BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HAM DAN HUKUM PIDANA Hak Asasi manusia (HAM) dan Hukum Pidana mempunyai keterkaitan yang erat , HAM membutuhkan hukum pidana untuk mengkriminalisasikan pelanggaran HAM itu, sedangkan hukum pidana dalam pelaksaannya harus berpedoman pada prinsip – prinsip HAM agar tidak terjadi kesewenang – wenangan para penegak keadilan dalam menjalankan kewajibannya. Bila HAM dikaitkan dengan hak tersangka atau terdakwa , penelitian ini akan membahas mengenai hak tersangka atau terdakwa di dalam hukum nasional kita (baca : KUHAP) bila di tinjau dari standar hukum internasional mengenai hak tersangka atau terdakwa. Di dalam BAB II penelitian ini akan dikemukakan konsep – konsep yang diharapkan bisa menjadi alat analisis untuk memperoleh jawaban atas rumusan masalah dari penelitian yang penulis lakukan, sebagai titik pijak penulis menduga bahwa perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa yang di atur di dalam hukum nasional (baca : KUHAP) belum sepenuhnya memenuhi standar perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa dalam hukum internasional yang dimuat dalam kompendium PBB. Oleh sebab itu penulis akan meneliti dan mengkaji lebih dalam lagi mengenai standar perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa yang diatur di dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Uraian dari Bab II ini dimulai dari konsep yang mendasar yaitu konsep HAM yang menyangkut pengertian , prinsip – prinsip HAM serta pengaturan – pengaturan HAM yang berasal dari sumber hukum nasional maupun sumber hukum internasional , kemudian melihat konsep – konsep yang tidak kalah pentingnya dalam meneliti hak tersangka atau terdakwa yaitu Hukum Pidana , mulai dari pengertian hukum pidana formil, asas – asas hukum pidana, prinsip – prinsip HAM yang terkait dengan Hukum Acara Pidana dalam peradilan, hingga keterkaitan atau hubungan antara HAM dengan hukum pidana serta HAM sebagai pembatas penegakan hukum pidana dan seperti apa perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa , berikut mengenai konsep legislasi perlindungan hak tersangka atau terdakwa dan yang terakhir yaitu pembahasan tentang kompendium PBB yang meliputi pengertian dari kompendium, munculnya kompendium kompendium tersebut. , isi dan kekuatan mengikatnya 1. HAM a. Pengertian HAM Dilihat dari sejarah peristilahan hak asasi manusia, pertama kali dikenal adalah istilah Natural Right. Karena istilah ini kurang membudaya dalam masyarakat internasional, maka dipakai istilah Right of Man sebagai penggantinya. Namun istilah yang kedua ini juga kurang populer. Alasannya adalah dengan istilah tersebut, maka hak-hak kaum perempuan tidak ter-cover. Dan sebagai padanan istilah yang dapat meng-cover hak-hak kaum laki-laki dan perempuan maka digunakanlah istilah Human Right. Kesadaran hak asasi manusia didasarkan pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai derajat dan martabat yang sama. Hak asasi dalam pengertian umum adalah hak – hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir oleh karena itu hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, berikut adalah beberapa pengertian HAM : a. Black’s Law Dictionary “human right = the freedoms, immunities, and benefits that, according to moderen values (esp. At an international level) , all human beings should be able to claim as a matter of right in the society in which they live. 1 b. Mahfud MD Menurut Mahfud MD , Hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan , dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara. 2 c. Bagir Manan Bagir Manan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan HAM adalah :3 1. Hak – hak asasi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial Hak yang bersifat klasik terdapat dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 4 Sementara hak yang bersifat sosial dirumuskan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 31 ayat (1), dan pasal 24 UUD 1945. 5 1 Bryan A. Black’s Law Dictionary Ninth Edition – Garder Edition in Chief, WEST, United States of America, 2009 2 Prof . Moeljatno, SH , Asas – asas Hukum Pidana , hlm 2 3 Bagir Manan, Demokrasi Pancasila, makalah, disampaikan pada Lokakarya Pengajar Pancasila di Bandung , Juli 1998, hlm 35 4 HAM klasik , seperti hak untuk hidup dengan pengertian larangan bagi negara untuk melakukan tindakan yang melanggar hak – hak tersebut. 5 HAM sosial memiliki pengertian kewajiban bagi negara untuk aktif . 2. Hak asasi yang berlaku khusus pada warga negara atau hak asasi yang timbul karena hukum Hal ini dapat kita baca pada pasal 27 ayat (2), pasal 30 ayat (1), dan pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan” . Didalam pasal 55 piagam PBB (charter of the United nations) menjelaskan bahwa adanya piagam ini adalah untuk memajukan penghormatan hak asasi manusia dari seluruh manusia di dunia termasuk kebebasan – kebebasan dasar bagi semua , tanpa adanya pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. b. Prinsip – prinsip HAM Prnsip – prinsip HAM meliputi : 6 - Bersifat universal dan tidak dapat dicabut Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di dunia memikinya. Hak-hak tersebut tidak bisa diserahkan secara sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan pernyataan yang tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia : “Setiap umat manusa dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.” - Tidak bisa dibagi Semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat, dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis. - Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. - Sederajat dan tanpa diskriminasi Setiap umat manusia berhak sepenuhnya atas hak-haknya tanpa ada pembedaan dengan alasan apapun, seperti yang didasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar 6 http://www.komnasham.go.id/pendidikan-dan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasimanusia . di unduh pada tgl 19/07/2012 . pukul 14.00 wib belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya - Turut berpatisipasi dan berperan aktif Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, baik kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan kebebasan dasar. - Ada pertanggungjawaban dan penegakan hukum Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumeninstrumen hak asasi manusia. 2. Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana Formil Yang dimaksud hukum pidana formil adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana alat-alat perlengkapan negara melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana. Berikut beberapa definisi hukum pidana formil menurut 7 : 1. P.A.F. Lamintang Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. 2. Sudarto Tindak Pidana Formil adalah merupakan tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana tersebut (tanpa Melihat akibatnya) b. Prinsip – prinsip hukum HAM universal yang terkait dengan Hukum Acara Berdasarkan prinsip – prinsip HAM yang universal berikut adalah prinsip – prinsip yang terkait dengan hukum acara yang merupakan hak – hak dasar yang harus dihormati , yaitu : 8 1. Non Diskriminasi Pengadilan mengadili harus menurut hukum dengan tidak membedakan orang (diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) 7 http://muhammadnurulhuda15.blogspot.com/2011/07/tindak-pidana-materiil-dan-tindak.html . diunduh pada tgl 22/10/2012 . pukul 22.47 wib 8 Prof. Dr . H . Muladi, SH . Hak Asasi Manusia Hakekat , Konsep dan Implikasi dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat . 2009 . hlm . 104 - 109 2. Prinsip yang memberikan Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan atau tindakan pemidanaan yang kejam , tidak manusiawi atau merendahkan yang lain 3. Prinsip yang memberikan Hak atas kebebasan dan Hak – hak terpidana 4. Prinsip mengenai Fair Trial 5. Prinsip mengenai peraturan tentang Juvenile Justice yaitu pengaturan tentang batas minimum pertanggung jawaban pidana. 3. Hubungan antara HAM dengan Hukum Pidana a. Hukum Pidana sebagai reaksi terhadap pelanggaran HAM Indonesia yaang merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila harus mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 9 - Pengakuan dan perlindungan hak asaasi yang mengandung persamaan dalam bidng politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural, dan pendidikan. - Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh suatu kekuasaan/kekuatan apapun; 9 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hlm 74-75 - Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan, yang dimaksud kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakan. Penegakan hukum pidana yang dilakukan para penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk mengadili tersangka atau terdakwa harus berpedoman pada HAM agar hak – hak tersangka atau terdakwa tidak dilanggar oleh sebab itu perlu mengacu pada prinsip – prinsip dalam peradilan yang meliputi : 1. Prinsip Legalitas Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana , kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang – undangan pidana yang telah ada” hal ini tercermin pula pada “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau “nullum crimen sine lege” Prinsip ini juga terkandung di dalam berbagai intrumen HAM yaitu : - DUHAM Pasal 11 ayat (2): “Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan...” nasional atau - ICCPR Pasal 15 ayat (1): “Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional...” dan Indonesia sudah meratifikasi ICCPR sehingga terikat pada ketentuan ini. 2. Prinsip Non Retroaktif Prinsip ini biasanya dikaitkan dengan asas yang ada di dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang – undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan) 3. Prinsip Presumption of Innocence Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Prinsip Ne bis in Idem Prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum karena seseorang tidak boleh diadili kedua kalinya untuk dakwaan yang sama. Prinsip ini diatur didalam pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHP. 5. Prinsip in Dubio pro Reo Menurut “Kamus Hukum” yang ditulis oleh Simorangkir et.al. (hlm. 73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”. 10 Oleh karena itu bila dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan. 6. Prinsip Daluwarsa Yang dimaksud daluarsa adalah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut. 10 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4142/penerapan-asas-in-dubio-pro-reo. diunduh pada tgl 21/07/2012 . pukul 20.58 wib 7. Prinsip Fair Trial Fair Trial atau Prinsip Keadilan dinyatakan dalam sebuah prinsip dasar yang berlaku secara universal berikut ini : "Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang; setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas proses peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya." 11 Implementasi asas hukum pidana nasional dalam kriminalisasi sebagaimana dikenal hukum pidana jangan untuk pembalasan semata – mata maka bila memperhatikan pancasila yang pada dasarnya tidak lepas dari hak – hak asasi manusia dengan pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber hukum pidana positif, melakukan kriminalisasi terhadap contempt of court (menghina pengadilan) untuk melindungi kebebasan peradilan, melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan genosida, melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan – perbuatan sebagaimana tercantum di dalam UN declaration against torture (deklarasi PBB menentang penyiksaan) , menyempurnakan perumusan tentang kejahatan perkosaan dalam kaitannya dengan perlindungan hak – hak asasi wanita dan anak. 11 http://www.tanyahukum.com/pidana/167/fair-trial/ . diunduh pada tgl 21/07/2012 . pukul 21. 08 wib Yang dimaksud pelanggaran HAM bila mengacu kepada UU nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 26 tahun 2000 (Pengadilan HAM), maka dikenal dua bentuk pelanggaran HAM, yaitu palanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pengertian Pelanggaran HAM terdapat dalam Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM Berat terdapat dalam penjelasan UU No. 39 tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat 1. Pasal 1 butir 6 menyatakan : Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan Di dalam penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 mengenai pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan dalam Pasal 104 ayat 1 menyatakan : Pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis Hal ini membuktikan bahwa hukum pidana dapat dijadikan sarana untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM baik itu pelanggaran HAM biasa maupun pelanggaran HAM berat yang telah diatur di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. b. HAM sebagai pembatas penegakan Hukum Pidana Pernyataan Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Human Right) ditegaskan dalam Pasal 11 UDHR yang berbunyi “setiap orang yang dituntut karena disangka pelanggaran pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu pengadilan terbuka, dan di dalam sidang itu diberi segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya.” Dari pencantuman dan ratifikasi beberapa ketentuan/ instrumen hukum internasional (ICCPR, ICESCR, UDHR) berarti negara Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) dan menganut sistem dualisme dalam pengakuan ketentuan hukum internasional. Mutlak menjadikan sistem negara hukum yang mengakui persamaan dan Hak Asasi Manusia (ciri negara hukum formil). Ketentuan/ regulasi Hak Asasi Manusia dapat ditemukan baik dalam UUD 1945 (Pasal 28), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai prosedur penegakan hukum yang bertujuan mempertahankan hukum materil (hukum pidana), dalam pertimbangan filsufisnya menegaskan “bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ini mengindikasikan bahwa tujuan atau esensi dari hukum acara pidana yang bersinggungan dengan penegakan hak asasi terhadap pelaku tindak pidana terdapat dalam KUHAP. Perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa dalam due process of law harus memperhatikan kepentingan dan hak asasi setiap orang, yang menjadi bahagian dari due process of law. Pejabat yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum harus sesuai dengan tugas dan kewenangannya dengan yang ditegaskan dalam UndangUndang (baca: KUHAP). Hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP ditegaskan mulai dari Pasal 50 s/d Pasal 74. Pengakuan atau perlindungan hak asasi tersangka di sini adalah kelanjutan dari Pasal 11 UDHR, Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 18 butir 1 s/d 5 Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Oleh sebab itu HAM membutuhkan hukum pidana untuk dapat merespon dan memberikan hukuman bagi pelanggaran HAM dan kejahatan internasional . Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat (1) “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM. 4. Perlindungan terhadap Tersangka atau Terdakwa Menurut O.C Kaligis, konsep perlindungan dalam hukum adalah pengakuan serta penerapan asas persamaan kedudukan dan perlakuan dalam hukum (equality before the law). Asas ini merupakan dasar dari perlindungan hukum yaitu menyangkut bagaimana seseorang diperlakukan oleh hukum. Prinsip-prinsip perlindungan ini erat kaitannya dengan kewajiban negara dalam hukum. Selain menerapkan dan menegakan hukum, negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi setiap hak yang melekat dengan hukum. Kewajiban ini berbentuk penyelenggaraan peradilan pidana yang bertujuan menghukum pelaku tindak pidana sebagai upaya preventif pencegahan pelanggaran hak-hak tersebut. Di lain sisi, wujud perlindungan ini berupa perlindungan hak-hak seorang (yang diduga) pelaku tindak pidana agar dalam penyelenggaraan peradilan pidana tidak terjadi pelanggaran hak-hak berikutnya. Secara normatif sebenarnya KUHAP telah mengakomodasi hak – hak tersangka atau terdakwa namun dalam prakteknya seringnya dilanggar hak – hak tersangka atau terdakwa , masalahnya terletak pada penegakan hak – hak tersangka yang dimaksudkan masalah penegakan hak – hak tersangka atau terdakwa , berkaitan dengan : 12 a. Ketidaktahuan tersangka atau terdakwa akan hak – haknya yang dilindungi oleh hukum dan undang- undang b. Pejabat penegak hukum tidak memberitahukan informasi mengenai hak – hak yang dimiliki tersangka atau terdakwa c. Tidak ada ketentuan yang tegas mengatur mengenai konsekuensi hukum apabila hak – hak tersangka atau terdakwa tidak diberitahukan d. Peran serta penasehat hukum dalam pemerksaan yang bersifat pasif 13 Hak-hak tersangka adalah hak konstitusional seorang baik yang didapat sejak mereka lahir (HAM) maupun hak-hak yang yang diberikan undang-undang. Hak-hak yang diberikan undang-undang ini 12 Al Wisnubroto , G . Widiartana , Pembaharuan Hukum Acara Pidana , hlm 51 - 52 Pasal 115 ayat (1) KUHAP mengatur “Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka , penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan” 13 terkait dengan statusnya sebagai tersangka. Hak-hak itu diatur dalam KUHAP baik secara eksplisit maupun imflisit dalam rumusan pasalpasalnya yang antara lain; (a) Hak untuk mengetahui dasar alasan penerapan Upaya Paksa; (b) Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi; (c) Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan; (d) Hak untuk diam, dalam pengertian tidak mengeluarkan peryataan atau pengakuan; (d) Hak untuk mengajukan saksi a-de charge mulai dari proses penyidikan; (e) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, dan seterusnya lebih rinci akan dibahas di dalam Bab III. B. KONSEP LEGISLASI PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA / TERDAKWA Sejarah keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakikatnya sudah berlangsung sejak lama yaitu sepanjang sejarah keberadaan manusia itu sendiri. Pemikiran ini didasarkan bahwa hakhak asasi yang kekal dan secara kodrati inherent atau melekat pada diri manusia adalah hak-hak asasi yang diberikan oleh tuhan yang menciptakan manusia sebagai anugerah-Nya, oleh karena itu harus dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi dan tidak boleh dikurangi, dirampas, atau dilanggar kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun. umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM dalam sebuah konsep yang tertulis dikenal sejak lahirnya Magna Charta 1215 di Inggris. Dengan lahirnya Magna Charta tersebut bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan absolut dan selalu bertindak sewenang-wenang, harus dibatasi menjadi kekuasaan yang bersifat relatif agar dapat membatasi kesewenang-wenangannya. Sehingga dengan konsep ini para raja mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih baik (konkrit) yaitu dengan lahirnya “Habeas Corpus Act” (1679) serta lahirnya “Bill of Right” (1689) pada masa ini mulai nampak adagium yang intinya bahwa semua manusia sama di muka hukum (all man equal before the law). Dari adagium ini tidak hanya melahirkan hak-hak yang fundamental, tapi mendorong juga lahirnya negara hukum dan demokrasi. Bill of right yang melahirkan asas persamaan pada prinsipnya akan melahirkan pula hak kebebasan jika asas persamaan tersebut telah dapat diwujudkan, sebab hak kebebasan baru ada atau dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Berikutnya di Perancis lahir apa yang dikenal The Franch Declaration (1789) dimana hak-hak lebih diperinci lagi dan melahirkan asas “the rule of law” antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang sah. Dinyatakan pula prinsip “presumption of innocence” artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan bersalah. Meskipun piagam PBB belum mengakui pentingnya sikap tidak boleh ikut mencampuri urusan domestik negara lain namun piagam ini juga menganggap bahwa HAM adalah masalah yang menjadi perhatian dan keperihatinan internasional. Oleh karena itu PBB terus memajukan dan mengembangkan pengkodifikasian HAM ke dalam sebuah Bill of Rights dan berusaha mengimplementasikan dan menguniversalisasikan HAM serta memanusiawikan Hukum Internasional. Tidak jauh dengan gagasan HAM di masa lalu, DUHAM-pun telah memberikan acuan yang universal mengenai hak warga negara yang dituduh melakukan pelanggaran. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB Tahun 1948 menjadi tolok ukur bagi pengaturan hukum dan Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh konstitusi negara-negara di dunia. Terkait perlindungan terhadap hakhak tersangka/terdakwa, pasal-pasal relevan yang diatur dalam DUHAM yaitu : hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5); hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi (Pasal 7); hak untuk tidak ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (Pasal 9); hak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajibankewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya (Pasal 10); hak untuk dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1); Hak untuk tidak boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran hukum itu dilakukan (Pasal 11 ayat 2); Hak untuk tidak diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya, juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu (Pasal 12). C. Kompendium PBB 1. Pengertian Kompendium Kompendium PBB dalam skripsi ini merujuk pada dokumen “UN Compendium Norms and Standards in Criminal Justice 2006” yang merupakan kumpulan pedoman, norma dan standar dalam penegakan hukum pidana, termasuk norma dan standar dalam penahanan dan pemenjaraan, yang mengatur tentang prisoner (termasuk untried prisoner / tahanan) dan Deklarasi menentang penyiksaan yang bisa dibahas bersama dengan Konvensi Antipenyiksaan, yang memuat Aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap tahanan Disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial, 31 Juli 1957 (resolusi 663 CI (XXIV)), atas rekomendasi dari Kongres Pertama serta Deklarasi Melawan Penyiksaan dan, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Diadopsi oleh Majelis Umum, 9 Desember 1975. 2. Latar belakang munculnya Kompendium Munculnya Kompendium di picu dari keinginan PBB untuk dapat memberikan pedoman atau standar dalam penegakan hukum pidana yang mengatur tentang aturan standar minimum perlakuan terhadap tahanan , tersangka atau terdakwa yang di dalamnya terdapat norma – norma dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang berisi prinsip-prinsip normatif yang diakui secara internasional dan standar dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang mencakup berbagai isu seperti peradilan anak, perlakuan terhadap pelanggar, kerjasama internasional, pemerintahan yang baik, perlindungan korban dan kekerasan terhadap perempuan . Sistem peradilan pidana berbeda dari satu negara ke negara lain dan tanggapan mereka terhadap perilaku antisosial tidak selalu homogen. Namun, selama bertahun - tahun standar dan norma PBB dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana telah memberikan visi kolektif bagaimana sistem peradilan pidana harus terstruktur. Meskipun bersifat "lunak-hukum", standar dan norma-norma telah membuat kontribusi yang signifikan untuk mempromosikan lebih efektif dan adil struktur peradilan pidana dalam tiga dimensi. Pertama, standar dan norma di dalam Kompendium dapat dimanfaatkan di tingkat nasional dengan meningkatkan mendalam penilaian yang mengarah pada adopsi yang diperlukan reformasi peradilan pidana. Kedua, Kompendium juga dapat membantu negaranegara untuk mengembangkan strategi subregional dan regional. Ketiga, secara global dan internasional, standar dan norma merupakan "praktek terbaik" yang dapat disesuaikan oleh Negara untuk memenuhi kebutuhan nasional. 14 Untuk itu Kompendium ini disusun sesuai dengan sistem pengelompokan dalam empat bagian: 1. Standar dan norma terkait terutama untuk orang-orang dalam tahanan, non-penahanan sanksi, peradilan anak dan keadilan restoratif; 2. Standar dan norma terkait terutama untuk pengaturan hukum, kelembagaan dan praktis bagi kerja sama internasional; 3. Standar dan norma terkait terutama untuk pencegahan kejahatan dan masalah korban, dan 4. Standar dan norma terkait terutama untuk pemerintahan yang baik, independensi peradilan dan integritas pegawai peradilan pidana. Sehingga diharapkan Kompendium ini akan memberikan kontribusi bagi kesadaran yang lebih luas dan penyebaran standar PBB dan norma-norma dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan akibatnya akan memperkuat penghormatan terhadap aturan hukum dan HAM dalam pemerintahan keadilan. 3. Isi Kompendium Kompendium ini terdiri dari 4 bagian yang mana masing – masing mengatur mengenai hal – hal berikut : 14 Di kutip dari introduction Kompendium PBB Bagian I mengatur mengenai Orang dalam tahanan, nonpenahanan sanksi, peradilan anak dan keadilan restoratif , yang di bagi menjadi 4 sub pokok pengaturan norma, yaitu : 1. Pengobatan tahanan a. Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap Narapidana b. Prosedur untuk pelaksanaan yang efektif dari Standard Minimum Aturan untuk Perlakuan terhadap Narapidana c. Tubuh Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang di bawah Setiap Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan d. Prinsip Dasar untuk Perlakuan terhadap Narapidana e. Kampala Deklarasi tentang Kondisi Penjara di Afrika f. Status warga negara asing dalam proses pidana g. Deklarasi Arusha Praktek Penjara yang baik 2. Peradilan anak a. Aturan Standar Minimum untuk Administrasi dari Peradilan Anak (Beijing Rules) b. Pedoman untuk Pencegahan Juvenile Kenakalan (Pedoman Riyadh) c. Aturan untuk Perlindungan Remaja Kehilangan Liberty mereka d. Pedoman Aksi Anak-anak dalam Sistem Peradilan Pidana 3. Alternatif penjara dan keadilan restoratif a. PBB Aturan Standar Minimum untuk Non-penahanan Tindakan (Peraturan Tokyo) b. Kadoma Deklarasi Layanan Masyarakat dan rekomendasi dari seminar berjudul "Peradilan pidana: tantangan penjara kepadatan penduduk ", diselenggarakan di San Jose 03-07 Februari 1997 c. Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan program keadilan restoratif di hal – hal pidana 4. Penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman a. Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Merendahkan Manusiawi atau Merendahkan Martabat b. Prinsip Etika Medis yang relevan dengan peran kesehatan personil, khususnya dokter, dalam perlindungan tahanan dan tahanan terhadap penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat c. Prinsip pada Investigasi Efektif dan Dokumentasi Penyiksaan dan Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau hukuman 5. Hukuman mati a. Hukuman mati b. Perlindungan menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati. c. Pelaksanaan perlindungan perlindungan menjamin dari hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati d. Prinsip Pencegahan Efektif dan Investigasi Ekstralegal, Sewenangwenang dan Ringkasan Eksekusi e. Perlindungan menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati f. Pertanyaan tentang hukuman mati Bagian II mengatur mengenai Hukum, kelembagaan dan praktis pengaturan kerjasama internasional Yang dibagi menjadi 2 sub pokok pengaturan norma , yaitu : 1. Model perjanjian a. Model Perjanjian tentang Ekstradisi. b. Model Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana c. Model Traktat tentang Pengalihan Prosiding dalam Masalah Pidana d. Model Perjanjian Pengalihan Tahanan Luar Negeri dan rekomendasi mengenai perlakuan terhadap tahanan asing e. Model Traktat tentang Pengalihan Pengawasan Pelanggar Persyaratan Dihukum atau Persyaratan Rilis f. Model perjanjian untuk pencegahan kejahatan yang melanggar hak warisan budaya masyarakat dalam bentuk harta bergerak g. Model Bilateral Perjanjian Pemulangan Dicuri atau Menggelapkan Kendaraan h. Model Bilateral Perjanjian tentang Berbagi Sitaan Hasil Kejahatan atau Properti 2. Deklarasi dan rencana aksi a. Pernyataan prinsip dan program aksi dari Amerika Bangsa pencegahan kejahatan dan program peradilan pidana b. Naples Politik Deklarasi dan Rencana Aksi Global melawan Terorganisir Transnasional Crime c. Wina Deklarasi tentang Kejahatan dan Peradilan: Rapat Tantangan Abad Dua puluh satu d. Rencana aksi untuk implementasi Deklarasi Wina pada Kejahatan dan Peradilan: Memenuhi Tantangan Kedua Puluh Satu Century e. Deklarasi Bangkok tentang Sinergi dan Tanggapan: Strategis f. Aliansi dalam Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana Bagian III mengatur mengenai Pencegahan kejahatan dan masalah korban , yang terdiri dari 3 sub pokok pengaturan norma , yaitu : 1. Pencegahan kejahatan a. Pedoman kerjasama dan bantuan teknis di lapangan pencegahan kejahatan perkotaan b. Deklarasi PBB tentang Kejahatan dan Keamanan Publik c. Senjata api regulasi untuk tujuan pencegahan kejahatan dan publik kesehatan dan keselamatan d. Pedoman untuk Pencegahan Kejahatan 2. Korban a. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan b. Implementasi Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan c. Rencana aksi untuk implementasi Deklarasi Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan kekuasaan d. Pedoman tentang Peradilan dalam Masalah melibatkan Korban Anak dan Saksi Kejahatan. 3. Kekerasan terhadap perempuan a. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan b. Model Strategi dan Langkah-langkah Praktis tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Bidang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana Bagian IV mengatur mengenai Tata pemerintahan yang baik, kemandirian peradilan dan integritas pegawai peradilan pidana, yang mengatur beberapa norma , yaitu : a. Kode etik untuk aparat penegak hukum b. Pedoman pelaksanaan efektif dari kode etik petugas penegak hukum c. Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh pejabat penegak hukum d. Prinsip-prinsip dasar tentang Independensi peradilan e. Prosedur pelaksanaan yang efektif dari Dasar prinsip tentang Independensi peradilan f. Prinsip-prinsip Dasar tentang Peran Pengacara g. Pedoman Peran Jaksa h. Internasional Kode Etik Pejabat Publik i. Deklarasi PBB melawan Korupsi dan Suap di Internasional Komersial Transaksi 4. Kekuatan mengikat kompendium Untuk mengetahui kekuatan mengikat Kompendium harus membahas sumber – sumber hukum internasional dikarenakan pada hakekatnya kompendium PBB bukan merupakan suatu perjanjian internasional melainkan kumpulan norma – norma mengenai standar penegakan hukum pidana dan perlindungan terhadap suatu praktek perlakuan terhadap tahanan, tersangka atau terdakwa secara internasional yang mengikat dan dipraktekan oleh negara – negara secara luas walaupun demikian kompendium PBB ini mengikat seluruh negara – negara dalam prakteknya untuk berpedoman kepada isi aturan atau standar penegakan hukum pidana , perlakuan dalam penegakan hukum pidana yang dimuat di dalam kompendium sesuai dengan latar belakang munculnya Kompendium tersebut. a. Sumber – sumber hukum internasional Sumber hukum dalam arti formal yakni berupa peraturan – peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif , dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Pada garis besarnya sumber hukum internasional terdiri dari : 15 15 J . G . Starke , Pengantar Hukum Internasional edisi kesembilan , hlm 31 1. Kebiasaan 2. Traktrat atau perjanjian internasional 3. Keputusan pengadilan atau badan – badan arbiterasi 4. Karya – karya hukum atau pendapat – pendapat para ahli hukum 5. Keputusan atau ketetapan organ – organ lembaga internasional Dalam pasal 38 paragraf 1 Statuta Mahkamah Internasional , mengadili perkara – perkara menggunakan hal – hal berikut : 16 - Traktat Internasional - Kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum - Asas – asas hukum umum yang diakui oleh bangsa – bangsa beradab - Keputusan – keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah – kaidah hukum. b. Kekuatan mengikat Sesuai dengan pendapat Michael Akheurst , hukum kebiasaan internasional dapat dilihat dan diamati serta di buktikan eksistensinya , misalnya dalam bentuk : 17 16 17 Ibid hlm 31-32 I Wayan Parhiana , SH , MH , Pengantar Hukum Internasional , hlm 245 - Prilaku atau tindakan pejabat – pejabat negara - Perjanjian – perjanjian internasional - Perundang – undangan nasional negara – negara - Keputusan – keputusan pengadilan internasional maupun nasional - Tulisan – tulisan atau karya – karya yuridis para sarjana Bila melihat dari sumber hukum internasional Kompendium bukanlah suatu perjanjian internasionl namun eksistensi Kompendium muncul dari adanya hukum kebiasaan internasional dan penerapan prinsip – prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat internasional yang pada akhinya isi Kompendium ini menjadi standar hukum atau norma – norma penegakan hukum pidana. Indonesia juga mengikuti aturan di dalam Kompendium berdasarkan pada hukum kebiasaan dan menerapkan prinsip – prinsip umum hukum internasional. Berkenaan dengan hukum kebiasaan , praktek Indonesia belum begitu menampakkan adanya kepastian , namun dalam beberapa hal indonesia menerima hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional indonesia di dalam bidang perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa yang menurut Kompendium tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sesuai dengan prinsip – prinsip dan kaidah – kaidah hukum kebiasaan internasional seperti misalnya berdasarkan prinsip equality before the law atau persamaan dimuka hukum yang dimana perlakuan tersebut sesuai dengan standar minimum perlakuan tersangka atau terdakwa menurut hukum internasional yang termuat di dalam Kompendium PBB. 1. Hukum kebiasaan Peraturan – peraturan ini pada umumnya telah mennjalani proses historis yang panjang yang berpuncak pada pengakuannya oleh masyarakat internasional. Istilah “kebiasaan” (costum) dan “adat istiadat” (usage) sering digunakan secara bergantian namun diantara keduanya terdapat suatu perbedaan teknis yang jelas, adat istiadat mendahului kebiasaan sedangkan kebiasaan mulai dimana adat istiadat berhenti. Kebiasaan , dalam hukum adalah adat istiadat yang memperoleh kekuatan hukum. 18 Dalam pasal 38 ayat (1) sub b Statuta Mahkamah Internasional , mengemukakan bahwa international costum as evidence of a general practice accepted as law artinya kebiasaan internasional dianggap sebagai praktek umum yang diterima sebagai hukum, namun hanya praktek – praktek yang diterima dan diakui oleh negara – negara atau masyarakat internasionalsebagai hukum dalam hubungan satu sama lainnya yang pada hakekat tertentunya telah memenuhi rasa keadilan dan rasa prikemanusiaan masyarakat internasional. Agar dapat 18 Ibid hlm 33 dikatakan hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum internasional harus memenuhi dua persyaratan atau unsur sebagai berikut : 19 1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum Maksudnya adalah perlu adanya suatu kebiasaan atau praktek dari suatu pola tindakan yang berlangsung lama atau dilakukan secara berulang kali yang merupakan rangkaian tindakan yang serupa terhadap hal yang sama. 2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum Adanya element yang merupakan persyaratan psikologis yang dikenal dengan istilah Opinio Juris Sive Neces Sitatis , agar suatu kebiasaan internasional itu dapat diterima sebagai hukum maka harus memenuhi persyaratan antara lain : 20 o Memenuhi ketentuan kaidah atau memenuhi suatu kaidah hukum o Harus ada keyakinan timbal balik bahwa kebiasaan internasional itu adalah akibat dari peraturan yang memaksa o Negara – negara sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional harus mengakui dan menerima kebiasaan internasional sebagai ketentuan yang mengikat dalam hubungan internasional. 19 20 Alma Manupati , dkk , Hukum Internasional, hlm 130 Ibid hlm 131 2. Prinsip – prinsip umum hukum internasional Sumber hukum internasional ketiga menurut pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah prinsip – prinsip atau asas – asas hukum umum moderen. Secara terminologi , penggunaan istilah umum dalam menggambarkan hubungan yang terbentuk dengan adanya hukum alam (hukum kodrat) yaitu asas- asas hukum yang berlaku untuk segala waktu di semua tempat serta bagi semua bangsa dan negara atau prinsip yang bersifat universal artinya hal tersebut berlaku juga bagi hukum internasional sebagai suatu sistem hukum . Asas – asas hukum umum mencangkup asas nullum delicum , asas nebis in idem, asas teritorilaitet dan asas kompetensi peradilan. Asas – asas hukum umum sebagai sumber hukum internasional primer yang berdiri sendiri di samping sumber hukum internasional primer lainnya, mempunyai kedudukan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Dengan adanya sumber hukum internasional mahkmah Internasional dapat menggunakan asas –asas hukum umum sebagai dasar sumber hukum formal dalam mengadili dan menyelesaikan secara sukarela perkara yang diajukan kepadanya walaupun perkara tersebut belum diatur atau tidak terdapat dalam sumber hukum formal lainnya (kebiasaan internasional dan perjanjian internasional).