MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044 Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 KONSEP RAJA MESIANIS MENURUT YESAYA 11:1-9 Joni Tapingku ABSTRACT In essence, the prophecies of the messianic king is an advanced interpretation of the prophecy of Nathan (II Sam. 7). Even the prophet Isaiah did not mention directly who akanb become messianic ruler, but certainly he was a man who came from the family of David. He has the same keududukan the king of Israel in nature. Because the Spirit of God was to him then he has the strength, wisdom, understanding and fear of God in governing the people. His actions in ruling is love, truth and justice. What he is doing as another not messianic king is doing the work of God himself on earth. Thus, the Spirit of God which is given unto it not only will lead to full compliance messianic king’s will and acts of God, but also makes the charismatic leader like David. PENDAHULUAN Penelitian ilmiah sudah membuktikan bahwa tidak hanya ada satu pemahaman spesi mengenai mesias. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa pelayanan Yesus sudah dengan sendirinyam merupakan bukti jelas bahwa Dia adalah Mesias. Tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa karena Ia tidak membebaskan Israel dari kedudukan kerajaan Romawi, maka Ia bukan Mesias. Menurut pertimbangan tradisi sinoptik, kelihatannya Yesus tidak membiarkan diri-Nya dipandang sebagai Mesias, bahkan murid-Nya disuruh untuk diam (Mrk. 8:29, 30; 9:9). Yang terjadi adalah bahwa Yesus memandang mandat-Nya sebagai yang bersifat Mesianis, kendati hal itu tidak dapat dibuktikan. Tetapi juga tidak bisa dibuktikan bahwa Ia bukan Mesias. Bagi orang Yahudi pada zaman Perjanjian Baru, gambaran tentang Mesias pada dasarnya adalah tokoh penyelamat yang inklusif, hanya bagi bangsa Yahudi sendiri. Sebagai tokoh yang nasionalistis, maka Yerusalem diyakini sebagai pusat perjuangan Mesias. Gambaran ini tentu saja tidak sesuai dengan perjuangan Yesus. Benar bahwa perhatian utama Yesus adalah keselamatan Israel, tetapi sejak awal sudah disadari bahwa karya keselamatan di dalam Yesus adalah karya untuk semua manusia. Perlakuan-Nya terhadap orang Samaria (Luk. 17:16; Yoh. 4:9), dan putrid Siro-Fenisia (Mrk. 7:24-30), juga bila Ia menekankan kedudukan Israel adalah gambaran yang jauh dari nasionalistis itu. Unsur nasionalistis ini adalah yang paling kecil dalam gambaran Yesus sebagai Mesias. 23 Konsep ideal tentang Mesias dalam pemahaman orang Yahudi adalah sebagai tokoh mulia, penuh kekuasaan dan keperkasaan serta berasal dari keturunan Daud. Dan sebagai tokoh yang mulia dan perkasa, maka Ia pun seharusnya menghajar pendosa, menghapus berbagai kejahatan dan membuat bangsa-Nya hidup makmur dan sejahtera. Maka tidak mengherankan bila pengajaran dan tindakan Yesus terhadap orang berdosa dan pengampunan dosa ditanggapi secara keras oleh orang Yahudi (Mat. 9:10; Yoh. 1:29; 8:7). Sulit bagi mereka menerima Yesus yang menolong dan menyelamatkan orang berdosa. Bagi mereka hal yang tidak mungkin, tidak bisa dipercaya bahwa Mesias yang agung dan perkasa lahir di tempat yang hina dan harus menderita, bahkan mati di kayu salib. Dari pengamatan ini jelas bahwa gambaran orang Yahudi tentang Mesias berbeda dengan tindakan dan ajaran Yesus. Tradisi sinoptik menunjukkan bahwa hidup, karya dan pengajaran Yesus yang diukur dengan ukuran tradisional itu boleh dikatakan Ia bukan Mesias. Lalu, haruskah dikatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Yesus dan cita-cita Mesianis? Bagi kita, bangsa pilihan yang baru, adalah penting untuk memperoleh makna nama dan gelar Kristus. Dan satu-satunya jalan yang pantas untuk itu ialah dengan menoleh ke Perjanjian Lama. Tugas dan peranan yang dimainkan seorang Mesias serta keselamatan yang Ia bawa baru menjadi jelas dalam perjalanan Allah dengan Israel, umat-Nya. Oleh karena itu, kita harus mempelajari bagaimana sebenarnya Allah menjanjikan kedatangan Mesias kepada kita di dalam Perjanjian Lama. Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044 Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 Pengertian tentang Mesias Kata ini berasal dari kata Aram mesi’e dan kata Ibrani masyiakh, yang berarti “seorang yang diurapi” (Buttrick 1962: 19). Menurut Zimmerli etimologi dari istilah tersebut bisa berarti “seorang yang diproklamirkan” atau “seorang yang terdepan” (Zimmerli 1978: 87). Dalam pemikiran orang Israel, mendengar istilah itu bisa berarti “nabi yang diurapi” (I Raj. 19:16) atau “imam yang diurapi” (Kel. 28:41; 29:7) atau “raja yang diurapi” (Hak. 9:8; I Sam. 16:12, 13; Mzm. 89:20) (LaSor dkk. 2000: 297). Jadi, sejak semula dimengerti bahwa sang terurapi adalah nabi, imam dan raja. Meskipun gelar “seorang yang diurapi” juga digunakan untuk nabi dan imam, namun dalam pemahaman sejarah penyelamatan Allah bagi umat Israel, gelar tersebut hanya digunakan secara mutlak untuk raja (Kaiser 2000: 194). Pemutlakan gelar ini pada raja bukanlah tanpa alasan. Beberapa teolog dalam ungkapan yang senada memberikan alasannya masing-masing. Menurut Walter C. Kaiser, janji Allah kepada Daud di dalam II Samuel 7 harus berada berada di antara saat-saat yang paling cemerlang di dalam sejarah penyelamatan Allah. Wibawa dari janji tersebut hanya bisa ditandingi oleh janji yang diberikan kepada Abraham (Kej. 12) dan kepada Israel serta Yehuda dalam perjanjian baru dengan Yeremia (Yer. 31:31-34) (Kaiser 2000: 187). Menurut Gerhard von Rad, janji Allah kepada Daud di dalam II Samuel 7 adalah merupakan janji abadi sebagaimana yang diperluas dalam Mazmur 132:1-18. Dalam II Samuel 7 terdapat beberapa janji Allah kepada Daud: (a) Allah akan membangun rumah dinasti Daud, (b) Daud akan berkuasa atas Israel dan kekuasaannya akan kekal, dan (c) Allah akan menjadi Bapa bagi Daud dan keturunannya (Rad 1962: 310). Claus Westermann berpendapat bahwa nubuat tentang berkat keselamatan berkaitan erat dengan lembaga kerajaan. Nubuat itu meliputi pilihan Allah tentang seorang raja, pengurapan Allah dan janji sebuah dinasti. Oleh karena itu gagasan ini sangat terkait dengan nubuat nabi Natan dalam II Samuel 7:1-17. Inti dari II Samuel 7 ini ialah janji mengenai kebesaran dan kehormatan (nama yang termasyur) bagi Daud, dan janji mengenai kekekalan keluarganya (ayat 9b dan 11a) (Westermann 1987: 31). Dalam bukunya yang dikutip oleh Siahaan, Eduard Konig mengatakan bahwa tujuan Yahweh ialah membangun bangsa yang rogani dengan religi dan budaya yang benar. Dan dalam kerajaan ini akan berkuasa seorang penyelamat. Setelah kerajaan Israel berdiri sesuai dengan kehendak Allah di bawah pemerintahan Raja Daud, dan Raja Daud menduduki tempat terhormat, maka muncul pengharapan terhadap penyelamat dalam bentuk raja. Jenis pengharapan akan keselamatan dan cara memperoleh keselamatan lambat-laun digambarkan berhubungan dengan besarnya bangsa, nama yang termasyur, akhir dari perang, dan juga pemerintahan yang gemilang serta suasana damai dalam pemerintahan (Siahaan 2001: 6). Pentingnya kredo Israel tentang pengangkatan Raja Daud, tentunya tidak terlepas dari pengharapan datangnya raja Mesianis yang dijanjikan. Raja Mesianis itu akan datang dari keturunan Daud yang agung, dan akan datang untuk menyempurnakan kerajaan Allah yang diharapkan. Ia adalah raja Yahweh yang akan memerintah atas kerajaan kekal-Nya di bumi; namun sekaligus, Ia adalah manusia pilihan yang berhak duduk sebagai wakil Allah di atas takhta Daud. Bagi jemaat mula-mula, gelar Mesias tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai khristos (diurapi). Dari kata itu timbul kata “Kristus”. Kata “Mesias” dan “Kristus” memiliki arti dasar yang sama, di mana dalam perkembangan kedua kata ini, Kristus mendapat arti tambahan, dan dalam pemakaian Kristen arti Mesias lebih luas dari dampak pemakaian Yahudi. Pada waktu menyatakan Yesus sebagai “Kristus”, para penulis Perjanjian Baru menyamakan Dia dengan Mesias orang Yahudi (LaSor dkk. 2000: 296). Sejarah Pengharapan Raja Mesianis Sejumlah teolog mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang asal mula pengharapan raja mesianis. Aliran historis-kritis, seperti Fohrer berpendapat bahwa nubuat tentang mesias dalam Perjanjian Lama hanya 11 (12), yaitu di Yesaya 9:1-6 (Eng. 9:2-7); 11:1-9; 16:5; Yeremia 23:5-6 (33:15-16); Yehezkiel 17:2224; Mikha 5:1, 3 (Eng. 5:2, 4); Hagai 2:20-23; Zakharia 6:9-15; 4:1-6a, 10b-14 dan 9:9 (Fohrer 1972: 349). Oleh karena nubuat-nubuat tersebut adalah merupakan tambahan kemudian dan berkaitan erat dengan pengharapan eskatologis, itu berarti pengharapan mesianis baru muncul Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen 24 MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044 Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 pada masa dan sesudah pembuangan. Pada masa itulah raja mesianis akan duduk pada takhta Daud dan memerintah secara adil dan pemerintahannya adalah wakil Yahweh di bumi (Fohrer 1972: 349). Menurut Richter dan Schmidt, gelar “yang diurapi” hanya digunakan bagi pemimpinpemimpin militer pada masa sebelum monarkhi. Karena itu tidak mungkin bahwa gelar itu sudah diasosiasikan dengan raja mesianis pada periode sebelum monarkhi. Tetapi Zimmerli menolak pendapat ini dengan mencoba memberikan penjelasan bahwa di antara kerajaan-kerajaan besar di Timur Tengah Kuno, ritual pengurapan sudah mendominasi Asia Minor dan Siria sekitar tahun 2000 – 1200 sM. Dari tulisan-tulisan Amarna membuktikan adanya tradisi pengurapan bagi seorang raja. Dalam pengurapan itu terkandung makna kebesaran dan tuntutan bagi raja. Tradisi inilah yang kemudian diambil alih dan menjadi gelar umum dalam pengurapan raja Israel (Zimmerli 1978: 88). Sebagaimana Zimmerli, Mowinckel dan Gressmann (Siahaan 2001: 5, 6), juga berpendapat bahwa asal-usul pemahaman raja Mesianis dalam Perjanjian Lama dapat ditelusuri dari gagasan adanya raja yang ilahi sebagaimana yang umum dipahami di seluruh Timur Tengah. Di Timut Tengah raja adalah “orang suci” setingkat imam. Dukun, peramal atau nabi. Raja adalah pemegang kekuasaan dewa di dunia dan menduduki posisi khusus dalam pemujaan di lingkungan peribadatan. Sebagai pemegang kekuasaan, maka raja bertugas meneruskan kekuatan dewa dan menjamin keselamatan bagi bangsanya. Jadi, sekalipun terdapat perbedaan di antara para teolog mengenai penelitian munculnya pengharapan raja mesianis dalam Perjanjian Lama, nabuat nabi Natan dalam II Samuel 7 harus dipahami sebagai nubuat yang relevan sepanjang sejarah karya penyelamatan Allah, baik pada masa monarkhi maupun masa dan sesudah pembuangan. Gerhard von Rad mengatakan bahwa janji Allah melalui nabi Natan ini diberi arti yang semakin penting dari masa ke masa, dan tidak pernah lagi dilupakan dan terus dinyanyikan dalam mazmur-mazmur (Rad 1962: 311). Para nabi abad ke-8 sM, yang bekerja pada zaman kerajaan, seperti Yesaya dan Mikha, banyak berbicara tentang kedatangan raja keselamatan dari keturunan Daud dan yang akan 25 memerintah dengan kemuliaan seperti Daud pertama. Sebagai orang yang dipilih dan diangkat oleh Allah, raja mesianis itu akan memerintah dengan bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah. Bentuk pemerintahannya adalah kasih, kebenaran dan keadilan. Ia bukan supermen, setengah manusia, setengah Allah dan juga bukan Allah. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia dan mempunyai kedudukan yang sama dengan raja Israel (Ludji 1999: 38). Sekalipun kerajaan Yehuda jatuh tahun 586 sM, namun janji raja penyelamat dari keturnan Daud tetap berlanjut. Kitab-kitab para nabi sesudah pembuangan dan Kitab Ezra dan Kitab Nehemia memperlihatkan bahwa garis keturunan Daud ditetapkan sekali lagi dalam diri Zerubabel (Hag. 2:21-24). Bahkan Bright mengatakan bahwa Zerubabel adalah alamat bahasa mesianis sebagai raja keturunan Daud yang akan memerintah ketika kekuasaan kerajaan bangsabangsa telah hancur (Bright 1959: 353). Mengenai pribadi Zerubabel diketahui sebagai cucu Yoyakhin dari keturunan Daud (I Taw. 3:19). Sejumlah mazmur juga dialamatkan kepada raja keselamatan yang dinanti-nantikan itu (Mzm. 2, 45, 110). Mazmur-mazmur ini berisi ungkapan-ungkapan yang menunjuk kepada seorang yang lebih besar daripada raja yang menduduki takhta pada saat itu. Ia akan memerintah pada masa itu tidak hanya di Israel tetapi juga atas bangsa-bangsa lain (Mzm. 2:8). Kemuliaan kerajaannya adalah gambaran kemuliaan Allah sebab takhtanya kepunyaan Allah (Mzm. 45:7). Ia akan menjadi raja sekaligus sebagai imam memnggantikan Melkisedek untuk selama-lamanya (Mzm. 110:7). Karena itu mazmur-mazmur ini tepat disebut mazmur mesianis. Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 Nubuat Yesaya ini erat berkaitan dengan berbagai peristiwa dan konteks yang terjadi sampai dengan akhir periode aktivitas Yesaya sekitar tahun 705-701 sM, yakni ketika raja Hizkia masih berkuasa (Ludji 1999: 10). Nubuat Yesaya ini sangat berkaitan dengan Yesaya 10:33-34. Para ahli sudah mengusulkan agar kata sambung (we) pada permulaan ayat 1 diterjemahkan dengan ‘tetapi’ atau ‘di pihak lain’. Usulan ini dimaksudkan agar kontrakdiksi antara berita penghukuman sebelumnya (Yes. Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044 Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 10:33-34) dengan berita keselamatan semakin dipertajam (Ludji 1999: 10). Inti pemberitaan dari ayat 33-34 ialah mengenai penghakiman Tuhan atas raja dan umat Israel. Tuhan akan menjatuhkan kerajaan dari keturunan Daud seperti seorang yang menebang kayu dengan kampaknya. Seperti pohon yang tinggi, demikianlah raja Ahaz dan keluarganya serta seluruh umat yang telah meninggikan dirinya akan dihukum dan diruntuhkan. Sebab raja dan umat yang tidak percaya, tidak akan bertahan lama (Yes. 7:9). Sedangkan Yesaya 11:1-9 menggambarkan suatu tunas baru yang tumbuh di masa datang. Hal ini menunjukkan bahwa penghukuman (ay. 33-34) bukanlah kata terakhir dari Allah. Di balik penghukuman itu terletak maksud penyelamatan Allah dan ketetapan hati Allah untuk mewujudkan karya yang Ia telah mulai. Seperti pada saat Daud dipilih dengan cara yang menakjubkan dari keluarga sederhana, yakni Isai (I Sam. 16:1-13; II Sam. 7:18), demikian juga pada suatu ketika suatu tunas baru (bnd. Yer. 23:5) akan keluar dari tunggal Isai (ay. 1). Nubuat Yesaya tentang tunas dari tunggul Isai menekankan bahwa sekali lagi Isai akan menerima penghormatan tertinggi melalui tunas baru itu. Tunas baru itu menggambarkan seorang raja yang memiliki kewibawaan yang menyamai Daud, sehingga raja itu adalah “Daud kedua”. Penyebutan “Daud kedua” di sini bukan berarti bahwa Daud hidup kembali. Karena itu, Kaiser beranggapan bahwa ucapan Mowinckel tidak tepat (Kaiser 2000: 157). Kesamaan “Daud pertama” dengan “Daud kedua” tampak ketika keduanya menerima Roh Allah (Yes. 11:2; bnd. I Sam. 16:13; II Sam. 23:2) (Ludji 1999: 12). Sebagaimana Roh Tuhan ada pada Daud, maka Daud kedua juga akan diperlengkapi dengan Roh Tuhan dalam jabatannya. Mengenai tujuan pemberian Roh Tuhan (ay. 2), para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Misalnya, Zimmerli melihat makna pemberian Roh Tuhan dalam I Samuel 16:13 sebagai adalah suatu karya intervensi ilahi yang menandakan permulaan bangkitnya seorang yang tidak dikenal sebelumnya (Zimmerli 1978: 88). Von Rad berpendapat bahwa pemberian Roh Tuhan bagi yang diurapi itu berarti raja adalah seorang pemimpin karismatis (Rad 1962: 96). Lebih lanjut von Rad mengatakan bahwa tradisi pemberian Roh Tuhan juga mengarahkan perhatian kepada kenyataan bahwa tradisi ini tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan di sekitar Israel. Tentunya tradisi ini ada sangkutpautnya dengan keistimewaan umat Israel di tengah-tengah bangsa-bangsa lain (Rad 1962: 323). Kaiser juga mencatat pendapat para ahli tentang pentingnya Roh Tuhan bagi seseorang (Kaiser 1972: 157), antara lain: Johnson berpendapat bahwa konsep pemikiran Israel Kuno tentang Roh adalah sesuatu yang vital bagi kehidupan pribadi seseorang. Dalam kaitannya dengan jabatan sebagai raja, Baumgartel mengatakan bahwa roh adalah anugerah dan yang mendukung raja (I Sam. 10:6, 9-10; 16:13; II Sam. 23:2-3). Roh itulah yang akan menuntun kesesuaian antara kehendak Allah dan kehendak raja itu (ay. 2). Dengan pemberian Roh Tuhan berarti raja ideal itu sejajar dengan Daud sebagai pemimpin kharismatis (II Sam. 7:14). Sebagai karunia pertama dari Allah, maka Roh Tuhan itulah yang akan menjamin kesempurnaan pemerintahan raja ideal itu sebagai wakil Allah yang memikul tanggung jawab pemerintahan Allah di atas bumi. Perlengkapan kedua ialah roh hikmat dan pengertian (ay. 2). Roh hikmat akan memampukan raja itu untuk berkarya menurut situasi dan kondisi yang ada. Demikian juga dengan roh pengertian. Roh itulah yang akan memampukan untuk menganalisis kenyataan-kenyataan yang ada dan menentukan kebijakan yang benar (Ludji 1999: 14). Dengan roh pengertian sang raja akan dapat mengerti dan melihat dengan jelas berbagai situasi yang dialami manusia. Menurut Lindblom, Noth dan Porteous, roh hikmat dan roh pengertian itu akan menguasai akal budi raja untuk bertindak tepat dalam pengadilan (Kaiser 1972: 158). Kedua karunia itulah yang akan menentukan aktivitasnya dalam kebijaksanaan secara internal maupun eksternal. Hikmat dan pengertian ini sudah dilupakan oleh para pemimpin Yehuda ketika Yesaya bernubuat, ketika para pemimpin menganggap dirinya sebagai pemimpin yang berhikmat, namun pada kenyataannya mereka melakukan ketidakbenaran dan ketidakadilan dan penindasan (bnd. Yes. 5:21 dll) (Ludji 1999: 13). Dalam kekuatan roh, raja masa depan akan mampu menasihati dan seorang pun tidak dapat mempengaruhinya. Dengan hikmat dan kemampuannya yang adil, baginya ada kemungkinan untuk merencanakan kebenaran dan melakukan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen 26 MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044 Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 kebenaran itu. Karena baginya diam roh penuntun dan besar kuasanya (Yes. 9:6). Ia akan menggunakan jabatannya dalam pengetahuan dan sikap takut terhadap Allah. Pengetahuan yang dimaksud tidak semata-mata kemampuan intelektual, melainkan menyangkut keseluruhan realitas dan kelakuan yang tepat di hadapan Allah. Pengetahuan akan Allah berarti berhenti dari penyembahan berhala dan perbuatan dosa, untuk selanjutnya kembali kepada Allah, mengikuti Allah dan menghormati-Nya. Menurut para ahli, itulah tindakan kasih, keadilan dan kebenaran (Kaiser 1972: 157). Bagi Eichrodt, takut akan Tuhan, dalam arti melakukan kasih, keadilan dan kebenaran adalah suatu ringkasan mengenai segala sesuatu yang bisa dikatakan sikap benar dari manusia kepada Allah (Kaiser 1972: 158). Raja keselamatan yang akan datang pada masanya, tidak akan mengambil keuntungan dari kekuasaannya, melainkan di dalam setiap karyanya, dan karena kesukaannya ialah takut akan Allah (ay. 3), maka ia akan tahu untuk memberikan pertanggungjawaban kepada Allah atas setiap tindakannya. Ia akan menjadi seorang raja yang taat dan benar dalam segala hal, karena Roh Allah ada padanya. Sekalipun menurut pandangan manusia yang mengandalkan keputusannya terhadap apa yang mereka lihat dan saksikan, keberadaan raja tersebut mereka tolak (I Sam. 16:7; I Ptr. 1:17). Sebagai raja penyelamat, yang memiliki kekuatan Allah, ia tidak akan melakukan penghakiman seperti yang dilakukan manusia dengan menerima suap, melainkan dengan sikap yang adil dan benar, terutama bagi mereka yang lemah dan tertindas (ayat 4,5). Pengharapan akan sosok raja yang bertindak demikian juga dapat dijumpai, antara lain: Mazmur 45:4, 7; 72:2, 4; II Samuel 23:3; Yesaya 9:6; 10:2. Dengan demikian, apa yang ia sedang lakukan sebagai raja yang diurapi, penguasa yang benar di masa datang, tidak lain adalah melakukan pekerjaan Allah sendiri di atas bumi (Mzm. 9:9; 68:5; Ayb. 5:15-16). Raja keselamatan yang akan datang itu, tidak hanya memulihkan keadaan manusia, melainkan juga kedamaian antara manusia dan ciptaan lainnya. Hubungan antara manusia dan binatang-binatang diperbaiki kembali, sehingga nampak kembali suasana kehidupan yang damai dan sejahtera di antara semua ciptaan (ay. 6-8). Tidak ada lagi yang berbuat jahat di antara satu dengan yang lain di “selu- 27 ruh bumi”, sebab ada kebenaran yang dibawa oleh raja keselamatan. Selain ungkapan “seluruh bumi”, juga terdapat ungkapan “gunung-Ku yang kudus”. Pendapat para ahli berbeda-beda tentang ungkapan “gunung-Ku yang kudus”. Sebagai contoh, Wildberger beranggapan bahwa ungkapan itu menunjuk kepada Sion atau Yerusalem (Mzm. 2:6; 3:5; 48:2; 99:9) (Wildberger 1991: 481). Sedangkan Clements, beranggapan bahwa ungkapan itu tidak secara sederhana menunjuka kepada Sion (Kel. 15:17). Ungkapan itu lebih berkonatasi kepada seluruh dunia sebagai gunung Allag yang kudus (Clements 1980: 124). Menurut saya, pendapat Walts mungkin lebih tepat, karena ungkapan “gunung-Ku yang dusan-Ku”, dan merupakan bagian dari tradisitradisi Sion. Tetapi dalam ayat 9 ini, ungkapan tersebut paralel dengan “bumi” dan menyatakan secara tidak langsung kepada totalitas penyelamatan Allah dan dunia yang diciptakan kembali (Wildberger 1991: 173). KESIMPULAN Konsep raja mesianis menurut Yesaya 11:1-9 dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pada hakikatnya nubuat mengenai raja mesianis adalah lanjutan interpretasi dari nubuat nabi Natan (II Sam. 7). Sekalipun nabi Yesaya tidak menyebutkan secara langsung siapa yang akanb menjadi penguasa mesianis itu, namun yang pasti dia seorang manusia yang berasal dari keluarga Daud, yang akan tampil dan memerintah seperti “Daud pertama”. Ia bukan manusia supermen; bukan pula setengah manusia, setengah Allah dan ia juga bukan Allah. Ia mempunyai keududukan yang sama dengan raja Israel pada hakikatnya. Kedua, sebagaimana Roh Tuhan ada pada Daud, maka ia juga akan diperlengkapi dengan Roh Tuhan dalam jabatannya. Roh Tuhan yang dikaruniakan akan menuntun raja mesianis kepada ketaatan sepenuhnya atas kehendak dan perbuatan-perbuatan Allah termasuk hukuman sekalipun. Roh Tuhan itu pula yang akan menuntun penguasa mesianis itu menjadi pemimpin kharismatis seperti Daud. Ketga, raja mesianis yang akan datang itu, sekalipun dari keluarga sederhana dan keberadaannya ditolak manusia, namun ia akan menjadi raja penyelamat dan penguasa di atas Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044 Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 bumi. Karena Roh Tuhan ada padanya maka ia memiliki kekuatan, hikmat, pengertian dan takut akan Tuhan dalam memerintah umat. Tindakannya dalam memerintah adalah kasih, kebenaran dan keadilan. Apa yang ia sedang lakukan sebagai raja mesianis tidak lain adalah melakukan pekerjaan Allah sendiri di atas bumi. Keempat, aspek pemerintahan raja keselamatan itu tidak hanya memulihkan keadaan manusia melainkan juga memulihkan kedamaian antara manusia dan ciptaan lainnya. Sehingga !" 11:6-9). Hal ini menunjukkan bahwa aspek keselamatan di dalam raja mesianis adalah bersifat universal sekalipun dimulai dari Sion/Yerusalem. Walts, John D.W. Isaiah 1-33:Word Bible Commentary. Texas: Publisher, 1985. Westermann, Claus. Prophetic Oracles of Salvation in the Old Testament. Edinburgh: T&T Clark, 1987. Wildberger, Hans. Isaiah 1-12: A Continental Commentary. Uugsburg: Fortress, 1991. Zimmerli, Walther. Old Testament Theology in Outline. Edinburgh: T & T Clark, 1978. DAFTAR PUSTAKA Bright, John. A History of Israel. Philadelphia: Westminster Press, 1959. Buttrick, George Arthur (ed.). The Interpreter’s Dictionary of the Bible (IDB). New York: Abingdon Press, 1962. Clements, R.E. Isaiah 1-39: The New Century Bible Commentary. Grand Rapids: Wm. Eerdmans Publishing, 1980. Fohrer, George. History of Israelite Religion. London: S.P.C.K., 1972. Kaiser, Walter C. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000. LaSor, W.S., D.A. Hubbard dan F.W. Bush. Pengantar Perjanjian Lama, jilid 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-4, 2000. Ludji, Barnabas. Kerajaan Mesias. Jakarta: STT Jakarta, 1999. Rad, Gerhard von. Old Testament Theology, vol. I (tr.). New York: Harper and Row, 1962. Siahaan, S.M. Pengharapan Mesias Dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen 28