Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan

advertisement
REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI
KARYA DIDIK FOTUNADI
OLEH :
SITTI AMZAWIYAH
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa novel Revolusi dari
Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, sangat kental menampilkan realitas sosial masyarakat
dalam menghadapi berbagai masalah pada masa Orde Baru. Masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik
Forunadi? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas sosial tentang kemiskinan,
pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politk dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya
Didik Fotunadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analitis. Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research). Teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik catat. Data penelitian
dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Dari hasil penelitian, peneliti mengidentifikasi realitas sosial tentang kemiskinan,
pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politik. Realitas sosial tidak hanya ditemukan dalam
teks novel Revolusi dari Secangkir Kopi, tetapi juga ditemukan dalam kehidupan masyarakat,
juga pada masa pengarang mengalami situasi tersebut. Realitas sosial inilah yang
mengungkap adanya kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, serta politik yang dialami
oleh masyarakat pada masa Orde Baru.
Kata Kunci : Realitas Sosial, Novel, Revolusi Secangkir Kopi
Pendahuluan
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan suatu kenyataan
sosial. Sebuah karya sastra tercipta atas inspirasi yang datang dari lingkungan dalam kategori terkecil
maupun lingkungan dunia. Tentu hal itu akan terbatas pada pengetahuan dan daya khayal pengarang.
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan sosial walaupun karya sastra itu merupakan hasil khayal
atau imajinasi pengarang. Daya khayal seorang pengarang banyak dipengaruhi oleh pengalamannya
dalam lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, pengarang dalam menciptakan karya sastra seperti novel
memperoleh ide, gagasan, maupun konsep dari pengalaman dan pengamatan terhadap masyarakatnya
sehingga tidak jarang suatu tata nilai, norma, dan pandangan hidup suatu masyarakat menjadi objek
penulisan pengarang dalam karya sastranya.
Faktor yang paling mempengaruhi seorang pengarang adalah aspek-aspek masyarakat. Hal itu
sejalan dengan asumsi bahwa pengarang merespons persoalan yang terjadi di masyarakat lewat karya
sastra yang diciptakannya. Pengarang adalah anggota masyarakat sehingga karya sastra yang dihasilkan
setiap pengarang adalah produk dari masyarakat. Masyarakat merupakan pemicu lahirnya karya sastra.
Dalam suatu karya sastra terkandung nilai-nilai dasar berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai kebenaran
terungkap dalam karya sastra sebagai cerminan pengakuan universal terhadap apa yang dianggap ideal
dalam perilaku interaktif umat manusia. Ketika realitas yang ada ternyata tidak sesuai dengan gambaran
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
yang ada dalam benak seorang pengarang, maka karya yang terlahir bisa menampilkan protes keras
ataupun sindiran terhadap pihak yang terlibat dalam sebuah segmen kehidupan.
Proses penciptaan suatu karya sastra, tidak dapat dipisahkan dari subjektivitas si pengarang. Pada
dasarnya seorang pengarang menulis sebuah karya sastra setelah melakukan tafsiran dari realitas dan
fakta yang ditemukan dalam kehidupannya. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan
yang telah ditafsirkan (Endraswara, 2003:78).
Mengingat hal tersebut, sebuah realitas bisa jadi memperoleh penafsiran yang tidak sama dari
pengarang-pengarang yang berbeda, sehingga hasilnya dalam bentuk sebuah karya sastra pun akan
berbeda. Perbedaan ini bisa saja terletak pada penggunaan bahasa, sudut pandang penceritaan, penekanan
nilai-nilai, maupun penceritaan tokoh-tokohnya. Kesemua itu akan memberikan arah pembentukan opini
yang berbeda pula bagi pembacanya. Sebagai contoh, pengarang dengan latar belakang kehidupan
keluarga yang menjunjung tinggi kebebasan dengan tentu akan berbeda dengan pengarang yang memiliki
kehidupan sebagai santri yang kesehariannya dipenuh aturan-aturan agama dalam cara memberikan
tafsiran terhadap suatu hal atau peristiwa. Demikian pula ketika seorang pengarang memaknai sebuah
percakapan yang terjadi di lingkungan bermacam-macam untuk sebuah percakapan yang sama.
Melalui sastra seorang pengarang dapat menyampaikan opininya. Opini yang berupa kesetujuan
maupun ketidaksetujuan terhadap sebuah kenyataan. Bila pula opini yang muncul berupa protes maupun
sindiran. Semisal ketika tersiar berita seorang pejabat terkenal melakukan tindak pidana korupsi,
pengarang yang satu mungkin membuat karya yang mengecam habis-habisan pejabat tersebut, sementara
pengarang yang lain bisa saja melakukannya dengan cara yang lebih halus dengan menerapkan gaya
bahasa tertentu semacam ironi. Namun,apa pun yang keluar sebagai hasil oleh cipta seorang pengarang,
pastilah terdapat manfaat yang bisa dipetik di dalamnya. Hal ini, sejalan dengan fungsi sastra yang selain
mengemban nilai-nilai keindahan sebagai fungsi hiburan, juga harus memiliki nilai manfaat.
Novel tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial yang ada dalam masyarakat, karena dalam
penulisan sebuah novel berdasarkan atas gambaran kehidupan masyarakat. Menjadi penting untuk dikaji
tentang realitas sosial yang ada dalam novel, hal ini dimaksudkan untuk melihat kehidupan masyarakat
pada suatu latar yang terdapat dalam novel yang akan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang
sebenarnya. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa ada kaitan antara novel dan realitas sosial.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa novel mencerminkan kenyataan sosial.
Demikian halnya dengan novel Revolusi dari Secangir Kopi.Dalam konteks ini pengarang
membuktikan adanya kesejajaran antara realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi dengan
realitas sosial pada kurun sejarah tersebut. Pengarang sendiri merupakan tokoh yang ikut terlibat dalam
cerita. Kisah hidup serta perjuangannya dituangkan dalam novel.
Didik Fotunadi lahir dari keluarga sederhana di Blitar, Jawa Timur pada tahun 1973. Tumbuh
kembang dan menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Blitar. Sejak awal mahasiswa, ia sudah
menceburkan diri di dunia aktivis. Beberapa kiprahnya: Ketua Kaderisasi PSIK 1994, Danpus Diksar
GEA 1994, Pemimpin Umum Majalah “Merdeka” 1995, Danlap OSKM ITB 1995, Danlap Deklerasi KM
ITB 1996, Ketua Himpunan HMTG “GEA” 1996-1997, Sekjen FKHJ 1996-1997, dan Tim Materi Satgas
Reformasi Mahasiswa ITB ‟98.
Meski sejak mahasiswa akrab dengan isu-isu publik, setelah lulus Didik Fotunadi tidak terjun ke
dunia politik praktis. Ia memilih berkarir sebagai profesional di PT. Inco Sorowako dan sekarang bekerja
sebagai Vice President Corporate Enhancement di PT. Carsurin. Kendati bekerja sebagai profesional di
dunia pertambangan, dunia seni dan sosial tetap ditekuninya. Selain itu, ia sering tampil sebagai
motivator. Dan novel Revolusi dari Secangkir Kopi merupakan novel perdananya.
Hal yang menarik dari novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi adalah masalah
anak muda pada zaman Orde Baru.Persepsi publik atas realitas sosial di zaman Orde Baru di ulas dalam
sebuah novel Revolusi dari Secangkir Kopi. Berbagai potret geletar kehidupan masyarakat khususnya
anak muda di zaman Orde baru. Dengan gamblang diceritakan proses awal pembentukan pola pikir,
kaderisasi, keberanian, setia kawan, dan nilai kebersamaan. Proses dialektika dan romantika yang
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
mempunyai peranan pada sikap baja mahasiswa Indonesia untuk bertahan melawan sikap represif apa pun
dan kapan pun. Seperti pada kutipan:
“Pikiranku semakin terbuka.Kemelaratan para buruh tani, kemiskinan, anak-anak yang putus
sekolah, perampasan tanah rakyat, korupsi yang merajalela, utang luar negeri yang tak terawasi,
hukuman keturunan PKI, serta berbagai paparan Ammarsyah dalam pleidoinya menjadi alasan
yang tak bisa ditawar bahwa mahasiswa harus membela rakyat. Selain karena mahasiswa
dibiayai oleh rakyat, juga karena mereka adalah sekelompok kecil manusia terdidik dari ratusan
juta rakyat di negeri ini.”
Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat digambarkan bahwa persoalan kemiskinan, pendidikan,
kebudayaan, hukum, dan politik merupakan realitas sosial yang terjadi. Adapun tokoh-tokoh dalam novel
Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi mempunyai posisi yang strategis sebagai pembawa
dan penyampaian sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Oleh karena itu, untuk
mengungkap realitas sosial yang terdapat dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi
adalah menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra
adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dengan
menggunakan analisis teks untuk mengetahui sturkturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami
lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
A. Tinjauan Pustaka
Pengertian Sastra
Sastra telah diakui oleh para ahli sosiologi sebagai sumber informasi mengenai tingkah laku,
nilai-nilaidan cita-cita yang khas pada anggota-anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat, pada
kelompok-kelompok keluarga atau generasi-generasi (Ras, J.J., 1985:1). Berdasarkan pendapat tersebut
dapat diketahui bahwa sastra berkaitan erat dengan masyarakat.
Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra
diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan
suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau penelusuran atas realitas sosial yang
melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali
realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi
pengarangnya. Menurut Sumarjo (1982: 15) pengarang adalah anggota salah satu masyarakat manusia. Ia
hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Maka tak mengherankan kalau terjadi interaksi
dan interelasi antara pengarang dan masyarakatnya. Selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra
dengan masyarakat di mana pengarang hidup.
Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Di dalam
karya sastra terdapat dunia yang merupakan tiruan dari dunia kenyataan yang menurut Plato merupakan
tiruan dari dunia ide (Teeuw,1983:219). Dengan demikian, apabila dunia dalam karya sastra membentuk
dunia diri sendiri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia sosial yang
ada dalam kenyataan sebagaimana yang dipelajari oleh sosiologi.
Novel
Novel adalah karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek dan menceritakan
kehidupan seseorang dengan lebih mendalam dengan menggunakan bahasa sehari-hari serta
banyak membahas aspek kehidupan manusia. Hal ini mengacu pada pendapat Santoso dan
Wahyuningtyas (2010: 46), yang menjelaskan bahwa kata novel berasal dari bahasa
latin novellas, yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa inggis.
Karena novel adalah bentuk karya sastra yang datang dari karya sastra lainnya seperti puisi dan
drama. Ada juga yang mengatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia novella yang artinya
sama dengan bahasa latin.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Realitas Sosial
Yogi mengatakan bahwa realitas sosial adalah pengungkapan tabir menjadi suatu realitas
yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan
pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan
tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. (https://yogieadiputra.wordpress.com).
Realitas sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, melainkan hasil interpretasi
manusia. Oleh karena itu, realitas bagi setiap orang berbeda adanya, tergantung dari pengalaman
masing-masing individu, ras, gender, kultur, agama, dan lain-lain. Realitas dibatasi dengan
konsepsi-konsepsi, pemahaman-pemahaman, persepsi, dan consensus, sehingga dapat dikatakan
bahwa yang disebut realitas adalah apa yang dapat ditangkap oleh akal manusia dan sejauh mana
batasan-batasan define yang dimiliki oleh manusia akan hal tersebut. Jadi, realitas sosial adalah
hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial
disekelilingnya atau mengandung arti kenyataan-kenyataan sosial di sekitar lingkungan
masyarakat tertentu.
Konsep-konsep Realitas Sosial
Berikut beberapa hal tentang realitas sosial di masyarakat terkait dengan proses hidup yang
kita jalani seperti yang dikemukakan oleh Waluya (2009:17) yang membagi realitas sosial
menjadi enam konsep yaitu realitas sosial tentang kemiskinan, realitas sosial tentang pendidikan,
realitas sosial tentang kebudayaan, realitas sosial tentang hukum, realitas sosial tentang politik,
dan realitas sosial tentang agama yang merupakan isi dasar sosiologi, yaitu kenyataan kehidupan
sosial seperti adanya masyarakat, kelompok, dan para individu.
Realitas Sosial tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan
oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi, dan bukan dikehendaki
manusia.
Realitas Sosial tentang Pendidikan
Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani) sehingga
memanusiakan manusia muda. Pendidikan juga berarti lembaga yang bertanggung jawab menetapkan
cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Realitas Sosial tentang Kebudayaan
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya polapola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Realitas Sosial tentang Hukum
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur
tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki
tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat
berhak untuk memperoleh pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan
atau ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat
dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.
Realitas Sosial tentang Politik
Agama mengambil peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena
suatu agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat. Masyarakat
adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya
bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada
kondisi masyarakat maka agama dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang hidup dalam
masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat sekuler. Sumbangan atau fungsi agama dalam
masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha
aktif yang berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan
tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan menempati fungsifungsi yang ada dalam suatu masyarakat.
Konsep Sosiologi Sastra
Ratna (2009:1) menjelaskan bahwa sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan
sastra.Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan,
teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami
perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu
mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Makna kata sastra
bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil
karya yang baik.
Fugen (dalam Segers, 2000:69) mendefinisikan bahwa, sosiologi sastra sebagai cabang ilmu
umum. Karena objek sosiologi sastra adalah perilaku sosial, maka sosiologi sastra berminat pada teks
sastra hanya sebagai sebuah faktor dalam tipe hubungan antarmanusia yang spesifik. Konsep sosiologi
sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh pengarang, dan pengarang merupakan a
salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya.
Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan
Semi (1988:48) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang lebih terfokus
atau lebih banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra.
Damono (1984:2) menyebutkan ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra.
Pertama, pendekatan yang berdasar pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial
ekonomis belaka. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai lahan penelaahan.
Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan
masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang, mengungkapkan problem kehidupan yang
pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan
sekaligus mampu member pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota
masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkannya sekaligus membentuknya (Riswan, 2010:71).
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Metode ini
dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data berupa realitas sosial dalam novel Revolusi dari
Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, kemudian disusul dengan analisis. Deskritif analitis dilakukan
dengan cara mendeskritifkan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna,2008:53). Metode
ini tidak semata-mata menguraikan tetapi juga memberikan penjelasan.
Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian kepustakaan karena
data penelitian ini didukung oleh buku-buku referensi. Jenis penelitian ini memanfaatkan sumber
kepustakaan untuk memperoleh data penelitiannya, karena peneliti berhadapan langsung dengan data
dalam teks dan dilaksanakan dengan menggunakan buku-buku literature, surat kabar, artikel ilmiah dan
sumber lain (internet) yang terkait dengan masalah yang timbul.
Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks novel, yang memuat realitas sosial
dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi. Sumber data penelitian ini adalah novel
Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi yang diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mizan
Pustaka cetakan pertama tahun 2014 dan terdiri atas 443 halaman.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan teknik catat. Data diperoleh
dari hasil membaca dan mencatat informasi yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Teknik baca yang digunakan untuk membaca novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi.
Teknik catat yaitu digunakan untuk mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil
pembacaan mengenai realitas sosial.
Data penelitian ini dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi adalah
pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan untuk memahami lebih
dalam lagi gejala sosial yang terkandung dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi
dengan cara peneliti mendeskripsikan atau menggambarkan realitas sosial kehidupan tokoh.
Menurut Wellek dan Werren, sosiologi terbagi tiga, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya
sastra dan sosiologi pembaca sebagaimana dalam uraian beriku:
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah
dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang
terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga
masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama,
tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi
tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam
pengungkapan masalah sosiologi pengarang.
2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan
yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret
kenyataan sosial. Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun
sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri
zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber
sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi
dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya.
Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan sosiologi karya
sastra, dengan melihat isi serta keterkaitan kehidupan pengarang yang tersirat di dalam karya sastra itu
sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.
Selengkapnya teknik analisis data yang dimaksud dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
1. Identifikasi data yang sudah diberikan kode sesuai dengan permasalahan penelitian dalam novel
Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
2. Mengklasifikasikan data, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan) data yang menyangkut realitas
sosialdi dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi.
3. Deskripsi data, yaitu gambaran data dalam bentuk kutipan yang akan dipaparkan dalam bentuk
pembahasan.
4. Interpretasi data, memberikan gambaran secara umum tentang hasil penelitian yang diperoleh, hal
tersebut tampak pada simpulan hasil penelitian.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menceritakan tentang kehidupan sosial
masyarakat pada masa Orde Baru. Perjuangan mahasiswa yang menjadi awal mula suatu perubahan
Indonesia yang dimotori oleh masyarakat sipil. Akan tetapi, perjuangan hidup demi perubahan dan
kebebasan seringkali berbenturan dengan realitas hidup kelas menengah.
Didik merupakan tokoh dalam novel ini. Didik sendiri seorang anak muda lulusan SMA, dari
keluarga sederhana. Ia berasal dari kampung Gedog. Gedog berada paling pinggir Kota Blitar. Selain
Gedog terkurung dengan hamparan sawah, jalan utama maupun lorongnya masih dari tanah yang
berdebu, belum tersentuh aspal hitam yang mulus. Kehidupan diperkampungan membuat kebanyakan
penduduk bekerja sebagai buruh tani, meski hal itu bukanlah pilihan karena tak mengentas mereka dari
kemelaratan. Satu dua orang membuka warung nasi pecel dan toko kelontong.
Didik melanjutkan pendidikan di ITB. Sedari dini sang ibu yang bernama Sukinem menasehati
untuk kuliah yang rajin, tidak usah ikut-ikutan demo, agar dapat lulus cepat, dapat pekerjaan bagus, dan
hidup berkecukupan. Tapi, garis linier itu tidak ada di pikiran seorang Didik. Sedari SMA, dia telah
diracuni oleh sebuah ide untuk aktif di dunia kemahasiswaan melalui sebuah buku pleidoi mahasiswa ITB
dalam peristiwa 5 Agustus 1989. Di samping tu, benih kepekaan sosial telah tumbuh saat menangkap
kepahitanhidup di kampungnya dan rentetan kejadian tragis yang dialami teman-teman dekatnya.
Berbekal ide itu, tidak heran jika jalan hidup seorang Didik berbeda dari kebanyakan mahasiswa
lain di eranya. Sejak awal dia mencari dan menceburkan diri ke dalam arus gerakan mahasiswa di
kampus. Semangat itu menemukan momentumnya oleh sejumlah kejadian penting di kampus, seperti
kasus skorsing, aksi bakar KTM, doktrin PPLK, pesta wisuda, kaderisasi PSIK, dan diksar himpunan
GEA. Peristiwa-peristiwa itu memaksanya mengalami perang batin antara kesetiaan di jalur pergerakan
mahasiswa dan pesan sang ibunda tentang jalur murni belajar di kampus.
Namun pelan-pelan ia memahami, gerakan besar dan masif hanya mungkin dimulai dari langkahlangkah kecil. Bahkan langkah kecil itu dimulai dari pertemuan satu-dua orang ngobrol ngalorngidul.Pendeknya, Revolusi itu bisa datang dari obrolan secangkir kopi.
Dengan kesadaran itu, dia bergerak di level himpunan jurusan, di tingkat universitas, lalu jaringan
antaruniversitas, hingga berpuncak pada pendudukan gedung DPR-MPR yang mempercepat kejatuhan
Soeharto. Ia bersama ribuan anak-anak muda telah bersatu dan mempercepat kejatuhan Soerharto. Dia
bersama ribuan anak-anak muda lain, telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia.
Realitas Sosial tentang Kemiskinan
Kemiskinan merupakan suatu keadaan individu atau sekelompok individu dalam masyarakat yang
secara ekonomi tidak dapat mengembangkan dirinya setaraf dengan perekonomian orang-orang
disekitarnya. Kemiskinan merupakan salah satu fenomena sosial yang akan diperangi oleh semua bangsa
melalui proses pembangunan dan modernisasi. Sebagaimana program sosial yang dilakukan oleh berbagai
lembaga, prioritas utama mereka adalah kemiskinan. Dari realitas yang demikian penulis juga
menerapkan konsep bebas kemiskinan dalam visinya. Melihat dampak yang luar biasa dari konsep yang
pertama ini maka penulis sengaja meletakkannya dalam prioritas pertama dan juga sebagai wujud
tanggung jawab lebih terhadap keluarga.
Realitas sosial tentang kemiskinan berorientasi pada kebutuhan ekonomi masyarakat. Kurangnya
lapangan pekerjaan dan tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat serta jeratan kemiskinan memaksa
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
masyarakat untuk menjadi buruh tani, sedangkan peningkatan kebutuhan hidup bertolak belakang dengan
tingkat perekonomian masyarakat. Kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah dan
tidak adanya pilihan bagi masyarakat pada masa Orde Baru membuat masyarakat tak mempunyai pilihan
lain.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang ada dalam novel, yang pada akhirnya mayoritas
masyarakat memilih pekerjaan sebagai buruh tani untuk menafkahi keluarga mereka. Dalam novel
tersebut menggambarkan realitas sosial tentang kemiskinan. Realitas ini ditujukan oleh tokoh Ibu Yatno
dan ibu rumah tangga lainnya. Berikut kutipannya:
“Mereka hanya butuh mengayun tangan memukulkan batang padi. Hanya dengan cara itu mereka
sadar bahwa esok hari mereka punya sesuatu untuk mengganjal perutnya, bahwa esok hari bisa
hidup dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah bukti kejujuran hidup yang murni. Dengan
keringat itu, mereka membantu para suami agar asap dapur tetap mengepul. Keringat itu terus
mengalir dan tak pernah diberi kesempatan kering sampai senja menghentikan mereka.”(Didik
Fotunadi, 2014:34).
Kutipan di atas menujukkan bahwa masyarakat mengalami masalah di dalam kebutuhan hidup,
sehingga kaum perempuan pun terlibat langsung bekerja di sawah membantu suami. Rasa lelah tak
terhiraukan lagi meski keringat terus mengalir demi memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi hal tersebut
tidaklah mengurangi masalah kemiskinan. Berikut kutipannya:
“Para laki-laki dan perempuan itu bukanlah petani karena tak menggarap tanah sendiri.Buruh tani
hanya menjual tenaga dan keringat, yang diupah harian dengan sekaleng dua kaleng gabah. Kalau
mereka tak kerja hari ini, maka tidak ada nasi esok hari.Jangankan punya uang lebih untuk
membeli sepatu dan buku sekolah anak-anaknya.”(Didik Fotunadi, 2014:35).
Kutipan di atas mengungkapkan bahwa masyarakat yang bekerja bukanlah pemilik tanah dan
sawah tersebut. Mereka hanya orang-orang yang di upah untuk mengelola padi. Hal ini menujukkan para
buruh tani yang bekerja keras tapi melarat. Kebutuhan hidup yang serba kekurangan juga terlihat pada
kondisi di rumah-rumah masyarakat. Seperti pada kutipan:
“…selama listrik negara belum masuk, pada jam delapan malam kami menyalakan petromaks.
Cahayanya yang putih membuat mata sakit.Sinar itu merangsang serangga jatuh mati ketika tanpa
sengaja terbang tepat di bagian atas lampu petromaks yang panas.”(Didik Fotunadi, 2014:37).
Kutipan di atas mengungkapkan kehidupan masyarakat yang kondisinya belum di sinari dengan
lampu listrik dan hanya menggunakan lampu seadanya. Semakin memperkuat keadaan masyarakat yang
kian terbelakang. Selain pekerjaan sebagai buruh tani, terdapat guru salah satunya Ayah Didik. Namun,
hal tersebut tidaklah lebih menguntungkan. Seperti pada kutipan:
“Kalau buruh tani terhimpit kemiskinan yang akut, kehidupan ekonomi guru lebih baik, tapi tidak
berarti mudah.Kami makan nasi dari beras jatahyang warnanya mirip cokelat tanah, kadang
berulat dan muncul campuran kerikil hitam. Ibu harus memunguti satu per satu kerikil dan
kotoran lain sebelum beras di tanak jadi nasi. Makan berlauk telur hanya setiap dua atau tiga hari
sekali.”(Didik Fotunadi, 2014:38).
Kutipan tersebut menguraikan bahwa bekerja sebagai guru tidaklah lebih mudah dengan para
buruh tani. Kenyataannya beras jatah yang diperoleh berbanding terbalik dengan wajah bangsa Indonesia
yang merupakan salah satu penghasil padi terbesar dengan hasil yang terbaik. Namun, beras yang
diperoleh masyarakat Indonesia justru beras dengan kualitas di bawah standar layak konsumsi.
Realitas sosial kemiskinan juga menimpa keluarga Didik. Ayahnya yang bernama Moeljana
Sismihardjo yang berprofesi sebagai guru tetap tidak lebih mudah. Dengan gaji pas-pasan pekerjaan
tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik. Seperti pada kutipan:
“Gaji bulanan Bapak tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.Apalagi pada
tahun sembilan dua itu ketika semua kakakku duduk di bangku kuliah.Uang gaji bulanannya
minus, sehingga ibuku harus ikut membanting tulang mencari tambahan penghasilan.”(Didik
Fotunadi, 2014:38).
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Kutipan di atas mengisahkan kehidupan keluarga Didik yang juga serba pas-pasan. Gaji ayahnya
yang berprofesi sebagai guru tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga ibunya juga
membantu dalam mencari penghasilan tambahan demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Kemiskinan
juga meliputi sulitnya pemenuhan pendidikan anak. Seperti yang terjadi pada tokoh Siswanto, sahabat
Didik. Seperti pada kutipan:
“…Kehidupan ibunya masih belum berubah, seperti saat ia dilahirkan, melarat dan kepayahan
menghidupi tiga adik tirinya. Lalu ia ditampung di rumah neneknya yang berjarak tak lebih dua
kilometer dari rumahnya. Untuk tidak membebani nenek, ia membuat mainan dari kayu yang
dijualnya di area Makam Bung Karno.
Keinginan Siswanto untuk lanjut sekolah tidak pernah surut, dan niat baja itu yang membawanya
masuk SMPN 5 Blitar.Ia lalui hari-hati di SMP sambil membuat mainan; dendamnya untuk
mentas dari miskin…”(Didik Fotunadi, 2014:42).
Kutipan tersebut menggambarkan Siswanto yang bersekolah dari hasil kerja kerasnya sendiri
karena ibunya tidak sanggup untuk menyekolahkannya. Kehidupan ibunya yang melarat sudah kepayahan
menghidupi adik-adik Siswanto. Namun, keinginan Siswanto tidak redup. Membuat mainan untuk dijual
merupakan usaha yang dilakukannya untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu, kondisi rumahnya juga
menggambarkan kemiskinan. Seperti pada kutipan:
“Rumahnya berupa gubuk kecil, yang sebenarnya mungkin tak layak disebut rumah. Dindingnya
terbuat dari gebek, berlubang di sana sini karena dimakan usia. Siswanto menyambut
kedatanganku. Aku masuk lewat pintu bambu yang mengeluarkan suara derit ketika dibuka.Tidak
ada ruang tamu.Dapur ini berjendela satu dengan gorden jarit merah keunguan. Tak satu pun
hiasan menempel di dinding gebek warna natural itu.
Aku hampir tak kuat menahan air mata agar tak keluar. Sudah banyak gubuk yang kulihat, tapi
tak ada yang sesengsara ini. Aku duduk di amben yang sudah tidak tegak lagi dudukannya karena
kaki-kakinya yang mulai lapuk. Mentari menerobos masuk lewat celah genteng yang
bolong.Dapat dibayangkan, bagaimana bocor dan beceknya rumah ini di saat hujan.”(Didik
Fotunadi, 2014:43).
Kutipan di atas mengisahkan kehidupan Siswanto di lihat dari kondisi rumah tempat tinggalnya.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan hidup untuk tempat tinggal dan bernaung. Rumah yang
mestinya nyaman dan sebagai tempat berlindung justru di penuhi lubang serta kondisi atap yang bocor
menggambarkan kehidupan Siswanto yang melarat. Begitpun Didik saat berangkat ke Bandung dalam
menempuh pendidikan di ITB. Ia ikut merasakan dampak kemiskinan. Seperti pada kutipan:
“Arti miskin di negara ini adalah siap melakoni hidup lebih sulit dari rata-rata manusia lainnya.
Itulah pelajaran penting yang kurasakan saat mencari tempat kos ini.
Miskin berarti tidak punya pilihan”(Didik Fotunadi, 2014:73).
Kutipan di atas mengungkapkan bahwa kesulitan Didik dalam mencari rumah kosan. Setiap sore
ia menyusuri lorong-lorong untuk mencarinya. Terkadang ia sampai harus terduduk di pingggir jalan
ketika kaki lelah melangkah. Tidak mudah mencari kos yang cocok. Bukan memilih-milih, namun
lantaran uang yang diberikan oleh ibunya membuatnya tak punya banyak pilihan.
Realitas sosial yang menggambarkan kemiskinan yang menjadi PR besar bangsa ini tidak
kunjung usai namun sebaliknya. Seperti pada kutipan:
“Apa kira-kira yang ada dalam benak kawan-kawan, mengapa jumlah orang miskin masih banyak
di negara ini?
Mengapa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tak kunjung dirasakan oleh
rakyat kebanyakan?”(Didik Fotunadi, 2014:106).
Kutipan di atas menunjukkan saat Didik berada di ruang T-08 yang menjadi salah satu pusat
perkumpulan mahasiswa PPLK. Saat Meldi yang di daulat membawakan materi tentang kemiskinan, ia
melontarkan pertanyaan yang mendasari permasalahan ekonomi yang mempunyai peranan terhadap
kesejahteraan rakyat. Kemakmuran yang mestinya sama rata dan dapat dirasakan oleh semua rakyat di
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
bawah prinsip kedaulatan negara. Kembali Didik teringat realitas kemiskinan yang kembali meredupkan
Siswanto untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Seperti pada kutipan:
“Aku teringat Siswanto, teman SMA-ku yang cemerlang tetapi impiannya kandas membentur
tembok kemiskinan. Ia dengan sadar memilih menjadi penyiar radio serta membuat mainan anakanak untuk dijual di sekitar makam Bung Karno, Blitar. Itu dilakukan untuk bertahan menghidupi
adik-adiknya yang kecil serta bapaknya yang sakit-sakitan.”(Didik Fotunadi, 2014:259).
Kutipan tersebut mengungkapkan realitas sosial tentang kemiskinan seorang Siswanto yang tidak
dapat melanjutkan pendidikannya. Ia pun harus bekerja keras untuk menghidupi adik-adik serta ayahnya
yang sakit-sakitan. Bekerja sebagai penyiar radio dan membuat mainan anak-anak untuk dijual sebagai
usaha memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Didik sendiri meskipun dapat melanjutkan pendidikan
namun ada yang harus dikorbankan. Seperti pada kutipan:
“…Aku ingat saat Ibu memberikan amplop berisi uang bekal, total semuanya Rp600.0000. Nilai
itu untuk SPP sekaligus praktikum satu semester sebesar Rp240.000,-, untuk kos enam bulan
Rp150.000, untuk makan sebulan Rp100.000 serta untuk keperluan daftar ulang, transport, dan
lainnya Rp110.000. Dadaku sesak menerimanya karena aku tahu, sepetak sawah kecil yang
digarap oleh Pak De terpaksa dilepas.”(Didik Fotunadi, 2014:360).
Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang kemiskinan yang dihadapi orang tua
Didik saat membiayai pendidikan anaknya. Kesulitan perekonomian membuat mereka terpaksa menjual
sepetak sawah kecil untuk biaya pendidikan Didik. Sekembalinya Didik ke kampung halamannya, ia
bertandang kerumah sahabatnya Siswanto. Seperti pada kutipan:
“Seperti setahun lalu, beberapa garis sinar mentari tampak menerobos masuk lewat celah-celah
genteng yang bolong. Mereka belum sempat memperbaiki kebocoran gubuknya ini, mungkin
urusan perut lebih penting dan mesti didahulukan.”(Didik Fotunadi,2014:364).
Kutipan tersebut menggambarkan realitas kemiskinan yang dialami oleh keluarga Siswanto.
Kondisi yang dari tahun ketahun tiada kemajuan dalam taraf kesejahtearaan hidup. Rumah yang masih
tetap sama dengan setahun lalu tak kunjung mengalami perbaikan. Kenyataan mengenai masalah
kebutuhan untuk makan jauh lebih penting sebagaimana demi kelangsungan hidup, sehingga untuk urusan
tak kelayakan kondisi rumah menjadi sesuatu yang dikesampingkan. Seperti pada kutipan:
“Karena Siswanto tak di rumah, aku berpamitan pulang dan titip pesan. Bapaknya berusaha
menahan tetapi aku tetap memaksa pulang.Semakin lama berada di rumah ini makin sesak
dadaku.
Sepanjang perjalanan pulang, kukayuh sepedaku dengan lambat. Otakku berkecamuk memikirkan
seorang kepala keluarga yang melarat, ujung tombak pencari nafkah, tumbang sakit tak mampu
lagi bergerak. Keluarga yang tak lepas dirundung kesulitan. Dan aku belum bisa berbuat apaapa.”(Didik Fotunadi, 2014:365).
Kutipan di atas mengisahkan bahwa saat Ayah Siswanto yang juga merupakan kepala keluarga
mengalami sakit sehingga membuatnya tak lagi mampu mencari nafkah. Semakin membuat keluarga
tersebut dirundung kesulitan serta kemelaratan hidup oleh ketidakberdayaan sang Ayah. Maka dari itu,
Siswantolah yang bekerja dan itulah sebabnya ia tak berada di rumah saat Didik bertandang kerumahnya.
Realitas sosial menunjukkan bahwa kemiskinan sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan.
Bekerja sebagai buruh tani tidak mengubah kenyataan menjadi lebih baik. Kemelaratan oleh tuntutan
kebutuhan hidup dengan upah yang diperoleh sering kali tak berimbang dengan cucuran keringat serta
kerja keras para buruh tani sehingga para istri terpaksa ikut bekerja membantu suami demi memenuhi
kebutuhan hidup. Tak jauh berbeda dengan kehidupan guru. Gaji yang tak cukup untuk memenuhi
kehidupan yang lebih layak serta makan nasi dari beras jatah yang warnanya mirip cokelat tanah, kadang
berulat dan muncul campuran kerikil hitam. Sangat bertolak belakang dengan keadaan negara Indonesia
yang tidak lain sebagai negeri lumbung padi. Hal ini juga ditandai dengan pemenuhan pendidikan anak
yang tidak sepenuhnya mampu dipenuhi, kondisi rumah tempat tinggal yang nyaman dan layak
dikesampingkan oleh pemenuhan kebutuhan panganyang jauh lebih penting demi kelangsungan hidup.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Realitas kemiskinan terjadi akibat kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang disediakan
oleh pemerintah Indonesia sehingga solusi yang diperlukan dalam masalah kemiskinan yakni pemerintah
perlu menyediakan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat sehingga standar pemenuhan kebutuhan
yang layak dapat terjadi secara merata dan dapat dirasakan oleh semua pihak.
Realitas Sosial tentang Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu konsep dasar yang bertujuan mengarahkan, membimbing, dan
membina dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi suatu hal yang diketahui baik secara umum maupun
pribadi. Dengan struktur, arahan, sarana dan prasarana yang telah terencana sehingga mendukung proses
pendidikan tersebut dan dapat dihasil kan suatu serapan materi yang penting. Lingkungan pendidikan
biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Realitas sosial tentang pendidikan berorientasi terhadap kebutuhan serta sistem pendidikan di
dalam masyarakat. Peranan pendidikan berdampak pada meningkatnya pengetahuan serta mendidik anak
bangsa untuk mengembangkan serta meningkatkan kehidupan. Meski, di sisi lainnya kenyataan
pendidikan yang tidak sepenuhnya dapat diperoleh seluruh masyarakat meengungkapkan realitas
pendidikan yang tidak merata.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya realitas
pendidikan yang terjadi dalam masyarakat khususnya pada tokoh-tokoh dalam novel, seperti pada
kutipan:
“Pendidikan adalah prioritas utama pemerintah kami, sebab kami sadar, dengan jumlah penduduk
terbanyak nomor dua di dunia yang lebih dari 1 milyar, jika pendidikan tak terurus, maka hanya
akan menjadi beban dan terpuruk. Tapi sebaliknya, orang pintar dalam jumlah besar adalah
kekuatan, dan kami punya kesempatan memimpin dunia di masa depan.”(Didik Fotunadi,
2014:26).
Kutipan di atas mengisahkan saat Didik duduk bersebelahan dengan orang berkebangsaan India.
Terjadi obrolan yang mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan hal yang menjadi prioritas utama. Ia
sendiri sedang menuntaskan pendidikan doktornya di University of Queensland. Ia mendapat kesempatan
meraih gelar itu dari beasiswa pemerintah India. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mendukung
masyarakatnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena dengan terdidiknya masyarakat, maka
sangat membantu perkembangan dan kemajuan bangsa. Realitas pendidikan juga terdapat pada kutipan:
“…Liukan api itu membuat tulisan di buku jadi gelap dan terang silih berganti. Tiap malam kami
mengelilingi lampu itu untuk belajar di meja satu-satunya yang ada di rumah ini. Geliat
cahayanya membuat setengah badan kami masing-masing tertutup bayangan, hanya bagian yang
terkena cahaya yang tampak. Lalu kami akan saling ejek pagi harinya karena terasa muncul jelaga
hitam di wajah.”(Didik Fotunadi, 2014:37).
Realitas teks di atas menggambarkan bahwa meski lampu listrik belum menyentuh
perkampungan mereka, namun semangat belajar anak-anak tidak pernah surut. Mereka tetap giat belajar
walau hanya dengan menggunakan lampu petromaks. Meski dengan adanya keterbatasan, belajar untuk
mengulang pelajaran dianggap sangat penting dan tetap dilakukan. Realitas sosial tentang pendidikan juga
terjadi pada Siswanto. Seperti pada kutipan:
“Keinginan Siswanto untuk lanjut sekolah tidak pernah surut, dan niat baja itu membuatnya
masuk SMPN 5 Blitar. Ia lalui hari-hari di SMP sambil membuat dan menjual mainan;dendamnya
untuk mentas dari miskin membuatnya mampu berprestasi, bahkan dipercaya teman-teman untuk
menjadi ketua OSIS. Ia berjuang dengan gigih antara tuntutan hidup, keharusan belajar, dan
kewajiban organisasi. Ia berhasil menyelesaikan SMP-nya dengan meraih kembali NEM tertinggi
di sekolahnya.”(Didik Fotunadi, 2014:42).
Kutipan di atas mengungkapkan tentang realitas sosial pendidikan bahwa meski melarat,
semangat Siswanto untuk terus belajar tidak pernah redup. Realitasnya, meski tersandung dengan masalah
ekonomi, namun Siswanto tetap belajar dengan giat hingga membuatnya menjadi siswa
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
berprestasi.Melakukan berbagai upaya untuk tetap bersekolah demi meraih kehidupan yang lebih baik.
Lalu, realitas kembali tergambar pada kutipan:
“Aku menggertakkan gigi menahan dadaku yang hamper meledak. Marah dan emosi
berkepanjangan karena telah menghancurkan
mimpi kedua orangtuaku kembali
tersulut.Jantungku berdetak lebih cepat.Mengapa manusia muda dan berbakat ini harus terpuruk?
Di mana pemerintah yang katanya peduli pendidikan?
Di mana pembangunan yang digembar-gemborkan itu?”(Didik Fotundi, 2014:45).
Kutipan tersebut menggambarkan ketika Didik mengetahui bahwa Siswanto tidak dapat
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena harus tersandung masalah ekonomi dan menjadi
tulang punggung keluarga. Sementara Didik yang merasa kecewa terhadap dirinya sendiri karena tidak
lulus di universitas yang dipilihnya. Kenyataan bahwa Siswanto yang merupakan anak yang berprestasi
dengan nilai yang gemilang harus terpuruk dengan memilih bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya serta kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan. Pemerintah seakan buta terhadap
kondisi masyarakatnya. Kebijakan-kebijakan yang senantiasa digembar-gemborkan tak kunjung
terealisasikan di lapangan. Faktanya, masih banyak anak-anak yang justru harus menelan pil pahit dengan
berhenti sekolah. Realitas pendidikan juga terungkap pada kutipan:
“Menurutku, mahasiswa merupakan periode usia emas manusia dalam pengembangan diri, naluri
keingintahuannya di titik tertinggi, kecepatan belajarnya pada masa yang menakjubkan!”(Didik
Fotunadi, 2014:67).
Kutipan tersebut menunjukkan adanya realitas tentang pendidikan. Pemberian istilah mahasiswa
dikarenakan saat zaman dulu dalam mengecap bangku kuliah itu sesuatu yang tak terjangkau. Untuk
keluarbiasaan itulah disebut mahasiswa atau justru karena gelar itulah akhirnya mahasiswa benar-benar
memberikan peranannya di setiap masa perjalanan bangsa Indonesia. Terdapat pula kutipan lain seperti:
“…Di zaman ingar-bingar dan serba mudah mengecap sekolah sekarang ini, rasanya tak relevan
lagi sebutan siswa yang maha itu. Saat ini menjadi mahasiswa tidaklah sesulit dulu, bahkan
mudah. Jelas syarat minimalnya punya uang. Lihat, di mana-mana institusi pendidikan tinggi
menjamur. Tidak memandang berjenjang setahun atau lima tahun, entah berkualitas atau hanya
mentereng gedung kuliahnya saja. Tak peduli manusia-manusianya telah membaca buku bermutu
atau masih suka menonton kartun anak-anak.”(Didik Fotunadi, 2014: 68).
Kutipan di atas mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Saat dunia pendidikan
dengan mudahnya diperoleh hanya dengan adanya uang dan kian bertambah banyaknya perguruan tinggi
hingga membuat kualitas mahasiswa tidak lagi dihiraukan. Tak membedakan lagi siapa yang mempunyai
semangat membangun bangsa atau manusia berbaju tank top serta sibuk dengan warna cat rambut. Tidak
memilah apakah hedonis atau tidak, semua tetap berhak menyandang gelar mahasiswa. Pendidikan tentu
bukan hanya sekedar mengecap, tetapi persoalannya apakah dengan pendidikan itu mampu menjadikan
masyarakatnya terdidik. Seperti pada kutipan:
“Dan ingat, manusia terdidik akan mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan mampu membuka
jalan untuk rakyat lainnya. Itulah mengapa tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak
memprioritaskan pendidikan.”(Didik Fotunadi, 2014:120).
Realitas teks di atas menggambarkan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting.
Melalui pendidikan manusianya dapat terdidik. Dengan terdidiknya manusia, maka ia akan mampu
membuka jalan untuk rakyat lainnya dalam artian dapat berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang
lain. Oleh karenanya, tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memprioritaskan pendidikan. Dengan
begitu, bukan tak mungkin Indonesia mampu memimpin dunia di masa depan. Hal ini pulalah yang
mendasari tekad Didik dalam mengarungi dunia kemahasiswaan. Namun, kenyataan skorsing pada
perguruan tinggi menjadi deretan lain dalam cerita dunia kemahasiswaan. Seperti pada kutipan:
“Jatuhnya skorsing ini bagai ledakan virus ganas.Ia menjalar cepat sampai ke pojok-pojok
himpunan. Siang itu juga, tak sampai setengah jam, beberapa ketua himpunan, ketua PPLK, kami,
dan beberapa aktivis berkumpul di markas PPLK ruang T-01 Student Center Timur.”(Didik
Fotunadi, 2014:123).
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Kutipan di atas mengungkapkan adanya realitas sosial dalam dunia pendidikan saat skorsing
menimpa mahasiswa bernama Yos yang merupakan Ketua Himpunan Kaderisasi dan juga Mei yang tidak
lain Ketua aktif HMFT. Kenyataan bahwa skorsing seringkali dijatuhkan pada aktivis-aktivis mahasiswa
yang melakukan kegiatan kemahasiswaan terhadap mahasiswa baru. Seolah ingin mengekang
kemahasiswaan. Terdapa kutiap lain seperti:
“Charly,Anto, dan Ivan tiba-tiba bermunculan. Ivan segera memberitakan situasi terkini Tambang
setelah pemanggilan ketua himpunan dan kaderisasinya. Anto melakukan hal yang sama. Intinya
mereka memaparkan bahwa sebenarnya tak ada yang salah dengan HMFT. Seperti halnya
himpunan lain juga melakukan hal serupa, yaitu menyelenggarakan proses kaderisasi penerimaan
anggota baru untuk mahasiswa angkatan ‟92.”(Didik Fotunadi, 2014:124).
Kutipan tersebut menggambarkan situasi kemahasiswaan yang diterpa kebingungan karena kasus
skorsing Yos dan Mei. Kasus tersebut berdasar atas kegiatan kaderisasi yang dilakukan oleh
kemahasiswaan dengan membentuk PPLK yakni semacam lembaga pendamping untuk wawasan
kemahasiswaan sehingga hal itulah yang menyebabkan Yos dan Mei dijatuhi skorsing oleh rektorat.
Namun anehnya lagi, semua himpunan kompak melakukan kaderisasi akan tetapi hanya Yos dan Mei saja
yang terskorsing. Kenyataan tersebut menunjukkan adanya kejangggalan dari pihak rektorat. Seperti pada
kutipan:
“Aku menduga, kita sengaja dibuat sibuk di dalam hingga tak sempat lagi menyorot kondisi
keprihatinan bangsa, penggusuran Nipah, kelaparan, mahalnya biaya pendidikan, harga kertas,
clean government, dan masih banyak lagi catatan yang bisa digarap.”(Didik Fotunadi, 2014:126).
Realitas teks tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Ketika
mahasiswa dihadapkan dengan persoalan skorsing Yos dan Mei membuat kemahasiswaan sibuk dengan
urusan internal tersebut sehingga tidak sempat lagi mengkritik serta mengurus persoalan-persoalan
masyarakat yang terhimpit oleh rezim pemerintahan yang korup. Akhirnya, rapat dengan para aktivis
kampus pun dilaksanakan. Seperti pada kutipan:
“Kita mesti lawan, tak bisa dibiarkan kawan-kawan ditembak satu per satu tanpa ada pembelaan,”
tambah Sawal dengan suara gemetar. Seperti biasa, kepulan asap tak lekang dari mukanya.(Didik
Fotunadi, 2014:130).
Kutipan di atas mengisahkan tentang realitas pendidikan. Saat rapat darurat FKHJ dan BKSK itu
dilakukan, maka keputusan bersama adalah dengan membentuk tim Satgas (satuan tugas) dengan mandat
melakukan usaha-usaha pembelaan dan pencabutan skrorsing Yos dan Mei. Satgas berarti tim khusus
yang terdiri dari panitia pelaksana, pasukan terdepan, dengan mandat khusus pula, sehingga semua hasil
perjuangan Satgas dipertanggungjawabkan kepada FKHJ dan BKSK. Maka, semakin jelas fakta skorsing
Yos dan Mei. Seperti pada kutipan:
“Skorsing Yos dan Mei yang jatuh di tengah November 1993, menjadi martil pembungkam
kegiatan kemahasiswaan, penghancur gelinding bola salju yang sebenarnya pudar lantaran cemas,
dan tenyata ketakutan itu tak mudah dijinakkan. Birokrasi isinya sama tapi tampil berbeda dengan
proses revolusi, sama-sama sering memakan anak-anak sendiri.”(Didik Fotunadi, 2014:133).
Realitas teks tersebut menunjukkan adanya realitas sosial tentang pendidikan.Kenyataannya,
skorsing dilakukan oleh pihak rektorat untuk membungkam mahasiswa dalam mengkritik pemerintahan.
Hal tersebut dilakukan atas tekanan yang juga ditimpakan kepada rektorat kampus. Realitasnya, rezim
berkuasa akan menekan birokrat kementerian pendidikan, kementerian akan menekan rektorat, dan
ujungnya rektorat menekan jurusan. Demikian seterusnya kait-mengait dan saling „tekan‟ demi
kepentingan yang paling atas, struktur komando dijalankan. Ini sekali lagi bukan sekedar skorsing biasa,
tetapi pembunuhan karakter kemahasiswaan secara sistematis.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotuandi juga mengungkapkan hal pokok dalam
dunia pendidikan. Seperti pada kutipan:
“Hal pokok dalam dunia pendidikan adalah menjadi tempat bermulanya hasrat mencari yang
terus-menerus. Tempat dipupuknya jiwa untuk menghadapi persoalan hidup yang tak putus-putus.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Kampus tak bisa tidak harus menanamkan rasa ingin tahu dan sikap tak malu bertanya pada anak
didiknya.”(Didik Fotunadi, 2014:151).
Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas tentang pokok dunia pendidikan yaitu pendidikan
diharapkan menjadi suatu tempat yang dapat memberikan ilmu bermanfaat yang berguna bagi kehidupan
bermasyarakat. Kampus mesti memberi „ruang kebebasan‟ mengekspresikan diri, bukan memaksa diam
dan menuntut mahasiswa menjadi penurut. Kampus harus mampu mendorong mahasiswa menjadi pribadi
yang berani mengatakan salah jika salah, benar jika benar. Mendorong kreatif dalam berpikir. Demikian
pula lah yang hendak dilakukan oleh mahasiswa ITB dengan melakukan usaha pembelaan. Seperti pada
kutipan:
“Aksi dukungan muncul bukan hanya dari organisasi mahasiswa Bandung, namun juga dari
Makassar,”kata Sawal sambil menunjukkan dua lembar surat dukungan resmi dari Senat
Mahasiswa Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim Indonesia, Makassar.(Didik
Fotunadi, 2014:156).
Kutipan tersebut mengungkapkan tentang realitas pendidikan mengenai sikap mahasiswa untuk
bersatu dan saling mendukung dalam aksi penolakan skorsing. Sosialisasi Sastgas mengenai kronologi
kasus Yos dan Mei beserta pernyataan sikap resmi FKHJ memang dikirmkan Meldi, anggota satgas yang
bertanggung jawab soal komunikasi dengan pihak eksternal, ke berbagai senat perguruaan tinggi seIndonesia. Kampus-kampus di Bandung menyatakan dukungan penuh terhadap aksi keprihatinan dan siap
mengirimkan perwakilannya pada aksi menolak skorsing berikutnya yang akan digelar. Terdapat pula
kutipan lain seperti:
“Dua hari ini aku belajar banyak dari Dodi tentang dunia teklap.Selain mencuri spanduk,
membuat lem, mencipta poster, aku juga belajar membuat orang-orangan dari kertas koran
dililitkan ke tongkat kayu. Kedua boneka yang dilumuri tinta merah itu ditancapkan di sisi
Boulevard…”(Didik Fotunadi, 2014:177).
Kutipan di atas mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Melalui perguruan
tinggilah Didik belajar banyak tentang berkreasi menciptakan poster dan juga membuat dua boneka yang
dilumuri tinta merah. Realitasnya, boneka tersebut mengesankan dua mahasiswa yang terbunuh. Ya,
dunia pendidikan seolah berduka atas terbunuhnya masa depan mahasiswa. Realitas pendidikan juga
tergambar pada kutipan:
“Usut punya usut, Rektorat melakukan langkah taktis. Tepat setelah aksi selesai, melalui birokrat
jurusan mereka melakukan pemanggilan semua ketua himpunan serta pengurusnya.”(Didik
Fotunadi, 2014:197).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa saat setelah dilakukannya aksi penolakan skorsing secara
besar-besaran, Rektorat menggertak balik. Pihak kampus akhirnya melakukan pemanggilan terhadap
semua ketua Himpunan serta pengurusnya sehingga memunculkan kekhawatiran di tiap-tiap ketua
Himpunan. Hal ini berdampak pada redupnya semangat dalam membahas keberangkatan dua hari
kedepan menuju Jakarta.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi mengungkapkan realitas sosial tentang
pendidikan yang di alami oleh mahasiswa yang bernama Deny. Ia melakukan aksi mogok makan sebagai
upayanya yang juga menolak skorsing. Pemogokan makan tersebut dilakukannya dengan ancaman akan
men-DO-kan dirinya sendiri bila pihak kampus tetap tidak merespon. Namun, hingga tenggang waktu
yang ditentukannya maka ia benar-benar memutuskan status kemahasiswaannya. Seperti pada kutipan:
“Hari ini, 70 tahun dari peristiwa itu, di tempat yang sama dengan peristiwa itu, di mana kampus
ini sekarang dipimpin oleh bangsa kita sendiri.Di saat bangsa ini telah merdeka, ternyata tak lebih
baik dibanding masa lalu dalam hal mendidik. Saat ini justru sikap mengorbankan masa depan
anak didik segera dipilihh karena dianggap tak patuh.”(Didik Fotunadi, 2014:266).
Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Di mana pihak kampus
tidak memperdulikan upaya aksi pembelaan serta penolakan skorsing yang dilakukan oleh mahasiswa.
Tak bergeming meski Deny melakukan aksi men-DO dirinya sendiri. Seperti pada kutipan:
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
“Sedetik berikutnya, Deny mengeluarkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dari dompetnya,
mengambil korek api biru dari kantungnya, menyalakan dan dengan mengacungkan KTM ke atas,
secara perlahan KTM termakan api.”(Didik Fotunadi, 2014:267).
Kutipan tersebut mengisahkan tentang realitas pendidikan atas terbakarnya KTM milik Deny
semakin menjelaskan bahwa api membakar idealisme mahasiswa yang tak terwadah. Sekali lagi
„Ganesha‟ kehilangan salah satu putra terbaiknya. Hingga kian berlalu, akhirnya kasus skorsing Yos dan
Mei menemui titik temu.Seperti pada kutipan:
“Apakah benar Yos dan Mei bisa kuliah semester depan atau hanya strategi rezim Soeharto lewat
tangan Rektorat untuk meredam agar gerakan mahasiswa itu tidak makin membesar?
Toh, apa pun yang dilakukan mahasiswa, tidak akan diberitakan lagi oleh media. Isu skorsing ini
mendadak lenyap dari media setelah munculnya surat Komisi IX itu.”(Didik Fotunadi, 2014:275).
Realitas teks di atas mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan yang mana isu
pihak kampus menyetujui dibebaskannya Yos dan Mei dari skorsing. Namun, hal ini menumbuhkan
kecurigaan terhadap rezim Soeharto yang menekan DPR untuk mengeluarkan surat keputusan terhadap
media untuk tidak lagi meliput masalah kemahasiswaan. Upaya-upaya tak pernah henti dilakukan, ini
menandakan bahwa kampus „Ganesha‟ tidak mati akan ketidakadilan yang terjadi.
Pergulatan di dalam kampus menjadi salah satu realitas sosial tentang pendidikan. Perguruan
tinggi senantiasa menerima mahasiswa baru dan juga mewisuda mahasiswanya. Seperti pada kutipan:
“Wisuda merupakan momen penting dalam perjalanan hidup seorang mahasiswa, hari
pembuktian bahwa ia telah mampu melewati masa-masa sulit, masa-masa menggembleng diri.
Sebuah momen penanda siap untuk melangkah menghadapi hidup yang sebenarnya.”(Didik
Fotunadi, 2014:281).
Kutipan tersebut menggambarkan adanya realitas sosial dalam dunia pendidikan. Wisuda
merupakan momen mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan serta studinya. Yakni sebuah proses
inisiasi bahwa seseorang dinobatkan layak menyandang gelar Insinyur. Dapat menambahkan kata Ir. di
depan nama asli sebagai tanda siap mengabdi pada Ibu Pertiwi. Selain itu, dalam momen tersebut akan
hadir orang-orang yang dicintai. Dapat dipastikan kedua orangtua yang membiayainya dan mungkin calon
pendamping hidup yang telah dipilihnya.
Ketika ingatan kembali terbayang saat pertama menjadi mahasiswa seringkali ada rasa
keterpaksaan dalam memilih jurusan. Seperti pada kutipan:
“Sejak kecil aku punya hobi melukis, dengan beberapa prestasi kutorehkan di tingkat Blitar
maupun Jawa Timur. Tetapi, hidup adalah pilihan. Aku berbelok ke UMPTN dan masuk Geologi
setelah gagal mengadu nasib sebagai mahasiswa Seni Rupa tahun lalu itu.
Sejujurnya, ada api cemburu pada kegilaan kawan-kawan seni rupa ini.”(Didik Fotunadi,
2014:285).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pilihan seringkali bertolak belakang dengan kenyataan.
Ketika Didik menyaksikan atraksi yang disuguhkan mahasiswa Seni Rupa sebagai arak-arakan acara
wisuda. Ia kembali teringat akan niatnya saat pertama kali mendaftarkan diri di salah satu perguruan
tinggi dengan memilih jurusan Seni Rupa. Namun, pilihannya gagal sehingga ia sempat tidak kuliah
selama setahun dan barulah tahun berikunya mendaftarkan diri di ITB dengan memilih jurusan Geologi.
Padahal realitasnya ia memiliki kompetensi di dunia seni. Meski demikian, ia bersyukur dapat masuk di
jurusan Geologi khususnya di kampus ITB tersebut. Lalu, ada pula realitas lainnya seperti:
“Sebuah organisasi, apa pun bidang yang ditekuninya, pastilah mempunyai tujuan. Untuk tujuan
itulah organisasi menuntut kualifikasi calon anggotanya. Sudah menjadi kebutuhan kalau
program pengenalan, penataran, atau kaderisasi ditempuh sehingga anggota baru mampu
mengikuti proses yang ada. Ujung-ujungnya, tujuan organisasi bisa diraih.”(Didik fotunadi,
2014:317).
Kutipan tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan yakni dilakukannya
kaderisasi oleh tiap-tiap organisasi. Hal tersebut mempunyai tujuan untuk memperkenalkan kegiatankegiatan dalam organisasi hingga tujuan-tujuan dalam organisasi kepada anggotanya khususnya
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
mahasiswa. Kaderisasi ini dilakukan dengan adanya program-program pelaksanaan yang berbeda hingga
waktu yang berbeda pula. Bentuk dan nama kaderisasi pun bermacam-macam. Melalui kaderisasi
tersebutlah ruh kemahasiswaan tetap terjaga sehingga mahasiswanya tetap kritis, berani berteriak salah
jika salah dan benar jika benar. Kaderisasi merupakan nyawa terpenting dalam kehidupan organisasi
mana pun, terutama organisasi yang mengalir seperti kemahasiswaan. Seperti pada kutipan:
“Kaderisasi mutlak perlu untuk mahasiswa yang tak peduli pada masa depan, tak lagi peduli nasib
rakyat jelata, tak peduli apakah rezim korup, tak peduli pada harga bahan pokok yang terus
naik.”(Didik Fotunadi, 2014:320).
Realitas sosial tentang pendidikan jelas tergambar dalam kutipan di atas bahwa pelaksanaan
kaderisasi begitu penting sebab, melalui kaderisasilah pemikiran-pemikiran mahasiswa diberi jalan
pembuka untuk memperlihatkan lebih jelas keadaan rakyat serta kondisi berjalannya pemerintahan.
Rakyat berteriak, mahasiswa bertinda. Demikianlah mestinya tujuan dari sistem kaderisasi. Terdapat pula
realitas sosial tentang pendidikan, seperti pada kutipan:
“Namun, kalau tidak masuk menjadi anggota Himpunan, maka aku tidak akan bisa beraktivitas di
dunia kemahasiswaan, baik di Himpunan maupun di Student Center…”(Didik Fotunadi,
2014:340).
Kutipan di atas menujukkan bahwa terdapat realitas sosial tentang pendidikan. Meski kaderisasi
merupakan sesuatu yang penting dan mutlak, namun dalam pelaksanaannya merupakan wewenang oleh
masing-masing mahasiswa. Tiada paksaan. Akan tetapi, kaderisasilah syarat dalam menggeluti dunia
kemahasiswaan. Dengan tidak mengikuti kaderisasi, maka sudah tentu mahasiswa juga tidak dapat masuk
dalam kemahasiswaan.
Realitas sosial menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai peranan terhadap aspek kehidupan.
Pendidikan begitu penting untuk memberikan jalan dalam mengembangkan ilmu, dapat mengangkat
derajat serta kesejahteraan hidup seseorang. Namun, meski pendidikan sangat penting tidak semua orang
dapat memperoleh pendidikan. Lagi-lagi masalah kemiskinan merupakan faktor terbesar yang sering
menyandung seseorang untuk menempuh pendidikan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian
pemerintah terhadap pendidikan anak bangsa bagi yang tidak mampu. Melalui pendidikan pulalah Didik
mengawali pemahaman mengenai organisasi dan bagaimana sistem kaderisasi yang hanya terjadi dalam
lingkup perguruan tinggi menjelma menjadi pupuk perubahan bangsa ini. Dapat dikatakan bahwa
pendidikan merupakan “bekal”.Bekal konkret sebuah revolusi reformasi, sehingga pemerintah sangat
berperan penting terhadap kemajuan pendidikan anak bangsa. Oleh karenanya, solusi yang tepat dalam
hal ini adalah memberikan dana bantuan kepada peserta didik dalam bentuk beasiswa pendidikan.
Realitas Sosial tentang Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan juga
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Indonesia terkenal karena keragaman budaya keramahtamahan penduduknya. Budaya yang ada di
masyarakat cenderung berubah. Terkadang kita melihat seolah-olah dalam suatu masyarakat tidak terjadi
perubahan, padahah perubahan budaya selalu terjadi meskipun mungkin sangat sedikit dan lambat.
Masyarakat seperti ini dinamakan masyarakat statis. Sementara itu, masyarakat yang mengalami
perubahan secara cepat dinamakan masyarakat dinamis.
Oleh karenanya, kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan seharihari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang
bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menunjukkan realitas sosial
tentang budaya. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Kehidupan kampung, keringat buruh tani, anak-anak bertelanjang dada yang bermain di sawah,
derit bambuori, dengungan bambang erang selalu mengisi datangnya pagi dan tenggelamnya
mentari ditelan senja. Waktu bergerak tak tercegah oleh siapa pun.”(Didik Fotunadi, 2014:46).
Kutipan tersebut mengungkapkan realitas sosial budaya pada kehidupan perkampungan.
Pemandangan para buruh tani dan anak-anak yang bermain di sawah merupakan aktivitas serta budaya
dari masyarakat di perkampungan. Alunan suara yang dikeluarkan oleh derit bambu ori dan juga
kumpulan capung yang berterbangan berebut angkasa. Warna-warninya menghias udara dam kontras
dengan hamparan padi yang kuning keemasan. Geletar sayapnya menghasilkan dengung, menciptakan
nyanyian alam yang memanjakan telinga. Berpadu dengan tembang sumbang para buruh tani. Terdapat
pula kutipan lain seperti:
“Sejak sebelum berangkat dari Stasiun Senen Jakarta, kemarin sore,laki-perempuan, tua-muda,
semua berjubel berdesakan dan saling sikut beradu kecepatan berebut masuk ke pintu gerbong
kereta. Ada anak laki terhuyung dalam jepitan tubuh-tubuh kuat. Satu sandalnya terlepas, ia coba
meraih kembali namun arus penumpang yang kesetanan itu tak mampu ia tahan. Lalu kakek itu
surut merangkak mundur, duduk di bawah tiang penyangga bangunan stasiun.Buntelan
bawaannya terbuka di lantai dan nasi bekalnya terhambur terinjak-injak ratusan calon penumpang
yang kesetanan berebut masuk itu.”(Didik Fotunadi, 2014:49).
Kutipan tersebut menggambarkan realitas sosial tentang suasana di stasiun kereta api yang telah
benar-benar menjadi sebuah budaya. Menjadi tabiat di stasiun saling berdesakan dan berebut masuk ke
gerbong kereta. Realitas yang didasari oleh kurangnya kesadaran dalam kedisiplinan, sehingga
mengabaikan keselamatan.Seperti pada kutipan:
“Ya, semuanya saling sikut, saling rebut, saling mendahului masuk kereta demi sebuah kursi
yang sebenarnya tak empuk ini. Sebuah kursi keras yang busanya lengket dan berdaki yang akan
membawa kami dalam perjalanan 18 jam menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Akhirnya, kupilih duduk di lantai lorong yang pengap; kursiku kurelakan untuk nenek tua yang
tidak kebagian tempat duduk. Biarlah kursi keras itu minimal membantu tubuh tuanya bisa
istirahat.”(Didik Fotunadi, 2014:51).
Kutipan di atas mengungkapkan budaya masyarakat yang saling berebut dan saling mendahului
untuk masuk kereta demi mendapatkan kursi. Dalam memperoleh kursi tentu saja begitu sulit di antara
desakan orang-orang. Namun, tetap saja, tak mengurangi rasa menghormati orang yang lebih tua. Didik
memberikan kursi yang didapatkannya untuk seorang nenek tua yang tidak kebagian tempat. Lalu, ia
memilih duduk di lantai kereta. Seperti pada kutipan:
“Lalu jangan harap lantai berkarat itu sudah disapu atau dibersihkan. Kecoak-kecoak kecil lincah
bermunculan dari sudut di bawah kursi; mereka berpesta mengerubuti remah-remah sisa makanan
di daun pisang bungkus nasi pecel yang tercecer di sana. Ada terserak plastic bungkus roti,kertaskertas Koran bungkus kue, yang entah kapan teronggok di sana. Mungkin sampah bekas
penumpang sebelumnya yang tak sempat dibersihkan. Hidungku mencium bau busuk makanan
basi bercampur aroma besi berkarat kereta yang khas.”(Didik Fotuandi, 2014:51).
Kutipan di atas menujukkan bahwa terdapat realitas sosial tentang budaya yang meliputi
kebiasaan kurangnya perhatian masyarakat dalam menjaga kebersihan. Tiadanya kesadaran serta
kurangnya kedisiplinan dalam menjaga kebersihan lingkungan menyebabkan sampah-sampah berserakan
di dalam gerbong kereta api yang merupakan hasil dari penumpang sebelumnya. Kondisi kereta pun yang
berbau besi berkarat merupakan kereta kelas ekonomi yang pada kenyataannya jauh dari kelayakan
kenyamanan pengguna kereta api. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang pada akhirnya seolah menjadi
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
suatu budaya yaitu lahirnya sikap-sikap KKN dalam kehidupan masyarakat juga tergambar, seperti pada
kutipan:
“Iya, intinya bisa di atur, supaya kamu bisa kuliah di Sekolah Tinggi milik Departemen
Perindustrian di Bandung, lanjutnya dengan sungguh-sungguh.
Mendadak tubuhku lemas mendengar itu, terngiang lagi apa yang tertulis dalam buku fotokopian
bersampul merah. Disebutkan di sana bahwa salah satu penyebab tidak majunya negeri ini adalah
KKN- Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Apakah kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang masuk karena dibantu saudara itu bukan kolusi?
Bukan Nepotisme?”(Didik Fotunadi, 2014:55).
Realitas teks tersebut menunjukkan bahwa setelah sempat gagal pada ujian setahun sebelumya
untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi, muncul tawaran dari Pak Likuntuk membantunya agar lebih
mudah lulus. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa hal tersebut sama saja dengan kolusi dan
nepotisme. Hal-hal tersebut memang sederhana, namun kian merambat menjadi budaya ketika masuk ke
perguruan tinggi berkat bantuan seseorang dan bukan karena kemampuan sendiri. Bibi-bibit seperti inilah
yang pada akhirnya menjadi kelemahan dari sikap KKN. Terdapat pula realitas budaya lain, seperti pada
kutipan:
“hidup… hidup… hidup! Itu saja gemuruh yang kudengar setiap orang yang tarik urat leher di
panggung menyelesaikan satu kalimat. Teriakan itu dilantangkan sambil mengangkat satu tangan
terkepal ke atas. Lalu selebihnya, Cuma orang-orang berjoget ria mengikuti cengkok penyanyi
dangdut yang harus kuakui, selain bajunya yang hmm…, lenggok gemulai goyangannya
membuat mata tak berkedip menikmatinya, membuat merinding nafsu para laki-laki, membuat
cemburu paraa perempuannya. Suaranya jelas kalah nyaring disbanding lenggok pinggang seksi
tubuhnya. Kampanye itu begitu gembita tetapi kering makna.”(Didik Fotunadi, 2014:187).
Pada kutipan tersebut menggambarkan realitas sosial tentang kebudayaan masyarakat saat
dilakukannya kampanye. Seakan telah menjadi sesuatu yang wajib ketika berkampanye menghadirkan
penyanyi dangdut. Tujuannya yang tidak lain untuk menghibur sekaligus memeriahkan kampanye.
Penyampaian visi dan misi kinerja untuk masyarakat kalah keras dan kalah seru bila dibandingkan dengan
penyanyi dangdut yang berlenggak-lenggok di panggung. Kenyataannya penyanyi dangdut yang
ditampilkan lebih menarik ketimbang penyampaian tujuan kampanye. Maka, tidak heran pula pejabatpejabat yang dilahirkan adalah orang-orang yang bermental tak bermoral di masa kini. Realitas budaya
juga tergambar seperti pada kutipan:
“Pada fasilitas water refill station yang setinggi dua meteran itu, tampak tulisan Say no to bottled
water.
Saat rakyat di tanah air merasa modern dan hidup sehat dengan minum air mineral kemasan,
negeri ini telah setahap di depan, mereka tengah berkampanye untuk tidak menggunakan air
kemasan yang notabene akan menghasilkan banyak sampah plastik.”(Didik Fotunadi, 2014:212).
Kutipan tersebut menggambarkan budaya masyarakat negara Australia untuk menjaga lingkungan
dengan tidak menggunakan air kemasan. Sangat jauh berbeda dengan dengan realitas di Indonesia yang
gemar mengkonsumsi air kemasan. Semakin banyak air kemasan yang digunakan, maka semakin banyak
pula sampah plastik yang dihasilkan. Realitas sosial menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki peranan
serta pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Budaya yang meliputi sistem teknologi dan peralatan hidup,
sistem organisasi masyarakat, bahasa, serta sistem pengetahuan sebagai keseluruhan cara hidup manusia.
Realitas Sosial tentang Hukum
Hukum merupakan suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar
tingkah laku manusia dapat terkontrol. Hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga
dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap
perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku,selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak
dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya hukum
dalam keberlangsunggan hidup masyarakat Indonesia khusunya tokoh-tokoh yang ada dalam novel, yang
pada kenyataanya lebih banyak menuai ketimpangan. Hukum yang baik secara tertulis maupun tidak
tertulis di atur dalam setiap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan hukum yang
diharapkan mampu memberikan ketentraman dan keadilan terhadap masyarakat berbanding terbalik.
Seperti pada kutipan:
Aku baru menyadari arti “terlibat”. Para buruh tani yang melarat hidupnya itu, yang tiap hari
kusaksikan dengan mata kepala sendiri, berjuang hanya untuk bertahan agar bisa makan, telah
terhukum gara-gara ikut bergabung di BTI dan hidup tidak bebas lagi di negeri ini. Sedihnya,
hukuman itu menimpa anak keturunannya yang bahkan belum lahir pada saat peristiwa enam
lima itu terjadi.(Didik Fotunadi, 2014:22).
Kutipan tersebut membuktikan adanya realitas sosial tentang hukum.Saat teman Didik yang
bernama Yatno dikeluarkan oleh pihak kampus yang saat itu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi
Akuntasi Negara atau STAN.Dikeluarkannya Yatno oleh sebab keterlibatan Ayahnya serta buruh tani
lainnya di BTI.BTI adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan salah satu organisasi di bawah Partai
Komunis Indonesia, partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya.Ketika Pak
Harto menumpas PKI, semua orang yang menjadi anggota partai tersebut termasuk para anggota BTI
dianggap terlibat peristiwa berdarah tersebut. Meskipun pada kenyataannya mereka tidak ikut menculik
dan membunuh. Mereka hanya ikut kumpul-kumpul karena ada yang menjanjikan bahwa nasib buruh tani
akan sejahtera. Oleh karena itu, anak-anak mereka yang terlibat PKI tidak bisa jadi pegawai negeri.
Realitasnya, hukuman tersebut juga ditimpakan tidak hanya kepada mereka yang terlibat, namun
keturunan mereka pun ikut terhukum. Realitas lainnya juga terdapat dalam kutipan:
“Turunkan setengah tiang. Negeri ini berkabung!” balas Alit dengan urat leher tertarik.
“Tidak ada perintah berkabung!” balas petugas sambil matanya membeliak mau keluar dari
tempatnya.
“Tidak perlu perintah, kawan-kawan Tri Sakti tertembak, Jakarta rusuh, banyak aktivis hilang,
cukup sudah!” timpal Yan…(Didik Fotunadi, 2014:417).
Realitas sosial tersebut menunjukkan bahwa adanya kekacauan, mahasiswa yang tebunuh serta
banyaknya aktivis yang hilang justru memudarkan fungsi hukum yang diciptakan sebagai sarana dalam
penegakan ketertiban dan kedamaian nasional. Rendahnya sistem pelaksanaan hukum membuat kejahatan
merajalela. Ini semakin menegaskan bahwa hukum Indonesia tumpul kebawah, tajam ke atas.Seperti pula
pada kutipan:
“Aku berpikir, apakah gerakan reformasi yang tak terbendung ini memang dianugerahkan kepada
tanah pertiwi? Sebuah titik perubahan dari negara militer ke era baru, sebuah negeri madani.
Nyaris sulit dipercaya, beberapa tahun terakhir bahkan beberapa bulan lalu, siapa pun yang turun
ke jalan, akan ditangkap dan di penjara tanpa pengadilan. Siapa pun yang menentang akan
diculik, lenyap, hilang, dan tak pernah kembali…”(Didik Fotunadi, 2014:420).
Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang hukum.Kenyataan bahwa mereka yang
turun ke jalan justru ditangkap dan di penjara tanpa pengadilan. Itu artinya, tidak ada proses hukum yang
berarti. Hukum yang pada hakikatnya memberikan pembelaan terhadap rakyat justru tidak berlaku bagi
mereka yang berkuasa. Hal yang sama juga diterangkan seperti pada kutipan:
“Kami bergeming, napas aku tahan. Mataku gentar akan kemungkinan yang bisa terjadi. Terlintas
di benakku kawa-kawan Tri Sakti tersungkur saat tubuhnya ditembus peluru timah panas, lalu
rusuh yang menelan ribuan korban, di antaranya terpanggang api karena dibakar, pemerkosaan,
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
dan pembunuhan keji lainnya. Dan sebentar lagi, kami pun bisa menjadi tambahan cerita bergidik
itu.”(Didik Fotunadi, 2014:423).
Kutipan tersebut mengisahkan realitas sosial tentang hukum yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Saat mahasiswa maupun rakyat menjadi korban atas kekejian peritiwa ‟98. Menjadi sebuah
kepiluan saat hukum justru tidak dapat melindungi masyarakatnya dari ketidakadilan.
Realitas Sosial tentang Politik
Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan
kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu
wilayah tertentu. Selain itu, sistem politik merupakan sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk
satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan
mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau
dengan negara dan hubungan antar negara. Politik juga merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur
atau metode yang digunakan oleh seorang individu atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya politik
dalam kehidupan yang dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya tokoh-tokoh yang ada di dalam
novel, yang pada kenyataan telah melenceng dari sistem yang telah diharapkan. Politik merupakan suatu
sistem yang beriringan dengan berjalannya pemeritahan. Memiliki prinsip serta tujuan pasti akan
kepentingan rakyatnya. Namun, realitasnya politik itu sendiri mengalami pencemaran atas perilakuperilaku pelakunya. Melenceng dari tujuan dan fungsinya. Realitas tentang politik tergambar seperti pada
kutipan:
“BTI itu salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia, Nak, partai yang menculik dan
membunuh para jenderal di Lubang Buaya. Ketika Pak Harto menumpas PKI, semua orang yang
menjadi anggota partai itu, termasuk para anggota BTI, dianggap terlibat peristiwa berdarah
itu.”(Didik Fotunadi, 2014:22).
Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang politik yaitu ketika buruh tani
menjadi anggota BTI atau Barisan Tani Indonesia yang tidak lain merupakan salah satu organisasi di
bawah Partai Komunis Indonesia yakni partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang
Buaya. Meski tidak ikut menculik dan membunuh namun mereka tetap di anggap terlibat. Padahal mereka
sebagai rakyat biasa tidak tahu menahu persoalan yang berkaitan dengan penculikan tersebut. Mereka
hanya ikut kumpul-kumpul karena ada yang menjanjikan bahwa nasib buruh tani akan sejahtera. Mereka
tidak akan kelaparan lagi dan dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sekali lagi, ini merupakan gambaran
realitas bahwa lagi-lagi rakyat biasa yang menjadi korban politik atas kepentingan-kepentingan partai.
Realitas lainnya juga terdapat pada kutipan:
“Aksi damai itu membuat sang Menteri berang. Berbekal kamera video, entah siapa yang
melakukannya, satu demi satu mahasiswa yang terekam video itu digelandang dari kampus dan
tempat kosnya. Mereka diseret dan diinterogasi di kantor polisi. Beberapa mahasiswa dilepaskan,
tapi beberapa lainnya diajukan ke meja hijau.”(Didik Fotunadi, 2014:85).
Kutipan tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pilitik yaitu saat dilakukannya
aksi damai yang diikuti sekitar 200-an mahasiswa di depan pintu utama Gedung Serba Guna atas
kedatangan Mendagri Rudini. Namun, aksi tersebut justru berdampak dengan diseretnya mereka ke kantor
polisi karena sang Menteri Berang karena dianggap penggerak aksi menolak kedatangan Mendagri.
Mereka dituduh subversife. Demikianlah kacamata penguasa melihatnya. Realitas juga tergambar pada
kutipan:
“Orang menulis di dinding kamar mandi pun mampu diendus lalu ditangkap, oleh sebuah
lembaga yang telinga serta matanya bisa masuk ke semua instansi dan rumah tangga rakyat. Yang
berhak melenyapkan rakyat „katanya‟ demi kepentingan „rakyat‟ yang lain.”(Didik Fotunadi,
2014:88).
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang politik yaitu suatu gambaran bagaimana
sistem pemerintahan otoriter di jalankan. Mampu mengendus setiap langkah dan gerakan rakyat.
Menggunakan kekuasaan sebagai senjata untuk mengekang kebebasan rakyat. Terdapat pula realitas
lainnya seperti pada kutipan:
“Bagaimana juga diceritakan penggususran petani di Rancamaya, Kacapiring, Cimacan, Badega,
dan Kedung Ombo. Lalu ditunjukkan deretan sejarah panjang data-data kebiadaban rezim Orde
Baru: peristiwa Tanjung Priok 1984 yang menelan nyawa ratusan rakyat, korban-korban operasi
militerdi ujung wilayah negeri, kasus Dukuh Talangsari Lampung dengan puluhan korban tewas.
Selain itu, tertulis banyak catatan angka-angka korupsi, isu kolusi, utang luar negeri yang
membengkak, dan keserakahan putra-putri Soeharto.”(Didik Fotunadi, 2014:90).
Realitas sosial tentang politis tersebut menjelaskan bahwa sederet peristiwa-peritiwa bersejarah
tersebut merupakan tinta hitam dari cerita bangsa Indonesia. Pada kenyataannya, pemerintahlah yang
justru merusak kestabilan nasional dan mengabaikan rakyatnya. Sistem politik dengan langkah yang salah
yaitu mengedepankan kepentingan pribadi dan bukan untuk rakyat. Sehingga korupsi menjadi tameng
mengakibatkan utang luar negeri yang membengkak. Realitas lainnya juga terdapat pada kutipan:
“Salah satu konsep dasar yang dipegang teguh rezim Orde Baru yaitu trickle down effect, sebuah
konsep dengan pendekatan memperbesar kue kemajuan dahulu, baru dibagi rata. Jalan pintas
dengan cara utang luar negeri, kue memang cepat menjadi besar, namun ketika sudah
menggunung seperti saat ini, hal yang tak mudah dilakukan bahkan mustahil adalah membagi kue
tersebut sama rata kepada rakyat. Nyatanya yang terlanjur menikmati enaknya kue pembangunan,
maunya mengangkani terus dan tak mau berbagi.”(Didik Fotunadi, 2014:106).
Kutipan di atas menunjukkan realitas sosial tentang politik yang terjadi pada Indonesia.
Realitasnya, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan, maka rezim Orde Baru melakukan
pinjaman luar negeri. Namun, alih-alih terjadinya perubahan, keserakahan para penguasa justru kian
menjalar. Nasib rakyat tidak lagi diutamakan hingga menimbulkan terjadinya korupsi di mana-mana.
Demikianlah jawaban mengapa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tak kunjung
dirasakan oleh rakyat kebanyakan sehingga jumlah rakyat miskin pun masih banyak di negeri ini. Realitas
tentang politik juga terdapat pada kutipan:
“Hai kawan, jangan lupa kita punya DPR lho,” celetuk teman lain yang aku belum tahu namanya.
Alih-alih memikirkan nasib rakyat, para anggota dewan yang gila hormat, malah meminta
kenaikan tunjangan 70-100%, tetap jalan-jalan ke luar negeri yang katanya studi banding, jelas
sekalian membawa keluarga. Enak to, diongkosin pajak,”balas Ivan.(Didik Fotunadi, 2014:109).
Kutipan tersebut menggambarkan saat Didik dan kawan lainnya melakukan diskusi malam.
Saling menimpali pendapat yang tak sekedar mengucap, namun juga menampilkan data sehingga
argumentasinya kuat. Mengungkapkan adanya realias sosial tentang politik yaitu negara Indonesia
memiliki sistem politik dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat.DPR merupakan lembaga
penganyom sekaligus penindak atas suara rakyat. Namun, realitas dilapangan justru bertolak belakang.
Kedudukan anggota dewan justru disalah gunakan. Nasib rakyat tidak lag menjadi tujuan utama, para
anggota justru meminta lebih kenaikan tunjangan dan melakukan jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih
studi banding. Mereka lupa bahwa rakyatlah yang sesungguhnya mengongkosi anggota dewan melalui
pajak. Jadi, semestinya para anggota dewan tersebut memaksimalkan kinerjanya untuk kepentingan
rakyat dan kesejahteraan rakyat.Bukan, kesejahteraan pribadi maupun orang-orang tertentu. Terdapat pula
realitas politik lainnya seperti pada kutipan:
“Kalau gue yang terpikir bukan itu Dik,” tukas Charly sambil jarinya menggaruk keningnya. “di
mana-mana, pengusul, inisiator, atau pemimpin akan sering menjadi tumbal atau sengaja
dikorbankan. Simple.”(Didik Fotunadi, 2014:133).
Realitas sosial tentang politik mengungkap bahwa ibarat rezim berkuasa akan menekan birokrat
kementerian pendidikan, kementerian akan menekan rektorat Jurusan. Demikian seterusnya kait-mengait
dan saling „tekan‟ demi kepentingan yang paling atas.Strukturkomando dijalankan. Hal inilah yang juga
terjadi saat mahasiwa melakukan usaha pembelaan rakyat. Memantau serta mengkritisi berjalannya
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
pemerintahan di anggap menganggu sehingga dijatuhkannya skorsing oleh pihak kampus menjadi trik jitu
oleh oktrik.com dalam memasung kegiatan mahasiswa. Realitasnya, mahasiswa serta rakyatlah yang
dijadikan korban atas kekejaman rezim Orde Baru. Hal ini menngungkapkan kenyataan, seperti pada
kutipan:
“Selama kaderisasi yang sistemik terwujud, jiwa kritis, keberanian, dan semangat juang akan
terus mengalir dalam darah muda kawan-kawan. Oleh sebab itu, pemberangusan kaderisasi
adalah pembunuhan karakter. Ini pemasungan peluang masa depan. Aku yakin, ada yang
berkepentingan untuk mengebiri kaderisasi kemahasiswaan. Pelanggaran kaderisasi adalah bagian
dari grand design kooptasi model baru rezim Soeharto.”(Didik Fotunadi, 2014:142).
Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang politik yaitu kenyataan bahwa rezim
Soeharto melakukan usaha pengebirian kemahasiswaan. Pengebirian tersebut berdasar atas dilakukannya
kaderisasi dalam perguruan tinggi. Adapun usaha yang ditempuh dengan berbagai trik. Salah satunya
dengan usaha memberangus kaderisasi. Sebab, melalui kaderisasi, jiwa kritis, keberanian, dan seemangat
juang akan terus dilahirkan dan mengalir dalam darah mahasiswa. Semangat dalam memantau
perkembangan atas nasib rakyat Indonesia.Berikut kutipan lainnya:
“Lalu, apakah rezim paham benar bagaimana memutus tali gerakan mahasiswa?” pikiran liarku
berkecamuk, berusaha memahami apayang terjadi. “Dengan cara menembak satu atau dua orang,
rezim berharap lainnya akan jinak atau lari tunggang langgang, sebelum menjadi gerakan yang
akan meledak besar menggoyahkan penguasa.”(Didik Fotunadi, 2014:203).
Kutipan tersebut mengisahkan saat terjadinya peristiwa penangkapan Yeni Rosa Damayanti yang
dijebloskan ke penjara karena aksi di DPR. Kejadian itu mau tak mau menjadi beban pikiran. Mungkin
juga ketakutan di benak mahasiswa lainnya. Sebab, kejadian tersebut selang bebrapa minggu setelah
momentum jatuhnya skorsing Yos dan Mei sehingga sadar maupun tidak disadari menaikkan level
ketakutan baik aktivis kampus maupun non-kampus. Inilah cara penguasa dalam memutus tali gerakan
kemahasiswaan. Menembak satu dua orang dengan harapan dapat menjinakkan sebelum melakukan
gerakan yang lebih besar yang dapat menggoyahkan penguasa. Berikut kutipannya:
“Makin tebal keyakinanku bahwa Rezim Soeharto telah mengerahkan segala cara untuk
mengamankan kekuasaanya, termasuk menggunakan Rektorat untuuk membungkam mahasiswa.
Intinya, gerakan mahasiswa tetap berfokus pada sikap anti-penguasa yang korup, bukan terhadap
rektorat.
Bahkan muncul beberapa analisis politik menyoroti soal ini sebagai gerakan mahasiswa pola
baru.”(Didik Fotunadi, 2014:251).
Realitas sosial tentang politik tersebut menggambarkan bahwa pemerintah berusaha
membungkam gerakan kemahasiswaan. Menggunakan pihak Rektorat untuk sedikit demi sedikit
mengebiri langkah-langkah mahasiswa. Trik tersebut tidak lain merupakan cara untuk mengamankan
kekuasaan atas Rezim Soeharto. Namun, usaha tersebut tidak menghalau semangat gerakan mahasiswa.
Terdapat pula realitas lainnya, seperti pada kutipan:
“Belum selesai urusan jam malam, entah dari mana Satgas mendapat salinannya, muncul Surat
Ketua Komisi IX DPR, Ismael Hassan, tertanggal 28 Februari 1994: Komisi IX, Mendikbud, dan
Rektor ITB sepakat mengusahakan kemelut internal kampus segera diselesaikan. Kuncinya,
mereka setuju agar masalah itu tidak lagi dimunculkan dalam media massa, baik cetak maupun
elektronik.”(Didik Fotunadi, 2014:267).
Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang politiku yaitu dikeluarkannya surat edaran
keputusan atas mengusahakan masalah internal kampus yang akan segera diselesaikan. Namun,
realitasnya kesepakatan itu dilakukan hanya agar masalah tersebut tidak lagi dimunculkan dalam media
massa. Hal ini tentu juga merupakan usaha dalam menekan dan membungkam media dalam menyoroti
masalah negeri. Sebab, disadari bahwa masalah terjadinya skorsing dalam lingkup kampus ternyata juga
menjadi sorotan publik tentang kemelut masalah rezim Soeharto. Seperti pada kutipan:
“Tangan-tangan rezim Soeharto diam-diam menyelusup ke dalam internal masyarakat kampus,
mengendap-endap dan akhirnya menikam dari belakang dengan pisau pinjaman, dengan cara
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
lempar batu sembunyi tangan, menggurita melalui pengelola kampus.”(Didik Fotunadi,
2014:279).
Kutipan di atas menunjukkan adanya keterlibatan rezim Soeharto dalam menggerakkan usaha
membungkam gerakan mahasiswa. Realitasya, melalui kekuasaan berusaha menyelusup ke dalam urusan
internal kampus. Menikam dari belakang dengan menyamar sebagai aturan kampus yang harus dipatuhi
yaitu dengan memanfaatkan pihak pengelola kampus.
Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi juga menuliskan adanya realitas sosial
tentang politik yaitu saat mahasiswa dan rakyat melakukan usaha perubahan sistem pemerintahan.
Mereka berhasil memaksa Ketua MPR Harrmoko untuk meminta Soeharto mundur dari jabatannya. Halhal tersebut diwarnai dengan rentetan peristiwa pilu kematian kawan-kawan Tri Sakti, yang disusul
kerusuhan terorganisir 13-15 Mei 1989.Seperti pada kutipan:
“Jakarta makin genting. Belum ada yang tahu bagaimana situasi runyam ini berakhir.Gerakan
mahasiswa makin kuat, dan pertentangan elite politik sangat kentara. Selain itu, muncul isu
adanya gerakan-gerakan satuan tentara yang tidak terkoordinasi, sementara korban mahasiswa
dan rakyat yang terus berjatuhan.
Jakarta lumpuh.
Setelah berhari-hari melakukan aksi yang diikuti puluhan bahkan ratusan ribu mahasiswa dan
rakyat menuntut Soeharto turun di Bandung, tadi malam perselisihan keras dan debat tajam
berbagai faksi aktivis di kampus terjadi. Beberapa kelompok memilih tetap di Bandung,
menuntaskan gerakan mahasiswa dan rakyat yang bak tsunami tak terbendung itu.Memilih terus
memimpin lapangan Gasibu dan menduduki Gedung Sate.”(Didik Fotunadi, 2014:418).
Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa gerakan mahasiswa dan rakyat merupakan realitas atas
terjadinya revolusi besar sepanjang sejarah Indonesia. Terjadinya KKN serta nasib rakyat yang kian
melarat dan tertindas membuat semua bersatu demi kepentingan dan kebaikan bersama. Rasa takut tidak
lagi diindahkan manakala kekejaman Rezim Soeharto kian merebak. Semakin membengkakkan utang luar
negeri. Hal yang sama juga tergambar seperti pada kutipan:
“Beberapa faksi lain meyakini hanya ke Jakartalah satu-satunya cara untuk menuntaskan
perjuangan reformasi. Satu-satunya cara mengakhiri siklus empat tahunan bom gerakan
mahasiswa yang telah meledak bertubi-tubi sejak langka dan mahalnya harga kebutuhan pokok di
akhir tahun 1997. Lalu, hilangnya kawan-kawan mahasiswa Tri Sakti, dan sampai kerusuhan
Jakarta beberapa hari lalu. Tidak ada cara lain selain terjun ke Jakarta untuk menumbangkan
rezim Orde Baru ini. Bergabung dengan kawan-kawan mahasiswa Jakarta yang kabarnya mulai
menduduki gedung wakil rakyat mulai malam ini.”(Didik Fotunadi, 2014:418).
Realitas sosial tentang politik di atas menunjukkan bahwa bersatunya mahasiswa serta rakyat
dalam memperjuangkan reformasi. Aksi tersebut dilakukan secara besar-besaran di Jakarta atas
kesepakatan bersama bahwa hanya dengan ke Jakartalah maka reformasi sedapat mungkin terwujud.
Kebobrokan negeri kian tergambar atas krisis ekonomi yang di awali pada akhir tahun 1997. Lalu,
hilangnya mahasiswa-mahasiswa Tri Sakti sampai dengan terjadinya kerusuhan Jakarta. Realitas lainnya
juga terungkap seperti pada kutipan:
“Saya memutuskan untuk menyatakan
berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI,
terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,
padahari ini, Kamis 21 Mei 1998.”
Kutipan tersebut menunjukkan realitas sosial tentang politik yaitu saat bertubi-tubi tiada henti
dilakukannya gerakan masyarakat. Menuntut aksi penurunan Soeharto sebagai presiden Indonesia.
Membuat Soeharto sangat sulit untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan
dengan baik. Momentumnya tepat pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan
mengundurkan diri dari jabatannya dengan konfirmasi melalui Televisi nasional secara langsung.
Realitas sosial menunjukkan bahwa politik sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Politik
mengatur sistem pemerintahan serta kelangsungan hidup masyarakatnya. Meski realitasnya sistem politik
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
yang dijalankan oleh pemerintah mengesampingkan kepentingan rakyatnya. Politik yang telah tercemar
asas keadilannya. Faktanya, fungsi dan tujuan politik kembali dipertanyakan.
Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), novel diajarkan pada kelas X, XI, XII. Pada
kelas XI semester I, pertemuan ke-8, siswa menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
indonesia/terjemahan. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, dapat memberi
pemahaman yang positif terhadap siswa. Novel ini mengisahkan tentang sosok Didik yang hidup dalam
perkampungan di Gedog, kota Blitar. Sejak SMA pikirannya telah terusik oleh kehidupan masyarakat
yang bekerja keras membanting tulang sebagai buruh tani. Merasa bahwa pemerintah semestinyalah yang
sangat berperan akan keberlangsungan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Oleh karenanya, sejak awal
mahasiswa ia telah menerjunkan diri di dunia kemahasiswaan. Hal inilah yang menjadi tonggak dasar
terjadinya perubahan besar Orde Baru menjadi Reformasi.
Dengan membaca hasil penelitian ini, siswa dapat menggali nilai-nilai budaya, sosial, moral, dan
nilai-nilai kemanusian yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan dan kebijaksanaan hidup. Melalui
analisis realitas sosial dapat memberikan pemahaman adanya kehidupan sosial serta interaksi dengan
masyarakat. Selain itu, analisis realitas dalam penelitian dapat dihubungkan dengan pengalaman
keseharian siswa, sehingga siswa dapat mengambil pelajaran positif dari hasil penelitian maupun
novelnya.
Dunia pernovelan menjadikan para remaja sebagai sasaran empuk, karena menilai kondisi
psikologis mereka masih belum stabil, mudah dipengaruhi, terombang-ambing, dan masih mencari sosok
yang dapat dijadikan panutan. Mereka sedang berkembang, senang meniru, dan kreatif dalam menilai
sesuatu. Novel ini bercerita tentang sebuah perjuangan masyarakat dalam melakukan perubahan Indonesia
yang lebih baik. Dengan demikian, novel ini dapat mempengaruhi pembentukan karakter siswa tentang
kaderisasi dan perjuangan masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa pada masa Orde Baru. Lebih dari
itu, siswa akan diperhadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar pada sosok pengarang di Indonesia.
Haedar Alwasilah mengemukakan sejumlah alasan pentingnya pembelajaran novel di sekolah.
Pertama, secara psikologis manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi. Sastra
memberikan kesempatan yang tak terbatas untuk menghubungkan bahasa dan pengalaman siswa. Kedua,
karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi
dan lewat sastra pembaca balajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah
harta karun berbagai kearifan lokal yang seharusnya diwarisi secara turun-temurun lewat pendidikan.
Keempat, melalui sastra siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang
menkoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan
kolektif. Dengan kata lain, siswa diterjunkan langsung ke dalam dunia nyata lewat rekayasa imajiner.
Kelima, pembiasaan terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan, yaitu kemampuan memaknai secara
kritis dan kemampuan memproduksi narasi. Sastra menawarkan ragam struktur cerita, tema, gaya
penulisan dari para penulis.
Penutup
Simpulan
Berdasarkan analisis terhadap objek kajian dengan mencermati realitas sosial dalam novel
Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menggunakan pendekatan sosiologi, dapat ditarik
kesimpulan bahwa realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi
dideskripsikan dengan lima aspek yaitu, realitas sosial tentang kemiskinan, realitas sosial tentang
pendidikan, realitas sosial tentang kebudayaan, realitas sosial tentang hukum, dan realitas sosial tentang
politik.
Saran
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan dalam penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran
sebagai berikut:
1. Bagi pembaca
Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam karya sastra
tersebut, kemudian diaplikasikan dikehidupan sehari-hari.
2. Bagi guru
Hendaknya guru memfasilitasi siswa dalam menganalisis novel, membantu siswa agar peka
terhadap masalah sosial yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat, serta mengajarkan bagaimana
dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini adalah Realitas Sosial dalam Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik
Fotunadi dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Diharapkan agar peneliti berikutnya dapat
menelaah dan mengalisis kembali novel tersebut dengan melihat masalah-masalah yang ada di dalamnya
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sastra yang lain.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fortunadi, Didik. 2014. Revolusi dari Secangkir Kopi. Bandung: PT. Mizan
Pustaka.
Ras, J.J. 1985. Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT. Grafiti Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Riswan, Bade, dkk. 2010. Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi. Tasikmalaya:
Siklus Pustaka.
Santosa, Wijaya Heru, dan Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa.
Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nur
Cahaya
Soerjono, Soekanto. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Waluya, Bagja. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.
Jakarta: PT. Pribumi Mekar.
Wellek, Rene, dkk. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Yogi, Adiputra. (https://yogieadiputra.wordpress.com). Rabu: 28/01/2015.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Download