BAB 5 KESIMPULAN Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan terhadap Injil Yohanes 13: 1-35 melalui pendekatan hermeneutik berdasarkan perspektif sosio-politik ditemukan empat pokok teologis yang menjadi makna dari narasi pengkhiantan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes. Pokok teologis pertama mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus adalah Dia yang menggenapi Perjanjian Lama. Pokok teologis kedua mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pengakuan bahwa Yesus adalah Roh yang dikaruniakan melalui penyaliban politik. Pokok teologis ketiga mengatakan bahwa narasi pengkhinatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus mati sebagai martir pertama. Pokok teologis keempat mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus adalah anak manusia yang mewariskan pola hukum baru bagi Umat Allah yang baru. Pernyataan tersebut dipergunakan penginjil untuk menanggulangi konflik eksternal maupun internal yang terjadi pada komunitas Kristen pembaca Injil Yohanes. Pokok teologis pertama merupakan implikasi dari konteks sosio-politik Injil Yohanes yaitu pereduksian nilai kemesiasan Yesus yang dilakukan oleh agama negara serta agama-agama misteri khususnya Gnostikisme. Dalam agama negara Yesus yang oleh jemaat Yohanes diimani sebagai Tuhan dan Juruselamat di anggap sebagai sosok yang hina dan tidak pantas untuk disebut sebagai Tuhan, sedangkan yang pantas dianggap Tuhan adalah Kaisar serta dewa-dewi Romawi dalam hal ini adalah Domitianus, Trajanus, serta Artemis. Sedangkan dalam Gnostikisme, Yesus yang oleh jemaat Yohanes diimani sebagai manusia sejati dan Allah sejati, kedua sisi kemanusiaan dan keilahian Yesus Kristus dipisahkan menjadi Yesus adalah Allah yang tidak pernah menjadi manusia serta Yesus adalah manusia bukan Allah. Pokok teologis kedua merupakan implikasi dari konteks sosio-politik Injil Yohanes ketika eksistensi Yesus dipertanyakan oleh kekaisaran Romawi dan agama-agama misteri 93 khususnya Gnostikisme. Dalam lingkup kekaisaran Romawi timbul pertanyaan bahwa bagaimana mungkin Yesus yang mati disalibkan sebagai penjahat politik hadir di tengahtengah komunitas dan membimbing mereka dalam kehidupan didunia. Dalam lingkup Gnostikisme berkembang pemahaman bahwa Yesus mati diserahkan oleh Yudas, dalam hal ini Yudas merupakan sosok yang “berpengetahuan”, karena mampu menangkap kehendak Tuhan penguasa dunia. Yudas memiliki nilai yang lebih tinggi di banding Yesus. Pokok teologis ketiga merupakan implikasi dari konteks sosio-politik Injil Yohanes ketika mulai timbul teror, penganiayaan fisik, pembunuhan besar-besaran terhadap orang Kristen di Efesus karena iman kepercayaannya. Dalam konteks tersebut mereka harus mati sebagai martir. Di sini Yesus dinyatakan sebagai cerminan bagi orang-orang Kristen pembaca Injil Yohanes di Efesus yang oleh karena iman harus menerima pemartiran bahwa Yesus yang mereka imani sebagai Tuhan dan Juruselamat telah memprakarsai tindakan permartiran seperti yang diterima oleh komunitas Yohanes pada konteksnya. Pokok teologis keempat merupakan implikasi dari konteks sosio-politik Injil Yohanes ketika mulai timbul perpecahan dalam komunitas Yohanes akibat penganiayaan dan intervensi ideologi yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi, masyarakat Yunani-Romawi serta agama-agama misteri yang banyak berkembang di Efesus. Sehingga banyak orangorang percaya pembaca Injil Yohanes yang merasa tidak tahan menerima penganiayaan terus menerus dan ingin merasakan damai dalam kekaisaran Romawi serta banyak orang-orang percaya yang terpengaruh oleh intervensi ideologi yang dilakukan oleh agama-agama misteri sehingga mereka berbalik dari kekristenan kepada berbagai kultus keagamaan lain yang hidup di lingkungan Efesus. Beberapa pokok teologis yang menjadi makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35 tersebut mengajarkan kepada pembacanya untuk memahami ulang iman yang dimiliki oleh komunitas Kristen pembaca 94 Injil Yohanes yang hidup dalam penganiayaan berlapis dan kenyataan keberagaman sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan yang mengkonstruksi konteks Efesus yang menjadi tempat tinggal mereka. Pemahaman ulang atas iman mereka terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi identitas kekristenan di antaranya adalah pengakuan iman kepada Kristus, pernyataan kasih persaudaraan yang berlaku secara universal, makna dan tata cara sakramen sebagai pengikat dalam kehidupan komunal, serta tingkah laku sebagai Anak Allah. Upaya tersebut mengambil titik tolak pada Yesus dan komunitasnya, yang oleh jemaat Kristen pembaca Injil Yohanes ditempatkan sebagai fokus dari iman mereka. Upaya diatas bukanlah perwujudan politik untuk melakukan perlawanan secara langsung, namun sebuah usaha untuk menggantikan pola moral yang hidup dalam masyarakat dimana pola tersebut didasarkan atas perencanaan politik. Pola tersebut merupakan cerminan dari masyarakat yang telah menerima penebusan di mana ciri-cirinya tampak ideal bagi orang-orang yang berada di luar kekristenan. Ciri-ciri tersebut memancarkan suatu keadaan yang beraturan, bertatanilai dan berrasionalitas, dimana keadilan diwujudkan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter, yang kepadanya pula kasih dinyatakan secara universal melampaui batas-batas primordial demi kemanusiaan. Beberapa temuan dari hasil penelitian tersebut sekaligus membuktikan hipotesa penulis yang pada mulanya menganggap bahwa pada dasarnya makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35 tidak sederhana seperti yang selama ini menjadi kontroversi di kalangan para ahli Perjanjian Baru, di mana pendapat negatif pada intinya mengatakan bahwa narasi pengkhinatan Yudas Iskariot adalah penggambaran penginjil akan sosok yang jahat dan mewakili figur dari murid yang tidak setia. Sedangkan pendapat positif yang berusaha melawan stereotipe tersebut pada intinya mengatakan bahwa narasi pengkhinatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes adalah sebuah tanggapan penginjil terhadap konteksnya terutama berkaitan dengan 95 Yudaisme. Jika ditelisik berdasarkan situasi sosial-politik dari Injil Yohanes maka makna pengkhianatan Yudas Iskariot akan menjadi sangat jauh melampaui pemahaman yang kontroversial tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman bagi masyarakat Kristen di Indonesia yang hidup di negara dunia ketiga dan bertindak sebagai pembaca Injil Yohanes untuk berpikir lebih terbuka sehingga menimbulkan kesadaran bahwa teks Alkitab yang mereka baca termasuk narasi pengkhianatan Yudas dalam Injil Yohanes adalah sebuah warisan peradaban yang ditulis mewakili rentang sejarah kehidupan konteks sosial, politik, ekonomi, budaya, agama tertentu sehingga untuk memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang berbagai konteks tersebut, tempat dan rentang waktu penulisan teks, persoalan bahasa, tekstual, serta keunikan dari Injil Yohanes. Melalui keterbukaan pemikiran tersebut selanjutnya diharapkan dapat menimbulkan pengertian dalam lingkup masyarakat Kristen di Indonesia bahwa sebenarnya narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes memberikan sebuah pengajaran positif tentang nilai-nilai kekristenan yang dapat dipergunakan untuk menjaga identitas demi kelangsungan eksistensi kekristenan di Indonesia. Penulis menyadari bahwa studi ini perlu dikembangkan lebih lanjut karena Injil Yohanes 13: 1-35 yang didalamnya memuat narasi Yudas menyerahkan Yesus masih menyimpan banyak bagian menarik. Karena Injil Yohanes 13: 1-35 merupakan salah satu teks Injil yang memberikan keterbukaan informasi seputar kisah Yudas menyerahkan Yesus. Pertanyaan tentang apa makna pengkhianatan Yudas Iskariot menurut penuturan Injil Yohanes? nampaknya dapat menjadi sebuah pijakan baru dalam mengekplorasi perilah narasi Yudas Iskariot menyerahkan Yesus yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35 tersebut. 96