi dengan manusia dan anjing yang lain (Dharmawan, 2009). Budiana (2006) menyatakan bahwa beberapa alasan orang memelihara anjing adalah sebagai teman, untuk kesenangan, kebanggaan (prestise), dan tambahan aktivitas. Dikatakan bahwa anjing berasal dari serigala yang mengalami proses domestikasi. Beberapa ahli berteori bahwa serigala harus tinggal di tempat yang sama selama beberapa dekade sebelum mereka berkembang menjadi anjing peliharaan sepenuhnya. Proses domestikasi anjing dimulai ketika serigala mulai mendatangi wilayah manusia (stone age people) yang meninggalkan sisa – sisa makanan disekitar tempat tinggal mereka. Fenomena ini terjadi di Eropa, Timur Tengah dan Cina. Serigala yang merasa nyaman untuk tinggal disekitar manusia akan mengalami laju pertumbuhan yang mungkin dipengaruhi oleh hormon yang akhirnya mengubah pola reproduksi, ukuran dan bentuk menjadi anjing. Dibutuhkan waktu yang lama untuk terjadinya perubahan genetik yang cukup bagi suatu populasi untuk berevolusi dari spesies leluhur yang liar menjadi spesies keturunan domestik (NatGeo, 2014) Klasifikasi ilmiah anjing yang menurut Linnaeus pada tahun 1758 yang dipublikasikan oleh ITIS Report ( integrated taxonomy information system ) dengan nomor serial taxonomi 726821, adalah sebagai berikut : Kingdom Subkingdom Infrakingdom Phylum Sub phylum Infraphylum Superclass Class Sub Class Infraclass Ordo Subordo Family Genus Species Subspecies : Animalia : Bilateria : Deuterostomia : Chordata : Vertebrata : Gnathostomata : Tetrapoda : Mammalia : Theria : Eutheria : Carnivora : Caniformia : Canidae : Canis : Canis lupus : Canis lupus familiaris 2.2 Anjing Kintamani Bali Keberadaan anjing telah sangat umum di Bali yang kebanyakan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai anjing penjaga. Anjing Kintamani Bali adalah salah satu jenis anjing penjaga rumah yang umum di Bali. Anjing Kintamani Bali dikenal sebagai anjing yang pintar, berani, gagah dan setia pada pemiliknya (Puja et al., 2005). Anjing Kintamani Bali adalah plasma nutfah Indonesia, sekaligus merupakan maskot fauna kabupaten Bangli. Habitat asli dari Anjing Kintamani Bali adalah di sekitar Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Namun hingga saat ini, keberadaan Anjing Kintamani Bali telah menyebar di beberapa wilayah Indonesia dan di manca negara. Anjing Kintamani Bali memiliki penampilan yang menarik dan telah ditetapkan sebagai anjing ras pertama Indonesia oleh Perkumpulan Kinologi Indonesia (Perkin) pada tahun 2006. Ada anggapan bahwa Anjing Kintamani Bali berasal dari persilangan anjing chow-chow dengan anjing lokal yang ada di Bali. Namun, salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa Anjing Kintamani Bali berasal dari anjing lokal Bali yang mengalami kehilangan keragaman genetik (Puja et al., 2005). Salah satu kekhasan dari Anjing Kintamani Bali dapat dilihat dari bentuk tubuh dan penampilan tubuh bagian luar atau eksterior. Warna rambut Anjing Kintamani Bali adalah putih spesifik, hitam , coklat bangbungkem dan campuran ketiganya yang disebut dengan warna anggrek, dengan ekor bulan sabitnya yang khas. Anjing Kintamani Bali memiliki postur tubuh yang proporsional dengan tinggi rata-rata anjing jantan adalah 51,25 cm dengan berat rata-rata 15,90 kg, dan pada anjing betina adalah 44,65 dengan berat rata-rata 13,24 kg (Puja, 2007). Dibandingkan dengan jenis anjing lokal lainnya di Indonesia, seperti anjing Dieng di Jawa Tengah, anjing Tengger di Jawa Timur atau anjing Irian di Papua, Anjing Kintamani Bali memiki keunggulan pada bentuk tubuhnya yang atletis. Anjing ini tampak merupakan perpaduan antara anjing ras jenis toy breed dan working breed. Tubuhnya memang lebih kecil dibandingkan jenis anjing pekerja lainnya, namun proporsional. Indra penciumannya tajam, memiliki kemampuan berenang dan berlari cepat. Adaptasi Anjing Kintamani Bali terhadap perubahan cuaca sangat baik. Pada cuaca yang sangat dingin (di bawah 10˚C), bulunya akan tumbuh dengan lebat (Dharmawan, 2009). Sumber : von permata nusantara & Balinese dog Gambar 1. Anjing Kintamani Bali betina Kini, Anjing Kintamani Bali telah banyak dikembangbiakkan di beberapa wilayah di Indonesia khususnya di Bali dan Jawa, dan di beberapa negara di luar Indonesia, seperti Belanda. Seperti yang dilansir dalam Kompas 23 September 2004, pada tahun 1987 WE Resang Groenwegen membawa 12 ekor Anjing Kintamani Bali ke negerinya (Belanda) dan membantu pemuliabiakkan Anjing Kintamani Bali untuk mendapatkan pengakuan dari FCI atas Anjing Kintamani Bali sebagai ras asli Indonesia. 2.2.1 Standarisasi Anjing Kintamani Bali Anjing Kintamani Bali termasuk jenis anjing pekerja (working dog) dengan ukuran sedang dan memiliki keseimbangan dan proporsi tubuh yang baik dengan pertulangan kuat dibungkus otot yang kuat. Oleh FCI (Federation Cynologique Internationale) Anjing Kintamani Bali digolongkan dalam grup V karena memiliki ciri-ciri anjing splitz dan tipe primitif seperti chow-chow, basenji, samoyed, dan lainnya (Dharmawan, 2009). Secara fenotipe, Anjing Kintamani Bali mudah dikenali dan dapat dibedakan secara jelas dengan anjing-anjing lokal yang ada, ataupun anjing hasil persilangan antara ras yang sama maupun persilangan lainnya. Menurut Dharma, dkk (1993) standar fenotipe Anjing Kintamani Bali meliputi ciri-ciri umum, sifat-sifat umum, tinggi badan hingga ke gumba, dasar pigmentasi kulit, bentuk kepala, telinga, mata, hidung, gigi, bentuk leher, bentuk badan, kaki dan ekor. Perbedaan pada distribusi warna bulu ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1994. Standar ini dipakai sebagai acuan dasar pada setiap kontes anjing dan pameran anjing kintamani bali dan telah mendapat pengakuan Perkin. Sebelum dipopulerkan, Anjing Kintamani Bali dikenal dengan sebutan anjing gembrong karena penampakan luarnya yang berambut lebat dan tebal. Nama Anjing Kintamani Bali kini jauh lebih popular terutama setelah ditetapkan sebagai satusatunya anjing ras Indonesia oleh Perkin pada tahun 2006, dan disahkan sebagai anjing ras pertama Indonesia oleh AKU pada tahun 2012, dengan standarisasi menurut Perkin adalah sebagai berikut : 1. Klasifikasi FCI : Group 5, Spitz and Primitive Types : Section 5, Asian Spitz and Related Breeds 2. Asal : Republik Indonesia Sukawana, sebuah desa di daerah Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali 3. Kegunaan / Manfaat : Anjing Sahabat (companion dog) 4. Sejarah Singkat : Anjing Kintamani Bali adalah hewan peliharaan yang umum dipelihara di Indonesia. Anjing Kintamani Bali berasal dari daerah pegunungan di Desa Sukawana dan sekitarnya, daerah Kintamani di Pulau Bali. Pada tahun 1985, kerjasama antara Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia cabang Bali dengan Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana berhasil menyelenggarakan pameran Anjing Kintamani Bali yang pertama di Bali. Setelah itu, Anjing Kintamani Bali menjadi populer di seluruh penjuru Indonesia. Banyak pecinta anjing membawa Anjing Kintamani Bali keluar dari Bali, antara lain ke Surabaya, Jakarta, Bandung dan Solo. Anjing Kintamani Bali dipelihara untuk dijadikan teman. Nama Anjing Kintamani Bali diambil dari nama daerah asal anjing trah ini. 5. Penampilan Umum : Anjing Kintamani Bali merupakan anjing yang berukuran sedang dengan proporsi anatomi yang kompak. Memiliki penampilan baik dengan kepribadian yang berani. 6. Proporsi Penting : Perbandingan tinggi badan pada pundak dan panjang badan adalah 10 : 11. Panjang kepala, yaitu panjang antara occiput dan ujung hidung adalah seperempat dari panjang tubuh. sumber : perkin Gambar 2. Proporsi Penting Anjing Kintamani Bali 7. Karakter / Tempramen : Berani , cerdas , lembut, dan setia kepada keluarga. Anjing Kintamani Bali mudah dilatih 8. Kepala : Panjang tengkorak dan moncong adalah sama a. Tengkorak Dahi agak lebar dan berbentuk segitiga b. Stop Cukup / sedang c. Bagian Muka / Wajah a. Hidung : agak lebar dan berkembang dengan baik. Warna hitam sampai hitam kecoklatan. Warna abu-abu pada hidung diperbolehkan. b. Moncong : Kuat dengan rahang bawah berbentuk huruf U, segitiga, dan meruncing. Bibir ; Kencang, sepenuhnya menutup rahang bawah dan berpigmen gelap. Rahang/Gigi; Gigitan menggunting (scissor bite) dan berjumlah gigi lengkap sebanyak 42 gigi; 20 gigi pada rahang atas dan 22 gigi pada rahang bawah. Pipi ; Berkembang/terbentuk dengan baik c. Mata : Berbentuk oval; letaknya horizontal/mendatar dan terposisi baik di bagian tengah stop pada garis luar berbentuk V yang ditarik dari puncak telinga ke ujung hidung. Warna mata hitam dan/atau cokelat, berpigmen (gelap) pada kelopak mata, warna lain pada mata tidak diinginkan, dan kelopak mata yang tidak berpigmen adalah diskualifikasi. d. Telinga : Tegak dan berbentuk segitiga, ujungnya agak membulat sedikit dan menghadap depan, pada anjing yang berwarna putih spesifik terdapat warna biskuit (warna krem atau kuning keemasan atau warna appricot/orange) pada tepi telinga bagian luar. Posisi sedikit di bawah dahi dan letaknya sedikit jauh. Telinga harus berdiri tegak di usia 12 bulan, telinga yang jatuh di usia 12 bulan atau lebih adalah diskualifikasi. 9. Leher : Terposisi baik pada tubuh, kuat dengan otot yang berkembang/terbentuk dengan baik, berkulit kencang (tidak bergelambir) 10. Badan : a. Garis Atas Badan : Rata. b. Pundak : Terbentuk baik dan posisinya harmonis dari leher c. Bagian Belakang Badan : Lurus dan kuat. d. Pinggang : Lebar/besar dan berotot. e. Dada : Terbentuk dengan baik. f. Bagian Rusuk : Mengembang dengan baik, dan tulang dada (pada bagian bawah badan) mencapai siku kaki depan. g. Perut : Posisinya naik ke atas ke arah belakang tubuh, bentuknya atletis dan harmonis Sumber : perkin Gambar 3. Standarisasi Bagian Wajah dan Badan 11. Ekor : Posisi pangkal ekor sedikit rendah, posisinya di bawah bagian tengah bokong (croup) dan bersudut 45 derajat terhadap garis atas badan (Topline). Tertutup bulu-bulu yang lebat, bentuk idealnya adalah melengkung ke atas (ke arah depan badan). Bentuk ekor yang membulat ke arah depan badan dan yang posisi ujungnya tidak jatuh di bawah garis atas badan (Topline) diperbolehkan, tetapi tidak diinginkan, bentuk ekor berbulu tipis dan berbentuk membulat ke arah depan badan yang bagian ujungnya jatuh di bawah garis atas badan (Topline) adalah kesalahan yang fatal (diskualifikasi). 12. Anggota Tubuh Lainnya a. Bagian Depan (Forequarters) : Bahu dan lengan atas sama panjangnya, tinggi pada siku adalah setengah dari tinggi pundak, dan sejajar ketika dilihat dari depan. 1. Bahu (Shoulders) : Bentuknya harmonis pada badan. 2. Lengan Bagian Atas (Upperarm) : Lebar dan berotot kuat. 3. Siku Kaki Depan (Elbows) : Letaknya dekat dengan badan. 4. Kaki Depan (Forearms) : Lurus dan sejajar (paralel). 5. Pergelangan Kaki Depan (Carpus) : Lebar. 6. Telapak Kaki Depan (Metacarpus) : Lurus. 7. Jari Kaki Depan; Posisinya saling berdekatan, kompak (harmonis), dan bentuknya membulat. b. Bagian Belakang (Hindquarters) : Terbentuk dengan baik, kuat dan cukup terangulasi (sedikit bersudut). Posisinya sejajar ketika dilihat dari belakang. 1. Paha Bagian Atas (Upper Thigh) : Lebar. 2. Siku Kaki Belakang (Stifle (Knee) : Sedikit bersudut , terletak tidak dekat dengan bagian tengah tubuh. 3. Paha Bagian Bawah (Lower Thigh) : Kuat dan berotot. 4. Kaki Belakang Bagian Bawah (Hocks) : Panjangnya sedang dan tegak lurus terhadap tanah. 5. Telapak Kaki Belakang (Metatarsus) : Lebar dan datar bila dilihat dari samping. 13. Kaki : Tebal, hampir membulat, melengkung dan kencang 14. Langkah dan Pergerakan : Lincah dan Ringan 15. Bulu : Bulunya bersusun dua; Bulu bagian bawah yang lebih halus relatif pendek dan bulu bagian luar yang lebih kasar panjangnya sedang pada sisi samping badan. Bagian leher dan punggung dikelilingi bulu bagian luar yang lebih kasar (long harsh outer-coat). Ekornya berbulu lebat. Bulu bagian luar yang lebih panjang yang mengelilingi leher disebut “BADONG”, membentuk bulu-bulu mewah seperti kerah baju pada leher. Bulu bagian luar yang lebih panjang, yang bulu-bulunya terletak mulai dari pada pundak dan terus memanjang sampai ke bagian belakang badan disebut “BULU GUMBA”. Pada anjing jantan badong dan bulu gumba tampak lebih jelas bila dibandingkan dengan anjing betina. Warna Bulu : Warna putih dengan warna biskuit pada ujung/tepian telinga (biscuit coloured ear-edge) lebih diinginkan. Warna putih tanpa warna biskuit pada ujung/tepian telinga (white without biscuit coloured ear-edge) diperbolehkan namun tidak diinginkan. Catatan : Warna lain adalah hitam, coklat (bangbungkem) dan anggrek. “BADONG” adalah kata asli dari Bahasa Bali yang berarti bulu yang lebih panjang pada bagian belakang telinga dan seputar leher. “BULU GUMBA” adalah kata asli dari Bahasa Bali yang berarti bulu yang lebih panjang pada bagian pundak dan memanjang terus sampai ke belakang badan. 16. Tinggi Badan : Anjing Jantan : 45-55 cm pada pundak. Berat badan ideal adalah 15 kg-17 kg. Anjing Betina : 40-50 cm pada pundak. Berat badan ideal adalah 13 kg-15 kg. 17. Kesalahan : Setiap ketidaksesuaian dari butir-butir di atas harus dianggap kesalahan, dan tingkat kesalahannya harus disesuaikan dengan tingkat ketidaksesuaiannya. 18. Kesalahan Fatal : Overshot atau undershot. Telinga tidak berdiri pada usia 12 bulan dan lebih. Ekor berbulu tipis dan berbentuk membulat ke arah depan badan yang bagian ujungnya jatuh di bawah garis atas badan (Top-line). 2.3 Aktivitas Reproduksi Anjing 2.3.1 Siklus Reproduksi Anjing Perilaku seksual anjing muncul pada saat anjing berumur 3 atau 4 minggu. Pada anjing betina, estrus pertama akan terjadi pada umur 6 hingga 9 bulan. Secara umum, ras kecil akan mengalami estrus serta dewasa kelamin yang lebih cepat dibandingkan dengan anjing ras besar. Secara rutin, anjing akan mengalami dua kali siklus estrus setiap tahunnya, dengan interval waktu kurang lebih selama 7 bulan. Sebagian besar estrus terjadi pada bulan januari sampai Maret dan estrus kedua pada bulan Agustus sampai September. Namun hal ini tidak absolut dan dipengaruhi pula oleh kondisi dan domestikasi (Feldman dan Nelson, 1996) Anjing Kintamani Bali betina akan menunjukkan tanda-tanda birahi pertama pada umur 6.5 hingga 9 bulan dengan rata-rata adalah 7.5 bulan (Puja, 2007). Umur pubertas ini dapat dikategorikan lebih awal atau lebih muda apabila dibandingkan dengan umur pubertas pada anjing ras lain. Ada beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya adalah sistem pemeliharaan Anjing Kintamani Bali yang bebas berkeliaran atau free-roaming, juga dapat dipengaruhi oleh faktor induk, cara hidup, pakan, iklim serta musim. Sama seperti hewan pada umumnya, siklus estrus pada anjing dapat diklasifikasikan menjadi proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Pada hari pertama diestrus, kadar progesterone serum lebih dari 5ng/ml dan pada hari ke 10 hingga 15 pada fase diestrus, kadar progesterone menjadi lebih dari 25ng/ml. setelah mencapai kadar puncak, maka akan menetap selama 7 hingga 15 hari sebelum menurun secara perlahan. Pada fase proestrus, akan terjadi perdarahan pada vulva dan pembesaran pada labium. Fase ini berlangsung selama kurang lebih 9 hingga 10 hari. Karena pengaruh dari tingginya kadar estrogen di dalam plasma, maka anjing akan memperlihatkan perilaku gelisah, penurunan nafsu makan, lebih sering minum dan dengan frekuensi urinasi yang meningkat. Peningkatan urinasi ini akan disertai dengan pengeluaran pheromone pada urin dan vagina yang dapat menarik jantan. Fase diestrus dimulai pada akhir fase metestrus sampai dimulai kembali dengan fase proestrus. Lamanya kurang lebih adalah 3 bulan (Feldman dan Nelson, 1996) Anestrus adalah fase berhentinya aktivitas reproduksi. Anestrus dimulai sejak akhir metestrus sampai dimulainya fase proestrus berikutnya. Pada anjing yang bunting dan selanjutnya melahirkan anak, fase tersebut dimulai dari saat melahirkan sampai saat mulainya proestrus. Pada anjing yang tidak bunting, secara klinis sulit membedakan diestrus dengan anestrus. Anestrus merupakan fase yang sangat panjang. Lama fase anestrus sangat bergantung kepada ras (Puja, 2007) Anestrus yang fisiologik umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Anestrus normal akan diikuti oleh proestrus. Pada anjing dan kucing, suatu periode anestrus fisiologik berlangsung selama beberapa bulan dan dapat terjadi dua atau tiga kali setahun. Oleh karena itu dipakai istilah anestrus untuk membedakannya dari diestrus (Toelihere, 1987) 2.4 Kebuntingan dan Kelahiran pada Anjing 2.4.1 Kebuntingan pada Anjing Kebanyakan anjing large breeds akan mampu menghasilkan anak lebih banyak dibandingkan jenis toy breeds. Anjing jenis large breeds akan mampu melahirkan 8 hingga 12 ekor anak pada satu kali kelahiran. Jumlah anak ini dipengaruhi oleh jumlah sperma, waktu breeding, kesehatan betina, kondisi uterus dan faktor lainnya (Fieldman dan Nelson, 1996). Masa kebuntingan anjing rata-rata adalah 62 hari dengan variasi 63 hingga 65 hari. Pada saat awal kebuntingan, tidak tampak adanya perubahan pada induk anjing. Perubahan terjadi setelah umur kebuntingan mencapai pertengahan semester pertama (Puja, 2007). Perubahan perilaku akan mulai teramati pada pertengahan semester pertama masa kebuntingan, biasanya ditandai dengan perilaku anjing yang menjadi lebih tenang (kalem) dan pada pertengahan semester terakhir, betina akan memperlihatkan gejala sakit pada perut dan penurunan nafsu makan. Setelah pertengahan semester kedua masa kebuntingan, pertumbuhan kelenjar susu akan terjadi. Puting susu akan membesar dan akan keluar cairan yang bersifat serus pada akhir kebuntingan (Puja, 2007) Perubahan pada kelenjar susu akan tampak sangat jelas pada anjing yang baru pertama kali bunting atau primipara dengan pengeluaran air susu atau laktasi pertama akan terjadi 24 jam sebelum partus, sedangkan pada multipara atau yang telah mengalami beberapa kali kebuntingan, pembesaran kelenjar susu tidak akan tampak dengan sangat jelas, dan air susu sudah keluar beberapa hari sebelum partus. 2.4.2 Kelahiran pada Anjing Pada keadaan normal atau bila jumlah anak yang ada dalam kandungan banyak, proses kelahiran akan memerlukan waktu 4 hingga 18 jam (Puja, 2007). Dua belas hingga 36 jam sebelum partus, akan terjadi penurunan pada suhu rectum menjadi 37˚C, penyebab hal ini belum diketahui. Ada dugaan bahwa penurunan suhu itu terkait dengan penurunan aktivitas dan berkurangnya pakan yang dimakan oleh induk bunting (Puja, 2007) Beberapa tanda kelahiran yang bisa diamati pada anjing adalah, anjing akan tampak gelisah pada dua sampai tiga hari menjelang partus, nafsu makan akan berkurang dan anjing akan mulai mencari tempat yang tersembunyi untuk melahirkan. Selama 12 sampai 24 jam sebelum kelahiran, anjing akan semakin gelisah, merasa kesakitan dan akan menggaruk-raguk tanah membuat lubang. Tanda tersebut menunjukkan bahwa anjing telah memasuki periode pertama kelahiran. Selama periode ini akan terjadi peningkatan kontraksi uterus. Periode ini dimulai dari terjadinya relaksasi dan dilatasi serviks kira-kira 4 jam atau 6 hingga 12 jam bahkan 36 jam pada anjing primipara. Periode kedua ditandai dengan terlihatnya cairan fetus dan anak pada vulva. Kepala fetus akan nampak pada pelvis, dan dengan kontraksi uterus yang kuat kepala dan bahu akan nampak. Proses pengeluaran anak akan berlangsung selama 6 hingga 24 jam apabila tidak terjadi komplikasi. Selang waktu kelahiran anak pertama dengan yang kedua berkisar antara 1 hingga 3 jam. Biasanya pada fase ini, anjing akan menjadi tenang, meskipun beberapa anjing akan kesakitan terutama pada anjing yang baru pertama kali melahirkan. Periode ketiga adalah pengeluaran membran fetalis. Apabila plasenta tidak segera keluar tetapi masih berada di dalam vulva, anjing cenderung akan menariknya keluar dengan mulutnya. Pada keadaan normal, induk anjing akan memutuskan sendiri membran fetalis, membersihkan anak dengan menjilati anak dan memakan plasenta (Puja, 2007). 2.4.3 Jumlah Anak Sekelahiran Jumlah anak sekelahiran tertinggi yang pernah dilaporkan pada Anjing Kintamani Bali adalah 6 ekor (Puja, 2007). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran, yaitu besar badan induk, umur induk dan pejantan, genetik serta pakan. Induk dengan badan yang besar akan melahirkan anak lebih banyak dalam sekelahiran, sementara induk yang lebih muda akan menghasilkan jumlah anak lebih banyak dibandingkan induk yang lebih tua. Disamping itu, umur pejantan juga mampu mempengaruhi jumlah anak sekelahiran. Pejantan yang berumur lebih dari 8 tahun menyebabkan penurunan jumlah anak sekelahiran (Puja, 2007). Pakan serta lingkungan yang optimal menyebabkan kecenderungan peningkatan jumlah anak sekelahiran (Puja, 2007). Pakan yang optimal adalah pakan dengan kandungan gizi yang cukup dan seimbang. 2.5 Distokia Distokia diartikan sebagai perpanjangan waktu pada tahap pertama dan kedua dari proses kelahiran sehingga tidak memungkinkan bagi hewan induk untuk melahirkan tanpa bantuan dari manusia (Toelihere, 1985). Anjing yang mengalami distokia akan sangat memerlukan pertolongan dari pemilik atau orang lain yang berkompeten. Tanpa penanganan dan bantuan, kelahiran akan gagal dan hampir selalu diikuti oleh kematian induk (Puja, 2007). Menurut Dre Helene (2014) beberapa tanda yang dapat teramati pada kasus distokia adalah terjadinya penurunan temperatur tubuh selama 24 hingga 36 jam namun hewan tampak lemah. Induk akan tampak gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman selama lebih dari 12 jam dan tidak terjadi kelahiran selama 8 hingga 12 jam meskipun dalam beberapa kasus, proses kelahiran dapat berlangsung hinga 24 jam. Akan teramati adanya cairan vulva yang abnormal seperti discharge greenish yang berasal dari pemisahan plasenta dengan uterus, darah yang mengindikasikan adanya trauma pada uterus atau vagina, dan bahkan mungkin mengindikasi terjadinya torsio uteri, nanah mengindikasi adanya infeksi pada rahim yang memungkinkan untuk terjadinya kematian pada janin. Terkadang akan terlihat adanya cairan hijau atau hitam (black or green discharge) dengan tidak teramatinya tanda-tanda menjelang kelahiran. Cairan ini terjadi ketika cairan terbebas dari marginal hematoma pada plasenta. Hal ini mengindikasikan akan terjadinya pemisahan antara plasenta dengan uterus. Terdapat beberapa kemungkinan kasus seperti inersia uteri primer dengan paling tidak satu fetus mengalami kematian dan pemisahan plasenta, atau kematian fetus pada pertengahan kebuntingan yang diikuti dengan mumifikasi. Sangat disarankan untuk melakukan pemeriksaan dengan USG pada saat kebuntingan (Gary, 2013). 2.5.1 Penyebab Distokia Secara umum, penyebab distokia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu: 1) faktor induk atau distokia maternal dan 2) faktor janin atau distokia fetalis. Dalam sebuah studi yang dilakukan terhadap 182 indukan dari berbagai ras anjing, yang dibawa dan ditangani di Rumah Sakit Hewan, diketahui bahwa 75.3 % kasus distokia terjadi karena pengaruh dari faktor induk, dan 24.7 % dari pengaruh fetus (Darvelid et al., 1994). Sementara itu dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gudet (1985), menyatakan bahwa 60% kasus distokia dipengaruhi oleh induk dan 40% oleh fetus. Kelahiran umumnya terjadi secara normal, namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpanjangan waktu dalam proses kelahiran. Banyak sumber mengatakan bahwa distokia diakibatkan oleh faktor keturunan atau herediter, namun banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya distokia pada proses kelahiran anjing. Dari faktor induk atau distokia maternal, dapat diakibatkan karena adanya gangguan hormonal sehingga tidak memungkinkan bagi serviks untuk terbuka ketika proses kelahiran berlangsung, sebab lain adalah karena sempitnya saluran peranakan, serta lemahnya kontraksi uterus atau inersia uteri. Sejauh ini, inersia uteri adalah penyebab tertinggi yang melatar belakangi kejadian distokia pada anjing (Forsberg et al., 2007). Penyempitan saluran kelahiran atau terhalangnya masuknya fetus secara normal ke dalam saluran kelahiran dapat terjadi karena ukuran pelvis yang kecil (Olisiya, 2012). Inersia uteri adalah kondisi dimana otot uterus tidak dapat berkontraksi (primary uterine inertia) atau menjadi fatique selama proses kelahiran (secondary uterine inertia) (Bright, 2011). Inersia uteri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu inersia uteri primer ( primary inertia) dan inersia uteri sekunder (secondary inertia). Inersia uteri primer dapat terjadi secara komplit (primary complete uterine inertia) atau parsial (primary partial uterine inertia) Inersia uteri primer komplit adalah kegagalan kerja uterus dalam jangka penuh, sedangkan inersia uteri primer parsial terjadi ketika kontraksi uterus yang terjadi cukup untuk memulai proses kelahiran namun tidak cukup untuk menyelesaikan kelahiran dari keseluruhan fetus secara normal, dalam keadaan tidak adanya obstruksi. Inersia uteri primer dapat terjadi karena kegagalan uterus untuk merespon sinyal fetus karena hanya terdapat satu atau dua fetus dan kemudian stimulasi yang ditimbulkan tidak cukup untuk menciptakan kontraksi uterus (the single-pup syndrome) atau karena overstretching dari myometrium karena banyaknya jumlah anak atau litter, banyaknya cairan fetus atau fetus yang terlalu besar atau oversized fetus (Forsberg et al., 2007). Namun disamping semua penyebab tersebut, inersia uteri primer juga dapat diakibatkan oleh faktor keturunan (inherited predisposition), ketidakseimbangan nutrisi, infiltrasi lemak pada myometrium, defisiensi dari neuro-endokrine atau penyakt sistemik pada induk (Forsberg et al., 2007). Inersia uteri sekunder terjadi ketika kontraksi uterus tidak cukup untuk mengeluarkan semua fetus namun beberapa fetus telah berhasil dikeluarkan, diakibatkan oleh obstruksi pada saluran peranakan (Forsberg et al., 2007). Obstruksi pada saluran peranakan dapat berasal dari tulang atau dari abnormalitas jaringan lunak. Obstruksi yang berasal dari tulang dapat diakibatkan oleh karena ukuran tulang pelvis yang kecil khususnya pada cavum pelvis. Ukuran tulang pelvis kadang-kadang sangat kecil pada jenis anjing brachycephalic (Elsevier Health, 2004). Sementara itu obstruksi sebagai akibat dari abnormalitas jaringan lunak dapat terjadi karena stenosis kongenital yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari jaringan lunak pada saluran peranakan. Stenosis vagina pada wilayah vestibular sangat umum terjadi pada Cavalier King Charles Spaniel (Elsevier Health, 2004) Sementara itu, dari faktor fetus dapat dibedakan menjadi tiga yaitu karena ukuran fetus yang terlalu besar, ketidaknormalan pada presentasi atau hubungan sumbu tubuh fetus dengan pinggul serta ketidaknormalan pada posisi dan postur dari fetus. Ukuran fetus yang abnormal dapat terjadi karena hydrocephallus, anasarka dan ascites (Puja, 2007). Presentasi fetus yang dikatakan normal adalah longitudinal anterior dan longitudinal posterior. Tidak dapat dijelaskan apa yang menyebabkan terjadinya malposisi tersebut. Sebelum lahir, secara normal fetus akan ada pada posisi ventral dan berputar hingga 180° sebelum memasuki pelvis. Kegagalan mencapai rotasi ini menyebabkan fetus dilahirkan di posisi lateral atau ventral (Elsevier Health, 2004). Sumber : centredmv.com Gambar 4. Posisi normal dan abnormal fetus pada proses kelahiran Sumber : poolhousevets.com Gambar 5. Kelahiran pada anjing Monster fetus umumnya terlihat pada anjing trah kecil dimana litter size secara numerik kecil namun dengan ukuran yang besar. 2.5.2 Penanganan Distokia Terdapat beberapa tindakan penanganan yang dianjurkan dalam kasus distokia yaitu pemberian obat perangsang kontraksi uterus, manipulasi fetus dan tindakan operasi pengeluaran fetus. Sangat penting untuk mempertimbangkan penyebab distokia untuk menentukan tindakan penananganan yang akan diambil. Indikasi utama pemberian perangsang adalah adanya kelemahan kontraksi uterus. Substansi yang diberikan adalah oxytocin (Puja, 2007). Oxytocin memegang peranan penting dalam proses partus yaitu mengendalikan proses pengejanan. Kadar oxytocin tidak berubah pada fase permulaan kelahiran, tetapi meningkat mencapai puncaknya selama pengeluaran fetus kemudian menurun kembali. Pelepasan oxytocin ini menyebabkan pelepasan PGF2α dalam jumlah besar dan meningkatkan potensi kegiatan uterus (Toelihere, 1985). Cara lain dapat dilakukan dengan reposisi atau manipulasi letak fetus. Reposisi dilakukan pada distokia yang ringan dan induk kelihatan sehat tanpa ditemukan tanda penyakit (Puja, 2007). Namun apabila presentasi fetus tidak dapat diperbaiki, maka fetus dapat ditarik secara paksa dengan menggunakan alat penjepit khusus (forceps). Tindakan operasi atau secsio saecarean biasanya merupakan tindakan terakhir yang dilakukan untuk menangani distokia. Waktu yang tepat untuk melakukan operasi adalah bila operasi dilakukan dalam waktu 24 jam setelah dimulainya kontraksi uterus (Puja, 2007). 24