BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI GADAI SAHAM MELALUI PENJUALAN SECARA TERTUTUP A. LANDASAN TEORI A.1. TINJAUAN UMUM MENGENAI EKSEKUSI A.1.1. Sumber dan Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi di Indonesia 1 Prosedur pelaksanaan eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat ini tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Beberapa ketentuan yang masih berlaku dalam praktek antara lain Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang “sandera” atau “gijzeling” tidak lagi diberlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan pengadilan tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan. Disamping itu, terdapat beberapa peraturan lainnya seperti Peraturan Lelang No. 189/1908 (Vendu Reglement St. 1908/No. 189) dan Pasal 180 HIR 1 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, halaman 2. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.17 atau Pasal 191 RBG yang mengatur tentang pelaksanaan putusan secara serta merta (uit voerbaar bij vorraad) atau provisionally enforceable (to have immidiate effect) yakni pelaksanaan putusan dengan segera dapat dijalankan terlebih dahulu sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal-pasal itulah yang menjadi pedoman tindakan eksekusi, yang akan dibahas lebih lanjut secara terperinci. 2Namun, pembahasan berdasarkan pasalpasal tersebut sama sekali tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat dalam asas-asas hukum, yurisprudensi, maupun praktek pengadilan sebagai alat pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul dalam praktek. Misalnya eksekusi mengenai barang hipotik dan hak tanggungan tidak bisa diselesaikan pelaksanaannya secara tepat dan sempurna tanpa mengaitkan pasalpasal eksekusi dengan ketentuan hipotik yang diatur dalam KUHPerdata maupun ketentuan hak tanggungan yang diatur dalam UU Agraria No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Begitu pula untuk memecahkan masalah noneksekutabel (tidak dapat dieksekusi), kreditur yang paling utama kedudukannya dalam eksekusi atas sita jaminan yang sama dan atas suatu barang yang sama tidak bisa terlepas dari patokan atau acuan asas-asas eksekusi. Demikian juga permasalahan eksekusi antara instansi pengadian dengan PUPN, tidak bisa dipecahkan tanpa mengkaitkan aturan pasal-pasal eksekusi dengan UU No. 49 PrP/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan “parate eksekusi” yang dilimpahkan undang-undang kepada instansi PUPN. 2 Ibid., halaman 4-5. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.18 A.1.2. Pengertian dan Asas-Asas Eksekusi 3 Prof. R. Subekti dan Ibu Retnowulan Sutantio mengalihkan istilah eksekusi (executie) kedalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan putusan”. Pembakuan istilah “pelaksanaan putusan” sebagai kata ganti eksekusi dianggap sudah tepat, sebab jika betitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBH, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonissen). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalan tidak mau menjalankannya secara sukarela. Pada prinsipnya hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya. Dengan demikian, asas-asas atau aturan umum eksekusi adalah sebagai berikut :4 - eksekusi dilaksanakan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat kondematoir; - karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hubungan hukum yang tetap dan pasti antara para pihak yang berperkara; - karena hubungan hukum sudah tetap dan pasti (fixed and certain), maka mesti ditaati dan dipenuhi; 3 Etto Sunaryanto, Sugiwanto dan Jose Ari Lukito, Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Jakarta, 2006, halaman 3-4. 4 Ibid., halaman 4. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.19 - cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang tetap dan pasti tersebut adalah dengan cara dijalankan secara sukarela atau dengan paksa melalui bantuan alat-alat negara; - kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepda Pengadilan Negeri; - eksekusi dilaksanakan atas perintah dan dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. Terdapat beberapa pengecualian atas asas-asas atau aturan umum eksekusi tersebut di atas. Dalam kasus-kasus tertentu, undang-undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap bentuk produk tertentu diluar putusan. Adakalanya eksekusi bukan merupakan tindakan menjalankan putusan pengadilan, tetapi menjalankan pelaksanaan terhadap bentuk-bentuk produk yang dipersamakan oleh undang-undang sebagai putusan yang teah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap pengecualian yang dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai dengan aturan tata cara eksekusi atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berikut ini adalah bentuk-bentuk pengecualian tersebut, yaitu :5 - Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vorraad) Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar putusan dapat 5 Ibid., halaman 4-5. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.20 dilaksanakan terlebih dahulu, yang lazim disebut “putusan dapat dieksekusi serta merta”, sekalipun terhadap putusan itu dimintakan banding atau kasasi. - Pelaksanaan Putusan Provisi Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG pada kalimat terakhir mengenai “gugatan provisi” yakni tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, putusan tersebut dapat dieksekusi sekalipun perkara pokoknya belum diputus. - Akta Perdamaian Bentuk pengecualian lain adalah akta perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG. Menurut ketentuan pasal tersebut, selama persidangan berlangsung, para pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun atas inisiatif pihak yang berperkara. Apabila tercapai perdamaian dalam persidangan, maka hakim akan membuat akta perdamaian yang harus ditaati oleh para pihak. Sifat akta perdamaian yang dibuat di dalam persidangan mempunyai kekuatan eksekusi seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. - Eksekusi Terhadap Grosse Akta Pengecualian lain yang diatur dalam undang-undang adalah menjalankan eksekusi terhadap grosse akta baik grosse hipotik maupun grosse akta pengakuan hutang, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG. Eksekusi yang dijalankan adalah memenuhi isi perjanjian yang dibuat Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.21 para pihak dengan ketentuan perjanjian itu berbentuk grosse akta karena dalam bentuk grosse akta melekat titel esekutorial, sehingga memiliki kekuatan eksekutorial. - Eksekusi Terhadap Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia Atas obyek yang telah dibebankan dengan Hak Tanggungan atau menjadi jaminan secara fidusia, pihak kreditur dapat langsung meminta dilakukan eksekusi melalui penjualan secara lelang karena diperjanjikan klausul kuasa menjual. A.1.3. Bentuk-Bentuk Eksekusi Salah satu asas eksekusi adalah hanya dapat dijalankan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang bersifat kondematoir, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan “penghukuman” untuk melakukan suatu perbuatan yaitu :6 a. menyerahkan suatu barang; b. mengosongkan sebidang tanah atau rumah; c. melakukan suatu perbuatan tertentu; d. menghentikan suatu perbuatan atau keadaan; e. membayar sejumlah uang. Berdasarkan amar putusan pengadilan yang bersifat kondematoir di atas, maka bentuk-bentuk atau klasifikasi eksekusi dapat digolongkan menjadi : 6 Ibid., halaman 5. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.22 a. Eksekusi riil yaitu melakukan suatu tindakan nyata/riil seperti menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. b. Eksekusi pembayaran uang yaitu membayar sejumlah uang. Selanjutnya Prof. Sudikno Mertokusumo membagi jenis eksekusi menjadi 3 kelompok sebagai berikut : a. membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 196 HIR dan Pasal 208 RBG; b. melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBG; c. eksekusi riil berdasarkan Pasal 1033 RV. Perbedaan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran uang dapat diuraikan sebagai berikut :7 a. eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi pembayaran uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan eksekusi; b. eksekusi rill terbatas putusan pengadilan, sedangkan eksekusi pembayaran uang meliputi akta yang disamakan dengan putusan pengadilan; c. sumber hubungan hukum yang disengketakan, yakni bahwa pada umumnya eksekusi riil adalah upaya hukum yang mengikuti persengketaan “hak milik”, sedangkan eksekusi pembayaran uang hubungan hukumnya hanya terbatas sekali semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan “perjanjian hutang piutang”. 7 Ibid., halaman 35. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.23 A.1.4. Eksekusi Jaminan Kebendaan a. Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 terkandung karakter parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri atau eigenmachtige verkoop (the right to sell), namun penerapannya mengacu kepada ketentuan Pasal 224 HIR atau Pasal 256 RBG apabila tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri. Penjualan lelang harus diminta kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan alasan cindera janji atau wanprestasi. Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak menjelaskan apa yang dimaksud cidera janji. Dengan demikian, untuk menentukan adanya cidera janji, maka harus merujuk kepada ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian atau apabila dianalogikan dengan ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, yang dikategorikan cidera janji adalah apabila debitor tidak melunasi hutang pokoknya atau tidak membayar bunga yang terutang sebagaimana mestinya. Dari hasil penjualan, kreditur mengambil peluanasa lebih dahulu atas seluruh hutang dari hasil penjuaan, dengan cara mengesampingkan kreditur lain. Jika masih terdapat sisa, maka akan menjadi hak dari pemberi hak tanggungan dan harus diserahkan kepadanya. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.24 Eksekusi ril berupa pengosongan atas obyek hak tanggungan yang telah dijual, baik hal itu melalui pengadilan negeri berdasarkan Pasal 224 HIR atau melalui kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Apabila debitur cidera janji, pemenuhan pembayaran hutang akan dilaksanakan melalui : (1) parate eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR dan Pasal 6 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996, dengan meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri, dimana berdasarkan permintaan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri akan melaksanakan penjualan lelang; (2) melalui penjualan lelang atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu apabila dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan berjanji bahwa pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri, penjualan lelang dapat dilakukan tanpa campur tangan pengadilan, sehingga pemegang hak tanggungan dapat langsung meminta pelaksanaan penjualan kepada kantor lelang atau pejabat lelang. Penjualan dibawah tangan oleh pemegang hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu harus berdasarkan kesepakatan antara pemberi hak tanggungan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.25 dengan pemegang hak tanggungan. Kebebasan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek hak tanggungan dan juga untuk mengurangi pengeluaran biaya eksekusi yang harus dipikul oleh debitur. Pelaksanaan penjualan menurut Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 baru dapat dilaksanakan : (1) setelah lewat waktu 1 bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dengan tujuan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan kreditur lainnya dari pemberi hak tanggungan, sedangkan tanggal pemberitahuan tertulis yang dimaksud dalam hal ini adalah tanggal pengiriman pos tercatat atau tanggal penerimaan melalui kurir maupun faksimili; (2) diumumkan dalam sedikit-dikitnya 2 surat kabar; (3) tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur mengenai cidera janji, maka untuk menentukan apakah debitur cidera janji akan merujuk kepada ketentuan Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUHPerdata. Namun demikian, di beberapa negara diatur lebih rinci kapan debitur disebut cidera janji atau default yaitu dalam hal :8 8 Ibid., halaman 303. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.26 (1) debitur melanggar salah satu ketentuan perjanjian yang berkenaan dengan pokok pinjaman dan/atau bunga, yakni tidak membayar bunga paling tidak 2 bulan; (2) pelanggaran itu telah diberitahukan kepada debitur, namun meskipun sudah lewat 3 bulan tetap tidak diindahkan. Pasal 1267 KUHPerdata juga memberikan hak opsi kepada kreditur untuk mengambil tindakan apabila debitur wanprestasi, tanpa mempersoalkan apakah perjanjian telah jatuh tempo atau tidak, dengan ketentuan meminta atau menuntut kepada pengadilan untuk memaksa debitur memenuhi perjanjian, jika hal tu masih dilakukan oleh debitur atau menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga. Dalam pelaksanaannya lelang hak tanggungan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dimuat janji bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan yang pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya daru hasil penjualan tersebut. (2) pihak yang bertindak sebagai pemohon lelang adalah kreditur pemegang hak tanggungan tingkat pertama; (3) pelaksanaan lelang harus melalui pejabat lelang yang berwenang; Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.27 (4) pengumuman lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang eksekusi; (5) tidak diperlukan persetujuan debitur untuk melaksanakan lelang; (6) nilai limit sedapat mungkin ditentukan penjual; (7) pelaksanaan lelang dapat melibatkan Balai Lelang pada jasa pralelang. b. Eksekusi Jaminan Fidusia Jaminan fidusia adalah jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Proses pembebanan fidusia dilakukan melalui dua tahap sebagai berikut : a. tahap pemberian jaminan fidusia dengan dibuatnya Akta Jaminan Fidusia oleh notaris; b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pendaftaran Fidusia yang merupakan saat lahirnya jaminan fidusia yang dibebankan. Asas-asas pokok dalam jaminan fidusia adalah sebagai berikut : 1. Asas Spesialitas atau Fixed Loan Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Obyek jaminan fidusia merupakan agunan atau jaminan atas pelunasan hutang tertentu yang memberikan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.28 kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Oleh karena itu, obyek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu pada satu segi dan pada segi lain harus pasti jumlah hutang debitur atau paling tidak dapat dipastikan atau diperhitungkan jumlahnya. 2. Asas Asesor Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok (principal agreement). Perjanjian pokoknya adalah perjanjian hutang, dengan demikian keabsahan dan pengakhiran perjanjian fidusia akan tergantung dari perjanjian pokoknya. 3. Asas Droit de Suite Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, jaminan fidusia akan tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut, dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali keberadannya pada pihak ketiga berdasarkan pengalihan atau cessie berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata. Dengan demikian, hak jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak atau in rem dan bukan in personam 4. Asas Preferen (Droit de Preference) Pengertian asas preferen atau hak didahulukan diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 yaitu memberi hak didahulukan atau diutamakan kepada penerima fidusia terhadap Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.29 kreditur lain untuk mengambil pemenuhan pembayaran pelunasan hutang atas penjualan benda obyek jaminan fidusia. Lahirnya hak fidusia disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 yaitu terhitung sejak tanggal pendaftaran akta fidusia ke kantor pendaftaran fidusia. Dengan demikian hak fidusia akan tergantung dari fiing date dan apabila suatu obyek jaminan fidusia dibebani lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, hak mendahului diberikan kepada penerima fidusia yang lebih dahulu mendaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia (asas first registered). Tujuan pendaftaran akta fidusia adalah untuk memenuhi asas publisitas dan keterbukaan. Dengan demikian, segala keterangan mengenai obyek jaminan fidusia yang berada pada kantor pendaftaran fidusia bersifat terbukan untuk umum. Tujuannya adalah sebagai jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai kebenaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, permohonan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat : (1) identitas pemberi fidusia dan penerima fidusia; (2) tanggal, nomor akta jaminan fidusia dan kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; (3) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.30 (4) uraian mengenai obyek jaminan fidusia; (5) nilai jaminan; (6) nilai benda obyek jaminan fidusia. Jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (3) Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 akan dicatat dalam buku daftar fidusia. Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000, fungsi pekerjaan Dewan Komisaris adalah menerima permohonan, pendaftaran, perjuangan dan latihan. Penerapan eksekusi jaminan fidusia harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Bab V Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 mengenai obyek jaminan fidusia memberikan penegasan kepastian atas ketidakjelasan praktek pengadilan terhadap eksekusi obyek jaminan fidusia yang berlaku sampai dengan saat ini. c. Eksekusi Gadai Gadai termasuk jaminan yang memiliki hak didahulukan (droit de preference). Berdasarkan Pasal 1133 KUHPerdata, gadai sama dengan hipotik, artinya dilindungi hak preferen dan hak didahulukan. Oleh karenanya, pemegang saham mempunyai hak mengambil pelunasan hutang dari barang gadai dengan cara mengesampingkan kreditur lain. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, Pasal 1334 KUHPerdata menempatkan pemegang saham sebagai kredtitur sebagai kreditur konkuren. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.31 Salah satu prinsip pokok gadai diatur dalam Pasal 1152 KUHPerdata, yaitu : - Obyek barang bergerak dan pitang Perjanjian gadai hanya terbatas atas barang bergerak dan piutang, sehingga tidak dibenarkan gadai atas barang tidak bergerak yang telah diatur secara khusus (untuk obyek berupa tanah akan diikat dengan Hak Tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, kapal diatas 20m3 diikat dengan hipotik berdasarkan Bab XXI Buku II KUHPerdata Pasal 1162-1232, pesawat terbang diikat dengan hipotik berdasarkan aturan yang sama dengan kapal). - Barang gadai mesti berpindah tangan di bawah kekuasaan kreditur (pemegang gadai) Syarat atau asas ini bersifat imperatif yakni barang gadai tidak boleh tetap berada dibawah kekuasaan debitur (pemberi gadai), tetapi mesti dialihkan ke tangan kreditur. Pelanggaran atas asas ini, yakni membiarkan barang gadai tetap berada didalam kekuasaan debitur mengakibatkan hak gadai menjadi tidak sah. Sehubungan dengan asas ini, apabila barang gadai lepas dari kekuasaan pemegang gadai, dengan sendirinya menurut hukum hak gadai akan hapus. Namun demikian, apabila lepasnya barang gadai tersebut disebabkan dicuri, maka berdasarkan Pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata pihak yang menguasai barang gadai tersebut akan dianggap sebagai pemiliknya. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.32 (3) Cara meletakkan hak gadai atas surat tunjuk (aan order) Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1152 bis KUHPerdata, yaitu dengan endosemen dan selanjutnya surat akan diserahkan secara fisik kepada pemegang gadai. Dengan endosemen, kreditur dimungkinkan melakukan hak-hak yang timbul dari surat berharga tersebut. Akan tetapi, dalam hal ini kepemilikan atas surat berharga tersebut tidak beralih dan pemegang gadai berhak untuk menagih menurut hukum hak atas surat berharga tersebut. Timbulnya hak pemegang gadai untuk melakukan eksekusi diatur dalam Pasal 1155 KUHPerdata, yaitu debitur cidera janji melaksanakan kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam perjanjian atau apabila tenggang waktu pemenuhan kewajiban tidak ditentukan dalam perjanjian, debitur dianggap melakukan cidera janji memenuhi kewajiba setelah adanya peringatan untuk membayar. Tata cara eksekusi gadai dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata telah ditentukan secara limitatif dan imperatif dengan cara dan bentuk tertentu yaitu : - Penjualan di muka umum Penjualan dengan cara umum akan dilakukan menurut kebiasaan setempat menurut syarat-syarat yang lazim berlaku. 9 Dari hasil penjualan, kreditur mengambil hasil pelunasan yang meliputi hutang 9 Ibid., halaman 273. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.33 pokok, bunga dan biaya yang timbul dari penjualan. Pasal 1155 pada dasarnya juga mengatur penjualan secara ipso juri memberikan hak parate executie dengan hak menjual atas kuasa sendiri (rechts van eigenmachtige verkoop, the right to sell) obyek barang gadai kepada pemegang gadai, namun Pasal 1155 mengatur prinsip-prinsip pokok sebagai berikut : a) penjualan barang lelang harus dilakukan di muka umum melalui lelang (executoriale verkoop); b) ketentuan penjualan barang lelang di muka umum bersifat “mandat memaksa” (imperatief mandaat atau mandatory instruction) yang diberikan kepada pemegang gadai atau kreditur dalam kedudukannya sebagai eigenmachtige verkoop. - Barang perdagangan dijual di pasar atau efek dijual di bursa Pasal 1155 ayat (2) KUHPerdata mengatur bahwa penjualan atas barang perdagangan atau efek dapat dilakukan dengan cara menyimpang dari aturan pokok penjualan di muka umum, yaitu : a) penjualan barang-barang perdagangan dapat dilakukan di pasar tempat barang-barang tersebut biasa diperdagangkan; b) penjualan efek dapat dilakukan di bursa; c) syarat penjualan harus dilakukan dengan perantaraan 2 orang makelar yang memiliki keahlian dalam melakukan penjualan atas barang-barang tersebut. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.34 - Penjualan menurut cara yang ditentukan Hakim Cara eksekusi ini diatur dalam Pasal 1156 KUHPerdata yang mengatur bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur dapat menuntut kepada Hakim agar barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan Hakim atau Hakim mengizinkan agar barang gadai tetap berada di tangan pemegang gadai atau kreditur, sebagai pelunasan atas jumlah yang akan ditentukan oleh Hakim dalam putusan sampai meliputi hutang pokok, bunga dan biaya.10 Ketentuan ini pun dapat menjadi dasar pengecualian dari dilaksanakannya cara penjualan barang perdagangan dan efek sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata. Dengan demikian, sekiranya pemegang gadai tidak menghendaki penjualan barang gadai dimuka umum atau penjualan barang dagangan atau efek menurut di pasar atau bursa, pemegang gadai dapat mengajukan gugatan untuk meminta agar Pengadilan memutuskan cara penjualan lain yang ditentukan oleh Pengadilan.11 d. Eksekusi Hipotik Kapal Laut dan Pesawat Terbang Pada prinsipnya pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut dan pesawar terbang dapat dilaksanakan melalui beberapa alternatif sebagai berikut : 10 Ibid., halaman 274. 11 Ibid.,. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.35 - Melalui proses Litigasi 12 Pemegang hipotik kapal laut dapat mengajukan gugatan terhadap debitur sebagai tergugat pada pengadilan yang memiliki komptensi relatif sesuai dengan Pasal 118 KUHPerdata. Melalui gugatan tersebut akan dilaksanakan pemeriksaan sesuai dengan sistem kontradiktoir mulai dari tahap gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan putusan. Terhadap putusan pengadilan terbuka upaya hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Memperhatikan panjangnya proses persidangan atas gugatan litigasi, kurang tepat jika kreditur pemegang hipotik menempuh cara penyelesaian ini. - Mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 jo. Pasal 195 HIR Sebagaimana diatur dalam Pasal 224 KUHPerdata, akta hipotik termasuk dalam kategori grosse akta yang memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga dapat disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, apabila debitur cidera janji, maka kreditur atau pemegang hipotik dapat langsung meminta fiat eksekusi berdasarkan Pasal 224 jo. Pasal 195 dan Pasal 196 HIR kepada Ketua Pengadilan Negeri. 12 Ibid., halaman 281-282. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.36 - Penjualan lelang oleh kreditur berdasarkan kuasa sendiri sesuai dengan Pasal 1178 KUHPerdata Berdasarkan Pasal 1178 KUHPerdata, para pihak dapat memperjanjikan mengenai pemberian kuasa kepada kreditur pemegang hipotik untuk menjual sendiri barang hipotik tanpa campur tangan pengadilan negeri apabila debitur melakukan cidera janji. Akan tetapi, meskipun penjualan tersebut dilakukan tanpa campur tangan pengadilan negeri dan dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 224 HIR, penjualan tersebut harus dilakukan dimuka umum melalui kantor lelang. - Penjualan dibawah tangan Pada dasarnya penjualan hipotik tidak dapat dilakukan secara bawah tangan berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 1178 ayat (2) jo. Pasal 1211 KUHPerdata. Namun demikian, 13 secara analogis penjualan hipotik dapat dilakukan secara bawah tangan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 20 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, dengan syarat-syarat sebagai berikut : a) harus berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur setelah debitur melakukan wanprestasi berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996; b) bentuk kesepakatan harus tertulis; 13 Ibid., halaman 284. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.37 c) diperkirakan dapat diperoleh harga yang lebih tinggi; d) pelaksanaan penjualan harus berpedoman padal Pasal 20 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu dalam waktu 1 bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis dari pemberi atau pemegang hipotik, diumumkan dalam sedikitnya 2 surat kabar dan tidak ada pihak yang berkeberatan. A.2. TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI SEBAGAI JAMINAN KEBENDAAN A.2.1. Pengertian dan Konsepsi Gadai Pengertian gadai dirumuskan dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan sebagai berikut : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Mr. Dr. Vollmar menyatakan bahwa hak gadai dalam Pasal 1150 KUHPerdata diberi definisi sebagai suatu hak atas benda bergerak milik orang lain, yang tujuannya bukan untuk memberi kenikmatan atas benda tersebut kepada orang yang berhak (pemegang gadai), tetapi hanya untuk memberi jaminan tertentu Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.38 bagi pemenuhan suatu tagihan.14 Lazimya hak gadai tersebut dikategorikan sebagai pengertian hak kebendaan (zakelijk recht), oleh karena melekat pada suatu barang dan akan tetap berada, meskipun barangkali milik atas barang tersebut kemudian jatuh ke tangan orang lain.15 Disamping itu, karena hak kebendaan akan memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda kekuasaan mana dapat dipertahankan terhadap tiap orang,16 maka setiap pihak yang berkedudukan sebagai pemegang gadai berhak untuk secara hukum mempertahankan hak tersebut kepada pihak lain. Prof. Subekti berpendapat bahwa hak gadai akan memberikan kewenangan untuk menyerahkan bezit atas suatu benda, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya.17 Bezit sendiri adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah itu kepunyaannya sendiri, keadaan mana oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada siapa.18 Berdasarkan pendapat ini, maka dalam gadai penguasaan atas suatu benda akan diserahkan oleh pemiliknya kepada pihak kreditur dan bukan hak milik atas benda tersebut. Akibatnya, hak milik akan tetap 14 H. F. A. Vollmar, Hukum Benda, disadur oleh Chidir Ali, Tarsito, Bandung, 1980, halaman 185. 15 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, PT Pembimbing Masa, Jakarta, 1963, halaman 181. 16 Subekti, op.cit., halaman 52. 17 Ibid., halaman 65. 18 Ibid., halaman 52. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.39 secara hukum berada pada pemilik benda, hanya saja secara faktual penguasaan atas benda tersebut berada di tangan pihak kreditur. Hal ini dipertegas oleh ketentuan Pasal 1152 KUHPerdata dalam paragraf pertama yang menyatakan sebagai berikut : “Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakan dengan membawa barangnya gadai di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa disetujui oleh kedua belah pihak.” Perlu diingat bahwa dalam gadai, hak menguasai benda yang digadaikan tidak meliputi hak untuk memakai barang tersebut. Dengan demikian, gadai memiliki karakteristik yang berbeda dengan hak kebendaan lainnya seperti hak erfpacht, hak opstal, hak vruchtgebruik, hak memakai dan hak mendiami. Selain itu, gadai menurut KUHPerdata semata-mata hanya bertujuan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada kreditur, yang mana hal ini berbeda dengan konsepsi gadai berdasarkan hukum adat yang memberikan hak kepada si pemegang gadai untuk memakai dan memungut hasil atas benda yang digadaikan tersebut.19 Hak gadai atau pandrecht merupakan suatu hak accessoir artinya adanya hak itu tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok, ialah perjanjian hutang piutang yang dijamin dengan hak tersebut. Hak ini semata-mata diadakan karena 19 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., halaman 181. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.40 perjanjian dan karenanya gadai menurut hukum tidak akan daapat terjadi.20 Yang dapat dijadikan obyek dari gadai adalah segala benda bergerak yang bukan merupakan milik dari pihak yang memberikan hutang atau kreditur. Sebaliknya tidaklah perlu bahwa benda itu kepunyaan pihak yang berhutang atau debitur, meskipun biasanya pihak debitur akan memberikan tanggungan berupa benda miliknya yang digadaikan. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi atau dipecah-pecah artinya 21 hak gadai tidak menindih bagian-bagian dari benda gadai berdaarkan perimbangan hutangnya, tetapi menindih seluruh hutang dan setiap bagian dari hutang menindih semua benda gadai sebagai suatu keseluruhan. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1160 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Barang gadai tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun utangnya diantara para waris si berutang atau diantara para warisnya si berpiutang dapat dibagibagi.” Hak gadai tidak hanya dapat diadakan oleh debitur sendiri, tetapi juga oleh pihak lain atas benda-benda yang mereka miliki. Pasal 1150 KUHPerdata mencoba menyatakan ini, tetapi dari kata-kata “atas namanya sendiri” yang terdapat dalam pasal tersebut, tidak boleh ditarik kesimpulan bahwa pihak lain yang dimaksud 20 H. F. A. Vollmar, op.cit., halaman 186. 21 J. Satrio, loc.cit., halaman 130. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.41 hanya dapat bertindak sebagai wakil dari debitur, sebab maksudnya adaah bahwa pihak tersebut dapat bertindak sebagai penggadai.22 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara umum unsur-unsur gadai adalah sebagai berikut: 1. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak. Pada dasarnya gadai itu merupakan suatu hak kebendaan bagi pihak yang berpiutang atau kreditur. Hak kebendaan hanya meliputi barang-barang yang bergerak dan tidak meliputi barang-barang yang tidak bergerak. 2. Barang bergerak tersebut diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya. Perolehan dan penyerahan barang bergerak tersebut adalah dari pihak yang berutang atau debitur ataupun dari pihak ketiga. Penyerahan dapat dilakukan secara nyata ataupun melalui sebuah akta. 3. Memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya. Melalui hak kebendaan berupa gadai ini, pihak yang berpiutang atau kreditur menjadi kreditur konkuren terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pelunasan hutang-hutang pihak yang berutang atau debitur. 4. Dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematkannya setelah barang itu digadaikan, biayabiaya mana harus didahulukan. Walaupun pihak yang berpiutang atau kreditur ini memiliki hak konkuren dibandingkan dengan kreditur yang lainnya, namun 22 H. F. A. Vollmar, op.cit., halaman 186. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.42 terdapat hak lain yang lebih tinggi yaitu hak yang dimiliki oleh balai lelang atas biaya-biaya pelelangan barang bergerak dan biaya pemeliharaan barang bergerak yang digadaikan. Pelunasan biaya-biaya tersebut harus didahulukan dari pelunasan atau hak-hak yang lain. A.2.2. Obyek Gadai Sesuai dengan ketentuan Pasal 1150 jo. Pasal 152 KUHPerdata, benda yang dapat dijadikan sebagai obyek gadai adalah benda bergerak. 23 Perlu diperhatikan bahwa suatu benda akan dapat dikategorikan sebagai benda bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya adalah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang misalnya bruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, surat-surat sero daru suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi Negara dan sebagainya. Selanjutnya hak atas suatu karangan dan hak atas suatu pendapatan dalam ilmu pengetahuan juga dikategorikan sebagai benda bergerak. Disamping merupakan benda yang bergerak, obyek gadai juga harus dapat dipindahtangankan (dijual, diwariskan dan sebagainya) dan bukan miliki kreditur 23 Subekti, op.cit., halaman 51-52. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.43 sendiri.24 Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam Pasal 1152 (1) KUHPerdata tentang “Hak gadai atas benda-benda bergerak dan piutang-piutang atas bawa/tunjuk”, dapat disimpulkan bahwa gadai juga dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh,25 termasuk dalam hal ini adalah suatu tagihan atau piutang sebagaimana juga diatur dalam Pasal 1153, Pasal 1152 bis dan Pasal 1158 KUHPerdata. Piutang-piutang tersebut dapat dibedakan menjadi sebagai berikut : a. piutang atas tunjuk (order) atau piutang atas bawa (toonder); b. piutang atas nama (op naam). Untuk meletakkan hak gadai terhadap piutang atas tunjuk diperlukan selain endosemen, juga penyerahan suratnya yang membuktikan adanya piutang itu, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1152 bis dari KUHPerdata sebagai berikut : “Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan selain endesomennya, juga penyerahan suratnya.” Sedangkan untuk meletakkan hak gadai terhadap piutang atas nama (op naam) diperlukan pemberitahuan dengan penggandaian itu kepada si debitur dari piutang yang digadaikan.26 Ketentuan ini dapat dibaca dalam Pasal 1153 KUHPerdata sebagai berikut : “Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali suratsurat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, 24 Kartono, Hak-hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, halaman 18. 25 J. Satrio, loc.cit., halaman 92. 26 Kartono, op.cit., halaman 18. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.44 kepada orang terhdap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang ijin si pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.” Setelah menerima pemberitahuan tersebut, maka pihak debitur selanjutnya wajib membayar kepada pemegang gadai (orang kepada siapa piutang tersebut digadaikan), jadi tidak lagi kepada krediturnya yang semula. Penyerahan dalam gadai atas barang-barang bergerak bertubuh atau barang bergerak tidak bertubuh yang berupa tagihan atas tunjuk dilakukan dengan cara penyerahan nyata (Pasal 1150 jo. Pasal 1153 KUHPerdata), sedangkan untuk benda-benda tidak bertubuh yang berupa tagihan atas order dilakukan dengan endosemen disertai penyerahan nyata (Pasal 1152 bis KUHPerdata). Penyerahan atau levering dalam hal ini bukan merupakan penyerahan yuridis serta bukan penyerahan yang mengakibatkan si penerima menjadi pemilik. Oleh karenanya, pemegang gadai dengan penyerahan tersebut hanya berkedudukan sebagai pemegang saja dan tidak menjadi bezitter dalam arti bezit keperdataaan.27 A.2.3. Para Pihak Dalam Gadai Berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata, maka para pihak yang terlibat dalam gadai adalah pemberi gadai sebagai pihak yang memberikan jaminan dan penerima gadai yang dalam hal ini merupakan kreditur atas piutang yang dijamin dengan benda gadai tersebut. Oleh karena pada umumnya kreditur 27 J. Satrio, op.cit., halaman 93. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.45 akan menerima jaminan gadai, maka dalam praktek sering kali disebut sebagai pemegang gadai. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa atas persetujuan para pihak, benda gadai dipegang oleh pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata.28 Dalam hal barang gadai dipegang oleh pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut disebut sebagai pihak ketiga pemegang gadai. Dalam Pasal 1156 KUHPerdata diatur bahwa pemberi gadai adalan pihak yang memiliki hutang. Atas dasar tersebut, maka orang dapat menggadaikan barangnya untuk menjamin hutang orang lain atau orang dapat mempunyai hutang dengan jaminan gadai atas barang orang lain. Dalam hal debitur sendiri yang memberikan jaminan gadai, maka ia disebut kreditur pemberi gadai, sedangkan dalam hal jaminan gadai adalah milik dan diberikan oleh pihak ketiga, maka disebut sebagai pihak ketiga pemberi gadai. A.2.3. Perjanjian Gadai Hak gadai secara yuridis akan lahir berdasaran perjanjian antara pemberi gadai dengan penerima gadai, sehingga dalam hal ini perjanjian gadai tersebut harus tunduk kepada ketentuan syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Untuk sahnya persetujuan-persetujuan duoerlukan empat syarat : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. 28 Ibid., halaman 90. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.46 Sehubungan dengan rumusan ketentuan tersebut di atas, penjelasan atas masing-masing syarat dapat diuraikan sebagai berikut : Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus memiliki kemauan yang bebas untuk dapat mengikatkan dirinya dan kemauan itu harus dinyatakan. Kemauan yang bebas sebagai syarat perjanjian yang sah tersebut akan dianggap tidak ada apabila perjanjian tersebut telah terjadi karena paksaan/dwaang (Pasal 1323 jo. Pasal 1324 KUHPerdata), kekhilafan/dwaling (Pasal 1321 jo. Pasal 1322 KUHPerdata) atau penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUHPerdata) . Paksaan terjadi jikalau seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia apabila ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan menggugat di muka Hakim dengan penyitaan barang, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah terjadi suatu paksaan.29 Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya yang dinaman error in persona dan kesesatan mengenai hakikat atau sifat barangnya 29 Subekti, loc.cit., halaman 112. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.47 yang dinamakan error in substantia.30 Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jikalau seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor dan kemudian ternyata orang tersebut bukan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya apabila seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya dari Basuki Abdullah dan kemudian ternyata hanya turunan saja. Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan akal-akalan cerdik, sehingga pihak lainnya terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.31 Berdasarkan ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan yang dimaksud dalam hal ini tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Sehubungan dengan kecakapan para pihak sebagai salah satu syarat sahnya suatu perjanjian, Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika olehu undang-undang tidak dinyatakan cakap.” Selanjutnya Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : 30 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, halaman 75-76. 31 Subekti, op.cit., halaman 113. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.48 “Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah : 1. orang-orang belum dewasa; 2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu,” Menurut KUHPerdata, seseorang sudah dianggap telah dewasa dan oleh karenanya oleh hukum dianggap cakap membuat perjanjian, jika : a. sudah genap berumur 21 tahun; b. sudah kawain, meskipun belum genap berumur 21 tahun; atau c. sudah kawin dan kemudian bercerai , meskipun belum genap berumur 21 tahun. 32 Namun demikian, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun atau sudah pernah kawin. Ketentuan ini belaku untuk semua warga negara Indonesia tanpa membedakan golongan penduduknya. Keberadaan ketentuan ini menyebabkan berlakunya syarat-syarat dewasa menurut KUHPerdata tidak lagi berlaku secara mutlak, karena khusus untuk masalah perkawinan, maka syarat kedewasaan seseorang akan tunduk kepada ketentuan Udang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Khusus mengenai syarat izin bagi wanita yang bersuami, sejak tahun 1963 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 32 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halaman 65. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.49 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria. Untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di muka pengadilan, wanita bersuami tidak lagi membutuhkan bantuan dari suaminya. Dengan demikian, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Ad.3. Suatu hal tertentu Yang dapat diperjanjikan dalam suatu perjanjian harus suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban dari si berhutang jika terjadi perselisihan.33 Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap obyek tertentu dari suatu perjanjian adalah sebagai berikut :34 a. barang yang merupakan obyek perjanjian tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata); b. pada saat perjanjian dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan jenisnya; c. jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1332 ayat (2) KUHPerdata); 33 Subekti, op.cit., halaman 113. 34 Munir Fuady, op.cit., halaman 72. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.50 d. barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata); e. tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih ada daka warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata. Ad.4. Suatu sebab yang halal 35 Undang-undang pada dasarnya tidak memberikan pengertian mengenai “sebab” (oorzaak, causa). Sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan kausa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa dalam hal ini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit. Disamping itu, yang dimaksud dengan “kausa” bukan sebab yang mendorong pada pihak untuk mengadakan perjanjian, karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum. Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, di dalam praktek merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan Hakim.36 Hakim dapat menguji apakah tujuan dari isi perjanjian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. 35 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, loc.cit., halaman 81. 36 Ibid.. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.51 Berkaitan dengan syarat sebab yang halal dalam satu perjanjian diatur dalam Pasal 1335-1337 KUHPerdata, yang masing-masing mengatur sebagai berikut : a. Pasal 1135 KUHPerdata “Suatu persetujuan tapa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.” b. Pasal 1336 KUHPerdata “Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.” c. Pasal 1337 KUHPerdata “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, maka suatu perjanjian tidak memenuhi unsur sebab yang halal jika : a. perjanjian dibuat sama sekali tanpa sebab; b. perjanjian dibuat dengan sebab yang palsu; c. perjanjian dibuat dengan sebab yang terlarang, yang terdiri dari : (i) sebab yang bertentangan dengan kesusilaan; (ii) sebab yang bertentangan dengan ketertiban umum. yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; Kedua syarat yang pertama yaitu syarat “kesepakatan” dan “kecakapan” dinamakan syarat subyektif karena berkaitan dengan subyek dari perjanjian. Jika Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.52 terjadi salah satu dari hal tersebut, yaitu perjanjian tidak didasarkan kesepakatan secara bebas atau salah satu pihak tidak cakap membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh Hakim atas permintaan pihak yang telah memberikan kesepakatan secara tidak bebas atau yang tidak cakap membuat perjanjian itu (vernietigbaar).37 Sebaliknya orang yang berhak meminta pembatalan perjanjian itu juga dapat menguatkan perjanjian tersebut, penguatan mana dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Sedangkan kedua syarat yang terakhir yaitu “hal tertentu” dan “sebab yang halal” merupakan syarat obyektif dari suatu perjanjian. Konsekuensi yuridis dalam hal suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan perkataan lain, perjanjian tersebut akan merupakan pejanjian yang batal demi hukum.38 Perjanjian gadai harus memenuhi syarat-syarat umum sahnya perjanjian sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dalam hal perjanjian gadai melanggar syaratsyarat tersebut, maka perjanjian gadai tersebut akan “dapat dibatalkan” apabila melanggar syarat subyektif atau “batal demi hukum” apabila melanggar syarat obyektif. Sehubungan dengan pembuktian dari perjanjian gadai, Pasal 1151 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : 37 Subekti, loc.cit., halaman 113. 38 Munir Fuady, loc.cit., halaman 75. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.53 “Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuannya pokok.” Berdasarkan Pasal 1151 KUHPerdata, maka perjanjian gadai dapat dibuktikan dengan segala alat bukti sepanjang hal tersebut diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan mengenai pembuktian persetujuan pokoknya. Oleh karena persetujuan pokok bisa merupakan perjanjian obligatoir apa pun, namun pada umumnya berupa perjanjian hutang, maka perjanjian gadai juga tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, bisa lisan maupun tertulis, baik otentik ataupun bawah tangan.39 Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, yang pada umumnya tidak selalu merupakan perjanjian hutang piutang dan karenanya dikatakan bahwa perjanjian gadai akan mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau merupakan perjanjian yang bersifat accessoir.40 Perjanjian accessoir mempunyai ciri-ciri antara lain :41 a. tidak dapat berdiri sendiri; b. ada/timbulnya maupun hapusnya bergantung pada perikatan pokoknya; c. apabila perikatan pokoknya dialihkan, accessoir turut beralih. Dengan demikian, konsekuensi perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir adalah :42 39 J. Satrio, loc.cit., halaman 100. 40 Ibid. 41 Ibid., halaman 101. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.54 a. bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokoknya sendiri yang biasanya berupa perjanjian hutang piutang/kredit akan tetap berlaku, apabila dibuat secara sah, hanya saja tagihan tersebut apabila tidak memilki dasar preferensi yang lain, maka berkedudukan sebagai tagihan konkuren belaka. b. hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya (turut berpindahnya) perikatan pokoknya, tetapi sebaliknya pengoperan perikatan pokok meliputi pula semua accessoirnya, dalam mana yermasuk hak gadainya (apabila ada). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1533 KUHPerdata yang mengatur sebagai berikut : “Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya, sepertinya penanggungan-penanggungan, hak istimewa dan hipotik-hipotik.” A.2.4. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai Hak-hak dari pemegang gadai menurut KUHPerdata antara lain adalah sebagai berikut :43 a. Hak untuk menahan barang gadai (“retentie”) selama belum dilakukan pelunasan atas hutang kepada, bunga dan biaya-biaya lain kepada pemegang gadai yang harus dibayar oleh si berhutang. Hal ini dinyatakan 42 43 Ibid. Wirjono Prodjodikoro, loc.cit., halaman 185-186. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.55 dalam Pasal 1159 KUHPerdata ayat (1) yang juga menyebutkan selama pemegang gadai tidak melakukan misbruik atau memakai secara tidak sesuai dengan maksudnya/sifatnya barang gadai tersebut. Sedangkan Pasal 1159 ayat (2) KUHPerdata memperluas hak menahan tersebut dalam hal terdapat hutang kedua dari si berhutang yang sudah harus dibayar pada saat hutang pertama yang dijamin dengan gadai belum dibayar. Dalam hal ini pemegang gadai dapat menahan barang gadai sampai dengan hutang kedua tersebut dibayar lunas. b. Hak untuk mendapat pembayaran hutang dari uang pendapatan penjualan barang yang digadaikan (verhaalsrecht). Hal ini diatur dalam Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata. Disamping itu, dalam Pasal 1154 KUHPerdata juga ditentukan bahwa apabila si berhutang tidak membayar hutangnya tidak diperbolehkan di pemegang gadai memiliki barang itu dan bahwa kalaupun diadakan perjanjian yang memperbolehkan mengenai hal tersebut, perjanjian yang dimaksud adalah batal (nietig). Yang diperbolehkan adalah hanya memperhitungkan pendapatan kembali dari uang pinjaman dengan uang penjualan gadai. Menurut Pasal 1155 KUHPerdata penjualan harus dilakukan di muka umum dan didahului dengan suatu teguran untuk membayar hutang. Kalau barang gadai berupa barang dagangan atau surat-surat yang biasanya diperdagangkan dalam pasar bursa, maka penjualan harus dengan perantaraan dua orang makelar, yaitu orang-orang pedagang perantara. Menurut Pasal 1156 KUHPerdata, pemegang gadai dapat menempuh jalan lain, Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.56 yaitu meminta kepada Hakim supaya Hakim menetapkan cara bagaimana penjualan tersebut harus dilaksanakan atau supaya barangnya ditetapkan oleh Hakim menjadi milik si pemegang gadai sebagai pembayaran hutang, seluruhnya atau sebagian. Dalam hal tersebut, maka harga nilai dari barangbarang adalah lebih dari sisa hutang dan kelebihan tersbut harus dibayar berupa uang tunai oleh si pemegang gadai kepada si pemberi gadai. c. Hak untuk memperhitungkan biaya-biaya yang perlu guna mempertahankan barang gadai (Pasal 1157 ayat (2) KUHPerdata. Sebaliknya apabila barang gadai hilang atau menjadi kurang harga nilainya akibat kesalahan si pemegang gadai, maka kerugian tersebut harus diganti oleh si pemegang gadai (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata). Dalam hal yang digadaikan adalah saham-saham dari suatu perseroan terbatas, lalu terdapat keraguan mengenai hak-hak yang melekat pada pemegang saham tersebut, terutama hak untuk mengeluarkan suara dalam rapat umum pemegang saham, maka hal ini dapat diantisipasi apabila dalam pemberian gadai saham tersebut dilakukan persetujuan khusu yang memperkenankan si pemegang gadai mengeluarkan suara dalam rapat umum pemegang saham, dengan berdasarkan atas suatu surat kuasa dari pemberi gadai kepada pemegang gadai. d. Dalam hal suatu piutang digadaikan, si pemegang gadai mempunyai hak untuk menagih hutang tersebut. Apabila hak ini dianggap ada, maka dapat dipersoalkan apakah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1154 KUHPerdata yang secara mutlak tidak memperbolehkan si pemegang gadai untuk memiliki Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.57 barang gadai, sedangkan hak menagih hutang tersebut tidak berbeda dengan hak memiliki barang tersebut. Pendapat yang tidak memperbolehkan si pemegang gadai menagih hutang tersebut adalah kaku, oleh karena menurut pendapat ini pelaksanaan dari hak gadai hanya dapat dilakukan secara menjual piutang di muka umum, dengan tujuan supaya mendapat pembayaran hutang, jadi praktis sana saja dengan penagihan hutangnya secara langsung. e. Dalam melaksanakan hak gadai dengan cara menjual barang gadai, si pemegang gadai berhak untuk didahulukan menerima pembayaran hutangnya sebelum para berpiutang lain (recht van voorrang). Hal ini ditegaskan oleh Pasal 1150 KUHPerdata yang menyebutkan dua pengecualian, yaitu bahwa terdapat 2 macam hutang yang harus dibayar lebih dahulu daripada hutang yang dijamin dengan hak gadai, yaitu biaya sita dan pelelangan untuk melaksanakan hak gadai serta biaya yang perlu dikeluarkan untuk mempertahankan barang gadai dari kemusnahan. Disamping hak-hak sebagaimana diuraikan di atas pemegang gadai juga memiliki kewajiban untuk merawat benda gadai yang berada padanya. Mengenai hal ini Pasal 1157 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : “Si berpiutang adalah bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotannya barangnya sekedar itu telah terjadi karena kekeliruannya. Sebaliknya si berpiutang diwajibkan mengganti kepada si berpiutang segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barangnya gadai.” Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka pemegang gadai betanggung jawab atas kehilangan atau kemerosotan benda gadai, kalau hal tersebut terjadi Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.58 karena kesalahan atau kelalaiannya. Sebagai imbalan terhadap kewajiban tersebut ia berhak untuk memperhitungkan ongkos terhadap pemilik benda. Ongkos-ongkos yang dapat diperhitungkan adalah ongko-ongko yang bermanfaat, sekalipun tidak perlu bisa diminta kembali dari pemiliknya. Akan tetapi ongko yang bagaimana yang dianggap bermanfaat dan yang bagaimana yang perlu akan bergantung kepada keadaan dan haru ditinjau kasus demi kasus.44 A.2.5. Berakhirnya Gadai Hak gadai hapus karena hal-hal sebagai berikut :45 a. dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai sesuai dengan sifat accessoir dari gadai, sehingga akan bergantung kepada perikatan pokoknya yang dalam hal ini dapat berakhir karena : - pelunasan; - kompensasi; - novasi; - penghapuasan hutang. b. dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai, namun pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan apabila berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata); 44 J. Satrio, loc.cit., halaman 129. 45 Ibid., halaman 32. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.59 c. dengan hapus atau musnahnya benda jaminan; d. dengan dilepasnya benda gadai secara sukarela; e. dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang gadai menjadi pemilik barang gadai tersebut; f. apabila terjadi penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang gadai (Pasal 1159 KUHPerdata), dimana sebenarnya undang-undang tidak menyatakan secara tegas mengenai hal ini, hanya saja dalam Pasal 1159 diatur bahwa pemegang gadai mempunyai hak retensi, kecuali apabila ia menyalahgunakan benda gadai (dengan demikian secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi gadai berhak untuk menuntut kembali benda jaminan dan apabila benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang gadai, maka gadainya menjadi hapus). A.2.6. Perbedaan Gadai Dengan Lembaga Jaminan Kebendaan Lainnya Dari karateristik dan sifat khusus yang dimilikinya, gadai memiliki perbedaan dengan lembaga jaminan kebendaan lainnya yang akan diuraikan sebagai berikut : a. Perbedaan Antara Gadai Dengan Hipotik - gadai harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hipotik tidak; Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.60 - gadai hapus apabila barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan orang lain, tetapi hipotik tetap terletak sebagai beban di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan kepada orang lain; - lebih dari satu gadai atas suatu barang meskipun tidak dilarang oleh undang-undang, di dalam praktek hampir tidak pernah terjadi, tetapi beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan di atas suatu obyek hipotik adalah uatu keadaan yang biasa - perjanjian gadai bisa dibuat dibawah tangan atau dengan akta otentik, sedangkan perjanjian hipotik harus dibuat berdasarkan akta otentik. b. Perbedaan Antara Gadai Dengan Fidusia - dalam gadai barang-barang yang digadaikan harus dilepaskan dari kekuasaan si debtur atau orang lain yang memberikan hak gadai sedangkan dalam fidusia, barang-barang yang dijadikan jaminan hutang tetap berada dalam kekuasaan si debitur atau pemilik barang-barang tersebut dan hanya hak miliknya yang selama hutang tersebut belum lunas berada di tangan si kreditur; - dalam gadai si debitur walaupun tidak lagi menguasai barang-barang yang digadaikan adalah tetap pemilik dari barang-barang tersebut, sedangkan dalam fidusia pemilik asli dari barang-barang yang difidusiakan itu selama hutangnya belum lunas hanya berkedudukan sebagai detentor saja karena pemiliknya adalah kreditur, apabila hutang tersebut telah dilunasi, maka Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.61 hak milik akan kembali kepada debitur yang dalam hal ini adalah pemilik asli dari barang-barang yang difidusiakan; - perjanjian gadai bisa dibuat dibawah tangan atau dengan akta otentik, sedangkan perjanjian fidusia harus dibuat berdasarkan akta otentik, yang kemudian menjadi dasar pernerbitan sertifikat fidusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia yang berwenang. c. Perbedaan Antara Gadai Dengan Hak Tanggungan - gadai adalah lembaga jaminan dengan obyek berupa benda bergerak sedangkan obyek dari hak tanggungan adalah tanah berikut dengan bendabenda yang melekat di atasnya; - gadai hapus apabila barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan orang lain, tetapi hak tanggungan tetap terletak sebagai beban di atas tanah dan benda yang dijadikan tanggungan meskipun dipindahkan kepada orang lain; - perjanjian gadai dapat dibuat secara bawah tangan maupun otentik, sedangkan akta hak tanggungan harus dibuat dengan akta otentik dihadapan PPAT sebagai dasar diterbitkannya Sertipikat Hak Tanggungan. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.62 A.3. TINJAUAN UMUM MENGENAI SAHAM A.3.1. Pengertian dan Konsep Yuridis Saham Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merumuskan pengertian saham sebagai berikut : “Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 kepada pemiliknya.” Selanjutnya penjelasan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan sebagai berikut : “Kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemiliknya. Hak tersebut dapat dipertahankan kepada setiap orang.” Berkaitan dengan rumusan ketentuan di atas, Pasal 52 ayat (1) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 mengatur sebagai berikut : “(1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk : a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; b. menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi; c. menjalankan hak-hak lainnya berdasarkan Undang-Undang ini.” Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari konsep yuridis saham adalah sebagai berikut : (a) Bukti atas kepemilikan suatu Perseroan yang biasanya tercipta dengan memberikan kontribusi kedalam modal Perseroan yang bersangkutan;46 (b) memberikan hak kepada pemiliknya untuk (i) menghadiri dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham suatu Perseroan; (ii) menerima 46 Steven H.Gifs, Law Dictionary, Baron’s Educational Series Ind., Woodbury, 1984, halaman 584. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.63 pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi Perseroan; dan (iii) menjalankan hak-hak lain yang dapat dilakukan oleh pemegang saham Perseroan menurut ketentuan Undang-Undang; (c) memberikan hak kebendaan kepada pemiliknya yang dapat dipertahankan kepada setiap orang. Lebih lanjut lagi, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 mengatur sebagai berikut : “ (1) Nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang Rupiah; (2) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan; (3) Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (2) tidak menutup kemungkinan diaturnya pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.” Rumusan Pasal di atas semakin mempertegas karakteristik saham yang harus memiliki nilai nominal yang dicantumkan dalam mata uang Rupiah. Namun demikian, hal ini secara hukum dapat disimpangi sejauh diatur secara berbeda dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Nilai nominal bisa saja tidak sama dengan nilai pasar (harga pasar) dari saham yang bersangkutan, karenanya seseorang dapat menjual sahamnya dengan harga di atas nilai nominalnya, dimana hal ini sangat bergantung kepada nilai dari perusahaan itu sendiri pada saat saham tersebut dijual.47 Pemegang saham akan mendapatkan bukti kepemilikan saham yang dimilikinya (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007). Sedangkan 47 Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 36. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.64 mengenai bentuk dari bukti kepemilikan atas saham tersebut, dapat diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar Perseroan (Penjelasan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007). A.3.2. Klasifikasi Saham Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengatur sebagai berikut : “ (1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih. (2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa. (4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), antara lain lain : a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara; b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris; c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain; d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima deviden lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian deviden secara kumulatif atau nonkumulatif; e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.” Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, saham dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. saham dengan hak suara; b. saham tanpa hak suara; c. saham dengan hak suara untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris; Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.65 d. saham yang setelah jangka waktu tertentu dapat : - ditarik kembali; atau - ditukar dengan klasifikasi saham yang lain e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya : - pembagian deviden secara kumulatif; atau - pembagian deviden secara non kumulatif f. saham yang memberikan lebih dahulu kepada pemegangnya dari pemegang saham klasifikasi yang lain atas pembagian deviden dan sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. A.3.3. Jenis-Jenis Saham Dalam dunia ilmu hukum Perseroan, dikenal beberapa jenis saham sebagai berikut :48 (1) Saham atas nama (op naam) Saham atas nama merupakan jenis saham dimana di atas lembar saham tertulis nama pemegang saham. Cara peralihan saham atas nama dilakukan dengan akta pemindahan hak yang salinannya harus disampaikn kepada Perseroan. (2) 48 Saham atas tunjuk (on bearer, aan toonder) Munir Fuady, op. cit., halaman 29-34. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.66 Pada saham atas tunjuk setiap pemegang saham secara fisik dianggap sebagai pemiliknya, sehingga peralihan saham tersebut kepada pihak-pihak lain cukup hanya dengan menyerahkan fisik surat sahan tersebut. (3) Saham biasa (ordinary share, common share) Saham biasa merupakan saham yang kepada pemegangnya tidak diberikan syarat-syarat khusus dan tidak didahulukan dari yang lainnya. (4) Saham preferens (preferred share, preferrece share) Saham preferens merupakan saham yang kepada pemegangnya diberikan hak terlebih dahulu dalam hal pembagian deviden dan/atau pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Pembagian tersebut bisa diberikan dengan presentasi tertentu dari keuntungan atau aset Perseroan. Namun demikian, dalam hak voting, terhadap pemegang saham preferens tidak diberikan hak khusus tertentu kepada pemegangnya, sehingga tetap diperlakukan sebagaimana layaknya saham biasa. (5) Saham preferens kumulatif Untuk saham jenis ini, disamping bersifat preferens, tetapi jika dalam 1 tahun tidak dapat diberikan deviden penuh karena alasan apapun, maka deviden tersebut dapat diberikan pada tahun-tahun berikutnya. (6) Saham preferens kumulatif profit sharing Saham jenis ini merupakan saham preferens dimana selain mendapatkan hakhak istimewa sebagai saham preferens, pemegangnya masih berhak atas Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.67 deviden dan.atau pembagian kekayaan Perseroan dalam likuidasi sebagaimana layaknya pemegang saham biasa. (7) Saham preferens non kumulatif Saham jenis ini merupakan saham preferens yang jika dalam 1 tahun tidak dapat diberikan hak-hak istimewa atas deviden kepada pemegangnya, maka hak tersebut akan hangus dan tidak dapat diperhitungkan untuk tahun-tahun selanjutnya. (8) Saham prioritas Saham prioritas merupakan saham yang mana pemegangnya mempunyai hak-hak khusus dalam Rapat Umum Pemegang Saham atau Direksi. Keistimewaan tersebut sering disebut dengan Kontrol Oligarkis dan biasanya diberikan kepada Direksi atau anggota Dewan Komisaris, yang antara lain mencakup : a. pemberian hak veto terhadap perubahan anggaran dasar; b. pemberian rekomendasi yang mengikat oleh pemegang saham prioritas tergadap pengangkatan, suspensi atau pemberhentian direktur. (9) Saham pendiri (founder’s share) Saham pendiri merupakan saham yang diberikan kepada pendiri atas jasajasanya, sehingga untuk mendapatkan saham pendiri tersebut, para pendiri tidak perlu menyerahkan sejumlah uang, tetapi cukup dengan jasa-jasanya yang telah diberikan sebagai pendiri. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.68 (10) Saham bonus Saham bonus merupakan saham yang diberikan kepada pemegang saham yang sudah ada tanpa harus membayar apapun kepada Perseroan. Saham bonus ini diberikan sebagai ganti hak menagih dari pemegang saham kepada Perseroan atas dana lebih (surplus) dari modal yang ditempatkan. Surplus tersebut dapat terjadi karena ada keuntungan, hasil yang sangat baik dari operasional, penilaian kembali aktiva tetap dan sebagainya. (11) Saham konversi Saham konversi merupakan saham yang dikonversi dari 1 jenis saham ke jenis saham lainnya. (12) Saham disetujui (assented share) Saham disetujui adalah saham yang disetujui untuk ditukar dengan sahamsaham baru jika Perseroan melakukan reorganisasi. (13) Saham tidak disetujui (non assented share) Saham jenis ini merupakan kebalikan dari saham disetujui, sehingga terjadi dalam hal saham tersebut tidak disetujui oleh pemiliknya untuk ditukar dengan saham-saham baru apabila Perseroan melakukan reorganisasi. (14) Saham yang dinilai (assessable share) Saham yang dinilai merupakan saham yang dinilai/dibebani kepada pemiliknya untuk membayar kewajiban-kewajiban Perseroan dalam hal Perseroan pailit, misalnya dinilai dengan harga minimal saham tersebut. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.69 (15) Saham dibayar penuh (paid up share) Saham jenis ini disebut juga “saham tidak dinilai (non assessable share)” dimana saham telah dibayar penuh oleh pemegangnya sehingga tidak lagi merupakan saham yang dinilai. Saham yang telah dibayar penuh tersebut tidak boleh dibebankan kepada pemiliknya kewajiban pembayaran hutanghutang Perseroan dalam hal Perseroan pailit. (16) Saham dinaikkan (watered share) Saham jenis ini adalah saham yang nilai nominalnya dinaikkan. (17) Saham donasi (donated share) Saham jenis ini diserahkan kembali oleh pemiliknya kepada Perseroan, akibatnya Perseroan dapat menjual kembali saham-saham tersebut kepada pihak lain. Hal ini biasanya dilakukan agar Perseroan tersebut dapat memperoleh tambahan dana. (18) Saham tebusan (redeemable/callable share) Saham tebusan merupakan saham yang ditarik kembali oleh Perseroan yang mengeluarkannya atas kehendak Perseroan sendiri dipenuhi syarat-syarat tertentu. Pengeluaran saham jenis ini biasanya dimaksudkan untuk mendapatkan dana dari pihak pemegang saham untuk Perseroan, dimana pada suatu masa dana tersebut dibayar kembali dengan cara menebus sahamsaham tersebut. (19) Saham treasury Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.70 Saham treasury merupakan saham-saham yang pernah dikeluarkan oleh Perseroan, tetapi kemudian dibeli kembli oleh Perseroan dan tetap dimiliki oleh Perseroan yang bersangkutan. Saham-saham tersebut kelak dapat dibagibagikan kepada karyawan atau dapat pula dijadikan sebagai saham bonus. (20) Saham terjamin (guaranteed share) Saham terjamin tidak lain dari saham-saham yang dikeluarkan oleh Perseroan A dengan jaminan dari Perseroan B. Yang dijamin dijamin dalam hal ini adalah pembagian deviden kepada pemegang saham. A.3.4. Penjualan dan Pemindahan Hak Atas Saham Penjualan saham akan menyebabkan terjadinya pemindahan hak atas saham dari penjual kepada pembeli saham. Pemindahan hak atas saaham tersebut harus dilakukan berdasarkan Akta Pemindahan Hak Atas Saham yang dapat dibuat dihadapan Notaris atau secara bawah tangan (Pasal 56 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007). Para pihak diharuskan untuk menyampaikan akta tersebut atau salinannya secara tertulis kepada Perseroan (Pasal 56 ayat (2)) dan kemudian Direksi Perseroan berkewajiban untuk melakukan pencatatan mengenai perubahan susunan pemegang yang saham yang terjadi akibat pemindahan hak atas saham tersebut serta memberikan pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM (Pasal 56 ayat (3)). Dalam anggaran dasar Perseroan, Direksi berhak untuk mengatur mengenai (i) keharusan untuk menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.71 klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya; (ii) keharusan untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ Perseroan (pada umumnya Rapat Umum Pemegang Saham); (iii) keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentun peraturan perundangundangan (Pasal 57 ayat (1)). Namun demikian, perlu dicatat bahwa kewajiban tersebut tidak berlaku dalam hal pemindaham hak atas saham disebabkan oleh peralihan hak atas anak secara hukum, pengecualian atas syarat-syarat tersebut akan terjadi dalam hal pemindahan hak atas saham diakibatkan oleh pewarisan, karena dalam hal tersebut harus tetap dimintakan persetujuan dari instansi yang berwenang (Pasal 57 ayat (2)). Apabila anggaran dasar yang mewajibakan pemegang saham penjual untuk menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, maka dalam hal setelah 30 hari sejak penawaran pemegang dilakukan pemegang saham yang ditawarkan tersebut tidak membeli, maka pemegang saham yang bersangkutan dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga (Pasal 58 ayat (1)). Namun demikian, pemegang saham penjual yang diwajibkan untuk menawarkan sahamnya kepada pemegang saham lain, dapat menarik kembali penawaran yang telah dilakukannya setelah lewatnya jangka waktu 30 hari tersebut (Pasal 58 ayat (2)). Pemberian persetujuan atas pemindahan hak atas saham membutuhkan persetujuan dari organ Perseroan (Pasal 59 ayat (1)).. Selanjutnya dalam hal setelah lewatnya jangka waktu 90 hari tidak ada jawaban apapun dari organ Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.72 Perseroan tersebut, maka dengan demikian organg Perseroan dianggap telah memberikan persetujuan atas penjualan dan pemindahan hak atas saham (Pasal 59 ayat (2)). Setelah diperolehnya persetujuan dari organ Perseroan, maka pemindahan hak atas saham harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 56 dan dilakukan dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak persetujuan diberikan (Pasal 59 ayat (3)). B. STUDI KASUS DAN ANALISA B.1. STUDI KASUS B.1.1. KASUS POSISI PT Ongko Multicorpora (“Ongko Multicorpora”) adalah pemegang atas 98.388.180 (sembilan puluh delapan juta tiga ratus delapan puluh delapan ribu seratus delapan puluh) saham (“Saham-saham OM”) di dalam PT BFI Finance Tbk. (“BFI”). Sejak tahun 1997 dan 1998, Ongko Multicorpora telah memperoleh fasilitas kredit dari BFI berdasarkan perjanjian Domestic Resource Factory Agreement dan Financial Leasing Agreement. Selanjutnya, sebagai jaminan atas fasilitas yang telah diberikan oleh BFI kepada Ongko Multicorpora tersebut, Ongko Multicorpora telah memberikan jaminan berupa gadai atas Saham-saham OM kepada BFI berdasarkan Pledge of Shares Agreement tertanggal 1 Juni 1999 yang ditandatangani oleh Ongko Multicorpora dan BFI (“Perjanjian Gadai Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.73 Saham”), yang mana telah mendapatkan persetujuan dari Presiden Komisaris Ongo Multicorpora pada tanggal 31 Mei 1999 dan 1 Juni 1999. Berdasarkan Perjanjian Gadai Saham, maka jangka waktu gadai saham adalah selama 12 bulan atau 1 tahun terhitung sejak tanggal penandatanganan, sehingga dengan demikian gadai saham akan berakhir pada tanggal 1 Juni 2000. Namun demikian, pada tanggal 22 Februari 2000, Ongko Multicorpora dan BFI sepakat untuk memperpanjang jangka waktu Perjanjian Gadai Saham menjadi 18 bulan, sebagaimana ternyata dalam surat tertanggal 22 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Ongko Multicorpora dan BFI. Atas dasar tersebut, maka jangka waktu berlakunya gadai saham diperpanjang selama 18 bulan dan akan berakhir pada tanggal 1 Desember 2000 (“Perubahan Perjanjian Gadai Saham”). Pada tanggal 7 Agustus 2000 Ongko Multicorpora telah memberikan persetujuan kepada BFI untuk mengalihkan saham-saham tersebut berdasarkan Letter of Consent to Transfer. Disamping itu, pada tanggal yang sama Ongko Multicorpora juga telah memberikan kuasa kepada BFI untuk menjual sahamsaham yang digadaikan tersebut berdasarkan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares. Oleh karena Ongko Multicorpora belum dapat melunasi hutangnya kepada BFI yang telah jatuh tempo, maka sebagai pelaksanaan dari putusan perdamaian dan dalam rangka restrukturisasi hutang BFI, pada tanggal 9 Februari 2001, BFI kemudian menjual saham-saham yang telah digadaikan tersebut bersama dengan 111.804.732 (seratus sebelas juta delapan ratus empat ribu tujuh ratus tiga puluh Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.74 dua ribu) saham milik PT Aryaputra Teguharta (“Aryaputra”) di dalam BFI kepada The Law of Debenture Trust Corporation P.L.C (“Debenture Trust Corporation”) berdasarkan Share and Purchase Agreement (Transfer to Creditor), Share Sales and Purchase Agreement (Sale to Investor) dan Sale and Purchase Agreement (Employee Incentive and Remuneration Scheme) yang dibuat dan ditandangani oleh Debenture Trust Corporation. Atas penjualan saham-saham tersebut, Ongko Multicorpora (Penggugat) kemudian mengajukan gugatan perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum terhadap BFI (Tergugat I), Debenture Trust Corporation (Tergugat II), Badan Pengawasa Pasar Modal atau BAPEPAM (Tergugat III) dan Aryaputra (Turut Tergugat) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk membatalkan penjualan dan pengalihan saham-saham yang telah dilakukan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation. Adapun pokok dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh Ongko Multicorpora adalah sebagai berikut : (1) Dengan berakhirnya jangka waktu Perjanjian Gadai Saham pada tanggal 1 Desember 2000, maka Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares, yang keduanya tertanggal 7 Agustus 2000, secara hukum menjadi berakhir dan tidak berlaku lagi, oleh karena persetujuan dan kuasa tersebut pada prinsipnya menunjuk dan tunduk kepada ketentuan dan syarat-syarat yang diatur dalam Perjanjian Gadai Saham. (2) Tindakan Tergugat I melakukan penjualan dan pengalihan saham-saham kepada Tergugat II adalah tidak sah dan cacat hukum karena dilaksanakan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.75 berdasarkan Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares tertanggal 7 Agustus 2000 yang sudah tidak berlaku lagi. (3) Hak gadai atas Saham-Saham OM bersumber dari Perjanjian Gadai Saham sebagaimana telah diubah berdasarkan Perubahan Perjanjian Gadai Saham, dengan demikian eksekusi atas hak gadai tersebut harus dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 1555 KUHPerdata yaitu melalui penjualan dimuka umum atau secara lelang dengan perantaraan 2 orang makelar yang memiliki keahlian dalam penjualan lelang tersebut dan bukan melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan sebagaimana telah dilakukan oleh Tergugat I kepada Tergugat II. (4) Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan pengalihan Saham-Saham OM secara melawan hukum dan telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sebagai berikut : a. kerugian akibat tidak memperoleh pembayaran deviden saham yang seharusnya diterima dari Tergugat I untuk tahun buku 2001, 2002 dan 2003 dengan jumlah selutuhnya sebesar Rp. 530.614.911.221,- dan kehilangan hak-haknya sebagai pemegang saham; b. apabila Saham-Saham OM tidak dialihkan kepada Tergugat II, maka Penggugat dapat mempergunakannya untuk memenuhi kewajiban Penggugat kepada pihak ketiga dan menjalankan usaha Penggugat; c. akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II, Penggugat mengalami kerugian materiil sebesar 28,44% x Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.76 Rp. 530.614.911.221,- = Rp. 150.908.880.751,- dan kerugian immateriil sebesar USD 1.000.000.000,-. B.1.2. PUTUSAN PENGADILAN B.1.2.1. Pada Tingkat Pengadilan Negeri Terhadap gugatan perdata Ongko Multicorpora, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 517/PDT.G/2003/PN.JKT.PST tertanggal 2 Juni 2004 memutuskan mengenai pokok perkara sebagai berikut : DALAM POKOK PERKARA 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. 2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama telah melakukan perbuatan melawan hukum. 3. Menyatakan Pledge of Shares Agreement tertanggal 1 Juni 1999 (Akta Gadai Saham), Surat tertanggal 22 Februari 2000 (Perubahan Akta Gadai Saham), Consent to Transfer OM tertanggal 7 Agustus 2000 telah gugur dan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal 1 Desember 2000 dan karenanya seluruh perikatan dan perbuatan hukum yang dibuat dan dilakukan Tergugat I dan Tergugat II berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut sejak tanggal 1 Desember 2000 adalah batal demi hukum. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.77 4. Menyatakan Share Sale And Purchase Agreement (Transfer To Creditors), Share Sale And Purchase Agreement (Transfer To Investor) dan Share Sale And Purchase Agreement (Employee Incentive And Remuneration Scheme), masing-masing tertanggal 9 Pebruari 2001 berikut seluruh perikatan dan perbuatan hukum yang dibuat dan dilakukan Tergugat I dan Tergugat II berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut adalaah batal demi hukum. 5. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas 98.388.180 lembar saham dalam Tergugat I. 6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mengembalikan dan menyerahkan 98.388.180 lembar saham Tergugat I kepada Penggugat terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. 7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kepada Penggugat uang paksa atas keterlambatan pengembalian dan penyerahan kepada Penggugat sebesar Rp. 150.000.000,- per hari apabila melakukan pelanggaran terhadap petitum butir 6 di atas terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. 8. Menghukum Tergugat I untuk tidak menggunakan hak-hak yang lahir atas 98.388.180 lembar saham Tergugat I yang dimiliki oleh Penggugat termasuk tapi tidak terbatas pada menghadiri dan memberi suara dalam Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.78 rapat umum pemegang saham Tergugat I dan untuk tidak memberikan persetujuan dalam bentuk apapun kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Tergugat I berkaitan dengan 98.388.180 lembar saham tersebut adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk tidak melakukan perbuatanperbuatan hukum apapun termasuk namun tidak terbatas baik secara langsung maupun mengalihkan dan tidak langsung menjaminkan menawarkan, baik untuk memindahkan, sebagian maupun seluruhnya dan karenanya segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II sehubungan dengan penawaran, pemindahan dan pejaminan 98.388.180 lembar saham tersebut, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 10. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kepada Penggugat uang paksa atas keterlambatan pengembalian dan penyerahan kepada Penggugat sebesar Rp. 1.000.000.000,- per hari apabila melakukan pelanggaran terhadap petitum butir 9 di atas terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.79 11. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ganti kerugian materiil secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar Rp. 150.908.880.751,- terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. 12. Menghukum Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh pada Putusan Perkara ini. 13. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya. B.1.2.2. Pada Tingkat Pengadilan Tinggi (Banding) Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusan No. 60/PDT/2005/PT.DKI tertanggal 23 Maret 2005 memutuskan sebagai berikut : - Menerima permohonan banding Tergugat I/Pembanding I dan Tergugat II/Pembanding II tersebut. - Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 9 November 2004 No. 517/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst yang dimohonkan pemeriksaan dalam tingkat banding tersebut. DALAM POKOK PERKARA - Menolak gugatan Penggugat/Terbanding seluruhnya. - Menghukum Penggugat/Terbanding membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 300.000,-. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.80 B.1.2.3. Pada Tingkat Mahkamah Agung (Kasasi) Terhadap putusan Pengadilan Tingi DKI Jakarta tersebut, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1478 K/Pdt/2005 tertanggal 27 Oktober 2005 memutuskan sebagai berikut : - Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT ONGKO MULTICORPORA tersebut. - Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000,-. B.1.2.4. Pada Tingkat Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 115 PK/Pdt/2007 tertangga 19 Juli 2007 memutuskan sebagai berikut : - Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT ONGKO MULTICORPORA (PT MITRA INVESTINDO MULTICORPORA) tersebut. - Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500.00,-. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.81 B.2. ANALISA B.2.1. JANGKA WAKTU BERLAKUNYA PERJANJIAN GADAI SAHAM Salah satu dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora dalam gugatannya terhadap BFI, Debenture Trust Corporation dan Bapepam adalah bahwa jangka waktu Perjanjian Gadai Saham telah berakhir pada tanggal 1 Desember 2000. Dengan demikian, ketentuan sebagaimana ternyata dalam Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares, yang keduanya tertanggal 7 Agustus 2000, secara hukum menjadi berakhir dan tidak berlaku lagi, oleh karena persetujuan dan kuasa tersebut merujuk dan tunduk kepada ketentuan serta syarat-syarat yang diatur dalam Perjanjian Gadai Saham. Atas dasar tersebut selanjutnya Ongko Multicorpora menyatakan bahwa Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares tidak dapat menjadi dasar dari pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup yang dilakukan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation. Sehubungan dengan dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora tersebut di atas, hal pertama yang perlu dicermati adalah bagaimanakah sebenarnya undang-undang mengatur mengenai ketentuan jangka waktu dari suatu perjanjian gadai. Ketentuan jangka waktu berlakunya perjanjian gadai memang tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut berlakulah ketentuan umum dari perjanjian atau persetujuan berdasarkan KUHPerdata. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.82 Dalam hukum perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menerangkan bahwa “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal tersebut tidak lain daripada menyatakan bahwa setiap perjanjian akan berlaku secara mengikat bagi kedua belah pihak, tetapi dari peraturan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang adalah leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Para pihak oleh karenanya bebas membuat suatu perjanjian dan mengatur sendiri isi dari perjanjian tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (a) memenuhi syarat-syarat sebagai suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata (b) tidak dilarang oleh undang-undang; (c) sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan (d) sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diuraikan di atas, maka para pihak juga memiliki kebebasan untuk menentukan jangka waktu dari suatu perjanjian gadai saham. Hal ini diperkenankan sepanjang tidak bertentangan atau melanggar ketentuan KUHPerdata atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Para pihak dapat memperjanjikan berlakunya suatu perjanjian gadai saham dalam waktu yang lebih singkat dari perjanjian hutang antara para pihak yang merupakan perjanjian pokok dari perjanjian gadai saham Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.83 tersebut. Dalam hal perjanjian semacam itu terjadi, maka masa berlaku dari gadai saham dan kekuatannya sebagai suatu jaminan khusus hanya berlaku selama jangka waktu yang telah diperjanjikan dan disepakati. Sedangkan untuk sisa jangka waktu hutang yang masih ada, maka secara hukum tidak lagi terlindungi oleh jaminan gadai saham karena berakhirnya jangka waktu dan keberlakuan dari perjanjian gadai saham tersebut. Disamping itu, berakhirnya jangka waktu gadai saham akan mengakibatkan berakhirnya pula hak-hak pemegang gadai sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang, termasuk hak untuk melakukan eksekusi atas obyek gadai baik melalui penjualan di muka umum maupun penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Oleh karena jangka waktu berlakunya suatu gadai saham akan diatur berdasarkan kesepakatan oleh para pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, maka untuk mengetahui secara jelas mengenai jangka waktu tersebut harus dilihat dari ketentuan perjanjian gadai saham yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Berkaitan dengan hal tersebut, Ongko Multicorpora mendalilkan gadai saham yang telah diberikannya kepada BFI sebenarnya sudah berakhir pada tanggal 1 Desember 2000. Dengan demikian, tindakan BFI yang telah melakukan penjualan dan pengalihan saham-saham kepada Debenture Law Corporation adalah tidak sah dan cacat hukum karena dilaksanakan berdasarkan Letter of Consent to Transfer dan Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares tertanggal 7 Agustus 2000 yang sudah tidak berlaku lagi, dengan merujuk kepada ketentuan Perjanjian Gadai Saham yang nyatanya sudah berakhir. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.84 Selanjutnya, terhadap dalil yang diajuan oleh Ongko Multicorpora itu, dalam jawabannya BFI memberikan beberapa tanggapan yang antara lain adalah sebagai berikut : (1) Bahwa Perjanjian Gadai Saham tanggal 1 Juni 1999 tersebut akan berlaku terus dengan sistem diperpanjang selama utang belum lunas, sesuai Pasal 3.2 Perjanjian Gadai Saham, adapun cara untuk memperpanjang berlakunya perjanjian tertulis dari BFI kepada Ongko Multicorpora (tidak memerlukan persetujuan), karena cara-cara perpanjangan berlakunya Perjanjian Gadai Saham tersebut diatur dalam Pasal 4.2 yang secara jelas menyebutkan bahwa Perjanjian Gadai Saham tersebut akan terus berlaku dan adanya Hak Opsi dari penerima gadai (dalam hal ini BFI) untuk cukup dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi gadai (dalam hal ini Ongko Multicorpora) bahwa gadai saham tersebut akan terus berlaku. (2) Bahwa Perjanjian Gadai Saham pernah diperpanjang, yang pertama tanggal 22 Pebruari 2000 dan berakhir pada tanggal 1 Desember 2000, yang kedua tanggal 28 Nopember 2000, dari BFI kepada Ongko Multicorpora. (3) Bahwa dengan surat tanggal 28 Nopember 2000, jelas terbukti bahwa Perjanjian Gadai Saham masih berlaku sampai dengan tanggal 1 Desember 2001 karena telah diperpanjang 12 bulan terhitung sejak tanggal 1 Desember 2000 dari BFI kepada Ongko Multicorpora. Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut pada tingkat Pengadilan Negeri tidak sependapat dengan dalil tanggapan yang diajukan oleh BFI dan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.85 menerima dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora selaku Penggugat, dengan memutuskan bahwa Pledge of Shares Agreement tertanggal 1 Juni 1999 (Akta Gadai Saham), Surat Tertanggal 22 Februari 2000 (Perubahan Akta Gadai Saham), Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus 2000 dan Power of Attorney tertanggal 7 Agustus 2000 telah gugur dan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal 1 Desember 2000 dan karenanya seluruh perikatan dan perbuatan hukum yang dibuat dan dilakukan Ongko Multicorpora dan Debenture Trust Corporation berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut sejak tanggal 1 Desember 2000 adalah batal demi hukum. Akan tetapi, pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut dibatalkan, sehingga Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 dianggap masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum pada saat dibuat dan ditandatanganinya Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus 2000 dan Power of Attorney tertanggal yang sama. Apabila dicermati secara seksama, dalam perkara ini kedua belah pihak pada prinsipnya dapat menerima anggapan bahwa perjanjian gadai saham diantara keduanya memang memiliki jangka waktu tertentu untuk dapat diberlakukan secara mengikat. Anggapan ini pun dapat diterima oleh pihak lembaga peradilan baik dalam tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Namun, yang menjadi pokok permasalahan utama justru berkaitan dengan penafsiran dan intepretasi ketentuan Pasal 4.2 Perjanjian Gadai Saham tersebut yang dianggap sebagai dasar untuk menentukan jangka waktu berlakunya Perjanjian Gadai Saham. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.86 Pasal 4.2 Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 menyatakan sebagai berikut : “Perjanjian gadai tunduk dengan pengakhiran sebelum berakhirnya jangka waktu atau perpanjangan waktu dengan pilihan penerima gadai yang setiap saat diberitahu kepada pemberi gadai.” Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat diinterpretsikan bahwa ketentuan Pasal 4.2 Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 pada intinya mengatur sebagai berikut : (1) Perjanjian Gadai dapat diakhiri sebelum berakhirnya jangka waktu; (2) Perjanjian Gadai dapat diperpanjang untuk suatu waktu tertentu; (3) Pelaksanaan pengakhiran dan perpanjangan h dilakukan berdasarkan pilihan penerima gadai dengan memberikan pemberitahuan kepada pemegang gadai. Dari uraian di atas, sebenarnya ketentuan Pasal 4.2 telah jelas mengatur bahwa memang perjanjian gadai saham tersebut dapat diakhiri ataupun diperpanjang setiap saat. Pengakhiran ataupun perpanjangan tersebut tidak harus dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau dengan kata lain untuk melakukan perpenjangan maupun pengakhiran tersebut penerima gadai (dalam hal ini adalah BFI) cukup untuk memberikan pemberitahuan kepada pihak pemberi gadai (dalam hal ini adalah Ongko Multicorpora). Oleh karenanya, perpanjangan dan pengakhiran perjanjian gadai merupakan hak dari penerima gadai yang dapat dilakukan secara sepihak, tanpa perlu persetujuan dari pemberi gadai, dengan syarat harus diberitahukan kepada pemberi gadai. Dalam persidangan, pihak BFI telah mengajukan bukti berupa surat tertanggal 28 Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.87 November 2000 mengenai pemberitahuan perpanjangan jangka waktu gadai saham yang disampaikan oleh BFI kepada Ongko Multicorpora. Majelis Hakim pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali beranggapan bahwa surat tersebut sudah dapat membuktikan bahwa perpanjangan jangka waktu Perjanjian Gadai Saham tertanggal 1 Juni 1999 telah dilaksanakan berdasarkan cara dan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Gadai Saham tersebut. Atas putusan tingkat banding dan kasasi yang menyatakan bahwa perpanjangan Perjanjian Gadai tertanggal 1 Juni 1999 berdasarkan surat tertanggal 28 November 2000 adalah sah menurut hukum, Ongko Multicorpora dalam memori peninjauan kembal yang diajukannya mengajukan dalil-dalil antara lain sebagai berikut : (1) Bunyi dan terjemahan Pasal 4.2 Akta Gadai Saham OM sangat jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain merupakan ketentuan yang mengatur mengenai pengakhiran jangka waktu dan bukan mengenai perpanjangan jangka waktu Akta Gadai Saham OM, dengan pengertian bahwa pengakhiran Akta Gadai Saham OM dapat dilakukan setiap saat sebelum berakhirnya jangka waktu Akta Gadai Saham OM atau pengakhiran tersebut tetap juga dapat dilakukan setiap saat dalam hal Akta Gadai Saham OM tersebut telah dilakukan perpanjangan masa berlakunya, dimana pengakhiran Akta Gadai Saham OM tersebut dapat dilakukan oleh BFI cukup melalui pemberitahuan saja kepada BFI. Dengan demikian sangatlah jelas dan tegas bahwa Pasal 4.2 Akta Gadai Saham OM hanya mengatur mengenai tata cara pengakhiran Akta Gadai Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.88 Saham OM saja dan sama sekali bukan mengatur mengenai perpanjangan Akta Gadai Saham OM. (2) Berhubung Pasal 4.2 Akta Gadai Saham tidak mengatur perpanjangan gadai, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata, berlakulah kepatutan atau kebiasaan daam praktek perpanjangan gadai saham yang selama ini dilakukan oleh Ongko Multicorpora dan BFI sebagai terbukti dari surat tertanggal 22 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Ongko Multicorpora dan BFI, yang artinya perpanjangan Gadai Saham tidak cukup dengan pemberitahuan melainkan harus ada persetujuan kedua belah pihak dan juga tidak cukup hanya dengan pemberitahuan dari salah satu pihak, apalagi pihak itu adalah pihak penerima gadai semata sebagaimana surat yang dibuat secara sepihak oleh BFI tertanggal 28 November 2000. Jadi sejatinya pengakhiran dan perpanjangan adalah dua hal yang sangat berbeda, namun BFI berhasil menyesatkan Majelis Hakim Tingkat Banding dengan dalil-dalilnya selama ini. Akibatnya Majelis Hakim yang tidak cermat dan teliti pun akhirnya mempertimbangkan secara rancu dan keliru serta mencampuradukan dua hal yang sangat berbeda itu. (3) Dalam hal pengakhiran gadai saham, adalah sangat logis apabila cukup dengan pemberitahuan sepihak saja dari penerima gadai karena memang penerima gadailah yang berkepentingan terhadap adanya gadai. Pemberi gadai tidak perlu dimintaan persetujuan karena pasti dengan senang hati menerima pembebasan barang miliknya dari ikatan gadai. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.89 (4) Sebaliknya perpanjangan jangka waktu gadai adalah keliru dan harus dengan persetujuan pemberi gadai karena pemberi gadai memiliki kepentingan terhadap barang yang digadaikanny. Hal ini dimaksudkan sebagai kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemberi gadai mengenai batas waktu sampai kapan barang tersebut terikat jaminan gadai. Majelis Hakim peninjauan kembali dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora selaku pemohon peninjauan kembali, sebagai berikut : (1) Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Jurist yang menguatkan putusan Judex Factie (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum dan telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar. (2) Bahwa hal-hal yang dikemukakan oleh pemohon Peninjauan Kembali pada hakekatnya tidaklah ada hal-hal baru yang diajukan, namun hanyalah sebagai pengulangan yang berkaitan dengan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, yang hal tersebut adalah wewenang Judex Factie (Pengadilan Tinggi), bukan wewenang Majelis Peninjauan Kembali. (3) Bahwa hal-hal yang diajukan sebagai alasan pemohon Peninjauan Kembali dari adanya kekeliruan/kekhilafan yang nyata dari pertimbangan Judex Jurist, hal tersebut tidak terbukti karena telah dipertimbangkan secara tepat dan benar, sehingga oleh karenanya putusan tersebut perlu untuk dikuatkan dalam putusan peninjauan kembali ini. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.90 Dengan berpedoman pada analisa yang telah dilakukan oleh penulis dalam bagian ini, pertimbangan hukum dari Majelis Hakim peninjauan kembali yang pada akhirnya memutuskan untuk menguatkan putusan pada tingkat banding dan kasasi adalah tepat berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : (1) Pendapat dari Ongko Multicorpora yang menyatakan bahwa perpanjangan jangka waktu gadai harus dengan persetujuan pemberi gadai adalah tidak tepat karena ketentuan Pasal 4.2 telah secara jelas dan tegas mengatur bahwa perpanjangan gadai saham dapat dilakukan secara sepihak oleh pihak BFI dengan memberikan pemberitahuan kepada Ongko Multicorpora. Perpanjangan jangka waktu gadai saham yang telah dilakukan oleh BFI oleh karenanya telah dilaksanakan secara sah sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 4.2, yaitu dengan cara memberikan pemberitahuan kepada Ongko Multicorpora melalui surat tertanggal 22 November 2000. (2) Oleh karena ketentuan Pasal 4.2 tersebut merupakan bagian dari Perjanjian Gadai Saham yang sah antara Ongko Multicorpora dan BFI, maka kedua belah pihak dengan demikian berkewajiban untuk mengikatkan diri dan tunduk kepada ketentuan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUHPerdata. (3) Apabila sejak awal memang pihak BFI berkeberatan dengan cara perpanjangan jangka waktu gadai saham yang diatur dalam Pasal 4.2, seharusnya hal tersebut diselesaikan sejak awal penyusunan Perjanjian Gadai Saham. Seluruh ketentuan termasuk Pasal 4.2 akan berlaku mengikat dan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.91 tidak dapat dikesampingkan oleh Ongko Multicorpora. Lebih lanjut lagi, pendapat Ongko Multicorpora yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut terlalu berat sebelah tidak dapat menjadi dasar untuk membatalkan ketentuan Pasal 4.2, terkecuali apabila memang ketentuan Pasal 4.2 pada kenyataannya bertentangan atau melanggar ketentuan perundang-undangan yang bersifat memaksa, yang mana hal tersebut tidak dapat dibuktikan. B.2.2. PERSETUJUAN UNTUK MELAKUKAN EKSEKUSI GADAI SAHAM MELALUI PENJUALAN SECARA TERTUTUP ATAU BAWAH TANGAN Dalam perkara gugatan perdata Ongko Multicorpora, BFI sebagai Tergugat I mendalilkan bahwa dasar dari pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM melalui penjualan secara tertutup adalah berdasarkan persetujuan yang telah diberikan oleh Ongko Multicopora kepada BFI, yaitu berdasarkan Letter of Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus 2000. Dengan keberadaan persetujuan tersebut, maka penjualan dan pengalihan Saham-Saham OM secara tertutup atau bawah tangan adalah sah menurut hukum oleh karena telah disetujui oleh pihak Ongko Multicorpora selaku pemberi gadai. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada dasarnya tidak memberikan pengaturan secara khusus mengenai persetujuan untuk melakukan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Namun demikian, apabila dicermati secara seksama, ketentuan Pasal 1155 ayat (1) Kitab Undang- Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.92 Undang Hukum Perdata sedikit menyinggung mengenai persetujuan pelaksanaan eksekusi gadai melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaankebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.” Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, eksekusi obyek gadai harus dilakukan dengan cara penjualan di muka umum. Akan tetapi, dalam Pasal yang sama juga diatur secara tegas bahwa ketentuan penjualan di muka umum berlaku “apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain”. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka dapat dapat disimpulkan bahwasannya para pihak dimungkinkan untuk mengatur secara berbeda dan dapat mengesampingkan berlakunya ketentuan pelaksanaan eksekusi obyek gadai menurut cara yang diatur dalam KUHPerdata. Lebih lanjut lagi, apabila diinterpretasikan secara gramatikal, maka cara lain yang dimaksud dalam hal ini juga mencakup cara penjualan secara tertutup atau bawah tangan, yang memang tidak diatur dan berbeda dengan ketentuan KUHPerdata. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa KUHPerdata tidak melarang terjadinya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi gadai dan penerima gadai untuk melaksanakan eksekusi gadai saham melalui penjualan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.93 secara tertutup atau bawah tangan, sepanjang hal tersebut memang benar-benar dapat dibuktikan telah diperjanjikan oleh para pihak. Berpedoman pada pendapat di atas, maka persetujuan pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan akan tunduk pada ketentuan dasar mengenai syarat-syarat keabsahan suatu persetujuan secara perdata sebagaimana diatur dalam beberapa Pasal sebagai berikut : Pasal 1320 KUHPerdata : “Untuk sahnya persetujuan-persetujuan duoerlukan empat syarat : 2. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 3. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 4. suatu hal tertentu; 5. suatu sebab yang halal.” Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Merujuk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, persetujuan pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu persetujuan menurut hukum, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata harus dianggap berlaku sebagai undang-undang dan mengikat bagi para pihak di dalamnya, yakni pemberi gadai dan penerima gadai. Atas dasar inilah, maka eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan oleh penerima gadai dapat dilaksanakan berdasarkan persetujuan yang telah diberikan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.94 J. Satrio, S.H. berpendapat bahwa memang ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat menambah (aanvullend-rect), karena para pihak bebas untuk menetapkan lain, sehingga dalam hal para pihak tidak menyimpangi ketentuan tersebut, maka barulah ketentuan Pasal 1155 ayat (1) berlaku. Namun demikian, kebebasan yang dimaksud dalam hal ini adalah kebebasan untuk memperjanjikan mengenai pelaksanaan parate eksekusi berupa tindakan kreditur untuk langsung melakukan eksekusi atas obyek gadai dengan cara menjual di muka umum. Dengan adanya kebebasan tersebut, maka para pihak dapat memperjanjikan untuk mengesampingkan hak untuk melaksanakan parate eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata. Kebebasan untuk memperjanjikan lain yang diatur dalam Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata tidak dimaksudkan sebagai kebebasan atau hak para pihak untuk memperjanjikan cara eksekusi secara berbeda dari penjualan di muka umum. Selanjutnya J. Satrio, S.H. juga berpendapat bahwa pembuat UndangUndang mempunyai kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya kerugian yang terlalu besar bagi debitur melalui persekongkolan antara penjual dengan calon pembelinya. Namun, setelah debitur wanprestasi, maka para pihak dapat mengadakan persetujuan untuk menjual benda jaminan di bawah tangan. Di dalam praktek sering kali dijumpai perjanjian gadai yang mengandung kalusula penjualan, baik di muka umum maupun di bawah tangan. Adanya janji seperti itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kreditur secara semenamena, tetapi mengingat bahwa sering kali penjualan di bawah tangan memberikan Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.95 hasil yang lebih baik dan ini menguntungkan kedua belah pihak, biasanya dalm penjualan di bawah tangan, kreditur pemegang gadai meminta persetujuan dari pemberi gadai. Disamping itu, untuk benda-benda gadai yang mempunyai nilai yang kecil saja, sungguh tidak praktis dan efisien untuk melaksanakan penjualan melalui juru lelang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil penjualan bisa lebih kecil dari biaya lelang (dengan semua persiapan pendahuluannya). Pendapat J. Satrio, S.H. di atas berbeda dengan hasil penafsiran secara gramatikal dari ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata. Pada intinya J. Satrio, S.H. berusaha menekankan bahwa pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan di muka umum merupakan suatu hal yang tidak dapat disimpangi. Kalaupun memang dalam ketentuan Pasal 1155 ayat (1) diatur mengenai kebebasan untuk memperjanjikan lain, hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan untuk memperjanjikan pelaksanaan eksekusi gadai saham dengan cara lain dari penjualan di muka umum. Persetujuan atas pelaksanaan penjualan secara tertutup atau di bawah tangan tetap dapat dilaksanakan, namun harus setelah debitur melakukan tindakan wanprestasi. Hal ini dimaksudkan, untuk mengantisipasi terjadinya persekongkolan antara penjual dengan calon pembelinya yang dapat menimbulkan kerugian bagi debitur (dalam hal ini dimungkinkan bahwa dengan terjadinya persekongkolan tersebut harga penjualan tidaklah setinggi harga apabila saham yang digadaikan tersebut dijual di muka umum). Apabila pembuat undang-undang pada kenyataannya memiliki maksud sebagaimana diutarakan oleh J. Satrio, S.H., menurut hemat penulis hal tersebut Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.96 dapat dimengerti, mengingat apabila persetujuan penjualan gadai saham diberikan sebelum terjadinya tindakan wanprestasi oleh debitur, maka kedudukan antara debitur dan kreditur tidaklah seimbang karena dengan adanya persetujuan tersebut penjualan saham dapat dilakukan tertutup atau dibawah tangan dan tidak ada jaminan bagi debitur bahwa penjualan saham tersebut tidak dalam posisi harga terbaik seperti apabila penjualan dilakukan di muka umum. Hal ini tidak akan terjadi dalam hal persetujuan tersebut diberikan setelah debitur melakukan wanprestasi karena dalam keadaan demikian debitur dan kreditur berada dalam posisi yang seimbang untuk memberikan penilaian mengenai cara penjualan yang paling menguntungkan bagi para pihak, sehingga penjualan saham secara tertutup atau bawah tangan pada akhirnya dapat dipastikan merupakan solusi untuk memperoleh harga yang terbaik untuk pelunasan atas hutang debitur kepada kreditur. Mengenai hal ini memang tidak ada kepastian dan kejelasan sehubungan dengan ketentuan kapan suatu persetujuan untuk melakukan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat diperjanjikan. Di satu sisi apabila ditafsirkan dari rumusan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, jelas terlihat bahwa ketentuan Pasal tersebut tidak memberikan batasan ataupun syarat khusus kapan persetujuan semacam itu dapat diperjanjikan atau dengan kata lain para pihak dapat bebas memperjanjikan mengenai kesepakatan untuk melakukan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan pada saat ditutupnya perjanjian gadai saham atau pada saat lain selama perjanjian gadai Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.97 tersebut masih berlaku dan mengikat. Namun demikian, pada kenyataannya doktrin dari ahli hukum berpendapat bahwa ketentuan Pasal 1155 ayat (1) memiliki maksud yang berbeda sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka berkaitan dengan syarat-syarat keabsahan suatu kesepakatan atau persetujuan mengenai pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan di muka umum, dapat dilakukan analisa sebagai berikut : (a) Persetujuan yang diperjanjikan setelah adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur Dalam hal ini persetujuan tersebut dianggap sah menurut hukum karena menurut doktrin hukum persetujuan semacam inilah yang sebenarnya diperkenankan oleh ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata. Persetujuan yang diperjanjikan setelah adanya tindakan wanprestasi oleh debitur dianggap dapat memberikan perlindungan secara seimbang baik bagi pihak debitur maupun kreditur, oleh karena dalam kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa cara eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan merupakan cara terbaik yang telah disepakati para pihak untuk memperoleh hasil harga penjualan secara lebih baik apabila dibandingkan dengan cara penjualan di muka umum atau secara lelang. Selain itu, dalam keadaan demikian, juga dapat dipastikan bahwa cara penjualan secara tertutup atau bawah tangan merupakan cara eksekusi yang lebih praktis, cepat dan dapat memberikan kemudahan bagi Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.98 para pihak, tanpa adanya kekhawatiran bahwa hal tersebut justru dapat menjadi suatu kelemahan yang dimanfaatkan oleh pihak kreditur untuk melakukan penjualan semata-mata untuk kepentingannya sendiri, tanpa memperhatikan kepentingan debitur untuk memperoleh harga jual yang lebih baik dengan penjualan di muka umum. Dengan berpedoman pada syarat ini, maka pihak debitur diberikan perlindungan dan memiliki kebebasan untuk menentukan cara penjualan yang dapat memberikan hasil terbaik, sehingga pada akhirnya debitur tetap dapat memanfaatkan hasil penjualan saham untuk pelunasan hutangnya kepada kreditur, tanpa perlu dirugikan oleh hasil penjualan yang kurang maksimal. (b) Persetujuan yang diperjanjikan dalam perjanjian gadai saham atau pada saat lain sebelum adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur Meskipun doktrin ahli hukum memiliki perndapat yang berbeda, namun sebagian pihak berpendapat bahwa sebenarnya persetujuan semacam ini adalah sah menurut hukum. Hal ini didasarkan oleh ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata yang secara tegas memperkenankan diperjanjikannya persetujuan pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup, tanpa mengatur lebih lanjut mengenai batasan ataupun syarat khusus kapan persetujuan tersebut dapat diperjanjikan. Namun demikian, oleh karena terjadi polemik dan perbedaan pendapat, dalam praktek hal ini sering dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.99 persetujuan demikian adalah batal demi hukum karena tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya dari Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata sebagaimana dinyatakan oleh doktrin ahli hukum yang berlaku. Persetujuan tersebut dianggap memiliki kelemahan karena apabila diperjanjikan setelah debitur melakukan tindakan wanprestasi, maka posisi antara debitur dan kreditur tidaklah seimbang karena debitur tidak lagi memiliki hak untuk menentukan cara penjualan lain yang lebih menguntungkan selain penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Kreditur berdasarkan persetujuan yang telah diperjanjikan dapat langsung melakukan eksekusi melalui penjualan secara tertutup, tanpa harus memperhatikan kepentingan debitur untuk memperoleh hasil penjualan secara lebih baik yang dimungkinkan terjadi apabila penjualan dilakukan di muka umum. Dalam hal persetujuan pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan memang telah diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian gadai atau pada saat lain sebelum terjadinya tindakan wanprestasi dari debitur, menurut J. Satrio, S.H., keberadaan janji semacam itu tidak perlu harus menjadikan klausula demikian batal demi hukum, namun kalusula tersebut dapat dibatalkan, dengan catatan harus dilihat terlebih dahulu apakah terdapat dasar yang patut untuk mencantumkan klausula semacam itu.49 Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan oleh J. Satrio, S.H., bahwa dengan 49 J. Satrio, loc.cit., halaman 123. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.100 demikian pencantuman janji atau persetujuan tersebut sebelum adanya tindakan wanprestasi dari debitur, tidak dapat secara serta merta dianggap sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum atau menyebabkan persetujuan tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Hal ini akan sangat bersifat kasuistis, sehingga perlu dicermati terlebih dahulu dasar dan tujuan dari pencantuman janji atau persetujuan semacam itu. Sehubungan dengan analisa yang telah dijabarkan di muka, putusan pengadilan untuk perkara gugatan Ongko Multicorpora dalam semua tingkatan, baik tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, sama sekali tidak menyinggung mengenai permasalahan keabsahan dari persetujuan atau janji untuk melakukan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan berdasarkan Letter of Consent to Transfer tertanggal 7 Agustus 2000, yang dalam hal ini diperjanjikan sebelum adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur. Kalaupun memang persetujuan tersebut sempat dipermasalahkan, hal ini hanya mengenai keberlakuan dari persetujuan tersebut yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi mengenai jangka waktu berlakunya perjanjian gadai saham dan bukan mengenai permasalahan bahwa persetujuan semacam itu memang pada dasarnya tidak diperkenankan atau bersifat melawan hukum. Dengan demikian, lembaga peradilan tampaknya lebih condong pada pendapat bahwa keberadaan janji semacam itu adalah sah menurut hukum. Namun demikian, untuk dapat mengetahui sejauh mana kekuatan hukum janji atau persetujuan tersebut sebagai dasar pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.101 penjualan secara tertutup atau bawah tangan, perlu dilakukan analisa terkait dengan ketentuan dan syarat-syarat lebih lanjut mengenai keabsahan pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. B.2.3. IMPLEMENTASI DARI KETENTUAN KUHPERDATA SEBAGAI SALAH PELAKSANAAN EKSEKUSI GADAI PASAL 1156 SATU SYARAT SAHAM MELALUI PENJUALAN SECARA TERTUTUP ATAU BAWAH TANGAN Terkait dengan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan yang dilakukan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation, Ongko Multicorpora dalam memori peninjauan kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung, menyatakan dalil-dalil sebagai berikut : (1) Bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding tidak menelaah secara cermat dan teliti maksud dan makna dari Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH.Perdata yang mengatur cara penjualan barang gadai terkait dengan perkara a quo. Majelis Hakim Tingkat Banding lebih condong mempertimbangkan dan mengakomodir dalil-dalil Termohon Peninjauan Kembali I yang dari awal jelas-jelas keliru dan menyesatkan, yaitu karena telah diperjanjikan, maka barang gadai boleh saja dieksekusi tanpa melalui lelang. Seandainya pun diperjanjikan oleh pemberi dan penerima gadai, tetap untuk mengeksekusi barang gadai harus tunduk kepada aturan dan mekanisme yang mengaturnya, Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.102 apalagi eksekusi gadai saham secara tegas telah diatur dalam ketentuan gadai yang bersifat tertutup dan tidak dapat disimpangi, dimana penjualan harus dilakukan dengan cara lelang dimuka umum (sesuai ketentuan Pasal 1155 KUH.Perdata) atau dengan cara lain yang ditentukan oleh putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui proses gugatan (sesuai pasal 1156 KUH.Perdata); (2) Bahwa telah terbukti bahwa penjualan Saham-Saham OM dilakukan Termohon Peninjauan Kembali I dengan cara menjual secara dibawah tangan, maka penjualan tersebut adalah bertentangan dan melanggar ketentuan Pasal 1155 KUH.Perdata. Oleh sebab itu Majelis Hakim Tingkat Banding seharusnya menyatakan bahwa perbuatan Termohon Peninjauan Kembali I yang telah menjual Saham-Saham OM itu adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) ; (3) Bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 15 paragraf ke-2 telah membuat kekeliruan dalam menilai apakah perbuatan Termohon Peninjauan Kembali I menjual Saham-Saham OM milik Pemohon Peninjauan Kembali adalah perbuatan melawan hukum atau bukan, karena hanya didasarkan pada keadaan bahwa hutang yang dijamin belum lunas dibayar, tanpa mempertimbangkan apakah cara penjualan saham-saham tersebut sudah sesuai dan memenuhi ketentuan hukum gadai yang bersifat mengikat, yang diatur dalam Buku II KUH.Perdata, khususnya pada Pasal 1155 dan 1156. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.103 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada bagian B.2.2, berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, pelaksanaan eksekusi gadai saham pada prinsipnya harus dilakukan melalui penjualan di muka umum. Para pihak namun demikian dapat memperjanjikan mengenai kesepakatan ataupun pesetujuan untuk melaksanakan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi terhadap kreditur. Menurut doktrin hukum, persetujuan tersebut hanya dapat dibuat setelah adanya tindakan wanprestasi dari debitur, karena akan dapat lebih memberikan perlindungan hukum secara seimbang bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur). Akan tetapi, apabila persetujuan tersebut dibuat sebelum adanya tindakan wanprestasi, tidak berarti hal demikian dapat menjadi dasar untuk serta merta membatalkan persetujuan tersebut, oleh karena harus dilihat secara kasuistis dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang telah terjadi. Dalam perkara eksekusi gadai atas Saham-Saham OM, BFI menyatakan bahwa eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat dilaksanakan berdasarkan Persetujuan dan Kuasa untuk menjual tertanggal 7 Agustus 2000. Menanggapi hal tersebut, Ongko Multicorpora menyatakan bahwa meskipun telah diberikan persetujuan, tetapi untuk mengeksekusi barang gadai harus tunduk kepada aturan dan mekanisme yang mengaturnya, apalagi eksekusi gadai saham secara tegas telah diatur dalam ketentuan gadai yang bersifat tertutup dan tidak dapat disimpangi, dimana penjualan harus dilakukan dengan cara lelang dimuka umum (sesuai ketentuan Pasal 1155 KUH.Perdata) atau dengan cara lain Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.104 yang ditentukan oleh putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui proses gugatan (sesuai pasal 1156 KUH.Perdata). Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali untuk perkara ini memutuskan untuk menolak dalil-dalil yang diajukan oleh Ongko Multicorpora dan menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation adalah sah menurut hukum. Berkenaan dengan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, Pasal 1156 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :: Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : “Bagaimanapun, apabila si berutang atau si pembeli gadai bercidera-janji, si berpiutang dapat menuntut di muka Hakim supaya barangnya gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya, ataupun Hakim atas tuntutan si berpiutang, dapat mengabulkan bahwa barangnya gadai akan tetap pada si berpiutang untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar utangnya beserta bunga dan biaya.” Ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata menjelaskan bahwa pihak penerima gadai dapat menuntut pelaksanaan eksekusi gadai dapat dilakukan dengan cara selain diatur dalam ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata (melalui penjualan secara tertutup) berdasarkan putusan dari Hakim. Tampaknya pihak Ongko Multicorpora menjadikan ketentuan ini sebagai dasar hukum bahwa persetujuan dan kuasa yang telah diberikannya kepada BFI untuk melakukan penjualan saham secara tertutup atau bawah tangan tidak dapat secara serta merta menjadi dasar pelaksanaan penjualan tersebut, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata masih Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.105 diperlukan formalitas lain, yaitu untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan, agar penjualan saham secara tertutup atau bawah tangan dapat dilakukan. Keberadaan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata memang dapat menimbulkan perdebatan apakah pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan harus dilaksanakan berdasarkan suatu putusan pengadilan atas gugatan yang diajukan oleh pihak kreditur. Sedangkan di sisi lain, seperti telah dibahas sebelumnya pada B.2.2, para pihak seharusnya sudah dapat melaksanakan eksekusi tersebut berdasarkan persetujuan yang telah disepakati bersama (dengan catatan hal tersebut juga masih disetujui oleh debitur setelah terjadinya tindakan wanprestasi). Disamping itu, apabila memang kreditur masih diharuskan untuk mengajukan tuntutan atau gugatan50 agar dapat memperoleh putusan pengadilan yang menjadi dasar pelaksanaan penjualan secara tertutup, bukankan dengan demikian persetujuan yang telah disepakati sebelumnya menjadi sama sekali tidak berguna dan sia-sia. Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, maka perlu terlebih dahulu dicermati konsep dasar dari tuntutan atau gugatan yang dimaksud dalam hal ini. 51 Menurut Yahya Harahap, dalam suatu gugatan contentiosa, gugatannya mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan antara para pihak. Gugatan semacam ini juga sering disebut sebagai 50 Tuntutan atau gugatan yang dimaksud dalam hal ini adalah gugatan contentiosa. 51 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, halaman 46. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.106 contentiosa reschtspraak, artinya penyelesaian sengketa pengadilan melalui proses sanggah menyanggah dalam bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban) dan duplik (jawaban kedua kali). Perkataan contentiosa atau contentious berasal dari bahasa Latin yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara dengan penuh semangat bertanding atau berpolemik. Hal ini yang menyebabkan penyelesaian perkara yang mengandung sengketa disebut sebagai yurisdiksi contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan pengadilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan. Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka telah jelas bahwa tutuntutan ke muka Hakim yang dimaksud oleh Pasal 1156 KUHPerdata adalah gugatan contentiosa yang melibatkan para pihak dalam keadaan bersengketa. Sedangkan keadaan bersengketa yang dimaksud dalam hal ini adalah keadaan dimana terjadi ketidaksesuaian, perselisihan dan ketidaksepahaman antara para pihak. Dengan demikian, gugatan atau tuntutan di muka hakim seharusnya menjadi prasyarat hanya apabila terjadi kondisi sengketa antara para pihak berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi gadai melalui cara selain penjualan secara tertutup. Sebagai perbandingan, dalam lembaga jaminan Hak Tanggungan, pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, sebagai berikut : (1) setelah lewat waktu 1 bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.107 berkepentingan, dengan tujuan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan kreditur lainnya dari pemberi hak tanggungan, sedangkan tanggal pemberitahuan tertulis yang dimaksud dalam hal ini adalah tanggal pengiriman pos tercatat atau tanggal penerimaan melalui kurir maupun faksimili; (2) diumumkan dalam sedikit-dikitnya 2 surat kabar; (3) tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Pada angka (3), dinyatakan bahwa penjualan tersebut dilakukan dalam hal tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Hal ini dapat dipersamakan dengan kondisi dimana tidak terjadi sengketa atau peselisihan berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Hanya saja dalam Hak Tanggungan, diatur beberapa formalitas tambahan lainnya yang harus dilakukan untuk dapat melindungi kepentingan para pihak yang terkait, yang antara lain adalah memberikan pemberitahuan secara tertulis dan mengumumkan dalam surat kabar. Disamping itu, para pihak yang berkepentingan juga harus diberikan kesempatan untuk dapat mengajukan keberatan apabila penjualan tersebut kiranya dapat menimbulkan kerugian, namun jangka waktu tersebut juga dibatasi untuk tetap dapat memberikan perlindungan hukum kepada kreditur atau penerima gadai yang dalam hal ini berkepentingan untuk dapat menjual obyek jaminan serta mengambil hasilnya sebagai pelunasan atas hutang debitur kepada kreditur. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.108 Untuk lembaga jaminan gadai, memang pelaksanaan eksekusi melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan tidak diatur dengan prosedur secara terperinci sebagaimana lembaga Hak Tanggungan. Namun demikian, secara konseptual pelaksanaan penjualan secara tertutup atau bawah tangan, sebagai bentuk pengecualian dari penjualan di muka umum dalam Hak Tanggungan, memiliki tujuan yang sama yaitu untuk dapat memberikan kesempatan bagi kreditur guna mendapatkan hasil penjualan terbaik dengan cara selain penjualan di muka umum. Oleh karenanya, sebaiknya prosedur dan mekanisme serupa juga dapat diterapkan dalam pelaksanaan eksekusi gadai saham melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan. Dengan diterapkannya mekanisme tersebut, maka dapat diperoleh jalan keluar atas ketidakpastian dan permasalahan yang terjadi selama ini sebagai akibat dari perbedaan interpretasi mengenai ketentuan Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata. Dalam perkara eksekusi gadai Saham-Saham OM, para pihak sebenarnya telah memperjanjikan suatu persetujuan dan kuasa mengenai pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan, yang dibuat sebelum terjadinya tindakan wanprestasi oleh Ongko Multicorpora. Dengan demikian, berdasarkan pembahasan pada paragraf di atas, persetujuan tersebut dapat menjadi dasar pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM melalui penjualan secara bawah tangan oleh BFI kepada Debenture Trust Corporation apabila telah terpenuhi kondisi berikut ini: Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.109 (1) dapat dibuktikan bahwa kedua belah pihak (BFI dan Ongko Multicorpora) telah setuju dan sepakat bahwa pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM harus dapat dilakukan dengan cara penjualan secara tertutup atau bawah tangan kepada pihak ketiga (hal penting yang perlu dicatat adalah meskipun memang persetujuan demikian telah diberikan berdasarkan Letter of Consent tanggal 7 Agustus 2000, namun untuk tetap memberikan kepastian hukum bagi kedua belah, sebaiknya persetujuan tersebut perlu untuk ditegaskan kembali setelah terjadinya tindakan wanprestasi oleh Ongko Multicorpora); (2) kedua belah pihak (BFI dan Ongko Multicorpora) tidak berada dalam keadaan bersengketa atau beselisih mengenai cara pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM melalui penjualan secara tertutup atau bawah tangan); (3) pelaksanaan eksekusi gadai Saham-Saham OM merupakan cara atau alternatif terbaik untuk memperoleh hasil penjualan terbaik (artinya tanpa perlu melakukan penjualan di muka umum, penjualan secara tertutup atau bawah tangan dapat memberikan hasil yang baik), sehingga dapat digunakan untuk melunasi hutang kepada BFI, tanpa harus menimbulkan kerugian bagi Ongko Multicorpora. Dalam proses persidangan mengenai perkara ini telah terungkap beberapa fakta hukum mengenai penjualan Saham-Saham OM oleh BFI kepada Debentur Trust Corporation, sebagai berikut : Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.110 (1) Pihak Debenture Trust Corporation telah melakukan pengumuman melalui media masa Harian Bisnis Indonesia tanggal 14 Mei 2001 mengenai penjualan saham dan atas pengumuman tersebut Ongko Multicorpora tidak pernah melakukan protes maupun mengajukan keberatan. (2) Pihak BFI telah memberi tahu Ongko Multicorpora tentang pelaksanaan putusan perdamaian dan pengalihan Saham-Saham OM melalui surat tanggal 11 Mei 2001, yang telah disetujui oleh Ongko Multicorpora. (3) Sejak perpanjangan terakhir, yaitu dengan surat tanggal 28 dan 29 November 2000 serta sejak dikeluarkannya surat-surat persetujuan untuk menjual Saham-Saham OM tanggal 7 Agustus 2000 dan tanggal 11 Mei 2001, pihak Ongko Multicorpora tidak pernah mengajukan protes atau meminta kembali Saham-Saham OM karena Ongko Multicorpora mengakui bahwa SahamSaham OM memang masih digadaikan kepada BFI. Berdasarkan fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas, terlihat bahwa sebenarnya kedua belah pihak tidak berada dalam kondisi bersengketa pada saat dilaksanakannya penjualan Saham-Saham OM atau dengan kata lain penjualan tersebut telah disetujui oleh pihak Ongko Multicorpora bukan hanya pada saat diberikannya persetujuan tertanggal 7 Agustus 2000, tetapi juga setelah terjadinya tindakan wanprestasi oleh Ongko Multicorpora. Terlebih lagi pihak Ongko Multicopora tidak mengajukan keberatan ataupun tanggapan lebih lanjut atas pelaksanaan penjualan Saham-Saham OM dan baru setelah lewatnya waktu kurang lebih 2 tahun mengajukan gugatan pembatalan atas jual beli saham tersebut. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.111 Kalaupun memang pada akhirnya penjualan tersebut dirasa merugikan Ongko Multicorpora, yang bersangkutan seharusnya segera menyatakan keberatannya pada saat diumumkannya penjualan saham tersebut. Putusan Majelis Hakim pada tingkat peninjauan kembali yang menyatakan bahwa penjualan Saham-Saham OM adalah sah menurut hukum, menurut hemat penulis sudah tepat berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : (1) meskipun persetujuan secara tertulis dibuat sebelum terjadinya tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh Ongko Multicorpora, namun fakta-fakta hukum yang terjadi telah membuktikan bahwa Ongko Multicorpora secara tidak langsung telah menegaskan persetujuan tersebut setelah terjadinya tindakan wanprestasi, dengan tidak mengajukan keberatan ataupun tanggapan atas pemberitahuan dan pengumuman yang dilakukan oleh BFI, atas dasar inilah maka kedua belah pihak tidak berada dalam kondisi bersengketa, sehingga tidak diperlukan persyaratan mengajukan gugatan atau tuntutan ke muka hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata; (2) BFI telah melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya dianggap perlu guna memberikan perlindungan bagi pihak yang berkepentingan dan mencegah timbulnya permasalahan hukum di kemudian hari, antara lain dengan memberikan pemberitahuan dan pengumuman di surat kabar, yang mana tidak mendapatkan tanggapan ataupun keberatan dari pihak lain, termasuk Ongko Multicorpora. Tinjauan yuridis ..., Ivan Lazuardi Suwana, FH UI., 2009.112