REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI KARYA DIDIK FOTUNADI OLEH : SITTI AMZAWIYAH Email : [email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, sangat kental menampilkan realitas sosial masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah pada masa Orde Baru. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Forunadi? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas sosial tentang kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politk dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research). Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik catat. Data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Dari hasil penelitian, peneliti mengidentifikasi realitas sosial tentang kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politik. Realitas sosial tidak hanya ditemukan dalam teks novel Revolusi dari Secangkir Kopi, tetapi juga ditemukan dalam kehidupan masyarakat, juga pada masa pengarang mengalami situasi tersebut. Realitas sosial inilah yang mengungkap adanya kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, serta politik yang dialami oleh masyarakat pada masa Orde Baru. Kata Kunci : Realitas Sosial, Novel, Revolusi Secangkir Kopi Pendahuluan Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan suatu kenyataan sosial. Sebuah karya sastra tercipta atas inspirasi yang datang dari lingkungan dalam kategori terkecil maupun lingkungan dunia. Tentu hal itu akan terbatas pada pengetahuan dan daya khayal pengarang. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan sosial walaupun karya sastra itu merupakan hasil khayal atau imajinasi pengarang. Daya khayal seorang pengarang banyak dipengaruhi oleh pengalamannya dalam lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, pengarang dalam menciptakan karya sastra seperti novel memperoleh ide, gagasan, maupun konsep dari pengalaman dan pengamatan terhadap masyarakatnya sehingga tidak jarang suatu tata nilai, norma, dan pandangan hidup suatu masyarakat menjadi objek penulisan pengarang dalam karya sastranya. Faktor yang paling mempengaruhi seorang pengarang adalah aspek-aspek masyarakat. Hal itu sejalan dengan asumsi bahwa pengarang merespons persoalan yang terjadi di masyarakat lewat karya sastra yang diciptakannya. Pengarang adalah anggota masyarakat sehingga karya sastra yang dihasilkan setiap pengarang adalah produk dari masyarakat. Masyarakat merupakan pemicu lahirnya karya sastra. Dalam suatu karya sastra terkandung nilai-nilai dasar berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai kebenaran terungkap dalam karya sastra sebagai cerminan pengakuan universal terhadap apa yang dianggap ideal dalam perilaku interaktif umat manusia. Ketika realitas yang ada ternyata tidak sesuai dengan gambaran Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 yang ada dalam benak seorang pengarang, maka karya yang terlahir bisa menampilkan protes keras ataupun sindiran terhadap pihak yang terlibat dalam sebuah segmen kehidupan. Proses penciptaan suatu karya sastra, tidak dapat dipisahkan dari subjektivitas si pengarang. Pada dasarnya seorang pengarang menulis sebuah karya sastra setelah melakukan tafsiran dari realitas dan fakta yang ditemukan dalam kehidupannya. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan (Endraswara, 2003:78). Mengingat hal tersebut, sebuah realitas bisa jadi memperoleh penafsiran yang tidak sama dari pengarang-pengarang yang berbeda, sehingga hasilnya dalam bentuk sebuah karya sastra pun akan berbeda. Perbedaan ini bisa saja terletak pada penggunaan bahasa, sudut pandang penceritaan, penekanan nilai-nilai, maupun penceritaan tokoh-tokohnya. Kesemua itu akan memberikan arah pembentukan opini yang berbeda pula bagi pembacanya. Sebagai contoh, pengarang dengan latar belakang kehidupan keluarga yang menjunjung tinggi kebebasan dengan tentu akan berbeda dengan pengarang yang memiliki kehidupan sebagai santri yang kesehariannya dipenuh aturan-aturan agama dalam cara memberikan tafsiran terhadap suatu hal atau peristiwa. Demikian pula ketika seorang pengarang memaknai sebuah percakapan yang terjadi di lingkungan bermacam-macam untuk sebuah percakapan yang sama. Melalui sastra seorang pengarang dapat menyampaikan opininya. Opini yang berupa kesetujuan maupun ketidaksetujuan terhadap sebuah kenyataan. Bila pula opini yang muncul berupa protes maupun sindiran. Semisal ketika tersiar berita seorang pejabat terkenal melakukan tindak pidana korupsi, pengarang yang satu mungkin membuat karya yang mengecam habis-habisan pejabat tersebut, sementara pengarang yang lain bisa saja melakukannya dengan cara yang lebih halus dengan menerapkan gaya bahasa tertentu semacam ironi. Namun,apa pun yang keluar sebagai hasil oleh cipta seorang pengarang, pastilah terdapat manfaat yang bisa dipetik di dalamnya. Hal ini, sejalan dengan fungsi sastra yang selain mengemban nilai-nilai keindahan sebagai fungsi hiburan, juga harus memiliki nilai manfaat. Novel tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial yang ada dalam masyarakat, karena dalam penulisan sebuah novel berdasarkan atas gambaran kehidupan masyarakat. Menjadi penting untuk dikaji tentang realitas sosial yang ada dalam novel, hal ini dimaksudkan untuk melihat kehidupan masyarakat pada suatu latar yang terdapat dalam novel yang akan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa ada kaitan antara novel dan realitas sosial. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa novel mencerminkan kenyataan sosial. Demikian halnya dengan novel Revolusi dari Secangir Kopi.Dalam konteks ini pengarang membuktikan adanya kesejajaran antara realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi dengan realitas sosial pada kurun sejarah tersebut. Pengarang sendiri merupakan tokoh yang ikut terlibat dalam cerita. Kisah hidup serta perjuangannya dituangkan dalam novel. Didik Fotunadi lahir dari keluarga sederhana di Blitar, Jawa Timur pada tahun 1973. Tumbuh kembang dan menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Blitar. Sejak awal mahasiswa, ia sudah menceburkan diri di dunia aktivis. Beberapa kiprahnya: Ketua Kaderisasi PSIK 1994, Danpus Diksar GEA 1994, Pemimpin Umum Majalah “Merdeka” 1995, Danlap OSKM ITB 1995, Danlap Deklerasi KM ITB 1996, Ketua Himpunan HMTG “GEA” 1996-1997, Sekjen FKHJ 1996-1997, dan Tim Materi Satgas Reformasi Mahasiswa ITB ‟98. Meski sejak mahasiswa akrab dengan isu-isu publik, setelah lulus Didik Fotunadi tidak terjun ke dunia politik praktis. Ia memilih berkarir sebagai profesional di PT. Inco Sorowako dan sekarang bekerja sebagai Vice President Corporate Enhancement di PT. Carsurin. Kendati bekerja sebagai profesional di dunia pertambangan, dunia seni dan sosial tetap ditekuninya. Selain itu, ia sering tampil sebagai motivator. Dan novel Revolusi dari Secangkir Kopi merupakan novel perdananya. Hal yang menarik dari novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi adalah masalah anak muda pada zaman Orde Baru.Persepsi publik atas realitas sosial di zaman Orde Baru di ulas dalam sebuah novel Revolusi dari Secangkir Kopi. Berbagai potret geletar kehidupan masyarakat khususnya anak muda di zaman Orde baru. Dengan gamblang diceritakan proses awal pembentukan pola pikir, kaderisasi, keberanian, setia kawan, dan nilai kebersamaan. Proses dialektika dan romantika yang Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 mempunyai peranan pada sikap baja mahasiswa Indonesia untuk bertahan melawan sikap represif apa pun dan kapan pun. Seperti pada kutipan: “Pikiranku semakin terbuka.Kemelaratan para buruh tani, kemiskinan, anak-anak yang putus sekolah, perampasan tanah rakyat, korupsi yang merajalela, utang luar negeri yang tak terawasi, hukuman keturunan PKI, serta berbagai paparan Ammarsyah dalam pleidoinya menjadi alasan yang tak bisa ditawar bahwa mahasiswa harus membela rakyat. Selain karena mahasiswa dibiayai oleh rakyat, juga karena mereka adalah sekelompok kecil manusia terdidik dari ratusan juta rakyat di negeri ini.” Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat digambarkan bahwa persoalan kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politik merupakan realitas sosial yang terjadi. Adapun tokoh-tokoh dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi mempunyai posisi yang strategis sebagai pembawa dan penyampaian sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Oleh karena itu, untuk mengungkap realitas sosial yang terdapat dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi adalah menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui sturkturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. A. Tinjauan Pustaka Pengertian Sastra Sastra telah diakui oleh para ahli sosiologi sebagai sumber informasi mengenai tingkah laku, nilai-nilaidan cita-cita yang khas pada anggota-anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat, pada kelompok-kelompok keluarga atau generasi-generasi (Ras, J.J., 1985:1). Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sastra berkaitan erat dengan masyarakat. Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau penelusuran atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya. Menurut Sumarjo (1982: 15) pengarang adalah anggota salah satu masyarakat manusia. Ia hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Maka tak mengherankan kalau terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakatnya. Selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dengan masyarakat di mana pengarang hidup. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Di dalam karya sastra terdapat dunia yang merupakan tiruan dari dunia kenyataan yang menurut Plato merupakan tiruan dari dunia ide (Teeuw,1983:219). Dengan demikian, apabila dunia dalam karya sastra membentuk dunia diri sendiri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana yang dipelajari oleh sosiologi. Novel Novel adalah karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek dan menceritakan kehidupan seseorang dengan lebih mendalam dengan menggunakan bahasa sehari-hari serta banyak membahas aspek kehidupan manusia. Hal ini mengacu pada pendapat Santoso dan Wahyuningtyas (2010: 46), yang menjelaskan bahwa kata novel berasal dari bahasa latin novellas, yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa inggis. Karena novel adalah bentuk karya sastra yang datang dari karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Ada juga yang mengatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia novella yang artinya sama dengan bahasa latin. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Realitas Sosial Yogi mengatakan bahwa realitas sosial adalah pengungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. (https://yogieadiputra.wordpress.com). Realitas sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, melainkan hasil interpretasi manusia. Oleh karena itu, realitas bagi setiap orang berbeda adanya, tergantung dari pengalaman masing-masing individu, ras, gender, kultur, agama, dan lain-lain. Realitas dibatasi dengan konsepsi-konsepsi, pemahaman-pemahaman, persepsi, dan consensus, sehingga dapat dikatakan bahwa yang disebut realitas adalah apa yang dapat ditangkap oleh akal manusia dan sejauh mana batasan-batasan define yang dimiliki oleh manusia akan hal tersebut. Jadi, realitas sosial adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya atau mengandung arti kenyataan-kenyataan sosial di sekitar lingkungan masyarakat tertentu. Konsep-konsep Realitas Sosial Berikut beberapa hal tentang realitas sosial di masyarakat terkait dengan proses hidup yang kita jalani seperti yang dikemukakan oleh Waluya (2009:17) yang membagi realitas sosial menjadi enam konsep yaitu realitas sosial tentang kemiskinan, realitas sosial tentang pendidikan, realitas sosial tentang kebudayaan, realitas sosial tentang hukum, realitas sosial tentang politik, dan realitas sosial tentang agama yang merupakan isi dasar sosiologi, yaitu kenyataan kehidupan sosial seperti adanya masyarakat, kelompok, dan para individu. Realitas Sosial tentang Kemiskinan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi, dan bukan dikehendaki manusia. Realitas Sosial tentang Pendidikan Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani) sehingga memanusiakan manusia muda. Pendidikan juga berarti lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Realitas Sosial tentang Kebudayaan Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya polapola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Realitas Sosial tentang Hukum Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum. Realitas Sosial tentang Politik Agama mengambil peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi masyarakat maka agama dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat sekuler. Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan menempati fungsifungsi yang ada dalam suatu masyarakat. Konsep Sosiologi Sastra Ratna (2009:1) menjelaskan bahwa sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Fugen (dalam Segers, 2000:69) mendefinisikan bahwa, sosiologi sastra sebagai cabang ilmu umum. Karena objek sosiologi sastra adalah perilaku sosial, maka sosiologi sastra berminat pada teks sastra hanya sebagai sebuah faktor dalam tipe hubungan antarmanusia yang spesifik. Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Semi (1988:48) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang lebih terfokus atau lebih banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Damono (1984:2) menyebutkan ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasar pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai lahan penelaahan. Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang, mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu member pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya sekaligus membentuknya (Riswan, 2010:71). Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data berupa realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, kemudian disusul dengan analisis. Deskritif analitis dilakukan dengan cara mendeskritifkan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna,2008:53). Metode ini tidak semata-mata menguraikan tetapi juga memberikan penjelasan. Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian kepustakaan karena data penelitian ini didukung oleh buku-buku referensi. Jenis penelitian ini memanfaatkan sumber kepustakaan untuk memperoleh data penelitiannya, karena peneliti berhadapan langsung dengan data dalam teks dan dilaksanakan dengan menggunakan buku-buku literature, surat kabar, artikel ilmiah dan sumber lain (internet) yang terkait dengan masalah yang timbul. Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks novel, yang memuat realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi. Sumber data penelitian ini adalah novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi yang diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mizan Pustaka cetakan pertama tahun 2014 dan terdiri atas 443 halaman. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan teknik catat. Data diperoleh dari hasil membaca dan mencatat informasi yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. Teknik baca yang digunakan untuk membaca novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi. Teknik catat yaitu digunakan untuk mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil pembacaan mengenai realitas sosial. Data penelitian ini dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang terkandung dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi dengan cara peneliti mendeskripsikan atau menggambarkan realitas sosial kehidupan tokoh. Menurut Wellek dan Werren, sosiologi terbagi tiga, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra dan sosiologi pembaca sebagaimana dalam uraian beriku: 1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. 2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban. 3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan sosiologi karya sastra, dengan melihat isi serta keterkaitan kehidupan pengarang yang tersirat di dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Selengkapnya teknik analisis data yang dimaksud dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. 1. Identifikasi data yang sudah diberikan kode sesuai dengan permasalahan penelitian dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 2. Mengklasifikasikan data, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan) data yang menyangkut realitas sosialdi dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi. 3. Deskripsi data, yaitu gambaran data dalam bentuk kutipan yang akan dipaparkan dalam bentuk pembahasan. 4. Interpretasi data, memberikan gambaran secara umum tentang hasil penelitian yang diperoleh, hal tersebut tampak pada simpulan hasil penelitian. B. Hasil Penelitian dan Pembahasan Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menceritakan tentang kehidupan sosial masyarakat pada masa Orde Baru. Perjuangan mahasiswa yang menjadi awal mula suatu perubahan Indonesia yang dimotori oleh masyarakat sipil. Akan tetapi, perjuangan hidup demi perubahan dan kebebasan seringkali berbenturan dengan realitas hidup kelas menengah. Didik merupakan tokoh dalam novel ini. Didik sendiri seorang anak muda lulusan SMA, dari keluarga sederhana. Ia berasal dari kampung Gedog. Gedog berada paling pinggir Kota Blitar. Selain Gedog terkurung dengan hamparan sawah, jalan utama maupun lorongnya masih dari tanah yang berdebu, belum tersentuh aspal hitam yang mulus. Kehidupan diperkampungan membuat kebanyakan penduduk bekerja sebagai buruh tani, meski hal itu bukanlah pilihan karena tak mengentas mereka dari kemelaratan. Satu dua orang membuka warung nasi pecel dan toko kelontong. Didik melanjutkan pendidikan di ITB. Sedari dini sang ibu yang bernama Sukinem menasehati untuk kuliah yang rajin, tidak usah ikut-ikutan demo, agar dapat lulus cepat, dapat pekerjaan bagus, dan hidup berkecukupan. Tapi, garis linier itu tidak ada di pikiran seorang Didik. Sedari SMA, dia telah diracuni oleh sebuah ide untuk aktif di dunia kemahasiswaan melalui sebuah buku pleidoi mahasiswa ITB dalam peristiwa 5 Agustus 1989. Di samping tu, benih kepekaan sosial telah tumbuh saat menangkap kepahitanhidup di kampungnya dan rentetan kejadian tragis yang dialami teman-teman dekatnya. Berbekal ide itu, tidak heran jika jalan hidup seorang Didik berbeda dari kebanyakan mahasiswa lain di eranya. Sejak awal dia mencari dan menceburkan diri ke dalam arus gerakan mahasiswa di kampus. Semangat itu menemukan momentumnya oleh sejumlah kejadian penting di kampus, seperti kasus skorsing, aksi bakar KTM, doktrin PPLK, pesta wisuda, kaderisasi PSIK, dan diksar himpunan GEA. Peristiwa-peristiwa itu memaksanya mengalami perang batin antara kesetiaan di jalur pergerakan mahasiswa dan pesan sang ibunda tentang jalur murni belajar di kampus. Namun pelan-pelan ia memahami, gerakan besar dan masif hanya mungkin dimulai dari langkahlangkah kecil. Bahkan langkah kecil itu dimulai dari pertemuan satu-dua orang ngobrol ngalorngidul.Pendeknya, Revolusi itu bisa datang dari obrolan secangkir kopi. Dengan kesadaran itu, dia bergerak di level himpunan jurusan, di tingkat universitas, lalu jaringan antaruniversitas, hingga berpuncak pada pendudukan gedung DPR-MPR yang mempercepat kejatuhan Soeharto. Ia bersama ribuan anak-anak muda telah bersatu dan mempercepat kejatuhan Soerharto. Dia bersama ribuan anak-anak muda lain, telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Realitas Sosial tentang Kemiskinan Kemiskinan merupakan suatu keadaan individu atau sekelompok individu dalam masyarakat yang secara ekonomi tidak dapat mengembangkan dirinya setaraf dengan perekonomian orang-orang disekitarnya. Kemiskinan merupakan salah satu fenomena sosial yang akan diperangi oleh semua bangsa melalui proses pembangunan dan modernisasi. Sebagaimana program sosial yang dilakukan oleh berbagai lembaga, prioritas utama mereka adalah kemiskinan. Dari realitas yang demikian penulis juga menerapkan konsep bebas kemiskinan dalam visinya. Melihat dampak yang luar biasa dari konsep yang pertama ini maka penulis sengaja meletakkannya dalam prioritas pertama dan juga sebagai wujud tanggung jawab lebih terhadap keluarga. Realitas sosial tentang kemiskinan berorientasi pada kebutuhan ekonomi masyarakat. Kurangnya lapangan pekerjaan dan tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat serta jeratan kemiskinan memaksa Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 masyarakat untuk menjadi buruh tani, sedangkan peningkatan kebutuhan hidup bertolak belakang dengan tingkat perekonomian masyarakat. Kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah dan tidak adanya pilihan bagi masyarakat pada masa Orde Baru membuat masyarakat tak mempunyai pilihan lain. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang ada dalam novel, yang pada akhirnya mayoritas masyarakat memilih pekerjaan sebagai buruh tani untuk menafkahi keluarga mereka. Dalam novel tersebut menggambarkan realitas sosial tentang kemiskinan. Realitas ini ditujukan oleh tokoh Ibu Yatno dan ibu rumah tangga lainnya. Berikut kutipannya: “Mereka hanya butuh mengayun tangan memukulkan batang padi. Hanya dengan cara itu mereka sadar bahwa esok hari mereka punya sesuatu untuk mengganjal perutnya, bahwa esok hari bisa hidup dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah bukti kejujuran hidup yang murni. Dengan keringat itu, mereka membantu para suami agar asap dapur tetap mengepul. Keringat itu terus mengalir dan tak pernah diberi kesempatan kering sampai senja menghentikan mereka.”(Didik Fotunadi, 2014:34). Kutipan di atas menujukkan bahwa masyarakat mengalami masalah di dalam kebutuhan hidup, sehingga kaum perempuan pun terlibat langsung bekerja di sawah membantu suami. Rasa lelah tak terhiraukan lagi meski keringat terus mengalir demi memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi hal tersebut tidaklah mengurangi masalah kemiskinan. Berikut kutipannya: “Para laki-laki dan perempuan itu bukanlah petani karena tak menggarap tanah sendiri.Buruh tani hanya menjual tenaga dan keringat, yang diupah harian dengan sekaleng dua kaleng gabah. Kalau mereka tak kerja hari ini, maka tidak ada nasi esok hari.Jangankan punya uang lebih untuk membeli sepatu dan buku sekolah anak-anaknya.”(Didik Fotunadi, 2014:35). Kutipan di atas mengungkapkan bahwa masyarakat yang bekerja bukanlah pemilik tanah dan sawah tersebut. Mereka hanya orang-orang yang di upah untuk mengelola padi. Hal ini menujukkan para buruh tani yang bekerja keras tapi melarat. Kebutuhan hidup yang serba kekurangan juga terlihat pada kondisi di rumah-rumah masyarakat. Seperti pada kutipan: “…selama listrik negara belum masuk, pada jam delapan malam kami menyalakan petromaks. Cahayanya yang putih membuat mata sakit.Sinar itu merangsang serangga jatuh mati ketika tanpa sengaja terbang tepat di bagian atas lampu petromaks yang panas.”(Didik Fotunadi, 2014:37). Kutipan di atas mengungkapkan kehidupan masyarakat yang kondisinya belum di sinari dengan lampu listrik dan hanya menggunakan lampu seadanya. Semakin memperkuat keadaan masyarakat yang kian terbelakang. Selain pekerjaan sebagai buruh tani, terdapat guru salah satunya Ayah Didik. Namun, hal tersebut tidaklah lebih menguntungkan. Seperti pada kutipan: “Kalau buruh tani terhimpit kemiskinan yang akut, kehidupan ekonomi guru lebih baik, tapi tidak berarti mudah.Kami makan nasi dari beras jatahyang warnanya mirip cokelat tanah, kadang berulat dan muncul campuran kerikil hitam. Ibu harus memunguti satu per satu kerikil dan kotoran lain sebelum beras di tanak jadi nasi. Makan berlauk telur hanya setiap dua atau tiga hari sekali.”(Didik Fotunadi, 2014:38). Kutipan tersebut menguraikan bahwa bekerja sebagai guru tidaklah lebih mudah dengan para buruh tani. Kenyataannya beras jatah yang diperoleh berbanding terbalik dengan wajah bangsa Indonesia yang merupakan salah satu penghasil padi terbesar dengan hasil yang terbaik. Namun, beras yang diperoleh masyarakat Indonesia justru beras dengan kualitas di bawah standar layak konsumsi. Realitas sosial kemiskinan juga menimpa keluarga Didik. Ayahnya yang bernama Moeljana Sismihardjo yang berprofesi sebagai guru tetap tidak lebih mudah. Dengan gaji pas-pasan pekerjaan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik. Seperti pada kutipan: “Gaji bulanan Bapak tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.Apalagi pada tahun sembilan dua itu ketika semua kakakku duduk di bangku kuliah.Uang gaji bulanannya minus, sehingga ibuku harus ikut membanting tulang mencari tambahan penghasilan.”(Didik Fotunadi, 2014:38). Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Kutipan di atas mengisahkan kehidupan keluarga Didik yang juga serba pas-pasan. Gaji ayahnya yang berprofesi sebagai guru tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga ibunya juga membantu dalam mencari penghasilan tambahan demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Kemiskinan juga meliputi sulitnya pemenuhan pendidikan anak. Seperti yang terjadi pada tokoh Siswanto, sahabat Didik. Seperti pada kutipan: “…Kehidupan ibunya masih belum berubah, seperti saat ia dilahirkan, melarat dan kepayahan menghidupi tiga adik tirinya. Lalu ia ditampung di rumah neneknya yang berjarak tak lebih dua kilometer dari rumahnya. Untuk tidak membebani nenek, ia membuat mainan dari kayu yang dijualnya di area Makam Bung Karno. Keinginan Siswanto untuk lanjut sekolah tidak pernah surut, dan niat baja itu yang membawanya masuk SMPN 5 Blitar.Ia lalui hari-hati di SMP sambil membuat mainan; dendamnya untuk mentas dari miskin…”(Didik Fotunadi, 2014:42). Kutipan tersebut menggambarkan Siswanto yang bersekolah dari hasil kerja kerasnya sendiri karena ibunya tidak sanggup untuk menyekolahkannya. Kehidupan ibunya yang melarat sudah kepayahan menghidupi adik-adik Siswanto. Namun, keinginan Siswanto tidak redup. Membuat mainan untuk dijual merupakan usaha yang dilakukannya untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu, kondisi rumahnya juga menggambarkan kemiskinan. Seperti pada kutipan: “Rumahnya berupa gubuk kecil, yang sebenarnya mungkin tak layak disebut rumah. Dindingnya terbuat dari gebek, berlubang di sana sini karena dimakan usia. Siswanto menyambut kedatanganku. Aku masuk lewat pintu bambu yang mengeluarkan suara derit ketika dibuka.Tidak ada ruang tamu.Dapur ini berjendela satu dengan gorden jarit merah keunguan. Tak satu pun hiasan menempel di dinding gebek warna natural itu. Aku hampir tak kuat menahan air mata agar tak keluar. Sudah banyak gubuk yang kulihat, tapi tak ada yang sesengsara ini. Aku duduk di amben yang sudah tidak tegak lagi dudukannya karena kaki-kakinya yang mulai lapuk. Mentari menerobos masuk lewat celah genteng yang bolong.Dapat dibayangkan, bagaimana bocor dan beceknya rumah ini di saat hujan.”(Didik Fotunadi, 2014:43). Kutipan di atas mengisahkan kehidupan Siswanto di lihat dari kondisi rumah tempat tinggalnya. Rumah merupakan salah satu kebutuhan hidup untuk tempat tinggal dan bernaung. Rumah yang mestinya nyaman dan sebagai tempat berlindung justru di penuhi lubang serta kondisi atap yang bocor menggambarkan kehidupan Siswanto yang melarat. Begitpun Didik saat berangkat ke Bandung dalam menempuh pendidikan di ITB. Ia ikut merasakan dampak kemiskinan. Seperti pada kutipan: “Arti miskin di negara ini adalah siap melakoni hidup lebih sulit dari rata-rata manusia lainnya. Itulah pelajaran penting yang kurasakan saat mencari tempat kos ini. Miskin berarti tidak punya pilihan”(Didik Fotunadi, 2014:73). Kutipan di atas mengungkapkan bahwa kesulitan Didik dalam mencari rumah kosan. Setiap sore ia menyusuri lorong-lorong untuk mencarinya. Terkadang ia sampai harus terduduk di pingggir jalan ketika kaki lelah melangkah. Tidak mudah mencari kos yang cocok. Bukan memilih-milih, namun lantaran uang yang diberikan oleh ibunya membuatnya tak punya banyak pilihan. Realitas sosial yang menggambarkan kemiskinan yang menjadi PR besar bangsa ini tidak kunjung usai namun sebaliknya. Seperti pada kutipan: “Apa kira-kira yang ada dalam benak kawan-kawan, mengapa jumlah orang miskin masih banyak di negara ini? Mengapa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tak kunjung dirasakan oleh rakyat kebanyakan?”(Didik Fotunadi, 2014:106). Kutipan di atas menunjukkan saat Didik berada di ruang T-08 yang menjadi salah satu pusat perkumpulan mahasiswa PPLK. Saat Meldi yang di daulat membawakan materi tentang kemiskinan, ia melontarkan pertanyaan yang mendasari permasalahan ekonomi yang mempunyai peranan terhadap kesejahteraan rakyat. Kemakmuran yang mestinya sama rata dan dapat dirasakan oleh semua rakyat di Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 bawah prinsip kedaulatan negara. Kembali Didik teringat realitas kemiskinan yang kembali meredupkan Siswanto untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Seperti pada kutipan: “Aku teringat Siswanto, teman SMA-ku yang cemerlang tetapi impiannya kandas membentur tembok kemiskinan. Ia dengan sadar memilih menjadi penyiar radio serta membuat mainan anakanak untuk dijual di sekitar makam Bung Karno, Blitar. Itu dilakukan untuk bertahan menghidupi adik-adiknya yang kecil serta bapaknya yang sakit-sakitan.”(Didik Fotunadi, 2014:259). Kutipan tersebut mengungkapkan realitas sosial tentang kemiskinan seorang Siswanto yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Ia pun harus bekerja keras untuk menghidupi adik-adik serta ayahnya yang sakit-sakitan. Bekerja sebagai penyiar radio dan membuat mainan anak-anak untuk dijual sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Didik sendiri meskipun dapat melanjutkan pendidikan namun ada yang harus dikorbankan. Seperti pada kutipan: “…Aku ingat saat Ibu memberikan amplop berisi uang bekal, total semuanya Rp600.0000. Nilai itu untuk SPP sekaligus praktikum satu semester sebesar Rp240.000,-, untuk kos enam bulan Rp150.000, untuk makan sebulan Rp100.000 serta untuk keperluan daftar ulang, transport, dan lainnya Rp110.000. Dadaku sesak menerimanya karena aku tahu, sepetak sawah kecil yang digarap oleh Pak De terpaksa dilepas.”(Didik Fotunadi, 2014:360). Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang kemiskinan yang dihadapi orang tua Didik saat membiayai pendidikan anaknya. Kesulitan perekonomian membuat mereka terpaksa menjual sepetak sawah kecil untuk biaya pendidikan Didik. Sekembalinya Didik ke kampung halamannya, ia bertandang kerumah sahabatnya Siswanto. Seperti pada kutipan: “Seperti setahun lalu, beberapa garis sinar mentari tampak menerobos masuk lewat celah-celah genteng yang bolong. Mereka belum sempat memperbaiki kebocoran gubuknya ini, mungkin urusan perut lebih penting dan mesti didahulukan.”(Didik Fotunadi,2014:364). Kutipan tersebut menggambarkan realitas kemiskinan yang dialami oleh keluarga Siswanto. Kondisi yang dari tahun ketahun tiada kemajuan dalam taraf kesejahtearaan hidup. Rumah yang masih tetap sama dengan setahun lalu tak kunjung mengalami perbaikan. Kenyataan mengenai masalah kebutuhan untuk makan jauh lebih penting sebagaimana demi kelangsungan hidup, sehingga untuk urusan tak kelayakan kondisi rumah menjadi sesuatu yang dikesampingkan. Seperti pada kutipan: “Karena Siswanto tak di rumah, aku berpamitan pulang dan titip pesan. Bapaknya berusaha menahan tetapi aku tetap memaksa pulang.Semakin lama berada di rumah ini makin sesak dadaku. Sepanjang perjalanan pulang, kukayuh sepedaku dengan lambat. Otakku berkecamuk memikirkan seorang kepala keluarga yang melarat, ujung tombak pencari nafkah, tumbang sakit tak mampu lagi bergerak. Keluarga yang tak lepas dirundung kesulitan. Dan aku belum bisa berbuat apaapa.”(Didik Fotunadi, 2014:365). Kutipan di atas mengisahkan bahwa saat Ayah Siswanto yang juga merupakan kepala keluarga mengalami sakit sehingga membuatnya tak lagi mampu mencari nafkah. Semakin membuat keluarga tersebut dirundung kesulitan serta kemelaratan hidup oleh ketidakberdayaan sang Ayah. Maka dari itu, Siswantolah yang bekerja dan itulah sebabnya ia tak berada di rumah saat Didik bertandang kerumahnya. Realitas sosial menunjukkan bahwa kemiskinan sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Bekerja sebagai buruh tani tidak mengubah kenyataan menjadi lebih baik. Kemelaratan oleh tuntutan kebutuhan hidup dengan upah yang diperoleh sering kali tak berimbang dengan cucuran keringat serta kerja keras para buruh tani sehingga para istri terpaksa ikut bekerja membantu suami demi memenuhi kebutuhan hidup. Tak jauh berbeda dengan kehidupan guru. Gaji yang tak cukup untuk memenuhi kehidupan yang lebih layak serta makan nasi dari beras jatah yang warnanya mirip cokelat tanah, kadang berulat dan muncul campuran kerikil hitam. Sangat bertolak belakang dengan keadaan negara Indonesia yang tidak lain sebagai negeri lumbung padi. Hal ini juga ditandai dengan pemenuhan pendidikan anak yang tidak sepenuhnya mampu dipenuhi, kondisi rumah tempat tinggal yang nyaman dan layak dikesampingkan oleh pemenuhan kebutuhan panganyang jauh lebih penting demi kelangsungan hidup. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Realitas kemiskinan terjadi akibat kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah Indonesia sehingga solusi yang diperlukan dalam masalah kemiskinan yakni pemerintah perlu menyediakan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat sehingga standar pemenuhan kebutuhan yang layak dapat terjadi secara merata dan dapat dirasakan oleh semua pihak. Realitas Sosial tentang Pendidikan Pendidikan merupakan suatu konsep dasar yang bertujuan mengarahkan, membimbing, dan membina dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi suatu hal yang diketahui baik secara umum maupun pribadi. Dengan struktur, arahan, sarana dan prasarana yang telah terencana sehingga mendukung proses pendidikan tersebut dan dapat dihasil kan suatu serapan materi yang penting. Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Realitas sosial tentang pendidikan berorientasi terhadap kebutuhan serta sistem pendidikan di dalam masyarakat. Peranan pendidikan berdampak pada meningkatnya pengetahuan serta mendidik anak bangsa untuk mengembangkan serta meningkatkan kehidupan. Meski, di sisi lainnya kenyataan pendidikan yang tidak sepenuhnya dapat diperoleh seluruh masyarakat meengungkapkan realitas pendidikan yang tidak merata. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya realitas pendidikan yang terjadi dalam masyarakat khususnya pada tokoh-tokoh dalam novel, seperti pada kutipan: “Pendidikan adalah prioritas utama pemerintah kami, sebab kami sadar, dengan jumlah penduduk terbanyak nomor dua di dunia yang lebih dari 1 milyar, jika pendidikan tak terurus, maka hanya akan menjadi beban dan terpuruk. Tapi sebaliknya, orang pintar dalam jumlah besar adalah kekuatan, dan kami punya kesempatan memimpin dunia di masa depan.”(Didik Fotunadi, 2014:26). Kutipan di atas mengisahkan saat Didik duduk bersebelahan dengan orang berkebangsaan India. Terjadi obrolan yang mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan hal yang menjadi prioritas utama. Ia sendiri sedang menuntaskan pendidikan doktornya di University of Queensland. Ia mendapat kesempatan meraih gelar itu dari beasiswa pemerintah India. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mendukung masyarakatnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena dengan terdidiknya masyarakat, maka sangat membantu perkembangan dan kemajuan bangsa. Realitas pendidikan juga terdapat pada kutipan: “…Liukan api itu membuat tulisan di buku jadi gelap dan terang silih berganti. Tiap malam kami mengelilingi lampu itu untuk belajar di meja satu-satunya yang ada di rumah ini. Geliat cahayanya membuat setengah badan kami masing-masing tertutup bayangan, hanya bagian yang terkena cahaya yang tampak. Lalu kami akan saling ejek pagi harinya karena terasa muncul jelaga hitam di wajah.”(Didik Fotunadi, 2014:37). Realitas teks di atas menggambarkan bahwa meski lampu listrik belum menyentuh perkampungan mereka, namun semangat belajar anak-anak tidak pernah surut. Mereka tetap giat belajar walau hanya dengan menggunakan lampu petromaks. Meski dengan adanya keterbatasan, belajar untuk mengulang pelajaran dianggap sangat penting dan tetap dilakukan. Realitas sosial tentang pendidikan juga terjadi pada Siswanto. Seperti pada kutipan: “Keinginan Siswanto untuk lanjut sekolah tidak pernah surut, dan niat baja itu membuatnya masuk SMPN 5 Blitar. Ia lalui hari-hari di SMP sambil membuat dan menjual mainan;dendamnya untuk mentas dari miskin membuatnya mampu berprestasi, bahkan dipercaya teman-teman untuk menjadi ketua OSIS. Ia berjuang dengan gigih antara tuntutan hidup, keharusan belajar, dan kewajiban organisasi. Ia berhasil menyelesaikan SMP-nya dengan meraih kembali NEM tertinggi di sekolahnya.”(Didik Fotunadi, 2014:42). Kutipan di atas mengungkapkan tentang realitas sosial pendidikan bahwa meski melarat, semangat Siswanto untuk terus belajar tidak pernah redup. Realitasnya, meski tersandung dengan masalah ekonomi, namun Siswanto tetap belajar dengan giat hingga membuatnya menjadi siswa Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 berprestasi.Melakukan berbagai upaya untuk tetap bersekolah demi meraih kehidupan yang lebih baik. Lalu, realitas kembali tergambar pada kutipan: “Aku menggertakkan gigi menahan dadaku yang hamper meledak. Marah dan emosi berkepanjangan karena telah menghancurkan mimpi kedua orangtuaku kembali tersulut.Jantungku berdetak lebih cepat.Mengapa manusia muda dan berbakat ini harus terpuruk? Di mana pemerintah yang katanya peduli pendidikan? Di mana pembangunan yang digembar-gemborkan itu?”(Didik Fotundi, 2014:45). Kutipan tersebut menggambarkan ketika Didik mengetahui bahwa Siswanto tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena harus tersandung masalah ekonomi dan menjadi tulang punggung keluarga. Sementara Didik yang merasa kecewa terhadap dirinya sendiri karena tidak lulus di universitas yang dipilihnya. Kenyataan bahwa Siswanto yang merupakan anak yang berprestasi dengan nilai yang gemilang harus terpuruk dengan memilih bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan. Pemerintah seakan buta terhadap kondisi masyarakatnya. Kebijakan-kebijakan yang senantiasa digembar-gemborkan tak kunjung terealisasikan di lapangan. Faktanya, masih banyak anak-anak yang justru harus menelan pil pahit dengan berhenti sekolah. Realitas pendidikan juga terungkap pada kutipan: “Menurutku, mahasiswa merupakan periode usia emas manusia dalam pengembangan diri, naluri keingintahuannya di titik tertinggi, kecepatan belajarnya pada masa yang menakjubkan!”(Didik Fotunadi, 2014:67). Kutipan tersebut menunjukkan adanya realitas tentang pendidikan. Pemberian istilah mahasiswa dikarenakan saat zaman dulu dalam mengecap bangku kuliah itu sesuatu yang tak terjangkau. Untuk keluarbiasaan itulah disebut mahasiswa atau justru karena gelar itulah akhirnya mahasiswa benar-benar memberikan peranannya di setiap masa perjalanan bangsa Indonesia. Terdapat pula kutipan lain seperti: “…Di zaman ingar-bingar dan serba mudah mengecap sekolah sekarang ini, rasanya tak relevan lagi sebutan siswa yang maha itu. Saat ini menjadi mahasiswa tidaklah sesulit dulu, bahkan mudah. Jelas syarat minimalnya punya uang. Lihat, di mana-mana institusi pendidikan tinggi menjamur. Tidak memandang berjenjang setahun atau lima tahun, entah berkualitas atau hanya mentereng gedung kuliahnya saja. Tak peduli manusia-manusianya telah membaca buku bermutu atau masih suka menonton kartun anak-anak.”(Didik Fotunadi, 2014: 68). Kutipan di atas mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Saat dunia pendidikan dengan mudahnya diperoleh hanya dengan adanya uang dan kian bertambah banyaknya perguruan tinggi hingga membuat kualitas mahasiswa tidak lagi dihiraukan. Tak membedakan lagi siapa yang mempunyai semangat membangun bangsa atau manusia berbaju tank top serta sibuk dengan warna cat rambut. Tidak memilah apakah hedonis atau tidak, semua tetap berhak menyandang gelar mahasiswa. Pendidikan tentu bukan hanya sekedar mengecap, tetapi persoalannya apakah dengan pendidikan itu mampu menjadikan masyarakatnya terdidik. Seperti pada kutipan: “Dan ingat, manusia terdidik akan mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan mampu membuka jalan untuk rakyat lainnya. Itulah mengapa tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memprioritaskan pendidikan.”(Didik Fotunadi, 2014:120). Realitas teks di atas menggambarkan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Melalui pendidikan manusianya dapat terdidik. Dengan terdidiknya manusia, maka ia akan mampu membuka jalan untuk rakyat lainnya dalam artian dapat berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Oleh karenanya, tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memprioritaskan pendidikan. Dengan begitu, bukan tak mungkin Indonesia mampu memimpin dunia di masa depan. Hal ini pulalah yang mendasari tekad Didik dalam mengarungi dunia kemahasiswaan. Namun, kenyataan skorsing pada perguruan tinggi menjadi deretan lain dalam cerita dunia kemahasiswaan. Seperti pada kutipan: “Jatuhnya skorsing ini bagai ledakan virus ganas.Ia menjalar cepat sampai ke pojok-pojok himpunan. Siang itu juga, tak sampai setengah jam, beberapa ketua himpunan, ketua PPLK, kami, dan beberapa aktivis berkumpul di markas PPLK ruang T-01 Student Center Timur.”(Didik Fotunadi, 2014:123). Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Kutipan di atas mengungkapkan adanya realitas sosial dalam dunia pendidikan saat skorsing menimpa mahasiswa bernama Yos yang merupakan Ketua Himpunan Kaderisasi dan juga Mei yang tidak lain Ketua aktif HMFT. Kenyataan bahwa skorsing seringkali dijatuhkan pada aktivis-aktivis mahasiswa yang melakukan kegiatan kemahasiswaan terhadap mahasiswa baru. Seolah ingin mengekang kemahasiswaan. Terdapa kutiap lain seperti: “Charly,Anto, dan Ivan tiba-tiba bermunculan. Ivan segera memberitakan situasi terkini Tambang setelah pemanggilan ketua himpunan dan kaderisasinya. Anto melakukan hal yang sama. Intinya mereka memaparkan bahwa sebenarnya tak ada yang salah dengan HMFT. Seperti halnya himpunan lain juga melakukan hal serupa, yaitu menyelenggarakan proses kaderisasi penerimaan anggota baru untuk mahasiswa angkatan ‟92.”(Didik Fotunadi, 2014:124). Kutipan tersebut menggambarkan situasi kemahasiswaan yang diterpa kebingungan karena kasus skorsing Yos dan Mei. Kasus tersebut berdasar atas kegiatan kaderisasi yang dilakukan oleh kemahasiswaan dengan membentuk PPLK yakni semacam lembaga pendamping untuk wawasan kemahasiswaan sehingga hal itulah yang menyebabkan Yos dan Mei dijatuhi skorsing oleh rektorat. Namun anehnya lagi, semua himpunan kompak melakukan kaderisasi akan tetapi hanya Yos dan Mei saja yang terskorsing. Kenyataan tersebut menunjukkan adanya kejangggalan dari pihak rektorat. Seperti pada kutipan: “Aku menduga, kita sengaja dibuat sibuk di dalam hingga tak sempat lagi menyorot kondisi keprihatinan bangsa, penggusuran Nipah, kelaparan, mahalnya biaya pendidikan, harga kertas, clean government, dan masih banyak lagi catatan yang bisa digarap.”(Didik Fotunadi, 2014:126). Realitas teks tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Ketika mahasiswa dihadapkan dengan persoalan skorsing Yos dan Mei membuat kemahasiswaan sibuk dengan urusan internal tersebut sehingga tidak sempat lagi mengkritik serta mengurus persoalan-persoalan masyarakat yang terhimpit oleh rezim pemerintahan yang korup. Akhirnya, rapat dengan para aktivis kampus pun dilaksanakan. Seperti pada kutipan: “Kita mesti lawan, tak bisa dibiarkan kawan-kawan ditembak satu per satu tanpa ada pembelaan,” tambah Sawal dengan suara gemetar. Seperti biasa, kepulan asap tak lekang dari mukanya.(Didik Fotunadi, 2014:130). Kutipan di atas mengisahkan tentang realitas pendidikan. Saat rapat darurat FKHJ dan BKSK itu dilakukan, maka keputusan bersama adalah dengan membentuk tim Satgas (satuan tugas) dengan mandat melakukan usaha-usaha pembelaan dan pencabutan skrorsing Yos dan Mei. Satgas berarti tim khusus yang terdiri dari panitia pelaksana, pasukan terdepan, dengan mandat khusus pula, sehingga semua hasil perjuangan Satgas dipertanggungjawabkan kepada FKHJ dan BKSK. Maka, semakin jelas fakta skorsing Yos dan Mei. Seperti pada kutipan: “Skorsing Yos dan Mei yang jatuh di tengah November 1993, menjadi martil pembungkam kegiatan kemahasiswaan, penghancur gelinding bola salju yang sebenarnya pudar lantaran cemas, dan tenyata ketakutan itu tak mudah dijinakkan. Birokrasi isinya sama tapi tampil berbeda dengan proses revolusi, sama-sama sering memakan anak-anak sendiri.”(Didik Fotunadi, 2014:133). Realitas teks tersebut menunjukkan adanya realitas sosial tentang pendidikan.Kenyataannya, skorsing dilakukan oleh pihak rektorat untuk membungkam mahasiswa dalam mengkritik pemerintahan. Hal tersebut dilakukan atas tekanan yang juga ditimpakan kepada rektorat kampus. Realitasnya, rezim berkuasa akan menekan birokrat kementerian pendidikan, kementerian akan menekan rektorat, dan ujungnya rektorat menekan jurusan. Demikian seterusnya kait-mengait dan saling „tekan‟ demi kepentingan yang paling atas, struktur komando dijalankan. Ini sekali lagi bukan sekedar skorsing biasa, tetapi pembunuhan karakter kemahasiswaan secara sistematis. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotuandi juga mengungkapkan hal pokok dalam dunia pendidikan. Seperti pada kutipan: “Hal pokok dalam dunia pendidikan adalah menjadi tempat bermulanya hasrat mencari yang terus-menerus. Tempat dipupuknya jiwa untuk menghadapi persoalan hidup yang tak putus-putus. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Kampus tak bisa tidak harus menanamkan rasa ingin tahu dan sikap tak malu bertanya pada anak didiknya.”(Didik Fotunadi, 2014:151). Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas tentang pokok dunia pendidikan yaitu pendidikan diharapkan menjadi suatu tempat yang dapat memberikan ilmu bermanfaat yang berguna bagi kehidupan bermasyarakat. Kampus mesti memberi „ruang kebebasan‟ mengekspresikan diri, bukan memaksa diam dan menuntut mahasiswa menjadi penurut. Kampus harus mampu mendorong mahasiswa menjadi pribadi yang berani mengatakan salah jika salah, benar jika benar. Mendorong kreatif dalam berpikir. Demikian pula lah yang hendak dilakukan oleh mahasiswa ITB dengan melakukan usaha pembelaan. Seperti pada kutipan: “Aksi dukungan muncul bukan hanya dari organisasi mahasiswa Bandung, namun juga dari Makassar,”kata Sawal sambil menunjukkan dua lembar surat dukungan resmi dari Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim Indonesia, Makassar.(Didik Fotunadi, 2014:156). Kutipan tersebut mengungkapkan tentang realitas pendidikan mengenai sikap mahasiswa untuk bersatu dan saling mendukung dalam aksi penolakan skorsing. Sosialisasi Sastgas mengenai kronologi kasus Yos dan Mei beserta pernyataan sikap resmi FKHJ memang dikirmkan Meldi, anggota satgas yang bertanggung jawab soal komunikasi dengan pihak eksternal, ke berbagai senat perguruaan tinggi seIndonesia. Kampus-kampus di Bandung menyatakan dukungan penuh terhadap aksi keprihatinan dan siap mengirimkan perwakilannya pada aksi menolak skorsing berikutnya yang akan digelar. Terdapat pula kutipan lain seperti: “Dua hari ini aku belajar banyak dari Dodi tentang dunia teklap.Selain mencuri spanduk, membuat lem, mencipta poster, aku juga belajar membuat orang-orangan dari kertas koran dililitkan ke tongkat kayu. Kedua boneka yang dilumuri tinta merah itu ditancapkan di sisi Boulevard…”(Didik Fotunadi, 2014:177). Kutipan di atas mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Melalui perguruan tinggilah Didik belajar banyak tentang berkreasi menciptakan poster dan juga membuat dua boneka yang dilumuri tinta merah. Realitasnya, boneka tersebut mengesankan dua mahasiswa yang terbunuh. Ya, dunia pendidikan seolah berduka atas terbunuhnya masa depan mahasiswa. Realitas pendidikan juga tergambar pada kutipan: “Usut punya usut, Rektorat melakukan langkah taktis. Tepat setelah aksi selesai, melalui birokrat jurusan mereka melakukan pemanggilan semua ketua himpunan serta pengurusnya.”(Didik Fotunadi, 2014:197). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa saat setelah dilakukannya aksi penolakan skorsing secara besar-besaran, Rektorat menggertak balik. Pihak kampus akhirnya melakukan pemanggilan terhadap semua ketua Himpunan serta pengurusnya sehingga memunculkan kekhawatiran di tiap-tiap ketua Himpunan. Hal ini berdampak pada redupnya semangat dalam membahas keberangkatan dua hari kedepan menuju Jakarta. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi mengungkapkan realitas sosial tentang pendidikan yang di alami oleh mahasiswa yang bernama Deny. Ia melakukan aksi mogok makan sebagai upayanya yang juga menolak skorsing. Pemogokan makan tersebut dilakukannya dengan ancaman akan men-DO-kan dirinya sendiri bila pihak kampus tetap tidak merespon. Namun, hingga tenggang waktu yang ditentukannya maka ia benar-benar memutuskan status kemahasiswaannya. Seperti pada kutipan: “Hari ini, 70 tahun dari peristiwa itu, di tempat yang sama dengan peristiwa itu, di mana kampus ini sekarang dipimpin oleh bangsa kita sendiri.Di saat bangsa ini telah merdeka, ternyata tak lebih baik dibanding masa lalu dalam hal mendidik. Saat ini justru sikap mengorbankan masa depan anak didik segera dipilihh karena dianggap tak patuh.”(Didik Fotunadi, 2014:266). Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang pendidikan. Di mana pihak kampus tidak memperdulikan upaya aksi pembelaan serta penolakan skorsing yang dilakukan oleh mahasiswa. Tak bergeming meski Deny melakukan aksi men-DO dirinya sendiri. Seperti pada kutipan: Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 “Sedetik berikutnya, Deny mengeluarkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dari dompetnya, mengambil korek api biru dari kantungnya, menyalakan dan dengan mengacungkan KTM ke atas, secara perlahan KTM termakan api.”(Didik Fotunadi, 2014:267). Kutipan tersebut mengisahkan tentang realitas pendidikan atas terbakarnya KTM milik Deny semakin menjelaskan bahwa api membakar idealisme mahasiswa yang tak terwadah. Sekali lagi „Ganesha‟ kehilangan salah satu putra terbaiknya. Hingga kian berlalu, akhirnya kasus skorsing Yos dan Mei menemui titik temu.Seperti pada kutipan: “Apakah benar Yos dan Mei bisa kuliah semester depan atau hanya strategi rezim Soeharto lewat tangan Rektorat untuk meredam agar gerakan mahasiswa itu tidak makin membesar? Toh, apa pun yang dilakukan mahasiswa, tidak akan diberitakan lagi oleh media. Isu skorsing ini mendadak lenyap dari media setelah munculnya surat Komisi IX itu.”(Didik Fotunadi, 2014:275). Realitas teks di atas mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan yang mana isu pihak kampus menyetujui dibebaskannya Yos dan Mei dari skorsing. Namun, hal ini menumbuhkan kecurigaan terhadap rezim Soeharto yang menekan DPR untuk mengeluarkan surat keputusan terhadap media untuk tidak lagi meliput masalah kemahasiswaan. Upaya-upaya tak pernah henti dilakukan, ini menandakan bahwa kampus „Ganesha‟ tidak mati akan ketidakadilan yang terjadi. Pergulatan di dalam kampus menjadi salah satu realitas sosial tentang pendidikan. Perguruan tinggi senantiasa menerima mahasiswa baru dan juga mewisuda mahasiswanya. Seperti pada kutipan: “Wisuda merupakan momen penting dalam perjalanan hidup seorang mahasiswa, hari pembuktian bahwa ia telah mampu melewati masa-masa sulit, masa-masa menggembleng diri. Sebuah momen penanda siap untuk melangkah menghadapi hidup yang sebenarnya.”(Didik Fotunadi, 2014:281). Kutipan tersebut menggambarkan adanya realitas sosial dalam dunia pendidikan. Wisuda merupakan momen mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan serta studinya. Yakni sebuah proses inisiasi bahwa seseorang dinobatkan layak menyandang gelar Insinyur. Dapat menambahkan kata Ir. di depan nama asli sebagai tanda siap mengabdi pada Ibu Pertiwi. Selain itu, dalam momen tersebut akan hadir orang-orang yang dicintai. Dapat dipastikan kedua orangtua yang membiayainya dan mungkin calon pendamping hidup yang telah dipilihnya. Ketika ingatan kembali terbayang saat pertama menjadi mahasiswa seringkali ada rasa keterpaksaan dalam memilih jurusan. Seperti pada kutipan: “Sejak kecil aku punya hobi melukis, dengan beberapa prestasi kutorehkan di tingkat Blitar maupun Jawa Timur. Tetapi, hidup adalah pilihan. Aku berbelok ke UMPTN dan masuk Geologi setelah gagal mengadu nasib sebagai mahasiswa Seni Rupa tahun lalu itu. Sejujurnya, ada api cemburu pada kegilaan kawan-kawan seni rupa ini.”(Didik Fotunadi, 2014:285). Kutipan di atas menunjukkan bahwa pilihan seringkali bertolak belakang dengan kenyataan. Ketika Didik menyaksikan atraksi yang disuguhkan mahasiswa Seni Rupa sebagai arak-arakan acara wisuda. Ia kembali teringat akan niatnya saat pertama kali mendaftarkan diri di salah satu perguruan tinggi dengan memilih jurusan Seni Rupa. Namun, pilihannya gagal sehingga ia sempat tidak kuliah selama setahun dan barulah tahun berikunya mendaftarkan diri di ITB dengan memilih jurusan Geologi. Padahal realitasnya ia memiliki kompetensi di dunia seni. Meski demikian, ia bersyukur dapat masuk di jurusan Geologi khususnya di kampus ITB tersebut. Lalu, ada pula realitas lainnya seperti: “Sebuah organisasi, apa pun bidang yang ditekuninya, pastilah mempunyai tujuan. Untuk tujuan itulah organisasi menuntut kualifikasi calon anggotanya. Sudah menjadi kebutuhan kalau program pengenalan, penataran, atau kaderisasi ditempuh sehingga anggota baru mampu mengikuti proses yang ada. Ujung-ujungnya, tujuan organisasi bisa diraih.”(Didik fotunadi, 2014:317). Kutipan tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pendidikan yakni dilakukannya kaderisasi oleh tiap-tiap organisasi. Hal tersebut mempunyai tujuan untuk memperkenalkan kegiatankegiatan dalam organisasi hingga tujuan-tujuan dalam organisasi kepada anggotanya khususnya Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 mahasiswa. Kaderisasi ini dilakukan dengan adanya program-program pelaksanaan yang berbeda hingga waktu yang berbeda pula. Bentuk dan nama kaderisasi pun bermacam-macam. Melalui kaderisasi tersebutlah ruh kemahasiswaan tetap terjaga sehingga mahasiswanya tetap kritis, berani berteriak salah jika salah dan benar jika benar. Kaderisasi merupakan nyawa terpenting dalam kehidupan organisasi mana pun, terutama organisasi yang mengalir seperti kemahasiswaan. Seperti pada kutipan: “Kaderisasi mutlak perlu untuk mahasiswa yang tak peduli pada masa depan, tak lagi peduli nasib rakyat jelata, tak peduli apakah rezim korup, tak peduli pada harga bahan pokok yang terus naik.”(Didik Fotunadi, 2014:320). Realitas sosial tentang pendidikan jelas tergambar dalam kutipan di atas bahwa pelaksanaan kaderisasi begitu penting sebab, melalui kaderisasilah pemikiran-pemikiran mahasiswa diberi jalan pembuka untuk memperlihatkan lebih jelas keadaan rakyat serta kondisi berjalannya pemerintahan. Rakyat berteriak, mahasiswa bertinda. Demikianlah mestinya tujuan dari sistem kaderisasi. Terdapat pula realitas sosial tentang pendidikan, seperti pada kutipan: “Namun, kalau tidak masuk menjadi anggota Himpunan, maka aku tidak akan bisa beraktivitas di dunia kemahasiswaan, baik di Himpunan maupun di Student Center…”(Didik Fotunadi, 2014:340). Kutipan di atas menujukkan bahwa terdapat realitas sosial tentang pendidikan. Meski kaderisasi merupakan sesuatu yang penting dan mutlak, namun dalam pelaksanaannya merupakan wewenang oleh masing-masing mahasiswa. Tiada paksaan. Akan tetapi, kaderisasilah syarat dalam menggeluti dunia kemahasiswaan. Dengan tidak mengikuti kaderisasi, maka sudah tentu mahasiswa juga tidak dapat masuk dalam kemahasiswaan. Realitas sosial menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai peranan terhadap aspek kehidupan. Pendidikan begitu penting untuk memberikan jalan dalam mengembangkan ilmu, dapat mengangkat derajat serta kesejahteraan hidup seseorang. Namun, meski pendidikan sangat penting tidak semua orang dapat memperoleh pendidikan. Lagi-lagi masalah kemiskinan merupakan faktor terbesar yang sering menyandung seseorang untuk menempuh pendidikan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan anak bangsa bagi yang tidak mampu. Melalui pendidikan pulalah Didik mengawali pemahaman mengenai organisasi dan bagaimana sistem kaderisasi yang hanya terjadi dalam lingkup perguruan tinggi menjelma menjadi pupuk perubahan bangsa ini. Dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan “bekal”.Bekal konkret sebuah revolusi reformasi, sehingga pemerintah sangat berperan penting terhadap kemajuan pendidikan anak bangsa. Oleh karenanya, solusi yang tepat dalam hal ini adalah memberikan dana bantuan kepada peserta didik dalam bentuk beasiswa pendidikan. Realitas Sosial tentang Kebudayaan Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Indonesia terkenal karena keragaman budaya keramahtamahan penduduknya. Budaya yang ada di masyarakat cenderung berubah. Terkadang kita melihat seolah-olah dalam suatu masyarakat tidak terjadi perubahan, padahah perubahan budaya selalu terjadi meskipun mungkin sangat sedikit dan lambat. Masyarakat seperti ini dinamakan masyarakat statis. Sementara itu, masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat dinamakan masyarakat dinamis. Oleh karenanya, kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan seharihari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menunjukkan realitas sosial tentang budaya. Hal ini terdapat dalam kutipan: “Kehidupan kampung, keringat buruh tani, anak-anak bertelanjang dada yang bermain di sawah, derit bambuori, dengungan bambang erang selalu mengisi datangnya pagi dan tenggelamnya mentari ditelan senja. Waktu bergerak tak tercegah oleh siapa pun.”(Didik Fotunadi, 2014:46). Kutipan tersebut mengungkapkan realitas sosial budaya pada kehidupan perkampungan. Pemandangan para buruh tani dan anak-anak yang bermain di sawah merupakan aktivitas serta budaya dari masyarakat di perkampungan. Alunan suara yang dikeluarkan oleh derit bambu ori dan juga kumpulan capung yang berterbangan berebut angkasa. Warna-warninya menghias udara dam kontras dengan hamparan padi yang kuning keemasan. Geletar sayapnya menghasilkan dengung, menciptakan nyanyian alam yang memanjakan telinga. Berpadu dengan tembang sumbang para buruh tani. Terdapat pula kutipan lain seperti: “Sejak sebelum berangkat dari Stasiun Senen Jakarta, kemarin sore,laki-perempuan, tua-muda, semua berjubel berdesakan dan saling sikut beradu kecepatan berebut masuk ke pintu gerbong kereta. Ada anak laki terhuyung dalam jepitan tubuh-tubuh kuat. Satu sandalnya terlepas, ia coba meraih kembali namun arus penumpang yang kesetanan itu tak mampu ia tahan. Lalu kakek itu surut merangkak mundur, duduk di bawah tiang penyangga bangunan stasiun.Buntelan bawaannya terbuka di lantai dan nasi bekalnya terhambur terinjak-injak ratusan calon penumpang yang kesetanan berebut masuk itu.”(Didik Fotunadi, 2014:49). Kutipan tersebut menggambarkan realitas sosial tentang suasana di stasiun kereta api yang telah benar-benar menjadi sebuah budaya. Menjadi tabiat di stasiun saling berdesakan dan berebut masuk ke gerbong kereta. Realitas yang didasari oleh kurangnya kesadaran dalam kedisiplinan, sehingga mengabaikan keselamatan.Seperti pada kutipan: “Ya, semuanya saling sikut, saling rebut, saling mendahului masuk kereta demi sebuah kursi yang sebenarnya tak empuk ini. Sebuah kursi keras yang busanya lengket dan berdaki yang akan membawa kami dalam perjalanan 18 jam menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya, kupilih duduk di lantai lorong yang pengap; kursiku kurelakan untuk nenek tua yang tidak kebagian tempat duduk. Biarlah kursi keras itu minimal membantu tubuh tuanya bisa istirahat.”(Didik Fotunadi, 2014:51). Kutipan di atas mengungkapkan budaya masyarakat yang saling berebut dan saling mendahului untuk masuk kereta demi mendapatkan kursi. Dalam memperoleh kursi tentu saja begitu sulit di antara desakan orang-orang. Namun, tetap saja, tak mengurangi rasa menghormati orang yang lebih tua. Didik memberikan kursi yang didapatkannya untuk seorang nenek tua yang tidak kebagian tempat. Lalu, ia memilih duduk di lantai kereta. Seperti pada kutipan: “Lalu jangan harap lantai berkarat itu sudah disapu atau dibersihkan. Kecoak-kecoak kecil lincah bermunculan dari sudut di bawah kursi; mereka berpesta mengerubuti remah-remah sisa makanan di daun pisang bungkus nasi pecel yang tercecer di sana. Ada terserak plastic bungkus roti,kertaskertas Koran bungkus kue, yang entah kapan teronggok di sana. Mungkin sampah bekas penumpang sebelumnya yang tak sempat dibersihkan. Hidungku mencium bau busuk makanan basi bercampur aroma besi berkarat kereta yang khas.”(Didik Fotuandi, 2014:51). Kutipan di atas menujukkan bahwa terdapat realitas sosial tentang budaya yang meliputi kebiasaan kurangnya perhatian masyarakat dalam menjaga kebersihan. Tiadanya kesadaran serta kurangnya kedisiplinan dalam menjaga kebersihan lingkungan menyebabkan sampah-sampah berserakan di dalam gerbong kereta api yang merupakan hasil dari penumpang sebelumnya. Kondisi kereta pun yang berbau besi berkarat merupakan kereta kelas ekonomi yang pada kenyataannya jauh dari kelayakan kenyamanan pengguna kereta api. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang pada akhirnya seolah menjadi Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 suatu budaya yaitu lahirnya sikap-sikap KKN dalam kehidupan masyarakat juga tergambar, seperti pada kutipan: “Iya, intinya bisa di atur, supaya kamu bisa kuliah di Sekolah Tinggi milik Departemen Perindustrian di Bandung, lanjutnya dengan sungguh-sungguh. Mendadak tubuhku lemas mendengar itu, terngiang lagi apa yang tertulis dalam buku fotokopian bersampul merah. Disebutkan di sana bahwa salah satu penyebab tidak majunya negeri ini adalah KKN- Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Apakah kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang masuk karena dibantu saudara itu bukan kolusi? Bukan Nepotisme?”(Didik Fotunadi, 2014:55). Realitas teks tersebut menunjukkan bahwa setelah sempat gagal pada ujian setahun sebelumya untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi, muncul tawaran dari Pak Likuntuk membantunya agar lebih mudah lulus. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa hal tersebut sama saja dengan kolusi dan nepotisme. Hal-hal tersebut memang sederhana, namun kian merambat menjadi budaya ketika masuk ke perguruan tinggi berkat bantuan seseorang dan bukan karena kemampuan sendiri. Bibi-bibit seperti inilah yang pada akhirnya menjadi kelemahan dari sikap KKN. Terdapat pula realitas budaya lain, seperti pada kutipan: “hidup… hidup… hidup! Itu saja gemuruh yang kudengar setiap orang yang tarik urat leher di panggung menyelesaikan satu kalimat. Teriakan itu dilantangkan sambil mengangkat satu tangan terkepal ke atas. Lalu selebihnya, Cuma orang-orang berjoget ria mengikuti cengkok penyanyi dangdut yang harus kuakui, selain bajunya yang hmm…, lenggok gemulai goyangannya membuat mata tak berkedip menikmatinya, membuat merinding nafsu para laki-laki, membuat cemburu paraa perempuannya. Suaranya jelas kalah nyaring disbanding lenggok pinggang seksi tubuhnya. Kampanye itu begitu gembita tetapi kering makna.”(Didik Fotunadi, 2014:187). Pada kutipan tersebut menggambarkan realitas sosial tentang kebudayaan masyarakat saat dilakukannya kampanye. Seakan telah menjadi sesuatu yang wajib ketika berkampanye menghadirkan penyanyi dangdut. Tujuannya yang tidak lain untuk menghibur sekaligus memeriahkan kampanye. Penyampaian visi dan misi kinerja untuk masyarakat kalah keras dan kalah seru bila dibandingkan dengan penyanyi dangdut yang berlenggak-lenggok di panggung. Kenyataannya penyanyi dangdut yang ditampilkan lebih menarik ketimbang penyampaian tujuan kampanye. Maka, tidak heran pula pejabatpejabat yang dilahirkan adalah orang-orang yang bermental tak bermoral di masa kini. Realitas budaya juga tergambar seperti pada kutipan: “Pada fasilitas water refill station yang setinggi dua meteran itu, tampak tulisan Say no to bottled water. Saat rakyat di tanah air merasa modern dan hidup sehat dengan minum air mineral kemasan, negeri ini telah setahap di depan, mereka tengah berkampanye untuk tidak menggunakan air kemasan yang notabene akan menghasilkan banyak sampah plastik.”(Didik Fotunadi, 2014:212). Kutipan tersebut menggambarkan budaya masyarakat negara Australia untuk menjaga lingkungan dengan tidak menggunakan air kemasan. Sangat jauh berbeda dengan dengan realitas di Indonesia yang gemar mengkonsumsi air kemasan. Semakin banyak air kemasan yang digunakan, maka semakin banyak pula sampah plastik yang dihasilkan. Realitas sosial menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki peranan serta pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Budaya yang meliputi sistem teknologi dan peralatan hidup, sistem organisasi masyarakat, bahasa, serta sistem pengetahuan sebagai keseluruhan cara hidup manusia. Realitas Sosial tentang Hukum Hukum merupakan suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol. Hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya hukum dalam keberlangsunggan hidup masyarakat Indonesia khusunya tokoh-tokoh yang ada dalam novel, yang pada kenyataanya lebih banyak menuai ketimpangan. Hukum yang baik secara tertulis maupun tidak tertulis di atur dalam setiap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan hukum yang diharapkan mampu memberikan ketentraman dan keadilan terhadap masyarakat berbanding terbalik. Seperti pada kutipan: Aku baru menyadari arti “terlibat”. Para buruh tani yang melarat hidupnya itu, yang tiap hari kusaksikan dengan mata kepala sendiri, berjuang hanya untuk bertahan agar bisa makan, telah terhukum gara-gara ikut bergabung di BTI dan hidup tidak bebas lagi di negeri ini. Sedihnya, hukuman itu menimpa anak keturunannya yang bahkan belum lahir pada saat peristiwa enam lima itu terjadi.(Didik Fotunadi, 2014:22). Kutipan tersebut membuktikan adanya realitas sosial tentang hukum.Saat teman Didik yang bernama Yatno dikeluarkan oleh pihak kampus yang saat itu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Akuntasi Negara atau STAN.Dikeluarkannya Yatno oleh sebab keterlibatan Ayahnya serta buruh tani lainnya di BTI.BTI adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia, partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya.Ketika Pak Harto menumpas PKI, semua orang yang menjadi anggota partai tersebut termasuk para anggota BTI dianggap terlibat peristiwa berdarah tersebut. Meskipun pada kenyataannya mereka tidak ikut menculik dan membunuh. Mereka hanya ikut kumpul-kumpul karena ada yang menjanjikan bahwa nasib buruh tani akan sejahtera. Oleh karena itu, anak-anak mereka yang terlibat PKI tidak bisa jadi pegawai negeri. Realitasnya, hukuman tersebut juga ditimpakan tidak hanya kepada mereka yang terlibat, namun keturunan mereka pun ikut terhukum. Realitas lainnya juga terdapat dalam kutipan: “Turunkan setengah tiang. Negeri ini berkabung!” balas Alit dengan urat leher tertarik. “Tidak ada perintah berkabung!” balas petugas sambil matanya membeliak mau keluar dari tempatnya. “Tidak perlu perintah, kawan-kawan Tri Sakti tertembak, Jakarta rusuh, banyak aktivis hilang, cukup sudah!” timpal Yan…(Didik Fotunadi, 2014:417). Realitas sosial tersebut menunjukkan bahwa adanya kekacauan, mahasiswa yang tebunuh serta banyaknya aktivis yang hilang justru memudarkan fungsi hukum yang diciptakan sebagai sarana dalam penegakan ketertiban dan kedamaian nasional. Rendahnya sistem pelaksanaan hukum membuat kejahatan merajalela. Ini semakin menegaskan bahwa hukum Indonesia tumpul kebawah, tajam ke atas.Seperti pula pada kutipan: “Aku berpikir, apakah gerakan reformasi yang tak terbendung ini memang dianugerahkan kepada tanah pertiwi? Sebuah titik perubahan dari negara militer ke era baru, sebuah negeri madani. Nyaris sulit dipercaya, beberapa tahun terakhir bahkan beberapa bulan lalu, siapa pun yang turun ke jalan, akan ditangkap dan di penjara tanpa pengadilan. Siapa pun yang menentang akan diculik, lenyap, hilang, dan tak pernah kembali…”(Didik Fotunadi, 2014:420). Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang hukum.Kenyataan bahwa mereka yang turun ke jalan justru ditangkap dan di penjara tanpa pengadilan. Itu artinya, tidak ada proses hukum yang berarti. Hukum yang pada hakikatnya memberikan pembelaan terhadap rakyat justru tidak berlaku bagi mereka yang berkuasa. Hal yang sama juga diterangkan seperti pada kutipan: “Kami bergeming, napas aku tahan. Mataku gentar akan kemungkinan yang bisa terjadi. Terlintas di benakku kawa-kawan Tri Sakti tersungkur saat tubuhnya ditembus peluru timah panas, lalu rusuh yang menelan ribuan korban, di antaranya terpanggang api karena dibakar, pemerkosaan, Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 dan pembunuhan keji lainnya. Dan sebentar lagi, kami pun bisa menjadi tambahan cerita bergidik itu.”(Didik Fotunadi, 2014:423). Kutipan tersebut mengisahkan realitas sosial tentang hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Saat mahasiswa maupun rakyat menjadi korban atas kekejian peritiwa ‟98. Menjadi sebuah kepiluan saat hukum justru tidak dapat melindungi masyarakatnya dari ketidakadilan. Realitas Sosial tentang Politik Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Selain itu, sistem politik merupakan sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan hubungan antar negara. Politik juga merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode yang digunakan oleh seorang individu atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya politik dalam kehidupan yang dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya tokoh-tokoh yang ada di dalam novel, yang pada kenyataan telah melenceng dari sistem yang telah diharapkan. Politik merupakan suatu sistem yang beriringan dengan berjalannya pemeritahan. Memiliki prinsip serta tujuan pasti akan kepentingan rakyatnya. Namun, realitasnya politik itu sendiri mengalami pencemaran atas perilakuperilaku pelakunya. Melenceng dari tujuan dan fungsinya. Realitas tentang politik tergambar seperti pada kutipan: “BTI itu salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia, Nak, partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya. Ketika Pak Harto menumpas PKI, semua orang yang menjadi anggota partai itu, termasuk para anggota BTI, dianggap terlibat peristiwa berdarah itu.”(Didik Fotunadi, 2014:22). Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang politik yaitu ketika buruh tani menjadi anggota BTI atau Barisan Tani Indonesia yang tidak lain merupakan salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia yakni partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya. Meski tidak ikut menculik dan membunuh namun mereka tetap di anggap terlibat. Padahal mereka sebagai rakyat biasa tidak tahu menahu persoalan yang berkaitan dengan penculikan tersebut. Mereka hanya ikut kumpul-kumpul karena ada yang menjanjikan bahwa nasib buruh tani akan sejahtera. Mereka tidak akan kelaparan lagi dan dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sekali lagi, ini merupakan gambaran realitas bahwa lagi-lagi rakyat biasa yang menjadi korban politik atas kepentingan-kepentingan partai. Realitas lainnya juga terdapat pada kutipan: “Aksi damai itu membuat sang Menteri berang. Berbekal kamera video, entah siapa yang melakukannya, satu demi satu mahasiswa yang terekam video itu digelandang dari kampus dan tempat kosnya. Mereka diseret dan diinterogasi di kantor polisi. Beberapa mahasiswa dilepaskan, tapi beberapa lainnya diajukan ke meja hijau.”(Didik Fotunadi, 2014:85). Kutipan tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pilitik yaitu saat dilakukannya aksi damai yang diikuti sekitar 200-an mahasiswa di depan pintu utama Gedung Serba Guna atas kedatangan Mendagri Rudini. Namun, aksi tersebut justru berdampak dengan diseretnya mereka ke kantor polisi karena sang Menteri Berang karena dianggap penggerak aksi menolak kedatangan Mendagri. Mereka dituduh subversife. Demikianlah kacamata penguasa melihatnya. Realitas juga tergambar pada kutipan: “Orang menulis di dinding kamar mandi pun mampu diendus lalu ditangkap, oleh sebuah lembaga yang telinga serta matanya bisa masuk ke semua instansi dan rumah tangga rakyat. Yang berhak melenyapkan rakyat „katanya‟ demi kepentingan „rakyat‟ yang lain.”(Didik Fotunadi, 2014:88). Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang politik yaitu suatu gambaran bagaimana sistem pemerintahan otoriter di jalankan. Mampu mengendus setiap langkah dan gerakan rakyat. Menggunakan kekuasaan sebagai senjata untuk mengekang kebebasan rakyat. Terdapat pula realitas lainnya seperti pada kutipan: “Bagaimana juga diceritakan penggususran petani di Rancamaya, Kacapiring, Cimacan, Badega, dan Kedung Ombo. Lalu ditunjukkan deretan sejarah panjang data-data kebiadaban rezim Orde Baru: peristiwa Tanjung Priok 1984 yang menelan nyawa ratusan rakyat, korban-korban operasi militerdi ujung wilayah negeri, kasus Dukuh Talangsari Lampung dengan puluhan korban tewas. Selain itu, tertulis banyak catatan angka-angka korupsi, isu kolusi, utang luar negeri yang membengkak, dan keserakahan putra-putri Soeharto.”(Didik Fotunadi, 2014:90). Realitas sosial tentang politis tersebut menjelaskan bahwa sederet peristiwa-peritiwa bersejarah tersebut merupakan tinta hitam dari cerita bangsa Indonesia. Pada kenyataannya, pemerintahlah yang justru merusak kestabilan nasional dan mengabaikan rakyatnya. Sistem politik dengan langkah yang salah yaitu mengedepankan kepentingan pribadi dan bukan untuk rakyat. Sehingga korupsi menjadi tameng mengakibatkan utang luar negeri yang membengkak. Realitas lainnya juga terdapat pada kutipan: “Salah satu konsep dasar yang dipegang teguh rezim Orde Baru yaitu trickle down effect, sebuah konsep dengan pendekatan memperbesar kue kemajuan dahulu, baru dibagi rata. Jalan pintas dengan cara utang luar negeri, kue memang cepat menjadi besar, namun ketika sudah menggunung seperti saat ini, hal yang tak mudah dilakukan bahkan mustahil adalah membagi kue tersebut sama rata kepada rakyat. Nyatanya yang terlanjur menikmati enaknya kue pembangunan, maunya mengangkani terus dan tak mau berbagi.”(Didik Fotunadi, 2014:106). Kutipan di atas menunjukkan realitas sosial tentang politik yang terjadi pada Indonesia. Realitasnya, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan, maka rezim Orde Baru melakukan pinjaman luar negeri. Namun, alih-alih terjadinya perubahan, keserakahan para penguasa justru kian menjalar. Nasib rakyat tidak lagi diutamakan hingga menimbulkan terjadinya korupsi di mana-mana. Demikianlah jawaban mengapa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tak kunjung dirasakan oleh rakyat kebanyakan sehingga jumlah rakyat miskin pun masih banyak di negeri ini. Realitas tentang politik juga terdapat pada kutipan: “Hai kawan, jangan lupa kita punya DPR lho,” celetuk teman lain yang aku belum tahu namanya. Alih-alih memikirkan nasib rakyat, para anggota dewan yang gila hormat, malah meminta kenaikan tunjangan 70-100%, tetap jalan-jalan ke luar negeri yang katanya studi banding, jelas sekalian membawa keluarga. Enak to, diongkosin pajak,”balas Ivan.(Didik Fotunadi, 2014:109). Kutipan tersebut menggambarkan saat Didik dan kawan lainnya melakukan diskusi malam. Saling menimpali pendapat yang tak sekedar mengucap, namun juga menampilkan data sehingga argumentasinya kuat. Mengungkapkan adanya realias sosial tentang politik yaitu negara Indonesia memiliki sistem politik dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat.DPR merupakan lembaga penganyom sekaligus penindak atas suara rakyat. Namun, realitas dilapangan justru bertolak belakang. Kedudukan anggota dewan justru disalah gunakan. Nasib rakyat tidak lag menjadi tujuan utama, para anggota justru meminta lebih kenaikan tunjangan dan melakukan jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Mereka lupa bahwa rakyatlah yang sesungguhnya mengongkosi anggota dewan melalui pajak. Jadi, semestinya para anggota dewan tersebut memaksimalkan kinerjanya untuk kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat.Bukan, kesejahteraan pribadi maupun orang-orang tertentu. Terdapat pula realitas politik lainnya seperti pada kutipan: “Kalau gue yang terpikir bukan itu Dik,” tukas Charly sambil jarinya menggaruk keningnya. “di mana-mana, pengusul, inisiator, atau pemimpin akan sering menjadi tumbal atau sengaja dikorbankan. Simple.”(Didik Fotunadi, 2014:133). Realitas sosial tentang politik mengungkap bahwa ibarat rezim berkuasa akan menekan birokrat kementerian pendidikan, kementerian akan menekan rektorat Jurusan. Demikian seterusnya kait-mengait dan saling „tekan‟ demi kepentingan yang paling atas.Strukturkomando dijalankan. Hal inilah yang juga terjadi saat mahasiwa melakukan usaha pembelaan rakyat. Memantau serta mengkritisi berjalannya Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 pemerintahan di anggap menganggu sehingga dijatuhkannya skorsing oleh pihak kampus menjadi trik jitu oleh oktrik.com dalam memasung kegiatan mahasiswa. Realitasnya, mahasiswa serta rakyatlah yang dijadikan korban atas kekejaman rezim Orde Baru. Hal ini menngungkapkan kenyataan, seperti pada kutipan: “Selama kaderisasi yang sistemik terwujud, jiwa kritis, keberanian, dan semangat juang akan terus mengalir dalam darah muda kawan-kawan. Oleh sebab itu, pemberangusan kaderisasi adalah pembunuhan karakter. Ini pemasungan peluang masa depan. Aku yakin, ada yang berkepentingan untuk mengebiri kaderisasi kemahasiswaan. Pelanggaran kaderisasi adalah bagian dari grand design kooptasi model baru rezim Soeharto.”(Didik Fotunadi, 2014:142). Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang politik yaitu kenyataan bahwa rezim Soeharto melakukan usaha pengebirian kemahasiswaan. Pengebirian tersebut berdasar atas dilakukannya kaderisasi dalam perguruan tinggi. Adapun usaha yang ditempuh dengan berbagai trik. Salah satunya dengan usaha memberangus kaderisasi. Sebab, melalui kaderisasi, jiwa kritis, keberanian, dan seemangat juang akan terus dilahirkan dan mengalir dalam darah mahasiswa. Semangat dalam memantau perkembangan atas nasib rakyat Indonesia.Berikut kutipan lainnya: “Lalu, apakah rezim paham benar bagaimana memutus tali gerakan mahasiswa?” pikiran liarku berkecamuk, berusaha memahami apayang terjadi. “Dengan cara menembak satu atau dua orang, rezim berharap lainnya akan jinak atau lari tunggang langgang, sebelum menjadi gerakan yang akan meledak besar menggoyahkan penguasa.”(Didik Fotunadi, 2014:203). Kutipan tersebut mengisahkan saat terjadinya peristiwa penangkapan Yeni Rosa Damayanti yang dijebloskan ke penjara karena aksi di DPR. Kejadian itu mau tak mau menjadi beban pikiran. Mungkin juga ketakutan di benak mahasiswa lainnya. Sebab, kejadian tersebut selang bebrapa minggu setelah momentum jatuhnya skorsing Yos dan Mei sehingga sadar maupun tidak disadari menaikkan level ketakutan baik aktivis kampus maupun non-kampus. Inilah cara penguasa dalam memutus tali gerakan kemahasiswaan. Menembak satu dua orang dengan harapan dapat menjinakkan sebelum melakukan gerakan yang lebih besar yang dapat menggoyahkan penguasa. Berikut kutipannya: “Makin tebal keyakinanku bahwa Rezim Soeharto telah mengerahkan segala cara untuk mengamankan kekuasaanya, termasuk menggunakan Rektorat untuuk membungkam mahasiswa. Intinya, gerakan mahasiswa tetap berfokus pada sikap anti-penguasa yang korup, bukan terhadap rektorat. Bahkan muncul beberapa analisis politik menyoroti soal ini sebagai gerakan mahasiswa pola baru.”(Didik Fotunadi, 2014:251). Realitas sosial tentang politik tersebut menggambarkan bahwa pemerintah berusaha membungkam gerakan kemahasiswaan. Menggunakan pihak Rektorat untuk sedikit demi sedikit mengebiri langkah-langkah mahasiswa. Trik tersebut tidak lain merupakan cara untuk mengamankan kekuasaan atas Rezim Soeharto. Namun, usaha tersebut tidak menghalau semangat gerakan mahasiswa. Terdapat pula realitas lainnya, seperti pada kutipan: “Belum selesai urusan jam malam, entah dari mana Satgas mendapat salinannya, muncul Surat Ketua Komisi IX DPR, Ismael Hassan, tertanggal 28 Februari 1994: Komisi IX, Mendikbud, dan Rektor ITB sepakat mengusahakan kemelut internal kampus segera diselesaikan. Kuncinya, mereka setuju agar masalah itu tidak lagi dimunculkan dalam media massa, baik cetak maupun elektronik.”(Didik Fotunadi, 2014:267). Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang politiku yaitu dikeluarkannya surat edaran keputusan atas mengusahakan masalah internal kampus yang akan segera diselesaikan. Namun, realitasnya kesepakatan itu dilakukan hanya agar masalah tersebut tidak lagi dimunculkan dalam media massa. Hal ini tentu juga merupakan usaha dalam menekan dan membungkam media dalam menyoroti masalah negeri. Sebab, disadari bahwa masalah terjadinya skorsing dalam lingkup kampus ternyata juga menjadi sorotan publik tentang kemelut masalah rezim Soeharto. Seperti pada kutipan: “Tangan-tangan rezim Soeharto diam-diam menyelusup ke dalam internal masyarakat kampus, mengendap-endap dan akhirnya menikam dari belakang dengan pisau pinjaman, dengan cara Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 lempar batu sembunyi tangan, menggurita melalui pengelola kampus.”(Didik Fotunadi, 2014:279). Kutipan di atas menunjukkan adanya keterlibatan rezim Soeharto dalam menggerakkan usaha membungkam gerakan mahasiswa. Realitasya, melalui kekuasaan berusaha menyelusup ke dalam urusan internal kampus. Menikam dari belakang dengan menyamar sebagai aturan kampus yang harus dipatuhi yaitu dengan memanfaatkan pihak pengelola kampus. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi juga menuliskan adanya realitas sosial tentang politik yaitu saat mahasiswa dan rakyat melakukan usaha perubahan sistem pemerintahan. Mereka berhasil memaksa Ketua MPR Harrmoko untuk meminta Soeharto mundur dari jabatannya. Halhal tersebut diwarnai dengan rentetan peristiwa pilu kematian kawan-kawan Tri Sakti, yang disusul kerusuhan terorganisir 13-15 Mei 1989.Seperti pada kutipan: “Jakarta makin genting. Belum ada yang tahu bagaimana situasi runyam ini berakhir.Gerakan mahasiswa makin kuat, dan pertentangan elite politik sangat kentara. Selain itu, muncul isu adanya gerakan-gerakan satuan tentara yang tidak terkoordinasi, sementara korban mahasiswa dan rakyat yang terus berjatuhan. Jakarta lumpuh. Setelah berhari-hari melakukan aksi yang diikuti puluhan bahkan ratusan ribu mahasiswa dan rakyat menuntut Soeharto turun di Bandung, tadi malam perselisihan keras dan debat tajam berbagai faksi aktivis di kampus terjadi. Beberapa kelompok memilih tetap di Bandung, menuntaskan gerakan mahasiswa dan rakyat yang bak tsunami tak terbendung itu.Memilih terus memimpin lapangan Gasibu dan menduduki Gedung Sate.”(Didik Fotunadi, 2014:418). Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa gerakan mahasiswa dan rakyat merupakan realitas atas terjadinya revolusi besar sepanjang sejarah Indonesia. Terjadinya KKN serta nasib rakyat yang kian melarat dan tertindas membuat semua bersatu demi kepentingan dan kebaikan bersama. Rasa takut tidak lagi diindahkan manakala kekejaman Rezim Soeharto kian merebak. Semakin membengkakkan utang luar negeri. Hal yang sama juga tergambar seperti pada kutipan: “Beberapa faksi lain meyakini hanya ke Jakartalah satu-satunya cara untuk menuntaskan perjuangan reformasi. Satu-satunya cara mengakhiri siklus empat tahunan bom gerakan mahasiswa yang telah meledak bertubi-tubi sejak langka dan mahalnya harga kebutuhan pokok di akhir tahun 1997. Lalu, hilangnya kawan-kawan mahasiswa Tri Sakti, dan sampai kerusuhan Jakarta beberapa hari lalu. Tidak ada cara lain selain terjun ke Jakarta untuk menumbangkan rezim Orde Baru ini. Bergabung dengan kawan-kawan mahasiswa Jakarta yang kabarnya mulai menduduki gedung wakil rakyat mulai malam ini.”(Didik Fotunadi, 2014:418). Realitas sosial tentang politik di atas menunjukkan bahwa bersatunya mahasiswa serta rakyat dalam memperjuangkan reformasi. Aksi tersebut dilakukan secara besar-besaran di Jakarta atas kesepakatan bersama bahwa hanya dengan ke Jakartalah maka reformasi sedapat mungkin terwujud. Kebobrokan negeri kian tergambar atas krisis ekonomi yang di awali pada akhir tahun 1997. Lalu, hilangnya mahasiswa-mahasiswa Tri Sakti sampai dengan terjadinya kerusuhan Jakarta. Realitas lainnya juga terungkap seperti pada kutipan: “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, padahari ini, Kamis 21 Mei 1998.” Kutipan tersebut menunjukkan realitas sosial tentang politik yaitu saat bertubi-tubi tiada henti dilakukannya gerakan masyarakat. Menuntut aksi penurunan Soeharto sebagai presiden Indonesia. Membuat Soeharto sangat sulit untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Momentumnya tepat pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya dengan konfirmasi melalui Televisi nasional secara langsung. Realitas sosial menunjukkan bahwa politik sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Politik mengatur sistem pemerintahan serta kelangsungan hidup masyarakatnya. Meski realitasnya sistem politik Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 yang dijalankan oleh pemerintah mengesampingkan kepentingan rakyatnya. Politik yang telah tercemar asas keadilannya. Faktanya, fungsi dan tujuan politik kembali dipertanyakan. Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), novel diajarkan pada kelas X, XI, XII. Pada kelas XI semester I, pertemuan ke-8, siswa menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel indonesia/terjemahan. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, dapat memberi pemahaman yang positif terhadap siswa. Novel ini mengisahkan tentang sosok Didik yang hidup dalam perkampungan di Gedog, kota Blitar. Sejak SMA pikirannya telah terusik oleh kehidupan masyarakat yang bekerja keras membanting tulang sebagai buruh tani. Merasa bahwa pemerintah semestinyalah yang sangat berperan akan keberlangsungan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Oleh karenanya, sejak awal mahasiswa ia telah menerjunkan diri di dunia kemahasiswaan. Hal inilah yang menjadi tonggak dasar terjadinya perubahan besar Orde Baru menjadi Reformasi. Dengan membaca hasil penelitian ini, siswa dapat menggali nilai-nilai budaya, sosial, moral, dan nilai-nilai kemanusian yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan dan kebijaksanaan hidup. Melalui analisis realitas sosial dapat memberikan pemahaman adanya kehidupan sosial serta interaksi dengan masyarakat. Selain itu, analisis realitas dalam penelitian dapat dihubungkan dengan pengalaman keseharian siswa, sehingga siswa dapat mengambil pelajaran positif dari hasil penelitian maupun novelnya. Dunia pernovelan menjadikan para remaja sebagai sasaran empuk, karena menilai kondisi psikologis mereka masih belum stabil, mudah dipengaruhi, terombang-ambing, dan masih mencari sosok yang dapat dijadikan panutan. Mereka sedang berkembang, senang meniru, dan kreatif dalam menilai sesuatu. Novel ini bercerita tentang sebuah perjuangan masyarakat dalam melakukan perubahan Indonesia yang lebih baik. Dengan demikian, novel ini dapat mempengaruhi pembentukan karakter siswa tentang kaderisasi dan perjuangan masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa pada masa Orde Baru. Lebih dari itu, siswa akan diperhadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar pada sosok pengarang di Indonesia. Haedar Alwasilah mengemukakan sejumlah alasan pentingnya pembelajaran novel di sekolah. Pertama, secara psikologis manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi. Sastra memberikan kesempatan yang tak terbatas untuk menghubungkan bahasa dan pengalaman siswa. Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan lewat sastra pembaca balajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seharusnya diwarisi secara turun-temurun lewat pendidikan. Keempat, melalui sastra siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang menkoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan kolektif. Dengan kata lain, siswa diterjunkan langsung ke dalam dunia nyata lewat rekayasa imajiner. Kelima, pembiasaan terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan, yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi. Sastra menawarkan ragam struktur cerita, tema, gaya penulisan dari para penulis. Penutup Simpulan Berdasarkan analisis terhadap objek kajian dengan mencermati realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menggunakan pendekatan sosiologi, dapat ditarik kesimpulan bahwa realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi dideskripsikan dengan lima aspek yaitu, realitas sosial tentang kemiskinan, realitas sosial tentang pendidikan, realitas sosial tentang kebudayaan, realitas sosial tentang hukum, dan realitas sosial tentang politik. Saran Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan dalam penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi pembaca Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam karya sastra tersebut, kemudian diaplikasikan dikehidupan sehari-hari. 2. Bagi guru Hendaknya guru memfasilitasi siswa dalam menganalisis novel, membantu siswa agar peka terhadap masalah sosial yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat, serta mengajarkan bagaimana dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya 3. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini adalah Realitas Sosial dalam Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Diharapkan agar peneliti berikutnya dapat menelaah dan mengalisis kembali novel tersebut dengan melihat masalah-masalah yang ada di dalamnya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sastra yang lain. Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fortunadi, Didik. 2014. Revolusi dari Secangkir Kopi. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Ras, J.J. 1985. Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT. Grafiti Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Riswan, Bade, dkk. 2010. Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi. Tasikmalaya: Siklus Pustaka. Santosa, Wijaya Heru, dan Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka. Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa. Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nur Cahaya Soerjono, Soekanto. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Waluya, Bagja. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta: PT. Pribumi Mekar. Wellek, Rene, dkk. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yogi, Adiputra. (https://yogieadiputra.wordpress.com). Rabu: 28/01/2015. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296