Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HAM DAN HUKUM PIDANA
Hak Asasi manusia (HAM) dan Hukum Pidana mempunyai
keterkaitan yang erat , HAM membutuhkan hukum pidana untuk
mengkriminalisasikan pelanggaran HAM itu, sedangkan hukum
pidana dalam pelaksaannya harus berpedoman pada prinsip – prinsip
HAM agar tidak terjadi kesewenang – wenangan para penegak
keadilan dalam menjalankan kewajibannya. Bila HAM dikaitkan
dengan hak tersangka atau terdakwa , penelitian ini akan membahas
mengenai hak tersangka atau terdakwa di dalam hukum nasional
kita (baca : KUHAP) bila di tinjau dari standar hukum internasional
mengenai hak tersangka atau terdakwa.
Di dalam BAB II penelitian ini akan dikemukakan konsep –
konsep yang diharapkan bisa menjadi alat analisis untuk
memperoleh jawaban atas rumusan masalah dari penelitian yang
penulis lakukan, sebagai titik pijak penulis menduga bahwa
perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa yang di atur di
dalam hukum nasional (baca : KUHAP) belum sepenuhnya
memenuhi standar perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa
dalam hukum internasional yang dimuat dalam kompendium PBB.
Oleh sebab itu penulis akan meneliti dan mengkaji lebih dalam lagi
mengenai standar perlindungan hak – hak tersangka atau terdakwa
yang diatur di dalam hukum nasional maupun hukum internasional.
Uraian dari Bab II ini dimulai dari konsep yang mendasar
yaitu konsep HAM yang menyangkut pengertian , prinsip – prinsip
HAM serta pengaturan – pengaturan HAM yang berasal dari sumber
hukum nasional maupun sumber hukum internasional , kemudian
melihat konsep – konsep yang tidak kalah pentingnya dalam meneliti
hak tersangka atau terdakwa yaitu Hukum Pidana , mulai dari
pengertian hukum pidana formil, asas – asas hukum pidana, prinsip
– prinsip HAM yang terkait dengan Hukum Acara Pidana dalam
peradilan, hingga keterkaitan atau hubungan antara HAM dengan
hukum pidana serta HAM sebagai pembatas penegakan hukum
pidana dan seperti apa perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa , berikut mengenai konsep legislasi perlindungan hak
tersangka atau terdakwa dan yang terakhir yaitu pembahasan tentang
kompendium PBB yang meliputi pengertian dari kompendium,
munculnya
kompendium
kompendium tersebut.
,
isi
dan
kekuatan
mengikatnya
1. HAM
a. Pengertian HAM
Dilihat dari sejarah peristilahan hak asasi manusia, pertama kali
dikenal adalah istilah Natural Right. Karena istilah ini kurang
membudaya dalam masyarakat internasional, maka dipakai istilah
Right of Man sebagai penggantinya. Namun istilah yang kedua ini
juga kurang populer. Alasannya adalah dengan istilah tersebut, maka
hak-hak kaum perempuan tidak ter-cover. Dan sebagai padanan istilah
yang dapat meng-cover hak-hak kaum laki-laki dan perempuan maka
digunakanlah istilah Human Right. Kesadaran hak asasi manusia
didasarkan pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk
Tuhan mempunyai derajat dan martabat yang sama.
Hak asasi dalam pengertian umum adalah hak – hak dasar yang
dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa
sejak lahir oleh karena itu hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugrah Tuhan
Yang Maha Esa, berikut adalah beberapa pengertian HAM :
a. Black’s Law Dictionary
“human right = the freedoms, immunities, and benefits that, according
to moderen values (esp. At an international level) , all human beings
should be able to claim as a matter of right in the society in which
they live. 1
b. Mahfud MD
Menurut Mahfud MD , Hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak
yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan ,
dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga
hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian
manusia atau negara. 2
c. Bagir Manan
Bagir Manan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan HAM adalah
:3
1. Hak – hak asasi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial
Hak yang bersifat klasik terdapat dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28,
pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 4
Sementara hak yang bersifat sosial dirumuskan dalam pasal 27 ayat
(2), pasal 31 ayat (1), dan pasal 24 UUD 1945. 5
1
Bryan A. Black’s Law Dictionary Ninth Edition – Garder Edition in Chief, WEST, United States
of America, 2009
2
Prof . Moeljatno, SH , Asas – asas Hukum Pidana , hlm 2
3
Bagir Manan, Demokrasi Pancasila, makalah, disampaikan pada Lokakarya Pengajar Pancasila di
Bandung , Juli 1998, hlm 35
4
HAM klasik , seperti hak untuk hidup dengan pengertian larangan bagi negara untuk melakukan
tindakan yang melanggar hak – hak tersebut.
5
HAM sosial memiliki pengertian kewajiban bagi negara untuk aktif .
2. Hak asasi yang berlaku khusus pada warga negara atau hak asasi yang
timbul karena hukum
Hal ini dapat kita baca pada pasal 27 ayat (2), pasal 30 ayat (1), dan
pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan
dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang
fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “semua
manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak.
Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak
sesama manusia dalam semangat persaudaraan” . Didalam pasal
55 piagam PBB (charter of the United nations) menjelaskan bahwa
adanya piagam ini adalah untuk memajukan penghormatan hak asasi
manusia dari seluruh manusia di dunia termasuk kebebasan –
kebebasan dasar bagi semua , tanpa adanya pembedaan ras, jenis
kelamin, bahasa atau agama.
b. Prinsip – prinsip HAM
Prnsip – prinsip HAM meliputi : 6
-
Bersifat universal dan tidak dapat dicabut
Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di
dunia memikinya. Hak-hak tersebut tidak bisa diserahkan secara
sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan pernyataan yang
tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia :
“Setiap umat manusa dilahirkan merdeka dan sederajat dalam
harkat dan martabatnya.”
-
Tidak bisa dibagi
Semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat, dan tidak
bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis.
-
Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain
Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan
hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
-
Sederajat dan tanpa diskriminasi
Setiap umat manusia berhak sepenuhnya atas hak-haknya tanpa ada
pembedaan dengan alasan apapun, seperti yang didasarkan atas
perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama,
pandangan politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar
6
http://www.komnasham.go.id/pendidikan-dan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasimanusia . di unduh pada tgl 19/07/2012 . pukul 14.00 wib
belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan,
kelahiran atau status lainnya
-
Turut berpatisipasi dan berperan aktif
Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif
secara bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk
menikmati kehidupan pembangunan, baik kehidupan sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan
kebebasan dasar.
-
Ada pertanggungjawaban dan penegakan hukum
Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab
untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada
norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumeninstrumen hak asasi manusia.
2. Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana Formil
Yang dimaksud hukum pidana formil adalah aturan-aturan yang
mengatur bagaimana alat-alat perlengkapan negara melaksanakan
haknya untuk mengenakan pidana.
Berikut beberapa definisi hukum pidana formil menurut 7 :
1. P.A.F. Lamintang
Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang dianggap telah
selesai dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Sudarto
Tindak Pidana Formil adalah merupakan tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang.
tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya
perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana tersebut
(tanpa Melihat akibatnya)
b. Prinsip – prinsip hukum HAM universal yang terkait dengan Hukum
Acara
Berdasarkan prinsip – prinsip HAM yang universal berikut adalah
prinsip – prinsip yang terkait dengan hukum acara yang merupakan
hak – hak dasar yang harus dihormati , yaitu : 8
1. Non Diskriminasi
Pengadilan mengadili harus menurut hukum dengan tidak
membedakan orang (diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)
7
http://muhammadnurulhuda15.blogspot.com/2011/07/tindak-pidana-materiil-dan-tindak.html .
diunduh pada tgl 22/10/2012 . pukul 22.47 wib
8
Prof. Dr . H . Muladi, SH . Hak Asasi Manusia Hakekat , Konsep dan Implikasi dalam Prespektif
Hukum dan Masyarakat . 2009 . hlm . 104 - 109
2. Prinsip yang memberikan Hak untuk hidup dan bebas dari
penyiksaan atau tindakan pemidanaan yang kejam , tidak
manusiawi atau merendahkan yang lain
3. Prinsip yang memberikan Hak atas kebebasan dan Hak – hak
terpidana
4. Prinsip mengenai Fair Trial
5. Prinsip mengenai peraturan tentang Juvenile Justice yaitu
pengaturan tentang batas minimum pertanggung jawaban pidana.
3. Hubungan antara HAM dengan Hukum Pidana
a. Hukum Pidana sebagai reaksi terhadap pelanggaran HAM
Indonesia yaang merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila
harus mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 9
-
Pengakuan dan perlindungan hak asaasi yang mengandung persamaan
dalam bidng politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural, dan
pendidikan.
-
Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh
suatu kekuasaan/kekuatan apapun;
9
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hlm 74-75
-
Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan, yang dimaksud
kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat
dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakan.
Penegakan hukum pidana yang dilakukan para penegak hukum yang
mempunyai kewenangan untuk mengadili tersangka atau terdakwa
harus berpedoman pada HAM agar hak – hak tersangka atau terdakwa
tidak dilanggar oleh sebab itu perlu mengacu pada prinsip – prinsip
dalam peradilan yang meliputi :
1. Prinsip Legalitas
Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan “suatu perbuatan tidak
dapat dipidana , kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang –
undangan pidana yang telah ada” hal ini tercermin pula pada “nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau “nullum crimen
sine lege”
Prinsip ini juga terkandung di dalam berbagai intrumen HAM yaitu :
-
DUHAM
Pasal 11 ayat (2): “Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan
tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan
suatu
tindak
pidana
menurut
undang-undang
internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan...”
nasional
atau
-
ICCPR
Pasal 15 ayat (1): “Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas
suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan
yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik
berdasarkan hukum nasional maupun internasional...”
dan Indonesia sudah meratifikasi ICCPR sehingga terikat pada
ketentuan ini.
2. Prinsip Non Retroaktif
Prinsip ini biasanya dikaitkan dengan asas yang ada di dalam hukum
pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege
poenali (tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang – undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan)
3. Prinsip Presumption of Innocence
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Prinsip Ne bis in Idem
Prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar
seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan
kepastian hukum karena seseorang tidak boleh diadili kedua kalinya
untuk dakwaan yang sama. Prinsip ini diatur didalam pasal 76 ayat (1)
dan (2) KUHP.
5. Prinsip in Dubio pro Reo
Menurut “Kamus Hukum” yang ditulis oleh Simorangkir et.al. (hlm.
73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan
mengenai
sesuatu
hal
haruslah
diputuskan
hal-hal
yang
menguntungkan terdakwa”. 10
Oleh karena itu bila dalam keadaan yang meragukan, hakim harus
mengambil
keputusan
yang
menguntungkan
terdakwa
yaitu
dibebaskan dari dakwaan.
6. Prinsip Daluwarsa
Yang dimaksud daluarsa adalah berlakunya sesuatu waktu tertentu
atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman
tersebut.
10
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4142/penerapan-asas-in-dubio-pro-reo. diunduh
pada tgl 21/07/2012 . pukul 20.58 wib
7. Prinsip Fair Trial
Fair Trial atau Prinsip Keadilan dinyatakan dalam sebuah prinsip
dasar yang berlaku secara universal berikut ini :
"Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan
sewenang-wenang; setiap orang, dalam persamaan yang penuh,
berhak atas proses peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan
yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam
setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya." 11
Implementasi asas hukum pidana nasional dalam kriminalisasi
sebagaimana dikenal hukum pidana jangan untuk pembalasan semata
– mata maka bila memperhatikan pancasila yang pada dasarnya tidak
lepas dari hak – hak asasi manusia dengan pengakuan terhadap hukum
yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber hukum pidana positif,
melakukan kriminalisasi terhadap contempt of court (menghina
pengadilan) untuk melindungi kebebasan peradilan, melakukan
kriminalisasi terhadap kejahatan genosida, melakukan kriminalisasi
terhadap perbuatan – perbuatan sebagaimana tercantum di dalam UN
declaration against torture (deklarasi PBB menentang penyiksaan) ,
menyempurnakan perumusan tentang kejahatan perkosaan dalam
kaitannya dengan perlindungan hak – hak asasi wanita dan anak.
11
http://www.tanyahukum.com/pidana/167/fair-trial/ . diunduh pada tgl 21/07/2012 . pukul 21. 08
wib
Yang dimaksud pelanggaran HAM bila mengacu kepada UU
nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 26 tahun 2000 (Pengadilan
HAM), maka dikenal dua bentuk
pelanggaran HAM, yaitu
palanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat.
Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pengertian
Pelanggaran HAM terdapat dalam Pasal 1 butir 6 dan pengertian
Pelanggaran HAM Berat terdapat dalam penjelasan UU No. 39 tahun
1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat 1.
Pasal 1 butir 6 menyatakan :
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau
kelalaian
yang
secara
melawan
hukum
mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak
asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.
Sedangkan Di dalam penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 mengenai
pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan dalam Pasal 104 ayat 1
menyatakan :
Pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside),
pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan
(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang
secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara
sistematis
Hal ini membuktikan bahwa hukum pidana dapat dijadikan
sarana untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM baik itu pelanggaran
HAM biasa maupun pelanggaran HAM berat yang telah diatur di
dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.
26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
b. HAM sebagai pembatas penegakan Hukum Pidana
Pernyataan Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Human
Right) ditegaskan dalam Pasal 11 UDHR yang berbunyi “setiap orang
yang dituntut karena disangka pelanggaran pidana dianggap tak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang
dalam suatu pengadilan terbuka, dan di dalam sidang itu diberi segala
jaminan yang perlu untuk pembelaannya.” Dari pencantuman dan
ratifikasi beberapa ketentuan/ instrumen hukum internasional (ICCPR,
ICESCR, UDHR) berarti negara Indonesia sebagai negara hukum
(Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) dan menganut sistem dualisme dalam
pengakuan ketentuan hukum internasional. Mutlak menjadikan sistem
negara hukum yang mengakui persamaan dan Hak Asasi Manusia (ciri
negara hukum formil). Ketentuan/ regulasi Hak Asasi Manusia dapat
ditemukan baik dalam UUD 1945 (Pasal 28), Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
sebagai prosedur penegakan hukum yang bertujuan mempertahankan
hukum materil (hukum pidana), dalam pertimbangan filsufisnya
menegaskan “bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Ini mengindikasikan bahwa tujuan atau
esensi dari hukum acara pidana yang bersinggungan dengan
penegakan hak asasi terhadap pelaku tindak pidana terdapat dalam
KUHAP. Perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa
dalam due
process of law harus memperhatikan kepentingan dan hak asasi setiap
orang, yang menjadi bahagian dari due process of law. Pejabat yang
berwenang dalam melakukan penegakan hukum harus sesuai dengan
tugas dan kewenangannya dengan yang ditegaskan dalam UndangUndang (baca: KUHAP).
Hak tersangka dan terdakwa dalam
KUHAP ditegaskan mulai dari Pasal 50 s/d Pasal 74. Pengakuan atau
perlindungan hak asasi tersangka di sini adalah kelanjutan dari Pasal
11 UDHR, Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 18 butir 1 s/d 5 Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Oleh sebab itu HAM
membutuhkan hukum pidana untuk dapat merespon dan memberikan
hukuman bagi pelanggaran HAM dan kejahatan internasional .
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah
diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat (1)
“keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan
adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan
penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM.
4. Perlindungan terhadap Tersangka atau Terdakwa
Menurut O.C Kaligis, konsep perlindungan dalam hukum
adalah pengakuan serta penerapan asas persamaan kedudukan dan
perlakuan dalam hukum (equality before the law).
Asas ini
merupakan dasar dari perlindungan hukum yaitu menyangkut
bagaimana seseorang diperlakukan oleh hukum. Prinsip-prinsip
perlindungan ini erat kaitannya dengan kewajiban negara dalam
hukum. Selain menerapkan dan menegakan hukum, negara juga
memiliki kewajiban untuk melindungi setiap hak yang melekat dengan
hukum. Kewajiban ini berbentuk penyelenggaraan peradilan pidana
yang bertujuan menghukum pelaku tindak pidana sebagai upaya
preventif pencegahan pelanggaran hak-hak tersebut. Di lain sisi,
wujud perlindungan ini berupa perlindungan hak-hak seorang (yang
diduga) pelaku tindak pidana agar dalam penyelenggaraan peradilan
pidana tidak terjadi pelanggaran hak-hak berikutnya.
Secara normatif sebenarnya KUHAP telah mengakomodasi hak
– hak tersangka atau terdakwa namun dalam prakteknya seringnya
dilanggar hak – hak tersangka atau terdakwa , masalahnya terletak
pada penegakan hak – hak tersangka yang dimaksudkan masalah
penegakan hak – hak tersangka atau terdakwa , berkaitan dengan : 12
a. Ketidaktahuan tersangka atau terdakwa akan hak – haknya yang
dilindungi oleh hukum dan undang- undang
b. Pejabat penegak hukum tidak memberitahukan informasi mengenai
hak – hak yang dimiliki tersangka atau terdakwa
c. Tidak ada ketentuan yang tegas mengatur mengenai konsekuensi
hukum apabila hak – hak tersangka atau terdakwa tidak diberitahukan
d. Peran serta penasehat hukum dalam pemerksaan yang bersifat pasif 13
Hak-hak tersangka adalah hak konstitusional seorang baik yang
didapat sejak mereka lahir (HAM) maupun hak-hak yang yang
diberikan undang-undang. Hak-hak yang diberikan undang-undang ini
12
Al Wisnubroto , G . Widiartana , Pembaharuan Hukum Acara Pidana , hlm 51 - 52
Pasal 115 ayat (1) KUHAP mengatur “Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka , penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara
melihat serta mendengar pemeriksaan”
13
terkait dengan statusnya sebagai tersangka. Hak-hak itu diatur dalam
KUHAP baik secara eksplisit maupun imflisit dalam rumusan pasalpasalnya yang antara lain; (a) Hak untuk mengetahui dasar alasan
penerapan Upaya Paksa; (b) Hak untuk memperoleh perlakuan yang
manusiawi; (c) Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan
maupun tulisan; (d) Hak untuk diam, dalam pengertian tidak
mengeluarkan peryataan atau pengakuan; (d) Hak untuk mengajukan
saksi a-de charge mulai dari proses penyidikan; (e) Hak untuk
mendapatkan bantuan hukum, dan seterusnya lebih rinci akan dibahas
di dalam Bab III.
B. KONSEP
LEGISLASI
PERLINDUNGAN
HAK
ASASI
TERSANGKA / TERDAKWA
Sejarah
keberadaan
Hak
Asasi
Manusia
(HAM)
pada
hakikatnya sudah berlangsung sejak lama yaitu sepanjang sejarah
keberadaan manusia itu sendiri. Pemikiran ini didasarkan bahwa hakhak asasi yang kekal dan secara kodrati inherent atau melekat pada
diri manusia adalah hak-hak asasi yang diberikan oleh tuhan yang
menciptakan manusia sebagai anugerah-Nya, oleh karena itu harus
dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi dan tidak boleh dikurangi,
dirampas, atau dilanggar kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun.
umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM
dalam sebuah konsep yang tertulis dikenal sejak lahirnya Magna
Charta 1215 di Inggris. Dengan lahirnya Magna Charta tersebut
bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan absolut dan selalu
bertindak sewenang-wenang, harus dibatasi menjadi kekuasaan yang
bersifat relatif agar dapat membatasi kesewenang-wenangannya.
Sehingga dengan konsep ini para raja mulai dapat dimintai
pertanggungjawabannya di muka hukum. Lahirnya Magna Charta ini
kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih baik (konkrit) yaitu
dengan lahirnya “Habeas Corpus Act” (1679) serta lahirnya “Bill of
Right” (1689) pada masa ini mulai nampak adagium yang intinya
bahwa semua manusia sama di muka hukum (all man equal before the
law). Dari adagium ini tidak hanya melahirkan hak-hak yang
fundamental, tapi mendorong juga lahirnya negara hukum dan
demokrasi. Bill of right yang melahirkan asas persamaan pada
prinsipnya akan melahirkan pula hak kebebasan jika asas persamaan
tersebut telah dapat diwujudkan, sebab hak kebebasan baru ada atau
dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.
Berikutnya di Perancis lahir apa yang dikenal The Franch Declaration
(1789) dimana hak-hak lebih diperinci lagi dan melahirkan asas “the
rule of law” antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan tanpa
alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan
oleh pejabat pemerintah yang sah. Dinyatakan pula prinsip
“presumption of innocence” artinya orang-orang yang ditangkap
kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah
sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan
menyatakan bersalah.
Meskipun piagam PBB belum mengakui pentingnya sikap
tidak boleh ikut mencampuri urusan domestik negara lain namun
piagam ini juga menganggap bahwa HAM adalah masalah yang
menjadi perhatian dan keperihatinan internasional. Oleh karena itu
PBB terus memajukan dan mengembangkan pengkodifikasian HAM
ke dalam sebuah Bill of Rights dan berusaha mengimplementasikan
dan menguniversalisasikan HAM serta memanusiawikan Hukum
Internasional.
Tidak jauh dengan gagasan HAM di masa lalu, DUHAM-pun
telah memberikan acuan yang universal mengenai hak warga negara
yang dituduh melakukan pelanggaran. Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) PBB Tahun 1948 menjadi tolok ukur bagi
pengaturan hukum dan Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh
konstitusi negara-negara di dunia. Terkait perlindungan terhadap hakhak tersangka/terdakwa, pasal-pasal relevan yang diatur dalam
DUHAM yaitu : hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara
kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5); hak
untuk diperlakukan sama di depan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum tanpa diskriminasi (Pasal 7); hak untuk tidak
ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (Pasal 9);
hak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas
dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajibankewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan
kepadanya (Pasal 10); hak untuk dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan
yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang
diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1); Hak untuk tidak
boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan
atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum
menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan
tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman
lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika
pelanggaran hukum itu dilakukan (Pasal 11 ayat 2); Hak untuk tidak
diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya, keluarganya,
rumah-tangganya
atau
hubungan
surat-menyuratnya,
juga
tak
diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya.
Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap
gangguan atau pelanggaran seperti itu (Pasal 12).
C. Kompendium PBB
1. Pengertian Kompendium
Kompendium PBB dalam skripsi ini merujuk pada dokumen “UN
Compendium Norms and Standards in Criminal Justice 2006” yang
merupakan kumpulan pedoman, norma dan standar dalam penegakan
hukum pidana, termasuk norma dan standar dalam penahanan dan
pemenjaraan, yang mengatur tentang prisoner (termasuk untried
prisoner / tahanan) dan Deklarasi menentang penyiksaan yang bisa
dibahas bersama dengan Konvensi Antipenyiksaan, yang memuat
Aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap tahanan Disetujui
oleh Dewan Ekonomi dan Sosial, 31 Juli 1957 (resolusi 663 CI
(XXIV)), atas rekomendasi dari Kongres Pertama serta Deklarasi
Melawan Penyiksaan dan, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Diadopsi oleh Majelis Umum, 9 Desember 1975.
2. Latar belakang munculnya Kompendium
Munculnya Kompendium di picu dari keinginan PBB untuk dapat
memberikan pedoman atau standar dalam penegakan hukum pidana
yang mengatur tentang aturan standar minimum perlakuan terhadap
tahanan , tersangka atau terdakwa yang di dalamnya terdapat norma –
norma dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang berisi
prinsip-prinsip normatif yang diakui secara internasional dan standar
dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang mencakup
berbagai isu seperti peradilan anak, perlakuan terhadap pelanggar,
kerjasama internasional, pemerintahan yang baik, perlindungan
korban dan kekerasan terhadap perempuan .
Sistem peradilan pidana berbeda dari satu negara ke negara
lain dan tanggapan mereka terhadap perilaku antisosial tidak selalu
homogen. Namun, selama bertahun - tahun standar dan norma PBB
dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana telah memberikan
visi kolektif bagaimana sistem peradilan pidana harus terstruktur.
Meskipun bersifat "lunak-hukum", standar dan norma-norma telah
membuat kontribusi yang signifikan untuk mempromosikan lebih
efektif dan adil struktur peradilan pidana dalam tiga dimensi.
Pertama, standar dan norma di dalam Kompendium dapat
dimanfaatkan di tingkat nasional dengan meningkatkan mendalam
penilaian yang mengarah pada adopsi yang diperlukan reformasi
peradilan pidana. Kedua, Kompendium juga dapat membantu negaranegara untuk mengembangkan strategi subregional dan regional.
Ketiga, secara global dan internasional, standar dan norma merupakan
"praktek terbaik" yang dapat disesuaikan oleh Negara untuk
memenuhi kebutuhan nasional. 14
Untuk
itu
Kompendium
ini
disusun
sesuai
dengan
sistem
pengelompokan dalam empat bagian:
1. Standar dan norma terkait terutama untuk orang-orang dalam tahanan,
non-penahanan sanksi, peradilan anak dan keadilan restoratif;
2. Standar dan norma terkait terutama untuk pengaturan hukum,
kelembagaan dan praktis bagi kerja sama internasional;
3. Standar dan norma terkait terutama untuk pencegahan kejahatan dan
masalah korban, dan
4. Standar dan norma terkait terutama untuk pemerintahan yang baik,
independensi peradilan dan integritas pegawai peradilan pidana.
Sehingga diharapkan Kompendium ini akan memberikan kontribusi
bagi kesadaran yang lebih luas dan penyebaran standar PBB dan
norma-norma dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan
akibatnya akan memperkuat penghormatan terhadap aturan hukum
dan HAM dalam pemerintahan keadilan.
3. Isi Kompendium
Kompendium ini terdiri dari 4 bagian yang mana masing – masing
mengatur mengenai hal – hal berikut :
14
Di kutip dari introduction Kompendium PBB
Bagian I mengatur mengenai Orang dalam tahanan, nonpenahanan sanksi, peradilan anak dan keadilan restoratif , yang
di bagi menjadi 4 sub pokok pengaturan norma, yaitu :
1. Pengobatan tahanan
a. Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap Narapidana
b. Prosedur untuk pelaksanaan yang efektif dari Standard Minimum
Aturan untuk Perlakuan terhadap Narapidana
c. Tubuh Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang di bawah Setiap
Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan
d. Prinsip Dasar untuk Perlakuan terhadap Narapidana
e. Kampala Deklarasi tentang Kondisi Penjara di Afrika
f. Status warga negara asing dalam proses pidana
g. Deklarasi Arusha Praktek Penjara yang baik
2. Peradilan anak
a. Aturan Standar Minimum untuk Administrasi dari Peradilan Anak
(Beijing Rules)
b. Pedoman untuk Pencegahan Juvenile Kenakalan (Pedoman Riyadh)
c. Aturan untuk Perlindungan Remaja Kehilangan Liberty mereka
d. Pedoman Aksi Anak-anak dalam Sistem Peradilan Pidana
3. Alternatif penjara dan keadilan restoratif
a. PBB Aturan Standar Minimum untuk Non-penahanan Tindakan
(Peraturan Tokyo)
b. Kadoma Deklarasi Layanan Masyarakat dan rekomendasi dari
seminar berjudul "Peradilan pidana: tantangan penjara kepadatan
penduduk ", diselenggarakan di San Jose 03-07 Februari 1997
c. Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan program keadilan restoratif
di hal – hal pidana
4. Penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
atau hukuman
a. Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan
Perlakuan atau Merendahkan Manusiawi atau Merendahkan Martabat
b. Prinsip Etika Medis yang relevan dengan peran kesehatan personil,
khususnya dokter, dalam perlindungan tahanan dan tahanan terhadap
penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat
c. Prinsip pada Investigasi Efektif dan Dokumentasi Penyiksaan dan
Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau hukuman
5. Hukuman mati
a. Hukuman mati
b. Perlindungan
menjamin
perlindungan
hak-hak
mereka
yang
menghadapi hukuman mati.
c. Pelaksanaan perlindungan perlindungan menjamin dari hak-hak
mereka yang menghadapi hukuman mati
d. Prinsip Pencegahan Efektif dan Investigasi Ekstralegal, Sewenangwenang dan Ringkasan Eksekusi
e. Perlindungan
menjamin
perlindungan
hak-hak
mereka
yang
menghadapi hukuman mati
f. Pertanyaan tentang hukuman mati
Bagian II mengatur mengenai Hukum, kelembagaan dan praktis
pengaturan kerjasama internasional
Yang dibagi menjadi 2 sub pokok pengaturan norma , yaitu :
1. Model perjanjian
a. Model Perjanjian tentang Ekstradisi.
b. Model Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana
c. Model Traktat tentang Pengalihan Prosiding dalam Masalah Pidana
d. Model Perjanjian Pengalihan Tahanan Luar Negeri dan rekomendasi
mengenai perlakuan terhadap tahanan asing
e. Model Traktat tentang Pengalihan Pengawasan Pelanggar Persyaratan
Dihukum atau Persyaratan Rilis
f. Model perjanjian untuk pencegahan kejahatan yang melanggar hak
warisan budaya masyarakat dalam bentuk harta bergerak
g. Model Bilateral Perjanjian Pemulangan Dicuri atau Menggelapkan
Kendaraan
h. Model Bilateral Perjanjian tentang Berbagi Sitaan Hasil Kejahatan
atau Properti
2. Deklarasi dan rencana aksi
a. Pernyataan prinsip dan program aksi dari Amerika Bangsa
pencegahan kejahatan dan program peradilan pidana
b. Naples Politik Deklarasi dan Rencana Aksi Global melawan
Terorganisir Transnasional Crime
c. Wina Deklarasi tentang Kejahatan dan Peradilan: Rapat Tantangan
Abad Dua puluh satu
d. Rencana aksi untuk implementasi Deklarasi Wina pada Kejahatan dan
Peradilan: Memenuhi Tantangan Kedua Puluh Satu Century
e. Deklarasi Bangkok tentang Sinergi dan Tanggapan: Strategis
f. Aliansi dalam Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana
Bagian III mengatur mengenai Pencegahan kejahatan dan
masalah korban , yang terdiri dari 3 sub pokok pengaturan norma ,
yaitu :
1. Pencegahan kejahatan
a. Pedoman kerjasama dan bantuan teknis di lapangan pencegahan
kejahatan perkotaan
b. Deklarasi PBB tentang Kejahatan dan Keamanan Publik
c. Senjata api regulasi untuk tujuan pencegahan kejahatan dan publik
kesehatan dan keselamatan
d. Pedoman untuk Pencegahan Kejahatan
2. Korban
a. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan
b. Implementasi Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban
Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan
c. Rencana aksi untuk implementasi Deklarasi Prinsip Dasar Keadilan
bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan kekuasaan
d. Pedoman tentang Peradilan dalam Masalah melibatkan Korban Anak
dan Saksi Kejahatan.
3. Kekerasan terhadap perempuan
a. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
b. Model Strategi dan Langkah-langkah Praktis tentang Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan di Bidang Pencegahan Kejahatan dan
Peradilan Pidana
Bagian IV mengatur mengenai Tata pemerintahan yang baik,
kemandirian peradilan dan integritas pegawai peradilan pidana,
yang mengatur beberapa norma , yaitu :
a. Kode etik untuk aparat penegak hukum
b. Pedoman pelaksanaan efektif dari kode etik petugas penegak hukum
c. Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api
oleh pejabat penegak hukum
d. Prinsip-prinsip dasar tentang Independensi peradilan
e. Prosedur pelaksanaan yang efektif dari Dasar prinsip tentang
Independensi peradilan
f. Prinsip-prinsip Dasar tentang Peran Pengacara
g. Pedoman Peran Jaksa
h. Internasional Kode Etik Pejabat Publik
i. Deklarasi PBB melawan Korupsi dan Suap di Internasional Komersial
Transaksi
4. Kekuatan mengikat kompendium
Untuk mengetahui kekuatan mengikat Kompendium harus
membahas sumber – sumber hukum internasional dikarenakan pada
hakekatnya kompendium PBB bukan merupakan suatu perjanjian
internasional melainkan kumpulan norma – norma mengenai standar
penegakan hukum pidana dan perlindungan terhadap suatu praktek
perlakuan terhadap tahanan, tersangka atau terdakwa secara
internasional yang mengikat dan dipraktekan oleh negara – negara
secara luas walaupun demikian kompendium PBB ini mengikat
seluruh negara – negara dalam prakteknya untuk berpedoman kepada
isi aturan atau standar penegakan hukum pidana , perlakuan dalam
penegakan hukum pidana yang dimuat di dalam kompendium sesuai
dengan latar belakang munculnya Kompendium tersebut.
a. Sumber – sumber hukum internasional
Sumber hukum dalam arti formal yakni berupa peraturan –
peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif , dapat
dibedakan menjadi dua golongan yaitu hukum yang tertulis dan hukum
yang tidak tertulis. Pada garis besarnya sumber hukum internasional
terdiri dari : 15
15
J . G . Starke , Pengantar Hukum Internasional edisi kesembilan , hlm 31
1. Kebiasaan
2. Traktrat atau perjanjian internasional
3. Keputusan pengadilan atau badan – badan arbiterasi
4. Karya – karya hukum atau pendapat – pendapat para ahli hukum
5. Keputusan atau ketetapan organ – organ lembaga internasional
Dalam pasal 38 paragraf 1 Statuta Mahkamah Internasional ,
mengadili perkara – perkara menggunakan hal – hal berikut : 16
-
Traktat Internasional
-
Kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan
diterima sebagai hukum
-
Asas – asas hukum umum yang diakui oleh bangsa – bangsa beradab
-
Keputusan – keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaidah – kaidah hukum.
b. Kekuatan mengikat
Sesuai dengan pendapat Michael Akheurst , hukum kebiasaan
internasional dapat dilihat dan diamati serta di buktikan eksistensinya ,
misalnya dalam bentuk : 17
16
17
Ibid hlm 31-32
I Wayan Parhiana , SH , MH , Pengantar Hukum Internasional , hlm 245
-
Prilaku atau tindakan pejabat – pejabat negara
-
Perjanjian – perjanjian internasional
-
Perundang – undangan nasional negara – negara
-
Keputusan – keputusan pengadilan internasional maupun nasional
-
Tulisan – tulisan atau karya – karya yuridis para sarjana
Bila melihat dari sumber hukum internasional Kompendium
bukanlah suatu perjanjian internasionl namun eksistensi Kompendium
muncul dari adanya hukum kebiasaan internasional dan penerapan
prinsip – prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat
internasional yang pada akhinya isi Kompendium ini menjadi standar
hukum atau norma – norma penegakan hukum pidana. Indonesia juga
mengikuti aturan di dalam Kompendium berdasarkan pada hukum
kebiasaan dan menerapkan prinsip – prinsip umum hukum
internasional. Berkenaan dengan hukum kebiasaan , praktek Indonesia
belum begitu menampakkan adanya kepastian , namun dalam
beberapa hal indonesia menerima hukum kebiasaan internasional
sebagai bagian dari hukum nasional indonesia di dalam bidang
perlakuan
terhadap
tersangka
atau
terdakwa
yang
menurut
Kompendium tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sesuai
dengan prinsip – prinsip dan kaidah – kaidah hukum kebiasaan
internasional seperti misalnya berdasarkan prinsip equality before the
law atau persamaan dimuka hukum yang dimana perlakuan tersebut
sesuai dengan standar minimum perlakuan tersangka atau terdakwa
menurut hukum internasional yang termuat di dalam Kompendium
PBB.
1. Hukum kebiasaan
Peraturan – peraturan ini pada umumnya telah mennjalani proses
historis yang panjang yang berpuncak pada pengakuannya oleh
masyarakat internasional. Istilah “kebiasaan” (costum) dan “adat
istiadat” (usage) sering digunakan secara bergantian namun diantara
keduanya terdapat suatu perbedaan teknis yang jelas, adat istiadat
mendahului kebiasaan sedangkan kebiasaan mulai dimana adat
istiadat berhenti. Kebiasaan , dalam hukum adalah adat istiadat yang
memperoleh kekuatan hukum. 18
Dalam pasal 38 ayat (1) sub b Statuta Mahkamah Internasional ,
mengemukakan bahwa international costum as evidence of a general
practice accepted as law artinya kebiasaan internasional dianggap
sebagai praktek umum yang diterima sebagai hukum, namun hanya
praktek – praktek yang diterima dan diakui oleh negara – negara atau
masyarakat internasionalsebagai hukum dalam hubungan satu sama
lainnya yang pada hakekat tertentunya telah memenuhi rasa keadilan
dan rasa prikemanusiaan masyarakat internasional. Agar dapat
18
Ibid hlm 33
dikatakan hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum
internasional harus memenuhi dua persyaratan atau unsur sebagai
berikut : 19
1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum
Maksudnya adalah perlu adanya suatu kebiasaan atau praktek dari
suatu pola tindakan yang berlangsung lama atau dilakukan secara
berulang kali yang merupakan rangkaian tindakan yang serupa
terhadap hal yang sama.
2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum
Adanya element yang merupakan persyaratan psikologis yang dikenal
dengan istilah Opinio Juris Sive Neces Sitatis , agar suatu kebiasaan
internasional itu dapat diterima sebagai hukum maka harus memenuhi
persyaratan antara lain : 20
o Memenuhi ketentuan kaidah atau memenuhi suatu kaidah hukum
o Harus ada keyakinan timbal balik bahwa kebiasaan internasional itu
adalah akibat dari peraturan yang memaksa
o Negara – negara sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional
harus mengakui dan menerima kebiasaan internasional sebagai
ketentuan yang mengikat dalam hubungan internasional.
19
20
Alma Manupati , dkk , Hukum Internasional, hlm 130
Ibid hlm 131
2. Prinsip – prinsip umum hukum internasional
Sumber hukum internasional ketiga menurut pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional adalah prinsip – prinsip atau asas –
asas hukum umum moderen. Secara terminologi , penggunaan istilah
umum dalam menggambarkan hubungan yang terbentuk dengan
adanya hukum alam (hukum kodrat) yaitu asas- asas hukum yang
berlaku untuk segala waktu di semua tempat serta bagi semua bangsa
dan negara atau prinsip yang bersifat universal artinya hal tersebut
berlaku juga bagi hukum internasional sebagai suatu sistem hukum .
Asas – asas hukum umum mencangkup asas nullum delicum , asas
nebis in idem, asas teritorilaitet dan asas kompetensi peradilan. Asas –
asas hukum umum sebagai sumber hukum internasional primer yang
berdiri sendiri di samping sumber hukum internasional primer
lainnya, mempunyai kedudukan yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif.
Dengan adanya sumber hukum internasional mahkmah Internasional
dapat menggunakan asas –asas hukum umum sebagai dasar sumber
hukum formal dalam mengadili dan menyelesaikan secara sukarela
perkara yang diajukan kepadanya walaupun perkara tersebut belum
diatur atau tidak terdapat dalam sumber hukum formal lainnya
(kebiasaan internasional dan perjanjian internasional).
Download