BAB II LANDASAN TEORI A. SISTEM PERTAHANAN PARU Udara

advertisement
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SISTEM PERTAHANAN PARU
Udara inspirasi selain sebagai sumber oksigen (O2) bagi tubuh juga
memasukkan sejumlah partikel, gas beracun, dan mikroorganisme ke dalam
saluran napas. Saluran napas atas dan bawah memproteksi paru melalui
pertahanan anatomis. Hal ini berhubungan dengan reflek batuk dan penggunaan
perangkat mukosilier beserta enzim dan imunoglobulin A (IgA) yang
disekresikan.1
Sejumlah sel berfungsi memelihara sterilitas dan melindungi saluran napas,
yaitu epitel saluran napas, epitel alveolar, makrofag, sel dendritik, dan sel
polimorfonuklear (PMN). Sel-sel ini terutama dilengkapi dengan patternrecognition receptors (PRRs) dan secara anatomis dikondisikan untuk mengatasi
mikroba yang masuk ke rongga udara.1 Lapisan basal mukosa respiratorik di
hidung dan saluran napas konduksi mengandung sel dendritik yang tersusun rapat,
akan mengenali dan menangkap setiap invasi mikroorganisme serta membawanya
ke dalam drainaise limfatik untuk membangkitkan sistem imun adaptif. Partikel
berukuran kurang dari 2 µm yang mencapai unit respiratorik di luar bronkiolus
respiratorik akan ditangkap makrofag alveolar dalam mileu yang kaya elemen
pertahanan seperti IgG, komplemen, surfaktan, dan fibronektin.1
1. Epitel saluran napas
Epitel merupakan sawar mukosa dan berkontribusi terhadap bersihan
mukosilier, membatasi permukaan lumen saluran napas yang saling berhubungan
melalui tight junction, intermediate junction, gap junction, dan desmosom yang
relatif impermeable.1 Sel epitel memproduksi sejumlah mediator seperti reactive
oxygen radicals (ROR), sitokin, dan platelet-activating factor untuk merekrut sel
inflamasi ke tempat inflamasi. Sitokin tersebut antara lain tumor necrosis factor
(TNF)-α, interleukin (IL)-1β, dan granulocyte/macrophage colony-stimulating
factor (GM-CSF).3 Sel epitel meningkatkan regulasi molekul adhesi sebagai
6
respons terhadap inflamasi, serta mengekspresikan major histocompatibility
complex (MHC) kelas I dan II saat terpapar dengan sitokin. Sel epitel normal juga
mensekresi peptida antimikroba seperti β-defensin, musin, lisozim, nitrit oksida,
dan laktoferin yang berkontribusi langsung terhadap pertahanan nonspesifik.1,3
Patogen yang menginvasi akan dimusnahkan sel efektor teraktivasi sebagai
pertahanan pertama.4
Epitel saluran napas terbagi menjadi sel epitel bronkial dan alveolar yang
berfungsi sebagai sawar fisik dan aktivitas antimikroba. Sel epitel alveolar terdiri
dari dua tipe sel berbeda, menghasilkan komponen antibakteri seperti surfaktan,
menginisiasi dan mengakhiri inflamasi, serta mengatur pertukaran gas untuk
menyediakan O2. Resident alveolar macropahages dan terkadang sel dendritik
juga ditemukan pada epitel alveolar, merupakan mediator kunci sistem imun
bawaan dan adaptif.4
Sel alveolar tipe I terutama berperan memfasilitasi pertukaran gas, terdiri
dari sawar impermeable cukup luas sehingga dapat mengenali dan merespons
produk mikroba. Sel epitel alveolar tipe II, disebut juga pneumosit tipe II,
berperan sebagai pertahanan saluran napas melalui sekresi produk antimikroba,
mengenali invasi patogen, memproduksi sitokin dan kemokin yang akan
mengaktifkan dan menonaktifkan inflamasi. Sel tipe II ini dapat berdiferensiasi
menjadi sel tipe I dan mensekresi enzim untuk memperbaiki kerusakan epitel.4
Kedua tipe sel epitel alveolar sangat penting dalam homeostasis alveoli, yaitu
untuk pertukaran air dan elektrolit. Pneumosit merupakan sumber utama protein
surfaktan A-D (SP A-D) berfungsi sebagai aglutinasi mikroba yang memfasilitasi
pembersihannya.1,4
2. Sel dendritik
Sel dendritik merupakan antigen-presenting cell (APC) yang menstimulasi
proliferasi sel T naive, bersama makrofag menjadi mekanisme pertahanan pertama
dalam mengenali berbagai macam patogen. Sel inflamasi ini berasal dari sumsum
tulang, mencapai jaringan melalui sirkulasi darah, dan terdistribusi di seluruh
saluran napas.3 Sel dendritik menjadi penghubung antara sistem imun bawaan dan
7
adaptif, terletak di atas dan bawah membran basalis dalam keadaan imatur dengan
dendrit meluas di antara sel epitel. Sel dendritik pada paru manusia ditandai
tingginya aktivitas endositik. Inflamasi paru dan kerusakan jaringan yang
diinduksi invasi mikroba menyebabkan maturasi sel dendritik, segera setelah
teraktivasi sel dendritik akan bermigrasi ke struktur limfoid pada limfonodi
hilar.1,5
3. Sel makrofag alveolar
Sel makrofag alveolar berada di saluran napas, alveoli, dan interstisial
paru, atau bermigrasi ke dalam mikrovaskular paru. Sel ini berperan penting
memodulasi respons inflamasi akut maupun kronik, meskipun dapat berproliferasi
tetapi jumlahnya tidaklah cukup untuk melawan infeksi.3 Makrofag alveolar
menjadi lini pertama pertahanan terhadap organisme atau partikel yang mencapai
saluran napas bawah.1
Makrofag sebagai sumber utama sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi
lainnya memiliki fungsi utama memusnahkan mikroba atau partikel terinhalasi,
membersihkan surfaktan paru, serta menekan berkembangnya inflamasi dan
respons imun yang tidak sesuai.2,3 Kemampuan makrofag berinteraksi dengan
patogen dimediasi reseptor permukaan yang mampu mengikat ligan spesifik,
termasuk toksin, polisakarida, lipopolisakarida (LPS) , protein komplemen, dan
imunoglobulin. Fungsi makrofag diperkuat sel dendritik, keduanya mampu
memfagosit bakteri, partikulat, dan sel apoptotik.1
Patogen terinhalasi memicu sel epitel paru memproduksi kemokin dan
sitokin yang akan menarik dan mengaktivasi neutrofil, monosit, dan sel dendritik.
Patogen tersebut juga akan memicu respons makrofag alveolar untuk
memfagositosis, sekaligus memicu respons imun bawaan. Proses inflamasi beserta
sitokin dan sinyal endogen berbahaya akan mengaktivasi kerja sel dendritik
seperti terlihat pada Gambar 1.6
8
Gambar 1. Proses inflamasi paru
Dikutip dari (6)
4. Neutrofil
Neutrofil atau limfosit PMN berperan penting dalam sistem imun bawaan
yang menentukan ketahanan host melawan infeksi bakteri dan jamur.7 Neutrofil
dihasilkan oleh sel progenitor sumsum tulang, beredar selama 6-8 jam dalam
darah, dan bermigrasi ke jaringan inflamasi sebagai respons terhadap sinyal yang
diproduksi mekanisme imun bawaan lokal.2
Peranan neutrofil dalam mekanisme pertahanan antibakteri di paru
melibatkan berbagai langkah seperti aktivasi faktor transkripsi, produksi kemokin,
peningkatan regulasi molekul adhesi, dan peningkatan interaksi antar sel.8
Neutrofil menyediakan pertahanan lini kedua, merupakan sel yang pertama
direkrut ke tempat infeksi atau cedera, dan menyerang jamur, protozoa, bakteri,
virus, serta sel tumor. Sel inflamasi ini bermigrasi keluar dari kapiler paru dan
masuk ke dalam rongga udara selama terjadi infeksi paru. Neutrofil akan
membunuh mikroba dengan reactive oxygen species (ROS), protein antimikroba,
dan enzim degradatif (elastase) setelah fagositosis.3 Interaksi neutrofil dengan sel
lain pada jaringan inflamasi dan limfonodi dapat dilihat pada Gambar 2.
9
5.
6.
Gambar 2. Interaksi neutrofil dengan sel imun dan non imun pada jaringan
inflamasi dan limfonodi.
Keterangan: MSCs= mesenchymal stem cells, DCs= dendritic cells,
NK= natural killer, CCR7= CC-chemokine receptor 7, TCR= T cell
receptor, TLR= toll-like receptor
Dikutip dari (9)
Neutrofil dilengkapi dengan granula sitotoksik bervariasi berisi molekul
antimikroba
berbeda-beda
(peptida
kationik,
protease,
laktoferin,
mieloperoksidase) untuk melawan mikroba patogen pada sistem imun bawaan.
Berdasarkan ada tidaknya mieloperoksidase (MPO), granula tersebut dibedakan
menjadi granula peroksidase positif (granula primer atau azurofilik) dan negatif
(granula spesifik atau sekunder).7 Neutrofil juga membentuk neutrophil
extracellular traps (NETs) untuk meregulasi beratnya infeksi dalam aktivitas
fagositik bakteri patogen dan pelepasan molekul antimikroba. Neutrophil
extracellular traps tersusun oleh material kromatin padat dan protease serin yang
sama seperti protein sitoplasma, dapat terikat pada bakteri gram positif maupun
negatif. Neutrophil extracellular traps mudah mendegradasi faktor virulensi
bakteri dan membunuh bakteri ekstraselular karena kadar protease serin yang
tinggi.7
10
5. Respons imun terhadap infeksi
Patogen yang masuk host akan menginisiasi interaksi kompleks antara
molekul patogen dengan sensor host, bertujuan menginduksi respons imun yang
sesuai melalui kerja dinamis sel imun bawaan dan molekul mediatornya. Sistem
imun pada mamalia diklasifikasikan menjadi sistem imun bawaan dan adaptif.10,11
a. Sistem imun bawaan
Peranan
utama
sistem
imun
bawaan
adalah
mengenali
dan
mengeliminasi patogen, merupakan lini pertama pertahanan tubuh yang sangat
efektif.10,12 Komponen efektor imun bawaan terdiri dari peptida antimikroba (α
dan β defensin), mannosa binding protein, lisozim, laktoperoksidase,
opsonisasi, aktivasi komplemen, interferon, dan fagosit. Komponen selularnya
meliputi sel dendritik, makrofag, neutrofil, sel natural killer (NK), basofil, sel
mast, dan eosinofil.13
Sistem imun bawaan mengenali patogen melalui reseptor bervariasi,
dikenal sebagai PRRs yang diekspresikan makrofag, sel dendritik, sel mast,
neutrofil, eosinofil, sel NK, sel epitel, dan fibroblas. Ligan yang dikenali PRRs
disebut sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) yang
strukturnya bervariasi, hanya diproduksi mikroba, dan penting untuk
patogenitas atau pertahanan mikroba.11
Toll-like receptors (TLRs) akan mengenali secara spesifik masingmasing PAMPs, terdapat minimal sepuluh tipe yang diketahui berperan dalam
proses pengenalan mikroba di permukaan sel maupun endosom. Toll like
receptor-4 mengenali endotoksin dan LPS bakteri gram negatif, sedangkan
TLR-2 mengenali lipoprotein atau lipopeptida, lipoarabinomanan, lipoteichoic
acid, peptidoglikan, dan zimosin. Proses pengenalan PAMPs memicu
fagositosis sistem imun bawaan dan respons imun adaptif selular maupun
humoral.12
b. Sistem imun adaptif
Sistem imun adaptif terdiri dari dua sistem efektor mayor, yaitu imunitas
yang diperantarai limfosit B (humoral) dan limfosit T (selular). Limfosit B
mengenali antigen asli berupa karbohidrat, protein, dan kelompok kimia
11
sederhana.11,14 Reseptor limfosit T hanya mengenali peptida yang berasal dari
antigen protein terikat pada permukaan sel MHC. Respons imun terhadap
antigen spesifik membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari untuk proliferasi dan
diferensiasi limfosit B dan T. Terjadinya respons imun spesifik terhadap
antigen infeksius dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu fase aferen, pemrosesan
atau kontrol sentral, dan eferen.11
Sel dendritik berperan sebagai penghubung antara respons imun
bawaan dan adaptif, terdapat di jaringan perifer sebagai sel imatur.15 Sel ini
mengenali patogen melalui TLRs, setelah teraktivasi akan berubah menjadi
matur yang mengekspresikan major histocompatibility complex (MHC) I dan
II. Sel dendritik bermigrasi ke limfonodi untuk mengaktifkan sel T naive yang
spesifik terhadap antigen, selanjutnya mengalami proliferasi dan diferensiasi ke
dalam tipe tertentu dari respons sel T seperti terlihat pada Gambar 2. 6,15,16 Sel
T helper (Th)-1 memproduksi interferon (IFN)-γ dan terutama membantu sel
monositik, termasuk makrofag dan sel dendritik, selanjutnya akan membunuh
patogen intraselular serta memperkuat opsonisasi dengan bantuan sel B.6
Gambar 2. Regulasi aktivasi dan respons sel T helper
Dikutip dari (17)
12
B. PNEUMONIA
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan pneumonia
sebagai inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, dan parasit). Pneumonia yang disebabkan Mycobacterium
tuberculosis
tidak
termasuk,
sedangkan
peradangan
paru
disebabkan
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, dan obat-obatan)
disebut pneumonitis.18 Pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologis dibagi
menjadi empat kelompok yaitu:19
1. Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP) yaitu
pneumonia yang didapat dari masyarakat.
2. Pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP) yaitu
pneumonia yang terjadi setelah 48 jam perawatan di rumah sakit dan
disingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah
sakit.
3. Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia akibat regurgitasi cairan saluran
cerna ke paru, terjadi pada pasien penurunan kesadaran seperti penyalahgunaan
obat, kejang, gangguan serebrovaskular, atau dalam pengaruh pembiusan.
4. Pneumonia pada penderita immunocompromised merupakan pneumonia yang
terjadi pada seseorang dengan defek sistem imun humoral dan selular.
Faktor risiko pneumonia komunitas meliputi penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK), insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif, penyakit arteri
koroner, diabetes melitus, keganasan, kelainan neurologis kronik, dan kelainan
hepar kronik. Faktor risiko lain yang signifikan adalah tinggal di tempat padat
seperti penjara, penampungan tuna wisma, dan panti. Beberapa penelitian
menunjukkan terdapat faktor risiko independen seperti alkoholisme, asma,
imunosupresi, dan usia lanjut (≥71 tahun). Aspirasi merupakan faktor risiko
mayor infeksi pneumokokus.20
1. Etiologi
Pengetahuan terhadap patogen penyebab pneumonia komunitas dijadikan
dasar pemilihan terapi antibiotik empirik yang berdampak penting terhadap
13
prognosis pasien.21 Sebagian besar kasus pneumonia komunitas disebabkan
infeksi bakteri. Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis merupakan agen penyebab dari 50% kasus pneumonia
komunitas dengan S. pneumoniae sebagai penyebab tersering di semua kelompok
usia. Organisme gram negatif akhir-akhir ini makin terlihat sebagai etiologi
mayor. Mycoplasma pneumoniae, Chlamidia pneumoniae, dan spesies Legionella
merupakan organisme atipik penyebab pneumonia. Mycoplasma pneumoniae dan
infeksi Legionella jarang didapatkan pada usia tua, berkebalikan dengan H.
influenzae.22-24
Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 menunjukkan
penyebab terbanyak pneumonia komunitas di ruang rawat inap dari bahan sputum
adalah kuman gram negatif (Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii,
Pseudomonas aeruginosa), sedangkan gram positif (S. pneumoniae, Streptococcus
viridans, Staphylococcus aureus) ditemukan dalam jumlah sedikit.18
2. Patogenesis
Saluran napas bawah dirancang efektif untuk melindungi dari invasi
patogen. Infeksi dapat terjadi apabila mekanisme proteksi terganggu atau
tingginya jumlah patogen.20 Predisposisi pneumonia antara lain pada kondisi
penurunan atau penekanan batuk, gangguan aktivitas mukosilier, penurunan
aktivitas fagositik efektif dari makrofag alveolar dan neutrofil, serta gangguan
produksi Ig.25
Risiko infeksi paru dipengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk
merusak permukaan epitel saluran napas. Mikroorganisme dapat mencapai
permukaan saluran napas melalui empat cara yaitu inokulasi langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, dan kolonisasi di
permukaan mukosa. Kolonisasi merupakan cara terbanyak, sebagai hasil
abnormalitas pertahanan alamiah yang akan mempengaruhi keseimbangan antara
replikasi bakteri serta pembersihannya.3 Pneumonia merupakan konsekuensi
kolonisasi di paru, cedera epitel terinduksi patogen, aktivasi inflamasi, dan
aktivasi berlebihan dari mekanisme perbaikan jaringan. Kebocoran vaskular dan
14
edema yang disebabkan respons host tersebut menyebabkan patogen mendapat
akses masuk ke dalam darah, menyebar sistemik dan menyebabkan sepsis.4
Infeksi parenkim paru tidak hanya diikuti perubahan fungsi normalnya,
tetapi juga memicu respons sistemik terhadap invasi mikroorganisme.
Konsekuensi patofisiologis inflamasi dan infeksi berupa penurunan ventilasi pada
area terkena. Alveoli yang terisi penuh eksudat inflamasi memungkinkan tidak
terjadi ventilasi dan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi yang ekstrim bermanifestasi
sebagai hipoksemia.26
Infeksi bakterial akut terjadi apabila bakteri berjumlah sangat banyak
menyerang pertahanan lokal, memicu inflamasi akut yang melibatkan imunitas
bawaan dan adaptif.3 Respons inflamasi lokal dimulai saat invasi patogen
mencapai parenkim paru. Sel inflamasi dan cairan akan masuk ke alveoli
menghasilkan konsolidasi, diikuti keluarnya mediator inflamasi yang ikut
sirkulasi darah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya tanda dan gejala
pneumonia. Keseimbangan antara respons inflamasi host dan pertumbuhan
mikroba merupakan faktor kunci proses penyakit. Inflamasi seperti pedang
bermata dua yang penting untuk resolusi infeksi tetapi juga bertanggungjawab
pada kerusakan jaringan.20
Bakteri terinhalasi dalam jumlah signifikan menghadapi mekanisme
pertahanan pertama host berupa pelepasan toksin silier, pneumolisin, endotoksin,
dan protease IgA sehingga mengganggu bersihan mukosilier dan membuat bakteri
melekat pada epitel. Sel dendritik, makrofag alveolar, dan sel epitel teraktivasi
sebagai penanda patogen yang terindentifikasi melalui TLRs. Pengenalan patogen
akan mengawali inflamasi, berkembang melalui empat fase yaitu inisiasi,
amplifikasi, fagositosis, dan resolusi.3
a. Inisiasi
Toll-like receptors merupakan PRRs yang terikat pada membran, mengenali
pola molekular spesifik patogen yang dikenal sebagai PAMPs. Toll-like receptors
setidaknya memiliki sepuluh tipe yang mengenali mikroba pada permukaan sel
atau di dalam endosom,
misalnya TLR-4
mengenali endotoksin dan
lipopolysaccharide-binding proteins bakteri gram negatif, sedangkan TLR-2
15
mengenali bakteri gram positif dan peptidoglikan.3,27 Pattern-recognition
receptors sitosolik terutama terdiri dari nucleotide oligomerization domain
(NOD)-like receptors (NLRs) dan berfungsi sebagai regulator respons imun
bawaan melawan patogen mikroba. Stimulasi NOD1 dan NOD2 akan
mengaktifkan mitogen-activated protein kinase dan nuclear factor-kappa B (NFκB). Aktivasi NLRs seperti NLRP3 melalui PAMPs menyebabkan oligomerisasi
dan merekrut protein adaptor sehingga akan terbentuk kompleks multiprotein
disebut
“inflammasome”
yang
berkontribusi
terhadap
produksi
sitokin
proinflamasi seperti IL-1β dan peptida antimikroba.3,27 Aktivasi inflammasome
pada sel tertentu dapat memicu kematian sel host secara cepat (pyroptosis),
sehingga memproteksi host melalui pencegahan replikasi bakteri.3
b. Amplifikasi
Aktivasi sel setelah PAMPs dapat dikenali akan meningkatkan faktor
transkripsi seperti NF-κB, produksi hormon pertumbuhan, kemokin, molekul
adhesi, dan sitokin proinflamasi seperti IL-8 dan TNF-α. Jalur utama respons
inflamasi dikendalikan faktor transkripsi selular NF-κB yang bermigrasi ke
nukleus dan membentuk kompleks dengan DNA, menghasilkan ekspresi sitokin
proinflamasi.3,27
Neutrofil bermigrasi cepat dari darah menuju tempat infeksi, dimediasi
kemoatraktan seperti IL-8, granulocyte chemotactic protein-2 (GCP-2), leukotrien
B4 (LTB4) yang disekresi monosit, makrofag, keratinosit, sel mast, endotel, dan
sel imun host
lainnya. Pengenalan dan fagositosis neutrofil terhadap
mikroorganisme yang menginvasi dimediasi melalui PRRs dan difasilitasi
antibodi Fc serta reseptor komplemen yang mengikat komplemen dan mikroba
terselimuti antibodi.27
Interleukin-8 bertindak sebagai agen kemotaktik neutrofil, sedangkan
TNF-α meningkatkan eskpresi molekul adhesi sel endotel kapiler paru untuk
peningkatan adhesi neutrofil. Neutrofil teraktivasi akan melepaskan lebih banyak
IL-8 sehingga pada akhirnya akan meningkatkan perekrutan neutrofil. Tumor
necrosis factor-α diproduksi secara cepat oleh sel darah teraktivasi dan berperan
16
sebagai proinflamasi dan prokoagulan, diperkuat sitokin lain seperti IL-1, IL-2,
IL-6, IL-8, dan IFN-γ.3,27
Saat neutrofil dan makrofag alveolar melawan patogen pada jalur
nonspesifik, sel dendritik mempresentasikan limfosit T dengan antigen asing yang
menyebabkan respons Th1 maupun Th2. Sel T teraktivasi dan sel B akan ikut
mempertahankan
tubuh
terhadap
serangan
bakteri.
Pelepasan
hormon
pertumbuhan dan sitokin dari sel T teraktivasi selanjutnya akan menstimulasi
makrofag.3
c. Fagositosis
Fagositosis merupakan proses dimana partikel dikenali, diikat pada
permukaan sel, dan mengalami internalisasi ke dalam membran plasma vakuola
intraselular atau fagosom. Sel fagosit mamalia antara lain leukosit PMN (dikenal
sebagai
neutrofil),
sel
dendritik,
monosit,
dan
makrofag.
Pada
saat
mikroorganisme memasuki bagian steril tubuh, sel fagosit akan menarik secara
kemotaktik, mengikat mikroorganisme, mencerna, dan mematikannya.28
Mikroorganisme yang menginvasi dimatikan dan dibersihkan melalui dua
mekanisme.
Mekanisme
pertama
melibatkan
makrofag
alveolar
dan
kemampuannya membebaskan faktor kemotaktik di sekitar neutrofil dan
mengawali respons imun. Mekanisme kedua terjadi saat bakteri memicu sel T,
mengeluarkan sitokin yang menstimulasi kapasitas fagositik dan bakterisidal
makrofag alveolar.3 Setelah fagositosis, mikroorganisme dalam fagosom akan
dimusnahkan melalui nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH)
oxidase-dependent dan myeloperoxidase-dependent reactive oxygen species atau
peptida antimikroba dari granula sitoplasma.27
Peran neutrophil extracellular traps (NETs) dalam memperkuat aktivitas
fagositik dan memproduksi molekul antimikroba sering dibicarakan dan sampai
saat ini masih dalam penelitian. Neutrophil extracellular traps terdiri dari histon,
kromatin, granula azurofilik, dan protein sitosolik yang mengikat dan
menghancurkan patogen.7,27 Neutrophil extracellular traps mampu mengikat gram
negatif maupun positif, dapat dengan mudah menghancurkan faktor virulensi
17
bakteri dan membunuh bakteri secara ekstraselular karena tingginya kadar
protease serin.7
Dua model NETs yang dikeluarkan di rongga ekstraselular melibatkan
mekanisme kematian sel karena dikeluarkan dari neutrofil mati atau melibatkan
ekstrusi material kromatin bersama dengan protease serin dari neutrofil intak.
Mekanisme pertama terjadi dalam 2-3 jam setelah pajanan myristate phorbol
(PMA), Staphylococcus aureus, atau Candida albicans sebagai stimulus.
Mekanisme kedua melibatkan pengenalan LPS atau bakteri patogen oleh
trombosit atau neutrofil, terjadi sangat cepat dalam beberapa menit setelah
pajanan, dan terkait dengan obstruksi vaskular selama terjadinya sepsis.7
Perangkap yang terdapat dalam serat deoxyribonucleic acid (DNA)
mencegah penyebaran mikroorganisme dan menyediakan faktor antimikroba
berkadar tinggi pada tempat infeksi. Proses ini terjadi selama interaksi antara
permukaan sel patogen dengan komponen NETs. Fungsi antimikroba ini diperoleh
dari protein granula maupun sitoplasma, seperti NE, histon, MPO, katepsin G,
proteinase 3 (PR3), laktoferin, kalprotektin dan peptida antimikroba.29 Aktivitas
antimikroba NETs merupakan hasil perpaduan komponen-komponen tersebut.
Histon merupakan komponen paling toksik, meskipun mekanisme toksisitasnya
masih belum jelas diketahui.30
d. Resolusi
Resolusi terjadi setelah keberhasilan respons host. Fagositosis bakteri
komplit
disertai penghancuran
bakteri oleh ROS,
protein penginduksi
permeabilitas bakterisidal, laktoferin, elastase, serta NETs akan menurunkan
pengaturan sistem pertahanan host. Perbaikan inflamasi paru tergantung pada
apoptosis dan pengeluaran sel inflamasi akut oleh makrofag secara adekuat.3
Penelitian terbaru menunjukkan neutrofil mengatur fase resolusi melalui
mekanisme berbeda meliputi penangkapan kemokin dan/ atau sitokin serta
pembentukan mediator pro-resolving lipid (lipoksin, resolvin, dan protektin).
Mediator ini menghentikan infiltrasi neutrofil dan meningkatkan uptake neutrofil
apoptotik oleh makrofag. Apoptotik neutrofil juga mengamplifikasi ekspresi CC-
18
chemokine receptor 5 (CCR5) yang akhirnya akan menyebabkan sekuestrasi dan
pembersihan CC-chemokine ligand 3 (CCL3) dan CCL5.29
3. Stres oksidatif
Radikal bebas meliputi atom, molekul atau ion dengan elektron tidak
berpasangan yang bereaksi aktif secara kimiawi dengan molekul lainnya. Radikal
bebas seringkali berasal dari molekul O2, nitrogen, dan sulfur sebagai bagian dari
kelompok molekul yang disebut ROS, reactive nitrogen species (RNS), dan
reactive sulphur species (RSS). Sebagai contoh, ROS mencakup radikal bebas
seperti anion superoksida (O2-.), radikal perhidroksil (HO2.), radikal hidroksil
(.OH), nitrit oksida, dan spesies lain seperti hidrogen peroksida (H2O2), singlet
oxygen (1O2), hypochlorous acid (HOCl), dan peroksinitrit (ONOO-).31 Jalur
produksi ROS dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Jalur produksi ROS
Dikutip dari (32)
Reactive oxygen species diproduksi selama metabolisme selular dan
aktivitas fungsional, pada kadar rendah berperan penting dalam cell signaling,
apoptosis, ekspresi gen, dan pertahanan terhadap infeksi. Sejumlah molekul antara
lain protein, lipid, RNA, dan DNA yang berukuran sangat kecil serta reaktif dapat
terganggu oleh produksi ROS berlebihan.32 Keseimbangan antara produksi
19
ROS/RNS dengan pertahanan antioksidan menentukan status redoks intraselular
yang berperan mengoptimalkan fungsi sel serta ekspresi gen.33 Reactive oxygen
species memiliki fungsi mikrobisidal tetapi berefek negatif menyebabkan cedera
jaringan host. Produksi radikal bebas melibatkan makrofag dan neutrofil untuk
mengatasi invasi mikroorganisme, terlihat pada sel host selama aktivasi fagosit
atau reaktivitas mikroorganisme beserta produknya terhadap reseptor spesifik.
Lipopolisakarida berkontribusi penting terhadap peningkatan ROS, menginduksi
acute lung injury (ALI), dan proliferasi abnormal fibroblast paru pada tahap awal
penyakit yang berhubungan dengan aktivasi jalur PI3K-Akt.34
Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara terbentuknya
ROS atau RNS dengan kapasitas organisme untuk menetralisir melalui sistem
proteksi antioksidatif, ditandai penurunan kapasitas sistem endogen untuk
melawan proses oksidatif
mengganggu
rasio
secara
biomolekular.35
GSH/GSSG
Stres oksidatif dapat
(glutathione/glutathione
disulphide),
menyebabkan aktivasi faktor transkripsi sensitif redoks seperti NF-κB dan HIF-1
yang mentransmisikan informasi ke sel. Reactive oxygen species mengaktivasi
NF-κB melalui fosforilasi IκBs pada residu serin sehingga dapat masuk ke nukleus
untuk
mengaktifkan
transkripsi
gen.
Sejumlah
kinase
diketahui
dapat
memfosforilasi IκBs sehingga menjadi target sinyal oksidatif untuk mengaktifkan
NF-κB. Proses ini akan menghasilkan produksi sejumlah mediator inflamasi
seperti IL-1β, IL-6, TNF-α, IL-8, dan molekul adhesi. Nuclear factor kappa B
juga meregulasi angiogenesis, proliferasi, dan diferensiasi sel.36
Pneumonia merupakan infeksi paru yang biasanya disebabkan bakteri dan
virus. Stres oksidatif merupakan bagian penting dari respons imun bawaan
terhadap patogen yang akan meningkatkan produksi mediator inflamasi paru. Efek
yang terjadi berupa peningkatan ekspresi intercellular adhesion molecule
(ICAM)-1 dan IL-6 serta hipersekresi mukus. Penelitian Chen et al. menunjukkan
pneumonia meningkatkan ROS jaringan paru, berkorelasi dengan derajat beratnya
pneumonia. Peningkatan TNF-α dan IL-6 didapatkan bermakna pada pneumonia
berat, sehingga didapatkan bukti bahwa stres oksidatif dan kerusakan DNA
berperan penting pada patogenesis pneumonia berat.34
20
Antioksidan merupakan molekul yang dapat menetralisir radikal bebas
dengan cara menerima atau mendonorkan elektron untuk mengeliminasi kondisi
radikal tidak berpasangan. Molekul ini dapat bereaksi langsung dengan radikal
reaktif dan menghancurkannya sehingga menjadi radikal bebas baru yang tidak
terlalu aktif, mampu bertahan lama, dan kurang berbahaya.32 Hubungan antara
antioksidan dan oksidan diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan timbal balik antara oksidan dan antioksidan
Keterangan: NOS= NO-synthase, ROS= reactive oxygen species,
CAT= catalase, SOD= superoxide dismutase, GPx= glutathione
peroxidase, GST= glutathione S-transferase, UA= uric acid, GSH=
glutathione reduced.
Dikutip dari (37)
Antioksidan dapat bersifat endogen atau eksogen, disebut ideal apabila
mudah diabsorpsi, mampu meredam radikal bebas, dan chelate redoks logam.
Antioksidan pada manusia terdiri dari dua sistem sangat kompleks yaitu enzimatik
dan nonenzimatik. Antioksidan enzimatik mayor yang sering ditemukan di paru
adalah superoxide dismutase (SOD), katalase, glutathione peroxidases (GSHPxs), dan glutathione-S-transferase (GSTs).36 Pembentukan radikal bebas
dihambat antioksidan melalui satu atau lebih mekanisme yaitu mengenali spesies
yang menginisiasi peroksidasi, berikatan dengan ion logam sehingga tidak dapat
21
menstimulasi keluarnya reactive species atau dekomposisi lipid peroksidase,
quenching
.
O2-
mencegah
pembentukan
peroksidase,
memecah
rantai
autooksidatif, dan/ atau mengurangi konsentrasi O2 terlokalisir.38 Peran penting
stres oksidatif pada pneumonia komunitas diperlihatkan melalui penelitian
Castillo et al. yang menyatakan skor FINE berkorelasi negatif dengan kadar ferric
reducing ability of plasma (FRAP) dan positif dengan kadar malondialdehyde
(MDA), sehingga disimpulkan pemberian antioksidan sebaiknya dipertimbangkan
sebagai terapi tambahan pada penderita pneumonia komunitas yang dirawat.39
4. Diagnosis pneumonia komunitas
Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis, dan laboratorium.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnosis pasti pneumonia komunitas menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (2014) ditegakkan apabila pada foto toraks didapatkan infiltrat atau air
bronchogram ditambah beberapa gejala di bawah ini:18
- batuk
- perubahan karakteristik sputum atau purulen
- suhu tubuh ≥ 380 Celcius (aksila) atau riwayat demam
- nyeri dada
- sesak
- pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial, dan ronki
- leukosit ≥10.000/uL atau <4500/uL
Pneumonia komunitas secara klinis dibagi menjadi tipikal dan atipikal.
Tipikal disebabkan bakteri seperti S. pneumoniae dan H. influenzae, ditandai
demam, batuk produktif, nyeri pleuritik, dan sesak napas. Pemeriksaan fisik
didapatkan takipnea, takikardi, dan konsolidasi paru berupa pekak pada perkusi,
peningkatan fremitus, egofoni, suara napas bronkial, dan ronki. Pneumonia
atipikal disebabkan C. pneumoniae, L. pneumophila, M. pneumoniae ditandai
onset gradual dari batuk nonproduktif dan sesak napas. Manifestasi ekstraparu
22
(demam, myalgia, fatigue, dan nyeri telan) lebih dominan pada atipikal, meskipun
demikian perbedaan gejala klinis tersebut tidak dapat digunakan untuk
mengidentifikasi agen penyebab. Munculnya gejala klinis dapat dipengaruhi
kondisi komorbid dan usia tua.20
b. Pemeriksaan radiologis
Berdasarkan rekomendasi Infectious Diseases Society of America and
American Thoracic Society (IDSA/ATS) diagnosis pneumonia harus memasukkan
pemeriksaan foto toraks dimana didapatkan infiltrat, konsolidasi, dan terkadang
kavitasi. Konsolidasi terlihat pada lebih dari 90% foto toraks penderita, dapat sulit
dilihat pada lobus bawah kiri karena tertutup bayangan jantung. Pneumonia
disebabkan M. pneumoniae dan C. pneumophila sering terlihat sebagai infeksi
saluran napas kecil (bronkiolitis) daripada konsolidasi lobar, menyebabkan
perubahan interstitial yang mudah terlewatkan pada foto toraks berkualitas buruk
tetapi mudah teridentifikasi melalui computed tomography (CT) scan sebagai
perubahan “tree-in-bud”.40
Opasitas pada foto toraks dianggap sebagai gold standard diagnosis
pneumonia, meskipun hal tersebut dapat berkaitan dengan
infeksi, infark,
perdarahan, edema, keganasan, maupun inflamasi disebabkan berbagai proses
seperti vaskulitis atau efek samping obat. Sejumlah penelitian menunjukkan
penyebab bakterial dan nonbakterial tidak dapat dibedakan berdasarkan foto
toraks.14
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada kasus pneumonia tidak berarti menunda
pemberian antibiotik yang pemilihannya berdasarkan pengetahuan terhadap jenis
patogen dan perkiraan beratnya infeksi.20 Pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan peningkatan lekosit lebih dari 10.000/ul atau kurang dari 4.500/ul,
hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri, dan peningkatan laju endap
darah.41
Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan penyebab pneumonia meliputi
pemeriksaan mikroskopis dan kultur sputum, kultur darah, antigen terhadap S.
23
pneumoniae dan L. pneumophilia dalam urin, serta uji serologi dan molekular
terhadap virus influenza, M. pneumoniae, Chlamydophila, dan C. burnetti.18
Oksigenasi dinilai dengan pulse oxymetri dan pemeriksaan analisis gas
darah apabila saturasi di bawah 94% atau didapatkan pneumonia berat. Desaturasi
harus segera dikoreksi karena dapat memperberat infeksi. Kebutuhan O2 inspirasi
sebesar 35% atau lebih untuk mempertahankan saturasi O2 sekitar 90%
menandakan pneumonia berat, demikian juga dengan PaO2 kurang dari 60 mmHg
atau PaCO2 lebih dari 50 mmHg. Pemasangan ventilasi mekanik sebaiknya
dilakukan pada kondisi ini.42
d. Penilaian tingkat keparahan
Tingkat keparahan pneumonia menentukan tempat perawatan (rawat inap
atau jalan), pemeriksaan mikrobiologi lebih lanjut, dan pemilihan antibiotik awal
secara empirik.43 Keputusan merawat inap atau merawat jalan penderita
merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan pneumonia komunitas.20
Sistem penilaian keparahan pneumonia yang sering digunakan adalah
pneumonia severity index (PSI) dan CURB (confusion, urea, respiratory rate,
blood pressure and age)-65. Sejumlah sistem penilaian tambahan telah
dikembangkan, termasuk penilaian terhadap penderita yang memerlukan
perawatan di intensive care unit (ICU), seperti kriteria IDSA/ATS, SMART-COP,
PIRO-CAP, dan SCAP.43,44 Pneumonia severity index dikembangkan Fine et al.
pada tahun 1997 untuk mengidentifikasi penderita pneumonia komunitas berisiko
kematian rendah dalam tiga puluh hari, telah divalidasi terhadap 40.000 penderita
dalam penelitian Pneumonia Outcome Research Team (PORT).44 Parameter yang
dinilai dan pengelompokkan penderita ke dalam kelas risiko dapat dilihat pada
Tabel 1 dan 2.
24
Tabel 1. Sistem penilaian PSI
Karakteristik Penderita
Faktor demografi
Umur: Laki-laki
Perempuan
Perawatan di rumah
Skor
Umur (tahun)
Umur (tahun) dikurangi 10
Umur (tahun) ditambah 10
Penyakit penyerta
Keganasan
Penyakit hati
Gagal jantung kongestif
Penyakit serebrovaskular
Penyakit ginjal
30
20
10
10
10
Temuan pemeriksaan fisik
Perubahan status mental
Frekuensi napas ≥30/menit
Tekanan darah sistolik ≤90 mmHg
Suhu tubuh <35oC atau ≥40oC
Denyut nadi >125/menit
20
20
20
15
10
Temuan laboratorium dan radiologi
pH darah arteri <7,35
Blood urea nitrogen >30 mg/dl
Sodium <130 mmol/L
Glukosa >250mg/dl
Hematokrit <30%
Tekanan parsial oksigen arteri ≤60 mmHg
Efusi pleura
30
20
20
10
10
10
10
Dikutip dari (20)
Tabel 2. Stratifikasi risiko kematian dan perawatan berdasarkan PSI
Kelas risiko
Jumlah poin
I (Ringan)
II (Ringan)
III (Ringan)
(usia < 50 tahun, tidak ada
penyakit penyerta dan
abnormalitas tanda vital)
≤ 70
71-90
IV (Sedang)
V (Berat)
91-130
> 130
Mortalitas 30 hari
(%)
0,1
0,6
2,8
8,2
29,2
Perawatan
Rawat jalan
Rawat jalan
Rawat jalan/ inap
Rawat inap
Rawat inap
Dikutip dari (45)
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2014) merekomendasikan apabila
menggunakan PSI dalam menilai keparahan pneumonia, maka kriteria yang
dipakai untuk indikasi rawat inap adalah:18
1. Skor PSI lebih dari 70
2. Skor PSI kurang dari 70 tetapi dijumpai salah satu dari kriteria sebagai berikut:
25
- Frekuensi napas >30 kali per menit
- PaO2/FiO2 <250 mmHg
- Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus
- Tekanan sistolik <90 mmHg
- Tekanan diastolik <60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya).
British Thoracic Society (BTS) mengembangkan CURB-65 pada tahun
2003 yang sekarang telah divalidasi pada 12.000 penderita dari berbagai negara.
Tabel 3 menunjukkan penilaian dan pengelompokkan penderita ke dalam kelas
risiko. Keuntungan CURB-65 lebih mudah digunakan tetapi dapat lalai menilai
keparahan pneumonia pada penderita muda dengan komorbid.43,44
Tabel 3. Sistem penilaian CURB-65 (setiap kriteria memiliki 1 poin)
Confusion
Blood urea nitrogen > 20 mg/dL (7 mmol/L)
Respiratory rate > 30x/menit
Blood pressure (sistolik < 90 mmHg atau diastolik ≤ 60 mmHg)
Usia ≥ 65 tahun
Dikutip dari (19)
5. Penatalaksanaan pneumonia komunitas
Penderita pneumonia komunitas diharuskan beristirahat dan menghindari
asap rokok, menjaga kecukupan hidrasi dan nutrisi adekuat dengan suplementasi
O2 untuk mempertahankan saturasi 94-98% pada mereka yang tidak berisiko
mengalami gagal napas hiperkapnik. Mobilisasi dini dan profilaksis terhadap
tromboemboli vena juga direkomendasikan.42
Antibiotik empirik berdasarkan prevalensi patogen dan profil resistensi
antibiotik lokal sebaiknya diberikan dalam empat jam pertama, dilanjutkan 5-7
hari pada pneumonia komunitas ringan sampai sedang, dan 7-10 hari pada yang
berat. Sulih terapi antibiotik dari intravena ke oral sebaiknya dilakukan apabila
hemodinamik stabil, terjadi perbaikan klinis, dan fungsi pencernaan normal.18,42
Strategi de-eskalasi direkomendasikan untuk mencegah melonjaknya
resistensi bakteri, didefinisikan sebagai pengubahan terapi antibiotik empirik
26
spektrum luas (terapi inisial efektif) menjadi lebih sempit setelah penilaian ulang
dalam 72 jam inisiasi terapi bergantung pada perolehan data mikrobiologi.
Antibiotik yang tepat memiliki spektrum lebih sempit, efikasi tinggi, toksisitas
minimal,
dan
ekonomis.46
Rekomendasi
pemilihan
antibiotik
untuk
mikroorganisme spesifik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Antibiotik spesifik sesuai patogen respiratorik tertentu
Tipe infeksi
S. pneumoniae
- Sensitif penisilin
- Resisten penisilin
Antibiotik pilihan pertama
Penisilin
G,
klindamisin,
telitromisin
amoksisilin,
doksisiklin,
Mycoplasma
Agen
yang
teridentifikasi
melalui uji kepekaan in vitro,
termasuk
sefotaksim,
seftriakson, vankomisin, dan
fluorokuinolon
Doksisiklin, makrolid
Chlamydophila pneumoniae
Doksisiklin, makrolid
Legionella
Neisseria meningitidis
Azitromisin,
fluorokuinolon
(termasuk
siprofloksasin),
eritromisin (± rifampin)
Sefalosporin generasi II atau III,
klaritromisin, doksisiklin, βlaktam/penghambat βlaktamase,
trimetoprim/sulfametoksazol,
azitromisin, telitromisin
Sefalosporin generasi II atau
III,trimetoprim/sulfametoksazol,
doksisiklin,βlaktam/penghambat β-laktamase
Penisilin
Neisseria meningitidis
Penisilin
Streptococci (selain S. pneumoniae)
Penisilin, sefalosporin generasi I
Anaerob
Klindamisin,
β-laktampenghambat β-laktamase, β-
H. influenzae
Moraxella catarrhalis
Antibiotik alternatif
Sefalosporin,
makrolid
(MIC< 2,0 g/ml),
fluorokuinolon
Telitromisin (MIC
≥ 2,0 g/ml)
Fluorokuinolon,
telitromisin
Fluorokuinolon,
telitromisin
Doksisiklin
rifampin
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon
Seftriakson,
sefotaksim,
sefuroksim,
kloramfenikol,
fluorokuinolon
Seftriakson,
sefotaksim,
sefuroksim,
kloramfenikol,
fluorokuinolon
Klindamisin
(kepekaan obat
sebaiknya
terkonfirmasi),
vankomisin
Karbapenem
±
27
laktam ditambah metronidazol
S. aureus
-sensitif Metisilin
Oksasilin, nafsilin, sefazolin;
semuanya ± rifampin atau
gentamisin
Vankomisin ± rifampin atau
gentamisin
- resisten Metisilin
Klebsiella
pneumoniae
Enterobacteriaceae
lain
Enterobacter spp.)
dan
(selain
Sefalosporin generasi III atau
sefepim
(semuanya
±
aminoglikosid) karbapenem
Sefuroksim,
sefotaksim,
seftriakson,
fluorokuinolon,
klindamisin,
vankomisin
Linezolid,
quinupristindalfopristin;
trimetoprim/sulfam
etoksazol,
fluorokuinolon, dan
tetrasiklin mungkin
efektif (dibutuhkan
uji in vitro)
Aztreonam,
βlaktam-penghambat
β-laktamase,
fluorokuinolon
Dikutip dari (47)
C. PROKALSITONIN
Prokalsitonin menunjang diagnosis pneumonia komunitas, sekaligus sebagai
prediktor komplikasi dan kematian. Evaluasi nilai prognostik PCT pada
pneumonia komunitas memperlihatkan PCT >2 ng/ml berkaitan dengan
peningkatan kejadian bakteremia, syok septik, gagal multiorgan, dan kematian.48
Penelitian metaanalisis yang membedakan infeksi bakterial dari inflamasi
noninfeksi pada penderita rawat inap menyimpulkan bahwa PCT lebih sensitif
(85% vs 78%) dan lebih spesifik (83% vs 60%) dibandingkan CRP. Prokalsitonin
juga lebih sensitif dalam membedakan antara bakteri atau virus sebagai etiologi
penyakit.49
Penggunaan antibiotik secara luas pada infeksi nonbakterial dapat
menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik, sehingga untuk mengurangi
fenomena ini diperlukan pembatasan penggunaan antibiotik hanya pada infeksi
bakterial. Peran PCT dalam menuntun penggunaan antibiotik secara lebih aman
telah terbukti melalui sejumlah penelitian. Hasil penelitian menggunakan Kryptor
assay salah satunya berupa keputusan tidak memberikan antibiotik pada penderita
dengan kadar PCT rendah (<0,25 µg/liter) dan tanpa gejala klinis yang jelas.
28
Sebaliknya, kadar PCT ≥0,25 dan <0,5 ng/ml mengindikasikan kemungkinan
infeksi bakteri dan disarankan untuk memulai pemberian antibiotik. Kadar PCT ≥
0,5 ng/ml mendukung adanya infeksi bakteri yang sedang berlangsung sehingga
sangat direkomendasikan pemberian antibiotik.50
1. Struktur dan biokimia
Prokalsitonin merupakan prekursor hormon tiroid kalsitonin (CT) yang
diproduksi sel C-tiroid dan berperan penting dalam homeostasis kalsium.
Prokalsitonin tersusun oleh 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa,
selanjutnya diproses menjadi peptida 57 asam amino pada terminal amino
(aminoPCT/ aminopro-CT), immature CT yang terletak di tengah dan terdiri dari
32 asam amino, serta CT carboxyl-terminus peptide-I (CCP-1) terdiri dari 21
asam amino seperti terlihat pada Gambar 6. Seluruh PCT yang terbentuk di sel Ctiroid akan diubah menjadi CT sehingga kadarnya sangat rendah dalam serum
individu sehat (<0,1 ng/ml). Prokalsitonin memiliki waktu paruh yang panjang
sekitar 22-35 jam dalam serum, berkebalikan dengan waktu paruh CT yang
pendek (4-5 menit).50,51
Eliminasi PCT belum jelas diketahui, seperti protein plasma lainnya PCT
mungkin didegradasi melalui proteolisis. Ekskresi renal mungkin sedikit berperan
dan tidak didapatkan akumulasi PCT pada penderita gagal ginjal berat.52 Pendapat
lain mengemukakan bahwa enzim dalam plasma tidak dapat menghancurkan PCT
yang masuk ke sirkulasi, sehingga apabila PCT lepas dari proteolisis intraselular
dan disekresi ke sirkulasi maka didapatkan dalam bentuk yang tidak berubah.53
Gambar 6. Prokalsitonin dan peptida pecahannya
Dikutip dari (51)
29
Gen yang mengkode PCT dikenal sebagai CALC-I, pada manusia terletak di
lengan pendek kromosom 11. Pre-mRNA dari gen CALC-I berisi enam ekson,
dimana mRNA CT mencakup ekson 1- 4 dan berakhir setelah sisi poliadenilasi
pada ekson 4. Pre-mRNA ini juga memproduksi mRNA lain dengan melompati
ekson 4, yaitu meliputi ekson 1-3, 5, dan 6, serta mengkode protein dikenal
sebagai calsitonin gene-related peptide I (CGRP-I). Produk asli gen CALC-I
adalah 141 rantai asam amino dari prePCT yang bertanggungjawab terhadap
produksi PCT pada sel C tiroid terutama selama inflamasi.51
2. Regulasi
Regulasi ekspresi PCT berbeda dengan CT. Peningkatan kadar kalsium pada
sel C tiroid, sama halnya dengan stimulus lain seperti glukokortikoid, calcitonin
gene related peptide (CGRP), glukagon, gastrin atau stimulasi β-adrenergik, akan
memunculkan ekspresi gen CT. Somatostatin dan vitamin D justru akan menekan
produksi CT. Gambar 7 menunjukkan skema ekspresi CALC-I pada sel non
neuroendokrin dan sel C tiroid. Sesuai paradigma klasik neuroendokrin, ekpresi
mRNA CT terbatas pada sel neuroendokrin terutama sel C tiroid. Mediator
proinflamasi pada sepsis dan inflamasi memicu ekspresi mRNA CT pada sel non
neuroendokrin, berkebalikan dengan sel C tiroid maka akan dilepaskan PCT yang
tidak terproses.51
Gambar 7. Perbandingan ekspresi dan sekresi CALC-I pada
sel adiposa dan sel C tiroid.
Dikutip dari (51)
30
Peningkatan kadar PCT bersifat selektif pada proses inflamasi bakterial,
berkebalikan dengan kadar sitokin yang tidak spesifik pada sebagian besar tipe
inflamasi.51 Selama infeksi mikroba didapatkan peningkatan ekspresi gen CALC-I
yang menyebabkan pelepasan PCT dari parenkim dan diferensiasi tipe sel di
seluruh tubuh termasuk hepar dan sel mononuklear. Pelepasan PCT dalam fase
inflamasi dapat diinduksi melalui dua jalur, yaitu melalui pelepasan toksin
mikroba (endotoksin) dan melalui respons cell-mediated yang diperantarai sitokin
proinflamasi (IL-1β, IL-6, dan TNF-α).50
Prokalsitonin juga meningkat pada berbagai kondisi noninfeksi seperti
trauma, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, heat stroke, dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS), nekrosis terinfeksi pasca pankreatitis akut,
dan reaksi penolakan pasca transplantasi. Saat ini, PCT diketahui sebagai
biomarker SMART untuk sepsis dan infeksi karena mampu memenuhi beberapa
kriteria yang dibutuhkan seperti memiliki spesifisitas dan sensitivitas tinggi,
mudah diukur, tersedia di banyak rumah sakit, responsif dan reproducible, serta
memiliki waktu paruh sampai 24 jam.50
3. Prokalsitonin sebagai penunjang diagnostik dan prognostik
Prokalsitonin diproduksi sebagai respons terhadap endotoksin atau
mediator proinflamasi yang dilepaskan pada infeksi bakteri (IL-1β, TNF-α, dan
IL-6) dan berkaitan erat dengan luas dan keparahan infeksi bakteri. Prokalsitonin
lebih spesifik terhadap infeksi bakteri dan dapat membantu membedakannya dari
virus. Kadar serum PCT terdeteksi dalam 3-4 jam setelah invasi, lebih awal
dibandingkan peningkatan CRP atau laju endap darah (LED).54,55 Sejumlah
penelitian observasional telah meneliti potensi diagnostik PCT dalam berbagai
kondisi klinis, tipe, dan lokasi infeksi seperti terlihat pada Tabel 5.
Profil kinetik PCT cukup baik sebagai penanda klinis, meningkat dalam 612 jam setelah stimulasi dan kadarnya dalam sirkulasi berkurang separuhnya saat
infeksi sudah terkontrol oleh sistem imun host atau terapi antibiotik. Prokalsitonin
memiliki implikasi prognostik dan mampu memprediksi outcome pada penderita
pneumonia komunitas dan sepsis berat. Kadar PCT tidak dipengaruhi oleh
31
pemberian glukokortikoid atau golongan antiinflamasi nonsteroid (AINS), serta
sedikit sekali meningkat atau tidak meningkat pada infeksi virus.54,55
Regulasi PCT dihambat oleh IFN-γ yang dilepaskan sebagai respons
terhadap infeksi virus. In vitro, IL-1β menginduksi sekresi PCT pada kultur
adiposit. Sekresi PCT hampir seluruhnya diblokade oleh IFN-γ yang ditambahkan
ke media. Kadar IFN-γ meningkat sebagai respons terhadap infeksi virus saluran
napas, sehingga disimpulkan bahwa tidak adanya peningkatan PCT pada penderita
dengan infeksi virus saluran napas dapat disebabkan inhibisi sintesis PCT oleh
IFN-γ.55
Analisis data post hoc dari 545 penderita menunjukkan bahwa peningkatan
PCT secara bermakna berhubungan dengan peningkatan keparahan pneumonia
komunitas berdasarkan penilaian PSI. Nilai prognostik PCT terlihat jelas pada
pengukuran serial dimana kadar tinggi berhubungan dengan memburuknya
outcome. Penurunan kadar PCT yang sering mengikuti kurva log-linear dengan
waktu paruh 20-24 jam mendukung ke arah outcome lebih baik. Luyt et al.
dari 49
dikutip
membuktikan bahwa kinetik PCT juga berimplikasi prognostik pada
penderita ventilator-associated pneumonia (VAP).
Tabel 5. Potensi diagnostik PCT
Tipe infeksi
Infeksi abdomen
Rancangan
penelitian
Observasional
Cut-off PCT
(µg/L)
0,25
Manfaat
penggunaan PCT
?
Artritis
Observasional
0,1-0,25
+
Infeksi bakteri
Observasional
0,25
++
Infeksi
peredaran darah
(primer)
Bronkitis
Observasional
0,1
++
Randomisasi
terkontrol
0,1-0,5
+++
PPOK
eksaserbasi
Randomisasi
terkontrol
0,1-0,5
+++
Endokarditis
Observasional
2,3
+
Neutropenia
Observasional
0,1-0,5
+
Kesimpulan utama
Membantu
menyingkirkan
iskemik
dan
nekrosis
obstruksi usus
Membedakan
artritis
noninfeksi (gout) dari infeksi
Kadar
rendah
PCT
menyingkirkan infeksi bakteri
Membedakan infeksi dengan
kontaminasi
Mengurangi
penggunaan
antibiotik di IGD tanpa
muncul efek yang tidak
diinginkan
Mengurangi
penggunaan
antibiotik di IGD dan RS
tanpa muncul efek yang tidak
diinginkan
Prediktor
independen
endokarditis akut dengan
akurasi diagnostik tinggi
Membantu
identifikasi
penderita neutropenia dengan
infeksi bakteri sistemik
32
Pneumonia
Randomisasi
terkontrol
0,1-0,5
+++
Demam
pascaoperasi
Observasional
0,25-0,5
+
Infeksi
pascaoperasi
Randomisasi
terkontrol
0,5-1,0
++
Sepsis
berat/syok
Randomisasi
terkontrol
0,25-0,5
+++
Infeksi saluran
napas atas
Randomisasi
terkontrol
0,1-0,25
++
Infeksi saluran
kencing
Ventilatorassociated
pneumonia
Observasional
0,25
+
Randomisasi
terkontrol
0,1-0,25
++
Keterangan:
Mengurangi
penggunaan
antibiotik di RS tanpa muncul
efek yang tidak diinginkan
Membedakan
demam
noninfeksi
dari
infeksi
pascaoperasi
Mengurangi
penggunaan
antibiotik di ICU Bedah tanpa
muncul efek yang tidak
diinginkan
Mengurangi
penggunaan
antibiotik di ICU tanpa
muncul efek yang tidak
diinginkan
Mengurangi
penggunaan
antibiotik di unit pelayanan
kesehatan
primer
tanpa
muncul efek yang tidak
diinginkan
Berkaitan dengan keparahan
infeksi saluran kencing
Mengurangi
penggunaan
antibiotik tanpa muncul efek
yang tidak diinginkan
PPOK= penyakit paru obstruksi kronik, IGD = instalasi gawat darurat, ICU=
intensive care unit.
Dikutip dari (54)
Penelitian Schuetz et al. pada penderita pneumonia komunitas bertujuan
memvalidasi penelitian sebelumnya (Procalcitonin-guided antibiotic therapy and
hospitalisation in patients with lower respiratory tract infections /ProHOSP) serta
mengevaluasi potensi prognostik dari kadar PCT awal dan serial dalam
memprediksi kematian dan outcome lain yang tidak diharapkan. Penelitian
tersebut membuktikan nilai prediktif PCT yang dikombinasikan dengan PSI atau
CURB-65 dalam mengamati komplikasi serius pada penderita pneumonia
komunitas, dan lebih baik dalam memprediksi kematian.54
4. Prokalsitonin sebagai penuntun terapi antibiotik
Sejumlah penelitian telah mengevaluasi peran peningkatan kadar PCT
serum dalam meningkatnya kemungkinan bakteri sebagai etiologi infeksi saluran
napas penderita dewasa seperti terlihat pada Tabel 7. Angka keberhasilan terapi
yang tinggi didapatkan sebagai konsekuensi mengikuti panduan PCT dalam
pemberian antibiotik.55
Peran PCT tidak hanya mengurangi pemberian antibiotik yang sebenarnya
tidak diperlukan, tetapi juga mempersingkat durasi terapi. Penelitian Christ-Crain
33
et al.
dikutip
dari
50
pada penderita pneumonia komunitas memperlihatkan
penggunaan PCT sebagai penuntun terapi dapat mengurangi lama rawat dari 12
hari menjadi 5 hari, serta mempersingkat durasi pemberian antibiotik sampai 65%
tanpa tergantung pada keparahan penyakitnya.
Tabel 6. Penelitian randomisasi terkontrol yang menggunakan kadar PCT serum
sebagai panduan pemberian antibiotik pada infeksi saluran napas.
Jumlah penderita
dievaluasi
Sindroma klinis
Tempat
penelitian
Grup
kontrol
Grup
PCT
Persentase
penderita yang
memulai terapi
antibiotik
Grup
Grup
kontr
PCT
ol
77,3
44,4
Pneumonia,
PPOK
eksaserbasi akut,
bronkitis akut
Unit gawat
darurat
(Basel,
Swiss)
119
124
Pneumonia
komunitas
Unit gawat
darurat
(Basel,
Swiss)
151
151
99
Rinosinusitis,
tonsilitis,
faringitis, otitis
media
akut,
trakeobronkitis,
PPOK
eksaserbasi akut,
pneumonia
komunitas
Praktek
umum di
beberapa
unit rawat
jalan
(Swiss)
226
232
Pneumonia
komunitas
RS
(Denmark)
107
Bronkitis
akut,
PPOK
eksaserbasi akut,
pneumonia
komunitas
Unit gawat
darurat di
6 RS
(Swiss)
699
Durasi terapi
antibiotik (hari
rata-rata)
Grup
kontrol
Grup
PCT
12,8
10,9
85
12
5
97
25
7,1
6,2
103
79
85
6,8
5,1
671
87,9
75,4
3,8
3,2
Dikutip dari (55)
Drozdov et al. melakukan penelitian prospektif dan multisenter terhadap
1759 penderita pneumonia komunitas di Swiss, Prancis, dan Amerika Serikat
antara September 2009-November 2010 tentang penggunaan algoritma PCT
seperti terlihat pada Gambar 8. Hasil yang didapat menunjukkan perbedaan kultur
34
budaya dan geografis dalam peresepan antibiotik mempengaruhi kepatuhan
terhadap panduan algoritma PCT. Antibiotic stewardship dengan PCT adalah
memungkinkan, efektif, dan aman tanpa peningkatan risiko komplikasi.56
Gambar 8. Algoritma panduan pemberian antibiotik berdasarkan kadar PCT.
Keterangan: ARDS= acute respiratory distress syndrome, BOOP= bronchiolitis
obliterans with organizing pneumonia, CAP= community-acquired pneumonia,
COPD GOLD= chronic obstructive pulmonary disease Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, HIV= human immunodeficiency virus, IMC=
intermediate care unit, MOF= multiple organ failure, SCLC= small-cell lung
cancer, SIRS= systemic inflammatory response syndrome, TB= tuberculosis.
Dikutip dari (56)
5. Pengukuran kadar PCT
Pemeriksaan PCT yang pertama kali dikomersialkan adalah pemeriksaan
imunometrik (LUMItest®PCT, Brahms) yang mengukur kadar PCT maupun
kombinasi CT dan CCP-I melalui luminometrik. Pemeriksaan ini berguna untuk
mendeteksi peningkatan kadar PCT pada infeksi bakterial sistemik atau berat,
misalnya pada sepsis. Kelemahannya adalah didapatkan insensitivitas relatif
dengan batas deteksi akurat ~0,3-0,5 µg/l. LUMItest® tidak cukup sensitif
mendeteksi peningkatan kadar PCT ringan sampai sedang, sehingga membatasi
35
peran diagnostiknya pada kondisi selain sepsis. Kadar PCT pada infeksi bakterial
dapat meningkat sampai melebihi 0,25 ng/ml, sedangkan pada infeksi virus dapat
meningkat tetapi tidak melebihi 0,1 ng/ml sehingga LUMItest® merupakan
metode suboptimal dalam membedakan antara infeksi virus dengan bakteri.55,57
Food and drug administration (FDA) menyetujui pemeriksaan PCT
generasi kedua berupa teknologi time-resolved amplified cryptate emission
(TRACE) seperti Kryptor® PCT (Brahms, Hennigsdorf, Jerman) dengan 0,05
ng/ml sebagai batas nilai terendah yang terdeteksi. Pemeriksaan ini berdasarkan
antibodi poliklonal antikalsitonin domba dan antibodi monoklonal antikatakalsin
yang terikat pada kalsitonin dan sequence katakalsin dari molekul prekursor
kalsitonin. Waktu pemeriksaan yang dibutuhkan adalah 19 menit dan hasilnya
dapat diperoleh dalam satu jam menggunakan 20-50 µl plasma atau serum.57
D. VITAMIN C
Vitamin C merupakan antioksidan mayor larut air yang bersifat tidak
stabil, mudah teroksidasi asam, dapat dirusak O2 , alkali, dan temperatur tinggi.
Vitamin ini tersedia dalam bentuk tereduksi (L-asam askorbat) dan teroksidasi (Lasam dehidroaskorbat), berperan meningkatkan produksi kolagen ekstraselular
dan penting untuk fungsi sel imun.58 Pertama kali diisolasi pada tahun 1928 oleh
ahli biokimia pemenang Nobel berkebangsaan Hongaria bernama Szent-GyorGyi.
Asam askorbat sebagai bentuk tereduksi merupakan komponen esensial dalam
diit, kadarnya yang tinggi dalam plasma dan jaringan dapat memproteksi terhadap
kerusakan oksidatif dan inflamasi.59
1. Biosintesis dan defisiensi vitamin C
Vitamin C merupakan gula kristalin berwarna putih yang secara alamiah
didapatkan dalam bentuk kimia L-xylo-ascorbate dan D-xylo-ascorbate. L-xyloascorbate tidak memiliki aktivitas vitamin, akan dioksidasi secara reversibel
menjadi L-asam dehidroaskorbat pada paparan dengan tembaga, panas, maupun
kondisi alkali ringan. Baik L-asam askorbat maupun L-asam dehidroaskorbat
36
secara fisiologis merupakan bentuk aktif vitamin C. Proses oksidasi L-asam
dehidroaskorbat
menjadi
2,3-diketo-L-gulonic
acid
dan
oksalat
bersifat
ireversibel.59
Biosintesis asam askorbat pada hewan mencakup jalur metabolisme asam
glukoronat melibatkan metabolisme gula pada kondisi normal maupun sakit serta
regulasinya pada fungsi fisiologis. Aktivitas sintesis enzim bervariasi antar
spesies, sebagian besar hewan dapat mengkonversi D-glukosa menjadi L-asam
askorbat. Manusia dan primata lainnya, guinea pig, kelelawar buah Indian,
beberapa ikan dan burung, serta serangga tidak dapat memproduksi asam askorbat
secara endogen karena kekurangan enzim L-gulonolakton oksidase yang
mengkatalisis tahap akhir biosintesis vitamin C sehingga sangat diperlukan
asupan dari luar.60,61
Tubuh membutuhkan vitamin C untuk fungsi fisiologis seperti membantu
metabolisme tirosin, asam folat, dan triptofan. Vitamin C juga berperan dalam
sintesis L-carnitine, metabolisme kolesterol, aktivitas sitokrom P-450, dan sintesis
neurotransmitter. Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan anemia, scurvy,
infeksi, perdarahan gusi, degenerasi otot, buruknya penyembuhan luka, plak
aterosklerotik, perdarahan kapiler, dan gangguan neurotik.58,59
2. Farmakokinetik vitamin C
Farmakokinetik vitamin C meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme,
eliminasi, dan mekanisme transpor aktif maupun pasif.60
a. Absorpsi
Vitamin C yang tercerna diabsorpsi pertama kali oleh epitel usus melalui
transpor membran bagian apikal, baik sebagai askorbat dengan transpor aktif
sodium-coupled melalui sodium-dependent vitamin C transporter (SVCT)1
maupun sebagai asam dehidroaskorbat dengan difusi terfasilitasi melalui glucose
transporter (GLUT)2 atau GLUT3.60
Dehidroaskorbat segera setelah masuk ke dalam sel diubah menjadi askorbat
atau diedarkan ke seluruh peredaran darah oleh GLUT1 dan GLUT2 pada
membran basolateral sehingga akan memelihara kadar rendah intraselular dan
37
memfasilitasi uptake dehidroaskorbat lebih lanjut. Askorbat dihantarkan ke
plasma melalui difusi, mungkin juga melalui difusi terfasilitasi melewati kanal
anion sensitif terhadap volume. Sodium-dependent vitamin C transporter 2
berlokasi pada membran basolateral yang dapat melakukan re-uptake askorbat
dari plasma ke epitel usus. Askorbat diekskresikan melalui filtrasi glomerular ke
lumen tubulus renal. Reabsorpsi terutama dicapai SVCT1 pada membran apikal,
walaupun difusi permukaan lumen dapat berkontribusi terhadap keseluruhan
uptake.60 Hal ini seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Askorbat beredar dalam darah pada konsentrasi 30-60 µM, tetapi
konsentrasinya pada sebagian besar sel lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan
transpor aktif penghantar askorbat isoform lainnya, dikenal sebagai SVCT2 yang
didapatkan pada sebagian besar jaringan tubuh termasuk otak, paru, hepar,
jantung, dan otot skeletal. Konsentrasi plasma askorbat terbatas sampai 120 µM
terkait saturasi absorpsi, uptake jaringan, dan kegagalan reabsorpsi komplit di
ginjal. Bentuk teroksidasi (DHA) ditranspor ke dalam sel lebih cepat
dibandingkan bentuk tereduksi oleh difusi terfasilitasi melalui beberapa isoform
penghantar glukosa (GLUT), suatu proses yang dapat dihambat glukosa hanya
pada beberapa tipe sel.61
b. Metabolisme
Vitamin C dimetabolisme di hepar dan meluas ke ginjal pada beberapa
rangkaian reaksi. Sekitar 80-90% vitamin C diserap pada saluran gastrointestinal
dan tersirkulasi bebas dalam plasma, leukosit, dan eritrosit serta masuk ke seluruh
jaringan dengan kadar maksimum 68-86 µmol/liter plasma tercapai melalui
konsumsi oral sebesar 90-150 mg/hari. Tubuh akan menggunakannya dalam dua
jam, dan akan dikeluarkan dari darah dalam 3-4 jam.59
Radikal bebas intermediate sebagai bentuk reversibel dehidroaskorbat akan
memicu munculnya formasi ireversibel dari 2,3-diketogulonic acid yang fisiologis
inaktif, selanjutnya terpecah menjadi asam oksalat dan asam treonat, atau
mengalami dekarboksilasi menjadi CO2, xylosa, dan xylulosa, terpicu menjadi
asam xylonat dan asam liksonat. Seluruh metabolit beserta vitamin C itu sendiri
diekskresikan melalui urin.6
38
Gambar 9. Mekanisme transpor vitamin C melalui usus,darah, dan ginjal.
Keterangan: ASC= askorbat, DHA= dehidroaskorbat
Dikutip dari (60)
c. Distribusi
Vitamin C terdistribusi ke seluruh jaringan dengan kadar tertinggi di otak
dan saraf dibandingkan organ lain seperti terlihat pada Gambar 10.60 Vitamin ini
cenderung terakumulasi pada kelenjar adrenal, otak, beberapa tipe leukosit,
sedangkan kadarnya di dalam plasma relatif rendah yaitu di bawah 100 µM pada
dewasa sehat meskipun diberikan 2,5 gram sekali sehari per oral.58
Regulasi ketat homeostasis vitamin C terutama dikontrol oleh empat sistem
regulasi yaitu uptake intestinal (bioavailabilitas), akumulasi jaringan dan
distribusi, kecepatan utilisasi dan siklus berulang, serta eksresi ginjal dan
reabsorpsi. Hal ini diperoleh melalui berbagai mekanisme termasuk difusi pasif,
difusi terfasilitasi, transpor aktif, dan siklus berulang.60
3. Bioavailabilitas dan efek samping vitamin C
Bioavailabilitas atau konsentrasi efektif vitamin C tergantung pada
efektivitas absorpsi intestinal dan ekskresi ginjal. Penggunaan vitamin C akan
makin cepat pada kondisi stres, konsumsi alkohol, dan merokok. Kadar vitamin C
dalam darah perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok pada pemberian
intake yang sama. Demam, infeksi virus, antibiotik, analgetik, produk petroleum
39
atau karbonmonoksida (CO), dan paparan terhadap logam berat mengurangi
absorpsi dan meningkatkan penggunaan vitamin C.62
Gambar 10. Distribusi vitamin C di dalam tubuh
Dikutip dari (63)
Recommended dietary allowance (RDA) sebesar 60 mg/hari akhir-akhir
ini dianggap terlalu rendah, sehingga sedang diusulkan asupan vitamin C sebesar
200 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan orang sehat dan dewasa muda.60
Kebutuhan ini dihitung berdasarkan perkiraan absorpsinya, berkurangnya kadar
vitamin karena penyiapan makanan, deplesi, pengubahan, dan katabolisme.
Pauling menyarankan asupan harian vitamin C sebesar 250-4000 mg, sedangkan
Hickey dan Roberts menyarankan dosis 2500 mg.77 Sejumlah penelitian
menunjukkan pemberian vitamin C dosis minimal 1 gram/hari dapat memperbaiki
sistem imun dan mencegah berbagai proses patologis, tetapi dibutuhkan dalam
jumlah lebih besar pada penderita kanker dan penyakit jantung.61 Dosis tertinggi
suplementasi vitamin C yang aman dikonsumsi menurut panduan Dietary
Reference Intake adalah 2 gram, dengan dosis maksimal per oral sekitar 3-4 gram.
40
Pemberian oral terbatasi oleh diare osmotik dan saturasi absorpsi intestinal
sehingga tidak dapat mencapai puncak konsentrasi plasma 1 mmol/liter.64
Penelitian
bioavailabilitas
vitamin
C
pada
dosis
15-1250
mg
memperlihatkan dosis farmakologis intravena dapat menghasilkan kadar plasma
70 kali lebih tinggi dibandingkan dosis oral maksimal yang dapat ditoleransi.
Kadar dalam plasma sebesar 10 mmol/liter (10.000 µmol/liter) dapat diperoleh
lebih dari tiga jam dengan rata-rata kecepatan infus 0,5-1 gram/menit, tergantung
pada dosis, kecepatan dan frekuensi infus.64
4. Peran vitamin C pada pneumonia
Vitamin C memperkuat dan memproteksi sistem imun melalui sejumlah
mekanisme, terutama melalui kemampuannya mereduksi produksi radikal bebas
sehingga mencegah kerusakan DNA sel imun. Vitamin ini dapat memperbaiki
aktivitas sel NK, membunuh mikroba, proliferasi limfosit, dan kemotaksis.38,59
Metode yang umum digunakan untuk menilai status vitamin C adalah mengukur
kadarnya dalam leukosit karena terkonsentrasi tinggi di dalamnya. Pentingnya
peran vitamin C terhadap sistem imun umumnya terlihat pada kondisi defisiensi
klinis, scurvy, infeksi, dan anergi yang mempengaruhi hampir seluruh komponen
sistem imun.65
a. Antioksidan
Sistem imun sensitif terhadap stres oksidatif. Beberapa mekanisme selular
untuk menjelaskan peran vitamin C sebagai antioksidan telah diidentifikasi
melalui suplementasi diet atau terapi in vitro sel imun.66 Vitamin C mendonorkan
dua elektron dari ikatan ganda antara rantai karbon kedua dan keenam molekul 6karbon, disebut sebagai antioksidan karena mampu mencegah teroksidasinya
komponen lain meskipun vitamin C ikut teroksidasi dalam proses tersebut. Asam
askorbat, sebagai bentuk tereduksi vitamin C, memiliki empat kelompok –OH
yang dapat mendonorkan hidrogen untuk sistem pengoksidasi. Kelompok –OH
tersebut berdekatan dengan atom karbon sehingga mampu mengikat ion logam
(Fe2+).38,65
41
Vitamin C merupakan agen pereduksi poten dan penangkap radikal bebas
dalam sistem biologis, dengan bentuk monoanion (askorbat) sebagai unsur kimia
predominan pada pH fisiologis.73 Prinsip jalur oksidasi dan pengubahan vitamin C
melibatkan keberhasilan pemindahan dua elektron, menghasilkan radikal bebas
askorbat
terlebih
dulu
(ascorbate
free
radical/AFR)
dan
kemudian
dehidroaskorbat. Dua molekul AFR dapat bereaksi bersama membentuk satu
molekul askorbat dan satu molekul dehidroaskorbat. Ascorbate free radical dapat
direduksi menjadi askorbat oleh mono-dehidro-L-askorbat oksidoreduktase, suatu
enzim mikrosomal NADH-dependent.76 Reaksi redoks vitamin C terlihat pada
Gambar 11.
Gambar 11. Tiga macam status redoks vitamin C
Keterangan: Askorbat= bentuk tereduksi total; SDA=
semidehidroaskorbat (bentuk monooksidasi); DHA=
dehidroaskorbat (bentuk teroksidasi total)
Dikutip dari (67)
Pemberian vitamin C pada kultur makrofag normal meningkatkan kadar
cyclic GMP (cGMP) selular sama seperti halnya hexose monophosphate (HMP)
shunt. Vitamin C dalam jumlah besar in vitro dapat menghambat aktivitas H2O2myeloperoxidase-halide, tetapi tidak dapat mengubah kapasitas bakterisidal sel.59
Gambar 12 memperlihatkan siklus vitamin C pada sistem imun, dimana vitamin
ini akan menstimulasi diversi glukosa-6-P dari glikolisis ke dalam HMP shunt
yang memiliki dua fungsi penting terhadap sistem imun. Pertama, konversi
glukosa (6 karbon) menjadi gula 5 karbon, ribosa, dan deoksiribosa yang penting
42
untuk sintesis komponen genetik ribonucleic acid (RNA) dan DNA. Kedua,
reduksi koenzim niasin NADP menjadi NADPH yang dibutuhkan dalam berbagai
reaksi oksidasi.68
Gambar 12. Siklus vitamin C pada sistem imun
Dikutip dari (68)
43
Gula 5-karbon dibutuhkan untuk menyokong peningkatan aktivitas mitotik
memungkinkan sintesis DNA dan RNA untuk proliferasi sel fagositik. Fagosit
menggunakan NADPH untuk memproduksi superoksida dan sejumlah highly
ROS sehingga mampu membunuh patogen yang menginvasi. Akhirnya,
phagocyte-derived highly reactive oxidant yang berlebihan jumlahnya akan bocor
keluar dari sel masuk ke ruang ekstraselular. Oksidan tersebut toksik terhadap sel
host dan harus dihancurkan sebelum merusaknya. Vitamin C berperan sebagai
antioksidan yang akan menghancurkan toksin berlebih.68
b. Antiinflamasi
Vitamin C memproteksi tubuh terhadap efek toksik ROS dengan cara
menurunkan regulasi ekspresi gen proinflamasi IL yang terikat ROS melalui
inhibisi faktor transkripsi NFκB. Faktor transkripsi ini meregulasi ekspresi sitokin
proinflamasi seperti IL-1 dan TNFα. Sejumlah penelitian menunjukkan vitamin C
juga memperkuat pertahanan antioksidan sel T dan meningkatkan respons
terhadap antigen yang dianggap berperan penting dalam sistem imun.66 Penelitian
Carcamo et al. menunjukkan vitamin C dapat menghambat aktivasi NFκB melalui
dua jalur berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu menekan aktivasi terinduksi
ROS dan menghambat IKKα dan IKKβ. Asam dehidroaskorbat dapat berfungsi
sebagai penghambat kinase dan secara langsung menghambat aktivitas IKKα,
IKKβ, dan p38MAPK.69 Mekanisme vitamin C sebagai penghambat kinase dapat
dilihat pada Gambar 13.
44
Gambar 13. Vitamin C sebagai penghambat kinase
Keterangan:
AA= ascorbic acid, DHA= dehydroascorbic acid, IKKβ= IκBα kinase B,
TNF-α= tumor necrosis factor-α, ROS= reactive oxygen species
Dikutip dari (69)
Penelitian Bhoite et al. bertujuan menilai kadar vitamin C dan E pada anakanak dengan pneumonia berusia 5-15 tahun, melibatkan 40 penderita pneumonia
dan 40 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar vitamin C
dan E sangat signifikan pada kelompok pneumonia dibandingkan kontrol (p<
0,001) secara respektif.70 Khan et al. meneliti 222 penderita pneumonia anak
berusia kurang dari lima tahun menyimpulkan bahwa kelompok yang diberikan
vitamin C 200 mg/hari lebih cepat mengalami perbaikan saturasi oksigen dan laju
pernapasan dibandingkan yang tidak mendapatkan vitamin C. Hal ini akan
mengurangi durasi, morbiditas, dan mortalitas karena pneumonia.71
Fowler III et al. meneliti keamanan pemberian vitamin C infus intravena
pada 24 penderita sepsis berat. Sebanyak masing-masing delapan penderita
diberikan infus intravena vitamin C dosis rendah (50 mg/kgBB/24 jam) atau dosis
tinggi (200 mg/kgBB/24 jam) atau plasebo (dektrosa 5% terlarut). Pemantauan
yang dilakukan meliputi perburukan hipotensi arterial, takikardi, hipernatremia,
mual muntah, skor sequential organ failure assessment (SOFA), kadar vitamin C
plasma, C-reactive protein, PCT, dan trombomodulin. Peneliti menyimpulkan
vitamin C infus intravena aman dan ditoleransi baik sehingga berdampak positif
45
pada perluasan kegagalan multiorgan, biomarker inflamasi, dan cedera endotel.72
Gambar 14 menjelaskan kerangka teori mengenai proses infeksi pada pneumonia.
Gambar 14. Kerangka teori yang menjelaskan proses infeksi pada pneumonia.
Keterangan gambar:
IL= interleukin, NF-κB= nuclear factor kappa B, TNF-α= tumor necrosis
factor-α, NK= natural killer, Th= T helper, CD= cluster of differentiation,
ROS= reactive oxygen species, NET= neutrophil extracelular trap,
ICAM= intracelular adhesion molecule, TLR= toll-like receptor
= mengaktivasi/menstimulasi
= menghambat
= berkorelasi (?)
46
E. KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Pneumonia merupakan konsekuensi kolonisasi di paru, cedera epitel
terinduksi patogen, aktivasi inflamasi, dan aktivasi berlebihan dari mekanisme
perbaikan jaringan. Bakteri terinhalasi akan menghadapi mekanisme pertahanan
pertama host berupa pelepasan toksin silier, pneumolisin, endotoksin, dan
protease IgA sehingga membuat bakteri melekat pada epitel. Sel dendritik,
makrofag alveolar, dan epitel teraktivasi sebagai penanda patogen yang
teridentifikasi melalui TLRs, mengawali proses inflamasi yang melalui empat fase
yaitu inisiasi, amplifikasi, fagositosis, dan resolusi.
Aktivasi sel setelah PAMPs dapat dikenali TLRs akan meningkatkan
faktor transkripsi seperti NF-κB dan sitokin proinflamasi (IL-6, IL-8, TNF-α, dan
IL-1β). Interleukin-8 berperan sebagai agen kemotaktik neutrofil, dimana neutrofil
teraktivasi akan melepaskan lebih banyak IL-8 sehingga akan makin
meningkatkan
perekrutan
neutrofil.
Tumor
necrosis
factor-α
berperan
meningkatkan ekspresi molekul adhesi sel endotel kapiler paru untuk peningkatan
adhesi neutrofil, serta berperan sebagai proinflamasi dan prokoagulan yang akan
diperkuat sitokin lain. Perpindahan neutrofil dari endotel kapiler paru ke rongga
alveolar akan melepaskan protease, ROS, dan RNS yang berperan pada sel
terinfeksi serta menginduksi kematian atau lisis antigen patogen dan jaringan.
Patogen yang menginvasi akan dimatikan dan dibersihkan pada fase
fagositosis oleh sel fagosit seperti leukosit PMN (neutrofil), sel dendritik,
monosit, dan makrofag. Neutrophil extracellular traps merupakan perangkap
khusus yang dikeluarkan granula neutrofil berperan meningkatkan aktivitas
fagositik
dan
memproduksi
molekul
antimikroba.
Fagositosis
disertai
penghancuran bakteri oleh ROS, protein penginduksi permeabilitas bakterisidal,
laktoferin, elastase, serta NETs akan menurunkan pengaturan sistem pertahanan
host sehingga terjadi resolusi.
Prokalsitonin merupakan biomarker penunjang diagnosis pneumonia,
sekaligus sebagai prediktor komplikasi dan kematian. Kadar PCT ≥ 0,5 ng/mL
mendukung adanya infeksi bakteri yang sedang berlangsung sehingga sangat
direkomendasikan pemberian antibiotik. Biomarker ini juga lebih sensitif dalam
47
membedakan antara bakteri atau virus sebagai etiologi penyakit. Selama infeksi
mikroba didapatkan peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan
pelepasan PCT dari parenkim dan diferensiasi tipe sel di seluruh tubuh termasuk
hepar dan sel mononuklear.
Vitamin C menstimulasi diversi glukosa-6-P dari glikolisis ke dalam HMP
shunt yang penting terhadap sistem imun, serta mereduksi koenzim niasin NADP
menjadi NADPH yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi oksidasi. Fagosit
menggunakan NADPH untuk memproduksi ROS sehingga mampu membunuh
patogen yang menginvasi, tetapi ROS yang berlebihan jumlahnya dapat bocor
keluar dari sel masuk ke ruang ekstraselular dan bersifat toksik. Vitamin C
berperan sebagai antioksidan yang akan menekan produksi ROS berlebihan.
Vitamin C mempunyai efek antiinflamasi dengan cara menurunkan
regulasi ekspresi gen proinflamasi IL yang terikat ROS melalui inhibisi faktor
transkripsi NFκB. Inhibisi ini melalui dua jalur berbeda, yaitu menekan aktivasi
terinduksi ROS dan menghambat IKKα dan IKKβ. Asam dehidroaskorbat dapat
berfungsi sebagai penghambat kinase dan secara langsung menghambat IKKα,
IKKβ, dan p38MAPK. Penurunan aktivasi NFκB pada kondisi sepsis akan
menghambat NETosis sehingga tidak terjadi apoptosis neutrofil berlebihan dan
terjadi resolusi inflamasi aman dan efisien. Penambahan vitamin C pada terapi
standar pneumonia diharapkan dapat menurunkan stres oksidatif dan respons
inflamasi bakterial yang ditandai dengan penurunan kadar serum PCT sehingga
menyebabkan perbaikan klinis lebih cepat dan lama rawat inap memendek.
Kerangka konsep penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 15.
48
Gambar 15. Kerangka konseptual yang menjelaskan pengaruh pemberian vitamin
C terhadap kadar serum PCT dan lama rawat inap penderita
pneumonia.
Keterangan gambar:
variabel penelitian=
menghambat =
berkorelasi =
(?)
, mengaktivasi/menstimulasi=
, area penelitian:
F. HIPOTESIS
1.
Terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap penurunan kadar serum
PCT penderita pneumonia.
49
2.
Terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap penurunan lama rawat inap
penderita pneumonia.
3.
Terdapat korelasi antara penurunan kadar serum PCT dengan penurunan lama
rawat inap penderita pneumonia setelah pemberian vitamin C.
Download