PENDAHULUAN Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri patogen intrasel, menimbulkan penyakit tuberkulosis (TB). Sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini dan bertanggung jawab atas 8 hingga 12 juta kasus tuberkulosis aktif juga 3 juta kematian setiap tahunnya (Schluger, 1998). Di Indonesia pada tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahunnya terjadi 583.000 kasus TB baru dengan kematian karena TB sekitar 140.000 kasus. Penderita TB diperkirakan akan meningkat dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia (Depkes, 2002). Vaksin TB saat ini adalah vaksin BCG, mengandung M. bovis bacillus Calmette-Guérin yang telah dilemahkan. Vaksin ini telah digunakan selama lebih dari 70 tahun dan sampai saat ini masih belum ditemukan vaksin baru untuk melawan tuberkulosis. Banyak penelitian membuktikan bahwa vaksin BCG belum berhasil mengendalikan epidemi TB. Hasil studi meta-analisis menunjukkan bahwa efektivitas vaksin BCG sangat bervariasi, sekitar 0 – 80 %. Penelitian lain menyatakan bahwa vaksin BCG ternyata hanya efektif untuk mencegah TB meningeal pada anak-anak sedangkan untuk mencegah TB paru pada orang dewasa sangat kecil dan tingkat keefektifan tidak konsisten (Fine, 1995). Infeksi M. tuberculosis dapat dideteksi dengan uji tuberkulin. Prinsip uji tuberkulin adalah timbulnya hipersensitivitas pada seseorang yang terinfeksi M. tuberculosis terhadap komponen tuberkulin dari bakteri tersebut yaitu turunan protein yang dimurnikan (purified protein derivative/PPD). Uji tersebut dilakukan dengan menyuntikan PPD secara intrakutan. Hasil dapat dilihat 48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengamati ada atau tidaknya indurasi pada kulit dan mengukur diameter indurasi. Uji tuberkulin mempunyai kelemahan yaitu reaksi positif palsu. Reaksi positif palsu dapat terjadi karena reaksi silang antara antibodi yang dihasilkan oleh vaksinasi BCG dengan PPD (Joklik, 1992). 1 2 Karena hal ini diperlukan vaksin baru untuk mencegah infeksi tuberkulosis dan kit imunodiagnostik untuk mendeteksi secara akurat infeksi M. tuberculosis. Oleh karena itu penyeleksian antigen yang spesifik dan imunogenik harus dilakukan. Sejumlah antigen dari M. tuberculosis telah diidentifiksi dan dikarakterisasi dengan berbagai cara diantaranya menggunakan antibodi poliklonal kelinci atau antibodi monoklonal hasil hibridoma dari mencit yang diimunisasi. Imunogenitas pada hewan dapat saja tidak menunjukkan relevansi terhadap respon imun manusia. Oleh karena itu, penelitian untuk mencari kandidat antigen lebih baik dilakukan dengan menguji secara langsung protein M. tuberculosis dengan serum pasien positif tuberkulosis menggunakan teknik imunoblot dari ekstrak atau filtrat kultur M. tuberculosis (Lim, 2000). Penelitian terdahulu menggunakan teknik imunoblot dari filtrat kultur M. tuberculosis dengan serum dari individu dengan tuberkulosis aktif berhasil mengidentifikasi antigen chaperonin 60, protein homolog protease atau peptidase, M. bovis asill koenzim A, asam mikoseroat sintase, antigen PE-PGRS berukuran 14 dan 19 kilo dalton (Lim, 2000) serta penelitian sebelumnya yang diarahkan pada pencarian antigen M. tuberculosis yang reaktif terhadap serum penderita tuberkulosis di Makassar dan penentuan protein antigen tersebut berhasil mengidentifikasi protein adenosilhomosisteinase, MTGROEOP NID, dan chaperonin 2 60 kDa (Artri, 2005). Chaperonin 60 (Cpn 60), juga dikenal dengan heat shock protein 60 (Hsp60) adalah salah satu dari protein pengantar yang berada pada setiap organisme. Secara lebih spesifik protein ini berfungsi untuk mencegah kesalahan pelipatan protein, mendorong pelipatan kembali protein dan memperbaiki polipeptida yang tidak melipat dengan benar ketika berada dalam kondisi tidak lazim, seperti suhu yang terlalu tinggi atau rendah, kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi, fagositosis, dan lain-lain. Cpn 60 bakteri merupakan imunogen kuat dan modulator sistem imunitas, salah satu alasan adalah karena kemampuan protein ini untuk mengaktivasi sistem imun dapatan dan alami karena kemampuannya untuk beraksi seperti sinyal intersel. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kloning gen chaperonin 60.1 M. tuberculosis yang dapat dilanjutkan untuk membuat vaksin tuberkulosis baru dengan memproduksi protein tersebut pada skala besar kemudian dipurifikasi dan diuji sifat proteksi serta sifat 3 imunogeniknya terhadap infeksi M. tuberculosis pada hewan percobaan untuk melihat kelayakannya sebagai kandidat vaksin. Antigen ini juga dapat dikembangkan sebagai komponen imunodiagnostik yang lebih akurat untuk membedakan infeksi M. tuberculosis dengan vaksinasi menggunakan M. bovis galur BCG (Mattow, 2003). BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Mycobacterium tuberculosis M. tuberculosis adalah bakteri yang menyebabkan tuberkulosis pada manusia, pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada 24 Maret 1882. 1.1.1 Karakteristik M. tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang, bersifat tidak bergerak, dengan panjang 24 μm dan lebar 0,2-0,5 μm. M. tuberculosis bersifat aerob obligat. Oleh karena itu pada kasus tuberkulosis, M. tuberculosis selalu ditemukan pada lobus bagian atas paru-paru. Selain itu, bakteri ini bersifat parasit intraselular fakultatif, terutama pada makrofag dan memiliki waktu regenerasi yang lambat, 15-20 jam. Berdasarkan pewarnaan Gram, M. tuberculosis sulit diklasifikasikan ke dalam Gram positif atau Gram negatif, hal tersebut disebabkan karena M. tuberculosis tidak memberikan karakteristik kimia dari keduanya. Jika pewarnaan Gram dilakukan, akan dihasilkan warna merah yang sangat lemah dan tidak merata atau sama sekali tidak memberikan warna. Pewarnaan harus dilakukan dengan metoda Ziehl-Neilsen, M. tuberculosis akan terlihat berbentuk batang berwarna merah (Todar, 2005). Struktur dinding sel M. tuberculosis bersifat unik dan berbeda diantara prokariot lainnya dan merupakan faktor penentu virulensinya. Dinding selnya memiliki peptidoglikan tapi lebih dari 60% komponen dinding selnya adalah lipid. Fraksi lipid dinding sel M. tuberculosis terdiri dari 3 komponen yaitu asam mikolat, cord factor dan wax-D. Asam mikolat merupakan molekul hidrofob kuat yang membentuk lapisan lipid mengelilingi organisme dan berperan dalam permeabilitas permukaan sel. Asam ini juga berfungsi mempertahankan mikobakterium dari serangan protein kation, lisozim, dan radikal oksigen dalam granul fagosit serta melindungi mikobakterium ekstrasel dari dekomposisi oleh komplemen dalam serum. Cord factor ini bersifat toksik terhadap sel mamalia dan merupakan inhibitor migrasi leukosit polimorfonuklear (Polymorphonuclear Leukocyte, PMNL). Cord factor umumnya dihasilkan oleh galur M. tuberculosis yang virulen. Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel ini menyebabkan M. tuberculosis bersifat 4 5 impermeabel terhadap pewarnaan, resisten terhadap kebanyakan antibiotik, tidak bisa dibunuh menggunakan senyawa asam atau basa, resisten terhadap lisis osmotik , oksidasi dan dapat bertahan dari makrofag (Todar, 2005). 1.1.2 Faktor dan Mekanisme Virulensi Pada tahun 1998, penentuan urutan genom lengkap Mycobacterium tuberculosis (galur H37Rv) telah selesai dilakukan. Baru-baru ini sebagian besar gen pada genom tersebut telah diketahui fungsinya. Dari hasil penemuan tersebut diketahui bahwa M. tuberculosis tidak memiliki faktor virulensi seperti bakteri pada umumnya yaitu toksin, kapsul atau fimbria. Sebagian dari struktur dan sistem fisiologis M. tuberculosis telah diketahui berkontribusi terhadap virulensi. Faktor virulensi tersebut diantaranya adalah M. tuberculosis tumbuh secara intrasel dalam sel fagosit terutama makrofag, di dalam makrofag setelah difagositosis M. tuberculosis dapat menghambat proses fusi fagosom-lisosom sehingga tidak dapat dicerna. Faktor virulensi lainnya adalah M. tuberculosis dapat menginterferesi efek toksik dari zat antara oksigen reaktif yang dihasilkan dari proses fagositosis, M. tuberculosis juga memiliki komplek antigen 85 yang berperan dalam melindungi bakteri dari sistem imun dan memfasilitasi terbentuknya tuberkuli. Selain itu, M. tuberculosis memiliki waktu regenerasi yang lambat sehingga sistem imun tidak dapat mengenali bakteri atau mengeliminasinya (Todar, 2005). 1.2 Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Pada umumnya M. tuberculosis menyerang paru-paru (TB paru) tapi dapat juga menyerang jaringan di luar paru-paru (ekstraparu) yaitu sistem saraf pusat, sistem limfatik, sistem genitourinari, tulang sendi dan peritoneum. Ketika seseorang terinfeksi TB, dapat berkembang menjadi TB aktif. Perkembangan infeksi M. tuberculosis menjadi tuberkulosis aktif dalam inang dapat dibagi dalam 5 tahap. Tahap pertama, droplet nuclei terhirup oleh manusia dimana satu droplet nuclei mengandung tidak lebih dari 3 basil bakteri. Droplet nuclei dapat dihasilkan selama 6 berbicara, batuk dan bersin. Satu kali batuk, berbicara selama 5 menit dan menyanyi selama 1 menit dapat menyebarkan 3000 droplet nuclei, sedangkan bersin dapat menyebarkan droplet nuclei sejauh 3 meter (Todar, 2005) Tahap kedua dimulai 7-21 hari setelah terinfeksi, M. tuberculosis memperbanyak diri dalam makrofag yang tidak aktif, sampai makrofag tersebut pecah. Kemudian makrofag lain yang aktif mulai muncul dari sistem darah tepi dan memfagositosis M. tuberculosis, tetapi akhirnya makrofag ini juga kembali tidak aktif sehingga tidak dapat memusnahkan M. tuberculosis (Todar, 2005) Pada tahap ketiga terbentuk respon imun selular. Limfosit khususnya sel T, mengenali antigen dengan bantuan molekul Major Histocompability Complex (MHC) selanjutnya akan terjadi aktivasi sel T dan pembebasan sitokin yaitu interferon gamma (IFN γ). Pembebasan IFN γ akan mengaktifasi makrofag dan makrofag yang teraktivasi inilah yang mampu memusnahkan M. tuberculosis. Pada tahap ketiga ini juga terbentuk tuberkuli dan M. tuberculosis tidak dapat memperbanyak diri dalam keadaan tuberkuli, karena pH sangat rendah dan jumlah oksigen terbatas. M. tuberculosis dapat tahan dalam keadaan tuberkuli selama periode waktu tertentu (Todar, 2005). Pada tahap keempat terjadi pertumbuhan tuberkuli. Walaupun banyak terdapat makrofag aktif disekitar tuberkuli, juga banyak terdapat makrofag yang tidak atau kurang aktif. M. tuberculosis menggunakan makrofag tidak atau kurang aktif ini untuk bereplikasi sehingga tuberkuli dapat tumbuh dan menyerang bronkhus menyebabkan infeksi M. tuberculosis dapat menyebar ke bagian lain paru-paru. Tuberkuli juga dapat menyerang arteri atau pembuluh darah lainnya dan menyebabkan tuberkulosis ekstraparu (Todar, 2005). Pada tahap kelima, caseous centers tuberkuli mencair dengan alasan yang tidak diketahui. Cairan ini sangat mendukung pertumbuhan M. tuberculosis dan M. tuberculosis mulai memperbanyak diri secara ekstrasel dengan cepat. Jumlah M. tuberculosis yang banyak akan menyebabkan lapisan jaringan terdekat dengan bronkhi mengalami nekrosis dan rusak, menimbulkan rongga dan menyebabkan M. tuberculosis dapat menyebar ke udara dan bagian lain paru-paru (Todar, 2005). 7 1.3 Perkembangan Vaksin Tuberkulosis Vaksin BCG ditemukan oleh Calmette dan Guerin pada tahun 1908, mereka mengisolasi Mycobacterium bovis dari sapi yang mengidap tuberkulosis. M. bovis ini diremajakan setiap tiga minggu dalam media kentang, sapi atau empedu yang mengandung gliserin. Setelah 13 tahun dan 230 kali proses subkultur, galur ini menunjukkan virulensi yang menurun (Orme, 2001). Galur bakteri yang berubah tersebut kemudian dinamakan BCG dan diberikan kepada manusia pertama kali pada tahun 1921. Vaksin BCG yang digunakan di Indonesia merupakan vaksin bentuk beku kering yang mengandung M. bovis hidup yang sudah dilemahkan dan merupakan galur Paris No. 1173-P2. * ) Penelitian oleh Behr yang membandingkan genetik antara tiga belas galur M. bovis BCG dan delapan galur M. bovis virulen yang berbeda terhadap M. tuberculosis menunjukkan keberadaan 16 daerah terdelesi pada M. bovis BCG. Daerah terdelesi pada M. bovis BCG menyebabkan proteksi dari vaksinasi BCG bervariasi. Sembilan daerah terdelesi dari semua galur BCG, satu daerah hilang pada semua galur BCG, empat hilang hanya pada beberapa galur BCG, dua hilang dari galur BCG dan beberapa M. bovis virulen (Behr, 1999). Saat ini penelitian untuk mencari antigen dan epitop M. tuberculosis sebagai kandidat vaksin dan kit diagnostik yang spesifik terhadap TB telah mencapai identifikasi dan karakterisasi banyak antigen M. tuberculosis termasuk heat shock protein (hsp) dan antigen yang diekspresikan awal pada filtrat kultur (culture filtrate, CF) dari M. tuberculosis. Beberapa antigen menunjukkan hasil menjanjikan sebagai kandidat vaksin baru, diantaranya hsp 60, Ag85, ESAT-6 dan sebagai reagen imunodiagnostik spesifik antara lain ESAT-6 dan CFP-10. Selain itu penelitian pada tikus dengan TB, vaksinasi dengan DNA pengkode hsp60 menunjukkan efek imunoterapeutik dan membantu dalam eradikasi M. tuberculosis yang persisten ( Abu Salim.M, 2002). Dalam pengembangan vaksin tuberkulosis beberapa pendekatan berbeda dilakukan, yaitu berdasarkan identifikasi dan evaluasi antigen sub unit dari tuberkuli basilus dan pendekatan lain berdasarkan pengembangan galur BCG mutan atau auksotrof atau mikobakteria lain *) http://www.biofarma.co.id/ind/product.html, 9 Juni 2007 8 dengan tujuan untuk membentuk infeksi dalam tubuh inang yang cepat dan dibatasi tapi masih dapat menginduksi respon imun protektif. Pendekatan lain dilakukan dengan cara penggunaan DNA sebagai vaksin, gen pengkode antigen spesifik mikobakteria di sisipkan ke dalam plasmid yang selanjutnya diberikan ke dalam sel otot tubuh inang. Setelah itu oleh inang akan ditranslasikan menjadi protein yang dapat menginduksi antibodi dan respon sel T. Beberapa produk vaksin baru sekarang sedang memasuki fase 1 uji klinis pada manusia, dapat dilihat di tabel 1.1. Terdapat vaksin M. bovis galur BCG rekombinan yang mengekspresikan dan menghasilkan antigen 30 kilo Dalton (rBCG30). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa hewan yang telah diimunisasi rBCG30 kemudian ditantang dengan M. tuberculosis yang virulen memiliki perlindungan yang lebih lama terhadap infeksi dibandingkan hewan yang diimunisasi M. bovis galur BCG (Horwitz dkk., 2003). Tabel 1.1 Vaksin Baru Untuk Tuberkulosis : Status Penelitian dan Pengembangannya, IVR, WHO, Februari 2006 Tipe Vaksin Tahap Perkembangan BCG yang dimodifikasi BCG30 (Ag85B) BCG::RD1 BCG:Δure C-Hly M. tuberculosis Pho P mutant hidup yang dilemahkan Fase I Praklinis Memasuki Fase I Praklinis Galur mc2 6020 / 6030 hidup yang dilemahkan Memasuki Fase I Vaksin hidup rekombinan MVA-Ag85A Fase I selesai Vaksin hidup rekombinan Ad-Ag85A Praklinis Vaksin protein sub unit Mtb32 / Mtb39 Fase I Vaksin protein sub unit ESAT-6 / Ag85B Persiapan menuju Fase I Vaksin protein sub unit Mtb72F in AS02A Fase I Vaksin dengan multi-epitop, asam mikolat Praklinis 9 1.4 Chaperonin 60 Chaperonin 60 (Cpn 60), juga dikenal dengan heat shock protein 60 (Hsp60), adalah salah satu protein pengantar yang berada pada setiap organisme. Cpn 60 dihasilkan berlebih ketika berada dalam kondisi tidak lazim seperti suhu terlalu tinggi atau rendah, kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi dan fagositosis. Ketika memasuki inang, mikroorganisme patogen dihadapkan dengan beberapa perubahan tidak lazim, diantaranya perubahan suhu, pH dan pO2. Selain itu, patogen juga harus menghadapi berbagai mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis. Setelah difagositosis oleh makrofag, M.tuberculosis akan terpapar oksigen dan nitrogen reaktif, enzim lisosom, dan penurunan jumlah Fe 2+. Untuk melindungi dirinya dari system pertahanan inang, patogen mengaktifkan berbagai mekanisme pertahanan salah satunya adalah dengan sintesis hsp. (Zugel,1999). Chaperonin 60 dapat ditemukan pada permukaan sel prokariot dan eukariot bahkan dapat dibebaskan keluar sel. Chaperonin yang disekresikan dapat berinteraksi dengan berbagai tipe sel termasuk leukosit, sel endotel pembuluh darah dan berfungsi sebagai kunci aktivasi kegiatan sel seperti sintesis sitokin (Ranford , 2000). Cpn 60 dapat mengaktivasi monosit, makrofag dan sel endotel pembuluh darah. Protein ini dapat menstimulasi monosit pada manusia untuk mensekresikan sitokin proinflamasi. Chaperonin 60 ini dapat meningkat kadarnya 1 – 10% atau lebih pada kondisi tidak lazim seperti pada kondisi selama infeksi. Diduga bahwa chaperonin 60 berperan penting dalam virulensi bakteri (Tormay, 2005). M. tuberculosis mengekspresi 2 jenis chaperonin 60 kDa yaitu chaperonin 60.1 dan chaperonin 60.2 (Kong, 1993). Chaperonin 60.1 memiliki kemampuan 100 kali lebih efektif dalam menstimulasi sel monosit manusia untuk mensekresi sitokin (Lewthwaite, 2001). Cpn 60 telah terbukti sebagai target imunodominan dalam respon imun humoral dan sel T pada mencit dan manusia. Antibodi spesifik hsp 60 dideteksi pada pasien dengan tuberculosis dan lepra, juga pada mencit yang diinfeksi oleh M. tuberculosis. Selain itu, sel T CD4+ yang spesifik terhadap hsp 60 mikobakterial ditemukan pada pasien dengan lepra atau orang yang telah di vaksinasi dengan M. bovis galur BCG. Sekitar 20% dari seluruh mencit yang diimunisasi dengan M. tuberculosis mati memiliki sel T CD4+ reaktif terhadap mikobakterium yang spesifik terhadap hsp 60. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peran perlindungan sel T spesifik hsp 60 terhadap infeksi mikobakterial. 10 Pada umumnya organisme prokariot hanya mengkode satu protein chaperonin 60. Akan tetapi M. tuberculosis adalah salah satu dari beberapa organisme prokariot yang mengkode dua jenis protein chaperonin 60 yaitu chaperonin 60.1 (Cpn 60.1) dan chaperonin 60.2 (Cpn 60.2) (Kong, 1993). Kedua jenis chaperonin 60 M. tuberculosis ini memiliki 70% kesamaan dalam urutan asam amino, bersifat sangat antigenik dan dapat menginduksi sitokin. Hasil analisis kedua jenis protein rekombinan ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan menginduksi sel monosit manusia untuk mensintesis sitokin proinflamatori seperti Interleukin-1-Beta (IL-1β), IL-6, IL-8, IL-12, Tumor Necrosis Factor Alpha (TNFα), dan sitokin antiinflamatori yaitu IL-10. Hasil penelitian Lewthwaite menyatakan bahwa chaperonin 60.1 bersifat 10-100 kali lebih kuat dan efektif dibandingkan chaperonin 60.2 dalam menginduksi sintesis sitokin dari sel monosit manusia. Protein chaperonin 60.2 tidak dipengaruhi aktivitasnya dengan keberadaan antibodi CD14 dalam mengaktivasi sel mononuklear darah tepi manusia, sementara aktivitas biologi chaperonin 60.1 sebagian dihambat dengan keberadaan antibodi CD14. Alasan perbedaan aktivitas biologi diduga karena perbedaan antara urutan asam amino ke 195-219 antara chaperonin 60.1 dan chaperonin 60.2 dimana urutan asam amino ke 195-219 pada chaperonin 60.1 bersifat aktif sedangkan chaperonin 60.2 tidak aktif untuk menginduksi sitokin. Analisis struktur kristal urutan asam amino ke 195-219 membentuk struktur α helix yang memanjang ke arah ujung karboksi. Pada chaperonin 60.2 terdapat prolin yang memotong ikatan hidrogen pada struktur yang menyebabkan asam amino pada urutan ke 195-219 bersifat tidak aktif dalam menginduksi sitokin (Lewthwaite, 2001).