BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam pengajaran gereja sakramen disebut sebagai salah satu alat pemelihara keselamatan bagi umat Kristiani. Menurut gereja-gereja reformasi hanya ada dua sakramen, yaitu sakramen baptisan dan sakramen perjamuan kudus.1 Setiap orang yang sudah mengaku percaya kepada Tuhan, ketika menerima sakramen baptisan berarti bahwa manusia diundang oleh Tuhan untuk masuk menjadi anggota persekutuan GerejaNya dan menjadi anak-anak kerajaanNya. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar 14:22-25, Luk 22:19, I Kor 11:24.2 Tujuan perjamuan kudus adalah sebagai peringatan akan Yesus, dimana dalam perjamuan kudus orang-orang bersekutu dengan tubuh dan darah Kristus yaitu dengan Tuhan Yesus sendiri yang mengorbankan diriNya di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Yesus hadir dalam perjamuan kudus melalui pemaknaan terhadap roti dan anggur secara rohani. Maksudnya adalah ketika kita mengambil roti sebagai lambang tubuh Kristus yang dikorbankan, maka kita harus pahami bahwa sebagaimana roti yang memupuk, menguatkan tubuh, sama halnya dengan tubuh Kristus yang merupakan makanan yang dapat menghidupkan jiwa kita. Demikian pula dengan ketika kita mengambil anggur sebagai darah Kristus, maka yang harus kita pahami adalah yang menyegarkan dan menguatkan. Ada dua gereja yang sudah memperbolehkan keikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus, yaitu Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Gereja Kristen Sumatera bagian Selatan (GKSBS). Di Gereja Kristen Jawa (GKJ), Perjamuan kudus adalah alat pelayanan dengan roti dan anggur sebagai unsur dasarnya. Roti dan anggur itu melambangkan tubuh dan darah Kristus yang menunjukkan pada: 1 Dr. H. Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, p. 426. 2 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, p. 298. 1 1. Keyakinan bahwa penyaliban dan kematian Yesus adalah dasar penyelamatan bagi manusia. 2. Melalui bentuk makan dan minum bersama yang melambangkan kehidupan keluarga Allah 3. Sakramen perjamuan juga mengacu ke depan ke perjamuan yang sempurna di sorga.3 Dan perjamuan kudus hanya boleh dijalankan oleh warga jemaat dewasa. Bagi jemaat warga dewasa pun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu: warga sidi yang tidak dalam pamerdi,4 warga titipan dari gereja lain, dan tamu dari gereja lain.5 Hal inilah yang membuat penyusun tertarik untuk mengetahui lebih jauh terhadap Gereja Kristen Jawa yang memperbolehkan warga baptis anak mengikuti perjamuan kudus. Sedangkan di gereja penyusun yaitu Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), perjamuan kudus adalah sebuah peristiwa besar yang tidak bisa ditinggalkan dan tidak pernah bisa ditinggalkan dalam hidup setiap orang Kristen dan juga Gereja yang sungguh mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) belum memperbolehkan warga baptis anak mengikuti perjamuan kudus. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah gereja yang beraliran Calvinis seperti GKJ dan GKSBS. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memahami sakramen perjamuan kudus sebagai peringatan akan kematian dan kebangkitan Yesus, perjamuan kudus adalah perjamuan yang menunjuk kepada masa depan atau eskatologi, selain itu perjamuan kudus adalah perjamuan persekutuan.6 Salah satu unsur yang mendukung pelaksanaan perjamuan kudus di Gereja Masehi Injili di Timor adalah roti dan anggur. Dimana roti dan anggur dimaknai sebagai tubuh dan darah Kristus.7 Perjamuan kudus hanya boleh diikuti oleh warga jemaat yang sudah disidi. Maksudnya adalah warga jemaat yang menerima dan mengaku percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Jika perjamuan kudus disebut sebagai alat pemeliharaan iman jemaat, maka bagaimana dengan 3 Sinode GKJ, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga: 2005, p. 49 4 Pamerdi adalah tindakan gereja berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman kepada warga gereja atau pejabat gerejawi yang jatuh ke dalam dosa, atau paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Tuhan. Sinode GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Salatiga: 2005, p. 106. 5 Sda. p. 98 6 Majelis sinode GMIT, Himpunan Pelajaran Katekisasi, Kupang: 1994, p.64 7 Majelis sinode GMIT, Tata GMIT seri II A, Kupang: 2004, p.134 2 anak-anak. Apakah mereka tidak memerlukan pemeliharaan iman? Berangkat dari pemahaman ini, maka gereja-gereja khususnya Gereja Kristen Jawa (GKJ) mulai memperhatikan tentang keikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus. B. RUMUSAN MASALAH Di Gereja Kristen Jawa (GKJ) pembinaan terhadap warga gereja, untuk mengalami hidup yang kongkrit dan kontekstual berdasarkan iman Kristen sangat diperhatikan. Pembinaan yang dilakukan mulai dari anak-anak sampai para lansia dengan tujuan untuk menjadi saksi Kristus di dunia8. Anakanak sebagai bagian dari warga gereja juga merupakan saksi Kristus di dunia, sehingga mereka membutuhkan perhatian lebih. Selain itu anak-anak adalah calon pemimpin gereja di masa yang akan datang. Oleh karena itu, gereja membentuk komisi Sekolah Minggu yang berfungsi untuk memberikan pendidikan dasar Agama Kristen bagi anak-anak. Selain itu dalam persekutuan Gereja Kristen Jawa, setiap warga yang dibaptis dalam gereja tersebut mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga jemaat. Tetapi ada juga kenyataan di gereja bahwa terkadang anak-anak dibatasi hak dan kewajibannya. Tempat anak seolah-olah hanya berada di luar gereja. Contohnya adalah ketidakikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus. Dengan alasan bahwa anak belum mampu memahami dengan benar makna perjamuan kudus serta konsekwensi dibalik perjamuan kudus. Oleh karena itu, dalam sidang sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Wirobrajan pada tanggal 16-21 November 2006, salah satu materi yang dibahas adalah mengenai keikutsertaan warga baptis anak dalam sakramen perjamuan kudus.9 Sudah saatnya dijalankan perjamuan kudus pada anak-anak yang merupakan perjalanan rohani anak-anak untuk menerima berkat dan anugerah (Karena merekalah yang empunya kerajaan sorga). Perjalanan rohani mereka memang harus dituntun dan didukung oleh gereja sebagai lembaga keagamaan dan juga orang tua. Melalui diskusi yang panjang dan dengan banyak pertimbangan, akhirnya Gereja Kristen Jawa (GKJ), memperbolehkan keikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus. Dengan kata lain, 8 Sinode GKJ, Akta Sinode XXIV Gereja-gereja Kristen Jawa, Salatiga: 2006, p. 87 9 Sda. p. 130 3 sinode memberikan kesempatan bagi gereja yang mau mengadakan perjamuan kudus anak. Dalam pelaksanaannya sinode menyerahkan otoritas penuh kepada majelis gereja setempat dengan alasan bahwa majelis gereja yang lebih mengetahui konteks keadaan warga jemaatnya khususnya anakanak dan majelislah yang berwenang menilai hidup dan perilaku warga jemaatnya.10 Sedangkan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menyadari bahwa tidak adil jika anak-anak yang sudah dibaptis tidak diperbolehkan mengikuti perjamuan kudus.11 Dan hal ini sudah disadari bertahuntahun tetapi sampai sekarang GMIT belum mengambil sikap untuk meninjau kembali tata gereja tentang sakramen perjamuan kudus. Selain itu, Gereja-gereja di Timor juga menjunjung tinggi kedaulatan sinode sehingga perjamuan kudus yang dijalankan berdasarkan apa yang diputuskan oleh sinode. Berdasarkan uraian di atas maka rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Dasar teologis apa yang melatarbelakangi Gereja Kristen Jawa, memperbolehkan keikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus? Apakah sudah relevan dengan konteks saat ini? 2. Apa yang melatarbelakangi, mengapa GMIT belum memperbolehkan anak-anak mengikuti perjamuan kudus? 3. Bagaimana seharusnya gereja bersikap terhadap sakramen perjamuan kudus anak serta implikasinya bagi kehidupan pelayanan gereja saat ini? C. BATASAN MASALAH Agar dalam pembahasannya dapat mencapai sasaran yang diharapkan, maka dengan melihat latar belakang dan rumusan masalah di atas, penyusun membatasi permasalahan yang ada, yaitu pada gereja yang memperbolehkan keikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus yaitu GKJ dan Gereja yang belum memperbolehkan warga baptis anak mengikuti perjamuan kudus yaitu Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang merupakan gereja asal penyusun. 10 Sda. p. 128-129 11 Wawancara dengan Bapak Pdt. Ebenheizer B. Telnoni, Sth. Sebagai Kordinator pelayanan wilayah klasis So’E. (KPWK) 4 D. PEMILIHAN JUDUL Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penyusun paparkan di depan, maka judul yang penyusun berikan pada skripsi ini adalah KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM PERJAMUAN KUDUS DI GEREJA KRISTEN JAWA (Suatu Sumbangan Pemikiran Untuk Gereja Masehi Injili di Timor) Pemilihan keikutsertaan warga baptis anak dalam perjamuan kudus dikarenakan penyusun ingin mengetahui posisi anak dalam gereja, apakah anak sudah dapat menerima hak dan kewajibannya yaitu dengan mendapatkan pelayanan selayaknya sebagai seorang warga dewasa? Kedudukan anak dalam gereja memang sangat penting sehingga ada beberapa gereja mulai menyadari dan memperhatikan kehidupan iman anak-anak. Salah satunya dengan pemberlakuan perjamuan kudus bagi anak-anak. Penyusun ingin mengetahui alasan apa yang gereja pergunakan dalam memperbolehkan warga baptis anak mengikuti perjamuan kudus. Selain itu, penyusun memilih Gereja Kristen Jawa (GKJ) karena gereja ini merupakan satu dari dua gereja yang sudah memperbolehkan adanya perjamuan kudus anak. Walaupun penyusun bukan warga Gereja Kristen Jawa (GKJ), tetapi penyusun ingin agar setelah mengetahui alasan dibalik diperbolehkannya anak-anak untuk mengikuti perjamuan kudus, maka penyusun dapat memberikan sebuah wacana baru bagi gereja penyusun yaitu Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang belum memperbolehkan warga baptis anak untuk mengikuti perjamuan kudus. E. TUJUAN PENULISAN Tujuan penyusun dalam penulisan ini adalah agar mengetahui apakah landasan teologi yang digunakan Gereja Kristen Jawa (GKJ) untuk memperbolehkan warga baptis anak mengikuti sakramen perjamuan kudus. Selain itu, untuk memberikan suatu wacana atau sumbangan pemikiran baru bagi gereja penyusun yaitu Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Dengan harapan ke depannya gereja dapat bersikap terbuka terhadap hak dan kewajiban anak-anak serta kedudukan 5 mereka dalam gereja, dengan mengikutsertakan anak-anak dalam pelayanan sakramen gereja yaitu sakramen perjamuan kudus. F. METODE PENULISAN Metode penulisan yang akan digunakan oleh penyusun adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis dimaksudkan untuk menguraikan data dengan jelas, untuk selanjutnya dapat dianalisa. Cara penggalian data meliputi studi literatur/kepustakaan dan wawancara dengan pihakpihak yang terkait. G. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan Pada bagian ini penyusun menuliskan Latar Belakang Permasalahan, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab II Keikutsertaan Anak Dalam Sakramen Perjamuan Kudus Menurut Calvin Pada bagian ini penyusun menuliskan secara singkat sakramen perjamuan kudus dalam Gereja: sakramen sebagai alat anugerah, sakramen sebagai tanda dan meterai, cara kerja sakramen, kemudian pemahaman tentang sakramen perjamuan kudus dan hubungan perjamuan kudus dengan tradisi gereja purba. Dilanjutkan dengan pandangan Calvin tentang perjamuan kudus dan keikutsertaan anak-anak dalam perjamuan kudus. Bab III Perjamuan Kudus dalam GKJ dan GMIT Pada bagian ini penyusun menuliskan secara singkat sejarah GKJ dan GMIT, Pelaksanaan perjamuan kudus anak dalam GKJ dan pelaksanaan perjamuan kudus dalam GMIT dan juga peraturan-peraturan yang tercantum dalam gereja mengenai 6 perjamuan kudus. Peraturan-peraturan tersebut meliputi peraturan tentang keikutsertaan anggota jemaat termasuk anak-anak dalam perjamuan kudus; peraturan tentang waktu dan tempat pelaksanaan perjamuan kudus; peraturan tentang adanya persiapan perjamuan kudus; kemudian penyusun menuliskan bagaimana supaya GMIT dapat bersikap terbuka untuk mengikutsertakan anak-anak dalam sakramen perjamuan kudus. Bab IV Penutup Pada bagian ini penyusun menuliskan mengenai kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan saran-saran. 7