BIAS-BIAS KULTURAL DALAM WARNA PUTIH IDEAL Eny Kustiyah Burhanudin Ahmad Yani (FakultasEkonomi, Universitas Islam Batik Surakarta) ABSTRACT This research aims at revealing cultural biases in the whitening cream advertisements on television. The method of the research is descriptive qualitative. The primary sources of data are four whitening cream advertisements which consist of Shireen Sungkar‟s Fair and Lovely, Laudya Cyntia Bella‟s Garnier Light Complete, Agnes Monica‟s Olay Natural White, and Paramitha Rusadi‟s Magic Plus White Cream. The present researcher employs library research and note-taking technique to collect the data. Whereas the type of data are words, phrases, clauses, sentences and narration. Postcolonial theory used to analize the data in this research. The present researcher employs semiotics approach for deeper understanding. The outcome of the research is that there are cultural biases in the formulation of white as beauty ideal which turn into racialized beauty. Key words: cultural biases, white skin PENDAHULUAN Produk krim pemutih wajah atau whitening cream belakangan ini marak diiklankan di televisi. Sesuai namanya, iklan whitening cream menawarkan bahwa produk tersebut mampu membuat kulit menjadi lebih putih dan cerah dalam waktu singkat. Iklan ini memberikan visualisasi yang begitu meyakinkan pada perubahan warna kulit dari coklat/gelap menjadi putih/lebih cerah dan terang. Untuk lebih meyakinkan konsumen, iklan krim pemutih wajah memasang model para artis terkenal yang mempesona dengan kulit putihnya. Dalam iklan pemutih wajah, warna putih merupakan representasi dari kecantikan wanita. Konsep cantik yang mengedepankan kulit wajah putih ini seolah sudah menjadi standar kecantikan di dalam masyarakat. Dari sini peneliti menawarkan satu alasan dalam pemilihan iklan krim pemutih wajah yaitu mengenai penetapan warna putih ideal sebagai perwakilan kata sifat cantik. Peneliti menjatuhkan pilihan pada teori postkolonial karena peneliti melihat adanya bias-bias kultural dibalik penetapan standar putih cantik ideal. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif. Adapun sumber data utama penelitian, teknik mengumpulkan data, dan teknik menganalisa data akan disajikan sebagai berikut. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah iklanlightening cream yang terdiri dari iklan Fair and Lovely versi Shireen Sungkar,Iklan Garnier Light Complete Versi Laudya Cyntia Bella,Iklan Olay Natural White Versi Agnes Monica, Iklan Magic Plus White Cream 24 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian Versi Paramita Rusadi. Sedangkan sumber data sekunder diambil dari berbagai sumber rujukan berupa kajian pustaka. Adapun tipe data adalah teks berupa kata, frase, anak kalimat, kalimat dan narasi. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan library research; mencari dan mengelompokkan ungkapan dan komentar kritis yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, data-data tersebut dikumpulkan melalui teknik pencatatan atau note taking;bagian dari menulis dokumen dari paragrap atau esai akan peneliti dokumentasikan dalam lembaran riset. Kemudian, data-data yang sudah diperoleh dikelompokkan dalam domain-domain tertentu. Untuk menganalisis data, peneliti menerapkan dua langkah. Langkah pertama yang peneliti lakukan adalah menganalisa data-data yang terkumpul secara deskriptif dan hermeneutik. Hal ini dilakukan untuk menemukan elemen struktural dari data-data primer yang terdiri dari tokoh dan penokohan, latar, alur, teknik penuturan, dan tema. Langkah kedua, data-data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan Semiotik dan menggunakan teori postcolonialuntuk menelusuri dan menemukan bias-bias kultural yang terwujud dalam konteks mimikri dan pencarian jati diri. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam iklan pemutih wajah, konsep cantik itu berarti memiliki kulit wajah putih bersih. Kedigdayaan iklan telah diakui banyak orang bahkan iklan pemutih wajah menyebarkan doktrin femininitas. Hal ini seperti pernyataan Parameswaran (2009; 217) bahwa “Circulating within shifting fields of gender relations, advertising pedagogical doctrines of femininity-fairness, slimness, youthfulness, light skin, long legs, and big eyes,...” Salah satu perwakilan doctrines of femininity yang diangkat dalam penelitian ini yakni colorism atau konsep cantik yang mengedepankan kulit wajah putih yang sudah menjadi standar kecantikan di masyarakat. White yang mewakili standar kecantikan saat ini meninggalkan jejek kolonial yang bias. Hal ini terbaca secara kasat mata bahwa warna kulit orang Indonesia termasuk cokelat, sedangkan standar kecantikan yang dianut saat ini kulit putihlah yang cantik. Untuk membongkar bias-bias kultural dalam kulit putih seperti representasi iklan whitening cream, maka peneliti akan menguraikan beberapa tahapan pembahasannya sebagai berikut; Relasi Subyek-Obyek, Self-Other, Orient-Occident, Pencarian Jati Diri, Mengejar “Menjadi Barat.” A. RELASI SUBYEK-OBYEK, SELF-OTHER,ORIENT-OCCIDENT SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014 25 Colorism yang tertuang dalam booming krim pemutih wajah yang akhir-akhir ini marak tayang dalam iklan di televisi telah mencipkan “virus baru” dalam kehidupan sosial masyarakat yang berakibat pada social changes. Kompetisi antar krim pemutih wajah semakin luas konteksnya sehingga menimbulkan gaya hidup baru yakni konsumerisme atau lebih tepatnya skin-lightening lifestyle cosumerism. Empat iklan krim pemutih wajah tersebut dibintangi oleh artis Indonesia dan ditawarkan kepada masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, ada tokoh yang bertindak sebagai subyek dan juga obyek. Artis yang menawarkan krim pemutih berperan sebagai subyek, audiennya berperan sebagai obyek. Maka selanjutnya, peneliti akan mencari tahu relasi antara subyek – obyek yang terdapat dalam iklan. Adapun subyek dalam tata bahasa adalah pihak yang melakukan pekerjaan sementara obyek adalah pihak yang dikenai pekerjaan. Pihak yang melakukan pekerjaan merupakan active agent yang bergerak dinamis, maju, dan memiliki inisiatif, sedangkan obyek adalah pihak yang dikenai pekerjaan maka ada cenderungan pasif dan menerima. Meskipun empat model iklan krim pemutih wajah diperankan oleh orang Indonesia, namun dalam pandangan postcolonial, ada sesuatu yanag terselubung dalam iklan tersebut. Adapun sesuatu yang tidak terang-terangan ditampilkan dalam iklan yaitu sang penggagas yang merumuskan konsep cantik yang diwakili oleh warna kulit khususnya yang berwarna putih. Jadi para tokoh iklan krim pemutih wajah yang secara eksplisit berperan sebagai subyek, namun sebenarnya subyek yang dimainkan adalah subyek semu. Artinya para tokoh iklan bukanlah subyek dalam artian yang sebenarnya namun mereka merupakan obyek yang “dipinjam” oleh sang penggagas untuk memainkan peran sebagai subyek. Model Fair and Lovely, Shireen Sungkar digambarkan dalam iklan bahwa dia dulunya tidak seputih sekarang, namun karena memakai produk Fair and Lovely maka kulitnya terlihat putih dan cerah. Tokoh iklan ini terlahir dengan warna kulit Asia khususnya Indonesia yang cenderung berkulit coklat. Namun dia merubah kulit wajahnya agar terlihat empat kali lebih putih dan cerah. Hal ini mengundang tanya akan keberadaan “outsider” yang menjejali frame berfikirnya mengenai konsep putih cantik. Dari sinilah subyek semunya mulai terlihat. Adapun relasi subyek-obyek dalam deskripsi iklan Garnier Light Complete Versi Laudya Cyntia Bella lebih jelas terbaca. Hal ini dilihat dari pernyataan Laudya yang mengatakan “Ini, aku yang baru. Nggak takut lagi panas dan polusi yang bikin kulit gelap, bintik hitam, bekas jerawat dan berminyak, karena kini kupilih yang komplit.”Dalam 26 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian kaitannya dengan kulit wajah, maka wajah Laudya sekarang dua tingkat lebih cerah berkat produk yang diiklankan. Tokoh yang semula dipasang sebagai subyek dalam iklan bergeser perannya sehingga subyeknya semu semata. Relasi subyek-obyek dalam deskripsi iklan Olay Natural White Versi Agnes Monica menampilkan Agnes sebagai pelopor dalam pemakaian Olay Natural White. Sebagai orang pertama, Agnes berposisi sebagai subyek. Orang pertama ini telah meyakini konsep cantik yang diwakili oleh putihnya warna kulit sehingga dia mengajak orang lain untuk mengikuti konsep cantiknya. Hal ini terlihat dari dialog berikut ini: “Nyerah dengan kulit cerah yang mudah terhapus? Yang ini enggak.” Sedangkan dalam deskripsi iklan Magic Plus White Cream Versi Paramita Rusadi tidak berbeda dengan ketiga deskripsi iklan diatas. Perannya sebagai subyek semu jelas terlihat karena ada tokoh dibelakangnya yang memformulasikan konsep putih itu cantik. Iklan merupakan karya sastra yang kreatif dan imajinatif ini mampu melukiskan dan memvisualisasikan gejala-gejala warisan postcolonial yang terkandung dalam iklan krim pemutih wajah sehingga melahirkan bias-bias kultural. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna (2007; 212), Paling sedikit ada empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis menggunakan teori postkolonial, (1) sebagai gejala kultural, sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang; (2) karya sastra menampilkan berbagai macam problematika kehidupan, emosionalitas, dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri; (3) karya sastra tidak terikat ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan; (4) berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah idiologi oriental ditanamkan, disini pulalah analisis dekonstruksi postcolonial dilakukan. Iklan pemutih wajah menampilkan gejala kultural yaitu sistem komunikasi, masyarakat itu sendiri, kontemporaritas dan perwujudan simbolis. Keempat hal ini terangkum dalam sajian iklan lightening cream. Berkenaan dengan relasi Subyek-Obyek, keempat deskripsi iklan krim pemutih wajah menampilkan subyek semu yang diperankan oleh para aktris Indonesia. Subyek yang sesungguhnya yaitu seseorang yang secara genetis berkulit putih dan kemudian menetapkan standar itu di tempat lain. “Pemaksaan” kulit putih sebagai standar kecantikan telah menggiring pada relasi subyek-obyek yang hierarkis; satu sisi, Subyek superior dan Obyek disisi lain inferior. Dikotomi Subyek-Obyek turut melahirkan konsep Self-Other dan OrientOccident. Subyek, Self dan Orient merupakan perwujudan superioritas, sedangkan Obyek, Other dan Occident merupakan perwujudan inferioritas. Istilah Other berarti separate SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014 27 entity atau bagian yang eksis namun terpisah. Adapun istilah othering dipelopori oleh Spivak seperti yang dikutip oleh Ashcroft (1998; 171-172), Othering cited by Spivak refers to the imperial discourse‟s numerous ways and processes of creating and producing „colonial subjectivity.‟ Keberadaan “other” sangat penting untuk membantu mendefinisikan akan apa yang disebut standar, normal dan natural. Dengan demikian, colonizers atau penjajah mendefinisikan diri mereka sebagai “The Self” dan sebaliknya pasangan kontrasnya yaitu colonized atau yang dijajah sebagai “the Other.” Karena didefinisikan sebagai the other, maka identitas dari yang dijajah itu dikonstruksi sebagai si inferior. Yang dijajah atau the other atau disebut juga the native dalam tulisan kolonial bahkan jauh lebih minor terjemahannya. Menurut Mills seperti yang dikutip Ganesan (2013;62-63), The natives are often degraded as „sub-human‟ or childlike‟, thus denied „full human status. Mills further states that the natives are fixed to the past through words such as „primitive‟, „backward‟, and „developing‟, and metonymised, thus reiterating their deficiency of full human qualities. Sementara istilah Orient-Occident merujuk pada posisi powerful subject dan powerless object. Said menyatakan bahwa “the discourse of Orientalism helped to comprehend how the European culture effected and administered the Orient politically, sociologically, military, ideologically, scientifically, and imaginatively” (Said; 1978, 3). Jadi Orientalism merupakan body of knowledge yang membantu Barat mengembangkan citra Timur dalam konteks imperialnya.Penciptaan jarak antara Subyek-Obyek, Self-Other, Orient-Occident telah sengaja diciptakan untuk menggarisbawahi seperioritas Subyek. Dengan demikian pemisahan Self-Other merupakan pemisahan yang hirarkis dikotomis. B. PENCARIAN JATI DIRI Relasi Subyek-Obyek, Self-Other, Orient-Occident diatas melanjutkan perjalanan mereka pada pencarian jati diri. Adapun jati diri diperoleh melalui dua cara. Pertama, jati diri diperoleh dari bagaimana seseorang itu memandang diri sendiri dan kedua, jati diri itu diperoleh dari luar yaitu bagaimana orang lain memandangnya. Perjalanan yang harus dilalui untuk menemukan jati diri ini dimulai dari pertanyaan “Who am I?” Pertanyaan diatas merupakan basic question dalam a quest for identity. Semua orang berhak mempertanyakan siapa dirinya, identitasnya, keakuannya. Identitas yang bermuara pada konsep individualitas merupakan western philosophy. Tercatat dalam sejarah bahwa seseorang yang mempertanyakan identitasnya menurut Lindholm (2007; 19), yaitu St.Augustine (354-430 A.D) dengan satu pertanyaan yang melegenda, “Who am I?” (386 A.D). Hal ini menjadi awal perjalanan panjang sejarah western dalam a quest for 28 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian identity. Selanjutnya, dalam pencarian identitas ini, muncul “I” sebagai jawaban. Secara bahasa, kata “I” ditulis dalam huruf kapital baik diawal, ditengah maupun diakhir kalimat. Hal ini berarti, kata “I” dalam huruf kapital mencerminkan “keakuan” yang begitu besar sehingga mengerucut pada konsep individualisme. Adapun pencarian identitas dalam iklan krim pemutih wajah diperoleh melalui atribut fisik. Berdasarkan atribut fisik orang Indonesia, maka standar cantik disini seharusnya kulit coklat itu yang disebut cantik. Namun yang terjadi dalam iklan ini justru sebaliknya, kulit putihlah yang menjadi final achievement standar cantik ideal.Dalam kaitannya dengan atribut fisik, kaum perempuan yang diwakili oleh para model iklan krim pemutih wajah memandang diri sendiri masih jauh dari apa yang disebut cantik. Hal ini disebabkan oleh warna kulit mereka yang coklat. Hal ini terlihat dari deskripsi iklan yang terangkum dalam dialog berikut: “Ini, aku yang baru. Nggak takut lagi panas dan polusi yang bikin kulit gelap, bintik hitam, bekas jerawat dan berminyak, karena kini kupilih yang komplit.” Cuplikan dialog diatas menunjukkan bahwa Laudya memandang dirinya dulu masih belum cantik karena kulitnya yang masih gelap, berbintik hitam dan berminyak. Maka pendapat orang lain yang mengatakan kalau dia sekarang beda telah menjawab pencariannya dalam menemukan jati dirinya. Dengan menjadi “aku yang baru,” Laudya telah menyetujui kulit putih sebagai representasi cantik ideal. Deskripsi adegan iklan Fair and Lovely diawali dari pengakuan orang lain perihal putih cerahnya wajah Shireen Sungkar dalam kalimat “Wajahmu cerah, ingin deh punya wajah sepertimu” menunjukkan bahwa Shireen telah sukses mendapatkan pengakuan dari luar dalam hal yang mewakili standar cantik ideal saat ini. Adapun dalam iklan Olay Natural White, Agnes Monica telah terlebih dahulu mempelopori standar putih itu cantik. Hal ini bisa dilihat dari tetap putih cerahnya kulit wajah Agnes meskipun terkena air hujan saat sesi latihan koreografi. Dalam deskripsi iklan Olay Natural White, maka pencarian jati diri telah diperoleh Agnes yang kemudian mengajak rekan-rekan wanita disekitarnya untuk mengikuti arus standar putih itu cantik dengan cara membeli produk krim pemutih wajah yang dipakainya. Iklan Magic Plus White Cream yang dibintangi Paramita Rusadi juga menampilkan keberhasilan Paramita dalam pencarian jati dirinya yang diwakili oleh perubahan warna kulit dari coklat menjadi putih. Icon produk ini, Paramita Rusadi berkata, “Magic Plus White Cream, rasakan sensasinya dalam satu menit.”Merujuk pada namanya, maka efek dari Magic Plus White Cream sangatlah magic karena sensasi SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014 29 perubahan warna kulit dari coklat menjadi putih hanya perlu waktu satu menit saja. Dengan menjanjikan perubahan warna kulit dalam hitungan menit, maka krim ini seolah menjadi jalan tol yang membantu perempuan mengikuti standar cantik ideal yang mengusung warna putih. Keempat iklan yang mengusung dan menjanjikan perubahan warna kulit itu telah membawa angin mimikri yang diambil dari atribut fisik terutama warna kulit putih. Satu kesamaan yang diusung dalam iklan krim pemutih wajah yaitu fairness is an essential ingredient of woman’s beauty. Idealnya, standar cantik ideal itu mengusung warna budaya serta nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, namun dalam standar kecantikan yang diusung iklan krim pemutih wajah ini justru menampilkan warna budaya luar berikut nilainilai yang dibawa budaya luar tersebut. Keadaan dimana budaya asli terdesak oleh budaya asing ini melahirkan bias kultural karena budaya asli “dipaksa” mengikuti standar budaya asing yang ironisnya diamini dan dilakoni oleh masyarakatnya. Berkenaan dengan iklan krim pemutih wajah yang modelnya masih dalam proses pencarian jati diri, maka mereka dihadapkan pada dua hal berbeda. Konsep individualisme yang menjadi spirit identitas merupakan western product sehingga ketika orang Indonesia mengadopsi konsep ini, maka pengaruh kultural Barat sangat kental mengiringi. Pertarungan antara dua budaya dalam mengusung konsep cantik ideal tersebut akhirnya “dimenangkan” oleh Western culture sehingga standar cantik ideal jatuh pada kulit yang berwarna putih. C. MENGEJAR “MENJADI BARAT” Berkenaan dengan isu penelitian mengenai standar cantik ideal yang diusung oleh krim pemutih wajah, maka mimikri dalam hal ini meniru standar cantik yang diwakili oleh warna kulit wajah yang putih. Jika dilihat dari sudut pandang poskolonial, maka proses mengejar “menjadi barat” terangkum dalam hal-hal yang berkaitan dengan race, gender, class, caste dan ethnicity. Race khususnya ras kulit putih yang dijadikan standar kecantikan jelas mendapatkan prioritas lebih dibanding ras kulit lain; coklat dan hitam. Standar kecantikan yang jatuh pada warna kulit putih berarti pengingkaran akan ras yang dimiliki orang tersebut atau denial of racial origin. Dalam iklan Fair and Lovely versi Shireen Sungkar, jealous woman terlihat dari komentar salah satu kru studio dimana Shireen melakukan aktifitas seninya. Kru perempuan tersebut berkata, “Wajahmu cerah. Ingin deh punya wajah sepertimu.” Dengan rela hati, Shireen mengatakan rahasianya bahwa dia menggunakan Fair and Lovely yang mengandung empat macam vitamin ABCD. Dalam proses menggunakan lightening 30 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian cream, iklan ini memberikan visualisasi dramatis perubahan warna kulit dari awalnya gelap menjadi agak terang, lebih terang dan makin terang. Penggunaan strategi terapeutis ini memberikan efek menakjubkan pada perubahan warna kulit yang didukung oleh perubahan fisik dan emosi. Hal ini terlihat dari before and after perubahan wajah si model dalam hitungan minggu dan perubahan emosi dengan visualisasi kebahagiaan si pemakai terlihat dari perubahan wajah sayu cenderung muram ke wajah cerah disertai senyuman. Hal ini berarti bahwa transformasi dari darkness to lightness dinilai sebagai transformasi positif sehingga harus dirayakan dengan penuh kebahagiaan. Sementara dalam iklan Garnier Light Complete versi Laudya Cyntia Bella, kelengkapan multivitamin pemutih wajah telah dibuktikan diawali dari model iklan itu sendiri. Iklan ini menampilkan hasil menakjubkan dari produk lightening creamnya bahkan wajah menjadi dua tingkat lebih cerah sampai delapan jam bebas kilat. Perjalanan dari darkness to lightness telah dilalui Laudya sehingga dia telah meraih final achievement dalam standar cantik ideal. Laudya telah sukses melakoni mimikri dengan bantuan produk lightening cream yang dibintanginya. Sedangkan dalam iklan Olay Natural White, Agnes Monica telah mengejar menjadi Barat.Kesuksesan mimikri Agneslah yang menjadi dasar kepastiannya. Adapun iklan Magic Plus White Cream versi Paramitha Rusadi juga menawarkan perubahan warna kulit dari gelap menjadi putih bahkan perubahan itu terjadi secara “magic” karena perubahan itu hanya perlu waktu satu menit. Keempat iklan pemutih wajah ini menawarkan perubahan warna kulit dari gelap menjadi putih atau terang. Adapun warna kulit secara biologi ditentukan oleh level melanin dan radiasi Ultra Violet. Menurut Chaplin and Jablonski yang dikutip Picton (2013; 86), Recent epidemiological and physiological evidence suggests to us that the worldwide pattern of human skin color is the product of natural selection acting to regulate the effects of the sun‟s ultraviolet (UV) radiation on key nutrients (in particular vitamin D) crucial to reproductive success. Keempat iklan krim pemutih wajah ini menawarkan warna putih sebagai bagian dari kecantikan, kesuksesan dan kesejahteraan. Hal ini terlihat dari model yang mempopulerkan produk lightening creams. Kebetulan keempat model itu merupakan artis terkenal Indonesia yang sukses di bidang seni peran dan seni suara. Kesusksesan mereka didukung oleh faktor lain yaitu kepemilikan kulit putih yang nantinya memancarkan aura kecantikan mereka, dari sini akan diraihlah kemakmuran dan kesuksesan. Picton (2013; SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014 31 85) dalam tulisannya mengatakan hal senada bahwa “it linked „fairness‟ (i.e. whiteness) with beauty, wealth, and success.” Seperti telah disinggung oleh Ratna diatas, bahwa iklan adalah masyarakat itu sendiri sehingga aksi denial of racial origin telah merangsek masuk dalam masyarakat kita yang seolah tidak bisa menerima diri mereka apa adanya; bahwa kulit gelap itu imperfect physic. Kulit gelap yang dianggap imperfect physic ini senada dengan pernyataan Parameswaran (2009; 215) bahwa “One of the most baseless yet damning of these biases is the over riding pre-eminence of fairness, or a fair complection. By the logic of antonym, dark skin is still today considered one of a woman‟s disadvantages; almost a curse.” Dengan demikian, iklan whitening cream telah membuat satu simpulan bahwa white is beautiful dan dark or black is ugly. Hal senada diungkapkan oleh Entman and Book, 2000; 214), Light is better than dark; light is associated with purity, dark with danger and pollution (and) the white majority appears more accepting of light-skinned black females; those with more „Caucasian‟ features are considered more desirable and more beautiful. Citra white dalam postkolonial tidak hanya berhenti sampai disitu saja, akan tetapi sudah masuk dalam ranah sejarah/history dan warisan/heritage. Colorism dalam history and heritage digambarkan dengan terang benderang dalam ilustrasi kejahatan yang diwakili oleh warna hitam dan kebaikan yang diwakili oleh warna putih. Cerita dalam mitos, kartun dan film mengenai dewa-dewi, ksatria, raja-ratu, pangeran-putri diasosiasikan dalam warna putih yang membawa energi positif seperti ketuhanan, kekuatan, kebaikan, kecantikan, moral dan welas asih yang dikontraskan dengan warna kulit hitam yang diasosiasikan dengan kejahatan, kekerasan, kebrutalan, kebodohan, penyimpangan, immoral, dan kemarahan. Demikian juga citra white dalam iklan krim pemutih wajah merepresentasikan bahwa kulit putih sebagai desirable femininitydanpurity. Disadari atau tidak, iklan lightening cream pada kenyataannya telah memarginalkan darkskinned woman. Hal ini terbaca dari resahnya para perempuan dengan warna kulit gelapnya sehingga warna gelap ini perlu di “detox” menggunakan krim pemutih karena hal ini dianggap tidak murni. Karena target audien iklan lightening cream adalah perempuan, maka hal ini masuk dalam domain gender. Adapun gender merupakan social and cultural construction yang dalam hal ini “menuntut” perempuan merubah warna kulitnya menjadi putih, dan hal ini tidak terjadi pada para prianya. Sedangkan class dalam hal ini menunjukkan bahwa 32 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian yang berkulit putih itu lebih berkelas dan berkualitas. Untuk meyakinkan kualitasnya, maka produsen iklan krim pemutih wajahpun menggandeng para ahli dermatologi dan mendirikan institusi yang bergerak di bidang kecantikan untuk mendukung keilmiahannya. Adapun institusi yang menaungi produk lightening cream antara lain Ponds Institute, Garnier Laboratories, Pond‟s Careline. Sedangkan istilah-istilah dermatological science yang digunakan untuk meyakinkan audien seperti UVA, UVB, SPF 5, SPF 15, Vitamin A, Vitamin B, Vitamin C, Vitamin E, UV filters, UV Guard, Sun Protector, Sun Block, mexoryl SX. Perlu diketahui bahwa istilah-istilah dermatologi yang digunakan dalam memaparkan ingredient krim pemutih wajah menggunakan bahasa Inggris. Istilah-istilah dermatology diatas mewakili Western science dalam membangun kuasanya atas dunia Timur. Kuasa Western science atas Timur jelas terbaca ketika Western science yang mengusung dermatological terms di hadapkan pada local authenticity yang mengusung khasiat herbal, maka masyarakat akan cenderung memilih Western science terlebih dahulu dan menempatkan khasiat herbal dari negara sendiri belakangan. Karena berasal dari Barat, maka Western science menggunakan bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris dalam pandangan poskolonial berarti bahwa bahasa Inggris ini berkedudukan sebagai pembawa budaya yang mewakili Western culture. Adapun istilah yang berkaitan dengan dermatological science di dalam ramuan krim pemutih wajah telah menunjukkan satu realitas bahwa pengetahuan Barat jauh lebih maju dari Timur. Bahasa bisa dipakai sebagai tolok ukur pengaruh si pemakainya. Semakin sering bahasa itu digunakan di berbagai tempat, maka pengaruhnya akan semakin besar. Hal ini sudah terbukti bahwa bahasa Inggris yang merupakan salah satu bahasa internasional menancapkan pengaruhnya sebagai orang-orang yang menguasai dunia. Penguasaan scientific knowledge yang tertuang dalam ramuan krim pemutih wajah mengarahkan Barat meraih hegemoni atas Timur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Said yang terpengaruh oleh pemikiran Gramsci dalam merumuskan Orientalismenya. Adapun Orientalisme Said menyatakan bahwa dalam hegemoni itu terdapat dua hal penting yaitu pengetahuan/knowledge dan kekusaan/power. Dengan memilki knowledge maka power akan diraih. Orientalisme Said adalah bentuk “knowledge” dalam mengukuhkan “power” atau kolonialisme. Hal ini sejalan dengan realitas dilapangan bahwa bahasa Inggris yang mewakili Barat telah menguasai knowledge sehingga meraih power. Dalam proses itu, terjadilah dikotomi yang membedakan antara yang menguasai knowledge dan power serta yang dikuasai. Oleh karena itu, penelitian ini sejalan dengan SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014 33 studi Orien yang dipaparkan Said. Adapun dalam pelitian ini, studi Orien atas krim pemutih wajah termasuk dalam kategori menciptakan citra diri sehingga menciptakan dikotomi secara laten. Hal ini sesuai dengan Ratna (2007; 216) yang menyatakan bahwa, ”Said membagi studi orien menjadi tiga tahap; (1) sebagai semata-mata kajian akademis; (2) sebagai usaha meraih kekuasaan; (3) sebagai usaha menciptakan citra diri, dengan cara menciptakan dikotomi secara laten. Adapun pencitraan melahirkan dikotomi secara laten seperti pemisahan SelfOther, makaterbentanglah jarak pemisah diantara keduanya. Penciptaan jarak berdasarkan warna telah melahirkan rasisme, hal ini sesuai dengan visi poskolonial. Adapun visi postcolonial adalah “menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun seperioritas Barat dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur” (Ratna, 2007; 206-207). Dalam pandangan poskolonial, perempuan yang ingin kulitnya berubah menjadi putih adalah obyek yang dibaca, dilihat dan dinilai. Menurut pandangan Western culture, hitam atau coklat tidaklah cantik sehingga harus dirubah atribut fisiknya sesuai dengan Western standard of beauty. Dalam kaitannya dengan obyek penelitian, maka usaha mengejar “menjadi Barat” dengan perantara lightening cream sesuai dengan visi postcolonial karena untuk meraih desirable femininity, para perempuan mengacuhkan racial origin mereka dan mengejar “menjadi Barat” dengan cara mimikri. Adapunsuperioritas kulit putih dan inferioritas kulit coklat dan gelap dalam iklan krim pemutih wajah turut melahirkan kelas dan atau kasta berdasarkan warna kulit. Model Colorismseperti ini sudah lama eksis dan mulai ditandai pada abad ke-17 dalam wujud perbudakan. Kemudian pada abad ke-19, colorism berganti cover yang terwujud dalam pemetaan warna kulit di dunia dalam istilah-istilah tertentu. Parameswaran (2009) dalam tulisannya menyinggung istilah Africans as “Darkies”, East Asians as “Yellow Orientals”, Native Americans as “Red Indians”, dan South Asians as “Dark Natives” - hal ini mengingatkan pada warna kulit yang akhirnya membentuk binary opposition yaitu white self dan non-white other. Senada dengan Parameswaran, gagasan mengenai colorism juga dikemukakan oleh Amali (2004; 253) bahwa, “As every South Asian woman knows, the word „fair‟ and „beautiful‟ are often used synonimously in female beauty decription and feminine gender identity construction.” Adapun orang Indonesia yang letak geografisnya termasuk dalam South East Asia masuk dalam kategori “Dark Natives.” Dari sinilah muncul etnis yang dibawa masing-masing orang. Ethnicity yang menyusul kemudian mengarisbawahi bahwa etnis Western digambarkan paling 34 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian superior dibanding etnis Asia dan Afrika. Jadi whiteness berarti racial supremacy yang menghapus ethnic identity. Ide mengenai racial superiority ini merupakan akibat langsung dari imperialisme Eropa. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menawarkan satu simpulan bahwa iklan krim pemutih wajah telah melahirkan bias-bias kultural sehingga konsep putih cantik merupakan racialized beauty. Adapun bias-bias kultural yang menciptakan racialized beauty dan terbungkus rapi dalam glamornya iklan krim pemutih wajah terbaca dari; relasi SubyekObyek/Self-Other/Orient/Occident, Pencarian Jari Diri, dan Mengejar “Menjadi Barat”. Akhirnya, peneliti menawarkan saran bahwa kajian ini masih sebatas pada empat iklan krim pemutih wajah yang tayang di televisi Indonesia. Oleh karena itu perlu penambahan data primer untuk kajian yang lebih luas cakupannya dan lebih komprehensif berkaitan dengan gejala postcolonial dalam iklan krim pemutih wajah. PERSANTUNAN Penelitian ini terlaksana berkat dukungan dana penelitian dari Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Penelitian Dosen Muda berdasarkan Kontrak Penelitian antara Ketua LP3M UNIBA dan Ketua Peneliti dengan Nomor: 14/LP3M.UNIBA/PEMULA/SP/PENELITIAN/2014. Peneliti ucapkan terima kasih atas dukungan dana tersebut sehingga penelitian ini terlaksana. DAFTAR PUSTAKA Amali, Philips. 2004. “Gendering Color: Identity, Femininity and Mariage in Kerala” Anthropologica; 2004; 46, 2; Proquest. pg. 253. Ashcroft, Bill, Griffiths, Tiffin. 1989. The Empire Writes Back. London New York: Routledge. America. Ashcroft, Bill, Griffiths, Tiffin. 1998. Key Concepts in Post-Colonial Studies. London:Routledge. England. Babana-Hampton, Safoi. “Literary Representations of Female Identity: Feminism in ArabMuslim Societies and Clashing Paradigms on Conceptions of Modernity, Tradition, and Selfhood.” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol.19,Issue.4, pp.23-41 Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Edisi Revisi. Yogyakarta: MedPress. Indonesia. SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014 35 Entman, M. And C. Book 2000. “Light makes right: skin colour and racial hierarchy in television advertising” in Andersen, R. And Strate, L (eds) Critical Studies in Media Commercialism. Oxford: Oxford University Press, pp. 214-24. Ganesan, Gautaman, Elangkeeran Sabapathy. 2013. “A Postcolonial Reading of Cecil Rajendra‟s Selected Poems” Asian Social Science; Vol 9, No. 15, 2013 Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Allen &Unwin. Lindholm, Charles. 2007. Culture and Identity: The history, Theory,, and Practice of Psychological Anthroplogy. Oneworld Publications. Oxford-England. McLeod, John. 2007. The Routledge Companion to Postcolonial Studies. Routledge, Taylor and Francis Group. London and New York Parameswaran, Radhika, Kavitha Cardoza. 2009. “Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India” Journalism and Communication Monographs; Autumn 2009;11, 3; Proquest Research Library pg .213 Picton, Oliver. 2013. “The complexities of complexion: a cultural geography of skin colour and beauty products” Geography Vol. 98 Part 2 Summer 2013. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Indonesia. Ritchie, Jane and Jane Lewis. 2003. Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Student and Researchers. London. Thousand Oaks. New Delhi. Sage Publications Ltd. England. Said, Edward. 1977. Orientalism.London: Penguin. England. Saraswati, L. Ayu. 2014. “Cosmopolitan Whiteness: The Effects and Affects of SkinWhitening Advertisements in a Transnational Women‟s Magazine in Indonesia” Meridians. Vol. 10 Issue 2 pp. 15-41. Proquest Research Library. 36 Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian