bab ii tinjauan yuridis terhadap pelaksanaan eksekusi gadai

advertisement
BAB II
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI GADAI
SAHAM MELALUI PENJUALAN SECARA TERTUTUP
A.
LANDASAN TEORI
A.1. TINJAUAN UMUM MENGENAI EKSEKUSI
A.1.1. Sumber dan Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi di Indonesia
1
Prosedur pelaksanaan eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224
HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat ini tidak semua
ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Beberapa ketentuan yang masih
berlaku dalam praktek antara lain Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR
atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai
Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang
“sandera” atau “gijzeling” tidak lagi diberlakukan secara efektif. Seorang debitur
yang dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan pengadilan tidak
lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan
pembayaran menurut putusan pengadilan.
Disamping itu, terdapat beberapa peraturan lainnya seperti Peraturan
Lelang No. 189/1908 (Vendu Reglement St. 1908/No. 189) dan Pasal 180 HIR
1
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,
2006, halaman 2.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.17
atau Pasal 191 RBG yang mengatur tentang pelaksanaan putusan secara serta
merta (uit voerbaar bij vorraad) atau provisionally enforceable (to have immidiate
effect) yakni pelaksanaan putusan dengan segera dapat dijalankan terlebih dahulu
sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal-pasal itulah yang menjadi pedoman tindakan eksekusi, yang akan
dibahas lebih lanjut secara terperinci. 2Namun, pembahasan berdasarkan pasalpasal tersebut sama sekali tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat
dalam asas-asas hukum, yurisprudensi, maupun praktek pengadilan sebagai alat
pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul dalam praktek.
Misalnya eksekusi mengenai barang hipotik dan hak tanggungan tidak bisa
diselesaikan pelaksanaannya secara tepat dan sempurna tanpa mengaitkan pasalpasal eksekusi dengan ketentuan hipotik yang diatur dalam KUHPerdata maupun
ketentuan hak tanggungan yang diatur dalam UU Agraria No. 5 Tahun 1960 dan
UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Begitu pula untuk memecahkan
masalah noneksekutabel (tidak dapat dieksekusi), kreditur yang paling utama
kedudukannya dalam eksekusi atas sita jaminan yang sama dan atas suatu barang
yang sama tidak bisa terlepas dari patokan atau acuan asas-asas eksekusi.
Demikian juga permasalahan eksekusi antara instansi pengadian dengan PUPN,
tidak bisa dipecahkan tanpa mengkaitkan aturan pasal-pasal eksekusi dengan UU
No. 49 PrP/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan “parate
eksekusi” yang dilimpahkan undang-undang kepada instansi PUPN.
2
Ibid., halaman 4-5.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.18
A.1.2. Pengertian dan Asas-Asas Eksekusi
3
Prof. R. Subekti dan Ibu Retnowulan Sutantio mengalihkan istilah
eksekusi (executie) kedalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan
putusan”. Pembakuan istilah “pelaksanaan putusan” sebagai kata ganti eksekusi
dianggap sudah tepat, sebab jika betitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian
kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBH, pengertian eksekusi sama
dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonissen).
Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melaksanakan isi putusan
pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan
bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalan tidak mau menjalankannya
secara sukarela.
Pada prinsipnya hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan putusannya. Dengan demikian, asas-asas atau aturan umum eksekusi
adalah sebagai berikut :4
-
eksekusi dilaksanakan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat kondematoir;
-
karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung
hubungan hukum yang tetap dan pasti antara para pihak yang berperkara;
-
karena hubungan hukum sudah tetap dan pasti (fixed and certain), maka mesti
ditaati dan dipenuhi;
3
Etto Sunaryanto, Sugiwanto dan Jose Ari Lukito, Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara,
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Jakarta, 2006, halaman 3-4.
4
Ibid., halaman 4.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.19
-
cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang tetap dan pasti tersebut
adalah dengan cara dijalankan secara sukarela atau dengan paksa melalui
bantuan alat-alat negara;
-
kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepda Pengadilan Negeri;
-
eksekusi dilaksanakan atas perintah dan dalam pengawasan Ketua Pengadilan
Negeri.
Terdapat beberapa pengecualian atas asas-asas atau aturan umum eksekusi
tersebut di atas. Dalam kasus-kasus tertentu, undang-undang memperbolehkan
eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau
eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap bentuk produk tertentu diluar
putusan. Adakalanya eksekusi bukan merupakan tindakan menjalankan putusan
pengadilan, tetapi menjalankan pelaksanaan terhadap bentuk-bentuk produk yang
dipersamakan oleh undang-undang sebagai putusan yang teah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Terhadap pengecualian yang dimaksud, eksekusi dapat
dijalankan sesuai dengan aturan tata cara eksekusi atas putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Berikut ini adalah bentuk-bentuk pengecualian
tersebut, yaitu :5
-
Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar
bij vorraad)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG
hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar putusan dapat
5
Ibid., halaman 4-5.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.20
dilaksanakan terlebih dahulu, yang lazim disebut “putusan dapat dieksekusi
serta merta”, sekalipun terhadap putusan itu dimintakan banding atau kasasi.
-
Pelaksanaan Putusan Provisi
Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG
pada kalimat terakhir mengenai “gugatan provisi” yakni tuntutan lebih dahulu
yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim
mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, putusan tersebut dapat dieksekusi
sekalipun perkara pokoknya belum diputus.
-
Akta Perdamaian
Bentuk pengecualian lain adalah akta perdamaian yang diatur dalam Pasal 130
HIR atau Pasal 154 RBG. Menurut ketentuan pasal tersebut, selama
persidangan berlangsung, para pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas
anjuran hakim maupun atas inisiatif pihak yang berperkara. Apabila tercapai
perdamaian dalam persidangan, maka hakim akan membuat akta perdamaian
yang harus ditaati oleh para pihak. Sifat akta perdamaian yang dibuat di dalam
persidangan mempunyai kekuatan eksekusi seperti putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
-
Eksekusi Terhadap Grosse Akta
Pengecualian lain yang diatur dalam undang-undang adalah menjalankan
eksekusi terhadap grosse akta baik grosse hipotik maupun grosse akta
pengakuan hutang, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258
RBG. Eksekusi yang dijalankan adalah memenuhi isi perjanjian yang dibuat
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.21
para pihak dengan ketentuan perjanjian itu berbentuk grosse akta karena dalam
bentuk grosse akta melekat titel esekutorial, sehingga memiliki kekuatan
eksekutorial.
-
Eksekusi Terhadap Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia
Atas obyek yang telah dibebankan dengan Hak Tanggungan atau menjadi
jaminan secara fidusia, pihak kreditur dapat langsung meminta dilakukan
eksekusi melalui penjualan secara lelang karena diperjanjikan klausul kuasa
menjual.
A.1.3. Bentuk-Bentuk Eksekusi
Salah satu asas eksekusi adalah hanya dapat dijalankan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang bersifat
kondematoir, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan “penghukuman”
untuk melakukan suatu perbuatan yaitu :6
a. menyerahkan suatu barang;
b. mengosongkan sebidang tanah atau rumah;
c. melakukan suatu perbuatan tertentu;
d. menghentikan suatu perbuatan atau keadaan;
e. membayar sejumlah uang.
Berdasarkan amar putusan pengadilan yang bersifat kondematoir di atas,
maka bentuk-bentuk atau klasifikasi eksekusi dapat digolongkan menjadi :
6
Ibid., halaman 5.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.22
a. Eksekusi riil yaitu melakukan suatu tindakan nyata/riil seperti menyerahkan
suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu
perbuatan tertentu dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan.
b. Eksekusi pembayaran uang yaitu membayar sejumlah uang.
Selanjutnya Prof. Sudikno Mertokusumo membagi jenis eksekusi menjadi
3 kelompok sebagai berikut :
a. membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 196 HIR dan Pasal 208 RBG;
b. melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBG;
c. eksekusi riil berdasarkan Pasal 1033 RV.
Perbedaan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran uang dapat
diuraikan sebagai berikut :7
a. eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi pembayaran uang
memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan eksekusi;
b. eksekusi rill terbatas putusan pengadilan, sedangkan eksekusi pembayaran
uang meliputi akta yang disamakan dengan putusan pengadilan;
c. sumber hubungan hukum yang disengketakan, yakni bahwa pada umumnya
eksekusi riil adalah upaya hukum yang mengikuti persengketaan “hak milik”,
sedangkan eksekusi pembayaran uang hubungan hukumnya hanya terbatas
sekali semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan “perjanjian hutang
piutang”.
7
Ibid., halaman 35.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.23
A.1.4. Eksekusi Jaminan Kebendaan
a. Eksekusi Hak Tanggungan
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 terkandung karakter parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan
sendiri atau eigenmachtige verkoop (the right to sell), namun penerapannya
mengacu kepada ketentuan Pasal 224 HIR atau Pasal 256 RBG apabila
tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri. Penjualan lelang harus diminta
kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan alasan cindera janji atau
wanprestasi.
Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak menjelaskan
apa yang dimaksud cidera janji. Dengan demikian, untuk menentukan
adanya cidera janji, maka harus merujuk kepada ketentuan Pasal 1243
KUHPerdata atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian
atau apabila dianalogikan dengan ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, yang
dikategorikan cidera janji adalah apabila debitor tidak melunasi hutang
pokoknya atau tidak membayar bunga yang terutang sebagaimana
mestinya.
Dari hasil penjualan, kreditur mengambil peluanasa lebih dahulu
atas seluruh hutang dari hasil penjuaan, dengan cara mengesampingkan
kreditur lain. Jika masih terdapat sisa, maka akan menjadi hak dari pemberi
hak tanggungan dan harus diserahkan kepadanya.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.24
Eksekusi ril berupa pengosongan atas obyek hak tanggungan yang
telah dijual, baik hal itu melalui pengadilan negeri berdasarkan Pasal 224
HIR atau melalui kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996, tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996.
Apabila debitur cidera janji, pemenuhan pembayaran hutang akan
dilaksanakan melalui :
(1) parate eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR dan Pasal 6 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996, dengan meminta fiat eksekusi kepada
Ketua Pengadilan Negeri, dimana berdasarkan permintaan tersebut,
Ketua Pengadilan Negeri akan melaksanakan penjualan lelang;
(2) melalui penjualan lelang atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu apabila dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan berjanji bahwa
pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri, penjualan lelang dapat dilakukan tanpa campur
tangan pengadilan, sehingga pemegang hak tanggungan dapat langsung
meminta pelaksanaan penjualan kepada kantor lelang atau pejabat
lelang.
Penjualan dibawah tangan oleh pemegang hak tanggungan diatur
dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,
yaitu harus berdasarkan kesepakatan antara pemberi hak tanggungan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.25
dengan pemegang hak tanggungan. Kebebasan ini dimaksudkan untuk
mempercepat penjualan obyek hak tanggungan dan juga untuk mengurangi
pengeluaran biaya eksekusi yang harus dipikul oleh debitur.
Pelaksanaan penjualan menurut Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 baru dapat dilaksanakan :
(1) setelah lewat waktu 1 bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis
oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan, dengan tujuan untuk melindungi pihak-pihak
yang berkepentingan seperti pemegang hak tanggungan kedua, ketiga
dan kreditur lainnya dari pemberi hak tanggungan, sedangkan tanggal
pemberitahuan tertulis yang dimaksud dalam hal ini adalah tanggal
pengiriman pos tercatat atau tanggal penerimaan melalui kurir maupun
faksimili;
(2) diumumkan dalam sedikit-dikitnya 2 surat kabar;
(3) tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur mengenai
cidera janji, maka untuk menentukan apakah debitur cidera janji akan
merujuk kepada ketentuan Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUHPerdata. Namun
demikian, di beberapa negara diatur lebih rinci kapan debitur disebut cidera
janji atau default yaitu dalam hal :8
8
Ibid., halaman 303.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.26
(1) debitur melanggar salah satu ketentuan perjanjian yang berkenaan
dengan pokok pinjaman dan/atau bunga, yakni tidak membayar bunga
paling tidak 2 bulan;
(2) pelanggaran itu telah diberitahukan kepada debitur, namun meskipun
sudah lewat 3 bulan tetap tidak diindahkan.
Pasal 1267 KUHPerdata juga memberikan hak opsi kepada kreditur
untuk
mengambil
tindakan
apabila
debitur
wanprestasi,
tanpa
mempersoalkan apakah perjanjian telah jatuh tempo atau tidak, dengan
ketentuan meminta atau menuntut kepada pengadilan untuk memaksa
debitur memenuhi perjanjian, jika hal tu masih dilakukan oleh debitur atau
menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya
kerugian dan bunga.
Dalam
pelaksanaannya
lelang
hak
tanggungan
harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
(1) dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dimuat janji bahwa
apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan yang pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya daru hasil penjualan tersebut.
(2) pihak yang bertindak sebagai pemohon lelang adalah kreditur
pemegang hak tanggungan tingkat pertama;
(3) pelaksanaan lelang harus melalui pejabat lelang yang berwenang;
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.27
(4) pengumuman lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang eksekusi;
(5) tidak diperlukan persetujuan debitur untuk melaksanakan lelang;
(6) nilai limit sedapat mungkin ditentukan penjual;
(7) pelaksanaan lelang dapat melibatkan Balai Lelang pada jasa pralelang.
b. Eksekusi Jaminan Fidusia
Jaminan fidusia adalah jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditor lainnya. Proses pembebanan fidusia dilakukan melalui
dua tahap sebagai berikut :
a. tahap pemberian jaminan fidusia dengan dibuatnya Akta Jaminan
Fidusia oleh notaris;
b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pendaftaran Fidusia yang merupakan
saat lahirnya jaminan fidusia yang dibebankan.
Asas-asas pokok dalam jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
1. Asas Spesialitas atau Fixed Loan
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2 Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Fidusia. Obyek jaminan fidusia merupakan agunan
atau jaminan atas pelunasan hutang tertentu yang memberikan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.28
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur
lainnya. Oleh karena itu, obyek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu
pada satu segi dan pada segi lain harus pasti jumlah hutang debitur atau
paling tidak dapat dipastikan atau diperhitungkan jumlahnya.
2. Asas Asesor
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, fidusia
merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok (principal
agreement). Perjanjian pokoknya adalah perjanjian hutang, dengan
demikian keabsahan dan pengakhiran perjanjian fidusia akan
tergantung dari perjanjian pokoknya.
3. Asas Droit de Suite
Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999,
jaminan fidusia akan tetap mengikuti benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia tersebut, dalam tangan siapapun benda itu berada,
kecuali keberadannya pada pihak ketiga berdasarkan pengalihan atau
cessie berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata. Dengan demikian, hak
jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak atau in rem dan
bukan in personam
4. Asas Preferen (Droit de Preference)
Pengertian asas preferen atau hak didahulukan diatur dalam Pasal 27
ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 yaitu memberi hak
didahulukan atau diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.29
kreditur lain untuk mengambil pemenuhan pembayaran pelunasan
hutang atas penjualan benda obyek jaminan fidusia.
Lahirnya hak fidusia disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 yaitu terhitung sejak tanggal pendaftaran
akta fidusia ke kantor pendaftaran fidusia. Dengan demikian hak fidusia
akan tergantung dari fiing date dan apabila suatu obyek jaminan fidusia
dibebani lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, hak mendahului
diberikan kepada penerima fidusia yang lebih dahulu mendaftarkan pada
kantor pendaftaran fidusia (asas first registered).
Tujuan pendaftaran akta fidusia adalah untuk memenuhi asas
publisitas dan keterbukaan. Dengan demikian, segala keterangan mengenai
obyek jaminan fidusia yang berada pada kantor pendaftaran fidusia bersifat
terbukan untuk umum. Tujuannya adalah sebagai jaminan kepastian
terhadap kreditur lainnya mengenai kebenaran benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia tersebut.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999, permohonan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia
memuat :
(1) identitas pemberi fidusia dan penerima fidusia;
(2) tanggal, nomor akta jaminan fidusia dan kedudukan notaris yang
membuat akta jaminan fidusia;
(3) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.30
(4) uraian mengenai obyek jaminan fidusia;
(5) nilai jaminan;
(6) nilai benda obyek jaminan fidusia.
Jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (3) Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 akan dicatat dalam buku daftar fidusia.
Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000, fungsi
pekerjaan Dewan Komisaris adalah menerima permohonan, pendaftaran,
perjuangan dan latihan. Penerapan eksekusi jaminan fidusia harus
dilaksanakan berdasarkan ketentuan Bab V Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 mengenai obyek jaminan fidusia memberikan penegasan
kepastian atas ketidakjelasan praktek pengadilan terhadap eksekusi obyek
jaminan fidusia yang berlaku sampai dengan saat ini.
c. Eksekusi Gadai
Gadai termasuk jaminan yang memiliki hak didahulukan (droit de
preference). Berdasarkan Pasal 1133 KUHPerdata, gadai sama dengan
hipotik, artinya dilindungi hak preferen dan hak didahulukan. Oleh
karenanya, pemegang saham mempunyai hak mengambil pelunasan hutang
dari barang gadai dengan cara mengesampingkan kreditur lain. Bertitik
tolak dari hal tersebut di atas, Pasal 1334 KUHPerdata menempatkan
pemegang saham sebagai kredtitur sebagai kreditur konkuren.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.31
Salah satu prinsip pokok gadai diatur dalam Pasal 1152
KUHPerdata, yaitu :
-
Obyek barang bergerak dan pitang
Perjanjian gadai hanya terbatas atas barang bergerak dan piutang,
sehingga tidak dibenarkan gadai atas barang tidak bergerak yang telah
diatur secara khusus (untuk obyek berupa tanah akan diikat dengan Hak
Tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, kapal
diatas 20m3 diikat dengan hipotik berdasarkan Bab XXI Buku II
KUHPerdata Pasal 1162-1232, pesawat terbang diikat dengan hipotik
berdasarkan aturan yang sama dengan kapal).
-
Barang gadai mesti berpindah tangan di bawah kekuasaan
kreditur (pemegang gadai)
Syarat atau asas ini bersifat imperatif yakni barang gadai tidak boleh
tetap berada dibawah kekuasaan debitur (pemberi gadai), tetapi mesti
dialihkan ke tangan kreditur. Pelanggaran atas asas ini, yakni
membiarkan barang gadai tetap berada didalam kekuasaan debitur
mengakibatkan hak gadai menjadi tidak sah. Sehubungan dengan asas
ini, apabila barang gadai lepas dari kekuasaan pemegang gadai, dengan
sendirinya menurut hukum hak gadai akan hapus. Namun demikian,
apabila lepasnya barang gadai tersebut disebabkan dicuri, maka
berdasarkan Pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata pihak yang menguasai
barang gadai tersebut akan dianggap sebagai pemiliknya.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.32
(3) Cara meletakkan hak gadai atas surat tunjuk (aan order)
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1152 bis KUHPerdata,
yaitu dengan endosemen dan selanjutnya surat akan diserahkan secara
fisik
kepada
pemegang
gadai.
Dengan
endosemen,
kreditur
dimungkinkan melakukan hak-hak yang timbul dari surat berharga
tersebut. Akan tetapi, dalam hal ini kepemilikan atas surat berharga
tersebut tidak beralih dan pemegang gadai berhak untuk menagih
menurut hukum hak atas surat berharga tersebut.
Timbulnya hak pemegang gadai untuk melakukan eksekusi diatur
dalam Pasal 1155 KUHPerdata, yaitu debitur cidera janji melaksanakan
kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam perjanjian
atau apabila tenggang waktu pemenuhan kewajiban tidak ditentukan dalam
perjanjian, debitur dianggap melakukan cidera janji memenuhi kewajiba
setelah adanya peringatan untuk membayar.
Tata cara eksekusi gadai dengan memperhatikan ketentuan Pasal
1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata telah ditentukan secara limitatif dan
imperatif dengan cara dan bentuk tertentu yaitu :
-
Penjualan di muka umum
Penjualan dengan cara umum akan dilakukan menurut kebiasaan
setempat menurut syarat-syarat yang lazim berlaku.
9
Dari hasil
penjualan, kreditur mengambil hasil pelunasan yang meliputi hutang
9
Ibid., halaman 273.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.33
pokok, bunga dan biaya yang timbul dari penjualan. Pasal 1155 pada
dasarnya juga mengatur penjualan secara ipso juri memberikan hak
parate executie dengan hak menjual atas kuasa sendiri (rechts van
eigenmachtige verkoop, the right to sell) obyek barang gadai kepada
pemegang gadai, namun Pasal 1155 mengatur prinsip-prinsip pokok
sebagai berikut :
a) penjualan barang lelang harus dilakukan di muka umum melalui
lelang (executoriale verkoop);
b) ketentuan penjualan barang lelang di muka umum bersifat “mandat
memaksa” (imperatief mandaat atau mandatory instruction) yang
diberikan
kepada
pemegang
gadai
atau
kreditur
dalam
kedudukannya sebagai eigenmachtige verkoop.
-
Barang perdagangan dijual di pasar atau efek dijual di bursa
Pasal 1155 ayat (2) KUHPerdata mengatur bahwa penjualan atas
barang perdagangan atau efek dapat dilakukan dengan cara
menyimpang dari aturan pokok penjualan di muka umum, yaitu :
a) penjualan barang-barang perdagangan dapat dilakukan di pasar
tempat barang-barang tersebut biasa diperdagangkan;
b) penjualan efek dapat dilakukan di bursa;
c) syarat penjualan harus dilakukan dengan perantaraan 2 orang
makelar yang memiliki keahlian dalam melakukan penjualan atas
barang-barang tersebut.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.34
-
Penjualan menurut cara yang ditentukan Hakim
Cara eksekusi ini diatur dalam Pasal 1156 KUHPerdata yang mengatur
bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur dapat menuntut kepada
Hakim agar barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan Hakim
atau Hakim mengizinkan agar barang gadai tetap berada di tangan
pemegang gadai atau kreditur, sebagai pelunasan atas jumlah yang akan
ditentukan oleh Hakim dalam putusan sampai meliputi hutang pokok,
bunga dan biaya.10 Ketentuan ini pun dapat menjadi dasar pengecualian
dari dilaksanakannya cara penjualan barang perdagangan dan efek
sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata. Dengan
demikian, sekiranya pemegang gadai tidak menghendaki penjualan
barang gadai dimuka umum atau penjualan barang dagangan atau efek
menurut di pasar atau bursa, pemegang gadai dapat mengajukan
gugatan untuk meminta agar Pengadilan memutuskan cara penjualan
lain yang ditentukan oleh Pengadilan.11
d. Eksekusi Hipotik Kapal Laut dan Pesawat Terbang
Pada prinsipnya pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut dan
pesawar terbang dapat dilaksanakan melalui beberapa alternatif sebagai
berikut :
10
Ibid., halaman 274.
11
Ibid.,.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.35
-
Melalui proses Litigasi
12
Pemegang hipotik kapal laut dapat mengajukan gugatan terhadap
debitur sebagai tergugat pada pengadilan yang memiliki komptensi
relatif sesuai dengan Pasal 118 KUHPerdata. Melalui gugatan
tersebut akan dilaksanakan pemeriksaan sesuai dengan sistem
kontradiktoir mulai dari tahap gugatan, jawaban, replik, duplik,
pembuktian, kesimpulan dan putusan. Terhadap putusan pengadilan
terbuka upaya hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali.
Memperhatikan panjangnya proses persidangan atas gugatan
litigasi, kurang tepat jika kreditur pemegang hipotik menempuh
cara penyelesaian ini.
-
Mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 jo.
Pasal 195 HIR
Sebagaimana diatur dalam Pasal 224 KUHPerdata, akta hipotik
termasuk dalam kategori grosse akta yang memiliki kekuatan
eksekutorial, sehingga dapat disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian,
apabila debitur cidera janji, maka kreditur atau pemegang hipotik
dapat langsung meminta fiat eksekusi berdasarkan Pasal 224 jo.
Pasal 195 dan Pasal 196 HIR kepada Ketua Pengadilan Negeri.
12
Ibid., halaman 281-282.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.36
-
Penjualan lelang oleh kreditur berdasarkan kuasa sendiri
sesuai dengan Pasal 1178 KUHPerdata
Berdasarkan
Pasal
1178
KUHPerdata,
para
pihak
dapat
memperjanjikan mengenai pemberian kuasa kepada kreditur
pemegang hipotik untuk menjual sendiri barang hipotik tanpa
campur tangan pengadilan negeri apabila debitur melakukan cidera
janji. Akan tetapi, meskipun penjualan tersebut dilakukan tanpa
campur tangan pengadilan negeri dan dengan mengesampingkan
ketentuan Pasal 224 HIR, penjualan tersebut harus dilakukan
dimuka umum melalui kantor lelang.
-
Penjualan dibawah tangan
Pada dasarnya penjualan hipotik tidak dapat dilakukan secara
bawah tangan berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 1178
ayat (2) jo. Pasal 1211 KUHPerdata. Namun demikian,
13
secara
analogis penjualan hipotik dapat dilakukan secara bawah tangan
dengan mengacu pada ketentuan Pasal 20 Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a) harus berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur
setelah debitur melakukan wanprestasi berdasarkan Pasal 20
ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996;
b) bentuk kesepakatan harus tertulis;
13
Ibid., halaman 284.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.37
c) diperkirakan dapat diperoleh harga yang lebih tinggi;
d) pelaksanaan penjualan harus berpedoman padal Pasal 20 ayat
(3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu dalam waktu 1
bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis dari pemberi
atau pemegang hipotik, diumumkan dalam sedikitnya 2 surat
kabar dan tidak ada pihak yang berkeberatan.
A.2. TINJAUAN
UMUM
MENGENAI
GADAI
SEBAGAI
JAMINAN
KEBENDAAN
A.2.1. Pengertian dan Konsepsi Gadai
Pengertian gadai dirumuskan dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang menyatakan sebagai berikut :
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau
orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya, setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan.
Mr. Dr. Vollmar menyatakan bahwa hak gadai dalam Pasal 1150
KUHPerdata diberi definisi sebagai suatu hak atas benda bergerak milik orang
lain, yang tujuannya bukan untuk memberi kenikmatan atas benda tersebut kepada
orang yang berhak (pemegang gadai), tetapi hanya untuk memberi jaminan tertentu
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.38
bagi pemenuhan suatu tagihan.14 Lazimya hak gadai tersebut dikategorikan sebagai
pengertian hak kebendaan (zakelijk recht), oleh karena melekat pada suatu barang
dan akan tetap berada, meskipun barangkali milik atas barang tersebut kemudian
jatuh ke tangan orang lain.15 Disamping itu, karena hak kebendaan akan
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda kekuasaan mana dapat
dipertahankan terhadap tiap orang,16 maka setiap pihak yang berkedudukan
sebagai pemegang gadai berhak untuk secara hukum mempertahankan hak tersebut
kepada pihak lain.
Prof. Subekti berpendapat bahwa hak gadai akan memberikan kewenangan
untuk menyerahkan bezit atas suatu benda, dengan tujuan untuk mengambil
pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu lebih dahulu dari
penagih-penagih lainnya.17 Bezit sendiri adalah suatu keadaan lahir, dimana
seorang menguasai suatu benda seolah-olah itu kepunyaannya sendiri, keadaan
mana oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda
sebenarnya ada pada siapa.18 Berdasarkan pendapat ini, maka dalam gadai
penguasaan atas suatu benda akan diserahkan oleh pemiliknya kepada pihak
kreditur dan bukan hak milik atas benda tersebut. Akibatnya, hak milik akan tetap
14
H. F. A. Vollmar, Hukum Benda, disadur oleh Chidir Ali, Tarsito, Bandung, 1980, halaman 185.
15
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, PT Pembimbing Masa,
Jakarta, 1963, halaman 181.
16
Subekti, op.cit., halaman 52.
17
Ibid., halaman 65.
18
Ibid., halaman 52.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.39
secara hukum berada pada pemilik benda, hanya saja secara faktual penguasaan
atas benda tersebut berada di tangan pihak kreditur. Hal ini dipertegas oleh
ketentuan Pasal 1152 KUHPerdata dalam paragraf pertama yang menyatakan
sebagai berikut :
“Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa
diletakan dengan membawa barangnya gadai di bawah kekuasaan si
berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa disetujui oleh kedua
belah pihak.”
Perlu diingat bahwa dalam gadai, hak menguasai benda yang digadaikan
tidak meliputi hak untuk memakai barang tersebut. Dengan demikian, gadai
memiliki karakteristik yang berbeda dengan hak kebendaan lainnya seperti hak
erfpacht, hak opstal, hak vruchtgebruik, hak memakai dan hak mendiami. Selain
itu, gadai menurut KUHPerdata semata-mata hanya bertujuan untuk menjamin
pelunasan hutang debitur kepada kreditur, yang mana hal ini berbeda dengan
konsepsi gadai berdasarkan hukum adat yang memberikan hak kepada si
pemegang gadai untuk memakai dan memungut hasil atas benda yang digadaikan
tersebut.19
Hak gadai atau pandrecht merupakan suatu hak accessoir artinya adanya
hak itu tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok, ialah perjanjian hutang
piutang yang dijamin dengan hak tersebut. Hak ini semata-mata diadakan karena
19
Wirjono Prodjodikoro, op.cit., halaman 181.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.40
perjanjian dan karenanya gadai menurut hukum tidak akan daapat terjadi.20 Yang
dapat dijadikan obyek dari gadai adalah segala benda bergerak yang bukan
merupakan milik dari pihak yang memberikan hutang atau kreditur. Sebaliknya
tidaklah perlu bahwa benda itu kepunyaan pihak yang berhutang atau debitur,
meskipun biasanya pihak debitur akan memberikan tanggungan berupa benda
miliknya yang digadaikan.
Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi atau dipecah-pecah artinya
21
hak gadai
tidak menindih bagian-bagian dari benda gadai berdaarkan perimbangan
hutangnya, tetapi menindih seluruh hutang dan setiap bagian dari hutang menindih
semua benda gadai sebagai suatu keseluruhan. Ketentuan mengenai hal tersebut
diatur dalam Pasal 1160 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :
“Barang gadai tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun utangnya diantara para
waris si berutang atau diantara para warisnya si berpiutang dapat dibagibagi.”
Hak gadai tidak hanya dapat diadakan oleh debitur sendiri, tetapi juga oleh
pihak lain atas benda-benda yang mereka miliki. Pasal 1150 KUHPerdata mencoba
menyatakan ini, tetapi dari kata-kata “atas namanya sendiri” yang terdapat dalam
pasal tersebut, tidak boleh ditarik kesimpulan bahwa pihak lain yang dimaksud
20
H. F. A. Vollmar, op.cit., halaman 186.
21
J. Satrio, loc.cit., halaman 130.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.41
hanya dapat bertindak sebagai wakil dari debitur, sebab maksudnya adaah bahwa
pihak tersebut dapat bertindak sebagai penggadai.22
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara umum unsur-unsur gadai
adalah sebagai berikut:
1. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak. Pada dasarnya gadai itu merupakan suatu hak kebendaan bagi pihak
yang berpiutang atau kreditur. Hak kebendaan hanya meliputi barang-barang
yang bergerak dan tidak meliputi barang-barang yang tidak bergerak.
2. Barang bergerak tersebut diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau
seorang lain atas namanya. Perolehan dan penyerahan barang bergerak tersebut
adalah dari pihak yang berutang atau debitur ataupun dari pihak ketiga.
Penyerahan dapat dilakukan secara nyata ataupun melalui sebuah akta.
3. Memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang
lainnya. Melalui hak kebendaan berupa gadai ini, pihak yang berpiutang atau
kreditur menjadi kreditur konkuren terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam
hal pelunasan hutang-hutang pihak yang berutang atau debitur.
4. Dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelematkannya setelah barang itu digadaikan, biayabiaya mana harus didahulukan. Walaupun pihak yang berpiutang atau kreditur
ini memiliki hak konkuren dibandingkan dengan kreditur yang lainnya, namun
22
H. F. A. Vollmar, op.cit., halaman 186.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.42
terdapat hak lain yang lebih tinggi yaitu hak yang dimiliki oleh balai lelang
atas biaya-biaya pelelangan barang bergerak dan biaya pemeliharaan barang
bergerak yang digadaikan. Pelunasan biaya-biaya tersebut harus didahulukan
dari pelunasan atau hak-hak yang lain.
A.2.2. Obyek Gadai
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1150 jo. Pasal 152 KUHPerdata, benda
yang dapat dijadikan sebagai obyek gadai adalah benda bergerak.
23
Perlu
diperhatikan bahwa suatu benda akan dapat dikategorikan sebagai benda bergerak
karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang
bergerak karena sifatnya adalah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau
dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot
rumah. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang misalnya
bruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, surat-surat sero daru suatu
perseroan perdagangan, surat-surat obligasi Negara dan sebagainya. Selanjutnya
hak atas suatu karangan dan hak atas suatu pendapatan dalam ilmu pengetahuan
juga dikategorikan sebagai benda bergerak.
Disamping merupakan benda yang bergerak, obyek gadai juga harus dapat
dipindahtangankan (dijual, diwariskan dan sebagainya) dan bukan miliki kreditur
23
Subekti, op.cit., halaman 51-52.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.43
sendiri.24 Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam Pasal
1152 (1) KUHPerdata tentang “Hak gadai atas benda-benda bergerak dan
piutang-piutang atas bawa/tunjuk”, dapat disimpulkan bahwa gadai juga dapat
diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang
tidak bertubuh,25 termasuk dalam hal ini adalah suatu tagihan atau piutang
sebagaimana juga diatur dalam Pasal 1153, Pasal 1152 bis dan Pasal 1158
KUHPerdata. Piutang-piutang tersebut dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. piutang atas tunjuk (order) atau piutang atas bawa (toonder);
b. piutang atas nama (op naam).
Untuk meletakkan hak gadai terhadap piutang atas tunjuk diperlukan selain
endosemen, juga penyerahan suratnya yang membuktikan adanya piutang itu,
seperti yang ditentukan dalam Pasal 1152 bis dari KUHPerdata sebagai berikut :
“Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan selain
endesomennya, juga penyerahan suratnya.”
Sedangkan untuk meletakkan hak gadai terhadap piutang atas nama (op
naam) diperlukan pemberitahuan dengan penggandaian itu kepada si debitur dari
piutang yang digadaikan.26 Ketentuan ini dapat dibaca dalam Pasal 1153
KUHPerdata sebagai berikut :
“Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali suratsurat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya,
24
Kartono, Hak-hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, halaman 18.
25
J. Satrio, loc.cit., halaman 92.
26
Kartono, op.cit., halaman 18.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.44
kepada orang terhdap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan.
Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang ijin si
pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.”
Setelah menerima pemberitahuan tersebut, maka pihak debitur selanjutnya wajib
membayar kepada pemegang gadai (orang kepada siapa piutang tersebut
digadaikan), jadi tidak lagi kepada krediturnya yang semula.
Penyerahan dalam gadai atas barang-barang bergerak bertubuh atau barang
bergerak tidak bertubuh yang berupa tagihan atas tunjuk dilakukan dengan cara
penyerahan nyata (Pasal 1150 jo. Pasal 1153 KUHPerdata), sedangkan untuk
benda-benda tidak bertubuh yang berupa tagihan atas order dilakukan dengan
endosemen disertai penyerahan nyata (Pasal 1152 bis KUHPerdata). Penyerahan
atau levering dalam hal ini bukan merupakan penyerahan yuridis serta bukan
penyerahan yang mengakibatkan si penerima menjadi pemilik. Oleh karenanya,
pemegang gadai dengan penyerahan tersebut hanya berkedudukan sebagai
pemegang saja dan tidak menjadi bezitter dalam arti bezit keperdataaan.27
A.2.3. Para Pihak Dalam Gadai
Berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata, maka para pihak yang
terlibat dalam gadai adalah pemberi gadai sebagai pihak yang memberikan
jaminan dan penerima gadai yang dalam hal ini merupakan kreditur atas piutang
yang dijamin dengan benda gadai tersebut. Oleh karena pada umumnya kreditur
27
J. Satrio, op.cit., halaman 93.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.45
akan menerima jaminan gadai, maka dalam praktek sering kali disebut sebagai
pemegang gadai. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa atas persetujuan
para pihak, benda gadai dipegang oleh pihak ketiga sebagaimana diatur dalam
Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata.28 Dalam hal barang gadai dipegang oleh pihak
ketiga, maka pihak ketiga tersebut disebut sebagai pihak ketiga pemegang gadai.
Dalam Pasal 1156 KUHPerdata diatur bahwa pemberi gadai adalan pihak
yang memiliki hutang. Atas dasar tersebut, maka orang dapat menggadaikan
barangnya untuk menjamin hutang orang lain atau orang dapat mempunyai hutang
dengan jaminan gadai atas barang orang lain. Dalam hal debitur sendiri yang
memberikan jaminan gadai, maka ia disebut kreditur pemberi gadai, sedangkan
dalam hal jaminan gadai adalah milik dan diberikan oleh pihak ketiga, maka
disebut sebagai pihak ketiga pemberi gadai.
A.2.3. Perjanjian Gadai
Hak gadai secara yuridis akan lahir berdasaran perjanjian antara pemberi
gadai dengan penerima gadai, sehingga dalam hal ini perjanjian gadai tersebut
harus tunduk kepada ketentuan syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan duoerlukan empat syarat :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
28
Ibid., halaman 90.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.46
Sehubungan dengan rumusan ketentuan tersebut di atas, penjelasan atas
masing-masing syarat dapat diuraikan sebagai berikut :
Ad.1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus memiliki kemauan
yang bebas untuk dapat mengikatkan dirinya dan kemauan itu harus
dinyatakan. Kemauan yang bebas sebagai syarat perjanjian yang sah tersebut
akan dianggap tidak ada apabila perjanjian tersebut telah terjadi karena
paksaan/dwaang (Pasal 1323 jo. Pasal 1324 KUHPerdata), kekhilafan/dwaling
(Pasal 1321 jo. Pasal 1322 KUHPerdata) atau penipuan/bedrog (Pasal 1328
KUHPerdata) .
Paksaan terjadi jikalau seseorang memberikan persetujuannya karena
ia takut terhadap suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka
suatu rahasia apabila ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan
harus merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang
diizinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan menggugat di muka
Hakim dengan penyitaan barang, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah
terjadi suatu paksaan.29
Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya yang
dinaman error in persona dan kesesatan mengenai hakikat atau sifat barangnya
29
Subekti, loc.cit., halaman 112.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.47
yang dinamakan error in substantia.30 Kekhilafan mengenai orang terjadi
misalnya jikalau seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang
dikiranya seorang penyanyi yang tersohor dan kemudian ternyata orang
tersebut bukan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan
sama. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya apabila seseorang membeli
sebuah lukisan yang dikiranya dari Basuki Abdullah dan kemudian ternyata
hanya turunan saja.
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan akal-akalan cerdik,
sehingga pihak lainnya terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.31
Berdasarkan ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan yang dimaksud
dalam hal ini tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Sehubungan dengan kecakapan para pihak sebagai salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian, Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika
olehu undang-undang tidak dinyatakan cakap.”
Selanjutnya Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :
30
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
halaman 75-76.
31
Subekti, op.cit., halaman 113.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.48
“Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah :
1. orang-orang belum dewasa;
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu,”
Menurut KUHPerdata, seseorang sudah dianggap telah dewasa dan oleh
karenanya oleh hukum dianggap cakap membuat perjanjian, jika :
a. sudah genap berumur 21 tahun;
b. sudah kawain, meskipun belum genap berumur 21 tahun; atau
c. sudah kawin dan kemudian bercerai , meskipun belum genap berumur 21
tahun.
32
Namun demikian, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18
tahun atau sudah pernah kawin. Ketentuan ini belaku untuk semua warga
negara Indonesia tanpa membedakan golongan penduduknya. Keberadaan
ketentuan ini menyebabkan berlakunya syarat-syarat dewasa menurut
KUHPerdata tidak lagi berlaku secara mutlak, karena khusus untuk masalah
perkawinan, maka syarat kedewasaan seseorang akan tunduk kepada ketentuan
Udang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Khusus mengenai syarat izin bagi wanita yang bersuami, sejak tahun
1963 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963
32
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, halaman 65.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.49
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di
seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat
yang sama dengan pria. Untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap
di muka pengadilan, wanita bersuami tidak lagi membutuhkan bantuan dari
suaminya. Dengan demikian, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi.
Ad.3. Suatu hal tertentu
Yang dapat diperjanjikan dalam suatu perjanjian harus suatu hal atau
suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat
menetapkan kewajiban dari si berhutang jika terjadi perselisihan.33 Beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap obyek tertentu dari
suatu perjanjian adalah sebagai berikut :34
a. barang yang merupakan obyek perjanjian tersebut haruslah barang yang
dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata);
b. pada saat perjanjian dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan
jenisnya;
c. jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut
kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1332 ayat (2)
KUHPerdata);
33
Subekti, op.cit., halaman 113.
34
Munir Fuady, op.cit., halaman 72.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.50
d. barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari
(Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata);
e. tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih ada daka warisan
yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata.
Ad.4. Suatu sebab yang halal
35
Undang-undang
pada
dasarnya
tidak
memberikan
pengertian
mengenai “sebab” (oorzaak, causa). Sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan
kausa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa dalam hal
ini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit.
Disamping itu, yang dimaksud dengan “kausa” bukan sebab yang mendorong
pada pihak untuk mengadakan perjanjian, karena apa yang menjadi motif dari
seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum.
Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau
maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, di dalam praktek merupakan
upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan Hakim.36 Hakim
dapat menguji apakah tujuan dari isi perjanjian tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
35
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, loc.cit., halaman 81.
36
Ibid..
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.51
Berkaitan dengan syarat sebab yang halal dalam satu perjanjian diatur
dalam Pasal 1335-1337 KUHPerdata, yang masing-masing mengatur sebagai
berikut :
a. Pasal 1135 KUHPerdata
“Suatu persetujuan tapa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.”
b. Pasal 1336 KUHPerdata
“Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal,
ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan,
persetujuannya namun demikian adalah sah.”
c. Pasal 1337 KUHPerdata
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, maka suatu perjanjian tidak
memenuhi unsur sebab yang halal jika :
a. perjanjian dibuat sama sekali tanpa sebab;
b. perjanjian dibuat dengan sebab yang palsu;
c. perjanjian dibuat dengan sebab yang terlarang, yang terdiri dari :
(i)
sebab yang bertentangan dengan kesusilaan;
(ii)
sebab yang bertentangan dengan ketertiban umum.
yang dilarang
oleh peraturan perundang-undangan;
Kedua syarat yang pertama yaitu syarat “kesepakatan” dan “kecakapan”
dinamakan syarat subyektif karena berkaitan dengan subyek dari perjanjian. Jika
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.52
terjadi salah satu dari hal tersebut, yaitu perjanjian tidak didasarkan kesepakatan
secara bebas atau salah satu pihak tidak cakap membuat perjanjian, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh Hakim atas permintaan pihak yang telah
memberikan kesepakatan secara tidak bebas atau yang tidak cakap membuat
perjanjian itu (vernietigbaar).37 Sebaliknya orang yang berhak meminta
pembatalan perjanjian itu juga dapat menguatkan perjanjian tersebut, penguatan
mana dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
Sedangkan kedua syarat yang terakhir yaitu “hal tertentu” dan “sebab yang
halal” merupakan syarat obyektif dari suatu perjanjian. Konsekuensi yuridis dalam
hal suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka perjanjian tidak
mempunyai kekuatan hukum. Dengan perkataan lain, perjanjian tersebut akan
merupakan pejanjian yang batal demi hukum.38
Perjanjian gadai harus memenuhi syarat-syarat umum sahnya perjanjian
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dalam hal perjanjian gadai melanggar syaratsyarat tersebut, maka perjanjian gadai tersebut akan “dapat dibatalkan” apabila
melanggar syarat subyektif atau “batal demi hukum” apabila melanggar syarat
obyektif.
Sehubungan dengan pembuktian dari perjanjian gadai, Pasal 1151
KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :
37
Subekti, loc.cit., halaman 113.
38
Munir Fuady, loc.cit., halaman 75.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.53
“Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi
pembuktian persetujuannya pokok.”
Berdasarkan Pasal 1151 KUHPerdata, maka perjanjian gadai dapat dibuktikan
dengan segala alat bukti sepanjang hal tersebut diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan mengenai pembuktian persetujuan pokoknya. Oleh karena
persetujuan pokok bisa merupakan perjanjian obligatoir apa pun, namun pada
umumnya berupa perjanjian hutang, maka perjanjian gadai juga tidak terikat
kepada suatu bentuk tertentu, bisa lisan maupun tertulis, baik otentik ataupun
bawah tangan.39
Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu
kewajiban prestasi tertentu, yang pada umumnya tidak selalu merupakan perjanjian
hutang piutang dan karenanya dikatakan bahwa perjanjian gadai akan mengabdi
kepada perjanjian pokoknya atau merupakan perjanjian yang bersifat accessoir.40
Perjanjian accessoir mempunyai ciri-ciri antara lain :41
a. tidak dapat berdiri sendiri;
b. ada/timbulnya maupun hapusnya bergantung pada perikatan pokoknya;
c. apabila perikatan pokoknya dialihkan, accessoir turut beralih.
Dengan demikian, konsekuensi perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir
adalah :42
39
J. Satrio, loc.cit., halaman 100.
40
Ibid.
41
Ibid., halaman 101.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.54
a. bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar
ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokoknya sendiri
yang biasanya berupa perjanjian hutang piutang/kredit akan tetap berlaku,
apabila dibuat secara sah, hanya saja tagihan tersebut apabila tidak memilki
dasar preferensi yang lain, maka berkedudukan sebagai tagihan konkuren
belaka.
b. hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya (turut
berpindahnya) perikatan pokoknya, tetapi sebaliknya pengoperan perikatan
pokok meliputi pula semua accessoirnya, dalam mana yermasuk hak gadainya
(apabila ada). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1533 KUHPerdata
yang mengatur sebagai berikut :
“Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya,
sepertinya penanggungan-penanggungan, hak istimewa dan hipotik-hipotik.”
A.2.4. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai
Hak-hak dari pemegang gadai menurut KUHPerdata antara lain adalah
sebagai berikut :43
a. Hak untuk menahan barang gadai (“retentie”) selama belum dilakukan
pelunasan atas hutang kepada, bunga dan biaya-biaya lain kepada
pemegang gadai yang harus dibayar oleh si berhutang. Hal ini dinyatakan
42
43
Ibid.
Wirjono Prodjodikoro, loc.cit., halaman 185-186.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.55
dalam Pasal 1159 KUHPerdata ayat (1) yang juga menyebutkan selama
pemegang gadai tidak melakukan misbruik atau memakai secara tidak sesuai
dengan maksudnya/sifatnya barang gadai tersebut. Sedangkan Pasal 1159 ayat
(2) KUHPerdata memperluas hak menahan tersebut dalam hal terdapat hutang
kedua dari si berhutang yang sudah harus dibayar pada saat hutang pertama
yang dijamin dengan gadai belum dibayar. Dalam hal ini pemegang gadai
dapat menahan barang gadai sampai dengan hutang kedua tersebut dibayar
lunas.
b. Hak untuk mendapat pembayaran hutang dari uang pendapatan
penjualan barang yang digadaikan (verhaalsrecht). Hal ini diatur dalam
Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata. Disamping itu, dalam Pasal 1154
KUHPerdata juga ditentukan bahwa apabila si berhutang tidak membayar
hutangnya tidak diperbolehkan di pemegang gadai memiliki barang itu dan
bahwa kalaupun diadakan perjanjian yang memperbolehkan mengenai hal
tersebut, perjanjian yang dimaksud adalah batal (nietig). Yang diperbolehkan
adalah hanya memperhitungkan pendapatan kembali dari uang pinjaman
dengan uang penjualan gadai. Menurut Pasal 1155 KUHPerdata penjualan
harus dilakukan di muka umum dan didahului dengan suatu teguran untuk
membayar hutang. Kalau barang gadai berupa barang dagangan atau surat-surat
yang biasanya diperdagangkan dalam pasar bursa, maka penjualan harus
dengan perantaraan dua orang makelar, yaitu orang-orang pedagang perantara.
Menurut Pasal 1156 KUHPerdata, pemegang gadai dapat menempuh jalan lain,
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.56
yaitu meminta kepada Hakim supaya Hakim menetapkan cara bagaimana
penjualan tersebut harus dilaksanakan atau supaya barangnya ditetapkan oleh
Hakim menjadi milik si pemegang gadai sebagai pembayaran hutang,
seluruhnya atau sebagian. Dalam hal tersebut, maka harga nilai dari barangbarang adalah lebih dari sisa hutang dan kelebihan tersbut harus dibayar berupa
uang tunai oleh si pemegang gadai kepada si pemberi gadai.
c. Hak
untuk
memperhitungkan
biaya-biaya
yang
perlu
guna
mempertahankan barang gadai (Pasal 1157 ayat (2) KUHPerdata.
Sebaliknya apabila barang gadai hilang atau menjadi kurang harga nilainya
akibat kesalahan si pemegang gadai, maka kerugian tersebut harus diganti oleh
si pemegang gadai (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata). Dalam hal yang
digadaikan adalah saham-saham dari suatu perseroan terbatas, lalu terdapat
keraguan mengenai hak-hak yang melekat pada pemegang saham tersebut,
terutama hak untuk mengeluarkan suara dalam rapat umum pemegang saham,
maka hal ini dapat diantisipasi apabila dalam pemberian gadai saham tersebut
dilakukan persetujuan khusu yang memperkenankan si pemegang gadai
mengeluarkan suara dalam rapat umum pemegang saham, dengan berdasarkan
atas suatu surat kuasa dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
d. Dalam hal suatu piutang digadaikan, si pemegang gadai mempunyai hak
untuk menagih hutang tersebut. Apabila hak ini dianggap ada, maka dapat
dipersoalkan apakah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1154 KUHPerdata
yang secara mutlak tidak memperbolehkan si pemegang gadai untuk memiliki
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.57
barang gadai, sedangkan hak menagih hutang tersebut tidak berbeda dengan
hak memiliki barang tersebut. Pendapat yang tidak memperbolehkan si
pemegang gadai menagih hutang tersebut adalah kaku, oleh karena menurut
pendapat ini pelaksanaan dari hak gadai hanya dapat dilakukan secara menjual
piutang di muka umum, dengan tujuan supaya mendapat pembayaran hutang,
jadi praktis sana saja dengan penagihan hutangnya secara langsung.
e. Dalam melaksanakan hak gadai dengan cara menjual barang gadai, si
pemegang gadai berhak untuk didahulukan menerima pembayaran
hutangnya sebelum para berpiutang lain (recht van voorrang). Hal ini
ditegaskan oleh Pasal 1150 KUHPerdata yang menyebutkan dua pengecualian,
yaitu bahwa terdapat 2 macam hutang yang harus dibayar lebih dahulu
daripada hutang yang dijamin dengan hak gadai, yaitu biaya sita dan
pelelangan untuk melaksanakan hak gadai serta biaya yang perlu dikeluarkan
untuk mempertahankan barang gadai dari kemusnahan.
Disamping hak-hak sebagaimana diuraikan di atas pemegang gadai juga
memiliki kewajiban untuk merawat benda gadai yang berada padanya. Mengenai
hal ini Pasal 1157 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :
“Si berpiutang adalah bertanggung jawab untuk hilangnya atau
kemerosotannya barangnya sekedar itu telah terjadi karena kekeliruannya.
Sebaliknya si berpiutang diwajibkan mengganti kepada si berpiutang segala
biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
tersebut belakangan ini guna keselamatan barangnya gadai.”
Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka pemegang gadai betanggung
jawab atas kehilangan atau kemerosotan benda gadai, kalau hal tersebut terjadi
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.58
karena kesalahan atau kelalaiannya. Sebagai imbalan terhadap kewajiban tersebut
ia berhak untuk memperhitungkan ongkos terhadap pemilik benda. Ongkos-ongkos
yang dapat diperhitungkan adalah ongko-ongko yang bermanfaat, sekalipun tidak
perlu bisa diminta kembali dari pemiliknya. Akan tetapi ongko yang bagaimana
yang dianggap bermanfaat dan yang bagaimana yang perlu akan bergantung
kepada keadaan dan haru ditinjau kasus demi kasus.44
A.2.5. Berakhirnya Gadai
Hak gadai hapus karena hal-hal sebagai berikut :45
a. dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai sesuai dengan
sifat accessoir dari gadai, sehingga akan bergantung kepada perikatan
pokoknya yang dalam hal ini dapat berakhir karena :
- pelunasan;
- kompensasi;
- novasi;
- penghapuasan hutang.
b. dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai, namun
pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan
apabila berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut
tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata);
44
J. Satrio, loc.cit., halaman 129.
45
Ibid., halaman 32.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.59
c. dengan hapus atau musnahnya benda jaminan;
d. dengan dilepasnya benda gadai secara sukarela;
e. dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang gadai menjadi pemilik barang
gadai tersebut;
f. apabila terjadi penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang gadai (Pasal 1159
KUHPerdata), dimana sebenarnya undang-undang tidak menyatakan secara
tegas mengenai hal ini, hanya saja dalam Pasal 1159 diatur bahwa pemegang
gadai mempunyai hak retensi, kecuali apabila ia menyalahgunakan benda gadai
(dengan demikian secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi gadai
berhak untuk menuntut kembali benda jaminan dan apabila benda jaminan
keluar dari kekuasaan pemegang gadai, maka gadainya menjadi hapus).
A.2.6. Perbedaan Gadai Dengan Lembaga Jaminan Kebendaan Lainnya
Dari karateristik dan sifat khusus yang dimilikinya, gadai memiliki
perbedaan dengan lembaga jaminan kebendaan lainnya yang akan diuraikan
sebagai berikut :
a. Perbedaan Antara Gadai Dengan Hipotik
-
gadai harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang
dijadikan tanggungan, hipotik tidak;
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.60
-
gadai hapus apabila barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan
orang lain, tetapi hipotik tetap terletak sebagai beban di atas benda yang
dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan kepada orang lain;
-
lebih dari satu gadai atas suatu barang meskipun tidak dilarang oleh
undang-undang, di dalam praktek hampir tidak pernah terjadi, tetapi
beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan di atas suatu obyek
hipotik adalah uatu keadaan yang biasa
-
perjanjian gadai bisa dibuat dibawah tangan atau dengan akta otentik,
sedangkan perjanjian hipotik harus dibuat berdasarkan akta otentik.
b. Perbedaan Antara Gadai Dengan Fidusia
-
dalam gadai barang-barang yang digadaikan harus dilepaskan dari
kekuasaan si debtur atau orang lain yang memberikan hak gadai sedangkan
dalam fidusia, barang-barang yang dijadikan jaminan hutang tetap berada
dalam kekuasaan si debitur atau pemilik barang-barang tersebut dan hanya
hak miliknya yang selama hutang tersebut belum lunas berada di tangan si
kreditur;
-
dalam gadai si debitur walaupun tidak lagi menguasai barang-barang yang
digadaikan adalah tetap pemilik dari barang-barang tersebut, sedangkan
dalam fidusia pemilik asli dari barang-barang yang difidusiakan itu selama
hutangnya belum lunas hanya berkedudukan sebagai detentor saja karena
pemiliknya adalah kreditur, apabila hutang tersebut telah dilunasi, maka
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.61
hak milik akan kembali kepada debitur yang dalam hal ini adalah pemilik
asli dari barang-barang yang difidusiakan;
-
perjanjian gadai bisa dibuat dibawah tangan atau dengan akta otentik,
sedangkan perjanjian fidusia harus dibuat berdasarkan akta otentik, yang
kemudian menjadi dasar pernerbitan sertifikat fidusia yang dikeluarkan
oleh Kantor Pendaftaran Fidusia yang berwenang.
c. Perbedaan Antara Gadai Dengan Hak Tanggungan
-
gadai adalah lembaga jaminan dengan obyek berupa benda bergerak
sedangkan obyek dari hak tanggungan adalah tanah berikut dengan bendabenda yang melekat di atasnya;
-
gadai hapus apabila barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan
orang lain, tetapi hak tanggungan tetap terletak sebagai beban di atas tanah
dan benda yang dijadikan tanggungan meskipun dipindahkan kepada orang
lain;
-
perjanjian gadai dapat dibuat secara bawah tangan maupun otentik,
sedangkan akta hak tanggungan harus dibuat dengan akta otentik dihadapan
PPAT sebagai dasar diterbitkannya Sertipikat Hak Tanggungan.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.62
A.3. TINJAUAN UMUM MENGENAI SAHAM
A.3.1. Pengertian dan Konsep Yuridis Saham
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas merumuskan pengertian saham sebagai berikut :
“Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 kepada pemiliknya.”
Selanjutnya penjelasan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 menyatakan sebagai berikut :
“Kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak
kebendaan kepada pemiliknya. Hak tersebut dapat dipertahankan kepada
setiap orang.”
Berkaitan dengan rumusan ketentuan di atas, Pasal 52 ayat (1) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 mengatur sebagai berikut :
“(1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk :
a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b. menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c. menjalankan hak-hak lainnya berdasarkan Undang-Undang ini.”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
dari konsep yuridis saham adalah sebagai berikut :
(a)
Bukti atas kepemilikan suatu Perseroan yang biasanya tercipta dengan
memberikan kontribusi kedalam modal Perseroan yang bersangkutan;46
(b)
memberikan hak kepada pemiliknya untuk (i) menghadiri dan mengeluarkan
suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham suatu Perseroan; (ii) menerima
46
Steven H.Gifs, Law Dictionary, Baron’s Educational Series Ind., Woodbury, 1984, halaman 584.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.63
pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi Perseroan; dan (iii)
menjalankan hak-hak lain yang dapat dilakukan oleh pemegang saham
Perseroan menurut ketentuan Undang-Undang;
(c)
memberikan hak kebendaan kepada pemiliknya yang dapat dipertahankan
kepada setiap orang.
Lebih lanjut lagi, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
mengatur sebagai berikut :
“ (1) Nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang Rupiah;
(2) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan;
(3) Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (2) tidak menutup kemungkinan
diaturnya pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.”
Rumusan Pasal di atas semakin mempertegas karakteristik saham yang
harus memiliki nilai nominal yang dicantumkan dalam mata uang Rupiah. Namun
demikian, hal ini secara hukum dapat disimpangi sejauh diatur secara berbeda
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Nilai nominal bisa
saja tidak sama dengan nilai pasar (harga pasar) dari saham yang bersangkutan,
karenanya seseorang dapat menjual sahamnya dengan harga di atas nilai
nominalnya, dimana hal ini sangat bergantung kepada nilai dari perusahaan itu
sendiri pada saat saham tersebut dijual.47
Pemegang saham akan mendapatkan bukti kepemilikan saham yang
dimilikinya (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007). Sedangkan
47
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, halaman 36.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.64
mengenai bentuk dari bukti kepemilikan atas saham tersebut, dapat diatur lebih
lanjut dalam anggaran dasar Perseroan (Penjelasan Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007).
A.3.2. Klasifikasi Saham
Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengatur
sebagai berikut :
“ (1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih.
(2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada
pemegangnya hak yang sama.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran
dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa.
(4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), antara lain
lain :
a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris;
c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau
ditukar dengan klasifikasi saham lain;
d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
deviden lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian deviden secara kumulatif atau nonkumulatif;
e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian
sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007, saham dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. saham dengan hak suara;
b. saham tanpa hak suara;
c. saham dengan hak suara untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris;
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.65
d. saham yang setelah jangka waktu tertentu dapat :
-
ditarik kembali; atau
-
ditukar dengan klasifikasi saham yang lain
e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya :
-
pembagian deviden secara kumulatif; atau
-
pembagian deviden secara non kumulatif
f. saham yang memberikan lebih dahulu kepada pemegangnya dari pemegang
saham klasifikasi yang lain atas pembagian deviden dan sisa kekayaan
Perseroan dalam likuidasi.
A.3.3. Jenis-Jenis Saham
Dalam dunia ilmu hukum Perseroan, dikenal beberapa jenis saham sebagai
berikut :48
(1)
Saham atas nama (op naam)
Saham atas nama merupakan jenis saham dimana di atas lembar saham
tertulis nama pemegang saham. Cara peralihan saham atas nama dilakukan
dengan akta pemindahan hak yang salinannya harus disampaikn kepada
Perseroan.
(2)
48
Saham atas tunjuk (on bearer, aan toonder)
Munir Fuady, op. cit., halaman 29-34.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.66
Pada saham atas tunjuk setiap pemegang saham secara fisik dianggap sebagai
pemiliknya, sehingga peralihan saham tersebut kepada pihak-pihak lain
cukup hanya dengan menyerahkan fisik surat sahan tersebut.
(3)
Saham biasa (ordinary share, common share)
Saham biasa merupakan saham yang kepada pemegangnya tidak diberikan
syarat-syarat khusus dan tidak didahulukan dari yang lainnya.
(4)
Saham preferens (preferred share, preferrece share)
Saham preferens merupakan saham yang kepada pemegangnya diberikan hak
terlebih dahulu dalam hal pembagian deviden dan/atau pembagian sisa
kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Pembagian tersebut bisa diberikan
dengan presentasi tertentu dari keuntungan atau aset Perseroan. Namun
demikian, dalam hak voting, terhadap pemegang saham preferens tidak
diberikan hak khusus tertentu kepada pemegangnya, sehingga tetap
diperlakukan sebagaimana layaknya saham biasa.
(5)
Saham preferens kumulatif
Untuk saham jenis ini, disamping bersifat preferens, tetapi jika dalam 1 tahun
tidak dapat diberikan deviden penuh karena alasan apapun, maka deviden
tersebut dapat diberikan pada tahun-tahun berikutnya.
(6)
Saham preferens kumulatif profit sharing
Saham jenis ini merupakan saham preferens dimana selain mendapatkan hakhak istimewa sebagai saham preferens, pemegangnya masih berhak atas
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.67
deviden
dan.atau
pembagian
kekayaan
Perseroan
dalam
likuidasi
sebagaimana layaknya pemegang saham biasa.
(7)
Saham preferens non kumulatif
Saham jenis ini merupakan saham preferens yang jika dalam 1 tahun tidak
dapat diberikan hak-hak istimewa atas deviden kepada pemegangnya, maka
hak tersebut akan hangus dan tidak dapat diperhitungkan untuk tahun-tahun
selanjutnya.
(8)
Saham prioritas
Saham prioritas merupakan saham yang mana pemegangnya mempunyai
hak-hak khusus dalam Rapat Umum Pemegang Saham atau Direksi.
Keistimewaan tersebut sering disebut dengan Kontrol Oligarkis dan biasanya
diberikan kepada Direksi atau anggota Dewan Komisaris, yang antara lain
mencakup :
a. pemberian hak veto terhadap perubahan anggaran dasar;
b. pemberian rekomendasi yang mengikat oleh pemegang saham prioritas
tergadap pengangkatan, suspensi atau pemberhentian direktur.
(9)
Saham pendiri (founder’s share)
Saham pendiri merupakan saham yang diberikan kepada pendiri atas jasajasanya, sehingga untuk mendapatkan saham pendiri tersebut, para pendiri
tidak perlu menyerahkan sejumlah uang, tetapi cukup dengan jasa-jasanya
yang telah diberikan sebagai pendiri.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.68
(10) Saham bonus
Saham bonus merupakan saham yang diberikan kepada pemegang saham
yang sudah ada tanpa harus membayar apapun kepada Perseroan. Saham
bonus ini diberikan sebagai ganti hak menagih dari pemegang saham kepada
Perseroan atas dana lebih (surplus) dari modal yang ditempatkan. Surplus
tersebut dapat terjadi karena ada keuntungan, hasil yang sangat baik dari
operasional, penilaian kembali aktiva tetap dan sebagainya.
(11) Saham konversi
Saham konversi merupakan saham yang dikonversi dari 1 jenis saham ke
jenis saham lainnya.
(12) Saham disetujui (assented share)
Saham disetujui adalah saham yang disetujui untuk ditukar dengan sahamsaham baru jika Perseroan melakukan reorganisasi.
(13) Saham tidak disetujui (non assented share)
Saham jenis ini merupakan kebalikan dari saham disetujui, sehingga terjadi
dalam hal saham tersebut tidak disetujui oleh pemiliknya untuk ditukar
dengan saham-saham baru apabila Perseroan melakukan reorganisasi.
(14) Saham yang dinilai (assessable share)
Saham yang dinilai merupakan saham yang dinilai/dibebani kepada
pemiliknya untuk membayar kewajiban-kewajiban Perseroan dalam hal
Perseroan pailit, misalnya dinilai dengan harga minimal saham tersebut.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.69
(15) Saham dibayar penuh (paid up share)
Saham jenis ini disebut juga “saham tidak dinilai (non assessable share)”
dimana saham telah dibayar penuh oleh pemegangnya sehingga tidak lagi
merupakan saham yang dinilai. Saham yang telah dibayar penuh tersebut
tidak boleh dibebankan kepada pemiliknya kewajiban pembayaran hutanghutang Perseroan dalam hal Perseroan pailit.
(16) Saham dinaikkan (watered share)
Saham jenis ini adalah saham yang nilai nominalnya dinaikkan.
(17) Saham donasi (donated share)
Saham jenis ini diserahkan kembali oleh pemiliknya kepada Perseroan,
akibatnya Perseroan dapat menjual kembali saham-saham tersebut kepada
pihak lain. Hal ini biasanya dilakukan agar Perseroan tersebut dapat
memperoleh tambahan dana.
(18) Saham tebusan (redeemable/callable share)
Saham tebusan merupakan saham yang ditarik kembali oleh Perseroan yang
mengeluarkannya atas kehendak Perseroan sendiri dipenuhi syarat-syarat
tertentu. Pengeluaran saham jenis ini biasanya dimaksudkan untuk
mendapatkan dana dari pihak pemegang saham untuk Perseroan, dimana
pada suatu masa dana tersebut dibayar kembali dengan cara menebus sahamsaham tersebut.
(19) Saham treasury
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.70
Saham treasury merupakan saham-saham yang pernah dikeluarkan oleh
Perseroan, tetapi kemudian dibeli kembli oleh Perseroan dan tetap dimiliki
oleh Perseroan yang bersangkutan. Saham-saham tersebut kelak dapat dibagibagikan kepada karyawan atau dapat pula dijadikan sebagai saham bonus.
(20) Saham terjamin (guaranteed share)
Saham terjamin tidak lain dari saham-saham yang dikeluarkan oleh Perseroan
A dengan jaminan dari Perseroan B. Yang dijamin dijamin dalam hal ini
adalah pembagian deviden kepada pemegang saham.
A.3.4. Penjualan dan Pemindahan Hak Atas Saham
Penjualan saham akan menyebabkan terjadinya pemindahan hak atas saham
dari penjual kepada pembeli saham. Pemindahan hak atas saaham tersebut harus
dilakukan berdasarkan Akta Pemindahan Hak Atas Saham yang dapat dibuat
dihadapan Notaris atau secara bawah tangan (Pasal 56 ayat (1) UU No. 40 Tahun
2007). Para pihak diharuskan untuk menyampaikan akta tersebut atau salinannya
secara tertulis kepada Perseroan (Pasal 56 ayat (2)) dan kemudian Direksi
Perseroan berkewajiban untuk melakukan pencatatan mengenai perubahan susunan
pemegang yang saham yang terjadi akibat pemindahan hak atas saham tersebut
serta memberikan pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM (Pasal 56 ayat
(3)).
Dalam anggaran dasar Perseroan, Direksi berhak untuk mengatur mengenai
(i) keharusan untuk menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.71
klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya; (ii) keharusan untuk
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ Perseroan (pada umumnya
Rapat Umum Pemegang Saham); (iii) keharusan mendapatkan persetujuan terlebih
dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentun peraturan perundangundangan (Pasal 57 ayat (1)). Namun demikian, perlu dicatat bahwa kewajiban
tersebut tidak berlaku dalam hal pemindaham hak atas saham disebabkan oleh
peralihan hak atas anak secara hukum, pengecualian atas syarat-syarat tersebut
akan terjadi dalam hal pemindahan hak atas saham diakibatkan oleh pewarisan,
karena dalam hal tersebut harus tetap dimintakan persetujuan dari instansi yang
berwenang (Pasal 57 ayat (2)).
Apabila anggaran dasar yang mewajibakan pemegang saham penjual untuk
menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau
pemegang saham lain, maka dalam hal setelah 30 hari sejak penawaran pemegang
dilakukan pemegang saham yang ditawarkan tersebut tidak membeli, maka
pemegang saham yang bersangkutan dapat menawarkan dan menjual sahamnya
kepada pihak ketiga (Pasal 58 ayat (1)). Namun demikian, pemegang saham
penjual yang diwajibkan untuk menawarkan sahamnya kepada pemegang saham
lain, dapat menarik kembali penawaran yang telah dilakukannya setelah lewatnya
jangka waktu 30 hari tersebut (Pasal 58 ayat (2)).
Pemberian persetujuan atas pemindahan hak atas saham membutuhkan
persetujuan dari organ Perseroan (Pasal 59 ayat (1)).. Selanjutnya dalam hal
setelah lewatnya jangka waktu 90 hari tidak ada jawaban apapun dari organ
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.72
Perseroan tersebut, maka dengan demikian organg Perseroan dianggap telah
memberikan persetujuan atas penjualan dan pemindahan hak atas saham (Pasal 59
ayat (2)). Setelah diperolehnya persetujuan dari organ Perseroan, maka
pemindahan hak atas saham harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 56
dan dilakukan dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak persetujuan diberikan
(Pasal 59 ayat (3)).
B.
STUDI KASUS DAN ANALISA
B.1. STUDI KASUS
B.1.1. KASUS POSISI
PT Ongko Multicorpora (“Ongko Multicorpora”) adalah pemegang atas
98.388.180 (sembilan puluh delapan juta tiga ratus delapan puluh delapan ribu
seratus delapan puluh) saham (“Saham-saham OM”) di dalam PT BFI Finance
Tbk. (“BFI”). Sejak tahun 1997 dan 1998, Ongko Multicorpora telah memperoleh
fasilitas kredit dari BFI berdasarkan perjanjian Domestic Resource Factory
Agreement dan Financial Leasing Agreement. Selanjutnya, sebagai jaminan atas
fasilitas yang telah diberikan oleh BFI kepada Ongko Multicorpora tersebut,
Ongko Multicorpora telah memberikan jaminan berupa gadai atas Saham-saham
OM kepada BFI berdasarkan Pledge of Shares Agreement tertanggal 1 Juni 1999
yang ditandatangani oleh Ongko Multicorpora dan BFI (“Perjanjian Gadai
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.73
Saham”), yang mana telah mendapatkan persetujuan dari Presiden Komisaris
Ongo Multicorpora pada tanggal 31 Mei 1999 dan 1 Juni 1999.
Berdasarkan Perjanjian Gadai Saham, maka jangka waktu gadai saham
adalah selama 12 bulan atau 1 tahun terhitung sejak tanggal penandatanganan,
sehingga dengan demikian gadai saham akan berakhir pada tanggal 1 Juni 2000.
Namun demikian, pada tanggal 22 Februari 2000, Ongko Multicorpora dan BFI
sepakat untuk memperpanjang jangka waktu Perjanjian Gadai Saham menjadi 18
bulan, sebagaimana ternyata dalam surat tertanggal 22 Februari 2000 yang
ditandatangani oleh Ongko Multicorpora dan BFI. Atas dasar tersebut, maka
jangka waktu berlakunya gadai saham diperpanjang selama 18 bulan dan akan
berakhir pada tanggal 1 Desember 2000 (“Perubahan Perjanjian Gadai
Saham”).
Pada tanggal 7 Agustus 2000 Ongko Multicorpora telah memberikan
persetujuan kepada BFI untuk mengalihkan saham-saham tersebut berdasarkan
Letter of Consent to Transfer. Disamping itu, pada tanggal yang sama Ongko
Multicorpora juga telah memberikan kuasa kepada BFI untuk menjual sahamsaham yang digadaikan tersebut berdasarkan Irrevocable Power of Attorney to Sell
Shares. Oleh karena Ongko Multicorpora belum dapat melunasi hutangnya kepada
BFI yang telah jatuh tempo, maka sebagai pelaksanaan dari putusan perdamaian
dan dalam rangka restrukturisasi hutang BFI, pada tanggal 9 Februari 2001, BFI
kemudian menjual saham-saham yang telah digadaikan tersebut bersama dengan
111.804.732 (seratus sebelas juta delapan ratus empat ribu tujuh ratus tiga puluh
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.74
dua ribu) saham milik PT Aryaputra Teguharta (“Aryaputra”) di dalam BFI
kepada The Law of Debenture Trust Corporation P.L.C (“Debenture Trust
Corporation”) berdasarkan Share and Purchase Agreement (Transfer to
Creditor), Share Sales and Purchase Agreement (Sale to Investor) dan Sale and
Purchase Agreement (Employee Incentive and Remuneration Scheme) yang dibuat
dan ditandangani oleh Debenture Trust Corporation. Atas penjualan saham-saham
tersebut, Ongko Multicorpora (Penggugat) kemudian mengajukan gugatan perdata
atas dasar Perbuatan Melawan Hukum terhadap BFI (Tergugat I), Debenture Trust
Corporation (Tergugat II), Badan Pengawasa Pasar Modal atau BAPEPAM
(Tergugat III) dan Aryaputra (Turut Tergugat) pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, untuk membatalkan penjualan dan pengalihan saham-saham yang telah
dilakukan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation. Adapun pokok dalil-dalil
gugatan yang diajukan oleh Ongko Multicorpora adalah sebagai berikut :
(1)
Dengan berakhirnya jangka waktu Perjanjian Gadai Saham pada tanggal 1
Desember 2000, maka Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power
of Attorney to Sell Shares, yang keduanya tertanggal 7 Agustus 2000, secara
hukum menjadi berakhir dan tidak berlaku lagi, oleh karena persetujuan dan
kuasa tersebut pada prinsipnya menunjuk dan tunduk kepada ketentuan dan
syarat-syarat yang diatur dalam Perjanjian Gadai Saham.
(2)
Tindakan Tergugat I melakukan penjualan dan pengalihan saham-saham
kepada Tergugat II adalah tidak sah dan cacat hukum karena dilaksanakan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.75
berdasarkan Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power of Attorney
to Sell Shares tertanggal 7 Agustus 2000 yang sudah tidak berlaku lagi.
(3)
Hak gadai atas Saham-Saham OM bersumber dari Perjanjian Gadai Saham
sebagaimana telah diubah berdasarkan Perubahan Perjanjian Gadai Saham,
dengan demikian eksekusi atas hak gadai tersebut harus dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 1555 KUHPerdata yaitu melalui penjualan
dimuka umum atau secara lelang dengan perantaraan 2 orang makelar yang
memiliki keahlian dalam penjualan lelang tersebut dan bukan melalui
penjualan secara tertutup atau bawah tangan sebagaimana telah dilakukan
oleh Tergugat I kepada Tergugat II.
(4)
Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan pengalihan Saham-Saham OM
secara melawan hukum dan telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat
sebagai berikut :
a.
kerugian akibat tidak memperoleh pembayaran deviden saham yang
seharusnya diterima dari Tergugat I untuk tahun buku 2001, 2002 dan
2003 dengan jumlah selutuhnya sebesar Rp. 530.614.911.221,- dan
kehilangan hak-haknya sebagai pemegang saham;
b.
apabila Saham-Saham OM tidak dialihkan kepada Tergugat II, maka
Penggugat dapat mempergunakannya untuk memenuhi kewajiban
Penggugat kepada pihak ketiga dan menjalankan usaha Penggugat;
c.
akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan
Tergugat II, Penggugat mengalami kerugian materiil sebesar 28,44% x
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.76
Rp. 530.614.911.221,- = Rp. 150.908.880.751,- dan kerugian
immateriil sebesar USD 1.000.000.000,-.
B.1.2. PUTUSAN PENGADILAN
B.1.2.1. Pada Tingkat Pengadilan Negeri
Terhadap gugatan perdata Ongko Multicorpora, Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 517/PDT.G/2003/PN.JKT.PST
tertanggal 2 Juni 2004 memutuskan mengenai pokok perkara sebagai
berikut :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama telah melakukan perbuatan melawan
hukum.
3. Menyatakan Pledge of Shares Agreement tertanggal 1 Juni 1999 (Akta
Gadai Saham), Surat tertanggal 22 Februari 2000 (Perubahan Akta
Gadai Saham), Consent to Transfer OM tertanggal 7 Agustus 2000
telah gugur dan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal 1 Desember
2000 dan karenanya seluruh perikatan dan perbuatan hukum yang
dibuat dan dilakukan Tergugat I dan Tergugat II berdasarkan
perjanjian-perjanjian tersebut sejak tanggal 1 Desember 2000 adalah
batal demi hukum.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.77
4. Menyatakan Share Sale And Purchase Agreement (Transfer To
Creditors), Share Sale And Purchase Agreement (Transfer To Investor)
dan Share Sale And Purchase Agreement (Employee Incentive And
Remuneration Scheme), masing-masing tertanggal 9 Pebruari 2001
berikut seluruh perikatan dan perbuatan hukum yang dibuat dan
dilakukan Tergugat I dan Tergugat II berdasarkan perjanjian-perjanjian
tersebut adalaah batal demi hukum.
5. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas 98.388.180 lembar
saham dalam Tergugat I.
6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama mengembalikan dan menyerahkan 98.388.180
lembar saham Tergugat I kepada Penggugat terhitung sejak putusan
perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk
membayar
kepada
Penggugat
uang
paksa
atas
keterlambatan
pengembalian dan penyerahan kepada Penggugat sebesar Rp.
150.000.000,- per hari apabila melakukan pelanggaran terhadap petitum
butir 6 di atas terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan
hukum tetap.
8. Menghukum Tergugat I untuk tidak menggunakan hak-hak yang lahir
atas 98.388.180 lembar saham Tergugat I yang dimiliki oleh Penggugat
termasuk tapi tidak terbatas pada menghadiri dan memberi suara dalam
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.78
rapat umum pemegang saham Tergugat I dan untuk tidak memberikan
persetujuan dalam bentuk apapun kepada Dewan Direksi dan Dewan
Komisaris Tergugat I berkaitan dengan 98.388.180 lembar saham
tersebut adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.
9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama untuk tidak melakukan perbuatanperbuatan hukum apapun termasuk namun tidak terbatas baik secara
langsung
maupun
mengalihkan
dan
tidak
langsung
menjaminkan
menawarkan,
baik
untuk
memindahkan,
sebagian
maupun
seluruhnya dan karenanya segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
Tergugat I dan Tergugat II sehubungan dengan penawaran, pemindahan
dan pejaminan 98.388.180 lembar saham tersebut, baik untuk sebagian
maupun untuk seluruhnya adalah batal demi hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
10. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk
membayar
kepada
Penggugat
uang
paksa
atas
keterlambatan
pengembalian dan penyerahan kepada Penggugat sebesar Rp.
1.000.000.000,- per hari apabila melakukan pelanggaran terhadap
petitum butir 9 di atas terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.79
11. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ganti
kerugian materiil secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar
Rp. 150.908.880.751,- terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai
kekuatan hukum tetap.
12. Menghukum Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh pada Putusan
Perkara ini.
13. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
B.1.2.2. Pada Tingkat Pengadilan Tinggi (Banding)
Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas, Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta melalui putusan No. 60/PDT/2005/PT.DKI tertanggal
23 Maret 2005 memutuskan sebagai berikut :
-
Menerima permohonan banding Tergugat I/Pembanding I dan Tergugat
II/Pembanding II tersebut.
-
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 9
November 2004 No. 517/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst yang dimohonkan
pemeriksaan dalam tingkat banding tersebut.
DALAM POKOK PERKARA
-
Menolak gugatan Penggugat/Terbanding seluruhnya.
-
Menghukum Penggugat/Terbanding membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp.
300.000,-.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.80
B.1.2.3. Pada Tingkat Mahkamah Agung (Kasasi)
Terhadap putusan Pengadilan Tingi DKI Jakarta tersebut,
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi melalui putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 1478 K/Pdt/2005 tertanggal 27 Oktober 2005
memutuskan sebagai berikut :
-
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT ONGKO
MULTICORPORA tersebut.
-
Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000,-.
B.1.2.4. Pada Tingkat Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali)
Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali melalui
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 115 PK/Pdt/2007
tertangga 19 Juli 2007 memutuskan sebagai berikut :
-
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali
PT
ONGKO
MULTICORPORA
(PT
MITRA
INVESTINDO MULTICORPORA) tersebut.
-
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya
perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.
2.500.00,-.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.81
B.2. ANALISA
B.2.1. JANGKA WAKTU BERLAKUNYA PERJANJIAN GADAI SAHAM
Salah satu dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora dalam gugatannya
terhadap BFI, Debenture Trust Corporation dan Bapepam adalah bahwa jangka
waktu Perjanjian Gadai Saham telah berakhir pada tanggal 1 Desember 2000.
Dengan demikian, ketentuan sebagaimana ternyata dalam Letter of Consent to
Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares, yang keduanya
tertanggal 7 Agustus 2000, secara hukum menjadi berakhir dan tidak berlaku lagi,
oleh karena persetujuan dan kuasa tersebut merujuk dan tunduk kepada ketentuan
serta syarat-syarat yang diatur dalam Perjanjian Gadai Saham. Atas dasar tersebut
selanjutnya Ongko Multicorpora menyatakan bahwa Letter of Consent to Transfer
dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares tidak dapat menjadi dasar dari
pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup yang
dilakukan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation.
Sehubungan dengan dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora tersebut
di atas, hal pertama yang perlu dicermati adalah bagaimanakah sebenarnya
undang-undang mengatur mengenai ketentuan jangka waktu dari suatu perjanjian
gadai. Ketentuan jangka waktu berlakunya perjanjian gadai memang tidak diatur
secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu,
berkaitan dengan hal tersebut berlakulah ketentuan umum dari perjanjian atau
persetujuan berdasarkan KUHPerdata.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.82
Dalam hukum perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak sebagaimana
dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menerangkan
bahwa “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”. Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal tersebut
tidak lain daripada menyatakan bahwa setiap perjanjian akan berlaku secara
mengikat bagi kedua belah pihak, tetapi dari peraturan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa orang adalah leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Para pihak oleh karenanya bebas
membuat suatu perjanjian dan mengatur sendiri isi dari perjanjian tersebut,
sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
(a)
memenuhi syarat-syarat sebagai suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata
(b)
tidak dilarang oleh undang-undang;
(c)
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan
(d)
sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diuraikan di atas,
maka para pihak juga memiliki kebebasan untuk menentukan jangka waktu dari
suatu perjanjian gadai saham. Hal ini diperkenankan sepanjang tidak bertentangan
atau melanggar ketentuan KUHPerdata atau ketentuan perundang-undangan
lainnya yang berlaku. Para pihak dapat memperjanjikan berlakunya suatu
perjanjian gadai saham dalam waktu yang lebih singkat dari perjanjian hutang
antara para pihak yang merupakan perjanjian pokok dari perjanjian gadai saham
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.83
tersebut. Dalam hal perjanjian semacam itu terjadi, maka masa berlaku dari gadai
saham dan kekuatannya sebagai suatu jaminan khusus hanya berlaku selama
jangka waktu yang telah diperjanjikan dan disepakati. Sedangkan untuk sisa jangka
waktu hutang yang masih ada, maka secara hukum tidak lagi terlindungi oleh
jaminan gadai saham karena berakhirnya jangka waktu dan keberlakuan dari
perjanjian gadai saham tersebut. Disamping itu, berakhirnya jangka waktu gadai
saham akan mengakibatkan berakhirnya pula hak-hak pemegang gadai
sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang, termasuk hak untuk melakukan
eksekusi atas obyek gadai baik melalui penjualan di muka umum maupun
penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Oleh karena jangka waktu berlakunya
suatu gadai saham akan diatur berdasarkan kesepakatan oleh para pihak sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak, maka untuk mengetahui secara jelas mengenai
jangka waktu tersebut harus dilihat dari ketentuan perjanjian gadai saham yang
telah diperjanjikan oleh para pihak.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ongko Multicorpora mendalilkan gadai
saham yang telah diberikannya kepada BFI sebenarnya sudah berakhir pada
tanggal 1 Desember 2000. Dengan demikian, tindakan BFI yang telah melakukan
penjualan dan pengalihan saham-saham kepada Debenture Law Corporation adalah
tidak sah dan cacat hukum karena dilaksanakan berdasarkan Letter of Consent to
Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares tertanggal 7 Agustus
2000 yang sudah tidak berlaku lagi, dengan merujuk kepada ketentuan Perjanjian
Gadai Saham yang nyatanya sudah berakhir.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.84
Selanjutnya, terhadap dalil yang diajuan oleh Ongko Multicorpora itu,
dalam jawabannya BFI memberikan beberapa tanggapan yang antara lain adalah
sebagai berikut :
(1)
Bahwa Perjanjian Gadai Saham tanggal 1 Juni 1999 tersebut akan berlaku
terus dengan sistem diperpanjang selama utang belum lunas, sesuai Pasal 3.2
Perjanjian Gadai Saham, adapun cara untuk memperpanjang berlakunya
perjanjian tertulis dari BFI kepada Ongko Multicorpora (tidak memerlukan
persetujuan), karena cara-cara perpanjangan berlakunya Perjanjian Gadai
Saham tersebut diatur dalam Pasal 4.2 yang secara jelas menyebutkan bahwa
Perjanjian Gadai Saham tersebut akan terus berlaku dan adanya Hak Opsi
dari
penerima
gadai
(dalam
hal
ini
BFI)
untuk
cukup
dengan
memberitahukan secara tertulis kepada pemberi gadai (dalam hal ini Ongko
Multicorpora) bahwa gadai saham tersebut akan terus berlaku.
(2)
Bahwa Perjanjian Gadai Saham pernah diperpanjang, yang pertama tanggal
22 Pebruari 2000 dan berakhir pada tanggal 1 Desember 2000, yang kedua
tanggal 28 Nopember 2000, dari BFI kepada Ongko Multicorpora.
(3)
Bahwa dengan surat tanggal 28 Nopember 2000, jelas terbukti bahwa
Perjanjian Gadai Saham masih berlaku sampai dengan tanggal 1 Desember
2001 karena telah diperpanjang 12 bulan terhitung sejak tanggal 1 Desember
2000 dari BFI kepada Ongko Multicorpora.
Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut pada tingkat Pengadilan
Negeri tidak sependapat dengan dalil tanggapan yang diajukan oleh BFI dan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.85
menerima dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora selaku Penggugat, dengan
memutuskan bahwa Pledge of Shares Agreement tertanggal 1 Juni 1999 (Akta
Gadai Saham), Surat Tertanggal 22 Februari 2000 (Perubahan Akta Gadai
Saham), Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus 2000 dan Power of Attorney
tertanggal 7 Agustus 2000 telah gugur dan tidak berlaku lagi terhitung sejak
tanggal 1 Desember 2000 dan karenanya seluruh perikatan dan perbuatan hukum
yang dibuat dan dilakukan Ongko Multicorpora dan Debenture Trust Corporation
berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut sejak tanggal 1 Desember 2000 adalah
batal demi hukum. Akan tetapi, pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan
kembali putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut dibatalkan, sehingga
Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 dianggap masih berlaku dan
memiliki kekuatan hukum pada saat dibuat dan ditandatanganinya Consent to
Transfer tertanggal 7 Agustus 2000 dan Power of Attorney tertanggal yang sama.
Apabila dicermati secara seksama, dalam perkara ini kedua belah pihak
pada prinsipnya dapat menerima anggapan bahwa perjanjian gadai saham diantara
keduanya memang memiliki jangka waktu tertentu untuk dapat diberlakukan
secara mengikat. Anggapan ini pun dapat diterima oleh pihak lembaga peradilan
baik dalam tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, maupun peninjauan
kembali. Namun, yang menjadi pokok permasalahan utama justru berkaitan
dengan penafsiran dan intepretasi ketentuan Pasal 4.2 Perjanjian Gadai Saham
tersebut yang dianggap sebagai dasar untuk menentukan jangka waktu berlakunya
Perjanjian Gadai Saham.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.86
Pasal 4.2 Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 menyatakan
sebagai berikut :
“Perjanjian gadai tunduk dengan pengakhiran sebelum berakhirnya jangka
waktu atau perpanjangan waktu dengan pilihan penerima gadai yang setiap
saat diberitahu kepada pemberi gadai.”
Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat diinterpretsikan bahwa ketentuan
Pasal 4.2 Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 pada intinya mengatur
sebagai berikut :
(1)
Perjanjian Gadai dapat diakhiri sebelum berakhirnya jangka waktu;
(2)
Perjanjian Gadai dapat diperpanjang untuk suatu waktu tertentu;
(3)
Pelaksanaan pengakhiran dan perpanjangan h dilakukan berdasarkan pilihan
penerima gadai dengan memberikan pemberitahuan kepada pemegang gadai.
Dari uraian di atas, sebenarnya ketentuan Pasal 4.2 telah jelas mengatur
bahwa memang perjanjian gadai saham tersebut dapat diakhiri ataupun
diperpanjang setiap saat. Pengakhiran ataupun perpanjangan tersebut tidak harus
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau dengan kata lain
untuk melakukan perpenjangan maupun pengakhiran tersebut penerima gadai
(dalam hal ini adalah BFI) cukup untuk memberikan pemberitahuan kepada pihak
pemberi gadai (dalam hal ini adalah Ongko Multicorpora). Oleh karenanya,
perpanjangan dan pengakhiran perjanjian gadai merupakan hak dari penerima
gadai yang dapat dilakukan secara sepihak, tanpa perlu persetujuan dari pemberi
gadai, dengan syarat harus diberitahukan kepada pemberi gadai. Dalam
persidangan, pihak BFI telah mengajukan bukti berupa surat tertanggal 28
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.87
November 2000 mengenai pemberitahuan perpanjangan jangka waktu gadai saham
yang disampaikan oleh BFI kepada Ongko Multicorpora. Majelis Hakim pada
tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali beranggapan bahwa surat tersebut
sudah dapat membuktikan bahwa perpanjangan jangka waktu Perjanjian Gadai
Saham tertanggal 1 Juni 1999 telah dilaksanakan berdasarkan cara dan ketentuan
yang diatur dalam Perjanjian Gadai Saham tersebut.
Atas putusan tingkat banding dan kasasi yang menyatakan bahwa
perpanjangan Perjanjian Gadai tertanggal 1 Juni 1999 berdasarkan surat tertanggal
28 November 2000 adalah sah menurut hukum, Ongko Multicorpora dalam
memori peninjauan kembal yang diajukannya mengajukan dalil-dalil antara lain
sebagai berikut :
(1)
Bunyi dan terjemahan Pasal 4.2 Akta Gadai Saham OM sangat jelas dan
tidak bisa ditafsirkan lain merupakan ketentuan yang mengatur mengenai
pengakhiran jangka waktu dan bukan mengenai perpanjangan jangka waktu
Akta Gadai Saham OM, dengan pengertian bahwa pengakhiran Akta Gadai
Saham OM dapat dilakukan setiap saat sebelum berakhirnya jangka waktu
Akta Gadai Saham OM atau pengakhiran tersebut tetap juga dapat dilakukan
setiap saat dalam hal Akta Gadai Saham OM tersebut telah dilakukan
perpanjangan masa berlakunya, dimana pengakhiran Akta Gadai Saham OM
tersebut dapat dilakukan oleh BFI cukup melalui pemberitahuan saja kepada
BFI. Dengan demikian sangatlah jelas dan tegas bahwa Pasal 4.2 Akta Gadai
Saham OM hanya mengatur mengenai tata cara pengakhiran Akta Gadai
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.88
Saham OM saja dan sama sekali bukan mengatur mengenai perpanjangan
Akta Gadai Saham OM.
(2)
Berhubung Pasal 4.2 Akta Gadai Saham tidak mengatur perpanjangan gadai,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata, berlakulah kepatutan
atau kebiasaan daam praktek perpanjangan gadai saham yang selama ini
dilakukan oleh Ongko Multicorpora dan BFI sebagai terbukti dari surat
tertanggal 22 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Ongko Multicorpora
dan BFI, yang artinya perpanjangan Gadai Saham tidak cukup dengan
pemberitahuan melainkan harus ada persetujuan kedua belah pihak dan juga
tidak cukup hanya dengan pemberitahuan dari salah satu pihak, apalagi pihak
itu adalah pihak penerima gadai semata sebagaimana surat yang dibuat secara
sepihak oleh BFI tertanggal 28 November 2000. Jadi sejatinya pengakhiran
dan perpanjangan adalah dua hal yang sangat berbeda, namun BFI berhasil
menyesatkan Majelis Hakim Tingkat Banding dengan dalil-dalilnya selama
ini. Akibatnya Majelis Hakim yang tidak cermat dan teliti pun akhirnya
mempertimbangkan secara rancu dan keliru serta mencampuradukan dua hal
yang sangat berbeda itu.
(3)
Dalam hal pengakhiran gadai saham, adalah sangat logis apabila cukup
dengan pemberitahuan sepihak saja dari penerima gadai karena memang
penerima gadailah yang berkepentingan terhadap adanya gadai. Pemberi
gadai tidak perlu dimintaan persetujuan karena pasti dengan senang hati
menerima pembebasan barang miliknya dari ikatan gadai.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.89
(4)
Sebaliknya perpanjangan jangka waktu gadai adalah keliru dan harus dengan
persetujuan pemberi gadai karena pemberi gadai memiliki kepentingan
terhadap barang yang digadaikanny. Hal ini dimaksudkan sebagai kepastian
hukum dan perlindungan hukum terhadap pemberi gadai mengenai batas
waktu sampai kapan barang tersebut terikat jaminan gadai.
Majelis Hakim peninjauan kembali dalam putusannya memberikan pertimbangan
hukum terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora selaku
pemohon peninjauan kembali, sebagai berikut :
(1)
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Jurist yang
menguatkan putusan Judex Factie (Pengadilan Tinggi) tidak salah
menerapkan hukum dan telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar.
(2)
Bahwa hal-hal yang dikemukakan oleh pemohon Peninjauan Kembali pada
hakekatnya tidaklah ada hal-hal baru yang diajukan, namun hanyalah sebagai
pengulangan yang berkaitan dengan penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, yang hal tersebut adalah wewenang
Judex Factie (Pengadilan Tinggi), bukan wewenang Majelis Peninjauan
Kembali.
(3)
Bahwa hal-hal yang diajukan sebagai alasan pemohon Peninjauan Kembali
dari adanya kekeliruan/kekhilafan yang nyata dari pertimbangan Judex Jurist,
hal tersebut tidak terbukti karena telah dipertimbangkan secara tepat dan
benar, sehingga oleh karenanya putusan tersebut perlu untuk dikuatkan dalam
putusan peninjauan kembali ini.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.90
Dengan berpedoman pada analisa yang telah dilakukan oleh penulis dalam
bagian ini, pertimbangan hukum dari Majelis Hakim peninjauan kembali yang
pada akhirnya memutuskan untuk menguatkan putusan pada tingkat banding dan
kasasi adalah tepat berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
(1)
Pendapat dari Ongko Multicorpora yang menyatakan bahwa perpanjangan
jangka waktu gadai harus dengan persetujuan pemberi gadai adalah tidak
tepat karena ketentuan Pasal 4.2 telah secara jelas dan tegas mengatur bahwa
perpanjangan gadai saham dapat dilakukan secara sepihak oleh pihak BFI
dengan
memberikan
pemberitahuan
kepada
Ongko
Multicorpora.
Perpanjangan jangka waktu gadai saham yang telah dilakukan oleh BFI oleh
karenanya telah dilaksanakan secara sah sesuai dengan prosedur sebagaimana
diatur dalam Pasal 4.2, yaitu dengan cara memberikan pemberitahuan kepada
Ongko Multicorpora melalui surat tertanggal 22 November 2000.
(2)
Oleh karena ketentuan Pasal 4.2 tersebut merupakan bagian dari Perjanjian
Gadai Saham yang sah antara Ongko Multicorpora dan BFI, maka kedua
belah pihak dengan demikian berkewajiban untuk mengikatkan diri dan
tunduk kepada ketentuan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal
1338 KUHPerdata.
(3)
Apabila sejak awal memang pihak BFI berkeberatan dengan cara
perpanjangan jangka waktu gadai saham yang diatur dalam Pasal 4.2,
seharusnya hal tersebut diselesaikan sejak awal penyusunan Perjanjian Gadai
Saham. Seluruh ketentuan termasuk Pasal 4.2 akan berlaku mengikat dan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.91
tidak dapat dikesampingkan oleh Ongko Multicorpora. Lebih lanjut lagi,
pendapat Ongko Multicorpora yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut
terlalu berat sebelah tidak dapat menjadi dasar untuk membatalkan ketentuan
Pasal 4.2, terkecuali apabila memang ketentuan Pasal 4.2 pada kenyataannya
bertentangan atau melanggar ketentuan perundang-undangan yang bersifat
memaksa, yang mana hal tersebut tidak dapat dibuktikan.
B.2.2. PERSETUJUAN
UNTUK
MELAKUKAN
EKSEKUSI
GADAI
SAHAM MELALUI PENJUALAN SECARA TERTUTUP ATAU
BAWAH TANGAN
Dalam perkara gugatan perdata Ongko Multicorpora, BFI sebagai Tergugat
I mendalilkan bahwa dasar dari pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM
melalui penjualan secara tertutup adalah berdasarkan persetujuan yang telah
diberikan oleh Ongko Multicopora kepada BFI, yaitu berdasarkan Letter of
Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus 2000. Dengan keberadaan persetujuan
tersebut, maka penjualan dan pengalihan Saham-Saham OM secara tertutup atau
bawah tangan adalah sah menurut hukum oleh karena telah disetujui oleh pihak
Ongko Multicorpora selaku pemberi gadai.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada dasarnya tidak memberikan
pengaturan secara khusus mengenai persetujuan untuk melakukan eksekusi gadai
saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Namun demikian,
apabila dicermati secara seksama, ketentuan Pasal 1155 ayat (1) Kitab Undang-
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.92
Undang Hukum Perdata sedikit menyinggung mengenai persetujuan pelaksanaan
eksekusi gadai melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Hal ini dapat
dilihat dari rumusan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagai
berikut :
“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang
adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera janji, setelah
tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu
tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar,
menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaankebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan
maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan
biaya dari pendapatan penjualan tersebut.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, eksekusi obyek
gadai harus dilakukan dengan cara penjualan di muka umum. Akan tetapi, dalam
Pasal yang sama juga diatur secara tegas bahwa ketentuan penjualan di muka
umum berlaku “apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain”. Dengan
adanya pembatasan tersebut, maka dapat dapat disimpulkan bahwasannya para
pihak dimungkinkan untuk mengatur secara berbeda dan dapat mengesampingkan
berlakunya ketentuan pelaksanaan eksekusi obyek gadai menurut cara yang diatur
dalam KUHPerdata. Lebih lanjut lagi, apabila diinterpretasikan secara gramatikal,
maka cara lain yang dimaksud dalam hal ini juga mencakup cara penjualan secara
tertutup atau bawah tangan, yang memang tidak diatur dan berbeda dengan
ketentuan KUHPerdata. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa KUHPerdata
tidak melarang terjadinya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi gadai dan
penerima gadai untuk melaksanakan eksekusi gadai saham melalui penjualan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.93
secara tertutup atau bawah tangan, sepanjang hal tersebut memang benar-benar
dapat dibuktikan telah diperjanjikan oleh para pihak.
Berpedoman pada pendapat di atas, maka persetujuan pelaksanaan eksekusi
gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan akan tunduk
pada ketentuan dasar mengenai syarat-syarat keabsahan suatu persetujuan secara
perdata sebagaimana diatur dalam beberapa Pasal sebagai berikut :
Pasal 1320 KUHPerdata :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan duoerlukan empat syarat :
2. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
3. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
4. suatu hal tertentu;
5. suatu sebab yang halal.”
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Merujuk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, persetujuan pelaksanaan
eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan telah
memenuhi syarat-syarat sahnya suatu persetujuan menurut hukum, sehingga
berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata harus dianggap berlaku sebagai
undang-undang dan mengikat bagi para pihak di dalamnya, yakni pemberi gadai
dan penerima gadai. Atas dasar inilah, maka eksekusi gadai saham melalui
penjualan secara tertutup atau bawah tangan oleh penerima gadai dapat
dilaksanakan berdasarkan persetujuan yang telah diberikan oleh pemberi gadai
kepada penerima gadai.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.94
J. Satrio, S.H. berpendapat bahwa memang ketentuan Pasal 1155 ayat (1)
KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat menambah (aanvullend-rect),
karena para pihak bebas untuk menetapkan lain, sehingga dalam hal para pihak
tidak menyimpangi ketentuan tersebut, maka barulah ketentuan Pasal 1155 ayat (1)
berlaku. Namun demikian, kebebasan yang dimaksud dalam hal ini adalah
kebebasan untuk memperjanjikan mengenai pelaksanaan parate eksekusi berupa
tindakan kreditur untuk langsung melakukan eksekusi atas obyek gadai dengan
cara menjual di muka umum. Dengan adanya kebebasan tersebut, maka para pihak
dapat memperjanjikan untuk mengesampingkan hak untuk melaksanakan parate
eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata. Kebebasan
untuk memperjanjikan lain yang diatur dalam Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata
tidak dimaksudkan sebagai kebebasan atau hak para pihak untuk memperjanjikan
cara eksekusi secara berbeda dari penjualan di muka umum.
Selanjutnya J. Satrio, S.H. juga berpendapat bahwa pembuat UndangUndang mempunyai kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya kerugian yang
terlalu besar bagi debitur melalui persekongkolan antara penjual dengan calon
pembelinya. Namun, setelah debitur wanprestasi, maka para pihak dapat
mengadakan persetujuan untuk menjual benda jaminan di bawah tangan. Di dalam
praktek sering kali dijumpai perjanjian gadai yang mengandung kalusula
penjualan, baik di muka umum maupun di bawah tangan. Adanya janji seperti itu
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kreditur secara semenamena, tetapi mengingat bahwa sering kali penjualan di bawah tangan memberikan
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.95
hasil yang lebih baik dan ini menguntungkan kedua belah pihak, biasanya dalm
penjualan di bawah tangan, kreditur pemegang gadai meminta persetujuan dari
pemberi gadai. Disamping itu, untuk benda-benda gadai yang mempunyai nilai
yang kecil saja, sungguh tidak praktis dan efisien untuk melaksanakan penjualan
melalui juru lelang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil penjualan bisa lebih
kecil dari biaya lelang (dengan semua persiapan pendahuluannya).
Pendapat J. Satrio, S.H. di atas berbeda dengan hasil penafsiran secara
gramatikal dari ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata. Pada intinya J. Satrio,
S.H. berusaha menekankan bahwa pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui
penjualan di muka umum merupakan suatu hal yang tidak dapat disimpangi.
Kalaupun memang dalam ketentuan Pasal 1155 ayat (1) diatur mengenai
kebebasan untuk memperjanjikan lain, hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai
kebebasan untuk memperjanjikan pelaksanaan eksekusi gadai saham dengan cara
lain dari penjualan di muka umum. Persetujuan atas pelaksanaan penjualan secara
tertutup atau di bawah tangan tetap dapat dilaksanakan, namun harus setelah
debitur
melakukan
tindakan
wanprestasi.
Hal
ini
dimaksudkan,
untuk
mengantisipasi terjadinya persekongkolan antara penjual dengan calon pembelinya
yang dapat menimbulkan kerugian bagi debitur (dalam hal ini dimungkinkan
bahwa dengan terjadinya persekongkolan tersebut harga penjualan tidaklah
setinggi harga apabila saham yang digadaikan tersebut dijual di muka umum).
Apabila pembuat undang-undang pada kenyataannya memiliki maksud
sebagaimana diutarakan oleh J. Satrio, S.H., menurut hemat penulis hal tersebut
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.96
dapat dimengerti, mengingat apabila persetujuan penjualan gadai saham diberikan
sebelum terjadinya tindakan wanprestasi oleh debitur, maka kedudukan antara
debitur dan kreditur tidaklah seimbang karena dengan adanya persetujuan tersebut
penjualan saham dapat dilakukan tertutup atau dibawah tangan dan tidak ada
jaminan bagi debitur bahwa penjualan saham tersebut tidak dalam posisi harga
terbaik seperti apabila penjualan dilakukan di muka umum. Hal ini tidak akan
terjadi dalam hal persetujuan tersebut diberikan setelah debitur melakukan
wanprestasi karena dalam keadaan demikian debitur dan kreditur berada dalam
posisi yang seimbang untuk memberikan penilaian mengenai cara penjualan yang
paling menguntungkan bagi para pihak, sehingga penjualan saham secara tertutup
atau bawah tangan pada akhirnya dapat dipastikan merupakan solusi untuk
memperoleh harga yang terbaik untuk pelunasan atas hutang debitur kepada
kreditur.
Mengenai hal ini memang tidak ada kepastian dan kejelasan sehubungan
dengan ketentuan kapan suatu persetujuan untuk melakukan eksekusi gadai saham
melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat diperjanjikan. Di satu
sisi apabila ditafsirkan dari rumusan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, jelas terlihat
bahwa ketentuan Pasal tersebut tidak memberikan batasan ataupun syarat khusus
kapan persetujuan semacam itu dapat diperjanjikan atau dengan kata lain para
pihak dapat bebas memperjanjikan mengenai kesepakatan untuk melakukan
eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan pada
saat ditutupnya perjanjian gadai saham atau pada saat lain selama perjanjian gadai
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.97
tersebut masih berlaku dan mengikat. Namun demikian, pada kenyataannya
doktrin dari ahli hukum berpendapat bahwa ketentuan Pasal 1155 ayat (1)
memiliki maksud yang berbeda sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf
sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka berkaitan dengan syarat-syarat
keabsahan suatu kesepakatan atau persetujuan mengenai pelaksanaan eksekusi
gadai saham melalui penjualan di muka umum, dapat dilakukan analisa sebagai
berikut :
(a)
Persetujuan yang diperjanjikan setelah adanya tindakan wanprestasi
dari pihak debitur
Dalam hal ini persetujuan tersebut dianggap sah menurut hukum karena
menurut doktrin hukum persetujuan semacam inilah yang sebenarnya
diperkenankan oleh ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata. Persetujuan
yang diperjanjikan setelah adanya tindakan wanprestasi oleh debitur dianggap
dapat memberikan perlindungan secara seimbang baik bagi pihak debitur
maupun kreditur, oleh karena dalam kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa
cara eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan merupakan
cara terbaik yang telah disepakati para pihak untuk memperoleh hasil harga
penjualan secara lebih baik apabila dibandingkan dengan cara penjualan di
muka umum atau secara lelang. Selain itu, dalam keadaan demikian, juga dapat
dipastikan bahwa cara penjualan secara tertutup atau bawah tangan merupakan
cara eksekusi yang lebih praktis, cepat dan dapat memberikan kemudahan bagi
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.98
para pihak, tanpa adanya kekhawatiran bahwa hal tersebut justru dapat menjadi
suatu kelemahan yang dimanfaatkan oleh pihak kreditur untuk melakukan
penjualan semata-mata untuk kepentingannya sendiri, tanpa memperhatikan
kepentingan debitur untuk memperoleh harga jual yang lebih baik dengan
penjualan di muka umum. Dengan berpedoman pada syarat ini, maka pihak
debitur diberikan perlindungan dan memiliki kebebasan untuk menentukan
cara penjualan yang dapat memberikan hasil terbaik, sehingga pada akhirnya
debitur tetap dapat memanfaatkan hasil penjualan saham untuk pelunasan
hutangnya kepada kreditur, tanpa perlu dirugikan oleh hasil penjualan yang
kurang maksimal.
(b)
Persetujuan yang diperjanjikan dalam perjanjian gadai saham atau
pada saat lain sebelum adanya tindakan wanprestasi dari pihak
debitur
Meskipun doktrin ahli hukum memiliki perndapat yang berbeda, namun
sebagian pihak berpendapat bahwa sebenarnya persetujuan semacam ini adalah
sah menurut hukum. Hal ini didasarkan oleh ketentuan Pasal 1155 ayat (1)
KUHPerdata yang secara tegas memperkenankan diperjanjikannya persetujuan
pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup, tanpa
mengatur lebih lanjut mengenai batasan ataupun syarat khusus kapan
persetujuan tersebut dapat diperjanjikan. Namun demikian, oleh karena terjadi
polemik dan perbedaan pendapat, dalam praktek hal ini sering dimanfaatkan
oleh pihak yang berkepentingan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.99
persetujuan demikian adalah batal demi hukum karena tidak sesuai dengan
maksud yang sebenarnya dari Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata sebagaimana
dinyatakan oleh doktrin ahli hukum yang berlaku. Persetujuan tersebut
dianggap memiliki kelemahan karena apabila diperjanjikan setelah debitur
melakukan tindakan wanprestasi, maka
posisi antara debitur dan kreditur
tidaklah seimbang karena debitur tidak lagi memiliki hak untuk menentukan
cara penjualan lain yang lebih menguntungkan selain penjualan secara tertutup
atau bawah tangan. Kreditur berdasarkan persetujuan yang telah diperjanjikan
dapat langsung melakukan eksekusi melalui penjualan secara tertutup, tanpa
harus memperhatikan kepentingan debitur untuk memperoleh hasil penjualan
secara lebih baik yang dimungkinkan terjadi apabila penjualan dilakukan di
muka umum.
Dalam hal persetujuan pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara
tertutup atau bawah tangan memang telah diperjanjikan oleh para pihak dalam
perjanjian gadai atau pada saat lain sebelum terjadinya tindakan wanprestasi
dari debitur, menurut J. Satrio, S.H., keberadaan janji semacam itu tidak perlu
harus menjadikan klausula demikian batal demi hukum, namun
kalusula
tersebut dapat dibatalkan, dengan catatan harus dilihat terlebih dahulu apakah
terdapat dasar yang patut untuk mencantumkan klausula semacam itu.49 Penulis
sependapat dengan apa yang disampaikan oleh J. Satrio, S.H., bahwa dengan
49
J. Satrio, loc.cit., halaman 123.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.100
demikian pencantuman janji atau persetujuan tersebut sebelum adanya tindakan
wanprestasi dari debitur, tidak dapat secara serta merta dianggap sebagai suatu
tindakan yang melanggar hukum atau menyebabkan persetujuan tersebut
menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Hal ini akan sangat bersifat
kasuistis, sehingga perlu dicermati terlebih dahulu dasar dan tujuan dari
pencantuman janji atau persetujuan semacam itu.
Sehubungan dengan analisa yang telah dijabarkan di muka, putusan
pengadilan untuk perkara gugatan Ongko Multicorpora dalam semua tingkatan,
baik tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, sama
sekali tidak menyinggung mengenai permasalahan keabsahan dari persetujuan atau
janji untuk melakukan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau
bawah tangan berdasarkan Letter of Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus
2000, yang dalam hal ini diperjanjikan sebelum adanya tindakan wanprestasi dari
pihak debitur. Kalaupun memang persetujuan tersebut sempat dipermasalahkan,
hal ini hanya mengenai keberlakuan dari persetujuan tersebut yang disebabkan
oleh perbedaan interpretasi mengenai jangka waktu berlakunya perjanjian gadai
saham dan bukan mengenai permasalahan bahwa persetujuan semacam itu
memang pada dasarnya tidak diperkenankan atau bersifat melawan hukum.
Dengan demikian, lembaga peradilan tampaknya lebih condong pada pendapat
bahwa keberadaan janji semacam itu adalah sah menurut hukum. Namun
demikian, untuk dapat mengetahui sejauh mana kekuatan hukum janji atau
persetujuan tersebut sebagai dasar pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.101
penjualan secara tertutup atau bawah tangan, perlu dilakukan analisa terkait
dengan ketentuan dan syarat-syarat lebih lanjut mengenai keabsahan pelaksanaan
eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.2.3. IMPLEMENTASI
DARI
KETENTUAN
KUHPERDATA
SEBAGAI
SALAH
PELAKSANAAN
EKSEKUSI
GADAI
PASAL
1156
SATU
SYARAT
SAHAM
MELALUI
PENJUALAN SECARA TERTUTUP ATAU BAWAH TANGAN
Terkait dengan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau
bawah tangan yang dilakukan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation,
Ongko Multicorpora dalam memori peninjauan kembali yang diajukan kepada
Mahkamah Agung, menyatakan dalil-dalil sebagai berikut :
(1)
Bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding tidak menelaah secara cermat dan
teliti maksud dan makna dari Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH.Perdata yang
mengatur cara penjualan barang gadai terkait dengan perkara a quo. Majelis
Hakim
Tingkat
Banding
lebih
condong
mempertimbangkan
dan
mengakomodir dalil-dalil Termohon Peninjauan Kembali I yang dari awal
jelas-jelas keliru dan menyesatkan, yaitu karena telah diperjanjikan, maka
barang gadai boleh saja dieksekusi tanpa melalui lelang. Seandainya pun
diperjanjikan oleh pemberi dan penerima gadai, tetap untuk mengeksekusi
barang gadai harus tunduk kepada aturan dan mekanisme yang mengaturnya,
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.102
apalagi eksekusi gadai saham secara tegas telah diatur dalam ketentuan gadai
yang bersifat tertutup dan tidak dapat disimpangi, dimana penjualan harus
dilakukan dengan cara lelang dimuka umum (sesuai ketentuan Pasal 1155
KUH.Perdata) atau dengan cara lain yang ditentukan oleh putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui proses gugatan
(sesuai pasal 1156 KUH.Perdata);
(2) Bahwa telah terbukti bahwa penjualan Saham-Saham OM dilakukan
Termohon Peninjauan Kembali I dengan cara menjual secara dibawah
tangan, maka penjualan tersebut adalah bertentangan dan melanggar
ketentuan Pasal 1155 KUH.Perdata. Oleh sebab itu Majelis Hakim Tingkat
Banding seharusnya menyatakan bahwa perbuatan Termohon Peninjauan
Kembali I yang telah menjual Saham-Saham OM itu adalah perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) ;
(3) Bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya pada
halaman 15 paragraf ke-2 telah membuat kekeliruan dalam menilai apakah
perbuatan Termohon Peninjauan Kembali I menjual Saham-Saham OM milik
Pemohon Peninjauan Kembali adalah perbuatan melawan hukum atau bukan,
karena hanya didasarkan pada keadaan bahwa hutang yang dijamin belum
lunas dibayar, tanpa mempertimbangkan apakah cara penjualan saham-saham
tersebut sudah sesuai dan memenuhi ketentuan hukum gadai yang bersifat
mengikat, yang diatur dalam Buku II KUH.Perdata, khususnya pada Pasal
1155 dan 1156.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.103
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada bagian B.2.2, berdasarkan
ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, pelaksanaan eksekusi gadai saham
pada prinsipnya harus dilakukan melalui penjualan di muka umum. Para pihak
namun demikian dapat memperjanjikan mengenai kesepakatan ataupun pesetujuan
untuk melaksanakan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau
bawah tangan dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi terhadap
kreditur. Menurut doktrin hukum, persetujuan tersebut hanya dapat dibuat setelah
adanya tindakan wanprestasi dari debitur, karena akan dapat lebih memberikan
perlindungan hukum secara seimbang bagi kedua belah pihak (debitur dan
kreditur). Akan tetapi, apabila persetujuan tersebut dibuat sebelum adanya
tindakan wanprestasi, tidak berarti hal demikian dapat menjadi dasar untuk serta
merta membatalkan persetujuan tersebut, oleh karena harus dilihat secara kasuistis
dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang telah terjadi.
Dalam perkara eksekusi gadai atas Saham-Saham OM, BFI menyatakan
bahwa eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat
dilaksanakan berdasarkan Persetujuan dan Kuasa untuk menjual tertanggal 7
Agustus 2000. Menanggapi hal tersebut, Ongko Multicorpora menyatakan bahwa
meskipun telah diberikan persetujuan, tetapi untuk mengeksekusi barang gadai
harus tunduk kepada aturan dan mekanisme yang mengaturnya, apalagi eksekusi
gadai saham secara tegas telah diatur dalam ketentuan gadai yang bersifat tertutup
dan tidak dapat disimpangi, dimana penjualan harus dilakukan dengan cara lelang
dimuka umum (sesuai ketentuan Pasal 1155 KUH.Perdata) atau dengan cara lain
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.104
yang ditentukan oleh putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
melalui proses gugatan (sesuai pasal 1156 KUH.Perdata). Mahkamah Agung
dalam putusan peninjauan kembali untuk perkara ini memutuskan untuk menolak
dalil-dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora dan menyatakan bahwa
pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah
tangan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation adalah sah menurut hukum.
Berkenaan dengan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, Pasal 1156
KUHPerdata menyatakan sebagai berikut ::
Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :
“Bagaimanapun, apabila si berutang atau si pembeli gadai bercidera-janji, si
berpiutang dapat menuntut di muka Hakim supaya barangnya gadai dijual
menurut cara yang ditentukan oleh Hakim untuk melunasi utang beserta bunga
dan biaya, ataupun Hakim atas tuntutan si berpiutang, dapat mengabulkan
bahwa barangnya gadai akan tetap pada si berpiutang untuk suatu jumlah
yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar utangnya beserta bunga
dan biaya.”
Ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata menjelaskan bahwa pihak penerima
gadai dapat menuntut pelaksanaan eksekusi gadai dapat dilakukan dengan cara
selain diatur dalam ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata (melalui penjualan secara
tertutup) berdasarkan putusan dari Hakim. Tampaknya pihak Ongko Multicorpora
menjadikan ketentuan ini sebagai dasar hukum bahwa persetujuan dan kuasa yang
telah diberikannya kepada BFI untuk melakukan penjualan saham secara tertutup
atau bawah tangan tidak dapat secara serta merta menjadi dasar pelaksanaan
penjualan tersebut, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata masih
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.105
diperlukan formalitas lain, yaitu untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan, agar
penjualan saham secara tertutup atau bawah tangan dapat dilakukan.
Keberadaan
ketentuan
Pasal
1156
KUHPerdata
memang
dapat
menimbulkan perdebatan apakah pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui
penjualan secara tertutup atau bawah tangan harus dilaksanakan berdasarkan suatu
putusan pengadilan atas gugatan yang diajukan oleh pihak kreditur. Sedangkan di
sisi lain, seperti telah dibahas sebelumnya pada B.2.2, para pihak seharusnya sudah
dapat melaksanakan eksekusi tersebut berdasarkan persetujuan yang telah
disepakati bersama (dengan catatan hal tersebut juga masih disetujui oleh debitur
setelah terjadinya tindakan wanprestasi). Disamping itu, apabila memang kreditur
masih diharuskan untuk mengajukan tuntutan atau gugatan50 agar dapat
memperoleh putusan pengadilan yang menjadi dasar pelaksanaan penjualan secara
tertutup, bukankan dengan demikian persetujuan yang telah disepakati sebelumnya
menjadi sama sekali tidak berguna dan sia-sia.
Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, maka perlu terlebih dahulu
dicermati konsep dasar dari tuntutan atau gugatan yang dimaksud dalam hal ini.
51
Menurut Yahya Harahap, dalam suatu gugatan contentiosa, gugatannya
mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan
dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau
perselisihan antara para pihak. Gugatan semacam ini juga sering disebut sebagai
50
Tuntutan atau gugatan yang dimaksud dalam hal ini adalah gugatan contentiosa.
51
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, halaman 46.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.106
contentiosa reschtspraak, artinya penyelesaian sengketa pengadilan melalui proses
sanggah menyanggah dalam bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban) dan duplik
(jawaban kedua kali). Perkataan contentiosa atau contentious berasal dari bahasa
Latin yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara dengan penuh
semangat bertanding atau berpolemik. Hal ini yang menyebabkan penyelesaian
perkara yang mengandung sengketa disebut sebagai yurisdiksi contentiosa atau
contentious jurisdiction, yaitu kewenangan pengadilan yang memeriksa perkara
yang berkenaan dengan masalah persengketaan.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka telah jelas bahwa tutuntutan ke
muka Hakim yang dimaksud oleh Pasal 1156 KUHPerdata adalah gugatan
contentiosa yang melibatkan para pihak dalam keadaan bersengketa. Sedangkan
keadaan bersengketa yang dimaksud dalam hal ini adalah keadaan dimana terjadi
ketidaksesuaian, perselisihan dan ketidaksepahaman antara para pihak. Dengan
demikian, gugatan atau tuntutan di muka hakim seharusnya menjadi prasyarat
hanya apabila terjadi kondisi sengketa antara para pihak berkaitan dengan
pelaksanaan eksekusi gadai melalui cara selain penjualan secara tertutup.
Sebagai perbandingan, dalam lembaga jaminan Hak Tanggungan,
pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat
dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996, sebagai berikut :
(1)
setelah lewat waktu 1 bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis oleh
pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.107
berkepentingan, dengan tujuan untuk melindungi pihak-pihak yang
berkepentingan seperti pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan kreditur
lainnya dari pemberi hak tanggungan, sedangkan tanggal pemberitahuan
tertulis yang dimaksud dalam hal ini adalah tanggal pengiriman pos tercatat
atau tanggal penerimaan melalui kurir maupun faksimili;
(2)
diumumkan dalam sedikit-dikitnya 2 surat kabar;
(3)
tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Pada angka (3), dinyatakan bahwa penjualan tersebut dilakukan dalam hal
tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Hal ini dapat dipersamakan dengan
kondisi dimana tidak terjadi sengketa atau peselisihan berkaitan dengan
pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Hanya
saja dalam Hak Tanggungan, diatur beberapa formalitas tambahan lainnya yang
harus dilakukan untuk dapat melindungi kepentingan para pihak yang terkait, yang
antara lain adalah memberikan pemberitahuan secara tertulis dan mengumumkan
dalam surat kabar. Disamping itu, para pihak yang berkepentingan juga harus
diberikan kesempatan untuk dapat mengajukan keberatan apabila penjualan
tersebut kiranya dapat menimbulkan kerugian, namun jangka waktu tersebut juga
dibatasi untuk tetap dapat memberikan perlindungan hukum kepada kreditur atau
penerima gadai yang dalam hal ini berkepentingan untuk dapat menjual obyek
jaminan serta mengambil hasilnya sebagai pelunasan atas hutang debitur kepada
kreditur.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.108
Untuk lembaga jaminan gadai, memang pelaksanaan eksekusi melalui
penjualan secara tertutup atau bawah tangan tidak diatur dengan prosedur secara
terperinci sebagaimana lembaga Hak Tanggungan. Namun demikian, secara
konseptual pelaksanaan penjualan secara tertutup atau bawah tangan, sebagai
bentuk pengecualian dari penjualan di muka umum dalam Hak Tanggungan,
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk dapat memberikan kesempatan bagi
kreditur guna mendapatkan hasil penjualan terbaik dengan cara selain penjualan di
muka umum. Oleh karenanya, sebaiknya prosedur dan mekanisme serupa juga
dapat diterapkan dalam pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan
secara tertutup atau bawah tangan. Dengan diterapkannya mekanisme tersebut,
maka dapat diperoleh jalan keluar atas ketidakpastian dan permasalahan yang
terjadi selama ini sebagai akibat dari perbedaan interpretasi mengenai ketentuan
Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata.
Dalam perkara eksekusi gadai Saham-Saham OM, para pihak sebenarnya
telah memperjanjikan suatu persetujuan dan kuasa mengenai pelaksanaan eksekusi
gadai Saham-Saham OM melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan,
yang dibuat sebelum terjadinya tindakan wanprestasi oleh Ongko Multicorpora.
Dengan demikian, berdasarkan pembahasan pada paragraf di atas, persetujuan
tersebut dapat menjadi dasar pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM
melalui penjualan secara bawah tangan oleh BFI kepada Debenture Trust
Corporation apabila telah terpenuhi kondisi berikut ini:
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.109
(1)
dapat dibuktikan bahwa kedua belah pihak (BFI dan Ongko Multicorpora)
telah setuju dan sepakat bahwa pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham
OM harus dapat dilakukan dengan cara penjualan secara tertutup atau bawah
tangan kepada pihak ketiga (hal penting yang perlu dicatat adalah meskipun
memang persetujuan demikian telah diberikan berdasarkan Letter of Consent
tanggal 7 Agustus 2000, namun untuk tetap memberikan kepastian hukum
bagi kedua belah, sebaiknya persetujuan tersebut perlu untuk ditegaskan
kembali setelah terjadinya tindakan wanprestasi oleh Ongko Multicorpora);
(2)
kedua belah pihak (BFI dan Ongko Multicorpora) tidak berada dalam
keadaan bersengketa atau beselisih mengenai cara pelaksanaan eksekusi
gadai Saham-Saham OM melalui penjualan secara tertutup atau bawah
tangan);
(3)
pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM merupakan cara atau
alternatif terbaik untuk memperoleh hasil penjualan terbaik (artinya tanpa
perlu melakukan penjualan di muka umum, penjualan secara tertutup atau
bawah tangan dapat memberikan hasil yang baik), sehingga dapat digunakan
untuk melunasi hutang kepada BFI, tanpa harus menimbulkan kerugian bagi
Ongko Multicorpora.
Dalam proses persidangan mengenai perkara ini telah terungkap beberapa
fakta hukum mengenai penjualan Saham-Saham OM oleh BFI kepada Debentur
Trust Corporation, sebagai berikut :
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.110
(1)
Pihak Debenture Trust Corporation telah melakukan pengumuman melalui
media masa Harian Bisnis Indonesia tanggal 14 Mei 2001 mengenai
penjualan saham dan atas pengumuman tersebut Ongko Multicorpora tidak
pernah melakukan protes maupun mengajukan keberatan.
(2)
Pihak BFI telah memberi tahu Ongko Multicorpora tentang pelaksanaan
putusan perdamaian dan pengalihan Saham-Saham OM melalui surat tanggal
11 Mei 2001, yang telah disetujui oleh Ongko Multicorpora.
(3)
Sejak perpanjangan terakhir, yaitu dengan surat tanggal 28 dan 29 November
2000 serta sejak dikeluarkannya surat-surat persetujuan untuk menjual
Saham-Saham OM tanggal 7 Agustus 2000 dan tanggal 11 Mei 2001, pihak
Ongko Multicorpora tidak pernah mengajukan protes atau meminta kembali
Saham-Saham OM karena Ongko Multicorpora mengakui bahwa SahamSaham OM memang masih digadaikan kepada BFI.
Berdasarkan fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas, terlihat bahwa
sebenarnya kedua belah pihak tidak berada dalam kondisi bersengketa pada saat
dilaksanakannya penjualan Saham-Saham OM atau dengan kata lain penjualan
tersebut telah disetujui oleh pihak Ongko Multicorpora bukan hanya pada saat
diberikannya persetujuan tertanggal 7 Agustus 2000, tetapi juga setelah terjadinya
tindakan wanprestasi oleh Ongko Multicorpora. Terlebih lagi pihak Ongko
Multicopora tidak mengajukan keberatan ataupun tanggapan lebih lanjut atas
pelaksanaan penjualan Saham-Saham OM dan baru setelah lewatnya waktu kurang
lebih 2 tahun mengajukan gugatan pembatalan atas jual beli saham tersebut.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.111
Kalaupun memang pada akhirnya penjualan tersebut dirasa merugikan Ongko
Multicorpora, yang bersangkutan seharusnya segera menyatakan keberatannya
pada saat diumumkannya penjualan saham tersebut.
Putusan Majelis Hakim pada tingkat peninjauan kembali yang menyatakan
bahwa penjualan Saham-Saham OM adalah sah menurut hukum, menurut hemat
penulis sudah tepat berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
(1)
meskipun persetujuan secara tertulis dibuat sebelum terjadinya tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh Ongko Multicorpora, namun fakta-fakta
hukum yang terjadi telah membuktikan bahwa Ongko Multicorpora secara
tidak langsung telah menegaskan persetujuan tersebut setelah terjadinya
tindakan wanprestasi, dengan tidak mengajukan keberatan ataupun tanggapan
atas pemberitahuan dan pengumuman yang dilakukan oleh BFI, atas dasar
inilah maka kedua belah pihak tidak berada dalam kondisi bersengketa,
sehingga tidak diperlukan persyaratan mengajukan gugatan atau tuntutan ke
muka hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata;
(2)
BFI telah melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya dianggap perlu guna
memberikan perlindungan bagi pihak yang berkepentingan dan mencegah
timbulnya permasalahan hukum di kemudian hari, antara lain dengan
memberikan pemberitahuan dan pengumuman di surat kabar, yang mana
tidak mendapatkan tanggapan ataupun keberatan dari pihak lain, termasuk
Ongko Multicorpora.
Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.112
Download