Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara

advertisement
IV. KEADAAN PULAU GEBE
4. 1. Letak Geografis
Pulau Gebe merupakan salah satu pulau kecil, yang terletak di antara
Pulau Halmahera dan Pulau Irian (Papua). Secara geografis Pulau ini terletak
tepat di garis katulistiwa pada 0° Lintang Selatan dan 129, 30° Bujur Timur
dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut: sebelah Utara dengan
Samudera Pasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan laut Halmahera, sebelah
Timur dengan Kabupaten Sorong Papua, dan sebelah Barat dengan Kecamatan
Patani. Secara administratif pulau Gebe masuk dalam lingkup wilayah Kabupaten
Halmahera Tengah. Sebelum menjadi kecamatan defenitif, Pulau Gebe hanya
merupakan kumpulan beberapa desa yang secara administrasi pemerintahan
berada dalam wilayah Kecamatan Patani, namun dengan pertimbangan untuk
memperpendek rentang kendali dan meningkatkan pelayanan masyarakat serta
percepatan pembangunan, maka melalui perjuangan masyarakat Pulau Gebe yang
kemudian mendapat respon DPRD dan Pemerintah Kabupaten (PEMKAB), maka
pada tanggal 7 April tahun 2001 status desa Gebe dinaikan menjadi Kecamatan
Pulau Gebe dengan enam desa definitif.
Bentuk Pulau memanjang dari arah barat laut ke tenggara dengan panjang
sekitar 45 km, dan lebar bervariasi 1 -7 km dengan luas`wilayah ± 153 km2.
Lokasi kegiatan penambangan nikel terletak di semenanjung Oeboelie yaitu
pada sisi bagian barat daya Pulau Gebe dalam wilayah KP Eksploitasi DU 286
Maluku dengan luas 1.225 hektar. Perjalanan dari Ternate ke Gebe dapat di
tempuh melalui laut dan udara. Perjalan dengan menggunakan sarana udara dapat
ditempuh dalam waktu 1 jam, sedangkan dengan menggunakan kapal motor niaga
biasanya ditempuh dalam waktu sekitar 20 jam. Kapal laut yang melayari Ternate
Gebe, yang dilakukan oleh pihak swasta dan PT PELNI frekwensi pelayarannya
masing-masing dua kali dalam seminggu. Untuk penerbangan Ternate–Gebe,
jadwal penerbangan permanen dilakukan dengan maskapai Merpati pada hari
Selasa dan Jumat.
53
Gambar 4. Peta Pulau Gebe
4. 2. Batuan dan Tanah
Pulau-pulau di wilayah propinsi Maluku Utara terutama Pulau Halmahera
bagian Timur, Waigeo, Gag dan Pulau-pulau di sekitarnya merupakan bagian
dari “The Circum Pasific Orogenic Belt” (Katili, 2000). Batuan-batuan dasar dari
orogenesis yang ada di kawasan ini terdiri dari lapisan mesoik atas sampai lapisan
tersier bawah. Proses pelapukan dan retakan lapisan batuan dasar di sepanjang
garis tektonik, sehingga terjadi intrusi nikel seperti di bukit Elfanon, Tulio Kalio,
dan pulau Fau. Sebagian wilayah Pulau Gebe juga merupakan daerah plateau
terdiri dari batu pasir dan batu karang (gamping muda) seperti di tanjung Safa
sampai tanjung Magnonapo, dan daerah massive yang terdiri dari batuan ultra
basa, basa dan laterit, terdapat di bukit Elfanon, dan Toeli Kalio.
54
Jenis tanah di Pulau Gebe berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penelitian Tanah
Bogor dan hasil analisis terhadap Peta jenis hutan di wilayah Maluku Utara terdiri
dari jenis tanah : Latosol, Mediteran Merah Kuning, dan Renzina. Tabel 10
menunjukkan penyebaran dari jenis tanah di Pulau Gebe.
Tabel 10. Jenis dan luas tanah di Pulau Gebe (Ha)
Jenis tanah
Latosol
Mediteran merah kuning
Renzina
Jumlah
Luas (ha)
165
3.637
16.205
20.007
Persentase
0,8
18,2
81
100
Sumber : Hasil analisis peta jenis hutan Maluku Utara, 2003
Kondisi tanah fisik dan kimia tanah Pulau Gebe pada bagian yang tidak
terkait langsung dengan penambangan nikel, dapat dilihat dari empat lokasi
pewakil seperti Tabel 11.
Tabel 11. Data sifat fisik –kimia tanah di Pulau Gebe
Parameter
Tekstur (Kelas)
Bulk Density (g/cc)
Kadar Air (Pf 2.54)
Kadar Air (pF 4.2)
Air Tersedia (%)
Pori Total
Permeabilitas (cm/jam)
Drainase Tanah
Struktur
Kedalaman tanah (cm)
pH
C-Organik (%)
KTK (me/100g)
KB (%)
N-Total (%)
P2O5 (ppm)
K-Tersedia (me/100g)
Fe (ppm)
Co (ppm)
Ni (ppm)
Suhu (ºC)
Curah hujan (mm)
Kemiringan (%)
Lokasi
A1
SiL,SiL
1,2
40
28
11
56
26 (SC)
Cepat
Glanuler sedang
50 –90
6,7 (n)
1,29 (R)
7,2 (R)
96,6 (ST)
0,08 (SR)
2,8 (SR)
0,16 (SR)
44,6 (R)
0,79 (S)
10,63 (SR)
28
2009
35
A2
SiL, L
0,8
37
20
17
69
50 (SC)
Cepat
Glanuler
sedang
50-90
7,0 (n)
1,27 (R)
15,7 (R)
100 (ST)
0,14 (R)
5,7 (R)
0,23 (R)
38,28 (R)
0,77 (S)
28,16 (R)
28
2009
25
A3
SiL, Sil
0,9
45
18
17
66
18 (AC)
Agak Cepat
D
C
0,9
33
22
14
66
6 (S)
Sedang
Glanuler sedang
Glanuler sedang
> 90
7,3(n)
0,62 (SR)
5,9 (R)
98,9(ST)
0,03 (SR)
3,7 (SR)
0,15 (SR)
4,04 (SR)
0,04 (SR)
20,41 (R)
28
2009
15
> 90
8,1(ab)
1,47 (SR)
21,9 (S)
100 (ST)
0,04 (SR)
11,9 (S)
0,54 (R)
9,12 (SR)
0,10 (SR)
13,22 (SR)
31
1997
8
55
Tabel 11, menunjukan lahan Pulau Gebe yang bergunung (A1), berbukit
bergunung (A2), berombak bergelombang (A3), dan datar berombak (D) memiliki
sifat fisik dan kimia tanah sebagai berikut: tekstur tanah pada lapisan top soil
dominan lempung liat berdebu (sedang). Permeabilitas tanah yang ada di Pulau
Gebe berada pada kategori sedang (S) hingga sangat cepat (SC). Kondisi
permeabilitas ini berkaitan dengan struktur tanah yang didominasi oleh struktur
granuler. Drainase tanah umumnya sedang hingga cepat. Kondisi kimia tanah di
Pulau Gebe yang tergolong baik adalah pH tanah yang netral (N), dan kejenuhan
basa yang sangat tinggi (ST). KTK tanah C-organik berada pada kelas rendah (R)
hingga sangat rendah (SR). Hara tersedia N, P, dan K berada dalam kondisi
rendah (R) hingga sangat rendah (R).
Kemiringan atau kelerengan tanah (Tabel 11) di Pulau Gebe berada pada
level datar berombak sebesar 54%, berombak bergelombang 27%, berbukit
bergunung 11%, dan bergunung sebesar 8%. Umumnya tanah dengan kondisi
datar berombak terletak pada kawasan pemukiman, berombak-bergelombang pada
lokasi pertanian tanaman semusim, perkebunan, dan peternakan dan kegiatan jasa.
Berbukit bergunung umumnya terdapat pada hutan lindung dan perkebunan. Luas
kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe (Tabel 12), meliputi tanah dalam 74%,
agak dangkal seluas 12 %, dangkal 8%, dan sangat dangkal 6%. Tanah dangkal
umumnya berada pada lokasi pemukiman, sedangkan tanah dalam dan agak dalam
umumnya terdapat pada daerah pedalamaan bagi penggunaan perkebunan dan
pertanian. Penyebaran tekstur tanah di Pulau Gebe (Tabel 13) berada pada klas
halus sebesar 1.071 ha atau 7%, klas sedang sebesar 2.142 ha atau 14%, tekstur
kasar seluas 9.333 ha atau 18%, dan berbatu seluas 2.754 ha atau 18%. Kondisi
Drainase Pulau Gebe (Tabel 15), lahan yang baik dalam mengalirkan air yaitu
seluas 13.459 ha atau 78 %, dan yang terhambat 1.841 ha atau 22% dari total
lahan.
56
4. 3. Iklim
Tipe iklim di Pulau Gebe diklasifikasikan menurut sistem Schmid dan
Ferguson (1975) dengan mengacu pada jumlah bulan kering (BK) dan jumlah
bulan basah (BB) rata-rata. Bulan kering dalam sistem ini adalah bulan dimana
curah hujan < 60 mm, dan bulan basah adalah bulan dimana hujan > 100 mm.
berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh rata-rata bulan kering sebesar 2,2 bulan
dan bulan basah 8,8 bulan, dengan nilai Q (Q= rata-rata BK/BB x 100 %) sebesar
21, 59. Nilai Q hasil hitungan bila di sesuaikan dengan kriteria iklim Schmid dan
Ferguson (1975), masuk dalam tipe iklim B atau tipe iklim basah.
Dari segi curah hujan, wilayah Pulau Gebe mulai jatuh hujan pada bulan
Oktober dan mencapai puncaknya pada bulan Mei. Curah hujan bulan terendah
55,90 mm terjadi pada bulan September dan tertinggi 250,90 mm di bulan Mei,
dengan jumlah curah hujan tahunan sebesar 2009,4 mm per tahun. Temperatur
udara umumnya berkisar antara 26o–30o C, dengan temperatur udara rata-rata
sebesar 28,84o C. Temperatur udara terendah 26,46 o C terjadi pada bulan Januari
dan temperatur udara tertinggi 31,05 o C terjadi pada bulan Agustus.
Tabel 12. Data rata-rata komponen iklim di Pulau Gebe selama 10 tahun pencatatan (1996 - 2005 )
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Jumlah
Rata-rata Tahunan
Curah hujan
(mm)
238,0
176,7
173,0
176,7
250,9
146,1
110,5
67,4
55,9
179,9
185,2
249,1
2.009,4
-
Hari hujan
Suhu ( °C)
Kelembaban (%)
24
12
12
18
19
13
13
8
6
19
14
25
15,25
26,46
26,92
27,26
29,06
29,89
30,13
30,62
31,05
30,97
28,69
27,84
27,17
28,84
84
85
83
86
85
84
83
78
78
81
87
87
83,42
Hari hujan rata-rata tahunan di wilayah Pulau Gebe sebesar 15, 25 hari
dengan hari hujan terendah 6 hari terjadi pada bulan September dan hari hujan
tertinggi 25 hari terjadi pada bulan Desember. Kelembaban udara berkisar antara
83 – 87 % dengan kelembaban udara rata-rata 83,42 % per tahun. Kelembaban
57
udara terendah terjadi pada bulan Maret dan Juli dengan tingkat kelembaban
sebesar 83 % dan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan November dan
Desember dengan tingkat kelembaban sebesar 87 %.
Pola pergerakan angin di Gebe mengikuti pola perubahan musim, antara bulan
Desember hingga Pebruari angin Barat bertiup sangat kencang, sehingga keadaan
laut sangat membahayakan. Khusus bagian Selatan dan Utara Pulau Gebe para
nelayan tidak berani menangkap ikan di wilayah ini, karena gelombang laut yang
terjadi sangat besar.
4. 4. Tata Air
Kondisi tata air di Pulau Gebe termasuk kategori rendah, karena Pulau
Gebe merupakan pulau kecil yang banyak di dominasi batu-batu karang, di Pulau
ini tidak terdapat sungai besar, dan gunung besar/tinggi. Air untuk kebutuhan
penduduk di peroleh dari air sumur, dari sumber mata air di hutan, dan di Telaga
Niwisyo. Hasil pengamatan dan pengukuran, luas genangan air Telaga
±13
hektar, pada saat musim kemarau ketinggian air rata-rata bisa mencapai kurang
dari 2 meter, sedangkan pada saat hujan bisa mencapai lebih dari 2,4 meter. Untuk
memenuhi kebutuhan karyawan, perusahaan membangun Bendungan penampung
yang sumbernya dari Telaga Niwisyo.
4. 5. Bencana
Daerah rawan bencana di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang
dapat diidentifikasi terdiri atas daerah rawan gempa dan gerakan tektonik.
Berdasarkan peta wilayah bencana gempa bumi Indonesia yang diterbitkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Pulau Gebe termasuk dalam zona
skala IV – V MMI. Peta tersebut di atas disusun berdasarkan nilai intensitas
tertinggi atau tingkat kerusakan terparah yang diakibatkan oleh terjadinya gempa
bumi. Besarnya intensitas atau tingginya tingkat kerusakan akibat gempa bumi
sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya ialah jarak tempat tersebut
terhadap sumber gempa bumi dan kondisi geologi setempat. Makin dekat suatu
58
tempat terhadap sumber gampa bumi, makin besar intensitas gempanya dan makin
tinggi tingkat kerusakannya.
4. 6. Kondisi Lahan
Kelerengan tanah adalah perubahan ketinggian permukaan tanah/lahan satuan
luas tertentu. Berdasarkan klasifikasi yang digunakan dalam zonasi agroekologi,
kelerengan tanah di Pulau Gebe, seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Klasifikasi kelerengan di Pulau Gebe
No
1
2
3
4
Jumlah
Lereng (% )
> 40
16 – 40
8 – 15
<8
Fisiografi
Bergunung
Berbukit – bergunung
Berombak bergelombang
Datar – berombak
Luas (ha)
1.224
1.683
4.131
8.262
15.300
%
8
11
27
54
100
Sumber : Peta zona agroekologi dan komoditas utama (2005)
Tabel 13, menunjukan bahwa kondisi tanah di Pulau Gebe, berada pada
level datar berombak sebesar 54%, berombak bergelombang sebesar 27%,
berbukit bergunung sebesar 11%, dan bergunung sebesar 8%. Umumnya tanah
dengan kondisi datar berombak terletak pada kawasan pemukiman, berombakbergelombang terletak pada lokasi pertanian tanaman semusim, perkebunan, dan
peternakan dan kegiatan jasa. Berbukit bergunung umumnya terdapat pada hutan
lindung dan perkebunan.
Kedalaman efektif tanah adalah batas kemampuan akar menembus solum
tanah (lapisan tanah) sampai bahan induk dimana tanaman masih tumbuh baik dan
normal. Pada umumnya kedalaman efektif tanah bervariasi dari dangkal sampai
dalam dan biasanya dipengaruhi oleh jenis dan sifat tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan kedalamannya klasifikasi tanah di Pulau Gebe dapat dilihat pada
Tabel 14.
59
Tabel 14. Luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe
Kedalaman efektif
Sangat dangkal ( 0 – 30 cm )
Dangkal ( 30 – 60 cm )
Agak Dangkal ( 60 – 90 cm )
Dalam ( >90 cm )
Jumlah
Luas (Ha)
918
1.224
1.836
11.322
15.300
Persentase (%)
6
8
12
74
100
Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2005)
Tabel 14, menunjukan luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe,
meliputi tanah dalam seluas 7%, agak dangkal 12 %, dangkal 8%, dan sangat
dangkal 6%. Tanah dangkal umumnya berada pada lokasi pemukiman yang
terletak di pesisir pantai, sedangkan tanah dalam dan agak dalam umumnya
terdapat pada daerah pedalamaan bagi penggunaan perkebunan dan pertanian.
Tekstur berpengaruh langsung terhadap unsur hara, drainase, dan
kepekaan terhadap erosi, dan juga terhadap pengelolaan tanah dan pertumbuhan
tanaman terutama dalam hal mengatur kandungan udara dalam rongga tanah,
persediaan dan kecepatan peresapan air. Tekstur tanah di Pulau Gebe lebih terinci
dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Penyebaran tekstur tanah di Pulau Gebe (Ha)
Penyebaran tekstrur
Halus
Sedang
Kasar
Berbatu
Jumlah
Luas (ha)
1.071
2.142
9.333
2.754
15.300
Persentase (%)
7
14
61
18
100
Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2005)
Tabel 15, menunjukan penyebaran tekstur tanah di Pulau Gebe berada
pada klas halus sebesar 1.071 ha atau 7%, klas sedang sebesar 2.142 ha atau 14%,
tekstur kasar seluas 9.333 ha atau 18%, dan berbatu seluas 2.754 ha atau 18%.
Drainase menunjukkan lamanya atau seringnya tanah jenuh air atau
kecepatan air menghilang dari permukaan tanah oleh aliran permukaan dan
gerakan turun ke bawah. Dengan kata lain drainase dapat dikaitkan dengan ada
60
tidaknya genangan air yang terdapat dipermukaan tanah, seperti hujan, irigasi atau
3rawa monoton (tergenang sepanjang musim). Drainase menggambarkan tata
udara dan tata air di dalam tanah. Dengan demikian drainase berkaitan erat dengan
tekstur tanah, vegetasi penutup, pengelolaan tanah, intensitas hujan, dan bentukbentuk relief permukaan.
Tabel 16. Luas desa berdasarkan kondisi Drainase di Pulau Gebe (Ha)
Desa
Baik
Umera
Mamin
Kacepi
Kapaleo
Umiyal
Sanafi
Jumlah
Ha
2.717
913
1.189
1.642
1.752
5.246
13.459
Keadaan Drainase
Terhambat
%
Ha
%
87
406
13
79
242
21
67
586
33
62
1.007
38
83
360
17
89
648
11
78
1.841
22
Total
3.123
1.155
1.775
2.649
2.112
5.894
15.300
S3umber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2005)
Tabel 16, berdasarkan kemampuan tanah dalam mengalirkan air, tanah
tanah di Pulau Gebe dikelompokkan ke dalam dua kelas yaitu tanah yang baik
dalam mengalirkan air dan tanah yang terhambat dalam mengalirkan air. Lahan
yang baik dalam mengalirkan air seluas 13.459 ha atau 78 %, dan yang terhambat
1.841 ha atau 22% dari total lahan.
4. 7. Penggunaan Lahan
Prinsip penataan ruang dalam suatu wilayah pada dasarnya merupakan
pengaturan terhadap pengunaan lahan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu
penggunaan lahan yang ada dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penata
guna lahan selanjutnya. Berdasarkan kondisi eksisting guna lahan di Pulau Gebe
pada tahun 2004, sebagian besar pengunaan lahan di Pulau Gebe adalah berupa
hutan belukar (rumput) dan hutan bakau. Kondisi ini seperti pada Tabel 17.
61
Tabel 17. Luas lahan per jenis penggunaan di Pulau Gebe
No
1
2
3
4
5
6
Keterangan
Luas Area (Ha)
Areal Penggunaan Lain
732
Hutan
9.801
Hutan Bakau
1.227
Perkantoran
16
Perkebunan dan Pertanian
2.299
Pertambangan
1.225
Jumlah
15.300
Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2005)
Proporsi (%)
5
64
8
0,1
15
7,9
100
Tabel 17, menunjukan lahan untuk penggunaan (pemukiman, usaha jasa,
olah raga dan rekreasi) adalah seluas 852.724 ha atau sama dengan 4,8 dari total
lahan Pulau Gebe. Lahan untuk penggunaan hutan dan hutan bakau adalah
masing-masing 61% dan 12% dari total lahan. Lahan penggunaan untuk kegiatan
perkebunan dan pertanian sebesar 15%, sedangkan untuk kegiatan penambangan
sebesar 7% dari total lahan Pulau Gebe. Berdasarkan peruntukan hutan dalam
Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Maluku Utara tahun 2003, luas jenis
pemanfaatan hutan untuk Pulau Gebe terdiri dari : Hutan produksi yang dapat di
konversi 2.978 ha, hutan produksi tetap 1.985 ha, hutan produksi terbatas 2.536
ha, dan hutan lindung seluas 3.529 ha.
Kondisi penggunaan lahan di Pulau Gebe dapat dilihat pada peta
penggunaan lahan seperti Gambar 5. Khusus lokasi penggunaan lahan untuk
setiap sebaran komoditi perkebunan, pertanian, perikanan, tambang dan industri
di Pulau Gebe dapat dilihat pada Gambar 6.
62
Gambar 5 : Peta penggunaan lahan di Pulau Gebe
63
Gambar 6. Peta lokasi sebaran komoditi di Pulau Gebe
64
4. 8. Evaluasi Kesesuaian Lahan Pulau Gebe
Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman cengkih, kopi, kelapa,
kakao, padi gogo, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan pisang disajikan pada
Tabel 18. Tanaman perkebunan memiliki kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu
kelas Cukup sesuai (S2), dan Sesuai marginal (S3). Kelas (S2) untuk kelapa,
cengkih, kopi dan kakao, dipengaruhi oleh faktor media perakaran, retensi hara,
hara tersedia, sedangkan di lereng dipengaruhi erosi ringan. Kelas (S3)
dipengaruhi faktor pembatas erosi tanah, dan retensi tanah, sedangkan kelas tidak
sesuai saat ini (N1) untuk tanaman Kakao disebabkan oleh erosi ringan.
Tabel 18.Hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman perkebunan dan pertanian di Pulau Gebe
Jenis tanaman
Cengkih
Kopi
Kelas
Kesesuaian
Padi
S3
S3, r.f.n
S3
S3,f.e
S3,f.n
S3,r.f.n
S3
S3,f.n.e
media perakaran, erosi
retensi hara, hara tersedia
media perakaran, retensi hara,
hara tersedia
retensi hara, erosi
retensi hara, hara tersedia
media perakaran, retensi hara,
hara tersedia
retensi hara, hara tersedia, erosi
S3,m
S3,f
S3, f.m
S3,f
potensi mekanisasi
retensi hara
retensi hara, potensi mekanisasi
retensi hara
A3
D
A3
D
retensi hara, potensi mekanisasi
retensi hara
potensi mekanisasi; hara tersedia
A3
D
A3;
Ketersediaan air, hara tersedia
A3
S3
Ubi kayu
Lokasi
S3.r,e
S3,f.n
S3
Ubi jalar
Pembatas
S3
Kelapa
Kakao
Sub kelas
Kacang tanah
S3
S3, f.m
S3,f
S3,m; S3,n
Pisang
S3
S3, w.n
S3
A2
A3, D
A3
A2
A3
D
D
Sumber : Data primer, 2005
Kelas (S3) tanaman (padi, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan pisang)
dipengaruh oleh pembatas retensi hara, hara tersedia, potensi mekanisasi, dan
ketersediaan air, dan tingkat erosi ringan. Kesesuaian lahan potensial untuk
tanaman perkebunan dan pertanian tersebut setelah dilakukan perbaikan dapat
mencapai kelas sangat sesuai (S1) dari aktualnya S2, kelas (S2) dari aktual S3,
dan kelas (S3) dari kelas N1. Kelas kesesuaian lahan untuk tanaman perkebunan
dan pertanian yang dievaluasi di Pulau Gebe dapat dilihat pada Gambar 7.
65
12 9 °20 '2 0"
12 9 °25 '2 5"
12 9 °30 '3 0"
12 9 °35 '3 5"
PE T A K ES E S U AIAN L AHAN
P UL AU G E B E
N 1e
S3 ,f. n
0°1'00"
0°1'00"
S e la t Ja ilo lo
N
2
N 1e
2
4
K ilom e ter
Tg. Lag iau
Legen da
B ata s D es a
S3 ,f. n
U m iya l
S3 ,r. e S3 ,f. n
P U LAU G E B E
N 1e
Tg. U bulle
N 1e
S3 ,f.n
N 1e
S3 ,f. n
S un ga i
0°4'05"
N 1e
Kode
S3 ,r. e
S3 ,f.n
PU L AU FAU
N 1e
S3 ,f. n
S3 ,f.n
Sa n afi
S3 ,r. e
Tg. Ilalk alio
M a m in
S3 ,f. n
S3 ,r.e
N 1e
0°9'10"
K a ce p i
0°9'10"
Ja lan
S3 ,f. n
U m e ra
Tg. Tu likalio
S3 ,f. n
Kelas
Tidak Sesuai Sesuai Marginal
saat ini (N1)
(S3)
S3 ,f. n
Ka p ale o
0°4'05"
0
Kelas
Sub
Pembatas
TPL
Luas Persen
(Ha)
(%)
S3,f.n
media perakaran,
erosi
A3,
D
4872.8
32
S3,r.e
retensi hara,
hara tersedia
A2
1495.8
10
N1e
Erosi tanah
berat
A1
8931.4
58
15300
100
Total
S3 ,r. e
S3 ,f. n
N 1e
M AL U K U U T AR A
N 1e
12 9 °20 '2 0"
12 9 °25 '2 5"
12 9 °30 '3 0"
Gambar 7. m Peta kesesuaian lahan perkebunan dan pertanian
12 9 °35 '3 5"
0°14'15"
0°14'15"
PU L A U G E BE
Tg. Iling eljo
66
67
9. Potensi Pengembangan di Pulau Gebe
a. Pertanian dan Perkebunan
Mengacu pada hasil evaluasi kesesuaian lahan (Tabel 18) dan kondisi tanah
(Tabel 11) di Pulau Gebe, lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan dan
pertanian, adalah: padi gogo, ubi kayu, jagung, ubi jalar, kacang hijau dan kedelei dapat
di tanam pada lahan (A3, dan D), sedangkan tipe lahan (A1) tidak cocok untuk padi gogo,
ubi kayu, dan jagung. Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman kacang tanah yaitu
(A2), lahan (A1 dan D) dapat digunakan jika telah dilakukan pengolahan.
Tanaman hortikultura dapat ditanam pada lahan (A2, dan A3), tanaman pisang
pada lahan (A3), dan lahan (A1 dan D) dapat dimanfaatkan untuk tanaman pisang apabila
dilakukan pengelolaan. Untuk tanaman Jeruk dapat ditanam pada lahan (A2,dan A3),
sedangkan lahan (A1 dan D) masih perlu pengolahan untuk dapat dimanfaatkan.
Tanaman mangga tidak sesuai saat ini untuk semua tipe lahan yang diteliti terutama pada
lahan bekas tambang. Tanaman perkebunan kakao dapat dikembangkan pada lahan tipe
(A3, dan D), lahan tipe (A1, dan D) dapat digunakan untuk tanaman kakao bila telah
dilakukan pengolahan untuk kesesuaian potensial. Kopi robusta dan karet sesuai marginal
pada lahan (A3), dan tidak sesuai saat ini pada lahan (A1, dan D). Tanaman kelapa,
sesuai marginal pada (A2, dan D), tidak sesuai saat ini pada lahan (A1), sedangkan
tanaman tebu sebaran kelas sesuai marginal pada (A3, dan D) dan kelas tidak sesuai saat
ini pada (A1, dan A2).
Perkebunan dan pertanian di Pulau Gebe, pengembangannya menyatu dengan
permukiman penduduk, sehingga dapat dilakukan usaha partisipasi dari swadaya atau
spontanitas petani.
Areal perkebunan ini apabila mengacu pada Tata Guna Hutan
Kesepakatan maka arealnya ada yang termasuk hutan konversi, hutan produksi terbatas
karena itu perlu direview kembali agar memenuhi kriteria penetapan kawasan lindung
dan budidaya. Pengembangan perkebunan rakyat diarahkan ke wilayah perkebunan yang
telah ada, yaitu melalui rehabilitasi, peremajaan, dan perluasan areal disekitar perkebunan
yang telah ada.
68
Dilihat dari aspek ekonomi, komoditi tanaman perkebunan (kelapa, cengkih, kopi
rebusta dan kakao) dan tanaman pertanian (padi gogo, jagung, ubi kayu, ubi jalar, pisang,
kacang tanah, dan kacang hijau) bagi masyarakat Pulau Gebe sudah merupakan tanaman
tradisional dan, secara turun temurun telah menjadi tanaman familiar bagi petani
setempat untuk mengisi kebutuhan hidup. Namun, usaha-usaha yang dilakukan
masyarakat Pulau Gebe terhadap pemanfaatan komoditi tersebut hanya berskala kecil.
Kondisi ini, selain karena usaha perkebunan dan pertanian bersifat subsistem, juga karena
luas lahan yang dimiliki petani sangat terbatas (rata-rata 1,0 ha sampai 1,5 ha) per kepala
keluarga, sehingga usaha dalam skala besar yang membutuhkan lahan dengan luasan
besar tidak terpenuhi, serta tidak adanya diversifikasi kegiatan perkebunan dan pertanian
yang mampu dilakukan oleh petani.
Dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan, usaha sektor perkebunan dan pertanian
tanaman pangan hanya berskala kecil dan kurang berkembang, karena prilaku masyarakat
yang berprinsip konsumsi hidup sehari-harinya secara mudah dapat dipenuhi melalui
ketersediaan sumberdaya alam yang berasal dari pohon sagu, kelapa dan hasil laut, yang
dengan mudah dapat diperoleh. Prinsip hidup ini menyebabkan kurangnya motivasi untuk
meningkatkan usaha perkebunan secara modern dan berskala besar. Seiring dengan itu,
kualitas pendidikan masyarakat Pulau Gebe yang rata-rata berpendidikan Sekolah
lanjutan Pertama dan Atas, sehingga tidak mampu memotivasi produktifitas kerja
masyarakat.
Ditinjau dari aspek kelembagaan, tidak tersedianya perkumpulan petani, seperti
koperasi petani, jaringan pemasaran yang pendek, serta ketidakadaan kelembagaan modal
dan keuangan di tingkat desa sehingga tidak ada faktor pendorong yang dapat memotivasi
masyarakat (petani) untuk meningkatkan skala produksi melalui penggunaan alat
produksi ekonomi yang lebih modern dengan nilai tambah yang besar. Faktor lain yang
secara tidak langsung
turut mempengaruhi motivasi bekerja, adanya kelembagaan
tradisional, seperti ngase dalam pengelolaan hutan sagu yang menyebabkan masyarakat
cendrung mengeksploitasi sagu dalam skala kecil. Kelembagaan Babari, secara gotongroyong, yang dalam perspektif ekonomi tidak produktif, karena individu tidak terlatih
bekerja secara sendiri-sendiri. Dari aspek fasilitas lokal, aksesibilitas dari sentra produksi
69
ke pasar cukup baik walaupun permintaan lokal rendah, namun akses antar pulau relatif
masih sangat rendah.
b. Perikanan
Pengembangan kawasan perikanan sasarannya adalah meningkatkan produksi
dalam rangka memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan pembinaan
sumber daya hayati perikanan. Strategi dalam meningkatan produksi perikanan adalah
melalui upaya ekstensifikasi melalui perikanan tangkap.
Dilihat dari aspek kualitas air (Tabel 19-24) di Pulau Gebe, hasil analisis kualitas
air pada dua lokasi sampel pewakil Pulau Gebe (Telaga dan Bendungan) menunjukan
bahwa seluruh parameter kualitas air di Pulau Gebe tidak mengalami penyimpangan
secara signifikan dari standar baku mutu fisik maupun kimia perairan, penyimpangan
yang terjadi pada parameter DO dan BOD relatif kecil. Kondisi kualitas fisik dan kimia
air yang baik tersebut, sangat memungkinkan dapat dikemb3angkan budidaya perikanan
darat di Pulau Gebe. Kualitas air di Dermaga dan Turap pantai, relatif telah terjadi
penyimpangan pada beberapa parameter, namun penyimpangan tersebut tidak
berpengaruh langsung tehadap biota laut yang ada di perairan Pulau Gebe. Perikanan
tangkap di Pulau Gebe, memiliki potensi besar dan dalam jarak ± 3 mil dari garis pantai
sudah bisa diperoleh ikan cakalang dan tuna.
Dilihat dari aspek ekonomi, budidaya perikanan darat di Pulau Gebe tidak
memberikan manfaat ekonomis, karena selain ketersediaan lahan yang terbatas, juga
tidak ada permintaan (pasar) lokal terhadap perikanan darat. Hal ini, berhubungan dengan
pola dan prilaku konsumsi masyarakat setempat yang lebih senang pada ikan laut
dibanding ikan air tawar. Kondisi ini, memberikan kesempatan pada pengembangan
perikanan tangkap di laut, karena selain prilaku penduduk sebagai masyarakat pesisir,
juga potensi ikan di wilayah perairan Pulau Gebe sangat besar dengan potensi lestari
sebesar 126.923 ton yang dapat dimanfaatkan (maksimum sustainable yield, MSY ), ratarata jumlah ikan yang dapat diusahkan nelayan Pulau Gebe adalah sebesar 8.264 ton per
tahun atau 7% dari potensi yang dapat dimanfaatkan, dengan demikian masih ada 93%
potensi sumberdaya ikan di perairan pulau Gebe yang belum dimanfaatkan.
70
Dilihat dari pendekatan sosial, pelaku perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan
umumnya
mengutamakan
cara-cara
konvensional
yaitu
berdasarkan
pengamatan fenomena alam yang diperoleh secara turun temurun (tradisional), sementara
kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya ikan serta lingkungan laut sudah berubah
secara alami maupun akibat intervensi manusia. Rendahnya kualitas`manusia di tingkat
lokal sangat berpengaruh pada lemahnya penguasaan tekhnologi di bidang kelautan dan
perikanan.
Ditinjau dari aspek kelembagaan, adanya kebijakan pemerintah propinsi dan
Kabupaten Halmahera Tengah yang menempatkan
Pulau Gebe sebagai pelabuhan
pendaratan ikan di kawasan Tengah dan Timur propinsi Maluku Utara, Kebijakan
Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) tentang pengembangan Pulau Gebe, sebagai
sentra produksi ikan di wilayah Halmahera bagian Tengah dan Timur, serta kebijakan
oleh PT. ANTAM dalam pembangunan masyarakat pasca tambang nikel di Pulau Gebe,
dengan melibatkan PT Menerina sebagai pelaksana operasional dalam hal jaringan
pemasaran hasil tangkap nelayan. Tindak lanjut dari kebijakan tersebut, beberapa
program aksi telah dilaksanakan, seperti: (1) Melalui PEM pesisir dan pulau-pulau kecil,
Dinas Perikanan dan Kelautan propinsi Maluku Utara dan Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Halmahera Tengah, sejak tahun 2001 sampai 2005 memberikan bantuan (
sarana dan alat tangkap kepada masyarakat nelayan Pulau Gebe; (2) Pembebasan lahan
oleh PEMDA propinsi untuk lokasi pelabuhan pendaratan ikan; (3) Tahun 2002 bantuan
senilai Rp 600.000.000,- dari Ditjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil untuk mendukung
program PEM Pulau Gebe, serta Rp 150.000.000,- untuk kegiatan pengembangan mata
pencaharian alternatif; (4). Tahun 2002 dan 2003 telah dilakukan rehabilitasi hutan
mangrove dan terumbu karang di kawasan pantai yang mengalami degradasi; (5)
Memberikan pendidikan dan ketrampilan masyarakat lokal yang meliputi pembekalan
manajemen usaha dan administrasi keuangan, ketrampilan menangkap ikan dengan
menggunakan alat non tradisional, dan ketrampilan pembenihan ikan; (6) Pengadaan dua
buah kapal oleh PT Minerina Adikara, dengan maksud menampung penjualan ikan
nelayan Pulau Gebe untuk selanjutnya di ekspor.
71
c. Peternakan
Pengembangan kawasan budidaya peternakan diarahkan pada daerah pedesaan.
Sasaran pengembangan sektor peternakan adalah meningkatkan produksi dalam rangka
peningkatan pendapatan, lowongan kerja dan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas
peternakan yang telah dikembangkan di Pulau Gebe, yaitu : sapi, kambing, dan unggas.
Kondisi suhu dan kelembaban, merupakan dua faktor penting yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan usaha ternak di suatu wilayah. Ternak jenis
Ruminansia seperti sapi dapat dikembangkan di Pulau Gebe, karena suhu normal yang
dibutuhkan jenis Ruminense yaitu antara 27 ºC hingga 30ºC yang cocok dengan kisaran
suhu yang terdapat di Pulau Gebe. Ternak kambing sangat cocok dengan suhu yang
terdapat di Pulau Gebe, yaitu suhu ≥ 30ºC.
Untuk
jenis unggas juga dapat
dikembangkan di Pulau Gebe, karena suhu yang ada masih berkisar pada kesesuaian suhu
unggas yakni 27ºC hingga 28ºC. Dari faktor kelembaban Pulau Gebe yang rata-rata 83%,
jenis ruminanse (sapi), kambing dan unggas (ayam) cukup sesuai untuk dapat hidup.
Dilihat dari faktor pakan ternak, Pulau Gebe memiliki potensi pengembangan ternak,
karena lahan seluas 328 ha (2%) merupakan lahan peruntukan sektor peternakan,
sedangkan
±
77%
lahan
pulau
Gebe
mengandung
hijauan
(hutan,
dan
perkebunan/pertanian).
Dilihat dari aspek ekonomi, pengembangan agribisnis ternak pada kondisi Pulau
Gebe sekarang tidak memberi profit maksimal karena lesunya pasar lokal. Lokasi agro
industri hulu ternak umumnya sangat jauh sehingga (Jawa dan Sulawesi) sehingga dapat
menghambat pengembangan sektor ini, serta memberi implikasi pada harga dasar jual
komoditi ternak. Pengelolaan usaha ternak di Pulau Gebe masih bersifat tradisional
dimana dilakukan secara individu dan tidak berkelompok. Jenis ternak yang diusahakan
sangat terbatas pada: sapi, kambing dan ayam, pada skala kepemilikan yang sangat
terbatas, sehingga produktifitas sangat rendah. Namun usaha agribisnis ternak akan dapat
memberi pendapatan maksimal melalui pemanfaatan pasar antar pulau (ke PT ANTAM
di Teluk Buli, ke Ternate `dan Tidore, atau ke kota/desa pesisir Pulau Papua).
Dilihat dari aspek sosial, usaha sektor peternakan yang dilakukan masyarakat Pulau
Gebe lebih bersifat tradisional dengan skala usaha kecil, karena tingkat pendidikan
masyarakat yang rata-rata rendah sehingga tingkat ketrampilan usaha ternak juga masih
72
rendah. Jenis ternak yang diusahakan terbatas pada sapi, kambing dan ayam, karena
faktor agama dan keyakinan masyarakat setempat yang menganut agama Islam, sehingga
tidak membolehkan ternak babi di Pulau Gebe.
Dari aspek kelembagaan, minimnya penyaluran dana kredit usaha ke agribisnis
peternakan, sebagai faktor pendorong yang memotivasi petani ternak untuk
meningkatkan skala produksi melalui penggunaan alat produksi yang lebih modern
dengan nilai tambah yang besar, tidak tersedianya kelembagaan perkumpulan petani
ternak, koperasi ternak, jaringan pemasaran yang pendek. Peraturan dan Kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah Daerah di bidang agribisnis ternak masih minim, disebabkan
banyaknya kerancuan yang terjadi pada pelaksanaan sistem otonomi daerah saat ini.
Kurangnya tenaga penyuluh/pendamping untuk pengembangan usaha agribisnis ternak,
serta kurangnya fasilitas/sarana bagi pengembangan agribisnis ternak terutama setelah
pasca kerusuhan.
4. 10. Potensi Sumber Daya Tambang
Pulau Gebe memiliki potensi sumber daya tambang yang cukup besar, mampu
memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah dan masyarakat. Kandungan deposit
nikel yang diusahakan PT ANTAM sejak tahun 1977 dengan total cadangan lebih dari 40
juta ton bijih nikel yang terdiri dari kadar rendah dan bijih nikel kadar tinggi berlokasi
di Tanjung Uboelie Pulau Gebe tersebar di atas areal seluas 1.225 ha yang dibagi ke
dalam 16 blok dan beberapa puluh sub blok, kegiatan penambangannya telah berakhir
pada tahun 2005.
Selama melakukan produksi, jumlah yang dihasilkan tiap tahun terdiri dari 45%
bijih nikel saprolit dan 55% bijih nikel limonit. Dari hasil produksi tersebut, 45% bijih
nikel jenis Saprolit di pasok ke Pomala, sedangkan 55% di ekspor ke Jepang. Untuk jenis
bijih nikel Limonit seluruh produksi di jual ke Australia. Kontribusi produksi nikel
terhadap PDRB Kabupaten Halmahera Tengah, tahun 1999 sebesar 20 %, tahun 2000 dan
2001 sebesar 32 % (Anonim, 2001), sedangkan terhadap produksi nikel nasional rata-rata
79 % per tahun. Untuk tahun 1998 produksi nikel sebesar 2.000.000 ton dari total
73
produksi nasional sebesar 2.736.640 ton, tahun 1999 sebesar 2.538.153 ton dari produksi
nasional sebesar 3.235.285, dan pada tahun 2000 produksi sebesar 2.244.097 ton dari
3.038.869 ton produksi nasional. Perkembangan produksi nikel seperti pada Tabel 19.
Tabel 19. Perkembangan produksi nikel Pulau Gebe, tahun 1997 – 2003
Limonit
(ton basah)
1
1997
1.011.214
2
1998
1.174.741
3
1999
811.502
4
2000
855.400
5
2001
1.192.931
6
2002
1.039.180
7
2003
904.144
Sumber : PT ANTAM (2003)
No
Tahun
Saprolit
(ton basah)
1.113.663
1.293.759
915.100
964.600
1.345.222
1.171.843
1.019.568
Total
(ton basah)
2.124.877
2.000.000
1.726.602
1.820.000
2.538.153
2.211.023
1.923.712
Perkembangan
(%)
6
-16
5
28
-15
-15
Tabel 19, menunjukan, produksi nikel tahun 1997 sebesar 2.124.877 ton basah,
yang terdiri dari 1.011.214 ton basah limonit dan 1.113.663 ton saprolit. Tahun 1998
produksi 3nikel meningkat sebesar 6%, karena naiknya permintaan pasar global. Tahun
19399 dan tahun 2000 produksi nikel menurun dibanding dua tahun sebelumnya, karena
terjadi konflik komunal di Maluku Utara yang menyebabkan kegiatan produksi tidak
teratur. Tahun 2001 produksi naik sebesar 28%, selanjutnya tahun 2002 dan 2003
produksi secara riel menurun. Hal ini berkaitan dengan habisnya cadangan bijih nikel di
Tanjung Uboelie.
Hasil eksplorasi di Pulau Gebe telah ditemukan kandungan bijih nikel kadar
rendah di daerah Smingit bagian Selatan Pulau Gebe pada areal seluas 970 ha. Hasil
temuan tersebut PT ANTAM merencanakan akan melangsungkan penambangan nikel
dengan pertimbangan: (1) Memperpanjang umur unit penambangan nikel Gebe (UPNG)
sambil menunggu masuknya investor sehingga perekonomian masyarakat Pulau Gebe
tetap berjalan ; (2) Adanya peluang atas permintaan pasar; (3) Falsafah bisnis yang dianut
oleh PT ANTAM yang lebih menekankan pada asas manfaat, dan bukan hanya pada
keuntungan.
Untuk melangsungkan kegiatan eksploitasi di daerah Smingit analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL) rencana penambangan bijih nikel di Smingit telah
dilaksanakan, namun kegiatannya belum dapat dilaksanakan hingga sekarang karena
74
kawasan tersebut berada pada kawasan hutan lindung, serta adanya pertimbangan
mengenai hasil yang diterima dari operasi yang dilaksana-kan untuk menambang bijih
nikel kadar rendah. Hasil estimasi dan forecasting, jika penambangan nikel Smingit
dilaksanakan maka hasil yang diperoleh pada tingkat maksimal akan tercapai Break event
point (BEP).
Gambar 8. Timbunan nikel low grade
Gambar 9. Timbunan nikel high grade
4. 11. Ekosistem Terumbu karang dan Mangrove
1. Terumbu karang
Terumbu karang adalah salah satu media bagi biota laut yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi bagi kehidupan masyarakat yang bermukim di pesisir pantai. Demikian
juga masyarakat Gebe, sebagai masyarakat pesisir yang hidup di Pulau kecil sangat
bergantung kepada beberapa jenis ikan karang yang terdapat di gugus pulau-pulau kecil
di Pulau Gebe. Dari hasil pengamatan di lima lokasi terumbu karang yang terdapat di
Pulau Gebe (Kapaleo, desa Kacepi, dan desa Mamin) dan penuturan responden yang
telah berusia di atas 60 tahun, kondisi terumbu karang yang diamati pada saat sekarang
sangat jauh berbeda dibanding dengan kondisi di tahun 1980-an.
Informasi yang
diperoleh, pada tahun sebelum 1980-an di pesisir desa-desa tersebut, masyarakat banyak
mendapatkan ikan karang, kerang-kerang hiasan di lokasi terumbu-terumbu karang itu,
75
namun sekarang tidak ada lagi ikan dan kerang yang bisa diperoleh masyarakat di lokasilokasi tersebut. Sesuai hasil pengamatan menunjukan terumbu karang yang terletak di
bagian selatan berdekat-an dengan lokasi penambangan, telah tertutup dengan sedimen
lumpur akibat terbawa erosi dari areal penambangan. Selain itu, kerusakan terumbu
karang yang terdapat di bagian Utara Pulau Gebe, di desa Kapaleo, di desa Kacepi dan di
desa Mamin, lebih disebabkan karena pengambilan karang yang dilakukan oleh
penduduk untuk bahan bangunan, dan kerusakan yang diakibatkan oleh adanya kegiatan
pengeboman ikan.
2. Hutan Mangrove
Potensi hutan mangrove di Pulau Gebe tersebar mulai dari sepanjang pantai
bagian Selatan kearah bagian Barat dan Utara Pulau Gebe, beberapa pulau kecil yang
terdapat dalam wilayah kecamatan ini sangat banyak ditumbuhi mangrove. Dari hasil
pengamatan di lokasi penelitian jenis mangrove yang banyak terdapat di daerah ini adalah
jenis
Rhizopora apiculata,
Rhizopora
stylosa, dan Bruguera Sp. Kondisi areal
mangrove di tanjung Oeboelie mangrove tidak lagi tumbuh subur karena tertimbun oleh
sedimen lumpur yang terbawa erosi yang berasal dari areal penambangan dan lokasi
penimbunan bahan galian yang mengandung nikel, sedangkan desa Kacepi, Mamin, dan
Yam, musnahnya hutan mangrove karena masyarakat mengambil kayu sebagai bahan
bakar dan bahan bangunan (Kepala desa Kacepi dan Mamin, 2003).
Menurut penuturan beberapa penduduk yang telah berusia di atas
60 tahun
ketika PT ANTAM belum mengeksploitasi nikel di Pulau Gebe hampir seluruh pantai
Pulau Gebe tumbuh pohon bakau, dan hanya bagian-bagian tertentu yang dipakai sebagai
tempat berlabuh perahu. Penduduk dapat menangkap udang dan kepiting di hutan bakau
dalam jumlah yang banyak.
Download