AMPLIFIKASI GEN SULFOHYDROLASE PADA Eucheuma cottonii DENGAN DESAIN PRIMER DARI Chondrus crispus Naskah Publikasi Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh Shoffi Nur Malihah M0404015 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 2 PERSETUJUAN NASKAH PUBLIKASI AMPLIFIKASI GEN SULFOHYDROLASE PADA Eucheuma cottonii DENGAN DESAIN PRIMER DARI Chondrus crispus Oleh : Shoffi Nur Malihah NIM. M0404015 telah disetujui untuk dipublikasikan Surakarta, ………………………………. Menyetujui Pembimbing I Pembimbing II Prof. Drs. Sutarno, M.Sc, PhD NIP. 131 649 948 Dr. Wahyu Purbowasito NIP. 680 001 755 Mengetahui Ketua Jurusan Biologi Dra. Endang Anggarwulan, M.Si NIP. 130 676 864 3 AMPLIFIKASI GEN SULFOHYDROLASE PADA Eucheuma cottonii DENGAN DESAIN PRIMER DARI Chondrus crispus SHOFFI NUR MALIHAH Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan penggunaan primer yang didesain menggunakan data sekuens DNA gen sulfohydrolase dari C. crispus untuk mengamplifikasi gen sulfohydrolase yang terdapat pada E. cottonii, mengetahui sekuens DNA dari gen tersebut dan mengetahui ada tidaknya perbedaan antara sekuens DNA gen sulfohydrolase yang terdapat pada C. crispus dengan yang terdapat pada E. cottonii. Metode yang dipergunakan adalah dengan mengisolasi RNA dari E. cottonii, membuat cDNAnya dan mengamplifikasi gen sulfohydrolase pada tanaman ini melalui OneStep RT-PCR ( Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction dalam satu tahapan berkesinambungan) dengan menggunakan primer yang spesifik untuk gen sulfohydrolase hasil desain dari data sekuens DNA gen sulfohydrolase pada C. crispus. Pita DNA yang diperoleh kemudian dirunut urutan basanya melalui sequencing dengan Applied Biosystems 3130 Genetic Analyzer. Pengujian perbedaan urutan basa gen sulfohydrolase pada kedua spesies ini dilakukan melalui reaksi digesti dengan enzim restriksi FastDigest BamHI. Proses OneStep RT-PCR dapat menghasilkan pita DNA baik menggunakan cetakan mRNA maupun cetakan total RNA dari E. cottonii. Ukuran pita yang diperoleh adalah sekitar 400bp , lebih besar dibandingkan dengan perkiraan ukuran pada C. crispus yang dibuat desain primernya. Untuk memastikan pita tersebut adalah pita dari gen sulfohydrolase dilakukan perunutan sekuens DNA dan pemotongan produk PCR dengan restriksi enzim. Sekuen DNA gen sulfohydrolase pada E. cottonii belum berhasil didapatkan, karena proses separasi pita DNA produk RT-PCR yang belum sempurna menyebabkan penumpukan pembacaan pada elektroferogram. Belum dapat dipastikan apakah pita yang diperoleh melalui RT-PCR pada sampel E. cottonii adalah benar gen sulfohydrolase yang dimaksud. Melalui pemeriksaan digesti dengan menggunakan enzim restriksi FastDigest BamHI, didapat dua potongan, dengan panjang 300 bp dan 100 bp yang sama dengan panjang potongan pada C.crispus. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kemungkinan : produk PCR yang berhasil diamplifikasi dengan primer sulfohydrolase adalah benar gen yang dimaksud, akan tetapi terdapat perbedaan ukuran dan urutan basa gen antara yang terdapat pada C. crispus dengan yang terdapat pada E. cottonii atau produk yang berhasil diamplifikasi dengan primer sulfohydrolase adalah bukan gen yang dimaksud. Kata kunci : Gen Sulfohydrolase, desain primer, Chondrus crispus, Eucheuma cottonii, OneStep RT-PCR 4 Pendahuluan Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) adalah salah satu jenis rumput laut yang potensial untuk dibudidayakan sebab memiliki nilai ekonomis penting sebagai penghasil kappa karaginan. Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari ekstrak alga, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan sebagainya (Fennema, 1996). Kandungan karaginan sangat bervariasi tergantung musim, spesies dan habitat. Syamsuar (2006) melaporkan bahwa kandungan dan komposisi karaginan juga dipengaruhi oleh jenis rumput laut, fase ( tingkat pertumbuhan ) dan umur panen. Pada umur 50 hari, E. cottonii menunjukkan kadar rendemen karaginannya yang tertinggi. Menurut Syahputra (2005), kandungan karaginan dari Indonesia termasuk terendah (61,5%) dibanding dengan jenis yang dibudidayakan di Tanzania yang bisa mencapai 72,8%. Untuk itu diperlukan usaha pemuliaan E. cottonii guna memperoleh tingkat rendemen yang tinggi. E. cottonii merupakan rumput laut yang masuk ke dalam ordo Gigartinales. Ordo ini merupakan floridean (termasuk dalam sub kelas Florideophycidae) dengan talus yang hidup bebas berupa tetrasporofit. Meskipun tetrasporofit ini akan menghasilkan tetraspora dan membentuk gametofit, namun sejauh ini, belum terdapat publikasi tentang pemuliaan E. cottonii melalui jalan hibridisasi seksual.. Pemuliaan E. cottonii memerlukan pendekatan bioteknologi karena pemuliaan melalui jalan hibridisasi seksual belum dapat dilakukan. Wong dan Craigie (1978) menunjukkan bahwa perubahan µ-karaginan (prekursor kappa karaginan) menjadi kappa karaginan dikatalisasi oleh enzim sulfohydrolase. Teknik biologi molekuler akan menawarkan solusi untuk meningkatkan mutu bibit E. cottonii dengan rekayasa dan over ekspresi dari gen sulfohydrolase ini sehingga diharapkan dapat diperoleh bibit baru yang memiliki kemampuan mengkonversi lebih banyak kappa karaginan ( Cheney & Duke, 1995). Proses over ekspresi gen dilakukan dengan tahap-tahap kloning gen, pembuatan konstruk, dan transformasi gen. Pada tahapan kloning gen, diperlukan informasi yang tepat mengenai urutan sekuen DNA gen tersebut diantaranya 5 untuk penentuan jenis enzim restriksi yang akan digunakan untuk memotong gen tersebut dari genomnya, penentuan ATG, pembuatan konstruk dan sebagainya ( Lewin, 1987 ). Genicot, et al (2003) telah mendaftarkan paten sekuens (baik asam amino maupun DNA gen) enzim ini pada tahun 2003, namun sekuens tersebut merupakan sekuens dari Chondrus crispus, sesama alga yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat pada tingkat ordo (Gigartinales) dengan E. cottonii. Dengan menggunakan data sekuens DNA gen ini dari C. crispus sebagai acuan untuk desain primer, diharapkan dapat diperoleh sekuens DNA gen ini pada E. cottonii, dan data ini dapat digunakan untuk melakukan over ekspresi gen tersebut sehingga kualitas dan kuantitas bibit E. cottonii sebagai penghasil karaginan Indonesia dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah primer yang didesain dari data sekuens DNA gen sulfohydrolase dari C. crispus dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen sulfohydrolase yang terdapat pada E. cottonii, mengetahui sekuens DNA gen sulfohydrolase pada E. cottonii dan membandingkan sekuens DNA gen sulfohydrolase antara yang terdapat pada C. crispus dengan yang terdapat pada E. cottonii. Bahan dan Metode A. Bahan Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini: 1. Bahan perlakuan : Talus Eucheuma cottonii yang disediakan oleh Lab Pertanian BPP Bioteknologi BPPT Serpong, Tangerang. 2. Bahan Kimia : Primer 18s rRNA dari Kappaphycus alvarezzi ( Eucheuma cottonii ), Primer untuk Gen Sulfohydrolase yang didesain dari Chondrus crispus, RNeasy Plant Mini Kit [QIAGEN], Nitrogen cair (LN2), Dry Ice, Oligotex mRNA Mini Kit [QIAGEN], AccuPower® RT/PCR PreMix Kit [Bioneer], Agarose, Buffer TAE 1X, Sybr Safe[INVITROGEN Molecular probes], Marker ( ddH2O, GeneRuller 1 kB DNA Ladder, 6X Loading Dye Solution) [FERMENTAS], DEPC-treated water 0,1% v/v [MP Biomedichals,Inc], DEPC (Diethyl Pyrocarbonate), Purifikasi gel/ PCR DNA fragment extraction Kit [GeneAid], EtOH absolut, EtOH 70% [Merck], FastDigest BamHI [FERMENTAS], β- mercaptoethanol [Merck], 6 NaOAc 3M pH 7, EDTA 125 mM, Alumunium foil, The BigDye Terminator V.3.1 Cycle Sequencing Kit. B. Cara Kerja 1. Persiapan Kerja, Bahan dan Alat Persiapan bahan ini meliputi penyiapan talus E. cottonii yang akan digunakan sebagai sumber RNA. Segera setelah dipanen, talus dicuci bersih dengan air laut, dipotong kecil-kecil dengan menggunakan gunting dan pinset yang steril, dimasukkan ke dalam sterofoam dan disiram dengan Nitrogen cair. Setelah mengeras, potongan talus itu segera dipindahkan ke dalam kantong plastik berklip dengan bantuan pinset steril, dilabel dan disegel. Sesegera mungkin setelah proses ini selesai kantong berisi sampel tersebut disimpan di dalam dry ice (es kering). Untuk penyimpanan di laboratorium, sampel disimpan di suhu -80ºC. Persiapan alat meliputi penyiapan alat gelas, alat plastik, dan tabung mikrosentrifuse. Semua alat tersebut direndam dalam dH2O yang mengandung DEPC dengan konsentrasi 0,1% v/v. Dibiarkan selama semalam, air ditiriskan dari alat, lalu alat dan air sisa perendaman diautoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 55º selama 2 hari dan alat-alat siap digunakan. 2. Ekstraksi total RNA Talus Eucheuma cottonii Ekstraksi total RNA berdasarkan metode RNeasy Plant Mini Kit dari QIAGEN. Total RNA hasil ekstraksi ini kemudian di ukur konsentrasinya dan diukur kemurniannya (A260/280) dengan menggunakan bantuan Nanodrop spektrofotometer. 3. Purifikasi poly(A)+ RNA (mRNA) dari total RNA Purifikasi poly(A)+ RNA (mRNA) dari total RNA berdasarkan metode Oligotex mRNA Mini Kit dari QIAGEN. 4. One-step RT-PCR ( RT-PCR dalam satu tahap) Metode yang dipakai adalah metode dari AccuPower® RT/PCR PreMix dari Bioneer. Komponen RT-PCR sudah dipersiapkan di dalam kit ini sebagai campuran siap pakai berwujud lyophilized dan berwarna biru akibat 7 penambahan tracking dye. Komponen RT-PCR tersebut meliputi : M-MLV ( Moloney- Murine Leukemia Virus ) Reverse Transcriptase, DNA polymerase termostabil, dNTPs, dapar reaksi, penghambat RNase, suatu cairan penanda migrasi ( tracking dye), dan suatu penstabil. Kit ini digunakan untuk sintesis cDNA dari salinan RNA yang rendah ( http://eng.bioneer.com/ , 2008 ). Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen pengkode sulfohydrolase I adalah : FSH I 5’-GGCTCACCTACGTTCTTTTG-3’ dan RSH I 5’-AGACCTACTCAACCTTCCTG-3’. Sedangkan sebagai kontrol ekspresi gen digunakan kontrol 18s rRNA dengan urutan berikut : F_alv 18s rRNA 5’-CAACCTGGTTGATCCTGCCAGT-3’ dan R_alv 18s rRNA 5’-GTAGGTGAACCTGCAGAAGGATC-3’. Tabel 1. Rumus volume reaksi untuk Onestep RT-PCR dengan AccuPower® RT/PCR PreMix dari Bioneer : Nama reaksi Template Nama primer Forward Reverse RNase- Volume RNA yang primer primer free total digunakan (10 µM ) (10 µM ) water reaksi 2 µL 2 µL 11 µL 20 µL 2 µL 2 µL - 20 µL 2 µL 2 µL 11 µL 20 µL 2 µL 2 µL - 20 µL Total Gen Pengkode RNA : Sulfohydrolase Sulfohydrolase 5 µL I mRNA : 16 µL Total Kontrol RNA : 18s rRNA 18s rRNA 5 µL Kappaphycus mRNA : 16 µL alvarezii Proses RT-PCR dilakukan menggunakan mesin PCR dengan tahapan : Transkripsi Balik: 42ºC selama 60 menit; Inaktivasi reverse transcriptase / PraPCR : 94ºC selama 5 menit; Denaturasi : 94ºC selama 1 menit; Annealing : 55ºC, 60ºC (gradient) selama 1 menit; Ekstensi/ Polimerasi : 8 72ºC selama 1 menit; Siklus sebanyak 40 kali diakhiri; PascaPCR : 72ºC selama 10 menit Produk PCR yang diperoleh kemudian divisualisasikan melalui gel elektroforesis. 5. Pengujian Melalui Gel Elektroferesis Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan gel agarosa yang dibuat dengan konsentrasi 1% (b/v) [Fermentas Top Vision LE GQ Agarose] dengan agen pewarna adalah Sybr Safe[INVITROGEN Molecular probes].. Dalam proses pengujian dengan menggunakan gel elektroforesis, bahan yang harus disiapkan adalah sebagai berikut : Loading Dye ( mengandung Bromphenol Blue sebagai penanda laju migrasi dan sukrosa sebagai pemberat agar DNA tidak melayang –layang). Marker DNA ( dibuat dengan mencampur 60 µL ddH2O, 90 µL GeneRuller 1 kB DNA ladder, dan 30 µL 6X Loading Dye solution) sebanyak 6 µLuntuk sekali running elektroforesis. Sampel dicampur dengan loading dye, dimasukkan ke dalam sumuran pada agar, lalu tank ditutup dengan arah elektroda yang sesuai. Elektroforesis dimulai dengan running pada 100 volt selama 0,5 jam. Hasilnya dipaparkan di bawah UV transilluminator dan didokumentasikan. 6. Ekstraksi dan Pemurnian Gel Elektroforesis Pita DNA pada gel yang diperoleh dari elektroforesis produk RT-PCR dengan primer dari gen pengkode sulfohydrolase dipotong dari gel kemudian dimurnikan dengan menggunakan perangkat pemurnian Purifikasi gel/ PCR DNA fragment extraction Kit [GeneAid] . Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas DNA hasil pemurnian ini, dapat dilakukan pengukuran dengan Nanodrop spektrofotometer. 7. PCR untuk Reaksi Cycle Sequencing PCR untuk reaksi cycle sequencing menggunakan The BigDye Terminator V.3.1 Cycle Sequencing Kit [Applied Biosystems]. 9 Dibuat campuran berikut ini dalam tabung PCR 0,2 mL. 5X Buffer 2 µL FSH I (1,6 pmol) 2 µL BigDye V.3.1 2 µL Rnase-free water 3 µL template DNA 1 µL + 10 µL Semua bahan dicampur dengan pipet, lalu di spin down. Mesin PCR di set dengan program berikut : PraPCR : 96ºC selama 2 menit; Denaturasi : 96ºC selama 10 detik; Annealing : 50ºC selama 30 detik; Ekstensi/ Polimerasi : 60ºC selama 4 menit; Siklus sebanyak 35 kali, diakhiri pada suhu 4ºC. Sampel dimasukkan ke dalam mesin PCR, mesin PCR dijalankan. Setelah selesai dilanjutkan dengan pemurnian hasil reaksi sequencing. 8. Pemurnian Hasil Reaksi Sequencing Sebanyak 10µL produk PCR hasil reaksi sequencing dalam tabung PCR ditambah dengan 10µL Rnase free-water, 2µL NaOAc 3M pH 7 , 2µL EDTA 125 mM dan 50µL etanol absolut bersuhu -20ºC. Tabung dibolakbalik sebanyak 4 kali dan diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit dengan dibungkus alumunium foil. Kemudian di sentrifugasi pada kecepatan 5000 Xg selama 30 menit pada suhu 4ºC. Supernatannya dibuang dan ditambah dengan 70µL etanol 70% bersuhu -20ºC. Dicampur dengan perlahan. Disentrifugasi pada kecepatan 3000Xg selama 15 menit pada suhu 4ºC. Supernatannya dibuang, sisa etanol dikeringkan dengan tisu steril. Tabung PCR itu kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan di vakum selama 10 menit untuk menguapkan etanol secara sempurna. Selanjutnya ditambah 10 µL Rnase free-water. Divortex selama 10 detik. Hasil pemurnian ini digunakan untuk sequencing DNA. 9. Sequencing DNA Hasil pemurnian dari reaksi sequencing dimasukkan ke dalam mesin sequencing Sequencer ABI 3130. Data yang diperoleh merupakan data 10 sekuen DNA gen Sulfohydrolase dari Eucheuma cottonii. Data tersebut dibandingkan dengan data sekuen DNA gen sulfohydrolase dari Chondrus crispus. 10. Pemotongan dengan Enzim Restriksi FastDigest BamHI Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan sekuen antara pita DNA hasil amplifikasi menggunakan primer gen pengkode sulfohydrolase pada E. cottonii dengan data sekuen gen pengkode sulfohydrolase pada Chondrus crispus. Pemotongan dilakukan dengan enzim yang dapat memotong sekuen gen pengkode sulfohydrolase pada Chondrus crispus. Pada penelitian ini dipilih enzim restriksi FastDigest BamHI dari Fermentas. Campuran reaksi restriksinya adalah sebagai berikut : DNA (~ 0,2 µg ) 2µL RNase free-water 15µL 10X FastDigest dapar 2µL Enzim FastDigest BamHI 1µL + Total reaksi 20µL Reaksi dicampur, di spindown dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 jam. Untuk menghentikan reaksi , sebanyak 4µL 6X Loading Dye Solution ditambahkan ke dalam reaksi restriksi lalu dicampur. Hasil restriksi kemudian di visualisasikan melalui gel elektroforesis. Hasil dan Pembahasan Tabel 2. Hasil pengukuran konsentrasi total RNA dengan Nanodrop spektrofotometer 11 Gambar 1. Kurva pembacaan konsentrasi total RNA dengan Nanodrop spektrofotometer. Dari pembacaan tersebut dapat diperkirakan konsentrasi RNA pada sampel 1 adalah ~ 157 ng/µL dengan A260/A280 ~2,14 dan pada sampel 2 adalah ~164 ng/µL dengan A260/280 ~2,15. Primer yang dipergunakan untuk mengamplifikasi gen pengkode sulfohydrolase I adalah : FSH I 5’-GGCTCACCTACGTTCTTTTG-3’ dan RSH I 5’-AGACCTACTCAACCTTCCTG-3’. Sepasang primer ini dirancang dari data sekuen gen pengkode sulfohydrolase pada C. crispus. Primer ini dirancang secara manual dari 300 basa awal setelah 4 basa pertama dari awal kodon start (ATG) pada data sekuen tersebut. Yang dipergunakan hanya sekuen dari ujung 5’ sepanjang 300 basa ke arah ujung 3’, sebab semakin ke arah akhir ujung 3’, kemungkinan sekuennya cocok semakin kecil. Berikut ini adalah data sekuen gen tersebut pada C. crispus dan letak sepasang primer yang telah dirancang pada data sekuen tersebut ( Gambar 2). 12 1 gacagccctc cccaacATGg ggctcaccta cgttcttttg tctgttcttg tcttacaagc 61 aacccacgca cttgccaaag agggatgcga gaccgctata gttggagccg gaattggtgg 121 cgcttattct gccttccgtt tggcaagccc atcagtctgt atctttgaag ccaaccgtcg 181 cccaggaggg cgcatcttga ccgttcggga tccaagcgcc tcgtttctga acttcactat 241 tgaccttggt gcgtatcgct accatcgtgc acaccatcgt cttgtccgcc tcgttgctga 301 agacctactc aaccttcctg tggcttgcta tacggacttg ctcaacaacc gaaaagattg 361 tccggacgcg acgattcgtc tcttttcaac tcgagggaac gtgcttggag ctcttggagg 421 ccggattgct caagacttaa taaagaagta cggaccgttc ctgccatatg tgattcagag 481 gagctttcgg tggggacaag gaaagccctt gaaggaaaga cggacaatgt ctgggttgct 541 aatcgggcca aactcagtaa tcaaagagat ccgagatcgc gttgaggagc ttgagaaaga 601 ggaagactat gcgaaagcga tgcagattgc ggacgaaatc attgcggcaa tgcaagatgg 661 ctcgtacaga ggcatcccgt attcagagat cagtttgatg caagtcgcga tccgtgaagg 721 ctttacgaca gaggagatgc aactggaaac ggacttctca tttctcagca gtgtggaaag 781 gcggcagacg ctagaataca acgggcagct ttcaatcagg caaatggcac tagaaaaggg 841 acttataggg cttaacaatc tagtgacgcc gatggagaag cggcgtggag tgctacgtag 901 agcgggcatg atcacgctcg tggacggcct gcttgagcgg gcgatgaagg gcggtgtgca 961 ggtacaatat gggaagaagg tcgtgagaat tacgcgcacc ggaaatgaga agaggcctat 1021 aagactcaag ttcgaggacg gcgggatggt agaagtgaag aacgtgattc tcaacattgg 1081 caagccgggg ctgattgctc ttgggctgga ctcggagccg atgatgagca ccaaggagcc 1141 tttccggcga gcggtcgagc gaaactttgt gctgagctta tccaagacgt attgtttctg 1201 ggaagacgcg tggtggttga caaagttggg gcaacgggat gggcgtattc aggttccttc 1261 agattcgatg cagtcaatgc gataccacga tggacacgtc gtgtgcaagg acgagagaag 1321 gcttaaaagt tgccgtggcg gattgctcgc gtcgtactcg gggggcgatc agatggggct 1381 tggggctgct ttgcatgcgc acgtgcataa tgctaaaccg tacacaccgc tgacaagcag 1441 tgacaacgta gtgaaattga ttccagggaa gatgtctgga gtagagcaag tatactttga 1501 tgacctgcac gcacaaatca agcgtgtgca caagaggtcg gtggagcgga aggggcttga 1561 cgtggacaag gtgatttcca agccggctat gtgcctattt gcggattggc gggaggtggg 1621 tactcatgcg gccatggggc cgggaaaagg aagaacgaat gtgtacgagt tgtacgctaa 1681 accggttagt gatttgagaa tcgcactggt aaacgaagcg tggagtgggg accaagggtg 1741 ggcggagggg agcttgagaa gcgcagagcg ggcgctgttc caccaattcg gaatggagaa 1801 gccagagtgg atggataagg agtatcaccg gtcggtgatt gagaggtaca accaggggTG 1861 Atttcggcgc gggcatacag tatgcgtgtc gttcgtgaag ttgtagcaaa gggctaatcc 1921 ttccacctgt cgtctcggcg caaagaataa aagctcgaag attagtggtg acgttagaag 1981 taggcataca gaaccaaaaa aaaaaaaaaa aaaaaaaaaa Keterangan : Huruf yang dicetak merah muda Huruf yang dicetak hijau muda Huruf yang dicetak coklat diantara warna hijau muda : letak kodon START dan kodon STOP : letak forward primer dan reverse primer : sekuen yang terdapat dalam range antara forward primer hingga reverse primer. Gambar 2. Letak primer gen pengkode sulfohydrolase I pada data sekuen gen pengkode sulfohydrolase ( SEQ ID NO 17 ) pada C. crispus. 13 Hal-hal yang dijadikan pertimbangan dalam perancangan primer secara manual adalah sebagai berikut ( Purbowasito, 2007 ) : 1. Panjang primer berkisar antara 18-26 basa. 2. Kandungan GC sekitar 50-60 %. 3. Melting Temperature ( Tm) antara 50-60ºC. 4. Tidak boleh terdapat 4 sekuen basa yang sama berturut-turut. 5. Spesifisitas PCR bergantung pada ujung 3’ primer. Ujung 3’ yang lebih baik akan menghasilkan sintesis DNA yang lebih efisien. Spesifisitas dapat ditingkatkan dengan adanya ujung 3’ yang tidak stabil. Sertakan 3 atau 5 basa A atau T pada 5 basa terakhir dari keseluruhan panjang primer, biarkan primer berakhir pada basa A atau T . Pada penelitian ini, panjang primer yang dibuat adalah 20mer, dengan perbandingan AT:GC adalah 50:50, sehingga jumlah AT = GC = 10mer. Tm yang diperoleh dari rumus perbandingan ini adalah Tm = { 2(A+T) + 4(G+C) }ºC Tm = { 2(10) + 4(10) }ºC = 60ºC Oleh karena tidak boleh terdapat 4 sekuen basa yang sama berturut-turut, maka awal forward primer dimulai pada basa G ke 3 dari 4 basa G berturut-turut dari awal kodon start. Forward primer berakhir pada basa C dengan jumlah basa T adalah 4 dari 5 basa terakhir, sedangkan reverse primer berakhir pada basa C dengan jumlah basa T adalah 2 dari 5 basa terakhir. Komposisi seperti ini tidak dapat dihindari, karena apabila posisi range primer digeser maju untuk bisa mendapatkan komposisi akhir basa T atau A yang lebih banyak, semua prasyarat yang sebelumnya menjadi tidak terpenuhi. RT-PCR dalam satu tahap dapat dilakukan baik menggunakan cetakan berupa mRNA maupun total RNA. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode dari AccuPower® RT/PCR PreMix Kit dari Bioneer. Kit ini mengandung komponen-komponen yang telah dioptimasi sehingga dapat memungkinkan terjadinya proses transkripsi balik ( RT ) dan amplifikasi PCR dalam satu tahapan reaksi. Sebagai kontrol proses ekspresi gen yang terdapat pada cetakan RNA yang dipergunakan sebagai material awal, dipergunakan primer 18s 14 rRNA. Hal ini untuk memastikan bahwa pada sampel RNA yang diekstraksi benar-benar sedang terjadi proses ekspresi gen. Berikut ini adalah hasil foto elektroforesis produk RT-PCR ( Gambar 3). 1 M 2 3 1500bp 1500bp 1000bp 1000bp 500bp 1 M 2 3 500bp Keterangan : 1. mRNA dengan primer SH1 2. Total RNA dengan primer 18s 3. mRNA dengan primer 18s M = Marker 1 kb Gambar 3. Hasil elektroforesis produk RT-PCR I Pada foto tersebut, nampak bahwa proses RT-PCR dengan cetakan mRNA yang diamplifikasi menggunakan primer Sulfohydrolase I ( SH I ), menghasilkan pita berukuran mendekati 500bp, namun pita tidak terlihat tegas 1 band. Hal ini mungkin disebabkan optimasi annealing temperature belum tepat. RT-PCR cetakan mRNA dengan primer 18s tidak menghasilkan pita sebab pada cetakan tidak lagi terdapat rRNA yang dapat dikenali oleh primer ini. Sedangkan RT-PCR cetakan total RNA dengan primer 18s menghasilkan pita tegas berukuran lebih dari 1000bp namun di bawah 1500bp. Padahal menurut teori seharusnya berukuran 1767bp. Hasil ini mungkin terjadi akibat terbentuknya self annealing pada cetakan RNA, sehingga primer tidak mampu mengamplifikasi keseluruhan panjang cetakan. Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa primer SH I yang di 15 rancang dari data sekuen gen pengkode sulfohydrolase pada C. crispus berhasil dipergunakan untuk mengamplifikasi gen yang terdapat pada E. cottonii. Berdasarkan ukuran yang diperoleh ( > 300bp ) terdapat kemungkinan bahwa panjang sekuen gen tersebut berbeda. Proses ekspresi pada sampel juga dapat dibuktikan dengan munculnya pita pada RT-PCR menggunakan primer 18s. Kemudian, dilakukan proses amplifikasi lagi. Dimulai dari tahapan isolasi RNA hingga RT-PCR lagi. Hal ini selain untuk mengetahui reproducibility dari penelitian ini, juga untuk mencoba optimasi kembali terhadap proses yang lalu. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada gambar 4 berikut ini. M 1 kb 1 2 3 M 100bp* 4 5 6 500bp Keterangan : 1. mRNA dengan primer SH1 2. Total RNA dengan primer SH1 3. Total RNA dengan primer 18s 4. mRNA dengan primer SH1 5. Total RNA dengan primer SH1 6. Total RNA dengan primer 18s Program PCR : 1,2,3 : annealing 55°C 4,5,6 : annealing 60°C Gambar 4. Hasil elektroforesis produk RT-PCR II Pengulangan yang kedua ini menggunakan 2 variasi suhu annealing, yakni 55°C dan 60°C. Kali ini proses RT-PCR dilakukan pada masing-masing cetakan, baik total RNA maupun mRNA. Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa RT-PCR pada cetakan mRNA, pada variasi kedua suhu menghasilkan pita smear. Hal ini dapat disebabkan oleh terdegradasinya sampel pada saat proses isolasi mRNA dari total RNA. Selanjutnya, hasil RT-PCR pada cetakan total RNA dengan primer SH I , pada variasi kedua suhu sama-sama menghasilkan beberapa pita, peristiwa 16 ini dapat terjadi disebabkan karena kemungkinan primer SH I ini dapat dikenali oleh komponen RNA lain selain mRNA, atau terdapat kemiripan sekuens pada gen lain. Akan tetapi pita paling tegas letak dan ukurannya sama dengan pita yang diperoleh pada proses RT-PCR I yang menggunakan cetakan mRNA. Pita yang diperoleh dengan suhu annealing 60ºC terlihat lebih tebal. Sedangkan RT-PCR pada cetakan total RNA menggunakan primer 18s menghasilkan pita smear. Hal ini berarti sampel RNA hasil isolasi yang kedua ini telah mengalami degradasi. Dari hasil pengulangan yang kedua ini dapat dikatakan bahwa sebenarnya primer SH I dapat dipergunakan untuk mengamplifikasi gen yang terdapat pada E. cottonii, baik pada cetakan mRNA maupun total RNA, akan tetapi karena sampel RNA pada hasil pengulangan yang kedua telah mengalami degradasi, maka proses RT-PCR tidak dapat berjalan optimal dan hasil tersebut tidak dapat tervisualisasikan dengan baik pada gel elektroforesis. Dari hasil pengukuran menggunakan Nanodrop spektrofotometer, diperoleh hasil kuantitas dan kualitas cetakan DNA hasil purifikasi dari gel elektroforesis sebagai berikut ( Tabel 3): Tabel 3. Hasil spektrofotometer produk RT-PCR yang telah dimurnikan dari gel elektroforesis. No. Nama sampel Konsentrasi DNA A260/A280 1. Produk RT-PCR I dari cetakan mRNA 2. Produk RT-PCR II dari cetakan total RNA, suhu annealing 55ºC 3. 15 ng/µL 2,0 26,18 ng/µL 1,69 20,97 ng/µL 1,69 Produk RT-PCR II dari cetakan total RNA, suhu annealing 60ºC Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa secara kuantitas, cetakan DNA sudah memenuhi syarat untuk dapat dipergunakan dalam reaksi cycle sequencing, akan tetapi secara kualitas, masih sedikit berada di atas dan di bawah range rasio A260/A280 yang ditentukan. Proses cycle sequencing ini dilakukan untuk memperbanyak fragmen PCR dengan pembacaan satu arah saja, menyediakan rantai akhir agar didapatkan basa spesifik yang diperoleh melalui reaksi polimerisasi dengan substrat ddNTP. Selanjutnya masing-masing basa akhir itu 17 diwarnai dengan zat yang dapat berpendar sehingga basa akhir yang spesifik itu dapat dibaca pada mesin sequencer. Perunutan basa DNA dilakukan dengan menggunakan mesin sequencer HITACHI Applied Biosystems 3130 Genetic Analyzer. Alat ini menggunakan prinsip elektoforesis kapiler untuk memisahkan setiap fragmen DNA, basa akhir spesifik yang berpendar akan terbaca dan ditampilkan langsung pada layar komputer. Pada tahapan ini, pembacaan urutan DNA ini belum berhasil dilakukan. Dari ketiga sampel yang dibaca, semuanya memberikan hasil elektroferogram dengan puncak yang rendah, bahkan menumpuk. Hal ini boleh jadi diakibatkan karena pemisahan produk RT-PCR pada gel elektroforesis tidak benar-benar memberikan hasil satu band tunggal. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah produk RTPCR yang sudah diperoleh itu benar-benar produk yang diinginkan dan untuk membandingkan urutan basanya dengan gen sulfohydrolase yang terdapat pada C. crispus, maka pemeriksaan urutan basa itu dapat dilakukan dengan memotong fragmen produk RT-PCR menggunakan enzim restriksi yang dapat memotong sekuen gen sulfohydrolase yang terdapat pada C. crispus. Pada penelitian ini, dipergunakan FastDigest BamHI dari Fermentas. Situs pengenalan enzim ini terletak pada 5'-GGATCC-3' dan memotong sekuen tersebut setelah guanine pertama pada setiap pita DNA. Pada C. crispus, enzim ini akan memotong pada basa ke 192 setelah awal kodon start ( hanya diperhitungkan sepanjang 400 basa dari kodon start, sebab ukuran produk RT-PCR pada E. cottonii berkisar pada ukuran tersebut ). Karena ukuran produk RT-PCR pada E. cottonii berkisar pada ukuran 400 bp ( dibawah 500 bp), maka bila sekuen yang dimilikinya serupa dengan yang dimiliki C. crispus, enzim FastDigest BamHI akan memotongnya dan menghasilkan 2 buah pita dengan ukuran yang tidak jauh berbeda. 18 Hasil pemotongan produk RT-PCR dengan FastDigest BamHI, ditunjukkan pada gambar 5. M 1 M 2 500bp 1 2 500bp Keterangan : M : Marker 1 kb 1 : Hasil RT-PCR dengan sulfohydrolase tanpa restriksi dengan FastDigest Bam HI 2 : Hasil RT-PCR dengan sulfohydrolase tanpa restriksi dengan FastDigest Bam HI Gambar 5. Hasil restriksi pita produk RT-PCR sulfohydrolase dengan FastDigest BamHI Pada gambar 5. hanya terlihat 1 pita pada sumur 1, yakni hasil RT-PCR dengan sulfohydrolase tanpa restriksi dengan FastDigest Bam HI. Sedangkan pada sumur yang 2 tidak nampak pita hasil RT-PCR dengan sulfohydrolase tanpa restriksi dengan FastDigest Bam HI. Pada pemaparan langsung diatas sinar UV, sebenarnya terlihat 1 pita yang sangat tipis pada sumur 2 yang ukurannya sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan pita yang terdapat pada sumur 1. Namun, pengambilan dokumentasi dengan foto tidak dapat menangkap pendaran pita tersebut. Perbedaan kualitas pendaran ini disebabkan kuantitas DNA yang 19 terdapat pada sumur 1 dan sumur 2 berbeda. Pada sumur 1, jumlah DNA yang dirunning mencapai sekitar 120ng dalam 6µL sampel. Sedangkan pada sumur 2, jumlah DNA hanya sekitar 40ng yang terelusi dalam 20µL sampel (mengikuti rumus reaksi restriksi). Hal ini juga dipengaruhi oleh penggunaan agen staining untuk mewarnai pita DNA. Yang dipergunakan adalah Sybr Safe Molecular Probes dari Invitrogen yang menghasilkan kekuatan pendaran DNA dengan sinar UV yang lebih rendah dibandingkan Ethidium Bromida. Diperolehnya hasil pita restriksi yang berbeda ukuran menunjukkan bahwa FastDigest Bam HI dapat mengenali sekuen pada fragmen produk RT-PCR tersebut. Seharusnya terdapat lebih dari 1 pita hasil pemotongan, namun yang terlihat hanya 1, hal ini bisa terjadi kemungkinan karena potongan pita yang lain berukuran jauh lebih kecil sehingga telah melewati batas bawah gel agarose. Berdasarkan hasil restriksi ini, beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah terdapat 2 kemungkinan : 1. Produk yang berhasil diamplifikasi dengan primer sulfohydrolase adalah benar gen yang dimaksud, akan tetapi terdapat perbedaan ukuran dan urutan basa gen antara yang terdapat pada C. crispus dengan yang terdapat pada E. cottonii. 2. Produk yang berhasil diamplifikasi dengan primer sulfohydrolase adalah bukan gen yang dimaksud. Terdapatnya perbedaan sekuen gen sulfohydrolase antara yang terdapat pada C. crispus dengan yang terdapat pada E. cottonii sangat mungkin terjadi, mengingat kekerabatan terdekat di antara keduanya adalah pada tingkat ordo. Hanya saja, gen tersebut dimungkinkan masih dalam area conserved region ( daerah yang dipelihara) dan masih dipertahankan hingga tingkat beda spesies, sehingga masih dapat dirunut dengan menggunakan data sekuen dari kerabatnya tingkat ordo. Kesimpulan 1. Primer yang didesain menggunakan data sekuens DNA gen sulfohydrolase dari C. crispus dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen yang terdapat pada E. cottonii. Pita ini bisa diperoleh baik menggunakan cetakan mRNA 20 maupun cetakan total RNA. Ukuran pita yang diperoleh adalah sekitar 400bp, ukuran ini lebih besar dibandingkan dengan perkiraan ukuran pada C. crispus yang dibuat desain primernya. 2. Sekuens DNA gen sulfohydrolase pada E. cottonii belum berhasil didapatkan, karena proses separasi pita DNA produk RT-PCR yang belum sempurna menyebabkan penumpukan pembacaan pada elektroferogram. Belum dapat dipastikan apakah pita yang diperoleh melalui RT-PCR pada sampel E. cottonii adalah benar gen sulfohydrolase yang dimaksud, sebab proses perunutan urutan basanya belum berhasil diperoleh. 3. Melalui pemeriksaan menggunakan digesti dengan enzim restriksi FastDigest Bam HI, dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 kemungkinan dari penelitian ini: a. Produk yang berhasil diamplifikasi dengan primer sulfohydrolase adalah benar gen yang dimaksud, akan tetapi terdapat perbedaan ukuran dan urutan basa gen antara yang terdapat pada C. crispus dengan yang terdapat pada E. cottonii. b. Produk yang berhasil diamplifikasi dengan primer sulfohydrolase adalah bukan gen yang dimaksud. Saran 1. Perlu dilakukan optimasi kembali terhadap proses RT-PCR pada amplifikasi gen sulfohydrolase ini. 2. Agar bisa diperoleh separasi pita DNA yang lebih baik dapat digunakan gel elektroforesis yang terbuat dari poliakrilamid karena gel poliakrilamid memiliki kisaran separasi antara 5 hingga 2000bp. 3. Untuk membuktikan apakah pita yang diperoleh adalah benar gen sulfohydrolase yang dimaksud dapat dilakukan beberapa pilihan cara antara lain : Hibridisasi Northern, Pembuatan Restriction map, SubKloning fragmen yang diperoleh pada vektor plasmid yang sesuai dan dilakukan sekuensing DNA plasmid tersebut. 21 Daftar Pustaka AccuPower® RT/PCR PreMix. http://eng.bioneer.com/ . Akses : 16092008,10:21 Cheney, D. P. and C. Duke. 1995. Methods for producing improved strains of seaweed by fusion of spore-protoplasts, and resultant, seaweeds and phycocolloids. Patent Storm. US Patent Issued on 20 June 1995. United States Patent 5426040 Fennema , O.R. 1996. Food Chemistry Marcel Dekker. New York http://www.ceamsa.com/ Genicot, S., Bernard K., Philipe P., Brian R., Gerhard D R., Bea P., Odile, R., 2003. ” Sulfohydrolases, corresponding amino acid and nucleotide sequences, sulfohydrolase preparations, processes, and products there of ”. Patent Storm. US Patent Issued on 16 September 2003. United States Patent 6620604 http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Akses : 7/2/2008, 9:43 WIB Lewin, B. 1987. Genes III. Toronto : John Wiley & Sons Inc Purbowasito, W. 2007. Desain Primer. Komunikasi Personal. 19062007,14:00. Serpong,Tangerang Qiagen., 2006. RNeasy® Mini Handbook..Fourth edition. April 2006. www.qiagen.com. Akses : 29082008, 11:41 ---------. 2002. Oligotex® Handbook. Second edition. May 2002. www.qiagen.com. Akses : 29082008, 11:50 Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi lingkungan yang Berbeda dan Perlakuan Jarak Tanam di teluk Lhok Seudu. Disertasi IPB Syamsuar. 2006. Karakteristik Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Berbagai Umur Panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi. Disertasi IPB Wong, K.F. and Craigie, J.S. 1978. “ Sulfohydrolase and Carrageenan Biosynthesis in Chondrus crispus ( Rhodopyceae ) “. Plant Physiol.61, 663-666