PRODUKSI DUA VARIETAS KEDELAI SECARA ORGANIK AKIBAT PEMBERIAN PUPUK DENGAN DOSIS YANG SAMA DENGAN DOSIS MUSIM TANAM I MERRY GLORIA MELIALA A24070162 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN MERRY GLORIA MELIALA. Produksi Dua Varietas Kedelai Secara Organik Akibat Pemberian Pupuk dengan Dosis yang Sama dengan Dosis Musim Tanam I. (Dibimbing oleh MAYA MELATI). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu pupuk organik terhadap kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro pada musim tanam II yang dibudidayakan secara organik. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Laboratorium Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Horikultura, serta Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB pada bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dua faktor, yaitu pupuk organik dan varietas. Pupuk oganik digunakan sebagai petak utama dan varietas sebagai anak petak. Petak utama terdiri atas tiga jenis perlakuan pupuk organik yaitu 20 ton pupuk kandang ayam/ha, 10 ton pupuk kandang ayam/ha dengan penambahan 3.5 ton Centrosema pubescens/ha dan 10 ton pupuk kandang ayam/ha dengan penambahan 3.5 ton Tithonia diversifolia/ha. Anak petak terdiri atas dua jenis varietas yaitu Anjasmoro dan Wilis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik hanya berpengaruh nyata terhadap kadar Fe biji sedangkan pada komponen pertumbuhan dan produksi lainnya, pupuk organik berpengaruh tidak nyata. Varietas berbeda nyata pada tinggi tanaman umur 2, 3, 5, 6, dan 7 MST, bobot basah dan kering tajuk dan daun 7 MST, jumlah polong isi, jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, bobot 100 biji, kadar Fe dan Zn biji, berbeda sangat nyata pada bobot kering akar 7 MST. Interaksi antara pupuk organik dan varietas hanya berpengaruh nyata terhadap kadar Fe biji. Potensi produksi kedelai dengan pemberian 20 ton pupuk kandang/ha, 10 ton pupuk kandang/ha ditambah 3.5 ton Centrosema pubescens/ha dan 10 ton pupuk kandang ayam/ha ditambah 3.5 ton Tithonia diversifolia/ha berturut-turut adalah 2.43 ton/ha, 2.43 ton/ha, dan 2.26 ton/ha. Potensi produksi kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro berturut-turut adalah 2.28 ton/ha dan 2.46 ton/ha. Produksi Dua Varietas Kedelai Secara Organik Akibat Pemberian Pupuk dengan Dosis yang Sama dengan Dosis Musim Tanam I Two Soybean Varieties Production with The Application Organic Manure with Same Dosage as in Planting Season I under Organic Farming System Merry Gloria Meliala1, Maya Melati2 1 2 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB Abstract This research was conducted to study the effect of organic manure residues on soybean. The experiment was conducted at IPB Research Station in Cikarawang , from October 2010 to February 2011. The experiment used Split Plot Design with three replications, the organic manure as the main plot and soybean varieties as the sub plot. The experiment used Anjasmoro and Wilis variety. The organic manure dosage were 20 ton chicken manure/ha, 3.5 ton Centrosema pubescen /ha and 10 ton chicken manure/ha, and 3.5 ton Tithonia diversifolia/ha and 10 ton chicken manure/ha. All treatmenst also added with 2 ton rice husk charcoal/ha, 2 ton dolomite/ha. The types of organic manure did not significantly affect soybean growth and production except Fe content of seed. Varieties were significantly different in height of plant ( 2, 3, 5, 6, and 7 WAP), fresh and dry weight of plant biomass, K content of leaf, N P K uptake of stem and leaf, number of filled pod, number of productive branch and node, 100 seed dry weight, Fe and Zn content of seed. Yield of plants with the treatment of chicken manure only, Centrosema pubescen, and Tithonia diversifolia was 2.59 ton/ha, 2.58 ton/ha, and 2.55 ton/ha repectively. Yield of Anjasmoro and Wilis was 2.50 ton/ha and 2.65 ton/ha, respectively. Key words: organic farming, residues, chicken manure, Centrosema pubescens, and Tithonia diversifolia PRODUKSI DUA VARIETAS KEDELAI SECARA ORGANIK AKIBAT PEMBERIAN PUPUK DENGAN DOSIS YANG SAMA DENGAN DOSIS MUSIM TANAM I Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor MERRY GLORIA MELIALA A24070162 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Judul : PRODUKSI DUA VARIETAS KEDELAI SECARA ORGANIK AKIBAT PEMBERIAN PUPUK DENGAN DOSIS YANG SAMA DENGAN DOSIS MUSIM TANAM I Nama : MERRY GLORIA MELIALA NIM : A24070162 Menyetujui Pembimbing Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc NIP. 19640128 199103 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP. 19611101 198703 1 003 Tanggal Disetujui : RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Desa Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 12 Oktober 1988. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Bakti Sembiring dan Ibu Helitha Br. Bangun. Tahun 2001 penulis lulus dari SD Negeri 101990 dan pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Bangun Purba. Kemudian pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Medan. Tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Danaraja Kecamatan Margasari Kabupaten Tegal juga menjadi peserta dan presenter kompetisi penulisan Paper pada The 53rd IAAS World Congress di Bogor. Tahun 2009 penulis menjadi asisten praktikum kimia Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Penulis juga aktif sebagai anggota Komisi Pelayanan Khusus, Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Institut Pertanian Bogor di bidang pelayanan responsi pada tahun 2008-2011. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus karena atas anugrah dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul ”Produksi Dua Varietas Kedelai Secara Organik Akibat Pemberian Pupuk dengan Dosis yang Sama dengan Dosis Musim Tanam I”. Penelitian ini sebagian besar didanai melalui program I-MHERE B.2.C IPB tahun 2009-2011 dengan judul ”Good Agricultural Practice (GAP) of Rice and Soybean Production under Organic Farming System” yang diterima Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc. Penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua yang sangat mendukung dalam doa, semangat, dan materi selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran, dan motivasi kepada penulis. 2. Dr. Ir. Haryadi, M.S. dan Ir. A. Pieter Lontoh, M.S. sebagai dosen penguji yang sudah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi. 3. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di AGH. 4. Adik penulis (Beny), Yanti, Manahan, Tim Organik (Lisa, Ezta, Ayu, Sidik, Pak Baso, Kak Risa, Bu Emma), dan teknisi kebun yang sudah membantu pelaksanaan penelitian. 5. Loretta, Sri Mei, Afryan, Tugu, dan seluruh rekan AGH 44 atas semangat dan teladan yang diberikan. 6. Seluruh staf pengajar dan staf kebun Departemen Agronomi dan Hortikultura 7. Pak Wasta, Pak Kohar, Bu Puri, dan seluruh petugas Perpustakaan 8. Adik-adik kelompok kecil, teman-teman Permata, Kopelkhu, Perwira 10, Asistensi Pafos, dan Kopral 44 atas kebersamaan dan sukacita yang diberikan. 9. Seluruh pihak yang sudah membantu penulis selama menjalani perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir. Tuhan memberkati. Bogor, September 2011 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. x PENDAHULUAN ........................................................................................ Latar Belakang .................................................................................. Tujuan............................................................................................... Hipotesis ........................................................................................... 1 1 3 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Botani dan Morfologi Kedelai ........................................................... Syarat Tumbuh Kedelai..................................................................... Pertanian Organik.............................................................................. Pupuk Organik .................................................................................. Pupuk Kandang Ayam....................................................................... Residu Bahan Organik....................................................................... 4 4 5 7 9 10 13 BAHAN DAN METODE ............................................................................. Tempat dan Waktu ............................................................................ Bahan dan Alat.................................................................................. Metode Percobaan............................................................................. Pelaksanaan....................................................................................... Persiapan Lahan ............................................................................... Pemeliharaan.................................................................................... Panen ............................................................................................... Pengamatan....................................................................................... 14 14 14 15 16 16 19 19 19 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Kondisi Umum.................................................................................. Hasil.................................................................................................. Pembahasan ...................................................................................... 22 22 35 45 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 52 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 53 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kombinasi Perlakuan pada Penelitian...................................................... 15 2. Peubah yang Diamati pada Penelitian...................................................... 20 3. Intensitas Serangan Hama dan Kejadian Penyakit ................................... 21 4. Kandungan Hara Pupuk Organik............................................................. 25 5. Sumbangan Hara Tiga Jenis Pupuk Organik............................................ 26 6. Perbandingan Hara MT I dan MT II ........................................................ 29 7. Estimasi Ketersediaan dan Serapan Hara................................................. 33 8. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk Organik dan Varietas ....... 35 9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik ........................................................................................ 36 10. Komponen Pertumbuhan Dua Varietas Kedelai....................................... 39 11. Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik ........................................................................................ 39 12. Komponen Produksi Dua Varietas Kedelai.............................................. 40 13. Interaksi Perlakuan Jenis Pupuk Organik dan Varietas ............................ 42 14. Korelasi antar Peubah terhadap Beberapa Komponen Produksi Kedelai..................................................................................... 42 15. Perbandingan Potensi Produksi pada Musim Tanam I dan Musim Tanam II pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan Dua Varietas ........ 44 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Centrosema pubescens ............................................................................ 17 2. Tithonia diversifolia................................................................................ 17 3. Tagetes erecta......................................................................................... 18 4. Serai........................................................................................................ 18 5. Mulsa Jerami........................................................................................... 19 6. Serai setelah Dipangkas .......................................................................... 19 7. Kondisi Cuaca pada MT I dan MT II....................................................... 22 8. Ulat Bulu ................................................................................................ 30 9. Spodoptera litura ................................................................................... 30 10. Oxya sp. ................................................................................................ 31 11. Nympahea sp.......................................................................................... 31 12. Riptortus linearis Fabricius .................................................................... 31 13. Anoplocnemis phasiana.......................................................................... 31 14. Karat pada Daun Kedelai ....................................................................... 32 15. Mosaik pada Daun Kedelai .................................................................... 32 16. Kedelai Terserang Mosaik Kuning ......................................................... 32 17. Penyakit Sapu Setan............................................................................... 32 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Penataan Petak Percobaan ......................................................................... 59 2. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah..................................................... 60 3. Deskripsi Varietas..................................................................................... 61 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai mengandung protein yang cukup tinggi. Kandungan protein kedelai sekitar 35-45% dari total bobotnya. Kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai 2.2 juta ton (Suswono, 2010) dan baru terpenuhi sebanyak 40% (Siregar, 2010). Produksi kedelai pada tahun 2010 hanya sekitar 908 111 ton dengan produktivitas 1.372 ton/ha (BPS, 2011). Produksi kedelai yang tidak mencukupi kebutuhan menyebabkan impor dilakukan. Faktor internal yang dapat meningkatkan volume impor adalah penurunan areal tanam yang mengakibatkan penurunan produksi, rendahnya efisiensi usaha tani kedelai sehingga daya saing rendah, serta peningkatan konsumsi kedelai yang sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri olahan kedelai (Sudaryanto dan Swatika, 2007). Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan meningkatkan produktivitas kedelai. Kedelai pada umumnya dibudidayakan secara konvensional dengan penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Pemberian pupuk dapat memenuhi kebutuhan hara kedelai sehingga produktivitas diharapkan meningkat dan pemberian pestisida dapat menekan serangan organisme pengganggu tanaman. Namun sistem budidaya dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetis mempunyai kelemahan. Pupuk kimia sintetis yang digunakan terus menerus dan dalam dosis tinggi dapat meningkatkan kemasaman tanah, mencemari tanah dan membuat tanah lebih keras. Tanah yang masam tidak baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan mempengaruhi produktivitas tanaman. Penggunaan pestisida kimia sintetis secara terus menerus juga dapat menyebabkan resistensi, resurjensi dan dan ledakan hama sekunder sehingga pada pemberian pestisida berikutnya tidak berpengaruh terhadap hama dan patogen tersebut. Oleh karena itu budidaya kedelai secara organik dapat dilakukan sebagai salah satu pilihan budidaya. 2 Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan (Balittanah, 2004). Salah satu ciri pertanian organik adalah penggunaan pupuk organik. Pupuk organik mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi. Keuntungan penggunaan pupuk organik adalah memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Sutanto, 2002). Pupuk organik mengandung bahan organik yang merupakan sumber energi organisme tanah sehingga meningkatkan aktivitas organisme tanah yang bermanfaat dalam penyediaan hara tanaman (Setyarini, 2005). Pupuk organik dapat diperoleh dari bagian tanaman, kotoran ternak maupun sampah yang dikomposkan. Contoh pupuk organik yang dapat digunakan adalah pupuk kandang ayam, pupuk hijau Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Pupuk kandang ayam dan Centrosema pubescens dapat digunakan untuk produksi kedelai sayur (Barus, 2005; Sinaga, 2005; Kurniasih, 2006; Melati et al., 2008). Percobaan tersebut untuk produksi kedelai panen muda, belum dicobakan untuk kedelai panen kering. Oleh karena itu perlu dipelajari juga apakah pupuk organik ini dapat digunakan untuk kedelai panen kering. Salah satu sumberdaya lokal yang melimpah jumlahnya di Indonesia adalah Tithonia diversifolia yang merupakan tumbuhan liar yang belum termanfaatkan dengan baik. Belum banyak masyarakat yang memanfaatkan gulma ini. Beberapa penelitian tentang penggunaan Tithonia diversifolia sebagai sumber hara telah dilakukan pada budidaya jagung, melon, jahe, dan sawi (Sabrina et al., 2010; Hartatik, W., 2007; Widiwurjani dan Suhardjono, 2006). Tithonia diversifolia juga telah dicobakan pada penelitian kedelai organik panen kering. Selain dapat mendukung pertumbuhan tanaman kedelai, penambahan Tithonia diversifolia juga dapat mengurangi serangan organisme pengganggu tanaman (Kurniansyah, 2010). Salah satu kelemahan pupuk organik adalah ketersediaannya unsur hara yang lambat. Hara yang terdapat dalam pupuk organik masih berbentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman sehingga harus diubah oleh mikrobia tanah menjadi senyawa organik dan anorganik sederhana 3 yang dapat diserap tanaman (Sutanto, 2002). Ketersediaan hara yang lambat menunjukkan tidak seluruh hara yang terkandung dalam pupuk organik dapat diserap oleh tanaman. Setelah satu musim tanam selesai masih terdapat residu pupuk di dalam tanah yang diduga masih dapat digunakan oleh tanaman pada musim tanam berikutnya. Kedelai dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan ukuran bijinya, yaitu kedelai berbiji besar, berbiji sedang, dan berbiji kecil. Kedelai varietas Wilis merupakan salah satu kedelai berbiji sedang dan Anjasmoro merupakan salah satu kedelai berbiji besar. Anjasmoro dapat mewakili kedelai berbiji besar dan Wilis mewakili kedelai berbiji sedang. Penggunaan dua varietas ini untuk mempelajari respon dua jenis kedelai terhadap pemupukan organik. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian tentang penggunaan pupuk organik untuk kedelai panen kering dan pada musim tanam II digunakan pupuk dengan dosis 100% dari musim tanam I sedangkan dengan dosis 50% dari musim tanam I dilaksanakan oleh Tatied Elysa Herwanti. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh residu pupuk organik terhadap kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro pada musim tanam II yang dibudidayakan secara organik. Hipotesis 1. Terdapat jenis pupuk organik dengan dosis yang sama dengan dosis musim tanam I yang memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi kedelai. 2. Terdapat varietas kedelai yang memberikan respon terbaik terhadap pemberian pupuk organik. 3. Terdapat interaksi jenis pupuk dan varietas yang menyebabkan produksi kedelai terbaik. TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kedelai Kedelai bukan tanaman asli Indonesia, diduga berasal dari daratan pusat dan utara Cina. Kedelai termasuk family leguminosae, subfamili Papilionoideae dengan nama ilmiah Glycine max. Kedelai di Indonesia merupakan tanaman semusim, tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang, memiliki daun tunggal dan daun bertiga, bulu pada daun dan polong tidak terlalu padat dan umur tanaman antara 72-90 hari. Bentuk biji kedelai beragam dari lonjong hingga bulat dan sebagian besar kedelai yang ada di Indonesia berkriteria lonjong. Kedelai di Indonesia dikelompokkan berukuran besar (berat > 14 g/100 biji), sedang (berat 10-14 g/100 biji) dan kecil (<10 g/100 biji). Warna kulit biji kedelai bervariasi dari kuning, hijau, coklat, hitam, dan kombinasi berbagai warna atau campuran. Kotiledon pada embrio yang sudah tua dapat berwarna hijau, kuning, atau kuning tua namun umumnya berwarna kuning. Warna biji pada kedelai merupakan kombinasi antara pigmen yang terdapat pada kulit biji dan kotiledon (Adie dan Krisnawati, 2004). Akar merupakan bagian yang biasanya berada di bawah permukaan tanah (Harjadi, 1979). Sistem perakaran pada kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar, sejumlah akar sekunder, cabang akar sekunder, dan cabang akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Bintil akar pertama terlihat 10 hari setelah tanam. Bintil akar mampu menambat nitrogen dan bermanfaat bagi tanaman. Pembesaran bintil akar berhenti pada minggu keempat setelah terjadinya infeksi bakteri. Pada minggu keenam hingga ketujuh bintil akar telah lapuk (Adie dan Krisnawati, 2004). Batang tanaman kedelai berasal dari poros embrio yang terdapat pada biji. Pola percabangan batang kedelai dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan, seperti panjang hari, jarak tanam, dan kesuburan tanah (Adie dan Krisnawati, 2004). Daun timbul dari bagian batang yang membesar yang disebut buku (Harjadi, 1979). Daun kedelai terbagi empat tipe: kotiledon atau daun biji, dua helai daun primer sederhana, daun bertiga, dan profilia. Bentuk daun kedelai 5 adalah lancip, bulat, dan lonjong serta perpaduan bentuk daun. Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Periode berbunga dipengaruhi oleh waktu tanam, berlangsung 3-5 minggu. Tidak semua bunga kedelai berhasil membentuk polong, dengan tingkat keguguran 20-80%. Proses kemasakan kedelai dikendalikan oleh fotoperiodisitas (panjang hari) dan suhu. Kedelai diklasifikasikan sebagai tanaman hari pendek. Suhu hangat mempercepat pembungaan dan pemasakan kedelai. Jumlah bunga dari 20 varietas kedelai di Indonesia berkisar dari 47-75 buah (rata-rata 57 bunga) dan kisaran jumlah polong isi dari 33-64 buah (rata-rata 48 polong isi). Semakin kecil ukuran biji maka jumlah plong per tanaman akan semakin banyak. Periode pengisian biji merupakan fase paling kritis dalam pencapaian hasil optimal. Terjadinya kekurangan atau kelebihan air, serangan hama atau penyakit, dan sebagainya akan berpengaruh buruk pada pengisian biji (Adie dan Krisnawati, 2004). Syarat Tumbuh Kedelai Kedelai dapat tumbuh pada 0-50o LU sampai 0-45 o LS. Komponen utama agroklimat yang menentukan keberhasilan produksi kedelai adalah tanah yang subur, solum tanah yang dalam (> 40 cm), struktur tanah gembur, tekstur lempung berdebu, dan kelembaban cukup. Suhu dan panjang hari yang cukup juga cukup menentukan namun keragaman genetik kedelai cukup luas untuk penyesuaiam dan adaptasi terhadap dua komponen agroklimat tersebut. Kedelai termasuk tanaman hari pendek (cepat berbunga apabila panjang hari ≤ 12 jam, tidak mampu berbunga jika panjang hari > 16 jam). Kedelai di indonesia berbunga pada umur 25-40 hari saat mencapai tinggi 40-50 cm. Di wilayah tropis yang mempunyai panjang hari 14-16 jam, berbunga pada umur 5070 hari saat tinggi mencapai 70-80 cm, dan telah membentuk banyak cabang. Umur matang kedelai Indonesia sangat genjah yaitu 75-95 hari sedangkan pada daerah subtropis 150-160 hari. Lamanya periode gelap menentukan dan mengatur faktor induksi pembungaan (disebut florigen) yang disintesis pada daun dan ditranslokasikan ke organ bakal bunga melalui floem. Tanaman kedelai yang tidak melalui periode 6 gelap akan tumbuh secara vegetatif terus menerus dan tidak mampu membentuk bunga. Secara umum persyaratan panjang hari kedelai 11-16 jam dengan panjang hari optimal untuk mencapai produktivitas tinggi 15-16 jam. Kedelai termasuk tanaman yang memerlukan penyinaran penuh, tidak memerlukan naungan. Adanya naungan yang menahan sinar matahari hingga 20% pada umumnya masih dapat ditoleransi oleh tanaman tetapi bila lebih dari 20% tanaman mengalami etiolasi. Interaksi suhu, intensitas radiasi matahari dan kelembaban tanah sangat menentukan laju pertumbuhan tanaman kedelai. Suhu tinggi berasosiasi dengan transpirasi yang tinggi, defisit tegangan uap air yang tinggi, dan cekaman kekeringan pada tanaman. Suhu di dalam tanah dan suhu atmosfer berpengaruh terhadap pertumbuhan Rhyzobium, akar, dan tanaman kedelai. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 2227oC. Kelembaban udara tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan kedelai tetapi secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit tertentu. Kelembaban udara terutama berpengaruh terhadap proses pematangan biji dan kualitas benih. Curah hujan yang tinggi selama proses pengeringan polong menurunkan kualitas biji dan mutu benih karena polong dan biji menyerap kelembaban dari luar. Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara RH 75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan RH 60-75% pada waktu pematangan polong hingga panen. Curah hujan yang merata 100-150 mm per bulan pada dua bulan sejak tanam merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai. Secara umum kebutuhan air dengan umur panen 100-190 hari berkisar antara 450-405 mm setara dengan curah hujan 120-135 mm per bulan. Tekstur dan struktur tanah menentukan kemudahan akar berkembang, kemampuan daya serap dan permeabilitas terhadap air permukaan, drainase dan aerasi tanah, kemampuan menyimpan kelembaban tanah, mudah sukarnya penanaman benih dan pemeliharaan tanaman, perkembangan Rhyzobium, dan kepekaan terhadap genangan air. Tekstur dan struktur tanah secara langsung menentukan kesuburan tanaman kedelai. 7 Tanah yang ideal untuk usahatani kedelai adalah yang bertekstur liat berpasir, liat berdebu-berpasir, debu berpasir, drainase sedang-baik, mampu manahan kelembaban tanah, dan tidak mudah tergenang. Kandungan bahan organik tanah sedang-tinggi (3-4%) sangat mendukung pertumbuhan tanaman apabila hara tanahnya cukup. Kandungan bahan organik yang cukup terutama berguna untuk mendukung perkembangan Rhyzobium, perbaikan drainase tanah, peningkatan kapasitas menyimpan kelembaban tanah, dan mempermudah pertumbuhan akar tanaman. Akar kedelai lebih mudah berkembang pada tanah gembur yang mengandung liat dengan struktur tidak terlalu ringan. Kelembaban tanah yang tinggi berkisar antara 80-100% kapasitas lapang diperlukan pada saat benih ditanam hingga berkecambah dan tanaman berdaun tunggal muncul (1-12 hari setelah berkecambah) lalu 75-85% untuk pertumbuhan selanjutnya. Kedelai dapat tumbuh baik pada pH 5.5 – 7.0 dan pH optimum 6.0 – 6.5. Hara makro dan mikro tersedia bagi tanaman kedelai Pada kisaran pH tersebut. Hara fosfat (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), dan sulfur (S) tidak tersedia bagi tanaman kedelai pada tanah yang bereaksi masam (pH kurang dari 5.5). Unsur hara mikro terutama Fe, Zn, Mn, dan P menjadi tidak mudah tersedia bagi tanaman pada tanah yang bereaksi basa (Sumarno dan Mashuri, 2007). Pertanian Organik Menurut IFOAM, pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, dan perlindungan. Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan, tidak saja sekedar bebas dari penyakit tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Pertanian 8 organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Pertanian organik didasarkan pada pengunaan masukan eksternal yang minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis (SNI, 2002). Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penggunaan praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat, dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi lokal. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan cara-cara kultural, biologis dan mekanis, yang merupakan kebalikan dari penggunaan bahan-bahan sintetis, untuk memenuhi fungsi spesifik dalam sistem. Suatu sistem produksi pangan organik dirancang untuk : o mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan o meningkatkan aktivitas biologis tanah o menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang o mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui o mengandalkan sumberdaya yang dapat diperbaharui pada sistem pertanian yang dikelola secara lokal o mempromosikan penggunaan tanah, air dan udara secara sehat, serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktek-praktek pertanian o menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan dan bisa diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada melalui suatu periode konversi, dimana lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan diproduksi 9 Pupuk Organik Menurut Setyorini (2005) pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman dan hewan seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos baik yang berbentuk cair maupun padat. Pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur, limbah pasar, limbah rumah tangga dan limbah pabrik, serta pupuk hijau. Menurut Simanungkalit (2006) kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak Contoh pupuk hijau adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang digunakan dalam pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas. Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama selain itu juga berperan terhadap perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan menjadi humus atau bahan organik tanah. Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Bahan/pupuk organik dapat berperan sebagai pengikat butir primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Pupuk/bahan organik memiliki fungsi kimia yang penting dalam hal penyediaan hara makro dan mikro walaupun dalam jumlah yang sedikit. Penggunaan bahan organik dapat mencegah kahat unsur hara mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang, 10 meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman Al, Fe, dan Mn. Pupuk Kandang Ayam Pupuk kandang ayam meningkatkan pH tanah. Hal ini karena pupuk kandang ayam dapat meningkatkan bahan organik tanah yang menghasilkan asam-asam humat dan fulvat yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan Al3+ di dalam tanah. Hal ini menyebabkan Al di dalam tanah menjadi berkurang sehingga pH meningkat. Pupuk kandang ayam juga menyebabkan peningkatan N total tanah (Syahputra, 2007). N merupakan unsur pembatas yang sangat penting bagi pertumbuhan banyak tanaman. Pada lahan kering Ultisol di Jambi, pemberian pupuk kandang ayam 20t/ha meningkatkan permeabilitas, air tersedia, dan kadar C-organik (Kuntyastuti dan Taufiq, 2008). Pemberian pupuk kandang pada takaran fosfat alam yang rendah menghasilkan tinggi tanaman jagung yang semakin tinggi. Selain itu pemberian pupuk kandang nyata meningkatkan serapan P. Peningkatan kadar P tanah akan merangsang pertumbuhan akar yang lebih banyak sehingga serapan hara oleh tanaman juga akan semakin membaik (Purnomo et al., 2002). Pupuk kandang ayam sebanyak 10 ton/ha dapat meningkatkan efektivitas pemberian Rhizoplus pada tanaman kedelai di tanah Regosol. Penggunaan pupuk kandang ayam dengan cara dilarik dan dibenam dapat meningkatkan bobot tanaman kedelai, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji (Suryantini dam Rahmianna, 2001). Pupuk kandang ayam berpengaruh positif terhadap karakter vegetatif dan generatif tanaman pada sistem budidaya kedelai secara organik. Perlakuan pupuk kandang pada penelitian Asiah (2006) menghasilkan bobot kering bintil akar tertinggi, kombinasi dengan kompos dan pupuk hijau meningkatkan N-total sebesar 44.44%, dan kombinasi dengan kompos menghasilkan tinggi tanaman 7 MST tertinggi. Biji kedelai terbesar dihasilkan oleh kombinasi pupuk kandang dengan abu sekam padi dan pupuk hijau. 11 Pupuk Hijau Centrosema pubescens berasal dari Amerika Tengah dan Selatan dan termasuk jenis legum. Legum ini diintroduksi ke kawasan Asia Tenggara dari kawasan tropis Amerika sekitar abad ke 19. Centrosema pubescens diperbanyak dengan menggunakan biji. Legum ini dapat melindungi tanah dari aliran permukaan dan banyak memproduksi biomassa dan sumber pupuk organik untuk memperkuat agregat tanah dan menyimpan ketersediaan air (Prosea, 2010). Legum ini tumbuh pada daerah tropis lembab dengan ketinggian 600-900 m dpl dengan curah hujan 1500 mm/tahun atau lebih. Centrosema pubescens masih dapat tumbuh pada tanah yang tergenang air dan akan bertahan di musim kering yang berlangsung 3-4 bulan tetapi tidak dapat bertahan pada masa kekeringan yang lebih panjang. Legum ini merupakan salah satu tanaman yang tahan naungan dan dapat tumbuh di bawah naungan sebesar 80% (Prosea, 2010). Pupuk kandang ayam dan Centrosema pubescens dapat digunakan untuk produksi kedelai sayur (Sinaga, 2005; Kurniasih, 2006; Melati et al., 2008). Pupuk hijau dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah dan bobot bintil akar, bobot kering akar dan tajuk, bobot basah dan bobot kering tajuk dibandingkan budidaya konvensional serta menurunkan jumlah polong hampa pada kedelai panen muda (Kurniasih, 2006). Tithonia diversifolia merupakan gulma yang banyak tumbuh di daerah tropis, kaya akan unsur hara, mudah diperbanyak. Tithonia diversifolia dapat diperbanyak secara vegetatif dan juga generatif. Secara vegetatif dapat tumbuh dari akar dan stek batang atau tunasnya, dan dapat tumbuh cepat setelah dipangkas. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada ketinggian dua meter hingga lebih 1.000 meter dari permukaan laut (Jufri, 2010). Daun Tithonia diversifolia mengandung unsur hara yang cukup tinggi yaitu 3,5-4,0% N; 0,35-0,38% P; 3,5-4,1% K; 0,59%Ca dan 0,27% Mg sehingga dapat digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman (Hartatik, 2007). Kandungan unsur N, P, dan K pada Tithonia diversifolia lebih tinggi dibandingkan sumber hara lain seperti Centrosema pubescens dan Panicum maximum. Perbandingan C/N Tithonia diversifolia cukup rendah dibandingkan Centrosema pubescens dan Panicum maximum. Perbandingan ini dapat 12 mengindikasikan bahwa dekomposisi Tithonia diversifolia berlangsung lebih cepat (Olabode et al., 2007). Tithonia diversifolia dapat meningkatkan bobot tanaman sawi dibandingkan dengan pemberian pupuk NPK karena membuat daun sawi lebih tebal (Widiwurjani dan Suhardjono, 2006). Kompos Tithonia diversifolia digunakan sebagai pupuk organik pada tanaman jagung (Sabrina et al., 2010). Tithonia dapat tumbuh cepat dengan hasil biomass kering sekitar antara 2-5 ton/ha/tahun. Tanaman jagung yang dipupuk dengan tithonia setara 60 kg N/ha menghasilkan pipilan kering 4 ton/ha sedangkan yang dipupuk dengan urea 60 kg N/ha hanya 3,7 ton/ha (Jufri, 2010). Tithonia diversifolia juga telah digunakan pada tanaman melon. Bobot buah serta serapan N dan K tanaman semakin meningkat dengan meningkatnya dosis Tithonia diversifolia. Pada tanaman jahe pemberian Tithonia diversifolia mampu memperbaiki sifat kimia tanah dan mensubstitusi N dan K pupuk buatan sekitar 20-100%. Pemberian 68% NK- Tithonia diversifolia dan 32% NK-pupuk buatan merupakan kombinasi terbaik untuk meningkatkan hasil rimpang jahe pada tanah ultisol (Hartatik, 2007). Pemberian Tithonia diversifolia mampu meningkatkan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan pemberian pupuk kandang dan Centrosema pubescens. Produktivitas kedelai yang diberi pupuk organik Tithonia diversifolia yaitu 1.48 ton/ha lebih tinggi dibandingkan produktivitas kedelai yang diberi pupuk organik Centrosema pubescens dan pupuk kandang ayam yang masing-masing produktivitasnya adalah sebesar 1.33 dan 1.16 ton/ha (Kurniansyah, 2010). Tithonia diversifolia memiliki efek alelopati. Taginin A, taginin C, dan hispidulin yang diisolasi dari Tithonia diversifolia menghambat perkecambahan lobak, mentimun, dan bawang merah (Baruah, et al., 1994). Pertumbuhan tunas dan akar lobak, padi, dan sorgum juga terhambat pada tanah yang sebelumnya ditanami Tithonia diversifolia dan tanah yang diberi perlakuan air ekstrak Tithonia diversifolia (Tongma, et al., 1998). Tithonia diversifolia dapat menghambat atau merangsang perkecambahan dan akumulasi klorofil tanaman sehingga harus digunakan dengan hati-hati (Otusanya, et al., 2008). 13 Residu Bahan Organik Ketersediaan hara dari pupuk organik umumnya lebih lambat dibandingkan pupuk buatan sehingga terdapat kemungkinan bahwa unsur hara dari pupuk organik yang diberikan belum diserap oleh tanaman secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan oleh pertanaman berikutnya. Pemberian pupuk hijau dan pupuk kompos membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dekomposisi dibandingkan pupuk kandang, maka hara belum banyak diserap oleh tanaman pada pertanaman pertama dan diduga hara telah tersedia pada pertanaman kedua sehingga jumlah dan bobot polong isi lebih tinggi. Residu pupuk organik menyebabkan tinggi kedelai varietas Wilis mampu melampaui tinggi tanaman menurut deskripsi dan menurunkan bobot kering akar pada 7 MST. Penurunan bobot kering terjadi karena adanya residu pupuk organik menyebabkan terjadinya peningkatan ketersediaan hara dalam tanah sehingga tidak diperlukan perakaran yang intensif untuk menyerap hara dari tanah (Melati et al., 2008). Residu pupuk organik dapat meningkatkan pH tanah karena bahan organik menghasilkan asam-aam humat dan fulvat yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan Al3+ di dalam larutan tanah yang menyebabkan Al dalam tanah menjadi berkurang dan pH meningkat. Kondisi seperti ini mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal. Residu pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman dan meningkatkan produksi sawi (Syahputra, 2007). Perlakuan residu kombinasi pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan hama dan kejadian penyakit pada 7, 8, 9, dan 10 MST. Residu abu sekam memberikan pengaruh sangat nyata dan mampu menurunkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit karena adanya unsur silikat yang diduga dapat meningkatkan ketahanan tanaman melalui pengerasan jaringan (Rianawati, 2007). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Penimbangan dan pengeringan dilakukan di Laboratorium Produksi Tanaman Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis tanah dan hara dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah benih kedelai varietas Anjasmoro (dosis 41.675 kg/ha) dan Wilis (dosis 27.5 kg/ha), dengan populasi sebanyak 250 000 tanaman/ha. Benih kedelai yang digunakan berasal dari hasil panen musim tanam I. Kedelai varietas Anjasmoro merupakan kedelai berbiji besar sehingga memiliki bobot 100 butir yang lebih besar dibandingkan kedelai varietas Wilis yang merupakan kedelai berbiji sedang. Oleh karena itu kebutuhan benih kedelai varietas Anjasmoro lebih banyak dibandingkan Wilis. Inokulan (dosis 6.25 g/kg benih) digunakan untuk menginokulasi benih kedelai sebelum tanam. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang ayam, Centrocema pubescens dan Tithonia diversifolia. Dosis pupuk yang digunakan adalah 20 ton pupuk kandang ayam/ha), 3.5 ton Centrocema pubescens/ha dan 3.5 ton Tithonia diversifolia/ha). Semua bagian tajuk dan akar Centrocema pubescens digunakan sebagai pupuk hijau sedangkan pada Tithonia diversifolia hanya digunakan bagian pucuk sekitar 15 cm dari ujung pucuk. Dosis ini didapat dari hasil penelitian Kurniansyah (2010). Benih Centrosema pubescens yang ditanam sebanyak 25 kg/ha diharapkan menghasilkan 10 ton bahan segar namun bahan segar yang dipanen hanya sebesar 3.50 ton bobot basah/ha. Hasil tersebut menjadi dasar penentuan dosis pupuk hijau yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 15 3.50 ton Centrosema pubescens /ha dan 3.50 ton Tithonia diversifolia/ha (100% dari musim tanam 1). Dolomit dan arang sekam diaplikasikan dengan dosis masing-masing 2 ton/ha. Dolomit berfungsi menetralkan kemasaman tanah sehingga dapat membantu tanaman mencapai pertumbuhan optimum dan mempercepat dekomposisi pupuk organik. Arang sekam berfungsi sebagai sumber unsur K. Pupuk kandang ayam (dosis 10 ton/ha) pada petak tanam pupuk hijau diberikan. Tagetes dan sereh digunakan sebagai tanaman pengendali organisme pengganggu tanaman. Pestisida hayati yang digunakan terbuat dari rendaman daun serai dan Tithonia diversifolia. Jerami padi digunakan sebagai mulsa untuk menghindari serangan lalat bibit karena tidak dilakukan perlakuan benih secara kimia. Metode Percobaan Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dua faktor, yaitu pupuk organik dan varietas. Pupuk organik digunakan sebagai petak utama dan varietas sebagai anak petak. Petak utama terdiri dari tiga jenis perlakuan pupuk organik yaitu 20 ton/ha pupuk kandang ayam, 10 ton/ha pupuk kandang ayam dengan penambahan 3.5 ton/ha Centrosema pubescens dan 10 ton/ha pupuk kandang ayam dengan penambahan 3.5 ton/ha Tithonia diversifolia. Anak petak terdiri dari dua jenis varietas yaitu Anjasmoro dan Wilis. Selanjutnya perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam/ha dengan penambahan Centrosema pubescens hanya disebut sebagai perlakuan Centrosema pubescens dan perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam/ha dengan penambahan Tithonia diversifolia hanya disebut perlakuan Tithonia diversifolia. Kombinasi perlakuan yang diberikan pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kombinasi Perlakuan pada Penelitian Pupuk Organik Pupuk kandang ayam (P) Varietas Anjasmoro (A) Wilis (W) PA PW Pupuk Centrocema pubescens (C) CA CW Pupuk Tithonia diversifolia (T) TA TW 16 Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 18 satuan petak percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + δij + τk + (βδ) jk + εijk Yijk : respon pengamatan akibat ulangan ke-i, pupuk ke-j dan varietas ke-k µ : rataan umum αi : pengaruh ulangan ke-i (i = 1, 2, 3) βj : pengaruh pupuk ke-j (i = 1, 2, 3) δij : galat pada ulangan ke-i dan pupuk ke-j τk : pengaruh perlakuan varietas ke-k (k=1, 2) (βδ) jk : interaksi antara pupuk dan varietas, pada pupuk ke-j dan varietas ke-k εijk : galat pada ulangan ke-i, pupuk ke-j dan varietas ke-k Untuk mengetahui pengaruh dari seluruh perlakuan, digunakan uji F pada taraf 1 % atau 5 %. Apabila terdapat pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati maka nilai setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Uji DMRT digunakan untuk membandingkan rataan yang lebih dari dua. Pelaksanaan Persiapan Lahan Pengolahan tanah dilakukan empat minggu sebelum penanaman kedelai. Tanah digemburkan dan diratakan dengan menggunakan cangkul. Gulma yang terdapat di lahan dikendalikan secara manual pada saat menggemburkan tanah dan dibenamkan ke dalam tanah. Setiap ulangan terdiri dari 3 petak utama setiap petak utama terdiri dari 2 anak petak sehingga terdapat 18 anak petak. Setiap anak petak memiliki ukuran 2 m x 4 m. Penataan petak dapat dilihat pada Lampiran 1. Alur tanam dengan jarak 40 cm dibuat pada setiap anak petak sehingga terdapat 5 alur tanam. Alur tanam digunakan sebagai tempat dekomposisi pupuk organik dan penanaman kedelai. 17 Aplikasi Pupuk Organik 1. Perlakuan Pupuk Kandang Ayam Ayam yang menjadi sumber pupuk organik adalah ayam petelur. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai sumber hara dalam budidaya kedelai secara organik kecuali yang berasal dari factory farming (SNI, 2002). Pupuk kandang diaplikasikan dengan cara dibenamkan ke dalam alur tanam. Dolomit dan arang sekam dengan dosis masing-masing 2 ton/ha diaplikasikan bersamaan dengan pupuk kandang. Pupuk organik ini diaplikasikan dua minggu sebelum penanaman kedelai dengan dosis 20 ton/ha. 2. Perlakuan Centrosema pubescens Centrosema pubescens (Gambar 1) ditanam di petak yang berbeda dengan petak penanaman kedelai yang tidak jauh jaraknya. Centrosema pubescens dipanen dengan cara dicabut beserta akarnya. Seluruh bagian Centrosema pubescens dicacah dengan panjang sekitar 5 cm lalu didekomposisikan dengan cara dibenamkan ke dalam alur tanam kedelai bersama 10 ton pupuk kandang /ha, dolomit dan arang sekam dengan dosis masing-masing 2 ton/ha ditambahkan pada perlakuan ini. Pupuk ini diaplikasikan empat minggu sebelum penanaman kedelai. 3. Perlakuan Tithonia diversifolia Tithonia diversifolia (Gambar 2) tumbuh di sekitar lahan sebagai tumbuhan liar, bagian yang digunakan yaitu pucuk dengan panjang sekitar 15 cm dari ujung pucuk. Pucuk Tithonia diversifolia dicacah dengan panjang sekitar 5 cm dan didekomposisikan dengan cara dibenamkan ke dalam alur tanam bersama 10 ton pupuk kandang /ha, dolomit dan arang sekam dengan dosis masing-masing 2 ton/ha. Pupuk ini diaplikasikan empat minggu sebelum penanaman kedelai. Gambar 1. Centrosema pubescens Gambar 2. Tithonia diversifolia 18 Penanaman 1. Penanaman Tanaman Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman Tanaman yang digunakan sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman adalah Tagetes erecta dan serai. Tagetes erecta yang ditanam sudah memiliki tinggi batang sekitar 20 cm sehingga pada saat kedelai ditanam Tagetes erecta sudah berbunga. Tagetes erecta ditanam tiga minggu sebelum penanaman kedelai. Satu baris Tagetes erecta ditanam di antara anak petak dengan jarak antar tanaman sebesar 50 cm memisahkan setiap petak utama menjadi anak petak. Serai sudah terdapat mengelilingi lahan dengan jarak antar tanaman sekitar 50 cm sehingga penanaman tidak lagi dilakukan. Gambar 3. Tagetes erecta Gambar 4. Serai 2. Penanaman Kedelai Benih kedelai ditanam empat minggu setelah pupuk hijau diaplikasikan atau 2 minggu setelah aplikasi pupuk kandang ayam, pada saat itu diduga proses dekomposisi pupuk organik sudah selesai pada saat itu. Benih direndam dengan air selama beberapa menit. Benih yang mengapung dibuang karena kualitasnya kurang baik. Sebelum ditanam, benih kedelai diinokulasi dengan dosis inokulan sebanyak 6.25 g/kg benih. Benih kedelai ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm, 2 benih per lubang, dengan kedalaman tanam sekitar 5 cm lalu dijarangkan. Setelah ditanam, jerami diberikan sebagai mulsa untuk mencegah serangan lalat bibit (Gambar 5). 19 Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, pemangkasan serai dan pengendalian hama. Pemangkasan dilakukan dengan memotong daun serai dengan panjang sekitar 20-30 cm dari ujung daun. Pemangkasan (Gambar 6) dimaksudkan agar serai mengeluarkan bau yang tidak disukai oleh serangga sehingga serangga tidak mendekati lahan kedelai. Selain itu pemangkasan juga dilakukan agar daun serai tidak terlalu rimbun dan menaungi tanaman kedelai. Daun yang terlalu rimbun dapat menjadi tempat bersembunyi bagi serangga hama. Gambar 5. Mulsa Jerami Gambar 6. Serai setelah Dipangkas Panen Panen dilaksanakan ketika kedelai sudah mengalami masak fisiologis dan menguning 90%. Kedelai yang sudah mengalami masak fisiologis dicirikan dengan warna daun, batang, dan polong yang sudah menguning atau mengering. Jika 90 % polong pada batang utama sudah berwarna kuning kecoklatan panen dilaksanakan. Panen dilakukan dengan cara mencabut seluruh bagian tanaman. Setelah panen, kedelai dijemur selama 2 x 24 jam lalu dilakukan perontokan biji. Perontokan biji dilakukan dengan memukul-mukul kedelai dalam karung sehingga biji yang terpecah dari polongnya tidak berhamburan. Pengamatan Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh dari setiap petak percobaan kemudian dihitung rata-ratanya. Peubah yang diamati meliputi keadaan tanah, kondisi umum, fase vegetatif, dan fase generatif tanaman. Peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2. 20 Tabel 2. Peubah yang Diamati pada Penelitian No 1 Peubah Analisis tanah awal Satuan %, ppm dan me/100 g 2 Analisis hara pupuk organik % dan ppm 3 Kondisi umum 4 Jenis hama dan penyakit serta intensitas serangannya Waktu Pengamatan 0 MST Sebelum aplikasi pupuk Setiap minggu % 8 MST Cara Menganalisis satu sampel tanah per perlakuan secara komposit 3 ulangan (dari setiap anak petak diambil tanah dari 3 titik) Menganalisis hara makro dan mikro Centrosema pubescens, Tithonia diversifolia, dan pupuk kandang Mengamati kondisi tanaman, lingkungan, serangan hama penyakit, dan gulma Mengamati jenis hama dan penyakit, menghitung jumlah tanaman yang terserang hama dan penyakit dari 15 sampel Fase Vegetatif 5 Tinggi tanaman 6 Jumlah daun trifoliat Jumlah daun tetra dan pentafoliat 7 cm Setiap minggu Setiap minggu 7 MST 8 Analisis hara daun % 7 MST 9 Bobot basah daun, batang, akar, dan bintil akar g 7 MST 10 Bobot kering daun, batang, akar, dan bintil akar g 7 MST Mengukur tinggi 10 tanaman contoh dari pangkal batang sampai titik tumbuh tanaman Menghitung jumlah daun trifoliat 10 tanaman contoh Menghitung jumlah daun tetra dan pentafoliat 10 tanaman contoh Menganalisis sampel dari satu ulangan (tiga tanaman pinggir setiap perlakuan) Menimbang bobot daun, batang, akar, dan bintil akar dari tiga tanaman pinggir per anak petak Daun, batang, akar, dan bintil akar dikeringkan dengan oven pada suhu 600C selama 3x24 jam lalu ditimbang Fase generatif 11 12 Umur berbunga Umur muncul polong MST MST Saat 75% kedelai berbunga Saat polong mulai muncul 13 Umur panen MST 14 Tinggi tanaman cm 15 Jumlah cabang produktif Saat daun, batang, dan polong menguning atau mulai rontok Saat panen Mengukur tinggi 10 tanaman contoh dari pangkal batang sampai titik tumbuh Saat panen Menghitung jumlah cabang yang berpolong per tanaman pada 10 tanaman contoh 16 Jumlah buku produktif Saat panen Menghitung jumlah buku yang menghasilkan polong pada 10 tanaman contoh 21 No Peubah 17 Jumlah polong isi dan polong hampa 18 Bobot kering tajuk dan akar 19 20 21 22 Satuan Waktu Pengamatan Cara Saat panen Menghitung jumlah polong isi dan polong hampa per tanaman pada 10 tanaman contoh g Saat panen Bobot kering biji g Saat panen Bobot kering 100 biji Analisis hara biji g Saat panen ppm dan % Saat panen Analisi tanah setelah panen %, ppm, dan me/100 g Saat panen Menimbang bobot tajuk dan akar setelah dikeringkan selama 2 x 24 jam Menimbang bobot kering biji yang sudah dipisahkan antara polong dan biji Menimbang bobot kering 100 biji Menganalisis kandungan hara pada biji sebanyak 120 g per perlakuan Menganalisis satu sampel tanah per perlakuan secara komposit 3 ulangan (dari setiap anak petak diambil tanah dari 3 titik) Pengamatan intensitas serangan hama dan kejadian penyakit dihitung dengan rumus: k ∑ n.vi IP = t =0 NV x 100% Keterangan: IP = intensitas serangan hama atau kejadian penyakit n = jumlah tanaman dengan skor serangan ke-j vi = skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4 V = skor serangan tertinggi N = jumlah sampel tanaman yang diamati Skor intensitas serangan hama atau kejadian penyakit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Intensitas Serangan Hama dan Kejadian Penyakit Skor 0 1 2 3 4 Keterangan Bagian tanaman yang terserang 0-5% Bagian tanaman yang terserang 6-15% Bagian tanaman yang terserang 16-30% Bagian tanaman yang terserang 31-50% Bagian tanaman yang terserang >50% HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan Cuaca Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 – Februari 2011. Curah hujan tertinggi adalah 436.2 mm pada bulan Oktober dan curah hujan terendah adalah 86.0 mm pada bulan Februari. Rata-rata curah hujan per bulan saat penelitian dilakukan adalah 237.3 mm. Kebutuhan curah hujan yang merata 100150 mm per bulan pada dua bulan sejak tanam merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai. Penyerapan air oleh tanaman kedelai terbanyak terjadi pada stadia reproduktif (Sumarno dan Mashuri, 2007). 2 2 (Cal/cm/menit) Intensitas Cahaya Matahari 2500 2000 1500 1000 500 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213 MST MST (a) Curah Hujan Kecepatan Angin (km/jam) Curah Hujan (mm) 3000 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 (b) Intensitas Cahaya Matahari 45 40 35 30 MT I (10 April-16 Juli 2010) 25 20 MT II (30 Oktober 2010-6 Februari 2011) 15 10 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 MST (c) Kecepatan Angin Gambar 7. Kondisi Cuaca pada MT I dan MT II 23 Rata-rata curah hujan pada fase vegetatif musim tanam (MT) II lebih tinggi dibandingkan MT I (Gambar 7 (a)). Namun rata-rata curah hujan pada fase generatif musim tanam II lebih rendah dibandingkan musim tanam I. Air pada penelitian MT I dan MT II sudah mencukupi kebutuhan kedelai walaupun ada peningkatan atau penurunan curah hujan. Jumlah curah hujan selama MT I sebesar 738.5 mm dan MT II sebesar 708.4 mm. Kedelai MT I ditanam pada tanggal 10 April dan dipanen 16 Juli 2010. Rata-rata curah hujan per hari selama periode ini adalah 7.54 mm. Kedelai MT II ditanam pada tanggal 30 Oktober 2010 dan dipanen 6 Februari 2011. Rata-rata curah hujan per hari selama periode ini adalah 7.08 mm. Kebutuhan air tanaman kedelai dengan umur panen 100-190 hari adalah 450-825 mm atau 4.5 mm/hari (Sumarno dan Mashuri, 2007). Jadi baik kedelai MT I maupun MT II sudah tercukupi kebutuhan airnya. Kedelai termasuk tanaman yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh tanpa naungan. Adanya naungan yang menahan sinar matahari hingga 20% pada umumnya masih dapat ditoleransi tetapi bila lebih besar dari 20% akan terjadi etiolasi. Radiasi matahari pada panjang gelombang 660-730 nm yang mengaktivasi sistem phytochrom pada sel-sel daun besar peranannya terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai. Pengurangan radiasi matahari pada awal pertumbuhan vegetatif akan menghambat pertumbuhan tanaman melalui penurunan laju fotosintesis (Sumarno dan Mashuri, 2007). Radiasi matahari yang sangat tinggi juga akan mengakibatkan cekaman terhadap tanaman karena terjadinya peningkatan suhu daun yang meningkatkan laju evapotranspirasi melebihi laju aliran air pada sel-sel daun yang berasal dari dalam tanah melalui serapan akar. Aktivitas fotosintesis akan berkurang, muatan panas dan laju transpirasi meningkat dalam keadaan defisit air. Intensitas penyinaran matahari di wilayah tropika Indonesia cukup melimpah untuk persyaratan tumbuh kedelai kecuali cuaca mendung terus menerus (Sumarno dan Mashuri, 2007). Secara umum, intensitas cahaya matahari pada MT II lebih rendah dari MT I (Gambar 7 (b)). Hal ini terjadi karena pada saat MT I berada pada musim kemarau sehingga intensitas cahaya matahari lebih besar. Kecepatan angin di MT II lebih rendah dibandingkan MT I pada fase vegetatif. Namun mulai 5 MST kecepatan angin MT II terus meningkat smpai 9 24 MST, kecepatan angin mulai menurun sampai ke 14 MST (Gambar 7 (c)). Hal ini menyebabkan banyak tanaman kedelai yang mulai rebah pada 6 MST. Rata-rata kecepatan angin pada MT I yaitu 26.78 km/jam dan pada MT II yaitu 29.42 km/jam. Kecepatan angin pada fase generatif MT II lebih besar dari MT I. Suhu bulanan berkisar antara 25.4 – 26.9oC dengan intensitas cahaya matahari menurun dari bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011 dan mulai meningkat pada Februari 2011. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan kedelai berkisar antara 22-27 oC. Tanaman kedelai membentuk pertumbuhan organ vegetatif dan generatif maksimal pada suhu kardinal 23-26 oC. Penghambatan pertumbuhan terjadi pada suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi (Sumarno dan Mashuri, 2007). Jadi suhu sudah sesuai untuk pertumbuhan kedelai. Keadaan Tanah Berdasarkan hasil analisis tanah setelah panen musim tanam I yang digunakan sebagai data hasil analisis tanah awal musim tanam II terlihat bahwa tanah bersifat agak masam dengan pH 6.5. Terjadi peningkatan kandungan Corganik tanah dibandingkan analisis tanah awal pada musim tanam I. Kandungan C-organik tanah awal musim tanam I yaitu 0.95 % (Kurniansyah, 2010). Kandungan C-organik pada awal musim tanam II meningkat menjadi 1.80. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat residu pupuk yang menyebabkan peningkatan kandungan C-organik tanah. Lahan yang pada musim tanam I diberikan pupuk organik Tithonia diversifolia memiliki residu C-organik paling tinggi (Tabel 6). Berdasarkan kriteria penilaian hasil analisis tanah (Lampiran 2), ketersediaan unsur N di lahan tergolong rendah yaitu sekitar 0.17 % sedangkan ketersediaan unsur P tergolong tinggi yaitu 12.9 ppm. Ketersediaan unsur makro Ca, Mg dan K tergolong tinggi yaitu 14.08, 2.96, dan 0.89 me/100g tanah sedangkan unsur makro Na dan KTK tanah tergolong bernilai sedang yaitu 0.64 dan 22.34 me/100g tanah. Tingkat kejenuhan basa sangat tinggi yaitu 83%. Tekstur tanah termasuk liat dengan kandungan pasir 7.94%, debu 31.89%, dan liat 60.17%. Jenis tanah di areal penelitian diduga adalah tanah Latosol. Ciri tanah latosol yang paling mudah terlihat adalah berwarna merah atau kuning terutama pada horizon B tetapi bila lapisan atas mengalami erosi biasanya berwarna cokelat 25 atau kelabu. Sifat utama yang lain adalah terbentuknya keadaan granular sehingga drainase dalam yang sangat baik. Tanah latosol mempunyai kapasitas tukar kation yang rendah karena kadar bahan organik yang kurang dan sifat liat-hidro-oksida (Soepardi, 1983). Kadar liat tanah latosol lebih dari 60%, warna tanah seragam dengan batas-batas horizon yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm), dan kejenuhan basa kurang dari 50% (Hardjowigeno, 2003). Hasil analisis pupuk organik menunjukkan bahwa Tithonia diversifolia memiliki kandungan C, N, P, dan Mg tertinggi dibandingkan pupuk kandang dan Centrosema pubescens yaitu sebesar 54.88%, 3.64%, 0.34%, dan 0.32%. Pupuk kandang ayam memiliki kandungan K dan Ca tertinggi yaitu 0.64% dan 0.87% namun pupuk ini memiliki kandungan C, N, P, dan Mg yang terkecil. Pupuk organik Centrosema pubescens memiliki kandungan K dan Ca yang paling kecil. Tabel 4. Kandungan Hara Pupuk Organik Pupuk Organik T. diversifolia C. pubescens Pupuk Kandang Kandungan Hara C N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn ..………….…...(%)……………… ........….(ppm)……...... 54.88 3.64 0.34 0.56 0.70 0.32 1622.15 33.26 47.75 141.05 54.19 2.97 0.33 0.52 0.64 0.28 1729.15 42.02 32.95 135.70 22.53 0.42 0.21 0.64 0.87 0.21 5119.10 365.12 2.90 52.70 Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Bahan organik dapat digunakan oleh tanaman bila mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N Centrosema pubescens yaitu 18.25. Rasio C/N yang paling rendah dimiliki Tithonia diversifolia yaitu 15.08, rasio tertinggi dimiliki pupuk kandang yaitu 53.64. Tingginya C/N rasio pupuk kandang diduga karena hara N hilang akibat pencucian oleh hujan. Sebelum diaplikasikan, pupuk kandang dalam karung tidak disimpan tetapi diletakkan di samping petakan kedelai tanpa pelindung. Hara N adalah salah satu unsur yang mobil, sangat larut dan mudah tercuci oleh air atau menguap di udara (Supardi, 1983). Hal ini diduga menyebabkan kandungan nitrogen pupuk kandang menjadi sedikit sehingga C/N rasio pupuk kandang sangat tinggi. 26 Dekomposisi bahan organik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban, aerasi tanah, pengolahan, pH, dan jenis bahan organik. Dekomposisi umumnya berlangsung cepat pada suhu tinggi, tanah yang lembab, dan aerasi baik. Dekomposisi berjalan lambat pada tanah yang selalu basah. Dekomposisi juga berjalan lambat pada tanah dengan pH rendah. Tanah yang diolah mempunyai aerasi yang baik sehingga dekomposisi juga cepat. Tanamantanaman budidaya umumnya cepat terdekomposisi (Hardjowigeno, 2003). Jumlah hara yang disumbangkan pupuk organik dapat diperkirakan dari perkalian antara bobot kering pupuk organik yang digunakan (ton atau kg) dan kadar unsur dalam pupuk (%). Bobot kering pupuk organik diperoleh dari pengurangan antara bobot basah pupuk organik dengan hasil perkalian antara persentase kadar air dengan bobot basah pupuk organik. Kadar air pupuk kandang ayam sebesar 57% (Balittan, 2011), kadar air Centrosema pubescens sebesar 59.00%, dan kadar air Tithonia diversifolia sebesar 62.20% (Kurniansyah, 2010). Perlakuan Tithonia diversifolia memberikan sumbangan hara N tertinggi sebesar 66.22 kg/ha sedangkan pupuk kandang memberikan sumbangan hara C, P, K, Ca, dan Mg tertinggi, berturut-turut sebesar 1937.58 kg/ha, 18.06 kg/ha, 55.04 kg/ha, 74.82 kg/ha, dan 18.06 kg/ha (Tabel 5). Tabel 5. Sumbangan Hara Tiga Jenis Pupuk Organik Sumbangan hara N, P, dan K (kg/ha) N P K Ca Mg 66.22 13.53 34.93 46.67 13.26 Perlakuan Pupuk Organik C 10 ton pupuk kandang ayam 1694.85 + 3.5 ton Tithonia diversifolia 10 ton pupuk kandang ayam 1746.42 60.68 13.77 34.98 + 3.5 ton Centrosema pubescens 1937.58 36.12 18.06 55.04 20 ton pupuk kandang Pupuk Organik (Tanpa Pupuk Dasar 10 ton pupuk kandang ayam/ha) 3.5 ton Tithonia diversifolia 3.5 ton Centrosema pubescens 10 ton pupuk kandang 726.06 777.63 968.79 48.16 42.62 18.06 4.50 4.74 9.03 7.41 7.46 27.52 46.59 13.05 74.82 18.06 9.26 9.18 37.41 4.23 4.02 9.03 Unsur N yang disumbangkan oleh perlakuan Tithonia diversifolia lebih tinggi 83.33% dan 9.13% dibandingkan pupuk kandang dan Centrosema pubescens. Unsur C yang disumbangkan pupuk kandang lebih tinggi 14.32% dan 10.95% dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Unsur P yang disumbangkan oleh pupuk kandang lebih tinggi 33.50% dan 31.20% 27 dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Unsur K yang disumbangkan pupuk kandang lebih tinggi 57.58% dan 36.44% dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Salah satu gulma dominan di lahan penanaman kedelai adalah Mimosa pudica. Gulma ini merupakan salah satu gulma legum sehingga diduga menyumbangkan hara N melalui fiksasi dengan bakteri pengikat nitrogen. Unsur Ca yang disumbangkan oleh pupuk kandang lebih tinggi 60.31% dan 60.58% dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Unsur Mg yang disumbangkan oleh pupuk kandang lebih tinggi 36.16% dan 38.41% dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Kandungan hara pada tanah musim tanam II meningkat dibandingkan musim tanam I. Hara yang meningkat jumlahnya adalah C-organik, N-total, P, Mg, Na, Fe, Cu, Zn, dan Mn sedangkan hara Ca dan K berkurang. Perbandingan hara musim tanam I dan II dapat dilihat pada Tabel 6. Setelah aplikasi pupuk organik, pH dan kandungan hara dalam tanah meningkat. Rata-rata pH tanah menjadi 6.53. Unsur hara mudah larut dalam air pada pH tanah sekitar netral sehingga lebih mudah diserap tanaman. Unsur P tidak dapat diserap tanaman pada tanah masam karena difiksasi oleh Al sedangkan pada tanah alkalin unsur P difiksasi oleh Ca. Peningkatan pH terjadi karena pemberian dolomit yang merupakan kapur dan berfungsi untuk menaikkan pH, menambah unsur-unsur Ca dan Mg, menambah ketersediaan unsur-unsur P dan Mo, mengurangi keracunan Fe, Mn, Al, dan memperbaiki kehidupan mikroorganisme dan memperbaiki pembentukan bintil-bintil akar (Hardjowigeno, 2003). Berdasarkan kriteria penilaian hasil analisis tanah (Lampiran 2) ketersediaan C-organik tanah sebesar 2.34 % tergolong sedang, N-total sebesar 0.22 % tergolong sedang, P sebesar 48.60 ppm tergolong tinggi, Ca sebesar 8.24 me/100g tanah tergolong sedang, Mg sebesar 3.27 me/100g tanah tergolong tinggi, K sebesar 0.47 me/100g tanah tergolong sedang, dan Na sebesar 0.9 me/100g tanah tergolong tinggi. Kandungan hara dalam tanah dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perbandingan Hara MT I dan MT II C-org (%) Setelah panen musim tanam I PW 6.70 1.81 PA 6.47 1.75 CW 6.47 1.81 CA 6.27 1.55 TW 6.67 2.02 TA 6.43 1.83 Pupuk pH N-Total (%) P ppm Ca Mg K (me/100g) Na KTK KB (%) Fe Cu Zn Mn (ppm) 0.17 0.16 0.18 0.15 0.20 0.17 17.40 9.60 10.57 11.57 13.23 10.60 16.21 15.54 12.03 11.67 14.67 14.37 4.21 2.55 3.05 2.61 2.74 2.59 1.02 0.88 0.83 0.91 0.79 0.92 0.80 0.58 0.56 0.63 0.65 0.64 25.20 23.59 20.00 19.65 23.05 22.53 88.20 82.75 82.40 80.70 81.74 82.23 1.28 1.32 1.34 1.24 1.32 1.31 0.32 0.35 0.40 0.35 0.32 0.35 0.07 0.19 0.29 0.24 0.04 0.12 6.76 9.21 13.61 10.76 7.39 7.95 Setelah pemberian pupuk musim tanam II PW 6.70 2.77 0.28 PA 6.70 2.23 0.22 CW 6.40 3.03 0.28 CA 6.30 1.20 0.12 TW 6.40 1.83 0.17 TA 6.70 2.95 0.27 83.80 60.10 60.40 7.80 14.00 65.50 8.82 8.45 8.82 7.44 8.29 7.60 3.58 3.44 3.70 2.72 3.37 2.80 0.57 0.68 0.47 0.31 0.39 0.42 1.29 1.21 0.89 0.47 0.76 0.76 19.26 18.93 19.48 16.96 20.10 17.58 74.04 72.79 71.25 64.50 63.73 65.87 16.92 16.8 19.48 27.20 22.20 15.20 0.61 0.52 0.51 1.16 0.56 0.52 1.44 1.26 3.86 5.68 4.08 1.42 10.16 6.34 10.58 20.60 16.40 4.16 1.16 1.14 0.94 1.05 1.10 1.03 18.93 18.35 18.15 18.74 19.13 17.57 72.00 74.28 65.40 67.98 69.11 68.47 0.86 0.63 1.03 1.50 0.97 1.30 0.08 0.12 0.11 0.08 0.11 0.08 0.06 0.10 0.07 0.17 0.30 1.63 6.48 19.09 24.71 22.95 44.00 8.70 28 Setelah panan musim tanam II PW 7.40 2.39 0.22 21.40 7.92 2.99 1.56 PA 7.60 2.95 0.27 22.50 8.12 2.95 1.42 CW 7.60 2.23 0.22 9.80 7.34 2.62 0.97 CA 7.60 2.15 0.21 14.80 7.56 2.83 1.30 TW 7.60 2.47 0.22 14.90 7.85 2.91 1.36 TA 7.30 2.00 0.18 18.60 7.23 2.55 1.22 Keterangan PW: Perlakuan pupuk kandang ayam dan varietas Wilis PA : Perlakuan pupuk kandang ayam dan varietas Anjasmoro CW: Perlakuan Centrosema pubescens dan varietas Wilis CA : Perlakuan Centrosema pubescens dan varietas Anjasmoro TW: Perlakuan Tithonia diversifolia dan varietas Wilis TA : Perlakuan Tithonia diversifolia dan varietas Anjasmoro 29 Semua unsur mikro yang dianalisis meningkat jumlahnya dibandingkan sebelum aplikasi pupuk organik. Kandungan unsur Fe, Cu, Zn, dan Mn berturutturut adalah 19.63 ppm, 0.65 ppm, 2.96 ppm, dan 11.37 ppm. Berdasarkan kriteria penilaian hasil analisis tanah (Lampiran 2) terjadi defisiensi unsur Cu dan Zn. Bentuk utama kedua unsur ini yang diserap tanaman adalah kation Cu2+ dan Zn2+. Kedua kation ini membentuk senyawa khelat dengan senyawa organik sehingga ketersediaannya menurun dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah (Hanafiah, 2007). Lahan yang mendapat pupuk kandang memiliki kandungan C-organik, Ntotal, P, K, Ca, Mg, dan Na yang paling tinggi. Hal ini karena pupuk kandang memberikan sumbangan hara C, P, K, Ca, dan Mg tertinggi (Tabel 5). Lahan yang diberi pupuk organik Centrosema pubescens memiliki kandungan C-organik, N, P, dan K yang paling rendah. Lahan yang diberi pupuk organik Tithonia diversifolia memiliki kandungan Ca dan Mg yang paling rendah. Keadaan Tanaman Curah hujan cukup tinggi pada saat penanaman dan selama masa pertumbuhan sehingga penyiraman tidak perlu dilakukan. Kecambah kedelai mulai muncul pada 1 minggu setelah tanam (MST). Tiga hari setelah benih kedelai ditanam, mulsa jerami diberikan untuk menutupi lahan. Mulsa jerami ini diberikan dengan tujuan mengurangi serangan lalat bibit karena pada saat ditanam tidak diberikan perlakuan benih. Rata-rata daya tumbuh sebesar 79% sehingga dilakukan penyulaman. Beberapa benih terkena serangan Asperigullus flavus sehingga busuk mati. Serangan cendawan ini ditandai dengan adanya hifa berwarna putih kehitam-hitaman. Daun trifoliat pertama muncul pada 2 MST, daun tetra/pentafoliat dan cabang mulai muncul pada 4 MST. Cabang pertama kali muncul pada kedelai varietas Wilis. Wilis terlihat memiliki percabangan yang lebih banyak namun batangnya lebih pendek. Varietas Anjasmoro terlihat memiliki percabangan yang lebih sedikit tetapi batangnya lebih tinggi. Kedelai varietas Anjasmoro mulai rebah pada 6 MST. Hal ini diduga karena habitusnya yang tinggi dan tinggi tanaman masih terus bertambah tinggi walaupun sudah memasuki fase reproduktif. 30 Selain itu kecepatan angin yang mulai meningkat setelah 5 MST (Gambar 3). Varietas Wilis juga mulai rebah pada 7 MST. Tanaman kedelai mulai berbunga pada 5 MST dan sekitar 75% tanaman berbunga pada 6 MST. Bunga kedelai berwarna ungu dan berukuran kecil. Polong mulai muncul pada 7 MST. Pengisian polong kedelai umumnya terjadi antara 5570 hari (Marwoto et al, 2008). Varietas Wilis memiliki polong berwarna cokelat tua sedangkan Anjasmoro memiliki polong berwarna cokelat muda. Selain ciri khas pada warna polong, bulu-bulu di batang kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro berturut-turut berwarna cokelat tua dan putih sehingga dapat digunakan untuk membedakan varietas ini sebelum polong atau biji dihasilkan. Organisme Pengganggu Tanaman Hama yang menyerang tanaman kedelai adalah ulat bulu, ulat grayak (Spodoptera litura), belalang (Oxya sp. dan Nympahea sp.), kepik polong (Riptortus linearis Fabricius), kepik tungkai besar (Anoplocnemis phasiana) dan rayap (Macrotermes gilvus). Ulat api, ulat grayak, dan belalang menyerang pada fase vegetatif tanaman. Kepik polong menyerang pada fase generatif tanaman. Rayap juga menyerang pada fase generatif tanaman terutama saat kedelai siap panen. Serangan hama ini dikendaikan dengan pestisida nabati. Khusus untuk hama rayap belum dapat dikendalikan karena serangan hama ini diketahui setelah batang kedelai rebah. Rayap menyerang akar kedelai sehingga tidak kuat menopang tajuk dan akhirnya rebah. Gambar 8. Ulat Bulu Gambar 9. Spodoptera litura 31 Gambar 10. Oxya sp. Gambar 12. Riptortus linearis Fabricius Gambar 11. Nympahea sp. Gambar 13. Anoplocnemis phasiana Jenis penyakit yang menyerang tanaman kedelai dalam penelitian ini, yaitu karat daun, virus mosaik, mosaik kuning dan sapu setan. Karat daun disebabkan Phakopspora pachyrhizi ditandai dengan bercak-bercak berisi uredia (badan buah yang memproduksi spora). Bercak terutama terdapat pada permukaan bawah daun. Bercak berwarna coklat kemerahan seperti warna karat. Penyakit virus mosaik ditandai dengan tulang daun yang kurang jernih pada daun yang masih muda. Daun berkerut dan mempunyai gambaran mosaik dengan warna hijau gelap di sepanjang tulang daun. (Marwoto et al, 2006). Penyakit mosaik kuning ditularkan oleh vektor Aphis glycines. Daun yang terserang akan menghasilkan mosaik kuning yang sangat jelas, butir-butir hijau daun terpencar, dan sebagian besar daging daun berwarna kuning (Adisarwanto dan Wudianto, 2002). Penyakit sapu setan (Witches broom) disebabkan oleh Mycoplasma. Gejala tanaman yang terserang penyakit ini adalah bunga berwarna hijau tua seperti daun-daun kecil, ruas-ruas batang dan cabang menjadi pendek daun-daun kecil rimbun, tangkai buah mengalami geotropisme negatif dan membelok ke atas (Susilawati, 2010). 32 Gambar 14. Karat pada Daun Kedelai Gambar 15. Mosaik pada Daun Kedelai Gambar 16. Kedelai Terserang Mosaik Kuning Gambar 17. Penyakit Sapu Setan Gulma yang dominan yaitu gulma daun lebar dan teki. Gulma daun lebar yang dominan adalah Ageratum conyzoides, Mimosa pudica, dan Boreria alata. Gulma jenis teki yang dominan adalah Cyperus sp. Gulma dikendalikan secara manual dengan menggunakan koret dan mencabut langsung gulma tersebut. Setelah memasuki masa pengisian polong pengendalian gulma tidak dilakukan lagi. Kedelai dipanen pada 100 HST, melebihi waktu panen dalam deskripsi varietas Wilis dan Anjasmoro yaitu 88 hari dan 82.5-92.5 hari (Lampiran 3). Panen tidak dilakukan secara serentak karena tidak semua kedelai memenuhi kriteria layak panen pada saat yang sama. Ciri-ciri kedelai yang dapat dipanen yaitu sebagian besar daun sudah menguning (bukan karena serangan hama atau penyakit) lalu gugur, buah mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan dan batang berwarna kuning agak coklat. Panen dilakukan apabila 90% polong pada batang utama telah berwarna kuning kecoklatan (Marwoto, 2006). Kandungan unsur hara di tanah setelah panen musim tanam II meningkat jumlahnya jika dibandingkan dengan kandungan unsur hara setelah panen musim tanam I (Tabel 6). 33 Estimasi Ketersediaan dan Serapan Hara dalam Budidaya Kedelai Organik Estimasi ketersediaan dan serapan hara dapat dilihat pada Tabel 7. Hara yang paling banyak diserap oleh tajuk kedelai adalah hara N. Kedelai yang diberi perlakuan pupuk kandang ayam menyerap hara N paling banyak yaitu 135.89 kg/ha. Kedelai yang diberi perlakuan pupuk kandang ayam menyerap N lebih tinggi 7.79% dan 11.37% dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hara yang paling sedikit diserap oleh tajuk kedelai adalah hara P. Kedelai yang diberi perlakuan pupuk kandang ayam menyerap hara P paling banyak yaitu 19.68 kg/ha. Kedelai yang diberi perlakuan pupuk kandang ayam menyerap P lebih tinggi 1.39% dan 4.96% dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Kedelai yang diberi perlakuan Centrosema pubescens menyerap hara K lebih tinggi 1.52% dan 7.65% dibandingkan pupuk kandang dan Tithonia diversifolia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purnomo (2002) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang nyata meningkatkan serapan P pada tanaman jagung. Tabel 7. Estimasi Ketersediaan dan Serapan Hara Unsur Hara N Pemupukan Serapan Hara Tajuk (kg/ha) 135.89 Hara dalam Tanah (kg/ha) Sesudah Saat Musim Musim Tanam II Tanam I 37.60 60.00 Dosis Rekomendasi Kedelai Konvensional (kg/ha) 22.50 Pupuk Kandang Ayam Centrosema 125.30 40.40 48.00 pubescens Tithonia 120.43 45.20 52.80 diversifolia P Pupuk Kandang 19.68 25.40 172.68 15.70 Ayam Centrosema 19.41 33.60 81.84 pubescens Tithonia 18.71 28.56 95.40 diversifolia K Pupuk Kandang 122.55 85.76 60.00 60.00 Ayam Centrosema 124.45 93.12 37.44 pubescens Tithonia 114.93 77.92 38.88 diversifolia Keterangan: Dosis rekomendasi berdasarkan Purwono dan Purnamawati (2007): 50 kg urea/ha, 100 kg SP 36/ha, dan 100 kg KCL/ha 34 Hara dalam tanah setelah musim tanam I dapat dilihat pada Tabel 6. Hara yang paling banyak terdapat dalam tanah adalah hara K. Hara K dalam tanah pada perlakuan Centrosema pubescens lebih tinggi 16.09% dan 29.88% dibandingkan pupuk kandang dan Tithonia diversifolia. Hara yang paling sedikit jumlahnya di dalam tanah adalah hara P. Hara P dalam tanah pada perlakuan Centrosema pubescens lebih tinggi 24.40% dan 15% dibandingkan pupuk kandang dan Tithonia diversifolia. Hara N dalam tanah pada perlakuan Tithonia diversifolia lebih tinggi 16.81% dan 10.61% dibandingkan pupuk kandang dan Centrosema pubescens. Setelah diaplikasi pupuk organik, saat musim tanam II ketersediaan hara dalam tanah meningkat. Hara yang jumlahnya paling banyak di dalam tanah adalah hara P. Hara P dalam tanah pada perlakuan pupuk kandang lebih tinggi 52.60% dan 44.75% dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hara N dalam tanah pada perlakuan pupuk kandang lebih tinggi 20% dan 12% dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hara K dalam tanah pada perlakuan Tithonia diversifolia lebih tinggi 4.54% dan 18.18% dibandingkan pupuk kandang dan Centrosema pubescens. Hara N dan P yang terdapat dalam tanah sudah sesuai dengan dosis rekomendasi pada budidaya kedelai konvensional. Namun hara K jumlahnya kurang mencukupi. Rata-rata hara N yang terdapat di dalam tanah adalah 53.6 kg/ha, P sebesar 116.64 kg/ha, dan K sebesar 39.04 kg/ha. Dosis rekomendasi pupuk pada kedelai konvensional untuk N sebesar 22.50 kg/ha, P sebesar 15.7 kg/ha dan K sebesar 60 kg/ha (Purwono dan Purnamawati, 2007). Pupuk N diberikan walaupun tanaman kedelai mampu bersimbiosis dengan bakteri pengikat nitrogen karena inokulan yang digunakan memerlukan pupuk awal sebagai starter pertumbuhannya (Fauziati, et al., 2002). Hara yang tersedia di dalam tanah lebih kecil jumlahnya dibandingkan hara yang diserap oleh tajuk tanaman. Hanya hara P yang jumlahnya lebih besar dari hara yang diserap tajuk tanaman. Hara P yang diserap oleh tajuk kedelai perlakuan pupuk kandang ayam, Centrosema pubescen,s dan Tithonia diversifolia berturut-turut adalah 77.49%, 57.76%, 65.49% dari hara yang tersedia di tanah. 35 Hasil Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Perlakuan Jenis Pupuk Organik dan Varietas Pupuk organik hanya berpengaruh nyata terhadap kadar Fe biji, pada komponen pertumbuhan dan produksi lainnya, pupuk organik berpengaruh tidak nyata. Perlakuan Varietas berpengaruh nyata terhadap beberapa komponen pertumbuhan dan produksi kedelai. Interaksi antara pupuk organik dan varietas hanya berpengaruh nyata terhadap kadar Fe biji, pada komponen pertumbuhan dan produksi lainnya berpengaruh tidak nyata. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi kedelai pada perlakuan jenis pupuk organik dan varietas dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Perlakuan Jenis Pupuk Organik dan Varietas Peubah Tinggi (cm) BB akar (g/tanaman) BB tajuk (g/tanaman) BB bintil akar (g/tanaman) BK akar (g/tanaman) BK tajuk (g/tanaman) BK daun (g/tanaman) Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) Serapan N Daun (g/tanaman) Serapan P Daun (g/tanaman) Serapan K Daun (g/tanaman) Serapan N Tajuk (g/tanaman) Serapan P Tajuk (g/tanaman) Umur (MST) 2 3 5 6 7 8 5 6 7 8 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Pupuk (P) tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn Uji F Varietas (V) ** ** ** ** ** tn tn tn tn tn tn * tn ** * * tn tn ** * * ** * * P*V KK (%) tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn 8.46 8.64 9.13 9.79 8.99 14.78 15.07 13.94 16.59 9.956 18.83t 20.66 25.77 18.64 26.59 20.31 t 3.59 4.42 6.81 19.43 t 18.31 t 20.43 t 25.49 26.86 36 Peubah Umur (MST) Intensitas serangan hama (%) Kejadian Penyakit (%) Jumlah polong isi/tanaman Jumlah polong hampa/tanaman Jumlah cabang produktif/tanaman Jumlah buku produktif/tanaman Bobot tajuk dan akar (g/tanaman) BK biji (g/tanaman) Potensi produksi (ton/ha) Bobot 100 biji (g) Kadar N biji (%) Kadar P biji (%) Kadar K biji (%) Kadar Fe biji (ppm) Kadar Zn biji (ppm) 8 8 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 Pupuk (P) tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn ** tn Uji F Varietas (V) tn tn ** tn * * tn tn tn ** tn tn tn ** * P*V KK (%) tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn ** tn 3.94 4.43 9.81 28.36 t 12.54 8.40 21.71 t 14.03 t 14.39 4.87 7.38 5.84 9.52 17.48 7.73 Keterangan: BB: bobot basah; BK: bobot kering; (tn) berpengaruh tidak nyata; (*)berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**) berpengaruh nyata pada taraf 1%. (t) hasil transformasi √(x+0.5) Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Pertumbuhan Kedelai Perlakuan pupuk kandang, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia berpengaruh tidak nyata terhadap komponen pertumbuhan kedelai. Komponen yang diamati yaitu tinggi; jumlah daun trifoliat; bobot basah akar, bintil akar, batang dan daun; bobot kering akar, bintil akar, batang dan daun; intensitas serangan hama dan kejadian penyakit. Selain komponen tersebut, perlakuan tiga jenis pupuk organik ini juga berpengaruh tidak nyata terhadap kadar N, P, dan K serta serapan hara N, P, dan K daun dan tajuk. Serapan hara N, P, dan K merupakan perkalian antara kadar N, P, dan K dengan bobot kering daun atau tajuk. Serapan hara menggambarkan jumlah unsur hara yang diserap tanaman dalam satuan g/tanaman. Komponen pertumbuhan kedelai pada perlakuan tiga jenis pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 9. 37 Tabel 9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik Umur Uji Pupuk (MST) F Kandang Tinggi (cm) 2 tn 13.94 3 tn 23.41 5 tn 56.69 6 tn 79.89 7 tn 94.87 8 tn 98.18 Jumlah daun trifoliat 2 tn 2.2 3 tn 4.7 5 tn 10.0 6 tn 13.0 7 tn 17.3 8 tn 22.3 BB akar (g/tanaman) 7 tn 14.17 BB tajuk (g/tanaman) 7 tn 149.83 BB bintil akar (g/tanaman) 7 tn 5.19 BB akar (g/tanaman) 7 tn 97.00 BK akar (g/tanaman) 7 tn 4.56 BK tajuk (g/tanaman) 7 tn 30.91 BK bintil akar (g/tanaman) 7 tn 1.19 BK daun (g/tanaman) 7 tn 27.59 Kadar N (%) 7 tn 3.72 Kadar P (%) 7 tn 0.54 Kadar K (%) 7 tn 3.35 Serapan N Daun (g/tanaman) 7 tn 25.63 Serapan P Daun (g/tanaman) 7 tn 3.72 Serapan K Daun (g/tanaman) 7 tn 23.89 Serapan N Tajuk (g/tanaman) 7 tn 28.72 Serapan P Tajuk (g/tanaman) 7 tn 4.20 Serapan K Tajuk (g/tanaman) 7 tn 26.89 Intensitas serangan hama (%) 8 tn 29.26 Kejadian penyakit (%) 8 tn 34.07 Peubah Pupuk Organik Centrosema pubescens 14.17 22.62 53.36 75.73 93.42 96.93 2.2 4.6 9.4 12.7 18.0 21.8 14.67 141.17 4.76 104.17 4.31 27.43 1.67 27.71 3.68 0.57 3.65 Tithonia diversifolia 14.25 22.43 51.26 72.66 89.82 91.62 2.1 4.5 9.3 13.4 19.4 22.2 13.83 136.50 5.82 94.50 3.79 28.02 1.30 25.91 3.57 0.55 3.41 25.09 23.12 3.86 24.75 25.36 3.91 25.00 30.37 35.56 3.66 22.71 25.02 3.94 24.34 29.63 36.67 Keterangan: : BB: bobot basah; BK: bobot kering; (tn): tidak berbeda nyata Komponen Pertumbuhan Dua Varietas Kedelai Varietas berbeda sangat nyata pada tinggi tanaman umur 2, 3, 5, 6, dan 7 MST. Tinggi tanaman varietas Wilis berbeda nyata dengan Anjasmoro. Varietas Anjasmoro memiliki tinggi lebih tinggi 16.29% dibandingkan varietas Wilis. 38 Varietas berbeda nyata pada bobot basah tajuk, bobot basah daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering daun dan berbeda sangat nyata pada bobot kering akar 7 MST. Bobot basah tajuk dan daun, bobot kering akar, batang, dan daun varietas Wilis berbeda nyata dengan varietas Anjasmoro. Komponen pertumbuhan dua varietas kedelai dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Komponen Pertumbuhan Dua Varietas Kedelai Peubah Tinggi (cm) Jumlah daun trifoliat BB akar (g/tanaman) BB tajuk (g/tanaman) BB bintil akar (g/tanaman) BB akar (g/tanaman) BK akar (g/tanaman) BK tajuk (g/tanaman) BK bintil akar (g/tanaman) BK daun (g/tanaman) Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) Serapan N Daun (g/tanaman) Serapan P Daun (g/tanaman) Serapan K Daun (g/tanaman) Serapan N Tajuk (g/tanaman) Serapan P Tajuk (g/tanaman) Serapan K Tajuk (g/tanaman) Intensitas serangan hama (%) Intensitas Kejadian Penyakit (%) Umur (MST) Uji F 2 3 5 6 7 8 12 13 2 3 6 8 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 ** ** ** ** ** tn tn tn tn tn tn tn tn * tn * ** * tn * tn tn ** * * ** * * ** tn tn Varietas Wilis Anjasmoro 12.58b 15.66a 19.77b 25.88a 47.42b 60.13a 67.52b 84.67a 84.48b 100.92a 88.76 102.38 89.06 103.16 91.78 101.16 2.1 2.3 4.5 4.7 13.4 12.7 22.5 21.8 16.78 11.67 164.78a 120.22b 5.01 5.51 120.78a 76.33b 5.24a 3.19b 23.29b 34.27a 1.42 1.36 19.76b 34.38a 3.60 3.71 0.54 0.57 3.19b 3.75a 17.73b 31.49a 2.70b 4.79a 15.88b 31.69a 20.92b 31.81a 3.19b 4.84a 18.79b 32.04a 30.25 29.26a 36.29 34.57a Bobot basah tajuk dan daun varietas Wilis lebih tinggi 27.04% dan 36.80% dibandingkan Anjasmoro. Bobot kering akar, daun, dan tajuk varietas Anjasmoro lebih tinggi 39.12%, 42.52%, dan 32.03% dibandingkan Anjasmoro. 39 Bobot kering tajuk varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis. Kadar K varietas Anjasmoro lebih tinggi 14.93% dibandingkan Wilis. Serapan N daun, P daun, K daun, N tajuk, P tajuk, dan K tajuk varietas Anjasmoro lebih tinggi 43.69%, 43.63%, 49.88%, 34.23%, 34.09%, dan 41.35% dibandingkan varietas Wilis. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Produksi Kedelai Ketiga jenis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah cabang produktif, bobot tajuk dan akar, bobot kering biji tanaman contoh, potensi produksi, bobot 100 biji, kadar N, P, K, dan Zn. Ketiga jenis pupuk organik hanya berpengaruh nyata terhadap kadar Fe dalam biji. Tabel 11. Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Jenis Pupuk organik Peubah Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Jumlah cabang produktif Jumlah buku produktif Bobot tajuk dan akar (g) BK biji tanaman contoh (g) Potensi produksi (ton/ha) Kadar N Biji (%) Kadar P Biji (%) Kadar Fe Biji (ppm) Kadar Zn Biji (ppm) Uji Pupuk F Kandang tn 78.3 tn 3.6 tn 10.2 tn 28.8 tn 26.40 tn 25.78 tn 2.43 tn 7.70 tn 0.86 ** 201.98a tn 78.83 Pupuk Organik Centrosema pubescens 76.7 2.3 9.5 27.7 24.16 21.07 2.43 6.69 0.84 122.74b 79.37 Tithonia diversifolia 79.8 2.3 9.2 26.3 20.81 20.90 2.26 7.41 0.84 244.28a 81.38 Keterangan: Potensi produksi merupakan dihitung berdasarkan bobot biji/tanaman dikalikan dengan jumlah tanaman/ha Kadar Fe perlakuan Tithonia diversifolia lebih tinggi 17.31% dan 49.75% dibandingkan pupuk kandang ayam dan Centrosema diversifolia. Hal ini menunjukkan bahwa biji kedelai perlakuan Tithonia diversifolia dan pupuk kandang ayam menyerap Fe lebih tinggi dibandingkan Centrosema diversifolia. 40 Komponen Produksi Dua Varietas Kedelai Varietas Wilis berbeda nyata dengan Anjasmoro pada jumlah polong isi, jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, bobot 100 biji, kadar Fe dan Zn biji. Varietas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong hampa, bobot tajuk dan akar, bobot kering biji/tanaman contoh, potensi produksi, serta kadar N, P, dan K biji. Jumlah polong isi, jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, bobot 100 biji, kadar Fe biji, dan kadar Zn biji varietas Wilis berbeda nyata dengan Anjasmoro. Jumlah polong isi, cabang produktif, dan buku produktif varietas Wilis lebih tinggi dibandingkan Anjasmoro. Jumlah polong isi, jumlah cabang produktif, dan jumlah buku produktif varietas Wilis lebih tinggi 20.50%, 14.56%, dan 10.52% dibandingkan Anjasmoro. Bobot 100 biji kedelai varietas Anjasmoro lebih besar 32.94% dibandingkan Wilis. Bobot 100 biji varietas Anjasmoro sebesar 19.22 g/100 butir sementara Wilis sebesar 12.889 g/100 butir. Kadar Fe, dan kadar Zn kedelai varietas Wilis lebih tinggi 38.82% dan 8.74% dibandingkan varietas Anjasmoro. Tabel 12. Komponen Produksi Dua Varietas Kedelai Peubah Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Jumlah cabang produktif Jumlah buku produktif Bobot tajuk dan akar (g) Bobot kering biji tanaman contoh (g) Potensi produksi (ton/ha) Bobot 100 biji (g) Kadar N Biji (%) Kadar P Biji (%) Kadar K Biji (%) Kadar Fe Biji (ppm) Kadar Zn Biji (ppm) Uji F ** tn * * tn tn tn ** tn tn tn ** * Wilis 87.2a 2.5 10.4a 29.1a 24.66 23.49 2.28 12.89b 7.38 0.86 2.26 235.36a 83.51a Varietas Anjasmoro 69.3b 3.0 8.9b 26.1b 22.93 21.68 2.46 19.22a 7.33 0.83 2.17 143.97b 76.21b 41 Interaksi Jenis Pupuk Organik dan Varietas Interaksi antara jenis pupuk organik (Pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia) dengan varietas (Wilis dan Anjasmoro) hanya berpengaruh nyata terhadap kadar Fe biji. Kombinasi Tithonia diversifolia dengan varietas Wilis menghasilkan kedelai dengan kadar Fe yang paling tinggi yaitu 343.2 ppm. Kombinasi Centrosema pubescens dengan varietas Anjasmoro menghasilkan kedelai dengan kadar Fe yang paling rendah yaitu 106.13 ppm tidak berbeda nyata dengan kombinasi pupuk kandang ayam dengan varietas Anjasmoro, Centrosema pubescensdengan varietas Wilis, dan Tithonia diversifolia dengan varietas Anjasmoro. Dari Tabel 13 terlihat bahwa kombinasi pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia dengan varietas Wilis menghasilkan kedelai dengan kadar Fe yang lebih tinggi dibandingkan kombinasinya dengan varietas Anjasmoro. Tabel 13. Pengaruh Interaksi Pupuk Organik dan Varietas terhadap Kadar Fe (ppm) Pupuk Organik Pupuk Kandang Ayam Centrosema pubescens Tithonia diversifolia Wilis 223.54b 139.35bc 343.2a Anjasmoro 180.42bc 106.13c 145.37bc Varietas Hubungan Korelasi Antar Peubah Korelasi merupakan suatu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif. Tabel 14 menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan jumlah polong hampa per tanaman, berkorelasi negatif dengan jumlah polong isi per tanaman, namun hanya berkorelasi nyata dengan bobot 100 biji. Hal ini menunjukkan bahwa bila nilai tinggi tanaman semakin besar maka potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan jumlah polong hampa per tanaman akan semakin besar dan jumlah polong isi per tanaman akan semakin kecil. Jumlah daun trifoliat berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa per tanaman tetapi berkorelasi negatif 42 dengan bobot 100 biji. Hal ini menunjukkan bila jumlah daun trifoliat semakin besar maka potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa per tanaman akan semakin besar namun bobot 100 biji akan semakin kecil. Namun korelasi yang dimiliki tidak nyata. Tabel 14. Korelasi antar Peubah terhadap Beberapa Komponen Produksi Kedelai Peubah Vegetatif Tinggi tanaman (m) Jumlah daun trifoliat BK batang/tanaman (g) BK daun/tanaman (g) BK akar/tanaman (g) BK bintil akar/tanaman (g) Generatif dan Saat Panen Tinggi tanaman saat panen Bobot tajuk dan akar Jumlah cabang produktif/tanaman Jumlah buku produktif/tanaman Jumlah polong hampa/tanaman Jumlah polong isi/tanaman Bobot 100 biji (g) BK biji/tanaman (g) Produktivitas (ton/ha) Bobot kering biji (g/tanaman) Bobot 100 biji (g) Jumlah polong isi/ tanaman 0.287 0.199 0.252 0.218 0.284 -0.357 0.145 0.252 0.328 0.088 -0.020 -0.060 0.540* -0.247 0.668** 0.737** 0.817** -0.113 -0.263 0.254 -0.370 -0.390 -0.285 -0.300 0.370 0.062 0.468* 0.512* 0.331 0.048 0.441 -0.010 -0.155 0.150 0.640** 0.343 0.531* 0.492* 0.469* 0.001 0.234 0.288 0.345 0.162 0.853** 0.639** 0.082 0.200 0.268 0.404 0.404 0.231 0.381 0.192 -0.054 -0.428 -0.475* 0.241 Jumlah polong hampa/ tanaman 0.300 -0.603** Keterangan BK: bobot kering, * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1 % Bobot kering tajuk dan daun per tanaman berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hampa per tanaman tetapi berkorelasi negatif dengan jumlah polong isi per tanaman. Bobot kering tajuk dan daun berkorelasi nyata dengan bobot 100 biji dan jumlah polong hampa per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa bila bobot kering tajuk dan daun per tanaman semakin besar maka potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hampa per tanaman akan semakin besar namun jumlah polong isi per tanaman akan semakin kecil. Bobot kering akar berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot 100 biji, dan jumlah polong hampa tetapi berkorelasi negatif dengan bobot kering biji per tanaman dan jumlah polong isi per tanaman namun hanya berkorelasi nyata 43 dengan bobot 100 biji. Hal ini menunjukkan bila bobot kering akar semakin besar maka potensi produksi, bobot 100 biji, dan jumlah polong hampa akan semakin besar tetapi bobot kering biji per tanaman dan jumlah polong isi per tanaman akan semakin kecil. Bobot bintil akar per tanaman hanya berkorelasi positif dengan jumlah polong hampa per tanaman dan berkorelasi negatif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, dan jumlah polong isi per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa bila bobot bintil akar semakin besar maka jumlah polong hampa akan semakin besar tetapi potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, dan jumlah polong isi per tanaman akan semakin kecil. Tinggi tanaman saat panen berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hampa per tanaman tetapi berkorelasi negatif dengan jumlah polong isi per tanaman namun korelasinya tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa bila nilai tinggi saat panen semakin besar maka potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hampa per tanaman akan semakin besar tetapi jumlah polong isi per tanaman akan semakin kecil. Bobot tajuk dan akar, jumlah cabang dan buku produktif per tanaman berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, jumlah polong isi dan hampa per tanaman tetapi berkorelasi negatif dengan bobot 100 biji. Bobot tajuk dan akar berkorelasi nyata dengan bobot kering biji per tanaman dan jumlah polong hampa. Jumlah cabang produktif berkorelasi nyata dengan bobot kering biji per tanaman, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa per tanaman. Jumlah buku produktif hanya berkoreladi nyata dengan bobot 100 biji dan jumlah polong isi per tanaman. Hal ini menunjukkan bila bobot tajuk dan akar, jumlah cabang dan buku produktif per tanaman semakin besar maka potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, jumlah polong isi dan hampa per tanaman akan semakin besar tetapi bobot 100 biji akan semakin kecil. Jumlah polong hampa berkorelasi positif dengan potensi produksi, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji, dan jumlah polong isi per tanaman namun korelasinya tidak nyata. Jumlah polong isi berkorelasi positif dengan potensi produksi dan bobot kering biji tetapi berkorelasi negatif dengan bobot 100 biji namun hanya berkorelasi nyata dengan bobot 100 biji. Hal ini menunjukkan 44 bahwa bila jumlah polong isi per tanaman semakin besar maka potensi produksi dan bobot kering biji per tanaman akan semakin besar tetapi bobot 100 biji akan semakin kecil. Jika jumlah polong isi semakin banyak berarti semakin banyak juga jumlah biji yang dibentuk. Biji merupakan salah satu sink tanaman kedelai. Hasil fotosintat akan disimpan didalam biji. Hal ini diduga menyebabkan semakin kecilnya ukuran dan bobot biji sehingga bobot 100 biji pun semakin kecil. Bobot kering biji per tanaman berkorelasi positif dengan potensi produksi. Hal ini menunjukkan bahwa bila bobot kering biji per tanaman semakin besar maka potensi produksi juga akan semakin besar. Namun korelasi kedua komponen ini tidak nyata. Perbandingan Potensi produksi pada Musim Tanam I dan II Potensi produksi pada musim tanam II lebih tinggi dibandingkan musim tanam I untuk semua perlakuan. Perlakuan pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia musim tanam II menghasilkan potensi produksi lebih tinggi 52.26%, 45.26%, dan 34.51% dibandingkan musim tanam I. Perlakuan Wilis dan Anjasmoro musim tanam II menghasilkan potensi produksi lebih tinggi 57.2 % dan 40.75% dibandingkan musim tanam I. Tabel 15. Perbandingan Potensi produksi pada Musim Tanam I dan II pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan Dua Varietas Kedelai Perlakuan Pupuk Organik Varietas Pupuk Kandang Ayam Centrosema pubescens Tithonia diversifolia Wilis Anjasmoro Musim Tanam I (ton/ha) Musim Tanam II (ton/ha) 1.16b 2.43 1.33a 2.43 1.48a 1.07b 1.57a 2.26 2.28 2.46 Keterangan: Data potensi produksi pada Musim Tanam I diperoleh dari Kurniansyah (2010) Potensi produksi kedelai yang diberi pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia musim tanam II meningkat sebesar 123.27%, 82.70%, dan 78% dari musim tanam I. Potensi produksi musim tanam I yang paling tinggi dihasilkan oleh perlakuan Tithonia diversifolia yaitu 1.48 ton/ha. 45 Potensi produksi Anjasmoro nyata lebih tinggi dibandingkan Wilis yaitu 1.57 ton/ha dan 2.65 ton/ha baik musim tanam I maupun musim tanam II sedangkan pada musim tanam II semua perlakuan berpengaruh tidak nyata. Pembahasan Pengaruh Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Pupuk organik berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Baik pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, maupun Tithonia diversifolia dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara untuk pertumbuhan kedelai. Walaupun pupuk kandang memiliki kandungan N yang paling rendah (Tabel 4) namun kadar N dalam tanah setelah aplikasi pupuk organik pada perlakuan pupuk kandang tidak jauh berbeda dengan perlakuan pupuk hijau (Tabel 6) sehingga jenis pupuk organik berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Selain itu, adanya fiksasi nitrogen melalui simbiosis kedelai dengan bakteri pengikat nitrogen juga mempengaruhi penyerapan hara N kedelai. Menurut Baruah, et al (1994), Tongma, et al (1998), dan Otusanya et al. (2008), Tithonia dversifolia memiliki efek alelopati yang dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan. Namun tidak terlihat adanya efek alelopati pada tanaman kedelai, baik pada perkecambahan maupun pertumbuhan tanaman yang mendapat perlakuan pupuk kandang ayam, centrosema pubescens, dan Tithonia dversifolia. Berdasarkan estimasi ketersediaan hara, hanya unsur P yang jumlahnya dalam tanah melebihi serapan hara tajuk. Jumlah hara N dan K dalam tanah lebih kecil dibandingkan serapan hara tajuk. Meskipun demikian, diduga hara N dan K sudah cukup memenuhi kebutuhan tanaman. Hal ini disebabkan pupuk organik yang ditambahkan memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah sehingga meningkatkan ketersediaan hara secara berangsur. Jumlah hara N, P, dan K dalam tanah dihitung berdasarkan kadar N, P, dan K tanah pada saat tanam (0 MST) sedangkan serapan hara tajuk dihitung berdasarkan kadar N, P, dan K daun pada 7 MST. Hal ini juga menunjukkan adanya dekomposisi secara berangsur karena 46 setelah 7 MST jumlah hara yang diserap tanaman khususnya N dan K lebih besar dari jumlah hara yang terdapat di dalam tanah. Kadar N, P dan K dianalisis pada 7 MST. Bagian tanaman yang dianalisis adalah daun. Kadar N daun pada perlakuan pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia adalah 3.72 %, 3.68 %, dan 3.57 %. Kadar P pada perlakuan pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia adalah 0.54 %, 0.57 %, dan 0,55 %. Kadar K pada perlakuan pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia adalah 3.35 %, 3.65 %, dan 3.51 %. Kadar N, P, dan K pada semua perlakuan sesuai dengan kadar N, P, dan K pada daun menurut PPI (1998) yaitu 3.6-4.7 %, 0.31-0.5 %, dan 1.5-2.5 %. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hara daun kedelai yang dibudidayakan secara organik sama dengan kadar hara daun kedelai pada umumnya. Selain itu, kadar hara dalam daun di atas batas kritis hara N, P, dan K kedelai menurut Snyder and Ashlock, yaitu 2.7-4.5%, 0.1-0.4%, dan 0.7-2.5%. Berarti jumlah hara yang diserap oleh kedelai yang dibudidayakan secara organik pada penelitian ini sudah tercukupi. Tinggi tanaman kedelai pada penelitian ini sudah sesuai dengan deskripsi varietas (Lampiran 3) bahkan lebih tinggi. Tinggi tanaman kedelai varietas Wilis sekitar 40-50 cm dan Anjasmoro sekitar 64-68 cm. Tinggi tanaman 8 MST pada perlakuan pupuk kandang, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia adalah 98.18 cm, 96.93 cm, dan 91.62 cm. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan hara kedelai sudah tercukupi karena mampu mencapai pertumbuhan yang optimal dilihat dari tinggi tanaman. Adanya residu pupuk organik menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik (Melati et al., 2008). Kedelai merupakan tanaman legum yang mampu bersimbiosis dengan bakteri pengikat nitrogen. Tanpa penambahan pupuk, nitrogen yang dapat difiksasi sekitar 337 kg/ha (Salvagiotti et al, 2008). Kebutuhan hara N diduga berasal juga dari fiksasi nitrogen oleh bakteri pengikat nitrogen sehingga kebutuhan N kedelai dapat tercukupi. Hara N diperlukan untuk pembentukan asam-asam amino, enzim-enzim amino, asam nukleat, klorofil, alkaloid, basa purin terutama berperan terhadap bagian vegetatif tanaman (Hanafiah, 2007). Nitrogen memberikan pengaruh yang paling menyolok dan cepat dibandingkan 47 fosfor dan kalium. Pengaruh N terutama merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Nitrogen merupakan pengatur dari penggunaan kalium dan fosfor sebagian besar tanaman (Supardi, 1983). Lahan yang digunakan pada musim tanam II merupakan lahan yang sudah ditanami kedelai pada musin tanam I. Dosis pupuk pada musim tanam II sama dengan dosis pupuk yang digunakan pada musim tanam I. Residu pupuk organik yang terdapat di lahan menyebabkan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menjadi lebih baik sehingga hara menjadi lebih tersedia bagi tanaman. Selain itu, tanah yang pernah ditanami kedelai pada umumnya telah mengandung bakteri Rhizobium (Adisarwanto dan Budianto, 2002). Setelah panen, masih banyak tersisa bintil akar di dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa hara N pada musim tanam II cukup tersedia. Hara P jumlahnya mencukupi kebutuhan hara kedelai. Unsur ini mempengaruhi perkembangan akar terutama akar halus dan rambut akar, mempunyai peranan penting dalam metabolisme energi (Supardi 1983), penting untuk produksi tanaman, merangsang pertumbuhan awal tanaman serta memberikan pertumbuhan awal yang baik dan kuat (Rehn dan Schmitt, 2002), memiliki peranan kunci bagi reaksi yang melibatkan ATP (Taiz dan Zeiger, 2006). Peningkatan kadar P tanah akan merangsang pertumbuhan akar yang lebih banyak sehingga serapan hara oleh tanaman juga semakin besar (Purnomo et al., 2002). Dengan demikian tercukupinya hara P akan membuat pertumbuhan tanaman baik dan selama proses pertumbuhan metabolisme energi dapat berjalan dengan baik. Pupuk organik berpengaruh tidak nyata terhadap komponen produksi kedelai kecuali kadar Fe dalam biji. Baik pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, maupun Tithonia diversifolia dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara untuk produksi kedelai. Selama pertumbuhan terutama fase vegetatif, kebutuhan hara tanaman sudah tercukupi sehingga pertumbuhan tanaman cukup baik. Terjadi pembentukan daun, akar, dan batang selama proses pertumbuhan Setelah fase pertumbuhan vegetatif, tanaman merespon kombinasi seperti ukuran, suhu, fotoperiode untuk mengalami transisi ke fase generatif (Taiz and Zeiger, 2006). 48 Organ-organ yang terbentuk selama fase generatif adalah sink bagi tanaman dan daun adalah sebagai source. Daun merupakan organ fotosisntetik utama tanaman (Sumarsono, 2008). Daun termasuk ke dalam source karena mampu menghasilkan fotosintat melebihi kebutuhannya sendiri. Hasil fotosintat yang berlebih akan ditranslokasi ke sink. Organ yang digolongkan sink adalah semua organ non fotosintetik dan organ fotosintetik yang tidak menghasilkan fotosintat yang cukup untuk mendukung pertumbuhan normal (Taiz and Zeiger, 2006). Bunga dan buah yang sedang berkembang terutama buah muda mempunyai kemampuan yang besar dalam menarik garam mineral, gula dan asam amino. Bersamaan dengan penimbunan senyawa ini oleh organ reproduksi terjadi penurunan jumlah senyawa tersebut di daun. Penimbunan hara pada bunga, buah, dan umbi yang sedang berkembang sebagian besar dipasok dari dedaunan yang dekat dengan organ tersebut (Salisbury dan Ross, 1995). Selain itu jumlah buku produktif total yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil biji bergantung pada laju dan lamanya pertumbuhan vegetatif (Goldsworthy dan Fisher, 1992). Oleh karena itu pertumbuhan vegetatif yang baik sangat mendukung fase reproduktif tanaman. Hal ini terutama dapat dilihat dari Tabel 14. Terdapat korelasi yang positif antara komponen vegetatif dengan komponen produksi kecuali untuk beberapa peubah. Komponen vegetatif (tinggi, bobot kering tajuk, daun, dan akar) berkorelasi positif dan nyata terhadap bobot 100 biji. Jumlah cabang dan buku produktif berkorelasi positif dan nyata dengan jumlah polong isi. Walaupun kedelai perlakuan Tithonia diversifolia memiliki jumlah cabang dan jumlah buku produktif yang paling sedikit namun memiliki jumlah polong isi yang paling banyak walaupun tidak berbeda nyata. Jumlah daun trifoliat berkorelasi positif dengan jumlah polong isi. Perlakuan Tithonia diversifolia diduga menghasilkan jumlah polong isi paling banyak karena perlakuan ini menghasilkan jumlah daun trifoliat paling banyak pada 7 MST pada saat terjadi pembentukan polong sehingga terdapat cukup banyak daun sebagai source dan diduga energi pada saat pembentukan dan pengisian polong lebih tercukupi sehingga jumlah polong isi lebih tinggi. 49 Perlakuan jenis pupuk organik memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar Fe biji. Kadar Fe perlakuan Tithonia diversifolia dan pupuk kandang ayam nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan Centrsema diversifolia. Hal ini diduga karena perlakuan Tithonia diversifolia dan pupuk kandang ayam menyebabkan kedelai menyerap Fe lebih tinggi. Selain itu, kandungan Fe Tithonia diversifolia dan pupuk kandang ayam juga cukup tinggi. Walaupun kandungan Fe biji kedelai cukup tinggi, namun jumlah ini masih berada dalam batas kecukupan Fe kedelai menurut Achakzai (2004) yaitu 51-350 ppm. Komponen Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kedelai Varietas berbeda nyata pada tinggi tanaman 2, 3, 5, 6, dan 7 MST, bobot basah tajuk, bobot basah daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering daun, kadar K, serta serapan hara N, P, K tajuk dan daun. Tinggi tanaman Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis. Hal ini karena varietas Anjasmoro memiliki ukuran benih yang lebih besar sehingga mempunyai cadangan makanan dan energi yang lebih besar untuk berkecambah dan pertumbuhan awal (Kurniansyah, 2010). Varietas Anjasmoro memiliki karakter batang yang lebih tinggi dibandingkan Anjasmoro (Lampiran 3). Bobot basah tajuk varietas Wilis lebih besar dari Anjasmoro hal ini diduga karena Varietas Wilis memiliki jumlah cabang yang lebih banyak (Tabel 12). Pola percabangan batang kedelai dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan seperti panjang hari, jarak tanam, dan kesuburan tanah (Sumarno dan Mashuri, 2007). Jumlah cabang varietas Wilis pada penelitian Kurniansyah (2010) juga memperlihatkan bahwa varietas Wilis memiliki jumlah cabang yang nyata lebih banyak dibandingkan varietas Anjasmoro. Bobot basah daun varietas Wilis lebih besar karena memiliki jumlah daun yang lebih banyak. Walaupun varietas Wilis memiliki bobot basah tajuk dan daun yang lebih besar, namun bobot kering akar, tajuk, dan daun varietas Wilis lebih kecil dibandingkan varietas Anjasmoro. Bobot kering atau biomassa merupakan menunjukkan adanya akumulasi bahan kering. Akumulasi bahan kering mencerminkan kemampuan tanaman dalam mengikat energi dari cahaya matahari 50 melalui proses fotosintesis serta interaksinya dengan faktor lingkungan yang lain (Sumarsono, 2008). Hal ini diduga karena varietas Anjasmoro memiliki kadar N, P, dan K, serapan N, P, K daun dan tajuk yang lebih besar sehingga pertumbuhan vegetatif varietas ini lebih optimal. Varietas berbeda nyata pada komponen jumlah polong isi, jumlah cabang dan buku produktif, dan bobot 100 biji. Jumlah polong isi, cabang produktif, dan buku produktif varietas Wilis lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro. Varietas Wilis memiliki jumlah polong isi yang lebih tinggi karena memiliki jumlah cabang dan buku produktif yang lebih tinggi. Batang varietas Anjasmoro memiliki jarak internode yang lebih lebar (Kurniansyah, 2010) dengan kata lain jarak internode pada batang varietas Wilis lebih sempit. Jumlah buku produktif varietas Wilis lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro karena jarak internode yang lebih sempit sehingga lebih banyak buku yang bisa dihasilkan. Varietas Anjasmoro memiliki bobot 100 biji yang lebih tinggi dibandingkan Wilis. Hal ini terjadi karena Anjasmoro merupakan kedelai berbiji besar sedangkan Wilis berbiji sedang. Perbandingan Potensi produksi pada Musim Tanam I dan II Potensi produksi musim tanam II lebih tinggi di bandingkan musim tanam I. Hal ini diduga karena adanya efek residu pupuk organik dari musim tanam I. Efek ini menyebabkan hara tanaman pada musim tanam II lebih tersedia sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal sehingga produksi maksimal. Pertanaman pada musim tanam I menyebabkan bahan organik dan beberapa hara esensial dalam tanah meningkat. Hal ini dapat dilihat dari analisis tanah setelah panen MT II terjadi peningkatan kadar C-organik, N, P, dan K tanah dibandingkan setelah panen musim tanam I (Tabel 6). Peningkatan bahan organik tanah memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman yang optimal. Pertumbuhan optimal sangat diperlukan untuk menghasilkan produksi yang maksimal. Pertumbuhan tanaman pada MT II yang lebih baik dibandingkan MT I juga dapat dilihat pada tinggi tanaman, serta bobot kering daun dan tajuk pada 7 MST. Tinggi tanaman pada musim tanam I perlakuan pupuk kandang ayam, 51 Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia pada 7 MST adalah 55.30 cm, 58.17 cm, dan 62.77 cm (Kurniansyah, 2010). Tinggi tanaman pada musim tanam II pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia pada 7 MST adalah 94.87 cm, 93.42 cm, dan 89.82 cm. Tinggi tanaman pada musim tanam II lebih tinggi dibandingkan musim tanam I. Bobot kering tajuk dan daun pada 7 MST musim tanam II lebih tinggi dibandingkan musim tanam I. Rata-rata bobot kering tajuk dan daun musim tanam I adalah 22.25 g dan 16.66 g sementara pada musim tanam II adalah 28.78 g dan 27.07 g. Pertumbuhan tanaman yang lebih baik pada MT II diduga juga meyebabkan potensi produksi kedelai MT II lebih tinggi dibandingkan MT I. Kondisi iklim mikro pada MT II lebih mendukung pertumbuhan kedelai dibandingkan pada MT I. Selama 4 minggu awal penanaman kedelai, curah hujan pada MT II lebih tinggi dibandingkan MT I (Gambar 7). Hal ini membuat pertumbuhan awal kedelai pada MT II lebih baik dibandingkan MT I sehingga berpengaruh pada tahap pertumbuhan selanjutnya. Selama fase vegetatif, curah hujan pada MT II lebih tinggi dibandingkan MT I. Hal ini menyebabkan umur panen kedelai MT II lebih lama dibandingkan MT I. Umur panen yang lebih lama ini diduga juga menyebabkan potensi produksinya menjadi lebih tinggi karena pengisian biji berlangsung lebih lama sehingga lebih banyak cadangan makanan yang disimpan. Intensitas cahaya matahari pada MT II lebih rendah dibandingkan MT I karena MT I berlangsung pada musim kemarau. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab umur panen kedelai MT I lebih cepat dibandingkan MT II. Menurut Darmijati et al. (1989), radiasi surya berpengaruh terhadap umur panen kacang tanah. Umur panen kacang tanah yang ditanam pada saat musim kemarau lebih pendek dan mengakibatkan hasil panen di musim kemarau cenderung lebih rendah walaupun jumlah pemberian air tinggi. Intensitas cahaya matahari pada MT II mencukupi kebutuhan kedelai walaupun intensitas cahaya matahari MT II lebih rendah dibandingkan MT sehingga pertumbuhan kedelai tetap optimal dan produksi maksimal. Secara umum, intensitas penyinaran di wilayah Indonesia cukup melimpah untuk persyaratan tumbuh kedelai ( Sumarno dan Manshuri, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian pupuk organik dengan dosis yang sama dengan musim tanam I berpengaruh tidak nyata terhadap produksi kedelai. Potensi produksi kedelai perlakuan pupuk kandang, Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia berturut-turut adalah 2.43 ton/ha, 2.43 ton/ha, dan 2.26 ton/ha.Varietas Anjasmoro memberikan respon yang lebih baik dibandingkan varietas Wilis untuk beberapa komponen pertumbuhan dan produksi namun tidak berbeda nyata pada potensi produksi. Potensi produksi kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro berturut-turut adalah 2.28 ton/ha dan 2.46 ton/ha. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara jenis pupuk organik dan varietas kecuali kadar Fe biji. Pemberian pupuk organik dengan dosis yang sama dengan dosis musim tanam I menghasilkan tanaman dengan potensi produksi yang lebih baik pada musim tanam II. Saran Ketiga jenis pupuk organik pada penelitian ini dapat digunakan untuk budidaya kedelai secara organik karena dapat memenuhi kebutuhan hara kedelai. Pupuk kandang disimpan di tempat yang tertutup dan dengan cara yang benar supaya tidak terjadi pencucian N. Pembumbunan sebaiknya dilakukan pada budidaya kedelai secara organik terutama varietas Anjasmoro dan Wilis untuk mencegah terjadinya rebah. DAFTAR PUSTAKA Achakzai, A.K.K. 2004. Uptake of moisture, iron, and copper content by pot culture mature soybean seeds. J. Biol. Sci 4(1):50-54. Adie, M. dan A. Krisnawati. 2007. Biologi Tanaman Kedelai, hal. 45-73. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Adisarwanto, T. dan R. Wudianto. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah, Kering, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Bogor. 86 hal. Asiah, A. 2006. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Panen Muda dengan Budidaya Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Instiutut Pertanian Bogor. 52 hal. Balitkabi. 2008. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu, dan Ubi Jalar. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Bogor. 33 hal. Balittanah. 2004. Pengelolaan Lahan untuk Budidaya Sayuran Organik. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. [25 Oktober 2010]. Baruah, N.C., J.C. Sarma, N.C. Barua, S. Sarma, and R.P. Sarma. 1994. Germination and growth inhibitory sesquiterpene lactones ang a flavone from Tithonia diversifolia. Phytochemistry 36(1):29-36. BPS. 2009. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Menurut Provinsi. http://www.bps.go.id. [25 September 2010]. BPS. 2011. Produksi Padi, Jagung, Kedelai (Angka Sementara Tahun 2010 dan Angka Ramalan I Tahun 2011). BPS. Jakarta. Darmijati, S., Adrizal, dan Syarifudin. 1989. Pengaruh radiasi surya dan curah hujan terhadap umur dan hasil kacang tanah. Jurnal Agromet V(1):1-62. Fauziati. N., Nurita, dan K. Anwar. 2002. Peranan Pupuk Hayati dalam Mensubstitusi Kebutuhan Hara P pada Tanaman Jagung dan Kedelai di Lahan Gambut Dangkal. Prosiding Seminar Nasional Agronomi dan Pameran Pertanian 2002. Perhimpunan Agronomi Indonesia. Bogor. 238245. Goldsworthy P.R., dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. (diterjemahkan dari: The Physiology of Tropical Field Crops, penerjemah: Tihari). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 54 Hanafiah, K.A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 hal. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta. 286 hal. Harjadi, S.S. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. Hartatik, W. 2007. Tithonia diversifolia sumber pupuk hijau. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29(5):3-6. IAARD. 2001. Varietas Anjasmoro. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. http://www.litbang.deptan.go.id. [31 Oktober 2010]. IFOAM. 2010. Prinsip-prinsip Pertanian Organik. http://www.ifoam.org. [10 November 2010]. Jufri, Y. 2010. Tithonia diversifolia, Pupuk http://www.serambinews.com. [10 November 2010]. Alternatif. Komalasari, W.B. 2008. Prediksi Penawaran dan Permintaan Kedelai dengan Analisis Deret Waktu. Informatika Pertanian 17(2):1195-1209. http://www.litbang.deptan.go.id. [18 Oktober 2010]. Kuntyastuti, H. dan A. Taufiq. 2008. Komponen teknologi budidaya kedelai di lahan kering. Bul. Palawija 16:31-47. Kurniansyah, D. 2010. Produksi Kedelai Organik Panen Kering dari Dua Varietas Kedelai dengan Berbagai Jenis Pupuk organik. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 60 hal. Kurniasih, W. 2006. Pengaruh Jenis, Dosis Benih, dan Umur Tanaman Pupuk Hijau terhadap Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Panen Muda Secara Organik. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hal. Melati, M., A. Aisiah, dan D. Rianawati. 2008. Aplikasi pupuk oranik dan residunya unuk produksi kedelai panen muda. Bul.Agron. 36(3):204-213. Marwoto, S. Hardaningsih, dan A.Taufiq. 2006. Hama, Penyakit, dan Masalah Hara pada Tanaman Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 67 hal. Olabode, O.S., O. Sola, W.B. Akanbi, G.O. Adesina, and P.A. Babajide. 2007. Evaluation of Tithonia diversifolia (Hemsl.) a gray for soil improvement. World J. Agric. Sci. 3(4):503-507. Otusanya, O.O., O.W. Ikonoh, and O.J. Ilori. 2008. Allelopathic potentials of Tithonia deversifolia (Hemsl) A. Gray: Effect on the germination, growth 55 and chlorophyll accumulation of Capsicum annum L. and Lycopersicon esculentum Mill. International Journal of Botany 4(4):471-475. Prosea. 2010. Centrosema pubescens Benth. http://www.proseanet.org/florakita. [25 Oktober 2010]. Purnomo, J., K. I. Suwarno, dan E. L. Sisworo. 2002. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang terhadap Efisiensi Pemupukan P pada Oxisol Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Agronomi dan Pameran Pertanian 2002. Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi). Purwono dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Rianawati, D. 2007. Pengaruh Residu Kombinasi Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Panen Muda yang Diusahakan Secara Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rehn, G. and M. Schmitt. 2002. Understanding Phosphorus in Minnesota Soils. University if Minnesota. http://www.umn.edu. [12 Agustus 2011]. Sabrina, T. dan A. Rauf. 2010. Aplikasi Kompos Tithonia diversifolia dan Chromolaena odorata dengan Menggunakan Dekomposer Trichoderma harzianum Terhadap Ketersediaan P dan Serapan Hara P oleh Tanaman Jagung Pada Tanah Andisol. http://repository.usu.ac.id. [10 November 2010]. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. 1995. (diterjemahkan dari: Plant Physiology 4th Ed., penerjemah: D.R. Lukman, Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung. 343 hal. Salvagiotti, F., K.G. Cassman, J.E. Specht, D.T. Walters, A. Weiss, and A. Dobermann. 2008. Nitrogen uptake, fixation, and response to fertilizer N in soybeans: A review. Field Crops Research 108:1-13. Setyarini, D. 2005. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(6):13-15. http://www.pustakadeptan.go.id [22 Maret 2010]. Simanungkalit, R.D.M., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 10 hal. Sinaga, Y.A. 2005. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine maxI (L.) Merr.) Panen Muda yang Diusahakan Secara Organik. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31 hal. 56 Siregar. 2010. Produksi Kedelai Ditingkatkan http://www.antaranews.com. [18 Oktober 2010]. di Tanah Masam. Snyder, C.S. and L.A. Ashlock. Mineral Nutrition of Soybeans. http://soybean.uwex.edu/. [7 Oktober 2011]. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 591 hal. Sudaryanto, T. dan D.K.S. Swastika. 2007. Ekonomi kedelai di Indonesia. hal. 127. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sumarno dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di Indonesia, hal.74-103. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sumarsono. 2008. Analisis Kuantitatif Pertumbuhan http://www.eprints.undip.ac.id. [22 Juli 2011]. Tanaman Kedelai. Sumartini dan Y. Proyogo. Kerentanan Beberapa Varietas Kedelai Unggul terhadap Penyakit Tula Tanah Cladosporium. Balai Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id. [2 November 2010]. Suryantini dan A.A. Rahmianna. 2001. Peningkatan Efektivitas Rhizoplus dan Pupuk Anorganik untuk Produktivitas Kedelai di Tanah Regosol dan Vertisol Melalui Penggunaan Pupuk Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Susilawati, P.N. 2010. Budidaya Kacang Tanah pada Lahan Kering. http://banten.litbang.deptan.go.id. [8 Agustus 2011]. Suswono. 2010. Memanfaatkan Inovasi Menggenjot Produksi Kedelai. Republika, 30 Juli 2010. www.litbang.deptan.go.id. [10 Mei 2011]. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. 219 hal. Standar Nasional Indonesia. 2002. SNI 01-6729-2002. Sistem Pangan Organik. Badan Standardisasi Nasional. 44 hal. Stern, K.R., J.E. Bidlack, and S.H. Jansky. 2008. Introductory Plant Biology. McGraw-Hill. 616 p. Syahputra, D.F. 2007. Efek Residu Pupuk Organik terhadap Produksi Sawi (Brassica juncea L.) dan Beberapa Sifat Kimia Tanah Andisol. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. 45 hal 57 Taiz, L. and E. Zeiger. 2006. Plant Physiology. Sinauer Associated Inc. Sunderland. 764p. Taufiq, A., A. Wijanarko, Marwoto, T. Adisarwanto, dan C. Prahoro. 2007. Verifikasi Budidaya Kedelai di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id. [2 November 2010]. Tongma, S., K. Kobayashi, and K. Usui. 1998. Allelopathic activity on mexican sunflower (Tithonia diversifolia) in soil. Weed Science 46:432-437. Widiwurjani dan H. Suhardjono. 2006. Respon Varietas Sawi terhadap Pemberian Biofertilizer Tithonia (Tithonia diversifolia) sebagai Pengganti Pupuk Anorganik. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman 2006. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. LAMPIRAN 59 Lampiran 1. Penataan Petak Percobaan Ulangan 3 Ulangan 2 TA TA CA PA TW TW CW PW PA Ulangan 1 PW CW CA TW PA CA CW TA PW Keterangan : Petak varietas Anjasmoro : Petak varietas Wilis : Tagetes : Serai P C T : Pupuk kandang : Centrosema pubescens : Tithonia diversifolia 60 Lampiran 2. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah Parameter Tanah C (%) N (%) P2O5 Bray (ppm P) Ca (me/100g tanah) Mg (me/100g tanah) K (me/100g tanah) Na (me/100g tanah) KTK (me/100g tanah) Kejenuhan basa (%) Kejenuhan aluminium (%) pH H2O Sangat rendah < 1.0 < 0.1 <4 <2 < 0.3 < 0.1 < 0.1 <5 < 20 <5 Rendah Nilai Sedang Tinggi 1-2 0.1-0.2 5-7 2-5 0.4-1.0 0.1-0.3 0.1-0.3 5-16 20-40 5-10 2.1-3.0 0.21-0.5 8-10 6-10 1.1-2.0 0.4-0.5 0.4-0.7 17-24 41-60 11-20 3.1-5.0 0.51-0.75 11-15 11-20 2.1-8.0 0.6-1.0 0.8-1.0 25-40 61-80 20-40 Sangat masam < 4.5 Masam Agak masam 5.5-6.5 Netral 4.5-5.5 Unsur mikro Defisiensi Marginal (ppm) Fe 2.5 2.5-4.5 Cu 0.2 Zn 0.5 0.5-1.0 Mn 1.0 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994 6.6-7.5 Cukup 4.5 0.2 1.0 1.0 Sangat tinggi > 5.0 > 0.75 > 15 >20 > 8.0 >1.0 >1.0 >40 >80 >40 Agak Alkalis 7.6-8.5 61 Lampiran 3. Deskripsi Varietas Varietas Anjasmoro Wilis Dilepas tahun 22 Oktober 2001 21 Juli 1983 SK Mentan 537/Kapts/TP.240/10/2001 TP240/519/Kpts/7/1983 Nomor galur Mansuria 395-49-4 B 3034 Asal Seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria Hasil seleksi keturunan persilangan Orba x No.1682 Produktivitas 2.03-2.25 ton/ha 1.6 ton/ha Warna hipokotil Ungu Ungu Warna daun Hijau Hijau-hijau tua Warna bulu Putih Coklat tua Warna bunga Ungu Ungu Warna kulit biji Kuning Kuning Warna polong masak Coklat muda Coklat tua Warna hilum Kuning kecoklatan Coklat tua Tipe tumbuh Determinate Determinate Umur berbunga 35.7-39.4 hari ± 39 hari Umur polong masak 82.5-92.5 hari 85-90 hari Tinggi tanaman 64-68 cm ± 50 cm Bobot 100 biji 14.8-15.3 gr ± 10 g Kandungan protein 41.8-42.1% 37.00% Kandungan lemak 17.2-18.6% 18.00% Kerebahan Tahan rebah Tahan rebah Ketahanan penyakit Moderat terhadap karat daun Agak tahan karat daun dan virus Sumber : Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), 2008