perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id TUGAS AKHIR KESESUAIAN AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA SEBAGAI METROPOLITAN BERKELANJUTAN DITINJAU DARI STRUKTUR RUANG, POLA RUANG, DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Oleh: AYU NA’IMMA S.P NIM. I 0608004 Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Jenjang Strata-1 Perencanaan Wilayah dan Kota PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET commit to user SURAKARTA 2013 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGESAHAN KESESUAIAN AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA SEBAGAI METROPOLITAN BERKELAJUTAN DITINJAU DARI STRUKTUR RUANG, POLA RUANG, DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Oleh AYU NA’IMMA S.P NIM. I 0608004 Surakarta, Februari 2013 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Murtanti Jani Rahayu, ST, MT NIP. 19720117 200003 2 001 Ir. Rizon Pamardhi Utomo, MURP NIP. 19590222 198903 1 001 Mengetahui, Ketua Jurusan Arsitektur Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT NIP. 19620610 199103 1 001 Ir. Galing Yudana, MT NIP. 19620129 198703 1 002 Pembantu Dekan I Fakultas Teknik Kusno Adi Sambowo, ST, MSc, Ph.D NIP. 19691026 199503 1 002 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Ayu Na’imma. Kesesuaian Aglomerasi Perkotaan Surakarta sebagai Metropolitan Berkelanjutan Ditinjau dari Struktur Ruang, Pola Ruang, dan Daya Dukung Lingkungan Surakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang sejalan dengan perkembangannya, Kota Surakarta bersama kawasan perkotaannya telah menunjukkan gejalagejala yang mengarah pada terbentuknya metropolitan. Gejala metropolitanisasi dapat dilihat dari adanya arus commuter yang tinggi menuju Kota Surakarta dan munculnya kawasan perkotaan baru sebagai respon dari meningkatnya kebutuhan perumahan Kota Surakarta. Citacita Surakarta menjadi kota metropolitan bahkan telah diperjelas melalui pencanangan Surakarta sebagai sustainable metropolis pada tahun 2025 (Pusat Studi Urban Desain, 2011). Akan tetapi, saat ini terdapat beberapa isu yang berkaitan struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta yang dapat menghambat terbentuknya metropolitan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan. Berdasarkan pendekatan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deduktif dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki struktur ruang yang mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan dengan keberlanjutan yang relative terjamin. Akan tetapi dari aspek pola ruang, pola ruang yang ada tidak mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan dan dapat mengancam daya dukung lingkungan sehingga keberlanjutannya kurang terjamin. Kata Kunci : Aglomerasi Perkotaan Surakarta, Daya Dukung Lingkungan, Kesesuaian, Pola Ruang, Struktur Ruang, commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Ayu Na’imma . The Suitability of Surakarta Urban Aglomeration as Sustainable Metropolis Based on Spatial Structure, Urban Form, and Carrying Capacity Surakarta is one of the major cities in Indonesia, in line with its development, Surakarta with its urban areas have shown symptoms that lead to the formation of a metropolitan. The symptoms of metropolitanisasi can be seen from the high commuter flows into Surakarta and the emergence of new urban areas as a response to the growing housing needs of Surakarta. The vision of Surakarta as a metropolitan has even been made clear through the launching of Surakarta as sustainable metropolis in 2025 (Study Center of Urban Desain, 2011). However, there are currently a number of issues relating to the spatial structure, urban form, and the carrying capacity of the Surakarta urban agglomeration to inhibit the formation of sustainable metropolis. The objective of this research is to determine the suitability of Surakarta urban aglomeration as sustainable metropolis based on spatial structure, urban form, and the carrying capacity. Due to the research approach, this research is deductive using quantitative descriptive analysis technique. The research reveals that Surakarta urban agglomeration has spatial structure that would foster sustainable metropolis with sustainability which relatively assured. However, from the aspect of urban form, the urban form does not support the establishment of sustainale metropolis and can threaten the carrying capacity of the environment so that sustainability is less assured. Keyword : Carrying Capacity, Spatial Structure, Suitability, Surakarta Urban Aglomeration, Urban Form, commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrobilalamin puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penulis panjatkan atas perkenan-Nya jualah tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir dengan judul “Kesesuaian Aglomerasi Perkotaan Surakarta sebagai Metropolitan Berkelanjutan Ditinjau dari Struktur Ruang, Pola Ruang, dan Daya Dukung Lingkungan” merupakah sebuah penelitian untuk mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan dengan melihat kondisi eksisting (berbasis data tahun 2010) dan kecenderungan perkembangannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan kondisi eksisting sekarang akan mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan pada tahun yang akan datang. Sehingga, penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat preskriptif. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar dalam memberi arahan, dorongan, bantuan teknis, dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis sehingga peneliti mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur yang telah menjadi pendukung dalam setiap kompetisi yang diikuti penulis. 2. Ir. Galing Yudana, MT selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota 3. Murtanti Jani Rahayu, ST, MT dan Ir. Rizon Pamardhi Utomo, MURP selaku dosen pembimbing, yang telah memberi banyak bantuan dan arahan sampai terselesaikannya tugas akhir ini. 4. Ayah dan ibu yang telah memberikan dukungan kepada penulis serta adik-adik penulis yang selalu memberikan keceriaan. Terimakasih telah menjadi bagian terindah dalam hidup penulis. 5. Ibu dan bapak dosen program studi Perencanaan Wilayah dan Kota dan jurusan Arsitektur yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membagikan ilmunya kepada penulis. 6. Yuli Nurhidayah dan Lolita Dwi Rosati yang merupakan sahabat penulis, yang telah banyak memberikan bantuan pada penulis dari awal kuliah hingga sampai saat ini. 7. Diyah Setiyani mahasiswa PWK Angkatan 2009 yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam perolehan data. 8. Staff Kementerian Pekerjaan Umum Republik commit to user Indonesia Aditya Maulana yang telah memberikan bantuan dalam perolehan peta yang digunakan dalam penelitian ini. 9. Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Khususnya Angkatan 2008, 2007, dan 2006. v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10. Staff Badan Pusat Statistik dan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo yang telah memberi kemudahan penulis dalam memperoleh data. Dalam penelitian ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan ilmu dan waktu yang dimiliki penulis. Penulis berharap, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan wilayah dan dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya yang lebih mendalam mengenai kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan. Tidak lupa, penulis mengharapkan saran yang membangun demi perbaikan penulis. Surakarta, Januari 2013 Peneliti commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................. ii ABSTRAK .......................................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ......................................................................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ................................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... xi DAFTAR PETA ................................................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................. xiv BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Penelitian ........................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian .................................................................... 3 1.4 Batasan Penelitian ....................................................................................... 3 I.4.1 Batasan Wilayah ................................................................................ 3 I.4.2 Batasan Substansi .............................................................................. 3 1.5 Keluaran Penelitian ..................................................................................... 4 1.6 Urgensi Penelitian ....................................................................................... 4 I.5.1 Manfaat Akademik ............................................................................ 4 I.5.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 4 1.7 Keaslian Penelitian ...................................................................................... 5 1.8 Alur Penelitian ............................................................................................ 6 1.9 Sistematika Penulisan.................................................................................. 7 BAB 2 TINJAUAN TEORI ............................................................................................ 8 2.1 Landasan Teori ......................................................................................... 8 2.1.1 Konsep Aglomerasi Perkotaan ................................................... 8 2.1.1.1 Perspektif Klasik ........................................................ 9 2.1.1.2 Perspektif Modern ...................................................... 10 2.1.2 Kawasan Metropolitan ................................................................ 12 2.1.2.1 Definisi Kawasan Metropolitan .................................... 12 2.1.2.2 Indikator Kawasan Metropolitan .................................. 12 2.1.2.3 Kriteria Kawasan Metropolitan Ideal ........................... 14 2.1.2.4 Bentuk Kawasan Metropolitan ..................................... 17 2.1.2.5 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan ........................ 19 commit to user 2.1.2.6 Bentuk Ruang Kota yang Berkelanjutan ...................... 20 vii perpustakaan.uns.ac.id 2.2 digilib.uns.ac.id 2.1.2.7 Keterkaitan Kota Inti, Kota Satelit, dan Sub-Urb, pada Kawasan Metropolitan ......................................... 22 2.1.3 Pembangunan Berkelanjutan ...................................................... 23 2.1.3.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan .......................... 23 2.1.3.2 Kriteria Pembangunan Berkelanjutan........................... 23 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 25 BAB 3 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 28 3.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 28 3.2 Lokus Penelitian ....................................................................................... 28 3.3 Teknik Pengumpulan Data........................................................................ 31 3.4 Kerangka Analisis ..................................................................................... 32 3.5 Teknik Analisis ......................................................................................... 34 3.6.1 Analisis Hirarki Perkotaan .......................................................... 34 3.6.2 Analisis Kemampuan Pelayanan Sarana .................................... 37 3.6.3 Analisis Titik Henti..................................................................... 37 3.6.4 Analisis Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Masal............... 37 3.6.5 Analisis Pola Ruang.................................................................... 38 3.6.6 Analisis Daya Dukung Lingkungan............................................ 39 3.6.7 Penilaian Tingkat Kesesuaian Masing-masing Aspek ................ 42 3.6.8 Penilaian Kesesuaian Akhir ........................................................ 43 BAB 4 HASIL PENELITIAN : STRUKTUR RUANG, POLA RUANG, DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN ............................................................ 44 4.1 Struktur Ruang Aglomerasi Perkotaan Surakarta ..................................... 44 4.1.1 Pusat-pusat Pelayanan ............................................................... 44 4.1.2 Hirarki Perkotaan ........................................................................ 44 4.2.2.1 Hirarki Perkotaan berdasarkan Jumlah Penduduk ........ 44 4.2.2.2 Hirarki Perkotaan berdasarkan Keberadaan Sarana Perkotaan ....................................................................... 47 4.2.2.3 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta berdasarkan Jumlah Penduduk dan Keberadaan Sarana 52 4.1.3 Kemampuan Pelayanan Sarana Perkotaan.................................. 54 4.1.4 Titik Henti Pusat Pelayanan ....................................................... 55 4.1.5 Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Penghubung .................. 56 4.1.5.1 Keberadaan Jaringan Jalan............................................ 56 4.1.5.2 Nilai Aksesibilitas, Mobilitas, dan Keselamatan Jaringan Jalan Penghubung ......................................................... 58 4.1.5.3 Moda Transportasi Penghubung AntarPusat ................ 59 4.2 Pola Ruang Aglomerasi Perkotaan Surakarta ........................................... 61 4.2.1 Diversifikasi Penggunaan Lahan ................................................ 61 4.2.2 Intensitas Penggunaan Lahan ..................................................... 62 4.2.3 Kecenderungan Penggunaan commit to user Lahan ............................................ 64 4.3 Daya Dukung Lingkungan ........................................................................ 69 4.3.1 Daya Dukung Lahan ................................................................... 69 4.3.2 Daya Dukung Sumber Daya Air ................................................. 75 viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4.3.3 Daya Tampung Penduduk Berdasarkan Daya Dukung Lahan dan Sumber Daya Air ................................................................. 77 4.4 Ketercapaian Masing-masing Tolok Ukur Kesesuaian ............................. 78 4.4.1 Kesesuaian Berdasarkan Keberadaan Pusat dan Sub Pusat ........ 78 4.4.2 Kesesuaian Berdasarkan Kejelasan Fungsi Masing-masing Wilayah ....................................................................................... 78 4.4.3 Kesesuaian Berdasarkan Kemampuan Pelayanan Internal Wilayah ....................................................................................... 79 4.4.4 Kesesuaian Berdasarkan Skala Pelayanan Pusat dan Sub Pusat . 81 4.4.5 Kesesuaian Berdasarkan Keberadaan Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Umum .......................................................... 83 4.4.6 Kesesuaian Berdasarkan Pola Ruang .......................................... 84 4.4.7 Kesesuaian Berdasarkan Daya Dukung Lahan ........................... 85 4.4.8 Kesesuaian Berdasarkan Daya Dukung Sumberdaya Air ........... 86 BAB 5 PEMBAHASAN: KESESUAIAN SEBAGAI METROPOLITAN BERKELANJUTAN ............................................................................................. 88 5.1 Tingkat Kesesuaian Berdasarkan Masing-masing Aspek ......................... 88 5.2 Keberlanjutan Struktur Ruang................................................................... 89 5.3 Keberlanjutan Pola Ruang......................................................................... 92 BAB 6 PENUTUP .............................................................................................................. 96 6.1 6.2 Kesimpulan ............................................................................................... 97 Rekomendasi ............................................................................................. 97 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 3.10 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Bentuk-bentuk Fisik Kota Metropolitan ...................................................... 17 Perbedaan Sub Urban dan Kota Satelit ........................................................ 22 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan .................................................24 Variabel, Sub Variabel, Indikator, dan Tolok Ukur.....................................27 Perhitungan Gravitasi untuk Menentukan Lokus Penelitian ....................... 30 Luas Lokus Penelitian ..................................................................................31 Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data .......................... 32 Hubungan Variabel dan Teknik Analisis ..................................................... 34 Satuan Ukur untuk Masing-masing Jenjang Pendidikan ............................. 36 Satuan Ukur Sarana Kesehatan ....................................................................36 Jumlah Penduduk Pendukung Sarana Perkotaan .........................................37 Bobot Nilai dalam Penentuan Kemampuan Lahan ......................................40 Total Nilai untuk Menentukan Kelas Kemampuan Lahan .......................... 40 Standar Kebutuhan Air ................................................................................41 Kondisi Kependudukan Kawaasan Aglomerasi Perkotaan Surakarta .........45 Hirarki Perkotaan berdasarkan Jumlah Penduduk .......................................47 Interval Kelas untuk Hirarki Perkotaan berdasarkan Sarana Pendidikan ...49 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Pendidikan .....................................50 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Kesehatan ......................................50 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ....................................53 Persentase Kemampuan Pelayanan Sarana Eksisting terhadap Jumlah Penduduk ..........................................................................54 Tabel 4.8 Panjang Jalan Penghubung Masing-masing Pusat Kota ` dengan Kota Surakarta .................................................................................57 Tabel 4.9 Jenis Moda Transportasi Penghubung AntarPusat ......................................59 Tabel 4.10 Diversifikasi Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ............62 Tabel 4.11 Intensitas Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ..................62 Tabel 4.12 Analisis Kemampuan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ...................70 Tabel 4.13 Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan berdasarkan Kondisi Fisik Lingkungan............................................................................70 Tabel 4.14 Daya Tampung Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ............................. 71 Tabel 4.15 Penyimpangan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan Luas Lahan terbangun yang Diperbolehkan ................................................73 Tabel 4.16 Standar Kebutuhan Air ................................................................................75 Tabel 4.17 Ketersediaan Air dan Kebutuhan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta ......76 Tabel 4.18 Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air ........................... 77 Tabel 5.1 Persentase Kesesuaian berdasarkan Masing-masing Tolok Ukur ...............89 commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 5.1 Alur Penelitian ............................................................................................... 6 Kerangka Teori .............................................................................................. 8 Perkembangan Konsep dan Pemikiran mengenai Aglomerasi ...................... 9 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan yang Ideal ........................................ 15 Kejelasan Fungsi dalam Kawasan Metropolitan yang Ideal .......................... 16 Struktur Kota Metropolitan Berdasarkan Keberadan Pusat Pelayanan ......... 19 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan ......................................................... 20 Alternatif Model Bentuk Kota yang Berkelanjutan ....................................... 21 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan ................................................... 25 Kerangka Pemikiran....................................................................................... 26 Lokus Penelitian............................................................................................. 30 Kerangka Analisis .......................................................................................... 33 Neraca Kesetimbangan Air Baku................................................................... 42 Kerangka Analisis .......................................................................................... 43 Pertumbuhan Penduduk Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta .................... 45 Dinamika Jumlah Penduduk Kota Surakarta ................................................. 46 Jumlah Pusat Perdagangan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 .................................................................................................... 48 Jumlah Pertokoan dan Toko Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 .................................................................................................... 48 Total Satuan Ukur Sarana Pendidikan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 .................................................................................................... 49 Total Satuan Ukur Sarana Kesehatan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 .................................................................................................... 51 Jumlah Sarana Rekreasi Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 ........ 52 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Sarana Perkotaan ..................... 53 Breaking Point Kota Surakarta terhadap Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta............................................................................................ 56 Nilai Aksesibilitas dan Mobilitas Jaringan Jalan Penghubung Utama Aglomerasi Perkotaan Surakarta ................................................................... 58 Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 ................ 61 Perubahan Luas Lahan Terbangun Tahun 1993-2010 ................................... 64 Laju Perubahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta ............ 65 Proyeksi Pertambahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta . 65 Perbandingan Daya Tampung Penduduk dengan Asumsi Lahan Permukiman sebesar 50% dengan Jumlah Penduduk Tahun 2010 ............... 72 Perbandingan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan Arahan Tutupan Lahan .................................................................................. 73 Neraca Kesetimbangan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 .................................................................................................... 76 commit to user Model Ruang Berkelanjutan Aglomerasi Perkotaan Surakarta yang Disarankan ..................................................................................................... 95 xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR PETA Peta 4.1 Peta 4.2 Peta 4.3 Peta Jaringan Jalan Aglomerasi Perkotaan Surakarta ...................................... 60 Penggunaan Lahan Terabangun dan Tidak Terbangun Kota Surakarta dan Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta ............................................................. 67 Peta Lahan Terbangun dan Tidak Terbangun Kota Satelit Surakarta .............. 68 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Jumlah Siswa PerJenjang Sarana Pendidikan di Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Total Nilai Satuan Ukur perJenjang Sarana Pendidikan Tahun 2010 Jumlah Sarana Kesehatan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Total Nilai Satuan Ukur Sarana Kesehatan Persentase Pemenuhan Sarana Perdagangan Tahun 2010 (Pasar dan Pusat Perbelanjaan Modern) Persentase Pemenuhan Sarana Perdagangan Tahun 2010 (Pertokoan dan Toko) Persentase Pemenuhan Sarana Pendidikan Tahun 2010 Hasil Perhitungan Breaking Point Karakteristik Jalan Penghubung Utama AntarPusat Hasil Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Ketentuan Penggunaan Lahan sesuai Kemampuan Lahan dan Daya Tampung Penduduk Perbandingan Daya Tampung Penduduk dengan Jumlah Penduduk Tahun 2010 Daya Tampung Aglomerasi Perkotaan Surakarta jika Persentase Lahan Permukiman 70% Proyeksi Luas Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta Neraca Kesetimbangan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta Kebutuhan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta perHari commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISTILAH Aglomerasi : Suatu kawasan yang terdiri dari beberapa wilayah dapat terbentuk dengan adanya kekuatan sentripetal dan sentrifugal sehingga terjadi pergerakan/ perkembangan ke arah luar dan memiliki keterkaitan fungsi baik fisikal maupun fungsional Aksesibilitas : ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu pusat kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah yang dilayani jalan Commuter : Penglaju, salah satu jenis urbanisasi non permanen Daya dukung lingkungan Dormitory Town : batas maksimal penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya Eksternalitas : Kekuatan dari luar yang tidak dapat diprediksi secara pasti Garden City : Sebuah alternative kota hijau dimana ruang terbuka hijau atau taman-taman mendominasi ruang kota Kawasan Perkotaan : Kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social, dan kegiatan ekonomi. Kekotaan : Suatu sifat yang berkaitan dengan performa gejala geosfera yang inhern dengan kota, tetapi bukan dalam artian yurisdiksi melainkan dalam artian fisikal, ekonomi, social, dan kultural. Kekuatan Sentrifugal : kekuatan disperse yaitu kekuatan menyebarkan aktifitas ekonomi ke daerah di luar kota utama maupun mendorong pergerakan penduduk ke luar kota Kekuatan Sentripetal Konurbasi : kekuatan yang menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan Kota Kompak Membulat (Rounded City) : Merupakan bentuk kota yang dianggap paling ideal karena batas terluar wilayah terbangunnya mempunyai jarak yang sama ke pusat kota. Bentuk kota kompak ini terdiri dari dua jenis yaitu bentuk membulat sempurna dan bentuk membulat tidak sempurna. Kota Satelit : Suatu permukiman perkotaan yang tidak hanya dimanfaatkan untuk tidur semata, tetapi memberikan kontribusi terhadap pengembangan wilayah dalam bentuk komoditas, jasa, dan commit to user informasi : Suatu wilayah perkotaan yang hanya dimanfaatkan untuk tempat tinggal saja, sedangkan kegiatan ekonomi, social, dan budaya masih sangat bergantung pada kota utamanya : suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Life-span : Umur rentang yang menunjukkan lamanya suatu kondisi dapat bertahan Metropolitan : suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial ekonomi, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota utama berperan sebagai inti dan kota-kota lainnya sebagai satelit Metropolitanisasi : Proses terbentuknya metropolitan Mobilitas : ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya Perkotaan : Kata sifat yang mengacu kepada suatu wilayah dalam lingkup kewenangan yurisdiksi dalam pemerintahan untuk mengatur segala sesuatu berkenaan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan dengan segala aspeknya. Dengan artian kawasan perkotaan adalah suatu wilayah yang memiliki sifat kekotaan yang dibatasi pada batasan administrative. Pola Ruang : peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya Ribbon City : Suatu kota yang memiliki morfologi berbentuk seperti pita karena peranan jalur memanjang (transportasi) Ribbon Development : Perembetan fisik kekotaan kea rah luar dengan perkembangan memita Urban Sprawl : Perembetan kenampakan fisikal kekotaan kearah luar Star Shapped City : Perkembangan fisikal kekotaan yang didominasi oleh peranan jalur transportasi sehingga berbentuk seperti bintang atau gurita. Struktur Ruang : susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional, Suburbanisasi Superimpose : Proses perpindahan penduduk perkotaan ke wilayah urban fringe : Tumpang tindih Urban : Wilayah yang secara fisik maupun non fisik telah mencirikan suatu perkotaan Urban Fringe : Kawasan pinggiran kota commit to user : Proses perpindahan penduduk dari wilayah rural ke wilayah urban, proses berubahnya suatu wilayah rural(desa) menjadi urban(kota) Urbanisasi xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user xvi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Kota Metropolitan di Indonesia Sebagai negara yang berkembang, Indonesia tidak lepas dari fenomena urbanisasi, konurbasi, dan metropolitanisasi. Terdapat delapan kota di Indonesia yang telah berkembang menjadi kawasan metropolitan area yaitu Metropolitan Jabodetabek, Metropolitan Bandung, Metropolitan Semarang, Metropolitan Surabaya, Metropolitan Medan (Mebidang), Metropolitan Denpasar (Sarbagita), Metropolitan Makassar (Mamminasata), dan Metropolitan Palembang. Kedelapan kota tersebut telah membentuk konurbasi dengan daerah-daerah di sekitarnya dan memiliki jumlah penduduk di kota inti diatas satu juta jiwa (Zulkaidi, 2008). Selain itu ada pula kota yang secara struktur telah membentuk kawasan metropolitan karena memiliki kota satelit dan kota inti meskipun jumlah penduduk kota intinya belum mencapai satu juta jiwa yaitu Yogyakarta (Zulkaidi, 2008). Sama halnya dengan Yogyakarta, Surakarta juga telah menunjukkan gejala kearah metropolitanisasi walau tidak secepat Yogyakarta. Sebagai suatu wilayah yang selalu mengalami perkembangan, kota metropolitan juga menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan yang banyak dihadapi kota-kota metropolitan di Indonesia antara lain permasalahan terkait struktur dan pola ruang seperti meluasnya kegiatan di daerah penyangga yang seharusnya berfungsi lindung, meluasnya kegiatan perkotaan secara tidak terstruktur sehingga sulit dilayani dan tidak efisien, dan adanya ribbon development yang memperlihatkan masih terlihat penumpukan kegiatan di kota utama, serta belum terlihat adanya hubungan hierarkis antar pusat-pusat pelayanan, ketersediaan prasarana pendukung pergerakan, tingkat pelayanan jalan, dan tingkat aksesibilitas antar pusat pertumbuhan yang belum terintegrasi. Sedangkan permasalahan yang terkait dengan daya dukung lingkungan antara lain keterbatasan daya dukung dan daya tampung ruang untuk memenuhi perkembangan penduduk, ketersediaan air bersih, tingginya pencemaran udara, permasalahan sampah dan limbah, dan permasalahan banjir (DPU, 2006). Keseluruhan permasalahan tersebut menjadikan wilayah metropolitan kurang memiliki keberlanjutan. Perkembangan Kota Surakarta Surakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki luas 44,03 km2 dengan jumlah penduduk 586.039 jiwa padato tahun commit user 2010 (BPS, 2010). Sejalan dengan perkembangannya, Kota Surakarta dengan kawasan perkotaannya telah menunjukkan gejalagejala yang mengarah pada terbentuknya Metropolitan. Salah satu gejala yang dapat dilihat 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id adalah adanya arus commuter yang tinggi menuju Kota Surakarta baik untuk kepentingan pendidikan, perdagangan dan jasa, maupun karena factor pekerjaan. Selain adanya arus commuter, gejala aglomerasi juga dapat dilihat dari munculnya kawasan perkotaan baru sebagai respon dari meningkatnya kebutuhan perumahan Kota Surakarta yaitu munculnya kawasan Solo Baru dan berkembangnya pembangunan perumahan formal di Kecamatan Jaten dan Mojolaban. Ciri perkotaan juga telah melebihi batas administrasi Kota Surakarta itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya kawasan-kawasan yang berada di sekitar Kota Surakarta seperti Solo Baru, Kartasura, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak sebagai dampak perkembangan eksternal Kota Surakarta. Kawasan-kawasan tersebut tumbuh menjadi kota satelit bagi Surakarta. Pertumbuhan Surakarta juga mengarah pada industrialisasi. Di awal tahun 2011, Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta telah menandatangani investasi berskala besar baik di sektor perhotelan maupun perdagangan. (bisnis.timlo.net, 26 April 2011). Gejala-gejala tersebut telah mempertegas perkembangan Surakarta menuju metropolitan area. Cita-cita Surakarta menjadi kota metropolitan bahkan telah diperjelas melalui pencanangan Surakarta sebagai sustainable metropolis pada tahun 2025 (Pusat Studi Urban Desain, 2011). Akan tetapi, saat ini terdapat beberapa isu yang berkaitan struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta. Permasalahan struktur ruang adalah antara lain ketersediaan fasilitas transportasi yang kurang memadahi sehingga sering terjadi kemacetan pada jam-jam tertentu, bukan hanya di dalam Kota Surakarta, tetapi juga di jalan masuk menuju Kota Surakarta seperti jalan raya palur. Kemacetan juga sering terjadi di jalan keluar Kota Surakarta menuju Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo. Kesiapan kotakota di sekitar Surakarta untuk mendukung terbentuknya metropolitan area juga menjadi isu tersendiri. Permasalahan pola ruang terkait dengan terjadinya sprawl dan tekanan perkembangan daerah urban di wilayah selatan dan utara sehingga membentuk urban conurbation, terjadi kesenjangan pembangunan antara daerah utara dan selatan, daerah utara sebagai daerah hijau hunian berkepadatan rendah sedangkan daerah selatan daerah perkotaan berkepadatan tinggi (Pusat Studi Urban Desain, 2011). Permasalahan daya dukung lingkungan terkait dengan ketersediaan air bersih dan lahan. Berdasarkan penelitian Hidayati tahun 2009 disebutkan bahwa ketersediaan air di Kota Surakarta sendiri tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk di masa yang akan datang. Hal ini mengakibatkan keberlanjutan dari metropolitan yang akan terbentuk dipertanyakan. Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini perlu dilakukan untuk commit to user mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan. Penelitian 2 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ini ingin mengetahui kesiapan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan di masa yang akan datang dengan melihat kondisi eksisting. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian adalah ”Bagaimana kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan?” 1.3 TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Tujuan dan manfaat penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: I.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan. I.3.2 Sasaran Penelitian Adapun sasaran yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain : 1) Mengididentifikasi struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarta. 2) Mengidentifikasi pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta. 3) Mengidentifikasi daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta. 4) Menganalisis kesesuaian struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarta dengan struktur ruang metropolitan yang berkelanjutan. 5) Menganalisis kesesuaian pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta dengan pola ruang metropolitan yang berkelanjutan serta daya dukung lingkungan yang dimilikinya. 1.4 BATASAN PENELITIAN Penelitian ini dibatasi dari wilayah penelitian (area studi) dan substansi. I.4.1 Batasan Wilayah Batas wilayah penelitian ini adalah Kota Surakarta, Kawasan perkotaan sekitar Surakarta (Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak), Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali secara administratif. I.4.2 Batasan Substansi Penelitian ”kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan” terbatas commit to user pada penilaian kesesuaian dari aspek fisik yang meliputi: 3 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1) Kesesuaian Surakarta ditinjau dari struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan dengan melihat kondisi eksisting. 2) Penilaian kesesuaian daya dukung lingkungan ditinjau dari daya tampung lahan dan daya dukung sumber daya air. Daya tampung lahan dinilai berdasarkan kemampuan lahan, sedangkan daya dukung sumber daya air ditinjau dari ketersediaan air di dalam masingmasing kawasan. 3) Daya dukung lahan dihitung berdasarkan kemampuan fisik lahan tanpa adanya pelibatan rekayasa teknis. 4) Neraca sumber daya air dihitung dengan asumsi bahwa seluruh sumber air di kawasan dapat dimanfaatkan secara optimal dan sumber air seluruhnya berasal dari internal wilayah tanpa mempertimbangkan sumber air di luar wilayah. Jumlah penduduk maksimal yang mampu didukung sumber air eksisting dihitung dengan asumsi prosentase kebutuhan domestik sama setiap tahunnya dan debit sumber air tidak mengalami perubahan. 1.5 KELUARAN PENELITIAN Output dari penelitian ini adalah penilaian kesesuaian struktur ruang dan pola ruang, aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan berkelanjutan yang dinilai berdasarkan daya dukung lingkungannya yang dijabarkan ke dalam masing-masing tolok ukur. 1.6 URGENSI PENELITIAN Penelitian ini penting untuk dilakukan karena memiliki manfaat praktis dan teoritis. Manfaat penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: I.6.1 Manfaat Akademik Dalam konteks akademik, pengembangan kasus studi kota/kawasan perkotaan dan metropolitan penting dilakukan untuk memperluas keberagaman kajian empirik dengan topik struktur ruang, pola ruang, daya dukung lahan, dan daya dukung sumber daya air kawasan metropolitan yang selama ini masih jarang dilakukan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang berkaitan dengan struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan kawasan metropolitan yang berkelanjutan. Pemahaman ini dapat dijadikan dasar dalam perencanaan ruang perkotaan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. I.6.2 Manfaat Praktis commit to user Manfaat dalam konteks praktis dapat ditinjau dari konteks perencanaan tata ruang kawasan perkotaan yaitu sebagai landasan empirik bagi upaya-upaya intervensi terhadap 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kecenderungan perkembangan perkotaan, yang mempertimbangkan karakteristik dan dinamikanya secara spesifik. Pemahaman terhadap keterkaitan bentuk perkotaan dengan keberlanjutannya yang dilandasi oleh kajian empirik kota-kota di Indonesia dapat menjadi masukan atau dasar pertimbangan yang bersifat preskriptif bagi perencanaan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan maupun metropolitan yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk mewujudkan struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan metropolitan yang berkelanjutan sehingga visi kota tahun 2025 dapat terwujud. 1.7 KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan penelusuran peneliti, peneliti belum pernah menemukan kajian kesesuaian kawasan sebagai metropolitan yang berkelanjutan di seluruh universitas yang ada di Kota Surakarta. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang baru yang menggabungkan kesesuaian sebagai kawasan metropolitan dan pembangunan yang berkelanjutan. commit to user 5 perpustakaan.uns.ac.id 1.8 1. 2. 3. 4. 5. digilib.uns.ac.id ALUR PENELITIAN Latar Belakang Terjadinya kemacetan Kesenjangan perkembangan Urban sprawl Keterbatasan sumberdaya air Daya dukung lahan Rumusan Masalah Bagaimana kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan? Tujuan Penelitian Mengetahui kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau dari struktur ruang, pola ruang dan daya dukung lingkungan Tinjauan Teori 1. 2. 3. Konsep Aglomerasi perkotaan Kawasan metropolitan : pengertian, indikator, kriteria ideal, bentuk dan struktur ruang Pembangunan berkelanjutan : definisi dan kriteria pembangunan yang berkelanjutan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kebutuhan Data Orde perkotaan aglomerasi perkotaan Surakarta Kemampuan pelayanan sarana perkotaan masing-masing wilayah Jangkauan pelayanan pusat-pusat kegiatan Aksesibilitas, mobilitas, dan keselamatan jaringan jalan penghubung utama aglomerasi perkotaan Surakarta Ketersediaan moda transportasi penghubung antarpusat Pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta Daya dukung lahan aglomerasi perkotaan Surakarta Daya dukung sumber daya air Analisis Teknik analisis kuantitatif deskriptif dengan memaknai hasil pengolahan data. Output yang dihasilkan, 1. Kesesuaian struktur ruang, 2. Kesesuaian pola ruang, aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan. 1. 2. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta Kesesuaian struktur ruang dan pola ruang aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan berkelanjutan berdasarkan daya dukung lingkungan yang dimilikinya. Rekomendasi Rekomendasi berdasarkan temuan dalam penelitian. Gambar 1.1 Alur Penelitian commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id 1.9 digilib.uns.ac.id SISTEMATIKA PENULISAN Laporan penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab 1 adalah pendahuluan, pada bab ini peneliti menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah berdasarkan latar belakang, tujuan dan sasaran, batasan penelitian, keluaran penelitian, urgensi penelitian, keaslian penelitian, dan alur penelitian. Bab ini merupakan pondasi dilaksanakannya penelitian dimana memuat tujuan akhir yang ingin dicapai dengan batasan lokasi dan substansi pembahasan. Bab 2 merupakan tinjauan teori yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka berpikir. Kerangka teori yang diuraikan mencangkup tiga hal utama yaitu mengenai konsep aglomerasi yang menjadi dasar penetapan lokus, teori mengenai kawasan metropolitan yang digunakan untuk mengenali karakteristik kawasan metropolitan, serta teori yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Variabel, indikator, dan tolok ukur penelitian diperoleh dari hasil ekstraksi antara teori kawasan metropolitan dan pembangunan yang berkelanjutan yang kemudian dijabarkan dalam kerangka berpikir. Bab 3 merupakan penjabaran dari metode penelitian yang digunakan. Pada bab ini memaparkan jenis penelitian, metode penelitian, pendekatan penelitian, justifikasi lokus, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis. Bab 4 merupakan hasil pengolahan data yang digunakan dalam penelitian berisi struktur ruang, pola ruang, daya dukung lahan, dan daya dukung sumberdaya air. Hasil pengolahan data ini menjadi dasar dari bab pembahasan ( Bab 5). Bab 5 merupakan pembahasan berdasarkan hasil pengolahan data. Pada bab ini datadata dimaknai dan dilihat secara menyeluruh untuk menilai kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta. Output akhir dari bab ini adalah penilaian kesesuaian berdasarkan tolok ukur yang telah disebutkan di bab metode penelitian. Bab 6 merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Sub bab kesimpulan memaparkan ringkasan hasil penelitian, sedangkan sub bab rekomendasi menjabarkan temuan-temuan dalam penelitian yang dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan. commit to user 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan diuraikan teori yang berkaitan dengan aglomerasi perkotaan, kawasan metropolitan, serta pembangunan yang berkelanjutan. Konsep aglomerasi perkotaan dilihat dari perspektif klasik dan modern. Teori kawasan metropolitan meliputi definisi, indikator, kriteria, struktur ruang, bentuk fisik, dan keterkaitan antar wilayah dalam kawasan metropolitan. Teori pembangunan berkelanjutan terdiri atas definisi dan kriteria pembangunan yang berkelanjutan. Konsep Aglomerasi Perkotaan Perspektif Klasik Perspektif Modern Kawasan Metropolitan Pembangunan yang Berkelanjutan Definisi Metropolitan Definisi Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan Indikator Kota Metropolitan Kriteria Kawasan Metropolitan Ideal Struktur Ruang Kawasan Metropolitan Bentuk Ruang yang Berkelanjutan Persyaratan pembangunan kota yang berkelanjutan Keterkaitan Kota Inti, Kota Satelit, dan SubUrb Pendefiniasian Aglomerasi Perkotaan sebagai dasar pemilihan lokus penelitiann 2.1.1 Persyaratan Kawasan Metropolitan yang Ideal dan Berkelanjutan Gambar 2.1 Kerangka Teori KONSEP AGLOMERASI PERKOTAAN Pada perkembangan awal, aglomerasi erat kaitannya dengan industrialisasi. Bahkan banyak definisi yang menerangkan pengertian aglomerasi dari sudut pandang industri maupun kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, Montgomery dalam Metropolitan di Indonesia mendefiniskan aglomerasi sebagai konsentrasi commit tospasial user dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena “penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen” 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (Montgomery, 1988). Hal ini senada dengan Markusen yang mendefiniskan aglomerasi sebagai suatu lokasi yang ”tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat dari kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Dari kutipan-kutipan di atas dapat ditarik benang merah bahwa suatu aglomerasi tidak lebih dari sekumpulan kluster industri (Mudrajat Kuncoro, 2002). Pada masa selanjutnya terjadi perkembangan konsep dan pemikiran mengenai aglomerasi. Terdapat dua perspektif yang dapat digunakan untuk mendefinisikan aglomerasi yaitu perspektif klasik dan perspektif modern. Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi” melalui kosep eksternalitas. Perspektif modern menunjukkan beberapa kelemahan teori klasik mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, terdapat tiga jalur pemikiran tentang aglomerasi yaitu teori mengenai eksternalitas dinamis, mazab pertumbuhan perkotaan, dan paradigma berbasis biaya transaksi. Aglomerasi Klasik Penghematan Eksternal ( Eksternal economies) Modern Formasi Perkotaan Lokalisasi vs Urbanisasi Increasing returns akibat skala ekonomi MarshallArrow-Romer Eksternalitas Dinamis Jacobs Knowlegde spillover akibat keanekaragaman Pertumbuhan Kota Biaya Transaksi Central Place vs Network System Ketergantungan skala vs netralitas Meminimalkan biaya transaksi akibat skala ekonomis Gambar 2.2 Perkembangan Konsep dan Pemikiran Mengenai Aglomerasi 2.1.1.1 Perspektif Klasik Teori klasik mengenai aglomerasi berpendapat bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi (aglomeration economies) baik karena penghematan lokalisasi maupun penghematan urbanisasi. Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi suatu perusahaan menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Singkatnya, dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Sedang penghematan urbanisasi (urbanisation economies) terjadi bila biaya produksi suatu commit to user perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan dalam wilayah perkotaan yang sama meningkat. Penghematan karena berlokasi di wilayah perkotaan ini terjadi akibat skala 9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perekonomian kota yang besar dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Dengan demikian, penghematan urbanisasi ini memberikan manfaat bagi semua perusahaan di seluruh kota, tidak hanya perusahaan dalam suatu industri tertentu. Menariknya penghematan urbanisasi telah memunculkan perluasan wilayah metropolitan (extended metropolitan regions) (Mudrajat Kuncoro, 2002). Hal yang perlu digarisbawahi dalam teori klasik adalah aglomerasi terjadi akibat adanya kekuatan sentripetal yang mendorong perkembangan spasial aglomerasi. 2.1.1.2 Perspektif Modern Kelemahan mendasar penggolongan penghematan aglomerasi versi klasik adalah tidak diperhitungkannya berbagai biaya yang hendak diminimalkan oleh perusahaan. Persepsi umum saat ini berpendapat baha teori lokasi neo-klasik kurang tepat sebagai dasar analisis spasial yang disebabkan oleh adanya dua fenomena yang tidak mampu dijelaskan oleh paradigma yang ada, tetapi sering dijumpai dalam praktek (McCann, 1955). Pertama, banyak perusahaan yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki kaitan transaksi dengan perusahaan lokal pada industri yang sama, tetapi terdapat kluster industri yang kuat di daerah tersebut. Kedua, banyak perusahaan yang memiliki sedikit bahkan tidak memiliki kaitan transaksi dengan perusahaan lain atau rumah tangga dalam suatu daerah yang sama (biasanya perkotaan), tetapi daerah tersebut memiliki klaster industri. Dengan demikian konsep penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi menjadi dipertanyakaan. Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan disempurnakan oleh tiga jalur paradigma yaitu eksternalitas dinamis, paradigma pertumbuhan kota, dan paradigma yang berbasis biaya transaksi. a) Eksternalitas Dinamis Teori baru mengenai eksternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktifitas dan kesempatan kerja (Glaeser, Kallal, Scheinkman, & Shleifer, 1992). Penjelasan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kotakota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Eksternalitas dinamis versi Marshall-ArrowRomer menekankan pentingnya transfer pengetahuan antarperusahan dalam suatu industri yang diperoleh melalui komunikasi yang terus berlangsung antarperusahaan lokal dalam industri yang sama (Henderson, Kuncoro, & Turner, 1995: 1968). Porter membuat argumen yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi spasial. b) Paradigma Pertumbuhan Kota commit to user Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan aglomerasi. Teori skala kota yang optimal (theories of optimum city 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id size) yang dikaji ulang oleh Fujita dan Thisse (1996), menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktifitas ekonomi sebagai hasil tarik-menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces) yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi adalah kekuatan yang menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan. Kekuatan sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal, yaitu kekuatan dispersi. Ini diperlihatkan oleh adanya kenaikan upah tenaga kerja yang terampil maupun kasar serta kenaikan gaji manajer, yang mendorong perusahaan memilih lokasi di luar pusat kota. Begitu proses aglomerasi industri di perkotaan mencapai skala ekonomies yang maksimum, maka ekspansi setelah titik tersebut akan menimbulkan dampak negatif di kota maupun daerah sekitarnya. Persaingan antarperusahaan dan industri lambat laun akan meningkatka harga bahan baku dan faktor produksi ( harga tanah, tenaga kerja, dan modal) sehingga biaya per-unit mulai merayap naik. Terjadi peningkatan biaya jasa perbankan dan biaya overhead akan mengakibatkan desentralisasi dan relokasi aktifitas ekonomi ke daerah pinggiran kota atau kota-kota satelit di sekitar pusat kota. Di Indonesia, proses ini telah membuat bergeraknya aktifitas ekonomi dan lokasi permukiman penduduk dari Jakarta ke kota-kota sekitarnya yaitu Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Henderson, Kuncoro, & Nasution, 1996). Sejalan dengan berkembangnya paradigma ini, maka teori-teori perkotaan yang baru tidak lagi dikaitkan dengan sistem tempat pusat yang monosentrik melainkan sistem jaringan kota. Model jaringan kota berangkat dari premis bahwa dua kota atau lebih yang berdekatan meskipun tadinya merupakan kota-kota terpisah dan independen, memperoleh manfaat berupa sinergi dari pertumbuhan kota yang interaktif melalui resiprositas, pertukaran pengetahuan, dan kreatifitas (Batten, 1995). Didorong oleh jaringan transpor dan komunikasi yang cepat dan dapat diandalkan, jaringan antarkota dapat mencapai penghematan yang substansial. c) Paradigma yang Berbasis Biaya Transaksi Salah satu tokoh yang mendefiniskan aglomerasi berdasarkan paradigma berbasis biaya transaksi adalah McCann (1995). Ia memberikan beberapa alternatif definisi atas berbagai jenis penghematan aglomerasi dengan menarik perbedaan yang fundamental antara biaya yang terjadi untuk mengatasi masalah “jarak” dan “ruang”, dengan biaya yang muncul karena berloksi pada suatu titik ruang. Hipotesisnya, suatu perusahaan akan mencapai suatu keseimbangan keputusan untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal 1) biaya transaksi jarak, commit to user 2) biaya efisiensi faktor tertentu lokasi, 3) biaya koordinasi hirarki, dan 4) biaya alternatif kebetulan hirarki. Dengan kata lain ada empat jenis biaya yang berkaitan dengan perilaku 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kluster industri, dimana dua jenis yang pertama dapat melibatkan penghematan aglomerasi dan dua jenis yang terakhir melibatkan penghematan aglomerasi. 2.1.2 KAWASAN METROPOLITAN 2.1.2.1 Definisi Kawasan Metropolitan Istilah metropolitan pertama kali digunakan secara resmi berkenaan dengan skala dan pola pertumbuhan kota yang sangat cepat di Amerika. Perubahan fundamental dalam cara hidup Amerika ini dikenali pada awal abad ke-20 ketika Biro Sensus Amerika pada tahun 1910 secara resmi memperkenalkan istilah Metropolitan Districts ke dalam sistem klasifikasi wilayahnya (Goheen, dalam Bourne, ed. 1971). Di Indonesia, kota atau kawasan metropolitan dimaknai sebagai perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat ( DPU, 2006: 13). Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan metropolitan didefinisikan sebagai “kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi, dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. Secara umum , perkotaan metropolitan dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial ekonomi, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota utama berperan sebagai inti dan kota-kota lainnya sebagai satelit. 2.1.2.2 Indikator Kawasan Metropolitan Ciri umum kawasan metropolitan dapat dilihat dari jumlah penduduk, spesialisasi fungsi yang ada, dan kemudahan mobilitas penduduk. 1) Kependudukan Jumlah penduduk merupakan salah satu karaktersistik suatu metropolis yang ditentukan untuk kepentingan penghitungan statistik, mengumpulkan, mentabulasikan dan mempublikasikan data-data statistik. Akan tetapi, tidak ada ukuran jumlah penduduk yang baku sebagai dasar penetapan kawasan metropolitan. Setiap negara memiliki ukuran yang berbeda untuk menetapkan kawasan metropolitan. Berikut beberapa kriteria yang menjadi ciri kawasan metropolitan dilihat dari jumlah penduduk : ï‚· Dua kota atau lebih yang dengan jumlah penduduk kota induk di atas 50.000 jiwa, dan ï‚· kota terkecil di atas 15.000 jiwa (Standart Metropolitan Area, 1950) commit to user Satu kota dengan jumlah penduduk 200.000-300.000 jiwa (Yeates and Garner, 1980) 12 perpustakaan.uns.ac.id ï‚· digilib.uns.ac.id Satu kota dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa (National United Development Strategy, 1995) ï‚· Jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya adalah 1.000.000 jiwa (Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang) 2) Spesialisasi Fungsi Metropolitan merupakan pusat aktivitas jasa yang kemudian tercermin dalam pembagian fungsi keruangannya secara nyata (spesialisasi fungsi). Aktivitas sosial-ekonomi kawasan metropolitan biasanya menunjukan adanya ciri khas fungsi antar ruang yang mengakibatkan adanya hubungan antar ruang pada kawasan metropolitan. Aktivitas di kawasan metropolitan biasanya aktivitas jasa ataupun industri. Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan McGee (1998) dalam ikbar (2006) yang menyatakan kawasan metropolitan memiliki salah satu ciri berupa adanya transformasi kegiatan dari pertanian ke berbagai kegiatan non pertanian termasuk perdagangan, transportasi dan industri, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya aktivitas pertanian didalamnya dengan jumlah penggunaan lahan pertanian di kawasan metropolitan lebih sedikit dibandingkan dengan pemanfaatan lahan nonpertanian. Menurut Winarso (2001) transformasi aktivitas penduduk kawasan metropolitan ditandai dengan minimum 75 % tenaga kerja di kawasan metropolitan bekerja dalam bidang non-pertanian. 3) Kemudahan Mobilitas Hubungan antar ruang menjadi salah satu faktor yang mencirikan kawasan metropolitan. Menurut Angotti (1993) karakter suatu metropolitan terlihat dalam 3 bentuk mobilitas: 1. Mobilitas Pekerjaan (Employment Mobility) 2. Mobilitas Perumahan (Residential Mobility) 3. Mobilitas Perjalanan (Trip Mobility) Mobilitas pekerjaan dicirikan dari mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal karena lebih banyak jenis dan variasi pekerjaan tersedia di kota metropolitan. Mobilitas pekerjaan ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas modal yang besar. Mobilitas tempat tinggal biasanya mengikuti perubahan tempat kerja. Perpindahan tempat tinggal ini tidak selalu karena keinginan sendiri, berhubungan dengan pindahnya tempat kerja, tetapi sering kali juga terjadi karena dipindahkan (digusur) secara paksa maupun tidak. Tidak dipaksa terjadi karena perubahan harga lahan yang disebabkan oleh dinamika pembangunan real estate. Mobilitas perjalanan lebih mudah dilakukan di commit to user metropolitan daripada di permukiman lain karena ketersediaan sarana transportasi yang lebih 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id baik. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa metropolitan dicirikan dengan adanya mobilitas dari modal dan tenaga kerja yang sangat tinggi. Mobilitas tersebut terjadi karena adanya kemudahan untuk mencapai kota metropolitan sebagai inti dari kawasan metropolitan. Selain itu, mobilitas terjadi karena kota metropolitan memiliki keberagaman jenis fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Kebutuhan dalam hal ini terkait dengan jenis mobilitas yang disebutkan sebelumnya yang antara lain kebutuhan bekerja, kebutuhan hunian, kebutuhan perjalanan baik untuk tujuan berbelanja, rekreasi, pendidikan dan lainnya. Berdasarkan ciri metropolitan yang telah disebutkan (jumlah penduduk, spesialisasi fungsi, dan kemudahan mobilitas) dapat disimpulkan bahwa kawasan metropolitan merupakan kawasan yang terdiri dari kota inti dan kota-kota satelit yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk tinggi dengan beragam aktivitasnya sehingga terdapat hubungan antar wilayah yang akan menimbulkan mobilitas tertentu sesuai dengan potensi internal kota didalamnya. Secara aplikatif dalam penjelasan Kementrian Pekerjaan Umum mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Tahun 2009 disebutkan bahwa Metropolitan adalah: 1) Skala besar ditunjukan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 1 juta jiwa 2) Kepandatan penduduk kotar > 60 jiwa per hektar 3) Batas kawasan metropolitan adalah batas fungsional yang mencakup wilayah administrasi dari pusat (kota inti) atau sub pusat (kota satelit) yang terintergrasi. Terintegrasi ditunjukan dengan peran ekonomi pusat yang jauh lebih besar dari kota atau kawasan sekitar berdasarkan jumlah ragam aktifitas jasa dan industri dan jumlah komuter ke pusat kota yang besar 4) Sistem struktur ruang yang menentukan adanya pusat dan sub pusat jelas dengan bentuk monosentris atau polisentris 2.1.2.3 Kriteria Kawasan Metropolitan Ideal Dalam buku metropolitan di Indonesia yang diterbitkan departemen pekerjaan umum (2006), Kawasan metropolitan yang ideal harus memenuhi empat syarat yaitu dari segi struktur ruang, kejelasan fungsi, efisiensi pemanfaatan lahan, kemudahan transportasi, dan ketersediaan fasilitas perkotaan sesuai dengan hirarkinya. 1) Struktur Ruang Penataan ruang kawasan metropolitan harus mampu menunjukkan struktur tata ruang commit to user yang jelas yang terbentuk karena adanya pusat dan sub-pusat kegiatan yang saling terkait dan dihubungkan oleh sistem tranportasi yang terpadu. Pusat dan sub-pusat mempunyai skala 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id layanan yang harus dapat didefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan, selain harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut, juga harus dapat melayani kebutuhan regional di luar kawasan metropolitan, bahkan nasional, karena tidak dapat disangkal bahwa kawasan metropolitan mempunyai peran yang sangat strategis di tingkat nasional. Sub pusat di kawasan metropolitan sebaiknya berupa kota satelit yang berfungsi untuk mendukung Pusat dalam pengembangan kawasan metropolitan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan tentunya lingkungan. Ilustrasinya sebagai berikut: Gambar 2.3 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan yang Ideal Sumber : Metropolitan di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, 2006 2) Kejelasan Fungsi Struktur perkotaan dalam kawasan metropolitan harus mempunyai kejelasan fungsi masing-masing, walaupun beberapa perkotaan dapat mempunyai fungsi yang sama. Fungsi tersebut antara lain dapat berupa pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat industri, pusat tempat tinggal (dormitory town), dan sebagainya. Kota pusat kawasan metropolitan biasanya menyandang fungsi sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, sedangkan kota-kota lainnya dapat berfungsi sebagai dormitory town, pusat pendidkan, dan sebagainya. Dengan adanya kejelasan fungsi tersebut maka diharapkan akan terbentuk sinergi antar kotakota tersebut, dan terdapat kejelasan arah pengembangan masing-masing kota tersebut. Secara internal, di masing-masing kota tersebut juga perlu membentuk struktur tertentu berupa pusat kota yang berfungsi untuk melayani kota secara keseluruhan, dan sub pusat yang berfungsi untuk melayani bagian wilayah kota. commit to user 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.4 Kejelasan Fungsi dalam Kawasan Metropolitan yang Ideal Sumber : Metropolitan di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, 2006 3) Efisiensi Pemanfaatan Lahan Keterbatasan ruang di kawasan metropolitan mengharuskan perencanaan penataan ruang harus memperhatikan keadilan. Ruang kota digunakan sesuai dengan nilai ruang yang terbentuk. Kawasan pusat kota misalnya, harus mempunyai kepadatan tinggi dan oleh karenanya jika untuk perumahan harus perumahan vertikal yang mampu mengakomodasi penduduk yang lebih banyak dan memungkinkan terjangkau dari berbagai tingkat ekonomi, tetapi pada saat yang sama mampu memberikan ruang terbuka hijau yang cukup. Dengan demikian, termasuk dalam efisiensi pemanfaatan ruang ini adalah penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai untuk menjaga keberlanjutan pembangunan 4) Kemudahan Transportasi Kejelasan struktur menuntut adanya kejelasan sistem jaringan trasportasi. Sistem jaringan transportasi yang jelas akan memudahkan mobilitas penduduk. Kemudahan transportasi juga terjadi jika ada pembagian fungsi ruang yang baik termasuk adanya fungsi campuran di pusat atau sub-pusat kegiatan kawasan metropolitan. 5) Ketersediaan Fasilitas Perkotaan Sesuai dengan Hirarkinya Fasilitas perkotaan, baik berupa fasilitas pendidikan, maupun antara lain fasilitas kesehatan, fasilitas RTH, dan fasilitas perdagangan, perlu disediakan secara cukup di semua kota sesuai dengan hierarkinya. Dukungan fasilitas yang memadai tersebut akan dapat menunjang setiap kotakota tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan fungsinya masingcommit to user masing, dan dengan demikian diharapkan akan mendorong berkembangnya saling sinergi antar kota kota tersebut. 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Berdasarkan sumber lain, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh metropolitan yang berkelanjutan yaitu: Aspek Struktur dan Pola Ruang - Struktur kawasan metropolitan yang ideal dicirikan dengan struktur banyak pusat (policentric), sedangkan pola ruang kawasan metropolitan yang ideal dicirikan dengan intensitas tinggi, bentuk kompak, dan tidak menunjukkan gejala pembangunan acak (Yudistira Pratama & Denny Zulkaidi, 2010) Aspek Ekonomi - Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, kawasan metropolitan dicirikan dengan tiga indikator ideal yaitu (1) pertumbuhan ekonomi yang pesat; (2) sektor basis mendominasi struktur perekonomian; dan (3) memiliki fungsi khusus diversifikasi (Yudistira Pratama dkk, 2010) Aspek Lingkungan Hidup - Ditinjau dari aspek lingkungan, kawasan metropolitan dicirikan dengan indikator 1) kualitas udara; (2) kualitas dan kuantitas air; (3) pengelolaan persampahan; dan (4) pengelolaan air limbah dan sanitasi (Anna Farahdiba dan Denny Zulkaidi, 2010) 2.1.2.4 Bentuk Kawasan Metropolitan Secara garis, besar terdapat dua bentuk fisik kawasan metropolitan yaitu metropolis menyebar (dispersed) dan bentuk metropolis memusat (concentrated). Bentuk metropolis menyebar terdiri dari bentuk metropolis menyebar dan metropolis galaktika. Sedangkan metropolis memusat terdiri dari metropolis metropolis memusat, metropolis bintang, dan metropolis cincin (Jayadinata, 986: 221-226).Bentuk fisik kota metropolis tersebut dapat dijelaskan lebih spesifik sebagai berikut: Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Fisik Kota Metropolis No. Bentuk Fisik Metropolis Menyebar 1 Metropolis Menyebar 2 Metropolis Karakteristik Ruang dan Penduduk Metropolis menyebar terbentuk dengan mengembangkan pertumbuhan bagian. Kota paling jarang penduduknya dan bagian kota lama dibangun kembali dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah, sehingga kota metropolitan itu akan cepat meluas. Sehingga kepadatan penduduk kawasan metropolis menyebar relative rendah. Aktivitas Kegiatan sosial ekonomi menyebar. Sarana dan Prasarana - Prasarana Sosial ekonomi di pusat kota yang lama disebar, sehingga produksi pertanian dan bahan makanan, kantor, pabrik, museum, perguruan tinggi, dan rumah sakit tersebar kemana-mana. - Kepadatan penduduk yangtorendah commit user dan kegiatan sosial dan ekonomi yang menyebar memerlukan kendaraan pribadi dalam transportasi dan memerlukan komunikasi untuk menjembatani jarak antarnodal. Ruang dan Penduduk 17 perpustakaan.uns.ac.id Galaktika Metropolis Memusat 1 Metropolis Memusat digilib.uns.ac.id Galaktika adalah susunan bintang di dalam semesta yang meliputi jutaan bintang. Metropolis galaktika terjadi dari permukiman kota kecil, berpenduduk rapat, dipisahkan sejauh beberapa kilometer oleh kawasan pertanian dengan kepadatan penduduk yang rendah. Aktivitas Kegiatan sosial ekonomi terbagi menjadi berbagai unit kecil. Sarana dan Prasarana Arus lalu lintas menyebar, tetapi akan memusat saat menuju permukiman atau pusat kelompok permukiman kota itu. Ruang dan Penduduk Metropolis memusat memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Banyak penduduk yang tinggal di apartemen, rumah susun dan sebagainya. Aktivitas - Kegiatan sosial ekonomi yang tinggi. - Biaya hidup mungkin dapat lebih rendah karena mudahnya pelayanan dan transportasi yang efisien akibat penduduk yang banyak, tetapi terdapat suatu tingkatan tertentu dimana kepadatan penduduk yang sangat tinggi akan menyulitkan komunikasi antar penduduk. Sarana dan Prasarana - Sistem lalu lintas lebih khusus dengan berbagai model transportasi menurut jalur masing-masing, alat transportasi umum lebih diperlukan daripada kendaraan pribadi, dan diperlukan juga jalan bebas kendaraan (pedestrianisasi), jalan untuk pejalan kaki di samping jalan raya (sidewalks) dan sabuk luncur (flying belt). - Tingkat jangkauan sangat tinggi, baik ke berbagai kegiatan khusus maupun ke alam terbuka dan pedesaan di pinggir kota, kota sendiri merupakan tempat berbagai pertemuan secara periodik 2 Metropolis Metropolis bintang memiliki pusat kota utama dengan pola kepadatan penduduk pada Bintang wilayah pusat berbentuk bintang dengan perpanjangan beberapa bagian kota linier seperti lengan di alam terbuka. Inti kota utama sebagai pusat kota dikelilingi oleh banyak kota kedua yang terletak di sepanjang lengan-lengan linier tersebut. Lenganlengan kota metropolitan ini mempunyai kepadatan penduduk yang sedang, lebih tinggi daripada metropolis menyebar, tetapi lebih rendah daripada pusat-pusat. Pertumbuhan dapat berlangsung keluar dari lengan-lengan dan perubahan-perubahan dapat dilakukan dengan mudah karena kepadatan penduduk lebih rendah daripada di bagian inti utama serta tersedianya lahan pertanian dapat mendukung perkembangan kawasan linier tersebut. 3 Metropolis Ruang dan Penduduk Cincin Kawasan kota inti memiliki kepadatan penduduk yang rendah, sedangkan kepadatan tinggi terdapat di sekeliling tengah kota sehingga bentuk ini menyerupai cincin atau kue donat. Sumber : Adisasmita, Rahardjo.Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. 2010 - Menurut Sikandar dan Malik dalam Jayadinata (1990: 226-227), pada pengembangan tiap bentuk kota metropolitan di atas, masing-masing terdapat beberapa masalah (kekurangan) yakni: 1. Permasalahan kota metropolitan menyebar adalah pilihan terbatas, interaksi yang lemah, biaya yang tinggi, citra kota metropolitan kurang hidup. 2. Metropolis galaktika dengan banyak permukiman kota yang kecil lebih banyak memberikan kemungkinan, tetapi mempunyai beberapa masalah seperti dalam interaksi dan biaya serta lebih sulit direalisasikan. commit towilayah user inti yang padat menyebabkan biaya 3. Dalam kota metropolitan yang memusat, yang memberatkan, kurang nyaman, sulit partisipasi, dan sulit penyesuaian. 18 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4. Kota metropolitan bintang keadaannya lebih baik, jika kemacetan di pusat kota dapat dihindari, tetapi bentuk fisik kota ini kurang bermanfaat jika ukurannya semakin besar. 2.1.2.5 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan Struktur ruang kawasan metropolitan dapat ditinjau dari jumlah dan keterkaitan antara pusat dan sub pusat, serta dari tipologi kawasannya. Apabila ditinjau berdasarkan pusat – pusat pelayanannya, kawasan metropolitan memiliki struktur sebagai berikut: 1) Mono centered Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain. 2) Multi nodal Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat dan sub sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat. 3) Multi centered Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lainnya. 4) Non centered Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki yang sama dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya. Sumber : Sinulingga (2005) Sumber : Wiegen (2005) Gambar 2.5 Struktur Kota Metropolitan Berdasarkan Keberadaan Pusat Pelayanan Sedangkan apabila ditinjau dari tipologi kawasannya, makastruktur ruang kawasan commit to user metropolitan terdiri pusat kota (kota metropolitan), kawasan sub urban, dan kota satelit. 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.6 Struktur Ruang Kawasan Metropolitan 2.1.2.6 Bentuk Ruang Kota yang Berkelanjutan Bentuk suatu ruang kota atau wilayah dapat dikenali berdasarkan pola penggunaan lahan atau sebaran lahan terbangun di suatu wilayah. Dalam ilmu perwilayahan sebaran penggunaan lahan ini dapat disebut sebagai pola keruangan atau morfologi kota/ wilayah. Morfologi kota adalah sebuah pendekatan dalam memahami kota sebagai suatu kumpulan geometris bangunan dan artefak dengan konfigurasi kesatuan ruang fisik tertentu produk dari perubahan sosio-spatialnya. Berdasarkan pada kenampakan morfologi/ bentuk kota serta jenis penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999) mengemukakan beberapa alternative model bentuk kota. Secara garis besar ada 7(tujuh) model bentuk kota yaitu: 1. Bentuk Satelit dan Pusat-pusat baru (satelite and neighbourhood plans) yaitu kota utama dengan kota-kota kecil memiliki hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien. Kota-kota satelit berfungsi sebagai penyerap mengalirnya arus urbanit yang sangat besar ke kota utama. Bentuk kota ini memiliki ciri adanya concentric development yang mendominasi areal kekotaannya pada main urban center maupun kota-kota satelitnya. Contoh : Kota Stockholm, London, Copenhagen, Jabodetabek, Gerbang Kertasusila, dan Bandung Raya 2. Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans) yaitu setiap lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan dan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi, dan tempat olahraga bagi penduduk kota. Bentuk ini paling cocok untuk kota yang perkembangan areal kekotaannya didominasi oleh ribbon development. 3. Bentuk cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka. Contoh ring cities adalah Randstad Holland di Belanda. commit to user 4. Bentuk linier bermanik (beaded linier plans), dimana pusat perkotaan yang lebih kecil tumbuh di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, di pinggir jalan biasanya ditempati bangunan komersial sedangkan di belakangnya ditempati permukiman penduduk. 5. Bentuk inti/kompak (the core or compact plans) yaitu perkembangan kota yang biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertical sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil. 6. Bentuk memencar (disperted city plans), dalam kesatuan morfologi yang besar dan kompak terdapat beberapa urban center, dimana masing-masing pusat mempunyai grub fungsi-fungsi khusus dan berbeda satu sama lain. Bentuk ini pertama kali disarankan oleh Frank Llyod Wright sebagai bentuk yang mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada “compact city”. 7. Bentuk kota bawah tanah (under ground city plans), struktur perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, bagian atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau. Beberapa fungsi-fungsi perkotaan memang sudah dicoba di beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Osaka, dan beberapa yang lain. Ketujuh alternative model kota tersebut merupakan model kota yang berkelanjutan selama bentuk tersebut diadopsi berdasarkan sifat “urban sprawl” di atas kemungkinan “trend” perkembangan yang akan datang. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi pemborosan sumberdaya. Sebagi contohnya suatu wilayah yang pola perkembangan arealnya didominasi oleh ribbon development dan sudah membentuk ribbon city adalah tidak bijaksana jika wilayah tersebut dipaksakan untuk membentuk kompak membulat ( Yunus, 2008). Gambar 2.7 Alternatif Model Bentuk Kota yang Berkelanjutan commit to user Sumber : Hudson dalam Yunus, 2008 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2.1.2.7 Keterkaitan Kota Inti, Kota Satelit, dan Sub-Urb pada Kawasan Metropolitan Kota Inti Terdapat banyak istilah yang mendefinisikan kota inti kawasan metropolitan sebagai kota pusat. Secara singkat, semua definisi tersebut menyebutkan bahwa kota inti merupakan pusat kegiatan di kawasan metropolitan. Kota inti merupakan suatu kawasan yang terdiri dari pusat kota dan selaput inti kota (Yunus, 2006). Pusat kota adalah wilayah di dalam kota inti, dimana kegiatan utama kota berada. Dalam mengenali CBD ini, Hadi Sabari Yunus menyarankan tidak menggunakan istilah sentral maupun tidak sentral melainkan primary business district, secondary business district, tertiary business district, quartenary business district dengan mendasarkan pada peranan masing-masing business district dalam konstelasi perekonomian kota. Sedangkan selaput inti kota merupakan daerah yang berada di luar pusat kegiatan dan berbatasan langsung dengannya. Daerah ini merupakan daerah permukiman padat dan dihuni oleh penduduk yang sangat banyak pula sehingga dari segi kepadatan penduduk juga menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Kota Satelit dan Sub-Urb Kota satelit dalam kawasan metropolitan pada awalnya merupakan kawasan pinggiran atau urban fringe. Hal yang membedakan suburbs dengan kota satelit dapat dilihat dari fungsi utama dan kemampuan ekonomi serta sosial. Tabel 2.2 Perbedaan Suburbs dan Kota Satelit Perbedaan Suburbs Kota Satelit Perananan / - Permukiman kekotaan (kota kecil yang - Permukiman kekotaan yang tidak hanya Fungsi berkembang di sekitar kota besar) yang dimanfaatkan untuk tidur semata di malam Utama hanya dimanfaatkan untuk tidur semata hari saja, tetapi memberikan kontribusi di malam hari bagi penduduk yang terhadap pengembangan wilayah dalam bekerja di kota terdekat pada siang hari bentuk komoditas, jasa, dan informasi. (dormitory town). - Peranannya mirip dengan kota besar, sebagian besar kebutuhan penduduknya dapat dipenuhi sendiri, tetapi dalam hal ketergantungan pada kota besar terdekat masih ada. Kemampuan - Hanya berfungsi sebagai penerima - Memiliki kemampuan ekonomi dan social Ekonomi komoditas dan pemasok tenaga kerja baik yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dan Sosial ke kota besar terdekat (kota inti) maupun pekerjaan bagi penduduknya dan mungkin ke kota satelit. bagi penduduk suburbs di dekatnya. Di - Tiak ada fungsi-fungsi kekotaan yang dalam kota satelit juga telah berkembang berfungsi sebagai tempat bekerja bagi industry/ pabrik/ kantor/ institusi tertentu penduduk (working opportunities) sebagai penjual komoditas dan dengan sehingga dapat dikatakan bahwa suburbs sendirinya juga penerima tenaga kerja. tergantung sepenuhnya pada kota besar terdekat, khususnya dari segi ekonomi. Sumber : Megapolitan, Hadi Sabari Yunus, 2006 commit to user 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2.1.3 PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 2.1.3.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. 2.1.3.2 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan commit to user bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi 23 perpustakaan.uns.ac.id merupakan satu-satunya digilib.uns.ac.id tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan yang berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, terdapat beberapa pakar yang mengemukakan kriteria dan indikator pembangunan sebagai berikut: Ahli Djajadiningrat (2005) 1. 2. 3. 4. 5. Brundland, G.H, 1987 1. 2. 3. ICPQL (1996) 1. 2. 3. Tabel 2.3 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan Kriteria Indikator Keberlanjutan Ekologis Keberlanjutan di Bidang Ekonomi Keberlanjutan Sosial dan Budaya Keberlanjutan Politik Keberlanjutan Pertahanan Keamanan Keberlanjutan Ekonomi 1. Pertumbuhan ekonomi untuk Keberlanjutan Lingkungan pemenuhan kebutuhan dasar. Keberlanjutan Sosial 2. Lingkungan untuk generasi sekarang dan akan datang. 3. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua. Keberlanjutan Ekonomi Keberlanjutan Lingkungan Keberlanjutan Sosial 1. 2. 3. Becker, F.et.al (1997) 1. 2. 3. Keberlanjutan Ekonomi Keberlanjutan Lingkungan Keberlanjutan Sosial Agus Dharma 1. 2. 3. Environment Sustainability Economic Sustainability Social Sustainability Ekonomi kesejateraan Keseimbangan Lingkungan yang sehat Keadilan sosial, kesetaraan gender, rasa aman, menghargai diversitas budaya. 1. 2. Ekonomi kesejahteraan Lingkungan adalah dimensi sentral dalam proses sosial. 3. Penekanan pada proses pertumbuhan sosial yang dinamis, keadilan sosial, dan kesetaraan. Environment Sustainability Ecosistem integrity Carrying Capasity Biodiversity Economic Sustainability Growth Development Productivity Trickling Down Social Sustainability Cultural Identity Empoverment Accessibility Stability Equity Sumber buku Suistanable Future Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Buletin Penataan Ruang. JanuariFebruari 2009 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Buletin Penataan Ruang. JanuariFebruari 2009 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Buletin Penataan Ruang. JanuariFebruari 2009 Paper Sustainable Compact City sebagai alternative Kota Hemat Energi, 2005 commit to user 24 perpustakaan.uns.ac.id - digilib.uns.ac.id Environment Sustainability Ecosistem integrity Carrying Capasity Biodiversity Human Well Doing Environment - Economic Sustainability Growth Development Productivity Trickling Down Economy Society - Social Sustainability Cultural Identity Empoverment Accessibility Stability Equity Gambar 2.8 Kriteria Pembangunan yang Berkelanjutan Sumber : Agus Dharma dalam Paper Sustainable Compact City sebagai alternative Kota Hemat Energi, 2005 Dari beberapa teori pembangunan berkelanjutan tersebut diketahui bahwa pencapaian keberlanjutan ketiga aspek yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial akan menciptakan kehidupan yang baik. Dalam penelitian kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan berkelanjutan ini memiliki focus utama pada aspek fisik sehingga untuk mengetahui keberlanjutannya maka kriteria keberlanjutan lingkungan menjadi tolok ukur yang diperhitungkan. Dalam metropolitan berkelanjutan, struktur ruang maupun pola ruang yang ada hendaknya sesuai dengan daya dukung lingkungan yang dimilikinya agar keberlanjutan wilayah tersebut memiliki life-span yang lama. 2.2 KERANGKA PEMIKIRAN Kawasan metropolitan berkelanjutan berarti memenuhi syarat/ kriteria ideal suatu kawasan metropolitan serta memenuhi kriteria keberlanjutan dari aspek lingkungan, social, dan ekonomi. Kriteria fisik lingkungan dalam konteks ruang wilayah dapat dibedakan menjadi dua yaitu fisik alami yang menyangkut air dan lahan yang berkaitan erat dengan daya dukung lingkungan, serta aspek fisik buatan yang tercermin dalam struktur dan pola ruang kawasan. Fokus penelitian ini terbatas pada komponen fisik lingkungan yang terdiri atas struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan. Struktur ruang adalah adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional, pola ruang adalah peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya, sedangkan daya dukung lingkungan adalah batas maksimal penduduk yang dapat dipenuhi commit to user kebutuhannya. Daya dukung lingkungan inilah yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai keberlanjutan metropolitan dari aspek struktur dan pola ruang, selain menggunakan 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kriteria metropolitan yang ideal yang tercantum dalam sub bab kriteria metropolitan yang ideal. Sebagai gambarannya, kriteria metropolitan yang ideal digunakan untuk mengidentifikas kondisi eksisting saat ini apakah sudah memenuhi persyaratan sebagai metropolitan, kemudian untuk mengetahui keberlanjutannya maka kondisi eksisting ini dibandingkan dengan daya dukung lingkungan yang dimilikinya, sehingga kemudian akan muncul sebuah temuan yang dapat menjawab apakah dengan kondisi dan tren kecenderungan saat ini maka metropolitan yang terbentuk memiliki sifat keberlanjutan di masa yang akan datang. Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan fokus penelitian yaitu struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan antara lain 1) isu yang terjadi di kawasan perkotaan Surakarta seperti yang telah disebutkan dalam latar belakang adalah masalah yang terkait dengan kondisi struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan, 2) struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan merupakan komponen utama dalam dokumen perencanaan sehingga hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan, dan 3) pertimbangan ketersediaan data. Metropolitan Berkelanjutan ( Memenuhi Kriteria Ideal) Fisik Ekonomi Sosial Fisik Buatan Fisik Alami Air, Lahan Struktur : Sistem Pusat Aktivitas, Jaringan Transportasi Pola : Penggunaan Lahan (Diversifikasi), Intensitas Daya Dukung Lingkungan Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran Sumber : Analisis Peneliti, 2012 Berdasarkan teori yang telah disebutkan sebelumnya dapat disintesakan bahwa suatu metropolitan berkelanjutan harus memenuhi kriteria ideal suatu metropolitan sekaligus pembangunan yang berkelanjutan. Dari aspek fisik, persyaratan metropolitan yang ideal adalah - Struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan beberapa pusat-pusat kegiatan atau sub pusat. - Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi masing-masing. commit to user Adanya pusat dan sub pusat di dalam masing-masing kota baik inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan dan bagian wilayah kota. 26 perpustakaan.uns.ac.id - digilib.uns.ac.id Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik yaitu yaitu pusat kawasan metropolitan harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan, sedangkan sub pusat berfungsi mendukung pusat dalam pengembangan kawasan. - Pusat dan sub pusat yang dihubungkan system transportasi terpadu yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum, dan - Memiliki bentuk ruang yang berkelanjutan yang dapat ditinjau dari bentuk ruang yang terbentuk. Sedangkan persyaratan dari segi pembangunan berkelanjutan adalah adanya keberlanjutan lingkungan dengan tolok ukur daya dukung lingkungan. Dengan menggabungkan kedua persyaratan tersebut maka diperoleh tolok ukur metropolitan berkelanjutan sebagai berikut: Variabel Struktur Ruang Pola Ruang Daya Dukung Lingkungan Tabel 2.4 Variabel, Sub Variabel, Indikator, dan Tolok Ukur Sub Variabel Indikator Tolok Ukur 1. Sistem pusat Orde Perkotaan 1. Struktur banyak pusat (polycentric) yang sub pusat terdiri dari CBD dan beberapa pusat2. Jaringan pusat kegiatan atau sub pusat. Transportasi 2. Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi masing-masing. Jangkauan pelayanan pusat 1. Adanya pusat dan sub pusat di dalam dan sub pusat masing-masing kota baik inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan dan bagian wilayah kota. 2. Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik yaitu yaitu pusat kawasan metropolitan harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan, sedangkan sub pusat berfungsi mendukung pusat dalam pengembangan kawasan. Pusat dan sub pusat yang dihubungkan 1. Aksesibilitas system transportasi terpadu yaitu 2. Mobilitas ketersediaan jaringan jalan dan moda 3. Ketersediaan angkutan transportasi umum. masal 1. 2. 1. 2. Intensifikasi Diversitas Penggunaan Lahan Lahan Air 1. Diversifiikasi Penggunaan Lahan 2. Intensitas Penggunaan Lahan 1. Daya tampung lahan 2. Daya dukung sumberdaya air Memiliki bentuk ruang yang berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan. 1. 2. Sumber : Analisis Peneliti Minimal 1 juta penduduk bisa ditampung di wilayah dan/atau kawasan, dengan pengertian masih dalam batas kemampuan lahan. Minimal 1 juta penduduk masih bisa mendapatkan air baku untuk memenuhi kebutuhannya. commit to user 27 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab metode penelitian ini akan dijabarkan jenis dan pendekatan penelitian, metode penelitian, metode pengumpulan data, kerangka analisis, dan metode analisis. 3.1 JENIS PENELITIAN Berdasarkan pendekatan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deduktif. Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian dengan teori yang telah ada. Teori yang telah ada digunakan untuk merumuskan variable dan tolok ukur penelitian yang dijadikan pedoman untuk menjawab tujuan penelitian. Sedangkan berdasarkan metode yang digunakan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif kemudian menjabarkannya dalam bentuk deskriptif untuk menjawab tujuan penelitian. 3.2 LOKUS PENELITIAN Kawasan metropolitan merupakan sebuah aglomerasi perkotaan yang terdiri atas kota inti dan kota-kota satelit, di mana terdapat pembagian tugas antara kota besar (kota inti) dengan sekelilingnya (satelit) dalam hal pelayanan, sehingga dikatakan bahwa kota inti dan satelit mempunyai kaitan yang erat. Kaitan yang erat ditandai dengan adanya penduduk penglaju (commuter) antara kota inti dan kota satelit (Adisasmita, 2010) . Dari pengertian di atas terdapat tiga komponen penting yang harus digaris bawahi yaitu 1) Metropolitan merupakan aglomerasi ruang perkotaan, 2) Metropolitan terdiri atas kota inti dan kota satelit, 3) Keterkaitan antara kota inti dan satelit dilihat dari adanya arus commuter. 1. Metropolitan merupakan aglomerasi ruang Dalam mendefinisikan aglomerasi perkotaan, peneliti menggunakan perspektif modern yang mengenali bahwa aglomerasi tidak hanya didorong oleh kekuatan sentripetal dengan konsep penghematan saja, melainkan aglomerasi dapat terbentuk dengan adanya kekuatan sentripetal dan sentrifugal sehingga terjadi pergerakan/ perkembangan ke arah luar kota. Fenomena inilah yang sedang terjadi di Kota Surakarta, dapat dilihat dengan meluasnya kawasan perkotaan ke wilayah di sekitarnya yang kemudian membentuk struktur ruang perkotaan yang lebih luas (Hasil analisis dan RTRW Surakarta Tahun 2007-2026). Dalam hal ini, kawasan perkotaan yang terbentuk di sekitar surakarta commit to user menjadi bagian dari lokus penelitian. Kawasan perkotaan tersebut, secara administratif 28 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terdiri atas Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak (RTRW Surakarta Tahun 2007-2026). 2. Metropolitan terdiri atas kota inti dan satelit Dalam struktur wilayah regional, Kota Surakarta merupakan bagian dari regional Subosukowonosraten dengan Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Wonogiri, Kota Klaten, dan Kota Boyolali sebagai kota-kota satelit. 3. Keterkaitan kota inti dan satelit dilihat dari adanya arus commuter Commuter yang menuju Kota Surakarta berasal dari berbagai wilayah di regional Subosukowonosraten, tidak terkecuali dari kota-kota satelitnya tanpa terkecuali dengan intensitas yang berbeda. Fenomena ini dapat dilihat dari pergerakan masyarakat dari luar kota Surakarta yang masuk ke Surakarta pada jam-jam kerja dan masuk sekolah dengan menggunakan kendaraan plat AD, dimana plat AD merupakan plat kendaraan di regional Subosukowonosraten. Dengan demikian maka kawasan perkotaan sekitar Surakarta (Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak), Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Wonogiri, Kota Klaten, dan Kota Boyolali memenuhi syarat sebagai populasi penelitian. Dikarenakan posisi kota-kota satelit seperti Kota Sragen, Kota Klaten, Kota Karanganyar, Kota Klaten, dan Kota Boyolali terletak antara dua pusat pertumbuhan yaitu kawasan perkotaan Surakarta dan kawasan perkotaan lain maka dilakukan analisis gravitasi. Analisis gravitasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh dua pusat pertumbuhan tersebut lain sehingga dapat diketahui kecenderungan ketergantungan wilayah yang hirarkinya lebih kecil. Wilayah yang memiliki nilai gravitasi lebih besar dari pusat pertumbuhan lain dibandingkan dengan nilai gravitasinya ke kawasan perkotaan Surakarta maka tidak akan menjadi lokus penelitian. Perhitungan gravitasi dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan jarak antar wilayah (panjang jalan penghubung). Rumus gravitasi yang digunakan sebagai berikut: Keterangan G = Nilai gravitasi G=kx Pi x Pj dij2 P = Jumlah penduduk Dij = jarak antar daerah I dan j k = sebuah konstanta (100) Untuk mengetahui kecenderungan kebergantungan Kota Sragen dan Kota Karanganyar, peneliti membandingkan gaya tarik Kota Surakarta dengan Kota Madiun, sedangkan untuk mengetahui kecenderungan kebergantungan Kota Boyolali, peneliti membandingkan gaya commit to user tarik Kota Surakarta dan Kota Salatiga. Kota Madiun dan Kota Salatiga dipilih dengan pertimbangan kota tersebut merupakan kota dengan hirarki yang lebih tinggi dibandingkan 29 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kota yang diuji gaya tariknya. Untuk mengetahui gaya tarik Kota Klaten, peneliti membandingkan gaya tarik kawasan perkotaan Jogjakarta dan kawasan perkotaan Surakarta. Kota Satelit Tabel 3.1 Perhitungan Gravitasi untuk Menentukan Lokus Penelitian Jarak dengan Jarak dengan Jumlah Kota Kawasan Nilai Gravitasi Penduduk Surakarta Perkotaan Kota Surakarta Tahun 2010 (Km) Lain (Km) Nilai Gravitasi Kawasan Perkotaan Lain Kota Sragen 73537 26,53 81,00 6.122.910.723,57 191.619.869,96 Kota Karanganyar 77413 14,73 81,54 20.909.079.939,02 199.056.862,35 127974 30,00 25,00 15.908.362.624,00 26.500.971.347,52 Kota Klaten Kota Boyolali 77755 25,99 27,00 1.816.757.840,88 6.745.937.066,84 Keterangan: Jumlah penduduk Kota Madiun tahun 2010 adalah 170.964 jiwa, penduduk kawasan perkotaan Yogjakarta adalah 1.294.253 jiwa, Kota Salatiga adalah 170.332, Kota Surakarta adalah 586039, dan kawasan perkotaan Surakarta adalah 1.118.784 jiwa. (sumber: Badan Pusat Statistik dan Sesnsus Penduduk Tahun 2010) Sumber: Hasil Analisis berdasarkan data tahun 2010 Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus gravitasi, dapat diketahui bahwa wilayah yang mendapatkan pengaruh Kawasan Perkotaan Surakarta lebih besar daripada kawasan perkotaan lain adalah Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali. Kota Klaten lebih tertarik ke kawasan perkotaan Yogjakarta sehingga tidak dimasukkan dalam lokus penelitian. Peneliti kemudian menggunakan teknik pengambilan sampel dengan orientasi arah mata angin dengan memperhatikan kedekatan dengan Kota Surakarta (terkait dengan kemudahan commuter menjangkau Kota Surakarta yang merupakan salah satu indikator metropolitan) dalam mengambil sampel kota satelit. Gambar 3.1 Lokus Penelitian Sumber : Analisis Peneliti Dengan metode pemilihan sampel berdasarkan orientasi mata angin, Kota Sragen terpilih mewakili wilayah utara, Kota Karanganyar mewakili wilayah timur, dan Kota Boyolali mewakili arah barat. Kota Sukoharjo dan Kota Wonogiri terletak di bagian selatan to user Akan tetapi Kota Sukoharjo terletak Kota Surakarta dan sama-sama dilaluicommit jalan kolektor. lebih dekat dengan Kota Surakarta dan nilai gravitasinya lebih besar dibandingkan Kota 30 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Wonogiri maka Kota Sukoharjo terpilih menjadi sampel penelitian mewakili wilayah selatan. Dengan demikian maka lokus utama penelitian yang terpilih adalah Kota Surakarta, KP sekitar Surakarta ( Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak), Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali. Lokus penelitian secara administrative memiliki luas 38577,38 Ha dengan jumlah penduduk 1.432.655 jiwa pada tahun 2010. Tabel 3.2 Luas Lokus Penelitian Luas (Ha) No. Sub Wilayah 4404,06 7 Kecamatan Colomadu Karanganyar 2672,00 8 Kecamatan Mojolaban Sukoharjo 4302,64 9 Kecamatan Grogol Sukoharjo 4458,00 10 Kecamatan Baki Sukoharjo 4095,00 11 Kecamatan Kartosuro Sukoharjo 2554,81 12 Kecamatan Ngemplak Boyolali Luas Total Sumber : BAPPEDA masing-masing kabupaten/kota No. 1 2 3 4 5 6 3.3 Sub Wilayah Kota Surakarta Kota Sragen Kota Karanganyar Kota Sukoharjo Kota Boyolali Kecamatan Jaten Karanganyar Luas (Ha) 1564,17 3554,00 3000,00 2197,00 1923,00 3852,70 38577,38 TEKNIK PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik mencatat laporan statistik, mempelajari laporan pembangunan wilayah penelitian, observasi, interpretasi peta, satelit, dan foto udara. 1) Teknik Mencatat Laporan Statistik Salah satu sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah catatan statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik atau institusi pemerintah lainnya . 2) Mempelajari Laporan Pembangunan Wilayah Penelitian Selain catatan statistik, data-data juga akan dikumpulkan dari laporan pembangunan wilayah seperti monografi dan dokumen perencanaan pembangunan daerah. 3) Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dengan jalan mengadakan pengamatan langsung pada objek dan wilayah yang diteliti dan pengenalan wilayah secara cepat untuk memperoleh informasi. Observasi dilakukan dengan peninjauan langsung ke lapangan untuk mencocokkan data sekunder yang diperoleh dari instansi maupun untuk mendapatkan gambaran riil lokasi penelitian. Objek kajian observasi dalam penelitian ini adalah objek bukan makhluk hidup yang bersifat artificial seperti kompleks permukiman, jaringan jalan, dll. Instrumen yang digunakan dalam kegiatan observasi meliputi peta, kamera, daftar isian, alat perekam, dan buku catatan. 4) Interpretasi Peta, Citra Satelit, dan Foto Udara Peta, citra satelit, dan foto udara merupakan model bagian permukaan bumi yang commit to user dalam peta, citra satelit, maupun foto digambarkan dari atas. Informasi yang disajikan udara dapat memperlihatkan ukuran, asosiasi keruangan, lokasi, arah/orientasi, topografi, 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id jenis pemanfaatan lahan, tutupan vegetasi, dan tutupan lahan. Di samping itu, peta dapat digunakan untuk memperoleh data terkait profil bentang lahan. Peta juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan bentuk dan pola ruang apabila disajikan secara time series. Oleh karena itu, interpretasi peta memiliki peran yang besar dalam pengumpulan data di penelitian ini. Tabel 3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data Variabel Struktur Ruang Pola Ruang Daya Dukung Lingkungan Jenis Data 1. 2. 3. Demografi Sebaran pusat-pusat aktivitas Sarana Pendidikan, Perdagangan, Kesehatan, dan Wisata 4. Jaringan jalan 5. Moda transportasi yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan Jenis dan luas penggunaan lahan Daya dukung lahan morfologi dan topografi kestabilan lereng geologi dan geologi permukaan penggunaan lahan data air tanah dangkal curah hujan hidrologi dan klimatologi Data bencana alam Daya dukung sumber daya air Sumber air bersih Produktifitas air dirinci berdasarkan sumber-sumbernya. Sumber : Analisis Peneliti 3.4 1. 2. - Sumber Data BAPPEDA , BPS, DPU Bina Marga, Observasi BAPPEDA , BPS, Observasi BAPPEDA , DPU, BPS, PDAM Teknik Pengumpulan Data - - Teknik Mencatat Data Statistik Mempelajari Laporan Pembangunan Wilayah Observasi Interpretasi Peta, Citra Satelit/ Foto Udara Teknik Mencatat Data Statistik Interpretasi Peta, Citra Satelit/ Foto Udara Observasi Teknik Mencatat Data Statistik KERANGKA ANALISIS Tahapan untuk menilai kesesuaian struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi struktur ruang, pola ruang, daya tampung lahan, dan daya dukung sumberdaya air kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta. 2) Membandingkannya struktur ruang, pola ruang, daya tampung lahan, dan daya dukung sumberdaya air dengan tolok ukur penelitian. Hasil perbandingan ini adalah persentase pencapaian tolok ukur kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjutan yang telah disebutkan dalam kerangka pikir. Akan tetapi, untuk mengetahui keberlanjutan commit to user metropolitannya yang terbentuk maka perlu mengaitkan aspek struktur ruang dan pola ruang dengan daya dukung lingkungan pada tahap ketiga. 32 Data Pusat Aktivitas Penduduk Analisis Analisis Hirarki Perkotaan berdasarkan Jumlah Penduduk Tolok Ukur 1 Bentuk Struktur Ruang Analisis Hirarki Perkotaan berdasarkan Keberadaan Sarana Tolok Ukur 2 Kejelasan Fungsi Masingmasing Pusat Anaisis Kemampuan Pelayanan Sarana Sarana Perkotaan Analisis Breaking Point Nilai Aksesibilitas Nilai Mobilitas Nilai Keselamatan Jaringan Jalan Moda Transportasi Umum Penggunaan Lahan Kondisi Fisik Lingkungan (Morfologi, Topografi, Kestabilan Lereng,, Geologi, Curah Hujan, Hidrologi, Klimatologi, Kebencanaan) Sumber Air Penggunaan Air Analisis Ketercapaian Tolok Ukur Ketersediaan Moda Transportasi Penghubung AntarPusat Bentuk Ruang dan Penggunaan Lahan Dominan 1. 2. 3. Analisis Satuan Kelas Lahan (SKL) Analisis Kemapuan Lahan Analisis Arahan Tutupan Lahan dan Ketinggian Bangunan Analisis Neraca Kesetimbangan Air Tolok Ukur 3 Kemampuan Pelayanan Internal Wilayah Analisis Kesesuaian sebagai Metropolitan Berkelanjutan perAspek Kesesuaian Struktur Ruang untuk Mendukung Terbentuknya Metropolitan Berkelanjutan Tolok Ukur 4 Skala Pelayanan Pusat dan Pusat Keberlanjutan Struktur Ruang Metropolitan yang Terbentuk Tolok Ukur 5 Ketersediaan Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Penghubung AntarPusat Tolok Ukur 6 Bentuk Ruang Berkelanjutan Tolok Ukur 7 Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Lahan Tolok Ukur 8 Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air Gambar 3.2 Kerangka Analisis Penelitian Sumber : Analisis Peneliti Keberlanjutan Metropolitan yang Terbentuk Kesesuaian Pola Ruang untuk Mendukung Terbentuknya Metropolitan Berkelanjutan Kesimpulan dan Rekomendasi Keberlanjutan Struktur Ruang Metropolitan yang Terbentuk Kesesuaian Daya Dukung Lingkungan untuk Membentuk Metropolitan Berkelanjuta 33 perpustakaan.uns.ac.id 3.5 digilib.uns.ac.id TEKNIK ANALISIS Dalam menilai kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan peneliti melakukan tiga tahap analisis. Analisis pertama dilakukan untuk menilai ketercapaian masing-masing tolok ukur yang terdiri atas analisis struktur ruang, analisis pola ruang, dan analisis daya dukung lingkungan. Analisis kedua dilakukan untuk menilai kesesuaian dari masing-masing tolok ukur yang telah ditentukan. Dan tahap ketiga adalah menilai kesesuaian struktur ruang dan pola ruang yang dikaitkan dengan daya dukung lingkungan, untuk mengetahui keberlanjutan metropolitan yang terbentuk. Hubungan antara variable penelitian dengan teknik analisis dari analisis tahap pertama yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3.4 Hubungan Variabel dan Teknik Analisis Variabel Teknik Analisis Struktur Ruang 1. 2. 3. 4. Analisis Hirarki Perkotaan / Orde Kota Analisis Kemampuan Pelayanan Fasilitas Analisis Titik Henti Analisis Aksesibilitas, Mobilitas, dan Ketersediaan Moda Transortasi Umum Pola Ruang Analisis Pola Ruang Daya Dukung Analisis Daya Tampung Lahan Lingkungan Analisis Daya Dukung Sumber Daya Air Sumber : Analisis Peneliti Jenis Analisis Kuantitatif Deskriptif Kuantitatif Deskriptif Kuantitatif Deskriptif Tahun yang Dianalisis Eksisting ( Data tahun 2010) dan Kecenderungannya (2003-2010) Eksisting ( Data tahun 2010) dan Kecenderungannya (2003-2010) Eksisting ( Data tahun 2010) 3.6.1 Analisis Hirarki Perkotaan Hirarki perkotaan digunakan untuk mengetahui struktur ruang suatu wilayah ditinjau dari keberadaan pusat-pusat pelayanan dan untuk memperkirakan luas wilayah pengaruh suatu kota. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan gabungan faktor jumlah penduduk dan jumlah sarana perkotaan untuk menetapkan orde perkotaan. Metode ini dipilih dengan pertimbangan selain dapat memperlihatkan orde suatu kota, juga dapat memperlihatkan kelebihan dan kekurangannya pada posisi orde yang dimilikinya. Berdasarkan observasi lapangan kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang sama dalam membuat sebuah kota dapat menarik pengunjung. Oleh karena itu, kedua faktor tersebut disasumsikan memiliki bobot yang sama. Hasil penilaian orde perkotaan dengan menggunakan metode gabungan ini akan mampu menjawab tolok ukur kesesuaian nomor 1, 2, dan 3. 1. Penentuan Hirarki Perkotaan Berdasarkan Jumlah Penduduk Penentuan hirarki perkotaan berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan to user menentukan jumlah kelas ( jumlah ordecommit perkotaan ) kemudian menentukan interval kelas pada setiap orde kota. Jumlah kelas dihitung dengan menggunakan Rumus Sturges yaitu 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id N = 1 + 3,33 log n dengan n adalah jumlah pusat kegiatan. Interval kelas ditentukan dengan mengurangi jumlah penduduk terbanyak dan terendah dibagi jumlah kelas. Dengan menggunakan rumus sturges di atas dapat ditentukan jumlah hirarki kota di aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai berikut , N = Jumlah kelas = 1 + 3,33 log n ïƒ n = jumlah pusat kegiatan = 1 + 3,33 log 12 = 4.59 ( 5 Kelas ) 2. Penentuan Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Sarana Terdapat beberapa faktor yang tidak diragukan lagi menciptakan daya tarik sebuah kota yaitu keberadaan sarana perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi/ pariwisata (Tarigan, 2003). Keempat jenis sarana inilah yang digunakan peneliti untuk menentukan hirarki perkotaan aglomerasi perkotaan Surakarta dengan pertimbangan berdasarkan survey lapangan keempat jenis sarana tersebut memang sangat mempengaruhi pola pergerakan commuter yang ada di kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta, dan jumlah sarana lain seperti peribadatan diasumsikan berbanding secara proporsional dengan jumlah penduduk kota. Jumlah penduduk juga telah digunakan dalam penilaian hirarki kota sehingga dianggap telah memakili keberadaan sarana tersebut. Cara yang digunakan dalam penentuan hirarki kota berdasarkan keberadaan sarana sama seperti penentuan hirarki kota berdasarkan jumlah penduduk. Jumlah kelas yang digunakan dalam penentuan hirarki kota berdasarkan keberadaan sarana juga sama dengan jumlah kelas pada hirarki kota berdasarkan jumlah penduduk. a. Sarana Perdagangan Jenis sarana perdagangan yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah pasar ( modern dan tradisional ) serta pertokoan atau toko. Hirarki perkotaan dinilai dengan jumlah sarana perdagangan tersebut. Dengan cara yang sama seperti penentuan hirarki kota berdasarkan jumlah penduduk, masing-masing wilayah akan dikelompokkan berdasarkan interval kelasnya. b. Sarana Pendidikan Penilaian hirarki perkotaan berdasarkan fasilitas pendidikan tidak dapat didasarkan atas jumlah sekolah karena kapasitas atau daya tampung masing-masing sekolah berbeda. Oleh karena itu, peneliti menggukan jumlah murid sebagai satuan ukur. Agar jumlah murid dari berbagai jenjang pendidikan dapat dijadikan satu ukuran maka dibuat satuan alat pengukur sebagai berikut, commit to user 35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 3.5 Satuan Ukur Siswa untuk Masing-masing Jenjang Pendidikan No. Jenjang Pendidikan 1 Perguruan Tinggi ( Universitas ) Strata 1 2 SMA dan sederajad 3 SMP dan sederajad 4 SD dan sederajad Sumber : Robinson Tarigan, 2003 Satuan Ukur untuk satu siswa 5 1 0,5 0,25 Jumlah murid yang dimaksud bukanlah jumlah penduduk di wilayah tersebut yang berusia sekolah, melainkan jumlah siswa yang bersekolah di wilayah tersebut tanpa menghiraukan asal murid tersebut. Dengan demikian akan lebih dapat menggambarkan daya tarik sarana pendidikan di suatu perkotaan. Dengan pertimbangan ketersediaan data maka penilaian hirarki perkotaan berdasarkan sarana pendidikan, peneliti membatasi jenjang pendidikan yang digunakan sebagai alat ukur adalah jumlah mahasiswa Universitas S1, SMA dan sederajad, SMP dan sederajad, dan SD dan sederajad. c. Sarana Kesehatan Jenis sarana kesehatan yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah rumah sakit ( tipe A, B, C, dan D), puskesmas, puskesmas pembantu, dan rumah bersalin. Masingmasing sarana tersebut memiliki kapasitas yang berbeda, sehingga diperlukan satuan ukur untuk masing-masing jenis sarana. Satuan ukur yang digunakan sebagai berikut, No. 1 2 3 4 5 6 7 Tabel 3.6 Satuan Ukur Sarana Kesehatan Jenjang Sarana Kesehatan Satuan Ukur Rumah Sakit Tipe A 2,5 Rumah Sakit Tipe B 2 Rumah Sakit Tipe C 1,5 Rumah Sakit Tipe D 1 Puskesmas 0,75 Puskesmas Pembantu 0,5 Rumah Bersalin 0,25 Sumber : Robinson Tarigan, 2003 Satuan ukur tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah sarana yang ada masing-masing wilayah. d. Sarana Rekreasi / Pariwisata Penilaian hirarki kota berdasarkan sarana rekreasi didasarkan pada jumlah sarana di masing-masing wilayah. Jumlah sarana dikelompokkan berdasarkan interval kelas seperti penentuan hirarki berdasarkan jumlah penduduk. Setelah diperoleh hirarki kota berdasarkan masing-masing sarana, data tersebut kemudian digabung untuk memperoleh hirarki kota rata-rata dengan memberikan nilai pada masing-masing wilayah. Wilayah yang memiliki hirarki pertama baik berdasarkan jumlah penduduk maupun keberadaan sarana akan diberi nilai 5, hirarki kedua diberi nilai 4, hirarki commitnilai to user ketiga diberi nilai 3, hirarki keempat diberi 2, hirarki kelima diberi nilai 1. Nilai dari hirarki berdasarkan jumlah penduduk dan keberadaan sarana kemudian dirata-rata untuk 36 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menentukan hirarki akhir. Sama dengan prinsip penilain di atas, wilayah dengan nilai rata-rata 5 akan berada di hirarki pertama dan seterusnya. 3.6.2 Analisis Kemampuan Pelayanan Sarana Selain sebagai suatu wilayah, pusat maupun sub pusat dalam kawasan metropolitan masing-masing memiliki wilayah internal (dalam kota) yang harus dilayani oleh pusat-pusat kegiatan yang ada. Analisis pelayanan sarana dihitung dengan membandingkan ketersediaan sarana dan kebutuhan sarana. Dalam penentuan kebutuhan sarana untuk puskesmas, puskesmas pembantu, dan sarana perdagangan, peneliti menggunakan Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum Tahun 2001. Sedangkan untuk kebutuhan sarana pendidikan, peneliti membandingkan jumlah penduduk usia sekolah (5- 19 tahun) dengan jumlah kursi sekolah (daya tampung sekolah dari TK sampai SMA) di masing-masing wilayah. Cara ini dipilih karena akan menghasilkan angka yang lebih rasional dibandingkan dengan menggunakan jumlah penduduk pendukung. Akan tetapi, dikarenakan jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur tidak dapat digolongkan ke masing-masing usia TK, SD, SMP, dan SMA maka penilaian kemampuan sarana pendidikan tidak dispesifikan ke dalam masing-masing jenjang pendidikan. Tabel 3.7 Jumlah Penduduk Pendukung Sarana Perkotaan Jenis Sarana Puskesmas Puskesmas Pembantu Pusat Perbelanjaan Toko Jumlah Penduduk Pendukung 120.000 30.000 30.000 250 Sumber : SNI 03/1733/2004 3.6.3 Analisis Titik Henti Batas pengaruh dari suatu pusat pelayanan selain dapat dilihat dari hirarki perkotaannya, juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus titik henti atau breaking point. Titik henti akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang batas jarak layanan dari suatu pusat pelayanan. Rumus yang digunakan untuk menghitung titik henti atau batas pengaruh Kota Y ( kota orde kedua) ke Kota Z ( kota orde pertama) adalah rumus yang digunakan Hartshorn, dkk (1988) sebagai berikut: BP = D ( Jarak antara dua pusat pelayanan ) 1 + √ ( Penduduk Z / Penduduk Y ) 3.6.4 Analisis Jaringan Jalan dan Ketersediaan Moda Transportasi Masal Salah sau tolok ukur kesesuaian dari aspek transportasi adalah pusat dan sub pusat yang commit to user dihubungkan system transportasi terpadu yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum. Analisis yang digunakan untuk menilai tolok ukur ini adalah aksesibilitas, 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mobilitas,keselamatan, dan ketersediaan moda transportasi umum. Aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, dan ketersediaan moda transportasi umum digunakan untuk mengetahui kemudahan penduduk dalam mencapai pusat dan sub pusat kegiatan. - Aksesibilitas adalah suatu ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu pusat kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah yang dilayani jalan. Dievaluasi dari keterhubungan antar PK oleh jalan dalam wilayah yang dilayani jalan dan diperhitungkan nilainya terhadap luas wilayah yang dilayani. Nilai aksesibilitas merupakan rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua PK terhadap luas wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya, dinyatakan dengan satuan Km/Km2 (Iskandar Hikmat, 2011) - Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya. Jalan yang digunakan oleh sejumlah orang, akan dirasakan berbeda atau berkurang kemudahannya jika digunakan oleh jumlah orang yang lebih banyak. Ukuran mobilitas adalah panjang jalan dibagi oleh jumlah orang yang dilayaninya. Dalam konteks jaringan jalan, mobilitas jaringan jalan dievaluasi dari keterhubungan antar PK dalam wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya dan banyaknya penduduk yang harus dilayani oleh jaringan jalan tersebut. Nilai mobilitas adalah rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua pusat kegiatan terhadap jumlah total penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jaringan jalan sesuai dengan statusnya, dinyatakan dengan satuan Km/10 000 jiwa (Iskandar Hikmat, 2011). - Keselamatan dalam konteks pelayanan adalah keselamatan pengguna jalan melakukan perjalanan melalui jalan. Suatu ruas jalan akan disebut memenuhi SPM Keselamatan jika jalan tersebut dibangun sesuai dengan rencana teknisnya sehingga layak untuk dioperasikan kepada umum. Dalam menentukan SPM Keselamatan jalan ini peneliti mengacu SNI 03-6967-2003 tentang Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan dengan kriteria penilaian berdasarkan persyaratan lebar, kecepatan minimal, dan kapasitas jalan sesuai dengan jenis fungsi jalan. SPM Keselamatan dihitung dengan menghitung panjang jalan yang memenuhi standar dengan total panjang jalan yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan. (Iskandar Hikmat, 2011) 3.6.5 Analisis Pola Ruang Pola keruangan dapat diartikan kekhasan sebaran keruangan (spatial pattern commit to user distribution). Analisis pola ruang digunakan untuk mengidentifikasi pola ruang kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta yang bersifat fisik budayawi/ artificial. Gejala fisik budayawi/ 38 perpustakaan.uns.ac.id artificial yaitu gejala digilib.uns.ac.id yang ekspresi keruangannya bersifat fisik namun proses pembentukannya disebabkan oleh kegiatan manusia seperti gedung, jalan, saluran irigasi, permukiman, dll. Output yang ingin diperoleh dari analisis ini adalah penilaian kesesuaian pola ruang sebagai metropolitan yang berkelanjutan ditinjau bentuk ruang dan potensi lahan untuk dikembangkan. Analisis pola ruang dilakukan dengan melakukan pendataan statistik, analisis kuantitatif, dan penggambaran pada peta. 3.6.6 Analisis Daya Dukung Lingkungan Daya dukung lingkungan adalah merupakan fungsi dari sumber daya alam dan ekosistem yang dapat mendukung populasi manusia dan mahluk hidup lainnya. Analisis daya dukung lingkungan terdiri dari dua analisis yaitu analisis daya tampung lahan dan analisis daya dukung air. Secara sederhana, analisis ini akan memberikan gambaran jumlah populasi maksimal yang mampu ditampung aglomerasi perkotaan Surakarta, apabila dari hasil perhitungan ternyata jumlah populasi yang mampu didukung ketersediaan dan lahan kurang dari 1 juta (indikator jumlah penduduk kota metropolitan di Indonesia) maka daya dukung lingkungan Kota Surakarta dinilai kurang. a. Analisis Daya Tampung Lahan Analisis daya tampung lahan digunakan untuk untuk mengetahui perkiraan jumlah penduduk yang bisa ditampung di wilayah dan/atau kawasan, dengan pengertian masih dalam batas kemampuan lahan. Langkah dalam menganalisis daya tampung lahan sebagai berikut: 1) Analisis SKL 2) Analisis Kemampuan Lahan Tujuan analisis kemampuan lahan adalah untuk untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan. Teknik analisis yang digunakan dalam analisis ini adalah gabungan dari pembobotan dan superimpose berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20 tahun 2007 dengan langkah sebagai berikut: - Melakukan analisis satuan-satuan kemampuan lahan, untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan pada masing-masing satuan kemampuan lahan. - Menentukan nilai kemampuan setiap tingkatan pada masing-masing satuan kemampuan lahan, dengan penilaian 5 (lima) untuk nilai tertinggi dan 1 (satu) untuk nilai terendah. - Mengkalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masing-masing satuan kemampuan lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh pengaruh satuan kemampuan lahan tersebut pada pengembangan perkotaan. Bobot yang digunakan hingga saat ini adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini: commit to user 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kemampuan Lahan Bencana Alam Drainase Terhadap Erosi Kestabilan Air Kestabilan Pondasi Kestabilan Lereng SKL Kemudahan Dikerjakan Morfologi Tabel 3.8 Bobot Nilai dalam Penentuan Kemampuan Lahan 5 1 5 3 5 3 25 25 Total Nilai 10 2 10 6 10 6 20 20 15 3 15 9 15 9 15 15 20 4 20 12 20 12 10 10 25 5 25 15 25 15 5 5 Sumber : Modul Terapan Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Bobot Bobot x Nilai dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, DPU, 2008 - Melakukan Superimpose untuk semua satuan-satuan kemampuan lahan tersebut, dengan cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh satuan-satuan kemampuan lahan, sehingga diperoleh kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di lokasi penelitian sebagai berikut, Tabel 3.9 Total Nilai untuk Menentukan Kelas Kemampuan Lahan Total Nilai Kelas Kemampuan Lahan Klasifikasi Pengembangan 32-58 Kelas A Kemampuan Pengembangan Sangat Rendah 59-83 Kelas B Kemampuan Pengembangan Rendah 84-109 Kelas C Kemampuan Pengembangan Sedang 110-134 Kelas D Kemampuan Pengembangan Agak Tinggi 135-160 Kelas E Kemampuan Pengembangan Sangat Tinggi Sumber : Modul Terapan Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, DPU, 2008 3) Analisis Arahan Rasio Tutupan Lahan Tujuan analisis kemampuan lahan adalah untuk mengetahui gambaran perbandingan daerah yang bisa tertutup oleh bangunan bersifat kedap air dengan luas lahan keseluruhan. Teknik analisis yang digunakan adalah superimpose dengan data klasifikasi kemampuan lahan, SKL drainase, SKL kestabilan lereng, SKL terhadap erosi, dan SKL terhadap bencana alam (Permen PU No.20 Tahun 2007). 4) Analisis Daya Tampung Lahan Menghitung daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan dengan asumsi masing-masing arahan rasio tersebut dipenuhi maksimum, dan dengan anggapan luas lahan yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup (30% untuk fasilitas dan 20% untuk jaringan jalan serta utilitas lainnya). Kemudian dengan asumsi 1KK yang terdiri dari 5 orang memerlukan lahan seluas 100 M2 (Permen PU No.20 Tahun 2007). Maka dapat diperoleh daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan ini sebagai berikut: commit to user 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Untuk menghitung daya tampung penduduk dengan tipe rumah berkoefisien lantai bangunan (KLB) lebih dari satu hanya perlu mengalikan daya tampung penduduk di atas dengan jumlah lantai. Selain dengan menggunakan asumsi luas permukiman sebesar 50%, daya tampung penduduk juga dihitung berdasarkan ketentuan luas permukiman sebesar 70% dari luas lahan. b. Analisis Daya Dukung Sumber Daya Air Tujuan analisis daya dukung sumber daya air adalah untuk mengetahui jumlah maksimal penduduk yang dapat didukung oleh sumber air eksisting. Daya dukung sumber daya air dihitung dengan membagi volume air maksimal yang diperlukan dalam kegiatan rumah tangga dengan kebutuhan per individu. Volume air maksimal yang diperlukan dalam kegiatan rumah tangga dihitung dengan asumsi prosentase kebutuhan air rumah tangga mengalami peningkatan seiring dengan kebutuhan air untuk industri dan sarana prasarana perkotaan. Prosentase kebutuhan air untuk rumah tangga, industri, dan sarana prasarana perkotaan dihitung dengan membandingkan kebutuhan air eksisting setiap jenis pemanfaatan terhadap total pemanfaatan air yang digambarkan dalam neraca kesetimbangan air baku. Kebutuhan air yang digunakan dalam perhitungan neraca air dihitung dengan menggunakan standar kebutuhan air sesuai dengan SNI 19-6728.1-2002 tentang penyusunan neraca sumber daya air spasial. Sedangkan standar kebutuhan air untuk fasilitas yang jumlah pengunjungnya tidak menentu seperti stasiun, terminal, hotel, dan pasar, serta jenis fasilitas yang tidak terdapat dalam SNI seperti puskesmas, balai pengobatan, rumah bersalin, dan puskesmas pembantu menggunakan rata-rata konsumsi air setiap fasilitas tersebut. Jumlah konsumsi air dihitung dengan mengalikan kebutuhan air tiap jenis pemakaian lahan dengan jumlah fasilitas (untuk sarana) dan luas wilayah (untuk industri dan pertanian). Tabel 3.10 Standar Kebutuhan Air No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jenis Konsumen Kebutuhan Penduduk PerHari Sarana Ibadah Rumah Sakit Rumah Bersalin Sekolah Hotel Pasar / Pusat Perbelanjaan Terminal Stasiun Industri Besar Industri Sedang Industri Kecil Pertanian Kebutuhan Air (M3) 1,2 / orang 5 / sarana 50 / sarana 15/ sarana 2 / sarana 50 / sarana 50 / sarana 100 / sarana 200 / sarana 50 / Ha 25 / Ha 25 / Ha 0,001 / Ha commit to user 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Potensi Air Ait Permukaan Air Tanah Mata Air Kebutuhan Air - Air untuk Irigasi - Air untuk Non Irigasi (Domestik dan Non Domestik) Neraca Kesetimbangan Air Baku Gambar 3.3 Neraca kesetimbangan air baku 3.6.7 Penilaian Tingkat Kesesuaian Masing-masing Aspek Penilaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan dilakukan berdasarkan 8 tolok ukur yang telah ditentukan. Kedelapan tolok ukur tersebut dianggap memiliki bobot yang sama dikarenakan sejauh penelusuran teori maupun penelitian sebelumnya (studi pustaka) belum ditemui ketentuan bobot untuk menilai metropolitan yang berkelanjutan. Masing-masing tolok ukur dinilai persentase pencapaiannya berdasarkan jumlah wilayah yang memenuhi atau mendukung pencapaian tolok ukur tersebut. Apabila keseluruhan wilayah dari 12 wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta telah memenuhi atau mendukung tolok ukur maka persentase pencapaian adalah 100, sedangkan apabila tidak ada satu pun wilayah yang memenuhi tolok ukur maka persentase pencapaian adalah 0. Penilaian persentase pencapaian didasarkan pada jumlah wilayah yang mendukung dilakukan dengan pertimbangan bahwa suatu wilayah metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang berdekatan dan terkait dalam satu system kegiatan (DPU, 2006), sehingga kesesuaian sebagai metropolitan yang berkelanjutan juga tidak akan lepas dari peran masing-masing wilayah. Persentase pencapaian tersebut kemudian dinilai tingkat kesesuaiannya berdasarkan interval yang telah ditentukan di bawah ini. Dalam penilaian kesesuaian ini peneliti menggunakan 4 tingkat kesesuaian yaitu sesuai, cukup sesuai, kurang sesuai, dan tidak sesuai. Persentase pencapaian tolok ukur 100 berarti aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai sesuai sebagai metropolitan yang berkelanjutan, sebaliknya jika persentase pencapaian 0 maka dinilai tidak sesuai sebagai metropolitan yang berkelanjutan. Dikarenakan terdapat empat tingkat kesesuaian maka diantara nilai 0 dan 100 tersebut terdapat nilai-nilai yang mewakili tingkat cukup sesuai dan kurang sesuai. Untuk menentukan interval nilai yang digunakan untuk menilai setiap tingkat kesesuaian, peneliti menggunakan metode Equal Interval (Prahasta dalam Ariyati, 2007). Perhitungan yang digunakan untuk menentukan interval sebagai berikut: commit to user Berdasarkan rumus dan perhitungan interval di atas diperoleh interval kelas dan nilai kesesuaian sebagai berikut: 42 perpustakaan.uns.ac.id 76-100 Sesuai 51-75 Cukup Sesuai 26-50 Kurang Sesuai 0-25 Tidak Sesuai digilib.uns.ac.id Setelah dilakukan penilaian tingkat kesesuaian masing-masing tolok ukur kemudian dilakukan penilaian tingkat kesesuaian secara keseluruhan. Penilaian tingkat kesesuaian secara keseluruhan menggunakan rata-rata persentase pencapaian tolok ukur yang kemudian dinilai tingkat kesesuaiannya berdasarkan interval di atas. 3.6.8 Penilaian Kesesuaian Akhir Selain menganalisis kesesuaian masing-masing aspek untuk mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan, juga dilakukan analisis untuk mengetahui keberlanjutan metropolitan yang terbentuk di masa yang akan datang. Untuk mengetahui keberlanjutan metropolitan dari segi struktur ruang dilakukan analisis deskriptif dengan mengaitkan hasil analisis struktur ruang dengan daya dukung lingkungan. Hal yang sama juga dilakukan untuk mengetahui keberlanjutan dari segi pola ruang, yaitu dengan mengaitkan hasil analisis pola ruang dengan daya dukung lingkungan. commit to user 43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 4 HASIL PENELITIAN STRUKTUR RUANG, POLA RUANG, DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga bagian utama yang pertama memaparkan hasil analisis sektoral struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung lingkungan, bagian kedua mendeskripsikan persentase ketercapaian masing-masing tolok ukur, dan yang ketiga mendeskripsikan tingkat kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjutan. 4.1 STRUKTUR RUANG AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA Struktur ruang adalah adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Data penyusun struktur ruang yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain susunan pusat-pusat pelayanan di aglomerasi perkotaan surakarta, jaringan jalan, dan jangkauan pelayanan fasilitas masing-masing wilayah. 4.1.1 Pusat-pusat Pelayanan Pusat-pusat kegiatan dalam suatu wilayah biasanya dikenali dengan adanya pemusatan satu atau lebih kegiatan. Dimana pusat kegiatan tersebut mewakili aktivitas dominan di suatu zona. Dalam dokumen perencanaan wilayah, pusat-pusat kegiatan ini dicantumkan dalam struktur ruang wilayah yang biasanya berupa titik dengan peruntukkan fungsi tertentu. Dalam aglomerasi perkotaan Surakarta, terdapat 12 pusat pelayanan baik pusat inti maupun subpusat. Pusat-pusat pelayanan di aglomeras perkotaan Surakarta antara lain Kota Surakarta, kawasan perkotaan sekitar Surakarta (Kec.Jaten Karanganyar, Kec. Mojolaban Sukoharjo, Kec. Grogol Sukoharjo, Kec. Baki Sukoharjo, Kec. Kartosuro Sukoharjo, Kec. Colomadu Karanganyar, dan Kec. Ngemplak Boyolali), dan kota-kota satelit (Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali). 4.1.2 Hirarki Perkotaan Hirarki perkotaan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan faktor jumlah penduduk dan keberadaan sarana. 4.1.2.1 Hirarki Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk Penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta pada tahun 2010 telah mencapai 1.432.655 commit jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,96 to%user per tahun. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kota Surakarta yaitu 586.039 jiwa atau 40,91 % dari jumlah penduduk keseluruhan. Persentase jumlah penduduk terbesar kedua terdapat di kawasan perkotaan 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Grogol yaitu 7,36% dari jumlah penduduk keseluruhan. Sedangkan konsentrasi penduduk terkecil terdapat di kawasan perkotaan Baki dengan persentase 3,70% dari keseluruhan jumlah penduduk. Persentase penduduk kawasan perkotaan sekitar Surakarta dibandingkan keseluruhan wilayah adalah 3,70 – 7,36 %, sedangkan jumlah penduduk di kota-kota satelit Surakarta rata-rata berkisar antara 5-6 %. Jumlah penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, dibuktikan dengan rata-rata laju pertumbuhan yang bernilai positif. Begitu pula dengan pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan Surakarta. Jumlah penduduk kawasan perkotaan sekitar Surakarta mengalami kecenderungan naik dengan loncatan pertumbuhan tertinggi yaitu Kecamatan Colomadu (Gambar 4.1). Gambar 4.1 Pertumbuhan Penduduk Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta Sumber : Data Statistik Masing-masing Kecamatan, Badan Pusat Statistik Tabel 4.1 Kondisi Kependudukan Kawasan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk PerTahun (%)** 1 Kota Surakarta 4404,06 553580 586039 Proporsi Penduduk Perkotaan (%) 40,91 2 Kec. Jaten 2554,81 65236 71109 4,96 1,00 3 Kec. Colomadu 1564,17 50279 61843 4,32 0,03 4 Kec. Mojolaban 3554,00 73049 79427 5,54 0,97 5 Kec. Grogol 3000,00 92767 104055 7,36 1,35 Kec. Baki 2197,00 53055 3,70 0,64 Kec. Kartasuro 1923,00 92145 6,43 0,97 8 Kec. Ngemplak 3852,70 71111 4,96 0,86 9 Kota Sragen 2672,00 Kota Karanganyar 4302,64 73537 77413 0,19 10 72312 69222 5,13 5,40 1,31 11 Kota Sukoharjo 4458,00 78032 85166 5,94 1,02 12 Kota Boyolali 4095,00 5,43 0,01 0,96 No. 6 7 Sub Wilayah Tahun 2001 50153 84781 65975 Tahun 2010 * 77755 100 38577,38 Total 1.432.655 commit to user Keterangan : * Data tidak tersedia karena data yang dimiliki tahun 2004, **Diperoleh dari perhitungan jumlah penduduk dari tahun 2001-2010. Sumber : Daerah dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten dan Kota 0,65 45 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Akan tetapi, terdapat keunikan pada pola pertumbuhan penduduk Kota Surakarta. Jumlah penduduk Kota Surakarta tidak mengalami kecenderungan bertambah maupun berkurang. Akan tetapi, pertumbuhan jumlah penduduk cenderung fluktuatif. Pada tahun 1993-2001 jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami pertumbuhan positif dengan jumlah penduduk paling tinggi pada tahun 2001. Jumlah penduduk pada tahun 2001 ini merupakan jumlah tertinggi dalam 17 tahun terakhir (1993-2011). Akan tetapi, setelah tahun 2005, jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami pasang surut dengan kenaikan maupun penurunan yang lebih kecil pada tahun berikutnya. Dapat dilihat misalnya pada tahun 2005 jumlah penduduk mengalami kenaikan, pada tahun 2007 mengalami penurunan, tahun 2009 peningkatan tetapi tidak lebih dari jumlah penduduk pada tahun 2005 meskipun sama-sama meningkat, kemudian pada tahun 2011 jumlah penduduk kembali menurun dengan jumlah lebih rendah dibandingkan tahun 2007. Gambar 4.2 Dinamika Jumlah Penduduk Kota Surakarta Sumber : Surakarta Dalam Angka 1994, 2001, 2003, 2005, 2007, 2010, 2011, BPS Kota Surakarta Dengan membandingkan pertumbuhan penduduk Kota Surakarta dan perubahan lahan terbangun Kota Surakarta diindikasikan terdapat arus suburbanisasi karena perubahan lahan terbangun Kota Surakarta lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan penduduk. Sedangkan di kawasan perkotaan Surakarta terdapat perubahan lahan yang relatif besar yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk hunian. Jumlah penduduk di aglomerasi perkotaan Surakarta tersebut kemudian digunakan untuk mengetahui hirarki kota. Penilaian hirarki kota berdasarkan jumlah penduduk dihitung dengan menentukan jumlah kelas dan interval kelas. Berdasarkan perhitungan jumlah hirarki kota menggunakan rumus Sturges diperoleh lima hirarki kota, dengan rincian sebagai berikut, N = Jumlah kelas = 1 + 3,33 log n ïƒ n = jumlah pusat kegiatan = 1 + 3,33 log 12 = 4.59 ( 5 Kelas ) commit to userkelas, tetapi jumlah penduduk Kota Langkah berikutnya adalah menentukan interval Surakarta tidak digunakan dalam perhitungan interval dengan pertimbangan: 46 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1. Dengan melihat jumlah penduduk Kota Surakarta, sudah tentu Kota Surakarta masuk ke dalam hirarki pertama. 2. Dengan memasukkan jumlah penduduk Kota Surakarta ke dalam perhitungan interval akan terjadi penyimpangan dalam penilaian hirarki kota. Apabila jumlah penduduk Kota Surakarta dimasukkan dalam penentuan interval kelas, maka wilayah hirarki I memiliki interval 452895 – 553580,4, hirarki II ; 352209,5 – 452894,9 , hirarki III : 251524352209,4 , hirarki IV: 150838,5-251523,9 dan hirarki V: 50153-150838,4. Apabila jumlah penduduk diklasifikasikan ke dalam interval tersebut maka hanya akan diperoleh dua hirarki kota yaitu hirarki pertama (Kota Surakarta) dan hirarki kelima (selain Kota Surakarta), yang berarti tidak terdapat wilayah dengan hirarki kedua, ketiga, dan keempat. Interval kelas kemudian dihitung dengan mengurangkan jumlah penduduk tertinggi kedua setelah Kota Surakarta yaitu 104055 dengan jumlah penduduk terendah yaitu 53055 dibagi dengan empat ( jumlah kelas dikurangi satu) sehingga diperoleh interval kelas 12750. Masingmasing wilayah kemudian dikelompokkan berdasarkan interval kelas sehingga diperoleh hirarki kota sebagai berikut, Tabel 4.2 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Jumlah Penduduk Hirarki I II III IV Interval Kelas 586039 91308 – 104058 78557 – 91307 65806 – 78556 V 53055 - 65805 Sumber : Analisis Peneliti, 2012 Wilayah Kota Surakarta Kec. Grogol, Kec. Kartasura Kec. Mojolaban, Kota Sukoharjo Kec. Jaten, Kec. Ngemplak, Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Boyolali Kec. Colomadu, Kec. Baki Berdasarkan penentuan hirarki kota dengan variabel jumlah penduduk dapat diketahui bahwa Kota Surakarta menempati hirarki pertama, Kec. Grogol dan Kec. Kartasura menempati hirarki kedua, Kec. Mojolaban dan Kota Sukoharjo menempati hirarki ketiga, Kec. Jaten, Kec. Ngemplak, Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali menempati hirarki keempat, sedangkan Kec. Colomadu dan Kec. Baki menempati hirarki kelima. 4.1.2.2 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Sarana Perkotaan Jenis sarana yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah pasar dan pertokoan ( sarana perdagangan), sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sarana rekreasi. 1. Sarana Perdagangan Jenis sarana perdagangan yang digunakan untuk menilai hirarki perkotaan adalah pasar ( modern dan tradisional ) serta pertokoan atau toko. commit to user a. Hirarki Perkotaan berdasarkan Keberadaan Pusat Perdagangan Hirarki perkotaan berdasarkan keberadan pusat perdagangan dinilai berdasarkan jumlah pusat perdagangan baik tradisional (pasar) maupun modern. Dengan mengasumsikan jumlah 47 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengunjung pusat perdagangan tradisional sama banyak dengan pasar modern, maka diperoleh hirarki perkotaan sebagai berikut: Hirarki I : Kota Surakarta Hirarki II : Kota Boyolali Hirarki III : Kota Sragen, Kota Karanganyar Hirarki IV : Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Kartasura, Kec. Ngemplak, Kota Sukoharjo Hirarki V : Kec. Baki, Kec. Grogol, Kec. Colomadu Gambar 4.3 Jumlah Pusat Perdagangan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Data Statistik Daerah Tahun 2010, BPS b. Hirarki Perkotaan Berdasarkan Keberadaan Pertokoan atau Toko Daya tarik maupun hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan pertokoan atau toko didasarkan pada jumlah toko yang dimiliki masing-masing wilayah. Dengan mengurutkan jumlah toko yang dimiliki masing-masing wilayah, diperoleh hirarki perkotaan sebagai berikut: Hirarki I : Kota Surakarta dan Kota Sragen Hirarki II : Kec. Kartasura dan Kec. Grogol Hirarki III : Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Ngemplak Hirarki IV : Kec. Baki dan Kec. Mojolaban Hirarki V : Kec. Jaten, Kec. Colomadu, dan Kota Karanganyar commit to user Gambar 4.4 Jumlah Pertokoan dan Toko Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Data Statistik Daerah Tahun 2010, BPS 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2. Sarana Pendidikan Penentuan hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan sarana pendidikan dilakukan dengan mangalikan jumlah siswa dengan satuan ukur yang telah disebutkan dalam bab metode penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa Kota Surakarta merupakan kota dengan total satuan ukur tertinggi yaitu 623074,8 diikuti oleh Kec. Kartasura dengan total satuan ukur 147.077,8 . Kota Surakarta merupakan wilayah dengan nilai satuan ukur tertinggi untuk SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Sedangkan Kecamatan Kartasura sendiri bukan merupakan wilayah dengan nilai satuan ukur kedua tertinggi untuk SD, SMP, dan SMA, tetapi Kec. Kartasura memiliki keunggulan dari nilai satuan ukur Perguruan Tinggi. Hal inilah yang menempatkan Kartasura di tempat kedua. Wilayah dengan total satuan ukur terendah adalah Kecamatan Baki dengan nilai 1929,25. Gambar 4.5 Total Satuan Ukur Sarana Pendidikan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 Dengan cara yang sama seperti penentuan hirarki berdasarkan jumlah penduduk, total nilai satuan ukur sarana pendidikan dibagi ke dalam lima interval, sebagai berikut, Tabel 4.3 Interval Kelas untuk Hirarki Perkotaan berdasarkan Sarana Pendidikan Hirarki Kota Interval Total Satuan Ukur I 623074,80 II 147077,77 III 23785,27 – 34713,27 IV 12857,26 – 23785,26 V 1929,25 – 12857,25 Sumber : Analisis Peneliti, 2012 Pada penentuan interval tersebut, Kota Surakarta dan Kec. Kartasura tidak diikutkan dengan pertimbangan : - Dengan melihat total nilai kedua wilayah tersebut sudah tentu kedua wilayah tersebut - menempati hirarki pertama dan kedua. commit to user Apabila kedua wilayah tersebut dimasukkan dalam penentuan interval hanya akan menghasilkan dua orde perkotaan saja, dan apabila Kota Surakarta tidak dimasukkan ke 49 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dalam perhitungan sedangkan Kec. Kartasura dimasukkan dalam perhitungan maka hanya akan menghasilkan wilayah dengan orde I,II, dan V. Penilaian hirarki perkotaan berdasarkan sarana pendidikan menghasilkan lima jenjang perkotaan dengan Kota Surakarta sebagai wilayah hirarki pertama, Kecamatan Kartasura sebagai wilayah hirarki kedua, Kecamatan Jaten sebagai wilayah hirarki ketiga, Kota Karanganyar, Kota Sragen, Kota Boyolali, dan Kota Sukoharjo sebagai wilayah hirarki keempat, Kec. Mojolaban, Kec. Colomadu, Kec. Ngemplak, dan Kec. Baki sebagai wilayah hirarki kelima. Tabel 4.4 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Pendidikan No. Nilai Satuan Ukur Wilayah SD SMP SMA Total PT Hirarki Kota 1 Kota Surakarta 16588,75 16264,00 36122 554100 623.074,80 I 2 Kec. Kartasura 2448,75 2354,00 7275 135000 147.077,80 II 3 Kec. Jaten 1783,75 799,50 290 31840 34.713,25 III 4 Kota Karanganyar 2228,50 2384,50 11475 3000 19.088,00 IV 5 Kota Sragen 2171,25 3203,50 12787 690 18.851,75 IV 6 Kota Boyolali 2701,25 2544,50 9765 950 15.960,75 IV 7 Kota Sukoharjo 2578,50 2831,00 8807 0 14.216,50 IV 8 Kec. Grogol 2193,00 1640,00 1874 5500 11.207,00 V 9 Kec. Mojalaban 1800,25 1657,00 947 0 4404,25 V 10 Kec. Colomadu 665,00 1284,50 2348 0 4297,50 V 11 Kec. Ngemplak 1274,75 1089,50 542 0 2906,25 V 12 Kec. Baki 1454,25 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 475,00 0 0 1929,25 V 3. Sarana Kesehatan Sama seperti penilaian hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan sarana pendidikan, penilaian hirarki berdasarkan sarana keehatan dilakukan dengan mengalikan satuan ukur sarana dengan jumlah sarana per jenisnya. Nilai total dari satuan ukur masing-masing sarana kesehatan di masing-masing wilayah dapat dilihat pada tabel di bawah ini, Tabel 4.5 Hirarki Perkotaan Berdasarkan Sarana Kesehatan Rumah Sakit Tipe A Rumah Sakit Tipe B Rumah Sakit Tipe C Rumah Sakit Tipe D Puskesmas Puskesmas Pembantu Rumah Bersalin Jenis Sarana 1 Kota Surakarta 2,50 2,00 18,00 1,00 11,25 13,00 11,00 58,75 I 2 Kota Boyolali 0,00 0,00 1,50 4,00 3,00 1,00 0,50 10,00 II 3 Kec. Kartasura 0,00 2,00 1,50 0,00 1,50 2,00 1,00 8,00 III 4 Kota Sragen 0,00 0,00 1,00 3,00 0,00 1,25 6,75 III Kec. Jaten 0,00 0,00 commit to user 1,50 5 0,00 1,00 1,50 2,50 1,00 6,00 IV 6 Kec. Mojolaban 0,00 0,00 0,00 0,00 1,50 1,50 2,75 5,75 IV 7 Kota Karanganyar 0,00 0,00 1,50 0,00 0,75 1,00 1,50 4,75 IV No. Wilayah Total Hirarki Kota 50 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 Kec. Colomadu 0,00 0,00 0,00 1,00 1,50 1,50 0,25 4,25 V 9 Kota Sukoharjo 0,00 0,00 1,50 0,00 0,75 1,50 0,50 4,25 V 10 Kec. Grogol 0,00 0,00 0,00 1,00 0,75 1,50 0,50 3,75 V 11 Kec. Ngemplak 0,00 0,00 0,00 1,00 1,50 1,00 0,25 3,75 V 12 Kec. Baki 0,00 0,00 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 0,00 0,00 0,75 1,50 0,50 2,75 V Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa Kota Surakarta memiliki keunggulan pelayanan sarana kesehatan didukung dengan keberadaan rumah sakit tipe A (Dr. Moewardi), rumah sakit tipe B (Dr.Oen), dan beberapa rumah sakit tipe C dan D. Kota Surakarta juga memiliki jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan rumah bersalin terbanyak.Kota Boyolali memiliki kelebihan pada ketersediaan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D, dan puskesmas. Keberadaan rumah sakit tipe C di Kota Boyolali menjadikan Boyolali sebagai daerah rujukan dari puskesmas di wilayah sekitarnya. Sedangkan Kec. Kartasura memiliki keunggulan karena keberadaan rumah sakit tipe B dan Tipe C. Sedangkan wilayah dengan hirarki terendah ditinjau dari keberadaan sarana kesehatan di aglomerasi perkotaan Surakarta adalah Kec. Baki. Gambar 4.6 Total Satuan Ukur Sarana Kesehatan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 Berdasarkan total nilai satuan ukur tersebut diperoleh hirarki perkotaan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai berikut, Hirarki I : Kota Surakarta Hirarki II : Kota Boyolali Hirarki III : Kec. Kartasura, Kota Sragen Hirarki IV : Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kota Karanganyar Hirarki V : Kec. Colomadu, Kec. Sukoharjo, Kec. Grogol, Kec. Ngemplak, Kec. Baki 4. Sarana Rekreasi (Pariwisata) commit to user Hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan sarana rekreasi dinilai berdasarkan jumlah sarana yang ada. Berdasarkan ketentuan tersebut, diperoleh hirarki perkotaan aglomerasi perkotaan sebagai berikut: 51 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Hirarki I : Kota Surakarta Hirarki II : Kota Karanganyar, Hirarki III : Kec. Grogol, Kec. Kartasura, Kota Sragen, Kec. Mojolaban Hirarki IV : Kota Boyolali, Kec. Ngemplak, Kec. Jaten Hirarki V : Kec. Colomadu, Kec. Baki, Kota Sukoharjo Gambar 4.7 Jumlah Sarana Rekreasi Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Data Statistik Daerah Tahun 2010, BPS Hasil penilaian hirarki perkotaan berdasarkan keberadaan masing-masing sarana terebut kemudian digabung untuk memperoleh hirarki rata-rata untuk setiap wilayah. Sehingga diperoleh hirarki perkotaan kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai berikut: Hirarki I : Kota Surakarta Hirarki II : Kec. Kartasura, Kota Sragen Hirarki III : Kota Karanganyar, Kota Boyolali Hirarki IV : Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Ngemplak, Kota Sukoharjo Hirarki V : Kec. Colomadu dan Kec. Baki 4.1.2.3 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta berdasarkan Jumlah Penduduk dan Keberadaan Sarana Hirarki perkotaan akhir kemudian ditentukan berdasarkan hasil analisis hirarki perkotaan dan keberadaan sarana dengan menghitung nilai masing-masing kota. Wilayah yang berada pada hirarki pertama diberi nilai 5, hirarki kedua diberi nilai 4, hirarki ketiga diberi nilai 3, hirarki keempat diberi nilai 2, dan hirarki kelima diberi nilai 1. Jumlah nilai dari hirarki berdasarkan jumlah penduduk dan keberadaan sarana kemudian dirata-rata untuk menentukan hirarki akhir wilayah tersebut. commit to user 52 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id TabeL 4.6 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta No. Wilayah Penduduk Sarana Nilai Rata-rata 1 Kota Surakarta 5 5 5 I 2 Kec. Kartasura 4 4 4 II 3 Kota Sragen 2 4 3 III 4 Kota Karanganyar 2 3 2,5 III 5 Kota Sukoharjo 3 2 2,5 III 6 Kota Boyolali 2 3 2,5 III 7 Kec. Mojolaban 3 2 2,5 III 8 Kec. Grogol 4 2 3 III 9 Kec. Jaten 2 2 2 IV 10 Kec. Ngemplak 2 2 2 IV 11 Kec. Colomadu 1 1 1 V 1 1 1 V 12 Kec.Baki Sumber : Hasil analisis, 2012 Hirarki Kota Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa aglomerasi perkotaan Surakarta terdiri atas lima hirarki dengan Kota Surakarta sebagai wilayah hirarki 1, Kec. Kartasura sebagai wilayah hirarki kedua, Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukohajo, Kota Boyolali, Kec. Mojolaban dan Kec. Grogol sebagai hirarki ketiga, Kec. Jaten dan Kec. Ngemplak sebagai hirarki keempat, Kec. Colomadu dan Kec. Baki sebagai wilayah hirarki kelima atau terendah. Kawasan perkotaan di sekitar Surakarta seperti Kec. Kartasura, Kec. Mojolaban, dan Kec. Grogol telah berkembang yang secara hirarkis setara dengan kota-kota satelit Surakarta. Hal ini dapat memberikan nilai positif bagi kawasan main urban area (kota inti dan kawasan perkotaan sekitarnya) karena dapat menampung maupun menyokong kebutuhan penduduk di kota inti sehingga dapat mengurangi beban kota inti. Secara spasial, hirarki perkotaan aglomerasi perkotaan Surakarta dapat digambarkan sebagai berikut, Kec. Ngemplak Kec. Colomadu Kota Sragen III IV V Kota Boyolali III Kec. Jaten I II Kota Karanganyar Kec. Kartasura V III Kec. Grogol Kec. Baki III III III IV Kec. Mojolaban Kota Sukoharjo commit to user Gambar 4.8 Hirarki Perkotaan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Sumber : Hasil pengolahan data, 2012 53 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4.1.3 Kemampuan Pelayanan Sarana Perkotaan Pusat-pusat kegiatan dalam suatu perkotaan dapat diwakilkan oleh keberadaan sarana perkotaan, karena pada hakekatnya pusat kegiatan dalam kota mencerminkan fungsi dari masing-masing sarana tersebut. Untuk mengetahui kesesuaian berdasarkan tolok ukur keempat yaitu “adanya pusat dan sub pusat di dalam masing-masing kota inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan dan bagian wilayah kota”, peneliti melakukan perbandingan jumlah sarana eksisting dengan kebutuhan sarana masyarakat. Dalam penentuan kebutuhan sarana untuk puskesmas, puskesmas pembantu, dan sarana perdaganagan, peneliti menggunakan Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum Tahun 2001. Sedangkan untuk kebutuhan sarana pendidikan, peneliti membandingkan jumlah penduduk usia sekolah (5- 19 tahun) dengan jumlah kursi sekolah (daya tampung TK, SD, SMP, dan SMA) di masing-masing wilayah. Cara ini dipilih karena akan menghasilkan angka yang lebih rasional dibandingkan dengan menggunakan jumlah penduduk pendukung. Akan tetapi, dikarenakan jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur tidak dapat digolongkan ke masing-masing usia TK, SD, SMP, dan SMA maka penilaian kemampuan sarana pendidikan tidak dispesifikan ke dalam masing-masing jenjang pendidikan. Berikut ini adalah persentase kemampuan pelayanan sarana eksisting terhadap jumlah penduduk (jumlah seharusnya) pada masing-masing wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta. Tabel 4.7 Persentase Kemampuan Pelayanan Sarana Eksisting Terhadap Jumlah Penduduk Persentase Kemampuan Pelayanan Sarana No. Wilayah Puskesmas Puskesmas Pembantu Pertokoan dan Toko 130,00 Pusat Perbelanjaan 497,00 300,00 Sarana Pendidikan 106,00 117,31 250,00 295,00 150,00 50,00 35,00 56,33 194,00 100,00 227,00 123,00 79,31 100,00 115,00 293,00 70,79 150,00 226,00 213,00 70,28 133,33 195,00 332,00 130,62 302,00 54,66 1 Kota Surakarta 2 Kec. Jaten 3 Kec. Colomadu 4 Kec. Mojolaban 5 Kec. Grogol 6 Kec. Baki 7 Kec. Kartasura 8 Kec. Ngemplak 200,00 100,00 253,00 9 Kota Sragen 200,00 0,00 449,00 1296,00 139,88 10 Kota Karanganyar 100,00 66,67 349,00 43,00 132,42 11 Kota Sukoharjo 100,00 100,00 211,00 284,00 147,41 Kota Boyolali 400,00 Sumber : Hasil Pengolahan, 2012 66,67 579,00 281,00 202,77 12 200,00 200,00 200,00 100,00 200,00 200,00 55,39 commit to user Berdasarkan perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa, 54 perpustakaan.uns.ac.id - digilib.uns.ac.id Dengan jumlah penduduk pendukung sebanyak 30.000 jiwa per sarana, sarana pusat perbelanjaan di masing-masing wilayah telah mampu melayani penduduk yang tinggal di wilayah tersebut bahkan kemampuan pelayanannya > 100% yang berarti jangkauan pelayanan sarana di masing-masing wilayah juga mampu melayani kebutuhan penduduk di wilayah sekitarnya. - Dengan jumlah penduduk pendukung sebanyak 250 per sarana, sarana perdagangan berupa toko di beberapa wilayah seperti Kota Surakarta, Kec. Mojoban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec. Ngemplak, Kota Sragen, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali telah mampu melayani seluruh penduduk di wilayah tersebut. Sedangkan sarana perdagangan berupa toko di Kec. Jaten, Kec. Colomadu, dan Kota Karanganyar belum dapat melayani seluruh penduduk di wilayah tersebut. - Sarana puskesmas dan puskesmas pembantu di masing-masing wilayah sudah mampu melayani seluruh penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Akan tetapi, puskesmas pembantu di Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali belum bisa melayani keseluruhan penduduk di wilayahnya. Puskesmas pembantu di Kota Karanganyar dan Kota Boyolali hanya mampu melayani 66,67 % penduduk, sedangkan Kota Sragen sama sekali tidak memiliki puskesmas pembantu. Akan tetapi, keberadaan puskesmas di ketiga wilayah tersebut telah mampu melayani keseluruhan penduduk kota. Dengan membandingkan jumlah penduduk usia sekolah dan jumlah bangku sekolah diketahui bahwa beberapa wilayah sudah mampu mencukupi kebutuhan sekolahnya sendiri seperti Kota Surakarta, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kota Sragen, dan Kec. Kartasura. Sedangkan wilayah yang masih belum mampu mencukupi kebutuhan sarana pendidikannya adalah Kec. Jaten, Kec. Colomadu, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec.Baki, dan Kec. Ngemplak. Wilayah tersebut masih bergantung pada sarana pendidikan di wilayah lain. 4.1.4 Titik Henti Pusat Pelayanan ( Breaking Point ) Batas pengaruh dari suatu pusat pelayanan selain dapat dilihat dari hirarki perkotaannya, juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus titik henti atau breaking point untuk wilayah yang berdekatan. Titik henti akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang batas jarak layanan dari suatu pusat pelayanan. Rumus yang digunakan untuk menghitung titik henti atau batas pengaruh Kota Y ( kota orde yang lebih kecil) ke Kota Z ( kota dengan orde yang lebih tinggi) adalah rumus yang digunakan Hartshorn, dkk (1988) sebagai berikut: commit to user D ( Jarak antara dua pusat pelayanan ) BP = 1 + √ ( Penduduk Z / Penduduk Y ) 55 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Data yang digunakan dalam analisis ini adalah jumlah penduduk dan jarak antarpusat pelayanan yang dihitung berdasarkan panjang jalan penghubung. Berikut merupakan hasil penghitungan titik henti Kota Surakarta dengan kawasan perkotaan sekitar Surakarta. 8 3,62 7 10,40 2,88 6 8,87 2,9 1 7,32 5,30 4,22 1,59 5 5,84 2,03 2 7,98 1,78 4 2,94 3 Gambar 4.9 Breaking Point Kota Surakarta terhadap Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta Sumber : Hasil Pengolahan dengan Rumus Breaking Point Pengaruh Kota Surakarta adalah sejauh 10,40 Km dari pusat Kota ke wilayah Kec. Ngemplak, 8,87 Km ke wilayah Kec. Colomadu, 7,32 Km ke wilayah Kec. Kartasura, 5,30 Km ke wilayah Baki, 4,22 Km ke wilayah Grogol, 7,98 Km ke arah Kec. Mojolaban, dan 5,84 Km ke arah Kec. Jaten. Sedangkan pengaruh Kec. Jaten adalah 2,03 Km dari pusat wilayah, Kec. Mojolaban memiliki pengaruh sejauh 2,94 dari pusat wilayah, Kec. Grogol memiliki pengaruh sejauh 1,78 dari pusat wilayah, Kec. Baki memiliki pengaruh sejauh 1,59 Km dari pusat wilayah, Kec. Kartasura memiliki pengaruh sejauh 2,9 Km dari pusat wilayah, Kec. Colomadu memiliki pengaruh sejauh 2,88 Km dari pusat wilayah, dan Kec. Ngemplak memiliki pengaruh sejauh 3,62 Km dari pusat wilayah. 4.1.5 Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Penghubung Salah satu tolok ukur kesesuaian yang berkaitan dengan jaringan transportasi adalah “pusat dan sub pusat dihubungkan sistem transportasi yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum”. Suatu wilayah metropolitan yang berkelanjutan dicirikan dengan kemudahan penduduk untuk melakukan mobilitas dan kemudahan commuter dalam mencapai pusat-pusat kegiatan. Oleh karena itu, tolok ukur ini berkaitan dengan aksesibilitas, mobilitas, dan ketersediaan moda transportasi masal yang menghubungkan antarpusat kegiatan. 4.1.5.1 Keberadaan Jaringan Jalan Pusat-pusat wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta dihubungkan oleh jaringan jalan commit to user arteri maupun kolektor. Wilayah yang dilalui oleh jaringan jalan arteri antara lain Kota Sragen, Kota Surakarta, Kec. Kartasura, dan Kota Boyolali. Wilayah yang dilalui jaringan 56 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id jalan kolektor adalah Kota Karanganyar, Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Ngempak, dan Kota Sukoharjo. Sedangkan Kec. Baki tidak dilalui jaringan jalan arteri maupun kolektor. Panjang jarak dan jenis jaringan jalan yang menghubungkan masingmasing wilayah dengan Kota Surakarta sebagai berikut, Tabel 4.8 Panjang Jalan Penghubung Masing-masing Pusat Kota dengan Kota Surakarta Sub Wilayah Panjang Jalan Penghubung ( Km ) Jarak ke Kota Surakarta (Km) Arteri Kolektor - - - Kec. Jaten 1,48 6,39 Kec. Mojolaban 1,48 Kec. Grogol Kec. Baki Waktu Tempuh ( menit ) Arteri Kolektor - - - - -- - 7,87 9 7 - 15 menit 5,37 4,07 10,92 9 7 5 20 menit - 4,45 - 4,45 - 12 - 30 menit - 2,92 3,97 6,89 - 12 5 30 menit Kec. Kartosura 5,7 4,52 - 10,22 9 12 - 20 menit Kec. Colomadu 3,98 4,52 3,25 11,75 9 12 5 25 menit Kec. Ngemplak 4,75 4,52 4,75 14,02 9 12 6 30 menit 25,55 3,94 - 29,49 9 8 - 45 menit 1,48 13,98 - 15,46 9 8 - 20 menit - 12,97 - 12,97 - 8 - 45 menit Kota Surakarta Kota Sragen Kota Karanganyar Kota Sukoharjo Lokal Rata-rata Lebar Jalan Penghubung (m) Lokal Kota Boyolali 23,39 4,52 27,91 12 7 45 menit Sumber : Panjang jalan : Perhitungan melalui software ArcGis 9.3 dengan peta dasar rupabumi Indonesia skala 1:250000 , Bakosurtanal; Lebar dan Waktu Tempuh : Survey Lapangan Berdasarkan survey lapangan dengan menggunakan sepeda motor, meskipun masingmasing wilayah memiliki jarak yang berbeda, tetapi beberapa wilayah memiliki jarak tempuh yang sama. Kota Sragen, Kota Sukoharjo, dan Kota Boyolali memiliki waktu tempuh yang sama yaitu 45 menit untuk mencapai pusat Kota Surakarta. Kota Sukoharjo merupakan wilayah terdekat hanya berjarak 12,97 Km, jarak ini merupakan setengah jarak Kota Sragen dan Boyolali ke Kota Surakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa akses ke Kota Sukoharjo relatif lebih sulit. Sedangkan waktu tempuh Kota Sukoharjo ke wilayah perkotaan di sekitar Surakarta adalah 15-30 menit. Wilayah yang dilewati jalan arteri seperti Kec. Jaten dan Kartasura memiliki waktu tempuh yang lebih kecil dibandingkan wilayah yang dilewati jalan kolektor seperti Kec. Grogol dan Kec. Baki. Ditinjau dari kapasitas jaringan jalan, kapasitas jaringan jalan saat ini masih dapat menampung laju harian rata-rata kendaraan walaupun terdapat beberapa ruas jalan yang sering terjadi kemacetan lalu lintas pada jam-jam sibuk, Perbandingan rata-rata antara kapasitas jaringan jalan penghubung utama dengan laju harian rata-rata adalah 0,42. Hal ini berarti bahwa jaringan jalan yang ada masih dapat menampung mobilitas dua kali lipat dibandingkan jumlah pergerakan saat ini, tetapi sangat beresiko terjadi kemacetan yang commit to user mengakibatkan terhentinya pergerakan di jaringan jalan tersebut. Oleh karena itu, ke depannya diperlukan peningkatan kapasitas jaringan jalan agar tidak terjadi kemacetan. 57 perpustakaan.uns.ac.id 4.1.5.2 digilib.uns.ac.id Nilai Aksesibilitas, Mobilitas, dan Keselamatan Jaringan Jalan Penghubung Aksesebilitas adalah ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu pusat kegiatan atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah yang dilayani jalan. Nilai aksesibilitas merupakan rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua Pusat Kegiatan terhadap luas wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan, dinyatakan dengan satuan Km/Km2. Sedangkan Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya. Nilai mobilitas dihitung dengan membagi jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua pusat kegiatan terhadap jumlah total penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jalan sesuai dengan statusnya, dinyatakan dengan satuan Km/(10000 jiwa). Nilai aksesibilitas dan mobilitas jaringan jalan penghubung aglomerasi perkotaan Surakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini, Kec. Colomadu Aksesibilitas = 0,197 Km/Km2 Mobilitas = 0,18/ 10000 jiwa Kota Boyolali 7 Aksesibilitas = 0,18 Km/Km2 Mobilitas = 1,02/ 10000 jiwa Kec. Ngemplak Aksesibilitas = 0,17 Km/Km2 Mobilitas = 0,21/ 10000 jiwa 1 6 2 Kec. Kartasura Aksesibilitas = 0,14 Km/Km2 Mobilitas = 0,031 / 10000 jiwa 5 Kec. Baki Aksesibilitas = 0,10 Km/Km2 Mobilitas = 0,108 / 10000 jiwa 9 8 Kota Sragen Aksesibilitas = 0,18 Km/Km2 Mobilitas = 0,35 / 10000 jiwa Kec. Jaten Aksesibilitas = 0,11 Km/Km2 Mobilitas = 0,12 / 10000 jiwa 1 4 2 1 0 Kota Karanganyar Aksesibilitas = 0,11 Km/Km2 Mobilitas = 0,22 / 10000 jiwa 3 Kec. Mojolaban Kec. Grogol Aksesibilitas = 0,1 Km/Km2 2 Aksesibilitas = 0,06 Km/Km Mobilitas = 0,15 / 10000 jiwa Mobilitas = 0,064 / 10000 jiwa 1 1 Kota Sukoharjo Aksesibilitas = 0,11 Km/Km2 Mobilitas = 0,17/ 10000 jiwa Gambar 4.10 Nilai Aksesibilitas dan Mobilitas Jaringan Jalan Penghubung Utama Aglomerasi Perkotaan Surakarta Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 Berdasarkan perhitungan nilai aksesibilitas dan mobilitas diketahui bahwa nilai aksesibilitas dan mobilitas jaringan jalan penghubung antarpusat kegiatan relatif sama dengan nilai aksesibilitas rata-rata aglomerasi perkotaan Surakarta sebesar 0,199 Km/Km2 dengan nilai mobilitas sebesar 0,54 Km/10000 jiwa. Keselamatan dalam konteks pelayanan adalah keselamatan pengguna jalan melakukan perjalanan melalui jalan. Suatu ruas jalan akan disebut memenuhi SPM Keselamatan jika jalan tersebut dibangun sesuai dengan commit rencanatoteknisnya sehingga layak untuk dioperasikan user kepada umum. Dalam menentukan SPM Keselamatan jalan ini peneliti mengacu SNI 036967-2003 tentang Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan dengan 58 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kriteria penilaian berdasarkan persyaratan lebar, kecepatan minimal, dan kapasitas jalan sesuai dengan jenis fungsi jalan. SPM Keselamatan dihitung dengan menghitung panjang jalan yang memenuhi standar dengan total panjang jalan yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan. Dari 24 ruas jalan penghubung terdapat empat ruas jalan yang tidak memenuhi standar dengan panjang 7,10 meter dengan total panjang jalan 126,25 Km, sehingga nilai SPM Keselamatan adalah 94,38%. 4.1.5.3 Moda Transportasi Penghubung AntarPusat Jaringan jalan penghubung antarpusat dilayani oleh angkutan masal baik antarkota dalam propinsi, antarkota antarpropinsi, maupun internal kota. Berikut adalah daftar moda transportasi umum yang melewati dan melayani pergerakan antarpusat tersebut, Tabel 4.9 Jenis Moda Transportasi Penghubung AntarPusat No. 1 2 3 4 5 Pusat Wilayah Kota Surakarta - Kota Sragen Kota Surakarta – Kota Karanganyar Kota Surakarta – Kota Sukoharjo Kota Surakarta – Kota Boyolali Kota Surakarta – Kec. Jaten Jenis Moda Transportasi Masal Bus AKAP, Bus AKDP, Kereta Api Bus, Mini Bus Bus AKDP, Kereta Api Bus AKDP, Bus AKAP Bus AKDP, Bus AKAP, Mini Bus, Angkutan Perkotaan, Angkutan pedesaan 6 Kota Surakarta – Kec. Mojolaban Bus AKDP, Mini Bus, Angkutan pedesaan 7 Kota Surakarta – Kec. Grogol Bus AKDP, Angkutan pedesaan, Angkutan perkotaan 8 Kota Surakarta – Kec. Baki Angkutan pedesaan 9 Kota Surakarta – Kec. Kartasura Bus Kota, BST, Bus AKDP, Angkutan perkotaan 10 Kota Surakarta – Kec. Colomadu Microbus 11 Kota Surakarta – Kec. Ngemplak Mini Bus, BST, Angkutan pedesaan Sumber : DLLAJ Kota Surakarta, Dinas Perhubungan Kabupaten Karanganyar, RTRW Kabupaten Sukoharjo Tahun 2011-2031, pengamatan lapangan, 2012 Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa wilayah yang memiliki keterjangkauan transportasi umum tertinggi adalah wilayah yang dilalui jalur arteri seperti Kota Sragen, Kec. Jaten, Kota Surakarta, Kec. Kartasura, dan Kota Boyolali. Sedangkan wilayah yang memiliki keterjangkauan angkutan umum yang rendah adalah Kec. Baki, meskipun wilayah ini berada dekat dengan Kota Surakarta. commit to user 59 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Peta Peta Jaringan Jalan Aglomerasi Perkotaan Surakarta dan Rute Moda Transportasi Umum commit to user 60 perpustakaan.uns.ac.id 4.2 digilib.uns.ac.id POLA RUANG AGLOMERASI PERKOTAAN SURAKARTA Pola ruang adalah peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya. Secara lebih detail, pola ruang menyangkut diversifikasi penggunaan lahan dan intensitasnya. Data pola ruang yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas penggunaan lahan yang dirinci ke dalam diversitas dan intensitas pemanfaatan lahan. 4.2.1 Diversifikasi Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan di aglomerasi perkotaan Surakarta terdiri atas tanah sawah dan tanah kering. Jenis tanah sawah terdiri atas tanah sawah dengan irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, dan tidak berpengairan. Sedangkan penggunaan tanah kering terdiri atas tanah pekarangan, tanah tegal, perkebunan, tambak/kolam, dan lainnya. Pada tahun 2010, proporsi penggunaan lahan permukiman (pekarangan) aglomerasi perkotaan Surakarata mencapai 46%, tanah sawah 37%, tanah tegal 8%,dan penggunaan lainnya 9%. Dengan kata lain proporsi lahan non terbangun masih lebih besar dibandingkan lahan terbangun. Pada tahun 2010, persentase lahan terbangun tertinggi adalah Kota Surakarta, yang diiringi laju penurunan lahan non terbangun dengan persentase tertinggi yaitu -3,05 % per tahun. Sedangkan wilayah yang memiliki persentase lahan terbangun terkecil adalah Kota Karanganyar disusul Kota Sukoharjo. Kota Karanganyar memiliki laju penyusutan lahan non terbangun paling kecil di aglomerasi perkotaan Surakarta yaitu -0,01 % per tahun. Gambar 4.11 Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Data Statistik Penggunaan Lahan, BPS Penggunaan lahan terbangun sebagai perumahan masih mendominasi seluruh wilayah di aglomerasi perkotaan. Selain perumahan, terdapat penggunaan lahan yang juga menonjol di user yang terdapat di Kecamatan Jaten dan beberapa wilayah, misalnya penggunaancommit lahan to industri Grogol. 61 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 4.10 Diversifikasi Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Industri Perkantoran Sub Wilayah Perdagangan dan Jasa No. Luas Wilayah (Ha) Perumahan Presentase Lahan Terbangun Terhadap Luas Wilayah Tahun 2010 (%) Persentase Lahan Terbangun Tahun 2010 (%) Rata-rata Pertumbuhan Kawasan Terbangun/ Tahun (%)* 1 Kota Surakarta 4404,06 64,54 3,82 8,86 2,22 79,44 0,06 2 Kec Jaten 2554,81 23,09 0,21 0,03 19,01 42,34 0,04 3 Kec Mojolaban 3554,00 32,29 0,04 0,21 0,36 32,89 0,89 4 Kec Grogol 3000,00 36,51 0,47 0,46 20,15 57,60 0,32 5 Kec Baki 2197,00 31,59 1,58 1,86 0,24 35,28 0,95 6 Kec Kartasuro 1923,00 61,49 2,85 0,66 0,50 65,47 0,88 7 Kec Colomadu 1564,17 53,19 0,08 1,14 3,23 57,66 4,18 8 Kec Ngemplak 3852,70 28,26 0,14 1,16 2,24 31,80 0,90 9 Kota Sragen 2672,00 45,79 1,37 2,06 0,19 49,41 0,09 10 Kota Karanganyar 4302,64 32,67 0,43 1,67 0,23 35,02 0,03 11 Kota Sukoharjo 4458,00 32,10 1,02 0,76 1,69 35,58 0,42 12 Kota Boyolali 4095,00 39,12 0,96 0,83 0,17 40,98 1,80 Sumber : Analisa Perhitungan berdasarkan data penggunaan lahan BPS, peta penggunaan lahan BAPPEDA, sotware ARC GIS, dan Google Earth Berbasis Tahun 2010 *Perhitungan dengan menggunakan data tahun 2003,2005, 2007, dan 2009 masing-masing wilayah 4.2.2 Intensitas Penggunaan Lahan Intensitas ruang menggambarkan volume kegiatan dalam suatu ruang. Semakin beragam kegiatan dalam suatu ruang maka intensitasnya semakin tinggi. Selain volume kegiatan, intensitas juga dapat dilihat dari koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), dan kepadatan penduduk. Data intensitas dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui kekompakan suatu ruang dan mengidentifikasi adanya sprawl, dengan membandingkan intensitas antarruang internal secara kuantitatif deskriptif. Data intensitas juga diperlukan untuk menganalisis kemampuan lahan dalam menerima beban bangunan di atasnya atau potensi pengembangannya. Intensitas yang terkait lahan terbangun dapat dilihat dari KDB, KLB, dan kepadatan penduduk dapat dilihat pada table di bawah ini, Tabel 4.11 Intensitas Penggunaan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 80-100 80-90 80-90 user85-90 80 80-95 80-90 1-4 1-3 1-3 1-2 1-2 1-3 1-2 1-7 1-3 1-3 1-2 1-2 1-2 1-2 1 1 1 1 1 1 1 133 28 22 35 24 48 40 Netto 1-2 1-2 1-2 1-2 1-2 1-3 1-2 Kepadatan Penduduk Bruto Industri Industri Perkantoran 80-100 80-90 70-95 60-80 60-90 50-70 65-85 commit 60 to 65-85 60 70-95 50-70 70-85 70 Perkantoran 70-100 70-90 65-85 60-85 60-85 70-85 70-80 Perdagangan dan Jasa Kota Surakarta Kec Jaten Kec Mojolaban Kec Grogol Kec Baki Kec Kartosuro Kec Colomadu Rata-rata Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Perumahan 1 2 3 4 5 6 7 Sub Wilayah Perdagangan dan Jasa No. Perumahan Rata-rata Koefisien Dasar Bangunan (KDB) % 168 66 68 60 68 73 69 62 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 Kec Ngemplak 50-80 60-85 50-60 80 1-2 1-2 1-2 9 Kota Sragen 70-85 70-90 50-60 70-80 1-2 1-3 1-3 10 Kota Karanganyar 70-85 60-75 50-60 80 1-2 1-2 1-3 11 Kota Sukoharjo 60-80 75-100 75 80-85 1-2 1-2 1-3 12 Kota Boyolali 50-85 75-90 50-70 80-85 1-2 1-2 1-3 Sumber : Hasil studi sebelumnya, survey lapangan, perhitungan berbasis data 2001-2010 1 1 1 1 1 18 27 18 19 19 58 56 51 54 45 Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa wilayah dengan intensitas ruang tertinggi adalah Kota Surakarta yang tercermin dari nilai KDB, KLB, dan kepadatan penduduk. Sedangkan wilayah-wilayah yang lain memiliki intensitas ruang yang relative sama dilihat dari nilai KDB dan KLB, tetapi memiliki intensitas yang berbeda dilihat dari kepadatan penduduk. Dengan menggunakan metode skoring intensitas pemanfaatan lahan dapat diketahui perbandingan intensitas ruang antarwilayah. Skoring dilakukan dengan memberikan nilai pada masing-masing jenis penggunaan lahan berdasarkan KDB karena KDB dapat mempresentasikan beban lahan yang harus ditanggung suatu wilayah dengan nilai KLB yang sama. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata KDB, Penggunaan lahan industri dinilai paling intens karena nilai KDB paling tinggi. Jenis penggunaan lahan dalam perhitungan di atas adalah 4 jenis, sehingga apabila diurutkan dengan menggunakan skala nominal maka penggunaan lahan paling intens adalah industri diberi nilai 4, perdagangan dan jasa diberi nilai 3, perumahan diberi nilai 2, dan perkantoran diberi nilai 1. Proporsi masing-masing penggunaan lahan kemudian dikalikan dengan nilai dari skala intensitas tersebut sehingga diperoleh tingkatan intensitas penggunaan ruang di aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai berikut, intensitas pemanfaatan lahan tertinggi adalah Kota Surakarta, disusul 2) Kec. Grogol, 3) Kec. Kartasura, 4) Kec. Jaten, dan 5) Kec. Colomadu, dengan dominasi penggunaan lahan yang berbeda-beda. Sedangkan kota-kota satelit yang berada jauh dari Kota Surakarta memiliki intensitas pemanfaatan lahan terbangun lebih rendah dari kawasan perkotaan di sekitar Kota Surakarta. Apabila diilustrasikan maka intensitas yang menunjukkan beban lahan masing-masing wilayah dapat dilihat pada gambar berikut, Kota Inti Kawasan Perkotaan Sekitarnya Kota-kota Satelit commit to user 63 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4.2.3 Kecenderungan Penggunaan Lahan Berdasarkan data penggunaan lahan tahan 2010, dari duabelas wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta terdapat empat wilayah yang didominasi oleh lahan terbangun dan tujuh wilayah yang masih didominasi oleh penggunaan lahan non terbangun atau pertanian. Wilayah yang memiliki luas lahan terbangun lebih besar daripada lahan pertanian antara lain Kota Surakarta, Kec. Colomadu, Kec. Grogol, dan Kec. Kartasura, sedangkan wilayah yang masih didominasi oleh lahan pertanian adalah Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Mojolaban, Kec. Jaten, dan Kec. Baki. Lua lahan terbangun tersebut mengalami perubahan setiap tahunnya, berdasarkan data tahun 1993-2010 terjadi peningkatan luas lahan terbangun dengan perubahan luas lahan tertinggi di Kecamatan Colomadu. Proporsi penggunaan lahan tertinggi dalam lahan terbangun adalah penggunaan untuk hunian. Luas hunian ini mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan luas lahan terbangun dan dapat dikatakan bahwa faktor utama penyebab meningkatnya luas lahan terbangun adalah bertambahnya lahan untuk hunian. Gambar 4.12 Perubahan Luas Terbangun Tahun 1993-2010 Sumber : Laporan Statistik Masin-masing Kabupaten dan Kota, BPS Luas lahan terbangun masing-masing wilayah mengalami perubahan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Wilayah dengan laju pertambahan lahan terbangun tertinggi adalah Kecamatan Colomadu. Kecepatan perubahan luas lahan terbangun di Kecamatan Colomadu mulai terlihat pesat pada tahun 2007. Tingginya konversi lahan di wilayah ini diidentifikasikan sebagai dampak dari pembangunan jalan tol yang melalui wilayah ini sehingga banyak pengembang maupun penduduk yang berinvestasi dengan membuat hunian maupun pertokoan di wilayah ini. Dan tidak menutup kemungkinan akan bermunculan industry-industri baru di wilayah ini. Laju pertambahan lahan terbangun di masing-masing wilayah dihitung dengan melihat perubahan luas lahan terbangun dari tahun 2003-2010 dengan hasil seperti pada gambar di bawah ini, to user commit 64 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.13 Laju Perubahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta Sumber : Laporan Statistik Masin-masing Kabupaten dan Kota, BPS Dengan menggunakan laju pertambahan lahan terbangun rata-rata tersebut kemudian dilakukan proyeksi pertambahan lahan dengan menggunakan metode eksponensial. Hasil analisis ini diperlukan untuk membandingkan pola penggunaan lahan yang akan datang dengan daya dukung lahan pada analisis daya dukung lahan lingkungan. Pada tahun 2025, diprediksikan terjadi konversi lahan pertanian di masing-masing wilayah untuk mencukupi kebutuhan hunian dan lahan terbangun lain (industri, perkantoran, perdagangan, sarana dan prasarana). Lahan terbangun kota Surakarta akan mencapai 80,16% luas wilayah, Kec. Jaten 42,59%, Kec. Jaten 85,40%, Kec. Grogol 51,01%, Kec. Baki 29,79%, Kec. Kartasura 65,39%, Kec. Colomadu 87,79%, Kec. Ngemplak 36,40%, Kota Sragen 50,08%, Kota Karanganyar 35,18%, Kota Sukoharjo 37,89%, dan Kota Boyolali 59,90%. Dari kedua belas wilayah tersebut, wilayah yang mengalami perkembangan yang pesat adalah Kecamatan Colomadu, dapat dilihat pada selisih grafik di bawah ini. Berdasarkan catatan statistic daerah, perkembangan lahan terbangun di Kecamatan Colomadu ini mulai terlihat pesat saat memasuki tahun 2007 dimana pada tahun 2005 luas lahan terbangun adalah 678,38 Ha kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2007 dimana luas lahan terbangun adalah 895,2 Ha. commit to user Gambar 4.14 Proyeksi Pertambahan Lahan Terbangun Aglomerasi Perkotaan Surakarta Sumber : Hasil Analisis dengan menggunakan laju pertumbuhan lahan terbangun, 2012 65 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Secara spasial sebaran penggunaan lahan dalam suatu wilayah akan membentuk polapola tertentu yang dikenal sebagai pola ruang atau urban form. Pola ruang ini dengan mudah dapat dikenali dari asosiasi lahan terbangun atau konsentrasi lahan terbangun. Lahan terbangun di masing-masing wilayah berkembang dengan tipe perkembangan infill development sepanjang jaringan jalan dan pembangunan baru berbentuk cluster yang mengarah ke leap frog development. Pola ruang yang terbentuk dari tipe perkembangan ini dapat terlihat jelas dengan melihat peta lahan terbangun dan non terbangun (Peta 4.2 dan 4.3). Kota Surakarta memiliki lahan terbangun yang terkonsentrasi pada satu titik dan tersebar hamper merata di seluruh wilayah. Lahan-lahan terbangun ini saling terhubung satu sama lain sehingga tidak ditemui adanya pembangunan yang terpisah atau leap-frog development. Sekilas tipe pola ruang Kota Surakarta membentuk pola ruang kompak, tetapi dengan intensitas yang berbeda antara utara dan selatan. Bagian utara wilayah memiliki intensitas yang rendah sedangkan bagian selatan wilayah memiliki intensitas yang tinggi. Kawasan perkotaan sekitar Surakarta yang meliputi Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Colomadu, dan Kec. Ngemplak memiliki sebaran lahan terbangun yang terpisah satu sama lain, konsentrasi lahan terbangun yang intens hanya terdapat di beberapa lokasi yang berada di sepanjang jalan utama, sedangkan lahan terbangun yang lain terletak menyebar di seluruh wilayah. Akan tetapi, Kecamatan Kartasura memiliki lahan terbangun yang memusat di sepanjang jalan utama dengan luasan yang besar, meskipun ada lahan-lahan terbangun yang menyebar. Kota Sragen memiliki lahan terbangun yang terkonsentrasi di bagian tengah wilayah dalam skala yang besar, meskipun masih ada lahan terbangun yang memencar. Akan tetapi, proporsi lahan terbangun yang memencar tersebut sangat kecil dibandingkan lahan terbangun yang ada di bagian pusat. Lahan terbangun utama dikelilingi oleh lahan pertanian yang secara sekilas membuat bentuk kota Sragen menyerupai garden city (peta 4.3). Kota Boyolali memiliki lahan terbangun yang memusat di bagian tengah kota yang memiliki kelerengan relative landau dibandingkan bagian wilayah kota yang lain. Intensitas penggunaan lahan di bagian pusat relative tinggi yang kemudian menurun seiring dengan ketinggian wilayah. Kota Karanganyar dan Kota Boyolali memiliki pola penggunaan ruang dengan konsentrasi lahan terbangun di satu titik, tetapi masih banyak dijumpai lahan terbangun yang memencar dengan proporsi yang lebih besar dibandingkan konsentrasi lahan terbangun utama yang mengindikasikan adanya sprawl (peta 4.3). commit to user 66 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Peta 4.2. Penggunaan Lahan Kota Surakarta dan Kawasan Perkotaan Sekitar Surakarta commit to user 67 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Peta 4.3 Penggunaa Lahan Kota Satelit Surakarta commit to user 68 perpustakaan.uns.ac.id 4.3 digilib.uns.ac.id DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Daya tampung penduduk dalam suatu wilayah hendaknya ditinjau dari kemampuan pelayanan lahan dan sumberdaya air eksisting, dan bukan melihatnya secara terpisah. Sehingga hasil akhir dari analisis ini berupa jumlah penduduk yang dapat ditampung berdasarkan kemampuan lahan dan sumberdaya air. 4.3.1 DAYA DUKUNG LAHAN Daya dukung lahan suatu perkotaan sangat tergantung pada satuan kemampuan lahannya (SKL). Daya tampung lahan suatu wilayah dihitung dengan melakukan analisis kemampuan lahan, analisis rasio tutupan lahan, dan ketinggian bangunan. Untuk mengetahui kemampuan lahan, rasio tutupan lahan, dan ketinggian bangunan suatu wilayah , peneliti menggunakan pedoman teknis Permen PU No. 20/PRT/M/2007. 1) Analisis Kemampuan Lahan Analisis kemampuan lahan dilakukan untuk mengetahui pengembangan lahan yang sesuai dengan kemampuan fisik lahan. Output dari analisis ini akan digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan. Analisis dilakukan dengan mengalikan bobot masing-masing SKL dengan nilai dari masing-masing SKL. Berdasarkan hasil skoring, aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki 3 kelas kemampuan lahan yaitu sedang, agak tinggi, dan tinggi. Tingkat kemampuan pengembangan sedang, artinya bahwa kawasan mendukung untuk pengembangan budidaya permukiman namun masih terbatas, sehingga kawasan hanya memiliki tingkat pengembangan kearah hutan, perkebunan, tegalan dan budidaya permukiman tebatas. Tingkat kemampuan pengembangan lahan yang alian adalah agak tinggi, artinya kawasan mampu dikembangkan kearah budidaya permukiman, pertanian, perkebunan, industri dll. Sedangkan tingkat kemampuan pengembangan tinggi, artinya kawasan memiliki kemampuan tinggi untuk dikembangkan menjadi budidaya permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dll. Peta kemampuan lahan dapat dilihat di lampiran. 2) Arahan Rasio Tutupan Lahan dan Ketinggian Bangunan Arahan rasio tutupan lahan adalah perbandingan antara luas lahan tertutup oleh bangunan yang bersifat kedap air dengan luas lahan keseluruhan. Berdasarkan pedoman teknis Permen PU No. 20/PRT/M/2007, rasio tutupan lahan maksimal untuk wilayah dengan kelas kemampuan lahan sedang adalah 20% , kelas kemampuan lahan agak tinggi adalah 30%, dan kelas kemampuan lahan agak tinggi adalah 50%. Arahan ketinggian bangunan untuk kelas kemampuan lahan sedang dan agak tinggi <4 lantai, sedangkan untuk kelas kemampuan lahan commit to user tinggi > 4 lantai. Berikut adalah hasil analisis kemampuan lahan, arahan rasio tutupan lahan, dan arahan ketinggian bangunan di aglomerasi perkotaan Surakarta 69 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 4.12 Analisis Kemampuan Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta Total Nilai Kelas Kemampuan Lahan 84-109 Kelas c Kemampuan Pengembangan Sedang 110134 Kelas d Kemampuan Pengembangan Agak Tinggi 135160 Kelas e Klasifikasi Pengembangan Kemampuan Pengembangan Sangat Tinggi Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 Wilayah 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 1. 2. 3. Kec. Jebres Surakarta Kel. Bolong Kota Karanganyar Kel. Delingan Kota Karanganyar Kel. Gayamdompo Kota Karanganyar Kel. Gedong Kota Karanganyar Kec. Laweyan Kota Surakarta Kec. Serengan Kota Surakarta Kec. Pasar Kliwon Surakarta Kec. Banjarsari Surakarta Kec. Jaten Ke. Colomadu Kec. Mojolaban Kec. Grogol Kec. Baki Kec. Kartasura Kec. Ngemplak Kota Sragen Kel. Sukoharjo Kota Sukoharjo Kel. Gayam Kota Sukoharjo Kel. Joho Kota Sukoharjo Kel. Begajan Kota Sukoharjo Kel. Mandan Kota Sukoharjo’ Kel. Danmali Kota Sukoharja Kel. Kenep Kota Sukoharjo Kel. Kriwen Kota Surakarta Kel. Comboran Kota Sukoharjo Kel. Bulakrejo Kota Sukoharjo Kel. Sonorejo Kota Sukoharjo Kel. Jetis Kota Sukoharjo Arahan Rasio Tutupan Lahan Max 20% Arahan Ketinggian Bangunan < 4 lantai Max 30% < 4 lantai Max 50% > 4 lantai 3) Analisis Daya Tampung Lahan Berdasarkan analisis rasio tutupan lahan akan diperoleh luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alami. Luas area dengan kelas kemampuan lahan sedang adalah 2981,18 Ha, agak tinggi 34.550,19 Ha, dan tinggi 1046 Ha. Dengan luas wilayah aglomerasi 38.577,37 Ha, maka persentase lahan yang dapat dimanfaatkan adalah 11.484,29 Ha atau 29,77 % dari luas wilayah. Tabel 4.13 Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan berdasarkan Kondisi Fisik Lingkungan Kelas Luas Area Persentase dari Kemampuan (Ha) Luas Aglomerasi Lahan (%) Kelas C 2981,18 7,73 Kelas D 34550,19 89,59 Kelas E 1046,00 2,71 Total 38577,27 100,00 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 Arahan Rasio Tutupan Lahan 20 % 30 % 50 % - Luas Wilayah yang Dapat Dimanfaatkan (Ha) 596,24 10365,06 523,00 11484,29 Dengan menggunakan data luas wilayah yang dapat dimanfaatkan di atas dapat dihitung commit to menggunakan user jumlah penduduk yang dapat ditampung. Dengan asumsi, persentase luas lahan yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup, dengan 70 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id catatan 30% digunakan untuk fasilitas dan 20% untuk utilitas (Modul Terapan Teknik Analisi Aspek Fisik Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang). Rumus yang digunakan untuk menganalisis daya tampung penduduk adalah 50 % x Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan x Jumlah Penduduk PerRumah Luas Kavling Rumah 50 % x Luas Lahan yang Dapat Dimanfaatkan = x 5 (Jiwa) 100 M2 Daya Tampung Lahan = Keterangan : - Luas Kavling Rumah 100 M2 dihitung berdasarkan data arsitek, neufert, ernst, Jilid I-II Maka dapat diperoleh daya tampung penduduk maksimal di aglomerasi perkotaan Surakarta sebesar 2.871.075 jiwa, dengan catatan bahwa rumah yang dibangun merupakan rumah satu lantai dan tidak dilakukan rekayasa teknis. Daya tampung penduduk ini bisa lebih besar jika dihitung berdasarkan arahan ketinggian bangunan dan menggunakan rekayasa teknis. Tabel 4.14 Daya Tampung Lahan Aglomerasi Perkotaan Surakarta No. Wilayah Kelas Kemampuan Lahan Luas Wilayah (Ha) Luas Lahan Terbangun* (Ha) Luas Permukiman * (Ha) Daya Tampung Penduduk ** Daya Tampung Penduduk *** 188.727 1 Kota Surakarta Kelas C 1258,18 251,64 125,82 62.909 Kelas D 3145,88 943,76 471,88 235.941 2 Kec. Jebres Kota Surakarta dikurangi Kec. Jebres Kec Jaten Kelas D 2554,81 766,44 383,22 191.611 574.833 3 Kec Mojolaban Kelas D 3554,00 1066,20 533,10 266.550 799.650 4 Kec Grogol Kelas D 3000,00 900,00 450,00 225.000 675.000 5 Kec Baki Kelas D 2197,00 659,10 329,55 164.775 494.325 6 Kec Kartosuro Kelas D 1923,00 576,90 288,45 144.225 432.675 7 Kec Colomadu Kelas D 1564,17 469,25 234,63 117.313 351.939 8 Kec Ngemplak Kelas D 3852,70 1155,81 577,91 288.953 866.859 9 Kota Sragen Kelas D 2672,00 801,60 400,80 200.400 601.200 10 Kota Boyolali Kelas D 4095,00 1228,50 614,25 307.125 921.375 11 Kota Karanganyar Kel Delingan Kelas C 939,00 187,80 93,90 46.950 140.850 Kel Gayamdompo Kelas C 436,00 87,20 43,60 21.800 65.400 Kel Bolong Kota Karanganyar Kelas C Kota Sukoharjo Kelas C 348,00 69,60 34,80 17.400 52.200 Kelas D 2579,64 773,89 386,95 193.473 Kel.Bulakrejo Kelas E 411,00 205,50 102,75 51.375 154.125 Kel.Sonorejo Kelas E 444,00 222,00 111,00 55.500 166.500 47,75 23.875 71.625 511,80 255.900 5742,15 2.871.074 12 Kel.Jetis Kelas E 191,00 95,50 Kota Sukoharjo Kelas D 3412,00 1023,60 Kelas E Total 38577,38 11484,29 commit to user Keterangan : *Sesuai kemampuan lahan, ** jika menggunakan hunian berlantai 1, ***jika menggunakan hunian per lantai 3 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 707.823 580.419 767.700 8.613.222 71 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Berdasarkan arahan ketinggian bangunan, bangunan rumah di aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki batas ketinggian dari <4 lantai (3 lantai) dan >4 lantai untuk 3 kelurahan di Kota Sukoharjo yang memiliki kelas kemampuan lahan E. Apabila ketinggian lantai bangunan dibatasi 3 lantai untuk keseluruhan wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta maka daya tampung penduduk di aglomerasi perkotaan Surakarta adalah 8.613.225 jiwa. Angka ini diperoleh dengan mengalikan daya tampung penduduk jika rumah yang dibangun berlantai satu pada perhitungan sebelumnya yaitu 2.871.075 jiwa dengan 3 (tiga adalah batas ketinggian bangunan). Akan tetapi, jumlah ini masih dapat bertambah lagi mengingat bahwa ketiga kelurahan di Kota Sukoharjo memiliki arahan ketinggian bangunan >4 lantai dan rekayasa teknis dapat dilakukan. Selain menggunakan asumsi bahwa lahan untuk permukiman (hunian) sebesar 50%, peneliti juga melakukan perhitungan daya tampung penduduk berdasarkan ketentuan bahwa persentase lahan perkotaan yang dapat digunakan untuk permukiman sebesar 70% sedangkan 30% digunakan untuk sarana prasarana umum. Jika menggunakan ketentuan tersebut maka daya tampung penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta sebesar 12.058.505 jiwa jika menggunakan rumah berkoefesien lantai bangunan 3 atau 4.019.502 jika menggunakan rumah berKLB 1 (perhitungan ada di lampiran). 4) Perkiraan Jumlah Penduduk Tambahan yang Dapat Ditampung Untuk dapat mengetahui besarnya penduduk tambahan yang mampu ditampung oleh suatu wilayah, maka perlu diketahui jumlah penduduk eksisting yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan perbandingan daya tampung masing-masing wilayah dan jumlah penduduk eksisting diketahui bahwa dari 12 wilayah terdapat sebuah wilayah yang telah memiliki penduduk 3/5 dari daya tampungnya yaitu Kota Surakarta. Sedangkan wilayah yang lain masih memiliki daya tampung yang besar. Gambar 4.15 Perbandingan Daya Tampung Penduduk dengan Asumsi Lahan Permukiman sebesar commit to user 50% dengan Jumlah Penduduk Tahun 2010 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 72 perpustakaan.uns.ac.id 5) digilib.uns.ac.id Perkiraan Luas Lahan yang Masih Dapat Dimanfaatkan Selain membandingkan jumlah penduduk yang mampu ditampung dengan jumlah penduduk eksisting, juga perlu dikaji luas lahan yang mampu menampung jumlah penduduk tambahan. Berdasarkan data tahun 2010, persentase lahan terbangun aglomerasi perkotaan Surakarta adalah 45,96% sedangkan luas lahan terbangun yang diperbolehkan adalah 29,77% sehingga terjadi kelebihan sebesar 16,19% atau sebesar 6245,39 Ha. Apabila data ini dijabarkan ke dalam masing-masing wilayah maka akan terlihat secara jelas penyimpangan penggunaan lahan di setiap wilayah, sebagai berikut: Gambar 4.16 Perbandingan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan Arahan Tutupan Lahan Sumber : Hasil Analisis, 2012 Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa luas lahan terbangun Kota Surakarta telah melebihi arahan luas lahan yang boleh tertutup, begitu pula dengan Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec. Colomadu, Kota Sragen, Kota Karanganyar, dan Kota Boyolali. Hanya Kec. Ngemplak dan Kota Sukoharjo yang memiliki luas penyimpangan kecil. Sehingga apabila masing-masing wilayah tersebut ingin menampung jumlah penduduk berdasarkan perhitungan sebelumnya, maka diperlukan upaya untuk mengubah orientasi pengembangan wilayah dari horizontal menjadi pembangunan vertical dan perlunya dilakukan peremajaan ruang kota. Tabel 4.15 Penyimpangan Luas Lahan Terbangun Eksisting dengan Luas Lahan Terbangun yang Diperbolehkan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Sub Wilayah Kota Surakarta Kec Jaten Kec Mojolaban Kec Grogol Kec Baki Kec Kartosuro Kec Colomadu Kec Ngemplak Luas Wilayah (Ha) 4404,06 2554,81 3554,0 3000,00 2197,00 1923,00 1564,17 3852,70 Luas Luas Lahan yang Lahan Boleh Tertutup Terbangun sesuai Tahun 2010 Kemampuan Lahan (Ha) ( Ha ) 3498,59 1195,40 1081,71 766,44 1168,91 1066,20 1728,00 900,00 775,10 659,10 commit to user 1258,99 576,90 901,90 469,25 1225,16 1155,81 Penyimpangan (Ha) 2303,19 315,27 102,71 828,00 116,00 682,09 432,65 69,35 73 perpustakaan.uns.ac.id 9 10 11 12 digilib.uns.ac.id Kota Sragen 2672,00 Kota Karanganyar 4302,64 Kota Sukoharjo 4458,00 Kota Boyolali 4095,00 Total 38577,38 Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012 1320,24 1506,79 1586,16 1678,13 17729,68 801,60 1118,49 1546,60 1228,50 11484,29 518,64 388,30 39,56 449,63 6245,39 Penyimpangan lahan terbangun tersebut semakin besar jika dibandingkan dengan prediksi pertambahan lahan terbangun pada tahun 2025 yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Dengan melihat perbandingan luas lahan terbangun eksisting dan prediksi penambahan lahan terbangun tersebut diketahui bahwa luas lahan terbangun baik eksisting maupun yang diprediksikan tidak sesuai dengan arahan luas lahan yang diperbolehkan berdasarkan kemampuan lahan. Apabila kondisi ini berlanjut, maka akan menurunkan daya dukung lingkungan yaitu berkurangnya daya dukung sumberdaya air. 6) Potensi Pengembangan Ruang Kawasan Aglomerasi perkotaan Surakarta dapat dikembangkan secara vertikal dengan jenis bangunan empat lantai untuk kelas kemampuan lahan tipe C dan D serta bangunan >4 lantai untuk kelas kemampuan lahan tipe D, tanpa adanya rekayasa teknis (hasil analisis kemampuan lahan). Sedangkan luas penggunaan lahan secara horizontal dibatasi sebagai berikut, - Rasio lahan terbangun untuk kelas kemampuan lahan Tipe C meliputi Kec. Jebres Surakarta, Kelurahan Delingan, Gayamdompo, dan Bolong Kota Karanganyar dibatasi sampai 20%. - Rasio lahan terbangun untuk kelas kemampuan lahan Tipe D meliputi Kota Sragen, Kota Boyolali, Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec. Colomadu, Kec. Ngemplak, Kota Sukoharjo (kecuali Kelurahan Bulakrejo, Sonorejo, dan Jetis), Kota Karanganyar (kecuali Kelurahan Delingan, Gayamdompo, dan Bolong), serta Kota Surakarta (kecuali Kecamatan Jebres) dibatasi sampai 30%. - Rasio lahan terbangun untuk kelas kemampuan lahan Tipe E yang meliputi Kelurahan Bulakrejo, Kelurahan Sonorejo, dan Kelurahan Jetis Kota Sukoharjo dibatasi sampai 50%. Dengan demikian maka luas lahan tertutup aglomerasi perkotaan Surakarta yang diperbolehkan adalah 14149,39 Ha atau 36,68% dengan koefisien lantai bangunan 4 dan >4 lantai untuk tiga kelurahan di Kota Sukoharjo. Akan tetapi, luas lahan terbangun eksisting saat ini adalah 17729,66 Ha atau 45,96% sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan wilayah secara horisontal. Untuk mengetahui to user potensi commit pengembangan secara vertikal maka dilakukan perbandingan dominansi koefisien lantai bangunan dengan arahan ketinggian bangunan 74 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (sesuai analisis kemampuan lahan). Area permukiman dengan proporsi 45,96% memiliki koefisien lantai rata-rata 1-2 yang didominasi KLB 1, bangunan perdagangan yang menempati 1,1 % luas wilayah memiliki koefisen lantai bangunan 1-4 dengan dominasi KLB 2, bangunan perkantoran termasuk sarana umum menempati 1,87% luas wilayah memiliki koefisien lantai bangunan 1-3 dengan dominasi KLB 2, sedangkan industri yang menempati 3,76% luas wilayah memiliki koefisen lantai bangunan satu. Dengan demikian maka semua wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta masih dapat dikembangkan secara vertikal sampai 4 lantai untuk kelas kemampuan lahan C dan D serta > 4 lantai untuk kelas kemampuan lahan E dengan catatan bahwa pembangunan tersebut tanpa melibatkan rekayasa teknis. Koefisen lantai bangunan atau ketinggian bangunan di masing-masing wilayah dapat lebih dari 4 lantai jika menggunakan rekayasa teknis. Akan tetapi, pembangunan yang melibatkan rekayasa teknis tidak dibahas dalam penelitian ini. 4.3.2 DAYA DUKUNG SUMBER DAYA AIR 1) Neraca Kesetimbangan Air Neraca kesetimbangan air aglomerasi perkotaan Surakarta dihitung dengan membandingkan ketersediaan air domestik dan kebutuhan air. Sumber air yang digunakan dalam perhitungan adalah air permukaan yang terdiri atas sungai dan mata air, air tanah, dan cadangan air seperti waduk atau bendung yang terdapat di wilayah tersebut sehingga tidak mempertimbangkan sumber air yang berasal dari luar daerah. Sedangkan kebutuhan air dihitung dengan menggunakan standar kebutuhan air sesuai dengan SNI 19-6728.1-2002 tentang penyusunan neraca sumber daya air spasial. Sedangkan standar kebutuhan air untuk fasilitas yang jumlah pengunjungnya tidak menentu seperti stasiun, terminal, hotel, dan pasar, serta jenis fasilitas yang tidak terdapat dalam SNI seperti puskesmas, balai pengobatan, rumah bersalin, dan puskesmas pembantu tersebut. menggunakan rata-rata konsumsi air setiap fasilitas Jumlah konsumsi air dihitung dengan mengalikan kebutuhan air tiap jenis pemakaian lahan dengan jumlah fasilitas (untuk sarana) dan luas wilayah (untuk industri dan pertanian). Tabel 4.16 Standar Kebutuhan Air No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis Konsumen Kebutuhan Penduduk PerHari Sarana Ibadah Rumah Sakit Rumah Bersalin Sekolah Hotel commit to Pasar / Pusat Perbelanjaan Terminal Stasiun user Kebutuhan Air (M3) 1,2 / orang 5 / sarana 50 / sarana 15/ sarana 2 / sarana 50 / sarana 50 / sarana 100 / sarana 200 / sarana 75 perpustakaan.uns.ac.id 10 11 12 13 digilib.uns.ac.id Industri Besar Industri Sedang Industri Kecil Pertanian 50 / Ha 25 / Ha 25 / Ha 0,001 / Ha Neraca air ini dihitung dengan asumsi bahwa sumber-sumber air dalam aglomerasi perkotaan Surakarta dapat digunakan seluruhnya. Berdasarkan perhitungan neraca ketesimbangan air, jumlah ketersediaan air aglomerasi perkotaan Surakarta adalah 12.953.104,38 M3/hari dengan total kebutuhan air 2.246.787,40 M3/hari sehingga masih terdapat sisa cadangan air sebesar 10.706.316,99 M3/hari. Sisa cadangan air tersebut berasal dari air permukaan yaitu debit air sungai yang belum dimanfaatkan secara optimal. Gambar 4.17 Neraca Kesetimbangan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta Tahun 2010 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2010 Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa wilayah yang memiliki ketersediaan air tertinggi adalah Kec. Ngemplak karena didukung oleh keberadaan bendung di wilayah tersebut. Tabel 4.17 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Aglomerasi Perkotaan Surakarta No. Wilayah Ketersediaan (M3/ Hari) Kebutuhan (M3/Hari) 1 Kota Surakarta 1.194.644,16 934.356,06 2 Kec. Jaten 1.213.488,00 113.070,03 3 Kec. Mojolaban 1.037.232,00 123.081,50 4 Kec. Grogol 1.227.597,12 158.853,50 5 Kec. Baki 951.264,00 82.696,50 6 Kec. Kartasura 952.387,20 141.310,50 7 Kec. Colomadu 1.039.392,00 95.338,02 8 Kec. Ngemplak 1.540.639,03 110.090,43 9 Kota Sragen 1.124.064,00 114.682,67 10 Kota Karanganyar 975.106,00 120.139,62 11 Kota Sukoharjo 1.192.752,00 132.596,00 12 Kota Boyolali 504.538,87 120.572,57 12.953.104,38 2.246.787,40 Total Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 to commit user Kebutuhan air aglomerasi perkotaan adalah 2.246.787,40 M3/hari dengan prosentase kebutuhan air sebesar 76,52% untuk rumah tangga, 1,95% kebutuhan domestik selain 76 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kebutuhan rumah tangga, 1,36% untuk kebutuhan industri, dan 0,62% untuk pertanian. Penggunaan air tertinggi adalah Kota Surakarta dengan total penggunaan adalah 934.356,06 M3/hari, Penggunaan ini adalah 78,21% dari ketersediaan air per harinya. 2) Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air Apabila diasumsikan bahwa pertumbuhan penduduk seiring dengan pertumbuhan industri dan sarana prasarana perkotaan maka prosentase kebutuhan air penduduk di atas dapat digunakan untuk menghitung jumlah maksimal penduduk yang dapat didukung oleh sumber air aglomerasi perkotaan. Dengan prosentase kebutuhan air rumah tangga sebesar 76,52% maka volume air yang dibutuhkan adalah 9.911.715,475 M3/hari sehingga jumlah maksimal penduduk yang dapat dipenuhi oleh sumber air aglomerasi perkotaan Surakarta adalah 8.259.763 jiwa dengan kebutuhan penduduk 1,2 M3/penduduk/hari. Tabel 4.18 Daya Tampung Penduduk berdasarkan Ketersediaan Air No. Wilayah 1 Kota Surakarta 2 Kec. Jaten 3 Ketersediaan (M3/ Hari) 1.194.644,16 Air Penduduk Daya Tampung Penduduk 910.916,17 759.097 1.213.488,00 925.284,60 771.071 Kec. Mojolaban 1.037.232,00 790.889,40 659.075 4 Kec. Grogol 1.227.597,12 936.042,80 780.036 5 Kec. Baki 951.264,00 725.338,80 604.449 6 Kec. Kartasura 952.387,20 726.195,24 605.163 7 Kec. Colomadu 1.039.392,00 792.536,40 660.447 8 Kec. Ngemplak 1.540.639,03 1.174.737,26 978.948 9 Kota Sragen 1.124.064,00 857.098,80 714.249 10 Kota Karanganyar 975.106,00 743.518,33 619.599 11 Kota Sukoharjo 1.192.752,00 909.473,40 757.895 12 Kota Boyolali 504.538,87 384.710,89 9.876.742,09 320.592 8.230.618 Total 12.953.104,38 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2012 4.3.3 Daya Tampung Penduduk Berdasarkan Daya Dukung Lahan dan Sumber Daya Air Daya tampung penduduk dalam suatu wilayah hendaknya ditinjau dari kemampuan pelayanan lahan dan sumberdaya air eksisting, dan bukan melihatnya secara terpisah. Sehingga daya tampung penduduk aglomerasi perkotaan Surakarta merupakan fungsi gabungan dari daya tampung lahan dan sumberdaya air. Dengan demikian maka batas maksimal jumlah penduduk yang mampu ditampung adalah 8,2 juta jiwa dengan commit to user menggunakan scenario lahan permukiman sebesar 50% dari luas lahan yang boleh terbangun. Ketentuan inilah yang akan digunakan pada bab pembahasan. 77 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4.4 KETERCAPAIAN MASING-MASING TOLOK UKUR KESESUAIAN 4.4.1 Kesesuaian berdasarkan Keberadaan Pusat dan Sub Pusat Tolok ukur kesesuaian pertama adalah “Struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan beberapa pusat-pusat kegiatan atau sub pusat”. Tolok ukur ini dapat dinilai dari analisis orde perkotaan. Berdasarkan hasil analisis orde perkotaan , aglomerasi perkotaan Surakarta terdiri atas lima hirarki kota sebagai berikut: Hirarki I : Kota Surakarta Hirarki II : Kec. Kartasura Hirarki III : Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol Hirarki IV : Kec. Jaten dan Kec. Ngemplak Hirarki V : Kec. Colomadu dan Kec. Baki Dengan melihat hirarki di atas diketahui bahwa aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki beberapa pusat yang terdiri dari sebuah pusat utama dan beberapa sub pusat. Berdasarkan analisis hirarki perkotaan, jumlah pusat di aglomerasi perkotaan Surakarta hanya satu karena wilayah-wilayah lain memiliki selisih nilai yang sangat jauh dengan kota hirarki pertama baik berdasarkan jumlah penduduk maupun keberadaan sarana. Kota Surakarta merupakan kota hirarki pertama dengan ketersediaan fasilitas yang lebih tinggi dari wilayah lain. Dilihat dari jumlah penduduk pun, Kota Surakarta menempati hirarki pertama sedangkan dari kemampuan pelayanan, sarana kesehatan, perdagangan, dan pendidikan Kota Surakarta yang mempertegas fungsi Surakarta sebagai kota inti kawasan aglomerasi perkotaan Surakarta. Secara umum, dari hirarki perkotaan tersebut telah menunjukkan adanya kota inti atau pusat dengan beberapa sub pusat. Sehingga struktur ruang yang terbentuk adalah polycentric dengan sebuah kota inti. Dengan demikian maka tolok ukur kesesuaian yang pertama yaitu “struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan beberapa pusat-pusat kegiatan atau sub pusat” telah terpenuhi. 4.4.2 Kesesuaian berdasarkan Kejelasan Fungsi Masing-masing Wilayah Tolok ukur kesesuaian kedua adalah kejelasan fungsi masing-masing pusat dan sub pusat. Tolok ukur ini dinilai dari analisis orde perkotaan dan data guna lahan. Kota Surakarta sebagai kota inti menyandang fungsi sebagai pusat pelayanan perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan pariwisata dapat dilihat dari orde perkotaan per jenis sarana. Sehingga Kota Surakarta merupakan kota inti yang sekaligus memiliki fungsi sebagai CBD dari aglomerasi commit to user perkotaan Surakarta. Sub pusat yang terletak jauh dari Kota Surakarta seperti Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Boyolali, dan Kota Sukoharjo menyandang fungsi sebagai pusat 78 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pelayanan wilayah kabupaten. Sedangkan kawasan perkotaan sekitar Surakarta seperti Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Kartasura, Kec.Colomadu, dan Kec. Ngemplak memiliki fungsi yang berbeda-beda. - Kecamatan Grogol didominasi oleh penggunaan lahan perumahan dan industri - Kecamatan Kartasura didominasi oleh perumahan dan perdagangan - Kecamatan Jaten berfungsi didominasi oleh perumahan dan industri. - Kecamatan Baki dan Mojolaban didominasi oleh perumahan. - Kecamatan Colomadu didominasi oleh penggunaan lahan perumahan. - Kecamatan Ngemplak didominasi oleh penggunaan lahan perumahan. Sehingga, apabila diklasifikasikan maka fungsi masing-masing kawasan perkotaan di sekitar Surakarta sebagai berikut: - Pusat Industri : Kecamatan Jaten dan Grogol - Pusat Perdagangan : Kecamatan Kartasura, Kecamatan Jaten - Dormitory Town : Kecamatan Jaten, Mojolaban, Grogol, Baki, Kartasura, Colomadu, dan Ngemplak Terdapat beberapa sub pusat yang berfungsi sebagai dormitory town bagi penduduk Kota Surakarta seperti Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Kartasura, Kec. Colomadu, dan Kec. Jaten. Hal ini yang dapat dilihat dari cluster-cluster perumahan yang dibangun di wilayah tersebut. Sedangkan Kecamatan Baki dan Ngemplak sebagian besar masih melayani perumahan bagi penduduk kecamatan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing pusat dan subpusat di aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki kejelasan fungsi dimana kota inti menyandang fungsi sebagai CBD, kawasan perkotaan di sekitar Surakarta menyandang fungsi sebagai kawasan industri, perdagangan kedua, dan dormitory town, serta kota-kota yang terletak jauh dari Kota Surakarta berfungsi sebagai pusat pelayanan kabupaten. Dengan demikian maka tolok ukur kesesuaian kedua yaitu “Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi masing-masing” telah terpenuhi di seluruh wilayah sehingga persentase pencapaian adalah 100%. 4.4.3 Kesesuaian berdasarkan Kemampuan Pelayanan Internal Wilayah Tolok ukur kesesuaian yang ketiga adalah “adanya pusat dan sub pusat dalam masingmasing kota inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan”. Pusat-pusat kegiatan dalam suatu perkotaan dapat diwakilkan oleh keberadaan sarana perkotaan, karena commit to user pada hakekatnya pusat kegiatan dalam kota mencerminkan fungsi dari masing-masing sarana tersebut. Tolok ukur ini dinilai dari hasil analisis kemampuan pelayanan sarana perkotaan. 79 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Apabila ditinjau dari kemampuan pelayanan sarana perkotaan, sarana perdagangan eksisting seperti pusat perdagangan di masing-masing sub pusat telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bertempat tinggal di masing-masing wilayah. Bahkan mampu melayani kebutuhan luar wilayah. Sarana perdagangan berjenis pertokoan juga telah mampu melayani kebutuhan masyarakat, kecuali Kec. Jaten, Kec. Colomadu, dan Kota Karanganyar. Akan tetapi, keberadaan pusat perdagangan di ketiga wilayah tersebut telah mampu melayani >100% penduduk sehingga kebutuhan sarana pertokoan dapat disubstitusikan dengan keberadaan sarana pertokoan. Sarana puskesmas juga mampu melayani seluruh penduduk di masing-masing wilayah. Sedangkan sarana puskesmas pembantu belum sepenuhnya dapat melayani Kota Karanganyar, Kota Boyolali, dan Kota Sragen. Akan tetapi, keberadaan sarana kesehatan yang memiliki jangkauan pelayanan lebih tinggi daripada puskesmas pembantu seperti puskesmas dan rumah sakit telah mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat sehingga kebutuhan akan puskesmas pembantu dapat disubstitusikan dengan kedua jenis sarana kesehatan di atas. Kemampuan sarana pendidikan di beberapa wilayah telah mampu mencukupi kebutuhan internal bahkan mampu melayani wilayah lain yang ditunjukkan dengan persentase pelayanan >100% seperti Kota Surakarta, Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, dan Kec. Kartasura. Dari keenam wilayah tersebut, terdapat empat wilayah merupakan kota yang memiliki fungsi sebagai pusat pelayanan kabupaten dari hasil analisis kejelasan fungsi, dengan kemampuan pelayanan sarana yang dimiliki oleh keempat wilayah tersebut akan semakin menguatkan peran yang disandang keempat wilayah tersebut. Sedangkan satu wilayah yaitu Kec. Kartasura merupakan kawasan perkotaan yang berada di sekitar Kota Surakarta. Dengan kemampuan pelayanan yang >100% maka wilayah ini akan mampu menyokong Kota Surakarta untuk memenuhi permintaan kebutuhan sarana pendidikan dari kawasan perkotaan Surakarta yang masih kekurangan. Wilayah yang belum dapat mencukupi kebutuhan sarana pendidikan secara mandiri adalah Kec. Jaten, Kec. Colomadu, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec.Baki, dan Kec. Ngemplak. Keseluruhan wilayah tersebut merupakan kawasan perkotaan yang berada di sekitar Kota Surakarta. Apabila ditinjau dari aksesibilitas maka wilayah-wilayah tersebut sangat tergantung pada sarana pendidikan di Kota Surakarta maupun wilayah yang memiliki kemampuan pelayanan sarana terbaik kedua setelah Kota Surakarta seperti Kec. Kartasura maupun kota-kota satelit di dekatnya. Bagi Kec. Jaten dan Kec. Mojolaban kota alternative yang dapat digunakan untuk memenuhi sarana adalah Kota Karangnyar, bagi Kec. Grogol dan Baki kota alternative commit to user adalah Kota Sukoharjo, sedangkan wilayah alternative bagi pemenuhan kekurangan sarana Kec. Colomadu dan Kec. Ngemplak adalah Kec. Kartasura. 80 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dengan melihat kemampuan pelayanan masing-masing sarana, semua wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta sudah mampu mencukupi kebutuhan sarana kesehatan dan perdagangan secara mandiri terlepas dari adanya gaya tarik sarana di wilayah lain yang memiliki hirarki lebih tinggi. Akan tetapi, apabila ditinjau dari kemampuan pelayanan sarana hanya kota inti, kota-kota yang menyandang fungsi pusat pelayanan kabupaten, dan Kec. Kartasura saja yang sudah mampu melayani kebutuhan internal secara mandiri bahkan mampu memenuhi kebutuhan dari luar wilayah. Dengan demikian maka, tolok ukur kesesuaian ketiga yaitu “adanya pusat dan sub pusat dalam masing-masing kota inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan” telah terpenuhi pada aspek sarana kesehatan dan perdagangan, tetapi belum terpenuhi pada aspek kemampuan pelayanan sarana pendidikan. Apabila dihitung berdasarkan ketercapaian masing-masing wilayah, maka persentase kesesuaian untuk kemampuan pelayanan sarana kesehatan adalah 100%, sarana perdagangan 100%, dan sarana pendidikan 50%. Persentase kemampuan pelayanan sarana pendidikan adalah 50% karena dari 12 wilayah hanya 6 wilayah yang sudah mampu melayani wilayahnya. 4.4.4 Kesesuaian berdasarkan Skala Pelayanan Pusat dan Sub Pusat Tolok ukur kesesuaian yang keempat berbicara tentang skala layanan yaitu skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan bahkan nasional, sedangkan sub pusat berfungsi mendukung pusat dalam pengembangan kawasan. Untuk mengetahui skala layanan suatu pusat dan sub pusat dapat diketahui dari hirarki perkotaan maupun dengan rumus breaking point. Khusus untuk skala layanan dengan rumus breaking point hanya dapat digunakan untuk wilayah yang berdekatan, apabila digunakan untuk melihat skala pelayanan antarwilayah yang terpisah tidak akan valid. Oleh karena itu, untuk mengetahui skala layanan pusat dan sub pusat peneliti menggunakan dua pendekatan yaitu dengan melihat hirarki untuk wilayah yang terpisah jauh dan dengan menggunakan breaking point untuk wilayah yang terletak berdekatan yang digabungkan dengan aksesibilitas. Kota Surakarta sebagai kota hirarki pertama memiliki skala pelayanan yang mencangkup seluruh wilayah aglomerasi perkotaan Surakarta. Hal ini juga dipertegas dari hasil analisis kemampuan pelayanan sarana dimana Kota Surakarta memiliki persentase pelayanan >100%. Kecamatan Kartasura merupakan wilayah perkotaan sekitar Surakarta yang memiliki hirarki kedua ditinjau dari ketersediaan sarana perkotaan maupun jumlah commit to user penduduk. Berdasarkan analisis kemampuan pelayanan sarana, wilayah ini memiliki kemampuan untuk melayani wilayah lain yang ditunjukkan dengan persentase pelayanan 81 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id >100% untuk sarana kesehatan, perdagangan, dan pendidikan. Kecamatan Kartasura memiliki skala pelayanan eksternal yang mencakup kawasan perkotaan sekitar Surakarta yang memiliki hirarki perkotaan lebih kecil yang berada di bagian barat yaitu Kec. Colomadu, Kec. Baki, Kec. Ngemplak, Kec. Grogol, dan Kota Sukoharjo. Pengaruh Kota Kartasura masih terbatas pada wilayah bagian barat karena keberadaan kota inti. Kota inti yang berada di bagian timur Kec. Kartasura akan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap wilayah-wilayah yang berada di bagian timur. Meskipun skala pelayanan Kec. Kartasura sudah mencangkup wilayah yang berada di bagian barat, tetapi dikarenakan adanya factor jarak dan pengaruh keberadaan kota inti yang lebih besar maka skala pelayanan Kec. Kartasura sebagai wilayah hirarki kedua masih terbatas. Dibandingkan dengan menjalankan peran sebagai wilayah hirarki kedua yang berarti memenuhi kebutuhan pelayanan hirarki dibawahnya, Kec. Kartasura lebih berperan sebagai pendukung Kota Surakarta dalam artian mengurangi beban Kota Surakarta sebagai pusat pelayanan wilayah. Dikarenakan peran tersebut maka Kec. Kartasura akan berkembang sebagai secondary business distric yang melayani kebutuhan dari adanya arus suburbanisasi di main urban area. Kota Sragen, Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kota Boyolali, Kec. Mojolaban, dan Kec. Grogol merupakan wilayah hirarki ketiga di aglomerasi perkotaan Surakarta. Secara normative wilayah hirarki ketiga seharusnya memiliki jangkauan pelayanan yang mencangkup wilayah dengan hirarki di bawahnya yaitu Kec. Jaten, Kec. Ngemplak, Kec. Baki, dan Kec. Colomadu. Akan tetapi dikarenakan factor lokasi dan keberadaan wilayah yang hirarkinya lebih tinggi maka wilayah-wilayah tersebut tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Kota Sragen dan Kota Karanganyar yang berada di bagian timur seharusnya memiliki jangkauan pelayanan sampai Kec. Jaten, tetapi dikarenakan Kota Surakarta yang memiliki skala pelayanan lebih tinggi maka jangkauan pelayanan Kota Sragen menjadi nol, sedangkan jangkauan pelayanan Kota Karanganyar ada meskipun dengan proporsi yang sedikit. Begitu pula dengan jangkauan pelayanan Kec. Mojolaban, dikarenakan skala pelayanan Kota Surakarta lebih kuat maka jangkauan pelayanan ke Kec. Jaten menjadi lebih kecil. Kota Sukoharjo dan Kec. Grogol yang berada pada bagian selatan Kota Inti seharusnya memiliki jangkauan pelayanan meliputi Kec. Baki. Akan tetapi, karena Kec. Baki berada dekat dengan wilayah hirarki pertama (Kota Surakarta) dan wilayah hirarki kedua (Kec. Kartasura) maka jangkauan pelayanan Kota Sukoharjo dan Kec. Grogol ke Kec. Baki menjadi lebih kecil. Wilayah hirarki ketiga yang berada di bagian timur adalah Kota Boyolali, secara hirarki seharusnya kota ini mampu melayani Kec. Ngemplak, tetapi dikarenakan factor jarak commit to user dan lokasi maka Kec. Ngemplak lebih dapat dilayani oleh Kota Surakarta. 82 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kecamatan Jaten dan Kec. Ngemplak merupakan wilayah hirarki keempat yang berarti secara hirarki kedua wilayah tersebut seharusnya melayani Kec. Baki dan Kec. Colomadu yang merupakan wilayah hirarki terendah. Akan tetapi, dikarenakan keberadaan wilayah dengan hirarki lebih tinggi maka kedua wilayah tersebut telah dilayani Kota Surakarta, Kec. Kartasura, dan Kec. Ngemplak. Sehingga Kecamatan Jaten tidak menjalankan fungsi sesuai hirarkinya. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa seluruh wilayah dari aglomerasi perkotaan Surakarta telah terlayani oleh keberadaan pusat-pusat pelayanan yang ada, meskipun tidak sesuai dengan hirarki perkotaan yang ada akibat pengaruh jarak dan lokasi. Dalam hal ini, Kota Surakarta berperan sebagai penyedia pelayanan. Dalam tolok ukur kesesuaian ini juga disebutkan bahwa “sub pusat berfungsi mendukung pusat dalam pengembangan kawasan” yang berarti sub pusat juga harus memiliki kemampuan fertikal yaitu mendukung Kota Surakarta. Kemampuan ini dapat dilihat dari persentase kemampuan pelayanan sarana dari hasil analisis kemampuan pelayanan sarana. Sebagai kota inti, Surakarta memiliki 11 sub pusat yang memiliki kemampuan pelayanan sarana pendidikan, perdagangan, dan pendidikan. Masing-masing sub pusat akan dinilai mampu mendukung kota Surakarta jika pada hasil analisis kemampuan sarana memiliki nilai lebih dari 100% untuk setiap jenis sarana. Berdasarkan analisis kemampuan pelayanan sarana diperoleh 24 poin yang bernilai >100% dari 33 poin sehingga persentase pencapaian sub tolok ukur ini adalah 72,73%. Apabila persentase pencapaian dua sub tolok ukur tersebut digabung akan menghasilkan persentase pencapaian rata-rata 86,37%. Dengan demikian maka tolok ukur keempat yaitu “Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik telah terpenuhi 86,37%. 4.4.5 Kesesuaian berdasarkan Keberadaan Jaringan Jalan dan Moda Transportasi Umum Tolok ukur kesesuaian yang kelima berbicara tentang ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi yang menghubungkan pusat dan subpusat. Pusat dan sub pusat di aglomerasi perkotaan dihubungkan oleh jaringan jalan baik arteri, kolektor, dan local. Jaringan jalan tersebut memiliki nilai aksesibilitas yang relatif sama yaitu berkisar antara 0,06 sampai 0,18 yang menunjukkan bahwa akses masing-masing sub pusat ke pusat (Kota Surakarta) relatif mudah. Berdasarkan peninjauan lapangan mengenai kondisi jaringan jalan dan pengumpulan data kondisi jaringan jalan secara umum jaringan jalan penghubung utama telah memenuhi persyaratan jaringan jalan sesuai dengan fungsinya dilihat dari lebar, commit to user kecepatan minimal, dan kapasitasnya dengan persentase 94,38%. Dari 24 ruas jalan penghubung terdapat empat ruas jalan yang tidak memenuhi standar dengan panjang 7,10 Km 83 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan total panjang jalan 126,25 Km. Ruas jalan tersebut antara lain Jl. Veteran dan Jl. Ahmad Yani. Jl. Veteran merupakan jalan yang menghubungkan Kota Surakarta dengan Kec. Grompol maupun Kota Sukoharjo. Jalan Veteran tidak memenuhi standard karena lebar jalan efektif tidak sesuai dengan ketentuan jalan kolektor yang seharusnya memiliki lebar jalan efektif lebihdari samadengan 7 meter sedangkan Jl. Veteran hanya memiliki lebar efektif sebesar 5 meter. Sedangkan Jl. Ahmad Yani tidak memenuhi standar dilihat dari kapasitas jalan dan kecepatan minimal dimana seharusnya jalan arteri memiliki kecepatan minimal 60 Km/Jam, sedangkan kecepatan maksimal rata-rata pengguna kendaraan di Jl. Ahmad Yani adalah 40 Km/Jam. Sehingga apabila disimpulkan, pergerakan dari sub-sub pusat menuju Kota Surakarta maupun sebaliknya telah didukung oleh keberadaan jaringan jalan dengan akses yang relative baik, kecuali akses dari arah Kota Sukoharjo yang melewati jalan veteran yang sedikit terhambat pada jam-jam masuk dan keluar kerja. Moda transportasi yang menghubungkan pusat dan sub pusat juga telah tersedia. Untuk mencapai sub pusat yang berada di sekitar kota Surakarta, terdapat tempat-tempat pergantian moda yang terletak di Kota Surakarta baik yang berada di pusat kota maupun pinggiran kota. Sehingga akses pusat – sub pusat maupun antarsubpusat dapat dilakukan secara mudah apabila menggunakan moda transportasi pribadi maupun moda transportasi umum. Dengan demikian maka tolok ukur kelima yaitu “Pusat dan sub pusat yang dihubungkan sistem transportasi terpadu yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum” telah terpenuhi sebesar 94,38% pada jaringan jalan dan 100% pada ketersediaan moda transportasi umum. Sehingga rata-rata persentase pencapaian adalah 97,19%. 4.4.6 Kesesuaian berdasarkan Pola Ruang Tolok ukur kesesuaian pada aspek pola ruang berkaitan dengan pola ruang yang berkelanjutan. Pola ruang yang berkelanjutan adalah pola ruang yang tidak bersifat sprawl. Dengan melihat peta lahan terbangun dan tidak terbangun tersebut, pola ruang wilayah dapat dikenali secara jelas wilayah yang memiliki bentuk kompak ataupun sprawl. Dari duabelas wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta, terdapat 4 wilayah yang memiliki bentuk berkelanjutan karena tidak terbentuk sprawl dengan tipe linier maupun leapfrog development yaitu Kota Surakarta, Kota Sragen, Kota Boyolali, dan Kecamatan Kartasura. Masing-masing kota tersebut memiliki ciri penggunaan lahan yang berbeda, tetapi pola ruang yang terbentuk memiliki sifat keberlanjutan. Lahan terbangun Kota Surakarta merata di seluruh wilayah, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Ditinjau dari KDB dan KLB, wilayah bagian selatan commit to user Kota Surakarta memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian utara. Daerah Utara sebagai daerah hijau hunian berkepadatan rendah sedangkan daerah selatan 84 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id daerah perkotaan berkepadatan tinggi. Lahan terbangun di Kota Sragen terpusat di tengah wilayah yang merupakan jalan utama kota. Lahan terbangun di tengah kota ini dikelilingi oleh lahan pertanian sehingga secara sekilas menyerupai garden city, dimana lahan terbangun dikelilingi oleh sabuk hijau. Pola penggunaan lahan di Kota Boyolali cenderung terkonsentrasi di pusat wilayah, dan kemudian menurun intensitasnya sesuai dengan ketinggian wilayah karena factor kondisi fisik alami yang berupa perbukitan landai. Lahan terbangun di Kecamatan Kartasura terkonsentrasi di pusat wilayah yang dilalui oleh jaringan jalan arteri. Lahan terbangun di pusat wilayah tersebut memiliki intensitas yang sama baik untuk bagian utara. Secara keseluruhan pola ruang masing-masing wilayah tersebut dianggap berkelanjutan karena memiliki tipe perkembangan kompak yang tercermin dalam lokasi lahan terbangun yang kompak atau dekat satu sama lain dan adanya konsentrasi lahan terbangun, meskipun terdapat lahan terbangun yang terpisah, tetapi lahan terbangun yang terpisah tersebut memiliki proporsi jauh lebih kecil dibandingkan lahan terbangun yang terpusat. Sedangkan kedelapan wilayah yang lain seperti Kota Karanganyar, Kota Sukoharjo, Kec. Jaten, Kec. Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Baki, Kec. Colomadu, dan Kec. Ngemplak memiliki pola ruang berbentuk sprawl dimana lokasi lahan terbangun tidak terkonsentrasi pada satu titik. Lahan-lahan terbangun memiliki pola linier di jalan utama dan berbentuk leapfrog development pada wilayah-wilayah dalam. Pembangunan juga terjadi di sepanjang sungai yang dapat merusak sumberdaya alami berupa dataran banjir (floodplain) yang seharusnya merupakan wilayah konservasi. Kepadatan penduduk masing-masing wilayah juga relative rendah berkisar antara 18-40 jiwa/Ha dengan tipe hunian yang mayoritas berkoefisien lantai bangunan 1. Sehingga dari duabelas wilayah, hanya terdapat empat wilayah yang memiliki pola berkelanjutan sehingga persentase pencapaian tolok ukur dari aspek pola ruang adalah 33,33%. 4.4.7 Kesesuaian berdasarkan Daya Dukung Lahan Berdasarkan analisis penelitian, aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki daya tampung 8,6 juta jiwa dengan catatan penduduk tersebut tinggal pada rumah berkoefisien lantai bangunan(KLB) 3 dan sesuai dengan kemampuan lahan tanpa adanya rekayasa teknis dalam pembangunan rumah. Dipilihnya hasil perhitungan daya tampung dengan menggunakan scenario KLB 3 berdasarkan pertimbangan bahwa persyaratan suatu metropolitan yang berkelanjutan terkait dengan aspek bentuk kota (urban form) adalah adanya efisiensi pemanfaatan lahan (DPU, 2006) dan bentuk bangunan fungsional berstruktur kompak atau commit to user dekat satu sama lain (Jabbaren dalam Kusumantoro, 2007). Apabila efisiensi pemanfaatan lahan dipandang sebagai batasan pembangunan horizontal (linier) maka persyaratan bagunan 85 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berstruktur kompak adalah peluang pembangunan secara vertical sehingga apabila disintesiskan maka metropolitan yang berkelanjutan hendaknya membatasi pembangunan secara horizontal dan lebih mengembangkan pembangunan vertical (bangunan >1 lantai). Dengan melihat daya tampung tersebut, daya tampung lahan aglomerasi perkotaan Surakarta sudah memenuhi kesesuaian yang mendukung sebagai kawasan metropolitan. Dengan membandingkan pola penggunaan lahan eksisting dan pola penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahan, diketahui bahwa pola penggunaan lahan eksisting tidak memenuhi ketentuan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan, tetapi koefisien lantai bangunan saat ini masih memiliki potensi pengembangan vertical sehingga aglomerasi perkotaan Surakarta masih dapat menampung penduduk. Secara keseluruhan, daya dukung lahan aglomerasi perkotaan Surakarta memenuhi kesesuaian sebagai metropolitan yang berkelanjutan dengan persentase pencapaian 100% karena memiliki daya tampung lahan >1 juta penduduk dan masih dapat menampung penduduk tambahan >1 juta jiwa. Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan daya tampung lahan ini adalah jumlah maksimal penduduk yang dapat ditampung akan menentukan life-span atau waktu rentang lahan dalam mendukung keberlanjutan metropolitan. Dalam kasus ini, life span aglomerasi perkotaan Surakarta adalah sampai jumlah penduduk mencapai 8,6 juta jiwa. Agar aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki life span atau umur keberlanjutan yang lebih panjang maka perlu dilakukan peremajaan ruang kota, semakin cepat peremajaan dilakukan maka life span akan semakin panjang karena perkembangan dapat dikontrol sedini mungkin. Namun hendaknya upaya peremajaan ruang kota yang dilakukan juga memperhatikan konsep pemanfaatan kembali (recycling) dari sumberdaya kota (bangunan dan lingkungan) serta memanfaatkan kekhasan tempat (uniqueness) atau aspek lokalitas yang seharusnya menjadi ciri pembangunan di negara berkembang. Konsep pemanfaatan kembali (recycling) sendiri berakar dari pemikiran tentang keberlanjutan yang telah menjadi topic dalam Agenda 21. Dalam situasi social-politik yang kurang menguntungkan dan krisis ekonomi, pemikiran pemanfaatan kembali akan menjadi sangat relevan untuk menjamin kelestarian sumberdaya bagi generasi berikutnya di masa mendatang. 4.4.8 Kesesuaian berdasarkan Daya Dukung Sumber Daya Air Berdasarkan analisis daya tampung penduduk berdasarkan ketersediaan sumberadaya air diketahui bahwa jumlah maksimal penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya adalah 8,2 juta jiwa dengan pemenuhan kebutuhan penduduk 1,2 M3/penduduk/hari. Dengan commit to user demikian maka jumlah produksi air aglomerasi perkotaan Surakarta telah mendukung terbentuknya kawasan metropolitan karena memiliki daya dukung air >1 juta jiwa penduduk. 86 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Akan tetapi, apabila jumlah penduduk melebihi daya dukung air tersebut maka kawasan metropolitan yang terbentuk tidak dapat berkelanjutan. Dengan kata lain daya dukung sumber daya air hanya mampu mendukung keberlanjutan metropolitan sampai jumlah penduduk mencapai 8,2 jiwa dengan beberapa kondisi yaitu: - Jumlah debit air setiap sumber air tidak mengalami perubahan. - Tidak terdapat kegiatan yang dapat merusak sumber-sumber air internal aglomerasi perkotaan Surakarta. - Pertumbuhan penduduk seiring dengan pertumbuhan industri dan sarana prasarana perkotaan. - Sumber air di luar aglomerasi perkotaan Surakarta yang dapat dimanfaatkan tidak dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan neraca kesetimbangan lahan juga dapat diketahui bahwa ketersediaan air saat ini masih dapat menanggung kebutuhan 6 kali lipat dari kondisi sekarang. Akan tetapi, ketersediaan air dan jumlah penduduk yang dapat dilayani bisa menjadi kurang dari 8,2 juta jiwa jika terdapat kegiatan-kegiatan yang merusak tata air seperti kegiatan pembangunan yang berlebihan tanpa memperhatikan upaya konservasi maupun berkurangnya catchment area. Berbeda dengan upaya peningkatan daya tampung lahan, upaya peningkatan kapasitas sumberdaya air tidak dapat dilakukan sendiri melainkan diperlukan kerjasama antarwilayah. Daya dukung sumberdaya air juga memiliki life span seperti daya dukung lahan, life span keberlangsungan metropolitan Surakarta ini dapat bertambah jika dilakukan upaya konservasi air dan pemakaian sumberdaya air eksternal wilayah. Kedua tolok ukur kesesuaian daya dukung lingkungan tersebut mendeskripsikan bahwa daya dukung lahan dan air aglomerasi perkotaan Surakarta akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk sampai 8,2 jiwa, dengan rincian sebagai berikut: - Persentase lahan terbangun adalah 29,77% yang dimanfaatkan untuk perumahan dan non perumahan. Persentase lahan yang digunakan untuk perumahan adalah 14,88%. - Apabila lahan perumahan sebesar 14,88% digunakan untuk membangun rumah dengan koefisien lantai bangunan 1 maka daya tampung penduduk adalah 2,8 jiwa. Sedangkan apabila tipe rumah yang dibangun adalah rumah dengan koefisien lantai bangunan 3 dan >4 untuk 3 kelurahan di Kab. Sukoharjo maka jumlah penduduk yang dapat ditampung akan lebih dari 8,6 jiwa. Berdasarkan kemampuan lahan dan air maka jumlah penduduk yang dapat didukung adalah 8,2 juta jiwa sehingga pencapaian kesesuaian adalah 100%. commit to user 87 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 5 PEMBAHASAAN KESESUAIAN SEBAGAI METROPOLITAN BERKELANJUTAN 5.1 TINGKAT KESESUAIAN BERDASARKAN MASING-MASING ASPEK Dengan membandingkan kondisi eksisting dan tolok ukur kesesuaian yang telah disebutkan sebelumnya maka dapat dinilai kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta dari masing-masing aspek. Masing-masing persentase pencapaian tolok ukur yang telah disebutkan pada bab sebelumnya kemudian digunakan untuk menilai tingkat kesesuaian yaitu sesuai, cukup sesuai, dan kurang sesuai dengan ketentuan seperti yang telah disebutkan dalam metode penelitian. Dari aspek struktur ruang, kondisi struktur ruang eksisting dinilai sesuai untuk mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan dengan persentase pencapaian 93,36%. Terdapat beberapa tolok ukur yang memiliki persentase kesesuaian 100% dilihat dari telah terbentuknya struktur banyak pusat (polycentric), adanya kejelasan fungsi masingmasing wilayah, kemampuan pelayanan internal wilayah, dan ketersediaan moda transportasi umum. Meskipun persentase pencapaian tolok ukur ketiga dinilai sesuai, tetapi persentase ini merupakan persentase rata-rata, apabila persentase pencapaian ini dilihat ke dalam masingmasing aspek maka akan dapat dilihat kelemahan dari kemampuan pelayanan sarana pendidikan yang hanya 50%. Sehingga perlu dilakukan peningkatan kemampuan pelayanan sarana pendidikan di enam wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta secara internal maupun eksternal wilayah. Sedangkan apabila ditinjau dari tolok ukur kelima yaitu ketersediaan jaringan jalan maka aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai telah sesuai dengan persentase kesesuaian 97,13%. Aglomerasi perkotaan Surakarta juga dinilai kurang sesuai dengan presentase kesesuaian 33,33% dilihat dari tolok ukur ke-6 yaitu memiliki pola ruang berkelanjutan. Dari duabelas wilayah hanya empat wilayah yang memiliki pola ruang berkelanjutan dan tidak sprawl. Dengan persentase pencapaian tolok ukur yang rendah tersebut, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pencapaian tolok ukur agar pola ruang yang ada dapat mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan. Dari aspek daya dukung lingkungan persentase pencapaian adalah 100% yang berarti kondisi eksisting daya tampung lahan dan sumberdaya air telah mampu mencukupi kebutuhan hingga >1 juta penduduk. commit to user 88 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 5.1 Persentase Kesesuaian berdasarkan Masing-masing Tolok Ukur No. 1 Tolak Ukur Struktur banyak pusat (polycentric) yang terdiri dari CBD dan beberapa pusat-pusat kegiatan atau sub pusat. Struktur perkotaan kawasan metropolitan memiliki kejelasan fungsi. Adanya pusat dan sub pusat di dalam masing-masing kota baik inti maupun satelit yang berfungsi melayani kota keseluruhan. Skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik yaitu mampu melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut. Pusat dan sub pusat yang dihubungkan system transportasi terpadu yaitu ketersediaan jaringan jalan dan moda transportasi umum. Memiliki pola ruang yang berkelanjutan. 2 3 4 5 6 7 Minimal 1 juta penduduk bisa ditampung di wilayah dan/atau kawasan, dengan pengertian masih dalam batas kemampuan lahan. 8 Minimal 1 juta penduduk masih bisa mendapatkan air baku untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber : Analisis Peneliti, 2012 Persentase Pencapaian (%) 100% Tingkat Kesesuaian Sesuai 100% 83,33% Sesuai Sesuai 86,37% Sesuai 97,19% Sesuai 33,33 % 100% Kurang Sesuai Sesuai 100% Sesuai Dengan melihat presentase pencapaian tolok ukur tersebut dapat dipahami bahwa secara struktur ruang, kondisi aglomerasi perkotaan Surakarta sudah mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan, dan dari aspek daya dukung lingkungan, aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki modal yang cukup. Akan tetapi, pola ruang yang terbentuk saat ini, tidak mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan karena memilki pola sprawl dan tidak sesuai dengan arahan penggunaan lahan. Apabila pola ruang eksisting terus mengalami perkembangan sesuai dengan tren perkembangannya maka akan mengancam keberlanjutan metropolitan yang terbentuk. 5.2 KEBERLANJUTAN STRUKTUR RUANG Berdasarkan analisis pada sub bab sebelumnya diketahui bahwa secara keseluruhan kondisi struktur ruang, pola ruang, dan daya dukung aglomerasi perkotaan Surakarta telah mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan karena telah memenuhi kriteria ideal metropolitan dan kriteria keberlanjutan dari aspek fisik. Meskipun secara keseluruhan, aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai sesuai sebagai metropolitan berkelanjutan, tetapi jika ditinjau dari masing-masing aspek akan menghasilkan penilaian yang berbeda. Berdasarkan tinjauan teori, metropolitan berkelanjutan hendaknya memiliki struktur ruang yang polycentric, terdapat kejelasan fungsi masing-masing wilayah, pusat dan subpusat memiliki skala layanan yang dapat didefinisikan dengan baik yaitu pusat kawasan harus mampu melayani seluruh wilayah sedangkan sub pusat berfungsi mendukung pusat dalam userinternal masing-masing pusat dan sub pengembangan kawasan metropolitan, commit dalam to skala pusat memiliki kemampuan pelayanan internal, pusat dan subpusat dihubungkan dengan 89 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id jaringan transportasi yang memudahkan penduduk dalam bermobilitas, metropolitan memiliki bentuk pola ruang yang berkelanjutan (tidak sprawl), dengan didukung oleh kemampuan daya dukung lingkungan. Dari aspek struktur ruang, aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai telah memenuhi kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjuta. Pada tahap ini, aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki struktur banyak pusat (polycentric) dengan sebuah sebuah kota inti. Masingmasing wilayah juga telah memiliki kejelasan fungsi dimana kota-kota satelit berfungsi sebagai pusat pelayanan kabupaten, sedangkan kawasan perkotaan Surakarta sebagai wilayah yang menampung arus suburbanisasi serta mendukung kota inti dalam hal pelayanan. Masingmasing sub pusat telah memiliki spesifikasi fungsi dominan tertentu yaitu pusat industry, dormitory town, dan pusat perdagangan sedangkan kota inti berfungsi sebagai Central Business District (CBD). Dengan adanya kejelasan fungsi masing-masing pusat ini maka terbentuk sinergi yang kuat antarwilayah, karena masing-masing wilayah akan terkait dalam suatu hubungan simbiosis yang saling menguntungkan dan saling bergantung. Sebagai contohnya adalah peningkatan kebutuhan hunian di kota inti yaitu Kota Surakarta dapat dipenuhi di kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai dormitory town seperti Kecamatan Mojolaban, Kec. Grogol, Kec. Colomadu, Kecamatan Baki, dan Kecamatan Ngemplak, sehingga dormitory town berfungsi sebagai penampung arus suburbanisasi. Adanya wilayah yang berfungsi sebagai dormitory town memberikan dampak positif bagi kota inti karena mencegah timbulnya permukiman-permukiman kumuh dan illegal yang biasa terjadi akibat meningkatnya kebutuhan hunian di perkotaan. Yang menjadi catatan utama adalah apabila terjadi permukiman kumuh di metropolitan maka akan mengancam keberlanjutan metropolitan tersebut karena akan muncul pencemaran-pencemaran lingkungan, pemborosan sumberdaya, dan peningkatan intensitas lahan yang dapat menimbulkan kejenuhan di wilayah metropolitan tersebut. Sebagai dampak dari kejenuhan tersebut adalah ruang perkotaan akan menjadi tidak lifeable lagi sehingga keberlanjutannya tidak dapat dipertahankan. Adanya wilayah-wilayah yang berfungsi sebagai dormitory town akan menghindarkan dari kejenuhan ruang kota dan menjamin keberlanjutan ruang metropolitan Surakarta. Adanya wilayah yang berfungsi sebagai kawasan industry juga memberikan dampak positif karena kegiatan industry dapat dialokasikan di satu wilayah sehingga dampak pencemaran yang mungkin muncul dapat dikendalikan dengan mudah dan mencegah kerusakan lahan-lahan pertanian potensial. Spesialisasi masing-masing wilayah tersebut juga telah didukung dengan adanya kemampuan pelayanan internal wilayah, dimana masing-masing wilayah telah mampu memenuhi commit to user kebutuhan internalnya pada sarana perdagangan dan kesehatan, meskipun kemampuan pelayanan sarana pendidikan di enam wilayah masih bergantung pada wilayah lain. 90 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kejelasan fungsi serta kemampuan pelayanan masing-masing pusat dan subpusat juga menunjukkan bahwa skala layanan pusat dan sub pusat terdefinisikan dengan baik sesuai dengan tolok ukur keempat yaitu pusat kawasan berfungsi melayani seluruh kawasan metropolitan dan sub pusat berfungsi mendukung pusat. Dengan melihat fungsi masingmasing wilayah serta kemampuan pelayanannya terlihat bahwa pusat yaitu Kota Surakarta dapat memerankan fungsinya sebagai pusat pelayanan wilayah dengan baik dilihat dari fungsinya sebagai Central Business District serta kemampuan pelayanan sarana perkotaan yang mampu menjangkau seluruh wilayah. Sedangkan sub-sub pusat mendukung pusat dengan menyediakan ruang untuk mengakomodasi kebutuhan pusat sekaligus membantu pusat dalam menjalankan fungsinya yang dibuktikan dengan adanya pusat perdagangan kedua yang diprediksikan akan menjadi Secondary Business District dan munculnya Tertiary Business District yaitu Kecamatan Grogol yang mengakomodasi aktivitas hunian, perdagangan dan jasa, serta industry. Kejelasan fungsi masing-masing wilayah tersebut juga akan mengakibatkan persebaran perkembangan wilayah sehingga perkembangan wilayah tidak terpusat di satu titik, melainkan menyebar ke segala arah sesuai dengan kriteria pembangunan berkelanjutan dari aspek ekonomi yaitu Growth Development dan Productivity Trickling Down. Meskipun kriteria berkelanjutan dari aspek ekonomi tidak dibahas dalam penelitian ini, tetapi dengan melihat adanya kejelasan fungsi masing-masing wilayah dapat diprediksikan akan terjadi persebaran perkembangan wilayah karena masing-masing wilayah saling bergantung. Dengan adanya perkembangan wilayah yang merata maka beban pembangunan dapat didistribusikan secara merata sehingga daya dukung masing-masing wilayah tidak terancam. Kejelasan fungsi masing-masing wilayah akan mempermudah arah pengembangan wilayah yang dapat disesuaikan dengan daya dukung lingkungan yang dimilikinya sehingga pengendalian juga dapat dilaksanakan dengan mudah dan keberlanjutannya dapat terjamin. Kejelasan fungsi masing-masing pusat wilayah di aglomerasi perkotaan Surakarta juga telah didukung dengan jaringan jalan dan moda transportasi umum yang memungkinkan penduduk dapat melakukan mobilitas pekerjaan, perumahan, dan perjalanan. Sebagaimana disebutkan dalam tinjauan teori bahwa karakter metropolitan dari sisi kemudahan mobilitas adalah adanya kemudahan mobilitas pekerjaan yaitu mudahnya berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal, mobilitas perumahan yang biasanya mengikuti perubahan tempat kerja, dan mobilitas perjalanan. Dalam aglomerasi perkotaan Surakarta ketiga jenis mobilitas tersebut telah diakomodasi dengan baik oleh jaringan jalan penghubung dan moda commit to user transportasi umum yang menghubungkan antarwilayah sehingga masyarakat dapat melakukan pergerakan dengan mudah dari wilayah satu ke wilayah lain maupun internal wilayah dengan 91 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id destinasi yang berbeda-beda. Penggunaan moda transportasi umum yang telah tersedia juga akan mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan karena akan menghemat sumberdaya energy, mengurangi emisi gas pembuangan kendaraan pribadi, dan menghemat penggunaan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Apabila dibandingkan, pengalihan kendaraan pribadi ke moda transportasi umum akan lebih efisien jika dibandingkan dengan peningkatan kapasitas jalan bagi pergerakan dengan kendaraan pribadi karena meminimalisir pembebasan lahan. Pembebasan lahan sendiri dapat mengakibatkan berkurangnya daerah resapan yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu wilayah terkait berkurangnya kemampuan lahan dalam menyerap air dan memenuhi kebetuhan hunian penduduk. Sehingga dapat dipahami bahwa penggunaan moda transportasi umum akan mendukung keberlanjutan wilayah metropolitan dari segi transportasi. Akan tetapi, jika kondisi jaringan jalan dan moda transportasi umum tidak mengalami peningkatan atau tidak dilakukan upaya-upaya pengendalian maka dapat dipastikan bahwa mobilitas pusat dan subpusat akan terganggu dan menjadi kelemahan utama dari struktur ruang metropolitan Surakarta yang akan terbentuk. Secara keseluruhan, keberlanjutan struktur ruang aglomerasi perkotaan telah terjamin dengan catatan perlu adanya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan pengalihan ke moda transportasi umum yang telah tersedia. 5.3 KEBERLANJUTAN POLA RUANG Ditinjau dari aspek daya dukung lingkungan, daya dukung lahan dan sumberdaya air aglomerasi perkotaan Surakarta mampu mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan dengan life-span hingga 8,2 juta jiwa penduduk. Akan tetapi, jika daya dukung lingkungan ini kemudian dikaitkan dengan pola ruang eksisting maka pola ruang eksisting tidak sesuai dengan persyaratan agar daya dukung lingkungan mencapai life-span 8,2 juta jiwa sehingga daya dukung lingkungan di masa yang akan datang tidak akan sampai pada life span dengan batasan 8,2 juta jiwa. Pola ruang eksisting cenderung acak di delapan wilayah yang dapat mengakibatkan pemborosan sumberdaya untuk pembangunan infrastruktur dan mengurangi daerah resapan air. Selain itu, perkembangan wilayah yang cenderung linier dengan koefisien dasar bangunan yang tinggi serta koefisien lantai bangunan yang rendah berakibat munculnya kawasan terbangun massif yang mengurangi penyerapan air tanah dan meningkatkan debit run off air permukaan. Kondisi ini selain mengurangi cadangan air tanah juga akan menimbulkan potensi banjir yang semakin besar terutama di sekitar wilayah DAS Bengawan Solo dan anak commit to user sungainya. Tingginya potensi banjir akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan arahan 92 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id daya dukung lingkungan akan membahayakan hunian-hunian yang berada di dataran banjir yang telah ada sebelumnya. Peningkatan lahan terbangun secara horizontal dan acak, kerusakan lingkungan akibat pembangunan yang massif, serta keterbatasan lingkungan itu sendiri akan mengurangi daya dukung lingkungan aglomerasi perkotaan Surakarta sehingga keberlanjutan metropolitan menjadi kurang terjamin. Sehingga dapat dipahami bahwa meskipun daya dukung lingkungan mendukung terbentuknya metropolitan berkelanjutan, tetapi dikarenakan pola perkembangan wilayah yang tidak diarahkan vertical dan cenderung sesuai dengan tren perkembangan saat ini yaitu perkembangan horizontal dan acak maka keberlanjutan aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan tidak dapat terjamin. Agar metropolitan Surakarta yang nantinya terbentuk memiliki keberlanjutan dan lifespan yang panjang, hendaknya pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan arahan kemampuan lahan sehingga daya dukung lingkungan tidak menurun. Dengan melihat karakteristik perkembangan wilayah yang memusat di Kota Surakarta kemudian merembet ke luar sesuai dengan jaringan jalan dan terdapat beberapa perkembangan acak hendaknya perkembangan wilayah lebih diarahkan ke bentuk Satellite and Neighbourhood Plans dengan bentuk Stellar atau Radial Continuous Plans di bagian pusat (main urban area). Berdasarkan tinjauan teori yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, kedua bentuk ruang kota ini dinilai berkelanjutan. Bentuk kota ini juga memberikan keuntungan bagi metropolitan yang akan terbentuk karena akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan, menjamin keberadaan ruang-ruang terbuka hijau, akan terjalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien, serta adanya pusat-pusat pelayanan kedua yang dapat mendukung kota inti. Keberadaan ruang-ruang terbuka hijau berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi, dan tempat olahraga, dan yang paling penting adalah sebagai daerah resapan air sehingga daya dukung sumberdaya air dapat dipertahankan. Dengan menggunakan bentuk Satellite and Neighbourhood Plans dengan bentuk Stellar atau Radial Continuous Plans di bagian pusat (main urban area) maka perkembangan kota inti (Kota Surakarta) dapat diarahkan ke bentuk kompak kemudian memiliki tangan-tangan sepanjang jalan utama yang menghubungkan kota inti dengan pusat kawasan perkotaan di sekitarnya yang berfungsi sebagai pusat-pusat pelayanan kedua. Kawasan inilah yang disebut main urban area. Main urban area berupa kawasan terbangun yang dikelilingi oleh sabuk hijau dengan luasan sesuai dengan analisis daya dukung lahan. Kawasan perkotaan yang berkembang di sekitar Surakarta dikembangkan untuk memecah kepadatan di kota inti dan commit to user menampung arus suburbanisasi, kawasan ini dapat dikembangkan berdasarkan fungsi-fungsi tertentu seperti industrial zone, pusat perdagangan kedua, dormitory zone, dll. 93 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sedangkan jalinan antara kota satelit dan kota inti berbentuk Satellite and Neighbourhood Plans, dimana main urban area dan kota satellite dihubungkan oleh jaringan jalan dan moda transportasi umum. Kota-kota satelit berfungsi sebagai pusat pelayanan kabupaten sehingga fungsi wilayahnya tidak sekedar dormitory town bagi penglaju saja, tetapi juga berfungsi sebagai kota otonom yang mampu menyediakan lapangan kerja dan pelayanan fasilitas. Kota-kota satelit memiliki bentuk yang berkelanjutan sesuai dengan tipe perkembangan wilayahnya. Kota Sragen memiliki bentuk yang berkelanjutan seperti kondisi eksistingnya saat ini, dimana lahan terbangun terletak di pusat kota yang dikelilingi oleh kawasan pertanian (lahan terbuka hijau) yang sekilas mirip dengan konsep garden city. Kota Boyolali memiliki bentuk ruang berkelanjutan dengan bentuk padat di tengah, dalam artian intensitas penggunaan lahan tertinggi berada di pusat kota yang memiliki kemiringin lereng relative rendah dibandingkan bagian kota yang lain. Sedangkan bagian kota yang lain dapat dikembangkan sebagai daerah terbuka hijau dengan persentase luas sesuai dengan hasil analisis kemampuan lahan. Bentuk kota yang disarankan untuk Kota Karanganyar dan Sukoharjo juga sama dengan bentuk kota Sragen dan Boyolali yaitu padat di tengah. Bentuk ini dipilih untuk meminimalisirnya adanya pertumbuhan loncat katak (sprawl) yang menyebabkan pembangunan tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Luas lahan terbangun, luas lahan tidak terbangun, arahan ketinggian bangunan, dan jumlah penduduk di masing-masing wilayah dalam aglomerasi perkotaan Surakarta dibatasi berdasarkan daya dukung lingkungan seperti yang tercantum dalam model ruang. Akan tetapi, kondisi tersebut dapat ditingkatkan jika melibatkan rekayasa teknis, tetapi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Perlu digarisbawahi, kunci keberhasilan penerapan model ruang ini adalah adanya perubahan orientasi pengembangan wilayah dari horizontal ke vertical serta penerapan kebijakan yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali perkembangan wilayah. Ilustrasi model ruang yang disarankan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. commit to user 94 Gambar 5.1 Model Ruang Aglomerasi Perkotaan Surakarta yang Disarankan Sumber : Hasil Sintesa Analisis, 2012 95 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 96 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 6 PENUTUP 6.1 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disebutkan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarata telah memenuhi kriteria sebagai metropolitan berkelanjutan. Aglomerasi perkotaan Surakarta memiliki struktur berbentuk polycentric, masing-masing pusat dan subpusat telah memiliki kejelasan fungsi dan mampu melayani kebutuhan internal wilayah, kota inti atau sub pusat telah memiliki skala pelayanan yang mencangkup keseluruhan wilayah dan sub pusat telah memiliki fungsi yang mendukung kota inti, dan pusat dan sub pusat telah dihubungkan oleh jaringan jalan dan moda transportasi umum yang memudahkan mobilitas penduduk baik mobilitas pekerjaan, perumahan, dan pekerjaan. Dari aspek daya dukung lingkungan, aglomerasi perkotaan Surakarta mampu mendukung penduduk sampai 8 juta jiwa dengan catatan tanpa adanya rekayasa teknis, dan jumlah ini dimungkinkan mengalami kenaikan jika dilakukan pelibatan rekayasa teknis. Akan tetapi, apabila ditinjau dari pola ruang, pola ruang eksisting, aglomerasi perkotaan Surakarta kurang sesuai sebagai metropolitan berkelanjutan karena bersifat sprawl. Meskipun berdasarkan penilaian masing-masing aspek terdapat dua aspek yang mendukung terbentuknya metropolitan yang berkelanjutan, tetapi belum dapat dipastikan apakah metropolitan yang terbentuk memilki keberlanjutan atau life-span yang lama. Keberlanjutan metropolitan tergantung pada interaksi kecenderungan perubahan pola dan struktur ruang terhadap daya dukung lingkungan. Struktur ruang aglomerasi perkotaan Surakarta dinilai memiliki keberlanjutan karena telah memilki kejelasan struktur. Akan tetapi, kondisi jaringan jalan dan moda transportasi umum dalam aglomerasi perkotaan Surakarta dapat menjadi kelemahan utama struktur ruang di masa yang akan datang jika tidak dilakukan upaya pembatasan kendaraan pribadi dan pengalihan ke pemakaian moda trasnportasi umum. Sedangkan keberlanjutan dari aspek pola ruang menjadi tidak terjamin karena pola ruang eksisting saat ini tidak sesuai dengan pola ruang yang berkelanjutan dan tidak sesuai dengan arahan penggunaan lahan berdasarkan daya dukung lingkungan. Perkembangan pola ruang yang tidak sesuai dengan arahan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan mengakibatkan pola ruang kurang berkelanjutan dan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan jika tren perkembangan lahan di masa yang akan datang mengikuti tren commit to user perkembangan saat ini yaitu perkembangan horizontal dan acak. Sehingga keberlanjutan 96 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan berkelanjutan kurang terjamin dari aspek pola ruang yang diikuti penurunan daya dukung lingkungan. Sehingga secara keseluruhan dapat disimpulkan, untuk menjadi sebuah metropolitan berkelanjutan, aglomerasi perkotaan Surakarta telah memiliki struktur ruang yang mendukung, tetapi memiliki kelemahan pada pola ruang yang diikuti penurunan daya dukung lingkungan. 6.2 REKOMENDASI 6.2.1 Rekomendasi untuk Mewujudkan Metropolitan Berkelanjutan Dengan melihat hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa kelemahan dalam mewujudkan metropolitan berkelanjutan di aglomerasi perkotaan Surakarta terletak pada pola ruang dan kecenderungannya yang diikuti penurunan daya dukung lingkungan. Untuk mewujudkan metropolitan berkelanjutan maka diperlukan upaya penataan lokasi bermukim agar tidak terbentuk sprawl dan peremajaan wilayah untuk mengurangi kejenuhan ruang kota dan meningkatkan daya tampung penduduk. Dari aspek struktur ruang diperlukan upaya peningkatan ketercapaian tolok ukur melalui peningkatan kemampuan pelayanan internal wilayah, pengalihan penggunaan transportasi pribadi ke massal dan peningkatan kapasitas jaringan jalan untuk mendukung penggunaan transportasi umum. Pengimplementasian beberapa upaya peningkatan ketercapaian tolok ukur tersebut juga perlu diimbangi dengan pembuatan peraturan tata ruang metropolitan dan upaya pengendalian agar pembangunan dapat terarah sehingga menjamin keberlanjutan metropolitan yang terbentuk. Perencanaan yang matang juga harus diimbangi dengan perancangan ruang metropolitan (urban design) dalam rangka peningkatan daya tampung dan life span. Dalam pemuatan perencanaan dan perancangan ini harus dilakukan melalui kerjasama antarwilayah. Peningkatan life-span atau usia keberlanjutan juga diperlukan untuk menjamin keberlangsungan metropolitan sampai ke beberapa generasi yang akan datang. Peningkatan life-span dapat dilakukan dengan pengoptimalan potensi internal wilayah maupun melakukan ekspansi wilayah sehingga dapat menggunakan potensi wilayah tersebut. Apapun opsi yang dipilih, hendaknya pertimbangan daya dukung lingkungan selalu dijadikan pertimbangan utama sebelum melakukan pengembangan wilayah. 6.2.2 Rekomendasi bagi Pengembangan Ilmu Untuk mengembangkan khasanah keilmuan, peneliti memberikan saran agar penelitian ini dapat dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam tentang, commit to user - Kesesuaian aglomerasi perkotaan Surakarta sebagai metropolitan yang berkelanjutan jika rekayasa teknis digunakan. 97 perpustakaan.uns.ac.id - digilib.uns.ac.id Penilaian kesesuaian berdasarkan aspek ekonomi, social dan budaya. Berdasarkan teori pembangun berkelanjutan diketahui bahwa tiga pilar pembangunan berkelanjutan adalah fisik lingkungan, ekonomi, dan social budaya. Penelitian ini, terbatas pada keberlanjutan dari aspek fisik lingkungan, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kesesuaian dari aspek ekonomi dan social budaya. Penelitian lanjutan dari aspek ekonomi dan social budaya akan menjadikan penialian kesesuaian sebagai metropolitan berkelanjutan lebih komprehensif. - Penilaian kesesuaian dengan melibatkan wilayah peri urban dan memperluas lokus penelitian. commit to user 98