BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mendefenisikan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mendefenisikan agama
bukanlah suatu hal yang mudah. Secara umum,
agama seringkali diartikan sebagai sebuah kepercayaan atau sistem kepercayaan terhadap
kekuatan supernatural.1 Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana
kepercayaan
itu
bisa
ada?
Mengapa
kepercayaan
itu
ada?
Bagaimana
mengekspresikannya, dan bagaimana agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
kehidupan manusia baik secara individu maupun sosial bukanlah hal yang mudah untuk
dijelaskan.
Para filsuf dan juga para sosiolog tidak sedikit menghabiskan waktu berpikir
dan melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tiga sosiologbesar, Emile
Durkheim, Max Weber dan Karl Marx memiliki pendapat yang berbeda tentang defenisi
agama. Bagi Durkheim, agama adalah sesuatu hal yang konkrit dan menjadi pusat
perhatian. Agama terbentuk ketika yang sakral
memiliki pengaruh dan subordinasi
dengan yang lainnya dan terbentuk semacam sistem koherensi yang tidak dimiliki oleh
sistem lain.2 Yang sakral adalah sesuatu yang memiliki martabat dan kekuatan superior
daripada yang profan yang memiliki sifat absolut.3 Elemen yang membentuk keabadian
dan manusiawi dalam agama adalah adanya sejumlah representasi fundamental dan pola
1
Carl Olson, The Theology and Philosophy of Eliade: A Search for the Centre (New York: St.
Martini’s Press, 1992), 31
2
Emile Durkheim, The Elemntary Forms of The Religious Life (New York & London: The Free
Press. 1915),21
3
Ibid., 53
1
perilaku ritual
yang memiliki makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan
kapanpun terlepas dari keragaman bentuknya.4
Menurut Max Weber, “agama adalah suatu sistem sosial yang berasal dari
abstraksi dan rasionalisasi pemahaman-pemahaman keagamaan. Proses abstraksi terjadi di
dalam perilaku keagamaan yang paling primitif di belakang aktifitas objek-objek natural,
artifak-artifak, binatang-binantang dan orang-orang terdapat sesuatu kekuatan yang tidak
dapat dilihat, tidak dapat ditentukan dan bersifat non person, akan tetapi memiliki
pengaruh yang besar terhadap kenyataan. Kekuatan ini masuk ke dalam objek yang
konkret itu , sehingga objek tersebut memiliki kualitas. Kekuatan itu disebut Weber
dengan Spirit dan kualitas dari pengaruh kekuatan itu disebutnya dengan charisma.”5
Sementara itu bagi Karl Marx, agama adalah suatu proyeksi dan ilusi. Agama
lahir untuk memenuhi kebutuhan manusia yang berada di level terbawah dalam stratifikasi
sosial dan mereka berkompensasi dengan mencari tujuan-tujuan alternatif di dalam
agama.6 Agama diciptakan oleh manusia dan agama memberi gambaran yang keliru
tentang realitas manusia. Oleh karena itulah agama tidak lebih dari sebuah ideologi
belaka. Disebut sebagai sebuah ideologi karena banyak kenyataan mengenai manusia yang
seringkali diputarbalikkan dalam agama. Agama
ketidakadilan
secara simultan
adalah istrumen
yang dipaksakan, dan pada saat yang sama merupakan sikap protes
terhadap ketidakadilan. Penekanan agama pada dunia transenden, non material dan
harapan akan kehidupan setelah kematian membuat manusia mengalihkan perhatiannya
dari penderitaan fisik dan kesulitan di dalam dunia ini. Dalam kepercayaan seperti ini
kekayaan material dianggap sebagai penghalang untuk masuk ke dalam kehidupan yang
4
Ibid., 20
Max Weber,Sosiologi Agama (terj) A Hand Book, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 97-100
6
Inger Furshet, An Introduction to The Sciology of Religion, (Burlington USA: Ashgate
Publising Limited, 2006), 34
5
2
kekal dan kemiskinan diubah menjadi keutamaan.7 Selain sebagai ideologi, agama juga
menjadi suatu candu bagi masyarakat, karena agama hadir sebagai penghibur
bagi
penderitaan dan tekanan yang dialamai oleh masyarakat. Agama menjadi alat legitimasi
penderitaan dan kesengsaraan kaum proletar akibat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh
kaum kapitalis. Akibatnya adalah agama mengalienasi manusia dari manusia itu sendiri.
Agama menawarkan imbalan atau kompensasi dari perjuangan atas penderitaan di dunia
ini dengan kebahagiaan di dalam kehidupan dunia yang akan datang, dan kebahagiaan itu
hanya bisa diterima jika mampu menerima penderitaan hidup di dunia ini.
Ketiga defenisi agama di atas bukan saja tanpa kritikan dan kontroversi. Ini
menandakan bahwa teori-teori itu tidak cukup untuk mendefenisikan agama, akan selalu
ada cela dan kekurangan. Kendati demikian, teori-teori tersebut telah telah memberi
kontribusi bagi dunia sosiologi dan membuka ruang-ruang baru bagi para sosiolog dan
antropolog lain untuk membangun teori yang baru tentang defenisi agama.
Clifford Geertz adalah salah seorang sosiolog-antropolog di abad ke-20 telah
mendedikasikan karya-karyanya untuk mendefenisikan agama. Dari berbagai penelitian
yang telah dilakukan, Geertz pada akhirnya mengatakan bahwa agama adalah sistem
kebudayaan.8 Kebudayaan yang dimaksud Geertz adalah sebuah pola makna atau ide-ide
yang termuat dalam dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani
7
25
Bernad Raho, ,Agama dalam Perspektif Sosologi, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2013),
8
Geertz telah membuktikan tesis ini dengan mengulasnya secara mendalam di dalam dua
bukunya yang terkenal yakni, buku Religion of Java danIslam Observed. Dalam Bukunya Religion of Java,
Geertz menjelaskan bahwa Islam di Jawa itu memiliki cirikhas yang unik dan hal ini sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan dan sistem kemasyarakatan yang ada di dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Sehingga
menurut Geertz agama Islam di Jawa itu terbagi dalam tiga kelas, yakni, Islam abangan, kiyai dan priyai.
Lih. Clifford Geertz, The Religion Of Java, (London: The Free Press, 1960).
Demikian juga dalam bukunya Islam Observed, Geertz menemukan bahwa perbedaan Islam di Indonesia
dengan Islam di Maroko dipengaruhi oleh perbedaan kebudayaannya. Islam di Indonesia cenderung lebih
santun, sabar dan penuh kasih karena dipengaruhi oleh kebudayaan Indonesia yang mayoritas penduduknya
adalah petani. Lain dengan Maroko, yang cenderung lebih keras karena dipengaruhi oleh kebudayaan
Maroko yang mayoritas penduduknya adalah pedagang dan banyak yang hidup di padang gurun.
Lih. Clifford Geeetz, Islam Observed, (Chicago:University Of Chicago Press, 1968)
3
pengetahuan tentang kehidupan dan mengekspresi kesadaran mereka melalui simbolsimbol itu.9 Simbol-simbol tersebut menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah
menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang sehingga membentuk konsepsi
tentang sebuah tatanan eksistensi, dan membungkus konsepsi itu dengan cara semacam
aura factual dan pada akhirnya perasaan dan motivasi itu akan terlihat sebagai suatu
realitas yang unik.10
Dalam pandangan Geertz simbol
atau sistem simbol di dalam sebuah
masyarakat adalah sangat penting untuk mendefenisikan agama.
Mengapa? Karena
simbol yang ada dalam masyarakat pada satu sisi merupakan hasil ciptaan sendiri, tetapi
pada waktu yang bersamaan memiliki pengaruh bagi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Simbol-simbol itu suci, bersifat normative, dan mempunyai kekuatan yang besar dalam
sanksi-sanksinya. Simbol-simbol itu bersumber pada etos (ethos) dan pandangan hidup
(world view) yang hakiki bagi eksistensi manusia. Simbol-simbol suci ini terjalin dalam
simbol-simbol lainnya yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Perjamuan Kudus adalah salah satu simbol yang sangat penting di dalam
gereja. Pemahaman Gereja tentang Perjamuan Kudus pada umumnya didasari pada dua
pemahaman dan tradisi yang berbeda tetapi tetapi saling berhubungan. Pertama, tradisi
Perayaan/jamuan Paskah dalam Perjanjian Lama. Walaupun tradisi ini sesungguhnya
berasal dari tadisi Suku Keni di Mesir, tetapi Musa membaruinya ke dalam kultus Yahwe,
dan dipahamai sebagai peristiwa perbuatan Allah yang paling besar untuk membebaskaan
bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Tradisi ini ditandai dengan ritual penyembelihan
seokor anak domba pilihan dan memercikan darahnya di altar Bait Suci Allah. Kedua,
dalam tradisi Perjanjian Baru, kata-kata Yesus di jamuan makan Paskah terakhir dalam
9
Daniel L Pals, Seven Theories of Religions, (Yogyakarta: IRciSoD, 2011), 342
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5
10
4
kitab-kitab Injil yang dipertegas kembali oleh Paulus menjadi legtimasi bagi gereja untuk
menetapkan Perjamuan Kudus sebagai salah satu sakramen.
Meskipun secara substansial ada perbedaan pengertian antara Katolik dan
Protestan tetapi pada umumnya gereja memahami bahwa Perjamuan Kudus adalah
sakramen, tanda suci, ditetapkan oleh Allah untuk mengingatkan manusia pada
pengorbanan Yesus Kristus yang telah mengampuni dosa dan mendamaikan manusia
dengan Allah. Orang yang menerima roti dan anggur diberi jaminan ambil bagian dalam
keselamatan yang telah dikerjakan Kristus bagi
manusia. Sehingga orang percaya
dijadikan satu dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya.
Terkait pengurbanan Yesus yang selalu ditekankan oleh Gereja dalam
Perjamuan Kudus, penulis tertarik dengan pernyataan Jon D Levenson seorang Guru
Besar Biblika (Ibrani) dan Atropology di Harvard yang mengatakan bahwa pengorbanan
yang dilakukan oleh Yesus ada kaitannya dengan praktek pengorbanan anak di zaman
Israel kuno. Dalam pernyataannya, Levenson berkata, “ praktek pengorbanan seorang
anak di dalam dunia Israel adalah sebuah fakta yang pernah terjdi, meskipun dilrang keras,
tetapi kemudian ditransformasi ke dalam berbagai praktek yang lain dan disublimasikan
ke dalam berbagai narasi. Penulis awal kekristenan mengadopsi gagasan ini dengan baik
dan bahkan menggunakannya untuk memahami Yesus.”11 Perayaan Paskah tahunan yang
dirayakan oleh orang Kristen sesungguhnya adalah salah satu upaya untuk menghidupkan
kembali peristiwa keselamatan anak-anak sulung Israel sementara anak-anak sulung di
Mesir dikorbankan. Oleh karena itulah dalam sejarah Israel perintah untuk mengorbankan
“yang sulung” menjadi perintah untuk penebusan.12
11
Jon D Levenson, From the death and Ressurection of the Beloved Son: The Transformation of
Child Sacrifice In Judaism and Christianity, dalam Jeffrey Carter (ed), Understanding Religious
Sacrifice,(London-New York: Continuum: 2003), 421
12
Ibid., 423
5
Gagasan Levenson tentang pengorbanan anak terkesan sangat jelas di dalam
ajaran Gereja tentang pengorbanan Yesus yang selalu dikenang dan dihayati dalam
Perjamuan Kudus.13 Kematian Yesus dipahami sebagai
pengorbanan sejati yang
mendamaikan manusia dengan Allah. Yesus adalah Anak Domba Allah yang
dikorbankan, darah Yesus yang telah tumpah di atas kayu salib menjadi penebus dosadosa manusia. Pengurbanan Yesus adalah penggenapan dari kurban-kurban darah
binatang yang hanya sebagai bayangan (Ibr 10:1). Penyaliban yang dilakukan kepada
Yesus merupakan cara untuk menumpahkan darah supaya manusia mendapatkan
pengampunan (1 Petrus 2: 22-25).14 Gagasan-gagasan itu membuat Perjamuan Kudus
sangat dihargai dan sakral bagi orang Kristen.
Sebagai salah satu simbol yang sangat sakral dalam agama Kristen,
Perjamuan Kudus memiliki tempat istimewa bagi kehidupan orang Kristen dan pelayanan
gereja. Sakralitas itu ditandai oleh beberapa hal, (1) Perjamuan Kudus sarat makna dan
memiliki pengaruh yang besar dalam tata ajaran kehidupan orang Kristen, (2) Roti dan
anggur yang diterima dirasa sangat berbeda dari roti dan anggur (di luar gereja), (3) Ada
semacam “aura” yang berbeda yang dirasakan oleh orang Kristen saat makan roti dan
minum anggur Perjamuan Kudus. . “Aura” ini agak sulit dijelaskan akan tetapi ada dan
dapat diindra. Misalnya, warga gereja yang sakit (kritis) segera meminta pendeta untuk
melayani Perjamuan Kudus baginya dengan alasan supaya sembuh atau bisa tenang saat
13
Arnod Toynbe, seorang antroplog dan Sejarahwan berkebangsaan Inggris mengatakan bahwa
ritual pengorbanan yang menjadi ritual besar dalam agama Kristen adalah upaya untuk mentransformasi
ritual-ritual yang banyak dilaksanakan di negri-negri sekitar laut Mediterania untuk para dewa tumbuhtumbuhan.Lihat Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),452
Hal yang sama dikatakan oleh Ioanes Rakhmat, bahwa di dalam dunia kekristenan mula-mula ada banyak
allah dan ada banyak tuhan yang disembah dan tidak sedikit dari para allah ini adalah orang-orang besar
yang dideifikasi (dalam dunia Yunani Romawi). Ini menjadi tantangan besar bagi gereja mula-mula.
Gereja harus berjuang dalam persaingan ideologi religio-politis untuk menentukan tuhannya sendiri yang
sebisa mungkin lebih baik dari Tuhan Yunani-Romawi. Selain itu, gereja harus bertarung memperebutkan
anggota-anggota baru di tengah kultus-kultus keagamaan lain dalam masyarakat Yunani-Romawi. Lihat
Ioanes Rahmat, Memandang Wajah Yesus, (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2012), 116
14
Ki Bagus Heruyono, Kurban Dalam Perjanjian Lama, dalam www.theway.or.id
6
menghembuskan nafas terakhirnya. Warga jemaat yang tidak siap menerima perjamuan
karena ada sesuatu hal yang “tidak beres” dalam hatinya, atau ada yang batuk saat
meminum anggur, gemetaran saat mengambil roti dan anggur, dsb.
Sakralnya Perjamuan Kudus dalam agama Kristen (Gereja) menimbulkan
beberapa pertanyaan tersendiri bagi penulis. Secara esensial apa makna dari Perjamuan
Kudus? Bagaimana peristiwa naas kematian Yesus di kayu salib dengan darah yang
tertumpah diterima sebagai penebus dosa dan mendamaikan manusia dengan Allah?
Bukankah para nabi di dalam Alkitab mengutuk keras pengorbanan manusia? Mengapa
roti dan anggur yang ada di atas meja Perjamuan terasa lebih istimewa dibandingkan
dengan roti dan anggur yang sama (tetapi) di tempat yang berbeda? Mengapa Perjamuan
Kudus menimbulkan semacam “aura” khusus, sehingga orang yang menerima roti dan
anggur merasakan ada sesuatu “yang berbeda” dalam dirinya?
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian dan memberi judul: Perjamuan Kudus (Sebuah Kajian SosioDogmatis atas makna Perjamuan Kudus dari Sudut Pandang defenisi Agama
Menurut Clifford Geertz).
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan judul penelitian di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah:
Pertama, apa makna Perjamuan Kudus secara dogmatis? Kedua, apa makna Perjamuan
Kudus secara sosiologis dari perspektif defenisi agama menurut Clifford Geertz?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab kedua pertanyaan di atas.
Pertama, mendeskripsikan dan menganalisa makna Perjamuan Kudus secara dogmatis.
7
Kedua, mendeskripsikan dan menganalisa makna Perjamuan Kudus secara sosiologis dari
perspektif defenisi agama menurut Clifford Geertz.
D. Manfaat Penelitian
Ada tiga manfaat dari penelitian ini. Pertama, menjelaskan dan menganalisa
secara sosiologis-dogmatis makna yang terkandung di dalam Perjamuan Kudus, sehingga
jemaat masa kini dapat mengerti dan memahaminya. Kedua, menolong pimpinan gereja
untuk melihat dan memberikan penjelasan teoritis tentang makna Perjamuan Kudus secara
sosiologis-dogmatis. Dan ketiga, menjadi sumber pengayaan bagi dunia akademik secara
khusus Fakultas Teologi dalam memahami tema-tema dogmatis secara sosiologis.
E. Signifikansi Penelitian
Karya tulis/kajian tentang perjamuan Kudus pada dasarnya bukanlah hal
yang baru. Pembahasan tentang Perjamuan Kudus secara alkitabiah dalam sejarah
perkembangan gereja diakui bukanlah sesuatu hal yang istimewa. Akan tetapi menjadi
sesuatu hal yang baru jika Perjamuan Kudus dikaji dari perspektif sosiologis dengan
memakai Teori Clifford Geertz sebagai pisau analisanya. Karena sepanjang pengetahuan
penulis, kajian adalah sesuatu hal yang belum ditemukan (langka). Sementara alasan yang
lain adalah, Geertz sendiri mengakui bahwa menganalisa seperangkat makna yang
terdapat dalam simbol-simbol keagamaan itu adalah sesuatu tugas yang paling sulit.
Kedua alasan di atas menjadi sebuah petualangan intelektual yang cukup
menantang, membutuhkan keseriusan dan kerja keras bagi penulis untuk menemukan
makna sosio-dogmatis yang ada di balik Perjamuan Kudus. Oleh karena itu, objek
penelitian ini adalah sesuatu hal yang harus dikupas dan diwarnai sehingga pembaca akan
menemukan isi yang layak untuk dikonsumsi sebagai bagian dari pengetahuan.
8
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni data yang disajikan
dalam bentuk verbal dan bukan dalam bentuk angka.15 Lexy J Mooeng mengatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati.16
Sementara
pendekatan yang dipakai adalah dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif analitis, yakni menerangkan sesuatu yang terjadi di masyarakat. Adapun
tujuannya adalah untuk mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai
gejala kemasyarakatan untuk memperoleh kesepakatan umum mengenai suatu
permasalahan yang disorot.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui pencarian bahanbahan pustaka yang menjadi sumber data. Adapun sumber data tersebut adalah literatur
yang berkaitan dengan substansi penelitian ini.
Untuk mendapatkan data-data tersebut, penulis menggunakan dua metode.
Pertama, metode library research (studi kepustakaan), yaitu usaha untuk memperoleh
data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan
yang ada dalam kepustakaan, dalam hal ini sumber bacaan, buku, referensi atau hasil
15
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29.
Sementara itu Handawi Mimi Martin mengatakan bahwapenelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat
atau memiliki karateristik, yang mana datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya sebagaimana aslinya,
dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol atau bilangan. Penelitian Kualitatif ini tidak bekerja
menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsir atau diinterpretasikan sesuai
dengan ketentuan statistic/mathematic. Handawi Mimi Martin, Penelitian Terapan,
(Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 1996), 174
16
Lexy J Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), 90
9
penelitian lainnya.17 Dan kedua, berdasarkan hasil observasi (pengamatan) secara
langsung di jemaat.
Sumber data yang diperoleh terdiri dari dua yakni data primer dan data
sekunder. Data primer adalah seluruh data-data yang berkaitan dengan Perjamuan Kudus
baik secara literature maupun hasil observasi langsung di jemaat. Sedangkan data
sekunder adalah adalah seluruh data-data (teori) Clifford Geertz dan teori-teori lain yang
mendukung untuk dijadikan sebagai alat analisis terhadap Perjamuan Kudus.
3. Metode Analisa Data
Analisa data adalah suatu proses yang mengorganisasikan dan mengurutkan
data dalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.18 Dalam memberikan interpretasi data
yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deskriptif yaitu suatu penelitian
yang dimaksud untuk membuat deskripsi mengenai objek yang diteliti. Metode ini
digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana adanya untuk mendapatkan
gambaran yang terkandung di dalam konsep tersebut.
G. Kerangka Penulisan
Bab I
: Pendahuluan yang
berisi: latar belakang masalah,pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, signifikansi
penelitian, metode penelitian, teori, kerangka penulisan
Bab II
: Landasan Teori: Defenisi Agama menurut Clifford Geertz, Teori
Mircea Eliade dan Teori Pengurbanan
17
M Iqbal Hassan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:
Graha Indonesia, 2003), 45
18
Lexy J Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif,…,103
10
Bab III
: Perjamuan Kudus: Latar Belakang Sosio-Teologis Perjamuan Kudus,
Interpretasi Dogmatis Terhadap Makna Perjamuan Kudus dan
Perjamuan Kudus dalam Sejarah Gereja
Bab IV
: Analisa: Analisa Sosiologi-Domatis Terhadap Makna Perjamuan
Kudus
Bab V
: Penutup: Simpulan dan Refleksi
.
11
Download