AYU NA`IMMA SP NIM. I 0608004 Diajukan sebagai Syarat untuk

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TUGAS AKHIR
KESESUAIAN AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA
SEBAGAI METROPOLITAN BERKELANJUTAN DITINJAU DARI
STRUKTUR RUANG, POLA RUANG, DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Oleh:
AYU NA’IMMA S.P
NIM. I 0608004
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai
Jenjang Strata-1 Perencanaan Wilayah dan Kota
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
SURAKARTA
2013
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
KESESUAIAN AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA SEBAGAI
METROPOLITAN BERKELAJUTAN DITINJAU DARI STRUKTUR RUANG,
POLA RUANG, DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Oleh
AYU NA’IMMA S.P
NIM. I 0608004
Surakarta,
Februari 2013
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Murtanti Jani Rahayu, ST, MT
NIP. 19720117 200003 2 001
Ir. Rizon Pamardhi Utomo, MURP
NIP. 19590222 198903 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Arsitektur
Ketua Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota
Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT
NIP. 19620610 199103 1 001
Ir. Galing Yudana, MT
NIP. 19620129 198703 1 002
Pembantu Dekan I
Fakultas Teknik
Kusno Adi Sambowo, ST, MSc, Ph.D
NIP. 19691026 199503 1 002
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Ayu Na’imma. Kesesuaian Aglomerasi Perkotaan Surakarta sebagai Metropolitan
Berkelanjutan Ditinjau dari Struktur Ruang, Pola Ruang, dan
Daya Dukung Lingkungan
Surakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia
yang sejalan dengan
perkembangannya, Kota Surakarta bersama kawasan perkotaannya telah menunjukkan gejalagejala yang mengarah pada terbentuknya metropolitan. Gejala metropolitanisasi dapat dilihat
dari adanya arus commuter yang tinggi menuju Kota Surakarta dan munculnya kawasan
perkotaan baru sebagai respon dari meningkatnya kebutuhan perumahan Kota Surakarta. Citacita Surakarta menjadi kota metropolitan bahkan telah diperjelas melalui pencanangan
Surakarta sebagai sustainable metropolis pada tahun 2025 (Pusat Studi Urban Desain, 2011).
Akan tetapi, saat ini terdapat beberapa isu yang berkaitan struktur ruang, pola ruang, dan daya
dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta yang dapat menghambat terbentuknya
metropolitan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian aglomerasi
perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola
ruang dan daya dukung lingkungan. Berdasarkan pendekatan penelitian, penelitian ini
merupakan penelitian deduktif dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki struktur ruang
yang mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan dengan keberlanjutan yang relative
terjamin. Akan tetapi dari aspek pola ruang, pola ruang yang ada tidak mendukung
terbentuknya metropolitan berkelanjutan dan dapat mengancam daya dukung lingkungan
sehingga keberlanjutannya kurang terjamin.
Kata Kunci : Aglomerasi Perkotaan Surakarta, Daya Dukung Lingkungan, Kesesuaian, Pola
Ruang, Struktur Ruang,
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Ayu Na’imma . The Suitability of Surakarta Urban Aglomeration as Sustainable Metropolis
Based on Spatial Structure, Urban Form, and Carrying Capacity
Surakarta is one of the major cities in Indonesia, in line with its development, Surakarta with
its urban areas have shown symptoms that lead to the formation of a metropolitan. The
symptoms of metropolitanisasi can be seen from the high commuter flows into Surakarta and
the emergence of new urban areas as a response to the growing housing needs of Surakarta.
The vision of Surakarta as a metropolitan has even been made clear through the launching of
Surakarta as sustainable metropolis in 2025 (Study Center of Urban Desain, 2011). However,
there are currently a number of issues relating to the spatial structure, urban form, and the
carrying capacity of the Surakarta urban agglomeration to inhibit the formation of
sustainable metropolis. The objective of this research is to determine the suitability of
Surakarta urban aglomeration as sustainable metropolis based on spatial structure, urban
form, and the carrying capacity. Due to the research approach, this research is deductive
using quantitative descriptive analysis technique. The research reveals that Surakarta urban
agglomeration has spatial structure that would foster sustainable metropolis with
sustainability which relatively assured. However, from the aspect of urban form, the urban
form does not support the establishment of sustainale metropolis and can threaten the
carrying capacity of the environment so that sustainability is less assured.
Keyword : Carrying Capacity, Spatial Structure, Suitability, Surakarta Urban Aglomeration,
Urban Form,
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrobilalamin puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penulis
panjatkan atas perkenan-Nya jualah tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir dengan
judul “Kesesuaian Aglomerasi Perkotaan Surakarta sebagai Metropolitan Berkelanjutan
Ditinjau dari Struktur Ruang, Pola Ruang, dan Daya Dukung Lingkungan” merupakah sebuah
penelitian untuk mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan
yang berkelanjutan dengan melihat kondisi eksisting (berbasis data tahun 2010) dan
kecenderungan perkembangannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan
kondisi eksisting sekarang akan mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan
pada tahun yang akan datang. Sehingga, penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang
bersifat preskriptif.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dan memperlancar dalam memberi arahan, dorongan, bantuan teknis,
dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis sehingga peneliti mampu menyelesaikan tugas
akhir ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur yang telah menjadi
pendukung dalam setiap kompetisi yang diikuti penulis.
2. Ir. Galing Yudana, MT selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
3. Murtanti Jani Rahayu, ST, MT dan Ir. Rizon Pamardhi Utomo, MURP selaku dosen
pembimbing, yang telah memberi banyak bantuan dan arahan sampai terselesaikannya
tugas akhir ini.
4. Ayah dan ibu yang telah memberikan dukungan kepada penulis serta adik-adik penulis
yang selalu memberikan keceriaan. Terimakasih telah menjadi bagian terindah dalam
hidup penulis.
5. Ibu dan bapak dosen program studi Perencanaan Wilayah dan Kota dan jurusan
Arsitektur yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membagikan ilmunya
kepada penulis.
6. Yuli Nurhidayah dan Lolita Dwi Rosati yang merupakan sahabat penulis, yang telah
banyak memberikan bantuan pada penulis dari awal kuliah hingga sampai saat ini.
7. Diyah Setiyani mahasiswa PWK Angkatan 2009 yang telah banyak memberikan
bantuan kepada penulis dalam perolehan data.
8. Staff Kementerian Pekerjaan Umum
Republik
commit
to user Indonesia Aditya Maulana yang telah
memberikan bantuan dalam perolehan peta yang digunakan dalam penelitian ini.
9. Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Khususnya Angkatan 2008, 2007, dan 2006.
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Staff Badan Pusat Statistik dan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Surakarta,
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten
Sukoharjo yang telah memberi kemudahan penulis dalam memperoleh data.
Dalam penelitian ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dikarenakan
keterbatasan ilmu dan waktu yang dimiliki penulis. Penulis berharap, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi dalam pembangunan wilayah dan dapat menjadi referensi bagi
penelitian berikutnya yang lebih mendalam mengenai kesesuaian aglomerasi perkotaan
Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan. Tidak lupa, penulis mengharapkan saran
yang membangun demi perbaikan penulis.
Surakarta, Januari 2013
Peneliti
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................. ii
ABSTRAK .......................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... xi
DAFTAR PETA ................................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian .................................................................... 3
1.4 Batasan Penelitian ....................................................................................... 3
I.4.1 Batasan Wilayah ................................................................................ 3
I.4.2 Batasan Substansi .............................................................................. 3
1.5 Keluaran Penelitian ..................................................................................... 4
1.6 Urgensi Penelitian ....................................................................................... 4
I.5.1 Manfaat Akademik ............................................................................ 4
I.5.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 4
1.7 Keaslian Penelitian ...................................................................................... 5
1.8 Alur Penelitian ............................................................................................ 6
1.9 Sistematika Penulisan.................................................................................. 7
BAB 2 TINJAUAN TEORI ............................................................................................ 8
2.1 Landasan Teori ......................................................................................... 8
2.1.1 Konsep Aglomerasi Perkotaan ................................................... 8
2.1.1.1 Perspektif Klasik ........................................................ 9
2.1.1.2 Perspektif Modern ...................................................... 10
2.1.2 Kawasan Metropolitan ................................................................ 12
2.1.2.1 Definisi Kawasan Metropolitan .................................... 12
2.1.2.2 Indikator Kawasan Metropolitan .................................. 12
2.1.2.3 Kriteria Kawasan Metropolitan Ideal ........................... 14
2.1.2.4 Bentuk Kawasan Metropolitan ..................................... 17
2.1.2.5 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan ........................ 19
commit to user
2.1.2.6 Bentuk Ruang Kota yang Berkelanjutan ...................... 20
vii
perpustakaan.uns.ac.id
2.2
digilib.uns.ac.id
2.1.2.7 Keterkaitan Kota Inti, Kota Satelit, dan Sub-Urb,
pada Kawasan Metropolitan ......................................... 22
2.1.3 Pembangunan Berkelanjutan ...................................................... 23
2.1.3.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan .......................... 23
2.1.3.2 Kriteria Pembangunan Berkelanjutan........................... 23
Kerangka Pemikiran ................................................................................ 25
BAB 3 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 28
3.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 28
3.2 Lokus Penelitian ....................................................................................... 28
3.3 Teknik Pengumpulan Data........................................................................ 31
3.4 Kerangka Analisis ..................................................................................... 32
3.5 Teknik Analisis ......................................................................................... 34
3.6.1
Analisis Hirarki Perkotaan .......................................................... 34
3.6.2
Analisis Kemampuan Pelayanan Sarana .................................... 37
3.6.3
Analisis Titik Henti..................................................................... 37
3.6.4
Analisis Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Masal............... 37
3.6.5
Analisis Pola Ruang.................................................................... 38
3.6.6
Analisis Daya Dukung Lingkungan............................................ 39
3.6.7
Penilaian Tingkat Kesesuaian Masing-masing Aspek ................ 42
3.6.8
Penilaian Kesesuaian Akhir ........................................................ 43
BAB 4 HASIL PENELITIAN : STRUKTUR RUANG, POLA RUANG,
DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN ............................................................ 44
4.1 Struktur Ruang Aglomerasi Perkotaan Surakarta ..................................... 44
4.1.1
Pusat-pusat Pelayanan ............................................................... 44
4.1.2
Hirarki Perkotaan ........................................................................ 44
4.2.2.1 Hirarki Perkotaan berdasarkan Jumlah Penduduk ........ 44
4.2.2.2 Hirarki Perkotaan berdasarkan Keberadaan Sarana
Perkotaan ....................................................................... 47
4.2.2.3 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
berdasarkan Jumlah Penduduk dan Keberadaan Sarana 52
4.1.3
Kemampuan Pelayanan Sarana Perkotaan.................................. 54
4.1.4
Titik Henti Pusat Pelayanan ....................................................... 55
4.1.5
Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Penghubung .................. 56
4.1.5.1 Keberadaan Jaringan Jalan............................................ 56
4.1.5.2 Nilai Aksesibilitas, Mobilitas, dan Keselamatan Jaringan
Jalan Penghubung ......................................................... 58
4.1.5.3 Moda Transportasi Penghubung AntarPusat ................ 59
4.2 Pola Ruang Aglomerasi Perkotaan Surakarta ........................................... 61
4.2.1 Diversifikasi Penggunaan Lahan ................................................ 61
4.2.2 Intensitas Penggunaan Lahan ..................................................... 62
4.2.3 Kecenderungan
Penggunaan
commit
to user Lahan ............................................ 64
4.3 Daya Dukung Lingkungan ........................................................................ 69
4.3.1
Daya Dukung Lahan ................................................................... 69
4.3.2
Daya Dukung Sumber Daya Air ................................................. 75
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.3
Daya Tampung Penduduk Berdasarkan Daya Dukung Lahan
dan Sumber Daya Air ................................................................. 77
4.4 Ketercapaian Masing-masing Tolok Ukur Kesesuaian ............................. 78
4.4.1
Kesesuaian Berdasarkan Keberadaan Pusat dan Sub Pusat ........ 78
4.4.2
Kesesuaian Berdasarkan Kejelasan Fungsi Masing-masing
Wilayah ....................................................................................... 78
4.4.3
Kesesuaian Berdasarkan Kemampuan Pelayanan Internal
Wilayah ....................................................................................... 79
4.4.4
Kesesuaian Berdasarkan Skala Pelayanan Pusat dan Sub Pusat . 81
4.4.5
Kesesuaian Berdasarkan Keberadaan Jaringan Jalan dan
Moda Transportasi Umum .......................................................... 83
4.4.6
Kesesuaian Berdasarkan Pola Ruang .......................................... 84
4.4.7
Kesesuaian Berdasarkan Daya Dukung Lahan ........................... 85
4.4.8
Kesesuaian Berdasarkan Daya Dukung Sumberdaya Air ........... 86
BAB 5 PEMBAHASAN: KESESUAIAN SEBAGAI METROPOLITAN
BERKELANJUTAN ............................................................................................. 88
5.1 Tingkat Kesesuaian Berdasarkan Masing-masing Aspek ......................... 88
5.2 Keberlanjutan Struktur Ruang................................................................... 89
5.3 Keberlanjutan Pola Ruang......................................................................... 92
BAB 6 PENUTUP .............................................................................................................. 96
6.1
6.2
Kesimpulan ............................................................................................... 97
Rekomendasi ............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
Tabel 3.8
Tabel 3.9
Tabel 3.10
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Bentuk-bentuk Fisik Kota Metropolitan ...................................................... 17
Perbedaan Sub Urban dan Kota Satelit ........................................................ 22
Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan .................................................24
Variabel, Sub Variabel, Indikator, dan Tolok Ukur.....................................27
Perhitungan Gravitasi untuk Menentukan Lokus Penelitian ....................... 30
Luas Lokus Penelitian ..................................................................................31
Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data .......................... 32
Hubungan Variabel dan Teknik Analisis ..................................................... 34
Satuan Ukur untuk Masing-masing Jenjang Pendidikan ............................. 36
Satuan Ukur Sarana Kesehatan ....................................................................36
Jumlah Penduduk Pendukung Sarana Perkotaan .........................................37
Bobot Nilai dalam Penentuan Kemampuan Lahan ......................................40
Total Nilai untuk Menentukan Kelas Kemampuan Lahan .......................... 40
Standar Kebutuhan Air ................................................................................41
Kondisi Kependudukan Kawaasan Aglomerasi Perkotaan Surakarta .........45
Hirarki Perkotaan berdasarkan Jumlah Penduduk .......................................47
Interval Kelas untuk Hirarki Perkotaan berdasarkan Sarana Pendidikan ...49
Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Pendidikan .....................................50
Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Kesehatan ......................................50
Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ....................................53
Persentase Kemampuan Pelayanan Sarana Eksisting
terhadap Jumlah Penduduk ..........................................................................54
Tabel 4.8
Panjang Jalan Penghubung Masing-masing Pusat Kota
` dengan Kota Surakarta .................................................................................57
Tabel 4.9
Jenis Moda Transportasi Penghubung AntarPusat ......................................59
Tabel 4.10
Diversifikasi Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ............62
Tabel 4.11
Intensitas Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ..................62
Tabel 4.12
Analisis Kemampuan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ...................70
Tabel 4.13
Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan berdasarkan
Kondisi Fisik Lingkungan............................................................................70
Tabel 4.14
Daya Tampung Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ............................. 71
Tabel 4.15
Penyimpangan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan
Luas Lahan terbangun yang Diperbolehkan ................................................73
Tabel 4.16
Standar Kebutuhan Air ................................................................................75
Tabel 4.17
Ketersediaan Air dan Kebutuhan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta ......76
Tabel 4.18
Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air ........................... 77
Tabel 5.1
Persentase Kesesuaian berdasarkan Masing-masing Tolok Ukur ...............89
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Gambar 4.17
Gambar 5.1
Alur Penelitian ............................................................................................... 6
Kerangka Teori .............................................................................................. 8
Perkembangan Konsep dan Pemikiran mengenai Aglomerasi ...................... 9
Struktur Ruang Kawasan Metropolitan yang Ideal ........................................ 15
Kejelasan Fungsi dalam Kawasan Metropolitan yang Ideal .......................... 16
Struktur Kota Metropolitan Berdasarkan Keberadan Pusat Pelayanan ......... 19
Struktur Ruang Kawasan Metropolitan ......................................................... 20
Alternatif Model Bentuk Kota yang Berkelanjutan ....................................... 21
Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan ................................................... 25
Kerangka Pemikiran....................................................................................... 26
Lokus Penelitian............................................................................................. 30
Kerangka Analisis .......................................................................................... 33
Neraca Kesetimbangan Air Baku................................................................... 42
Kerangka Analisis .......................................................................................... 43
Pertumbuhan Penduduk Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta .................... 45
Dinamika Jumlah Penduduk Kota Surakarta ................................................. 46
Jumlah Pusat Perdagangan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Tahun 2010 .................................................................................................... 48
Jumlah Pertokoan dan Toko Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Tahun 2010 .................................................................................................... 48
Total Satuan Ukur Sarana Pendidikan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Tahun 2010 .................................................................................................... 49
Total Satuan Ukur Sarana Kesehatan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Tahun 2010 .................................................................................................... 51
Jumlah Sarana Rekreasi Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 ........ 52
Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Sarana Perkotaan ..................... 53
Breaking Point Kota Surakarta terhadap Kawasan Perkotaan
Sekitar Surakarta............................................................................................ 56
Nilai Aksesibilitas dan Mobilitas Jaringan Jalan Penghubung Utama
Aglomerasi Perkotaan Surakarta ................................................................... 58
Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 ................ 61
Perubahan Luas Lahan Terbangun Tahun 1993-2010 ................................... 64
Laju Perubahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta ............ 65
Proyeksi Pertambahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta . 65
Perbandingan Daya Tampung Penduduk dengan Asumsi Lahan
Permukiman sebesar 50% dengan Jumlah Penduduk Tahun 2010 ............... 72
Perbandingan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan
Arahan Tutupan Lahan .................................................................................. 73
Neraca Kesetimbangan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Tahun 2010 .................................................................................................... 76
commit to user
Model Ruang Berkelanjutan Aglomerasi Perkotaan Surakarta yang
Disarankan ..................................................................................................... 95
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PETA
Peta 4.1
Peta 4.2
Peta 4.3
Peta Jaringan Jalan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ...................................... 60
Penggunaan Lahan Terabangun dan Tidak Terbangun Kota Surakarta dan
Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta ............................................................. 67
Peta Lahan Terbangun dan Tidak Terbangun Kota Satelit Surakarta .............. 68
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10.
Lampiran 11.
Lampiran 12.
Lampiran 13.
Lampiran 14.
Lampiran 15.
Lampiran 16.
Jumlah Siswa PerJenjang Sarana Pendidikan di Aglomerasi Perkotaan
Surakarta Tahun 2010
Total Nilai Satuan Ukur perJenjang Sarana Pendidikan Tahun 2010
Jumlah Sarana Kesehatan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Total Nilai Satuan Ukur Sarana Kesehatan
Persentase Pemenuhan Sarana Perdagangan Tahun 2010 (Pasar dan Pusat
Perbelanjaan Modern)
Persentase Pemenuhan Sarana Perdagangan Tahun 2010 (Pertokoan dan Toko)
Persentase Pemenuhan Sarana Pendidikan Tahun 2010
Hasil Perhitungan Breaking Point
Karakteristik Jalan Penghubung Utama AntarPusat
Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL)
Ketentuan Penggunaan Lahan sesuai Kemampuan Lahan dan Daya Tampung
Penduduk
Perbandingan Daya Tampung Penduduk dengan Jumlah Penduduk Tahun 2010
Daya Tampung Aglomerasi Perkotaan Surakarta jika Persentase Lahan
Permukiman 70%
Proyeksi Luas Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Neraca Kesetimbangan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Kebutuhan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta perHari
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISTILAH
Aglomerasi
: Suatu kawasan yang terdiri dari beberapa wilayah dapat terbentuk
dengan adanya kekuatan sentripetal dan sentrifugal sehingga terjadi
pergerakan/ perkembangan ke arah luar dan memiliki keterkaitan
fungsi baik fisikal maupun fungsional
Aksesibilitas
: ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu
pusat kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah
yang dilayani jalan
Commuter
: Penglaju, salah satu jenis urbanisasi non permanen
Daya dukung
lingkungan
Dormitory Town
: batas maksimal penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya
Eksternalitas
: Kekuatan dari luar yang tidak dapat diprediksi secara pasti
Garden City
: Sebuah alternative kota hijau dimana ruang terbuka hijau atau
taman-taman mendominasi ruang kota
Kawasan
Perkotaan
: Kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian,
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan social, dan kegiatan ekonomi.
Kekotaan
: Suatu sifat yang berkaitan dengan performa gejala geosfera yang
inhern dengan kota, tetapi bukan dalam artian yurisdiksi melainkan
dalam artian fisikal, ekonomi, social, dan kultural.
Kekuatan
Sentrifugal
: kekuatan disperse yaitu kekuatan menyebarkan aktifitas ekonomi
ke daerah di luar kota utama maupun mendorong pergerakan
penduduk ke luar kota
Kekuatan
Sentripetal
Konurbasi
: kekuatan yang menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan
Kota Kompak
Membulat
(Rounded City)
: Merupakan bentuk kota yang dianggap paling ideal karena batas
terluar wilayah terbangunnya mempunyai jarak yang sama ke pusat
kota. Bentuk kota kompak ini terdiri dari dua jenis yaitu bentuk
membulat sempurna dan bentuk membulat tidak sempurna.
Kota Satelit
: Suatu permukiman perkotaan yang tidak hanya dimanfaatkan untuk
tidur semata, tetapi
memberikan kontribusi terhadap
pengembangan wilayah dalam bentuk komoditas, jasa, dan
commit to user
informasi
: Suatu wilayah perkotaan yang hanya dimanfaatkan untuk tempat
tinggal saja, sedangkan kegiatan ekonomi, social, dan budaya
masih sangat bergantung pada kota utamanya
: suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Life-span
: Umur rentang yang menunjukkan lamanya suatu kondisi dapat
bertahan
Metropolitan
: suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota
yang berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial
ekonomi, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya, dengan
satu kota utama berperan sebagai inti dan kota-kota lainnya sebagai
satelit
Metropolitanisasi
: Proses terbentuknya metropolitan
Mobilitas
: ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per
individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk
mencapai tujuannya
Perkotaan
: Kata sifat yang mengacu kepada suatu wilayah dalam lingkup
kewenangan yurisdiksi dalam pemerintahan untuk mengatur segala
sesuatu berkenaan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan
dengan segala aspeknya. Dengan artian kawasan perkotaan adalah
suatu wilayah yang memiliki sifat kekotaan yang dibatasi pada
batasan administrative.
Pola Ruang
: peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budi daya
Ribbon City
: Suatu kota yang memiliki morfologi berbentuk seperti pita karena
peranan jalur memanjang (transportasi)
Ribbon
Development
: Perembetan fisik kekotaan kea rah luar dengan perkembangan
memita
Urban Sprawl
: Perembetan kenampakan fisikal kekotaan kearah luar
Star Shapped City
: Perkembangan fisikal kekotaan yang didominasi oleh peranan jalur
transportasi sehingga berbentuk seperti bintang atau gurita.
Struktur Ruang
: susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional,
Suburbanisasi
Superimpose
: Proses perpindahan penduduk perkotaan ke wilayah urban fringe
: Tumpang tindih
Urban
: Wilayah yang secara fisik maupun non fisik telah mencirikan suatu
perkotaan
Urban Fringe
: Kawasan pinggiran kota
commit to user
: Proses perpindahan penduduk dari wilayah rural ke wilayah urban,
proses berubahnya suatu wilayah rural(desa) menjadi urban(kota)
Urbanisasi
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Kota Metropolitan di Indonesia
Sebagai negara yang berkembang, Indonesia tidak lepas dari fenomena urbanisasi,
konurbasi, dan metropolitanisasi. Terdapat delapan kota di Indonesia yang telah berkembang
menjadi kawasan metropolitan area yaitu Metropolitan Jabodetabek, Metropolitan Bandung,
Metropolitan
Semarang,
Metropolitan
Surabaya,
Metropolitan
Medan
(Mebidang),
Metropolitan Denpasar (Sarbagita), Metropolitan Makassar (Mamminasata), dan Metropolitan
Palembang. Kedelapan kota tersebut telah membentuk konurbasi dengan daerah-daerah di
sekitarnya dan memiliki jumlah penduduk di kota inti diatas satu juta jiwa (Zulkaidi, 2008).
Selain itu ada pula kota yang secara struktur telah membentuk kawasan metropolitan karena
memiliki kota satelit dan kota inti meskipun jumlah penduduk kota intinya belum mencapai
satu juta jiwa yaitu Yogyakarta (Zulkaidi, 2008). Sama halnya dengan Yogyakarta, Surakarta
juga telah menunjukkan gejala kearah metropolitanisasi walau tidak secepat Yogyakarta.
Sebagai suatu wilayah yang selalu mengalami perkembangan, kota metropolitan juga
menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan yang banyak dihadapi kota-kota
metropolitan di Indonesia antara lain permasalahan terkait struktur dan pola ruang seperti
meluasnya kegiatan di daerah penyangga yang seharusnya berfungsi lindung, meluasnya
kegiatan perkotaan secara tidak terstruktur sehingga sulit dilayani dan tidak efisien, dan
adanya ribbon development yang memperlihatkan masih terlihat penumpukan kegiatan di kota
utama, serta
belum terlihat adanya hubungan hierarkis antar pusat-pusat pelayanan,
ketersediaan prasarana pendukung pergerakan, tingkat pelayanan jalan, dan tingkat
aksesibilitas antar pusat pertumbuhan yang belum terintegrasi. Sedangkan permasalahan yang
terkait dengan daya dukung lingkungan antara lain keterbatasan daya dukung dan daya
tampung ruang untuk memenuhi perkembangan penduduk, ketersediaan air bersih, tingginya
pencemaran udara, permasalahan sampah dan limbah, dan permasalahan banjir (DPU, 2006).
Keseluruhan permasalahan tersebut menjadikan wilayah metropolitan kurang memiliki
keberlanjutan.
Perkembangan Kota Surakarta
Surakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki luas 44,03 km2
dengan jumlah penduduk 586.039 jiwa
padato tahun
commit
user 2010 (BPS, 2010). Sejalan dengan
perkembangannya, Kota Surakarta dengan kawasan perkotaannya telah menunjukkan gejalagejala yang mengarah pada terbentuknya Metropolitan. Salah satu gejala yang dapat dilihat
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah adanya arus commuter yang tinggi menuju Kota Surakarta baik untuk kepentingan
pendidikan, perdagangan dan jasa, maupun karena factor pekerjaan. Selain adanya arus
commuter, gejala aglomerasi juga dapat dilihat dari munculnya kawasan perkotaan baru
sebagai respon dari meningkatnya kebutuhan perumahan Kota Surakarta yaitu munculnya
kawasan Solo Baru dan berkembangnya pembangunan perumahan formal di Kecamatan Jaten
dan Mojolaban. Ciri perkotaan juga telah melebihi batas administrasi Kota Surakarta itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya kawasan-kawasan yang berada di sekitar
Kota Surakarta seperti Solo Baru, Kartasura, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak sebagai
dampak perkembangan eksternal Kota Surakarta. Kawasan-kawasan tersebut tumbuh menjadi
kota satelit bagi Surakarta. Pertumbuhan Surakarta juga mengarah pada industrialisasi. Di
awal tahun 2011, Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta telah menandatangani investasi
berskala besar baik di sektor perhotelan maupun perdagangan. (bisnis.timlo.net, 26 April
2011). Gejala-gejala tersebut telah mempertegas perkembangan Surakarta menuju
metropolitan area. Cita-cita Surakarta menjadi kota metropolitan bahkan telah diperjelas
melalui pencanangan Surakarta sebagai sustainable metropolis pada tahun 2025 (Pusat Studi
Urban Desain, 2011).
Akan tetapi, saat ini terdapat beberapa isu yang berkaitan struktur ruang, pola ruang,
dan daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta. Permasalahan struktur ruang
adalah antara lain ketersediaan fasilitas transportasi yang kurang memadahi sehingga sering
terjadi kemacetan pada jam-jam tertentu, bukan hanya di dalam Kota Surakarta, tetapi juga di
jalan masuk menuju Kota Surakarta seperti jalan raya palur. Kemacetan juga sering terjadi di
jalan keluar Kota Surakarta menuju Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo. Kesiapan kotakota di sekitar Surakarta untuk mendukung terbentuknya metropolitan area juga menjadi isu
tersendiri. Permasalahan pola ruang terkait dengan terjadinya sprawl dan tekanan
perkembangan daerah urban di wilayah selatan dan utara sehingga membentuk urban
conurbation, terjadi kesenjangan pembangunan antara daerah utara dan selatan, daerah utara
sebagai daerah hijau hunian berkepadatan rendah sedangkan daerah selatan daerah perkotaan
berkepadatan tinggi (Pusat Studi Urban Desain, 2011). Permasalahan daya dukung
lingkungan terkait dengan ketersediaan air bersih dan lahan. Berdasarkan penelitian Hidayati
tahun 2009 disebutkan bahwa ketersediaan air di Kota Surakarta sendiri tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan penduduk di masa yang akan datang. Hal ini mengakibatkan
keberlanjutan dari metropolitan yang akan terbentuk dipertanyakan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini perlu dilakukan untuk
commit to user
mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang
berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan. Penelitian
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini ingin mengetahui kesiapan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang
berkelanjutan di masa yang akan datang dengan melihat kondisi eksisting.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian adalah
”Bagaimana kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang
berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan?”
1.3
TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN
Tujuan dan manfaat penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
I.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan
Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan
daya dukung lingkungan.
I.3.2 Sasaran Penelitian
Adapun sasaran yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain :
1) Mengididentifikasi struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarta.
2) Mengidentifikasi pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta.
3) Mengidentifikasi daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta.
4) Menganalisis kesesuaian struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarta dengan struktur
ruang metropolitan yang berkelanjutan.
5) Menganalisis kesesuaian pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta dengan pola ruang
metropolitan yang berkelanjutan serta daya dukung lingkungan yang dimilikinya.
1.4 BATASAN PENELITIAN
Penelitian ini dibatasi dari wilayah penelitian (area studi) dan substansi.
I.4.1 Batasan Wilayah
Batas wilayah penelitian ini adalah Kota Surakarta, Kawasan perkotaan sekitar
Surakarta (Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak),
Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali secara administratif.
I.4.2 Batasan Substansi
Penelitian ”kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang
berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan” terbatas
commit to user
pada penilaian kesesuaian dari aspek fisik yang meliputi:
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Kesesuaian Surakarta ditinjau dari struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung
lingkungan dengan melihat kondisi eksisting.
2) Penilaian kesesuaian daya dukung lingkungan ditinjau dari daya tampung lahan dan daya
dukung sumber daya air. Daya tampung lahan dinilai berdasarkan kemampuan lahan,
sedangkan daya dukung sumber daya air ditinjau dari ketersediaan air di dalam masingmasing kawasan.
3) Daya dukung lahan dihitung berdasarkan kemampuan fisik lahan tanpa adanya pelibatan
rekayasa teknis.
4) Neraca sumber daya air dihitung dengan asumsi bahwa seluruh sumber air di kawasan
dapat dimanfaatkan secara optimal dan sumber air seluruhnya berasal dari internal
wilayah tanpa mempertimbangkan sumber air di luar wilayah. Jumlah penduduk
maksimal yang mampu didukung sumber air eksisting dihitung dengan asumsi prosentase
kebutuhan domestik sama setiap tahunnya dan debit sumber air tidak mengalami
perubahan.
1.5
KELUARAN PENELITIAN
Output dari penelitian ini adalah penilaian kesesuaian struktur ruang dan pola ruang,
aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan berkelanjutan yang dinilai berdasarkan
daya dukung lingkungannya yang dijabarkan ke dalam masing-masing tolok ukur.
1.6
URGENSI PENELITIAN
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena memiliki manfaat praktis dan teoritis.
Manfaat penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
I.6.1 Manfaat Akademik
Dalam konteks akademik, pengembangan kasus studi kota/kawasan perkotaan dan
metropolitan penting dilakukan untuk memperluas keberagaman kajian empirik dengan topik
struktur ruang, pola ruang, daya dukung lahan, dan daya dukung sumber daya air kawasan
metropolitan yang selama ini masih jarang dilakukan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang berkaitan dengan struktur ruang, pola ruang,
dan daya dukung lingkungan kawasan metropolitan yang berkelanjutan. Pemahaman ini dapat
dijadikan dasar dalam perencanaan ruang perkotaan untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
I.6.2 Manfaat Praktis
commit to user
Manfaat dalam konteks praktis dapat ditinjau dari konteks perencanaan tata ruang
kawasan perkotaan yaitu sebagai landasan empirik bagi upaya-upaya intervensi terhadap
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kecenderungan perkembangan perkotaan, yang mempertimbangkan karakteristik dan
dinamikanya secara spesifik. Pemahaman terhadap keterkaitan bentuk perkotaan dengan
keberlanjutannya yang dilandasi oleh kajian empirik kota-kota di Indonesia dapat menjadi
masukan atau dasar pertimbangan yang bersifat preskriptif bagi perencanaan struktur dan pola
ruang kawasan perkotaan maupun metropolitan yang sesuai dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk
mewujudkan struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan metropolitan yang
berkelanjutan sehingga visi kota tahun 2025 dapat terwujud.
1.7
KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan penelusuran peneliti, peneliti belum pernah menemukan kajian kesesuaian
kawasan sebagai metropolitan yang berkelanjutan di seluruh universitas yang ada di Kota
Surakarta. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang baru yang menggabungkan
kesesuaian sebagai kawasan metropolitan dan pembangunan yang berkelanjutan.
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
1.8
1.
2.
3.
4.
5.
digilib.uns.ac.id
ALUR PENELITIAN
Latar Belakang
Terjadinya kemacetan
Kesenjangan perkembangan
Urban sprawl
Keterbatasan sumberdaya air
Daya dukung lahan
Rumusan Masalah
Bagaimana kesesuaian aglomerasi perkotaan
Surakarta sebagai metropolitan yang
berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola
ruang dan daya dukung lingkungan?
Tujuan Penelitian
Mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau
dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan
Tinjauan Teori
1.
2.
3.
Konsep Aglomerasi perkotaan
Kawasan
metropolitan
:
pengertian, indikator, kriteria
ideal, bentuk dan struktur
ruang
Pembangunan berkelanjutan :
definisi
dan
kriteria
pembangunan
yang
berkelanjutan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kebutuhan Data
Orde perkotaan aglomerasi perkotaan Surakarta
Kemampuan pelayanan sarana perkotaan masing-masing
wilayah
Jangkauan pelayanan pusat-pusat kegiatan
Aksesibilitas, mobilitas, dan keselamatan jaringan jalan
penghubung utama aglomerasi perkotaan Surakarta
Ketersediaan moda transportasi penghubung antarpusat
Pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta
Daya dukung lahan aglomerasi perkotaan Surakarta
Daya dukung sumber daya air
Analisis
Teknik analisis kuantitatif deskriptif dengan memaknai hasil pengolahan data. Output yang dihasilkan,
1. Kesesuaian struktur ruang,
2. Kesesuaian pola ruang,
aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan.
1.
2.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta
Kesesuaian struktur ruang dan pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan
berkelanjutan berdasarkan daya dukung lingkungan yang dimilikinya.
Rekomendasi
Rekomendasi berdasarkan temuan dalam penelitian.
Gambar 1.1 Alur Penelitian
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
1.9
digilib.uns.ac.id
SISTEMATIKA PENULISAN
Laporan penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab 1 adalah pendahuluan, pada bab
ini peneliti menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah berdasarkan latar
belakang, tujuan dan sasaran, batasan penelitian, keluaran penelitian, urgensi penelitian,
keaslian penelitian, dan alur penelitian. Bab ini merupakan pondasi dilaksanakannya
penelitian dimana memuat tujuan akhir yang ingin dicapai dengan batasan lokasi dan
substansi pembahasan.
Bab 2 merupakan tinjauan teori yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka berpikir.
Kerangka teori yang diuraikan mencangkup tiga hal utama yaitu mengenai konsep aglomerasi
yang menjadi dasar penetapan lokus, teori mengenai kawasan metropolitan yang digunakan
untuk mengenali karakteristik kawasan metropolitan, serta teori yang berkaitan dengan
pembangunan berkelanjutan. Variabel, indikator, dan tolok ukur penelitian diperoleh dari
hasil ekstraksi antara teori kawasan metropolitan dan pembangunan yang berkelanjutan yang
kemudian dijabarkan dalam kerangka berpikir.
Bab 3 merupakan penjabaran dari metode penelitian yang digunakan. Pada bab ini
memaparkan jenis penelitian, metode penelitian, pendekatan penelitian, justifikasi lokus,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis.
Bab 4 merupakan hasil pengolahan data yang digunakan dalam penelitian berisi struktur
ruang, pola ruang, daya dukung lahan, dan daya dukung sumberdaya air. Hasil pengolahan
data ini menjadi dasar dari bab pembahasan ( Bab 5).
Bab 5 merupakan pembahasan berdasarkan hasil pengolahan data. Pada bab ini datadata dimaknai dan dilihat secara menyeluruh untuk menilai kesesuaian aglomerasi perkotaan
Surakarta. Output akhir dari bab ini adalah penilaian kesesuaian berdasarkan tolok ukur yang
telah disebutkan di bab metode penelitian.
Bab 6 merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Sub bab
kesimpulan memaparkan ringkasan hasil penelitian, sedangkan sub bab rekomendasi
menjabarkan temuan-temuan dalam penelitian yang dapat menjadi masukan bagi pengambil
kebijakan.
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 LANDASAN TEORI
Pada bagian ini akan diuraikan teori yang berkaitan dengan aglomerasi perkotaan,
kawasan metropolitan, serta pembangunan yang berkelanjutan. Konsep aglomerasi perkotaan
dilihat dari perspektif klasik dan modern. Teori kawasan metropolitan meliputi definisi,
indikator, kriteria, struktur ruang, bentuk fisik, dan keterkaitan antar wilayah dalam kawasan
metropolitan. Teori pembangunan berkelanjutan terdiri atas definisi dan kriteria pembangunan
yang berkelanjutan.
Konsep Aglomerasi
Perkotaan
Perspektif Klasik
Perspektif Modern
Kawasan Metropolitan
Pembangunan yang
Berkelanjutan
Definisi Metropolitan
Definisi Kriteria
Pembangunan yang
Berkelanjutan
Indikator Kota
Metropolitan
Kriteria Kawasan
Metropolitan Ideal
Struktur Ruang
Kawasan Metropolitan
Bentuk Ruang yang
Berkelanjutan
Persyaratan
pembangunan kota
yang berkelanjutan
Keterkaitan Kota Inti,
Kota Satelit, dan SubUrb
Pendefiniasian
Aglomerasi Perkotaan
sebagai dasar pemilihan
lokus penelitiann
2.1.1
Persyaratan Kawasan Metropolitan
yang Ideal dan Berkelanjutan
Gambar 2.1 Kerangka Teori
KONSEP AGLOMERASI PERKOTAAN
Pada perkembangan awal, aglomerasi erat kaitannya dengan industrialisasi. Bahkan
banyak definisi yang menerangkan pengertian aglomerasi dari sudut pandang industri maupun
kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, Montgomery dalam Metropolitan di Indonesia
mendefiniskan aglomerasi sebagai konsentrasi
commit tospasial
user dari aktivitas ekonomi di kawasan
perkotaan karena “penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang
diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen”
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Montgomery, 1988). Hal ini senada dengan Markusen yang mendefiniskan aglomerasi
sebagai suatu lokasi yang ”tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang
terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan
penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat dari kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara
individual. Dari kutipan-kutipan di atas dapat ditarik benang merah bahwa suatu aglomerasi
tidak lebih dari sekumpulan kluster industri (Mudrajat Kuncoro, 2002).
Pada masa selanjutnya terjadi perkembangan konsep dan pemikiran mengenai
aglomerasi. Terdapat dua perspektif yang dapat digunakan untuk mendefinisikan aglomerasi
yaitu perspektif klasik dan perspektif modern. Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi
merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat
aglomerasi” melalui kosep eksternalitas. Perspektif modern menunjukkan beberapa
kelemahan teori klasik mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, terdapat tiga jalur pemikiran
tentang aglomerasi yaitu teori mengenai eksternalitas dinamis, mazab pertumbuhan perkotaan,
dan paradigma berbasis biaya transaksi.
Aglomerasi
Klasik
Penghematan
Eksternal ( Eksternal
economies)
Modern
Formasi
Perkotaan
Lokalisasi vs Urbanisasi
Increasing returns akibat
skala ekonomi
MarshallArrow-Romer
Eksternalitas
Dinamis
Jacobs
Knowlegde spillover akibat
keanekaragaman
Pertumbuhan
Kota
Biaya Transaksi
Central Place
vs Network
System
Ketergantungan
skala vs netralitas
Meminimalkan
biaya transaksi
akibat skala
ekonomis
Gambar 2.2 Perkembangan Konsep dan Pemikiran Mengenai Aglomerasi
2.1.1.1
Perspektif Klasik
Teori klasik mengenai aglomerasi berpendapat bahwa aglomerasi muncul karena pelaku
ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi (aglomeration economies) baik
karena penghematan lokalisasi maupun penghematan urbanisasi. Penghematan akibat
lokalisasi terjadi apabila biaya produksi suatu perusahaan menurun ketika produksi total dari
industri tersebut meningkat. Singkatnya, dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam
industri yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Sedang
penghematan urbanisasi (urbanisation economies) terjadi bila biaya produksi suatu
commit to user
perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan dalam wilayah perkotaan yang sama
meningkat. Penghematan karena berlokasi di wilayah perkotaan ini terjadi akibat skala
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perekonomian kota yang besar dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Dengan demikian,
penghematan urbanisasi ini memberikan manfaat bagi semua perusahaan di seluruh kota,
tidak hanya perusahaan dalam suatu industri tertentu. Menariknya penghematan urbanisasi
telah memunculkan perluasan wilayah metropolitan (extended metropolitan regions)
(Mudrajat Kuncoro, 2002).
Hal yang perlu digarisbawahi dalam teori klasik adalah
aglomerasi terjadi akibat adanya kekuatan sentripetal yang mendorong perkembangan spasial
aglomerasi.
2.1.1.2
Perspektif Modern
Kelemahan mendasar penggolongan penghematan aglomerasi versi klasik adalah tidak
diperhitungkannya berbagai biaya yang hendak diminimalkan oleh perusahaan. Persepsi
umum saat ini berpendapat baha teori lokasi neo-klasik kurang tepat sebagai dasar analisis
spasial yang disebabkan oleh adanya dua fenomena yang tidak mampu dijelaskan oleh
paradigma yang ada, tetapi sering dijumpai dalam praktek (McCann, 1955). Pertama, banyak
perusahaan yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki kaitan transaksi dengan
perusahaan lokal pada industri yang sama, tetapi terdapat kluster industri yang kuat di daerah
tersebut. Kedua, banyak perusahaan yang memiliki sedikit bahkan tidak memiliki kaitan
transaksi dengan perusahaan lain atau rumah tangga dalam suatu daerah yang sama (biasanya
perkotaan), tetapi daerah tersebut memiliki klaster industri. Dengan demikian konsep
penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi menjadi dipertanyakaan. Dewasa ini
teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan disempurnakan oleh tiga jalur
paradigma yaitu eksternalitas dinamis, paradigma pertumbuhan kota, dan paradigma yang
berbasis biaya transaksi.
a) Eksternalitas Dinamis
Teori baru mengenai eksternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi pada
suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktifitas dan kesempatan kerja (Glaeser, Kallal,
Scheinkman, & Shleifer, 1992). Penjelasan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kotakota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Eksternalitas dinamis versi Marshall-ArrowRomer menekankan pentingnya transfer pengetahuan antarperusahan dalam suatu industri
yang diperoleh melalui komunikasi yang terus berlangsung antarperusahaan lokal dalam
industri yang sama (Henderson, Kuncoro, & Turner, 1995: 1968). Porter membuat argumen
yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transer pengetahuan pada industri yang
berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi spasial.
b) Paradigma Pertumbuhan Kota
commit to user
Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada
sekedar penghematan aglomerasi. Teori skala kota yang optimal (theories of optimum city
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
size) yang dikaji ulang oleh Fujita dan Thisse (1996), menggambarkan ekuilibrium
konfigurasi spasial dari aktifitas ekonomi sebagai hasil tarik-menarik antara kekuatan
sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces) yang ditunjukkan oleh
penghematan aglomerasi adalah kekuatan yang menarik aktifitas ekonomi ke daerah
perkotaan. Kekuatan sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan
sentripetal, yaitu kekuatan dispersi. Ini diperlihatkan oleh adanya kenaikan upah tenaga kerja
yang terampil maupun kasar serta kenaikan gaji manajer, yang mendorong perusahaan
memilih lokasi di luar pusat kota.
Begitu proses aglomerasi industri di perkotaan mencapai skala ekonomies yang
maksimum, maka ekspansi setelah titik tersebut akan menimbulkan dampak negatif di kota
maupun daerah sekitarnya. Persaingan antarperusahaan dan industri lambat laun akan
meningkatka harga bahan baku dan faktor produksi ( harga tanah, tenaga kerja, dan modal)
sehingga biaya per-unit mulai merayap naik. Terjadi peningkatan biaya jasa perbankan dan
biaya overhead akan mengakibatkan desentralisasi dan relokasi aktifitas ekonomi ke daerah
pinggiran kota atau kota-kota satelit di sekitar pusat kota. Di Indonesia, proses ini telah
membuat bergeraknya aktifitas ekonomi dan lokasi permukiman penduduk dari Jakarta ke
kota-kota sekitarnya yaitu Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Henderson, Kuncoro, & Nasution,
1996).
Sejalan dengan berkembangnya paradigma ini, maka teori-teori perkotaan yang baru
tidak lagi dikaitkan dengan sistem tempat pusat yang monosentrik melainkan sistem jaringan
kota. Model jaringan kota berangkat dari premis bahwa dua kota atau lebih yang berdekatan
meskipun tadinya merupakan kota-kota terpisah dan independen, memperoleh manfaat
berupa sinergi dari pertumbuhan kota yang interaktif melalui resiprositas, pertukaran
pengetahuan, dan kreatifitas (Batten, 1995). Didorong oleh jaringan transpor dan komunikasi
yang cepat dan dapat diandalkan, jaringan antarkota dapat mencapai penghematan yang
substansial.
c) Paradigma yang Berbasis Biaya Transaksi
Salah satu tokoh yang mendefiniskan aglomerasi berdasarkan paradigma berbasis biaya
transaksi adalah McCann (1995). Ia memberikan beberapa alternatif definisi atas berbagai
jenis penghematan aglomerasi dengan menarik perbedaan yang fundamental antara biaya
yang terjadi untuk mengatasi masalah “jarak” dan “ruang”, dengan biaya yang muncul karena
berloksi pada suatu titik ruang. Hipotesisnya, suatu perusahaan akan mencapai suatu
keseimbangan keputusan untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal 1) biaya transaksi jarak,
commit to user
2) biaya efisiensi faktor tertentu lokasi, 3) biaya koordinasi hirarki, dan 4) biaya alternatif
kebetulan hirarki. Dengan kata lain ada empat jenis biaya yang berkaitan dengan perilaku
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kluster industri, dimana dua jenis yang pertama dapat melibatkan penghematan aglomerasi
dan dua jenis yang terakhir melibatkan penghematan aglomerasi.
2.1.2
KAWASAN METROPOLITAN
2.1.2.1 Definisi Kawasan Metropolitan
Istilah metropolitan pertama kali digunakan secara resmi berkenaan dengan skala dan
pola pertumbuhan kota yang sangat cepat di Amerika. Perubahan fundamental dalam cara
hidup Amerika ini dikenali pada awal abad ke-20 ketika Biro Sensus Amerika pada tahun
1910 secara resmi memperkenalkan istilah Metropolitan Districts ke dalam sistem klasifikasi
wilayahnya (Goheen, dalam Bourne, ed. 1971). Di Indonesia, kota atau kawasan metropolitan
dimaknai sebagai perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan
yang berkembang sangat pesat ( DPU, 2006: 13). Menurut Undang-Undang No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, kawasan metropolitan didefinisikan sebagai “kawasan
perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi,
dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
Secara umum , perkotaan metropolitan dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan yang
merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang berdekatan dan terkait dalam satu sistem
kegiatan sosial ekonomi, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota
utama berperan sebagai inti dan kota-kota lainnya sebagai satelit.
2.1.2.2
Indikator Kawasan Metropolitan
Ciri umum kawasan metropolitan dapat dilihat dari jumlah penduduk, spesialisasi fungsi
yang ada, dan kemudahan mobilitas penduduk.
1) Kependudukan
Jumlah penduduk merupakan salah satu karaktersistik suatu metropolis yang ditentukan
untuk
kepentingan
penghitungan
statistik,
mengumpulkan,
mentabulasikan
dan
mempublikasikan data-data statistik. Akan tetapi, tidak ada ukuran jumlah penduduk yang
baku sebagai dasar penetapan kawasan metropolitan. Setiap negara memiliki ukuran yang
berbeda untuk menetapkan kawasan metropolitan. Berikut beberapa kriteria yang menjadi ciri
kawasan metropolitan dilihat dari jumlah penduduk :
ï‚·
Dua kota atau lebih yang dengan jumlah penduduk kota induk di atas 50.000 jiwa, dan
ï‚·
kota terkecil di atas 15.000 jiwa (Standart Metropolitan Area, 1950)
commit to user
Satu kota dengan jumlah penduduk 200.000-300.000 jiwa (Yeates and Garner, 1980)
12
perpustakaan.uns.ac.id
ï‚·
digilib.uns.ac.id
Satu kota dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa (National United
Development Strategy, 1995)
ï‚·
Jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya adalah 1.000.000 jiwa
(Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
2) Spesialisasi Fungsi
Metropolitan merupakan pusat aktivitas jasa yang kemudian tercermin dalam
pembagian fungsi keruangannya secara nyata (spesialisasi fungsi). Aktivitas sosial-ekonomi
kawasan metropolitan biasanya menunjukan adanya ciri khas fungsi antar ruang yang
mengakibatkan adanya hubungan antar ruang pada kawasan metropolitan. Aktivitas di
kawasan metropolitan biasanya aktivitas jasa ataupun industri. Hal tersebut dipertegas oleh
pernyataan McGee (1998) dalam ikbar (2006) yang menyatakan kawasan metropolitan
memiliki salah satu ciri berupa adanya transformasi kegiatan dari pertanian ke berbagai
kegiatan non pertanian termasuk perdagangan, transportasi dan industri, tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya aktivitas pertanian didalamnya dengan jumlah penggunaan lahan
pertanian di kawasan metropolitan lebih sedikit dibandingkan dengan pemanfaatan lahan nonpertanian. Menurut Winarso (2001) transformasi aktivitas penduduk kawasan metropolitan
ditandai dengan minimum 75 % tenaga kerja di kawasan metropolitan bekerja dalam bidang
non-pertanian.
3) Kemudahan Mobilitas
Hubungan antar ruang menjadi salah satu faktor yang mencirikan kawasan
metropolitan. Menurut Angotti (1993) karakter suatu metropolitan terlihat dalam 3 bentuk
mobilitas:
1. Mobilitas Pekerjaan (Employment Mobility)
2. Mobilitas Perumahan (Residential Mobility)
3. Mobilitas Perjalanan (Trip Mobility)
Mobilitas pekerjaan dicirikan dari mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus
berpindah tempat tinggal karena lebih banyak jenis dan variasi pekerjaan tersedia di kota
metropolitan. Mobilitas pekerjaan ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas
modal yang besar. Mobilitas tempat tinggal biasanya mengikuti perubahan tempat kerja.
Perpindahan tempat tinggal ini tidak selalu karena keinginan sendiri, berhubungan dengan
pindahnya tempat kerja, tetapi sering kali juga terjadi karena dipindahkan (digusur) secara
paksa maupun tidak. Tidak dipaksa terjadi karena perubahan harga lahan yang disebabkan
oleh dinamika pembangunan real estate. Mobilitas perjalanan lebih mudah dilakukan di
commit to user
metropolitan daripada di permukiman lain karena ketersediaan sarana transportasi yang lebih
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa metropolitan dicirikan dengan adanya
mobilitas dari modal dan tenaga kerja yang sangat tinggi.
Mobilitas tersebut terjadi karena adanya kemudahan untuk mencapai kota metropolitan
sebagai inti dari kawasan metropolitan. Selain itu, mobilitas terjadi karena kota metropolitan
memiliki keberagaman jenis fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Kebutuhan
dalam hal ini terkait dengan jenis mobilitas yang disebutkan sebelumnya yang antara lain
kebutuhan bekerja, kebutuhan hunian, kebutuhan perjalanan baik untuk tujuan berbelanja,
rekreasi, pendidikan dan lainnya.
Berdasarkan ciri metropolitan yang telah disebutkan (jumlah penduduk, spesialisasi
fungsi, dan kemudahan mobilitas) dapat disimpulkan bahwa kawasan metropolitan
merupakan kawasan yang terdiri dari kota inti dan kota-kota satelit yang memiliki tingkat
konsentrasi penduduk tinggi dengan beragam aktivitasnya sehingga terdapat hubungan antar
wilayah yang akan menimbulkan mobilitas tertentu sesuai dengan potensi internal kota
didalamnya. Secara aplikatif dalam penjelasan Kementrian Pekerjaan Umum mengenai
Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Tahun 2009 disebutkan bahwa Metropolitan
adalah:
1)
Skala besar ditunjukan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 1 juta jiwa
2)
Kepandatan penduduk kotar > 60 jiwa per hektar
3)
Batas kawasan metropolitan adalah batas fungsional yang mencakup wilayah administrasi
dari pusat (kota inti) atau sub pusat (kota satelit) yang terintergrasi. Terintegrasi
ditunjukan dengan peran ekonomi pusat yang jauh lebih besar dari kota atau kawasan
sekitar berdasarkan jumlah ragam aktifitas jasa dan industri dan jumlah komuter ke pusat
kota yang besar
4)
Sistem struktur ruang yang menentukan adanya pusat dan sub pusat jelas dengan bentuk
monosentris atau polisentris
2.1.2.3
Kriteria Kawasan Metropolitan Ideal
Dalam buku metropolitan di Indonesia yang diterbitkan departemen pekerjaan umum
(2006), Kawasan metropolitan yang ideal harus memenuhi empat syarat yaitu dari segi
struktur ruang, kejelasan fungsi, efisiensi pemanfaatan lahan, kemudahan transportasi, dan
ketersediaan fasilitas perkotaan sesuai dengan hirarkinya.
1) Struktur Ruang
Penataan ruang kawasan metropolitan harus mampu menunjukkan struktur tata ruang
commit to user
yang jelas yang terbentuk karena adanya pusat dan sub-pusat kegiatan yang saling terkait dan
dihubungkan oleh sistem tranportasi yang terpadu. Pusat dan sub-pusat mempunyai skala
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
layanan yang harus dapat didefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan, selain harus
dapat melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut, juga harus dapat melayani kebutuhan
regional di luar kawasan metropolitan, bahkan nasional, karena tidak dapat disangkal bahwa
kawasan metropolitan mempunyai peran yang sangat strategis di tingkat nasional. Sub pusat
di kawasan metropolitan sebaiknya berupa kota satelit yang berfungsi untuk mendukung Pusat
dalam pengembangan kawasan metropolitan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan
tentunya lingkungan. Ilustrasinya sebagai berikut:
Gambar 2.3 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan yang Ideal
Sumber : Metropolitan di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, 2006
2) Kejelasan Fungsi
Struktur perkotaan dalam kawasan metropolitan harus mempunyai kejelasan fungsi
masing-masing, walaupun beberapa perkotaan dapat mempunyai fungsi yang sama. Fungsi
tersebut antara lain dapat berupa pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat
industri, pusat tempat tinggal (dormitory town), dan sebagainya. Kota pusat kawasan
metropolitan biasanya menyandang fungsi sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, sedangkan
kota-kota lainnya dapat berfungsi sebagai dormitory town, pusat pendidkan, dan sebagainya.
Dengan adanya kejelasan fungsi tersebut maka diharapkan akan terbentuk sinergi antar kotakota tersebut, dan terdapat kejelasan arah pengembangan masing-masing kota tersebut.
Secara internal, di masing-masing kota tersebut juga perlu membentuk struktur tertentu
berupa pusat kota yang berfungsi untuk melayani kota secara keseluruhan, dan sub pusat
yang berfungsi untuk melayani bagian wilayah kota.
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.4 Kejelasan Fungsi dalam Kawasan Metropolitan yang Ideal
Sumber : Metropolitan di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, 2006
3) Efisiensi Pemanfaatan Lahan
Keterbatasan ruang di kawasan metropolitan mengharuskan perencanaan penataan
ruang harus memperhatikan keadilan. Ruang kota digunakan sesuai dengan nilai ruang yang
terbentuk. Kawasan pusat kota misalnya, harus mempunyai kepadatan tinggi dan oleh
karenanya jika untuk perumahan harus perumahan vertikal yang mampu mengakomodasi
penduduk yang lebih banyak dan memungkinkan terjangkau dari berbagai tingkat ekonomi,
tetapi pada saat yang sama mampu memberikan ruang terbuka hijau yang cukup. Dengan
demikian, termasuk dalam efisiensi pemanfaatan ruang ini adalah penyediaan ruang terbuka
hijau yang memadai untuk menjaga keberlanjutan pembangunan
4) Kemudahan Transportasi
Kejelasan struktur menuntut adanya kejelasan sistem jaringan trasportasi. Sistem
jaringan transportasi yang jelas akan memudahkan mobilitas penduduk. Kemudahan
transportasi juga terjadi jika ada pembagian fungsi ruang yang baik termasuk adanya fungsi
campuran di pusat atau sub-pusat kegiatan kawasan metropolitan.
5) Ketersediaan Fasilitas Perkotaan Sesuai dengan Hirarkinya
Fasilitas perkotaan, baik berupa fasilitas pendidikan, maupun antara lain fasilitas
kesehatan, fasilitas RTH, dan fasilitas perdagangan, perlu disediakan secara cukup di semua
kota sesuai dengan hierarkinya. Dukungan fasilitas yang memadai tersebut akan dapat
menunjang setiap kotakota tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan fungsinya masingcommit
to user
masing, dan dengan demikian diharapkan
akan
mendorong berkembangnya saling sinergi
antar kota kota tersebut.
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan sumber lain, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
metropolitan yang berkelanjutan yaitu:
Aspek Struktur dan Pola Ruang
-
Struktur kawasan metropolitan yang ideal dicirikan dengan struktur banyak pusat
(policentric), sedangkan pola ruang kawasan metropolitan yang ideal dicirikan dengan
intensitas tinggi, bentuk kompak, dan tidak menunjukkan gejala pembangunan acak
(Yudistira Pratama & Denny Zulkaidi, 2010)
Aspek Ekonomi
-
Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, kawasan metropolitan dicirikan dengan
tiga indikator ideal yaitu (1) pertumbuhan ekonomi yang pesat; (2) sektor basis
mendominasi struktur perekonomian; dan (3) memiliki fungsi khusus diversifikasi
(Yudistira Pratama dkk, 2010)
Aspek Lingkungan Hidup
-
Ditinjau dari aspek lingkungan, kawasan metropolitan dicirikan dengan indikator 1)
kualitas udara; (2) kualitas dan kuantitas air; (3) pengelolaan persampahan; dan (4)
pengelolaan air limbah dan sanitasi (Anna Farahdiba dan Denny Zulkaidi, 2010)
2.1.2.4 Bentuk Kawasan Metropolitan
Secara garis, besar terdapat dua bentuk fisik kawasan metropolitan yaitu metropolis
menyebar (dispersed) dan bentuk metropolis memusat (concentrated). Bentuk metropolis
menyebar terdiri dari bentuk metropolis menyebar dan metropolis galaktika. Sedangkan
metropolis memusat terdiri dari metropolis metropolis memusat, metropolis bintang, dan
metropolis cincin (Jayadinata, 986: 221-226).Bentuk fisik kota metropolis tersebut dapat
dijelaskan lebih spesifik sebagai berikut:
Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Fisik Kota Metropolis
No. Bentuk Fisik
Metropolis Menyebar
1
Metropolis
Menyebar
2
Metropolis
Karakteristik
Ruang dan Penduduk
Metropolis menyebar terbentuk dengan mengembangkan pertumbuhan bagian. Kota
paling jarang penduduknya dan bagian kota lama dibangun kembali dengan kepadatan
penduduk yang lebih rendah, sehingga kota metropolitan itu akan cepat meluas.
Sehingga kepadatan penduduk kawasan metropolis menyebar relative rendah.
Aktivitas
Kegiatan sosial ekonomi menyebar.
Sarana dan Prasarana
- Prasarana Sosial ekonomi di pusat kota yang lama disebar, sehingga produksi
pertanian dan bahan makanan, kantor, pabrik, museum, perguruan tinggi, dan
rumah sakit tersebar kemana-mana.
- Kepadatan penduduk
yangtorendah
commit
user dan kegiatan sosial dan ekonomi yang
menyebar memerlukan kendaraan pribadi dalam transportasi dan memerlukan
komunikasi untuk menjembatani jarak antarnodal.
Ruang dan Penduduk
17
perpustakaan.uns.ac.id
Galaktika
Metropolis Memusat
1
Metropolis
Memusat
digilib.uns.ac.id
Galaktika adalah susunan bintang di dalam semesta yang meliputi jutaan bintang.
Metropolis galaktika terjadi dari permukiman kota kecil, berpenduduk rapat,
dipisahkan sejauh beberapa kilometer oleh kawasan pertanian dengan kepadatan
penduduk yang rendah.
Aktivitas
Kegiatan sosial ekonomi terbagi menjadi berbagai unit kecil.
Sarana dan Prasarana
Arus lalu lintas menyebar, tetapi akan memusat saat menuju permukiman atau pusat
kelompok permukiman kota itu.
Ruang dan Penduduk
Metropolis memusat memiliki kepadatan penduduk yang tinggi.
Banyak penduduk yang tinggal di apartemen, rumah susun dan sebagainya.
Aktivitas
- Kegiatan sosial ekonomi yang tinggi.
- Biaya hidup mungkin dapat lebih rendah karena mudahnya pelayanan dan
transportasi yang efisien akibat penduduk yang banyak, tetapi terdapat suatu
tingkatan tertentu dimana kepadatan penduduk yang sangat tinggi akan
menyulitkan komunikasi antar penduduk.
Sarana dan Prasarana
- Sistem lalu lintas lebih khusus dengan berbagai model transportasi menurut jalur
masing-masing, alat transportasi umum lebih diperlukan daripada kendaraan
pribadi, dan diperlukan juga jalan bebas kendaraan (pedestrianisasi), jalan untuk
pejalan kaki di samping jalan raya (sidewalks) dan sabuk luncur (flying belt).
- Tingkat jangkauan sangat tinggi, baik ke berbagai kegiatan khusus maupun ke
alam terbuka dan pedesaan di pinggir kota, kota sendiri merupakan tempat
berbagai pertemuan secara periodik
2
Metropolis
Metropolis bintang memiliki pusat kota utama dengan pola kepadatan penduduk pada
Bintang
wilayah pusat berbentuk bintang dengan perpanjangan beberapa bagian kota linier
seperti lengan di alam terbuka. Inti kota utama sebagai pusat kota dikelilingi oleh
banyak kota kedua yang terletak di sepanjang lengan-lengan linier tersebut. Lenganlengan kota metropolitan ini mempunyai kepadatan penduduk yang sedang, lebih
tinggi daripada metropolis menyebar, tetapi lebih rendah daripada pusat-pusat.
Pertumbuhan dapat berlangsung keluar dari lengan-lengan dan perubahan-perubahan
dapat dilakukan dengan mudah karena kepadatan penduduk lebih rendah daripada di
bagian inti utama serta tersedianya lahan pertanian dapat mendukung perkembangan
kawasan linier tersebut.
3
Metropolis
Ruang dan Penduduk
Cincin
Kawasan kota inti memiliki kepadatan penduduk yang rendah, sedangkan kepadatan
tinggi terdapat di sekeliling tengah kota sehingga bentuk ini menyerupai cincin atau
kue donat.
Sumber : Adisasmita, Rahardjo.Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. 2010
-
Menurut Sikandar dan Malik dalam Jayadinata (1990: 226-227), pada pengembangan
tiap bentuk kota metropolitan di atas, masing-masing terdapat beberapa masalah (kekurangan)
yakni:
1. Permasalahan kota metropolitan menyebar adalah pilihan terbatas, interaksi yang
lemah, biaya yang tinggi, citra kota metropolitan kurang hidup.
2. Metropolis galaktika dengan banyak permukiman kota yang kecil lebih banyak
memberikan kemungkinan, tetapi mempunyai beberapa masalah seperti dalam
interaksi dan biaya serta lebih sulit direalisasikan.
commit towilayah
user inti yang padat menyebabkan biaya
3. Dalam kota metropolitan yang memusat,
yang memberatkan, kurang nyaman, sulit partisipasi, dan sulit penyesuaian.
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Kota metropolitan bintang keadaannya lebih baik, jika kemacetan di pusat kota dapat
dihindari, tetapi bentuk fisik kota ini kurang bermanfaat jika ukurannya semakin besar.
2.1.2.5
Struktur Ruang Kawasan Metropolitan
Struktur ruang kawasan metropolitan dapat ditinjau dari jumlah dan keterkaitan antara
pusat dan sub pusat, serta dari tipologi kawasannya. Apabila ditinjau berdasarkan pusat –
pusat pelayanannya, kawasan metropolitan memiliki struktur sebagai berikut:
1) Mono centered
Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub
pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.
2)
Multi nodal
Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat dan sub sub pusat yang saling terhubung
satu sama lain. Sub sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga
terhubung langsung dengan pusat.
3) Multi centered
Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lainnya.
4) Non centered
Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node
memiliki hirarki yang sama dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya.
Sumber : Sinulingga (2005)
Sumber : Wiegen (2005)
Gambar 2.5 Struktur Kota Metropolitan Berdasarkan Keberadaan Pusat Pelayanan
Sedangkan apabila ditinjau dari tipologi kawasannya, makastruktur ruang kawasan
commit to user
metropolitan terdiri pusat kota (kota metropolitan), kawasan sub urban, dan kota satelit.
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.6 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan
2.1.2.6 Bentuk Ruang Kota yang Berkelanjutan
Bentuk suatu ruang kota atau wilayah dapat dikenali berdasarkan pola penggunaan
lahan atau sebaran lahan terbangun di suatu wilayah. Dalam ilmu perwilayahan sebaran
penggunaan lahan ini dapat disebut sebagai pola keruangan atau morfologi kota/ wilayah.
Morfologi kota adalah sebuah pendekatan dalam memahami kota sebagai suatu kumpulan
geometris bangunan dan artefak dengan konfigurasi kesatuan ruang fisik tertentu produk dari
perubahan sosio-spatialnya. Berdasarkan pada kenampakan morfologi/ bentuk kota serta jenis
penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999) mengemukakan beberapa
alternative model bentuk kota. Secara garis besar ada 7(tujuh) model bentuk kota yaitu:
1. Bentuk Satelit dan Pusat-pusat baru (satelite and neighbourhood plans) yaitu kota
utama dengan kota-kota kecil memiliki hubungan pertalian fungsional yang efektif dan
efisien. Kota-kota satelit berfungsi sebagai penyerap mengalirnya arus urbanit yang
sangat besar ke kota utama. Bentuk kota ini memiliki ciri adanya concentric
development yang mendominasi areal kekotaannya pada main urban center maupun
kota-kota satelitnya. Contoh : Kota Stockholm, London, Copenhagen, Jabodetabek,
Gerbang Kertasusila, dan Bandung Raya
2. Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans) yaitu setiap lidah dibentuk pusat
kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan dan yang
menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru
kota, tempat rekreasi, dan tempat olahraga bagi penduduk kota. Bentuk ini paling cocok
untuk kota yang perkembangan areal kekotaannya didominasi oleh ribbon development.
3. Bentuk cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang di sepanjang jalan utama
yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka.
Contoh ring cities adalah Randstad
Holland
di Belanda.
commit
to user
4. Bentuk linier bermanik (beaded linier plans), dimana pusat perkotaan yang lebih kecil
tumbuh di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, di pinggir jalan biasanya ditempati
bangunan komersial sedangkan di belakangnya ditempati permukiman penduduk.
5. Bentuk inti/kompak (the core or compact plans) yaitu perkembangan kota yang
biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertical sehingga memungkinkan
terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil.
6. Bentuk memencar (disperted city plans), dalam kesatuan morfologi yang besar dan
kompak terdapat beberapa urban center, dimana masing-masing pusat mempunyai grub
fungsi-fungsi khusus dan berbeda satu sama lain. Bentuk ini pertama kali disarankan
oleh Frank Llyod Wright sebagai bentuk yang mengatasi kelemahan-kelemahan yang
ada pada “compact city”.
7. Bentuk kota bawah tanah (under ground city plans), struktur perkotaannya dibangun di
bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada
permukaan bumi, bagian atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian
yang tetap hijau. Beberapa fungsi-fungsi perkotaan memang sudah dicoba di beberapa
kota di Jepang seperti Tokyo, Osaka, dan beberapa yang lain.
Ketujuh alternative model kota tersebut merupakan model kota yang berkelanjutan
selama bentuk tersebut diadopsi berdasarkan sifat “urban sprawl” di atas kemungkinan
“trend” perkembangan yang akan datang. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi
pemborosan sumberdaya. Sebagi contohnya suatu wilayah yang pola perkembangan arealnya
didominasi oleh ribbon development dan sudah membentuk ribbon city adalah tidak bijaksana
jika wilayah tersebut dipaksakan untuk membentuk kompak membulat ( Yunus, 2008).
Gambar 2.7 Alternatif Model Bentuk Kota yang Berkelanjutan
commit to user
Sumber : Hudson dalam Yunus, 2008
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.2.7 Keterkaitan Kota Inti, Kota Satelit, dan Sub-Urb pada Kawasan Metropolitan
Kota Inti
Terdapat banyak istilah yang mendefinisikan kota inti kawasan metropolitan sebagai
kota pusat. Secara singkat, semua definisi tersebut menyebutkan bahwa kota inti merupakan
pusat kegiatan di kawasan metropolitan. Kota inti merupakan suatu kawasan yang terdiri dari
pusat kota dan selaput inti kota (Yunus, 2006). Pusat kota adalah wilayah di dalam kota inti,
dimana kegiatan utama kota berada. Dalam mengenali CBD ini, Hadi Sabari Yunus
menyarankan tidak menggunakan istilah sentral maupun tidak sentral melainkan primary
business district, secondary business district, tertiary business district, quartenary business
district dengan mendasarkan pada peranan masing-masing business district dalam konstelasi
perekonomian kota. Sedangkan selaput inti kota merupakan daerah yang berada di luar pusat
kegiatan dan berbatasan langsung dengannya. Daerah ini merupakan daerah permukiman
padat dan dihuni oleh penduduk yang sangat banyak pula sehingga dari segi kepadatan
penduduk juga menunjukkan tingkat yang sangat tinggi.
Kota Satelit dan Sub-Urb
Kota satelit dalam kawasan metropolitan pada awalnya merupakan kawasan pinggiran
atau urban fringe. Hal yang membedakan suburbs dengan kota satelit dapat dilihat dari fungsi
utama dan kemampuan ekonomi serta sosial.
Tabel 2.2 Perbedaan Suburbs dan Kota Satelit
Perbedaan
Suburbs
Kota Satelit
Perananan / - Permukiman kekotaan (kota kecil yang
- Permukiman kekotaan yang tidak hanya
Fungsi
berkembang di sekitar kota besar) yang
dimanfaatkan untuk tidur semata di malam
Utama
hanya dimanfaatkan untuk tidur semata
hari saja, tetapi memberikan kontribusi
di malam hari bagi penduduk yang
terhadap pengembangan wilayah dalam
bekerja di kota terdekat pada siang hari
bentuk komoditas, jasa, dan informasi.
(dormitory town).
- Peranannya mirip dengan kota besar,
sebagian besar kebutuhan penduduknya
dapat dipenuhi sendiri, tetapi dalam hal
ketergantungan pada kota besar terdekat
masih ada.
Kemampuan - Hanya berfungsi sebagai penerima
- Memiliki kemampuan ekonomi dan social
Ekonomi
komoditas dan pemasok tenaga kerja baik
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
dan Sosial
ke kota besar terdekat (kota inti) maupun
pekerjaan bagi penduduknya dan mungkin
ke kota satelit.
bagi penduduk suburbs di dekatnya. Di
- Tiak ada fungsi-fungsi kekotaan yang
dalam kota satelit juga telah berkembang
berfungsi sebagai tempat bekerja bagi
industry/ pabrik/ kantor/ institusi tertentu
penduduk (working opportunities)
sebagai penjual komoditas dan dengan
sehingga dapat dikatakan bahwa suburbs
sendirinya juga penerima tenaga kerja.
tergantung sepenuhnya pada kota besar
terdekat, khususnya dari segi ekonomi.
Sumber : Megapolitan, Hadi Sabari Yunus, 2006
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.3
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
2.1.3.1
Definisi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable
development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation
Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment
Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources
(IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Menurut Brundtland Report
dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,
bisnis,
masyarakat,
dsb)
yang
berprinsip
“memenuhi
kebutuhan
sekarang
tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus
dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan
sosial.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan
WCED berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada
1987. Laporan ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua
gagasan penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin
sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada
kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus
dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara
berkembang.
2.1.3.2
Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih
luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar
Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World
Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong
bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama
dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam buku “Bunga
Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan
commit to user
bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi
23
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan
satu-satunya
digilib.uns.ac.id
tujuan
bagi
dilaksanakannya
suatu
pembangunan
tanpa
mempertimbangkan aspek lainnya.
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan
yang berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial,
politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, terdapat beberapa pakar yang
mengemukakan kriteria dan indikator pembangunan sebagai berikut:
Ahli
Djajadiningrat
(2005)
1.
2.
3.
4.
5.
Brundland,
G.H, 1987
1.
2.
3.
ICPQL (1996)
1.
2.
3.
Tabel 2.3 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan
Kriteria
Indikator
Keberlanjutan Ekologis
Keberlanjutan di Bidang
Ekonomi
Keberlanjutan Sosial dan
Budaya
Keberlanjutan Politik
Keberlanjutan
Pertahanan
Keamanan
Keberlanjutan Ekonomi
1. Pertumbuhan ekonomi untuk
Keberlanjutan Lingkungan
pemenuhan kebutuhan dasar.
Keberlanjutan Sosial
2. Lingkungan untuk generasi
sekarang dan akan datang.
3. Pemenuhan kebutuhan dasar
bagi semua.
Keberlanjutan Ekonomi
Keberlanjutan Lingkungan
Keberlanjutan Sosial
1.
2.
3.
Becker, F.et.al
(1997)
1.
2.
3.
Keberlanjutan Ekonomi
Keberlanjutan Lingkungan
Keberlanjutan Sosial
Agus Dharma
1.
2.
3.
Environment Sustainability
Economic Sustainability
Social Sustainability
Ekonomi kesejateraan
Keseimbangan Lingkungan
yang sehat
Keadilan sosial, kesetaraan
gender, rasa aman,
menghargai diversitas
budaya.
1.
2.
Ekonomi kesejahteraan
Lingkungan adalah dimensi
sentral dalam proses sosial.
3. Penekanan pada proses
pertumbuhan sosial yang
dinamis, keadilan sosial, dan
kesetaraan.
Environment Sustainability
Ecosistem integrity
Carrying Capasity
Biodiversity
Economic Sustainability
Growth Development
Productivity Trickling Down
Social Sustainability
Cultural Identity
Empoverment
Accessibility
Stability
Equity
Sumber
buku Suistanable
Future
Indikator
Pembangunan
Berkelanjutan di
Indonesia,
Buletin Penataan
Ruang. JanuariFebruari 2009
Indikator
Pembangunan
Berkelanjutan di
Indonesia,
Buletin Penataan
Ruang. JanuariFebruari 2009
Indikator
Pembangunan
Berkelanjutan di
Indonesia,
Buletin Penataan
Ruang. JanuariFebruari 2009
Paper Sustainable
Compact
City
sebagai
alternative Kota
Hemat
Energi,
2005
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Environment Sustainability
Ecosistem integrity
Carrying Capasity
Biodiversity
Human Well Doing
Environment
-
Economic Sustainability
Growth Development
Productivity Trickling
Down
Economy
Society
-
Social Sustainability
Cultural Identity
Empoverment
Accessibility
Stability
Equity
Gambar 2.8 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan
Sumber : Agus Dharma dalam Paper Sustainable Compact City sebagai alternative Kota Hemat Energi,
2005
Dari beberapa teori pembangunan berkelanjutan tersebut diketahui bahwa pencapaian
keberlanjutan ketiga aspek yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial akan menciptakan
kehidupan yang baik. Dalam penelitian kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai
metropolitan berkelanjutan ini memiliki focus utama pada aspek fisik sehingga untuk
mengetahui keberlanjutannya maka kriteria keberlanjutan lingkungan menjadi tolok ukur
yang diperhitungkan. Dalam metropolitan berkelanjutan, struktur ruang maupun pola ruang
yang ada hendaknya sesuai dengan daya dukung lingkungan yang dimilikinya agar
keberlanjutan wilayah tersebut memiliki life-span yang lama.
2.2
KERANGKA PEMIKIRAN
Kawasan metropolitan berkelanjutan berarti memenuhi syarat/ kriteria ideal suatu
kawasan metropolitan serta memenuhi kriteria keberlanjutan dari aspek lingkungan, social,
dan ekonomi. Kriteria fisik lingkungan dalam konteks ruang wilayah dapat dibedakan
menjadi dua yaitu fisik alami yang menyangkut air dan lahan yang berkaitan erat dengan daya
dukung lingkungan, serta aspek fisik buatan yang tercermin dalam struktur dan pola ruang
kawasan. Fokus penelitian ini terbatas pada komponen fisik lingkungan yang terdiri atas
struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan. Struktur ruang adalah adalah
susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional, pola ruang adalah peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya,
sedangkan daya dukung lingkungan adalah batas maksimal penduduk yang dapat dipenuhi
commit to user
kebutuhannya. Daya dukung lingkungan inilah yang digunakan sebagai alat ukur untuk
menilai keberlanjutan metropolitan dari aspek struktur dan pola ruang, selain menggunakan
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kriteria metropolitan yang ideal yang tercantum dalam sub bab kriteria metropolitan yang
ideal.
Sebagai
gambarannya,
kriteria
metropolitan
yang
ideal
digunakan
untuk
mengidentifikas kondisi eksisting saat ini apakah sudah memenuhi persyaratan sebagai
metropolitan, kemudian untuk mengetahui keberlanjutannya maka kondisi eksisting ini
dibandingkan dengan daya dukung lingkungan yang dimilikinya, sehingga kemudian akan
muncul sebuah temuan yang dapat menjawab apakah dengan kondisi dan tren kecenderungan
saat ini maka metropolitan yang terbentuk memiliki sifat keberlanjutan di masa yang akan
datang.
Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan fokus penelitian yaitu struktur ruang,
pola ruang, dan daya dukung lingkungan antara lain 1) isu yang terjadi di kawasan perkotaan
Surakarta seperti yang telah disebutkan dalam latar belakang adalah masalah yang terkait
dengan kondisi struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan, 2) struktur ruang,
pola ruang, dan daya dukung lingkungan merupakan komponen utama dalam dokumen
perencanaan sehingga hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan, dan 3)
pertimbangan ketersediaan data.
Metropolitan Berkelanjutan
( Memenuhi Kriteria Ideal)
Fisik
Ekonomi
Sosial
Fisik Buatan
Fisik Alami
Air, Lahan
Struktur :
Sistem Pusat Aktivitas,
Jaringan Transportasi
Pola
: Penggunaan
Lahan (Diversifikasi),
Intensitas
Daya Dukung Lingkungan
Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran
Sumber : Analisis Peneliti, 2012
Berdasarkan teori yang telah disebutkan sebelumnya dapat disintesakan bahwa suatu
metropolitan berkelanjutan harus memenuhi kriteria ideal suatu metropolitan sekaligus
pembangunan yang berkelanjutan. Dari aspek fisik, persyaratan metropolitan yang ideal
adalah
-
Struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan beberapa pusat-pusat
kegiatan atau sub pusat.
-
Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi masing-masing.
commit to user
Adanya pusat dan sub pusat di dalam masing-masing kota baik inti maupun satelit yang
berfungsi melayani kota keseluruhan dan bagian wilayah kota.
26
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik yaitu yaitu pusat kawasan
metropolitan harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan, sedangkan sub pusat
berfungsi mendukung pusat dalam pengembangan kawasan.
-
Pusat dan sub pusat yang dihubungkan system transportasi terpadu yaitu ketersediaan
jaringan jalan dan moda transportasi umum, dan
-
Memiliki bentuk ruang yang berkelanjutan yang dapat ditinjau dari bentuk ruang yang
terbentuk.
Sedangkan persyaratan dari segi pembangunan berkelanjutan adalah adanya keberlanjutan
lingkungan dengan tolok ukur daya dukung lingkungan. Dengan menggabungkan kedua
persyaratan tersebut maka diperoleh tolok ukur metropolitan berkelanjutan sebagai berikut:
Variabel
Struktur
Ruang
Pola Ruang
Daya
Dukung
Lingkungan
Tabel 2.4 Variabel, Sub Variabel, Indikator, dan Tolok Ukur
Sub Variabel
Indikator
Tolok Ukur
1. Sistem pusat
Orde Perkotaan
1. Struktur banyak pusat (polycentric) yang
sub pusat
terdiri dari CBD dan beberapa pusat2. Jaringan
pusat kegiatan atau sub pusat.
Transportasi
2. Struktur perkotaan kawasan
metropolitan memiliki kejelasan fungsi
masing-masing.
Jangkauan pelayanan pusat
1. Adanya pusat dan sub pusat di dalam
dan sub pusat
masing-masing kota baik inti maupun
satelit yang berfungsi melayani kota
keseluruhan dan bagian wilayah kota.
2. Skala layanan pusat dan sub pusat
terdefinisikan dengan baik yaitu yaitu
pusat kawasan metropolitan harus dapat
melayani seluruh kawasan metropolitan,
sedangkan sub pusat berfungsi
mendukung pusat dalam pengembangan
kawasan.
Pusat dan sub pusat yang dihubungkan
1. Aksesibilitas
system transportasi terpadu yaitu
2. Mobilitas
ketersediaan jaringan jalan dan moda
3. Ketersediaan angkutan
transportasi umum.
masal
1.
2.
1.
2.
Intensifikasi
Diversitas
Penggunaan
Lahan
Lahan
Air
1.
Diversifiikasi
Penggunaan Lahan
2. Intensitas
Penggunaan
Lahan
1. Daya tampung lahan
2. Daya dukung
sumberdaya air
Memiliki bentuk ruang yang berkelanjutan
dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.
1.
2.
Sumber : Analisis Peneliti
Minimal 1 juta penduduk bisa
ditampung di wilayah dan/atau kawasan,
dengan pengertian masih dalam batas
kemampuan lahan.
Minimal 1 juta penduduk masih bisa
mendapatkan air baku untuk memenuhi
kebutuhannya.
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab metode penelitian ini akan dijabarkan jenis dan pendekatan penelitian, metode
penelitian, metode pengumpulan data, kerangka analisis, dan metode analisis.
3.1
JENIS PENELITIAN
Berdasarkan pendekatan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deduktif.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian dengan teori yang telah ada.
Teori yang telah ada digunakan untuk merumuskan variable dan tolok ukur penelitian yang
dijadikan pedoman untuk menjawab tujuan penelitian. Sedangkan berdasarkan metode yang
digunakan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini
menggunakan analisis kuantitatif kemudian menjabarkannya dalam bentuk deskriptif untuk
menjawab tujuan penelitian.
3.2
LOKUS PENELITIAN
Kawasan metropolitan merupakan sebuah aglomerasi perkotaan yang terdiri atas kota
inti dan kota-kota satelit, di mana terdapat pembagian tugas antara kota besar (kota inti)
dengan sekelilingnya (satelit) dalam hal pelayanan, sehingga dikatakan bahwa kota inti dan
satelit mempunyai kaitan yang erat. Kaitan yang erat ditandai dengan adanya penduduk
penglaju (commuter) antara kota inti dan kota satelit (Adisasmita, 2010) .
Dari pengertian di atas terdapat tiga komponen penting yang harus digaris bawahi yaitu
1) Metropolitan merupakan aglomerasi ruang perkotaan, 2) Metropolitan terdiri atas kota inti
dan kota satelit, 3) Keterkaitan antara kota inti dan satelit dilihat dari adanya arus commuter.
1. Metropolitan merupakan aglomerasi ruang
Dalam mendefinisikan aglomerasi perkotaan, peneliti menggunakan perspektif modern
yang mengenali bahwa aglomerasi tidak hanya didorong oleh kekuatan sentripetal dengan
konsep penghematan saja, melainkan aglomerasi dapat terbentuk dengan adanya
kekuatan sentripetal dan sentrifugal sehingga terjadi pergerakan/ perkembangan ke arah
luar kota. Fenomena inilah yang sedang terjadi di Kota Surakarta, dapat dilihat dengan
meluasnya kawasan perkotaan ke wilayah di sekitarnya yang kemudian membentuk
struktur ruang perkotaan yang lebih luas (Hasil analisis dan RTRW Surakarta Tahun
2007-2026). Dalam hal ini, kawasan perkotaan yang terbentuk di sekitar surakarta
commit to user
menjadi bagian dari lokus penelitian. Kawasan perkotaan tersebut, secara administratif
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terdiri atas Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan
Ngemplak (RTRW Surakarta Tahun 2007-2026).
2. Metropolitan terdiri atas kota inti dan satelit
Dalam struktur wilayah regional, Kota Surakarta merupakan bagian dari regional
Subosukowonosraten dengan Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota
Wonogiri, Kota Klaten, dan Kota Boyolali sebagai kota-kota satelit.
3. Keterkaitan kota inti dan satelit dilihat dari adanya arus commuter
Commuter yang menuju Kota Surakarta berasal dari berbagai wilayah di regional
Subosukowonosraten, tidak terkecuali dari kota-kota satelitnya tanpa terkecuali dengan
intensitas yang berbeda. Fenomena ini dapat dilihat dari pergerakan masyarakat dari luar
kota Surakarta yang masuk ke Surakarta pada jam-jam kerja dan masuk sekolah dengan
menggunakan kendaraan
plat AD, dimana plat AD merupakan
plat kendaraan di
regional Subosukowonosraten.
Dengan demikian maka kawasan perkotaan sekitar Surakarta (Kecamatan Jaten,
Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak), Kota Sragen, Kota
Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Wonogiri, Kota Klaten, dan Kota Boyolali memenuhi
syarat sebagai populasi penelitian. Dikarenakan posisi kota-kota satelit seperti Kota Sragen,
Kota Klaten, Kota Karanganyar, Kota Klaten, dan Kota Boyolali terletak antara dua pusat
pertumbuhan yaitu kawasan perkotaan Surakarta dan kawasan perkotaan lain maka dilakukan
analisis gravitasi. Analisis gravitasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh dua pusat
pertumbuhan tersebut lain sehingga dapat diketahui kecenderungan ketergantungan wilayah
yang hirarkinya lebih kecil. Wilayah yang memiliki nilai gravitasi lebih besar dari pusat
pertumbuhan lain dibandingkan dengan nilai gravitasinya ke kawasan perkotaan Surakarta
maka tidak akan menjadi lokus penelitian. Perhitungan gravitasi dihitung berdasarkan jumlah
penduduk dan jarak antar wilayah (panjang jalan penghubung). Rumus gravitasi yang
digunakan sebagai berikut:
Keterangan
G = Nilai gravitasi
G=kx
Pi x Pj
dij2
P
= Jumlah penduduk
Dij = jarak antar daerah I dan j
k
= sebuah konstanta (100)
Untuk mengetahui kecenderungan kebergantungan Kota Sragen dan Kota Karanganyar,
peneliti membandingkan gaya tarik Kota Surakarta dengan Kota Madiun, sedangkan untuk
mengetahui kecenderungan kebergantungan Kota Boyolali, peneliti membandingkan gaya
commit to user
tarik Kota Surakarta dan Kota Salatiga. Kota Madiun dan Kota Salatiga dipilih dengan
pertimbangan kota tersebut merupakan kota dengan hirarki yang lebih tinggi dibandingkan
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kota yang diuji gaya tariknya. Untuk mengetahui gaya tarik Kota Klaten, peneliti
membandingkan gaya tarik kawasan perkotaan Jogjakarta dan kawasan perkotaan Surakarta.
Kota Satelit
Tabel 3.1 Perhitungan Gravitasi untuk Menentukan Lokus Penelitian
Jarak dengan
Jarak dengan
Jumlah
Kota
Kawasan
Nilai Gravitasi
Penduduk
Surakarta
Perkotaan
Kota Surakarta
Tahun 2010
(Km)
Lain (Km)
Nilai Gravitasi
Kawasan
Perkotaan Lain
Kota Sragen
73537
26,53
81,00
6.122.910.723,57
191.619.869,96
Kota Karanganyar
77413
14,73
81,54
20.909.079.939,02
199.056.862,35
127974
30,00
25,00
15.908.362.624,00
26.500.971.347,52
Kota Klaten
Kota Boyolali
77755
25,99
27,00
1.816.757.840,88
6.745.937.066,84
Keterangan:
Jumlah penduduk Kota Madiun tahun 2010 adalah 170.964 jiwa, penduduk kawasan perkotaan Yogjakarta adalah
1.294.253 jiwa, Kota Salatiga adalah 170.332, Kota Surakarta adalah 586039, dan kawasan perkotaan Surakarta adalah
1.118.784 jiwa. (sumber: Badan Pusat Statistik dan Sesnsus Penduduk Tahun 2010)
Sumber: Hasil Analisis berdasarkan data tahun 2010
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus gravitasi, dapat diketahui bahwa wilayah
yang mendapatkan pengaruh Kawasan Perkotaan Surakarta lebih besar daripada kawasan
perkotaan lain adalah Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali. Kota Klaten lebih
tertarik ke kawasan perkotaan Yogjakarta sehingga tidak dimasukkan dalam lokus penelitian.
Peneliti kemudian menggunakan teknik pengambilan sampel dengan orientasi arah mata
angin dengan memperhatikan kedekatan dengan Kota Surakarta (terkait dengan kemudahan
commuter menjangkau Kota Surakarta yang merupakan salah satu indikator metropolitan)
dalam mengambil sampel kota satelit.
Gambar 3.1 Lokus Penelitian
Sumber : Analisis Peneliti
Dengan metode pemilihan sampel berdasarkan orientasi mata angin, Kota Sragen
terpilih mewakili wilayah utara, Kota Karanganyar mewakili wilayah timur, dan Kota
Boyolali mewakili arah barat. Kota Sukoharjo dan Kota Wonogiri terletak di bagian selatan
to user Akan tetapi Kota Sukoharjo terletak
Kota Surakarta dan sama-sama dilaluicommit
jalan kolektor.
lebih dekat dengan Kota Surakarta dan nilai gravitasinya lebih besar dibandingkan Kota
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wonogiri maka Kota Sukoharjo terpilih menjadi sampel penelitian mewakili wilayah selatan.
Dengan demikian maka lokus utama penelitian yang terpilih adalah Kota Surakarta, KP
sekitar Surakarta ( Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak),
Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali. Lokus penelitian secara administrative memiliki luas
38577,38 Ha dengan jumlah penduduk 1.432.655 jiwa pada tahun 2010.
Tabel 3.2 Luas Lokus Penelitian
Luas (Ha) No.
Sub Wilayah
4404,06
7
Kecamatan Colomadu Karanganyar
2672,00
8
Kecamatan Mojolaban Sukoharjo
4302,64
9
Kecamatan Grogol Sukoharjo
4458,00 10 Kecamatan Baki Sukoharjo
4095,00 11 Kecamatan Kartosuro Sukoharjo
2554,81 12 Kecamatan Ngemplak Boyolali
Luas Total
Sumber : BAPPEDA masing-masing kabupaten/kota
No.
1
2
3
4
5
6
3.3
Sub Wilayah
Kota Surakarta
Kota Sragen
Kota Karanganyar
Kota Sukoharjo
Kota Boyolali
Kecamatan Jaten Karanganyar
Luas (Ha)
1564,17
3554,00
3000,00
2197,00
1923,00
3852,70
38577,38
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik mencatat laporan
statistik, mempelajari laporan pembangunan wilayah penelitian, observasi, interpretasi peta,
satelit, dan foto udara.
1) Teknik Mencatat Laporan Statistik
Salah satu sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah catatan statistik
yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik atau institusi pemerintah lainnya .
2) Mempelajari Laporan Pembangunan Wilayah Penelitian
Selain catatan statistik, data-data juga akan dikumpulkan dari laporan pembangunan
wilayah seperti monografi dan dokumen perencanaan pembangunan daerah.
3) Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dengan jalan mengadakan
pengamatan langsung pada objek dan wilayah yang diteliti dan pengenalan wilayah
secara cepat untuk memperoleh informasi. Observasi dilakukan dengan peninjauan
langsung ke lapangan untuk mencocokkan data sekunder yang diperoleh dari instansi
maupun untuk mendapatkan gambaran riil lokasi penelitian. Objek kajian observasi
dalam penelitian ini adalah objek bukan makhluk hidup yang bersifat artificial seperti
kompleks permukiman, jaringan jalan, dll. Instrumen yang digunakan dalam kegiatan
observasi meliputi peta, kamera, daftar isian, alat perekam, dan buku catatan.
4) Interpretasi Peta, Citra Satelit, dan Foto Udara
Peta, citra satelit, dan foto udara merupakan model bagian permukaan bumi yang
commit
to user dalam peta, citra satelit, maupun foto
digambarkan dari atas. Informasi yang
disajikan
udara dapat memperlihatkan ukuran, asosiasi keruangan, lokasi, arah/orientasi, topografi,
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jenis pemanfaatan lahan, tutupan vegetasi, dan tutupan lahan. Di samping itu, peta dapat
digunakan untuk memperoleh data terkait profil bentang lahan. Peta juga dapat digunakan
untuk mengetahui perubahan bentuk dan pola ruang apabila disajikan secara time series.
Oleh karena itu, interpretasi peta memiliki peran yang besar dalam pengumpulan data di
penelitian ini.
Tabel 3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Variabel
Struktur
Ruang
Pola Ruang
Daya
Dukung
Lingkungan
Jenis Data
1.
2.
3.
Demografi
Sebaran pusat-pusat aktivitas
Sarana Pendidikan, Perdagangan,
Kesehatan, dan Wisata
4. Jaringan jalan
5. Moda
transportasi
yang
menghubungkan
pusat-pusat
kegiatan
Jenis dan luas penggunaan lahan
Daya dukung lahan
morfologi dan topografi
kestabilan lereng
geologi dan geologi permukaan
penggunaan lahan
data air tanah dangkal
curah hujan
hidrologi dan klimatologi
Data bencana alam
Daya dukung sumber daya air
Sumber air bersih
Produktifitas air dirinci
berdasarkan sumber-sumbernya.
Sumber : Analisis Peneliti
3.4
1.
2.
-
Sumber
Data
BAPPEDA
, BPS,
DPU Bina
Marga,
Observasi
BAPPEDA
, BPS,
Observasi
BAPPEDA
, DPU,
BPS,
PDAM
Teknik Pengumpulan Data
-
-
Teknik Mencatat Data Statistik
Mempelajari Laporan
Pembangunan Wilayah
Observasi
Interpretasi Peta, Citra Satelit/
Foto Udara
Teknik Mencatat Data Statistik
Interpretasi Peta, Citra Satelit/
Foto Udara
Observasi
Teknik Mencatat Data Statistik
KERANGKA ANALISIS
Tahapan untuk menilai kesesuaian struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung
lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan sebagai
berikut:
1) Mengidentifikasi struktur ruang, pola ruang, daya tampung lahan, dan daya dukung
sumberdaya air kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta.
2) Membandingkannya struktur ruang, pola ruang, daya tampung lahan, dan daya dukung
sumberdaya air dengan tolok ukur penelitian. Hasil perbandingan ini adalah persentase
pencapaian tolok ukur kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjutan yang telah
disebutkan dalam kerangka pikir. Akan tetapi, untuk mengetahui keberlanjutan
commit to user
metropolitannya yang terbentuk maka perlu mengaitkan aspek struktur ruang dan pola
ruang dengan daya dukung lingkungan pada tahap ketiga.
32
Data
Pusat Aktivitas
Penduduk
Analisis
Analisis Hirarki Perkotaan
berdasarkan Jumlah
Penduduk
Tolok Ukur 1
Bentuk Struktur Ruang
Analisis Hirarki Perkotaan
berdasarkan Keberadaan
Sarana
Tolok Ukur 2
Kejelasan Fungsi Masingmasing Pusat
Anaisis Kemampuan
Pelayanan Sarana
Sarana
Perkotaan
Analisis Breaking Point
Nilai Aksesibilitas
Nilai Mobilitas
Nilai Keselamatan
Jaringan Jalan
Moda
Transportasi
Umum
Penggunaan
Lahan
Kondisi Fisik
Lingkungan
(Morfologi, Topografi,
Kestabilan Lereng,,
Geologi, Curah Hujan,
Hidrologi, Klimatologi,
Kebencanaan)
Sumber Air
Penggunaan Air
Analisis Ketercapaian Tolok Ukur
Ketersediaan Moda
Transportasi Penghubung
AntarPusat
Bentuk Ruang dan
Penggunaan Lahan Dominan
1.
2.
3.
Analisis Satuan Kelas
Lahan (SKL)
Analisis Kemapuan Lahan
Analisis Arahan Tutupan
Lahan dan Ketinggian
Bangunan
Analisis Neraca
Kesetimbangan Air
Tolok Ukur 3
Kemampuan Pelayanan
Internal Wilayah
Analisis Kesesuaian sebagai
Metropolitan Berkelanjutan
perAspek
Kesesuaian Struktur
Ruang untuk Mendukung
Terbentuknya
Metropolitan
Berkelanjutan
Tolok Ukur 4
Skala Pelayanan Pusat dan
Pusat
Keberlanjutan
Struktur Ruang
Metropolitan
yang Terbentuk
Tolok Ukur 5
Ketersediaan Jaringan Jalan
dan Moda Transportasi
Penghubung AntarPusat
Tolok Ukur 6
Bentuk Ruang
Berkelanjutan
Tolok Ukur 7
Daya Tampung Penduduk
berdasarkan Ketersediaan
Lahan
Tolok Ukur 8
Daya Tampung Penduduk
berdasarkan Ketersediaan
Air
Gambar 3.2 Kerangka Analisis Penelitian
Sumber : Analisis Peneliti
Keberlanjutan
Metropolitan yang
Terbentuk
Kesesuaian Pola Ruang
untuk Mendukung
Terbentuknya Metropolitan
Berkelanjutan
Kesimpulan dan
Rekomendasi
Keberlanjutan
Struktur Ruang
Metropolitan
yang Terbentuk
Kesesuaian Daya Dukung
Lingkungan untuk
Membentuk Metropolitan
Berkelanjuta
33
perpustakaan.uns.ac.id
3.5
digilib.uns.ac.id
TEKNIK ANALISIS
Dalam menilai kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang
berkelanjutan peneliti melakukan tiga tahap analisis. Analisis pertama dilakukan untuk
menilai ketercapaian masing-masing tolok ukur yang terdiri atas analisis struktur ruang,
analisis pola ruang, dan analisis daya dukung lingkungan. Analisis kedua dilakukan untuk
menilai kesesuaian dari masing-masing tolok ukur yang telah ditentukan. Dan tahap ketiga
adalah menilai kesesuaian struktur ruang dan pola ruang yang dikaitkan dengan daya dukung
lingkungan, untuk mengetahui keberlanjutan metropolitan yang terbentuk.
Hubungan antara variable penelitian dengan teknik analisis dari analisis tahap pertama
yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3.4 Hubungan Variabel dan Teknik Analisis
Variabel
Teknik Analisis
Struktur
Ruang
1.
2.
3.
4.
Analisis Hirarki Perkotaan / Orde Kota
Analisis Kemampuan Pelayanan Fasilitas
Analisis Titik Henti
Analisis Aksesibilitas, Mobilitas, dan
Ketersediaan Moda Transortasi Umum
Pola Ruang
Analisis Pola Ruang
Daya Dukung Analisis Daya Tampung Lahan
Lingkungan
Analisis Daya Dukung Sumber Daya Air
Sumber : Analisis Peneliti
Jenis
Analisis
Kuantitatif
Deskriptif
Kuantitatif
Deskriptif
Kuantitatif
Deskriptif
Tahun yang Dianalisis
Eksisting ( Data tahun 2010)
dan Kecenderungannya
(2003-2010)
Eksisting ( Data tahun 2010)
dan
Kecenderungannya
(2003-2010)
Eksisting ( Data tahun 2010)
3.6.1 Analisis Hirarki Perkotaan
Hirarki perkotaan digunakan untuk mengetahui struktur ruang suatu wilayah ditinjau
dari keberadaan pusat-pusat pelayanan dan untuk memperkirakan luas wilayah pengaruh
suatu kota. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan gabungan faktor jumlah penduduk dan
jumlah sarana perkotaan untuk menetapkan orde perkotaan. Metode ini dipilih dengan
pertimbangan selain dapat memperlihatkan orde suatu kota, juga dapat memperlihatkan
kelebihan dan kekurangannya pada posisi orde yang dimilikinya. Berdasarkan observasi
lapangan kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang sama dalam membuat sebuah kota
dapat menarik pengunjung. Oleh karena itu, kedua faktor tersebut disasumsikan memiliki
bobot yang sama. Hasil penilaian orde perkotaan dengan menggunakan metode gabungan ini
akan mampu menjawab tolok ukur kesesuaian nomor 1, 2, dan 3.
1. Penentuan Hirarki Perkotaan Berdasarkan Jumlah Penduduk
Penentuan hirarki perkotaan berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan
to user
menentukan jumlah kelas ( jumlah ordecommit
perkotaan
) kemudian menentukan interval kelas pada
setiap orde kota. Jumlah kelas dihitung dengan menggunakan Rumus Sturges yaitu
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
N = 1 + 3,33 log n dengan n adalah jumlah pusat kegiatan. Interval kelas ditentukan dengan
mengurangi jumlah penduduk terbanyak dan terendah dibagi jumlah kelas. Dengan
menggunakan rumus sturges di atas dapat ditentukan jumlah hirarki kota di aglomerasi
perkotaan Surakarta sebagai berikut ,
N = Jumlah kelas = 1 + 3,33 log n  n = jumlah pusat kegiatan
= 1 + 3,33 log 12 = 4.59 ( 5 Kelas )
2. Penentuan Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Sarana
Terdapat beberapa faktor yang tidak diragukan lagi menciptakan daya tarik sebuah kota
yaitu keberadaan sarana perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi/ pariwisata
(Tarigan, 2003). Keempat jenis sarana inilah yang digunakan peneliti untuk menentukan
hirarki perkotaan aglomerasi perkotaan Surakarta dengan pertimbangan berdasarkan survey
lapangan keempat jenis sarana tersebut memang sangat mempengaruhi pola pergerakan
commuter yang ada di kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta, dan jumlah sarana lain
seperti peribadatan diasumsikan berbanding secara proporsional dengan jumlah penduduk
kota. Jumlah penduduk juga telah digunakan dalam penilaian hirarki kota sehingga dianggap
telah memakili keberadaan sarana tersebut. Cara yang digunakan dalam penentuan hirarki
kota berdasarkan keberadaan sarana sama seperti penentuan hirarki kota berdasarkan jumlah
penduduk. Jumlah kelas yang digunakan dalam penentuan hirarki kota berdasarkan
keberadaan sarana juga sama dengan jumlah kelas pada hirarki kota berdasarkan jumlah
penduduk.
a. Sarana Perdagangan
Jenis sarana perdagangan yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah pasar
( modern dan tradisional ) serta pertokoan atau toko. Hirarki perkotaan dinilai dengan jumlah
sarana perdagangan tersebut. Dengan cara yang sama seperti penentuan hirarki kota
berdasarkan jumlah penduduk, masing-masing wilayah akan dikelompokkan berdasarkan
interval kelasnya.
b. Sarana Pendidikan
Penilaian hirarki perkotaan berdasarkan fasilitas pendidikan tidak dapat didasarkan atas
jumlah sekolah karena kapasitas atau daya tampung masing-masing sekolah berbeda. Oleh
karena itu, peneliti menggukan jumlah murid sebagai satuan ukur. Agar jumlah murid dari
berbagai jenjang pendidikan dapat dijadikan satu ukuran maka dibuat satuan alat pengukur
sebagai berikut,
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3.5 Satuan Ukur Siswa untuk Masing-masing Jenjang Pendidikan
No.
Jenjang Pendidikan
1
Perguruan Tinggi ( Universitas ) Strata 1
2
SMA dan sederajad
3
SMP dan sederajad
4
SD dan sederajad
Sumber : Robinson Tarigan, 2003
Satuan Ukur untuk satu siswa
5
1
0,5
0,25
Jumlah murid yang dimaksud bukanlah jumlah penduduk di wilayah tersebut yang
berusia sekolah, melainkan jumlah siswa yang bersekolah di wilayah tersebut tanpa
menghiraukan asal murid tersebut. Dengan demikian akan lebih dapat menggambarkan daya
tarik sarana pendidikan di suatu perkotaan. Dengan pertimbangan ketersediaan data maka
penilaian hirarki perkotaan berdasarkan sarana pendidikan, peneliti membatasi jenjang
pendidikan yang digunakan sebagai alat ukur adalah jumlah mahasiswa Universitas S1, SMA
dan sederajad, SMP dan sederajad, dan SD dan sederajad.
c. Sarana Kesehatan
Jenis sarana kesehatan yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah rumah
sakit ( tipe A, B, C, dan D), puskesmas, puskesmas pembantu, dan rumah bersalin. Masingmasing sarana tersebut memiliki kapasitas yang berbeda, sehingga diperlukan satuan ukur
untuk masing-masing jenis sarana. Satuan ukur yang digunakan sebagai berikut,
No.
1
2
3
4
5
6
7
Tabel 3.6 Satuan Ukur Sarana Kesehatan
Jenjang Sarana Kesehatan
Satuan Ukur
Rumah Sakit Tipe A
2,5
Rumah Sakit Tipe B
2
Rumah Sakit Tipe C
1,5
Rumah Sakit Tipe D
1
Puskesmas
0,75
Puskesmas Pembantu
0,5
Rumah Bersalin
0,25
Sumber : Robinson Tarigan, 2003
Satuan ukur tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah sarana yang ada masing-masing
wilayah.
d. Sarana Rekreasi / Pariwisata
Penilaian hirarki kota berdasarkan sarana rekreasi didasarkan pada jumlah sarana di
masing-masing wilayah. Jumlah sarana dikelompokkan berdasarkan interval kelas seperti
penentuan hirarki berdasarkan jumlah penduduk.
Setelah diperoleh hirarki kota berdasarkan masing-masing sarana, data tersebut
kemudian digabung untuk memperoleh hirarki kota rata-rata dengan memberikan nilai pada
masing-masing wilayah. Wilayah yang memiliki hirarki pertama baik berdasarkan jumlah
penduduk maupun keberadaan sarana akan diberi nilai 5, hirarki kedua diberi nilai 4, hirarki
commitnilai
to user
ketiga diberi nilai 3, hirarki keempat diberi
2, hirarki kelima diberi nilai 1. Nilai dari
hirarki berdasarkan jumlah penduduk dan keberadaan sarana kemudian dirata-rata untuk
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menentukan hirarki akhir. Sama dengan prinsip penilain di atas, wilayah dengan nilai rata-rata
5 akan berada di hirarki pertama dan seterusnya.
3.6.2 Analisis Kemampuan Pelayanan Sarana
Selain sebagai suatu wilayah, pusat maupun sub pusat dalam kawasan metropolitan
masing-masing memiliki wilayah internal (dalam kota) yang harus dilayani oleh pusat-pusat
kegiatan yang ada. Analisis pelayanan sarana dihitung dengan membandingkan ketersediaan
sarana dan kebutuhan sarana. Dalam penentuan kebutuhan sarana untuk puskesmas,
puskesmas pembantu, dan sarana perdagangan, peneliti menggunakan Pedoman Penentuan
Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan
Pekerjaan Umum Tahun 2001. Sedangkan untuk kebutuhan sarana pendidikan, peneliti
membandingkan jumlah penduduk usia sekolah (5- 19 tahun) dengan jumlah kursi sekolah
(daya tampung sekolah dari TK sampai SMA) di masing-masing wilayah. Cara ini dipilih
karena akan menghasilkan angka yang lebih rasional dibandingkan dengan menggunakan
jumlah penduduk pendukung. Akan tetapi, dikarenakan jumlah penduduk berdasarkan
kelompok umur tidak dapat digolongkan ke masing-masing usia TK, SD, SMP, dan SMA
maka penilaian kemampuan sarana pendidikan tidak dispesifikan ke dalam masing-masing
jenjang pendidikan.
Tabel 3.7 Jumlah Penduduk Pendukung Sarana Perkotaan
Jenis Sarana
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Pusat Perbelanjaan
Toko
Jumlah Penduduk Pendukung
120.000
30.000
30.000
250
Sumber : SNI 03/1733/2004
3.6.3 Analisis Titik Henti
Batas pengaruh dari suatu pusat pelayanan selain dapat dilihat dari hirarki perkotaannya,
juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus titik henti atau breaking point. Titik henti
akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang batas jarak layanan dari suatu pusat
pelayanan. Rumus yang digunakan untuk menghitung titik henti atau batas pengaruh Kota Y
( kota orde kedua) ke Kota Z ( kota orde pertama) adalah rumus yang digunakan Hartshorn,
dkk (1988) sebagai berikut:
BP =
D ( Jarak antara dua pusat pelayanan )
1 + √ ( Penduduk Z / Penduduk Y )
3.6.4 Analisis Jaringan Jalan dan Ketersediaan Moda Transportasi Masal
Salah sau tolok ukur kesesuaian dari aspek transportasi adalah pusat dan sub pusat yang
commit to user
dihubungkan system transportasi terpadu yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda
transportasi umum. Analisis yang digunakan untuk menilai tolok ukur ini adalah aksesibilitas,
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mobilitas,keselamatan, dan ketersediaan moda transportasi umum. Aksesibilitas, mobilitas,
keselamatan, dan ketersediaan moda transportasi umum digunakan untuk mengetahui
kemudahan penduduk dalam mencapai pusat dan sub pusat kegiatan.
-
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu
pusat kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah yang dilayani jalan.
Dievaluasi dari keterhubungan antar PK oleh jalan dalam wilayah yang dilayani jalan dan
diperhitungkan nilainya terhadap luas wilayah yang dilayani. Nilai aksesibilitas
merupakan rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua PK
terhadap luas wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya, dinyatakan
dengan satuan Km/Km2 (Iskandar Hikmat, 2011)
-
Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per
individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya. Jalan
yang digunakan oleh sejumlah orang, akan dirasakan berbeda atau berkurang
kemudahannya jika digunakan oleh jumlah orang yang lebih banyak. Ukuran mobilitas
adalah panjang jalan dibagi oleh jumlah orang yang dilayaninya. Dalam konteks jaringan
jalan, mobilitas jaringan jalan dievaluasi dari keterhubungan antar PK dalam wilayah
yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya dan banyaknya penduduk yang harus
dilayani oleh jaringan jalan tersebut. Nilai mobilitas adalah rasio antara jumlah total
panjang jalan yang menghubungkan semua pusat kegiatan terhadap jumlah total
penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jaringan jalan sesuai dengan
statusnya, dinyatakan dengan satuan Km/10 000 jiwa (Iskandar Hikmat, 2011).
-
Keselamatan dalam konteks pelayanan adalah keselamatan pengguna jalan melakukan
perjalanan melalui jalan. Suatu ruas jalan akan disebut memenuhi SPM Keselamatan jika
jalan tersebut dibangun sesuai dengan rencana teknisnya sehingga layak untuk
dioperasikan kepada umum. Dalam menentukan SPM Keselamatan jalan ini peneliti
mengacu SNI 03-6967-2003 tentang Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik
jalan perumahan dengan kriteria penilaian berdasarkan persyaratan lebar, kecepatan
minimal, dan kapasitas jalan sesuai dengan jenis fungsi jalan. SPM Keselamatan dihitung
dengan menghitung panjang jalan yang memenuhi standar dengan total panjang jalan
yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan. (Iskandar Hikmat, 2011)
3.6.5 Analisis Pola Ruang
Pola keruangan dapat diartikan kekhasan sebaran keruangan (spatial pattern
commit to user
distribution). Analisis pola ruang digunakan untuk mengidentifikasi pola ruang kawasan
aglomerasi perkotaan Surakarta yang bersifat fisik budayawi/ artificial. Gejala fisik budayawi/
38
perpustakaan.uns.ac.id
artificial
yaitu
gejala
digilib.uns.ac.id
yang
ekspresi
keruangannya
bersifat
fisik
namun
proses
pembentukannya disebabkan oleh kegiatan manusia seperti gedung, jalan, saluran irigasi,
permukiman, dll. Output yang ingin diperoleh dari analisis ini adalah penilaian kesesuaian
pola ruang sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau bentuk ruang dan potensi lahan
untuk dikembangkan. Analisis pola ruang dilakukan dengan melakukan pendataan statistik,
analisis kuantitatif, dan penggambaran pada peta.
3.6.6 Analisis Daya Dukung Lingkungan
Daya dukung lingkungan adalah merupakan fungsi dari sumber daya alam dan
ekosistem yang dapat mendukung populasi manusia dan mahluk hidup lainnya. Analisis daya
dukung lingkungan terdiri dari dua analisis yaitu analisis daya tampung lahan dan analisis
daya dukung air. Secara sederhana, analisis ini akan memberikan gambaran jumlah populasi
maksimal yang mampu ditampung aglomerasi perkotaan Surakarta, apabila dari hasil
perhitungan ternyata jumlah populasi yang mampu didukung ketersediaan dan lahan kurang
dari 1 juta (indikator jumlah penduduk kota metropolitan di Indonesia) maka daya dukung
lingkungan Kota Surakarta dinilai kurang.
a. Analisis Daya Tampung Lahan
Analisis daya tampung lahan digunakan untuk untuk mengetahui perkiraan jumlah
penduduk yang bisa ditampung di wilayah dan/atau kawasan, dengan pengertian masih dalam
batas kemampuan lahan. Langkah dalam menganalisis daya tampung lahan sebagai berikut:
1) Analisis SKL
2) Analisis Kemampuan Lahan
Tujuan analisis kemampuan lahan adalah untuk untuk memperoleh gambaran tingkat
kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan. Teknik analisis yang digunakan
dalam analisis ini adalah gabungan dari pembobotan dan superimpose berdasarkan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No.20 tahun 2007 dengan langkah sebagai berikut:
- Melakukan analisis satuan-satuan kemampuan lahan, untuk memperoleh gambaran tingkat
kemampuan pada masing-masing satuan kemampuan lahan.
- Menentukan nilai kemampuan setiap tingkatan pada masing-masing satuan kemampuan
lahan, dengan penilaian 5 (lima) untuk nilai tertinggi dan 1 (satu) untuk nilai terendah.
- Mengkalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masing-masing satuan kemampuan
lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh pengaruh satuan kemampuan lahan tersebut
pada pengembangan perkotaan. Bobot yang digunakan hingga saat ini adalah seperti
terlihat pada tabel di bawah ini:
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemampuan
Lahan
Bencana
Alam
Drainase
Terhadap
Erosi
Kestabilan
Air
Kestabilan
Pondasi
Kestabilan
Lereng
SKL
Kemudahan
Dikerjakan
Morfologi
Tabel 3.8 Bobot Nilai dalam Penentuan Kemampuan Lahan
5
1
5
3
5
3
25
25
Total
Nilai
10
2
10
6
10
6
20
20
15
3
15
9
15
9
15
15
20
4
20
12
20
12
10
10
25
5
25
15
25
15
5
5
Sumber : Modul Terapan Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya
Bobot
Bobot x
Nilai
dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, DPU, 2008
- Melakukan Superimpose untuk semua satuan-satuan kemampuan lahan tersebut, dengan
cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh satuan-satuan kemampuan
lahan, sehingga diperoleh kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di lokasi
penelitian sebagai berikut,
Tabel 3.9 Total Nilai untuk Menentukan Kelas Kemampuan Lahan
Total Nilai
Kelas Kemampuan Lahan
Klasifikasi Pengembangan
32-58
Kelas A
Kemampuan Pengembangan Sangat Rendah
59-83
Kelas B
Kemampuan Pengembangan Rendah
84-109
Kelas C
Kemampuan Pengembangan Sedang
110-134
Kelas D
Kemampuan Pengembangan Agak Tinggi
135-160
Kelas E
Kemampuan Pengembangan Sangat Tinggi
Sumber : Modul Terapan Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya
dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, DPU, 2008
3) Analisis Arahan Rasio Tutupan Lahan
Tujuan analisis kemampuan lahan adalah untuk mengetahui gambaran perbandingan
daerah yang bisa tertutup oleh bangunan bersifat kedap air dengan luas lahan keseluruhan.
Teknik analisis yang digunakan adalah superimpose dengan data klasifikasi kemampuan
lahan, SKL drainase, SKL kestabilan lereng, SKL terhadap erosi, dan SKL terhadap bencana
alam (Permen PU No.20 Tahun 2007).
4) Analisis Daya Tampung Lahan
Menghitung daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan dengan asumsi
masing-masing arahan rasio tersebut dipenuhi maksimum, dan dengan anggapan luas lahan
yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup (30%
untuk fasilitas dan 20% untuk jaringan jalan serta utilitas lainnya). Kemudian dengan asumsi
1KK yang terdiri dari 5 orang memerlukan lahan seluas 100 M2 (Permen PU No.20 Tahun
2007). Maka dapat diperoleh daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan ini
sebagai berikut:
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk menghitung daya tampung penduduk dengan tipe rumah berkoefisien lantai bangunan
(KLB) lebih dari satu hanya perlu mengalikan daya tampung penduduk di atas dengan jumlah
lantai. Selain dengan menggunakan asumsi luas permukiman sebesar 50%, daya tampung
penduduk juga dihitung berdasarkan ketentuan luas permukiman sebesar 70% dari luas lahan.
b. Analisis Daya Dukung Sumber Daya Air
Tujuan analisis daya dukung sumber daya air adalah untuk mengetahui jumlah
maksimal penduduk yang dapat didukung oleh sumber air eksisting. Daya dukung sumber
daya air dihitung dengan membagi volume air maksimal yang diperlukan dalam kegiatan
rumah tangga dengan kebutuhan per individu. Volume air maksimal yang diperlukan dalam
kegiatan rumah tangga dihitung dengan asumsi prosentase kebutuhan air rumah tangga
mengalami peningkatan seiring dengan kebutuhan air untuk industri dan sarana prasarana
perkotaan. Prosentase kebutuhan air untuk rumah tangga, industri, dan sarana prasarana
perkotaan dihitung dengan membandingkan kebutuhan air eksisting setiap jenis pemanfaatan
terhadap total pemanfaatan air yang digambarkan dalam neraca kesetimbangan air baku.
Kebutuhan air yang digunakan dalam perhitungan neraca air dihitung dengan
menggunakan standar kebutuhan air sesuai dengan SNI 19-6728.1-2002 tentang penyusunan
neraca sumber daya air spasial. Sedangkan standar kebutuhan air untuk fasilitas yang jumlah
pengunjungnya tidak menentu seperti stasiun, terminal, hotel, dan pasar, serta jenis fasilitas
yang tidak terdapat dalam SNI seperti puskesmas, balai pengobatan, rumah bersalin, dan
puskesmas pembantu menggunakan rata-rata konsumsi air setiap fasilitas tersebut. Jumlah
konsumsi air dihitung dengan mengalikan kebutuhan air tiap jenis pemakaian lahan dengan
jumlah fasilitas (untuk sarana) dan luas wilayah (untuk industri dan pertanian).
Tabel 3.10 Standar Kebutuhan Air
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jenis Konsumen
Kebutuhan Penduduk PerHari
Sarana Ibadah
Rumah Sakit
Rumah Bersalin
Sekolah
Hotel
Pasar / Pusat Perbelanjaan
Terminal
Stasiun
Industri Besar
Industri Sedang
Industri Kecil
Pertanian
Kebutuhan Air (M3)
1,2 / orang
5 / sarana
50 / sarana
15/ sarana
2 / sarana
50 / sarana
50 / sarana
100 / sarana
200 / sarana
50 / Ha
25 / Ha
25 / Ha
0,001 / Ha
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Potensi Air
Ait Permukaan
Air Tanah
Mata Air
Kebutuhan Air
- Air untuk Irigasi
- Air untuk Non Irigasi
(Domestik dan Non Domestik)
Neraca Kesetimbangan Air Baku
Gambar 3.3 Neraca kesetimbangan air baku
3.6.7 Penilaian Tingkat Kesesuaian Masing-masing Aspek
Penilaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan dilakukan berdasarkan 8
tolok ukur yang telah ditentukan. Kedelapan tolok ukur tersebut dianggap memiliki bobot
yang sama dikarenakan sejauh penelusuran teori maupun penelitian sebelumnya (studi
pustaka) belum ditemui ketentuan bobot untuk menilai metropolitan yang berkelanjutan.
Masing-masing tolok ukur dinilai persentase pencapaiannya berdasarkan jumlah wilayah yang
memenuhi atau mendukung pencapaian tolok ukur tersebut. Apabila keseluruhan wilayah dari
12 wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta telah memenuhi atau mendukung tolok
ukur maka persentase pencapaian adalah 100, sedangkan apabila tidak ada satu pun wilayah
yang memenuhi tolok ukur maka persentase pencapaian adalah 0. Penilaian persentase
pencapaian didasarkan pada jumlah wilayah yang mendukung dilakukan dengan
pertimbangan bahwa suatu wilayah metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kota
yang berdekatan dan terkait dalam satu system kegiatan (DPU, 2006), sehingga kesesuaian
sebagai metropolitan yang berkelanjutan juga tidak akan lepas dari peran masing-masing
wilayah. Persentase pencapaian tersebut kemudian dinilai tingkat kesesuaiannya berdasarkan
interval yang telah ditentukan di bawah ini.
Dalam penilaian kesesuaian ini peneliti menggunakan 4 tingkat kesesuaian yaitu sesuai,
cukup sesuai, kurang sesuai, dan tidak sesuai. Persentase pencapaian tolok ukur 100 berarti
aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai sesuai sebagai metropolitan yang berkelanjutan,
sebaliknya jika persentase pencapaian 0 maka dinilai tidak sesuai sebagai metropolitan yang
berkelanjutan. Dikarenakan terdapat empat tingkat kesesuaian maka diantara nilai 0 dan 100
tersebut terdapat nilai-nilai yang mewakili tingkat cukup sesuai dan kurang sesuai. Untuk
menentukan interval nilai yang digunakan untuk menilai setiap tingkat kesesuaian, peneliti
menggunakan metode Equal Interval (Prahasta dalam Ariyati,
2007). Perhitungan yang
digunakan untuk menentukan interval sebagai berikut:
commit to user
Berdasarkan rumus dan perhitungan interval di atas diperoleh interval kelas dan nilai
kesesuaian sebagai berikut:
42
perpustakaan.uns.ac.id
76-100
Sesuai
51-75
Cukup Sesuai
26-50
Kurang Sesuai
0-25
Tidak Sesuai
digilib.uns.ac.id
Setelah dilakukan penilaian tingkat kesesuaian masing-masing tolok ukur kemudian
dilakukan penilaian tingkat kesesuaian secara keseluruhan. Penilaian tingkat kesesuaian
secara keseluruhan menggunakan rata-rata persentase pencapaian tolok ukur yang kemudian
dinilai tingkat kesesuaiannya berdasarkan interval di atas.
3.6.8 Penilaian Kesesuaian Akhir
Selain menganalisis kesesuaian masing-masing aspek untuk mendukung terbentuknya
metropolitan berkelanjutan, juga dilakukan analisis untuk mengetahui keberlanjutan
metropolitan yang terbentuk di masa yang akan datang. Untuk mengetahui keberlanjutan
metropolitan dari segi struktur ruang dilakukan analisis deskriptif dengan mengaitkan hasil
analisis struktur ruang dengan daya dukung lingkungan. Hal yang sama juga dilakukan untuk
mengetahui keberlanjutan dari segi pola ruang, yaitu dengan mengaitkan hasil analisis pola
ruang dengan daya dukung lingkungan.
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 4
HASIL PENELITIAN STRUKTUR RUANG, POLA RUANG, DAN DAYA
DUKUNG LINGKUNGAN
Pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga bagian utama yang
pertama memaparkan hasil analisis sektoral struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung
lingkungan, bagian kedua mendeskripsikan persentase ketercapaian masing-masing tolok ukur,
dan yang ketiga mendeskripsikan tingkat kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjutan.
4.1
STRUKTUR RUANG AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA
Struktur ruang adalah adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Data penyusun struktur ruang yang
diperlukan dalam penelitian ini antara lain susunan pusat-pusat pelayanan di aglomerasi
perkotaan surakarta, jaringan jalan, dan jangkauan pelayanan fasilitas masing-masing wilayah.
4.1.1 Pusat-pusat Pelayanan
Pusat-pusat kegiatan dalam suatu wilayah biasanya dikenali dengan adanya pemusatan
satu atau lebih kegiatan. Dimana pusat kegiatan tersebut mewakili aktivitas dominan di suatu
zona. Dalam dokumen perencanaan wilayah, pusat-pusat kegiatan ini dicantumkan dalam
struktur ruang wilayah yang biasanya berupa titik dengan peruntukkan fungsi tertentu. Dalam
aglomerasi perkotaan Surakarta, terdapat 12 pusat pelayanan baik pusat inti maupun subpusat.
Pusat-pusat pelayanan di aglomeras perkotaan Surakarta antara lain Kota Surakarta, kawasan
perkotaan sekitar Surakarta (Kec.Jaten Karanganyar, Kec. Mojolaban Sukoharjo, Kec. Grogol
Sukoharjo, Kec. Baki Sukoharjo, Kec. Kartosuro Sukoharjo, Kec. Colomadu Karanganyar,
dan Kec. Ngemplak Boyolali), dan kota-kota satelit (Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota
Sukoharjo, dan Kota Boyolali).
4.1.2 Hirarki Perkotaan
Hirarki perkotaan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan faktor jumlah
penduduk dan keberadaan sarana.
4.1.2.1 Hirarki Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk
Penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta pada tahun 2010 telah mencapai 1.432.655
commit
jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata
0,96 to%user
per tahun. Jumlah penduduk terbanyak
terdapat di Kota Surakarta yaitu 586.039 jiwa atau 40,91 % dari jumlah penduduk
keseluruhan. Persentase jumlah penduduk terbesar kedua terdapat di kawasan perkotaan
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Grogol yaitu 7,36% dari jumlah penduduk keseluruhan. Sedangkan konsentrasi penduduk
terkecil terdapat di kawasan perkotaan Baki dengan persentase 3,70% dari keseluruhan
jumlah penduduk. Persentase penduduk kawasan perkotaan sekitar Surakarta dibandingkan
keseluruhan wilayah adalah 3,70 – 7,36 %, sedangkan jumlah penduduk di kota-kota satelit
Surakarta rata-rata berkisar antara 5-6 %.
Jumlah penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya, dibuktikan dengan rata-rata laju pertumbuhan yang bernilai positif. Begitu pula
dengan pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan Surakarta. Jumlah penduduk kawasan
perkotaan sekitar Surakarta mengalami kecenderungan naik dengan loncatan pertumbuhan
tertinggi yaitu Kecamatan Colomadu (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Pertumbuhan Penduduk Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta
Sumber : Data Statistik Masing-masing Kecamatan, Badan Pusat Statistik
Tabel 4.1 Kondisi Kependudukan Kawasan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Luas
Wilayah
(Ha)
Jumlah Penduduk
Laju Pertumbuhan
Penduduk
PerTahun
(%)**
1
Kota Surakarta
4404,06
553580
586039
Proporsi
Penduduk
Perkotaan
(%)
40,91
2
Kec. Jaten
2554,81
65236
71109
4,96
1,00
3
Kec. Colomadu
1564,17
50279
61843
4,32
0,03
4
Kec. Mojolaban
3554,00
73049
79427
5,54
0,97
5
Kec. Grogol
3000,00
92767
104055
7,36
1,35
Kec. Baki
2197,00
53055
3,70
0,64
Kec. Kartasuro
1923,00
92145
6,43
0,97
8
Kec. Ngemplak
3852,70
71111
4,96
0,86
9
Kota Sragen
2672,00
Kota Karanganyar
4302,64
73537
77413
0,19
10
72312
69222
5,13
5,40
1,31
11
Kota Sukoharjo
4458,00
78032
85166
5,94
1,02
12
Kota Boyolali
4095,00
5,43
0,01
0,96
No.
6
7
Sub Wilayah
Tahun
2001
50153
84781
65975
Tahun
2010
*
77755
100
38577,38
Total
1.432.655
commit to user
Keterangan : * Data tidak tersedia karena data yang dimiliki tahun 2004, **Diperoleh dari perhitungan
jumlah penduduk dari tahun 2001-2010.
Sumber : Daerah dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten dan Kota
0,65
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Akan tetapi, terdapat keunikan pada pola pertumbuhan penduduk Kota Surakarta.
Jumlah penduduk Kota Surakarta tidak mengalami kecenderungan bertambah maupun
berkurang. Akan tetapi, pertumbuhan jumlah penduduk cenderung fluktuatif. Pada tahun
1993-2001 jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami pertumbuhan positif dengan jumlah
penduduk paling tinggi pada tahun 2001. Jumlah penduduk pada tahun 2001 ini merupakan
jumlah tertinggi dalam 17 tahun terakhir (1993-2011). Akan tetapi, setelah tahun 2005,
jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami pasang surut dengan kenaikan maupun
penurunan yang lebih kecil pada tahun berikutnya. Dapat dilihat misalnya pada tahun 2005
jumlah penduduk mengalami kenaikan, pada tahun 2007 mengalami penurunan, tahun 2009
peningkatan tetapi tidak lebih dari jumlah penduduk pada tahun 2005 meskipun sama-sama
meningkat, kemudian pada tahun 2011 jumlah penduduk kembali menurun dengan jumlah
lebih rendah dibandingkan tahun 2007.
Gambar 4.2 Dinamika Jumlah Penduduk Kota Surakarta
Sumber : Surakarta Dalam Angka 1994, 2001, 2003, 2005, 2007, 2010, 2011, BPS Kota Surakarta
Dengan membandingkan pertumbuhan penduduk Kota Surakarta dan perubahan lahan
terbangun Kota Surakarta diindikasikan terdapat arus suburbanisasi karena perubahan lahan
terbangun Kota Surakarta lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan penduduk. Sedangkan
di kawasan perkotaan Surakarta terdapat perubahan lahan yang relatif besar yang didominasi
oleh penggunaan lahan untuk hunian.
Jumlah penduduk di aglomerasi perkotaan Surakarta tersebut kemudian digunakan
untuk mengetahui hirarki kota. Penilaian hirarki kota berdasarkan jumlah penduduk dihitung
dengan menentukan jumlah kelas dan interval kelas. Berdasarkan perhitungan jumlah hirarki
kota menggunakan rumus Sturges diperoleh lima hirarki kota, dengan rincian sebagai berikut,
N = Jumlah kelas = 1 + 3,33 log n  n = jumlah pusat kegiatan
= 1 + 3,33 log 12 = 4.59 ( 5 Kelas )
commit
to userkelas, tetapi jumlah penduduk Kota
Langkah berikutnya adalah menentukan
interval
Surakarta tidak digunakan dalam perhitungan interval dengan pertimbangan:
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Dengan melihat jumlah penduduk Kota Surakarta, sudah tentu Kota Surakarta masuk ke
dalam hirarki pertama.
2. Dengan memasukkan jumlah penduduk Kota Surakarta ke dalam perhitungan interval
akan terjadi penyimpangan dalam penilaian hirarki kota. Apabila jumlah penduduk Kota
Surakarta dimasukkan dalam penentuan interval kelas, maka wilayah hirarki I memiliki
interval 452895 – 553580,4, hirarki II ; 352209,5 – 452894,9 , hirarki III : 251524352209,4 , hirarki IV: 150838,5-251523,9 dan hirarki V: 50153-150838,4. Apabila
jumlah penduduk diklasifikasikan ke dalam interval tersebut maka hanya akan diperoleh
dua hirarki kota yaitu hirarki pertama (Kota Surakarta) dan hirarki kelima (selain Kota
Surakarta), yang berarti tidak terdapat wilayah dengan hirarki kedua, ketiga, dan keempat.
Interval kelas kemudian dihitung dengan mengurangkan jumlah penduduk tertinggi kedua
setelah Kota Surakarta yaitu 104055 dengan jumlah penduduk terendah yaitu 53055 dibagi
dengan empat ( jumlah kelas dikurangi satu) sehingga diperoleh interval kelas 12750. Masingmasing wilayah kemudian dikelompokkan berdasarkan interval kelas sehingga diperoleh
hirarki kota sebagai berikut,
Tabel 4.2 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Jumlah Penduduk
Hirarki
I
II
III
IV
Interval Kelas
586039
91308 – 104058
78557 – 91307
65806 – 78556
V
53055 - 65805
Sumber : Analisis Peneliti, 2012
Wilayah
Kota Surakarta
Kec. Grogol, Kec. Kartasura
Kec. Mojolaban, Kota Sukoharjo
Kec. Jaten, Kec. Ngemplak, Kota Sragen, Kota Karanganyar,
Kota Boyolali
Kec. Colomadu, Kec. Baki
Berdasarkan penentuan hirarki kota dengan variabel jumlah penduduk dapat diketahui
bahwa Kota Surakarta menempati hirarki pertama, Kec. Grogol dan Kec. Kartasura
menempati hirarki kedua, Kec. Mojolaban dan Kota Sukoharjo menempati hirarki ketiga, Kec.
Jaten, Kec. Ngemplak, Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali menempati hirarki
keempat, sedangkan Kec. Colomadu dan Kec. Baki menempati hirarki kelima.
4.1.2.2 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Sarana Perkotaan
Jenis sarana yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah pasar dan
pertokoan ( sarana perdagangan), sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sarana rekreasi.
1. Sarana Perdagangan
Jenis sarana perdagangan yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah pasar
( modern dan tradisional ) serta pertokoan atau toko.
commit to user
a. Hirarki Perkotaan berdasarkan Keberadaan
Pusat Perdagangan
Hirarki perkotaan berdasarkan keberadan pusat perdagangan dinilai berdasarkan jumlah
pusat perdagangan baik tradisional (pasar) maupun modern. Dengan mengasumsikan jumlah
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengunjung pusat perdagangan tradisional sama banyak dengan pasar modern, maka
diperoleh hirarki perkotaan sebagai berikut:
Hirarki I
: Kota Surakarta
Hirarki II
: Kota Boyolali
Hirarki III : Kota Sragen, Kota Karanganyar
Hirarki IV : Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Kartasura, Kec. Ngemplak, Kota Sukoharjo
Hirarki V : Kec. Baki, Kec. Grogol, Kec. Colomadu
Gambar 4.3 Jumlah Pusat Perdagangan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Data Statistik Daerah Tahun 2010, BPS
b. Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Pertokoan atau Toko
Daya tarik maupun hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan pertokoan atau toko
didasarkan pada jumlah toko yang dimiliki masing-masing wilayah. Dengan mengurutkan
jumlah toko yang dimiliki masing-masing wilayah, diperoleh hirarki perkotaan sebagai
berikut:
Hirarki I
: Kota Surakarta dan Kota Sragen
Hirarki II
: Kec. Kartasura dan Kec. Grogol
Hirarki III : Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Ngemplak
Hirarki IV : Kec. Baki dan Kec. Mojolaban
Hirarki V : Kec. Jaten, Kec. Colomadu, dan Kota Karanganyar
commit to user
Gambar 4.4 Jumlah Pertokoan dan Toko Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Data Statistik Daerah Tahun 2010, BPS
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Sarana Pendidikan
Penentuan hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan sarana pendidikan dilakukan
dengan mangalikan jumlah siswa dengan satuan ukur yang telah disebutkan dalam bab
metode penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa Kota Surakarta merupakan
kota dengan total satuan ukur tertinggi yaitu 623074,8 diikuti oleh Kec. Kartasura dengan
total satuan ukur 147.077,8 . Kota Surakarta merupakan wilayah dengan nilai satuan ukur
tertinggi untuk SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Sedangkan Kecamatan Kartasura
sendiri bukan merupakan wilayah dengan nilai satuan ukur kedua tertinggi untuk SD, SMP,
dan SMA, tetapi Kec. Kartasura memiliki keunggulan dari nilai satuan ukur Perguruan Tinggi.
Hal inilah yang menempatkan Kartasura di tempat kedua. Wilayah dengan total satuan ukur
terendah adalah Kecamatan Baki dengan nilai 1929,25.
Gambar 4.5 Total Satuan Ukur Sarana Pendidikan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
Dengan cara yang sama seperti penentuan hirarki berdasarkan jumlah penduduk, total
nilai satuan ukur sarana pendidikan dibagi ke dalam lima interval, sebagai berikut,
Tabel 4.3 Interval Kelas untuk Hirarki Perkotaan berdasarkan Sarana Pendidikan
Hirarki Kota
Interval Total Satuan Ukur
I
623074,80
II
147077,77
III
23785,27 – 34713,27
IV
12857,26 – 23785,26
V
1929,25 – 12857,25
Sumber : Analisis Peneliti, 2012
Pada penentuan interval tersebut, Kota Surakarta dan Kec. Kartasura tidak diikutkan dengan
pertimbangan :
-
Dengan melihat total nilai kedua wilayah tersebut sudah tentu kedua wilayah tersebut
-
menempati hirarki pertama dan kedua.
commit to user
Apabila kedua wilayah tersebut dimasukkan dalam penentuan interval hanya akan
menghasilkan dua orde perkotaan saja, dan apabila Kota Surakarta tidak dimasukkan ke
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam perhitungan sedangkan Kec. Kartasura dimasukkan dalam perhitungan
maka
hanya akan menghasilkan wilayah dengan orde I,II, dan V.
Penilaian hirarki perkotaan berdasarkan sarana pendidikan menghasilkan lima jenjang
perkotaan dengan Kota Surakarta sebagai wilayah hirarki pertama, Kecamatan Kartasura
sebagai wilayah hirarki kedua, Kecamatan Jaten sebagai wilayah hirarki ketiga, Kota
Karanganyar, Kota Sragen, Kota Boyolali, dan Kota Sukoharjo sebagai wilayah hirarki
keempat, Kec. Mojolaban, Kec. Colomadu, Kec. Ngemplak, dan Kec. Baki sebagai wilayah
hirarki kelima.
Tabel 4.4 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Pendidikan
No.
Nilai Satuan Ukur
Wilayah
SD
SMP
SMA
Total
PT
Hirarki
Kota
1
Kota Surakarta
16588,75
16264,00
36122
554100
623.074,80
I
2
Kec. Kartasura
2448,75
2354,00
7275
135000
147.077,80
II
3
Kec. Jaten
1783,75
799,50
290
31840
34.713,25
III
4
Kota Karanganyar
2228,50
2384,50
11475
3000
19.088,00
IV
5
Kota Sragen
2171,25
3203,50
12787
690
18.851,75
IV
6
Kota Boyolali
2701,25
2544,50
9765
950
15.960,75
IV
7
Kota Sukoharjo
2578,50
2831,00
8807
0
14.216,50
IV
8
Kec. Grogol
2193,00
1640,00
1874
5500
11.207,00
V
9
Kec. Mojalaban
1800,25
1657,00
947
0
4404,25
V
10
Kec. Colomadu
665,00
1284,50
2348
0
4297,50
V
11
Kec. Ngemplak
1274,75
1089,50
542
0
2906,25
V
12
Kec. Baki
1454,25
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
475,00
0
0
1929,25
V
3. Sarana Kesehatan
Sama seperti penilaian hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan sarana pendidikan,
penilaian hirarki berdasarkan sarana keehatan dilakukan dengan mengalikan satuan ukur
sarana dengan jumlah sarana per jenisnya. Nilai total dari satuan ukur masing-masing sarana
kesehatan di masing-masing wilayah dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
Tabel 4.5 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Kesehatan
Rumah Sakit
Tipe A
Rumah Sakit
Tipe B
Rumah Sakit
Tipe C
Rumah Sakit
Tipe D
Puskesmas
Puskesmas
Pembantu
Rumah
Bersalin
Jenis Sarana
1
Kota Surakarta
2,50
2,00
18,00
1,00
11,25
13,00
11,00
58,75
I
2
Kota Boyolali
0,00
0,00
1,50
4,00
3,00
1,00
0,50
10,00
II
3
Kec. Kartasura
0,00
2,00
1,50
0,00
1,50
2,00
1,00
8,00
III
4
Kota Sragen
0,00
0,00
1,00
3,00
0,00
1,25
6,75
III
Kec. Jaten
0,00
0,00
commit to user
1,50
5
0,00
1,00
1,50
2,50
1,00
6,00
IV
6
Kec. Mojolaban
0,00
0,00
0,00
0,00
1,50
1,50
2,75
5,75
IV
7
Kota Karanganyar
0,00
0,00
1,50
0,00
0,75
1,00
1,50
4,75
IV
No.
Wilayah
Total
Hirarki
Kota
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Kec. Colomadu
0,00
0,00
0,00
1,00
1,50
1,50
0,25
4,25
V
9
Kota Sukoharjo
0,00
0,00
1,50
0,00
0,75
1,50
0,50
4,25
V
10
Kec. Grogol
0,00
0,00
0,00
1,00
0,75
1,50
0,50
3,75
V
11
Kec. Ngemplak
0,00
0,00
0,00
1,00
1,50
1,00
0,25
3,75
V
12
Kec. Baki
0,00
0,00
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
0,00
0,00
0,75
1,50
0,50
2,75
V
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa Kota Surakarta memiliki keunggulan
pelayanan sarana kesehatan didukung dengan keberadaan rumah sakit tipe A (Dr. Moewardi),
rumah sakit tipe B (Dr.Oen), dan beberapa rumah sakit tipe C dan D. Kota Surakarta juga
memiliki jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan rumah bersalin terbanyak.Kota
Boyolali memiliki kelebihan pada ketersediaan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D, dan
puskesmas. Keberadaan rumah sakit tipe C di Kota Boyolali menjadikan Boyolali sebagai
daerah rujukan dari puskesmas di wilayah sekitarnya. Sedangkan Kec. Kartasura memiliki
keunggulan karena keberadaan rumah sakit tipe B dan Tipe C. Sedangkan wilayah dengan
hirarki terendah ditinjau dari keberadaan sarana kesehatan di aglomerasi perkotaan Surakarta
adalah Kec. Baki.
Gambar 4.6 Total Satuan Ukur Sarana Kesehatan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
Berdasarkan total nilai satuan ukur tersebut diperoleh hirarki perkotaan aglomerasi perkotaan
Surakarta sebagai berikut,
Hirarki I
: Kota Surakarta
Hirarki II
: Kota Boyolali
Hirarki III : Kec. Kartasura, Kota Sragen
Hirarki IV : Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kota Karanganyar
Hirarki V : Kec. Colomadu, Kec. Sukoharjo, Kec. Grogol, Kec. Ngemplak, Kec. Baki
4. Sarana Rekreasi (Pariwisata)
commit to user
Hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan
sarana rekreasi dinilai berdasarkan jumlah
sarana yang ada. Berdasarkan ketentuan tersebut, diperoleh hirarki perkotaan aglomerasi
perkotaan sebagai berikut:
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hirarki I
: Kota Surakarta
Hirarki II
: Kota Karanganyar,
Hirarki III : Kec. Grogol, Kec. Kartasura, Kota Sragen, Kec. Mojolaban
Hirarki IV : Kota Boyolali, Kec. Ngemplak, Kec. Jaten
Hirarki V : Kec. Colomadu, Kec. Baki, Kota Sukoharjo
Gambar 4.7 Jumlah Sarana Rekreasi Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Data Statistik Daerah Tahun 2010, BPS
Hasil penilaian hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan masing-masing sarana terebut
kemudian digabung untuk memperoleh hirarki rata-rata untuk setiap wilayah. Sehingga
diperoleh hirarki perkotaan kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai berikut:
Hirarki I
: Kota Surakarta
Hirarki II
: Kec. Kartasura, Kota Sragen
Hirarki III
: Kota Karanganyar, Kota Boyolali
Hirarki IV
: Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Ngemplak, Kota Sukoharjo
Hirarki V
: Kec. Colomadu dan Kec. Baki
4.1.2.3 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta berdasarkan Jumlah
Penduduk dan Keberadaan Sarana
Hirarki perkotaan akhir kemudian ditentukan berdasarkan hasil analisis hirarki
perkotaan dan keberadaan sarana dengan menghitung nilai masing-masing kota. Wilayah
yang berada pada hirarki pertama diberi nilai 5, hirarki kedua diberi nilai 4, hirarki ketiga
diberi nilai 3, hirarki keempat diberi nilai 2, dan hirarki kelima diberi nilai 1. Jumlah nilai dari
hirarki berdasarkan jumlah penduduk dan keberadaan sarana kemudian dirata-rata untuk
menentukan hirarki akhir wilayah tersebut.
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TabeL 4.6 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
No.
Wilayah
Penduduk
Sarana
Nilai Rata-rata
1
Kota Surakarta
5
5
5
I
2
Kec. Kartasura
4
4
4
II
3
Kota Sragen
2
4
3
III
4
Kota Karanganyar
2
3
2,5
III
5
Kota Sukoharjo
3
2
2,5
III
6
Kota Boyolali
2
3
2,5
III
7
Kec. Mojolaban
3
2
2,5
III
8
Kec. Grogol
4
2
3
III
9
Kec. Jaten
2
2
2
IV
10
Kec. Ngemplak
2
2
2
IV
11
Kec. Colomadu
1
1
1
V
1
1
1
V
12
Kec.Baki
Sumber : Hasil analisis, 2012
Hirarki Kota
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa aglomerasi perkotaan Surakarta terdiri atas lima
hirarki dengan Kota Surakarta sebagai wilayah hirarki 1, Kec. Kartasura sebagai wilayah
hirarki kedua, Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukohajo, Kota Boyolali, Kec.
Mojolaban dan Kec. Grogol sebagai hirarki ketiga, Kec. Jaten dan Kec. Ngemplak sebagai
hirarki keempat, Kec. Colomadu dan Kec. Baki sebagai wilayah hirarki kelima atau terendah.
Kawasan perkotaan di sekitar Surakarta seperti Kec. Kartasura, Kec. Mojolaban, dan Kec.
Grogol telah berkembang yang secara hirarkis setara dengan kota-kota satelit Surakarta. Hal
ini dapat memberikan nilai positif bagi kawasan main urban area (kota inti dan kawasan
perkotaan sekitarnya) karena dapat menampung maupun menyokong kebutuhan penduduk di
kota inti sehingga dapat mengurangi beban kota inti. Secara spasial, hirarki perkotaan
aglomerasi perkotaan Surakarta dapat digambarkan sebagai berikut,
Kec. Ngemplak
Kec. Colomadu
Kota Sragen
III
IV
V
Kota Boyolali
III
Kec. Jaten
I
II
Kota
Karanganyar
Kec. Kartasura
V
III
Kec. Grogol
Kec. Baki
III
III
III
IV
Kec.
Mojolaban
Kota Sukoharjo
commit to user
Gambar 4.8 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Sumber : Hasil pengolahan data, 2012
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.3 Kemampuan Pelayanan Sarana Perkotaan
Pusat-pusat kegiatan dalam suatu perkotaan dapat diwakilkan oleh keberadaan sarana
perkotaan, karena pada hakekatnya pusat kegiatan dalam kota mencerminkan fungsi dari
masing-masing sarana tersebut. Untuk mengetahui kesesuaian berdasarkan tolok ukur
keempat yaitu “adanya pusat dan sub pusat di dalam masing-masing kota inti maupun satelit
yang berfungsi melayani kota keseluruhan dan bagian wilayah kota”, peneliti melakukan
perbandingan jumlah sarana eksisting dengan kebutuhan sarana masyarakat. Dalam penentuan
kebutuhan sarana untuk puskesmas, puskesmas pembantu, dan sarana perdaganagan, peneliti
menggunakan Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang,
Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum Tahun 2001. Sedangkan untuk kebutuhan
sarana pendidikan, peneliti membandingkan jumlah penduduk usia sekolah (5- 19 tahun)
dengan jumlah kursi sekolah (daya tampung TK, SD, SMP, dan SMA) di masing-masing
wilayah. Cara ini dipilih karena akan menghasilkan angka yang lebih rasional dibandingkan
dengan menggunakan jumlah penduduk pendukung. Akan tetapi, dikarenakan jumlah
penduduk berdasarkan kelompok umur tidak dapat digolongkan ke masing-masing usia TK,
SD, SMP, dan SMA maka penilaian kemampuan sarana pendidikan tidak dispesifikan ke
dalam masing-masing jenjang pendidikan.
Berikut ini adalah persentase kemampuan pelayanan sarana eksisting terhadap jumlah
penduduk (jumlah seharusnya) pada masing-masing wilayah di aglomerasi perkotaan
Surakarta.
Tabel 4.7 Persentase Kemampuan Pelayanan Sarana Eksisting Terhadap Jumlah Penduduk
Persentase Kemampuan Pelayanan Sarana
No.
Wilayah
Puskesmas
Puskesmas
Pembantu
Pertokoan dan
Toko
130,00
Pusat
Perbelanjaan
497,00
300,00
Sarana
Pendidikan
106,00
117,31
250,00
295,00
150,00
50,00
35,00
56,33
194,00
100,00
227,00
123,00
79,31
100,00
115,00
293,00
70,79
150,00
226,00
213,00
70,28
133,33
195,00
332,00
130,62
302,00
54,66
1
Kota Surakarta
2
Kec. Jaten
3
Kec. Colomadu
4
Kec. Mojolaban
5
Kec. Grogol
6
Kec. Baki
7
Kec. Kartasura
8
Kec. Ngemplak
200,00
100,00
253,00
9
Kota Sragen
200,00
0,00
449,00
1296,00
139,88
10
Kota Karanganyar
100,00
66,67
349,00
43,00
132,42
11
Kota Sukoharjo
100,00
100,00
211,00
284,00
147,41
Kota Boyolali
400,00
Sumber : Hasil Pengolahan, 2012
66,67
579,00
281,00
202,77
12
200,00
200,00
200,00
100,00
200,00
200,00
55,39
commit to user
Berdasarkan perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa,
54
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Dengan jumlah penduduk pendukung sebanyak 30.000 jiwa per sarana, sarana pusat
perbelanjaan di masing-masing wilayah telah mampu melayani penduduk yang tinggal di
wilayah tersebut bahkan kemampuan pelayanannya > 100% yang berarti jangkauan
pelayanan sarana di masing-masing wilayah juga mampu melayani kebutuhan penduduk
di wilayah sekitarnya.
-
Dengan jumlah penduduk pendukung sebanyak 250 per sarana, sarana perdagangan
berupa toko di beberapa wilayah seperti Kota Surakarta, Kec. Mojoban, Kec. Grogol, Kec.
Baki, Kec. Kartasura, Kec. Ngemplak, Kota Sragen, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali
telah mampu melayani seluruh penduduk di wilayah tersebut. Sedangkan sarana
perdagangan berupa toko di Kec. Jaten, Kec. Colomadu, dan Kota Karanganyar belum
dapat melayani seluruh penduduk di wilayah tersebut.
-
Sarana puskesmas dan puskesmas pembantu di masing-masing wilayah sudah mampu
melayani seluruh penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Akan tetapi, puskesmas
pembantu di Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali belum bisa melayani
keseluruhan penduduk di wilayahnya. Puskesmas pembantu di Kota Karanganyar dan
Kota Boyolali hanya mampu melayani 66,67 % penduduk, sedangkan Kota Sragen sama
sekali tidak memiliki puskesmas pembantu. Akan tetapi, keberadaan puskesmas di ketiga
wilayah tersebut telah mampu melayani keseluruhan penduduk kota.
Dengan membandingkan jumlah penduduk usia sekolah dan jumlah bangku sekolah diketahui
bahwa beberapa wilayah sudah mampu mencukupi kebutuhan sekolahnya sendiri seperti Kota
Surakarta, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kota Sragen, dan Kec.
Kartasura. Sedangkan wilayah yang masih belum mampu mencukupi kebutuhan sarana
pendidikannya adalah Kec. Jaten, Kec. Colomadu, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec.Baki,
dan Kec. Ngemplak. Wilayah tersebut masih bergantung pada sarana pendidikan di wilayah
lain.
4.1.4 Titik Henti Pusat Pelayanan ( Breaking Point )
Batas pengaruh dari suatu pusat pelayanan selain dapat dilihat dari hirarki perkotaannya,
juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus titik henti atau breaking point untuk wilayah
yang berdekatan. Titik henti akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang batas jarak
layanan dari suatu pusat pelayanan. Rumus yang digunakan untuk menghitung titik henti atau
batas pengaruh Kota Y ( kota orde yang lebih kecil) ke Kota Z ( kota dengan orde yang lebih
tinggi) adalah rumus yang digunakan Hartshorn, dkk (1988) sebagai berikut:
commit to user
D ( Jarak antara dua pusat pelayanan )
BP =
1 + √ ( Penduduk Z / Penduduk Y )
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah jumlah penduduk dan jarak antarpusat
pelayanan yang dihitung berdasarkan panjang jalan penghubung. Berikut merupakan hasil
penghitungan titik henti Kota Surakarta dengan kawasan perkotaan sekitar Surakarta.
8
3,62
7
10,40
2,88
6
8,87
2,9
1
7,32
5,30
4,22
1,59
5
5,84
2,03
2
7,98
1,78
4
2,94
3
Gambar 4.9 Breaking Point Kota Surakarta terhadap Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta
Sumber : Hasil Pengolahan dengan Rumus Breaking Point
Pengaruh Kota Surakarta adalah sejauh 10,40 Km dari pusat Kota ke wilayah Kec.
Ngemplak, 8,87 Km ke wilayah Kec. Colomadu, 7,32 Km ke wilayah Kec. Kartasura, 5,30
Km ke wilayah Baki, 4,22 Km ke wilayah Grogol, 7,98 Km ke arah Kec. Mojolaban, dan 5,84
Km ke arah Kec. Jaten. Sedangkan pengaruh Kec. Jaten adalah 2,03 Km dari pusat wilayah,
Kec. Mojolaban memiliki pengaruh sejauh 2,94 dari pusat wilayah, Kec. Grogol memiliki
pengaruh sejauh 1,78 dari pusat wilayah, Kec. Baki memiliki pengaruh sejauh 1,59 Km dari
pusat wilayah, Kec. Kartasura memiliki pengaruh sejauh 2,9 Km dari pusat wilayah, Kec.
Colomadu memiliki pengaruh sejauh 2,88 Km dari pusat wilayah, dan Kec. Ngemplak
memiliki pengaruh sejauh 3,62 Km dari pusat wilayah.
4.1.5 Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Penghubung
Salah satu tolok ukur kesesuaian yang berkaitan dengan jaringan transportasi adalah
“pusat dan sub pusat dihubungkan sistem transportasi yaitu ketersediaan jaringan jalan dan
moda transportasi umum”. Suatu wilayah metropolitan yang berkelanjutan dicirikan dengan
kemudahan penduduk
untuk melakukan mobilitas dan kemudahan commuter dalam
mencapai pusat-pusat kegiatan. Oleh karena itu, tolok ukur ini berkaitan dengan aksesibilitas,
mobilitas, dan ketersediaan moda transportasi masal yang menghubungkan antarpusat
kegiatan.
4.1.5.1
Keberadaan Jaringan Jalan
Pusat-pusat wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta dihubungkan oleh jaringan jalan
commit to user
arteri maupun kolektor. Wilayah yang dilalui oleh jaringan jalan arteri antara lain Kota
Sragen, Kota Surakarta, Kec. Kartasura, dan Kota Boyolali. Wilayah yang dilalui jaringan
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jalan kolektor adalah Kota Karanganyar, Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec.
Ngempak, dan Kota Sukoharjo. Sedangkan Kec. Baki tidak dilalui jaringan jalan arteri
maupun kolektor. Panjang jarak dan jenis jaringan jalan yang menghubungkan masingmasing wilayah dengan Kota Surakarta sebagai berikut,
Tabel 4.8 Panjang Jalan Penghubung Masing-masing Pusat Kota dengan Kota Surakarta
Sub Wilayah
Panjang Jalan Penghubung
( Km )
Jarak ke
Kota
Surakarta
(Km)
Arteri
Kolektor
-
-
-
Kec. Jaten
1,48
6,39
Kec. Mojolaban
1,48
Kec. Grogol
Kec. Baki
Waktu
Tempuh
( menit )
Arteri
Kolektor
-
-
-
-
--
-
7,87
9
7
-
15 menit
5,37
4,07
10,92
9
7
5
20 menit
-
4,45
-
4,45
-
12
-
30 menit
-
2,92
3,97
6,89
-
12
5
30 menit
Kec. Kartosura
5,7
4,52
-
10,22
9
12
-
20 menit
Kec. Colomadu
3,98
4,52
3,25
11,75
9
12
5
25 menit
Kec. Ngemplak
4,75
4,52
4,75
14,02
9
12
6
30 menit
25,55
3,94
-
29,49
9
8
-
45 menit
1,48
13,98
-
15,46
9
8
-
20 menit
-
12,97
-
12,97
-
8
-
45 menit
Kota Surakarta
Kota Sragen
Kota Karanganyar
Kota Sukoharjo
Lokal
Rata-rata Lebar Jalan
Penghubung (m)
Lokal
Kota Boyolali
23,39
4,52
27,91
12
7
45 menit
Sumber : Panjang jalan : Perhitungan melalui software ArcGis 9.3 dengan peta dasar rupabumi Indonesia skala
1:250000 , Bakosurtanal; Lebar dan Waktu Tempuh : Survey Lapangan
Berdasarkan survey lapangan dengan menggunakan sepeda motor, meskipun masingmasing wilayah memiliki jarak yang berbeda, tetapi beberapa wilayah memiliki jarak tempuh
yang sama. Kota Sragen, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali memiliki waktu tempuh yang
sama yaitu 45 menit untuk mencapai pusat Kota Surakarta. Kota Sukoharjo merupakan
wilayah terdekat hanya berjarak 12,97 Km, jarak ini merupakan setengah jarak Kota Sragen
dan Boyolali ke Kota Surakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa akses ke Kota Sukoharjo
relatif lebih sulit. Sedangkan waktu tempuh Kota Sukoharjo ke wilayah perkotaan di sekitar
Surakarta adalah 15-30 menit. Wilayah yang dilewati jalan arteri seperti Kec. Jaten dan
Kartasura memiliki waktu tempuh yang lebih kecil dibandingkan wilayah yang dilewati jalan
kolektor seperti Kec. Grogol dan Kec. Baki.
Ditinjau dari kapasitas jaringan jalan, kapasitas jaringan jalan saat ini masih dapat
menampung laju harian rata-rata kendaraan walaupun terdapat beberapa ruas jalan yang
sering terjadi kemacetan lalu lintas pada jam-jam sibuk, Perbandingan rata-rata antara
kapasitas jaringan jalan penghubung utama dengan laju harian rata-rata adalah 0,42. Hal ini
berarti bahwa jaringan jalan yang ada masih dapat menampung mobilitas dua kali lipat
dibandingkan jumlah pergerakan saat ini, tetapi sangat beresiko terjadi kemacetan yang
commit to user
mengakibatkan terhentinya pergerakan di jaringan jalan tersebut. Oleh karena itu, ke
depannya diperlukan peningkatan kapasitas jaringan jalan agar tidak terjadi kemacetan.
57
perpustakaan.uns.ac.id
4.1.5.2
digilib.uns.ac.id
Nilai Aksesibilitas, Mobilitas, dan Keselamatan Jaringan Jalan Penghubung
Aksesebilitas adalah ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu
pusat kegiatan atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah yang dilayani jalan. Nilai
aksesibilitas merupakan rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua
Pusat Kegiatan terhadap luas wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan, dinyatakan dengan
satuan Km/Km2. Sedangkan Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur
kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per individu masyarakat melakukan
perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya. Nilai mobilitas dihitung dengan membagi
jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua pusat kegiatan terhadap jumlah total
penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jalan sesuai dengan statusnya,
dinyatakan dengan satuan Km/(10000 jiwa). Nilai aksesibilitas dan mobilitas jaringan jalan
penghubung aglomerasi perkotaan Surakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini,
Kec. Colomadu
Aksesibilitas = 0,197 Km/Km2
Mobilitas = 0,18/ 10000 jiwa
Kota Boyolali
7
Aksesibilitas = 0,18 Km/Km2
Mobilitas = 1,02/ 10000 jiwa
Kec. Ngemplak
Aksesibilitas = 0,17 Km/Km2
Mobilitas = 0,21/ 10000 jiwa
1
6
2
Kec. Kartasura
Aksesibilitas = 0,14 Km/Km2
Mobilitas = 0,031 / 10000 jiwa 5
Kec. Baki
Aksesibilitas = 0,10 Km/Km2
Mobilitas = 0,108 / 10000 jiwa
9
8
Kota Sragen
Aksesibilitas = 0,18 Km/Km2
Mobilitas = 0,35 / 10000 jiwa
Kec. Jaten
Aksesibilitas = 0,11 Km/Km2
Mobilitas = 0,12 / 10000 jiwa
1
4
2
1
0
Kota Karanganyar
Aksesibilitas = 0,11 Km/Km2
Mobilitas = 0,22 / 10000 jiwa
3
Kec. Mojolaban
Kec. Grogol
Aksesibilitas = 0,1 Km/Km2
2
Aksesibilitas = 0,06 Km/Km
Mobilitas = 0,15 / 10000 jiwa
Mobilitas = 0,064 / 10000 jiwa
1
1
Kota Sukoharjo
Aksesibilitas = 0,11 Km/Km2
Mobilitas = 0,17/ 10000 jiwa
Gambar 4.10 Nilai Aksesibilitas dan Mobilitas Jaringan Jalan Penghubung Utama Aglomerasi
Perkotaan Surakarta
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
Berdasarkan perhitungan nilai aksesibilitas dan mobilitas diketahui bahwa nilai
aksesibilitas dan mobilitas jaringan jalan penghubung antarpusat kegiatan relatif sama dengan
nilai aksesibilitas rata-rata aglomerasi perkotaan Surakarta sebesar 0,199 Km/Km2 dengan
nilai mobilitas sebesar 0,54 Km/10000 jiwa.
Keselamatan dalam konteks pelayanan adalah keselamatan pengguna jalan melakukan
perjalanan melalui jalan. Suatu ruas jalan akan disebut memenuhi SPM Keselamatan jika
jalan tersebut dibangun sesuai dengan commit
rencanatoteknisnya
sehingga layak untuk dioperasikan
user
kepada umum. Dalam menentukan SPM Keselamatan jalan ini peneliti mengacu SNI 036967-2003 tentang Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan dengan
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kriteria penilaian berdasarkan persyaratan lebar, kecepatan minimal, dan kapasitas jalan
sesuai dengan jenis fungsi jalan. SPM Keselamatan dihitung dengan menghitung panjang
jalan yang memenuhi standar dengan total panjang jalan yang menghubungkan pusat-pusat
kegiatan. Dari 24 ruas jalan penghubung terdapat empat ruas jalan yang tidak memenuhi
standar dengan panjang 7,10 meter dengan total panjang jalan 126,25 Km, sehingga nilai
SPM Keselamatan adalah 94,38%.
4.1.5.3 Moda Transportasi Penghubung AntarPusat
Jaringan jalan penghubung antarpusat dilayani oleh angkutan masal baik antarkota
dalam propinsi, antarkota antarpropinsi, maupun internal kota. Berikut adalah daftar moda
transportasi umum yang melewati dan melayani pergerakan antarpusat tersebut,
Tabel 4.9 Jenis Moda Transportasi Penghubung AntarPusat
No.
1
2
3
4
5
Pusat Wilayah
Kota Surakarta - Kota Sragen
Kota Surakarta – Kota Karanganyar
Kota Surakarta – Kota Sukoharjo
Kota Surakarta – Kota Boyolali
Kota Surakarta – Kec. Jaten
Jenis Moda Transportasi Masal
Bus AKAP, Bus AKDP, Kereta Api
Bus, Mini Bus
Bus AKDP, Kereta Api
Bus AKDP, Bus AKAP
Bus AKDP, Bus AKAP, Mini Bus, Angkutan
Perkotaan, Angkutan pedesaan
6
Kota Surakarta – Kec. Mojolaban
Bus AKDP, Mini Bus, Angkutan pedesaan
7
Kota Surakarta – Kec. Grogol
Bus AKDP, Angkutan pedesaan, Angkutan perkotaan
8
Kota Surakarta – Kec. Baki
Angkutan pedesaan
9
Kota Surakarta – Kec. Kartasura
Bus Kota, BST, Bus AKDP, Angkutan perkotaan
10 Kota Surakarta – Kec. Colomadu
Microbus
11 Kota Surakarta – Kec. Ngemplak
Mini Bus, BST, Angkutan pedesaan
Sumber : DLLAJ Kota Surakarta, Dinas Perhubungan Kabupaten Karanganyar, RTRW Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2011-2031, pengamatan lapangan, 2012
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa wilayah yang memiliki keterjangkauan
transportasi umum tertinggi adalah wilayah yang dilalui jalur arteri seperti Kota Sragen, Kec.
Jaten, Kota Surakarta, Kec. Kartasura, dan Kota Boyolali. Sedangkan wilayah yang memiliki
keterjangkauan angkutan umum yang rendah adalah Kec. Baki, meskipun wilayah ini berada
dekat dengan Kota Surakarta.
commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peta Peta Jaringan Jalan Aglomerasi Perkotaan Surakarta dan Rute Moda
Transportasi Umum
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
4.2
digilib.uns.ac.id
POLA RUANG AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA
Pola ruang adalah peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan budi daya. Secara lebih detail, pola ruang menyangkut
diversifikasi penggunaan lahan dan intensitasnya. Data pola ruang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah luas penggunaan lahan yang dirinci ke dalam diversitas dan intensitas
pemanfaatan lahan.
4.2.1 Diversifikasi Penggunaan Lahan
Jenis penggunaan lahan di aglomerasi perkotaan Surakarta terdiri atas tanah sawah dan
tanah kering. Jenis tanah sawah terdiri atas tanah sawah dengan irigasi teknis, setengah teknis,
irigasi sederhana, tadah hujan, dan tidak berpengairan. Sedangkan penggunaan tanah kering
terdiri atas tanah pekarangan, tanah tegal, perkebunan, tambak/kolam, dan lainnya. Pada
tahun 2010, proporsi penggunaan lahan permukiman (pekarangan) aglomerasi perkotaan
Surakarata mencapai 46%, tanah sawah 37%, tanah tegal 8%,dan penggunaan lainnya 9%.
Dengan kata lain proporsi lahan non terbangun masih lebih besar dibandingkan lahan
terbangun.
Pada tahun 2010, persentase lahan terbangun tertinggi adalah Kota Surakarta, yang
diiringi laju penurunan lahan non terbangun dengan persentase tertinggi yaitu -3,05 % per
tahun. Sedangkan wilayah yang memiliki persentase lahan terbangun terkecil adalah Kota
Karanganyar disusul Kota Sukoharjo. Kota Karanganyar memiliki laju penyusutan lahan non
terbangun paling kecil di aglomerasi perkotaan Surakarta yaitu -0,01 % per tahun.
Gambar 4.11 Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Data Statistik Penggunaan Lahan, BPS
Penggunaan lahan terbangun sebagai perumahan masih mendominasi seluruh wilayah di
aglomerasi perkotaan. Selain perumahan, terdapat penggunaan lahan yang juga menonjol di
user yang terdapat di Kecamatan Jaten dan
beberapa wilayah, misalnya penggunaancommit
lahan to
industri
Grogol.
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.10 Diversifikasi Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Industri
Perkantoran
Sub Wilayah
Perdagangan
dan Jasa
No.
Luas
Wilayah
(Ha)
Perumahan
Presentase Lahan Terbangun
Terhadap Luas Wilayah
Tahun 2010 (%)
Persentase
Lahan
Terbangun
Tahun 2010
(%)
Rata-rata
Pertumbuhan
Kawasan
Terbangun/
Tahun (%)*
1
Kota Surakarta
4404,06
64,54
3,82
8,86
2,22
79,44
0,06
2
Kec Jaten
2554,81
23,09
0,21
0,03 19,01
42,34
0,04
3
Kec Mojolaban
3554,00
32,29
0,04
0,21
0,36
32,89
0,89
4
Kec Grogol
3000,00
36,51
0,47
0,46 20,15
57,60
0,32
5
Kec Baki
2197,00
31,59
1,58
1,86
0,24
35,28
0,95
6
Kec Kartasuro
1923,00
61,49
2,85
0,66
0,50
65,47
0,88
7
Kec Colomadu
1564,17
53,19
0,08
1,14
3,23
57,66
4,18
8
Kec Ngemplak
3852,70
28,26
0,14
1,16
2,24
31,80
0,90
9
Kota Sragen
2672,00
45,79
1,37
2,06
0,19
49,41
0,09
10 Kota Karanganyar
4302,64
32,67
0,43
1,67
0,23
35,02
0,03
11 Kota Sukoharjo
4458,00
32,10
1,02
0,76
1,69
35,58
0,42
12 Kota Boyolali
4095,00
39,12
0,96
0,83
0,17
40,98
1,80
Sumber : Analisa Perhitungan berdasarkan data penggunaan lahan BPS, peta penggunaan lahan BAPPEDA,
sotware ARC GIS, dan Google Earth Berbasis Tahun 2010
*Perhitungan dengan menggunakan data tahun 2003,2005, 2007, dan 2009 masing-masing wilayah
4.2.2 Intensitas Penggunaan Lahan
Intensitas ruang menggambarkan volume kegiatan dalam suatu ruang. Semakin beragam
kegiatan dalam suatu ruang maka intensitasnya semakin tinggi. Selain volume kegiatan,
intensitas juga dapat dilihat dari koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan
(KLB), dan kepadatan penduduk. Data intensitas dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui kekompakan suatu ruang dan mengidentifikasi adanya sprawl, dengan
membandingkan intensitas antarruang internal secara kuantitatif deskriptif. Data intensitas
juga diperlukan untuk menganalisis kemampuan lahan dalam menerima beban bangunan di
atasnya atau potensi pengembangannya. Intensitas yang terkait lahan terbangun dapat dilihat
dari KDB, KLB, dan kepadatan penduduk dapat dilihat pada table di bawah ini,
Tabel 4.11 Intensitas Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
80-100
80-90
80-90
user85-90
80
80-95
80-90
1-4
1-3
1-3
1-2
1-2
1-3
1-2
1-7
1-3
1-3
1-2
1-2
1-2
1-2
1
1
1
1
1
1
1
133
28
22
35
24
48
40
Netto
1-2
1-2
1-2
1-2
1-2
1-3
1-2
Kepadatan
Penduduk
Bruto
Industri
Industri
Perkantoran
80-100
80-90
70-95
60-80
60-90
50-70
65-85
commit 60
to
65-85
60
70-95
50-70
70-85
70
Perkantoran
70-100
70-90
65-85
60-85
60-85
70-85
70-80
Perdagangan
dan Jasa
Kota Surakarta
Kec Jaten
Kec Mojolaban
Kec Grogol
Kec Baki
Kec Kartosuro
Kec Colomadu
Rata-rata Koefisien
Lantai Bangunan
(KLB)
Perumahan
1
2
3
4
5
6
7
Sub Wilayah
Perdagangan
dan Jasa
No.
Perumahan
Rata-rata Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) %
168
66
68
60
68
73
69
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Kec Ngemplak
50-80
60-85
50-60
80 1-2
1-2
1-2
9
Kota Sragen
70-85
70-90
50-60
70-80 1-2
1-3
1-3
10
Kota Karanganyar
70-85
60-75
50-60
80 1-2
1-2
1-3
11
Kota Sukoharjo
60-80 75-100
75
80-85 1-2
1-2
1-3
12
Kota Boyolali
50-85
75-90
50-70
80-85 1-2
1-2
1-3
Sumber : Hasil studi sebelumnya, survey lapangan, perhitungan berbasis data 2001-2010
1
1
1
1
1
18
27
18
19
19
58
56
51
54
45
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa wilayah dengan intensitas ruang
tertinggi adalah Kota Surakarta yang tercermin dari nilai KDB, KLB, dan kepadatan
penduduk. Sedangkan wilayah-wilayah yang lain memiliki intensitas ruang yang relative
sama dilihat dari nilai KDB dan KLB, tetapi memiliki intensitas yang berbeda dilihat dari
kepadatan penduduk. Dengan menggunakan metode skoring intensitas pemanfaatan lahan
dapat diketahui perbandingan intensitas ruang antarwilayah. Skoring dilakukan dengan
memberikan nilai pada masing-masing jenis penggunaan lahan berdasarkan KDB karena
KDB dapat mempresentasikan beban lahan yang harus ditanggung suatu wilayah dengan nilai
KLB yang sama.
Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata KDB, Penggunaan lahan industri dinilai paling
intens karena nilai KDB paling tinggi. Jenis penggunaan lahan dalam perhitungan di atas
adalah 4 jenis, sehingga apabila diurutkan dengan menggunakan skala nominal maka
penggunaan lahan paling intens adalah industri diberi nilai 4, perdagangan dan jasa diberi
nilai 3, perumahan diberi nilai 2, dan perkantoran diberi nilai 1. Proporsi masing-masing
penggunaan lahan kemudian dikalikan dengan nilai dari skala intensitas tersebut sehingga
diperoleh tingkatan intensitas penggunaan ruang di aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai
berikut, intensitas pemanfaatan lahan tertinggi adalah Kota Surakarta, disusul 2) Kec. Grogol,
3) Kec. Kartasura, 4) Kec. Jaten, dan 5) Kec. Colomadu, dengan dominasi penggunaan lahan
yang berbeda-beda. Sedangkan kota-kota satelit yang berada jauh dari Kota Surakarta
memiliki intensitas pemanfaatan lahan terbangun lebih rendah dari kawasan perkotaan di
sekitar Kota Surakarta. Apabila diilustrasikan maka intensitas yang menunjukkan beban lahan
masing-masing wilayah dapat dilihat pada gambar berikut,
Kota Inti
Kawasan Perkotaan Sekitarnya
Kota-kota Satelit
commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2.3 Kecenderungan Penggunaan Lahan
Berdasarkan data penggunaan lahan tahan 2010, dari duabelas wilayah dalam
aglomerasi perkotaan Surakarta terdapat empat wilayah yang didominasi oleh lahan terbangun
dan tujuh wilayah yang masih didominasi oleh penggunaan lahan non terbangun atau
pertanian. Wilayah yang memiliki luas lahan terbangun lebih besar daripada lahan pertanian
antara lain Kota Surakarta, Kec. Colomadu, Kec. Grogol, dan Kec. Kartasura, sedangkan
wilayah yang masih didominasi oleh lahan pertanian adalah Kota Sragen, Kota Karanganyar,
Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Mojolaban, Kec. Jaten, dan Kec. Baki. Lua lahan
terbangun tersebut mengalami perubahan setiap tahunnya, berdasarkan data tahun 1993-2010
terjadi peningkatan luas lahan terbangun dengan perubahan luas lahan tertinggi di Kecamatan
Colomadu. Proporsi penggunaan lahan tertinggi dalam lahan terbangun adalah penggunaan
untuk hunian. Luas hunian ini mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan luas lahan
terbangun dan dapat dikatakan bahwa faktor utama penyebab meningkatnya luas lahan
terbangun adalah bertambahnya lahan untuk hunian.
Gambar 4.12 Perubahan Luas Terbangun Tahun 1993-2010
Sumber : Laporan Statistik Masin-masing Kabupaten dan Kota, BPS
Luas lahan terbangun masing-masing wilayah mengalami perubahan dengan kecepatan
yang berbeda-beda. Wilayah dengan laju pertambahan lahan terbangun tertinggi adalah
Kecamatan Colomadu. Kecepatan perubahan luas lahan terbangun di Kecamatan Colomadu
mulai terlihat pesat pada tahun 2007. Tingginya konversi lahan di wilayah ini
diidentifikasikan sebagai dampak dari pembangunan jalan tol yang melalui wilayah ini
sehingga banyak pengembang maupun penduduk yang berinvestasi dengan membuat hunian
maupun pertokoan di wilayah ini. Dan tidak menutup kemungkinan
akan bermunculan
industry-industri baru di wilayah ini. Laju pertambahan lahan terbangun di masing-masing
wilayah dihitung dengan melihat perubahan luas lahan terbangun dari tahun 2003-2010
dengan hasil seperti pada gambar di bawah
ini, to user
commit
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4.13 Laju Perubahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Sumber : Laporan Statistik Masin-masing Kabupaten dan Kota, BPS
Dengan menggunakan laju pertambahan lahan terbangun rata-rata tersebut kemudian
dilakukan proyeksi pertambahan lahan dengan menggunakan metode eksponensial. Hasil
analisis ini diperlukan untuk membandingkan pola penggunaan lahan yang akan datang
dengan daya dukung lahan pada analisis daya dukung lahan lingkungan.
Pada tahun 2025, diprediksikan terjadi konversi lahan pertanian di masing-masing
wilayah untuk mencukupi kebutuhan hunian dan lahan terbangun lain (industri, perkantoran,
perdagangan, sarana dan prasarana). Lahan terbangun kota Surakarta akan mencapai 80,16%
luas wilayah, Kec. Jaten 42,59%, Kec. Jaten 85,40%, Kec. Grogol 51,01%, Kec. Baki 29,79%,
Kec. Kartasura 65,39%, Kec. Colomadu 87,79%, Kec. Ngemplak 36,40%, Kota Sragen
50,08%, Kota Karanganyar 35,18%, Kota Sukoharjo 37,89%, dan Kota Boyolali 59,90%.
Dari kedua belas wilayah tersebut, wilayah yang mengalami perkembangan yang pesat adalah
Kecamatan Colomadu, dapat dilihat pada selisih grafik di bawah ini. Berdasarkan catatan
statistic daerah, perkembangan lahan terbangun di Kecamatan Colomadu ini mulai terlihat
pesat saat memasuki tahun 2007 dimana pada tahun 2005 luas lahan terbangun adalah 678,38
Ha kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2007 dimana luas lahan terbangun adalah
895,2 Ha.
commit to user
Gambar 4.14 Proyeksi Pertambahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Sumber : Hasil Analisis dengan menggunakan laju pertumbuhan lahan terbangun, 2012
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara spasial sebaran penggunaan lahan dalam suatu wilayah akan membentuk polapola tertentu yang dikenal sebagai pola ruang atau urban form. Pola ruang ini dengan mudah
dapat dikenali dari asosiasi lahan terbangun atau konsentrasi lahan terbangun. Lahan
terbangun di masing-masing wilayah berkembang dengan tipe perkembangan infill
development sepanjang jaringan jalan dan pembangunan baru berbentuk cluster yang
mengarah ke leap frog development. Pola ruang yang terbentuk dari tipe perkembangan ini
dapat terlihat jelas dengan melihat peta lahan terbangun dan non terbangun (Peta 4.2 dan 4.3).
Kota Surakarta memiliki lahan terbangun yang terkonsentrasi pada satu titik dan
tersebar hamper merata di seluruh wilayah. Lahan-lahan terbangun ini saling terhubung satu
sama lain sehingga tidak ditemui adanya pembangunan yang terpisah atau leap-frog
development. Sekilas tipe pola ruang Kota Surakarta membentuk pola ruang kompak, tetapi
dengan intensitas yang berbeda antara utara dan selatan. Bagian utara wilayah memiliki
intensitas yang rendah sedangkan bagian selatan wilayah memiliki intensitas yang tinggi.
Kawasan perkotaan sekitar Surakarta yang meliputi Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec.
Grogol, Kec. Baki, Kec. Colomadu, dan Kec. Ngemplak memiliki sebaran lahan terbangun
yang terpisah satu sama lain, konsentrasi lahan terbangun yang intens hanya terdapat di
beberapa lokasi yang berada di sepanjang jalan utama, sedangkan lahan terbangun yang lain
terletak menyebar di seluruh wilayah. Akan tetapi, Kecamatan Kartasura memiliki lahan
terbangun yang memusat di sepanjang jalan utama dengan luasan yang besar, meskipun ada
lahan-lahan terbangun yang menyebar.
Kota Sragen memiliki lahan terbangun yang terkonsentrasi di bagian tengah wilayah
dalam skala yang besar, meskipun masih ada lahan terbangun yang memencar. Akan tetapi,
proporsi lahan terbangun yang memencar tersebut sangat kecil dibandingkan lahan terbangun
yang ada di bagian pusat. Lahan terbangun utama dikelilingi oleh lahan pertanian yang secara
sekilas membuat bentuk kota Sragen menyerupai garden city (peta 4.3). Kota Boyolali
memiliki lahan terbangun yang memusat di bagian tengah kota yang memiliki kelerengan
relative landau dibandingkan bagian wilayah kota yang lain. Intensitas penggunaan lahan di
bagian pusat relative tinggi yang kemudian menurun seiring dengan ketinggian wilayah. Kota
Karanganyar dan Kota Boyolali memiliki pola penggunaan ruang dengan konsentrasi lahan
terbangun di satu titik, tetapi masih banyak dijumpai lahan terbangun yang memencar dengan
proporsi yang lebih besar dibandingkan konsentrasi lahan terbangun utama yang
mengindikasikan adanya sprawl (peta 4.3).
commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peta 4.2. Penggunaan Lahan Kota Surakarta dan Kawasan Perkotaan Sekitar
Surakarta
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peta 4.3 Penggunaa Lahan Kota Satelit Surakarta
commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
4.3
digilib.uns.ac.id
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Daya tampung penduduk dalam suatu wilayah hendaknya ditinjau dari kemampuan
pelayanan lahan dan sumberdaya air eksisting, dan bukan melihatnya secara terpisah.
Sehingga hasil akhir dari analisis ini berupa jumlah penduduk yang dapat ditampung
berdasarkan kemampuan lahan dan sumberdaya air.
4.3.1 DAYA DUKUNG LAHAN
Daya dukung lahan suatu perkotaan sangat tergantung pada satuan kemampuan
lahannya (SKL). Daya tampung lahan suatu wilayah dihitung dengan melakukan analisis
kemampuan lahan, analisis rasio tutupan lahan, dan ketinggian bangunan. Untuk mengetahui
kemampuan lahan, rasio tutupan lahan, dan ketinggian bangunan suatu wilayah , peneliti
menggunakan pedoman teknis Permen PU No. 20/PRT/M/2007.
1) Analisis Kemampuan Lahan
Analisis kemampuan lahan dilakukan untuk mengetahui pengembangan lahan yang
sesuai dengan kemampuan fisik lahan. Output dari analisis ini akan digunakan untuk
menganalisis kesesuaian lahan. Analisis dilakukan dengan mengalikan bobot masing-masing
SKL dengan nilai dari masing-masing SKL.
Berdasarkan hasil skoring, aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki 3 kelas
kemampuan lahan yaitu sedang, agak tinggi, dan tinggi. Tingkat kemampuan pengembangan
sedang, artinya bahwa kawasan mendukung untuk pengembangan budidaya permukiman
namun masih terbatas, sehingga kawasan hanya memiliki tingkat pengembangan kearah
hutan, perkebunan, tegalan dan budidaya
permukiman tebatas. Tingkat kemampuan
pengembangan lahan yang alian adalah agak tinggi, artinya kawasan mampu dikembangkan
kearah budidaya permukiman, pertanian, perkebunan, industri dll. Sedangkan tingkat
kemampuan pengembangan tinggi, artinya kawasan memiliki kemampuan tinggi untuk
dikembangkan menjadi budidaya permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dll. Peta
kemampuan lahan dapat dilihat di lampiran.
2) Arahan Rasio Tutupan Lahan dan Ketinggian Bangunan
Arahan rasio tutupan lahan adalah perbandingan antara luas lahan tertutup oleh
bangunan yang bersifat kedap air dengan luas lahan keseluruhan. Berdasarkan pedoman teknis
Permen PU No. 20/PRT/M/2007, rasio tutupan lahan maksimal untuk wilayah dengan kelas
kemampuan lahan sedang adalah 20% , kelas kemampuan lahan agak tinggi adalah 30%, dan
kelas kemampuan lahan agak tinggi adalah 50%. Arahan ketinggian bangunan untuk kelas
kemampuan lahan sedang dan agak tinggi <4 lantai, sedangkan untuk kelas kemampuan lahan
commit to user
tinggi > 4 lantai. Berikut adalah hasil analisis kemampuan lahan, arahan rasio tutupan lahan,
dan arahan ketinggian bangunan di aglomerasi perkotaan Surakarta
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.12 Analisis Kemampuan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
Total
Nilai
Kelas
Kemampuan
Lahan
84-109
Kelas c
Kemampuan
Pengembangan
Sedang
110134
Kelas d
Kemampuan
Pengembangan
Agak Tinggi
135160
Kelas e
Klasifikasi
Pengembangan
Kemampuan
Pengembangan
Sangat Tinggi
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
Wilayah
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
1.
2.
3.
Kec. Jebres Surakarta
Kel. Bolong Kota Karanganyar
Kel. Delingan Kota Karanganyar
Kel. Gayamdompo Kota Karanganyar
Kel. Gedong Kota Karanganyar
Kec. Laweyan Kota Surakarta
Kec. Serengan Kota Surakarta
Kec. Pasar Kliwon Surakarta
Kec. Banjarsari Surakarta
Kec. Jaten
Ke. Colomadu
Kec. Mojolaban
Kec. Grogol
Kec. Baki
Kec. Kartasura
Kec. Ngemplak
Kota Sragen
Kel. Sukoharjo Kota Sukoharjo
Kel. Gayam Kota Sukoharjo
Kel. Joho Kota Sukoharjo
Kel. Begajan Kota Sukoharjo
Kel. Mandan Kota Sukoharjo’
Kel. Danmali Kota Sukoharja
Kel. Kenep Kota Sukoharjo
Kel. Kriwen Kota Surakarta
Kel. Comboran Kota Sukoharjo
Kel. Bulakrejo Kota Sukoharjo
Kel. Sonorejo Kota Sukoharjo
Kel. Jetis Kota Sukoharjo
Arahan
Rasio
Tutupan
Lahan
Max
20%
Arahan
Ketinggian
Bangunan
< 4 lantai
Max
30%
< 4 lantai
Max
50%
> 4 lantai
3) Analisis Daya Tampung Lahan
Berdasarkan analisis rasio tutupan lahan akan diperoleh luas lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alami. Luas area dengan kelas
kemampuan lahan sedang adalah 2981,18 Ha, agak tinggi 34.550,19 Ha, dan tinggi 1046 Ha.
Dengan luas wilayah aglomerasi 38.577,37 Ha, maka persentase lahan yang dapat
dimanfaatkan adalah 11.484,29 Ha atau 29,77 % dari luas wilayah.
Tabel 4.13 Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan berdasarkan Kondisi Fisik Lingkungan
Kelas
Luas Area
Persentase dari
Kemampuan
(Ha)
Luas Aglomerasi
Lahan
(%)
Kelas C
2981,18
7,73
Kelas D
34550,19
89,59
Kelas E
1046,00
2,71
Total
38577,27
100,00
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
Arahan Rasio
Tutupan Lahan
20 %
30 %
50 %
-
Luas Wilayah
yang Dapat
Dimanfaatkan (Ha)
596,24
10365,06
523,00
11484,29
Dengan menggunakan data luas wilayah yang dapat dimanfaatkan di atas dapat dihitung
commit
to menggunakan
user
jumlah penduduk yang dapat ditampung.
Dengan
asumsi, persentase luas lahan
yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup, dengan
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
catatan 30% digunakan untuk fasilitas dan 20% untuk utilitas (Modul Terapan Teknik Analisi
Aspek Fisik Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata
Ruang). Rumus yang digunakan untuk menganalisis daya tampung penduduk adalah
50 % x Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan x Jumlah Penduduk
PerRumah
Luas Kavling Rumah
50 % x Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan
=
x 5 (Jiwa)
100 M2
Daya Tampung Lahan =
Keterangan :
-
Luas Kavling Rumah 100 M2 dihitung berdasarkan data arsitek, neufert, ernst, Jilid I-II
Maka dapat diperoleh daya tampung penduduk maksimal di aglomerasi perkotaan Surakarta
sebesar 2.871.075 jiwa, dengan catatan bahwa rumah yang dibangun merupakan rumah satu
lantai dan tidak dilakukan rekayasa teknis. Daya tampung penduduk ini bisa lebih besar jika
dihitung berdasarkan arahan ketinggian bangunan dan menggunakan rekayasa teknis.
Tabel 4.14 Daya Tampung Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta
No.
Wilayah
Kelas
Kemampuan
Lahan
Luas
Wilayah
(Ha)
Luas Lahan
Terbangun*
(Ha)
Luas
Permukiman
* (Ha)
Daya
Tampung
Penduduk
**
Daya
Tampung
Penduduk
***
188.727
1
Kota Surakarta
Kelas C
1258,18
251,64
125,82
62.909
Kelas D
3145,88
943,76
471,88
235.941
2
Kec. Jebres
Kota Surakarta
dikurangi Kec. Jebres
Kec Jaten
Kelas D
2554,81
766,44
383,22
191.611
574.833
3
Kec Mojolaban
Kelas D
3554,00
1066,20
533,10
266.550
799.650
4
Kec Grogol
Kelas D
3000,00
900,00
450,00
225.000
675.000
5
Kec Baki
Kelas D
2197,00
659,10
329,55
164.775
494.325
6
Kec Kartosuro
Kelas D
1923,00
576,90
288,45
144.225
432.675
7
Kec Colomadu
Kelas D
1564,17
469,25
234,63
117.313
351.939
8
Kec Ngemplak
Kelas D
3852,70
1155,81
577,91
288.953
866.859
9
Kota Sragen
Kelas D
2672,00
801,60
400,80
200.400
601.200
10
Kota Boyolali
Kelas D
4095,00
1228,50
614,25
307.125
921.375
11
Kota Karanganyar
Kel Delingan
Kelas C
939,00
187,80
93,90
46.950
140.850
Kel Gayamdompo
Kelas C
436,00
87,20
43,60
21.800
65.400
Kel Bolong
Kota Karanganyar Kelas C
Kota Sukoharjo
Kelas C
348,00
69,60
34,80
17.400
52.200
Kelas D
2579,64
773,89
386,95
193.473
Kel.Bulakrejo
Kelas E
411,00
205,50
102,75
51.375
154.125
Kel.Sonorejo
Kelas E
444,00
222,00
111,00
55.500
166.500
47,75
23.875
71.625
511,80
255.900
5742,15
2.871.074
12
Kel.Jetis
Kelas E
191,00
95,50
Kota Sukoharjo Kelas D
3412,00
1023,60
Kelas E
Total
38577,38
11484,29
commit
to
user
Keterangan : *Sesuai kemampuan lahan, ** jika menggunakan hunian berlantai 1,
***jika menggunakan hunian per lantai 3
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
707.823
580.419
767.700
8.613.222
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan arahan ketinggian bangunan, bangunan rumah di aglomerasi perkotaan
Surakarta memiliki batas ketinggian dari <4 lantai (3 lantai) dan >4 lantai untuk 3 kelurahan
di Kota Sukoharjo yang memiliki kelas kemampuan lahan E. Apabila ketinggian lantai
bangunan dibatasi 3 lantai untuk keseluruhan wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta
maka daya tampung penduduk di aglomerasi perkotaan Surakarta adalah 8.613.225 jiwa.
Angka ini diperoleh dengan mengalikan daya tampung penduduk jika rumah yang dibangun
berlantai satu pada perhitungan sebelumnya yaitu 2.871.075 jiwa dengan 3 (tiga adalah batas
ketinggian bangunan). Akan tetapi, jumlah ini masih dapat bertambah lagi mengingat bahwa
ketiga kelurahan di Kota Sukoharjo memiliki arahan ketinggian bangunan >4 lantai dan
rekayasa teknis dapat dilakukan.
Selain menggunakan asumsi bahwa lahan untuk permukiman (hunian) sebesar 50%,
peneliti juga melakukan perhitungan daya tampung penduduk berdasarkan ketentuan bahwa
persentase lahan perkotaan yang dapat digunakan untuk permukiman sebesar 70% sedangkan
30% digunakan untuk sarana prasarana umum. Jika menggunakan ketentuan tersebut maka
daya tampung penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta sebesar 12.058.505 jiwa jika
menggunakan rumah berkoefesien lantai bangunan 3 atau 4.019.502 jika menggunakan rumah
berKLB 1 (perhitungan ada di lampiran).
4) Perkiraan Jumlah Penduduk Tambahan yang Dapat Ditampung
Untuk dapat mengetahui besarnya penduduk tambahan yang mampu ditampung oleh
suatu wilayah, maka perlu diketahui jumlah penduduk eksisting yang ada di wilayah tersebut.
Berdasarkan perbandingan daya tampung masing-masing wilayah dan jumlah penduduk
eksisting diketahui bahwa dari 12 wilayah terdapat sebuah wilayah yang telah memiliki
penduduk 3/5 dari daya tampungnya yaitu Kota Surakarta. Sedangkan wilayah yang lain
masih memiliki daya tampung yang besar.
Gambar 4.15 Perbandingan Daya Tampung
Penduduk
dengan Asumsi Lahan Permukiman sebesar
commit
to user
50% dengan Jumlah Penduduk Tahun 2010
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
72
perpustakaan.uns.ac.id
5)
digilib.uns.ac.id
Perkiraan Luas Lahan yang Masih Dapat Dimanfaatkan
Selain membandingkan jumlah penduduk yang mampu ditampung dengan jumlah
penduduk eksisting, juga perlu dikaji luas lahan yang mampu menampung jumlah penduduk
tambahan. Berdasarkan data tahun 2010, persentase lahan terbangun aglomerasi perkotaan
Surakarta adalah 45,96% sedangkan luas lahan terbangun yang diperbolehkan adalah 29,77%
sehingga terjadi kelebihan sebesar 16,19% atau sebesar 6245,39 Ha. Apabila data ini
dijabarkan ke dalam masing-masing wilayah maka akan terlihat secara jelas penyimpangan
penggunaan lahan di setiap wilayah, sebagai berikut:
Gambar 4.16 Perbandingan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan Arahan Tutupan Lahan
Sumber : Hasil Analisis, 2012
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa luas lahan terbangun Kota Surakarta telah
melebihi arahan luas lahan yang boleh tertutup, begitu pula dengan Kec. Jaten, Kec.
Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec. Colomadu, Kota Sragen, Kota
Karanganyar, dan Kota Boyolali. Hanya Kec. Ngemplak dan Kota Sukoharjo yang memiliki
luas penyimpangan kecil. Sehingga apabila masing-masing wilayah tersebut ingin
menampung jumlah penduduk berdasarkan perhitungan sebelumnya, maka diperlukan upaya
untuk mengubah orientasi pengembangan wilayah dari horizontal menjadi pembangunan
vertical dan perlunya dilakukan peremajaan ruang kota.
Tabel 4.15 Penyimpangan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan Luas Lahan Terbangun yang
Diperbolehkan
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Sub Wilayah
Kota Surakarta
Kec Jaten
Kec Mojolaban
Kec Grogol
Kec Baki
Kec Kartosuro
Kec Colomadu
Kec Ngemplak
Luas
Wilayah
(Ha)
4404,06
2554,81
3554,0
3000,00
2197,00
1923,00
1564,17
3852,70
Luas
Luas Lahan yang
Lahan
Boleh Tertutup
Terbangun
sesuai
Tahun 2010 Kemampuan Lahan
(Ha)
( Ha )
3498,59
1195,40
1081,71
766,44
1168,91
1066,20
1728,00
900,00
775,10
659,10
commit to user
1258,99
576,90
901,90
469,25
1225,16
1155,81
Penyimpangan (Ha)
2303,19
315,27
102,71
828,00
116,00
682,09
432,65
69,35
73
perpustakaan.uns.ac.id
9
10
11
12
digilib.uns.ac.id
Kota Sragen
2672,00
Kota Karanganyar
4302,64
Kota Sukoharjo
4458,00
Kota Boyolali
4095,00
Total
38577,38
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012
1320,24
1506,79
1586,16
1678,13
17729,68
801,60
1118,49
1546,60
1228,50
11484,29
518,64
388,30
39,56
449,63
6245,39
Penyimpangan lahan terbangun tersebut semakin besar jika dibandingkan dengan
prediksi pertambahan lahan terbangun pada tahun 2025 yang telah disebutkan pada sub bab
sebelumnya. Dengan melihat perbandingan luas lahan terbangun eksisting dan prediksi
penambahan lahan terbangun tersebut diketahui bahwa luas lahan terbangun baik eksisting
maupun yang diprediksikan tidak sesuai dengan arahan luas lahan yang diperbolehkan
berdasarkan kemampuan lahan. Apabila kondisi ini berlanjut, maka akan menurunkan daya
dukung lingkungan yaitu berkurangnya daya dukung sumberdaya air.
6)
Potensi Pengembangan Ruang
Kawasan Aglomerasi perkotaan Surakarta dapat dikembangkan secara vertikal dengan
jenis bangunan empat lantai untuk kelas kemampuan lahan tipe C dan D serta bangunan >4
lantai untuk kelas kemampuan lahan tipe D, tanpa adanya rekayasa teknis (hasil analisis
kemampuan lahan). Sedangkan luas penggunaan lahan secara horizontal dibatasi sebagai
berikut,
-
Rasio lahan terbangun untuk kelas kemampuan lahan Tipe C meliputi Kec. Jebres
Surakarta, Kelurahan Delingan, Gayamdompo, dan Bolong Kota Karanganyar dibatasi
sampai 20%.
-
Rasio lahan terbangun untuk kelas kemampuan lahan Tipe D meliputi Kota Sragen, Kota
Boyolali, Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec.
Colomadu, Kec. Ngemplak, Kota Sukoharjo (kecuali Kelurahan Bulakrejo, Sonorejo, dan
Jetis), Kota Karanganyar (kecuali Kelurahan Delingan, Gayamdompo, dan Bolong), serta
Kota Surakarta (kecuali Kecamatan Jebres) dibatasi sampai 30%.
-
Rasio lahan terbangun untuk kelas kemampuan lahan Tipe E yang meliputi Kelurahan
Bulakrejo, Kelurahan Sonorejo, dan Kelurahan Jetis Kota Sukoharjo dibatasi sampai 50%.
Dengan demikian maka luas lahan tertutup aglomerasi perkotaan Surakarta yang
diperbolehkan adalah 14149,39 Ha atau 36,68% dengan koefisien lantai bangunan 4 dan >4
lantai untuk tiga kelurahan di Kota Sukoharjo. Akan tetapi, luas lahan terbangun eksisting
saat ini adalah 17729,66 Ha atau 45,96% sehingga tidak memungkinkan untuk
mengembangkan wilayah secara horisontal.
Untuk
mengetahui
to user
potensi commit
pengembangan
secara
vertikal
maka
dilakukan
perbandingan dominansi koefisien lantai bangunan dengan arahan ketinggian bangunan
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(sesuai analisis kemampuan lahan). Area permukiman dengan proporsi 45,96% memiliki
koefisien lantai rata-rata 1-2 yang didominasi KLB 1, bangunan perdagangan yang
menempati 1,1 % luas wilayah memiliki koefisen lantai bangunan 1-4 dengan dominasi KLB
2, bangunan perkantoran termasuk sarana umum menempati 1,87% luas wilayah memiliki
koefisien lantai bangunan 1-3 dengan dominasi KLB 2, sedangkan industri yang menempati
3,76% luas wilayah memiliki koefisen lantai bangunan satu. Dengan demikian maka semua
wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta masih dapat dikembangkan secara vertikal sampai
4 lantai untuk kelas kemampuan lahan C dan D serta > 4 lantai untuk kelas kemampuan lahan
E dengan catatan bahwa pembangunan tersebut tanpa melibatkan rekayasa teknis. Koefisen
lantai bangunan atau ketinggian bangunan di masing-masing wilayah dapat lebih dari 4 lantai
jika menggunakan rekayasa teknis. Akan tetapi, pembangunan yang melibatkan rekayasa
teknis tidak dibahas dalam penelitian ini.
4.3.2 DAYA DUKUNG SUMBER DAYA AIR
1) Neraca Kesetimbangan Air
Neraca
kesetimbangan
air
aglomerasi
perkotaan
Surakarta
dihitung
dengan
membandingkan ketersediaan air domestik dan kebutuhan air. Sumber air yang digunakan
dalam perhitungan adalah air permukaan yang terdiri atas sungai dan mata air, air tanah, dan
cadangan air seperti waduk atau bendung yang terdapat di wilayah tersebut sehingga tidak
mempertimbangkan sumber air yang berasal dari luar daerah. Sedangkan kebutuhan air
dihitung dengan menggunakan standar kebutuhan air sesuai dengan SNI 19-6728.1-2002
tentang penyusunan neraca sumber daya air spasial. Sedangkan standar kebutuhan air untuk
fasilitas yang jumlah pengunjungnya tidak menentu seperti stasiun, terminal, hotel, dan pasar,
serta jenis fasilitas yang tidak terdapat dalam SNI seperti puskesmas, balai pengobatan, rumah
bersalin, dan puskesmas pembantu
tersebut.
menggunakan rata-rata konsumsi air setiap fasilitas
Jumlah konsumsi air dihitung dengan mengalikan kebutuhan air tiap jenis
pemakaian lahan dengan jumlah fasilitas (untuk sarana) dan luas wilayah (untuk industri dan
pertanian).
Tabel 4.16 Standar Kebutuhan Air
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis Konsumen
Kebutuhan Penduduk PerHari
Sarana Ibadah
Rumah Sakit
Rumah Bersalin
Sekolah
Hotel
commit to
Pasar / Pusat Perbelanjaan
Terminal
Stasiun
user
Kebutuhan Air (M3)
1,2 / orang
5 / sarana
50 / sarana
15/ sarana
2 / sarana
50 / sarana
50 / sarana
100 / sarana
200 / sarana
75
perpustakaan.uns.ac.id
10
11
12
13
digilib.uns.ac.id
Industri Besar
Industri Sedang
Industri Kecil
Pertanian
50 / Ha
25 / Ha
25 / Ha
0,001 / Ha
Neraca air ini dihitung dengan asumsi bahwa sumber-sumber air dalam aglomerasi
perkotaan Surakarta dapat digunakan seluruhnya. Berdasarkan perhitungan neraca
ketesimbangan air,
jumlah ketersediaan air aglomerasi perkotaan Surakarta adalah
12.953.104,38 M3/hari dengan total kebutuhan air 2.246.787,40 M3/hari sehingga masih
terdapat sisa cadangan air sebesar 10.706.316,99 M3/hari. Sisa cadangan air tersebut berasal
dari air permukaan yaitu debit air sungai yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Gambar 4.17 Neraca Kesetimbangan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2010
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa wilayah yang memiliki ketersediaan air
tertinggi adalah Kec. Ngemplak karena didukung oleh keberadaan bendung di wilayah
tersebut.
Tabel 4.17 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta
No.
Wilayah
Ketersediaan (M3/ Hari)
Kebutuhan (M3/Hari)
1
Kota Surakarta
1.194.644,16
934.356,06
2
Kec. Jaten
1.213.488,00
113.070,03
3
Kec. Mojolaban
1.037.232,00
123.081,50
4
Kec. Grogol
1.227.597,12
158.853,50
5
Kec. Baki
951.264,00
82.696,50
6
Kec. Kartasura
952.387,20
141.310,50
7
Kec. Colomadu
1.039.392,00
95.338,02
8
Kec. Ngemplak
1.540.639,03
110.090,43
9
Kota Sragen
1.124.064,00
114.682,67
10
Kota Karanganyar
975.106,00
120.139,62
11
Kota Sukoharjo
1.192.752,00
132.596,00
12
Kota Boyolali
504.538,87
120.572,57
12.953.104,38
2.246.787,40
Total
Sumber : Hasil Pengolahan Data,
2012 to
commit
user
Kebutuhan air aglomerasi perkotaan adalah 2.246.787,40 M3/hari dengan prosentase
kebutuhan air sebesar 76,52% untuk rumah tangga, 1,95% kebutuhan domestik selain
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebutuhan rumah tangga, 1,36% untuk kebutuhan industri, dan 0,62% untuk pertanian.
Penggunaan air tertinggi adalah Kota Surakarta dengan total penggunaan adalah 934.356,06
M3/hari, Penggunaan ini adalah 78,21% dari ketersediaan air per harinya.
2) Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air
Apabila diasumsikan bahwa pertumbuhan penduduk seiring dengan pertumbuhan
industri dan sarana prasarana perkotaan maka prosentase kebutuhan air penduduk di atas
dapat digunakan untuk menghitung jumlah maksimal penduduk yang dapat didukung oleh
sumber air aglomerasi perkotaan.
Dengan prosentase kebutuhan air rumah tangga sebesar 76,52% maka volume air yang
dibutuhkan adalah 9.911.715,475 M3/hari sehingga jumlah maksimal penduduk yang dapat
dipenuhi oleh sumber air aglomerasi perkotaan Surakarta adalah 8.259.763 jiwa dengan
kebutuhan penduduk 1,2 M3/penduduk/hari.
Tabel 4.18 Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air
No.
Wilayah
1
Kota Surakarta
2
Kec. Jaten
3
Ketersediaan (M3/
Hari)
1.194.644,16
Air Penduduk
Daya Tampung
Penduduk
910.916,17
759.097
1.213.488,00
925.284,60
771.071
Kec. Mojolaban
1.037.232,00
790.889,40
659.075
4
Kec. Grogol
1.227.597,12
936.042,80
780.036
5
Kec. Baki
951.264,00
725.338,80
604.449
6
Kec. Kartasura
952.387,20
726.195,24
605.163
7
Kec. Colomadu
1.039.392,00
792.536,40
660.447
8
Kec. Ngemplak
1.540.639,03
1.174.737,26
978.948
9
Kota Sragen
1.124.064,00
857.098,80
714.249
10
Kota Karanganyar
975.106,00
743.518,33
619.599
11
Kota Sukoharjo
1.192.752,00
909.473,40
757.895
12
Kota Boyolali
504.538,87
384.710,89
9.876.742,09
320.592
8.230.618
Total
12.953.104,38
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012
4.3.3 Daya Tampung Penduduk Berdasarkan Daya Dukung Lahan dan Sumber Daya
Air
Daya tampung penduduk dalam suatu wilayah hendaknya ditinjau dari kemampuan
pelayanan lahan dan sumberdaya air eksisting, dan bukan melihatnya secara terpisah.
Sehingga daya tampung penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta merupakan fungsi
gabungan dari daya tampung lahan dan sumberdaya air. Dengan demikian maka batas
maksimal jumlah penduduk yang mampu ditampung adalah 8,2 juta jiwa dengan
commit to user
menggunakan scenario lahan permukiman sebesar 50% dari luas lahan yang boleh terbangun.
Ketentuan inilah yang akan digunakan pada bab pembahasan.
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.4 KETERCAPAIAN MASING-MASING TOLOK UKUR KESESUAIAN
4.4.1 Kesesuaian berdasarkan Keberadaan Pusat dan Sub Pusat
Tolok ukur kesesuaian pertama adalah “Struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri
dari CBD dan beberapa pusat-pusat kegiatan atau sub pusat”. Tolok ukur ini dapat dinilai dari
analisis orde perkotaan. Berdasarkan hasil analisis orde perkotaan , aglomerasi perkotaan
Surakarta terdiri atas lima hirarki kota sebagai berikut:
Hirarki I
: Kota Surakarta
Hirarki II
: Kec. Kartasura
Hirarki III : Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali,
Kec. Mojolaban, Kec. Grogol
Hirarki IV : Kec. Jaten dan Kec. Ngemplak
Hirarki V : Kec. Colomadu dan Kec. Baki
Dengan melihat hirarki di atas diketahui bahwa aglomerasi perkotaan Surakarta
memiliki beberapa pusat yang terdiri dari sebuah pusat utama dan beberapa sub pusat.
Berdasarkan analisis hirarki perkotaan, jumlah pusat di aglomerasi perkotaan Surakarta hanya
satu karena wilayah-wilayah lain memiliki selisih nilai yang sangat jauh dengan kota hirarki
pertama baik berdasarkan jumlah penduduk maupun keberadaan sarana. Kota Surakarta
merupakan kota hirarki pertama dengan ketersediaan fasilitas yang lebih tinggi dari wilayah
lain. Dilihat dari jumlah penduduk pun, Kota Surakarta menempati hirarki pertama sedangkan
dari kemampuan pelayanan, sarana kesehatan, perdagangan, dan pendidikan Kota Surakarta
yang mempertegas fungsi Surakarta sebagai kota inti kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta.
Secara umum, dari hirarki perkotaan tersebut telah menunjukkan adanya kota inti atau
pusat dengan beberapa sub pusat. Sehingga struktur ruang yang terbentuk adalah polycentric
dengan sebuah kota inti. Dengan demikian maka tolok ukur kesesuaian yang pertama yaitu
“struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan beberapa pusat-pusat kegiatan
atau sub pusat” telah terpenuhi.
4.4.2 Kesesuaian berdasarkan Kejelasan Fungsi Masing-masing Wilayah
Tolok ukur kesesuaian kedua adalah kejelasan fungsi masing-masing pusat dan sub
pusat. Tolok ukur ini dinilai dari analisis orde perkotaan dan data guna lahan. Kota Surakarta
sebagai kota inti menyandang fungsi sebagai pusat pelayanan perdagangan, pendidikan,
kesehatan, dan pariwisata dapat dilihat dari orde perkotaan per jenis sarana. Sehingga Kota
Surakarta merupakan kota inti yang sekaligus memiliki fungsi sebagai CBD dari aglomerasi
commit to user
perkotaan Surakarta. Sub pusat yang terletak jauh dari Kota Surakarta seperti Kota Sragen,
Kota Karanganyar, Kota Boyolali, dan Kota Sukoharjo menyandang fungsi sebagai pusat
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelayanan wilayah kabupaten. Sedangkan kawasan perkotaan sekitar Surakarta seperti Kec.
Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec.Colomadu, dan Kec.
Ngemplak memiliki fungsi yang berbeda-beda.
-
Kecamatan Grogol didominasi oleh penggunaan lahan perumahan dan industri
-
Kecamatan Kartasura didominasi oleh perumahan dan perdagangan
-
Kecamatan Jaten berfungsi didominasi oleh perumahan dan industri.
-
Kecamatan Baki dan Mojolaban didominasi oleh perumahan.
-
Kecamatan Colomadu didominasi oleh penggunaan lahan perumahan.
-
Kecamatan Ngemplak didominasi oleh penggunaan lahan perumahan.
Sehingga, apabila diklasifikasikan maka fungsi masing-masing kawasan perkotaan di sekitar
Surakarta sebagai berikut:
-
Pusat Industri
: Kecamatan Jaten dan Grogol
-
Pusat Perdagangan
: Kecamatan Kartasura, Kecamatan Jaten
-
Dormitory Town
: Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura,
Colomadu, dan Ngemplak
Terdapat beberapa sub pusat yang berfungsi sebagai dormitory town bagi penduduk Kota
Surakarta seperti Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Kartasura, Kec. Colomadu, dan Kec.
Jaten. Hal ini yang dapat dilihat dari cluster-cluster perumahan yang dibangun di wilayah
tersebut. Sedangkan Kecamatan Baki dan Ngemplak sebagian besar masih melayani
perumahan bagi penduduk kecamatan tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing pusat dan subpusat di aglomerasi
perkotaan Surakarta telah memiliki kejelasan fungsi dimana kota inti menyandang fungsi
sebagai CBD, kawasan perkotaan di sekitar Surakarta menyandang fungsi sebagai kawasan
industri, perdagangan kedua, dan dormitory town, serta kota-kota yang terletak jauh dari Kota
Surakarta berfungsi sebagai pusat pelayanan kabupaten. Dengan demikian maka tolok ukur
kesesuaian kedua yaitu “Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi
masing-masing” telah terpenuhi di seluruh wilayah sehingga persentase pencapaian adalah
100%.
4.4.3 Kesesuaian berdasarkan Kemampuan Pelayanan Internal Wilayah
Tolok ukur kesesuaian yang ketiga adalah “adanya pusat dan sub pusat dalam masingmasing kota inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan”. Pusat-pusat
kegiatan dalam suatu perkotaan dapat diwakilkan oleh keberadaan sarana perkotaan, karena
commit to user
pada hakekatnya pusat kegiatan dalam kota mencerminkan fungsi dari masing-masing sarana
tersebut. Tolok ukur ini dinilai dari hasil analisis kemampuan pelayanan sarana perkotaan.
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apabila ditinjau dari kemampuan pelayanan sarana perkotaan, sarana perdagangan
eksisting seperti pusat perdagangan di masing-masing sub pusat telah mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat yang bertempat tinggal di masing-masing wilayah. Bahkan mampu
melayani kebutuhan luar wilayah. Sarana perdagangan berjenis pertokoan juga telah mampu
melayani kebutuhan masyarakat, kecuali Kec. Jaten, Kec. Colomadu, dan Kota Karanganyar.
Akan tetapi, keberadaan pusat perdagangan di ketiga wilayah tersebut telah mampu melayani
>100% penduduk sehingga kebutuhan sarana pertokoan dapat disubstitusikan dengan
keberadaan sarana pertokoan.
Sarana puskesmas juga mampu melayani seluruh penduduk di masing-masing wilayah.
Sedangkan sarana puskesmas pembantu belum sepenuhnya dapat melayani Kota Karanganyar,
Kota Boyolali, dan Kota Sragen. Akan tetapi, keberadaan sarana kesehatan yang memiliki
jangkauan pelayanan lebih tinggi daripada puskesmas pembantu seperti puskesmas dan rumah
sakit telah mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat sehingga kebutuhan akan
puskesmas pembantu dapat disubstitusikan dengan kedua jenis sarana kesehatan di atas.
Kemampuan sarana pendidikan di beberapa wilayah telah mampu mencukupi
kebutuhan internal bahkan mampu melayani wilayah lain yang ditunjukkan dengan persentase
pelayanan >100% seperti Kota Surakarta, Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo,
Kota Boyolali, dan Kec. Kartasura. Dari keenam wilayah tersebut, terdapat empat wilayah
merupakan kota yang memiliki fungsi sebagai pusat pelayanan kabupaten dari hasil analisis
kejelasan fungsi, dengan kemampuan pelayanan sarana yang dimiliki oleh keempat wilayah
tersebut akan semakin menguatkan peran yang disandang keempat wilayah tersebut.
Sedangkan satu wilayah yaitu Kec. Kartasura merupakan kawasan perkotaan yang berada di
sekitar Kota Surakarta. Dengan kemampuan pelayanan yang >100% maka wilayah ini akan
mampu menyokong Kota Surakarta untuk memenuhi permintaan kebutuhan sarana
pendidikan dari kawasan perkotaan Surakarta yang masih kekurangan. Wilayah yang belum
dapat mencukupi kebutuhan sarana pendidikan secara mandiri adalah Kec. Jaten, Kec.
Colomadu, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec.Baki, dan Kec. Ngemplak. Keseluruhan
wilayah tersebut merupakan kawasan perkotaan yang berada di sekitar Kota Surakarta.
Apabila ditinjau dari aksesibilitas maka wilayah-wilayah tersebut sangat tergantung pada
sarana pendidikan di Kota Surakarta maupun wilayah yang memiliki kemampuan pelayanan
sarana terbaik kedua setelah Kota Surakarta seperti Kec. Kartasura maupun kota-kota satelit
di dekatnya. Bagi Kec. Jaten dan Kec. Mojolaban kota alternative yang dapat digunakan
untuk memenuhi sarana adalah Kota Karangnyar, bagi Kec. Grogol dan Baki kota alternative
commit to user
adalah Kota Sukoharjo, sedangkan wilayah alternative bagi pemenuhan kekurangan sarana
Kec. Colomadu dan Kec. Ngemplak adalah Kec. Kartasura.
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan melihat kemampuan pelayanan masing-masing sarana, semua wilayah dalam
aglomerasi perkotaan Surakarta sudah mampu mencukupi kebutuhan sarana kesehatan dan
perdagangan secara mandiri terlepas dari adanya gaya tarik sarana di wilayah lain yang
memiliki hirarki lebih tinggi. Akan tetapi, apabila ditinjau dari kemampuan pelayanan sarana
hanya kota inti, kota-kota yang menyandang fungsi pusat pelayanan kabupaten, dan Kec.
Kartasura saja yang sudah mampu melayani kebutuhan internal secara mandiri bahkan
mampu memenuhi kebutuhan dari luar wilayah. Dengan demikian maka, tolok ukur
kesesuaian ketiga yaitu “adanya pusat dan sub pusat dalam masing-masing kota inti maupun
satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan” telah terpenuhi pada aspek sarana
kesehatan dan perdagangan, tetapi belum terpenuhi pada aspek kemampuan pelayanan sarana
pendidikan. Apabila dihitung berdasarkan ketercapaian masing-masing wilayah, maka
persentase kesesuaian untuk kemampuan pelayanan sarana kesehatan adalah 100%, sarana
perdagangan 100%, dan sarana pendidikan 50%. Persentase kemampuan pelayanan sarana
pendidikan adalah 50% karena dari 12 wilayah hanya 6 wilayah yang sudah mampu melayani
wilayahnya.
4.4.4 Kesesuaian berdasarkan Skala Pelayanan Pusat dan Sub Pusat
Tolok ukur kesesuaian yang keempat berbicara tentang skala layanan yaitu skala
layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan harus
dapat melayani seluruh kawasan metropolitan bahkan nasional, sedangkan sub pusat berfungsi
mendukung pusat dalam pengembangan kawasan. Untuk mengetahui skala layanan suatu
pusat dan sub pusat dapat diketahui dari hirarki perkotaan maupun dengan rumus breaking
point. Khusus untuk skala layanan dengan rumus breaking point hanya dapat digunakan untuk
wilayah yang berdekatan, apabila digunakan untuk melihat skala pelayanan antarwilayah yang
terpisah tidak akan valid. Oleh karena itu, untuk mengetahui skala layanan pusat dan sub
pusat peneliti menggunakan dua pendekatan yaitu dengan melihat hirarki untuk wilayah yang
terpisah jauh dan dengan menggunakan breaking point untuk wilayah yang terletak
berdekatan yang digabungkan dengan aksesibilitas.
Kota Surakarta sebagai kota hirarki pertama memiliki skala pelayanan yang
mencangkup seluruh wilayah aglomerasi perkotaan Surakarta. Hal ini juga dipertegas dari
hasil analisis kemampuan pelayanan sarana dimana Kota Surakarta memiliki persentase
pelayanan >100%.
Kecamatan Kartasura merupakan wilayah perkotaan sekitar Surakarta
yang memiliki hirarki kedua ditinjau dari ketersediaan sarana perkotaan maupun jumlah
commit to user
penduduk. Berdasarkan analisis kemampuan pelayanan sarana, wilayah ini memiliki
kemampuan untuk melayani wilayah lain yang ditunjukkan dengan persentase pelayanan
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
>100% untuk sarana kesehatan, perdagangan, dan pendidikan. Kecamatan Kartasura memiliki
skala pelayanan eksternal yang mencakup kawasan perkotaan sekitar Surakarta yang memiliki
hirarki perkotaan lebih kecil yang berada di bagian barat yaitu Kec. Colomadu, Kec. Baki,
Kec. Ngemplak, Kec. Grogol, dan Kota Sukoharjo. Pengaruh Kota Kartasura masih terbatas
pada wilayah bagian barat karena keberadaan kota inti. Kota inti yang berada di bagian timur
Kec. Kartasura akan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap wilayah-wilayah yang
berada di bagian timur. Meskipun skala pelayanan Kec. Kartasura sudah mencangkup wilayah
yang berada di bagian barat, tetapi dikarenakan adanya factor jarak dan pengaruh keberadaan
kota inti yang lebih besar maka skala pelayanan Kec. Kartasura sebagai wilayah hirarki kedua
masih terbatas. Dibandingkan dengan menjalankan peran sebagai wilayah hirarki kedua yang
berarti memenuhi kebutuhan pelayanan hirarki dibawahnya, Kec. Kartasura lebih berperan
sebagai pendukung Kota Surakarta dalam artian mengurangi beban Kota Surakarta sebagai
pusat pelayanan wilayah. Dikarenakan peran tersebut maka Kec. Kartasura akan berkembang
sebagai secondary business distric yang melayani kebutuhan dari adanya arus suburbanisasi
di main urban area.
Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Mojolaban, dan
Kec. Grogol merupakan wilayah hirarki ketiga di aglomerasi perkotaan Surakarta. Secara
normative wilayah hirarki ketiga seharusnya memiliki jangkauan pelayanan yang
mencangkup wilayah dengan hirarki di bawahnya yaitu Kec. Jaten, Kec. Ngemplak, Kec.
Baki, dan Kec. Colomadu. Akan tetapi dikarenakan factor lokasi dan keberadaan wilayah
yang hirarkinya lebih tinggi maka wilayah-wilayah tersebut tidak berfungsi sebagaimana
seharusnya. Kota Sragen dan Kota Karanganyar yang berada di bagian timur seharusnya
memiliki jangkauan pelayanan sampai Kec. Jaten, tetapi dikarenakan Kota Surakarta yang
memiliki skala pelayanan lebih tinggi maka jangkauan pelayanan Kota Sragen menjadi nol,
sedangkan jangkauan pelayanan Kota Karanganyar ada meskipun dengan proporsi yang
sedikit. Begitu pula dengan jangkauan pelayanan Kec. Mojolaban, dikarenakan skala
pelayanan Kota Surakarta lebih kuat maka jangkauan pelayanan ke Kec. Jaten menjadi lebih
kecil. Kota Sukoharjo dan Kec. Grogol yang berada pada bagian selatan Kota Inti seharusnya
memiliki jangkauan pelayanan meliputi Kec. Baki. Akan tetapi, karena Kec. Baki berada
dekat dengan wilayah hirarki pertama (Kota Surakarta) dan wilayah hirarki kedua (Kec.
Kartasura) maka jangkauan pelayanan Kota Sukoharjo dan Kec. Grogol ke Kec. Baki menjadi
lebih kecil. Wilayah hirarki ketiga yang berada di bagian timur adalah Kota Boyolali, secara
hirarki seharusnya kota ini mampu melayani Kec. Ngemplak, tetapi dikarenakan factor jarak
commit to user
dan lokasi maka Kec. Ngemplak lebih dapat dilayani oleh Kota Surakarta.
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kecamatan Jaten dan Kec. Ngemplak merupakan wilayah hirarki keempat yang berarti
secara hirarki kedua wilayah tersebut seharusnya melayani Kec. Baki dan Kec. Colomadu
yang merupakan wilayah hirarki terendah. Akan tetapi, dikarenakan keberadaan wilayah
dengan hirarki lebih tinggi maka kedua wilayah tersebut telah dilayani Kota Surakarta, Kec.
Kartasura, dan Kec. Ngemplak. Sehingga Kecamatan Jaten tidak menjalankan fungsi sesuai
hirarkinya. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa seluruh wilayah dari aglomerasi
perkotaan Surakarta telah terlayani oleh keberadaan pusat-pusat pelayanan yang ada,
meskipun tidak sesuai dengan hirarki perkotaan yang ada akibat pengaruh jarak dan lokasi.
Dalam hal ini, Kota Surakarta berperan sebagai penyedia pelayanan.
Dalam tolok ukur kesesuaian ini juga disebutkan bahwa “sub pusat berfungsi
mendukung pusat dalam pengembangan kawasan” yang berarti sub pusat juga harus memiliki
kemampuan fertikal yaitu mendukung Kota Surakarta. Kemampuan ini dapat dilihat dari
persentase kemampuan pelayanan sarana dari hasil analisis kemampuan pelayanan sarana.
Sebagai kota inti, Surakarta memiliki 11 sub pusat yang memiliki kemampuan pelayanan
sarana pendidikan, perdagangan, dan pendidikan. Masing-masing sub pusat akan dinilai
mampu mendukung kota Surakarta jika pada hasil analisis kemampuan sarana memiliki nilai
lebih dari 100% untuk setiap jenis sarana. Berdasarkan analisis kemampuan pelayanan sarana
diperoleh 24 poin yang bernilai >100% dari 33 poin sehingga persentase pencapaian sub tolok
ukur ini adalah 72,73%. Apabila persentase pencapaian dua sub tolok ukur tersebut digabung
akan menghasilkan persentase pencapaian rata-rata 86,37%. Dengan demikian maka tolok
ukur keempat yaitu “Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik telah
terpenuhi 86,37%.
4.4.5 Kesesuaian berdasarkan Keberadaan Jaringan Jalan dan Moda Transportasi
Umum
Tolok ukur kesesuaian yang kelima berbicara tentang ketersediaan jaringan jalan dan
moda transportasi yang menghubungkan pusat dan subpusat. Pusat dan sub pusat di
aglomerasi perkotaan dihubungkan oleh jaringan jalan baik arteri, kolektor, dan local.
Jaringan jalan tersebut memiliki nilai aksesibilitas yang relatif sama yaitu berkisar antara 0,06
sampai 0,18 yang menunjukkan bahwa
akses masing-masing sub pusat ke pusat (Kota
Surakarta) relatif mudah. Berdasarkan peninjauan lapangan mengenai kondisi jaringan jalan
dan pengumpulan data kondisi jaringan jalan secara umum jaringan jalan penghubung utama
telah memenuhi persyaratan jaringan jalan sesuai dengan fungsinya dilihat dari lebar,
commit to user
kecepatan minimal, dan kapasitasnya dengan persentase 94,38%. Dari 24 ruas jalan
penghubung terdapat empat ruas jalan yang tidak memenuhi standar dengan panjang 7,10 Km
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan total panjang jalan 126,25 Km. Ruas jalan tersebut antara lain Jl. Veteran dan Jl.
Ahmad Yani. Jl. Veteran merupakan jalan yang menghubungkan Kota Surakarta dengan Kec.
Grompol maupun Kota Sukoharjo. Jalan Veteran tidak memenuhi standard karena lebar jalan
efektif tidak sesuai dengan ketentuan jalan kolektor yang seharusnya memiliki lebar jalan
efektif lebihdari samadengan 7 meter sedangkan Jl. Veteran hanya memiliki lebar efektif
sebesar 5 meter. Sedangkan Jl. Ahmad Yani tidak memenuhi standar dilihat dari kapasitas
jalan dan kecepatan minimal dimana seharusnya jalan arteri memiliki kecepatan minimal 60
Km/Jam, sedangkan kecepatan maksimal rata-rata pengguna kendaraan di Jl. Ahmad Yani
adalah 40 Km/Jam. Sehingga apabila disimpulkan, pergerakan dari sub-sub pusat menuju
Kota Surakarta maupun sebaliknya telah didukung oleh keberadaan jaringan jalan dengan
akses yang relative baik, kecuali akses dari arah Kota Sukoharjo yang melewati jalan veteran
yang sedikit terhambat pada jam-jam masuk dan keluar kerja.
Moda transportasi yang menghubungkan pusat dan sub pusat juga telah tersedia. Untuk
mencapai sub pusat yang berada di sekitar kota Surakarta, terdapat tempat-tempat pergantian
moda yang terletak di Kota Surakarta baik yang berada di pusat kota maupun pinggiran kota.
Sehingga akses pusat – sub pusat maupun antarsubpusat dapat dilakukan secara mudah
apabila menggunakan moda transportasi pribadi maupun moda transportasi umum. Dengan
demikian maka tolok ukur kelima yaitu “Pusat dan sub pusat yang dihubungkan sistem
transportasi terpadu yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum” telah
terpenuhi sebesar 94,38% pada jaringan jalan dan 100% pada ketersediaan moda transportasi
umum. Sehingga rata-rata persentase pencapaian adalah 97,19%.
4.4.6 Kesesuaian berdasarkan Pola Ruang
Tolok ukur kesesuaian pada aspek pola ruang berkaitan dengan pola ruang yang
berkelanjutan. Pola ruang yang berkelanjutan adalah pola ruang yang tidak bersifat sprawl.
Dengan melihat peta lahan terbangun dan tidak terbangun tersebut, pola ruang wilayah dapat
dikenali secara jelas wilayah yang memiliki bentuk kompak ataupun sprawl. Dari duabelas
wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta, terdapat 4 wilayah yang memiliki bentuk
berkelanjutan karena tidak terbentuk sprawl dengan tipe linier maupun leapfrog development
yaitu Kota Surakarta, Kota Sragen, Kota Boyolali, dan Kecamatan Kartasura. Masing-masing
kota tersebut memiliki ciri penggunaan lahan yang berbeda, tetapi pola ruang yang terbentuk
memiliki sifat keberlanjutan. Lahan terbangun Kota Surakarta merata di seluruh wilayah,
tetapi dengan intensitas yang berbeda. Ditinjau dari KDB dan KLB, wilayah bagian selatan
commit to user
Kota Surakarta memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian utara.
Daerah Utara sebagai daerah hijau hunian berkepadatan rendah sedangkan daerah selatan
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
daerah perkotaan berkepadatan tinggi. Lahan terbangun di Kota Sragen terpusat di tengah
wilayah yang merupakan jalan utama kota. Lahan terbangun di tengah kota ini dikelilingi oleh
lahan pertanian sehingga secara sekilas menyerupai garden city, dimana lahan terbangun
dikelilingi oleh sabuk hijau. Pola penggunaan lahan di Kota Boyolali cenderung
terkonsentrasi di pusat wilayah, dan kemudian menurun intensitasnya sesuai dengan
ketinggian wilayah karena factor kondisi fisik alami yang berupa perbukitan landai. Lahan
terbangun di Kecamatan Kartasura terkonsentrasi di pusat wilayah yang dilalui oleh jaringan
jalan arteri. Lahan terbangun di pusat wilayah tersebut memiliki intensitas yang sama baik
untuk bagian utara. Secara keseluruhan pola ruang masing-masing wilayah tersebut dianggap
berkelanjutan karena memiliki tipe perkembangan kompak yang tercermin dalam lokasi lahan
terbangun yang kompak atau dekat satu sama lain dan adanya konsentrasi lahan terbangun,
meskipun terdapat lahan terbangun yang terpisah, tetapi lahan terbangun yang terpisah
tersebut memiliki proporsi jauh lebih kecil dibandingkan lahan terbangun yang terpusat.
Sedangkan kedelapan wilayah yang lain seperti Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo,
Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Colomadu, dan Kec. Ngemplak
memiliki pola ruang berbentuk sprawl dimana lokasi lahan terbangun tidak terkonsentrasi
pada satu titik. Lahan-lahan terbangun memiliki pola linier di jalan utama dan berbentuk leapfrog development pada wilayah-wilayah dalam. Pembangunan juga terjadi di sepanjang sungai
yang dapat merusak sumberdaya alami berupa dataran banjir (floodplain) yang seharusnya
merupakan wilayah konservasi. Kepadatan penduduk masing-masing wilayah juga relative
rendah berkisar antara 18-40 jiwa/Ha dengan tipe hunian yang mayoritas berkoefisien lantai
bangunan 1. Sehingga dari duabelas wilayah, hanya terdapat empat wilayah yang memiliki
pola berkelanjutan sehingga persentase pencapaian tolok ukur dari aspek pola ruang adalah
33,33%.
4.4.7 Kesesuaian berdasarkan Daya Dukung Lahan
Berdasarkan analisis penelitian, aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki daya tampung
8,6 juta jiwa dengan catatan penduduk tersebut tinggal pada rumah berkoefisien lantai
bangunan(KLB) 3 dan sesuai dengan kemampuan lahan tanpa adanya rekayasa teknis dalam
pembangunan rumah. Dipilihnya hasil perhitungan daya tampung dengan menggunakan
scenario KLB 3 berdasarkan pertimbangan bahwa persyaratan suatu metropolitan yang
berkelanjutan terkait dengan aspek bentuk kota (urban form) adalah adanya efisiensi
pemanfaatan lahan (DPU, 2006) dan bentuk bangunan fungsional berstruktur kompak atau
commit to user
dekat satu sama lain (Jabbaren dalam Kusumantoro, 2007). Apabila efisiensi pemanfaatan
lahan dipandang sebagai batasan pembangunan horizontal (linier) maka persyaratan bagunan
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berstruktur kompak adalah peluang pembangunan secara vertical sehingga apabila
disintesiskan maka metropolitan yang berkelanjutan hendaknya membatasi pembangunan
secara horizontal dan lebih mengembangkan pembangunan vertical (bangunan >1 lantai).
Dengan melihat daya tampung tersebut, daya tampung lahan aglomerasi perkotaan
Surakarta sudah memenuhi kesesuaian yang mendukung sebagai kawasan metropolitan.
Dengan membandingkan pola penggunaan lahan eksisting dan pola penggunaan lahan yang
sesuai kemampuan lahan, diketahui bahwa pola penggunaan lahan eksisting tidak memenuhi
ketentuan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan, tetapi koefisien lantai bangunan saat
ini masih memiliki potensi pengembangan vertical sehingga aglomerasi perkotaan Surakarta
masih dapat menampung penduduk. Secara keseluruhan, daya dukung lahan aglomerasi
perkotaan Surakarta memenuhi kesesuaian sebagai metropolitan yang berkelanjutan dengan
persentase pencapaian 100% karena memiliki daya tampung lahan >1 juta penduduk dan
masih dapat menampung penduduk tambahan >1 juta jiwa.
Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan daya tampung lahan ini adalah jumlah
maksimal penduduk yang dapat ditampung akan menentukan life-span atau waktu rentang
lahan dalam mendukung keberlanjutan metropolitan. Dalam kasus ini, life span aglomerasi
perkotaan Surakarta adalah sampai jumlah penduduk mencapai 8,6 juta jiwa. Agar aglomerasi
perkotaan Surakarta memiliki life span atau umur keberlanjutan yang lebih panjang maka
perlu dilakukan peremajaan ruang kota, semakin cepat peremajaan dilakukan maka life span
akan semakin panjang karena perkembangan dapat dikontrol sedini mungkin. Namun
hendaknya upaya peremajaan ruang kota yang dilakukan juga memperhatikan konsep
pemanfaatan kembali (recycling) dari sumberdaya kota (bangunan dan lingkungan) serta
memanfaatkan kekhasan tempat (uniqueness) atau aspek lokalitas yang seharusnya menjadi
ciri pembangunan di negara berkembang. Konsep pemanfaatan kembali (recycling) sendiri
berakar dari pemikiran tentang keberlanjutan yang telah menjadi topic dalam Agenda 21.
Dalam situasi social-politik yang kurang menguntungkan dan krisis ekonomi, pemikiran
pemanfaatan kembali akan menjadi sangat relevan untuk menjamin kelestarian sumberdaya
bagi generasi berikutnya di masa mendatang.
4.4.8 Kesesuaian berdasarkan Daya Dukung Sumber Daya Air
Berdasarkan analisis daya tampung penduduk berdasarkan ketersediaan sumberadaya
air diketahui bahwa jumlah maksimal penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya adalah
8,2 juta jiwa dengan pemenuhan kebutuhan penduduk 1,2 M3/penduduk/hari. Dengan
commit to user
demikian maka jumlah produksi air aglomerasi perkotaan Surakarta telah mendukung
terbentuknya kawasan metropolitan karena memiliki daya dukung air >1 juta jiwa penduduk.
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Akan tetapi, apabila jumlah penduduk melebihi daya dukung air tersebut maka kawasan
metropolitan yang terbentuk tidak dapat berkelanjutan. Dengan kata lain daya dukung sumber
daya air hanya mampu mendukung keberlanjutan metropolitan sampai jumlah penduduk
mencapai 8,2 jiwa dengan beberapa kondisi yaitu:
-
Jumlah debit air setiap sumber air tidak mengalami perubahan.
-
Tidak terdapat kegiatan yang dapat merusak sumber-sumber air internal aglomerasi
perkotaan Surakarta.
-
Pertumbuhan penduduk seiring dengan pertumbuhan industri dan sarana prasarana
perkotaan.
-
Sumber air di luar aglomerasi perkotaan Surakarta yang dapat dimanfaatkan tidak dibahas
dalam penelitian ini.
Berdasarkan neraca kesetimbangan lahan juga dapat diketahui bahwa ketersediaan air
saat ini masih dapat menanggung kebutuhan 6 kali lipat dari kondisi sekarang. Akan tetapi,
ketersediaan air dan jumlah penduduk yang dapat dilayani bisa menjadi kurang dari 8,2 juta
jiwa jika terdapat kegiatan-kegiatan yang merusak tata air seperti kegiatan pembangunan yang
berlebihan tanpa memperhatikan upaya konservasi maupun berkurangnya catchment area.
Berbeda dengan upaya peningkatan daya tampung lahan, upaya peningkatan kapasitas
sumberdaya air tidak dapat dilakukan sendiri melainkan diperlukan kerjasama antarwilayah.
Daya dukung sumberdaya air juga memiliki life span seperti daya dukung lahan, life span
keberlangsungan metropolitan Surakarta ini dapat bertambah jika dilakukan upaya konservasi
air dan pemakaian sumberdaya air eksternal wilayah.
Kedua tolok ukur kesesuaian daya dukung lingkungan tersebut mendeskripsikan bahwa
daya dukung lahan dan air aglomerasi perkotaan Surakarta akan mampu memenuhi kebutuhan
penduduk sampai 8,2 jiwa, dengan rincian sebagai berikut:
-
Persentase lahan terbangun adalah 29,77% yang dimanfaatkan untuk perumahan dan non
perumahan. Persentase lahan yang digunakan untuk perumahan adalah 14,88%.
-
Apabila lahan perumahan sebesar 14,88% digunakan untuk membangun rumah dengan
koefisien lantai bangunan 1 maka daya tampung penduduk adalah 2,8 jiwa. Sedangkan
apabila tipe rumah yang dibangun adalah rumah dengan koefisien lantai bangunan 3 dan
>4 untuk 3 kelurahan di Kab. Sukoharjo maka jumlah penduduk yang dapat ditampung
akan lebih dari 8,6 jiwa.
Berdasarkan kemampuan lahan dan air maka jumlah penduduk yang dapat didukung
adalah 8,2 juta jiwa sehingga pencapaian kesesuaian adalah 100%.
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 5
PEMBAHASAAN KESESUAIAN SEBAGAI
METROPOLITAN BERKELANJUTAN
5.1
TINGKAT KESESUAIAN BERDASARKAN MASING-MASING ASPEK
Dengan membandingkan kondisi eksisting dan tolok ukur kesesuaian yang telah
disebutkan sebelumnya maka dapat dinilai kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta dari
masing-masing aspek. Masing-masing persentase pencapaian tolok ukur yang telah
disebutkan pada bab sebelumnya kemudian digunakan untuk menilai tingkat kesesuaian yaitu
sesuai, cukup sesuai, dan kurang sesuai dengan ketentuan seperti yang telah disebutkan dalam
metode penelitian.
Dari aspek struktur ruang, kondisi struktur ruang eksisting dinilai sesuai untuk
mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan dengan persentase pencapaian
93,36%. Terdapat beberapa tolok ukur yang memiliki persentase kesesuaian 100% dilihat dari
telah terbentuknya struktur banyak pusat (polycentric), adanya kejelasan fungsi masingmasing wilayah, kemampuan pelayanan internal wilayah, dan ketersediaan moda transportasi
umum. Meskipun persentase pencapaian tolok ukur ketiga dinilai sesuai, tetapi persentase ini
merupakan persentase rata-rata, apabila persentase pencapaian ini dilihat ke dalam masingmasing aspek maka akan dapat dilihat kelemahan dari kemampuan pelayanan sarana
pendidikan yang hanya 50%. Sehingga perlu dilakukan peningkatan kemampuan pelayanan
sarana pendidikan di enam wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta secara internal
maupun eksternal wilayah. Sedangkan apabila ditinjau dari tolok ukur kelima yaitu
ketersediaan jaringan jalan maka aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai telah sesuai dengan
persentase kesesuaian 97,13%.
Aglomerasi perkotaan Surakarta juga dinilai kurang sesuai dengan presentase
kesesuaian 33,33% dilihat dari tolok ukur ke-6 yaitu memiliki pola ruang berkelanjutan. Dari
duabelas wilayah hanya empat wilayah yang memiliki pola ruang berkelanjutan dan tidak
sprawl. Dengan persentase pencapaian tolok ukur yang rendah tersebut, maka diperlukan
upaya untuk meningkatkan pencapaian tolok ukur agar pola ruang yang ada dapat mendukung
terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan. Dari aspek daya dukung lingkungan
persentase pencapaian adalah 100% yang berarti kondisi eksisting daya tampung lahan dan
sumberdaya air telah mampu mencukupi kebutuhan hingga >1 juta penduduk.
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 5.1 Persentase Kesesuaian berdasarkan Masing-masing Tolok Ukur
No.
1
Tolak Ukur
Struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan
beberapa pusat-pusat kegiatan atau sub pusat.
Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi.
Adanya pusat dan sub pusat di dalam masing-masing kota baik inti
maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan.
Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik yaitu
mampu melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut.
Pusat dan sub pusat yang dihubungkan system transportasi terpadu
yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum.
Memiliki pola ruang yang berkelanjutan.
2
3
4
5
6
7
Minimal 1 juta penduduk bisa ditampung di wilayah dan/atau
kawasan, dengan pengertian masih dalam batas kemampuan lahan.
8
Minimal 1 juta penduduk masih bisa mendapatkan air baku untuk
memenuhi kebutuhannya.
Sumber : Analisis Peneliti, 2012
Persentase
Pencapaian (%)
100%
Tingkat
Kesesuaian
Sesuai
100%
83,33%
Sesuai
Sesuai
86,37%
Sesuai
97,19%
Sesuai
33,33 %
100%
Kurang
Sesuai
Sesuai
100%
Sesuai
Dengan melihat presentase pencapaian tolok ukur tersebut dapat dipahami bahwa secara
struktur ruang, kondisi aglomerasi perkotaan Surakarta sudah mendukung terbentuknya
metropolitan berkelanjutan, dan dari aspek daya dukung lingkungan, aglomerasi perkotaan
Surakarta telah memiliki modal yang cukup. Akan tetapi, pola ruang yang terbentuk saat ini,
tidak mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan karena memilki pola sprawl dan
tidak sesuai dengan arahan penggunaan lahan. Apabila pola ruang eksisting terus mengalami
perkembangan sesuai dengan tren perkembangannya maka akan mengancam keberlanjutan
metropolitan yang terbentuk.
5.2
KEBERLANJUTAN STRUKTUR RUANG
Berdasarkan analisis pada sub bab sebelumnya diketahui bahwa secara keseluruhan
kondisi struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung aglomerasi perkotaan Surakarta telah
mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan karena telah memenuhi kriteria ideal
metropolitan dan kriteria keberlanjutan dari aspek fisik. Meskipun secara keseluruhan,
aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai sesuai sebagai metropolitan berkelanjutan, tetapi jika
ditinjau dari masing-masing aspek akan menghasilkan penilaian yang berbeda. Berdasarkan
tinjauan teori, metropolitan berkelanjutan hendaknya memiliki struktur ruang yang
polycentric, terdapat kejelasan fungsi masing-masing wilayah, pusat dan subpusat memiliki
skala layanan yang dapat didefinisikan dengan baik yaitu pusat kawasan harus mampu
melayani seluruh wilayah sedangkan sub pusat berfungsi mendukung pusat dalam
userinternal masing-masing pusat dan sub
pengembangan kawasan metropolitan, commit
dalam to
skala
pusat memiliki kemampuan pelayanan internal, pusat dan subpusat dihubungkan dengan
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jaringan transportasi yang memudahkan penduduk dalam bermobilitas, metropolitan memiliki
bentuk pola ruang yang berkelanjutan (tidak sprawl), dengan didukung oleh kemampuan daya
dukung lingkungan.
Dari aspek struktur ruang, aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai telah memenuhi
kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjuta. Pada tahap ini, aglomerasi perkotaan Surakarta
telah memiliki struktur banyak pusat (polycentric) dengan sebuah sebuah kota inti. Masingmasing wilayah juga telah memiliki kejelasan fungsi dimana kota-kota satelit berfungsi
sebagai pusat pelayanan kabupaten, sedangkan kawasan perkotaan Surakarta sebagai wilayah
yang menampung arus suburbanisasi serta mendukung kota inti dalam hal pelayanan. Masingmasing sub pusat telah memiliki spesifikasi fungsi dominan tertentu yaitu pusat industry,
dormitory town, dan pusat perdagangan sedangkan kota inti berfungsi sebagai Central
Business District (CBD). Dengan adanya kejelasan fungsi masing-masing pusat ini maka
terbentuk sinergi yang kuat antarwilayah, karena masing-masing wilayah akan terkait dalam
suatu hubungan simbiosis yang saling menguntungkan dan saling bergantung. Sebagai
contohnya adalah peningkatan kebutuhan hunian di kota inti yaitu Kota Surakarta dapat
dipenuhi di kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai dormitory town seperti Kecamatan
Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Colomadu, Kecamatan Baki, dan Kecamatan Ngemplak,
sehingga dormitory town berfungsi sebagai penampung arus suburbanisasi. Adanya wilayah
yang berfungsi sebagai dormitory town memberikan dampak positif bagi kota inti karena
mencegah timbulnya permukiman-permukiman kumuh dan illegal yang biasa terjadi akibat
meningkatnya kebutuhan hunian di perkotaan. Yang menjadi catatan utama adalah apabila
terjadi permukiman kumuh di metropolitan maka akan mengancam keberlanjutan
metropolitan tersebut karena akan muncul pencemaran-pencemaran lingkungan, pemborosan
sumberdaya, dan peningkatan intensitas lahan yang dapat menimbulkan kejenuhan di wilayah
metropolitan tersebut. Sebagai dampak dari kejenuhan tersebut adalah ruang perkotaan akan
menjadi tidak lifeable lagi sehingga keberlanjutannya tidak dapat dipertahankan. Adanya
wilayah-wilayah yang berfungsi sebagai dormitory town akan menghindarkan dari kejenuhan
ruang kota dan menjamin keberlanjutan ruang metropolitan Surakarta. Adanya wilayah yang
berfungsi sebagai kawasan industry juga memberikan dampak positif karena kegiatan industry
dapat dialokasikan di satu wilayah sehingga dampak pencemaran yang mungkin muncul dapat
dikendalikan dengan mudah dan mencegah kerusakan lahan-lahan pertanian potensial.
Spesialisasi masing-masing wilayah tersebut juga telah didukung dengan adanya kemampuan
pelayanan internal wilayah, dimana masing-masing wilayah telah mampu memenuhi
commit to user
kebutuhan internalnya pada sarana perdagangan dan kesehatan, meskipun kemampuan
pelayanan sarana pendidikan di enam wilayah masih bergantung pada wilayah lain.
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kejelasan fungsi serta kemampuan pelayanan masing-masing pusat dan subpusat juga
menunjukkan bahwa skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik sesuai
dengan tolok ukur keempat yaitu pusat kawasan berfungsi melayani seluruh kawasan
metropolitan dan sub pusat berfungsi mendukung pusat. Dengan melihat fungsi masingmasing wilayah serta kemampuan pelayanannya terlihat bahwa pusat yaitu Kota Surakarta
dapat memerankan fungsinya sebagai pusat pelayanan wilayah dengan baik dilihat dari
fungsinya sebagai Central Business District serta kemampuan pelayanan sarana perkotaan
yang mampu menjangkau seluruh wilayah. Sedangkan sub-sub pusat mendukung pusat
dengan menyediakan ruang untuk mengakomodasi kebutuhan pusat sekaligus membantu
pusat dalam menjalankan fungsinya yang dibuktikan dengan adanya pusat perdagangan kedua
yang diprediksikan akan menjadi Secondary Business District dan munculnya Tertiary
Business District yaitu Kecamatan Grogol yang mengakomodasi aktivitas hunian,
perdagangan dan jasa, serta industry. Kejelasan fungsi masing-masing wilayah tersebut juga
akan mengakibatkan persebaran perkembangan wilayah sehingga perkembangan wilayah
tidak terpusat di satu titik, melainkan menyebar ke segala arah sesuai dengan kriteria
pembangunan berkelanjutan dari aspek ekonomi yaitu Growth Development dan Productivity
Trickling Down. Meskipun kriteria berkelanjutan dari aspek ekonomi tidak dibahas dalam
penelitian ini, tetapi dengan melihat adanya kejelasan fungsi masing-masing wilayah dapat
diprediksikan akan terjadi persebaran perkembangan wilayah karena masing-masing wilayah
saling bergantung. Dengan adanya perkembangan wilayah yang merata maka beban
pembangunan dapat didistribusikan secara merata sehingga daya dukung masing-masing
wilayah tidak terancam. Kejelasan fungsi masing-masing wilayah akan mempermudah arah
pengembangan wilayah yang dapat disesuaikan dengan daya dukung lingkungan yang
dimilikinya
sehingga
pengendalian
juga
dapat
dilaksanakan
dengan
mudah
dan
keberlanjutannya dapat terjamin.
Kejelasan fungsi masing-masing pusat wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta juga
telah didukung dengan jaringan jalan dan moda transportasi umum yang memungkinkan
penduduk dapat melakukan mobilitas pekerjaan, perumahan, dan perjalanan. Sebagaimana
disebutkan dalam tinjauan teori bahwa karakter metropolitan dari sisi kemudahan mobilitas
adalah adanya kemudahan mobilitas pekerjaan yaitu mudahnya berpindah tempat kerja tanpa
harus berpindah tempat tinggal, mobilitas perumahan yang biasanya mengikuti perubahan
tempat kerja, dan mobilitas perjalanan. Dalam aglomerasi perkotaan Surakarta ketiga jenis
mobilitas tersebut telah diakomodasi dengan baik oleh jaringan jalan penghubung dan moda
commit to user
transportasi umum yang menghubungkan antarwilayah sehingga masyarakat dapat melakukan
pergerakan dengan mudah dari wilayah satu ke wilayah lain maupun internal wilayah dengan
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
destinasi yang berbeda-beda. Penggunaan moda transportasi umum yang telah tersedia juga
akan mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan karena akan menghemat
sumberdaya energy, mengurangi emisi gas pembuangan kendaraan pribadi, dan menghemat
penggunaan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Apabila dibandingkan, pengalihan
kendaraan pribadi ke moda transportasi umum akan lebih efisien jika dibandingkan dengan
peningkatan kapasitas jalan bagi pergerakan dengan kendaraan pribadi karena meminimalisir
pembebasan lahan. Pembebasan lahan sendiri dapat mengakibatkan berkurangnya daerah
resapan yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu wilayah terkait berkurangnya
kemampuan lahan dalam menyerap air dan memenuhi kebetuhan hunian penduduk. Sehingga
dapat dipahami bahwa penggunaan moda transportasi umum akan mendukung keberlanjutan
wilayah metropolitan dari segi transportasi. Akan tetapi, jika kondisi jaringan jalan dan moda
transportasi umum tidak mengalami peningkatan atau tidak dilakukan upaya-upaya
pengendalian maka dapat dipastikan bahwa mobilitas pusat dan subpusat akan terganggu dan
menjadi kelemahan utama dari struktur ruang metropolitan Surakarta yang akan terbentuk.
Secara keseluruhan, keberlanjutan struktur ruang aglomerasi perkotaan telah terjamin dengan
catatan perlu adanya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan pengalihan ke moda
transportasi umum yang telah tersedia.
5.3
KEBERLANJUTAN POLA RUANG
Ditinjau dari aspek daya dukung lingkungan, daya dukung lahan dan sumberdaya air
aglomerasi perkotaan Surakarta mampu mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan
dengan life-span hingga 8,2 juta jiwa penduduk. Akan tetapi, jika daya dukung lingkungan ini
kemudian dikaitkan dengan pola ruang eksisting maka pola ruang eksisting tidak sesuai
dengan persyaratan agar daya dukung lingkungan mencapai life-span 8,2 juta jiwa sehingga
daya dukung lingkungan di masa yang akan datang tidak akan sampai pada life span dengan
batasan 8,2 juta jiwa.
Pola ruang eksisting cenderung acak di delapan wilayah yang dapat mengakibatkan
pemborosan sumberdaya untuk pembangunan infrastruktur dan mengurangi daerah resapan
air. Selain itu, perkembangan wilayah yang cenderung linier dengan koefisien dasar bangunan
yang tinggi serta koefisien lantai bangunan yang rendah berakibat munculnya kawasan
terbangun massif yang mengurangi penyerapan air tanah dan meningkatkan debit run off air
permukaan. Kondisi ini selain mengurangi cadangan air tanah juga akan menimbulkan potensi
banjir yang semakin besar terutama di sekitar wilayah DAS Bengawan Solo dan anak
commit to user
sungainya. Tingginya potensi banjir akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan arahan
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
daya dukung lingkungan akan membahayakan hunian-hunian yang berada di dataran banjir
yang telah ada sebelumnya.
Peningkatan lahan terbangun secara horizontal dan acak, kerusakan lingkungan akibat
pembangunan yang massif, serta keterbatasan lingkungan itu sendiri akan mengurangi daya
dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta sehingga keberlanjutan metropolitan
menjadi kurang terjamin. Sehingga dapat dipahami bahwa meskipun daya dukung lingkungan
mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan, tetapi dikarenakan pola perkembangan
wilayah yang tidak diarahkan vertical dan cenderung sesuai dengan tren perkembangan saat
ini yaitu perkembangan horizontal dan acak maka keberlanjutan aglomerasi perkotaan
Surakarta sebagai metropolitan tidak dapat terjamin.
Agar metropolitan Surakarta yang nantinya terbentuk memiliki keberlanjutan dan lifespan yang panjang, hendaknya pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan arahan
kemampuan lahan sehingga daya dukung lingkungan tidak menurun. Dengan melihat
karakteristik perkembangan wilayah yang memusat di Kota Surakarta kemudian merembet ke
luar sesuai dengan jaringan jalan dan terdapat beberapa perkembangan acak hendaknya
perkembangan wilayah lebih diarahkan ke bentuk Satellite and Neighbourhood Plans dengan
bentuk Stellar atau Radial Continuous Plans di bagian pusat (main urban area). Berdasarkan
tinjauan teori yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, kedua bentuk ruang kota ini dinilai
berkelanjutan. Bentuk kota ini juga memberikan keuntungan bagi metropolitan yang akan
terbentuk karena akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan, menjamin keberadaan
ruang-ruang terbuka hijau, akan terjalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan
efisien, serta adanya pusat-pusat pelayanan kedua yang dapat mendukung kota inti.
Keberadaan ruang-ruang terbuka hijau berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi, dan
tempat olahraga, dan yang paling penting adalah sebagai daerah resapan air sehingga daya
dukung sumberdaya air dapat dipertahankan.
Dengan menggunakan bentuk Satellite and Neighbourhood Plans dengan bentuk Stellar
atau Radial Continuous Plans di bagian pusat (main urban area) maka perkembangan kota
inti (Kota Surakarta) dapat diarahkan ke bentuk kompak kemudian memiliki tangan-tangan
sepanjang jalan utama yang menghubungkan kota inti dengan pusat kawasan perkotaan di
sekitarnya yang berfungsi sebagai pusat-pusat pelayanan kedua. Kawasan inilah yang disebut
main urban area. Main urban area berupa kawasan terbangun yang dikelilingi oleh sabuk
hijau dengan luasan sesuai dengan analisis daya dukung lahan. Kawasan perkotaan yang
berkembang di sekitar Surakarta dikembangkan untuk memecah kepadatan di kota inti dan
commit to user
menampung arus suburbanisasi, kawasan ini dapat dikembangkan berdasarkan fungsi-fungsi
tertentu seperti industrial zone, pusat perdagangan kedua, dormitory zone, dll.
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan jalinan antara kota satelit dan kota inti berbentuk Satellite and
Neighbourhood Plans, dimana main urban area dan kota satellite dihubungkan oleh jaringan
jalan dan moda transportasi umum. Kota-kota satelit berfungsi sebagai pusat pelayanan
kabupaten sehingga fungsi wilayahnya tidak sekedar dormitory town bagi penglaju saja, tetapi
juga berfungsi sebagai kota otonom yang mampu menyediakan lapangan kerja dan pelayanan
fasilitas. Kota-kota satelit memiliki bentuk yang berkelanjutan sesuai dengan tipe
perkembangan wilayahnya. Kota Sragen memiliki bentuk yang berkelanjutan seperti kondisi
eksistingnya saat ini, dimana lahan terbangun terletak di pusat kota yang dikelilingi oleh
kawasan pertanian (lahan terbuka hijau) yang sekilas mirip dengan konsep garden city. Kota
Boyolali memiliki bentuk ruang berkelanjutan dengan bentuk padat di tengah, dalam artian
intensitas penggunaan lahan tertinggi berada di pusat kota yang memiliki kemiringin lereng
relative rendah dibandingkan bagian kota yang lain. Sedangkan bagian kota yang lain dapat
dikembangkan sebagai daerah terbuka hijau dengan persentase luas sesuai dengan hasil
analisis kemampuan lahan. Bentuk kota yang disarankan untuk Kota Karanganyar dan
Sukoharjo juga sama dengan bentuk kota Sragen dan Boyolali yaitu padat di tengah. Bentuk
ini dipilih untuk meminimalisirnya adanya pertumbuhan loncat katak (sprawl) yang
menyebabkan pembangunan tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
Luas lahan terbangun, luas lahan tidak terbangun, arahan ketinggian bangunan, dan
jumlah penduduk di masing-masing wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta dibatasi
berdasarkan daya dukung lingkungan seperti yang tercantum dalam model ruang. Akan tetapi,
kondisi tersebut dapat ditingkatkan jika melibatkan rekayasa teknis, tetapi dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan. Perlu digarisbawahi, kunci keberhasilan penerapan
model ruang ini adalah adanya perubahan orientasi pengembangan wilayah dari horizontal ke
vertical serta penerapan kebijakan yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali
perkembangan wilayah. Ilustrasi model ruang yang disarankan dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
commit to user
94
Gambar 5.1 Model Ruang Aglomerasi Perkotaan Surakarta yang Disarankan
Sumber : Hasil Sintesa Analisis, 2012
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 6
PENUTUP
6.1
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarata telah
memenuhi kriteria sebagai metropolitan berkelanjutan. Aglomerasi perkotaan Surakarta
memiliki struktur berbentuk polycentric, masing-masing pusat dan subpusat telah memiliki
kejelasan fungsi dan mampu melayani kebutuhan internal wilayah, kota inti atau sub pusat
telah memiliki skala pelayanan yang mencangkup keseluruhan wilayah dan sub pusat telah
memiliki fungsi yang mendukung kota inti, dan pusat dan sub pusat telah dihubungkan oleh
jaringan jalan dan moda transportasi umum yang memudahkan mobilitas penduduk baik
mobilitas pekerjaan, perumahan, dan pekerjaan. Dari aspek daya dukung lingkungan,
aglomerasi perkotaan Surakarta mampu mendukung penduduk sampai 8 juta jiwa dengan
catatan tanpa adanya rekayasa teknis, dan jumlah ini dimungkinkan mengalami kenaikan jika
dilakukan pelibatan rekayasa teknis. Akan tetapi, apabila ditinjau dari pola ruang, pola ruang
eksisting, aglomerasi perkotaan Surakarta kurang sesuai sebagai metropolitan berkelanjutan
karena bersifat sprawl.
Meskipun berdasarkan penilaian masing-masing aspek terdapat dua aspek yang
mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan, tetapi belum dapat dipastikan
apakah metropolitan yang terbentuk memilki keberlanjutan atau life-span yang lama.
Keberlanjutan metropolitan tergantung pada interaksi kecenderungan perubahan pola dan
struktur ruang terhadap daya dukung lingkungan. Struktur ruang aglomerasi perkotaan
Surakarta dinilai memiliki keberlanjutan karena telah memilki kejelasan struktur. Akan tetapi,
kondisi jaringan jalan dan moda transportasi umum dalam aglomerasi perkotaan Surakarta
dapat menjadi kelemahan utama struktur ruang di masa yang akan datang jika tidak dilakukan
upaya pembatasan kendaraan pribadi dan pengalihan ke pemakaian moda trasnportasi umum.
Sedangkan keberlanjutan dari aspek pola ruang menjadi tidak terjamin karena pola ruang
eksisting saat ini tidak sesuai dengan pola ruang yang berkelanjutan dan tidak sesuai dengan
arahan penggunaan lahan berdasarkan daya dukung lingkungan. Perkembangan pola ruang
yang tidak sesuai dengan arahan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung
lingkungan mengakibatkan pola ruang kurang berkelanjutan dan terjadinya penurunan daya
dukung lingkungan jika tren perkembangan
lahan
di masa yang akan datang mengikuti tren
commit
to user
perkembangan saat ini yaitu perkembangan horizontal dan acak. Sehingga keberlanjutan
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan berkelanjutan kurang terjamin dari
aspek pola ruang yang diikuti penurunan daya dukung lingkungan.
Sehingga secara keseluruhan dapat disimpulkan, untuk menjadi sebuah metropolitan
berkelanjutan, aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki struktur ruang yang mendukung,
tetapi memiliki kelemahan pada pola ruang yang diikuti penurunan daya dukung lingkungan.
6.2
REKOMENDASI
6.2.1 Rekomendasi untuk Mewujudkan Metropolitan Berkelanjutan
Dengan melihat hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa kelemahan dalam
mewujudkan metropolitan berkelanjutan di aglomerasi perkotaan Surakarta terletak pada pola
ruang dan kecenderungannya yang diikuti penurunan daya dukung lingkungan. Untuk
mewujudkan metropolitan berkelanjutan maka diperlukan upaya penataan lokasi bermukim
agar tidak terbentuk sprawl dan peremajaan wilayah untuk mengurangi kejenuhan ruang kota
dan meningkatkan daya tampung penduduk. Dari aspek struktur ruang diperlukan upaya
peningkatan ketercapaian tolok ukur melalui peningkatan kemampuan pelayanan internal
wilayah, pengalihan penggunaan transportasi pribadi ke massal dan peningkatan kapasitas
jaringan jalan untuk mendukung penggunaan transportasi umum. Pengimplementasian
beberapa upaya peningkatan ketercapaian tolok ukur tersebut juga perlu diimbangi dengan
pembuatan peraturan tata ruang metropolitan dan upaya pengendalian agar pembangunan
dapat terarah sehingga menjamin keberlanjutan metropolitan yang terbentuk. Perencanaan
yang matang juga harus diimbangi dengan perancangan ruang metropolitan (urban design)
dalam rangka peningkatan daya tampung dan life span. Dalam pemuatan perencanaan dan
perancangan ini harus dilakukan melalui kerjasama antarwilayah.
Peningkatan life-span atau usia keberlanjutan juga diperlukan untuk menjamin
keberlangsungan metropolitan sampai ke beberapa generasi yang akan datang. Peningkatan
life-span dapat dilakukan dengan pengoptimalan potensi internal wilayah maupun melakukan
ekspansi wilayah sehingga dapat menggunakan potensi wilayah tersebut. Apapun opsi yang
dipilih, hendaknya pertimbangan daya dukung lingkungan selalu dijadikan pertimbangan
utama sebelum melakukan pengembangan wilayah.
6.2.2 Rekomendasi bagi Pengembangan Ilmu
Untuk mengembangkan khasanah keilmuan, peneliti memberikan saran agar penelitian
ini dapat dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam tentang,
commit to user
- Kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan jika
rekayasa teknis digunakan.
97
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Penilaian kesesuaian berdasarkan aspek ekonomi, social dan budaya.
Berdasarkan teori pembangun berkelanjutan diketahui bahwa tiga pilar pembangunan
berkelanjutan adalah fisik lingkungan, ekonomi, dan social budaya. Penelitian ini,
terbatas pada keberlanjutan dari aspek fisik lingkungan, sehingga diperlukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui kesesuaian dari aspek ekonomi dan social budaya. Penelitian
lanjutan dari aspek ekonomi dan social budaya akan menjadikan penialian kesesuaian
sebagai metropolitan berkelanjutan lebih komprehensif.
-
Penilaian kesesuaian dengan melibatkan wilayah peri urban dan memperluas lokus
penelitian.
commit to user
98
Download