bias-bias kultural dalam warna putih ideal

advertisement
BIAS-BIAS KULTURAL DALAM WARNA PUTIH IDEAL
Eny Kustiyah
Burhanudin Ahmad Yani
(FakultasEkonomi, Universitas Islam Batik Surakarta)
ABSTRACT
This research aims at revealing cultural biases in the whitening cream advertisements on television.
The method of the research is descriptive qualitative. The primary sources of data are four whitening
cream advertisements which consist of Shireen Sungkar‟s Fair and Lovely, Laudya Cyntia Bella‟s
Garnier Light Complete, Agnes Monica‟s Olay Natural White, and Paramitha Rusadi‟s Magic Plus
White Cream. The present researcher employs library research and note-taking technique to collect
the data. Whereas the type of data are words, phrases, clauses, sentences and narration. Postcolonial
theory used to analize the data in this research. The present researcher employs semiotics approach
for deeper understanding. The outcome of the research is that there are cultural biases in the
formulation of white as beauty ideal which turn into racialized beauty.
Key words: cultural biases, white skin
PENDAHULUAN
Produk krim pemutih wajah atau whitening cream belakangan ini marak diiklankan di
televisi. Sesuai namanya, iklan whitening cream menawarkan bahwa produk tersebut mampu
membuat kulit menjadi lebih putih dan cerah dalam waktu singkat. Iklan ini memberikan
visualisasi yang begitu meyakinkan pada perubahan warna kulit dari coklat/gelap menjadi
putih/lebih cerah dan terang. Untuk lebih meyakinkan konsumen, iklan krim pemutih wajah
memasang model para artis terkenal yang mempesona dengan kulit putihnya.
Dalam iklan pemutih wajah, warna putih merupakan representasi dari kecantikan
wanita. Konsep cantik yang mengedepankan kulit wajah putih ini seolah sudah menjadi
standar kecantikan di dalam masyarakat. Dari sini peneliti menawarkan satu alasan dalam
pemilihan iklan krim pemutih wajah yaitu mengenai penetapan warna putih ideal sebagai
perwakilan kata sifat cantik. Peneliti menjatuhkan pilihan pada teori postkolonial karena
peneliti melihat adanya bias-bias kultural dibalik penetapan standar putih cantik ideal.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif. Adapun sumber data utama penelitian, teknik
mengumpulkan data, dan teknik menganalisa data akan disajikan sebagai berikut.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah iklanlightening cream yang terdiri dari
iklan Fair and Lovely versi Shireen Sungkar,Iklan Garnier Light Complete Versi Laudya
Cyntia Bella,Iklan Olay Natural White Versi Agnes Monica, Iklan Magic Plus White Cream
24
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
Versi Paramita Rusadi. Sedangkan sumber data sekunder diambil dari berbagai sumber
rujukan berupa kajian pustaka. Adapun tipe data adalah teks berupa kata, frase, anak kalimat,
kalimat dan narasi.
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan library research; mencari dan
mengelompokkan ungkapan dan komentar kritis yang berkaitan dengan topik penelitian.
Selanjutnya, data-data tersebut dikumpulkan melalui teknik pencatatan atau note
taking;bagian dari menulis dokumen dari paragrap atau esai akan peneliti dokumentasikan
dalam lembaran riset. Kemudian, data-data yang sudah diperoleh dikelompokkan dalam
domain-domain tertentu.
Untuk menganalisis data, peneliti menerapkan dua langkah. Langkah pertama yang
peneliti lakukan adalah menganalisa data-data yang terkumpul secara deskriptif dan
hermeneutik. Hal ini dilakukan untuk menemukan elemen struktural dari data-data primer
yang terdiri dari tokoh dan penokohan, latar, alur, teknik penuturan, dan tema. Langkah
kedua, data-data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan Semiotik dan menggunakan
teori postcolonialuntuk menelusuri dan menemukan bias-bias kultural yang terwujud dalam
konteks mimikri dan pencarian jati diri.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam iklan pemutih wajah, konsep cantik itu berarti memiliki kulit wajah putih
bersih. Kedigdayaan iklan telah diakui banyak orang bahkan iklan pemutih wajah
menyebarkan doktrin femininitas. Hal ini seperti pernyataan Parameswaran (2009; 217)
bahwa “Circulating within shifting fields of gender relations, advertising pedagogical
doctrines of femininity-fairness, slimness, youthfulness, light skin, long legs, and big eyes,...”
Salah satu perwakilan doctrines of femininity yang diangkat dalam penelitian ini yakni
colorism atau konsep cantik yang mengedepankan kulit wajah putih yang sudah menjadi
standar kecantikan di masyarakat.
White yang mewakili standar kecantikan saat ini meninggalkan jejek kolonial yang
bias. Hal ini terbaca secara kasat mata bahwa warna kulit orang Indonesia termasuk cokelat,
sedangkan standar kecantikan yang dianut saat ini kulit putihlah yang cantik. Untuk
membongkar bias-bias kultural dalam kulit putih seperti representasi iklan whitening cream,
maka peneliti akan menguraikan beberapa tahapan pembahasannya sebagai berikut; Relasi
Subyek-Obyek, Self-Other, Orient-Occident, Pencarian Jati Diri, Mengejar “Menjadi Barat.”
A. RELASI SUBYEK-OBYEK, SELF-OTHER,ORIENT-OCCIDENT
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
25
Colorism yang tertuang dalam booming krim pemutih wajah yang akhir-akhir ini
marak tayang dalam iklan di televisi telah mencipkan “virus baru” dalam kehidupan sosial
masyarakat yang berakibat pada social changes. Kompetisi antar krim pemutih wajah
semakin luas konteksnya sehingga menimbulkan gaya hidup baru yakni konsumerisme
atau lebih tepatnya skin-lightening lifestyle cosumerism.
Empat iklan krim pemutih wajah tersebut dibintangi oleh artis Indonesia dan
ditawarkan kepada masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, ada tokoh yang bertindak sebagai
subyek dan juga obyek. Artis yang menawarkan krim pemutih berperan sebagai subyek,
audiennya berperan sebagai obyek. Maka selanjutnya, peneliti akan mencari tahu relasi
antara subyek – obyek yang terdapat dalam iklan.
Adapun subyek dalam tata bahasa adalah pihak yang melakukan pekerjaan
sementara obyek adalah pihak yang dikenai pekerjaan. Pihak yang melakukan pekerjaan
merupakan active agent yang bergerak dinamis, maju, dan memiliki inisiatif, sedangkan
obyek adalah pihak yang dikenai pekerjaan maka ada cenderungan pasif dan menerima.
Meskipun empat model iklan krim pemutih wajah diperankan oleh orang
Indonesia, namun dalam pandangan postcolonial, ada sesuatu yanag terselubung dalam
iklan tersebut. Adapun sesuatu yang tidak terang-terangan ditampilkan dalam iklan yaitu
sang penggagas yang merumuskan konsep cantik yang diwakili oleh warna kulit
khususnya yang berwarna putih. Jadi para tokoh iklan krim pemutih wajah yang secara
eksplisit berperan sebagai subyek, namun sebenarnya subyek yang dimainkan adalah
subyek semu. Artinya para tokoh iklan bukanlah subyek dalam artian yang sebenarnya
namun mereka merupakan obyek yang “dipinjam” oleh sang penggagas untuk memainkan
peran sebagai subyek.
Model Fair and Lovely, Shireen Sungkar digambarkan dalam iklan bahwa dia
dulunya tidak seputih sekarang, namun karena memakai produk Fair and Lovely maka
kulitnya terlihat putih dan cerah. Tokoh iklan ini terlahir dengan warna kulit Asia
khususnya Indonesia yang cenderung berkulit coklat. Namun dia merubah kulit wajahnya
agar terlihat empat kali lebih putih dan cerah. Hal ini mengundang tanya akan keberadaan
“outsider” yang menjejali frame berfikirnya mengenai konsep putih cantik. Dari sinilah
subyek semunya mulai terlihat.
Adapun relasi subyek-obyek dalam deskripsi iklan Garnier Light Complete Versi
Laudya Cyntia Bella lebih jelas terbaca. Hal ini dilihat dari pernyataan Laudya yang
mengatakan “Ini, aku yang baru. Nggak takut lagi panas dan polusi yang bikin kulit gelap,
bintik hitam, bekas jerawat dan berminyak, karena kini kupilih yang komplit.”Dalam
26
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
kaitannya dengan kulit wajah, maka wajah Laudya sekarang dua tingkat lebih cerah berkat
produk yang diiklankan. Tokoh yang semula dipasang sebagai subyek dalam iklan
bergeser perannya sehingga subyeknya semu semata.
Relasi subyek-obyek dalam deskripsi iklan Olay Natural White Versi Agnes
Monica menampilkan Agnes sebagai pelopor dalam pemakaian Olay Natural White.
Sebagai orang pertama, Agnes berposisi sebagai subyek. Orang pertama ini telah meyakini
konsep cantik yang diwakili oleh putihnya warna kulit sehingga dia mengajak orang lain
untuk mengikuti konsep cantiknya. Hal ini terlihat dari dialog berikut ini:
“Nyerah dengan kulit cerah yang mudah terhapus? Yang ini enggak.”
Sedangkan dalam deskripsi iklan Magic Plus White Cream Versi Paramita Rusadi
tidak berbeda dengan ketiga deskripsi iklan diatas. Perannya sebagai subyek semu jelas
terlihat karena ada tokoh dibelakangnya yang memformulasikan konsep putih itu cantik.
Iklan merupakan karya sastra yang kreatif dan imajinatif ini mampu melukiskan dan
memvisualisasikan gejala-gejala warisan postcolonial yang terkandung dalam iklan krim
pemutih wajah sehingga melahirkan bias-bias kultural. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ratna (2007; 212),
Paling sedikit ada empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk
dianalisis menggunakan teori postkolonial, (1) sebagai gejala kultural, sastra
menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator
antara masa lampau dengan masa sekarang; (2) karya sastra menampilkan berbagai
macam problematika kehidupan, emosionalitas, dan intelektualitas, fiksi dan fakta,
karya sastra adalah masyarakat itu sendiri; (3) karya sastra tidak terikat ruang dan
waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan; (4)
berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung,
sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah idiologi
oriental ditanamkan, disini pulalah analisis dekonstruksi postcolonial dilakukan.
Iklan pemutih wajah menampilkan gejala kultural yaitu sistem komunikasi,
masyarakat itu sendiri, kontemporaritas dan perwujudan simbolis. Keempat hal ini
terangkum dalam sajian iklan lightening cream. Berkenaan dengan relasi Subyek-Obyek,
keempat deskripsi iklan krim pemutih wajah menampilkan subyek semu yang diperankan
oleh para aktris Indonesia. Subyek yang sesungguhnya yaitu seseorang yang secara genetis
berkulit putih dan kemudian menetapkan standar itu di tempat lain. “Pemaksaan” kulit
putih sebagai standar kecantikan telah menggiring pada relasi subyek-obyek yang
hierarkis; satu sisi, Subyek superior dan Obyek disisi lain inferior.
Dikotomi Subyek-Obyek turut melahirkan konsep Self-Other dan OrientOccident. Subyek, Self dan Orient merupakan perwujudan superioritas, sedangkan Obyek,
Other dan Occident merupakan perwujudan inferioritas. Istilah Other berarti separate
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
27
entity atau bagian yang eksis namun terpisah. Adapun istilah othering dipelopori oleh
Spivak seperti yang dikutip oleh Ashcroft (1998; 171-172), Othering cited by Spivak
refers to the imperial discourse‟s numerous ways and processes of creating and producing
„colonial
subjectivity.‟
Keberadaan
“other”
sangat
penting
untuk
membantu
mendefinisikan akan apa yang disebut standar, normal dan natural. Dengan demikian,
colonizers atau penjajah mendefinisikan diri mereka sebagai “The Self” dan sebaliknya
pasangan kontrasnya yaitu colonized atau yang dijajah sebagai “the Other.” Karena
didefinisikan sebagai the other, maka identitas dari yang dijajah itu dikonstruksi sebagai si
inferior. Yang dijajah atau the other atau disebut juga the native dalam tulisan kolonial
bahkan jauh lebih minor terjemahannya. Menurut Mills seperti yang dikutip Ganesan
(2013;62-63),
The natives are often degraded as „sub-human‟ or childlike‟, thus denied „full
human status. Mills further states that the natives are fixed to the past through
words such as „primitive‟, „backward‟, and „developing‟, and metonymised, thus
reiterating their deficiency of full human qualities.
Sementara istilah Orient-Occident merujuk pada posisi powerful subject dan
powerless object. Said menyatakan bahwa “the discourse of Orientalism helped to
comprehend how the European culture effected and administered the Orient politically,
sociologically, military, ideologically, scientifically, and imaginatively” (Said; 1978, 3).
Jadi Orientalism merupakan body of knowledge yang membantu Barat mengembangkan
citra Timur dalam konteks imperialnya.Penciptaan jarak antara Subyek-Obyek, Self-Other,
Orient-Occident telah sengaja diciptakan untuk menggarisbawahi seperioritas Subyek.
Dengan demikian pemisahan Self-Other merupakan pemisahan yang hirarkis dikotomis.
B. PENCARIAN JATI DIRI
Relasi Subyek-Obyek, Self-Other, Orient-Occident diatas melanjutkan perjalanan
mereka pada pencarian jati diri. Adapun jati diri diperoleh melalui dua cara. Pertama, jati
diri diperoleh dari bagaimana seseorang itu memandang diri sendiri dan kedua, jati diri itu
diperoleh dari luar yaitu bagaimana orang lain memandangnya. Perjalanan yang harus
dilalui untuk menemukan jati diri ini dimulai dari pertanyaan “Who am I?”
Pertanyaan diatas merupakan basic question dalam a quest for identity. Semua
orang berhak mempertanyakan siapa dirinya, identitasnya, keakuannya. Identitas yang
bermuara pada konsep individualitas merupakan western philosophy. Tercatat dalam
sejarah bahwa seseorang yang mempertanyakan identitasnya menurut Lindholm (2007;
19), yaitu St.Augustine (354-430 A.D) dengan satu pertanyaan yang melegenda, “Who am
I?” (386 A.D). Hal ini menjadi awal perjalanan panjang sejarah western dalam a quest for
28
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
identity. Selanjutnya, dalam pencarian identitas ini, muncul “I” sebagai jawaban. Secara
bahasa, kata “I” ditulis dalam huruf kapital baik diawal, ditengah maupun diakhir kalimat.
Hal ini berarti, kata “I” dalam huruf kapital mencerminkan “keakuan” yang begitu besar
sehingga mengerucut pada konsep individualisme.
Adapun pencarian identitas dalam iklan krim pemutih wajah diperoleh melalui
atribut fisik. Berdasarkan atribut fisik orang Indonesia, maka standar cantik disini
seharusnya kulit coklat itu yang disebut cantik. Namun yang terjadi dalam iklan ini justru
sebaliknya, kulit putihlah yang menjadi final achievement standar cantik ideal.Dalam
kaitannya dengan atribut fisik, kaum perempuan yang diwakili oleh para model iklan krim
pemutih wajah memandang diri sendiri masih jauh dari apa yang disebut cantik. Hal ini
disebabkan oleh warna kulit mereka yang coklat. Hal ini terlihat dari deskripsi iklan yang
terangkum dalam dialog berikut:
“Ini, aku yang baru. Nggak takut lagi panas dan polusi yang bikin kulit gelap, bintik
hitam, bekas jerawat dan berminyak, karena kini kupilih yang komplit.”
Cuplikan dialog diatas menunjukkan bahwa Laudya memandang dirinya dulu
masih belum cantik karena kulitnya yang masih gelap, berbintik hitam dan berminyak.
Maka pendapat orang lain yang mengatakan kalau dia sekarang beda telah menjawab
pencariannya dalam menemukan jati dirinya. Dengan menjadi “aku yang baru,” Laudya
telah menyetujui kulit putih sebagai representasi cantik ideal.
Deskripsi adegan iklan Fair and Lovely diawali dari pengakuan orang lain perihal
putih cerahnya wajah Shireen Sungkar dalam kalimat “Wajahmu cerah, ingin deh punya
wajah sepertimu” menunjukkan bahwa Shireen telah sukses mendapatkan pengakuan dari
luar dalam hal yang mewakili standar cantik ideal saat ini. Adapun dalam iklan Olay
Natural White, Agnes Monica telah terlebih dahulu mempelopori standar putih itu cantik.
Hal ini bisa dilihat dari tetap putih cerahnya kulit wajah Agnes meskipun terkena air hujan
saat sesi latihan koreografi. Dalam deskripsi iklan Olay Natural White, maka pencarian
jati diri telah diperoleh Agnes yang kemudian mengajak rekan-rekan wanita disekitarnya
untuk mengikuti arus standar putih itu cantik dengan cara membeli produk krim pemutih
wajah yang dipakainya.
Iklan Magic Plus White Cream yang dibintangi Paramita Rusadi juga
menampilkan keberhasilan Paramita dalam pencarian jati dirinya yang diwakili oleh
perubahan warna kulit dari coklat menjadi putih. Icon produk ini, Paramita Rusadi
berkata, “Magic Plus White Cream, rasakan sensasinya dalam satu menit.”Merujuk pada
namanya, maka efek dari Magic Plus White Cream sangatlah magic karena sensasi
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
29
perubahan warna kulit dari coklat menjadi putih hanya perlu waktu satu menit saja.
Dengan menjanjikan perubahan warna kulit dalam hitungan menit, maka krim ini seolah
menjadi jalan tol yang membantu perempuan mengikuti standar cantik ideal yang
mengusung warna putih.
Keempat iklan yang mengusung dan menjanjikan perubahan warna kulit itu telah
membawa angin mimikri yang diambil dari atribut fisik terutama warna kulit putih. Satu
kesamaan yang diusung dalam iklan krim pemutih wajah yaitu fairness is an essential
ingredient of woman’s beauty. Idealnya, standar cantik ideal itu mengusung warna budaya
serta nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, namun dalam standar kecantikan yang
diusung iklan krim pemutih wajah ini justru menampilkan warna budaya luar berikut nilainilai yang dibawa budaya luar tersebut. Keadaan dimana budaya asli terdesak oleh budaya
asing ini melahirkan bias kultural karena budaya asli “dipaksa” mengikuti standar budaya
asing yang ironisnya diamini dan dilakoni oleh masyarakatnya.
Berkenaan dengan iklan krim pemutih wajah yang modelnya masih dalam proses
pencarian jati diri, maka mereka dihadapkan pada dua hal berbeda. Konsep individualisme
yang menjadi spirit identitas merupakan western product sehingga ketika orang Indonesia
mengadopsi konsep ini, maka pengaruh kultural Barat sangat kental mengiringi.
Pertarungan antara dua budaya dalam mengusung konsep cantik ideal tersebut akhirnya
“dimenangkan” oleh Western culture sehingga standar cantik ideal jatuh pada kulit yang
berwarna putih.
C. MENGEJAR “MENJADI BARAT”
Berkenaan dengan isu penelitian mengenai standar cantik ideal yang diusung oleh
krim pemutih wajah, maka mimikri dalam hal ini meniru standar cantik yang diwakili oleh
warna kulit wajah yang putih. Jika dilihat dari sudut pandang poskolonial, maka proses
mengejar “menjadi barat” terangkum dalam hal-hal yang berkaitan dengan race, gender,
class, caste dan ethnicity. Race khususnya ras kulit putih yang dijadikan standar
kecantikan jelas mendapatkan prioritas lebih dibanding ras kulit lain; coklat dan hitam.
Standar kecantikan yang jatuh pada warna kulit putih berarti pengingkaran akan ras yang
dimiliki orang tersebut atau denial of racial origin.
Dalam iklan Fair and Lovely versi Shireen Sungkar, jealous woman terlihat dari
komentar salah satu kru studio dimana Shireen melakukan aktifitas seninya. Kru
perempuan tersebut berkata, “Wajahmu cerah. Ingin deh punya wajah sepertimu.” Dengan
rela hati, Shireen mengatakan rahasianya bahwa dia menggunakan Fair and Lovely yang
mengandung empat macam vitamin ABCD. Dalam proses menggunakan lightening
30
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
cream, iklan ini memberikan visualisasi dramatis perubahan warna kulit dari awalnya
gelap menjadi agak terang, lebih terang dan makin terang. Penggunaan strategi terapeutis
ini memberikan efek menakjubkan pada perubahan warna kulit yang didukung oleh
perubahan fisik dan emosi. Hal ini terlihat dari before and after perubahan wajah si model
dalam hitungan minggu dan perubahan emosi dengan visualisasi kebahagiaan si pemakai
terlihat dari perubahan wajah sayu cenderung muram ke wajah cerah disertai senyuman.
Hal ini berarti bahwa transformasi dari darkness to lightness dinilai sebagai transformasi
positif sehingga harus dirayakan dengan penuh kebahagiaan.
Sementara dalam iklan Garnier Light Complete versi Laudya Cyntia Bella,
kelengkapan multivitamin pemutih wajah telah dibuktikan diawali dari model iklan itu
sendiri. Iklan ini menampilkan hasil menakjubkan dari produk lightening creamnya
bahkan wajah menjadi dua tingkat lebih cerah sampai delapan jam bebas kilat. Perjalanan
dari darkness to lightness telah dilalui Laudya sehingga dia telah meraih final achievement
dalam standar cantik ideal. Laudya telah sukses melakoni mimikri dengan bantuan produk
lightening cream yang dibintanginya.
Sedangkan dalam iklan Olay Natural White, Agnes Monica telah mengejar
menjadi Barat.Kesuksesan mimikri Agneslah yang menjadi dasar kepastiannya. Adapun
iklan Magic Plus White Cream versi Paramitha Rusadi juga menawarkan perubahan warna
kulit dari gelap menjadi putih bahkan perubahan itu terjadi secara “magic” karena
perubahan itu hanya perlu waktu satu menit.
Keempat iklan pemutih wajah ini menawarkan perubahan warna kulit dari gelap
menjadi putih atau terang. Adapun warna kulit secara biologi ditentukan oleh level
melanin dan radiasi Ultra Violet. Menurut Chaplin and Jablonski yang dikutip Picton
(2013; 86),
Recent epidemiological and physiological evidence suggests to us that the
worldwide pattern of human skin color is the product of natural selection acting to
regulate the effects of the sun‟s ultraviolet (UV) radiation on key nutrients (in
particular vitamin D) crucial to reproductive success.
Keempat iklan krim pemutih wajah ini menawarkan warna putih sebagai bagian
dari kecantikan, kesuksesan dan kesejahteraan. Hal ini terlihat dari model yang
mempopulerkan produk lightening creams. Kebetulan keempat model itu merupakan artis
terkenal Indonesia yang sukses di bidang seni peran dan seni suara. Kesusksesan mereka
didukung oleh faktor lain yaitu kepemilikan kulit putih yang nantinya memancarkan aura
kecantikan mereka, dari sini akan diraihlah kemakmuran dan kesuksesan. Picton (2013;
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
31
85) dalam tulisannya mengatakan hal senada bahwa “it linked „fairness‟ (i.e. whiteness)
with beauty, wealth, and success.”
Seperti telah disinggung oleh Ratna diatas, bahwa iklan adalah masyarakat itu
sendiri sehingga aksi denial of racial origin telah merangsek masuk dalam masyarakat kita
yang seolah tidak bisa menerima diri mereka apa adanya; bahwa kulit gelap itu imperfect
physic. Kulit gelap yang dianggap imperfect physic ini senada dengan pernyataan
Parameswaran (2009; 215) bahwa “One of the most baseless yet damning of these biases
is the over riding pre-eminence of fairness, or a fair complection. By the logic of antonym,
dark skin is still today considered one of a woman‟s disadvantages; almost a curse.”
Dengan demikian, iklan whitening cream telah membuat satu simpulan bahwa white is
beautiful dan dark or black is ugly. Hal senada diungkapkan oleh Entman and Book, 2000;
214),
Light is better than dark; light is associated with purity, dark with danger and
pollution (and) the white majority appears more accepting of light-skinned black
females; those with more „Caucasian‟ features are considered more desirable and
more beautiful.
Citra white dalam postkolonial tidak hanya berhenti sampai disitu saja, akan
tetapi sudah masuk dalam ranah sejarah/history dan warisan/heritage. Colorism dalam
history and heritage digambarkan dengan terang benderang dalam ilustrasi kejahatan yang
diwakili oleh warna hitam dan kebaikan yang diwakili oleh warna putih. Cerita dalam
mitos, kartun dan film mengenai dewa-dewi, ksatria, raja-ratu, pangeran-putri
diasosiasikan dalam warna putih yang membawa energi positif seperti ketuhanan,
kekuatan, kebaikan, kecantikan, moral dan welas asih yang dikontraskan dengan warna
kulit hitam yang diasosiasikan dengan kejahatan, kekerasan, kebrutalan, kebodohan,
penyimpangan, immoral, dan kemarahan. Demikian juga citra white dalam iklan krim
pemutih wajah merepresentasikan bahwa kulit putih sebagai desirable femininitydanpurity.
Disadari atau tidak, iklan lightening cream pada kenyataannya telah memarginalkan darkskinned woman. Hal ini terbaca dari resahnya para perempuan dengan warna kulit
gelapnya sehingga warna gelap ini perlu di “detox” menggunakan krim pemutih karena
hal ini dianggap tidak murni.
Karena target audien iklan lightening cream adalah perempuan, maka hal ini
masuk dalam domain gender. Adapun gender merupakan social and cultural construction
yang dalam hal ini “menuntut” perempuan merubah warna kulitnya menjadi putih, dan hal
ini tidak terjadi pada para prianya. Sedangkan class dalam hal ini menunjukkan bahwa
32
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
yang berkulit putih itu lebih berkelas dan berkualitas. Untuk meyakinkan kualitasnya,
maka produsen iklan krim pemutih wajahpun menggandeng para ahli dermatologi dan
mendirikan institusi yang bergerak di bidang kecantikan untuk mendukung keilmiahannya.
Adapun institusi yang menaungi produk lightening cream antara lain Ponds Institute,
Garnier Laboratories, Pond‟s Careline. Sedangkan istilah-istilah dermatological science
yang digunakan untuk meyakinkan audien seperti UVA, UVB, SPF 5, SPF 15, Vitamin A,
Vitamin B, Vitamin C, Vitamin E, UV filters, UV Guard, Sun Protector, Sun Block,
mexoryl SX. Perlu diketahui bahwa istilah-istilah dermatologi yang digunakan dalam
memaparkan ingredient krim pemutih wajah menggunakan bahasa Inggris.
Istilah-istilah dermatology diatas mewakili Western science dalam membangun
kuasanya atas dunia Timur. Kuasa Western science atas Timur jelas terbaca ketika
Western science yang mengusung dermatological terms di hadapkan pada local
authenticity yang mengusung khasiat herbal, maka masyarakat akan cenderung memilih
Western science terlebih dahulu dan menempatkan khasiat herbal dari negara sendiri
belakangan. Karena berasal dari Barat, maka Western science menggunakan bahasa
Inggris. Penggunaan bahasa Inggris dalam pandangan poskolonial berarti bahwa bahasa
Inggris ini berkedudukan sebagai pembawa budaya yang mewakili Western culture.
Adapun istilah yang berkaitan dengan dermatological science di dalam ramuan krim
pemutih wajah telah menunjukkan satu realitas bahwa pengetahuan Barat jauh lebih maju
dari Timur. Bahasa bisa dipakai sebagai tolok ukur pengaruh si pemakainya. Semakin
sering bahasa itu digunakan di berbagai tempat, maka pengaruhnya akan semakin besar.
Hal ini sudah terbukti bahwa bahasa Inggris yang merupakan salah satu bahasa
internasional menancapkan pengaruhnya sebagai orang-orang yang menguasai dunia.
Penguasaan scientific knowledge yang tertuang dalam ramuan krim pemutih
wajah mengarahkan Barat meraih hegemoni atas Timur. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Said yang terpengaruh oleh pemikiran Gramsci dalam merumuskan Orientalismenya.
Adapun Orientalisme Said menyatakan bahwa dalam hegemoni itu terdapat dua hal
penting yaitu pengetahuan/knowledge dan kekusaan/power. Dengan memilki knowledge
maka power akan diraih. Orientalisme Said adalah bentuk “knowledge” dalam
mengukuhkan “power” atau kolonialisme. Hal ini sejalan dengan realitas dilapangan
bahwa bahasa Inggris yang mewakili Barat telah menguasai knowledge sehingga meraih
power.
Dalam proses itu, terjadilah dikotomi yang membedakan antara yang menguasai
knowledge dan power serta yang dikuasai. Oleh karena itu, penelitian ini sejalan dengan
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
33
studi Orien yang dipaparkan Said. Adapun dalam pelitian ini, studi Orien atas krim
pemutih wajah termasuk dalam kategori menciptakan citra diri sehingga menciptakan
dikotomi secara laten. Hal ini sesuai dengan Ratna (2007; 216) yang menyatakan bahwa,
”Said membagi studi orien menjadi tiga tahap; (1) sebagai semata-mata kajian akademis;
(2) sebagai usaha meraih kekuasaan; (3) sebagai usaha menciptakan citra diri, dengan cara
menciptakan dikotomi secara laten.
Adapun pencitraan melahirkan dikotomi secara laten seperti pemisahan SelfOther, makaterbentanglah jarak pemisah diantara keduanya. Penciptaan jarak berdasarkan
warna telah melahirkan rasisme, hal ini sesuai dengan visi poskolonial. Adapun visi
postcolonial adalah “menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka
membangun seperioritas Barat dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur”
(Ratna, 2007; 206-207). Dalam pandangan poskolonial, perempuan yang ingin kulitnya
berubah menjadi putih adalah obyek yang dibaca, dilihat dan dinilai. Menurut pandangan
Western culture, hitam atau coklat tidaklah cantik sehingga harus dirubah atribut fisiknya
sesuai dengan Western standard of beauty.
Dalam kaitannya dengan obyek penelitian, maka usaha mengejar “menjadi Barat”
dengan perantara lightening cream sesuai dengan visi postcolonial karena untuk meraih
desirable femininity, para perempuan mengacuhkan racial origin mereka dan mengejar
“menjadi Barat” dengan cara mimikri. Adapunsuperioritas kulit putih dan inferioritas kulit
coklat dan gelap dalam iklan krim pemutih wajah turut melahirkan kelas dan atau kasta
berdasarkan warna kulit.
Model Colorismseperti ini sudah lama eksis dan mulai ditandai pada abad ke-17
dalam wujud perbudakan. Kemudian pada abad ke-19, colorism berganti cover yang
terwujud dalam pemetaan warna kulit di dunia dalam istilah-istilah tertentu. Parameswaran
(2009) dalam tulisannya menyinggung istilah Africans as “Darkies”, East Asians as
“Yellow Orientals”, Native Americans as “Red Indians”, dan South Asians as “Dark
Natives” - hal ini mengingatkan pada warna kulit yang akhirnya membentuk binary
opposition yaitu white self dan non-white other. Senada dengan Parameswaran, gagasan
mengenai colorism juga dikemukakan oleh Amali (2004; 253) bahwa, “As every South
Asian woman knows, the word „fair‟ and „beautiful‟ are often used synonimously in
female beauty decription and feminine gender identity construction.” Adapun orang
Indonesia yang letak geografisnya termasuk dalam South East Asia masuk dalam kategori
“Dark Natives.” Dari sinilah muncul etnis yang dibawa masing-masing orang. Ethnicity
yang menyusul kemudian mengarisbawahi bahwa etnis Western digambarkan paling
34
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
superior dibanding etnis Asia dan Afrika. Jadi whiteness berarti racial supremacy yang
menghapus ethnic identity. Ide mengenai racial superiority ini merupakan akibat langsung
dari imperialisme Eropa.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menawarkan satu simpulan bahwa iklan
krim pemutih wajah telah melahirkan bias-bias kultural sehingga konsep putih cantik
merupakan racialized beauty. Adapun bias-bias kultural yang menciptakan racialized beauty
dan terbungkus rapi dalam glamornya iklan krim pemutih wajah terbaca dari; relasi SubyekObyek/Self-Other/Orient/Occident, Pencarian Jari Diri, dan Mengejar “Menjadi Barat”.
Akhirnya, peneliti menawarkan saran bahwa kajian ini masih sebatas pada empat
iklan krim pemutih wajah yang tayang di televisi Indonesia. Oleh karena itu perlu
penambahan data primer untuk kajian yang lebih luas cakupannya dan lebih komprehensif
berkaitan dengan gejala postcolonial dalam iklan krim pemutih wajah.
PERSANTUNAN
Penelitian ini terlaksana berkat dukungan dana penelitian dari Direktorat Pembinaan
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Penelitian Dosen Muda berdasarkan
Kontrak Penelitian antara Ketua LP3M UNIBA dan Ketua Peneliti dengan Nomor:
14/LP3M.UNIBA/PEMULA/SP/PENELITIAN/2014. Peneliti ucapkan terima kasih atas
dukungan dana tersebut sehingga penelitian ini terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Amali, Philips. 2004. “Gendering Color: Identity, Femininity and Mariage in Kerala”
Anthropologica; 2004; 46, 2; Proquest. pg. 253.
Ashcroft, Bill, Griffiths, Tiffin. 1989. The Empire Writes Back. London New York:
Routledge. America.
Ashcroft, Bill,
Griffiths, Tiffin. 1998. Key Concepts in Post-Colonial Studies.
London:Routledge. England.
Babana-Hampton, Safoi. “Literary Representations of Female Identity: Feminism in ArabMuslim Societies and Clashing Paradigms on Conceptions of Modernity, Tradition,
and Selfhood.” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol.19,Issue.4,
pp.23-41
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Edisi Revisi. Yogyakarta:
MedPress. Indonesia.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
35
Entman, M. And C. Book 2000. “Light makes right: skin colour and racial hierarchy in
television advertising” in Andersen, R. And Strate, L (eds) Critical Studies in Media
Commercialism. Oxford: Oxford University Press, pp. 214-24.
Ganesan, Gautaman, Elangkeeran Sabapathy. 2013. “A Postcolonial Reading of Cecil
Rajendra‟s Selected Poems” Asian Social Science; Vol 9, No. 15, 2013
Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Allen &Unwin.
Lindholm, Charles. 2007. Culture and Identity: The history, Theory,, and Practice of
Psychological Anthroplogy. Oneworld Publications. Oxford-England.
McLeod, John. 2007. The Routledge Companion to Postcolonial Studies. Routledge, Taylor
and Francis Group. London and New York
Parameswaran, Radhika, Kavitha Cardoza. 2009. “Melanin on the Margins: Advertising and
the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India” Journalism and
Communication Monographs; Autumn 2009;11, 3; Proquest Research Library pg .213
Picton, Oliver. 2013. “The complexities of complexion: a cultural geography of skin colour
and beauty products” Geography Vol. 98 Part 2 Summer 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar. Indonesia.
Ritchie, Jane and Jane Lewis. 2003. Qualitative Research Practice: A Guide for Social
Science Student and Researchers. London. Thousand Oaks. New Delhi. Sage
Publications Ltd. England.
Said, Edward. 1977. Orientalism.London: Penguin. England.
Saraswati, L. Ayu. 2014. “Cosmopolitan Whiteness: The Effects and Affects of SkinWhitening Advertisements in a Transnational Women‟s Magazine in Indonesia”
Meridians. Vol. 10 Issue 2 pp. 15-41. Proquest Research Library.
36
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
Download